cacing sutra dg kotoran ayam dan limbah lele pada sirkulasi rak bertingkat

Upload: fandi

Post on 09-Jan-2016

79 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

pedoman budidaya cacing

TRANSCRIPT

  • PEMANFAATAN MEDIA KOTORAN AYAM DAN LIMBAH

    IKAN LELE PADA BUDIDAYA CACING SUTRA (Tubificidae)

    DENGAN SISTEM RESIRKULASI WADAH BERTINGKAT

    DIANA SRIWISUDA PUTRI

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2014

  • PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

    SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

    Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pemanfaatan Media

    Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae)

    dengan Sistem Resirkulasi Wadah Bertingkat adalah benar karya saya dengan

    arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

    perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

    yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

    teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

    Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

    Pertanian Bogor.

    Bogor, Oktober 2014

    Diana Sriwisuda Putri

    NRP C151120131

  • RINGKASAN

    DIANA SRIWISUDA PUTRI. Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah

    Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi

    Wadah Bertingkat. Dibimbing oleh EDDY SUPRIYONO dan DANIEL

    DJOKOSETIYANTO.

    Pakan alami merupakan faktor penting dalam budidaya ikan terutama pada

    fase pembenihan. Salah satu jenis pakan alami yang paling disukai oleh benih ikan,

    khususnya benih ikan-ikan catfish adalah cacing sutra. Hal ini dikarenakan cacing

    sutra memiliki kandungan protein yang tinggi. Cacing sutra di alam, umumnya

    diperoleh dari proses penangkapan di sungai, parit dan selokan. Ketersediaan

    cacing sutra di alam sebagai pakan hidup relatif terbatas sehingga sangat

    diperlukan media kultur cacing sutra yang baik dan dapat memproduksi cacing

    dalam jumlah banyak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis

    pengaruh pemanfaatan kotoran ayam fermentasi dan limbah lele terhadap hasil

    panen cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat.

    Pada penelitian ini yang digunakan rancangan acak lengkap dengan 4

    perlakuan dan 2 kali ulangan. Jenis perlakuan adalah pemberian kotoran ayam

    fermentasi di sedimen dengan pemberian pada awal pemeliharaan (P0), pemberian

    kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya setiap 5 hari

    sekali (P1), pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah

    dari budidaya ikan lele intensif (P2), pemberian kotoran ayam fermentasi di

    sedimen dan pengulangan pemberiannya 5 hari sekali dan pemberian limbah dari

    budidaya ikan lele intensif (P3). Parameter selama penelitian yang diuji meliputi

    kelimpahan individu, biomassa, sedimen yaitu TOM (Total Organic Matter), total

    N dan C-Organik sedangkan parameter kualitas air yang diukur yaitu oksigen

    terlarut (DO), suhu, pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen), TOM (Total Organic

    Matter), TSS (Total Suspended Solid), VSS (Volatile Suspended Solid), nitrit,

    nitrat dan amonia. Sampel sedimen dan air diambil setiap 10 hari sekali.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian kotoran ayam fermentasi di

    sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif merupakan perlakuan

    yang terbaik apabila dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kondisi kualitas air

    selama penelitian, secara keseluruhan masih memenuhi standar budidaya untuk

    cacing sutra. Pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian

    limbah dari budidaya lele intensif pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat

    merupakan perlakuan yang terbaik yang menghasilkan produksi biomassa sebesar

    6,47 kg/m2 dan puncak kelimpahan sebesar 1.697 individu/m

    2, ditinjau dari

    parameter kualitas air, kandungan bahan organik dan nilai TOM air selama

    penelitian. Pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah

    dari budidaya lele intensif merupakan yang terbaik karena menghasilkan

    kelimpahan dan biomassa terbaik dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

    Kata Kunci: Cacing Sutra, Resirkulasi, Wadah Bertingkat

  • SUMMARY

    DIANA SRIWISUDA PUTRI. Utilization The Feces of Chicken Media and

    Catfish Waste on Blood Worms Cultivation with The Recirculation System in

    Multi-Storey Container. Supervised by EDDY SUPRIYONO dan DANIEL

    DJOKOSETIYANTO.

    Natural feed is an important factor in fish farming, especially in the

    hatcheries phase. One type of the most preferred fish, particularly catfish fish seed

    is the blood worms. This is because the blood worms have a content of protein

    highly. Blood worms that exist in nature, generally obtained from the arrest in

    rivers, ditches and gutters. Availability of nature blood worms as live feed is

    relatively limited so it is necessary to develop the blood worm culture media and

    mass production method. The study objective was to analyze the effect using the

    feces of chicken fermented and catfish waste to production of blood worm with

    the recirculation system in multi-storey container.

    Experimental used completed randomize design with four treatments and

    two replications. The treatments were the feces of chicken fermented into

    sediment on the first care (P0), the feces of chicken fermented into sediment and

    administrated of repetition each 5 days (P1), the feces of chicken fermented into

    sediment and the administrated of catfish culture waste intensively (P2), the feces

    of chicken fermented into sediment and administrated of repetition each 5 days

    also administrated of catfish culture waste intensively (P3). The parameters of

    study included individual abundance, biomass, sediment that TOM (Total

    Organic Matter), total N and C-Organic while water quality parameters measured

    were dissolved oxygen (DO), temperature, pH, TAN (Total Ammonia Nitrogen),

    TOM (total Organic Matter), TSS (total Suspended Solid), VSS (Volatile

    Suspended Solid), nitrite, nitrate, ammonia. Sediment and water samples were

    taken each 10 days. The results showed that the feces of chicken fermented into sediment and

    catfish culture waste intensively was the best treatment among other treatments. Water quality conditions during the study meet overall standards requirement for blood worm aquaculture. The feces of chicken fermented into sediment and waste from intensive catfish farming with multi storey container in recirculation system was the best medium to increased growth of blood worms with biomass at 6.47 kg/m

    2 and the highest abundance at 1,697 ind/m

    2, from the water quality

    parameters, organic matter contents and TOM water values during the study. The feces of chicken fermented into sediment and waste from intensive catfish farming was the best because the production of its abundance and biomass was the best when compared among other treatments.

    Keywords: Recirculation, blood worms, storey container

  • Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

    Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

    Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

    atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

    penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

    tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

    IPB

    Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini

    dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

  • Tesis

    sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Magister Sains

    pada

    Program Studi Ilmu Akuakultur

    PEMANFAATAN MEDIA KOTORAN AYAM DAN LIMBAH

    IKAN LELE PADA BUDIDAYA CACING SUTRA (Tubificidae)

    DENGAN SISTEM RESIRKULASI WADAH BERTINGKAT

    SEKOLAH PASCASARJANA

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

    2014

    DIANA SRIWISUDA PUTRI

  • Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA

  • Judul Tesis : Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada

    Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi

    Wadah Bertingkat.

    Nama : Diana Sriwisuda Putri

    NIM : C151120131

    Disetujui oleh

    Komisi Pembimbing

    Dr Ir Eddy Supriyono, MSc

    Ketua

    Prof Dr Ir Daniel Djokosetiyanto, DEA

    Anggota

    Diketahui oleh

    Ketua Program Studi

    Ilmu Akuakultur

    Dr Ir Widanarni, MSi

    Dekan Sekolah Pascasarjana

    Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

    Tanggal Ujian: 30 September 2014

    Tanggal Lulus:

  • PRAKATA

    Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang

    dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Februari sampai Juni 2014

    ini adalah Pemanfaatan Media Kotoran Ayam dan Limbah Ikan Lele pada Budidaya Cacing Sutra (Tubificidae) dengan Sistem Resirkulasi Wadah

    Bertingkat. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Eddy Supriyono, MSc

    dan Bapak Prof Dr Ir Daniel Djokosetiyanto selaku pembimbing yang telah

    banyak memberikan arahan dan masukan kepada penulis sehingga karya ilmiah

    ini dapat diselesaikan, serta Ibu Dr Ir Dinar Tri Soelistyowati, DEA selaku dosen

    penguji luar komisi pada ujian tesis atas segala saran yang diberikan sehingga tesis

    ini lebih berkualitas.

    Penulis juga mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada ayahanda

    Prof Dr Ir Syafriadiman dan ibunda Yumna S.Pd yang telah memberikan motivasi

    berupa moril dan materil, kesabaran, pengertian, kasih sayang yang tulus dan doa

    yang tiada hentinya, serta kakanda Veraminah Sandriosa Putri, adinda Skel;

    Hengki Firmanda S.SH, MH, MSi, Edi Yusuf Adiman, dan R Multi KA atas

    segala doa, dan kasih sayangnya. Di samping itu, terima kasih juga penulis

    sampaikan kepada seluruh keluarga Martini SPd, Hasnidar SPd, Zulfahmi,

    Mardiah, Rahmadanis dan Mazda Lena atas doa dan kasih sayangnya selama

    penulis menyelesaikan studi.

    Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Rico Andespa, Alisa

    Puspita, bang Dedi Pardiansyah, kak Sri Wahyuni, bang Yusuf, Arya Fitriadi,

    Faradina, kak Titi, bang Musa, Rodhi, kak Dodi, Eko, Wira, Yeni dan Zizah atas

    segala persahabatan dan kekeluargaan yang diberikan kepada penulis. Terima

    kasih juga kepada keluarga besar Akuakultur 2012 atas segala semangat,

    kerjasama dan dukungan moril maupun spiritual.

    Penelitian dan penyusunan tesis ini dapat terlaksana atas bantuan dana dari

    ORANG TUA penulis yang tulus.

    Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

    Bogor, Oktober 2014

    Diana Sriwisuda Putri

  • DAFTAR ISI

    DAFTAR TABEL x

    DAFTAR GAMBAR xi

    DAFTAR LAMPIRAN xii

    1 PENDAHULUAN 1

    Latar Belakang 1

    Tujuan Penelitian 3

    Manfaat Penelitian 3

    2 METODE PENELITIAN 3

    Budidaya Cacing Sutra 3

    Budidaya Ikan Lele 5

    Rancangan Penelitian 6

    Parameter Pengamatan 6

    Parameter Kualitas Air 6

    Sedimen 6

    Kelimpahan Individu 7

    Biomassa 7

    Analisis Data 7

    3 HASIL DAN PEMBAHASAN 7

    Kondisi Lingkungan Budidaya 7

    Kelimpahan Cacing Sutra 12

    Biomassa Cacing Sutra 13

    4 SIMPULAN DAN SARAN 15

    Simpulan 15

    Saran 15

    DAFTAR PUSTAKA 15

    LAMPIRAN 18

    RIWAYAT HIDUP 22

  • DAFTAR TABEL

    1 Kisaran nilai kualitas air di dalam wadah pada air budidaya 7 2 Nilai TOM (%) pada air budidaya cacing sutra 9 3 Pemanfaatan TOM (%) oleh cacing sutra 10 4 Kandungan bahan organik total (%) pada sedimen budidaya cacing

    sutra 10 5 Kelimpahan dan biomassa cacing sutra pada saat puncak (hari ke-60) 13 6 Data parameter produksi cacing sutra 15

    DAFTAR GAMBAR

    1 Kelimpahan cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian 12 2 Biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian 13 3 Kelimpahan dan biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama

    penelitian 14

    DAFTAR LAMPIRAN

    1 Wadah budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat 18

    2 Kelimpahan cacing sutra (individu/m2) selama penelitian 20 3 Biomassa cacing sutra (kg/m2) selama penelitian 21

  • 1 PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Pakan alami merupakan faktor penting dalam budidaya ikan terutama pada

    fase pembenihan. Benih yang berkualitas sangat tergantung kepada manajemen

    pakan yang tepat di mana produksi pakan alami untuk pemeliharaan larva ikan di

    pusat-pusat pembenihan ikan adalah sangat penting (Syafriadiman dan Masril

    2013). Pakan yang diberikan haruslah tepat jumlah, tepat mutu dan tepat ukuran

    (Djokosetiyanto et al. 1992). Salah satu jenis pakan alami yang paling disukai

    oleh benih ikan, khususnya benih ikan-ikan catfish adalah cacing sutra yang juga

    disebut sludge worms atau cacing rambut atau cacing oligochaeta (Tubifex sp.) karena memiliki kandungan protein yang tinggi. Findy (2011) menyatakan cacing

    sutra mengandung 65% protein, 15% lemak dan 14% karbohidrat.

    Cacing sutra di alam, umumnya diperoleh dari proses penangkapan di

    sungai, parit dan selokan. Lingkungan habitat cacing sutra biasanya

    berkonduktivitas tinggi, kedalaman air rendah, sedimen liat-berpasir atau liat

    berlumpur, kecepatan arus rendah, dan jumlah bahan-bahan organik yang

    berubah-ubah (Marchese 1987; Pasteris et al. 1996). Jumlah permintaan cacing

    saat ini berasal dari alam yang tidak dapat dipastikan kualitasnya dan dapat

    menjadi agen pembawa penyakit, sehingga ketergantungan cacing sutra di alam

    kurang mendukung bagi keberlangsungan dan keberlanjutan budidaya ikan

    (Sinaga 2012).

    Ketersediaan cacing sutra di alam sebagai pakan hidup relatif terbatas maka

    sangat diperlukan media kultur cacing sutra yang baik dan dapat memproduksi

    cacing yang tinggi dan mampu menyediakan sesuai dengan target produksi

    akuakultur nasional sebesar 353% atau 5,26 juta ton pada tahun 2010 menjadi

    16,9 juta ton pada tahun 2014 di mana ikan lele merupakan komoditas unggulan

    tersebut dengan produksi 900 ton pada tahun 2014 (Direktorat Jenderal Perikanan

    Budidaya 2010; Hikmayani et al. 2012). Cacing sutra dapat berkembang biak

    pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut berkisar antara 2,75-5

    mg/l, kandungan amonia

  • 2

    wadah dan kualitas media air terhadap pertumbuhan Tubifex (Djokosetiyanto et al.

    1991), pengaruh tinggi air dan tinggi substrat terhadap pertumbuhan Tubifex

    (Djokosetiyanto et al. 1992). Penelitian tentang makanan Tubifex telah dilakukan

    oleh Nurjariah (2005) dengan menggunakan pupuk kotoran ayam hasil fermentasi

    EM4 dalam budidaya cacing sutra, namun penelitian dengan wadah bertingkat

    belum dilakukan sampai saat ini.

    Penelitian ini menggunakan media kultur kotoran ayam hasil fermentasi

    EM4 dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat. Kandungan N kotoran ayam

    adalah 1,44% (Puspitasari 2012). Pemupukan ini bertujuan menambah kadar

    nutrien dalam media pemeliharaan. Unsur nutrien terpenting yaitu C dan N yang

    dapat ditingkatkan melalui proses fermentasi dengan aktivator EM4 yang

    merupakan campuran mikroba seperti bakteri fotosintetik, bakteri asam laktat,

    ragi, actinomycetes dan jamur. Menurut Hadiah (2003), pupuk yang

    difermentasikan mampu meningkatkan kandungan N dan C organik sehingga

    aktivitas mikroorganisme dapat berlangsung secara efektif. Pemberian pupuk

    kotoran ayam hasil fermentasi akan mempengaruhi kelimpahan dan pertumbuhan

    cacing sutra (Tahapari et al. 2010).

    Pupuk kotoran ternak dapat memanfaatkan limbah dari hasil budidaya

    intensif seperti limbah budidaya ikan patin, lele dan jenis ikan budidaya lainnya.

    Penelitian budidaya intensif tentang pemanfaatan limbah telah dilakukan oleh

    Syafriadiman dan Masril (2013) tentang pemanfaatan limbah ikan patin dengan

    biomassa cacing sutra sebesar 2,17-4,97%. Selain ikan patin jenis ikan lain yang

    dipelihara secara intensif adalah ikan lele (Clarias gariepinus). Ikan lele

    merupakan salah satu komoditas budidaya ikan air tawar yang penting dan

    tergolong pertumbuhannya cepat jika dibandingkan dengan komoditas lainnya

    dengan peningkatan produksi terbesar yakni 88,98% (Gunadi 2012). Ikan lele

    termasuk jenis ikan yang mempunyai alat pernafasan tambahan (air breathing

    fish), sehingga mempunyai daya toleransi yang lebih baik dibandingkan jenis ikan

    lainnya terhadap kondisi yang relatif kurang baik.

    Peningkatan produksi ikan dapat menghasilkan limbah yang tinggi dan

    belum ada pemanfaatan yang optimal dari limbah tersebut. Biasanya limbah ikan

    lele secara intensif hanya dimanfaatkan setelah dilakukan pemanenan untuk

    dijadikan pupuk dari berbagai tanaman dan dimanfaatkan untuk berbagai jenis

    ikan dalam sistem budidaya berbasis jejaring makanan yang dikenal dengan istilah

    Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA) (Gunadi 2012). Peneliti mencoba

    memanfaatkan limbah ikan lele secara intensif dikarenakan limbah ikan lele

    mengandung limbah N dan bakteri yang dapat dimanfaatkan dalam budidaya

    cacing sutra untuk meningkatkan produktivitas cacing sutra. Yi et al. (2003)

    menyatakan bahwa ikan dan udang hanya dapat meretensi protein pakan sekitar

    16,3-40% dan sisanya terbuang menjadi limbah budidaya. Sistem budidaya seperti

    ini akan menghasilkan total beban limbah pakan yang lebih banyak daripada yang

    teretensi menjadi daging ikan. Limbah budidaya yang dimaksud merupakan

    akumulasi dari residu organik yang berasal dari pakan yang tidak termakan,

    ekskresi amonia, feses, dan partikel-partikel pakan.

    Pemanfaatan limbah budidaya intensif dan penggunaan sistem resirkulasi

    dengan perolehan biomassa masih belum banyak dilakukan (Puspitasari 2012;

    Sinaga 2012). Sistem resirkulasi artinya air yang keluar dari wadah pemeliharaan

    ditampung di bak penampungan air kemudian air tersebut dipakai kembali.

  • 3

    Penelitian tentang manipulasi media, komposisi media dan sistem resirkulasi air

    dari budidaya cacing sutra sampai saat ini masih menggunakan 1 rak dan

    produktivitasnya juga masih rendah baru mencapai 2,2 kg/m2 (Febriyani 2012).

    Hasil yang diperoleh masih belum cukup memuaskan jika dibandingkan dengan

    hasil tangkapan di alam, di mana kemampuan alam seperti di selokan diperkirakan

    mencapai 10 kg/m2. Hal ini menyebabkan harga jual cacing sutra cukup

    menggiurkan (Efendi 2013), yakni mencapai Rp 15.000 /liter di Jakarta.

    Peningkatan produktivitas cacing sutra telah dilakukan dengan sistem

    bertingkat menggunakan nampan/tray. Sistem ini melakukan pengisian air baru

    dari luar sistem untuk mengganti air yang susut atau berkurang akibat

    kebocoran/evaporasi. Semakin banyak rak-rak budidaya cacing sutra yang dibuat

    maka kapasitas produksi yang ingin dicapai akan semakin meningkat. Kelemahan

    penggunaan nampan masih kurang efisien karena ukurannya kecil dan

    membutuhkan nampan relatif banyak sehingga untuk memanen 2,5 liter/hari

    membutuhkan 10 nampan/hari (Efendi 2013). Jadi, penelitian ini dilakukan untuk

    memperbaiki keadaan lingkungan budidaya cacing sutra dengan media kotoran

    ayam fermentasi dan limbah ikan lele dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat

    untuk mengefesienkan penggunaan wadah, penggunaan sumberdaya air dan lahan

    yang terbatas serta dapat memperbaiki kekurangan dari sistem budidaya

    sebelumnya, sehingga budidaya cacing sutra dapat memenuhi kebutuhan benih

    ikan dan tercapainya produksi yang tinggi dan berkelanjutan.

    Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pemanfaatan

    kotoran ayam fermentasi dan limbah ikan lele terhadap hasil panen cacing sutra

    dengan sistem resirkulasi wadah bertingkat.

    Manfaat Penelitian

    a. Paket teknologi budidaya cacing sutra yang dapat diadopsi oleh masyarakat khususnya pembudidaya ikan tawar.

    b. Alternatif solusi terhadap masalah pada budidaya cacing sutra secara aman dan efisien.

    c. Publikasi ilmiah.

    2 METODE PENELITIAN

    Budidaya Cacing sutra

    Wadah Penelitian

    Wadah penelitian berupa kotak kayu berukuran 100 cm x 50 cm x 15 cm

    (Lampiran 1). Wadah dibuat bertingkat di mana jarak antar wadah yaitu 20 cm.

    Setiap wadah dilapisi lembaran plastik agar dapat menampung air dan mencegah

  • 4

    terjadinya kebocoran dan dapat memberikan suasana lingkungan yang mendukung

    bagi budidaya cacing oligochaeta seperti yang dilakukan oleh Chumaidi et al.

    (1988). Aliran air dibuat dengan sistem resirkulasi di mana air dipompa dan

    dimasukkan ke dalam wadah, selanjutnya air buangan dari wadah dimasukkan

    kembali ke dalam wadah untuk mengisi air di wadah pemeliharaan.

    Media Kultur

    Media berupa lumpur kolam halus sedalam 3 cm dan kotoran ayam potong

    hasil fermentasi sedalam 3 cm. Sebelum digunakan, lumpur dijemur di bawah

    sinar matahari langsung hingga kering kemudian dimasukkan ke dalam wadah dan

    kotoran ayam diambil dari kotoran ayam ras/potong/pedaging kemudian dijemur

    di bawah sinar matahari langsung hingga kering selama kurang lebih 6 jam

    (Puspitasari 2012; Sinaga 2012). Wadah digenangi air setinggi 2 cm di atas

    permukaan substrat. Setelah diisi air, wadah dibiarkan tergenang selama 10 hari.

    Penggenangan dilakukan agar pupuk awal pada media dapat terurai oleh bakteri

    sehingga bakteri tersebut dapat menjadi pakan awal bagi cacing sutra. Substrat

    yang digunakan untuk pemeliharaan cacing berupa lumpur dan kotoran ayam

    dengan komposisi perbandingan 1:1 (Djokosetiyanto et al. 1991).

    Penebaran Cacing Sutra

    Cacing sutra yang digunakan berasal dari kelas Oligochaeta yang diperoleh

    dari pengumpul cacing sutra. Penebaran cacing dilakukan setelah penggenangan

    wadah (setelah air jernih di dalam wadah). Cacing yang dikultur memiliki ukuran

    panjang 2-5 cm pengamatan secara visual. Kemudian bibit dibersihkan dan

    ditimbang sesuai dengan perlakuan sebelum ditebar secara merata ke media

    budidaya. Penimbangan dilakukan untuk mengetahui bobot dan biomassa awal

    cacing sutra uji. Cacing sutra yang ditimbang dimasukkan ke dalam setiap

    perlakuan (media kultur). Bobot cacing sutra yang ditebar berkisar di antara 4-6

    mg/ekor dan panjang individu berkisar antara 2-4 cm (Syafriadiman dan Maril

    2013).

    Sebelum dimasukkan ke dalam wadah, cacing ditimbang ditiriskan selama

    kira-kira 1 menit. Cacing ditimbang dengan cara memasukkan cacing ke dalam

    gelas plastik transparan kemudian diaklimatisasi selama 5 menit (Sinaga 2012).

    Aklimatisasi cacing dilakukan dengan cara menambahkan air dari wadah

    budidaya ke dalam gelas plastik yang berisi cacing sehingga air dari wadah dan di

    dalam gelas bercampur. Cacing sutra ditebar sebanyak 150 g/m2. Padat tebar

    cacing pada percobaan Marian dan Pandian (1984) berkisar 15 mg/cm2 (dengan

    bobot rata-rata = 1 mg).

    Pemberian Pupuk

    Kotoran ayam sebagai pupuk diambil dari kotoran ayam

    ras/potong/pedaging yang berasal dari peternakan Fakultas Peternakan Institut

    Pertanian Bogor. Kotoran ayam yang diberikan adalah yang telah dikeringkan

    selama 6 jam, difermentasikan menggunakan EM4 selama 5 hari (Puspitasari

    2012; Sinaga 2012). Pemberian pupuk dilakukan 5 hari sekali dengan dosis yang

    diberikan sebanyak 1 kg/m2 atau 500 g/wadah. Proses fermentasi kotoran ayam

    menggunakan EM4 sebagai aktivator fermentasi, gula pasir dan air. Proses ini

    diawali dengan pembuatan larutan aktivator: (a) Sebanyak 3,75 g gula pasir dan 4

  • 5

    ml EM4 dimasukkan ke dalam 300 ml air, (b) Campuran tersebut dicampurkan

    pada 10 kg kotoran ayam dan diaduk secara merata, dan (c) Kotoran ayam yang

    telah diberi campuran aktivator tersebut dibungkus dalam plastik untuk proses

    fermentasi selama 5 hari. Fermentasi merupakan proses pemecahan senyawa

    organik menjadi senyawa sederhana yang melibatkan mikroorganisme atau segala

    macam metabolisme (enzim, jasad renik secara oksidasi, reduksi, hidrolisa atau

    reaksi kimia lainnya) melakukan perubahan kimia pada suatu substrat organik

    dengan menghasilkan produk akhir. Sebelum di pupuk, aliran air pada wadah

    dimatikan. Kemudian pupuk yang sudah bercampur air dituang merata pada

    wadah dan wadah didiamkan sampai pupuk mengendap. Setelah itu aliran air

    dinyalakan kembali.

    Pengelolaan Air

    Penelitian ini menggunakan sistem pengairan tertutup yang artinya

    penggunaan air kembali atau resirkulasi, di mana setiap tingkat dibuat pengairan

    masuk dan keluar yang berujung di wadah pemeliharaan dan air di wadah

    pemeliharaan kembali digunakan. Tujuan dari sistem ini adalah untuk mengurangi

    penggunaan sumberdaya air dan lahan yang terbatas. Debit aliran yang digunakan

    sebesar 1.500 ml/menit (Puspitasari 2012; Sinaga 2012). Debit air yang masuk ke

    dalam wadah diatur dengan menggunakan klep pada selang pemasukan.

    Sampling

    Sampling dilakukan setiap 10 hari sekali dilakukan pada 3 tempat dalam

    setiap wadah yaitu inlet, tengah dan outlet. Sampling dilakukan dengan

    memasukkan pipa berdiameter 1,7 cm (luas permukaan lubang yaitu 2,27 cm2)

    ke dalam substrat, lalu pipa diangkat dengan menutup lubang bagian atas. Substrat

    yang diperoleh terlebih dahulu disaring sambil dibilas dengan air dan cacing

    dipisahkan dari substrat. Sisa substrat pada saringan kemudian dimasukkan ke

    dalam gelas plastik yang berisi air kemudian diguncang bagian atasnya sehingga

    sisa cacing dapat dipisahkan dari substrat. Cara ini dilakukan berulang-ulang

    sehingga cacing yang diperoleh bersih dan kemudian ditimbang (Sinaga 2012).

    Pemanenan

    Pemanenan dilakukan setelah cacing sutra berada pada puncak populasi.

    Puncak populasi ditentukan dengan melihat kepadatan cacing pada malam hari,

    dimana seluruh permukaan sudah dipenuhi oleh cacing sutra. Pemanenan

    dilakukan dengan mengambil seluruh lapisan bahan organik yang didiami cacing

    sutra, kemudian dipindahkan ke dalam wadah berupa ember plastik dan

    didiamkan selama 6 jam. Setelah 6 jam maka cacing sutra dengan sendirinya akan

    memisahkan diri dari media yang ikut terbawa pada saat pemanenan Puspitasari

    (2012) dan Sinaga (2012).

    Budidaya ikan lele

    Wadah budidaya ikan lele yang digunakan berupa kotak kayu berukuran

    2 m x 1 m x 0,6 m dengan volume 800 L yang dilapisi lembaran plastik. Wadah

  • 6

    dibersihkan dan dilakukan proses sterilisasi dengan menggunakan kaporit dosis

    100 mg/l dan dibiarkan selama 3 hari sebelum digunakan (Gunadi 2012).

    Padat tebar 100 ekor/m2 dengan rata-rata biomassa 5 g/ekor. Pemberian

    pakan dilakukan sebanyak 3 kali sehari (pagi, siang dan malam). Pemberian

    pakan diberikan berdasarkan pada biomassa dan persentase pakan

    berdasarkan bobot dari ikan. Pakan yang digunakan adalah pakan komersial

    dengan kandungan protein sebesar 26-28%.

    Rancangan Penelitian

    Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental

    laboratorium. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak

    lengkap dengan empat perlakuan dan masing-masing terdiri dari 2 ulangan.

    Perlakuan yang diterapkan pada penelitian ini adalah:

    1. P0 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dengan pemberian pada awal pemeliharaan

    2. P1 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya setiap 5 hari sekali

    3. P2 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian limbah dari budidaya lele intensif

    4. P3 : pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pengulangan pemberiannya 5 hari sekali dan pemberian limbah dari budidaya lele

    intensif.

    Parameter utama meliputi kelimpahan dan biomassa cacing sutra.

    Sedangkan parameter penunjang beberapa parameter kualitas air dan sedimen.

    Parameter Pengamatan

    Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah:

    Parameter Kualitas Air

    Parameter yang diukur antara lain: parameter fisika yang diukur adalah

    suhu, diukur dengan thermometer air raksa yang dilakukan setiap hari pada pagi

    hari. Parameter kimia yang diukur adalah oksigen terlarut (DO), diukur

    menggunakan DO-meter dan pH, diukur menggunakan pH-meter diukur setiap 10

    hari sekali (Puspitasari 2012). Kadar ammonia, TAN (Total ammonia nitrogen),

    TOM (Total Organik Meter), nitrit, nitrat diukur dengan spektrofotometer, TSS

    (Total Suspended Solid) dan VSS (Volatile Suspended Solid). Sampel air diambil

    setiap 10 hari sekali (Puspitasari 2012). Pengukuran diukur dengan prosedur

    sesuai APHA (2005). Pengambilan sampel air dilakukan pada bagian inlet dan

    outlet.

    Sedimen

    Pengamatan sedimen meliputi, TOM, total N Organik, C Organik diukur

    dengan menggunakan spectrofotometer. Sampel sedimen diambil setiap 10 hari

    sekali.

  • 7

    Kelimpahan Individu

    Kelimpahan individu dihitung secara langsung dengan mengambil sampling

    secara acak pada masing-masing perlakuan dan ulangan seperti yang dijelaskan

    pada prosedur kerja. Jumlah individu cacing sutra yang diperoleh kemudian di

    konversi ke luasan m2.

    Biomassa

    Biomassa cacing hasil sampling ditentukan dengan menghitung secara

    langsung sampel yang diperoleh, kemudian dihitung berat rata-ratanya. Nilai berat

    rata-rata ini dikalikan dengan jumlah individu cacing sutra sehingga diperoleh

    nilai bobot biomassa. Sampel cacing ditimbang menggunakan timbangan digital

    dengan ketelitian 0,01 g.

    Analisis Data

    Penambahan jumlah individu dan berat biomassa yang diperoleh dianalisa

    dengan menggunakan SPSS 18.0 yang meliputi analysis of variance (ANOVA)

    dengan selang kepercayaan 95%. Perbedaan perlakuan dapat dilihat menggunakan

    uji BNT. Sedangkan sedimen dan kualitas air dianalisa secara deskriptif.

    3 HASIL DAN PEMBAHASAN

    Kondisi Lingkungan Budidaya

    Kondisi lingkungan budidaya merupakan faktor yang mempengaruhi

    pertumbuhan cacing sutra. Parameter lingkungan budidaya cacing sutra yang

    diukur selama penelitian adalah kualitas air dan sedimen budidaya. Pengukuran

    dilakukan setiap 10 hari pengamatan.

    Tabel 1 Kisaran nilai kualitas air di dalam wadah budidaya

    Parameter Perlakuan

    P0 P1 P2 P3

    DO (mg/l) 4,77-6,82 4,60-6,74 5,93-7,20 5,90-6,83

    Suhu (0C) 27,20-28,04 27,20-28,20 27,15-28,39 27,05-28,40

    pH 7,63-8,24 7,72-8,37 7,00-7,76 7,17-7,99

    TAN (mg/l) 0,583-3,188 0,448-2,760 0,632-2,170 0,566-2,426

    Nitrit (mg/l) 0,365-1,983 0,393-1,667 0,121-0,622 0,190-1,454

    Nitrat (mg/l) 0,274-0,864 0,368-1,053 0,176-0,432 0,143-0,510

    Amonia (mg/l) 0,054-0,161 0,051-0,139 0,015-0,068 0,029-0,079

    TSS (mg/l) 212,35-736,45 471,92-1049,57 56,78-510,68 58,08-751,50

    VSS (mg/l) 124,19-694,72 321,83-973,05 42,87-394,23 51,63-575,49

    Hasil kualitas air yang diperoleh selama penelitian (Tabel 1) dengan sistem

    resirkulasi dalam wadah bertingkat secara keseluruhan masih dalam batas yang

    dapat ditoleransi cacing sutra dan masih tergolong baik untuk pertumbuhan cacing

    sutra.

  • 8

    Kisaran oksigen terlarut yang diperoleh berada dalam kisaran normal yaitu

    4,60-7,20 mg/l. Nilai kandungan oksigen terlarut secara keseluruhan tertinggi

    terdapat pada awal penelitian pada perlakuan P2 sebesar 7,20 mg/l dan nilai

    kandungan oksigen terlarut terendah terdapat pada perlakuan P1 sebesar 4,60

    mg/l. Penurunan oksigen disebabkan oleh respirasi cacing sutra akibat

    peningkatan kelimpahan cacing sutra. Rendahnya kandungan oksigen terlarut

    mempengaruhi aktivitas makan dan reproduksi cacing sutra, yang diikuti dengan

    tingginya kandungan amonia (Sinaga 2012). Keadaan oksigen yang rendah atau

    kurang dari 2 ppm akan menghambat aktivitas makan dan reproduksi (Marian dan

    Pandian 1984). Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) cacing sutra

    berkembang biak pada media yang mempunyai kandungan oksigen terlarut

    berkisar antara 2,75-5 mg/l.

    Kondisi suhu selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi

    pada kisaran 27,05-28,40 0C. Perubahan suhu selama penelitian terjadi karena

    pengaruh cuaca. Pada saat cuaca hujan maka suhu udara dalam ruang menjadi

    lebih rendah, sehingga menyebabkan suhu air mengalami penurunan, demikian

    juga sebaliknya. Peningkatan suhu dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi

    oksigen. Kapasitas reproduksi cacing sutra sangat besar dipengaruhi oleh suhu

    (Kaster 1980). Menurut Syafriadiman dan Masril (2013) suhu optimal cacing

    sutra berkisar 25-28 0C. Kondisi suhu selama penelitian masih sesuai untuk

    pertumbuhan cacing sutra, karena berada pada rentang 27,05-28,40 0C.

    Secara keseluruhan nilai pH selama penelitian tergolong baik untuk

    pertumbuhan cacing sutra. Kondisi pH selama penelitian berada dalam batas yang

    dapat ditoleransi pada kisaran 7,0-8,37. Menurut Syafriadiman dan Masril (2013)

    cacing sutra dapat berkembang biak pada pH antara 6-8. Sedangkan pH optimal

    bagi kehidupan cacing sutra di alam antara 5,5-8,0. Pada pH netral bakteri dapat

    memecah bahan organik dengan normal menjadi lebih sederhana yang dapat

    dimanfaatkan oleh cacing sutra sebagai makanannya.

    Kondisi TAN selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi

    pada kisaran 0,448-3,188 mg/l. Nilai TAN tertinggi sebesar 3,188 mg/l pada

    perlakuan P0 dan nilai TAN terendah sebesar 0,448 mg/l pada perlakuan P1.

    Puspitasari (2012) mendapatkan nilai TAN yang lebih tinggi yaitu 0,38-3,8 mg/l

    yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem resirkulasi satu rak.

    Nilai TAN yang diperoleh cukup tinggi namun cacing sutra masih dapat tumbuh.

    Menurut Angel dan Pilar (2004), dosis lethal TAN bagi cacing sutra adalah diatas

    3,8 mg/l.

    Kondisi nitrit selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi

    pada kisaran 0,121-1,983 mg/l. Nilai nitrit tertinggi terdapat pada perlakuan P0

    sebesar 1,983 mg/l dan terendah terdapat pada perlakuan P2 sebesar 0,121 mg/l.

    Rendahnya nilai nitrit di perlakuan P2 dikarenakan tingginya kandungan oksigen.

    Tingginya kandungan oksigen disebabkan karena penggunaan sistem resirkulasi

    yang mengalir pada setiap tingkat wadah cacing sutra. Penggunaan sistem

    resirkulasi mengakibatkan debit air yang masuk dapat mensuplai kembali

    kandungan oksigen dan mencuci bahan-bahan toksis pada media (Febrianti 2004).

    Nitrit bersifat tidak stabil jika terdapat oksigen dan nitrit merupakan bentuk

    nitrogen yang mempunyai daya racun yang tinggi untuk pertumbuhan. Rendahnya

    nitrit pada perlakuan P2 dapat menstimulir pertumbuhan cacing sutra. Nilai nitrit

    yang diperoleh masih dalam batas aman untuk cacing bertahan hidup. Menurut

  • 9

    Van Wyk dan Scarpa (1999) untuk amannya konsentrasi nitrit harus

    dipertahankan pada level 1 mg/l.

    Kondisi nitrat selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi

    pada kisaran 0,143-1,053 mg/l. Aquaculture SA (1999) merekomendasikan

    kisaran optimal nitrat untuk budidaya ikan air tawar sebesar 0,2-10 mg/l. Nilai

    nitrat yang diperoleh masih batas aman untuk cacing sutra bertahan hidup. Nitrat

    merupakan bentuk utama nitrogen diperairan.

    Kondisi amonia selama penelitian berada dalam batas yang dapat ditoleransi

    pada kisaran 0,015-0,161 mg/l. Pada penelitian dengan sistem resirkulasi dalam

    wadah bertingkat diperoleh nilai amonia tertinggi terdapat perlakuan P0 sebesar

    0,161 mg/l dan terendah pada perlakuan P2 sebesar 0,015 mg/l. Nilai amonia pada

    setiap perlakuan mengalami fluktuasi. Nilai amonia (Tabel 1) yang diperoleh pada

    penelitian ini cukup rendah hal ini juga diperoleh oleh Sinaga (2012) dengan

    menggunakan sistem resirkulasi dengan kisaran amonia 0,015-0,139 mg/l.

    Syafriadiman dan Masril (2013) mendapatkan kisaran amonia 0,003-0,208 mg/l

    dengan menggunakan limbah budidaya patin intensif menggunakan sistem

    pergantian air. Rendahnya nilai amonia pada perlakuan P2 dapat menstimulir

    pertumbuhan cacing sutra sehingga mempengaruhi kelimpahan. Menurut

    Syafriadiman dan Masril (2013) cacing sutra dapat berkembang biak pada media

    yang mempunyai kandungan amonia

  • 10

    pemanfaatan limbah lele. Pada Tabel 2 terlihat adanya selisih antara nilai TOM

    bagian inlet dan outlet. Selisih nilai TOM ini adalah bahan organik yang

    dimanfaatkan oleh cacing sutra dan sebagian lagi mengendap pada sedimen

    sehingga nilai TOM sedimen pada perlakuan selalu meningkat. Jika

    dipersentasekan nilai pemanfaatan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Pemanfaatan TOM (%) oleh cacing sutra

    Perlakuan Pemanfaatan TOM oleh cacing sutra

    10 20 30 40

    P0 23,33 45,78 9,90 20,48

    P1 52,44 45,12 7,62 10,00

    P2 10,00 57,00 57,00 20,00

    P3 8,47 59,44 59,44 24,39

    Hasil selisih dari TOM menunjukkan biologi dari cacing sutra mampu

    memanfaatkan bahan organik dalam air (Tabel 3). Ketersediaan pakan berupa

    bahan organik sangat mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti 2004;

    Findy 2011).

    Tabel 4. Kandungan bahan organik total (%) pada sedimen budidaya cacing sutra

    Parameter Perlakuan Pengamatan hari ke

    (%) 0 10 20 30 40

    TOM P0 14,920a 23,410

    a 24,382,28

    a 76,50,40

    a 77,610,92

    a

    P1 14,950

    ab 20,670

    a 21,432,28

    ab 65,882,76

    ab 78,565,72

    ab

    P2 14,950

    ab 21,310

    ab 23,790,11

    ab 72,261,56

    bc 71,650,93

    ab

    P3 15,370

    b 24,70

    b 29,483,28

    b 70,051,20

    c 82,821,70

    b

    C- P0 1,810c 2,030

    a 3,500

    a 3,540,12

    a 4,410,16

    b

    organik P1 1,810b 1,980

    b 2,970,30

    ab 3,110,30

    ab 4,420,40

    b

    P2 1,830

    b 2,720

    c 2,790,02

    ab 3,851,66

    ab 2,850,25

    a

    P3 1,080a 2,740

    d 4,540,47

    b 4,760,54

    b 4,520,33

    c

    Total N P0 0,1830ab

    0,3030b 0,2860,03

    b 0,3430

    c 0,4000,02

    b

    P1 0,1830

    ab 0,3390

    ab 0,3370,04

    ab 0,3690,04

    bc 0,4020,04

    ab

    P2 0,2620

    b 0,2900

    ab 0,2350,01

    ab 0,2260,02

    ab 0,2170,02

    ab

    P3 0,1770a 0,2950

    a 0,2770,03

    a 0,2730,06

    a 0,2690,09

    a

    aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama tidak berbeda

    nyata pada taraf uji 95% (uji beda nyata terkecil).

  • 11

    Parameter kandungan bahan organik pada sedimen budidaya dengan sistem

    resirkulasi dalam wadah bertingkat terlihat pada Tabel 4. Secara keseluruhan nilai

    yang diperoleh masih tergolong baik untuk pertumbuhan cacing sutra. Nilai hasil

    analisis kandungan bahan organik total (%) tertinggi terdapat pada perlakuan P3

    sebesar 82,82% pada hari ke-40 sedangkan kandungan bahan organik terendah

    terdapat pada perlakuan P0 sebesar 14,92% pada awal penelitian. Hal ini juga

    diperoleh oleh penelitian Sinaga (2012) yang menggunakan media kotoran ayam

    fermentasi dengan menggunakan sistem 1 rak yang mendapatkan nilai kandungan

    bahan organik sebesar 90,95% pada hari ke 40 dan kandungan bahan organik

    terendah sebesar 63,56% pada hari ke-0. Menurut Sinaga (2012) tingginya

    kandungan bahan organik akan berpengaruh terhadap aktivitas bakteri yang

    menguraikan bahan organik.

    Kisaran kandungan bahan organik dapat dilihat pada Tabel 3 di mana

    kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2 dengan kisaran 14,92-71,65%

    sehingga menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa cacing sutra bila

    dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih besar. Kandungan

    bahan organik pada sedimen mengalami peningkatan hingga akhir penelitian

    karena adanya pengendapan bahan organik dan berkurangnya pemanfaatan akan

    bahan organik oleh cacing sutra.

    C-Organik tertinggi terdapat pada perlakuan P3 sebesar 4,76% pada hari

    ke- 30 sedangkan kandungan bahan organik terendah juga terdapat pada perlakuan

    P3 sebesar 1,08% pada awal penelitian. Kisaran kandungan C-organik dapat

    dilihat pada Tabel 4 di mana kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2

    dengan kisaran 1,83-3,85% menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa

    cacing sutra bila dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih

    besar. Kandungan C-organik yang meningkat mengakibatkan cacing sutra tidak

    kekurangan makanan sehingga memberikan peningkatan pada kelimpahan dan

    biomassa cacing sutra. C-organik adalah penyusun utama karbohidrat dan lemak.

    Di dalam tubuh hewan, karbohidrat dan lemak dioksidasi dan menghasilkan

    energi untuk proses metabolisme (Febrianti 2004).

    Total N tertinggi terdapat pada perlakuan P1 sebesar 0,402% pada hari ke-

    40 sedangkan kandungan bahan organik terendah terdapat pada perlakuan P3

    sebesar 0,177% pada awal penelitian. Kisaran total N dapat dilihat pada Tabel 3

    dimana kisaran dengan rentang terkecil terdapat pada P2 dengan kisaran 0,226-

    0,290% menyebabkan tingginya kelimpahan dan biomassa cacing sutra bila

    dibandingkan perlakuan lainnya yang rentang kisarannya lebih besar. Total N

    yang diperoleh pada penelitian ini mengalami peningkatan dan normal hingga

    akhir penelitian karena adanya pemanfaatan bahan organik oleh cacing sutra.

    Kisaran total N pada P2 (Tabel 4) lebih tinggi daripada perlakuan lainnya

    sehingga perlakuan P2 mengandung protein yang tinggi yang dapat menstimulir

    pertumbuhan cacing sutra. Pertumbuhan yang sangat meningkat memerlukan

    lebih banyak pengambilan nitrogen. Nitrogen merupakan salah satu unsur penting

    bagi kehidupan organisme dan merupakan salah satu unsur utama pembentukan

    protein. Senyawa-senyawa nitrogen sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen

    didalam air. Pada saat kandungan oksigen rendah nitrogen berubah menjadi

    amonia dan sebaliknya akan berubah menjadi nitrat.

  • 12

    Kelimpahan Cacing Sutra

    Gambar 1 Kelimpahan cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian

    Hasil pengamatan kelimpahan cacing sutra selama penelitian terdapat pada

    Gambar 1 yang menunjukkan adanya peningkatan kelimpahan cacing dari awal

    penelitian hingga akhir penelitian. Proses terjadinya peningkatan kelimpahan

    disebabkan oleh ketersediaan makanan yang cukup, sehingga dapat menurunkan

    tingkat persaingan antara cacing dewasa dan cacing muda untuk memperoleh

    makanan. Ketersediaan pakan mempengaruhi pertumbuhan cacing sutra (Febrianti

    2004, Findy 2011) dan merupakan faktor penting untuk kemampuan

    reproduksinya (Kaster 1980).

    Peningkatan kelimpahan cacing sutra terjadi pada hari ke-30 dimana proses

    perkembangbiakan cacing berlangsung hari ke-20 sampai ke-30 dan berkembang

    pada hari ke-60. Lobo et al. (2009) menyatakan cacing-cacing muda

    membutuhkan waktu sekitar 21 hari untuk perkembangan embrionya sehingga

    pada hari ke-30 dan ke-60 ini cacing-cacing muda tersebut menjadi dewasa dan

    memproduksi kokon yang pada akhirnya menetas menghasilkan cacing muda.

    Pada penelitian ini, puncak kelimpahan dicapai pada hari ke-60 dengan nilai

    kelimpahan tertinggi pada perlakuan P2 mencapai 1.697 individu/m2 diikuti

    perlakuan P3 mencapai 1.490 individu/m2, perlakuan P0 mencapai 1.165

    individu/m2 dan nilai kelimpahan terendah pada perlakuan P1 mencapai 738

    individu/m2 (Lampiran 2). Puncak kelimpahan (individu/m

    2) dicapai pada hari ke-

    60 sama seperti penelitian yang dilakukan oleh Djokosetiyanto et al. (1992) yang

    menggunakan kotoran ayam tanpa fermentasi dengan kelimpahan sebesar 133,510

    individu/m2.

    Puncak kelimpahan yang diperoleh pada penggunaan wadah bertingkat

    dengan sistem resirkulasi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian

    sebelumnya yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem

    resirkulasi 1 rak, kelimpahan tertinggi terjadi pada hari ke-10 sebesar 421,145

    individu/m2

    (Puspitasari 2012) dan 110,32 individu/m2

    (Sinaga 2012). Hildayanti

    (2012) menggunakan kotoran ayam fermentasi namun menggunakan sistem

    sirkulasi dengan pergantian air pada wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari

    ke-50 sebesar 255,091 individu/m2. Penelitian Febriyani (2012) yang

    menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan penggantian air baru setiap saat

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    1200

    1400

    1600

    1800

    2000

    0 10 20 30 40 50 60 70

    Kel

    impah

    an (in

    div

    idu/m

    2)

    Pengamatan ke- (hari)

    P0 P1 P2 P3

  • 13

    pada wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari ke-40 sebesar 447,904

    individu/m2. Syafriadiman dan Masril (2013) menggunakan kotoran ayam

    fermentasi dan limbah budidaya patin intensif dengan penggantian air baru pada

    wadah 1 rak, kelimpahan tertinggi pada hari ke-45.

    Puncak kelimpahan cacing sutra pada hari ke-60 dapat dilihat pada Tabel 5.

    Penurunan kelimpahan terjadi setelah puncak kelimpahan yaitu pada hari ke-70

    dikarenakan cacing sutra dewasa yang telah bereproduksi sudah mencapai umur

    tua secara biologis sehingga menyebabkan kematian cacing sutra. Menurut

    Hildayanti (2012) Penurunan kelimpahan dikarenakan induk yang sudah dewasa

    tidak lagi menghasilkan individu baru, cacing yang masih muda belum mampu

    bereproduksi dan adanya kematian cacing yang sudah mencapai usia tua. Hal ini

    dibuktikan dengan pengamatan secara visual, dimana pada saat sampling hari

    ke-70 tidak banyak ditemukan cacing dewasa.

    Tabel 5. Kelimpahan dan biomassa cacing sutra pada saat puncak populasi (hari

    ke-60)

    Perlakuan Kelimpahan (individu/m2) Biomassa (kg/m

    2)

    P0 1.165146,58 3,590,39

    P1 73844,56 2,150,16

    P2 1.69772,70 6,470,04

    P3 1.49017,59 4,420,12

    Biomassa Cacing Sutra

    Gambar 2 Biomassa cacing sutra dalam setiap perlakuan selama penelitian

    Hasil pengukuran biomassa cacing sutra dapat dilihat pada Gambar 2 yang

    menunjukkan puncak biomassa dicapai pada hari ke-60 dengan nilai biomassa

    tertinggi yang diperoleh pada penelitian ini terdapat pada perlakuan P2 mencapai

    6,47 kg/m2 diikuti P3 mencapai 4,42 kg/m

    2, P0 mencapai 3,59 kg/m

    2 dan nilai

    biomassa terendah pada perlakuan P1 mencapai 2,15 kg/m2 (Lampiran 3). Puncak

    biomassa (kg/m2) dicapai pada hari ke-60 sama seperti penelitian yang dilakukan

    oleh Djokosetiyanto et al. (1992) yang menggunakan kotoran ayam tanpa

    fermentasi dengan biomassa sebesar 365 g/m2.

    -

    1.00

    2.00

    3.00

    4.00

    5.00

    6.00

    7.00

    0 10 20 30 40 50 60 70

    Bio

    mas

    sa (k

    g/m

    2)

    Pengamatan ke- (hari)P0 P1 P2 P3

  • 14

    Puncak biomassa yang diperoleh pada penggunaan wadah bertingkat dengan

    sistem resirkulasi ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya

    yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan sistem resirkulasi 1 rak,

    biomassa tertinggi terjadi pada hari ke-10 sebesar 1.497,80 g/m2

    (Puspitasari

    2012) dan 528,63 g/m2

    (Sinaga 2012). Hildayanti (2012) menggunakan kotoran

    ayam fermentasi namun menggunakan sistem sirkulasi dengan pergantian air pada

    wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari ke-50 sebesar 1.275,46 g/m2. Penelitian

    Febriyani (2012) yang menggunakan kotoran ayam fermentasi dengan

    penggantian air baru setiap saat pada wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari

    ke-40 sebesar 2.239,52 g/m2. Syafriadiman dan Masril (2013) menggunakan

    kotoran ayam fermentasi dan limbah budidaya patin intensif dengan penggantian

    air baru pada wadah 1 rak, biomassa tertinggi pada hari ke-45 sebesar 886,67 g/m2.

    Puncak biomassa cacing sutra pada pada hari ke-60 dapat dilihat pada Tabel

    5 diatas. Penurunan biomassa berkaitan dengan penurunan kelimpahan.

    Penurunan terjadi setelah tercapainya puncak biomassa tertinggi, hal ini

    dikarenakan jumlah individu dewasa mulai berkurang sedangkan individu muda

    masih kecil dan belum mampu bereproduksi sehingga memiliki biomassa yang

    berbeda pada sebagian perlakuan. Menurut Kasiorek (1974) pertumbuhan cacing

    sutra meningkat pesat pada saat akan mencapai kematangan gonad.

    Hasil kelimpahan dan biomassa pada penelitian ini lebih tinggi

    dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya baik itu dengan

    menggunakan sistem yang sama (resirkulasi) maupun sistem yang berbeda (tanpa

    resirkulasi), dengan menggunakan kotoran ayam fermentasi maupun yang tidak

    difermentasi dan menggunakan limbah budidaya intensif. Perbedaan jumlah

    kelimpahan dan biomassa dipengaruhi faktor kualitas air dan sedimen yang

    berpengaruh terhadap pertumbuhan cacing sutra.

    Gambar 1 dan Gambar 2 menunjukkan pola pertumbuhan biomassa

    berkorelasi positif dengan kelimpahannya. Perlakuan yang terbaik yang diperoleh

    dari penelitian ini adalah perlakuan P2 yang merupakan perlakuan dengan

    kelimpahan dan biomassa tertinggi (Gambar 3). Hal ini disebabkan bahan organik

    sedimen budidaya (%) yang cukup dan kualitas air serta media yang sudah baik

    untuk pertumbuhan cacing sutra.

    (a) (b)

    Keterangan : Huruf yang berbeda pada bar menunjukkan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95%

    Gambar 3. Kelimpahan populasi (a) dan biomassa (b) cacing sutra pada hari ke-

    60.

    ab a c bc

    0

    200

    400

    600

    800

    1000

    P0 P1 P2 P3

    Kel

    impah

    an(i

    nd/m

    2)

    Perlakuan

    ab a c b

    0.00

    0.50

    1.00

    1.50

    2.00

    2.50

    3.00

    P0 P1 P2 P3

    Bio

    mas

    sa (

    kg/m

    2)

    Perlakuan

  • 15

    Berdasarkan hasil uji BNT (Tabel 6) pertumbuhan biomassa cacing sutra

    yang paling baik pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat adalah perlakuan

    P2. Biomassa cacing sutra sangat dipengaruhi oleh faktor kualitas air, kandungan

    bahan organik dan nilai TOM air. TOM air yang tinggi menyebabkan biomassa

    cacing sutra yang tinggi pada perlakuan P2.

    Tabel 6. Data parameter produksi cacing sutra.

    Perlakuan Kelimpahan

    (individu/m2)

    Biomassa

    (kg/m2)

    P0 897230,5 ab

    2985,4 ab

    P1 471087,9 a 1550,1

    a

    P2 1428739,6 c 5871,0

    c

    P3 1223160,9 bc

    3817,1 b

    aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf superskrip yang sama tidak berbeda

    nyata pada taraf uji 95% (uji beda nyata terkecil).

    4 SIMPULAN DAN SARAN

    Simpulan

    Perlakuan terbaik pada sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat diperoleh

    pada perlakuan pemberian kotoran ayam fermentasi di sedimen dan pemberian

    limbah dari budidaya lele intensif yang menghasilkan produksi biomassa sebesar

    6,47 kg/m2 dan puncak kelimpahan sebesar 1.697 individu/m

    2.

    Saran

    Budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah bertingkat

    perlu diaplikasikan untuk petani budidaya karena dengan sistem ini menghasilkan

    produksi 2,9 kali lebih besar dari sistem resirkulasi 1 rak.

    DAFTAR PUSTAKA

    Angel J, Pilar R. 2004. Tubifex tubifex chronic toxicity test using artificial

    sediment: methodological issues. Limtenica 23: 25-36.

    [APHA] American Public Health Association. 2005. Standard methods for the

    examination of water and waste water, 21st edition. Washington, DC: American

    Public Health Association.

    Aquaculture SA. 1999. Water quality in freshwater aquaculture ponds. Primary

    industries and recources South Australia. Fact sheet.

    Chumaidi, Zaenuddin, Fiastri. 1988. Pengaruh debit air yang berbeda terhadap

    biomassa cacing rambut (Tubifisid). Buletin Perikanan Darat. 7(2):41-46.

  • 16

    De Schryver P, Crab R, Defoirdt T, Boon N, Verstraete W. 2008. The basics of

    bioflocs technology: The added value for aquaculture. Aquaculture 277: 125-

    137.

    Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2010. Minapolitan Bojolali komitmen

    kenaikan produksi perikanan 353% pada tahun 2014.

    www.perikananbudidaya.kkp.go.id/index.php?option=com_content&view=arti

    cle&id=218.[5 November 2013].

    Djokosetiyanto D, Yusadi D, Supriyono E. 1991. Pengaruh wadah dan kualitas

    media terhadap biomass Tubifex sp. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut

    Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.

    Djokosetiyanto D, Yusadi D, Supriyono E, Suprayudi A. 1992. Pengaruh tinggi

    air dan tinggi substrat terhadap biomassa Tubifex sp. Fakultas Perikanan dan

    Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 49 hal.

    Efendi M. 2013. Melirik Budidaya Tubifex sp. di Temanggung. Akuakultur Edisi

    No.3 Th I.

    Febrianti D. 2004. Pengaruh pemupukan harian dengan kotoran ayam terhadap

    pertumbuhan kepadatan (individu/m2) dan biomassa cacing sutra [skripsi].

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Febriyani M. 2012. Budidaya cacing olighochaeta dengan padat tebar berbeda

    pada sistem terbuka [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut

    Pertanian Bogor.

    Findy S. 2011. Pengaruh tingkat pemberian kotoran sapi terhadap pertumbuhan

    biomassa cacing sutra (Tubificidae) [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Gunadi B. 2012. Minimalisasi limbah nitrogen dalam budidaya ikan lele (Clarias

    gariepinus) dengan sistem akuakultur berbasis jenjang rantai makanan.

    [Disertasi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Hadiah S. 2003. Kualitas kompos dari kotoran domba dan sisa pakan dengan

    menggunakan tiga macam aktivator [skripsi]. Fakultas Peternakan. Institut

    Pertanian Bogor.

    Hikmayani Y, Yulisti M, Hikmah. 2012. Evaluasi Kebijakan Peningkatan

    Produksi Perikanan Budidaya. Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan

    dan Perikanan. Jakarta.

    Hildayanti W. 2012. Budidaya cacing Oligochaeta dengan padat penebaran

    berbeda pada sistem resirkulasi dengan pergantian air [skripsi]. Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Kasiorek D. 1974. Development cycle of Tubifex tubifex muller in experimental

    culture. Pol. Arch. Hydrobiol 21: 411-422.

    Kaster JL. 1980. The reproductive biology of Tubifex tubifex muller (Oligochaeta,

    Tubificidae) under various trophic conditions. Int. Revueges. Hydrobiol

    72:709-726.

    [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan . 2011. Kelautan dan Perikanan

    dalam Angka 2011. Kementerian Kelautan dan Perikanan.

    Lobo H, Nascimento S, Alves RG. 2009. The effect of temperature on the

    reproduction of Limnodrilus hoffmeisteri (Oligochaeta: Tubificidae). Zoologia

    26(1): 191-193.

    Marchese MR. 1987. The ecology of some benthic oligochaeta from the Parana

    river, Argentina. Hydrobiol 155:209-214.

  • 17

    Marian MP, Pandian TJ. 1984. Culture and harvesting technique for Tubifex

    Tubifex. Aquaculture 42:303-315.

    Nurjariah. 2005. Kelimpahan bakteri dalam budidaya cacing sutra Limnodrilus sp.

    yang dipupuk kotoran ayam hasil fermentasi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan

    Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Pasteris A, Bonomi G, Bonacina C. 1996. Age, stage and size structure as

    population state variables for Tubifex tubifex. Hydrobiol. 334:1-3.

    Puspitasari A. 2012. Peningkatan rasio C/N dengan penambahan tepung tapioka

    pada substrat budidaya cacing sutra (olgochaeta) sistem resirkulasi [skripsi].

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

    Shafrudin D, Efiyanti W, Widanarni. 2005. Pemanfaatan ulang limbah organik

    dari substrak Tubifex sp di alam. Jurnal Akuakultur Indones 4(2): 97-102.

    Sinaga BS. 2012. Pertumbuhan cacing sutra pada media kotoran ayam yang

    difermentasikan bahan aktivator dengan dosis yang berbeda dalam sistem

    resirkulasi [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian

    Bogor.

    Syafriadiman. 1996. Pengkulturan Cacing Sutra. Jabatan Sains Laut, Fakulti Sains

    Sumber Alam. Universiti Kebangsaan Malaysia. Laporan Penyelidikan (Tidak

    diterbitkan). 39 halaman.

    Syafriadiman, Masril. 2013. Biomassa Tubifex dalam media kultur yang berbeda.

    Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekanbaru. (Tidak

    diterbitkan). 52 halaman.

    Tahapari E, Sularto, Nurlaela I. 2010. Intensifikasi pemupukan pada pemeliharaan

    larva/benih ikan patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) yang dilakukan

    secara outdoor di kolam tanah. Loka Riset Pemuliaan dan Teknologi Budidaya

    Perikanan Air Tawar. Subang.

    Van Wyk P, Scarpa J. 1999. Water quality requirements and management in

    farming marine shrimp in recirculating freshwater systems. Florida Department

    of Agriculture and Consumers Services. Harbor Branch Oceanographic

    Institution.

    Yi Y, Lin CK, Diana S. 2003. Hybrid catfish (Clarias macrocephalus x C.

    gariepinus) and Nile tilapia (Oreochromis niloticus) in an integrated pen-cum

    pond system: growth performance and nutrient budgets. Aquaculture 217:395-

    408.

  • 18

    Lampiran 1 Wadah budidaya cacing sutra dengan sistem resirkulasi dalam wadah

    bertingkat

    Wadah bertingkat untuk P0 dan P1

    Wadah bertingkat untuk P2 dan P3

    Keterangan:

    A : Pemasukan air pada wadah budidaya cacing sutra di tingkat 1

    B : Pengeluaran air ke tingkat 2

    C : Pemasukan air ke tingkat 2

    D : Pengeluaran air ke tingkat 3

    E : Pemasukan air ke tingkat 3

    F : Pengeluaran air di tingkat 3 kemudian air dipompa kembali ke tingkat 1

    (untuk P0 dan P1)

    Pengeluaran air ke limbah lele kemudian air dipompa kembali ke tingkat 1

    (untuk P2 dan P3)

    Wadah yang digunakan ukuran 100 cm x 50 cm x 15 cm Luas wadah 0,5 m2

    A

    B

    C D

    E F

    B

    G G H

    B A

    A B

    C

    D

    C

    D

    E

    F

    E

    F

  • 19

    Kotoran Ayam Limbah Lele

    Cacing Sutra Fermentasi kotoran ayam

    Cacing sutra pada wadah budidaya Sampling cacing sutra

    Perhitungan jumlah kelimpahan Pengukuran bobot biomassa

  • 20

    Lampiran 2 Kelimpahan cacing sutra (individu/m2) selama penelitian

    Pengamatan Perlakuan

    hari ke- P0 P1 P2 P3

    0 2681,57 2670,31 2681,57 2670,31

    10 879,51 792,48 1893,31 1497,86

    20 573,52 614,69 1893,31 1497,86

    30 1551,76 2017,04 4342,35 3891,17

    40 628146,58 60444,56 7712,35 3891,17

    50 792146,58 76844,56 127091,47 98039,87

    60 1165146,58 73844,56 169772,70 149017,59

    70 1150146,58 69344,56 162272,70 141517,59

    ANOVA hari ke-60

    SK JK DB KT F hit F tab

    PERLAKUAN 1047651654915,0 3 349217218305,0 47,695 6,59

    SISA 29287293284,8 4 7321823321,2

    TOTAL 1076938948199,9 7

    F hit > F tabel dan P < 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada

    selang kepercayaan 95%.

  • 21

    Lampiran 3 Biomassa cacing sutra (kg/m2) selama penelitian

    Pengamatan Perlakuan

    hari ke- P0 P1 P2 P3

    0 0,60,00 0,60,00 0,60,00 0,60,00

    10 0,270,03 0,230,01 0,570,02 0,400,00

    20 0,170,01 0,180,01 0,360,02 0,360,03

    30 0,440,00 0,570,03 1,350,02 1,100,02

    40 1,890,47 1,760,16 2,250,03 1,920,14

    50 2,470,49 2,310,17 3,970,23 3,050,09

    60 3,590,40 2,150,16 6,470,04 4,420,12

    70 2,900,42 1,740,14 4,610,21 3,760,11

    ANOVA hari ke-60

    SK JK DB KT F hit F tab

    PERLAKUAN 19553138,124 3 6517712,708 131,059 6,59

    SISA 198925,219 4 49731,305

    TOTAL 19752063,343 7

    F hit > F tabel dan P < 0,05 menunjukkan bahwa perlakuan berbeda nyata pada

    selang kepercayaan 95%.

  • 22

    RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Pekanbaru pada tanggal 27 Juli 1985 sebagai anak

    kedua dari pasangan Prof Dr Ir Syafriadiman dan Yumna, SPd. Pendidikan sarjana

    ditempuh pada Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan Universitas Riau, lulus pada tahun 2007. Pada tahun 2012, penulis

    mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Program Magister

    Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur di Sekolah Pascasarjana IPB. Biaya

    pendidikan diperoleh dari orang tua penulis.

    Penulis bekerja sebagai staf Badan Penyuluhan Pertanian dan Ketahanan

    Pangan (BPPKP) Kabupaten Kampar Provinsi Riau. Bidang pekerjaan yang

    menjadi tanggung jawab penulis adalah staf Subbid Distribusi dan Harga Pangan.