cabg
DESCRIPTION
kmgkdtuTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Coronary Artery Bypass Grafting (CABG) merupakan salah satu
penanganan intervensi dari PJK. CABG adalah jenis tindakan operasi jantung
yaitu dengan membuat saluran baru melewati bagian arteri coronaria yang
mengalami penyempitan. Operasi Coronary Artery Bypass Graft pertama kali
dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1960, sedangkan penggunaan mesin
jantung paru sudah terlebih dahulu dilakukan pada tahun 1954
(Brunner&Suddarth, 2002). Rumah Sakit Jantung Harapan Kita sebagai rumah
sakit rujukan nasional sejak tahun 1986 telah mulai melakukan melakukan
operasi Coronary Artery Bypass Graft dan pada awal tahun 2000 telah
diperkenalkan juga teknik operasi tanpa mesin jantung paru (off pump cardio
pulmonal). Namun tidak semua pasien dapat dilakukan metode ini tergantung
indikasi pada masing-masing pasien. Data di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita
diperoleh pada tahun 2009 telah dilakukan operasi Coronary Artery Bypass Graft
dengan 650 pasien dan tahun 2010 tercatat 824 pasien.
Tingginya tingkat pembedahan pada pasien PJK dengan Coronary Artery
Bypass Graft maka menuntut pelayanan untuk bekerja lebih profesional dari
berbagai bidang profesi baik dokter bedah, anastesiologist, perfusionist, dan
perawat. Perawat sebagai profesi yang menjadi ujung tombak pelayanan di
Rumah Sakit harus mampu memberikan asuhan keperawatan yang optimal baik
selama preoperasi, intraoperasi dan pascaoperasi. Dengan demikian outcome
yakni kesembuhan pasien dapat tercapai dengan meningkatnya kualitas hidup
mereka dibanding sebelum dilakukan operasi.
1
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang di maksud dengan Coronary Artery Bypass Graf ?
b. Apa tujuan dari dilakukanya Coronary Artery Bypass Graft ?
c. Bagaimana indikasi dari Coronary Artery Bypass Graft ?
d. Bagaimana kontraindikasi dari Coronary Artery Bypass Graft ?
e. Bagaimana teknik melakukan Coronary Artery Bypass Graft ?
f. Bagaimana komplikasi dari Coronary Artery Bypass Graft ?
g. Bagaimana proses asuhan keperawatan pada pasien dengan pasca operasi
Coronary Artery Bypass Graft ?
C. Tujuan
1. Tujuan umum penulisan :
Mampu mengaplikasi teori tentang perawatan pada pasien dengan Post
Operatif Coronary Artery Bypass Graft.
2. Tujuan khusus penulisan:
a. Mengetahui definisi Coronary Artery Bypass Graft
b. Mengetahui tujuan Coronary Artery Bypass Graft
c. Mengetahui indikasi Coronary Artery Bypass Graft
d. Mengetahui kontraindikasi Coronary Artery Bypass Graft
e. Mengetahui teknik Coronary Artery Bypass Graft
f. Mengetahui komplikasi Coronary Artery Bypass Graft
g. Mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan pasca operasi
Coronary Artery Bypass Graft CABG
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Coronary Artery Bypass Graft merupakan salah satu metode
revaskularisasi yang umum dilakukan pada pasien yang mengalami
atherosklerosis dengan 3 atau lebih penyumbatan pada arteri koroner atau
penyumbatan yang signifikan pada Left Main Artery Coroner (Chulay&Burns,
2006).
Secara sederhana, CABG adalah operasi pembedahan yang dilakukan
dengan membuat pembuluh darah baru atau bypass terhadap pembuluh darah
yang tersumbat sehingga melancarkan kembali aliran darah yang membawa
oksigen untuk otot jantung yang diperdarahi pembuluh tersebut.
B. Tujuan
Coronary Artery Bypass Grafting bertujuan untuk revaskularisasi aliran arteri
koronari akibat adanya penyempitan atau sumbatan ke otot jantung.
C. Indikasi CABG
Indikasi CABG menurut AHA:
1. Indikasi CABG tanpa gejala / angina ringan.
a. Kelas I :
1. Stenosis Leaft Mean Coronaty Artery yang signifikan.
2. Leaft mean equivalen (stenosis signfikan 70% dari LAD proximal dan
LCX proximal).
3
3. Three Vessel Desease ( angka harapan hidup lebih besar dengan fungsi
LV EF 50%).
b. Kelas II
1. Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease.Akan
menjadi kelas satu jika terdapat iskimic berdasarkan pemeriksaan non
invasive atau LV EF 50%.
2. Satu atau dua vessel disease tidak pada LAD.
Bila terdapat didaerah miocardium variabel yang besar berdasar
kriteria resiko tinggi dari hasil pemeriksaan non invasive akan menjadi
kelas satu.
2. Indikasi CABG untuk angina stabil.
a. Kelas I
1. Stenosis Leaft Mean Coronary Artery yang signfikan.
2. Leaft Mean Equivalen stenosis 70% dari LAD proximal dan LCX
proximal.
3. Three Veseel Disease (dengan harapan hidup lebih besar dengan
fungsi LV terganggu misalnya LV EF 50%)
4. Two Vssel Disease dengan stenosis LAD proximal LV EF 50% atau
terdapat iskemic pada pemeriksaan non invasive.
5. Satu atau dua Vessel Desease LAD yang signfikan tetapi terdapat
daerah miokardium variabel yang besar dan trmasuk kriteria cukup
tinggi dari pemeriksaan non invasive.
4
6. Angina refraktur terhadap pengobatan yang maksimal.
b. Kelas II
1. Stenosis LAD proximal dengan satu Vessel deaseases.
2. Satu atau dua vessel desease tanpa stenosis LAD proximal yang
signfikan.
c. Kelas III
1. Satu atau dua vessel desease tanpa LAD yang signfikan.
2. Stenosis coronary pada ambang batas (50-60% diameter pada lokasi
non Left Mean Artery) dan tidak terdapat iskemic pada pemeriksaan
non invasive.
3. Indikasi CABG untuk Unstable Angina / Non Q Wave MI.
a. Kelas I
1. Stenosis Leaft Mean Coronary yang signfikan.
2. Leaft Mean Equivalen.
3. Iskemic yang mengancam dan tidak responsive terhadap terapi non
bedah yang maksimal.
b. Kelas IIA.
Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease
5
c. Kelas IIB
Satu atau dua vessel deasease tidak pada LAD.
4. Indikasi CABG pada ST Segmen elevation Q wave MI
a. Kelas I
b. Kelas IIA
Iskemic yang mengancam atau infark yang tidak responsive pada terapi
non bedah yang maksimal.
c. Kelas IIB
1. Gagal pompa ventrikel kiri yang progresif dengan stenosis koroner
yang mengancam daerh miokardium.
2. Untuk referfusi untuk jam-jam pertama (6-12 jam pada STEMI).
d. Kelas III
Untuk referfusi primer lambat (>12 jam) pada STEMI tanpa iskemic yang
mengancam.
5. Indikasi CABG pada fungsi ventrikel kiri yang buruk.
a. Kelas I
1. Stenosis Leaft Mean Coronary Artery yang signfikan.
2. Leaft Mean Equivalen: Stenosis signfikan 70% dari LAD proximal
dan LCX proximal.
6
3. Stenosis LAD proximal dengan dua atau tiga vessel desease .
b. Kelas II
Fungsi LV yang memburuk dengan area miokardium viable
terevascularisasi tanpa adanya perubahan atau kelainan anatomis.
c. Kelas III
Fungsi LV buruk tanpa adanya tanda dan gejala iskemic intermitten dan
tanpa adanya daerah miokardium yang viable dan terevascularisasi.
6. Indikasi CABG pada Aritmia ventrikel yang mengancam jiwa.
a. Kelas I
1. Stenosis pada Left Mean Coronary Artery.
2. Three Vessel Desease.
b. Kelas IIA
1. Satu atau dua vessel deasese yang bisa dilakukan bypass.
Akan menjadi kelas satu bila terdapat iskemic berdasarkan
pemeriksaan non invasive atau LV EF <50%.
Jika terdapat miokardium yang besar dan termasuk kriteria resiko
tinggi dari hasil pemeriksaan non invasive akan menjadi kelas I.
2. Stenosis LAD proximal dengan satu atau dua vessel desease.
c. Kelas III
7
Takikardi ventrikel tanpa skore dan tanpa bukti ada iskemic.
7. Indikasi CABG pada pasca kegagalan PTCA.
a. Kelas I
1. Iskemic yang mengancam atau oklusi pada area miokard yang
signfikan.
2. Hemodinamic yang tidak stabil.
b. Kelas IIA
1. Benda asing pada lokasi anatomis yang penting.
2. Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem
koagulasi dan tidak memiliki riwayat sternotomi.
c. Kelas IIB
Hemodinamik yang tidak stabil pada pasien dengan kelainan sistem
koagulasi dan memiliki riwayat sternotomi.
d. Kelas III
1. Tidak iskemic.
2. Revaskularisasi yang gagal oleh karena keadaan anatomi atau
miokardiumyang tidak viable lagi.
8. Indikasi CABG pada pasien dengan riwayat CABG.
a. Kelas I
8
Angina Refraktur terhadap pengobatan non invasive maksimal.
b. Kelas IIA
Stenosis yamg nyata pada coroner distal yang memungkinkan dilakukan
bypass dengan daerah miokardium yang besar yang terancam pada
pemeriksaan.
c. Kelas IIB
Iskemic pada daerah distribusi non LAD dengan graft arteri mamari
interna paten ke LAD yang memperdarahi area miokardium fungsional
dan tanpa usaha pengobatan medikal mentosa atau revaskularisasi
percutan yang agresif.
D. Kontraindikasi CABG
Adapun kontraindukasi CABG secara mutlak tidak ada,tetapi secara relatif
CABG dikontraindikasikan bila terdapat berbagai faktor yang akan memperberat
atau meningkatkan resiko selama dan sesudah operasi, seperti:
a. Faktor usia yang sudah sangat tua.
b. Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner kronik akibat diabetes
mellitus dan EF yang sangat rendah <15%.
c. Sklerosis aorta yang berat.
d. Struktur arteri koroner yang tidak mungkin untuk disambung.
E. Teknik Operasi CABG
9
Ada 2 teknik yang digunakan pada operasi CABG yaitu on pump dan off
pump. Masing-masing teknik memiliki kekurangan dan kelebihan masing-
masing.
Pada operasi on pump prosedur dijalankan menggunakan alat mekanis
mesin jantung paru. Mesin jantung paru memungkinkan lapangan operasi yang
bebas darah sementara perfusi tetap dapat dipertahankan untuk jaringan dan
organ lain di tubuh. Pintasan jantung paru dilakukan dengan memasang kanula
di atrium kanan dan vena kava untuk menampung darah dari tubuh. Kanula
kemudian dihubungkan dengan tabung yang berisi cairan kristaloid isotonic.
Darah vena yang diambil dari tubuh disaring, di oksigenasi, dijaga
temperatunya kemudian dikembalikan ke tubuh. Kanula yang mengembalikan
darah ke tubuh dimasukkan ke aorta ascenden. Selanjutnya untuk membuat
jantung arrest diberikan cairan cardioplegia yang formulanya tinggi kalium,
mengandung dekstrose, buffer pH, hiperosmolalitas, dan anastesi lokal. Rute
pemberiannya bisa melalui root aorta (antegrade) dan melalui sinus coronaries
(retrograde) serta melalui keduanya.
Operasi teknik off pump tidak menggunakan mesin jantung paru sehingga
jantung tetap berdetak secara normal dan paru-paru berfungsi secara biasa saat
operasi dilakukan. Adapun kriteria pasien Off Pump:
a. Pasien yang direncanakan operasi elektif.
b. Hemodinamik stabil.
c. EF dalam batas normal.fungsi LV intact/utuh.
d. Pembuluh darah distal cukup besar.
e. Usia tua disertai penyakit komorbid seperti peny. Arteri karotis,
aterosklerosis aorta, disfungsi ginjal atau paru.
10
f. Mempunyai komplikasi dengan mesin CPB ( Cardio Pulmonary Bypass ).
g. 1-2 vessel disease di anterior.
Tetapi operasi dengan teknik Off Pump memiliki kontraindikasi absolut,
diantaranya :
a. Hemodinamik tidak stabil
b. Buruknya kualitas target pembuluh darah termasuk pembuluh darah
intramyocad, peny.pembuluh darah yang menyebar/difus, pembuluh
darah yang mengalami kalsifikasi/penebalan.
Dan memiliki kontraindikasi Relatif yaitu :
a. LVEF <35%.
b. Cardiomegali/ CHF.
c. LM kritis.
d. Recent/ current MCI.
e. Cardiogenic shock
Keuntungan dari teknik Off Pump (Benetti&Ballester,1995)
a. Meminimalkan efek trauma operasi.
b. Pemulihan/mobilisasi lebih dini.
c. Drainase darah pasca bedah minimal.
d. Tersedia akses sternotomi untuk reoperasi.
e. Menurunkan morbiditas dirumah sakit (termasuk insiden infeksi dada,
pemakaian inotropik, kejadian SVT, transfuse darah, lama rawat ICU).
f. Peneliti lain : pelepasan CKMB dan trop I lebih rendah, kejadian
stroke lebih rendah.
F. Pembuluh Darah Yang Digunakan Sebagai Bypass.
11
Ada 3 pembuluh darah yang sering digunakan sebagai bypass, yaitu
Arteri Mamaria Interna kiri = arteri intra thorakal kiri, arteri radialis dan vena
safena magna.
Arteri mammaria interna (AMI). Biasanya berasal dari dinding bawah
arteri subklavia, melewati bagian atas pleura dan tepat lateral terhadap sternum.
Penggunaan AMI dengan ujung proksimal masih dihubungkan ke arteri
subklavia. AMI kiri lebih panjang dan lebih besar sehingga sering digunakan
sebagai bypass arteri coroner (Shapira et al, 2002). AMI sering digunakan karena
memiliki kepatenan pembuluh darah yang baik. Studi menunjukkan bahwa
sekitar 96% kasus CABG yang menggunakan IMA dapat bertahan lebih dari 10
tahun (Wood et al, 2005). IMA sering di gunakan untuk by pass arteri Left
anterior ascenden. Hal ini dsebabkan karena jarak/lokasi LIMA dan LAD
berdekatan serta berada pada sisi yang sama.
Arteri radialis. Arteri ini melengkung melintasi sisi radialis tulang
Carpalia dibawah tendo Musculus Abductor Pollicis Longus dan tendo Musculus
extensor Pollicis Longus dan Brevis. Arteri radialis diinsisi lebih kurang 2 cm
dari siku dan berakhir 1 inchi dari pergelangan tangan. Biasanya sebelum
dilakukan pemeriksaan Allen Test untuk mengetahui kepatenan arteri ulnaris jika
arteri radialis diambil. Pada pasien yang menggunakan arteri radialis harus
mendapatkan terapi Ca Antagonis selama 6 bulan setelah operasi menjaga agar
arteri radialis tetap terbuka lebar. Sebuah studi menunjukkan bahwa arteri
radialis memberikan lebih banyak kemampuan revaskularisasi dalam waktu yang
lebih lama dibandingkan vena safena (Dunning et al, 2005).
Vena Safena. Ada dua vena safena yang terdapat pada tungkai bawah
yaitu vena safena magna dan parva. Namun yang sering dipakai sebagai saluran
baru pada CABG adalah vena safena magna. Vena safena sering digunakan
karena diameter ukurannya mendekati arteri coroner.
12
G. Komplikasi Potensial Pasca Operasi CABG :
a. Komplikasi jantung
Setelah operasi CABG dapat ditangani berdasarkan empat komponen yang
mempengaruhi curah jantung meliputi preload, afterload, frekuensi denyut
nadi, dan kontraktilitas.
1. Gangguan preload meliputi hipovolemia, perdarahan menetap,
tamponade jantung dan kelebihan cairan.
a) Hipovolemia merupakan penyebab tersering terjadinya
penurunan curah jantung setelah operasi jantung. Prosedur
operasi menyebabkan kehilangan darah meski sudah dilakukan
penggantian cairan. Namun pada saat suhu tubuh dinaikkan yang
awalnya hipotermi mengakibatkan vasodilatasi pembuluh darah
sehingga dibutuhkan lebih banyak cairan untuk memenuhi
rongga pembuluh darah.
b) Perdarahan pasca operasi jantung terbagi 2 yaitu medical dan
surgical. Perdarahan medikal terjadi karena gangguan
pembekuan darah akibat rusak dan pecahnya trombosit. Selain
itu mekanisme pembekuan darah juga akan terganggu bila
pasien dalam keadaan hipotermik. Kedua, perdarahan surgical
terjadi karena faktor pembedahan seperti jahitan yang bocor atau
dari dinding dada akibat tusukan kawat sternum. Jumlah drainase
tidak boleh melebihi 3cc/kgBB/jam selama 3 jam berturut-.turut.
c) Tamponade jantung adalah kondisi dimana terkumpulnya cairan
di lapisan pericardium jantung yang menekan jantung dari luar
sehingga menghalangi darah untuk masuk ke ventrikel.
Manifestasi klinisnya adalah terjadi hipotensi arteri, bunyi
jantung lemah, penurunan haluaran urine, tekanan PCWP dan
CVP meningkat, takikardi, drainase berkurang, pulsus
13
paradoksus (penurunan lebih dari 10 mmHg selama inspirasi),
akral dingin.
d) Kelebihan cairan merupakan masalah yang jarang terjadi pada
pasien pasca bedah jantung. Tekanan arteri Pulmonal, PCWP
dan CVP meningkat. Biasanya diberikan diuretic dan kecepatan
pemberian cairan via intravena diperlambat.
2. Gangguan afterload sering disebabkan oleh perubahan suhu tubuh
pasien. Pada hipotermia terjadi konstriksi pembuluh darah sehingga
terjadi peningkatan afterload. Penanganannya adalah dengan
menghangatkan kembali pasien secara bertahap, dan jika diperlukan
dilakukan pemberian vasodilator sementara menunggu penghangatan.
Sebaliknya demam atau kondisi hipertermik akan meningkatkan
afterload. Penanganannya dengan menjaga normotermia tubuh atau
dengan pemberian vasopressor.
3. Hipertensi, Hipertensi terjadi akibat peningkatan afterload. Jika pasien
sudah mengalami hipertensi sebelum pembedahan maka penatalaksaan
terapinya disesuaikan seperti sebelum operasi.
4. Aritmia, Aritmia dapat mempengaruhi curah jantung. Tujuan utama
penanganannya adalah mengembalikan irama jantung ke irama sinus
normal dan mencapai irama stabil yang menghasilkan curah jantung
yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
5. Gangguan Kontraktilitas. Gagal jantung terjadi jika jantung tidak
mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh. Gejala klinis
yang muncul adalah terjadi penurunan tekanan arteri rata-rata,
takikardi, gelisah,kesulitan bernafas, edema dan terjadi peningkatan
PCWP, PA dan CVP.
6. Infark Miokard Post Operasi (PMI). Terjadi kematian sebagian otot
jantung sehingga menurunkan kontraktilitas. Pengkajian yang
14
dilakukan harus teliti untuk membedakan dengan nyeri karena faktor
pembedahan. Infark miokard harus dicurigai jika tekanan arteri rata-
rata menurun dengan preload yang normal. Serial EKG dan enzim
dapat membantu penegakkan diagnose.
b. Komplikasi Paru-paru
a) Hematothorax dan Pneumothorax
Adanya insisi atau perlukaan pada thorax dan komponen-
komponennya dapat menyebabkan perdarahan. Pemasangan WSD
berguna untuk mengalirkan perdarahan yang terjadi sehingga dapat
mencegah akumulasi darah pada rongga thorax ( hematothorax ).
Hematothorax harus di drain karena darah yang terakumulasi bisa
menyebabkan pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya fibrous
dan penghambatan ekspansi paru. Pencabutan WSD pun harus
dhindari adanya kebocoran udara.
b) Atelektasis
Atelektasis bisa disebabkan oleh obat-obat anastesi atau faktor-faktor
negative dari pasien itu sendiri. Saat intubasi vetilator hendaknya
disesuaikan dengan kondisi pasien dan adekuat untuk mencegah
atelektasis terutama pada post op.
c) Pneumonia
Insiden pneumonia pada operasi jantung terjadi antara 2-9%. Pasien
yang mengalami penyakit paru kronik preop kolonisasi disaluran
pernapasan, atau peroko mempunyai insiden angka kejadian untuk
terkena pneumonia. Oleh karena itu pengkajian kesehatan secara
lengkap sangat diperlukan dan dikomunikasikan juga di post op. Pada
post op, penggunaan NGT, reintubasi, kedisiplinan cuci tangan, elevasi
kepala sedini mungkin, frekuensi perawatan dan pembersihan mulut
15
dan suction ETT merupakan hal yang harus diperhatikan untuk
pencegahan pneumonia.
d) Emboli Paru
Insiden emboli paru 1-2%terutama disebabkan oleh heparinisasi
selama operasi dan hemodelusi setelah operasi. Stoking kompresi dan
latihan mobilisasi di bed dan ROM tiap hari mungkin diperlukan untuk
mencegah emboli paru.
e) Kegagalan weaning
Insufisiensi respirasi adalah salah satu komplikasi setelah operasi
jantung. Ketergantungan ventilator yang lama akan menyebabkan
kegagalan weaning. Intervensi keperawatan yang penting segera
dilakukan adalah weaning ventilator sesuai protokol, mobilisasi pasien
sedini mungkin, pasien didorong untuk bernapas spontan, manajemen
nyeri dan cemas.
c. Komplikasi Neurologis
Kebanyakan pasien mulai pulih kesadarannya dari efek anastesi
dalam 1 sampai 6 jam pasca operasi. Pasien yang tidak mampu mengikuti
perintah sederhana dalam 6 jam atau menunjukkan perbedaan
kemampuan antara tubuh kanan dan kiri harus dievalusi kemungkinan
stroke.
Defisit neurologi yang dihasilkan dari prosedur intra operasi
biasanya terjadi 24–48 jam pertama setelah operasi. Selain dari
penggunaan CPB, gangguan neurologis yang terjadi setelah beberapa hari
perawatan biasanya dikarenakan tidak stabilnya hemodinamik post
operasi atau terjadi AF (Atrial Fibrilasi).
d. Gagal ginjal dan ketidakseimbangan elektrolit
16
a) Hipokalemi dapat diakibatkan oleh masukan yang kurang, pemberian
diuretic,, muntah, diare dan stress pembedahan. Perubahan EKG
yang muncul adalah gelombang T yang datar atau terbalik dan
adanya gelombang U. Kolaborasi pemberian Kalium intravena perlu
dilakukan.
b) Hiperkalemi dapat disebabkan oleh peningkatan asupan, hemolisis
sel darah merah, insufisiensi ginjal, nekrosis jaringan. Gejala yang
terjadi adalah konfusi mental, gelisah, mual, kelemahan, parastesia
ekstremitas. Perubahan EKG yang spesifik adalah gelombang T yang
tinggi dan lancip, peningkatan amplitude, pelebaran QRS, dan QT
yang memanjang. Penanganannnya adalah kolaborasi pemberian
natrium bikarbonat, insulin IV dan glukosa.
c) Hipernatremi dan hiponatremi. Hiponatremi cukup jarang terjadi,
biasanya lebih disebabkan peningkatan cairan yang masuk ke tubuh
sehingga terjadi pengenceran natrium tubuh.
d) Hipokalsemi dan hiperkalsemi. Hipokalsemi biasanya terjadi akibat
alkalosis yang menurunkan jumlah Ca dalam cairan ekstrasel.
Hiperkalsemi dapat menyebabkan aritmia yang serupa dengan
keracunan digitalis. Penanganan segera harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya asistole dan kematian.
e. Infeksi
Komplikasi yang sering dialami oleh pasien yang mendapatkan tindakan
pembedahan. Penggunaan mesin CPB dan anastesi akan menurunkan
system imunitas tubuh. Selain itu alat invasive yang melekat pada pasien
bisa menjadi sumber infeksi. Penangan infeksi biasanya didasarkan pada
protocol di setiap rumah sakit.
f. Dekubitus
17
Luka yang terjadi akibat penekanan yang lama pada bagian tubuh yang
menonjol. Peranan perawat sangat vital mencegah terjadinya dekubitus
khususnya pada pasien dengan bedrest total. Miring kanan-kiri adalah
salah satu cara mencegah terjadinya dekubitus.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN POST CABG
1. Pengkajian
Setelah operasi selesai, pasien segera dipindahkan ke ruang Intensive Care
Unit. Segera setelah pasien tiba di ICU, perawat harus segera melakukan
pengkajian meliputi semua sistem organ untuk menentukan status pascaoperasi
dibandingkan dengan preoperasi dan mengetahui perubahan yang mungkin
terjadi selama pembedahan.
a. Status Kardiovaskular
Meliputi frekuensi dan irama jantung, tekanan darah arteri, tekanan vena
sentral (CVP), tekanan arteri paru, tekanan baji paru (PCWP), bentuk
gelombang pada tekanan darah invasive, curah jantung dan cardiac index,
drainase rongga dada, fungsi pacemaker.
b. Status Respirasi18
Pengkajian terhadap status respirasi bertujuan untuk mengetahui secara
dini tanda dan gejala tidak adekuatnya ventilasi dan oksigenasi. Perawat
mengkaji status respirasi pasien selama operasi, ukuran endotrakeal tube,
masalah yang dihadapi selama intubasi, lama penggunaan alat mesin
jantung paru. Selanjutnya kaji gerakan dada, suara nafas, setting
ventilator (frekuensi, volume tidal, konsentrasi oksigen, Mode, PEEP),
kecepatan nafas, tekanan ventilator, saturasi oksigen, analisa gas darah.
c. Status Neurologi
Tingkat responsifitas, ukuran pupil dan reaksi terhadap cahaya, reflex,
gerakan ekstremitas, dan kekuatan genggaman tangan.
d. Status Pembuluh darah perifer
Denyut nadi perifer, warna kulit, dasar kuku, mukosa, bibir, cuping
telinga, suhu kulit, edema.
e. Fungsi Ginjal
Haluaran urine, berat jenis urine, dan osmolalitas.
f. Status Cairan dan elektrolit.
Haluaran semua selang drainase, parameter curah jantung, dan indikasi
ketidakseimbangan elektrolit.
g. Nyeri
Sifat, jenis, lokasi, respon terhadap analgesic.
h. Status Gastrointestinal
Auskultasi bisisng usus, palpasi abdomen, nyeri pada saat palpasi.
i. Status Alat yang Dipakai
Kepatenan alat dan pipa untuk menentukan baik atau tidak kondisinya
meliputi, pipa endotrakeal, ventilator, monitor saturasi, kateter arteri paru,
infuse intravena, pacemaker, sistem drainase dan urine.
Selanjutnya jika pasien sudah sadar dan mengalami perkembangan
yang baik, perawat harus mengembangkan pengkajian terhadap status
19
psikologis dan emosional pasien, kebutuhan keluarga, dan risiko akan
komplikasi.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan fungsi
miokardium ( preload, afterload, kontraktilitas ).
b. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan trauma pembedahan
dada ekstensif.
c. Risiko keseimbangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan
gangguan volume darah.
d. Nyeri berhubungan dengan trauma operasi dan iritasi pleura akibat selang
dada.
e. Risiko pola nafas inefektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi.
f. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan fungsi
miokardium ( preload, afterload, kontraktilitas ).
Tujuan: Mengembalikan curah jantung untuk menjaga/mencapai gaya
hidup yang diinginkan.
Kriteria Evaluasi:
1) Parameter hemodinamik dalam batas normal.
2) Drainase dada melalui selang pada 4-6 jam pertama kurang dari 300
ml/jam.
3) Tanda-tanda vital stabil.
4) Nyeri terbatas pada luka operasi.
5) EKG negative terhadap perubahan iskemik.
Intervensi:
20
1) Pantau status kardiovaskular, pembacaan parameter hemodinamik.
Rasional: Efektifitas curah jantung ditentukan oleh pemantauan
hemodinamik.
a. Lakukan observasi tekanan arteri setiap 15 menit sampai stabil.
b. Lakukan auskultasi suara dan irama jantung.
c. Lakukan observasi denyut nadi perifer.
d. Lakukan pengukuran tekanan atrium kiri, tekanan diastolic arteri
pulmonal dan PCWP untuk mengkaji curah jantung.
e. Lakukan pemantauan PCWP, CO/CI, tekanan atrium kiri, dan
CVP untuk mengkaji volume darah, tonus vaskular dan
efektifitas pemompaan jantung.
f. Pantau hasil EKG.
g. Lakukan pengukuran haluaran urine.
h. Lakukan observasi mukosa pipi,dasar kuku, cuping telinga, dan
ekstremitas.
i. Lakukan pengkajian kulit, perhatikan suhu dan warnanya.
2) Observasi adanya perdarahan persisten drainase darah yang terus-
menurus dan menetap, hipotensi, CVP rendah, takikardi. Persiapkan
pemberian komponen darah dan larutan vena.
Rasional: Perdarahan dapat terjadi akibat insisi jantung, kerapuhan
jaringan, trauma jaringan, dan gangguan faktor pembekuan.
3) Observasi adanya tamponade jantung: hipotensi, peningkatan PCWP,
tekanan atrium kiri, CVP, bunyi jantung lemah, denyut nadi lemah,
distensi vena jugularis, penurunan haluran urine, lakukan pengecekan
berkurangnya darah pada selang drainase. Kaji adanya pulsus
paradoksus.
Rasional: tamponade jantung terjadi karena adanya perdarahan di
kantung pericardium yang akan menekan jantung dan menghambat
21
pengisian ventrikel secara adekuat. Penurunan drainase menunjukkan
bahwa darah cairan terkumpul di kantung pericardium.
4) Observasi gagal jantung: hipotensi, peninggian PCWP. CVP, tekanan
atrium kiri, takikardi, gelisah, asinosis, agitasi, distensi vena, dispneu,
ascites,. Persiapkan pemberian diuretic dan digitalis.
Rasional: Gagal jantung yang terjadi akibat penurunan aksi
pemompaan jantung, dapat mengakibatkan berkurangnya perfusi ke
organ vital.
5) Melakukan observasi adanya infark miokardium. Lakukan
pemeriksaan EKG dan enzim berkala. Bedakan nyeri bekas luka
operasi dengan nyeri angina.
Rasional: Gejala bisa tertutup oleh tingkat kesadaran pasien dan obat
anti nyeri.
b. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekret
pada ETT.
Tujuan : Bersihan jalan napas efektif
Kriteria Evaluasi:
1) Jalan nafas paten.
2) Analisa gas darah dalam batas normal.
3) Selang endotrakeal tetap pada tempatnya, seperti terlihat pada
rontgen.
4) Suara nafas jernih.
5) Ventilator sinkron dengan respirasi.
6) Dasar kuku dan membrane mukosa tidak pucat.
7) Ketajaman mental sesuai dengan sedative yang diberikan.
8) Orientasi terhadap ruang dan waktu baik
Intervensi:
22
1) Jaga ventilasi assist-controlled atau intermitten bila mungkin
sinkronus.
Rasional: dukungan ventilasi digunakan pada 4-48 jam untuk
mengurangi kerja jantung, mempertahankan ventilasi yang efektif, dan
memberikan jalan nafas bila terjadi henti jantung.
2) Pantau analisa gas darah, volume tidal, parameter ekstubasi.
Rasional: analisa gas darah dan volume tidal menunjukkan efektifitas
ventilator dan perubahan yang harus dilakukan untuk memperbaiki
pertukaran gas.
3) Auskultasi suara dada terhadap suara nafas.
Rasional: krekel menunjukkan kongesti paru, penurunan atau
hilangnya suara nafas menunjukkan pneumothorax.
4) Tenangkan pasien dan pantau kedalaman respirasi bila ventilasi tidak
dalam.
Rasional: sedasi membantu pasien untuk mentoleransi selang ETT dan
mengatasi sensasi ventilasi.
5) Lakukan fisioterapi dada.
Rasional: membantu mencegah retensi sputum dan atelektasis.
6) Anjurkan untuk menarik nafas dalam, batuk efektif, mobilisasi.
Anjurkan untuk memakai spirometer dan latihan terapi nafas.
Anjurkan menggunakan tahanan didada untuk mengurangi
ketidaknyamanan saat batuk atau tarik nafas dalam.
Rasional: membantu kepatenan jalan nafas dan mencegah atelektasis
dan membantu perkembangan paru.
7) Lakukan penghisapan lender trakheobronkial dan dengan
menggunakan teknik aseptic yang baik.
23
Rasional: retensi sekresi dapat mengakibatkan hipoksia dan
kemungkinan henti jantung, retensi sekresi memudahkan terjadinya
infeksi.
c. Nyeri berhubungan dengan adanya luka insisi bedah, trauma syaraf
intraoperasi.
Tujuan : Nyeri hilang/berkurang.
Kriteria hasil :
1) Menyatakan nyeri hilang.
2) Menunjukkan postur tubuh rileks.
3) Kemampuan istirahat/tidur cukup.
4) Membedakan ketidaknyamanan bedah dari angina/nyeri jantung pra
operasi.
Intervensi :
1) Dorong pasien untuk melaporkan tipe,lokasi serta intensitas nyeri dan
skala nyeri 0-10.Tanyakan pasien bagaimana membandingkan
dengan nyeri dada praoperasi.
Rasionalisasi : Penting untuk pasien membedakan nyeri insisi dari
tipe lain nyeri dada seperti angina.Beberapa pasien CABG lebih
sering mengeluh ketidaknyamanan pada sisi donor dibandingkan
pada sisi bedah. Nyeri berat pada area ini harus diselidiki untuk
kemungkinan komplikasi.
2) Observasi cemas, mudah terangsang, menangis, gelisah,gangguan
tidur. Pantau tanda-tanda vital.
Rasionalisasi : Petunjuk non verbal ini menunjukkan adanya derajat
nyeri yang dialami.
3) Identifikasi/ tingkatkanposisi nyaman menngunakan alat bantu bila
perlu.
24
Rasionalisasi : Bantal/gulungan selimut berguna untuk menyokong
extremitas,mempertahankan postur tubuh dan penahanan insisi untuk
menurunkan tegangan otot/ meningkatkan kenyamanan.
4) Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung atau perubahan
posisi.Bantu aktifitas perawatan diri dan dorong aktifitas senggang
sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Dapat meningkatkan relaksasi/perhatian tak langsung
dan menurunkan frekuensi/kebutuhan dosis analgetic.
5) Identifikasi/ dorong penggunaan perilaku seperti bimbingan
imajinasi, distraksi, visualisasi nafas dalam.
Rasionalisasi : Teknik relaksasi dan penanganan stress,
meningkatkan rasa sehat,mengurangi kebutuhan analgesic dan
meningkatkan penyembuhan.
6) Selidiki laporan nyeri diarea yang tak biasanya(contoh betis
kaki,abdomen),atau keluhan tak jelas adanya ketidaknyamanan
khususnya bila disertai oleh perubahan mental,tanda vital dan
kecepatan pernafasan.
Rasionalisasi : Manifestasi dini terjadinya komplikasi seperti
trombopleibitis,infeksi, disfungsi gastrointestinal.
7) Beri obat pada saat prosedur/ aktifitas sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Kenyamanan/ kerjasama pasien pada pengobatan,
ambulasi, dan produser dipermudah oleh pemberian analgesic.
d. Risiko gangguan keseimbangan volume cairan: kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan diuresis osmotic, perdarahan
Tujuan : Kebutuhan cairan dan hisrasi pasien terpebuhi
Kriteria hasil :
25
Hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital yang atabil,
nadi perifer dapat diraba, capillary refill baik, haluaran urine dan kadar
elektrolit dalam batas normal
Intervensi :
1) Monitor parameter hemodinamik sacara ketat.
Rasional: Memberikan informasi mengenai keadaan hidrasi.
2) Monitor nadi perifer, capillary refill, turgor kulit, membrane mukosa.
Rasional: untuk mengetahui perfusi ke jaringan. Volume sirkulasi
darah yang adekuat penting untuk aktivitas selular yang optimal.
Perfusi ke jaringan yang baik menunjukkan keadekuatan cairan di
intravascular.
3) Monitor intake dan output
Rasional: Menentukan kondisi pasien berhubungan dengan status
cairan dan rehidrasi yang akan dilakukan.
4) Observasi adanya edema, peningkatan BB, peningkatan tanda-tanda
vital.
Rasional: Mengevaluasi intervensi untuk rehidrasi cairan. Rehidrasi
yang tidak terkontrol akan mengganggu keseimbangan volume cairan
di intravaskular.
5) Kolaborasi: berikan terapi cairan dan pantau pemeriksaan
laboratorium.
e. Risiko pola nafas inefektif berhubungan dengan ketidakadekuatan ventilasi.
Tujuan : Inefektif pola nafas tidak terjadi.
Kriteri hasil :
Pasien menunjukan pola nafas adekuat.
Intervensi :
26
1) Evaluasi frekuensi pernafasan dan kedalaman, catat upaya pernafasan.
Contoh adanya dyspnoe,penggunaan otot bantu pernafasan.
Rasionalisasi : Respon pasien bervariasi. Upaya dan kecepatan nafas
mungkin meningkat karena nyeri, takut, demam, penurunan volume
sirkulasi, akumulasi secret, hipoksia, atau distensi gaster.Penekanan
pernafasan dapat terjadi karena penggunaan analgesic yang
berlebihan.Pengenalan dini dan pengobatan ventilasi dapat mencegah
komplikasi.
2) Auskultasi bunyi nafas. Catat area yang menurun/ tidak ada bunyi
nafas dan adanya bunyi nafas tambahan, kreakles atau ronchi.
Rasionalisasi : Bunyi nafas sering menurun pada dasar paru selama
periode waktu pembedahan sehubungan dengan terjadinya
atelekstasis.Kehilangan bunyi nafas aktif pada area ventilasi
sebelumnya dapat menunjukan kolaps segmen paru khususnya bila
drain dada telah dibuka.
3) Observasi adanya penyimpangan gerakan dada. Observasi penurunan
ekspansi atau ketidaksemitrisan gerakan dada.
Rasionalisasi : Udara atau cairan pada pleura mencegah ekspansi dada
lengkap dan memerlukan pengkajian lanjut status ventilasi.
4) Observasi karakter batuk dan produksi sputum.
Rasionalisasi : Batuk dapat menyebabkan iritasi selang ETT atau dapat
menunjukan kongesti paru. Sputum purulen dapat menunjukan
timbulnya infeksi paru. Mencegah kelemahan atau kelelahan dan stress
kardiovaskuler berlebihan.
5) Lihat kulit dan membran mukosa sebagai tanda adanya stenosis.
Rasionalisasi : Sianosis menunjukan hipoksia berhubungan dengan
gagal jantung atau komplikasi paru. Pucat menunjukan anemia karena
27
kehilangan darah atau kegagalan penggantiaan darah atau terjadinya
kerusakan sel darah merah dari pompa bypass kardiopulmonal.
6) Tinggikan kepala tempat tidur, letakkan pada posisi duduk atau
semifowler. Bantu ambulasi dini atau peningkatan waktu tidur.
Rasionalisasi : Merangsang fungsi pernafasan atau ekspansi paru
efektif pada pencegahan dan perbaikan kongesti paru.
7) Ajak pasien berpartisipasi selama nafas dalam gunakan alat bantu dan
batuk sesuai indikasi.
Rasionalisasi : Membantu reekspansi atau mempertahankan patensi
jalan nafas khususnya setelah melepaskan selang dada. Batuk tidak
diperlukan kecuali bila ada mengi atau ronchi menunjukkan adanya
retensi secret.
8) Tekankan menahan dada dengan bantal selama nafas dalam dan batuk.
Rasionalisasi : Menurunkan tegangan pada insisi dan meningkatkan
ekspansi paru.
9) Jelaskan bahwa batuk atau pengobatan pernafasan tidak akan
menghilangkan atau merusak/ terbukanya insisi dada.
Rasionalisasi : Berikan kenyakinan bahwa cedera tidak akan terjadi
dan dpt meningkatkan kerjasama dalam program teraupetik.
10) Dorong pemasukan cairan maksimal dalam perbaikan jantung.
Rasionalisasi : Hidrasi adekuat membantu pengenceran secret,
memudahkan ekspectoran.
11) Beri obat analgesic sebelumsebelum pengobatan pernafasan sesuai
indikasi.
Rasionalisasi : Memungkinkan pergerakkan dada dan menurunkan
ketidaknyamanan berhubungan dengan insisi, memudahkan kerjasama
pasien dengan keefektifan pengobatan pernafasan.
28
12) Catat respon terhadap latihan nafas dalam atau pengobatan pernafasan
lain, catat bunyi nafas, batuk, atau produksi sputum.
Rasionalisasi : Catat keefektifan terapi, atau kebutuhan untuk
intervensi lebih agresif.
13) Monitor distress pernafasan, penurunan bunyi nafas, takikardi, agitasi
berat, penurunan TD.
Rasionalisasi : Hemothorax dan pneumothorax dapat terjadi setelah
pelepasan selang dada dan memerlukan upaya intervensi untuk
mempertahankan fungsi pernafasan.
f. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka op, terpasang alat di tubuh,
imunosupresi.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria Evaluasi :
Tidak terjadi demam dan tercapai pemulihan luka tepat
pada waktunya.
Intervensi:
1) Lakukan prosedur mencuci tangan yang baik staf dan pengunjung.
Batasi pengunjung yang mengalami infeksi.
Rasional: lindungi pasien dari sumber-sumber infeksi.
2) Monitor tanda-tanda vital pasien terutama suhu.
Rasional: peningkatan suhu terjadi akibat proses inflamasi. Identifikasi
dini memungkinkan terapi yang tepat.
3) Ubah posisi secara berkala, pertahankan linen kering dan bebas
kerutan.
Rasional: menurunkan tekanan dan iritasi pada jaringan dan mencegah
kerusakan kulit (potensial pertumbuhan bakteri).
4) Hindari/batasi prosedur invasive.
29
Rasional: menurunkan risiko kontaminasi, membatasi entri portal
terhadap agen infeksius.
5) Patuhi teknik aseptik ketika melakukan tindakan yang berhubungan
dengan alat invasive.
Rasional: Mencegah kontaminasi kuman pada alat-alat yang melekat
pada tubuh
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Operasi Coronary Artery Bypass Graft (CABG) merupakan salah satu
penanganan Penyakit jantung koroner dengan cara membuat saluran baru
melewati bagian arteri koroner yang tersumbat. Dimana saluran baru ini
diambil dari pembuluh darah arteri ataupun vena, sehingga menyediakan jalan
untuk aliran darah yang menuju sel otot jantung.
CABG bertujuan untuk mengatasi terhambatnya aliran arteri koroner
akibat penyumbatan. Pemastian daerah yang mengalami penyumbatan ini telah
dilakukan sebelumnya dengan kateterisasi.
30
Sasaran operasi CABG ini adalah mengurangi gejala penyakit arteri
koroner sehingga pasien dapat menjalani hidup dengan normal dan mengurangi
resiko serangan jantung dan masalah jantung lainya.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjoer, Arief. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskular. Jakarta : Salemba Medika.
Udjianti, Wajan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskular. Jakarta : Salemba
Medik.
Price, Sylvia A. 2005. Patofisiologi ( Konsep Dasar Penyakit ). Jakarta :
EGC.
Suddart & Brunner. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC.
www.scribd.com/doc/59283707/Prevalensi- PJK
31
32