buruk karya, editor bicara
DESCRIPTION
Berbagi pengalaman literasi, terutama pembuatan buku dan artikel.TRANSCRIPT
membincang ide di kepala biar menyalamenumpahkan gundah hati agar kata-‐kata membara
meski Anda (awalnya) bukan siapa-‐siapa!
Buruk Karya, Editor Bicara
Yusuf Maulana
Amat tidak dilarang menggandakan dan/atau menyebarluaskan sebagian ataupun seluruh materi dalam buku ini. Yang dilarang
adalah mendaku tulisan yang berasal dari buku ini sebagai tulisan Anda!
Buat Emir: jadilah saksi kebaikan untuk umat dan rakyat.Buat Emira: jaga pustaka di rumah walau telah beralih generasi.
Patut
Alhamdulillah, atas kehendak-‐Nya-‐lah buku ini bisa terbit dan hadir di tengah kita semua. Semoga rangkaian kata di dalamnya bisa menjadi hikmah pembawa kebaikan bagi yang mendarasnya.
Meski terbilang singkat pengerjaannya di sela aktivitas rutin, saya bersyukur kerja “iseng” ini rampung sesuai angan. Saya tidak ingin melupakan semua pihak yang terlibat dalam karier berliterasi saya. Mulai dari para redaksi media, mentor menulis, hingga rekan penulis.
Terima kasih untuk teman-‐teman di Ulul Albab, Karanggayam, Sleman, yang berbaik hati pada saya ketika menancapkan ikhtiar dalam dunia literasi. Nama-‐nama seperti Subhan, Fajar, Amin, Asnal, Wahid, Sigit, pasti selalu diingat berikut kebaikan yang diperbuat untuk saya.
Terima kasih untuk Tiga Lentera Utama: Pak Cahyadi Takariawan, Pak Rijal, dan Ustad Ghazali Mukri. Kepercayaan antum kepada saya sebuah pelajaran berarti dalam menempa kepekaan saya pada dunia teks.
Terima kasih untuk Pak Nyadi Kasmorejo dan Pak Erwan Widyarto yang memberikan saya ruang untuk beraktualisasi lewat koran. Untuk Pak Arif Ma'ruf, nama pertama yang kudu diingat, lantaran pintanya pada saya untuk pertama kali menulis di koran.
Terima kasih untuk Pro-‐U Media, penerbitan yang insya Allah sarat barakah dan pengabdian pada umat. Mas Fanni Rahman dan Mas Nurhadiyanto yang telah memercayai saya untuk mengomandoi keredaksian selama enam tahun (November 2006 — Mei 2012). Kepada alumni yang setia membantu saya: Farid Ikhsan, Deden Anjar, Turiyanto, Apung. Kepada teman-‐teman di jajaran ruang kerja atas: Irin Hidayat, Edi Aryapto, Romadhon Hanafi. Juga teman-‐teman di ruang bawah: ‘Didik’ Tri Nardianoor, Pak Agus Winarto, Ridwan Hidayat, Sigit, Eko ‘ayah Najjar’, Sarengat, Jiwo, dan Mustofa. Teman-‐teman kru baru: Zudi, Huni, dan Eko Maulana ‘Si gila bola’.
Terima kasih buat sahabat loyal terbaik saya: Wildan Taufik dan Oktaf Ardiansyah. Dua nama yang tidak bisa diluputkan dari pencapaian saya hari ini dan esok hari.
Terima kasih untuk para penuai hikmah di jalan kebaikan: Pak Fauzil, Pak Solikhin, Kang Puji Hartono, Kang Makhroji, Arif Nur Salim, Rijalul Imam, Umar Hidayat, Fadlan Ikhwani, Fatan Fantastik, Dinda Denis, dan deretan nama lainnya yang belum sempat saya sebutkan kali ini.
Terima kasih untuk para pengobar pendidikan berkualitas: Bu Sri Nurhidayah, Bu Latifah, Kang Asep Sapa'at, Mbak Rina Fatimah, Mas Romi Ardiansyah, Pak Mulyadi, Pak Zayd, Mas Purwo, trio UGM Budi-‐Edi-‐Udi dan jajaran inspiratif lainnya di Bogor. Terima kasih atas kesempatan besar yang diberikan buat saya.
Terakhir, terima kasih untuk Yuni Wahyu Angraeni, nama yang setia mereweli saya untuk tetap berkarya. Bukan hanya ibu dari anak-‐anak, tapi juga kadang ibu dari sebagian ide menulis saya. []
Antar
Detektif, sejarah, dan seni adalah bacaan dan kegiatan yang saya sukai sejak menginjak remaja hingga sekarang. Tidak dinyana bahwa ketiganya memengaruhi cara bekerja saya selaku seorang editor. Menyunting naskah adalah aktivitas mencari “lawan” bernama kesalahan teks, buruknya logika, alinea yang menjemukan, hingga membongkar sistematika pembahasan. Sejarah berkaitan dengan akurasi data yang dituliskan di naskah. Adapun seni berkaitan dengan mengindahkan kata, kalimat, alinea naskah penulis.
Minat pada kerja editor berawal dari kebiasaan menulis. Menulis dari mencoba sendiri dan banyaknya penolakan pemuatan artikel di koran membuat saya paham bagaimana membuat tulisan yang enak dibaca buat orang lain. Tidak serta-‐merta kemampuan mengedit diraih. Ada proses yang butuh waktu lama hingga bisa memiliki indra penciuman tajam pada naskah bermasalah.
Menulis dan menyunting, bagi saya, merupakan satu kesatuan. Menulis menempa saya untuk berani beride. Menyunting menempa saya untuk kritis terhadap karya sendiri. Terbiasa “membantai” karya sendiri, rasa tega sudah tertancap kokoh di hati. Ini ternyata penting ketika berhadapan dengan para penulis.
Kegiatan menulis sudah saya lakukan lama sejak duduk di bangku SMA. Tulisan yang dibuat sebatas untuk buku harian. Isinya seputar kejadian inspiratif. Walau pernah memperlihatkan ke sebagian teman di kelas, saya menganggap semua coretan itu masih sebatas properti pribadi. Bukan untuk konsumsi publik. Barulah pada 2000 saya menulis pertama kali untuk koran lokal di Yogyakarta (saat masih kuliah), dan langsung dimuat. Tulisan berupa dukungan kepada perjuangan saudara kita di Palestina melawan zionis Israel lahir dari modal semangat menggebu dan dorongan seorang teman.
Tulisan pertama di koran itu memicu saya untuk menulis lebih sering. Tidak lama kemudian, tulisan saya bisa menembus koran lokal yang berbeda. Hingga akhirnya saya berobsesi bisa masuk ke harian terpandang di negeri ini. Ditolak dan ditolak biasa, tapi pada 2004 saya akhirnya bisa menerakan nama di koran itu pertama kalinya. Dan ini jalan yang baik untuk berkarya di harian yang sama pada tahun selanjutnya.
Sembari menulis artikel, pada 2001 saya berkarya untuk media internal di DPRD DI Yogyakarta. Saya bisa merasakan bagaimana kerja seorang jurnalis. Berkawan dengan narasumber dengan sekian informasi dan rahasia menjadi pengalaman menarik.
Tahun berikutnya saya bergabung dengan seorang penulis bernama di penerbitannya. Sepanjang 2002 saya duduk bersama komputer untuk mendedahi teks-‐teks bertemakan keagamaan. Tidak bertahan lama, saya kembali aktif menulis artikel untuk koran. Menjadi penulis yang sebulan dua kali pasti dimuat di sebuah harian nasional merupakan berkah tersendiri. Pemasukan bulanan ada dan cukup bisa diandalkan.
Usai Gempa Yogyakarta 27 Mei 2006, saya bergabung dengan sebuah penerbit di kota yang sama. Penerbit yang dikelola secara dinamis oleh anak-‐anak muda teman seangkatan ketika kuliah. Para aktivis remaja masjid ini punya idealisme tinggi dalam berdakwah lewat buku. Masuk ke sana saya membenahi dan merapikan manajemen redaksi. Sistem kerja keredaksian yang masih belum tertata perlahan-‐lahan dipolakan secara baku. Ini agar menjadi acuan kelak ketika saya tidak lagi di sana.
Enam tahun saya berada di teman yang kondusif menyemai ide, saya harus mencari tantangan baru. Tetap masih di dunia teks. Keharusan untuk dekat dengan keluarga karena jarak kelahiran anak pertama dan kedua tidak sampai dua tahun, menjadi alasan penting lainnya. Dalam tugas lepas waktu di rumah, saya bertemu lembaga dan tokoh yang memercayai saya untuk mendampingi mereka. Sebuah kepercayaan yang bahkan saat saya masih kantoran belum terpikirkan.
Masihlah minim pengalaman saya dalam dunia literasi. Tapi dari rentang belasan tahun di dunia ini saya begitu terkesima dengan banyaknya kejadian penting. Kadang saya hanya mendengarkan. Kadang melihat langsung. Tidak jarang saya juga yang terlibat langsung di dalamnya. Kendati bisa saja terkesan sepele di mata orang, pengalaman itu sungguh sayang bila saya abaikan.
Pengalaman berkantor di penerbit terakhir saya berkarya memberikan satu kekayaan tersendiri. Saya mengenal banyak orang dan komunitas yang selama ini tidak terpikirkan. Saya bisa bergaul dengan orang-‐orang dengan logika berpikir berbeda dengan saya. Menariknya, kami bisa tertawa bersama dan tidak berminat mengungkit perbedaan yang ada. Ada visi yang lebih penting dari sekadar berdebat soal kebenaran yang diyakini kami.
Kelancangan saya untuk mencatatkan sebagian pengalaman berliterasi, khususnya selama jadi editor, tidak lain didorong untuk semangat berbagi. Teknis menulis sering diajarkan di ruang pelatihan para trainer. Buku-‐buku soal menulis juga sudah cukup banyak. Nah, saya hanya berikhtiar ikut berandil dalam jagat literasi ini dengan sekadar yang saya minati dan ada passion tinggi di dalamnya.
Saya lebih berniat untuk berbagi pengalaman dalam bentuk seperti diari. Saya ingin tiap tulisan ada nilai dan juga sedikit inspirasi teknis. Kolaborasi saya dengan beberapa rekan dalam merupawankan buku ini menjadi cara agar teks yang ada bisa semakin hidup. Dus, kian bersemangat para sahabat sekalian membacanya.
Tentu tidak setiap pengalaman bisa dan pantas dicatatkan di sini. Bisa karena tidak patut dalam penilaian saya, bisa juga karena saya lupa ada pengalaman yang berkesan. Yang jelas, tulisan yang ada insya Allah cukup mewakili butir-‐butir penting kepenulisan, terutama dalam konteks perbukuan. Selain itu, buku ini bagian dari rehat menafakuri
kerja menyunting ratusan naskah, yang di antaranya—tidak kurang—sebanyak 150 lebih karya sudah berbentuk buku.
Saya berharap, ringkasnya tulisan bisa menjadi teman setia mata kita untuk mengikuti setiap paparan di buku ini. Agar tidak bosan, singkatnya. Juga saya tidak ingin berpanjang ria demi menjelaskan sesuatu yang bisa disederhanakan. Yang penting, ada transfer nilai dan muatan lainnya. Semoga niat ini bisa terwujud.
Yogyakarta, 1 Muharam 1436 / 25 November 2014
Muatan
Patut
Antar
Cahaya
Dari Mana Awal Menulis?Emas Bernama GelisahMenulis Tanpa StatusMenulis Tanpa ‘Gadget’Menyambut Impitan EkonomiMengharuskan BerdalilMengelabui MataSaat Motivator MenulisMemperbanyak Daftar PustakaKarya Tanpa KutipanMenjaga KejujuranPlagiat Bodoh, Plagiat KriminalTerperosok Akibat KutipanMenjuduli TulisanKebesaran JudulBahasa Tulisan dan Lisan PenulisPenulis BujangIsi Status PenulisPenulis TangguhPerajin Tulisan dan Penulis RajinMenulis di Era Media Sosial
FokusPengaderan dan Menulis Mengayomi Kenakalan Penulis MudaKomunitas MenulisNama Besar MenulisBungah Buku Perdana Tantangan Buku PertamaMengolah Berbeda Tema Hangat
Penulis TrendiMengekor Karya Emas OrangPeran Sang Pendamping TercintaMendudukkan Sang AsistenMenyebut Nama KeluargaWajah Asli PenulisRisiko MenulisTersudut karena Tema JokowiGelora Usai DikecewakanGodaan Meledaknya Karya PerdanaMenghadirkan Karya ‘Best Seller’Tuntutan Setelah ‘Best Seller’Kaya Mendadak Penulis KompilatorKeberkahan yang Tampak
Cermin Menjaga Cemburu KeyakinanPenulis Pelawan NuraniMembesarkan Ideologi OrangBesar di Ladang OrangMonumen KenaifanBayan dalam TulisanAtas Nama Pelurusan Fakta Menggeledah Buku KiriPembantah yang TerlupakanMenulis untuk ProtesAda Saat BerpisahSukses di Penerbit Bukan Idaman AwalMawas dari Penerbit JahatMenjaga Hak Penulis di Penerbit Memilih Penerbit KeagamaanEmpati untuk Pekerja Penerbitan Mengingati EditorBuku Sang EditorBuku untuk Orang TerkasihMenyikapi Warisan Tulisan
Mendadak TeringatRoyalti untuk Kemanusiaan
Cahaya
Dari Mana Awal Menulis?
Dalam pelatihan menulis atau memotivasi teman untuk menulis, ada pertanyaan klasik yang selalu mengemuka: “Saya tidak punya bakat, bagaimana harus memulai menulis?”
Siapa yang memvonis tidak berbakat selain diri si pemuka pernyataan tersebut? Atas dasar apa dan parameter bagaimana ia menilai dirinya sendiri seperti itu? Tidak jelas dari mana vonis itu prematur hadir. Menulis seolah berkaitan dengan bakat. Menulis sepertinya bertali erat dengan kepintaran otak.
Menulis sesungguhnya memindahkan pengalaman batin kita secara eksplisit. Di sini kemauan untuk tidak sekadar berpuas dengan kata-‐kata tuturan atau lisan menjadi penting. Harus ada kesadaran bahwa menulis tidak ada bedanya dengan berkata-‐kata. Hanya bedanya di media pengungkapan. Yang satu mulut, satunya lagi tangan.
Fitrahnya, orang umumnya mampu bicara lancar saat mengobrol santai dengan teman duduk. Kalaupun tersendat atau gagap, itu tidak berarti mengurangi kelancarannya dalam menyajikan fakta. Fakta boleh dituturkan bertele-‐tele atau gagap, tapi pada akhirnya tuntas jua. Menulis juga demikian. Dengan menganggapnya sebagai bentuk lain berbicara, aktivitas menulis berpeluang tidak akan lagi tersendat.
Pikiranlah yang kemudian memenjara bahwa menulis itu berbeda sangat dengan berbicara. Seolah aktivitas menggerakkan tangan tidak sama dengan menggerakkan mulut. Padahal, tidak ada yang melarang tulisan kita seperti tuturan lisan. Soekarno presiden pertama kita sebagai contoh, amat kuat tulisan bergaya lisannya. Atau malah sebagian besar teks pidatonya sama dengan kita mendengarkannya di atas podium.
Mereka yang terbiasa menulis juga tidak berarti lebih hebat. Secara teknis dan gaya memikat mungkin ya, substansi yang diceritakan nanti
dulu. Teknik dan isi mestinya memang berjalan padu. Teknik saja yang bagus, sementara isi hambar, tulisan kita terasa melebih-‐lebihkan. Isi saja yang bagus sementara cara pengungkapan datar dan bertele, ini juga tidak elok; orang malas membacanya. Namun, kalau mau dipilah dan dipilih mana yang paling pokok, ide sebenarnya yang lebih kuat. Bukankah banyak tulisan pemula yang tidak begitu indah-‐indah amat tapi mampu menderaikan air mata banyak orang?
Maka, yang harus dibanggakan seorang yang punya pengalaman penting adalah ide. Ide ini yang susah diraih. Bahkan ada yang rela membeli ide demi populer karyanya. Ide ini akan terasa lagi manakala dialami si penulisnya. Sederhana saja, mentransfer kekaguman ataupun kepedihan batin atas sebuah pengalaman, dan mampu membuat orang merasakannya. Ini sudah cukup bagi pemula. Soal teknik abaikan saja lebih dulu.
Bila penghargaan dan perhatian pada ide ini hadir, saya kira tidak perlu ada banyak buku kepenulisan. Seminar dan pelatihan menulis juga tidak perlu mengurailebarkan teknik-‐teknik menulis atau mengarang. Mestinya para motivator dan pembicara lebih mengarahkan peserta untuk berani membagikan kekayaan batinnya kepada orang lain. Kekayaan apa saja. Lantaran tidak setiap orang Indonesia percaya diri dengan pengalaman yang pernah dialaminya. Pengalaman diri dianggap biasa; kalau sering mengumbar takut dianggap sombong. Soal ini yang kudu diangkat. Berani membicarakan pengalaman berharga bukan berarti sombong, mengumbar keburukan, atau sebutan apa saja.
Pengalaman yang dibagikan itu menjadi penting untuk menguatkan motivasi menulis. Menulis itu sederhana saja resepnya: mau berbagi pengalaman diri. Pelajaran penting awal menulis adalah menuliskan pengalaman diri. Si penulisnya harus dibesarkan jiwanya. Tidak peduli menurut penilaian orang lain, ia harus percaya itulah pengalaman menarik atau bahkan terbaiknya. Dan itu bisa menjadi sedekah bagi orang lain.
Dengan demikian, memulai menulis tidak ada kaitan dengan soal bakat. Tugas kita menulis bukan untuk mengumbar kelemahan bakat kita. Tugas kita adalah berbagi. Berbagi pengalaman dan kejadian yang dialami dalam wujud tulisan. Tidak lebih dari itu. []
Emas Bernama Gelisah
Fadlan, seorang teman saya, tertolak pinangannya. Kecewa? Lelaki mana yang tidak sedih perempuan yang disukainya justru menolak cintanya mentah-‐mentah? Marah? Teman ini untungnya sosok yang penyabar. Dikelolanya kesedihan dalam kisah penolakan cintanya menjadi sebuah buku berjudul Don’t Cry; Ketika Mencintai, Tak Bisa Menikahi.
Mantan marbot di sebuah masjid di dekat bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, ini harus siap pula menghadapi perempuan yang sama saat karyanya dibedah. Syukurnya ia mampu menghadapi ketegangan perasaan. Kepedihan pada wajah sang gadis berangsur sirna seiring suksesnya penjualan buku perdananya itu.
Sebenarnya bukan karena kisah penolakan itu ia kian rajin menulis pada hari-‐hari selanjutnya. Sebelum buku perdananya terbit, ia juga sudah menulis artikel di koran-‐koran lokal dan nasional. Kesuksesan buku pertama tampaknya memberikan arti mendalam yang lebih. Kepenatan di balik kesedihan hati dilarikan dalam bentuk menulis buku. Kesuksesan penjualan buku perdana menjadi katarsis positif energi produktifnya.
Seperti Fadlan, banyak di antara kita memiliki kisah pahit. Kisah-‐kisah yang sebagian dari kita ingin memendamnya rapat-‐rapat. Mulai dari asmara hingga perbedaan pandangan pemikiran. Kisah pahit itu lantas ingin dikubur agar tidak lagi hadir dalam ingatan kita. Sayang, tidak semuanya berani mengolah rasa hati dalam bentuk tulisan. Lebih sering kita dapati mengolah mulut dengan cara curhat atau mengutarakan perasaan kepada orang tertentu yang dianggap aman dan nyaman. Padahal, menuliskannya lebih berfaedah, karena siapa tahu akan menjadi pelajaran bagi orang lain. Saat yang sama, siapa tahu ada pembaca yang memberikan solusi. Intinya, ada ruang berbagi, baik bagi pembaca ataupun penulisnya sendiri.
Pelajaran penting menulis atau mengarang sebenarnya yang dilakukan Fadlan: ambil ide dari diri sendiri. Indra kita oleh Allah diberikan bukan untuk didiamkan. Mata dan telinga, khususnya, menggali apa saja yang ada di sekitar kita. Bisa hasil diri sendiri, bisa juga pengalaman orang lain. Aktivitas membaca merupakan bentuk syukur kita pada hadirnya indra tersebut. Amat sayang jika semua yang terekam dalam aktivitas hidup kita dianggap bukan ide. Ini salah besar!
Banyak pertanyaan di kelas dan forum kepenulisan soal tiadanya ide. Sebenarnya ide ada di mana saja tinggal bagaimana kita mensyukurinya. Fadlan contoh baik di sini. Tanpa ragu dan malu ia syukuri kesedihan dalam proses meminangnya menjadi sebuah karya inspiratif. Banyak orang terinspirasi dan bangkit dari karyanya. Bukankah ini amal jariah tersendiri bagi penulisnya? Sayangnya, masih banyak yang meremehkan diri sendiri.
Pengalaman yang kita alami sesungguhnya hebat dan unik. Pembeda bukan penulis dan penulis hanya soal kemauan mensyukuri pengalaman. Itu saja. Bukan soal teknik menulis. Ini soal kesekianlah. Yang dirundung penolakan semacam Fadlan amat sangat banyak, tapi adakah yang mau mengungkapkannya dalam bentuk buku?
Saya tidak kaget dengan hadirnya karya dari orang-‐orang yang luka dan sedih. Mereka yang memendam rasa di hati adalah calon penulis. Orang-‐orang gundah adalah calon-‐calon penulis hebat. Bukan hanya milik mereka yang sakit karena cinta. Tidak! Gundah gelisah adalah milik siapa saja. Bukankah diam pada kemungkaran adalah wujud betapa hebatnya gundah kita? Haruskah kita hanya memendam benci pada kemungkaran dengan hati? Naikkanlah level kita dalam wujud tulisan.
Kegundahan adalah sejenis penghuni hati yang berkarib ria dengan kepekaan diri. Semuanya berhulu pada penghargaan pada keseharian yang tidak boleh dilupakan begitu saja. Seorang penulis, dalam kaitan ini, adalah mereka yang tidak pernah meremehkan kegundahan dirinya. Sekecil apa pun. Maka, jangan kaget dalam karya-‐karya yang dianggap
besar, kita hanya dapati kejadian sepele. Lihat karya cerita pendek Kuntowijoyo. Amat dekat dengan keseharian kita, dan kita pasti bergumam pernah mengalaminya langsung. Lantas, mengapa Pak Kunto bisa menuangkan dalam cerita memikat, sementara kita hanya mengeluh? []
Menulis Tanpa Status
Menjelang tamat SMA, seorang teman getol menulis naskah seputar pergaulan remaja seusianya. Naskah permulaan yang terus dikebutnya hingga ia masuk semester satu perkuliahan. Kendati masih “hijau”, penulisnya nekat memenuhi permintaan seorang temannya yang berkecimpung di dunia percetakan. Tema yang diangkat tidak sembarang dunia remaja. Para remaja diarahkan untuk menikah ketimbang berpacaran.
Ya, bujang bau kencur itu memang terus pada malam-‐malam hari sering menuangkan keprihatinannya dengan menulis. Anak-‐anak remaja, baik yang berstatus pelajar ataupun mahasiswa, dilanda asmara hingga berujung perzinaan. Sebuah keadaan yang menyayat hati. Masa muda diisi dengan kemaksiatan.
Walau tidak ada pengalaman soal berpacaran, dan bukan pula penyandang status menikah, penulis remaja itu mampu menyelesaikan naskahnya juga. Sebuah cinta pada keyakinan dan penjagaan atas kesucian para remaja, mendorong hadirnya buku bersahajanya. Sebuah karya yang didedikasikan untuk mengarahkan para muda-‐mudi untuk menoleh pada ajaran agamanya. Agar mereka tidak semberono mengikuti tren lantaran takut dibilang tidak laku gara-‐gara memilih tidak berpacaran.
Masya Allah! Buku perdana itu sebenarnya tidak muluk-‐muluk ditarget. Teman di percetakan sekadar ingin membuat wacana tanding. Tidak lebih. Tidak sampai berpikir kelak di kemudian hari buku itu berkali-‐kali cetak ulang. Mengubah status percetakannya dari sekadar produksi poster dan undangan pernikahan menjadi penerbit buku kelas nasional. Menjadikan penulisnya sebagai sosok terkenal. Dari seorang remaja polos desa menjadi dai berwawasan luas dan bernas bertutur.
Status kerap menghalangi seorang yang punya hajat pada ide untuk berhenti. Takut ini dan itu. Andai remaja muda itu enggan dengan dalih
dirinya masih bau kencur, buku yang banyak difavoriti kaum muda itu tidak bakal hadir. Status seolah pembenar dari kemunduran kita untuk berkarya. Gara-‐gara status, kita layak memilih untuk diam ketimbang mengekspresikan ide berupa tulisan.
Sungguh berani sebenarnya, belum merasakan “nikmatnya” berpacaran dan menikah, remaja itu membandingkan kedua tindakan ini. Status dikalahkan oleh kecintaan yang lain: keprihatinan. Prihatin atas maraknya zina di kotanya. Bukan berdiam, ia melawan. Dan ini mampu menutupi ketidaktahuan orang bahwa si penulisnya belumlah menikah.
Maka, andai kita tergerak bercerita seputar pernikahan, tuliskan pengalaman dan pandangan yang telah bergelora di dada ini. Tuliskan tanpa harus menanti status tidak lagi bujang ataupun gadis lenyap.
Misal kita ingin bercerita pentingnya pengasuhan anak yang sesuai agama, segera tuangkan. Meski saat itu kita baru sebagai guru PAUD atau TK, atau mahasiswa yang mengamati dunia anak. Penghayatan dan kecintaan tidak boleh dikalahkan oleh kesadaran pada status hari ini.
Juga kalau kita ingin menulis soal manajemen diri. Kita masih amburadul bagaimana? Perbaiki sambil jalan. Refleksi perjuangan kita bisa dituangkan menjadi tulisan. Tinggal kita tidak perlu bombastis menjudulinya. Yang jelas: ada kecintaan dan keinginan kuat untuk berubah.
Masih hidup pontang-‐panting, mau menulis soal kekayaan? Tidak ada larangan kok. Riseti seputar kehidupan para miliuner. Amati fenomena di balik keberhasilan mereka, ada apa. Menulis soal kekayaan sementara kita miskin, bisa ambil sisi yang berdekatan dengan perjuangan kita. Inspirasi jatuh dan bangun para miliuner, misalnya.
Bagaimana dengan cita-‐cita kehidupan bebas finansial bila diri kita kelak kaya? Boleh-‐boleh saja, tapi ini mesti dilandasi dari suara hati dan tekad bulat untuk berubah. Ini tipis memang: cita-‐cita murni atau dampak
paparan buku bacaan soal kekayaan. Jujurlah pada diri sendiri, itu saja kuncinya. Mau menulis bukan karena tren buku yang laris karena mengambil tema ini. Atau latah ikut-‐ikutan seminar yang tengah naik daun di mana-‐mana. Yang jelas, kita harus siap untuk satu hal: buku tidak laku. Walau tidak laku, sebenarnya ada pelajaran juga. Sudah ada jejak monumen kita di masa silam yang tertuliskan.
Sekali lagi, untuk berkarya kuncinya bukan predikat atau status yang disandang. Ia penting karena bisa memberikan butir tambahan berupa kekayaan batin berupa pengalaman langsung sendiri. Tapi, ini bukan berarti calon penulis yang tidak merasakan langsung sebuah pengalaman tidak dapat atau tidak boleh berkarya.
Seperti halnya aktor, penulis tinggal menghayati peran yang hendak dimainkannya. Seberapa kuat kecintaan pada peran yang dilakoni, sekuat pula kesan mendalam di penonton. Di sini soal hati yang bekerja. Penghayatan akan mengalahkan keterbatasan teknis menulis. Penulis remaja tadi terbukti mampu melakukannya. []
Menulis Tanpa ‘Gadget’
Komputer atau laptop itu penting bagi seorang penulis. Karena alat-‐alat ini merupakan bagian penting dari kerja penulis. Sekadar kertas dan pena atau bahkan pensil memang masih bisa untuk menuangkan gagasan. Namun, keberadaan komputer atau laptop di tangan penulis profesional ibarat menempuh kota tujuan dari jalur tol. Kemudahan yang ada mampu memperpendek urusan teknis semisal koreksi kesalahan ketik, atau menyunting ide yang tiba-‐tiba harus diubah.
Peran vital komputer atau laptop itu bukan berarti menyelesaikan permasalahan produktivitas seorang penulis. Kepemilikan peranti ini tidak otomatis melahirkan penulis. Sebaliknya, tanpa peranti ini tidak berarti kesempatan menjadi penulis terkemuka tertutup. Kepemilikan dan pemanfaatan adalah dua hal yang terkadang berbeda kondisinya di lapangan. Banyak yang punya peranti laptop canggih, tapi empunya tidak bisa menulis sama sekali. Akan tetapi, dengan komputer butut sekalipun, ada penulis yang masih bisa menuangkan gagasan luar biasa.
Jadi, pokok masalahnya adalah bukan pada kepemilikan. Bila seorang calon penulis masih kere, ia bisa memanfaatkan milik orang lain atau fasilitas umum. Seorang rekan penulis pernah harus memondok di tempat temannya untuk menuntaskan naskah bukunya. Setiap hari begitu. Kini ia sudah jadi penulis terkemuka. Menginap demi mengerjakan naskah tentu sudah tinggal kenangan indah.
Demi menyelesaikan artikel yang harus dikirimkan ke koran, saya juga berpindah-‐pindah komputer teman indekos. Kala itu, komputer masih barang mewah bagi saya. Dengan menuangkan gagasan di kertas terlebih dahulu, saya bisa memanfaatkan komputer teman di sela pengerjaan tugas kuliahnya. Praktis saya hanya mengetikkan yang tertulis di kertas; selebihnya, saya gunakan komputer untuk menyunting. Dalam menyelesaikan artikel untuk perlombaan pun saya meminjam komputer teman. Tidak ada masalah.
Keterbatasan fasilitas sering malah memicu produktivitas. Saya merasakan hal ini. Dulu per hari mampu lahir 2-‐3 artikel untuk koran. Saat teman pergi kuliah adalah waktu favorit saya. Saya bisa menggunakan komputernya sepuasnya. Saya bersyukur memiliki teman-‐teman yang mendukung hobi sekaligus pekerjaan saya. Saking terbiasanya meminjam komputer teman di kamarnya, kepemilikan sendiri sepertinya tidak lagi penting.
Pun saat saya harus beraktivitas mobil, seorang teman meminjamkan laptop keluarganya. Dipinjam berhari-‐hari, yang akhirnya sekitar 365 hari lebih bersemayam di kamar kos saya kala itu. Laptop jadul yang sayang bila dianggurkan akhirnya menjadi teman menulis saya. Kendati tua, untuk seorang penulis cukup fasilitas pengolah kata. Gratiskan pun takmasalah.
Hari ini komputer pribadi (PC) sudah tergantikan laptop; laptop belakangan disaingi keras tablet. Belum lagi keberadaan phablet, gabungan tablet yang juga berfungsi sebagai handphone. Di mana-‐mana kita dapati penggunaan peranti canggih ini. Bahkan eksistensi pemiliknya dengan mudah ditandai dari soal gadget. Masalahnya, apakah ini secara otomatis melahirkan banyak tulisan?
Untuk menulis di media sosial, jelas iya. Tapi untuk menulis dalam artian untuk literasi, sayangnya belum. Gadget oleh para pengguna di tanah air kita, umumnya, dipakai untuk sebuah aktivitas hiburan. Beberapa memang sudah menjadikannya teman bekerja. Penulis yang menuangkan gagasan di tablet sudah hal jamak.
Kendati mendapatkan peranti canggih itu kian mudah, kemudahan yang ada mestinya bisa disyukuri sebagai momentum untuk giat menulis. Tidak adanya peranti canggih seperti laptop atau tablet, bukan kiamat bagi seorang calon penulis. Di mana pun ia beride, ia bisa segera mengeluarkannya sebagai tulisan tanpa harus menunggu tiba-‐tiba hadirnya laptop atau tablet.
Di zaman modern serba mudah sekarang, masih ada beberapa penulis senior (dan berumur) masih setia dengan mesin tik. Ini bukan soal tidak bisa beradaptasi dengan zaman. Apalagi soal kemampuan membeli. Tidak ada kaitan sama sekali. Ini lebih soal kebiasaan dan kenyamanan menikmati aktivitas menulis. Romantika juga jadi alasan kesekian yang sayang ditepikan. Bagi kita yang seperti mati gaya dan kreativitas dengan mesin tik, bagi mereka malah sebaliknya. Bunyi berlarian huruf di mesin tik menerbitkan keasyikan dan imajinasi tersendiri.
Tanpa laptop atau tablet, kita tetap bisa berkarya. Dengan PC butut murahan pun kita bisa melahirkan karya besar. Soal mobil dalam menulis, bila tanpa peranti seperti laptop atau tablet, buku tulis layaknya anaknya sekolahan menengah masih bisa jadi teman setia. Pokoknya, tidak menunggu fasilitas ada lebih dulu. Bahkan, keberadaan peranti canggih dan terbaru kerap melenakan aktivitas menulis. Bukannya berkarya, malah asyik mencobai fitur demi fitur yang ada. []
Menyambut Impitan Ekonomi
Keterpaksaan memang sering membuat seseorang serius berubah atau mengubah nasib diri. Seorang teman, karena lilitan kebutuhan sehari-‐hari, juga membanting setir menjadi penulis. Sebuah pilihan yang terasa ganjil karena tidak lazim.
Tapi inilah sisi positifnya. Dua buku seputar Android dihasilkannya. Pengalaman bekerja di penerbitan sebagai pemasar daring sedikit banyak membuatnya tergerak untuk membuat buku. Karyanya tidak diterbitkan kantornya, melainkan sebuah penerbit khusus komputer di Ibu Kota. Sebuah penerbit besar dan terpandang.
Lama tidak terdengar kabarnya, meski kami satu kota, saya menduga teman saya menekuni sistem operasi bermaskot robot hijau tersebut. Sebagai seorang autodidak, dia sepertinya tidak hanya ingin sebatas berkenalan. Ilmu yang didapat dituliskan dan dibukukannya. Sebuah pilihan yang tidak terduga oleh kami, teman-‐temannya. Padahal, setahu saya, interaksi dekat ia dengan hal berbau ponsel adalah saat dirinya menjadi penjual peranti komunikasi ini melalui internet.
Keadaanlah yang membuatnya harus berubah. Walau mungkin royalti dari menulis belum bisa menutupi kebutuhan hidup bulanannya, paling tidak keberaniannya menjadi penulis buku sebuah kejutan. Ada asa untuk terus menghidupi optimisme diri. Ini yang penting. Seberat apa pun kondisi perekonomian, paling tidak ada pemacu untuk terus berkarya. Satu karya hadir, karya berikutnya muncul. Paling tidak ini buktinya.
Kenal pertama dengannya, saya menganggapnya mahasiswa biasa saja. Bukan aktivis, bukan pula tipe mahasiswa berprestasi secara akademis. Tapi, keinginannya untuk belajar menulis sebuah hal menarik. Tidak sampai tidak kali penolakan oleh redaksi, tulisannya dimuat di koran lokal. Dari pemuatan pertama ini kemauannya untuk menulis artikel di koran bergulir kuat.
Sempat terhenti menulis karena ada badai perekonomian keluarga, yang juga membuatnya tidak menamatkan kuliah, ia pun bekerja membantu sang kakak. Sampai kemudian ia mengelola bisnis ponsel, yang tampaknya tidak begitu memuaskan hasilnya. Menjadi staf yang berhubungan dengan internet di kantor penerbitan membuka wawasannya seputar literasi. Dan ini seperti kembali memutar kenangannya saat belajar menulis pertama bersama saya.
Tentu saja kali ini ia sudah tidak lagi kaku. Ia bisa merangkai kata-‐kata agar enak dibaca. Lantaran mengulas hal teknis, tentu ia harus mampu menyajikan bahasa dan bahasan yang memudahkan di karyanya.
Impitan sehari-‐hari sungguh unik. Dulu saya produktif menulis artikel di media dengan motivasi untuk menghidupi sehari-‐hari. Masa itu, sehari bisa lahir 2-‐3 artikel. Ini belum apa-‐apa dibandingkan seorang kenalan yang bisa dua kali lipat per hari. Bagaimana bisa? Karena pikiran kami terfokus ke sana. Lain halnya dengan mahasiswa yang sembari mengisi waktu kosong saja menulis di koran. Demikian halnya dengan teman saya tersebut di atas. Ia terdorong tuntutan hidup sehingga bisa fokus. Keterbatasan yang ada terkalahkan oleh kekuatan fokus. Dan fokus ini mampu terjaga karena ada motif ekonomi yang kuat.
Pantang meminta-‐minta, mau tidak mau harus ada kepulan di dapur. Bila tidak, potensi berutang tinggi. Maka, keinginan kuat menulis pun hadir. Beberapa penulis buku yang saya kenal juga mengalami hal demikian. Tuntutan bekerja membuatnya fokus. Tidak ada kesempatan untuk berleha-‐leha di tengah impitan ekonomi. Apalagi saat sudah berkeluarga, ada tanggung jawab lebih besar.
Meski perekonomian masih belum mencukupi, hebatnya kefokusan itu tidak kemudian menjadikan pelakunya “menjual diri”. Mereka tetap menulis yang sesuai keyakinannya. Sungguh ini sebuah putusan yang tidak mudah. Ada tawaran menulis tema ini, tapi kita tidak suka. Atau tema tertentu dengan arahan harus begini dan begitu ujung kesimpulan
tulisannya. Padahal, kita berbeda pendapat. Di tengah pertarungan batin antara kebutuhan dan kesempatan, pilihan untuk tetap di rel idealisme sungguh tidak mudah.
Bisa dimengerti yang lebih aman dipilih adalah membanting ke ranah yang aman. Alih-‐alih menulis sesuatu yang membuat batin mendidih lantaran berkhianat, menulis tema asing tapi aman lebih layak dilakoni. Menghindari kontroversi politik, mengambil seputar hobi bisa jadi pilihan. Sepi perbincangan, memang, tapi paling tidak risiko batin terimpit tiada. Menulis seputar komputer sementara kita sebenarnya mahir mengulas soal politik. Karena demi aman, cara ini bisa dilakukan ketimbang berhenti menulis sama sekali (gara-‐gara takut terbeli) atau menulis tapi sudah melacurkan diri.
Saya berharap, teman saya itu memang benar-‐benar mencintai Android sehingga ia memfokuskan diri mengulasnya. Jadi, bukan karena sebuah pelarian tema tulisan. []
Mengharuskan Berdalil
Lain lagi alasan sebagian orang yang enggan menulis. Bukan karena tiadanya ide. Bukan juga karena tiadanya bakat. Tapi, ujar si penuturnya, mereka merasa tidak punya kemampuan berdalil. Mereka takut berdosa menulis sembarang kata apabila tanpa dasar dari kitab suci.
Menulis sepertinya kegiatan sakral yang setara peribadatan. Semua harus ada dalil. Bila menyangkut hukum, alasan ini bisa diterima. Halal dan haram sesuatu diputuskan dengan dalil, begitu pula tatkala dibukukan. Lantas bagaimana bila tulisannya itu sebatas perjalanan berwisata? Atau sekadar pengalaman studi di luar negeri? Apakah harus ada dalil kitab suci di dalamnya?
Alasan harusnya ada dalil sering saya dapati dari beberapa kalangan yang potensial berbagi ide kepada orang lain. Tinggal dan bersama komunitas keagamaan puritan mengharuskan mereka berdalil setiap bertindak. Ini tidak jadi soal selagi menyangkut peribadatan. Karena setiap ibadat harus berdalil saat ditunaikan.
Sayang, pengharusan semacam itu terbawa juga ketika mereka diminta menuliskan pengalaman yang tidak ada keharusan berdalil. Malah menjadi lucu ketika tulisan seputar kuliner dipaksakan ada dalil ayat kitab suci. Dari sini keengganan menulis pada para calon potensial menjadi tidak mendasar.
Untuk tulisan menyangkut hukum, keharusan berdalil tidak perlu dipersoalkan. Bagi yang merasa mengharuskan berdalil untuk tulisan di luar hukum, ada baiknya memulai menulis dari soal yang secara hati nurani tidak ada dosa dengan tiadanya dalil. Ambil contoh soal pengalaman sehari-‐hari. Bila suasana hati masih belum terbiasa untuk tidak mengharuskan diri, segera saja ambil beberapa karya tokoh anutan. Simak dengan jeli, adakah keharusan berdalil di setiap tulisan mereka?
Kalau masih belum mantap dan masih mengharuskan adanya dalil, baiknya selesaikan dulu tulisan seputar pengalaman diri. Seusai itu baru masukkan dalil yang relevan dengan pengalaman. Katakanlah sebagai penguat atau penegas dari pengalaman kita. Selain pelajaran dari pengalaman kita, ada peneguh hati dari ayat kitab suci atau sabda Sang Nabi.
Mengharuskan ada dalil sebenarnya tidak masalah. Yang terpenting menyelesaikan tulisan terlebih dulu. Lebih baik begini ketimbang sebatas menghukumi diri untuk harus berdalil, tapi ternyata tidak ada kemauan keras untuk menuangkan gagasan atau pengalaman di atas kertas atau layar laptop.
Menulis diari yang berisikan pengalaman sehari-‐hari bisa menjadi sarana kalangan yang mengharuskan adanya dalil di setiap tulisan. Diari dan dalil menjadi satu, dan inilah jalan tengah memegang pendapat diri sekaligus tetap aktif beraktualisasi. Jadi, alih-‐alih berdiam dan menggerutu lemahnya diri lantaran tidak paham atau takada kuasa berdalil, lebih baik memulai membangun keyakinan bahwa menulis adalah sebuah sedekah. Ya, mulai dari menulis kisah nyata dari kejadian sehari-‐hari dengan menyajikan pelajaran berharga di dalamnya. Ada dalil, syukur; tanpa pun tidak jadi soal. []
Mengelabui Mata
“Saya kalau menulis hanya bisa dua lembar saja, Ustad.”
Laki-‐laki itu mengeluhkan kemampuannya yang tidak sehebat ketika dirinya di atas mimbar. Ia, seorang kader di Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM), membandingkan saat dirinya berkhotbah atau berceramah dengan menulis.
Ia, akuinya, mampu berbicara berjam-‐jam. Tapi, saat diminta oleh organisasi untuk menuliskan materi ceramahnya, ia hanya bisa sampai dua lembar. Tidak pernah lebih dari itu.
“Dai dua lembar” itu menarik perhatian saya. Saya yang diamanahi mengampu materi kepenulisan di PUTM pada almanak 2001 itu menaruh asa pada kepedulian Muhammadiyah dalam soal kemampuan menulis para dainya. Dai Muhammadiyah masa awal 2000-‐an tidak hanya ditarget piawai di podium, tapi juga jago menulis. Antara yang dibicarakan dan dituliskan bukan sesuatu yang terpisah.
Mengasah kemampuan para dai yang terbiasa bicara untuk kemudian mahir menulis memang tidak semudah membalik telapak tangan. Bukan mustahil sebenarnya atas perubahan. Nah, yang butuh perjuangan adalah mengubah mindset. Itulah yang saya lakukan kemudian pada sang dai yang bersua dengan saya empat mata di kantor.
“Ustad tuliskan saja dengan semua marjin 4 cm. Spasi 2, Arial ukuran 14.”
Saran itu saya berikan pada sang dai. Saya berharap ia tidak menangkap taktik “licin” saya. Saya tidak yakin ia tidak mampu menuntaskan tulisan melebihi dua lembar.
Sepekan kemudian, dai tersebut datang ke ruangan yang sama. Kali ini wajahnya semringah. Ia menunjukkan tugasnya. Sebuah artikel dengan jumlah halaman...empat! Berhasil!
Bila dikonversikan dengan kebiasaan format ia menulis, empat halaman itu melebihi biasanya kok. Jadi, pelajaran pentingnya adalah harus ada perlawanan kuat mendobrak penjara di kepala bahwa kita hanya bisa sekian halaman saja. Tidak pernah bisa menulis melebihi sekian halaman.
Yang dialami dai tadi pun demikian. Awalnya ia belajar menulis tidak peduli berapa halaman. Lama-‐kelamaan ia terbiasa dengan dua halaman. Dua halaman ini dianggap sebagai batas maksimal kemampuannya. Sekeras apa pun ia menulis, pastilah jadinya hanya dua lembar. Kalau belum tercapai, ia mengharuskan dua lembar. Kalau dua lembar itu tercapai, herannya, ia merasa sudah klimaks.
Penjara di pikiran kita, dengan demikian, butuh diledakkan dengan “dinamit” yang berbeda. Bukan kalimat motivasi belaka. Harus ada aksi nyata yang praktis. Marjin 2 cm hanya memenjara, maka ganti 4 atau bahkan 6 cm. Ramping tapi membuat otak kita segar. Times New Roman membuat sedikit kata? Siasati dengan Arial atau huruf berukuran besar pula. Intinya, buat gebrakan yang membuat mata ini terangsang.
Perbedaan yang tampak di layar laptop membuat kita antusias. Tidak seperti kebiasaan selama ini! Menjadi berbeda dari rutinitas yang dipandang batas maksimal kemampuan kita.
Seperti dai Muhammadiyah di atas, ia hanya terperosok pada prasangka yang dianggapnya kesimpulan akhir. Ia sungguh berbakat menuangkan banyak pengalaman dalam berlembar-‐lembar halaman. Vonis kejam dari otaknyalah yang membuatnya yakin ia hanya mampu dua lembar kala menulis. Bahkan, bila ada suara batin ingin lebih dari dua lembar, sepertinya dianggap tabu.
Cara yang saya berikan tentu bisa dimodifikasi oleh setiap kita. Intinya, buat kejutan untuk diri kita sendiri. Kalau kertas kuarto dirasa panjang, buat halaman yang lebih pendek. Halaman pendek membuat kita bergairah menulis. Lain dengan halaman panjang ditambah marjin sempit, rasanya diri ini tersiksa; aduhai kenapa belum jua berpindah halaman?
Itu hanya pantikan dari saya, yang alhamdulillah ada efeknya pada sang dai dalam tulisan ini. bagaimana dengan Anda? Ada cara radikal mengelabui mata ini? []
Saat Motivator Menulis
Teman saya seorang motivator. Ia sering diundang di mana-‐mana. Dari mulai level sekolah hingga perusahaan asing di ujung timur Indonesia. Salah satu amunisi yang dia bawa saat memberikan pelatihan adalah cakram keras (CD) yang bisa didapatkan peserta. Buku?
Berbeda dengan teman motivator lainnya, teman saya itu belum berkarya. Katanya, lebih mudah berbicara ketimbang menulis. Dan ini, katanya, gejala di banyak motivator. Motivator itu amat banyak. Tapi, motivator sekaligus mampu menulis buku, itu lebih sedikit.
Sadar akan besarnya peluang menulis buku dari sekian banyak pengalaman sebagai motivator, sang teman pun berminat menulis. Karena terbiasa dengan lisan dan sekadar garis umum di PowerPoint, menuangkan pikiran dan pengalaman diri dalam wujud tulisan bukan pekerjaan mudah. Tapi, hasrat hadirnya buku tetap tinggi. Bahkan terus meninggi. Dipilihlah jalan praktis: mengajak penulis bayangan (ghost writer).
Gagasan utama dan sebagian data berasal dari dirinya, sisanya dikembangkan oleh penulis bayangan. Maka, jadilah beberapa buku yang mencantumkan namanya beserta sang penulis bayangan. Bersyukur ia masih waras, dalam arti tidak serakah hendak menendang pihak yang berjasa padanya. Kita lihat, banyak penulis bayangan yang sebenarnya amat berandil dibandingkan pemilik idenya (yang biasanya tokoh atau sosok yang beken), namun sayang namanya tidak dicantumkan di sampul. Bahkan sekadar menyebutkan namanya sekali saja di isi buku, tidak dilakukan.
Teman saya tidak melakukan hal ini. Ia hanya ingin namanya di depan pun sebatas untuk pemasaran. Bila nama penulis sebenarnya diletakkan di depan namanya, pembaca bisa kurang berminat. Lain halnya bila namanya yang ditaruh di awal. Dan terbukti ucapannya ini di lapangan.
Setiap membaca buku karyanya (bersama penulis bayangan), peserta pelatihan berebut membelinya. Saya menghargai upayanya untuk berkarya menulis kendati dengan menggunakan jasa orang lain. “Keterbatasan” kemampuan menulis dan kesibukannya beraktivitas menjadi argumentasinya. Tapi saya masih lebih salut kepada para motivator atau tokoh yang menyempatkan diri menuliskan buah pikiran dan/atau pengalamannya sendiri. Dengan tangan sendiri. Dengan jemari sendiri di laptop atau mesin ketik. Bukan dengan tangan orang lain, kecuali sang tokoh (maaf) cacat tangan.
Akan berbeda karya yang dihasilkan sendiri dari pengalaman langsung diri, dengan karya yang dibuat orang lain meski dalam pengawasan kita. Barangkali pangkalnya bukan pada kemampuan dan kesibukan. Bila ini sebabnya, mengapa banyak motivator dan tokoh yang jauh lebih sibuk mampu menyempatkan diri? Kalau bicara kemampuan, bukankah sekadar bercerita pengalaman peserta pelatihan lebih mudah dilakukan? Orang akan lebih muda menuliskan cerita daripada pemikiran serius. Ditambah lagi bisa saja dengan sekadar berbicara dan merekam di peranti pendukung, barulah si asisten yang mentranskripnya. Teknik menulis bergaya bicara akan jauh lebih terhormat ketimbang meminta jasa penulis bayangan. Sebab, ada upaya untuk mandiri. Ada ikhtiar untuk berupaya maksimal tampil sebagai dirinya sendiri.
Seorang dai terkemuka kerap membuat buku saku belasan halaman. Sebuah materi ceramah yang dibukukan tepatnya. Tidak mengapa, karena dari cara seperti ini sang dai beranjak membuat tulisan yang lebih panjang dan bukan hasil transkrip. Di sini si tokoh memberikan teladan. Teladan menjaga gagasannya. Sebab, bagaimanapun juga, memindahkan pikiran kita dengan tangan orang lain tidak selalu berhasil. Ada rekaman hati yang sukar ditransformasikan bila bukan pelakunya langsung.
Belum soal kebahasaan. Bahasa lisan dan tulisan yang sama akan menguatkan identitas diri si motivator. Berbeda bila bahasa lisan dan
tulisan di buku, pembaca pun menerka-‐nerka. Integritas kita jadi taruhan, terutama ketika nama penulis bayangannya ditiadakan. Pembaca tahu persis bahasa tulisan itu bukan ciri kita.
Jadi, sudah saatnya para motivator ataupun tokoh menuangkan gagasannya sendiri. Ia cukup merekamkan isi pembicaraannya dan sisanya dikerjakan sang asisten. Alur berpikir dalam tulisan itu sama dengan apa yang direkamnya. Dengan cara ini lambat laun akan ada peningkatan. Insya Allah. Terutama bila si pelakunya mau menyeriusi kuat. []
Memperbanyak Daftar Pustaka
Entah sejak kapan muncul keharusan bahwa menulis itu butuh daftar pustaka yang banyak. Soal banyak memang relatif jumlahnya. Yang jelas, mahasiswa tingkat sarjana tahu ketika makalahnya hanya mencantumkan empat referensi maka dianggapnya kurang mantap keilmiahannya. Muncul pertanyaan kedua: sejak kapan keilmiahan diukur dengan banyaknya sumber kutipan?
Yang kadung berlaku, semakin banyak daftar pustaka maka semakin baik dan bobot ilmiahnya meningkat. Bahwa dengan kayanya bacaan, analisis pembuat juga kaya, ini benar. Kaya bacaan tentu sering sebanding dengan banyaknya bacaan. Masalahnya, banyaknya buku itu apakah pasti dibaca oleh pembuat karya tulis? Jangan-‐jangan sebatas menyeruakkan gengsi bagi si pembuatnya. Karya tulis yang mencantumkan berlembar-‐lembar buku rujukan (apatah lagi banyak yang berbahasa asing) dianggap lebih prestise daripada yang menggunakan enam buku saja.
Muncullah pengharusan diri untuk mengikuti “aturan main” yang kadung diterima buta itu. Mahasiswa malu bukan kepalang bila sumber rujukan skripsinya hanya separuh halaman kuarto, alias satu lembar halaman pun tidak sampai. Semakin tinggi strata perkuliahan semakin tinggi “ilmu” gengsinya. Masak iya tesis kok hanya satu setengah halaman daftar pustakanya? Disertasi kok sebatas dua halaman tok?
Sudah menjadi rahasia bersama, banyaknya buku di daftar pustaka sekadar gagah-‐gagahan. Ya, biar menambah jumlah halaman saja. Perkara dibaca, ala kadar saja. Kalau mau dikutip, seperlunya saja. Mentalitas semacam inilah yang menjadi penghambat berlahirannya penulis otentik. Seolah menulis harus memiliki sekian puluh bacaan lebih dulu.
Menulis itu beraneka rupa ranahnya. Bila untuk keperluan riset atau akademis, sudah tentu banyaknya bacaan sudah tidak perlu
disangsikan. Banyaknya bacaan kudu ditamatkan segera. Namanya juga penelitian. Lain halnya dengan tulisan yang lebih populer, semisal perenungan atau pengembangan diri dari kejadian sehari-‐hari. Pasti setiap kita punya pengalaman unik dan berharga.
Kita tidak perlu membaca buku lain lebih dulu agar tulisan kita jadi. Yang menggumpal dan menggunung di kepala dan hati kita dikeluarkan saja terlebih dulu. Buku memperkaya khazanah kita sembari jalan. Baiknya memang berjalan beriring. Hanya kita realistis, masyarakat kiat tidak seluruhnya terbiasa dengan tradisi membaca buku. Literasi bisa ditingkatkan tanpa harus menapaki fase rajin baca lebih dulu.
Mendorong mereka menuliskan pengalaman berharganya bisa jadi pintu masuk mengenalkan literasi. Sudah tentu membaca dan menulis itu satu kesatuan; tidak bisa mengisolasi diri satu sama lain. Tinggal yang perlu dilalui pertama apa dulu (apakah membaca atau menulis), tiap orang punya jalur masing-‐masing. Yang kaya bacaan, baiknya tuangkan hasil renungan dari membacanya. Jangan sampai, banyaknya bacaan dibiarkan begitu saja bersemayam di hutan pikiran. Perenungan tinggal perenungan tanpa ada penuangan tulisan. Sungguh sayang kita banyak diberi asupan bergizi tapi tidak ada kemauan mengekskresikannya.
Yang kaya pengalaman praktis sehari-‐hari dan agak malas membaca, tidak mengapa bila menuliskan pengalaman menjadi aktivitas rutin. Pada masanya akan terasa menulis tanpa membaca buku memang terasa kering. Ini fitrah. Tulisan menjadi hambar bila tidak ada pengayaan dari membaca, khususnya membaca berkualitas sarat perenungan. Karena menulis merupakan keluaran, bagaimanapun ia butuh asupan. Dan asupan itu tidak lain membaca. Pengalaman praktis sehari-‐hari memang bisa, tapi belum genap tanpa membaca buku. Sama halnya membaca buku saja tanpa menggali pengalaman praktis, jelas juga rentan aksi nyatanya.
Kembali ke soal referensi. Di sini tidak ada pentingnya banyak buku dengan lahirnya sebuah karya. Ide pribadi itu lebih butuh diprioritaskan.
Setelah tuntas, barulah memasukkan gagasan orang sebagai pemerkaya. Tulisan kita berkembang, dan saat yang sama bisa berdialog dengan karya orang. Namanya juga berdialog, tidak boleh ada keharusan kita dengan banyak orang. Sebatas beberapa orang melalui karyanya, kita sudah dianggap berdialog. Sedikit karya terkutip tapi dibahas dengan tuntas dan gamblang jauh lebih baik daripada sekadar gaya-‐gayaan banyak catatan kaki dan daftar pustaka namun ternyata semua ini hanya gincu karya ilmiah.
Dengan demikian, pertama: pentingkan ide Anda. Percaya dirilah, dan jangan terlampau sibuk memikirkan dengan banyaknya kutipan dan sumber bacaan. Kedua, fungsi buku bacaan kembalikan ke fungsi asalnya, yakni sebagai penguat atau penyanding gagasan kita. Bukan sebagai pembangun tulisan kita. Kita perbanyak karya kutipan agar tulisan kita banyak, tapi sejatinya rapuh. Tulisan kita hanya kompilasi dari banyak referensi! Ketiga, mulai dari pengalaman praktis tidak masalah. Pada gilirannya akan butuh permaknaan melalui bacaan tekstual. Ini, sekali lagi, fitrah hausnya orang mencari ilmu. Berbeda dengan yang mencari bacaan semata demi menaikkan gengsi tulisan.
Omong-‐omong, suka menebari karya tulisnya dengan deretan buku, terutama buku berbahasa asing, apakah cuma terjadi di dunia akademis Indonesia ya? []
Karya Tanpa Kutipan
Untuk menuangkan gagasan, haruskah menggunakan kutipan pendapat orang lain? Berdosakah bila tidak ada kutipan orang lain dalam karya tulisan kita?
Saya yakin, para mahasiswa sudah tahu jawabannya. Kalau untuk makalah, skripsi, tesis, disertasi, kutipan penting. Pentingnya di sini karena kita tidak bisa berdiri sendiri dalam mengonstruksi gagasan atau temuan. Pasti ada khazanah yang pernah dihasilkan atau disinggung orang lain. Mengutip pendapat, pustaka, atau penelitian orang lain menunjukkan kerja intelektual kita merupakan bagian dari pengembangan, pelanjutan, atau kritik pengetahuan yang sudah ada.
Mengutip, sederhananya, bentuk kerendahhatian seorang penulis bahwa dirinya tidak terisolasi dalam kerja-‐kerja pengetahuan. Ada kesinambungan, baik disengaja ataupun tidak, dengan yang diperbuat penulis lain. Di sinilah arti penting keilmiahan kerja penulis.
Berbeda dengan penulisan ilmiah akademis, penulisan populer tidak selalu harus berkutipan. Catatan harian masak harus mengutip? Tulisan soal perjalanan dan kesan menikmati satu destinasi wisata masak harus ada kutipan di dalamnya?
Dalam tulisan populer bukan untuk keperluan akademis, kutipan sering sebagai bumbu penyedap. Kreativitas isi yang hendak disampaikan dan kemahiran berbahasalah yang penting. Esai ambil contoh. Mengapa mengharuskan diri penuh dengan kutipan? Cukuplah kebodohan kita menikmati sebuah esai pekanan di sebuah majalah ternama yang penulisnya hanya menyajikan ringkasan buku demi buku agar tampak gagah!
Persoalan sebagian calon penulis adalah pada ketakutan dalam urusan kutipan ini. Seolah kutipan itu wajib, dan tidak bisa ditawar lagi keberadaannya. Ia lupa, mana kutipan yang mestinya ada, dan mana
yang tidak perlu atau penting. Gara-‐gara kutipan, ia ogah menulis. Takut tidak ilmiah. Takut tidak argumentatif. Padahal, idenya amat menarik dan unik.
Saya takut, pengharusan adanya kutipan dalam karya tulis hanya bentuk lain keterjajahan kita pada teks. Ini jangan-‐jangan bagian dari keminderan poskolonialisme. Lihat saja banyak sarjana Nusantara merasa masih kurang gengsi bila belum mengutip karya orang bule. Masih minder bila mengandalkan kutipan penulis lokal.
Ide dan argumentasi sesungguhnya yang penting. Mau mengusulkan apa? Mengapa dan bagaimana atas usulan ini? Nah, silakan pertahankan dalam tulisan kita. Kalau memang gagasan kita berinteraksi dengan ide orang lain, segera kutip pendapatnya. Bila memang pendapat kita elaborasi dari banyak pustaka, lekas jadikan kutipan. Semua kutipan ini memang lantaran perlu dan penting; bukan soal gengsi. Demi tidak disebut tidak ilmiah, kutipan ditebarkan. Padahal, ia hanya gincu dari tulisan kita.
Jadi, bila Anda ingin beride, tuliskan saja. Uji argumentasi Anda sendiri. Pustaka dan penelitian orang adalah pembanding yang baik. Di sini letak berinteraksi dengan teks di luar pikiran kita. Yang terpenting tetap saja ide awal dari kita sendiri. Gali dan gali ide itu hingga jadi sesuatu yang berarti dan matang melalui penempaan bersama ide orang lain.
Untuk menulis sendiri, jauh lebih penting keberanian beride dan berargumen. Bukanlah yang dibutuhkan itu keberanian mengutip. Mengutip bahkan cenderung menandai kita minder ketika dijadikan patokan keharusan sebelum menulis. Menulis tanpa kutipan tidaklah berdosa. Yang berdosa, kita menulis dengan mengambil ide orang lain, tapi tidak disebutkan sebagai catatan kaki atau kutipan langsung dalam teks.
Untuk itu, mulai sekarang ketika ada pengamatan atau pengalaman yang menarik hati, segera duduk di depan laptop. Mulailah mengetik
untuk menuangkan gagasan. Racik ide dan bahasa kita dengan baik, ini saja dulu. Abaikan urusan mengharuskan diri dengan adanya kutipan. Karena menulis tanpa adanya kutipan bukan pula sebuah kehinaan. Dengan catatan, bukan untuk takabur; takmau mengutip semata demi gengsi: agar ia dianggap bisa segalanya. []
Menjaga Kejujuran
Mata saya terbelalak. Sekian kali membolak-‐balikkan naskah terjemah Bulughul Maram oleh tim dari Bandung nyaris tidak ada ruang untuk membelanya bersih dari plagiat. Di layar komputer saya terpampang anteng aplikasi berupa terjemah kitab yang sama karya Ibnu Hajar al-‐‘Asqalani tersebut. Persis, plek, titik dan komanya!
Padahal, aplikasi terjemah itu dibuat lebih lama bila ditilik dari tanggal pembuatannya. Ada selisih setahun lebih dengan naskah yang kemudian saya periksa. Nama anggota tim penerjemahnya berbeda dengan penerjemah di aplikasi itu. Karya sama tapi dari nama-‐nama berbeda, amat mencurigakan! Pasti salah satu yang benar, yang artinya sisanya mencuri. Tidak mungkin karya terjemah presisi 99,99%! Diksi hingga titik komanya sama persis. Bahkan kesalahan kata pun sama! Dahsyat kasus plagiat ini.
Yang saya lakukan tentu mengecek pihak yang belakangan berkarya. Dalam hal ini pihak yang naskahnya di tangan saya. Asumsinya, aplikasi terjemah Bulughul Maram sudah edar lebih dulu dan sudah jadi konsumsi publik. Sejauh yang saya ketahui belum ada komplain. Nah, bila ada tiba-‐tiba yang sama persis dengan aplikasi ini, pihak yang belakangan yang kudu disigi mekanisme kerjanya.
Dari interogasi ke tim penerjemah tersebut, melalui koordinator penghubungnya, mereka sontak menolak tudingan saya. Ia juga tidak mengenal penerjemah di aplikasi yang disangkakan sumber berplagiat. Saya harus berkali-‐kali meminta dan mendesak mereka untuk jujur mengakui sebenarnya. Kata kontak yang sama, terjemah dikerjakan terpisah. Lebih aneh lagi bila demikian. Terpisah pengerjaannya tapi hasilnya plek sama dengan aplikasi yang beredar di internet.
Karena masih keukeuh tidak merasa memplagiat, saya menganggap kasus ini cukup sampai di sini. Terlampau panjang untuk urusan hukum formal. Putusan saya jelas: mereka tidak bisa dipercaya lagi. Kerja
mereka tidak boleh sama sekali dipakai, baik atas nama tim ataupun perseorangan. Mereka cacat integritas.
Adakah kemungkinan malah si pembuat aplikasi itu yang berbuat nakal? Boleh jadi, misalnya, terjemah itu memang sebenarnya milik tim penerjemah dari Bandung. Entah bagaimana, si pembuat aplikasi dari kota berbeda mendapatkan file itu dan mendakuinya. Sayangnya, klarifikasi ke pembuat aplikasi belum kunjung tiba meski kejadiannya sudah bertahun-‐tahun lalu saat saya masih orang kantoran. Yang jelas, nama pembuatnya saya yakin bukan nama fiktif karena di situ jelas bagian dari pertanggungjawabannya.
Kasus yang sama persis saya dapati pada teman saya. Posisi teman saya sebagai korban. Ia seorang penulis sekaligus dai. Sebuah tulisannya, entah bagaimana ceritanya, ada yang mendaku. Pendakunya juga seorang motivator dan juga dai. Tulisan teman saya plek dikutip persis tanpa mengakui sebagai karya orang lain. Saat dikonfirmasi soal alinea yang membahas karya Ibnu Katsir, dengan enteng dijawabnya sebagai penafsiran dirinya terhadap karya sang mufasir ternama itu.
Mana ada penafsiran dua orang sama persis kalimatnya, bahkan tanda bacanya sekalipun? Dan sang dai tersangka plagiat itu pun abai fatal bahwa teman saya bukan menafsirkan penjelasan Ibnu Katsir soal tafsirnya, melainkan dari karya yang lain yakni seputar sejarah (Al-‐Bidayah wa an-‐Nihayah). Pembaca yang mengerti perbedaan isi karya Ibnu Tafsir pasti menertawai jawaban sang dai yang berbuat takelok itu.
Menjaga kejujuran itu penting. Mengutip tapi enggan mengakui karya orang itu satu tindakan nista. Dalam Islam, soal kejujuran menulis ilmiah sudah sering dipraktikkan. Kalau ada dai atau orang paham ilmu agama (Islam) yang hari ini lalai soal etika mengutip, sungguh pantaslah kita peringatkan. Bukan karena kecerobohan, melainkan karena dustanya. Tidak perlu gengsi mengakui kutipan cantik kita milik saudara seiman. Di hadapan pengikut setia, mengakui semacam ini malah sebuah kemuliaan. []
Plagiat Bodoh, Plagiat Kriminal
Baru beberapa hari mengkhatamkan buku pengembangan diri karya seorang petinggi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), saya dibuat tersentak bukan kepalang. Naskah yang di hadapan saya begitu memaksa saya untuk tidak dulu berprasangka. Namun, masih terngiangnya kata-‐kata di buku pengembangan diri itu membuat saya sukar untuk menepiskan bahwa saya sedang bersua dengan karya jiplakannya.
Berkali-‐kali saya dapati alinea yang sama persis. Tidak ada yang diubah sama sekali! Semangat si penulis dan petinggi dari ICMI begitu kuat untuk saya abaikan. Adapun karya yang saya sunting, saya anggap terlampau hebat mampu dibuat oleh si penulisnya.
Kendati demikian, dengan tetap berasaskan prasangka baik, saya harus mengambil buku aslinya. Dan akhirnya.... benar adanya bahwa alinea yang saya temui di banyak halaman di naskah pekerjaan saya rupanya hasil kulakan dari buku petinggi ICMI. Luar biasa! Kulakan yang tidak tanggung-‐tanggung, berhalaman-‐halaman.
Bila saja si pengirim naskah itu menyebutkan sumber kutipan, masalah sebenarnya nyaris selesai. Ya, selesai dari soal plagiarisme alias pembajakan karya intelektual orang. Kalau soal tulisan orang dipakai berlembar-‐lembar di karya kita namun dengan tetap menyebutkan sumbernya, perkaranya hanya soal orisinalitas ide kita. Sayangnya, dalam kasus yang saya temui tersebut, tidak satu pun buku petinggi ICMI itu tersebut. Bahaya!
Akhirnya, saya berbicara empat mata dengan penulisnya. Ia mengakui segala sangkaan saya. Ia merasa dalam penyebutan sumber kutipan itu tidak begitu perlu. Saya tidak habis pikir dari pendapat mana ia berpikiran demikian. Seorang penulis terkemuka yang disebutnya sering membuat kutipan dari buku tanpa menyebut sumber acuan juga saya koreksi. Si penulis dimaksud memang tidak membuat daftar bacaan di
akhir tulisan, tetapi menyebutkan langsung di kalimat atau alinea terkutip nama penulis beserta karyanya.
Soal kutipan memang pertaruhan integritas seorang penulis. Memakai ide atau data orang, bukanlah masalah selagi menyebutkan sumbernya. Sederhana saja sebenarnya. Hanya kadang ada rasa gengsi untuk sekadar menyebut asal sumber di tulisan kita. Ada asa agar pembaca menganggapnya kutipan itu hasil keras kita. Sudah tentu, pendakuan seperti ini kebohongan ke publik. Kita mencuri karya orang tapi mengakuinya sebagai milik kita.
Di sisi lain, harus diakui, terkadang plagiarisme itu tidak benar-‐benar disengaja. Pelakunya memang betul-‐betul tidak tahu bagaimana etika mengutip. Soal seperti ini paling mudah kalau mengoreksi hasil karya pelajar dan mahasiswa. Mahasiswa yang seharusnya sudah paham soal etika mengutip ternyata banyak yang luput. Sebagian dari pelaku (dalam kasus berbeda) yang saya interogasi menunjukkan ciri yang sama. Mereka tidak tahu kalau tindakan tidak menyebutkan sumber kutipan adalah sebuah kejahatan intelektual.
Untuk kasus plagiat tidak sengaja lebih mudah mengatasinya. Berikan kesempatan kedua kalinya ke sang penulis, lalu kita lihat bagaimana perubahannya. Kalau sudah berubah dan mengikuti etika semestinya, berarti ia sudah berada di jalur tepat. Kalau ia masih mengulangi, ya doakan lagi saja agar ia peka soal etika.
Plagiat-‐plagiat taksengaja, baik karena benar-‐benar lupa soal etika ataukah memang tidak tahu sama sekali, saya kategorikan tindakan bodoh. Kebodohan yang sementara tentunya. Banyak yang setelah diedukasi bagaimana seharusnya ternyata mau berubah dan merasa bersyukur.
Tetapi, ada jenis pelaku plagiarisme yang berbeda lagi. Ada plagiarisme kriminal. Pelakunya melakukan tindakan plagiat berulang-‐ulang. Bukan tidak tahu soal aturan mengutip. Bukan tidak mengerti bahwa
tindakannya sebuah kejahatan. Bahkan kadang mereka tidak perlu merasa perlu untuk mengakui karyanya adalah sebuah plagiat.
Seorang lelaki yang bergelut dalam bidang dakwah dan pengembangan diri membuat terhenyak teman saya. Tulisan si lelaki di catatan Facebook menuai banyak pujian. Yang jadi masalah, tulisan itu sama persis dengan milik teman saya yang dimuat di salah satu bukunya yang laris manis. Saat ada pembaca tulisan itu mengklarifikasi kemiripan, dengan mantap si penulisnya berkata, “Saya dan xxx (sahabat saya) mengambil dari referensi yang sama, dari tafsir (Al-‐Qur`an).” Sebuah jawaban yang sepintas logis dan tuntas.
Masalahnya, kita sukar mendapati sebuah tulisan hasil penafsiran yang isinya sama persis dengan karya penafsir lain. Apalagi belakangan diketahui bahwa bukan dari tafsir Al-‐Qur`anlah inspirasi dan sumber tulisan itu, melainkan kitab sejarah. Pas memang penulis yang dirujuk sama: Ibnu Katsir. Si tersangka plagiat menyebut tafsir karya Ibnu Katsir sebagai inspirasinya. Padahal, di kitab aslinya tidak ada, dan memang kata-‐kata yang disangkakan hasil plagiat itu merupakan kata-‐kata sendiri dari teman saya yang mendaras kitab lain Ibnu Katsir, yakni Al-‐Bidayah wa an-‐Nihayah.
Sayangnya, kasus terbantahkannya argumen lelaki itu justru tidak membuatnya kapok berulah. Reputasinya rela dipertaruhkan untuk mengulangi kasus kedua. Sebuah karya grafis milik orang lain juga didakuinya sebagai miliknya. Padahal, jelas-‐jelas tidak mungkin ada karya grafis dari orang berbeda menghasilkan karya yang detail goresannya plek sama! Nama pembuat karya yang ada di hasil asli dibuang dan digantikan nama lelaki yang kadung dianggap ustad itu.
Lelaki itu entah dengan dasar apa masih bersikeras mengakui dua kasus di atas bukan sebagai perbuatan kriminal dan berdosa. Ia sudah berbohong kepada pengikutnya soal tulisan nan elok tetapi hasil mencuri karya teman saya. Juga karya grafis yang diterainya dengan nama dirinya, yang ternyata hasil mencuri juga. Kedua korban mungkin
hanya bisa mengelus dada. Bukan karena hilangnya materi, tetapi punahnya kejujuran dari orang yang mestinya memberikan keteladanan soal kejujuran. []
Terperosok Akibat Kutipan
Banyak para motivator menyebutkan besarnya kekayaan Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat Nabi Muhammad. Kekayaan sang sahabat Nabi dan kemurahan hatinya membantu orang lain menjadi impian yang ingin dibangun para motivator di hadapan audiensinya. Bahwa dengan kekayaan, kita bisa lebih mudah berbagi dengan orang lain lebih bermanfaat.
Mengaitkan kekayaan dan kemurahhatian sebenarnya tidak memadai. Seakan untuk berbuat baik kita kudu kaya lebih dulu. Saya yakin, para motivator sebenarnya sadar akan hal ini. Mereka tentu paham, orang miskin pun bisa berbuat baik dengan apa yang dipunyainya. Bantuan tenaganya kepada orang lain misalnya.
Kutipan riwayat Abdurrahman bin Auf sering disampaikan juga dalam tulisan soal serupa. Motivasi mengembangkan diri bagi setiap insan yang hendak tidak diperbudak uang, katanya, adalah dengan meniru sang sahabat Nabi ini. Sayangnya, besaran kekayaan dan murah hatinya Abdurrahman tidak diikuti fakta berikutnya yang sesungguhnya penting diungkap. Saya yakin di benak audiensi pelatihan si motivator, yang terbayang soal kehidupan Abdurrahman adalah keglamoran dia. Hidup kaya raya, dengan tetap ringan tangan. Gemar bederma tapi tetap tidak meninggalkan ciri diri selaku orang kaya.
Padahal, dalam riwayat disebutkan, apabila Abdurrahman berkumpul dengan para pembantunya, niscaya kita sulit membedakan mana si tuan dan mana si suruhan. Artinya, hidup Abdurrahman sebenarnya tidak seperti yang kita bayangkan. Yang dari busana luar saja sudah tampak ciri orang kaya rayanya. Yang dari dandanan fisiknya sudah kelihatan aura pemilik banyak harta.
Rupanya tidak demikian yang terjadi. Dan para motivator, sayangnya, tidak meminta peserta pelatihannya untuk meniru hal kezuhudan seorang Abdurrahman bin Auf. Mereka hanya didorong keras untuk
menjadi pemilik banyak harta, tetapi abai bagaimana mengajarkan Abdurrahman sekadar secukupnya memanfaatkan harta.
Amat banyak sebenarnya perubahan konteks kutipan kisah atau kalimat motivasi dari kejadian sebenarnya. Bisa dilakukan sengaja dan sadar, yakni sekadar mengambil sisi tertentu yang sesuai alur pelatihannya. Bisa juga memang betul-‐betul tidak tahu. Mereka hanya menerima kisah itu apa adanya dari pelatihan lain atau seniornya, atau buku yang dibacanya.
Penulis buku juga demikian. Menjadi periwayat kisah atau penyebut kutipan yang tereduksi makna dan maksud sesungguhnya. Potongan kisah atau kutipan yang ada tampak berenergi. Barulah kita sadar kandungan dan maksud sesungguhnya setelah ada pembeberan fakta yang asli.
Bagi para penulis, mengambil kisah inspirasi hendaknya tidak abai pada konteks utuhnya. Jangan sampai sebuah perjalanan hidup dipotong bagian tertentu yang menguntungkan pandangan kita, sementara yang bertentangan dibuang jauh-‐jauh. “Kreativitas” macam ini lambat laun membuat kita jadi pembeo yang hanya memopulerkan gagasan parsial bahkan kadang menyesatkan. Sudah sering saya dapati beberapa rekan motivator mengutip kisah soal pentingnya ucapan positif kepada air. Saya percaya, ihwal kristal-‐kristal yang terbentuk lantaran doa kita pada si air menjadi materi jualan sebagian motivator dengan tanpa sadar. Mereka hanya mengikuti tren yang ada. Sayang, mereka lupa atau malas menelusuri fakta sebenarnya.
Pun dorongan yang mengarah ultimatum agar kita meyakini sesuai bisa kita lakukan, dan pastilah keinginan kita terwujud. Kalimat-‐kalimat bernada membakar seperti ini memang mudah menarik simpati pembaca. Pembaca pun membayangkan dan memikirkan sesuatu yang ingin dicapainya. Karena di sugesti pasti bisa, kita meyakini harus bisalah terwujud bayangan atau pikiran kita itu. Saking semangatnya kita mengutip para penggagas kekuatan mimpi dan hukum daya tarik, kita
lupa bahwa kita telanjur mengunggulkan diri di atas segalanya. Impian dan pikiran kita sudah seperti mengatur takdir yang harus kita jalani. Peran Allah seperti ditepikan perlahan-‐lahan. Karena ada pandangan bahwa takdir juga bergantung bagaimana ikhtiar kita, wacana baru soal mimpi dan hukum daya tarik dipadankan sebagai ikhtiar kita.
Kita lupa atau memang tidak mau tahu bahwa soal-‐soal hebatnya diri kita di atas setiap ikhtiar hanya akan jadikan diri ini jumawa. Memimpikan dan mengharuskan (tanpa sadar) bahwa mimpi pasti terwujud jelas berbeda. Bermimpi atau bercita-‐cita butuh ikhtiar. Soal hasil, biarkan Yang di Atas berkehendak lain. mengharuskan ikhtiar kita pasti berhasil, kita sudah mengatur kewenangan Allah. Dan ini bukan berasal dari epistemologi keyakinan kita dalam beragama. Ini dari luar produk keimanan kita.
Ya, tidak sedikit penulis yang terperosok tanpa sadar lantaran keasyikan dengan kalimat-‐kalimat indah dari buku bacaan yang menggelorakan. Kita tidak mengeceknya bagaimana kalimat penuh energi itu sebenarnya hadirkan masalah tersendiri. Kita menjadi juru kampanye sebuah nilai yang sejatinya berlawanan dengan keimanan kita.
Dalam banyak hal dan bidang, kejadian serupa sering terjadi. Berteriak soal menghargai perbedaan, tapi menjurusnya pada nihilisme dan penghapusan keyakinan. Ini juga bentuk anarkisme baru yang diselubungi motivasi merukunkan perbedaan. Atau lantang menulis soal pentingnya menghormati keyakinan, tapi metode dan jalan berpikir yang dipakai dari tulisan orang yang tidak menghendaki adanya klaim kebenaran. Semua harus tunduk pada relativisme. Sudah tentu, semua ini absurd.
Lihatlah betapa banyak cendekiawan dan penulis yang terperosok pada gagasan semacam itu. Tertarik pada bahasa-‐bahasa indah dari wacana kontemporer. Harus mengikuti agar dianggap modern dan moderat. Padahal, sejatinya, semua itu wacana omong kosong yang tidak menyelesaikan masalah. []
Menjuduli Tulisan
Judul. Bagi yang hobi menulis, bagian ini salah satu yang mengasyikkan. Menemukan judul aduhai, bisa menarik banyak perhatian pembaca. Sesekali dibombastiskan demi menggaet minat khalayak.
Lain bagi yang “alergi” dengan bagian ini. Pada beberapa penulis mula, judul sering jadi penjara di pikiran. Urusan menulis seolah harus diselesaikan dari bagian judul. Judul belum dapat, jangan harap boleh menulis!
Tidak ada keharusan menjuduli tulisan kita demi rampungnya gagasan. Gagasan kita sudah selesai, tanpa judul pun tidak berdosa. Sekadar memberikan judul juga tidak masalah. Konon menjuduli itu butuh seni dan jam terbang. Bila kalimat terakhir ini diyakini, harusnya para penulis mula tidak perlu repot dengan urusan judul. Sebisa yang ia sanggup, kerjakan. Kekurangan yang ada toh bisa membantu evaluasi di karya berikutnya. Jangan sampai, gara-‐gara judul tidak tertemukan, gagasan di kepala mengendap dan tidak pernah hadir. Ia enggan menulis akibat judul belum ada!
Patokan menulis bagi pemula cukup dengan kesesuaian antara niat (yang ada di konsep kertas atau kepala) dan tulisan yang sudah jadi. Semakin mendekati kesamaan, sudah memadai. Apalagi bila dituliskan dengan bahasa yang memudahkan dan ringan dicerna, ini sudah kemajuan. Perkara judul bisa dilatih sembari jalan. Bagaimana caranya?
Tulisan kita tentang apa? Gagasan apa yang ingin kita sampaikan terkait tema tersebut? Beberapa kata kunci yang ada bisa kita daftarkan. Berikutnya, kata-‐kata kunci itu bisa kita otak-‐atik menjadi kalimat judul yang atraktif.
Terkadang lintasan pikiran membisikkan kalimat tertentu. Seolah judul itu “turun dari langit”. Ia sebetulnya hasil dari kerja alam bawah sadar
kita. Refleksi tanpa sadar hadir ketika ada waktu kosong di antara aktivitas kita. Nah, di sinilah “bisikan” judul terkadang hadir atau lahir.
Bila “bisikan” itu hadir, segeralah ambil kertas dan catat. Kalau lebih dari satu juga baik-‐baik saja. Kita bisa pilah mana yang paling sesuai dengan bahasan tulisan kita.
Dalam melatih jam terbang membuat judul, seringlah melihat karya orang. Bukan untuk meniru, melainkan melihat dan merasakan proses kreativitasnya. Lebih baik lagi tahu isi buku tersebut. Jadi, tidak instan sebatas menatapi deretan judul buku. Biarkan pikiran kita merekam lintasan kata-‐kata itu.
Judul yang baik sendiri tentu yang mudah diingat. Kalimat yang mampu membekas kuat di benak pembaca. Saya bisanya membatasi maksimal tiga kata. Semakin pendek, asumsinya, semakin mudah diingat dan potensi untuk ikonik.
Ada kalanya judul itu “didorong” oleh aktivitas remeh-‐temeh yang awalnya seperti tidak ada kaitan sama sekali. Ia tiba-‐tiba meluncur menyapa ketidaksadaran kita. Uniknya, bila dibuat secara sadar, malah kadang tidak jadi-‐jadi.
Pengalaman saya, sering judul itu tidak dipikirkan. Ia hasil spontanitas di tengah-‐tengah aktivitas saya. Saat bermotor, melihat baliho tiba-‐tiba ingat kalimat apa yang bisa diberikan untuk naskah yang sedang dikerjakan. Saat mengasuh anak, melihat kelucuan mereka segera terlintas pikiran memberikan judul untuk naskah yang sedang diparkir dalam pengerjaan.
Belajar Merawat Indonesia. Judul ini tiba-‐tiba ingin saya hadirkan dari sekian kumulasi aktivitas ketidaksengajaan. Refleksi hal-‐hal remeh terangkai dengan suatu gejolak dan meluncurlah dorongan untuk menelurkan tiga kata tersebut. Alhamdulillah, judul ini bisa diterima oleh klien saya dan dianggap unik lagi ikonik.
Proses kreatif saya yang lain juga tidak jauh dari itu. Semacam ada judul yang harus saya “petik”. Tinggal bagaimana saya bekerja menggapai “takdir” judul yang sudah tertera entah di mana itu. Di sini, saya lebih setuju, penjudulan tulisan merupakan seni tersendiri. Tidak melulu bisa dirumuskan secara saklek. Maka, jam terbang berlatih menjadi penting sembari olah mata menimba judul yang pernah dibuat orang lain. Tentu tidak hanya olah mata tapi tidak beranjak beraksi. Lebih baik judul jelek tapi pada kesempatan berikutnya terlahir perbaikan.
Untuk itulah, jangan sungkan menjuduli tulisan kita dengan apa yang melintas di pikiran. Abaikan godaan memikirkan judul. Lebih baik memikirkan isi tulisan yang sudah “dicetak” dalam pikiran atau batin kita. []
Kebesaran Judul
Salah satu siasat penerbit untuk melariskan buku jualannya adalah memainkan kata-‐kata di judul. Judul dibuat sehebat mungkin hingga menarik perhatian pembaca. Judul yang mengesankan pembaca yang pertama kali melihat, bisa menjadi pintu berikutnya: buku dibeli.
Walau dalam toko ritel seperti Gramedia disediakan satu eksemplar buku yang tidak diplastiki, pengunjung kadang tidak selalu membaca detail isi buku. Hanya sekilas setelah judul, daftar isi, beberapa halaman dibaca cepat. Beberapa memang detail menelisik sebelum memutuskan beli. Pasalnya, judul yang memikat kadang mengecoh. Celaka kalau penjualnya tidak mau membukakan plastik pembungkus buku. Atau kalau kita membeli lewat penjual daring dari internet.
Putusan membeli buku sering karena kesan mendalam pada bagian sampul. Sampul dengan di dalamnya terdapat judul masih menentukan putusan sebagian pembaca, khususnya yang bukan spesifik meminati tema tertentu. Lain dengan yang sudah butuh pada tema tertentu, seburuk apa pun sampul dan judul, mereka tetap membelinya. Kasus yang lain, pembaca memang setengah terpaksa membelinya. Gara-‐gara buku tertentu bahan menulis makalah, tidak ada pilihan lagi selain membelinya meskipun sampul dan judulnya amburadul.
Judul kadang “memberatkan” isi. Niat penerbit demi menutupi kekurangan isi naskah. Asanya, pembeli sedikit terpaku pada judul, lantas berprasangka baik dan membeli bukunya. Kalau saja calon pembeli mau sedikit meluangkan waktu di toko buku, ia bisa menilai apakah buku itu seheboh judulnya ataukah sebaliknya. Jangan sampai, sesal kemudian tatkala mendarasinya teliti di rumah. Ternyata, jauh panggang dari api. Judul heboh kosong di isi.
Sejujurnya, menjuduli buku atau tulisan itu satu kegiatan menyenangkan. Tapi saya selalu ingin tampil wajar. Sebagai pekerja lepas dan independen, pilihan dan putusan saya relatif masih terjaga
sesuai idealisme. Klien seringnya memercayakan kepada saya dalam penjudulan. Lain halnya saat masih kantoran. Kadang idealisme harus bertabrakan dengan keinginan manajemen kantor. Judul dianggap tidak menjual atau kurang heboh. Bahkan sampai pernah ada buku motivasi yang amat biasa dijuduli wah seakan buku besutan tokoh terkemuka atau berpengalaman. Padahal, penulisnya sendiri merasa tidak percaya diri dengan pembesaran semacam itu. Sakitnya saya, manakala seorang teman kecewa setelah membeli dan membaca buku tersebut.
Untuk Anda yang aktif menulis artikel di media cetak, pembuatan judul akan terbantu dengan peran redaksi. Judul buruk, redaksi bertindak. Dipermaklah judul kita jadi enak memikat. Judul artikel sering kali tidak berbeda dari versi penulis. Saya belum mendengar kekecewaan penulis artikel gara-‐gara judulnya diubah. Yang ada malah bersyukur. Judul tulisannya seperti mewakili apa yang selama ini berkecamuk di pikirannya tapi tidak kunjung muncul.
Bagi penulis buku, bersiaplah untuk terkaget lantaran judul versi naskah lebih sering dirombak penerbit. Selain untuk komunikasi, pemasaran buku menjadi faktornya. Judul yang panjang, bertele-‐tele, dan kurang bertenaga pasti diganti. Judul ala kebingungan penulis pasti diubah total.
Yang kadang bikin tidak puas penulis adalah ketika kualitas judul sudah baik dan mencerminkan isi, tapi penerbit ingin mengarahkan sudut pandang (angle) pembaca ke bagian yang justru bukan bahasan utama. Bagian yang tidak utama dianggap lebih menjual, maka penerbit pun menjudulinya dari sisi ini.
Kasus perombakan susunan pembahasan di naskah juga yang pasti undang hadirnya judul baru. Sistematika berubah, alur berubah, butuh judul baru. Judul lama dipertahankan, bisa kacau naskah.
Kadang ada juga judul kreasi penulis itu unik. Ringkas dan menarik perhatian pembaca. Sayang, isi naskahnya tidak mendukung bagusnya
judul. Penerbit biasanya meminta penulis untuk menguatkan isi naskah agar selaras dengan judul. Menarik, bukan: judul mengarahkan isi naskah?
Untuk para penulis, khususnya buku, pergunakan judul dengan kata-‐kata pendek. Tidak perlu terkecoh dengan kebesaran buku orang lain yang tengah tren. Percaya saya pada kata hati. Sering kali saya mendapat judul itu seperti memanggil di kotak pikiran saya. Ketenangan yang dibutuhkan di sini.
Bagaimana bila menghadapi judul yang sudah digubah besar hingga kita merasa kebesaran daripada semestinya? Jujurlah pada pembaca, tapi dengan tidak membuka “aib” penerbit sepenuhnya. Belajarlah berdiplomasi bahwa ini semata untuk kebaikan semua. Bagi penerbit jelas: penjualan. Bagi Anda, tahu mana judul yang akhirnya unik dan sedap dipandang mata. Bagi pembaca, mereka jadi belajar untuk tidak terkecoh kedua kalinya bila ada berpola judul sama.
Bila penerbit masih mempraktikkan pembesaran judul, baiknya Anda berbicara baik-‐baik. Jelaskan bagaimana risihnya karya Anda dibesarkan tapi batin Anda sedih pembaca kecewa. Percayalah, buku yang dibesar-‐besarkan judulnya walau sempat laris pada akhirnya akan terkuak juga kerapuhannya. Sebagai penulis, tentu kita takmau ini terjadi, bukan? []
Bahasa Tulisan dan Lisan Penulis
Salah satu bentuk kekecewaan pengunjung acara bedah buku adalah berbedanya bahasa tulisan dan lisan si penulis buku. Hal ini biasanya berlaku untuk penulis yang baru terkenal dan karyanya belum begitu banyak. Ketika karyanya diberitakan meluas, orang berjibun ingin datang. Kata-‐kata retoris penuh energi atau bahkan puitis dalam tulisan, seolah ingin didengar dari panggung bedah buku.
Namun, aduhai, ke mana gubahan dan gugahan kalimat memikat dan menggelora itu? Yang ada malah paparan membosankan. Alih-‐alih ingin menatapi terus penulisnya, rasa kantuk sukar ditahan. Yang demonstratif kadang pengunjung ingin balik pergi dari lokasi acara.
Menulis merupakan aktivitas mengeluarkan isi pikiran dan hati. Di sini peran mulut belum hadir. Sepintas sepertinya ada jalur yang membedakan sehingga terjadilah isi bukunya sarat semangat tetapi tuturan penulisnya berkebalikannya.
Soal kaitan olah pikir dan hati dengan olah mulut, saya bukan pakarnya. Hanya memang saya dapati, ada penulis yang juga sekaligus orator baik. Kita punya Soekarno. Tulisan di karyanya bahkan lebih menyerupai bahasa lisan. Pada Buya Hamka kita dapati jauh lebih padunya bahasa lisan dan tulisan. Bagi yang mengenal sosoknya langsung dari perjumpaan, kata-‐kata Buya di buku tidak berbeda dengan di lisan. Berkelok, indah, dan menghanyutkan kata-‐katanya.
Ada teman yang pintar berorasi, karena ia eks aktivis mahasiswa Kiri. Pas membuat buku, bahasa dari jalanan masih terbawa. Kekhasan ini malah diminati pembaca. Tulisannya menghentak, pun saat ia membedahnya.
Meski seorang penulis tidak harus dibebani untuk menjadi orator yang hebat, paling tidak ia bisa menjadi pembicara yang mampu membuat orang yang mendengarnya tidak bosan. Kendala fisik tidak relevan.
Bahkan segagap atau secadel seorang penulis, ketika ia mampu menghadirkan semangatnya dalam pembicaraan, orang akan menangkapnya sebagai sebuah kekuatan. Sebaliknya, setegap militer raga si penulis, tapi ketika berbicara soal karyanya di hadapan audiensi dengan mimik pesimis, orang akan tidak bertahan lama duduk di kursi.
Karena penulis juga menjadi ujung tombak pemasaran buku, soal-‐soal berbicara di hadapan orang banyak memang mesti mulai diperhatikan. Tidak perlu jadi muluk-‐muluk ahli presentasi. Karena banyak presentator buku hanya kamuflase dari karyanya yang biasa-‐biasa saja. Idealnya, memaparkan karya sendiri di hadapan orang banyak adalah medan ujian layaknya seorang sarjana. Dengan penuh tanggung jawab dan cinta, dikemukakannya secara lugas karya pikir dan perenungannya. Kekuatan menghargai diri sendiri lebih penting ketimbang aspek teknis presentasi. Seiring berjalannya waktu dan seraya belajar, akan ada peningkatan.
Saya setuju dengan seorang pemilik penerbitan ketika ia meminta setiap penulis buku harus siap tampil di depan orang banyak. Grogi atau demam panggung wajar saja terjadi. Tapi, kekuatan cinta untuk menjelaskan ke orang banyak atas karyanya, bisa mengalahkan keterbatasan yang ada. Bahkan hadir di tengah pengunjung merupakan satu pembelajaran tersendiri. Kita bisa lebih tahu apa keinginan publik. Kritik dan saran mereka akan menempa kita di karya berikutnya.
Yang dibutuhkan seorang penulis ketika hadir di bedah buku tidak banyak sebenarnya. Cinta dan bertanggung jawab atas karyanya ini paling utama. Berikutnya tinggal vokal yang kudu jelas. Teknik-‐teknik memulai pembicaraan hingga mengolah kalimat memikat, biarkan ini diabaikan dulu. Yang penting kekuatan karya kita bisa diperdengarkan di hadapan peserta.
Kepiawaian kita mengolah kata mungkin belum keluar dalam kapasitas mengolah suara. Lambat-‐laun dengan seringnya tampil dan belajar, kecakapan ini bisa diraih. Dus, jadilah kita penulis yang rancak bersilat
kata, baik dalam tulisan maupun lisan. Bersilat bukan dalam jurus dusta, melainkan menyampaikan kebenaran.
Ini pasti! []
Penulis Bujang
Di usianya yang beranjak ke angkat empat, teman saya masih dalam kesendirian. Ia masih berkawankan sepi saat teman-‐temannya sudah bernapaskan cinta pada pasangan sahnya. Ia, bukannya tidak ingin mencintai atau dicintai. Tapi, jodoh belum berhinggap pada sang teman yang piawai merangkai kata itu. Saya tidak tahu, apakah karena ia begitu selektif ataukah memang ia begitu buruk hingga tiada yang suka. Sudah jelas, kemungkinan terakhir saya abaikan jauh-‐jauh.
Ia pintar merangkai kata. Menggubah kata dan memainkannya berlama-‐lama hingga jadi draf naskah setebal bantal, ia sanggup. Pernah saya saksamai karyanya yang diketik dalam kuarto 300 halaman lebih. Dan itu baru satu seri dan triloginya!
Tapi kata-‐katanya tidak jumawa. Hanya indah. Justru karena indah dan bersahaja itu ia malah masih menyepi. Betah sendiri, jelas saya tidak yakin sebentuk pilihannya. Mungkin sebuah derita cinta pertama yang tiada kunjung tiba di jatuh hati kesekian kalinya? Boleh jadi ya, mungkin saja tidak. Yang saya tahu, ia masih menanti sebuah nama, tapi entah sampai kapan.
Mungkin karena bakatnya menulis itu bersenyawa dengan kesendiriannya, produktiflah kata-‐kata menghujani kertas ketik. Seratus halaman yang bagi orang lain begitu menghabiskan tenaga, baginya enteng saja. Energi tercadangkan di raganya masih begitu besar hingga saat terkonversikan berupa kata-‐kata, ia lahirkan naskah-‐naskah yang antitipis.
Cinta. Kata ini masih bernuansa sakral sekaligus penuh tanya. Ia menyimpan gelora yang tinggi hingga sang teman tadi menjadikannya pijakan berkarya. Bukan karya-‐karya banal atau saru. Ia jadikan menahan perihnya rindu dalam bentuk ekspresi karya. Sudah banyak yang karena kegagalan percintaannya melahirkan karya. Sudah sering kita jumpai, patah hati berujung karya. Tapi, saya bersyukur, berkenalan dengan
seorang teman yang menulis dalam balutan cinta berbingkai iman tapi tetap tidak jatuh pada kedangkalan imajinasi.
Meski taktampak kepedihannya, sebenarnya dalam alinea demi alinea kita akan tetap dapati jejak yang tiada mampu ditahannya. Kekuatannya mengolah kata hingga bertahan di ratusan halaman adalah sebuah misteri yang kuncinya satu: cinta. Karena mencintai pena dan kertas tanpa seorang perempuan di sisinya, ia masih bisa fokus. Ada asa penantian yang membuatnya terus tidak ingin berhenti. Jadilah karya-‐karyanya panjang, berkelok-‐kelok hingga kerap saya mencecarnya dalam satu kata: bertele-‐tele.
Ya, ia bisa sebenarnya memadatkan dan melugaskan kata atau alur ceritanya di naskah. Tapi, ia memilih berputar dan bermain dengan kata-‐kata indah lebih dulu. Sudah tentu, ini bukan era Pujangga Baru. Karya macam itu yang dibuatnya dengan mudah ditolak para editor penerbitan. Hanya saya ambil sisi lainnya; ia mainkan spirit itu karena memiliki latar. Latar itu tidak lain asa pertemuannya dengan cinta.
Saya meyakini, selagi ia masih bujang, ia masih bisa untuk terus dan terus berkarya dengan napas panjang. Yang saya cemasi adalah saat ia sudah berlabuh di pelaminan, apakah ia mampu menuntaskan karyanya sepanjang ia masih sendiri?
Saya tentu tidak berniat remehkan cerita pendek. Namun, dengan kekuatannya saat ia sendiri, sungguh sayang bila ia beralih hanya berpuas sebagai penulis cerpen lantaran ia hendak memuaskan dahaganya cintanya pada sang pujaan hati. Celaka pula bila ia mematikan minatnya hanya karena pujaan hati menuntut lain soal materi.
Jadi, saya ingin ia tetap berkawankan dengan pena dan buku kendati sudah mendekapi kekasih hati. Kata-‐kata yang pernah dilahirkannya tentu butuh disentuh pula. Dengan demikian, ia masih bisa terus memiliki dua cinta; cinta pada sang kekasih barunya, dan tentunya
kesetiaan pada kata-‐kata yang telah menjaganya terus bergairah dalam mengarungi hidup semasa membujang. []
Isi Status Penulis
Salah satu kenalan saya seorang penulis sekaligus dosen komunikasi di sebuah kampus negeri. Urusan tulis-‐menulis, ia produktif. Menulis, baginya, juga bisa dijadikan wirausaha. Karena gagasannya ini, kiranya tidak salah bila sebuah acara di sebuah televisi nasional mengundangnya selaku pembicara.
Produktif menulis, produktif pula ia menulis keseharian secara ringan dalam bentuk status di Facebook. Keringanan isi statusnya bisa saja membelokkan bayangan bagi orang yang tidak mengenalnya. Mungkin karena penggemar makanan, ungkapan kerinduan soal makanan sering diumbar. Hal sederhana dan manusiawi saja.
Hanya, intensitas menuliskan semacam itu tentu saja sedikit mengusik persepsi yang hendak dibangun. Memang menuliskan hobi kuliner tidak serta-‐merta menghapus kredibilitas seorang penulis. Mengulasnya secara serius, mendalam, sering, melalui bahasan santai bahkan bisa menjadi penanda khas seorang penulis. Misalnya kita penulis buku akademis, di status atau kicauan media sosial kita banyak ulas soal aktivitas menyelam. Meski pendek, kita konsisten menumpahkan pengalaman menyelam di lautan Nusantara lewat media sosial. Langkah semacam ini malah jadi nilai plus di mata pembaca setia kita.
Bahasa boleh santai dan ringan. Tapi keseringan membicarakan hal remeh-‐temeh tanpa ada niatan menyeriusi, bisa merusak secara laten alam bawah sadar persepsi pembaca. Bila ingin dikesankan santai, peduli pada keseharian, humoris, praktis, dan terbuka, seorang penulis bisa keluar jalur dari teman yang biasa dibahasnya dalam tulisan. Ini tidak merusak selagi tidak ditekuni kedangkalan tulisan kita.
Apabila selalu dan sekadar mengeluh soal ingin makanan ini dan itu, komunikasi semacam ini melahirkan mentalitas cengeng kepada pembacanya. Tanpa sadar, penulis mengajarkan hal sepele yang bisa berefek belum tentu sepele. Penat dengan keseriusan, rehat dengan
cara humor amat disarankan. Bisa mengolah hal keseharian dalam tulisan anekdot ringkas. Ini jauh menyehatkan. Sandingkan dengan kebiasaan mengeluh dan mencari perhatian yang dilontarkan secara tidak sengaja atau tidak disadari oleh penulis.
Menjadi penulis mungkin terasa memberatkan bila dibebani tugas untuk menjadi contoh yang baik. Menulis ya menulis, sekadar menyalurkan kepenatan. Kiranya anggapan ini hanya berlaku bagi yang mengawali menulis. Untuk kita yang sudah tingkatannya bukan sekadar mencari uang, alangkah indahnya bila hal-‐hal bernuansa remeh-‐temeh tidak diselipi dengan pengajaran tidak bermutu. Mengeluh ini dan itu. Ingin berobsesi begini dan begitu. Kalau mau makanan tertentu, mending menuliskan status yang lebih bijak soal manfaat makanan tersebut. Urusan bahasa silakan dibuat sejenaka sekalipun tidak masalah.
Kalau kita mengakui profesi penulis itu mulia, semulia dokter, insinyur, hakim, guru, semestinya para penulis bisa indahkan orang lain yang kerap menirunya diam-‐diam. Menabalkan mentalitas positif dan menjauhkan hal-‐hal berbau keluhan ataupun curhat tidak penting demi dikomentari teman status di media sosial adalah pilihan bijak saat kita punya banyak pembaca setia. Sudah saatnya isi status atau kicauan kita di media sosial lebih memperlihatkan aspek ‘mengapa’ dan ‘bagaimana’ dalam hal-‐hal ringan di keseharian kita, ketimbang aspek ‘apa’. Kangen karedok dengan mengapa karedok layak dirindui, melahirkan dua sosok berbeda. []
Penulis Tangguh
Perempuan penulis itu menelepon saya kesekian kalinya. Meminta pendapat saya soal masa depan naskahnya; apakah akan diterbitkan di penerbit awal ataukah menariknya dan mengirimkan ke penerbit lain. Penerbit awal kurang begitu sukses memasarkan karya perempuan itu. Padahal, kata si penulis, banyak penggemarnya yang sering bertanya soal keberadaan bukunya.
Dengan niat ingin lebih bisa menginspirasi banyak orang, ia pun berniat ingin memasukkan ke penerbit besar di bagian barat Jawa. Sebuah keinginan yang saya tangkap masih sebuah hal wajar. Dari sudut pandang luar, saya melihatnya demikian. Tapi, tidak bagi kita yang berada dalam posisi di penerbit awal. Penulis perempuan itu terkesan bawel, rewel, dan mengesalkan.
Betapa tidak, setiap pekan nyaris ada saja telepon ke meja redaksi. Menanyakan kabar naskahnya yang terkesan digantung. Sialnya, redaksi tidak bisa apa-‐apa lantaran manajemen penerbit memang menghendaki karyanya tidak ingin bergegas diterbitkan. Jadilah komunikasi tidak sinkron itu membuat tidak enak jajaran redaksi dan (mungkin) penulisnya.
Nasihat yang mudah, penulis disarankan untuk mencabut naskahnya. Toh manajemen penerbit awal tidak begitu antusias untuk menerbitkannya. Hanya karena ikatan dengan buku pertama yang pernah dihasilkan—dan itu pun biasa saja penjualannya.
Dari sudut pandang berbeda, kita dapati keinginan penulis itu meminta sebuah kepastian. Dan ini wajar. Betapa tidak, selain harus menjawab pertanyaan pembaca setia soal kelanjutan buku terdahulunya, juga untuk menjaga konsistensi menulis. Bagaimanapun tidak setiap penulis mau dan mampu terus menulis terlepas naskah terdahulunya masih “digantung” penerbit. Untuk itulah, ketegasan dibutuhkan dari sikap
penulis. Tegas untuk mengultimatum penerbit, dan tegas menyeriusi ucapannya.
Rezeki tidak hanya ada di satu tempat. Maka, berharap besar pada sebuah kepastian di satu penerbit, itulah yang bikin penulis sendiri tersiksa. Ubah rencana dan asa awal. Tarik naskah di penerbit awal, dan cari penerbit yang lebih ideal. Syukurnya, perempuan itu pada akhirnya melakukan langkah ini. Setelah menarik naskahnya, ia masukkan ke sebuah penerbit besar di Jakarta. Kali ini penerbit kenamaan yang memiliki jaringan distribusi terbesar di tanah air. Melalui lini penerbitannya, karya perempuan itu pun hadir.
Dengan hadirnya buku itu, saya berharap agar ia menjadi perempuan penulis yang tangguh. Tidak mudah berkeluh kesah atau terlalu mengharapkan pada satu rencana. Tapi memang menghadapi penulis perempuan kudu siap dengan kecerewetan mereka. Itu pula yang saya alami dengan penulis perempuan kedua.
Kerewelannya berbeda. Bukan rewel sebenarnya. Lebih tepat kebiasaan untuk banyak bicara. Karena tidak setiap editor naskah nyaman bicara dengan orang yang terus berbicara, padahal isi pembicaraannya masih bersifat rencana. Rencana ingin ini dan itu, sementara implementasi belum ada.
Lagi-‐lagi inilah sebuah sudut pandang satu sisi. Dari sisi berbeda, kebiasaan penulis perempuan itu bisa jadi menandai ia seorang yang kritis. Dalam hal ini editor malah mendapati satu potensi lebih. Karena memang tidak setiap perempuan mau mengekspresikan diri sebagai sosok kritis dan ingin mendominasi dalam pembicaraan. Dengan mengarahkan kekritisan itu menjadi sebuah naskah yang cerdas, akan terlahir buku yang juga bernas, argumentatif, dan menggugah.
Idealnya, penulis memang perlu memercayai jajaran redaksi penerbitan. Di lain pihak, jajaran redaksi juga harus terbuka atas setiap masukan dari penulis. Tidak boleh ada ketertutupan atau aksi sepihak. Dialog
keduanya akan menghasilkan sebuah naskah yang bisa memuaskan kedua pihak plus pembaca.
Dalam hal ini, rewel, banyak tanya, sering curhat, dan beragam aktivitas mengeluh sepihak oleh penulis hendaknya dikurangi. Menampilkan ketangguhan diri dengan jalan siap berdialog dengan penerbit, itu lebih baik. Termasuk ketangguhan juga adalah tidak bergantung pada satu penerbit. Meski satu komunitas atau pandangan pemikiran dengan penulis, jangan terlalu berharap pada penerbit kategori ini. Meluaskan pandangan dan jaringan tetaplah lebih baik. []
Perajin Tulisan dan Penulis Rajin
Beberapa nama penulis yang saya kenal menyediakan diri untuk menerima order menulis naskah buku dari penerbit. Tema yang dikerjakan tidak harus sesuai dengan minat dan kompetensinya. Dengan berbekal mesin pencari dan sesekali berburu buku serupa milik (calon) kompetitor di toko buku, para penulis pesanan ini dengan cepat memenuhi permintaan penerbit. Jadilah buku yang diriseti dari mayoritas bahan di internet ini untuk diluncurkan.
Buku-‐buku kejar tayang sesuai momentum memang begitu didamba penerbit. Mereka tidak ingin satu momentum yang menyita banyak perhatian dilewatkan begitu saja. Meninggalnya Steve Jobs segera saja berlahiran buku tentang pendiri Apple ini. Kehadiran fenomena politisi yang menyedot perhatian publik, segera saja pasar dibanjiri buku tentang sang tokoh tersebut. Atau ketika seorang menteri jadi pembicaraan, buku-‐buku yang membicarakan tokoh tersebut seketika menghiasi rak-‐rak toko buku terkemuka. Begitu pula saat ramai tim sepak bola kita U-‐19 dipuja-‐puji atas prestasinya lolos di Piala Asia 2014, buku-‐buku seputar Evan Dimas dan kawan-‐kawan hadir.
Inisiatif menyegerakan hadirnya tema tertentu yang aktual memang bisa dari penerbit. Penerbit mengorder penulis tertentu yang bisa secara cepat menghasilkan karya baru. Tidak boleh dalam hitungan bulan, melainkan hanya beberapa pekan bahkan hari. Benar-‐benar si penulis pesanan dipacu untuk segera setor.
Terkadang keinginan dan inisiatif datang dari si penulis. Terutama mereka yang terbiasa diorder atau paham soal kebutuhan profit cepat kalangan penerbit. Memang, buku yang kejar tayang berkait erat dengan euforia dan emosi publik. Buku semacam pengikat dan peneguh ketertarikan tinggi pada sosok yang dibahas. Amat wajar bila kemudian buku semacam ini cepat laku. Soal kualitas? Ada yang bermutu. Ada juga yang sekadar cepat setor ke penerbit, terutama yang hanya bermodalkan mesin pencari di internet dan tiadanya passion si penulis
dengan yang dibahas. Tulisan yang disebut terakhir hanya kaya data (itu pun sudah jamak diketahui pembaca), tetapi miskin permaknaan atas kehebatan atau fenomenalnya sang tokoh.
Dengan proses pengerjaan yang lebih lama dibandingkan produk cetak lainnya (semisal koran atau majalah), buku memang dipastikan kalah aktual. Bila soal timnas sepak bola U-‐19 dibahas tiap hari bahkan tiap jam, buku hanya mampu hadir paling cepat 10-‐14 hari. Itu pun jangan tanya soal kualitas pengerjaan. Permaknaan yang semestinya lebih mendalam karena waktu yang lebih lama mengerjakannya, malah diabaikan. Fokus penulis dan penerbitnya pada “yang penting jadi dulu”.
Tidak masalah kita menjadi penulis pesanan. Data melimpah ruah, dan bayaran juga lumayan. Yang perlu disaksamai adalah hasil yang dibuat jangan sampai serupa dengan penulis bayaran lain di penerbit berbeda. Harusnya ada pemikiran pembeda. Di sinilah pentingnya kekuatan permaknaan dari penulis terpesan tadi. Data untuk tema aktual mudah, tinggal bagaimana membuat hal unik dan beda dari segi tulisan.
Penulis pesanan merupakan kategori perbukuan yang saya lebih suka menyebutnya sebagai “perajin tulisan”. Ia tidak berbeda dengan perajin produk keseharian lainnya, semisal batik ataupun tembikar. Ada proses fisik, tetapi juga kerja intelektual. Bahkan dalam konteks tulisan atau buku, dominasi intelektual lebih mengemuka ketimbang fisik. Menjadi perajin tentu halal saja, selagi tidak menjual idealisme.
Keberadaan perajin terkadang keasyikan dengan kuantitas yang dihasilkan, terutama ketika pesanan banyak. Ujian dan godaannya adalah menjaga mutu produksinya. Kalau ia mampu menjaga mutu tulisan dan selektif atas tawaran yang ada, tingkatan sang penulis lebih tinggi lagi. Produktivitasnya menulis sesuai pesanan dengan tetap memerhatikan aspek mutu, melahirkan entitas sang penulis sebagai “penulis rajin”. Penulis rajin, hemat saya, lebih bernuansa peka mutu ketimbang perajin tulisan—yang hanya peka jumlah produksi.
Penulis rajin dikatakan rajin karena ia menekuni profesinya dengan tetap ulet dan cergas mendedahi bahan. Rajinnya menerima order dari penerbit atau menawarkan ide ke penerbit diiringi perhatiannya pada mutu. Ia menyeimbangkan tema aktual dengan kesanggupannya mengolah bahan sesuai kata hatinya. Meski bukan tema minat utamanya, ia bisa merasakan dan menghayatinya bak aktor. Mungkin berhasil, mungkin tidak, yang jelas ada ikhtiar ke sana. Pada perajin tulisan inilah kita masih menaruh asa rak-‐rak buku kita tidak dipenuhi dengan karya asal cepat dan comot, tetapi karya yang lebih menginspirasi. []
Menulis di Era Media Sosial
Susahkan menulis itu? Banyak cakapkah untuk urusan ini? Sering soal ini dikemukakan di forum kepenulisan? Sebuah tanya yang sebenarnya butuh perhatian dan pembenaran ihwal betulnya si penulis belum berkarya.
Herannya, penanya yang sama sering kali produktif berkarya di media sosial. Melalui status Facebook atau kicau di Twitter, tiap hari ia mampu menuangkan pikiran dan perasaannya. Pengalaman diri dan orang lain mampu ditangkap dan direkam dengan tulisan. Singkat, tapi tetap saja sebuah tulisan.
Bayangkan bila status atau kicauan itu dihimpun selama sepekan, sudah berapa lembar. Gabungkan per bulan. Tanpa terasa jadilah sebuah buku kecil. Bagi yang gemar menuangkan dalam catatan panjang di notes Facebook, catatan tersebut malah sebuah pembuktian bahwa yang bersangkutan adalah potensial menulis.
Keberadaan media sosial menjadi pembantah akurat bahwa siapa pun kita bisa menuangkan isi pikiran dalam bentuk tertulis. Pengalaman remeh-‐temeh pun dengan santai kita tuliskan. Padahal, selama ini kita sering tidak percaya diri dengan aktivitas menulis tersebab soal ide. Ide, bila ingin ditulis, seolah harus sesuatu yang besar dan wah. Berupa gagasan hebat layaknya para pendiri bangsa.
Hadirnya media sosial dan riuhnya para pengguna memanfaatkannya, semoga saja kabar baik untuk aktivitas literasi. Menuangkan gagasan dan pengalaman menjadi satu kegiatan yang sinergis dengan modus bereksis di media sosial. Pun demikian ketika berbagi satu pengetahuan dari hasil membacanya. Besar harapan, dari aktivitas bermedia sosial ada upaya untuk lebih meningkatkan diri dalam membaca dan berdiskusi. Jangan sampai, eksis di media sosial malah memperlihatkan kualitas kebodohan kita.
Dari status dan kicau teman juga kita mendapatkan banyak inspirasi untuk dituliskan. Kita tidak perlu malu untuk mengakui bahwa tulisan kita itu dilatari atau diinspirasi oleh status atau kicau orang lain. Tinggal soal etika menuliskan sumber rujukan tersebut. Jadi, tidak ada lagi namanya sumber ide terbatas apalagi terkungkung. Bermedia sosial sama artinya kita membuka ruang pikiran untuk berinteraksi dengan banyak orang—walau dalam ranah maya tanpa fisik.
Kita bisa menggali kekayaan pengalaman mereka menjadi sebuah tulisan menarik. Pelakunya mungkin biasa saja; tidak merasakan ada sesuatu yang unik untuk dituliskan. Berbeda dengan kita. Ide-‐ide mereka juga memperkaya khazanah pengetahuan kita tatkala macet di tengah proses kepenulisan.
Membuka laman media sosial sejatinya kita membuka lembaran inspirasi yang berjibun. Keterlibatan kita juga merupakan penambah kuantitas gagasan di dalamnya. Sungguh sayang bila interaksi kita sebatas penikmat pasif. Sungguh rugi bila kita hanya menikmati isi status atau kicau orang tanpa lebih jauh menjadikannya sebagai bahan tulisan. Atau, tidak cerdaslah kita bila setiap status atau kicau kita dikutip orang menjadi bahan tulisan, sementara kita bercukup diri dengan eksis di media sosial. Kita hanya berpuas dengan tulisan pendek sekian karakter di media sosial, tanpa mau menindaklanjutinya menjadi sebuah buku.
Bagaimana dengan blog? Ada yang memasukkan blog sebagai aktivitas bermedia sosial. Para narablog lebih mudah diarahkan untuk dijadikan penulis. Kenapa? Tulisan di blog lebih panjang, berarti penulisnya memang betul-‐betul meniati menulis. Semakin produktif menulis di blog miliknya, saat itu jua ia berhak menahbiskan sebagai penulis. Bahwa medianya bukan buku, tidak jadi soal. Tidak ada keharusan menjadi penulis itu bila medianya berbentuk buku cetak. Kalaupun kemudian ia membukukan secara cetak ide dan pengalamannya di blog, ini hanya meragamkan media. Atribut sebagai penulis tetap tidak berubah atau
menjadi lebih mantap. Ia sejak menulis di blog sudah sebagai sosok penulis.
Kasus agak mirip penulis catatan (notes) di Facebook. Dengan beralinea-‐alinea memaparkan gagasan dan pengalaman, sejatinya ia tengah memaklumatkan dirinya penulis. Sama kasusnya dengan narablog. Nah, dalam kasus Facebook,Twitter, dan media sosial yang serupa, para penikmat ekstasenya yang hanya “mampu” meruahkan perasaan dan ide dalam beberapa karakter, kudu dipompa semangatnya bahwa mereka pasti bisa menulis lebih panjang, Mereka menulis dalam arti sebenarnya; bukan sekadar keisengan atau mengikuti tren bermedia sosial. []
Fokus
Pengaderan dan Menulis
“Masyumi itu lemah dalam pengaderan,” cetus seorang teman dalam salah satu tulisannya di Facebook.
Kalimat pendek tersebut sontak saya tolak. Saya tidak ingin membantahnya karena teman tadi memang sepertinya tidak menguasai sejarah politik Islam. Kalaupun tahu, ia hanya membaca secara sepintas atau dari narasi yang dibangun penguasa.
Bila saja ia mau melihat para tokoh kunci di Masyumi, akan jelas bahwa pengaderan adalah salah satu aspek penting yang diperhatikan. Lihat saja Natsir, usai Masyumi membubarkan diri, dibentuklah Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia (DDII) sebagai bagian integral dari perjuangan umat Islam. Murid-‐murid Natsir tampak pada kemunculan cendekiawan muda Muslim era 1990-‐an hingga saat ini. Ada Husein Umar, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Yusril Ihza Mahendra, dan masih banyak lagi.
Tidak semua eks eksponen Masyumi menggabungkan diri dalam DDII. Ada yang membentuk organisasi sosial berbeda, tapi muaranya sama: berkhidmat kepada umat dan bangsa. Dan di tiap organisasi itu ada proses regenerasi. Memang, yang tampak kuat adalah DDII sebagai kelanjutan ideologis tokoh kunci Masyumi semacam Natsir.
Tokoh-‐tokoh umat Islam Indonesia angkatan Natsir memberikan satu pelajaran penting. Dalam perjuangan ideologisnya mereka perhatikan dua ranah secara bergandengan: pengaderan dan kepenulisan. Pengaderan berbicara tentang melahirkan generasi pelanjut berikutnya. Sementara kepenulisan adalah satu keterampilan dalam perjuangan itu sendiri.
Maka, bersamaan dengan pembentukan pelembagaan kaderisasi, biasanya akan dihadirkan media cetak. Sederhana tampilannya tapi sarat perjuangan di dalamnya. Baik semasa masih jadi kader Ahmad
Hassan di Persatuan Islam hingga di Masyumi dan DDII, aktivitas menulis koheren dari perjuangan Natsir. Dari Pembela Islam, Al-‐Lisan, Hikmah, Abadi, hingga Suara Masjid dan Media Dakwah, tidak dipisahkan sebagai kesatuan antara mengader dan menulis. Mengader itu salah satu medianya dengan menulis. Aktivitas menulis itu bagian dari menampung kegelisahan dan potensi kader muda.
Generasi sebelumnya, Agus Salim dan Tjokroaminoto juga lakukan hal serupa. Mengader anak-‐anak muda dan mendorong mereka menulis. Murid-‐murid Tjokroaminoto tidak hanya dikenal jago berorasi tapi juga pandai menulis. Memang tidak semuanya sejalan dengan pikiran sang guru, tapi paling tidak muara pembelaannya sama: demi rakyat Hindia Belanda yang terjajah.
Agus Salim, tidak lain guru dari generasi Natsir, Mohammad Roem, dan Kasman Singodimedjo. Soal urusan membina anak muda, sudah jadi perhatian lelaki Minang bernama bau Jawa ini. Aktivitas menulis juga bagian dari kesehariannya. Namanya masuk juga dalam keredaksian media yang diikutinya. Suatu hal logis melihat kemampuan bersilat lidah dan wawasannya.
Tokoh-‐tokoh bangsa di atas sadar, mengader dan menulis itu tidak dapati dipisahkan. Sebanyak apa pun kader yang dihasilkan, tampak percuma bila lemah dalam menulis. Mengader hulunya, menulis hilirnya. Akan terlihat kualitas seorang kader dan kaderisasi yang diberlakukan dari kepenulisan dan kesadaran berliterasi.
Sayangnya, entah mengapa belakangan, dua ranah itu seperti tidak bersambung baik. Ambil rentang sejak 1998 saja misalnya, pengaderan yang ada lebih bercorak kuantitas, terutama yang berjuang melalui partai politik. Menulis? Hanya disadari dan dipahami, tapi tidak dieksekusi sebagai sebuah ranah yang perlu dan penting diseriusi. Barulah ketika serangan bertubi-‐tubi hadir, kesadaran pentingnya bermedia hadir kembali. Sebuah pukulan dan mengesahkan kembali pernyataan klasik bahwa kita baru sadar saat masalah mendera deras.
Selama ini seperti nyaman-‐nyaman saja dengan jumlah kader melimpah atau jumlah penganut yang mayoritas. Tapi, semua ini hanya buih tidak berguna. Wacana dan opini di ruang publik dimiliki pihak lain yang memang sudah berniat sejak awal menguasai panggung Indonesia.
Sekali lagi, kita alpa pada warisan para tokoh anutan umat negeri ini! []
Mengayomi Kenakalan Penulis Muda
Anak muda dari ujung timur Jawa itu sempat bikin geger Republik ini melalui catatan hariannya. Kegelisahannya dalam berislam, yang dituangkan dalam format catatan harian, laku dicari orang. Seperti biasa, yang bikin kontroversi di negeri ini memang mudah raih simpati kalangan media dan publik.
Sebenarnya biasa-‐biasa saja kegelisahan anak muda yang bekerja sebagai jurnalis itu. Perbedaan perlakuan semasa di lingkungan tradisionalnya dengan komunitas nan mencerahkan di Kota Pelajar begitu membekas. Menghunjam kesadaran hingga menghadirkan refleksi baru soal keberagamaan. Meski tidak sampai terjadi konversi iman, kebaikan pihak lain itu mampu membuatnya bimbang soal teologi yang dipelajarinya sejak kecil.
Di Yogyakarta, ia rengkuh kebebasan berpendapat dalam wujud apa pun. Pikiran dan tulisan tiada dikekang. Sesuatu yang mustahak bila ia hidup di lingkungan lamanya.
Gegar budaya ini kemudian menghadirkan tanya. Sebuah gugatan yang bernada prihatin yang sejatinya butuh perhatian dari komunitas lamanya. Anak muda ini amat berpotensi. Sungguh sayang bila diasuh dengan cara yang salah sarat kekerasan.
Berbeda di kota barunya. Ia dapati kasih sayang. Ia pun tumbuh berkembang menjadi dirinya yang kritis. Yang menggugat otoritas dan otentisitas keyakinannya bukan lantaran aslinya begitu. Semuanya gara-‐gara keberagamaan yang diterimanya selama ini.
Kasus semacam anak muda itu memberikan pelajaran penting. Anak-‐anak muda, dalam kebandelan dan kenakalan berpikirnya, tetaplah aset. Ia kudu diperhatikan, alih-‐alih dikecam habis-‐habisan. Ia hanya butuh ruang, karena siapa tahu selama remaja ia tumbuh dalam lingkungan otoriter penuh kekerasan.
Maka, bila ia tuangkan ide-‐ide lewat tulisan sarat kontroversi, kita kudu tenang. Ia hanya butuh ruang bertanya yang selama ini disumbat. Ia hanya ingin tegaskan kediriannya yang tidak mau ditundukkan. Terhadap anak-‐anak muda penulis semacam ini, sungguh yang dibutuhkan sederhana saja: perhatian.
Seperti dilakukan Agus Salim, ia berikan ruang berdialog pada anak-‐anak muda Muslim—Natsir, Roem, dan Kasman Singodimedjo. Anak-‐anak muda itu tidak hanya didengarkan pendapatnya, namun juga diasah kepekaannya melalui aktivitas menulis. Tidak soal teknik-‐teknik menulis, tapi contoh berupa keteladanan. Aktivitas literasi amat dekat pada diri Salim sehingga interaksi intim dengan generasi muda menghadirkan transformasi nilai terjadi. Dan benar, di kemudian hari, tiga nama anak muda itu tidak hanya tangguh menjaga ideologi Islam tapi juga piawai merangkai kata-‐kata.
Banyak keluhan sering saya terima ihwal organisasi yang kehilangan kadernya. Usut punya usut para kader yang berlepasan itu tidak mendapatkan ruang memadai di organisasinya. Ia memilih keluar, baik memilih bersendiri maupun berpindah organisasi, yang mampu mendorongnya tampil lebih baik lagi. Salah satunya ruang berdiskusi dan menulis. Kedua ruang ini amat kondusif untuk menempa potensi seorang kader muda. Ditambah perhatian dari para senior, kelak di kemudian hari mereka bisa menjadi sosok-‐sosok nan tangguh. Bukan seperti kader bingung layaknya anak muda nan gelisah di atas.
Perhatian umumnya organisasi pada kekuatan anak muda memang sudah ada. Di mana-‐mana ada bidang atau lembaga otonom bagi anak muda. Masalahnya, adakah kanal yang tepat untuk kader yang terbilang “liar” dan “nakal” dalam beride? Harusnya mereka bukan disingkirkan atau ditendang. Tapi, disayangi untuk diberikan ruang. Ada dialog dengan mereka, selain juga tempat mengasah kapasitas diri. Berikan mereka kesempatan untuk berkontemplasi merenungkan ide-‐idenya.
Tidak perlu ada penghakiman diri lebih dulu. Karena, siapa tahu di kemudian hari ada konversi pemikiran.
Saya sering hadapi, anak muda yang dulunya “liar” beride, belakangan saya dapati malah jadi sosok yang alim dan sejalan dengan organisasi. Bukan hasil penundukan organisasi, melainkan ada refleksi yang membuatnya beralih kemudi. Di sinilah pentingnya penundukan dalam wajah intelektual dan santun. Tidak ada kekerasan. Biarkan anak-‐anak muda itu berproses menemukan jati dirinya hingga ia mantap dengan nilai yang diyakininya.
Bukan membuat mereka mencari sendiri. Tugas kita hanya mengayomi, bukan menghakimi dini. “Keganjilan” mereka perlu ruang. Melalui tulisan, setidaknya mereka bisa terpantau hendak apa dan mengapa. Dari sini kita bisa mengajak dan mengarahkan mereka kepada nilai ideal. []
Komunitas Menulis
Untuk bisa menjadi mumpuni, seorang penulis butuh teman. Teman yang mengerti kepenulisan dan tema yang berkaitan dengan bahan penulisan, akan lebih baik lagi. Sekurang-‐kurangnya teman yang mau memotivasi kita untuk terus menyelesaikan setiap halaman per harinya.
Bila satu teman saja begitu ampuh sebagai obat pendorong kesuksesan menulis, apatah lagi bila banyak orang. Bergabung dengan komunitas menulis atau komunitas yang berkaitan dengan ide kepenulisan kita, jauh lebih dahsyat lagi efeknya. Di komunitas kita bisa menimba banyak ide. Kalau di komunitas menulis tempat kita bernaung, akan bertambah daya gunanya, yakni kita memiliki partner penilai. Mereka bisa menjadi kritikus sekaligus tolok ukur perkembangan daya asah tulisan kita.
Meski bukan sebagai anggotanya, Forum Lingkar Pena (FLP) sering saya rekomendasikan kepada beberapa orang yang ingin belajar cepat menulis. Ada pelajaran penting mendapatkan teman-‐teman yang antusias menulis, dan saat yang sama mereka berakhlak baik. Bagi saya, belajar cepat menulis bukanlah dengan mengikuti pelatihan atau workshop berbiaya mahal 1-‐3 hari bersama penulis tenar. Semangat menggebu memang bakal diraih setelah ikut pelatihan atau workshop. Tetapi percayalah, sepekan kemudian tidak banyak yang masih menyimpan energi antusias di atas 75 persen. Seiring waktu, pudar kata-‐kata yang dibombardiri sang pemateri.
Lain halnya dengan konsep pelatihan ataupun workshop yang berkesinambungan. Terlebih disertai adanya ikatan batin antara pemateri atau yang dianggap mumpuni dengan peserta (calon penulis). Suasana informal yang dibangun juga akan kondusif menumbuhkan daya kritis sekaligus daya tangkap yang cepat ketimbang duduk manis di kursi pelatihan resmi. Saling kritik dan saran antarpeserta dalam sebuah komunitas menjadi sebuah kekuatan. Entah dikompetisikan atau tidak di komunitas itu, pembelajaran sesama teman bisa mengakselerasi seorang calon penulis.
Model pembelajaran menulis seperti itu saya dapati di komunitas seperti FLP. Tentu masih ada banyak komunitas kepenulisan yang terapkan hal serupa. Di Yogyakarta, teman saya ada yang bentuk Pesantren Penulis. Sedikit lebih informal pengaderannya dibandingkan FLP yang berwujud organisasi terstruktur. Tapi tidak mengapa, pendirinya pastilah sudah menimbang cara atau media yang tepat dalam membangun komunitas.
Bergabung dalam komunitas memaksa calon penulis yang biasa-‐biasa saja atau masih pemalu menjadi terbuka wawasannya. Ia awalnya kagum dengan temannya yang masih muda tapi sudah begitu hebat mengolah kata. Lebih dari sekadar kagum, ia diam-‐diam bertanya perlahan. Lambat-‐laun ada transfer pengetahuan dan keterampilan. Sangat simpel. Namun, di balik kesimpelan ini ada kekuatan tersendiri, yakni kedekatan membangkitkan energi antusiasme. Yang pesimis bisa jadi mau mencoba lantaran kedekatan tersebut. Tidak ada jarak antara penulis yang “jadi”, “setengah jadi”, ataupun pemula.
Tentu elan vital komunitas sendiri harus dijaga pula. Para penggeraknya tidak boleh berdiam diri dan puas dengan banyaknya anggota. Keragaman gaya juga perlu ditumbuhkan. Silaturahim bersama komunitas di luar mereka modal berharga meluaskan jaringan sekaligus pembelajaran tersendiri. Akan menyesakkan dada para calon penulis yang awalnya berduyun-‐duyun bergabung manakala komunitas menulis itu hanya bekerja stagnan sebatas sebuah organisasi, dan—saat yang sama—berpuas diri dengan prestasi yang pernah dibuatnya di masa lalu.
Penting kiranya komunitas memiliki sebuah ideologi agar para penulis yang bergabung tidak hanya bermain-‐main dengan kata. Tapi, sebaliknya, mereka bisa berdaya dengan kata untuk bangsa. Ada sebuah pemberdayaan dan pendayagunaan penulis. Dinamika dalam komunitas tetap perlu dijaga agar semangat belajar anggotanya tetap
menyala. Dengan demikian, semangat menebarkan kebaikan bagi Indonesia dengan tulisan tidak pernah padam. []
Nama Besar Menulis
Bagi penulis mula atau yang pertama kali mengirimkan naskah, penolakan dari pihak penerbit bukan sebuah tindakan menyesakkan. Sedih, wajar adanya. Sesekali hadir pesimis, garam dalam menulis sebelum bangkit.
Perasaan ditolak mungkin bisa berbeda nuansanya bila posisi penulis sudah dikenal. Atau sudah melahirkan banyak karya penting dan laris, lantas tiba-‐tiba ditolak penerbit—dengan pelbagai alasan. Ada lagi karena ketenaran atau ketokohan diri, penulisnya percaya diri bakal yakin diterbitkan karyanya. Nyatanya, jawaban penolakan yang diterima.
Menerbitkan atau menolak menerbitkan sebuah karya memang lebih adil bila diparameteri dengan standar yang siapa saja bisa mengaksesnya. Kebesaran nama dan tingginya jabatan tidak menjadi garansi pasti diterbitkannya sebuah karya. Sungguh sayang, asa ini susah berlaku di lapangan. Hadirnya tokoh, sosialita, atau nama-‐nama besar di meja redaksi sering menjadi sebuah ujian bagi jajaran penerbit. Seolah karya itu harus diterbitkan. Perasaan ini memang hadir di pihak penerbit, walaupun pihak penulis tidak memaksanya demikian.
Namun, kerap terjadi penulis atau timnya yang amat percaya diri juga yang berposisi memaksa. Seolah nama besar sang tokoh atau penulis itu jaminan pasti larisnya buku. Karena tidak ada prospek lewat mekanisme seleksi, pihak penulis menempuh langkah membayar penerbit. Sejatinya, karya si tokoh tidak layak terbit, tetapi karena pertimbangan kerelasian dan perputaran bisnis (akibat buku diborong si tokoh atau didanai sepenuhnya si tokoh), jadilah buku “terpaksa” itu hadir di publik.
Bagi seorang tokoh atau sosialita yang kaya-‐raya, problem memusingkan berupa penolakan memang tidak bakal terjadi. Uang bicara demi menutupi kekurangan naskah. Banyak cara yang biasa
diterapkan. Intinya, bagaimana buku bisa terbit di penerbit bonafide. Meski didompleng, tidak berarti penerbit merugi. Malah diuntungkan juga dengan posisi buku didanai dan diborong banyak.
Sudah lama terjadi (mantan) pejabat atau tokoh yang menjelang usia 70 tahun membuat buku. Juga yang belakangan mentradisi, pejabat publik aktif membuat buku. Berbeda dengan penulis pada umumnya yang harus melalui proses seleksi, dan sering mendapatkan jawaban pahit, para pejabat atau tokoh lebih dilempangkan di jalur tol. Lagi-‐lagi duit yang bicara. Pencitraan melalui buku harus mulus adanya. Menjadi ironi bila ada jawaban penolakan dari penerbit.
Menangkap peluang banyaknya yang ingin dicitrakan, kalangan penerbit pun berebut. Mereka rela dibeli untuk menerbitkan sang tokoh. Duit masuk, dan terkadang malah ada beberapa buku yang isinya juga menarik perhatian publik. Buku laris sudah tentu pendapatan penerbit pun laris.
Saya membayangkan, kenegarawanan seorang tokoh atau mantan pejabat sebenarnya bisa ditilik dari bagaimana ia menerbitkan karyanya. Pertama, ia menulis sendiri; bukan dituliskan orang lain (ghost writer). Amat berbeda tokoh yang mau serius menulis sendiri pengalamannya dengan yang hanya main bayar penulis bayangan. Kedua, cara menerbitkannya apakah “mendesak” penerbit dengan jaminan nama besarnya. Salah satu “desakan” itu adalah memberikan uang untuk proyek penerbitan karyanya. Teramat beda penulis yang membiarkan naskahnya dinilai apa adanya oleh jajaran redaksi penerbit. Dirinya tidak mengeluarkan uang sepeser pun demi terbitnya karyanya.
Dan terakhir, faktor niat. Seorang tokoh yang menulis dengan motif lurus saja untuk berbagi pengalaman, akan berbeda jejak inspirasinya dengan mereka yang ingin meraih simpati dalam proses kontestasi politik. Berbagi inspirasi dan pencitraan adalah dua aktivitas berbeda. Yang pertama lebih mengedepankan perubahan orang lain, yang kedua demi perubahan diri.
Seorang tokoh atau sosialita negarawan tidak akan pernah marah atau mendendam manakala karyanya ditolak penerbit. Ia bisa memahami logika bisnis di dunia penerbitan. Ia juga tidak memaksakan penerbitan untuk tunduk pada nama besar dirinya. Nah, yang semacam ini, bila ada, tanpa harus kita tunjuk nama pun perlu segera diterbitkan karyanya. Mengapa? Karena ia tokoh atau sosialita yang benar; yang mementingkan kebaikan ketimbang pencitraan.
Maka, sungguh sayang bila kebaikan dari tulisan mereka diabaikan gara-‐gara tiadanya duit dari mereka buat penerbit. []
Bungah Buku Perdana
Dalam beberapa kasus, saya mendapati bungah yang demikian sangat dari para penulis yang baru saja terbit karya perdananya. Karya perdana seperti kelahiran anak pertama. Bahagian yang kadang sukar dilukiskan dengan kata-‐kata. Penulisnya hanya bisa mengungkapkan dengan kata-‐kata emosional atas kebahagiaannya itu.
Kebungahan atas lahirnya buku pertama dialami sama bagi penulis yang pertama kalinya dimuat di surat kabar nasional besar. Bungahnya mengalahkan nominal honor yang bakal diterima. Pun demikian pada penulis buku, bahkan seringnya lebih tinggi rasa senang tak terkiranya.
Bahagia teramat sangat para penulis untuk karya perdana hadir karena mereka telah menetaskan sebuah perjuangan. Karya perdana dibuat nyaris dengan pengalaman terbatas, apa adanya, bahkan bisa saja nol. Sebagian mungkin sudah tahu arah dan kiat menerbitkan buku, tetapi tetap saja bahagia atas kelahiran karya perdana tidak bisa dibendung. Berbeda dengan buku kedua dan seterusnya, penulis sudah merasakan pengalaman hingga membuatnya lebih tidak seemosional saat karya perdana terbit. Kalau ada perasaan bungah, itu lebih karena penambahan jumlah karya atau peningkatan kualitas karya.
Pandangan bahwa menulis buku itu sebuah kerja istimewa, mulia, dan berat masih melekat kuat di benak publik. Publik, sayangnya, tidak tahu bahwa melahirkan buku saat ini begitu mudah. Tidak kudu dengan riset serius di lapangan yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, dan dana. Cukup di meja rumah, sembari menikmati teh dan camilan calon penulis buku bisa berselancar mencari bahan. Bahkan karena begitu ingin menulis buku, bahan kompilasi dari pelbagai sumber ditempuhnya. Buku perdana yang dihasilkannya pun tidak lebih sebagai sebuah suntingan banyak tulisan dan diatasnamakan diri si penulis.
Karena pandangan yang sama itu pula, banyak anak-‐anak muda yang mengimpikan profesi penulis sebagai jalan hidupnya rela menapaki jalan
berantologi ria. Menulis antologi disadari “sebatas” awalan caranya berikhtiar. Masuk antologi begitu bangga dan bungah. Meski hanya memuat tidak sampai 10 halaman, ia bahagia bukan kepalang. Ada namanya dalam buku. Dan itu berarti ia berhak mengakui sudah menulis buku!
Impian calon-‐calon penulis (usia muda) untuk menghasilkan buku perdana segera saja ditangkap oleh sebagian pebisnis tulisan dengan mengenalkan konsep print on demand (POD). Model bisnisnya, pihak pejalan POD mengajak calon penulis memasukkan karyanya. Karya si penulis terbit dan diproduksi sesuai pesanan. Mekanisme seleksi yang ketat relatif tidak ada. Karena ingin terbit segera, tiadanya seleksi menjadi daya tarik tersendiri. Soal kualitas, tidak melulu karya kacangan yang hadir dalam format POD.
Yang tidak dengan jalur POD, ada pula yang menggunakan kata self publishing. Ada yang sudah tepat mempraktikkannya sesuai makna asal kata ini. Yakni si calon penulis menerbitkan sendiri, mencetaknya sesuai kemampuan finansialnya. Ia juga yang memasarkan sendiri, tentu dibantu teman ataupun timnya. Jadi, semua dikerjakan sendiri.
Namun, ada pebisnis perbukuan dari kalangan penerbit yang “mencuri” istilah self publishing. Mereka menawarkan kepada calon penulis yang mau terbit karyanya dengan membuat besaran rupiah tertentu. Dengan membayar sekian, karya si calon penulis terbit sekian buah. Semakin mahal, semakin banyak eksemplar yang dicetak. Pemasaran buku ditangani pelaku (daku) self publishing ini.
Kalangan yang menggunakan cara terakhir sadar, banyak akademisi, pejabat, dan tentu penulis baru yang ingin karyanya terbit. Bahkan kalangan akademisi dan pejabat tidak memedulikan soal harga, yang penting karya mereka hadir. Tujuan karier dan politis menjadi misinya, otomatis rupiah untuk menghasilkan produksi buku sudah mereka anggarkan. Nah, ada pihak yang kemudian menangkap peluang
keinginan para dosen dan pejabat yang ingin menerbitkan tulisan atau profil dirinya.
Bandingkan kemampuan pejabat dan akademisi yang memang begitu ngebet dan didukung kemampuan keuangan dengan sekelompok mahasiswa yang ingin kumpulan bersama cerita pendek atau puisinya terbit. Yang mahasiswa sudah bangga asal buku perdana terbit, sebuah kepuasan batin. Yang akademisi, kadang juga demikian, meskipun sama juga dengan yang pejabat: bangga untuk investasi kariernya. Jadi, kalau para penulis antologi bungah begitu karya perdananya hadir, para akademisi dan terutama pejabat hadirnya buku perdana akan disyukuri saat “hasil investasinya” menuai hasil berupa kenaikan pangkat atau citra di publik. []
Tantangan Buku Pertama
Buku pertama sering menerbitkan kesan tersendiri yang begitu mendalam pada banyak penulis. Bagi penulis yang berkali-‐kali ditolak naskahnya, penerbitan karya perdana menjadi penyambung asa yang sempat terpuruk. Antara yakin dan tidak yakin, optimisme berangsur luruh. Begitu karya perdana hadir, energi bangkit seketika hadir.
Kesan mendalam atas terbitnya buku pertama hadir karena perjuangan kita seperti ada hasilnya. Memang belum tampak perubahan seperti apa yang mampu dilakukan karya kita. Juga dengan serapan pasar, apakah akan laris ataukah karya kita sekadar dipajang di rak toko buku terpandang.
Bagi yang berkali-‐kali mengirimkan naskah, dengan sekian pengorbanan materi dan waktu, terbitnya karya perdana menjadi semacam kompensasi atas keletihan yang pernah dibuat. Soal masa depan naskah perdana ini bagaimana, galibnya sang penulis masih membungahi hatinya. Karena pengalaman buku terbit seolah sesuatu yang amat luar biasa. Tidak hanya penulis di daerah atau tempat pelosok. Penulis bermukim di kota pun merasakan sensasi puasnya karya pertama diterbitkan.
Sebagai pengingat saja, diterbitkan yang dimaksud di sini adalah bukan oleh penerbit diri sendiri alias self-‐publishing. Kita berburu dari katalog penerbit saat hadiri pameran buku. Satu demi satu penerbit ditawari naskah kita. Satu demi satu pula penolakan menghampiri kita. Awalnya kecewa, lambat laun malah terbiasa dengan penolakan. Sebagian penulis lain lagi. Awalnya biasa ditolak, tapi saking bosan dengan jawaban penolakan akhirnya malah kecewa. Setelah itu, berhenti menulis.
Agar karya perdana bisa segera hadir, pintar-‐pintarlah memilih penerbit. Tidak perlu paksakan diri harus terbit di penerbit terkenal dan besar di Ibu Kota. Cek kualitas naskah kita dengan jujur. Tidak salah memang
kalau kita langsung mengirimkan naskah ke penerbit besar dan terkenal. Tapi kita juga harus siapkan peneguhan hati apabila jawaban redaksi penerbit berbeda dengan harapan besar kita.
Mengharuskan karya perdana segera terbit, apalagi dikaitkan dengan momentum tertentu (semisal merayakan ulang tahun kelahiran kita), kerap lahirkan blunder. Agar harus terbit, kita masukkan naskah ke penerbit abal-‐abal. Buku memang terbit, tapi di kemudian hari yang hadir rasa sesal. Sesal karena karya kita meledak di pasaran, sementara bayaran royalti tidak pernah ditransfer. Atau bisa pula penerbitnya memaksa kita menerapkan sistem beli-‐putus buat naskah yang sejatinya amat berbeda dari yang ada.
Yang juga harus disadari oleh penulis mula adalah usai perayaan pecah telur karya perdana. Karya perdana terbit, hentikan bahagia yang luar biasa itu. Buang semua kebanggaan itu, dan segeralah beranjak ke meja laptop untuk menulis. Merangkai karya kedua, ketiga, dan seterusnya jauh lebih baik ketimbang memikirkan karya perdana yang sudah terbit. Mending memikirkan kekurangan yang ada dari karya perdana. Amat percuma kalau kita hanya memikirkan sesal-‐sesal akibat kecerobohan kita yang main tunjuk penerbit abal-‐abal. Jadikan pengalaman yang lewat sebagai pelajaran berharga.
Perhatian pada karya kedua ini penting. Mengapa? Banyak penulis yang terkaget dengan ledakan penjualan karya perdana. Tidak dinyana, karyanya diminati pembaca. Memang tidak best seller seketika. Menaiknya angka penjualan sebuah kabar bahagia tersendiri. Ini juga momentum ujian berikutnya. Karya kedua tentu harus bisa lebih baik dari karya perdana. Paling tidak secara kualitas pengerjaan. Syukur bila diikuti hasil penjualan.
Patokan untuk menilai kesungguhan dan konsistensi penulis ada pada buku kedua. Mulai dari proses kelahiran hingga penjualan karyanya. Karya kedua menjadi tokok ukur apakah penulisnya mencukupkan diri
pada popularitas yang diraih melalui karya perdana ataukah ia masih berambisi lebih jauh lagi.
Ada seorang teman yang penulis. Buku perdananya cukup baik penjualannya. Sayang, pada buku berikutnya ia kurang menyiapkan diri untuk mempertahankan atau bahkan melanjutkan kesuksesan yang diraihnya itu. Ia malah memikirkan soal royalti ketimbang meningkatkan kapasitas diri. Sejauh tidak merusak konsentrasi dan komitmen, menuntut roya l t i ada lah hak dan amat bo leh . Namun, membicarakannya sampai melupakan pengerjaan apik karya keduanya, ini yang tidak tepat.
Maka, selesaikanlah urusan dengan memilih penerbit yang bonafide, jujur lagi amanah. Dengan demikian, urusan buku perdana selesai dan kita bisa fokus menghasilkan buku kedua dan seterusnya. []
Mengolah Berbeda Tema Hangat
Bisa dikatakan hidup teman saya berubah sejak buku keenambelasnya menyandang predikat best seller. Buku yang berisikan pengembangan diri bercitarasa agama menaikkan pamornya dari seorang dai kampung menjadi pembicara nasional. Dari yang sebatas pembicara paling jauh setingkat kabupaten dan itu pun satu komunitas, kini perusahaan nasional pun menempatkannya sebagai motivator. Bila dulu mobil penjemput sudah terbilang mewah, maskapai kebanggaan terbaik negeri ini kini jadi langganannya. Pergi ke mancanegara hingga berhaji pun sudah dilakoni.
Rezeki teman saya itu bukan diraih tiba-‐tiba. Belasan judul ditulis, dan baru karya ke-‐16 bisa diterima luas merupakan tanda sahih perjuangan teman saya tidak instan. Kesabarannya berbuah di kemudian hari.
Yang menarik, karya yang mengangkat namanya sebenarnya tidak istimewa amat. Tidak ada kebaruan dari segi isi. Isinya soal materi pengajian halaqah komunitas Tarbiyah. Hanya, teman saya mampu menyajikan perbedaan dari segi penulisan dan pembahasaan. Materi internal kelompok dipermak seolah materi pengembangan diri. “Kecelakaannya”, teman saya dianggap motivator alih-‐alih ustad. Dan belakangan malah ia bisa menikmati predikat barunya ini. Perluasan lahan dakwah kiranya.
Berbeda dengan buku-‐buku serupa yang serius dan terkesan untuk pembaca yang sudah paham agama, teman saya tidak mengesankan buku-‐bukunya sebagai karya semacam itu. Bahasa motivasi dipilihnya. Pengalaman selama menjadi dai dan pengelola halaqah digayakannya dengan kekinian. Sedikit sentuhan ngepop dan bahasa gaul, jadilah bukunya diterima luas. Anak SMP kelas awal pun mampu menikmati karyanya, Zero to Hero. Karya ini hingga saya tuliskan di sini sudah naik cetak mendekati angka 20!
Setelah karya tersebut, ia teruskan dengan genre serupa. Ia sudah membuat trilogi karya serupa. Jadi, sukses atau tidak di karya ke-‐16, ia sudah siapkan lanjutannya. Karena sukses, buku sekuelnya pun dikebutnya. Kebetulan teman saya ini tipe pembelajar sejati. Didengar dan dicatatnya setiap masukan. Apa yang baru ditemuinya diikatnya dalam tulisan. Dengan kerendahan hati semuanya itu dituangkan dalam karya-‐karyanya. Dan, alhamdulillah, sukses juga karya berikutnya.
Ada pepatah bijak bilang begini, selama ada matahari, tidak ada yang sama sekali baru. Yang kita temui ide-‐ide lanjutan atau pengembangan dari ide yang ada. Atau kadang titik temu dengan ide yang sudah digagas orang-‐orang terdahulu. Dalam menulis buku, gagasan baru tentu tidak berarti sama sekali belum pernah ada yang mengungkapnya. Mungkin sudah ada, hanya tidak sedalam dan seunik gagasan kita.
Gagasan baru dalam menulis tidak hanya dalam ide atau substansi tulisan, tapi juga sekadar penyajian. Seperti teman saya, nyaris semua materinya tidak ada yang baru. Yang baru adalah ia mampu menuangkan bahasan yang sudah rutin beredar di kalangan komunitas tertentu menjadi sesuatu yang tampak berbeda sama sekali. Sehingga, orang yang membacanya pun—walau anggota komunitas itu—seperti dapat penyegaran. Materi lama yang pernah diingatinya tapi mampu dikunyah karena sajian baru.
Bermain dengan penyajian dan pembahasan unik ini perlu ditempuh ketika tema yang sudah dibahas banyak dibicarakan atau ditulis orang. Buku soal korupsi nyaris tidak ada yang laku keras di pasaran. Alur bahasannya pasti sudah bisa ditebak pembaca. Ini karena tidak ada gagasan jalan keluar dari masalah yang ada. Yang dibahas perulangan dari wacana di media massa. Bayangkan kalau soal korupsi dikemukakan dengan fabel semacam Animal Farm karya George Orwell. Dibuat novel, ditambah ilustrasi memikat. Singkatnya, buat suatu teman tetap hangat dibaca dengan cara berbeda dari buku yang pernah edar.
Gagasan baru dari suatu naskah terlahir dari kemauan keras penulisnya untuk membuka diri atas pengalaman orang lain. Juga kesungguhannya untuk menelaah literatur yang ada. Prinsipnya, ia kudu terbuka. Cara serupa berlaku ketika si penulis ingin tampil beda dan “baru” dari segi pembahasan dan pembahasaan. Seperti teman saya tadi, ia hanya menjadi pendengar yang baik dari orang lain yang kaya pengalaman. Ia juga penyimak dari ceramah orang lain yang luas dan dalam ilmunya. Namun, semua itu ia jadikan sebagai sesuatu yang berbeda saat disajikan kepada orang lain. Materi lama dengan kemasan baru.
Menariknya, banyak yang suka. Bahasan berat dibuat ringan dan sederhana serta kontekstual. Sementara pesan intinya tetap masuk. Ya, itulah cara kreatif keluar dari tema hangat dan banyak dibahas tapi bisa tetap mengundang keingintahuan pembaca. []
Penulis Trendi
Banyak penulis baru yang terdorong menulis tema yang sedang tren. Sedang ramai-‐ramainya fiksi islami bernuansa percintaan, berjibun naskah seputar ini. Tengah riuhnya buku motivasi bisnis berbasis bebas utang, berduyun-‐duyun bermunculan buku serupa. Keajaiban sebuah ritual shalat, diikuti buku lain dalam ritual shalat yang berbeda.
Tren memang menciptakan lingkungan dan komunitas tersendiri. Durasi waktunya memang tidak lama, sekitar 1-‐3 tahunan, namun daya tariknya bisa menghadirkan kemunculan penulis baru. Sampai hari ini genre novel islami bernuansa percintaan masih terus bermunculan. Buku bisnis setipe masih saja hadir kendati pasar sudah sering dibombardir tema serupa.
Tren yang mampu melahirkan penulis tertentu sebagai pemain penting, mendorong banyak penulis untuk tergiur melakukan cara serupa. Amati, tiru, dan modifikasi (ATM) kerap dipakai sebagai jurus epigon berdalihkan kreativitas. Sepintas hadirkan sesuatu yang beda tapi isinya gunakan logika yang sama.
Turut menulis tema yang sukses ditulis orang tidaklah sama dengan mengemas ulang tema yang sering dibahas. Yang pertama, orang lain sukses dengan tema ini, lantas kita tergerak ikut mengangkat dengan sedikit modifikasi. Hadirnya motivasi lebih kuat dari kesuksesan orang lain. Yang kedua, suatu tema kerap dibahas, tapi kita bahas dengan pendekatan atau penceritaan berbeda. Motivasi yang lebih kuat di jiwa penulis berasal dari dalam dirinya.
Siapa pun bisa ngiler mendapati kesuksesan penulis yang bermain sendiri dengan tema unik. Penerbit dan penulis, keduanya kepincut untuk meniru sang penulis pelopor tema tertentu. Rahasia Shalat Tahajud menarik banyak orang, dibuatlah “kreativitas” mencari-‐cari manfaat rahasia Shalat Duha hingga shalat fardhu.
Penerbit, khususnya, lebih mudah lagi dalam “berulah”. Ia punya telik sandi sejak di toko ritel. Tahu mana yang pangsanya tengah booming. Bahkan telik sandi pertama yang berbahaya kadang justru toko ritel itu sendiri lantaran ia juga menjadi penerbit besar. Tahu kan siapa yang dimaksud?
Penerbit bisa memunculkan penulis untuk segera menulis tema yang dirasakan hangat dalam beberapa bulan ke depan. Buku trendi memang cepat diserap lantaran ada momentum. Meski berdurasi pendek, uang kas keras untuk jangka pendeknya cepat mengalir. Sudah banyak yang buktikan ini sehingga sudah galib dipraktikkan para penerbit.
Sekadar menjadi penerbit atau penulis trendi tentu hanya kerepotan mengikuti pasar. Saya berkeyakinan, mereka yang tekun dengan pilihan ini hanya menjadi peramai dan penikmat pasar. Tidak lebih. Dalam kesejarahan dan khazanah beberapa jangka waktu ke depan, jangan harap namanya dikenal selain sebagai oportunis.
Seorang teman yang tidak berlatar kedokteran bisa menulis buku soal medis. Ia hanya bermodal googling. Googling menjadi senjata ampuh dan mungkin pamungkas para penulis trendi. Isu yang berseliweran di internet dirangkum dan dikompilasi. Di sebagian penerbit ada staf yang khusus mencari data dari internet. Data-‐data itu dikumpulkan untuk diolah para penulis. Penulisnya kadang relasi mereka, tapi tidak jarang awak redaksi sendiri yang kelak di bukunya berganti nama.
Era perbukuan yang sezaman dengan kemajuan internet meniscayakan berkembangnya pemikiran instan dan cepat saji. Konsekuensinya, peniruan dan pemodifikasian hal yang lazim ditemui. Yang harus dipikirkan oleh para penulis trendi adalah rentang usia karier mereka ke depan. Betul, faktanya memang menjadi penulis yang khusus mengulas hal-‐hal trendi bisa cepat meraup rupiah. Pertanyaannya, lantas kapan kita harus berpuas sebagai penikmat tren? Kapan menjadi pionir sebuah tren?
Ketakutan saya, penulis trendi itu jadi tidak kreatif. Kreativitas mereka terbatas dengan mengembangkan yang sudah terbukti laris dulu. Keberanian mencoba sesuatu yang menantang kurang. Bila ini yang terjadi, jangan harap kemajuan meraih rupiah dari yang sudah dinikmati akan berkali lipat. Karena kita sudah berpuas dengan yang ada; menjadi penikmat tren bikinan orang.
Padahal, larut dalam tren sebenarnya bisa jadi pelajaran untuk menciptakan tren berbeda. Pola-‐polanya bisa kita tiru. Tidak masalah awalnya kita menulis karena sedang tren tema tertentu. Namun, pelajari bagaimana naik atau turunnya tema itu bekerja. Sekali dua kali, insya Allah akan terasa polanya. Bila belum dapat, karya ketiga dan seterusnya akan teraih.
Yang jelas, menjadi penulis khusus tema yang trendi harusnya menjadi semacam latihan saja. Bukan kebanggaan klimaks. Untuk apa bangga atas karya yang tema itu memang sudah ramai dibicarakan orang? Kita sukses setelah masuk di pasar yang sudah dirintis orang lain.
Nah, kini giliran Anda membuktikan mampu membuat tren. Kalaupun tidak jadi tren, tidak apa, paling tidak ada pengalaman menerapkan pembacaan kita atas kebutuhan publik terhadap suatu tema. []
Mengekor Karya Emas Orang
Begitu Ayat-‐ayat Cinta menuai kesuksesan luar biasa, berlahiran novel satu genre dengan tanpa malu-‐malu menggunakan kata akhiran serupa: cinta. Maka, dihujanilah publik dengan novel menggunakan judul dari istilah Islam dikawinkan dengan kata cinta. Dari syahadat hingga zikir dipakai tanpa malu-‐malu demi mengekor novel yang juga cukup sukses saat dilayarlebarkan itu.
Di antara pengekor judul itu, sebagian di antaranya turut kecipratan efek emosi publik sastra islami. Di Yogyakarta ada penerbit yang mendadak kaya-‐raya dengan teknik mengekor judul Ayat-‐ayat Cinta.
Kasus mengekor sebuah judul yang populer dan diburu luas publik bukan hal aneh. Bila judul saja ditiru habis, bukan hal heran ketika tulisan semodel juga diikuti. Lihat saja buku-‐buku perjalanan dengan biaya murah meriah; yang satu muncul, menginspirasi yang lain untuk membukukan atau sengaja bepergian demi menulis buku.
Amati, tiru, dan modifikasi alias ATM rupanya masih jadi ciri kuat di dunia penerbitan buku kita. Kalangan penerbit paham mana karya pesaing yang bisa diikuti kesuksesannya. Sudah tentu, penulis orderan yang ditunjuk penerbit ini bakal kecipratan tugas—dan tentunya rezeki. Yang sial, penulis yang sejatinya tidak tahu-‐menahu dan isinya tidaklah sama dengan karya yang diekori, mendadak diarahkan menjadi seperti karya yang diincar penerbit. Judul yang dipaksakan hadir agar penerbit bisa menuai kesuksesan buku yang tengah digandrungi. Syahadat Cinta bisa disebut di sini sebagai contoh hingga si penulisnya harus menyempatkan waktu untuk berpolemik gara-‐gara dituding turut berandil mengekor judul novel Ayat-‐ayat Cinta (belakangan terbukti, peniruan gaya judul tak lebih ulah penerbit buku Syahadat).
ATM akan mudah dilakukan ketika ada satu karya yang meledak keras. Bisa dipastikan kalangan penerbit tidak mau rezeki hanya bersemayam pada satu kawan mereka saja. Berduyun-‐duyunlah mereka membuat
karya serupa. Kehadiran tokoh beken mendadak, ditambah ada stok perajin tulisan di daftar redaksinya, buku ekoran pun taklama muncul di rak toko buku.
Bagi penerbit, pengekoran semata karena dorongan bisnis. Naluri untuk ikut menikmati keuntungan lebih mengemuka kendati—kadang—kreativitas terabaikan. Maka, di sinilah letak tanggung jawab penulis untuk mengingatkan penerbit. Betapapun waktu yang diminta pendek, harus ada pembeda dibandingkan karya yang ditiru. Jangan sampai penulis hanya memikirkan laba pribadi, sementara publik sudah membeli karyanya yang sejatinya tidak ada bedanya dengan karya laris manis yang sudah kadung diborong.
Penulis-‐penulis pemula biasanya banyak menggunakan ATM demi memotivasi diri. Tidak mengapa apabila tujuannya untuk belajar dan berlatih. Hanya di tengah jalan kudu berani membuat keunikan dan kekhasan. Penulis yang hanya pintar meniru, tidak memberikan benefit bagi peradaban. Boleh-‐boleh saja mengamati dan meniru pelbagai tema dan gaya penulisan yang ada. Ini bagian dari memajukan diri. Tinggal bagaimana menjadikan pembelajaran diri ini lebih berkreasi.
Kiranya penulis bisa mempelajari kesuksesan Apple yang mana temuan inovatif mereka sebenarnya tidak selalu orisinal. Ada jejak peniruan dan terinspirasi dari karya orang lain. Apple bukan yang pertama, bahkan Steve Jobs sendiri mengakui bahwa mereka sering menjiplak karya orang lain. Namun, Jobs dan para insinyur Apple melakukan nilai tambah; tidak sekadar memodifikasi asal-‐asalan. Dan pada akhirnya kita terkagum bahwa di balik karya mereka ada keunikan orisinal—padahal tidak demikian!
Penulis bisa saja mengangkat kisah inspiratif semodel Laskar Pelangi. Tetapi, menuliskan dan memaksakan terbit di kala ada novel yang diburu orang, hanya menjadikan kita sukses selaku pengekor atau malah jadi cibiran. Publik kian cerdas, mana yang orisinal dan mana yang
pengekor. Sehebat apa pun penerbit mengamuflase karya ekoran, publik akan paham.
Jobs dan Apple tidak tergegas untuk melakukan peniruan ketika ada produk yang jadi tren. Mereka membiarkan tren milik orang lain. Mereka memilih untuk mempelajari inovasi “kecil dan sepi” pemain yang tidak besar, tetapi di kemudian hari mereka gubah jadi temuan revolusioner. Sementara pesaing besar dan melesat dengan temuan yang dibicarakan luas publik, Apple memilih jalan sendiri seolah tidak acuh. Padahal, mereka tentu tidak tidur ketika pesaing melakukan terobosan produk. Hanya, mereka memilih tidak meladeni komentar para kritikus ataupun pemuja produk pesaing.
Maka, penulis dan penerbit mestinya bisa menyabarkan diri untuk tidak hanya memikirkan benefit jangka pendek. Umur tren buku kira-‐kira satu dekade paling lama. Setelah itu, karya yang ramai dibincangkan akan mulai sepi diburu, dan lebih banyak dikaji di bangku akademis belaka. Saat putaran sedekade lewat itulah, penulis dan penerbit bisa menghadirkan ulang karya yang sebelumnya pernah menuai sukses. Jadi, jangan cemas karya kita terbit seolah tertinggal sepuluh tahun.Kalaupun zaman belum memungkinkan, waktu diundur tidak masalah. Patokannya adalah zaman membutuhkannya. Sepuluh tahun waktu paling cepat.
Mungkin bagi penerbit dan penulis yang tidak sabaran, usulan saya di atas terasa absurd. Betapa tidak, mereka harus terus berbisnis dan mengais pundi rupiah. Selagi ada tren, kenapa dibiarkan hanya milik penerbit atau penulis itu-‐itu saja? Logis. Tetapi lupakah kita bahwa sekadar menjadi pengekor hanya beruntung dari segi penjualan, tetapi tidak dari segi sejarah. Pertanyaannya, penulis dan penerbit mau mencetak uang belaka atau sekaligus sejarah?
Rasa-‐rasanya pemilih fulus yang paling kuat dan banyak. Nah, tugas penulis dalam hal ini untuk merenungkan potensi kesejarahan dirinya. Menyimpan beberapa masa karya yang di inspirasi karya emas orang
lain, demi torehan sejarah di waktu berbeda. Sabar akan lebih baik ketimbang kita hanya kaya secara materi. Waktu yang ada untuk bersabar bisa kita gunakan untuk mengisi kedalaman perbedaan yang memperkaya karya kita lebih baik dari karya yang ditiru atau diekori. Langkah Apple soal semacam ini patut ditimbang. []
Peran Sang Pendamping Tercinta
Saya terkejut menyaksamai naskah yang di layar komputer. Karya si penulis kali ini tidak seperti karya-‐karya terdahulu. Lebih rapi, kata-‐katanya terpilih, dan yang terpenting serasa sudah disunting.
Keheranan saya juga terjadi pada naskah milik penulis berbeda. Kesannya sama. Lebih rapi dan ada jejak kuat telah disunting lebih dulu sebelum masuk ke meja kerja saya. Suntingan bukan dari si penulisnya, tapi dari orang lain. Bahkan dalam kasus penulis kedua ini begitu kuat ada campur tangan orang kedua di naskahnya. Diksi yang mengundang pangling jelas menandaskan ada pihak yang terlibat.
Prasangka saya terkonfirmasi. Kedua penulis itu memang dibantu oleh orang kedua, dan orang kedua itu tidak lain adalah pasangannya masing-‐masing. Dalam hal ini, karena kedua penulis itu laki-‐laki, istri mereka. Sungguh berarti peranan mereka; andil mereka mengubah banyak hal. Saya yakin, pembaca menyangkanya ini andil editor, padahal jelas ini “ulah” istri penulis.
Dalam kasus penulis pertama ada hal unik. Buku yang sudah diterbitkan tidak kurang enam judul. Pada karya ketujuhlah terasa ada perbedaan. Mengapa sang istri berandil di karya ketujuh, dan bukan sejak karya perdana? Sempat terpikir keisengan saya, tampaknya sang istri “gemas” dengan karya sang suami. Lantas, ia yang sebenarnya punya bakat ingin turut intervensi. Sebuah putusan yang tidak salah. Karya penulis ini tambak rancak. Paling tidak, tugas saya menyunting pun tambah ringan sehingga buku cepat cetak dari jadwal semestinya.
Dalam kasus penulis lebih tegas status sang istri. Istri penulis ternyata memang hobi menulis. Pasangan yang baru menikah ini pun berkolaborasi. Lebih tepat, sang istri menjadi pendamping suaminya. Bahasa resmi yang disampaikan ke saya, sang istri menjadi editor pertamanya sebelum saya. Editor bukan sembarang editor lantaran sang istrinya juga ikut berandil menuangkan gagasan di naskah
tersebut. Pengaruhnya bukan sekadar hasil suntingan, tapi juga cita rasa. Saya yakin, pembaca setia penulis yang sudah menelurkan beberapa buku ini (sekitar 6-‐7 buku) akan pangling juga.
Disadari atau tidak, pembaca buku setia penulis tertentu, semisal dua kasus di atas, kudu berbaik sangka dengan keberadaan pasangan penulis. Di balik racikan bagus, tidak hanya kehebatan si penulis. Soal editor resmi penerbit sudah jamak diketahui. Lain halnya dengan editor atau pemberi bumbu naskah di rumah penulis sendiri. Sayangnya, keberadaan mereka diluputkan kita, para pembaca. Seolah-‐olah hebatnya naskah tidak ada andil dari pasangan sang penulis.
Bahkan soal ide, boleh jadi sebetulnya sang suami atau istri hanya menuliskan saja. Pasangannyalah yang memberikan sebuah kekayaan batin dari ceritanya langsung. Bila bukan pemberi ide, andil intervensinyalah yang membuat karya pasangan tercinta lebih menggigit dan menyentuh hati pembaca.
Ternyata sisi lain dari kemanfaatan adanya pasangan hidup yang sah bagi seorang penulis adalah ia menjadi suluh dari kariernya. Tulisannya hingga etos kerjanya tersulut dengan hadirnya sang pasangan. Bahkan bila sang pasangan yang menjadi penulis tidak sungkan mengangkat kekasihnya itu, bisa juga hadir karya kolaborasi. Pasangan jiwa menulis bersama? Sungguh indah dan luar biasa. Itulah yang bisa terjadi ketika keduanya saling mengerti dan memberikan ruang.
Bila pada penulis pertama, sang pasangan mencukupkan diri sebagai orang di balik layar, dalam kasus penulis kedua tadi belakangan sang istri juga muncul terang sebagai penulis. Terkadang mereka menulis berdua. Atau malah bisa posisi kedua, sang suami yang jadi penulis pendamping. Sang istri yang selama ini di balik layar harus didampingi juga meski kadar kepenulisannya sudah memadai. Mungkin rasa malu masih kuat menutupi.
Menulis bersama pasangan terkasih secara alamiah akan terasa energi spontanitasnya ketimbang diarahkan oleh skenario penerbit. Biasanya, penerbit melihat potensi pasangan seorang penulis terkenal, lantas diusulkanlah buku bersama. Meski sudah diselubungi dengan kerja hebat editornya, tetap saja akan tercium nuansa pembisnisannya. Lain halnya bila aktivitas menulis itu berawal dari inisiatif pasangan penulis itu yang kemudian ditindaklanjuti bersama oleh sang kekasih. Dalam hal ini, penerbit tinggal menerima beres atau sekadar menyeliai kekurangan naskah yang ada tersebut.
Kehebatan seorang penulis jangan lupa bisa kita lihat dari selembaran coretan sederhana yang biasanya hadir di kata-‐kata ucapan terima kasih penulis. Di sana selain ada nama-‐nama orang yang berandil di balik layar, sering terlihat luapan perasaan sang penulis terhadap orang terdekat. Jadi, tersebutnya nama-‐nama pasangan beserta anggota keluarga bukanlah sebuah formalitas. Penulis yang sadar soal peran orang di balik layar, pastilah tidak akan melupakan hal ini. Ia bahkan sudah mengkhususkan halaman bagi mereka. Sebuah dedikasi bagi orang-‐orang tercinta.
Penulis yang baik, tidak akan meluputkan peranan mereka, hatta dalam ucapan terima kasihnya sependek apa pun. Bagi kita, pembaca, penulis yang mengabaikan peranan orang terkasihnya, dapat ditandai sebagai sebuah noktah berharga. Jangan kaget bila ditemui ada penulis bermasalah di kemudian hari dengan pasangannya ternyata sudah “terendus” dari kebiasaannya mengabaikan nama sang kekasihnya itu. []
Mendudukkan Sang Asisten
Predikat profesor termuda di sebuah kampus negeri terkemuka di Kota Pendidikan pernah diraih lelaki yang produktif menulis itu. Sebuah pengakuan yang wajar lantaran sang profesor memang gila menulis. Buku-‐buku, artikel di koran, makalah hingga jurnal ilmiah sudah banyak ditulisnya. Sungguh teladan yang baik kepada sesama kolega dan anak didik.
Tapi kekaguman saya runtuh begitu diberi tahu bahwa sang profesor melibatkan banyak asisten. Setidaknya ada 3-‐5 asisten yang kerja keras mengelilingi sang profesor berkaitan dengan aktivitas akademis. Sang profesor hanya memberikan bahan atau gagasan. Selanjutnya, asistennyalah yang menulis. Jadi, di tengah kesibukan selama ini sang profesor, saya salah duga. Ia tidak sesekali dituliskan asistennya, melainkan seseringnya. Tulisan yang saya baca pasti hasil karya asistennya!
Menulis dengan bantuan asisten, yang kemudian tulisannya didakui hanya dengan nama orang penting (profesor dalam kasus ini) memang sudah jamak di negeri ini. Produktifnya akademisi jangan dibayangkan betul-‐betul ia banting tulang mencari bahan sendiri hingga menuangkannya ke layar laptop secara mandiri. Ia harus bergantung dengan orang lain, dan kebergantungan ini bukan karena sebuah keterpaksaan melainkan kebiasaan saja. Awalnya masuk akal menggunakan jasa asisten, lama-‐lama malah keasyikan hingga jadi tradisi di perguruan tinggi.
Idealnya, asisten diletakkan pada porsi yang wajar, semisal sekadar pengumpul bahan atau korektor tulisan sang profesor. Bilapun ia yang menuliskan, namanya wajib ada. Apalagi ialah satu-‐satunya yang bekerja keras, alias sang bos terima beres. Anehnya, nama ia dihilangkan; yang ada nama si beken, bosnya. Tentu fenomena semacam ini bentuk korupsi dan kebohongan publik.
Celakanya, saking bergantung pada sang asisten, kesibukan si bos meluncurkan sebuah kenaifan. Semua dipercayakan pada asisten. Saat yang sama, asistennya juga culas—entah karena sudah capek ataukah karena kelemahan kompetensi. Si asisten asal menulis; menulis yang bukan dari kerja intelektual. Ia malah ambil bahan dari internet lalu dikompilasikan menjadi artikel atas nama sang bos.
Di kemudian hari, kompilasi itu diketahui publik. Kalau sekadar kompilasi dengan menyebutkan sumber rujukan tidaklah menerbitkan aib yang parah. Lain bila sumber rujukan pun dihilangkan, yang artinya tidak mengakui orang lainlah di balik sebuah ide. Maka, jatuhlah nama baik sang bos. Asisten? Ia bisa selamat kalau mendapatkan bos yang mau tanggung jawab, seperti pernah dialami seorang dosen bergelar dokter di UGM yang juga pejabat penting di Kementerian Agama. Nama baik asisten aman, hanya reputasi sang bos yang hancur-‐hancuran di mata publik.
Kalau si bos mengorbankan asisten, sungguh bersiaplah menerima ketidakadilan. Sang asisten dikorbankan atas nama menjaga nama baik sang dosen. Semua kesalahan ditimpakan kepada sang asisten. Padahal, boleh jadi, perbuatannya atas sepengetahuan sang bos.
Dalam menulis buku, tugas asisten mestilah didudukkan dengan sebenarnya sembari menghargai jerih payah mereka. Seorang teman ada yang ditugasi di kantornya sekadar tukang kumpul-‐kumpul bahan dari internet. Bukan ia yang bakal menuliskannya menjadi buku, melainkan orang lain. Syukurnya, di kemudian hari, sang teman ini tidak puas sebagai pemasok informasi bagi orang lain. Ia pun tergerak untuk menulis sendiri.
Sebagai penulis mula, sering kali kita tidak merasa butuh orang lain dalam soal penyediaan bahan tulisan. Kita masih sering mencari dan mendapatkan sendiri. Ada kepuasan batin tersendiri dibandingkan menerima begitu saja dari orang lain. Sebagai makhluk sosial, kerja
sama amatlah masuk akal. Yang tidak masuk akal adalah mewajarkan berdusta.
Atas nama kitalah pemilik ide, orang lain diminta menulis. Menulis yang kemudian didakui hasil karyanya hanya karena ide berasal dari dirinya. Sejak awal, perlu para penulis mula menempa soal ini. Ia harus menghargai proses kreativitas dan intelektualisme. Asisten kepenulisan didudukkan dengan bijak dan adil. Bukan malah korban eksploitasi yang kemudian enggan diakui kiprahnya. Disebut bila kita mau lepas tangan. Tidak mau melindunginya meski itu bukan salah kita faktanya. []
Menyebut Nama Keluarga
Perempuan penulis itu menyebutkan nama kakak, seorang dai dan juga penulis. Tidak tahu apa maksudnya membuat pengantar mengenalkan sang kakak. Sudah tentu saya sudah kenal sang kakak. Referensi keunggulan kualitas? Nanti dulu. Tidak ada kaitan dua saudara secara otomatis berpengaruh dengan karya tulisnya. Pendek kata, karena pertimbangan belum sesuai kriteria, naskah perempuan itu saya tolak untuk diterbitkan.
Bukan jelek hasil karyanya, semata karena kebutuhan. Tapi ini soal lain. Saya masih tergelitik dengan cara mengenalkan dirinya. Jujur, saya malah lebih mengagumi seorang penulis itu sebagai dirinya sendiri. Tidak perlu menghubungkan dengan orang lain, meskipun itu orangtua sendiri. Karya kita adalah karya diri sendiri, dan karena itulah penerbit menyukainya. Bukan karena penerbit simpati atau tidak enak dengan nama besar orang terdekat penulis.
Tapi itu belum parah. Suatu saat saya tidak menyetujui terbitnya sebuah novel karya seorang saudara novelis terkemuka. Bukan apa-‐apa, isinya biasa saja. Tidak ada keunikan di dalamnya. Sayang, putusan saya sebagai editor dianulir manajemen kantor. Dengan pertimbangan satu dua hal, naskah itu diloloskan. Sebuah pergulatan bagi saya saat menyuntingnya. Naskah yang tidak saya suka malah saya yang ditugasi untuk membenahinya agar bisa terbit.
“Menggandeng” nama orang terdekat tanpa manipulasi adalah hak seorang penulis. Dia anak, adik, kakak, atau pasangan dari seorang penulis terkenal. Boleh-‐boleh saja. Tentu saja penyebutan identitas semacam ini harus disertai sikap lapang dada tanpa niat menekan secara psikis. Kalau penerbit menolak, tidak ada niatan untuk menjatuhkan marwah orang yang digandengnya itu. Tidak ada sama sekali pula untuk meremehkan bahwa karya si pengirim naskah masih buruk dibandingkan nama orang yang disebut. Bila perasaan ini ada pada penulis, ini pertanda niat “menggandeng” nama itu tidak benar.
Kita sudah ada tendensi untuk menekan jajaran penerbit, khususnya editor.
Di sisi lain, penerbit melalui meja redaksi mestinya juga tetap objektif. Alasan silaturahim dan niat mendekati orang yang “digandeng” kadang secara diam-‐diam menjadi motif menerbitkan karya yang sebenarnya biasa saja. Karya anak, adik, kakak, atau pasangan si penulis terkenal kita terbitkan, dengan harap di masa mendatang penulis yang beken itu mau beralih ke kita. Bila ada motif semacam ini, sungguh kasihan penulis yang tidak memiliki cantelan orang beken. Sungguh patut diiba penulis yang diterbitkan karyanya gara-‐gara “kebaikan” hati penerbit semacam itu. Menerbitkan tapi ada embel-‐embel di belakangnya untuk lain hari.
Seorang penulis mestinya bangga menjadi dirinya sendiri. Tetap setiap dengan proses kreatif yang dilaluinya. Peranan orang terdekat lebih kepada pembentukan karakter ini; bukan pada penyetujuan terbit karyanya. Seorang penulis, bagaimanapun, harus diuji dengan penolakan. Bila ia diterima karyanya lantaran nama besar orang lain, sungguh ini tidak kondusif bagi perkembangan karier kepenulisannya. Ia dimanja oleh lingkungan sehingga kurang tangguhlah ia menghadapi situasi yang kadang kala dinamis dalam dunia penerbitan.
Sungguh saya salut pada penulis mula yang dengan sadar menyembunyikan nama belakang keluarganya. Ia cemas, karyanya diapresiasi penerbit atau editor bukan lantaran ada daya tarik di dalamnya. Tapi, lantaran nama di belakang pada lembaran biodata. Menyembunyikan identitas demi menanti penilaian jernih penerbit sungguh sebuah penghormatan diri. Penulisnya ingin dihargai dari kerja kerasnya. Beda dengan yang ogah memperbaiki karena sudah optimis penerbit segan pada nama belakang anggota keluarganya.
Saya percaya, penulis yang menempuh laku bersembunyi dari identitas keluarga bertindak demikian bukan karena takut ia dicibir. Karyanya dibandingkan dengan orang dekatnya, dan ia merasa jatuh bila
dipandang demikian. Maka, jalan aman ia menghindari pembandingan. Meski peluang semacam ini amat terbuka, saya memilih untuk menghargai penulis yang enggan membuka siapa orang dekatnya. Biarkan ia jadi dirinya sendiri. Kalaupun niatnya malu dibandingkan, paling tidak ini lebih mudah untuk menyemangatinya dari inferior. []
Wajah Asli Penulis
Suatu hari, asisten seorang penulis cum motivator meminta sebuah penerbit membuatkan surat pernyataan bahwa jumlah buku terjual milik bosnya sejumlah sekian ribu. Angka yang cukup menempatkan judul buku tersebut masuk kategori best seller menurut kategori yang dibuat secara ketat sekalipun. Surat itu, katanya, akan dipergunakan untuk sebuah kepentingan akademis. Maklum, penulis itu juga dosen di sebuah kampus negeri. Jenjang karier, seperti biasanya.
Sebetulnya tidak masalah menonjolkan hasil pencapaian yang dibuat. Hanya, manakala hasil itu baru sebatas doa, alias bukan faktual, tentu amat tidak etis melakukan sebagaimana diperbuat asisten penulis itu. Boleh jadi, si penulis ada di balik layar dari tindakan ini semua. Si asisten sekadar menjalankan perintah.
Masalahnya, informasi yang saya dapat, buku itu betul laris. Tapi, larisnya ketika edisi sebelumnya. Buku yang diajukan ke penerbit kedua belumlah proses. Buku belum jadi tetapi si penulis meminta surat keterangan laris. Sebuah pekerjaan yang mestinya digarap penerbit sebelumnya. Demi pencitraan dan karier, logika ditinggalkan. Sungguh sayang.
Kejadian semacam itu memperteguh anggapan bahwa menulis sekalipun sering disusupi aktivitas memetik keuntungan secara culas. Demi citra-‐citra tertentu, penulis dan/atau penerbit melakukan tindakan tidak patut. Tanpa sadar mereka mempertontonkan ke publik siapa mereka sesungguhnya. Terutama ketika mereka secara konsisten dan tanpa malu-‐malu melakukannya.
Buku memang benda mati. Gagasan di dalamnyalah yang bisa menghidupkan buku dari sebatas seonggok benda tidak bernyawa. Karena itu, disanjunglah si pembuatnya, si penulisnya. Sungguh sayang, rupanya selalu saja ada proses penghidupan yang diiringi percederaan. Buku jadi ajang komoditas diri. Menjual pesona diri dengan atribut
tertentu. Ada yang konyol dengan jargon best seller. Padahal, memoles diri tanpa bersikap jujur justru menjadikan buku tersebut jatuh reputasinya.
Surat keterangan buku laris itu buat apa? Untuk aktivitas akademis, mengapa harus dengan cara culas dan berdiplomasi (untuk tidak mengatakan dusta)? Mengapa harus mengorbankan karya demi sebuah pembentukan predikat atau kenaikan pangkat tertentu?
Banyak penulis yang tampaknya tidak sadar bahwa sikap diri kepada buku karya sendiri menjadi ukuran penting siapa kita. Sekali lagi, bila kita lakukan secara konsisten, terkuaklah siapa kita sebenarnya. Kalau sesekali, ini berarti isi hati kita masih bertabiat jahat. Sebagai manusia, wajar ada alpa. Namun, melakukan alpa dengan sadar, ini melahirkan tanya: mau apa?
Terlebih bila posisi dan predikat si penulis begitu wah dan kudu dijaga martabatnya. Memotivasi orang bukankah harus dengan kejujuran? Bila diri sendiri saja setengah jujur, mengapa harus kaget bila ucapan dan tulisan kita tidak semenyentuh dulu?
Saya teringat dengan pengalaman seorang pekerja buku yang timnya dipercaya mengerjakan buku karya seorang tokoh. Si tokoh yang banyak menggeluti seputar pembentukan karakter sudah memercayakan kepada koordinator tim yang dipilihnya. Pekerjaan pun sudah selesai sebagaimana persetujuan awal. Tapi, tiba-‐tiba mood si penulis berubah dan ingin mengubah hampir semua pekerjaan tim tersebut, terutama bagian tata letak dan perwajahan buku, seiring inspirasi baru dari luar.
Koordinator tim itu merasa timnya siap-‐siap saja merevisi pekerjaan. Hanya, demi kejelasan bentuk kerja sama dan hak-‐hak yang didapat, ia meminta tagihan yang dibuatnya dipenuhi terlebih dulu. Bahwa kemudian ada revisi, ini tidak masalah. Tidak ada tukang bengkel yang mau memperbaiki berulang kalau soal hak-‐haknya tidak jelas.
Alih-‐alih membayarkan kewajiban, penulis itu dengan enteng menyebut kesepakatan di antara mereka belum ada. Pembayaran akan dilakukan bilamana dirinya puas. Bagaimana hasil karya tim itu bisa memuaskan kalau mereka sendiri bekerja bisa berulang-‐ulang tapi tanpa ada kejelasan ikatan kapan haknya ditunaikan? Kalau kita hendak memperbaiki mobil ke bengkel, sudah wajar bila setelah tarif dipasang maka si pembeli membayarnya meski hanya uang muka atau bahkan lunas. Pemilik mobil amat boleh mengkomplain apabila hasil kerja mekanik bengkel tidak memuaskan ekspektasinya. Dan si mekanik wajib memperbaikinya hingga tuntas dan memuaskan.
Jadi, tidak ada pemilik memerintahkan mekanik untuk harus sempurna kerjanya, namun kadar kesempurnaan ditentukan oleh si pemilik, dan ini lantas dihubungkan dengan syarat pembayaran jasa. Mana ada bengkel bisa berkembang dan melesat maju kalau konsumennya semacam ini?
Begitulah, akhirnya karya tim itu hanya dibayar dengan diam dan tanpa ucapan apa pun. Si penulis dengan enteng meninggalkannya dan beralih ke tim lain. sebuah tindakan kurang mengindahkan karakter, sebagaimana yang biasa ia mantrakan di hadapan banyak audiensi.
Begitulah buku, kadang kita jumpai kelalaian penulis atau pengarang. Berbeda antara tulisan dan tindakan. Sekali alpa bertindak, semoga tidak terus berulang dan menjadi kebiasaan atau malah tabiat khas. Buku menjadi momentum penting yang menandai siapa kita. Tidak selalu ia wujud asli, bahkan lebih sering wujud antah berantah karena buku menjarakkan watak penulis sebenarnya dengan watak kamuflase.
Maka, bagi penulis, berhati-‐hatilah dengan karya. Ucapan dan perilaku kita mungkin bisa saja tidak diketahui publik dalam waktu singkat. Tapi, kita pernah menghasilkan karya berupa cetakan atau non-‐cetak yang sewaktu-‐waktu mengingatkan memori publik tentang wajah paradoks yang pernah kita buat. []
Risiko Menulis
Adakah risiko menulis? Jawaban ini tidak untuk memancing humor kita semisal dengan menjawab: risikonya jadi terkenal, kaya, dan punya penggemar. Tidak, ini sedang benar-‐benar membincang kemungkinan dampak tidak enak dari aktivitas menulis.
Menulis itu aktivitas positif. Tapi, tidak setiap orang yang membaca tulisan kita mau menerima dengan lapang saran dan kritik di tulisan. Khususnya tulisan yang bernada kritik, bersiaplah dengan perlawanan atau serangan balik.
Bila perlawanan atau serangan balik itu berupa tulisan, menjadi positiflah hadirnya polemik. Namun, tidak semua ketidaksetujuan terhadap gagasan kita dilakukan dengan jantan dan adil. Kadang tiba-‐tiba kita didiamkan oleh beberapa orang yang dulu kita kenal baik. Lantaran tidak suka dengan kritik, kita dimusuhi. Kita dianggap begini dan begitu.
Bersiap jugalah apabila orang yang tidak sejalan dengan pikiran itu merundung kita di dunia maya. Dicacinya kita habis-‐habisan dengan kata-‐kata tidak pantas. Ruang mengkritik gagasan malah tidak ada, yang ada serangan pribadi ke kita selaku penulis.
Menulis saran memang tidak selalu diikuti pembaca. Pihak pembaca yang tidak setuju kurang sependapat dengan usulan kita. Kendati tidak setuju, sekadar saran tidak sampai hadirkan kebencian. Lain halnya bila tulisan kita menyoroti atau mengkritisi kebiasaan atau fenomena yang ada. Yang kadung dianggap kebiasaan baik kita kecam lewat tulisan. Yang sudah dianggap putih kita hitamkan; atau sebaliknya, yang hitam malah kita putihkan. Maka, bersiaplah pertentangannya lebih dahsyat ketimbang kita memberikan saran. Kenyamanan dan kemapanan kebiasaan yang ada mengusik para pemangku dan pelaku aktivitas status quo.
Sebagai aktivitas mengandung kebaikan, menulis tidaklah lurus-‐lurus saja dalam perjalanannya. Gagasan kita bisa berbenturan dengan orang lain. Ketidaksetujuan orang lain bisa diaktualisasikan mulai dari gerundelan di belakang kita hingga boikot pada keberadaan kita. Bisa melalui media langsung atau melalui tulisan juga. Semuanya ingin memperlihatkan kekuatan mereka untuk menghadang gagasan kritis kita.
Karena tulisan memuat perubahan, adalah wajar hadir gejolak. Tulisan menjadi refleksi dari ketidakpuasan kita, sudah tentu akan mengusik pihak yang selama ini merasakan kenikmatan. Kita kecam para koruptor, jangan harap semua berjalan baik-‐baik saja. Di Jakarta mungkin bisa berjalan baik dan aman-‐aman saja keseharian penulis kritis. Tapi belum tentu bila kasusnya di daerah-‐daerah. Sudah sering terdengar bagaimana jurnalis diteror gara-‐gara pemberitaannya, atau penulis yang tiba-‐tiba diintai nyawanya oleh orang-‐orang tidak dikenal.
Adanya ancaman dan teror, bagi penulis mula mungkin sebuah kejutan tidak terduga. Nyali untuk melanjutkan menjadi ujian diri. Mau meneruskan menyebarkan kebaikan atau tidak? Meneruskan berarti bersiap hadapi bahaya. Diam, sejenak memang aman, tapi nurani kita terkoyak dalam. Tidak heran banyak yang kemudian bungkam, tapi tidak sedikit yang meneruskan perjuangannya melalui tulisan.
Menulis sama halnya dengan aktivitas profesi lainnya: bakal hadapi ujian. Ujian itu bisa berupa derita, bisa juga bahagia. Risiko menulis tidak hanya kecaman atau teror, tapi juga bujukan suap agar kita menghentikan tulisan kritis di media. Semua sama nilainya, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Banyak yang tegar hadapi kekerasan kala diteror, tapi bungkam begitu dibujuk dengan imingan materi. Dari penulis kritis belakangan menjadi penulis pesanan orang yang dulu dikecamnya.
Seorang penulis sejati ia pasti bersikap. Ia punya pilihan. Ia juga memosisikannya berada di mana terhadap publik. Kebenaran dan
keadilan pedomannya menulis. Normatif, memang, tapi ini sudah klise dalam menilai konsistensi para penulis. Banyak yang di mulut dan tulisannya baik-‐baik, tapi di balik layar sebenarnya busuk. Publik baru tahu kebusukannya saat kasusnya terungkap.
Maka, para penulis yang konsisten berjuang dalam bingkai nilai inilah yang kita butuhkan. Ia bisa mempertahankan argumentasi kritisnya tanpa takut dengan risiko yang bakal diterimanya. Kalaupun sejenak ia diam, itu bagian tiarap dari perjuangannya. Bukan karena terbeli oleh alat kekuasaan yang dikritisinya.
Menulis dan risikonya itu biasa saja sebenarnya. Risiko pasti kita hadapi. Tinggal bagaimana kita menyikapinya. Ringkasnya, mau diam karena keadaan tidak memungkinkan, tidak mengapa asal bagian dari penguatan diri. Memilih mundur sejenak juga boleh saja kalau ancaman itu bahayakan nyawa kita dan keluarga tercinta. Tapi, ketika kondisi semacam ini di depan mata, tetap nurani jangan sampai mau goyah demi membela pihak yang kita kecam lewat tulisan. Pantang mundur di hati atas ancaman itu! []
Tersudut karena Tema Jokowi
Gara-‐gara menampilkan sampul buku karyanya di salah satu grup WhatsApp, seorang teman dikritik berkali-‐kali. Sang teman mengunggah buku tentang profil Joko Widodo alias Jokowi yang kala itu masih menjabat sebagai Walikota Surakarta. Tapi karena grup WA itu berisikan para aktivis dakwah yang memandang tidak simpatik Jokowi, unggahan teman saya jelas seperti menyalakan korek api di tengah tumpukan jerami kering.
Saya sedih sekaligus prihatin bagaimana para anggota di grup itu menasihati teman saya sedemikian rupa. Seolah-‐olah teman saya sesat dan memakan uang syubhat lantaran menuliskan Jokowi. Dan beberapa pandangan berlebihan lainnya yang sudah di luar kewajaran. Sebagai himpunan pendaku dai, kebijakan yang hadir tampak tidak terasa. Mungkin karena suhu politik tengah kondusif untuk mencurigai setiap yang berbau Jokowi, teman saya terkena imbasnya. Dalam kondisi normal, saya percaya keadaan yang terjadi bisa tidak segawat itu.
Akhirnya, tanpa banyak ragu, putusan ditempuh teman saya. Ia memilih keluar dari grup itu. Keluar jelas tidak menyelesaikan persoalan dalam grup ini. Bukan persoalan terkait si penulis buku Jokowi, melainkan tentang sikap para dai di grup itu. Ya, persoalan kedewasaan berpikir para anggota di grup itu yang notabene harusnya bersikap cerdas dan bijak.
Sebenarnya sudah jelas lagi terang, teman saya mengklarifikasi bahwa tulisannya itu dibuat atas dasar permintaan penerbit. Kala itu Jokowi awal pertama santer diberitakan media nasional akibat kontroversi mobil Esemka. Selain alasan ini, teman saya juga sebenarnya menuliskan tokoh yang lain (masih atas dasar permintaan penerbit yang sama). Salah satunya tokoh yang dihormati di kalangan anggota grup WA itu. Bahwa buku yang kemudian dicetak Jokowi (dan bukan tokoh anutan di grup), itu jelas bukan kewenangannya.
Sayang, pelbagai argumentasi yang disampaikannya tidak mengubah pandangan mayoritas di grup itu. Yang membela tidak ada. Kalaupun membela, malah bisa memanaskan keadaan. Semua mengadili teman saya dengan dakuan tidak peka pada keadaan. Mendukung orang yang tidak membawa aspirasi Islam, dan bahasa-‐bahasa tausyiah lainnya.
Bagi teman saya, kritik pada karyanya memang bukan pertama kali. Tapi, beramai-‐ramai mencecarnya lantaran menuliskan profil tokoh yang dianggap tidak pantas ditulis, tampaknya pertama kali ia rasakan. Sebuah sudut pandang militan yang lebih mewakili keterbatasan melihat persoalan sebenarnya. Dan sang teman harus menerima vonis mereka. Pembelaannya sama sekali tidak digubris. Sepertinya ia harus dalam posisi sadar. Bahkan, salah seorang penuduhnya meminta teman saya untuk bertobat! Berinsaf gara-‐gara menulis buku soal Jokowi.
Menjadi penulis memang kadang menuai risiko semacam itu. Kita harus siap dengan penolakan-‐penolakan konyol yang lebih mewakili watak emosi daripada siap berargumentasi. Pokoknya kita dalam posisi salah dan tidak boleh melakukan pembelaan. Kalau sudah begini, apa boleh buat, ketimbang terus mengingati sembari menahan perih hati, ada baiknya memang keluar dari kerumunan kelompok seperti di grup WA itu. Kita bisa lebih jernih melihat persoalan akan adanya fakta belum cerdasnya sebagian pembaca. Di lain pihak, ini pelajaran bagi penulis agar bisa memandang ke depan menyangkut pekerjaan dan antusiasme memublikasikan hasilnya.
Jangankan membaca, memilikinya saja belum. Melihatnya saja belum. Baru sebatas mendapati sampul di WA, sudah berani memvonis. Kita tidak tahu sebenarnya isi buku sang teman soal apa. Apakah menjilat Jokowi, ataukah sekadar paparan umum yang kerap ditulis di koran? Kalau sekadar beberan fakta yang kita saja dapat temui dengan mudah di internet, amarah harusnya tidak perlu terjadi. Penghakiman kudunya tidak ada. Tapi, yang terjadi sudah telanjur terjadi. Kedewasaan belum hadir. Tinggal bagaimana penulis mengambil pelajaran dari kasus semacam ini.
Kepada sang teman, saya hanya bisa membela di balik layar. Membesarkan hatinya untuk tetap menulis dan melupakan soal ketidakdewasaan teman-‐teman di grup WA. Tidak lupa saya memintanya untuk terus berkarya, dengan tetap mengikuti kata hati. Bahwa ada tulisan pesanan, sebagai perajin tulisan terpesan (oleh penerbit) ia harus tetap jaga idealisme. Sekali tergelincir, ia bisa disalahpahami. Yang tidak melakukan dosa saja ia sudah dikecam habis-‐habisan. []
Gelora Usai Dikecewakan
Lelaki itu datang ke saya dalam posisi—bisa dikatakan—dihinakan, meski tidak dikatakan demikian, oleh sebuah penerbit keislaman. Penerbit dan penulis sebenarnya masih dalam satu harakah. Namun, penerbit memutuskan karya lelaki itu ditarik dari peredaran dengan tuduhan terbilang serius. Penulisnya dianggap memasukkan pemikiran harakah di luar kelompok mereka. Padahal, buku yang ditulisnya merupakan buku pegangan bagi kader harakahnya. Maka, amat tabu meminjam logika dan pemikiran tetangga untuk mengader di internal organisasi. Belum lagi, harakah yang dikutip pendapatnya itu sering menyerang kelompoknya.
Usut punya usut, sebenarnya sang penulis hanya bertindak ceroboh saja dalam teknis pengutipan. Tidak lebih dari itu. Ada bagian yang dianggapnya relevan ketika membahas soal kepemimpinan. Rupanya diambil dari buku kelompok pengampanye tegaknya kekhilafahan. Tidak ada tendensi apa pun selain kutipan itu memadai untuk mendukung gagasan tulisannya.
Menariknya, sebelum dibukukan, naskahnya juga diteliti oleh tim yang dianggap sebagai penjaga ideologi kelompok harakah. Rupanya, kerja tim luput untuk soal kutipan, sampai ada jajaran elit di kelompok itu yang menemukan “kesalahan” saat sudah dibukukan.
Vonis telanjur dibuat. Tidak ada upaya untuk menghormati karya si penulis. Paling tidak dengan tidak mendiamkan atau menandainya macam-‐macam. Padahal, saya tahu ia kader amat taat di harakah itu. Menudingnya penyebar fikrah kelompok lain amatlah berlebihan. Mestinya, tim penilai juga harus dimintai keterangan atas lolosnya “kesalahan” ini.
Lelaki yang tengah antusias menulis itu seperti dicampakkan tiba-‐tiba. Belum lama dipuji karena karyanya, begitu ketahuan ada “aib” ia
ditinggalkan. Syukurnya, lelaki itu masih bisa menahan amarah. Ia hanya kecewa.
Mendapatinya datang ke meja kerja saya, saya tidak ingin ia terpuruk. Ia harus bangkit karena saya tahu dari sorot matanya ia ingin betul punya buku. Buku pertama dianggap “cacat”, maka lembaran baru harus kami mulai. Saya senang ia mau menutupi kesedihannya dengan terus berkarya. Tugas saya adalah melupakan kekecewaannya dengan membuka halaman berbeda.
Ia pun saya minta untuk menulis yang lepas. Menulis menjadi dirinya sendiri. Bukan karena untuk orang lain dengan atas nama pengaderan, dakwah, atau apa pun. Selagi tulisan itu soal kebaikan, secara otomatis akan banyak yang menikmati. Bahkan tidak hanya dari kalangan terbatas sendiri. Demikian juga gaya bercerita dan menulis. Kenangan lama di penerbit keislaman itu harus saya rombak. Tidak bisa tidak, ia harus dipisahkan dengan pengalaman buruknya. Syukurnya, ia mau mengikuti arahan saya.
Mendapati penulis kecewa dan ada sedikit dendam untuk pembuktian sebenarnya momentum indah melahirkan penulis besar. Itulah yang ada di benak saya. Saya tahu, saya tengah menghadapi seorang yang berbakat tapi tengah dikecewakan. Ini kesempatan bagi saya untuk membuktikan tesis saya bahwa penulis besar itu sering kali terlahir dari kekecewaan.
Hari-‐hari berikutnya ia mau terus belajar. Tidak berbilang lama, sebuah buku hadir. Buku yang tebal dari naskah awalnya. Benar, ia begitu bergelora saat menulis. Tidak disadarinya halaman yang ditulisnya berlembar-‐lembar di atas 150. Soal kutipan yang pernah memerosokkannya pelan-‐pelan dibenahi hingga ia bisa lebih berhati-‐hati dengan soal semacam ini.
Hari ini, ia sudah lahirkan tidak kurang dari tujuh buku. Sebuah buku yang cukup diterima di pasar. Ia produktif menulis. Bahkan penerbit
langganannya memintainya menulis tema tertentu yang dianggapnya mampu. Sebuah kepercayaan yang menjaga gelora menulisnya. Karena saking semangatnya, ratusan halaman harus saya ingatkan untuk disederhanakan. Memang, khusus soal ini sambil berjalan ada komunikasi ke penulisnya. Yang jelas, bara semangatnya tidak boleh dipadamkan lagi setelah sempat dimatikan lantaran hal sepele tapi dibesar-‐besarkan oleh sebagian rekan di harakahnya.[]
Godaan Meledaknya Karya Perdana
Satu karunia yang banyak dialami penulis buku pertama adalah meledaknya karya di pasar. Karyanya laris dan memang juga berkualitas. Penulisnya yang semula biasa saja tiba-‐tiba ikut jadi sorot perhatian. Ia pun kian bersemangat melahirkan karya berikutnya. Kadang karya kedua, ketiga dan seterusnya sudah disiapkan sebagai rangkaian dari karya pertamanya yang sukses di pasaran tadi. Tapi, tidak jarang karya kedua pun belum ada. Begitu karya pertama diburu pembaca, segera keranjingan menulis.
Seorang teman begitu bungah karya pertamanya soal kesehatan laris. Sudah tiga kali cetak ulang. Keinginan di karya kedua untuk laris serupa atau bahkan lebih tentu saja wajar hadirnya. Mana ada penulis yang ingin karya berikutnya lebih menurun prestasinya, bukan?
Sungguh sayang, cerita di karya kedua dari teman ini berbeda dari ekspektasinya. Karya keduanya lebih lambat diserap pasar. Bahkan untuk cetak ulang kedua saja penerbit tampak enggan. Maklum, stok di gudang masih banyak. Padahal, temanya masih serupa. Orang jenuh dan sudah tahu isinya? Mungkin. Dan ini yang banyak didapati dari perulangan karya penulis yang “mendadak” beken. Karya pertama diulang terus-‐menerus pada karya berikutnya. Karya kedua, masih laris, karena masih terimbasi euforia dan ikatan histeria pembaca. Karya ketiga, masih juga laris. Terus demikian sampai sekitar karya keempat, kelima, keenam. Tapi yang jelas, karya-‐karya setelah buku kedua penjualannya lebih sedikit. Makin ke mari makin berkurang, bahkan seret. Maklum, orang mudah menerka jalan berpikir dan kemiripan tema. Yang berkecimpung di sastra kerap alami ini.
Pun demikian yang mengolah tema pernikahan. Bila karya pertama meledak, karya kedua kadang terusik untuk meneruskan kesuksesan buku pertama. Bisa sukses, bisa sebaliknya. Padahal, dalam kejadian seperti ini penulisnya kudu melihat sekitar juga. Kesuksesan buku pertamanya tersebab apa? Kalau tiadanya tema serupa, bolehlah
teruskan karya setema atau segaris dengan buku pertamanya. Buku berikutnya tinggal cari penambahan ataupun penguatan.
Kalau ternyata karya kedua dan seterusnya hanya berulang dan mengulang bahasan serupa di buku pertama yang sukses, yang hadir bukan pembaca setia baru, melainkan pembaca lama meninggalkan diri. Yang tersisa sebagian pembaca lama, karena penulisnya gagal menarik simpati pembaca baru dari buku kedua, ketiga, dan seterusnya. Yang muncul kemudian, buku yang laris saja yang dibicarakan. Buku kesekian kalinya tidak diacuhkan. Diabaikan temaram di rak toko buku karena kurang menarik perhatian pembaca. Dianggapnya karya itu perulangan dari buku kita yang sukses. Di benak pembaca, buat apa beli buku kelanjutan kalau tidak ada yang baru? Sungguh beruntung penulis yang mendapati pembaca setia; meski bukunya berulang, tetap diburunya karya oleh kalangan loyalisnya.
Karya pertama sukses, sebenarnya kesuksesan itu masih perlu diberikan tanda petik. Ujian pertama adalah apakah si penulis mampu mengulangi di karya kedua. Persis sama dengan kalangan musisi yang lahirkan album kedua. Banyak yang meraih nama dan kekayaan dari penjualan album pertama, tetapi pada album kedua sudah dijauhi penggemarnya. Atau malah masih bisa bertahan sampai tiga hingga empat album, setelah itu si penyanyi atau grup musiknya pecah, dan penggemarnya sudah tidak peduli soal demikian.
Kejadian dalam musik itu hanya penyanding agar kejadian serupa bisa jadi bahan perenungan para penulis. Awal kali lahirkan buku, memang susah minta ampun. Berjuang sana ke mari, akhirnya terbit jua. Eh, pas terbit karya perdana, langsung meroket hasilnya. Kalau tidak siap mental, banyak yang memilih jalan pintas seperti dikatakan tadi: mengulangi “kesuksesan” karya pertama. Inovasi dan kreativitas dipinggirkan. Jaga momentum dulu, pikirnya.
Di sinilah pentingnya kemelekan seorang penulis begitu melihat karya pertamanya berhasil memikat publik. Analisis apa sebabnya, lalu
kreasikan dengan ide segar. Tidak harus drastis untuk peralihan ide di buku kedua. Yang jelas, produktif menulis tidak dilatari karena kesuksesan buku pertama atau kedua. Sebagai pemacu bolehlah. Tapi, sebutan perajin buku jangan sampai hanya menjadi tukang menulis buku. Gara-‐garanya godaan sukses di karya perdana.
Saat menuliskan bahasan ini, di kepala saya bersemayam seorang penulis yang novel pertamanya sudah ribuan dicetak ulang dan dialihbahasakan di luar negeri. Karya pertama yang “tiba-‐tiba” hadir menyentak lantas diikuti tiga buku berikutnya semuanya laris. Hanya yang tidak boleh kita abaikan, mengapa karya keempat tidak semoncer ketiga; ketiga gagal salip penjualan kedua; kedua belum berhasil imbangi pertama? Ini saja sudah dirancang tetralogi, bukan? Sekali lagi, soal hati dan ketahanan iman menahan godaan sukses menentukan bekerjanya harmoni hati dan pikiran dalam lahirkan karya yang senantiasa tulus tanpa pretensi harus sukses. Toh sukses penjualan hanya satu parameter, dan bukan segalanya. Namun bila kritikus dan banyak pembaca setia mengomentari ada kemunduran, nah ini jadi peringatan amat penting buat kita. []
Menghadirkan Karya ‘Best Seller’
Seorang penulis produktif bertemakan keagamaan begitu yakin seri buku pernikahannya bakal diserap pasar dengan cepat. Dalam tiga tahun sebuah buku seri pernikahan dioptimisi akan laris. Karena keyakinan inilah ia pun ngotot kepada penerbit untuk hanya memberikan batas tiga tahun. Bila lebih dari batas waktu ini buku tidak terjual, si penulis akan mencabut haknya. Alias ia bakal menarik lagi bukunya untuk kemudian menerbitkan sendiri.
Tiga tahun berlalu, buku karyanya tersebut masih bersisa. Sebenarnya penjualan bukunya tidak terbilang buruk. Hanya titah untuk segera menghabiskan dalam tiga tahun tentu menjadi pikiran tersendiri bagi penerbit. Pihak penerbit tentu punya karya-‐karya lain yang juga kudu dikawal agar laris. Bagi penerbit, produknya yang laris (best seller) tentu tidak mau bergantung pada satu penulis ataupun satu judul.
Capaian best seller, entah sejak kapan, sering menjadi obsesi para penulis di tanah air. Terutama para penulis muda yang hadir di era media sosial. Mungkin best seller dalam penjualan buku bisa disepadankan dalam kasus serupa penjualan kaset album musik di era pita kaset masih berjaya. Bedanya, penjualan yang memenuhi kriteria best seller diganjar penghargaan tertentu. Di buku, tidak atau belum ada kriteria baku berapa banyak hingga sebuah karya layak disebut best seller.
Alih-‐alih berfokus pada kualitas karya, penulis baru dan banyak penulis digoda untuk memikirkan prestise dari predikat best seller. Andil penerbit tidak kecil dalam soal komodifikasi citra ini. Saat yang sama, bermunculan janji-‐janji pelatihan yang bisa mengantarkan peserta sebagai penulis dengan penjualan buku best seller. Padahal, sang pelatih sendiri penjualan bukunya biasa-‐biasa saja.
Sesungguhnya menghadirkan karya laris di pasaran tidak selalu bisa dirumuskan secara matematis. Katakanlah bagi yang percaya korelasi momentum dan kelarisan buku. Momentum dalam dunia eksak
merupakan perkalian massa dan kecepatan. Perbanyak massa atau percepat (intensiuan) kecepatan (pemasaran), maka kesuksesan bisa diraih. Banyak yang memainkan rumus ini, baik sadar ataupun tidak, nyatanya hasilnya tidak selalu positif. Buku masih bertengger biasa-‐biasa saja.
Bandingkan dengan penulis-‐penulis baru yang tiba-‐tiba karyanya melambung dan dibicarakan atau bahkan jadi genre tersendiri. Kadang pengalaman menulis si pembuat karyanya minim atau bahkan tidak ada sama sekali, nyatanya sukses. Rumus momentum tidak berlaku juga ternyata.
Saya lebih memercayai bahwa kekuatan marketing sehebat apa pun kadang hasilnya kelihatan lucu. Ambil kasus sebuah buku milik motivator yang diproduksi sebuah penerbit nasional terbesar di negeri ini. Meski “dipaksa” dengan iklan bertubi-‐tubi dan dikesankan penulisnya begitu “wah”, publik adem ayem saja menyambutnya. Menyebut namanya saja di antara kita belum tentu pernah mengenalnya. Kendati demikian, cara “memaksakan” terkadang berhasil, terutama ketika dukungan komunitas besar. Hanya, waktulah yang kemudian menempanya apakah ia betul-‐betul besar ataukah dibesar-‐besarkan betul.
Bagi saya, karya best seller itu hasil ikutan saja. Tidak perlu dipikirkan sejak awal. Terutama bagi kita yang baru merintis di kepenulisan. Mending mengolah hati, pikiran, dan rasa dengan bebas ketimbang fokus pada hasil penjualan manakala buku terbit. Apalagi tatkala naskah belum hadir sama sekali. Celaka kalau kita memikirkan hasil sementara usaha keras berkontemplasi dalam mendalamkan kekuatan makna karya malah kurang.
Karya best seller memang terkadang hadir dari sebuah “kebetulan”, “peruntungan”, atau karya yang spontan sesuai selera pasar. Nah, kalah sekadar ingin laris bak kacang rebus sebenarnya mudah. Tapi adakah akan kita kenang karya-‐karya laris itu 5-‐10 tahun akan datang?
Menghadirkan buku laris dan laris-‐berkualitas teramat beda prosesnya. Sayangnya, soal yang pertama lebih dominan dibahas ketimbang yang kedua. Mungkin ini terkait dengan soal pemasukan rupiah buat penerbit dan penulisnya.
Padahal, saat karya dibuat dengan sepenuh hati sering kali menembus ruang dan waktu hasilnya. Mungkin hari ini masih tertatih, tapi siapa sangka di kemudian hari malah diburu pencinta buku. Karya yang dihadirkan untuk perubahan zaman, atau paling tidak menginspirasi zaman, akan tetap menjadi emas meski dihadang rezim.
Jadi, kunci utama menjadi penulis laris sederhana saja: kosongkan hati dan pikiran dari niat menjadi penulis laris. Fokus dan konsentrasi saja pada karya. Setidaknya karya yang menginspirasi zaman. Bebani pada seberapa kadar pembelajaran kita untuk menempa diri. Bukan dengan pikiran apakah buku akan dibaca sedikit atau banyak orang; diterima pasar atau ditolak. Karya-‐karya yang kita kenal laris manis dan dikenal berdekade-‐dekade lahir dari kebersahajaan. Tanpa muluk-‐muluk. []
Tuntutan Setelah ‘Best Seller’
Salah satu ketergesaan penulis yang karyanya baru saja didakui best seller adalah permintaan naiknya posisi tawar. Royalti yang semula di bawah 10 persen, gara-‐gara karyanya laris, pada buku berikutnya segera meminta naik di atas 10 persen. Salah? Tentu saja tidak.
Meminta royalti tinggi itu hak setiap penulis. Ia akan menegosiasikan dengan penerbit tentang kapasitas dan kualitas karya yang dihasilkannya. Kalau ia optimis berhasil di pasar, sah-‐sah saja permintaan royalti naik atau tinggi. Kalaupun di pasaran di kemudian hari jeblok, namanya juga ikhtiar. Di sinilah kejujuran penerbit dan penulis dipertaruhkan reputasinya. Satu pihak tidak boleh sembrono memutuskan tanpa melihat dengan saksama buku yang dibahas.
Suatu ketika seorang teman berbisik ingin bukunya naik royalti. Agak malu-‐malu memang. Bahkan untuk menyampaikan soal usulan kenaikan ini, ia sebelumnya survei kecil-‐kecilan; mengukur apakah dirinya pantas meminta. Yang dilakukan teman ini boleh saja. Namun, berbeda dengan kebesarkepalaan penulis yang “sukses” di karya perdana atau karya kesekian, lantas pada karya berikutnya bergegas ingin naik royaltinya.
Selagi karya yang dituntut naik haknya itu berkualitas, bukan masalah. Ini malah bagus, sebagai penanda bentuk kepercayaan diri sang penulis. Nah, lain halnya dengan mereka yang serta-‐merta menuntut royalti melambung hanya karena karya sebelumnya “sukses”, tetapi lalai dengan karya yang dituntutnya. Tidak otomatis karya sebelumnya sukses di pasaran maka memengaruhi karya berikutnya. Kalau logika ini yang dipakai, saya yakin penerbit enggan.
Di lain pihak, kejujuran penerbit memegang peran penting. Karya seorang penulis terbilang sukses bisa sebagai parameter mengevaluasi potensi pada masa depan yang bersangkutan. Apalagi saat usia si penulis masih muda, ada asa menjadi tambang emas penerbit. Di sinilah pentingnya penerbit belajar kepada klub sepak bola. Ketika statistik dan
talenta berpadu, meski produktivitas (kelarisan di pasar) belum optimal, dengan sentuhan yang pas, penulis tersebut bisa jadi “seseorang” pada masanya. Maka, tanpa diminta pun penerbit bisa mengikatnya dalam sebuah jejaring loyalitas. Sungguh sayang, penerbit yang begini di tanah air kita masih amat langka. Kalaupun ada lebih karena eksploitasi gagasan yang bersesuaian dengan proyek tertentu yang didanai dari luar negeri.
Seorang penulis yang karyanya diterima pasar harus bisa mengukur diri kapasitasnya. Ia harus jujur dengan karya yang dihasilkannya, sehingga tidak gelap mata hanya karena tingginya angka penjualan. Kejujuran inilah yang akan membentuknya pada karya berikutnya. Kalaulah ia punya pegangan, ia berhak mengajukan kenaikan lantaran ia meyakini ia punya sesuatu yang berharga bagi penerbit mana pun.
Persoalannya, kadang keyakinan pada potensi atau sesuatu dari pihak penulis lebih sebagai reaksi emosi pada luasnya penerimaan publik. Dianggapnya, hebatnya angka penjualan pada satu buku merupakan kekuatan dirinya untuk menjadi penulis emas pada masa mendatang. Ia terbuai oleh statistik satu karya kemudian besar kepala. Saat yang sama, ia secara apriori menutup mata dengan kritik orang lain bahwa karya setelah buku best seller-‐nya itu sejatinya biasa saja atau malah mengalami penurunan.
Potensi gelap mata inilah yang kudu dihilangkan dari kalangan penulis muda. Ia harus bisa menghargai diri, saat yang sama harus pula menghargai dengan jujur masukan orang. Termasuk kalangan penerbit. Ia tidak boleh secara sepihak menganggap dirinya pasti sukses hanya karena satu karya yang diterima di pasar. Ia harus ingat, kesuksesan itu didasari momentum apa. Bila ia abai sebab kelarisan dan fokus pada tuntutan diri, bukan hal mengherankan ketika karya berikutnya kurang disambut publik. []
Kaya Mendadak Penulis Kompilator
Sebidang tanah luas berhasil dibelinya untuk gudang buku. Tanah yang memadai untuk membuat rumah berukuran besar, apalagi dekat tengah kota yang cepat berkembang seperti Yogyakarta. Sebelumnya, kedua orangtua berikut semua saudaranya diberangkatkan menunaikan umrah ke Tanah Suci. Predikat sebagai bos penerbitan amat memadai dilekatkan beriring kesuksesan yang didapat dalam empat tahun belakangan.
Karier teman ini dalam perbukuan berawal dari penulis sekaligus penerbit. Ia kumpulkan bahan-‐bahan dari internet, mengemasnya secara apik dan memilah judul yang bikin penasaran publik. Dari soal kedokteran sampai tokoh fiksi yang digandrungi para remaja. Padahal, teman ini bukan jebolan Fakultas Kedokteran atau pakar komik. Ia hanya bermodalkan semangat mengais rupiah melakukan perburuan bahan dengan bantuan Mbah Google. Jadilah ia penulis produktif puluhan buku.
Berawal dari penulis yang karyanya diserap pasar, pundi-‐pundi kantongnya makin tebal bahkan tidak cukup memuat. Dari seorang polos jebolan kampus berindeks prestasi layak jadi PNS, ia memilih berwirausaha sebagai pelaku penerbitan. Semua diborong. Dari menulis hingga mengedarkan (meski dibantu pihak distributor) dilakukannya sendiri. Perlahan demi perlahan, seiring dicetaknya berulang-‐ulang karyanya, modal makin besar. Dari penulis ia beranjak jadi pemilik penerbitan.
Kisahnya tidak berbeda dengan beberapa pendahulunya di Yogyakarta (era 1998-‐2003) yang melakukan taktik mandiri dan semigerilya dalam bisnis perbukuan. Hanya, teman saya ini tidak banyak melakukan aktivitas intelektual dalam arti sebenarnya. Ia menulis apa saja, dan meriset juga tidak ketat dalam metodologi. Praktis, ia yang ditopang di era media sosial dilimpahruahi bahan amat banyak. Kecerdikan ia sederhana saja, tapi amat melejitkannya. Menulis yang layak jual. Dan ia
berani melakukannya tanpa ada rasa apa pun. Tanggung jawab ilmiah apalagi perasaan berdosa, sepertinya enggan dipikirkan. Ini yang kemudian mendasari produktivitasnya tanpa harus kita payah menilainya dari segi keilmiahan.
Di internet betapa banyak ulasan manfaat buah dan sayur bagi tubuh kita. Teman saya itu tidak sedang memosisikan dirinya sebagai dokter. Ia hanya mengumpulkan semua bahan dari internet dan membukukannya. Tinggal diembel-‐embeli redaksi yang berkonotasi medis. Sederhana, bukan?
Maka, kebakaran dan kedalaman refleksi di dalam karya-‐karyanya tidak akan banyak kita dapati. Inilah satu kemudahan membuat buku di era internet generasi 2. Begitu mudahnya, semudah mendapati bahan yang berseliweran di jagat maya. Sayangnya, soal etika pun jadi gampang dimudahkan. Soal kutipan abai diperhatikan. Seakan-‐akan yang ada di panggung internet adalah domain siapa saja untuk memakainya.
Asyik dengan tradisi sebagai pengompilasi yang pas dengan selera pasar, ia berani memasuki bahan ajar buat anak sekolahan. Kali ini matematika. Padahal, ia berlatar ilmu sosial. Tapi, ia beranikan menulis buku soal matematika praktis bagi siswa sekolah.
Keberaniannya kali ini menuai buah yang pantas. Ia yang selama ini abai soal kutipan dan pengambilan bahan, ternyata harus berhadapan dengan penulis dan penerbit yang mempersoalkan pembajakan karya. Rupanya, teman saya mencomot bahan yang ada di karya orang lain! Sungguh menyesakkan, buku yang sudah dibuat harus dirajang, dihancurkan sebelum edar di pasar sesuai permintaan pihak penerbit yang diplagiat. Sebuah pilihan yang bijak ketimbang ia harus berurusan dalam proses hukum.
Kiranya pengalaman itu menjadi pelajaran bagi teman ini untuk tidak mengulangi kebiasaan mengambil bahan orang lain secara semena-‐mena. Godaan untuk produktif mengabaikan tanggung jawab seorang
penulis. Menulis buku tidak selesai dengan hadirnya buku. Bagaimana buku itu hadir dan apa manfaatnya bagi publik, harus tetap jadi bahan perhatian seorang penulis buku. Proses penerbitan buku tidak lagi kerja-‐kerja instan hasil “riset” dari mesin pencari internet, melainkan kerja ke lapangan untuk wawancara atau riset perpustakaan. Bukan bertepekur di kamar di hadapan layar laptop mengumpulkan kerja keras orang lain.
Kesuksesan yang diraih dengan cara instan memang sudah di genggaman teman saya. Tinggal kesadaran untuk menjadi pekerja intelektual. Bukan tukang buku yang laris, tapi saat yang sama banyak melecehkan dunia intelektual. Perlu pula direfleksikan dalam-‐dalam, adakah cara mengais rupiah dengan cara mengompilasi sudah benar secara etika? Adakah pintu syubhat dari cara mencari rezeki demikian? []
Keberkahan yang Tampak
Sebuah rumah dan mobil ditambah kerapnya bepergian menggunakan maskapai terbaik di negeri ini menandai perubahan seorang teman. Tidak tiba-‐tiba memang. Hanya perjalanan waktu tidak sampai sepuluh tahun, ukuran “kesuksesan” amat pantas disematkan pada sang teman ini.
Ia bukan pengusaha yang memang layak mendadak memiliki banyak hal dalam tempo sedekade. Ia juga bukan politisi yang kerap santer diberitakan bisa melambungkan pendapatan bulanan bahkan hariannya dibandingkan semasa menjadi warga negara biasa. Sang teman “hanya” menggumuli kepenulisan. Ia telah melahirkan beberapa buku, dan buku itu laris manis di pasaran.
Buku-‐bukunya itu pula yang mengangkat seorang tanpa penamat sarjana tersebut menjadi kaya secara materi. Dari royalti penjualan bukunya itulah ia bisa memiliki harta beda dan tabungan. Tinggal titel haji yang masih menantinya mengingat ia dan keluarganya masih dalam proses antre dipanggil sesuai tahun keberangkatan.
Melebihi sebagai profesi penulis, sang teman sesungguhnya pembelajar tangguh. Dari penulis ia beranjak dikenal publik sebagai seorang alim dalam agama. Kesungguhannya mendarasi teks diikuti kecakapannya dalam mencerna ilmu, melahirkan aktivitas baru: ustad. Sang teman bahkan belakangan lebih populer selaku ustad dan memang dipanggil demikian. Diundang di mana-‐mana di banyak kota bahkan hingga mancanegara juga dalam kapasitas sebagai pemberi nasihat keagamaan. Menjadi ustad atau dipanggil ustad bukanlah cita-‐citanya. Namun memisahkan isi tulisannya dengan predikat yang disematkan publik juga sukar. Saya menganggapnya ini keberkahan yang melampaui soal materi. Dan ini sesungguhnya anugerah Allah yang lebih besar, jauh di atas soal karunia materi yang tampak. Penuntun ke arah kebaikan
dijalaninya setelah genap dan nyaris paripurna selaku penulis. Berbeda dengan sebagian alim di tanah air yang lahir dari produk budaya massa. Ustad atau ustadah hasil pencitraan di media massa, terutama layar kaca, kendati memiliki bobot keilmuan mumpuni biasanya baru belakangan menjadi penulis. Mungkin ketenaran yang didapat “nikmat” sayang dilewatkan dari mencerahkan umat dalam bentuk dakwah tulisan. Wallahu’alam.
Boleh jadi teman saya dan beberapa alim tenar yang belakangan menulis buku berkeinginan sama dalam berdakwah. Lisan saja tidak cukup. Bahkan tayangan rekaman saja belum memadai. Maka, bukulah jadi sarana praktis untuk menebarkan kebaikan bagi yang tidak sempat hadir di acara ataupun saat waktu senggang dalam beraktivitas—terutama bagi yang menyukai membaca. Sama-‐sama motifnya, hasil yang terasakan tetap beda. Ada nuansa yang tipis terasa untuk menilai keikhlasan berkarya dalam soal ini.
Teman saya, sejauh pengamatan saya, bisa dikatakan selesai untuk membicarakan urusan memanfaatkan ketenaran diri. Semua berlalu apa saja. Pencitraan dan pelompatan kuantum yang kerap digandrungi para pembicara publik, seakan bukan jalur yang ditempuhnya. Aji mumpung juga diterimanya ala kadar. Betapa tidak, kalau mau, ia bisa saja domplengi ketenaran diri dengan membuat tim yang bakal mengorbitkannya di layar kaca. Untuk kapasitas asatidz yang ada di layar kaca saat ini, teman saya sudah memenuhi kriteria tampil dan memikat pemirsa. Teman saya memilih untuk mendatangi jamaah ke jamaah di jalur darat.
Bandingkan dengan mengelola keikhlasan sebagian ustad yang terkesan “harus” menulis saat dirinya dikenal luas melalui layar kaca. Semoga saja ini hanya kesan saya, dan beliau-‐beliau sesungguhnya tetaplah dalam dekapan iman ketika beramal tersebut.
Tentu yang diterima dan dijalani sang teman belumlah akhir cerita. Pada usia muda, masih terbentang garis perjuangan yang membutuhkan
pembuktiannya. Apakah masih konsisten ataukah memilih berubah. Hari ini saya hanya mencatat dan menceritakan yang sudah berlaku. Soal keikhlasan dalam berkarya berupa tulisan, terkadang hadir motif untuk ini dan itu. Semoga saja ia konsisten dalam jalan kebaikan dan kebenaran. Istiqamah dalam menggapai ridha-‐Nya.
Sembari mendoakan, dari teman itu saya dapatkan juga satu pelajaran; sebuah nasihat tidak tertuliskan untuk kita semua. Nasihat yang saya rasakan menjadi cambuk pertama saat kita mulai mengeja dan memahatkan kata dalam layar laptop. Ya, soal niat. Untuk apa kita berkarya? Untuk siapa kita berkarya? Semata materi: kaya raya, populer dan menjadi idola baru? Atau ingin yang mengatasi ini semua: ketenangan batin, berbagi pada sesama, menebarkan ilmu?
Menjadi kaya dan populer dari dan dengan cara menulis, sah-‐sah saja. Yang tidak elok adalah kalau ini jadi kiblat dan paradigma utama. Demi kaya dan populer atau jadi idola, semua cara diraih, termasuk siap dibeli walau dengan agunan berubahnya iman atau ideologi yang kita yakini. Suara nurani dibungkam demi ketenaran dan kekayaan. Padahal, bila bekerja dengan bersahaja, lurus dan lempang saja dalam menulis, tidak serta-‐merta karya kita bakal terpuruk. Tanpa pencitraan media sekalipun, teman saya eksis dan dikenal luas. Keberkahan tulisannya lebih terasa dan masuk ketimbang beberapa orang yang memaksakan diri menulis setelah dikenal lebih dulu di layar kaca.
Pada akhirnya saya jadi teringat ucapan orang-‐orang bijak dalam menasihati jalan hidup. Menanam rumput, jangan harap padi bisa diraih; menanam padi, bersiaplah rumput diraih. Teman saya mengajarkan dengan santun dan indah bahwa dari berkarya sederhana pun pada akhirnya melahirkan keberkahan. Yakni saat karya-‐karya kita ditulis dengan hati bersih dan tidak memikirkan soal raihan materi. Memikirkan padi yang bulirannya bakal mengenyangkan orang banyak ketimbang rumput hijau nan elok. Toh pada akhirnya saat menanam padi dengan tekun dipilih mantap, rerumputan hadir. Untuk kebaikan orang banyak, muara di dunia yang tampak saja ada “imbal balik”: rumah, mobil,
gadget, popularitas. Belum tentu sama ceritanya bila yang disebut belakangan menjadi keinginan obsesif utama para penulis. []
Cermin
Menjaga Cemburu Keyakinan
Bayangkan, posisi kita tengah menjadi penulis yang dikenal spesialis untuk bidang tertentu. Spesialnya posisi kita bukan karena pencitraan diri atau dengan rekayasa media pendukung kita, melainkan amatan dari editor penerbitan buku utama di negeri ini. Kita dikadar dan digadang-‐gadang amat layak menempati sebagai “pakar” hal tertentu.
Nah, ketika kita diposisikan seperti itu, apa yang akan kita lakukan manakala penerbit besar itu datang ke rumah kita menawarkan kerja sama penerbitan? Kita dimintai menuliskan buku sesuai minat khas kita dengan kompensasi sedemikian aduhai. Kita juga siap didukung dengan jaringan pemasaran dan publikasi yang ekstensif serta intensif. Jangan tanya soal hak kita; selain dibayar tinggi, uang muka yang mampu menjadi uang muka membeli rumah mewah siap ditransfer.
Jujur, saya belum bisa seperti seorang teman yang menolak fasilitas itu semua dari sebuah tawaran penerbit besar nasional di Bandung. Bujukan untuk mengkhususkan diri sebagai tokoh yang siap diorbitkan ditolaknya. Materi? Ia tentu saja butuh. Tetapi, ia merasa sudah cukup dengan kekayaan yang ada. Buku-‐bukunya yang masih terikat kontrak di penerbit yang sama juga laris manis. Tapi, kesuksesan penjualan buku yang ada tidak menyurutkan niatnya untuk enggan bekerja sama.
Tidak banyak seperti teman saya, yang mau melupakan aspek primordial bernama perbedaan keyakinan. Mungkin bagi orang lain sudah selesai perkara Sunni dan Syiah, tetapi tidak demikian dengan teman saya. Teramat penting untuk mengabaikannya sebagai persoalan ikhtilaf. Karena keyakinan untuk tidak lagi membesarkan penerbit yang dibentuk oleh orang Syiah, teman tadi memilih menepis tawaran nan menggiurkan. Sebuah pilihan sadar untuk terus berjalan dengan garis nuraninya.
Kalau dipikir-‐pikir, mengapa sampai sedemikian kaku ia membuat parameter? Bukankah yang ditulisnya soal parenting dan tidak ada
intervensi dari sang bos penerbit yang memang Syiah sekalipun? Perkaranya bukan soal tema apa yang dibicarakan, melainkan dari sikap penolakannya untuk membesarkan usaha yang akan—menurutnya—menguntungkan kalangan lawan ideologinya. Orang yang selama ini menimba ilmu darinya boleh jadi akan menyangka dirinya tidak mempersoalkan untuk bermuamalah dengan kalangan Syiah. Sehingga, mereka pun mengikutinya dengan cara membeli produknya atau bahkan memasukkan karyanya—yang tentunya, bila laris nanti, bakal menguntungkan si penerbit. Kaku, mungkin, di mata orang, lantaran bila saja ia mau menerima tawaran itu, pastilah dakwah soal parenting bisa lebih luas lagi. Penerbit itu siap mendukung, belum lagi kalau bukunya jadi terbit. Jadilah ia tokoh yang mungkin menasional dalam kancah parenting.
Sayangnya, jalan berpikir kita berbeda dengan sang teman. Ia memang mungkin saja besar, tapi bagaimana dengan hatinya. Resistensi kepada ajaran yang kadung menghina keyakinannya (meski tidak diperlihatkan sang bos penerbitan) amat murah kalau ditukar dengan materi yang diterimanya. Belum lagi ia harus menaati ucapannya untuk berlepas dari pihak-‐pihak yang diam-‐diam menikam ajaran agamanya yang lurus.
Memilih kompromi barangkali banyak yang dilakukan oleh kita. Sederhana saja, selain materinya dapat, kita juga merasa tidak menguntungkan ideologi penerbitnya. Tulisan kita juga aman-‐aman saja tanpa direcoki oleh penetrasi ajaran si bos penerbitan. Bahkan, mungkin kita meyakini amat lebih banyak manfaatnya dengan bersinergi ketimbang terlampau kaku dan keras memusuhi.
Nah, karena kompromi semacam itulah tidak heran bila ada kalangan penerbitan yang dalam kacamata awam tampak fundamentalis, ternyata bisa berlaku pragmatis. Di Solo, beberapa penerbit Islam militan mau diajak bersinergi dengan sebuah jaringan penerbit besar di Ibu Kota. Kekuatan ritel grup penerbit Ibu Kota ini, plus suntikan dana tanpa intervensi tema tulisan, menjadi pemikat berharga bos-‐bos yang
tampak tampilannya mustahak mau bekerja sama. Ketika kerja sama itu terjadi, ironisnya di setiap buku produksi penerbit Islam itu harus ada logo anak perusahaan grup penerbit besar itu.
Kalau saja yang dicantumkan adalah induk grupnya, malah menguntungkan karena menjadi nilai plus. Betapa tidak, penerbit fundamentalis di Solo bisa bersanding dengan grup penerbit besar yang d baliknya milik kalangan Katolik. Rupanya, yang dicantumkan “hanya” anak perusahaan, yakni penerbit yang bermain di lini buku kerohanian Nasrani! Bagi yang tidak tahu siapa lini penerbit itu mungkin biasa-‐biasa saja. Tentu sangat ironis, di sebelah logo penerbit Islam militan ada logo lini penerbit kerohanian agama lain. Pendukung sebuah klub bola saja tidak bakal mau di jersey kebanggaannya ada logo klub musuh bebuyutannya.
Cemburu yang tercampak itu amat berbeda dengan yang digenggam teman saya. Begitu cemburunya pada keyakinan hingga ia tanpa ragu menolak bekerja sama dengan pihak yang menghina keyakinannya secara menyakitkan. []
Penulis Pelawan Nurani
Pilihan sikap teman saya tegas. Ditolaknya tawaran seorang pejabat penting yang memintanya menuliskan sebuah artikel untuk koran. Hanya 4-‐5 halaman kuarto spasi ganda dengan imingan rupiah besar. Kelak, tulisan itu akan dinamai si pejabat; bukan teman saya.
Penolakan teman saya bukan karena besaran rupiahnya. Jelas, uang itu sungguh menggiurkan baginya yang demen membaca buku. Amat memadai untuk membeli buku-‐buku tebal keluaran luar negeri bila ia bepergian nanti. Isi tulisannya pun tidak bertentangan dengan pandangannya. Isinya amat dikuasainya, tidak jauh dari seputar psikologi. Yang ditentangnya hingga ia bergeming pada penolakan adalah soal pembohongan publik. Sudah jelas karya itu miliknya, tapi di koran ditulis atas nama sang pejabat.
Soal penulis bayangan alias ghost writer sudah jamak diperbuat para pejabat. Tulisan asisten atau tim ahli diakuinya sebagai karya ilmiahnya. Dengan bermodalkan duit dari rakyat, si pejabat memampangkan prestise namanya di media. Seakan ia masih sempat menulis di tengah padatnya jadwal pekerjaan.
Ada penulis bayaran yang sebenarnya amat menjijikkan. Mereka adalah kalangan yang mau dimintai menuliskan pemikiran sesuai pemesan. Bukan sembarang pemikiran, karena yang ini pemikiran untuk merusak tatanan yang ada. Beberapa orang penulis Islam berhaluan sekuler berduyun-‐duyun memenuhi hajatan proyek menulis artikel seputar pandangan agamanya yang ramah. Ramah menurut donatur asing. Hanya empat halaman untuk koran nasional sudah diganjar puluhan juta. Perkara tulisannya menyulut kontroversi, justru itu yang dicari.
Para penulis bayaran untuk sebuah ideologi tidak ubahnya sebuah parasit intelektual. Sepintas memang ia perjuangkan pemikiran atau ideologinya. Silakan saja setiap orang mengekspresikan pemikirannya. Masalahnya, mereka bekerja militan dengan dukungan dana donatur
asing. Mereka berduyun-‐duyun bangga dengan tampilan barunya yang sesuai misi donatur. Para penulis awal yang belum paham uang pasti mudah terpikat. Kekayaan instan di depan mata dengan disamari aktualisasi kerja intelektual.
Akan tampak beda kerja seorang penulis yang bekerja dengan hati dan ingin menyuarakan kejujuran nurani masyarakat dibandingkan penulis bayaran. Hari ini kita banyak dapati para penulis yang berjibun menjual diri atas nama kerja intelektual. Tiba-‐tiba jadi pendukung ideologi yang disokong donasi dari luar negeri. Mendadak jadi sama frekuensi soal tema yang dibahas dengan proyek asing.
Kita tidak tahu bagaimana perubahan hati pada pelakunya dinikmati. Apakah kenikmatan materi dan pemikiran kiwari membuatnya terus nyaman berkarya dan mengampanyekan proyek luar itu. Ataukah ia secara sadar siap mati demi gagasan itu. Atau, jangan-‐jangan ia hanya mau hidup selagi lembaga besar di balik gagasannya masih eksis. Saat lembaga itu tidak eksis, masalahnya, akankah ia berubah? Atau malah ia cari lembaga serupa?
Hidup dari pemikiran dan hidup dari menuliskan pemikiran adalah sebuah realita. Ada perjuangan ideologi di sini. Ada penyokong dana agar ide itu diterima luas di sini. Di Indonesia, agensi kerja-‐kerja ideologi bukan mitos. Berlahiranlah penulis bayaran sebagai ujung tombak tanpa sadar dari kampanye nilai yang disederhanakan selaras dengan Pancasila. Bahkan mengaku paling Pancasila dibandingkan elemen yang lain.
Di mana-‐mana penulis semacam itu akan masuk dalam perangkap materi. Ia hanya bekerja dengan logika uang. Argumentasinya lambat laun akan dikalahkan dengan kegetolannya pada materi. Materi ini awalnya berupa uang, kemudian berkembang dengan popularitas dan jabatan. Terus bergulir hingga kekuasaan ingin diraih dan melanggengkan pemikiran impor tersebut. Ia akan dapat imbalan dari kerja setianya ini. Terus begitu sampai ia lupa merenung: dalam
tulisannya akan ada tanggung jawab setelah kematian menghampiri. Sudah siapkan ia berargumen di alam nanti dengan pilihannya ini? []
Membesarkan Ideologi Orang
Terhadap gagasan kontroversi dalam sebuah buku, ingin rasanya kita bangkit melawan. Menuliskan pandangan kita yang dianggap lebih tepat dan benar demi meluruskan tulisan sesat tersebut. Tidak hanya dalil pembantah dan alasan rasional yang tepat, emosi kita pun membuncah dalam karya bantahan tersebut. Sayangnya, amarah karena cinta kitalah yang tampak dalam karya bantahan tersebut.
Sejauh untuk mengekspresikan cinta pada kebenaran yang kita yakini, amarah masih bisa diterima. Namun, ada satu hal yang kudu diperhatikan, khususnya para penulis bantahan. Sejengkel besar apa pun di hati kita, setinggi cinta kita pada kebenaran yang diyakini, tetaplah untuk dingin saat menulis. Dingin yang pertama dan utama adalah tidak perlunya berulang-‐ulang menyebut nama dan karya yang dibantah. Bila menyebut saja tabu, apatah lagi mengulang-‐ulanginya di karya kita.
Sayangnya, banyak di antara para penulis yang saking cintanya pada kebenaran yang diyakini, tidak ingin adanya noda. Dus, karya si terbantah diulasnya berkali-‐kali. Orangnya disebut di sepanjang karya. Tidak cukup menyebut sekali, sumpah serapah keluar dari tulisan kita demi menghujat si empu tulisan. Seakan serapah kita memadai untuk sebuah dosa yang diperbuat penulis sesat tersebut.
Di balik kemenggebuan kita semacam itu, tanpa sadar kita turut membesarkan gagasan kontroversi tersebut. Kita lambungkan, secara tidak sadar, nama penulisnya. Bukunya, kita promosikan secara cuma-‐cuma melalui hujatan lisan dan tulisan kita. Banyak kemudian pembaca yang kasihan pada si terbantah, dan lantas memburu karyanya. Niat kita menghinakannya malah membuat simpati banyak orang kepada si penulis itu.
Setelah penulisnya menjadi simbol tersakiti, banyak kemudian yang mempelajarinya. Kesuksesan buku-‐buku marxisme meraih simpati
pembaca di sini tidak semata karena urusan adanya persoalan pengisapan kaum borjuis yang terus eksis di Indonesia. Di kalangan anak-‐anak muda yang tengah puber wacana, bacaan kekirian mencirikan kegagahan. Semakin dihinakan atau dihujat, makin terbuka arah untuk eksis. Ada pembeda diri dengan identitas rekan mereka di kampus yang amat doyan simbol gaya hidup kapitalis.
Pencinta kapitalis pun setali. Tulisan bernada dakwah untuk menjauhi budaya pop cenderung membuat kalangan yang disasar malah mengemohi. Premis awal dari sampul buku saja sudah hendak menjauhkan kata simpati. Bukannya tertarik, mereka resisten untuk membacanya.
Bila kesan pertama gagal mengena, eksistensi ideologi sesat yang kadung dianut khalayak pun tetap bersemayam. Bahkan, seiring keras dan intensifnya cacian atau cercaan kasar kita, makin diyakini nilai yang dibantah sebagai sebuah kebenaran. Titik temu menjadi lebih sukar dicari ketimbang sebelum adanya tulisan masif bernada hujatan. Sementara kita makin mencintai ideologi sendiri, pihak yang dituju juga makin defensif, mempertahankan nilai yang dianggap dilalimi orang lain.
Lantas apakah kita hanya berdiam diri dengan adanya nilai yang aneh-‐aneh itu?
Yang perlu diperhatikan adalah seberapa besar efek gagasan aneh itu sampai ke khalayak banyak. Di sini kudu buat beberapa alternatif strategi menghadapinya. Sebuah cara yang bersifat antisipatif ketimbang bereaksi keras menangkal gejala. Pastikan tulisan aneh itu terlokalisasi, tidak sampai tersebar ke massa awam. Tugas tulisan kita adalah melokalisasikan, bukan malah memopulerkan. Permainan di media demi mendapatkan posisi sebagai pihak tersakiti, harus dikenali. Banyak yang ingin mendapatkan posisi atau peran ini sehingga mudah menarik simpati khalayak. Jeli atas gerak lawan mencari simpati lewat media memudahkan kita untuk tidak semberono berstrategi.
Bila tulisan aneh itu sebatas edar di kalangan akademis, biarkan saja tidak perlu diperbesarkan hingga media tertarik meliputnya. Media sering membesarkan hal-‐hal aneh dan sarat kontroversi karena kepentingan peliputannya. Ada nilai berita, yang ternyata itu bertentangan dengan penegakan kebenaran sesungguhnya.
Adapun ketika tulisan aneh itu sudah berhasil diterima secara meluas di tengah khalayak, tulisan kita adalah sebagai penyadar. Keberanian menjadi penting untuk meluruskan sekaligus memosisikan diri dianggap aneh yang lain. Lagi-‐lagi, tetap dengan tidak perlu menghujat habis-‐habisan. Hanya lebih boleh terbuka menyatakan kritik keras saja. Penyebutan penulis dan karya yang dibantah juga tetap seperlunya.
Percayalah, seiring waktu, orang akan bisa menilai mana yang gagasan sampah dan bukan. Lambat laun kebenaran akan terkuak meski untuk ke sana butuh beberapa zaman dan generasi. Tulisan kita berandil dalam meluruskan secara bijak. Tanpa cacian dan cercaan yang hanya membesarkan karya orang lain sebagai pihak yang kudu dibela khalayak. Jangan sampai kita malah berandil membesarkan kesesatan gara-‐gara kontrol amarah diri ini begitu sukar dilakukan. []
Besar di Ladang Orang
Anak muda dari Surabaya itu begitu produktif menulis. Tulisannya banyak menyasar kaum muda. Bukunya berhasil diterima dengan baik oleh pasar. Komunitas pembaca setianya sudah terbentuk. Sebagai pendatang baru, karier kepenulisannya terbilang bak menjejaki jalur bebas hambatan. Penerbit besar di tanah air dirambahinya. Bila dulu ia mencari-‐cari, kini berbalik; ia dicari-‐cari.
Salah satu judul bukunya tentang motivasi bagi kaum muda. Ia menyasar teman-‐teman sebaya atau yang lebih muda lagi. Semacam berbagi pengalaman. Buku yang memetik hikmah dalam bahasa Arab itu laris manis dan penerbitnya mendakui sebagai karya best seller. Yang menarik, buku yang sudah dicetak berbelas kali itu disertai endorsement banyak tokoh nasional. Luasnya jaringan si penulis? Dalam soal ini, tentu penerbit bukunyalah yang berandil.
Berkali-‐kali karya selanjutnya dicetak ulang. Anak muda itu sudah mendapat tempat di hati pembaca buku. Tetapi, saya merasakan segmen yang menerimanya masih terbatas. Ia masih seperti penulis daerah, belum berskala nasional. Area orbitnya masih seputar Jawa, itu pun bagian tengah dan timur khususnya. Padahal, sekapasitas kemampuannya dan selaris karyanya, harusnya ia bisa menancap gas bahkan bisa masuk layar kaca. Okelah untuk urusan masuk media layar kaca, anggap saja ia enggan. Hanya, keberadaannya bisa jauh lebih bermanfaat dari sekadar penulis laris yang tinggal di Surabaya. Apa pasal?
Saya jadi teringat seorang motivator yang menggabungkan “quantum” dan khazanah agama, ikhlas. Sempat mendadak terkenal dan diberitakan luas, saya sepertinya sudah mulai jarang mendengar aktivitas motivator yang juga sekaligus penulis buku berjudul sama. Ke mana bukunya yang di-‐endors oleh banyak selebritas yang di antaranya bukan berasal dari kalangan seagamanya?
Bukan kebetulan si motivator dan anak muda itu karyanya diterbitkan di penerbit yang sama. Masih satu kelompok. Ada contoh lagi dari beberapa nama, tetapi saya cukupkan dua saja. Yang diangkat dua penulis di atas adalah hal berfaedah dan punya keinginan kuat untuk menyampaikan kebaikan agamanya. Dengan bahasa umum dalam segmen berbeda, keduanya bisa dikatakan ingin berdakwah. Hanya yang saya tahu penulis dari Surabaya itu tidak berpretensi macam-‐macam untuk menjadi ini dan itu. Saya tidak tahu penulis satunya; yang saya tahu ia sempat muncul dalam beberapa iklan di media cetak tentang produk pelatihannya (yang sama dengan judul bukunya).
Padahal, di lain pihak, penerbit yang mengeluarkan buku keduanya bukanlah berlatar keyakinan yang sama. Memang sudah menjadi penerbit umum dan mau menerima tema agama dari berbeda keyakinan. Memang setiap saat melalui surat kabar kelompoknya sering mengampanyekan pentingnya toleransi dan pluralisme. Namun, fakta di lapangan, saat nilai yang disampaikan dalam tulisan itu belum sefrekuensi dengan yang disukai pihak berkepentingan ideologis di balik layar penerbit, akan susah kita dapati pengorbitan yang ekstensif.
Bandingkan—masih dari kelompok penerbit yang sama—dengan seorang motivator yang entah dari mana hadir dan kiprahnya, begitu dijaga ketenarannya. Seakan-‐akan dialah paling mumpuni dalam bidang itu. Digelari ini dan itu. Atau saat seorang yang mengaku mendadak bangkit dari keterpurukan di negeri jiran dan jadi miliuner, seolah yang hebat dan seperkasa itu hanya ia.
Mohon maaf, ini bukan soal SARA. Dalam soal ini saya merasakan ada nuansa ketidakadilan. Teman penulis dari Surabaya itu amat layak dinasionalkan ketimbang sekadar penambah pundi penerbit namun tetap berpredikat “penulis muda dari daerah”. Motivator Quantum Ikhlas itu bisa saja di atas motivator yang tiba-‐tiba paling (dianggap) hebat soal kiat mengawali bisnis.
Saya teringat seorang novelis yang laris di karya pertamanya. Novel tentang impian dan perjuangan seorang santri dalam memandang hidup. Karya triloginya hanya santer bukan kepalang (bahkan dilayarlebarkan) di kemunculan pertama. Karya kedua agak kendur. Karya pamungkasnya, hanya dimarketingkan saat hendak muncul (seakan buku penting bagi publik); selebihnya tidak ada upaya gencar-‐gencaran seperti mengorbitkan kalangan liberal ber-‐KTP Islam. Mendiskusikan karya saja di jejaring penerbitannya rasanya terkesan setengah hati. Apa karena si novelis banyak menjelaskan hal fundamental berislam?
Kalau saja pihak penerbit berlaku adil kepada siapa saja, saya kira tidak adanya kecurigaan “tidak mungkin besar di ladang orang”. Bila masih ada motif misionaris di penggunaan keuntungannya, pihak penerbit akan berlaku diskriminatif. Tidak tampak, tapi terasa bedanya. Mereka yang laris karyanya, saat berkarya di ladang orang, akan tetap begitu saja. Menjadi besar harus dengan kerja sendiri. Mengapa? Karena pihak penerbit setengah atau seperempat hati membesarkannya. Karena kalau besar, bisa-‐bisa si penulisnya makin membuat banyak kesadaran dan emansipasi publik sehingga semakin kritis dalam beragama.
Karya kita boleh saja laris dan meluas, karena memang ini akan kembali sebagai profit usaha pihak penerbit. Tetapi soal pengaruh dan penempatan sebagai idola publik, nanti dulu. Empunya ladang sudah punya penulis mana saja yang layak dan pantas diangkat ke tengah publik. Mekanisme seleksi ideologi pun bekerja. Maka, jangan salahkan kalau penulis bisa laris dan dikenal penghasil best seller, tetapi untuk urusan pengaruh masih kalah dengan penyanyi seumur kacangan atau motivator kagetan namun masuk kriteria “seolah tokoh pantas dirujuk”. []
Monumen Kenaifan
Buku itu membincang soal kekuasaan. Judulnya menggelitik: Mencurigai Kekuasaan. Karya ini menjadi penanda keilmuannya di studi kajian strategis sebuah kampus di Singapura. Karya ini masih bernuansa ia memandang ideal kekuasaan. Kekuasaan sebagai amanah tidak boleh diselewengkan. Sebagai jebolan aktivis mahasiswa, penulisnya masih diharubirui gelora untuk menjaga kemurnian kekuasaan.
Umur buku itu sayangnya tidaklah panjang. Bukan karena bukunya berhenti cetak. Bukan juga karena isinya tidak relevan. Isinya malah masih tetap aktual dan memadai untuk menjelaskan kondisi negeri ini. Buku itu justru berumur pendek lantaran materi yang dibahas kini berubah seratus delapan puluh derajat dengan pilihan sikap politik penulisnya. Dulu berkata putih, kini memilih membela hitam.
Dengan sadar, penulisnya menjadi juru bicara (jubir) keluarga seorang gubernur yang dijerat korupsi. Sang kepala daerah dan keluarganya sudah beken dikenal sebagai dinasti korup. Menariknya, penulis buku yang kini jadi jubir malah membela habis-‐habisan. Tidak ada tindakan aib sedikit pun menurutnya meskipun rakyat di daerah itu sudah jamak tahu.
Sang penulis muda seperti gelap mata dengan kekuasaan. Dulu antipati dan kerap mendemo sang gubernur dalam kasus korupsi. Kawan-‐kawan lamanya dari pelbagai elemen menjadi saksi keberaniannya. Ditambah lagi keberadaannya sebagai anak emas seorang politisi lawan sang gubernur. Entah angin dari mana, haluan berubah seketika.
Sang politisi yang membesarkan dan menguliahinya ditinggalkan. Kawan-‐kawan berjuangnya diabaikan. Semua seperti kenangan lama. Bahkan pasangan hidup yang dulu diidealkan dengan sadar diceraikan. Semua saat ia memilih merapat dengan Sang Gubernur korup itu.
Namanya menjadi karikatur kenaifan dari sikap aktivis. Dulu lantang, ketika ada uang ganti kumandang. Tidak peduli siapa yang besarkan semua bisa ditendang kalau ada yang lebih menawan. Soal benar atau salah bukan urusan. Sayang, perubahan dramatis itu masih menyisakan monumen. Dan monumen itu menguatkan karikatur politik seorang aktivis.
Gara-‐gara buku yang ditulisnya di atas, ia seperti pecundang. Ia tidak lagi sebagai sosok kritis yang kerap mencurigai kekuasaan dijalankan dengan benar ataukah tidak. Ia malah masuk ke dalamnya, larut dalam praktik korup kekuasaan. Dan ia menikmati itu lantas mengonfirmasinya sebagai sebuah kebenaran sendiri. Perkara orang lain menilainya buruk dan berdosa, ia tidak memedulikannya. Baginya, kekuasaan yang ditampukinya kini merupakan kebenaran. Persetan dengan prasangka orang lain.
Itulah mata tajam buku. Ia penanda kesetiaan seorang yang berkarya. Jejak masa lalu bisa diukur dengan sikap hari ini. Bila perubahan ke arah yang baik, pujian pantas disematkan ke penulisnya. Bila perubahan ke arah pembelaan pada praktik kekuasaan korup, celakalah penulisnya. Setan mana yang begitu kuat membisiki penulisnya hingga mau berubah. Anehnya, kejadian semacam ini bukan fenomena baru. Banyak aktivis atau penulis yang dulu lantang berteriak dari luar panggung, begitu dibujuk masuk ke lingkaran kekuasaan malah jadi buta mata. Yang dulu hitam, semuanya kini putih. Kawan lamanya yang dianggap absurd dan tidak bijak pada keadaan, katanya.
Saya dapati beberapa karya tulis lama para aktivis muda yang di hari ini mewarnai pemberitaan media. Ada yang terjerat korupsi, padahal masa silam ia berapi-‐api melawannya. Ada yang menyandungkan diri karena urusan syahwat, padahal masa lalu berteriak siap melawannya. Banyak, banyak yang seperti ini. Menempuh jalan berbeda sama sekali dengan yang pernah ditulisnya.
Tulisan memang mudah dibuat. Yang kerap diabaikan, tulisan sering kali masih melekat di ingatan pembaca. Bagi penulis yang sudah dikenal luas, tentu makin banyak pembaca yang mengingatinya. Berbeda dengan seorang pemula yang belum punya buku. Di sinilah ujiannya. Ujian kesetiaan atas tulisan yang dituangkan. Ia bukan semata kata-‐kata mati di atas keras atau layar laptop. Ia juga butuh penegasan hari ini hingga kita mati. Bila tulisan kita soal keburukan tentu sebaliknya; perbaikanlah yang dinanti.
Terlebih ketika ide dan pandangan kita dibukukan. Saat itu monumen sudah kita pancangkan. Setiap orang berhak mengingati rekam jejak kita pada masa mendatang. Akan seperti apa kita. Apakah selaras degan tulisan lama, atau malah membunuhi isinya. Maka, di sinilah letak penting niat mengisi motif menulis. Mantan aktivis yang beralih jadi jubir penguasa korup itu menulis di bagian profil diri bukunya tadi. “Hasrat menulisnya terinspirasi dari lima langkah motivasi: menulis, menulis, menulis, menulis dan yang terakhir menulis.”
Ia lupa, pekerjaan penulis tidak hanya piawai merangkai kata. Menulis itu tidak sekadar memindahkan ide di kepala. Menulis juga butuh komitmen gagasan kita mau apa dan untuk siapa. Lantas bagaimana dan mengapa kita berbuat seperti tulisan itu, kelak akan menentukan kualitas kita di pentas sejarah. []
Bayan dalam Tulisan
“Sesungguhnya di antara bayan itu adalah sihir.” Demikian Sabda Nabi Muhammad sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi. Hadits ini hasan shahih. Ada beberapa hadits semakna dengan pelbagai jalur periwayatan.
Awalnya, cerita Abdillah bin Umar, datang dua orang lelaki dari Timur. Keduanya berbicara di hadapan banyak orang. Kata-‐kata keduanya memesona hadirin. Mereka terpikat oleh bayan, penjelasan atau ucapan fasih kedua orang itu. Ketika itulah, Nabi Muhammad menyabdakan tentang adanya kekuatan di balik bayan.
Sebagian dari bayan adalah sihir, bagaimana bisa? Lihat saja cerita kakek kita yang alami zaman Revolusi Kemerdekaan. Bila ditanya kesan terhadap Soekarno, pasti sering dikaitkan dengan retorikanya di atas podium. Suara menggelegar Soekarno begitu menghunjam di sanubari banyak orang. Kata-‐katanya nan lugas terus diingat. Sayang, “sihir” kata-‐kata Soekarno itu terus berlaku hingga banyak orang terkecoh dengan atraksi politik dan kebijakannya yang kerap mengatasnamakan rakyat dan berbahasa kerakyatan.
Soekarno sendiri piawai di atas podium hasil belajar dari sang guru, HOS Tjokroaminoto. Inilah sosok yang dikenal piawai membakar massa pada zamannya. Organisasi yang dipimpinnya, Sjarekat Islam, besar dan memikat banyak orang juga tidak terlepas dari kemahiran Tjokro. Hingga aparat keamanan Belanda pun selalu waspada pada gerak-‐gerik sang Raja Jawa Tanpa Mahkota ini.
Bayan memang pada awalnya lebih ke media lisan, perkataan. Tapi, kita bisa meluaskan dampak per-‐kata-‐an, yakni pengolahan kata melalui media tulisan. Dalam hal ini buku atau artikel di media cetak. Banyak kata yang mampu memikat pembaca sehingga pembaca tergiring untuk melakukan suatu tindakan.
Atau kalaulah tidak bertindak, paling tidak berlangsung kesadaran untuk mengagumi sihir kata-‐kata. Semakin tinggi intensitas mengikuti sihiran kata-‐kata, makin terperdaya kesadaran kita untuk terus mengagumi. Catatan Pinggir di halaman buncit Tempo termasuk pesona tersendiri yang menebarkan sihir, terutama bagi para pemula. Hujan kutipan dan permainan bahasa dari sang penulisnya sering mengundang kekaguman. Soal hanya perulangan dari gagasan orang dan kompilasi kutipan, sihiran kata-‐kata menutupi semua ini.
Pun demikian dengan kebiasaan menampilkan kutipan berharga (yang didakui berhikmah) dari orang lain. Quote pada buku-‐buku terkadang tidak pas dengan materi yang dibahas. Ada kesan, quote sekadar gagah-‐gagahan penanda penulisnya dekat atau tahu dengan pemilik quote. Yang abai diperhatikan, penulis sebenarnya terkena sihir kata-‐kata. Mereka tidak tahu bagaimana integritas dari pemilik quote.
Menampilkan kutipan orang, quote, boleh-‐boleh saja. Namun, bila sekadar latah, ini bukti kita penulis yang belum percaya diri. Atau, masih gagap dengan kebesaran nama orang yang sebenarnya terkadang tidak patut ditampilkan. Orang kagum dengan isi quote yang kita tampilkan. Mereka pun bergegas ingin tahu karya-‐karya orang dimaksud. Padahal, terkadang, pemilik quote punya cacat integritas. Gara-‐gara satu quote yang ada di buku kita, orang terinspirasi dan mengidolai sang tokoh. Celakanya, mereka tidak secara kritis melihat ada hal yang perlu ditolak dalam pribadi si tokoh.
Maka, mengambil quote hendaknya perlu kejelian. Harus hati-‐hati agar kita tidak membesarkan tokoh yang sebetulnya tidak perlu diteladani. Tidak elok satu ucapan menutupi keburukan yang ada pada si tokoh. Freud, Darwin, dan Marx disebut-‐sebut dalam buku kita, adakah kita siap mempertanggungjawabkan ketika pembaca kita terpesona olehnya gara-‐gara (awalnya) melihat quote di karya kita?
Seperlunya saja menggunakan quote. Lihat juga konteks ucapan. Segala perlawanan pada ketimpangan kita pakai ucapan Marx, seakan dia
paling berotoritas. Jadilah orang menyangka tokoh ini paling memadai soal kritik kapitalisme. Posisi kita yang memiliki pengikut atau pengagum makin menabalkan keabsahan mengaguminya.
Karena itulah, pernah suatu saat saya meminta seorang penulis terkenal untuk tidak membanjiri naskahnya dengan quote dari orang yang tidak jelas integritasnya. Ketokohan sang penulis bisa membuat legitimasi orang mengagumi figur yang tidak tepat.
Hikmah memang bisa dipetik dari mana saja. Berhati-‐hati dengan quote bukan dalam kerangka menutupi peluang mendapatkan hikmah dari ucapan orang-‐orang sesat sekalipun. Kiranya jelas perbedaan antara mengambil hikmah dan membatasi peluang bayan tokoh-‐tokoh itu jatuh pada orang yang tidak tepat. Pembaca awam yang mudah kagum dengan keindahan bahasa dan kelugasan retorika, akan mudah terpengaruh. Di sini tentu kita tidak bisa berlepas diri ketika pembaca karya kita mengagumi tokoh tertentu akibat kebiasaan kita menebarkan quote.[]
Atas Nama Pelurusan Fakta
Perempuan pekerja seks komersial (PSK) itu tercatat sebagai mahasiswi sebuah kampus milik ormas keagamaan di Yogyakarta. Disebut-‐sebut, ia dilindungi oleh sang dosen selaku “pemilik”. Memilih secara sadar menjadi PSK ditempuh si perempuan lantaran mendendam pada lelaki. Kehidupan yang amat kontras darinya yang sebelumnya tertarik dengan sebuah kelompok Islam bawah tanah.
Kenalan saya, saat itu masih tercatat masih menjadi mahasiswa di sebuah kampus negeri di Kota Pelajar, menuliskan hasil wawancara dengan si perempuan. Saat dibukukan, Kota Pelajar sempat gaduh. Memang tidak sampai ada pembakaran buku tersebut. Aib yang mencoreng kampus, organisasi mahasiswa Islam, hingga Yogyakarta hadir bersamaan terbitnya buku itu.
Karena kedewasaan ormas yang menaungi kampus itu, kasus buku itu bisa dilokalkan. Yogyakarta bisa aman dan nyaman kembali. Seorang penulis Kiri yang dimintai memberikan pengantar pun urung demi menjaga harmoni di kotanya itu. Jadilah buku yang meminta Tuhan mengizinkan si PSK menempuh profesinya itu laris tapi tidak sampai menasional kontroversinya. Hanya di bawah meja dan berlalu kembali ditiup angin.
Dengan jernih hati melihat, buku itu sesungguhnya tidak sedang memberikan kritik. Aib yang diperbuat si perempuan memang pantas diinformasikan. Karena ia memang berbuat sengaja dan tanpa malu. Berbeda dengan seorang PSK yang masih diam-‐diam, masih ada ruang untuk menutupi aibnya. Siapa tahu ia mau berubah. Kendati layak diinformasikan secara luas, kita tetap tidak berhak menghakiminya dan mencampakkannya. Prihatin dan sedih harus dipisahkan dengan mengutukinya.
Soal hikmah di balik kisahnya, si penulis berada dalam dua kaki. Ia tidak sedang secara khusus menjadikan kasus perempuan itu sebagai
perenungan dan introspeksi bagi setiap lelaki. Betapa pencampakan seorang perempuan bisa sedemikian jauh akibatnya.
Sungguh sayang bila kemudian atas nama hikmah dan pelajaran, kisah itu dieksploitasi sedemikian rupa sebagai ajang menuai kontroversi dan rupiah. Pengakuan jujur penulisnya dalam sebuah forum bedah buku mengonfirmasi hal ini. Melihat motif penulis, tidak susah melihat suasana hati setelah membaca buku yang ditulisnya. Rangkaian kata si penulis yang memang baik, sungguh sayang digunakan untuk hal yang sepatutnya ditempatkan pada lajur yang tepat.
Mengangkat kisah perempuan itu sebagai bahan perenungan berbeda dengan mengangkat kisah demi menciptakan sensasi dan ketenaran si penulis. Kata-‐kata boleh sama indah, tetapi yakinlah pembaca bisa merasakan mana yang niatnya baik dan berkelok. Kebetulan saya yang mengenal penulisnya sedikit tahu reputasi dan kredibilitasnya. Sungguh sayang kadar kecakapan dan keterampilan menulisnya digunakan untuk hal yang seharusnya bisa dilakukan dengan cara lain.
Saya yakin, si penulis melakukan penjudulan yang sedemikian dramatis sudah memikirkan efek reaksi publik. Penulisnya cerdas dan gemar menyentuh hal tabu. Ia seperti menantikan setiap cercaan yang bakal muncul dari diksi judul bukunya. Dan benar, itulah yang terjadi saat bukunya dibedah di mana-‐mana. Tapi, ia dengan enteng tersenyum dan berkilah. Seberkilahnya dan tanpa merasa ada salahnya ketika ia menuliskan lagi buku soal tudingan plagiarisme yang dilakukan Buya Hamka dalam novel legendaris Tenggelamnya Kapal van Der Wijk. Temanya tidak masalah, hanya kesukaan mengambil judul kontroversi sesuai isi kepalanya menandakan ia takkunjung bijak. Darasannya yang banyak, persuasinya nan memikat di media besar, semuanya jadi muntahan takberguna kala melihat modus operandinya menulis. Pun demikian soal pembelaannya pada kaum Lekra soal perbukuan dan dunia literasi secara umum di negeri ini.
Menariknya, si penulis berlatar organisasi Islam sejak pelajar dan mahasiswa. Namun, entah bagaimana persentuhannya dengan bacaan Kiri sehingga ia lebih mengagungkannya ketimbang bacaan ataupun tokoh di luar idolanya. Yang saya tahu, ia pernah mengais rupiah di sebuah penerbit milik keluarga sastrawan terkemuka Lekra.
Saya hanya bisa menduga. Saya kira ada soal psikologi minder penulis tersebut dengan hal berbau Islam. Dan ia pilih secara sadar putusannya. Ya pada awalnya atas nama pelurusan fakta, tetapi ia sendiri terjerembab untuk menyalahkan latar belakangnya sendiri seolah yang bersalah. Tidak heran bila ia belum sadar dan bijak akan pilihan tabiatnya ini, pelbagai karya nakal dan jahat akan dihadirkan ke jagat publik di tanah air. []
Menggeledah Buku Kiri
Di lapak-‐lapak dunia maya di Facebook, buku-‐buku beraliran Kiri memiliki penggemar tersendiri. Entah memang asalnya eksklusif ataukah sekadar dikesankan eksklusif, para penjual buku Kiri berani mematok harga tinggi untuk karya-‐karya pemuja ideologi marxisme. Das Kapital jadi perburuan mereka yang puber dengan buku yang menginspirasi banyak kalangan revolusioner ini.
Tokoh-‐tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak kalah populernya. Keterkenalan Aidit berbanding lurus dengan nilai karyanya yang juga ikut terdongkrak. Meski sebatas karya pendek semacam risalah, pembeli mau rela mengeluarkan uang lebih. Selain soal nilai sejarah (untuk keluaran buku asli atau cetakan awal), juga ada soal prestise memiliki buku Kiri. Pun demikian dengan Tan Malaka yang namanya mungkin bisa disandarkan dengan Pramoedya Ananta Toer dalam hal keterpopuleran karya di kalangan pencinta buku Kiri.
Karya-‐karya tokoh Kiri luar dan (terutama) dalam negeri seperti memiliki daya pikat tersendiri yang ajek. Zaman boleh berubah, rezim boleh berganti, atau revolusi berubah-‐ubah seiring selera massa, tapi buku Kiri tidak lekang di waktu. Tidak selalu berada di atas angin, kadang lebih sering terpuruk di tumpukan gudang atau keberadaannya diabaikan seperti tiadanya. Kokangan senjata aparat untuk memberangusnya pun bisa hadir atas delik subversi.
Era kekuasaan Soekarno bisa dikatakan masa kontestasi yang menempatkan wacana Kiri begitu kondusif hadir memengaruhi warga. Soal absurd dan kekonyolan pelaksanaan isi wacana itu, tidak perlu ditanya. Berganti kekuasaan di tangan Suharto, buku Kiri mendapati masa titik kulminasi penistaan. Pemiliknya tidak hanya diminta menyerahkan buku-‐buku jenis ini untuk disita, tapi juga bisa sampai dibui. Buku Kiri dianggap bom yang bisa meledak sewaktu-‐waktu.
Naiknya Habibie menjadi momentum kebangkitan buku-‐buku Kiri. Jajaran penerbit di Yogyakarta bisa dikatakan menjadi lokomotif perubahan ini dengan menghadirkan keriuhan wacana publik melalui buku-‐buku Kiri. Meski pelaku produksinya belum tentu Kiri (dan kadang bertingkah bak kaum borjuis), semua diterima sebagai kemenangan ideologi kaum pendaku peduli para proletar ini.
Keterbukaan dan sensor memang sudah nyaris raib sehingga buku Kiri kondusif untuk hadir. Karya Pram sudah dimiliki dan diburu banyak anak negeri yang sejatinya tidak mengerti dan tidak peduli dengan partai si pengarangnya. Mereka mencintai Pram tetapi tidak untuk PKI. Generasi digital menjadikan para penulis atau pengarang Kiri sebagai ikon tersendiri. Bisa dikatakan ini sebuah keberhasilan memengaruhi opini publik tanpa sebuah perjuangan kelas. Penetrasi ideologi melalui budaya pop berjalan dengan tenang dan damai.
Yang tidak bisa dilawan dari tabiat zaman adalah pembombardiran secara masif pada gilirannya melahirkan kejemuan jua. Periode buku dan pemujaan ikonik tidak selalu mampu bertahan pada rentang satu dekade, sepuluh tahun. Lihat kini, 1998-‐2003 adalah era keemasan penerbitan buku-‐buku Kiri. Tanpa butuh sepuluh tahun, berontokan penerbitan buku serupa. Memang masih ada yang konsisten, tetapi tidak lagi semasif dulu. Modus ideologis juga berganti rupa menjadi kap i ta l i s . Menerb i tkan bukan semata demi per juangan mempropagandakan ide, tetapi juga demi eksis bertahan di tengah kepungan kapitalisme—dan diri sendiri menikmati pula selaku kaum kapitalis malu-‐malu.
Sampai kapan buku-‐buku Kiri akan bertahan dan terus memiliki peminat?
Sebuah tanya yang dengan mudah ditelusuri dari inti dari falsafah ideologi Kiri itu sendiri. Selagi ada pembangunan yang timpang, selagi masih banyak kalangan yang dipinggirkan oleh pembangunan, para pendaku dan pembela Kiri akan selalu ada. Barulah ketika negara
mampu menyejahterakan dengan seadil-‐adilnya, maka ideologi Kiri, terutama marxisme-‐leninisme, tinggal puing-‐puing dan sekadar romansa sejarah orang yang butuh eksistensi.
Sementara saat ini, ketidakadilan masih terjadi di mana-‐mana, kaum pencari eksistensi masih akan tetap butuh katarsis pergerakannya. Buku Kiri dianggap obat ampuh penumbuh kegagahan diri. Perkara di kemudian hari si penikmatnya berubah haluan menjadi kapitalis tulen, tidak lagi dianggap penting.
Buku Kiri juga mengajarkan kepada para penulis atau pengarang untuk berani membela ide. Tapi berbeda dengan mereka yang banyak mengaku Kiri tapi di hari berikutnya menjadi Kanan (baca: kapitalis), para penulis atau pengarang harus memilih untuk tidak jadi pecundang ideologi. Mengambil ide radikal semata agar seksi dan unik di mata orang lain adalah kejumudan anak manusia. Begitu pun saat mengonsumsinya. Merasa Kiri adalah sesuatu yang membahagiakan demi eksistensi, padahal sejatinya itu patut digeledah kebenarannya. []
Pembantah yang Terlupakan
“Jangan bekerja untuk uang; jadikanlah uang bekerja untukmu.” Kata-‐kata ini bak mantra bagi sebagian teman saya yang menekuni pemasaran berjenjang (MLM). Saat saya dan beberapa orang masih dalam posisi jatuh secara ekonomi, sebagian teman menggandrungi profesi barunya dengan pikatan mantra tersebut.
Gelombang aktivis mendadak MLM pada 2003-‐2007 di sekitar saya diinspirasikan oleh seorang penganjur kebebasan finansial, Robert T Kiyosaki, melalui karyanya: Rich Dad Poor Dad. Buku ini jurus sakti bagi aktivis MLM, bahkan seorang tokoh muda politik yang saya kagumi saat itu menganjurkan aktivisnya agar mengikuti jejak Kiyosaki. Sudah dibiarkan saja Kiyosaki diburu, terlebih lagi disarankan seorang tokoh, maka berduyun-‐duyun beberapa rekan memburu buku edisi terjemahannya yang bersampul putih.
Saya sendiri cukup beruntung untuk tidak tertarik dengan karya Kiyosaki. Bukan apa-‐apa, saya tidak menyukai tema yang diusung di buku itu. Belakangan, buku itu dan penulisnya membelah sebagian orang dalam oposisi biner. Pendukung fanatik Kiyosaki di satu sisi, dan di kemudian hari hadir barisan pengecamnya. Kelompok yang kedua—salah satunya—di inspirasi dari hadirnya karya John T. Reed yang analisisnya di laman pribadinya dibukukan dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Ayah Kaya Tidak Kaya. Karya Reed ini jelas-‐jelas menohok pendukung Kiyosaki. Soal figur ayah yang dipuja dan dijadikan model dalam buku Kiyosaki, dikupas tuntas kefaktualannya. Belakangan, Kiyosaki sendiri mengakui sosok ayah yang ditulis di bukunya tidak merujuk pada ayah kandungnya (yang memang jatuh bangkrut dan depresi), melainkan gabungan beberapa pribadi. Dengan kata lain, model dalam Kiyosaki takubahnya tokoh mitos Harry Potter—sebagaimana diakuinya sendiri.
Saya memang tidak memihak Kiyosaki, kendatipun tidak memosisikan diri sebagai pendukung Reed. Yang akan saya ulas di sini adalah soal
fakta dan keterkenalan. Kalau ditanya mana yang mendekati fakta, saya percaya kita bisa melepaskan ego pemihakan dan menentukan mana di antara keduanya yang jujur dan ilmiah. Lebih mudah lagi kalau ditanyakan mana kedua karya yang dibukukan dan diedarkan di sini itu paling beken. Waktu untuk menjawab tidak butuh waktu lama.
Reed memang berkarya dengan motif mendudukkan fakta secara tepat, namun karyanya ternyata belum mampu mengimbangi karya Kiyosaki yang kadung difanatiki. Karya bantahan tidak mampu tundukkan keterkenalan karya yang terbantah. Bahwa bantahannya ampuh, memang demikian. Yang berubah dan tidak ikuti lagi Kiyosaki bisa ditanya; apakah mundurnya karena tulisan-‐tulisan Reed ataukah karena kegamangan pribadi.
Nasib buku yang dibantah lebih mudah dikenal dan dikenang juga dialami Masaru Emoto. Emoto boleh bersuka ria, termasuk pendukungnya yang masih menggunakan teori keajaiban airnya dalam banyak pelatihan, kendati sudah dibantah habis-‐habisan secara akademis. Muncul lebih dulunya buku The True Power of Water di tanah air kadung melekat di benak publik. Teori-‐teori yang dijelaskan di buku ini kadung memikat dan dianggap sejalan dengan kehidupan agamis banyak umat di sini. Terlebih lagi salah satu edisi terjemahnya dibuat oleh sebuah penerbit islami milik seorang dai terkenal.
Hadirnya The Untrue Power of Water karya dua orang berlatar sains dengan sedikit (mengharuskan) bergaya nama Jepang tidak mampu imbangi mitos yang telanjur diposisikan ilmiah dan “sesuai ayat-‐Nya”. Jadilah, bantahan tinggal bantahan yang hanya diyakini pendukungnya. Kalaupun mampu mengubah pemikiran, derasnya pemikiran Emoto masih lebih kuat. Terbukti meski buku bantahan sudah diproduksi dan dibantu sebuah penerbit besar di Bandung, penerbit besar di Jakarta merasa perlu ikut-‐ikutan menerjemahkan dan menerbitkan ulang. Daya pikat ekonomi lebih menarik penerbit ketimbang nalar sehat warga. Apalagi tulisan Emoto bak mantra ampuh dan presisi bagi Indonesia yang kadung (dianggap) masih sakit ini.
Beruntunglah buku-‐buku yang dianggap tidak ilmiah, sarat mitos, penuh manipulasi, sarat rekayasa, yang hadir duluan. Apalagi bila dibela dan dicitrakan sedemikian rupa oleh banyak media arus utama. Jadilah mitos sebagai fakta. Bantahan yang datang belakangan, dianggap angin lalu. Benak publik merasa bantahan dan si pembantah hanya dengki dan menumpang popularitas buku yang dibantah.
Tetapi, tidak selamanya yang dibantah itu salah. Kadang ada buku yang penuh kebaikan dan kebenaran, tetapi karena berbeda pandangan atau mazhab lahirlah tandingannya. Hasilnya tetap sama: yang membantah kalah terkenal. Berapa banyak pembantah buku Ma’alim fi ath-‐Thariq karya Sayyid Quthb? Karya-‐karya yang menyesatkan dan membantahnya ternyata tidak pernah terdengar nyaring gaungnya. Yang ada sayup-‐sayupnya saja. Pun demikian, teori penyesatan al-‐Ghazali kepada filsafat Yunani dalam karyanya Tahafut al-‐Falasifah, lebih dikenang orang daripada bantahannya yang dibuat berabad kemudian oleh Ibnu Rusyd melalui Tahafut at-‐Tahafut.
Apa rahasia dari si terbantah hingga mampu kalahkan kepopuleran karya pembantah? Sederhana saja. Karena kritik dan ulasan si pembantah terkadang saking semangatnya menyebut-‐nyebut karya yang dibantah. Publik jadi tahu dan merekam karya yang dibantah. Sebagian malah mencari-‐cari karya yang dibantah. Apalagi bila kemudian si pembantah melakukan kritikannya secara kasar dan terkesan menyerang. Menyajikan fakta tapi seperti menghabisi karakter. Kesantunan untuk menguliti kelemahan si terbantah secara sensitif dianggap pemojokan.
Sungguh indah sebuah ajaran yang menyebutkan ketika kita bongkar aib orang, maka tutupi namanya. Fokuskan pada perbuatan. Kuliti metodenya tanpa perlu mengulas nama pembuatnya. Kiranya karya dan si empu tidak perlu dibahas. Cukup publik tahu dalam benak. Jadi, jika Anda ingin membantah kesesatan bekas penyanyi imut yang saat menginjak dewasa memosisikan diri jadi penyanyi seksi, kita bersiap
hadapi banyak penggemar fanatik. Rengkuh ke objek yang dikaji, bukan subjeknya. Bahkan nama si penyanyi tidak perlu disebut pun tidak mengapa. Alih-‐alih membuat remaja tidak mengidolakannya, karya sarat kecaman kita malah membuat remaja mengasihani si penyanyi yang dianggap dizalimi oleh ucapan dan tulisan kita! []
Menulis untuk Protes
Menulis karena amarah dendam pada sebuah tulisan atau buku, kerap berujung kepedihan di hati pembantah dan pendukungnya. Alih-‐alih memuaskan, malah kian populer karya yang dibantah atau dihujat. Soal ini sudah dibahas di tulisan sebelumnya. Lantas bagaimana bila kita menulis karena amarah atau dendam pada keadaan di sekitar kita? Akankah lahirkan ketidaksuksesan?
Seorang teman malah menjadi beken setelah menulis beberapa buku yang bernada provokasi kepada orang miskin. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Orang Miskin Dilarang Sakit. Dan seterusnya. Sebuah judul yang mengkritik keras kebijakan penguasa kita selama ini. betapa diskriminasi kepada kalangan papa begitu kasad mata. Kalimat lugas yang seakan menggambarkan isi hati dan kepala lembaga pendidikan dan kesehatan dalam menerima kalangan miskin begitu menohok kesadaran kita. Bukan kebetulan bila teman yang aslinya aktivis sosial dan pejuang HAM itu piawai dalam mengolah bahasa propaganda. Maka, jadilah judul-‐judul bukunya itu begitu ikonik hingga judul bukunya saja dikenal meluas di seantero tanah air.
Penulisnya begitu dendam pada ketidakadilan yang ada di sekitar. Ia paham betul bagaimana negara gagal melayani rakyat. Atas semua fenomena itu, ia berhasil menyajikannya dengan mudah bagi pembaca. Sepertinya penulisnya sendiri tidak menyangka bahwa meledaknya karya diikuti dengan penggunaan di mana-‐mana judul buku.
Saya yakin, teman saya tidak berniat mengekor kesuksesan di buku pertama untuk memakai aji mumpung dengan judul serupa. Justru karena judul itu khas melekat padanya, saat buku kedua, ketiga dan seterusnya hadir dengan judul frasa serupa, orang langsung tertarik. Setiap ada kejadian yang menyoal absennya pemerintah, atau arogansinya kebijakan penguasa, judul tulisan mesti diawali “orang miskin dilarang”. Begitu terbuka ruang mengkreasikan judul serupa pada kebijakan amburadul pemerintah. Pendidikan, kesehatan, dan
beragam kehidupan. Teman saya memberikan ruang dengan mudah kepada siapa saja untuk membuat judul ekorannya. Kita yang demen motor dan tidak mampu memiliki mobil, pasti tahu dilarang masuk jalan tol. Maka, terlahirlah dari kecewa kita “orang miskin dilarang pakai jalan tol”. Dan seterusnya untuk setiap kebijakan di pelbagai ranah hidup.
Buku-‐buku protes dengan bahasan serius dan beberapa fakta ironis, ternyata bisa menarik perhatian ketika menggunakan bahasa sederhana dan provokatif. Provokatif tidak melulu berkonotasi mengarahkan pembacanya dendam dan langsung berbuat anarkis. Tapi cukup dengan sebuah kalimat yang mengafirmasi ketidakadilan yang dimainkan penguasa atau pengambil kebijakan.
Buku-‐buku teman saya ingin menggugat kesewenangan di sekitar kita. Ia menjadi katarsis dari pemrotes serupa, yang siapa pun merasakannya. Bedanya, teman saya mampu melakukannya dengan tulisan cerdas dan judul tepat. Saking tepatnya, ia menginspirasi penulis lain membuat judul serupa tanpa malu-‐malu!
Sebenarnya buku-‐buku yang menggugat realitas ketidakadilan amat banyak. Bahkan nyaris buku sosial humaniora berlanggam ke sana. Kalau tidak dalam kemasan akademis atau penelitian, tulisannya serius pol. Bukunya semacam perlawanan atas kemapanan yang ada sekaligus memapankan diri dengan gaya yang ada (sayangnya). Beberapa sudah melakukan dengan kemasan memikat, cuma gagal seperti teman saya.
Adapun teman saya itu, ia cukup mengangkat realita sehari-‐hari yang siapa saja pasti terharu. Kalimat memudahkan dan propaganda yang mampu melekat kuat, ditambah kemasan ilustrasi yang lucu tapi serasi, kloplah hingga ia pun diundang ke mana-‐mana dalam kapasitas sebagai penulis. Yang mengekor? Seperti biasa, pengekor hanya mengambil sedikit keuntungan saja karena kreativitas mereka dalam kapasitas sebagai fakir yang meniru teman saya. Dus, tidak dikenallah buku-‐buku berjudul tiruan itu.
Ada baik dan benarnya bila penulis yang peduli ketimpangan sehari-‐hari, melakukan serupa teman saya: mudah dan memudahkan dalam bahasa, bila perlu ditambah ilustrasi yang kocak-‐kritis. Bahasa propaganda yang tepat tidak sekadar menjual, tapi juga mampu menancap di hati pembaca. Lebih dari segi teknis kebahasaan, kalimat kreatif sarat refleksi dan kritik itu mampu terlahir apabila penulisnya mau berkubang dan berkawan dengan penderitaan. Bila ia menjaga jarak untuk berkembang, saya amat ragu ia akan mampu mengikuti jejak sukses teman saya tersebut. []
Ada Saat Berpisah
Seorang teman, penulis, sudah tidak lagi berkomunikasi dengan saya dan beberapa rekan. Tidak ada permusuhan pribadi. Pandangan kami yang mengkritik keras pelbagai pelatihan motivasi yang mengadopsi aliran New Age Movement (NAM) menjadikan sang teman sadar diri. Pilihan sadar untuk tetap dengan pilihan NAM yang sudah dimodifikasi lebih islami membuatnya nyaman untuk tidak berdekatan dengan kami. Kami pun tidak bisa memaksakan pendapat. Selagi argumentasi dan hujjah disampaikan, urusan perubahan sikap dikembalikan pada teman tadi.
Karena sudah menganggap bagian dari metode yang bisa digunakan (bahkan mungkin sarana menuju kebaikan pula), perpisahan tidak bisa dielakkan. Garis pemikiran keagamaan masih sama, tapi untuk urusan menilai NAM ada jurang pemisah. Maka, menemui komunitas yang sepaham menjadi pilihan.
Bagi seorang penulis, pengalaman seperti teman di atas mungkin dialami dalam konteks perbedaan yang lain. Berpisah dengan komunitas yang membesarkannya lantas bergabung dengan komunitas baru yang sesuai pilihannya.
Pilihan sadar teman tadi untuk menggunakan metode NAM memang kami sayangkan. Tapi kami tidak berhak menilai lebih jauh soal kepribadian atau motifnya. Kehilangan sahabat yang dulu sehaluan demi mempertahankan idealisme tetap tidak bisa ditawar. Secara persahabatan memang tidak ada masalah; masih bisa saling sapa. Hanya, perbedaan ideologi atau cara pandang yang sudah kadung menilai satu pemikiran itu menyimpang tetap saja akan ada jarak—kendati ditutupi sehalus bagaimanapun.
Pilihan teman untuk berjarak dan kini berpisah sama sekali bisa dimengerti. Sebuah sikap yang tetap saya hormati, tanpa bermaksud membela pilihan ideologinya. Sikap semacam ini akan ditemui para
penulis yang akan beranjak besar. Keberanian menentukan sikap itu penting. Keberanian yang harus dinilai berdasarkan penilaian secara jujur dan objektif menilai pendapat mana yang tersahih. Atau memilah mana yang harus diikuti dan mana yang kudu ditinggalkan.
Keberanian bersikap juga tidak berarti asal beda. Harus ada keberanian untuk mempertanggungjawabkan pilihannya. Gengsi dan banyaknya pengikut harus bisa ditanggalkan demi meraih kebenaran. Soal semua ini, saya tidak bisa nilai apakah sudah dilakukan teman tadi.
NAM sejatinya sebuah sekte yang terlalu disederhanakan bila dianggap sebatas sebuah kearifan. Ia mengandung sebuah visi. Ada target yang hendak dicapai. Modifikasi atau pengislaman pada sebagian metode, bagi beberapa kalangan yang kritis pada NAM, hanyalah pembenaran dari strategi menyerap nilai-‐nilai yang filosofis asalnya tidak akan pernah sejalan dengan Islam. Menggunakannya sebatas alat dengan mengesampingkan akar filosofis NAM lebih tampak sebagai langkah tergesa-‐gesa dan pragmatis belaka. Semuanya demi motif materi, menjadi yang paling dianggap aktual dalam sesi pelatihan di negeri ini.
Beberapa orang motivator yang awalnya berhaluan NAM sempat diajak diskusi soal semacam ini. ada yang mau berubah dan memilih menjadi motivator yang bersendikan agamanya. NAM satu pilihan yang tidak sembarang diambil. Harus ditimbang masak-‐masak jangka panjangnya bagi diri dan orang lain yang mengikuti pelatihannya.
Di lain pihak, beberapa motivator memilih nyaman dengan NAM—kendati mereka tidak menyebut metode yang dipakainya sebagai bagian dari NAM. Mereka beralasan soal pemanfaatan metode dan memetik hikmah dari orang luar. Tidak lebih dari itu. Seperti teman yang disebutkan di tulisan ini, beberapa penulis yang juga motivator memilih untuk menempuh jalan sendiri. Memilih menjelaskan pelatihan pengembangan diri, parenting, hingga motivasi keislaman berdasarkan pendekatan hipnosis, law of attraction, dan pelbagai sebutan berawalan quantum.
Seperti minyak dan air, pada akhirnya perbedaan pilihan ini membuat satu pihak memilih berteman dengan pihak yang sehaluan. Seperti sang teman tadi, pada akhirnya walau ia tidak dijauhi oleh kami, ia memilih untuk tidak merapat sebagaimana awalnya. Karena ia menghormati pendapat kami yang menentang pendekatan pelatihannya, sementara kami juga tidak nyaman untuk menerima ia sebagai orang yang susah menerima hujjah.
Sepintas seperti pemaksaan kami kepadanya, tapi inilah sikap. Sebuah sikap sebentuk sayang kepadanya. Karena menulis tidak hanya soal keindahan bertutur, tapi juga ada tanggung jawab isi. Kami tentu tidak ingin ada sesuatu yang dirasa tidak patut secara agama kami disebarluaskan, malah dilatihkan secara intensif oleh teman kami sendiri.
Masalahnya selesai bila sang teman mampu memberikan hujjah yang memadai untuk meneguhkan pilihannya. Yang ada, sayangnya, sebatas apologi dan cara berpikir bersahaja. Walau begitu, sebagai sesama sahabat, setelah memberitahukan apa yang mestinya diperbuat, pilihan pada akhirnya ke yang bersangkutan. Memilih untuk berjarak tentu bukan bagian dari skenario yang dibuat. []
Sukses di Penerbit Bukan Idaman Awal
Nama penulis muda itu sudah mudah ditemui di buku-‐buku terbitan penerbit besar di tanah air. Buku bernapaskan keislaman soal remaja, pergaulan, hingga pengembangan diri lahir dari jebolan sebuah kampus teknik negeri di Surabaya. Tidak hanya produktif, bukunya juga laris manis diterima pasar. Sebagai anak muda dan baru saja berkeluarga, ia tidak tetap berpuas diri. Luar biasa penulis ini.
Saya mengenalnya ketika ia memasukkan naskahnya di kantor lama saya. Naskahnya sudah diterima dan tinggal tunggu tanggal terbit. Sayang, pekan demi pekan, tahun berganti tahun, tidak kunjung terbit. Padahal, uang muka royalti sudah dibayarkan penerbit karena penulisnya berhajat keras lantaran ayahnya sakit. Rupanya penerbit berkenan menerbitkan setelah penantian sekitar tiga tahun.
Sayangnya, tiga tahun ini, penerbit kehilangan sebuah talenta luar biasa. Penulisnya melakukan hal menakjubkan yang tidak selalu terpikirkan oleh banyak penulis mula. Diam-‐diam, tanpa sepengetahuan penerbit, penulis itu seorang yang tidak pantang menyerah dan berpuas. Karya perdana sudah dijanjikan terbit, maka ia terus menulis. Dan ia pilih penerbit yang sama sekali berbeda dan belum dikenalnya.
Beruntung, penerbit yang dituju itu tidak lama menyetujui karyanya untuk dibukukan dan hadir di pasaran. Jadilah karya yang lebih belakangan hadir dibandingkan karya yang rencananya dijanjikan hadir oleh kantor lama saya. Dan dalam penantian tiga tahun, rupanya ia sudah berkarya banyak. Jadilah, penerbit tempat saya bekerja gigit jari ketika menerbitkan buku untuk penulisnya sebagai buku pertama secara niat, tapi di pasar sudah menjadi buku kesekian kalinya. Ditambah momentum nama penulisnya moncer dengan penerbit lain.
Di luar soal penerbit yang keliru mengantisipasi talenta penulis, pelajaran menarik dari fakta ini adalah keuletan. Penulis muda Surabaya itu tidak mau berpuas dengan janji terbit. Karya harus terus mengalir
dari tangannya. Dan ia mencoba di ladang baru. Ladang-‐ladang bernama penerbit tidak semuanya menjanjikan pasti terbit karyanya. Tapi ia berani mencoba. Ia kirimkan ke penerbit yang belum tentu bersepakat dengan gagasan naskahnya. Dengan modal keberanian, dan penerbit besar ternyata membuat lini baru yang pas dengan tulisan anak muda itu, jadilah karya penulis muda itu diserap pasar dengan relatif cepat.
Penulis mula yang sudah diimingi terbit dan bahkan diberikan uang muka royalti gampang terserang puas. Sudah karya perdananya siap terbit, ia lalai berkarya. Rasa senangnya seakan perlu dijedakan untuk tidak menulis. Padahal, janji terbit itu tidak selalu ditepati. Bukan karena penerbitnya ingkar, melainkan ini karena soal momentum tema. Teman yang dulu menarik, bisa saji di kemudian bulan malah terpuruk. Daripada merugi, penerbit pun menunda terbit. Bayangkan kalau penulis tulus menanti karya perdana terbit baru setelah itu menulis lagi.
Jadi, ketika karya kita telah hadir walau sebatas persetujuan dan janji terbit dari penerbit, semestinya karya-‐karya kita terus dihasilkan. Anggap saja janji terbit itu pemacu untuk terus berkarya. Bukan malah membuat kita duduk santai menanti karya bertuliskan nama kita dipajang di toko-‐toko buku besar, barulah setelah itu berkarya lagi. Salah besar cara pikir demikian!
Apa pun yang terjadi dengan naskah kita yang sudah masuk ke penerbit, entah diterima ataupun ditolak, ketika ide masih bergentayangan di kepala, segeralah tuliskan menjadi karya baru. Nasib karya yang tengah dipelajari penerbit atau digodok penerbit, jangan dirisaukan. Berkarya terus! Kalaupun penerbit ingkar menerbitkan sampai bertahun-‐tahun, datangi dan minta baik-‐baik untuk menarik naskah kita. Siapa tahu di penerbit itu naskah kita menjadi kusam, tapi di tempat lain malah terang. Beda penerbit lebih sering beda penerawangan visi naskah yang siap diserap pasar.
Di sinilah bujukan penerbit dengan sistem beli-‐putus kudu dihindari para penulis mula. Tentang perbedaan royalti dan sistem beli-‐putus akan
dibahas dalam tulisan berikutnya. Berikutnya, jangan berfokus untuk membidik satu penerbit. Repot kalau naskah kita ternyata ditolak. Mau apa? Tidak ada alternatif lain, bukan? Lain bila kita sejak awal sudah membuat daftar banyak rencana. Penerbit incaran jangan hanya satu. Bila ditolak penerbit A, masih ada B, C, D, dan seterusnya. Kita tidak pernah tahu, nasib buku kita kadang tidak selalu berjodoh dan sukses di penerbit incaran atau idaman awal. Banyak penulis besar mengalaminya. []
Mawas dari Penerbit Jahat
Teman saya seorang guru madrasah. Guru yang tidak berambisi macam-‐macam. Bersahaja saja. Sebuah karyanya diterbitkan di dua penerbit. Karya yang sama. Bagaimana bisa?
Saya sebut bersahaja untuk menegaskan bahwa teman saya tidak begitu ngebet karyanya harus terbit sehingga menaikkan butir penilaian demi jenjang karier. Tidak. Ia yang tahu setahun lamanya karyanya yang dikirimkan di sebuah penerbit besar islami di Ibu Kota, tanpa jawaban hasilnya. Logis saja ia berpikir pihak penerbit pasti menolaknya.
Dikirimkannya ke penerbit lain yang ada di kotanya. Di penerbit kedua ini, karyanya diterima dan dinyatakan layak terbit. Setelah melalui beberapa revisi, jadilah karyanya berbentuk buku. Ia pun bungah.
Beberapa bulan berikutnya, ia kaget bukan kepalang. Namanya ada dalam sebuah buku. Ya, buku itu karyanya; karya yang dikirimkan ke penerbit besar di Ibu Kota. Tanpa konfirmasi, tanpa ada pembicaraan izin apalagi membahas royalti, penerbit “proaktif” melangkahi penulisnya. Jadilah ia harus menjelaskan ke penerbit kedua ihwal keadaan sebenarnya.
Teman saya yang lain, seorang pendidik juga. Ia spesialis permainan edukatif. Bukunya diterbitkan di sebuah penerbit di Kota Pelajar. Bukunya sebenarnya layak jual dan belum banyak yang mengambil tema tersebut. Aneh, di toko-‐toko buku utama, bukunya tidak kunjung hadir. Padahal, setiap mengisi pelatihan, bukunya selalu ia bawa dan sering ludes dibeli. Royaltinya hanya diganjar berupa buku sekian puluh. Dari buku “kompensasi” royalti inilah teman saya bisa dapat uang dalam arti harfiah dan fisik.
Saat diklarifikasi soal stok, selalu dibilang habis oleh pihak penerbit. Padahal, suatu ketika ia menyidik dan mendapati masih ada banyak tumpukan bukunya di kantor penerbit. Sesak dadanya. Sudah royalti
tidak diterima, laporan penjualan tidak transparan, bukunya yang dicari pembaca pun enggan dipasarkan. Tidak butuh lama akhirnya teman ini menarik naskahnya dan mengirimkan ke penerbit lain yang lebih profesional.
Penerbit adalah pihak yang berjasa bagi penulis. Karya perdana hadir yang begitu bungahnya di hati, saat yang sama bisa jadi sumber pemasukan kita saat karya meledak di pasar. Namun, bisa juga dalam saat yang sama, penerbit adalah penjahat yang selalu sedia—diam-‐diam—menggerogoti penulis. Apalagi penulis baru yang polos sama sekali soal penerbitan. Kepasrahan sepenuhnya pada penerbit menjadi sesaran empuk. Sudah royalti kecil, draf perjanjian begitu diskriminatif, pembayaran ke penulis juga sering telat atau bahkan ogah-‐ogahan!
Meski menjadi corong aktivitas intelektual, penerbit tidak mencerminkan apa yang diterbitkannya. Lebih sering dan mudah mendapati penerbit yang bertolak belakang dengan isi penerbitannya. Munafik? Silakan nilai sendiri. Bahkan penerbit keagamaan pun tidak sepi dari soal begini.
Di sinilah perlunya kalangan penulis untuk jeli melihat penerbit mana yang kredibel. Penerbit yang sudah mapan relatif bisa dipercaya. Tinggal bagaimana soal kepercayaan diri kita dalam bernegosiasi soal royalti dengan mereka. Posisi tawar kita sepintas lebih rendah dari mereka. Seakan kita pengemis untuk penerbitan karya perdana.
Penerbit menengah bisa dipercaya juga. Tinggal dicari rekam jejak karyanya. Jangan sampai hanya 1-‐2 buku per tahun, kita gagah memasukkannya ke sana. Curigalah pada penerbit yang tidak produktif berkarya dalam setahun.
Nah, untuk penerbit kecil atau baru, ini yang kudu hati-‐hati. Sudah banyak kasus kejahatan menimpa para penulis baru. Karyanya diambil. Karyanya diakuisisi penerbit entah dari mana, padahal kita memasukkannya tidak ke situ. Atau, penerbitnya hilang begitu saja.
Alamat terverifikasi dan jumlah karya yang dihasilkan bisa jadi patokan apakah kita mau berkarya ke mereka ataukah tidak.
Penerbit besar memang menjanjikan kepastian konfirmasi, selain juga gengsi. Tapi ingat, persaingannya pun ketat. Penerbit menengah dan kecil relatif lebih ringan, tinggal bagaimana kejadian ulah penerbit jahat tidak berulang pada kita. Catat nama-‐nama yang beken dan karyanya diterbitkan di sana. Tentu bukan nama orang yang sudah almarhum.
Sebagai penulis perdana, pengalaman buku pertama terbit memang menghadirkan sensasi di hati sedemikian rupa. Tapi kita tidak boleh puas, karena bila tidak kita akan jadi incaran serigala jahat bernama penerbit. Di antara penerbit yang baik, ada saja yang jahat. Kalau tidak jahat, curang dalam perjanjian atau malas membayarkan kewajibannya kepada kita, para penulis. []
Menjaga Hak Penulis di Penerbit
Anak muda itu semula datar saja ekspresinya bercerita. Karyanya tentang manfaat Shalat Duha baru saja diterbitkan di sebuah penerbit. Buku yang juga laris akhirnya. Menariknya, tidak ada gambaran ekspresi bungah sebagaimana saya dapati di beberapa teman penulis.
Saya pun bertanya soal royalti yang diterimanya. Alih-‐alih royalti, anak muda itu hanya diberi uang tidak lebih dari 3 juta rupiah. Uang ini pembelian naskahnya. Dengan kata lain, naskahnya bukan diikat dalam perjanjian beroyalti, melainkan sistem beli-‐putus. Penerbit menghargai naskah sekian juta, setelah itu mau diapakan itu urusan penerbit. Kalau setelah dibukukan tidak laku, penerbit rugi tidak masalah. Kalau kemudian laris manis, penulis tidak berhak meminta kompensasi. Dan kondisi kedua inilah yang terjadi pada tamu saya itu.
Ia harus mengikhlaskan bukunya banyak dibeli tapi tidak ada tambahan rupiah yang singgah di rekeningnya. Sebagai anak yang butuh uang mendesak, ditambah ketidaktahuan konsekuensi sistem beli-‐putus, ia terpikat dengan uang yang jumlah nominalnya sepertinya baru dipegangnya. Senang di awal tapi di kemudian hari sesakkan hati.
Itulah “kekejaman” sistem beli-‐putus dalam pernaskahan, terutama bila si penulisnya tidak menyadari atau belum paham. Kadang ada yang secara isi sudah paham, tapi ia dengan sadar lebih memilih uang segar karena satu dua keperluan keluarga. Ini soal berbeda. Ini sudah pilihan sadar. Penulisnya bisa dikatakan pragmatis. Lain dengan penulis yang sudah berkarya sepenuh hati. Penerbit mengakali karya yang elok itu dengan bermain kata-‐kata saat negosiasi dengan penulis.
Penulis muda atau awal yang sudah kadung senang duluan amat mudah dikelabui penerbit. Bagi penulis, yang penting karyanya hadir dulu. Ini boleh dan sah saja. Yang kudu dimiliki penulis adalah pengetahuan yang bakal menyelamatkan masa depannya. Jangan sampai ia kecewa seperti anak muda di atas. Dari segi dakwah, ia memang puas karena isinya
mampu membuat orang terinspirasi dan menggali manfaat Shalat Duha. Tapi sebagai insan yang belum mapan secara materi, apatah lagi hendak berkeluarga, soal hak yang terhempas ini susah untuk dilupakan.
Sistem beli-‐putus cenderung mematikan proses intelektualisme. Ia cocok untuk para perajin tulisan atau penulis orderan yang ingin uang cepat. Untuk tulisan yang dihasilkan dengan kerja penelitian dan refleksi mendalam, alangkah baiknya penulis mulai menghargai diri. Tidak mengapa karya kita lambat diserap di pasar, tapi ada kepuasan dan kepastian dari adanya perjanjian bersistem royalti. Penerbit masih punya kewajiban pada kita. Karya kita juga tidak semena-‐mena diambil haknya.
Uang besar 3-‐6 juta di awal, percayalah, beberapa tahun kemudian terasa sedikit nilainya. Royalti memang tidak tiba-‐tiba menghadirkan nominal sebesar itu. Ia mengikuti berapa laris buku kita. Kian laris, kian cepat uang masuk bahkan bisa membesar. Ada peningkatan daya tawar bila karya kita terus meroket baik. Perubahan surat perjanjian amat dimungkinkan. Ini yang tidak ada lama sistem beli-‐putus naskah.
Dengan royalti, kita jadi serius mengerjakan naskah. Ini kerja intelektualnya. Tidak memikirkan uang lebih dulu. Lain bila kita hanya ingin menulis buku cepat edar, karena momentum tertentu misalnya. Buku berumur pendek seperti ini boleh saja kita ajukan ke penerbit dengan sistem beli-‐putus.
Kendati royalti tampak lebih adil, bukan berarti persoalan kenakalan penerbit usai. Penulis juga kudu mengerti maksud royalti itu. Persentase yang ditawarkan amat boleh dinegosiasikan. Penerbit menawarkan angka tujuh persen, kita boleh saja meminta sepuluh persen. Kuncinya: kepercayaan diri pada kualitas karya. Hanya jangan sampai karya kita memang masih taraf belajar tapi langsung menuntut royalti tinggi, dijamin penerbit menolaknya.
Urusan persentase juga harus diperjelas. Dihitung dari harga bersih (neto) atau kotor (bruto) buku. Ada penulis yang juga seorang dai, konon royalti bukunya bisa sampai 15 persen. Usut punya usut, royalti ini dihitung dari harga bersih buku.
Harga buku yang diterakan di katalog atau banderol itu merupakan harga kotor. Sebut saja Rp 100 ribu. Berapa harga bersihnya? Sekitar seperlimanya, alias Rp 20 ribu. Ada biaya kotor karena penerbit juga memberikan diskon bagi toko buku, distributor, pajak, juga biaya pengerjaan (editing hingga layout dan desain sampul). Jadi, jangan puas diberikan royalti 20 persen kalau ternyata dihitung dari harga neto.
Dan yang kudu dipertegas para penulis adalah tempo pembayaran. Ada penerbit yang reguler setiap bulan “menggaji” kita. Royalti kita otomatis masuk ke rekening kita. Laporan penjualannya pun dikirimkan ke e-‐mail kita. Tapi, tidak sedikit penerbit yang “meminta” disilaturahimi penulis. Penulisnyalah yang mesti aktif ke kantor penerbit, atau sekurangnya menelepon. Penulis dalam hal ini seperti tukang tagih. Tidak enak, memang, tapi bila kita pasif, penerbit bisa keasyikan belanja uang hak kita untuk keperluan lain. Ini fakta!
Jadi, setelah bungah karya kita terbit, jernihkan soal hak kita. Jangan sampai hak kita dirampas penerbit, baik secara tersamar maupun terang-‐terangan. []
Memilih Penerbit Keagamaan
Lelaki pimpinan penerbit buku-‐buku bertemakan keislaman itu harus meringkuk di dalam bui. Sebuah penerbit Islam yang sahamnya dimiliki kalangan bukan Islam mengadukan perbuatan perusahaan lelaki itu lantaran menerbitkan buku yang bukan hak terjemahnya di Indonesia. Merasa sebagai pemilik sah, digugatlah lelaki itu selaku manajer lantaran kasus hak cipta.
Pada awalnya, lelaki itu melawan sekuat tenaga. Dengan beragam dalih dikemukakannya kebolehan menerjemahkan kitab Timur Tengah kendati hak terjemahnya sudah diambil sebuah penerbit. Tapi, vonis hakim peradilan berkata lain. Ia harus mendekam di penjara.
Purnama terus berganti. Hukuman bui bisa dilalui. Sayangnya, seusai dari penjara, diperbuatnya perilaku “memulung” naskah yang sudah dibeli hak ciptanya oleh penerbit lain. Kali ini kepada seorang temannya yang, ironisnya, dulu memberikan dukungan untuk melawan penerbit yang membuikannya.
Teman penerbit lelaki itu pergi bersama-‐sama dengannya berbelanja kitab di Damaskus. Kala itu, Suriah masih belum ada gejolak politik dan peperangan. Lelaki itu tahu, temannya kulakan lisensi terjemah kitab apa saja. Sementara dirinya juga melakukan upaya serupa untuk judul berbeda.
Beberapa tahun sepulang dari kunjungan ke Damaskus, kitab yang hak terjemahnya milik sang teman diterjemahkan dan dicetaknya pula dalam edisi Indonesia. Padahal, saya amat yakin, ia tahu terjemah kitab itu sudah jadi hak temannya. Lisensi terjemah itu amat jelas buktinya, antara lain berupa surat pernyataan dari penulis dan juga penerbit kitab aslinya.
Sungguh, yang diperbuat manajer penerbitan buku Islam itu amat berbeda dengan materi yang dituliskan dalam buku-‐bukunya. Semua
bukunya berbicara soal nilai keislaman yang menghargai kemanusiaan. Tidak ada satu pun judul buku yang melegalkan perbuatannya. Hak saudaranya diambil begitu saja dengan pelbagai dalih atas nama demi kemaslahatan bersama. Hak saudaranya yang bahkan membelanya kala ia tersakiti malah diambilnya tanpa sungkan.
Bila akhlak pimpinannya seperti itu, tidak mengherankan menulari bawahannya. Sudah beberapa kali saya mendengar keluhan penulis terkait penerbit islami itu. Konfirmasi redaksi kurang, pembayaran royalti juga tidak begitu mencerminkan watak Islam yang penuh rahmat. Bukan karena tidak memungkinkan atau tidak sanggup, tapi tidak ada kemauan untuk menyesuaikan dengan isi buku mereka.
Bila penerbit yang sudah besar saja masih begitu kelakuannya, logis saja didapatkan kejadian serupa di penerbit yang lebih kecil. Isi buku meneriakkan keislaman yang kaaffah. Kelakuan manajemennya sendiri amat berkebalikan. Penulis dizalimi dengan tidak membayarkan royalti. Penerbit berwajah agama ini sama saja dengan wajah penerbit pada umumnya. Mestinya, dengan menyandang atribut agama, mereka bisa berhati-‐hati.
Bagi penulis mula, keberadaan penerbit agama sering menerbitkan harapan. Ada prasangka baik kepada keberadaan mereka. Seolah-‐olah mereka tidak akan menzalimi hak-‐haknya. Sebagian memang berlaku demikian; sebagian lagi, memalukan tingkahnya.
Penerbit-‐penerbit itu lupa bahwa akibat lelaku tidak patut mereka bisa mendatangkan kemudaratan baginya sendiri. Doa orang teraniaya itu ampuh, bukan? Perhatikan, tidak sedikit penerbit yang awalnya moncer di kemudian hari gulung tikar. Memang ada persoalan manajemen di sana. Tapi, jangan abaikan juga soal buruknya manajemen itu cermin dari tingkah mereka kepada hak penulis. Inilah yang mempercepat ambruknya bisnis mereka. Sekurang-‐kurangnya, kemajuan bisnis penerbitannya menjadi berkurang. Doa orang teraniaya bisa
mempercepat di awal, tapi juga di tengah dan di akhir. Busuknya manajemen memperparah keadaan yang ada.
Penulis, dengan demikian, tidak boleh lagi terjerembab pada lubang yang sama. Jangan hanya percaya pada atribut formal keagamaan. Cek reputasi dan tanggung jawabnya di kalangan penulis. Tidak hanya memikirkan tulisan kita asal terbit saja, tapi juga bagaimana setelah terbit. Jangan sampai kita hanya diperalat penerbit. Buku laris tapi dibilang kurang laku. Keagamaan di lidah saja belum cukup. Harus ada bukti di lapangan.
Harus diakui, kadang penerbit yang tidak menyebut diri agamis malah lebih jujur dan amanah. Yang perlu dicatat, perilaku itu tidak abadi. Maka, doakan penerbit keagamaan yang masih belum cerminkan kepatutan untuk bertindak sebaliknya. Yang sudah baik doakan agar terus baik. Jangan sampai, sudah buruk sebagian perilaku politisi agamawan, penerbit berpredikat agama pun hancur reputasinya.
Jadi, kritis dan cermatlah memasukkan naskah ke penerbit keagamaan. Bila penerbit yang pengelolanya banyak bicara surga dan neraka saja kudu mawas, apalagi dengan penerbit umum. Jadi, selalu kritislah! []
Empati untuk Pekerja Penerbitan
Di balik kebesaran nama seorang penulis ataupun sebuah karya berbentuk buku, ada para pekerja yang mendukung dengan sungguh-‐sungguh. Berbeda dengan penulis yang namanya dibicarakan di mana-‐mana, tidak demikian halnya yang terjadi dengan tim editor. Pun demikian pendesain perwajahan buku dan isi. Publik juga tidak merasa butuh untuk perlu tahu siapa pemasar yang sukses mengantarkan bacaan tertentu meluas keberadaannya. Semua seperti harus begitu, lain halnya dengan penulis. Penulis amat layak diperhatikan dan dihargai.
Anggapan jasa lebih seorang penulis memang absah bila dikaitkan dengan kesungguhannya menggali ide dan ketekunan meriset sebuah bahan tulisan. Namun, saat ide itu dituliskan dan hendak dicetak, ia membutuhkan satu kesatuan tim yang mengerjakannya. Penerbit sebagai kesatuan besar layak disebut pertama. Penerbitlah yang berandil membesarkan seorang yang tadinya biasa-‐biasa saja menjadi seperti luar biasa.
Editor patut disebut berikutnya. Ialah yang merancang dan meracik aspek kebahasaan hingga pemeriksaan data di naskah. Kepekaannya sebagai wakil tidak resmi publik mengharuskan ia bekerja keras sebagai jembatan penulis dan pembaca. Amanah tidak dijalankan dengan baik, karya berpotensi besar jeblok. Sering bukan kita mendengar sebuah karya yang tidak entas gara-‐gara editor naskahnya bekerja ala kadar.
Editorlah yang memeriksa pemakaian bahasa sehingga tulisan penulis lebih gurih dikunyah. Membiarkan penulis bekerja sendiri tanpa jasa editor, hanya akan menjadikan naskah compang-‐camping. Kerja keras editor sudah semestinya menjadi bahan perhatian penulis untuk lebih hangat dalam menghargainya. Sudah tentu, kalangan penerbitlah yang kudu perhatian dan berempati dengan kalangan editor. Membiarkan naskah tanpa iringan editor seperti membolehkan orkestra berjalan tidak dengan seorang konduktor. Musik mampu berjalan, hanya
beberapa menit kemudian orkestra menjadi kacau-‐balau. Semua musikus berjalan sendiri-‐sendiri.
Pekerja berikutnya tim pemasaran. Sehebat apa pun nama penulis, sebagus bagaimana pun sebuah buku, akan sia-‐sia belaka bilamana hanya terpampang di gudang penerbit. Kerja keras bagian pemasaran menjadikan buku sampai ke tangan pembaca.
Di balik eloknya rupa buku, jangan pernah lupakan para desainer. Ada perancang sampul, ilustrator, dan penata letak. Bersama editor grafis mereka berjasa dalam memperkaya tampilan visual sebuah buku. Amat layak para penulis untuk mengingat jasa desainer bukunya.
Sebenarnya masih banyak yang disebutkan nama-‐nama yang berandil di balik lahirnya buku. Secara umum, profesi atau kedudukan di atas amat layak untuk menerima penghargaan penulis atas dedikasinya. Bayangkan, saat buku sukses di mana-‐mana, publik hanya ingat ke si penulis buku. Tidak ingat dengan nama editor, desainer, pemasar, dan seterusnya. Sebaliknya, saat buku berkesan aib dan penuh kekurangan, nama penulis relatif terselamatkan karena publik kadung menunjuk hidung jajaran editor (bila berkaitan dengan isi naskah) atau para tim kreatif visual (gara-‐gara tampilannya kampungan atau tidak sinkron dengan isi buku). Sementara, si penulis aman tenteram saja. Reputasi relatif tidak berkurang dengan buruknya buku. Lain halnya dengan (terutama) editor buku, yang harus menderita cercaan dan makian pembaca setiap si penulis.
Proses kreatif seputar pembuatan buku menjadi penting untuk menumbuhkan sikap menghargai para pekerja buku. Di tanah air, belum begitu besar perhatian kepada kalangan tim pembuatan buku. Jangankan mereka, perhatian kepada insan penulis saja dingin-‐dingin apatis. Untuk itulah, publik kudu bisa berempati dengan nasib pekerja buku di luar penulis. Ada jerih payah tulus mereka demi menghadirkan sebuah bacaan nan sarat inspirasi.
Repotnya memang publik kadung menganggap profesi penulislah yang kudu diperhatikan. Tim pendukung seolah tidak begitu bermanfaat untuk dikenali. Padahal, sekali lagi, orkestrasi bernama tim pembuatan buku menghajatkan kebersamaan dan kesalingpengertian. Di sinilah letak penting dukungan publik yang tidak melulu kepada penulis, tapi juga pekerja penerbitan bukunya.
Sungguh saya terharu dengan seorang teman yang karyanya berbelasan kali dicetak ulang dan ia berbagi sedikit untuk para awak penerbitan bukunya. Memang awak itu sudah digaji pihak penerbit, tetapi si penulis merasa perlu berterima kasih kepada mereka yang sepertinya kecil dan takberjasa dalam pembuatan buku. Dari berbagi yang sederhana, rupanya meluncur doa-‐doa dari pekerja itu. Sekadar traktiran makan siang berbuah doa. Kita takpernah tahu, doa itu bisa jadi yang dikabulkan Allah. Hingga akhirnya, imbasnya, karya kita pun tetap diburu dan dikenang orang.
Sungguh nikmat berbagi, wahai penulis! []
Mengingati Editor
Dalam buku baik, ada peran di balik layar sebuah tim. Editor naskah memegang peran vital atas keterbacaan hingga larisnya sebuah buku. Tentu saja editor naskah pun tidak berhak menyebut dirinya paling segala-‐galanya. Hanya, kalangan pembaca sudah saatnya memerhatikan andil mereka. Jangan sampai editor dicaci saat karya dianggap buruk. Tapi saat karya dipuja dan dipuji, mereka diabaikan.
Editor naskah memiliki kedudukan penting dalam produksi karya. Di Indonesia masih jamak editor didudukkan sebatas subsistem yang berada di bayang-‐bayang penulis. Ia dibutuhkan karena adanya naskah. Belum atau masih jarang dibalik: ia dibutuhkan karena naskah belum ada. Walaupun sudah banyak editor yang merekayasa naskah hadir saat penulis masih blank, tetap saja editor terabaikan. Penulislah yang kemudian muncul.
Bagi editor, kerja di balik layar dan sekadar disebut beberapa kali saja di isi buku karyanya haruslah diterima sebagai “takdir”. Ia tidak boleh sirik kepada penulis dan penerbit. Justru bagi yang paham ia akan dicari dan disaluti. Sungguh tidak mudah mengelola hati bagi editor ketika ia masih butuh pujian.
Editor bagi penulis mula adalah mitra penting. Ia bisa menjadi mentor si penulis yang beranjak mengasah talentanya. Di tangan editor yang bijak dan tajam penciumannya, si penulis bisa jadi “orang”.
Bagi penulis, aktivitas menyunting hendaknya sudah mulai dilakukan pribadi juga. Prinsip dan cara kerja seorang editor diterapkan ketika naskahnya masih di meja kerjanya. Meski ada pembagian tugas, ia tetap berandil menata ulang goresan kata-‐katanya. Karena ialah yang memiliki keunikan dan pengalaman batin sehingga bisa lebih intim untuk memperbaikinya. Secara teknis, ia juga belajar menemukenali hasil karyanya. Kekurangan huruf hingga lompatan alinea bisa dirasakan. Dari sini bisa dilatih empati pada kerja tim di penerbitan, khususnya editor.
Pembagian tugas dalam penerbitan tidak berarti seorang penulis menyerahkan begitu saja hasil karyanya. Penulis bisa membantu editor menghadirkan kemudahan berupa keterbacaan naskah. Dengan demikian, editor dibantu untuk berhadapan dengan naskah yang memang sudah bukan mentah sama sekali. Memang, dalam kasus tertentu editor kadang tertantang mengolah bahan dari penulis yang bukan saja mentah, tapi juga masih berupa “lumpur” tulisan.
Memerhatikan naskah sendiri menjadi penting demi hadirnya karya yang sejak awal sudah komunikatif. Yang dimaksudkan di kepala penulis terbaca jelas oleh editor. Editor tinggal mengolah hingga melejitkan karya yang dihadapinya.
Di lain pihak, penulis juga tidak harus betul-‐betul fokus pada kerja-‐kerja menyunting. Perhatian pada keeditoran maksudnya lebih kepada rasa tanggung jawab untuk tidak meninggalkan begitu saja tulisan tanpa memeriksa kembali oleh dirinya. Pemeriksaan oleh si penulisnya inilah bentuk ia berempati pada kerja editor.
Yang tidak perlu dilakukan setelah tulisan selesai adalah pikirannya betul-‐betul terfokus ke hasil mengedit. Ia bak menggantikan peran editor. Bila bukan seorang perfeksionis, ini mungkin lantaran sang penulis belum tahu ada ruang tempat editor butuh aktualisasi. Bila semuanya dibenahi dengan saksama, tugas editor jadi ringan. Ini tentu saja tidak menarik bagi seorang editor yang haus tantangan. Dari skema tulisan sendiri, sang penulis sudah jeli melihat hingga ia sibuk “mewakili” editornya sendiri.
Kejadian semacam itu bukan soal berarti bila penulisnya sudah “pembawaannya” atau kapasitasnya ke sana. Nah, tidak demikian bila penulis mula. Mending ia memikirkan transfer ide di kepala dan hati ke tulisan mengalir nan menggugah. Sementara untuk tugas meraciknya lebih cantik dan elegan, biarlah ia berbagi tugas dengan yang pekerjaannya di situ: editor.
Soal teknis memikirkan judul tulisan, kalimat panjang, hingga bertele-‐telenya sebuah paparan, semua ini sebagian dari problem biasa di kalangan penulis mula. Sejauh ingin belajar memperbaiki diri, aktivitas editoran diri lebih dulu penting dilakukan. Setelah itu, serahkan pada ahlinya, dan mari kita belajar atas pelajaran yang ada. Lambat laun wawasan kita bertambah.
Memudahkan tulisan kita, harus diakui, menyenangkan dan meringankan tugas editor. Kerangkanya jelas: bukan dalam kepentingan mengambil alih apalagi tidak memercayai sang editor. []
Buku Sang Editor
Sebagai seorang editor naskah atau bahkan konsultan penerbitan, sering kali pertanyaan yang tertuju kepada saya adalah jumlah buku yang ditulis. Saya merasa pertanyaan ini mesti dialamatkan ke kalangan penulis. Meski sama-‐sama bekerja menghasilkan produk yang sama, pembagian kerjanya jelas.
Andil penting editor bisa dibaca pada tulisan sebelumnya. Singkatnya, dialah yang berjasa mengawal sebuah karya agar bisa diterima luas pembaca. Ia menjadi perantara antara kehebatan gagasan penulis dan kesiapan pembaca di publik. Ia semacam mediator kedua pihak.
Karena besarnya jasa editor, hal lumrah di luar negeri perhatian para profesi ini begitu tinggi. Di balik penulis hebat, ada andil editor. Lain ceritanya di sini. Nama editor nyaris tidak terdengar. Bila editor saja tidak banyak dibicarakan, apatah lagi desainer dan penata letak. Mungkin hasil karya mereka dikagumi, tetapi hanya sejenak. Selintas memuji, setelah itu mengabaikan. Kembali perhatian terfokus pada nama penulis. Penulis dipuja puji sedemikian rupa seolah ialah penguasa lahirnya kreativitas.
Maka, imbasnya, tidak heran bila editor terbujuk untuk terjun sebagai penulis. Boleh-‐boleh saja menulis buku diperbuat editor. Malah bagus bila dilakukan kontinu. Tinggal bagaimana motif terjun menjadi penulis buku. Mengubah nasib demi periuk dapur, halal-‐halal saja. Seorang novelis muda terkenal kelahiran Gunungkidul (Yogyakarta) yang bermukim di Bandung bahkan sebelumnya menapaki dulu sebagai editor tetap di penerbit di sana.
Penyakit editor memang sok berwibawa bak resi. Ia takmau menulis karena ada semacam jumawa tanpa sadar. Pembagian peran yang disebutkan di atas dimaksudkan untuk pembagian amanah. Kala amanah kita sebagai buruh di penerbitan atau profesional mandiri, ya kita harus tekuni. Selesaikan amanah dulu baru setelah itu menulis.
Kalau tidak tahan untuk menulis dan merasa tidak amanah lagi sebagai editor, ya keluar saja seperti novelis Gunungkidul itu.
Dalam konteks ini, kalau ada editor keasyikan berkarya dengan profesinya dan belum berkenan menulis buku sendiri, tetap kita hargai. Ia bukannya tidak mau berkarya dengan menuliskan buah pikiran dan olah hatinya dalam wujud buku. Ia hanya dibatasi waktu. Karena toh dalam literasi menghasilkan buku tidak berarti puncak intelektualitas seseorang. Kalau bukunya sekadar hadir, t idak ada ni lai intelektualitasnya sama sekali.
Berbeda dengan editor yang punya banyak waktu. Ada kesempatan menulis. Amanah menyuntingnya pun relatif bisa terselesaikan dengan cepat. Kelonggaran kesempatan ini, sayangnya, tidak dipakai untuk menghasilkan karya berbentuk buku. Kepada mereka yang seperti ini, amat pantas diajukan pertanyaan klise: mengapa tidak menulis buku?
Para editor terkadang dihinggapi semacam kepuasan mendedah pelbagai karya. Ia seperti tidak merasa penting berbagi dengan orang lain dalam bentuk buku. Baginya cukup media tulisan di blog atau catatan di media sosial. Kepuasannya bukan terletak pada bentuk artikulasi pemikirannya, melainkan pada kegesitan dan kekuatan argumentasinya. Buku bukan lagi orientasi mereka sebagaimana didamba para calon penulis. Para editor memilih dunia berbeda dari keseharian mereka. Jangan tanya mengapa dokter suka olahraganya memanah, dan bukannya atletik yang menurut kita lebih menyehatkan dan menyegarkan otot-‐otot. Buku yang penting bagi kita, belum tentu penting bagi editor.
Editor yang alami situasi batin seperti itu tidak perlu ditanya soal mengapa tidak menulis buku. Logika kita terlampau memaksakan orang lain untuk serupa dengan kita. Tanya serupa mestinya lebih tepat diarahkan ke kalangan editor yang tidak seperti itu (tapi apa iya ada?). Mengapa mereka takkunjung menulis, termasuk menulis artikel di blog
sekalipun? Kalau tanya ini saja tidak terjawab tegas, perlu diragukan kapasitas si editor.
Editor punya tanggung jawab “memamerkan” olah tulisannya. Bagaimana pemikirannya, bisa diketahui publik. Media artikulasinya bisa sekadar blog atau media sosial. Tidak harus buku. Sebab, ini berkaitan dengan suasana batin yang disebutkan di atas. Konsisten menulis dan menjaga mutu tulisan itu intinya. Medianya apa, bebas. Soal anggapan publik bahwa editor juga harus punya buku, biarkan saja. Sambil tentunya terus melihat waktu apakah ada senggang dan kemungkinan membukukan tulisan-‐tulisan ringan-‐lepas selama ini. Toh tiada larangan buku karya si editor berawal dari kumpulan perenungan ia selama ini. []
Buku untuk Orang Terkasih
Dengan nada bicara pelan, mantan mahasiswa itu berkata kepada saya. “Rencananya, kalau naskah saya sudah jadi buku, saya akan niatkan sebagai mahar.” Meski diucapkan pelan, nadanya tegas. Setegas keyakinannya untuk menuju pelaminan.
Beberapa hari kemudian, ia memang menunaikan ucapannya. Buku perdananya soal manfaat gerakan shalat, menjadi mahar pernikahannya. Kelak, beberapa tahun kemudian, buku yang sama menjadi berkah sendiri baginya ketika penulisnya melamar sebagai pendidik. Bukunya menjadi modal nilai tambah dalam jenjang karier.
Beberapa kali saya dapati penulis buku yang naskahnya diniati untuk sebuah pengalaman cinta. Seperti anak muda yang baru lulus kuliah di atas, menulis sebagai cara mendapatkan mahar. Boleh jadi karena tidak ada modal membeli mas kawin atau seperangkat alat shalat yang lazim dijadikan mahar. Atau uang sekian puluh juta yang diminta keluarga calon istri. Buku akhirnya menjadi jalan akhir pengganti mahar.
Namun, ada juga yang memiliki kemampuan finansial tapi tetap memberikan mahar berupa buku. Ini soal keinginan, bukan karena keterpaksaan atau tuntutan. Mungkin juga kombinasi keduanya. Yang jelas salah satu Bapak Bangsa kita juga pernah berikan buku di awal pernikahannya. Bung Hatta, dengan coretan amat seriusnya, Alam Pikiran Yunani, memberikan karyanya untuk sang terkasih, Rahmi. Bila Rahmi adalah penikmat filsafat, tiada masalah. Lain kalau sama sekali bukan penikmatnya.
Memberikan buku, entah perdana atau karya kesekian, atau karena terpaksa tiada uang ataukah karena sudah ditekadkan, tetap saja positif. Bahkan ada rasa bangga ketimbang sebuah keminderan. Ini salah satu cara penulis mengekspresikan perjuangannya sekaligus menandaskan pilihan hidupnya dalam berprofesi. Tidak selalu mulus dalam karier menulis sudah tentu harus diantisipasi. Memberikan buku
pada sang kekasih sebagai mahar menjadi peneguh diri agar tekad membawa anak orang diikuti pula ikhtiar keras dalam karya. Menulis sejajar dengan profesi lainnya. Sama mulianya, bahkan kadang kala punya nilai lebih.
Menulis untuk orang terkasih tidak berarti sebagai mahar saja. Ada seorang penulis terkemuka yang meniati berkarya setiap tahun paling tidak sekali. Tujuannya, untuk memperingati kenangan menikahi pasangannya. Jadi, kado ulang tahun pernikahannya bukan berupa pesta, melainkan kehadiran buku. Sungguh mengagumkan.
Cinta dan buku dari orang-‐orang di atas bisa bertaut erat. Cinta butuh ruang ekspresi, dan itu sering berupa tulisan. Tulisan yang digaransikan dalam bahasa cinta atau bingkai cinta, memiliki kekuatan tersendiri. Terlepas niatnya tidak sampai, paling tidak ada buah intelektual dari kerja cintanya. Bayangkan, ada seorang penulis yang meniati karyanya untuk mahar. Sayang, di kemudian hari, gadis yang diidaminya kadung dipinang orang lebih dulu. Buku karyanya apakah menjadi monumen kepedihan sang penulis? Bisa ya, bisa tidak. Tapi yang jelas, tidak ada kata merugi. Jejak cintanya dalam karya akan tampak di goresan kata, dan ini mampu menginspirasi pembacanya. Kegagalan yang ditimpa bukan untuk disesali, tapi mendorong orang lain berbuat serupa dalam berkarya.
Karena cinta menghajatkan kepemilikan, teramat mudah sebenarnya menjadikan motif ini untuk lahirnya karya. Si bujang perindu gadis tiba-‐tiba produktif berkarya demi jadinya sebuah mahar. Atau sang gadis ingin berikan satu hadiah bagi sang kekasih kelak bila mereka jadi di pelaminan. Produktivitasnya mengalahkan keletihan menulis di tiap detik. Semuanya terarah pada keinginan meruahkan kata hati yang ingin bertemu dengan calon pasangannya.
Menulis untuk orang terkasih pun bisa dirutinkan saat mereka sudah menjadi pasangan. Menulis untuk pasangan, atau kelak buah hati kita. Menulis buku setiap kelahiran anak-‐anak bisa ditradisikan. Buku
semacam monumen pengingat dan mengabadikan rasa cinta. Ini sedikit cara dari sekian banyak insan mewujudkan ekspresi cintanya.
Sekarang, bagaimana dengan Anda dalam mengekspresikan cinta pada pasangan? []
Menyikapi Warisan Tulisan
Pengharapannya sepintas sederhana saja. Kelak bukunya mampu membuat dua anaknya menjadi umat Islam yang patuh beragama, dan mengerti background sejarah Islam di Indonesia secara umum dan di tanah Batak secara khusus.
Tahun 1964, Mangaradja Onggang Parlindungan memberikan hadiah luar biasa kepada dua anaknya yang masih berumur sembilan dan tujuh tahun. Hadiah itu berupa buku karya tulisnya sendiri: Tuanku Rao. Sebuah buku sejarah penyebaran Islam di tanah Batak yang sempat menghebohkan negeri ini. Sampai-‐sampai ulama sekaligus sejarawan Buya Hamka merasa perlu turun tangan untuk membuat buku bantahan karya Parlindungan itu.
Parlindungan sendiri menulis buku itu bukan untuk gagah-‐gagahan. Awalnya, sebelum berbentuk buku, Parlindungan mengetikkan karyanya rangkap empat. Selain untuk dua anaknya, dua lagi untuk dipinjamkan ke beberapa temannya yang terbatas tujuh orang, baik dari kalangan Muslim maupun bukan. Setelah terbit dan beredar untuk umumlah, kontroversi isi tulisannya dibicarakan di mana-‐mana, termasuk dalam sebuah seminar sejarah di Padang pada Juli 1969.
Soal isi buku Parlindungan, Hamka menulis dalam bantahannya, Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao (1974), “±80% dari isi buku itu adalah tidak benar dan secara agak kasar boleh dikata dusta.” Terhadap isi bantahan dan kesimpulan buku Hamka, Parlindungan tampak memilih untuk diam. Menghindari keriuhan atas sulutan isi bukunya. Ia sepertinya segan dengan karisma Hamka, dan memilih untuk memosisikan relasi ayah dan anak. Sebagai anak yang dinasihati sang ayah, Parlindungan enggan untuk membantah balik soal banyaknya dusta dalam karyanya.
Melalui bukunya itu Parlindungan sebenarnya sudah berhasil membuat apa yang diharapkannya. Pertama, ia ingin merangsang umat Islam untuk memikirkan sejarahnya. Nah, setelah bukunya hadir, banyak para
sarjana yang membahas atau mengulas karyanya. Bahwa benar dan salah, itu tampaknya tidak lagi penting. Antusiasme mencintai sejarah itu yang lebih utama.
Kedua, seperti ditulis di atas, dua anaknya yang dicitakan sadar sebagai seorang Muslim dan juga paham sejarah agamanya di kemudian hari juga melakukan apa yang diharapkan opa mereka. Setelah tidak lagi terbit, ada upaya gigih dari anak keturunan Parlindungan untuk patungan menerbitkan ulang karya orangtua mereka. Di luar soal kritik Hamka atas karya opa mereka, anak keturunan Parlindungan masih menghargai upaya orangtuanya sebagai bagian dari ikhtiar menghadirkan fakta dalam pentas sejarah.
Di lain pihak, anak keturunan Hamka memang lebih dulu sadar soal pentingnya menjaga kekayaan intelektual orangtuanya. Sebuah penerbit yang didirikan Hamka masih diteruskan oleh generasi ketiga, sang cucu Hamka. Sayang, tidak semua karya Hamka yang ratusan itu mampu diterbitkan. Selain dana terbatas, yang terpenting adalah tiadanya kekompakan di antara anak keturunan Hamka sebagaimana didapati pada anak keturunan Parlindungan.
Mungkin secara materi keluarga Parlindungan sudah selesai sehingga orientasi mereka lebih ke perawatan warisan orangtuanya. Sementara di keluarga Hamka masih ada yang masih menimbang soal materi. Penerbitan karya Hamka yang berbuah royalti menjadi “urusan” sendiri di antara anak keturunannya. Hanya sekian orang saja yang sibuk memikirkan untuk merawat catatan Hamka agar dibaca publik sampai generasi mendatang. Sisanya, seperti dikatakan salah satu cucu Hamka kepada saya, hanya menunggu pembagian royalti. Sungguh menyedihkan.
Sebuah tulisan dihadirkan oleh orangtua kita dengan niat generasi berikutnya sadar, sungguh ini kemuliaan tersendiri. Tidak banyak orangtua yang mewariskan tulisan (sudah tentu isi kandungannya maksudnya) di luar kebiasaan memberikan tanah, uang, emas, dan
rumah. Namun, yang juga tidak kalah langkanya adalah kemauan dari yang diwarisi. Betapa banyak karya Hamka yang bisa dikelola sebagai mutiara dan amal jariah dengan dibukukan terus-‐menerus. Sayang, ada persoalan “urusan” materi di kalangan generasi penerusnya. Tidak semuanya kompak untuk merawat dengan cara sederhana dan sarat perjuangan.
Keluarga penulis Tuanku Rao memberikan pelajaran berarti. Penghargaan pada karya moyang tidak boleh diabaikan. Ini jauh lebih pent ing ket imbang mer ibutkan soa l pembagian roya l t i . Mengabadikannya sebagai bentuk kebaikan bagi sang almarhum merupakan bakti anak keturunan. []
Mendadak Teringat
Bagi seorang penulis, ada momen ketika tidak diduga-‐duga bertemu orang yang baru dikenal ia langsung mengidentifikasi karya kita. “Masnya yang nulis buku itu toh?” “Oh yang artikelnya dimuat di koran itu ya.” Dan redaksi yang serupa.
Bagi penulis tenar yang wajahnya sudah dihafal, pertanyaan semacam itu sudah lewat masanya. Tulisan ini bukan bicara soal ketenaran dan pentingnya menenarkan diri. Dalam menulis ternyata ada perekaman yang diperbuat pembaca. Mereka mungkin tidak menghafal pembuat tulisan atau buku kita. Yang mereka ingat bagian tertentu yang berkesan di tulisan tersebut. Atau bisa juga mereka tidak menghafalnya tapi pas diberikan kata kunci tertentu langsung mengarah pada kita.
Pembaca sering kali menikmati tulisan kita jauh dari yang kita bayangkan. Kita menganggapnya biasa saja tulisan di buku atau koran. Hanya rutinitas mengumpulkan rezeki. Pengalaman yang biasa dan mungkin tidak begitu berkesan bagi orang lain.
Rupanya semua salah. Orang amat terkesan dan ingin berbagi pengalaman dengan penulisnya. Mereka dapatkan juga pengalaman yang sama, dan itu dikatarsis oleh tulisan kita. Tulisan kita semacam teman maya dari perasaan pembaca. Maka, bungahnya mereka menemui kita selaku penulis, sesungguhnya lebih sebagai bentuk terima kasih karena sudah menjadi “teman” imajinasinya.
Bertemunya dengan kita, para penulis, menjadi berkah dalam silaturahim mendadak. Ini menjadi kelanjutan dari sedekah tulisan kita. Sebuah tulisan yang dipancarkan dari hati tulus dan ingin mengubah keadaan, mampu menghadirkan banyak pengikut. Bukan pengikut buta, tapi mengubah hati-‐hati yang resah dengan keadaan.
Bagi penulis, mungkin yang ditulisnya sepele saja. Hanya cerita soal makanan gudeg, misalnya. Tapi, jangan salah sangka, dari tulisan ini bisa
banyak orang yang kita bantu. Misalnya, karena kita menuliskan pentingnya berhati-‐hati memilih penjual gudeg karena soal kehalalan makanan. Awalnya tidak kita sangka, dan lebih sebagai aktualisasi kepenatan diri di kepala. Tapi begitu dituangkan di tulisan dan dibaca banyak orang, kita sudah berbuat bagi orang lain. Tanpa sadar kita sudah melakukan kebaikan bahkan mungkin perubahan kebijakan. Inilah makan penting menulis sebagai sebuah sedekah.
Sering kali bantuan kita, sekadar seribu perak ternyata bagi orang yang menerimanya amat besar. Ia bisa menjadi sebungkus nasi pertama yang masuk di perutnya di kala malam tiba. Dalam syukurnya ia mendoakan kita. Besar kecil benefit bukan dari perspektif kita, melainkan dari si penerima. Kita boleh rendah hati menganggapnya sepele; bagi penerimanya tidak sama sekali.
Tulisan kadang menjadi berkah sedekah penyambung silaturahim. Ini sebuah kenikmatan tersendiri. Betapa sering penulis disapa lagi oleh temannya di negeri rantau setelah membaca karya tulis saudara lamanya itu. Nikmat mana yang harus kita dustakan dalam persuaan dengan saudara lama atau teman lama kita? Dulu mereka jadi saksi perjuangan kita. Tiba-‐tiba menghilang, dan mendadak juga hadir menyapa gara-‐gara tulisan kita dibacanya. Sungguh, ini sebuah kenikmatan yang bisa diraih salah satunya dengan jalan menulis.
Kadang tulisan kita jadi penanda perubahan kita di mata mereka. Atau malah mereka yang mengakui perubahan dalam dirinya sendiri. Kita jadi teman bicara yang pantas simpan rapat rahasia perubahannya itu. Ia terkesan dengan tulisan kita dan merasa ada semacam pengakuan bersalah ataupun keinginan berubah.
Tulisan, sekali lagi, punya kekuatan untuk mengubah. Kekuatan perubahan itu kadang lebih sering tanpa disadari penulisnya. Pembacanyalah yang ikut merasakan getaran untuk mengubah suatu keadaan. Dari sini ikatan batin dengan sang penulis diam-‐diam terajut. Sebuah ikatan persaudaraan karena tulisan yang mengena di hati.
Mendadak teringat, menghubungkan nama kita dengan tulisan kita sembari wajah ceria menyebutkannya, harus diakui merupakan sebuah kesan tersendiri. Kita tahu, orang membaca karya yang kita sendiri minder mengakui karya kita terbaca oleh orang lain. []
Royalti untuk Kemanusiaan
Bagi sebagian penulis buku, royalti menjadi dambaan penting dalam berkarya. Sudah jamak bila penulis berangan karyanya laris di pasar, yang otomatis menaikkan pendapatannya. Semakin banyak buku dicetak dari buku laris ini kian menebalkan pendapatannya. Bagi penulis yang berkeluarga, kondisi demikian sangat menguntungkan sebagai penjaga bulanan dapurnya. Bagi penulis belum berkeluarga, potensi royalti melimpah bisa dijadikan dana cadangan untuk hidup di hari depan bersama calon pasangannya.
Memang tidak semua penulis meniati berkarya demi materi semata. Ada ruang untuk berbagi pengetahuan. Ada keinginan demi memajukan sebuah masyarakat. Atau atas nama pembelaan sebuah kelompok ataupun cita-‐cita. Dari sini buku semata sebagai sebuah wujud perjuangan ide hingga kemanusiaan. Perkara buku di kemudian hari banyak dicari dan potensial menaikkan royalti, penulisnya tidak begitu peduli.
Kalangan yang tidak memikirkan soal royalti itu bahkan ada yang kemudian mengomoditaskan potensi dirinya. Mereka “menjual” kemampuan dirinya berbentuk tulisan. Ketika menjadi buku, karyanya tidak mau dibayar. Royalti bukunya mentah-‐mentah semua diserahkan ke pihak lain. Dari cetakan pertama sampai kontrak di penerbitnya berakhir. Atas nama kemanusiaan, seorang teman saya yang pakar mendongeng tidak ingin royaltinya masuk ke rekeningnya. Ia niati semuanya demi membantu saudara-‐saudaranya di Palestina yang teraniaya penjajah zionis.
Teman saya itu bukannya tidak butuh uang. Tapi butuhnya pada panggilan nurani untuk membela saudara seiman jauh mengatasi rasa butuhnya pada uang royalti. Kita tidak menafikan banyaknya para penulis ternama di negeri ini yang begitu banyak berderet angka di rekening pribadinya. Sebagian mereka mungkin mau mendonasikan isi rekeningnya untuk kemanusiaan. Saya membayangkan bila di antara
para penulis beken itu mau berkarya dan langsung mengakadkan dengan penerbitnya agar semua royalti untuk membantu kemanusiaan. Semoga saja ada yang demikian, meski ini tidak bermaksud mendorong mereka menghadirkan pencitraan.
Membebaskan royalti untuk masuk rekening pribadi hadir karena si penulisnya punya panggilan begitu kuat atas sebuah isu kemanusiaan. Kalaulah tidak ada kedekatan dengan isu tragedi kemanusiaan di Palestina, teman saya itu hanya bergeming. Atau sekadar memberikan sedikit hasil royaltinya dalam bentuk infak. Tapi tidak demikian bila hati kita sedemikian terpaut.
Bagi penulis besar (dalam arti fans pembacanya), merupakan kesempatan emas ladang berbuat baik dengan nikmatnya ini. Tanpa menafikan donasi berupa uang, ia juga bisa membuat sebuah buku yang semua royaltinya dikhususkan membantu orang lain. Toh soal materi ia pun sudah melimpah. Bila sesekali ada hasil buah karyanya yang dikhidmatkan untuk orang lain, tentu ini amal yang tiada berputus pula secara agama.
Kalau penulis bernama besar saja bisa, bukan berarti penulis kecil atau calon penulis buku tidak bisa berandil. Siapa pun bisa berkarya, dan karyanya itu dikhidmatkan untuk orang lain. Yang sering dipakai adalah menulis borongan alias antologi. Ada contoh menarik. Panitia kecil dibentuk untuk kegiatan ini. Mereka yang dipertautkan dengan kepedulian tertentu lalu membuat undangan menulis. Kadang diperlombakan sebagai mekanisme seleksi siapa saja yang pantas ditampilkan di buku.
Sudah tentu, para penulis yang berpartisipasi sudah tahu. Mereka hanya bakal diberi beberapa buku saja, bukan uang. Royalti yang terkumpul nantinya untuk difondasikan dalam sebuah keperluan kemanusiaan. Melalui mekanisme ini ternyata beberapa buku berhasil hadir. Saya pernah menyunting buku kumpulan cerita pendek bertemakan Palestina. Lumayan banyak yang ikut untuk seleksi. Ketika bukunya
terbit, mereka begitu senang. Senang pertama, mereka sudah bisa berkarya (meski keroyokan). Senang kedua, mereka juga bisa sesuai kemampuannya untuk membantu saudara-‐saudaranya di Palestina.
Tidak mengapa bila di awal karier kepenulisan kita menjadi penulis beramal. Bukan untuk modus operandi tentunya. Melalui proyek menulis keroyokan yang hasil royaltinya didonasikan untuk orang lain, sejatinya kita sudah memainkan peran yang bahkan belum tentu dilakukan para penulis besar yang karyanya berjibun. Bila kita sudah berdonasi, belum tentu para penulis besar itu mau peduli apalagi berbagi. Maka, bersyukurlah dari keroyokan ini bisa menjadi titian kita menekuni profesi kepenulisan. Di dalam niat tulus kita membantu, percayalah, Allah akan memberikan balasan. []