bupati malang provinsi jawa timur bangunan...

93
D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG NOMOR 1 TAHUN 2018 TENTANG BANGUNAN GEDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MALANG, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 109 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Bangunan Gedung; Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten di Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 41), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya dengan mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730); 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918); 4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 65 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3046);

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    BUPATI MALANG

    PROVINSI JAWA TIMUR

    PERATURAN DAERAH KABUPATEN MALANG

    NOMOR 1 TAHUN 2018

    TENTANG

    BANGUNAN GEDUNG

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

    BUPATI MALANG,

    Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 109

    ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang

    Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002

    tentang Bangunan Gedung, perlu membentuk Peraturan

    Daerah tentang Bangunan Gedung;

    Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik

    Indonesia Tahun 1945;

    2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang

    Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten di Lingkungan

    Propinsi Jawa Timur (Berita Negara Republik Indonesia

    Tahun 1950 Nomor 41), sebagaimana telah diubah dengan

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965 tentang Perubahan

    Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II

    Surabaya dengan mengubah Undang-Undang Nomor

    12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kota

    Besar dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa

    Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965

    Nomor 19 Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 2730);

    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang

    Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 1970 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 2918);

    4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974

    Nomor 65 Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 3046);

  • 2

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    5. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang

    Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 2002 Nomor 4247 Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4247);

    6. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang

    Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 4723);

    7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar

    Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010

    Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik

    Indonesia Nomor 5168);

    8. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang

    Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);

    9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran

    Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 82,

    Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

    Nomor 5234);

    10. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

    Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2014 Nomor 244 Tambahan Lembaran

    Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah

    diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang

    Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas

    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

    Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

    11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa

    Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia

    Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 6018);

    12. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang

    Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28

    Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara

    Republik Indonesia Nomor 4532, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 4532);

    13. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang

    Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara

    Republlik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan

    Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010

    Nomor 5103);

    14. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin

    Lingkungan (Lembaran Negara Republlik Indonesia

    Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara

    Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5285);

  • 3

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    15. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang

    Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan

    Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik

    Indonesia Tahun 2017 Nomor 73, Tambahan Lembaran

    Negara Republik Indonesia Nomor 6041);

    16. Peraturan Presiden Nomor 73 Tahun 2011 tentang

    Pembangunan Bangunan Gedung Negara;

    17. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang

    Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

    Nomor 199);

    18. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis

    Bangunan Gedung;

    19. Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor:

    31/PERMEN/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan

    Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun yang

    Berdiri Sendiri;

    20. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan

    Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi;

    21. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata

    Bangunan dan Lingkungan;

    22. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik Fungsi

    Bangunan Gedung;

    23. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    26/PRT/M/2007 tentang Pedoman Tim Ahli Bangunan

    Gedung;

    24. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan

    Bangunan Gedung Negara;

    25. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    24/PRT/M/2008 tentang Pedoman Pemeliharaan dan

    Perawatan Bangunan Gedung;

    26. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    25/PRT/M/2008 tentang Pedoman Teknis Penyusunan

    Rencana Induk Sistem Proteksi Kebakaran;

    27. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    26/PRT/M/2008 tentang Persyaratan Teknis Sistem

    Proteksi Kebakaran pada Bangunan Gedung dan

    Lingkungan;

  • 4

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    28. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    20/PRT/M/2009 tentang Manajemen Proteksi Kebakaran

    di Perkotaan;

    29. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    16/PRT/M/2010 tentang Pedoman Teknis Pemeriksaan

    Berkala Bangunan Gedung (Berita Negara Republik

    Indonesia Tahun 2010 Nomor 701);

    30. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    17/PRT/M/2010 tentang Pedoman Teknis Pendataan

    Bangunan Gedung (Berita Negara Republik Indonesia

    Tahun 2010 Nomor 702);

    31. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor:

    18/PRT/M/2010 tentang Pedoman Revitalisasi Kawasan

    (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 703);

    32. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun

    2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan

    yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak

    Lingkungan Hidup (Berita Negara Republik Indonesia

    Tahun 2012 Nomor 408);

    33. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

    Rakyat Nomor: 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan

    Gedung Cagar Budaya yang Dilestarikan (Berita Negara

    Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 308);

    34. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

    Rakyat Nomor: 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan

    Gedung Hijau (Berita Negara Republik Indonesia Tahun

    2015 Nomor 309);

    35. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015

    tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita

    Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036);

    36. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

    Rakyat Nomor: 05/PRT/M/2016 tentang Izin Mendirikan

    Bangunan Gedung (Berita Negara Republik Indonesia

    Tahun 2016 Nomor 276), sebagaimana telah diubah

    dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan

    Perumahan Rakyat Nomor: 06/PRT/M/2017 tentang

    Perubahan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan

    Perumahan Rakyat Nomor: 05/PRT/M/2016 tentang Izin

    Mendirikan Bangunan Gedung (Berita Negara Republik

    Indonesia Tahun 2017 Nomor 534);

    37. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan

    Rakyat Nomor: 14/PRT/M/2017 tentang Persyaratan

    Kemudahan Bangunan Gedung (Berita Negara Republik

    Indonesia Tahun 2017 Nomor 1148);

  • 5

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    38. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana

    Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten Malang (Lembaran

    Daerah Kabupaten Malang Tahun 2010 Nomor 2/E);

    39. Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Retribusi

    Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kabupaten Malang

    Tahun 2010 Nomor 1/C);

    40. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Cagar

    Budaya (Lembaran Daerah Kabupaten Malang Tahun 2011

    Nomor 2/E);

    41. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang

    Penanggulangan Bencana (Lembaran Daerah Kabupaten

    Malang Tahun 2011 Nomor 3/E);

    42. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah

    Kabupaten Malang Tahun 2011 Nomor 6/E);

    Dengan Persetujuan Bersama

    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MALANG

    dan

    BUPATI MALANG

    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG BANGUNAN GEDUNG.

    BAB I

    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud:

    1. Daerah adalah Kabupaten Malang.

    2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten

    Malang.

    3. Bupati adalah Bupati Malang.

    4. Dinas adalah perangkat daerah yang menyelenggarakan

    urusan pemerintahan bidang perumahan rakyat dan

    kawasan permukiman.

    5. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan

    konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya,

    sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di

    dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat

    manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau

    tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha,

    kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

  • 6

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    6. Bangunan gedung umum adalah bangunan gedung yang

    fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi

    keagamaan, fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan

    budaya.

    7. Bangunan gedung tertentu adalah bangunan gedung yang

    digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan

    gedung fungsi khusus, yang dalam pembangunan

    dan/atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan

    khusus dan/atau memiliki kompleksitas tertentu yang

    dapat menimbulkan dampak penting terhadap

    masyarakat dan lingkungannya.

    8. Bangunan gedung hijau adalah bangunan gedung yang

    memiliki persyaratan bangunan gedung dan memiliki

    kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan

    energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan

    prinsip Bangunan Gedung Hijau sesuai dengan fungsi dan

    klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya.

    9. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan

    pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis

    dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan,

    pelestarian, dan pembongkaran.

    10. Prasarana dan sarana bangunan gedung adalah fasilitas

    kelengkapan di dalam dan di luar bangunan gedung yang

    mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi

    bangunan gedung.

    11. Tinggi Bangunan adalah jarak antara garis potong

    mendatar/horizontal permukaan atap dengan muka

    bangunan bagian luar dan permukaan lantai denah.

    12. Bangunan permanen adalah bangunan yang ditinjau dari

    segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan lebih dari

    20 (dua puluh) tahun.

    13. Bangunan semi permanen adalah bangunan yang ditinjau

    dari segi konstruksi dan umur bangunan dinyatakan

    antara 5 (lima) tahun sampai dengan 10 (sepuluh) tahun.

    14. Bangunan sementara/darurat adalah bangunan yang

    ditinjau dari segi konstruksi dan umur bangunan

    dinyatakan kurang dari 5 (lima) tahun.

    15. Klasifikasi bangunan adalah klasifikasi dari fungsi

    bangunan berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan

    administratif dan persyaratan teknisnya.

    16. Keterangan tata ruang kota adalah informasi tentang

    persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang

    diberlakukan oleh Pemerintah Daerah pada lokasi

    tertentu.

  • 7

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    17. Izin mendirikan bangunan gedung yang selanjutnya

    disingkat IMB adalah perizinan yang diberikan oleh

    Pemerintah Daerah kepada pemilik bangunan gedung

    untuk membangun baru, mengubah, memperluas,

    mengurangi, dan/atau merawat bangunan gedung sesuai

    dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis

    yang berlaku;

    18. Permohonan izin mendirikan bangunan gedung adalah

    permohonan yang dilakukan pemilik bangunan gedung

    kepada Pemerintah Daerah untuk mendapatkan izin

    mendirikan bangunan gedung.

    19. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat

    KDB adalah angka persentase perbandingan antara luas

    seluruh lantai dasar bangunan dan luas lahan/tanah

    perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai

    rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan

    lingkungan.

    20. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat

    KLB adalah angka persentase perbandingan antara luas

    seluruh lantai bangunan dan luas tanah

    perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai

    rencana tata ruang dan rencana tata bangunan dan

    lingkungan.

    21. Koefisien Daerah Hijau yang selanjutnya disingkat KDH

    adalah angka persentase perbandingan antara luas

    seluruh ruang terbuka di luar bangunan gedung yang

    diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dan luas

    tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai

    sesuai rencana tata ruang dan rencana tata bangunan

    dan lingkungan.

    22. Koefisien Tapak Basemen yang selanjutnya disingkat KTB

    adalah angka persentase perbandingan antara luas tapak

    basemen dan luas lahan/tanah perpetakan/daerah

    perencanaan yang dikuasai sesuai rencana tata ruang dan

    rencana tata bangunan dan lingkungan.

    23. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat

    RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah

    Daerah yang telah ditetapkan dengan peraturan daerah.

    24. Rencana Detail Tata Ruang Bagian Wilayah Perkotaan

    yang selanjutnya disingkat RDTR BWP adalah penjabaran

    dari Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah ke dalam

    rencana pemanfaatan kawasan perkotaan.

    25. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan yang

    selanjutnya disingkat RTBL adalah panduan rancang

    bangun suatu kawasan untuk mengendalikan

    pemanfaatan ruang yang memuat rencana program

    bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan

    rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian

    rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan.

  • 8

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    26. Lingkungan bangunan adalah lingkungan di sekitar

    bangunan yang menjadi pertimbangan penyelenggaraan

    bangunan baik dari segi sosial, budaya, maupun dari segi

    ekosistem.

    27. Pedoman teknis adalah acuan teknis yang merupakan

    penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Daerah ini dalam

    bentuk ketentuan teknis penyelenggaraan bangunan.

    28. Standar teknis adalah standar yang dibakukan sebagai

    standar tata cara, standar spesifikasi, dan standar metode

    uji baik berupa Standar Nasional Indonesia maupun

    standar internasional yang diberlakukan dalam

    penyelenggaraan bangunan.

    29. Penyelenggara bangunan adalah pemilik bangunan,

    penyedia jasa konstruksi bangunan, dan pengguna

    bangunan.

    30. Pemilik bangunan adalah orang, badan hukum, kelompok

    orang, atau perkumpulan, yang menurut hukum sah

    sebagai pemilik bangunan.

    31. Pengguna bangunan adalah pemilik bangunan dan/atau

    bukan pemilik bangunan berdasarkan kesepakatan

    dengan pemilik bangunan, yang menggunakan dan/atau

    mengelola bangunan gedung atau bagian bangunan

    sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

    32. Tim pemantau bangunan adalah tim yang terdiri dari para

    ahli terkait dengan penyelenggaraan bangunan untuk

    memberikan pertimbangan teknis dalam proses penelitian

    dokumen rencana teknis dengan masa penugasan

    terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam

    penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan

    tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus

    per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan

    tertentu tersebut.

    33. Tim Ahli Bangunan Gedung, yang selanjutnya disingkat

    TABG adalah tim yang terdiri dari para ahli yang terkait

    dengan penyelenggaraan bangunan bedung untuk

    memberikan Pertimbangan Teknis dalam proses penelitian

    dokumen rencana teknis dengan masa penugasan

    terbatas, dan juga untuk memberikan masukan dalam

    penyelesaian masalah penyelenggaraan bangunan gedung

    Tertentu yang susunan anggotanya ditunjuk secara kasus

    per kasus disesuaikan dengan kompleksitas bangunan

    gedung Tertentu tersebut.

    34. Laik fungsi adalah suatu kondisi bangunan yang

    memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan

    teknis sesuai dengan fungsi bangunan yang ditetapkan.

  • 9

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    35. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya

    disingkat SLF adalah sertifikat yang diterbitkan oleh

    pemerintah daerah, kecuali untuk bangunan gedung

    fungsi khusus oleh pemerintah, untuk menyatakan

    kelaikan fungsi suatu bangunan dan/atau bangunan

    gedung baik secara administratif maupun teknis sebelum

    pemanfaatan.

    36. Perencanaan teknis adalah proses membuat gambar

    teknis bangunan dan kelengkapannya yang mengikuti

    tahapan prarencana, pengembangan rencana dan

    penyusunan gambar kerja yang terdiri atas: rencana

    arsitektur, rencana struktur, rencana

    mekanikal/elektrikal, rencana tata ruang luar, rencana

    tata ruang-dalam/interior serta rencana spesifikasi teknis,

    rencana anggaran biaya, dan perhitungan teknis

    pendukung sesuai pedoman dan standar teknis yang

    ditetapkan Bupati.

    37. Pertimbangan teknis adalah pertimbangan dari tim ahli

    bangunan yang disusun secara tertulis dan profesional

    terkait dengan pemenuhan persyaratan teknis bangunan

    gedung baik dalam proses pembangunan, pemanfaatan,

    pelestarian, maupun pembongkaran bangunan gedung.

    38. Penyedia jasa konstruksi bangunan adalah orang

    perorangan atau badan yang kegiatan usahanya

    menyediakan layanan jasa konstruksi bidang bangunan

    dan meliputi perencana teknis, pelaksana konstruksi,

    pengawas/manajemen konstruksi, termasuk pengkaji

    teknis bangunan dan penyedia jasa konstruksi lainnya.

    39. Pemeliharaan adalah kegiatan menjaga keandalan

    bangunan beserta prasarana dan sarananya agar

    bangunan selalu laik fungsi.

    40. Perawatan adalah kegiatan memperbaiki dan/atau

    mengganti bagian bangunan, komponen, bahan

    bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar

    bangunan tetap laik fungsi.

    41. Pemugaran bangunan yang dilindungi dan dilestarikan

    adalah kegiatan memperbaiki, memulihkan kembali

    bangunan ke bentuk aslinya.

    42. Pelestarian adalah kegiatan perawatan, pemugaran, serta

    pemeliharaan bangunan dan lingkungannya untuk

    mengembalikan keandalan bangunan tersebut sesuai

    dengan aslinya atau sesuai dengan keadaan menurut

    periode yang dikehendaki.

    43. Perubahan/perbaikan ringan adalah usaha memperbaiki

    kerusakan terutama pada komponen non struktural

    seperti penutup atap, langit-langit, penutup lantai dan

    dinding pengisi.

  • 10

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    44. Perubahan/perbaikan sedang adalah usaha memperbaiki

    kerusakan pada sebagian komponen non struktural

    dan/atau komponen struktural seperti struktur atap lantai.

    45. Perubahan/perbaikan berat adalah usaha memperbaiki

    kerusakan pada sebagian besar komponen bangunan,

    baik struktural maupun non struktural yang apabila

    setelah diperbaiki masih dapat berfungsi dengan baik

    sebagaimana mestinya.

    46. Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan

    adalah berbagai kegiatan masyarakat yang merupakan

    perwujudan kehendak dan keinginan masyarakat untuk

    memantau dan menjaga ketertiban, memberi masukan,

    menyampaikan pendapat dan pertimbangan, serta

    melakukan gugatan perwakilan berkaitan dengan

    penyelenggaraan bangunan.

    47. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum

    atau usaha dan lembaga atau organisasi yang kegiatannya

    di bidang bangunan, termasuk masyarakat hukum adat

    dan masyarakat ahli, yang berkepentingan dengan

    penyelenggaraan bangunan gedung.

    48. Dengar pendapat publik adalah forum dialog yang

    diadakan untuk mendengarkan dan menampung aspirasi

    masyarakat baik berupa pendapat, pertimbangan maupun

    usulan dari masyarakat umum sebagai masukan untuk

    menetapkan kebijakan Pemerintah Daerah dalam

    penyelenggaraan bangunan.

    49. Gugatan perwakilan adalah gugatan yang berkaitan

    dengan penyelenggaraan bangunan yang diajukan oleh

    satu orang atau lebih yang mewakili kelompok dalam

    mengajukan gugatan untuk kepentingan mereka sendiri

    dan sekaligus mewakili pihak yang dirugikan yang

    memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil

    kelompok dan anggota kelompok yang dimaksud.

    50. Pembinaan penyelenggaraan bangunan adalah kegiatan

    pengaturan, pemberdayaan, dan pengawasan dalam

    rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik

    sehingga setiap penyelenggaraan bangunan dapat

    berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan yang

    sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian

    hukum.

    51. Pengaturan adalah penyusunan dan pelembagaan

    peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan

    standar teknis bangunan sampai di daerah dan

    operasionalisasinya di masyarakat.

  • 11

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    52. Pemberdayaan adalah kegiatan untuk menumbuhkembangkan

    kesadaran akan hak, kewajiban, dan peran para

    penyelenggara bangunan gedung dan aparat Pemerintah

    Daerah dalam penyelenggaraan bangunan gedung.

    53. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan

    penerapan peraturan perundang-undangan bidang

    bangunan dan upaya penegakan hukum.

    BAB II

    RUANG LINGKUP

    Pasal 2

    Ruang lingkup Peraturan Daerah ini meliputi:

    a. fungsi bangunan gedung;

    b. persyaratan bangunan gedung;

    c. penyelenggaraan bangunan gedung;

    d. tim ahli bangunan gedung;

    e. peran masyarakat; dan

    f. pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan.

    BAB III

    KEWENANGAN

    Pasal 3

    (1) Bupati berwenang melakukan pengaturan, pemberdayaan

    dan pengawasan bangunan di wilayah Daerah agar dapat

    berlangsung tertib dan tercapai keandalan bangunan

    sesuai fungsinya serta terwujudnya kepastian hukum.

    (2) Berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1), maka Bupati berwenang memberikan izin kepada

    setiap orang atau badan yang membangun baru,

    mengubah, memperluas dan/atau mengurangi bangunan.

    BAB IV

    FUNGSI BANGUNAN GEDUNG

    Pasal 4

    (1) Fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan

    pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung, baik

    ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungannya,

    maupun keandalan bangunannya.

  • 12

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) meliputi fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi

    usaha, fungsi sosial dan budaya, serta fungsi khusus.

    (3) Satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu

    fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    Bagian Kesatu

    Penetapan Fungsi Bangunan Gedung

    Pasal 5

    (1) Fungsi hunian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

    (2) mempunyai fungsi utama sebagai tempat tinggal

    manusia yang meliputi:

    a. rumah tinggal tunggal;

    b. rumah tinggal deret;

    c. rumah tinggal susun;

    d. rumah tinggal sementara; dan

    e. bangunan penunjang lainnya.

    (2) Fungsi keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

    ayat (2) mempunyai fungsi utama sebagai tempat

    melakukan ibadah yang meliputi:

    a. bangunan masjid termasuk mushola;

    b. bangunan gereja termasuk kapel;

    c. bangunan pura;

    d. bangunan vihara; dan

    e. bangunan kelenteng.

    (3) Fungsi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat

    (2) mempunyai fungsi utama sebagai tempat melakukan

    kegiatan usaha yang meliputi:

    a. bangunan gedung perkantoran;

    b. bangunan gedung perdagangan;

    c. bangunan gedung perindustrian;

    d. bangunan gedung perhotelan;

    e. bangunan gedung wisata dan rekreasi;

    f. bangunan gedung terminal; dan

    g. bangunan gedung tempat penyimpanan;

    (4) Fungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 4 ayat (2) mempunyai fungsi utama sebagai tempat

    melakukan kegiatan sosial dan budaya yang meliputi:

    a. bangunan gedung pelayanan pendidikan;

    b. bangunan gedung pelayanan kesehatan;

    c. bangunan gedung kebudayaan;

    d. bangunan gedung laboratorium; dan

    e. bangunan gedung pelayanan umum.

  • 13

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (5) Fungsi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

    ayat (2) mempunyai fungsi utama sebagai tempat

    melakukan kegiatan yang mempunyai tingkat kerahasiaan

    tinggi tingkat nasional atau yang penyelenggaraannya

    dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya dan/atau

    mempunyai risiko bahaya tinggi yang meliputi bangunan

    gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan

    keamanan, dan bangunan sejenis yang ditetapkan sesuai

    ketentuan teknis yang berlaku.

    Pasal 6

    (1) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 5, diklasifikasikan berdasarkan:

    a. tingkat kompleksitas;

    b. tingkat permanensi;

    c. tingkat risiko kebakaran;

    d. tingkat zonasi gempa;

    e. lokasi;

    f. ketinggian; dan

    g. kepemilikan.

    (2) Klasifikasi berdasarkan tingkat kompleksitas sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:

    a. bangunan gedung sederhana;

    b. bangunan gedung tidak sederhana; dan

    c. bangunan gedung khusus;

    (3) Klasifikasi berdasarkan tingkat permanensi sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi:

    a. bangunan gedung permanen;

    b. bangunan gedung semi permanen; dan

    c. bangunan gedung darurat atau sementara.

    (4) Klasifikasi berdasarkan tingkat risiko kebakaran

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi:

    a. tingkat risiko kebakaran tinggi;

    b. tingkat risiko kebakaran sedang; dan

    c. tingkat risiko kebakaran rendah.

    (5) Klasifikasi berdasarkan zonasi gempa sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi tingkat zonasi

    gempa yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang;

    (6) Klasifikasi berdasarkan lokasi sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) huruf e, meliputi:

    a. bangunan gedungdi lokasi padat;

    b. bangunan gedungdi lokasi sedang; dan

    c. bangunan di lokasi renggang.

  • 14

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (7) Klasifikasi berdasarkan ketinggian sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) huruf f, meliputi:

    a. bangunan gedung bertingkat tinggi;

    b. bangunan gedung bertingkat sedang; dan

    c. bangunan gedung bertingkat rendah.

    (8) Klasifikasi berdasarkan kepemilikan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) huruf g, meliputi:

    a. bangunan gedung milik negara;

    b. bangunan gedung milik badan usaha; dan

    c. bangunan gedung milik perorangan.

    Pasal 7

    (1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus sesuai

    dengan peruntukan lokasi.

    (2) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung diusulkan oleh

    pemilik bangunan dalam pengajuan permohonan Izin

    Mendirikan Bangunan.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi dan klasifikasi

    bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

    diatur dalam Peraturan Bupati.

    Bagian Kedua

    Perubahan Fungsi Bangunan Gedung

    Pasal 8

    (1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung dapat diubah

    melalui permohonan baru Izin Mendirikan Bangunan.

    (2) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung

    diusulkan oleh pemilik dalam bentuk rencana teknis

    bangunan gedung sesuai dengan peruntukan penggunaan

    tanah.

    (3) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung harus

    diikuti dengan pemenuhan persyaratan administratif dan

    persyaratan teknis bangunan.

    (4) Perubahan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung

    ditetapkan oleh Bupati dalam izin mendirikan bangunan,

    kecuali bangunan gedung fungsi khusus.

  • 15

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    BAB V

    PERSYARATAN BANGUNAN GEDUNG

    Bagian Kesatu

    Umum

    Pasal 9

    (1) Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan

    administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi

    bangunan.

    (2) Persyaratan administratif bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) meliputi:

    a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan

    dari pemegang hak atas tanah;

    b. status kepemilikan bangunan; dan

    c. Izin Mendirikan Bangunan.

    (3) Persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1), meliputi:

    a. persyaratan tata bangunan; dan

    b. persyaratan keandalan bangunan.

    (4) Persyaratan administratif dan persyaratan teknis untuk

    bangunan gedung adat, bangunan semi permanen,

    bangunan gedung darurat, dan bangunan yang dibangun

    pada daerah lokasi bencana ditetapkan lebih lanjut oleh

    Bupati sesuai kondisi sosial dan budaya setempat.

    Pasal 10

    (1) Penetapan persyaratan bangunan gedung adat

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dilakukan

    dengan mempertimbangkan ketentuan peruntukan,

    kepadatan dan ketinggian, wujud arsitektur tradisional

    setempat, dampak lingkungan, serta persyaratan

    keselamatan dan kesehatan pengguna dan

    lingkungannya.

    (2) Penetapan persyaratan bangunan gedung semi-permanen

    dan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9

    ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi

    bangunan yang diperbolehkan, keselamatan dan

    kesehatan pengguna dan lingkungan, serta waktu

    maksimum pemanfaatan bangunan yang bersangkutan.

  • 16

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (3) Penetapan persyaratan bangunan gedung yang dibangun

    di lokasi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9

    ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan fungsi

    bangunan, keselamatan pengguna dan kesehatan

    bangunan, serta sifat permanensi bangunan yang

    diperkenankan.

    Bagian Kedua

    Status Hak atas Tanah

    Pasal 11

    (1) Setiap bangunan gedung harus didirikan pada tanah yang

    status kepemilikannya jelas, baik milik sendiri maupun

    milik pihak lain.

    (2) Dalam hal tanahnya milik pihak lain, bangunan gedung

    hanya dapat didirikan dengan izin pemanfaatan tanah

    dari pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dalam

    bentuk perjanjian tertulis antara pemegang hak atas

    tanah atau pemilik tanah dengan pemilik bangunan

    gedung.

    (3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

    memuat paling sedikit hak dan kewajiban para pihak,

    luas, letak, dan batas-batas tanah, serta fungsi bangunan

    gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah.

    (4) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

    memuat paling sedikit hak dan kewajiban para pihak,

    luas, letak, dan batas-batas tanah, serta fungsi bangunan

    gedung dan jangka waktu pemanfaatan tanah.

    (5) Bangunan gedung yang karena faktor budaya atau tradisi

    setempat harus dibangun di atas air sungai, air laut, air

    danau harus mendapatkan izin dari bupati.

    (6) Bangunan gedung yang akan dibangun di atas tanah

    milik sendiri atau di atas tanah milik orang lain yang

    terletak di kawasan rawan bencana alam harus mengikuti

    persyaratan yang diatur dalam Izin Pemanfaatan Ruang

    Kabupaten.

    Bagian Ketiga

    Status Kepemilikan

    Pasal 12

    (1) Status kepemilikan dibuktikan dengan surat bukti

    kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh

    Pemerintah Daerah, kecuali bangunan gedung fungsi

    khusus oleh Pemerintah,berdasarkan hasil kegiatan

    pendataan bangunan gedung.

  • 17

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Kepemilikan bangunan gedung dapat dialihkan kepada

    pihak lain.

    (3) Dalam hal pemilik bangunan gedung bukan pemilik

    tanah, pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada

    ayat (2) harus mendapat persetujuan pemilik tanah.

    Bagian Keempat

    Izin Mendirikan Bangunan

    Paragraf 1

    Persyaratan Permohonan Penerbitan IMB

    Pasal 13

    (1) Setiap orang atau badan yang akan mendirikan bangunan

    gedung wajib memiliki IMB.

    (2) Setiap orang atau badan dalam mengajukan permohonan

    IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

    memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan

    teknis.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif

    dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada

    ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.

    Paragraf 2

    Tata Cara Penyelenggaraan IMB

    Pasal 14

    (1) Pengaturan penyelenggaraan IMB meliputi:

    a. pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung;

    b. pembagian kewenangan penerbitan IMB;

    c. tahapan penyelenggaraan IMB;

    d. IMB bertahap;

    e. Jangka waktu proses permohonan dan penerbitan

    IMB;

    f. Perubahan rencana teknis dalam tahap pelaksanaan

    konstruksi;

    g. Pembekuan dan pencabutan IMB;

    h. Pendataan bangunan gedung; dan

    i. IMB untuk bangunan gedung yang dibangun kolektif.

    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

    penyelenggaraan IMB diatur dalam Peraturan Bupati.

  • 18

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Bagian Kelima

    Persyaratan Tata Bangunan

    Paragraf 1

    Umum

    Pasal 15

    Persyaratan tata bangunan gedung meliputi:

    a. persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan;

    b. arsitektur bangunan; dan

    c. persyaratan pengendalian dampak lingkungan.

    Paragraf 2

    Persyaratan Peruntukan dan Intensitas Bangunan

    Pasal 16

    (1) Persyaratan peruntukan merupakan persyaratan

    peruntukan lokasi yang bersangkutan sesuai dengan

    RTRW, RDTR BWP, dan/atau RTBL.

    (2) Persyaratan intensitas bangunan meliputi persyaratan

    kepadatan, ketinggian, dan jarak bebas bangunan yang

    ditetapkan untuk lokasi yang bersangkutan.

    Pasal 17

    (1) Dalam hal terjadi perubahan RTRW, RDTR BWP dan/atau

    RTBL yang mengakibatkan perubahan peruntukan lokasi,

    fungsi bangunan gedung yang tidak sesuai dengan

    peruntukan yang baru harus disesuaikan.

    (2) Terhadap kerugian yang timbul akibat perubahan

    peruntukan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    Pemerintah Daerah memberikan penggantian yang layak

    kepada pemilik bangunan gedung sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan.

    Pasal 18

    (1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh

    melebihi ketentuan maksimal kepadatan dan ketinggian

    yang ditetapkan dalam RTRW, RDTR BWP dan/atau

    RTBL.

    (2) Persyaratan kepadatan ditetapkan dalam bentuk Koefisien

    Dasar Bangunan (KDB) maksimal.

  • 19

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (3) Persyaratan ketinggian maksimal ditetapkan dalam

    bentuk Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan/atau jumlah

    lantai maksimal.

    (4) Penetapan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) didasarkan

    pada luas kavling/persil, peruntukan atau fungsi lahan

    dan daya dukung lingkungan.

    (5) Penetapan Koefisien Lantai Bangunan (KLB) dan/atau

    jumlah lantai didasarkan pada peruntukan lahan, lokasi

    lahan, daya dukung lingkungan, keselamatan dan

    pertimbangan arsitektur kota.

    (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan

    besaran kepadatan dan ketinggian bangunan diatur

    dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 19

    (1) Setiap bangunan gedung yang didirikan tidak boleh

    melanggar ketentuan minimal jarak bebas bangunan yang

    ditetapkan dalam RTRW, RDTR BWP dan/atau RTBL.

    (2) Ketentuan jarak bebas bangunan gedung ditetapkan

    dalam bentuk:

    a. garis sempadan bangunan dengan as jalan, tepi

    sungai, tepi pantai, jalan kereta api dan/atau jaringan

    tegangan tinggi;

    b. jarak antara bangunan dengan batas-batas persil,

    jarak antar bangunan, dan jarak antara as jalan

    dengan pagar halaman yang diizinkan pada lokasi

    yang bersangkutan, yang diberlakukan per kavling,

    per persil dan/atau per kawasan.

    (3) Penetapan garis sempadan bangunan gedung dengan tepi

    jalan, tepi sungai, tepi pantai, tepi danau, jalan kereta api

    dan/atau jaringan tegangan tinggi didasarkan pada

    pertimbangan keselamatan dan kesehatan.

    (4) Penetapan jarak antara bangunan gedung dengan batas-

    batas persil, dan jarak antara as jalan dan pagar halaman

    yang diizinkan pada lokasi yang bersangkutan harus

    didasarkan pada pertimbangan keselamatan, kesehatan,

    kenyamanan dan kemudahan.

    (5) Penetapan jarak bebas bangunan gedung atau bagian

    bangunan yang dibangun di bawah permukaan tanah

    didasarkan pada jaringan utilitas umum yang ada atau

    yang akan dibangun.

    (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan

    besaran jarak bebas bangunan gedung diatur dengan

    Peraturan Bupati.

  • 20

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Paragraf 3

    Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung

    Pasal 20

    Persyaratan arsitektur bangunan gedung meliputi

    persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang-dalam,

    keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan

    gedung dengan lingkungannya, serta pertimbangan adanya

    keseimbangan antara nilai-nilai sosial budaya setempat

    terhadap penerapan berbagai perkembangan arsitektur dan

    rekayasa.

    Pasal 21

    (1) Penampilan bangunan gedung sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 20 harus dirancang dengan

    mempertimbangkan kaidah-kaidah estetika bentuk,

    karakteristik arsitektur dan lingkungan yang ada di

    sekitarnya.

    (2) Penampilan bangunan gedung di kawasan cagar budaya,

    harus dirancang dengan mempertimbangkan kaidah

    pelestarian.

    (3) Penampilan bangunan gedung yang didirikan

    berdampingan dengan bangunan gedung yang

    dilestarikan, harus dirancang dengan mempertimbangkan

    kaidah estetika bentuk dan karakteristik dari arsitektur

    bangunan gedung yang dilestarikan.

    (4) Kaidah-kaidah arsitektur tertentu pada bangunan gedung

    untuk suatu kawasan dapat dipersyaratkan setelah

    mendapat pertimbangan teknis tim ahli bangunan gedung

    dan mempertimbangkan pendapat publik.

    Pasal 22

    (1) Tata ruang-dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,

    harus mempertimbangkan fungsi ruang, arsitektur

    bangunan gedung dan keandalan bangunan gedung.

    (2) Pertimbangan fungsi ruang diwujudkan dalam efisiensi

    dan efektivitas tata ruang-dalam.

    (3) Pertimbangan arsitektur bangunan gedung diwujudkan

    dalam pemenuhan tata ruang-dalam terhadap kaidah-

    kaidah arsitektur bangunan gedung secara keseluruhan.

    (4) Pertimbangan keandalan bangunan gedung diwujudkan

    dalam pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan,

    kenyamanan, dan kemudahan tata ruang-dalam.

  • 21

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Pasal 23

    (1) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan

    gedung dengan lingkungannya sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 20 harus mempertimbangkan terciptanya

    ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau

    yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

    (2) Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan

    gedung dan ruang terbuka hijau diwujudkan dalam

    pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses

    penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta

    terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar

    bangunan gedung.

    Paragraf 4

    Persyaratan Pengendalian Dampak Lingkungan

    Pasal 24

    (1) Penerapan persyaratan pengendalian dampak lingkungan

    hanya berlaku bagi bangunan gedung yang dapat

    menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.

    (2) Setiap mendirikan bangunan gedung yang menimbulkan

    dampak penting, harus didahului dengan menyertakan

    analisis mengenai dampak lingkungan sesuai dengan

    peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan

    lingkungan hidup serta telah memiliki Izin Gangguan.

    Paragraf 5

    Rencana Tata Bangunan Gedung dan Lingkungan

    Pasal 25

    (1) Dalam penataan bangunan gedung yang memanfaatkan

    ruang suatu kawasan serta untuk mewujudkan kesatuan

    karakter, kualitas bangunan gedung dan lingkungan yang

    berkelanjutan harus berdasarkan RTBL sebagai tindak

    lanjut RTRW.

    (2) Penataan bangunan gedung dan lingkungan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) meliputi perbaikan,

    pengembangan kembali, pembangunan baru, dan/atau

    pelestarian untuk:

    a. kawasan terbangun;

    b. kawasan yang dilindungi dan dilestarikan;

    c. kawasan baru yang potensial berkembang; dan/atau

    d. kawasan yang bersifat campuran.

  • 22

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Bagian Keenam

    Keandalan Bangunan Gedung

    Paragraf 1

    Umum

    Pasal 26

    Keandalan bangunan gedung meliputi persyaratan

    keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan kemudahan.

    Paragraf 2

    Persyaratan Keselamatan

    Pasal 27

    Persyaratan keselamatan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 26 meliputi persyaratan kemampuan bangunan gedung

    untuk mendukung beban muatan, serta kemampuan

    bangunan gedung dalam mencegah dan menanggulangi

    bahaya kebakaran dan bahaya petir.

    Pasal 28

    (1) Persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap

    beban muatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27

    meliputi persyaratan struktur bangunan gedung,

    pembebanan bangunan gedung, struktur atas, struktur

    bawah dan keandalan bangunan gedung.

    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kemampuan

    bangunan gedung terhadap beban muatan diatur dalam

    Peraturan Bupati.

    Pasal 29

    (1) Persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap

    bahaya kebakaran meliputi:

    a. sistem proteksi aktif;

    b. sistem proteksi pasif;

    c. persyaratan jalan ke luar dan aksesibilitas untuk

    pemadaman kebakaran;

    d. persyaratan pencahayaan darurat;

    e. tanda arah ke luar dan sistem peringatan bahaya;

  • 23

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    f. persyaratan komunikasi dalam bangunan gedung; dan

    g. persyaratan instalasi bahan bakar gas dan manajemen

    penanggulangan kebakaran.

    (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kemampuan

    bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran diatur

    dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 30

    Persyaratan kemampuan bangunan gedung terhadap bahaya

    petir dan bahaya kelistrikan meliputi persyaratan instalasi

    proteksi petir dan persyaratan sistem kelistrikan.

    Pasal 31

    (1) Persyaratan instalasi proteksi petir sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 30 dapat memberikan petunjuk

    untuk perancangan, instalasi, dan pemeliharaan instalasi

    sistem proteksi petir terhadap bangunan gedung secara

    efektif untuk proteksi terhadap petir serta inspeksi, dalam

    upaya untuk mengurangi secara nyata risiko kerusakan

    yang disebabkan oleh petir terhadap bangunan gedung

    yang diproteksi, termasuk di dalamnya manusia serta

    perlengkapan bangunan lainnya.

    (2) Persyaratan proteksi petir harus memperhatikan

    perencanaan sistem proteksi petir, instalasi proteksi petir

    dan pemeriksaan dan pemeliharaan.

    (3) Persyaratan sistem proteksi petir dilaksanakan sesuai

    ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 32

    (1) Persyaratan sistem kelistrikan meliputi:

    a. sumber daya listrik;

    b. panel hubung bagi;

    c. jaringan distribusi listrik;

    d. perlengkapan serta instalasi listrik untuk memenuhi

    kebutuhan bangunan gedung yang terjamin terhadap

    aspek keselamatan manusia dari bahaya listrik;

    e. keamanan instalasi listrik beserta perlengkapannya;

    f. keamanan gedung serta isinya dari bahaya kebakaran

    akibat listrik; dan

    g. perlindungan lingkungan.

  • 24

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Persyaratan sistem kelistrikan harus memperhatikan:

    a. perencanaan instalasi listrik;

    b. jaringan distribusi listrik;

    a. beban listrik;

    b. sumber daya listrik;

    c. transformator distribusi;

    d. pemeriksaan dan pengujian; dan

    e. pemeliharaan.

    (3) Persyaratan sistem kelistrikan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    Paragraf 3

    Persyaratan Kesehatan

    Pasal 33

    Persyaratan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 26 meliputi persyaratan sistem penghawaan,

    pencahayaan, sanitasi, dan penggunaan bahan bangunan

    gedung.

    Pasal 34

    (1) Untuk memenuhi persyaratan sistem penghawaan, setiap

    bangunan gedung harus mempunyai ventilasi alami

    dan/atau ventilasi mekanik/buatan sesuai dengan

    fungsinya.

    (2) Bangunan gedung tempat tinggal, bangunan gedung

    pelayanan kesehatan khususnya ruang perawatan,

    bangunan gedung pendidikan khususnya ruang kelas dan

    bangunan pelayanan umum lainnya harus mempunyai

    bukaan permanen, kisi-kisi pada pintu dan jendela

    dan/atau bukaan permanen yang dapat dibuka untuk

    kepentingan ventilasi alami.

    (3) Jika ventilasi alami tidak mungkin dilaksanakan, maka

    diperlukan ventilasi mekanis seperti pada bangunan

    fasilitas tertentu yang memerlukan perlindungan dari

    udara luar dan pencemaran.

    (4) Persyaratan teknis sistem ventilasi, kebutuhan ventilasi,

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan

    ayat (4) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

  • 25

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Pasal 35

    (1) Untuk memenuhi persyaratan sistem pencahayaan, setiap

    bangunan gedung harus mempunyai pencahayaan alami

    dan/atau pencahayaan buatan, termasuk pencahayaan

    darurat sesuai dengan fungsinya.

    (2) Bangunan gedung tempat tinggal, pelayanan kesehatan,

    pendidikan, dan bangunan pelayanan umum harus

    mempunyai bukaan untuk pencahayaan alami.

    (3) Pencahayaan alami sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    harus optimal, disesuaikan dengan fungsi bangunan

    gedung dan fungsi masing-masing ruang di dalam

    bangunan gedung.

    (4) Pencahayaan buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    harus direncanakan berdasarkan tingkat iluminasi yang

    dipersyaratkan sesuai fungsi ruang dalam bangunan

    gedung dengan mempertimbangkan efisiensi, penghematan

    energi yang digunakan dan penempatannya tidak

    menimbulkan efek silau atau pantulan.

    (5) Pencahayaan buatan yang digunakan untuk pencahayaan

    darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    dipasang pada bangunan gedung dengan fungsi tertentu,

    serta dapat bekerja secara otomatis dan mempunyai

    tingkat pencahayaan yang cukup untuk evakuasi

    yang aman.

    (6) Semua sistem pencahayaan buatan, kecuali yang

    diperlukan untuk pencahayaan darurat, harus dilengkapi

    dengan pengendali manual, dan/atau otomatis, serta

    ditempatkan pada tempat yang mudah dicapai/dibaca

    oleh pengguna ruang.

    (7) Persyaratan pencahayaan sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai

    ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 36

    Untuk memenuhi persyaratan sistem sanitasi, setiap

    bangunan gedung harus dilengkapi dengan persyaratan air

    minum dalam bangunan gedung, persyaratan pembuangan

    air kotor dan/atau air limbah, persyaratan instalasi gas

    medik, persyaratan penyaluran air hujan, persyaratan

    fasilitasi sanitasi dalam bangunan gedung.

  • 26

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Pasal 37

    (1) Persyaratan air minum dalam bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus

    direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan

    sumber air minum, kualitas air bersih, sistem distribusi,

    dan penampungannya.

    (2) Sumber air minum dapat diperoleh dari sumber air

    berlangganan dan/atau sumber air lainnya yang

    memenuhi persyaratan kesehatan sesuai pedoman dan

    standar teknis yang berlaku.

    (3) Perencanaan sistem distribusi air minum dalam

    bangunan gedung harus memenuhi debit air dan tekanan

    minimal yang disyaratkan.

    (4) Penampungan air minum dalam bangunan gedung

    diupayakan sedemikian rupa agar menjamin kualitas air.

    (5) Penampungan air minum harus memenuhi persyaratan

    kelaikan fungsi bangunan gedung.

    (6) Persyaratan air minum dalam bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan

    ayat (5) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Pasal 38

    (1) Sistem pembuangan air kotor dan/atau air limbah

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus

    direncanakan dan dipasang dengan mempertimbangkan

    jenis dan tingkat bahayanya.

    (2) Pertimbangan jenis air kotor dan/atau air limbah

    diwujudkan dalam bentuk pemilihan sistem

    pengaliran/pembuangan dan penggunaan peralatan yang

    dibutuhkan.

    (3) Pertimbangan tingkat bahaya air kotor dan/atau air

    limbah diwujudkan dalam bentuk sistem pengolahan dan

    pembuangannya.

    (4) Air limbah yang mengandung bahan beracun dan

    berbahaya tidak boleh digabung dengan air limbah

    domestik.

    (5) Air limbah yang berisi bahan beracun dan berbahaya (B3)

    harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

    (6) Air limbah domestik sebelum dibuang ke saluran terbuka

    harus diproses sesuai dengan pedoman dan standar

    teknis yang berlaku.

  • 27

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (7) Persyaratan teknis air limbah sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai

    ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 39

    Persyaratan instalasi gas medik sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 36 dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Pasal 40

    (1) Sistem penyaluran air hujan sebagaimana dimaksud

    dalam pasal 36 harus direncanakan dan dipasang dengan

    mempertimbangkan ketinggian permukaan air tanah,

    permeabilitas tanah, dan ketersediaan jaringan drainase

    lingkungan/kota.

    (2) Setiap bangunan gedung dan pekarangannya harus

    dilengkapi dengan sistem penyaluran air hujan.

    (3) Kecuali untuk daerah tertentu, air hujan harus

    diresapkan ke dalam tanah pekarangan dan/atau

    dialirkan ke sumur resapan sebelum dialirkan ke jaringan

    drainase lingkungan/kota sesuai dengan ketentuan yang

    berlaku.

    (4) Pemanfaatan air hujan diperbolehkan dengan mengikuti

    ketentuan yang berlaku.

    (5) Bila belum tersedia jaringan drainase kota ataupun sebab

    lain yang dapat diterima, maka penyaluran air hujan

    harus dilakukan dengan cara lain yang dibenarkan oleh

    instansi yang berwenang.

    (6) Sistem penyaluran air hujan harus dipelihara untuk

    mencegah terjadinya endapan dan penyumbatan pada

    saluran.

    (7) Persyaratan penyaluran air hujan sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai

    ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Pasal 41

    (1) Persyaratan fasilitasi sanitasi dalam bangunan gedung

    sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 antara lain

    saluran pembuangan air kotor, tempat sampah,

    penampungan sampah, dan/atau pengolahan sampah.

  • 28

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Sistem pembuangan sampah padat direncanakan dan

    dipasang dengan mempertimbangkan fasilitas

    penampungan dan jenisnya.

    (3) Pertimbangan fasilitas penampungan diwujudkan dalam

    bentuk penyediaan tempat penampungan kotoran dan

    sampah pada masing-masing bangunan gedung, yang

    diperhitungkan berdasarkan fungsi bangunan, jumlah

    penghuni, dan volume kotoran dan sampah.

    (4) Pertimbangan jenis sampah padat diwujudkan dalam

    bentuk penempatan pewadahan dan/atau pengolahannya

    yang tidak mengganggu kesehatan penghuni, masyarakat

    dan lingkungannya.

    (5) Ketentuan pengelolaan sampah padat antara lain:

    a. sumber sampah padat permukiman berasal dari:

    perumahan, toko, ruko, pasar, sekolah, tempat

    ibadah, jalan, hotel, rumah makan dan fasilitas umum

    lainnya;

    b. setiap bangunan baru dan/atau perluasan bangunan

    dilengkapi dengan fasilitas pewadahan yang memadai,

    sehingga tidak mengganggu kesehatan dan

    kenyamanan bagi penghuni, masyarakat dan

    lingkungan sekitarnya;

    c. bagi pengembang perumahan wajib menyediakan

    wadah sampah, alat pengumpul dan tempat

    pembuangan sampah sementara, sedangkan

    pengangkutan dan pembuangan akhir sampah

    bergabung dengan sistem yang sudah ada;

    d. potensi reduksi sampah padat dapat dilakukan

    dengan mendaur ulang, memanfaatkan kembali

    beberapa jenis sampah seperti botol bekas, kertas,

    kertas koran, kardus, aluminium, kaleng, wadah

    plastik dan sebagainya;

    e. sampah padat kecuali sampah Bahan Beracun dan

    Berbahaya (B3) yang berasal dari rumah sakit,

    laboratorium penelitian, atau fasilitas pelayanan

    kesehatan harus dibakar dengan insinerator yang

    tidak mengganggu lingkungan.

    Pasal 42

    (1) Untuk memenuhi persyaratan penggunaan bahan

    bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, setiap

    bangunan harus menggunakan bahan bangunan yang

    aman bagi kesehatan pengguna bangunan dan tidak

    menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan.

  • 29

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Penggunaan bahan bangunan yang aman bagi kesehatan

    pengguna bangunan harus tidak mengandung bahan-

    bahan berbahaya/beracun bagi kesehatan dan aman bagi

    pengguna bangunan.

    (3) Penggunaan bahan bangunan yang tidak berdampak

    negatif terhadap lingkungan harus:

    a. menghindari timbulnya efek silau dan pantulan bagi

    pengguna bangunan lain, masyarakat dan lingkungan

    sekitarnya;

    b. menghindari timbulnya efek peningkatan suhu

    lingkungan di sekitarnya;

    c. mempertimbangkan prinsip-prinsip konservasi energi; dan

    d. mewujudkan bangunan yang serasi dan selaras

    dengan lingkungannya.

    (4) Pemanfaatan dan penggunaan bahan bangunan harus

    sesuai dengan kebutuhan dan memperhatikan kelestarian

    lingkungan.

    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan

    bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

    ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Bupati.

    Paragraf 4

    Persyaratan Kenyamanan

    Pasal 43

    Persyaratan kenyamanan bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud dalam pasal 26 meliputi kenyamanan ruang gerak

    dan hubungan antarruang, kenyamanan kondisi udara dalam

    ruang, kenyamanan pandangan, serta kenyamanan terhadap

    tingkat getaran dan kebisingan.

    Pasal 44

    (1) Persyaratan kenyamanan ruang gerak dan hubungan

    antarruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 harus

    mempertimbangkan:

    a. fungsi ruang, jumlah pengguna, perabot/peralatan,

    aksesibilitas ruang, di dalam bangunan gedung; dan

    b. persyaratan keselamatan dan kesehatan.

    (2) Untuk mendapatkan kenyamanan hubungan antarruang

    harus mempertimbangkan:

    a. fungsi ruang, aksesibilitas ruang, dan jumlah

    pengguna dan perabot/peralatan di dalam bangunan

    gedung;

  • 30

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    b. sirkulasi antarruang horizontal dan vertikal; dan

    c. persyaratan keselamatan dan kesehatan.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan

    kenyamanan ruang gerak dan hubungan antar ruang

    pada bangunan gedung mengikuti pedoman dan standar

    teknis diatur dalam Peraturan Bupati.

    Pasal 45

    (1) Persyaratan kenyamanan kondisi udara di dalam

    bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam pasal 43

    harus mempertimbangkan temperatur dan kelembaban

    udara.

    (2) Untuk mendapatkan tingkat temperatur dan kelembaban

    udara di dalam ruangan dapat dilakukan dengan alat

    pengkondisian udara yang mempertimbangkan:

    a. fungsi bangunan gedung/ruang, jumlah pengguna,

    letak geografis, orientasi bangunan, volume ruang,

    jenis peralatan, dan penggunaan bahan bangunan;

    b. kemudahan pemeliharaan dan perawatan; dan

    c. prinsip-prinsip penghematan energi dan ramah

    lingkungan.

    (3) Persyaratan kenyamanan kondisi udara di dalam

    bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan

    perundang-undangan.

    Pasal 46

    (1) Untuk mendapatkan kenyamanan pandangan

    sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 harus

    mempertimbangkan kenyamanan pandangan dari dalam

    bangunan ke luar dan dari luar bangunan ke ruang-ruang

    tertentu dalam bangunan gedung.

    (2) Kenyamanan pandangan dari dalam bangunan ke luar

    harus mempertimbangkan:

    a. gubahan masa bangunan, rancangan bukaan, tata

    ruang-dalam dan luar bangunan, dan rancangan

    bentuk luar bangunan; dan

    b. pemanfaatan potensi ruang luar bangunan gedung

    dan penyediaan RTH;

    (3) Kenyamanan pandangan dari luar ke dalam bangunan

    harus mempertimbangkan:

    a. rancangan bukaan, tata ruang-dalam dan luar

    bangunan, dan rancangan bentuk luar bangunan

    gedung;

  • 31

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    b. keberadaan bangunan gedung yang ada dan/atau

    yang akan ada di sekitarnya; dan

    c. pencegahan terhadap gangguan silau dan pantulan

    sinar.

    (4) Untuk kenyamanan pandangan pada bangunan gedung

    harus dipenuhi persyaratan teknis, yaitu Standar

    kenyamanan pandangan pada bangunan gedung.

    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kenyamanan pandangan

    dari luar ke dalam bangunan gedung diatur dalam

    Peraturan Bupati.

    Pasal 47

    (1) Persyaratan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan

    kebisingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43

    merupakan tingkat kenyamanan yang ditentukan oleh

    satu keadaan yang tidak mengakibatkan pengguna dan

    fungsi bangunan gedung terganggu oleh getaran dan/atau

    kebisingan yang timbul dari dalam bangunan gedung

    maupun lingkungannya.

    (2) Untuk mendapatkan kenyamanan dari getaran dan

    kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    Penyelenggara bangunan gedung harus mempertimbangkan

    jenis kegiatan, penggunaan peralatan dan/atau sumber

    getar dan sumber bising lainnya yang berada di dalam

    maupun di luar bangunan gedung.

    (3) Persyaratan kenyamanan terhadap tingkat getaran dan

    kebisingan pada bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan

    dalam standar teknis mengenai tata cara perencanaan

    kenyamanan terhadap getaran dan kebisingan pada

    bangunan gedung.

    Paragraf 5

    Persyaratan Kemudahan

    Pasal 48

    Persyaratan kemudahan bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 26 meliputi kemudahan hubungan ke,

    dari, dan di dalam bangunan gedung, serta kelengkapan

    fasilitas prasarana dan sarana dalam pemanfaatan bangunan

    gedung.

  • 32

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Pasal 49

    (1) Kemudahan hubungan ke, dari, dan di dalam bangunan

    gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 meliputi:

    a. persyaratan kemudahan hubungan horizontal dalam

    bangunan gedung;

    b. persyaratan kemudahan hubungan vertikal dalam

    bangunan gedung;

    c. persyaratan sarana evakuasi; dan

    d. persyaratan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan lansia.

    (2) Persyaratan kemudahan hubungan horizontal dalam

    bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    huruf a harus mempertimbangkan:

    a. tersedianya fasilitas dan aksesibilitas yang mudah,

    aman, dan nyaman bagi semua orang, termasuk

    penyandang cacat dan lansia;

    b. penyediaan fasilitas dan aksesibilitas harus

    mempertimbangkan tersedianya hubungan horizontal

    antarruang-dalam bangunan gedung, akses evakuasi,

    termasuk bagi semua orang, termasuk penyandang

    cacat dan lansia;

    c. kelengkapan prasarana dan sarana disesuaikan

    dengan fungsi bangunan gedung dan persyaratan

    lingkungan lokasi bangunan gedung;

    d. setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan

    kemudahan hubungan horizontal berupa tersedianya

    pintu dan/atau koridor yang memadai untuk

    terselenggaranya fungsi bangunan gedung tersebut;

    e. jumlah, ukuran, dan jenis pintu, dalam suatu ruangan

    dipertimbangkan berdasarkan besaran ruang, fungsi

    ruang, dan jumlah pengguna ruang;

    f. arah bukaan daun pintu dalam suatu ruangan

    dipertimbangkan berdasarkan fungsi ruang dan aspek

    keselamatan; dan

    g. ukuran koridor sebagai akses horizontal antarruang

    dipertimbangkan berdasarkan fungsi koridor, fungsi

    ruang, dan jumlah pengguna.

    (3) Persyaratan kemudahan hubungan vertikal dalam

    bangunan gedung gedung sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) huruf b harus mempertimbangkan:

    a. setiap bangunan gedung bertingkat harus

    menyediakan sarana hubungan vertikal antarlantai

    yang memadai untuk terselenggaranya fungsi

    bangunan gedung tersebut berupa tersedianya tangga,

    ram, lif, tangga berjalan/eskalator, dan/atau lantai

    berjalan/travelator;

  • 33

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    b. jumlah, ukuran, dan konstruksi sarana hubungan

    vertikal harus berdasarkan fungsi bangunan gedung,

    luas bangunan, dan jumlah pengguna ruang, serta

    keselamatan pengguna bangunan gedung;

    c. setiap bangunan gedung dengan ketinggian di atas

    lima lantai harus menyediakan sarana hubungan

    vertikal berupa lif;

    d. bangunan gedung umum yang fungsinya untuk

    kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan,

    fungsi usaha, maupun fungsi sosial dan budaya harus

    menyediakan fasilitas dan kelengkapan sarana

    hubungan vertikal bagi semua orang, termasuk

    penyandang cacat dan lansia;

    e. jumlah, kapasitas, dan spesifikasi lif sebagai sarana

    hubungan vertikal dalam bangunan gedung harus

    mampu melakukan pelayanan yang optimal untuk

    sirkulasi vertikal pada bangunan, sesuai dengan

    fungsi dan jumlah pengguna bangunan gedung;

    f. setiap bangunan gedung yang menggunakan lif harus

    tersedia lif kebakaran yang dimulai dari lantai dasar

    bangunan (ground floor); dan

    g. lif kebakaran dapat berupa lif khusus kebakaran atau

    lif penumpang biasa atau lif barang yang dapat diatur

    pengoperasiannya sehingga dalam keadaan darurat

    dapat digunakan secara khusus oleh petugas

    kebakaran.

    (4) Persyaratan sarana evakuasi sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) huruf c harus mempertimbangkan:

    a. setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal

    tunggal dan rumah deret sederhana, harus

    menyediakan sarana evakuasi bagi semua orang

    termasuk penyandang cacat dan lansia yang meliputi

    sistem peringatan bahaya bagi pengguna, pintu

    keluar darurat, dan jalur evakuasi yang dapat

    menjamin pengguna bangunan gedung untuk

    melakukan evakuasi dari dalam bangunan gedung

    secara aman apabila terjadi bencana atau keadaan

    darurat; dan

    b. pada rumah tinggal tunggal dan rumah deret

    sederhana dapat disediakan sistem peringatan bahaya

    bagi pengguna, pintu keluar darurat, dan jalur

    evakuasi bagi semua orang termasuk penyandang

    cacat dan lansia.

  • 34

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (5) Persyaratan aksesibilitas bagi penyandang cacat dan

    lansia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d harus

    mempertimbangkan:

    a. setiap bangunan gedung, kecuali rumah tinggal

    tunggal dan rumah deret sederhana, harus

    menyediakan fasilitas dan aksesibilitas untuk

    menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang

    cacat dan lansia masuk dan keluar, ke, dan dari

    bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan

    gedung secara mudah, aman, nyaman dan mandiri;

    b. fasilitas dan aksesibilitas meliputi toilet, tempat

    parkir, telepon umum, jalur pemandu, rambu dan

    marka, pintu, ram, tangga, dan lif bagi penyandang

    cacat dan lansia; dan

    c. penyediaan fasilitas dan aksesibilitas disesuaikan

    dengan fungsi, luas, dan ketinggian bangunan gedung.

    Pasal 50

    (1) Persyaratan Kelengkapan Prasarana dan Sarana

    Pemanfaatan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 48 harus memberikan kemudahan bagi

    pengguna bangunan gedung untuk beraktivitas di

    dalamnya, setiap bangunan gedung untuk kepentingan

    umum harus menyediakan kelengkapan prasarana dan

    sarana pemanfaatan bangunan gedung, meliputi ruang

    ibadah, ruang ganti, ruang bayi, toilet, tempat parkir,

    tempat sampah, serta fasilitas komunikasi dan informasi.

    (2) Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan

    fungsi dan luas bangunan gedung, serta jumlah pengguna

    bangunan gedung.

    (3) Persyaratan kelengkapan prasarana dan sarana

    pemanfaatan bangunan gedung sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan

    peraturan perundang-undangan.

    Pasal 51

    (1) Setiap bangunan gedung untuk kepentingan umum harus

    menyediakan kelengkapan prasarana dan sarana

    pemanfaatan bangunan gedung, meliputi ruang ibadah,

    ruang ganti, ruang bayi, toilet, tempat parkir, tempat

    sampah serta fasilitas komunikasi dan informasi untuk

    memberikan kemudahan bagi pengguna bangunan

    gedung dalam beraktivitas dalam bangunan gedung.

  • 35

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Penyediaan prasarana dan sarana disesuaikan dengan

    fungsi dan luas bangunan gedung serta jumlah pengguna

    bangunan gedung.

    (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan

    dan pemeliharaan kelengkapan prasarana dan sarana

    pemanfaatan bangunan gedung diatur dalam Peraturan

    Bupati.

    Bagian Ketujuh

    Persyaratan Bangunan Gedung Hijau

    Pasal 52

    Bangunan gedung yang dibangun harus mengikuti prinsip

    bangunan gedung hijau meliputi:

    a. perumusan kesamaan tujuan, pemahaman serta rencana

    tindak;

    b. pengurangan penggunaan sumber daya, baik berupa

    lahan, material, air, sumber daya alam maupun sumber

    daya manusia (reduce);

    c. pengurangan timbulan limbah, baik fisik maupun

    non-fisik;

    d. penggunaan kembali sumber daya yang telah digunakan

    sebelumnya (reuse);

    e. penggunaan sumber daya hasil siklus ulang (recycle);

    f. perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan

    hidup melalui upaya pelestarian;

    g. mitigasi risiko keselamatan, kesehatan, perubahan iklim,

    dan bencana;

    h. orientasi kepada siklus hidup;

    i. orientasi kepada pencapaian mutu yang diinginkan;

    j. inovasi teknologi untuk perbaikan yang berlanjut; dan

    k. peningkatan dukungan kelembagaan, kepemimpinan dan

    manajemen dalam implementasi.

    Pasal 53

    (1) Bangunan gedung yang dikenai persyaratan bangunan

    gedung hijau meliputi bangunan gedung baru dan

    bangunan gedung yang telah dimanfaatkan.

    (2) Bangunan gedung yang dikenai persyaratan bangunan

    gedung hijau dibagi menjadi kategori:

    a. wajib (mandatory);

    b. disarankan (recommended); dan

    c. sukarela (voluntary).

  • 36

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (3) Setiap bangunan gedung hijau harus memenuhi

    persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai

    dengan fungsi dan klasifikasi bangunan gedung.

    (4) Selain persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1), bangunan gedung hijau juga harus memenuhi

    persyaratan bangunan gedung hijau.

    (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan bangunan

    gedung hijau dan klasifikasinya diatur dalam Peraturan

    Bupati.

    Bagian Kedelapan

    Persyaratan Bangunan Gedung di Atas atau di Bawah Tanah,

    Air atau Prasarana/Sarana Umum, dan pada Daerah Hantaran Udara

    Listrik Tegangan Tinggi atau Ekstra Tinggi atau Ultra Tinggi

    dan/atau Menara Telekomunikasi dan/atau Menara Air

    Pasal 54

    (1) Pembangunan bangunan gedung di atas prasarana

    dan/atau sarana umum harus memenuhi persyaratan

    sebagai berikut:

    a. sesuai dengan RTRW, RDTR BWP dan/atau RTBL;

    b. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang

    berada di bawahnya dan/atau di sekitarnya;

    c. tetap memperhatikan keserasian bangunan terhadap

    lingkungannya;

    d. mendapatkan persetujuan dari pihak yang

    berwenang; dan

    e. mempertimbangkan pendapat TABG dan pendapat

    masyarakat.

    (2) Pembangunan bangunan gedung di bawah tanah yang

    melintasi prasarana dan/atau sarana umum harus

    memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    a. sesuai dengan RTRW, RDTR BWP, dan/atau RTBL;

    b. tidak untuk fungsi hunian atau tempat tinggal;

    c. tidak mengganggu fungsi prasarana dan sarana yang

    berada di bawah tanah;

    d. memiliki sarana khusus untuk kepentingan keamanan

    dan keselamatan bagi pengguna bangunan;

    e. mendapatkan persetujuan dari pihak yang

    berwenang; dan

    f. mempertimbangkan pendapat TABG dan pendapat

    masyarakat.

  • 37

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (3) Pembangunan bangunan gedung di bawah dan/atau di

    atas air harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    a. sesuai dengan RTRW, RDTR BWP, dan/atau RTBL;

    b. tidak mengganggu keseimbangan lingkungan dan

    fungsi lindung kawasan;

    c. tidak menimbulkan pencemaran;

    d. telah mempertimbangkan faktor keselamatan,

    kenyamanan, kesehatan dan kemudahan bagi

    pengguna bangunan;

    e. mendapatkan persetujuan dari pihak yang

    berwenang; dan

    f. mempertimbangkan pendapat TABG dan pendapat

    masyarakat.

    (4) Pembangunan bangunan gedung pada daerah hantaran

    udara listrik tegangan tinggi/ekstra tinggi/ultra tinggi

    dan/atau menara telekomunikasi dan/atau menara air

    harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

    a. sesuai dengan RTRW, RDTR BWP, dan/atau RTBL;

    b. telah mempertimbangkan faktor keselamatan,

    kenyamanan, kesehatan dan kemudahan bagi

    pengguna bangunan;

    c. khusus untuk daerah hantaran listrik tegangan tinggi

    harus mengikuti pedoman dan/atau standar teknis

    tentang ruang bebas udara tegangan tinggi;

    d. khusus menara telekomunikasi harus mengikuti

    ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

    pembangunan dan penggunaan menara

    telekomunikasi;

    e. mendapatkan persetujuan dari pihak yang

    berwenang; dan

    f. mempertimbangkan pendapat Tim Ahli Bangunan

    Gedung dan pendapat masyarakat.

    Bagian Kesembilan

    Bangunan Gedung Semi Permanen

    dan Bangunan Gedung Darurat

    Pasal 55

    (1) Bangunan gedung semi permanen dan bangunan gedung

    darurat merupakan bangunan gedung yang digunakan

    untuk fungsi yang ditetapkan dengan konstruksi semi

    permanen dan darurat yang dapat ditingkatkan menjadi

    permanen.

  • 38

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) harus tetap dapat menjamin

    keamanan, keselamatan, kemudahan, keserasian dan

    keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya.

    (3) Peningkatan bangunan gedung semi permanen dan

    darurat menjadi bangunan permanen harus diikuti

    dengan pembaharuan IMB.

    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara

    penyelenggaraan bangunan gedung semi permanen dan

    darurat diatur dalam Peraturan Bupati.

    Bagian Kesepuluh

    Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Bencana Alam

    Paragraf 1

    Umum

    Pasal 56

    (1) Kawasan rawan bencana alam meliputi kawasan rawan

    tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang,

    kawasan rawan banjir, kawasan rawan angin topan dan

    kawasan rawan bencana alam geologi.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dilakukan dengan memenuhi persyaratan tertentu yang

    mempertimbangkan keselamatan dan keamanan demi

    kepentingan umum.

    (3) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) diatur dalam RTRW, RDTR BWP, peraturan

    zonasi dan/atau penetapan dari instansi yang berwenang

    lainnya.

    Paragraf 2

    Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Tanah Longsor

    Pasal 57

    (1) Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 56 ayat (1) merupakan kawasan berbentuk

    lereng yang rawan terhadap perpindahan material

    pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,

    tanah, atau material campuran.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    tanah longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW,

    RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan dari

    instansi yang berwenang lainnya.

  • 39

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Paragraf 3

    Bangunan Gedung di Kawasan Gelombang Pasang

    Pasal 58

    (1) Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) merupakan kawasan

    sekitar pantai yang rawan terhadap gelombang pasang

    dengan kecepatan antara 10 sampai dengan 100 kilometer

    per jam yang timbul akibat angin kencang atau gravitasi

    bulan atau matahari.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    gelombang pasang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam

    RTRW, RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan

    dari instansi yang berwenang lainnya.

    Paragraf 4

    Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Banjir

    Pasal 59

    (1) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 56 ayat (1) merupakan kawasan yang

    diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi

    mengalami bencana alam banjir.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW,

    RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan dari

    instansi yang berwenang lainnya.

    Paragraf 5

    Bangunan Gedung di Kawasan Rawan Angin Topan

    Pasal 60

    (1) Kawasan rawan bencana angin topan sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) merupakan kawasan

    yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi

    mengalami bencana alam angin topan.

  • 40

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    bencana angin topan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam

    RTRW, RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan

    dari instansi yang berwenang lainnya.

    Paragraf 6

    Bangunan Gedung di Kawasan Bencana Alam Geologi

    Pasal 61

    Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 56 ayat (1) meliputi:

    a. kawasan rawan letusan gunung berapi;

    b. kawasan rawan gempa bumi;

    c. kawasan rawan gerakan tanah;

    d. kawasan yang terletak di zona patahan aktif;

    e. kawasan rawan tsunami;

    f. kawasan rawan abrasi; dan

    g. kawasan rawan bahaya gas beracun.

    Pasal 62

    (1) Kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 61 huruf a merupakan kawasan

    yang terletak di sekitar kawah atau kaldera dan/atau

    berpotensi terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar

    lontaran atau guguran batu pijar dan/atau aliran gas

    beracun.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud pada

    ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan

    dalam RTRW, RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau

    penetapan dari instansi yang berwenang lainnya.

    Pasal 63

    (1) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 61 huruf b merupakan kawasan yang

    berpotensi dan/atau pernah mengalami gempa bumi

    dengan skala VII sampai dengan XII Modified Mercally

    Intensity (MMI).

  • 41

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW,

    RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan dari

    instansi yang berwenang lainnya.

    (3) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-

    undangan.

    Pasal 64

    (1) Kawasan rawan gerakan tanah sebagaimana dimaksud

    dalam Pasal 61 huruf c merupakan kawasan yang

    memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    gerakan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW,

    RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan dari

    instansi yang berwenang lainnya.

    Pasal 65

    (1) Kawasan yang terletak di zona patahan aktif sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 61 huruf d merupakan kawasan

    yang berada pada sempadan dengan lebar paling

    sedikit 250 (dua ratus lima puluh) meter dari tepi jalur

    patahan aktif.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan yang

    terletak di zona patahan aktif sebagaimana dimaksud

    pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sesuai

    ketentuan dalam RTRW, RDTR BWP, peraturan zonasi

    dan/atau penetapan dari instansi yang berwenang

    lainnya.

    Pasal 66

    (1) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 61 huruf e merupakan kawasan pantai dengan

    elevasi rendah dan/atau berpotensi atau pernah

    mengalami tsunami.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW,

    RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan dari

    instansi yang berwenang lainnya.

  • 42

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Pasal 67

    (1) Kawasan rawan abrasi sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 61 huruf f merupakan kawasan pantai yang

    berpotensi dan/atau pernah mengalami abrasi.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    abrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

    memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam RTRW,

    RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan dari

    instansi yang berwenang lainnya.

    Pasal 68

    (1) Kawasan rawan bahaya gas beracun sebagaimana

    dimaksud dalam Pasal 61 huruf g merupakan kawasan

    yang berpotensi dan/atau pernah mengalami bahaya gas

    beracun.

    (2) Penyelenggaraan bangunan gedung di kawasan rawan

    bahaya gas beracun sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    harus memenuhi persyaratan sesuai ketentuan dalam

    RTRW, RDTR BWP, peraturan zonasi dan/atau penetapan

    dari instansi yang berwenang lainnya.

    BAB VI

    PENYELENGGARAAN BANGUNAN GEDUNG

    Bagian Kesatu

    Pembangunan

    Paragraf 1

    Umum

    Pasal 69

    (1) Kegiatan pembangunan bangunan gedung dapat

    diselenggarakan secara swakelola atau menggunakan

    penyedia jasa di bidang perencanaan, pelaksanaan

    dan/atau pengawasan.

    (2) Penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung secara

    swakelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    menggunakan gambar rencana teknis sederhana atau

    gambar rencana prototipe.

    (3) Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan teknis

    kepada Pemilik bangunan gedung dengan penyediaan

    rencana teknik sederhana atau gambar prototipe.

  • 43

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    (4) Pengawasan penyelenggaraan pembangunan bangunan

    gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan

    oleh Pemerintah Daerah dalam rangka kelaikan fungsi

    bangunan gedung.

    Paragraf 2

    Perencanaan Teknis

    Pasal 70

    (1) Perencanaan teknis bangunan gedung dilakukan oleh

    perencana bangunan yang memiliki sertifikat sesuai

    dengan peraturan perundang-undangan.

    (2) Lingkup pelayanan jasa perencanaan teknis bangunan

    gedung meliputi:

    a. penyusunan konsep perencanaan;

    b. prarencana;

    c. pengembangan rencana;

    d. rencana detail;

    e. pembuatan dokumen pelaksanaan konstruksi;

    f. pemberian penjelasan dan evaluasi pengadaan jasa

    pelaksanaan;

    g. pengawasan berkala pelaksanaan konstruksi

    bangunan gedung; dan

    h. penyusunan petunjuk pemanfaatan bangunan gedung.

    Paragraf 3

    Pelaksanaan Konstruksi

    Pasal 71

    (1) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung dimulai setelah

    pemilik bangunan gedung memperoleh izin mendirikan

    bangunan gedung.

    (2) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung harus

    berdasarkan dokumen rencana teknis yang telah disetujui

    dan disahkan.

    (3) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung berupa

    pembangunan bangunan baru, perbaikan, penambahan,

    perubahan dan/atau pemugaran bangunan dan/atau

    instalasi dan/atau perlengkapan bangunan.

  • 44

    D:\R ANANTA\Lain-Lain\JDIH Upload\Perda\Raperda BG.docx

    Pasal 72

    (1) Kegiatan pelaksanaan konstruksi bangunan gedung

    meliputi pemeriksaan dokumen pelaksanaan, persiapan

    lapangan, kegiatan konstruksi, pemeriksaan akhir

    pekerjaan konstruksi dan penyerahan hasil akhir

    pekerjaan.

    (2) Pemeriksaan dokumen pelaksanaan sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) meliputi pemeriksaan

    kelengkapan, kebenaran dan keterlaksanaan konstruksi

    (constructability) dari semua dokumen pelaksanaan

    pekerjaan.

    (3) Persiapan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    meliputi penyusunan program pelaksanaan, mobilisasi

    sumber daya dan penyiapan fisik lapangan.

    (4) Kegiatan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    meliputi pelaksanaan pekerjaan konstruksi fisik di

    lapangan, pembuatan laporan kemajuan pekerjaan,

    penyusunan gambar kerja pelaksanaan (shop drawings)

    dan gambar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan yang

    dilaksanakan (as built drawings) serta kegiatan masa

    pemeliharaan konstruksi.

    (5) Pelaksanaan konstruksi bangunan gedung sebagaimana

    dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan prinsip-prinsip

    Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

    (6) Kegiatan pemeriksaan akhir pekerjaan konstruksi

    sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

    pemeriksaan hasil akhir pekerjaan konstruksi bangunan

    gedung terhadap kesesuaian dengan dokumen

    pelaksanaan.

    (7) Hasil akhir pekerjaan pelaksanaan konstruksi berwujud

    bangunan gedung yang laik fungsi termasuk prasarana

    dan sarananya yang dilengkapi dengan dokumen

    pelaksanaan konstruksi, gambar pelaksanaan pekerjaan

    sesuai dengan yang dilaksanakan (as bui