buletin tata ruang july - agustus 2011

Upload: erwiniksan

Post on 12-Jul-2015

147 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JULY - AGUSTUS 2011

tataruangbuletinBKPRN | BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONALMewujudkan Harmoni Kota

Kota Blitar

Mewujudkan Kota Pesisir Indonesia

Penerapan Masa Lalu, Saat inidan Ke Masa Datang

Pembangunan Berkelanjutan:

yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Infrastrukur Berbasis Penataan Ruang to Sustainable Coastal Planning

From Integrated Coastal Management Kebijakan Transportasi BerkelanjutanSuatu Penerapan Metodologi yang Komprehensif

Pendekatan Baru dalam Mengukur Tingkat Kenyamanan Kota Konsisten, Kunci Keberhasilan Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan

Most Liveable City Index Karlskrona:

Percepatan Penyelesaian RTRWPerumahan dan Permukiman Perkotaan

Tantangan PembangunanAgenda Kerja BKPRN

BARCODE

BKPRN

BADAN KOORDINASI PENATAAN RUANG NASIONAL

Prof. DR. Dorodjatun Kuncoro

P RO F I L

buletin tata ruangIr. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc. Dr. Eko Luky Wuryanto Dr. Ir. Max Pohan Drs. Imam Hendargo Abu Ismoyo, MA Drs. Syamsul Arif Rivai, M.Si, MM.

PELINDUNG

Ir. Iman Soedradjat, MPM. Ir. Deddy Koespramoedyo, M.Sc. Ir. Heru Waluyo, M.Com Drs. Sofjan Bakar, M.Sc. DR. Ir. Abdul Kamarzuki, MPM Ir. Basuki Karyaatmadja

PENANGGUNG JAWAB

sekapur sirihAssallamualaikum warrahmatullah wabarakatuh Puji sukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa kita panjatkan atas kesempatan yang selalu diberikan kepada kita, sehingga Bulletin Tata Ruang Edisi Juli-Agustus 2011 ini masih bisa hadir ditengah-tengah kita semua. Isu Lingkungan saat ini dirasa semakin krusial dan menjadi concern banyak pihak, sehingga sosialisasi pemahaman pembangunan berkelanjutan harus terus dilaksanakan dan dikembangkan. Pembangunan Berkelanjutan merupakan suatu tantangan yang sangat besar bagi seluruh negara di dunia, terlebih lagi bagi negara berkembang seperti Indonesia. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan berangkat dari satu tujuan yang mulia yaitu mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi semua, untuk saat ini, esok dan generasi mendatang. Kondisi ini dapat tercipta apabila kita dapat meningkatkan kualitas kehidupan ekonomi, sosial dan lingkungan secara berimbang. Dengan mempertimbangkan ketiga aspek tersebut, pembangunan akan dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat secara inklusif, tentunya diikuti dengan penggunaan sumberdaya alam yang lebih efisien. Pada pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) II 2010 - 2014, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya akan dihadapkan dengan tantangan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yang saat inipun telah mulai dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Oleh karenanya, kebijakan pembangunan kedepan harus mampu mendorong peningkatan kualitas lingkungan, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengoperasian maupun dalam proses pemeliharaan. Infrastruktur pekerjaan umum harus memenuhi karakteristik keseimbangan dan kesetaraan, berpandangan jangka panjang dan sistemik. Kebijakan pembangunan tersebut diantaranya adalah menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan; mempertahankan dan mendorong peningkatan presentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) terhadap kawasan budidaya lainnya; mempertahankan kwasan konservasi terutama di kawasan perkotaan; mewujudkan ecocity; serta meningkatkan pengawasan dan pengendalian lingkungan dalam setiap aspek penyelenggaraan konstruksi. Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi fungsi koordinasi dan pengendalian dengan munculnya pemahaman bersama mengenai orientasi dan paradigma pembangunan perkotaan masa depan, dan dalam upaya mengurangi fragmentasi sektoral dan fungsional. Penataan Ruang ditujukan untuk menyerasikan peraturan penataan ruang dengan peraturan lain yang terkait, harmonisasi pembangunan antar wilayah, mengendalikan pemanfaatan ruang yang efektif, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang dan mewujudkan sistem kelembagaan penataan ruang. Lebih lanjut, penataan ruang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pembangunan demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan. Harapan kami, penataan ruang bisa memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan wilayah dan kota yang berkelanjutan, sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dapat tercapai. Direktur Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum Selaku Sekretaris Tim Pelaksana BKPRN

DR. Ir. Ruchyat Deni Dj. M.Eng Ir. Iwan Taruna Isa M. Eko Rudianto, M.Bus (IT)

PENASEHAT REDAKSI

Aria Indra Purnama, ST, MUM.

PEMIMPIN REDAKSI

WAKIL PEMIMPIN REDAKSI REDAKTUR PELAKSANA SEKRETARIS REDAKSI STAf REDAKSI

Agus Sutanto, ST, M.Sc

Ir. Melva Eryani Marpaung, MUM.

Indira P. Warpani, ST., MT., MSc

Ir. Dwi Hariawan, MA Ir. Gunawan, MA Ir. Nana Apriyana, MT Wahyu Suharto, SE, MPA Ir. Dodi S Riyadi, MT Ir. Indra Sukaryono Endra Saleh ATM, ST, MSc Hetty Debbie R, ST. Tessie Krisnaningtyas, SP Listra Pramadwita, ST, MT, M.Sc Ayu A. Asih, S.Si M. Refqi, ST Marissa Putri Barrynanda, ST Heri Khadarusno, ST

KOORDINASI PRODUKSI STAf PRODUKSI

Angger Hassanah, SH

Alwirdan BE

KOORDINASI SIRKULASI STAf SIRKULASI

Supriyono S.Sos

Dhyan Purwaty, S.Kom

Penerbit: Sekretariat Tim Pelaksana BKPRN Alamat Redaksi: Gedung Penataan Ruang dan SDA, Jl. Patimura 20, Kebayoran Baru, Jakarta 12110 Telp. (021) 7226577, fax. (021) 7226577 Website BKPRN:http://www.bkprn.org Email:[email protected] dan redaksi [email protected]

Ir. Imam S. Ernawi, MCM, M.Sc

2

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

dari redaksiSalam hangat bagi pembaca setia Hingga saat ini Buletin Tata Ruang 2011 telah sampai pada edisi ke-empat. Dalam Topik Utama edisi kali ini, redaksi mengangkat tema Pembangunan Berkelanjutan yang fokus kepada pembangunan kota dan infrastruktur kota-kota pesisir. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, sudah saatnya Indonesia untuk serius melaksanakan pembangunan berkelanjutan. Meskipun kita sadari bahwa untuk mewujudkannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi sebagai negara berkembang, yang masih dihadapkan pada isu-isu seperti kemiskinan, ledakan populasi dan pengangguran. Isu-isu tersebut seringkali justru menjadi masalah utama kerusakan lingkungan itu sendiri, dan harus diakui pula masih menjadi maslaah yang harus dihadapi negara kita. Meskipun negara kita masih harus menyelesaikan agenda untuk menuntaskan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran, kita tetap harus bersama-sama memulai dan terus belajar untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan. Trade off antara mengedepankan kepentingan jangka pendek (kepentingan generasi sekarang) dengan kepentingan jangka panjang (kepentingan generasi mendatang) harus segera diambil keputusannya. Sudah saatnya kita hidup bukan hanya untuk kepentingan jangka pendek, namun harus memperhatikan kepentingan generasi mendatang. Oleh karena itu harus ada perubahan paradigma dalam pengelolaan ekonomi agar supaya keputusan apapun yang diambil akan menggunakan perspektif jangka panjang, mengedepankan pembangunan yang berkelanjutan yaitu dengan mengharmonikan infrastruktur dan dan bangunan dalam jaringan dan lingkup yang lebih luas, terkait aspek-aspek iklim, sumber daya alam/lingkungan, ekonomi serta sosial dan budaya. Disamping mengangkat Profil Wilayah kota Blitar dengan judul Mewujudkan Harmoni Kota, Buletin edisi ini juga mengangkat tulisan seorang pemerhati masalah Perubahan Iklim dan Pembangunan Wilayah Pesisir dari Australia. Sedangkan profil Tokoh kali ini menampilkan Prof. Dr. Dorodjatun Kuncoro yang akan mengungkapkan berbagai pemahaman dan perspekttif yang lebih luas tentang upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Juga ditampilkan Kota Warisan Dunia Karlskrona di Swedia sebagai salah satu contoh kota yang konsisten dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. Pada rubrik wacana kali ini, akan dilontarkan sebuah pandangan tentang tantangan pembangunan permukiman dan perumahan di perkotaan. Tulisan dalam Butaru ini ditulis oleh para penulis yang memiliki pengalaman yang panjang dibidangnya dengan tema-tema yang menarik, sehingga diharapkan pembaca dapat memperkaya wawasan. Selamat membaca

PROFIL TOKOH

daftar isi04 10

Prof. DR. Dorodjatun Kuncoro

PROFIL WILAYAHKota BlitarMewujudkan Harmoni KotaOleh: Redaksi Butaru

TOPIK UTAMA

Mewujudkan Kota Pesisir Indonesiayang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Infrastruktur Berbasis Penataan RuangOleh: Ir. Joessair Lubis

14

TOPIK UTAMA

From Integrated Coastal Managementto Sustainable Coastal PlanningOleh: Barbara Jean Norman, Phd

19

TOPIK UTAMA

Kebijakan Transportasi BerkelanjutanSuatu Penerapan Metodologi yang KomprehensifOleh: R. Aria Indra P.

24

TOPIK LAIN

Most Livable City Index

Pendekatan Baru dalam Mengukur Tingkat Kenyamanan Kota

28

Oleh: Elkana Catur Hardiansah & Dhani M.M

TOPIK LAINKarlskrona:Konsisten, kunci keberhasilan mewujudkan Pembangunan BerkelanjutanOleh: Redaksi Butaru

32

TOPIK LAIN

Percepatan Penyelesaian RTRWOleh: Redaksi Butaru

35

WACANA

Tantangan PembangunanRedaksiOleh: Redaksi Butaru

Perumahan dam Permukiman Perkotaan

39

AGENDA

Agenda Kerja BKPRN Juli - Agustus 2011

43

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

3

profil tokoh

Prof. DR. Dorodjatun Kuncoro

Pembangunan Berkelanjutan: Penerapan Masa Lalu, Saat ini dan Ke Masa DatangKata sustainability (keberlanjutan) saat ini banyak dikaitkan dengan masalah lingkungan dan perencanaan wilayah dan kota. Akan tetapi Prof. DR. Dorodjatun, dengan latar belakang ekonomi dan keterlibatannya dalam banyak lembaga nasional, memiliki perspektif yang lebih luas dari itu. Prof. DR. Dorodjatun yang saat ini aktif menjadi penasehat lembaga ekonomi dan bank swasta nasional serta memberi kuliah di beberapa universitas seperti UI, pernah menjabat Menko Perekonomian pada Kabinet Gotong-Royong RI yang juga menjadi Ketua BKPRN (pada masa itu bernama BKTRN). Profesor yang mendapatkan gelar doktor di bidang Ekonomi Politik dari Universitas of California, Berkley, pada tahun 1980 ini lahir di Rangkasbitung pada 25 November 1939. Beliau adalah salah satu lulusan terbaik fEUI tahun 1964 dengan spesialisasi Moneter dan Keuangan Negara. Kemudian gelar MA-nya di bidang financial Administration ia raih pada tahun 1969 di University of California di Berkeley. Mantan Dekan fEUI periode 1994-1997 ini sempat menjadi Dutabesar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Amerika Serikat pada periode 1998 2001 pada masa kepresidenan Presiden Soeharto, Presiden B.J. Habibie dan Presiden Abdurrachman Wahid. Lalu bagaimana pandangan beliau tentang pengertian sustainability? Dalam wawancara berikut, ia menguraikan permasalahan rencana tata ruang yang terkait erat dengan kapasitas organisasi, dan perlunya imajinasi dalam mewujudkan pembangunan wilayah dan perkotaan yag berkelanjutan di Indonesia. Menurut Bapak, seperti apakah pengertian sustainable dalam konteks wilayah/regional ? Sustainability merupakan suatu hal yang maknanya terus menerus diperluas. Pada awalnya, sustainability itu banyak dikaitkan dengan mengendalikan pertumbuhan penduduk, yaitu melalui program Keluarga Berencana (KB), yang diinisiasi oleh Presiden Soeharto. Program KB ini hasilnya cukup spektakuler. Kita berhasil mengerem laju pertumbuhan penduduk dari rata-rata 2,5% per tahun pada tahun 1950an, lalu menjadi sekitar 1,3% per tahun pada saat ini. Ternyata untuk mencapai hal tersebut kita memerlukan waktu hampir satu generasi. Pada waktu itu mulai timbul kesadaran bahwa dengan mengendalikan jumlah penduduk, maka sumber-sumber terbatas yang kita miliki bisa dipergunakan untuk melaksanakan hal-hal yang lain di luar keperluan untuk mengurus penduduk, seperti yang secara historis kita lihat di negara-negara yang telah lebih dahulu berkembang seperti di Inggris dan di Eropa. Laju pertumbuhan penduduk di kawasan kelompok negara berkembang secara rata-rata lebih cepat dari negara di kawasan Eropa Barat pada saat mereka melakukan gerakan awal untuk pembangunan ekonomi yang berlandaskan industrialisasi. Pada waktu itu, PBB merasa, hal pertama yang harus dilakukan adalah pengendalian penduduk. Selanjutnya adalah pangan, maka hasilnya adalah green revolution. Jadi sustainability juga harus dilihat dari kemampuan suatu negara

Sustainability merupakan suatu hal yang maknanya terus menerus diperluas dan pada awalnya banyak dikaitkan dengan mengendalikan pertumbuhan penduduk yaitu melalui program Keluarga Berencana.

4

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Persoalan awal yang memicu perhatian kita adalah kekhawatiran tentang ketersediaan airuntuk meningkatkan produksi pangan yang mampu mengimbangi kecepatan laju pertumbuhan penduduk. Baru sesudah dua hal itu, kemudian kami melihat walaupun pertumbuhan penduduk sudah direm tetap saja laju pertumbuhan akan menimbulkan persoalan lain misalnya environmental atau lingkungan.Persoalan lain seperti apa kira-kira, pak?

Pada waktu itu, saya perhatikan, masalah tata ruang ini mulai muncul khususnya setelah terbukti selain akibat urbanisasi, kita juga terpaksa membuka hutan untuk bahan pangan. Pangan bukan hanya karbohidrat, tapi juga minyak goreng. Contohnya kita harus membuka lahan pertanian untuk kelapa sawit. Jadi kalau kita perhatikan, masalah tata ruang walau terakhir datangnya, tapi sangat terasa dampaknya. Kalau kita tidak mulai dengan mengerem laju pertumbuhan penduduk, coba bayangkan seperti apa keadaan sekarang? Pada saat ini mungkin kita sudah kehilangan puluh juta orang Indonesia yang seharusnya lahir karena keberhasilan kita mengerem pertumbuhan penduduk tadi. Toh, pada akhirnya, penduduk

revolution dengan hasil ton-tonan per hektar itu memang peningkatan yang signifikan. Pencapaian Orde Baru ada di dua hal itu. Yang pertama adalah KB dan yang ke dua adalah swasembada pangan. Tapi akhirnya semua terkendala masalah air dan air itu akhirnya menyangkut tata ruang. Jadi kita lihat perkembangannya di Jawa saja. Carrying capacity wilayah Pulau Jawa ini semakin lama semakin menurun, dan saya perhatikan makin kritis. Terlihat antara lain dari hilangnya (mungkin hampir) satu juta hektar atau lebih di Pantura dan tanahtanah irigasi kelas satu yang sebagian pembangunannya didanai dengan pinjaman uang dari World Bank dan ADB. Lahan-lahan itu sekarang dilanda perluasan kota, kawasan industri, jalan tol, dan sebagainya.

Begini, awalnya yang menarik perhatian kita adalah kekhawatiran tentang ketersediaan air. Karena seperti yang kita ketahui, peradaban umat manusia itu bergantung pada air. Sementara peradaban modern itu berdasarkan listrik. Repotnya, ternyata listrik perlu energi dan energi perlu air, yaitu PLTA. Lama-lama kita mulai sadar kalau lingkungan tidak diurus maka dampaknya akan langsung tampak. Waktu itu kita belum tahu tentang global climate change. Hal yang kami khawatirkan ialah urbanisasi makin cepat, yang bisa mengakibatkan krisis di kota-kota menengah, karena jasa penyediaan air yang disiapkan 50 tahun yang lalu itu ternyata didasarkan pada perhitungan penduduk yang sangat konservatif. Walau sudah direm, pertumbuhan penduduk tetap relatif cepat dibandingkan yang terjadi di Eropa dan Amerika. Kota-kota negara berkembang umumnya terus-menerus tertekan oleh masalah urbanisasi, yang mengakibatkan timbulnya masalah air. Dan akhirnya, sesudah dipelajari, kita terpaksa belajar tata ruang, khan? Karena air akan berjalan sampai ke wilayah yang jauh sampai ke hulu sungai. Kita baru menyadarinya saat bicara soal kerusakan sungai dan sebagainya, seperti managemen dari delta. Kemudian perhatian kita semakin terfokus kepada watershed area (daerah resapan hujan).

Sustainability juga harus dilihat dari kemampuan suatu negara untuk betul-betul meningkatkan produksi pangan yang mampu mengimbangi kecepatan dari laju pertumbuhan pendudukmemerlukan pangan. Dan semakin modern suatu negara, kebutuhannya bukan hanya karbohidrat, tapi juga protein. Artinya kita perlu air lagi. Jadi peternakan itu sama seperti perkebunan yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan, seperti kelapa sawit untuk minyak goreng. Karena semuanya memerlukan air, maka akhirnya air muncul di tiga bidang persoalan. Pertama adalah untuk penduduk, yang di undangundang kita hal itu diutamakan. Yang ke dua adalah untuk pertanian. Ke tiga, untuk perkotaan dan perindustrian di sektor modern. Terlihatlah jika hal ini menyangkut tata ruang. Akibat pembukaan lahan dan sebagainya, watershed mengalami kerusakan, begitu pula daerah-daerah resapan hujan dari hilir sampai hulu. Inilah yang mengancam keberlanjutan. Kembali ke perkataan saya di awal, kalau tidak disertai pengereman laju pertumbuhan penduduk, peningkatan produktivitas pertanian lewat green Jadi kalau Anda perhatikan, masalah carrying capacity di Jawa itu sudah sangat akut karena di hulu hutan ditebangi. Orang makin jauh bertanam ke daerah atas. Jadi di sekitar Jawa Barat bagian Selatan, kebon kubis dan sebagainya telah merambah ke atas gunung sehingga hutan pinus yang dulu ada di sana pun habis. Jadi akhirnya datanglah masalah tata ruang ini. Tapi itu merupakan pertemuan dari berbagai faktor yang saya bicarakan tadi. Permasalahan lahan kritis, apa penyebab utamanya dan apa yang seharusnya dilakukan? Sebenarnya ada dua persoalan yang saya lihat. Pertama adalah tata ruang yang kita warisi dari zaman kolonial, yang relatif masih tertata baik pada waktu itu. Kenapa? Karena memang jumlah penduduk dan pemanfaatan dari lahan itu belum seakut seperti yang kita hadapi di Jawa sekarang. Pada saat itu keseimbangan antara jumlah penduduk dan pemanfaatan

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

5

profil tokoh

Pertumbuhan institusi itu tidak garis lurus, tidak linier tapi merupakan sebuah huruf S tadi. Ada lead time-nya, ada ketika akselerasi dan ada perlambatannya.lahan masih berjalan dengan baik, dibandingkan dengan sekarang dimana jumlah penduduk sudah demikian besar dan pemanfaatan lahan yang sangat beragam dengan berbagai kepentingannya. Jadi kalau saya perhatikan itu wajar. Yang harus kita sayangkan adalah tanpa kita sadari kerusakan tata ruang di Jawa itu menyangkut lahan-lahan yang paling subur di Indonesia, apabila dibandingkan dengan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, yang tingkat kesuburannya itu hanya sepersekian saja dari Jawa. Hal lain yang juga kurang diperhatikan ialah petani Jawa yang biasa bekerja di lahan pertanian, yang sekarang ini makin menghilang. Para petani itu merupakan tenaga kerja yang paling paham di dalam segala hal yang terkait dengan pertanian. Mereka bisa bekerja di perkebunan, perikanan darat, peternakan sampai tanaman pekarangan, gabah bahkan sampai membuat anyaman-anyaman. Sekarang kita sudah mulai kehilangan generasi petani yang serba bisa ini. Saya lihat hingga sekarang ini, usaha membuka lahan-lahan baru di luar Jawa tidak serius pelaksanaannya, dan memang tidak mudah. Karena bagaimana kita bisa membuka lahan, meskipun tata ruangnya mengijinkan, jika tidak didukung Infrastruktur jalan. Tanpa infrastruktur jalan kita tidak bisa membuat infrastruktur lainnya seperti irigasi. Yang menyebabkan pembangunan irigasi di Jawa relatif cepat antara lain adalah karena secara historis satu-satunya kerajaan di Indonesia yang membangun jalan raya adalah Mataram. Sedangkan yang lainnya merupakan kerajaan pantai. Buktinya Sultan Agung bisa menyerbu Batavia dua kali. Tidak mungkin beliau membawa ratusan ribu tentara dari Jawa Tengah maupun Jogja dan daerah di antaranya tanpa keberadaan jalan. Kita juga tahu jika sawah-sawah di sepanjang koridor dari Jogja sampai ke Batavia, yang melewati Karawang, dibuka oleh Sultan Agung. Dapat dipastikan tanpa jalan tak mungkin ada irigasi, karena untuk membuka lahan kita harus memakai alat besar. Untuk mudahnya, kita bisa menghitung dari berapa panjang jalan raya per seratus kilometer persegi. Kalau di Jawa mungkin sudah sekitar 20-30 kilometer per seratus kilometer persegi, termasuk selatan Jawa. Tetapi kalau di Papua atau Kalimantan mungkin cuma sekitar 10 kilometer per seratus kilometer persegi saja sudah bagus. Sehingga dapat dimengerti bagaimana sulitnya membuka lahan pertanian di wilayah itu. Di luar Jawa, diperlukan pembangunan irigasi yang lebih maju daripada di Jawa yang relatif subur karena tanahnya tanah vulkanik. Jadi seyogyanya tata ruang itu tidak hanya melihat data geografi saja, tapi juga harus melihat geomorfologi atau geofisikanya. Makanya tiap kali melihat laporan pembukaan sistem irigasi zaman Belanda, selain mempelajari water level, juga ada penelitian soal mekanik, geomorfologi maupun geofisika. Saya mengetahui hal ini karena ayah saya pernah menjadi Kepala PU di Banten dan saya mengikuti ayah pada ada saat membuka sawahsawah di Banten Selatan. Menurut Bapak, adakah hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk menjaga keberlanjutan? Kalau belajar ilmu ekonomi, kita akan memahami bahwa setiap kali kita mencoba untuk mengatur hal yang rumit seperti tata ruang, kita akan berhubungan dengan tiga dimensi persoalan, yaitu :

Pertama, dana yang berhubungan dengan financial resources; Ke dua, kemampuan mengorganisir (organization resources). Apakah RTRW kita mempunyai kemampuan untuk mengatur? Untuk dapat memiliki kemampuan itu diperlukan institution building. Sedangkan sebagaimana kita ketahui, proses pembangunan kelembagaan itu tidak mudah. Lihat saja dari mereka yang ahli dalam irigasi. Berapa dasawarsa kita perlukan untuk membangun sistem irigasi dari primer sampai tersier di Jawa? Diperlukan waktu yang sangat lama. Kalau kita lihat dari umpakan-umpakan sawah, satu umpakan, katakanlah, 10 tahun. Sehingga saat kita menghadapi umpakan sawah sebanyak 30, kita bisa membayangkan berapa lama. Jadi, ini semua tersangkut pada pembangunan institusi tadi itu. Maka organisasi itu sangat penting. Ke tiga, political resources. Apa kita bisa menghimbau rakyat? Kalau bisa berarti Anda tidak perlu insentif. Apa pada zaman sekarang Anda bisa melakukan non-price insentif? Saya rasa agak sulit. Lebih konkritnya pak? Jadi sebenarnya, ketiga unsur ini adalah tiga dimensi dan setiap upaya untuk mengatur tata ruang memerlukan waktu yang lama. Dalam ilmu ekonomi kita tahu kalau segalanya mengikuti rumus bunga kumulatif. Pertumbuhannya merupakan suatu garis seperti huruf S. Tidak ada yang melonjak-lonjak lewat garis lurus. Di dalam ilmu ekonomi tidak ada garis linier. Semua itu dimulai dengan lambat dulu baru kemudian ada semacam akselerasi. Apabila sudah cocok dari ketiga resources itu, maka akhirnya pasti akan melambat kembali. Perlambatan itu memang bisa terjadi karena organisasinya sudah sampai ke batas kemampuan atau memang lahan sudah tidak ada. Sehingga harus pindah dari yang boros penggunaan lahan ke kegiatan yang semakin intensif penggunaan lahannya. Dulu, pada 1800, penduduk Jawa masih jarang, sehingga dalam keadaan

6

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

semacam itu kita bisa meramalkan kenaikan produksi pangan hanya sekadar dengan menambah areal. Sekarang hampir tidak mungkin karena tanah harus digunakan sepanjang tahun. Akan tetapi air yang menjadi persoalan. Jadi pertumbuhan institusi itu tidak garis lurus, tidak linier, tapi merupakan sebuah huruf S tadi. Ada lead timenya, ada ketika akselerasi dan ada perlambatannya. Saya khawatir tata ruang kalau tidak dapat diselesaikan dalam lima tahun, akhirnya tidak bisa sama sekali. Apalagi daerah-daerah yang dulunya hanya kecamatan tapi sekarang menjadi kabupaten karena pemekaran. Kemampuan organisasinya, khan, tidak ada.

di nagari itu kemudian mati. Karena mereka kemudian merasa, buat apa? Menggantungkan diri saja ke APBN dari pusat. Jadi kemampuan organisasi itu bisa berubah-ubah. Kita inginnya bertambah kuat. Tapi di tengah jalan karena perubahan-perubahan sistem pemerintahan, malah terjadi kemerosotan bukan peningkatan. Kelemahannya sebenarnya ada di organization capacity. Bagaimana pendapat bapak, apakah tata ruang bisa menjadi solusi? Rencana Tata Ruang yang ada selama ini menurut saya terlalu normatif, lebih seperti dokumen saja. Kalau kita lihat dalam kegiatan nyata di lapangan, susah sekali jadi acuan. Dalam hal ini

Karena yang punya uang dan kapasitas berorganisasi itu kebanyakan swasta. Jadi jangan kaget kalau ada rencana mau membuka sekitar puluhan ribu hektar sawah di Merauke misalnya. Atau tentang pengurusan air yang tidak lagi oleh PDAM sendiri tapi juga ditemani oleh swasta. Bahkan sekarang sudah mulai banyak PDAM yang dilelangkan dengan mengikutsertakan swasta sebagai investornya. Jadi ke depannya, tata ruang akan diurus oleh mereka yang memiliki kapasitas organisasi yang tidak lagi non-price. Artinya, pak? Terpaksa Anda berbicara mengenai tarif, atau return on investment. Banyak yang protes karena yang akan terjadi adalah komersialisasi air. Jadi mengalirkan air ke sawah atau ke kebun sekarang ada harganya. Air bukan lagi sumber daya alam yang bebas seperti dulu. Apalagi dengan harga beras yang terus naik. Dan sebagai catatan, hari-hari ini kita melihat bahwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, harga beras lebih mahal dari harga bensin premium. Jadi bagaimana tidak terjadi kompetisi di dalam penggunaan lahan? Maka semua menuntut karena lahan hanya bisa dipakai kalau air dapat dituntut sesuai dengan kebutuhannya. Dan hal itu menjadi persoalan karena air yang dipakai untuk taman bunga (cut flower/ buah) misalnya, tidak sama dengan padi dan kebutuhan lainnya. Menurut Bapak, adakah solusi alternatif untuk hal-hal tersebut ? Contohnya sudah banyak. Yang saya perhatikan adalah sistem perpajakan tanah, misalnya untuk orang yang memiliki lahan tetapi tidak tinggal di situ (absentee level). Di Taiwan atau Korea, pajak tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan pajak yang dikenakan pada petani yang sungguhsungguh tinggal di daerah itu. Sehingga tanahnya dapat dibeli murah oleh pemerintah untuk diberikan kepada petani yang betul-betul membutuhkan. Pembedaan itu di Indonesia belum dilakukan.

Di Indonesia tanah itu komoditi bukan alat produksi, harusnya tanah itu dipaksa menjadi alat produksi. Kita lihat tanah itu banyak dipakai sebagai bahan spekulasi.Meskipun diberikan dana dari Jakarta lewat DAU/DAK atau dana otonomi khusus seperti Papua dan Aceh, tetap kemampuan organisasinya tidak ada. Apalagi seperti Papua. Kecamatan saja belum jalan, karena mereka masih merupakan suku-suku sehingga tidak mudah. Ada kasus yang bagus sekali yang namanya nagari di Minangkabau, Sumatera Barat. Sayangnya apa yang terjadi pada sistem sentralisasi, dengan segala eksesnya waktu Orde Baru, beserta prakarsa yang sering muncul kita harus belajar. Dulu, waktu zaman transisi dari Bung Karno ke Pak Harto ada program KB. Pembangunan infrastruktur sosialiasi KB diperlukan waktu lebih dari 10 tahun. Kemudian program Swasembada Beras. Itu juga memerlukan waktu yang lama. Mulai dari melakukan percontohan, lalu petani-petani yang mulai mengerti mulai dipekerjakan, selanjutnya dilakukan program pertanian (BIMAS, INMAS). Itu yang saya maksud. Nampaknya kemampuan kita untuk mengorganisasi yang sebenarnya pernah sangat bagus pada program KB maupun, BIMAS, INMAS sekarang semakin minim. Karena masyarakat tidak lagi bisa dihimbau, jadi tidak berhasil dengan non-price insentive. Hampir semua membicarakan insentif dalam bentuk financial resources. Mungkin karena zamannya sudah berubah. Jadi menurut Bapak, itu hanya formalitas saja? Ya, makanya sekarang banyak yang lari ke public private partnership misalnya.

Jembatan Penghung Gedung di Jepang

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

7

profil tokohUang pengganti untuk pemilik lahan kosong tidak seluruhnya berbentuk cash, sebagian juga berbentuk deposito perbankan, kadang-kadang berupasurat obligasi negara. Ketika orang memerlukan uangnya, misalkan untuk membuat pabrik, pemerintah kemudian memberikan matching fund sesuai kebutuhannya. Jadi dia dipaksa menjadi industrialis. Karena itulah industri kecil banyak muncul di Korea dan Taiwan, sehingga pertanian dan industri (industri kecil) sama-sama maju.

Di Indonesia, tanah adalah komoditas bukan alat produksi. Seharusnya tanah dipaksa menjadi alat produksi. Kita lihat tanah banyak dipakai sebagai bahan spekulasi. Mungkin puluhan ribu hektar dibiarkan saja menunggu harganya naik, tapi selama itu tidak dipakai. Jadi sebetulnya pajak dan subsidi di sektor pertanian, kalau dilakukan secara baik lewat perhitungan yang baik, dengan sendirinya akan menimbulkan tata ruang yang teratur. Kenapa? Karena dikelola oleh mereka yang benarbenar mempunyai kepentingan untuk mengelola tanah itu secara produktif dan itu adalah petani. Sehingga terjadi komersialisasi untuk keuntungan petani, bukan komersialisasi yang dikuasai sistem distribusi oleh pedagang monopoli. Soal tata ruang bisa didekati dari berbagai cara. Salah satunya dengan memberikan insentif bagi mereka yang bersungguh-sungguh mau menggunakan lahan itu untuk kegiatan produktif dan bukan untuk spekulasi lewat sistem perpajakan dan subsidi. Hal itu mulai terjadi di daerah yang dekat dari kota. Seperti kita lihat, tanah di Jakarta sudah banyak yang beralih fungsi, padahal banyak sekali yang sebetulnya masih bisa digunakan untuk pertanian karena sistem irigasinya masih baik. Tanah tersebut dibiarkan begitu saja karena petaninya sudah tidak tinggal di situ lagi. Petani tidak tahan dengan peningkatan harga kebutuhan pangan akibat ekspansi kota ke tanah pertanian.

Kalau kita lihat di Jepang, mengubah penggunaan lahan itu sangat susah. Hal ini karena mereka betul-betul melihat kemandirian produksi padi sebagai sesuatu yang bersifat strategis di dalam perekonomian Jepang. Karena itu Jepang sering dijadikan isu di fAO dan forum internasional karena mereka menutup pasar pangannya, terutama beras sehingga harga beras mereka jauh lebih tinggi dari harga internasional. Karena pertanian bukan menjadi kebudayaan lagi, jadi Jepang larinya ke situ. Hal ini dibahas di dalam perundingan WTO. Di Jepang, tanah itu dicadangkan. Tanah yang dipakai untuk perkotaan dan industri hanya sekitar 20%. Hal ini juga dilakukan di Singapura. Sepertiga dari Pulau Singapura adalah watershed, dan mereka membangun deposit air di dalam tanah dari beton (cistern). Di Jakarta kita punya di Tanjung Priok yang dibuat oleh Belanda.

Pertanian Modern di Taiwan

kota atau kabupaten-kabupaten yang di hulu, suatu hari akan betul-betul memanfaatkan ketergantungan kota terhadap air, dengan mempenalti kota dengan harga komersial. Jadi untuk ke depan dengan otonomi daerah dan pemekaran kabupaten ini, daerah-daerah yang berada di hulu sumber air itu tidak akan lagi melepas air semurah seperti sekarang ini dan akan menuju kepada harga kelangkaannya. Maka seharusnya kotakota sadar. Seperti kota-kota di Amerika mempunyai reservoir penampungan air hujan sebagai tempat persediaan air. Jakarta harusnya bisa mempunyai tempat penampungan-penampungan air hujan (embung) seperti itu. Di kota kita, yang terjadi justru sebaliknya. Situsitu yang harusnya diperluas malah ditimbun. Jadi sustainability kota sangat tergantung kepada manajemen tata ruang. Antara lain karena tanpa air tidak ada peradaban manusia yang namanya kota. Itu kenapa banyak kota yang dibangun di pinggir sungai. Jadi kalau saya lihat ke depan, komersialisasi itu sudah tidak bisa dihentikan. Karena semakin air susah dicari, akan terjadi komersialisasi di situ. Salah satu contoh adalah Kepulauan Riau dengan teluk-teluk kecil (cove) di setiap pulaunya. Di teluk itu bisa dibuat DAM, kemudian air lautnya dikeluarkan, tapi bukit yang di belakangnya tidak boleh ditebang. Jadi kalau hujan, air tawar akan masuk ke dalam teluk kecil itu, dan lama-kelamaan akan menjadi estuary reservoir. Di Indonesia banyak sekali kemungkinan seperti itu. Jadi di masa depan, yang akan menjadi persoalan bukan hanya energi. Sekarang kita membuat kota-kota yang

Sistem perpajakan dan subsidi harusnya diupayakan juga sebagai alat yang memberikan insentif bagi mereka yang bersungguh-sungguh mau menggunakan lahan kegiatan produktifMenurut Bapak, bagaimana keadaan kota-kota di Indonesia sekarang ini? Saya tidak tahu berapa lama sustainability kota-kota di Indonesia tanpa air. Sekarang mulai terlihat, orang-orang yang di hulu semakin sadar bahwa daerah perkotaan mempunyai kebutuhan air yang semakin meningkat, dan air yang mereka kirim itu dilihat dari patokan harga sebotol air mineral. Ini, khan terlalu murah. Saya mengantisipasi bahwa kota-kota atau kabupatenkabupaten yang di hulu itu akan memasang tarif air yang dikirim ke Jakarta untuk ledeng sesuai dengan harga komersial yang tadi atas dasar kelangkaan. Bisa kita bayangkan berapa harganya nanti di Jakarta? Karena pendapatan mereka dari situ. Jadi kota-

8

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

berenergi efisien. Misalnya kita tidak perlu lagi terlalu sering menggunakan kendaraan bermotor di dalam kota. Hal ini sudah dilaksanakan di Hongkong dan Singapura, dimana gedunggedung disambung dengan jembatanjembatan yang tertutup dan ber-AC. Coba lihat di Jakarta. Sepanjang Jalan Thamrin-Sudirman malah memecah Jakarta menjadi dua. Tidak ada satupun jembatan penghubung, khan? Kalau kita pergi ke Houston atau Minnesota, semua sudah dibangun seperti itu. Sehingga jika misalnya kita berkantor di Landmark lalu ingin makan di BNI city. Kita bisa jalan kaki lewat jembatan penghubung yang indah tadi itu. Dengan demikian penggunaan kendaraan bermotor semakin sedikit. Atau misalnya kita masuk ke parking lot di daerah Gambir, dengan sistem seperti tadi, kita bisa jalan kaki lewat jembatan ke mana-mana. Selain efisiensi penggunaan air, kota pun harus efisien dalam penggunaan energi. Jadi kunci keberlanjutan adalah efisiensi. Ini baru dua aspek selain penggunaan lahan tadi. Persoalan abad ke-21 adalah 80% penduduk dunia akan tinggal di kota. Maka ke depannya, perlu banyak imajinasi yang diimplementasikan. Yang merepotkan adalah banyak orang yang tidak tahu bahwa imajinasi itu lebih mahal dari knowledge. Yang paling mahal di dunia itu imajinasi, seperti membuat jembatan penghubung antar gedung tadi. Sebenarnya kita tahu permasalahannya tapi yang mati adalah imajinasinya. Saya khawatir kalau begini terus maka kota-kota yang ada di Indonesia menjadi unliveable, bukan hanya unsustainable: semakin tidak nyaman

sebagai tempat kerja atau tempat tinggal. Sudah ada kota-kota di dunia yang unliveable, contohnya (hampir saja) Bangkok. Sekarang sudah bagus ada subway dan monorel di sana. Manila juga. Kalau diperhatikan Jakarta mirip Manila, tapi saya masih lebih senang di Jakarta. Mexico city, Buenos Aires juga tidak ada penghubung. Jalan rayanya bisa mencapai delapan sampai 10 lane, tapi akibatnya kota itu pecah. Yang liveable banyak yang kita contoh, misalnya Bogota. Busway-nya kita contoh. Menurut Bapak bagaimana keterkaitan sustainability dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025? Pembangunan yang direncanakan tanpa peduli terhadap perkembangan yang sungguh-sungguh terjadi di masyarakat tidak akan bisa kelar dan terwujud dalam 20 tahun. Hal ini dikarenakan masyarakat mempunyai dinamismenya sendiri. Saya khawatir, perencanaan yang dibuat tidak didasarkan pada kenyataan, dan ini banyak terjadi saat ini. Jadi sebetulnya konsep membangun yang paling bagus itu, meskipun idenya koridor tapi harus tetap mengikuti apa yang berkembang di lapangan dan masyarakat. Bukan memaksakan ide baru di atasnya. Kalau membangun di atas wilayah yang tidak ada apa-apa akan susah. Sebaiknya harus tetap ada jangkarnya. Contohnya jembatan Balerang yang dibuat sebagai sebagai penghubung dari Batam ke Rempang dan Galang. Hingga hari ini, khan, tidak terjadi apa-apa di sana. Demikian juga Lapangan terbang Hang Nadim. Walaupun landasannya paling panjang di Indonesia, tetap saja tidak bisa menyaingi Changi. Bahkan kalau kita mau ke Singapura tetap saja naik ferry. Jadi keberadaan lapangan terbang itu mubazir. Akan tetapi konsep koridor ekonomi itu, khan, membangun daerah yang sudah berkembang yang diharapkan

menjadi pendorong pertumbuhan wllayah sekitarnya? Memang seperti itu, tapi beberapa saya lihat ada yang dipaksakan. Takutnya akan seperti seperti KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu) yang hingga saat ini tetap tidak berjalan. Sekarang ini banyak rencana pembangunan yang terlalu visioner dan mencari-cari, sehingga menjadi tidak realistis. Menurut saya, MP3EI sebagian besar harus ditinjau kembali dan sebaiknya dilandaskan pada yang ditemui di lapangan. Buat saya lebih masuk akal, misalnya membangun jalan raya sepanjang Sumatera dengan tiga jenis kelas jalan. Pertama adalah Tol Road (misalnya dari Tebing Tinggi sampai ke Binjai). Kemudian ada highway yang dibuat empat lajur (walaupun sekarang baru dibuat dua jalur), tapi di beberapa tempat ada yang sudah perlu empat jalur. Selanjutnya, ada jalan biasa yang hanya dua jalur tapi dibuat tiga untuk passing. Jadi kalau itu dibuka efeknya seperti Northsouth Highway-nya Malaysia. Apalagi kalau disambung dengan jembatan, misalnya, yang menghubungkan Dumai dengan Johor. Menurut saya dicari yang benar-benar sudah menunjukkan potensi. Kalau dibuat di daerah yang belum ada apaapa, akan sia-sia seperti yang kita sudah lihat Barelang contohnya. Harapan Bapak ke depan tentang pembangunan wilayah dan perkotaan di Indonesia? Pembangunan wilayah dan perkotaan di Indonesia harus lebih realistis, karena saya melihat sebagian besar rencana tata ruang dan city planning di Indonesia itu tidak berjalan, karena tidak mengikuti dinamika yang sesungguhnya ada di masyarakat. Saya lebih senang dengan pendekatan adon, perubahan-perubahan marjinal, yaitu melakukan di atas kenyataan yang ada. Jadi pendekatannya lebih kepada bisnis, karena orang bisnis selalu berpikir pasar harus ada terlebih dahulu. (mem/hd)

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

9

profil wilayah

KOTA BLITAR MewujudkanOleh: Redaksi Butaru

Museum Ir. Soekarno

Harmoni Kota

Tak lama setelah memasuki Kota Blitar, seketika kita akan merasakan rasa tenang, damai, dan udara segar yang jauh dari polusi yang biasa kita rasakan pada kotakota besar Indonesia yang penuh dengan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, pemerintahan, asap kendaraan dan aktivitas industri. Di balik kesunyian dan ketenangannya, Kota Blitar menyimpan sejarah bagi Bangsa Indonesia. Kota kecil di Jawa Timur ini merupakan tempat awal mula perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Jepang di bawah kepemimpinan Suprijadi, yang kemudian meluas ke wilayah lainnya. Untuk tetap mengenang sejarah dan jasa pahlawan tersebut, maka Kota Blitar memiliki sebutan sebagai Kota PETA (Pembela Tanah Air) dan lebih dikenal dengan Kota Patria. Di Kota Patria ini jugalah lahir calon pemimpin Indonesia. Pada tanggal 6 Juni 1901 lahirlah seorang putra bangsa yaitu, Ir. Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia. Melalui kepemimpinannya, beliau melepaskan Bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dan mengantarkan Bangsa Indonesia ke pintu gerbang kemerdekaan. Empat puluh tahun kemudian, tepatnya 25 februari 1942, kembali lahir calon pemimpin negara yaitu Prof.Dr. Boediono, M.Ec yang saat ini menjadi wakil presiden RI. Wakil presiden bukan jabatan kenegaraan pertama yang pernah Budiono raih selama perjalanan hidupnya. Beberapa posisi di dalam kabinet pernah didudukinya, juga prestasinya, membuat banyak orang yang menjulukinya dengan The Man To Get The Job. Kota Patria yang menyimpan banyak sejarah dan melahirkan pemimpin bangsa tentunya tidak hanya sekedar cerita, julukan, atau sejarah yang cukup dikenang saja. Tonggak sejarah tersebut dapat dijadikan sebagai titik awal dan pemicu pembangunan Kota Blitar yang lebih baik dengan pimpinan yang membimbing pembangunan Kota Blitar ke arah pembangunan yang berkelanjutan.buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Di balik kesunyian dan ketenangannya, Kota Blitar menyimpan sejarah bagi Bangsa Indonesia

10

Patung Presiden I RI Di dalam Museum Ir. Soekarno

Ada berbagai macam pemahaman mengenai pembangunan berkelanjutan. Secara umum pembangunan berkelanjutan merupakan perubahan positif sosial dan ekonomi dengan tidak mengabaikan lingkungan tempat manusia hidup di dalamnya. Dengan kata lain terjadinya keseimbangan pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Pemahaman tersebut senada dengan definisi pembangunan berkelanjutan yang terdapat di dalam UU No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana dalam proses pembangunan, berbasis lingkungan hidup untuk menjamin mutu hidup generasi masa kini, meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan tolok ukur keberhasilan suatu pembangunan dan generasi masa depan. Saat ini, pembangunan yang berkelanjutan merupakan suatu tuntutan dan perhatian Penataan Ruang seluruh wilayah di Indonesia, mengingat pembangunan akan terus berjalan tetapi ketersediaan ruang semakin terbatas. Pembangunan yang berkelanjutan merupakan salah satu amanat di dalam UU 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, yang menyebutkan Penyelenggaraan Penataan Ruang bertujuan untuk menujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Mengingat pentingnya konsep pembangunan berkelanjutan sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam UU 26

Secara general pembangunan berkelanjutan merupakan perubahan positif sosial dan ekonomi dengan tidak mengabaikan lingkungan tempat manusia hidup di dalamnya.Tahun 2007 di atas, Pemerintah Kota Blitar telah menjadikan pembangunan berkelanjutan sebagai latar belakang penyusunan RPJM Kota Blitar Tahun 2005-2025. Di dalam RPJM ini disebutkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan diawali suatu komitmen dan konsistensi dari berbagai pemangku kepentingan dalam menggunakan dan menjaga keberlanjutan sumber daya alam yang digunakan untuk keberlangsungan hidup saat ini dan untuk generasi yang akan datang. Untuk menjaga keberlangsungan jalannya pembangunan berkelanjutan, maka Pemerintah Kota Blitar menggunakan manajemen pembangunan berkelanjutan yang dijadikan sebagai pegangan untuk pelaksanaannya. Manajemen ini mengedepankan perencanaan cermat yang melihat kebutuhan saat ini dan yang akan datang, dan dilaksanakan secara efektif, efisien, konsisten sebagaimana yang telah ditetapkan, serta dilakukan evaluasi secara berkala dan insidental berdasarkan indikator sasaran dan batas waktu yang telah ditentukan.

Pembangunan berkelanjutan telah membawa Blitar menjadi peringkat pertama di dalam Penghargaan Penilaian Kinerja Perangkat Daerah Pekerjaan Umum (PKPD PU) Bidang Penataan Ruang Yang Berkelanjutan pada 2010. Penilaian yang dilakukan oleh para juri ini meliputi aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang saling terkait erat. Terdapat suatu keunikan di dalam sistem perekonomian Kota Blitar, Pemerintah Kota Blitar menggunakan sistem ekonomi mikro untuk menggerakan perekonomian kota dengan menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama perekonomian. Bentuk dukungan pemerintah kota ini antara lain penyediaan lokasi dan tenda untuk pedagang kaki lima. Selain itu pemerintah kota juga membatasi calon investor yang akan membangun mal, swalayan besar, dan pewara lab, dengan tujuan untuk tetap menghidupkan aktivitas perdagangan masyarakat setempat. Di beberapa wilayah perkotaan, sejak berdirinya hypermart atau sejenisnya, banyak masyarakat lebih memilih untuk berbelanja di hypermart dengan faktor kelengkapan dan kenyamanan. Hal ini mengakibatkan penurunan pendapatan bagi pedagang kaki lima dan para pedagang di pasar tradisional. Kondisi ini merupakan suatu ancaman bagi para pedagang kecil, bahkan dapat mematikan usaha mereka. Sistem ekonomi mikro yang dipilih oleh Pemerintah Kota Blitar merupakan pilihan yang tepat bagi masyarakat Kota Blitar. Dengan adanya sistem ini, masyarakat secara tidak langsung dididik pemkot setempat untuk dapat berusaha mandiri. Selain itu, sistem ini juga diyakini dapat menekan jumlah pengangguran kota.July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Limbah Yang Berasal Dari Pabrik Tahu dan Tempe

11

profil wilayah

Fasilitasi Pemkot Kepada Pedagang Kaki Lima

Konsep ekonomi mikro yang digunakan di Kota Blitar ini dapat dikatakan unik,karena menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama perekonomian.

Konsep ekonomi mikro yang digunakan di Kota Blitar ini dapat dikatakan unik. Mengapa demikian? Karena tidak semua kota di Indonesia dapat mencontoh dan menggunakan konsep ini, khususnya kota di Indonesia yang identik dengan pusat perbelanjaan dan perdagangan kelas (cenderung) menengah ke atas. Semakin besar pusat dan aktivitas perdagangan di dalam kota tersebut, dapat mencerminkan keberhasilan di sektor perekonomian. Paradigma tersebut tentunya sangat sangat bertolak belakang dengan Kota Blitar. Akan tetapi batasan penetrasi investor hanya berlaku untuk mendirikan hypermart dan pewara laba saja. Kota Blitar juga memerlukan calon investor yang menanamkan modalnya di kota ini dalam rangka meningkatkan dan menjaga kestabilan pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2011 pemerintah kota menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 10% dengan merencanakan pembangunan pabrik gula. Jika melihat perkembangan PDRB Kota Blitar tahun 2004-2008, sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan paling kontribusi yang besar jika dibandingkan dengan sektor lainnya. Bahkan berdasarkan prediksi di dalam RPJM Kota Blitar Tahun 2005-2025, disebutkan bahwa sektor perdagangan masih berperan besar di dalam PDRB Kota Blitar. Jika melihat prediksi PDRB Kota Blitar hingga tahun 2025, tergambar bila perekonomian Kota Blitar menunjukan perkembangan yang positif dan tiap tahunnya selalu meningkat. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus diwapadai untuk ke depannya yaitu, ancaman perubahan iklim yang merupakan isu global yang hingga saat ini masih terus berkembang dan sulit dikendalikan.

Perubahan iklim mengakibatkan peralihan musim semakin sulitnya diprediksi. Tentunya kondisi ini sangat berpengaruh terhadap penyediaan bahan baku industri, terutama kerajinan bubut kayu yang merupakan salah satu produk andalan. Isu global ini mendorong pemerintah kota untuk mengambil langkah antisipatif yang dituangkan di dalam kebijakan dan dilanjutkan dengan program kerja yang juga merupakan bentuk dari pembangunan berkelanjutan dari aspek lingkungan, sebagaimana yang telah dilakukan di lingkup Nasional bahkan Internasional. Program Kampung Iklim, atau yang disingkat dengan Proklim merupakan suatu program yang diluncurkan Kementerian Lingkungan Hidup dalam rangka mengurangibuletin tata ruang | July - Agustus 2011

gas emisi nasional sebesar 26% sampai dengan tahun 2020 sebagaimana amanat Presiden SBY dalam pertemuan G-20 pada tahun 2009 di Pittsburgh. Proklim ini melibatkan pertisipasi aktif masyarakat dalam melakukan langkah adaptasi dan mitigasi perubahan iklim secara terintegrasi, yang mempertimbangkan kearifan lokal dan mencakup serangkaian kegiatan perencanaan sosialisasi, fasilitasi, pengawasan, evaluasi, dan penilaian. Sebagaimana yang telah dikatakan di atas, Kota Blitar merupakan kota yang jauh dari pencemaran udara. Akan tetapi untuk pencemaran dan polusi udara akibat dari aktivitas industri rumah tangga tidak dapat dihindari, walaupun masih tergolong kecil.

12

Kelurahan Pakunden yang terletak di Kecamatan Sukorejo, contohnya, memiliki berbagai macam masalah pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas industri rumah tangga tahu dan tempe, aktivitas peternakan. Sanitasi yang tidak baik juga menambah pencemaran lingkungan. Dengan dilatarbelakangi permasalahan lingkungan tersebut maka terpilihlah Kelurahan Kapunden menjadi salah satu daerah percontohan untuk proklim untuk tahun 2011 ini. Di dalam rencana kerja proklim ini ada beberapa langkah yang bertujuan mewujudkan Kelurahan Pakunden yang ramah lingkungan. Diawali dengan pembangunan talud untuk perlindungan Mata Air Sumberwayuh dan Sumberjaran, kemudian dilakukan pula pembangunan tempat pengolahan limbah tahu akhir di aliran Sumberwayuh, program bakti sosial pembersihan sungai, sampai dengan penanaman bibit pohon rambutan, bibit suren, dan bibit buah kelengkeng. Untuk memperbaiki sistem sanitasi, masyarakat diberikan bantuan berupa pembagian gerobak di masing-masing RW, tong sampah, pembangunan tempat pengolahan akhir tahu, perlindungan mata air, dan penghijauan kota. Diharapkan kegiatan proklim ini dapat berjalan optimal, sesuai dengan rencana dan target, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu daerah yang berhasil menanggapi isu perubahan iklim. Selain itu, kegiatan ini dapat dikatakan sebagai wujud pembangunan berkelanjutan Kota Blitar yang tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan di dalam kegiatan pembangunan. Dalam rangka mewujudkan Kota Blitar yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, pemerintah kota memiliki beberapa tantangan dan target yang hendaknya dapat diwujudkan, yaitu peningkatan pelayanan sanitasi, pemantapan sistem lingkungan yang aman, lestari, dengan mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen sesuai dengan amanat UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang yang saat ini telah tertuang di dalam Raperda RTRW Kota Blitar. Selain melibatkan masyarakat setempat, tidak menutup kemungkinan pemerintah kota untuk melakukan kerja sama dengan pihak swasta dalam rangka mewujudkan Kota Blitar yang lestari.

Candi Panataran

Rumah tingga Ir. Soekarno

pariwisata.

Upaya menjadikan Kota Blitar juga terlihat pada sector Peningggalan bersejarah Bangsa Indonesia di Kota Blitar yang dikelola pemkot bahkan Negara. ini sangat menarik untuk dikunjungi sebagai tempat rekreasi. Tempat bersejarah seperti kawasan situs Kota Blitar, yang meliputi makam, museum, rumah sang Proklamator, Candi Panataran yang telah didaftarkan ke UNESCO pada tahun 1995, merupakan potensi pariwisata yang dapat memberikan kontribusi terhadap PDRB Kota Blitar. Dengan adanya aktivitas pariwisata, maka terbentuklah lapangan usaha yang dapat menyejahterakan masyarakat Kota Blitar. Kondisi ini mendukung kegiatan pemerintah kota dalam rangka menuntasan kemiskinan masyarakat Kota Blitar. Adapun usaha yang dilakukan dalam rangka penuntasan kemiskinan antara lain dengan membentuk Tim Koordinasi Penuntasan Kemiskinan (TKPK), gerakan perang melawan kemiskinan (GPMK), menyediakan lapangan pekerjaan, program anggaran satu milyar untuk kelurahan yang telah dilaksanakan secara bertahap dimulai pada awal tahun 2011. Diharapkan dengan program tersebut mampu menurunkan angka kemiskinan sebesar dua hingga tiga persen. Maka jelas kegiatan pariwisata memberikan dampak yang sangat positif bagi keberlanjutan perekonomian dan sosial di Kota Blitar. Karena pada akhirnya, keberlangsungan sebuah kota dilihat dari kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakatnya. (mpb)

Diharapkan kegiatan proklim ini dapat berjalan dengan optimal, sesuai dengan rencana dan target, sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu daerah yang berhasil dalam menanggapi isu perubahan iklim.

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

13

topik utama

MEWUJUDKAN PEMBANGUNAN KOTA PESISIR DI INDONESIAOleh: Ir. Joessair Lubis Direktur Perkotaan, Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum

yang Berkelanjutan Melalui Penyediaan Insfrasturktur Berbasis Penataan RuangKeragaman bentang alam menghasilkanpola interaksi yang berbeda-beda antara manusia dengan alam sehingga pada akhirnya memunculkan karakteristik masyarakat yang beragam pulaMembangun sebuah pendekatan pembangunan kepesisiran yang tepat tentunya perlu mempertimbangkan dinamika interaksi kegiatan maupun masyarakat dalam kota tersebut. Dinamika interaksi kegiatan dapat didekati dengan memahami proses pembentukan kota pada kawasan pesisir tersebut. Proses pembentukan kota-kota pesisir di Indonesia pada umumnya terjadi sejak awal perkembangan kerajaan tradisional di nusantara. Kegiatan utama berbagai kerajaan tersebut antara lain adalah perdagangan, jasa, dan pusat pemerintahan (militer). Beberapa kerajaan yang berkembang di kawasan pesisir antara lain adalah Kerajaan Salakanagara di Teluk Lada Banten (150M), Kerajaan Tarumanagara dengan pelabuhan utama di Sunda Kelapa Jakarta (400M), Kerajaan Sriwijaya dengan pelabuhan utama di Ligor Selat Malaka (700M), Kesultanan Tidore (1200M), Kesultanan Ternate (1300M), Samudera Pasai (1300M), Aceh Darussalam (1600M), Kesultanan Gowa-Tallo di sekitar Kota Makassar (1700M), dan berbagai kerajaan lainnyadi Nusantara (Tjandrasasmita, 2000). Berikut ini adalah ilustrasi sebaran beberapa kerajaan di kawasan pesisir Nusantara. Keterikatan akan budaya masyarakat Indonesia yang dekat dengan kawasan pesisir dan bukan semata-mata dalam kegiatan primer berupa kegiatan pengumpulan hasil laut, namun juga mencakup kegiatan tersier berupa kegiatan perdagangan dan jasa seperti pelayanan kepelabuhanan, pusat transaksi ekonomi lintas wilayah bahkan lintas Negara, serta sebagai pusat pemerintahan negara. Berdasar kenyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa sejak dulu kawasan pesisir merupakan beranda dari kegiatan masyarakat di Indonesia yang umumnya menjadi pusat aglomerasi ekonomi kawasan sekitarnya (hinterland) dalam bentuk pelabuhan sebagai pasar atau lokasi transaksi ekonomi.

Kondisi Geografis Kota-kota IndonesiaKota-kota di Indonesia memiliki beragam karakter geografis sesuai bentang alam negeri ini yang mencakup pegunungan hingga pesisir dan kepulauan.Keragaman bentang alam tersebut menghasilkanpola interaksi yang berbeda-beda antara manusia dengan alam sehingga pada akhirnya memunculkan karakteristik masyarakat yang beragam pula. Keragaman pola interaksi tersebut melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang beragam pula antar daerah.Dalam perkembangannya, setiap kota akan menghadapi isu, masalah, maupun kebutuhan yang berbeda-beda dalam memenuhi tujuan pembangunannya. Dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan di seluruh kota di Indonesia diperlukan suatu pendekatan pembangunan yang peka terhadap keragaman karakteristik berbagai kota tersebut. Dari 94 kota otonom di Indonesia, 47 di antaranya memiliki karakteristik geografis berupa kawasan pesisir. Dominasi jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan suatu hal yang sangat wajar mengingat morfologi NKRI yang berupa kepulauan dengan sekitar 17.480 pulau dan dengan 95.181 Km bentang garis pantai dari seluruh pulau tersebut. Gambaran keadaan tersebut mencerminkan bahwa diperlukan suatu pendekatan berwawasan kepesisiran yang komprehensif mencakup dinamika interaksi berbagai aspek/ sektor dalam kota-kota di kawasan pesisir tersebut.Berikut ini adalah ilustrasi sebaran kota-kota pesisir di Indonesia.

Sebaran Kota Pesisir di Indonesia

14

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Pesisir pantai kota Jayapura

Sebaran Kerajaan di Pesisir Nusantara

Pergeseran pandangan kawasan pesisir sebagai kawasan terbelakang mengakibatkan penataan ruang kawasan pesisir menjadi terbengkalai dan luput dari perhatian

Perkembangan Kota Pesisir di IndonesiaSecara teoritis, perkembangan kota-kota memang memiliki kecenderungan terjadi sepanjang perairan baik di laut maupun sungai (EPA, 2001 dalam Vollmer, 2009).Pada proses selanjutnya, kota-kota tersebut beralih menjadi pusat pemerintahan yang berperan sebagai pusat koleksi-distribusi komoditas dari dan menuju kawasan sekitarnya. Hal ini menunjukkan kedekatan masyarakat perkotaan Indonesia dengan kawasan pesisir maupun sektor kelautan. Sebagai wujud konkret kedekatan ini masih dapat kita temukan artikulasi budaya lokal berbentuk ritual persembahan di kawasan pesisir yang dilakukan sebagai rasa syukur atas hasil laut yang diperoleh masyarakat setempat seperti upacara Mappanre Tasi di Pantai Pagatan Kalimantan Selatan, upacara Nadran di Indramayu Jawa Barat, upacara Bakar Tongkang di Bagansiapiapi Riau, dan upacara Rebo Buntung di Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. Perkembangan kegiatan pada kota-kota pesisir di masa kini telah mengalami pergeseran dominasi kegiatan usaha yang terkait dengan kelautan menjadi kegiatan sektor perdagangan dan jasa yang tidak berorientasi kelautan. Sejak tahun 2004 hingga 2009 jumlah prosentase kegiatan yang berkaitan secara langsung dengan kelautan di kawasan pesisir seperti sektor angkutan kepelabuhanan dan perikanan hanya berkisar 3 3.5% dari keseluruhan PDRB. Kondisi ini menggambarkan pergeseran kegiatan utama di kota-kota pesisir Indonesia dari masa tradisional (awal masa sejarah nusantara) hingga ke masa modern saat ini.Efek samping dari terjadinya pelepasan kegiatan masyarakat kota pesisir dengan laut ini adalah terjadinya pergeseran nilai dari pandangan kawasan pesisir sebagai beranda menjadi kawasan pesisir sebagai kawasan belakang. Pergeseran pandangan tersebut mengakibatkan penataan ruang kawasan pesisir menjadi terbengkalai dan luput dari perhatian. Terlepas dari terjadinya pemisahan kegiatan masyarakat dengan kelautan secara langsung,kegiatan ekonomi secara umum di kawasan pesisir secara umum masih memberikan kontribusi secara signifikan secara nasional.Diperkirakan aktivitas di kawasan pesisir menyumbang 25 persen Pendapatan Domestik Bruto dan menyerap 15 persen tenaga kerja secara nasional MoE dalam Tumiwa, 2010).Berdasarkan proyeksi kenaikan permukaan air laut setinggi 1,1 meter pada tahun 2100 akan mengakibatkan hilangnya 90.260 Km2 kawasan pesisir dengan potensi kerugian ekonomi sebesar US$ 25,56 Miliyar (Susandi dalam Tumiwa, 2010).July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

15

topik utama

Seiring dengan perubahan zaman terjadi pergeseran antara keterkaitan kota pesisir tersebut dengan peranannya sebagai pelabuhan. Pergeseran tersebut telah terjadi pada 3 (tiga) komponen keterkaitan kota dengan pelabuhan (Basset dan Hoare, 1996) sebagaimana diilustrasikan pada gambar di bawah. Pertama, Pelabuhan dengan kota pesisir tidak lagi menjadi sinergi sebagaimana diilustrasikan pada gambar 3 di atas. Kedua, hubungan kausalitas antara pertumbuhan intensitas kegiatan pelabuhan sebagai pendorong pertumbuhan kota sudah tidak relevan karena pertumbuhan kota saat ini terjadi dari proses urbanisasi kota berorientasi kualitas lingkungan kota pesisir (waterfront city). Ketiga, kota

pesisir sebagai pusat produksi barang dan jasa telah bergeser menjadi kota sebagai pusat konsumsi. Perubahan dinamika interaksi sektor dalam ruang pada masa awal pembentukan kota-kota kerajaan di masa lalu dengan perkembangan kota saat ini telah mengalami suatu pergeseran yang cukup jauh pada saat ini, namun demikian pergeseran yang terjadi saat ini tidak serta merta menjadikan kita sama sekali meninggalkan proses maupun sejarah pembentukan kota-kota Nusantara di masa lalu karena saratnya nilai budaya yang terkandung pada proses pembentukan kota di masa lalu merupakan suatu aset yang hanya dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Dimensi Waktu

Keterkaitan Geografis

Arus PengaruhPelabuhan Menumbuhkan kota

Karakteristik Kota Pesisir

Dahulu

Pelabuhan kota

Berorientasi Produksi

Kini

Pelabuhan kota

Kualitas Lingkungan menumbuhkan kota

Berorientasi Konsumsi

Ilustrasi perubahan komponen keterkaitan kota dengan pelabuhan

Berdasar pemikiran di atas, perlu dilakukan pembenahan orientasi penataan kotakota di kawasan pesisir dari penataan berbasis ekonomi (pelabuhan) menjadi berbasis kualitas lingkungan pesisir kota. Proses penataan kota-kota pada kawasan pesisir dapat dilakukan melalui rehabilitasi kawasan sebagai upaya revitalisasi peran kota-kota tersebut sebagai beranda depan dari keseluruhan wilayah. Terdapat beberapa tantangan yang perlu diantisipasi dalam mewujudkan hal tersebut. Beberapa aspek yang berkompetisi pada kota-kota kawasan pesisir tersebut, yaitu aspek sosial, aspek ekonomi, dan aspek lingkungan.Pada umumnya, pemenang dari persaingan ini adalah faktor ekonomi sebagai aspek yang mudah dikuantifikasi dan dirasakan keuntungannya dalam waktu dekat.Dalam mengantisipasi hal ini, partisipasi publik dari masyarakat kota-kota pesisir menjadi penting. Pemahaman pemangku kepentingan (masyarakat, swasta, dan pemerintah) dalam memahami urgensi rehabilitasi kawasan berikut kemanfaatannya akan meningkatkan kesediaannya untuk memberi kesempatan pelaksanaan proses rehabilitasi bahkan dapat mendorong kesediaannya untuk berpartisipasi mengeluarkan sumberdaya dalam proses rehabilitasi tersebut (Loomis, 2000 dalam Vollmer, 2009). Partisipasi komunitas dalam kegiatan rehabilitasi kawasan pesisir merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar (findlay dan Taylor, 2006 dalam Vollmer 2009).Hal tersebut penting mengingat sangat mungkin terjadinya proses relokasi berbagai kegiatan di kawasan pesisir tersebut yang membutuhkan kerjasama dan kesediaan dari masyarakat setempat. Dalam mengantisipasi hal ini, terdapat salah satu insentif yang dapat ditawarkan kepada masyarakat yaitu peluang peningkatan nilai ekonomi lahan pasca rehabilitasi yang dapat diperoleh masyarakat karena peningkatan peluang investasi sebagai dampak dari peningkatan kualitas kawasan pesisir secara keseluruhan (Vollmer 2009).buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Perlu dilakukan pembenahan orientasi penataan kota di kawasan pesisir menjadi berbasis kualitas lingungan pesisir kota.

16

Pertimbangan dalam Menata Pembangunan Kawasan PesisirDalam memahami potensi yang terdapat dalam implementasi rehabilitasi kota-kota pesisir berbasis kualitas lingkungan, terdapat beberapa aspek dalam penataan kota-kota pesisir yang akan mengalami dampak positif yang perlu dibahas. Pertama, aspek keamanan dari bencana. Dari 41 kota pesisir di Indonesia terdapat32 kota yang rawan terhadap banjir, terdapat 29 kota yang rawan terhadap tsunami, dan terdapat 15 kota yang rawan terhadap gelombang pasang (BNPB, 2010). Berdasar kondisi tersebut dalam proses rehabilitasi kota pesisir perlu dibangun pemahaman, penataan ruang, dan pembangunan infrastruktur yang sensitif terhadap kerawanan bencana tersebut. Hal ini merupakan amanat yang telah ditetapkan dalam Pasal 6 dan 28 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang dan dalam Pasal 35 dan Pasal 51 PP No. 15/2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Kedua, Aspek kenyamanan dalam ruang kota. Tuntutan kenyamanan pada beberapa kelompok masyarakat muncul pada komponen perumahan, komponen rekreasi, kebudayaan, dankawasan pusaka (Bassett dan Hoare, 1996).Tuntutan kenyamanan tersebut tidak semata-mata terbatas pada fasilitas unit rumah sendiri, namun mencakup pula kualitas lingkungan yang terdiri atas kualitas visual (pemandangan), kualitas sosial lingkungan perumahan (keeratan komunitas), dan berbagai unsur asbtrak lainnya. Pemenuhan hal ini dapat dilakukan dengan penataan kawasan pesisir kota sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan rekreasi warga melalui penyediaan RTH maupun RTNH serta alokasi kegiatan pelayanan/jasa di kawasan pesisir yang mendukung fungsi rekreasi tersebut. Tuntutan identitas kebudayaan dan kawasan pusaka pada suatu kota pesisir merupakan suatu komponen yang perlu dipenuhi. Masyarakat membutuhkan suatu keterikatan budaya yang menjadi tata nilai yang berlaku dalam lingkup komunitasnya. Pemugaran/revitalisasi kawasan pusaka melalui penyediaan prasarana dan sarana penunjang kawasan tersebut akan membantu menumbuhkan keterikatan emosional warga dengan kota dan tata nilai budayanya.

Salah satu aktivitas penduduk pesisir

Ketiga, aspek produktivitas kota pesisir yang dipenuhi dengan adanya lapangan kerja. Berbagai tuntutan masyarakat tersebut di atas akan membuka lapangan kerja pada berbagai sektor dari bidang konstruksi hingga sektor perdagangan dan jasa. Efektivitas penyerapan tenaga kerja ini perlu diimbangi dengan adanya pengembangan kapasitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan yang mengemuka di atas.Atas dasar hal inilah maka partisipasi masyarakat menjadi vital dalam segenal proses penataan kota pesisir dari perencanaan hingga penerapan dan pengendalian pemanfaatan ruangnya.

Keempat, aspek kualitas lingkungan hidup.Demi menjamin keberlanjutan kota pesisir perlu dibangun suatu kesadaran dan tanggung jawab masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Proses ini dapat dilakukan dengan penyediaan prasarana dan sarana pengendali pembangunan hingga penegakkan sanksi bagi setiap pelanggaran penataan ruang yang mengancam kelestarian lingkungan hidup. Kunci utama dari terbangunnya pemahaman dan dan tanggung jawab masyarakat dalam memelihara berkelanjutannya lingkungan kota pesisir adalah dengan suatu proses pendidikan yang rutin dan intensif dengan memberdayakan kolompok swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan semangat yang baik dalam mewujudkan hal ini. Aspek terakhir adalah ketahanan terhadap perubahan iklim. Dampak perubahan iklim yang mencakup ancaman angin siklon, kenaikan muka air laut, bajir, dan kekeringan perlu diantisipasi melalui pendekatan struktur maupun nonstruktur dalam pengembangan perkotaan. Pendekatan struktur antara lain mencakup pembangunan prasarana dan sarana penahan gelombang laut, pengolahan air, waduk/ bendungan dan sebagainya. Sementara upaya non-struktur mencakup di antaranya penataan ruang melalui pengaturan zonasi pesisir, pengalokasian kegiatan berdasar tingkat risiko bencana, penghutanan pantai dengan bakau, penghutanan kawasan resapan air, serta pembentukan perilaku masyarakat yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim.July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

Terdapat beberapa aspek dalam penataan kotakota pesisir yang akan mengalami dampak positif

17

topik utama

Penataan Ruang sebagai Basis Pengembangan Infrastruktur Kawasan Pesisir yang BerkelanjutanBerdasar berbagai pertimbangan di atas, pendekatan dalam penyediaan infrastruktur pada kawasan pesisir harus didasari konsep penataan ruang kawasan pesisir yang berkelanjutan. Hal ini mutlak karena kualitas kehidupan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan bertahan dalam lingkungan yang secara ekologis menurun (Royal Commission on The future of Toronto`s Waterfront dalam Laidley, 2005). Penempatan kualitas ekologis pada prioritas utama dalam pembangunan menuntut pergeseran pandangan dari perlunya pembangunan mega-infrastructuredi kawasan pesisir menjadi penyediaan infrastruktur ramah lingkungan sesuai karakteristik ekologisnya. Pengembangan infrastruktur berkelanjutan berarti perlunya mengedepankan keseimbangan dan integrasi aspek fisik-lingkungan, sosial-budaya, dan ekonomi (Madiasworo, 2011). Pemenuhan ketiga prinsip tersebut dapat dilakukan melalui penataan ruang kawasan dilakukan dengan membangun kegiatan pada beberapa lokasi di jalur sekitar kawasan pesisir yang memiliki kualitas visual yang baik terhadap lansekap kota sehingga kawasan pesisir ini dapat kembali menjadi beranda bagi kota di pesisir yang menawarkan nilai estetis kawasan pesisir (Bischof, 2007). Dalam mewujudkan rancangan tersebut dapat dilakukan melalui pembangunan jalur pejalan kaki di sepanjang pesisir serta pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Non-Hijau (RTNH) pada berbagai lokasi pada sekitar pantai. Penyediaan RTH dapat memenuhi ketiga aspek berkelanjutan di atas melalui fungsinya pada dimensi ekologis, sosial, bahkan ekonomi. Selain pembangunan ruang terbuka perlu dibangun pula berbagai infrastruktur permukiman lainnya sebagai penunjang kegiatan masyarakat seperti penyediaan energi, pengelolaan sampah, penyediaan air, dan transportasi (Gaffney dkk, 2007). Penyediaan energi pada kawasan pesisir perlu mulai dilakukan dengan mempertimbangkan sumber daya yang melimpah di kawasan pesisir tersebut seperti penggunaan panel surya dan tenaga angin. Pengelolaan sampah pada kawasan pesisir perlu dilakukan secara seksama dengan menjaga sebaik mungkin agar rembesan cairan di TPA tidak mencapai laut sehingga perlu dillakukan penempatan dan penentuan sistem TPA yang baik secara ekologis. Pengelolaan air minum di kawasan pesisir perlu dilakukan dengan menampung semaksimal mungkin limpasan (run-off ) air hujan yang digunakan sebagai pasokan bagi pengolahan air minum dan sedapat mungkin membatasi penggunaan air tanah. Pengelolaan transportasi pada kawasan pesisir harus dilakukan dengan berorientasi transportasi masal. Penyediaan transportasi masal di kawasan pesisir perlu dilakukan terintegrasi antara sarana darat dan laut. Perlu dibangun sarana sistem penyeberangan laut seperti kapal cepat maupun feri yang terintegrasi dengan bus umum melalui penyediaan terminal antar moda terpadu (interchange).

RTH Hutan Bakau di Kota Tarakan

Pendekatan dalam penyediaan infrastruktur pada kawasan pesisir harus didasari konsep penataan ruang kawasan pesisir yang berkelanjutan.

REfERENSIRTNH di Kota Makassar 1. Norcliffe, Glen, Keith Basset, Tony Hoare (1996). The emergence of postmodernism on the urban waterfront. Great Britain: Pergamon. 2. Vollmer, Derek (2009). Urban waterfront rehabilitation: can it contribute to environmental improvements in the developing world?. Washington DC: IOP Publishing. 3. Laidley, Jennefer (2005). Constructing a foundation for Change: The Ecosystem Approach and The Global Imperative on Toronto`s Central Waterfront. Ontario: York University. 4. Madiasworo, Taufan (2011). Penataan Ruang Sebagai Basis Pengembangan Infrastruktur Perkotaan Berkelanjutan. Jakarta: KIPRAH

18

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

From integrated coastal management (icm) to sustainable coastal planningOleh: Barbara Jean Norman, Phd faculty Business and Goverment Univ. of Cambera Australia

Pendekatan baru dalam Penguatan Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terintegrasi

Kontribusi Pengelolalaan (Manajemen) Wilayah Pesisir yang Terintegrasi (ICM) dalam 30 tahun terakhir, sudah berhasil menangani permasalahan dasar wilayah pesisir di Australia . Namun, menurut laporan dari The National State of Environment dan beberapa laporan lainnya, tekanan urbanisasi tetap kian meningkat.

Pesisir Australia sedang mengalami tekanan yang besar oleh manusia. Menurut data statistik, 86% penduduk Australia tinggal di daerah pesisir (Natural Resource Management Ministerial Council 2006, hal.44). Tekanan-tekanan ini termasuk meningkatnya jumlah penduduk dan pergeseran demografis, industri pariwisata dan berkembangnya industri baru, termasuk akuakultur, penurunan jumlah habitat di air dan kualitas air dan perkiraan dampak dari perubahan iklim (Natural Resource Management Ministerial Council 2006, CES 2008a). Diambil dari National State of Environment Reports (DEST 1996, Environment Australia 2001, DEH 2006), semakin jelas bahwa tekanan ini menambah beban di wilayah pesisir. The Australian State of the Environment Committee menyatakan, Tidak ada isu baru sejak tahun 2001. Namun ada kebutuhan yang mendesak untuk mencegah penurunan kualitas lingkungan yang walaupun sangat kecil namun bersifat menerus dan kumulatif, (DEH 2006, hal.49). Maka dapat disimpulkan bahwa diperlukan adanya pembaruan dalam sistem pemerintahan, dari pendekatan yang jangka pendek dan sektoral menuju pendekatan yang lebih sistematik, terintegrasi, dan terencana dalam pengelolaan dan pemantauan (DEH 2006, hal.102).

Urbanisasi Wilayah Pesisir AustraliaWilayah pesisir Australia telah mengalami pertumbuhan urbanisasi yang signifikan yang menyebabkan perubahan dalam demografi spasial dan bentuk lingkungan hidup. State of the Environment Report tahun 2006 (DEH 2006) memperkirakan lebih dari 86 persen penduduk Australia tinggal di wilayah pesisir dan meramalkan akan terjadi migrasi internal yang telah terjadi selama 10 tahun belakangan (2001 2011) (lihat Peta 1). Seperti yang tergambar pada Peta 1, pertumbuhan penduduk terdapat pada pantai timur Australia antara Sydney dan Brisbane, juga pada kota-kota satelit Melbourne dan bagian selatan Perth di Australia Barat.

Migrasi penduduk ke daerah pesisir telah menciptakan perubahan muka laut dan telah menjadi topik diskusi publik dan akademik (Salt 2001, Burnley & Murphy 2004, Hugo 2004, Smith & Doherty 2006, Gurran et al. 2008). Burney & Murphy (2004) menyatakan, The movement of Australians from metropolitan cities to non-metropolitan parts of the country has been the focus by social scientists since the mid 1970s. Around then, for the first time in the 20th century, the demographic dominance of the large cities appeared to be on the wane and country areas seemed to be on the verge of a demographic and economic renaissance. We refer to this as a sea change. (Burnley & Murphy 2004, p.ix) Namun pernyataan di atas tidak hanya tertuju pada kawasan pesisir, tapi juga berlaku untuk semua perubahan pemanfaatan ruang. Ditekankan pula bahwa perubahan di Australia sebagian besar terjadi di pesisir timur bagian selatan, pada kota-kota satelit, dan sebagian di pesisir Australia Selatan dan Australia Barat.July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

19

topik utamaPerlu diketahui bahwa migrasi ke wilayah pesisir tidak hanya datang dari kota-kota metropolitan, namun juga pada kota-kota nonmetropolitan. Smith & Doherty (2006) pada latar belakang makalah untuk National State of Environment Report 2006 mempelajari lebih jauh tentang konsep perubahan muka laut dengan menitikberatkan kepada tekanan-tekanan yang ada seperti: pertumbuhan penduduk pesisir, pariwisata, perubahan dan variasi iklim, dan pengaturan tata kelola pemerintahan. Smith & Doherty (2006, hal.10) menyatakan bahwa suburbanisasi wilayah pesisir menimbulkan dua jenis tekanan, yang pertama tekananan langsung yang terjadi pada lingkungan hidup sebagai akibat pembangunan pesisir dan, yang ke dua, tekanan terus-menerus akibat pengelolaan pengembangan kota seperti air pembuangan.Salah satu pengembangan daerah pesisir di Australia

Suburbanisasi wilayah pesisir menimbulkan tekanan langsung dan tekanan terus menerus.Tekanan dan Dampak terhadap Wilayah PesisirTabel Tekanan, Dampak, dan Isu Wilayah Pesisir dari Temuan PenelitanTekanan Urbanisasi wilayah pesisir

Dampak Meningkatnya pengembangan wilayah pesisir

Isu Perencanaan untuk pertumbuhan urbanisasi wilayah pesisir, termasuk infrastruktur, karakteristik wilayah urban pesisir, dampak terhadap lingkungan dan perubahan iklim Tidak adanya kesepahaman mengenai obyektif dan keluaran Hubungan antara manajemen pesisir dan kebijakan penataan kota dan perencanaan menurut undangundang Partisipasi masyarakat yang menimbulkan kekecewaan dan kepenatan Kemungkinan perencanaan relokasi kawasan permukiman pesisir masyarakat adat dan warisan budaya Studi, pelatihan dan pendidikan mengenai perencanaan pesisir, terutama di tingkat pemerintah daerah Peran dan kewajiban dari masingmasing level pemerintahan (pusat dan daerah) sehubungan dengan perencanaan dan tata kelola pesisir Implementasi dari strategi dan kebijakan; peran serta kementerian terkait Pendanaan untuk manajemen pesisir Perubahan perilaku pasca bencana/ kejadian cuaca ekstrim termasuk di dalamnya respon awal (emergency response) dibandingkan dengan perencanaan jangka panjang Permasalahan tata kelola pesisir termasuk dewan pesisir yang independen, tidak adanya pengetahuan untuk berkerjasama dan manajemen regional yang terintegrasi

Perkiraan dampak perubahan iklim; Bergesernya garis proyeksi kenaikan pasang-surut permukaan air laut, gelombang Meningkatnya badai, kenaikan suhu permukaan temperature, dan laut yang berkurangnya curah berdampak hujan pada ekosistem laut dengan Jenis pemanfaatan bertambahnya lahan baru untuk tingkat oksidasi wilayah pesisir seperti pohon Proyeksi dampak desalinasi dan wind perubahan farm iklim di pesisir Victoria termasuk Tuntutan untuk kekeringan, meningkatkan kebakaran lahan, partisipasi gelombang badai, masyarakat dan peningkatan permukaan air laut Perubahan sosial dan demografis Degadrasi lingkungan secara Pemberdayaan kontinyu pada dan perlindungan wilayah pesisir, terhadap adat dan estuari, dan laut budaya

Seperti yang sudah diketahui, tekanan sudah terjadi di wilayah pesisir. The National State of Environment Report menegaskan bahwa tekanan terhadap pengembangan pesisir terus meningkat. Karena itu, diadakan tiga studi kasus dan dua focus group yang menyoroti: urbanisasi wilayah pesisir akibat perubahan demografis dan sosial (wilayah Geelong); perubahan iklim di Pesisir Victoria dengan perkiraan kenaikan permukaan laut, gelombang badai (storm surge), berkurangnya curah hujan, serta meningkatnya suhu udara (Gippsland dan wilayah Geelong) dan perubahan penggunaan tanah pesisir termasuk pohon desalinasi dan wind farm (lihat table). Selain dampak-dampak yang sudah disebutkan di atas, The Victorian State of the Environment Report juga menemukan banyak dampak terhadap lingkungan lainnya, termasuk: pertumbuhan penduduk rata-rata yang pesat di pesisir Victoria (mendekati dengan laju pertumbuhan Melbourne); modifikasi ektensif terhadap vegetasi dan estuari, yang berdampak terbesar kepada lahan di atau dekat dengan permukiman pesisir; sulitnya mendapatkan data yang akurat dan konsisten karena wilayah pesisir sudah banyak yang berubah; dan perubahan iklim yang berdampak serius pada wilayah dan masyarakat pesisir (CES 2008a, hal.46). Dampak-dampak ini juga disorot pada studi kasus (Geelong, Gippsland, Point Nepean) dan diungkapkan di dalam diskusi kelompok terarah (focus group discussion/fGD) (CD 2007, rear cover). Victorian Commissioner for Environmental Sustainability. Ketidakmampuan penulis makalah dalam menyimpulkan dampak pada kasus Geelong, Gippsland dan Point Nepean, secara tidak langsung sudah membuktikan kerusakan pesisir.

20

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Perencanaan Pesisir di AustraliaPerencanaan pesisir di Australia telah berkembang menjadi satu sistem pengaturan pemerintahan yang kompleks dan melibatkan semua tingkat pemerintahan. Tekanan kembar dari pertumbuhan perkotaan dan proyeksi dampak perubahan iklim sedang menguji sistem ini dengan cara yang belum ada presedennya. Pada level nasional, the EPBC Act 1999 menyediakan penilaian regional untuk area tertentu termasuk pertumbuhan perkotaan di wilayah pesisir. Perkembangan terbarunya adalah penyusunan kerangka kebijakan nasional (National Resources Management Ministerial Council 2006) yang menunjukkan langkah awal pemerintah Australia dalam menangani masalah tekanan kembar ini. Namun, kebijakan tersebut kurang tepat karena tidak menangani masalah adaptasi terhadap perubahan iklim untuk pengelolaan pertumbuhan urbanisasi yang pesat. Perencanaan laju pertumbuhan perkotaan di Australia adalah wewenang pemerintah daerah dengan delapan sistem perencanaan yang berbeda di masing-masing negara bagian. Perencanaan pesisir hanya berdasarkan riset setempat dan pengembangan dari agenda riset nasional. Hubungan antara perencanaan untuk urbanisasi pesisir di tingkat lokal dan perencanaan untuk proyeksi dampak perubahan iklim masih lemah dan membutuhkan kebijakan yang lebih banyak perhatian dan penelitian di masa depan. Hal ini dikarenakan perbedaan perencanaan dan manajemen tanah publik dan swasta, perbedaan pendekatan disiplin ilmu untuk perencanaan perkotaan dan pengelolaan sumber daya alam yang rumit, yang sampai pada batas tertentu, menjadi signifikan jika diatur oleh antar institusi pemerintah. Contohnya adalah, Pemerintah Australia memiliki departemen terpisah untuk menangani masalah pengelolaan sumber daya, perubahan iklim dan permukiman perkotaan. Ini juga terjadi pada tingkat negara bagian karena tidak adanya kebijakan nasional tentang perencanaan pesisir dan perkotaan yang meliputi semua dimensi, dan sampai saat ini belum ada kebijakan yang layak untuk pengelolaan pesisir yang terintegrasi di Australia.

The Regional Seas Program involves nearly 150 countries including a wide range of European, African and Asian nations.Paradise Point, kota terbesar ke-10 di Australia

Pengelolaan Pesisir yang TerintegrasiPengelolaan pesisir yang terintegrasi telah menjadi dasar dari pengelolaan pesisir di Australia sejak tahun 1970-an. Pengelolaan pesisir yang terintegrasi (ICM) telah mendapatkan respon yang lebih terkoordinasi untuk pengelolaan sumber daya melalui program manajemen sumber daya. Tantangan Australia selanjutnya adalah pendekatan ICM yang lebih holistik untuk rencana pesisir Australia yang strategis (meliputi sosial, ekonomi, dan lingkungan) dalam mempertimbangkan dan melintasi batas yuridiksi tradisional seperti kepemilikan lahan, pemanfaatan lahan, dan kewajiban pemerintah. Namun, bukan berarti penerapan konsep ICM ini tidak memiliki keterbatasan. Beberapa kritik menyatakan tata kelola pemerintahan dan keterlibatan masyarakat masih fokus pada proses manajemen adaptif lainnya. Ada beberapa kata kunci yang muncul dari kedua literatur tersebut dalam hal kebijakan publik utama, yang terus menghambat keberhasilan ICM, yaitu: tidak adanya proses perencanaan jangka panjang untuk wilayah pesisir; tidak terintegrasinya kebijakan nasional dan regional juga aksi lokal; ketidakmampuan untuk menanggapi dampak lingkungan akibat pertumbuhan perkotaan wilayah pesisir; adanya tantangan baru perubahan iklim yang membutuhkan kebijakan perkotaan dan pesisir yang terintegrasi; dan tidak adanya komitmen politik dalam penerapan ICM ketika ada tekanan pengembangan yang signifikan. Sementara itu, pada skala nasional, ada tiga batasan yang perlu diperhatikan, yaitu: tidak adanya koordinasi manajemen pesisir antara tiga level pemerintahan dan antar negara bagian; tidak adanya kebijakan nasional yang efektif untuk perlindungan pesisir dan perencanaan perkotaan; dan tidak adanya sistem yang terintegrasi untuk perencanaan penggunaan lahan (baik lahan publik maupun swasta) yang terfokus dalam pengelolaan lingkungan di wilayah pesisir.

July - Agustus 2011 | buletin tata ruang

21

topik utamaTemuan dalam Studi KasusDalam studi kasus yang dilakukan, ditemukan beberapa isu yang menjadi isu utama dalam penataan ruang wilayah pesisir. Isuisu ini, jika ditangani dengan tepat, akan menjadi kunci sukses pelaksanaan perencanaan wilayah pesisir. Isu yang pertama adalah partisipasi masyarakat, yang ke dua adalah warisan budaya dan masyarakat adat, yang ke tiga adalah pengelolaan lahan public yang terintegrasi, dan yang terakhir adalah pendidikan mengenai lingkungan hidup. Isu pertama atau partisipasi masyarakat ialah hal terpenting dan menjadi kunci keberhasilan segala perencanaan wilayah termasuk wilayah pesisir. Namun jika tidak ditangani dengan tepat, partisipasi masyarakat dapat menjadi faktor penghambat. Pada tahap awal perencanaan, partisipasi masyarakat terkesan seperti penghambat jalannya proses penyusunan rencana tata ruang. Kerap kali masyarakat tidak percaya dengan pengembangan baru karena khawatir akan merusak lingkungan. Maka dengan partisipasi masyarakat, pihak perencana (dalam hal ini pemerintah) berkesempatan untuk menjelaskan rencana jangka panjang dari pengembangan wilayah tersebut, dan sebaliknya masyarakat setempat berkesempatan untuk terlibat langsung dalam proses perencanaan itu. Dengan demikian, masyarakat merasa memiliki dan berkewajiban untuk mendukung rencana tersebut. Dalam perencanaan pesisir ditemukan perlunya perubahan signifikan dalam sistem pengelolaan pesisir yang dapat memfasilitasi masyarakat sekitar dan membantu secara positif guna mendapatkan hasil yang berkelanjutan. Perlindungan dan pengelolaan warisan budaya dan masyarakat adat menjadi isu yang ke dua. Perencanaan di wilayah pesisir menitikberatkan pada perlindungan warisan budaya dan hakhak masyarakat adat di wilayah tersebut. Perlindungan warisan budaya dan hak-hak masyarakat adat menjadi salah satu isu penting dalam perencanaan wilayah pesisir. Selanjutnya adalah isu yang ke tiga, yaitu tentang pengelolaan lahan yang terintegrasi. Kerjasama yang terintegrasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam pengelolaan lahan publik. Namun dalam penerapan hal ini ada dua isu utama, yaitu: pertama, integrasi kebijakan atas kepemilikan lahan dan batas pasang-surut air laut, dan yang ke dua adalah dukungan kepada pemerintah daerah dalam menangani tekanan sosio-ekonomi. Selanjutnya adalah bagaimana mengintegrasikan rencana pesisir dalam rencana tata ruang yang lain. Hal ini sangat penting, terutama dari aspek pengelolaan lingkungan. Pendididkan lingkungan hidup, isu ke empat, juga merupakan hal penting dalam penyusunan tata ruang pesisir. Hal ini penting dalam pelibatan pemangku kepentingan terutama dengan masyarakat suku asli, karena dengan pendidikan lingkungan hidup yang baik, dapat dipastikan penerapan rencana tata ruang pesisir bisa maksimal.

Penerapan Teori ICM dalam PerencanaanWilayah pesisir dikelola oleh banyak pihak, termasuk pemerintahan yang multilevel (pusat/nasional dan daerah; provinsi dan kabupaten) karena wilayah pesisir tidak mutlak berada dalam suatu wilayah administratif. Dalam proses perencanaan tata ruang Point Nepean, terjadi banyak masalah kompleks yang melibatkan multilevel dan multisektor dalam pemerintahan. Maka diperlukan political will yang kuat dari pemerintah terlibat, dan harus dipastikan bahwa political will ini diwariskan kepada pemerintahan yang akan dating, karena rencana tata ruang berlaku jangka panjang, maka dari itu dibutuhkan komitmen jangka panjang. Pada pelaksanaannya, dibentuk tim ad-hoc untuk memantau jalannya proses penyusunan rencana pesisir. Namun tim pemantau ini tidak boleh berhenti hanya dalam proses perencanaan. Harus ada lembaga yang kuat dan legal dalam pemantauan penerapan perencanaan pesisir. Lembaga ini harus berupa lembaga lintas sektor dan terdiri dari perwakilan masyarakat.Pengembangan daerah pesisir di Gold Coast, Australia

22

buletin tata ruang | July - Agustus 2011

Kesimpulan dari Studi KasusDari proses perencanaan pesisir pada studi kasus di atas, ada beberapa kesimpulan yang bias kita pelajari, antara lain: kerjasama antar pemerintah pusat dan daerah sangatlah penting dalam kesuksesan penataan ruang pesisir terintegrasi; proses partisipasi masyarakat adalah hal yang sangat penting dalam proses penyusunan perencanaan pesisir, karena dengan demikian masyarakat memiliki rasa kepemilikan yang tinggi terhadap rencana tata ruang tersebut; pelibatan masyarakat adat dan penyertaan kebijakan lokal dalam perencanaan dapat memastikan keberlanjutan dan kesuksesan penerapan perencanaan; pemanfaatan ruang publik yang terintegrasi menjadi komponen utama untuk pengertian dampak potensial dalam urbanisasi, turisme, dan perubahan iklim dalam wilayah pesisir; pendidikan lingkungan hidup menjadi sangat penting untuk keberlanjutan dan penerapan rencana penataan ruang; dan yang tearkhir, kerjasama antar level pemerintahan dapat meningkatkan kesuksesan implementasi rencana tata ruang pesisir. Selain itu, dari diskusi kelompok juga ditemukan beberapa implikasi dalam penerapan ICM. Beberapa yang harus dicermati adalah: (1) Harus adanya kesepakatan hasil. Hal ini dapat dilihat jika ada rencana jangka panjang dalam pengelolaan wilayah pesisir. Walaupun ada kerjasama nasional untuk pendekatan yang terintegrasi dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan strategi wilayah pesisir Victoria dan pernyataan strategi wilayah setempat, tidak pernah ada kesepakatan resmi antar pemerintah pusat, negara bagian dan lokal dalam urbanisasi dan perubahan iklim wilayah pesisir. Dalam kata lain, tidak ada perencanaan wilayah pesisir. (2) Harus ada peningkatan dalam proses partisipasi masyarakat. Peserta diskusi kelompok menyatakan bahwa masyarakat merasa kecewa karena tidak maksimalnya pelibatan masyarakat. (3) Adanya kebutuhan untuk lebih menghubungkan perencanaan pesisir dan manajemen dengan sistem perencanaan kota dan regional. (4) Harus adanya tata kelola wilayah pesisir. (5) Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan monev dalam jangka panjang.

Menuju Perencanaan Pesisir yang BerkelanjutanDari temuan penelitian tadi, maka perencanaan pesisir yang berkelanjutan didasarkan pada lima langkah dan enam prinsip yang dapat mendukung kesepakatan antar pemerintah untuk perencanaan pesisir di Victoria dan (diharapkan) nasional. Temuantemuan dampak, isu, dan implikasi ICM juga perlu dinyatakan. Lima langkah ini termasuk memperluas teori ICM menjadi berbasis hasil dan wilayah dalam pendekatannya untuk pengelolaan dan perencanaan wilayah pesisir. Dalam konteks perubahan iklim, pendekatan yang lebih adaptif dan sistematis telah terbentuk. Sementara dibutuhkan partisipasi masyarakat yang lebih intensif pada proses penyusunan rencana tata ruang pesisir. Instrumen utama untuk perubahan adalah kesepakatan antar tiga level pemerintahan pada perencanaan pesisir yang berkelanjutan yang didukung oleh enam prinsip. Prinsip-prinsip ini termasuk: hasil yang disepakati dan pembagian lingkungan pesisir untuk memfasilitasi integrasi horisontal dan vertikal; pendekatan sistematis dan adaptif untuk mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan perencanaan perkotaan serta menarik kesimpulan dari pengalaman dan pengetahuan dari dua disiplin ilmu tersebut; memasukan hasil kesepakatan bersama dan pendekatan adaptif terhadap implementasi perencanaan perkotaan dan wilayah; tata kelola pemerintahan wilayah untuk mengintegrasikan hasil kebijakan dan partisipasi masyarakat; peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk perencanaan pesisir yang berkelanjutan termasuk di dalamnya riset antar disiplin ilmu dan pendidikan masyarakat dan monitoring dan evaluasi jangka panjang. Maka dapat disimpulkan bahwa kombinasi dari pengembangan jaringan pesisir dan dampak perubahan iklim akan menjadi kontributor utama untuk memfasilitasi komitmen politik yang