buletin tata ruang. edisi maret 2008. setahun pelaksanaan undang undang penataan ruang

70
PROFIL TOKOH : GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH Agustin Teras Narang, SH : “Saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal, ayat-ayat dalam Undang-Undang Penataan Ruang .......................Sekilas Riwayat Hidup Agustin Teras Narang, SH Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, SH sebelum menduduki kursi Gubernur di Provinsi Kalimantan Tengah, telah melalui perjalanan dan perjuangan yang teramat panjang. Diawali dari keteguhan tekadnya untuk meninggalkan tanah kelahiran, Banjarmasin, setamat SMA Negeri 1 Banjarmasin, tahun 1973. Jakarta dipilih menjadi kota tempat melanjutkan belajarnya. Universitas Kristen Indonesia menjadi kota tempat penggodokan ilmu hukum bagi Teras Narang muda. Tahun 1979 dinyatakan lulus dari Fakultas Hukum-UKI, segera kiprah sesungguhnya dimulai. Mengawali pengabdiannya sebagai pengacara sejak tahun 1981, diteruskan melanglang di berbagai kantor pengacara di Jakarta sebelum akhirnya tahun 1989 1999 mendirikan dan berkarier di Kantor Pengacara A. Teras Narang, SH and Associates. Tidak cukup puas sampai disitu, semangat perjuangan dan pengabdiannya kepada nusa, bangsa dan negara membawa A. Teras Narang, SH ke Senayan. Tahun 1999 2004 duduk sebagai anggota DPR-RI menjabat Ketua Komisi II. Bakat sebagai pimpinan terus terasah dan mendapat penyaluran yang pas. Periode berikutnya, tahun 2004 2009 kembali terpilih menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Daerah pemilihan Kalimantan Tengah. Lagi-lagi beliau menduduki jabatan sebagai Ketua Komisi, kali ini di Komisi III DPR-RI. Kariernya terus melesat, kali ini tantangan lain disambutnya, tampil sebagai Gubernur Kalimantan Tengah periode pengabdian 2005 2010, hasil pilihan rakyat Kalimantan Tengah. Amanah dari rakyat beliau tempatkan pada tempat yang paling tinggi di jiwa perjuangannya. Kemajuan Kalimantan Tengah dan kesejahteraan masyarakatnya serta penguatan hukum di semua aspek kehidupan terpateri kuat dalam hatinya, menjadi tujuan yang tidak dapat ditawar. Itulah amanah yang melekat pada jabatan yang beliau emban saat ini. Pada hari Sabtu, 19 April 2008, Redaksi Buletin Tata Ruang telah melakukan kunjungan ke Provinsi Kalimantan Tengah untuk melaksanakan 2 (dua) tugas jurnalistik, yaitu : wawancara dengan Bapak Agustin Teras Narang, SH. (Gubernur Kalimantan Tengah), untuk ditampilkan dalam rubrik Profil Tokoh, tugas kedua adalah mengumpulkan data/informasi berkaitan dengan Heart of Borneo untuk bahan penulisan rubrik Profil Wilayah. Berikut hasil wawancara dengan Bapak Agustin Teras Narang, SH (Gubernur Kalimantan Tengah) : Butaru : Secara garis besar Pak, kami ingin menanyakan tiga hal utama, yaitu : pertama adalah kebijakan dan strategi pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah. Kedua adalah bagaimana penerapan Undang-undang Penataan Ruang di Propinsi Kalimantan Tengah. Dan yang ketiga adalah bagaimana penerepan action plan Heart of Borneo, saya kira ini ini adalah isu yang sangat menarik pada saat ini. Saya langsung saja, pada pertanyaan pertama mengenai kebijakan. Dengan kondisi dan potensinya Kalimantan Tengah, kebijakan apa sebetulnya yang ingin Bapak kembangkan di propinsi ini, dan harapan-harapan apa yang ingin Bapak wujudkan untuk Kalimantan Tengah untuk menuju masa depan Teras Narang : Jadi propinsi Kalimantan Tengah ini seperti diketahui luasnya 153.267 km 2 , jadi luas kita adalah satu setengah kali Pulau Jawa. Nah sedangkan penduduknya pada tahun 2007 berjumlah 2 . 027. 000 jiwa, per kilometer persegi hanya dihuni 13 orang. Saya mau cerita dulu, kita

Upload: pustaka-virtual-tata-ruang-dan-pertanahan-pusvir-trp

Post on 25-Nov-2015

110 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) melalui Ditjen Penataan Ruang Kemen PU

TRANSCRIPT

  • PROFIL TOKOH : GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

    Agustin Teras Narang, SH :

    Saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal, ayat-ayat dalam Undang-Undang Penataan

    Ruang .......................

    Sekilas Riwayat Hidup Agustin Teras Narang, SH Gubernur Kalimantan Tengah

    Agustin Teras Narang, SH sebelum menduduki kursi Gubernur di Provinsi Kalimantan Tengah, telah melalui perjalanan dan

    perjuangan yang teramat panjang. Diawali dari keteguhan tekadnya untuk meninggalkan tanah kelahiran, Banjarmasin,

    setamat SMA Negeri 1 Banjarmasin, tahun 1973.

    Jakarta dipilih menjadi kota tempat melanjutkan belajarnya. Universitas Kristen Indonesia menjadi kota tempat

    penggodokan ilmu hukum bagi Teras Narang muda. Tahun 1979 dinyatakan lulus dari Fakultas Hukum-UKI, segera kiprah

    sesungguhnya dimulai. Mengawali pengabdiannya sebagai pengacara sejak tahun 1981, diteruskan melanglang di

    berbagai kantor pengacara di Jakarta sebelum akhirnya tahun 1989 1999 mendirikan dan berkarier di Kantor Pengacara

    A. Teras Narang, SH and Associates.

    Tidak cukup puas sampai disitu, semangat perjuangan dan pengabdiannya kepada nusa, bangsa dan negara membawa A.

    Teras Narang, SH ke Senayan. Tahun 1999 2004 duduk sebagai anggota DPR-RI menjabat Ketua Komisi II. Bakat sebagai

    pimpinan terus terasah dan mendapat penyaluran yang pas. Periode berikutnya, tahun 2004 2009 kembali terpilih

    menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Daerah pemilihan Kalimantan Tengah. Lagi-lagi beliau menduduki

    jabatan sebagai Ketua Komisi, kali ini di Komisi III DPR-RI. Kariernya terus melesat, kali ini tantangan lain disambutnya,

    tampil sebagai Gubernur Kalimantan Tengah periode pengabdian 2005 2010, hasil pilihan rakyat Kalimantan Tengah.

    Amanah dari rakyat beliau tempatkan pada tempat yang paling tinggi di jiwa perjuangannya. Kemajuan Kalimantan

    Tengah dan kesejahteraan masyarakatnya serta penguatan hukum di semua aspek kehidupan terpateri kuat dalam

    hatinya, menjadi tujuan yang tidak dapat ditawar. Itulah amanah yang melekat pada jabatan yang beliau emban saat ini.

    Pada hari Sabtu, 19 April 2008, Redaksi Buletin Tata Ruang telah melakukan kunjungan ke Provinsi

    Kalimantan Tengah untuk melaksanakan 2 (dua) tugas jurnalistik, yaitu : wawancara dengan Bapak

    Agustin Teras Narang, SH. (Gubernur Kalimantan Tengah), untuk ditampilkan dalam rubrik Profil

    Tokoh, tugas kedua adalah mengumpulkan data/informasi berkaitan dengan Heart of Borneo untuk

    bahan penulisan rubrik Profil Wilayah.

    Berikut hasil wawancara dengan Bapak Agustin Teras Narang, SH (Gubernur Kalimantan Tengah) :

    Butaru : Secara garis besar Pak, kami ingin menanyakan tiga hal utama, yaitu : pertama adalah

    kebijakan dan strategi pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah. Kedua adalah bagaimana

    penerapan Undang-undang Penataan Ruang di Propinsi Kalimantan Tengah. Dan yang ketiga adalah

    bagaimana penerepan action plan Heart of Borneo, saya kira ini ini adalah isu yang sangat menarik

    pada saat ini. Saya langsung saja, pada pertanyaan pertama mengenai kebijakan. Dengan kondisi

    dan potensinya Kalimantan Tengah, kebijakan apa sebetulnya yang ingin Bapak kembangkan di

    propinsi ini, dan harapan-harapan apa yang ingin Bapak wujudkan untuk Kalimantan Tengah untuk

    menuju masa depan

    Teras Narang : Jadi propinsi Kalimantan Tengah ini seperti diketahui luasnya 153.267 km2, jadi luas

    kita adalah satu setengah kali Pulau Jawa. Nah sedangkan penduduknya pada tahun 2007 berjumlah

    2 . 027. 000 jiwa, per kilometer persegi hanya dihuni 13 orang. Saya mau cerita dulu, kita

  • mempunyai sumber daya alam macam-macam, apakah itu kayu, apakah itu pertambangan, apakah

    itu menyangkut masalah perkebunan dan lain sebagainya. Dan kita juga mempunyai lahan gambut

    yang cukup luas, sekitar 3,6 juta hektar. Jadi sekitar 300.000 kilometer persegi. Nah tentu penataan

    ruang menurut hemat saya menjadi bagian penting, dalam rangka untuk membuat kebijakan-

    kebijakan yang terkait dengan pengembangan wilayah, dan pembangunan yang berbasis pada

    pembangunan yang berkelanjutan. Saya memandang bahwa yang paling penting bagi provinsi ini

    adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, RTRWP. Mengingat RTRWP selama ini berdasarkan

    Perda Nomor 8 Tahun 2003, ternyata ini masih menimbulkan masalah, nanti bisa dibaca di situ,

    karena masih belum ada kesesuaian dengan departemen Kehutanan, khususnya terkait dengan

    masalah Tata Guna Hutan Kesepakatan, yang disingkat TGHK. Tentu perda ini secara hukum di

    daerah sudah delesai, tetapi masih belum ada kesepakatan, belum ada persetujuan dari Departemen

    Kehutanan. Akibatnya ini belum terlaksana dengan baik. Nah di periode saya, Perda nomor 8 tahun

    2003 ini kita buka revisi. Nah revisi di samping karena masih belum ada kesepakatan dengan

    Departemen Kehutanan, juga menyesuaikan dengan Undang-undang Tata Ruang, nomor 26 itu.

    Inilah spiritnya kenapa saya merasa bahwa masalah tata ruang ini menjadi penting bagi saya di

    dalam membuat kebijakan-kebijakan pembangunan, pengembangan wilayah di Propinsi Kalimantan

    Tengah.

    Butaru : Jadi, saya menangkap bahwa apa yang dikerjakan sekarang tidak hanya untuk saat ini,

    tetapi juga untuk masa depan. Selanjutnya Pak....

    Teras Narang :

    Betul. Karena kalau kita bicara mengenai masalah tata ruang, kita itu tidak boleh berpikir untuk satu

    dua tahun, kita harus melihat pembangunan wilayah itu, 10 tahun, 15 tahun, dan mungkin sampai

    50 tahun ke depan.

    Proses pembangunan yang dilakukan di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah selama kami menjabat

    Gubernur telah semakin memberdayakan dunia usaha dalam peningkatan kesejahteraan

    masyarakat. Kualitas hidup penduduk Kalimantan Tengah juga menunjukkan adanya peningkatan

    dari kondisi sebelumnya.

    Walaupun kualitas manusia telah meningkat, tetapi masih banyak masalah-masalah pembangunan

    yang masih harus direspon secara cepat dan tepat, seperti pembukaan keterisolasian wilayah,

    pemanfaatan lahan gambut, peningkatan kualitas program-program pengentasan kemiskinan, serta

    masalah-masalah pembangunan lainnya.

    Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan dan pembangunan Provinsi Kalimantan Tengah

    sesuai dengan Visi Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Membuka Isolasi Menuju Kalimantan Tengah

    Yang Sejahtera dan Bermartabat.

    Sedangkan upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan harapan atau keinginan

    dimaksud sesuai dengan Misi Provinsi Kalimantan Tengah disusun dan difokuskan pada bidang :

    Infrastruktur, Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan, Pemerintahan, Hukum-Keamanan dan Hak azasi

    Manusia, Politik, Sosial Budaya, Kepemudaan-Kepramukaan dan Olah Raga, Kepariwisataan,

    Sumberdaya Alam-Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, Perhubungan dan Telekomunikasi,

    Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan.

  • Butaru : Terkait ditetapkannya Provinsi Kalimantan Tengah sebagai salah satu provinsi ujicoba

    konsep Kota Terpadu Mandiri kawasan hutan, bagaimana tanggapan Bapak mengenai konsep ini

    serta penetapan Kalimantan Tengah sebagai lokasi ujicoba? Apa harapan Bapak untuk

    pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah di masa mendatang terkait dengan konsep ini?

    Teras Narang :

    Saya pada prinsipnya setuju terhadap Kota Mandiri Terpadu. Apalagi ini dikaitkan dengan masalah

    keberadaan transmigrasi. Tetapi yang saya tidak inginkan adalah Kota Mandiri Terpadu hanya di

    daerah transmigrasi, tetapi juga di simpul-simpul produksi, karena saya tidak ingin adanya

    kecemburuan dari masyarakat asli yang ada di daerah itu.

    Butaru : Untuk menghindari kecemburuan, saya kira memang perlu keterpaduan antara pendatang

    dengan penduduk setempat. Pa Gubernur, sepertinya konsep KTM ini sejalan dengan program Bapak

    Mamangun Tuntang Mahaga Lewu....., Betul Pak ?

    Teras Narang : Betul, di desa dan kelurahan. Konsep ini yang saya kembangkan, Kenapa ? Karena

    konsep ini saya pandang betul-betul fokus. Jangan sampai daerah kita itu menggarami laut, jangan

    sampai kita kayak mengecat langit, langit kan gak bisa dicat. Saya menghindari terjadinya itu. Jangan

    sampai terjadi bahwa anggaran-anggaran ini keluar banyak, tetapi percuma, tidak ada fokus, dan

    tidak ada suatu hasil yang konkrit. Sehingga timbul pemikiran saya untuk program Mamangun

    Tuntang Mahaga Lewu Nah program ini adalah program sinergi, tidak akan mungkin propinsi

    punya program kalau tidak memperoleh sambutan dari kabupaten kota.

    Kota Terpadu Mandiri (KTM), adalah kawasan transmigrasi dan simpul-simpul produksi lainnya yang

    pembangunannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui

    pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.

    Yang dimaksud fungsi-fungsi perkotaan adalah dibangunnnya berbagai fasilitas-fasilitas sebagaimana

    di kota-kota, antara lain :

    a. Dibangun pusat kegiatan agribisnis yang mencakup pengolahan hasil pertanian menjadi barang

    produksi dan/atau barang konsumsi; pusat pelayanan agroindustri khusus (pecial agroindustry

    service) dan pemuliaan tanaman unggul; tempat pendidikan dan pelatihan di sektor pertanian,

    industri dan jasa.

    b. Tempat pusat perdagangan wilayah yang dilengkapi dengan lembaga keuangan, pasar grosir

    dan pergudangan.

    Untuk menumbuhkembangkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) ini perlu didukung dengan adanya

    kegiatan usaha transmigrasi sebagai hinterlandnya. Oleh karena itu perlu perencanaan

    pembangunan wilayah pengembangan transmigrasi (WPT) yang terintegrasi dengan perencanaan

    tata ruang. Hal ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pusat pertumbuhan ekonomi yang

    berbasis perdesaan dan berwawasan perkotaan.

    Saya selaku Gubernur mendukung sepenuhnya kebijakan Menakertrans untuk membangun KTM

    ujicoba yang berlokasi di Lamunti, Kecamatan Mentangai, Kabupaten Kapuas dengan harapan

    mempercepat tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan perekonomian perdesaan yang pada akhirnya

    akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, program transmigrasi ke depan

    diharapkan berdampak positif dan menarik minat generasi muda untuk berpartisipasi dalam

    program transmigrasi serta mengurangi terjadinya urbanisasi yang tidak terarah dari desa ke kota-

    kota.

  • Butaru : Saya kira itu sangat bagus. Pemerataan pertumbuhan, Pak. Saya Lanjutkan, Bapak saat ini

    masih menjadi Koordinator Forum Kerjasama Regional Kalimantan dan masa tugas Bapak ini akan

    berakhir tahun ini. Menurut Bapak apakah forum ini memberikan dampak yang cukup positif bagi

    pengembangan provinsi-provinsi di Kalimantan, dan khususnya untuk Provinsi Kalimantan Tengah?

    Apa hal-hal yang telah dihasilkan dari forum ini serta pekerjaan rumah apa saja yang masih harus

    diteruskan oleh calon Koordinator Forum ini di masa mendatang?

    Teras Narang : Forum Kerjasama Regional Kalimantan masih diperlukan dan akan terus ditingkatkan

    karena dengan forum ini pemerintah daerah se Kalimantan dapat secara bersama-sama dan

    terkoordinasi melaksanakan perencanaan pembangunan terpadu lintas provinsi. Bidang

    pembangunan yang menjadi prioritas dalam forum kerjasama ini adalah bidang infrastruktur, bidang

    perekonomian, bidang sumberdaya manusia, serta bidang tata ruang dan lingkungan hidup.

    Hasil kerjasama yang telah dicapai antara lain di bidang infrastruktur misalnya percepatan

    pembangunan jalan lintas Kalimantan poros selatan, poros tengah dan poros utara, rencana

    mengintegrasikan pelayanan transportasi udara antar kota di Kalimantan; Bidang perekonomian

    seperti pembangunan peningkatan ketahanan pangan, pengembangan agribisnis pertanian,

    pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan; Bidang sumber daya manusia

    seperti pembangunan bidang kesehatan dengan upaya-upaya peningkatan pelayanan, peningkatan

    kualitas Fakultas kedokteran Universitas Lambung Mangkurat di Banjarmasin, pemberantasan

    penyakit menular, penanganan penyakit AID dan korban Narkoba, peningkatan kualitas dan

    produktivitas tenaga kerja, peningkatan kualitas anak dan perempuan, rencana pendirian STPDN

    Regional Kalimantan; Bidang tata ruang dan lingkungan hidup seperti sinkronisasi rencana tata

    ruang provinsi se Kalimantan, penyusunan rencana tata ruang pulau Kalimantan, penanggulangan

    kebakaran hutan dan lahan, penanggulangan pencemaran air dan udara, dan lain sebagainya.

    Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah, harapan apa yang ingin Bapak capai

    dalam pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah, serta upaya-upaya apa yang telah Bapak

    lakukan untuk memenuhi harapan Bapak tersebut? Hambatan apa yang Bapak alami dalam upaya

    pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah?

    Teras Narang : Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah adalah

    terwujudnya visi dan misi Provinsi Kalimantan Tengah sesuai yang tertuang dalam RPJM dan

    Rencana Tahunan Daerah.

    Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut antara lain pengembangan

    keberdayaan masyarakat untuk pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance)

    sebagai salah datu bagian dari strategi baru dalam percepatan pembangunan, peningkatan daya

    saing dunia usaha, ancaman kerusakan lingkungan, kerawanan pangan, pembangunan modal sosial

    (social capital) paska kerusuhan dan optimalisasi modal sosial (social capital) sebagai sumber daya

    pembangunan, peningkatan kualitas pelayanan-pelayanan dasar yang disediakan oleh satuan kerja

    perangkat daerah seluruh Kabupaten Kota yang ada di wilayah Provinsi Kalimantan Tengah,

    pembangunan kesadaran hukum, peningkatan kualitas sumber daya manusia, perubahan pola

    penularan penyakit, dan tantangan-tantangan pembangunan lainnya. Selain itu juga dilakukan upaya

    peningkatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah di daerah.

  • Butaru : Hambatan-hambatannya, Pak ?

    Teras Narang :

    Hambatan itu pasti ada, dan saya sulit untuk menguraikan hambatan itu. Tetapii kalau saya

    berpandangan bahwa hambatan itu justru menjadi tantangan buat saya, dan saya tidak pernah

    berpandangan bahwa hambatan itu menjadi kendala. Justru hambatan itu yang menjadi tantangan

    dan mendorong saya umtuk lebih bekerja keras lagi. Kalau dibilang kerja keras ya harus, karena saya

    ini dengan Pak Diran, ini kan dipilih oleh rakyat. Saya selalu bilang kepada wakil Gubernur, pak Ir. H.

    Ahmad Diran, saya bilang Pak kita berdosa ini kalau kita tidak berbuat sesuatu. Kita berdosa kepada

    rakyat kalau kita tidak berbuat sebagaiman yang mereka harapkan Nah masalah hasilnya, saya

    bilang, jangan kita yang menilai, masyarakat dan orang luar yang menilai

    Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah, cukup banyak kerjasama serta

    penandatanganan kesepakatan yang Bapak lakukan, baik dengan perusahaan swasta dalam negeri

    maupun luar negeri. Manfaat apa yang Bapak rasakan dari penandatangan kesepakatan ini bagi

    pengembangan Kalimantan Tengah serta adakah tentangan dari anak buah Bapak terkait

    penandatangan ini?

    Teras Narang : Dengan telah ditandatanganinya kesepakatan kerjasama baik dengan swasta dalam

    negeri maupun luar negeri manfaat yang dicapai antara lain meningkatnya minat investasi di Provinsi

    Kalimantan Tengah.

    Dalam penadatanganan kesepakatan kerjasama tersebut semua jajaran pemerintah Provinsi

    Kalimantan Tengah dan masyarakat mendukung dan siap untuk melaksanakan tugas dan

    tanggungjawab sesuai tugas dan fungsinya.

    Butaru : Artinya Pak .......

    Teras Narang : Inilah tuntutan inovatif dari seorang pemimpin. Artinya dia tidak hanya berpikir atau

    melaksanakan program yang berdasar pada APBN atau APBD. Karena kalau kayak gitu semua orang

    bisa jadi pemimpin. Nggak usah dipilih oleh rakyat, ditunjuk saja, eh (jadi) pemimpin ya, sudah.

    Semua orang bisa melakukan itu. Nah saya melihat, saya harus mencari siapa yang bisa bantu. Satu-

    satunya yang bisa bantu adalah para pengusaha. Satu-satunya yang bisa bantu adalah negara-negara

    lain yang memang mempunyai keinginan yang sama, mempunyai visi yang sama. Nah ini yang saya

    lakukan. Saya kerjasama dengan Cina, saya kerjasama dengan India, saya kerjasama dengan New

    Zealand, saya kerjasama dengan Australy, saya memperoleh bantuan dari Negeri belanda, dengan

    Jerman, dengan Inggris, karena apa? kita punya satu visi. Saya bilang, saya mau membangun, tetapi

    pembangunannya didasarkan pada keberlanjutan, yang didasarkan pada memperhatikan kaidah-

    kaidah lingkungan hidup. Makanya saya program yang namanya Green Government Policy, kebijakan

    pemerintahan yang didasarkan pada lingkungan. Sehingga saya waktu itu diminta sebagai pembicara

    pada saaat di Bali, forum WWF, khususnya terkait dengan preparatio, persiapan dari Kalimantan

    Tengah menghadapi Climate Change. Nah dengan para pengusaha itu juga saya lakukan, yaitu di

    dalam kita sharing dalam membangun. Contoh kecil saja, kita punya kesepakatan antara Pemerintah

    Provinsi dengan para pengusaha pertambangan, untuk kita membangun rel kereta api. Kita punya

    kesepakatan dengan pengusaha kebun, sawit, dan kemudian perusahaan perkebunan karet dan

    tambang. Untuk kita membiayai dengan sharing, untuk perbaikan jalan. Nah apa yang saya lakukan

  • ini adalah suatu kebersamaan. Artinya kita win-win solution. Kita harus cari solusi untuk bisa mutual

    benefit

    Butaru : Tentang rencana jalan kereta api, Pak. Rencana pembangunan jalan kereta api, meskipun

    masih dalam kajian, tetapi kami membaca pernyataan Bapak di situs Kalimantan Tengah terkait

    dengan rencana pembangunan jalur kereta api di Kalimantan, dimana banyak orang berpendapat

    bahwa Kalimantan belum layak mendapatkan transportasi kereta api, kereta api adalah

    pelayanan terhadap high density population, namun Bapak mempunyai pendapat lain, yaitu

    kereta api adalah lokomotif transportasi sumber daya alam dalam skala ekonomi yang besar untuk

    memasok kebutuhan daerah lain dan mata rantai ekonomi yang akan timbul apabila tersedianya

    kereta api Kalimantan tidaklah susah untuk ditebak. Apa maksud dari pernyataan Bapak ini?

    Apakah untuk saat ini moda transportasi ini memang sudah diperlukan untuk dikembangkan di

    provinsi-provinsi di Kalimantan dan khususnya di Kalimantan Tengah?

    Teras Narang : Mengapa dikembangkan Transportasi Kereta Api di Kalimantan Tengah. Tadi saya

    sudah sampaikan bahwa Kalimantan Tengah ini luasnya satu setengah kali Pulau jawa dan kemudian

    sumber daya alamnya itu tersebar dii mana-mana. Sebaran sumber daya alam ini tidak akan

    memberikan keuntungan yang maksimal bagi daerah kalau kita tidak memanfaatkan ini dengan baik.

    Nah satu-satunya (cara) pemanfaatan dengan baik, adalah dengan kita membangun infrastruktur.

    Kenapa saya membangun infrastruktur? Dengan terbangunnya infrastruktur kereta api, ini akan

    mempunyai multiplier effect yang luar biasa. Rakyat ikut memanfaatkan itu, dan otomatis kiri kanan

    rel itu, taruhlah sekarang kita 560 km, itu 560 km kiri kanannya itu akan hidup. Ke depan di

    Kalimantan Tengah sangat dibutuhkan sarana transportasi yang diprioritaskan untuk melayani

    angkutan barang dengan volume yang besar, terutama untuk mengangkut barang hasil pemanfaatan

    sumber daya alam dari daerah hulu ke outlet-outlet yang berupa pelabuhan laut yang berada di

    daerah hilir atau pantai. Hasil sumber daya alam tersebut antara lain berupa hasil perkebunan

    kelapa sawit dan karet, hasil tambang batubara, hasil hutan ikutan misalnya rotan, dan hasil

    pertanian dan tambang lainnya. Untuk itu diperlukan sistem transportasi yang efektif dan efisien

    untuk mengangkut barang dalam volume yang besar. Sistem transportasi tersebut adalah jaringan

    rel kereta api yang dikombinasikan antar moda transportasi darat (jalan dan sungai) serta

    transportasi laut yang saling mendukung.

    Butaru :Kenapa harus kereta api, Pak ?

    Teras Narang : Mengapa dipilih transportasi kereta api, karena memiliki keunggulan kapasitas

    angkut yang besar sehingga lebih efisien dan efektif, biaya pemeliharaan relatif lebih murah, ramah

    lingkungan, tingkat kemanan dan keselamatan tinggi selain pertimbangan tersebut mengingat

    adanya kendala bila hanya menggunakan transportasi sungai dimana pada saat musim kemarau

    umumnya sungai-sungai di Kalimantan Tengah tidak dapat dilayari sampai ke daerah hulu, sehingga

    tidak dapat diandalkan sebagai sarana angkutan sepanjang tahun. Sedangkan apabila menggunakan

    atau mengembangkan transportasi jalan darat mengingat keterbatasan kemampuan anggaran

    pemerintah sangat terbatas sehingga baik kekuatan atau struktur jalan maupun lebar jalan terbatas,

    umumnya MST 8 ton dengan lebar jalan 4,5 meter, padahal MST pengguna jalan atau kendaraan

    pengangkut hasil perkebunan dan pertambangan jauh di atas 8 ton.

  • Perkembangan perencanaan pembangunan jalur kereta api untuk Wilayah Utara Timur Kalimantan

    Tengah adalah sebagai berikut :

    Telah ditandatangani MoU dengan Stasiun Kota pada tanggal 22 Juni 2006 untuk dilaksanakan

    riset dan pengembangan sarana transportasi kereta api termasuk pembangunan infrastruktur

    jalur kereta api sepanjang lebih kurang 600 kilometer dan rencana investasi oleh pihak PT.

    Stasiun Kota bai pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber daya alam di wilayah

    Provinsi Kalimantan Tengah.

    Ditandatanganinya MoU dengan Itochu Corporation pada tanggal 16 April 2007 yang bertujuan

    untuk melakukan studi kelayakan pengembangan jalur kereta api.

    - Berdasarkan hasil pra studi kelayakan dari Itochu (perusahaan Jepang) bahwa rute

    jalan rel yang diusulkan adalah berada dalam kawasan Kabupaten Murung Raya,

    Barito Utara, Barito Selatan dan Barito Timur, (Palaci Puruk Cahu Muara Teweh

    Ampah Buntok Bangkuang/Mangkatip) sepanjang 185 km.

    - Selanjutnya dari Bangkuang akan digunakan moda transportasi sungai menuju outlet

    di Muara Sungai Kapuas Murung di Lupak Dalam atau di Muara Sungai Kahayan di

    Bahaur, dengan rinsian rute alternatif sebagai berikut :

    Alternatif rencana pengembangan/pembangunan jalur kereta api di Kalimantan Tengah sebagai

    prioritas I adalah :

    1. Alternatif 1 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip Lupak Dalam, dengan ruas mulai dari

    Bangkuang/Mangkatip sungai Barito Palingkau Lama sungai Kapuas Murung

    Kuala Kapuas sungai Kapuas Lupak Dalam laut Jawa, sepanjang 175 km.

    2. Alternatif 2 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip Bahaur, dengan ruas dari

    Bangkuang/Mangkatip sungai Barito Palingkau Lama sungai Kapuas Murung

    Kuala Kapuas sungai Kapuas Terusan Raya sungai Kahayan Bahaur laut Jawa,

    sepanjang 250 km.

    Pemilihan ruas jalur kereta api tersebut didasarkan atas pertimbangan :

    - Disesuaikan dengan lokasi atau kawasan yang memiliki potensi sumber daya alam yang lebih

    besar,

    - Outlet : Kumai/Bumiharjo, Sampit/Bagendang, Teluk Segintong.

    Butaru : Kalimantan Tengah dikenal sebagai provinsi yang miskin ketersediaan infrastrukturnya.

    Apakah Bapak setuju dengan anggapan ini? Apa upaya yang Bapak lakukan untuk menghilangkan

    image ini?

    Teras Narang : Melihat kondisi eksisting saat sekarang, kita semua mengetahuinya. Saya tidak

    menentang siapapun yang mempunyai anggapan seperti tersebut.

    Upaya-upaya yang kami lakukan seperti tertuang dala Visi dan Misi RPJM Provinsi Kalimantan

    Tengah, yaitu untuk membuka keterisolasian dan menempatkan pembangunan bidang infrastruktur

    pada prioritas pertama. Untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan upaya-upaya antara lain telah

    dibuat suatu rencana pengembangan sistem transportasi antar moda di Provinsi Kalimantan Tengah,

    melakukan koordinasi/konsultasi dengan Pemerintah agar lebih dapat berperan baik dalam aspek

    perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya untuk percepatan pengembangan dan

    pembangunan sarana dan prasarana transportasi di Provinsi Kalimantan Tengah sehingga

    memberikan dampak positif terhadap meingkatnya kesejahteraan masyarakat, pertumbuhan

    ekonomi serta pemerataan pembangunan di Kalimantan Tengah untuk mengejar ketertinggalan

  • Provinsi Kalimantan Tengah pada khususnya dan provinsi di Kalimantan pada umumnya terhadapa

    provinsi-provinsi di wilayah Indonesia Barat.

    Butaru : Saat ini telah berlaku UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Menurut Bapak, apakah

    UU ini telah memenuhi harapan Bapak terkait penyelenggaraan penataan ruang? Bagaimana

    penerapan Undang-undang ini di Provinsi Kalimantan Tengah? Pernah adakah upaya penerapan

    ketetapan sanksi sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut?

    Teras Narang : Secara umum saya katakan bahwa Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang

    Penataan Ruang secara komprehensif telah mengatur penyelenggaraan penataan ruang baik dari

    tingkat nasional, regional maupun provinsi dan kabupaten/kota, bahkan telah mengatur matra ruang

    mulai dari perencaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang serta ketentuan

    sanksi yang tegas terhadap pelanggaran tata ruang. Namun demikian ketentuan secara teknis bahwa

    Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang masih perlu dan segera

    ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan pelaksanaan lebih lanjut, hal ini termasuk dengan

    penerapan sanksi.

    Setiap sanksi yang ada di dalam undang-undang itu kata-katanya hanya ada satu yaitu : Harus

    (ditegakkan). Jadi tidak ada kata maaf, tidak ada kata pembenar, karena sudah menjadi undang-

    undang. Nah, saya sebagai orang yang berlatar-belakang hukum, saya harus katakan, dan karena itu

    juga sumpah saya, saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal,ayat-ayat yang terkait dengan

    masalah larangan. Permasalahannya sekarang adalah, sejauh mana upaya dari semua pihak,

    termasuk saya, untuk menyosialisasikan butir-butir yang ada di dalam undang-undang (Penataan

    Ruang) ini.

    Terkait dengan penerapan undang-undang dimaksud di Provinsi Kalimantan Tengah adalah dengan

    dilakukannya penyelarasan (revisi) RTRWP Kalimantan Tengah terhadap Undang-Undang Nomor 26

    Tahun 2007 yang sampai saat ini masih dalam proses paduserasi antara RTRWP dengan TGHK

    (Departemen Kehutanan).

    Butaru : Terkait kasus kebakaran hutan, bagaimana pandangan Bapak mengani cap bahwa

    Indonesia mengeksport asap ke negara tetangga? Upaya-upaya apa yang akan Bapak lakukan untuk

    melindungi kawasan hutan lindung agar tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya?

    Teras Narang : Pandangan terhadap pernyataan bahwa Indonesia mengekspor asap ke negara

    tetangga, saya sangat tidak setuju.

    Sebab dilihat dari kata mengekspor mengandung arti adanya unsur kesengajaan, padahal kita semua

    mengetahui bahwa asap yang timbul karena terjadinya kebakaran hutan dan lahan tersebut sampai

    di negara tetangga dibawa oleh angin yang bertiup melewati Indonesia menuju ke negara tetangga.

    Juga kita ketahui bahwa terjadinya kebkaran hutan dan lahan di sebagian wilayah Indonesia tidak

    hanya semata-mata disebabkan oleh faktor manusia tetapi juga karena disebabkan oleh faktor alam.

    Kawasan hutan di Indonesia yang masih sangat luas dibandingkan negara-negara tetangga,

    keberadaannya menyebar di berbagai wilayah di Indonesia dan luasan terbesar berada di Pulau

    Kalimantan dan Sumatera, sehingga hal ini cukup sulit untuk melakukan upaya-upaya pengendalian

    atau pencegahan dan penanganan terjadinya kebakaran hutan. Apalagi dengan keterbatasan

    kemampuan tenaga penanggulangan kebakaran hutan, ketersediaan sarana dan prasarana

    pemadam kebakaran, serta kondisi medan menuju kawasan kebakaran yang berat. Pada kondisi

  • yang demikian diharapkan adanya peran negara tetangga dalam rangka pengendalian dan

    penanganan masalah kebakaran hutan di Indonesia melalui kerjasama baik dalam bidang

    peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, teknis pencegahan dan/atau

    penanggulangan serta bantuan dana.

    Butaru : Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang terkait dengan program Heart of

    Borneo. Apa harapan Bapak berkaitan dengan program-program yang telah diterapkan dalam HoB

    ini? Hambatan-hambatan apa yang Bapak temui dalam melaksanakan program HoB ini? Manfaat

    apa yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah terkait dengan penetapan ini?

    Teras Narang : Harapan saya terkait dengan program-program yang diterapkan HoB adalah

    program-program yang telah dibuat dapat diimplementasikan sesuai dengan rencana dan tujuan

    yang hendak dicapai yaitu menyangkut konservasi dan pembangunan berkelanjutan serta

    dilaksanakan secara selaras, seimbang dan berkesinambungan serta dikelola secara arif dan

    bertanggungjawab tetap berpegang pada ketentuan dan peraturan perundangan yang berlaku an

    menghormati hak-hak masyarakat di sekitar kawasan HoB.

    Dalam melaksanakan program HoB selama ini belum/tidak dijumpai kendala atau hambatan yang

    berarti. Kalaupun ada hambatan dapat diselesaikan bersama.

    Manfaat yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah utamanya kelestarian hutan, spesies yang ada,

    dan sumber daya alam serta kelestarian kondisi fisik hilirnya seperti iklim, topografi/geologi,

    hidrologi dan lain sebagainya serta manfaat dapat mengakomodir kepentingan ekonomi, sosial dan

    budaya baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun global dan tidak kalah pentingnya

    adalah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar HoB.

    Butaru : Inisiatif HoB ini juga sangat relevan dan terkait dengan Kerangka Konvensi PBB tentang

    Perubahan Iklim, terutama dalam rangka pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan

    (Reduction of Emission from Deforestation and Degradation/REDD) yang dibahas di Bali pada

    Konferensi Para Pihak ke 13 di Bali, Desember 2007. dengan konservasi dan pembangunan

    berkelanjutan di wilayah HoB dimana deforestasi akan ditekan sekecil-kecilnya, wilayah yang

    tercakup dalam HoB akan diuntungkan dengan mekanisme perdagangan karbon yang tercakup

    dalam mekanisme REDD. Apa pendapat Bapak terkait dengan hal ini?

    Teras Narang : Terkait dengan pernyataan bahwa daerah yang wilayahnya tercakup dalam HoB akan

    diuntungkan dengan mekanisme perdagangan karbon yang tercakup dalam mekanisme REDD,

    bahwa pernyataan yang sama pernah saya dengar dari LSM asing yang telah melaksanakan

    konservasi di Kalimantan Tengah dan sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya. Seperti pernah

    saya katakan menjelang dilaksanakan Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali bahwa hal

    tersebut sebelumnya perlu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat di Kalimantan Tengah agar kita

    semua ada kesepahaman terkait hal dimaksud.

    Butaru : Sesuai hasil pertemuan pertama HoB antar ketiga negara (1st HoB Trilateral Meeting) yang

    diselenggarakan di Brunei Darussalam, tanggal 18 20 Juli 2007, masing-masing negara diminta

    untuk menusun Program Aksi HoB Nasional dan mekanisme kerjasama antar ketiga negara. Bisa

    Bapak gambarkan secara singkat Program Aksi HoB Nasional untuk Provinsi Kalimantan Tengah?

  • Teras Narang : Program Aksi HoB Nasional untuk Provinsi Kalimantan Tengah dapat dijelaskan

    sebagai berikut :

    a. Kerjasama antar wilayah/kewenangan

    Lingkup rencana aksi dan strategi untuk mewujudkan kerjasama antar wilayah/kewenangan

    adalah

    1) Penggunaan lahan berkelanjutan (Sustainable Land Use), meliputi :

    - Kegiatan penentuan batas dan identifikasi kawasan yang masuk dalam wilayah

    HoB,

    - Kegiatan survey dan kajian sinkronisasi tata ruang lintas kabupaten dalam wilayah

    pegunungan Schwanner,

    - Kegiatan analisi land suitability System dan analisis perubahan penggunaan lahan,

    - Kegiatan Survey atau kajian ancaman tegakan hutan tropis di kawasan Pegunungan

    Muller Schwanner dan Gunung Lumut,

    2) Pengembangan Kapasitas Lembaga (Institutional Capacity Building), meliputi :

    - Penguatan peran Kelompok Kerja Daerah untuk penguatan kelembagaan daerah

    sesuai dengan PP 38/2007 dan PP 41/2007,

    - Melakukan kajian-kajian yang bersifat holistik.

    b. Pengelolaan kawasan lindung

    1) Advokasi Kebijakan (Policy Advocacy), meliputi :

    - Mendorong pengelolaan kawasan konservasi dan/atau hutan bernilai konservasi

    tinggi,

    - Pengamanan kawasan konservasi, khususnya di daerah perbatasan,

    - Program pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau dan sumber

    daya alam lainnya,

    - Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam.

    2) Informasi dan Manajemen Pengelolaan Kawasan Lindung (Information and

    Management), meliputi :

    - Sosialisasi HoB di segala level,

    - Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya alam,

    - Program pengawasan dan penertiban kegiatan yang merusak lingkungan,

    - Program pengelolaan kawasan pelestarian alam dan suaka alam,

    - Pengembangan program pariwisata alam di kawasan Taman Nasional Bukit-Bukit

    Raya (Kabupaten Katingan).

    3) Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment), meliputi :

    - Menyusun program pendidikan lingkungan,

    4) Pelibatan peran swasta/BUMN (Corporate Engagement), meliputi :

    - Mediator penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan HoB.

    c. Pengelolaan Sumber Daya Alam di luar Kawasan Lindung

    1) Penyempurnaan Kebijakan Sektor (Sector Reform), meliputi :

    - Kegiatan analisis kebijakan dalam permasalahan sosial, budaya dan ekonomi,

    - Kegiatan survey atau kajian sosial budaya dan ekonomi masyarakat di dalam dan di

    luar kawasan Pegunungan Muller Schwanner serta menemu kenali potensi

    pengembangan ekonomi masyarakat,

    2) Penggunaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Use), meliputi :

  • - Identifikasi produk unggulan lokal di masing-masing wilayah dan kajian dan survey

    terhadap pengalaman serta model kelola SDA yang dilakukan oleh masyarakat di

    sekitar kawasan HoB.

    3) Information and Management, meliputi :

    - Kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi konflik permasalahan sosial.

    Butaru : Saya kira sudah sangat banyak hal yang Bapak jelaskan, terima kasih atas kesediaan Bapak

    menyisihkan waktu untuk wawancara ini. Kami mohon pamit, terima kasih, Pak .........

    Teras Narang : Sami-sami .................

    Profil Wilayah Heart Of Borneo

    Dewasa ini kesadaran pentingnya aspek lingkungan dirasakan semakin meningkat, bahkan menjadi topik yang

    sering dibicarakan seiring dengan terjadinya berbagai gejala perubahan alam. Semangat peduli lingkungan ini

    telah menjadi kepedulian bersama di berbagai negara, antara lain menjadi tema utama dalam pertemuan

    United Nation For Climate Change (UNFCC) yang diselenggarakan pada bulan Desember tahun 2007 di Bali,

    yang dihadiri oleh delegasi negara maju maupun sedang berkembang. Pertemuan ini menunjukkan kampanye

    cinta lingkungan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di dunia. Salah satu contoh kepedulian terhadap

    lingkungan di Indonesia yang dijadikan bahan pembahasan adalah keberadaan Heart of Borneo (HoB).

    Heart of Borneo merupakan sebuah perwujudan konsep konservasi dan pembangunan berkelanjutan ke dalam

    program manajemen kawasan di Pulau Borneo. Inisiatif HoB dilatarbelakangi kepedulian terhadap penurunan

    kualitas lingkungan terutama kualitas hutan di Pulau Borneo, yang ditunjukkan dengan makin rendahnya

    produktivitas hutan, hilangnya potensi keanekaragaman hayati, serta fragmentasi hutan dari satu kesatuan

    yang utuh dan saling terhubung. Penurunan kualitas lingkungan tersebut antara lain disebabkan oleh

    pengelolaan lingkungan yang kurang bijaksana, pengambilan kayu secara ilegal dan pengalihan fungsi hutan.

    Degradasi tutupan hutan di Pulau Borneo dapat dilihat seperti pada Gambar 1.

  • Dengan latarbelakang permasalahan seperti yang telah disebutkan di atas, inisiatif HoB secara resmi muncul

    pertama kali pada tanggal 5 April 2005 dalam pertemuan yang bertema Three Countries One Conservation

    Vision yang menjadi pertemuan cikal bakal HoB. Launching inisiatif HoB sendiri dilakukan pada side event

    Convention On Biological Diversity (COB 8 CBD) di Curitiba Brazil, berupa pernyataan kesediaan dari tiga

    negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Kesediaan ini kemudian ditindaklajuti dengan penandatanganan

    deklarasi HoB yang dilaksanakan pada tanggal 12 Februari tahun 2007. Naskah Deklarasi HoB ditandatangani

    oleh Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam, Pehin Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji

    Jumat, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, M.S Kaban dan Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan

    Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid (Gambar 2).

    Gambar 1: Peta Tutupan Hutan tahun 1990, 1950, 1965, 2000, dan 2005, serta Peta Proyeksi Tutupan Hutan tahun 2010 dan 2020 berdasarkan kecendrungan tahun 1900-2005

    (Sumber : WWF)

  • Gambar 2: Penandatanganan Naskah Deklarasi Heart of Borneo oleh Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam, Pehin Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji Jumat; Menteri Kehutanan Republik Indonesia, M.S Kaban dan

    Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan Tengah)

    Naskah deklarasi HoB secara garis besar berisi tiga butir kesepakatan. Pertama kerjasama manajemen sumber

    daya hutan yang efektif dan konservasi terhadap area yang dilindungi, hutan produktif, dan penggunaan lahan

    lainnya yang berkelanjutan. Kedua inisiatif HoB merupakan kerjasama lintas batas yang sukarela dari tiga

    negara. Ketiga, kesepakatan untuk bekerjasama berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan. Naskah

    deklarasi HoB secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.

  • Gambar 3: Naskah Deklarasi HoB (Sumber: BKTRN)

    Adapun luas cakupan wilayah HoB yang menjadi acuan sementara sampai saat ini yaitu meliputi areal seluas

    kurang lebih 22 juta hektar, yang secara ekologis saling terhubung. Areal tersebut secara administratif

    terbentang di wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Deliniasi wilayah HoB

    yang lebih rinci, masih dalam tahap pembahasan antarnegara untuk mencapai kesepakatan, dibandingkan

  • dengan usulan awal wilayah HoB pada bulan April tahun 2005 dan perkembangan usulan baru dari masing-

    masing negara tahun 2008 ini. Peta usulan deliniasi wilayah HoB pada awal tahun 2005 serta perkembangan

    pada pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB pada bulan Januari 2008, dapat dilihat pada Gambar 4.

    Gambar 4: Peta Usulan Awal Batas HoB Bulan April Tahun 2005 dan Peta Usulan Batas HoB Hasil Pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB Bulan Januari Tahun 2008

    (Sumber: BKTRN)

    Pertemuan Tiga Negara yang Kedua (Second Trilateral Meeting), yang diadakan di Kota Pontianak Provinsi

    Kalimantan Barat, pada tanggal 2-4 April 2008 yang lalu, menghasilkan usulan batas baru wilayah HoB. Usulan

    dari masing-masing negara tersebut diharmonisasikan dalam suatu peta harmonisasi batas HoB yang dapat

    dilihat pada Gambar 5. Batas yang diajukan dalam pertemuan ini masih dalam tahap pembahasan, yang

    diharapkan dapat mencapai suatu kesepakatan batas yang tidak saja sesuai dengan kepentingan masing-

    masing negara, namun lebih utama adalah kepentingan perwujudan kelestarian lingkungan dan pembangunan

    berkelanjutan yang menjadi tujuan utama inisiatif HoB.

  • Gambar 5: Peta Harmonisasi Batas HOB Sesuai dengan Usulan Masing-Masing Negara pada 2

    nd Trilateral Meeting

    Sumber : 2nd Trilateral Meeting

    Sejalan dengan deliniasi batas HoB yang sedang dalam proses pembahasan, sampai saat ini juga belum

    terdapat angka resmi yang telah disepakati oleh tiga negara mengenai luasan definitif wilayah cakupan kerja

    HoB. Sebagai acuan dalam mendiskusikan program HoB, digunakan cakupan luas sementara wilayah HoB di

    tiga negara. Berdasarkan data sementara dari Kelompok Kerja HoB Provinsi Kalimantan Tengah, persentase

    wilayah kerja HoB yaitu 57% berada di Indonesia, 42% di malaysia, dan 1% di Brunei Darussalam, yang

    perinciannya dapat dilihat pada Tabel 1.

  • Tabel 1. Pemanfaatan Lahan Heart of Borneo

    Propinsi/Negara Bagian Negara Total Area HoB

    (Ha) Persentase Area HoB

    Kalimantan Tengah Indonesia 2,466,000 11,2

    Kalimantan Barat Indonesia 4,010,000 18,2

    Kalimantan Timur Indonesia 6,137,000 27,8

    Brunei Brunei 131,570 0,6

    Serawak Malaysia 5,373,000 24,3

    Sabah Malaysia 3,968,000 17,9

    Total 22,085,570 100

    Sumber : Kelompok Kerja HoB Kalimantan Tengah

    Wilayah cakupan HoB terdiri dari kawasan lindung (taman nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan

    lindung), kawasan budidaya kehutanan (HPH dan HTI) serta kawasan budidaya non kehutanan (perkebunan,

    pertambangan, dll). Wilayah HoB Indonesia diperkirakan seluas 12,6 juta hektar yang terdiri dari 2,7 juta

    hektar hutan konservasi (21,46%), 1,1 juta hektar hutan lindung (9,5%), 4,9 juta hektar hutan produksi (38,9%),

    serta 3,8 juta hektar (30,17%) areal penggunaan lainnya (Gambar 6).

  • Dari Gambar 6 dapat dilihat adanya

    keberagaman pemanfaatan lahan pada

    usulan wilayah HoB di Indonesia.

    Pemanfaatan luas cakupan wilayah HoB

    tersebut terdiri dari 31% kawasan lindung,

    sementara sebagian besar justru merupakan

    kawasan budidaya. Hal ini menunjukkan

    bahwa inisiatif HoB bukan semata-mata

    merubah keseluruhan kawasan menjadi

    kawasan lindung, tetapi juga melaksanakan

    manajemen pengelolaan kawasan budidaya

    berbasis keberlanjutan lingkungan.

    Manajemen wilayah HoB perlu dilakukan

    secara terpadu mengingat pentingnya fungsi

    HoB sendiri dan terhadap lingkungan

    sekitarnya. HoB memiliki fungsi penting

    sebagai sumber keanekaragaman hayati

    seperti sebagai rumah bagi spesies penting

    dan langka seperti orang utan dan badak,

    serta memiliki berbagai jenis serangga yang

    bahkan belum pernah ditemukan di bagian

    dunia lainnya. Selain sebagai sumber keanekaragamn hayati, HoB juga berperan sebagai menara air bagi

    seluruh wilayah Pulau Borneo, yaitu setidaknya merupakan sumber air bagian hulu bagi 14 dari 20 sungai

    utama di Pulau Borneo antara lain Sungai Kapuas, Katingan, Barito dan Mahakam.

    Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan wilayah HoB dalam perlindungan hulu sungai, yang menjadi

    sumber air bagi anak-anak sungai di hampir seluruh wilayah Pulau kalimantan. Lebih lanjut disadari bahwa

    keberadaan HoB yang juga sebagai daerah resapan air yang akan menjamin ketersediaan cadangan air, dan

    peningktan kualitas air di Pulau Borneo.

    Dengan demikian pemanfaatan wilayah HoB harus dikelola sebagai satu kesatuan ekosistem, mulai dari hulu,

    tengah hingga hilir. Berdasarkan pendekatan ekosistem ini, program-program berkelanjutan dan konservasi

    yang dilaksanakan dalam kerangka kerjasama tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam,

    perlu terus dikembangkan. Ruang lingkup kegiatan HoB di tiga negara tersebut antara lain:

    Melakukan inventarisasi, analisis kesenjangan, merumuskan dan melaksanakan program aksi (action

    plan)

    Melanjutkan aktivitas program yang sedang berjalan;

    Melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan di tiga negara untuk mengidentifikasi prioritas

    kerja dan kesempatan investasi;

    Bapak Moses, Pokja HoB (BPLHD) Kalimantan

    Tengah

    Salah satu konsep kegiatan HoB, termasuk di dalamnya adalah tata

    ruang. Konsep tersebut harus memperhatikan RTRWP dan RTRWK,

    karena apabila tidak memperhatikan hal itu maka tidak jelas akan dibawa

    kemana pembangunan ini. Ada satu hal yang saya sarankan yaitu kita

    menyiapkan tata ruang dikaitkan dengan persoalan global yaitu

    perubahan iklim. Karena kita melihat kebakaran hutan dan deforestasi

    salah satu penyebabnya adalah pemanasan global. Ini menjadi visi kita ke

    depan untuk menyelematkan lingkungan dan mensejahterakan

    masyarakat. Kesepakatan 3 negara terhadap HoB merupakan langkah

    awal untuk kita, bagaimana melindungi dan mengelola hutan di kawasan

    Indonesia, dan Kalimantan pada khususnya. Cara menyelamatkan

    masalah lingkungan dan bagaimana pengelolaan lingkungan ke depan,

    merupakan hal yang harus masuk dalam rencana tata ruang. Artinya

    kalau kita tidak masukan ke dalam rencana tata ruang, maka grand

    design penyelamatan HoB ini tidak tahu mau dibawa kemana lingkungan

    kita ini. Untuk Kalimantan Tengah, Bapak Gubernur saat ini sedang

    mempersiapkan satu kegiatan yaitu bagaimana membawa semua sektor

    melahirkan satu kebijakan-kebijakan yang berwawasan lingkungan,

    kebijakan yang berkelanjutan, dan pembangunan yang berkelanjutan.

    Sedang dipersiapkan oleh satu pokja untuk menyusun naskah akademis

    dan naskah kebijakannya. Kita juga mendukung kebijakan pusat berkaitan

    dengan penetapan beberapa kawasan untuk dijadikan taman nasional.

  • Membangun kelembagaan HoB di tiga negara; dan

    Menentukan prioritas pembangunan lintas batas.

    Berdasarkan ruang lingkup kegiatan tersebut, disusun program-program kegiatan HoB antara lain:

    a. Pengelolaan Kawasan Perbatasan, yang meliputi:

    Penyusunan rencana induk (master plan) pengelolaan kawasan HoB melalui proses-proses yang

    partisipatif, mengakomodasi praktek dan prakarsa lokal, transparan, dan bertanggung jawab;

    Pelaksanakan kerjasama pengamanan dan penegakan hukum lebih erat di antara tiga negara;

    Penyelenggaraan mekanisme komunikasi dan pertukaran informasi yang efektif untuk keselarasan

    rencana tata ruang perbatasan, kebijakan atau aktivitas yang berdampak penting pada HoB;

    Pelaksanaan penelitian bersama melalui mekanisme yang berlaku di masing-masing negara.

    b. Pengelolaan Kawasan Lindung, yang meliputi:

    Rekomendasi kawasan lindung dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, budaya, ekologi,

    dan keanekaragaman hayati serta membangun sistem pengelolaan kawasan lindung lintas batas;

    Pelaksanaan kelanjutan inisiatif pengembangan kawasan konservasi lintas batas dalam kerangka

    kerjasama bilateral dan multilateral;

    Pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya air lintas batas;

    Pelaksanaan evaluasi ekonomi untuk skema ekonomi jasa lingkungan;

    Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan lindung yang rusak.

    c. Pengelolaan Kawasan Budidaya

    Penerapan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan dalam pelaksanaan pembangunan di

    kawasan budidaya oleh pihak terkait;

    Pelaksanaan sertifikasi terhadap kegiatan pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan kaidah-

    kaidah kelestarian;

    Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan budidaya yang rusak.

    Sebagai kelanjutan dari penandatanganan Deklarasi HoB oleh 3 (tiga) negara, seperti disebutkan sebelumnya,

    telah dilaksanakan Second Trilateral Meeting HoB pada tanggal 4-5 April 2008 di Pontianak. Pertemuan ini

    dihadiri oleh delegasi dari masing-masing negara yaitu Delegasi dari Malaysia dipimpin oleh Direktur

    Kehutanan Sarawak, Delegasi dari Brunei Darussalam dipimpin oleh Direktur Kehutanan Brunei Darussalam,

    dan Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Direktur Konservasi Kawasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan

    dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan, serta para peserta dari Menko Perekonomian, Bappenas,

    dan Pemerintah Daerah terkait (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur) dan perwakilan

    WWF.

    Sebagai perwujudan deklarasi HoB dan tindak lanjut dari cakupan kegiatan di tiga negara yang telah

    disebutkan di atas, pada Second Trilateral Meeting HoB tersebut masing-masing negara telah menyusun dan

    mengajukan program rencana aksi. Dengan menyusun rencana aksi ini, setiap negara khususnya Indonesia

  • mengharapkan agar tercipta prinsip, definisi dan langkah implementasi yang menjadi dasar bagi kebijakan HoB

    di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Selain itu, diharapkan terdapat dasar yang terpadu dalam

    implementasi manajemen sumber daya, pembangunan masyarakat, dan pembangunan ekonomi bagi seluruh

    pemerintahan di dalam wilayah HoB. Rencana aksi dan strategi juga diharapkan menjadi suatu referensi dalam

    implementasi program prioritas dan mobilisasi sumberdaya di dalam manajemen HoB oleh seluruh elemen

    pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adapun program rencana aksi yang disusun

    oleh setiap negara tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel 2.

    Tabel 2. Program Rencana Aksi Heart of Borneo, Negara Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam

    Program

    Rencana Indonesia Malaysia Brunei Darussalam

  • Aksi

    Membangun manajemen sumber daya kehutanan dan konservasi alam di kawasan yang dilindungi

    Meningkatkan kebijakan lokal

    Mengimplementasikan prinsip pembangunan berkelanjutan melalui kegiatan penelitian

    Menyusun dokumen proyek nasional;

    Menyusun anggaran pembiayaan di tingkat Pusat; dan

    Merinci alokasi anggaran yang akan disusun oleh pemerintah daerah

    Melestarikan kawasan hutan, sumber daya air, dan berbagai jenis ekosistem di dalamnya;

    Memberikan kontribusi melalui diversifikasi ekonomi dengan cara pemanfaatan produksi non kayu dalam rangka meningkatkan kelestarian hutan;

    Melakukan penghijauan kembali kawasan hutan yang telah mengalami degradasi; dan

    Melibatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan hutan

    Sumber: Bappenas, 2008

    Berbagai program dan rencana aksi yang dirumuskan di atas merupakan suatu wujud upaya untuk mencapai

    tujuan keberlanjutan lingkungan Borneo, melalui manajemen kawasan Heart of Borneo. Instrumen yang sangat

    penting dalam manajemen kawasan HoB adalah rencana tata ruang di kawasan tersebut. Konsep pengelolaan

    HoB sebagai suatu ekosistem terpadu turut terakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

    (RTRWN). Dalam PP nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN disebutkan penetapan HoB sebagai salah satu

    kawasan Strategis Nasional (KSN), dengan kriteria sebagai KSN dalam tahapan pengembangan I dengan titik

    berat pada rehabilitasi/revitalisasi kawasan.

    Lebih lanjut, secara umum Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

    terkait, dan khususnya Rencana Induk (master plan) Heart of Borneo menjadi suatu elemen penting dan

    dijadikan sebagai acuan bagi pelaksanaan pengelolaan kawasan HoB ke depan. Seperti dikutip dari kalimat

    pembuka kegiatan sosialisasi ekowisata HoB di Palangkaraya Apabila kita salah dalam perencanaan, berarti

    kita merencanakan suatu kegagalan, dan sebaliknya, perencanaan yang matang adalah langkah awal

    keberhasilan.

  • Heart of Borneo (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan Tengah)

    KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN

    PENATAAN RUANG

    Oleh :

    Deddy Koespramoedyo, MSc.

  • Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas

    I. Pendahuluan

    UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan merupakan payung hukum bagi

    pelaksanaan perencanaan pmbangunan dalam rangka menjamin tercapainya tujuan negara, yang digunakan

    sebagai arahan di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan secara nasional. Menurut undang-undang

    tersebut, rencana pembangunan terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), Rencana

    Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Rencana pembangunan

    memuat arahan kebijakan pembangunan yang dijadikan acuan bagi pelaksanaan pembangunan di seluruh

    wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJPD dan RPJMD yang mengacu pada RPJP dan

    RPJM Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan pokok yang akan dilaksanakan melalui

    Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh Kementerian/Lembaga.

    Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan turunannya berupa rencana tata ruang

    merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang

    diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian

    pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian

    insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait,

    yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana

    tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang

    Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang

    Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat terangkum di

    dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam implementasi perencanaan pembangunan

    berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka

    Undang-Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat

    mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik dalam pemanfaatan

    sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan.

    Pendekatan top-down dan partisipatif dalam perencanaan pembangunan yang ada dalam UU No. 25/2004

    terwujud dalam bentuk rangkaian musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan secara

    berjenjang dari mulai tingkat Kabupaten/Kota sampai dengan Nasional. Rangkaian forum ini menjadi bagian

    dalam menyusun sistem perencanaan dan alokasi anggaran untuk pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap

    tahun. Secara top down, Pemerintah telah menetapkan rencana kerja pemerintah berikut alokasi anggaran yang

    ditetapkan dan akan digunakan didalam membiayai kegiatan pembangunan secara nasional. Secara partisipatif,

    proses perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan seluruh stakeholder di pusat dan daerah.

    Perencanaan pembangunan adalah suatu proses yang bersifat sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan,

    sangat terkait dengan kegiatan pengalokasian sumberdaya, usaha pencapaian tujuan dan tindakan- tindakan di

    masa depan. Segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus diatur di dalam rencana tata ruang seperti

    yang tercantum di dalam UU No. 26/2007, bahwa penataan ruang terbagi atas kegiatan perencanaan,

    pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian keterkaitan antara perencanaan

    pembangunan dan penataan ruang sangat penting dalam rangka optimalisasi sumberdaya alam dan buatan yang

    terbatas dan mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan oleh kegiatan manusia.

    Keterkaitan antara rencana pembangunan dengan penataan ruang dapat dilihat pada skema berikut.

    Gambar 1.

    Skema Keterkaitan Rencana Pembangunan dengan Rencana Tata Ruang

    mengacu mengamanatkan mengamanatkan

  • Penjelasan Skema:

    1) RPJPN merupakan amanat yang disusun berdasarkan UU No. 25/2004, sedangkan RTRWN disusun berdasarkan amanat yang terdapat pada UU No. 26/2007.

    2) Rencana Pembangunan (Nasional dan Daerah) dan Rencana Tata Ruang harus dapat saling mengacu dan mengisi. Berdasarkan pasal 19 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, bahwa di dalam penyusunan

    RTRWN harus memperhatikan RPJPN, dan pada pasal 20 ayat (2) menyatakan bahwa RTRWN menjadi

    pedoman untuk penyusunan RPJPN. RTRWN merupakan pedoman bagi penyusunan dan pelaksanaan

    kegiatan yang bersifat keruangan. RPJPN dan RTRWN memiliki batas waktu selama 20 tahun. Untuk RTRWN dapat ditinjau kembali satu kali dalam 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis

    seperti terjadi bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan,

    perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan UU, perubahan batas wilayah provinsi yang

    ditetapkan dengan UU (khusus RTRWP dan RTRWK), dan perubahan batas wilayah kabupaten/kota

    yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWK).

    3) RPJMN merupakan turunan dari RPJPN yang memiliki batas waktu selama 5 tahun. Penjabaran RPJMN tertuang di dalam RKP yang dirumuskan setiap tahun dan disusun melalui Murenbangnas.

    II. Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam Pembangunan Nasional

    Peranan penataan ruang didalam pelaksanaan kegiatan pembangunan yang terjabarkan pada rencana

    pembangunan sangatlah penting. Segala kegiatan yang tentu saja membutuhkan ruang sebagai wadah

    pendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur di dalam rencana tata ruang. Namun, dalam

    pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai kendala dan tantangan yang disebabkan oleh beberapa faktor,

    diantaranya:

    1. Perencanaan Tata Ruang

    Penyusunan rencana tata ruang di masa lalu pada umumnya sudah baik namun dalam beberapa hal produk

    rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum diacu dalam pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan

    beberapa hal diantaranya adalah: data dan informasi yang digunakan kurang akurat dan belum meliputi analisis

    pemanfaatan sumberdaya kedepan, penyusunan rencana tata ruang sering dilaksanakan hanya untuk memenuhi

    mengisi

    UU No.

    25/2004

    UU No.

    26/2007

    RPJMN

    RKP

    mengisi

    RPJPN RTRWN

    mengacu

  • kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah) sesuai Undang-undang dan Peraturan Daerah, rencana tata ruang uang

    disusun, terutama di tingkat daerah, seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu dan belum menjadi

    dokumen milik semua instansi karena penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak.

    Permasalahan lain yang terjadi terkait dengan perencanaan tata ruang adalah seringkali perencanaan suatu

    kegiatan yang menggunakan ruang secara blue print tidak tergambar secara detail di dalam suatu peta rencana

    yang dapat menyebabkan pada pelanggaran didalam pemanfaatan ruang.

    2. Pemanfaatan Ruang

    Pemanfaatan ruang suatu wilayah atau daerah seringkali tidak sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam

    rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah. Kebutuhan mendesak akan ruang, baik yang disebabkan oleh

    pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali. Hal ini

    terkait erat dengan rencana tata ruang yang tidak sesuai, dengan kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam

    jangka menengah maupun panjang maupun tidak adanya sanksi hukum terhadap pelanggaran rencana tata

    ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat dan pemerintah (daerah) terutama terjadi di daerah-daerah yang baru

    dibentuk sebagai akibat pemekaran daerah.

    Dalam mengantisipasi kebutuhan masyarakat dan pemerintah, perubahan rencana tata ruang serta suatu

    peraturan dan perundangan yang mengatur tata ruang seringkali tidak dapat dilaksanakan dengan segera dan

    membutuhkan waktu yang relatif lama. Misalnya dalam proses alih fungsi kawasan hutan (produksi maupun

    lindung) yang diminta oleh daerah, maka prosesnya harus mengikuti ketentuan yang ada sesuai Undang-undang

    Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan proses ini akan memakan waktu yang cukup lama (hampir satu

    tahun bahkan lebih).

    3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang

    Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian dari penataan ruang digunakan sebagai alat untuk

    menertibkan kegiatan yang akan dan atau telah melanggar tata ruang pada jalur yang sesuai dengan muatan yang

    terdapat pada produk rencana tata ruang.

    Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh arus urbanisasi mengakibatkan

    pengelolaan ruang kota semakin berat. Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun,

    sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan penduduk. Masalah perekonomian yang menjadi

    pemicu didalam pembangunan nasional, menjadikan berbagai kegiatan pendukung ekonomi menjadi faktor

    utama di dalam kegiatan pembangunan. Hal tersebut berdampak pada maraknya alih fungsi lahan yang

    dilakukan dalam rangka melangsungkan dan mendukung kegiatan ekonomi.

    Kewenangan yang sudah banyak didelegasikan kepada Pemerintah Daerah melalui kebijakan otonomi daerah

    dan desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk mencari berbagai sumber pendapatan baru untuk

    meningkatkan pendapatan asli daerah melalui berbagai kegiatan ekonomi, termasuk alih fungsi lahan tanpa

    memperhitungkan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Salah satu upaya tersebut antara lain melalui

    pemberian perizinan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang terdapat di dalam rencana tata ruang. Sebagai

    dampaknya, bentuk pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin marak terjadi yang dapat mengganggu

    lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang tentunya merugikan bagi masyarakat.

    4. Kelembagaan Penataan Ruang

    Kelembagaan penataan ruang mempunyai peranan yang sangat penting di dalam mensinkronisasikan kegiatan

    pembangunan dengan rencana tata ruang. Namun, permasalahan yang terjadi seringkali sulit untuk menciptakan

    sinkronisasi kelembagaan dan hal ini terwujud dalam bentuk konflik penataan ruang yang disebabkan oleh tidak

    sinkronnya kegiatan antar sektor dan antar daerah. Ego sektoral dan daerah masih menjadi masalah utama

    dalam hal ini. Selain itu, konflik kewenangan pun terjadi secara hirarki antar instansi pemerintahan. Sebagai

    contoh, konflik antar sektor kehutanan dengan pemerintah daerah dalam pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini

    berdampak pada sulitnya pemerintah daerah dalam melaksanakan penyusunan rencana tata ruang wilayahnya.

    Oleh karena itu peranan kelembagaan penataan ruang dalam menjembatani hal tersebut sangatlah penting.

  • III. Beberapa Solusi dalam Menghadapi Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Pembangunan Nasional

    Berdasarkan uraian tantangan yang telah dikemukakan di atas, maka beberapa solusi yang dianggap perlu

    sebagai bahan pertimbangan untuk menghadapi tantangan tersebut adalah:

    1. Penyelarasan implementasi terhadap rencana pembangunan dengan rencana tata ruang melalui mekanisme yang diatur didalam suatu kebijakan/peraturan.

    2. Perlunya sinkronisasi kebijakan antar sektor dan instansi pemerintahan secara hirarki untuk mewujudkan keselarasan program pembangunan.

    3. Mewujudkan keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas provinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur pemanfaatan ruang.

    4. Perlunya penyusunan rencana tata ruang yang berkualitas dan menyeluruh.

    5. Produk rencana tata ruang daerah harus dibuat sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah yang selaras dengan visi dan misi daerah.

    6. Ketegasan sanksi dan ketetapan hukum sebagai alat yang digunakan untuk mengendalikan segala bentuk pemanfaatan ruang.

    7. Penyelenggaraan sosialisasi dalam rangka memberikan informasi pentingnya peranan penataan ruang didalam pelaksanaan program pembangunan kepada masyarakat.

    8. Peningkatan manajemen kelembagaan penataan ruang baik di Pusat maupun di daerah.

    9. Mendorong kemitraan secara vertikal dan horisontal yang bersifat kerjasama pengelolaan (co-management) dan kerjasama produksi (co-production).

    10. Mewujudkan konsistensi dalam penyerasian rencana tata ruang dengan rencana pembangunan antar pemangku pemerintahan, baik pada tingkat legislatif maupun eksekutif.

    Implikasi Ketentuan Sanksi

    Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Oleh

    Indra Perwira1

    1 Indra Perwira adalah Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Hukum dan Dinamika Sosial, Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran.

  • Akibat Tidak ada Sanksi Pidana

    Sebagai salah seorang yang diminta BKTRN untuk menyusun Naskah Akademik yang kemudian melahirkan

    UU Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, ada baiknya bila penulis terlebih dahulu menyampaikan

    latar belakang kenapa dalam UU ini terdapat ketentuan sanksi, sementara dalam undang-undang sebelumnya

    (UU 24 tahun 1992) tidak ada.

    Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR) ditetapkan berdasarkan pemikiran

    bahwa ruang wilayah NKRI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia dengan letak dan

    kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk sebesar-

    besarnya kesejahteraan rakyat. Untuk itu, Ruang baik sebagai wadah maupun sebagai sumberdaya alam di

    wilayah daratan, lautan dan udara harus dilola secara terpadu dan terkoordinasi dengan sumberdaya manusia dan

    sumberdaya buatan, sehingga tercipta tatanan lingkungan yang dinamis, serasi dan seimbang antara

    pertumbuhan ekonomi, pelestarian kemampuan lingkungan dan ketahanan nasional.

    Sejalan dengan pendekatan di atas, UUPR terdahulu lebih banyak mengatur keterpaduan proses dan institusi,

    sehingga kaidah-kaidah hukum yang dimuat lebih bersifat adminitratif. Kaidah-kaidah perilaku masyarakat yang

    berkaitan dengan pemanfaatan ruang memang sengaja tidak banyak diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini

    didasarkan pertimbangan bahwa kaidah-kaidah perilaku tersebut telah diatur dalam undang-undang sektoral,

    seperti Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Pertambangan, Undang-undang Perindustrian, Undang-undang Pengairan dan sebagainya. Dengan semikian, jika seseorang melanggar tata ruang maka penerapan

    sanksi pidana tergantung pada peruntukan yang dilanggar. Mungkin sanksi pidana dari Undang-undang

    Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Konservasi, atau Undang-undang

    yang lainnya.

    Pendekatan yang komprehensif tersebut ternyata dalam prakteknya tidak dapat berjalan efektif, antara lain

    disebabkan karena Undang-undang sektoral belum spesifik mengadopsi pendekatan ruang. Contohnya Undang-

    undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang terkait langsung dengan penataan

    ruang, hanya dapat diterapkan sanksinya sepanjang pada perubahan fungsi ruang (peruntukan) itu terdapat unsur

    pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Dengan demikian, terdapat beberapa kaidah perilaku yang luput dari pengaturan UUPR.

    Kewajiban setiap orang untuk menaati Rencana Tata Ruang adalah kaidah perilaku yang sangat mendasar dalam UUPR. Sebab upaya apapun yang dilakukan dalam Penataan Ruang tidak berguna apabila tidak disertai dengan

    kepatuhan terhadap Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan. Ketika kepatuhan terhadap hukum mengendor

    karena pudarnya kesadaran hukum maka ancaman sanksi pidana memang diperlukan. Sayangnya UUPR tidak

    mengatur sanksi pidana, sehingga pelanggaran terhadap Rencana Tata Ruang diserahkan sepenuhnya pada

    instrumen penegakan hukum administrasi.

    Sebenarnya terdapat berbagai macam instrumen hukum administrasi yang dapat dijalankan oleh administrasi

    negara di tingkat pusat dan daerah, seperti pengawasan, pelaporan, teguran, penertiban dan pencabutan izin.

    Akan tetapi, instrumen penegakan hukum administrasi ini dalam praktek belum banyak digunakan. Hal itu

    disebabkan antara lain:

    1. Belum ada Undang-undang khusus (Hukum Administrasi) yang dapat digunakan sebagai pedoman bagi administrasi negara untuk melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap pelanggar aturan dan kebijakan,

    termasuk Rencana Tata Ruang. 2. Beberapa Undang-undang, seperti Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan,

    Undang-undang Perlindungan Konsumen dan lain-lain sebenarnya telah cukup mengatur instrumen hukum

    administrasi tersebut, tetapi aparatur pemerintah kurang kreatif dan hanya menggunakannya terhadap isu yang spesifik diatur dalam undang-undang tersebut.

    3. Penegakan hukum administrasi dianggap high cost, baik dari aspek ekonomi, sosial dan politik.

    Belum terdapat mekanisme penyesesaian konflik penataan ruang

    Dalam Undang-undang terdahulu mengenai penataan ruang (UU No. 24/1992) pada pasal 26 menyatakan:

    (1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kota yang ditetapkan berdasarkan undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala daerah bersangkutan.

    (2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dibuktikan telah diperoleh dengan itikat baik, terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat dimintakan penggantian yang

    layak.

  • Berdasarkan pasal di atas, memberikan makna bahwa ketentuan ayat (1) berada dalam wilayah hukum

    admisistrasi, sementara ayat (2) berada dalam wilayah hukum perdata. Dengan demikian UUPR yang lama, di

    satu sisi telah memberikan wewenang yang kuat kepada Bupati/Walikota untuk membatalkan izin, di sisi lain

    menjamin perlindungan hukum atas kerugian yang diderita oleh pihak yang beritikad baik.

    Namun sayangnya kewenangan itu belum disertai dengan prosedur penegakannya yang akan dapat membuat

    persoalan-persoalan hukum yang terkait menjadi jelas. Persoalan-persoalan yang mungkin akan timbul antara lain:

    a. Apakah pembatalan satu izin akan membatalkan izin-izin lain yang terkait ? Contohnya, apakah pembatalan izin lokasi akan berpengaruh pada izin mendirikan bangunan (IMB) ? Sebab jika hal tersebut tidak

    berkaitan, maka pembatalan itu tidak akan berpengaruh apapun. Seseorang dapat terus mendirikan

    bangunan atas dasar IMB yang diperolehnya.

    b. Apakah Bupati/Walikota dapat membatalkan izin-izin yang diterbitkan oleh instansi/pejabat lain, seperti Gubernur atau Menteri ?

    Prinsip umum hukum administrasi menyatakan bahwa izin hanya dapat dicabut atau dibatalkan oleh pejabat

    yang menerbitkannya, atau apabila terjadi sengketa dapat dibatalkan oleh putusan pengadilan (PTUN). Jadi

    Bupati/Walikota tidak dapat membatalkan izin yang diterbitkan oleh Gubernur atau Menteri. Lalu apa yang

    dapat dilakukan Bupati/walikota terhadap izin tersebut padahal izin tersebut bertentangan dengan Rencana Tata

    Ruang Kabupaten/Kota?.

    Pengawasan adalah tindakan hukum administrasi yang dilakukan pemerintah atau pemerintah daerah untuk

    mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran. Pengawasan mempunyai dua dimensi, yaitu internal dan ekternal.

    Pengawasan ekternal ditujukan untuk memantau kepatuhan masyarakat, sedangkan pengawasan internal

    ditujukan terhadap instansi/pejabat pemerintah.

    UUPR menetapkan hirarki Rencana Tata Ruang sedemikian rupa guna menjamin keterpaduan, sehingga

    Rencana Tata Ruang wilayah Kabupeten/Kota tidak boleh saling bertentangan dengan Rencana Tata Ruang

    daerah tetangganya serta dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, dan yang terakhir tidak boleh

    bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Namun demikian, UUPR tidak mengatur

    mekanisme untuk mengatasi kenyataan empirik bahwa banyak Rencana Tata Ruang Kabupaten/kota

    bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Provinsi.

    Kaidah-kaidah Multi Tafsir

    Dalam UUPR terdahulu, kaidah-kaidah perilaku hanya diatur dalam Bab III mengenai Hak dan Kewajiban yang

    terdiri dari Pasal 4, 5 dan 6. Pasal 4 ayat (1) menyatakan :

    Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.

    Ketentuan dalam ayat ini dalam prakteknya melahirkan berbagai interpretasi. Selain pertanyaan apakah ruang yang dimaksud berkaitan dengan hak atas tanah yang bersangkutan, terhadap ruang publik, atau termasuk pada ruang yang secara hukum terkait dengan hak orang lain? Ada yang berpendapat ketentuan itu sesungguhnya mengatur dua kaidah (norma) berjenjang, yaitu :

    a. Hak menikmati pemanfaatan ruang; b. Hak menikmati pertambahan nilai ruang.

    Untuk dua kaidah berjenjang seperti itu lazimnya di antara keduanya diletakkan tanda , (koma). Penafsiran lain menyatakan bahwa kaidah yang kedua merupakan salah satu bentuk konkritisasi hak menikmati manfaat

    ruang. Pertanyaannya, selain hak menikmati pertambahan nilai ruang, hak apa lagi yang termasuk dalam hak

    menikmati manfaat ruang ?

    Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan anak kalimat akibat penataan ruang. Apakah mengacu kepada kedua kaidah tersebut atau pada yang terakhir saja ? Jika mengacu pada keduanya maka timbul pertanyaan, bagaimana

    sekiranya penataan ruang itu mengurangi hak seseorang untuk menikmati ruang? Perancang UUPR menunjuk

    pada ayat berikutnya, sebagai berikut:

    Setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang

    Dalam Penjelasan disebutkan bahwa:

    Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang yang dapat

  • membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan

    rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang

    Persoalan hukum yang terdapat pada ayat (1) di atas, ternyata dijawab tidak dalam Batang Tubuh, melainkan

    dalam Penjelasan Ayat (2) huruf c, dan sebagaimana layaknya Penjelasan, maka hal ini berarti tidak mempunyai

    kekuatan mengikat yang kuat.

    Ayat (2) huruf c itu sendiri mengandung beberapa persoalan hukum, yaitu: a. Dimanakah perlindungan bagi hak rakyat untuk memperoleh ganti rugi akibat pelaksanaan pembangunan

    yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang ?

    b. Apakah rencana tata ruang cukup dijadikan bukti dan dasar bagi tuntutan ganti rugi atas perubahan nilai ruang ? Pertanyaan ini muncul sebab ditegaskan bahwa perubahan nilai ruang itu akibat penataan ruang,

    sementara Pasal 1 telah menetapkan definisi penataan ruang sebagai proses perencanaan tata ruang,

    pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.

    Kewajiban-kewajiban masyarakat diatur dalam Pasal 5, sebagai berikut:

    (1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang. (2) Setiap orang berkewajiban menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan

    Perumusan norma pada Ayat (1) sangat kabur (vague norm). Perumusan sebuah norma yang tegas akan

    berbunyi, setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas ruang. Istilah peran serta (participation) dari perspektif hukum menunjukkan bahwa subjek hukum bersangkutan bukan pihak yang berkewajiban atau mempunyai tanggung jawab utama memelihara kualitas ruang. Dalam Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa,

    Negara menyelenggarakan penataaan ruang untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah. Berdasarkan pasal tersebut, maka pelaku utama penataan ruang adalah Pemerintah. Oleh karena itu terhadap subjek hukum selain Pemerintah, lazimnya tidak diletakkan

    kewajiban, melainkan hak, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b.

    Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan bahwa kewajiban dalam memelihara kualitas ruang merupakan penceminan rasa tanggung jawab sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang. Penjelasan ini memuat kaidah yang jauh lebih tegas, dan mengandung satu makna bahwa setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas ruang.

    Kapasitas Kelembagaan yang Dibentuk Kurang Kuat

    Aspek kelembagaan yang dimaksud tidak sebatas struktur organisasi, wewenang, tugas, dan fungsinya, tetapi

    lebih dari itu yaitu bagaimana menguji dan menilai apakah lembaga tersebut sudah efektif dan responsif dengan

    tuntutan untuk memecahkan berbagai masalah dalam penataan ruang. Untuk itu perlu dilakukan kajian yang

    komprehensif mengenai keberadaan kelembagaan beserta aspek-aspek yang melingkupinya.

    Untuk kelembagaan di daerah, UUPR mengadopsi kelembagaan yang ada berdasarkan UU No.5 Tahun 1974

    tentang Pemerintahan di Daerah beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya, seperti PP No.6 tahun 1988

    tentang Kordinasi Instansi Vertikal di Daerah. Penyelenggaan penataan ruang wilayah Provinsi dilakukan oleh

    Gubernur dengan kewenangan yang lebih bersifat kordinatif. Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota

    dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dengan kewenangan-kewenangan nyata (action), sesuai dengan prinsip Pasal

    11 UU No. 5 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa titik berat otonomi daerah berada di Tingkat II (Kabupen/Kota). Di tingkat Nasional, Pasal 29 UUPR menyatakan kewenangan penataan ruang berada pada

    Presiden, dan menugaskan Presiden untuk menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang.

    Dengan demikian UUPR mengatur bahwa kelembagaan dalam penyelenggaraan penataan ruang di tingkat

    nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di tingkat Daerah dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.

    Pengertian menyelengarakan adalah suatu pengertian yang mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang

    hukum publik. Adapun tugas dan kewajiban Menteri dalam penataan ruang wilayah negara antara lain adalah

    memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dengan masyarakat.

    Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya benturan kepentingan di antara instansi sektoral, maka UUPR telah

    menyatakan dengan tegas perlunya koordinasi. Dalam hal ini kemudian menugaskan kepada Presiden untuk

    menunjuk seorang menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Tugas koordinasi tersebut

    meliputi keseluruhan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Adapun sektor yang

    berada di bawah koordinasi menteri tersebut antara lain kehutanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, permukiman, perindustrian dan perdagangan.

  • Di atas kertas misi yang diamanatkan oleh UUPR tersebut relatif jelas, yakni terkoordinasikannya wewenang,

    tugas, dan kewajiban setiap instansi dalam penataan ruang, baik secara struktural, substansial, maupun

    fungsional. Namun demikian apabila kita tilik lebih jauh apa yang terdapat di dalam peraturan perundang-

    undangan sektoral yang berkaitan erat dengan penataan ruang, maka tugas menteri yang mengkoordinasikan

    tidak ringan, sebab masing-masing instansi sektor tersebut didukung (di-backup) oleh dasar hukum yang kuat

    dalam pelaksanaan wewenang, tugas, dan kewajibannya masing-masing. Tentu saja masing-masing peraturan perundang-undangan sektor tersebut tidak ada sama sekali, baik eksplisit maupun implisit, suatu klausul yang

    menyatakan misalnya bahwa dalam hal terkait dengan wewenang penataan ruang (di sektornya), maka perlu

    berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan penataan ruang. Hal ini

    dapat dilihat, misalnya di sektor pertambangan, pada Pasal 29 Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

    Pertambangan disebutkan bahwa: tata usaha, pengawasan pekerjaan usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan dipusatkan kepada Menteri Pertambangan. Demikian juga di sektor pengairan disebutkan bahwa Menteri Pertanian diserahi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengkoordinasikan segala pengaturan usaha-usaha perencanaan, teknis, pengawasan, pengusahaan, pemeliharaan, serta perlindungan

    dan penggunaan air dan atau sumber-sumber air.

    Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan bahwa:

    penetapan wilayah-wilayah hutan dilakukan oleh Menteri yang mengurusi urusan kehutanan. Namun tidak disebutkan bahwa dalam hal penetapan wilayah-wilayah hutan tersebut, harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam mengkordinasikan penataan ruang. Contoh lainnya dalam

    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,

    dikatakan bahwa Pemerintah berwenang untuk menetapkan wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, namun tidak disebutkan siapa yang berwenang menetapkan tersebut, apakah Presiden, setingkat Menteri? lalu Menteri apa yang diserahi wewenang menetapkan wilayah-

    wilayah tersebut? Semua hal tersebut masih tidak jelas. Demikian pula dalam PP No. 68/1998 tentang Kawasan

    Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, menyebutkan bahwa dalam penataan batas dilakukan oleh Panitia

    Batas yang keanggotaan dan taat kerjanya ditetapkan oleh Menteri.

    Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka dalam proses penyusunan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang

    Penataan Ruang dirumuskan untuk menjawab beberapa persoalan yang tidak terjawab dalam UU Nomor 24

    tahun 1992 melalui 3 isu pokok, yaitu: 1. Penguatan instrumen pengendalian tata ruang; 2. Penguatan aspek kelembagaan penatataan ruang 3. Penguatan hak-hak masyarakat

    Implikasi Pengaturan Sanksi

    UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur tiga bentuk sanksi, yaitu sanksi administrasi (Pasal

    62 sampai dengan 64), sanksi perdata (Pasal 66 ,67, dan 75), dan sanksi pidana (Pasal 69 sampai dengan 74).

    Sepintas sederetan pasal-pasal tersebut akan mampu menutupi celah yang terdapat dalam undang-undang

    sebelumnya dalam hal pengendalian tata ruang.

    Sisi lain yang terkait dengan proses pembuatan undang-undang adalah keseimbangan, keselarasan antara

    kesadaran hukum yang ditanamkan dari atas oleh penguasa negara (legal awareness) dengan perasaan hukum

    masyarakat yang bersifat spontan dari rakyat (legal feeling).

    Dalam kondisi yang demikian diharapkan budaya hukum (legal culture) dapat tumbuh lebih baik. Penegakan

    hukum yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum merupakan sub-sistem sosial, sehingga

    pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh perkembangan politik, ekonomi, sosial budaya, hankam,

    Iptek, pendidikan dan sebagainya. Lebih ideal lagi apabila para penegak hukum menyadari sepenuhnya bahwa

    supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan salah satu refleksi dan

    bahkan prakondisi sistem pemerintahan yang demokratis dan berwibawa. (Muladi, 1997).

    Persoalan sanksi pidana dalam rangka revisi UUPR muncul dari anggapan sementara kalangan bahwa rusaknya

    struktur dan merosotnya kualitas tata ruang disebabkan karena UUPR tidak mengatur sanksi pidana. Kasus tata

    ruang Cekungan Bandung adalah salah satu contoh dimana Rencana Tata Ruang hanyalah kebijakan di atas kertas.

    Bagian ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apakah pengaturan sanksi pidana dalam Undang-undang Penataan Ruang akan membuat pengendalian pemanfaatan ruang berjalan lebih efektif ?

    Kepatuhan terhadap peraturan hukum dapat timbul dari beberapa sebab. Pertama, rasa takut terhadap ancaman

    sanksi dan paksaan, seperti pencabutan izin, hukuman kurungan, denda, dan sebagainya (hard enforcement).

  • Kepatuhan hukum seperti ini sangat tergantung pada konsistensi aparat penegakan hukum. Sekali konsistensi itu

    dilanggar atau intensitas pengawasan menurun, maka potensi pelanggaran semakin besar. Dalam hal ini

    kepatuhan hukum masyarakat tergantung pada faktor aparat penegak hukum. Kedua, kepatuhan yang dilakukan

    atas keinginan masyarakat itu sendiri (soft enforcement). Dalam hal ini kepatuhan hukum timbul dari kesadaran

    masyarakat, yang dikenal sebagai kesadaran hukum. Kedua sebab tersebut di atas sama pentingnya, walau untuk penegakan jangka panjang kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran hukum terbukti lebih efektif.

    Dengan demikian, pengaturan sanksi pidana yang berat sekalipun tidak akan bermanfaat apabila pengawasan

    atau penegakan hukum tidak berjalan. Akan tetapi, situasi ini akan jauh lebih baik daripada tidak terdapat sanksi apapun yang dapat diterapkan bagi pelanggar hukum.

    Sejalan dengan asas pencegahan (the precautionary principle) dan asas pengendalian (principle of restraint)

    yang juga merupakan syarat kriminalisasi, menyatakan bahwa sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan

    apabila instrumen hukum lain tidak efektif, yang dalam hukum pidana dikenal sebagai asas subsidaritas atau

    ultima ratio principle atau ultimum remedium.

    Pertanyaan selanjutnya, siapa dan perilaku seperti apa yang layak diganjar oleh sanksi pidana ? Terhadap siapa

    atau pelaku yang dikenakan sanksi pidana, UU 26 tahun 2007 telah menjawab secara lugas, yaitu orang

    perseorangan atau badan hukum (korporasi). Sementara terhadap perilaku yang dikategorikan sebagai tindak

    pidana (kriminalisasi), masih menjadi persoalan. Apakah perilaku itu layak diketagorikan sebagai sebuah

    kejahatan dan pelanggaran berat sehingga patut diganjar dengan sanksi yang berat?

    Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 69 sampai pasal 71 UU Nomor 26 tahun 2007 ternyata ditujukan pada

    perilaku yang melanggar kewajiban yang diatur dalam Pasal 61, yaitu:

    a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfatan ruang; dan d. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan

    sebagai milik umum.

    Anehnya, pasal 62 dan 63 memberikan sanksi administratif terhadap perilaku serupa, sehingga dalam

    penerapannya akan menimbulkan kerancuan. Sesungguhnya pelanggaran terhadap ketentuan pasal 61 itu

    merupakan pelanggaran administrasi atau pidana? Penulis kira disini ada kekeliruan pemahaman terhadap asas

    ultimum remedium. Sebab secara prinsip pelanggaran atau kesahahan pada tataran hukum administrasi harus diselesaikan oleh instrumen hukum administrasi, kecuali dalam pelangaran hukum administrasi itu memang

    ditemukan unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana itu sayangnya tidak dirumuskan dengan jelas

    dalam UU 26 tahun 2007, sehingga sulit untuk ditegakkan.

    Ketentuan pidana yang agak unik karena belum lazim dalam sistem hukum kita, terdapat dalam Pasal 73 ayat (1) menyatakan:

    Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan

    dengan paling banyak Rp. 500.000.000

    Unsur tindak pidana muncul berdasarkan asumsi bahwa selayaknya pejabat pemberi izin pasti mengetahui

    rencana tata ruang, dan logika hukum (rasio legis) tidak mungkin pejabat memberikan izin yang tidak sesuai

    dengan rencana tata ruang karena izin itu