buletin tata ruang. edisi januari-februari 2008. tata ruang dan pemanasan global
Embed Size (px)
DESCRIPTION
diterbitkan oleh BKPRN melalui Ditjen Penataan Ruang Kemen PUTRANSCRIPT

MATERI BULETIN TATA RUANG
TRANSKRIP WAWANCARA dengan PROF. DR. EMIL SALIM
JAKARTA, 26 FEBRUARI 2008
BUTARU : Faktor apa yang memotivasi Bapak untuk terlibat sedemikian jauh pada
isu perubahan iklim di Indonesia sehingga Bapak memulai petualangan
baru menjadi ketua COP 13 di Bali yang silam itu?
Emil Salim : Bukan petualangan baru, tetapi komitmen lama pada lingkungan, belum
berhasil seperti yang dicita-citakan. Teman-teman dari Papua Barat,
misalnya, mengeluh tidak bisa membangun jalan karena Departemen
Kehutanan tidak mengizinkan penggunaan hutan lindung.
Lalu saya tanya, “Mengapa harus melalui hutan lindung ?” dan, “Apakah
ada rencana tata ruang?” Jawabnya adalah “Tidak ada.” Padahal, UU
Penataan Ruang sudah ada sejak 1992, tetapi tidak ada pelaksanaan
rencana tata ruang di semua provinsi atau semua kabupaten. Tanpa
rencana tata ruang, masyarakat akan seenaknya membangun jaringan jalan
atau (membuka) pertambangan di hutan lindung. Hal ini karena tidak ada
guidance, bimbingan dari rencana tata ruang.
Kejengkelan ini terus berkobar, sehingga kita harus tetap aktif. Rupanya
generasi muda tidak melihat urgensi pentingnya rencana tata ruang sebagai
petunjuk dimana harus dibangun jalan, pelabuhan, industri, pertambangan
dan lain-lain.
BUTARU : Lalu ..
Emil Salim : Apakah dengan keadaan ini kita bisa tidur nyenyak? Saya tidak bisa
nyenyak. Setelah sekian tahun kita membangun Republik, kok
lingkungannya bertambah rusak. Bencana alam bertambah dahsyat, banjir
semakin besar, hutan semakin menciut, ekspor asap ke negara-negara
ASEAN tidak terkendali. Lantas apakah kita memang menjadi penonton di
pinggir?
BUTARU : Jadi Bapak comeback untuk menyadarkan masyarakat mengenai
pentingnya penataan ruang dan pelestarian lingkungan?
Emil Salim : Bukan hanya masyarakat, yang saya heran ke mana pejabat-pejabat kita,
terutama yang bertanggung jawab untuk penataan ruang ini? Apa yang
telah dilakukan selama 16 tahun sejak UU Penataan Ruang diberlakukan
tahun 1992? Mengapa provinsi, kabupaten dan kota tetap tidak punya
rencana tata ruang?
BUTARU : Mungkin ada tapi tidak dilaksanakan ...

Emil Salim : Kalau hanya ada diatas kertas tapi tidak dilaksanakan, ya sama saja toh !?
Point saya adalah mengapa setelah 16 tahun, seolah-olah, kita berjalan di
titik yang sama.
BUTARU : Kembali ke persoalan COP-13 di Bali yang baru lalu, Pak. Sebagai Ketua
Delegasi RI, apakah seluruh ambisi dan harapan untuk membawa
kepentingan Indonesia sudah terpenuhi?
Emil Salim : Belum, karena belum ada kesepakatan bulat (antara negara maju dan
negara berkembang – red). Negara maju, yang dipelopori Amerika Serikat
(AS), tetap meletakkan peran serta mereka dengan syarat bahwa negara
berkembang (terutama China, India dan negara-negara ASEAN) juga harus
turut memiliki komitmen untuk membatasi emisi CO2. Padahal negara
maju yang sejak lama menjadi sumber emisi CO2, berkewajiban menebus
dosanya dengan mengurangi CO2.
Sebaliknya negara berkembang masuk ke ruang bumi yang sudah kotor dan
harus mengurangi kemiskinan yang jauh lebih rendah dibandingkan
dengan kemiskinan di AS, Eropa, Jepang dan negara maju lainnya. Bagi
negara maju, kemiskinan bukan merupakan prioritas, namun bagi negara
berkembang, kemiskinan adalah hal yang serius. Maka, belum terjadi
kesepakatan bahwa negara maju harus menurunkan emisi CO2-nya,
sementara negara berkembang harus menurunkan kemiskinannya,
sekaligus menurunkan CO2.
Untuk itu, negara berkembang memerlukan alih teknologi, capacity
building, dan funding. Namun jawaban negara maju adalah, ”Teknologi
harus dibeli dari private sector”. Saya menjawab, “Bung, bila saya punya
satu dollar, akan lebih baik saya usahakan agar kaum miskin bisa
bekerja untuk mendapatkan makanan, daripada satu dollar ini saya beli
untuk teknologi-mu yang hanya menambah pendapatan-mu saja, tapi
kaum miskin (di negara saya – red) tidak tertolong”.
Nah, injustice ini yang saya lihat belum berhasil dipecahkan. Betul, semua
komponen committed. Tetapi, the devil is in detail, maka tampak jelas
bahwa negara maju masih tetap enggan melakukan alih teknologi capacity
building, dan funding transfer. Mereka tetap menuntut kita seperti negara
maju, dengan mengusahakan penurunan emisi CO2, as if tidak ada
kemiskinan. Hal itu yang menjengkelkan saya.
BUTARU : Dengan realita yang ada, langkah apa yang harus ditempuh Indonesia
untuk menerobos ke kebuntuan-kebuntuan tersebut?
Emil Salim : Kebuntuan itu berkaitan dengan konservatisme di dalam pemerintahan AS
di bawah Presiden George Bush dari Partai Republik. Tapi nanti di
Kopenhagen, saya rasa sikap dari pemerintahan AS akan berubah karena
Partai Demokrat lebih peka terhadap lingkungan. Seperti halnya Kevin
Rudd (Perdana Menteri Australia yang baru - red) merubah sikap
pemerintahannya dalam sekejap.

BUTARU : Bagaimana dengan peran Indonesia pasca COP-13 di Bali dalam konteks
global?
Emil Salim : Untuk peran kita sekarang, saya lebih cenderung mendemonstrasikan ke
luar negeri dengan usaha di dalam negeri. Indonesia sudah menderita
dampak climate change. (Muka air) laut sudah naik, sungai Bengawan Solo
tidak bisa mengalir ke laut seperti tahun sebelumnya, terpantul kembali
menjadi banjir. Begitu juga dengan sungai Cimanuk dan Ciliwung, belum
lagi bencana angin topan.
Jadi, saya merasa perlu kita menangani persoalan climate change di tanah
air. (Urusan) luar negeri itu penting, tetapi sekarang kita harus
membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu menangani climate
change dan tidak hanya bicara di forum internasional.
BUTARU : John Forester, Profesor of School of Urban and Regional Planning di
Cornell University, mengatakan bahwa “Planning is about our capacity to
imagine the future differently”. Perubahan iklim pun menuntut
perubahan paradigma pembangunan nasional. Dalam konteks mitigasi
dan adaptasi menghadapi perubahan iklim, seberapa jauh sebetulnya
tingkat confidence Bapak terhadap instrumen penataan ruang untuk
menghasilkan perubahan ke depan bila melihat pengalaman masa lalu,
dari 1992 ke 2008?
Emil Salim : Pada mulanya, tim BKTRN itu kuat. Menko-nya saat itu adalah Radius
Prawiro, Menteri Dalam Negeri adalah Rudini, Dirjen Pembangunan
Daerah adalah Attar Sibero, Menteri PU adalah Poernomosidhi, Dirjen
Cipta Karya adalah Radinal Mochtar, dan saya adalah Menteri Lingkungan
Hidup. Semua koordinasi berjalan efektif. (Prof. Emil Salim menceritakan
kasus pembatalan rencana pembangunan villa di kawasan Puncak
melalui proses koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah – red).
Point saya adalah bahwa tata ruang is a function of leadership dan
keberanian untuk bertindak sesuai dengan ketentuan hukum. Nah, (kedua
faktor ini) yang tidak saya lihat sekarang. Bahkan saya tidak mengetahui
siapa yang menggerakkan BKTRN.
BUTARU : Jadi, menurut Bapak, BKTRN saat itu berperan sangat efektif dan RTRW
juga bisa dilaksanakan dengan baik di lapangan...?
Emil Salim : Ya, selama adanya tokoh-tokoh itu. Kemudian pada tahun 1993 kan
berubah. Pak Rudini dan saya telah pensiun. Sesudah itu saya tidak
mengikuti lagi perkembangan BKTRN.
BUTARU : Lalu, bagaimana dengan penataan ruang dalam konteks otonomi daerah
dewasa ini?

Emil Salim : Seperti yang saya katakan sebelumnya, daerah harus membangun dengan
mengikuti guidance dari Pusat. Di mana sih yang tidak boleh, pada
kemiringan berapa sih yang tidak baik.
Saya ingat saat itu, Poernomosidhi memiliki teori “bola-bola” (konsep
satuan wilayah pengembangan – red) dan Made Sandi memiliki konsep
tata guna lahan. Intinya, there is a concept. Itu yang saya inginkan.
Sehingga, berdasarkan konsep tersebut, kita sampaikan pada semua
gubernur, bupati, dan walikota yang mana yang boleh dan yang mana yang
tidak boleh (dikembangkan), atau please try to avoid this.
BUTARU : Namun, kewenangan Pemerintah Pusat saat ini kan juga sudah berbeda?
Emil Salim : Maka pendekatannya harus berubah dong. Daerah-daerah itu tidak
mengetahui mana yang boleh dan tidak, seperti kasus di Papua Barat
diatas. ”Tell me why, mengapa harus membangun jalan melalui hutan
lindung, ya mengapa tidak lewat pantai, apakah ada resources, apakah
ada penduduk?”. Membangun jalan kan harus melihat origin and
destination, apakah ada destination, apakah ada origin, apakah ada kargo?
Ketika dihujani pertanyaan-pertanyaan ini, mereka tidak bisa menjawab.
Jadi, mereka membuat rencana, namun tidak memahami the principles of
planning. Propinsi baru seperti Papua Barat perlu dibantu.
Dalam era desentralisasi, semestinya kita punya pejabat yang terjun ke
kabupaten dan kota, tidak hanya tinggal diam di Jakarta. Karena surat izin
untuk membakar hutan kurang dari dua hektar atau surat izin untuk
menebang pohon, keduanya, diberikan oleh Pemda, bukan oleh Jakarta.
Jadi, the battle field is in daerah, berbeda dengan zaman orde baru dulu.
BUTARU : By nature, upaya penataan ruang memiliki dimensi jangka panjang,
tetapi upaya ini juga dihadapkan pada berbagai persoalan yang
berdimensi jangka pendek. Menurut Bapak, bagaimana kita
mengkompromikan kedua kepentingan ini?
Emil Salim : Basically masyarakat Indonesia adalah masyarakat agraris yang sangat
peka terhadap lingkungan. Selama menjadi Menteri Lingkungan Hidup,
saya tidak pernah mengalami sikap masyarakat yang menentang
lingkungan hidup, karena masyarakat kita adalah gemeenschaft,
masyarakat pedesaan yang mayoritas agraris.
Nah sekarang kita harus memberikan way-out, bagaimana kesejahteraan
meningkat tanpa merusak lingkungan. Artinya, bagaimana mainstreaming
lingkungan dalam bidang pertanian, pertambangan, kehutanan, dan lain-
lain. (Pelestarian) lingkungan bukan hanya tugas Kementerian Lingkungan
Hidup. Mainstreaming menjadi penting.
Saya sedih ketika jalan tol Cipularang (Jakarta-Bandung) dibangun dengan
memakan lahan-lahan subur. Padahal tersedia alternatif jalan kereta api
Jakarta-Bandung, yang bisa dinaikkan frekuensi-nya, bisa dibangun double
track, pada saat yang bersamaan, aliran barang juga bisa ditingkatkan.

Setelah pembangunan jalan tol tersebut, arus mobil memang lancar, tetapi
kemacetan terjadi di Kota Bandung yang memicu kenaikan kadar CO2 rata-
rata setahun sebesar 30%.
Pertanyaannya, apakah tidak ada rencana tata ruang yang memuat
intermode transportation system? Begitu jalan terbangun, kawasan
Karawaci dan Sentul muncul, yang memakan tanah lagi. Orang tidak perlu
heran sawah-sawah di Pulau Jawa ini berkurang. Ofcourse lahan
berkurang, karena jalan meningkatkan aksesibilitas dan lahan-lahan (di
sekitarnya – red) berubah fungsi.
Jadi Bina Marga, Pengairan, Cipta Karya, dan Penataan Ruang, harus
(berada dalam satu frame – red) in one map rencana tata ruang pulau
Jawa, Nasional, dan bahkan ASEAN nanti, artinya menjadi one common
market.
BUTARU : Secara konseptual, visi penataan ruang identik dengan visi lingkungan
hidup yakni untuk pembangunan berkelanjutan. Artinya, mencapai
kesejahteraan tanpa merusak atau mengurangi hak dari generasi yang
akan datang untuk menikmati kesejahteraan yang sama. Untuk
mencapai visi jangka panjang tersebut, sebaiknya dari mana kita mulai?
Emil Salim : Esensi dari sustainable development adalah resource-use management
dengan mainstreaming pada environmental consideration. Artinya,
bagaimana memanfaatkan sumberdaya sesuai dengan memperhatikan
daya dukung lingkungan. (Prof. Emil Salim menganalogikan daya
dukung lingkungan dengan konsep pembuatan kapal Phinisi agar tidak
tenggelam - red).
Maka, bangun Kota Jakarta tanpa melewati daya dukung lingkungannya!
Daya dukung lingkungan bisa dihitung dengan rumus tertentu, dan akan
mendikte proses pembangunan. Konsep ini menjelaskan, why development
of malls di Jakarta is wrong, karena mall-mall tersebut mengundang
manusia datang ke Jakarta. Di luar negeri, Washington DC, mall terletak
enam puluh mil dari White House, demikian juga di Paris. Lalu, mengapa
pembangunan Kota Jakarta, Ibukota Negara menjadi semrawut seperti
sekarang? Karena (perencanaan pembangunan) tidak mengikuti the
principles of carrying capacity of a capital city. There has nothing to do
dengan short term atau long term plan. It has to do when taking into
account carrying capacity.
BUTARU : Apakah ini artinya Jakarta yang semrawut merupakan hasil
perencanaan masa lalu yang keliru …?
Emil Salim : Salah. Bersama dengan Pak Ali Sadikin, kita membuat rencana 25 tahun,
yang sekarang diakui oleh seorang penulis Inggris sebagai rencana
pembangunan Kota Jakarta yang baik. Namun rencana tersebut kemudian
direvisi pada masa Gubernur Tjokropranolo yang membuat (Jakarta)

kacau. Yang sebelumnya (direncanakan) menjadi waduk, berubah menjadi
apartemen. He put the damn things up side down. Entahlah, saya tidak
mengerti, pada saat itu terjadi semacam proses desadikinisasi.
Dulu, saya ribut tentang Pantai Indah Kapuk yang akan dijadikan Hawaii-
nya Jakarta, saya maklum karena pada saat itu lingkungan belum banyak
dipahami orang banyak. Lalu tentang jalur hijau Senayan, yang merupakan
paru-paru kota Jakarta. Awalnya saya happy, tapi sekarang mengapa
dibangun Senayan City, yang jelas bukan merupakan sarana olahraga?
Mengapa Direktorat Jenderal Penataan Ruang diam saja? Dinas
lingkungan kan tidak ada di daerah-daerah, tapi Ditjen Tata Ruang kan
ada.
BUTARU : Kalau kita mengamati banjir Jakarta, sesungguhnya apa esensi
persoalannya menurut Bapak? Yang jelas banjir bukan persoalan teknis
semata.
Emil Salim : Banjir Jakarta membuat saya kecewa. Ketika tahun 2007 terjadi banjir,
seharusnya itu menjadi lesson. Kalau saya bertanggung jawab atas urusan
itu, saya akan membuat potret, mengikuti berita-berita koran, dimana
sumbernya, dimana yang tenggelam, sehingga kita memperoleh the picture
of last year. Tetapi, nothing is being done. Memasuki awal tahun 2008,
(banjir) meledak lagi. Maka terpikir oleh saya, siapa yang bertanggung
jawab di dalam Republik ini?
(Prof. Dr. Emil Salim kemudian menceritakan sedikit sejarah masa
lalunya, bagaimana ayahnya selaku salah seorang pejabat di Pekerjaan
Umum pada zaman Belanda melaksanakan tugas-tugasnya).
BUTARU : Lantas, bagaimana dengan masa depan Jakarta agar banjir dapat
diatasi atau dikurangi? Bukankah Jakarta harus membangun dengan
cara yang berbeda?
Emil Salim : Ada prakarsa dari DPR yang ditunjang Pak Sutiyoso untuk membuat
Undang-Undang Ibukota Negara. (Dalam rancangan UU tersebut – red)
disebutkan bahwa Ibukota terdiri dari Gubernur dan Wakil Gubernur yang
dipilih (melalui Pilkada), dan beberapa Deputi Gubernur yang diangkat
sebagai wakil Pemerintah Pusat. Gubernur merupakan pejabat setingkat
Menteri yang menghadiri Rapat Kabinet.
Sebagai Ibukota Negara, menurut logic saya, maka fungsi ibukota yang
relevan yes ada di dalam, tapi fungsi kota lain harus out, seperti fungsi
industri semestinya tidak ada. Mengapa perluasan Tanjung Priok harus
dilakukan, mengapa tidak ke Cirebon atau Banten saja? Can you imagine
what will happen kalau kampus UI tidak dipindahkan ke Depok?

Dengan logic itu, berarti aktivitas yang menarik banyak penduduk harus
keluar Jakarta. Artinya bukan fungsi ibukotanya yang keluar, tetapi fungsi
yang tidak relevan dengan Ibukota Negara yang harus keluar. Bukan mall
yang harus ada di Jakarta, tetapi mall yang harus keluar.
Pak Sutiyoso ingin menerapkan konsep megapolitan, saya mengatakan
bahwa megapolitan itu melebihi daya dukung lingkungan Jakarta. Jangan
mengikuti perkembangan Jakarta as a past trend, bahwa dulu
(penduduknya – red) enam juta, terus bertambah hingga 20 juta, bukan
begitu. Fungsi Ibukota Negara itu yang harus diutamakan, yang tidak
relevan harus keluar. Business as usual versus what do you want terhadap
kota itu. Nah, cara berpikir ini yang mesti dikembangkan oleh Departemen
PU.
BUTARU : Ini pertanyaan terakhir Pak Emil. Dalam beberapa kesempatan, Bapak
kerap menyebut diri sebagai ’orang yang cinta pada penataan ruang’.
Sebetulnya apa maksud dari pernyataan Bapak ini?
Emil Salim : Ya karena the soul atau hakekat dari pengelolaan lingkungan adalah
resource use yang diperebutkan oleh berbagai sektor/departemen. Jadi
walaupun berada dalam satu kabinet, setiap menteri punya kepentingan
yang berbeda dengan menteri lain. Kalau kehutanan menang, maka
pertambangan, pertanian, dan permukiman harus keluar. Kalau
pertambangan yang menang, maka kehutanan, pertanian dan permukiman
harus keluar. Jadi, jantungnya lingkungan terletak pada resource-use
management, dan resource-use ini didikte oleh penataan ruang.
Jika penataan ruang doesnt work, maka lingkungan fails. Itu sebabnya
dulu mengapa saya, selaku Menteri Lingkungan Hidup, ‟ngotot‟ mendorong
penataan ruang. Where is the resource use? Bagaimana resource use
mengindahkan daya dukung lingkungan? Bagaimana dampak pemanfaatan
resources itu terhadap lingkungan, baik daerah aliran sungai, gunung,
tanah dan lain-lain. Itu semuanya itu kan bahasa tata ruang. Singkatnya,
lingkungan in action is tata ruang.
BUTARU : Lingkungan in action is tata ruang … bisa lebih diperjelas maksudnya?
Emil Salim : Kalau kita bilang ”lestarikan alam”, itu kan hanya blablabla. Artinya,
embung-embung, situ-situ, terminal banjir tidak boleh dibangun atau
dirubah, selain itu agar bantaran-bantaran sungai tidak dirusak, agar air
tetap bisa mengalir,. Maka tanpa tata ruang, lingkungan babak belur.
Namun, tata ruang tanpa lingkungan adalah tata ruang yang bisa merusak
lingkungan. Layaknya sebuah pisau, penataan ruang bisa menyembuhkan
namun juga bisa membunuh.
Nah saya mengamati bahwa di Departemen PU terlalu banyak orang baik.
Sekali-sekali kita harus „braak’, banting meja.
Pembangunan juga merupakan proses pendidikan. We have to fight for
our principles

Profil DAS Bengawan Solo
1. LATAR BELAKANG
Sungai Bengawan Solo merupakan sebuah sumber air yang sangat potensial bagi usaha-
usaha pengelolaan dan pengembangan sumber daya air (SDA), di sepanjang alirannya
untuk memenuhi berbagai keperluan dan kebutuhan, antara lain untuk kebutuhan
domestik, air baku air minum dan industri, irigasi dan lain-lain. Sungai Bengawan Solo
merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa, terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa
Timur dengan luas wilayah sungai ± 12% dari seluruh wilayah Pulau Jawa pada posisi
110o18’ BT sampai 112o45’ BT dan 6o49’LS sampai 8o08’ LS.
Wilayah Sungai merupakan suatu wilayah yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang melalui wilayah tersebut dalam fungsinya
untuk menampung air yang berasal dari hujan dan sumber-sumber air lainna yang
penyimpanan dan pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam
sekeliling berdasarkan keseimbangan daerah tersebut.
Luas total wilayah sungai (WS) Bengawan Solo ± 19.778 km2, terdiri dari 4 (empat)
Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Bengawan Solo dengan luas ± 16.100 km2, DAS
Kali Grindulu dan Kali Lorog di Pacitan seluas ± 1.517 km2, DAS kecil di kawasan pantai
utara seluas ± 1.441 km2 dan DAS Kali Lamong seluas ± 720 km2.
DAS Bengawan Solo merupakan DAS terluas di WS Bengawan Solo yang meliputi Sub DAS
Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Sub DAS
Bengawan Solo Hulu dan sub DAS Kali Madiun dengan luas masing-masing ± 6.072 km2
dan ± 3.755 km2. Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun mengalirkan air dari lereng
gunung berbentuk kerucut yakni Gunung Merapi (± 2.914 m), Gunung Merbabu (± 3.142
m) dan Gunung Lawu (± 3.265 m), sedangkan luas Sub DAS Bengawan Solo Hilir adalah
± 6.273 km2.
Secara administratif WS Bengawan Solo mencakup 17 (tujuh belas) kabupaten dan 3
(tiga) kota, yaitu:
Kabupaten : Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora,
Rembang, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban.
Lamongan, Gresik dan Pacitan.
D E P A R T E M E N P E K E R J A A N U M U M D I R E K T O R A T J E N D E R A L S U M B E R D A Y A A I R S A T K E R B A L A I B E S A R W I L A Y A H S U N G A I B E N G A W A N S O L O
Jl. SOLO-Kartosuro Km. 7 PO BOX 267 Telp (0271) 716428 – 716071, Fax (0271) 716428 SURAKARTA - 57102

Kota : Surakarta, Madiun dan Surabaya
Pengelolaan sumber daya air merupakan suatu kegiatan yang kompleks karena
menyangkut semua sektor kehidupan, sehingga harus melibatkan semua pihak baik
pembuat aturan (regulator), pengguna (user) dan pengembang (developer) maupun
pengelola (operator). Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk mulai menerapkan
dan menggunakan pendekatan one river basin, one plan and one integrated
management, sehingga keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan serta
pengendalian dapat diwujudkan.
Dalam pengelolaan WS Bengawan Solo Arah dan Kebijakan yang diambil adalah :
1. Memperhatikan keserasian antara konservasi dan pendayagunaan, pengelolaan
kuantitas dan kualitas air untuk menjamin ketersediaan air baik untuk saat ini
maupun masa datang.
2. Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan banjir dilakukan
dengan pendekatan konstruksi (penyelesaian pelaksanaan pembangunan sarana
pengendali banjir) dan non-konstruksi (konservasi sumber daya air dan
pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan
tata ruang wilayah).
3. Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air memerlukan penataan
kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab
masing-masing pemangku kepentingan.
2. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo
+ 26,1% wilayah Propinsi
Jateng 27,5% wilayah Propinsi
Jatim

Balai Besar WS Bengawan Solo sebagai pengelola Pengelolaan Sumber Daya Air yang
bertugas dalam perencanaan, pelaksanaan konstruksi, o & p dalam rangka konservasi
sumber daya air, pengembangan sumber daya air, pendayagunaan sumberdaya air dan
pengendalian daya rusak air pada Wilayah Sungai Bengawan Solo. Dalam rangka
menjalankan tugas tersebut, Balai Besar WS Bengawan Solo memiliki fungsi :
1. Penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai
2. Penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sumber air
pada wilayah sungai
3. Pengelolaan sumberdaya air yang meliputi konservasi sumber daya air,
pengembangan sumber air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian
daya rusak air.
4. Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan, peruntukan,
penggunaan dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai.
5. Operasi dan pemeliharaan sumberdaya air pada wilayah sungai
6. Pengelolaan sistem hidrologi
7. Penyelenggaraan data dan informasi sumberdaya air.
8. Fasilitasi kegiatan tim koordinasi pengelolaaan sumberdaya air pada wilayah
sungai
9. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air.
10. Pelaksanaan ketatausahaan balai besar wilayah sungai.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11A/PRT/M/2006 Juni 2006, WS
Bengawan Solo dikategorikan sebagai WS lintas propinsi yang didasarkan pada penilaian:
• WS Bengawan Solo adalah WS lintas propinsi, yaitu berada di wilayah Propinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur.
• Ukuran dan besarnya potensi sumber daya air yang tersedia, ketersediaan air
sebesar ± 18,61 miliar m³.
• Banyaknya sektor yang terkait dengan sumber daya air WS Bengawan Solo,
jumlah penduduk mencapai 16,03 juta jiwa pada tahun 2005.
• Besarnya dampak sosial, lingkungan dan ekonomi terhadap pembangunan
nasional.
• Besarnya dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhan ekonomi
nasional dan regional.
Karena WS Bengawan Solo dipandang sebagai WS lintas propinsi, maka pengelolaan
sumber daya air ini berada di dalam kewenangan Pemerintah Pusat.
3. Pemanfaatn Ruang di WS. Bengawan Solo

Pemanfaatan ruang WS Bengawan Solo yang telah dikompilasikan dari RTRW Propinsi
Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut :
a. Pengelolaan Kawasan Lindung
Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah kerusakan fungsi
lingkungan. Sedangkan pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk
meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan ruang, menjaga kelestarian
lingkungan serta menghindari konflik pemanfaatan ruang.
a) Kawasan Perlindungan Bawahan
Kawasan perlindungan bawahan diperuntukkan untuk menjamin
terselenggaranya fungsi lindung hidroorologis bagi kegiatan pemanfaatan lahan.
Kawasan ini meliputi kawasan hutan lindung dan kawasan resapan air.
Kawasan Hutan Lindung
Arahan pengelolaan kawasan hutan lindung, khususnya yang berkaitan dengan
pemanfaatan kawasan budidaya, berada di lokasi : Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten
Magetan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi.
Kawasan Resapan Air
Kawasan resapan air diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan tanah yang
dapat menjaga kelestarian ketersediaan air bagi daerah yang terletak di wilayah
bawahannya. Kawasan resapan air tersebar di Kabupaten Boyolali, Kabupaten
Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen,
Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo
dan Tuban.
b) Kawasan Suaka Alam
Beberapa sub kawasan termasuk di dalam kawasan suaka alam, pelestarian alam
dan cagar budaya, suaka alam laut dan perairan, kawasan pantai berhutan
bakau, taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan.
c) Kawasan Rawan Bencana
Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi
tinggi mengalami bencana alam.
Kawasan rawan banjir
Kawasan rawan bencana banjir adalah tempat-tempat yang setiap musim hujan
mengalami genangan lebih dari enam jam pada saat hujan turun dalam keadaan
normal. Kawasan tersebut yaitu di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Blora.
Kawasan rawan bencana longsor
Kawasan rawan bencana alam rawan longsor merupakan wilayah yang kondisi
permukaan tanahnya mudah longsor karena terdapat zona yang bergerak akibat
adanya patahan atau pergeseran batuan induk pembentuk tanah.
Lokasi kawasan rawan bencana longsor terdapat di Kabupaten Boyolali (lereng
timur G.. Merbabu dan lereng timur G. Merapi), Kabupaten Wonogiri (lereng
selatan G. Lawu, perbukitan selatan dan timur Sungai Keduwang, serta bagian
selatan dan barat daya Kabupaten), Kabupaten Karanganyar (lereng barat G.

Lawu), Kabupaten Sragen (Sangiran dan Gemolong (G. Butak Manyar)),
Kabupaten Blora (di daerah Ngawen, Todanan dan Jepon), Kabupaten Rembang
terutama di bagian selatan dan timur dan Kabupaten Magetan.
Kawasan rawan bencana gunung berapi
Kawasan rawan bencana alam gunung berapi merupakan wilayah sekitar puncak
gunung berapi yang rawan terhadap luncuran gas beracun, lahar panas dan
dingin, luncuran awan panas dan semburan api, dan tempat lalunya tumpahan
benda-benda lain akibat letusan gunung berapi.
Lokasi kawasan rawan bencana gunung berapi yaitu di Kabupaten Boyolali,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Ngawi (G. Lawu), Kabupaten Magetan (G. Lawu),
Kabupaten Madiun (G. Liman & G. Wilis) dan Kabupaten Ponorogo (G. Liman &
G. Wilis).
Kawasan rawan bencana gempa
Lokasi rawan bencana gempa yaitu di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten,
Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Ponorogo.
b. Pengelolaan Kawasan Budidaya
Pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil
guna sumberdaya serta untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan
kelestarian lingkungan hidup. Kawasan budidaya yang dikelola pemanfaatan
ruangnya terdiri dari: Kawasan hutan produksi; Kawasan pertanian; Kawasan
pertambangan; Kawasan peruntukan industri; Kawasan pariwisata; Kawasan
permukiman; Kawasan perikanan; Kawasan perkebunan; Kawasan peternakan;
Kawasan pariwisata; Kawasan permukiman; Kawasan industri; dan Kawasan
perdagangan.
c. Kawasan Andalan
Adalah Kawasan kawasan yang mempunyai potensi pengembangan bagi sektor unggulan.
WS Bengawan Solo ditetapkan 4 (empat) zona kawasan andalan:
1. Tuban-Lamongan dan sekitarnya
2. Madiun dan sekitarnya
3. Surabaya dan sekitarnya
4. Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan Karanganyar
No Kaput Nama DAS Potensi Unggulan Prioritas Pengembangan
1 Tuban-Lamongan dan sekitarnya
Bengawan Solo Hilir dan Pantura
– Pertanian tanaman pangan
– Perikanan
– Industri
– Pariwisata
– Perdagangan
jasa
– Pertambangan
– Mengembangkan kawasan industri di kawasan utara.
– Mengembangkan industri perikanan di Brondong.
– Eksploitasi sumber daya tambang.
– Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman pangan.
– Menumbuhkan potensi pariwisata alam atau buatan, a.l:
Wisata alam Pacet, Goa Maharani, Tanjung Kodok, Jatim Park II.

2 Madiun, Pacitan dan sekitarnya
Kali Madiun, Kali Grindulu-Lorog
– Pertanian tanaman pangan
– Industri
– Perikanan
– Meningkatkan pengembangan potensi tanaman semusim selain tanaman padi sebagai sektor dasar, serta peningkatan produksi industri kulit.
– Mengembangkan kawasan industri di Madiun.
– Optimalisasi pariwisata alam.
3 Surabaya, Gresik dan sekitarnya
Kali Lamong – Perdagangan jasa
– Industri
– Perikanan
– Pariwisata
– Pertanian tanaman pangan
– Mengembangkan kawasan industri.
– Aglomerasi permukiman perkotaan.
– Mengembangkan potensi wisata.
– Meningkatkan produksi perikanan tambak.
– Mempertahankan dan mengembangkan kawasan
budidaya tanaman pangan
4 Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan sekitarnya
Bengawan Solo Hulu
– Industri
– Pariwisata
– Tanaman pangan
– Perdagangan
– Mengembangkan kawasan industri.
– Mengembangkan potensi wisata.
– Mempertahankan dan mengembangkan kawasan budidaya tanaman pangan
4. Banjir Bengawan Solo Akhir Tahun 2007
Permasalahan Utama dalam pengelolaan DAS WS Bengawan Solo diantaranya adalah
banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi, intruksi air laut, kualitas air dan lain-lain yang
disebabkan oleh :
Terus menurunnya kondisi hutan.
Kerusakan DAS: penebangan liar dan konversi lahan yang menimbulkan kerusakan
ekosistem dalam tatanan DAS.
Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar (illegal logging).
Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.
Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori potensial kritis sampai sangat kritis
mencapai luas kurang lebih 11.398 km2 akibat proses erosi yang berlanjut dan kerusakan
vegetasi.
Luas lahan kritis terbesar terdapat di Kab. Wonogiri (Jawa Tengah) seluas 128.662 ha,
Kab. Pacitan seluas 129.598 ha dan Kab. Bojonegoro seluas 172.261 ha (Jawa Timur).
Wilayah Sungai Bengawan Solo mengalami penurunan daya dukung lingkungan. Hal ini
antara lain disebabkan oleh penebangan liar dan konversi lahan, sehingga terjadi
penurunan luas hutan yang ada yaitu 23 % pada tahun 1998 menjadi 18 % pada tahun
2005. Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori potensial kritis sampai
sangat kritis pada saat ini mencapai luas ± 11.39 km2, akibat proses erosi yang
berkelanjutan dan kerusakan vegetasi.

Akibat terjadinya hujan di bagian hulu dengan intensitas tinggi di Sub DAS Bengawan Solo
Hulu dan K.Madiun pada tanggal 25 Desember 2007, maka terjadi banjir besar diseluruh
DAS Bengawan Solo mulai tanggal 26 Desember 2007, yang menimbulkan kerusakan
akibat banjir besar seperti tergenangnya perumahan, fasilitas umum, kantor, tempat
ibadah, sawah/tegalan, dan jalan nasional, propinsi, kabupaten di kota dan daerah
disekitar sungai Bengawan Solo, dimana kondisi itu mempengaruhi aktifitas masyarakat
dan perekonomian.
Kejadian banjir besar tersebut melanda kabupaten/kota di sepanjang aliran sungai
Bengawan Solo diantaranya yaitu : Solo, Sukoharjo, Sragen, Ponorogo, Madiun, Cepu,
Bojonegoro, Tuban, Babat, Lamongan, Gresik dan daerah disekitarnya.
5. Penangulangan Permasalahan Daya Rusak Air
Upaya pengendalian banjir harus dengan keterpaduan antara upaya fisik teknis dan non
teknis seperti perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan, perubahan tata ruang
secara massive di kawasan budidaya yang menyebabkan daya dukung lingkungan
menurun drastis, serta pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri yang mengubah
keseimbangan fungsi lingkungan sehingga menyebabkan kawasan retensi banjir
(retarding basin) berkurang. Aktivitas dan perubahan ini menyebabkan meningkatnya
debit air yang masuk ke badan sungai dimana dengan terbatasnya kapasitas tampung dan
pengaliran sungai akan berdampak meluapnya air sungai.
Karena itu pada masa yang akan datang upaya pengendalian banjir tidak bisa hanya
difokuskan pada penanganan fisik saja, namun harus disinergikan juga dengan
pembangunan non fisik yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya keterlibatan
atau partisipasi masyarakat, sehingga tercapai suatu sistem pengendalian banjir yang
lebih optimal.
Sinergi antara penanganan fisik dan non fisik dalam upaya pengendalian banjir dapat
diwujudkan melalui beberapa hal sebagai berikut:
a. Pengendalian tata ruang.
Pengendalian tata ruang dilakukan dengan perencanaan penggunaan
ruang sesuai kemampuannya dengan mempertimbangkan permasalahan
banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya serta
penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang telah
memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai.
b. Pengaturan debit banjir
Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan penanganan fisik
berupa pembangunan dan pengaturan bendungan, perbaikan sistem
drainase perkotaan, normalisasi sungai dan daerah retensi banjir.
Pengaturan daerah rawan banjir
Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara:

1) Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain management).
2) Penataan daerah lingkungan sungai seperti: penetapan garis
sempadan sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai, penertiban
bangunan di sepanjang aliran sungai.
c. Peningkatan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir diwujudkan
dalam:
1) Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat
2) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun
dan mensosialisasikan program pengendalian banjir.
3) Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain
tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang
berwenang untuk:
mengubah aliran sungai;
mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di
dalam atau melintas sungai.
membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan atau cair
ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai
yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran,
pengerukan atau penggalian bahan galian golongan C dan atau
bahan lainnya.
pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap
masyarakat (melalui Penyediaan informasi dan pendidikan,
Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas umum,
Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat
lainnya dan lain-lain)
d. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air
Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir antara lain
dapat dilakukan melalui kegiatan:
1) Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan,
kawasan budidaya dan kawasan lindung);
2) Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak;
3) Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif, kimia,
maupun mekanis;
4) Perlindungan/konservasi kawasan - kawasan lindung.
e. Penyediaan Dana
Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara:
1) Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola
sendiri oleh masyarakat pada daerah rawan banjir.
2) Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah yang
rawan banjir

3) Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
f. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat dan
Rencana Tindak Darurat
Agar efektif, di masa yang akan datang sistem peringatan dini datangnya
banjir di WS Bengawan Solo harus berpusat secara kuat pada masyarakat
yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu. Dengan
penerapan sistem ini, akan dapat memberikan informasi lebih dini bagi
masyarakat yang kemungkinan akan terkena bencana sehingga ada
kesempatan bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri atau barang-
barang berharganya.
Sistem tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh sehingga dapat
meyakinkan bahwa sistem tersebut dapat berfungsi ketika diperlukan dan
peringatan dapat disampaikan secara segera dan mudah dimengerti oleh
semua anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan tingkat resiko
bencana. Komponen inti sistem peringatan dini datangnya banjir harus
berpusat pada masyarakat terdiri dari:
Penyatuan dari kombinasi elemen-elemen bottom-up dan top-down;
Keterlibatan masyarakat dalam proses peringatan dini;
Pendekatan multi bencana; dan
Pembangunan kesadaran masyarakat.
Mendasari semua hal tersebut di atas harus ada suatu dukungan politis
yang kuat, hukum dan perundang-undangan, tugas dan fungsi masing-
masing institusi yang jelas serta sumber daya manusia yang terlatih. Oleh
karenanya, sistem peringatan dini perlu dibentuk dan didukung sebagai
satu kebijakan, sedangkan kesiapan untuk menanggapi harus diciptakan
melekat dalam masyarakat.
Untuk menciptakan sistem peringatan dini datangnya banjir yang efektif
di WS Bengawan Solo, yang berpusat secara kuat pada masyarakat yang
tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu masih banyak hal-
hal yang perlu dilakukan antara lain:
o Membuat peta rawan banjir yang dapat menunjukkan ketinggian
genangan, tempat yang aman untuk berlindung serta rute untuk
penyelamatan.
o Melakukan survei kerentanan masyarakat yang tinggal di lereng bukit
yang rawan longsor.
o Membantu lembaga nasional yang terkait dengan cuaca dengan
mengakses data cuaca dan citra satelit internasional/global.
o Mendukung masyarakat terpencil dengan memasang alat duga muka
air elektronis yang sederhana dan sistem siaga untuk memberikan
peringatan banjir.
o Meningkatkan keinginan melakukan penelitian dan pelatihan tentang
ilmu pengetahuan dan teknologi peringatan dini modern.

o Melaksanakan kajian bagaimana masyarakat meng-akses dan
menginterpretasikan peringatan dini dan kemudian
mengaplikasikannya pada saat proses diseminasi.
o Mengembangkan, menguji dan menyempurnakan skenario evakuasi
untuk berbagai kondisi siaga khususnya di daerah yang padat
penduduk.
o Mengembangkan sistem-sistem berbasis masyarakat untuk menguji
anggota masyarakat yang berusia lanjut dan penyandang cacat ketika
dilakukan peramalan banjir.
o Mengembangkan standar dan pedoman untuk berbagai jenis sistem
peringatan dini.
o Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan
Pemerintah Daerah.
o Pengelolaan kawasan yang berpotensi mendorong perkembangan
kawasan sekitar dan/atau berpengaruh terhadap perkembangan
wilayah Propinsi secara umum.
o Pengelolaan kawasan perbatasan dalam satu kesatuan arahan dan
kebijakan yang saling bersinergi.
o Mendorong perkembangan/revitalisasi potensi wilayah yang belum
berkembang.
o Penempatan pengelolaan kawasan diprioritaskan dalam kebijakan
utama pembangunan daerah.
o Mendorong tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan.
o Peningkatan kontrol terhadap kawasan yang diprioritaskan.
o Mendorong terbentuknya badan pengelolaan kawasan yang
diprioritaskan.
6. Rekomendasi Aspek Tataruang Dalam Pengelolaan DAS
Pemanfaatan ruang di WS Bengawan Solo pada masa yang akan datang diarahkan
untuk dapat menyeimbangkan antara fungsi kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan lindung memiliki potensi untuk perlindungan, pengawetan,
konservasi dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya guna
mendukung kehidupan secara serasi.
Kawasan yang memerlukan perhatian utama adalah kawasan perlindungan setempat
yang terdiri dari kawasan sekitar mata air, kawasan sekitar waduk/danau, kawasan
sekitar sempadan sungai, pantai, kawasan sekitar sempadan sungai di kawasan
permukiman, kawasan pantai berhutan bakau (mangrove) dan kawasan terbuka
hijau. Pengamanan terhadap kawasan sekitar mata air akan memberikan jaminan
terhadap penyediaan air jangka panjang
Pemetaan dan perlindungan terhadap daerah resapan air tanah yang dilakukan
pengelola SDA dan badan perencana masing-masing daerah sehingga pembangunan
daerah tidak mengganggu konservasi air tanah

Penentuan rencana rinci tataruang kawasan dan arahan peraturan zonasi
Penghijauan dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan dukungan penuh
dari seluruh stakeholder yang terlibat (swasta, badan usaha), role sharing yang jelas
antara pemanfaat dan pelaku konservasi, menjadikan kawasan hutan produksi yang
mempunyai kemiringan > 45% sebagai kawasan hutan lindung.
Mempertahankan vegetasi dan menanam kembali bagian kawasan yang terbuka
khususnya pada hutan budidaya dan, role sharing yang jelas antara pemanfaat dan
pelaku konservasi.
Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.
Kegiatan penghijauan yang didasarkan pada sinergi antara masyarakat, pemerintah
dan badan usaha/swasta.
Penegasan aturan hokum dan sangsi terhadap pelanggaran enatan ruang wilayah
sungai.
Meminimalisasi konflik yang terjadi dengan penerapan kebijakan rencana tata ruang
wilayah.
Penambahan ruang terbuka hijau sesuai dengan kebijakan tata ruang yang telah
ditetapkan.
Rehabilitasi pada lahan-lahan kritis atau yang mengalami kerusakan.

PENATAAN RUANG DAN PEMANASAN GLOBAL Oleh :
Prof. Dr. Laode M. Kamaluddin, M.Sc (Presiden Direktur PT. Global Eco Rescue Indonesia)
Penataan ruang tidak lagi semata menjembatani kepentingan ekonomi dan sosial. Lebih jauh dari kedua hal itu (ekonomi dan sosial), penataan ruang telah berubah orientasinya pada aspek yang benar-benar berpihak untuk kepentingan lingkungan hidup, sebagai konsekuensi keikut-sertaan Indonesia pada upaya menekan pemanasan global. Dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, telah ditegaskan mengenai tujuan penyelenggaraan penataan ruang yaitu mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, serta menciptakan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang. Penataan ruang yang berpihak pada lingkungan hidup perlu ditegakkan bersama karena sebelumnya, logika penataan ruang yang hanya mengikuti selera pasar, dalam kenyataan telah mengancam keberlanjutan. Hal ini dapat dicermati dari keberadaan lahan-lahan produktif dan kawasan buffer zone berada dalam ancaman akibat konversi lahan secara besar-besaran untuk kepentingan penyediaan lahan yang mempunyai land rent tinggi seperti peruntukan lahan untuk permukiman, industri, perdagangan serta pusat-pusat perbelanjaan. Diperkirakan sekitar 15 ribu – 20 ribu ha per tahun lahan pertanian beririgasi beralih fungsi menjadi lahan non pertanian, serta tidak sedikit kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) terdegradasi. Berdasarkan data (Bappenas, 2002) terdapat sekitar 62 Daerah Aliran Sungai (dari 470 Daerah Aliran Sungai) terdegradas akibat dari penebangan hutan yang tidak terkendali dari hulu sungai. Tekanan lingkungan lainnya adalah menyangkut laju urbanisasi yang akan tumbuh sekitar 4,4 persen per tahun. Oleh karena itu diperkirakan, pada tahun 2025 nanti terdapat sekitar 60 persen penduduk Indonesia (167 juta orang) berada di perkotaan. Bila penataan ruang tidak mengikuti logika pembangunan keberlanjutan, maka dapat dipastikan bahwa kota-kota besar yang telah berkembang saat ini akan selalu berada tekanan social yang sangat tinggi.
Masalah Perkotaan dan Pemanasan Global Pertumbuhan kota yang mengabaikan penataan ruang berbasis lingkungan telah menyebabkan konversi lahan secara besar-besaran untuk kepentingan ekonomi. Oleh sebab itu sangat sulit menghindari konsentrasi permukiman penduduk di kawasan perkotaan. Pertumbuhan penduduk perkotaan tentu sangat terkait dengan pemanasan global karena kenaikan jumlah penduduk perkotaan akan berbading lurus dengan produksi sampah perkotaan. Saat ini rata-rata satu rumah tangga diperkotaan telah menyumbang sekitar 3 kg sampah perhari. Jika penduduk perkotaan telah mencapai angka 167 juta maka dapat dibayangkan kira-kira berapa jumlah sampah yang akan dibuang oleh masyarakat kota disetiap TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Sampah. Pengelolaan sampah di TPA bagi sebagian kota-kota besar di Indonesia rata-rata belum memenuhi standar lingkungan karena kebanyakan menggunakan sistem open dumping. Sistem ini (open dumping) sangat berbahaya bagi lingkungan sebab gas metan (CH4) yang dikandung oleh TPA

sampah menguap ke udara. Sebagaimana dipahami bahwa gas methan dari TPA yang menguap ke udara, mempunyai kemampuan menyerap radiasi matahari 21 kali lipat lebih besar dibanding dengan gas-gas berbahaya lainnya. Dengan demikian gas methan dari TPA adalah penyumbang terhadap pemanasan global yang cukup besar. Penguapan gas methan dari TPA ke udara dapat dihambat dengan merubah desain TPA dari open dumping menjadi sanitary landfill. Desain sanitary landfill mampu menekan lepasnya gas metan ke udara karena menggunakan sistem penimbunan (liner) sampah, dan sistem penangkapan gas methan (methan capture) yang dikandungnya dengan menggunakan teknologi tertentu. Bagi TPA yang telah dimodernisasi dengan melalui penangkapan gas metan dan kemudian gas metan tersebut dapat di flaring dan diolah menjadi biogas untuk kepentingan pembangkit listrik. Sebagai contoh misalnya pada pengelolaan sampah di 8 (delapan) Kota di Indonesia yang dilakukan oleh PT. Global Eco Rescue Indonesia meliputi :
1. TPA Telaga Punggur Kota Batam, menghasilkan sampah 2.750 m3/hari (=995 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 131.892.442 m3/tahun gas metan.
2. TPA Talang Gulo Kota Jambi menghasilkan sampah 600 m3/hari (=228 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 97.577.215 m3/tahun gas metan.
3. TPA Air Dingin Kota Padang menghasilkan sampah 1.800 m3/hari (=684 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 143.080.883 m3/tahun gas metan.
4. TPA Manggar Kota Balikpapan menghasilkan sampah 575 m3/hari (=226 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 31.803.427 m3/tahun gas metan.
5. TPA Pinang Kota Samarinda menghasilkan sampah 1.550 m3/hari (=590 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 138.599.250 m3/tahun gas metan.
6. TPA Supit Urang Kota Malang menghasilkan sampah 665 m3/hari (=236 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 94.341.221 m3/tahun gas metan.
7. TPA Kebun Kongok Kota Mataram menghasilkan sampah 1.700 m3/hari (=776 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 122.427.100 m3/tahun gas metan.
8. TPA Kawatuna Kota Palu menghasilkan sampah 600 m3/hari (=228 ton/hari). Dengan melalui perhitungan diperoleh 93.651.201 m3/tahun gas metan.
Penataan Ruang dan Pemilihan Lokasi TPA Penataan ruang yang serasi dan selaras dengan kapasitas lingkungan mulai dirasakan sejak meningkatnya pertumbuhan penduduk perkotaan, masalah permukiman, penggunaan lahan untuk lokasi pembuangan samapah dan sebagainya. Oleh sebab itu zoning diperlukan untuk menciptakan keserasian alokasi ruang sehingga masing-masing lahan berfungsi sesuai pertumtukannya. Peruntukan lahan yang sesuai fungsinya dapat menciptakan suatu kawasan (perkotaan) berkembang tanpa tekanan yang kemudian memperkecil dampak eksternalitas perkotaan. Dalam suatu kawasan perkotaan, pembagian zoning mutlak diperlukan. Misalnya pembagian zoning untuk kawasan perdagangan dan bisnis, kawasan industri, kawasan perumahan, kawasan perkantoran dan pemerintahan, kawasan rekreasi, dan kawasan pembuangan atau pengelolaan sampah perkotaan. Bila kawasan tersebut tidak ditentukan dalam tata ruang perkotaan yang jelas dan tegas, maka pertumbuhan kota akan mengalami tekanan sosial yang sangat berat karena estetika dan nilai kenyamanan kota sulit dicapai. Dari semua pembagian zona, maka zona mengenai lokasi sampah khususnya pada pembuangan akhir sampah (TPA), dinilai sangat rumit karena terkait dengan kenyamanan tepat tinggal atau dampak eksternalitas pada penduduk didekat TPA. Disamping itu pemilihan lokasi TPA dalam membuat zoning, harus memperhatikan strutktur tanah, karena dalam teori lokasi, istilah tanah tersimpul pula keadaan topografi, struktur tanah dan cuaca yang terdapat ditempat tertentu; kesemuanya ini mempengaruhi pemilihan lokasi TPA. Topografi tanah adalah keadaan tanah seperti terungkap dalam permukaannya, seperti bukit, jurang dan

sungai. Topografi tanah yang menunjukan tanah yang berbukit pada umumnya cocok digunakan untuk lokasi pembuangan sampah (TPA). Lokasi sampah kurang cocok diletakan pada kawasan berlereng atau kawasan yang tergenang (rawan bajir) karena dengan gampang menularkan bakteri dan penyakit. Tetapi lokasi TPA yang berada perbukitan, akan memakan biaya yang tidak sedikit untuk mempersiapkan pembuatan jalan dan jembatan menuju lokasi TPA bersangkutan. Masalah lokasi TPA diperbukitan lebih dominan pada sistem transportasinya, sehingga untuk kasus yang satu ini (kasus TPA diperbukitan) harus secara cermat memperhitungkan jalur-jalur transportasi yang dipandang efisien dan cepat. Perubahan Iklim dan Penataan Ruang Perkotaan Untuk mengatasi perubahan iklim dengan menekan kegiatan pembangunan yang dapat mengurangi pemanasan global, maka kota-kota besar di Indonesia harus mengatasi masalah persampahan agar gas metan yang dikandungnya tidak menguap ke udara dan memicu pemanasan global. Gas metan itu harus ditangkap (methane capture) dan metode seperti ini akan dikembangkan dibeberapa kota di Indonesia. Untuk meningkatkan perekonomian kota agar dapat membiayai infrastruktur sosial, maka program methane capture ini dapat diintegrasikan dengan program Clean Development Mechanism (CDM) melalui mekanisme perdagangan karbon. Dengan demikian ketiga aspek (ekonomi, social dan lingkungan) dalam pembangunan berkelanjutan akan terpenuhi. Disamping konsep tersebut diatas, kita juga perlu mengembangkan kota-kota ramah lingkungan yang sejalan dengan upaya-upaya menekan pemanasan global. Kota-kota kecil menengah yang ramah lingkungan tentu akan mampu menghambat laju urbanisasi. Kota-kota kecil menengah ini dilakukan dengan membenahi sistem penggunaan energi (rumah tangga dan industri) yang menggunakan menggunakan energi terbarukan seperti PLTS (energi matahari) atau biogas dari pengolahan gas metan di TPA. Demikian pula dengan penggunaan bahan bakar transportasi menggunakan gas. Lapangan kerja tercipta dari aktivitas pertanian dalam desain agropolitan, sedangkan penataan permukiman menggunakan desain dimana satuan-satuan lingkungan permukiman berada dalam taman kota yang saling dihubungkan oleh jaringan transportasi dengan kawasan lain untuk memberikan berbagai pelayanan dan kesempatan kerja dalam rangka mendukung sistem kehidupan kota, sehingga fungsi permukiman tersebut dapat memberikan kenyamanan dan produktifitas bagi masyarakat yang mendiaminya. Konsep kota-kota kecil menengah yang ramah lingkungan dapat diintegrasikan dengan pengembangan agropolitan yang telah maju. Dengan konsep tersebut akan tercipta kota-kota produktif yang menjadi lokomotif dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pengembangan Peta Spasial Proyeksi Perubahan Iklim
Untuk Pengendalian Banjir
Oleh: Dr. Armi Susandi, MT
Ketua Program Studi Meteorologi ITB &
Pakar Perubahan Iklim Global
Email: [email protected]
Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim Kesuksesan Indonesia sebagai tuan rumah dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim tanggal 3-15 Desember 2007 yang lalu di Bali, kembali membuktikan pada dunia internasional bahwa komitmen Indonesia sangat tinggi dalam mengatasi persoalan penting dunia tentang pemanasan global. Salah satu keputusan penting dalam konferensi internasional tersebut adalah upaya pengurangan emisi global yang lebih besar dari komitmen sebelumnya (Protokol Kyoto), pengurangan emisi yang lebih besar atau disebut deeper cut sebesar 25%-40% menjadi salah satu hasil utama perundingan di Bali. Tentunya hal tersebut bertujuan agar upaya mitigasi perubahan iklim yaitu pengurangan emisi karbon global dapat terus menjadi target utama bagi negara maju di masa mendatang, khususnya paska tahun 2012, sementara itu kegiatan adaptasi perubahan iklim menjadi titik fokus negara berkembang. Sebagaimana kita ketahui kemampuan negara berkembang jauh lebih rendah dalam adaptasi dampak perubahan iklim global, sehingga negara berkembang menjadi negara yang lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim global. Pemanasan global atau yang dikenal dengan global warming akan berdampak pada dua hal utama, yaitu peningkatan temperatur global dan yang kedua kenaikan muka air laut (sea level rise). Implikasi dari peningkatan temperatur global adalah perubahan pola dan variabilitas iklim. Secara khusus hal tersebut akan berdampak pada perubahan intensitas curah hujan pada suatu daerah sampai pada kejadian cuaca ekstrim yang bakal sering terjadi di muka bumi ini. Selanjutnya kenaikan muka air laut akan mulai menggenangi seluruh wilayah daratan yang lebih rendah di dunia. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi di daerah tropis, dikenal sebagai daerah yang memiliki dinamika pertumbuhan awan yang tertinggi di dunia. Konsekuensinya, wilayah Indonesia akan sering tergangggu aktifitas cuaca jika terjadi cuaca ekstrim di wilayah dan sekitar Indonesia, karena perubahan dinamika atmosfer Indonesia sangat cepat terjadi. Perubahan Pola dan Intensitas Curah Hujan serta Perubahan Tata Guna Lahan Khususnya di Indonesia, dampak perubahan iklim akan berdampak pada perubahan pola dan intensitas curah hujan. Jika dibandingkan data curah hujan saat ini dengan data curah hujan 50 tahun yang lalu, secara umum kondisi curah hujan saat ini ditandai dengan kenaikan curah hujan yang lebih tinggi pada musim hujan di banding pada masa-masa yang lalu, pada musim yang sama. Sebaliknya, pada musim kemarau curah hujan yang terjadi jauh lebih sedikit dibandingkan musim yang sama pada masa yang lalu. Artinya terjadi perbedaan jumlah curah hujan yang sangat tinggi antara jumlah curah hujan pada kedua musim (musim hujan dan musim kemarau). Sebagai ilustrasi Gambar 1, memperlihatkan bagaimana curah hujan yang terjadi pada daerah Jawa Barat mulai tahun 1950 sampai tahun 2007. Selain itu perubahan iklim juga ditandai dengan intensitas curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan masa-masa sebelumnya. Ini lah yang kemudian menimbulkan peningkatan jumlah curah hujan yang sangat tinggi pada waktu yang singkat. Jika hal tersebut terjadi kemungkinan banjir bakal terjadi pada suatu daerah. Selanjutnya kejadian banjir tersebut

akan diperparah dengan perubahan tata guna lahan yang terjadi pada daerah tersebut. Daerah yang dulunya menjadi daerah resapan mungkin sudah berganti menjadi daerah perumahan dan perkantoran atau daerah industri. Jika intensitas curah hujan semakin tinggi dan perubahan tata guna lahan terus terjadi maka diperkirakan banjir akan terus meningkat dan sering terjadi. Kedua kejadian tersebut akan mempersulit upaya adaptasi perubahan iklim terhadap pengendalian kejadian banjir yang terjadi.
Sumber: Susandi dkk, 2007
Gambar 1. Data Curah Hujan Jawa Barat Tahun 1950 - 2007 Bagaimana penanganan kejadian banjir di masa mendatang? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu didasarkan pada kajian kedua variabel penyebab banjir tersebut di atas. Perlu dikembangkan analisis dan kajian proyeksi iklim mendatang untuk wilayah kajian banjir. Proyeksi iklim mendatang haruslah dilakukan dalam skala ruang (spasial), sehingga dapat diketahui dimana potensi curah hujan yang lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Gambar 2, memperlihatkan prosentasi perubahan curah hujan rata-rata Indonesia pada tahun 2100. Terlihat bahwa daerah Sumatera akan bertambah prosentase curah hujannya di masa mendatang, termasuk Sulawesi dan Nusa Tenggara. Sementara itu curah hujan di Jawa akan lebih turun prosentase jumlahnya di masa mendatang. Setelah kajian regional (Indonesia), selanjutnya perlu untuk mengkaji lebih detail bagaimana pola curah hujan mendatang dalam skala yang lebih mikro. Sebagai contoh, Gambar 3, berikut memperlihat bagaimana perubahan pola curah hujan di Jakarta pada tahun 2010. Pada Gambar 3 tersebut terlihat bahwa curah hujan di Jakarta pada tahun 2010 akan berasal/berpindah dari Bogor, artinya kemungkinan banjir yang terjadi di Jakarta, tidak hanya terjadi karena „banjir kiriman‟ dari Bogor, akan tetapi potensi banjir akan terjadi karena pola curah hujan telah bergeser dari Selatan (wilayah Bogor) ke Utara memasuki wilayah Jakarta.

Sumber: Susandi, 2006
Gambar 2. Perubahan Curah Hujan Tahunan Indonesia Tahun 2100
Sumber: Susandi dkk, 2006
Gambar 3. Proyeksi Curah Hujan di Jakarta Tahun 2010 (Bulan Januari)
Pengembangan model spasial menjadi penting dalam mengurangi dampak kejadian iklim global, khususnya dalam upaya pengendalian banjir di masa mendatang. Selanjutnya hal yang lebih penting lagi bagi pengendalian banjir mendatang adalah proyeksi perubahan tata guna lahan wilayah kajian.

Perubahan tata guna lahan tersebut sebenarnya dapat menjadi penyebab utama banjir di suatu wilayah. Berdasarkan model-model tersebut, baik model proyeksi perubahan iklim skala regional, lokal maupun model proyeksi tata guna lahan yang dikembangkan secara spasial (skala ruang) maka selanjutnya penyusunan langkah-langkah dan upaya adaptasi mendatang dalam pengendalian banjir dapat lebih tepat dan sesuai sasaran (optimal). Pengembangan upaya adaptasi akan disesuaikan dengan kondisi dan geografis lingkungan wilayah yang berpotensi banjir, sehingga pemangku jabatan serta masyarakat dapat menentukan langkah-langkah antisipatif yang perlu dikembangkan dalam penanganan banjir. Termasuk di dalam kegiatan tersebut adalah membangun infrastruktur yang di nilai tepat untuk mengatasi banjir di wilayah tersebut. Hanya saja sebagai catatan bahwa, apapun langkah yang diambil dalam penanganan banjir haruslah berdasarkan pertimbangan penentuan lokasi curah hujan mendatang sekaligus menentukan lokasi infrastruktur serta jenis teknologi apa yang akan dikembangkan pada wilayah tersebut. Daftar Pustaka: 1. Susandi. A, Y. Aditiawarman, E. Kurniawan., I. Juaeni. “Climate Change in Jakarta: Its Historical
Study for Projection”, Proceedings of the Annual Scientific Meeting HAGI, Semarang, Indonesia, 13 – 15 November 2006.
2. Susandi. A, “Projection of climate change over Indonesia using MAGICC/SCENGEN, poster section in of the International Conference on Mathematics and Natural Sciences (ICMNS), Bandung, Indonesia, November 29-30, 2006.
3. Susandi. A., A. Lubis., Y. Permadhi, “Water resources management for climate change adaptation”. Poster section on National seminar on climate change and environment in Indonesia, November 9, 200

AIR ADALAH REFLEKSI PERUNTUKAN LAHAN
Pendahuluan
Adalah Gilbert F. White yang pada tahun 1942 dalam dissertasi doktornya yang sangat terkenal Human Adjustment to Floods menulis : Floods are „acts of God‟ but flood losses are largely acts of
man. Kalimat yang inspiratif tersebut kini telah menjadi milik dunia.
Bahwa banjir adalah kehendak Tuhan kiranya tak ada yang menyangkal. Banjir adalah fenomena alam sebagai akibat panas matahari dan perputaran bumi yang menggerakkan siklus hidrologi.
Bahwa umumnya kerugian banjir adalah karena perbuatan manusia, mungkin masih banyak
diantara kita yang belum memahami. Tulisan ringkas ini menyoroti kasus daerah banjir dan penyebabnya serta alternatif penanganan
sesuai cara pandang baru.
Kasus 1. Perubahan peruntukan lahan DAS Ketika tahun 1984 Cengkareng Drain mulai berfungsi, penduduk di sekitar Daan Mogot, Rawa
Buaya, Duri Kosambi Kodya Jakarta Barat dan sekitarnya segera menikmati hilangnya banjir
tahunan yang biasa melanda daerah mereka. Namun mengapa banjir yang hilang itu sejak 1996 datang lagi dengan intensitas yang lebih sering. Cengkareng Drain yang memotong dan
mengalirkan aliran sungai-sungai Pesanggrahan, Angke dan Mookervart kini seakan . tidak berdaya
menampung serbuan ebit banjir dari ke 3 sungai tersebut. Kalau kita amati sejak 1984 daerah aliran sungai K. Pesanggrahan, K.Angke, dan Mookervart
ternyata telah banyak berubah. DAS Angke misalnya sejak Parung, Serpong, Pamulang, Ciputat,
Bintaro, Ciledug telah berubah peruntukannya dari lahan2 kosong / kebun menjadi areal
permukiman dan perkotaan. Aliran air di permukaan tanah akibat hujan meningkat tajam karena peresapan ke dalam tanah terhalang perkerasan jalan dan atap bangunan. Peningkatan aliran inilah
yang menyebabkan banjir datang lagi melanda daerah yang bahkan lebih luas.
Ditinjau dari aspek perencanaan di daerah ini telah terjadi perubahan parameter disain secara pelahan sehingga melampaui kriteria perencanaan yang telah ditentukan tanpa tindakan antisipasi.
Kerugian banjir adalah akibat perbuatan manusia.

Kasus 2. Dataran Banjir
Masih di tahun 1984, wilayah Bandung Selatan dan sekitarnya dilanda banjir besar. Bale Endah di
tepi S. Citarum yang waktu itu hampir siap ditetapkan sebagai ibukota kabupaten Bandung tenggelam berhari-hari, akhirnya ibukota kabupaten Bandung dipindahkan ke Soreang.
Di wilayah Bandung Selatan ini S. Citarum membentuk dataran banjir yang sangat luas. Dataran
banjir adalah dataran di kiri-kanan sungai yang dibatasi oleh genangan debit banjir sekurang-
kurangnya Q50 tahun. Dataran banjir sebenarnya adalah alur sungai yang dilewati air hanya pada saat banjir, pada waktu tidak terjadi banjir dataran ini menjadi bagian sistim daratan. Dataran banjir
dapat berwujud lahan yang sangat luas dan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, namun
mengingat dataran banjir sebenarnya adalah alur sungai, maka peruntukannya perlu diatur hanya untuk kegiatan yang sesuai dengan karakteristik dataran tersebut. Peruntukan dataran banjir sungai
sebesar Citarum untuk sebuah kota pusat kabupaten jelas mengundang bahaya dan masalah
berkepanjangan.
Banjir akibat luapan sungai sesungguhnya adalah peristiwa pernyataan keberadaan alur sungai. Pada saat banjir, sungai mengambil ruang alurnya kembali yang seringkali justru telah diokupasi
untuk kepentingan manusia.
Mengingat pada umumnya sungai lebih dahulu menempati ruang alurnya dibanding keberadaan manusia. Sebetulnya manusialah yang mencari masalah mendatangi dataran banjir. Ketika muncul
kerugian banjir hal tersebut tentunya adalah karena perbuatan kita sendiri yang kurang paham sifat
dan perilaku banjir. Mengingat sejarah pembentukan kota-kota umumnya terkait erat dengan keberadaan sungai, banyak perkotaan terbentuk di daerah dataran banjir, tak terkecuali di
Indonesia. Menurut catatan sejarah pengaturan dataran banjir pertama kali dicetuskan oleh Ratu
Maria-Theresia (1740-1780) dari kekaisaran Austro-Hungaria. Sang Ratu menetapkan keputusan
bahwa dataran banjir S. Danube sepanjang 50 km tepat di hulu kota Wina tidak boleh ditanggul. Dataran ini disediakan untuk menampung banjir S. Danube dan masyarakat dilarang membangun di
daerah tersebut. Kini para perencana kota Wina mengagumi dan berterima kasih atas pandangan
Sang Ratu yang jauh ke depan.
Kasus 3 Ruang Sempadan Sungai
Pada tahun 2000, dipicu oleh keberadaan kampung di tepi alur K. Code di daerah Terban Taman
Yogyakarta yang sempat memperoleh penghargaan internasional, muncul wacana untuk melegalkan hunian tepian alur K. Ciliwung di Bidara Cina Jakarta . Pendukung wacana ini kurang
memahami kenyataan bahwa keberadaan sungai adalah sangat spesifik terhadap ruang dan kondisi
setempat. Untuk K. Code di Terban Taman, setinggi-tingginya air banjir tidak akan pernah
menyentuh pemukiman karena tebing sungai yang sangat tinggi. Sangat berbeda dengan

pemukiman di tepi K. Ciliwung di Bidara Cina muka air banjir seringkali mencapai atap rumah.
Membiarkan apalagi melegalkan penduduk tinggal di daerah yang berbahaya seperti itu tentu merupakan tindakan yang kurang bertanggung jawab. Sudah seharusnya saudara-saudara kita ini
difasilitasi dengan rumah susun seperti yang akhirnya telah terbangun sekarang di daerah Cawang.
Ruang sempadan sungai adalah ruang di kiri-kanan sungai sebagai batas perlindungan sungai.
Maksud penetapan ruang sempadan sungai adalah untuk menjaga agar sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu. Jika keduanya saling mengganggu umumnya kegiatan manusia yang harus
mengalah, mengingat kekuatan alam sangat besar.
Ketiga kasus di atas adalah contoh tipikal kasus banjir di tanah air. Pekerjan-pekerjaan konstruksi
pengendali banjir manfaatnya tidak akan bertahan lama jika perubahan peruntukan lahan di bagian
hulu DAS terus berlangsung tanpa diantisipasi pengaruhnya. Demikian pula pekerjaan pengendali banjir semakin rumit dan mahal jika kita masih terus memanfaatkan dataran banjir secara salah
tanpa ada pengaturan. Apalagi jika ruang sempadan sungai juga terus didesak untuk pemukiman,
pekerjaan pengendalian banjir akan menjadi pekerjaan yang tidak pernah selesai.
Langkah ke depan
Daerah banjir umumnya tidak akan berpindah lokasi. Sejak dulu daerah banjir adalah dataran
banjir, ruang sempadan sungai dan daerah2 rendah lain yang tergenang akibat peningkatan debit banjir karena perubahan peruntukan lahan. Kini telah berkembang cara pandang baru terhadap
banjir yaitu pemahaman bahwa banjir merupakan produk seluruh DAS lengkap dengan segala isi
dan aktifitasnya. Pengendalian banjir tidak cukup hanya dilakukan di sungai, namun perlu melibatkan peranan seluruh DAS tersebut.
Ke depan, di samping pekerjaan secara struktur dan non struktur yang telah kita lakukan selama ini,
daerah yang tidak banjir perlu diberi peran dalam memperbesar resapan air, juga perlu ditetapkan
aturan-aturan terkait dengan tata ruang berkenaan dengan ke 3 jenis kasus di atas. Perubahan peruntukan lahan harus dikendalikan secara ketat kalaupun hal itu terjadi harus ada kompensasi
berupa resapan air dengan kapasitas yang sesuai untuk meresapkan lonjakan debit akibat perubahan
peruntukan lahan. Dataran banjir perlu diidentifikasi di setiap sungai demikian pula ruang sempadannya. Jika dataran banjir dan ruang sempadan tersebut masih kosong, peruntukannya dapat
segera diatur. Dataran banjir dan ruang sempadan yang telah dihuni perlu ditetapkan kondisinya
sebagai status quo tidak boleh ada pembangunan baru. Secara bertahap dalam jangka waktu yang
disepakati oleh seluruh stakeholder (misalnya 5, 10 sampai 20 tahun) dataran banjir dan ruang sempadan sungai tersebut diatur untuk peruntukan yang sesuai. Hanya dengan cara demikian kita
secara bertahap dapat menyelesaikan masalah banjir

Penutup
Dari uraian di atas tampak bahwa kerugian banjir muncul terkait dengan kepentingan manusia. Ketika sebuah prasarana pengendali banjir selesai dibangun (misal Cengkareng Drain) umumnya
segera diikuti oleh pembangunan daerah yang didorong oleh rasa aman semu karena adanya
bangunan pengendali tersebut. Sedangkan untuk pengembangan di dataran banjir dan okupasi sempadan sungai biasanya disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat terhadap fungsi dan
karakter sungai. Sungai sebagai alur alami tempat air mengalir sebenarnya hanya menunjukkan
akibat saja dari perlakuan kita terhadap DAS. Karena ruang dan lahan DAS kita perlakukan secara sembarangan kurang memperhatikan fungsinya sebagai media air mengalir, pada saat musim
penghujan kita menuai hasilnya berupa masalah banjir yang semakin kronis.
Karena air merupakan cerminan peruntukan lahan tidak kita pahami, akhirnya kita mencelakai diri
sendiri.
S.Budi Santoso
Ksd Cantek Dit Sungai Danau Waduk
Ditjen Sumber Daya Air De. PU

Jawa, Cuaca dan Bencana
Oleh : Yayat Supriatna
Akibat musim pancaroba saat ini sebagian besar wilayah di Pulau Jawa,
khususnya di Jakarta, Jawa Tengah dan Timur “tenggelam” dilanda bencana banjir dan
tanah longsor. Tidak dapat dipungkiri, cuaca buruk telah membuka aib buruk terhadap
pemeliharaan dan pengawasan pemanfaatan lingkungan di Pulau Jawa. Silih bergantinya
kota yang dilanda banjir dan timbulnya kemacetan sepanjang hampir 40 Kilometer di
jalur Pantura selama dua minggu, mengindikasikan cuaca sudah menjadi factor yang
dominan terhadap munculnya bencana banjir dan longsor. Banyaknya kejadian bencana
menunjukkan, daya dukung lingkungan Pulau Jawa sebenarnya sudah menurun. Hasil
tinjauan ekologis yang telah dilakukan menunjukkan berbagai fenomena di atas
disebabkan menurunnya secara tajam fungsi kawasan-kawasan lindung di Pulau Jawa.
Fenomena berkurangnya fungsi kawasan lindung tidak mudah untuk diatasi.
Mengingat terdapat hierarki kewenangan maupun hubungan horizontal antar
pemerintahan, yang selama ini belum mempunyai sinergi yang kuat untuk memecahkan
masalah-masalah di lapangan. Disamping itu juga terdapat sejumlah peraturan-
perundangan yang belum mendukung terwujudnya sinergi dimaksud, bahkan cenderung
implementasinya tidak sinkron satu sama lain.
Problem Saat Ini
Untuk menelaah mengapa terjadi penurunan daya dukung Pulau Jawa ada beberapa
hal penting yang perlu diperhatikan antara lain, meskipun sumberdaya alam di Pulau
Jawa telah mengalami kerusakan dan menyebabkan menurunnya daya dukung
lingkungannya. Namun sebagian besar peraturan daerah atau perundangan yang ada
saat ini masih bersifat eksploitatif dan tidak kolaboratif . Memasuki era otonomi daerah,
pemerintah kabupaten dan kota, kini mempunyai kewenangan yang lebih besar dalam
memanfaatkan dan mengelola sumber-sumber alam di wilayahnya dibandingkan
sebelumnya. Dari 119 Peraturan Daerah (Perda) yang dianalisis sebagian besar Perda
tentang pemanfaatan sumber daya alam di era otonomi daerah diterbitkan dengan motif
untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Sebanyak 60 persen atau 71 dari 119
Perda di Jawa diterbitkan dengan motif untuk memperoleh retribusi ijin usaha /pajak
daerah. ( Haryadi & Haryanto,Fahutan IPB 2006)
Sementara luas hutan dan lahan di P Jawa yang kini dalam kondisi kritis dan rawan
bencana, sekitar 75% dimiliki secara perorangan (individual ownership rights) sedangkan
sisanya sebesar 25% dikuasai negara (state property). Apabila pemilikan secara individu

ini digunakan untuk hanya mengejar manfaat ekonomi semata, maka kebutuhan
masyarakat secara sosial untuk memulihkan daya dukung lingkungan tidak akan tercapai.
Pulau Jawa, dengan demikian menghadapi social dilemma. Pemecahan masalah social
dilemma hanya dapat dilakukan apabila keputusan-keputusan dilakukan secara kolektif
serta tidak hanya bertumpu pada batas-batas yurisdiksi pemerintahan/ administratif,
melainkan dengan memperhatikan basis ekosistem sebagai yurisdiksi pengambilan
keputusan.
Sementara perbandingan antara jumlah penduduk dengan daya dukung sumberdaya
alam sudah tidak ideal lagi, dalam arti akibat besarnya jumlah penduduk tidak lagi
memungkinkan tingkat produktivitas lahan per kapita dapat menjamin kesejahteraan
minimal masyarakat. Upaya realokasi penduduk Pulau Jawa ke luar Jawa menjadi suatu
keniscayaan. Masih berjalankah program Transmigrasi ?.
Jika kondisi ini terus berlanjut , ada prakiraan kedepan, yang mengkhawatirkan
tingkat perkembangan bencana akan semakin meluas dan merata di Pulau Jawa.
Khususnya di kawasan perkotaan Pantura yang merupakan wilayah hilir dari sebagian
besar DAS yang ada. Hasil kajian terhadap daya dukung sumber daya air di Pulau Jawa
( Indreswati Guritno,2006) mengungkapkan, jika kondisi lingkungan Pulau Jawa semenjak
tahun 1995 tidak berubah, maka kondisi Pulau Jawa sudah sangat kritis. Batas daya
dukung sudah sangat marginal disemua propinsi. Jika kenyataanya saat ini sudah lebih
dari yang diperkirakan, maka seluruh Pulau Jawa daya dukung lingkungannya sudah
terlampaui (overshoot). Sehingga dapat disimpulkan setiap tahun mungkin kita akan
menuai bencana. Apalagi jika kondisi cuaca juga mendukung kearah tersebut. Semakin
buruk cuaca, maka perkiraan bencana yang buruk mungkin segera akan terjadi.
Hasil pengamatan selama tahun 2004 hingga 2006 telah terjadi banjir , longsor,
dan kekeringan masing – masing di 102, 51, dan 97 kabupaten/kota. Perkiraan bencana
pada tahun – tahun berikutnya diperkirakan akan semakin meningkat dan ini terbukti
pada akhir tahun 2007 dan awal 2008. Kondisi banjir paling parah diperkirakan akan
tetap terjadi di Jawa Tengah, disusul Jawa Barat dan Jawa Timur. Secara keseluruhan
kejadian ini disebabkan semakin tingginya proses alih fungsi lahan. Sejak akhir tahun
2000, Jawa telah kehilangan 134.000 ha lahan basah, 110.000 ha lahan kering, dan
81.000 ha hutan (Hariadi Kartodihardjo, Fahutan IPB,2006) yang beralih fungsi menjadi
permukiman, industri dan sebagainya. Padahal total luas pulau Jawa dan Madura hanya
sekitar 7 persen dari luas Indonesia dan dihuni lebih dari 60 persen dari jumlah
penduduknya. Tingkat kepadatan penduduknya rata – rata sudah lebih dari 1000
orang/km2. Dengan demikian Pulau Jawa telah berubah menjadi Pulau Perkotaan, yang
semakin kritis wilayah resapan air.

Untuk mengantisipasi bencana , perlu dipertimbangkan beberapa hal yang
menjadi prinsip dasar penanggulangan bencana secara bersama. Hindarkan pendekatan
berdasarkan tugas pokok dan fungsi atau “tupoksi” dari masing – masing sektor terkait.
Perlu lebih dikedapankan adanya, inovasi dibandingkan sekedar tupoksi. Kedepankan
lingkup wilayah fungsional DAS dibandingkan administrasi kabupaten/kota. Kaji lebih
mendalam, bahwa banjir dan longsor bukan sekedar masalah kerusakan lingkungan
disekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) atau masalah hulu dan hilir. Mungkin ada hal – hal
lain yang lebih mendasar dan struktural, seperti kemiskinan, politik pembiaran, politik
penguasaan sumberdaya, politik pendapatan dibandingkan pengendalian.
Untuk hal yang non struktural, BMG adalah badan pusat, yang tidak memiliki
tangan di daerah, maka sudah saatnya peran pemerintah daerah bergerak memotivasi
dirinya untuk melakukan inovasi dengan memanfaatkan informasi BMG sebagai alat
pencegah terjadinya bencana. Sementara untuk lingkup antar wilayah otonom, solusi
bencana bukan dengan hal teknis semata, tetapi lebih menyangkut pola kerjasama antar
daerah. Sebab bencana itu adalah masalah yang harus diatasi bukan untuk ditangisi.
Yayat Supriatna,

NERACA PENATAGUNAAN TANAH
DALAM PERSPEKTIF PENATAAN RUANG
Oleh: Harris Simanjuntak1
Pemanfaatan ruang tanah, mengacu pada fungsi ruang tanah yang ditetapkan dalam rencana tata ruang tanah, dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah.
Dalam rangka pengembangan penatagunaan tanah, diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan tanah.
(UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang)
Pembangunan berkelanjutan, pada hakekatnya, adalah upaya mencari keseimbangan antara faktor daya dukung tanah dan faktor sosio-ekonomi masyarakat yang menggunakan tanah. Dengan demikian, dalam konteks pengelolaan tanah, pembangunan berkelanjutan merupakan upaya penyeimbangan faktor ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup, sehingga penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi, namun tetap mencerminkan prinsip rasa keadilan secara sosial, dan berkelanjutan secara lingkungan hidup. Pemaduserasian faktor-faktor tersebut akan selalu menjadi tantangan dalam pengambil keputusan-keputusan terkait dengan tanah.
Tanah adalah sumber utama kesejahteraan dan kehidupan masyarakat dan karenanya tanah haruslah digunakan dan dimanfaatkan dengan optimal. Perwujudan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal tersebut dilakukan melalui penyusunan rencana tata ruang yang semestinya mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Rencana tata ruang merupakan rencana letak dari berbagai macam penggunaan dan pemanfaatan tanah yang direncanakan dalam rangka memenuhi berbagai ragam keinginan (wants) dan kebutuhan (needs) masyarakat. Dalam kenyataannya, untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat, banyak sekali jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah yang harus diakomodir di atas tanah. Tidaklah mungkin semua jenis itu bisa diakomodir dalam rencana tata ruang. Karena itu, rencana penggunaan dan pemanfaatan tanah yang diletakkan dalam rencana tata ruang hanya mencerminkan rencana penggunaan dan pemanfaatan yang benar-benar menjadi prioritas.
Karena tanah bersifat terbatas (finite), penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut haruslah efisien, tertib dan teratur. Untuk itu, para pengguna tanah, dalam menggunakan dan memanfaatkan tanahnya, harus mengacu pada persyaratan (land use codes) yang disyaratkan dalam rencana tata ruang, untuk memastikan penggunaan dan pemanfaatan tanahnya Lestari, Optimal, Serasi, dan Seimbang (LOSS) di kawasan pedesaan; dan, Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat (ATLAS) di kawasan perkotaan.
Dalam tataran operasional, tanah digunakan dan dimanfaatkan oleh manusia yang menguasai tanah untuk mensejahterakan hidupnya. Penggunaan oleh manusia tersebut sifatnya mendasar dan berlangsung terus menerus hingga memunculkan suatu hubungan hukum antara manusia pengguna dengan tanah yang digunakan. Terganggunya hubungan manusia pengguna dengan tanahnya akan berimplikasi pada kesejahteraan pengguna tanah, karena itu perlu ada jaminan kepastian hukum. Gangguan hubungan ini dapat dilihat dalam dua perspektif. Pertama, gangguan hubungan dapat berupa sulitnya akses masyarakat kepada sumber daya tanah; kedua, besarnya ongkos yang harus dikeluarkan untuk menggunakan sumber daya tanah dimaksud. Kesulitan ini diakibatkan oleh persediaan tanah yang memang terbatas dan adanya
1 Kasubdit Pemeliharaan, Penggunaan, dan Pemanfaatan Tanah pada Direktorat Penatagunaan Tanah BPN
R.I.

berbagai macam hambatan institusional (kelembagaan)2 yang terkait dengan tanah, sehingga kepemilikan dan penguasaan tanah tersebut bisa saja didominasi oleh sekelompok masyarakat dengan kepentingan tertentu, yang bermuara pada ketidakseimbangan/ketimpangan penguasaan, penggunaaan dan pemanfaatan tanah.
Agar masyarakat dapat menggunakan dan memanfaatkan tanah dengan optimal, tertib dan teratur, harus ada keserasian diantara kelembagaan yang terkait dengan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah sehingga memungkinkan digunakan dan dimanfaatkan secara efisien, tanpa mengabaikan keadilan sosial, dan tidak merusak fungsinya. Keserasian inilah yang melandasi perlunya penatagunaan tanah. Penatagunaan tanah merupakan pola pengelolaan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.
Pelaksanaan konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan di atas harus mengacu kepada kebijakan penatagunaan tanah yang telah digariskan dalam PP No.16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah. Secara ringkas, kebijakan ini meliputi:
penggunaan dan pemanfaatan tanah harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai rencana tata ruang wilayah tidak dapat diperluas, dikembangkan, atau ditingkatkan;
pelayanan administrasi pertanahan dilaksanakan apabila pemegang hak memenuhi syarat-syarat menggunakan tanah sesuai rencana tata ruang, tidak saling mengganggu, tidak saling bertentangan, memelihara tanah, tidak merobah bentang alam, memberikan nilai tambah penggunaan tanah dan lingkungan;
pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya dengan memperhatikan hak atas tanah serta kepentingan masyarakat sekitar;
terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada hak atas tanahnya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan;
tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara;
penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap pulau-pulau kecil harus memperhatikan kepentingan umum, tidak menutup akses umum ke pantai/laut;
apabila pemilik tanah tidak mentaati syarat-syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah, dikenakan sanksi;
penetapan rencana tata ruang wilayah tidak mempengaruhi status hubungan hukum atas tanah.
Kebijakan di atas, selanjutnya, harus menjadi koridor dalam penyelenggaraan kegiatan penatagunaan tanah. Penyelenggaraan penatagunaan tanah, sesuai PP No.16 Tahun 2004, terdiri atas tiga jenis kegiatan pokok, yaitu:
pelaksanaan inventarisasi penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;
penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan;
penetapan pola penyesuaian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang wilayah.
Output penyelenggaraan kegiatan di atas adalah data dan informasi yang disajikan dalam bentuk peta (spasial) dengan skala lebih besar dari pada skala peta rencana tata ruang wilayah yang bersangkutan,
2 Institutions are the rules of the game of a society or more formally are the humanly-devised constraints
that structure human interaction; see the author’s North, C. Douglass, “The New Institutional Economics and Development”, Washington University, St. Louis.

sedangkan outcome-nya adalah kesesuaian dan keserasian penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah dengan rencana tata ruang yang disepakati.
Lebih jauh, substansi kegiatan pokok kedua, yaitu: penetapan perimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menurut fungsi kawasan di atas, pada dasarnya, adalah data dan informasi yang dikemas dalam bentuk neraca perimbangan (Balance).
Neraca perimbangan ini berisi data dan informasi, baik tekstual maupun spasial, dari perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang wilayah. Dengan demikian, pengelolaan data dan informasi penatagunaan tanah merupakan bagian dari perencanaan dan pemodelan suatu rencana tata ruang. Karena itu, infrastruktur data spasial dan teknologi informasi penatagunaan tanah memegang peranan penting dan strategis dalam penataan ruang.
Pembuatan keputusan dalam penataan ruang memerlukan akses kepada data dan informasi yang akurat dan relevan, yang dikemas dalam suatu bentuk yang interaktif dan tersedia pada saat diperlukan. Dalam menyusun rencana tata ruang, keputusan yang baik tentunya harus didasarkan pada informasi penatagunaan tanah yang baik. Selanjutnya, informasi penatagunaan tanah yang baik harus pula didasarkan pada data yang baik.
Kebutuhan (demand) atas informasi tekstual dan spasial penatagunaan tanah untuk pengambilan keputusan dalam penataan ruang mencakup dua hal. Pertama, informasi penatagunaan tanah merupakan input dalam proses pembuatan keputusan (informed decisions). Kedua, informasi tekstual dan spasial juga diperlukan dalam rangka analisis dampak keputusan.
Karena setiap keputusan mempunyai dampak, baik jangka pendek maupun jangka panjang, maka konsekuensi dari keputusan tersebut harus bisa diprediksi dan dikendalikan. Prediksi dan pengendalian ini dapat dilakukan melalui pemantauan dan evaluasi hasil dari keputusan yang dibuat tersebut (decision’s outcome). Dengan demikian, akuntabilitas keterpaduan antara komunitas, dampak, dan efek dari keputusan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam rangka mendukung pengambilan dan analisis dampak keputusan dalam perencanaan dan penyelenggaraan penataan ruang, Direktorat Penatagunaan Tanah pada Tahun Anggaran 2007 telah melakukan pengumpulan dan analisa data penatagunaan tanah yang dikemas dalam bentuk Atlas Neraca Penatagunaan Tanah Nasional.
Atlas ini berisi data dan informasi tekstual dan spasial tentang perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang. Sebagai contoh, berikut ini disajikan tabel dan gambar yang berisi informasi tekstual tentang perubahan, kesesuaian, dan ketersediaan tanah pada rencana tata ruang dalam sekala nasional.
Informasi trends perubahan penggunaan tanah nasional
Pola perubahan penggunaan tanah di Indonesia dapat dibagi dalam dua kelompok utama
sebagai berikut:
1. Penyusutan hutan menjadi perkebunan, tanah pertanian dan penggunaan tanah lainnya, terutama terjadi di luar Pulau Jawa (Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua). Berdasarkan data tahun
2002 - 2006, perubahan penggunaan tanah, luas hutan menyusut 16,28 juta ha atau rata-rata 4,07
juta hektar/tahun, sementara luas perkebunan menyusut 3,45 juta ha atau rata-rata 863 ribu
hektar/tahun.
2. Penyusutan tanah pertanian – khususnya sawah – menjadi budidaya non-pertanian seluas 3,81
juta hektar atau 954 ribu hektar/tahun, terutama pada wilayah padat penduduk di sekitar
perkotaan di Pulau Jawa. Walaupun total luas sawah meningkat, pertambahan luas sawah terjadi di luar Pulau Jawa yang produktivitasnya tidak sebaik tanah sawah di Pulau Jawa.

SAWAH
1995 2000 2005
10.0
00.0
00
BUDIDAYA NON-PERTANIAN
15.0
00.0
00
PERKEBUNAN
5.00
0.00
0H
EK
TA
R
Gambar 1. Trend Perubahan Penggunaan Tanah
Informasi kesesuaian penggunaan tanah terhadap rencana tata ruang wilayah
Kesesuaian kondisi penggunaan tanah saat ini terhadap arahan fungsi kawasan dalam rencana tata ruang dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu Sesuai dan Tidak Sesuai.
Hasil analisa menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian penggunaan tanah terhadap RTRW Provinsi didominasi oleh kategori Sesuai seluas 130,66 juta hektar atau 68,31% dari luas wilayah Indonesia, terluas di Pulau Kalimantan (36,64 juta hektar). Sementara itu kategori Tidak Sesuai seluas 59,03 juta hektar (31,30%), terluas di pulau Sumatera (17,87 juta hektar). Ditinjau dari proporsi terhadap luas wilayah, persentase kategori Sesuai yang tertinggi adalah di Pulau Papua (mencapai 86,77%) dan untuk yang Tidak Sesuai berada di Pulau Jawa yakni 48,35%. Tingkat kesesuaian selengkapnya disajikan pada Tabel 1.
PULAU
TINGKAT KESESUAIAN (HEKTAR)
*
SESUAI % TIDAK
SESUAI %
Sumatera 29.201.031 61,81 17.876.270 38,19
Jawa dan Bali 6.837.426 51,65 6.400.871 48,35
Kalimantan 36.644.902 68,68 16.710.461 31,32
Sulawesi 13.566.957 70,07 5.793.818 29,93
Nusa Tenggara &
Maluku 8.317.046 52,74 6.753.194 47,26
Papua 36.093.311 86,77 5.386.689 13,23
Total 130.660.673 68,31 58.921.301 30,80
Sumber: Direktorat Penatagunaan Tanah BPN-R.I. (2007)

Tabel 1. Kesesuaian Penggunaan Tanah Terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
Informasi ketersediaan tanah nasional
Ketersediaan Tanah adalah gambaran umum mengenai tanah-tanah yang masih tersedia
untuk kegiatan pembangunan dengan memperhatikan kenyataan penguasaan dan
penggunaan tanah serta arahan fungsi kawasan (RTRW). Berdasarkan uraian tersebut,
ketersediaan tanah dapat dikelompokkan menjadi: a) dapat digunakan untuk kegiatan
budidaya sesuai fungsi kawasan; b) telah ada penguasaan tanah, namun penggunaan
tanahnya saat ini tidak sesuai dengan fungsi kawasan; c) telah ada penguasaan tanah
dan penggunaan tanahnya telah sesuai dengan fungsi kawasan, dan d) terbatas untuk
kegiatan-kegiatan yang berfungsi lindung.
Hasil analisa ketersediaan tanah disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Ketersediaan Tanah Nasional
Data
dan informasi ini dihara
pkan dapat berkontribu
si nyata pada pema
haman yang lebih baik terhadap dampak sosial dan lingkungan dari setiap kebijakan dan aksi pembangunan yang memerlukan tanah.
Ke depan, dengan makin majunya teknologi survey, komunikasi, dan informasi, para pengambil keputusan terkait dengan tanah diharapkan dapat memiliki lebih banyak ragam informasi tekstual dan spasial penatagunaan tanah yang diperlukan dalam rangka mengelola tanah secara efisien, adil, dan berkelanjutan.
Jakarta, 5 Maret 2008.
TERSEDIA: 45,56 %
TERSEDIA FUNGSI
LINDUNG: 24,41 %
SUDAH ADA
PENGUASAAN &
PENGGUNAAN TANAH
TIDAK SESUAI FUNGSI
KAWASAN: 14,46 %
SUDAH ADA
PENGUASAAN &
PENGGUNAAN TANAH
SESUAI FUNGSI
KAWASAN: 13,94 %

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN DAYA DUKUNG P. JAWA Oleh:
Hariadi Kartodihardjo dalam rangka
Kajian Daya Dukung Pulau Jawa – Kantor Menko Perekonomian
METODOLOGI
Kajian ini merupakan kelanjutan dari kajian sebelumnya mengenai Daya Dukung
P.Jawa pada tahun 2006. Kondisi bio-geofisik lingkungan, sosial-ekonomi dan kelembagan ditelaah untuk seluruh kabupaten/kota di P. Jawa. Demikian pula kejadian banjir, kekeringan dan longsor yang dianggap sebagai output dari pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup selama ini. Analisis kondisi tersebut kemudian diverifikasi berdasarkan kejadian-kejadian di lapangan. Verifikasi ini didasarkan pada hasil konsultasi publik untuk RUU-PSDA yang telah dilakukan pada tahun 2003 dan diskusi dengan mitra KLH, 2007, analisis media – khususnya harian Ibu Kota, serta berbagai pertemuan dengan pihak-pihak yang selama ini melakukan pendampingan petani di P. Jawa.
Untuk menilai daya dukung pada tingkat kabupaten/kota, menggunakan perhitungan jejak ekologi (Bab III), sedangkan pada tingkat Propinsi dan beberapa Kabupaten dilakukan perhitungan PDRB Hijau (Bab IV). Dalam kajian ini seluruh data yang dianalisa berupa data sekunder.
Apabila dalam kajian sebelumnya telah dianalisa permasalahan peraturan-perundangan di tingkat Undang-undang, dalam kajian ini dilakukan analsis ini (content analysis) terhadap 278 Peraturan Daerah. Ketiga analisis diatas, yaitu mengenai jejak ekologi, PDRB Hijau, kondisi dan prediksi perubahan tutupan lahan, serta verifikasi lapangan kemudian dilakukan sintesis untuk mengidentifikasi alternatif kebijakan strategis yang diperlukan. Skema pendekatan kajian ini disajikan dalam Gambar 1.
ANALISIS KEBIJAKAN SAAT INI 1. Peraturan Daerah
Untuk mengetahui motif ekologi dan manajemen kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dilakukan analisis terhadap 278 Peraturan Daerah (Perda). Hasil analisis ini menunjukkan bahwa Perda yang ada selama ini lebih banyak – sebesar 176 Perda (63%) dari 278 Perda yang dianalisis – mempunyai motif untuk melakukan eksploitasi sumberdaya alam (Tabel 1) berupa perijinan dan belum mempertimbangkan pentingnya proses kolaborasi maupun pelaksanaan devolusi pengelolaan sumberdaya alam. Disamping itu terdapat 125 Perda atau 45% dari seluruh Perda yang dievaluasi, sama sekali tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.

Gambar 1. Pendekatan Kajian Pengembangan Daya Dukung P. Jawa
Tabel 1. Motif dan Muatan Ekologi Perda dalam Pengelolan SDA
Propinsi
Motif dan Muatan Ekologi
Jumlah Perijinan Kolaborasi Devolusi
NDD DD1 DD2 NDD DD1 DD2 NDD DD1 DD2
BANTEN 6 4 0 0 1 2 0 1 0 14
YOGYAKARTA 3 8 0 0 6 0 0 2 0 19
DKI JAKARTA 3 6 0 0 7 1 0 2 0 19
JABAR 38 16 1 0 6 9 0 4 4 78
JATENG 38 7 0 1 25 3 0 2 0 76
JATIM 34 11 1 1 21 2 1 1 0 72
TOTAL 122 52 2 2 66 17 1 12 4 278
Keterangan:
NDD = Tidak memperhatikan daya dukung, DD1 = memperhatikan daya dukung terbatas dalam wilayah
administrasinya, DD2 = memperhatikan daya dukung dalam lingkup DAS
Perda-perda di atas sebagian besar berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya air, tanah dalam, pengairan, air permukaan, sumur resapan, irigasi, dan air bangunan (A), hutan, kayu hasil perkebunan rakyat (C), dan pengelolaan lingkungan hidup, pengendalian pencemaran air dan udara, baku mutu
KONDISI SAAT INI: Bencana, Bio-geo-fisik lingkungan,
Sosek, Kelembagaan
TUJUAN KAJIAN: Daya dukung: Footprint, PDRB Hijau. Prediksi tutupan lahan. Analisis
Kebijakan.
Masalah dan Strategic Policy
(Kajian 2006)
Karakteristik wilayah (Prop/Kab/Kota)
Alternatif kebijakan strategic
Verifikasi dan informasi masalah di lapangan (KP
RUU PSDA)
Kondisi dan prediksi tutupan lahan
kabupaten/kota
SINTESIS HASIL
ANALISIS: - Jejak Ekologi - PDRB Hijau
- Peraturan Daerah

lingkungan, pengendalian limbah (E) (Tabel 2). Dari seluruh Perda yang dievaluasi belum terdapat Perda pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan secara devolusi dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
Tabel 2 Motif dan Muatan Ekologi dalam Pengelolan SDA menurut Jenis Komoditi yang Dimanfaatkan
Bidang/ Sektor
Perijinan Kolaborasi Devolusi Jumlah
NDD DD1 DD2 NDD DD1 DD2 NDD DD1 DD2 Jml %
A 25 17 2 2 18 8 0 0 3 75 27.0
B 23 3 0 0 2 0 0 0 0 28 10.1
C 22 3 0 0 11 5 0 6 1 48 17.3
D 17 7 0 0 2 1 0 1 0 28 10.1
E 9 9 0 0 21 2 0 3 1 45 16.2
F 9 5 0 0 1 1 0 2 0 18 6.5
G 9 4 0 0 5 0 0 1 0 19 6.8
H 2 0 0 0 1 0 0 0 0 3 1.1
I 4 4 0 0 3 1 0 2 0 14 5.0
Total 120 52 2 2 64 18 0 15 5 278
Persen 69 2 0
Keterangan:
1. NDD = Tidak memperhatikan daya dukung, DD1 = memperhatikan daya dukung terbatas dalam
wilayah administrasinya, DD2 = memperhatikan daya dukung dalam lingkup DAS
2. A = Sumberdaya air tanah dalam, pengairan, air permukaan, sumur resapan, irigasi, dan air bangunan; B = Sumberdaya tanah dan lahan, hak ulayat; C = Sumberdaya hutan, kayu hasil
perkebunan rakyat; D = Sumberdaya tambang; E = Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH),
pengendalian pencemaran air dan udara, baku mutu lingkungan, pengendalian limbah; F =
Sumberdaya kawasan pantai, reklamasi pantai/pesisir/laut, perikanan laut dan sumberdaya pesisir,
laut dan perikanan; G = Sampah, kebersihan, H = Ekowisata, I = Perdagangan sumberdaya hayati,
sarang walet, flora dan fauna.
Analisis Perda ini juga menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang dilakukan dengan cara kolaborasi dan devolusi lebih memungkinkan memasukkan daya dukung lingkungan sebagai pertimbangan pelestarian lingkugan hidup. Kurang 2%, atau 2 Perda dari 114 Perda, mempunyai motif kolaborasi dan devolusi yang tidak disusun tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan. Sebaliknya bentuk-bentuk perijinan kurang mengakomodasi adanya keterbatasan daya dukung sumberdaya alam. Dari 174 Perda yang mempunyai motif perijinan, 120 Perda diantaranya (63%) tidak memperhatikan daya dukung lingkungan.
Analisis isi Perda juga menunjukkan bahwa cara kolaborasi dan devolusi lebih memungkinkan dicapai melalui pengembangan jaringan kerja internal Propinsi atau Kabupaten/Kota (Tabel 3). Dari 84 Perda yang bermotif kolaboratif, 54 Perda (62,2%) diantaranya disusun dengan membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders di internal Provinsi/Kabupaten/Kota (KT), sedangkan dari 16 Perda yang bermotif devolutif, 11 Perda (68,7%) diantaranya disusun dengan cara yang sama (KT).

Tabel 3. Motif dan Muatan Manajemen dalam Pengelolan SDA menurut Proses Penyusunannya
Propinsi Perijinan Kolaborasi Devolusi
Jumlah NK KT KL NK KT KL NK KT KL
BANTEN 8 2 0 1 2 1 14
YOGYAKARTA 8 2 1 1 5 2 19
DKI JAKARTA 2 6 1 4 5 1 19
JABAR 40 13 2 3 6 5 7 1 77
JATENG 42 3 7 18 2 2 74
JATIM 38 10 3 19 3 1 1 75
TOTAL 138 36 4 18 54 12 3 11 2 278
Persen 20,2 62,2 68,7
Keterangan:
NK = Tidak membangun jaring kerja koordinasi, perencanaan, pelaksanaan & kontrol; KT = Membangun
jaring kerja lintas sektor/stakeholders di internal provinsi/kabupaten/kota; KL = Membangun jaring kerja
lintas sektor/stakeholders internal provinsi/kabupaten/kota dan lintas wilayah provinsi/kabupaten/kota
Proses penyusunan Perda-perda yang cukup ideal, yang dilakukan secara kolaboratif dan atau devolutif dengan membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders di internal Provinsi/Kabupaten/Kota (KT) atau membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders internal provinsi/kabupaten/kota dan lintas wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota (KL) telah dilaksanakan untuk pemanfaatan sumberdaya air, hutan dan pengelolaan lingkungan hidup (Tabel 4), namun tidak demikian untuk sumberdaya tanah dan lahan, sumberdaya tambang, sumberdaya kawasan pantai, sampah dan kebersihan, ekowisata, Serta perdagangan sumberdaya hayati, sarang walet, flora dan fauna.
Tabel 4. Motif dan Muatan Manajemen Perda dalam Pengelolan SDA menurut
Proses Penyusunannya dan Jenis Komoditi yang Dimanfaatkan
Komoditi Yg Dimanfaatkan
Perijinan Kolaborasi Devolusi
NK KT KL NK KT KL NK KT KL
A 32 15 2 4 16 5 0 3 0
B 23 3 0 1 1 0 0 0 0
C 20 4 3 0 11 3 0 4 1
D 17 9 1 1 0 0 2 0 0
E 15 4 0 4 19 4 0 3 1
F 9 1 1 1 1 0 1 2 0
G 10 2 2 0 3 0 0 0 0
H 2 0 0 1 1 0 0 0 0
I 6 1 0 0 3 0 0 0 0
Total 134 39 9 12 55 12 3 12 2 Keterangan:
1. NK = Tidak membangun jaring kerja koordinasi, perencanaan, pelaksanaan & kontrol; KT =
Membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders di internal provinsi/kabupaten/kota; KL =
Membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders internal provinsi/kabupaten/kota dan lintas
wilayah provinsi/kabupaten/kota;
2. A = Sumberdaya air tanah dalam, pengairan, air permukaan, sumur resapan, irigasi, dan air
bangunan; B = Sumberdaya tanah dan lahan, hak ulayat; C = Sumberdaya hutan, kayu hasil
perkebunan rakyat; D = Sumberdaya tambang; E = Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH),
pengendalian pencemaran air dan udara, baku mutu lingkungan, pengendalian limbah; F =
Sumberdaya kawasan pantai, reklamasi pantai/pesisir/laut, perikanan laut dan sumberdaya

pesisir, laut dan perikanan; G = Sampah, kebersihan, H = Ekowisata, I = Perdagangan
sumberdaya hayati, sarang walet, flora dan fauna.
Yang juga perlu diperhatikan bahwa baik Perda-perda yang disusun dengan memperhatikan muatan ekologis seperti daya dukung sumberdaya alam dan dilaksanakan dengan membentuk jejaring kerja maupun Perda-perda yang bersifat eksploitatif terhadap sumberdaya alam, keduanya merujuk Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah yang hampir sama (Tabel 5). Hal ini berarti terdapat persoalan serius mengenai proses legislasi dalam penyusunan Perda serta lemahnya monitoring Perda-perda bermasalah, terutama ditinjau dari ketiadaan muatan ekologis maupun proses yang dilakukan tanpa memperhatikan jejaring kerja dalam pengelolaan sumberdaya alam. 2. Kebijakan PSDA dan Upaya Pemulihan Daya Dukung Lingkungan
Pada Tabel 6 ditunjukkan nama-nama Kabupaten/Kota dimana terdapat peningkatan tutupan lahan, daya dukung yang masih baik yang ditunjukkan oleh hasil perhitungan jejak ekologi, Kabupaten/Kota yang akan terjadi kerusakan tutupan lahan berdasarkan prediksi 2010-2025, serta nama-nama Propinsi/Kabupaten/ Kota yang mempunyai perda-perda yang disusun dengan memperhatikan daya dukung lingkungan. Berdasarkan penggabungan fakta dan prediksi ini dapat dinyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. Upaya untuk melakukan peningkatan tutupan lahan telah dilakukan, namun keberhasilan pada umumnya di wilayah-wilayah perkotaan. Upaya demikian ini tentu saja sangat penting, namun belum cukup memberikan dampak positif bagi perbaikan daya dukung. Hal ini ditunjukkan oleh kecilnya jumlah kabupaten/kota yang perhitungan footprint-nya belum terlampaui.
2. Tutupan lahan yang masih tersisa cenderung diprediksi akan terancam oleh perkembangan penduduk, khususnya berkaitan dengan kebutuhan lahan pertanian, konversi hutan untuk perkebunan dan tambang, serta pengembangan infrastruktur ekonomi khususnya jalan. Prediksi ini cenderung dapat dibenarkan karena:

Tabel 5. Rujukan Perda dalam Pengelolan SDA di P Jawa
Rujukan Jatim Jateng Jabar DKI DIY Banten
Undang-Undang
No.23/97 No.23/97 No.23/97 No 11/74 No.23/97 No. 22/99
No. 5/90 No 11/74 No 24/92 No 4/82 No 11/74 No.23/97
No 11/74 No. 5/90 No 11/74 No.23/97 No 11/67 No. 24/92
No. 5/60 No. 5/60 No. 5/60 No. 11/67 No. 5/60 No. 5/60
No 24/92 No 41/99 No. 5/90 No 24/92 No 4/82 No. 5/90
No 41/99 No 24/92 No 11/67 No. 5/90 No 24/92 No 41/99
Peraturan Pemerintah
No 27/99 No 22/82 No 27/99 No 51/93 No 20/90 No 27/99
No 35/91 No 27/99 No 22/82 No 20/90 No 35/91 No 35/91
No 20/90 No 25/00 No 25/00 No 29/86 No 22/82 No 20/90
No 22/82 No 82/01 No 20/90 No 22/82 No 27/99 No 22/82
No 33/70 No 35/91 No 51/93 No 27/91 No 51/93 No 33/70
Keputusan Presiden
No 32/90 No 32/90 No 32/90 No 32/90
No 23/90 No 114/99
No 57/89 No 77/94 Keterangan:
Undang-Undang: Peraturan Pemerintah:
No 22/99 Pemerintahan Daerah No 33/70 Perencanaan Hutan
No 41/99 Kehutanan No 22/82 Tata Pengaturan Air
No.23/97 Pengelolaan Lingkungan Hidup No 29/86 Anallisis Mengenai Dampak Lingkungan
No 24/92 Tata Ruang No 20/90 Pengendalian Pencemaran Air
No. 5/90 Keanekaragaman Hayati No 27/91 Pengelolaan Rawa
No 4/82 Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
No 35/91 Pengelolaan Sungai
No 11/74 Ketentuan-ketentuan Pokok Pengairan No 51/93 Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
No 11/67 Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan No 27/99 Analisis mengenai Dampak Lingkungan
No. 5/60 Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria No 25/00 Kewenangan Daerah Propinsi sebagai Daerah
Otonom
No 82/01 Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air
Keputusan Presiden: Keputusan Presiden:
No 57/89 Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional
No 77/94 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
No 23/90 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No 114/99 Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur
No 32/90 Pengelolaan Kawasan Lindung No 62/00 Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional

Tabel 6. Kondisi Daya Dukung, Prediksi Kerusakan Tutupan Lahan serta Muatan Ekologi dan Manajemen dalam Peraturan Daerah.
Penambahan Tutupan Lahan (2000 – 2005)
Jejak Ekologi (Kab2 Terbaik)
Prediksi Kerusakan Tutupan Lahan (2010 – 2025)
Peraturan Daerah
2E 2F 3H 3I
Banten: Tangerang Kep.Seribu
Lebak Pandeglang
Pandeglang, Lebak, Tangerang, Serang, Kota Tangerang, Kota Cilegon
Lebak
Jabar: Bekasi, Indramayu, Cirebon, Kota Banjar, Kota Bogor, Kota
Sukabumi, Kota Bekasi Kota Bandung, Kota Tasikmalaya, Kota Depok, Kota Cimahi
Kota Cirebon
-
Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Kota Bogor, Kota Sukabumi, Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Bekasi,
Kota Depok, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya, Kota Banjar.
Kota Depok Indramayu Tasik Malaya
Prop Jabar
Cimahi K. Bandung
Prop Jabar Kuningan
Jateng: Batang, Demak, Sukoharjo, Kota Tegal
Kota Pekalongan, Kota Semarang, Kota Magelang, Kota Surakarta
G. Kidul Blora
Wonogiri Rembang
Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar,
Sragen, Grobogan/Purwodadi, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang, Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang, Tegal, Brebes, Kota Magelang, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Semarang, Kota Pekalongan, Kota Tegal.
Banjarnegara, Banyumas, Cilacap
Kebumen, Kudus Pekalongan, Sragen
Prop Jateng
Jatim: Tuban, Sidoarjo, Sampang, Kota Kediri Kota Pasuruan, Kota
Probolinggo, Kota Madiun, Kota Mojokerto, Kota Blitar
Situbondo, Banyuwangi Pacitan, Bondowoso, Sumenep, Bojonegoro
Lumajang, Trenggalek
Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro,
Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan, Sumenep, Kota Kediri, Kota Blitar, Malang, Kota Probolinggo, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, Kota Madiun, Kota Surabaya, Kota Batu
Gresik, Malang, Mojokerto, Nganjuk Pamekasan,
Sidoarjo, Sumenep K. Surabaya
Prop Jatim K. Madiun
Bangkalan
DIY: Kulon Progo, G. Kidul, Bantul
-
Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman, Kota Yogyakarta
Kota Yogjakarta
Keterangan: 2 = Motif Perda berorientasi mengatur tindakan kolaboratif pengelolaan pemanfaatan SDA; 3 = Motif Perda berorientasi mengatur hak masyarakat untuk akses, pemanfaatan & kontrol atas SDA; E = Mempertimbangkan daya dukung lingkungan dari wilayah administratif bersangkutan dan membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders di internal provinsi/kabupaten/kota mengenai koordinasi, perencanaan, pelaksanaan & kontrol terhadap dampak lingkungan pemanfaatan SDA; F = Mempertimbangkan daya dukung lingkungan dari wilayah administratif bersangkutan dan membangun jaring kerja lintas sektor internal provinsi/kabupaten/kota dan lintas wilayah provinsi/kabupaten/kota mengenai koordinasi, perencanaan, pelaksanaan & kontrol terhadap dampak lingkungan pemanfaatan SDA; H = Mempertimbangkan daya dukung lingkungan dari ekosistem DAS/wilayah cekungan air tanah/kesatuan pemangku hutan bersangkutan dan membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders di internal provinsi/kabupaten/kota mengenai koordinasi, perencanaan, pelaksanaan & kontrol terhadap dampak lingkungan pemanfaatan SDA; I = Mempertimbangkan daya dukung lingkungan dari ekosistem DAS/wilayah cekungan air tanah/kesatuan pemangku hutan bersangkutan dan membangun jaring kerja lintas sektor/stakeholders internal provinsi/kabupaten/kota dan lintas wilayah provinsi/kabupaten/kota mengenai koordinasi, perencanaan, pelaksanaan & kontrol terhadap dampak lingkungan pemanfaatan SDA.

45
a. Masih sangat sedikit dukungan peraturan-perundangan terutama Perda yang dapat mengendalikan kerusakan daya dukung lingkungan. Baik kebijakan dalam bentuk teks maupun proses pembuatannya masih terdapat kelemahan mendasar. Misalnya dijumpai adanya gap antara isi Undang-undang yang menjadi rujukan dengan isi Perda.
b. Disamping masalah teks kebijakan dan proses pembuatannya, juga terdapat masalah implementasi kebijakan di lapangan. Kasus-kasus kerusakan sumberdaya alam yang terungkap (lihat Bab 3) menunjukkan adanya masalah implementasi kebijakan akibat belum ditunjang oleh kelembagaan yang kuat. Masalah kelembagaan yang dimaksud mencakup mulai dari persoalan hak dan akses masyarakat atas manfaat sumberdaya alam sampai dengan pelaksanan kepemerintahan.
c. Baik pada tingkat isi kebijakan maupun pada saat penggalian aspirasi masyarakat, paradigma mengelola sumberdaya alam secara bersama berdasarkan wilayah ekosistem serta perhatian terhadap daya dukung lingkungan masih sangat terbatas.
Uraian di atas secara umum menunjukkan bahwa kajian ini sejalan dengan telaah kebijakan makro yang telah dilakukan dalam kajian sebelumnya. Kondisi P. Jawa sebenarnya menghadapi situasi sebagai berikut:
Pertama, dalam skala nasional, meskipun status dan fungsi sumberdaya alam telah
ditetapkan dalam Undang-undang, namun perkembangan pembangunan ekonomi, sosial dan politik, secara de facto telah mereduksi status dan mengubah fungsi sumberdaya alam. Sementara itu, pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan belum menjadi arus utama (mainstream) dalam perkembangan pembangunan tersebut. Kedua, dalam skala wilayah, status dan fungsi sumberdaya alam terbagi-bagi kedalam wilayah administasi dan batas-batas yurisdiksi pengambilan keputusan, sehingga tidak terdapat kesatuan institusi dan politik yang mampu memastikan fungsi sumberdaya alam tetap menjadi bagian dari perkembangan ekonomi wilayah dalam jangka panjang. Ketiga, dalam skala lokal, status dan fungsi sumberdaya alam belum menjadi bagian roda penggerak kehidupan sosial-ekonomi masyarakat.
Kondisi demikian menggambarkan bahwa pembangunan nasional tidak ramah terhadap sistem ekologi dan sosial. Permasalahan kebijakan pembangunan merupakan akar penyebab kerusakan ekosistem (sumberdaya alam dan lingkungan hidup) sehingga menimbulkan krisis ekologi P. Jawa. Pada gilirannya, krisis ekologi bermuara pada tiga hal utama: kelangkaan sumberdaya, bencana lokal dan pembangunan, serta konflik3 wilayah hidup – ketiganya bisa berkaitan atau terjadi secara terpisah. Bencana (banjir dan longsor, misalnya) dan konflik wilayah hidup biasanya menimbulkan kerusakan ekosistem lebih jauh, sehingga memperburuk krisis ekologi yang ada. Demikian pula seterusnya.
3 Disini perlu dijelaskan bahwa sebagian besar konflik horizontal dan vertikal yang akhir-akhir ini marak
terjadi juga berkaitan dengan perebutan sumberdaya dan ruang. Konflik tersebut berpotensi melestarikan krisis ekologi dan bencana pembangunan.

46
Untuk mengatasi masalah-masalah yang ada, hasil kajian daya dukung P Jawa tahun 2006 telah merekomendasikan segenap langkah yang perlu dilakukan seperti tertuang dalam Tabel 7 Langkah-langkah tersebut menyangkut: (1). Penetapan Hak dan akses masyarakat lokal terhadap SDA, (2). Pengelolaan SDA berbasis ekosistem,
(3). Ukuran pembangunan dan kinerja pengelola SDA, (4). Kapasitas lembaga dan hubungan antar lembaga, dan (5). Tata pemerintahan.
Tabel 7. Tindakan Pemulihan Fungsi SDA dan Lingkungan Hidup P. Jawa
Substansi Kebijakan
Tingkat Tindakan
Penyempurnaan/ Pembuatan Peraturan
Perundangan Langkah Kolektif Langkah Operasional
Hak dan Akses Masyarakat Lokal terhadap SDA
Distribusi dan kepastian hak dan akses thd SDA secara adil
Penetapan fungsi SDA atas kepemilikan individu
Pengelolaan dan pemanfaatan SDA oleh individu
Pengelolaan SDA berbasis Ekosistem
RUU – PSDA menjadi UU PSDA
Penetapan daya dukung wilayah (antar daerah dan antar sektor)
Pemulihan fungsi kawasan lindung dan pembatasan eksploitasi SDA di wilayah tertentu
Ukuran Pembangunan dan Kinerja Pengelola SDA
Pelestarian SDA sebagai stock resources
Koordinasi penetapan program antar lembaga
Pengendalian kerusakan SDA dan LH
Kapasitas Lembaga dan Hubungan Antar Lembaga
Penguatan koordinasi antar kabupaten dalam penjabaran UU 32/2003
Pertukaran informasi, mekanisme pengendalian dampak bersama
Koherensi program antar lembaga
Tata Pemerintahan
Keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam pembuatan kebijakan
Pengembangan argumen, klarifikasi, penyamaan persepsi
Pelaksanaan transparansi, akuntabilitas, partisipasi
Sumber: Menko Perekonomian (2006).
Dengan kenyataan seperti itu, maka visi ke depan dalam pengelolaan sumberdaya alam di P. Jawa adalah:
”Mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang ditopang oleh pulihnya daya dukung lingkungan”.
Untuk mewujudkan visi tersebut, policy reform untuk lingkup P. Jawa diarahkan pada beberapa hal secara simultan, sebagai syarat perlu (necessary conditions) yaitu: 1. Penataan hak dan akses masyarakat lokal terhadap pemanfaatan sumberdaya
alam, 2. Penguatan pengelolaan sumberdaya alam berbasis ekosistem termasuk
pemulihan fungsi kawasan lindung, 3. Memperbaiki peraturan-perundangan, reformasi birokrasi dan tata
pemerintahan, termasuk pembenahan proses-proses administrasi pelaksanaan program dan kegiatan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam.

47
Policy reform tersebut dapat efektif mengatasi permasalahan daya dukung P Jawa apabila terdapat syarat cukup (sufficient conditions), yaitu:
1. Kebijakan kependudukan khususnya untuk mengatasi laju pertumbuhan penduduk Indonesia, khususnya di P. Jawa,
2. Pengembangan ekonomi di luar P. Jawa untuk mendorong perpindahan penduduk P. Jawa secara spontan.
Upaya untuk menjalankan policy reform tersebut tidak mudah, karena kecenderungan orientasi pembangunan dan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berjalan selama ini justru ke arah yang berlawanan yang dicerminkan dalam hasil analisis Perda. Dengan kenyataan seperti itu, policy reform dapat berjalan apabila krisis ekologi P. Jawa benar-benar menjadi perhatian serta adanya dukungan politik yang kuat untuk menjalankan policy reform tersebut.
3. REKOMENDASI KEBIJAKAN Dengan mempertimbangkan seluruh hasil kajian tersebut di atas, rekomendasi kebijakan pengembangan daya dukung P. Jawa adalah sebagai berikut:
1. Meninjau kembali RUU Pengelolaan Sumberdaya Alam yang selama ini telah dibahas antar Departemen, namun hingga saat ini belum dibahas oleh DPR;
2. Segera melakukan evaluasi penggunaan tata ruang dan menetapkan kepastian hak dan akses atas SDA bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar lokasi SDA;
3. Menerapkan perhitungan Jejak Ekologi dan PDRB Hijau untuk melakukan evaluasi DDL;
4. Memberi prioritas untuk melakukan konservasi wilayah hulu DAS dan
menjalankan koordinasi antar wilayah Kabupaten/Kota dalam datu DAS yang sama;
5. Meninjau kembali Peraturan Daerah dalam pemanfaatan SDA yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan;
6. Mempertimbangkan untuk memberlakukan daftar negatif investasi yang merusak SDA di Pulau Jawa.
ooo

48
Penataan Ruang dan Perubahan Iklim
oleh
Medrilzam
Kepala Subdit Jasa Lingkungan dan Konservasi SDA,
Dit. Kehutanan dan Konservasi SDA
BAPPENAS
Sudah tiga bulan berlalu penyelenggaraan event terbesar Conference of Parties United
Nations Conference on Climate Change ke 13 (COP UNFCCC)4 di Bali. Hasil dari COP 13
tahun 2007 telah menjadi momentum besar bagi negara-negara untuk memulai sesuatu
gerakan dalam memperbaiki kondisi iklim global yang makin lama makin
mengkhawatirkan. Dalam COP terbesar yang pernah diselenggarakan PBB tersebut, juga
tercatat drama yang sangat unik diakhir pertemuan, dimana akhirnya Amerika Serikat
(beserta beberapa pendukungnya) yang sangat arogan dalam berbagai pertemuan PBB,
akhirnya takluk di depan negara berkembang dan Uni Eropa yang menginginkan
terjadinya perubahan ekstrim dalam pembangunan melalui pemotongan emisi gas rumah
kaca (deep emission cut) pada berbagai kegiatan pembangunan khususnya di negara maju.
Di satu sisi, sebagai bentuk lain dukungan terhadap perbaikan iklim global, negara
berkembang juga diminta untuk melaksanakan pembangunan berkelanjutan yang
konsisten dengan tujuan dan pendekatan pembangunan di negara masing-masing.
Sayangnya momentum besar yang diperoleh di Bali mendapat respons adem-ayem saja di
dalam negeri. Pada awalnya, perhatian berbagai pihak begitu gencar mendukung
terselenggaranya acara tersebut. Media massa yang begitu gencar mewartakan proses
konferensi, para petinggi berbagai negara, para pengambil keputusan, berbagai lapisan
masyarakat juga begitu peduli mendukung upaya perubahan iklim pada saat konferensi.
Namun, euphoria positif tersebut berlangsung hanya sesaat. Saat ini, isu perubahan iklim
tenggelam kembali di bawah bayang-bayang isu lain yang bersifat jangka pendek seperti
tingginya harga kebutuhan pokok, goyahnya APBN 2008 dan sebagainya.. dramatis
memang… kita hanya bisa berharap agar hasil konferensi sebesar lebih dari Rp. 115
milyar yang diselenggarakan dengan tanggungan dana APBN-P 2007 tersebut tidak
menguap begitu saja..
Terlepas dari menguapnya publisitas isu perubahan iklim di dalam negeri saat ini,
euphoria bulan desember 2007 tersebut, telah menimbulkan kesan cukup mendalam dari
berbagai pihak yang peduli tentang isu pembangunan. Beberapa pengambil keputusan di
negara ini telah mulai menyadari bahwa isu perubahan iklim bukan-lah isu lingkungan hidup semata, tetapi isu perubahan iklim telah menjadi isu pembangunan secara keseluruhan. Perubahan iklim ditengarai telah menimbulkan berbagai kerusakan di
dalam negeri yang menimbulkan kerugian ekonomi demikian besar. Hingga saat ini 4 Pertemuan antar negara (bukan pertemuan Badan UN seperti yang sering dikutip media massa) yang telah
meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim (Climate Change Convention) pada tahun 1992.

49
belum ada studi komprehensif tentang dampak ekonomi perubahan iklim di Indonesia,
namun Stern (2007) memperkirakan 10% dari GDP global akan hilang akibat perubahan
iklim bila negara di dunia ‘cuek’ dan tidak melakukan tindakan apapun untuk mengatasi
isu perubahan iklim.
Karena isu perubahan iklim adalah isu pembangunan, tak pelak lagi isu ini akhirnya
mendapat perhatian serius dari para perencana pembangunan, termasuk ahli penataan
ruang. Mengingat penataan ruang merupakan tools untuk mencapai tujuan
pembangunan, perubahan iklim mau tak mau menjadi pertimbangan utama dalam
menyusun rencana, mamanfaatkan maupun memantau serta mengevaluasi penataan
ruang.
Sebenarnya sejak Undang-Undang no. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan
diperbaiki melalui Undang-Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007, para ahli
penataan ruang telah berupaya mengakomodasi pertimbangan lingkungan dan sumber
daya alam ke dalam perencanaan tata ruang. Dalam UU No. 26 tahun 2007 dinyatakan
secara tegas bahwa rencana tata ruang harus mempertimbang daya dukung dan daya
tampung lingkungan. Karena daya dukung dan data tampung lingkungan saat ini juga
sangat tergantung kepada faktor eksternal lingkungan terutama faktor perubahan iklim,
para perencana tata ruang secara otomatis harus mempertimbangkan perubahan iklim ke
dalam pertimbangan rencana tata ruang maupun pemanfaatan ruang.
Pertimbangan perubahan iklim dalam penataan ruang dapat diakomodasi melalui suatu
mekanisme yang dinamakan Strategic Natural Resources and Environmental Assessment
(SNREA) atau yang di luar negeri di kenal dengan bentuk Strategic Environmental
Assessments (SEA). SNREA/ SEA bukan-lah bentuk yang sama dengan AMDAL. SNREA/
SEA merupakan kajian strategis tentang kebijakan, perencanaan, dan program
pembangunan, dengan menempatkan pertimbangan daya dukung dan daya tampung
sebagai pertimbangan utama. Melalui SNREA/ SEA, para perencana ruang dapat pula
mengakomodasi berbagai isu perubahan iklim untuk diintegrasikan ke dalam kebijakan,
perencanaan dan program penataan ruang di setiap wilayah. Pendekatan sistem yang
menjadi salah satu ciri perencanaan suatu ekosistem dapat di aplikasikan dalam SEA
seperti yang pernah dilakukan Bappenas (2006) pada saat menyusun Critical
Environmental Pressure Points (CEPP) untuk proses rehabilitasi dan rekonstruksi di
Aceh. Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Departemen Dalam Negeri
sedang mengembangkan konsep penerapan SEA ke dalam proses penataan ruang di
daerah. Sementara itu, Bappenas sedang berupaya untuk menerapkan SNREA ke dalam
perencanaan pembangunan nasional. Singkatnya, SNREA/ SEA dapat menjadi wahana
bagi para ahli penataan ruang untuk mengintegrasikan pertimbangan perubahan iklim ke
dalam penataan ruang maupun dalam konteks perencanaan pembangunan lainnya.
Dalam konteks pemanfaatan ruang, telah tersedia berbagai alternatif sumber pendanaan
yang dapat dipergunakan untuk menjalankan aktifitas yang terkait dengan perubahan
iklim. Secara umum, skema pendanaan pemanfaatan ruang yang terkait dengan perbaikan

50
iklim global, terdiri dari beberapa mekanisme antara lain melalui: a) sumber multilateral;
b) sumber bilateral; dan c) sumber alternatif lainnya, yang terutama dikelola oleh GEF.
Saat ini sumber multilateral masih belum banyak menyediakan pendanaan karena
portofolio sumber multilateral umumnya terfokus dalam upaya pemberian pinjaman yang
tentunya kurang menarik bagi negara berkembang seperti Indonesia. Sementara itu, saat
ini sumber bilateral mulai banyak memberikan bantuan yang umumnya dalam bentuk
hibah technical assistance. Hibah yang diberikan ke Indonesia terutama dalam
mendukung kegiatan REDD (Reduction Emission from Deforestation and Degradation).
Kegiatan REDD sendiri baru akan diformalkan sebagai bagian dari kegiatan mitigasi
perubahan iklim setelah Kyoto Protocol tahap pertama berakhir di tahun 2012. Sumber
pendanaan alternatif merupakan bentuk baru yang mekanisme pengelolaan umumnya
dikendalikan oleh Global Environmental Facility (GEF). Beberapa mekanisme pendanaan
melalui GEF telah disepakati melalui COP UNFCCC meliputi Special Climate Change
Fund (SCCF), Adaptation Fund dan Dana yang berasal dari trust fund GEF sendiri
(Strategic Priority on Adaptation/ SPA dan Resource Allocation Framewrok/ RAF).
Namun sayangnya dari sekian banyak sumber pendanaan alternatif, Indonesia belum bisa
secara efektif memanfaatkannya. Baru hanya dana yang bersumber dari RAF yang dapat
dimanfaatkan, itu-pun tidak optimal.
Mengacu tantangan dan peluang yang dihadapi dalam isu perubahan iklim saat ini, sudah
saatnya kita merenung dan memikirkan kembali, kemana orientasi penataan ruang
nasional dan daerah. Paradigma baru pembangunan yang mulai mempertimbangkan isu
perubahan iklim sudah saatnya menjadi perhatian penuh dari para ahli penataan ruang.
Peluang pendanaan tersedia di depan mata, di sisi lain, kepedulian tentang perubahan
iklim sudah mulai berkembang, ini-lah saatnya insan penataan ruang juga perlu
melakukan re-orientasi pendekatan penataan ruang yang lebih ramah lingkungan dengan
pertimbangan daya dukung dan daya tampung sumber daya alam dan lingkungan yang
komprehensif..
Wacana

51
STRATEGIC-LINK PERTANAHAN DALAM REDUCTION OF EMISSIONS FROM DEFORESTATION
AND DEGRADATION (REDD)
Oleh: Harris Simanjuntak
Kebijakan pertanahan yang tepat akan berdampak secara tidak langsung pada reduksi emisi melalui pengurangan laju proses degradasi dan deforestasi. Kebijakan yang jelas tentang hak dan kewajiban akan mengurangi dampak penggunaan tanah dan membuat pengguna tanah lebih mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Karena itu, penyempurnaan terhadap kebijakan pertanahan yang ada masih tetap diperlukan. Kesinambungan atau keberlanjutan penggunaan dan pemanfaatan tanah dapat tercapai dengan baik hanya bila penggunaan dan pemanfaatan tanah tersebut berada sepenuhnya dalam penguasaan dan pemilikan dari para pemilik, serta kepemilikannya tersebut berdampak langsung pada kepentingan dari para pemiliknya. Hak kepemilikan tanah yang jelas dan fair akan memerdekakan para pengguna tanah, sehingga pemilik merasa memiliki dan karenanya secara otomatis akan memelihara dan melaksanakan kewajiban yang terkait dengan penggunaan tanahnya. Namun demikian, jangan diartikan bahwa batasan-batasan dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah tidak diperlukan lagi. Batasan tetap diperlukan, namun tujuannya dalam rangka menserasikan kemerdekaan antara pemilik tanah yang satu dengan pemilik yang lain. Ketidakpastian hak dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah serta ketidakpastian jangka waktu dari hak tersebut dapat membawa konsekuensi kepada strategi maksimasi output jangka pendek dari para pengguna tanah, yang mendorong terjadinya degradasi dan deforestasi, sehingga tidak sustainable . Tersedianya kebijakan berupa aturan pertanahan yang kondusif yang bersifat enabling kepada para pengguna tanah, akan mengurangi konflik dan ketidakpastian dalam interaksi antar para pengguna tanah, sehingga tidak kontraproduktif kepada penggunaan dan pemanfaatan tanah. Karena itu, kejelasan dan kepastian hukum hak atas tanah adalah sangat penting dalam pengelolaan tanah yang berkelanjutan. Hak yang jelas dan fair akan meletakkan kerangka kelembagaan yang serasi dan seimbang antara regulasi publik dan pasar dalam menggunakan dan memanfaatkan tanah. Tanpa suatu framework yang dapat diterima dan dapat ditegakkan, baik regulasi maupun pasar tidak akan efektif. Hak atas tanah tidak absolute, tapi kondisional. Hak atas tanah secara implisit membawa suatu tanggungjawab/kewajiban para pemegang hak. Tanggungjawab tersebut merupakan cerminan kewajiban-kewajiban yang disyaratkan oleh berbagai sektor pembangunan terkait yang perlu dilaksanakan oleh para pemegang hak atas tanah. Penghormatan hak atas tanah akan menopang demokrasi dan pengambilan keputusan para pengguna tanah dalam melaksanakan berbagai kebijakan sektoral. Kejelasan tentang mana yang menjadi hak-hak publik, mana yang menjadi hak-hak privat, mana yang menjadi hak kepemilikan bersama, dan mana yang open access dalam penggunaan tanah akan berimplikasi pada efektifitas penegakan kewajiban penggunaan tanah, seperti penegakan kewajiban yang berkaitan dengan tata ruang, konservasi, kewajiban tidak boleh membakar, dll.
Jakarta, 5 Maret 2008
TATA KELOLA PERMUKIMAN BERBASIS KOMUNITAS SEBAGAI INSTITUSI WARGA

52
UNTUK PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN BANJIR
Oleh :
Dodo Juliman5
Latar Belakang
Saat ini, kita berada di pertengahan jalan transformasi besar menuju kehidupan perkotaan. Dalam 50 tahun
terakhir penduduk perkotaan dunia telah bertambah sebanyak 6 kali lipat, sementara Indonesia mengalami
pertumbuhan yang lebih tinggi, yaitu bertambah sekitar 7 kali lipat dalam 50 tahun terakhir. Menurut perkiraan
UN-Habitat dampak urbanisasi akan lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang terutama di kawasan Asia
Selatan, Asia Tenggara dan Sub-Sahara Afrika6.
Permukiman merupakan elemen utama pembentuk kawasan perkotaan. Jika kita mengenal wisma
(rumah/tempat tinggal), karya (sarana produksi/tempat kerja), marga (prasarana penghubung), suka (sarana
rekreasi), dan penyempurna (sarana kesehatan, pendidikan dan peribadatan) sebagai unsur-unsur pembentuk permukiman, dapat dikatakan bahwa perumahan merupakan unsur utama pembentuk permukiman. Jika kita
perhatikan, di kota-kota kecil sampai sedang elemen perumahan atau fungsi campuran (rumah-toko, rumah-
warung, rumah-bengkel, rumah-kebun) menjadi unsur yang mendominasi wujud fisik kota-kota kita.
Belakangan, sejalan dengan makin terasanya dampak perubahan iklim global, ditambah lagi dengan perubahan
penggunaan lahan di kawasan hulu, kota-kota yang dilalui sungai banyak yang mengalami bencana banjir.
Banyak yang beranggapan bahwa banjir ini terutama disebabkan oleh tidak terkendalinya pembangunan
perumahan dan permukiman di sepanjang daerah resapan air, bahkan di sepanjang bantaran sungai dan badan-
badan air lainnya.
Tata Kelola Kawasan Permukiman
Sampai tahun 1980-an, masih banyak tempat kerja seperti: perkebunan, industri, kompleks pendidikan,
perkantoran, dan lain-lain dilengkapi dengan fasilitas perumahan untuk pegawainya, pada sektor informal pun, kita dapat melihat adanya pola hubungan yang cukup dekat antara tempat tinggal dan tempat kerja, seperti
diperlihatkan melalui fungsi-fungsi campuran yang disebutkan terdahulu. Uraian ini mengarah pada suatu pola
tata kelola kawasan permukiman yang produktif yang dicirikan oleh eratnya hubungan antara tempat tinggal dan
mata pencaharian. Pola tata ruang seperti ini sebenarnya menganut zonasi yang berbasis pada satuan-satuan
permukiman yang memiliki sistem produksi yang spesifik. Oleh karena itu, dulu kita sering mengenal adanya
kampung yang dikaitkan dengan produk tertentu, seperti: kampung batik, kampung tenun, kampung peuyeum,
kampung kulit, kampung kerajinan kayu, kampung kerajinan perak, dan lain-lain.
Dengan zonasi berbasis kampung, sebenarnya kita bisa membangun tata ruang mikro yang lebih mudah
dikontrol oleh para pemangku kepentingan, yaitu warga kampung itu sendiri. Sehingga apa pun yang akan
diputuskan bersama akan berhubungan sangat erat dengan kenyataan hidup mereka sehari-hari, lebih konkrit
dibanding bila pengambil keputusan adalah orang yang tidak menghadapi persoalan secara langsung. Tentu saja pengambilan keputusan oleh warga ini perlu mendapat dukungan oleh pemerintah setempat, terutama dukungan
informasi, panduan, dan pendampingan teknis.
Membangun Institusi Warga
Melalui institusi warga yang dibentuk untuk menyelenggarakan tata kelola kewilayahan (area governance) di
kampungnya, perencanaan kampung (village planning)-pun lebih mudah difasilitasi untuk mengarah pada
model pembangunan kampung yang lestari (baca: berkelanjutan) dengan menerapkan kawasan budidaya dan
kawasan penyangga secara mikro. Melalui sistem tata kelola kewilayahan mikro yang baik, maka hal-hal yang
terkait dengan pencegahan dan pengendalian banjir aka lebih mudah dilakukan, karena di dalamnya warga juga
diajak untuk menciptakan kampung yang lestari melalui pembangunan permukiman yang memperhatikan
keseimbangan ekologis di dalamnya. Karena aturan main dibuat sendiri oleh warga (dengan panduan dari
pemerintah kota), tentu saja warga akan berusaha mengontrol antar sesama mereka.
5 Dodo Juliman, Manajer Program UN-HABITAT untuk Indonesia
6 UN-Habitat Human Settlements Report, “The Challenge of Slums, 2003

53
Model ini bisa diintegrasikan dengan tata ruang makro (skala kota) secara bertahap dan berkesinambungan
melalui sistem fasilitasi antar kampung yang kemudian membentuk satuan wilayah perkotaan7. Pada tingkat
satuan wilayah perkotaan keberadaan kampung-kota sudah perlu diintegrasikan dengan berbagai fasilitas
pendukung kota seperti pasar, terminal, sarana pendidikan terpadu, puskesmas terpadu, layanan jasa terpadu
(kantor pos, telepon, internet, layanan informasi, bank/ lembaga keuangan mikro, layanan hukum dan
sebagainya).
Melalui pola-pola pengelolaan lingkungan permukiman yang terkoneksi dengan berbagai fasilitas seperti
disebutkan di atas, maka perubahan ke arah penggunaan tanah secara lebih efisien dan pengembangan
permukiman yang bernilai tambah tinggi menjadi lebih mudah diselenggarakan.
Membangun Secara Vertikal
Sejalan dengan terus berkembangnya penduduk perkotaan, perlu ditumbuhkan kesadaran kolektif untuk
membatasi ekspansi kawasan terbangun sekaligus melestarikan dan meningkatkan kinerja kawasan penyangga,
agar daya dukung lingkungan dan keseimbangan ekologis bisa lebih terjaga. Salah satu cara untuk membatasi
ekspansi kawasan terbangun adalah dengan membangun secara vertikal. Namun, hal ini perlu dilakukan secara
lebih bijak, melalui pengembangan secara bertahap, sesuai kemampuan warga.
Di samping menghemat penggunaan tanah perkotaan, membangun secara vertikal dapat pula mengurangi biaya
pembangunan infrastruktur dan penggunaan transportasi kota. Bila disertai dengan inovasi sistem manajemen perumahan kota8, maka pembangunan vertikal juga akan bisa menyediakan makin banyak tempat tinggal bagi
penduduk yang bekerja di pusat-pusat kegiatan kota. Untuk merangsang pembangunan secara vertikal,
pemerintah setempat bekerja sama dengan pemerintah nasional dapat memberi insentif atau mengenakan
disinsentif terhadap warga kotanya.
Perubahan Manajemen Tanah Perkotaan
Keberadaan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sangat diperlukan untuk mendukung daya
saing kota, karena merekalah yang mampu memberikan layanan dengan harga yang terjangkau oleh kebanyakan
penduduk perkotaan. Namun untuk bisa memberi layanan seperti itu, kelompok MBR perlu bertempat tinggal
relatif dekat dengan tempat kerjanya, agar mereka tidak perlu mengeluarkan uang terlalu besar untuk mencapai
tempatnya bekerja. Untuk itu pemerintah setempat dan pemerintah nasional perlu melindungi keberadaan kelompok MBR di pusat-pusat kegiatan kota dengan cara melestarikan dan meningkatkan kapasitas
permukiman MBR (slum upgrading) serta menyediakan tanah hak guna pakai kolektif atau fasilitas hunian sewa
yang menjamin adanya keamanan hak tinggal kepada kelompok MBR.
Regulasi tanah perkotaan ke depan hendaknya lebih memberi insentif bagi pemilik tanah yang mendayagunakan
tanahnya untuk menyediakan fasilitas hunian sewa bagi kelompok MBR, dan memberi disinsentif bagi pemilik
tanah yang tidak menggunakannya dengan baik9, terutama di kawasan-kawasan pusat kegiatan kota. Mungkin
untuk itu perlu ada sistem audit pendayagunaan tanah perkotaan.
Kesimpulan
Tata kelola permukiman berbasis warga bisa menjadi alternatif dalam pengembangan perkotaan mendatang,
karena manajemen perkotaan yang desentralistik sampai ke tingkat warga/komunitas akan lebih mampu
bertahan ketimbang sistem tata kelola yang bertumpu pada birokrasi kota semata. Namun ini semua hanya akan berjalan dengan baik bila terjadi transformasi peran pemerintah setempat dari pelaku utama menjadi fasilitator
yang kreatif dalam menggali dan mendayagunakan berbagai potensi yang ada di berbagai pihak.
7 Satuan Wilayah Perkotaan, bisa berupa kecamatan atau kawasan yang mempunyai fungsi tertentu seperti
kawasan pusat bisnis/ perdagangan, kawasan industri terpadu dll. 8 Sistem Manajemen Perumahan Kota yang dimaksud adalah sistem informasi perumahan yang dikaitkan dengan upaya
pendayagunaan stok perumahan secara optimal untuk mengatasi backlog maupun kebutuhan tempat tinggal yang dekat dengan tempat kerja.
9 Tidak efisien atau kurang dari daya-guna minimal sesuai aturan tata guna tanah perkotaan yang kelak akan dikembangkan.

54
Sistem informasi yang cerdas dan berbasis lebar (broad-based information system) bisa sangat membantu
menciptakan manajemen perkotaan yang fasilitatif dan kreatif di samping sistem politik dan hukum yang
memihak kepada rakyat banyak.
Komunitas yang siap dan terinformasikan dengan baik (well-informed and preparedness of community)
merupakan dua hal yang mampu mengurangi resiko bencana, termasuk melakukan rencana tindak untuk
pencegahan dan pengendalian banjir.

55
PENGEMBANGAN PROFESI PERENCANA RUANG
MELALUI SPESIALISASI DAN ETIKA PROFESI Oleh
Agus Sutanto, ST, MSc. *
Perencanaan wilayah dan kota merupakan dunia yang maha luas. Hal ini bisa kita lihat dari ilmu yang dipelajari
para calon perencana di bangku kuliah: ekonomi wilayah, sosiologi, geologi lingkungan, kebijakan publik,
sanitasi lingkungan, manajemen transportasi, urban design, dan sebagainya. Juga bisa kita lihat dari “layanan”
yang diberikan oleh seorang perencana: pengembangan wilayah, perencanaan kota, desain kawasan, hingga
menjadi advisor dalam perencanaan sistem jaringan transportasi.
Apa kaitannya dengan sertifikasi profesi ?
Sertifikasi merupakan bentuk pengakuan terhadap keahlian seorang perencana. Dengan gambaran bahwa kita
berada di dunia yang maha luas tadi, apakah sertifikasi merupakan jaminan bahwa seorang perencana
bersertifikat mampu memberikan keahlian dari A sampai Z? Tanpa mengurangi rasa hormat kepada para perencana ruang, tidaklah berlebihan apabila ada pemikiran bahwa untuk lebih meningkatkan kualitas
pelayanannya, perencana ruang perlu memfokuskan diri pada segmen tertentu dari layanan keahlian
perencanaan. Dengan demikian perencana ruang perlu mendalami suatu bidang layanan keahlian dan tidak lagi
bermain pada arena yang terlalu luas tetapi tidak cukup dalam.
Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pembagian segmen keahlian perencana?
Seandainya boleh membandingkan dunia profesi kedokteran, di sana ada pembagian segmen keahlian, atau
spesialisasi, yang sangat spesifik dan jelas. Doketer spesialis anak tidak boleh melakukan pemeriksaan obstetri
dan ginekologi. Begitu juga sebaliknya.
Di dunia profesi perencanaan, mungkin ada beberapa spesialisasi yang bisa kita angkat untuk dilembagakan.
Perencanaan tata ruang makro dan perencanaan tata ruang mikro adalah segmen yang paling mudah dikenali.
Perencanaan tata ruang makro mengacu pada wilayah perencanaan yang luas dan muatan rencana yang bersifat
komprehensif. Sementara perencanaan tata ruang mikro hanya mencakup luas wilayah perencanaan yang terbatas dengan muatan rencana yang spesifik, misalnya tata letak (site plan) sebuah kompleks perumahan.
Tetapi apa hanya itu?
Penulis tidak bermaksud membatasi pembagian segmen keahlian pada perencanaan tata ruang makro dan mikro.
Seperti sudah disampaikan, dunia perencanaan itu maha luas. Tetapi kita perlu hati-hati dalam merumuskan
spesialisasi profesi perencana agar tidak bertabrakan dengan profesi lain. Ambil contoh, bidang perencanaan
tranportasi bisa dipandang sebagai bagian dari dunia perencanaan ruang karena memiliki kaitan erat dengan
alokasi ruang untuk berbagai kegiatan yang berdampak pada bangkitan dan tarikan lalu lintas. Tetapi bidang ini
juga merupakan concern bagi dunia profesi lain (sipil tranport). Demikian juga dengan urban desaign yang
menjadi concern dari dunia arsitektur.
Sampai pada titik ini penulis memiliki pertanyaan, apakah sertifikasi perencana untuk bidang perencanaan
transportasi (seandainya bidang ini dimasukkan sebagai spesialisasi perencana) dapat diberikan kepada ahli sipil transport? Dan ini berarti sertifikasi ahli urban desaign dapat diberikan kepada ahli arsitektur?
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengembangan profesi perencana adalah etika profesi. Tanpa etika,
mustahil perencanaan ruang mendapat pengakuan sebagai profesi yang terhormat. Penulis tidak akan mengulas
kode etik yang saat ini dimiliki oleh IAP, tetapai akan memfokuskan pada pemikiran praktis yang berkaitan
dengan konsistensi spesialisasi dan tanggungjawab hasil pekerjaan sebagai wacana dalam mereformulasi kode
etik di masa mendatang.
Dikaitkan dengan spesialisasi, rasanya merupakan pendapat yang lumrah bila seorang spesialis perencanaan tata
ruang makro harus berlapang dada untuk mengatakan “saya tidak memiliki kompetensi untuk memberikan
layanan keahlian dalam bidang perencanaan tata ruang mikro”. Dan karenanya yang bersangkutan harus
bersikap konsisten untuk hanya melibatkan diri dalam proyek perencanaan tata ruang makro. Ini sama halnya

56
dengan dokter spesialis anak yang tentu akan mengatakan bahwa dia tidak memiliki kompetensi untuk
melalukan pemeriksaan obstetri dan ginekologi.
Selanjutnya, kehormatan sebuah profesi tentunya terkait dengan kualitas dan layanan keahllian yang diberikan.
Itu sebabnya dunia profesi perlu mengatur tanggung jawab profesional yang harus dipenuhi oleh anggotanya.
Ketika sebuah gedung mengalami kegagalan bangunan, ahli konstruksi akan dimintai pertanggungjawaban
karena hasil pekerjaannya ambruk. Begitu juga ketika seorang pasien mengalami kematian yang tidak semestinya, dokter yang menangani tidak akan bisa lepas tanggungjawab. Bagaimana dengan seorang
perencana?
Idealnya, sampai dengan tingkatan tertentu seorang perencana ruang harus dapat dimintai pertanggungjawaban
atas kualitas hasil pekerjaannya. Di sini yang perlu ditetapkan adalah kriteria dan indikator yang akan dijadikan
dasar dalam menilai kinerja perencana. Sepintas, terbersit pemikiran bila salah satu kriteria yang dapat dipakai
adalah kualitas rencana tata ruang. Lantas apa indikatornya?
Bila indikatornya adalah tingkat applicability rencana tata ruang, penulis memandang bahwa profesi perencana
telah berada dalam situasi yang sangat mengkhawatirkan. Fakta yang ada, bila kita jujur mengakui, lebih banyak
pelaksanaan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dibandingkan dengan yang sesuai.
Sementara ini akan lebih tepat apabila indikator yang dipergunakan adalah diterapkannya kaidah-kaidah
perencanaan dalam proses penyusunan sebuah rencana tata ruang. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi
tingkat applicability sebuah rencana. Jadi, rasanya tidak adil apabila faktor-faktor yang berada di luar kendali perencana dijadikan dasar untuk menilai kualitas perencana.
Berbagai pemikiran di atas hanya sebuah lontaran kecil yang penulis harapkan dapat menjadi bahan renungan
dalam upaya pengembangan profesi perencana ruang di Indonesia. Sumbang saran terkait hal ini dapat Anda
sampaikan melalui Sekretariat IAP.
(Penulis adalah Anggota Bidang Pengembangan Profesi, Pengurus Pusat Ikatan Ahli Perencanaan (IAP))

57
Profesi teknik penyehatan dan lingkungan (tpl) memiliki sejarah panjang yang tidak dapat dilepas
keberadaannya dari kemajuan peradaban bangsa-bangsa moderen didunia penyediaan air bersih
dengan konstruksi agueduct misalnya telah dilakukan sejak zaman romawi kuno sementara itu system
penyaluran drainase dan pembuangan air limbah pertama dengan system tercampur (combined system ) dibangun di boston – amerika telah dibangun sejak abad 17 bersamaan dengan pembangunan kanal
kanal di Amsterdam , Utrecht, haarlem dan beberapa kota lainya oleh voc dibelanda
Amerika serikat adalah pelopor utama dalam pengembangan kurikulum resmi profesi TPL tepatnya di
The United States Militery Academy at West Point In 1802 yang diikuti kemudiaan di The Ransselaer
Polytecnic Institude dimana bidang studi teknik lingkungan masih berada teknik sipil pendidikan
teknik penyehataan semakin berkembang semenjak era revolusi industri pertama sekitar tahun 1850an dimana persoalaan pencemaran air sungai dan penyebaraan epidemic (misalnya kolera disentri dsb)
mendesak untuk ditangani secara serius oleh karenanya pada era 1850an tersebut sir Edwin
Chadwick- seorang pejuang kesehataan lingkungan yang tak pernah lelah mengkampanyekan kebangkitan kesadaran untuk hidup sehat atau “The Great Saniatry Awakening”
Diindonesia sendiri pengembangan profesi TPL ditandai dengan berdirinya Jurusan Teknik Penyehatan (TP) pada tahun 1962 di ITB yang kemudian berubah menjadi Teknik Lingkungan (TL)
sejak tahun 1984 untuk menjawab tantangan pembangunan yang semakin kompleks pada saat ini
bidang-bidang yang menjadi kompetisi Teknik Lingkungan adalah penyediaan air minum,
Pengelolaan air limbah (Industri dan Domestik) pengelolaan limbah padat (perkotaan dan industri termasuk bahan buangan beracun dan berbahaya/B3) pengendalian pencemaran air,tanah, dan
udara(pollution Control), Penilaian dampak lingkungan (Melalui AMDAL), pengendalian kebisingan,
bahkan pengelolaan sanitasi makan dan minuman.
Pengembangan profesi TPL pada dasarnya ditopang oleh 3(tiga) pilar utama yakni : Keteknikan
(angineering), etika lingkungan (sebagai cabang dari ilmu fisafat) dan ekologi(sebagai cabang dari ilmu yang akan mempelajari hubungan antara organisme-termasuk manusia-dengan lingkungan fisik)
(A.P.Vesilind and J.J Peirce, 1982) berangkat dari ketiga pilar inilah kemudian kita memahami bahwa
profesi Teknik Penyehatan dan Lingkungan berada dalam satu Mainstream dengan pendekatan
penataan ruang yang bertujuan menciptakan lingkungan kehidupan yang lebih berkualitas terlebih dalam konteks pembangunan berkelanjutan yang telah dikenal luas sejak lahirnya tuntutan atas
perubahan „green revoluition‟ pada tahun 1970 yang diikuti dengan konfrensi international
Lingkungan Hidup pertama di Stockholm tahun 1972.
Konstribusi profesi TPL dalam penataan ruang pada princiaannya adalah agar hubungan antara
manusia dan lingungan berlangsung secra serasi selaras tidak saling menyakiti dalam horizon waktu
panjang. Pada tataran perencanaan tata ruang makro (misalRTRWN,RTR Pulau/Kepuluan dan RTR Provinsi) tampak bahwa konsrtibusi profesi TPL tidaklah terlalu signifikan.Namun pada tataran
mikro (missal RTRW Kabupaten/Kota dan RDTR Kawasan ) konstribusi lebih signifikan karena lebih
banyak memuat aspek-aspek perencanaan oprasional.
Kedepan konsep pengembangan infrastuktur ramah lingkungan sebagai unsure pembemtuk struktur
ruang kawasan perkotaan dan/atau kawasan banyak menuntut keterlibatan profesi TPL yang lebih intes dalam proses perencanaan dan pemanfaatan ruangnya misal pada era millennium dewasan ini
konsep pengembangan infrastruktur ramah lingkungan yang dikenal „Green Infrasturktur‟ atau
„Sustainable Infrastruktur‟.Manekankan terbentuknya jaringan yang saling terhubung antyara ruang
terbuka (open spaces) dan ruang alami (natural areas) seperti jalur hijau,lahan basas,taman dan hutan lindung yang secara alamiah mengendalian drainase mengurangi resiko banjir dan meningkatkan
kualitas air (K. Williamson, 2003)
Terkait dengan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim untuk, makaprofesi TPL
akan memberikan kontribusi yang penting, misal : pengembangan TPA sampah yang lowemission,
pengembangan sistem penyediaan air minum yang hemat air, pengendalian pencemaran udara dari

58
aktivitas perkotaan dan industri untuk mengurangi emisi karbon keatmosfir, dan sebagainya. Pada saat para
perencana dan praktisi pembangunan kota di Amerika Serikat diberikan pertanyaan ”What is the most
powerful and effective tool to shape and protectour community?” Tanpa ragu, jawabannya adalah “Zoning Code”. Tetapi, apa yang bisa kita harapkan dari „zoning code‟ untuk menjawab isu perubahan iklim yang
besar tersebut? Kembali,jawabnya adalah „Plenty‟. (lihat C. Duerksen, 2008, in „Planning‟ APA Magazine)
Dalam konteks Indonesia, maka UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang telah mengamanatkan
pengembangan instrumen aturan zonasi (zoning regulations) yang memuat berbagaiaturan pembangunan
sektoral secara terpadu yang berfungsi untuk : (1) pedoman penyusunan rencanaoperasional, (2) panduan
teknis pemanfaatan ruang, dan (3) instrumen pengendalian pembangunan (ketentuan dan tatacara
membangun) (I.Zubir, 2007). Instrumen zoning sendiri dikembangkan dari „nuisance law‟ yang prinsipnya
memuat aturan-aturan pemanfaatan ruang agar tidak menimbulkan dampak merugikan bagi lingkungan
dan masyarakat (W.A. Fischel,1985) atau mengurangi eksternalitas (D.P. Selmi and J.A. Kushner, 2004),
misalnya dari aktivitas industri dan pertambangan yang harus dilengkapi dengan instalasi pengolahan air
limbah, pengolahan limbah gas, dan pengendalian kebisingan. Dalam kaitan penyiapan dan pelaksanaan
zoning regulations inilah pada gilirannya nanti kontribusi profesi TPL akan banyak diharapkan.