buletin -  · peningkatan produksi bawang merah dicapai dengan input produksi tinggi terutama pupuk...

110
Buletin Buletin Buletin Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI Volume 4, Nomor 1, Juni Tahun 2018 Penanggungjawab: Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dewan Redaksi Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP) Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman) Redaksi Pelaksana Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti Alamat Redaksi Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

Upload: others

Post on 09-Feb-2020

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BuletinBuletinBuletinBuletin

INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI

Volume 4, Nomor 1, Juni Tahun 2018

Penanggungjawab:

Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Dewan Redaksi

Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP) Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari

I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)

Redaksi Pelaksana

Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti Alamat Redaksi

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi

pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.

ISSN-2407-0955

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 4 Nomor 1, Tahun 2018

BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

ISSN-2407-0955

BuletinBuletinBuletinBuletin

Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi

Volume 4 Nomor 1, Tahun 2018

KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI BAWANG MERAH DENGAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

Dewi Sahara dan Chanifah....................................................................................................................... 1-9

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN JERUK (Citrus spp.) DI KABUPATEN NABIRE, PAPUA Fajriyatus Sho’idah dan Muhammad Thamrin.........................................................................................

11-23

INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN DESA MANDIRI BENIH DI KABUPATEN MAJALENGKA

Yati Haryati dan Atang M. Safei..............................................................................................................

25-31

ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PRODUKSI BENIH JAGUNG HIBRIDA NASIONAL: STUDI KASUS DESA MANDIRI BENIH JAGUNG DI SULAWESI SELATAN

Bahtiar dan Suriany ..............................................................................................................................

33-42

MODEL PENGEMBANGAN PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI BANTEN

Pepi Nur Susilawati, Zuraida Yursak dan Hijriah Muthmainah .................................................................. 43-57

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUIPENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI SAWAH TADAH HUJAN KAWASAN PERBATASAN KABUPATEN SAMBAS

Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim .........................................................................................

59-68

PERTUMBUHAN INDIGOFERA sp PADA SELA PERTANAMAN KELAPA DI KABUPATEN SIGI Wardi , Andi Baso Lompengeng Ishak

dan Muhamad Takdir ...............................................................

69-75

WAKTU TANAM PADI SAWAH RAWA PASANG SURUT PULAU KALIMANTAN MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin........................................................................................................

77-86

PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA KEPIK COKLAT (Riptortus linearis F.) PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine max L.)

Nita Winanti dan Sri Kurniawati..................................................................................................................

87-96

OPTIMALISASI LAHAN DI BAWAH TEGAKAN KELAPA DENGAN TANAMAN SELA DI KABUPATEN HALMAHERA MALUKU UTARA

Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono.......................................................................................................... 97-105

1Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah

Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)

KERAGAAN PERTUMBUHAN TANAMAN DAN PRODUKSI

BAWANG MERAH DENGAN TEKNOLOGI RAMAH LINGKUNGAN

Dewi Sahara dan Chanifah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah

Jl. Soekarno Hatta KM.26 No.10, Tegalsari, Bergas Lor, Semarang

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

The Performance of Shallot Growth and Production with Eco-Friendly Technologies. Increased

production of shallot is achieved with high inputs mainly inorganic fertilizers and chemical pesticides. However, the

use of chemicals continuously can reduce quality of yield and decrease soil’s fertility. Therefore it needs an

introduction of eco-friendly technologies in shallot farming at the farmers’ level. This study aimed to reveal the

diversity of the growth and the yield of the eco-friendly shallot farming compared to the existing shallot

farmers’practices. The study was carried out in the Mulyorejo Village, Demak sub district, Demak district from June

to August 2016. The eco-friendly shallot farming was implemented using components technologies namely manure,

inorganic fertilizers (NPK Mutiara, Phonska, and ZA), biological agencies (Feromone exi, Trichoderma harzianum,

Beauveria bassiana and PGPR), and “likat kuning”, while the existing farming applied semi organic and chemically

farming. The observation on growth and yield of crops was applied in every type of farming. Data was analyzed

using a statistical test with a real difference descriptive (F-test and t-test). Results of the study indicated that the eco-

friendly shallot farming was very different compared to the other style of farming, but the spring shallot and semi

organic farming had no differences compared to the chemically shallots farming. For the same width of planted area,

the production of eco-friendly shallot was about 1406.5 kgs, however, the production of semi organic spring of

shallot farming was 980 kg and the production of the chemical shallot farming was 680 kg.

Keywords: Shallot, growth, production, eco-friendly

ABSTRAK

Peningkatan produksi bawang merah dicapai dengan input produksi tinggi terutama pupuk anorganik dan pestisida

kimia, namun penggunaan bahan kimia tersebut secara terus menerus dapat mengurangi kualitas hasil dan

penurunan kesuburan tanah. Oleh karena itu perlu dikenalkan teknologi ramah lingkungan pada usahatani bawang

merah di tingkat petani. Kajian bertujuan untuk melihat keragaan pertumbuhan dan hasil bawang merah pada

usahatani ramah lingkungan dibandingkan usahatani bawang merah eksisting petani. Kajian dilaksanakan di Desa

Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak pada bulan Juni – Agustus 2016. Implementasi teknologi

usahatani bawang merah ramah lingkungan dengan menerapkan komponen teknologi berupa pupuk kandang,

pupuk anorganik (NPK Mutiara, Phonska dan ZA), agensia hayati (Feromon exi, Beauveria bassiana, Trichoderma

harzianum dan PGPR), dan likat kuning, sedangkan usahatani eksisiting petani terdiri dari usahatani semi organik

dan usahatani kimia. Pengamatan pertumbuhan dan hasil tanaman dilakukan pada setiap jenis usahatani. Analisis

data menggunakan statistik deskriptif dengan uji beda nyata (uji F dan uji t). Hasil kajian menunjukkan bahwa

usahatani bawang merah dengan teknologi ramah lingkungan berbeda nyata dengan usahatani lainnya, namun

usahatani bawang merah semi organik tidak berbeda nyata dengan usahatani bawang merah kimiawi. Produksi

bawang merah ramah lingkungan sebesar 1.406,5 kg berbeda nyata dengan produksi bawang merah usahatani semi

organik (980 kg) dan kimia (680 kg).

Kata kunci: bawang merah, pertumbuhan, produksi, ramah lingkungan

2

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan salah satu

komoditas sayuran yang hampir digunakan setiap

hari oleh masyarakat sebagai bumbu berbagai

masakan. Konsumsi bawang merah di tingkat

rumah tangga relatif cukup kecil, yaitu 4,56

kg/kapita/tahun. Meskipun dalam jumlah kecil,

namun jika digunakan setiap hari oleh setiap

rumah tangga, total kebutuhan bawang merah

sangat besar. Selain kebutuhan rumah tangga,

bawang merah juga diperlukan oleh industri

makanan (acar/pickles, bumbu, bawang goreng)

dan industri farmasi sebagai bahan baku campuran

obat-obatan. Kebutuhan tersebut secara

berkesinambungan dan dalam jumlah yang cukup

besar. Kebutuhan bawang merah yang cukup besar

merupakan peluang bagi petani untuk

meningkatkan produksi bawang merah. Bahkan

Suriani (2011) mengemukakan potensi

pengembangan bawang merah masih terbuka lebar

tidak saja untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi

juga luar negeri.

Pada umumnya untuk meningkatkan

produksi bawang merah petani meningkatkan

penggunaan input produksi terutama pupuk kimia.

Hal ini dikarenakan adanya asumsi petani bahwa

semakin banyak pupuk yang diberikan maka hasil

yang diperoleh juga semakin banyak. Di sisi lain,

pestisida kimia juga sering digunakan untuk

mengatasi serangan hama dan penyakit pada

tanaman bawang merah. Asandhi et al. (2005)

menyatakan bahwa usahatani bawang merah di

Jawa Tengah pada umumnya menggunakan input

produksi terlalu tinggi terutama bahan kimia

sintetis, baik pupuk anorganik maupun pestisida

kimia.

Penggunaan bahan-bahan kimia memang

mudah dilakukan dan cepat memberikan dampak

terhadap produksi. Namun petani kurang

menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia dengan

dosis tinggi secara terus menerus dapat

mengurangi kualitas hasil umbi bawang merah,

mendorong terjadinya lingkungan yang cocok

untuk perkembangan penyakit, berpengaruh

terhadap penurunan produktivitas lahan,

meningkatnya polusi tanah dan air, serta

meningkatnya biaya produksi bawang merah

(Suwandi et al., 2008; Novisan, 2002; Humberto

dan Alan, 2013). Lebih lanjut dikatakan bahwa

dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia

tersebut dapat mengurangi kualitas hasil umbi

bawang merah, yaitu besarnya susut bobot setelah

umbi disimpan sehingga mempengaruhi akumulasi

berat akhir umbi bawang merah.

Untuk mengurangi penggunaan bahan-

bahan kimia pada sistem usahatani, maka arah

pembangunan pertanian berubah dari revolusi hijau

ke arah pertanian ramah lingkungan dengan

menggunakan dan memanfaatkan potensi

sumberdaya setempat. Soenandar dan Tjachjono

(2012) menyatakan bahwa pertanian ramah

lingkungan merupakan salah satu alternatif

pertanian modern dengan mengandalkan bahan

alami dan menghindari bahan sintetik, baik pupuk

maupun pestisida. Namun teknologi ramah

lingkungan tersebut belum banyak diadopsi oleh

petani karena sikap dan perilaku petani yang belum

berkeinginan untuk mengubah kebiasaan lama

(Wahyuni, 2010; Ernita et al., 2016). Oleh karena

itu, diperlukan kajian untuk mengenalkan

teknologi ramah lingkungan pada usahatani

bawang merah di tingkat petani. Pengkajian ini

bertujuan untuk melihat keragaan pertumbuhan

dan hasil yang diperoleh pada sistem usahatani

bawang merah dengan teknologi ramah lingkungan

dan teknologi eksisting di tingkat petani.

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa

Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak

yang merupakan salah satu daerah pengembangan

tanaman bawang merah di Jawa Tengah. Penelitian

berlangsung selama bulan Juni – Agustus 2016.

Pelaksanaan dan Rancangan Penelitian

Kajian usahatani bawang merah dengan

teknologi ramah lingkungan dilaksanakan di lahan

sawah milik petani (on-farm) pada luasan 1.750

3Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah

Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)

m2. Lahan seluas 1.750 m2 dibuat

guludan/bedengan sebanyak delapan buah dengan

ukuran 1,2 m x 80 m. Selain usahatani bawang

merah ramah lingkungan, juga diamati usahatani

bawang merah eksisting, yaitu usahatani bawang

merah yang dilakukan oleh petani di daerah kajian.

Usahatani bawang merah petani terbagi dua, yaitu

usahatani bawang merah semi organik dan

usahatani bawang merah secara kimiawi. Setiap

pengamatan pada ketiga jenis usahatani bawang

merah pada luasan 0,25 bahu (1.750 m2).

Implementasi teknologi ramah lingkungan

pada usahatani bawang merah sebagai berikut:

1) Pupuk kandang dengan dosis 10 t/ha

diaplikasikan dua minggu sebelum tanam.

2) Pemasangan perangkap kuning dan Feromon

exi serta penyemprotan lahan dengan PGPR (5

cc/10 liter air) dilakukan satu minggu sebelum

tanam.

3) Tanam bawang merah dengan jarak tanam 13

cm x 13 cm dengan 1 umbi per lubang tanam.

4) Penyemprotan Trichoderma harzianum dan

Beauveria bassiana setiap minggu dimulai

setelah tanaman berumur dua minggu hingga

menjelang panen (lima kali penyemprotan)

dengan dosis 0,5 g/liter air.

5) Pupuk NPK Mutiara (250 kg/ha) diberikan pada

umur tanaman 7 HST.

6) Pemupukan dengan pupuk Phonska (350 kg/ha)

dan ZA (300 kg/ha) diberikan dua kali, yaitu

pada umur 3 MST dan 5 MST.

7) Penyemprotan dengan PGPR dengan dosis 0,5

ml/liter air pada umur 4 MST.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan mencakup data

pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman, jumlah

daun, jumlah anakan) dan generatif tanaman

(jumlah dan berat umbi basah, umbi kering, dan

rogolan). Pengamatan vegetatif pada tanaman

bawang merah dilaksanakan pada setiap jenis

usahatani dengan interval waktu dua minggu,

sedangkan pengamatan generatif tanaman

dilaksanakan pada waktu panen (umur 60 HST).

Pengamatan dilakukan pada tanaman yang sudah

ditentukan sebagai tanaman sampel, sebanyak 30

tanaman setiap lajur bedengan sehingga pada

setiap jenis usahatani terdapat 240 tanaman

sampel.

Metode Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian

dikelompokkan tiap parameter pengamatan dan

tiap jenis usahatani. Data teknis usahatani bawang

merah dianalisis statistik deskriptif dengan

menggunakan rata-rata dan uji beda nyata dengan

uji F dan uji t (t-test). Uji F digunakan untuk

mengetahui perbedaan parameter yang diuji secara

bersama-sama dengan hipotesis:

H0 = µ1 = µ2 = µ3,

yaitu tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-

rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis

sistem usahatani bawang merah.

H1 = µ1 ≠ µ2 ≠ µ3,

yaitu terdapat perbedaan yang nyata antara rata-

rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis

sistem usahatani bawang merah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Penerapan Input Usahatani

Pada ketiga jenis usahatani bawang merah,

petani menggunakan umbi bawang merah Varietas

Bima Brebes sebanyak 250 kg. Penggunaan umbi

ini sesuai dengan pendapat Sumarni dan Hidayat

(2005) bahwa kebutuhan umbi bawang merah

sekitar 1,3 – 2,6 t/ha tergantung dari

ukuran/diameter benih yang digunakan. Pupuk

kandang yang digunakan sebagai pupuk dasar pada

usahatani ramah lingkungan dan semi organik

adalah pupuk kandang yang berasal dari kotoran

sapi. Pupuk kandang pada usahatani ramah

lingkungan sebanyak 1.450 kg, sedangkan pada

usahatani semi organik sebanyak 130 kg sehingga

terdapat perbedaan penggunaan pupuk kandang

sebanyak 1.320 kg. Sistem usahatani bawang

merah secara kimia tidak menggunakan pupuk

kandang sama sekali. Keragaan penggunaan input

4

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9

produksi pada ketiga jenis usahatani bawang merah

disajikan pada Tabel 1.

Pupuk anorganik pada usahatani bawang

merah ramah lingkungan diaplikasikan sebanyak 3

kali dengan cara dibenamkan diantara barisan

tanaman, sedangkan pada usahatani eksisting (semi

organik dan kimia) pupuk anorganik dilakukan

sebanyak 2 kali dengan cara disebar di antara

tanaman. Pada usahatani ramah lingkungan dan

semi organik, petani menggunakan agensi hayati

berupa Feromon exi, PGPR, dan Trichoderma

harzianum, sedangkan likat kuning dan Beauveria

bassiana hanya digunakan pada usahatani bawang

merah ramah lingkungan. Feromon exi dan likat

kuning digunakan untuk mengendalikan hama

tanaman, sedangkan untuk pengendalian penyakit

yang disebabkan jamur menggunakan Beauveria

bassiana, sedangkan PGPR digunakan sebagai zat

pengatur tumbuh tanaman.

Hampir semua tahapan kegiatan usahatani

bawang merah menggunakan tenaga kerja

keluarga, kecuali untuk kegiatan tanam dan panen.

Dari total penggunaan tenaga kerja, usahatani

bawang merah ramah lingkungan memerlukan

curahan waktu kerja lebih tinggi dibandingkan

usahatani bawang merah semi organik dan kimia,

yaitu masing-masing sebesar 47 HOK, 41 HOK,

dan 38 HOK. Tingginya tenaga kerja pada

usahatani bawang merah ramah lingkungan

disebabkan adanya penyemprotan agensi hayati

dan penggantian air pada Feromon exi setiap

minggu, sedangkan pada sistem usahatani secara

kimia agensi hayati tidak digunakan sama sekali.

Tabel 1. Rata-rata penggunaan input produksi per luasan usahatani bawang merah di Desa Mulyorejo,

Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, MT. III/2016

No Jenis Input Produksi System Usahatani Bawang Merah

Ramah Lingkungan Semi Organik Kimia

1. Umbi bawang merah (kg) 250,00 250,00 250,00

2. Pupuk kandang (kg) 1.450,00 130,00 0,00

3. Pupuk Mutiara (kg) 43,75 36,00 33,00

4. Pupuk Phonska (kg) 61,25 37,00 68,75

5. Pupuk ZA (kg) 52,50 7,50 17,00

6. PGPR (liter) 13,00 1,00 0,00

7. Trichoderma harzianum (kg) 16,50 0,50 0,00

8. Feromon exi (buah) 7,00 4,00 0,00

9. Likat kuning (buah) 7,00 0,00 0,00

10. Beauveria bassiana (liter) 5,25 0,00 0,00

11. Tenaga kerja (HOK) 47,00 41,00 37,00

Sumber: Data primer, 2016 (diolah)

Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak, MT

III/2016

No Jenis Teknologi Tinggi Tanaman (cm)

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

1. Ramah lingkungan 20,43a 32,33

a 38,86

a 35,01

a

2. Semi organik 17,18b 29,59

b 34,83

b 31,01

b

3. Konvensional/kimia 18,80c 25,84

c 31,53

c 31,33

b

F-hitung 34,82 67,66 74,34 15,22

Sumber: Data primer, 2016 (diolah)

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata pada taraf α = 5 persen (uji-t)

5Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah

Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)

Keragaan Pertumbuhan Tanaman

Tinggi tanaman bawang merah pada ketiga

jenis usahatani secara bersama-sama menunjukkan

perbedaan sangat nyata pada setiap pengamatan.

Hal ini ditunjukkan dengan nilai F-hitung yang

lebih besar dari F-tabel. Tinggi tanaman bawang

merah pada usahatani ramah lingkungan

memberikan nilai tertinggi dibandingkan tinggi

tanaman pada usahatani lainnya, dan secara

statistik berbeda nyata (uji t). Pengamatan terhadap

tinggi tanaman bawang merah dari umur 2 – 8

MST di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak,

Kabupaten Demak disajikan pada Tabel 2.

Tinggi tanaman bawang merah pada umur

2 – 8 MST pada usahatani ramah lingkungan

memberikan nilai tertinggi dibandingkan usahatani

lainnya. Hal ini diduga disebabkan adanya

pemberian pupuk kandang dan PGPR sebelum

tanam sehingga telah terjadi proses penguraian

pupuk kandang di dalam tanah dan aktifnya zat

pengatur tumbuh dalam PGPR yang

mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

Sulistyaningsih et al. (2007) menyatakan bahwa

proses degradasi dan dekomposisi bahan organik

disebabkan adanya bakteri di dalam pupuk

kandang yang cukup efektif. Demikian pula

Firmansyah et al. (2015) menyatakan terdapatnya

mikroorganisme (bakteri) menguntungkan yang

hidup di dalam tanah sangat penting untuk

memacu pertumbuhan tanaman karena

mempercepat penyediaan hara dan juga sebagai

sumber bahan organik tanah. Mikroorganisme

tersebut akan mempercepat proses dekomposisi

pupuk kandang dirombak menjadi unsur yang

dapat digunakan tanaman untuk tumbuh dan

berkembang.

Secara umum, perkembangan tinggi

tanaman yang cepat terjadi pada umur 4 MST (28

HST). Purba (2014) menyatakan bahwa percepatan

pertumbuhan pada tanaman bawang merah

diperoleh pada umur 21 HST. Pada umur tersebut

tanaman memperlihatkan kecepatan tumbuh

(vigoritas) yang maksimal sehingga pada umur 4

MST tanaman bawang merah pada ketiga jenis

usahatani memperlihatkan vigor pertumbuhan yang

cukup baik. Namun pada umur 8 MST, tinggi

tanaman menunjukkan penurunan karena tanaman

berada pada fase menjelang panen dan daun sudah

mulai menguning. Meskipun begitu tinggi tanaman

bawang merah pada usahatani bawang merah

ramah lingkungan masih menunjukkan nilai lebih

tinggi dan berbeda nyata dengan tinggi tanaman

pada usahatani lainnya, sedangkan tinggi tanaman

pada usahatani bawang merah semi organik tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata dengan tinggi

tanaman pada usahatani bawang merah secara

kimiawi.

Jumlah daun tanaman bawang merah pada

ketiga jenis usahatani secara bersama-sama

memberikan pengaruh yang berbeda nyata,

ditunjukkan dengan nilai F-hitung > F-tabel.

Jumlah daun terbanyak pada awal pertumbuhan

(umur 2 MST) diperoleh pada usahatani bawang

merah secara kimiawi, namun pada minggu-

minggu berikutnya jumlah daun terbanyak

diperoleh pada usahatani bawang merah ramah

lingkungan dan secara statistik uji-t berbeda nyata

dengan usahatani lainnya, sedangkan jumlah daun

pada sistem usahatani semi organik dan kimia

tidak berbeda nyata secara statistik. Tidak

Tabel 3. Rata-rata jumlah daun tanaman bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten Demak,

MT. III/2016

No Jenis Teknologi Jumlah Daun (helai)

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

1. Ramah lingkungan 09,03a 15,89

a 19,84

a 14,82

a

2. Semi organik 07,00b 11.63

b 15.94

b 12,59

b

3. Konvensional/kimia 10,55c 12,75

b 15,89

b 10,90

b

4. F-hitung 39,38 35,21 18,13 9,61

Sumber: Data primer, 2016 (diolah)

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

pada taraf α = 5 persen (uji-t)

6

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9

berbedanya jumlah daun bawang merah pada

usahatani semi organik dan kimia diduga

penggunaan pupuk organik dan anorganik yang

tidak berbeda jauh. Rata-rata jumlah daun tanaman

bawang merah disajikan pada Tabel 3.

Melihat jumlah daun tanaman bawang

merah pada Tabel 3 cukup bervariasi, menandakan

bahwa tanaman responsif terhadap pemberian

input produksi. Secara umum perkembangan

jumlah daun pada usahatani ramah lingkungan

memberikan hasil pengamatan yang lebih baik.

Hal ini menandakan bahwa pemberian agensi

hayati dan pupuk kandang pada usahatani ramah

lingkungan dapat memacu pertumbuhan dan

perkembangan jumlah daun. Sesuai dengan

pendapat Santoso et al. (2007) yang menyatakan

bahwa PGPR, pupuk kandang, dan agensi hayati

lainnya mampu merangsang pertumbuhan sistem

perakaran untuk memacu pembentukan daun.

Pertambahan jumlah daun maksimal

terjadi dari umur 2 MST ke 4 MST, menunjukkan

pertumbuhan optimal tanaman, sedangkan

pertambahan jumlah daun dari umur 4 MST ke 6

MST sudah mulai melambat dan menurun pada

umur 8 MST. Berkurangnya jumlah daun pada

umur 8 MST disebabkan daun mengering karena

telah mendekati masa panen.

Perkembangan jumlah umbi per rumpun

tanaman bawang merah pada Tabel 4 menunjukkan

bahwa jumlah umbi per rumpun pada awal

pertumbuhan (umur 2 MST) pada usahatani

kimiawi memberikan jumlah umbi yang lebih

banyak, namun mulai umur 4 MST rata-rata

jumlah umbi per tanaman terbanyak diperoleh pada

usahatani bawang merah ramah lingkungan.

Jumlah umbi per rumpun antar jenis usahatani

menunjukkan pengaruh yang nyata (nilai F-hitung

> F-tabel).

Jumlah umbi per rumpun tanaman bawang

merah pada usahatani ramah lingkungan berbeda

nyata dengan usahatani semi organik maupun

kimia, namun usahatani semi organik tidak

mempunyai pengaruh yang berbeda nyata dengan

usahatani kimia pada umur 4 MST, 6 MST, dan 8

MST. Jumlah umbi per rumpun diduga berkorelasi

positif dengan jumlah daun, artinya semakin

banyak daun yang terbentuk maka umbi yang

dihasilkan juga semakin banyak. Hal ini

dikarenakan semakin banyak jumlah daun semakin

mempercepat laju fotosintesis sehingga fotosintat

yang dihasilkan meningkat digunakan untuk

mendukung pertumbuhan dan perkembangan umbi

bawang merah (Purba, 2014).

Saragih et al. (2015) mengemukakan

bahwa pemberian pupuk kandang hingga dosis

tertentu dapat meningkatkan jumlah umbi per

rumpun. Dengan demikian, pemberian pupuk

kandang 10 t/ha pada usahatani ramah lingkungan

dapat dimanfaatkan secara optimal oleh akar

tanaman untuk membentuk umbi bawang merah,

sehingga tanaman bawang merah pada usahatani

ramah lingkungan mempunyai jumlah umbi per

rumpun yang lebih banyak.

Selain pupuk kandang, usahatani bawang

merah ramah lingkungan juga menggunakan pupuk

anorganik NPK Mutiara dan Phonska. Kedua jenis

pupuk tersebut memiliki kandungan N dan K yang

diperlukan tanaman pada fase vegetatif dan

generatif. Irfan (2013) menyatakan bahwa

pemberian pupuk N dan K pada dosis yang tepat

pada tanaman bawang merah hingga umur 43 HST

memberikan pertumbuhan tanaman yang lebih kuat

hingga saat awal pembentukan umbi.

Pembentukan umbi bawang merah terjadi pada saat

umur tanaman 36 – 50 HST, oleh karena itu

pemberian hara N dan K akan optimal bagi

tanaman jika diberikan pada umur 35 – 55 HST.

Serapan hara tersebut didukung dengan aplikasi

agensi hayati pada usahatani bawang merah ramah

lingkungan yang berperan sebagai pengganti

pestisida dan sekaligus mengefisienkan serapan

hara kimia pada tanaman (Ashrafuzzaman et al.,

2009; Bhattacharya dan Jha, 2012).

Keragaan Produksi Bawang Merah

Rata-rata produksi bawang merah

bervariasi antar jenis usahatani, yaitu 680 kg –

1.406,5 kg per luasan usahatani. Secara statistik,

produksi bawang merah berbeda nyata ditunjukkan

dengan nilai F-hitung = 12,40 dan lebih besar

dibandingkan nilai F-tabel dan secara individu (uji-

t) produksi bawang merah usahatani ramah

7Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah

Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)

lingkungan berbeda nyata dengan jenis usahatani

lainnya, tetapi produksi bawang merah semi

organic dan kimia tidak berbeda nyata secara

statistik. Demikian pula uji statistik (uji F dan uji-t)

terhadap berat umbi basah, berat umbi kering askip

dan berat rogolan. Pengamatan terhadap berat

umbi dan produksi bawang merah disajikan pada

Tabel 5.

Pengurangan bobot (susut) yang lebih

besar pada bawang merah ramah lingkungan

menggambarkan bahwa tanaman bawang merah

yang diusahakan dengan teknologi ramah

lingkungan mempunyai pertumbuhan yang subur

dan jumlah daun lebih banyak, sehingga setelah

dikeringkan mempunyai susut bobot tertinggi.

Pengurangan berat umbi dari bobot basah menjadi

kering askip (susut bobot) terbesar diperoleh pada

tanaman bawang merah ramah lingkungan, yaitu

susut 6,99 gram/umbi, diikuti dengan bawang

merah semi organik susut 3,01 gram/umbi dan

bawang merah kimia susut 1,21 gram/umbi.

Firmansyah et al. (2015) menyatakan

bahwa pemberian pupuk organik dan pupuk hayati

yang memadai dapat meningkatkan kesuburan

tanah sehingga tanaman bawang merah dapat

tumbuh dan berproduksi dengan lebih baik. Selain

itu umbi bawang merah pada usahatani ramah

lingkungan memiliki kadar air dan proporsi berat

daun yang lebih tinggi dibandingkan bawang

merah usahatani lainnya sehingga susut bobotnya

terbesar. Meskipun begitu rata-rata bobot umbi

kering askip 5,05 gram hampir sama dengan hasil

penelitian Azmi et al. (2011) bahwa bobot basah

umbi bawang merah Varietas Bima sebesar 6,7

gram setelah kering askip menjadi 5,19 gram.

Santoso et al. (2007) menyatakan bahwa

pemakaian agensi hayati pada usahatani bawang

merah ramah lingkungan juga mampu memacu

pertumbuhan tanaman dan menekan perkembangan

patogen pada tanaman sehingga tanaman yang

diberikan perlakuan tersebut mampu berproduksi

dengan lebih baik. Produksi riil yang diperoleh dari

usahatani bawang merah ramah lingkungan

sebanyak 1.406,5 kg per luasan 0,175 m2 (setara

dengan 11,48 t/ha), semi organik 980 kg/0,175 m2

(setara dengan 8,00 t/ha), dan kimia 680 kg/0,175

Tabel 4. Rata-rata jumlah umbi per rumpun tanaman bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak,

Kabupaten Demak, MT. III/2016

No Jenis Teknologi Jumlah umbi per rumpun (buah)

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST

1. Ramah lingkungan 2,75a 3,96

a 4,96

a 5,01

a

2. Semi organik 2,35b 3,42

b 4,09

b 4,22

b

3. Konvensional/kimia 3,25c 3,49

b 4,11

b 4,28

b

4. F-hitung 24,11 9,26 9,52 6,35

Sumber: Data primer, 2016 (diolah)

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata

pada taraf α = 5 persen (uji-t)

Tabel 5. Rata-rata berat umbi dan produksi bawang merah di Desa Mulyorejo, Kecamatan Demak, Kabupaten

Demak, MT. III/2016

No Jenis Teknologi Berat Umbi (g/umbi) Produksi

(kg) Basah Kering Askip Rogolan

1. Ramah lingkungan 12,04a 5,05

a 4,77

a 1.406,5

a

2. Semi organik 6,13b 3,12

b 2,91

b 980,0

b

3. Kimia 5,00b 3,79

b 3,62

b 680,0

b

F-hitung 27,25 16,95 15,10 12,40

Sumber: Data primer, 2016 (diolah)

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang

nyata pada taraf α = 5 persen (uji-t)

8

Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:1-9

m2 (setara dengan 5,55 t/ha). Produksi bawang

merah pada usahatani ramah lingkungan pada

luasan tersebut lebih tinggi 43,52% dibandingkan

produksi pada usahatani semi organik dan

106,84% dibandingkan produksi pada usahatani

kimia. Produksi bawang merah pada usahatani

ramah lingkungan secara statistik berbeda nyata

dengan usahatani semi organik maupun kimia,

namun produksi bawang merah pada usahatani

semi organik tidak berbeda nyata dengan produksi

bawang merah pada usahatani kimia.

KESIMPULAN

Mencermati hasil yang diperoleh, baik

pada pengamatan vegetatif maupun generatif

tanaman bawang merah di lokasi kegiatan maka

usahatani bawang merah dengan teknologi ramah

lingkungan dengan mengaplikasikan pupuk

kandang 10 t/ha dan agensi hayati (PGPR,

Trichoderma harzianum, Beauveria bassiana, dan

Feromon exi) serta likat kuning mampu

memberikan pertumbuhan dan produksi yang lebih

baik dibandingkan usahatani semi organik maupun

usahatani bawang merah secara kimiawi.

Pertumbuhan vegetatif tanaman bawang

merah dengan indikator tinggi tanaman, jumlah

daun dan jumlah umbi terbaik diperoleh pada

usahatani bawang merah ramah lingkungan.

Demikian juga dengan hasil umbi yang diperoleh,

baik terhadap bobot basah, bobot kering askip

maupun berat rogolan umbi bawang merah ramah

lingkungan memberikan hasil yang berbeda nyata

dengan umbi bawang merah pada usahatani semi

organik maupun kimiawi. Produktivitas usahatani

bawang merah ramah lingkungan mampu

mencapai 11,48 t/ha, usahatani bawang merah semi

organik 8,00 t/ha dan usahatani bawang merah

secara kimiawi sebesar 5,55 t/ha. Oleh karena itu

disarankan untuk memperluas kajian usahatani

bawang merah ramah lingkungan untuk

mengetahui stabilitas hasil bawang merah yang

diperoleh.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

atas pembiayaan yang diberikan melalui program

kerjasama (KKP3SL) TA. 2016 pada kegiatan

Kajian Efisiensi Usahatani Bawang Merah Menuju

Ramah Lingkungan di Jawa Tengah. Ucapan

terimakasih juga disampaikan kepada: 1) Dr.

Bambang Prayudi yang telah purna tugas atas

segala bimbingan dan masukan selama

pelaksanaan kegiatan, dan 2) Prof. Suwandi dari

Balitsa dan S. Endang Ambarwati, SP., MSi atas

kerjasama selama pelaksanaan kegiatan di

Kabupaten Demak.

DAFTAR PUSTAKA

Asandhi, A. A., N. Nurtika dan N. Sumarni. 2005.

Optimasi pupuk dalam usahatani LEISA

bawang merah di dataran rendah. Jurnal

Hortikultura, vol.15 (3): 199 – 207.

Ashrafuzzaman, M., F. A. Hossen, M. R. Ismail,

M. A. Hoque, M. Z. Islam, S. M.

Shahidullah and S. Meon. 2009. Efficiency

of plant growth-promoting rhizobacteria

(PGPR) for the enhancement of rice growth.

African Journal of Biotechnology, vol.8 (7):

1247 – 1252.

Azmi, C., I. M. Hidayat dan G. Wiguna. 2011.

Pengaruh varietas dan ukuran umbi terhadap

produktivitas bawang merah. Jurnal

Hortikultura, vol. 21(3): 206 – 213.

Bhattacharya, P. N. and D. K. Jha, 2012. Plant

growth-promoting rhizobacteria (PGPR)

emergence in agriculture. Journal

Microbiology Biotechnology, vol.28: 1327 -

1350.

Ernita, M., Zahanis dan Jamilah. 2016. Aplikasi

rhizobakteri dalan meningkatkan

pertumbuhan, hasil dan ketahanan pada

tanaman bawang merah. Jurnal Pengabdian

Kepada Masyarakat, vol.22 (3): 131 – 134.

9Keragaan Pertumbuhan Tanaman dan Produksi Bawang Merah dengan Teknologi Ramah

Lingkungan (Dewi Sahara dan Chanifah)

Firmansyah, I., Liferdi, N. Khaririyatun, dan M. P.

Yufdy. 2015. Pertumbuhan dan hasil

bawang merah dengan aplikasi pupuk

organik dan pupuk hayati pada tanah

alluvial. Jurnal Hortikultura, vol.25 (2): 133

– 141.

Humberto Blanco-Canqui and Alan, J.S. 2013.

Implications of inorganik fertilization of

irrigated corn on soil properties: lessons

learned after 50 years Journal of

Environment Quality, vol.42 (3): 861.

Irfan, M. 2013. Respon bawang merah (Allium

ascalonicum L) terhadap zat pengatur

tumbuh dan unsur hara. Jurnal

Agroteknologi, vol.3 (2): 35 – 40.

Novizan. 2002. Membuat dan memanfaatkan

pestisida ramah lingkungan. Penerbit Agro

Media Pustaka. Tangerang.

Purba, R. 2014. Produksi dan keuntungan

usahatani empat varietas bawang merah di

luar musim (off-season) di Kabupaten

Serang, Banten. Agriekonomika, vol.3 (1):

55 – 64.

Santoso, S. E., L. Soesanto, dan T. A. D. Haryanto.

2007. Penekanan hayati penyakit moler

pada bawang merah dengan trichoderma

harzianum, trichoderma koningii, dan

pseudomonas fluorescens P60. Jurnal HPT

Tropika, vol.7 (1): 53 – 61.

Saragih, F. J. A., R. Sipayung dan F. E. T. Sitepu.

2015. Respon pertumbuhan dan produksi

bawang merah (Allium ascalonicum L.)

terhadap pemberian pupuk kandang ayam

dan urine sapi. Jurnal Agroekoteknologi,

vol.4 (1): 1703 – 1712.

Soenandar, M dan Tjachjono H.R. 2012. Membuat

pestisida nabati. PT. Agromedia Pustaka.

Jakarta.

Sulistyaningsih N., Wahyuni W., dan Mudjiharjati,

A. 2007. Potensi Pseudomonas aeruginase

dalam ekstrak pupuk kompos limbah

sayuran sebagai biofertilizer tembakau

cerutu. Jurnal Pertanian Mapeta, vol.10 (1):

42 – 50.

Sumarni, N dan A. Hidayat. 2005. Panduan teknis

budidaya bawang merah. Balai Penelitian

Tanaman Sayuran. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 20p.

Suriani, N. 2011. Bawang bawa untung: budidaya

bawang merah dan bawang putih. Cahaya

Atma Pustaka. Yogyakarta.

Suwandi, R. Rosliani dan T.K. Moekasan. 2008.

Penentuan paket teknologi budidaya bawang

merah di dataran rendah dan medium

melalui pendekatan analisis model indeks

komposit. Jurnal Hortikultura, vol.18 (4):

420 – 429.

Wahyuni, S. 2010. Perilaku petani bawang merah

dalam penggunaan dan penanganan pestisida

serta dampaknya terhadap lingkungan. Tesis.

Universitas Diponegoro. Semarang.

11Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus

Sho’idah dan Muhammad Thamrin)

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN JERUK (Citrus spp.) DI KABUPATEN NABIRE, PAPUA

Fajriyatus Sho’idah dan Muhammad Thamrin Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua

Jln Yahim No 49, Sentani, Jayapura 99352

[email protected]

ABSTRACT

Prospects and Directions for the Development of Oranges in Nabire District,Papua. Citus is the main fruit

commodities in Papua which covers up to 59,3% of the total fruit production (30.924,5 tons) in 2016. Nabire is one

of centers of citrus production consists of 90,97% of the total citrus production in Papua. The availability of access

to loading and unloading facilities in Nabire such as airports and ports allows Nabire to establish citrus marketing

widely. The strategy of citrus development in Nabire is to extend of citrus cultivation areas, to increase productivity

and citrus varieties, and citrus management related to product continuity for the stability of citrus prices in the

market. Supports of the regional government regarding the provision of production facilities and infrastructure,

strengthening farmer institutionals and collaboration with various parties is absolutely be required in the efforts to

enhance citrus development in Nabire.

Key words: Citrus, Development, Area, Nabire

ABSTRAK

Jeruk adalah komoditas buah utama di Provinsi Papua dengan produksi mencapai 59,3% dari total produksi buah

(30.924,5 ton) pada tahun 2016. Nabire merupakan salah satu sentra produksi Jeruk di Papua dengan produksi

16.696 ton, 90,97% dari total produksi jeruk keprok dan siam di Papua. Tersedianya akses transportasi bongkar

muat barang di Nabire seperti bandara dan pelabuhan memungkinkan Nabire untuk memasarkan jeruk secara luas.

Arahan pengembangan jeruk di Nabire yakni perluasan areal pertanaman jeruk, peningkatan produktivitas dan

keragaman jeruk, serta manajemen produksi terkait kontinuitas produk untuk stabilitas harga jeruk. Dukungan

pemerintah daerah terkait penyediaan sarana dan prasarana produksi, penguatan kelembagaan petani dan kerjasama

berbagai pihak mutlak diperlukan dalam upaya pengembangan kawasan jeruk di Nabire.

Kata kunci: Jeruk, Kawasan, Nabire

12 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23

PENDAHULUAN

Nabire merupakan salah satu wilayah

pengembangan agribisnis jeruk di Papua. Hal

tersebut ditetapkan berdasarkan Kepmentan Nomor

45 tahun 2015 yang diperbarui dengan Kepmentan

No 830 tahun 2016 dan Renstra 2014-2018 Dinas

Tanaman Pangan dan Hortikultura (TPH) Provinsi

Papua.

Jeruk keprok dan siam merupakan

komoditas buah dengan hasil produksi terbesar di

Provinsi Papua pada tahun 2016, yakni

sebesar18.352,10 ton, yang mencapai 59,3% dari

total produksi buah di Papua (30.924,5 ton).

Produksi tertinggi jeruk berasal dari Kabupaten

Nabire sebanyak 16.696 ton, 90,97% dari total

produksi jeruk keprok dan siam di Papua (BPS

Papua 2017).

Nabire memiliki pelabuhan dan bandara

sebagai fasilitas bongkar muat barang. Tersedianya

fasilitas tersebut memungkinkan Nabire untuk

memasarkan jeruk secara luas, baik di dalam

provinsi, luar provinsi maupun ke luar negeri.

Jeruk Nabire sudah dipasarkan ke daerah Biak,

Serui, Jayapura, Sorong, Manokwari, Maluku dan

Surabaya (Laksono 2018). Papua New Guinea

yang berbatasan langsung dengan Provinsi Papua

menjadi negara tujuan ekspor jeruk Indonesia

dalam tahun 2014-2017 (Pusdatin 2018).

Penurunan produksi jeruk yang signifikan

terjadi di Nabire akibat konversi lahan ke

komoditas pangan di Distrik Nabire Barat sebagai

sentra produksi jeruk (Laksono 2018) dan adanya

serangan penyakit CVPD (Citrus Vein Phloem

Degeneration). Kendala lain dalam pengembangan

jeruk di Nabire yakni adanya musim panen raya

yang menyebabkan harga jeruk di tingkat petani

menurun. Dengan demikian, teknologi diperlukan

agar produksi jeruk meningkat dan tidak berlebih

pada bulan-bulan tertentu. Tulisan ini membahas

rekomendasi arah pengembangan jeruk di Nabire

yang dikaitkan dengan kondisi di lapang dalam

upaya meningkatkan daya saing Jeruk Nabire.

PROSPEK PENGEMBANGAN JERUK

Karakteristik kesesuaian lahan dan sumber

daya genetik jeruk

Kegiatan budidaya jeruk sebaiknya

memperhatikan kesesuaian lahan sehingga

tanaman bisa tumbuh dan berproduksi dengan

optimal. Tingkat kesesuaian lahan terdiri dari S1

(sangat sesuai), S2 (sesuai), S3 (kurang sesuai),

dan N (tidak sesuai). Upaya perbaikan dan

optimalisasi lahan untuk komoditas jeruk bisa

dilakukan pada kesesuaian lahan S1, S2 dan S3

sehingga produksi bisa mendekati optimal.

Salah satu faktor yang perlu diperhatikan

dalam pembudidayaan jeruk yaitu pemilihan

varietas berdasarkan ketinggian tempat. Balai

Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika

(Balitjestro) memiliki beberapa jenis jeruk spesifik

lokasi yang telah dikembangkan diantaranya

Keprok Soe, Keprok Beras Sitepu, Keprok Batu

55, Siem Maga dan Siem Madu Batu 55, Soe,

Berasitepu, dan Garut (Martasari 2017). Adaptasi

beberapa varietas jeruk terhadap ketinggian tempat

disajikan pada Tabel 2.

13Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus

Sho’idah dan Muhammad Thamrin)

Pengembangan komoditas jeruk di Papua

Pengembangan buah di Papua mengikuti

arah pengembangan komoditas unggulan buah

yang telah ditetapkan pemerintah pusat, yakni

jeruk, mangga, pisang, rambutan, nenas, dan salak.

Nabire merupakan salah satu wilayah

pengembangan kawasan hortikultura jeruk di

Papua berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian

Nomor 45 tahun 2015 yang diperbarui dengan

Kepmentan No 830 tahun 2016. Pemerintah

Provinsi Papua juga telah menetapkan Nabire

sebagai salah satu wilayah pengembangan jeruk

dalam Renstra 2014-2018 (Dinas TPH, 2014).

Pengembangan jeruk di Papua menurut Wilayah

Tabel 1. Karakteristik dan kriteria kesesuaian lahan budidaya jeruk

Persyaratan penggunaan/

karakteristik lahan

Kelas kesesuaian lahan

S1 S2 S3 N

Temperatur (tc)

Temperatur rerata (°C) 19 - 33 33 - 36 36 - 39 > 39

16 - 19 13 - 16 < 13

Ketersediaan air (wa)

Curah hujan (mm) 1.200 - 3.000 1.000 - 1.200 800 - 1.000 < 800

3.000 - 3.500 3.000 - 4.000 > 4.000

Lamanya masa kering

(bln)

2,5 - 4 4 - 5 5 - 6 > 6

Kelembapan (%) 50 - 90 <50; >90

Ketersediaan oksigen (oa)

Drainase baik, sedang agak terhambat terhambat,

agak cepat

sangat terhambat,

cepat

Media perakaran (rc)

Tekstur sedang, agak halus Agak kasar, halus sangat halus kasar

Bahan kasar (%) < 15 15 - 35 35 - 55 > 55

Kedalaman tanah (cm) > 100 75 - 100 50 - 75 < 50

Gambut:

Ketebalan (cm) <50 50 - 100 100 - 200 > 200

Kematangan saprik saprik, hemik hemik, fibrik

Retensi hara (nr)

KTK liat (cmol) > 16 5-16 <5

Kejenuhan basa (%) ≥ 20 < 20 <20

pH H2O 5,5 - 7,6 5,2 - 5,5 < 5,2

7,6 - 8,0 > 8,0

C-organik (%) >1,2 0,8 – 1,2 < 0,8

Retensi hara (nr) N total (%) Sedang Rendah Sgt rendah -

P2O5 (mg/100 g) Tinggi Sedang Rendah-sgt rendah -

K2O (mg/100 g) Sedang Rendah Sgt Rendah -

Toksisitas (xc)

Salinitas (dS/m) < 3 3 - 4 4 – 6 > 6

Sodisitas (xn)

Alkalinitas/ESP (%) < 8 8 - 12 12 - 15 > 15

Bahaya sulfidik (xs)

Kedalaman sulfidik (cm) > 125 100 - 125 60 - 100 < 60

Bahaya erosi (eh)

Lereng (%) < 8 8 - 15 15 - 30 > 30

Bahaya erosi sangat ringan ringan - sedang Berat sangat berat

Bahaya banjir/ genangan pada

masa tanam (fh)

- Tinggi (cm) - - - 25

- Lama (hari) - - - <7

Penyiapan lahan (lp)

Batuan di permukaan (%) < 5 5 - 15 15 - 40 > 40

Singkapan batuan (%) < 5 5 - 15 15 - 25 > 25

Sumber: Ritung et al. 2011

14 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23

Pengembangan Adat disajikan pada Tabel 3. Jeruk

merupakan komoditas buah unggulan Nabire dan

merupakan komoditas prioritas yang perlu

dikembangkan (Lestari 2012; Lewaherilla 2018).

Luas pengembangan dan produksi jeruk di Nabire

berdasarkan Distrik diuraikan pada Tabel 4 dan

Tabel 5.

Tahun 2005 telah dilakukan pewilayahan

komoditas di Nabire pada tiga distrik yaitu Nabire,

Napan, dan Wanggar. Berdasarkan karakteristik

kesesuaian lahan budi daya jeruk (Tabel 1)

terdapat beberapa zona wilayah yang sesuai untuk

kegiatan budidaya Jeruk yang disajikan dalam

Tabel 6. Lokasi rekomendasi budidaya yang

memiliki ketinggian tempat lebih dari 1200 m dpl

menunjukkan bahwa Nabire memiliki potensi

pengembangan varietas jeruk dataran tinggi (Tabel

2) dengan keunggulan warna kuning pada kulit

buah.

Kegiatan Pendampingan Jeruk di Papua

sudah dilakukan sejak tahun 2015 oleh BPTP

Papua di Nabire dalam upaya mendukung Program

Pengembangan Kawasan Agribisnis Hortikultura

(PKAH) Nasional. Kegiatan pendampingan

dilakukan di Nabire Barat, Wanggar, Yaro, Teluk

Kimi, Makimi, dan Uwapa, sedangkan kegiatan

percontohan inovasi teknologi budidaya jeruk yang

dilakukan di Kampung Samabusa Distrik Teluk

Kimi (BPTP Papua 2016).

Jeruk sebagai komoditas ekspor

Empat tahun terakhir (2014-2017) Papua

New Guinea yang berbatasan langsung dengan

Provinsi Papua menjadi negara tujuan ekspor jeruk

Tabel 2. Adaptasi beberapa varietas jeruk terhadap ketinggian tempat

Varietas

Kesesuaian ketinggian tempat*

Dataran rendah

≤ 400 m dpl

Dataran medium

>400 – 700 m dpl

Dataran tinggi

>700 m dpl

Keprok Batu 55 - + ++

Keprok Madura ++ + -

Keprok Soe - + ++

Keprok Grabag - + ++

Keprok Brastepu - - ++

Keprok Tejakula ++ - -

Keprok Garut - ++ +

Keprok Terigas ++ + -

Keprok Selayar ++ - -

Keprok Borneo Prima ++ + -

Keprok Brastagi - - ++

Keprok Siompu ++ - -

Keprok Tawangmangu - + ++

Keprok Pulung - ++ +

Keprok Ponkan - + ++

Keprok Gayo - + ++

Siam Pontianak ++ + -

Siam Madu - + ++

Siam Kintamani - + ++

Siam Banjar ++ - -

Siam Gunung Omeh - + ++

Pamelo ++ - -

* Keterangan: ++ = Optimal, + = Kurang optimal, - = Tidak direkomendasikan

Sumber: Sutopo (2014)

15Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus

Sho’idah dan Muhammad Thamrin)

Indonesia. Data perbandingan ekspor jeruk dan

komoditas hortikultura lainnya ditampilkan pada

Gambar 1. Nabire mempunyai potensi yang sangat

besar untuk mengekspor jeruk ke Negara tersebut.

Potensi tersebut dikarenakan Nabire memiliki

fasilitas bongkar muat barang berupa pelabuhan

dan bandara memungkinkan untuk melakukan

pemasaran jeruk secara langsung ke Papua New

Guinea. Oleh sebab itu pengembangan jeruk di

wilayah Nabire perlu diorientasikan untuk ekspor

ke Papua New Guinea dan negara lain.

Usaha tani jeruk

Usaha tani jeruk dilakukan di berbagai

sentra produksi dengan kelayakan usaha tani yang

bervariasi. Rasio R/C petani jeruk manis Nabire

per musim panen sebesar 2,28 (Sairdama et al.

2011), sedangkan di Batola (Kalimantan Selatan)

dan Konawe Selatan (Sulawesi Tenggara) berturut-

turut sebesar 1,10 dan 2,16 (Mufidah et al. 2018).

Beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan

petani jeruk diantaranya yaitu luas lahan, biaya

usaha tani, pengalaman bertani, jumlah tanggungan

dan modal usaha (Alitawan & Sutrisna 2017;

Nainggolan et al. 2013)

Jeruk juga makin diminati petani untuk

dibudidayakan di Distrik Nabire. Peningkatan

usaha tani jeruk manis dari luas tanam 162 ha

dengan luas panen 149 ha (2008) menjadi luas

tanam 250 ha dengan luas panen 200 ha (2010) di

Tabel 3. Pengembangan jeruk di Papua menurut Wilayah Pengembangan Adat

No Wilayah pengembangan Kabupaten/Kota

1 Mamta Keerom, Sarmi, Mamberamo Raya

2 Saireri Biak Numfor, Kep Yapen, Waropen

3 Ha Anim Boven Digul, Asmat

4 La Pago Jayawijaya, Puncak Jaya, Puncak

5 Mee Pago Nabire, Intan Jaya

Sumber: Dinas TPH Papua (2014)

Tabel 4. Luas Pengembangan Tanaman Jeruk di Nabire

Distrik Luas lahan (ha)

Total lahan (ha) Produksi Belum Produksi

Makimi 147,5 78 225,5

Teluk Kimi 48 20,5 68,5

Nabire Barat 230 75 305

Wanggar 40 40

Sumber: Dinas Pertanian dan PerkebunanKabupaten Nabire (2015)

Tabel 5. Produksi Buah Jeruk Nabire per Distrik

Distrik Produksi (ton)

2015 2016

Uwapa 110,0 600,0

Wanggar 2.000,0 -

Menou - 7.200,0

Dipa - 3.850,0

Yaur - 41,8

Nabire Barat 11.200,0 5593,0

Nabire 900,0 920,0

Teluk Kimi 6.520,0 140,0

Makimi 885,0 -

Sumber: BPS Nabire 2016 &2017

16 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23

Kampung Wadio, Nabire Barat. Faktor yang

mempengaruhi peralihan komoditas misalnya padi

menjadi jeruk yaitu pendidikan, pengalaman

berusahatani, jumlah anggota keluarga dan sosial

budaya (Matakena 2013).

Proses pemasaran yang terjadi di

Kampung Wadio, Distrik Nabire Barat dilakukan

oleh petani, pedagang pengumpul, pedagang besar,

dan pedagang pengecer. Harga jeruk umumnya

mengikuti harga yang berlaku di pasar, akan tetapi

pedagang pengumpul cenderung lebih memiliki

kekuatan untuk menentukan harga terutama ketika

musim panen (Sinaga 2011). Pemasaran jeruk

Nabire di Provinsi Papua diantaranya mencakup

kabupaten Nabire, Biak, Serui dan Jayapura.

Sedangkan pemasaran ke luar Provinsi Papua

diantaranya yakni ke Sorong, Manokwari, Maluku

dan Surabaya (Laksono 2018). Lebih lanjut

diketahui bahwa pemasaran jeruk ke luar Nabire

per bulannya bisa mencapai 3-4 kontainer (kurang

lebih 50.000 kg) (Sairdama et al. 2011).

PRIORITAS ARAH PENGEMBANGAN

Sistem pengelolaan kebun jeruk

Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk Sehat

(PTKJS) (Supriyanto et al. 2010b)

merupakan petunjuk teknis budidaya jeruk

yang dimaksudkan untuk memperpanjang masa

produksi, meningkatkan produktivitas dan mutu

buah. PTKJS meliputi:

1. Penggunaan benih bebas penyakit. Benih

berlabel bebas penyakit diperoleh dari

penangkar benih yang sudah terdaftar di BPSB

setempat.

Gambar 1. Ekspor Jeruk Indonesia Negara Tujuan Papua New Guinea (Pusdatin 2018)

17Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus

Sho’idah dan Muhammad Thamrin)

2. Pengendalian serangga penular CVPD.

Penyakit CVPD ditularkan oleh serangga

Diaphorina citri. Langkah awal pengendalian

yakni monitoring populasi serangga penular

tersebut dengan yellow trap. Pengendalian

dapat dilakukan dengan menggunakan

insektisida sistemik. Agens hayati yang mampu

mengendalikan D. citri diantaranya yaitu

Tabel 7. Teknologi Budidaya Jeruk

Jarak tanam

- Tumpang sari 5 x 4 cm

- Monokultur 4 x 4 cm

Pemangkasan

- Bentuk TBM, umur 1 tahun

- Pemeliharaan TM, setiap selesai panen

Pengendalian Hama Penyakit

- Diplodia Disemprot menggunakan insektisida seperti Matador

25 EC

- CVPD Bubur California yang dioles pada batang

Pemupukan

- Pupuk Kandang Tanaman umur 1-4 tahun = 20-40 kg/pohon

Tanaman umur >5 tahun = 40-60 kg

- NPK pada Tanaman Belum Menghasilkan Berdasarkan umur tanaman

- NPK pada Tanaman Menghasilkan Berdasarkan hasil panen

Pengendalian gulma Empat kali setahun dengan herbisida dan secara

manual

Benih Okulasi

Batang bawah JC

Sumber: Suyanto & Irianti (2011), Mustakim (2015), Sutopo (2009)

Tabel 8. Rekomendasi Pemupukan Jeruk Berdasarkan Umur Tanaman

Umur (tahun) Gram/pohon/aplikasi Aplikasi

N P2O5 K2O

1 10-20 5-10 5 2-3 kali/tahun

2 25-40 15-20 10-15 3-4 kali/tahun

3 40-75 25-40 20-30 3-4 kali/tahun

4 80-120 50-75 40-50 2-3 kali/tahun

5 125-150 80-100 60-80 2 kali/tahun

Sumber: Sutopo (2009)

Tabel 9.Rekomendasi Pemupukan Berdasarkan HasIl Panen

Panen(kg/pohon)

Dosis (g/pohon/tahun)

Jeruk Siam Jeruk Keprok Jeruk Pamelo

N P2O5 K2O N P2O5 K2O N P2O5 K2O

25 262 -

395

185 -

275

53 - 77 278 -

417

90 -

136

182 -

273

143 -

214

71 -

107

289 -

429

50 525 -

790

370 -

550

105 -

155

556 -

833

182 -

273

364 -

545

286 -

429

143 -

214

571 -

857

75 790 -

1185

555 -

830

157 -

233

833 -

1250

273 -

409

545 -

818

429 -

643

214 -

321

857 –

1286

100 1050 -

1580

740 -

1100

210 -

315

909 -

1364

364 -

545

727 -

1090

571 -

857

286 -

429

1143 -

1714

Sumber: Sutopo (2009)

18 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23

ektoparasit Tamarixia radiata, endoparasite

Diaphorencyrtus aligarhensis, predator Curinus

coeruleus dan Syrphidae, entomopatogen

Hirsutella sp. dan Metarrhizium anisopliae.

3. Sanitasi kebun. Kegiatan ini dilakukan dengan

membuang bagian tanaman yang terserang

CVPD. Jika seluruh bagian tanaman sudah

terserang, maka pohon jeruk harus dibongkar

sampai akar dan dibakar/dimusnahkan.

4. Pemeliharaan tanaman. Pemeliharaan tanaman

meliputi pemangkasan (bentuk dan

pemeliharaan), pengolahan tanah, pemupukan,

penyiraman, penjarangan buah dan

pengendalian organisme pengganggu tanaman

(OPT). Teknik budidaya jeruk secara rinci

ditampilkan pada Tabel 7, dan rekomendasi

pemupukan disajikan pada Tabel 8 dan 9.

5. Konsolidasi pengelolaan kebun. Konsolidasi

pengelolaan memakai pendekatan kelompok

tani yang kebunnya berdekatan pada satu

hamparan dengan menerapkan semua

komponen teknologi yang dianjurkan.

Penerapan PTKJS dapat digunakan sebagai

mitigasi iklim pada budidaya jeruk seperti yang

telah dilakukan di Banyuwangi yang mampu

menghasilkan panen mencapai 10-12 ton/ha.

Sistem PTKJS dapat digunakan sebagai panduan

budidaya jeruk siam di lahan kering/tegalan dan

tanah berpasir (Ashari et al. 2014).

Perluasan lahan dan peremajaan

Penurunan produksi di Nabire terjadi

karena beberapa kawasan jeruk terserang penyakit

CVPD, disamping konversi lahan jeruk ke

komoditas lain, serta usia pohon yang tidak lagi

produktif. Sentra pengembangan jeruk di Nabire

yang berada pada Distrik Nabire Barat mengalami

penurunan produksi yang signifikan sehingga

pemerintah Kabupaten Nabire mengembangkan

kawasan jeruk baru di Distrik Teluk Kimi

(Laksono 2018).

Pengembangan kawasan baru merupakan

peluang untuk penerapan PTKJS secara utuh

karena PTKJS lebih efektif diterapkan pada daerah

pengembangan baru atau daerah rehabilitasi yang

berjarak lebih dari lima kilometer dari jeruk

terinfeksi CVPD (Supriyanto et al. 2010b).

Pengembangan kawasan baru dan peremajaan

pohon jeruk yang tidak lagi produktif bisa

didahului dengan melakukan kajian pasar,

agroekofisiologi dan kemudahan akses input

teknologi untuk menentukan jenis jeruk yang

diminati oleh konsumen. Penentuan jenis jeruk

berdasarkan adaptasi elevasi dapat dilihat pada

Tabel 2.

Peningkatan produksi dan keragaman jenis

jeruk

Jeruk yang dibudidayakan di Nabire

umumnya memiliki kulit berwarna hijau. Jeruk

berkulit kuning lebih diminati oleh konsumen

Indonesia dan harganya relatif lebih tinggi.

Pengembangan jeruk untuk menghasilkan buah

berkulit kuning dapat dilakukan dengan menanam

benih baru atau menerapkan metode top working.

Metode tersebut dilakukan dengan menyambung

cabang jeruk varietas baru pada batang jeruk

varietas lama yang sudah tidak produktif.

Penyambungan cabang produktif pada batang yang

sudah berproduksi mampu mempercepat masa

berbuah jeruk.

Top working pada tanaman jeruk dapat

dilakukan secara sambung kulit, sambung celah,

penempelan dan sambung tunas (Sugiyatno 2014).

Cabang atas disambung dengan batang bawah

menggunakan interstok agar tumbuh normal.

Cabang atas Keprok Batu 55 tumbuh baik dengan

interstok jeruk manis atau jeruk siam pada batang

bawah JC (Sugiyatno et al. 2013).

Kontinuitas produk dan stabilisasi harga

Harga jeruk di tingkat petani pada panen

raya tahun 2010 di Nabire hanya Rp 2.500/kg,

sedangkan pada saat panen rutin harga tertinggi

sebesar Rp 5.000/kg. Sistem penentuan harga jeruk

umumnya mengikuti harga yang berlaku di pasar,

tetapi pedagang pengumpul cenderung lebih

memiliki kekuatan dalam menentukan harga

terutama saat musim panen raya (Sinaga 2011).

19Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus

Sho’idah dan Muhammad Thamrin)

Harga pasar mengikuti hukum permintaan-

penawaran, yaitu saat panen raya dengan

ketersediaan jeruk melimpah maka harga akan

rendah. Teknik budidaya jeruk tertentu perlu

dikembangkan agar buah jeruk bias tersedia

sepanjang tahun sehingga harga jeruk di pasaran

bisa stabil.

Bujangseta (buah berjenjang sepanjang

tahun) merupakan inovasi teknologi dari

Balitjestro agar jeruk bisa berbuah sepanjang tahun

dan tidak tergantung dengan musim. Umumnya

jeruk dipanen 1-2 kali dalam satu tahun dengan

produktivitas 40 kg/pohon/tahun. Penerapan

teknologi bujangseta menjadikan jeruk bisa

dipanen sampai lima kali setahun (interval dua

sampai tiga bulan sekali) dengan produktivitas 80-

125 kg/pohon/tahun (Technology Indonesia 2018).

Langkah teknis yang dilakukan untuk aplikasi

teknologi tersebut yaitu: (1) Prunning atau

pemangkasan, (2) Manajemen nutrisi atau

pemupukan (kombinasi pemupukan NPK bentuk

padat dan cair), (3) Aplikasi pupuk Kiserit

(MgSO4), dan (4) Pola pengendalian hama dan

penyakit (Balitjestro 2018). Meski demikian,

penerapan teknologi ini masih terbatas pada jeruk

siam. Perlu kajian lebih lanjut terkait keberhasilan

teknologi ini pada jenis jeruk lain seperti keprok

dan pamelo.

Selain Bujangseta, teknologi yang

berpotensi dikembangkan untuk produksi buah

tanpa tergantung musim yaitu induksi pembungaan

di luar musim. Pembungaan pada jeruk keprok,

siam dan pamelo dapat dilakukan dengan aplikasi

zat penghambat tumbuh (seperti prohexadion-ca

dan paclobutrazol) dan strangulasi yang

dikombinasikan dengan zat pemecah dormansi

(Etepon, KNO3 dan BAP) (Sostenes 1996,

Mulyani 1996, Syahbudin 1999, Darmawan et al.

2014, Susanto et al. 2016).

DUKUNGAN PENGEMBANGAN JERUK DI

NABIRE

Ketersediaan teknologi perbenihan

Berdasarkan data yang diolah dari kegiatan

UPBS Jeruk tahun 2009-2014, diketahui bahwa

jenis jeruk yang telah disebarkan di Papua

mencakup keprok Terigas, keprok Batu 55, dan

Siam Pontianak (Harwanto 2014). Produksi benih

jeruk di Papua pada tahun 2016 mencapai 7.700

pohon (Kementan 2017). BPTP Papua juga telah

melakukan kegiatan pendampingan perbenihan

jeruk bebas penyakit pada tahun 2017 dan 2018 di

Nabire dengan sistem okulasi pada petani

penangkar.

Produksi benih jeruk bebas penyakit

dilakukan secara bertingkat melalui Blok Fondasi

(BF), Blok Penggandaan Mata Tempel (BPMT),

dan Blok Perbanyakan Benih (BPB). Blok BF dan

BPMT dilengkapi dengan kasa anti serangga untuk

menghindarkan infeksi penyakit dari luar. Saat ini

terdapat dua petani penangkar benih jeruk siam

Pontianak dan keprok Madura yang sudah terdaftar

di BPSB Kabupaten Nabire, dengan produksi

masing-masing sebanyak 6-8 ribu pohon/tahun dan

10-15 ribu pohon/tahun. Meski demikian, petani

penangkar terancam dicabut izin produksinya

karena tidak memiliki rumah kasa untuk BPMT.

Oleh Sebab itu diperlukan bantuan pendanaan dari

pemerintah terkait pengadaan fasilitas untuk

kegiatan perbenihan.

Teknologi perbenihan jeruk menggunakan

JC sebagai batang bawah karena memiliki vigor

yang baik dan masa produksi yang singkat. Media

yang digunakan untuk penyemaian yakni

campuran pupuk kandang sapi:pasir (2:1) dan

ditempatkan pada wadah plastik berukuran

40x30x10 cm, atau pupuk kandang

sapi:pasir:sekam (2:1:2) yang ditempatkan pada

kantong plastik berdiameter 12,5 cm dengan

ketinggian 30 cm (Hardiyanto et al. 2000).

Roguing terhadap tipe simpang benih JC sebaiknya

dilakukan pada awal benih berkembang normal

sampai dengan 2 bulan setelah berkecambah

(Andrini 2014). Benih jeruk di dataran rendah

memiliki pertumbuhan yang lebih optimal

20 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23

dibanding di dataran tinggi (Budiyati dan Jati

2014).

Benih jeruk yang digunakan untuk lahan

kering umumnya diperbanyak dengan cara okulasi,

sedangkan benih untuk lahan pasang surut

menggunakan benih okulasi yang dicangkok.

Waktu pencangkokan batang bawah yang tepat

untuk menghasilkan benih okulasi-cangkok yakni

setelah pembukaan tali okulasi atau tiga minggu

setelah okulasi (Supriyanto et al. 2000a).

Dukungan Kebijakan

Dukungan pemerintah yang diperlukan

untuk pengembangan jeruk di Nabire diantaranya

yakni penyediaan sarana dan prasarana produksi

seperti kemudahan mendapatkan pupuk bersubsidi,

serta bantuan pengadaan Blok Fondasi (BF), Blok

Penggandaan Mata Tempel (BPMT), dan Blok

Perbanyakan Benih (BPB).

Penguatan kelembagaan, baik melalui

kelompok tani maupun koperasi, perlu dilakukan

untuk meningkatkan akses petani dalam pemasaran

jeruk (Sairdama et al. 2011). Penguatan

kelembagaan dilakukan melalui pendampingan

oleh pemerintah daerah. Kelembagaan oleh petani

dapat memperkuat posisi tawar petani dalam

penentuan harga. Selain itu kelembagaan petani

juga dapat dijadikan wadah pengembangan

manajemen pasca panen (seperti sortasi, grading

dan pengolahan jeruk), sehingga dapat

meningkatkan harga jual jeruk.

Pemerintah daerah harus menjadi

fasilitator yang menghubungkan petani, dinas-

dinas terkait seperti BPSB sebagai Lembaga

sertifikasi benih, BPTP sebagai lembaga

pengkajian teknologi spesifik lokasi dan

pendampingan penerapan teknologi, Balai

Penyuluhan Pertanian dalam penyuluhan teknologi

pertanian, pelaku pemasaran, penyedia input

produksi, pelaku industri dan lembaga keuangan.

Institusi dan kelembagaan tersebut kemudian

membangun pola kerjasama kemitraan sehingga

kegiatan usaha tani jeruk berjalan baik. Lebih

lanjut, untuk kepentingan ekspor jeruk pemerintah

daerah harus memediasi berbagai pihak terkait

seperti kelompok tani, Badan Karantina,

Kementerian Perdagangan, dan perusahaan

penyedia jasa pengiriman barang agar kegiatan

pemasaran jeruk berjalan lancar.

KESIMPULAN

Nabire merupakan kawasan

pengembangan komoditas jeruk dan memiliki

wilayah-wilayah yang sesuai untuk kegiatan

pembudidayaan jeruk. Pengembangan jeruk di

Nabire didukung dengan adanya teknologi

perbenihan dan infrastuktur untuk pemasaran

sampai ke luar provinsi. Strategi pengembangan

jeruk di Nabire yakni perluasan areal pertanaman

jeruk, peningkatan produktivitas dan keragaman

jenis jeruk, serta manajemen produksi terkait

kontinuitas produk untuk stabilitas harga jeruk.

Teknik-teknik budidaya yang bisa dilakukan yakni

penerapan sistem Pengelolaan Terpadu Kebun

Jeruk Sehat (PTKJS), Top Working, Bujangseta

dan pembungaan jeruk di luar musim. Dukungan

pemerintah daerah terkait penyediaan sarana dan

prasarana produksi, penguatan kelembagaan petani

dan kerjasama berbagai pihak mutlak diperlukan

dalam upaya pengembangan kawasan jeruk di

Nabire.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian (BBP2TP) yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk ikut

dalam program pembinaan penulisan karya tulis

ilmiah, dan Ir. Agus Muharam, MS. yang telah

membimbing dalam penyusunan karya tulis ilmiah

ini.

21Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus

Sho’idah dan Muhammad Thamrin)

DAFTAR PUSTAKA

Alitawan, A.A.I. dan K. Sutrisna. 2017. Faktor-

faktor yang mempengaruhi pendapatan

petani jeruk pada desa Gunung Bau

Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli. E-

Jurnal EP Unud 6(5):796-826

Andrini, A. 2014. Identifikasi tipe simpang

semaian jeruk batang bawah Japansche

Citroen (JC) dan waktu yang tepat untuk

roguing berdasarkan karakter morfologi.

Prosiding Seminar Nasional PERHORTI

2014. Malang, 5-6 November 2014.

Perhimpunan Hortikultura Indonesia: hal.

15-21

Ashari, H., Z. Hanif, dan A. Supriyanto. 2014.

Kajian dampak iklim ekstrim curah hujan

tinggi (La-Nina) pada jeruk siam (Citrus

nobilis VAR. Microcarpa) di Kabupaten

Banyuwangi, Jember dan Lumajang. Planta

Tropika Journal of Agro Science 2(1):49-55

Balitjestro. 2018. Bujangseta, Buahkan Jeruk

Berjenjang Sepanjang Tahun.

http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/buja

ngseta-buahkan-jeruk-berjenjang-sepanjang-

tahun/ [16 November] 2018

BPS Nabire. 2016. Kabupaten Nabire dalam

Angka 2016. BPS Nabire. Nabire

BPS Nabire. 2017. Kabupaten Nabire dalam

Angka 2017. BPS Nabire. Nabire

BPS Papua. 2017. Provinsi Papua dalam Angka

2017. BPS Papua. Jayapura

BPTP Papua. 2005. Laporan Akhir: Pewilayahan

Komoditas Pertanian Berdasarkan AEZ

1:50.000 di Kabupaten Nabire. BPTP Papua.

Jayapura

BPTP Papua. 2016. Laporan Akhir Kegiatan TA

2016: Pendampingan Pengembangan

Kawasan Pertanian Nasional Tanaman

Hortikultura Komoditas Jeruk Di Kabupaten

Nabire, Mimika dan Biak Numfor. BPTP

Papua. Jayapura

Budiyati, E. dan Jati. 2014. Evaluasi keragaan

pertumbuhan benih jeruk 15 varietas keprok

dan 7 varietas manis di dua ketinggian

(kebun percobaan Tlekung 950 m dpldan

kebun percobaan Banjarsari 2 m dpl).

Prosiding Seminar Nasional PERHORTI

2014. Malang, 5-6 November 2014.

Perhimpunan Hortikultura Indonesia:

hal.906-911

Darmawan M., R. Poerwanto, dan S. Susanto.

2014. Aplikasi prohexadion-ca,

paclobutrazol, dan strangulasi untuk induksi

pembungaan di luar musim pada tanaman

jeruk keprok (Citrus reticula). J. Hort.

24(2):133-140

Dinas TPH Papua. 2014. Rencana Strategis

Pembangunan Tanaman Pangan dan

Hortikultura Provinsi Papua Tahun 2014-

2018. Dinas TPH Papua. Jayapura

Distanbun Nabire. 2015. Luas pengembangan

jeruk tahun 2015

Hardiyanto, Djoema’ijah dan A. Supriyanto. 2000.

Uji teknologi penyediaan batang bawah

jeruk JC terhadap pertumbuhan dan

keragaan bibit siap tempel. Jurnal

Hortikultura 9(4):282-287

Harwanto. 2014. Sebaran Jeruk Keprok di

Indonesia.

http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/seba

ran-jeruk-keprok-di-indonesia/ [20

November] 2018

Kementan. 2017. Statistik Pertanian 2017.

Kementerian Pertanian. Jakarta

Laksono P. 2018. Keragaman budidaya jeruk dan

tataniaga usahatani jeruk di kabupaten

Nabire, provinsi Papua. Buletin Inovasi

Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Papua

1(1):24-32

Lestari E.P. 2012. Pengembangan komoditas

unggulan UMKM di kabupaten Nabire,

Papua. Joint research Pengembangan

UMKM dengan BAPPEDA Kabupaten

Nabire:1-14

22 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018: 11-23

Lewaherilla N.E. 2018. Analisis komoditas

unggulan sektor pertanian provinsi Papua.

Buletin Inovasi Teknologi Pertanian

Spesifik Lokasi Papua 1(1):1-15

Martasari C. 2017. Pengenalan dan Identifikasi

Spesifik Jeruk.

http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/ [16

Nov] 2018

Matakena S. 2013. Faktor yang mempengaruhi

peralihan usahatani padi ke usahatani jeruk

manis (studi kasus pada komunitas petani

jeruk manis di kampung Wadio distrik

Nabire Barat kabupaten Nabire).

AGRILAN: Jurnal Agribisnis Kepulauan

2(2): 57-72.

Mufidah L., L. Zamzami dan S. Wuryantini. 2018.

Analisa usaha tani jeruk siam di lahan kering

(Konawe Selatan) dan lahan pasang surut

(Batola). Seminar Nasional dan Pra

Lokakarya Nasional FKPTPI BKS Wilayah

Timur. Surakarta, 18-19 April 2018.

Universitas Sebelas Maret: 2(1) hal. 11-17

Mulyani S. 1996. Pengaruh zat pemecah dormansi

yang diaplikasikan setelah pemberian

paclobutrazol terhadap pertumbuhan dan

pembungaan jeruk keprok siem (Citrus

reticulata B.). Skripsi. Institut Pertanian

Bogor. Bogor

Mustakim A. 2015. Pengelolaan Pemupukan Jeruk

Keprok (Citrus Nobilis L.) di Kebun

Blawan, PTPN XII, Bondowoso, Jawa

Timur. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Bogor

Nainggolan I. C., K. Tarigan, dan Salmiah. 2013.

Analisis usahatani jeruk dan faktor-faktor

yang mempengaruhi penerimaan petani

(studi kasus: Desa Perjuangan Kecamatan

Sumbul Kabupaten Dairi). Jurnal on Social

Economic of Agriculture and Agribusiness

2(8)

Pusdatin. 2018. Basis Data Ekspor-Impor

Komoditi Pertanian.

http://database.pertanian.go.id/eksim2012as

p/index.asp [19 November] 2018

Ritung S., K. Nugroho, A. Mulyani, E. Suryani.

2011. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk

Komoditas Pertanian (Edisi Revisi).

BBSDLP. Bogor

Sairdama S.S., F. Nurland, dan Kaimuddin. 2011.

Prospek pengembangan agribisnis jeruk

manis di distrik Nabire Barat Kabupaten

Nabire. E-Jurnal Unhas

Sinaga C.H. 2011. Analisis Pemasaran Jeruk Siam

di Kampung Wadio, Distrik Nabire Barat,

Kabupaten Nabire, Papua. Skripsi. Institut

Pertanian Bogor. Bogor

Sostenes. Pengaruh waktu pemberian beberapa zat

pemecah dormansi yang siaplikasikan

setelah paclobutrazol terhadap pertumbuhan

dan pembungaan jeruk keprok siem (Citrus

reticulata B.). skripsi. Institut Pertanian

Bogor. Bogor

Sugiyatno A. 2014. Teknologi Top Working pada

tanaman jeruk. Iptek Hortikultura 10:29-35

Sugiyatno A., L. Setyobudi, M.D. Maghfoer, dan

A. Supriyanto. 2013. Respons pertumbuhan

tanaman jeruk keprok Batu 55 pada

beberapa interstock melalui metode top

working. J. Hort. 23(4):329-338

Supriyanto A., A. Hidayat, dan Setiono. 2000a.

Waktu pencangkokan batang-bawah yang

tepat untuk memproduksi benih okulasi-

cangkok jeruk keprok siem dan besar

Nambangan. Jurnal Hortikultura vol.

9(4):288-292

Supriyanto A., M. E. Dwiastuti, A. Triwiratno, O.

Endarto, Suhariyono. 2010b. Panduan

Teknis Pengelolaan Terpadu Kebun Jeruk

Sehat: Strategi pengendalian penyakit

CVPD. Balitjestro. Malang

Susanto S., M. Melati, dan H. Sugeru. 2016.

Perbaikan pembungaan pamelo melalui

aplikasi strangulasi dan zat pemecah

dormansi. J. Hort. Indonesia 7(3): 139-145

Sutopo. 2009. Rekomendasi Pemupukan untuk

Tanaman Jeruk.

http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/reko

mendasi-pemupukan-untuk-tanaman-jeruk/

[20 November] 2018

23Prospek dan Arah Pengembangan Jeruk (Citrus Spp.) di Kabupaten Nabire, Papua (Fajriyatus

Sho’idah dan Muhammad Thamrin)

Sutopo. 2014. Panduan Budidaya Tanaman Jeruk.

http://balitjestro.litbang.pertanian.go.id/pand

uan-budidaya-tanaman-jeruk/[20 November]

2018

Suyanto A., dan T.P. Irianti. 2011. Studi hubungan

karakteristik tipologi lahan yang digunakan

terhadap kualitas hasil jeruk siem (Citrus

nobilis var. Microcarpa) di kabupaten

Sambas. J. Perkebunan & Lahan Tropika

1(2):42-48

Syahbudin. 1999. Studi stimulans pembungaan

jeruk siem (Citrus reticulata Blanco) dengan

paclobutrazol dan zat pemecah dormansi

etepon. Skripsi. Institut Pertanian Bogor

Technology Indonesia. 2018. Berkat Bujangseta,

Pohon Jeruk Berbuah Sepanjang Tahun.

http://technology-indonesia.com/pertanian-

dan-pangan/inovasi-pertanian/berkat-

bujangseta-pohon-jeruk-berbuah-sepanjang-

tahun/ [16 November] 2018

25Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di

Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)

INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI

DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN DESA MANDIRI BENIH

DI KABUPATEN MAJALENGKA

Yati Haryati dan Atang M. Safei Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80, Lembang

Email : [email protected]

ABSTRACT

Introduction of New High Yielding Varieties of Rice in Supporting the Sustainability of Independent Seed Villages in Majalengka District. Perceptions of farmers in adopting new superior varieties based on their

preferences vary depending on climate and type of agroecosystem. Therefore, in the introduction of new high-

yielding varieties, first-hand study is needed at the farm level. The study of New Superior Varieties was carried out

in the Gangsa I Farmer Group, Jatitengah Village, Jatitujuh Subdistrict, Majalengka Regency (Independent Village

of Rice Seeds) on land owned by farmers carrying out breeding with an area of each 2.000 m2. The design used

randomized block design with 4 replications. The new superior varieties studied were Inpari 38, 39, 41, 42 and 43.

The aim of the study was to obtain new improved varieties of rice that could adapt well and provide high yields to

be developed in the Majalengka Regency area. Parameters observed were plant height (vegetative phase and

flowering), number of tillers (maximum and productive), number of panicles per clump, panicle length, number of

grains per panicle (empty and filled) and yield (t ha-1

). Agronomic performance data were analyzed using Duncan

Test followed by multiple distance tests using SAS version 9.0 for windows and farmer preferences were analyzed

using the Friedman Test. The aim of the study was to obtain new superior varieties of rice that could adapt well

and provide high yields to be developed in the Majalengka Regency area. The results showed that the new superior

varieties of rice with the highest yield and were favored by farmers were Inpari 43 with a productivity of 9.43 t ha-1

GKP, so that it could be used as an alternative rotation to be developed in the Mandiri Rice Seed Village in

Majalengka Regency and the introduction of New Superior Varieties supporting the sustainability of Mandiri

Village Seeds in seed production according to consumer/farmer preferences.

Keywords : Varieties, adaptations, preferences

ABSTRAK

Persepsi petani dalam mengadopsi varietas unggul baru berdasarkan preferensi masing - masing lokasi

bervariasi tergantung iklim dan tipe agroekosistem. Oleh karena itu dalam introduksi varietas unggul baru sangat

diperlukan kajian lebih dulu di tingkat petani. Kegiatan kajian Varietas Unggul Baru dilaksanakan di Kelompok

Tani Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka (Desa Mandiri Benih Padi) di lahan

milik petani pelaksana penangkaran benih dengan luasan masing - masing varietas 2.000 m2. Rancangan yang

digunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 4 ulangan. Varietas unggul baru yang dikaji yaitu Inpari 38, 39, 41,

42 dan 43. Tujuan pengkajian untuk mendapatkan varietas unggul baru padi yang dapat beradaptasi baik dan

memberikan hasil tinggi untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten Majalengka. Parameter yang diamati tinggi

tanaman (fase vegetatif dan berbunga), jumlah anakan (maksimum dan produktif), jumlah malai per rumpun,

panjang malai, jumlah gabah per malai (isi dan hampa) dan hasil (t ha-1

GKG). Data keragaan agronomis dianalisis

menggunakan Uji Duncan dilanjutkan dengan uji jarak berganda (DMRT) dengan menggunakan SAS versi 9.0 for

windows dan preferensi petani dianalisis menggunakan Uji Friedman Test. Tujuan kajian untuk mendapatkan

varietas unggul baru padi yang dapat beradaptasi baik dan memberikan hasil tinggi untuk dikembangkan di wilayah

Kabupaten Majalengka. Hasil kajian menunjukkan Varietas unggul baru padi dengan hasil tertinggi dan disukai

oleh petani yaitu Inpari 43 dengan produktivitas 9,43 t/ha GKP, sehingga dapat dijadikan alternatif pergiliran

varietas untuk dikembangkan di wilayah Desa Mandiri Benih Padi di Kabupaten Majalengka dan introduksi

Varietas Unggul Baru dapat mendukung keberlanjutan Desa Mandiri Benih dalam produksi benih sesuai preferensi

konsumen/petani.

Kata Kunci : Varietas, adaptasi, preferensi

26 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:25-31

PENDAHULUAN

Salah satu komponen teknologi yang

sudah terbukti meningkatkan produksi hasil adalah

penggunaan varietas unggul baru. Pada umumnya

VUB mempunyai sifat - sifat yang menonjol

terhadap potensi hasil, tahan terhadap organisme

pengganggu tertentu dan memiliki keunggulan

sifat agronomis. Pemilihan varietas yang sesuai

dengan agroekosistem sangat mendukung

keberhasilan usahatani padi.

Ketersediaan varietas - varietas yang dapat

menjadi pilihan, memudahkan petani untuk

melakukan pergiliran varietas. Semakin banyak

varietas yang berdaya hasil tinggi dan adaptasinya

luas dapat memudahkan diseminasi varietas. Selain

itu dalam rangka mempertahankan dan

meningkatkan ketahanan pangan nasional perlu

dilakukan penataan pola dan pergiliran tanam baik

pergiliran jenis tanaman maupun varietas, serta

penanaman multi varietas adaptif spesifik lokasi

dan musim (Rohaeni dan Ishaq, 2015).

Penggunaan varietas unggul baru

mempunyai beberapa kelebihan yaitu pertumbuhan

lebih seragam dan panen serempak, rendemen

tinggi, mutu hasil tinggi dan sesuai selera pasar.

Kontribusi Varietas Unggul Baru (VUB) yang

diintegrasikan dengan teknologi pengairan dan

pemupukan dalam peningkatan produktivitas

sebesar 75%. Peran nyata dari VUB dalam

peningkatan produksi nasional dari sifat - sifat

yang dimiliki mampu berdaya hasil tinggi, toleran

terhadap hama dan penyakit, umur genjah sehingga

cocok dikembangkan pada pola tanam tertentu,

rasa nasi pulen dan kadar protein yang relatif tinggi

(Badan Litbang, 2007).

Varietas unggul baru padi sudah banyak

yang dilepas tetapi sebagian kurang berkembang.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor

diantaranya varietas tersebut kurang memiliki

keunggulan spesifik, tidak sesuai dengan preferensi

petani dan konsumen, varietas yang dilepas

memiliki beberapa kelemahan yang sebelumnya

belum diantisipasi sehingga petani menanam

varietas yang sama dari musim ke musim yang

diyakini akan memberikan hasil tinggi, baik

kualitas maupun kuantitas (Misran, 2015).

Persepsi petani dalam mengadopsi varietas

unggul baru berdasarkan preferensi

masing - masing lokasi bervariasi tergantung iklim

dan tipe agroekosistem. Oleh karena itu dalam

introduksi varietas unggul baru sangat diperlukan

kajian lebih dulu di tingkat petani. Faktor - faktor

yang harus diperhatikan meliputi psikologis dan

sosial wilayah setempat dalam membuat keputusan

penggunaan VUB di tingkat petani dibandingkan

faktor teknis dan ekonomi (Ruskandar, 2015).

Upaya untuk memperkenalkan varietas

unggul baru perlu dilakukan untuk mendapatkan

respon petani terhadap varietas - varietas yang

diminati untuk dikembangkan sesuai dengan

lingkungan tumbuh dan selera pasar. Berdasarkan

preferensi tersebut dapat mengetahui respon petani

terhadap penampilan tanaman dan rasa nasi dari

VUB yang sedang diuji. Keragaman lingkungan

tumbuh padi yang luas, diperlukan keragaman

varietas yang dapat beradaptasi optimal pada

kondisi spesifik lokasi (Yuniarti dan Kurniawati,

2015). Penggunaan varietas unggul baru secara

bergantian dapat memutus siklus hidup hama atau

penyakit tanaman. Keterbatasan keragaan pilihan

varietas di lapangan menyebabkan penerapan

pergiliran varietas sulit dilakukan, sehingga di

beberapa daerah sering terjadi serangan Organisme

Penggangu Tanaman. Oleh karena itu perlu

dilakukan kajian beberapa varietas unggul baru di

lokasi Sekolah Lapang Mandiri Benih untuk

mendapatkan varietas unggul baru padi yang dapat

beradaptasi baik dan memberikan hasil tinggi

untuk dikembangkan di wilayah Kabupaten

Majalengka dalam upaya untuk melakukan

pergiliran varietas sehingga produksi benih yang

akan dihasilkan sesuai dengan permintaan dan

kondisi wilayah setempat.

BAHAN DAN METODOLOGI

Kegiatan kajian Varietas Unggul Baru

(VUB) dilaksanakan di Kelompok Tani Gangsa I,

Desa Jati Tengah, Kecamatan Jati Tujuh,

27Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di

Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)

Kabupaten Majalengka (Desa Mandiri Benih Padi)

di lahan milik petani pelaksana penangkaran benih

dengan luasan masing - masing varietas 2.000 m2.

Rancangan yang digunakan Rancangan Acak

Kelompok dengan 4 ulangan. Varietas unggul baru

yang dikaji yaitu Inpari 38, 39, 41, 42 dan 43.

Introduksi teknologi yang diterapkan yaitu

1) Menggunakan Varietas Unggul Baru (Inpari

38, 39, 41, 42 dan 43),

2) seed treatment dengan menggunakan pupuk

hayati Agrimeth dengan dosis 400 g per

25 kg benih, benih yang sudah diperam

selama 24 jam ditiriskan, selanjutnya

dicampur dengan pupuk hayati untuk disemai

di lahan persemaian yang sudah dipersiapkan,

3) Menggunakan biodekomposer dengan dosis 2

kg per ha untuk mempercepat proses

pelapukan jerami sebagai bahan organik,

aplikasi dilakukan pada saat setelah

pengolahan tanah pertama dengan cara jerami

dihamparkan di lahan sawah, kemudian

disingkal dan dalam keadaan lembab

disemprot dengan biodekomposer yang sudah

dilarutkan dengan air,

4) penggunaan pupuk organik 1 ton ha-1

,

5) pupuk anorganik berdasarkan status hara

(NPK Phonska 200 kg ha-1

dan Urea 180 kg

ha-1), pupuk NPK Phonska diaplikasikan pada

saat tanaman umur 7 - 10 HST dan pupuk urea

diaplikasikan pada saat tanaman umur

30 HST 100 kg ha-1

dan 45 HST 80 kg ha-1

,

6) pengendalian gulma menggunakan power

weeder pada umur tanaman 15, 30 dan 45

HST,

7) pengendalian hama dan penyakit berdasarkan

konsep PHT,

8) panen segera setelah tanaman memasuki fase

masak dengan 95% daun padi telah

menguning, dan pasca panen dilakukan

dengan dilakukan pengeringan dengan cara

dijemur dibawah terik sinar matahari selama 3

hari sampai mencapai kadar air (KA 14%).

Parameter yang diamati tinggi tanaman

(fase vegetatif dan berbunga), jumlah anakan

(maksimum dan produktif), jumlah malai per

rumpun, panjang malai, jumlah gabah per malai

(isi dan hampa) dan hasil (t ha-1

GKG). Data

keragaan agronomis dianalisis menggunakan Uji

Duncan dilanjutkan dengan uji jarak berganda

(DMRT) dengan menggunakan SAS versi 9.0 for

windows dan preferensi petani dianalisis

menggunakan Uji Friedman. Uji Friedman

merupakan salah satu metode dari uji beberapa

sampel berhubungan dengan menguji bahwa H0

dari beberapa respon ordinal berasal dari populasi

yang sama. Persyaratan dari penggunaan prosedur

uji tersebut yaitu : data dari variabel numerik dan

data berasal dari sampel acak dan tidak

memerlukan asumsi bentuk distribusi tertentu.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Agronomis

Dalam rangka untuk mendapatkan varietas

unggul baru untuk menjadi dasar dalam produksi

benih di di wilayah Desa Mandiri Benih Padi dan

mempercepat penyebaran dan adopsi Varietas

Unggul Baru (VUB), maka dilakukan pengenalan

beberapa VUB melalui display varietas (Inpari 38,

39, 41, 42, dan 43).

Pertumbuhan tanaman padi cukup baik,

pada fase vegetatif tinggi tanaman Varietas Inpari

41 paling tinggi dibandingkan varietas yang lain

(Inpari 38, 39, 42 dan 43), sedangkan pada fase

berbunga yang paling tinggi Varietas Inpari 41 dan

Inpari 39, sedangkan pada fase masak yang paling

tinggi Inpari 38. Berdasarkan deskripsi tinggi

tanaman Varietas Inpari 38 (94 cm), Inpari 39 (98

cm), Inpari 41 (95 cm), Inpari 42 (93 cm) dan

Inpari 43 (88 cm). Pertumbuhan tinggi bervariasi

dari setiap varietas akibat dari faktor genetik dari

masing-masing varietas yang berbeda sehingga

pertumbuhan di lapangan memberikan penampilan

yang berbeda, terutama dalam hal pertumbuhan

tinggi tanaman.

28 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:25-31

Perbedaan tinggi tanaman diduga

dipengaruhi oleh genetik dan lingkungan tumbuh,

sehingga masing - masing varietas menunjukkan

pertumbuhan tinggi tanaman yang berbeda.

Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh faktor

internal dan eksternal dari tanaman itu sendiri.

Faktor internal adalah genetika dari tanaman

tersebut yang terekspresikan melalui pertumbuhan

sehingga diperoleh hasil, sedangkan faktor

eksternal adalah faktor biotik dan abiotik yang

meliputi unsur - unsur yang menjadi pengaruh

pada kualitas dan kuantitas, antara lain iklim, curah

hujan, kelembaban, intensitas cahaya, kesuburan

tanah, serta ada tidaknya serangan hama dan

penyakit. Seiring dengan hasil penelitian Sujitno et

al. (2011), tinggi tanaman dipengaruhi oleh sifat

genetik dan kondisi lingkungan tumbuh tanaman.

Pada peubah jumlah anakan maksimum

dan jumlah anakan produktif, Inpari 43

mempunyai jumlah anakan yang paling banyak

(18,41) batang. Jumlah anakan berbeda dari setiap

varietas ditentukan oleh interaksi antara genotipe

danlingkungan rismawati et al., 2011).

Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian Guswara

dan Samaullah (2009), bahwa kondisi lingkungan

sangat mempengaruhi kemampuan fungsi fisiologis

dan potensi genetik tanaman dalam menghasilkan

jumlah anakan produktif. Bertambahnya jumlah

anakan berkaitan dengan peningkatan luas daun

yang menyebabkan penyerapan sinar matahari oleh

daun semakin besar yang ditunjukkan oleh

peningkatan jumlah anakan produktif (Hidayat,

2012).

Salah satu faktor yang mempengaruhi

peningkatan hasil gabah adalah komponen hasil

tanaman. Komponen hasil (jumlah malai, panjang

malai, jumlah gabah isi per malai, jumlah gabah

hampa per malai dan hasil), Inpari 43 paling

banyak, disusul oleh Inpari 42, 41, 39 dan 38. Dari

hasil yang didapat bahwa komponen hasil

berkorelasi positif terhadap hasil yang dicapai.

Dengan hasil tersebut Varietas Inpari 43

produksinya cukup tinggi (9,43 t ha-1

GKP).

Pembentukan anakan produktif sangat menentukan

jumlah malai tanaman padi. Semakin banyak

anakan produktif, semakin banyak jumlah malai.

Dengan demikian terdapat korelasi antara jumlah

malai dengan hasil, karena semakin banyak jumlah

malai, maka semakin tinggi hasil tanaman padi

(Misran, 2015). Selanjutnya menurut Sution

(2017), bahwa jumlah malai per rumpun

merupakan salah satu faktor paling menentukan

terhadap komponen hasil, karena semakin banyak

malai yang dihasilkan pada setiap rumpun akan

semakin banyak pula jumlah gabah yang

dihasilkan sehingga peluang untuk menghasilkan

berat juga semakin tinggi.

Tabel 1. Rerata Pertumbuhan Beberapa Varietas Unggul Baru di Keltan Gangsa I, Desa Jati Tengah, Kec. Jati

Tujuh, Kab. Majalengka, MK I. 2017.

Varietas

Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Anakan (batang)

Fase

Vegetatif Berbunga Masak Maksimum Produktif

Inpari 38 78,08bc 93,75b 105,08a 14,58d 12,91c

Inpari 39 75,25c 97,25a 98,58c 19,67b 17,16

Inpari 41 75,16c 97,08a 99,08c 16,33c 16,33b

Inpari 42 89,58a 91,58c 94,00d 16,08c 13,83c

Inpari 43 81,50b 89,83d 101,58b 22,08a 18,41a

Keterangan: Angka yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada Uji Duncan

taraf 5%.

29Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di

Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)

Persentase gabah isi sangat menentukan

potensi hasil maksimum suatu varietas padi. Hasil

fotosintat (karbohidrat) dalam batang dan daun,

dan translokasinya serta akumulasinya dalam

gabah sangat menentukan tingkat pengisian gabah.

Jumlah gabah hampa bisa juga dipengaruhi oleh

tidak serempaknya pematangan biji akibat tidak

bersamaannya keluar biji, sehingga pada saat

dipanen masih ada biji yang belum berisi dengan

sempurna dan pada akhirnya akan menjadi biji

hampa (Arafah dan Najmah, 2012).

Bervariasinya jumlah gabah hampa diduga

karena faktor genetik, gabah hampa merupakan

ketidak mampuan tanaman dalam melakukan

pengisian bulir tanaman, kehampaan menyebabkan

hasil tidak akan tinggi hal ini disebabkan faktor

genetik dan lingkungan (Horrie et al., 2006).

Jumlah gabah hampa berpengaruh pada

perolehan hasil panen yang didapat. Semakin

banyak jumlah gabah hampa maka hasil produksi

yang diperoleh semakin sedikit. Jumlah gabah isi

per malai, berat gabah per rumpun, dan jumlah

anakan produktif merupakan beberapa komponen

yang menentukan berat hasil (Wijayanti et al.,

2011).

Varietas yang beradaptasi baik pada

lingkungan tumbuhnya akan tumbuh maksimal dan

memberikan hasil terbaik. Mekanisme adaptasi

tersebut ditunjukkan oleh penampilan agronomi

yang baik (Hastini et al., 2014). Berdasarkan

deskripsi, potensi hasil Varietas Inpari 38 (8,16

t/ha GKG), Inpari 39 (8,45 t/ha GKG), Inpari 41

(7,83 t/ha GKG), Inpari 42 (10,56 t/ha GKG) dan

Inpari 43 (9,02 t/ha GKG). Sedangkan hasil yang

diperoleh pada display varietas bahwa Varietas

Inpari 43 menunjukkan hasil tertinggi (9,43 t/ha

GKP), produktivitas yang dicapai masih belum

sesuai dengan potensi hasil.

Preferensi Petani

Dalam pengenalan Varietas Unggul Baru

(VUB), perlu dilakukan preferensi terhadap

karakteristik agronomis untuk mengetahui respon

dari petani terhadap VUB yang akan dipilih

sebagai alternatif pergiliran varietas di wilayah

tersebut. Keputusan petani dalam memilih varietas

benih ditentukan oleh faktor eksternal meliputi

pasar, kelembagaan, kebijakan dan lingkungan

(Irwan, 2013). Semakin tinggi nilai preferensi

maka semakin prioritas pilihan konsumen untuk

memilih sesuai dengan nilai preferensi tinggi yang

mengakibatkan rangking semakin tinggi.

Berdasarkan analisis non parametrik

menunjukan terdapat penilaian yang berbeda dari

responden terhadap varietas - varietas yang diuji.

Preferensi petani terhadap karakteristik keragaan

tanaman, menyukai Varietas Inpari 43 dilihat dari

tinggi tanaman, panjang malai, jumlah malai, umur

panen, ketahanan terhadap hama dan penyakit,

bentuk gabah, warna gabah, mutu gabah,

produktivitas, dan tingkat kerontokan, sedangkan

penerimaan umum yang paling rendah adalah

Varietas Inpari 41.

Varietas Inpari 43 merupakan varietas

Green Super Rice (GSR). Istilah “Super”

menekankan pada kemampuannya memberikan

Tabel 2. Rerata Komponen Hasil Beberapa Varietas Unggul Baru di Keltan Gangsa I, Desa Jati Tengah, Kec. Jati

Tujuh, Kab. Majalengka, MK I. 2017.

Varietas

Komponen Hasil

Jumlah malai per

rumpun

Panjang malai

(cm)

Jumlah gabah isi

per malai

Jumlah gabah

hampa per malai Hasil (t ha

-1) GKP

Inpari 38 11,08c 24,21c 121,25e 11,58b 5,40e

Inpari 39 13,58b 25,16ab 135,75d 8,66c 6,03d

Inpari 41 10,75d 25,17ab 154,75c 9,83c 6,30c

Inpari 42 14,83b 25,25ab 213,83b 13,25b 7,90b

Inpari 43 17,75a 26,33a 222,58a 35,33a 9,43a

Keterangan: Angka yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak menunjukkan beda nyata pada Uji Duncan

taraf 5%.

30 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:25-31

hasil yang tinggi, sedangkan “Green” menekankan

pada kemampuannya berdaya hasil tinggi

meskipun pada input usaha tani (unsur hara tanah,

pupuk, zat pengatur tumbuh dan pestisida) yang

relatif rendah.

Berdasarkan deskripsi varietas bentuk

gabah varietas unggul baru yang diujikan adalah

ramping dan wana gabah kuning bersih (BB Padi,

2011). Dilihat secara kasat mata terdapat

perbedaan tingkat kebeningan dari warna gabah.

Selanjutnya menurut Trisnawati et al.,

(2013), bahwa tingkat preferensi konsumen sangat

menentukan penerimaan varietas unggul oleh

petani.

Preferensi responden terhadap penampilan

keragaan agronmis dari beberapa VUB padi

dilakukan melalui pengujian menggunakan alat

indra yang bersifat subjektif sehingga preferensi

responden secara keseluruhan sulit untuk

mendapatkan penilaian yang objektif. Berdasarkan

hasil penelitian Shafwati (2012), bahwa preferensi

adalah selera sehingga preferensi petani akan

berbeda-beda di setiap daerah.

KESIMPULAN

Varietas unggul baru padi dengan hasil

tertinggi dan disukai oleh petani yaitu Inpari 43

dengan produktivitas 9,43 t/ha GKP, sehingga

dapat dijadikan alternatif pergiliran varietas untuk

dikembangkan di wilayah Desa Mandiri Benih

Padi di Kabupaten Majalengka.

DAFTAR PUSTAKA

Arafah dan Najmah. 2012. Pengkajian Beberapa

Varietas Unggul Baru Terhadap

Pertumbuhan dan Produksi Padi Sawah,

Jurnal Agrivigor, vol. 11, no. 2, hh : 188 -

194.

BB Padi. 2011. Deskripsi Varietas Padi. Balai

Besar Penelitian Tanaman Padi.

Sukamandi.

Badan Litbang Pertanian (Badan Penelitian dan

Pengembangan Departemen Pertanian).

2007. Prospek dan Arah Pengembangan

Agribisnis Padi. Badan Penelitian dan

Pengembangan Departemen Pertanian.

Jakarta.

Guswara. A., dan M. Y. Samaullah. 2009.

“Penampilan Beberapa Varietas Unggul

Baru pada Sistem Pengelolaan Tanaman dan

Sumberdaya Terpadu di Lahan Sawah

Irigasi”. Prosiding Seminar Nasional Padi

2008: Inovasi Teknologi Padi

Mengantisipasi Peruba han Iklim Global

Mendukung Ketahanan Pangan. Buku 2.

Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Departemen Pertanian.

Hastini, T., Darmawan, dan Ishaq I., 2014.

Penampilan Agronomi 11 Varietas Unggul

Baru Padi di Kabupaten Indramayu,

Agrotrop, vol. 4., no. 1., hh : 73 - 81.

Tabel 3. Preferensi petani terhadap Keragaan Tanaman Varietas Unggul Baru (VUB) Padi di Kelompok Tani

Gangsa I, Desa Jatitengah, Kecamatan Jatitujuh, Kabupaten Majalengka. 2017.

Varietas Tinggi

Tanaman

Jumlah

Anakan

Panjang

Malai

Jumlah

Malai

Umur

Panen

Tahan

H&P

Bentuk

Gabah

Warna

Gabah

Mutu

Gabah

Hasil

Produksi

Tkt

Krntkn

Pnrman

Umum

Mean Rank

Inpari 38 2,86 3,38 3,16 3,26 3,39 3,42 3,71 3,34 3,12 2,99 3,41 3,13

Inpari 39 3,64 3,58 3,64 3,55 3,36 3,59 3,70 3,63 3,59 3,68 3,59 3,55

Inpari 41 3,07 3,18 3,03 3,09 3,21 2,78 3,08 3,05 3,21 3,00 3,00 2,87

Inpari 42 3,58 3,26 3,51 3,43 3,28 3,63 3,07 3,36 3,24 3,50 3,63 3,61

Inpari 43 3,75 3,74 4,18 3,93 3,59 3,42 3,36 3,54 3,74 3,93 3,68 3,67

Friedman Test

N 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38 38

Chi-Square 22,548 8,526 18,876 11,901 15,445 20,639 19,144 12,308 15,747 19,390 10,089 25,773

Df 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5

Asymp. Sig. 0,000 0,130 0,002 0,036 0,009 0,001 0,002 0,031 0,008 0,002 0,073 0,000

Keterangan : Asym. Sig. < 0,05 artinya penilaian responden terhadap beberapa varietas berbeda nyata.

31Introduksi Varietas Unggul Baru Padi dalam Mendukung Keberlanjutan Desa Mandiri Benih di

Kabupaten Majalengka (Yati Haryati dan Atang M. Safei)

Hidayat, Y., Saleh, Y., dan Waraiya, M. 2012.

Kelayakan Usahatani Padi Varietas Unggul

Baru Melalui PTT di Kabupaten Halmahera

Tengah, Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan, vol. 31, no. 3., hh : 166 - 172.

Horrie, T.,K. Homma, and H. Yoshida. 2006.

Physiological and Morphological Traits

Associated with High Yield Potential in

Rice. Abstracts. Second International Rice

Congress 2006. 26th International Rice

Research Conference. P : 12 - 13.

Irwan. 2013 . Faktor Penentu Dan Keputusan

Petani Dalam Memilih Varietas Benih

Kedelai Di Kabupaten Pidie. Jurnal Agrisep,

vol. 14, no. 1., hh : 1 - 6.

Krismawati, A., dan Arifin, Z. 2011. Stabilitas

hasil beberapa varietas padi lahan sawah.

Jurnal Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian, vol. 14, no. 2 : 84 - 92.

Misran. 2015. Keragaan Varietas Unggul Baru

Padi Sawah di Kecamatan Pulau Punjung

Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera

Barat. Jurnal Dinamika Pertanian, vol. 30,

no.1, hh. : 7 - 12.

Ruskandar, E. 2015. Pemanfaatan Benih Padi

Berlabel di Tingkat Petani Riau. Jurnal

Agrijati, vol. 28, no. 1, hh. : 145 - 157.

Rohaeni, W. dan Ishaq, I, M. 2015. Evaluasi

Varietas Padi Sawah Pada Display Varietas

Unggul Baru (VUB) di Kabupaten

Karawang, Jawa Barat. Agric, vol. 27, no. 1

dan 2, hh. : 1 - 7.

Shafwati AR. 2012. Pengaruh Lama Pengukusan

dan Cara Penanakan Beras Pratanak

terhadap Mutu Nasi Pratanak. [Skripsi].

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sujitno, E., Fahmi, T., dan Teddy, S. 2011. Kajian

adaptasi beberapa varietas unggul padi gogo

pada lahan kering dataran rendah di

Kabupaten Garut. Jurnal Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian, vol.

14, no.1, hh: 62 - 69.

Sution. 2017. Keragaan Lima Varietas Unggul

Baru Terhadap Pertumbuhan dan

Produktivitas Padi Sawah Irigasi, Jurnal

Pertanian Agros, vol. 19, no.2, hh: 179 - 185

Widyayanti, S., Kristamtini, dan Sutarno. 2011.

Daya Hasil Tiga Varietas Unggul Baru Padi

Sawah di Kebon Agung - Bantul,

Widyariset, vol. 14, no. 3, hh : 559 - 564.

Yuniarti, S dan Kurniawati, S. 2015. Keragaan

pertumbuhan dan hasil varietas unggul baru

(VUB) padi pada lahan sawah irigasi di

Kabupaten Pandeglang, Banten, Prosiding

Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas

Indonesia, vol. 1, no. 7, hh : 1666 - 1669.

33Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa

Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)

ANALISA PENDAPATAN USAHATANI PRODUKSI BENIH JAGUNG HIBRIDA

NASIONAL: STUDI KASUS DESA MANDIRI BENIH JAGUNG

DI SULAWESI SELATAN

Bahtiar1)

dan Suriany2)

1) Balai Penelitian Tanaman Serealia

Jln. Dr. Ratulangi No.274 Maros

Email: [email protected] 2)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan

Jln. Perintis Kemerdekaan Km.17,5 Makassar

ABSTRACT

Analysis Of Farming Income Production Of National Hybrid Corn Seed: A Case Study Of Independent Village Area Of Corn Seed In South Sulawesi.The income of corn seed production farming carried out by farmer group in

the village area in the discussion in this paper. Understanding these conditions is carried out with the technology

assistance method from 2016 to 2017 to observe the process of implementing farming activities and the role of

related institutions. The results of the observation show that hybrid corn seed production in the independent

village corn seed can provide a profit of Rp.24,282,500 in 2016 and increase to Rp.36,837,000 in 2017. These

benefits are considered economically feasible for corn seed producers becouse of the income ratio with total cost

also increased from 2.69 in 2016 to 3.52 in 2017. Then the institutional support factor also showed an creasing

trend, especially the heads of farmer group, extension agents, reseachers, seed supervisers and seed distributors.

Thus the opportunity to develop and sustainably is prosfectivelly in the future as long as the national corn seed

usage policy continuing.

Key words: Hybrid corn seed, seed producer, income, sustainability

ABSTRAK

Pendapatan usahatani produksi benih jagung nasional yang dikerjakan oleh kelompok tani dalam kawasan desa

mandiri benih menjadi pembahasan dalam tulisan ini. Pemahaman kondisi tersebut, dilakukan dengan metode

pendampingan teknologi sejak tahun 2016 sampai tahun 2017 untuk mengamati proses pelaksanaan kegiatan

usahatani dan peranan lembaga terkait. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, usahatani produksi benih jagung

hibrida di kelompok tani desa mandiri benih, dapat memberikan keuntungan sebesar Rp.24.282.500 tahun 2016 dan

meningkat menjadi Rp.36.837.000 tahun 2017. Keuntungan tersebut dinilai layak secara ekonomi bagi petani

produsen benih jagung, karena rasio penerimaan atas biaya total juga meningkat dari 2,69 tahun 2016 menjadi 3,52

tahun 2017. Kemudian faktor dukungan kelembagaan juga menunjukkan kecenderungan yang semakin baik,

terutama ketua kelompok tani, penyuluh, peneliti, pengawas benih, dan distributor benih. Dengan demikian

peluang untuk berkembang dan berkelanjutan terbuka lebar di masa datang, sepanjang kebijakan penggunaan benih

jagung nasional tetap berlanjut.

Kata kunci: Benih jagung hibrida, produsen benih, pendapatan, keberlanjutan

34 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42

PENDAHULUAN

Perhatian pemerintah terhadap komoditas

jagung semakin tinggi. Program swasembada

jagung yang berkelanjutan terus diupayakan

melalui berbagai kegiatan. Di lingkup

Balitbangtan dikenal program model desa mandiri

benih jagung yang dikembangkan di beberapa

provinsi (Kapus Litbang Tanaman Pangan, 2015).

Di lingkup Direktorat Jenderal Tanaman Pangan,

program desa mandiri benih digulirkan pada 1000

desa di seluruh Indonesia, walaupun hanya terbatas

pada komoditi padi (Dirjentan, 2016ZZAL).

Belajar dari keberhasilan desa mandiri benih padi,

pada tahun 2018 mulai dengan komoditi jagung

dan kedelai. Program desa mandiri benih jagung

dimulai sebanyak 80 hektar yang tersebar di 5

provinsi, dan rencana akan dikembangkan menjadi

550 hektar pada tahun 2019 (Direktur Perbenihan,

2018).

Pelaksanaan pendampingan model desa

mandiri benih jagung telah berjalan 4 tahun dan

telah menunjukkan progres menuju desa mandiri

benih yang relatif bervariasi. Di provinsi Sulawesi

Tengah, desa mandiri benih telah direplikasi ke

tiga kecamatan yaitu kecamatan Dolo Barat,

Kecamatan Labuang, dan Kecamatan Kulawi

dengan luasan penangkaran sekitar 100 ha (Ruruk.

2017). Di Provinsi Nusa Tenggara Barat sudah

ada mengarah ke tiga kabupaten yaitu Lombok

Timur, Dompu dan Sumbawa Besar sendiri,

(Hippi, A. 2015). Kemudian di Provinsi Sulawesi

Selatan, Desa mandiri benihnya masih terbatas

pada satu kecamatan, tetapi luasannya sudah

mencapai 10 ha.

Hasil pendampingan menunjukkan bahwa

penerapan teknologi produksi benih jagung hibrida

dapat dipahami petani dalam satu musim tanam

saja, tetapi permasalahan yang banyak dihadapi di

lapangan adalah pemasaran benih yang dihasilkan.

Di Nangru Aceh Darussalam hasil benih

dipasarkan dengan susah payah melalui kios-kios

saprodi dan anggota kelompok tani (Iskandar,

2016). Di Sulawesi Tenggara hasil benih yang

dihasilkan dipasarkan melalui BUMN (PT. Pertani)

setelah gagal memasarkan melalui program Dinas

Pertanian (Bananiek, 2016). Di Sulawesi Tengah

hasil benih dipasarkan melalui Dinas Pertanian

Provinsi tahun 2016 dan berkembang ke distribotor

nasional pada tahun 2017, sehingga pemasarannya

dinilai lancar dan mempotivasi petani untuk

memperluas skala penangkarannya sampai 100 ha

di tahun 2017 (Ruruk, B. 2017). Di Sulawesi

Selatan, hasil benih dipasarkan melalui kerjasama

dengan UPTD perbenihan kabupaten Bantaeng

pada tahun 2016 dan tahun 2017 mulai

dikordinasikan dengan distributor benih nasional,

sehingga kelompok binaan berusaha menambah

anggota penangkaran untuk mencapai 10 hektar

tahun 2018 dan rencana 50 hektar tahun 2019

(Razak, 2015).

Untuk mendukung keberlanjutan desa

mandiri benih tersebut perlu diketahui pendapatan

petani dari produksi benih tersebut sebagai

landasan untuk melakukan pendampingan dalam

rangka peningkatan pendapatan dan kesejahteraan

petani. Selain itu, peran kelembagaan yang terkait

dengan penyediaan benih mulai dari saat

diproduksi di lapangan, diprosessing, sampai

didistribusikan ke pengguna juga penting

diketahui.

METODE

Penetuan Lokasi dan Responden

Studi kasus ini dilaksanakan di desa

Kaloling, Kecamatan Gattarengkeke, Kabupaten

Bantaeng dengan pertimbangan desa tersebut telah

dibina sejak 2016 menjadi desa mandiri benih

jagung mewakili provinsi Sulawesi Selatan. Ketua

kelompok dan seluruh anggotanya yang turut

memproduksi benih jagung, baik yang terlibat pada

tahun 2016 maupun yang baru terlibat pada tahun

2017 ditetapkan sebagai responden sumber

informasi penggunaan input yang digunakan dan

output yang dihasilkan. Selain itu, lembaga terkait

dengan penyediaan benih jagung juga dijadikan

responden untuk mendapatkan informasi peranan

kelembagaan.

35Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa

Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)

Pengumpulan Data

Studi kasus ini dilakukan dengan metode

survei. Pengumpulan data dilakukan dengan

beberapa metode yaitu: pengamatan langsung,

wawancara dan diskusi. Tiga cara pengumpulan

data tersebut dipadukan pada setiap kunjungan

lapangan melakukan pembinaan. Dengan demikian

diharapkan data yang diperoleh lebih akurat karena

pengumpulan data berlangsung pada saat-saat

kegiatan dilaksanakan. Variabel yang diamati

adalah penggunaan input dan output yang

dihasilkan selama dua tahun (2016-2017). Input

yang diamati adalah penggunaan sarana produksi

berupa benih, pupuk, pestisida dan herbisida, serta

biaya tenaga kerja yang digunakan mulai dari

persiapan lahan sampai pemasaran hasil. Selain

itu, peran lembaga yang terkait dalam proses

produksi dan pemasaran hasil penangkaran juga

diamati keterlibatan dan perannya.

Analisa Data

Studi kasus ini menggunakan dua model

analisis yaitu analisis kuantitatif dan analisis

kualitatif. Analisis kuantitatif untuk mengetahui

biaya dan penerimaan serta keuntungan usahatani

penangkaran (Soekartawi, 1988) dengan rumus

sebagai berikut:

1. Keuntungan usaha penangkaran (�)

� = �� ∗ �� − ��

��

2. Rasio Penerimaan atas Biaya (R/C rasio)

�� ����� = YxPY

VC

3. Rasio penerimaan atas biaya sarana produksi

(RAIC rasio)

��������� = YxPYIC

4. Rasio penerimaan atas biaya tenaga kerja

(RALC rasio)

RALCrasio = YxPYLC

5. Rasio Keuntungan atas Biaya (B/C rasio)

&� ����� = 'YxPY) − VC

VC

Keterangan:

� = Profit'Pendapatan/Keuntungan) Y = Yield (Keluaran atau hasil produksi)

PY = Price Yield (Harga keluaran)

VC = Variable Cost (Biaya variabel)

R/C = Return Cost Ratio (Penerimaan atas

biaya total)

B/C = Benefit Cost ratio (Keuntungan atas

biaya total

RAIC = Return Above Input Cost (Penerimaan

atas biaya input)

IC = Input Cost (Biaya sarana produksi)

RALC = Return Above Labor Cost (Penerimaan

atas biaya tenaga kerja)

LC = Labor Cost (Biaya tenaga kerja)

Seterusnya untuk mengetahui peluang

keberlanjutannya, tiga aspek yang diperhatikan

yaitu aspek teknis, sosial budaya, dan aspek

ekonomi. Dikatakan berpeluang besar untuk

berkelanjutan apabila secara teknis dapat

dilakukan, secara ekonomi menguntungkan, dan

secara sosial budaya tidak melanggar kaidah-

kaidah dalam berusahatani (Malian, et.al., 1988).

Dikatakan ekonomis jika nilai R/C rasio lebih

besar 1 (Simatupang, P., 2003). Dikatakan

menguntungkan apabila B/C rasio lebih besar 1

(Soekartawi, 1989).

Kemudian analisis kualitatif dilakukan

dengan metode skoring untuk mengetahui tingkat

partisipasi dan respon dari lembaga terkait,

36 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42

menggunaka skala likert (Mueller, D.J., 1996)

dengan rumus sebagai berikut:

Skor = �4� ∗ bi6

Skor = 1 sampai 5, semakin besar skornya semakin

berperan

ni = Jumlah responden i

bi = Bobot penilaian i

H0 = µ1 = µ2 = µ3,

yaitu tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-

rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis

sistem usahatani bawang merah.

H1 = µ1 ≠ µ2 ≠ µ3,

yaitu terdapat perbedaan yang nyata antara rata-

rata hitung parameter pengamatan pada ketiga jenis

sistem usahatani bawang merah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggunaan Sarana Produksi

Biaya sarana produksi yang menonjol

adalah parent seeds. Selain relatif sulit diperoleh

saat itu, juga harganya mahal bagi petani. Parent

seednya adalah hasil persilangan antara galur

No.180 dengan MR-14 sebagai induk betina dan

Galur Nei 9008P sebagai induk jantan untuk

varietas Bima-20 URI. Sedang untuk Varietas

Bima-19 URI induk betinanya berasal dari hasil

persilangan Galur No.193 dengan MR-14 sedang

induk jantannya adalah Galur Nei 9008P

(Balitsereal, 2017). Digunakan 20 kg per hektar

yang terdiri dari 5 kg induk jantan dan 15 kg induk

betina ditanam dengan perbandingan 1 baris jantan

dan 3 baris betina. Perbandingan tersebut dinilai

menguntungkan bagi petani pemula karena tidak

perlu bantuan persilangan di lapangan tetapi cukup

dengan persilangan alami (Azrai dan Bahtiar,

2015).

Penggunaan sarana produksi nampak

meningkat jumlahnya dari Rp.6.887.500 tahun

2016 menjadi Rp. 7.325.000 tahun 2017 (Tabel 1),

namun tingkat efisiensinya terhadap peningkatan

produksi meningkat dari 5,2 menjadi 7,0 (Tabel 3),

terjadi peningkatan efisiensi sebesar 1,8. Artinya

petani dapat tambahan pendapatan Rp.1.800 pada

setiap penggunaan biasa sarana produksi Rp.1000.

Hal ini menunjukkan indikasi bahwa terdapat

peluang besar pengembangan produksi benih

jagung hibrida di masa depan.

Tabel 1. Penggunaan sarana produksi pada kegiatan penangkaranDesa Mandiri Benih, di Desa Kaloling.

Sarana produksi

Tahun 2016 Tahun 2017

Volume

Fisik

Satuan Harga

(Rp/satuan)

Nilai

(Rp/ha)

Volume

Fisik

Satuan Harga

(Rp/satuan)

Nilai

(Rp/ha)

Parent seed 20 kg 125.000 2.500.000 20 kg 125.000 2.500.000

Saromil 50 gr 2.000 100.000 50 gr 2.000 100.000

Pupuk Urea 300 kg 2.000 600.000 300 kg 2.000 600.000

Pupuk Phonska 400 kg 2.500 1.000.000 400 kg 2.500 1.000.000

Herbisida Calaris 2,0 ltr 350.000 700.000 1,5 ltr 350.000 525.000

Pupuk cair 1,5 ltr 150.000 225.000 2,0 ltr 150.000 300.000

Insektisida 1,0 ltr 175.000 175.000 1,0 ltr 175.000 175.000

Karung 75 lbr 2.500 187.500 150 lbr 2.500 375.000

Kemasan 5 kg 400 lbr 3.500 1.400.000 500 lbr 3.500 1.750.000

Total 6.887.500 7.325.000

37Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa

Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)

Penggunaan Tenaga Kerja

Tenaga kerja di tingkat petani untuk

kegiatan usahatani termasuk usahatani jagung

berasal dari dalam dan luar keluarga. Kegiatan

yang pada umumnya menggunakan tenaga kerja

luar keluarga adalah penanaman dan panen, sedang

lainnya menggunakan tenaga kerja dari dalam

keluarga. Namun dalam perhitungan usahatani

produksi benih ini, seluruh curahan tenaga kerja

dinilai sesuai dengan upah buruh tani yang berlaku

di daerah. Hal ini dilakukan untuk memberi

gambaran bahwa, usahatani produksi benih jagung

hibirida secara bisnis memberikan pendapatan

yang memadai dan berpeluang menjadi lapangan

kerja baru bagi petani.

Kegiatan yang paling banyak

membutuhkan tenaga kerja ada tiga yaitu, kegiatan

panen 8-13- HOK, kegiatan pemupukan 18-23

HOK, dan panen sampai prosessing 20-24 HOK

(Tabel 2). Kegiatan tersebut sesungguhnya

berkorelasi positif dengan hasil yang dicapai,

sehingga dinilai bermanfaat ganda yaitu selain

menambah pendapatan juga secara implisit

membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat

pedesaan.

Kegiatan pra produksi, kegiatan

penanaman dan pemupukan yang banyak

menyerap tenaga, tetapi itu tidak bermasalah

karena di daerah itu ikatan sosial masih sangat

kuat. Kegiatan saling membantu diatara petani

masih terjadi sehingga biaya tenaga kerja secara

riil hanya berupa biaya konsumsi, walaupun

jumlahnya kadang-kadang lebih besar dibanding

dengan kalau diupahkan (Belean, et.al. 2014).

Tetapi itu sangat penting dilestarikan untuk

memperkuat kebersamaan, kekompakan dan

kekeluargaan sebagai syarat terwujudnya

kedamaian kehidupan bemasyarakat dalam satu

wilayah (Syahyuti, 2006; Crame, G.L. and C.W.

Jensen, 1991).

Kemudian pada kegiatan pasca panen,

kegiatan panen dan pemipilan yang paling banyak

menyerap tenaga, tetapi itu tidak bermasalah

karena mesin pemipil sudah ada yang didesain

khusus untuk benih dan dapat digunakan apabila

penangkaran menghasilkan benih yang banyak.

Kontribusi tenaga kerja terhadap

penerimaan usahatani penangkaran juga terjadi

peningkatan dari tahun 2016 ke tahun 2017. Pada

tahun 2016 nilai RALC sebesar 5,6 meningkat

menjadi 7,0 pada tahun 2017, terjadi efisiensi

sebesar 1,4 yang berarti terjadi tambahan

pendapatan sebesar Rp.1.400 pada setiap

penggunaan biaya tenaga kerja RP.1000.

Tabel 2. Penggunaan biaya tenaga kerja pada penangkaran benih jagung hibrida, di desa Kaloling, Bantaeng.

Biaya Tenaga Kerja Tahun 2016 Tahun 2017

Fisik (HOK) Nilai (Rp/ha) Fisik (HOK) Nilai (Rp/ha)

Persiapan lahan dengan herbisida 3 255.000 3 255.000

Penanaman perbandingan 1 : 3 13 1.040.000 10 850.000

Pemupukan I 13 1.040.000 10 850.000

Pemupukan II 10 800.000 8 680.000

Penyiangan I dengan herbisida Calaris 1,5 120.000 1,5 127.500

Penyiangan II pembumbunan 17 1.360.000 17 1.445.000

Penyemprotan pupukcair 3 kali 4,5 360.000 4,5 382.500

Penyemprotan insektisida 2 kali 3 240.000 3 255.000

Roguing 3 kali 3 240.000 2 170.000

Detaselling 5 400.000 3 255.000

Panen 15 1.200.000 17 1.445.000

Prosessing 5 400.000 7 595.000

Sub Total 7.455.000 7.310.000

38 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42

Penerimaan Usahatani

Penerimaan merupakan selisih dari nilai

hasil dengan total biaya. Penerimaan usahatani

petani di Indonesia dinilai sangat kecil karena

selain skala usahataninya relatif sempit juga terjadi

kecenderungan peningkatan biaya persatuan luas

dibanding dengan peningkatan penerimaan (Taufik

dan M. Thamrin, 2009). Pada usahatani produksi

benih nilai hasil dapat diperoleh dari benih yang

terseleksi dan hasil sortirannya. Walaupun nilai

benih sebagai penghasil penerimaan yang utama.

Pada studi kasus ini nilai benih tahun 2016 sebesar

Rp 37.500.000/ha dan meningkat pada tahun 2017

menjadi Rp.50.000.000/ha jauh lebih besar

dibanding dengan nilai sortiran yang hanya

Rp.1.125.000 pada tahun 2016 dan Rp.1.472.000

pada tahun 2017 masing-masing per hektar (Tabel

3).

Hal tersebut sesungguhnya masih

berpeluang ditingkatkan apabila harga benih yang

diterima petani sesuai dengan harga penetapan

pemerintah yaitu Rp.36.000/kg untuk benih jagung

hibrida nasional dan Rp.46.000/kg untuk benih

jagung multinasional, sementara harga benih yang

diterima petani dari distributor hanya Rp.20.000/kg

pada tahun 2016 dan meningkat sedikit menjadi

Rp.25.000/kg pada tahun 2017. Hal itu terjadi

karena petani belum memenuhi syarat untuk

menjadi produsen benih dalam skala besar, tidak

mampu mengikuti persyaratan dan prosedur yang

ketat untuk menjadi penyalur benih kepada

program nasional (Mulatsih, S. dan A.Fatony.

2006). Namun demikian keuntungan yang

diperoleh dari usahatani penangkaran benih jagung

hibrida, dinilai cukup besar dibanding dengan

keuntungan usahatani produksi biji untuk

konsumsi. Keuntungan yang diperoleh dari

usahatani jagung hanya berkisar Rp.10.000.000

sampai Rp.15.000.000/ha (Biba, A. 2016;

Syuryawati dan faesal, 2016), sedangkan

keuntungan yang diperoleh dari usahatani

penangkaran ini ini mencapai Rp.35.000.000

sampai Rp.50.000.000/ha. Keuntungan tersebut

sangat layak secara ekonomi untuk dikembangkan.

Peranan Kelembagaan

Kelembagaan perekonomian disadari

memegang peranan penting dalam

mengembangkan produk pertanian (Belean, et.al.

2014). Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk

memperkuat posisi tawar petani antara lain

program primatani, Suppa, SLPTT, PUAP,

bioindustri semuanya memberi pelajaran penting

dalam pengelolaan usahatani. Namun program-

Tabel 3. Analisa pendapatan usahatani produksi benih di desa Kaloling, Bantaeng.

Uraian Tahun 2016 Tahun 2017

Luas penangkaran (ha) 3,0 6,0

Jenis varietas jagung hibrida nasional Bima-19 URI Bima-20 URI

Produksi benih (kg/ha) 1.500 2.000

Nilai Produksi benih (Rp/ha) 37.500.000 50.000.000

Hasil sortiran benih (kg/ha) 375 460

Nilai sortiran benih (Rp/ha) 1.125.000 1.472.000

Total Nilai Penerimaan (Rp/ha) 38.625.000 51.472.000

Biaya Sarana produksi (Rp/ha) 6.887.500 7.325.000

Biaya Tenaga kerja yang dibayarkan (Rp/ha) 7.455.000 7.310.000

Total biaya (Rp/ha) 14.342.500 14.635.000

Keuntungan (Rp/ha) 24.282.500 36.837.000

Rasio penerimaan atas biaya total 2,69 3,52

Rasio Penerimaan atas biaya sarana produksi 5,2 7,0

Rasio Penerimaan terhadap biaya tenaga kerja 5,6 7,0

Rasio Keuntungan atas biaya total 1,69 2,52

39Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa

Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)

program tersebut tidak ada yang berlanjut secara

lengkap sesuai dengan konsepnya, tetapi ada

bagian-bagian tertentu yang berkelanjutan

diterapkan petani (Bustaman Sy. 2014).

Dalam kaitan dengan pengembangan desa

mandiri benih, peran peneliti baik di Balai

Komoditas maupun di Balai Pengkajian serta

seluruh unit kerja kementerian di daerah sangat

diharapkan untuk mengambil peran secara aktif

sesuai dengan kewenangannya (Widiarta, 2016).

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa

peneliti, penyuluh, kelompok tani, pengawas

benih dan distributor mengambil peran yang

positif dan cenderung meningkat, sedang dinas

pertanian cenderung menurun peranannya (Tabel

4).

Pada tahun 2016 peran ketua kelompok

tani, lembaga penyuluhan, dinas pertanian dan

distributor masih lemah karena tidak adanya

program terpadu. Masing-masing mengerjakan

pekerjaannya sesuai dengan beban biaya yang

diterima. Kelompok tani diharapkan dapat

mengembangkan skala penangkarannya masih

sangat lemah karena belum ada kepastian harga,

bagi petani hal yang paling penting adalah

kepastian harga yang menguntungkan (Nurhayati,

S. dan D.K.S. Swastika. 2011). Penyuluh hanya

aktif menghadiri pertemuan sosialisasi, tetapi

untuk melakukan pembinaan secara terus menerus

di lapangan masih dinilai kurang. Hal itu terjadi

karena kinerja penyuluh tidak dikaitkan dengan

keberhasilan penangkar binaan (Helmy. Z, et.al.

2013). Dinas Pertanian kurang respon karena

penyediaan benih jagung dari penangkar

memerlukan pengawasan yang ketat sementara

anggaran untuk mengawasi tersebut tidak tersedia,

sehingga lebih tertarik bekerja sama dengan

produsen benih multinasional yang kemampuannya

lebih kuat dan siap untuk memenuhi kebutuhan

program nasional. Demikian pula halnya produsen

benih nasional perannya kurang karena kalah

bersaing dengan produsen benih multi nasional

baik dari segi jumlah, kualitas maupun perangkat

sistem pemasarannya di lapangan.

Berbeda dengan peneliti yang memang

menjadi tugas utamanya dan mendapat anggaran

penelitian dan pengkajian untuk membina

kelompok tani menjadi penangkar yang mandiri

dan berkelanjutan, responnya sangat tinggi.

Kegiatan peneliti tidak hanya membina petani di

lapangan untuk menerapkan teknologi produksi

benih, tetapi juga mengkordinasikan kepada

lembaga terkait agar masing-masing lembaga

mengambil peran sesuai kewenangannya (Bahtiar,

2016). Penyuluh didorong untuk bersama-sama

membina petani di lapangan mulai dari pra

produksi sampai pasca panen, sebab penyuluh

adalah mitra petani yang selalu ketemu dan

berdiskusi di lapangan tentang peningkatan

produksi dan pendapatan usahatani (Roger, E.M.,

2003; Subekti, et.al., 2016 ). Dinas Pertanian

diajak agar dapat menyerap benih yang dihasilkan

dengan menetapkan CPCL untuk varietas yang

Tabel 4. Peranan kelembagaan dalam mendukung desa mandiri benih jagung di desa Kaloling, Bantaeng.

Peran Kelembagaan Tahun 2016 Skore (1-5) Tahun 2017 Skore (1-5) Pengaruh (+/-)

Ketua Kelompok 3,3 4,7 1,4

Penyuluh Pertanian Lapangan 2,7 3,7 1,0

Peneliti BPTP 4,3 5,0 0,7

Peneliti Balitsereal 5,0 5,0 0,0

Dinas Pertanian/UPTD Perbenihan 4,3 3,3 -1,0

Balai Pengawasan Sertifikasi Benih 3,7 4,7 1,0

Distributor Benih/produsen benih nsional 2,3 5,0 2,7

Skore: 1 = sangat tidak respon 4 = Respon

2 = Tidak respon 5 = Sangat Respon

3 = Agak respon

40 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42

dihasilkan penangkar binaan, BPSB diajak dalam

pengawasan kualitas di lapangan dan pengujian

mutu untuk mendapatkan sertifikat atau label

benih, Produsen benih nasional diajak agar dapat

membantu dalam mendistribusikan pemasarannya.

Semua upaya tersebut mulai nampak hasilnya pada

tahun 2017. Penyebabnya selain, karena pengaruh

sosialisasi dan koordinasi yang inten, juga

penyebab utamanya adalah munculnya kebijakan

pemerintah untuk menggunakan produksi benih

dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan program

nasional sebesar 40% pada tahun 2017 dan

ditingkatkan menjadi 65% pada tahun 2018.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas diketahui

bahwa penangkar binaan dalam program desa

mandiri benih dapat mandiri dan berkelanjutan

karena, selain usahatani penangkaran

menguntungkan sampai puluhan juta rupiah per

hektar, juga telah mendapat dukungan dari

berbagai pihak terutama produsen benih nasional

yang siap membantu dalam memasarkan hasil

kepada pengguna. Keuntungan yang diperoleh

masih dapat ditingkatkan dengan memperkuat

kelompok agar dapat menjadi pensuplai kebutuhan

program nasional tanpa melalui perantara,

sehingga disparitas harga benih antara harga yang

ditetapkan pemerintah dengan harga riil yang

diterima penangkar dapat diminimalisir. Menurut

Sisfahyuni, et.al.,2011, pemotivasi yang paling

kuat untuk mendorong petani menerapkan dan

mengadopsi suatu komoditi untuk dibudidayakan

adalah kepastian pasar yang lebih menguntungkan.

DAFTAR PUSTAKA

Azrai, M. dan Bahtiar, 2015. Teknologi produksi

benih hibrida dan OPV. Disampaiakan pada

Acara Pelatihan Pendampingan Teknologi

GP-PTT dan Kawasan Mandiri Benih

jagung. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Sulawesi Tenggara. Kendari, 3

Maret 2015.

Azwar, S. 2005. Sikap Manusia. Teori dan

Pengukurannya. Penerbit Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Bahtiar, 2016. Kiat-kiat Pemasaran Benih Jagung.

Makalah disampaikan pada "Training of

Trainer produksi benih jagung. Maros, 3-5

Maret 2016.

Bahtiar dan B. Ruruk, 2015. Prospek usaha

produksi benih jagung hibrida mendukung

kawasan desa mandiri benih jagung di

provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Hasil

Pendampingan. Unpublish.

Balitsereal, 2016. Deskripsi Varietas Unggul Baru

Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia,

Maros, 2016.

Bananiek, S., Z. Abidin, dan Asaad. 2015. Model

penyediaan benih padi dan jagung untuk

pemenuhan kebutuhan wilayah melalui

peningkatan kemampuan calon penangkar di

Sulawesi Tenggara. Makalah disampaikan

dalam Workshop Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi Pertanian,

Bogor, 10-13 November 2015.

Belean, W. Hariadi, S.Wastutiningsih, S.Peni,

2014). Pengaruh kepemimpinan

transpormasional terhadap kemandirian

gapoktan. Jurnasl Sosial Ekonomi

Pertanian. Vol. 7, No.2.

Biba. A., 2016. Preferensi petani terhadap jagung

hibrida berdasarkan karakter agronomi,

produktivitas dan keuntungan usahatani.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, Vol.

35, No.1.

Bustaman Sy. 2014. Penguatan kelembagaan

gapoktan PUAP dalam penerapan teknologi

spesifik lokasi. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Vol.33, No.1.

Crame, G.L. and C.W. Jensen, 1991. Agricultural

ekonomics and agribusiness. Fifth Edition.

Published by John Wiley & Sons, Inc.

Canada

41Analisa Pendapatan Usahatani Produksi Benih Jagung Hibrida Nasional: Studi Kasus Desa

Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Selatan (Bahtiar dan Suriany)

Helmy. Z, Sumardjo, N. Purnaningsih, P.

Tjiptopranoto, 2013. Hubungan

kompotensi penyuluh dengan karakterisasi

pribadi, persepsi penyuluh terhadap

dukungan kelembagaan, dan persepsi

penyuluh terhadap sifat inovasi cyber

extension. Jurnal Agro Ekonomi. Vol. 31.

No. 1.

Hipi, A., 2015. Model penyediaan benih untuk

pemenuhan kebutuhan wilayahnya melalui

peningkatan kemampuan calon penangkar

padi dan jagung di Nusa Tenggara Barat.

Makalah disampaikan dalam Workshop

Balai Besar Pengembangan dan Pengkajian

Teknologi Pertanian, Bogor, 10-13

November 2015.

Iskandar, T, 2015. Model penyediaan benih untuk

pemenuhan kebutuhan wilayahnyamelalui

peningkatan kemampuan calon penangkar

padi, jagung, dan kedelai di Nanggroe Aceh

Darussalamt. Makalah disampaikan dalam

Workshop Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor,

10-13 November 2015.

Kapus Litbang Tanaman Pangan, 2015. Pedoman

Umum Sekolah Lapang Kedaulatan Pangan

mendukung Swasembada Pangan

Terintegrasi Desa Mandiri Benih.

Disampaikan dalam acara Rapat Kordinasi

Sekolah Lapang Kedaulatan Pangan

Mendukung Swasembada Pangan

Terintegrasi Desa Mandiri Benih, Bogor, 3-

4 Maret 2016.

Malian, A.H., A. Djauhari, M.G. Van Deer Vean,

1988. Analisis ekonomi dalam penelitian

sistem usahatani. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Proyek

Pembangunan Penelitian Nusa Tenggara.

Mueller, D.J., 1996. Measuring Social Attitudes. A

handbook for Reaserchers and Practitioners

Dalam: Kartawidjaja, E.S (Penerjemah).

Penerbit Bumi Aksara. Jakarta.

Mulatsih, S. dan A.Fatony. 2006. Peran delivering

subsistem dalam sistem inovasi pertanian:

Difusi Varietas Unggul Padi. Pusat

Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan

dan Teknologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI). LIPI Press. Jakarta:

Nurhayati, S. dan D.K.S. Swastika. 2011. Peran

Kelompok Tani dalam penerapan teknologi

pertanian. Forum Penelitian Agro Ekonomi.

Vol. 29(2):115-128).

Razak, N, 2015. Model penyediaan benih untuk

pemenuhan kebutuhan wilayahnyamelalui

peningkatan kemampuan calon penangkar

padi, jagung, dan kedelai di Sulawesi

Selatan. Makalah disampaikan dalam

Workshop Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor,

10-13 November 2015.

Roger, E.M., 2003. Diffusion of Innovations.

Fifth Edition. Free Press. Yew York

London.

Ruruk B., 2015. Model penyediaan benih untuk

pemenuhan kebutuhan wilayahnya melalui

peningkatan calon penangkar jagung.

Makalah disampaikan dalam Workshop

Balai Besar Pengembangan dan Pengkajian

Teknologi Pertanian, Bogor, 10-13

November 2015

Simatupang, P., 2003. Daya saing dan efisiensi

usahatani jagung hibrida di Indonesia.

Dalam: Kasryno, F., E. Pasandaran, dan

A.M. Fagi (Peny). Ekonomi Jagung

Indonesia. Bogor

Sisfahyuni, M.S. Saleh, M.R.Yantu, 2011.

Kelembagaan pemasaran kakao biji tingkat

petani kabupaten Parigi Motong, Provinsi

Sulawesi Tengah. Jurnal Agro Ekonomi Vol.

29. No. 2.

Soekartawi, 1989. Prinsip dasar ekonomi

pertanian. Teori dan Aplikasi. Penerbit C.V.

Rajawali, Jakarta Utara.

Subekti, S.Sudarko dan Sofia, 2016. Penguatan

kelompok tani melalui optimalisasi dan

sinergi lingkungan sosial. Jurnal Sosial

Ekonomi Pertanian. Vol.8, No.3.

Syuryawati dan Faesal, 2016. Kelayakan finansial

penerapan teknologi budidaya jagung pada

42 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4 No.1, Juni 2018:33-42

lahan sawah tadah hujan. Penelitian

Pertanian Tanaman Pangan, Vol. 35, No.1.

Taufik dan M. Thamrin, 2009. Analisis input

output pemupukan beberapa varietas jagung

di lahan kering. Penelitian Pertanian

Tanaman Pangan. Vol.28, No.02.

Widiarta, Ny. 2016. Progres pelaksanaan kegiatan

desa mandiri benih lingkup Puslitbangtan.

Makalah disampaikan pada Rapat Kerja

Evaluasi dan Monitoring Kegiatan Mandiri

benih Padi, Jagung dan Kedelai. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan, Bogor, 2016.

43Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

MODEL PENGEMBANGAN PRODUKSI BENIH KEDELAI DI PROVINSI BANTEN

Pepi Nur Susilawati, Zuraida Yursak dan Hijriah Muthmainah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Jln. Ciptayasa KM. 01, Ciruas, Serang, Banten 42182

Telp. (0254) 281055; Fax (0254) 282507

email :pepi_nurs@yahoo,.co.id

ABSTRACT

A Model of Developing Soybean Seed Production in Banten Province.Seed production locations use

farmers' land in Serang Regency, Serang City, Pandeglang Regency and Tangerang Regency. New plant type

developed based on agroecosystems and preferences, generally soybean farmers in Banten Province prefer large

seeds such as Grobogan, Anjasmoro, Argomulyo and Burangrang . Soybean seed production and productivity

varies both between locations and between varieties. The highest soybean seed productivity was reached by

Burangrang (1.0 ton / ha) and Grobogan (0.9 ton / ha) in the Subur I Farmer Group location, Mandalawangi

Subdistrict, Pandeglang Regency. The production of SS soybean seeds had reached 34,530 kg with target

achievement 130% of the initial target of 26,740 kg, while for the 1000 kg FS class. Seeds are distributed to various

stake holders namely BBI, student research, Agriculture Service for PAT programs, farmer VUB trials, and farmer

soybean production. The pattern of seed production can be fulfilled by the Jabalsim pattern (inter-field seed

pathway between seasons) that is specific to Pandeglang Regency with 3 planting seasons and Lebak Regency and

Serang City with 2 planting seasons.

Key words : seed, soybean, seasons.

ABSTRAK

Peningkatan luas panen kedelai di Banten bertambah dengan adanya kegiatan SL-PTT kedelai baik itu

kawasan penumbuhan, pengembangan dan pemantapan maupun PTT Model. Peningkatan luas tanam ini perlu

diimbangi dengan kebutuhan benih bermutu salah satunya melalui sistem penyediaan benih yang tepat.Tujuan

tulisan ini adalah untuk mengetahui dan menetapkan model pengembangan benih kedelai kelas SS dan FS di

Provinsi Banten. Lokasi produksi benih menggunakan lahan petani yang ada di Kabupaten Serang, Kota Serang,

Kabupaten Pandeglang serta Kabupaten Tangerang.Varietas unggul yang dikembangkan berdasarkan pada

agroekosistem dan preferensi, umumnya petani kedelai di Provinsi Banten lebih menyukai benih berukuran besar

seperti Grobogan, Anjasmoro, Argomulyo dan Burangrang. Produksi dan produktivitas benih kedelai beragam baik

antar lokasi maupun antar varietas. Produktivitas benih kedelai tertinggi dicapai oleh varietas Burangrang (1,0

ton/ha) dan Grobogan (0,9 ton/ha) di lokasi Kelompok Tani Subur I, Kecamatan Mandalawangi Kabupaten

Pandeglang.Produksi benih kedelai SS telah tercapai sebanyak 34.530 kg dengan capaian target sebesar 130% dari

target awal sebanyak 26.740 kg, sedangkan untuk kelas FS 1000 kg. Benih didistribusikan pada berbagai stake

holders yaitu BBI, penelitian mahasiswa, Dinas Pertanian untuk program PAT, uji coba VUB petani, serta produksi

kedelai petani. Pola produksi benih dapat dicukupi dengan pola Jabalsim (jalur benih antar lapang antar musim)

yang spesifik untuk Kabupaten Pandeglang dengan 3 kali musim tanam dan Kabupaten Lebak serta Kota Serang

dengan 2 kali musim tanam.

Kata kunci : benih, kedelai, musim

44 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57

PENDAHULUAN

Benih merupakan salah satu input produksi

yang mempunyai kontribusi signifikan terhadap

peningkatan produktivitas dan kualitas hasil

pertanian. Ketersediaan benihdengan varietas yang

berdaya hasil tinggi dan mutu yang tinggi, baik

mutu fisik, fisologis, genetik maupun mutu

patologis mutlak diperlukan di dalam suatu sistem

produksi pertanian. Menurut Nugraha (2004);

TeKrony (2006), dalam pertanian modern, benih

berperan sebagai delivery mechanism yang

menyalurkan keunggulan teknologi kepada petani

dan konsumen lainnya.

Kebutuhan akan kedelai di Indonesia sangat

tinggi, dimana kedelai menjadi salah satu sumber

protein nabati utama yang digemari oleh

masyarakat (Sari, et al., 2014; Shaumiyah et al.,

2014). Kecukupan akan kedelai dapat dilakukan

melalui upaya pemanfaatan lahan kering. Lahan

kering yang tersedia di Provinsi Banten untuk

pengembangan komoditas kedelai mencapai

30.000 ha, namun pemanfaatannya masih belum

optimal. Rendahnya tingkat ketersediaan benih

kedelai bermutu, menjadi salah satu penyebab

rendahnya produktivitas kedelai di Provinsi

Banten.Rata-rata tingkat produktivitas kedelai di

Provinsi Banten pada tiga tahun terakhir baru

mencapai 1.29 ton/ha (BPS 2011).Produktivitas

kedelai di Provinsi Banten lebih rendah dibanding

rata-rata produktivitas kedelai nasional (1.35

ton/ha) dan potensi hasil varietas unggul kedelai

(1.5 – 3.0 ton/ha). Peningkatan luas panen kedelai

di Banten bertambah dengan adanya kegiatan SL-

PTT kedelai baik itu kawasan penumbuhan,

pengembangan dan pemantapan maupun PTT

Model. Peningkatan luas tanam ini perlu

diimbangi dengan kebutuhan benih bermutu salah

satunya melalui sistem penyediaan benih yang

tepat dengan memperbanyak benih dasar dan benih

pokok serta benih sebar kedelai.

Penggunaan benih bermutu dari varietas

unggul merupakan pilar penting dalam

peningkatan produktivitas (Taufik, 2011).

Pengembangan sistem perbenihan tanamn pangan,

terutama padi diawali pada tahun 1971 dengan

dibentuknya kelembagaan perbenihan yang

meliputi Badan Benih Nasional (BBN), Lembaga

Pusat Penelitian Pertanian (LP3), Perum Sang

Hyang Seri (SHS), dan Balai Pengawasan dan

Sertifikasi Benih (BPSB).

Kondisi eksisting kapasitas dan kinerja

penangkar kedelai yang terbatas dengan modal,

prasarana serta keterampilan dalam pascapanen,

seperti penjemuran brangkasan, perontokkan,

penyortiran, pembersihan. Sedangkan potensi

lahan dan kebutuhan benih yang tinggi merupakan

peluang dan tantangan untuk memproduksi benih

kedelai di Provinsi Banten. Tujuan tulisan ini

adalah untuk mengetahui dan menetapkan model

pengembangan benih kedelai kelas SS dan FS di

Provinsi Banten.

BAHAN DAN METODE PELAKSANAAN

Produksi Benih

Teknik Produksi Benih Sumber kedelai

merujuk dan berpedoman pada Petunjuk Teknis

Produksi Benih Kedelai yang telah dihasilkan dan

direkomendasikan oleh Balitkabi (Badan Litbang,

2013). Teknik Produksi Benih Kedelai meliputi: 1)

Perencanaan produksi (penentuan produksi,

penentuan lokasi, penyiapan benih sumber), 2)

Proses Produksi (penyiapan lahan, kebutuhan

benih dan varietas unggul, tanama, pemupukan,

pengendalian gulma, pengairan, pengendalian

hama, pengendalian penyakit, 3). Pemeliharaan

Mutu Genetik (awal pertumbuhan, fase berbunga,

fase masak fisiologi, 4). Teknologi Pascapanen

Benih ( panen, perontokan, pembersihan dan

sortasi, pengeringan, pengemasan, penyimpanan),

5) Sistem Sertifikasi Mutu Benih Sumber

(Sertifikasi benih penjenis, sertifikasi benih dasar).

Sertifikasi benih dilakukan dengan bekerjasama

dengan BPSB Provinsi Banten. Tahapan produksi

benih secara rinci adalah sebagai berikut :

1. Penyiapan Lahan

� Tanah bekas pertanaman padi tidak pelu

diolah ( Tanpa Olah Tanah = TOT). Jika

mengugunakan lahan tegal, pengolahan

45Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

tanah dilakukan secara intensif, dua kali

bajak dan diratakan.

� Buat saluran untuk setiap 4- 5 m dengan

kedalaman 25 – 30 cm dan lebar 30

cm.saluran ini berfungsi untuk menguragi

kelebihan air dipetakan dan sekaligus

sebagai saluran irigasi pada saat tidak ada

hujan.

2. Pemilihan Varietas dan Kebutuhan Benih

� Saat ini telah tersedia jumlah varietas

unggul baru baru yang sesuai untuk lahan

sawah dan lahan kering. Varietas yang

sesuai dengan preferensi pengguna dan

agroekosistem di Provinsi Banten adalah

Anjasmoro dan Grobogan

� Kebutuhan benih 40 - 50 kg/ha.

3. Penanaman

� Benih ditanam menggunakan tugal dengan

kedalaman 2 – 3 cm.

� Jarak tanam 10 – 15 cm x 40 cm, 2 – 3

biji/lubang tanam.

� Pada lahan sawah, kedelai dianjurkan

untuk ditanam tidakl lebih dari tujuh hari

setelah tanam padi ditanam untuk

menghindaritanaman dari kekeringan dan

akumilasi serangan hama dan penyakit

tanaman.

4. Pemupukan

� Tanaman dipupuk dengan menggunakan

50 kg urea, 75 kg SP 36 dan 100 – 150 kg

KCL/ha pada saat tanam.

� Pada lahan sawah yang subur atau pada

laha bekas padi yang dipupuk dengan dosis

tinggi, tanaman tidak perlu tambahan

pupuk NPK.

5. Penggunaan Mulsa Jerami Padi

� Penggunaan mulsa dengan jerami padi

dapat mengurangi frekwensi

penyiangandan menekan serangan hama

lalat kacang. Pada lahan sawah dianjurkan

menggunakan mulsa.

� Mulsa jerami padi dihamparkan sebanyak

5 t/ha secara merata dipermukaanlahan

dengan ketebalan<10 cm.

� Jika gulma tidak menjadi masalah,jerami

dapat dibakar pada hamparan lahan. Cara

ini dapat lebih menyeragamkan

pertumbuhan awal kedelai.

6. Pengairan

Fase pertumbuhan kedelai yang sangat

peka terhadap kekuranganair adalah pada awal

pertumbuhan vegetatif ( 15 – 21 HST), saat

berbung (25 – 35 HST), dan saat pengisian polong

( 55 – 70 HST). Pada fase – fase tersebut tanaman

harus diari apabila tidak ada hujan.

7. Pengendalian hama

� Pengendalian hama dilakukan berdasarkan

hasil pemantauan di lapangan. Jika

populasi hama tinggi atau kerusakan daun

12,5% dan kerusakan polong 2,5%

gunakan insektisida yang efektif.

� Pengendalian hama secara kultur teknis

dan secara hayati (bologis) lebih

diutamakan.

� Pengendalian secara kultur teknis antara

lain dapat menggunakan mulsa jerami,

penggiliran tanaman, tanam serentak

dalam satu hamparan, dan penggunaan

tanaman perangkap jagung dan kacang

hijau.

8. Pengendalian penyakit

� Penyakit utama kedelai adalah karat daun

Phakspora pachyrhizi, Busuk batang,

busuk akar Schelerotium rolfsii, dan

beberapa penyakit yang disebabkan oleh

virus.

� Penyakit karat daun dapat dikendalikan

dengan fungisida anjuran seperti

Mancozeb.

� Pengendalian virus dilakukan dengan

mengendalikan vektornyaberupa serangan

hama kutu dengan insektisida anjuran

seperti decis.

46 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57

� Waktu pengendalian vektor virus tersebut

adalah pada saat tanaman berumur 40, 50

dan 60 hari.

9. Roguing

� Fase Juvenil (tanaman Muda)

Pengamatan pada fase ini dilakukan pada saat

tanaman berumur 15 – 20 hari setelah tanam.

Komponen yang diamati adalah:

a. Warna hipokotil. Kedelai hanya memiliki

warna hipokotil hijau dan ungu. Hipokotil

hijau akan menghasilkan bunga berwarna

putih, sedangkan hipokotil ungu akan

menghasilkan bunga berwarna ungu.

b. Biji berukuran besar memiliki keping biji dan

daun pertama yang juga berukuran besar.

c. Bentuk biji bulat akan diikuti oleh bentuk daun

semakin mendekati bulat.

� Fase Berbunga

Apabila fase juvenil belum dapat diketahui adanya

campuran varietas lain, maka pengamatan dapat

dilakukan lagi pada saat berbunga. Pedoman yang

dapat dipakai adalah:

a. Warna bunga. Seperti warna hipokotil, warna

bunga kedelai hanya terdiri atas putih dan

ungu.

b. Saat berbunga. Saat keluar bunga yang terlalu

menyimpang dari tanaman dominan maka

tanaman tersebut perlu segera dibuang.

c. Warna dan kerapatan bulu pada tangkai daun.

d. Posisi dan tangkai daun. Bentuk daun sering

kali cukup sulit digunakan sebagai

parameterpenilai. Parameter yang cukup

menentukan adalah ketegapan batang dan

posisi daun pada batang secara keseluruhan.

e. Reaksi terhadap penyakit. Varietas kedelai

yang memiliki warna bunga putih, misalnya

galunggung dan Lokon, cukup peka terhadap

penayakit virus.Hal ini dapat digunakan

sebagai parameter penilai.

� Fase Masak Fisiologi

Pada fase ini pertumbuhan tanaman mendekati

optimal. Hal – hal yang perlu diperhatikan adalah:

a. Keragaan tanaman secara keseluruhan. Posisi

daun, polong, dan bentukdaun merupakan

parameter yang dapat digunakan untuk

konfirmasi terhadap penilaian pada fase

sebelumnya.

b. Kerapatan dan warna bulu. Panjang pendek,

kerapatan, dan warna bulu yang terdapat pada

batang dan polong adalah penilai penting pada

fase masak fisiologi. Warna bulu kedelai

hanya ada dua yitu putih dan coklat. Karena

itu,yang perlu diperhatikan adalah kerapatan

bulu, baik pada batang maupun polong.

c. Umur polong masak. Tanaman yang umur

polong masaknya terlalu menyimpang dari

tanaman dominan juga perlu dicabut.

10. Panen

� Panen hendaknya dilakukan pada saat

mutu benih mencapai maksimal, yang

ditandai bila sekitar 95% polong telah

berwarna coklat atau kehitaman (warna

polong masak) dan sebagian besar daun

tanaman sudah mulai rontok.

� Panen dilakukan dengan cara memotong

pangkal batang.

� Brangkasan hasil panen kedelai dapat

langsung dikeringkan dibawah sinar

matahari dengan ketebalan sekitar 25 cm

selama 2 – 3 hari menggunakan alas terpal

plastik, tikar atau anyaman bambu.

Pengeringan dilakukan hingga kadar air

benih mencapai 14%.

� Uasahakan tidak menumpuk brangkasan

basahlebih dari 2 hari sebab akan

menyebabkan benih berjamur dan mutunya

rendah.

� Mengingat sulitnya pengeringan

brangkasan/polong pada musim hujan,

maka brangkasan/polong perlu diangin

anginkan dengan cara dihampar. Untuk

mempercepat proses penurunan kadar air

benih disarankanbrangkasan dihembus

dengan udara panas dari pemanas

buatan(dreyer).

47Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

11. Perontokan

� Brangkasan kedelai yang telah kering

(kadar air sekitar 14%) perlu segera

dirontok. Perontokan dapat dilakukan

secara manual (geblok) atau secara

mekanis (menggunakkan pedal thresher

atau power thresher). Apabila

menggunakan power thresher, kecepatan

silinder perontok disarankan tidak lebih

dari 400 rpm (putaran per menit).

� Secara umum perontokkan benih perlu

dilakukan secara hati – hati untuk

menghindari benih pecah kulit, benih

retak, atau kotiledon terlepas karena akan

mempercepat laju penurunan daya tumbuh

dan vigor benih selama penyimpanan.

12. Pembersihan dan Sortasi

� Benih hasil perontokan dibersihkan dari

kotoran benih, seperti potongan batang,

cabang tanaman, dan tanah. Pembersihan

dapat dengan cara ditampi (secara manual)

atau dengan menggunakan blower (secara

mekanis).

� Sortasi diperlukan untuk mendapatkan

benih yang berukuran seragam dengan cara

memisahkan sekitar 5% biji yang

berukuran kecil dan tidak dimsukkan

kedalam kelompok (lot) benih.

� Selain memisahkan biji – biji yang

berukuran kecil, sortasi juga diperlukan

untuk membuang biji yang ciri – cirinya

menyimpang dari sifat – sifat yang

tercantum dalam deskripsi varietas, antara

lain warna hilum, warna kulit, dan bentuk

benih.Membuang biji yang menyimpang

dilakukan dari benih ke benih(seed-to-

seed). Kegiatan ini penting artinya dalam

upaya perbaikan mutu genetik benih dari

varietas yang bersangkutan.

13. Pengeringan

� Benih yang sudah bersih dan ukurannya

seragam segera dikeringkan hingga

mencapai kadar air 9 – 10%. Untuk

menghindari timbulnya kerusakan mutu

fisiologis benih akibat lamanya proses

sortasi, disarankan benih dikeringkan

hingga kasar air mencapai 10%, baru

kemudian disortasi.

� Pengeringan benih dilakukan dengan

menjemur dibawah sinar matahari,

menggunakan alat terpal plastik atau tikar

pada lantai jemur yang kering., dengan

ketebalan benih sekitar 2 – 3 lapis benih.

Pembalikan benih pada saat penjemuran

dilakukan 2 – 3 jam agar benih kering

secara merata.

� Pada saat cuca cerah, penjemuran

dilakukan pada saat pukul 8.00 hingga

pukul 12.00, selam 2 – 3 hari berturut –

turut. Hindari sengatan matahari yang

sangat panas pda saat penjemuran.

� Sebelum disimpan, benih dikeringkan

hingga mencapai kadar air 9 – 10%.

Usahakan untuk tidak menumpuk benih

dalam karung atau wadah tertutup apabila

benih dalam karung atau wadah tertutup

apabila benih masih dalam kondisi panas.

Benih yang disimpan setelah dijemur perlu

diangin – anginkan sekitar 0,5 jam untuk

menyeimbangkan suhu benih dengan suhu

udara di ruang simpan.

14. Pengemasan

� Benih dikemas menggunakan bahan

pengemas kedap uadarauntuk menghambat

masuknya uap air dari luar kemasan

kedalam benih.

� Kantong plastik benih yang bening atau

buram( kapasitas 2 atau 5 kg) dengan

ketebalan 0,008 mm dua lapis cukup baik

digunakkan untuk mengemas benih kedelai

hingga 8 buklan simpan pada kondisi

ruang alami dengan kadar air awal simpan

sekitar 9 – 8 %.

� Kemasan yang telah berisi benih harus

tertutup rapat dengan cara diikat erat

menggunakan tali atau bagian atas kantong

dipres dengan kawat nikelin panas.

� Kaleng atau blek tertutup rapat dengan

kapasitas 10 – 15kg dapat pula dipakai

untuk penyimpanan benih kedelai.

48 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57

15. Penyimpanan

� Benih dalam kemasan dapat disimpan

dalam ruangan beralas kayu atau rak – rak

kayu agar kemasan tidak bersinggungan

dengan lantai/tanah.

� Benih dalan penyimpanan harus tehindar

dari serangan tikus atau binatang lainnya

yang dapat merusak kantong maupun

benih.

� Usahakan menyimpan benih pada ruangan

tersendiri, tidak dalam ruangan

penyimpanan pupuk atau bahan – bahan

lain yang dapat menyebabkaaan ruangan

menjadi lembab.

� Benih disimpan secara teratur. Selama

penyimpanan perlu adanya pemisahan

benih dari adanya pemisahan benih dari

varietas yang satu dengan varietas yang

lain.penyimpanan benih dalam ruang

simpan perlu ditata dengan sedemikian

rupa agar tidak roboh, tidak menggangu

keluar masuknya barang yang lain, dan

mudah dikontrol. Apabila benih tidak

disimpan pada rak – rak benih, maka

bagian – bagian bawah tumpukan diberi

balok kayu agar benih tidak bersentuhan

langsung dengan lantai ruang simpan.

Setiap tumpukan benih dilengkapi dengan

kartu pengawasan yang berisi informasi:

• Nama varietas

• Tanggal panenasal petek percobaan

• Jumlah/kuantitas benih asal (pada saat

awal penyimpanan)

• Jumlah kuantitas pada saat pemisahan stok

terakhir.

• Hasil uji daya kecambah terakhir (tanggal,

% daya kecambah)

Analisis Data

Data yang dikumpulkan akan dianalisis

secara deskriptif, sedangkan keragaan ekonomi

dianalisis finansial dengan analisis titik impas.

Analisis finansial dilakukan untuk mengetahui

kelayakan usaha perbanyakan benih. Usaha

perbanyakan benih dianggap layak jika nilai Gross

B/C lebih dari satu. Formulasi dari Gross B/C

adalah (Kasijadi dan Suwono, 2001) :

P x Q

Gross B/C = ----------

Bi

dimana :

P = harga produksi (Rp/Kg)

Q = hasil produksi (kg/ha)

Bi = biaya produksi ke i (Rp/ha)

Analisis titik impas digunakan untuk

mentolerir penurunan produksi atau harga produk

sampai batas tertentu dimana usaha yang dilakukan

masih memberikan tingkat keuntungan normal.

Nilai titik impas produksi (TIP) dan titik impas

harga (TIH) dihitung dengan rumus (Rahmanto

dan Adnyana, 1997):

TIP = BP/H dan TIH = BP/P

dimana :

P = produksi (kg),

H = harga produksi (Rp/kg),

BP = biaya produksi (biaya tetap dan biaya

variabel).

Pelatihan Petani Penangkar

Untuk peningkatan kapasitas dan kinerja

penangkar dilakukan penguatan dengan cara

pendampingan introduksi teknologi produksi benih

kedelai dan memberikan pelatihan. Pelatihan

dilakukan 2 kali pertemuan untuk memberikan

pemahaman dan keterampilan produksi benih

kedelai. Metode pelatihan berupa ceramah, diskusi

dan praktek. Materi pelatihan meliputi aspek

produksi, panen dan pasca panen kedelai (Tabel 1).

49Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahapan kegiatan perbanyakan benih

kedelai meliputi 1) koordinasi dan konsultasi

teknis dan non teknis, 2) Sosialisasi kegiatan di

tingkat petugas di tingkat petani, 3) pelaksanaan

penangkaran benih, 4) pelatihan dan pembinaan

kelompok tani penangkar benih, 5) penyusunan

laporan akhir serta 6) seminar hasil kegiatan.

Koordinasi yang telah dilakukan bersifat teknis dan

non teknis. Koordinasi teknis terkait dengan

pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan beberapa

intitusi terkait seperti BPSB Provinsi Banten,

Puslitbangtan, BB Kedelai, Balit Sereal, serta Balit

Kabi.

Koordinasi non teknis terkait dengan

lokasi dan tenaga penunjang seperti PPL.

Pemilihan lokasi dilakukan bersama-sama dengan

dinas dan penyuluh setempat. Sosialisasi kegiatan

dilakukan dalam rangka memperkenalkan kegiatan

dan memberikan pemahaman mendasar bagi

petugas dan petani pelaksana penangkar benih.

Sosialisasi telah dilakukan diawal kegiatan yaitu

pada bulan Pebruari di Aula BPTP banten.

Pelatihan dan pembinaan kelompok tani

penangkar benih dilakukan secara intensif. Hal ini

berkaitan dengan tujuan yaitu pembentukan dan

inisiasi kelompok tani penangkar benih.

Sebagaimana diketahui bahwa usahatani penangkar

benih berbeda dengan usahatani biasa selain

membutuhkan keterampilan dan wawasan yang

cukup juga diperlukan pendampingan yang ketat

agar produk yang dihasilkan tidak dijual untuk

konsumsi.

Penyusunan laporan akhir serta seminar

hasil kegiatan merupakan langkah strategis agar

kineja kegiatan dapat terukur dan diketahui oleh

stake holders. Seminar hasil telah dilakukan pada

bulan desember dengan mengundang intansi terkait

seperti Dinas Pertanian Provinsi, Dinas Pertanian

kabupaten, petugas lapangan, petani pelaksana,

serta stake holders lainnya.

Tabel 1. Materi Pelatihan Petani Penangkar Benih

Materi Narasumber

Pengantar umum teknik produksi benih. (bagian penting dalam penangkaran benih: benih

sumber, penentuan lokasi, isolasi jarak/waktu, roguing, panen, pengolahan hasil); regulasi

(pendaftaran calon penangkar, sertifikasi); kontrak kerja kelompok petani penangkar.

BPTP dan BPSB

Pengolahan tanah, perlakuan benih, penanaman, pemupukan dasar. BPTP

Roguing dan pengamatan OPT Kedelai BPSB dan POPT

Pasca Panen, prosesing (pengeringan, sortasi, pengambilan sampel untuk

sertifikasi/pelabelan, pengemasan) BPTP

Managemen Kelompok, pengelolaan keuangan dan gudang, pemasaran, penentuan

rencana penangkaran musim depan (jenis varietas, luas penangkaran) BPTP/PPL/Dinas

Tabel 2. Lokasi dan Luas Areal Perbanykan Benih Kedelai MH 2015

Kabupaten/ Kota Kelompok

Tani Kecamatan Desa Ketua

Luas (Ha)

MT I MT II

Pandeglang Mukti Panimbang Mekar Sari Tasma 2 19

Marga Jaya Cimanggu Cijaralang Sobandi 5 0

Subur I Mandalawangi Gunung Sari Iin Nurosi 6 0

Kota Serang Sumber Rejeki Kasemen Bendung H. Hendry 4 0

Kab. Serang

Harapan Sejahtera

V Petir Padasuka Nurdin 3 0

Kab.Tangerang Suka Karya Sukadiri Sukadiri H. Misnan 0 2

50 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57

Kriteria Wilayah Kajian

Penentuan lokasi didasarkan pada hasil

identifikasi lapangan, koordinasi dengan dinas

pertanian, serta hasil evaluasi kegiatan pada tahun

2014. Secara umum kriteria wilayah kajian

meliputi : (1) aksesibilitas relatif baik, untuk

memudahkan pembinaan dan pengawasan, (2)

kesuburan lahan, (3) Pengalaman dan minat

kelompok tani dalam penangkaran benih kedelai,

dan (4) bukan merupakan wilayah endemis OPT

penting kedelai dan rawan bencana

(kekeringan/kebanjiran).

Berdasarkan pertimbangan tersebut,

kegiatan perbanyakan benih unggul kedelai

Provinsi Banten tahun 2015 dilakukan di beberapa

lokasi petani yang ada di Kabupaten Serang, Kota

Serang, Kabupaten Pandeglang serta Kabupaten

Tangerang. Semua kelompok tani hanya

melakukan produksi benih pada satu musim tanam

kecuali di kelompok tani Mukti yang berada di

Kecamatan Panimbang Kabupaten Panimbang

yang melakukan penanaman 2 musim (MT I dan

MT II). Hal ini karena kebiasaan petani di

KecamatanPanimbang dan sekitarnya selalu

melakukan penanaman kedelai saat musim

kemarau setelah penanaman padi. Lokasi produksi

benih kedelai tahun 2015 secara lengkap disajikan

pada tabel 1.

Lokasi penangkaran kedelai di Kabupaten

Tangerang merupakan inisiasi awal karena di

wilayah ini sangat jarang dibudidayakan, dan juga

bukan wilayah pengembangan. Namun demikian

keinginan petani di kelompok tani Sukakarya

Kecamatan Sukadiri sangat besar untuk

mengembangkan komoditas kedelai. Inisiasi awal

ini diharapkan berdampak terhadap peningkatan

minat petani Tangerang terhadap komoditas

kedelai, sehingga produksi benih kedelai telah

dilakukan dengan perencanaan dan pengawalan

yang baik, sehingga menghasilkan produksi

kedelai yang cukup baik.

Lokasi kedelai pada MT I dilakukan

dilahan kering, hal ini karena MT I bertepatan

dengan musim hujan 2015 sehingga sangat rentan

dengan resiko kelebihan air jika ditanam di lahan

sawah. Sedangkan pada MT II dilakukan dilahan

sawah setelah pertanaman padi, selain

memanfaatkan lahan bekas pertanaman padi juga

karena MT II bertepatan dengan musim kemarau

2015.

Pemilihan Varietas

Varietas unggul yang dikembangkan di

lokasi petani didasarkan pada agroekosistem dan

preferensi. Varietas unggul kedelai yang telah

Tabel 3. Sebaran dan Jenis Varietas Kedelai

Kelompok Tani

MT I 2015 MT II 2015 Kelas Benih/

Varietas Luas (Ha) Varietas Luas (Ha) Status Panen

Mukti Anjasmoro 2,0 Anjasmoro 15,0 SS/Panen

Argomulyo 4,0 SS/Panen

Marga Jaya

Anjasmoro 3,0 - - SS/Panen

Grobogan 2,0 - - SS/Panen

Subur I

Anjasmoro 2,0 - - SS/Panen

Grobogan 2,0 - - SS/Panen

Burangrang 2,0 - - SS/Panen

Sumber Rejeki

Anjasmoro 2,0 - - SS/Puso

Argomulyo 2,0 - - SS/Puso

Harapan

Sejahtera V

Grobogan 1.5 - - SS/Panen

Argomulyo 1.5 - - SS/Panen

Suka Karya - - Anjasmoro 1,0 FS/panen

Total Luas Tanam 20,0 20,0

51Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

dirakit memiliki karakter beragam, sehingga dapat

memberikan banyak alternatif pilihan dalam: (a)

Umur, yaitu umur genjah (< 80 hari), sedang (80-

90 hari), dan dalam (>90 hari); (b) Ukuran biji,

yaitu berbiji kecil (<10 g/100 biji), sedang (10-12

g/100 biji), dan besar (>12 g/100 biji); (c) Warna

kulit biji, mulai dari kuning sampai kuning

kehijauan dan hitam; serta (d) yang sesuai untuk

lahan kering masam dan lahan pasang surut (Badan

Litbang, 2012). Keragaman varietas kedelai yang

dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian akan

memberikan banyak alternatif pilihan varietas bagi

petani.

Ukuran benih menjadi salah satu kriteria

dalam pemilihan varietas, umumnya petani kedelai

di Provinsi Banten lebih menyukai benih

berukuran besar seperti Grobogan, Anjasmoro,

Argomulyo dan Burangrang. Pemilihan varietas

yang digunakan untuk penangkaran disesuaikan

dengan preferensi, agroekosistem serta musim

tanam. Menurut Rahmania (2002), bahwa

pemilihan varietas umumnya disesuaikan

preferensi konsumen seperti ukuran biji besar,

umur genjah, toleran kekeringan namun demikian

agar produksi kedelai dapat maksimal maka

pemilihan varietas juga harus didasarkan pada

agroekosistem yang sesuai. Penyebaran benih dan

luasannya di lokasi petani tercantum pada tabel 2.

Varietas kedelai yang diproduksi harus

jelas asal-usul serta karakternya harus dipahami

oleh petani penangkar, hal ini akan membantu

petani dalam mengenali tipe simpang, campuran

varietas lain serta kemurnian varietas yang

diproduksi. Deskripsi varietas memegang peranan

Tabel 4. Produksi dan Produktivitas Benih Kedelai

Kelompok Varietas Luas Produksi Benih (Kg) Provitas Total

Tani (Ha) BPTP Petani (Ton/ha) (Kg)

Produksi MT I (Musim Hujan/ Februari-Mei 2015) Kelas SS

Mukti Anjasmoro 2 750 750 0,750 1500

Marga Jaya Anjasmoro 3 450 450 0,300 900

Grobogan 2 200 200 0,200 400

Subur I Anjasmoro 2 450 450 0,45 900

Grobogan 2 900 900 0,900 1800

Burangrang 2 1000 1000 1,000 2000

Sumber Rejeki Anjasmoro 2 50 50 0,050 100

Argomulyo 2 50 50 0,050 100

Harapan Sejahtera V Grobogan 1.5 500 500 0,667 1000

Argomulyo 1.5 315 315 0,420 630

Benih Lainnya

Sampel BPSB

26

Reject/sortir

550

-

1250

Total Benih + Sortiran +Sampel BPSB MT I Kelas SS 5.241 4.665

10.580

Produksi MT II (Musim Kemarau/ Mei-Oktober 2015) Kelas SS-1

Mukti Anjasmoro 15 10.500 10.500 1.40 20.0000

Argomulyo 4 1.200 1.200 0.60 2.400

Benih Lainnya

Sampel BPSB

50

50

Reject/sortir 1.500 - 1500

Total Benih + Sortiran +Sampel BPSB MT II

Kelas SS-1

5241

4665

23.950

Produksi MT II (Musim Kemarau/ September-Desember 2015) Kelas FS

Suka Karya Grobogan 2 500 500 0.5 1000

52 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57

penting bagi penangkar dalam mengidentiifikasi

dan menjaga kemurnian varietas. Salah satu

perbedaan antara produksi benih dengan non benih

adalah dari tingkat kemurnian benih varietas yang

dihasilkan, dimana kemurnian varietas kedelai

minimal yang disyaratkan oleh Direktorat

Perbenihan adalah 99,9%. Kemurnian varietas

harus dijaga agar petani pengguna dapat menerima

benih yang sesuai yang diharapkan.

Produksi dan Produktivitas

Produksi dan produktivitas calon

benih/benih kedelai beragam baik antar lokasi

maupun antar varietas. Produktivitas benih kedelai

tertinggi dicapai oleh varietas Burangrang (1,0

ton/ha) dan Grobogan (0,9 ton/ha) di lokasi

Kelompok Tani Subur I, Kecamatan

Mandalawangi Kabupaten Pandeglang. Produksi

dan produktivitas pada MT I dan MT II untuk

kelas SS, SS-1 dan FS tercantum pada Tabel 3.

Produksi benih kedelai kelas BS/FS

menghasilkan produktivitas sebesar 0.75 t/ha, hasil

yang dicapai cukup bagus untuk petani penangkar

pemula serta lahan yang sebelumnya belum pernah

ditanami kedelai seperti di Kelompok Tani Suka

Karya Kabupaten Tangerang. Hasil yang dicapai

memberikan dampak positif terhadap petani

sekitar, baerdasarkan hasil wawancara pada

anggota kelompok tani Sukakarya menyatakan

bahwa mereka berminat untuk memproduksi

kedelai pada MK 2016.

Perbedaan produksi juga terjadi antara

produktivitas saat masih berupa calon benih dan

ketika sudah menjadi benih. Perbedaan tersebut

Tabel 5. Distribusi Benih Sumber Kedelai

Pengguna Tujuan Volume benih per varietas /kg Total

Anjasmoro Grobogan Argomulyo Burangrang

Distribusi MT I

BBI Provinsi* Produksi Benih - 75 - - 75

BPTP* GPPTT - 75 - - 75

Poktan Campaka (Pandeglang) Produksi Benih 500 500 - 500 1500

Poktan Tunas Mulya (Lebak) Produksi Benih - 500 - 500 1000

Petani Rajid* Produksi Benih - 300 350 - 650

Tani Mukti* Produksi Benih 550 - - - 550

Poktan Silih Asah* Uji Coba VUB Kedelai 150 150 - - 300

UPT Cimanggu PAT 500 - - - 500

Mahasiswa* Penelitian - - 15 - 15

Total Distribusi MT I 1700 1600 365 1000 4665

Distribusi MT II Kelas SS

UPT Cimarga Produksi benih 800 - - - 800

UPT Cimarga Konsumsi - - 1.100 - 1.100

GPPTT BPTP Produksi benih 300 - - 300

Petani Serang 50

PAT Serang 1000

PAT Pandeglang Produksi benih 4.000 - - 7.800

H. Misnan Produksi benih 30 - - - 30

Total Benih terdistribusi 9.981 - 1.100 - 11.120

Sisa sd 31 Desember 480 100

Distribusi MT II Kelas FS

Mahasiswa IPB Penelitian 240 240

Sisa sd 15 Januari 2016 510 510

Ket : * benih gratis

53Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

dapat diakibatkan oleh banyak faktor diantaranya

rendemen, kualitas, jumlah kontaminan, maupun

kondisi saat panen. Menurut Wahyuni (2005),

faktor-faktor yang mempengaruhi mutu benih

adalah benih sumber, kontaminasi, waktu tanam,

kondisi lingkungan pra panen, pemanenan,

pengeringan, pembersihan dan kondisi

penyimpanan.

Distribusi Benih Sumber

Benih yang dihasilkan difokuskan untuk

kegiatan GPPTT provinsi Banten serta untuk

memenuhi kebutuhan petani kedelai disekitar

wilayah produksi UPBS dan PAT (perluasan areal

tanam). Hasil benih pada MT I telah terdistribusi

untuk berbagai kegiatan seperti : produksi benih

BBI, penelitian mahasiswa IPB dan Untirta, PAT,

uji coba VUB petani, serta produksi kedelai petani

yang berada di kabupaten Pandeglang, Kabupaten

Serang, Kota Serang, Kabupaten Lebak serta

Kabupaten Tangerang (Tabel 4).

Penjualan benih disesuaikan dengan PP

tarif PNBP yaitu sebesar Rp. 7000/lg untuk kelas

SS. Semua hasil penjualan sudah diserahkan

kepada pemerintah dalam bentuk PNBP benih

kedelai. Selain dijual benih juga didistribusikan

kepada mahasiswa dan juga petani peanngkar

dalam bentuk bantuan benih (gratis), tujuannya

adalah untuk penyebarluasan varietas kedelai.

Sebaran benih kedelai yang dihasilkan

oleh UPBS BPTP sudah tersebar luas di beberapa

Kabupaten/Kota. Sebaran varietas meliputi

Kabupaten pandeglang (Panimbang, Cimanggu,

Mandalawangi, Sobang, Cigeulis dan Cibaliung),

Kabupaten serang (Petir dan Cikeusal), Kabupaten

lebak (Cimarga), kota Serang (Walantaka dan

Kasemen), dan kabupaten Tangerang (Sukadiri dan

Sindangjaya). Sebaran varietas ini cukup

menggembirakan karena mendapat respon positif

tidak hanya dari petani pelaksana namun juga dari

Dinas dan stake holders.

Tahun 2016 diharapkan jalinan kerjasama

produksi benih kedelai antara BPTP dengan semua

petani penangkar tahun 2015 dapat dilanjutkan.

Hal ini karena semua benih yang dihasilkan oleh

UPBS BPTP Banten merupakan benih sumber

yang hanya diperuntukkan untuk panangkaran

benih bukan untuk produksi kedelai konsumsi.

Hasil Uji Mutu dan Sertifikasi Benih

Dalam kegiatan produksi benih

pengawasan mutu dan sertifikasi benih dilakukan

oleh BPSB mulai dari persiapan lahan hingga

pasca panen. Berdasarkan hasil uji laboratorium

benih yang dinyatakan lulus tercantum pada Tabel

9. Hasil kelulusan didasarkan pada tingkat

kemurnian benih berkisar 99,8-99,9%, kadar air

(9,8-10,8%), campuran varietas lain (0%), dan

daya tumbuh benih(89,0-97,0%). Faktor-faktor

tersebut merupakan syarat kelulusan benih oleh

BPSB. Menurut Wahyuni (2005), faktor-faktor

yang mempengaruhi mutu benih adalah benih

sumber, kontaminasi, waktu tanam, kondisi

lingkungan pra panen, pemanenan, pengeringan,

pembersihan dan kondisi penyimpanan.

Hasil pengujian yangdilakukan oleh BPSB

terhadap benih padi yang dihasilkan oleh petani

penanagkar benih di semua lokasi dinyatakan lulus

kecuali di Kecamatan kasemen yang mengalami

puso akibat kekeringan dan serangan dari kambing.

Tabel 6. Mutu Benih Hasil Sertifikasi BPSB Tahun 2015

Varietas /Kelas

benih

Kadar air

(%)

Benih murni

(%)

Benih varietas

lain (%)

Daya tumbuh

(%) Keterangan

Anjasmoro/SS 10,6 99,9 - 91,0 Lulus

Burangrang/SS 11,0 99,9 - 84,0 Lulus

Argomulyo/SS 11,02 99,8 - 87,0 Lulus

Grobogan/SS 10,50 99,9 - 93,0 Lulus

Anjasmoro/FS 9,80 99,9 - 95,0 Lulus

54 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57

Kriteria kelulusan benih meliputi kadar air, benih

murni, benih varietas lain dan daya tumbuh.

Begitupula dengan benih kedelai memenuhi syarat

kelulusan (Tabel 5).

Varietas Grobogan kelas SS yang

dihasilkan oleh kelompok Tani Mukti

menghasilkan daya tumbuh paling tinggi

dibandingkan dengan benih kelas SS varietas

lainnya. Hal ini disebabkan karena kadar air benih

grobogan paling rendah, terdapat hubungan antara

kadar air dengan daya berkecambah. Benih kelas

FS diusahakan diprosesing lebih ketat dan lebih

baik dibandingkan dengan kelas SS sehingga kadar

air diusahakan dibawah 10% dengan kemurnian

benih mencapai 99,9% agar benih dapat memiliki

daya tumbuh dan umur simpan yang lebih lama.

Pelatihan Calon Petani Penangkar Benih

Sumber Kedelai

Dalam upaya pemenuhan target produksi

benih sumber kedelai dan keterbatasan lahan di KP

Singamerta, maka kegiatan UPBS Kedelai

dilakukan di lokasi petani kooperator. Petani

kooperator UPBS kedelai pada umumnya

merupakan petani padi sehingga keterampilan dan

pengetahuan dalam memproduksi benih kedelai

masih kurang. Peningkatan pengetahuan dan

keterampilan perlu dilakukan baik dalam bentuk

Tabel 7. Pelaksanaan Pelatihan Kedelai

Lokasi Materi

Kabupaten Kecamatan Desa Kelp. Tani

Pandeglang Mandalawangi Gn. Sari Subur I - VUB dan Kelas benih

Panimbang Mekar Sari Mukti - Roguing

Cigeulis Cijaralang Marga Jaya - OPT Kedelai

Serang Petir Padasuka Harapan Sejatera V - Pemupukan

Tangerang Sukadiri Sukadiri Sukakarya - Panen dan pasca panen

MH

Lahan Kering

Februari-Mei

MH

Lahan Kering

Oktober - Januari

MK

Lahan Sawah

Juni – September

Gambar 1. Jalur Arus benih kedelai dengan pola JABALSIM di Kecamatan Panimbang Kabupaten

Pandeglang vProvinsi Banten

55Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

MH

Lahan Kering

Maret-Juni

MH

Lahan Kering

Nov- Feb

pelatihan teori maupun praktis.

Pelatihan bagi para petani calon pennagkar

benih kedelai ataupun petani mitra binaan UPBS

BPTP sangat penting dilakukan, agar

penanagkaran benih sesuai dengan standar

operasional produksi benih. Pelatihan telah

dilakukan di beberapa kelompok tani dengan

materi meliputi teknik produksi benih kedelai,

teknik rouging dang pengamatan tanaman,

pengendalian organisme pengganggu tanaman,

pemupukan, panen dan pasca panen serta sortasi

benih (Tabel 6).

Kemampuan petani dalam menjawab

pertanyaan serta teknik pelaksanaan komponen

produksi benih beragam antar Kabupaten. Hal ini

dipengaruhi oleh berbagai faktor terutama

pengalaman petani dalam memproduksi benih.

Nilai kemampuan petani dalam praktek dan

menjawab pertanyaan di Kabupaten Tangerang

lebih rendah dibandingkan di Kabupaten lainnya

hal ini karena petani pelaksana di kabupaten

Tangerang merupakan pemula dan baru pertama

kali memproduksi benih kedelai. Secara umum

kemampuan menjawab maupun praktek teknik

produksi benih kedelai di setiap Kabupaten

tercantum pada Tabel 7.

Model Pengembangan Benih Kedelai

Komoditas kedelai menghasilkan benih

yang relatif memiliki daya simpan lebih rendah

dibandingkan dengan komoditas tanaman pangan

lainnya seperti padi dan kedelai. Banyak faktor

penyebabnya seperti kandungan lemak dan protein

yang cukup tinggi, embrio benih mudah terekspose

oleh hama/penyakit, berpotensi terhadap serangan

aflatoxin, dan kadar air benih yang sangat

higroskopis. Oleh karena itu untuk benih kedelai

memerlukan penanganan yang serius terutama

dalam masa penyimpanan. Untuk menghindari

penyimpanan yang lama maka dapat dilakukan

teknik produksi benih Jabalsim (jaringan benih

antar lapang antar musim).

Pola Jabalsim juga akan menjamin

ketersediaan benih kedelai sesuai dengan prinsip 6

(enam) tepat (varietas, jumlah, mutu, waktu, harga

dan tempat). Sistem penyediaan benih perlu diatur

untuk mendapatkan benih sesuai dengan kualitas

dan kuantitas yang dibutuhkan. Menurut Douglas

(1980) sistem perbenihan merupakan peraturan-

peraturan yang harus diikuti dan program yang

harus dilaksanakan untuk mencapai produksi dan

distribusi benih dengan kualitas dan kuantitas yang

direncanakan.

Pola Jabalsim yang dikembangkan di

kecamatan Panimbang dapat mengikuti alur seperti

pada Gambar 1. Dalam satu tahun direncanakan

tiga kali penanaman kedelai sehingga tidak

mememrlukan sistem penyimpanan yang lama.

Benih yang diproduksi pada MH (Februari-Mei)

ditanam pada lahan kering, benih ini

diperuntukkan sebagai benih sumber pada MK

(Juni-September) di lahan Sawah. Benih yang

dihasilkan pada MK (Juni-September) akan

dijadikan sumber benih pada MH (Oktober-

Januari) di lahan kering. Alur ini memungkinkan

benih akan tersedia setiap saat untuk memenuhi

kebutuhan wilayah secara mandiri.

Pola Jabalsim untuk Kabupaten Tangerang

dan Serang berbeda dengan pola di Kecamatan

panimbang, pola Jabalsim dapat mengikuti alur

pada Gambar 2.

Gambar 2. Jalur Arus benih kedelai dengan pola JABALSIM di Kecamatan Cimanggu dan mandalawangi

Kabupaten Pandeglang, serta Kecamatan Petir Kabupaten Serang Provinsi Banten

56 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:43-57

KESIMPULAN

1. Pola pola produksi benih sumber kedelai

dilakukan bekerjasama dengan petani

penangkar benih lokal. Hasil produksi

kedelai beragam antar varietas dan antar

lokasi. Produktivitas benih kedelai

tertinggi dicapai oleh varietas Burangrang

(1,0 ton/ha) dan Grobogan (0,9 ton/ha) di

lokasi Kelompok Tani Subur I, Kecamatan

Mandalawangi Kabupaten Pandeglang.

Produksi benih kedelai SS telah tercapai

sebanyak 34.530 kg dengan capaian target

sebesar 130% dari target awal sebanyak

26.740 kg, sedangkan untuk kelas FS 1000

kg.

2. Distribusi benih merupakan salah satu cara

dalam penyebarluasan varietas unggul

baru. Untuk mencapai hal tersebut benih

didistribusikan pada berbagai stake holders

yaitu BBI, penelitian mahasiswa, Dinas

Pertanian untuk program PAT, uji coba

VUB petani, serta produksi kedelai petani.

3. Model pengembangan produksi benih di

Provinsi Banten dapat mengadopsi pola

Jabalsim (jalur benih antar lapang antar

musim) yang spesifik untuk Kabupaten

Pandeglang dengan 3 kali musim tanam

dan Kabupaten Lebak serta Kota Serang

dengan 2 kali musim tanam. Pola ini

memberikan keuntungan antara lain :

ketersediaan benih mencukupi, mutu benih

terjamin, harga lebih kompetitif, serta

menjamin kesejahteraan petani penangkar

kedelai lokal.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian.

2008. Press Release Mentan Pada Panen

Kedelai.

http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publik

asi/wr301084.pdf. Diakses 14 maret

2015.

Balitkabi. 2015. Prinsip-Prinsip Produksi Benih

Kedelai. Balai Penelitian Aneka Kacang

dan Umbi. ISBN: 978-979-1159-66-1.66

hal.

Dewi R, Sutrisno H, Nazirwan. 2013. Pemulihan

deteriorasi benih kedelai (Glycine max

L.) dengan aplikasi giberalin. Jurnal

Penelitian Pertanian Terapan 13 (2): 116-

122.

Douglas, J. 1980. Succesfull seed program. A

planning and management guide.

Westview Press, Boulder. Colorado,

USA. 310p.

Dwipa I dan Saswita W. 2017.Pengujian hasil dan

mutu benih beberapa varietas kedelai

dengan variasi jumlah satuan panas

panen. Pros. Sem. Nas Masy.

Biodiv.Indon. Vol 3(1):16-23.

Tabel 8. Kemampuan manjawab dalam pelatihan kedelai

No Jenis Pertanyaan Kemampuan Menjawab (%)

Pandeglang Serang Tangerang

1. Varietas unggul baru dan kelas benih 82.50 65.50 50.25

2. Roguing 75.00 55.50 50.00

3. Pemupukan 80.00 72.50 60.25

4. Pengolahan tanah 80.00 82.50 65.00

5. Pengendalian hama 85.00 90,25 74.50

6. Pengendalian Penyakit 75.50 77.50 50.50

7. Panen 82.50 90.50 78.50

8. Prosesing benih 80.25 90.50 82.50

57Model Pengembangan Produksi Benih Kedelai di Provinsi Banten (Pepi Nur Susilawati, Zuraida

Yursak dan Hijriah Muthmainah)

ISSN:2407-8050.

DOI:10.13057/psnmbi/m030104

Hapsari RT, Adie MM. 2010. Peluang perakitan

dan pengembangan kedelai toleran

genangan.Jurnal Litbang Pertanian 29

(2): 50-57.

Krisdiana, R. 2007. Preferensi Industri Tahu dan

Tempe terhadapUkuran dan Warna Biji

Kedelai. ptek Tanaman Pangan. Vol. 2 :

1 (2007).Krisdiana, R. 2014. Penyebaran

Varietas Unggul Kedelai dan Dampaknya

terhadap Ekonomi Perdesaan. Buletin

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.

Vol. 33:1

Krisdiana R. 2014. Preferensi petani dan

penyebaran varietas unggul kedelai di

provinsi nusa tenggara barat.Buletin

Palawija No. 28: 93–101 (2014).

Balitkabi Malang.

Marliah A, Hidayat T, Husna N. Pengaruh varietas

dan jarak tanam terhadap pertumbuhan

kedelai (Glycine max (L.) Merril). J

Agrista 16 (1): 22-28.

Muis A, Indradewa D, Widada J. 2013. Pengaruh

inokulasi mikoriza arbuskula terhadap

pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine

max (L.) Merril) pada berbagai interval

penyiraman. Jurnal Vegetalika 2 (2): 7-

20.

Nugraha US. 2004. Legislasi, Kebijakan, dan

Kelembagaan Pembangunan Perbenihan.

Perkembangan Teknologi PRO. 16 (1) :

61-73.

Nugrahaeni, N. 2013. Teknik Produksi Benih

Kedelai. Panduan dan Materi Workshop

Teknik Produksi Benih Kedelai Bagi

Petugas UPBS BPTP dan Penangkar

Benih.Malang, 26-29 Nopember

2013.Balitkabi. Malang.

Sari DA, Hasanah Y, Siamnungkalit T.

2014.Respons pertumbuhan dan

produksibeberapa varietas kedelai

Glycine max L. (Merril) dengan

pemberian pupuk organikcair.

Agroekoteknologi 2 (2): 653-661.

Shaumiyah A., Damanhuri, Basuki N. 2014.

Pengaruh pengeringan terhadap kualitas

benih kedelai (Glycine max (L.) Merr).

Jurnal Produksi Tanaman. Vol 2(5): 388-

394.

Sinuraya MA, Barus A, Hasanah Y. 2015. Respons

pertumbuhan dan produksi kedelai

(Glycine max (L.) Meriil) terhadap

konsentrasi dan pemberian pupuk cair.

Jurnal Agroekoteknologi 4 (1): 1721-

1725.

Sucahyono D. 2013.Invigorasi benih kedelai.

Buletin Palawija No. 25:2013.

Sudaryono, A.Wijanarko dan Suyamto.2011.

Efektivitas Kombinasi Amelioran dan

Pupuk Kandang dalam Meningkatkan

Hasil Kedelai pada Tanah Ultisol. Jurnal

Penelitian Tanaman Pangan Volume 30

(1) : 43-51.

Tatipata, A. 2008. Pengaruh Kadar Air Awal,

Kemasan dan Lama Simpan terhadap

Protein Membran Dalam Mitokondria

Benih Kedelai. Buletin Ahronomi. Vol.

36 : 1 (2008).

Taufiq, A., A. Wijarnoko dan Suyamto. 2011.

Pengaruh Takaran Optimal Pupuk NPKS,

Dolomit dan Pupuk Kandang terhadap

Kedelai di Lahan Pasang Surut, Jurnal

Penelitian Tanaman Pangan Volume 30

(1) : 43-51.

TeKrony DM. 2006. Seeds: The Delivery System

for Crop Science. Crop Sci. 46: 2263-

2269.

ayhuni S. 2008. Hasil padi gogo dari dua sumber

benih yang berbeda. Buletin Penelitian

Pertanian Tanaman Pangan. Vol.

27:3(2008)

59Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan

Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI

PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU DI SAWAH TADAH HUJAN KAWASAN

PERBATASAN KABUPATEN SAMBAS

Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat

Jl. Budi Utomo no, 45 Siantan Hulu Pontianak

Email:[email protected]

ABSTRACT

Increasing Rice Productivity Through Integrated Crop Management in Rainfed in the Border Regions of Sambas District. The problem of rice cultivation in rainfed lowland area of Paloh subdistrict, Sambas district is

low productivity. Increasing productivity through integrated crop management (ICM) is necessary to be done. This

study aimed to evaluate the performance of integrated crop management technology in rainfed rice fields in the

border region of Sambas district, West Kalimantan. The study was conducted in Sebubus village, Paloh subdistrict,

Sambas District from December 2015 to March 2016 using assessment with two treatments consisting of

introduction technology packages versus farmer practices. The assessment involved 6 cooperative farmers as

replicates and 6 non cooperative farmers. Total land area for treatments was 2.3 hectares. The result of the study

showed that the introduction technology package consisting of Inpara 3, urea fertilizer 50 kg/ha, NPK 200 kg/ha,

KCl 100 kg/ha, organic fertilizer 500 kg/ha and liming 500 kg/ha can increase rice productivity around 76.92%

compared to farmers and financially it was feasible to be developed in rain-fed rice fields. In general, the application

of ICM was suitable in research site with indicators of increasing rice productivity and farmer income.

Keywords: rainfed rice field, productivity, rice, ICM

ABSTRAK

Permasalahan budidaya padi di lahan sawah tadah hujan wilayah Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas adalah

masih rendahnya produktivitas. Peningkatan produktivitas melalui pengelolaan tanaman terpadu perlu dilakukan.

Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi kinerja teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT) di sawah tadah

hujan wilayah perbatasan Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kajian dilaksanakan di Desa Sebubus, Kecamatan

Paloh, Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas pada bulan Desember 2015 sampai Maret 2016. Rancangan yang

digunakan adalah dua perlakuan yang terdiri dari paket teknologi introduksi versus praktek petani. Pengkajian

melibatkan 6 petani kooperator sebagai ulangan dan 6 petani non kooperator dengan luas lahan total 2,3 hektar.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa paket teknologi varietas Inpara 3, pemupukan urea 50 kg/ha, NPK 200

kg/ha, KCl 100 kg/ha, pupuk organik 500 kg/ha, dan pengapuran 500 kg/ha dapat meningkatkan produktivitas padi

sekitar 76,92%, dibandingkan cara petani dan secara finansial layak dikembangkan pada sawah tadah hujan. Secara

umum penerapan PTT sawah tadah hujan sesuai dikembangkan di lokasi kajian dengan indikator peningkatan

produktivitas padi dan pendapatan petani.

Kata kunci: lahan sawah tadah hujan, produktivitas, padi, PTT

60 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68

PENDAHULUAN

Kecamatan Paloh merupakan kawasan

perbatasan kabupaten Sambas yang secara

langsung berbatasan dengan Malaysia (Serawak).

Kawasan ini termasuk kedalam kawasan tertinggal

yang masih jauh dari dinamika pembangunan.

Sarana dan prasarana yang minim menghambat

kawasan perbatasan untuk lebih maju. Konsentrasi

pembangunan pemerintah yang lebih menekankan

keamanan dan bukan kesejahteraan seperti daerah-

daerah lainnya menjadi sebuah anggapan bahwa

perbatasan merupakan daerah yang terlupakan

(Lindia et al., 2011). Permasalahan kawasan

perbatasan Kalimantan Barat dari aspek sosial

ekonomi yakni kesenjangan antara penduduk

kawasan perbatasan dengan penduduk negara

tetangga, sehingga kehidupan masyarakat kasawan

perbatasan Kalimantan lebih condong ke negara

tetangga, rendahnya tingkat kesejahteraan

masyarakat setempat melatarbelakangi marakanya

kegiatan ilegal seperti ilegal logging, ilegal trading,

traficking, serta kegiatan illegal lainnya.

Pemenuhan kebutuhan beras bagi penduduk

merupakan langkah awal menuju peningkatan

pendapatan petani dan pembangunan

perekonomian daerah. Perbaikan pendapatan

petani akan berdampak terhadap perbaikan sistem

usahataninya. Oleh karena itu, strategi pertanian

untuk wilayah perbatasan sebaiknya diawali

dengan perbaikan kecukupan pangan dengan

perbaikan sistem usahatani berbasis padi

(Partohardjono et al., 1990). Introduksi teknologi

yang adaptif (sesuai dengan kondisi lingkungan

dan kemampuan petani setempat), efektif dan

efisien dalam meningkatkan hasil dan keuntungan

seperti pada model Pengelolaan Tanaman Terpadu

(PTT) sangat diperlukan.

Penerapan PTT pada lahan sawah tadah

hujan meningkatkan produktivitas padi. Hasil

penelitian Hidayat et al. (2012) menunjukkan

bahwa PTT dapat meningkatkan produktivitas padi

sekitar 0,54 – 2,46 ton/ha dan meningkatkan

pendapatan petani Rp 1 – 3 juta/ha menggunakan

varietas unggul baru Inpari 2, Inpari 3, Inpari 7,

dan Silugonggo di Kabupaten Halmahera Tengah.

Peningkatan produktivitas dengan pendekatan

tanaman terpadu juga diteliti oleh Widyantoro dan

Toha (2010). Rata-rata hasil padi sawah tadah

hujan mencapai 6,95 t/ha GKG atau meningkat

11,9% lebih tinggi dibandingkan dengan cara

petani yang mencapai 6,22 t/ha GKG. Melalui

pendekatan PPT padi sawah tadah hujan

pendapatan usahatani meningkat 21,2% lebih

tinggi dibandingkan cara petani.

Kinerja pertanian tanaman pangan

khususnya tanaman padi di Kecamatan Paloh

selama tiga terakhir (2012-2014) belum baik. Dari

ketiga indikator antara lain: luas panen, produksi,

dan produktivitas pertumbuhannya positif. Untuk

luas panen pertumbuhannya 7,09%, produksi

10,11% dan produktivitas -4,35%. Produtivitas

padi rata-rata sekitar 3,4 ton/ha (BPS Kabupaten

Sambas, 2015). Produktivitas padi dipengaruhi

oleh pupuk, varietas baru, tenaga kerja, kualitas

lahan (Maulana, 2004).

Peningkatan produktivas padi sawah tadah

hujan di kecamatan Paloh kawasan perbatasan

kabupaten Sambas melalui pendekatan PTT

merupakan pilihan yang tepat bagi petani.

Pendekatan PTT mengutamakan sinergisme

berbagai komponen teknologi dalam suatu paket

teknologi agar mampu meningkatkan efisiensi

penggunaan input dan sekaligus hasil panen.

Pendekatan PTT memperhitungkan keterpaduan

antara tanaman di satu pihak dan sumber daya

yang ada di pihak lain (Las et al., 1999). Penerapan

model PTT dapat meningkatkan hasil gabah

sebesar 1,0 t/ha dibandingkan teknologi petani

(non PTT) pada 22 provinsi (Zaini, 2006).

Keunggulan cara PTT dibandingkan cara petani

sebelumnya di seluruh Asia juga dilaporkan

Balasubramanian et al. (2005). Salah komponen

PTTT yakni introduksi varietas padi. Introduksi

varietas padi yang adaptif dan berpotensi hasil

tinggi untuk agro-ekosistem lahan sawah tadah

hujan merupakan teknologi yang paling murah

bagi petani (Widyantoro dan Toha, 2010). Tingkat

penerapan teknologi introduksi di lahan sawah

tadah hujan relatif rendah karena pendapatan dan

modal tidak memadai (Pane et al., 2002).

61Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan

Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)

Namun, kurangnya pengetahuan dan

keterampilan petani tentang konsep PPT

merupakan faktor utama yang berpengaruh

rendahnya produktivitas padi sawah tadah hujan di

Kecamatan Paloh. Di sisi lain, banyak keterbatasan

di wilayah tersebut seperti kondisi sarana dan

prasarana yang kurang memadai, keterbatasan

jumlah tenaga penyuluh juga ikut berpengaruh

dalam peningkatan produktivitas padi sawah tadah

hujan. Petani kurang mendapatkan informasi dalam

upaya meningkatkan produktivitas padi. Melalui

pengkajian PTT padi sawah tadah hujan

menggunakan VUB sebagai salah satu komponen

dan dikombinasikan dengan komponen lainnya

diharapkan dapat meningkatkan produktivitas padi

dan menambah pendapatan dalam mengelola

usahataninya. Pengkajian ini bertujuan untuk

mengevaluasi kinerja paket teknologi pengelolaan

tanaman padi pada sawah tadah hujan di

Kecamatan Paloh, kawasan perbatasan Kabupaten

Sambas.

METODOLOGI

Waktu dan Lokasi

Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan pada

bulan Desember 2015 sampai bulan Maret 2016 di

Desa Sebubus. Kegiatan dilaksanakan pada lahan

petani dengan melibatkan 6 petani kooperator

dengan luas total 2,3 hektar dengan beragam luas

kepenilikan tiap petaninya.

Benih yang digunakan adalah varietas Inpara

3. Pemupukan berdasarkan menggunakan PUTS.

Dari PUTS didapatkan kebutuhan pupuk N sekitar

150 kg. Pupuk P sekitar 100 kg/ha dan KCl sekitar

100 kg/ha. Dari analisis tanah, nilai pH dibawah

5,5, maka diperlukan kapur dolomit sekitar 500

kg/ha (Tabel 1). Paket teknologi yang diuji adalah

paket PTT dan paket teknologi petani.

Parameter

Parameter yang diamati antara lain hasil

gabah berdasarkan ubinan masing-masing

perlakuan dan analisis ekonomi. Analisis data

meliputi: (1) Analisis ragam dan senjang hasil, (2)

Analisis penerimaan dan pendapatan, (3) Imbalan

tenaga kerja, dan (4) Analisis anggaran parsial

(BBP2TP, 2011).

Analisis Data

Analisis Ragam dan Senjang Hasil

Uji t digunakan untuk menganalisis

pengkajian yang menguji perlakuan set 1, yaitu

membandingkan paket teknologi baru vs praktek

petani. Prosedur uji t mengikuti prosedur analisis

statistik baku: (i) Hitung masing-masing ragam

(s2) perlakuan paket teknologi dan praktek petani,

(ii) Hitung ragam gabungan (s2gab) dan

simpangan baku gabungan (sgab), (iii) Hitung t hit,

Tabel 1. Paket pengelolaan tanaman terpadu (PTT) padi dan teknologi petani di lokasi kajian

No. Komponen Teknologi Teknologi Introduksi Praktek petani

1. Varietas Unggul Baru (VUB) Inpara 3 (umur 115 hari) Lokal (umur 6-7 bulan)

2. Pupuk 200 kg/ha NPK, 50 kg/ha Urea,

100 kg/ha KCl

50 kg/ha NPK, 50 kg/ha Urea, KCl 6

kg

3. Pemberian pupuk organik

Dan pembenah tanah

Pupuk organik 500 kg/ha

Dolomit 500 kg/ha

Tidak ada

4. Jarak tanam Jajar legowo 4: 1

20x15x40 cm

Tegel 25 x 25 cm

5. Umur pindah bibit 14-21 hari Lebih dari 30 hari

6. Jumlah bibit per lubang 2-3 bibit 15 bibit

7. Pengendalian Gulma Pengendalian Gulma Terpadu Menggunakan herbisida

8. Pengendalian Hama dan

Penyakit

Pendekatan PHT sesuai sasaran

OPT

Menggunakan pestisida kimia

9. Pemanenan Menggunakan sabit bergerigi Ani-ani/ketam padi

62 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68

yaitu t hit. = (Yb – Ypt)/S gab., (iv) Apabila t hit.

nyata, berarti terdapat perbedaan pengaruh

perlakuan yang diuji, dan (v) Analisis senjang

hasil: menghitung (mengukur) perbedaan hasil

antara teknologi baru (introduksi) dan praktek

petani.

Analisis Penerimaan dan Pendapatan

Penggunaan konsep penerimaan dan

pendapatan sering kali dipertukarkan, padahal

keduanya tidak sama. Jika penerimaan

dilambangkan dengan R (revenue), jumlah produk

dilambangkan Q (quantum) dan harga produk

dilambangkan dengan Pq (price), maka yang

dimaksud penerimaan adalah perkalian antara

jumlah produk dengan harga produk.

Formulanya adalah sebagai berikut:

qQxPR =........................................... (1)

Penerimaan tunai usahatani didefinisikan

sebagai nilai uang yang diterima dari penjualan

produk usahatani. Dalam beberapa hal, sering

dijumpai konsep penerimaan = pendapatan kotor,

dan pendapatan = penerimaan bersih. Dalam

kegiatan usahatani, yang dimaksud dengan

pendapatan kotor usahatani (grossfarm income)

didefinisikan sebagai nilai produk total usahatani

dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual

maupun yang tidak dijual. Analisis usahatani dapat

dilakukan dalam satu musim tanam atau satu siklus

produksi atau satu tahun. Pendapatan (B) sering

juga disebut keuntungan (profit) yang merupakan

pengurangan penerimaan dengan biaya produksi

(C) dengan formula sebagai berikut:

CRB −= ...............................................(2)

Biaya produksi terdiri dari biaya tetap (FC =

fix cost) dan biaya tidak tetap (VC = variable cost).

VC sendiri terdiri dari beberapa jenis pengeluaran

seperti untuk benih, pupuk, pestisida, dan upah

tenaga kerja. Dengan demikian dari persamaan (2)

dan (3) dapat diturunkan lebih rinci sebagai

berikut:

)()( FCVCQxPB q +−= .............................. (3)

∑ +−= )()( FCPXXQxPB iiq ........................ (4)

Dalam hal ini ΣXiPXi menggambarkan

penjumlahan biaya untuk pembelian masing-

masinginput ke i, dengan i = 1, 2, 3, …., n; n

adalah jumlah jenis input yang digunakan.

Imbalan Tenaga Kerja

Secara umum imbalan tenaga kerja petani

adalah balas jasa yang diperoleh seorang dari

korbanan tenaga kerja yang sudah dikeluarkannya.

Dalam konteks usahatani, yang dimaksud dengan

imbalan tenaga kerja adalah besarnya pendapatan

tenaga kerja petani yang dihitung dari besarnya

pendapatan usahatani dibagi dengan korbanan

tenaga kerja (hari orang kerja) dalam menjalankan

usahatani itu. Imbalan kerja petani dapat

diformulasikan sebagai berikut :

∑∑ +−

=

HOK

FCPXXQxPIK

iiq )()(

.......................(5)

Keterangan:

IK = Imbalan Kerja Petani

Σ HOK = jumlah hari orang kerja (hari/org)

Analisis Anggaran Parsial

Untuk mengetahui tingkat optimum

penggunaan input produksi dapat dilakukan

analisis melalui cara yang lebih sederhana dan

praktis, yaitu melalui analisis anggaran parsial

(partial budget analysis). Analisis anggaran parsial

merupakan analisis pendapatan dan biaya dari

suatu alternatif kegiatan dengan menghitung

perubahan yang terjadi dari pendapatan dan biaya

yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut atau yang

disebut juga dengan laju penerimaan bersih

marjinal (marginal rate of return, MRR atau

incremental benefit cost ratio, IBCR), yakni rasio

per tambahan penerimaan bersih dengan tambahan

biaya variabel dari setiap perlakuan. Secara

matematis diformulasikan sebagai berikut:

nn

nn

CC

RR

C

RMRR

==

+

+

)1(

)1(

.................................. (6)

63Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan

Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)

Keterangan: Rn adalah pendapatan bersih ke n dan

Cn merupakan biaya variabel ke n.

Analisis anggaran parsial bisa juga

digunakan untuk mengetahui seberapa besar nilai

tambah (sebagai indikator kelayakan ekonomi)

yang diperoleh dari penerapan paket teknologi

yang dianjurkan (introduksi).

Analisis Kelayakan Perubahan Teknologi

Analisis ini digunakan untuk menghitung

usahatani apabila petani mengganti komponen

teknologi penggunan varietas lokal menjadi

varietas unggul. Perubahan komponen teknologi

mengakibatkan perubahah struktur biaya dan

pendapatan (Swastika, 2014). Perubahan

penggunaan varietas ini juga dapat dievaluasi

kelayakannya dengan menggunakan analisis

Losses and Gains seperti pada Tabel 2.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Senjang Hasil

Dari analisis senjang hasil menunjukkan

bahwa teknologi baru secara nyata meningkatkan

produktivitas dibandingkan dengan praktek petani.

Melalui teknologi introduksi mampu menaikkan

produktivtas sekitar 2,08 ton/ha (Tabel 3). Dari

hasil uji t berpasangan didapatkan bahwa teknologi

baru secara nyata (α=90%) berbeda dengan pola

petani. Nilai R=0,953 dan nilai t hitung > (1,31)

dan t tabel (0,003).

Tabel 2. Analisis parsial perubahan teknologi

No. Losses (Korbanan) Jumlah Gains (Perolehan) Jumlah

1. Tambahan biaya benih A Tambahan penerimaan

2. Tambahan biaya pupuk

dari kenaikan produksi

Xg@Rp Y W

3. Tambahan biiaya pembenah tanah

Kapur 500 kg @Rp 1360 B

4. Tambahan biaya herbisida

Herbisida 3,96 kg @Rp 65000 C

5. Tambahan biaya pestisida D

6. Tambahan biaya memupuk E

7. Tambahan biaya panen F

8. Tambahan bunga modal G

Total Losess (Rp) H Total Gains (Rp) Z

Tambahan keuntungan : Rp (Z-H)= I

Marginal B/C: (Total Gains)/(Total Losses) =II

Tabel 3. Biaya produksi, produksi, penerimaan dan keuntungan usahatani padi PTT dan praktek petani

Uraian PTT Praktek Petani

Rata-rata Standard Deviasi Rata-rata Standard Deviasi

Biaya Produksi (Rp) 9.562.020 5,9 5.900.020 2,1

Produksi (kg) 4.600 2,6 2600 37,2

Penerimaan (Rp) 20.700.000 2,6 11.700.000 37,2

Keuntungan (Rp) 11.546.730 8,4 4.095.121 70,5

64 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68

Analisis Penerimaan, Pendapatan Petani, dan

Imbalan Tenaga Kerja

Perhitungan input-output yang digunakan

dalam kajian tersaji pada Tabel 4 Teknologi

introduksi dengan pendekatan PTT mampu

menaikan produktivitas padi pola petani sekitar

76,92% dengan menggunakan varietas baru Inpara

3. Dengan modal Rp 9.562.000,- didapatkan

penerimaan sebesar Rp 20.700.000,

(Rp.5.175.00/bulan selama 4 bulan) dibandingkan

penerimaan usahatani petani sebesar Rp

11.700.00,(Rp 2.925.00/bulan selama 4 bulan.

Dengan kata lain bahwa dengan mengganti varietas

lokal dengan varietas unggul Inpara 3, petani

mendapat tambahan keuntungan Rp 2,7

juta/ha/musim. Dari hasil analisis tambahan biaya

dibandingkan tambahan keuntungan masih diatas 1

(MBCR =1,46). Hasil penelitian Toha (2007),

penerapan pengelolaan tanaman terpadu di

Kecamatan Seputih Raman, Lampung

menunjukkan bahwa pendapatan petani yang

menerapkan PTT selama 3 tahun berturut-turut

rata-rata Rp5.226.000/ha) dengan kisaran antara

Rp4.907.000 – 5.957.100/ha. Rata-rata nisbah R/C

1,60 dengan kisaran 1,46-1,70.

Perubahan penggunanan varietas unggul

dievaluasi kelayakannya dengan analisis Losses

dan Gains seperti disajikan pada Tabel 5. Hasil

analisis Tabel 5 menunjukkan bahwa perubahan

komponen teknologi varietas unggul menghasilkan

tambahan keuntungan bagi petani sebesar Rp

1.190.140,-/ha/musim. Angka marginal B/C dari

perubahan tesebut adalah sebesar 2,12. Rasio ini

menunjukkan bahwa tiap Rp 1,00 tambahan biaya

yang dikeluarkan akibat mengganti varietas

menyebabkan diperolehnya akibat mengganti

varietas menyebabkan diperolehnya tambahan

penerimaan sebesar Rp 2,12 (lebih dari kali lipat

tambahan biaya). Ini berarti bahwa perubahan

varietas dari varietas lokal menjadi varietas unggul

sangat layak untuk dilakukan. Hasil penelitian

Koesrini et al. (2013) varietas Inpara 3 yang

ditanam di Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan

Selatan mendekati 4 ton/ha. Paket teknologi yang

diterapkan antara lain pemupukan 90 kg N/ha + 36

kg P205/ha + 50 kg K20/ha.

Untuk mengevaluasi kelayakan perubahan

komponen teknologi varietas digunakan analisis

Tabel 4. Analisis anggaran parsial PTT padi di Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, MH 2015/2016

Uraian Teknologi Introduksi (Rp) Teknologi Petani (Rp) Tambahan Biaya

Teknologi Introduksi (Rp)

Perubahan

(%)

Input

Benih inpara 3 300.000 270.000 30.000 11,11

Pupuk Urea 240.000 120.000 120.000 100,00

Pupuk NPK 345.000 230.000 115.000 50,00

Pupuk KCl 1.020.000 51.000 969.000

Pupuk organik 550.000 0 550.000

Kapur 600.000 0 600.000

Pestisida 460.000 360.000 100.000 27,78

Fungisida 205.000 205.000 0 0,00

Herbisida 495.000 495.000 0 0,00

Tenaga kerja 4.800.000 3.622.000 1.178.000 32,52

Biaya lain-lain 547.020 547.020 0 0,00

Total biaya 9.562.020 5.900.020 3.662.000 62,07

Output

Hasil 4.600 2.600 2.000 76,92

Harga gabah padi (Rp/kg) 4.500 4.500

Penerimaan 20.700.000 11.700.000 9.000.000 76,92

Pendapatan (Keuntungan) 11.137.980 5.799.980 5.338.000 92,03

R/C 2,16 1,98

B/C 1,16 0,98

MBCR 1,46

65Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan

Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)

titik impas produksi (TIP) dan titik impas harga

(TIH). Kedua analisis tersebut disajikan pada

Tabel 5 dan 6.

Dari Tabel 5 terlihat titik impas tambahan

produksi adalah 1.855 kg/h yang menggambarkan

bahwa penggantian varietas layak untuk dilakukan

jika penggantian tersebut dapat meningkatkan

produktivitas (yield) padi minimal 1.855 kg/ha.

Dengan kata lain, produktivitas padi unggul yang

dicapai petani harus lebih tinggi dari 4.455 kg/ha.

Dari hasil analisis titik impas harga padi

pada Tabel 6 sebesar Rp 1.885 atau dengan

tambahan produksi 2.000 kg/ha, penggantian

varietas bisa dilakukan jika penurunan harga tidak

sampai di bawah Rp 1.883,-/kg. (Harga semula

=Rp.4.500/kg). Jika harga tetap Rp 4.500/kg, maka

perubahan varietas sangat layak diusahakan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

pendekatan paket teknologi pola tanam terpadu

memiliki peluang yang cukup baik untuk

dikembangkaan di lahan tadah hujan untuk

Tabel 6. Analisis titik impas harga padi

No. Losses (Korbanan) Jumlah Gains (Perolehan) Jumlah

1 Tambahan biaya benih 30.500 Tambahan penerimaan

2 Tambahan biaya pupuk dari kenaikan produksi

Urea :68 kg @Rp2000 136.000 2000xHy 2000Hy

NPK 33 kg @ Rp2300 75.900

KCl 94 kg @Rp10200 958.800

Organik 550 kg @Rp1000 550.000

3 Tambahan biaya pembenah tanah

Kapur 500 kg @Rp 1360 680.000

4 Tambahan biaya herbisida

Herbisida 3,96 @Rp 65000 257.400

5 Tambahan biaya pestisida 297.000

6 Tambahan biaya memupuk 200.000

7 Tambahan bunga modal 153.840

8 Tambahan biya panen 0,1dY*2000*Hy

Total Losess (Rp) 333.440+HY2000 Total Gains (Rp) 2000Hy

3.338.940 + 200 Hy = 2000Hy

1.800 Hy = 3.338.940

Hy =1.883

Tabel 5. Analisis anggaran perubahan varietas dan tambahan produksi produksi

Losses (Korbanan) Jumlah (Rp) Gains (Perolehan) Jumlah (Rp)

Perubahan Varietas

Tambahan biaya produksi 4.238.940 Tambahan penerimaan dari

kenaikan produksi 200 kg;

@Rp 4.500

9.000.000

Total Losess (Rp) 4.238.940 Total Gains (Rp) 9.000.000

Tambahan keuntungan 4.761.060

Marginal B/C 2,12 Analisis Titik Impas Tambahan Produksi Padi

Tambahan Biaya Produksi 3.338.940 Tambahan penerimaan dari

kenaikan produksi dY =

@4.500

2000dY

Tambahan biaya panen 0,1dY*2000

Total Losess (Rp) 3.338.940 Total Gains (Rp) 2000dY

66 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68

menggantikan pola petani. Hasil padi Inpara 3

sekitar 4,6 ton GKP/ha akan meningkatkan

produksi di lahan tadah hujan secara siginikan

sekitar 76,92%. Hal ini akan menunjukkan bahwa

lahan tadah hujan dapat memberi sumbangan besar

terhadap program peningkatkan poduksi beras

nasional.

KESIMPULAN

Penerapan paket teknologi pengelolaan

tanaman terpadu varietas inpara 3, pemupukan

urea 50 kg/ha, NPK 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha,

pupuk organik 500 kg/ha dan pengapuran 500

kg/ha dapat meningkatkan produktivitas padi

sektiar 76,92%, dibandingkan cara petani.

Teknologi pengelolaan tanaman terpadu dapat

kembangkan dari aspek finansial (MBCR>1) pada

lahan sawah tadah hujan kawasan perbatasan

Paloh, Kabupaten Sambas.

Penerapan paket teknologi pengelolaan

tanaman terpadu dapat meningkatkan pendapatan

petani sekitar Rp.5.338.000,- per ha per musim

dibandingkan petani. Tambahan biaya yang

diperlukan untuk penerapan teknologi pengelolaan

tanaman terpadu sekitar Rp.3.662.000,/ha-

(62,07%).

Untuk meningkatkan hasil padi pada lahan

sawah tadah hujan memerlukan kombinasi pupuk

organik, anorganik serta pemberian pembenah

tanah untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Adri dan Yardha. 2014. Upaya peningkatan

produktivitas padi melalui varietas unggul

baru mendukung swasembada berkelanjutan

di Provinsi Jambi. Jurnal Agroekotek, vol. 6

(1):1-11.

A. Sembiring dan R. Rosliani. 2014. Analisis

anggaran parsial rakitan komponen

teknologi pengelolaan tanaman kentang

secara terpadu di dataran tinggi. Jurnal

Hortikultura, vol. 2 (4):385-392.

Asnawi, R. 2014. Peningkatan produktivitas dan

pendapatan petani melalui penerapan model

penerapan model pengelolaan tanaman

terpadu padi sawah di Kabupaten

Pesawaran, Lampung. Jurnal Peneltian

Pertanian Terapan, vol.14 (1):44-52.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2015.

Kabupaten Sambas 2015 dalam angka.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sambas. 2015.

Kecamatan Paloh dalam angka 2015. Badan

Pusat Statistik Kabupaten Sambas.

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian. 2011. Panduan

metodologi pengkajian. BBP2TP. Badan

Litbang Pertanian.

Balasubramanian, V.R. Rajendran, V. Ravi, N.

Chellaiah, E. Castro, B. Chandrasekaran, T.

Jayaraj, and S. Ramanantah. 2005.

Integreted crop management for enchancing

yield, factor productivity and profitability in

Asian rice farms. International Rice

Commision Newsletter 54:63-72.

Basuki, S dan W. Haryanto. 2013. Antisipasi

pengurangan risiko finansial pada usahatani

padi (studi kasus di Kabupaten Brebes).

Prosiding Seminar Nasional: Menggagas

Kebangkitan Komoditas Unggulan Lokal

Pertanian dan Kelautan. Fakultas Pertanian

Universitas Tronojoyo Madura.

Djufri, F dan A. Kasim. 2015. Uji adaptasi varietas

unggul baaru padi rawa pada lahan sawah

bukaan baru di Kabupaten Merauke ke

Provinsi Papua. Jurnal Agrotan, vol.1

(1):99-109.

Hidayat, Y., Y. Saleh, dan M. Waralya. 2012.

Kelayakan usahatani padi varietas unggul

baru melalui PTT di Kabupaten Halmahera

Tengah. Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan, vol. 31 (3):166-172.

67Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu di Sawah Tadah Hujan

Kawasan Perbatasan Kabupaten Sambas (Rusli Burhansyah dan Y.L. Nurhakim)

Ikhawani, G.R. Pratiwi, E. Paturrohman, dan

A.K.Makarim. 2013. Peningkatan

produktivitas padi melalui penerapan jarak

tanam legowo. Iptek Tanaman Pangan 8(2).

Koesrini, M. Saleh, dan D. Nursyamsi. 2013.

Keragaan varietas inpara di lahan rawa

pasang surut. Pangan 22 (3):221-228.

Kusmiatun, H, Rumiyadi, dan Sumardi. 2012.

Pengaruh penerapan pengelolaan tanaman

terpadu (PTT) dan non (PTT) pada usaha

tani padi terhadap pendapatan petani di

Kecamatan Bae Kabupaten Kudus.

Agromeda, vol.30 (2):1-13.

Las,I., A.K. Makarim, Sumarno, S. Purba, M.

Mardharini, dan S. Kartaatmadja. 1999. Pola

IP padi 300: konsepsi dan prospek

implementasi sistem usaha pertanian

berbasis sumberdaya. Jakarta. Badan

Litbang Pertanian.

Maulana, M. 2004. Peranan luas lahan, intensitas

pertanaman dan produktivitas sebagai

sumber pertumbuhan padi sawah di

Indonesia 1980-2001. JAE, vol. 22 (1):74-

95.

Mayona, E.L, Salahudin, dan R.Kusmastuti. 2011.

Penyusunan arahan strategi dan prioritas

pengembangan perbatasan antar negara di

Provinsi Kalimantan Barat. Jurnal Tata

Loka, vol.13 (2):119-134.

Maintang. 2012. Pengelolaan tanaman terpadu dan

teknologi pilihan petani: Kasus Sulawesi

Selatan. Iptek Tanaman Pangan, vol. 7

(2):88-97.

Nurita S, T. Sugiati, T. Kartinaty, J.C. Kilmanun,

T.Purba, Panut, J.D.Haloho, R. Warman, D.

Anshory, U. Abdullah, M. Zurhan, dan

Aswanto. 2010. Laporan akhir hasil

pendampingan: pendampingan SLPTT padi

dan jagung pada >60% SLPTT padi dan

jagung dengan peningkatan produktivitas

>15%. BPTP Kalimantan Barat.

Nurita S, T. Sugiati, T. Kartinaty, J.C. Kilmanun,

T. Purba, Panut, J.D. Haloho, R. Warman,

D. Anshory, U. Abdullah, M. Zurhan, dan

Aswanto. 2014. Laporan akhir hasil

pendampingan: pendampingan program

strategis Kementerian Pertanian:

pendampingan program PTT padi, jagung

dan kedelai. BPTP Kalimantan Barat.

Pane, H, Ismail, BP., I.P Wardana, Karsidi, P.,

K.Pirgadi, dan H.M. Toha. 2002.

Perssepektif peningkatan produksi padi di

lahan sawah tadah hujan. Balai Penelitian

Tanaman Padi 16p.

Partohardjono, S., J.S.Adiningsih, dan I.G.Ismail.

1990. Peningkatan produktivitas lahan

kering beriklim basah melalui teknologi

sistem usahatani In:M.Syam el al (eds)

Risalah lokakarya penelitian sistem

usahatani di lima agroekosistem. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. pp.47-62

Pringadi, K dan A.K.Makarim. 2006. Peningkataan

produktivitas padi pada lahan sawah tadah

hujan melalui pengelolaan tanaman terpadu.

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan

25(2):116-123.

Sembiring, H. 2007. Kebijakan penelitian dan

rangkuman hasil penelitian BB Padi dalam

mendukung peningkatan produksi beras

nasional. Apresiasi Hasil Penelitian Padi

2007.

Setiawan, K dan F.A.Fallo. 2008. Analisis

anggaran parsial penggunaan pupuk bokasi

dan super aci pada tanaman cabai. Partner

tahun 2015 (1):99-103.

Sumarno, U.G. Kartasasmita, Z. Zaini, dan L.

Hakim. 2009. Senjang adopsi teknologi dan

senjang hasil padi sawah. Iptek Tanaman

Pangan, vol.4 (2): 116-130.

Swastika, D.K.S. 2014. Beberapa analisis dalam

penelitan dan pengkajian teknologi

pertanian. Jurnal Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian, vol.7

(1):90-103.

68 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:59-68

Toha, H.M. 2007. Peningkatan produktivitas padi

gogo melalui penerapan pengelolaan

tanaman terpadu dengan introduksi varietas

unggul.

Widyantoro dan H.M.Toha. 2010. Optimalisasi

pengelolaan padi sawah tadah hujan melalui

pendekatan pengelolaan tanaman terpadu.

Prosiding Pekan Serelia Nasional. pp: 648-

657.

Zaini, Z., Elma Basri, Fauziah Y., Andriyani, dan

A.Irawati. 2006. Pengelolaan tanaman dan

sumber daya terpadu padi sawah di lahan

irigasi Provinsi Lampung. Prosiding

Seminar Nasional Hasil-Hasil

Penelitian/Pengkajian Spesifik Lokasi. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi.

.

69 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso

Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)

PERTUMBUHAN INDIGOFERA sp PADA SELA PERTANAMAN KELAPA DI

KABUPATEN SIGI

Wardi , Andi Baso Lompengeng Ishak dan Muhamad Takdir

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah

Jl. Lasoso No 62 Biromaru Sigi, Palu ,Sulawesi Tengah

ABSTRACT

Indigofera Sp Growth in Between Coconut Plant on Sigi District. Hijauan pakan ternak (HPT) memegang

peranan penting dalam peternakan sapi potong. Ketersediaan HPT terutama saat musim kemarau merupakan

permasalahan yang selalu akrab dengan peternak di Sulawesi Tengah. Implementasi introduksi tanaman Indigofera

sp pada sela pertanaman kelapa adalah menjadi salah satu alternatif solusi kontinuitas dan ketersediaan pakan

berkualitas sepanjang tahun. Metode yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan perlakuan pemupukan

P1, P2, P3, P4 dan P5 serta parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman, jumlah cabang serta produksi

bahan segar. Hasil kajian menunjukkan semua perlakuan pemupukan memiliki potensi yang sama terhadap berat

segar, tinggi tanaman dan jumlah cabang atau perlakuan pemupukan yang diberikan tidak ada perbedaan yang

nyata terhadap parameter yang diamati. Kajian introduksi Indigofera di sela pertanaman kelapa sangat adaptif

terhadap lahan di bawah tegakan kelapa. Dengan demikian hal ini dapat dijadikan solusi alternatif terhadap

permasalahan keterbatasan HPT pada peternakan rakyat.

Keywords: Indigofera, Potensi, Sela Kelapa

ABSTRAK

Hijauan pakan ternak (HPT) memegang peranan penting dalam peternakan sapi potong. Ketersediaan HPT terutama

saat musim kemarau merupakan permasalahan yang selalu akrab dengan peternak di Sulawesi Tengah. Implementasi

introduksi tanaman Indigofera sp pada sela pertanaman kelapa adalah menjadi salah satu alternatif solusi kontinuitas

dan ketersediaan pakan berkualitas sepanjang tahun. Metode yang digunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan

perlakuan pemupukan P1, P2, P3, P4 dan P5 serta parameter yang diamati antara lain tinggi tanaman, jumlah cabang

serta produksi bahan segar. Hasil kajian menunjukkan semua perlakuan pemupukan memiliki potensi yang sama

terhadap berat segar, tinggi tanaman dan jumlah cabang atau perlakuan pemupukan yang diberikan tidak ada

perbedaan yang nyata terhadap parameter yang diamati. Kajian introduksi Indigofera di sela pertanaman kelapa

sangat adaptif terhadap lahan di bawah tegakan kelapa. Dengan demikian hal ini dapat dijadikan solusi alternatif

terhadap permasalahan keterbatasan HPT pada peternakan rakyat.

Kata kunci: Indigofera, Potensi, Sela Kelapa

PENDAHULUAN

Hijauan Pakan Ternak (HPT) memegang

peranan penting dalam kehidupan ternak

ruminansia, khususnya sapi potong. Kekurangan

pakan serat dalam arti mutu dan ketersediaan

terutama saat musim kemarau merupakan masalah

yang selalu akrab dengan peternak di Sulawesi

Tengah. Walaupun pakan tersedia sepanjang tahun,

namun jumlah dan jenis pakan masih terbatas.

Peternak umumnya hanya mengandalkan rumput

alam dan jenis pakan lokal seperti daun beringin,

daun kapok dan sebagainya, yang kandungan

nutrisinya relatif rendah.

Disisi lain, luas lahan produktif seperti di

sela tanaman perkebunan kelapa masih sangat luas

dan belum termanfaatkan secara optimal. Menurut

BPS Sulteng (2017) data luas pertanaman kelapa

70 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:69-71

di Sulawesi Tengah mencapai 215 ribu ha,

sedangkan untuk wilayah kabupaten Sigi

mempunyai luasan perkebunan kelapa mencapai

5.984 Ha. Hal ini diperkirakan berpotensi dan

memungkinkan dimanfaatkan sebagai lahan untuk

penanaman HPT yang berkualitas di sela

pertanaman kelapa. Integrasi ternak dengan

tanaman perkebunan juga cukup potensial, seperti

pada pertanaman kelapa (Purwantari et al 2014).

Bagi ternak produktif, idealnya pakan yang

diberikan terdiri atas 60% rumput-rumputan dan

40% hijauan leguminosa. Untuk memenuhi

kebutuhan tersebut maka strategi yang paling

praktis dilakukan oleh peternak adalah dengan

menanam sendiri HPT yang berkualitas dan adaptif

pada lahan kosong di bawah pertanaman kelapa,

seperti jenis legum unggul yaitu Indigofera sp.

Introduksi legum pada lahan pertanaman kelapa

merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan

untuk mencukupi kebutuhan protein ternak yang

pada dasarnya hanya berupa rumput alam yang

memiliki nilai gizinya relatif rendah. Introduksi

legum Indigofera sp per ha pada perkebunan

kelapa mampu menampung sekitar ± 148 – 197

pohon/ha, dapat bertahan hidup pada intensitas

cahaya < 30% untuk tanaman dewasa, kelembaban

tanah di kedalaman 10 pada jarak 5 meter 4,8%

(Hassen et al., 2007). Salah satu jenis leguminosa

yang toleran pada lahan suboptimal kondisi tanah

kering, tanah kadar garam, asam, serta logam berat

adalah Indigofera sp (Hassen et al., 2007).

Indigofera sp termasuk golongan leguminosa

pohon yang tahan terhadap naungan dan tahan

kekeringan (Smith, 1992); tahan genangan dan

salinitas (Simanihuruk dan Sirait, 2009). Kajian

lain Abdullah (2010) melaporkan bahwa

indigofera sp sangat cocok dibudidayakan di lahan

kering untuk mengantisipasi rendahnya nilai nutrisi

limbah pertanian sebagai pakan ternak pada musim

kemarau.

Pemilihan Indigofera sp sebagai sumber

protein pakan akan meningkatkan efisiensi

pemeliharaan ternak terutama untuk mendukung

Low Eksternal Input Sustainable Agriculture

(LEISA). Chen (1990) melaporkan bahwa pada

konsep pertanian campuran (mix farming)

intensitas cahaya seiring pertumbuhan tanaman

utama perlu diperhatikan. Allen dan Allen (1981)

melaporkan bahwa leguminosa Indigofera sp

mengandung protein 12,5 – 20,7% bahkan bisa

mencapai 23%. Indigofera sp pertama kali

diperkenalkan oleh Gillet tahun 1958 dan pada

tahun 1971 telah diketahui ada 145 spesies (Thulin

1982). Hasil penelitian Tarigan dan Ginting

(2011) melaporkan bahwa suplementasi Indigofera

sp dalam ransum kambing akan meningkatkan

kecernaan bahan organik, kecernaan bahan kering,

NDF, ADF dan konsumsi pakan.

Berdasarkan uraian latar belakang yang

telah dijelaskan di atas maka kajian ini bertujuan

untuk mengkaji pengaruh pemberian pupuk

terhadap peningkatan produktivitas tanaman

Indigofera sp pada sela pertanaman kelapa. Hasil

dari kajian ini dapat dijadikan rekomendasi solusi

alternatif terhadap permasalahan keterbatasan

hijauan pakan ternak (HPT) pada peternakan

rakyat di kabupaten Sigi.

METODE

Persemaian Benih Indigofera sp

Sebelum ditanam di lahan lokasi

pengkajian jenis legum yakni Indigofera sp.

Legum indigofera sp, terlebih dahulu disemaikan

pada lahan persemaian kebun percobaan Sidondo

Kec. Sigi Biromaru Kab. Sigi, dengan ukuran 1,5 x

75 cm yang dibuat setinggi 30 cm dari permukaan

tanah sekitarnya. Media persemaian terdiri dari

campuran tanah dan pupuk organik dengan

perbandingan 1 : 2.

Sebelum disemai, biji legum indigofera sp

direndam selama satu malam dengan air hangat,

lalu di tiriskan dan kemudian di tebar pada media

persemaian. Bibit legum indigofera sp dipindahkan

ke polybag setelah 14 hari di persemaian, atau saat

telah tumbuh/keluar daun 3 - 5 helai (tinggi 10

cm). Selama dalam masa perbibitan pertumbuhan

tanaman legum di amati setiap 2 minggu, sampai

umur 75 hari sebelum di pindahkan ke lahan

pengkajian. Pengamatan dan pengambilan data

pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman dan

71 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso

Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)

jumlah daun yaitu pada umur 45 hari dan 75 hari

selanjutnya data hanya ditabulasi kedalam grafik

dan tidak dilakukan analisa ANOVA.

Introduksi Indigofera sp di Sela Tanaman

Kelapa

Kegiatan kajian introduksi legum pada

lahan di sela pertanaman kelapa untuk penyediaan

pakan ternak di Sulawesi Tengah dilaksanakan

pada bulan Januari - Desember 2017. Lokasi

kegiatan di Desa Bulubete Kecamatan Dolo

Selatan Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah dengan

areal pertanaman kelapa seluas ± 2,0 Ha dengan

usia kelapa masa produksi.

Indigofera sp yang telah berumur 75 hari

di polybag dipindahkan ke lahan pengkajian

melalui tahapan; pembuatan lubang tanam,

penanaman dan penimbunan kembali dengan

tanah. Lubang tanam dibuat dengan menggunakan

cangkul/sekop pada bedengan yang berukuran

lebar 1 meter, yang telah dibuat sebelumnya.

Kedalaman lubang tanam 15 - 20 cm dan diameter

10 - 15 cm. Penanaman dilakukan dengan cara;

bibit legum dikeluarkan dari dalam polybag

dengan cara menyobek plastik polybag, setelah itu

dimasukan/dibenamkan dalam lubang tanam dan

ditimbun kembali. Legum tersebut ditanam pada

kedua sisi bedengan dengan jarak tanam indigofera

sp pada tiap bedengan adalah 1 meter x 1 meter

Penentuan lokasi dilakukan secara sengaja

(Purpossive sampling) dengan pertimbangan

bahwa lokasi ini merupakan salah satu sentra

peternakan rakyat di wilayah Kabupaten Sigi,

berdasarkan rekomendasi dari dinas terkait.

Perlakuan pada introduksi legum indigofera sp di

sela pertanaman kelapa menggunakan rancangan

acak lengkap (RAL) yang di ulang 5 kali (Gomez

& Gomez, 1995). Adapun perlakuan yang diujikan

adalah jenis dan dosis pupuk sebagai berikut :

- Perlakuan 1 (P1) = pupuk urea 200 g /

pohon

- Perlakuan 2 (P2) = pupuk urea 100 g + ZA

50 g + TSP 50 g / pohon

- Perlakuan 3 (P3) = pupuk urea 50 g + ZA

75 g + TSP 75 g / pohon

- Perlakuan 4 (P4) = pupuk ZA 100 g /

pohon

- Perlakuan 5 (P5) = pupuk TSP 100 g /

pohon

Pengamatan dan pengambilan data

pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman,

jumlah cabang dan produksi hijauan dalam bentuk

segar dilakukan setiap bulan yakni pada umur 30,

60 dan 90 HST. Hasil pengamatan yang akan di

analisa adalah 90 HST untuk legum indigofera sp

di sela pertanaman kelapa dengan mengunakan

metode analisis varian (ANOVA), apabila berbeda

nyata maka akan dilanjutkan dengan uji beda nyata

terkecil LSD (Steel et al. 1995).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan Indigofera sp di Polybag

Jenis leguminosa yang di introduksikan

pada kegiatan ini yakni indigofera sp, sebelum di

tanam di sela pertanaman kelapa di bibitkan dahulu

dalam polybag hingga berumur 75 hari di kebun

percobaan (KP) Sidondo Kecamatan Sigi Biromaru

Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Total

hasil data dari pertumbuhan tanaman legum dari

pengamatan ditabulasi pada hari ke 45 dan 75.

Rata-rata pertumbuhan legum indigofera sp yaitu

tinggi tanaman dan jumlah daun disajikan

sebagaimana pada grafik pertumbuhan tanaman

Indigofera sp sebagai berikut.

Gambar 1. Pertumbuhan jenis legum Indigofera sp

masa perbibitan di polybag (sumbe data

diolah, 2018)

72 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:69-71

Pertumbuhan Legum Indigofera sp di Sela

Pertanaman Kelapa

Penanaman Indigofera sp di lahan lokasi

pengkajian dilakukan pada umur 75 hari di

perbibitan. Indigofera sp ditanam pada bedengan

berukuran lebar 1 meter di sela pertanaman kelapa.

Dimana dengan Jarak tanam legum dalam

bedengan adalah 1 x 1 meter. Pada saat tanaman

indigofera sp berumur 30 HST dilakukan

penyiangan, pjnyulaman tanaman yang mati dan

pemupukan dasar dengan menggunakan urea 100 g

per pohon.

Gambar 2. Ilustrasi lahan yang di tanami Indigofera sp

di Sela Pertanaman Kelapa

Pengamatan dan pengambilan data

pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman,

jumlah cabang dan produksi hijauan dalam bentuk

bahan segar dilakukan setiap bulan yakni pada

umur 30, 60 dan 90 hari setelah tanam (HST).

Rata-rata produksi hijauan legum Indigofera sp

yang diperoleh selama pengamatan dalam tabel 1.

Tabel 1 menunjukkan bahwa tanaman

indigofera sp memperlihatkan pertumbuhan yang

relatif baik . Hal ini dikarena indigofera sp

memiliki tingkat toleransi dan mampu beradaptasi

lebih baik pada kondisi lahan kering beriklim

kering sebagaimana kondisi di lokasi pengkajian.

Hasil beberapa penelitian sebelumnya dilaporkan

bahwa pada kondisi lingkungan yang sama

Indigofera sp lebih memiliki produksi biomasa

yang tinggi. Menurut Hassen et al. (2007)

Indigofera sp merupakan jenis tanaman

leguminosa yang memiliki kandungan nutrisi dan

produksi tinggi dan sangat toleran terhadap

cekaman kekeringan, genangan dan tanah asam.

Tabel 1. Rata-rata pertumbuhan Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang dan Produksi Hijau

Indigofera sp di sela pertanaman kelapa berdasarkan umur pengamatan

Aspek

diamati

Umur

(HST)

Perlakuan

P1 P2 P3 P4 P5

Tinggi

tanaman

(cm)

30 79.6 ± 1.02 77.8 ± 1.33 82.6 ± 1.02 82.6 ± 1.33 81.6 ± 1.02

60 173 ± 2.0 172.8 ± 1.2 189 ± 1.1 183.4 ± 2.0 186.8 ± 2.0

90* 220.4 ± 2.1 220.8 ± 2.6 222.8 ± 7.0 216.2 ± 10.3 218 ± 10.7

Jumlah

cabang

30 19 ± 1.1 22.2 ± 1.2 21 ± 1.4 20.2 ± 1.2 21.4 ± 1.0

60 24.4 ± 1.0 23.2 ± 1.2 23.4 ± 1.0 23.6 ± 1.0 23.8± 1.2

90* 27.6 ± 5.2 26.8 ± 5.8 28 ± 4.6 26.4 ± 3.0 24.6 ± 3.0

Produksi

Hijauan

(kg)

30 - - - - -

60 - - - - -

90* 5.50 ± 2.6 7.48 ± 3.1 5.20 ± 2.7 7.66 ± 1.4 4.78 1.4

Ket : * hasil uji statistik menunjukan (P> 0.05) berarti Perlakukan tidak berbeda nyata ;

- Produksi Segar Tidak diambil pada 30, 60 (HST) Sumber : Data diolah, 2018

73 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso

Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)

Perlakuan pemberian pupuk dengan jenis

dan dosis berbeda dilakukan setelah tanaman

Indigofera sp di panen serentak yakni pada umur

90 HST. Pada tahap ini, pengambilan data

pengaruh perlakuan pada aspek produksi hijauan

segar yakni bagian daun dan batang edible, jumlah

batang dan tinggi tanaman. Menurut Shehu et al.

(2001) bahwa rasio daun/batang pada leguminosa

pohon sangat penting, karena daun merupakan

organ metabolisme dan kualitas leguminosa pohon

dipengaruhi oleh rasio daun/batang. Semakin

banyak jumlah daun, kualitas leguminosa tersebut

semakin baik, karena daun merupakan bagian

jaringan tanaman yang memiliki kandungan

nutrisi paling tinggi dibandingkan dengan

batang/ranting.

Berdasarkan hasil panen pada jenis legum

Indigofera sp 90 HST pasca perlakuan diperoleh

rata-rata produksi hijauan segar sebagaimana pada

tabel 1 memperlihatkan hasil yang berbeda pada

setiap perlakukan, dengan kisaran berat segar yang

dihasilkan antara 5.5 – 7.6 Kg. Menurut Sirait et

al. (2009) menyatakan indigofera sp dapat

berproduksi secara optimum pada umur delapan

bulan dengan rata-rata produksi biomasa segar per

pohon sekitar 2,595 kg/panen, rasio produksi daun

per pohon 967,75 g/panen (37,29%) dan produksi

batang per pohon 1627,25 g/panen (63,57%)

dengan total produksi segar sekitar 52

ton/ha/tahun.

Hasil berat segar yang dihasilkan dari

Indigofera sp rataan terkecil 5.5 kg/pohon jika

dikalikan dengan jumlah pohon yang ditanam di

sela pertanaman kelapa dalam 1 ha dapat

menghasilkan HPT sekitar 2,20 ton/ha. Satu ST

disetarakan dengan satu ekor sapi betina dewasa

yang memiliki bobot badan 350 kg dengan

mengkonsumsi 35 kg rumput atau hijauan segar

atau setara dengan 9,1 kg rumput kering pada

kondisi bahan kering 100%. Penyeragaman

populasi ternak ruminansia dalam satuan ternak

(ST) mengikuti Ashari dkk (1999) yaitu satu ekor

sapi potong atau perah setara dengan 1 ST. Jika

kebutuhan pakan ternak sapi potong dewasa

membutuhkan hijauan sebanyak 35 kg/ekor/hari.

Maka dalam 1 Ha HPT Indigofera sp yang

dihasilkan dapat mencukupi kebutuhan pakan

ternak sapi potong dewasa sebanyak 62,8 ST.

Merujuk pada perlakukan pupuk yang

dilakukan secara umum mempunyai potensi yang

sama untuk semua perlakuan dikarenakan untuk

P>0.05 maka semua perlakuan pemupukan

memiliki potensi yang sama terhadap berat segar,

tinggi tanaman dan jumlah cabang, dengan kata

lain tidak ada perbedaan yang nyata antara

perlakuan P1, P2, P3, P4 dan P5. Namun

mempengaruhi sedikit terhadap hasil berat segar

terhadap produktivitas indigofera sp. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Abdull ah

et al. (2010), mengungkapkan bahwa aplikasi

pupuk daun dapat memperbaiki produksi hijauan

tanaman Indigofera sp, total produksi daun, rataan

tinggi tanaman, rataan jumlah cabang, rataan

persentase pucuk terhadap total daun dan rasio

daun-batang.

KESIMPULAN

Kesimpulan

Introduksi tanaman Indigofera sp di sela

pertaman kelapa mempunyai karateristik tingkat

tinggi tanaman, jumlah cabang dan produksi

hijauan yang sangat adaptif terhadap lahan

beriklim kering di bawah tegakan kelapa.

Perlakuan jenis dan dosis pupuk berbeda

memberikan respon atau potensi yang sama (tidak

berbeda nyata) pada tingkat tinggi tanaman, jumlah

cabang dan produksi hijauan hasil panen pada

tanaman Indigofera sp.

Saran

Indigofera sp dapat menjadi solusi

alternatif terhadap permasalahan keterbatasan HPT

pada peternakan rakyat di Kabupaten Sigi. HPT ini

Diharapkan dapat dikembangkan secara luas di

kabupaten Sigi khususnya di sela pertanaman

kelapa.

74 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:69-71

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis memberikan ucapan terimaksih

kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam

penulisan karya tulis ilmiah kepada Arief

Cahyono, S.St sudah membantu dalam berdiskusi

dan Yusti Pujiawati, M.Si memberikan literatur,

dan tentunya kepada Dr. drh. Wasito, M.Si yang

telah menjadi pembimbing dalam tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah L. 2010. Herbage production and quality

of shrub Indigofera treated by different

concentration of foliar fertilizer. Media

Peternakan. 32:169-175.

Allen ON, Allen E K, 1981. The Leguminosae, A

Source Book of Characteristic,Uses and

Nodulation. Wisconsin. The University of

Wisconsin Press.

Anguiano J M, Aguirre J, Palma J M, 2011.

Establishment of Leucaena leucocephala

with high sowing density undercoconut

(Cocusnucifera) tree. Cuban Journal of

Agricultural Science, Volume 46, Number 1

: 103 – 107.

Arachchi LP V, Liyanage M D S, 1983. Soil

physical conditions and root growth in

coconut plantations interplanted with

nitrogen fixing trees in Sri Lanka.

Agroforestry Systems 39: 305–318.

Aryogi, Sumadi, Hardjosubroto W. 2005.

Performan Sapi Silangan Peranakan Ongole

di Dataran Rendah (Studi Kasus di

Kecamatan Kota Anyar Kabupaten

Probolinggo Jawa Timur). Prosiding

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan

Veteriner. Bogor12 - 13 September 2005.

Bogor (Indonesia): Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan.

Ashari, F., E. Juarini, Sumanto, B. Wibowo,

Suratman, 1995. Pedoman Analisis Potensi

Wilayah Penyebaran dan Pengembangan

Peternakan. Balai Penelitian Ternak dan

Direktorat Bina Penyebaran dan

Pengembangan Peternakan. Jakarta

Bamualim A, Subowo G, 2010. Potensi dan

peluang pengembangan ternak sapi di lahan

perkebunan Sumatera Selatan. Prosiding

Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi

Kelapa Sawit-Sapi. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Peternakan. Badan Litbang

Pertanian. Kementerian Pertanian.

Badan Pusat Statistik. 2016. Provinsi Sulawesi

Tengah dalam Angka 2015. Palu . Badan

Pusat Statistik Sulawesi Tengah

Badan Pusat Statistik. 2017. Provinsi Sulawesi

Tengah dalam Angka 2017. Palu . Badan

Pusat Statistik Sulawesi Tengah

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan.2017. Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian Impor Komoditi

Pertanian Subsektor Peternakan.

http://database.pertanian.go.id/eksim2012as

p/hasilimporSubsek.asp. Jakarta

Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan

Hewan.2017. Pedoman Pelaksanaan Upaya

Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus

Siwab). Edisi Revisi 1. Jakarta

Bamualim, A M, 2011. Pengembangan teknologi

pakan sapi potong di daerah semi-arid Nusa

Tenggara. Pengembangan Inovasi Pertanian

4: 175-188.

Diwyanto K, Rusastra IW. 2013. Pemberdayaan

peternak untuk meningkatkan populasi dan

produktivitas sapi potong berbasis sumber

daya lokal. Pengembangan Inovasi Pertanian

6:105-118

Elly F.H., P. O. V. Waleleng, Ingriet D. R.

Lumenta dan F. N. S. Oroh , 2015.

Introduksi Hijauan Makanan Ternak Sapi Di

Minahasa Selatan. Jurnal Pastural Vol. 3 No.

1 : 5 – 8.

Gomez, KA, Gomez AA. 1995. Prosedur statistic

untuk penelitian. Sjamsuddin E, Baharsjah

JS, penyuting. Jakarta (Indonesia) : UI Press.

75 Pertumbuhan Indigofera sp pada Sela Pertanaman Kelapa di Kabupaten Sigi (Wardi, Andi Baso

Lompengeng Ishak, dan Muhamad Takdir)

Kementerian Pertanian RI.2016. Keputusan

menteri Pertanian Tentang Upaya Khusus

Percepatan Peningkatan Populasi Sapi Dan

Kerbau Bunting. Tanggal 3 Oktober 2016.

Jakarta

Lasamadi RD, Malalantang SS, Rustandi, Anis

SD.2013. Pertumbuhan dan perkembangan

rumput Gajah drawf (Pennisetum

purpureum cv.Mott ) yang diberi pupuk

organik hasil permentasi EM4. J Zootek. 32

:158-171

Nawas W, 2013. Mott grass. SlideShare Internet).

Available from :

http://www.slideshare.net/vicky14381/mott-

grass.

Purwantari N D, B Tiesnamurti, Y Adinata, 2014.

Ketersediaan Sumber Hijauan di Bawah

Perkebunan Kelapa Sawit

untukPenggembalaan Sapi. Wartazoa 4 : 047

– 054.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.

2016. Supervisi dan Pendampingan Sapi

Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab).

Disampaikan pada Rapat koordinasi UPT

Lingkup Puslitbangnak dan BPTP. Tanggal

19 desember 2016. Bogor.

Steel RD, Torrie JH, Dickey DA. 1995. Principles

and procedures of statistics. A Biometrical

Approach. 3rd ed. New York (NY):

McGraw Hill. p. 665.

Sirait J, Tarigan A, Simanihuruk K. 2015.

Karakteristik Morfologi Rumput Gajah

Kerdil (Pennisetum purpureum cv Mott)

pada Jarak Tanam Berbeda di Dua

Agroekosistem di Sumatera Utara. Prosiding

Semnas Teknologi Peternakan dan Veteriner

2015.

Susanti, A.E., A. Prabowo dan J. Karman. 2013.

Identifikasi dan Pemecahan Masalah

Penyediaan Pakan Sapi Dalam Mendukung

Usaha Peternakan Rakyat di Sumatera

Selatan. Prosiding. Seminar Nasional

Peternakan Berkelanjutan. Inovasi

Agribisnis Peternakan Untuk Ketahanan

Pangan. Fakultas Peternakan Universitas

Padjadjaran, Bandung. p: 127-132.

Takdir M, Munier FF. 2013. Kondisi Peternak dan

Keragaan Pengelolaan Reproduksi Sapi

Betina Di Lokasi Pendampingan Program

PSDS-K Sulawesi Tengah. Dalam:

Mardiana, Haryono P, Padang IS,

Irmadamayanti A, Dewi M, Biolan H, et al.,

penyunting. Akselerasi Inovasi dan

Diseminasi Teknologi Menuju Kemandirian

dan Ketahanan Pangan Berbasis

Sumberdaya Genetik Lokal. Prosiding

Seminar Nasional. Palu 18 Maret 2013.

Bogor (Indonesia): Balai Besar Pengkajian

dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

hlm. 1101-1111.

Thulin M, 1982. New and noteworthy species of

Indigofera (Leguminosae) from NE Africa.

Nord. J. Bot. 2 : 41 – 50.

77Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim

(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)

WAKTU TANAM PADI SAWAH RAWA PASANG SURUT PULAU KALIMANTAN

MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM

Nur Wakhid1 dan Haris Syahbuddin

2

1Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Jl. Kebun Karet, Loktabat Utara, Banjarbaru, Indonesia

2Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl. Tentara Pelajar 10, Bogor, Indonesia

Email: [email protected]

ABSTRACT

Cropping Time of Tidal Swamp Paddy in Kalimantan Island to Face Climate Change. One of the critical

factors for agricultural cultivation in tidal swamp land is cropping time. Paddy cropping time has a very important

role in production of agricultural cultivation. Currently, there are 3 cropping times in Indonesia which area in the

rainy season (November to February), first of dry season (March to June), and second of dry season, (July to

October). However, the climate change dynamic such as drought (El Nino) and wetness (La Nina) has shifted the

cropping time and resulted a negative impact on the productivity of paddy rice. Therefore, an analysis of the rice

cropping time needs to be done on Kalimantan tidal swampland areas. Cropping time in the tidal swampland area

began after the amount of rain was sufficient to dissolve the levels of iron in water. In West Kalimantan, the cropping

time realization generally occurs in Dasarian 28 (October), while East Kalimantan on Dasarian 31 (November), and

South Kalimantan and Central Kalimantan on Dasarian 7 (March). Cropping time in tidal swamp land showed a

high level of substantiality to climate change, in which planting time did not change for 10 years in different climatic

conditions.

Keywords: decade, tidal, rainwater, substantiality

ABSTRAK

Salah satu faktor penentu keberhasilan budidaya pertanian di lahan rawa pasang surut adalah waktu tanam.

Waktu tanam tanaman pangan terutama padi mempunyai peranan sangat penting terhadap produksi akhir hasil

pertanian. Di Indonesia saat ini dikenal tiga Musim Tanam, yaitu musim hujan, antara bulan November-Pebruari,

musim kemarau I, antara bulan Maret-Juni; dan musim kemarau II, antara bulan Juli-Oktober. Akan tetapi,

dinamika perubahan iklim seperti kekeringan (El Nino) dan kebasahan (La Nina) yang tidak menentu, berimbas

pada pergeseran awal dan akhir musim tanam serta berdampak negatif bagi produktivitas tanaman padi. Oleh

karena itu, analisis tentang waktu tanam padi di lahan rawa pasang surut Pulau Kalimantan perlu dilakukan. Waktu

tanam di lahan pasang surut dimulai setelah jumlah air hujan mencukupi untuk melarutkan kadar besi yang ada di

dalam air. Di Provinsi Kalimantan Barat umumnya realisasi tanam terjadi pada Dasarian 28 (Oktober), Kalimantan

Timur pada Dasarian 31 (November), serta Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah Dasarian 7 (Maret). Waktu

tanam di lahan rawa pasang surut menunjukkan tingkat kekukuhan yang tinggi terhadap perubahan iklim yaitu

waktu tanam tidak terlalu berubah selama 10 tahun pada kondisi iklim berbeda.

Kata kunci: dasarian, luapan, air hujan, kekukuhan

78 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86

PENDAHULUAN

Rawa merupakan wadah air beserta air

dan daya air yang terkandung di dalamnya,

tergenang secara terus menerus atau musiman,

terbentuk secara alami di lahan yang relatif datar

atau cekung dengan endapan mineral atau gambut,

dan ditumbuhi vegetasi yang merupakan suatu

ekosistem (PP RI No. 73 Tahun 2013). Lahan rawa

merupakan salah satu lahan sub optimal yang layak

dikembangkan untuk pertanian. Di Indonesia,

terdapat hampir 30% dari 33,4 juta ha lahan rawa

layak dikembangkan untuk budidaya pertanian

(Haryono, 2012). Lahan rawa tersebut tersebar di

seluruh pulau di Indonesia khususnya Pulau

Kalimantan dengan luasan lahan rawa terbesar

(Ritung, 2011). Berdasarkan pengaruh pasang

surut, lahan rawa dibagi menjadi 2 zona yaitu

lahan rawa pasang surut dan non pasang surut atau

rawa lebak. Lahan rawa pasang surut dipengaruhi

oleh gerakan air pasang surut laut dan atau sungai,

baik langsung maupun tidak langsung, dan

merupakan lahan rawa dominan yang ada di

Indonesia. Berdasarkan perbedaan topografinya,

lahan rawa pasang surut dibagi menjadi beberapa

tipe luapan air: (1) Tipe luapan A, yaitu lahan yang

terluapi oleh pasang besar dan kecil, (2) Tipe

luapan B, yaitu lahan yang terluapi oleh pasang

besar saja, (3) Tipe luapan C, yaitu lahan yang

tidak terluapi air pasang, tetapi tinggi muka airnya

dangkal, dan (4) Tipe luapan D, yaitu lahan yang

tidak terluapi air pasang dan tinggi muka airnya

dalam (BBSDLP, 2006).

Pengembangan pertanian di lahan rawa

pasang surut merupakan salah satu hal yang perlu

dilakukan. Lahan pasang surut telah menjadi

sumber pencaharian penting bagi masyarakat

sekitarnya (Sahuri et al., 2014). Kebutuhan beras

di Indonesia diperkirakan meningkat sampai 2%

setiap tahunnya. Di sisi lain, terjadi penurunan

lahan subur pertanian di Pulau Jawa, akibat

konversi lahan yang juga meningkat setiap

tahunnya (Haryono, 2012). Produktivitas padi di

Indonesia juga dilaporkan semakin mengalami

penurunan (Kusnadi et al., 2011). Padahal potensi

lahan rawa pasang surut di Indonesia masih sangat

besar. Dari 9,45 juta ha lahan rawa pasang surut

yang dapat dijadikan lahan pertanian, baru 4,2 juta

ha yang telah direklamasi dan dimanfaatkan baik

oleh petani lokal, penempatan areal transmigrasi

dan petani pendatang lainnya (Nugroho et al.,

1993).

Pemanfaatan lahan rawa pasang surut

untuk pertanian memang tidak mudah karena

dipengaruhi oleh beberapa hal. Salah satu faktor

penentu kebehasilan budidaya pertanian di lahan

rawa pasang surut adalah waktu tanam. Waktu

tanam tanaman pangan terutama padi mempunyai

peranan yang sangat penting pada produksi akhir

hasil pertanian (Runtunuwu et al., 2011).

Penggesean waktu tanam walaupun hanya sekitar

10 hari (dasarian) berpotensi untuk menurunkan

hasil sampai 40% (Irianto, 2000). Di Indonesia saat

ini dikenal tiga Musim Tanam (MT), yaitu: (a) MT

I atau musim hujan (MH), antara bulan November

s/d Pebruari; (b) MT II atau musim kemarau I

(MK-I), juga disebut musim gadu, antara bulan

Maret s/d Juni; dan (c) MT III atau musim

kemarau II (MK-II), antara bulan Juli s/d Oktober.

Akan tetapi, dinamika perubahan iklim seperti

periode kekeringan (tahun El Nino) dan atau

kebasahan (tahun La Nina) yang tidak menentu,

berimbas pada pergeseran awal dan akhir musim

tanam serta berdampak negatif bagi produktivitas

tanaman, khususnya tanaman padi (Runtunuwu et

al., 2013). Oleh karena itu, analisis waktu tanam

padi di lahan rawa pasang surut Pulau Kalimantan

di tengah perubahan iklim perlu dilakukan.

METODOLOGI

Analisis waktu tanam dilakukan di sawah

rawa pasang surut Pulau Kalimantan hingga

tingkat kecamatan pada tahun 2011 sampai tahun

2012. Analisis dilakukan melalui dua tahap:

1. Analisis data sekunder meliputi: 1) Data luas

tanam 10 tahun terakhir (2000-2010) dari

Badan Pusat Statistik (BPS); 2) Data curah

hujan harian selama 10 tahun terakhir (2001-

2010) lahan rawal lebak pulau Kalimantan dari

stasiun iklim Badan Meteorologi, Klimatologi

79Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim

(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)

LUAS BAKU SAWAH

PASANG SURUT

LUAS TANAM

PER KECAMATAN

WAKTU TANAM PADI

SAWAH PASANG SURUT

SELAMA 10 TAHUN

WAKTU TANAM PADA KONDISI IKLIM YANG

BERBEDA

dan Geofisika (BMKG), Kementerian

Pekerjaan Umum (PU) dan Balai Proteksi

Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPTPH) di

Pulau Kalimantan; dan 3) Data prediksi sifat

hujan musim tanam 2011/2012 dari BMKG.

2. Survei acak daerah pertanaman padi dan

wawancara dengan petani di lapangan. Data

primer hasil wawancara petani meliputi tinggi

muka air atau genangan, puncak tanggal tanam,

rotasi tanaman, dan intensitas tanam.

3. Analisis waktu tanam menggunakan data

dasarian atau 10 harian, dimulai dari bulan

Januari sampai Desember dengan total 36

dasarian. Data dasarian digunakan untuk

penetapan waktu tanam karena mengikuti

rentang waktu dasarian data curah hujan yang

berkaitan erat dengan musim tanam (BMKG,

2014).

4. Analisis neraca beras di Pulau Kalimantan.

Data yang digunakan adalah luas panen atau

produksi padi Pulau Kalimantan dari BPS.

5. Analisis implikasi waktu tanam terhadap neraca

beras.

Bagan alur analisis dinamika waktu tanam padi di

sawah lahan rawa Pulau Kalimantan disajikan pada

Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alur analisis waktu tanam padi di

sawah rawa pasang surut Pulau Kalimantan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas lahan sawah pasang surut di Pulau

Kalimantan

Total luas lahan sawah di Pulau

Kalimantan sekitar 2.798.749 ha, sekitar 394.910

ha berada di ekosistem rawa dan 78% nya adalah

sawah rawa pasang surut, sisanya berada di

ekosistem rawa lebak dan polder lainnya (BPS,

2011). Luas sawah pasang surut terluas di Provinsi

Kalimantan Selatan, diikuti Provinsi Kalimantan

Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.

Sawah pasang surut di Kalimantan Selatan

mencapai 168.826 ha (Gambar 2), dengan luas

lahan terluas di Kecamatan Tabunganen, Barito

Kuala. Puncak tanam di Kalimantan Selatan terjadi

pada bulan Maret seluas 96.164 ha. Sedangkan di

Kalimantan Tengah mencapai 77.235 ha, diikuti

Kalimantan Barat, seluas 57.637 ha dan

Kalimantan Timur seluas 7.527 ha (BPS, 2011).

Gambar 2. Luas sawah pada ekosistem rawa seluruh

provinsi di Pulau Kalimantan

Di seluruh Pulau Kalimantan, lahan sawah

lebih banyak diusahakan di rawa pasang surut,

meskipun dari sisi kesuburan tanah, lahan pasang

surut bersifat sangat masam, kahat unsur Fe, pirit

tinggi, dan dapat bersifat salin ketika musim

kemarau panjang. Instrusi air laut yang terus

menerus dan tidak dapat dinetralkan kembali

dengan keberlimpahan air dari daerah hulu,

menyebabkan lahan sawah pasang surut tipe

luapan A berubah fungsi menjadi tambak, seperti

80 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86

terjadi di Rawa Seragi, Lampung Selatan, serta

provinsi lainnya yang memiliki rawa. Intrusi air

laut dan berkurangnya ketersediaan air segar untuk

irigasi menyebabkan banyak lahan sawah pasang

surut yang semula dapat ditanami dua kali, menjadi

hanya dapat ditanami satu kali dalam setahun,

seperti banyak terjadi di Tarantang, Kabupaten

Barito Kuala. Selain itu, keengganan masyarakat

menggunakan pola tanam sawit dupa (unggul-

lokal) dalam bertanam padi dan ditambah dengan

peluang keuntungan yang lebih besar apabila

hamparan sawah pasang surut diubah menjadi

sistem surjan dengan pertanaman jeruk/karet/dan

tanaman buah/horti lainnya, menjadikan banyak

hamparan sawah di rawa pasang surut hanya dapat

ditanami satu kali dalam setahun.

Waktu tanam padi di lahan rawa pasang surut

Penetapan waktu tanam di lahan rawa ini

menggunakan luas lahan sawah rawa yang ada

pada masing-masing tipologi lahan. Karena

luasannya yang berubah-ubah mengikuti pola

fluktuasi pasang naik dan pasang surut muka air

laut pada rawa pasang surut, maka luas baku sawah

ini juga berubah-ubah. Pada analisis ini, data yang

digunakan adalah luas lahan sawah di rawa pasang

surut dan lebak per kecamatan tahun 2010.

Realisasi waktu tanam padi sawah rawa

pasang surut di Pulau Kalimantan menunjukkan

pola yang cukup berbeda, apalagi dibandingkan

waktu tanam lahan rawa lebak (Wakhid et al.,

2015). Waktu tanam puncak di Provinsi

Kalimantan Selatan mirip dengan pola di

Kalimantan Tengah dengan realisasi waktu tanam

terbanyak terjadi pada kisaran dasarian 7-10 atau

sekitar bulan Maret-April. Pola ini berlawanan

dengan waktu tanam di Provinsi Kalimantan Barat

dan Kalimantan Timur, karena waktu tanam

dominan terjadi pada dasarian 30-33 atau sekitar

bulan Oktober-November (Gambar 3). Pada

dasarnya, realisasi tanam petani padi sawah di

lahan rawa pasang surut terjadi setelah kejadian

hujan yang diperkirakan cukup untuk pengairan

sekaligus melarutkan kadar besi di dalam air.

Waktu tanam di Kalimantan Selatan dan

Kalimantan Tengah dimulai sekitar bulan Maret.

Bulan-bulan tersebut sifat asam telah larut setelah

terjadinya curah hujan cukup lama. Selain itu, luas

sawah pasang surut di Kalimantan Selatan dan

Tengah lebih luas dibandingkan Kalimantan Barat

maupun Timur sehingga kemungkinan penanaman

setelah menunggu curah hujan beberapa waktu

menjadi sangat rasional. Jenis sawah pasang surut

yang dominan di Kalimantan Selatan dan Tengah

adalah sawah pasang surut tipe A dan B,

(BBSDLP, 2006). Pada kondisi tersebut, curah

hujan yang dibutuhkan lebih besar dan lama dari

pada sawah pasang surut tipe C atau D. Waktu

tanam di sawah pasang surut juga dipengaruhi oleh

jaringan irigasi atau saluran air sehingga kekuatan

pasang surut akan berkurang. Khusus untuk

Kalimantan Barat, waktu tanam juga dipengaruhi

oleh zona musim atau provinsi tersebut termasuk

daerah Non Zona Musim (Non ZOM), yang pada

umumnya tidak memiliki perbedaan jelas antara

periode musim hujan dan musim kemarau.

Metode tanam juga berpengaruh pada

waktu tanam keseluruhan. Proses awal tanam di

Provinsi Kalimantan Selatan membutuhkan waktu

cukup lama dalam proses awal tanam. Proses

penanaman padi di sawah pasang surut Kalimantan

Selatan biasanya menggunakan varietas lokal

dengan sistem tanam pindah sebanyak 3 kali

penyemaian yaitu persemaian I (taradakan),

persemaian II (ampakan), dan persemaian III

(lacakan). Seluruh kegiatan ini biasanya

membutuhkan waktu sekitar 4 bulan sampai

tanaman siap ditanam di lahan sawah pada sekitar

bulan Maret. Kegiatan persemaian I (menaradak)

dimulai menjelang musim hujan bila tanah sudah

mulai basah pada bulan Oktober. Kegiatan

persemaian II (maampak) dilakukan setelah umur

bibit pada persemaian I sekitar 35-40 hari, yaitu

pada bulan November. Bibit tersebut dipindah dan

ditanam ke areal petakan persemaian II yang lebih

luas dengan harapan bibit menjadi besar dan kuat

sekaligus untuk memperbanyak bibit. Kegiatan

persemaian III (malacak) dilakukan setelah bibit

berada sekitar 35-45 hari pada persemaian ke II

(Januari), bibit dicabut dan ditanam pada areal

lacakan yang lebih luas agar tanaman cukup

mampu mengatasi dinamika tinggi muka air yang

81Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim

(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)

-

3.000

6.000

9.000

12.000

15.000

Realisasi Tanam (ha)

Kalteng

-

100

200

300

400

500

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34

Realisasi Tanam (ha)

Dasarian

Kaltim

cukup tinggi. Lacakan dibiarkan tumbuh selama

50-70 hari sebelum dilakukan penanaman pada

areal persawahan pada bulan Maret, dan panen

pada bulan Agustus.

Gambar 3. Pola realisasi tanam dasarian padi pada lahan

sawah pasang surut di Kalimantan, periode 2000-2010

Waktu tanam padi sawah pasang surut pada

tahun dan kondisi iklim berbeda

Lahan rawa pasang surut juga

menunjukkan tingkat kekukuhan tinggi terhadap

perubahan iklim. Pola realisasi tanam hanya

mengalami pergeseran sedikit sekali ketika terjadi

El Nino maupun La Nina (Gambar 4). Secara

umum tinggi luapan pasang optimal untuk tanaman

padi di sawah < 24 cm. Pada musim hujan luapan

air yang dapat ditoleransi padi sekitar 35 cm dari

permukaan tanah. Pada padi lokal, terdapat

mekanisme mempertahankan diri dari genangan air

dengan memanjangkan batang melewati

permukaan air. Sementara pada padi unggul lahan

rawa, rendaman air di atas 35 cm dapat ditoleransi

apabila lama genangan tidak melebihi 14 hari.

Sementara tinggi muka air tanah yang optimal

untuk tanaman padi ialah < 40 cm. Pada kondisi

tersebut, perakaran tanaman padi masih dapat

menjangkau air untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Di saat musim kering, tinggi muka air

tanah turun atau lebih dalam dari 40 cm, perakaran

padi tidak lagi dapat menjangkau air sehingga

menjadi faktor pembatas.

Pola tanam di masing-masing provinsi di

Pulau Kalimantan juga berkaitan erat dengan sifat

hujan (ZOM BMKG) di tempat tersebut. Kondisi

iklim di Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El

Nino/La Nina yang bersumber dari wilayah timur

Indonesia (Ekuator Pasifik Tengah/Nino 34) dan

Dipole Mode yang bersumber dari wilayah barat

Indonesia (Samudera Hindia Barat Sumatra hingga

Timur Afrika). Selain itu juga dipengaruhi oleh

fenomena regional, seperti sirkulasi monsun Asia-

Australia, daerah pertemuan angin antar tropis atau

Inter Tropical Convergence Zone (ITCZ) yang

merupakan daerah pertumbuhan awan, serta

kondisi suhu permukaan laut sekitar wilayah

Indonesia.

Pulau Kalimantan yang meliputi 4 provinsi

terdiri dari 22 Zona Musim (ZOM) yaitu nomor

264 s/d 285. Awal musim hujan 2011/2012 pada

22 Zona Musim (ZOM) di Kalimantan,

diprakirakan berkisar pada bulan Oktober 2011.

Sebanyak 3 ZOM, awal musim hujan antara

dasarian I – III September 2011, meliputi

Ketapang, Kutai, Malinau, dan Kertanegara.

Sedangkan 17 ZOM meliputi Sebagian besar

Kalimantan, awal musim hujan antara dasarian I –

III Oktober 2011. Sebanyak 2 ZOM, awal musim

hujan antara dasarian I – III Nopember 2011,

meliputi Pulau Laut, Tanah Bumbu bagian tengah,

dan Pasir bagian timur. Sifat hujan musim hujan

2011/2012 pada 22 Zona Musim di Kalimantan,

82 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86

diperkirakan umumnya Normal (N) hingga Atas

Normal (AN). Sebanyak 8 ZOM, sifat hujan

musim hujan 2011/2012 Atas Normal, meliputi

Kalimantan Timur bagian barat dan selatan, Pulau

Laut, Tanah Bumbu bagian tengah, Pasir bagian

timur, Barito Kuala, Banjar bagian barat, Tapin

bagian selatan, dan Tanah Laut bagian selatan.

Sedangkan 14 ZOM lainnya, sifat hujan musim

hujan 2011/2012 Normal, meliputi sebagian besar

Kalimantan.

Khusus untuk daerah Kalimantan Barat

masuk Non Zona Musim (Non ZOM) atau periode

musim hujan dan musim kemarau tidak jelas.

Dalam hal ini, daerah yang sepanjang tahun curah

hujannya tinggi atau rendah. Berdasarkan data

perkiraan hujan BMKG Pontianak tahun

2011/2012, sebagian besar wilayah Kalimantan

Barat mempunyai sifat hujan normal kecuali kota

Singkawang yang mempunyai sifat hujan atas

normal.

Prediksi waktu tanam menurut hasil kuesioner

Kalimantan Selatan

Varietas yang dominan digunakan pada

lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan adalah

varietas lokal seperti Siam berumur sekitar 10

bulan dengan sistem tanam pindah sebanyak tiga

kali penyemaian, yaitu persemaian I (taradakan),

persemaian II (ampakan), dan persemaian III

(lacakan). Pada iklim normal (TN), kegiatan

persemaian I (menaradak) dimulai menjelang

musim hujan apabila tanah sudah mulai basah pada

bulan Oktober. Kegiatan persemaian II (maampak)

dilakukan setelah umur bibit pada persemaian I

sekitar 35-40 hari, yaitu pada bulan November.

Bibit tersebut dipindah dan ditanam ke areal

petakan persemaian II yang lebih luas dengan

harapan bibit menjadi besar dan kuat sekaligus

untuk memperbanyak bibit. Kegiatan persemaian

III (malacak) dilakukan setelah bibit berumur 35-

45 hari pada persemaian ke II (Januari), bibit

dicabut dan ditanam pada areal lacakan yang lebih

luas agar tanaman cukup mampu mengatasi

dinamika tinggi muka air yang cukup tinggi.

Lacakan dibiarkan tumbuh selama 50-70 hari

sebelum dilakukan penanaman pada areal

Kalimantan Selatan

Kalimantan Tengah

Kalimantan Timur

Kalimantan Barat

83Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim

(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)

persawahan pada bulan Maret, dan panen pada

bulan Agustus.

Adanya curah hujan di bawah normal (TK)

menyebabkan terjadinya pergeseran awal

persemaian pertama, bergeser ke bulan November,

maka terjadi perpendekan waktu bibit berada pada

persemaian I, II dan III sehingga tanam tetap bulan

Maret. Demikian juga dengan adanya curah hujan

di atas normal (TB), pergeseran terjadi hanya pada

lama bibit berada pada semaian I, II dan III,

penanaman tetap dilakukan pada bulan Maret.

Pergeseran waktu tanam menjadi Februari atau

April umumnya disebabkan masalah ketersediaan

tenaga kerja atau pada lahan yang airnya sudah

surut atau masih terlalu tinggi (terutama pada lahan

tipe luapan C).

Padi varietas unggul ditanam hanya

sebagian kecil saja, umumnya di persawahan Unit

Pemukiman Transmigrasi (UPT) dengan pola sawit

dupa (padi lokal-padi unggul). Penanaman padi

varietas unggul dilakukan dengan memanfaatkan

lahan sisa penyemaian padi lokal (70-80% dari

luas sawah) dan waktu penyemaian I, II dan III

padi lokal, yaitu bulan Oktober s/d Februari tahun

berikutnya. Penyemaian padi unggul dilakukan

bersamaan dengan penyemaian I pada padi lokal

yaitu setelah tanah mulai basah (Oktober) dan

penanaman dilakukan pada bulan November serta

panen pada akhir bulan Februari sehingga pada

bulan Maret sudah bisa dilakukan tanam padi

lokal.

Adanya curah hujan di bawah normal

(TK), dan bila menyebabkan terjadinya pergeseran

awal musim hujan, maka penyemaian bergeser

sesuai dimulainya awal musim hujan dan secara

otomatis akan menggeser waktu tanam dan waktu

panen, tetapi pergeseran tidak terlalu lama karena

curah hujan yang rendah pada fase pemasakan

akan mempercepat proses pemasakan gabah sekitar

7-10 hari. Sedangkan adanya curah hujan di atas

normal (TB) menyebabkan ketinggian muka air

meningkat dan kesulitan tanam terutama pada

lahan tipe B yang sistem drainasenya kurang lancar

dan pada lahan tipe luapan C. Ketinggian

maksimum luapan air pasang surut berkaitan

dengan curah hujan kawasan. Pada lahan tipe D,

jarang dimanfaatkan untuk tanam padi, hanya

sebagian kecil bertanam padii gogo, saat tanam

tergantung awal musim hujan, umumnya pada

bulan Oktober untuk TB dan November untuk TN

dan Desember untuk TK.

Kalimantan Barat

Pada lahan pasang surut tipe luapan A

(diwakili lokasi Siantan, Kabupaten Pontianak)

puncak tanam pada tahun kering jatuh bulan

November, tahun basah jatuh bulan Juli dan tahun

normal juga jatuh pada bulan Juli, sedangkan pada

tipe luapan B sangat variatif sekali di lokasi Sei

Kakap, Kabupaten Kubu Raya puncak tanam pada

tahun kering jatuh pada bulan Oktober, Rasau

Jaya, Kabupaten Kubu Raya jatuh pada bulan

September, sementara lokasi Siantan, Kabupaten

Pontianak dan Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu

jatuh pada Agustus. Puncak tanam pada tahun

basah di lokasi Sei Kakap jatuh pada bulan

November – Desember, dan pada tahun normal

jatuh pada Desember, sedang di lokasi Siantan,

Kabupaten Pontianak dan Putusibau, Kabupaten

Kapuas Hulu puncak tanam tahun basah dan

normal sama-sama jatuh pada bulan September.

Pada lahan rawa pasang surut tipe luapan

B/C masing-masing puncak tanam pada lokasi

Semangau, Kabupaten Sambas pada tahun kering

jatuh pada bulan November, tahun basah dan tahun

normal jatuh pada bulan yang sama November,

sedangkan pada Sei Raya, Kabupaten Bengkayang

pada tahun kering, tahun basah dan normal jatuh

pada November. Pada lahan rawa pasang surut tipe

luapan C pada Kabupaten Sintang, puncak tanam

pada tahun kering jatuh pada Agustus, pada tahun

basah jatuh bulan September dan pada tahun

normal jatuh pada bulan Oktober, sedangkan pada

lokasi Tebas, Kabupaten Sambas puncak tanam

pada tahun kering jatuh pada November, pada

tahun basah dan tahun normal juga jatuh pada

bulan November. Puncak tanam menunjukkan

semakin ke belakang atau melambat seiring dengan

tipe luapannya atau dengan kata lain puncak tanam

pada tipe luapan B lebih awal dibandingkan luapan

C dan A pada tahun kering, tetapi tipe luapan A

berturutan lebih awal daripada tipe B, B/C dan C

84 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86

pada tahun normal. Hal serupa juga terjadi di

Kalimantan Selatan dengan tanam lebih awal pada

tipe luapan A menyusul B dan C pada tahun-tahun

normal.

Kalimantan Tengah

Pada lahan rawa pasang surut tipe A di

Kabupaten Kapuas puncak waktu tanam musim

hujan (MH) pada tahun kering (TK) terjadi pada

sepuluh hari terakhir bulan Maret hingga sepuluh

hari pertama bulan April (Maret III/April I).

Sedangkan pada lahan pasang surut tipe B puncak

waktu tanam MH pada TK terjadi pada Maret III.

Dengan demikian, baik lahan pasang surut tipe A

maupun B mempunyai kelompok waktu tanam

yang sama yaitu Maret III/April I. Kemudian di

lahan pasang surut tipe C puncak waktu tanam MH

pada TK terjadi pada Februari II, sedangkan pada

MK I terjadi pada September II untuk IP-200.

Kondisi ini menunjukkan bahwa semakin tinggi

posisi lahan, maka waktu tanam MH pada TK

lebih cepat. Kasus yang sama juga terjadi di

Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang

Pisau. Berbeda dengan di Desa Blanti Siam,

Kecamatan Pandihbatu, puncak waktu tanam MH

(TK) terjadi pada Oktober II/III, sedangkan pada

MK I terjadi pada Juli I/II untuk IP 200.

Perbedaan ini disebabkan karena perbedaan sistem

tata air yang digunakan. Di Blanti Siam, sistem tata

air yang digunakan adalah sistem pipanisasi,

sehingga pengelolaan airnya lebih mudah

dilakukan dan sistem tanam tabela (tanam benih

langsung).

Di Teluksampit, Kotawaringin Timur,

lahan pasang surut tipe A puncak waktu tanam MH

(TK) terjadi pada September III/Oktober I dan

Januari III/Februari I, sedangkan lahan pasang

surut tipe B terjadi pada Oktober II/III dan Maret

III/April I. Puncak tanam di Teluksampit lebih

cepat dibandingkan lokasi lain karena lokasi dekat

pantai, sehingga untuk menghindari kegagalan

panen akibat intrusi air asin waktu tanam

dimajukan. Di Kotawaringin Barat puncak waktu

tanam MH (TK) pada lahan pasang surut tipe A

terjadi pada Oktober II/III, sedang pada lahan

pasang surut tipe B dan C tidak ditanami akibat

kekeringan. Di lihat dari topografi lahan di

Kotawaringin Barat lebih tinggi dibandingkan

dengan Kapuas, Pulangpisau, dan Kotawaringin

Timur.

Puncak waktu tanam MH (TN) pada lahan

pasang surut tipe A rata-rata maju 1 dasarian,

karena tidak bisa dilakukan tanam akibat genangan

air masih tinggi. Begitu juga dengan puncak

tanggal tanam MH (TB) maju 2 - 3 dasarian.

Kondisi yang sama juga terjadi pada lahan pasang

surut tipe B dan tipe C. Perbedaan ini disebabkan

karena perbedaan tinggi genangan air.

Kalimantan Timur

Puncak tanggal tanam musim hujan pada

tahun kering (TK) di lahan pasang surut tipe

luapan A Kalimantan Timur adalah pada bulan

Desember minggu kedua (Desember II) sampai

bulan Pebruari minggu pertama (Pebruari I).

Adanya perbedaan puncak tanggal tanam ini

disebabkan letak persawahan dari sungai, ada

tidaknya saluran primer, dan terpeliharanya

saluran-saluran yang telah dibuat. Persawahan

yang terletak relatif lebih jauh dari sungai dan

saluran air yang kurang baik lebih menunda saat

pertanaman sehingga puncak tanggal tanamnya

juga tertunda. Pada musim tanam kedua, puncak

tanggal tanam berkisar antara Mei II sampai Juni

II. Perbedaan ini juga disebabkan seperti pada

pertanaman pertama, yaitu faktor letak

persawahan, ada tidaknya saluran air, dan

terpeliharanya saluran air tersebut.

Pada tahun normal (TN), puncak tanggal

tanam musim hujan pada tipe luapan A pada bulan

Desember minggu ketiga (Desember III) sampai

Februari minggu kedua (Pebruari II). Sedangkan

pada musim tanam kedua terjadi pada bulan Mei

minggu keempat (Mei IV) sampai Juni minggu

kedua (Juni II). Sama seperti pada tahun kering,

ada perbedaan puncak tanggal tanam di

persawahan yang disebabkan oleh letak

persawahan dari sungai, ada tidaknya saluran

primer, dan terpeliharanya saluran-saluran yang

telah dibuat.

85Waktu Tanam Padi Sawah Rawa Pasang Surut Pulau Kalimantan Menghadapi Perubahan Iklim

(Nur Wakhid dan Haris Syahbuddin)

Pada tahun basah (TB), puncak tanggal

tanam musim hujan pada tipe luapan A terjadi pada

bulan Desember minggu keempat (Desember IV)

sampai Februari minggu ke tiga (Februari III).

Pada musim tanam kedua, puncak tanam pada

bulan Juni minggu kedua (Juni II) sampai Juni

minggu ke keempat (Juni IV). Perbedaan puncak

tanggal tanam ini juga disebabkan oleh letak

persawahan dari sungai, ada tidaknya saluran

primer, dan terpeliharanya saluran-saluran yang

telah dibuat. Puncak tanggal tanam pada tahun

kering nampaknya lebih awal sekitar satu minggu

dibandingkan dengan tahun normal, sedangkan

puncak tanggal tanam pada tahun basah lebih

lambat sekitar satu minggu pula dibandingkan

tahun normal. Terlihat bahwa ketersediaan air dari

curah hujan sangat menentukan puncak tanggal

tanam.

Pada lahan pasang surut tipe luapan B,

puncak tanggal tanam musim hujan pada tahun

kering (TK) adalah pada bulan November minggu

kedua (November II) sampai bulan Januari minggu

pertama (Januari I). Pada musim tanam kedua,

puncak tanggal tanam pada bulan Mei minggu

kedua (Mei II) sampai Juni minggu kedua (Juni II).

Pada tahun normal (TN), puncak tanggal tanam

musim hujan pada tipe luapan B pada bulan

Desember minggu pertama (Desember I) sampai

Desember minggu keempat (Desember IV).

Sedangkan pada musim tanam kedua terjadi pada

bulan Mei minggu kedua (Mei II) sampai Juni

minggu keempat (Juni IV). Pada tahun basah (TB),

puncak tanggal tanam musim hujan pada bulan

Desember minggu kedua (Desember II) sampai

Januari minggu pertama (Januari I). Pada musim

tanam kedua, puncak tanam pada bulan Juni

minggu pertama (Juni I) sampai Juli minggu kedua

(Juli II). Perbedaan puncak tanggal tanam pada tipe

luapan B, baik pada musim hujan (musim tanam

pertama) maupun pada musim kemarau tanam

(musim tanam kedua) disebabkan oleh letak

persawahan dari sungai besar. Selain itu juga

ditentukan oleh ada tidaknya saluran primer, dan

terpeliharanya saluran-saluran yang telah dibuat

tersebut. Persawahan yang terletak relatif lebih

jauh dari sungai dan saluran air yang tidak

dipelihara dengan baik akan menunjukkan puncak

tanggal tanam lebih lambat, dibandingkan dengan

persawahan yang lebih dekat dengan sungai dan

memiliki saluran air yang terpelihara dengan baik.

Puncak tanggal tanam pada tahun kering pada tipe

luapan B nampaknya juga lebih awal sekitar dua

sampai tiga minggu dibandingkan dengan tahun

normal, sedangkan puncak tanggal tanam pada

tahun basah lebih lambat sekitar dua minggu

dibanding tahun normal. Nampaknya ketersediaan

air yang berasal dari curah hujan sangat

menentukan puncak tanggal tanam di lahan pasang

surut tipe luapan B. Pada tahun kering pertamanan

dilakukan lebih awal untuk menghindari periode

kekeringan pada saat tanaman padi memasuki

periode reproduktif. Jika terlambat tanaman

berisiko gagal panen akibat gabah puso yang

disebabkan oleh ketidaktersediaan air menjelang

fase berbunganya. Pada tahun basah, penanaman

lebih lambat karena kondisi persawahan tergenang

cukup tinggi sehingga diperlukan waktu menunggu

surutnya air agar bisa dimulai saat tanam bibit

padi.

KESIMPULAN

Waktu tanam di lahan pasang surut dimulai

setelah jumlah air hujan mencukupi untuk

melarutkan kadar besi yang ada di dalam air. Di

Provinsi Kalimantan Barat umumnya realisasi

tanam terjadi pada Dasarian 28 (Oktober). Di

Kalimantan Timur pada Dasarian 31 (November).

Sementara di Kalimantan Selatan dan Kalimantan

Tengah umumnya penanaman pada Dasarian 7

(Maret).

Waktu tanam di lahan rawa pasang surut

menunjukkan tingkat kekukuhan yang tinggi

terhadap perubahan iklim, dimana waktu tanam

tidak terlalu berubah selama 10 tahun pada kondisi

iklim yang berbeda.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada

Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa yang telah

86 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:77-86

memberikan dukungan dana dan ijin penelitian

serta pihak lain yang membantu dalam

pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan

Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP).

2006. karakteristik dan pengelolaan lahan

rawa. Bogor. BBSDLP. 297 hlm.

BMKG. 2011. Sifat musim hujan 2011-2012.

Jakarta. BMKG.

BPS. 2011. Kalimantan dalam angka. BPS

Kalimantan.

Haryono. 2012. Lahan rawa lumbun pangan masa

depan Indonesia. Jakarta. IAARD Press.

Irianto, G., L.I. Amien, dan E. Surmaini. 2000.

Keragaman iklim sebagai peluang

diversifikasi sumber daya lahan Indonesia.

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.

Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Bogor.

Kusnadi, N., Tinaprillia, N., Susilowati, S.H.,

Purwoto, A. 2011. Analisis efisiensi

usahatani padi di beberapa sentra produksi

padi di Indonesia. Jurnal Agroekonomi,

vol.29 (1), Mei 2011: 25 – 48.

Nugroho, K. Alkusuma, Paidi, Wahyu, W.,

Abdulrachman, H. Suhardjo, dan IPG. W.

Adhi. 1993. Peta area potensial untuk

pengembangan pertanian lahan rawa pasang

surut, rawa dan pantai. Proyek Penelitian

Sumber Daya Lahan, Pusat Penelitian Tanah

dan Agroklimat, Badan Litbang Pertanian.

Departemen Pertanian.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

73 tahun 2013 tentang rawa.

Ritung, S. 2011. Karakteristik dan sebaran lahan

sawah di Indonesia. Hlm 83-98. Dalam

Prosiding Seminar Nasional Teknologi

Pemupukan dan Pemulihan Lahan

Terdegradasi. Balai Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan

Pertanian. Bogor.

Runtunuwu E., Syahbuddin H., dan Nugroho W. T.

2011. Deliniasi kalender tanam tanaman

padi sawah untuk antisipasi anomali iklim

mendukung program peningkatan produksi

beras nasional. Majalah Pangan, No.

4/XX/12/2011.

Runtunuwu, E., Syahbuddin H., dan Nugroho, W.

T. 2013. Dinamika kalender tanam padi di

Sulawesi. Jurnal Politeknik Bandung,

JPBTPPOLBAN. 2013.

Sahuri, C.T. Stevanus, dan M.J. Rosyid. 2014.

Potensi pemanfaatan lahan dan perbaikan

kultur teknis lahan rawa pasang surut untuk

tanaman karet di Desa Riding, Kabupaten

Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera

Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan

Suboptimal, Palembang. 26-27 September

2014. ISBN: 979-587-529-9

Wakhid, N., Syahbuddin H., Khairullah I.,

Indrayati L., Cahyana D., Mawardi, Noor

M., anwar K., Alwi M., Hairani A. 2015.

Peta kalender tanam padi lahan rawa lebak

di Kalimantan Selatan. Jurnal tanah dan

iklim, vol. 39 (1), Juli 2015, ISSN: 1410-

7244. Bogor.

.

87Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)

Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)

PEMANFAATAN INSEKTISIDA NABATI DALAM PENGENDALIAN HAMA KEPIK COKLAT (Riptortus linearis F.) PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine max L.)

Nita Winanti dan Sri Kurniawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Jl. Ciptayasa Km. 01 Ciruas, Serang, Banten 42182

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Utilization of Vegetable Insecticides in Controlling Pod Sucking Pests (Riptortus linearis F.) on Soybean Plants (Glycine max L.). Soybeans are an important commodity in realizing food self-sufficiency. Soybean

productivity in the 2011-2013 period was 1,423 t ha-1

and increased in the 2014-2016 period by 1,542 t ha-1

or

increased by 1,2 t ha-1

(4.43%). One of the problems in soybean cultivation is the presence of pod sucking pests

Riptortus linearis. The pest caused 80% yield loss and even exhibited crop failure if not controlled. One of control

measures based on the concept of integrated pest management (IPM) is the use of vegetable insecticides. This study

aims to review the ingredients of vegetable insecticides and their active ingredients content from the result of

previous studies as well as the mechanism of action of the active ingredients in controlling R. linearis. The active

ingredient has a working mechanism to inhibite skin turnover, eating, to repellent pests, and causing death. The

availability of abundant raw materials is one of the potentials in the development of the use of vegetable insectisides.

Technology regarding the formulation of the active ingredient content from various vegetable insecticides needs to

be developed in the future.

Keywords: Glycine max, vegetable insecticides, soybeans, Riptortus linearis

ABSTRAK

Kedelai merupakan komoditas penting dalam mewujudkan swasembada pangan. Produktivitas kedelai pada periode

2011-2013 sebesar 1,423 t ha-1

meningkat pada periode 2014-2016 sebesar 1,542 t ha-1

atau naik sebesar 1,2 t ha-1

(4,43%). Salah satu kendala pada budidaya kedelai adalah adanya hama pengisap polong Riptortus linearis.

Serangan hama R. linearis dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80% dan bahkan dapat menyebabkan

gagal panen apabila tidak dikendalikan. Alternatif pengendalian berdasarkan konsep Pengendalian Hama Terpadu

(PHT) yaitu dengan menggunakan insektisida nabati. Kajian ini bertujuan mengulas bahan insektisida nabati dan

kandungan bahan aktifnya dari hasil-hasil penelitian sebelumnya serta mekanisme kerja bahan aktifnya dalam

mengendalikan hama R. linearis. Kandungan bahan aktif memiliki mekanisme kerja dalam mengendalikan hama R.

linearis, diantaranya yaitu menghambat pergantian kulit, menghambat makan, menolak hama, hingga menyebabkan

kematian hama tersebut. Ketersediaan bahan baku yang melimpah menjadi salah satu potensi dalam pengembangan

pemanfaatan insektisida nabati. Teknologi mengenai formulasi kandungan bahan aktif dari berbagai bahan

insektisida nabati perlu dikembangkan untuk masa mendatang.

Kata kunci: Glycine max, insektisida nabati, kedelai, Riptortus linearis

88 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86

PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max L.) merupakan

salah satu komoditas unggulan dalam mewujudkan

swasembada pangan. Kedelai merupakan salah

satu tanaman pangan penting bagi penduduk

Indonesia sebagai sumber protein nabati, bahan

baku industri pakan ternak, dan bahan baku

industri pangan (Baliadi et al. 2008). Kebutuhan

kedelai pada industri pangan dalam negeri cukup

tinggi. Saat ini kebutuhan rata-rata sebanyak 2,3

juta ton biji kering per tahun, namun produksi

dalam negeri selama lima tahun terakhir rata-rata

982,47 ribu ton biji kering atau 43% dari

kebutuhan (Balitkabi 2018). Faktor penentu tingkat

produksi kedelai, diantaranya yaitu varietas dan

benih, lingkungan tumbuh abiotik (iklim, tanah,

dan air). Lingkungan tumbuh biotik berupa

pengendalian OPT, kultur teknis persiapan dan

pemeliharaan tanaman (pengolahan tanah,

pemupukan, pengairan, dan tanam), serta panen

(Asadi 2009; Baliadi et al. 2008; Sudaryono et al.

2007).

Salah satu hama penting yang terdapat

pada pertanaman kedelai yaitu pengisap polong

Riptortus linearis. Hama tersebut termasuk ke

dalam ordo Hemiptera famili Alydidae. Nimfa dan

imago R. linearis menyerang polong kedelai

dengan cara menusukkan stiletnya pada permukaan

polong dan menghisap cairan nutrisi yang

terkandung pada biji sehingga dapat menghambat

fungsi fisiologis dari tanaman kedelai (Bayu 2015;

Laurencia 2016). Menurut Hendrival 2013, hama

pengisap polong dapat menyebabkan kehilangan

hasil tanaman kedelai baik secara kualitas maupun

kuantitas. Serangan hama tersebut dapat

menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80% dan

bahkan dapat menyebabkan gagal panen apabila

tidak dikendalikan (Indiati & Marwoto 2017).

Faktor yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan populasi dan serangan hama di

lapang yaitu tanaman inang yang tersedia secara

terus-menerus. Selain itu, hama tersebut tersebut

memiliki banyak jenis tanaman inang lain baik

yang dibudidayaka maupun yang tidak

dibudidayakan (Sinaga et al. 2016). Potensi R.

linearis sebagai hama perlu diwaspadai karena

merupakan hama polong penting, dan menyebar ke

lintas lokasi dan musim tanam, daya rusaknya

lebih tinggi dibandingkan hama perusak polong

yang lain sehingga mengindikasikan tingkat

ambang ekonominya lebih rendah (Sari &

Suharsono 2011).

Upaya yang dilakukan terhadap

pengendalian serangan hama masih banyak

mengandalkan penggunaan insektisida kimia. Hal

tersebut dikarenakan insektisida kimia memiliki

cara kerja yang relatif cepat dalam menekan

populasi hama (Sudartik 2015). Selain itu,

penggunaan insektisida kimia relatif mahal dan

dapat menyebabkan resistensi dan resurgensi

hama, terbunuhnya serangga bukan sasaran, dan

pencemaran lingkungan khususnya terhadap

kesehatan manusia (Hendrival 2013). Adanya

dampak negatif dari penggunaan insektisida kimia

maka perlu dilakukan cara lain untuk

mengendalikan hama tersebut. Cara sederhana

dalam pemanfaatan insektisida nabati yang telah

dilakukan oleh petani yaitu dengan cara

penyemprotan cairan perasan tanaman (ekstrasi

dengan air), penyebaran atau penempatan bahan

tanaman di tempat tertentu pada lahan pertanaman,

pengasapan (pembakaran bagian tanaman yang

mengandung insektisida), dan penggunaan serbuk

tanaman untuk pengendalian hama di penyimpanan

(Prijono & Triwidodo 1993).

Salah satu alternatif pengendalian hama

berdasarkan konsep Pengendalian Hama Terpadu

(PHT) yaitu dengan menggunakan insektisida

nabati. Penggunaan insektisida nabati berasal dari

ekstrak tumbuhan yang relatif aman, murah, dan

mudah diperoleh. Insektisida nabati tidak cepat

menimbulkan resistensi hama, bersifat sinergis,

dan dapat dipadukan dengan teknik pengendalian

hama lainnya (Dadang & Prijono 2011).

Insektisida nabati merupakan bahan insektisida

yang cukup efektif dan aman terhadap lingkungan

(Kardinan 1999). Beberapa tanaman yang tumbuh

dan dibudidayakan di Indonesia telah

dimanfaatkan sebagai bahan baku insektisida

nabati seperti piretrum (Chrysanthemum

cinerariaefolium), jeringo (Acorus calamus),

89Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)

Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)

tembakau (Nicotiana tabacum), cengkih (Syzygium

aromaticum), serai wangi (Andropogon nargus),

kunyit (Curcuma longa), mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa), dan jarak pagar (Jatropha curcas).

Sebagai insektisida nabati, bahan aktif tanaman

diuji efektivitasnya terhadap toksisitas, daya tolak,

daya tarik, daya hambat makan, dan daya hambat

reproduksi serangga hama (Wiratno 2013).

Berdasarkan hasil penelitian Koswanudin

(2011), ekstrak daun pacar cina (Aglaia odorata)

dapat menghambat perkembangan hama R. linearis

dengan konsentrasi yang efektif 0,75-1%. Lain

halnya dengan penelitian Hendrival (2013),

aplikasi insektisida nabati dari ekstrak daun

babadotan (Ageratum indica) dan ekstrak daun

kacang babi (Tephrosia vogelii) serta penanaman

kedelai dengan varietas Kipas Merah dan

Anjasmoro dapat mengurangi populasi hama R.

linearis, menurunkan kerusakan polong, dan dapat

meningkatkan hasil produksi kedelai. Hasil

penelitian Sudartik (2015), ekstrak fermentasi daun

mimba (Azadirachta indica) dapat menekan

jumlah populasi hama R. linearis pada pertanaman

kedelai. Hasil penelitian Amalia et al. (2017)

menyebutkan bahwa aplikasi ekstrak daun mimba

pada kisaran konsentrasi 30-70% berpengaruh

terhadap mortalitas hama R. linearis sampai tujuh

hari setelah aplikasi.

Kajian ini bertujuan mengulas jenis-jenis

insektisida nabati dan bahan aktifnya dari hasil-

hasil penelitian terdahulu serta mekanisme kerja

bahan aktifnya dalam mengendalikan hama R.

linearis. Manfaat yang diharapkan yaitu dapat

memberikan informasi mengenai insektisida nabati

yang efektif untuk mengendalikan hama R. linearis

serta dapat meningkatkan pemanfaatan insektisida

yang lebih ramah lingkungan. Kajian ini

merupakan studi literatur tentang pemanfaatan

beberapa insektisida nabati beserta kandungan

bahan aktifnya dalam mengendalikan hama R.

linearis yang telah dipublikasikan.

KEDELAI DAN PRODUKTIVITAS

Menurut Balitkabi 2018, rata-rata

produktivitas kedelai pada periode 2011-2013

yaitu sebesar 1,423 t ha-1

meningkat pada periode

2014-2016 sebesar menjadi 1,542 t ha-1

atau naik

sebesar 1,2 t ha-1

(4,43%). Begitu juga dengan rata-

rata luas panen kedelai yaitu pada periode 2011-

2013 sebesar 580.220 ha meningkat pada periode

2014-2016 menjadi 605.920 ha atau naik seluas

12.360 ha (8,34%).

Peluang pengembangan kedelai di Banten

dapat terlihat dari adanya sumber daya lahan yang

cukup luas, teknologi produksi yang sesuai, serta

meningkatnya kebutuhan akan kedelai (Purba

2012). Berdasarkan data BPS Provinsi Banten

tahun 2016, luas panen tanaman kedelai sampai

dengan tahun 2015 yaitu 5.136 ha, produksi

tanaman kedelai sebanyak 72.191 t, serta

produktivitas kedelai sebesar 13,72 t ha-1

.

Apabila dilihat dari luas lahan pertanian

yang ada di Indonesia, produksi kedelai saat ini

belum mencapai produksi yang optimal. Hal

tersebut dikarenakan sebagian besar petani enggan

menanam kedelai sebagai komoditas utama akibat

banyaknya kendala budidaya yang dihadapi. Salah

satu kendala yang paling sering dihadapi adalah

tingginya serangan organisme pengganggu

tanaman (Asadi 2009). Produktivitas kedelai secara

umum dipengaruhi oleh tingkat kesesuaian lahan,

kesuburan lahan, neraca lengas musiman,

pengelolaan hara dan air, pengendalian OPT,

pemeliharaan, dan pascapanen (Sudaryono et al.

2007).

Riptortus linearis F.

Biologi R. linearis F.

Serangga hama pengisap polong termasuk

ke dalam ordo Hemiptera, famili Alydidae, genus

Riptortus, dan spesies linearis (Marwoto et al.

1999). Kepik polong kacang panjang R. linearis

memiliki tipe metamorfosis paurometabola yaitu

90 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86

terdiri dari telur, nimfa, dan imago (Mawan &

Hermalia 2011). Berikut dirinci tahapan

metamorfosis R. linearis pada Tabel 1.

Gejala dan Kerusakan Akibat Serangan R.

linearis

Hama R. linearis menjadi salah satu

kendala dalam meningkatkan produksi kedelai.

Nimfa dan imago dapat menyebabkan kerusakan

pada setiap stadia pertumbuhan polong dan biji.

Kerusakan yang diakibatkan berbeda-beda yang

ditentukan oleh frekuensi serangan dan umur biji

atau polong. Hama tersebut mengisap cairan biji di

dalam polong dengan menusukkan stiletnya. Hama

pengisap polong yang menyerang pada fase

pembentukan polong dan perkembangan biji akan

menyebabkan polong dan biji kempis, mengering,

lalu gugur. Pada fase pengisisan biji dan

pemasakan polong akan menimbulkan bercak

hitam kecoklatan pada biji kemudian menjadi

keriput. Selain itu, hama yang menyerang pada

saat polong tua atau menjelang panen akan

menyebabkan biji berlubang (Bayu 2015; Marwoto

2006; dan Tengkano et al. 1993).

Pengendalian Hama R. linearis

Pengendalian hama R. linearis pada

tanaman kedelai berlandaskan strategi penerapan

Pengendalian Hama Terpadu (PHT). PHT adalah

suatu cara pendekatan atau pengendalian hama

yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan

efisiensi ekonomi dalam rangka mengelola

ekosistem yang berkelanjutan (Marwoto 2006).

Salah satu alternatif dalam pengendalian serangan

hama ini yang relatif aman, murah, dan mudah

diperoleh adalah dengan pemanfaatan insektisida

nabati (Hendrival 2013).

INSEKTISIDA NABATI

Insektisida berasal dari kata “insecta” yang

berarti serangga dan “cida” yang berarti

pembunuh. Insektisida dapat membunuh serangga

dengan cara meracuni tanaman atau meracuni

serangga secara langsung. Berdasarkan cara kerja

pada tumbuhan, insektisida dibagi menjadi dua

golongan yaitu insektisida sistemik dan insektisida

non-sistemik. Berdasarkan cara kerja meracuni

Tabel 1. Tabel 1. Biologi hama R. linearis

Tahapan Bentuk Warna Ukuran Umur

Telur Bulat dan bagian tengah agak

cekung

Biru keabu-abuan kemudian

menjadi coklat

1,20 mm 6-7 hari

Nimfa

Instar 1

Mirip semut gramang Kemerah-merahan kemudian

menjadi coklat kekuning-

kuningan

2,00 mm 1-3 hari

Nimfa

Instar 2

Mirip semut gramang Coklat kekuning-kuningan

kemudian menjadi coklat tua

3,0 mm 2-4 hari

Nimfa

Instar 3

Mirip semut rangrang Kemerah-merahan kemudian

menjadi coklat

6,00 mm 2-6 hari

Nimfa

Instar 4

Mirip semut polyrachis Kemerah-merahan kemudain

menjadi coklat kehitaman

7,00 mm 3-6 hari

Nimfa

Instar 5

Mirip semut polyrachis Kemerah-merahan kemudian

menjadi hitam keabu-abuan

9,90 mm 5-8 hari

Imago Abdomen imago betina

membesar dan gembung di

bagian tengahnya

Abdomen imago jantan lurus

ke belakang

Garis putih kekuningan yang

terdapat di sepanjang sisi tubuh

13-14 mm

11-13 mm

4-7 hari

Sumber: Marwoto et al. (1999); Marwoto (2006); dan Prayogo (2005)

91Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)

Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)

serangga secara langsung, terdiri dari racun

lambung (perut), racun kontak, dan racun

pernafasan. Berdasarkan struktur kimia senyawa

penyusunnya yaitu insektisida anorganik dan

insektisida organik. Insektisida organik terdiri dari

insektisida alami (senyawa-senyawa dari

tumbuhan) dan insektisida sintesis.

Beberapa tumbuhan memiliki sistem

pertahanan diri terhadap organisme lain atau

kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan

baginya, misalnya hama yang akan menyerangnya.

Salah satu sistem pertahanan diri dari tumbuhan

tersebut yaitu menghasilkan metabolit sekunder.

Metabolit sekunder adalah senyawa organik yang

dihasilkan tumbuhan yang tidak memiliki fungsi

langsung pada proses fotosintesis, respirasi,

pertumbuhan, maupun fungsi-fungsi fisiologi

lainnya. Metabolit sekunder bisa juga berupa hasil

samping (intermedier) dari metabolisme primer

(Amalia et al. 2017).

Bahan Aktif Tanaman

Berdasarkan hasil penelitian Saenong

(2016), kandungan metabolit sekunder dapat

menekan perkembangan populasi serangga hama.

Tabel 2. Jenis tanaman dan bahan aktif yang potensial sebagai insektisida nabati hama R. linearis

Nama lokal Nama ilmiah Bahan Aktif Mekanisme Kerja Referensi

Mimba (daun) Azadiracta indica Azadiractin

Salanin

Melantriol

Mengganggu pergantian

kulit hingga

menyebabkan kematian

Zat penurun nafsu

makan serangga hama

Penghalau hama

Amalia et al.

(2017); Hendrival

(2013); Indiati dan

Marwoto (2008);

Sudartik (2015)

Kacang Babi (daun) Tephrosia vogelii Saponin

Flavonoid

Menghambat makan,

repellent

Hendrival (2013);

Sudartik (2015)

Kamandrah (biji) Croton tiglium Piperin

Saponin

Tanin

Steroid

Alkaloid

Menghambat makan Illah et al. (2017)

Sirsak (biji) Annona muricata Acetogenin Repellent dan

antifeedant

Siburian et al.

(2013); Apriliyanto

dan Suhastyo

(2017)

Mengkudu (biji) Morinda citrifolia Alkaloid Mengganggu sistem

pencernaan

Siburian et al.

(2013)

Pepaya (daun) Carica papaya Alkaloid

Papain

Glikosida

sianogenik

Mengganggu sistem

pencernaan, sirkulasi,

dan saraf

Menghalangi infestasi

dan aktivitas makan

Mengganggu respirasi

Conceicao (2013)

dalam Amalia et al.

(2017)

Babadotan (daun) Ageratum conyzoides Alkaloid,

saponin, tannin

Mengganggu

pencernaan

Amalia et al.

(2017); Hendrival

(2013)

Pacar cina (daun) Aglaia odorata Alkaloid Menghambat

perkembangan

Koswanudin (2011)

92 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86

Kandungan metabolit sekunder pada tanaman

diantaranya yaitu minyak atsiri, sitral, geraniol,

tanin, piperin, asetogenin, azadirahtin, saponin,

asaron, akoragermakron, akolamonin, isoakolamin,

kalameon, kalamediol, alfamirin, kaemfasterol,

salanin, nimbin, nimbidin, asetogenin, dan

beberapa kelompok asam seperti asam sianida,

asam oleanolat, dan asam galoyonat. Komponen

alkaloid dan flavonoid berdampak langsung

terhadap kehidupan serangga hama R. linearis.

Bahan aktif yang terkandung pada

beberapa jenis insektisida tersebut efektif dalam

mengendalikan hama R. linearis dalam skala

laboratorium dan rumah kaca (Tabel 2).

Mekanisme kerja Bahan Aktif Tanaman

Bahan aktif memiliki mekanisme kerja

yang beragam diantaranya yaitu menghambat

pergantian kulit, menghambat makan, menolak

hama, hingga menyebabkan kematian. Berdasarkan

hasil penelitian Amalia et al. (2017), menyebutkan

bahwa aplikasi ekstrak daun mimba (A. indica)

pada kisaran konsentrasi 30-70% berpengaruh

terhadap mortalitas hama R. linearis sejak lima

hari setelah aplikasi sampai tujuh hari setelah

aplikasi (hsa). Tanaman mimba mempunyai

kandungan bahan aktif seperti azadirachtin,

salanin, meliantriol, dan nimbin. Semakin tinggi

konsentrasi ekstrak daun nimba yang diaplikasikan

pada tanaman kedelai diduga semakin tinggi residu

azadirachtin dari daun nimba yang ditinggalkan

pada tanaman kedelai sehingga R. linearis tidak

dapat melakukan aktifitas makan atau bersifat

antifeedant dan pada akhirnya akan berpengaruh

terhadap rendahnya intensitas serangan.

Mortalitas R. linearis tertinggi sebesar

38,82% terjadi pada konsentrasi 60%. Selain itu,

hasil penelitian dari Sudartik (2015) menyebutkan

bahwa ekstrak fermentasi daun mimba dapat

menekan jumlah populasi hama R. linearis pada

pertanaman kedelai.

Hasil penelitian Koswanudin (2011)

membuktikan bahwa ekstrak daun kacang babi (T.

vogelii) dapat mengurangi populasi hama R.

linearis, menurunkan kerusakan polong, dan dapat

meningkatkan hasil produksi kedelai. Lain halnya

dengan penelitian Sudartik (2015), ekstrak

fermentasi daun kacang babi dapat menurunkan

intensitas serangan sebesar 0,79% karena

mengandung rotenon, steroid, flavonoid dan

saponin yang dijadikan sebagai insektisida sebagai

penolak (repellent). Berdasarkan penelitian

Hendrival (2013), ekstrak daun kacang babi

memiliki kandungan rotenone yang menyebabkan

gangguan fisiologis dan efek kematian.

Berdasarkan penelitian Illah (2017),

ekstrak biji kamandrah (C. tiglium) efektif

membunuh kepik cokelat pada konsentrasi 1,5%

dan 2%. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang

diberikan, semakin tinggi pula persentase daya

bunuhnya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa

ekstrak biji kamandrah (C. tiglium) dapat

mematikan kepik cokelat pengisap polong (R.

linearis) dalam waktu 20 jam setelah aplikasi pada

perlakuan dengan konsentrasi 2% dan daya bunuh

mencapai 100%. Bahan aktif yang terkandung

dalam ekstrak biji kamandrah antara lain saponin,

tannin, dan steroid yang bersifat antifeedant.

Berdasarkan hasil penelitian Siburian et al.

(2013), komposisi kandungan bahan aktif pada

larutan biji sirsak (A. muricata) berupa acetogenin

pada konsentrasi 200 gr/l air lebih mampu untuk

mengendalikan R. linearis. Acetogenin pada

larutan biji sirsak juga bertindak sebagai penolak

serangga (repellent) dan anti-feedant dengan cara

kerja sebagai racun kontak dan racun perut

(lambung). Hasil penelitian lainnya menunjukkan

bahwa ekstrak biji mengkudu (M. citrifolia)

memiliki kandungan bahan beracun yang efektif

yaitu alkaloid dengan cara menghambat

perkembangan serangga hama.

Hasil penelitian Amalia et al. (2017),

menunjukan bahwa kematian tertinggi dari aplikasi

ekstrak daun pepaya (C. papaya) terdapat pada

konsentrasi 40% dan kematian maksimum terjadi

pada 7 hsa sebesar 17,41%. Bahan aktif dalam

ekstrak daun pepaya yang bersifat toksik terhadap

hama yaitu alkaloid, papain, dan glikosida

sianogenik. Alkaloid meracuni serangga melalui

sistem pencernaan, sirkulasi, dan saraf; sedangkan

papain mengandung enzim proteolitik lebih

93Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)

Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)

bersifat menghalangi infestasi dan aktivitas makan

hama. Adapun glikosida sianogenik jika berada

dalam bentuk tiosanat akan menimbulkan

gangguan pada proses respirasi serangga hama

(Conceicao 2006 dalam Amalia et al. 2017). Pada

penelitian lainnya, ekstrak daun babadotan (A.

indica) pada konsentrasi 60% terhadap serangga

uji R. linearis sampai dengan 7 hsa mengakibatkan

mortalitas tertinggi sebesar 21,57%. Daun

babadotan mengandung saponin, flavonoid,

polifenol, dan minyak atsiri. Bahan aktif tersebut

menghambat penetrasi ke dalam tubuh serangga

hama (Setiawati et al. 2008 dalam Amalia 2017).

Lain halnya dengan penelitian Hendrival (2013),

aplikasi insektisida nabati dari ekstrak daun

babadotan serta penanaman kedelai dengan

varietas Kipas Merah dan Anjasmoro dapat

mengurangi populasi hama R. linearis,

menurunkan kerusakan polong, dan dapat

meningkatkan hasil produksi kedelai.

Berdasarkan hasil penelitian Koswanudin

(2011), ekstrak daun pacar cina (A. odorata) dapat

menghambat perkembangan hama R. linearis

dengan konsentrasi yang efektif 0,75-1%. Daun

pacar cina mengandung alkaloid yang dapat

menghambat perkembangan hama R. linearis.

Peran Insektisida Nabati Dibandingkan dengan

Insektisida Kimia

Pengendalian hama oleh sebagian besar

petani didasarkan atas ada atau tidaknya serangan

dan satu-satunya alat pengendali yang tersedia dan

siap pakai adalah insektisida (Arifin & Tengkano

2008). Frekuensi penggunaan insektisida kimia

yang tinggi dan cara aplikasi yang tidak bijaksana

dapat memberikan dampak negatif yang luar biasa

seperti resistensi dan resurjensi, terbunuhnya

organisme berguna, pencemaran lingkungan, dan

kesehatan manusia (keracunan akut atau kronis).

Residu dari insektisida kimia sangat berbahaya

bagi kesehatan manusia. Untuk itu, strategi

pengendalian hama pada tanaman yang ramah

lingkungan dan aman amat sangat dibutuhkan.

Sifat sifat dari insektisida nabati diantaranya

adalah mudah terurai di alam, relatif aman

terhadap musuh alami hama, dapat dipadukan

dengan komponen pengendalian hama lain, dapat

memperlambat laju resistensi, dan menjamin

ketahanan dan keberlanjutan dalam berusaha tani

(Dadang & Prijono 2011).

Saat ini pemanfaatan insektisida nabati

belum berkembang di kalangan petani. Hal

tersebut dapat disebabkan karena adanya

kelemahan dari penggunaan insektisida nabati.

Sebagai contoh sifat dari insektisida nabati yaitu

mudah terurai di alam sehingga diperlukan

pengaplikasian yang lebih sering dan

membutuhkan bahan baku yang lebih banyak.

Selain itu, daya bunuh dari insektisida nabati

bersifat lambat sehingga kurang menunjukkan

hasil yang signifikan dalam pengendalian hama.

Insektisida nabati lebih bersifat selektif

(relatif tidak merugikan hama bukan sasaran) bila

dibandingkan dengan insektisida kimia.

Kesesuaian penggunaan insektisida nabati dengan

komponen lain dari PHT mempunyai peluang yang

lebih besar dalam mengendalikan hama sasaran

(Prijono & Triwidodo 1993). Dalam

pengembangan insektisida nabati terdapat 10

faktor yang menjadi pertimbangan, yaitu

ketersediaan bahan baku, efektivitas bahan nabati

yang memenuhi syarat teknologi aplikasi, industri

pestisida nabati, distribusi, transportasi, dan

kemasan, sumber daya manusia, kelembagaan,

kontribusi dalam PHT, daya saing, sosial, budaya,

dan ekonomi (Sumartini 2016). Ketersediaan

bahan baku insektisida nabati yang melimpah di

Banten perlu dikembangkan dengan memanfaatkan

teknologi mengenai formulasi senyawa aktif dari

berbagai jenis tumbuhan yang bersifat insektisidal.

Hal tersebut dapat memudahkan petani dalam

mengaplikasikan di lapang serta lebih efektif

dalam mengendalikan hama R. linearis. Dengan

adanya pengembangan teknologi insektisida nabati

ini diharapkan dapat meningkatkan minat petani

dalam budidaya kedelai.

KESIMPULAN

Kedelai (Glycine max L.) merupakan salah

satu komoditas unggulan dalam mewujudkan

94 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86

swasembada pangan. Salah satu kendala dalam

budidaya kedelai yaitu adanya serangan hama R.

linearis. Hama tersebut dapat menyebabkan

kehilangan hasil mencapai 80% dan dapat

menyebabkan gagal panen apabila tidak

dikendalikan.

Salah satu pengendalian berdasarkan

konsep PHT yaitu dengan memanfaatkan

insektisida nabati. Secara umum, beberapa jenis

insektisida nabati yang telah dikaji mampu

menekan bahkan membunuh R. linearis dengan

kandungan bahan aktif yang dimiliki oleh setiap

insektisida nabati tersebut. Ketersediaan bahan

baku yang melimpah di Banten menjadi salah satu

potensi dalam pengembangan pemanfaatan

insektisida nabati diantaranya tumbuhan sirsak,

mengkudu, pepaya, babadotan, dan pacar cina.

Untuk jangka panjang, perlu dilakukan pengkajian

secara lanjut mengenai formulasi bahan aktif dari

bahan insektisida nabati yang terdapat di daerah

Banten agar dapat meningkatkan keefektifan dalam

mengendalikan hama R. linearis di lapang.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih penulis sampaikan kepada

Bapak Dr. Achmad Dinoto sebagai pembimbing

dalam kegiatan Pelatihan Pembentukan Jabatan

Fungsional Peneliti, Bapak Ir. Agus Muharam,

M.Si. sebagai pembimbing dalam kegiatan

Penyusunan Karya Tulis Ilmiah BBP2TP, dan

Bapak Dr. Ir. Sudi Mardianto, M.Si. sebagai

Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Banten atas masukannya kepada penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Amalia E.R., A.M. Hariri, P. Lestari, dan

Purnomo. 2017. Uji mortalitas penghisap

polong kedelai (Riptortus linearis F.)

(Hemiptera: Alydidae) setelah aplikasi

ekstrak daun pepaya, babadotan dan mimba

di laboratorium. Jurnal Agrotek Tropika

Vol. 5 (1): 46-50, Januari 2017.

http://media.neliti.com. [19 Agustus] 2018.

Apriliyanto E. dan A.A. Suhastyo. 2017.

Teknologi pengendalian hama kepik coklat

kedelai dengan ekstrak daun sirsak dan

gulma siam. Seminar Nasional Humaniora

dan Teknologi 2017. Purwokerto, 7 Oktober

2017. http://journal.stikomyos.ac.id. [19

Agustus] 2018.

Arifin M. dan W. Tengkano. 2008. Tingkat

kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada

kedelai. Penelitian Pertanian Tanaman

Pangan Vol. 27 (1): 47-54.

http://pangan.litbang.pertanian.go.id. [4

September] 2018.

Asadi. 2009. Identifikasi ketahanan sumber daya

genetik kedelai terhadap hama pengisap

polong. Jurnal Buletin Plasma Nutfah Vol.

15 (1): 27-31. http://www.researchgate.net.

[9 September] 2018.

Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten. 2016.

Produksi padi, jagung, dan kedelai.

http://banten.bps.go.id. [20 November]

2018.

Balitkabi. 2018. Sinar Tani Edisi 3-9 Januari 2018

No 3733 Tahun XLVIII.

http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [21

Agustus] 2018.

Baliadi Y., W. Tengkano, dan Marwoto. 2008.

Penggerek polong kedelai Etiella zinckenella

Treitschke (Lepidoptera: Pyralidae), dan

strategi pengendaliannya di indonesia. Jurnal

Litbang Pertanian 27(4): 113-123.

http://pustaka.litbang.pertanian.go.id/publika

si/p3274081.pdf. [10 September] 2018.

Bayu M.S.Y.I. 2015. Tingkat serangan berbagai

hama polong pada plasma nutfah kedelai.

Prosiding Seminar Nasional Masyarakat

Biodiversitas Indonesia Vol. 1 (4): 878-883.

http://smujo.id. [18 Agustus] 2018.

Dadang dan D. Prijono. 2011. Pengembangan

teknologi formulasi insektisida nabati untuk

pengendalian hama sayuran dalam upaya

menghasilkan produk sayuran sehat. Jurnal

Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 16 (2): 100-

111. http://journal.ipb.ac.id. [21 Agustus]

2018.

95Pemanfaatan Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Kepik Coklat (Riptortus linearis F.)

Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) (Nita Winanti dan Sri Kurniawati)

Hendrival, Latifah, dan A. Nisa. 2013. Efikasi

beberapa insektisida nabati untuk

mengendalikan hama pengisap polong di

pertanaman kedelai. Jurnal Agrista Unsyiah

Vol. 17 (1): 18-27. http://media.neliti.com.

[19 Agustus] 2018.

Illah I.N., A. Ramadhan, dan F. Dhafir. 2017. Daya

bunuh ekstrak biji kamandrah (Croton

tiglium l) terhadap kepik coklat penghisap

polong kacang panjang (Riptortus linearis)

dan penggunaannya sebagai media

pembelajaran. Jurnal Biologi Vol. 5(1): 48-

57. http://jurnal.untad.ac.id. [19 Agustus]

2018.

Indiati S.W. dan Marwoto. 2017. Penerapan

pengendalian hama terpadu (pht) pada

tanaman kedelai. Balai Penelitian Tanaman

Aneka Kacang dan Umbi. Buletin Palawija

Vol. 15 (2): 87-100. http://media.neliti.com.

[19 Agustus] 2018.

Koswanudin D. 2011. Pengaruh ekstrak daun

Aglaia odorata terhadap perkembangan

hama pengisap polong kedelai Nezara

viridula dan Riptortus linearis. Balai

Penelitian Dan Pengembangan Bioteknologi

Dan Sumberdaya Genetik Pertanian.

Seminar Nasional VIII Pendidikan Biologi

FKIP UNS 2011. Biologi, Sains,

Lingkungan, dan Pembelajarannya Menuju

Pembangunan Karakter hal. 153-156.

http://media.neliti.com. [19 Agustus] 2018.

Laurencia D.S., Lahmudin, dan Marheni. 2016.

Potensi serangan hama kepik hijau Nezara

viridula L. (Hemiptera: Pentatomidae) dan

hama kepik coklat Riptortus linearis L.

(Hemiptera: Alydidae) pada Tanaman

kedelai di rumah kassa. Jurnal

Agroekoteknologi Vol. 4 (3): 2003-2007.

http://media.neliti.com. [9 September] 2018.

Marwoto. 2006. status hama pengisap polong

kedelai Riptortus linearis dan cara

pengendaliannya. Buletin Palawija No. 12:

69–74.

http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [21

Agustus] 2018.

Mawan A. dan H. Amalia. 2011. Statistika

demografi Riptortus linearis F. (Hemiptera:

Alydidae) pada kacang panjang (Vigna

sinensis L.). J. Entomol. Indon. Vol. 8 (1):

8-16. http://media.neliti.com. [27

November] 2018.

Prijono D. dan H. Triwidodo. 1993. Pemanfaatan

insektisida nabati di tingkat petani.

Prosiding Seminar Hasil Penelitian dalam

Rangka Pemanfaatan Insektisida Nabati hal.

76-85, Bogor 1-2 Desember 1993.

http://researchgate.net. [9 September] 2018.

Purba R. 2012. Peluang pengembangan penangkar

kedelai di banten. balai pengkajian teknologi

pertanian Banten.

http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [27

Agustus] 2018.

Saenong M.S. 2016. Tumbuhan indonesia

potensial sebagai insektisida nabati untuk

mengendalikan hama kumbang bubuk

jagung (Sitophilus spp.). Balai Penelitian

Tanaman Serealia. Jurnal Litbang Pertanian

Vol. 35 (3): 131-142.

http://media.neliti.com. [29 Agustus] 2018.

Sari K.P. dan Suharsono. 2011. Status hama

pengisap polong pada kedelai, daerah

penyebarannya, dan cara pengendalian.

Buletin Palawija No. 22: 79-95.

http://media.neliti.com. [4 September] 2018.

Siburian D. 2013. Pengaruh jenis insektisida

terhadap hama polong Riptortus linearis F.

(Hemiptera: Alydidae) dan Etiella

zinckenella Treit. (Lepidoptera: Pyralidae)

pada tanaman kedelai (Glycine max L.).

Jurnal Online Agroekoteknologi Vol. 2 (2):

893-904. http://media.neliti.com. [29

Agustus] 2018.

Sinaga R.A., Marheni, dan F. Zahara. 2016. Uji

preferensi kepik coklat uji preferensi kepik

coklat Riptortus linearis Fabr. (Hemiptera:

Alydidae) pada tanaman kacang kedelai

(Glycine max L.), kacang hijau (Vigna

radiata L.) dan orok-orok (Crotolaria

pallida Aiton.) di rumah kassa. Jurnal

96 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, 2018:87-86

Agroekoteknologi Vol. 4 (4): 2376-2381.

http://media.neliti.com. [4 September] 2008.

Sudartik E. 2015. Pengaruh penggunaan berbagai

jenis ekstrak tumbuhan untuk penekanan

tingkat populasi hama Riptortus linearis Fab

pada tanaman kedelai. Jurnal Perbal

Universitas Cokroaminoto Palopo Vol. 3 (3).

http://journal.uncp.ac.id. [29 Agustus] 2018.

Sudaryono, A. Taufiq, dan A. Wijanarko. 2007.

Peluang peningkatan produksi kedelai di

Indonesia.

http://balitkabi.litbang.pertanian.go.id. [20

November] 2018.

Sumartini. 2016. Biopestisida untuk pengendalian

hama dan penyakit tanaman aneka kacang

dan umbi. Iptek Tanaman Pangan Vol.11

(2): 159-165.

http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id. [9

September] 2018.

Wiratno, Siswanto, dan Trisawa. 2013.

Perkembangan penelitian, formulasi, dan

pemanfaatan pestisida nabati. Jurnal Litbang

Pertanian Vol. 32 (4): 150-155.

http://media.neliti.com. [4 September] 2018.

97Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera

Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)

OPTIMALISASI LAHAN DI BAWAH TEGAKAN KELAPA DENGAN TANAMAN

SELA DI KABUPATEN HALMAHERA MALUKU UTARA

Abubakar Ibrahim1 dan Chris Sugiono

2

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku Utara

Komplek Pertanian No.1 Kusu, Kec.Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan, Maluku Utara

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Optimization of Land Under Coconut With Intercropping Plants in Halmahera District Maluku Utara. Optimization land by intercrops tunder coconut able to increase production and increase farm incomes. Some plants

that include food crops that can be planted ,horti and spices commonly planted by farmers and having high economic

value. This writing aimed at identifying potential optimization land under coconut with cultivation intercrops as an

alternative the increased production of and the income of farmers specific halmahera north Maluku. Based on a

some the results of research has done can be concluded that cultivation intercrop of under coconut has the potential

to increas coconut production. This was apparent from the increase flower by 30 % and fruit coconut as much as 20

%. furthermore of the intercrops of also able to increase their farmers of 100 - 200 % . The condition of land north

Maluku coconut in line is quite wide and having the condition wet temperate dry low lying areas have the potential to

the intercrops of to increase production and the income of farmers in line north maluku.

Keywords: Intercrops, under coconut, income, production

ABSTRAK

Optimalisasi lahan dengan tanaman sela di bawah tegakan kelapa mampu meningkatkan produksi tanaman kelapa

dan meningkatkan pendapatan petani kelapa. Beberapa tanaman sela yang dapat diusahakan adalah tanaman

pangan, horti dan rempah yang biasa ditanami oleh petani dan memiliki nilai ekonomi tinggi. Tulisan ini bertujuan

untuk mengidentifikasi potensi optimalisasi lahan di bawah tegakan kelapa dengan budi daya tanaman sela sebagai

alternatif peningkatan produksi dan pendapatan petani spesifik Kabupaten Halmahera Maluku Utara. Berdasarkan

beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa budi daya tanaman sela di bawah tegakan

kelapa berpotensi meningkatkan produksi kelapa. Hal ini terlihat pada peningkatan produksi bunga sebesar 30 %

dan buah kelapa sebesar 20 %. Selain itu tanaman sela juga mampu meningkatkan pendapatan petani kelapa

sebesar 100 - 200 %.Kondisi lahan kelapa di Halmahera Maluku Utara cukup luas dan memiliki kondisi lahan

kering beriklim basah di dataran rendah berpotensi ditanami tanaman sela untuk meningkatkan produksi dan

pendapatan petani di Halmahera Maluku Utara.

Kata kunci: tanaman sela, tegakan kelapa, pendapatan, produksi

98Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95

PENDAHULUAN

Kelapa (Cocos nucifera. L) merupakan

salah satu tanaman perkebunan yang strategis

dalam usaha pertanian karena hampir seluruh

bagian dari tanaman kelapa tersebut dapat

dimanfaatkan dan perannya yang sangat besar,

baik sebagai sumber pendapatan maupun sumber

bahan baku industri. Data Direktorat Jenderal

Perkebunan tahun 2017 menunjukkan bahwa luas

tanaman kelapa Indonesia mencapai 3.585.599 ha

dan sekitar 94,40 % diantaranya adalah kelapa

dalam yang merupakan perkebunan rakyat. Maluku

Utara merupakan salah satu provinsi di Indonesia

yang memiliki areal perkebunan kelapa cukup luas.

Luas lahan perkebunan kelapa rakyat di

Maluku Utara adalah 214.527 Ha. Luasnya lahan

perkebunan kelapa di daerah ini karena tanaman

kelapa sudah lama dikenal di Maluku Utara.

Produksi tanaman kelapa di Maluku Utara sebesar

223.632 ton danproduktivitas tanaman kelapa di

Maluku Utara 1.374 kg / ha (Direktorat Jenderal

Tanaman Perkebunan, 2017).Kabupaten yang

memiliki luas lahan kelapa terbesar adalah

Halmahera Utara yaitu 48.958 ha. Kelapa yang

diusahakan pada umumnya adalah kelapa dalam

yang berumur sekitar 18 – 41 tahun dan luas lahan

yang dimiliki oleh masing – masing petani berkisar

0.5 sampai 6 Ha (Patty, 2011)

Produktivitas kelapa di Maluku Utara

masih tergolong rendah. Rendahnya produksi

kelapa di Maluku Utara ini disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu kebanyakan tanaman kelapa

yang berumur tua dan rusak akibat kurangnya

perawatan, pemanfaatan kelapa hanya sebatas

kopra, penerapan teknologi dan pemanfataan lahan

yang belum optimal. Padahal 80 % lahan kelapa

dapat dimanfaatkan guna menambah pendapatan

petani kelapa itu sendiri. Oleh karena itu

pemanfaatan lahan marjinal termasuk di bawah

tegakan kelapa dengan ditanami tanaman sela.

menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan

produktivitas kelapa dan dapat meningkatkan

pendapatan petani kelapa yang dihasilkan oleh

tanaman sela maupun kelapa. Tanaman sela yang

diusahakan sesuai dengan nilai ekonomi dan

kesukaan petani setempat. Pada umumnya tanaman

sela yang diusahakan berupa singkong, pisang,,

kedelai jagung dan kacang tanah.

POLA BUDI DAYA TANAMAN KELAPA DI

HALMAHERA MALUKU UTARA

Usaha budi daya tanaman kelapa di

Halmahera pada umumnya adalah pola usaha

monokultur. Hasil tanaman kelapa kebanyakan

masih kurang optimal karena kebanyakan tanaman

kelapa di Halmahera adalah tanaman yang sudah

tua dan merupakan tanaman warisan. Hal ini

mengakibatkan pendapatan yang diperoleh relatif

tidak mengalami peningkatan bahkan mengalami

penurunan akibat kurangnya sanitasi kebun dan

perawatan dengan baik (Patty, 2011).

Lahan di bawah tegakan kelapa di

Halmahera Maluku Utara berada pada

agroekosistem lahan kering, dataran rendah

beriklim basah dengan kondisi yang tidak terawat

dengan baik sehingga terdapat gulma dan

tumbuhan liar yang tumbuh di areal tersebut.

Kondisi ini memberikan pengaruh terhadap hasil

dari tanaman kelapa karena memacu munculnya

hama dan penyakit yang dapat merusak tanaman

kelapa tersebut.

Upaya optimalisasi lahan di bawah tegakan

kelapa agar lahan menjadi produktif dan produksi

kelapa yang maksimal maka diperlukannya sebuah

kegiatan budi daya tanaman sela di bawah tegakan

kelapa di Halmahera untuk membantu

meningkatkan produksi kelapa. Menurut Barus

(2013), optimalisasi lahan dibawah tegakan kelapa

berpotensi menghadapi faktor pembatas

ketersediaan air dan kemasaman tanah. Perbaikan

kesuburan tanah dapat dilakukan dengan

pemberian pupuk kandang 2-4 ton/ha ke dalam

tanah di bawah tegakan kelapa, dapat

meningkatkan produksi jagung1-2 ton/ha.

99Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera

Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)

STRUKTUR PENDAPATAN USAHA TANI

KELAPA

Petani kelapa di Maluku Utara pada

umumnya menjual hasil kelapa dalam bentuk

kopra. Kelapa yang sudah menjadi kopra kemudian

dijual di pedagang pengumpul yang ada di desa

maupun di kecamatan. Harga jual pun bervariasi

dan tidak menentu baik di Desa maupun di

Kecamatan. Menurut Popoko (2013) Harga yang

diterima petani lebih kecil daripada pedagang

pengumpul namun sistem ini masih dikatakan

efisien hal ini dilihat dari nilai EP lebih kecil dari

50 %

Usaha tani kelapa ini cukup layak untuk

dijalankan. Petani kelapa di Halmahera Maluku

Utara tidak begitu intensif dalam merawat kelapa

sehingga biaya perawatan pun tidak begitu besar.

Hasil analisis usaha tani kelapa yang dilakukan

oleh Hamka 2012 menyatakan bahwa Usaha tani

kelapa cukup layak diusahakan. Hasil analisis

tersebut dapat disajikan pada tabel berikut.

Tabel tersebut menjelaskan bahwa usaha

tani kelapa di Halmahera Selatan memiliki

pendapatan Rp. 10.085.318 /ha per tahun dengan

Revenue / Cost sebesar 1.74. R/C ratio adalah

perbandingan antara total pendapatan dengan total

biaya. Jika R/C ratio lebih besar 1 maka usaha

yang dijalankan mengalami keuntungan atau layak

untuk dikembangkan, jika nilai rationya lebih kecil

dari 1 maka usaha tersebut mengalami kerugian

atau tidak layak untuk dikembangkan. Selanjutnya

jika R/C = 1 maka usaha berada pada titik impas

(Soekartawi, 2006).

Hasil analisis yang dilakukan oleh Hamka

2012 menunjukkan bahwa usaha tani kelapa

mengalami keuntungan atau layak untuk

dikembangkan karena R/C rationya lebih besar dari

1.

Adapun hasi hasil analilis usaha tani yang

dilakukan oleh Massae dan Afandi 2017 di Desa

Kasoloang, Kecamatan Bambaira, Kabupaten

Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat. Penelitian

tersebut menjelaskan bahwa rata – rata pendapatan

usaha tani Kelapa dalam dengan luasan 1 -5 ha

sebesar Rp. 4.389.725 / ha, luas lahan 6 – 8 ha

sebesar Rp. 12.494.300 / ha dan luas lahan 11 – 20

ha sebesar Rp. 29.927.950 / ha sehingga dapat

disimpulkan bahwa semakin luas areal pertanaman

kelapa maka semakin tinggi tingkat pendapatan

petani.

PELUANG INTEGRASI DENGAN TERNAK

Selain itu dengan menanam tanaman sela

di bawah tegakan kelapa juga memberikan

pengaruh bagi petani kelapa yang memiliki ternak

sapi, karena setiap petani kelapa di Halmahera

Maluku Utara hampir semua memiliki ternak sapi.

Selain memberikan manfaat bagi produksi tanaman

kelapa, tanaman sela juga memberikan manfaat

pada ternak sapi.

Limbah dari tanaman sela dapat

dimanfaatkan sebagai pakan dari ternak sapi

tersebut dan kotoran sapi dapat dimanfaatkan

sebagai pupuk untuk tanaman sela dan kelapa. Pola

tanam polikultur ini sangat membantu petani

peternak sapi dalam mengurangi biaya pakan

ternak yang cukup tinggi yaitu 99.78 % dari total

biaya produksi dan sisanya biaya obat – obatan

Tabel 1. Tabel 1. Rata–rata penerimaan usaha tani kelapa responden di Halsel

No Uraian Per hektar

1 Penerimaan usaha tani (Rp) 23.624.892

2 Biaya usaha tani(Rp) 13.539.574

3 Pendapatan usaha tani(Rp) 10.085.318

4 Revenue cost ratio (R/C) 1.74

Sumber: Hamka, 2012

100Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95

hanya 0.22 % (Salendu dan Elly, 2014)

Selain mengurangi biaya pakan ternak

sapi, Integrasi ternak sapi dan tanaman sela di

bawah tegakan kelapa juga berpotensi dalam

meningkatkan pendapatan petani kelapa dari hasil

penjualan sapi tersebut dan kotoran sapi yang

diolah menjadi kompos dengan jumlah yang besar

sehingga selain dimanfaatkan sendiri untuk pupuk

tanaman sela dan tanaman kelapa juga dapat dijual

. (Elly et al, 2008)

Adapaun cara yang dikemukaan oleh

Santoso (2017) dalam penelitiannya tentang Upaya

yang perlu dilakukan dalam mengembangkan

sistem integrasi tanaman ternak yakni: 1)

Pembuatan kandang komunal untuk mempermudah

menghimpun dan memanfaatkan kotoran sapi; 2)

Budi daya tanaman pakan ternak spesifik di sela

tanaman kebun; dan 3) Diseminasi inovasi

teknologi yang menyeluruh baik dari pemanfaatan

limbah tanaman untuk ternak ataupun pemanfaatan

limbah ternak untuk tanaman dan inovasi teknologi

lainnya.

POTENSI TANAMAN SELA DALAM

MENINGKATKAN PRODUKSI DAN

PENDAPATAN PETANI KELAPA

Halmahera Utara merupakan salah satu

sentra perkebunan kelapa di Maluku Utara dengan

jumlah luasan perkebunan kelapa terbesar namun

produktivitas kelapa masih dikategorikan rendah

berkisar (0.5 – 0.8 ton/ha) jika dibandingkan

dengan provinsi lain seperti Gorontalo yang sudah

mencapai produksi per ha yang cukup baik yaitu 1

ton / ha (Patty, 2011). Hal ini karena masih

minimnya perawatan pada tanaman kelapa dan

minimnya pengetahuan petani tentang pengelolaan

usaha tani yang optimal. Salah satu cara untuk

meningkatkan produksi kelapa adalah dengan

ditanami tanaman sela di bawah tegakan kelapa

agar perawatan pada tanaman sela dapat berimbas

pada kesuburan tanaman kelapa.

Budi daya tanaman sela di bawah tegakan

kelapa dapat meningkatkan produksi tanaman

kelapa karena dengan adanya tanaman sela

perawatan yang dilakukan pada tanaman secara

tidak langsung memberikan pengaruh pada

tanaman kelapa sehingga dapat meningkatkan

kesuburan tanah sebab lahan di sektiar pohon

kelapa menjadi lebih bersih dari gulma dan lebih

terawat, selain itu hama dan penyakit pun

berkurang (Pranowo et al., 1999). Hal ini sejalan

dengan penelitian yang telah dilakukan oleh

Tjahjana (2000) tanaman sela memberikan

pengaruh terhadap peningkatan jumlah bunga

betina dan kelapa buah jadi masing-masing sebesar

30% dan 20%.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Tarigans (2002) menunjukkan bahwa jumlah

produksi buah kelapa dan kopra per pohon maupun

per hektar per tahun, pada polikultur dengan

tanaman sela lebih tinggi jika dibandingkan dengan

tanaman kelapa monokultur. Peningkatan produksi

polikutur berkisar 64.29 % - 87.70 %. Sedangkan

peningkatan produksi kopra 69.69 % - 104.87 %

terhadap produksi kopra pola monokultur. Selain

itu pada tahun yang sama Listyati dan Pranowo

(2002) juga mengatakan dalam penelitiannya

bahwa usaha tani jagung di bawah tegakan kelapa

mampu meningkatkan pendapatan kepada petani

kelapa sebesar Rp. 2.655.000 / ha. Terdapat dua

keuntungan produksi yang diperoleh petani kelapa

berupa peningkatan produksi kelapa tanpa

pemberian pupuk secara khusus terhadap kelapa

dan tambahan pendapatan dari tanaman sela

tersebut (Kadekoh, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Randriani

et al (2004) di instalasi penelitian Pakuwon

menunjukkan bahwa tanaman sela nanas dapat

memberikan tambahan pendapatan sekitar Rp.

896.000 / ha. Adapun penelitian yang dilakukan

oleh Ruauw et al (2011) memberikan informasi

tentang pendapatan petani kelapa di Kabupaten

Minahasa tepatnya di desa Tolombukan,

Kecamatan Pesan bahwa tanaman sela cengkeh

memberikan kontribusi pada pendapatan petani

sebesar 70.57%. Hal ini disajikan pada tabel

berikut.

101Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera

Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)

Pendapatan dari kelapa monokultur dan

kelapa – cengkeh pada tabel 2 tersebut meningkat

sebesar 139 %. Hasil penelitian lain yang

dilakukan oleh Kawau et al (2015) menunjukkan

bahwa pola tanam kelapa dengan tanaman sela

memberikan pendaptan petani lebih tinggi daripada

pola tanam kelapa monokultur. Hasil analisis dapat

dijelaskan dalam tabel berikut ini

Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa

pendapatan petani pada tanaman kelapa yang

disisipi tanaman sela lebih tinggi bila dibandingkan

dengan pola tanam kelapa secara monokultur.

Tanaman sela yang memberikan pendapatan

tertinggi adalah dengan tanaman sela padi ladang

sebesar lebih dari 14 juta /ha dan semua tanaman

sela memberikan peningkatan pendapatan petani

kelapa.

Penelitian yang dilakukan oleh Ruskandi

(2003) di wilayah Sukabumi, menjelaskan

perbandingan usaha jagung secara monokultur dan

usaha tani jagung di bawah tegakan kelapa. Usaha

budi daya jagung di bawah tegakan kelapa cukup

menguntungkan karena masih memberikan

tambahan pendapatan yang tidak jauh berbeda

dengan hasil budi daya jagung secara monokultur.

Adapun analisis usaha yang dilakukan oleh

Ruskandi (2003) disajikan pada Tabel 4.

Anasilis usaha tani yang dilakukan oleh

Ruskandi, 2003 tersebut masih dapat ditingkatkan

lagi produksi tanaman sela dengan perbaikan

teknologi. Peningkatan produktivitas tanaman sela

pada lahan di bawah tegakan tanaman tahunan

dengan intensitas cahaya rendah akan dapat dicapai

melalui perbaikan potensi hasil untuk

menghasilkan varietas berdaya hasil tinggi dan

perbaikan adaptasi tanaman untuk menghasilkan

varietas toleran (Sopandie dan

Trikoesumaningtyas, 2011).

Pengkajian yang telah dilakukan oleh

Tamburin pada tahun 2012 terhadap lima varietas

unggul baru jagung yaitu Srikandi Kuning,

Sukmaraga, Lamuru, Lagaligo, Gumarang dan

sebagai pembanding Mando Kuning sebagai

tanaman sela di bawah tegakan kelapa dalam yang

berumur 55-60 tahun memperlihatkan bahwa lima

varietas jagung tersebut dapat beradaptasi di bawah

tegakan kelapa dengan produktifitas 6.2 – 6.8 ton /

ha dan varietas pang produktifitas tinggi adalah

Sukmaraga yaitu 6.8 ton / ha.

Tabel 2. Rata-rata penerimaan dan pendapatan petani per tahun di desa Tolombukan, kecamatan Pasan Kabupaten

Minahasa

Jenis usaha Tani Total Penerimaan

(Rp) Total Biaya Produksi (Rp) Pendapatan (Rp)

Kelapa 8.315.650 3.423.701 4.891.948

Kelapa – Cengkeh 15.839.250 4.104.554 11.734.695

Sumber: Ruauw et al (2011)

Tabel 3. Pendapatan rata - rata usaha tani kelapa dengan tanaman sela di Kabupaten Minahasa Selatan

Jenis Tanaman Penerimaan Total Biaya Produksi

(Rp) Pendapatan (Rp)

Kelapa 7.579.000 4.684.030 2.894.970

Kelapa – Jagung 22.427.500 13.357.000 9.070.500

Kelapa – Cabai 33.251.000 10.875.920 12.775.080

Kelapa - Padi Ladang 36.220.500 11.600.700 14.134.800

Kelapa – Pisang 11.773.000 5.221.540 6.551.460

Kelapa – Rambutan 12.540.500 6.247.450 6.293.050

Sumber : Kawau et al (2015)

102Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95

Tanaman sela jagung juga memberikan

nilai tambah pendapatan petani kelapa. Menurut

Sudana dan Malia (2005) bahwa keuntungan

kelapa secara monokultur sebesar Rp. 58.920

meningkat karena adanya tanaman sela jagung

menjadi Rp. 1.029.420. Hal ini berpeluang untuk

usaha jangka panjang dan perlu ditingkatkan lagi

melalui produktivitas kelapa akibat residu pupuk

dari tanaman jagung dan brangkasan jagung

maupun dari perbaikan jagung sendiri seperti

penggunaan varietas unggul baru. Menurut

Sopandie dan Trikoesoemaningtiyas (2011) upaya

dalam meningkatkan produksi tanaman sela di

bawah tegakan kelapa dapat dilakukan dengan

perbaikan potensi hasil untuk menghasilkan

varietas berdaya hasil tinggi dan perbaikan

adaptasi tanaman untuk menghasilkan varietas

toleran.

Tabel 4. Analisis Usaha Tani Di Bawah Tegakan Kelapa Dan Monokultur

Uraian

Monokultur di tempat

terbuka seluas 1 ha

(Rp)

Di antara tegakan kelapa

80% dari luas 1 ha

(Rp)

I. Biaya produksi

Upah tenaga kerja lepas dan borongan

Pengolahan tanah 300.000 240.000

Penyulaman 115.000 92.000

Penyiangan, pengguludan, dan pupuk lanjutan 35.000 28.000

Pengendalian hama penyakit

Panen 225.000 180.000

Pengangkutan 40.000 32.000

Pascapanen 108.000 86.400

kupas jagung 50.000 40.000

Pipil

Jemur 50.000 40.000

jumlah upah (biaya I) 200.000 160.000

II. Bahan 132.000 106.000

Benih jagung 25 kg 1.225.000. 1,.04.400

Pupuk buatan

Urea 312.000 249.000

SP-36

KCL 315.000 252.000

Obat-obatan 166.500 133.200

Furadan Drusban 193.500 154.800

Bahan pembantu lain (tali rafia, tambang dan ember) 62.500 50.000

jumlah bahan (Biaya II) 1.275.000 1.819.600

III. Biaya lain – lain

Honor pengamat/ pengawas 250.000 200.000

Biaya penjualan 50.000 40.000

Jumlah biaya lain - lain (biaya III) 300.000 240.000

Jumlah biaya (I+II+III) 2.830.500 2.264.000

Penerimaan kotor

Hasil jagung (kg) 2.085 1.668

Penerimaan kotor 3.336.000 2.668.000

Keuntungan 505.500 404.400

Sumber: Ruskandi, (2013)

103Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera

Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)

Selain faktor internal dari tanaman yang

dibudidayakan dibawah tegakan kelapa, faktor

eksternal juga perlu diperhatikan. Hal ini telah

dijelaskan oleh Barus (2013) pada penelitiannya di

Lampung yang menyatakan bahwa kondisi lahan

dan iklim setempat berpengaruh terhadap jenis

tanaman sela yang diusahakan. Hal ini karena

faktor penyinaran dan kesuburan lahan. Kondidi

lahan di tempat penelitiannya yaitu masam dengan

pH dibawah 5 dan ketersediaan hara P yang

rendah. yang. Oleh karena itu perlu dilakukan

perbaikan dengan pemberian inokulum pelarut

fosfat, pemeberian pupuk organik dan hayati.

Selain itu, Menurut Tarigans (2000),

kriteria lain yang perlu diperhatikan dalam

memilih tanaman sela adalah harga tanaman sela

yang diusahakan dipasar tidak fluktuatif agar

petani tidak mengalami kerugian. Tarigans juga

menguatkan pernyataanya dalam penelitian pada

tahun 2005 bahwa dalam penerapan usahatani

secara horizontal menuntut pemilihan tanaman

sela yang dikembangkan didasarkan kepada

prospek pasar sehingga tanaman terpilih mampu

berperan sebagai sumber pendapatan yang

potensial

Optimalisasi lahan di bawah tegakan

kelapa dengan disisipi tanaman sela di Halmahera

Maluku Utara adalah salah satu alternatif untuk

mendukung produksi dan pendapatan petani

kelapa. Hal ini dapat dilihat dari areal pertanaman

kelapa yang cukup luas namun tidak termanfaatkan

yang memiliki tingkat intensitas cahaya berkisar 50

– 60 % dan kondisi lahan di Halmahera yang

kering, beriklim basah dan dataran rendah. Oleh

karena itu tanaman yang cocok untuk kondisi

tersebut adalah tanaman yang dapat tumbuh pada

ketinggian 0 - 500 m dpl (Mahmud, 1998).

Tanaman yang sesuai dengan kriteria tersebut

adalah Jagung yang tahan toleran naungan dan

tahan cekaman, tanaman kacang – kacangan, dan

singkong karena tanaman tersebut adalah tanaman

yang biasanya diusahakan secara monokultur oleh

petani di Halmahera.

KESIMPULAN

Optimalisasi lahan dengan tanaman sela di

kabupaten Halmahera belum dilakukan oleh petani

kelapa. Produksi kelapa rata rata berkisar 0.5 – 0.8

ton / ha atau belum bisa mencapai 1 ton dan

pendapatan petani tidak menentu karena harga

yang bervariatif. Upaya dalam meningkatkan

produksi dan pendapatan petani kelapa di

Halmahera Maluku Utara adalah dengan

mengintroduksi tanaman sela untuk dibudidayakan

di bawah tegakan kelapa. Jenis tanaman sela yang

prospektif dan mempunyai arti strategis

diusahakan di bawah tegakan tanaman kelapa

adalah jagung, kacang tanah, singkong, pisang, dan

tanaman horikultur lain. Selain itu tanaman sela

memberikan dampak positif juga bagi petani

kelapa yang memiliki ternak sapi. Pengembangan

kedelai dan jagug di lahan kering di Maluku Utara

dapat dilakukan dengan peningkatan intensifikasi

melalui pengaturan pola tanam (intercropping) di

bawah tegakan kelapa dan kedelai maupun jagung,

sehingga diharapkan selain meningkatkan produksi

kelapa dan pendapatan petani juga menjadi suatu

cara baru untuk mendukung swasembada kedelai

dan jagung Halmahera Maluku Utara.

DAFTAR PUSTAKA

Barus, J. 2013. Pemanfaatan lahan di bawah

tegakan kelapa di lampung.Jurnal Lahan

Suboptimal 2.(1):68-74.

Badan Pusat Statistik. 2018. Maluku Utara Dalam

Angka. BPS Provinsi Maluku Utara.

Ternate.

Direktorat Jenderal Tanaman Perkebunan. 2017.

Kelapa. Statistik Perkebunan Indonesia

Komoditas Kelapa. Jakarta.

Elly, F.H, Sinaga, M.B, Kuntjoro, U.S, Kusnadi,

N. Pengembangan Usaha Ternak Sapi

Rakyat Melalui Integrasi Sapi Tanaman Di

Sulawesi Utara. 2008. Jurnal Litbang

Pertanian.27(2):63-68.

104Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:97-95

Hamka. 2012. Analisis Faktor Produksi Tanaman

Kelapa Terhadap Pendapatan Petani. Jurnal

Agrikan Ummu 5.(1):50-55.

Kadekoh. 2007. Optimalisasi Pemanfaatn Lahan

Kering Berkelanjutan. Prosiding Seminar

Nasioanal Pengembangan Inovasi Lahan

Marginal.

Kawau, S.D., Pakasi., C.B.D., Sondakh, M.L.,

Rengkung, L.R., 2015, Kajian Pendapatan

Usaha Tani Kelapa Dengan Diversifikasi

Horizontal Pada Gapoktan Petani Jaya Di

Desa Poigar 1 Kecamatan Sinonsayang Kab.

Minahasa Selatan. ASE 11(3):41–52.

Mahmud, Z. 1998. Tanaman Sela Di Bawah

Kelapa. Jurnal Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. 17(2):61-67.

Massae, Adan Afandy. 2017. Analisis Pendapatan

Dan Kelayakan Usaha Tani Kelapa Dalam

Di Desa Kasoloang Kecamatan Bambaira

Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi

Barat. e-J. Agrotekbis 5.(1):66-71.

Listyati, D dan Pranowo, D. 2002. Analisis Usaha

Tani Jagung Di Antara Kelapa. Jurnal

Habitat. 12(2):134-138.

Santoso, B dan Elsje, T. 2015. Pemanfaatan

Tanman Sela Di Antara Kelapa. Warta

Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Industri. 21(1):28-29.

Ruskandi. 2003. Prospek Usaha Tani Jagung

Sebagai Tanaman Sela Di Antara Tegakan

Kelapa. Buletin Teknik Pertanian 8.(2):55-

59.

Patty, Z. 2011. Analisis Produktivitas Dan Nilai

Tambah Kelapa Rakyat (Studi Kasus Di 3

Kecamatan Di Kabupaten Halmahera Utara).

Jurnal Agroforesty.6 (2):154-159.

Popoko, S. 2012. Pengaruh Biaya Pemasaran

Terhadap Tingkat Pendapatan Petani Kopra

Di Kecamatan Tobelo Selatan Kabupaten

Halmahera Utara. Jurnal UNIERA 2.(2):80-

91.

Randriani dalam Santoso, B. 2015. Pemanfaatan

Tanaman Sela Di Antara Kelapa. Warta

Penelitian dan Penegmabangan Tanaman

Industri. 21(1): 28-29.

Ruauw, E. Baroleh, J. Powa, D. 2011. Kajian

Pengelolaan Usaha Tani Kelapa Di Desa

Tolombukan Kecamatan Pasan Kabupaten

Minahasa Tenggara. ASE 7.(2): 39-50.

Santoso, B.A. 2017. Analisis Pendapatan terhadap

Karakteristik Usaha Tani Integrasi Tanaman

Perkebunan-Sapi di Desa Mesa Kabupaten

Maluku Tengah. Jurnal Ilmu Pertanian

Indonesia. 22(2):108-114.

Salendu, A.H.S dan Elly, H.F. 2014. Analisis

Pendapatan Petani Kelapa-Ternak Sapi Di

Kawasan Agropolitan Kecamatan Tenga

Kabupaten Minahasa Selata. Jurnal Zootek

34.(1):1-13.

Soekartawi. 2006. Ilmu Usaha Tani. UI Press.

Jakarta.

Sopandie dan Trikoesoemaningtiyas. 2011.

Pengembangan Tanaman Sela Di Bawah

Tegakan Tanaman Tahunan. Iptek Tanaman

Pangan 6.(2): 168-182.

Sudana, W dan I.E, Malia. 2005. Keragaan Usaha

Tani Kelapa Rakyat Dan Peluang Jagung

Sebagai Tanaman Sela Di Sulawesi Utara.

Penyediaan Paket Teknologi Pertanian

Terpadu Mempercepat Pengembangan

Agribisnis Dan Ketahanan Pangan. Prosing

Seminar Nasional Manado.

Tamburin, Y. 2012. Kajian Adaptasi Varietas

Unggul Baru Jagung DiAntara Pertanaman

Kelapa di Kabupaten Minahasa Selatan

provinsi Sulawesi Utara. B. Palma. 13(1): 2-

40.

Tarigans, D.D. 2000. Introduksi Pola Tanam

Campuran Dalam pengusahaan Tanaman

Kelapa. Warta penelitian dan Pengembangan

Tanaman Industri. 5(4): 12-17.

Tarigans, D.D.,2002. Sistem Usaha Tani Berbasis

Kelapa. Perspektif. 1 .(1):18- 32.

105Optimalisasi Lahan di Bawah Tegakan Kelapa dengan Tanaman Sela di Kabupaten Halmahera

Maluku Utara (Abubakar Ibrahim dan Chris Sugiono)

Tarigans, D.D. 2005. Diversifikasi usaha Tani

Kelapa Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan

Pendapatan Petani. Jurnal Perspektif. 4(2):

71-78.

Tjahjana, B.E., Rusli, M. Herman, D. Listiyati, G.

Indriati, H. Tampake, D.D. Tariganas, dan

A. Mahfuth. 2000. Manipulasi Jarak Dan

Sistem Tanam Kelapa Untuk Pola Tanam.

Laporan Hasil Penelitian Bagian Proyek

Penelitian Pola tanam Kelapa. Loka

Penelitian Pola Tanam Kelapa. Pakuwon.