buletin kinasih #11

28
Edisi XI | 28 Halaman

Upload: bayu-adji-p

Post on 04-Mar-2016

249 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Download: http://buletin.teaterkinasih.org/download-pdf

TRANSCRIPT

Edis

i XI |

28 H

ala

man

LENSA KINASIH

Media adalah sebuah saluran pesan, yang diharapkan khalayaknya dapat merefleksikan realitas. Sedangkan berita seharusnya merupakan representasi dari kenyataan. Mungkin pandangan positivis tersebut masih menjamur di antara kita, sehingga setiap berita atau informasi yang masuk selalu dianggap sebagai sebuah realitas.

Namun nyatanya, seberapapun objektifitas diagungkan, selalu ada celah yang melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai-nilai dari wartawan atau media masuk ke dalamnya. Semua yang kita konsumsi dari media adalah second reality yang bisa mempengaruhi persepsi kita melihat realitas. Dalam buku Communication as Culture: Essay on Media and Society, James W. Carey mengatakan, “News is not information but drama. It does not describe the world but portrays an arena of dramatic forces and action; it exist solely in historical time; and it invite our participation on the basis of our assuming, often vicariously, social roles within in.”

Masyarakat kita kecanduan drama, karena itu formula drama juga dipakai dalam berita. Dalam drama, selalu ada pahlawan dan pihak yang dipersalahkan. Dan, media merupakan agen yang menciptakan persepsi tersebut dalam khalayak. Realitas dikonstruksi sedemikian rupa sehingga kebenaran absolut adalah nihil.

Kritik terhadap media akan tetap menjadi kritik, karena penonton tidak punya kekuatan untuk menentukan konten media. Sia-sia rasanya jika menunggu industri akan berubah haluan dan berpihak pada kepentingan publik. Seberapapun gencar sebuah media dalam mengkonstruksi realitas, namun kenyataan sesungguhnya ada dalam diri kita sendiri. Dan yang pasti, kenyataan bahwa lingkungan kita masih jauh dari kata “nyaman” tidak akan berubah bila kita tidak bertindak. Tindakan yang paling nyata dan relevan adalah memulai dari diri sendiri. Menyikapi keadaan lingkungan sekitar, amanat Kennedy tidak pernah klise: “Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country”

Pemimpin Umum/Penanggung Jawab:

Nurcahyo Triatmojo

Pemimpin Redaksi:Maria Natasha Poetridjaman

Editor:Ridwan Sobar

Staf Redaksi:Sherly Febrina,

Nanda Fitri

Tata Letak:Bayu Adji P

Alamat Redaksi:Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan

E-mail:[email protected]

Blog:buletin.teaterkinasih.org

Twitter:@TeaterKinasih

Bercermin pada Diri Sendiri

Coba perhatikan kata-kata berikut: pemerkosaan, tawuran, pembunuhan, kemiskinan, perampokan, korupsi, banjir, kebakaran, narkoba. Berapa kali dalam sehari kata-kata berkonotasi negatif itu terdengar dari televisi, atau terbaca di surat kabar? Bandingkan dengan yang berikut: kreatif, prestasi, adil, sehat, bersih, makmur, berhasil. Berapa banyak pemberitaan positif di media yang bisa dikonsumsi khalayak?

Dengan agenda seting media mampu membentuk opini publik dan apapun yang disebarluaskan media lambat laun akan dianggap penting oleh masyarakat. Tapi kekuatan ini sering disalahgunakan untuk menyebarluaskan opini tentang tokoh politik atau kepentingan industri. Hasilnya adalah masyarakat yang bimbang menentukan pilihan, mulai dari memilih pemimpin sampai memilih mau makan di restoran mana untuk meningkatkan status sosialnya.

Kebimbangan itu juga muncul tatkala konten media tak berpengaruh banyak pada peningkatan intelektualitas khalayak, sepanjang pemberitaan itu tak

KLIMAKS

Pemimpin Umum/Penanggung Jawab:

Nurcahyo Triatmojo

Pemimpin Redaksi:Maria Natasha Poetridjaman

Editor:Ridwan Sobar

Staf Redaksi:Sherly Febrina,

Nanda Fitri

Tata Letak:Bayu Adji P

Alamat Redaksi:Jl. Raya Lenteng Agung No. 32, Jakarta Selatan

E-mail:[email protected]

Blog:buletin.teaterkinasih.org

Twitter:@TeaterKinasih

Konflik Batin Masyarakat Media

memberi masukan untuk hajat hidup khalayaknya. Seberapa penting berita korupsi di tingkat daerah bagi warga ibukota? Sebaliknya, seberapa penting berita banjir besar ibukota bagi masyarakat daerah? Kenapa negara agraris tak mampu menyejahterakan petani? Walhasil semua paradoks pemberitaan itu hanya dikonsumsi sekali tanpa ada hasil berkelanjutan bagi mereka yang mengonsumsi.

James W. Potter, penulis buku Media Literacy mengidentifikasi formula yang media pakai untuk mendongkrak ratting. Diantaranya, adanya muatan konflik, kontroversi dan stereotip pada hiburan. Para intelektual bangsa sekelas klub pengacara pun diarahkan untuk adu mulut dengan balutan konflik. Pada berita, framing dan perspektif jadi ujung tombak penyampaian berita, sehingga penerimaan khalayak dikontrol oleh media.

Sudah melekat di benak masyarakat apabila media hanyalah sebuah industri yang bekerja mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan berbagai cara. Potter juga mengatakan bahwa teknik sosial untuk menyadarkan media akan bahaya laten konten dari mereka membutuhkan waktu yang lama.

Maka selain memiliki kemampuan literasi media, penting juga untuk melihat konten media sebagai bahan refleksi. Bila semua orang gembar-gembor anti korupsi di pemerintahan, sudahkah kita memiliki perilaku dan gaya hidup yang anti korupsi? Bila karena media semua orang jadi tahu betapa tidak enaknya kebanjiran, sudahkah kita menerapkan pola hidup bersih dan anti buang sampah sembarangan?

Berita mengenai prestasi anak bangsa dan generasi muda telah tenggelam di industri media arus utama yang penuh berita terorisme, kriminal dan korupsi. Berita-berita positif bukan berarti menutup mata akan kebobrokan negeri yang harus diperbaiki, dan berita negatif bukan berarti tidak ada solusinya. Pada akhirnya, jika (industri) media tidak bisa mewakili yang kita rasakan dan butuhkan, kembali pada akar manusia sebagai makhluk sosial, yang perlu berinteraksi secara langsung di kehidupan sehari-hari, bisa melepaskan ketakutan akan dunia yang selalu digambarkan negatif dan penuh kompetisi.

Harapan akan dunia yang lebih baik akan menjadi klise, jika tidak diwujudkan dengan tindakan dan sikap kita sebagai sesama manusia yang setara derajatnya, apapun profesi, status sosial dan latar belakangnya. (BuKin/MNP)

KLIMAKS

memberi masukan untuk hajat hidup khalayaknya. Seberapa penting berita korupsi di tingkat daerah bagi warga ibukota? Sebaliknya, seberapa penting berita banjir besar ibukota bagi masyarakat daerah? Kenapa negara agraris tak mampu menyejahterakan petani? Walhasil semua paradoks pemberitaan itu hanya dikonsumsi sekali tanpa ada hasil berkelanjutan bagi mereka yang mengonsumsi.

James W. Potter, penulis buku Media Literacy mengidentifikasi formula yang media pakai untuk mendongkrak ratting. Diantaranya, adanya muatan konflik, kontroversi dan stereotip pada hiburan. Para intelektual bangsa sekelas klub pengacara pun diarahkan untuk adu mulut dengan balutan konflik. Pada berita, framing dan perspektif jadi ujung tombak penyampaian berita, sehingga penerimaan khalayak dikontrol oleh media.

Sudah melekat di benak masyarakat apabila media hanyalah sebuah industri yang bekerja mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan berbagai cara. Potter juga mengatakan bahwa teknik sosial untuk menyadarkan media akan bahaya laten konten dari mereka membutuhkan waktu yang lama.

Maka selain memiliki kemampuan literasi media, penting juga untuk melihat konten media sebagai bahan refleksi. Bila semua orang gembar-gembor anti korupsi di pemerintahan, sudahkah kita memiliki perilaku dan gaya hidup yang anti korupsi? Bila karena media semua orang jadi tahu betapa tidak enaknya kebanjiran, sudahkah kita menerapkan pola hidup bersih dan anti buang sampah sembarangan?

Berita mengenai prestasi anak bangsa dan generasi muda telah tenggelam di industri media arus utama yang penuh berita terorisme, kriminal dan korupsi. Berita-berita positif bukan berarti menutup mata akan kebobrokan negeri yang harus diperbaiki, dan berita negatif bukan berarti tidak ada solusinya. Pada akhirnya, jika (industri) media tidak bisa mewakili yang kita rasakan dan butuhkan, kembali pada akar manusia sebagai makhluk sosial, yang perlu berinteraksi secara langsung di kehidupan sehari-hari, bisa melepaskan ketakutan akan dunia yang selalu digambarkan negatif dan penuh kompetisi.

Harapan akan dunia yang lebih baik akan menjadi klise, jika tidak diwujudkan dengan tindakan dan sikap kita sebagai sesama manusia yang setara derajatnya, apapun profesi, status sosial dan latar belakangnya. (BuKin/MNP)

VOKAL

Kebablasan, kata yang tepat untuk menggambarkan situasi demokrasi di Negara kita. “Kebebasan perpendapat” diartikan serampangan. Undang-Undang No. 9 tahun 1998 menyatakan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Namun tanggung jawab sering terabaikan dalam menyampaikan aspirasi. Seringkali kebebasan berpendapat hanya dijadikan ajang untuk menuntut perbaikan tanpa adanya tindakan yang mendukung.

Ketika banjir melanda Jakarta beberapa bulan lalu, seluruh media berlomba-lomba menyampaikan kabar ter-up date, tentang kondisi para pengungsi serta harapan mereka. Namun, ditengah kondisi miris pengungsian, masih terlihat tumpukan sampah dari para pengungsi. Padahal salah satu penyebab banjir adalah tumpukan sampah yang menyumbat aliran sungai. Tapi yang dilakukan masyarakat kita, menuntut pemerintah dan jajarannya untuk memberantas banjir tanpa memberikan dukungan tindakan dengan tidak membuang sampah sembarangan.

Omdo atau omong doang ini juga menjangkit kaum intelektual. Banyak sekali kaum intelektual terutama mahasiswa yang secara vokal menuntut pemberantasan korupsi tanpa bercermin, apakah diri kita sudah bersih dari korupsi?

Menurut The Lexicon Webster Dictionary, korupsi adalah tindakan kebejatan, ketidakjujuran, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian. Dari definisi ini bisa disimpulkan bahwa korupsi tidak melulu masalah menggelapkan uang negara atau tindakan para pejabat, hal kecil seperti bertindak tidak jujur dalam kompetisi atau “titip absen” juga merupakan tindak korupsi dan sering dianggap lumrah. Padahal dari hal kecil ini bukan tidak mungkin akan tercipta tindak korupsi yang lebih besar lagi. Bukankah para koruptor itu juga memulainya dari hal yang kecil?

Tidak ada hal baik yang terlalu sepele. Karena hal sekecil apapun, akan membawa pengaruh pada hal lain yang lebih besar. Termasuk infrastruktur yang mendukung dan sistem birokrasi yang sehat, berawal dari itikad masyarakat untuk masa depan yang lebih baik. (BuKin/NFS)

OMDO

Panggung Kehidupan Pandan Wangi

Dialah Pandan Wangi, waria yang sembari mengelola salon miliknya di kawasan Roxy, menemukan kepuasan diri dari dunia teater dan tari yang menurutnya saling berkaitan.

Keseharian Pandan sebagai waria menuntutnya bijaksana menempatkan diri untuk bisa diterima oleh lingkungan manapun. Ia tidak segan menutupi jati dirinya agar tak menuai diskriminasi. “Di tempat mana pun aku bisa menyesuaikan. Kalau aku harus menyikapi aku sebagai laki-laki, biar gimana-gimana, yaudah. Aku tutup-tutupin diri aku. Gak ada sih diskriminasi yang gimana-gimana.” Ia mengaku juga mengikuti organisasi masyarakat seperti Karang Taruna dan PKK dan lingkungan sekitar bisa menerimanya.

Keluarga terdekatnya tidak menolak keadaannya sebagai seorang perempuan yang terjebak di tubuh laki-laki. Ayah dan ibunya lebih

SOSOK

Dia pelaku panggung yang awalnya penari. Pesona keglamoran panggung tari mengusiknya untuk menjajal panggung teater yang dalam prosesnya mendekatkannya dengan alam. Tak terhitung pertunjukan bersama berbagai sanggar dan kelompok teater di wilayah Jakarta, memberinya kesempatan bereksplorasi, diantaranya peran dokter cinta di “Jomplang”, orang buta pada lakon “Bila Malam Bertambah Malam”, nenek-nenek di “Sumur Tanpa Dasar”, “Macbeth”, hingga terakhir “Ruang Rias” bersama Teater Pohon. Dua puluh lima tahun ia wara-wiri di dunia teater dan pernah meraih prestasi aktor terbaik dan penata rias terbaik.

mengkhawatirkan pergaulan Pandan yang mulai terjun ke dunia seni pertunjukan. “Waktu aku nari, Bapak aku marah-marah. Katanya kayak orang kaya. Sama ibu, aku dibela. Terus aku main teater. Main teater sama ibu aku gak boleh. Karena dulu anak teater itu kan gondrong-gondrong ya. Kalo kata bapak ku, biarin aja biar bergaul. Dan mereka pun udah tau kalo aku ini kayak perempuan. Lalu aku terjun ke rias.”

Pandan bercerita, ketika pertama kali ia berdandan sebagai wanita dan diketahui orangtuanya, “Waktu itu aku mau ke acara ulang tahun temen. Aku dandan. Waktu itu aku pake kebaya, kain, dengan sanggul. Dan mungkin jalannya Tuhan memang orang tua harus tau. Saat itu tiba-tiba ada yang ketinggalan. Tustel. Kan aku dandan di rumah temen.

Akhirnya aku pulang lagi ke rumah. Ya aku pikir biarin deh mereka tau. Yaudah ibu bapakku liat dan bilang, ‘ih, kok cantik?’ Terus pas pergi disuruh hati-hati.”

Saat ini Pandan tinggal bersama anak angkatnya, Ega. “Anak ponakan aku. Mamanya udah meninggal. Udah 9 tahun umurnya sekarang. Kelas 3 SD. Dia panggil aku mama.”

Sebagai orang tua angkat dan berhadapan dengan dunia anak-anak, Pandan pun berkompromi lagi soal penerimaan dirinya. Termasuk dengan lingkungan sekolah anaknya. Awalnya Ega melarang Pandan ke sekolah. “Aku paham psikologi anak itu kan lebih peka. Jadi sebelum terjadi sesuatu, ya namanya kita bersosialisasi, aku udah jaga pride anakku. Aku udah jelasin kalo aku laki-laki cuma memang kayak perempuan.” Perlahan-lahan, teman-teman Ega di sekolah mengerti. “Waktu awal-awal nyekolahin anakku, temen-temen Ega bingung manggil aku apa. Akhirnya mereka panggil aku mama Ega.”

Kaum waria adalah kaum yang berjuang untuk mendapat penerimaan. Keberadaan mereka patut diperhitungkan daripada sekedar eksploitasi sebagai lucu-lucuan di acara tv. Pengalaman seorang Pandan Wangi menawarkan pelajaran bagaimana menjadi diri sendiri. Bukan diri dengan label palsu, tapi tahu menempatkan diri agar orang lain di sekitar bisa nyaman bergaul dengan kita. (BuKin/MNP)

SOSOK

PANGGUNG

Persoalan inilah yang diangkat oleh Teater Pohon dalam lakon Ruang Rias pada tanggal 7 dan 8 Februari 2013. Dalam pementasan berdurasi tiga puluh menit ini ditampilkan dua cara penyeragaman. Melalui kekerasan dan bujuk rayu seperti yang dilakukan oleh media dan orang-orang terdekat. Dari dua cara itu, bujuk rayu lah yang berbahaya. Karena dengan cara kekerasan orang cenderung akan melawan dan menolak dijadikan korban. Tapi “dijerat” dengan bujuk rayu, orang akan kehilangan daya kritisnya dan pada akhirnya tanpa disadari secara sukarela menyodorkan dirinya sebagai korban.

Pada adegan awal muncul tokoh bernama Pandan Wangi, yang sangat menolak untuk menjadi korban penyeragaman industri kecantikan. Namun ketika tokoh lain, Devi Bernadette, memberi Pandan Wangi janji muluk bahwa kecantikan dapat membuatnya diterima oleh orang-orang di luar sana yang juga cantik

Sekarang, kita hidup di masa yang penuh keseragaman. Hidung mancung yang seragam, kulit putih yang seragam, rambut hitam panjang yang seragam, sampai tubuh langsing yang seragam. Bukan hanya berlaku pada kaum perempuan, laki-laki juga tidak luput. Pernah dengar tagline iklan “Kerempeng mana keren?” Pesan iklan tersebut secara tidak langsung menyiratkan bahwa laki-laki yang keren adalah yang berperut sixpack. Seakan tidak ada tempat untuk laki-laki bertubuh kurus dan kerempeng.

Ruang Rias

PANGGUNG

dan dengan kecantikan ia dapat menguasai dunia, Pandan Wangi pun menurut dan akhirnya menerima ‘standar kecantikan’ itu.

Pandan Wangi yang terbujuk rayuan Devi Bernadette akhirnya terobsesi dengan kecantikan dan kesempurnaan. Setelah di dandani, ia selalu merasa ada yang kurang dari dirinya. Hidung yang kurang mancung, kulitnya yang kurang cerah, rambutnya yang acak-acakan, dan sebagainya. Di akhir pertunjukkan, Pandan Wangi berubah menjadi manekin.

Pementasan yang disutradarai oleh Ch. Cheme Ardi menampilkan sesuatu yang “tidak biasa”, yang tiga orang pemainnya adalah waria. Alasannya, meskipun sering diabaikan, waria juga adalah korban dari mitos-mitos kecantikan yang diciptakan dari kolaborasi industri iklan, media dan kosmetik. Merupakan harapan Cheme juga agar kaum waria itu tidak lagi didiskriminasi karena penampilan mereka. Pertunjukan ini berpesan bahwa kesempurnaan dan keseragaman yang ditampilkan oleh media tidak akan ada habisnya apabila diikuti. Sehingga akhirnya para pengikutnya hanya akan menjadi manekin dari industri kosmetik. (BuKin/SFI)

TENTANG LAYAR

Frasa “tahun 1965”, memancing imajinasi mengenai sejarah abu-abu bangsa ini. Situasi mencekam saat itu karena ancaman kudeta dari Partai Komunis Indonesia (PKI) lalu-lalang di masyarakat. Pada puncaknya, enam perwira militer dan beberapa orang lainnya ditemukan tewas, dan PKI disebut-sebut sebagai biang keladinya.

Atas kuasa yang diberikan kepada Angkatan Darat, yang kebenarannya pun belum terungkap, sedikitnya, ada 500.000 orang yang terbunuh karena dianggap sebagai pendukung PKI. Peristiwa itu merupakan pembantaian massal keempat terbesar pada abad 20. Bahkan Sarwo Edhie, Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang berperan menumpas PKI kala itu mengklaim bahwa pasukannya telah menghabisi maksimal 3 juta orang.

Lalu setelah rezim Orde Baru dimulai, pemerintah membuat film fenomenal Pengkhianatan G30S/PKI, yang berhasil menanamkan pemikiran bahwa PKI adalah pelaku kejahatan yang memang seharusnya dimusnahkan. Ketakutan-ketakutan yang diciptakan oleh pemerintah Orde Baru tersebut membuat para keturunan mereka yang dianggap PKI menuai diskriminasi di masyarakat.

Di film tersebut, ditunjukkan adegan betapa kejamnya orang-orang PKI membantai petinggi-petinggi militer saat itu, yang kenyataannya belum bisa dibuktikan. Framing yang dibuat sedemikian rupa untuk menanamkan pemahaman PKI sebagai pelaku pembunuhan yang biadab bisa dikatakan berhasil berkat tangan dingin sutradara Arifin C Noor, dan peran rezim yang berkuasa saat itu.

Sampai muncullah film dokumenter Jagal/The Act of Killing yang disutradarai oleh Joshua Oppenheimer yang mematahkan pandangan tentang kekejaman film Pengkhianatan G30S/PKI yang kebenarannya belum terbukti. Film Jagal menceritakan tentang seorang preman yang mendapat “izin” dari militer saat itu untuk menghabisi orang-orang yang dianggap sebagai PKI lalu mengadilinya tanpa proses pengadilan resmi.

Film besutan Joshua Oppenheimer mendokumentasikan keseharian Anwar Congo, salah satu eksekutor para PKI. Dalam Jagal, Anwar Congo diminta merekonstruksi kejadian pembantaian. Mereka, Anwar Congo dan teman-

The Act of Killing: Mereka dengan Bangga Menyebut Dirinya Pahlawan

TENTANG LAYAR

temannya, dengan senang hati melakukan reka ulang pembunuhan tersebut. Ada adegan, Anwar meceritakan ulang pembunuhan tersebut dengan santai, tertawa bangga dan merasa dirinya adalah pahlawan karena telah menumpas PKI.

Di sisi lain, ada pula adegan yang bertolak belakang dengan perbuatan masa mudanya tersebut, seorang Anwar yang dikenal sebagai preman bioskop menasihati dengan lembut cucunya yang menyakiti bebek-bebek peliharaannya. Anwar Congo menyuruh cucunya agar meminta maaf kepada bebek tersebut.

Tak hanya itu, ada pula sebuah adegan di mana Anwar memerankan sebagai orang PKI yang diitrogasi oleh para preman tersebut dan ia seakan merasakan bagaimana ketakutan-ketakutan itu muncul. Rasa iba muncul dalam diri Anwar. Dia seakan bercermin kepada tindakannya saat itu, dan pada akhirnya tak ada kata-kata yang bisa keluar.

Di situ terjadi pula hal-hal yang kompleks. Menurut Hilman Farid, Sejarawan dan Dosen Cultural Studies UI, Kandidat Doktor dari National University of Singapore, kebenaran itu kompleks, tak ada Anwar yang benar-benar baik dan tak ada Anwar yang benar-benar buruk. Kehidupan tak sekedar hitam putih.

Dan, yang pasti orang-orang seperti Anwar Congo bukan alien yang datang dari tempat lain. Dia ada di sekitar kita. Mungkin itu kakek, orang tua, dan mungkin ada dalam diri kita sendiri. (BuKin/BAP)

The Act of Killing: Mereka dengan Bangga Menyebut Dirinya Pahlawan

HALAMAN FOTO

Sembilan Belas Tahun BerkaryaAda 19 tahun, bukan mengada-ada. Selama itu pula segenap proses mengejawantah menjadi karya. Inilah antara lain karya Teater Kinasih.

PRIIIIIIIIIIIIIIITTTT!!!!! KUNG-KUNG, 2006

Manusia Sempurna, 2006

HALAMAN FOTO

Paradiso, 2007

Aksi Teatrikal. 2008

HALAMAN FOTO

Buku, 2008

Kematian sang Wartawan, 2008

Hari Tanpa TV, 2009

HALAMAN FOTO

Republik Anu, Taman Menteng, 2010

DokumentasHALAMAN FOTO

Kamu Dimana, Sama Siapa? Aku HIV, 2011

Elegi Cinta, Universitas Pancasila, 2012Dokumentasi foto: Teater Kinasih

NASKAH

Jakarta yang padat. Semua orang berbondong-bondong ke Jakarta dari yang mimpi jadi idol-idolan sampai sadar nasib maunya jadi PRT saja. Sampai rela tinggal desak-desakan di gang-gang sempit. Mau bagaimana lagi, rumah susun segedung belum tentu muat buat orang sekampung. Mungkin benar juga, buat mereka yang kebanjiran akan lebih aman tinggal di rusun. Tinggi. Juga daripada mepet kanan-kiri kan legaan atas-bawah. Pasti para lansia juga lebih memilih rumah susun kalau ada liftnya. Supaya encoknya nggak tambah parah harus naik-turun tangga lima lantai. Kalo apartemen sih pasti ada liftnya, dan bisa bikin penghuninya lupa kalau mereka tinggal di Jakarta yang mulai kejam seperti gurun peradaban. Kalau kemarau sumur

Si Peronda Oleh: Sunarsih Saladina

Bunyi keran air dibuka besar-besar. Bunyi papan cuci beradu cucian gesrek-gesrek gejros. Bunyi cibang-cibung entah mandi entah cebok. Bunyi motor tetangga dipanaskan roengroengroeng-d e r u m d u m d e r u m -dlugdlugdlug. Bunyi minyak panas ketemu entah telor entah adonan bakwan. Bunyi tingtingtingting tukang bubur dan tengtengtengteng tukang ketupat sayur. Segala bunyi yang ada di jajaran kontrakan petak sahut-sahutan entah datang dari rumah yang mana karena saking dempet-dempetnya. Bahkan malam-malam kalau ada yang lagi main cinta, bunyi lenguhan bisa menembus tembok dan genteng asbes. Bikin ngiri yang bujangan. Mau nguping takut mupeng mau pura-pura nggak dengar ya kebayang-bayang juga.

NASKAHbor pasti kering, kalau musim hujan pasti Ciliwung meluap tanggul-tanggul pada jebol, tapi kan apartemen cuma buat mereka yang pengeluaran hariannya ngalahin biaya hidup sebulan orang-orang seperti Gemang.

Tapi Gemang sendiri tak pernah repot-repot memikirkan soal penduduk Jakarta yang tumpah ke kali, atau kalinya yang tumpah. Pagi itu, semua bunyi di gang itu nyampur di kuping Gemang dan menjelma lagu ninabobo. Begitu selesai adzan subuh berkumandang dari mesjid di mulut gang, ia akan segera meninggalkan pos ronda untuk pulang ke kontrakannya dan bergelung di kasur tipisnya. Begitu setiap pagi. Siangnya, adzan lohor jadi wekernya buat bangun dan memenuhi panggilan serabutan darimanapun untuk kerja apapun asal bayarannya cukup untuk bayar kontrakan, makan nasi bungkus sehari tiga kali, ngopi dua kali. Kadang-kadang juga makan dan ngopinya numpang sama Aning, pacarnya yang kerja di warteg. Pintar juga ia cari pacar. Aningnya yang nggak pinter cari pacar.

Kalau malam tiba, selepas isya, Gemang akan nangkring di pos ronda, bersama dengan bapak-bapak yang lain. Lumayan, buat Gemang yang memang hobi begadang asal ada gunanya, kalau kata raja dangdut cap soneta yang kepengin jadi presiden. Gunanya buat Gemang ya biar dapat kopi dan cemilan gratis. Hiburan juga, kalau ada yang ngajak main gaple atau kartu remi. Selebihnya, apa benar bisa berguna buat keamanan lingkungan, siapa yang tahu.

Seperti malam itu, para laki-laki berkumpul di pos ronda. Gemang ada di antara mereka.

“Pemimpin kita yang baru itu, bener-bener ya. Orang yang kayak gitu itu yang pantesnya jadi pemimpin. Semuanya bisa diurusi. Nanti aku ikut ah nyalonin dia jadi presiden.” Kata seorang bapak.

“Pantes apanya? Sama aja sama pejabat-pejabat lain. Kerjanya enak. Tandatangan ini itu, pidato sana-sini, peresmianlah, kunjungan kerjalah, rapatlah, mana tau dia kita-kita ini, rakyat kecil, setiap hari gempor kena macet, hati nggak karuan setiap tanggal tua, mikirin bayar kontrakan, cicilan motor, beli susu anak, belom belanja istri, katanya harga-harga naik, wah pokoknya macem-macem.” Kata bapak yang lain lagi.

“Iya tuh. Apalagi belanja istri. Harga bedak naik ngadunya ke kita. Padahal gaji kita kan nggak naik.” Kata bapak yang satu lagi.

Gemang menyeruput kopinya lalu mengangguk-ngangguk mengiyakan semuanya. Ia

NASKAHbelum merasakan kesusahan mereka yang banting tulang menafkahi keluarganya. Tapi juga buat bapak-bapak yang lain ya pokoknya ada yang mau mendengarkan keluh kesah mereka, supaya terasa senasib sepenanggungan.

Menjelang pukul sepuluh bapak-bapak di pos ronda itu satu persatu pulang, hingga tinggal Gemang sorang diri. Pak Saifudin yang terakhir pamit beralasan, “Saya mau pulang dulu, besok pagi-pagi harus antar anak sekolah. Kalau soal keamanan erte ini, kami yang bapak-bapak ini percaya sajalah sama yang muda, mumpung belum banyak tanggungannya seperti saya ini. Nih saya bekali rokok sebungkus.”

Seperti malam-malam yang sudah lalu, Gemang pun sendirian di pos ronda itu. Biasanya ia dapat pengusir sepi kalau sesekali bertemu dan ngobrol sama tukang sate, tukang nasi goreng, tukang sekuteng yang kebetulan mampir melepas penat setelah semalaman keliling kampung.

Tapi kok malam ini beda sama malam-malam yang lain ya, pikir Gemang. Nggak ada siapa-siapa. Bahkan kucing pun nggak ada seekorpun yang lewat. Biasanya juga masih ia dengar sayup-sayup suara radio dangdut dari warung rokok. Atau suara tivi menyiarkan pertandingan bola. Ia suka juga menonton sekali-sekali. Lumayan juga buat hiburan karena menonton ramai-ramai, meskipun ia nggak pernah hafal nama-nama tim apalagi nama pemainnya.

Gemang lupa kapan terakhir kali ia merasa sepi seperti ini. Suara jangkrik nggak ada. Ah, mungkin lagi bukan musimnya kawin. Pun suara kodok tak terdengar. Ah, mungkin karena lagi nggak hujan. Dan tidak ada nyamuk-nyamuk yang biasanya memberikan kepuasan bagi Gemang jika berhasil kena tepok dan berleleran darah. Mungkin lagi bukan musim bertelur nyamuk-nyamuk itu. Sepi.

Tiba-tiba Gemang teringat Aning. Pasti ia sekarang lagi ke pasar induk, belanja buat wartegnya. Atau mungkin ia malah lagi masak? Gemang bertanya-tanya, apa Aning juga lagi teringat dirinya? Tapi pertanyaan itu tentu tidak akan terjawab jika Gemang hanya mampir ke warteg buat numpang ngopi gratis. Gemang tidak pernah punya inisiatif untuk mengajak Aning ke pasar malam, atau sekedar makan pecel lele di depan stasiun. Entah sampai kapan Gemang akan sadar.

Lalu Gemang teringat akan ibu bapaknya di kampung. Ibunya yang dagang pecel. Ayahnya yang pesuruh di asrama tentara. Kakaknya tahun lalu baru kawin sama yang punya toko di pasar Karangayu. Gemang pikir pasti ayah-ibunya bisa mengandalkan toko milik suami kakaknya. Makanya ia juga berani minta modal untuk merantau

NASKAH

Lalu dari rumah seberang dan sebelahnya juga para bapak menjeblak pintu sambil membawa tongkat panjang dan samurai, disusul beberapa rumah lain.

“Apa yang dimaling?” “Tivi!”“Malingnya siapa?”“Ya mana aku tahu! Pokoknya kejar dulu! Tivi baru itu!”“Ayo!”“Ayooo!!”

Gemang hanya terpaku melihat para laki-laki itu berlarian sambil mengacungkan senjata masing-masing. Bingung antara memilih mau ikut mengejar atau melanjutkan lamunannya.

ke Jakarta. Tapi memang, sudah nggak punya kenalan di Jakarta, nggak punya pengalaman, modal habis, kerjaan nggak dapet. Hingga sekarang terdampar di pos ronda. Kesepian. Tanpa tujuan.

Lagi asik-asiknya pikiran Gemang melayang kesana kemari, tiba-tiba sekelebat sosok hitam lewat tidak jauh di sebelah pos. Gemang antara sadar dan tidak, mengantuk dan terjaga, melihat seorang laki-laki memanggul sarung berlari ke arah kebon pisang. Seketika dari rumah kedua di deretan kanan kontrakan petak muncul seorang laki-laki yang sontak berteriak, “Maling!! Maling!!”.

Ilustrasi: unemployment portrait by Mohamed Owais 1989

SPOTLIGHT

Manusia terbentuk dari keberadaan roh, jiwa, dan fisik. Ketiganya berinteraksi demi mencapai kehidupan manusia seutuhnya. Gerak roh, akal, fisik ditentukan oleh banyak faktor, salah satunya kesadaran individu yang bersangkutan untuk mengelolanya.

Dunia teater tidak lepas dari pengelolaan tersebut. Untuk memainkan suatu peran, aktor mempergunakan tubuh, jiwa dan rohnya untuk meyakinkan penonton akan peran yang ia bawakan. Aktor yang baik harus selalu melatih dan mengolah tubuhnya untuk mencapai elastisitas dan fleksibilitas agar dapat menggerakkan tubuhnya sesuai dengan kebutuhan memainkan perannya. Olah tubuh melatih kesadaran aktor akan tubuhnya sendiri dan bagaimana mendayagunakan tubuh untuk kepentingan artistik.

Sadar atau tidak, tubuh manusia berkemampuan mengingat semua yang pernah dialaminya. Tubuh manusia adalah suatu sistem yang organ-organnya saling berkaitan. Sebuah penelitian menerangkan bahwa gerakan rahang mengunyah berpengaruh dengan kinerja otak. Penelitian tersebut menunjukkan ketika mulut melakukan gerakan mengunyah dengan permen karet, daya tanggap otak menjadi lebih cepat sepersekian detik. Analogi dalam penelitian itu adalah ketika dalam permainan baseball bola dilempar oleh pitcher, hanya butuh waktu kurang dari sedetik untuk sampai di tangan catcher.

Olah tubuh berarti mempersiapkan tubuh untuk melakukan segala sesuatu. Tubuh yang dilatih akan lebih mampu tanggap terhadap suatu keadaan dan mengatasinya. Membuat tubuh menjadi manja atau disiplin adalah pilihan. (BuKin/NTA)

Kesadaran Tubuh

Lalu-lalang Masyarakat Baduy di Jakarta

Suku Baduy adalah suku yang terkenal dengan masyarakatnya yang membatasi diri dari peradaban di luar wilayahnya. Ada semacam sekat yang memisahkan kehidupan di desa Kanekes, tempat suku Baduy bermukim, dengan kehidupan luar yang gemerlap. Masyarakat Baduy hidup sederhana dengan mempertahankan tradisinya.

Kesederhanaan masyarakat Baduy tercermin dari perilaku dan cara mereka berinteraksi dengan dunia luar. “Di sini paling satu orang cuma punya dua pasang pakaian, beda dengan kalian warga Jakarta yang merasa kalau satu lemari pakaian tidak pernah cukup.” sebuah kutipan dari seorang warga Baduy. Kesederhanaan itu pula yang membuat masyarakat Baduy mengolah maksimal semua alat yang mereka punya ditubuhnya.

NUSANTARA

Tak jarang, terlihat beberapa orang dengan pakaian serba putih atau hitam, dari celana hingga ikat kepala, bejalan kaki di jalan-jalan ibu kota. Mereka adalah masyarakat Baduy, yang konon menolak kebudayaan luar masuk ke dalam wilayahnya, sedang berdagang ke kota.

Terdengar kontradiktif memang, saat mereka menolak kebudayaan luar namun mereka melakukan perjalanan untuk berdagang keluar wilayahnya. Tapi, ada satu hal yang masih terlihat eksotis, masyarakat Baduy berdagang ke kota-kota besar dengan berjalan kaki, ikat kepala bak Wali Songo dan tidak menggunakan alas kaki. Sebuah pemandangan tersendiri di tengah kendaraan mewah yang ada di Jakarta.

Apakah bisa dikatakan sesuatu yang eksotis? Kehadiran para pejalan Baduy ini seakan seperti “yang lain” dari antah berantah. Mungkin mereka juga memandang orang kota dengan label eksotis, atau futuristik. Perasaan asing terhadap masyarakat Baduy membuat kita lupa akan hakikat manusia.

NUSANTARA

Lalu-lalang Masyarakat Baduy di Jakarta

Suku Baduy adalah suku yang terkenal dengan masyarakatnya yang membatasi diri dari peradaban di luar wilayahnya. Ada semacam sekat yang memisahkan kehidupan di desa Kanekes, tempat suku Baduy bermukim, dengan kehidupan luar yang gemerlap. Masyarakat Baduy hidup sederhana dengan mempertahankan tradisinya.

Kesederhanaan masyarakat Baduy tercermin dari perilaku dan cara mereka berinteraksi dengan dunia luar. “Di sini paling satu orang cuma punya dua pasang pakaian, beda dengan kalian warga Jakarta yang merasa kalau satu lemari pakaian tidak pernah cukup.” sebuah kutipan dari seorang warga Baduy. Kesederhanaan itu pula yang membuat masyarakat Baduy mengolah maksimal semua alat yang mereka punya ditubuhnya.

Tak jarang, terlihat beberapa orang dengan pakaian serba putih atau hitam, dari celana hingga ikat kepala, bejalan kaki di jalan-jalan ibu kota. Mereka adalah masyarakat Baduy, yang konon menolak kebudayaan luar masuk ke dalam wilayahnya, sedang berdagang ke kota.

Terdengar kontradiktif memang, saat mereka menolak kebudayaan luar namun mereka melakukan perjalanan untuk berdagang keluar wilayahnya. Tapi, ada satu hal yang masih terlihat eksotis, masyarakat Baduy berdagang ke kota-kota besar dengan berjalan kaki, ikat kepala bak Wali Songo dan tidak menggunakan alas kaki. Sebuah pemandangan tersendiri di tengah kendaraan mewah yang ada di Jakarta.

Apakah bisa dikatakan sesuatu yang eksotis? Kehadiran para pejalan Baduy ini seakan seperti “yang lain” dari antah berantah. Mungkin mereka juga memandang orang kota dengan label eksotis, atau futuristik. Perasaan asing terhadap masyarakat Baduy membuat kita lupa akan hakikat manusia.

NUSANTARA

Kehadiran masyarakat Baduy yang sederhana mengingatkan kepada kita bahwa manusia diciptakan lengkap dengan seperangkat otot, pancar indera, paru-paru, jantung, dan masih banyak lagi, akan sangat percuma bila ketersediaan perangkat tersebut hanya dapat direnungi. Eksistensi ragawi manusia terancam oleh mesin yang semakin lama manggantikan peran tubuh manusia. Akibatnya, kepekaan tubuh terhadap sebuah rangsangan pun menurun.

Mungkin, ada beberapa orang yang sadar dengan hal ini. Beberapa komunitas yang menempelkan stiker di sepedanya dengan tulisan “Bike to Work” atau “Bike to Campus”. Namun, yang terjadi adalah peningkatan prestis belaka. Sedekar latah mengikuti tren masyarakat Barat yang katanya mempunyai kesadaran ekologis yang tinggi sekali di negaranya, namun ironisnya membuang limbah konsumeristik-hedonistik dan sampah radio aktif ke negara dunia ketiga. Begitu salah satu naskah Simon Lili Tjahjadi, yang berjudul Filsafat Bersepeda, di majalah Bung! bercerita.

Simon menggunakan pendapat seorang filsuf dan sosiolog Jerman, Helmuth Plessner, yang mengatakan bahwa manusia di dalam masyarakat industri seperti sekarang merasakan kejanggalan dalam tubuh fisiknya sendiri akibat teknologisasi, motorisasi, mekanisasi tempatnya bergerak. Dengan kata lain, peran tubuh manusia sudah tidak maksimal lagi dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan perlahan tergantikan dengan mesin.

Tradisi yang dimiliki masyarakat Baduy akan tetap menjadi tradisi. Berjalan pun akan tetap menjadi hakikat manusia. Namun, sangat penting untuk mengolah perangkat jasmani yang kita miliki saat ini. Akan sangat disayangkan bila suatu saat manusia hanya berjiwa namun tidak bertubuh. (BuKin/BAP)

Kehadiran masyarakat Baduy yang sederhana mengingatkan kepada kita bahwa manusia diciptakan lengkap dengan seperangkat otot, pancar indera, paru-paru, jantung, dan masih banyak lagi, akan sangat percuma bila ketersediaan perangkat tersebut hanya dapat direnungi. Eksistensi ragawi manusia terancam oleh mesin yang semakin lama manggantikan peran tubuh manusia. Akibatnya, kepekaan tubuh terhadap sebuah rangsangan pun menurun.

Mungkin, ada beberapa orang yang sadar dengan hal ini. Beberapa komunitas yang menempelkan stiker di sepedanya dengan tulisan “Bike to Work” atau “Bike to Campus”. Namun, yang terjadi adalah peningkatan prestis belaka. Sedekar latah mengikuti tren masyarakat Barat yang katanya mempunyai kesadaran ekologis yang tinggi sekali di negaranya, namun ironisnya membuang limbah konsumeristik-hedonistik dan sampah radio aktif ke negara dunia ketiga. Begitu salah satu naskah Simon Lili Tjahjadi, yang berjudul Filsafat Bersepeda, di majalah Bung! bercerita.

Simon menggunakan pendapat seorang filsuf dan sosiolog Jerman, Helmuth Plessner, yang mengatakan bahwa manusia di dalam masyarakat industri seperti sekarang merasakan kejanggalan dalam tubuh fisiknya sendiri akibat teknologisasi, motorisasi, mekanisasi tempatnya bergerak. Dengan kata lain, peran tubuh manusia sudah tidak maksimal lagi dalam melakukan kegiatan sehari-hari dan perlahan tergantikan dengan mesin.

Tradisi yang dimiliki masyarakat Baduy akan tetap menjadi tradisi. Berjalan pun akan tetap menjadi hakikat manusia. Namun, sangat penting untuk mengolah perangkat jasmani yang kita miliki saat ini. Akan sangat disayangkan bila suatu saat manusia hanya berjiwa namun tidak bertubuh. (BuKin/BAP)

Pijat Refleksi

Sesaat asik menikmati siaran berita ketika sebuah SMS dari Sal, pemred BuKin, menyadarkan saya dari ilusi jurnalisme. “Lo kebagian jatah nulis rubrik Angkringan. Tema bulan ini Media sebagai Refleksi Diri. Deadline maju tanggal 20 coz ini bulan Februari.” begitu isi SMSnya.

Sambil dipijat oleh terapis bernama Mbah Jarwo saya putar otak. Media sebagai refleksi diri, berarti apa yang ada dalam diri kita terefleksi oleh media. Ini sinekdoke pars pro toto. Media mewakili diri kita. Tingkah laku, pola pikir, hingga budaya. Tapi bagaimana kalau sudut pandangnya kita balik menjadi sinekdoke totem proparte. Diri kita –sadar atau tidak sadar- terefleksi oleh media itu sendiri.

Mens sana in corpore sano. Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Begitu kira-kira bunyi tulisan yang terpampang di ruang tunggu pijat refleksi Tosima. Pijat refleksi yang biasa saya kunjungi ketika badan sudah tidak bisa diajak kompromi bertarung melawan rutinitas kerja.

Ruang tunggu bisnis jasa pijat refleksi ini pun dibikin senyaman mungkin bagi pengunjung yang lelah secara fisik –juga jiwanya. Berbagai majalah, surat kabar, dan siaran TV disuguhkan untuk menemani saya yang harus menunggu antrian.

ANGKRINGAN

ANGKRINGANSebagai contoh, dulu orang Indonesia tidak mengenal narkotika bernama hasis, olahan ganja berbentuk pasta. Semenjak seorang wanita asal Timur Tengah tertangkap membawa hasis dan di blow up media, sekarang pengguna hasis di Indonesia menjamur. Atau semisal dari banyaknya berita tentang kriminalitas, pelecehan seksual, korupsi justru menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk melakukan hal serupa. Sebagai pembanding lain, dari media anak perempuan Indonesia –penganut budaya timur- menjadi gemar mengenakan rok super mini yang merupakan budaya barat sedangkan anak laki-lakinya gemar melihat perempuan yang mengenakan rok super mini. Pembahasan ini ibarat pertanyaan telur atau ayam dulu yang muncul? Semua benar, tapi tidak mutlak.Ketika ditanya perihal yang sama Mbah Jarwo menjawab, ”Saya ndak mau pusing. Refleksi yang bagus ya pijat refleksi. Ha ha ha.”

Nyeleneh memang jawaban si Mbah. Tapi saya membenarkannya. Terlalu banyak masyarakat yang keletihan fisik akibat belenggu rutinitas sehingga tidak bisa berpikir jernih. Jiwa menjadi kering dan haus. Dalam konsdisi yang sudah carut marut seperti ini tentu sebagai orang yang kehausan akan meminum air apa saja untuk menghilangkan dahaga. Tidak ada lagi proses filtrasi baik bagi produsen maupun konsumen media. Semua sama-sama latah.

Selesai dipijat tubuh saya menjadi bugar. Pikiran kembali jernih. Sesampai di rumah keponakan saya yang namanya agak nyeleneh, Popskii , ngerengek minta dibelikan obat pembuat langsing. Ingin tampil seksi seperti model yang ada di iklan-iklan katanya sambil meliukan tubuhnya di depan cermin besar di ruang tamu. Begitu saya kasih nasihat supaya minum jamu tradisional saja, si Popskii justru kabur.

Ini merupakan bukti bahwa kita terefleksi apa yang ada dalam konten media dan media merefleksi apa yang menjadi keinginan khalayaknya. Generasi sekarang memang maunya diberi yang manis-manis dan instan. Padahal jelas-jelas yang serba instan itu efeknya tidak baik bagi tubuh. Perlahan-lahan merusak dari dalam. Kalau tubuh sudah rusak, pikiran dan jiwa pun pasti terganggu.

Akhirnya saya mendekat ke arah cermin. Di sana nampak refleksi seorang manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya melihat diri secara utuh. (BuKin/RS)

HALAMAN BELAKANG

Bagaimana keadaan di lingkungan kampus saat Kinasih akan berdiri?Awal ketika angkatan saya baru masuk IISIP tahun 1992, keadaan kampus sedang di-nonaktifkan. BEM dihapuskan karena sedang terjadi bentrok antara BEM, senat dan yayasan Kampus Tercinta. Waktu itu saya dan empat teman lain berpikir, waktu SMA ada organisasinya, kenapa kok di dunia perkuliahan kita cuma kuliah, duduk, pulang. Maka ada semacam gejolak emosi beberapa mahasiswa, termasuk saya, untuk, yuk kita kumpul, bikin kegiatan.

Lalu itu memicu mendirikan Kinasih?Awalnya, tahun 1993. Waktu itu kita kumpul di barak, ada lima orang. Banyak bidang, nggak cuma teater. Ada yang suka fotografi, tari, musik, ada teater. Dari akar yang berbeda itu kita kumpulkan peminatnya, ternyata banyak. Enam puluh orang di pertemuan pertama. Selanjutnya UKM itu kita beri nama Dapur Seni.

Lalu kemana cabang yang lain? Kenapa tinggal teater?Pada akhirnya terbentur fasilitas. Fotografi harus ada kamera. Mau menari, harus ada tape. Main musik harus ada alat. Kalau teater, nggak ada modalnya, cuma diri sendiri. Tubuh, imaji, rasa. Sebulan nggak ada kegiatan, yang jalan cuma teater, karena saya yang melatih, saya juga yang menyutradarai. Makanya akhirnya muncul Teater

Maria Khomaris: Teater Kinasih itu Bayi yang Baru Lahir tapi Sudah BergigiTeater Kinasih, satu-satunya UKM teater di kampus tercinta menginjak usia yang ke-19 bulan ini. Pada kemunculan pertama rubrik Halaman Belakang, BuKin menghadirkan salah satu pendiri UKM ini, Maria Khomaris, pada sebuah bincang-bincang singkat.

HALAMAN BELAKANGKinasih.

Pertama kali mementaskan apa? Kita pernah latihan di kampus tanggal 28 Oktober 1993. Pagi-pagi kita kumpul di lapangan basket, empat murni, lalu olah tubuh tapi dengan pakai kostum. Orang-orang menonton. Pas jam sepuluh kita mulai baca puisi, dan improvisasi. Kalau sekarang orang bilang happening art, tapi waktu itu kita belum tahu itu. Selama durasi empat puluh menit, ternyata orang-orang yang menonton itu terpaku. Setelah selesai lalu mereka tepuk tangan.

Apakah Kinasih dulu pernah melakukan semacam ‘terobosan’?Kita ikut festival di Bulungan, membawakan lakon Kertajaya dengan awak cuma tigabelas orang. Naskahnya berat. Pemainnya juga harusnya ada 40 orang. Jadi ada yang double cast, malah triple cast. Tapi waktu itu kita punya satu tujuan. Kita harus buktikan, kita memang pantas untuk diperhitungkan. Karena waktu itu kita sempat dilecehkan, ketika tidak ada kegiatan kita muncul sendiri dan menghidupkan kampus.

Waktu itu, beda dengan sekarang, pihak kampus juga mendukung. Hasilnya dari festival itu kita meraih teater terbaik se-Jakarta Selatan. Lalu media-media kampus lain panggil kita untuk wawancara, salah satunya MS3 dari Trisakti. Waktu kita mau berangkat wawancara, kita disediakan mobil dari kampus. Lalu muncul sebutan waktu itu, Teater Kinasih itu bayi yang baru lahir tapi sudah bergigi.

Kalau sekarang kan lagi trend teater sebagai hiburan, dengan harga tiket sampai sejuta dan konsep pertunjukan mewah tapi kontennya benar-benar ringan. Kalau di jaman 90-an seperti apa? Dulu yang bikin pementasan besar itu cuma kelasnya Teater Mandiri dan Teater Koma. Tapi menonton mereka ibarat makan permen pedes, habis makan masih berasa. Karena selain menjual, mereka juga memberikan ilmu dari apa yang mereka tampilkan. Kalau nonton teater sekarang yang hiburan itu kayak makan permen karet, habis manisnya lalu dilepeh.

Teater Kinasih, sembilan belas tahun berdiri. Pengurus dan anggota silih berganti. Melewati dinamika jamannya. Salah satu prinsip yang diajarkan oleh para pendahulu di komunitas ini adalah panggung bukan hanya tempat berkarya, tapi juga tempat belajar, dan kehidupan adalah panggung terbesar bagi umat manusia. Selamat ulang tahun, Teater Kinasih. Tetaplah hidup, tetaplah berkarya. (BuKin/MNP)