buletin -...

78

Upload: vodang

Post on 11-Apr-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab
Page 2: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab
Page 3: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BULETIN

HASIL KAJIANVolume 6 Nomor 06, Tahun 2016

Penanggung JawabKepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Tim PenyuntingNana SutrisnaKarsidi PermadiAgus NurawanIskandar IshaqHendi SupriyadiDian HistifarinaMeksy DianawatiIkin Sadikin

Penyunting PelaksanaNadiminSetiawan

PenerbitBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

Alamat RedaksiJalan Kayuambon No. 80, LembangBandung Barat 40391Telepon : 022-2786238Faksimile : 022-2789846e-Mail : [email protected] : http//jabar.litbang.pertanian.go.id

Page 4: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab
Page 5: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

i

Pengantar

Buletin Hasil Kajian (BHK) merupakan satu-satunya media publikasi BPTP Jawa Barat yang disiapkan secara khusus untuk menampung karya tulis peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. BHK diharapkan dapat mendukung peningkatan jenjang jabatan fungsional peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa. Selain itu, artikel yang terpublikasi melalui BHK juga merupakan sumbangsih ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna.

Secara informal, Tim Penyunting senantiasa berusaha memacu peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa untuk menuliskan pengalamannya dalam bentuk artikel ke BHK. Akan tetapi, pendekatan informasi tersebut sangat terbatas. Karena itu, diperlukan dukungan penuh dari pejabat lingkup BPTP Jawa Barat untuk memacu semangat, membina, dan meningkatkan keterampilan peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis artikel khusunya untuk BHK.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa yang telah mengirimkan artikelnya. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga disampaikan kepada para Ketua Kelji yang telah memberikan dorongan semangat dan pembinaan kepada para peneliti dan teknisi litkayasa dalam menulis dan mengirimkan artikel ke BHK.

Kami berharap para peneliti dan teknisi litkayasa akan terus bersemangat dalam menulis artikel, didasari niat untuk beribadah dalam memasyarakatkan ilmu dan pengalaman yang dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca dan pengguna. Kepada khalayak pembaca dan pengguna, kami berharap untuk mendapatkan tanggapan umpan balik agar pengelolaan dan kinerja BHK semakin meningkat.

Penyunting

Buletin Hasil Kajian memuat karya tulis tentang kegiatan peneliti, penyuluh dan teknisi litkayasa serta analisis kegiatan lapangan yang disajikan secara praktis. Buletin ini merupakan terbitan ke 6 pada tahun 2016, dengan frekuensi satu kali dalam setahun.

BULETIN

HASIL KAJIANVolume 6 Nomor 06, Tahun 2016 ISSN 2252-3219

Daftar Isi

Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Tingkat Pengetahuan dan Sikap Petani pada Produksi Benih Padi di Kabupaten IndramayuAtang Muhammad Safei, Yati Haryati, Bebet Nurbaeti ....................................................... 1 - 4

Pengujian Daya Berkecambah Biji Bawang Merah Selama 7 Periode SimpanAtin Yulyatin dan Yati Haryati ...................... 5 - 8

Pengaruh Perlakuan Pencelupan dalam Larutan Cacl2 dan Pemblansingan terhadap Mutu Keripik TerubukDian Histifarina1) dan Ridwan Rahmat2) ..... 9 - 13

Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pekarangan dalam Mendukung Peningkatan Gizi KeluargaYati Haryati dan Sukmaya ............................. 14 - 17

Perbaikan Teknik Budidaya Tanaman Kubis melalui Penerapan Teknologi Konservasi pada Lahan Kering Di Kecamatan Cikajang Kabupaten GarutTaemi Fahmi dan Endjang Sujitno ............... 18 - 21

Aplikasi Pakan Lengkap Berbahan Baku Lokal untuk Penggemukkan Sapi Potong Po di Kabupaten CiamisSumarno Tedy dan Taemy Fahmi .................. 22 - 26

Pengembangan Aneka Produk Olahan Berbasis Ubikayu dan Respon Petani terhadap Pengolahan Ubikayu di Kabupaten BandungAdetiya Rachman, Yanto Surdianto dan Oswald Marbun ........................................... 27 - 33

Pemanfaatan Limbah Ternak di Sentra Usaha Ternak Sapi PerahSiti Lia Mulijanti, M. Dianawati dan Y. Rismayanti .................................................... 34 - 38

Analisis Freferensi Konsumen terhadap Produk Olahan TerubukAnna Sinaga, Dian Histifarina dan Liferdi ...... 39 - 44

Model dinamis Rencana Aksi Pengembangan Klaster Sapi Potong di jawa BaratNana Sutrisna *) dan hani Yhani **) ............. 45 - 60

Page 6: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

ii

Buletin Hasil Kajian Vol. 4, No. 4 Tahun 2014

Keragaan Karakter Agronomis VUB Padi sawah di Kabupaten Indramayu, Jawa BaratSusi Randhaniati 1), Iskandar Ishaq 1), dan Yaya Sukarya 2) ............................................. 61 - 65

Keragaan beberapa Varietas Padi pada Lokasi Demografi Denfarm di Jawa BaratTitiek maryati, bebet Nurbaeti dan Fyanita Perdhana ........................................................ 66 - 48

Page 7: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

1

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU TERHADAP TINGKAT PENGETAHUAN DAN SIKAP PETANI PADA PRODUKSI BENIH PADI

DI KABUPATEN INDRAMAYUAtang Muhammad Safei, Yati Haryati, Bebet Nurbaeti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa BaratJl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat

[email protected]

ABSTRAKPemerintah pada saat ini menggalakkan program pemenuhan kebutuhan benih berbasis desa mandiri benih pada kelompok penangkar. Kemampuan kelompok penangkar dalam memproduksi benih padi harus ditingkatkan untuk menjaga kualitas benih bersertifikat. Tingkat kemampuan kelompok tani dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap petani terhadap produksi benih bersertifikat. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik individu petani yang dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan sikap pada produksi benih padi bersertifikat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2016. Metode pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu petani kooperator yang melaksanakan program produksi benih padi bersertifikat dengan jumlah sampel 14 orang. Pengujian hipotesis menggunakan analisis rank spearman dengan program SPSS versi 20. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat produktivitas dan jabatan dalam kelompok tani mempunyai pengaruh terhadap tingkat pengetahuan petani tentang produksi benih padi bersertifikat dengan tingkat signifikansi sebesar 0,016 dan 0,046. Petani dengan tingkat produktivitas padi lebih tinggi dan memegang jabatan dalam kelompok tani mempunyai tingkat pengetahuan pada produksi benih padi bersertifikat lebih baik. Pendapatan, luas lahan dan pengalaman mengikuti pelatihan mempunyai pengaruh terhadap sikap petani pada produksi padi bersertifikat.

Kata Kuci : Pengetahuan dan sikap petani karakteristik individu, produksi benih

PENDAHULUANSwasembada pangan merupakan kunci

ketaSwasembada pangan merupakan kunci ketahanan dan stabilitas keamanan nasional. Akan tetapi, banyak terdapat kendala dalam upaya mewujudkan swasembada pangan. Pada tingkat petani, penggunaan benih bermutu varietas unggul masih rendah. Selain itu, tingkat pengetahuan dan keterampilan petani masih rendah, kurangnya motivasi, tidak memiliki kemampuan pengelolaan usaha tani, dan kurangnya wahana atau tempat petani untuk belajar dalam meningkatkan kemampuan yang dibutuhkan.

Permasalahan dalam penggunaan benih bermutu varietas unggul di tingkat petani adalah harga benih yang relatif mahal dan jaminan karakteristik benih tidak sesuai dengan yang tertera pada label, sehingga merugikan petani (Sayaka, 2006). Selain itu, rantai distribusi benih dari pusat produksi benih sampai ke petani terlalu panjang, sehingga kualitas benih sudah menurun

Salah satu upaya pemerintah untuk menjamin ketersediaan benih unggul yang bermutu dan tersedia secara tepat sesuai kebutuhan petani setempat dengan mengembangkan Desa Mandiri Benih (Dirjen Tanaman Pangan, 2015). Dengan adanya desa mandiri benih diharapkan dapat memenuhi kebutuhan benih sendiri atau kelompok, desa atau kawasan dengan varietas yang sesuai dengan preferensi petani dan adaptif spesifik lokasi.

Dalam membangun desa mandiri benih, terutama dalam menumbuhkan calon petani penangkar benih padi untuk memproduksi benih bermutu perlu dilakukan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani penangkar dalam proses produksi, prosesing, manajemen organisasi dan pemasaran. Tantangan dalam penyediaan benih bermutu adalah ketersediaan benih di sentra produksi sesuai dengan kebutuhan (Suastika dan Kariada, 2012).

Dalam rangka peningkatan kapasitas (capacity building) produksi benih untuk memenuhi kebutuhan benih di wilayah desa, pada tahun 2016 Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian, melalui Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Badan Litbang Pertanian melaksanakan Program Sekolah Lapangan (SL) Kedaulatan Pangan mendukung swasembada pangan yang terintegrasi di wilayah Desa mandiri Benih (Balitbangtan, 2015).

Sekolah Lapangan Kedaulatan Pangan merupakan salah satu wujud kepedulian pemerintah dalam mendorong program pembangunan pertanian yang ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan calon petani penangkar/ penangkar serta pemandu lapang dan sebagai tempat belajar petani atau kelompok tani dalam produksi benih bermutu (Novia, 2011). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan

Page 8: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

2

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

dan sikap petani pada produksi benih padi bersertifikat serta mengetahui karakteristik individu petani yang dapat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan dan sikap pada produksi benih padi bersertifikat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskPenelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - April 2016 di kelompok tani Makmur, Desa Karangampel, Kecamatan Karangampel, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan secara kuantitatif. Metode pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu petani kooperator yang melaksanakan program produksi benih padi bersertifikat dengan jumlah sampel 14 orang. Untuk memperoleh data yang diperlukan digunakan metode interview terhadap sampel penelitian dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jenis data yang dikumpulkan meliputi data kuantitatif dan kualitatif seperti karakteritik responden : umur, luas lahan, tingkat pendidikan, jabatan dalam kelompok tani, tingkat pengetahuan dan sikap petani. Pengujian hipotesis menggunakan analisis rank spearman dengan program SPSS versi 20.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Responden

1. Umur respondenResponden dalam penelitian ini berjumlah

14 orang. Secara umum, umur responden di atas 30 tahun. Kelompok umur terbanyak adalah 48-58 tahun sebanyak 9 orang atau 64,28%. Mayoritas petani padi adalah orang tua. Pemuda kurang berminat bekerja di bidang pertanian. Mereka lebih berminat bekerja di sekor in formal seperti buruh ataupun wiraswasta yang bergerak dalam bidang non pertanian. Secara lebih rinci distribusi responden berdasarkan kelompok umur dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan KelompokUmur

Kelompok Usia (Tahun) Jumlah Responden Prosentase

37-47 3 21,4348-58 9 64,2859-70 2 14,29Total 14 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2016

2. Luas LahanKepemilikan lahan petani tidak terlalu luas.

Pada umumnya rata-rata petani menggarap sawah seluas 0,86 ha. Sebagian besar petani merupakan petani penggarap. Tabel 2 memperlihatkan luas lahan yang digarap oleh petani.

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Luas Lahan Garapan

Luas Lahan (ha)

Jumlah Responden(orang)

Prosentase(%)

0,21-0,64 5 35,710,65-1,08 7 50,001,09-1,50 2 14,29

Total 14 100,00Sumber : Data Primer diolah, 2016

3. Tingkat Pendidikan FormalTabel 3 memperlihatkan bahwa sebanyak

11 orang atau 78,57% petani mempunyai tingkat pendidikan rendah, yaitu hanya menempuh Pendidikan Sekolah Dasar. Mayoritas petani yang berpendidikan rendah ini disebabkan karena orang tua pada zaman dahulu tidak mempunyai biaya untuk menyekolahkan anak serta kurangnya kesadaran pentingnya pendidikan. Menurut Padmowihardjo (2002) rendahnya tingkat pendidikan merupakan salah satu factor penghambat pengembangan sector pertanian di pedesaan, karena pendidikan yang rendah akan mempengaruhi kemampuan petani dalam menerapkan inovasi baru.Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan

Tingkat Pendidikan FormalTingkat Pendidkan

FormalJumlah Responden

(orang)Prosentase

(%)SD 11 78,57SMA 3 21,43Total 14 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2016

4. Jabatan dalam Kelompok TaniMayoritas petani yang menjadi sampel

penelitian ini merupakan anggota kelompok tani. Hanya sebagian kecil (4 orang/) responden yang menjadi ketua kelompok. Secara lebih jelas, jabatan dalam kelompok tani pada responden dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Jabatan dalam Kelompok Tani

No Jabatan dalam Kelompok

Jumlah Responden(orang)

Prosentase(%)

1 Anggota 10 71,432 Ketua 4 28,57

Total 14 100,00Sumber : Data Primer diolah, 2016

Page 9: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

3

Pengetahuan Responden terhadap Produksi Benih Padi

Pengetahuan merupakan tahap awal terjadinya persepsi yang kemudian menimbulkan sikap dan tindakan (ketrampilan). Dengan adanya pengetahuan petani yang baik pada suatu bidang, akan mendorong terjadinya sikap yang pada gilirannya mendorong terjadinya perubahan perilaku.

Berdasarkan hasil analisa data terlihat bahwa pengetahuan responden mengenai produksi benih padi masih tergolong kurang (57,14%), baik (14,29%). Beberapa hal yang belum dipahami oleh petani mengenai produksi benih padi bersertifikat adalah mengenai waktu pelaksanaan rouging, persyaratan daya tumbuh pada benih, macam-macam kelas benih padi, proses sertifikasi benih dan pengertian rouging. Petani sudah memahami mengenai pengertian produksi benih padi bersertifikat, perbedaan produksi benih dan budidaya padi konsumsi, lembaga yang mempunyai kewenangan mensertifikasi benih dan syarat kadar air benih. Upaya peningkatan pengetahuan kepada perlu dilakukan secara sistematik, karena menurut Allum et al (2005) menyatakan pengetahuan mempunyai satu garus lurus terhadap sikap pada sebuah ilmu pengetahuan atau informasi yang diterima. Tabel 5. Pengetahuan responden terhadap

produksi benihTingkat

PengetahuanJumlah Responden

(orang)Prosentase

(%)Kurang 8 57,14Cukup 4 28,57

Baik 2 14,29Total 14 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2016

Sikap Responden terhadap Produksi Benih Padi

Sikap petani dapat terbentuk dari pengalaman melalui proses belajar. Sikap merupakan suatu bentuk reaksi perasaan atau kecenderungan petani untuk menerima atau menolak suatu inovasi teknologi. Kecenderungan untuk menerima perilaku yang dianjurkan disebut sikap positif, dan kecenderungan untuk menolak perilaku yang dianjurkan disebut sikap negatif.

Berdasarkan hasil analisa data terlihat bahwa sikap responden mengenai produksi benih padi cukup baik (42,86%), baik (35,71%). Petani setuju bahwa usaha produksi benih padi

bersertifikat lebih menguntungkan dari pada budidaya padi biasa, peluang pemasaran benih padi cukup besar, serta petani merasa mampu untuk melakukan usaha penangkaran benih varietas baru.

Menurut Walgito, 2006, sikap yang dimiliki seseorang memberikan corak pada perilaku atau tindakan orang yang bersangkutan. Krech dan Crutchfield dalam Wagito 2006, mengatakan bahwa perilaku seseorang akan diwarnai atau dilatarbelakangi oleh sikap yang ada pada orang yang bersangkutan. Tabel 6. Sikap responden terhadap produksi

benih padiTingkat

PengetahuanJumlah Responden

(orang)Prosentase

(%)Kurang 3 21,43Cukup 6 42,86Baik 5 35,71Total 14 100,00

Sumber : Data Primer diolah, 2016

Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Tingkat Pengetahuan Petani Pada Produksi Benih Padi Bersertifikat

Setiap individu mempunyai kemampuan berbeda dalam mengembangkan pengetahuan. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik individu tersebut. Setiap karakter yang melekat pada individu tersebut akan membentuk kepribadian dan orientasi perilaku tersendiri dengan cara yang berbeda pula. Pengetahuan sebagai alat jaminan yanag sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang dari pengalaman. Perilaku didasarkan atas pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan dengan tanpa didasari pengetahuan (Syafruddin, 2006).

Untuk mengetahui adanya pengaruh antara variabel independen yaitu karakteristik individu (tingkat produktivitas dan jabatan dalam kelompok tani) dengan variable dependen yaitu pengetahuan petani pada produksi benih padi bersertifikat maka dilakukan teknis analisis korelasi rank spearman. Dari hasil analisa diperoleh nilai Sig Model sebesar 0,014 dan 0,046. Karena nilai ini lebih kecil 5%, maka dapat disimpulkan bahwa variabel bebas yang digunakan dalam penelitian ini berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan petani pada produksi benih padi bersertifikat. Variabel yang berpengaruh tersebut adalah tingkat produktivitas dan jabatan dalam kelompok tani.

Page 10: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

4

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Hasil analisa secara statistik menyimpulkan bahwa tingkat produktivitas petani mempunyai pengaruh nyata terhadap tingkat pengetahuan petani pada produksi benih padi bersertifikat. Petani yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi telah menerapkan PTT padi dengan baik dan benar. Dari segi budidaya, teknis produksi benih padi dengan budidaya padi biasa tidak terlalu berbeda. Pada produksi benih ada kegiatan rouging atau membuang rumpun tanaman yang berbeda dari ciri padi yang benihnya akan diproduksi. Selain itu, ada prosedur pendaftaran

Hubungan jabatan kelompok dengan tingkat pengetahuan petani pada produksi benih padi bersertifikat berpengaruh nyata dengan nilai sign sebesar 0,46. Jabatan dalam kelompok tani memungkinkan petani mempunyai komunikasi dengan sumber-sumber informasi. Petani menjadi berkesempatan mendapatkan informasi lebih baru dibandingkan dengan anggota kelompok mereka. Manfaat kelompok tani adalah sebagai wahana kerjasama, tempat belajar antara kelompok tani dengan sumber informasi serta sebagai unit usaha produktif.

Pengaruh Karakteristik Individu Terhadap Tingkat SikapPetani Pada Produksi Benih Padi Bersertifikat

Sikap petani pada suatu teknologi tergantung pada pengetahuan dan pengalaman petani. Sikap merupakan potensi pendorong yang ada pada petani untuk berinteraksi terhadap lingkungannya. Sikap tidak tetap dalam jangka waktu tertentu tetapi dapat berubah karena pengaruh orang lain melalui interaksi sosial yang telah dilakukannya. Untuk membentuk sikap tentang teknologi perlu dilakukan proses sosialisasi, imitasi dan adaptasi (Mar’at, 1994).

Hasil analisis data primer terlihat bahwa terdapat pengaruh nyata antara pendapatan, luas lahan, dan mengikuti pelatihan dengan tingkat sikap petani pada produksi benih padi. Petani yang mempunyai tingkat pendapatan tinggi, pada umumnya mereka telah berhasil dalam berusaha tani padi.

Hasil analisa secara statistik didapatkan hubungan nyata antara luas lahan dengan tingkat sikap petani pada produksi benih padi dengan nilai sign sebesar 0,039. Petani yang mempunyai luas lahan semakin besar, mereka cenderung mempunyai sikap yang positif pada produksi benih padi bersertifikat.

Pengalaman mengikuti pelatihan dengan sikap petani pada produksi benih padi bersertifikat mempunyai hubungan nyata dengan nilai sign sebesar 0,020. Petani sering mengikuti pelatihan dalam budidaya padi khususnys Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi.

PENUTUPTingkat pengetahuan petani pada produksi

benih padi termasuk pada kategori rendah dan cukup. Sikap petani pada produksi benih padi termasuk pada kategori cukup dan baik. Faktor karakteristik petani berupa tingkat produktivitas dan jabatan dalam kelompok tani mempunyai pengaruh nyata pada tingkat pengetahuan petani pada produksi benih padi. Pendapatan, luas lahan dan pengalaman mengikuti pelatihan mempunyai pengaruh nyata terhadap sikap petani pada produksi padi bersertifikat. Responden penelitian tepat menjadi sasaran penyuluhan karena mempunyai tingkat pengetahuan kurang akan tetapi sikap positif dalam produksi benih padi bersertifikat.

DAFTAR PUSTAKA

Suastika IB, I.K Kariada. (2012). Kajian sistem penyediaan benih unggul bermutu kedelai dalam mendukung program strategis pen-ingkatan produksi kedelai di wilayah Bali. Prosiding Seminar Kedaulatan Pangan dan Energi Universitas Trunojoyo Madura.

Novia, R., A. (2011). Respon Petani Terhadap Keg-iatan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanam Terpdu (SLPTT) Di Kecamatan Ajibarang Kabupaten Banyuma, Jurnal Ilmu-ilmu Per-tanian, 7 (2), : 48-60.

Balitbangtan. (2015). Pedoman Umum Pengemban-gan Model Kawasan Mandiri Benih Padi, Jagung dan Kedelai.

Sayaka, B., I. Ketut Kariyasa, Waluyo, Tjetjep Nurasa, Dan Yuni Marisa. 2006 Analisis Sistem Perbenihan Komoditas Pangan dan Perkebunan Utama. Seminar Hasil Pene-litian T.A. 2006. Pusat Analisis Sosial Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Syafruddin, (2006). Hubungan sejumlah karakteris-tik petani mete dengan pengetahuan mereka dalam usaha tani mete di Kabupaten Bom-bana, Sulawesi Tenggara. Jurnal Penyulu-han. Juni 2006, Vol. 2 No. 2.

Page 11: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

5

PENGUJIAN DAYA BERKECAMBAH BIJI BAWANG MERAH SELAMA 7 PERIODE SIMPAN

Atin Yulyatin dan Yati HaryatiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayu Ambon No. 80 Lembang

ABSTRAKBiji bawang merah yang akan digunakan sebagai benih harus disimpan pada kondisi yang tepat agar dapat dipertahankan mutu fisik dan fisiologisnya. Daya berkecambah merupakan salah satu tolak ukur mutu suatu benih. Untuk mengetahui umur daya simpan benih dilakukan pengkajian yang dilaksanakan di Laboratorium BPTP Jawa Barat pada Bulan Agustus 2015-Februari 2016. Biji bawang merah yang digunakan adalah varietas Bima merupakan hasil perbanyakan Kebun Bibit Inti (KBI) Lembang yang dipanen sejak tanggal 1 Juli 2015. Metode yang digunakan yaitu RAL (rancangan acak lengkap), dimana perlakuan umur simpan yaitu 0,1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 bulan diulang sebanyak 4 ulangan atau masing-masing ulangan @100 butir. Tujuan pengkajian melakukan pengujian daya berkecambah biji bawang merah selama periode 7 bulan simpan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa periode simpan berpengaruh paling nyata terhadap daya berkecambah biji bawang merah. Semakin lama benih disimpan maka daya berkecambahnya makin menurun. Biji Bawang merah yang disimpan dengan kantong klip pada suhu ruang hanya dapat mempertahankan daya berkecambahnya > 90% selama 3 bulan.

Kata Kunci : periode simpan, biji, bawang merah

PENDAHULUANPetani bawang cenderung menggunakan

umbi sebagai benih. Namun mahalnya harga umbi dan tidak bisa disimpan lama membuat sebagian petani mengalami kerugian ketika harga bawang konsumsi rendah akibat impor bawang konsumsi. Maka penggunaan biji bawang merah menjadi salah satu alternatif sebagai benih atau yang biasa dikenal dengan TSS (True Seed of Shallot). Salah satu keunggulannya adalah dapat disimpan lama dan tidak memerlukan tempat yang luas sehingga diharapkan biaya produksi dapat ditekan.

Namun biji bawang merah sebagai benih masih memiliki beberapa kekurangan yaitu daya berkecambah yang cepat menurun jika tidak disimpan secara tepat. Salah satu cara untuk mengetahui seberapa lama biji bawang merah dapat mempertahankan viabilitasnya selama dipenyimpanan adalah dengan menguji daya berkecambahnya sebelum ditanam dilapangan. Pengujian daya berkecambah merupakan salah satu tolak ukur untuk mengetahui viabilitas suatu benih. ISTA (2006) menyatakan bahwa tujuan pengujian daya berkecambah adalah untuk menentukan potensi perkecambahan maksimum dari suatu lot benih yang dapat digunakan untuk membandingkan mutu benih dari lot yang berbeda dan untuk menduga mutu benih sebagai bahan tanaman (the field planting value). Menurut Copeland dan McDonald (1995) uji daya berkecambah harus dilakukan pada media standar yang steril dalam ruangan lembap dengan suhu terkontrol. Pada dasarnya uji daya berkecambah menunjukkan kemampuan maksimum suatu lot benih untuk

menghasilkan tanaman. Nilai daya berkecambah umumnya lebih besar dari pemunculan bibit di lapang. Penghitungan pertama pada uji daya berkecambah bertujuan untuk mengeluarkan benih yang telah berkecambah normal. Penghitungan terakhir dirancang untuk memberikan cukup waktu sehingga benih yang kurang vigor dapat berkecambah normal. Nilai yang diperoleh pada pengujian ini adalah persentase perkecambahan yang merupakan gabungan kecambah kuat dan lemah. Pada umumnya kecambah yang lemah tidak akan tumbuh baik dilingkungan yang sub-optimum.

Salah satu cara untuk menghindari penurunan daya berkecambah biji adalah dengan rekayasa kemasan. Penggunaan kemasan benih dapat dilakukan dengan menggunakan plastik klip untuk penyimpanan jangka pendek (< 5 bulan). Selain harganya yang murah, mudah didapat, dan efisien. Hal ini sejalan dengan penelitian Waluyo et al. (2014) mutu fisiologis benih bawang daun dipengaruhi oleh periode simpan dan jenis kemasan, semakin lama benih disimpan pada suhu ruang mutu fisiologisnya menurun seiring dengan bertambahnya periode simpan benih. Untuk mempertahankan daya berkecambah benih bawang merah selama 4 bulan dapat menggunakan plastik klip. Waluyo (2012) benih cabai yang disimpan selama 1 tahun pada di suhu ruang dengan menggunakan kemasan kantong kertas memiliki kecepatan berkecambah yang nyata lebih rendah dibandingkan yang dikemas pada botol kaca, plastik klip dan kantong alumunium foil. Mudjisihono et al. (2001) mengungkapkan bahwa jenis kemasan plastik efektif untuk

Page 12: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

6

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

menghambat perubahan kadar air selama penyimpanan.

Suhu penyimpanan benih biji bawang merah dapat dilakukan pada suhu < 250C. Penyimpanan dapat dilakukan oleh petani penangkar dengan syarat suhu terpenuhi. Maka Penelitian Rao et al. (2006) pada biji bawang bombay menunjukkan penyimpanan dengan kantong alumunium dan penambahan silica gel pada suhu 25°C dapat memelihara daya kecambah dan viabilitas biji lebih dari 1 tahun. Daya berkecambah yang baik dan masa hidup benih bawang masing-masing adalah sebesar 1 dan 7 tahun jika benih tersebut disimpan pada pada kondisi yang baik (Mc Cormack, 2004). Suhu penyimpanan dapat mempengaruhi viabilitas benih biji bawang merah. Vigor benih dicerminkan oleh dua informasi tentang viabilitas, masing-masing kekuatan tumbuh dan daya simpan benih. Kedua nilai fisiologis ini menempatkan benih pada kemungkinan kemampuannya untuk tumbuh menjadi tanaman normal meskipun keadaan biofisik lapangan produksi suboptimum atau sesudah benih melampaui suatu periode simpan yang lama (Sutopo, 2002). Kemampuan benih untuk mempertahankan viabilitasnya, sehingga laju kemunduran dapat dikurangi dipengaruhi oleh kadar air benih diawal penyimpanan, suhu tempat penyimpanan, kerusakan mekanis yang terjadi pada saat panen dan pengolahan, serangan hama dan penyakit (Maemunah, 2010).

Biji bawang merah sangat rentan terhadap penurunan daya berkecambah, yang pada akhirnya akan menurunkan daya tumbuhnya. Jika penanganan penyimpanan biji jelek, kualitasnya cepat menurun yang ditandai oleh daya tumbuh yang jelek di lapangan. Tujuan pengkajian ini adalah melakukan pengujian daya berkecambah biji bawang merah selama periode 7 bulan simpan.

BAHAN DAN METODEPengkajian dilaksanakan di Laboratorium

BPTP Jawa Barat pada bulan Agustus 2015 - Februari 2016. Biji bawang merah yang digunakan adalah varietas Bima merupakan hasil perbanyakan Kebun Bibit Inti (KBI) Lembang yang dipanen pada tanggal 1 Juli 2015.

Rancangan yang digunakan adalah RAL (rancangan acak lengkap), dimana perlakuan umur simpan yaitu 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan 7 bulan

diulang sebanyak 4 ulangan atau masing-masing ulangan @100 butir.

Adapun tahapan pelaksanaan kegiatan adalah penyimpanan biji dengan kantong pastik klip, suhu ruang dengan berkisar antara 20-230C, RH 81%. Untuk mengetahui daya berkecambah benih maka dilakukan uji berkecambah. Uji dilakukan antar kertas dalam petridis sebanyak 400 butir biji bawang merah. Masing-masing petridis 100 butir untuk 4 kali ulangan. Biji ditanam dalam petridis yang berisi kertas merang. Selanjutnya biji yang ditanam tersebut diamati pada hari ke 5 dan ke 12 setelah tanam untuk mengetahui persen daya berkecambahnya. Selanjutnya benih tersebut diamati untuk melihat benih normal (BN), benih segar tidak tumbuh (BSTT), benih keras (BK), dan benih mati (BM). Tujuannya adalah untuk melihat persen daya berkecambah (%dB). BN = Benih total - BSTT - BK-BM%dB= BN x 100%

Adapun yang diamati adalah persen daya berkecambah. Data ditabulasi dan dianalisa dengan uji F, apabila terdapat beda nyata maka dilakukan uji lanjut DMRT taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASANBerdasarkan hasil analisa sidik ragam

terlihat bahwa pengaruh periode simpan berbeda nyata terhadap daya berkecambah benih (Tabel 1.). Daya berkecambah akan berubah seiring dengan makin lamanya penyimpanan. Waluyo et al. (2014) menyatakan bahwa mutu fisiologis benih bawang daun dipengaruhi oleh periode simpan.Tabel 1. Analisa Sidik Ragam Anova pada

Daya Berkecambah Biji Bawang Merah selama 7 Periode Simpan.

Sumber Keragaman db JK KT F-hit Pr>F %kk

Model 7 11494,97 1642,14** 40,7 <0,0001 8,78

Error 24 968,25 40,344Corrected Total 31 12463,22

Catatan : tn=tidak nyata, *=perlakuan berpengaruh nyata pada taraf 5%, **=berpengaruh sangat nyata pada taraf 1%

Mutu benih awal benih atau 0 bulan simpan yaitu 92%(Gambar 1.). Berdasarkan analisis mutu tersebut, benih yang digunakan memiliki mutu fisiologis yang baik, sehingga diharapkan penelitian penyimpanan dapat dilakukan dengan baik dan penarikan kesimpulan yang keliru (misleading interpretation) dapat dihindari.

Page 13: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

7

Periode simpan selama 0-3 bulan menunjukan bahwa daya berkecambah biji bawang merah masih diatas 90%. Hal tersebut diduga bahwa biji bawang merah yang disimpan dengan kemasan kantong klip dan di suhu ruang masih dapat mempertahankan daya berkecambahnya. Selain itu kemunduran benih atau turunnya mutu benih diakibatkan oleh kondisi penyimpanan dan kesalahan dalam penanganan benih (Umar, 2012).

Namun ketika periode simpan 4 bulan daya berkecambahnya menurun menjadi 55,5%. Hal tersebut berbeda dengan penelitian Waluyo et al, (2014) bahwa daya berkecambah benih bawang merah selama 4 bulan dapat menggunakan plastik klip. Esti dan Eny (2007) menyatakan bahwa menurun viabilitas benih disebabkan oleh peningkatan kandungan asam lemak bebas yang nyata lebih tinggi. Selain itu suhu penyimpanan yang tinggi yaitu 20-230C dapat menjadi salah satu penyebab menurunnya daya berkecambah benih. Benih akan terus melakukan respirasi selama dipenyimpanan maka perlu adanya penekanan faktor dari luar untuk mengurangi kecepatan respirasi tersebut. Respirasi menggunakan substrat dari cadangan makanan dalam benih, sehingga cadangan makanan berkurang untuk pertumbuhan embrio pada saat benih dikecambahkan. Respirasi merupakan proses oksidasi, semakin lama respirasi berlangsung, semakin banyak cadangan makanan benih yang digunakan (Justice and Bass, 2002)

Makin lama penyimpanan maka daya berkecambahnya makin turun. Pada periode simpan selama 4,5,6 dan 7 bulan tidak berbeda nyata namun periode simpan 6 bulan daya berkecambahnya lebih rendah yaitu 49%. Sadjad (1980) menyatakan bahwa periode simpan akan berpengaruh terhadap viabilitas benih, dimana penurunan viabilitas seiring dengan pertambahan waktu

Penggunaan kantong klip sebagai media simpan tidak dapat mempertahankan daya berkecambah biji bawang merah. Hal ini diduga bahwa kantong klip hanya dapat digunakan sebagai media simpan jangka pendek yaitu selama 3 bulan. Waluyo et al. (2014), menyatakan bahwa plastik klip merupakan kemasan berpori yang cocok untuk penyimpanan jangka pendek serta suhu ruang yang fluktuatif sehingga respirasi benih lebih cepat, akibatnya viabilitas benih lebih cepat turun.

Gambar 1. Pengujian Daya Berkecambah Biji Bawang Merah Selama 7 Periode Simpan

Daya berkecambah benih yang tinggi dapat menjadi salah satu indikasi bahwa benih tersebut bermutu. Sebaliknya jika benih yang mempunyai vigor rendah menyebabkan pemunculan bibit di lapangan rendah, terutama dalam kondisi tanah yang kurang ideal (Umar, 2012). Faktor-faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi menjadi faktor internal dan eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik (ortodoks atau rekalsitran), daya kecambah dan vigor, kondisi fisik dan kadar air benih awal serta tingkat kematangan benih. Faktor eksternal antara lain suhu dan kelembaban ruang simpan, komposisi kimia benih dan kebersihan mikroflora (Copeland dan McDonald, 2002). Benih bermutu tinggi mencakup mutu genetis, mutu fisik dan mutu fisiologis memerlukan penanganan yang terencana dengan baik (Esti dan Eny, 2007). Biji yang berkualitas pada akhirnya akan mempengaruhi produksi. Biji yang bermutu ditandai oleh daya berkecambah yang tinggi, tumbuh cepat, serempak, dan seragam. Rahmawati (2009), menyatakan bahwa kualitas benih ditandai dengan daya berkecambah yang tinggi, tumbuh cepat, serempak dan seragam. Kualitas biji sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya (a) kualitas genetik, yaitu kualitas benih yang ditentukan berdasarkan identitas genetik yang telah ditetapkan oleh pemulia dan tingkat kemurnian dari varietas yang dihasilkan, identitas benih yang dimaksud tidak hanya ditentukan oleh tampilan benih, tetapi juga fenotipe tanaman; (b) kualitas fisiologi, yaitu kualitas benih yang ditentukan oleh daya berkecambah/daya tumbuh dan ketahanan simpan benih; (c) kualitas fisik, ditentukan oleh tingkat kebersihan, keseragaman biji dari segi ukuran maupun bobot, kontaminasi dari benih tanaman lain atau biji gulma, dan kadar air (Saenong, 1982).

Page 14: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

8

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

KESIMPULANDaya berkecambah biji bawang merah

cepat mengalami penurunan. Pengujian daya berkecambah biji bawang merah selama periode 3 bulan simpan hanya mampu mempertahankan daya berkecambah sebanyak 90%.

DAFTAR PUSTAKACopeland OL, McDonald MB. 1995 Principle

of Seed Science and Technology. New York: Chapman & Hall,. 408 hal.

Copeland LO and MB McDonald. 2002. Principles of Seed Sciences and Technology. Fourth Edition. Kluwer Academic Publisher, Massachusetts.

Esti, R. dan Eny Widajati. 2007. Pengaruh Kemasan, Kondisi Ruang Simpan dan Periode Simpan terhadap Viabilitas Benih Caisin (Brassica chinensis L.). Bul. Agron. 35 (3):191 – 196

Justice, O.L., and L.N. Bass. 2002. Prinsip dan Praktek Penyimpanan Benih(Terjemahan R Roesli). Raja Grafindo Persada. Jakarta. 446 hal.

[ISTA]. International Seed Testing Association. 2006. Seed Science and Technology. International Rules for Seed Testing. Zurich: International Seed

Testing AssociaMaemunah. 2010. Viabilitas Dan Vigor Benih Bawang Merah Pada Beberapa Varietas Setelah Penyimpanan Viability And Vigor Of Red Onion Varieties After Storage. J. Agroland 17 (1) : 18 - 22, Maret 2010 ISSN : 0854 – 641X

McCormack, J.H. 2004. Seed Processing and Storage. Jeff McCormack co.. http://www.syngentafoundation.org diakses 25 Oktober 2011.

Mudjisihono, R., D. Hindiarto., Z dan Noor. 2001. Pengaruh Kemasan Plastik terhadap Mutu Sawut kering Selama

Penyimpanan. Jurnal Penelitian Pertanian. 20 (1):55-65.

Rao, R.G.S., P.M. Singh and M. Rai. 2006. Storability of onion seeds and effects of Packaging and storage condition on viability and vigour. Sciencia Horticulturae. 110 : 1-6.

Rahmawati. 2009. Mutu Fisiologis Benih dari Berbagai Tingkat Bobot Biji Selama Periode Simpan. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Prosiding Seminar Nasional Serealia 2009. ISBN :978-979-8940-27-9.

Saenong, S. 1982. Pengaruh vigor benih terhadap vigor tanaman di lapang dan daya simpan benih jagung. Magister Sain Tesis. FPS, IPB. 127p.

Sadjad S. 1980. Panduan pembinaan mutu benih tanaman kehutanan di Indonesia. Proyek Pusat Pembinaan Kehutanan Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi. Ditjen Kehutanan-IPB.

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Raja Grafindo Persada: Jakarta

Umar, S.2012. Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap Daya Simpan Benih Kedelai {Glycine Max (L.) Merr.}. Berita Biologi 11(3): 401-410, Desember 2012

Waluyo, N. 2012. Kemunduran Benih Cabai Merah (Capsicum annuumL.) Varietas Tanjung-2 Pada Ruang Simpan Dan Kemasan Yang Berbeda Selama Periode Simpan. Prosiding Seminar nasional Perhimpunan Hortikultura Indonesia 2012.

Waluyo, N., C. Azmi dan R. Kirana. 2014. Pengaruh Jenis Kemasan Terhadap Mutu Fisiologis Benih Bawang Daun (Allium Fistulosum L.) Selama Periode Simpan. ISSN: 1410-0029 Agrin Vol. 18, No. 2, Oktober 2014

Page 15: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

9

PENGARUH PERLAKUAN PENCELUPAN DALAM LARUTAN CaCL2 DAN PEMBLANSINGAN TERHADAP MUTU KERIPIK TERUBUK

Dian Histifarina1) dan Ridwan Rahmat2)

1) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,Jl. Kayuambon No. 80, Lembang-Bandung 40391

Email : [email protected])Balai Besar Litbang Pascapanen PertanianJl. Tentara Pelajar No. No. 12, Bogor 16114

ABSTRAKKeripik sayur merupakan salah satu jenis produk olahan yang dihasilkan dari sayuran baik sayuran umbi, buah maupun daun yang digoreng menggunakan alat penggorengan vacuum frying. Makanan ini cukup favorit saat ini, Karena memiliki rasa yang gurih, renyah dan menyehatkan. Mutu keripik sayur yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh tahapan proses produksi. Salah satu yang berpengaruh adalah perlakuan pemblansingan dan pencelupan dalam larutan CaCl2. Blansing berfungsi untuk menonaktifkan enzim yang akan merubah warna keripik, sementara larutan Ca Cl2 berfungsi untuk mempertahankan tekstur keripik agar lebih renyah. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pencelupan terubuk dalam larutan CaCl2 dan pemblansingan terhadap mutu keripik terubuk. Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kimia Agro di Bogor dari bulan Agustus hingga September 205. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktor (pencelupan dalam CaCl2 dan Pemblansingan) diulang sebanyak 4 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pencelupan dalam CaCl2 dan blansing 10 menit (A2B2) menghasilkan perlakuan terbaik dengan karakteristik rendemen 24,6%; kadar air 1,65%; kadar lemak 1,46% ;kadar vit. C 2,76%.

Kata Kunci : keripik terubuk; larutan CaCl2; pemblanchingan; mutu

PENDAHULUANKeripik adalah salah satu jenis makanan

ringan yang paling digemari oleh semua orang, baik tua maupun muda. Keripik menjadi jajanan favorit bagi kebanyakan orang karena rasanya yang gurih, enak dinikmati dalam beragam suasana, tidak mengenyangkan dan juga menyehatkan. Keripik sayur dapat dijadikan sebagai solusi alternatif untuk memenuhi kebutuhan gizi dari sayuran tanpa harus makan dalam bentuk segar (Widaningrum dan Setyawan, 2009).

Umumnya pembuatan keripik menggunakan metode penggorengan baik vakum maupun biasa. Penggorengan vakum dapat memungkinkan mengolah buah atau sayur yang peka terhadap panas menjadi hasil olahan berupa keripik (chips) seperti keripik nangka, keripik apel, keripik pisang, keripik wortel, keripik salak, keripik melon, keripik labu siam, keripik buncis, keripik lobak dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian pengolahan keripik sayuran telah banyak dilakukan diantaranya pengolahan keripik apel (Mariscal et al., 2007), pisang (Wijayanti, 2011), kentang (Garayo dan Moreira., 2002; Troncoso & Pedreschi, 2009) dan keripik wortel (Dueik et al., 2010). Hasil penelitian Da Silva, Paulo dan Moreira (2008), telah menghasilkan keripik buncis dengan mutu baik ditandai oleh penurunan kadar air yang cukup banyak hingga mencapai 3,42%. Selanjutnya dari hasil penelitian Setyawan et al. (2007) dalam Widaningrum dan Setyawan (2009) yang melakukan penelitian pembuatan sayuran kering siap santap wortel dan

buncis,diperoleh hasil rendemen keripik buncis berkisar antara 13,58% s/d 14,17% dengan waktu penggorengan vakum berlangsung selama 1,08 jam s/d 1,41 jam. Sedangkan rendemen keripik wortel berkisar antara 14,88% s/d 16,56% dengan waktu penggorengan berlangsung selama 1,32 jam s/d 1,67 jam.

Penggunaan larutan CaCl2 pada pembuatan keripik sayuran dapat mengurangi absorpsi minyak dan membuat tekstur keripik lebih renyah. Hasil penelitian hapsari, dkk. (2013), bahwa konsentrasi CaCl2 dalam larutan blanching dan variasi konsentrasi sorbitol dalam larutan edible coating metilselulosa dapat menghambat absorpsi minyak pada keripik pisang kapok dan berpengaruh terhadap kadar air, kadar lemak, tekstur dan seonsori keripik kapok serta kualitas minyak goreng bekas penggorengan.

Keripik terubuk adalah merupakan salah satu produk pangan alternatif makanan kering. Peluang pasar jenis produk pangan kering sampai saat ini semakin terbuka dan prospektif, karena semakin meningkatnya permintaan akan makanan kering. Hal tersebut disebabkan semakin populernya makanan sehat yang banyak mengandung serat (dietary fiber). Cara pembuatan keripik terubuk adalah terubuk dikukus, diirisiris tipis sehingga berbentuk lempeng. Selanjutnya diberi bumbu dan digoreng dengan atau tanpa tepung.

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pencelupan dalam CaCl2 dan pemblansingan terhadap mutu keripik terubuk.

Page 16: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

10

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BAHAN DAN METODE

Bahan penelitian yang digunakan adalah terubuk, sedangkan alat yang digunakan adalah pengering infra red, oven pengering, pisau, baskom, kompor, timbangan dll. Kegiatan akan dilakukan di Laboratorium Mutu Hasil BPTP Jawa Barat dan Laboratorium Balai Besar Industri Agro di Bogor.

Proses pembuatan keripik terubuk mengacu pada proses hasil penelitian Widaningrum dan Setyawan (2009) bahwa sayuran dapat diolah menjadi keripik dengan menggunakan penggorengan vacuum (Vacuum frying). Penggorengan vakum adalah suatu metode pengurangan kadar air dalam produk hingga kering dengan tetap mempertahankan nilai gizi produk.

Vacuum frying merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengolah buah -buahan maupun sayuran menjadi kripik. Kapasitas dari alat yang digunakan adalah sebesar 3,5 kg sayuran segar dengan lama waktu penggorengan kurang lebih 45-60 menit dan bekerja pada suhu operasi 65–75oC,serta pada tekanan -76 cm Hg. Bahan bakar yang digunakan adalah gas LPG. Vacuum frying terdiri atas tabung penggorengan, pompa, kondensor, unit pemanas, pengaduk penggorengan, bak penampung air, unit pemanas, unit pengendali operasi, dan spinner yang berfungsi untuk menghilangkan minyak yang menempel pada kripik hasil penggorengan. Dengan penggorengan vakum, sayuran menjadi matang, teksturnya kering dan renyah namun kandungan nutrisinya terjaga dan warnanya terlihat asli tanpa terjadi reaksi pencoklatan (browning).

Tahapan pembuatan keripik terubuk diawali dengan pembersihan, pengirisan, pemblanchingan dan perendaman dalam CaCl2, penambahan bumbu, pencelupan dalam tepung, penggorengan dan pengemasan.

Perlakuan yang dicoba untuk mendapatkan keripik terubuk yang bermutu yaitu pencelupan dalam larutan CaCl2 pada 2 taraf (P1 = tanpa dicelup dan P2 = dicelup dalam larutan CaCl2) disebut faktor P dan perlakuan pemblansingan pada 3 taraf disebut faktor B (B1= tanpa blansing; B2 = blansing 5 menit dan B3 = blansing 10 menit) dengan ulangan 4 kali, sehingga jumlah perlakuan 2x3x4 = 24 unit perlakuan.

Rancangan percobaan untuk penelitian keripik terubuk, yaitu rancagan acak lengkap dengan model persamaan:

Yijk = μ + τi + βj + (τ β)ij + ε ijk

dengan:

Yijk = nilai pengamatan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i

μ = rataan umumBi = pengaruh perlakuan pencelupan ke-i Tj = pengaruh perlakuan blansing ke j(BT)ij = pengaruh interaksi taraf ke i faktor

pencelupan dan taraf ke j faktor blansing

ε ijk = pengaruh acak ulangan ke-j yang memperoleh perlakuan ke-i

Analisa produk yang dihasilkan meliputi rendAnalisa produk yang dihasilkan meliputi rendemen, kadar air,kadar abu, kadar lemak, vitamin C dan warna. Uji organoleptik terhadap rasa dan aroma. Pengukuran kadar air dan kadar abu menggunakan metode thermogravimetri (Sudarmadji, 2003), protein dengan metode Kjedahl dan protein dengan metode titrasi (SNI 01-2891-1992).

Uji organoleptik dilakukan terhadap 25 orang panelis agak terlatih dengan skor penilaian menggunakan uji hedonik (uji kesukaan (Soekarto, 1986) dengan skala penilaian 1-5 (suka -tidak suka).

Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis lebih lanjut menggunakan uji Duncan untuk melihat perbedaan antar perlakuan, sedangkan untuk hasil uji organoleptik menggunakan statitik non parametik dengan uji kruskall-walls (Santoso, 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen keripik terubukHasil pengamatan terhadap rendemen

keripik terubuk disajikan pada Gambar 1. Pada Gambar1. menunjukkan bahwa rendemen keripik terubuk yang dihasilkan berkisar antara 15,9% sampai dengan 24,6%. Rendemen terendah (15,4%) dihasilkan dari perlakuan kontrol, sedangkan rendemen keripik terubuk tertinggi (24,6%) perlakuan dicelup larutan CaCl2 dan Blansing 10 menit dengan kadar air keripik terubuk 5,63 -7,05%. Hasil penelitian Widaningrum dan Abubakar (2009), hanya

Page 17: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

11

menghasilkan rendemen keripik sayuran 14,88-16,56%.

Gambar 1. Diagram venn rendemen keripik terubuk

Karakteristik Kimia Produk Keripik Terubuk

Jenis terubuk yang digunakan sebagai bahan baku keripik terubuk adalah terubuk yang telah tua dan siap dipanen. Ciri-ciri terubuk siap dipanen adalah dengan melihat kematangan bunga, yaitu saat bunga telah mengisi hampir seluruh ruang kosong yang tertutup pelepah. Hasil analisa kimia dan fisik yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar vitamin C keripik terubuk disajikan pada Tabel 1.

Kadar air merupakan salah satu parameter kritis yang harus diperhatikan, karena akan mempengaruhi daya simpan produk tersebut. Adanya air dalam bahan pangan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme terutama untuk produk kering adalah tumbuhnya kapang dan khamir. Pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia lainnya dapat terjadi bila kandungan air dalam bahan pangan cukup tersedia. Selanjutnya menurut Muljoharjo (1987), cepat lambatnya proses pengeringan sangat dipengaruhi oleh faktor dari dalam bahan (struktur bahan) serta dari luar bahan (distribusi aliran udara, suhu, kelembaban serta kecepatan udara).

Tabel 1. Kadar air, kadar abu, kadar lemak dan kadar vitamin C keripik terubuk

Perlakuan Kadar air (%)

Kadar abu (%)

Kadar Le-mak (%)

Kadar Vitamin C

(%)

a1b1 6,72 a 1,40 a 1,53 a 1,34 aa1b2 5,63 a 1,46 a 1,45 a 2,75 ba1b3 19,6 b 1,20 a 0,73 a 2,87 ba2b1 7,05 a 1,59 a 1,38 a 2,77 ba2b2 6,61 a 1,65 a 1,46 a 2,76 ba1b3 5,71 a 1,53 a 1,28 a 2,79 b

Perlakuan Kadar air (%)

Kadar abu (%)

Kadar Le-mak (%)

Kadar Vitamin C

(%)Terubuk segar 78,41 0,69 0,09 4,39

Keterangan : A1B1 : tanpa pencelupan: tanpa blansingA1B2 : tanpa pencelupan; blansing 5 menit A1B3 : tanpa pencelupan; blansing 10 menitA2B1 : pencelupan CaCl2, tanpa blansingA2B2 : pencelupan CaCl2, blansing 5 menitA2B3 : pencelupan CaCl2, blansing 10 menit

Kadar air keripik terubuk menurut hasil penelitian (Tabel 1) berkisar antara 5,71-19,6%. Kadar air tertinggi diperoleh perlakuan A1B3 (tanpa pencelupan, blansing 10 menit) yaitu sebesar 19,6% dan terendah diperoleh perlakuan A2B3 (pencelupan CaCl2, Blansing 10 menit) yaitu 5,71 %. Berdasarkan hasil analisis statistik kadar air keripik terubuk dipengaruhi cara pencelupan dan blansing. Namun secara umum untuk semua perlakuan menghasilkan kadar air cukup rendah yanitu pada kisaran 5-7%, kecuali untuk perlakuan a1b3 (tanpa pencelupan, blansing 10 menit) yaitu sebesar 19,6% yang berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Widaningrum, dkk. (2008), bahwa keripik buncis muda yang digoreng dengan menggunakan vacumm frying memiliki kadar air keripik pada kisaran 6-7 %. Kadar air yang cukup rendah ini efektif membuat keripik terubuk memiliki daya tahan simpan yang cukup lama. Hal ini terjadi karena kadar air yang rendah tidak memungkinkan mikroba dapat tumbuh dan berkembang sehingga kerusakan yang terjadi pada keripik terubuk dapat ditunda

Berdasarkan hasil analisis laboratorium, kadar abu keripik terubuk yang diperoleh pada kisaran 1,2 - 1,65 %. Kadar abu keripik terubuk tidak dipengarui oleh pencelupan dalam CaCl2 dan blansing. Abu adalah zat organik sisa pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu erat kaitannya dengan kandungan mineral suatu bahan, baik merupakan bahan organik, garam organik maupun mineral berbentuk senyawa komplek yang bersifat anorganik. Terubuk memiliki kandungan mineral yang beragam yaitu mineral Ca, Fe, Magnesium, dan Fosfor. Kadar abu awal terubuk segar adalah sebesar 0,69%. Adanya perlakuan pencelupan dalam larutan CaCl2 dapat meningkatkan kadar abu keripik Terubuk. Pada Tabel 1., tampak bahwa keripik terubuk yang direndam dalam larutan CaCl2 menghasilkan kadar abu lebih tinggi

Page 18: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

12

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

dibandingkan dengan yang tidak dicelup. Untuk keripik gterubuk yang dicelup dalam CaCl2 memiliki kadar abu pada kisaran 1,53-1,65%, sedangkan yang tidak dicelup memiliki kadar abu 1,2-1,46%. Meningkatnya konsentrasi CaCl2 menyebabkan terbentuknya ikatan kalsium pektat yang membentuk struktur jaringan lebih kuat sehingga tekstur yang terbentuk rapat. Mineral (abu) adalah komponen yang mudah larut dalam air atau minyak, terutama minyak yang dipanaskan seperti dalam proses penggorengan vakum pada penelitian ini.

Kadar lemak keripik terubuk menunjukkan nilai yang cukup rendah yaitu 0,73 -1,53%. Pada perlakuan blansing 10 menit menghasilkan kadar lemak terendah yaitu 0,73 dan 1,28, sedangkan tertinggi dihasilkan perlakuan tanpa blansing (1,53%). Kandungan lemak terendah diperoleh perlakuan A1B3= tanpa pencelupan, blansing 10 menit (0,73%). Pada perlakuan tersebut kandungan air terubuk cukup tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, hal ini menandakan bahwa proses penguapan berjalan lambat. Akibatnya penyerapan minyak oleh bahan selama proses penggorengan sedikit. Hasil penelitian Hapsari, dkk. (2013), pengaruh perendaman dalam CaCl2 dan blansing memberikan pengaruh terhadap kadar lemak keripik yaitu 19,27-30,11. Secara mandiri kadar lemak keripik terubuk dipengaruhi oleh perlakuan blansing (Tabel 2), yaitu perlakuan blansing selama 10 menit menghasilkan kadar lemak terendah (1,01%) dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya (1,46 dan 1,49%). Pada perlakuan ini kadar air keripik terubuk lpaling tinggi yaitu 12,66%. Bahan yang kandungan airnya lebih banyak memerlukan waktu penguapan yang lebih lama sehingga air yang teruapkan lebih sedikit menyebabkan minyak yang terserap pada bahan lebih rendah.Tabel 2. Pengaruh cara blansing terhadap

mutu keripik terubuk

PerlakuanKadar air

(%)Kadar lemak

(%)b1 6,89 a 1,49 bb2 6,12 a 1,46 bb3 12,66 b 1,01 a

Keterangan : b1 = tanpa blansing; b2 = blansing 5 menit; b3 = blansing 10 menit

Kandungan vitamin C keripik terubuk yang digoreng dengan pengoorengan vakum mengalami penurunan dibandingkan dari

terubuk segar (4,39%). Kadar vitamin C terubuk yang dihasilkan dipengaruhi oleh perlakuan pencelupan dan blansing. Perlakuan Kadar vitamin C keripik terubuk yang dihasilkan berkisar antara 1,34 - 2,87%. Kandungan Vitamin C tertinggi diperoleh perlakuan a1b3= tanpa pencelupan, blansing 10 menit (2,87%), sedangkan yang terendah diperoleh perlakuan a1b1= tanpa pencelupan CaCl2, tanpa blansing (1,34). Menurut Winarno (1997), vitamin C (asam askorbat) merupakan suatu senyawa reduktor dan juga dapat bertindak sebagai prekursor untuk pembentukan warna coklat non enzimatik. Asam-asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk suatu senyawa diketogulonat; dan kemudian berlangsunglah reaksi Maillard dan proses pencoklatan. Ada kemungkinan perubahan warna dari terbuk segar menjadi kuning agak kecoklatan disebabkan oleh reaksi pencoklatan yang dipicu oleh kandungan vitamin C pada terubuk.

Karakteristik Sensori Keripik Terubuk

Pengujian sifat sensori bertujuan untuk mengetahui sampai sejauh mana tingkat penerimaan panelis (konsumen) terhadap produk keripik terubuk yang dihasilkan. Hasil pengujian sifat sensori dari keripik terubuk disajikan pada Gambar 2. Sifat utama dari uji sensori yang akan berpengaruh terhadap kualitas keripik terubuk adalah warna. Foto keripik terubuk kering hasil pengeringan vacuum frying disajikan pada Gambar 3.

Warna keripik terubuk dari kombinasi perlakuan pencelupan CaCl2 dan blansing 10 menit menghasilkan warna paling disukai oleh konsumen/panelis. Hal ini karena adanya perlakuan blansing lebih lama menghasilkan warna yang lebih disukai. Keripik terubuk yang dihasilkan tanpa blansing berwarna kuning kecoklatan, sedangkan keripik terubuk yang dihasilkan dengan perlakuan blansing berwarna kuning cerah. Blanching bertujuan untuk menginaktifkan enzim -enzim di dalam bahan pangan antara lain antara lain enzim katalase dan peroksidase yang menyebabkan pencoklatan (Winarno, 1997).

Page 19: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

13

Gambar 2. Diagaram Batang Mutu Sensori Keripik Terubuk

Keterangan :

A1B1 : tanpa pencelupan: tanpa blansingA1B2 : : tanpa pencelupan; blansing 5 menit A1B3 : : tanpa pencelupan; blansing 10 menitA2B1 : pencelupan CaCl2, tanpa blansingA2B2 : pencelupan CaCl2, blansing 5 menitA2B3 : pencelupan CaCl2, blansing 10 menit

TTingkat kesukaan panelis terhadap aroma keripik terubuk diperoleh nilai terndah pada kombinasi perlakuan tanpa pencelupan CaCl2 dan tanpa blansing dengan skor 3 (aroma tidak kuat). Sedangkan aroma tertinggi diperoleh kombinasi perlakuan pencelupan dalam CaCl2 dan blansing 10 menit dengan nilai sensori 3,6. Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan pencelupan dan blansing tidah berpengaruh terhadap aroma keripik terubuk yang dihasilkan

Hasil pengujian organoleptik terhadap rasa keripik terubuk menunjukkan bahwa rata-rata panelis memberikan penilaian antara 2,70- 3.60 yaitu antara suka - sangat suka. Untuk tekstur keripik terubuk, panelis memberikan penilaian suka hingga sangat suka (2,8-4,0). Untuk semua parameter uji sensori, perlakuan a2b3 (pencelupan CaCl2, blansing 10 menit) paling disukai oleh panelis.

Gambar 3. Penampilan keripik terubuk

KESIMPULANPerlakuan pencelupan dalam CaCl2 dan

blansing 10 menit (A2B2) menghasilkan perlakuan terbaik dengan karakteristik rendemen 24,6%; kadar air 1,65%; kadar lemak 1,46% ;kadar vit. C 2,76% serta penilaian karaakteristik sensori pada kisaran 3,1-3,2 (disukai) untuk parameter warna, aroma dan rasa.

DAFTAR PUSTAKADueik V, Robert P, and Bouchon P. 2010. Vacuum

Frying Reduce Oil Uptake and Improves The Quality Parameters of Carrot Crisps. Food Chemistry 119: 1143-1149.

Da Silva, Paulo dan R.G. Moreira, 2008. Vacum frying of high quality fruit and vegetables-based snacks. LWT Food Science and Technology

Garayo, J. dan Moriera, R. (2002). Vacuum Frying Of Potato Chips.Journal Of Food Engineering 55: 181-191

Hapsari M., B.S.Amanto dan E. Nurhartadi, 2013. Aplikasi Blanching Larutan Kalsium Klorida (CaCl2) dan edible coating metil selulosa dengan Plasticizer Sorbitol sebagai Penghambat Absorsi Minyak Keripik Pisang Kepok (Musa parasidiaca formatypica. Jurnal Teknologi Pangan. Vol. 2 No.3 :76-85

Mariscal M, and Bouchon P. 2007. Comparison between Atmospheric and Vacuum Frying of Apple Slices. Journal Food Chemistry 107:1561-1569.

Santoso, 2010. Santoso, S. (2010). Statistik nonparametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Troncoso E, and Pedreschi F. 2009. Modeling Water Loss and Oil Uptake During Vaccum Frying of Pre-Treated Potato Slices. Journal of Food cience and Technology 42: 1164-1173.

Widaningrum dan Setyawan, Nurdi. 2009. Standarisasi Keripik Sayuran (Wortel) Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Produk Olahan Hortikultura. Balitbang Pasca Pertanian. Bogor. Diakses di http//www.bsn.go.id/

Widaningrum, N. Setyawan dan D.A. Setyabudi, 2008. Pengaruh Cara Pembumbuan dan Suhu Penggorengan Vakum Terhadap Sifat Kimia dan Sensori Keripik Buncis (Phaseolus radiatus) Buncis Muda. J.Pascapanen 5(2) 2008: 45-54

Widaningrum dan Abubakar, 2009.Inovasi Teknologi Pengolahan Keripik Sayuran: Waortel (Daucus carota) dan buncis (Phasealus Radiatus).Food Science Research

Winarno, FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia. Jakarta

Page 20: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

14

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

OPTIMALISASI PEMANFAATAN LAHAN PEKARANGAN DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN GIZI KELUARGA

Yati Haryati dan SukmayaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,

Jl. Kayuambon No. 80, Lembang-Bandung Barat 40391

ABSTRAKKementerian Pertanian menginisiasi optimalisasi pemanfaatan pekarangan melalui konsep Rumah Pangan Lestari (RPL). Komoditas yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan pangan dan gizi keluarga, berbasis sumber pangan lokal, dan bernilai ekonomi. Kegiatan Pengkajian Kawasan Rumah Pangan Lestari dilaksanakan di KWT Nusa Indah, Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor pada Bulan Januari - Desember 2014. Metode pengumpulan data menggunakan metode survey melalui pengisian kuesioner melalui wawancara langsung dengan jumlah responden 10 Kepala Keluarga (KK) yang merupakan anggota KWT Nusa Indah. Data yang diamati meliputi pola konsumsi dan kontribusi KRPL terhadap pengeluaran rumah tangga. Data dianalisis secara deskriptif. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa dengan memanfaatkan lahan pekarangan dapat meningkatkan gizi keluarga dengan nilai pola pangan harapan sebesar 91,10 dan ratio nilai produk KRPL dengan pangan strata sempit 21,17%; sedang 25,19% dan luas 26,19%.

Kata Kunci : Lahan Pekarangan, Gizi keluarga

PENDAHULUANSalah satu upaya untuk meningkatkan

ketahanan pangan dan gizi keluarga dapat dilakukan melalui pemanfaatan sumberdaya yang tersedia maupun yang dapat disediakan di lingkungannya (Novitasari, 2011). Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pemanfaatan lahan pekarangan yang dikelola oleh rumah tangga dengan mengimplementasikan dan mengembangkan suatu Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (Model KRPL).

Kementerian Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian mengembangkan suatu Model Kawasan Rumah Pangan Lestari (M-KRPL) untuk optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan dengan menerapkan berbagai inovasi teknologi. Lahan pekarangan memegang peranan penting sebagai lumbung hidup, apotik hidup, warung hidup, dan pagar hidup.

Pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari di suatu wilayah harus bertitik tolak dari kepentingan kemandirian pangan sehingga target yang ingin dicapai dalam meningkatkan keanekaragaman dan keseimbangan pangan serta gizi masyarakat dalam kawasan yang ditunjukkan dengan meningkatnya skor PPH di wilayah kawasan, dan penurunan pengeluaran pangan tingkat rumah tangga di wilayah kawasan persentasenya semakin kecil (Yusran et al., 2012). Selanjutnya menurut Baliwati (2009), bahwa salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menilai tingkat keanekaragaman dan mutu gizi, ketersediaan dan konsumsi pangan penduduk di suatu wilayah adalah Pola Pangan Harapan/Desirable Dietary Pattern atau biasa disingkat Skor PPH.

Budidaya sayuran di lahan pekarangan memiliki peranan strategis untuk meningkatkan keanekaragaman pola konsumsi pangan dan peningkatan gizi masyarakat. Pekarangan diharapkan mampu memenuhi kebutuhan sayuran pada tingkat rumah tangga sehingga tingkat konsumsi sayuran meningkat. Optimalisasi pemanfaatan pekarangan dilaksanakan melalui usaha tani secara terpadu, berkelanjutan dengan mengarah menuju tahap kemandirian.

Skor Pola Pangan Harapan (PPH) merupakan nilai yang menunjukkan kualitas konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman, yang dihitung berdasarkan metode PPH. Jika nilai skor PPH semakin tinggi (semakin mendekati 100), mengindikasikan konsumsi pangan semakin beragam dengan gizi seimbang.

Pola Pangan Harapan (PPH) adalah jenis dan jumlah kelompok pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan zat gizi berdasarkan kontribusi zat gizi energi masing-masing kelompok pangan. Secara konseptual penganekaragaman pangan dapat dilihat dari komponen-komponen sistem pangan, yaitu penganekaragaman produksi, distribusi dan penyediaan pangan serta konsumsi pangan (Parwati et al., 2012). Tujuan dari kajian ini untuk mengetahui peningkatan gizi masyarakat dengan optimalisasi pemanfaatan lahan pekarangan.

METODOLOGIPengkajian dilaksanakan di KWT

Nusa Indah, Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor pada Bulan

Page 21: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

15

Januari - Desember 2014. Data yang digunakan merupakan data primer yang diperoleh dari anggota pelaksana KRPL yang terdiri dari 15 orang. Metode yang digunakan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner. Skor PPH yang dipakai adalah skor PPH tingkat konsumsi keluarga/rumahtangga yang didekati dengan pengeluaran pangan satu hari yang lalu. Kuesioner konsumsi yang digunakan mengikuti kuesioner konsumsi Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan oleh BPS. Angka konversi zat gizi juga mengikuti angka konversi yang digunakan dalam SUSENAS. Survei dilakukan dua periode, pertama saat dimana awal dan akhir kegiatan.

Analisis skor PPH dihitung berdasarkan data jumlah konsumsi energi per kelompok pangan serta jumlah responden. Energi aktual dihitung berdasarkan jumlah konsumsi energi berdasarkan kode PPH dibagi dengan jumlah responden. Persentase energi aktual setiap kelompok pangan didapat dengan membandingkan energi setiap kelompok pangan dengan total konsumsi energi seluruh kelompok pangan dikali 100. Persentase AKE didapat dengan membandingan konsumsi energi aktual setiap kelompok pangan dengan rata-rata AKE, yaitu 2000, kemudian dikali 100. Skor aktual dan skor AKE dihitung dari persentase masing - masing dikali dengan bobot. Bobot telah ditetapkan dengan prinsip dasar triguna makanan (zat pembangun, zat pengatur, dan zat tenaga). Skor PPH adalah skor AKE per golongan pangan, Jika Skor AKE lebih kecil daripada Skor Maksimum, maka Skor PPH yang didapat adalah sama dengan skor AKE. Jika Skor AKE lebih besar daripada skor Maksimum, maka Skor PPH adalah sama dengan skor Maksimum. Sedangkan Nilai Ratio nilai produksi KRPL dengan pangan dihitung berdasarkan Rata-rata nilai produk KRPL (Rp/bln) (hasil yang dikonsumsi disetarakan dengan rupiah) dibagi dengan Rata-rata pengeluaran untuk pangan (Rp/bln) dikalikan 100%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemanfaatan lahan pekarangan di Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, dapat meningkatkan pola konsumsi pangan terutama sayuran (33%), hal ini menunjukkan bahwa dengan aneka jenis tanaman sayuran yang ditanam oleh masing-

masing rumah tangga dapat memberikan dampak kepada pola konsumsi keluarga dalam pemenuhan gizinya.

Nilai Pola Pangan Harapan pada akhir kegiatan mencapai 91,10 dengan tingkat konsumsi padi-padian tertinggi (21,68) dan konsumsi sayuran dan buah (30). Tingginya nilai PPH di Desa Bantarjati dipengaruhi oleh respon warga yang antusias menanam tanaman sayuran di lahan pekarangan rumah masing-masing. Kelompok pangan yang masih rendah yaitu konsumsi umbi-umbian, buah/biji berminyak dan gula tetapi apabila dibandingkan dengan nilai AKE pada awal kegiatan mengalami peningkatan.

Pola Pangan Harapan pada awal kegiatan nilai AKE pola pangan hewani, minyak dan lemak, gula dan sayuran dan buah mengalami penurunan, tetapi pangan yang berasal dari umbi-umbian, buah/biji berminyak mengalami peningkatan. Tetapi untuk konsumsi sayuran dan buah walaupun nilai AKE menurun, nilainya masih sama dengan nilai skor maksimal. Kelompok pangan yang mengalami peningkatan yaitu umbi-umbian dan buah/biji berminyak, dengan demikian masyarakat sedikit demi sedikit sudah memahami perlunya diversifikasi pangan selain beras dalam mengubah pola konsumsi keluarga.

Nilai Pola Pangan Harapan pada akhir kegiatan mencapai 91,10 dengan tingkat konsumsi padi-padian tertinggi (21,68) dan konsumsi sayuran dan buah (30). Tingginya nilai PPH di Desa Bantarjati dipengaruhi oleh respon warga yang antusias menanam tanaman sayuran di lahan pekarangan rumah masing-masing. Kelompok pangan yang masih rendah yaitu konsumsi umbi-umbian, buah/biji berminyak dan gula tetapi apabila dibandingkan dengan nilai AKE pada awal kegiatan mengalami peningkatan.

Pola Pangan Harapan pada awal kegiatan nilai AKE pola pangan hewani, minyak dan lemak, gula dan sayuran dan buah mengalami penurunan, tetapi pangan yang berasal dari umbi-umbian, buah/biji berminyak mengalami peningkatan. Tetapi untuk konsumsi sayuran dan buah walaupun nilai AKE menurun, nilainya masih sama dengan nilai skor maksimal. Kelompok pangan yang mengalami peningkatan yaitu umbi-umbian dan buah/biji berminyak, dengan demikian masyarakat sedikit demi sedikit sudah memahami perlunya

Page 22: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

16

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

diversifikasi pangan selain beras dalam mengubah pola konsumsi keluarga.

Nilai Pola Pangan Harapan mencapai 91,10 dengan tingkat konsumsi padi-padian tertinggi (21,68) dan konsumsi sayuran dan buah (30), hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan lahan pekarangan dengan ditanami sayuran dan buah berpengaruh terhadap pola konsumsi rumah tangga. Syarief (2009), mengemukakan bahwa jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat tidak saja dipengaruhi produksi atau ketersediaan pangan, tetapi dipegaruhi juga oleh daya jangkau ekonomi (daya beli), kesukaan/selera, pendidikan dan nilai sosial budaya pangan yang berlaku dalam masyarakat.Tabel 1. Pola Pangan Harapan Awal dan Akhir

Kegiatan di KWT Nusa Indah, Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. 2014.

No.

Kelompok PanganPPH Awal PPH Akhir

Skor AKE

Skor Maks

Skor PPH

Skor AKE Skor Maks Skor

PPH1 Padi-padian 21,68 25 21,68 21,68 25 21,682 Umbi-umbian 0,00 2,5 0,00 1,50 2,5 1,503 Pangan hewani 25,90 24 24,00 22,80 24 22,804 Minyak dan lemak 20,02 5 5,00 5,00 5 5,005 Buah/biji bermin-

yak 0,00 1 0,00 0,56 1 0,566 Kacang-kacangan 7,06 10 7,06 7,06 10 7,067 Gula 10,27 2,5 2,5 2,50 2,5 2,508 Sayur dan buah 64,33 30 30 30,00 30 30,009 Lain-lain 0,00 0 0 0,00 0 0,00

Total 149,25 100 90,24 100 91,10Sumber : diolah dari data primer

Penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi rumah tangga dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal (individual), seperti pendapatan, preferensi, keyakinan (budaya dan religi), dan pengetahuan gizi, sedangkan faktor eksternal seperti agro ekologi, produksi, ketersediaan dan distribusi, keanekaragaman pangan, serta promosi/iklan (Suryana, 2009). Faktor-faktor tersebut mempengaruhi terhadap nilai skor PPH yang

dari bahan pangan pokok dan semua bahan pangan lainnya termasuk lauk pauk, sayuran, buah-buahan dan makanan jajanan.

Tingkat konsumsi sayuran tiap rumah tangga mempunyai karakteristik yang berbeda baik kuantitas maupun kualitasnya. Perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain jumlah anggota rumah tangga, tingkat kesejahteraan rumah tangga, jenis dan jumlah sayuran yang dibudidayakan serta kesukaan untuk mengkonsumsi sayuran.

Sayuran merupakan sumber pangan dan gizi keluarga yang mempunyai nilai ekonomi, dan serapan pasar yang tinggi, tetapi dalam pemilihan jenis sayuran yang ditanam oleh masing-masing rumah tangga dipengaruhi oleh rumah tangga lainnya. Hal ini sejalan dengan Juanda et al., (2012), bahwa keputusan rumah

tangga secara individu sangat dipengaruhi dari pilihan sesama rumah tangga lainnya, hal ini berhubungan dengan keyakinan bahwa pilihan untuk melakukan hal baru mempunyai dampak menguntungkan sehingga informasi yang diperoleh harus dibarengi dengan contoh yang dapat dilihat secara nyata.

Konsumsi sayuran dari hasil budidaya sendiri membantu perekonomian rumah tangga. Hal ini dapat

dilihat dari ratio nilai produksi KRPL dengan pangan pada rumah tangga strata 1 atau sempit (21,17%), strata 2 atau sedang (25,19%) dan strata 3 atau luas (26,19%), dengan demikian pemanfaatan lahan pekarangan yang optimal dapat menghemat pengeluaran rumah tangga.Tabel 2. Kontribusi M-KRPL terhadap Pengeluaran

Pangan Rumah Tangga di Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor. 2014.

No. Uraian Nilai (Rata-rata dari 10 KK)Strata 1 Strata 2 Strata 3

1. Nilai produk KRPL (Rp/bln) (hasil yang dikonsumsi disetarakan dengan rupiah)a. Minimum 69.800 89.500 91.500b. Maksimum 120.750 147.500 160.000c. Rata-rata 95.275 118.500 125.750

2. Ratio antara produk KRPL dan pengeluaran pangana. Rata-rata pengeluaran untuk pangan (Rp/bln) 450.000 470.500 480.200b. Ratio nilai produksi KRPL dengan pangan (%) 21,17 25,19 26,19

Sumber : diolah dari data primer

m e n c e r m i n k a n keanekaragaman konsumsi pangan, keseimbangan dan mutu gizi keluarga. Pengembangan pola konsumsi pangan ditujukan pada penganekaragaman pangan yang berasal

Page 23: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

17

Apabila dilihat dari nilai setara dengan uang, kontribusi pemanfaatan lahan pekarangan memberikan sumbangan yang cukup terhadap pengeluaran rumah tangga baik strata 1, 2 dan 3. Oleh karena itu dengan adanya program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dapat memberikan sumbangan terhadap ekonomi rumah tangga. Lahan pekarangan dengan strata satu (sempit) pun dapat menjadi produktif dan dapat menambah penghasilan tambahan apabila dikelola dengan baik.

Kemandirian pangan rumah tangga dapat ditunjukkan dengan meningkatnya keanekaragaman dan keseimbangan pangan serta gizi masyarakat dalam kawasan yang ditunjukkan dengan meningkatnya skor PPH di wilayah kawasan dan penurunan pangsa pengeluaran pangan (Yusran et al., 2012). Pemanfaatan lahan pekarangan secara optimal dapat membantu rumah tangga dalam mengurangi kesulitan pangan, seberapa besar strata lahan yang dimiliki oleh rumah tangga, tetap akan mempunyai kontribusi dalam menyumbang kebutuhan pangan keluarga.

KESIMPULANOptimalisasi lahan pekarangan di KWT

Nusa Indah, Desa Bantarjati, Kecamatan Klapanunggal dapat mendukung peningkatan gizi keluarga dengan nilai skor PPH 91,10 dan mengurangi pengeluaran rumah tangga dengan ratio nilai produksi KRPL pada rumah tangga dengan pangan pada rumah tangga strata 1 atau sempit (21,17%), strata 2 atau sedang (25,19%) dan strata 3 atau luas (26,19%).

DAFTAR PUSTAKA

Baliwati Y., F. 2009. Pola Pangan Harapan(PPH) : Indikator Situasi Konsumsi dan Ketersediaan Pangan Wilayah. hlm. MIII1-12. Dalam : Modul Pelatihan : Analisis Situasi dan Perencanaan Ketersediaan Pangan Wilayah (Tingkat I). Kerjasama Badan Ketahanan Pangan

Prop. Jatim dengan Dept. Gizi Masy. Fak. Ekologi Manusia IPB.

Juanda, Erika C, dan Meilliza V.H. 2012. StudiPreferesi Konsumen terhadap Roti Tawar Labu Kuning (Cucurbitamoschata). http://www.google. co.id/url. Diakses pada tanggal 20 Juni 2015.

Kementrian Pertanian. 2010. Rencana Strategis Kementrian Pertanian 2010-2014. Jakarta: Kementrian Pertanian.

Novitasari, E. 2011. Studi Budidaya Tanaman Pangan di Pekarangan Sebagai Sumber Pangan keluarga. Skripsi. Universitas Brawijaya Malang.

Parwati, I., A., Suyasa, I.N. dan Arimbawa, I.B.. 2012. Analisis Pola Pangan Harapan (PPH) Di Lokasi MKRPL Desa Catur, Kintamani, Bangli. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis. 29-35.

Syarief H., 2009. Gizi Masyarakat dan Pembangunan Pertanian. Departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.

Suryana Achmad. 2009. Penganekaragaman Konsumsi Pangan Dan Gizi : Faktor Pendukung Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia. www.bulog.co.id/.../WIBPenganekaragaman kons. %. 20. Diunduh : 25 Juni 2015.

Yusran, M., A., Setyorini, D., dan Purwanto. 2012. Keterkaitan Implementasi Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Dengan Skor Pola Pangan Harapan (PPH) Dalam Perspektif Pemberdayaan kemandirian Pangan. Prosiding Seminar Nasional Optimalisasi Lahan Pekarangan Untuk Peningkatan Perekonomian Masyarakat dan Pengembangan Agribisnis. hal 36 - 42.

Page 24: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

18

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

PERBAIKAN TEKNIK BUDIDAYA TANAMAN KUBIS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI KONSERVASI PADA LAHAN KERING

DI KECAMATAN CIKAJANG KABUPATEN GARUTTaemi Fahmi dan Endjang Sujitno

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,Jl. Kayuambon No. 80, Lembang-Bandung Barat 40391

Email : [email protected]

ABSTRAKBudidaya sayuran terutama komoditas kubis banyak diusahakan oleh petani di lahan kering dataran tinggi. Kondisi topografi lahan di dataran tinggi umumnya bergelombang sampai bergunung. Pada kondisi topografi tersebut perlu upaya yang bijaksana dalam mengelola tanaman semusim seperti halnya kubis melalui penerapan teknologi konservasi untuk menjaga kualitas lingkungan di dataran tinggi. Selama ini petani di dataran tinggi sebagian besar belum menerapkan tindakan konservasi dalam usahataninya sehingga mengakibatkan kerusakan lahan yang berimbas pada menurunnya tingkat produktivitas. Perlu dilaksanakan penelitian mengenai penerapan teknologi konservasi pada budidaya kubis di dataran tinggi yang bertujuan untuk memberikan informasi dan referensi kepada petani mengenai pentingnya penerapan konservasi pada budidaya sayuran di dataran tinggi. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang Kabupaten Garut dengan menggunakan metode rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan diulang sebanyak 6 kali. Perlakuan yang digunakan adalah penerapan pembuatan teras bangku (P1), penerapan pembuatan teras gulud (P2), penggunaan mulsa jerami (P3) dan tanpa penerapan teknologi konservasi (P4) sebagai kontrol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan teras bangku, teras gulud dan penggunaan mulsa jerami nyata memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi kubis yang dihasilkan, dengan produksi berkisar antara 16,9 – 25,4 ton/ha lebih tinggi dari kontrol dengan produksi sebesar 16,2 ton/ha. Namun pada penggunaan teras gulud tingkat kematian tanaman masih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan kondisi eksisting yaitu berkisar antara 16,5 – 18,2%, hal ini dimungkinkan karena pada teras bangku yang diterapkan masih terdapat genangan air akibat saluran air yang belum sempurna sehingga menyebabkan terjadinya serangan penyakit tanaman sehingga mengurangi populasi tanaman pada saat panen.

Kata Kunci : Konservasi, dataran tinggi, kubis, teras bangku, teras gulud

PENDAHULUANKubis merupakan salah satu komoditas

sayuran semusim yang memiliki potensi besar untuk dikembangkan terutama di lahan kering dataran tinggi. Kubis memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Permintaan terhadap kubis cukup besar baik untuk konsumsi rumah tangga maupun restoran-restoran. Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang dapat dikonsumsi sehari-hari baik dikonsumsi segar maupun dalam bentuk olahan. Keuntungan dalam budidaya kubis adalah kemudahan dalam perawatan serta memiliki resiko kegagalan yang relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan jenis sayuran semusim lainnya.

Wilayah pengembangan kubis meliputi dataran tinggi dengan ketinggian tempat antara 700 – 1.200 mdpl. Kondisi topografi pada wilayah tersebut umumnya bergelombang sampai bergunung, sehingga perlu pengelolaan yang bijaksana dari para pelaku usahatani kubis terutama dalam hal menjaga kelestarian lingkungan. Pengelolaan lahan yang kurang bijaksana terutama dari para pelaku usahatani di wilayah dengan topografi lahan bergelombang sampai bergunung dapat menyebabkan kerusakan lahan yang besar karena pada wilayah tersebut sangat rentan terhadap erosi.

Erosi merupakan salah satu penyebab menurunnya produktivitas lahan kering

akibatnya terkikisnya material tanah serta hara dan bahan organik baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian, terutama yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim. Selain itu kejadian erosi juga dapat dengan mudah merusak sifat fisik tanah, oleh karena itu penerapan teknik konservasi merupakan salah satu prasyarat keberlanjutan usahatani pada lahan kering (Abdurachman, dkk. 2008).

Keadaan ini perlu mendapat perhatian yang cukup besar, karena pada umumnya para petani kubis di lahan kering dataran tinggi belum memperhatikan konservasi lahan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian lingkungan pada usahataninya. Sebagai usaha yang dapat dilakukan dalam menjaga kelestarian lingkungan adalah dengan menerapkan sistem usahatani konservasi pada lahan dengan topografi bergelombang sampai bergunung. Usahatani konservasi merupakan model teknologi pada pelaksanaan usahatani yang bertujuan untuk mengurangi resiko kerusakan lingkungan sekaligus sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi lingkungan dan ekosistem (Pranadji, 2004).

Penerapan pembuatan teras dan penggunaan mulsa merupakan salah satu teknik konservasi yang dapat diterapkan dalam usaha budidaya sayuran di lahan kering dataran tinggi. Penerapan

Page 25: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

19

teknologi teras, baik teras bangku maupun teras gulud cukup efektif dalam menekan terjadinya erosi (Abdurachman, dkk. 2008). Pada usahatani lahan kering, fungsi utama pembuatan teras diantaranya adalah untuk memperlambat aliran permukaan, menampung dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak sampai merusak, meningkatkan laju infiltrasi, mempermudah pengolahan tanah (Idjudin, 2011). Dengan berkurangnya tingkat erosi serta meningkatnya penyerapan air ke dalam tanah, tentunya akan semakin memperbaiki kondisi tanah baik ketersediaan hara dan air yang akan berimbas pada meningkatnya produktivitas tanah dan tanaman yang dibudidayakan.

Berdasarkan kondisi tersebut, perlu dilaksanakan pengkajian mengenai penerapan teknik konservasi pada usaha budidaya kubis yang dilaksanakan di lahan kering dataran tinggi.Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui sampai sejauhmana pengaruh perbaikan teknik budidaya kubis melalui penerapan teknologi konservasi terhadap tingkat produksi dan produktivitas tanaman kubis.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut pada bulan April. sampai dengan Agustus 2014. Lokasi penelitian termasuk ke dalam agroekosistem lahan kering dataran tinggi, dengan ketinggian tempat sekitar 1.200 mdpl. Keadaan topografi di lokasi penelitian cukup bervariasi mulai dari bergelombang sampai berbukit, wilayah ini termasuk wilayah beriklim basah karena memiliki curah hujan lebih dari 2.000 mm/tahun.

Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan dan masing-masing diulang sebanyak 6 kali. Perlakuan yang digunakan adalah penerapan pembuatan teras bangku (P1), penerapan pembuatan teras gulud (P2), penggunaan mulsa jerami (P3) dan tanpa penerapan teknologi konservasi (P4) sebagai kontrol. Lahan yang digunakan adalah lahan petani dan dijadikan sebagai ulangan. Petakan yang digunakan adalah petakan alami sesuai kondisi di lapangan.

Teras Bangku

Teras Gulud

Varietas yang ditanam adalah varietas Grand Cronet. Sistem tanam yang digunakan adalah monokultur. Benih kubis disemai terlebih dahulu sampai siap dipindah ke lapangan, pemindahan benih kubis dilaksanakan pada umur 20 – 25 hari setelah semai. Jarak tanam yang digunakan adalah 50 cm x 60 cm. Dosis pupuk yang diberikan 300 kg urea/ha, 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha dan pupuk kandang ayam sebanyak 10 ton/ha.

Untuk mengetahui pengaruh penerapan teknologi konservasi terhadap produksi dan produktivitas tanaman kubis dilakukan pengukuran terhadap hasil produksi dan komponen hasil diantaranya kematian tanaman, diameter crop, bobot crop dan produksi yang dihasilkan. Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis ragam (ANOVA), yang kemudian dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf nyata 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Tindakan Konservasi pada Tingkat Kematian Tanaman

Tindakan konservasi yang dilakukan pada budidaya tanaman kubis yaitu berupa tindakan konservasi mekanik berupa penerapan teras bangku, teras gulud dan penggunaan mulsa jerami. Sejauh mana pengaruh tindakan konservasi terhadap tingkat kematian dapat dilihat pada Tabel 1.

Page 26: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

20

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Tabel 1. Pengaruh Penerapan Konservasi Terhadap Tingkat Kematian Tanaman Kubis

Uraian Tingkat Kematian (%)7 hst 30 hst

Teras bangku (P1) 3,5 a 10,7 aTeras gulud (P2) 3,4 a 16,5 bcMulsa jerami (P3) 3,4 a 14,9 bTanpa konservasi (P4) 3,5 a 18,2 c

Pengamatan tingkat kematian tanaman pada masing-masing perlakuan dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada umur 7 hari setelah tanam dan 30 hari setelah tanam. Pada tabel tersebut diatas terlihat bahwa tingkat kematian tanaman pada umur 7 hari setelah tanam masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi pada umur 30 hari setelah tanam ternyata terjadi perbedaan yang nyata yaitu perlakuan teras bangku menekan tingkat kematian tanaman daripada perlakuan teras gulud, mulsa jerami dan tanpa konservasi. Perlakuan mulsa jerami merupakan perlakuan terbaik setelah teras bangku, berbeda dengan perlakuan teras gulud, sedangkan tingkat kematian pada teras gulud tidak berbeda dengan perlakuan tanpa konservasi.

Aplikasi konservasi tanah pada usaha budidaya sayuran di dataran tinggi selain sebagai usaha untuk melestarikan lingkungan juga sebagai usaha untuk meningkatkan produktivitas komoditas yang diusahakan. Teknologi konservasi tanah, mencakup segala aspek yang berhubungan dengan panataan tanah. Salah satunya adalah penataan tehadap aliran air permukaan terutama yang terjadi pada saat terjadi hujan. Penataan terhadap aliran air permukaan adalah suatu kondisi dimana pada saat terjadi aliran air permukaan diharapkan mampu mengurangi tingkat erosi yang terjadi namun aliran air masih dapat terbuang sehingga tidak menyebabkan terjadinya genangan yang dapat mengakibatkan tingginya kelembaban tanah. Kelembaban tanah yang tinggi merupakan salah satu penyebab tingginya serangan penyakit pada tanaman.

Pada penerapan teras bangku dan penggunaan mulas jerami, saluran air dibuat sedemikian rupa sehingga aliran air dapat terbuang secara optimal ke saluran pembuangan air utama. Namun pada penerapan teras gulud dan tanpa penerapan treknologi konservasi masih terdapat genangan air akibat aliran air permukaan tidak terbuang secara optimal,

terutama pada lokasi tanpa penerapan konservasi. Pada kondisi terjadinya genangan air, sangat dimungkin terjadinya rembesan air ke dalam tanah terutama di sekitar bedengan. Hal tersebut menyebabkan tingginya kadar air atau kelembapan tanah di dalam bedengan, yang menyebabkan drainase tanah memburuk. Keadaan seperti itu merupakan kondisi optimal bagi perkembangan penyakit tanaman, terutama cendawan atau jamur yang dapat menyebabkan busuk akar atau umbi (Undang, dkk., 2004).

HASIL DAN KOMPONEN HASILDengan menerapkan teknik konservasi

dalam penelitian ini ternyata dapat berpengaruh terhadap produksi yang dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 2.Tabel 2. Produksi Tanaman Kubis

Perlakuan Produksi (Ton/ha)Teras bangku (P1) 25,4 aTeras gulud (P2) 16,9 bMulsa jerami (P3) 22,3 aTanpa konservasi (P4) 16,2 b

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, hasil produksi kubis tertinggi diperoleh pada areal yang menerapkan teknik konservasi teras bangku berbeda nyata dibanding dengan 3 perlakuan yang lain, dengan produksi tertinggi diperoleh pada perlakuan P1 sebesar 25,4 ton/ha dan yang terendah pada perlakuan P4 sebesar 16,2 ton/ha.

Hasil analisis pada komponen hasil kubis yang diperoleh yaitu diameter crop dan bobot per butir tiap crop secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan. Tetapi bila dilihat dari angka hasil pengamatan diameter dan bobot per crop perlakuan teras bangku dan mulsa jerami menunjukkan angka tertinggi, komponen hasil pada perlakuan teras gulud dan tanpa konservasi angkanya lebih rendah dibanding hasil dari perlakuan teras bangku dan mulsa jerami.Tabel 3. Komponen Hasil Tanaman Kubis

Pada Masing-masing Perlakuan

Perlakuan Diameter Crop (Cm)

Bobot/crop (Kg)

Teras bangku (P1) 13,8 a 1,10 aTeras gulud (P2) 13,4 a 1,05 aMulsa jerami (P3) 13,7 a 1,09 aTanpa konservasi (P4) 13,3 a 1,02 a

Penerapan teknologi konservasi terutama konservasi mekanik berupa pembuatan teras

Page 27: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

21

ataupun penggunaan mulsa ternyata mampu meningkatkan produksi kubis yang dihasilkan. Hal ini selaras dengan pendapat Haryati dan Kurnia (2001) yang menyatakan bahwa perubahan sistem bedengan yang diterapkan pada teras bangku miring tidak menyebabkan terjadinya penurunan hasil sayuran. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi kunci dalam penerapan sistem konservasi adalah sebagai usaha untuk mengelola aliran air yang terjadi terutama pada saat terjadi hujan, sehingga tidak mengakibatkan erosi yang dapat mencuci hara tanah namun juga tidak mengakibatkan terjadinya genangan di sekitar bedengan tanaman yang dapat berdampak pada terjadinya serangan penyakit (Dariah, dkk., 2010).

KESIMPULANPenerapan teknik konservasi berupa

penerapan teras bangku, teras gulud dan penggunaan mulsa jerami nyata memberikan pengaruh terhadap peningkatan produksi kubis yang dihasilkan, pada penerapan tiga jenis konservasi mekanik yang dilakukan produksi kubis yang dihasilkan berkisar antara 16,9 – 25,4 ton/ha lebih tinggi jika dibandingkan dengan kondisi eksisting tanpa penerapan teknologi konservasi dengan tingkat produksi sebesar 16,2 ton/ha. Namun pada penggunaan teras gulud tingkat kematian tanaman masih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan kondisi eksisting yaitu berkisar antara 16,5 – 18,2%, hal ini dimungkinkan karena pada teras bangku yang diterapkan masih terdapat genangan air akibat saluran air yang belum sempurna sehingga menyebabkan terjadinya serangan penyakit tanaman sehingga mengurangi populasi tanaman pada saat panen.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A., Dariah, A. dan Mulyani, A., 2008. Strategi Dan Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Mendukung Pengadaan Pangan Nasional, Jurnal Litbang Pertanian, 27(2), 2008 : 43 - 49.

Dariah, A., Hartatik, W., dan Rochayati, S., 2010. Sistem Pengelolaan Lahan Sayuran yang Bersifat Lumintu. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Sayuran Dataran Tinggi, 17 – 18 Maret 2010, Balai Penelitian Tanah Bogor : 7 - 20.

Fahriyah, Hanani, N., dan Sulistiyono, A., 2013. Hubungan Tingkat Penerapan Usahatani Konservasi Terhadap Produktivitas dan Pendapatan Usahatani Wortel (Daucus carota L.). Jurnal AGRISE Volume XIII No. 1 Januari 2013, 42 - 53.

Idjudin, A., A., 2011. Peranan Konservasi Lahan Dalam Pengelolaan Perkebunan. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 5 No.2, Desember 2011 : 103 - 116.

Pranadji, T., 2004. Strategi Pengembangan Teknologi Usahatani Konservasi Untuk Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan. Forum Agro Ekologi, 22(2) : 113 – 125. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Kurnia, U., Suganda, H., Erfandi, D. dan Kusnadi, H., 2004. Teknologi Konservasi Tanah Pada Budidaya Sayuran Dataran Tinggi, Balai Penelitian Tanah, Bogor. http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/buku/buku%20 lahan%20kering/06tek_dataran_tinggi.pdf (Diunduh tanggal 8 Desember 2016, 12:51 WIB)

Page 28: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

22

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

APLIKASI PAKAN LENGKAP BERBAHAN BAKU LOKAL UNTUK PENGGEMUKKAN SAPI POTONG PO DI KABUPATEN CIAMIS

Sumarno Tedy dan Taemy FahmiBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,

Jl. Kayuambon No. 80, Lembang-Bandung Barat 40391

ABSTRAKPengembangan usaha sapi potong perlu didukung dengan penerapan teknologi pakan lengkap dengan memanfaatkan sumber daya lokal spesifik lokasi yang berorientasi pada pola integrasi tanaman-ternak. Potensi bahan baku lokal berupa limbah pertanian yang tersedia sepanjang tahun dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hijauan pakan. Pengkajian bertujuan untuk mengetahui pertambahan bobot badan pada ternak sapi potong PO yang diberikan pakan lengkap dengan bahan baku brangkasan jagung, dan persepsi peternak terhadap aplikasi pakan lengkap. Pengkajian dilaksanakan pada kelompokt ternak Dua Saudara di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis sebagai kelompok yang menerima bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah daerah. Perlakuan menggunakan 16 ekor ternak sapi potong yang dibagi kedalam dua kelompok (2 perlakuan). Perlakuan A (kontrol/kebiasaan peternak) Perlakuan B = Diberikan pakan. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pemberian pakan lengkap dapat meningkatkan bobot badan sapi potong PO k 0,55 kg/ekor/hari, sedangkan pertambahan bobot badan harian cara petani adalah 0,29 kg/ekor/hari. Persepsi peternak terhadap teknologi pakan lengkap dapat mengurangi curahan tenaga dan waktu yang biasanya digunakan untuk mencari rumput, dapat mengatasi kekurangan hijauan saat musim kemarau dan mudah aplikasikan.

Kata Kunci : Pakan lengkap, produktivitas, persepsi

PENDAHULUAN

Salah satu penyebab rendahnya produktivtias ternak ruminansia di Indonesia adalah kurang tersedianya bahan pakan berkualitas secara berkelanjutan dalam jumlah cukup. Pakan yang berkualitas dan tersedia kontinyu sepanjang tahun merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pengembangan peternakan (Dewi Hastuti., et al., 2011). Penyediaan pakan bagi ternak ruminansia dapat berasal dari sisa hasil pertanian, perkebunan dan agroindustri. Pakan yang diberikan pada ternak harus memperhatikan ketersediaan dan efisiensi biaya, sehingga perlu adanya pemanfaatan limbah sebagai alternatif pakan ternak yang murah dan mudah dicari (Herry et al., 2013).

Salah satu limbah hasil pertanian dan perkebunan yang mempunyai potensi cukup besar di Jawa Barat adalah berangkasan jagung. Luas lahan panen tanaman jagung di Provinsi Jawa Barat tahun 2013 yaitu 152.923 ha, dengan produktivitas 72,06 kw/ha dan peningkatan produksi selama 5 tahun (2009 – 2013) sebesar 28,53% yaitu dari 787.599 menjadi 1.101.998 ton (Badan Pusat Statistik Jawa Barat, 2013). Meningkatnya produksi jagung akan berakibat pada semakin meningkatnya limbah jagung yang dihasilkan. Di lain pihak populasi ternak sapi khususnya sapi potong mengalami penurunan yang berakibat pada impor daging dan sapi hidup cenderung meningkat. Oleh karena itu perlu adanya terobosan dalam pengembangan peternakan sapi khususnya teknologi penyiapan pakan sehingga pakan yang dihasilkan tidak hanya tahan simpan, tetapi juga mengandung

gizi yang sesuai dengan kebutuhan ternak guna memenuhi kecukupan kebutuhan daging domestik dalam upaya keberhasilan program swasembada daging sapi.

Teknologi yang dapat diaplikasikan untuk mengatasi kesulitan pakan hijauan adalah pemanfaatan limbah pertanian yang jumlahnya cukup melimpah perdesaan sebagai sumber pakan lengkap. Teknologi pakan lengkap merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan pemanfaatan limbah pertanian dan bahan pakan non konvensional dengan perlakuan fisik dan suplementasi dengan mempertimbangkan kebutuhan nutrisi ternak baik serat kasar, energi, protein maupun lainnya. Namun demikian dalam aplikasinya, pembuatan pakan lengkap memiliki beberapa keterbatasan karena menggunakan limbah pertanian. Beberapa karakteristik limbah pertanian sebagai pakan ternak adalah : 1) limbah pertanian mempunyai sifat “bulky” atau voluminous sehingga membutuhkan biaya angkut yang cukup mahal dan membutuhkan gudang penyimpanan. Oleh karena itu diprioritaskan menggunakan bahan pakan yang tersedia di lokasi, 2) kandungan gizi rendah ditandai dengan rendahnya Protein Kasar (PK) dan tingginya kandungan Serat Kasar (SK) sehingga daya cernanya rendah. Dalam penggunaannya seringkali bahan baku perlu difermentasi untuk meningkatkan nilai gizi dan daya cernanya, dan 3) ketersediaan bahan pakan tidak kontinyu sepanjang tahun tergantung pola tanam. Kualitas bahan pakan juga berubah-ubah dipengaruhi oleh musim, pemeliharaan, varietas dan usia tanaman.

Page 29: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

23

Teknologi pakan lengkap merupakan alternatif cara penyiapan pakan yang lazim diterapkan, seperti silase ransum komplit yang lebih tahan simpan dan pembuatannya dapat dilakukan setiap saat tanpa dipengaruhi oleh musim. Silase ransum komplit berbeda dengan silase berbahan baku tunggal seperti silase rumput atau berangkasan jagung, dimana silase ransum komplit mempunyai beberapa keuntungan, diantaranya : 1) tersedianya substrat untuk mendukung terjadinya fermentasi yang lebih baik, sehingga mempunyai tingkat kegagalan yang jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan silase berbahan tunggal, 2) mengandung gizi yang sesuai dengan kebutuhan ternak dan 3) terciptanya pakan yang berkelanjutan dan mudah diberikan pada ternak, sebab tidak memerlukan pakan tambahan lainnya.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk peningkatan bobot badan ternak sapi potong PO yang diberikan pakan lengkap berbasis bahan baku berangkasan jagung, dan persepsi peternak terhadap aplikasi pakan lengkap di lokasi pengkajian.

METODOLOGI

Pengkajian dilaksanakan pada Kelompokternak Dua Saudara, di Desa Cibeureum, Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis dimana merupakan kelompok penerima bantuan sarana dan prasarana dari pemerintah daerah pada tahun 2015. Pengkajian menggunakan 16 ekor ternak sapi potong PO milik petani yang dibagi kedalam dua perlakuan. Perlakuan A (kontrol/kebiasaan peternak) diberi pakan hijauan dan limbah pertanian berupa jerami padi/daun jagung dan perlakuan B (diberikan pakan lengkap dengan bahan baku berangkasan jagung + dedak + mineral). Jumlah pakan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan ternak.

Adapun cara pembuatan silase pakan lengkap adalah sebagai berikut : berangkasan jagung terlebih dahulu dipotong-potong 3 - 5 cm dengan menggunakan “chopper”, selanjutnya dicampur dan diaduk sampai merata dengan sumber karbohidrat, dan ditambahkan starter. Hasil campuran ransum tersebut dimasukkan ke dalam tong, dipadatkan, ditutup rapat dan diinkubasi dalam kondisi anaerob selama 10 hari. Sampai pHnya antara 3,8 – 4,0 apabila

dibuka sudah mengeluarkan bau harum dan agak asam sedikit berarti proses sudah selesai dan sudah siap diberikan kepada ternak. Pakan lengkap diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Komposisi pakan lengkap disajikan pada tabel 1.Tabel 1. Komposisi pakan lengkap

No Bahan baku Jumlah (%)1. Jerami jagung 80,002. Dedak 18,503. Starter 0,504. Mineral 1,00

Jumlah 100,00Data yang diamati antara lain 1).

Pertambahan bobot badan harian (pbbh) sapi potong, 2). Persepsi peternak terhadap teknologi pakan lengkap. Data pertambahan bobot badan (pbbh) dihitung menggunakan rumus :Pertambahan bobot badan (kg/ekor/hari)

Sebelum perlakuan dilakukan terlebih dahulu ternak ditimbang untuk mengetahui bobot awal, dan penimbangan dilakukan setiap bulan sampai penggemukan selesai. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertambahan Bobot Badan (kg/ekor/hari)Pertambahan bobot badan sapi PO sangat

dipengaruhi oleh kandungan nutrisi pakan dan kemampuan ternak untuk memanfaatkan pakan. Dalam pengkajian ini penggunaan limbah pertanian seperti berangkasan jagung yang memiliki kandungan nutrisi rendah diolah menjadi pakan dengan kandungan nutrisi cukup memadai. Proses peningkatan nilai nutrisi berangkasan jagung salah satunya dapat dilakukan melalui pembuatan silase pakan lengkap.

Silase Lengkap (Complette Feed) merupakan metode atau teknik pembuatan pakan dimana hijauan (sumber serat kasar) dan konsentrat (sumber protein) dicampur menjadi homogen melalui proses perlakuan fisik dan suplementasi yang dikemas dalam bentuk tertentu agar pemberian kepada ternak efektif dan memudahkan dalam penyimpanan. Lammers et al., (2003), menyatakan bahwa pakan lengkap mempunyai pengertian sebagai suatu jenis pakan yang dirancang untuk produk komersial bagi ternak ruminansia dan didalamnya sudah mengandung bahan hijauan dan konsentrat dalam imbangan yang memadai.

(Bobot badan akhir (kg)–Bobot badan awal (kg))Lama pengamatan (hari)=

Page 30: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

24

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Penggunaan pakan lengkap pada ternak sangat relevan untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan nutrisi, dan pada saat yang sama mampu menyumbang kebutuhan serat (NDF) yang sangat penting bagi stabilitas ekosistem rumen. Selain itu, pakan lengkap juga lebih menjamin meratanya distribusi asupan harian ransum, agar fluktuasi kondisi ekosistem di dalam rumen diminimalisir (Tafaj et al., 2007).

Hasil pengkajian pada penggemukan sapi potong PO berupa pemberian silase pakan lengkap berbasis berangkasan jagung dan penggemukan cara petani, menghasilkan tingkat pertambahan bobot badan yang cukup berbeda, dimana pada awal pengkajian rata-rata bobot badan sapi hampir sama, namun setelah 120 digemukkan terjadi perbedaan pertambahan bobot badan, terutama pada ternak sapi yang diberikan pakan lengkap. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada gambar 1.

Gambar 1. Pertambahan Bobot Badan Sapi Potong PO

Berdasarkan grafik diatas pemberian silase pakan lengkap pada ternak sapi potong memberikan pengaruh terhadap kenaikan berat badan sapi potong dibandingkan dengan hanya diberi pakan cara petani. Dimana rata-rata PBBH dengan perlakuan pemberian silase pakan lengkap yaitu 0,55 kg/ekor/hari sedangkan PBBH yang dilakukan sesuai kebiasaan petani 0,29 kg/ekor/hari. Pertambahan bobot badan harian yang dicapai belum sesuai dengan harapan peternak. Teknologi pakan lengkap yang diberikan mampu memberikan pertambahan bobot badan yang lebih besar dari pemberian pakan cara petani, karena : 1) konsumsi nutrisi dari pakan lengkap lebih tinggi dari pada rumput terutama protein kasar dan 2) pemberian pakan lengkap dapat mencegah fluktuasi pH rumen, hal tersebut bermanfaat untuk berkembangnya mikroba rumen.

Pertambahan bobot badan merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan

untuk menilai kualitas pakan ternak. Menurut Mc.Donald et al., (2002) pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot dan adanya perkembangan. Pengukuran bobot badan berguna untuk penentuan tingkat konsumsi, efisiensi pakan dan harga ternak untuk ternak penggemukkan ( Parakkasi, 1999).

Persepsi PeternakPersepsi peternak baik terhadap teknologi

pakan lengkap cukup sebab : (a) mengurangi tenaga kerja, waktu dan biaya untuk mencari rumput, (b) dapat mengatasi kekurangan hijauan terutama di musim kemarau, (c) mudah diaplikasikan, dan (d) pakan lengkap disukai oleh ternak dibuktikan dengan sedikitnya sisa pakan. Hal ini merupakan peluang diadopsinya teknologi ini karena dapat mengatasi kesulitan peternak. Menurut Soemarno (2008), inovasi teknologi akan diadopsi oleh petani apabila mempunyai sifat-sifat : (a) bermanfaat bagi petani secara nyata, (b) lebih unggul dari pada teknologi yang telah ada, (c)bersifat praktis, nyaman dan ekonomis dan (d) sesuai dengan sistem usahatani petani. Respon peternak terhadap pemberian pakan lengkap disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Persepsi peternak terhadap penggunaan pakan lengkap pada sapi potong PO

No Uraian Jumlah (orang)

Persentase (%)

1. Mengurangi tenaga kerja, waktu dan biaya mencari rumputa. Sangat setujub. Setujuc. Ragu-ragud. Tidak Setuju

51140

2555200

2. Dapat mengatasi kekuranganhijauan terutama di musim kemaraua. Sangat setujub. Setujuc. Ragu-ragud. Tidak Setuju

31241

1560205

3. Mudah diaplikasi-kana. Sangat setujub. Setujuc. Ragu-ragud. Tidak Setuju

21440

1070200

Page 31: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

25

No Uraian Jumlah (orang)

Persentase (%)

4. Pakan ternak disu-kai oleh ternaka. Sangat setujub. Setujuc. Ragu-ragud. Tidak Setuju

41330

2065150

5. Meningkatkan per-tambahan bobot ba-dan ternaka. Sangat setujub. Setujuc. Ragu-ragud. Tidak setuju

5843

25402015

Berdasarkan Tabel 2 umumnya persepsi peternak terhadap pemberian pakan lengkap cukup baik hal ini ditandai dengan jumlah responden yang menyatakan bahwa penggunaan pakan lengkap mampu mengurangi tenaga kerja, waktu dan biaya untuk mencari rumput, menyatakan sebanyak 25% sangat setuju dan yang menyatakan setuju sebanyak 55% sedangkan sisanya ragu-ragu, b) dapat mengatasi kekurangan hijauan terutama di musim kemarau, sebagian besar responden menyatakan setuju (60%), c) mudah diaplikasikan, ini terlihat dari hasil survei menyatakan setuju (70%), d) pakan lengkap disukai oleh ternak dibuktikan dengan sedikitnya sisa pakan, sebanyak 65% responden menyatakan setuju. Demikian pula persepsi peternak terhadap pemberian pakan lengkap mampu meningkatkan pertambahan bobot badan harian ternak, dimana sebanyak 20% menyatakan sangat setuju, 40% responden menyatakan setuju, yang menyatakan ragu-ragu sebanyak 20%, sedangkan yang tidak setuju 15%, secara umum responden memberikan persepsi yang positif terhadap pengaruh pemberian pakan lengkap terhadap pertambahan bobot badan harian ternak, penilaian ini berdasarkan hasil pengamatan yang mereka lakukan selama pengkajian, namun bagi responden yang masih ragu-ragu sampai tidak setuju, mereka masih menganggap bahwa pemberian pakan dalam bentuk hijauan segar lebih baik dibandingkan dengan cara silase.

Sedangkan kesulitan yang dialami peternak dalam mengaplikasikan teknologi pakan lengkap adalah karena ketersediaan bahan baku pakan berupa limbah pertanian yang tidak kontinyu sehingga dibutuhkan kemampuan untuk

memformulasikan komposisi pakan dengan bahan yang tersedia dengan kandungan nutrisi yang tepat dan harga yang murah. Ketersediaan bahan baku lokal sangat berpengaruh terhadap harga pakan yang dihasilkan kelompok. Karena semakin jauh lokasi bahan baku akan menyebabkan ongkos angkut yang semakin mahal..

KESIMPULAN. Pemberian pakan lengkap pada ternak sapi

potong PO meningkatkan bobot badan sapi potong PO 0,55 kg/ekor/hari. Pakan lengkap dapat meningkatkan efisiensi tenaga dan waktu peternak.

DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik Jawa Barat. 2013. Jawa

Barat Dalam Angka.Dewi Hastuti, Shofia Nur A, Baginda Iskandar

M. 2011. Pengaruh Perlakuan Teknologi Amofer (Amoniasi Fermentasi) Pada Limbah Tongkol Jagung Sebagai Alternatif Pakan Berkualitas Ternak Ruminansia. Jurnal Ilmu Pertanian Vol 7 No 1

Herry Suprapto, FM. Suhartati dan Titin Widiyastuti. 2013. Kecernaan Serat Kasar dan Lemak Kasar Complete Feed Limbah Rami dengan Sumber Protein Berbeda pada Kambing Peranakan Etawa Lepas Sapih. Jurnal Ilmiah Peternakan 1(3) : 938-946

McDonald, P.; Edwards, R. A.; Greenhalgh, J. F. D., 2002. Animal Nutrition. 6th Edition. Longman, London and New York. 543 p

Lammers B.P., A.J. Heindrichs and V.A. Ishler. 2003. Use of Total Mixed Rations (TMR) for Dairy Cows. Dairy Cattle Feeding and Management. Departement of Dairy and Animal Science. The Pensilvania State University

Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Soemarno.2008. Memfasilitasi Petani untuk Merespon Inovasi Teknologi. Prosiding

Page 32: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

26

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Seminar Sehari Pemberdayaan Petani melalui Informasi dan Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Dinas Pertanian Propinsi Jawa Timur dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Timur; 1 – 6.

Tafaj, M.Q. Zebeli, C.H. Baes, H. Steingass and W.D. Rochner. 2007. A meta-analysis examining effect of particle size of total mix ration on intake, rumen digestion and milk production in high-yielding dairy cows at early lactation. Anim. Feed. Sci. Technol. 138: 137-161

Page 33: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

27

PENGEMBANGAN ANEKA PRODUK OLAHAN BERBASIS UBIKAYU DAN RESPON PETANI TERHADAP PENGOLAHAN UBIKAYU DI KABUPATEN BANDUNG

“Study Kasus di Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat”Adetiya Rachman, Yanto Surdianto dan Oswald Marbun

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,Jl. Kayuambon No. 80, Lembang-Bandung Barat 40391

ABSTRAKUbikayu (Manihot utilissima) merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan setelah padi di Jawa Barat dengan produksi mencapai 2 juta ton per tahun. Produksi ubikayu di Jawa Barat merupakan tanaman pangan terbesar setelah padi, namun kontribusi terhadap pendapatan petani masih rendah. Hal ini antara lain disebabkan rendahnya harga di tingkat petani serta dan belum diterapkan sepenuhnya usaha diversifikasi produk. Pemanfaatan ubikayu hingga saat ini sebagian besar masih terbatas dipasarkan dalam bentuk segar atau diolah menjadi pati/tepung tapioka. Pengolahan tepung tapioka menghasilkan rendemen yang relatif rendah dan permasalahan limbah onggok/ampas yang dihasilkan. Inovasi pengolahan produk ubikayu menjadi tepung mocaf (modified cassava flour) yang menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dengan minim limbah mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan petani. Teknologi pengolahan mocaf dan produk olahan berbasis ubikayu banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Jawa Barat telah mengembangkan teknologi pengolahan mocaf dan aneka produk olahan berbasis ubikayu yang dilaksanakan di Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pengembangan aneka produk olahan berbasis ubikayu mendapat respon postitf dengan 82,34% petani menyatakan pengolahan ubikayu penting dilakukan dan 94,12% menyatakan ubikayu lebih baik dijual dalam bentuk segar. Bentuk olahan ubikayu telah berkembang dari semula hanya tape menjadi tepung, mie, rasi (beras singkong), kerupuk, kastangel dan brownies kasava. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan aneka olahan ubikayu berkisar antara 225 – 1.562%.

Kata Kunci : Produk olahan, ubikayu, respon petani

PENDAHULUANUbikayu (Manihot esculentas CRANTZ)

merupakan salah satu komoditas utama tanaman pangan setelah padi di Jawa Barat dengan produksi mencapai 2 juta ton per tahun (BPS, 2016). Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah sentra produksi ubi kayu di Provinsi Jawa Barat. Penentuan Kabupaten Bandung sebagai sentra produksi ubi kayu di Jawa Barat didasarkan pada rata-rata produksi ubi kayu di Kabupaten Bandung bila dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten lain di Jawa Barat, dimana Kabupaten Bandung menempati urutan ketiga penghasil ubi kayu terbesar dari tahun 2005 sampai dengan 2008.

Peranan ubikayu dalam perekonomian Jawa Barat khususnya di Kabupaten Bandung belum menonjol dilihat dari segi pendapatan petani, pemenuhan kebutuhan bahan baku industri, dan sumber devisa. Kodisi tersebut karena ubikayu dianggap bukan komoditas prioritas sehingga kurang mendapat dukungan investasi baik dari sisi penelitian dan pengembangan, penyuluhan, pengadaan sarana dan prasarana, serta dalam pengaturan dan pelayanan (Hilman, dkk. 2004). Program yg digulirkan berhasil meningkatkan produksi ubi kayu, namun manfaat & dampaknya terhadap ekonomi rumah tangga belum dirasakan sepenuhnya oleh petani.

Menurut Sadjad (2000) dalam Widowati (2003), bahwa walaupun di beberapa wilayah di Indonesia, penduduk masih mengkonsumsi

pangan alternatif seperti gaplek, beras jagung, sagu ataupun ubi jalar, namun fakta yang dihadapi menunjukkan bahwa terigu lebih adaptif dan adoptif daripada pangan domestik. Hal ini antara lain disebabkan minimnya diversifikasi produk dan kurangnya sosialisasi pangan alternatif pengganti beras. Ubikayu memiliki potensi sebagai pangan pokok alternatif mengingat kandungan karbohirat yang tinggi menyerupai kandungan karbohirat pada beras. Pemanfaatan ubikayu hingga saat ini sebagian besar masih terbatas dipasarkan dalam bentuk segar atau diolah menjadi pati/tepung tapioka

Pemanfaatan ubi kayu untuk berbagai produk akhir dapat beragam, baik dimakan langsung, menjadi tepung, keripik atau makanan tradisional lainnya sebesar 27% (Nyoman, 2011). Pengolahan tepung tapioka menghasilkan rendemen yang relatif rendah dan permasalahan limbah onggok/ampas yang dihasilkan. Inovasi pengolahan produk ubikayu menjadi tepung mocaf (modified cassava flour) yang menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dengan minim limbah mampu memberikan nilai tambah yang lebih besar sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan petani. Teknologi pengolahan mocaf dan produk olahan berbasis ubikayu telah banyak dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian (Balitbantan, 2014).

Berdasarkan beberapa permasalahan dan potensi dari ubikayu tersebut maka Balai

Page 34: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

28

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Balitbangtan Jawa Barat mengembangkan teknologi pengolahan mocaf dan aneka produk olahan berbasis ubikayu dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan nilai tambah petani

Tujuan dari pengkajian adalah untuk: (1) Mengetahui respon dan persepsi petani terhadap teknologi pengolahan aneka produk berbasis ubikayu, (2) Mengetahui sifat inovasi teknolgi pengolahan aneka produk berbasis ubikayu, dan (3) Meningkatkan nilai tambah ubikayu melalui pengolahan aneka produk ubikayu.

METODOLOGIPengkajian dilaksanakan pada bulan Januari

– Desember 2015 di Desa Cimenyan Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung. Pengkajian dilakukan melalui metode pelatihan teknis dan praktek langsung pengembangan aneka produk olahan ubikayu dengan melibatkan kelompok wanita tani (KWT). Aneka produk ubikayu yang diintroduksikan yaitu, tepung kasava temodifikasi/mocaf, mie kasava, rasi (beras singkong), kerupuk, brownies dan kastangel kasava. Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan mocaf yaitu, ubikayu dan starter bimo-CF hasil produksi Badan Litbang Pertanian. Sedangkan alat-alat yang digunakan dalam produksi mocaf terdiri atas: pisau pengupas, penyawut/perajang, bak perendam, tampah/wadah penjemur, dan alat penepung.

Data yang dikumpulkan dalam pegkajian ini yaitu: (1) Respon dan persepsi petani terhadap teknologi yang diintroduksikan diperoleh melalui wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dianalisis secara deskriptif (Nazir, 1995) dan evaluatif serta analisis kuantitatif sesuai dengan karakteristik informasi yang dikumpulkan, (2) Peningkatan nilai tambah dianalisis berdasarkan harga jual ubikayu dan rendemen produk olahan yang dihasilkan dan dibandingkan dengan harga jual produk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengembangan aneka produk olahan ubikayu

a. Mocaf(modifiedCassavaFlour)Proses pengolahan mocaf dimulai dari

pengupasan dan pencucian daging ubikayu. Daging ubikayu kemudian disawut atau dirajang

menggunakan pisau atau alat perajang/penyawut atau pengiris keripik. Chips/irisan/sawutan daging ubikayu selanjutnya difermentasi dengan cara direndam dalam larutan starter bimo-CF dengan dosis 1 gr starter untuk 1 kg daging ubikayu. Fermentasi dilakukan selama 12 jam, kemudian chips hasil fermentasi ditiriskan dari larutan dan dipres dengan alat pengepres untuk mempercepat proses pengeringan. Chips basah selanjutnya dikeringkan dengan cara dijemur atau dengan menggunakan mesin pengering. Penjemuran dilakukan selama 2-3 hari hingga chips rapuh/mudah patah. Chips kering selanjutnya digiling dengan mesin penepung menjadi mocaf. Tepung dikemas dalam plastik atau wadah tertutup.

b. MieKasavaPembuatan mie menggunakan bahan

antara lain tepung kasava/mocaf, tepung terigu, mentega, garam dan garam alkali. Alat yang diperlulan dalam pembuatan mie yaitu, alat pencetak mie dan wadah plastik. Semua bahan mie dicampurkan dan ditambahkan sedikit air hingga menyatu. Adonan selanjutnya dibentuk lembaran dengan alat pencetak mie kemudian dicetak dengan pencetak yang ada pada alat.

c Rasi(BerasSingkong)Bahan yang diperlukan yaitu ubikayu dan

soda kue. Peralatan yang digunakan antara lain pisau, talenan, wadah/baskom plastik dan panci kukus. Proses pembuatan yaitu ubikayu dikupas dan dipotong kecil tipis memanjang sekira 0,2 x 2 cm. Soda kue dilarutkan sebanyak 2 % (20 gr per 1 liter air). Ubikayu direndam dalam larutan soda kue selama 6 jam

Ubikayu yang telah direndam kemudian ditiriskan dan dicuci dengan air bersih. Irisan ubikayu selanjutnya dikukus selama 5 menit. Rasi yang telah matang selanjutnya dikeringkan dalam oven pengering suhu 60oC selama 7-8 jam atau dijemur dibawah sinar matahari. Rasi yang telah kering disimpan dan dikemas dalam plastik/wadah tertutup. Penyajian rasi dilakukan dengan cara merendam rasi kering selama 15 menit kemudian dikukus selama kurang lebih 15 menit.

d. KerupukkasavaBahan utama kerupuk berbeda dengan

kerupuk umumnya yang menggunakan tepung tapioka. Bahan utama kerupuk kasava yaitu

Page 35: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

29

mocaf, bahan-bahan tambahannya antara lain seledri, bumbu royco, bawang putih, dan ketumbar secukupnya. Alat-alat yang diperlukan yaitu pisau, talenan, wadah/baskom plastik, panci kukus.

Proses pembuatan dimulai dengan mencampur semua bahan kemudian ditambahkan air hingga kalis kemudian dibentuk bulat memanjang dan dibungkus daun pisang/alumunium foil. Adonan selanjutnya dikukus selama 45 – 60 menit hingga masak. Adonan yang telah masak didinginkan kemudian diiris tipis tipis dan dijemur atau dikeringkan dengan oven pengering hingga kering. Kerupuk kasava disimpan dalam wadah plastik ditutup rapat.

e. BrownieskasavaBahan yang digunakan dalam pengolahan

brownies kasava yaitu gula putih, tepung kasava/mocaf, telur, vanili, santan, minyak goreng, serta bahan tambahan makanan (TBM, dan VX). Alat-alat yang digunakan yaitu mixer, baskom plastik, loyang brownies, ayakan, panci kukus besar, kompor, piring kue, sendok, pengaduk, gelas, lap.

Pengolahan brownies dimulai dengan mencampur gula, telur, TBM dan VX kemudian dikocok hingga putih dan mengembang. Tepung kasava diayak kemudian ditambahkan pada adonan. Selanjutnya vanili, santan dan minyak goreng dicampur dan diaduk hingga merata. Adonan kemudian dimasukkan dalam loyang dan dikukus sampai matang.

f. KuekeringkastangelkasavaPembuatan kue kering kastangel

menggunakan tepung komposit yang tediri dari 50% mocaf dan 50% tepung terigu. Bahan lain yang digunakan yaitu kuning telur, mentega, dan keju. Alat yang digunakan dalam pembuatan kue kering kasava yaitu penggiling kayu, wadah plastik, loyang, oven, kompor, kuas kue dan cetakan kue keju. Keju diparut dan dicampurkan dengan bahan lain kemudian digiling dan dicetak. Adonan kue yang telah dicetak ditempatkan di atas loyang yang telah diolesi mentega kemudian bagian atas adonan dikuas dengan kuning telur dan ditaburi parutan keju. Selanjutnya loyang yang berisi adonan kue dipanggang dalam oven api sedang hingga matang.

Kegiatan introduksi pengembangan aneka produk olahan ubikayau dilakukan melalui

bimbingan teknis dalam bentuk pelatihan yang dilaksanakan setiap minggu meliputi teori dan praktek langsung. Tindak lanjut dari kegiatan pelatihan ini adalah sbb:a. KWT di masing-masing desa di Kecamatan

Cimenyan akan mengaplikasikan hasil pelatihan dengan membuat kelompok usaha pengolahan hasil berbasis ubikayu berbahan dasar Mocaf.

b. b. Tepung mocap yang merupakan bahan dasar pembuatan pangan olahan berbasis ubikayu akan diproduksi oleh Gapoktan Ciparungpung, Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

c. Kegiatan pelatihan yang telah dilaksanakan dapat memecahkan salah satu masalah atau kesulitan petani/Gapotan Ciparungpung Desa Cimenyan, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung dalam pemasaran Mocaf.

Gambar 1. Kegiatan Pelatihan Pengolahan Produk Berbahan Baku Tepung Kasava/Mocaf

Produk olahan sebelum dan sesudah pendampingan dapat dilihat pada Tabel 1.Tabel 1. Produk Olahan Sebelum dan Sesudah Ke-

giatan Pendampingan Kawasan Ubi kayuJenis Produk

Sebelum Pendampingan Sesudah PendampinganUbikayu segar Tepung kasavaTape Mie kasava

Rasi (beras singkong)Kerupuk kasavaKastangel kasavaBrownies kasava

Tabel 1. menunjukkan jenis produk olahan sebelum pendampingan hanya terbatas pada produk ubikayu segar dan pengolahan ubikayu menjadi tape ubikayu padahal potensi pengolahan ubikayu menjadi aneka jenis produk baik sebagai makanan pokok maupun pangan kuliner sangat besar. Kegiatan pendampingan mengintroduksi teknologi pengolahan ubikayu

Page 36: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

30

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

menjadi beberapa jenis produk yang memiliki nilai tambah. Kelompoktani dan Kelompok Wanita Tani (KWT) yang ada di 4 desa di Kecamatan Cimenyan diberikan pengetahuan dan keterampilan mengolah aneka produk ubikayu yaitu, tepung kasava, mie kasava, beras singkong (rasi), kerupuk kasava, kastangel kasava, dan brownies kasava.

2. Respon Petani Terhadap Teknologi Pengolahan Ubikayu

Pengumpulan respon petani dilaksanakan untuk mengetahui tanggapan dan persepsi petani, serta sifat inovasi teknologi pengolahan ubikayu di lokasi pendampingan. Kegiatan dilaksanakan melalui wawancara terstruktur pada responden menggunakan kuesioner yang telah disiapkan. Pengisian daftar pertanyaan kepada responden menggunakan skala jawaban yang telah ditentukan. Tanggapan petani terhadap kegiatan pengolahan ubikayu dapat dilihat pada tabel berikut.Tabel 2. Tanggapan Petani terhadap Kegiatan

Pengolahan Ubikayu

No. Uraian Pernyataan

Tanggapan Petani (%)

Belum Sudah PPLMajalah/

Media Lainnya

Segar Produk Olahan

Sangat Penting Penting Kurang

Penting

1. Mengetahui/ mengenal produk olahan ubikayu

17,65 82,35 - - - - - - -

2. Sumber teknolo-gi produk ola-han ubikayu

- - 82,35 17,65 - - - - -

3. Hasil panen ubi-kayu lebih baik dijual dalam bentuk

- - - - 5,88 94,12 - - -

4. Seberapa pent-ing pengolahan ubikayu

- - - - - - 82,35 17,65 -

5. Pengolahan ubikayu men-jadi produk yang siap dikonsumsi

- - - - - - 76,47 23,53 -

Sebagian besar atau 82,35% petani responden menyatakan sudah mengetahui produk olahan ubikayu dan mendapatkan informasi teknologi pengolahan ubikayu sebanyak 82,35% dari PPL dan 17,65% berasal dari majalah/media lainnya. Tanggapan petani terhadap hasil panen ubikayu adalah 94,12% menyatakan ubikayu lebih baik dijual dalam bentuk produk olahan dan 5,88% lainnya menyatakan lebih baik dijual dalam bentuk segar. Sebanyak 82,35% petani menyatakan

bahwa pengolahan ubikayu sangat penting dilakukan dan 76,47% petani mengungkapkan bahwa pengolahan ubikayu menjadi produk yang siap dikonsumsi perlu dilakukan.

3. Persepsi Petani Terhadap Teknologi Pengolahan Ubikayu

Berdasarkan hasil analisis melaporkan bahwa petani memiliki persepsi yang baik terhadap teknologi pengolahan ubikayu yang dekembangkan. Persepsi petani terhadap teknologi pengolahan ubikayu disajikan pada Tabel 3.

Pada Table 3. terlihat bahwa, sebagian besar petani memiliki pemahaman bahwa pengolahan ubikayu dapat meningkatkan pendapatan (sangat setuju 64,71%), menjadikan usaha industri yang menjanjikan (setuju 41,18%), memberikan peluang kerja baru (sangat setuju 52,94%), dan sebaiknya dilakukan oleh seluruh petani (sangat setuju 41,18%). Petani juga memiliki motivasi yang cukup baik terhadap kegiatan pengolahan ubikayu. Petani sangat setuju dan setuju apabila

ada kegiatan pengolahan ubikayu dan pertemuan yang membahas pengolahan ubikayu akan selalu mengikuti, karena merupakan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan dan tidak akan menghambat kegiatan lainnya.

Sikap petani terhadap kegiatan pengolahan ubikayu cukup bagus, dimana petani menyatakan sangat setuju dan setuju bahwa dengan adanya pengolahan ubikayu, petani memiliki aktivitas baru dan akan mengembangkan pengolahan

Page 37: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

31

ubikayu menjadi skala kelompok. Tahap perubahan sikap dimulai dari pengenalan, keinginan untuk memilih, dan selanjutnya memasuki tahap tanggap yang menimbulkan keyakinan dan kemauan untuk mengikuti. Seiring berjalannya keyakinan menimbulkan penghayatan yang berujung kepada penerapan yang terus-menerus (Van den Ban, dkk., 2003).

4. Sifat Inovasi Teknologi Pengolahan Ubikayu

Berhasil tidaknya pengembangan teknologi ditentukan oleh mau tidaknya petani mengadopsi teknologi yang dianjurkan (Tri Pranadji, 1984). Sedangkan keputusan untuk mengadopsi suatu teknologi bagi petani dipengaruhi oleh sifat teknologi itu sendiri. Sifat inovasi teknologi pengolahan ubikayu berdasarkan pendapat responden disajikan pada Tabel 4.

Tabel 3. Persepsi Petani Terhadap Teknologi Pengolahan Ubikayu

No. Uraian Pernyataan

Persepsi Petani (%)

Sangat Setuju Setuju Netral Tidak

Setuju

Sangat Tidak

Setuju1. Pengolahan ubikayu menjadi aneka produk da-

pat meningkatkan pendapatan64,71 35,29 - - -

2. Pengolahan aneka produk olahan ubikayu da-pat menjadikan usaha industri yang menjanji-kan

35,29 41,18 17,65 5,88 -

3. Pengolahan aneka produk ubikayu dapat mem-berikan peluang kerja baru

52,94 47,06 - - -

4. Pengolahan aneka produk olahan ubikayu se-baiknya dilakukan oleh seluruh petani

41,18 29,41 17,65 11,76 -

5. Bila ada kegiatan pengolahan ubikayu, saya akan selalu mengikuti

23,53 76,47 - - -

6. Kegiatan pengolahan aneka produk olahan ubi-kayu merupakan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan

29,41 52,94 17,65 - -

7. Kegiatan pengolahan aneka produk olahan ubi-kayu dapat menghambat kegiatan lainnya

5,88 - 5,88 64,71 23,53

8. Apabila ada pertemuan untuk membahas keg-iatan pengolahan aneka produk olahan ubik-ayu, saya akan mengikutinya

23,53 70,59 5,88 - -

9. Saya senang dengan adanya kegiatan pengo-lahan aneka produk olahan ubikayu dan akan selalu mengikutinya

23,53 76,47 - - -

10. Dengan adanya kegiatan pengolahan hasil ubi-kayu, saya mempunyai aktivitas baru

41,18 52,94 5,88 - -

11. Saya akan selalu menginformasikan kegiatan pengolahan hasil ubikayu kepada orang lain

35,30 52,94 5,88 5,88 -

12. Saya akan mengembangkan pengolahan hasil ubikayu, sehingga menjadi industri skala kel-ompok yang dapat dikembangkan di wilayah saya

47,06 47,06 5,88 - -

13. Dengan adanya kegiatan pengolahan hasil ubi-kayu, saya menjadi repot

- 5,88 5,89 58,82 29,41

Tabel 4. Sifat Inovasi Teknologi Pengolahan Ubikayu

No. Uraian Ya (%) Tidak (%)

1. Kegiatan pengolahan hasil ubikayu lebih menguntungkan dibanding-kan dengan kegiatan pengolahan lainnya

88,24 11,76

2. Kegiatan pengolahan aneka produk olahan ubikayu sesuai dengan po-tensi yang ada di wilayah dan tidak merugikan

88,24 11,76

3. Kegiatan pengolahan aneka produk olahan ubikayu sulit dilaksanakan

29,41 70,59

4. Kegiatan pengolahan aneka produk olahan ubikayu mudah untuk di-coba oleh petani

100 -

5. Pengolahan aneka produk ola-han singkong mudah diamati dan memberikan keterampilan baru

100 -

Petani responden sebanyak 88,24% berpendapat bahwa kegiatan pengolahan ubikayu lebih menguntungkan dan kegiatan ini sesuai dengan potensi yang ada di

Page 38: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

32

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

wilayahnya dan tidak merugikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa sifat kompabilitas dari teknologi pengolahan ubikayu termasuk dalam kriteria tinggi. Berdasarkan sifat kompleksitas, teknologi pengolahan aneka produk olahan ubikayu termasuk kedalam kriteria sederhana. Hal tersebut ditunjukkan oleh pendapat petani responden, dimana 70,59% menyatakan pengolahan ubikayu tidak sulit dilaksanakan.

Selain itu, berdasarkan sifat triabilitas termasuk kedalam kriteria mudah digunakan karena 100% petani responden menyatakan teknologi pengolahan ubikayu mudah dicoba. 100% petani responden juga menyatakan bahwa hasil dari kegiatan pengolahan ubikayu mudah diamati dan memberikan keterampilan baru. Suatu inovasi dapat diamati dari beberapa hal: 1) produksi yang dihasilkan dengan menggunakan teknologi, 2) kualitas/mutu yang dihasilkan oleh teknologi, dan 3) pendapatan/pengurangan biaya yang digunakan melalui penerapan teknologi.

5. Peningkatan nilai tambah aneka produk olahan ubikayu

Pengolahan produk ubikayu dilaksanakan dalam upaya diversifikasi pangan dan memberikan nilai tambah produk terhadap nilai jual produk dalam bentuk segar. Diversifikasi pangan dengan olahan produk ubikayu diharapkan dapat menyediakan pilihan sumber pangan pokok alternatif pengganti beras, dalam hal ini beras singkong (rasi) sehingga mampu menurunkan konsumsi beras. Selain itu intoduksi teknologi pengolahan tepung kasava (mocaf) diharapkan mampu menurunkan penggunaan tepung terigu dimana sebagian besar pangan kuliner yang berbahan baku tepung terigu dapat disubstitusi dengan tepung kasava.

Pengolahan ubikayu di sisi lain diharapkan dapat memberikan tambahan pendapatan bagi pelaku usaha pengolahan di tingkat petani. Introduksi teknologi pengolahan secara tidak langsung ditujukan agar perolehan nilai tambah yang biasanya didapat oleh perusahaan atau pabrik besar dapat dialihkan ke pelaku usaha mikro dalam hal ini kelompoktani yang mengolah tepung kasava dan kelompok wanita tani yang mengolah aneka produk olahan ubikayu. Nilai tambah pengolahan ubikayu dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Nilai Tambah Pengolahan Ubikayu

No. JenisHarga Awal

(Rp/kg)

Output Produk per kg Bahan Baku Ubikayu

Harga Jual

Produk/ Satuan

(Rp)

Harga Akhir (Rp)

Nilai Tambah

(%)Jumlah Satuan

1. Tepung kasava

800 0,3 kg 8.000 2.400 300

2. Mie tepung kasava

8.000 1.5 kg 12.000 18.000 225

3. Rasi (beras singkong)

800 0.3 kg 6.000 1.800 225

4. Kerupuk kasava

8.000 0.5 kg 40.000 20.000 250

5. Brownies kasava

8.000 5 buah 25.000 125.000 1.562

6. Kastangel kasava

8.000 1 kg 100.000 100.000 1.250

Nilai tambah pengolahan ubikayu berkisar antara 300 hingga 1.500 persen atau 3-15 kali lipat dibandingkan nilai jual produk ubikayu segar. Hal ini menunjukkan pengolahan ubikayu memiliki potensi peningkatan pendapatan pelaku usaha di sentra produksi ubikayu. Bekal pengetahuan dan keterampilan pengolahan menjadi modal anggota poktan dan KWT dalam menjalankan usaha pengolahan ubikayu.

Hasil kegiatan pendampingan menunjukkan kelompoktani Ciparungpung telah mampu memproduksi tepung kasava hingga 100 kg. Produk tepung kasava disalurkan terutama untuk bahan baku bagi unit usaha pengolahan aneka olahan ubikayu yang dilakukan 4 KWT di Kecamatan Cimenyan. Produk olahan ubkayu yang telah diproduksi sendiri oleh anggota KWT diantaranya yaitu brownies dan kue kering kasava.

KESIMPULAN

1. Respon positif diberikan petani terhadap pengembangan aneka produk olahan karena dapat memberikan peluang kerja baru dan meningkatkan pendapatan.

2. Teknologi pengolahan aneka produk ubikayu mudah dilaksanakan.

3. Produk olahan ubikayu di Kecamatan Cimenyan Kabupaten Bandung berkembang dari hanya tape singkong, menjadi produk mocaf, mie, rasi, kerupuk, brownies dan kastangel cassava.

4. Pengembangan aneka produk olahan mampu meningkatkan nilai tambah ubikayu yang signifikan.

Page 39: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

33

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2014. Paket Teknologi Pembuatan Tepung Kasava Bimo. http://www.litbang.pertanian.go.id/teknologi/one/33/ diakses 29 Juli 2016

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Ubikayu menurut Propinsi https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/880 diakses 29 Juli 2016

Hilman, 2004). Kacang-kacangan dan Umbi-umbian: Kontribusi terhadap Ketahanan pangan dan Perkembangan Teknologinya. Dalam: Makrim, dkk (penyunting). Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Puslitbangtan Bogor; 95-132 hlm.

Nasir, 1995. Metode penelitian. Ghalia. Indonesia.

Nyoman, 2011. Kebijakan dan Program Pengembangan Agroindustri Ubikayu. Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Jakarta.

Tri Pranadji. 1984. Partisipasi Petani dalam Program Pengembangan Teknologi Tanaman Pangan. Forum Penelitian Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. Bogor. 3: 28 - 35.

Van den Ban, A.W dan Hawkins H.S. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius. Yogyakarta.

Widowati, S. 2003. Prospek tepung sukun untuk berbagai produk makanan olahan dalam upaya menunjang diversifikasi pangan. http://rudyct.topcities.com. [10 Desember 2013].

Page 40: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

34

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

PEMANFAATAN LIMBAH TERNAK DI SENTRA USAHATERNAK SAPI PERAH

(Studi Kasus di Kelompok S 28 Desa Pangalengan Kec. Pangalengan Kab. Bandung)Siti Lia Mulijanti, M. Dianawati dan Y. Rismayanti

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat,Jl. Kayuambon No. 80, Lembang-Bandung Barat 40391

ABSTRAKPemanfaatan limbah ternak sapi perah belum sepenuhnya dilaksanakan peternak. Hal ini karena keterbatasan pengetahuan, ketrampilan, minat dan waktu yang dimiliki peternak sapi perah. Pemanfaatan limbah ternak di sentra peternakan sapi perah menjadi pupuk organik, energi alternative biogas merupakan upaya yang harus dilaksanakan melalui pembinaan pelatihan dan display teknologi. Desa Pangalengan Kecamatan pangalengan Kabupaten Bandung merupakan salah satu sentra usaha ternak sapi perah, tapi pemanfaatan kotoran ternak selama ini belum optimal. Keterbatasan modal, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki peternak dalam mengolah limbah kotoran sapi menjadi biogas dan pupuk organik menjadi permasalahan utama. Makalah ini memaparkan upaya pemanfaatan limbah ternak menjadi energi alternative biogas yang dilaksanakan dengan metode pembinaan, pelatihan dan display teknologi pada kelompok ternak Sukamenak 28 Desa Pangalengan Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Tahapan kegiatan yang adalah: (1) Sosialisasi pemanfaatan limbah kotoran sapi perah; (2) pembinaan ; (3) pelatihan; (4) Demplot teknologi dan (5) inisiasi dukungan kelembagaan. Hasil pengkajian antara lain: (1) Limbah ternak sapi perah dapat dimanfaatkan sebagai kompos, biogas dan pupuk cair (POC), (2) Pembinaan peternak dalam memanfaatkan limbah ternak melalui pelatihan dan display teknologi telah meningkatkan pengetahuan dan minat peternak dalam mengolah limbah ternak. (3) Dinas instansi terkait mendukung pemanfaatan limbah ternak sebagai energi alternative dan pupuk organik dengan bantuan 21 instalasi biogas.

Kata Kunci : Limbah ternak, energi alternatif, pupuk organik

PENDAHULUANKecamatan Pangalengan merupakan salah

satu sentra sayuran lahan kering dataran tinggi dan sapi perah di Jawa Barat. Populasi ternak sapi perah berkembang sebesar 4,5% dari tahun 2011 sampai tahun 2015 (Dirjen PKH, 2015). BPS (2015) menyatakan populasi sapi perah di Pangalegan mencapai 15.245 ekor. Besarnya populasi sapi perah sebanding dengan limbah ternak yang dihasilkan karena memiliki dampak peningkatan limbah ternak yang dihasilkan. Limbah yang dikeluarkan oleh ternak yaitu feses, urine, sisa pakan, dan air sisa pembersihan ternak dan kandang (Maspary. 2010). Limbah ternak sapi perah yang tidak dikelola dengan baik akan mempengaruhi kualitas susu, produktivitas ternak dan pencemaran lingkungan. Kebersihan kandang, ternak dan peralatan serta petugas harus dijaga karena akan mempengaruhi kondisi dan kesehatan serta produktivitas ternak (Kasworo et al, 2013). Peternakan intensif dapat mencemari lingkungan melalui pembuangan kotoran ternak ke tanah, air permukaan serta emisi gas metana ke atmosfer (Flotats et al, 2009).

Limbah ternak umumnya dimanfaatkan sebagai pupuk kompos (Syamsudin et al, 2012). Kompos memerlukan proses pengolahan sebelum dimanfaatkan sehingga sebagain besar limbah yang tidak tertampung terbuang. Manfaat lain limbah ternak adalah sebagai sumber energi bio gas yang belum banyak

dimanfaatkan peternak (Dianawati et al 2014 ; Farahdiba et al, 2014). Hal ini disebabkan biaya pemasangan instalasi biogas yang cukup mahal, sehingga peternak tidak mampu untuk membangun instalasi biogas di rumahnya. Hal ini dapat dilihat dari hanya terdapat 7 instalasi biogas di kelompok S 28 yang diperoleh dari bantuan Pemerintah Daerah. Pemasangan instalasi biogas dapat mengurangi beban peternak dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar gas rumah tangga. Makin tingginya harga bahan bakar, terutama gas dan bahan bakar minyak untuk kebutuhan rumah tangga makin meresahkan masyarakat. Selain mahal, bahan bakar tersebut juga makin langka dipasaran. Persediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia diprediksi akan habis dalam jangka waktu 15 tahun, sedangkan gas alam akan habis dalam 60 tahun. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan baru, diperkirakan cadangan BBM akan habis dalam dua dekade mendatang (Farahdiba, et al, 2014). Usaha untuk mengatasi hal-hal demikian mendorong pemikiran akan perlunya pencarian sumber-sumber energi alternatif agar kebutuhan bahan bakar dipenuhi tanpa merusak lingkungan.

Teknologi biogas diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, meningkatkan sumberdaya manusia, melestarikan alam dan dapat meningkatan profit untuk daerah sentra sapi perah. Manfaat energi biogas adalah sebagai pengganti bahan bakar khususnya minyak tanah dan dipergunakan

Page 41: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

35

untuk memasak. Dalam skala besar, biogas dapat digunakan sebagai pembangkit energi listrik dan bahan bakar untuk kendaraan di tingkat industri (Minde et al, 2013). Di samping itu, dari proses produksi biogas akan dihasilkan sisa kotoran ternak yang dapat langsung dipergunakan sebagai pupuk organik pada tanaman/budidaya pertanian. Limbah biogas, yaitu kotoran ternak yang telah hilang gasnya (slurry) merupakan pupuk organik yang sangat kaya akan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman. Kecamatan Pangalengan merupakan sentra sayuran yang memerlukan pupuk organik yang cukup banyak. Berdasarkan kondisi tersebut maka dilakukan pengkajian pembinaan peternak dalam memanfaatkan limbah ternak sebagai energi alternatif biogas dan pupuk organik.

METODOLOGI

Pengkajian dilakukan di Desa Pangalengan Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung pada bulan Juli sampai Oktober 2015, lokasi pengkajian ditentukan secara purposive di kelompokternak S 28 yang merupakan lokasi kegiatan Model Pengembangan Pertanian Pedesaan Melalui Inovasi (M-P3MI) oleh BPTP Jawa Barat.

Pengkajian dilaksanakan dengan metode metode pembinaan kelompok, pelatihan dan display teknologi pada kelompok ternak Sukamenak 28 Desa Pangalengan Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung. Tahapan kegiatan yang adalah: (1) Sosialisasi pemanfaatan limbah kotoran sapi perah; (2) pembinaan kelompok ; (3) pelatihan; (4) Display teknologi dan (5) inisiasi dukungan kelembagaan.

Data yang dikumpulkan terdiri data primer hasil diskusi dalam kegiatan sosialisasi, pembinaan dan pelatihan dan data sekunder hasil inisiasi kelembagaan pendukung dengan Dinas instansi terkait di Kabupaten Bandung. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif (Siegel, 1988).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembinaan Kelompoktani Berdasarkan kondisi usahatani dan

usahaternak di Desa Sukamenak maka dilakukan pembinaan kelompok untuk meningkatkan pengetahuan, minat dan keterampilan petani dan peternak dalam memanfaatkan limbah

ternak sebagai sumber pupuk organik dan sumber energi alterntif biogas. Pembinaan dilakukan melalui Pertemuan kelompok dengan metode teori dan praktek, dilanjutkan dengan diskusi. Hasil diskusi dapat diketahui peternak belum memanfaatkan limbah ternak sebagai pupuk organik karena petani tidak mau membeli limbah ternak sebagai pupuk, sementara petani tidak memanfaatkan limbah sapi karena belum di olah sehingga sulit untuk langsung diaplikasikan. Penggunaan limbah ayam sebagai pupuk organik lebih mudah, praktis dan tersedia setiap saat meskipun harus membeli dan didatangkan dari luar Kecamatan.

Pembinaan petani juga dilakukan untuk mengolah limbah ternak menjadi bio gas dan menampung hasil limbah bio gas yang dimanfaatkan sebagai pupuk organik dari 7 instalasi yang ada. Pemanfaatan limbah biogas sebagai pupuk organik, dan limbah ternak sebagai sebagai energi bio gas belum optimum karena keterbatasan instalasi biogas. Pemasangan instalasi biogas cukup mahal bagi peternak, instalasi yang ada diperoleh dari bantuan Pemerintah daerah. Pemanfaatan limbah biogas sebagai pupuk organik belum dilaksanakan karena kurangnya pengetahuan peternak dan jumlah limbah biogas yang relative sedikit dihasilkan dari 7 instalasi yang ada. Limbah biogas merupakan limbah yang dapat diaplikasikan langsung pada tanaman, tanpa proses pengomposan. Berdasarkan kondisi tersebut di atas maka hal yang perlu dilakukan adalah melakukan display rancangan bangunan penampungan limbah biogas sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.

Display Teknologi Pengomposan

Kotoran hewan (kohe) belum dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tanaman karena belum terdekomposisi dengan rasio C/N lebih dari 40. Selain kohe terdapat sampah organik lain seperti limbah sayuran. Kohe dan limbah sayuran dapat lebih bermanfaat setelah melalui proses pengolahan dengan proses pengomposan menjadi kompos. Keengganan peternak untuk memproses kotoran ternak menjadi kompos disebabkan oleh lama waktu yang dibutuhkan selama proses pengomposan lebih kurang 2-3 bulan. Namun dengan adanya berbagai teknologi, kotoran ternak dapat didekomposisi menjadi kompos dalam waktu yang lebih singkat.

Page 42: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

36

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Kotoran sapi merupakan salah satu bahan potensial untuk membuat pupuk organik (Budiyanto, 2011). Menurut Nastiti (2008) Pupuk organik dapat memperbaiki kualitas dan kesuburan tanah serta diperlukan tanaman. Permintaan pupuk organik kan meningkat seiring dengan permintaan produk. Produk organik rasanya lebih enak, lebih sehat dan baik bagi lingkungan (Prawoto, 2007). Untuk mengubah limbah ternak menajdi kompos digunakan bio starter yaitu mikroorganisme lokal (MOL), MOL merupakan salah satu cara untuk memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk dimanfaatkan menjadi pupuk sehingga tidak merusak lingkungan. Untuk membuat MOL dibutuhkan 3 bahan utama, yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber bakteri. Karbohidrat dibutuhkan bakteri/ mikroorganisme sebagai sumber energi. Untuk menyediakan karbohidrat bagi mikroorganisme bisa diperoleh dari air cucian beras, nasi bekas/ nasi basi, singkong, kentang, gandum, dedak/ bekatul dll. Glukosa juga sebagai sumber energi bagi mikroorganisme yang bersifat spontan (lebih mudah dimakan mereka). Glukosa bisa didapat dari gula pasir, gula merah, molases, air gula, air kelapa, air nira dll. Sumber Bakteri (mikroorganisme lokal) yang mengandung banyak mikroorganisme yang bermanfaat bagi tanaman antara lain buah-buahan dan sayuran busuk yang banyak tersedia di Desa Pangalengan sebagai sentra sayuran. MOL tidak hanya mengandung 1 jenis mikroorganisme tetapi beberapa mikroorganisme diantaranya Rhizobium sp, Azospirillium sp, Azotobacter sp, Pseudomonas sp, Bacillus sp dan bakteri pelarut phospat.

Kohe dan limbah sayuran dapat digunakan baik sebagai MOL maupun kompos. BProses pembuatan MOL selama 1-3 minggu, Mol yang bagus ditandai dengan bahan tersebut akan mengeluarkan bau alkohol yang tajam.

Bahan pembuatan kompos antara lain adalah air bersih, kotoran sapi 3 ton, emrat, timbangan, sekop, terpal/plastic, dan biostrater. Bila menggunakan EM4 sebagai biostrater untuk 1 ton kohe diperlukan sekam 200 kg, dedak padi 50 kg, dan gula pasir 100 gr. Campurkan kotoran sapi, sekam, dan dedak padi sesuai takaran, kemudian diaduk hingga merata. Tuang campuran larutan EM-4 ke dalam campuran dan diaduk hingga merata sampai membentuk adonan dengan kadar air + 40%. Ditutup dengan karung goni atau tikar dengan kondisi aerob, fermentasi akan berlangsung

cepat sehingga suhu kompos meningkat 35-40oC. Bila suhu mencapai 50oC, maka kompos dibolak-balik agar udara masuk dan suhu turun. Lama fermentasi antara 4-5 hari dan kompos dianggap jadi apabila berbau khas fermentasi, kering, dingin dan ditumbuhi jamur berwarna putih. Apabila berbau busuk, maka pembuatan kompos dianggap gagal.

Gambar 1. Display teknologi pengomposan dengan 3 jenis decomposer (MOL sayuran, MOL Kohe, EM4)

Inisiasi Instalasi Bio Gas Pemanfaatan limbah ternak sebagai sumber

energi alternative dan pupuk organik di kawasan usahaternak sapi perah memerlukan dukungan pengadaan instalasi biogas. Biaya pemasangan instalasi biogas cukup mahal bagi peternak sehingga memerlukan bantuan dari Dinas instansi terkait di Kabupaten Bandung. Upaya mendapat bantuan pemasangan instalasi biogas dari Pemerintah Daerah dilakukan melalui pertemuan mengundang Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Dinas Energi Sumberdaya mineral Kabupaten Bandung. Pada pertemuan tersebut dilakukan pemaparan hasil demplot dan pengalaman peternak dan petani dalam memanfaatkan limbah ternak sebagai sumber energi alternative biogas dan kompos serta pemanfaatannya pada tanaman sayuran.

Hasil pertemuan diperoleh respon positif, Dinas pertanian mendukung penggunakan limbah ternak sapi sebagai kompos dan energi alternative bio gas, dan mengharapkan hal ini dapat diterapkan pada kawasan ternak lainnya. Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral mendukung pengembangan pemanfaatan limbah sapi sebagai energi alternative biogas dengan adanya kegiatan bantuan pemasangan 21 instalasi biogas di Kelompokternak S 28. Bantuan instalasi biogas juga diikuti dengan pendampingan pemakaian biogas dalam bentuk pelatihan, monitoring dan evaluasi dari PT Biru yang merupakan pelaksana pemasangan insatalasi bio gas. Instalasi biogas yang akan dipasang di kelompok S 28 diharapkan dapat menambah jumlah limbah biogas (slurry) yang dihasilkan sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. Slurry berbentuk cair sehingga untuk aplikasinya pada tanaman harus

Page 43: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

37

dikeringkan hal ini mudah dilaksanakan pada musim kemarau sedangkan pada musim hujan slurry diaplikasikan langsung dalam bentuk cair.

Display Instalasi Biogas dan Limbah BiogasLimbah ternak di sentra usahaternak sapi

perah sebagai bahan baku biogas tersedia secara melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal (Indraswati, 2005). Pemanfaatan limbah ternak menjadi bahan baku biogas di sentra peternakan sapi perah Desa Pangalengan dilaksanakan dengan membangun instalasi biogas. Display instalasi biogas merupakan hasil inisiasi klembagaan pendukung yang dilaksanakan BPTP dan Kelompokternak S 28 dengan Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bandung dan Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kabupaten Bandung. Kelompok memperoleh bantuan 21 unit instalasi bio gas yang ukuran 3m3 yang dibangun di 21 rumah tangga ternak anggota kelompok S 28.

Gambar 2. Display unit biogas

Pemanfaatan limbah biogas (slurry) sebagai pupuk organik siap pakai merupakan salah satu manfaat yang diperoleh dari penggunaan limbah ternak sebagai bio gas (Biru, 2010). Slurry dapat ditingkatkan nilai ekonomisnya dengan diolah menjadi pupuk organik cair. Menurut Suzuki et al (2001) dalam Oman (2003), sludge yang berasal dari biogas (slurry) sangat baik untuk dijadikan pupuk karena mengandung berbagai macam unsur yang dibutuhkan oleh tumbuhan seperti P, Mg, Ca, K, Cu dan Zn. Kandungan unsur hara dalam limbah (slurry) hasil pembuatan biogas terbilang lengkap tetapi jumlahnya sedikit sehingga perlu ditingkatkan kualitasnya dengan penambahan bahan lain yang mengandung unsur hara makro dan penambahan mikroorganisme yang menguntungkan seperti mikroba penambat nitrogen.

Gambar 3. Limbah biogas yang belum dimanfaatkan

Untuk mendukung pemanfaatan limbah biogas BPTP membuat display teknologi pembuatan instalasi limbah biogas sebagai contoh. Pembuatan instalasi ini diharapkan dapat memotivasi peternak yang memiliki instalasi bio gas untuk membangun instalasi serupa sehingga limbah bio gas dapat dengan mudah dimanfaatkan.

Gambar 4. Display penampungan limbah biogas pengolahan limbah biogas menjadi POC

Penampungan limbah biogas telah dilaksanakan oleh beberapa peternak dengan berbagai kreatifitasnya (Gambar 5). Ada yang dibuatkan lubang penampungan limbah biogas, atau ditempatkan dalam wadah ember. Beberapa menampung limbah cair biogas untuk dimanfaatkan menjadi POC. Pemisahan limbah padat dan cair dapat menggunakan saringan atau dipindahkan dengan alat gayung, tetapi tidak praktis. Pengeringan limbah biogas dengan cara dihamparkan dan mengering menggunakan sinar matahari. Namun dalam jumlah banyak atau pada musim hujan akan menjadi kendala.

Gambar 5. Kreatifitas instalasi pembuangan limbah biogas di tingkat peternak

Pelatihan Teknologi Biogas

Pelatihan pemanfaatan biogas dilakukan dalam rangka memberikan pengetahuan kepada penerima bantuan biogas tentang biogas, penggunaan dan pemeliharaan biogas. Pelatihan ini perlu dilaksanakan agar instalasi biogas yang telah diberikan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, karena banyak instalasi biogas yang telah dipasang tidak dimanfaatkan karena slaah satu bagian instalasi/alat yang rusak dan peternak belum mengetahui cara memperbaikinya. Pelatihan dilaksanakan kepada 7 penerima biogas lama dan 21 penerima biogas baru.

Nara sumber teknologi biogas dari PT Biru yang memberikan penjelasan bangunan instalasi biogas fungsi dan pemeliharaanya. Penjelasan ini diperlukan karena instalasi biogas memerlukan pemeliharaan tidak hanya dengan mengisi dan

Page 44: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

38

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

memutar limbah biogas dalam in let, tetapi perlu diperhatikan setiap bagian instalasi agar dapat berfungsi dengan optimal dan tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemeliharaan ini diperlukan untuk menjaga kekuatan seluruh komponen instalasi agar dapat berfungsi lebih lama. Instalasi biogas apabila dipelihara dengan baik akan dapat bertahan hingga 25 tahun. Selain penjelasan dari PT Biru, juga disampaikan sharing pengalaman dari penerima bantuan biogas lama.

KESIMPULAN1. Limbah ternak sapi perah dapat dimanfaatkan

sebagai kompos, biogas dan pupuk cair (POC).

2. Pembinaan peternak dalam memanfaatkan limbah ternak melalui pelatihan dan display teknologi telah meningkatkan pengetahuan dan minat peternak dalam mengolah limbah ternak.

3. Dinas instansi terkait mendukung pemanfaatan limbah ternak sebagai energi alternative dan pupuk organik dengan pemasangan 21 instalasi biogas.

DAFTAR PUSTAKA

Biru. 2010. Pedoman Pengawas : Pengelolaan dan Pemanfaatan Ampas Biogas. Kejasama Indonesia-Belanda. Hivos-SNV

Budiyanto, Krisno. 2011. Tipologi pendayagunaan kotoran sapi dalam upaya mendukung pertanian organikdi Desa Sumbersari kecamatan Poncokusumo Kabupate Malang. Jurnal GAMMA 7 (1)

BPS. 2015. Stattistik Indonesia. Stasisticak yearbook of Indonesia 2015. Badan Pusat Statistika Statistics Indonesia

Dianawati M. S.L. Mulijanti, S.Teddy, A. Yulyatin, Nurnayetti, D Histifarina, dan Riswita. 2014. Laporan Akhir m-P3MI pada Agroekosisten lahan kering dataran tinggi di Kabupaten Bandung. BPTP Jabar. Bandung

Dirjen PKH (Direktorat Jendral Peternakan dan KEsehatan Hewan). 2015. Populasi Sapi Perah menurut provinsi. http://www.pertanian.goo.id/ap-pages/mod/datanak [ 15 Juli 2016]

Farahdiba, A.A., A. Ramdhaniati, E.S. Soedjono. 2014. Teknologi dan manajemen

program biogas sebagai salah satu energi alternatif yang berkelanjutan di Kabupaten Malang. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan. 3 (2) : 145-159

Flotats, X., A. Bonmati, B. Fernandez, and A. Magri. 2009. Manure treatment technologies: on farm versus centralized strategies, NE Spain as case study. Bioresour. Technol.

Indraswati, S. 2005. Pembangkitan Biogas dari kotoran sapi. Hidrolisis ternal pada tahap pengolahan pendahuluan. Jurnal Tehnik Kimia. Institute Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Kasworo, A., M.Izzati, dan Kismartini. 2013. Daur ulang kotoran ternak sebagai upaya mendukung petenakan sapi potong yang berkelnjutan di Desa Jagonayan Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 306-311

Minde, G.P., S.S. Magdum, and V. kalyanraman. 2013. Biogas as a suistainable alternative for current energy need of India. J. Sust. Energy Environ. 4: 121-132

Maspary. 2010. Cara Mudah Fermentasi Urine Sapi Untuk Pupuk Organik Cair. http://www.gerbangpertanian.com/20 10/04/cara- mudah- fermentasiurine-sapi- untuk.html. Diakses 23 Agustus 2011 Naswir. 2003. Pemanfaatan Urine Sapi yang Dipermentasi sebagai Nutrisi

Nastiti. Sri. 2008. Penampilan budidaya ternak ruminansia di pedesaan melalui teknologi ramah lingkungan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 2008

Prawoto, Agung. 2007. Produk pangan organik: “Potensi yang belum tergarap optimal” http//mbrio-food.com/ [22 Agustus 2013]

Siegel, S. 1988. Statistik Non Parametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia.

Syamsuddin, A.R. Mappangaja, dan A. Natsir. 2012. Analisis manfaat program biogas asal ternak bersama masyarakat (BATAMAS) Kota PAlopo (Studi Kasus Kelompok Tani Kampulung Kecamatan Wara Selatan Kota Palopo)

Page 45: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

39

ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN TERHADAP PRODUK OLAHAN TERUBUKAnna Sinaga, Dian Histifarina dan Liferdi1)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa BaratJl. Kayu Ambon No. 80 Lembang

Email : [email protected]

ABSTRAK

Dalam upaya penganekaragaman pangan berbasis sumber daya lokal, maka pengembangan produk olahan terubuk merupakan salah satu alternatif dan mempunyai nilai guna terutama jika diolah menjadi beragam produk. Terubuk (bunga tebu) merupakan salah satu sumber pangan yang mengadung nilai kalori cukup tinggi. Terubuk banyak mengandung mineral, terutama kalsium dan fosfor, disamping vitamin C. Terubuk selain dikonsumsi dalam bentuk sayuran, juga berpotensi untuk diolah menjadi aneka bentuk produk olahan pangan seperti kerupuk, nugget, tepung, sup krim dan lain-lain. Di sisi lain, preferensi konsumen yang selalu cenderung berubah perlu difahami oleh produsen. Pemahaman ini penting terutama untuk yang berhubungan dengan pengembangan produk pangan baru terkait dengan kualitas produk yang dihasilkan seperti tara, tekstur, aroma dan sebagainya. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap produk olahan terubuk dan karakteristik attribute mutu produk olahan terubuk yang diinginkan konsumen. Metode penelitian menggunakan pendekatan deskriptif analitis. Data diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden yang dipilih dengan penarikan metode contoh purposif. Responden terdiri dari 57 orang yang tergabung dalam kelompok tani yang mengembangkan terubuk, karyawan Dinas Pertanian kabupaten Karawang dan petugas lapang (ppl). Produk olahan terubuk yang diuji adalah nugget, kripik dan terubuk kering. Data dianalisis dengan metode tabel frekuensi, grafik dan chi-square. Tingkat preferensi konsumen yang suka terhadap attribut mutu produk olahan terubuk memberikan perbedaan nyata dari segi attribute mutu warna, rasa, penampilan, tekstur dan aroma dengan persentase pada kisaran 58-89%. Produk olahan terubuk, yang berpeluang untuk dikembangkan adalah nugget.

Kata Kunci : terubuk (Saccharum edule Hassk), preferensi konsumen, produk olahan

PENDAHULUANTerubuk (Saccharum edule Hassk.) termasuk

dalam famili Graminae dan merupakan sayuran indigeous. Sampai saat ini terubuk masih dibudidayakan secara perbanyakan vegetatif menggunakan stek batang dengan areal yang tidak luas, karena bunga terubuk tidak normal dan tidak dapat berkembang sempurna sampai membentuk biji. Bentuk tanaman ini sama dengan tanaman tebu yaitu beruas-ruas dan berwarna hijau kemerah-merahan. Sayuran ini memiliki potensi ekonomi yang sangat besar. Terubuk biasa dimakan dalam bentuk mentah sebagai lalaban, dikukus atau ditumis. Selain itu, terubuk juga biasa dimasak menjadi sayur lodeh, sebagai campuran kare, dan juga sayur asem. Namun ada juga yang mengkonsumsi dengan cara digoreng dengan menggunakan tepung atau dibuat perkedel (Daulay et al., 1984 dalam Ramadhani, dkk. 2014).

Tanaman terubuk memiliki kandungan protein berkisar antara 4,6 - 6%. Selain itu terubuk banyak mengandung mineral terutama kalsium dan fosfor, dan vitamin C. Dalam 100g bunga terubuk segar mengandung air 89 g, protein 3.8-4.1 g, karbohidrat 6.9-7.6 g, serat 0.7 g, Ca 10 mg, Fe 0.4-2 mg, fosfor 80 mg, vitamin C 21 mg dengan total energi sebesar 143-160 kJ/100 g. (Tabel 1).

Tabel. 1 Kandungan gizi terubukNo. Komponen zat gizi Kandungan per 100g1. Kalori 25 cal2. Protein 4,6 g3. Lemak 0,4 g4. Karbohidrat 3,0 g5. Kalsium 40 mg6. Fosfor 60 mg7. Besi 2,0 mg8. Aktivitas vitamin A 0 IU.9. Tiamin (vitamin B1) 0,08 mg10. Asam askorbat (Vitamin C) 50 mg11. Air 88,4%*

Keterangan : LIPI (1979); *Rahman (2009)

Bunga Terubuk juga mengandung senyawa flavonoid, seperti yang dilaporkan oleh Rahman (2009), bahwa terubuk mengandung senyawa flavonoid dari golongan flavonol yang berupa quercetin. Senyawa quercetin bersifat antioksidan dan termasuk dalam senyawa non-gizi.

Berdasarkan kandungan gizi yang dimiliki oleh terubuk, maka tanaman terubuk mempunyai potensi yang sangat tinggi dan dapat dikembangkan menjadi aneka produk olahan makanan seperi keripik terubuk, sup krim terubuk, nugget, dan terubuk kering. Agar produk olahan berbasis terubuk ini diminati oleh konsumen yang menghendaki produk olahan yang berkualitas, maka perlu dilakukan uji preferensi konsumen. Setiap konsumen memiliki kriteria karakteristik suatu produk

Page 46: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

40

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

sesuai dengan preferensi mereka masing-masing.

Preferensi konsumen adalah karakteristik atau sikap konsumen terhadap suatu barang untuk menyatakan sikap suka atau tidak suka yang akan menghasilkan selera yang berbeda-beda (Kotler, 2005). Preferensi konsumen merupakan sesuatu yang diamati, suatu pilihan utama, dan merupakan kebutuhan prioritas bagi konsumen. Atribut yang ditampilkan pada suatu produk atau jasa dapat menimbulkan daya tarik pertama yang dapat mempengaruhi konsumen. Menurut Azam, dkk (2006), bahwa penilaian konsumen terhadap produk dan jasa menggambarkan sikap konsumen terhadap produk dan jasa tersebut, sekaligus dapat mencerminkan perilaku konsumen dalam menggunakan atau mengkonsumsi suatu produk atau jasa. Sementara itu Kotler (2005) mendefinisikan atribut sebagai ciri mutu dan model produk, penampilan, pilihan gaya, merk, pengemasan dan jenis produk. Pengetahuan mengenai atribut tersebut akan mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen. Pengetahuan yang lebih banyak mengenai atribut suatu produk akan memudahkan konsumen untuk memilih produk yang dibelinya (Sumarwan, 2003).

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen terhadap produk olahan terubuk.

BAHAN DAN METODEPenelitian dilaksanakan di Kecamatan

Tegalwaru Kabupaten Karawang bulan Agustus hinggga November 2015. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Tegalwaru merupakan salah satu kecamatan yang mempunyai program pengembangan tanaman terubuk dan akan dijadikan sebagai lokasi wisata Terubuk. Metode penelitian menggunakan metode deskriptif analitis

Bahan utama yang digunakan adalah berupa kuisioner yang digunakan untuk mensurvei tingkat preferensi konsumen terhadap produk olahan terubuk. Kuesioner disusun untuk memperoleh data preferensi konsumen terhadap produk olahan terubuk. Produk olahan terubuk yang diuji adalah nugget, keripik dan terubuk kering.

Uji preferensi konsumen dilakukan untuk mengetahui tingkat preferensi konsumen aneka

olahan produk dari terubuk. Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling yaitu pengambilan sampel secara acak sederhana untuk menentukan responden/konsumen sebagai sampel. Selanjutnya tehnik analisis menggunakan pendekatan statistik deskriptif untuk membantu menggambarkan karakteristik responden, preferensi dan persepsi khalayak pengguna terhadap produk pangan olahan berbasis terubuk.

Penentuan responden untuk preferensi konsumen dilakukan secara purpusive yaitu 50% dari jumlah penduduk di lokasi pertanaman terubuk yang meliputi pemuka adat, petani, kepala desa maupun masyarakat yang memilik pengetahuan mengenai pertanaman terubuk baik dari aspek budidaya, panen, cara pengolahan dan pemanfaatannya hingga pemasarannya. Jumlah respon pengkajian ini sebanyak 57 orang.

Tehnik pengumpulan data menggunakan tehnik wawancara dengan kuisioner. Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh langsung dari responden yaitu meliputi beberap atribut yang terkait dengan penilaian mutu terhadap aneka olahan dari terubuk (atribut rasa, aroma, tekstur, penampilan keseluruhan). Metode analisis data menggunakan analisis chi-square yaitu dengan rumus:

χ22

1

=−

=∑ ( )o e

ei i

ii

k

Keterangan :k : banyaknya kategori/sel, 1,2 ... koi : banyaknya responden yang memilih kategori

dalam atribut produk olahan terubukei : banyaknya responden yang memilih kategori

dalam atribut produk olahan terubuki.....k: kategori atribut dalam atribut produk olahan

terubuk

Dimana : Ri x ciei = ∑ Ri

Keterangan :

Ri = jumlah baris ke-1Ci = Jumlah kolom ke-1∑ Ri = ∑ pengamatan

Hipotesis yang digunakan :Ho : tidak terdapat perbedaan preferensi kon-

sumen terhadap atribut - atribut yang ada pada produk olahan terubuk.

Page 47: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

41

Ha : terdapat perbedaan preferensi konsumen terhadap atribut -atribut yang ada pada produk olahan terubuk.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengujian preferensi konsumen dilakukan untuk melihat preferensi kesukaan konsumen terhadap produk aneka olahan dari terubuk. Pada tahap ini pengujian dilakukan dengan menggunakan beberapa atribut mutu seperti warna, rasa, aroma, penampilan keseluruhan. Menurut Azam, N., dkk. (2006), Uji preferensi diartikan sebagai pilihan suka atau tidak suka oleh seseorang terhadap suatu produk atau jasa yang dikonsumsi. Preferensi terhadap produk makanan dipengaruhi oleh karakteristik individu (umur, jenis kelamin, pendidikan, pendapatan dan pengetahuan gizi), karakteristik makanan (rasa, rupa, bentuk dan tekstur) serta karakteristik lingkungan (pekerjaan, jumlah keluarga, mobilitas dan musim). Dalam teori preferensi konsumen, diasumsikan setiap konsumen mampu membuat daftar urutan dari semua komoditas yang dihadapinya. Nilai preferensi dapat dinyatakan dengan nilai utilitas suatu taraf atribut pada analisis konjoin (Pamungkas 2012).

Karakteristik RespondenBerdasarkan analisis deskriptif responden

laki-laki berjumlah 29 orang (50,88%) dan responden perempuan berjumlah 28 orang (49,12 %), dengan mayoritas pendidikan sebesar 47.37% tamat Perguruan Tinggi; 26,32% tamat SMA; 14,036% tamat SMP dan 12,28% tamat SD (Tabel 2). Tingkat pendidikan ini akan mempengaruhi keputusan responden untuk membeli aneka olahan pangan dari terubuk. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, maka akan semakin mudah menerima dan menyerap informasi terhadap produk yang dikonsumsinya. Menurut Kotler (2005), faktor psikologis (pendidikan/belajar) mempengaruhi pilihan membeli seseorang.

Usia dari responden cukup beragam, dengan persentase terbesar rata-rata usia responden adalah 36-55 tahun (52,63%). Hal ini berarti responden yang digunakan pada taraf usia produktif. Dari segi pekerjaan utama sebanyak 54,38% responden bekerja sebagai PNS dan sisanya bekerja sebagai non PNS.

Tabel 2. Karakteristik Responden di Kabupaten Karawang

Uraian Jenis Jumlah (Orang)

Persentase (%)

Umur 26 -35 tahun36 – 55 tahun>55 -70 tahun

21

30

6

36,84

52,63

10,53Jumlah Responden berdasarkan Jenis Kelamin

Laki – Laki 29 50,88Perempuan 28 49,12

Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tamat SD 7 12,28Tamat SLTP 8 14,04Tamat SLTA 15 26,32Perguruan Tinggi

(S1)27 47,37

Pekerjaan utama

PNS 31 54,38No PNS 26 45,61

Pendapatan < 5 juta5 juta - 10 juta> 10 juta

3918

-

68,4231,58

-

Sumber Infor-masi Terubuk

Dari PetaniDari PPLDari Majalah

4953

85,978,775,26

Bentuk kon-sumsi terubuk

Diolah aneka sayuran

DipanggangSbg tambahan

bahan pangan lain

57--

100--

Jumlah kon-sumsi terubuk dalam 1 bulan

< 1 gedeng1-3 gedeng> 3 gedeng

46101

80,7017,541,75

Harga terubuk per gedeng

Rp 50.000,-Rp 50.000-Rp 60.000,-Rp > Rp 65.000,-

221817

38,6031,5829,82

Sumber : Hasil wawancara langsung dengan responden di Kab. Karawang

Berdasarkan data pada Tabel 2., terlihat bahwa responden memiliki penghasilan rata-rata < Rp 5.000.000,-, (68,42%). Semua responden menyatakan sudah pernah mengkonsumsi terubuk dengan diolah menjadi aneka macam sayuran seperti gulai, lodeh, kari, dll, dengan rata-rata konsumsi sayur terubuk dalam 1 bulan sebesar 1 gedeng setara 10 kg terubuk (80,70%). Menurut Simamora (2005), pendapatan sangat mempengaruhi seseorang dalam memilih produk yang akan dikonsumsi. Pendapatan yang diukur dari seorang konsumen biasanya bukan hanya pendapatan yang diterima oleh seorang individu, tetapi diukur semua pendapatan yang diterima oleh semua anggota keluarga dimana konsumen itu berada. Selanjutnya menurut responden harga terubuk bervariasi, ada yang menyebutkan per gedeng sebesar Rp 50.000,- (38,60%); sebanyak 18

Page 48: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

42

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

responden (31,58%) mengatakan harga terubuk per gedeng Rp 50.000- Rp 60.000,- dan sisanya menyatakan harga terubuk > dari Rp 65.000,-.

Tingkat preferensi konsumen terhadap produk olahan terubuk

Hasil observasi terhadap atribut mutu produk olahan terubuk yang diuji umumnya pada kategori suka. Banyaknya responden yang memilih kategori setiap atribut (fo) dan banyaknya responden yang diharapkan dalam kategori atribut terubuk (fe) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisa Preferensi Konsumen Terhadap Atribut Mutu Produk Olahan Terubuk

Attribut Mutu Kategori atribut MutuNugget Keripik Terubuk Kering

Observed(fo)

Expected(fe)

Observed(fo)

Expected(fe)

Observed(fo)

Expected(fe)

Warna Sangat tidak suka 0 0 0 0 0 0Tidak suka 0 0 0 0 4 14,3Netral 5 19,0 17 19,0 16 14,3Suka 48 19,0 37 19,0 34 14,3Sangat tidak suka 4 19,0 3 19,0 3 14,3

Rasa Sangat tidak suka 0 0 0 0 0 0Tidak suka 2 14,3 3 14,3 5 14,3Netral 4 14,3 16 14,3 14 14,3Suka 42 14,3 33 14,3 36 14,3Sangat tidak suka 9 14,3 5 14,3 2 14,3

Penampilan Sangat tidak suka 0 0 0 0 0 0Tidak suka 1 14,3 3 14,3 5 14,3Netral 3 14,3 15 14,3 13 14,3Suka 49 14,3 34 14,3 37 14,3Sangat tidak suka 4 14,3 5 14,3 2 14,3

Tekstur Sangat tidak suka 0 0 0 0 0 0Tidak suka 2 14,3 5 14,3 7 14,3Netral 1 14,3 12 14,3 11 14,3Suka 49 14,3 36 14,3 37 14,3Sangat tidak suka 5 14,3 4 14,3 2 14,3

Aroma Sangat tidak suka 0 0 0 0 0 0Tidak suka 1 14,3 8 14,3 3 14,3Netral 2 14,3 12 14,3 16 14,3Suka 51 14,3 34 14,3 36 14,3Sangat tidak suka 3 14,3 3 14,3 2 14,3

Keterangan : data primer hasil olahan (2015)

Data persentase hasil observasi jumlah responden yang memilih kategori warna terhadap aneka olahan terubuk disajikan pada Gambar 1. Tampak bahwa preferensi responden yang suka terhadap attribut mutu warna produk nugget, keripik dan terubuk kering yang besar mencapai 60-84%. Demikian halnya dengan hasil preferensi konsumen yang suka terhadap attribut mutu lainnya mencapai persentase penilaian yang tinggi berturut-turut penampilan 60-84 %; rasa 58-74%; aroma 60-86% dan tekstur 63-86% (Gambar 2, 3,4 dan 5).

Gambar 1. Diagram batang persentase preferensi responden terhadap warna aneka olahan terubuk

Gambar 2. Diagram batang persentase preferensi responden terhadap penampilan aneka olahan terubuk

Gambar 3. Diagram batang persentase preferensi responden terhadap rasa aneka olahan terubuk

Page 49: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

43

Gambar 4. Diagram batang persentase preferensi responden terhadap tekstur aneka olahan terubuk

Gambar 5. Diagran batang persentase preferensi responden terhadap aroma aneka olahan terubuk

Dari kelima diagram di atas dapat dilihat preferensi konsumen yang suka terhadap produk olahan nugget pada semua atribut mutu (warna, penampilan,rasa, tekstur dan aroma) memperoleh nilai yang lebih tinggi (74 – 89 %) dibanding produk olahan lainnya. Sedangkan produk olahan kripik cendrung memperoleh nilai lebih rendah hanya 58 – 65 %. Kemungkinan konsumen membandingkan kripik terubuk dengan poduk kripik dari bahan dasar lain yang sudah berkembang. Dengan demikian produk olahan terubuk, yang berpeluang untuk dikembangkan adalah nugget dan terubuk kering.

Berdasarkan data frekuensi responden pada Tabel 3, selanjutnya dilakukan analisis Chi-Square dengan hipotesis sebagai berikut :Ho : tidak terdapat perbedaan preferensi

konsumen terhadap atribut-atribut mutu yang ada pada aneka olahan pangan dari terubuk

Ha : terdapat perbedaan preferensi konsumen terhadap atribut -atribut mutu yang ada pada aneka olahan pangan dari terubuk

Hasil analisis Chi-Square pada taraf 0.05 preferensi konsumen terhadap atribut mutu disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan data pada Tabel 4, tampak bahwa semua atribut mutu yang diamati berbeda nyata pada taraf 95% (asymp. Sig,0.05) yang berarti Ho ditolak.

Hal ini berarti ada perbedaan yang nyata pada preferensi konsumen terhadap nugget, kripik dan olahan trubuk kering dalam hal warna, rasa, penampilan dan tekstur ketiga olahan tersebut. Konsumen menyukai ketiga produk olahan yang diuji. Hasil penelitian Rosipah, dkk. (2013), menyatakan bahwa urutan preferensi konsumen terhadap konsumen pancake dari tepung sukun lebih memilih aroma diikuti dengan tekstur, warna dan rasa.Tabel 4 . Hasil Analisis Chi Square terhadap

Atribut Mutu Produk Olahan Terubuk

Atribut Mutu X2 hitung df Asymp. Sig. Keterangan

NuggetWarna 66.421a 2 ,000 berbeda nyataRasa 66.421a 3 ,000 berbeda nyataPenampilan 113.316b 3A ,000 berbeda nyataTekstur 113.596b 3 ,000 berbeda nyataaroma 126.509b 3 ,000 berbeda nyataKeripikWarna 30.737a 2 ,000 berbeda nyataRasa 39.772b 3 ,000 berbeda nyataPenampilan 42.298b 3 ,000 berbeda nyataTekstur 46.930b 3 ,000 berbeda nyataaroma 39.351b 3 ,000 berbeda nyataTerubuk KeringWarna 43.842b 3 ,000 berbeda nyataRasa 49.737b 3 ,000 berbeda nyataPenampilan 52.965b 3 ,000 berbeda nyataTekstur 51.281b 3 ,000 berbeda nyataaroma 52.825b 3 ,000 berbeda nyata

Keterangan : data primer hasil olahan (2015)

Penilaian Preferensi Konsumen Terhadap Atribut lainnya

Penilaian preferensi konsumen terhadap atribut aspek ekonomi meliputi harga produk, frekuensi pembelian produk, dan prospek pengembangan produk disajikan pada Tabel 3. Tampak bahwa konsumen lebih memilih menetapkan harga produk nugget kapasitas 250 gram sebesar Rp 10.000,- sebanyak 29 responden (50,88%); harga Rp 10.000s/d Rp 20.000,- sebanyak 24 responden (40,11%). Hal ini berarti bahwa responden berani membayar anatara Rp 10.000,- hingga Rp 20.000,- untuk nugget terubuk seberat 250 gram. Sedangkan untuk harga keripik, responden hanya berani membayar produk keripik terubuk sebesar Rp 90.000,- per kemasan 250 gram.

Page 50: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

44

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Tabel 5. Hasil Penilaian Responden Terhadap Atribut Aspek Ekonomi

Uraian Jenis Jumlah (Orang)

Persen-tase (%)

Harga produk nugget

Rp 10.000,-Rp 10.000,- s/d

Rp 20.000,-> Rp 20.000,-

29

24

4

50,88

40,11

7,02

Harga produk keripik

Rp 90.000,-Rp 90.000 s/d

Rp 120.000> Rp 120.000,-

44

10

3

77,19

17,54

5,26

Harga produk terubuk kering

Rp 80.000,-Rp 80.000,- s/d

Rp 90.000> Rp 90.000,-

43

11

3

75,44

19,30

5,26

Prospek pasar aneka olahan terubuk

Nugget 45 78,95KeripikTerubuk keringProduk lainnya

642

10,537,023,51

Frekunsi pembelian nugget

1-2 bulan2-3 minggu1 kali per

minggu

365

16

63,168,77

28,07

Frekunsi pembelian keripik

1-2 bulan2-3 minggu1 kali per

minggu

241617

42,1128,0729,82

Frekunsi pembelian sayuran kering

1-2 bulan2-3 minggu1 kali per

minggu

276

24

47,3710,5342,11

Persentase jenis produk yang paling disukai

NuggetKeripikProduk sayuran

kering

257

25

43,8612,2843,85

Alasan pemili-han produk terubuk

EnakMudah diper-

olehGizi baikMurah

349

14-

59,6515,79

24,56

Sumber : Hasil wawancara langsung dengan responden di Kab. Karawang

KESIMPULAN DAN SARAN

Tingkat preferensi konsumen yang suka terhadap attribut mutu produk olahan terubuk memberikan perbedaan nyata dari segi attribute mutu warna, rasa, penampilan, tekstur dan aroma dengan persentase pada kisaran 58-89%.

Responden menyukai produk olahan terubuk dari segi attribute aroma, tekstur, penampilan , warna dan rasa.

Preferensi konsumen untuk atribut harga sebanyak 58% responden memilih harga Rp 10.000,-/250 gram untuk nugget; Rp 90.000,-/250 gram untuk harga produk keripik (44%) dan Rp 80.000,- untuk harga terubuk kering (75,44%). Prospek pasar terbaik menurut preferensi konsumen adalah produk nugget (78,95%), dengan jumlah responden yang cukup menyukai sebesar 43,86%.

DAFTAR PUSTAKA

Azam, N.A. 2006. Persepsi, Preferensi dan Perilaku Masyarakat dan Lembaga Penyedia Jasa terhadap Pembayaran Non Tunai. Bank Indonesia dan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor. Jakarta.

Kotler Philip. 2005. Marketing Management. Eleven Edition. Prentice Hall Inc., Upper Saddle River, New Jersey.

Pamungkas, 2012. Marketing Research. An Applied Orientation. USA:Printice-Hall, Inc.New Jersey.

Rosipah, S. Burhan, dan U. Purwandari, 2013. Preferensi Konsumen Terhadap Pancake dari Tepung Sukun. AGROINTEK Volume 7, No.1:53-58.

Simamora, 2005. Analisis Multivariat Pemasaran: Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumarwan, U. 2003. Perilaku Konsumen, Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Ghalia Indonesia. Jakarta

.

Page 51: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

45

MODEL DINAMIS RENCANA AKSI PENGEMEMBANGAN KLASTER SAPI POTONG DI JAWA BARAT

Nana Sutrisna*) dan Hany Yhani**)*) Peneliti BPTP Jawa Barat

**) Peneliti BP3IPTEK Jawa Barat

ABSTRAKKompleksnya permasalahan peternakan sapi potong di Jawa Barat diperlukan suatu upaya yang komprehensip, menyeluruh, dan antar komponen saling berinteraksi serta melengkapi secara terpadu. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang kompleks agar tujuan dan target tercapai, termasuk target 1 juta populasi sapi potong di Jawa Barat pada tahun 2019 adalah pendekatan system. Sistem peternakan sapi potong di Jawa Barat sangat berhubungan erat dengan perilaku (behavior) dinamik sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku peternak yang dibangkitkan oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu. Asumsi utama dalam fenomena dinamika sistem adalah bahwa perilaku peternak dinamik yang persistent (terjadi terus menerus) pada setiap sistem yang kompleks, sehingga pendekatan sistem yang tepat adalah “system dynamics”. Tujuan penelitian adalah (1) merancang model dinamis pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat dan (2) menyusun alternatif kebijakan pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat. Model pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat yang dikembangkan dengan pendekatan sistem mampu mempresentasikan dengan dunia nyata dan memiliki akurasi tinggi dengan rata-rata absolute kesalahan kurang dari 6,1%. Proyeksi satu juta populasi sapi potong yang ditargetkan pada tahun 2019 dapat di capai sebelumnya dengan scenario kebijakan (1) menambah jumlah inseminator, (2) meningkatkan realisasi IB, (3) menambah populasi jantan dua kali lipat, dan (4) bibit betina empat kali lipat.Kebijakan tersebut memberikan konsekuensi mengeluarkan biaya investasi sekitar 100 trilyun rupiah dalam jangka waktu 15 tahun.

Kata Kunci : Model dinamis, rencana aksi pengembangan, klaster sapi potong

PENDAHULUANSeiring dengan semakin meningkatnya laju

pertumbuhan penduduk dan pola konsumsi makanan, kebutuhan daging sapi di Jawa Barat setiap tahun terus meningkat, yaitu sekitar 15,25% per tahun (BPS, 2009), Setiap hari kebutuhan daging sapi di Jawa Barat mencapai 700 ton, sedangkan yang dapat dipenuhi hanya sekitar 500 ton per hari. Dengan demikian, ada peluang yang sangat besar untuk pengembangan sapi potong.

Disisi lain, Propinsi Jawa Barat memiliki lahan kering sekitar 1,7 juta ha dan belum dimanfaatkan secara optimal untuk usaha pertanian. Dengan demikian, lahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber penyediaan hijauan pakan ternak sapi potong, sehingga sangat berpotensi untuk pengembangan ternak sapi potong.

Pemerintah daerah Provinsi Jawa berkomitmen swasembada sapi potong sejak Program Pengembangan Sapi Potong di Wilayah Agribisnis Andalan CIPAMATUH. Pada tahun 2001 telah diberikan bantuan bibit sapi potong kepada Kelompok Peternak di 8 titik. Penyebaran bibit sebanyak 250 ekor bibit ke 8 titik. Pada tahuun 2007 juga telah disusun Rencana Induk Pembangunan Peternakan Jawa Barat oleh Lembaga Penelitian UNPAD dengan pendekatan Pembangunan Wilayah. Pada tahun 2011 oleh Dinas Peternakan Provins Jawa Barat telah disusun dokumen rencana

Jawa Barat 1 Juta Sapi. Namun demukian, program dan kegiatan tersebut belum berhasil.

Pada tahun 2014 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Jawa Barat telah menyusun kembali Rencana Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat. Untuk mendukung perencanaan tersebut disusun sebuah model dinamis rencana aksi pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat.

Kompleksnya permasalahan peternakan sapi potong di Jawa Barat diperlukan suatu upaya yang komprehensif, menyeluruh, dan antar komponen saling berinteraksi serta melengkapi secara terpadu. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang kompleks agar tujuan dan target tercapai, termasuk target 1 juta populasi sapi potong di Jawa Barat pada tahun 2019 adalah pendekatan sistem.

Harisari (2007) menyatakan bahwa pengambilan keputusan yang efektif dari permasalahan kompleks di dunia nyata harus diupayakan dengan mengkaji permasalahan tersebut secara holistik dengan menggunakan pendekatan sistem. Dalam pendekatan sistem, dapat menggunakan model sebagai alat untuk memahami proses dan memprediksi perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu. Dalam ilmu sistem pemahaman seperti itu dikenal dengan mensimulasi perilaku sistem.

Page 52: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

46

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Sistem peternakan sapi potong di Jawa Barat sangat berhubungan erat dengan perilaku (behavior) dinamik sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku peternak yang dibangkitkan oleh sistem itu dengan bertambahnya waktu. Asumsi utama dalam fenomena dinamika sistem adalah bahwa perilaku peternak dinamik yang persistent (terjadi terus menerus) pada setiap sistem yang kompleks, sehingga pendekatan sistem yang tepat adalah Model Dinamik.

Menurut Sterman and John (2000), model dinamik atau dinamika sistem (system dynamics) merupakan metode yang dapat menggambarkan poses, perilaku, dan kompleksitas dalam sistem, serta memiliki proses umpan balik atau feedback structure yang saling berkaitan dan menuju ke arah keseimbangan. Dinamika sistem (system dynamics) pada umumnya tidak ditujukan untuk peramalan nilai spesifik variabel dalam tahun tertentu, tetapi lebih tepat digunakan untuk melihat perilaku dinamik secara umum apakah kondisi sistem stabil atau tidak, fluktuasi, tumbuh, menurun atau dalam kesetimbangan. Pemahaman hubungan struktur dan perilaku sangat diperlukan dalam mengenali suatu fenomena termasuk fenomena pada pengembangan klaster sapi potong di Provinsi Jawa Barat.

Tujuan penelitian adalah: 1) Merancang model dinamis pengembangan

klaster sapi potong di Jawa Barat. 2) Menyusun alternatif kebijakan

pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat agar target 1 juta populasi sapi pada tahun 2019 bisa dicapai.

BAHAN DAN METODE

Pengembangan klaster sapi potong di Provinsi Jawa Barat yang menggunakan model dinamis, dibangun berdasarkan atas metodologi “system dynamics” yang pada awalnya dikembangkan oleh Jay W. Forrester.

Model yang dibangun dengan pendekatan sistem dinamis memungkinkan semua variabel sosial ekonomi dapat dimasukan ke dalam sistem. Model dinamis merupakan suatu abstraksi dan simplifikasi dari suatu sistem yang kompleks, namun diupayakan mampu mepresentasikan sistem tersebut dengan baik. Selanjutnya, berpijak pada model dinamis yang diperoleh dilakukan simulasi skenario

kebijakan berdasarkan asumsi-asumsi yang dikembangkan secara logis (Steman. 2000).

Dalam konteks sistem dinamis pengembangan klaster sapi potong di Provinsi Jawa Barat, dilakukan dalam enam tahapan.1. Memahami terlebih dahulu kompleksitas

struktur hubungan sebab akibat di dalam sistem klaster sapi potong, yang terdiri atas (a) sub sistem pembibitan (pertumbuhan populasi sapi potong) dan (b) sub sistem pemotongan hewan. Masing-masing sub sistem dibangun oleh faktor-faktor yang khas dan berinteraksi secara dinamis menurut waktu dan kondisi. Kemampuan pemahaman atas sistem atas sistem yang ditelaah akan menentukan model dinamis yang dihasilkan.

2. Mengkonstruksikan struktur hubungan sebab akibat di dalam sistem pengembangan kluster sapi potong ke dalam bentuk diagram causal loop.

3. Menentukan asumsi dasar model dinamis. Model dinamis pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat, yang merupakan output dari kajian ini, dibangun berlandaskan atas beberapa asumsi dasar. Asumsi ditentukan berdasarkan kajian teoritik dengan berlandaskan pada data sekunder yang sebagian besar bersumber dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Asumsi yang ditetapkan akan menentukan hasil proyeksi yang dihasilkan model, dengan kata lain asumsi yang berbeda akan memberikan hasil proyeksi pengembangan klaster sapi potong yang berbeda.

4. Memformulasikan model dinamis pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat berlandaskan atas diagram causal loop dan asumsi dasar model dinamis.

5. Validasi model dinamis.6. Simulasi terhadap beberapa skenario

kebijakan program pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat.Pembuatan model sistem dinamis umumnya

dilakukan dengan menggunakan software yang dirancang khusus. Sofware tersebut seperti Powersim, Vensim, Stella, atau Dynamo, dapat digunakan untuk memformulasikan model dinamis. Pada kajian ini menggunakan program

Page 53: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

47

Powersim. Melalui software tersebut model dinamis pengembangan klaster sapi potong dibuat secara grafis dengan simbol-simbol atas variabel dan hubungannya yang meliputi dua hal yaitu struktur dan perilaku. Struktur merupakan suatu unsur pembentuk fenomena. Pola yang mempengaruhi keterkaitan antar unsur tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Jenis Variabel dalam Sistem Dinamis

Stock (Level) dan Flow (Rate), dalam merepresentasikan aktivitas dalam suatu lingkar umpan-balik, digunakan dua jenis variabel yang disebut sebagai stock (level) dan flow (rate). Level menyatakan kondisi sistem pada setiap saat.Level merupakan akumulasi di dalam sistem. Persamaan suatu variabel rate merupakan suatu struktur kebijaksanaan yang menjelaskan mengapa dan bagaimana suatu keputusan dibuat berdasarkan kepada informasi yang tersedia di dalam sistem.

Rate inilah satu-satunya variabel dalam model yang dapa mempengaruhi level. Auxiliary adalah beberapa hal yang dapat melengkapi variable stock dan aliran, dalam memodelkan sistem dinamik. Source/sink adalah rangkaian komponen-komponen diluar batasan model yang dibuat dan terminasi sistem disebut juga dengan sink.

Validasi adalah sebuah proses menentukan apakah model konseptual merfleksikan sistem nyata dengan tepat atau tidak (Forester. 1968). Validasi adalah penentuan apakah model konseptual simulasi adalah representasi akurat dari sistem nyata yang dimodelkan (Forester. 1968).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Pengembangan Klaster Sapi Potong untuk Mencapai Taraget 1 Juta Ton Populasi Sapi Potong di Jawa Bara

Untk mencapai target 1juta populasi sapi potoUntk mencapai target 1juta populasi sapi potomg di Jawa Barat pada tahun 2019, berbagai kebijakan dan program telah dicanangkan oleh Pemerintah Daerah. Kebijakan dan

program tersebut secara umum bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi yang setiap tahun terus meningkat. Potensi sumberdaya peternakan yang ada di Provinsi Jawa Barat dan bepeluang untuk dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi adalah meningkatkan pertumbuhan populasi sapi melalui pengembangan klaster pembibitan dan penggemukan.

Pertumbuhan populasi sapi dimasa yang akan datang ditentukan oleh ketersediaan sapi pada saat ini, kelahiran anak sapi, mortalitas, dan banyaknya jumlah sapi yang dipotong pada tahun berikutnya. Secara ringkas dapat dijelaskan dengan formula persamaan sebagai berikut:Populasi AT(i+1) = (Populasi Eki + Pertambahan(i+1)) -

∑sapi dipotong(i+1) ± mutasi

= (Populasi Eki + (Kelahiran(i+1) – mortalitas(i+1))) - ∑sapi dipotong(i+1)

± mutasi

Keterangan: AT = Akhir tahun; Ek = Eksisting, dan i = tahun ke i (1,2,3, ….)

Banyaknya jumlah kelahiran anak sangat ditentukan oleh banyaknya induk betina dewasa, kualitas induk, dan kualitas pakannya. Peternakan sapi di Jawa Barat umumnya merupakan peternakan rakyat, sebagian kecil berupa perusahaan swasta, dan peternakan pemerintah. Pada peternakan rakyat, kualitas induk kurang mendapat perhatian akibat daya beli dan ketersediaan bibit/induk betina berkualitas yang ketersediaannya terbatas. Sistem perkawinan sapi peternak rakyat juga sebagian besar masih kawin alami, sehingga interval perkawinan kadang-kadang tidak bisa diatur secara pasti setiap tahun, sehingga pertambahan populasi tidak bisa dipastikan. Inseminasi Buatan (IB) sudah ada di beberapa daerah namun masih terbatas, terutama pada daerah-daerah yang ada petugas peternakannya.

Pada perkawinan sistem IB, semen yang digunakan biasanya berasal dari jantan unggul seperti Brahman, Limosin, Simental, dan PO atau peranakannya. Dengan semen jantan unggul, anak sapi yang dihasilkan berukuran lebih besar. Jika induk sapi betinanya lokal, maka tingkat kematian anak sapi pada saat dilahirkan semakin meningkat. Dengan demikian perlu perbaikan kualitas induk sapi jantan untuk menurunkan tingkat mortalitas.

Page 54: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

48

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Peternakan sapi rakyat juga sering menujual sapi betina yang masih produktif untuk dipotong, karena berbagai kebutuhan keluarga peternakannya (biaya anak sekolah, kesehatan, kegiatan usahatani tanaman, dll). Dengan demikian diperlukan kebijakan yang mengatur penjualan induk sapi produktif. Pemerintah bisa meberikan insentif atau bentuk lainnya sehingga peternak tidak menjualnya.

Pertambahan populasi sapi potong juga ditentukan oleh calf crop. Calf crop adalah presentase sapi betina dewasa yang melahirkan pada tahun berjalan dari total populasi sapi betina pada tahun berjalan. Hal ini ditentukan juga oleh percepatan interpal waktu kawin induk sapi betina. Sudah banyak tersedia teknologi yang dapat mempercepat induk sapi betina birahi.

Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa pengembangan klaster pembibitan sapi potong sangat diperlukan. Pembibitan sapi tidak hanya untuk memenuhi jumlah populasi yang sudah ditargetkan sebanyak 1 juta ekor pada tahun 2019, melainkan juga sebagai upaya memenuhi kebutuhan konsumsi daging di Provinsi Jawa Barat yang setiap tahun terus meningkat.

Jumlah pemotongan sapi sangat ditentukan oleh kebutuhan konsumsi daging. Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat, konsumsi daging juga semakin meningkat. Selama ini, untuk memenuhi kekurangan ketersediaan daging Pemerintah Provinsi Jawa Barat selalu mengimpor dari luar negeri atau mendatangkan sapi dari provinsi lain. Upaya pemerintah dengan mengimpor tidak mendidik masyarakat peternak dan bisa mengakibatkan ketergantungan terhadap pihak lain. Jika negara pengekspor daging mengalami bencana dan wabah penyakit, akan menimbukan dampak yang sangat merugikan bagi pemerintah.

Kelangkaan jumlah

sapi jantan yang siap dipotong akan berpengaruh terhadap peternak lain. Hal ini karena harga jual sapi akan meningkat dan peternak banyak yang tertarik untuk menjual sapinya dengan tidak memperhatikan apakah sapi betina produktif, sapi perah produktif, bahkan anak sapi muda pun bisa dijual. Untuk mengatasi hal ini, pengembangan klaster penggemukan menjadi penting. Keselarasan antara pembibitan dan penggemukan akan menjadi satu kesatuan yang dapat mewujudkan tercapainya swasembada daging sapi.

Diagram Causal Loop Model Pengambangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat.

Berdasarkan uraian sebelumnya pencapaian target 1 juta populasi pada tahun 2019 ditentukan oleh pertambahan popolasi dan pemotongan sapi. Secara rinci hubungan kausal model pengembangan sapi potong disajikan pada Gambar 2.

Diagram di atas menunjukkan bahwa pembibitan sapi merupakan faktor utama keberhasilan peningkatan populasi ternak di Jawa Barat. Penggemukan sapi juga penting, namun selama ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging pemerintah selalu mengimpor, baik dalam bentuk sapi maupun daging.

Populasi sapi juga ditentukan oleh mutasi sapi dari atau ke luar. Jika mutasi keluar berarti

Gambar 2. Diagram Causal Loop Perkembangan Populasi Sapi Potong di Jawa Barat

Page 55: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

49

populasi berkurang, jika mutasi dari luar berarti populasi sapi bertambah. Namun demikian, apakah mutasi ini berjalan sepanjang tahun dan tertentu jumlahnya, sehingga dapat dijadikan sebagai variabel di dalam model yang dibangun.

Asumsi Dasar Model Dinamis Pengembangan Klaster Sapi Potong

Model dinamis sistem pengembangan kluster sapi potong dibangun berdasarkan atas beberapa asumsi dasar sebagai berikut:1. Data dasar yang digunakan untuk awal

simulasi adalah data rata-rata 5-10 tahun (tahun 2006/2010 s.d 2014).

2. Kebutuhan konsumsi daging tidak seluruhnya dipenuhi oleh peternakan di Jawa Barat (bisa impor), namun dengan model ini bisa mengetahui berapa besarnya pertumbuhan produksi daging sapi dan kontribusi/sumbangan produksi daging yang dihasilkan.

3. Penggolongan sapi dibagi menjadi dua bangsa, yaitu lokal dan bukan lokal (Simental, Limosin, Brahman, PO, dan keturunan), karena diduga ada pengaruhnya terhadap CF dan mortalitas.

4. Pengelompokan umur sapi di bagi menjadi 4 kelompok, yaitu: anak sapi umur 0-6 bulan, sapi muda 6 bulan-2 tahun, sapi dewasa umur 2-8 tahu, dan sapi apkir umur > 8 tahun.

5. Untuk pembibitan, sapi betina produktif hanya 3 tahun, yaitu pada umur 2-5 tahun, setelah 5 tahun mulai menurun dan setelah 8 tahun tidak produktif (apkir).

6. Untuk sapi jantan, peningkatan produksi daging maksimal pada umur 3-4 tahun, setelah 4 tahun penambahan bobot daging menurun

7. Sapi lokal dan non lokal siap kawin setelah berumur 2 tahun.

8. Calf crop sebesar 1,7 (setiap 1 tahun 7 bulan atau 19 bulan melahirkan 1 ekor sapi)

9. Sex Ratio lahir jantan dan betina adalah 61,63 jantan dan 38,37 betina

10 Mortalitas 1% (anak)11. Tingkat kematian sapi muda/kecelakaan

sebesar 1% < dan sapi dewasa 1% <12. Pemotongan sapi jantan biasanya dilakukan

pada umur 2-3 tahun hampir 100% (99,99%), hanya sedikit sapi jantan dipotongl > 3 tahun bahkan apkir sebagai pejantan (sekitar 0,01%).

13. Pemotongan sapi betina produktif sebesar < 1%% (2-5 tahun) dan sapi tidak produktif dan apkir > 99%

14. Komposisi peternak rakyat 99,88%, swasta, 0,036%, dan pengusaha lain 0,081%Berdasarkan diagram causal loop dan

asumsi dasar di atas, selanjutnya disusun “Model dinamis pengembangan klaster sapi potong”.

Hal-hal penting sebagai bahan kebijakan atau skenario-skenario yang akan dimasukkan ke dalam model dan akan berpengaruh terhadap populasi sapi:1. Faktor-faktor yang mempengaruh

perambahan sapi adalah:a. Pengadaan bibit sapi lokal betina

dewasa (produktif) 2 tahunb. Pengadaan bibit sapi non lokal betina

dewasa 2 tahunc. Meningkatkan sistem perkawinan

dengan IB d. Perbaikan kualitas pakan untuk

mempercepat birahi dari yang biasanya 3 tahun 2 kali lahir, menjadi 1 tahun 1 kali lahir.

e. Memperbanyak pola pemeliharaan ternak sistem kawasan, contoh peternak pembibitan di Kabupaten Subang dengan sistem kawasan (200 ekor) lebih berhasil dibandingkan dengan sistem individu.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sapi yang dipotong:a. Mengurangi mutasi sapi betina

produktif ke luarb. Memperluas / menambah jumlah

peternak penggemukan.3. Menghitung biaya investasi dari point 1 dan 2.

Struktur Model Dinamis Pengembangan Klaster Sapi Potong

Berdasarkan diagram causal loop dan asumsi dasar di atas, selanjutnya disusun struktur model dinamis pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat berdasarkan tiga wilayah pengembangan, yaitu wilayah timur, tengah dan barat.

Struktur model dinamis pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat merupakan

Page 56: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

50

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

terjemahan dari causal loop/diagram hubungan permasalahan dan kebutuhan dari sebuah model pengembangan yang dibangun untuk mencapai tujuan, yaitu 1 juta populasi sapi potong. Struktur model pengembangan klaster sapi potong yang dibangun di setiap wilayah sama, yaitu terdiri atas sub sistem pembibitan dan produksi daging sapi. Unsur yang membedakan di dalam sistem tersebut adalah skala usaha, porsi usaha pemeliharaan (pembibitan dan penggemukan), dan daya dukung pakan hijauan. Secara rinci struktur model dinamis pengembangan klaster sapi potong di wilayah Jawa Barat bagian Timur, tengah dan Barat disajikan pada Gambar 3, Gambar 4, dan Gambar 5. Struktur Produksi dan Konsumsi Daging di Jawa Barat dan Struktur Agregasi dari Setiap Wilayah, Produksi, dan

Gambar 3. Struktur Model Dinamis Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat Bagian Timur

Konsumsi Daging disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7.

A. Wilayah Jawa Barat Bagian Timur

Skala usaha pemeliharaan sapi potong di wilayah timur relatif lebih kecil dibandingkan dengan di wilayah tengah dan barat. Porsi usaha pemeliharaan sapi potong di wilayah timur lebih banyak ke pembibitan; wilayah tengah hampir sama antara pembibitan dan penggemukan, sedangkan di wilayah barat lebih dominan penggemukan karena lebih dekat dengan pasar.

Daya dukung pakan di setiap wilayah pengembangan juga beragam. Di wilayah timur ketersediaan lahan untuk penyediaan

hijauan pakan relatif lebih luas dibandingkan dengan di wilayah tengah dan barat. Di wilayah timur dan tengah masih banyak tersedia lahan-lahan yang tidak produktif (lahan tidur) yang dapat digunakan untuk penyediaan hajauan pakan ternak sapi. Di wilayah barat sumber pakan banyak yang memanfaatkan limbah pertanian, seperti jerami dan berangkasann jagung.

Pada struktur model juga

digambarkan bahwa populasi sapi sangat ditentukan oleh banyaknya sapi betina dewasa yang bunting. Kebuntingan dapat terjadi melalui proses inseminasi buatan (IB) dan kawin alam.

Page 57: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

51

B. Wilayah Jawa Barat Bagian Tengah

Gambar 4. Struktur Model Dinamis Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat Bagian Tengah

Page 58: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

52

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

C. Wilayah Jawa Barat Bagian Barat

Gambar 5. Struktur Model Dinamis Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat Bagian Barat

Page 59: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

53

Pada struktur produksi dan konsumsi daging menunjukkan bahwa jumlah pemotongan sapi sangat ditentukan oleh kebutuhan konsumsi daging. Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat, konsumsi daging juga semakin meningkat. Selama ini, untuk memenuhi kekurangan ketersediaan daging Pemerintah Provinsi Jawa Barat selalu mengimpor dari luar negeri atau mendatangkan sapi dari provinsi lain. Upaya pemerintah dengan mengimpor tidak mendidik masyarakat peternak dan bisa mengakibatkan ketergantungan terhadap pihak lain. Jika negara pengekspor daging mengalami bencana dan wabah penyakit, akan menimbukan dampak

3.3.5. Struktur Agregasi dari Setiap Wilayah, Produksi, dan Konsumsi Daging

Gambar 7. Struktur Agregasi dari Setiap Wilayah, Produksi, dan Konsumsi Daging

D. Struktur Produksi dan Konsumsi Daging di Jawa Barat

Gambar 6. Struktur Model Dinamis Produksi dan Konsumsi Daging di Jawa Barat

yang sangat merugikan bagi pemerintah. Kelangkaan jumlah sapi jantan yang

siap dipotong akan berpengaruh terhadap peternak lain. Hal ini karena harga jual sapi akan meningkat dan peternak banyak yang tertarik untuk menjual sapinya dengan tidak memperhatikan apakah sapi betina produktif, sapi perah produktif, bahkan anak sapi muda pun bisa dijual. Untuk mengatasi hal ini, keselarasan antara pembibitan dan penggemukan akan menjadi satu kesatuan yang dapat mewujudkan tercapainya populasi 1 juta ekor sapi di Jawa Barat, bahkan bisa mewujudkan program pemerintah mencapai swasembada daging sapi.

Page 60: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

54

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

kali) menjadi 1,6 sesuai dengan target yang telah ditetapkan oleh Ditjen Peternakan. Agar skenario 1 berhasil alternatif kebijakan yang dapat dilakukan adalah menambah jumlah inseminator IB dan petugas lapang yang dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang pentingnya IB dan penanganan gangguan reproduksi.

Pada skenrio 1 Pemda harus mengeluarkan kebijakan dengan menambah jumlah inseminator dua kali lipat dari nilai rata-rata 2010-2013. Hasil simulasi skenario 1 menunjukkan bahwa penambahan jumlah inseminator pada tahun 2015 memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan populasi sapi potong di tahun 2020. Populasi sapi meningkat sekitar 150.000 ekor dari populasi sebelumnya sekitar 500.000 ekor. Dengan adanya peningkatan populasi, luas lahan yang dibutuhkan untuk penyediaan hijauan pakan juga meningkat di masing-masing wilayah timur, tengah, dan barat.

Faktor manusia merupakan faktor yang sangat penting pada keberhasilan program IB, karena memiliki peran sentral dalam kegiatan pelayanan IB. Faktor manusia, sarana dan kondisi lapangan merupakan faktor yang sangat dominan. Berkaitan dengan manusia sebagai pengelola ternak, motivasi seseorang untuk mengikuti program atau aktivitas-aktivitas baru banyak dipengaruhi oleh aspek sosial dan ekonomi. Faktor sosial ekonomi antara lain usia, pendidikan, pengalaman, pekerjaan pokok dan jumlah kepemilikan sapi kesemuanya akan berpengaruh terhadap manajemen pemeliharaannya yang pada akhirnya mempengaruhi pendapatan. Ketepatan deteksi birahi dan pelaporan yang tepat waktu dari peternak kepada inseminator serta kerja inseminator dari sikap, sarana dan kondisi lapangan yang mendukung akan sangat menentukan keberhasilan IB.

Program IB pada prinsipnya merupakan salah satu program pembangunan peternakan yang memiliki banyak keunggulan, baik dalam meningkatkan laju pertambahan populasi ternak maupun dalam meningkatkan pendapatan para peternak. Faktor fasilitas atau sarana merupakan faktor yang memperlancar jalan untuk mencapai tujuan. Inseminator dan peternak merupakan ujung tombak pelaksanaan IB sekaligus sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap berhasil atau tidaknya program IB di lapangan.

Alternatif Kebijakan Pengembangan Klaster Sapi Potong Di Jawa Barat

Altenatif kebijakan pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat disusun dengan membuat beberapa skenario yang kemudian disimulasikan pada model dinamis yang telah disusun.

Skenario Dasar Skenario dasar dapat dijadikan acuan

untuk melihat komponen mana yang masih memberikan peluang dan akan berpengaruh terhadap peningkatan populasi sapi potong di Jawa Barat. Skenario dasar disusun berdasarkan data eksisting anatara lain: jumlah realisasi pelaksanaan IB; pemasukan bibit jantan dan pemasukan bibit betina per tahun sejak tahun 2015, dihitung berdasarkan data rata-rata 2010-2013. Berdasarkan hasil simulasi menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat tidak akan bisa mencapai target 1 juta populasi sapi potong, jika tidak ada kebijakan, strategi, dan dengan langkah operasional yang nyata. Populasi sapi potong yang bisa dicapai hanya sekitar 500.000 ekor. Secara rinci skenario dasar pengembangan klaster sapi potong di Jawa Barat disajikan Gambar 8.

Hasil identifikasi dan penelusuran referensi ditetapkan 4 komponen/faktor yang dijadikan sebagai materi simulasi dalam menyusun skenario kebijakan, yaitu: (1) Meningkatan pelaksanaan IB, (2) Pengadaan sapi jantan unggul sebagai pamacek, (3) Pengadaan sapi betina unggul, (4) Menambah petugas IB (Inseminator).

Skenario 1

Pelaksanaan IB pada Skenario 1 merupakan salah satu skenario yang dirancang untuk meningkatkan mutu genetik sapi potong di Jawa Barat karena semen yang digunakan untuk IB berasal dari sapi jantan terpilih, memiliki sifat genetik yang lebih baik, dan angka Service Per Conception rata-rata lebih kecil dibandingkan dengan kawin alam. Pedet betina dijadikan sebagai bahan induk dan pedet jantan dijadikan sebagai bakalan untuk pengemukan (Gambar 9).

Peningkatan pelaksanaan IB sangat penting dan harus mampu meningkatan Service per Conception (S/C) dari 2,7 (satu ekor sapi bisa berhasil bunting dengan dilakukan IB 2-3

Page 61: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

55

Gambar 8. Skenario Dasar Kebijakan Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat.

Gambar 9. Skenario 1 Kebijakan Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat.

Page 62: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

56

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Skenario 2Selain peningkatan pelaksanaan IB dengan

menambah jumlah inseminator, pada skenario 2 Pemda mengeluarkan kebijakan menambah/pengadaan sapi jantan dewasa sebagai pejantan sebanyak 2 kali lipat. Sistem perkawinan alami diperlukan untuk membantu keterbatasan IB. Sesungguhnya keberhasilan perkawinan secara alami lebih tinggi dibandingkan dengan IB. Namun demikian, peternak di Jawa Barat jarang memiliki jantan yang di fungsinkan sebagai pejantan. Peternak merasa sia-sia dan rugi karena biaya untuk merawat pejantan cukup tinggi dan di Jawa Barat belum dikomesilkan. Berbeda dengan di Kabupaten Banjar Negara Provinsi jawa Tengah, ada petani yang khusus memelihara pejantan dan dikomersilkan (dibayar), sehingga bisa berkembang (Gambar 10 dan 11).

Gambar 5.10. Sapi Pejantan yang Komersil

Gambar 5.11. Perkawinan Sapi Alami

Hasil simulasi skenario 2 (Gambar 12) menunjukkan bahwa alternatif kebijakan

Pemda menambah jumlah sapi jantan sebagai pejantan unggul, belum mampu meningkatkan polulasi sapi potong mencapai target 1 juta ekor. Kebijakan tersebut juga mengakibatkan tambahan biaya investasi sekitar 40% persen atau sekitar Rp. 52.365.043.825,86 dan menambah luas lahan untuk penyediaan pakan hijauan.Skenario 3

Pada skenario 3, alternatif kebijakan Pemda menambah jumlah pejantan dan bibit betina dewasa 2 kali lipat tanpa menambah jumlah inseminator. Setelah disimulasikan pada model, penambahan jumlah bibit tersebut belum mampu meningkatkan populasi sapi mencapai target 1 juta ekor pada tahun 2018. Padahal Pemda harus mengeluarkan investasi sekitar 80 trilyun (Gambar 13).

Skenario 4

Pada skenario 4, alternatif kebijakan Pemda selain menambah jumlah inseminator dan meningkatkan realisasi IB adalah menambah populasi jantan dua kali lipat dan bibit betina empat kali lipat. Kebijakan tersebut mampu meningkatkan populasi sapi mencapai target lebih dari 1 juta ekor pada tahun 2020. Konsekuensinya Pemda harus mengeluarkan biaya investasi sekitar 100 trilyun rupiah dalam jangka waktu 15 tahun. Luas lahan untuk penyediaan pakan hijauan juga harus diperluas di masing-masing wilayah (Gambar 14).

Strategi dan implementasi pola pengembangan sapi potong secara metodologi harus memperhatikan karakteristik sistem produksi (Devendra, 2007; Sodiq et al., 2007; King, 1997; ILRI, 1995) dan memper-timbangkan faktor geografi, agroekosistem, intensitas penggunaan lahan, jenis ternak dan tanaman, serta tujuan produksi (Wilson, 1995; Sere and Steinfeld, 1996). Peningkatkan peran dan keberlanjutan peternakan di negara berkembang direkomendasikan oleh Mack (1990), Devendra (1993, 2004), Haan et al. (2001), Kariyasa (2005), Liyama et al. (2007) dan Sodiq et al. (2009) melalui peng-optimuman pengelolaan sumber-sumber alam secara ramah lingkungan. Faktor kunci pengembangan peternakan sapi potong adalah perbaikan sistim produksi yang telah ada (Sodiq dan Setianto, 2005a, 2007) berbasis kelembagaan kelompok yang memberdayakan ekonomi peternak (Sodiq dan Setianto, 2005b).

Page 63: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

57

Skenario 5Pada skenario 5, alternatif kebijakan

yang dapat dilakukan oleh Pemda hampir sama dengan skenario 4, biaya investasi yang harus dikeluarkan juga sama (Gambar 15). Namun demikian, pengadaan/penambahan sapi lebih banyak untuk pejantan. Akibatnya luas lahan untuk penyediaan pakan hijauan di masing-masing wilayah juga lebih lebih luas dibandingan dengan pada skenario 4. Porsi pemeliharaan sapi idealnya adalah sekitar 43% untuk pembibitan dan 57% untuk penggemukan.

KESIMPULANModel pengembangan klaster sapi potong

di Jawa Barat yang dikembangkan dengan pendekatan sistem mampu mempresentasikan dengan dunia nyata dan memiliki akurasi

tinggi dengan rata-rata absolute kesalahan kurang dari 6,1%. Proyeksi satu juta populasi sapi potong yang ditargetkan pada tahun 2019 dapat di capai sebelumnya dengan scenario kebijakan (1) menambah jumlah inseminator, (2) meningkatkan realisasi IB, (3) menambah populasi jantan dua kali lipat, dan (4) bibit betina empat kali lipat.Kebijakan tersebut memberikan konsekuensi mengeluarkan biaya investasi sekitar 100 trilyun rupiah dalam jangka waktu 15 tahun.

DAFTAR PUSTAKABPS, 2009. Survey Sosial Ekonomi Nasional

(SESUNAS) Tahun 2009. Jakarta.Devendra, C., 2004. Organic farming-closing

remarks. Livestock Production Science. 90: 67–68. Forester, Jay W.

Gambar 12. Skenario 2 Kebijakan Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat.

Page 64: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

58

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

1968. Principles of System 2nd. Ed. Waltham:Pegasus Communications.

Forrester, J..W., 1968. Principles of Systems. Pegasus Communication, Inc. New York.

Haan, C., Veen, T.S., Brandenburg, B., Gauthier, J., Gall, F.L., Mearns, R., Simeon, M., 2001. Livestock Development: Implicatons for Rural Poverty, the Environment and Global Food Security. The International Bank for Reconstruction and Development, Washington. pp:72.

Hartisari. 2007. Sistem Dinamik “Konsep Sistem dan Pemodelan untuk Industri

dan Lingkungan. SEAMEO BIOTROP. Bogor.

Kariyasa, K. 2005. Sistem integrasi tanaman ternak dalam perspektif reorientasi kebijakan subsidi pupuk dan peningkatan pendapatan petani. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian.

King, J. M., 1997. Livestock Production System in the Tropics and Subtropics. Integrated Agriculture System. Universität George-August, Germany. 105 pp.

Liyama, M., Maitima, J. and Kariuki, P., 2007. Crop-livestock diversification patterns in relation to income and manure use: A case study from a Rift

Gambar 13. Skenario 3 Kebijakan Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat.

Page 65: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

59

Valley Community, Kenya. African J. Agricultural Research, 2(3):058-066.

Mack, S., 1990. Strategies for sustainable animal agriculture in developing countries. FAO Animal Production Health. Paper 107. Proceedings of the FAO Expert Consultation held in Rome, Italy 10–14 December 1990.

Sere, C., Steinfeld, H., 1996. World Livestock Production Systems: Current Status, Issues and Trends. FAO Animal Production and Health Paper 127. http://www.fao.org

Sodiq, A., Setianto, N.A., 2005. Kajian Pengembangan Sapi Potong di

Indonesia. Final Report. Kerjasama antara Direktorat Jenderal Peternakan dengan Fakultas Peternakan Unsoed, Purwokerto. Wilson, R.T., 1995. Livestock Production System. Macmillan Education, Ltd., Paris. pp:141.

Sodiq, A., Wakhidati, Y.N., 2006. The development of national beef-cattle population in relation to beef-cattle population at the centre and non centre area, and the policy of national development program. Animal Production Journal. 8(3): 182-189.

Sodiq, A., Setianto, N.A., 2007. A beef-cattle development assessment: identification

Gambar 14. Skenario 4 Kebijakan Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat.

Page 66: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

60

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

of production system characteristics of beef-cattle in rural area. J. of Rural.

Sodiq, A, Munadi, Purbodjo, S.W., 2009. Sistim Produksi Peternakan Sapi Potong Berbasis Sumberdaya Pakan Lokal Spesifik Lokasi pada Wilayah Program Sarjana Membangun Desa Beserta Strategi Pengembangannya. Laporan Penelitian Research Grant Program I- mhere, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.Development. 7(1):1-8.

Sterman, John D. (2000), Business Dynamics; System Thinking and Modeling for a Complex World, International Edition, McGraw-Hill, Singapore.

Wilson, R.T., 1995. Livestock Production System. Macmillan Education, Ltd., Paris. pp:141.

Gambar 15. Skenario 3 Kebijakan Pengembangan Klaster Sapi Potong di Jawa Barat.

Page 67: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

61

KERAGAAN KARAKTER AGRONOMIS VUB PADI SAWAH DI KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

Susi Ramdhaniati 1), Iskandar Ishaq1), Dan Yaya Sukarya2)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa BaratJl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Barat, Jawa Barat

[email protected]

ABSTRAKPemerintah telah banyak melepas varietas unggul baru (VUB) padi dengan berbagai keunggulan agronomis spesifik. Namun demikian, belum banyak petani yang mengenal dan mengadopsi VUB tersebut. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat. Penelitian bertujuan melihat keragaan karakter agronomis dari pertanaman beberapa VUB padi sawah yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu pada bulan Desember 2013 sampai dengan April 2014 menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Sebanyak tujuh varietas padi yang dikaji yaitu lima varietas unggul baru (Inpari 23, Inpari 26, Inpari 27, Inpari 28, dan Inpari 30) serta dua varietas unggul yang telah dikenal dan menyebar di lokasi setempat (Ciherang dan Mekongga) diulang tiga kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Varietas Inpari 26, Inpari 27, Inpari 28 dan Inpari 30 memiliki karakter jumlah anakan, tinggi tanaman, indeks panen dan produktivitas yang tidak berbeda nyata dengan varietas yang sudah berkembang. Hal tersebut memberikan peluang untuk dikembangkan dan menjadi salah satu alternatif dalam pergiliran varietas di lokasi penelitian.

Kata Kunci : VUB, padi sawah, karakteristik pertanaman

PENDAHULUANJawa Barat merupakan salah satu sentra

produksi padi Indonesia. Pada tahun 2013 produksi padi di Jawa Barat adalah 12.083.162 kg, meningkat 7,20% dibandingkan tahun 2012 yaitu 11.271.861 kg dengan produktivitas 5,95 t/ha (2013) meningkat 1,34% dibandingkan tahun 2012 yaitu 5,87 t/ha. Peningkatan produksi padi itu diperoleh dari peningkatan luas panen 5,79% dan peningkatan produktivitas 1,34% pada tahun 2013. Kabupaten Indramayu merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat dengan kontribusi produksi padi terhadap wilayah Jawa Barat diatas 11,5% (BPS Jawa Barat, 2014).

Salah satu teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan produksi padi adalah varietas unggul, sebab memiliki karakter unggul seperti umur genjah, produktivitas tinggi, rasa nasi enak, tahan terhadap hama dan penyakit tertentu, dan karakter unggul lainnya. Varietas unggul padi yang telah dilepas oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian sampai dengan tahun 2014 telah mencapai lebih dari 200 varietas, baik tergolong varietas padi sawah, padi gogo maupun padi rawa dengan karakter spesifik yang dimiliki oleh setiap varietas. Varietas yang telah dikenal dan sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia, antara lain IR64, Ciherang, Cibogo, Cigeulis, dan Ciliwung (Pratiwi, 2012). BPSBTPH Jawa Barat (2013), melaporkan penggunaan varietas Ciherang masih mendominasi pertanaman padi sawah di Jawa Barat yang mencapai 57%, diikuti Mekongga 24,7% dan varietas IR 64 7,6%, sedangkan VUB dengan nama Inpari,

yang telah dikenal petani dan menyebar saat ini, diantaranya Inpari-1 dengan proporsi luas pertanaman 1,7%, Inpari-14 Pakuan (1,2%), Inpari 10 Laeya (0,4%) dan varietas Inpari 13 (0,2%).

Dalam upaya mengenalkan VUB padi kepada petani, dilakukan pertanaman beberapa VUB padi di kabupaten Indramayu yang merupakan salah satu sentra produksi padi di Jawa Barat. Penelitian bertujuan untuk melihat keragaan karakter agronomis dari pertanaman beberapa VUB padi sawah yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Desa Sukajati, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu dari bulan Desember 2013 sampai dengan bulan April 2014. Rancangan Penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan tujuh perlakuan varietas unggul padi terdiri atas lima varietas unggul baru (Inpari 23, Inpari 26, Inpari 27, Inpari 28, dan Inpari 30) dan dua varietas unggul yang telah dikenal dan menyebar di lokasi setempat (Ciherang dan Mekongga). Setiap varietas diulang tiga kali.

Pelaksanaan tanam menggunakan sistem tanam jajar legowo dengan jarak tanam 40 cm x 25 cm x 20 cm. Luas petak per varietas adalah 95 m2, atau terdapat sebanyak 2.376 rumpun. Luas keseluruhan petak percobaan adalah 2000 m2. Pemupukan diberikan berdasarkan hasil pengukuran Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS) dan alat Bagan Warna Daun (BWD).

Page 68: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

62

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Variabel yang diamati meliputi tinggi tanaman vegetatif (45 hst) dan generatif (110 hst), jumlah anakan fase pada vegetatif (45 hst) dan generatif (110 hst), umur 50% berbunga, umur masak, panjang malai, jumlah gabah isi dan hampa, berat 1000 butir dan produktivitas.

Tinggi tanaman (cm) diukur tingginya dari mulai pangkal batang sampai dengan ujung daun/malai tertinggi. Pada setiap varietas pengamatan dilakukan pada 5 (lima) tanaman contoh (sampel). Jumlah anakan vegetatif dihitung pada saat pertanaman berumur 45 hst dan jumlah anakan produktif pada saat pertanaman berumur 110 hst. Pada setiap varietas pengamatan dilakukan pada 5 (lima) tanaman contoh (sampel).

Umur berbunga 50% dihitung jumlah hari sejak semai sampai 50% rumpun pertanaman mengeluarkan bunga, umur masak dihitung jumlah hari sejak semai sampai 80-90% pertanaman memiliki gabah berwarna kuning (masak). Panjang malai (cm) diamati pada setiap perlakuan varietas masing-masing sebanyak 10 (sepuluh) malai contoh yang diambil secara acak.

Jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai diamati pada setiap perlakuan varietas masing-masing sebanyak 10 (sepuluh) malai contoh yang diambil secara acak (gunakan materi contoh yang sama pada butir 4 (panjang malai). Hasil panen per petak perlakuan varietas dipanen seluruhnya kemudian gabah dirontok dari malainya dan dibersihkan dari kotoran, selanjutnya ditimbang dan diukur kadar airnya. Hasil panen berupa Gabah Kering Panen (GKP). Hasil panen dijemur sampai mencapai kadar air +14% atau dalam bentuk gabah kering giling (GKG). Bobot 1.000 butir (gr) ditimbang sebanyak 1.000 butir gabah hasil panen pada (6) di atas dalam bentuk GKG. Pengukuran dilakukan sebanyak 5 (lima) kali pada masing-masing perlakuan varietas.

Pengamatan terhadap serangan hama dilihat persentase serangan hama tikus, wereng dan penggerek batang pada pertanaman setiap petak percobaan.

Data yang diperoleh dianalisis menggunakan sidik ragam (Anova) dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf nyata 5% untuk mengetahui perbedaan antara variabel yang diamati.

HASIL DAN PEMBAHASANPada awal kegiatan dilakukan pengambilan

sampel tanah untuk mengetahui kondisi hara pada lokasi penelitian untuk menentukan rekomendasi pemupukan yang dapat diaplikasikan. Pengujian sampel tanah menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Hasil pengujian status hara dan rekomendasi pemupukan disajikan pada Tabel 1.Tabel 1. Status hara dan rekomendasi dosis

pemupukan pada lokasi penelitian, Desa Sukajati, Kec. Haurgeulis, Kab. Indramayu, MH 2013/2014.

Uraian Hasil Pengujian

Status Hara N SedangP TinggiK Tinggi

pHAgak Masam

(5-6)Rekomendasi Dosis Pemupukan (kg/ha)

Urea 250SP 36 50KCl Tanpa Jerami 50

+ 5 ton Jerami 0Kandungan N pada lokasi penelitian

termasuk sedang, dan kandungan P dan K termasuk tinggi dengan pH tanah termasuk agak masam. Berdasarkan hasil tersebut direkomendasikan penggunaan pupuk Urea sebanyak 250 kg/ha, SP 36 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha bila tidak memasukkan jerami ke dalam tanah, atau tanpa pemberian KCl bila diberikan jerami 5 t/ha.Tabel 2. Jumlah anakan per rumpun dan tinggi

tanaman pada pertanaman VUB padi sawah

VarietasJumlah Anakan Tinggi Tanaman (cm)

Vegetatif Generatif Vegetatif Generatif

INPARI 23 13,53 a 12,13 a 90,07 d 122,33 b

INPARI 26 18,20 ab 14,53 ab 79,47 bc 118,53 ab

INPARI 27 21,80 b 17,87 b 70,53 ab 106,33 a

INPARI 28 18,13 ab 15,27 ab 85,13 cd 123,87 b

INPARI 30 16,27 ab 14,67 ab 72,60 ab 111,20 ab

CIHERANG 18,73 ab 16,80 ab 73,67 ab 115,80 ab

MEKONGGA 22,13 b 17,87 b 68,80 a 108,93 ab

Pada periode vegetatif, jumlah anakan varietas Inpari-27 dan Mekongga nyata lebih banyak dibanding Inpari-23, tidak berbeda

Page 69: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

63

nyata dengan varietas Inpari-26, Inpari-28, Inpari-30 dan Ciherang, akan tetapi tinggi tanaman varietas Mekongga nyata lebih pendek dibanding Inpari-26, Inpari-28 dan Inpari-23. Sedangkan pada periode generatif, jumlah anakan sama dengan periode vegetatif, akan tetapi pada karakter tinggi tanaman, varietas Inpari-27 nyata lebih pendek dibandingkan Inpari-23 dan Inpari-28 tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas lain termasuk pembanding yaitu Ciherang dan Mekongga.

Jumlah anakan merupakan salah satu karakter agronomis penting pada varietas unggul terkait dengan jumlah malai yang dapat dihasilkan. Jumlah malai merupakan salah satu karakter tanaman yang dapat menentukan produktivitas (hasil) tanaman. Menurut Ahmad dan Pratama (2008) dalam Maintang et al., (2012) terdapat korelasi positif antara jumlah malai dengan hasil tanaman. Andes et al., (2013) menyatakan jumlah anakan menentukan tingkat kekuatan tanaman terhadap kerebahan. Jumlah anakan yang sedikit dan tinggi tanaman yang tinggi pada varietas Jatiluhur yang ditanam pada sistem budidaya sawah, mengakibatkan besarnya jumlah kerebahan tanaman. Menurut Abdullah et al., (2008), jumlah anakan per rumpun yang terlalu banyak mengakibatkan masa masak malai tidak serempak, sehingga menurunkan produktivitas dan atau mutu beras. Namun jika jumlah anakan sedikit, bila ada serangan hama yang mengakibatkan kerusakan anakan, akan menurunkan hasil.

Perakitan varietas unggul padi diarahkan pada varietas yang memiliki pertumbuhan tinggi tanaman yang sedang (90 -115 cm) serta karakter batang yang kokoh sehingga tidak mudah rebah (Arafah, 2006). Menurut Prajitno et al., (2005), karakter tinggi tanaman dengan hasil memiliki nilai korelasi -0,147. Hal itu mengindikasikan semakin tinggi tanaman, maka terdapat kecenderungan hasil panen suatu genotipe padi akan semakin rendah. Meskipun nilai korelasinya relatif rendah. Tanaman padi yang pendek biasanya tahan rebah sehingga akan mengurangi kegagalan panen. Oleh karena itu, batang yang kokoh dan pendek merupakan sifat yang dibutuhkan untuk meningkatkan potensi hasil. Terkait dengan preferensi petani terhadap karakter tinggi tanaman, Djatiharti dan Rusnandar (2008) menyatakan bahwa

umumnya petani relatif lebih memilih ukuran tinggi tanaman padi sekitar 100 cm dengan alasan agar lebih mudah pada saat panen dan proses perontokkan.

Pada periode vegetatif, Mekongga merupakan tanaman yang paling pendek, berbeda nyata dengan varietas Inpari-23, Inpari-26, Inpari-28, akan tetapi pada periode generatif, varietas Inpari-27 yang paling pendek, berbeda nyata dengan varietas Inpari-23 dan Inpari-28 yang tingginya >120 cm. Varietas Inpari-27 yang pendek dengan jumlah anakan yang banyak mempunyai peluang untuk berproduksi lebih baik dibandingkan varietas lainnya.

• Umur Berbunga dan Umur Masak

Tabel 3. Umur 50% berbunga dan umur masak pertanaman VUB padi sawah

VARIETAS 50% BERBUNGA (hss) MASAK (hss)

INPARI 23 78,33 c 117,33 bcINPARI 26 77,67 bc 119,67 cINPARI 27 72,00 a 112,00 aINPARI 28 71,33 a 111,33 aINPARI 30 76,00 b 115,67 bCIHERANG 77,00 bc 119,67 cMEKONGGA 76,67 bc 117,00 bc

Varietas Inpari-27 dan Inpari-28 berbunga dan masak lebih cepat berbeda nyata dibandingkan dengan varietas lainnya, sebab kedua varietas tersebut direkomendasikan untuk tipologi dataran tinggi, sedangkan lokasi penelitian adalah dataran rendah. Menurut Atwel et al., (1999) dalam Sundari dan Purwantoro (2014), intensitas cahaya matahari, panjang hari dan suhu merupakan faktor lingkungan yang membatasi pertumbuhan dan waktu berbunga tanaman. Irawan (2006) menyatakan pembungaan dirangsang oleh suhu tinggi, kelembaban rendah dan intensitas sinar matahari yang diterima tanaman lebih banyak. Lokasi penelitian yang merupakan dataran rendah memiliki kondisi yang mendukung varietas Inpari-27 dan Inpari-28 untuk dapat berbunga dan masak lebih cepat dibandingkan dengan deskripsi varietas berturut-turut Inpari-27 adalah 125 hasi setelah semai (HSS) dan Inpari-28 adalah 120 HSS (Made Jana Mejaya, et al., 2014).

Page 70: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

64

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

• Komponen Hasil dan HasilPotensi hasil padi ditentukan oleh

komponen hasil, yaitu jumlah malai per rumpun, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi, dan bobot gabah bernas (Abdullah et al., 2008). Menurut Tubur et al., (2012), perlakuan cekaman lingkungan kekeringan dan genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah malai per rumpun, persen pembungaan, panjang malai, persentase gabah hampa, bobot gabah per rumpun, bobot 1.000 butir, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk dan indeks panen. Tabel 4. Berat brangkasan, berat malai dan

indeks panen pada pertanaman VUB padi sawah

Varietas Berat Malai (gr)

Berat Brangkasan (gr)

Indeks Panen

INPARI 23 80,20 a 331,00 a 0,24 abINPARI 26 69,13 a 316,87 a 0,22 abINPARI 27 81,73 a 325,80 a 0,26 bINPARI 28 59,47 a 284,27 a 0,21 aINPARI 30 61,67 a 265,80 a 0,23 abCIHERANG 73,20 a 287,53 a 0,25 bMEKONGGA 67,87 a 278,13 a 0,24 ab

Indeks Panen merupakan perbandingan antara berat malai dengan berat brangkasan. Indeks Panen yang tinggi menunjukkan proporsi malai tinggi dalam brangkasan. Walaupun berat malai dan berat brangkasan semua varietas yang diuji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, tetapi Indeks Panen varietas Inpari-27 dan Ciherang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas Inpari-28, meskipun tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya.

Jennings et al., (1979) menyatakan bahwa persentase gabah isi merupakan pembagian jumlah gabah isi dibagi jumlah gabah total. Gabah isi merupakan karakter yang sangat mempengaruhi potensi hasil. Jumlah gabah isi

varietas Inpari-23 nyata lebih banyak dibanding varietas lainnya dan tidak berbeda nyata dengan varietas Ciherang. Akan tetapi produktivitas (hasil) Inpari-23 menunjukkan paling rendah dan berbeda nyata dengan varietas lainnya, kecuali dengan Mekongga (Tabel 5). Rendahnya hasil yang diperoleh Inpari-23 disebabkan oleh tingginya persentase kerusakan oleh serangan hama tikus, wereng dan penggerek batang (Tabel 6).

Bobot 1000 butir merupakan salah satu komponen hasil yang menentukan secara langsung dan berkorelasi positif terhadap hasil panen padi. Hal tu didukung hasil penelitian Suhartini et al., (1999) yang mengemukakan bahwa bobot 1000 butir mempunyai hubungan yang erat dengan hasil panen, sehingga merupakan faktor penduga yang efektif terhadap hasil panen.

Persentase gabah isi sangat menentukan potensi hasil maksimum suatu varietas padi. Hasil fotosintat (karbohidrat) dalam batang dan daun, dan translokasinya serta akumulasinya dalam gabah sangat menentukan tingkat pengisian gabah. Oleh karena itu, posisi daun yang tegak, tebal, sempit dan berwarna hijau tua, serta tidak lekas luruh (tua) sangat dibutuhkan untuk pengisian gabah secara maksimum. Daun yang tegak dan sempit merupakan daun yang dapat menerima sinar matahari dari pagi sampai sore atau efisien dalam pemanfaatan radiasi untuk proses fotosintesis. Sedangkan, daun yang tebal dan berwarna hijau tua mencirikan memiliki banyak klorofil, sehingga banyak menghasilkan fotosintat. Demikian pula halnya daun yang tidak cepat luruh akan menghasilkan fotosintat sampai menjelang panen. Daun bendera dan satu daun dibawah daun bendera merupakan daun yang aktif dalam fotosintesis selama proses pengisian gabah. Enam puluh persen fotosintat (karbohidrat dalam gabah dihasilkan

Tabel 5. Panjang malai, jumlah gabah bobot 1000 butir dan produktivitas pada pertanaman VUB padi sawah

Varietas Panjang Malai (cm)Jumlah Gabah (butir) Bobot 1000

Butir (gr)Produktivitas GKG

(kg/ha)Isi HampaINPARI 23 25,03 a 133,29 b 43,00 b 26,22 a 3.201 aINPARI 26 26,88 a 114,70 a 45,26 b 26,13 a 5.183 bINPARI 27 25,82 a 109,00 a 17,15 a 27,45 a 4.752 bINPARI 28 26,39 a 113,64 a 22,91 a 27,48 a 5.056 bINPARI 30 25,71 a 111,84 a 20,40 a 27,49 a 5.298 bCIHERANG 25,42 a 124,92 ab 30,63 ab 26,65 a 5.526 bMEKONGGA 25,23 a 114,10 a 22,71 a 26,32 a 4.366 ab

Page 71: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

65

dari kedua daun tersebut). Karena itu, bila daun tersebut tidak cepat luruh akan meningkatkan proses pengisian gabah, sehingga hasil bisa maksimum. Cabang primer malai biasanya menghasilkan butir gabah besar (Maintang et al., 2012).Tabel 6. Persentase serangan tikus, wereng dan

penggerek batang pada pertanaman VUB padi sawah

Varietas Tikus (%) Wereng (%)Penggerek

Batang Padi (%)

INPARI 23 0,18 a 0,40 b 0,17 bINPARI 26 0,07 a 0,10 ab 0,05 aINPARI 27 0,10 a 0,03 a 0,13 bINPARI 28 0,18 a 0,17 b 0,05 aINPARI 30 0,00 a 0,03 a 0,05 aCIHERANG 0,00 a 0,07 a 0,05 aMEKONGGA 0,00 a 0,05 a 0,05 a

Hama utama tanaman padi antara lain tikus, wereng coklat, dan penggerek batang. Kerusakan yang diakibatkan oleh serangan tikus pada semua varietas tidak berbeda nyata. Kerusakan akibat serangan wereng pada varietas Inpari-23 tertinggi yaitu mencapai 40%, dan akibat serangan penggerek batang padi 17%. Hal itu yang menyebabkan rendahnya hasil varietas Inpari-23.

KESIMPULAN

Varietas Inpari 26, Inpari 27, Inpari 28 dan inpari 30 memiliki karakter jumlah anakan, tinggi tanaman, indeks panen dan produktivitas yang tidak berbeda nyata dengan varietas pembanding (Ciherang dan Mekongga). Hal tersebut memberikan peluang untuk dikembangkan dan menjadi salah satu alternatif pilihan petani dalam pergiliran varietas di lokasi penelitian.

UCAPAN TERIMA KASIHPenulis mengucapkan terima kasih dan

penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Bp. Siswoyo selaku petani kooperator yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah B, Tjokrowidjojo S, Sularjo. 2008. Perkembangan dan prospek perakitan padi tipe baru di Indonesia. J Litbang Pertanian. 27:1–9.

Andes Prayuda Yunanda, Ahmad Rifqqi Fauzi, dan

Ahmad Junaedi. 2013. Pertumbuhan dan Produksi Padi Varietas Jatiluhur dan IR64 pada Sistem Budidaya Gogo dan Sawah. Bul. Agrohorti 1 (4) : 18 – 25 (2013)

Arafah. 2006. Kajian Usahatani Padi dengan Metode Pengelolaan Tanaman Terpadu Pada berbagai Varietas Unggul Baru di Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan. Prosd. Seminar Hasil-Hasil Penelitian dan Pengkajian Spesifik Lokasi. Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Revitalisasi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan Makasar.

BPS Provinsi Jawa Barat. 2014. Berita Resmi Statistik BPS Provinsi Jawa Barat No. 58/11/32/Th. XVI, 3 November 2014. http://jabar.bps.go.id/brsjabar. Diakses tanggal 19 Januari 2015

Djatiharti dan Ruskandar. 2008. Adopsi Varietas Unggul dan Preferensi Sifat-Sifat Agronomis Tanaman Padi Sawah di Tingkat Petani Kab.Ogan Komering Ulu Timur dan Ogan Komering Ilir. Prosd. Seminar Nasional Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi (hal;1333-1338).

Jennings PR, Coffman WR, Kauffman HE. 1979. Rice Improvement. Los Banos (PH): International Rice Research Institute

Made Jana Mejaya, Satoto, P. Sasmita, Yuliantoro, B., A. Guswara, Suharna. 2014. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian

Maintang, Asriyanti Ilyas Edi Tando, Yahumri. 2012. Kajian Keragaan Varietas Unggul Baru (Vub) Padi Di Kecamatan Bantimurung Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Inovasi Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Mendukung Empat Sukses Kementerian Pertanian Di Propinsi Bnegkulu. p.58-62.

Prajitno A.l. K.S., R. Mudjisihono dan B. Abdullah. 2005. Keragaan Beberapa Genotipe Padi Menuju Perbaikan Mutu Beras. http://ntb.litbang.deptan.go, diakses Tanggal, 31 Mei 2012.

Pratiwi, G.R., 2012. Varietas Padi Unggulan Badan Litbang Pertanian. Sinar Tani. Edisi 25-31 Januari 2012 No.3441 Tahun XLII.

Sundari, T., dan Purwantoro. 2014. Kesesuaian Genotipe Kedelai Untuk Tanaman Sela di Bawah Tegakan Pohon Karet. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 33 no. 1. 2014. Hal. 44-53.

Tubur HW, Chozin MA, Santosa E, Junaedi A. 2012. Respon agronomi varietas padi terhadap periode kekeringan pada sistem sawah. J Agron Indonesia. 40(3):167–173.

Page 72: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

66

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

KERAGAAN BEBERAPA VARIETAS PADI PADA LOKASI DEMFARM DI JAWA BARAT

Titiek Maryati S, Bebet Nurbaeti dan Fyannita PerdhanaBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Barat

Jl. Kayuambon No. 80 Lembang, Bandung Barat - Jawa Barat

ABSTRAK

Demfarm ini bertujuan untuk menganalisis inovasi teknologi beberapa varietas padi terhadap dampak kekeringan di Jawa Barat. Kegiatan dilaksanakan pada bulan Agustus-Desember 2015 di Kabupaten Sumedang, Majalengka, Cirebon dan Indramayu. Data yang dikumpulkan terdiri atas: (1) data primer yaitu karakteristik petani dan penerapan teknologi mitigasi dampak kekeringan , dan (2) data sekunder. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dan kuantitatif sesuai dengan karakteristik informasi yang dikumpulkan. Hasil demfarm menyatakan: (1) Seluruh varietas (10 varietas) yang ditanam di Kabupaten Sumedang dan Cirebon dapat beradaptasi dengan cekaman lingkungan kekeringan, sedangkan di Kabupaten Majalengka hanya lima varietas yaitu varietas Inpari 23, Inpago 5, Inpago 8, Situ Patenggang dan Situ Bagendit; (2) Produktivitas petani pada empat kabupaten di Jawa Barat, hasil panen tertinggi diperoleh di Kabupaten Cirebon dengan varietas Inpago 8 sebesar 10,82 t/ha, Kabupaten Sumedang Inpari 7 sebesar 9,76 t/ha gabah kering panen (GKP) dan Kabupaten Majalengka varietas Inpago 5, Inpago 8 dan Situ Patenggang masing-masing sebesar 7,5 t/ha.

Kata Kunci : inovasi teknologi, varietas, padi, kekeringan

PENDAHULUAN Di Jawa Barat, sektor pertanian dalam

struktur perekonomian menempati posisi ketiga terbesar setelah sektor industri dan perdagangan. Namun demikian, Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi padi dengan kontribusi terbesar terhadap produksi beras nasional dengan kontribusi rata-rata 17,6% selama kurun waktu 2001-2010 (BPS Jawa Barat, 2010; Diperta Provinsi Jawa Barat, 2010).

Perubahan iklim merupakan proses yang terjadi secara dinamik dan terus menerus yang dampaknya sudah sangat dirasakan, terutama pada sektor pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. Pertanian terutama subsektor tanaman pangan, paling rentan terhadap perubahan iklim terkait faktor utama yaitu genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, terutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan erat dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengolahan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman (Las, et.al, 2011).

Perubahan berbagai parameter iklim akibat pemanasan global mempunyai dampak langsung dan tidak langsung terhadap sektor pertanian. Dampak langsungnya adalah meningkatnya luas dan frekuensi kegagalan panen akibat semakin tingginya intensitas dan frekuensi kejadian iklim ekstrim banjir dan kekeringan. Berubahnya pola

hujan dan meningkatnya suhu menyebabkan penurunan produktivitas dan produksi tanaman. Sedangkan dampak yang tidak langsung ialah melalui pengaruhnya terhadap perubahan dinamika serangan hama dan penyakit.

Upaya peningkatan produksi pangan, semakin berat dengan berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pembangunan pertanian saat ini, diantaranya laju konversi lahan sawah menjadi lahan non pertanian sulit dibendung, dampak perubahan iklim, semakin terbatasnya sumberdaya air (irigasi), kerusakan jaringan irigasi, serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT), telah terjadi pergeseran tenaga kerja pertanian ke sektor non pertanian, masih rendahnya penguasaan teknologi oleh para pelaku usaha tani tersebut (Wachyan, 2002).

Besarnya dampak perubahan iklim yang dirasakan merupakan tantangan sekaligus peluang bagi sektor pertanian. Dalam mengantisipasi perubahan iklim memerlukan berbagai upaya untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, pengembangan sistem usahatani lahan sawah dan lahan kering yang adaptif, pemanfaatan lahan sub optimal dan harus didukung oleh pengembangan penelitian teknologi padi.

METODOLOGIDemfarm ini menggunakan metode

deskriptif dengan pendekatan secara kuantitatif. Penentuan lokasi secara sengaja (purposive) yaitu: Kabupaten Sumedang, Majalengka, Cirebon dan Indramayu yang merupakan lokasi pendampingan UPSUS Padi, Jagung dan

Page 73: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

67

Kedelai (Pajale) yang dilaksanakan oleh BPTP Jawa Barat.

Data yang dikumpulkan dalam kajian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif sesuai dengan karakteristik informasi yang dikumpulkan (Siegal, 1998). Data-data yang diperoleh selanjutnya ditabulasikan agar lebih informatif dan mudah dipahami\.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik LokasiKarakteristik lokasi demfarm, yaitu Desa

Kebuncau, Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang; Desa Jatiujuh Kecamatan Jatiujuh, Majalengka; Desa Pegagan, Kecamatan Palimanan, Cirebon dan Desa Karanggetas, Kecamatan Bangodua, Indramayu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Lokasi Demfarm Mitigasi Dampak Kekeringan di Jawa Barat, Tahun 2015.

No. Profil

KabupatenSumedang Majalengka Cirebon Indramayu

DesaKebon cau Jatitujuh Pegagan Karanggetas

1. Luas (ha) 1.202 643,00 178,85 3.220

2. Luas lahan sawah teknis (ha) 273,0 - 105 2.819

3. Luas lahan sawah setengah teknis (ha) - 144,00 15 54

4. Luas lahan sawah tadah hujan - 28,00 - 347

5. Sumber Pengairan Cimanuk Cipelang Irigasi Rentang

Irigasi Rentang

6. Jumlah Hari Hujan (hari) 10 9,625 6 10

7. Jumlah Curah Hujan (mm) 102 261,875 - 48

8. Jenis tanah Aluvial Latosol, Grumusol dan Aluvial kelabu Aluvial

Aluvial kelabu sampai

kehitaman

9. Ketinggian tempat (m dpl) 250-500 17-25 20 5-12

10. Pola tanam Padi-Padi-Padi• Padi-Padi-

Palawija• Padi-Padi-Bera

Padi-Padi-Padi

Padi-Padi-Padi

Sumber: Monografi Desa, 2014.

Luas lahan sawah dari empat desa kegiatan demfarm dampak mitigasi kekeringan di Jawa Barat yang terluas adalah Desa Karanggetas, Kabupaten Indramayu; selain itu lahan sawah Desa Kebon Cau, Pegagan dan Karanggetas mempunyai jaringan irigasi teknis, sedangkan Desa Jatitujuh mempunyai jaringan setengah teknis atau perdesaan dengan jaminan ketersediaan air sepanjang tahun. Lokasi kegiatan secara umum memiliki curah hujan di bawah 2.000 mm per tahun dengan kebutuhan air irigasi pada lahan sawah dipenuhi dari Sungai Cimanuk dan Sungai Cipelang serta Irigasi Rentang. Curah hujan akan berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembentukan bunga dan buah pada tanaman tropis (Sutarno et al., 1997). Potensi sumberdaya air Desa Kebuncau cukup besar karena di daerah tersebut terdapat aliran sungai Cimanuk, yang pengairannya bisa menuju ke Kabupaten Majalengka meski tidak sampai ke Desa Jatitujuh. Sedangkan Desa Jatitujuh sumber airnya dari Sungai Cipelang. Desa Plumbon dan Desa Karanggetas yang mempunyai jaringan irigasi teknis bersumber dari irigasi Rentang.

Page 74: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

68

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

Karakteristik PetaniPelaku utama usahatani, yaitu petani sangat

menentukan dalam pencapian keberhasilan usahatani. Oleh karena itu karakteristik petani di suatu wilayah diperlukan untuk mengetahui tingkat adopsi inovasi teknologi yang diberikan. Beberapa persyaratan untuk menentukan petani koperator yang melaksanakan demfarm adalah: (1) petani yang inovatif sehingga tanggap terhadap teknologi baru; (2) tokoh masyarakat yang dapat dijadikan panutan bagi petani lain; (3) dapat bekerjasama; dan (4) tergabung dalam kelompoktani.

Tabel 2. Karakteristik Petani Demfarm di Provinsi Jawa Barat, Tahun 2015.

BBerdasarkan data diatas, rata-rata umur petani adalah 40 tahun, sedangkan usia paling muda 20 tahun berada di Kabupaten Indramayu dan umur tertua berada di Kabupaten Sumedang. Pendidikan didominasi SD (6 tahun), mata pencaharian utama disamping petani umumnya menjadi pedagang pasar atau menjadi buruh tani. Rata-rata petani di Desa Jatitujuh sudah mulai melakukan usahatani sejak mereka berumur muda 15-20 tahun sehingga pengalaman usahatani mereka sudah 40 tahun. Pengalaman berusahatani seorang petani merupakan proses pendidikan yang di peroleh di luar bangku sekolah yang dapat membawa perubahan bagi petani dalam mengelola usahataninya.

Menurut Soekartawi (1988) menyatakan bahwa semakin muda umur petani biasanya semangat untuk ingin tahu mengenai apa yang

belum mereka ketahui lebih tinggi, sehingga mereka berusaha untuk lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya belum berpengalaman dalam soal adopsi inovasi. Sedangkan menurut Rogers (1983) umur tidak berpengaruh terhadap kecepatan adopsi. Lebih lanjut dikemukakan bahwa pendidikan berpengaruh terhadap adopsi teknologi. Pendidikan yang lebih tinggi akan lebih memudahkan seseorang melaksanakan inovasi, memahami sifat dan fungsi inovasi. Oleh karena itu pendidikan mempunyai peranan penting dalam pembangunan sumber daya manusia, dalam pembangunan pertanian khususnya SDM pertanian. Kegiatan penyuluhan pertanian merupakan salah satu unsur pendidikan dalam

meningkatkan kualitas sumber daya pertanian khususnya petani dan keluarganya dalam hal peningkatan k e m a m p u a n pengetahuan, sikap dan keterampilan sehingga mampu dengan cepat mengadopsi inovasi-inovasi baru

dan diharapkan menjadi agen perubahan di pedesaan.

Inovasi Teknologi VUB Padi terhadap Antisipasi Dampak Kekeringan

Dampak dari kekeringan sangat berpengaruh terhadap kinerja teknologi VUB yang diterapkan, mulai dari fase vegetatif sampai panen. Penampilan pertumbuhan agronomis tanaman seperti tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif dari varietas yang ditanam merupakan salah satu indikator dari kinerja teknologi varietas yang bisa beradaptasi dengan cekaman lingkungan kekeringan, yang pada akhirnya akan berpengaruh pada hasil panen. Pada Tabel 3. dapat dilihat penampilan agronomis dan hasil panen/produksi masing-masing varietas di empat lokasi pengkajian.

No. Profil

Wilayah KabupatenSumedang Majalengka Cirebon Indramayu

DesaKebon cau Jatitujuh Pegagan Karanggetas

1. Jumlah Petani (orang) 2.150 2.382 149 6002. Buruh tani (orang) 1.090 987 584 4513. Umur rata-rata (tahun) 40-60 26-55 42-55 20-594. Pendidikan (tahun) 6 6 6 6

5. Usaha sampingan Buruh tani, Pedagang,

Pedagang pasar, buruh tani

Pedagang, kuli bangunan

Pedagang, Buruh tani

Sumber: Profil Desa, 2015.

Page 75: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

69

Tabel 3. Karakteristik agronomis, komponen hasil, dan hasil setiap varietas pada kegiatan demfarm mitigasi dampak kekeringan di Jawa Barat. MK-II 2015.

No. Varietas60-65 HST Jumlah gabah

isiJumlah gabah

hampa Hasil (t/ha)Tinggi Tanaman

Anakan Produktif

Kabupaten SumedangInpari 1 85 30 91,2 29 9,44Inpari 7 86 33 107 32 9,76Inpari 10 75 28 98 15 6,8Inpari 20 75 28 95 15 9,44Inpari 23 100 29 111 45 8,16Inpago 5 125 25 135 82 8,32Inpago 8 90 35 114 45 9,44St. Patenggang 79 32 151 76 8,16St. Bagendit 85 22 109 21 8,16Mekongga (K) 98 20 - - 7,0

Kabupaten MajalengkaInpari 23 87,2 22,2 140,6 13,4 7,0Inpago 5 85,3 25,1 132,3 83,8 7,5Inpago 8 82,3 27,2 112,6 37,0 7,5

St Patenggang 93,8 17,8 147,7 71,8 7,5St Bagendit 79,1 27,2 113,2 21,5 7,0

Kabupaten CirebonInpari 1 95 19 187 58 7,2Inpari 7 123 10 188 26 5,6Inpari 10 85 12 184 31 8,4Inpari 20 80 13 130 39 6,7Inpari 23 109 11 136 42 5,8Inpago 5 139 15 175 38 6,7Inpago 7 154 10 175 41 6,5Inpago 8 150 14 171 29 10,82Inpago 9 129 11 156 38 6,1St. Patenggang 83 10 112 39 6,4St. Bagendit 69 13 130 42 5,5Mekongga (K) 78 15 136 29 7,62Ciherang (K) 85 17 175 41 6,15

Kabupaten IndramayuInpari 20 89,2 36,5

Puso

Inpago 5 79 24,7Inpago 8 92 32,8Inpago 9 106,4 23,5St. Patenggang 113,9 33,2St. Bagendit 78 34,1Ciherang (K) 79,8 19,2

Sumber: Data primer Demfarm, MK- II 2015.

Seluruh varietas (10 varietas) yang ditanam di Kabupaten Sumedang dan Cirebon dapat beradaptasi dengan cekaman lingkungan kekeringan, sedangkan di Kabupaten Majalengka hanya lima varietas yaitu varietas Inpari 23, Inpago 5, Inpago 8, Situ Patenggang dan Situ Bagendit. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan distribusi air dan juga adaptasi varietas sesuai dengan karakteristiknya. Ketinggian air setiap varietas mengalami kekurangan air pada periode primordia, hal ini disebabkan karena debit air di Sungai Cipelang dan Cimanuk menurun.

Varietas yang menunjukkan produktivitas tertinggi di Kabupaten Sumedang yaitu Inpari 7 sebesar 9,76 t/ha; Kabupaten Majalengka varietas Inpago 5, Inpago 8 dan Situ Patenggang masing-

masing sebesar 7,5 t/ha; dan Kabupaten Cirebon varietas Inpago 8 sebesar 10,82 t/ha. Sedangkan di Kabupaten Indramayu seluruh varietas tidak dapat beradaptasi dengan cekaman lingkungan kekeringan dan akumulasi dari serangan hama yaitu walang sangit, terutama serangan hama tikus dan burung sampai menggagalkan panen (puso). Hal tersebut diakibatkan tanaman hanya ada di lokasi demplot dan lingkungan sekitarnya tidak ada tanaman padi sama sekali. Serangan tikus mengakibatkan tanaman padi tidak dapat membentuk anakan tanaman, pada serangan berat tikus merusak tanaman padi mulai dari tengah petak, meluas ke arah pinggir dan hanya menyisakan 1-2 baris padi di pinggir petakan.

Page 76: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

70

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

KESIMPULAN1. Seluruh varietas (10 varietas) yang ditanam

di Kabupaten Sumedang dan Cirebon dapat beradaptasi dengan cekaman lingkungan kekeringan, sedangkan di Kabupaten Majalengka hanya lima varietas yaitu varietas Inpari 23, Inpago 5, Inpago 8, Situ Patenggang dan Situ Bagendit.

2 Produktivitas petani pada empat kabupaten di Jawa Barat, hasil panen tertinggi diperoleh di Kabupaten Cirebon dengan varietas Inpago 8 sebesar 10,82 t/ha, Kabupaten Sumedang Inpari 7 sebesar 9,76 t/ha gabah kering panen (GKP) dan Kabupaten Majalengka varietas Inpago 5, Inpago 8 dan Situ Patenggang masing-masing sebesar 7,5 t/ha.

SARANPemilihan varietas toleran kekeringan

disarankan untuk dapat diterapkan dalam satu wilayah pengairan.

DAFTAR PUSTAKABadan Pusat Statistik. 2010. Jawa Barat Dalam

Angka. Badan Pusat Statistik. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

dan Pengembangan Pertanian. 2011. Pedoman Umum Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian.

Irsal Las dan Elza Surmaini. 2011. Variabilitas Iklim dan Perubahan Iklim dalam Sistem Produksi Pertanian Nasional: Dampak dan Tantangan. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. Balai Besar Penelitan Tanaman Padi.

Kementerian Pertanian. 2014. Pedoman Umum Model Pengembangan Kawasan Pertanian Tahun 2015-2019. Kementerian Jakarta.

Wachyan, A. 2002. Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis dan Usaha di Jawa Barat. Badan Perencanaan Daerah Propinsi Jawa Barat. Bandung.

Page 77: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016

BPTP JABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

71

Page 78: BULETIN - jabar.litbang.pertanian.go.idjabar.litbang.pertanian.go.id/images/stories/Kajian/Bull-H_Kajian... · BULETIN HASIL KAJIAN Volume 6 Nomor 06, Tahun 2016 Penanggung Jawab

BPTP jABARBalai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Barat

72

Buletin Hasil Kajian Vol. 6, No. 06 Tahun 2016