buletin ekonomi moneter dan perbankan - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara...

124

Upload: lyngoc

Post on 08-Sep-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the
Page 2: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2007

SUSUNAN PENGURUSBULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan MoneterBank Indonesia

PelindungPelindungPelindungPelindungPelindungDewan Gubernur Bank Indonesia

Dewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorDewan EditorProf. Dr. Anwar Nasution

Prof. Dr. Miranda S. GoeltomProf. Dr. Insukindro

Prof. Dr. Iwan Jaya AzisProf. Iftekhar HasanDr. M. Syamsuddin

Dr. Perry WarjiyoDr. Halim Alamsyah

Dr. Iskandar SimorangkirDr. Solikin M. JuhroDr. Haris Munandar

Dr. Andi M. Alfian Parewangi

Pimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialPimpinan EditorialDr. Perry Warjiyo

Dr. Iskandar Simorangkir

Direktur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDirektur EksekutifDr. Andi M. Alfian Parewangi

SekretariatSekretariatSekretariatSekretariatSekretariatToto Zurianto, MBA

MS. Artiningsih, MBA

Buletin ini diterbitkan oleh Bank Indonesia, Direktorat Riset Ekonomidan Kebijakan Moneter. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisandibuletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukanmerupakan pandangan resmi Bank Indonesia.

Kami mengundang semua pihak untuk menulis pada buletin inipaper dikirimkan dalam bentuk file ke Direktorat Riset Ekonomi danKebijakan Moneter, Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 20;Jl. M.H. Thamrin No. 2, Jakarta Pusat, email : [email protected]

Buletin ini diterbitkan secara triwulan pada bulan April, Juli, Oktober danJanuari, bagi yang ingin memperoleh terbitan ini dapat menghubungiSeksi Publikasi - Bagian Administrasi, Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter,Bank Indonesia Gedung Sjafruddin Prawiranegara Lt. 2; Jl. M.H. Thamrin No. 2,Jakarta Pusat, telp. (021) 381-8206. Untuk permohonan berlangganan:telp. (021) 3818202, fax. (021) 3802283, email: [email protected].

Page 3: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

BULETIN EKONOMI MONETERDAN PERBANKAN

Volume 14, Nomor 1, Juli 2011

Analisis Triwulanan: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

Triwulan II - 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi

Daerah

Trinil Arimurti, Budi Trisnanto

Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default

Swap

Moch. Doddy Ariefianto, Soenartomo Soepomo

Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental ?

Iskandar Simorangkir

Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Arintoko

5

51

1

31

79

Page 4: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the
Page 5: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

1ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2011

ANALISIS TRIWULANAN:Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,

Triwulan II - 2011

Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 12 Juli 2011 memutuskan

untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,75%. Tingkat BI Rate tersebut dipandang masih

sesuai dengan upaya untuk menjaga peningkatan kegiatan perekonomian yang disertai dengan

stabilitas yang tetap terjaga, di tengah tingginya ekses likuiditas domestik dan masih derasnya

aliran masuk modal asing. Ke depan, Bank Indonesia tetap mewaspadai potensi risiko tekanan

terhadap stabilitas makroekonomi, khususnya yang berasal dari berlanjutnya aliran masuk modal

asing dan tingginya harga komoditas global. Sementara itu, inflasi diperkirakan akan tetap

terkendali dan dapat lebih rendah dari perkiraan sebelumnya apabila tidak ada perubahan

kebijakan Pemerintah di bidang harga energi serta tetap terjaganya pasokan dan distribusi

bahan pangan. Bank Indonesia akan terus menerapkan bauran kebijakan moneter dan kebijakan

makroprudensial, dengan penekanan pada pengendalian likuiditas domestik, aliran masuk modal

asing, dan apresiasi Rupiah yang sejalan dengan tren apresiasi nilai tukar di kawasan Asia. Bank

Indonesia meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial tersebut

mampu untuk menjaga stabilitas makro dan membawa inflasi kepada sasaran yang ditetapkan,

yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.

Dewan Gubernur memandang bahwa pemulihan ekonomi global terus berlanjut,

sebagaimana tercermin pada volume perdagangan dunia yang meningkat. Namun, prospek

ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya

Quantitative Easing (QE) II oleh the Fed dan melambatnya ekonomi China. Risiko tersebut

berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2011, meskipun pemulihan

ekonomi akan tetap meningkat pada tahun 2012. Sementara itu, harga komoditas global

masih berada pada level yang tinggi meskipun terjadi koreksi pada harga minyak. Inflasi dunia

juga secara umum meningkat, meskipun tekanan inflasi di emerging markets mereda. Respon

kebijakan moneter di negara-negara emerging markets masih cenderung ketat, sementara di

negara-negara maju masih cenderung akomodatif.

Di sisi domestik, Dewan Gubernur memprakirakan bahwa pertumbuhan ekonomi

Indonesia dapat mencapai kisaran 6,3%-6,8% pada tahun 2011 dan 6,4%-6,9% pada tahun

Page 6: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

2 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

2012. Pertumbuhan ekonomi tersebut ditopang oleh sumber pertumbuhan yang semakin

berimbang seiring dengan kinerja investasi yang terus meningkat dan kinerja ekspor yang

masih tetap solid. Sementara itu, kinerja konsumsi rumah tangga juga tetap kuat. Pada triwulan

III-2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan cukup tinggi, yaitu sebesar 6,6%, ditopang oleh

konsumsi dan investasi. Di sisi sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh

dengan baik. Sektor-sektor yang diprakirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi

ke depan, antara lain sektor transportasi dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan

restoran; dan sektor industri.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) untuk keseluruhan tahun 2011 diprakirakan masih

mengalami surplus yang relatif besar. Hal ini seiring dengan masih kuatnya aliran masuk modal

asing, termasuk dalam bentuk PMA, dan transaksi berjalan yang diperkirakan masih surplus

meskipun mengalami penurunan. Penurunan surplus transaksi berjalan seiring dengan

peningkatan impor terkait kenaikan permintaan domestik dan harga impor terutama migas. Di

sisi transaksi modal dan finansial, aliran masuk modal asing diprakirakan masih berlanjut seiring

dengan peningkatan kegiatan ekonomi domestik dan persepsi investor yang positif terhadap

fundamental perekonomian Indonesia. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada akhir Juni

2011 tercatat sebesar 119,7 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,8 bulan impor dan pembayaran

utang luar negeri Pemerintah.

Pergerakan nilai tukar Rupiah diprakirakan tetap stabil dengan kecenderungan menguat,

meskipun pada tingkat yang lebih terbatas, sejalan dengan berlanjutnya aliran masuk modal

asing. Pada triwulan II-2011, nilai tukar Rupiah menguat 1,53% (ptp) ke level Rp 8.577 per

dolar AS dengan volatilitas yang tetap terjaga. Tren apresiasi nilai tukar Rupiah tersebut sejalan

dengan upaya Bank Indonesia untuk meredam tekanan inflasi, khususnya dari imported inflation,

dengan tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi. Penguatan

Rupiah yang terjadi masih sejalan dengan tren apresiasi mata uang di kawasan Asia sehingga

sejauh ini tidak memberikan tekanan pada kinerja ekspor.

Tekanan inflasi sampai dengan triwulan II-2011 masih terkendali. Inflasi IHK pada triwulan

II-2011 tercatat sebesar 0,36% (qtq) sehingga secara tahunan turun menjadi 5,54% (yoy),

terutama didorong oleh deflasi di kelompok bahan pangan sementara inflasi inti meningkat

secara terbatas. Inflasi inti tercatat 0,85%(qtq) atau 4,63%(yoy), didorong oleh kecenderungan

tingginya harga komoditas global dan meningkatnya permintaan seiring kegiatan ekonomi

yang meningkat. Inflasi kelompok administered prices relatif terbatas, yaitu sebesar 0,69%(qtq),

seiring dengan tidak adanya kebijakan pemerintah terkait harga energi. Sementara itu, kelompok

bahan pangan mencatat deflasi -1,35%(qtq), terutama disebabkan koreksi harga sejumlah

komoditas pangan khususnya di bulan April dan Mei. Ke depan, inflasi diperkirakan akan tetap

Page 7: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

3ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan II - 2011

terkendali dan diperkirakan dapat lebih rendah dari perkiraan semula terutama apabila tidak

ada kebijakan Pemerintah di bidang harga energi serta tetap terjaganya pasokan dan distribusi

bahan pangan.

Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi

intermediasi perbankan dalam mendukung pembiayaan perekonomian. Stabilitas industri

perbankan tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio)

yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non

Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, penyaluran kredit untuk pembiayaan

kegiatan perekonomian terus berlanjut, tercermin pada pertumbuhan kredit yang pada Juni

2011 mencapai 23,4%(yoy). Pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi yang

sampai dengan bulan Mei 2011 tercatat sebesar 29,0% (yoy). Bank Indonesia terus mendorong

peningkatan efisiensi perbankan agar fungsi intermediasi dapat terus dioptimalkan dengan

tetap menjaga stabilitas sistem perbankan secara keseluruhan

Di bidang sistem pembayaran, Bank Indonesia terus berupaya melakukan penyempurnaan

untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi transaksi ekonomi. Saat ini Bank Indonesia

mengembangkan BI-RTGS dan BI-SSSS Generasi II serta meningkatkan efisiensi pengelolaan

rekening Pemerintah untuk meningkatkan kinerja infrastuktur sistem pembayaran. Bank

Indonesia juga melanjutkan pembentukan National Payment Gateway (NPG) guna mencapai

efisiensi nasional, serta melanjutkan implementasi standarisasi chip pada kartu ATM/Debit dan

standarisasi uang elektronik guna meningkatkan keamanan instrumen pembayaran. Selain

itu, Bank Indonesia melakukan penyesuaian kebijakan mengenai Penyelenggaraan Kegiatan

Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu, terutama mengenai kerjasama penyelenggara

APMK dengan pihak lain, khususnya dalam pelaksanaan penagihan kartu kredit, serta

mengetatkan persyaratan untuk memperoleh kartu kredit. Melalui penyempurnaan kebijakan

ini, keamanan sistem pembayaran diharapkan dapat terus ditingkatkan. Sementara kebijakan

pengedaran uang tetap ditujukan untuk mendukung ketersediaan uang rupiah dalam nominal

yang cukup serta layak edar, serta meningkatkan layanan kas sehingga dapat menjangkau

wilayah perbatasan dan daerah terpencil. Selain itu, Bank Indonesia juga menyempurnakan

sistem dan prosedur layanan kas BI kepada perbankan. Melalui penyempurnaan tersebut,

efektivitas dan efisiensi manajemen kas perbankan diharapkan dapat lebih ditingkatkan.

Page 8: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

4 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 9: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

5Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

PERSISTENSI INFLASI DI JAKARTA DAN IMPLIKASINYATERHADAP KEBIJAKAN PENGENDALIAN INFLASI DAERAH

Trinil Arimurti, Budi Trisnanto 1

The main objective of this study is to measure the persistence of inflation level in Jakarta. In addition,

this study intends to find out the source of inflation persistence and its implication to regional inflation

control. The analysis of the regional inflation behavior developed in this paper is explored to commodities

level. The empirical result indicates that the level of inflation persistence in Jakarta is relatively high,

stemmed from high level of inflation persistance for most of commodities that construct inflation. Using

the estimation results of the hybrid NKPC model, it shows that high inflation persistence in Jakarta mainly

caused by inflation expectation, which is a combination of forward and backward looking. In this

regards, it requires efforts gradually transform the behavior of inflation expectation to be more forward

looking.

Keywords: inflation peristence, expectation, NKPC.

JEL Classification:E31, R10

1 Penulis adalah peneliti ekonomi muda senior dan peneliti ekonomi madya di Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia. Penulis mengucapkanterima kasih kepada Yoni Depari, Sugiharso Safuan serta rekan-rekan di Biro Riset Ekonomi dan Biro Kebijakan Moneter, atasmasukan, saran dan diskusi yang sangat konstruktif. e-mail: [email protected], [email protected]

Abstract

Page 10: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

6 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

I. PENDAHULUAN

Sesuai Undang-undang (UU) No. 13 tahun 1968 tentang Bank Indonesia sebagaimana

telah diubah terakhir dengan UU No. 4 tahun 2003, tugas Bank Indonesia adalah mencapai

dan menjaga kestabilan nilai Rupiah, yang salah satunya adalah dalam bentuk kestabilan nilai

Rupiah terhadap barang dan jasa atau kestabilan inflasi. Dengan demikian, kebijakan moneter

diarahkan untuk mencapai dan menjaga inflasi pada tingkat yang rendah dan stabil. Dalam

kaitan tersebut, respon kebijakan moneter tidak hanya ditentukan oleh tingkat inflasi yang

ingin dicapai tetapi ditentukan pula oleh perilaku inflasi itu sendiri. Hal tersebut akan menentukan

besaran dan waktu (timing) respon kebijakan moneter yang perlu diterapkan dalam rangka

mencapai inflasi yang ingin dicapai tersebut. Dari sisi tingkat inflasi yang ingin dicapai, kebijakan

moneter diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan menurun secara gradual

menuju tingkat yang mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sesuai UU

dimaksud, sasaran inflasi ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank

Indonesia yang dimaksudkan untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter. Sementara

itu, asesmen mengenai perilaku inflasi yang diperlukan antara lain terkait dengan persistensi

inflasi atau kecepatan tingkat inflasi untuk kembali ketingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya

suatu shock.

Beberapa penelitian telah dilakukan untuk melihat persistensi inflasi di Indonesia. Hasil

studi Yanuarti (2007) dan Alamsyah (2008) misalnya menyimpulkan bahwa derajat persistensi

inflasi di Indonesia secara umum sangat tinggi namun cenderung menurun pada periode setelah

krisis. Sementara itu, Harmanta (2009) menyatakan bahwa persistensi inflasi yang bersifat

backward looking pada era ITF mengalami penurunan, sementara yang bersifat forward looking

mengalami peningkatan. Namun demikian, kajian tersebut perlu didukung oleh kajian yang

bersifat regional, dalam arti melihat lebih dalam persistensi inflasi di tingkat regional. Hal ini

juga juga dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa inflasi nasional dibentuk dari inflasi daerah.

Secara lebih spesifik, kajian persistensi inflasi di daerah dengan mempertimbangkan bahwa

masing-masing daerah memiliki karakteristik inflasi yang berimplikasi pada kebijakan

pengendalian inflasi yang spesifik meski secara umum tekanan inflasi di daerah banyak terkait

dengan kejutan di sisi pasokan.

Implementasi Inflation Targeting Framework (ITF) pada tahun 2005 menjadi tonggak

sejarah perubahan kerangka kebijakan moneter yang dilakukan pasca krisis ekonomi di Indonesia.

Pada prinsipnya kerangka kebijakan moneter tersebut adalah dalam rangka mengadopsi

kerangka kebijakan yang lebih kredibel, yang mengacu pada penggunaan suku bunga sebagai

operational target dan kebijakan yang bersifat antisipatif. ITF diharapkan dapat mengubah

backward looking expectation, yang menjadi sumber masih tingginya inflasi, menjadi forward

Page 11: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

7Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

looking expectation. Dengan demikian, diharapkan ITF dapat mendorong penurunan persistensi

inflasi.

Selanjutnya, kajian persistensi inflasi perlu didukung dengan analisis mengenai penyebab

persistensi inflasi. Sebagaimana dimaklumi dalam komponen inflasi IHK terdapat komponen

yang harganya dipengaruhi oleh kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan

(administered prices). Harga pada kelompok komoditi ini cenderung flat dan berubah bila ada

kebijakan Pemerintah. Selain itu, terdapat komponen yang harganya banyak terpengaruh supply

shocks atau yang bersifat musiman. Untuk itu, diperlukan asesmen untuk melihat secara lebih

rinci faktor-faktor yang bersifat fundamental. Hal ini dimaksudkan agar respon kebijakan moneter

dapat dilakukan secara lebih tepat mengingat kebijakan moneter ditujukan untuk demand

management. Dengan kata lain, respon kebijakan moneter tidak perlu dilakukan secara berlebih

bila sumber tekanan inflasi berasal dari faktor yang bersifat non-fundamental.

Kajian mengenai fenomena persistensi menjadi sangat penting untuk dilakukan dalam

rangka mendukung perumusan kebijakan moneter yang efektif. Hal ini dikarenakan agar

efektifitas kebijakan moneter dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang

berkesinambungan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Inflasi yang tinggi

akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian. Daya beli masyarakat menurun

dan pelaku dunia usaha akan diliputi ketidakpastian yang tinggi. Implikasi dari persistensi inflasi

tersebut juga akan dirasakan di tingkat daerah sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah

daerah setempat untuk dapat berperan aktif dalam mengendalikan inflasi.

Kajian tersebut pada akhirnya diperlukan untuk merumuskan strategi pengendalian inflasi.

Sumber tekanan inflasi yang menyebabkan persistensi inflasi perlu dianalisa secara lebih tajam

sehingga dapat dibedakan sumber tekanan inflasi yang bersifat fundamental dan yang hanya

bersifat sementara atau temporer. Kebijakan moneter tidak dapat digunakan sepenuhnya untuk

merespon tekanan inflasi dari kejutan di sisi pasokan. Diperlukan kebijakan sektoral dan regional

untuk mengurangi tekanan inflasi dari faktor-faktor non-fundamental.

Beberapa studi persistensi inflasi yang telah dilakukan sebelumnya di Indonesia lebih

difokuskan pada skala nasional. Inflasi nasional merupakan rata-rata tertimbang dari inflasi

daerah di Indonesia, maka dirasa perlu untuk mempelajari perilaku inflasi di tingkat daerah,

termasuk mengukur dan mencari penyebabnya, serta mengetahui implikasinya terhadap

pengendalian inflasi daerah dengan fokus kota Jakarta.

Pemilihan wilayah Jakarta didasarkan pada dominasinya terhadap bobot inflasi nasional

dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia. Meskipun terdapat kecenderungan yang

menurun, bobot inflasi kota Jakarta masih merupakan yang terbesar diantara 66 kota yang

diukur melalui Survei Biaya Hidup (SBH). Data tahun 2007 menunjukkan bahwa bobot Jakarta

Page 12: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

8 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

mencapai 22,49% dari bobot nasional (Grafik 1), menurun dari 27,66% berdasarkan SBH

tahun 2002. Alasan lainnya adalah pergerakan volume distribusi barang kebutuhan pokok

yang sangat tinggi di Jakarta. Selanjutnya perilaku inflasi Jakarta tersebut akan dibandingkan

dengan Nasional dan panel 10 daerah dengan kontribusi inflasi tertinggi di Indonesia.

Untuk menjawab tujuan penelitian, cakupan rentang waktu studi meliputi periode Januari

2000 s.d Mei 2008 (Jakarta) dan Januari 2000 s.d Desember 2009 (nasional). Hal ini terkait

dengan ketersediaan data dari BPS hingga di level komoditinya.

Grafik 1.Bobot Inflasi Kota Menurut SBH 2007

II. TEORI

Persistensi inflasi menurut Marques (2005) diartikan sebagai kecepatan tingkat inflasi

untuk kembali ke tingkat ekuilibriumnya setelah timbulnya suatu shock. Tingkat kecepatan

yang tinggi menunjukkan bahwa tingkat persistensi inflasi rendah dan sebaliknya tingkat

persistensi inflasi yang tinggi ditunjukkan oleh lamanya tingkat inflasi kembali ke level

ekuilibriumnya. Definisi yang hampir serupa juga dikemukakan Willis (2003) yang mengartikan

persistensi inflasi sebagai waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk kembali ke baseline setelah

adanya shock. Sementara itu, alternatif definisi yang lebih beragam dikemukakan oleh Batini

Gabungan 56kota lainnya

47,23

Jakarta22,49

Surabaya6,47

Bandung5,38

Medan4,67

Semarang3,48

Palembang2,96

Makasar2,56

Denpasar1,53

Banjarmasin1,54

Padang1,69

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Page 13: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

9Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

(2002) yang membahas tiga tipe persistensi inflasi, yaitu(i) ≈positive serial correlation in inflation∆;

(ii) ≈lags between systematic monetary policy actions and their (peak) effect on inflation∆; (iii)

≈lagged responses of inflation to non-systematic policy actions∆.

Studi mengenai persistensi inflasi penting untuk meningkatkan kemampuan peramalan

inflasi, memperoleh kejelasan efek dinamis dari exogenous price shocks, memberikan informasi/

petunjuk dan memperbaiki kebijakan moneter, dan untuk menilai apakah rezim kebijakan

moneter yang berbeda akan menghasilkan persistensi yang berbeda, Stock (2004).

2.1 Pengukuran Persistensi Inflasi

Untuk mengukur tingkat persistensi inflasi, terdapat dua pendekatan yang dapat

digunakan, yaitu pendekatan univariat dan multivariat model. Pendekatan univariat lebih

menekankan hanya pada aspek data time series, sedangkan pendekatan multivariat mencakup

juga tambahan informasi seperti output riil dan tingkat suku bunga bank sentral (Dossche and

Everaert, 2005). Dari beberapa studi yang telah dilakukan, pendekatan univariat dengan

menggunakan model autoregressive (AR) time series merupakan yang pendekatan yang paling

lazim dalam riset empiris.

Beberapa metode pengukuran skalar (univariat) yang dapat digunakan untuk

menghitung persistensi inflasi, antara lain (i) the sum of the autoregressive(AR) coefficients; (iii)

the largest autoregressive root; (iv) the half-life (Marques, 2005). Dengan model AR, tingkat

persistensi inflasi diukur dari hasil penjumlahan koefisien lag variable dependennya. Sementara

itu, metode LAR (thelargest autoregressive root) secara garis besar dijelaskan oleh Levin dan

Piger (2004). Dalam metode ini, persistensi inflasi diperoleh dengan mencari akar terbesar dari

persamaan 1

0

KK K j

j

j

. Sedangkan metode thehalf-life diadopsi terutama untuk

mengevaluasi persistensi deviasi dari purchasing power parity equilibrium (Marques 2004).

Sebagaimana diuraikan oleh Andrews dan Chen (1994), formula thehalf-life adalah T

n1 ,

dimana n adalah jumlah berapa kali inflasi berada di atas nilai 0,5 ketika terjadi gangguan

sebesar 1 unit dan T adalah jumlah periode observasi. Meskipun terdapat beberapa berbagai

konsep pengukuran tingkat persistensi inflasi yang berbeda, hasil estimasi yang diperoleh ternyata

secara umum tidak jauh berbeda (Clark, 2003).

Fokus penelitian pada proses inflasi memungkinkan penggunaan model univariat dalam

paper ini. Namun demikian, model univariat tidak terlepas dari beberapa keterbatasan, salah

satunya adalah bahwa model ini tidak dapat mengidentifikasi sumber penyebab dari the observed

Page 14: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

10 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

persistence inflasi sehingga terdapat kemungkinan pemicu potensial proses inflasi menjadi

terabaikan.

Marques (2004) menyatakan bahwa model AR merupakan pengukur persistensi inflasi

yang cukup baik, serta berkaitan langsung dengan koefisien mean reversion sebagai alternatif

pengukuran tingkat persistensi inflasi. Formula AR dengan order p dapat dijabarkan sebagai

berikut:

Dari hasil estimasi persamaan tersebut, tingkat persistensi inflasi dihitung dengan

menjumlahkan koefisien AR, 1

K

j

j

. Cara penjumlahan koefisien tersebut merupakan

cara pengukuran skalar persistensi terbaik menurut Andrews dan Chen (1994). Persistensi inflasi

dikatakan tinggi apabila tingkat inflasi saat ini sangat dipengaruhi oleh nilai lag-nya, sehingga

koefisiennya mendekati 1. Dalam hal ini, inflasi dikatakan mendekati unit root process.

Untuk memperoleh hasil estimasi, disetiap series inflasi perlu ditentukan jumlah lag variable

dependen yang sesuai. Dalam penentuannya, dapat digunakan Akaike Information Criterion

(AIC) ataupun Schwarz» Bayesian Information Criterion (SBIC). Sebagaimana dikemukakan Levin

dan Piger (2004), dalam mengukur persistensi dengan AR model, persamaan ekuivalen berikut

perlu dipertimbangkan pula:

(2)

Dimana parameter dinamik φj merupakan transformasi sederhana dari koefisien AR dari

persamaan (1).

(1)

t

1

K

j

j

t

: tingkat inflasi bulanan pada waktu t

: konstanta dari hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap rata-rata inflasi

: jumlah koefisien AR

: random error term atau residual dari regresi persamaan di atas

Page 15: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

11Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

Secara lebih spesifik, konsep persistensi sangat berhubungan dengan Impulse Response

Function (IRF) dari proses AR (p). Marques (2004) menguraikan kelemahan dan keunggulan

masing-masing metode pengukuran persistensi. Konsep Cumulative Impulse Response Function

(CIRF) yang diformulakan sebagai

1

1CIRF menggambarkan adanya hubungan

monotonic antara CIRF dengan koefisien AR (ρ), sehingga perhitungannya sangat tergantung

kepada koefisien AR. Kelemahan lain dari CIRF dan dalam mengukur persistensi inflasi

adalah apabila terdapat 2 series data, kedua metode tersebut tidak bisa membedakan antara

series yang awalnya meningkat sangat tinggi yang kemudian diikuti dengan penurunan secara

perlahan dengan series yang awalnya peningkatannya rendah dan kemudian diikuti dengan

penurunan yang tinggi di IRF-nya. Terlepas dari adanya keterbatasan yang menjadi kelemahan

dari metode univariat, metode skalar pengukuran persistensi ini harus dilihat sebagai metode

untuk mengestimasi kecepatan rata-rata inflasi untuk kembali ke nilai equilibriumnya setelah

timbulnya suatu shock. Metode pengukuran skalar ini dinilai semakin handal apabila kecepatan

konvergensi series inflasi semakin seragam.

Beberapa kritik terhadap metode the half life dalam perhitungan tingkat persistensi inflasi

juga telah dilontarkan dalam penelitian sebelumnya. Apabila IRF bersifat oscillating, metode ini

dapat menghasilkan persistensi proses inflasi yang terlalu rendah. Di samping itu, bila proses

inflasi bersifat sangat persisten, output dari the half-life sangat besar sehingga sulit untuk bisa

membedakan perubahan persistensi seiring berjalannya waktu. Namun seringkali metode ini

lebih disukai karena lebih mudah dipahami karena pengukurannya dalam unit waktu.Karena

keterbatasan tersebut, beberapa penulis melakukan perhitungan the half life secara langsung

dari IRF.Sementara itu, kritik terhadap metode the largest autoregressive rootpernah diungkapkan

Marques (2004). Pengukuran persistensi dengan metode ini dinilai tidak cukup baik karena

fungsinya juga tergantung pada root lainnya, bukan hanya pada root terbesarnya. Namun,

keunggulan dari metode ini adalah kemudahannya dalam menghitung asymptotically valid

convidence intervals untuk hasil estimasinya.

Hasil pengukuran derajat persistensi inflasi dengan model AR yang diestimasi dengan

menggunakan OLS dapat dibandingkan dengan hasil estimasi bootstrap. Hal ini juga berguna

untuk mengantispasi kemungkinan pengukuran yang kurang valid apabila derajat persistensi

mendekati angka 1, sehingga robustness check penting untuk dilakukan. Prosedur ini telah

digunakan dibeberapa penelitian sebelumnya, antara lain O»Reilly dan Whelan (2004) dan

Alamsyah (2008).

Melengkapi pengamatan terhadap perubahan perilaku inflasi, metode rolling regression

dapat digunakan untuk melihat apakah proses inflasi mengalami perubahan seiring dengan

Page 16: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

12 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

waktu, dengan cara melihat evolusi dari koefisien AR. Metode ini telah dilakukan pula dibeberapa

penelitian terdahulu antara lain Pivetta & Reis (2006), Debelle and Wilkinson (2002), O»Reilly

dan Whelan (2004) dan Alamsyah (2008). Secara umum disimpulkan bahwa hasil estimasi

derajat persistensi inflasi dengan metode tersebut menunjukkan telah terjadi perubahan proses

inflasi di negara-negara yang menjadi obyek sampel. Namun demikian, metode ini juga memiliki

kelemahan karena tidak terlalu akurat menunjukkan saat terjadinya perubahan tingkat persistensi

inflasi, sehingga pengaruh faktor-faktor seperti perubahan kebijakan moneter tidak dapat

ditangkap secara jelas.

Dalam melakukan analisis terhadap derajat persistensi inflasi, perlu juga dipertimbangkan

keberadaan structural breaks. Beberapa literatur menyebutkan bahwa estimasi tingkat persistensi

inflasi akan berlebihan (exaggerated) apabila keberadaan structural break nilai rata-rata inflasi

tidak diperhitungkan. Beberapa teknik seperti Andrew and Quandt test ataupunChow testdapat

dilakukan untuk melakukan tes terhadap keberadaan structural break.

Untuk mengukur berapa lama waktu yang diperlukan inflasi dalam menyerap 50%

shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-ratanya, dapat digunakan formula (Gujarati,

2003) dengan formula sederhana

1

h . Adapun h merupakan waktu yang diperlukan

inflasi dalam menyerap 50% shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-ratanya dan ρ

adalah hasil estimasi derajat persistensi inflasi.

Beberapa studi terkait dengan persistensi inflasi telah dilakukan di Indonesia, antara lain

oleh Alamsyah (2008), Yanuarti (2007), Tim Inflasi Bank Indonesia (2006). Seluruh penelitian

tersebut lebih ditekankan pada persistensi inflasi nasional dan terbatas pada persistensi inflasi

umum dan kelompok komoditas.Secara umum ditemukan bahwa derajat peristensi inflasi di

Indonesia relatif tinggi pada periode pengamatan, meskipun terdapat kecenderungan menurun

pada periode paska krisis tahun 1997/1998. Namun demikian, belum ada studi mengenai

peristensi inflasi yang dilakukan ditingkat daerah dan mencakup hingga ke level komoditi

pembentuk inflasi daerah dan nasional.

Studi yang dilakukan Alamsyah (2008) ditujukan untuk melihat perubahan perilaku inflasi

di Indonesia pada masa sebelum dan sesudah krisis, serta melihat sumber penyebab persistensi

inflasi, terutama yang berasal dari perilaku mikro pengusaha yang didekati dengan model hybrid

NKPC. Dengan menggunakan pendekatan univariate, yaitu the sum of autoregressive coefficient

(AR (1)) ditemukan bahwa derajat persistensi di Indonesia relatif tinggi pada periode pengamatan

1985-2007. Namun demikian, derajat persistensi tersebut cenderung menurun pada masa setelah

krisis ekonomi. Ditemukan pula bahwa inflasi di Indonesia berperilaku campuran yang merupakan

kombinasi dari perilaku backward dan forward looking. Oleh karena itu, upaya penjangkaran

Page 17: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

13Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

ekspektasi inflasi menuju ke target yang ditetapkan bank sentral diperlukan untuk mengendalikan

inflasi dan meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter di Indonesia.

Sementara itu, studi sebelumnya oleh Yanuarti (2007) bertujuan untuk mengukur derajat

persistensi inflasi di Indonesia serta meneliti apakah terjadi perubahan derajat persistensi inflasi

pada kurun waktu 1990-2006. Dengan menggunakan full sample, ditemukan bahwa derajat

persistensi inflasi di Indonesia sangat tinggi, namun cenderung menurun pada periode setelah

krisis. Temuan ini sejalan dengan temuan Alamsyah (2008).

2.2 Penyebab Persistensi Inflasi

Sumber tekanan inflasi dapat dilihat melalui persamaan New Keynesian Philips Curve

(NKPC), dimana penyebab persistensi inflasi dapat dilihat berdasarkan perilaku inflasi yang

melihat ke depan (forward looking) dan ke belakang (backward looking). Pendekatan ini

merupakan pengembangan dari model awal inflasi yang menggambarkan dinamika inflasi

sebagaimana tertuang dalam NKPC:

Selanjutnya, menurut Gali dan Gertler (1999), selain berorientasi forward looking, inflasi

juga memiliki perilaku yang backward looking. Kedua perilaku tersebut tergambar dari model

Hybrid NKPC yang menangkap karakteristik persistensi inflasi.

Persamaan struktural inflasi yang seringkali disebut sebagai hybrid New Keynesian Phillips

Curve, tercakup dalam persamaan di bawah ini (Angeloni et. al, 2004) :

dimana adalah inflasi pada waktu t; Et (π

t +1) adalah ekspektasi inflasi pada waktu t+1 dengan

kondisi informasi pada waktu t, µt adalah output gap dan ξ

t adalah unsur shock eksogen.

Dengan melihat sisi kanan dari persamaan tersebut, dapat diperkirakan empat sumber

inflasi: (i) extrinsic persistence yang terkait dengan persistensi pada biaya marjinal ataupun

output gap; (ii) intrinsic persistence yang terkait dengan dependensi inflasi terhadap inflasi

periode sebelumnya (backward looking expectation); (iii) expectations-based persistence yang

terkait dengan pembentukan ekspektasi inflasi yang didasarkan pada kondisi ke depan (forward

looking); dan (iv) error term persistence akibat pengaruh kejutan sisi pasokan atau inflation

shock yang terjadi.

1 tttt Ey

Page 18: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

14 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

III. METODOLOGI

3.1 Teknik Estimasi

Estimasi persistensi inflasi dilakukan dengan melihat proses univariate autoregressive (AR)

time series model sebagaimana Marques (2004) karena model AR tersebut merupakan pengukur

persistensi inflasi yang cukup baik serta berkaitan langsung dengan koefisien mean reversion

sebagai alternatif pengukuran tingkat persistensi inflasi. Formula AR dengan order p dapat

dijabarkan sebagai berikut:

(3)

t

1

K

j

j

t

: tingkat inflasi bulanan pada waktu t

: konstanta dari hasil proses estimasi, sebagai kontrol terhadap rata-rata inflasi

: jumlah koefisien AR

: random error term atau residual dari regresi persamaan di atas

Tingkat persistensi inflasi dihitung dengan menjumlahkan koefisien AR . Persistensi

inflasi dikatakan tinggi apabila tingkat inflasi saat ini sangat dipengaruhi oleh nilai lag-nya,

sehingga koefisiennya mendekati 1. Dalam hal ini, inflasi dikatakan mendekati unit root process.

Untuk estimasi ρ, penentuan jumlah lag variable dependen yang sesuai menggunakan

Akaike Information Criterion (AIC) dan atau Schwarz» Bayesian Information Criterion (SBIC).

Untuk melihat robustness hasil yang diperoleh dilakukan pula prosedur bootstrap dan rolling

regression. Tes structural breakdilakukan dengan menerapkan teknik seperti Quandt (1960)

dan Chow testuntuk melakukan tes terhadap known dan unknown break. Untuk mengukur

berapa lama waktu yang diperlukan inflasi dalam menyerap 50% shock yang terjadi sebelum

kembali ke nilai rata-ratanya, digunakan formula:

Dalam paper ini penyebab persistensi inflasi dapat dilihat berdasarkan perilaku inflasi

yang melihat ke depan (forward looking) dan ke belakang (backward looking) sebagai berikut:

Page 19: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

15Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

dimana πt adalah inflasi pada waktu t; E

t (π

t +1) adalah ekspektasi inflasi pada waktu t+1

dengan kondisi informasi pada waktu t, µt adalah output gap dan ξ

t adalah unsur shock

eksogen. Variabel yang signifikan dan memiliki koefisien yang besar adalah variabel yang menjadi

sumber utama tekanan inflasi. Berangkat dari analisis mengenai sumber tekanan inflasi tersebut,

dilakukan analisis lebih lanjut untuk melihat sumber persistensi inflasi.

Dalam analisis sumber persistensi inflasi difokuskan hanya pada 5 komoditi yang memiliki

derajat persistensi inflasi tertinggi. Lima komoditi tersebut merupakan komoditi yang sangat

penting dalam pengendalian inflasi. Untuk menganalisis sumber persistensi inflasi digunakan

anecdotal information dan analisis serta kajian yang pernah dilakukan terkait dengan komoditi

tersebut. Informasi yang dikumpulkan antara lain mengenai struktur pasar dan karakteristik

inflasi komoditi dimaksud.

3.2 Data

Data yang akan digunakan dalam analisis persistensi inflasi ini meliputi:

1. Inflasi bulanan (year-on-year), diukur dengan menggunakan Indeks Harga Konsumen

(IHK)total seluruh kota di Indonesia (inflasi Nasional) dan IHK Kota Jakarta, serta IHK 9

daerah lainnya yang memiliki bobot terbesar terhadap inflasi nasional. Adapun data tersebut

menggunakan tahun dasar 2002. IHK tersebut dapat dirinci ke dalam 7 (tujuh) kelompok

komoditi yang meliputi: (i) Bahan makanan, (ii) Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau,

(iii) Perumahan, (iv) Sandang, (v) Kesehatan, (vi) Pendidikan, rekreasi & olah raga, dan (vii)

Transportasi dan komunikasi. Rentang sampel yang digunakan dimulai sejak Januari 2000 -

Mei 2008 (Desember 2009 untuk nasional). Sumber data IHK diperoleh dari Biro Pusat

Statistik dan International Financial Statistics (IFS).

2. Target inflasi tahunan (sumber: Bank Indonesia)

Penggunaan data inflasi year-on-year terutama dilatarbelakangi beberapa alasan

sebagaimana yang pernah dikemukakan Babecky (2008) sebagai berikut:

1. Penggunaan data inflasi month-to-month (m-t-m) ataupun quarter-to-quarter (q-t-q) sangat

terkait dengan faktor seasonal sehingga dikhawatirkan kurang dapat menggambarkan

tingkat persistensi inflasi yang sebenarnya

2. Kedua ukuran inflasi tersebut m-t-m dan q-t-q bukan merupakan ukuran yang dimonitor

oleh agen ekonomi tertentu

Page 20: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

16 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

3. Bank sentral dalam menentukan target inflasi lebih didasarkan pada perubahan inflasi

tahunan (y-o-y).

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1 Perkembangan Inflasi Jakarta

Inflasi Jakarta memiliki pola yang hampir serupa dengan inflasi nasional.Dalam kurun

waktu 25 tahun terakhir, rata-rata tingkat inflasi Jakarta tidak banyak mengalami perubahan

yang signifikan. Baik pada periode sebelum dan setelah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun

1997/1998, rata-rata inflasi cenderung bertahan pada kisaran angka 8% (di luar periode krisis).

Sementara itu, dibandingkan dengan negara-negara di kawasan seperti Malaysia, Thailand

dan Filipina pada kurun waktu tersebut, inflasi Indonesia masih relatif lebih tinggi (Alamsyah,

2008). Kecenderungan bertahannya tingkat inflasi pada tingkat yang cukup tinggi tersebut

perlu dicermati lebih jauh untuk dapat menentukan langkah-langkah yang tepat dalam

pengendaliannya.

Grafik 2.Perkembangan Inflasi Nasional dan Jakarta dan Nasional

Cenderung tingginya tingkat inflasi Jakarta masih terlihat setelah penerapan ITF di

Indonesia.Secara formal, ITF mulai diterapkan pada Juli 2005 dengan penetapan target inflasi

secara berkala secara transparan. Grafik 3 menggambarkan bahwa realisasi inflasi baik Jakarta

maupun Nasional masih seringkali tidak dapat mencapai target yang ditetapkan. Hal ini

menggambarkan lambatnya proses penurunan inflasi di Indonesia. Level terendah inflasi tahunan

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90Jakarta

NasionalRata-rata Inflasi Jakarta

Rata-rata Inflasi Nasional

Jan1986

Jan1988

Jan1990

Jan1992

Jan1994

Jan1996

Jan1998

Jan2000

Jan2002

Jan2004

Jan2006

Jan2008

Page 21: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

17Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

hingga tahun 2008 yang dapat dicapai masih berada di atas 5%. Jika dibandingkan dengan

rata-rata inflasi negara yang telah mengadopsi ITF, tingkat inflasi di Indonesia tergolong masih

relatif tinggi.

Grafik 3.Target dan Realisasi Inflasi

Perkembangan inflasi Jakarta juga menunjukkan pola yang hampir serupa dengan inflasi

daerah lainnya di Indonesia. Perkembangan inflasi beberapa kota besar di Indonesia secara

visual digambarkan pada Grafik 4.

Grafik 4.Inflasi Beberapa Kota Besar di Indonesia

-5

0

5

10

15

20

25

30BanjarmasinSurabayaPalembangPadangBandungSemarang

JakartaMedanMakassarDenpasarNasional

2003 2004 2005 2006 2007 2008Jan MarMei Jul Sep NovJan MarMei Jul SepNov Jan MarMei Jul Sep Nov Jan MarMei Jul Sep Nov Jan MarMei Jul Sep Nov Jan MarMei

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

18

16

14

12

10

8

6

4

2

1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Target Inflasi Terendah

Target Inflasi TertinggiInflansi Aktual Nasional

Inflansi Aktual Jakarta

Page 22: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

18 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Secara statistik deskriptif, perbandingan perilaku inflasi Jakarta berdasarkan central

tendency measurement seperti mean, trimmed mean dan median serta dispersi data berupa

standar deviasi inflasi diperlihatkan pada Tabel 1. Dari ukuran-ukuran tersebut, perilaku

inflasi Jakarta terlihat tidak jauh berbeda dengan inflasi nasional yang ditunjukkan pada

Tabel 2.

Pada periode pengamatan full sample, rata-rata inflasi baik Jakarta maupun nasional

berada pada level 8%. Demikian pula jika diuraikan ditingkat kelompok komoditi, terlihat bahwa

rata-ratanya masih mendekati level tersebut. Sementara itu, rata-rata inflasi baik secara umum

maupun kelompok komoditi pada periode pra- dan paska-ITF tidak menunjukkan perbedaan

yang signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia masih menunjukkan perilaku

Tabel 1. Statistik Deskriptif Inflasi Kelompok Komoditi JakartaPeriode Data: Januari 2000 - Mei 2008

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Mean Trimmedmean

Median SD Mean Trimmedmean Median SD Mean

Trimmedmean Median SD

Umum 8,48 8,44 7,13 3,75 7,89 7,98 7,05 3,29 9,59 9,51 7,65 4,32

Kelompok Komoditi

1 Bahan makanan 8,66 8,61 9,75 5,16 6,19 6,08 5,79 4,27 13,31 13,36 12,83 3,06

2 Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau 8,69 8,54 8,53 4,32 8,92 8,83 8,21 4,50 8,25 8,20 8,88 3,96

3 Perumahan 8,80 8,79 8,84 2,38 9,13 9,12 9,30 1,77 8,19 8,15 7,89 3,18

4 Sandang 6,58 6,51 6,63 2,86 5,96 5,89 6,18 2,80 7,74 7,71 7,81 2,63

5 Kesehatan 6,07 5,69 4,46 3,64 6,32 5,97 4,37 4,28 5,59 5,57 5,43 1,91

6 Pendidikan, rekreasi & olah raga 9,17 8,63 7,96 6,41 10,41 10,04 8,38 7,51 6,84 6,82 6,47 2,07

7 Transport dan komunikasi 11,23 10,26 9,44 10,22 10,38 10,17 10,28 5,58 12,83 12,38 1,41 15,60

Pra - ITF Paska - ITFNo Kelompok Komoditi

Full Sampel

Mean Trimmedmean

Median SD Mean Trimmedmean Median SD Mean

Trimmedmean Median SD

Pra - ITF Paska - ITFNo Kelompok Komoditi

Full Sampel

Umum 8,36 8,31 7,40 4,06 7,80 7,91 7,36 3,49 9,04 8,94 7,45 4,61

Kelompok Komoditi

1 Bahan makanan 8,34 8,64 8,61 6,58 4,80 5,02 6,25 5,78 12,67 12,71 12,38 4,65

2 Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau 8,98 8,94 8,79 3,29 8,76 8,68 8,79 3,86 9,25 9,19 8,78 2,44

3 Perumahan 8,94 8,98 8,66 5,12 9,89 9,91 9,83 2,96 7,78 7,72 6,61 6,76

4 Sandang 7,06 6,98 6,16 2,62 6,74 6,63 5,61 2,87 7,46 7,43 7,16 2,24

5 Kesehatan 6,10 5,94 5,76 2,01 6,57 6,44 6,21 2,40 5,52 5,51 5,35 1,19

6 Pendidikan, rekreasi & olah raga 8,88 8,91 8,71 2,74 10,33 10,41 10,27 2,32 7,11 7,12 7,99 2,09

7 Transport dan komunikasi 9,85 8,97 6,18 11,11 9,96 9,73 9,39 5,67 9,71 8,98 1,42 15,42

Tabel 2. Statistik Deskriptif Inflasi Kelompok Komoditi NasionalPeriode data: Januari 2000-Desember 2009

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Page 23: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

19Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

yang cenderung persisten paska-ITF. Di samping itu, volatilitas inflasi di kedua periode tersebut

juga tidak banyak mengalami perubahan. Adanya shock pada kelompok transportasi dan

komunikasi yang dipicu oleh kenaikan harga BBM pada tahun 2005 menjadi salah satu penyebab

tingginya standar deviasi inflasi di kelompok tersebut.

4.2 Pengukuran Derajat Persistensi Inflasi Jakarta2

Pemilihan komoditi ditentukan berdasarkan rata-rata sumbangan inflasi terbesar

terhadap pembentukan inflasi IHK Jakarta dalam 5 tahun terakhir. Dari sekitar 774 komoditi

(termasuk kelompok/sub kelompok komoditi) pembentuk keranjang IHK Jakarta, dipilih 28

jenis komoditi yang mewakili 66,35% dari rata-rata inflasi Jakarta pada periode tersebut.

Beras, bensin, angkutan dalam kota, kontrak rumah, sewa rumah, tarif PAM dan minyak

tanah merupakan komoditi yang sumbangan inflasinya terbesar dibandingkan dengan

komoditi lainnya. Besarnya sumbangan inflasi masing-masing komoditi tersebut dicantumkan

pada Tabel 3.

2 Waktu penerapan ITF secara formal di Indonesia dimulai sejak Juli 2005 (website Bank Indonesia: www.bi.go.id). Di penelitian lainoleh Harmanta (2009), periode sampai dengan Juni 2005 disebut sebagai Lite-ITF dan sejak Juli 2005 sebagai Full-ITF.

Tabel 3.Kontribusi Komoditi Terpilih Pembentuk Inflasi Jakarta

No Komoditi Jakarta Kontribusi No Komoditi Jakarta Kontribusi

Umum/total 8,12

1 Beras 0,65 15 Gas elpiji 0,09

2 Daging ayam ras 0,07 16 Minyak tanah 0,31

3 Daging sapi 0,04 17 Tarif PAM 0,33

4 Tempe 0,05 18 Tarif listrik 0,21

5 Cabe 0,03 19 Upah pembantu 0,11

6 Minyak goreng 0,07 20 Emas 0,16

7 Ayam goreng 0,08 21 Tarif RS 0,03

8 Mie 0,09 22 SD 0,09

9 Gula pasir 0,07 23 SLTP 0,08

10 Rokok kretek 0,06 24 SLTA 0,08

11 Rokok kretek filter 0,09 25 PT 0,12

12 Kontrak rumah 0,83 26 Angkutan antar kota 0,07

13 Sewa rumah 0,23 27 Angkutan dalam kota 0,72

14 Tukan bukan mandor 0,16 28 Bensin 0,48

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Page 24: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

20 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Tabel 4. Derajat Persistensi Inflasi Kelompok Komoditi dan Komoditi Terpilih √ Jakarta(Sebelum mengakomodir structural break)

Periode Pengamatan: Januari 2000 √ Mei 2008Jumlah Observasi: 101

OLS Bootstrap Rolling Regression

Umum 0,94 0,79 0,90

Kelompok Komoditi

1 Bahan makanan 0,98 0,84 0,86

2 Makanan jadi, minuman, rokok & tembakau 0,92 0,83 0,92

3 Perumahan 0,84 0,61 0,80

4 Sandang 0,88 0,73 0,87

5 Kesehatan 0,93 0,87 0,89

6 Pendidikan, rekreasi & olah raga 0,90 0,73 0,77

7 Transport dan komunikasi 0,90 0,74 0,86

Komoditi

1 Beras 0,94 0,88 0,93

2 Daging ayam ras 0,68 0,35 0,49

3 Daging sapi 0,93 0,82 0,91

4 Tempe 0,61 0,86 0,81

5 Cabe 0,72 0,37 0,68

6 Minyak goreng 0,94 0,78 0,85

7 Ayam goreng 0,80 0,67 0,65

8 Mie 0,69 0,40 0,64

9 Gula pasir 0,90 0,78 0,88

10 Rokok kretek 0,78 0,87 0,83

11 Rokok kretek filter 0,61 0,72 0,84

12 Kontrak rumah 0,90 0,73 0,86

13 Sewa rumah 0,92 0,80 0,85

14 Tukan bukan mandor 0,84 0,51 0,70

15 Gas elpiji 0,78 0,50 0,93

16 Minyak tanah 0,76 0,78 0,89

17 Tarif PAM 0,87 0,51 0,73

18 Tarif listrik 0,82 n/a n/a19 Upah pembantu 0,97 0,77 0,80

20 Emas 0,90 0,61 0,82

21 Tarif RS 0,80 0,69 0,73

22 SD 0,73 0,59 0,80

23 SLTP 0,80 0,61 0,82

24 SLTA 0,90 0,74 0,70

25 PT 0,88 0,90 0,89

26 Angkutan antar kota 0,84 0,63 0,86

27 Angkutan dalam kota 0,88 0,55 0,67

28 Bensin 0,74 0,78 0,86

* Penentuan lag optimum berdasarkan kriteria SBIC, AIC, HQIC

Derajat Persistensi Inflasi Jakarta*No Komoditi

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Page 25: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

21Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

Disamping pengukuran derajat persistensi inflasi hingga ke level komoditi dominan

pembentuk inflasi di Jakarta, dilakukan pula pengukuran tingkat persistensi inflasi IHK

berdasarkan disagregasinya, yang terbagi menjadi inflasi inti, inflasi volatile food dan inflasi

administered price.

Hasil estimasi derajat persistensi inflasi di wilayah Jakarta berdasarkan kelompok komoditi

dan komoditi pembentuk IHK Jakarta disajikan pada Tabel 4. Derajat persistensi inflasi tersebut

diperoleh dengan menjumlahkan seluruh koefisien AR sesuai dengan lag optimum inflasi masing-

masing komoditi/kelompok komoditi. Penentuan lag optimum dilakukan dengan menggunakan

kriteria AIC/HQIC/SBIC. Pengukuran derajat persistensi inflasi Jakarta dengan menggunakan 3

teknik yang berbeda menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda, meskipun teknik OLS dan

rolling regression memperlihatkan hasil estimasi yang lebih dekat dibandingkan dengan OLS

dan bootstrap.

Dengan menggunakan full sample, hasil estimasi derajat persistensi Jakarta secara umum

menunjukkan bahwa inflasi IHK Jakarta masih sangat persisten. Hal ini sejalan dengan persistensi

inflasi nasional yang pada periode pengamatan yang sama juga menunjukkan angka persistensi

yang tinggi3. Dari 7 kelompok komoditi pembentuk IHK, hampir seluruhnya menunjukkan derajat

persistensi inflasi yang tinggi. Hanya kelompok perumahan yang tingkat persistensi inflasinya

tidak setinggi kelompok komoditi lainnya.

Hasil estimasi juga menunjukkan bahwa derajat persistensi inflasi kelompok bahan

makanan yang karakteristiknya inflasinya banyak dipengaruhi oleh shock gangguan pasokan

dan distribusi terlihat masih cukup tinggi. Sementara itu, kelompok komoditi yang persistensi

inflasinya tertinggi yang secara konsisten ditunjukkan oleh hasil estimasi ketiga pendekatan

pada Tabel 4 adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dan kelompok

kesehatan. Di tingkat komoditas, beras, daging sapi, minyak goreng, gula pasir, kontrak rumah,

dan sewa rumah merupakan beberapa komoditi yang tertinggi tingkat persistensi inflasinya

dibandingkan dengan komoditi terpilih lainnya.

Tingginya derajat persistensi inflasi tersebut diperkirakan terkait dengan shocks yang

banyak memengaruhi perkembangan inflasi di Indonesia pada umumnya. Untuk itu, perlu

dilakukan uji untuk melihat apakah terdapat structural break pada data inflasi.Quandt-Andrews

test terhadap series inflasi dilakukan untuk melihat apakah terdapat structural break selama

periode pengamatan. Berdasarkan hasil tes tersebut, terdapat structural break di series data

inflasi umum dan beberapa kelompok komoditi (kelompok perumahan, kelompok pendidikan,

3 Sebagaimana hasil pengukuran derajat persistensi inflasi nasional yang disajikan pada Tabel 4.

Page 26: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

22 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

rekreasi & olah raga, dan kelompok transportasi dan komunikasi) serta komoditi (tempe, rokok

kretek, rokok kretek filter, gas elpiji, minyak tanah dan SLTA), disajikan pada Tabel 5.

Setelah mengakomodir structural break pada series data inflasi Jakarta, derajat persistensi

inflasi menunjukkan sedikit perbedaan. Beberapa komoditi memperlihatkan penurunan derajat

persistensi inflasi, namun beberapa komoditi lainnya menunjukkan peningkatan. Dengan

demikian, untuk Jakarta, keberadaan structural break tidak selalu menyebabkan pengukuran

derajat persistensi inflasi yang berlebihan.

Tingginya derajat persistensi inflasi Jakarta tercermin pula dari lamanya waktu yang

dibutuhkan oleh inflasi untuk menyerap 50% shock yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-

ratanya. Dengan melihat hasil estimasi OLS, waktu yang dibutuhkan oleh kelompok komoditi

mencapai 5 sampai 13 bulan. Kelompok komoditi dengan derajat persistensi inflasi tertinggi

adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau dan kelompok transport dan

komunikasi yang memerlukan waktu kurang lebih 12 bulan sebelum kembali ke nilai rata-

ratanya. Sementara kelompok kesehatan memerlukan waktu sekitar 13 bulan. Ketiga kelompok

tersebut merupakan kelompok komoditi dengan derajat persistensi inflasi tertinggi yang secara

konsisten ditunjukkan oleh 3 teknik pengukuran yang digunakan. Meskipun estimasi OLS yang

digambarkan pada Grafik 4 menghasilkan derajat persistensi inflasi yang sangat tinggi untuk

kelompok bahan makanan, hasil tersebut tidak didukung oleh 2 teknik lainnya.

Tabel 5. Derajat Persistensi Inflasi Kelompok Komoditi dan Komoditi Terpilih √Dengan dan Tanpa Structural Break √ Jakarta

NoDerajat Persisitensi Inflasi Jakarta

1 Umum 0,94 0,932 Perumahan 0,84 0,833 Pendidikan, rekreasi & olah raga 0,90 0,874 Transport dan komunikasi 0,90 0,925 Tempe 0,61 0,926 Rokok kretek 0,78 0,867 Rokok kretek filter 0,61 0,608 Gas elpiji 0,78 0,869 Minyak tanah 0,76 0,96

10 SLTA 0,90 0,86

Komoditi

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

Tanpa SB Dengan SB

Page 27: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

23Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

Grafik 5. Waktu yang Dibutuhkan Inflasi KelompokKomoditi Kembali ke Nilai Rata-rata (Bulan) √ Jakarta

(Setelah mengakomodir structural break)

Grafik 6. Waktu yang Dibutuhkan Inflasi KomoditiKembali ke Nilai Rata-rata (Bulan) √ Jakarta

(Setelah mengakomodir structural break)

11,94

40,04

4,88

7,04

12,81

6,69

11,50

Bahan Makanan

Makanan jadi, minuman,rokok dan tembakau

Perumahan

Sandang

Kesehatan

Pendidikan, rekreasidan olahraga

Transport dan komunikasi

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

2,857,57

5,127,50

6,144,09

2,773,99

8,90

4,526,90

6,145,16

11,93

4,491,50

6,148,55

2,21

3,96

2,56

2,0915,74

13,16

11,50

16,16

24,00

37,78

BensinAngkutan dalam kotaAngkutan antar kota

PTSLTASLTP

SDTarif RS

EmasUpah pembantu

Tarif listrikTarif PAM

Minyak tanahGas elpiji

Tukang bukan mandorSewa rumah

Kontrak rumahRokok kretek filter

Rokok kretekGula pasir

MieAyam goreng

Minyak gorengCabe

TempeDaging sapi

Daging ayam rasBeras

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Page 28: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

24 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

OLS Bootstrap Rolling Regression

Derajat Persistensi Inflasi Jakarta*No Komoditi

1 Inflasi IHK 0,89 0,74 0,91

2 Inflasi Inti 0,88 0,69 0,89

3 Inflasi Administered Price 0,89 0,72 0,89

4 Inflasi Volatile Food 0,92 0,81 0,86

* Penentuan lag optimum berdasarkan kriteria SBIC, AIC, HQIC

Dilihat dari komoditi pembentuk keranjang IHK, komoditi yang menunjukkan persistensi

tertinggi adalah beras, daging sapi, minyak goreng, gula pasir, kontrak rumah dan sewa rumah.

Sementara itu, komoditi yang memperlihatkan derajat persistensi terendah sebagian besar

berasal dari kelompok bahan makanan, seperti daging ayam ras dan cabe. Disamping itu, mie

yang termasuk dalam kelompok makanan jadi juga memperlihatkan tingkat persistensi yang

relatif paling rendah dibandingkan dengan komoditi terpilih lainnya. Waktu yang dibutuhkan

inflasi komoditi kembali ke rata-ratanya juga mendukung hasil pengukuran derajat persistensi

tersebut (Grafik 6).

Dilihat berdasarkan disagregasinya, inflasi Jakarta terbagi menurut inflasi inti, inflasi

administered price, dan inflasi volatile food. Tabel 6 mencantumkan hasil estimasi derajat

persistensi inflasi Jakarta dengan menggunakan 3 teknik yaitu OLS, bootstrap dan rolling

regression. Ketiga jenis inflasi tersebut masih sangat persisten pada periode pengamatan, terlihat

Grafik 7.Waktu Kembali ke Rata-rata (Bulan) - Inflasi Jakarta

Tabel 6. Derajat Persistensi Inflasi Berdasarkan Disagregasi Inflasi √ JakartaInflasi bulanan (y-o-y) pada periode Jan 2003 - Mar 2008

Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah

8,28

7,13

7,74

11,98

Inflasi IHK

Inflasi Inti

Inflasi Administered Price

Inflasi Volatile Food

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Page 29: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

25Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

dari derajat persistensi inflasi yang tergolong masih tinggi (0.88 - 0.92), sehingga untuk kembali

ke rata-ratanya membutuhkan waktu antara 7-12 bulan (Grafik 7).

Gambaran pemetaan hasil estimasi derajat persistensi inflasi yang telah dilakukan dengan

menggunakan full sample dan tingkat inflasi masing-masing komoditi ditampilkan pada

Gambar 1.

Gambar 1.Mapping Inflasi Jakarta

Di kuadran 1 adalah komoditi dengan tingkat persistensi inflasi tinggi dan inflasi tinggi,

di kuadran 2 adalah komoditi dengan dengan tingkat persistensi inflasi tinggi dan inflasi rendah,

di kuadran 3 adalah komoditi dengan dengan tingkat persistensi inflasi rendah dan inflasi

rendah, dan di kuadran 4 adalah komoditi dengan dengan tingkat persistensi inflasi rendah

dan inflasi tinggi. Penggolongan ke dalam tiap kuadran didasarkan pada kategori inflasi tinggi

apabila tingkat inflasi > 10% dan persistensi inflasi tinggi apabila > 0,80. Berdasarkan pemetaan

tersebut, perhatian lebih perlu diarahkan kepada komoditi-komoditi yang terletak di kuadran

1. Namun demikian, komoditi-komoditi tersebut sebagian merupakan komoditi administered

price yang harganya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah, seperti tarif listrik, tarif PAM,

rokok kretek, gas elpiji, minyak tanah, angkutan dalam kota, angkutan antar kota. Hal ini

mengimplikasikan perlunya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah dengan bank sentral

dalam upaya pengendalian inflasi di daerah.

Kuadran

2

Persistensi Inflasi

Kuadran

1

Kuadran

3

Kuadran

4

Inflasi

Upah pembantuDaging sapi

Sewa rumahKontrak rumah

Tarif RSAyam goreng

Mie

BerasTempeGula pasirMinyak gorengEmasSLTASLTPPTTarif PAM

Tarif listrikRokok kretekGas elpijiMinyak tanahAngkutan dalam kotaAngkutan antar kotaTukang bukan mandor

CabeDaging ayam rasSDSLTPRokok kretek filterBensin

Sumber : Badan Pusat Statistik, diolah

Page 30: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

26 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

NKPC2SLS RegressionSampel : 2000Q1 - 2009Q4Jumlah Observasi : 37Variabel dependen : Inflasi

Independen variabel Koefisien Parameter

L1.Inflasi 0,46***(0,08)

F.Inflasi 0,54***(0,08)

Outputgap 0,180,22

Konstanta 0,07(0,25)

R-squared 0,79

Instrument Variables : L2.Inflasi Pertumbuhan harga minyak

4.3 Penyebab Persistensi Inflasi Jakarta

Pendekatan lain untuk melihat penyebab peristensi inflasi adalah dengan menggunakan

model Hybrid New Keynesian Philips Curve, mengikuti beberapa penelitian terdahulu, antara

lain oleh Alamsyah (2008) dan Mehrotra et al (2007). Dengan metode ini, penyebab persistensi

inflasi dilihat berdasarkan perilaku inflasi yang melihat ke depan (forward looking) dan ke

belakang (backward looking). Kedua perilaku tersebut tergambar dari model Hybrid NKPC

yang menangkap karakteristik persistensi inflasi sebagai berikut:

Tabel 7.Hasil Estimasi Hybrid NKPC

Estimasi model hybrid NKPC dilakukan dengan menggunakan teknik 2SLS (Two Stages

Least Squares), dengan menambahkan restriksi parameter inflasi sehingga menjadi sama

dengan 1. Hasil estimasi yang disajikan pada Tabel 7 menunjukkan bahwa inflasi Jakarta pada

periode pengamatan berperilaku campuran, dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi ke depan

(forward looking) dan ke belakang (backward looking). Hal ini ditunjukkan oleh magnitude

kedua parameter yang hampir seimbang menandakan bahwa pengaruh ekspektasi forwad

dan backward looking tidak jauh berbeda. Disamping itu, pengujian dengan menggunakan

Wald test juga menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara koefisien

Page 31: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

27Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

forward dan backward looking inflasi Jakarta. Kondisi tersebut memperlihatkan perlunya upaya

yang lebih intensif untuk mengubah perilaku ekspektasi inflasi ke arah forward looking.

Sementara itu, data output gap diperoleh dengan menggunakan teknik HP filter. Untuk

Jakarta, terlihat bahwa parameter output gap tidak cukup signifikan memengaruhi inflasi Jakarta.

Dengan demikian, pengaruh output gap terhadap inflasi belum dapat disimpulkan.

Inflasi yang tinggi menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian. Inflasi yang

tinggi akan memberikan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan

selain akan memengaruhi daya beli masyarakat terutama yang berpendapatan tetap. Pengelolaan

ekonomi akan menjadi lebih sulit bila tingkat inflasi yang terbentuk menjadi persisten. Sesuai

dengan salah satu definisi mengenai persistensi inflasi, laju inflasi akan membutuhkan waktu

yang lebih lama untuk kembali kepada tingkat sebelum terjadi kejutan (shock). Demikian pula

dengan proses konvergensi inflasi yang memerlukan waktu lebih lama. Hal tersebut dapat

berimplikasi terhadap besarnya upaya yang diperlukan untuk menurunkan tingkat inflasi.

Persistensi inflasi yang tinggi di Jakarta memberikan implikasi bahwa upaya penurunan

inflasi nasional akan menjadi tantangan yang lebih besar mengingat kota Jakarta memiliki

bobot yang terbesar dalam pembentukan inflasi nasional.

Berdasarkan hasil asesmen, tingginya derajat persistensi inflasi di Jakarta antara lain

diakibatkan oleh tingginya derajat persistensi inflasi yang terjadi pada kelompok volatile food

dan kelompok administered price. Hal ini berimplikasi pada diperlukannya koordinasi yang

lebih kuat antara Pemerintah dengan Bank Indonesia untuk mengendalikan inflasi. Sementara

untuk kelompok administered price sangat bergantung pada upaya Pemerintah untuk mengatur

timing dan magnitude kebijakan di bidang harga (dan pendapatan) sehingga memberikan

dampak yang minimal terhadap inflasi.

Inflasi volatile food dan administered price yang tinggi akan mempengaruhi ekspektasi

inflasi sehingga dapat mempersulit upaya pengendalian inflasi daerah. Koordinasi yang baik

melalui forum-forum koordinasi yang telah ada seperti rapat koordinasi Dewan Gubernur BI

dengan Pemerintah, forum penetapan sasaran inflasi, serta Tim Pengendalian Inflasi ke depan

perlu lebih dioptimalkan lagi. Terkait dengan Tim Pemantauan dan Pengendalian Inflasi Daerah

(TPID), target pembentukannya diseluruh daerah di Indonesia (mencakup 66 kota) perlu dipantau

agar dapat terealisasi, mengingat pentingnya peranan pengendalian inflasi daerah untuk

mencapai inflasi nasional yang rendah dan stabil.

Di samping itu, peran TPID dapat dioptimalkan perannya apabila dilakukan pula dengan

koordinasi lintas wilayah (antar daerah), terutama dengan daerah yang memiliki keterikatan

ekonomi yang besar. Disamping itu, perannya dalam pengembangan sistem informasi (data

Page 32: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

28 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

4 Arimurti dan Trisnanto, ≈Konvergensi inflasi antar daerah di Indonesia∆, forthcoming paper.

base) yang baik untuk kepentingan pemantauan komoditas penyumbang inflasi terbesar perlu

direalisasikan sehingga dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk penentuan kebijakan harga di

tingkat daerah.

Upaya pengendalian inflasi di daerah selanjutnya diharapkan dapat memberikan dampak

positif terhadap proses konvergensi inflasi antar daerah yang lebih cepat, sehingga pengendalian

inflasi daerah dapat lebih mudah dilakukan. Kebijakan pengendalian inflasi melalui kebijakan

moneter di tingkat nasional pada gilirannya diharapkan mampu menjadi semakin efektif. Isu

konvergensi dan koordinasi pengendalian inflasi lintas daerah ini, khususnya kota Jakarta dengan

daerah lain, akan menjadi topik yang menarik untuk diangkat dalam paper selanjutnya 4.

Sementara itu, sumber tekanan inflasi dari ekspektasi inflasi yang masih dipengaruhi

secara signifikan oleh ekspektasi backward looking memberikan implikasi perlunya diseminasi

informasi dan kebijakan yang lebih intensif untuk mengarahkan ekspektasi inflasi menjadi lebih

ke arah forward looking, agar tingkat inflasi dapat diturunkan ke tingkat yang rendah dan

stabil. Upaya tersebut tidak terlepas dari kredibilitas otoritas penentu kebijakan yang senantiasa

perlu dipelihara dan ditingkatkan.

V. KESIMPULAN

Penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan penting, pertama, pengujian empiris

menunjukkan bahwa inflasi IHK Jakarta memiliki derajat persistensi yang tinggi. Demikian pula

jika dilihat berdasarkan disagregasinya, inflasi administered price, dan inflasi volatile fooddi

Jakarta tergolong masih sangat persisten pada periode pengamatan. Kelompok komoditi yang

tertinggi derajat persistensinya adalah kelompok makanan jadi, minuman, rokok & tembakau

dan kelompok kesehatan. Sedangkan ditingkat komoditas adalah beras, daging sapi, minyak

goreng, gula pasir, kontrak rumah, dan sewa rumah. Tingginya derajat persistensi inflasi Jakarta

tercermin pula dari lamanya waktu yang dibutuhkan oleh inflasi untuk menyerap 50% shock

yang terjadi sebelum kembali ke nilai rata-ratanya. Di Jakarta, kelompok komoditi sebagian

besar membutuhkan waktu antara 5-12 bulan untuk kembali ke rata-ratanya sebelum terjadinya

shock, sementara untuk komoditi sebagian besar membutuhkan waktu antara 3-12 bulan.

Kesimpulan kedua, dengan mengacu pada hasil estimasi model hybrid NKPC, ditemukan

bahwa inflasi Jakarta berperilaku campuran, yang merupakan kombinasi antara perilaku forward

dan backward looking. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian perilaku inflasi nasional oleh

Alamsyah (2008).

Page 33: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

29Persistensi Inflasi di Jakarta dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pengendalian Inflasi Daerah

Kesimpulan ketiga, penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab tingginya derajat

persistensi inflasi di Jakarta antara lain diakibatkan oleh tingginya derajat persistensi inflasi

kelompok volatile food dan kelompok administered price. Inflasi volatile food dan administered

price yang tinggi memengaruhi ekspektasi inflasi sehingga hal tersebut dapat mempersulit

upaya pengendalian inflasi daerah.

Temuan di atas memiliki implikasi kebijakan yakni perlunya diseminasi informasi dan

kebijakan yang lebih intensif untuk mengarahkan ekspektasi inflasi menjadi lebih ke arah forward

looking, agar tingkat inflasi dapat diturunkan ke tingkat yang rendah dan stabil. Selain itu,

temuan ini juga berimplikasi terhadap perlunya pengoptimalan koordinasi melalui forum-forum

koordinasi yang telah ada seperti rapat koordinasi Dewan Gubernur BI dengan Pemerintah,

forum penetapan sasaran inflasi, serta Tim Pengendalian Inflasi.

Page 34: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

30 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, H. (2008). Persistensi Inflasi dan Dampaknya terhadap Pilihan dan Respons Kebijakan

Moneter di Indonesia. Dissertation .

Angeloni, I., Aucremanne, L., Ehrmann, M., Gali, J., Levin, A., & Smets, F. (2004). Inflation

Persistence in the Euro Area : Preliminary Summary of Findings.

Babecky, J., Corricelly, F., & Horvath, R. (2008, June). Assessing Inflation Peristence: Micro Evidence

on an Inflation Targeting Economy. CERGE-EI .

Batini, N. (2002, December). Euro Area Inflation Persistence. European Central Bank Working

Paper Series .

Debelle, G., & Wilkinson, J. (2002). Inflation Targeting and the Inflation Process: Some Lessons

from an Open Economy. Research Bank of Australia - Research Discussion Paper 2002-01 .

Dossche, M., & Everaert, G. (2005, June). Measuring Inflation Persistence: A Structural Time

Series Approach. National Bank of Belgium Working Paper .

Federal Reserve Bank of San Fransisco. (2006, October 13). Inflation Persistence in an Era of

Well-Anchored Inflation Expectations. FRBSF Economic Letter .

Harmanta. (2009). Kredibilitas Kebijakan Moneter dan Dampaknya terhadap Persistensi Inflasi

dan Strategi Disinflasi di Indonesia: dengan Model Dynamic Stochastic General Equilibrium

(DSGE). Jakarta: Fakultas Ekonomi Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia.

Levin, A. T., & Piger, J. M. (2004, April). Is Inflation Persistence Intrinsic in Industrial Economies?

European Central Bank Working Paper Series .

Marques, C. R. (2005). Inflation Peristence: Facts or Artefacts? Economic Bulletin .

Marques, C. R. (2004, June). Inflation Persistence: Facts or Artefacts? European Central Bank

Working Paper Series .

O»Reilly, G., & Whelan, K. (2004, April). Has Euro-Area Inflation Persistence Change Over Time?

European Central Bank Working Paper Series .

Pivetta, F., & Reis, R. (2006). The Persistence of Inflation in the United States. Journal of Economic

Dynamics and Control , April.

Stock, J. H. (2004, December). Inflation Persistence in the Euro Area: Evidence from Aggregate

and Sectoral Data.

Tim Inflasi. (2007). Persistensi Inflasi Inti. Isu Strategis. Bahan Rapat Dewan Gubernur 4 Januari.

Jakarta: Bank Indonesia.

Willis, J. L. (2003). Implications of Structural Changes in the U.S. Economy for Pricing Behavior

and Inflation Dynamics. Federal Reserve Bank of Kansas City Economic Review .

Yanuarti, T. (2007). Has Inflation Persistence in Indonesia Changed?

Page 35: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

31Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

ANALISA SOVEREIGN RISK NEGARA BERKEMBANG:TEMUAN DARI PERILAKU PREMI CREDIT DEFAULT SWAP

Moch. Doddy Ariefianto dan Soenartomo Soepomo 1

Persepsi pelaku pasar asing terhadap perekonomian domestik dapat diukur melalui sovereign

risk. Risiko ini merupakan hasil evaluasi/assestment lembaga rating mengenai probabilitas suatu entitas

berdaulat (negara) akan melakukan wanprestasi terhadap kewajiban komersialnya (Beers dan Cavanaugh,

2006). Wanprestasi ini terjadi baik karena ketiadaan kapasitas maupun kesengajaan.

Pengukuran persepsi risiko ini telah cukup lama dilakukan melalui rating oleh suatu lembaga

pemeringkat. Menjelang akhir abad ke 20, suatu instrumen baru yakni Credit Default Swap (CDS) muncul

sebagai suatu alat pengukuran sovereign risk. Sebagai suatu instrumen yang melakukan lindung nilai

terhadap kemungkinan default hutang, maka secara alamiah premi dari CDS akan merefleksikan

kemampuan membayar. Terkait dengan konteks sovereign, maka kemampuan membayar ini dapat

dihubungkan dengan berbagai variabel ekonomi makro domestik dan global (aspek fundamental).

Studi ini melakukan analisa ekonometris hubungan premi CDS terhadap variabel-variabel yang

biasa digunakan sebagai penjelas sovereign rating. Berdasarkan literatur empiris yang ada diantaranya

Beers dan Cavanaugh (2006), Weigel dan Gemmil (2006) serta Ismailescu dan Kazemi (2010), 9 variabel

ekonomi makro yakni pertumbuhan PDB, inflasi, depresiasi, yield spread (terhadap US Treasury), rasio

hutang pemerintah, cadangan devisa, rasio defisit fiskal, neraca berjalan dan global risk appetite digunakan

untuk menjelaskan pergerakan CDS tenor 5 tahun. Suatu dataset panel yang terdiri atas 10 negara

berkembang pada periode 2004-2009 (frekuensi tahunan) digunakan untuk memverifikasi pola hubungan

yang ada.

Estimasi dengan ekonometrika panel data menemukan risk appetite global sebagai variabel pengaruh

terpenting disusul dengan cadangan devisa dan yield spread. Hal ini konsisten dengan literatur empiris

yang ada serta menunjukkan keterkaitan yang tinggi perekonomian negara berkembang dengan siklus

ekonomi dunia.

Keywords : Sovereign Risk, Credit Default Swap, Fundamental Ekonomi Makro, Panel Data

JEL Classification : F34 F32 G13 G15 C23

1 Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Ma Chung Malang, Penulis dapat dihubungi [email protected] dan [email protected].

Abstract

Page 36: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

32 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

I. PENDAHULUAN

Hutang luar negeri sudah menjadi bagian penting dalam pendanaan pembangunan suatu

negara berkembang. Pembiayaan eskternal ini diperlukan dalam rangka menutupi saving-

investment gap yang biasanya adalah negatif. Hutang luar negeri ini dapat timbul dalam

berbagai bentuk seperti hutang pemerintah, surat hutang negara, obligasi korporasi, pinjaman

bilateral-multilateral, dsb.

Harga pinjaman tersebut sangat tergantung dengan skema, kondisi ekonomi (fiskal dan

moneter) dan reputasi. Beberapa dekade belakangan ini, terdapat suatu trend institusi yang

melakukan spesialisasi dalam melakukan valuasi hutang. Institusi ini, sering disebut sebagai

lembaga pemeringkat, mengukur secara kuantitatif dan kualitatif kemampuan membayar (risiko

kredit) suatu entitas dan memberikan suatu peringkat sebagai ukuran. Khususnya untuk entitas

berdaulat (sovereign), pemeringkatan telah dilakukan sejak 1975 oleh Standard & Poors (Beers

dan Cavanaugh, 2006).

Pengukuran risiko kredit sebenarnya bukan suatu hal yang baru. Suatu model risiko kredit

dalam bentuk probabilitas default telah disusun oleh Altman dengan statistik Z nya yang terkenal

ditahun 1968. Perkembangan pemodelan risiko kredit sudah sangat maju dan mencakup baik

dari kemutakhiran teknik statistik maupun kalibrasi variabel-variabel yang digunakan. Cantor

(2004) memberikan suatu review mengenai kondisi terkini pemodelan risiko kredit.

Risiko kredit suatu negara (sovereign risk) menjadi perhatian yang sangat besar dikalangan

investor. Berbeda dengan risiko kredit swasta, investor tidak dapat melakukan sita agunan atau

penghasilan ketika terjadi event default. Dengan demikian arti valuasi kredit bagi pinjaman

oleh negara menjadi lebih penting lagi.

Seperti juga halnya risiko kredit korporasi, sovereign risk juga sangat dipengaruhi oleh

kondisi dalam negeri dan luar negeri (Beers dan Cavanaugh, 2006). Kondisi yang berpengaruh

dari dalam negeri meliputi baik ekonomi maupun politik. Tekanan fiskal, misalnya akibat hutang

dan defisit yang terlalu besar dapat memaksa pemerintah untuk melakukan penundaan

pembayaran cicilan dan bunga hutang. Demikian juga halnya dengan perubahan rezim yang

terjadi melalui pergolakan politik. Rezim berkuasa dapat menolak mengakui hutang yang dibuat

oleh pemerintahan terdahulu.

Pola interaksi perekonomian modern saat ini memiliki karakter keterkaitan yang sangat

tinggi. Secara praktis sudah tidak ada negara yang dapat mengisolasikan dirinya dari berbagai

gejolak yang ada diperekonomian global. Krisis sub prime mortgage di US tahun 2007 dan

kontraksi perekonomian dunia ditahun 2008-2009 adalah bukti nyata dari tingginya keterkaitan

suatu negara dengan negara lainnya. Dengan demikian dapat terjadi suatu negara mengalami

Page 37: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

33Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

kejatuhan kondisi ekonomi akibat imbas dari luar. Hal ini selanjutnya dapat mendorong

pemerintahan yang ada untuk merestrukturisasi kembali skedul pembayaran hutang yang ada.

Trend lanjutan dalam pengelolaan risiko kredit yang terjadi diawal abad ke 21 adalah

kemunculan Credit Default Swap (CDS). Instrumen derivatif ini memiliki fungsi seperti suatu

asuransi surat hutang/pinjaman suatu entitas. Pembeli CDS (disebut sebagai protection buyer)

dapat menukar surat hutang yang dimilikinya dengan cash sebesar nilai nominal hutang (face

value) kepada penjual CDS (protection seller) ketika terjadi event default (Taylor, 2007). Untuk

memperoleh proteksi ini, pembeli CDS harus membayar suatu premi tertentu (biasanya suatu

persentase dari nilai hutang).

Grafik 1.Perkembangan CDS

Data Bank for International Settlement (BIS) menunjukkan, sejak diperkenalkan diawal

tahun 2005, nilai kontrak CDS telah mencapai USD 41.9 Triliun per Desember 2008 (lihat

Grafik 1). Meskipun mengalami perkembangan cukup pesat, namun posisi CDS terhitung kecil

diantara berbagai instrumen derivatif lainnya. Interest derivative misalnya memiliki nilai USD

403 Triliun pada periode yang sama. Meskipun reputasinya terkena dampak negatif akibat

krisis sub prime, Hull (2011) memperkirakan instrumen ini masih memiliki prospek yang sangat

cerah di masa depan.

Perkembangan CDS sovereign bagi negara-negara berkembang juga dimulai pada periode

yang sama. Terdapat korelasi yang sangat tinggi antara pergerakan CDS dengan perubahan

700

600

500

400

300

200

100

0Des Juni

2005Des Juni

2006Des Juni

2007Des Juni

2008Des

(USD trilions, December 2001 - December 2008)

(USD 41,9 trilion in,December 2008)

Credit Default Swaps

Commodity ContractsEquity-Linked Contracts

Credit Default SwapsForeign Exchange Contracts

700

600

500

400

300

200

100

0

Page 38: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

34 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

(1)

rating suatu negara (Ismailescu dan Kazemi, 2010). Dengan demikian dapat diduga bahwa

variabel-variabel yang melandasi perubahan rating juga dapat menjelaskan pergerakan CDS.

Lebih lanjut dengan karakter instrumen pasar finansial, bahkan dapat diduga bahwa CDS

memiliki potensi sebagai leading indicator.

Penelitian ini dilakukan untuk mengungkapkan hubungan antara variabel CDS dengan

variabel penjelas sovereign rating. Hasil studi diharapkan dapat memberikan manfaat tidak

hanya bagi kalangan akademisi: sebagai sumbangan literatur empiris yang masih jarang namun

juga bagi pengambil kebijakan. Temuan empiris yang diperoleh diyakini dapat menjadi masukan

bagi otoritas khususnya terkait dengan pengelolaan persepsi risiko kredit negara.

Artikel ini terdiri atas lima bagian. Bagian pertama merupakan pendahuluan yang akan

menjelaskan latar belakang dan motivasi penelitian. Selanjutnya akan dibahas mengenai teori

dan literatur empiris mengenai CDS yang ada saat ini. Bagian ketiga akan menguraikan

metodologi penelitian serta skema empiris yang digunakan. Bagian keempat akan membahas

temuan empiris yang diperoleh serta catatan teknis yang ada. Tulisan ini akan ditutup dengan

kesimpulan yang memuat rangkuman serta implikasi kebijakan.

II. TEORI

2.1. Overview Valuasi CDS

Duffie (1999) menyarankan cara pandang CDS sebagai swap defaultable floating

rate notes terhadap default free floating rate note. Sebagai suatu swap, pemilik CDS memiliki

hak untuk menukar cash flow dari instrumen yang defaultable (yang ia miliki) dengan cash

flow dari instrumen default free yang dimiliki penjual swap. Adapun hal yang dapat

digunakan untuk memicu pertukaran ini adalah terjadinya credit event. Credit event ini

dapat berbentuk berbagai hal mulai dari outright default dari penerbit underlying securities,

restrukturisasi, reskeduling, atau bahkan hanya sekedar penundaan pembayaran bunga/

cicilan (Hull, 2011).

Skinner dan Townend (2002) disisi yang lain menggunakan pendekatan put option dalam

menilai CDS. Sebagai suatu put option, pembeli CDS memiliki hak untuk menjual surat berharga

yang dimilikinya pada par value ketika terjadi credit event. Lebih lanjut mereka juga berargumen

bahwa premi dari CDS memenuhi put and call parity sbb:

Page 39: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

35Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

Dimana X adalah strike price dari option (par value), B adalah nilai dari surat berharga yang

memiliki risiko kredit, p adalah premi CDS, D nilai coupon dari surat berharga dan r adalah suku

bunga bebas risiko. Mereka menunjukkan pertidak samaan ini akan terpenuhi, sehingga premi

CDS adalah analog dengan premi suatu opsi.

Whetten et al (2004), disisi yang lain menggunakan pendekatan asuransi. Seorang pembeli

CDS memperoleh asuransi atas minimal harga underlying securities. Apabila terjadi event credit

maka pembeli CDS dapat menukarkan surat berharga yang dimilikinya dengan cash pada par

value. Pada skema lain, pembeli CDS dapat menjual sendiri surat berharga yang dimilikinya

dan penjual CDS akan mengkompensasi kekurangan dari par value. Dengan perkataan lain,

penjual CDS hanya membayar (1-α), dimana α adalah nilai pasar surat berharga pasca credit

event (recovery rate), lihat Grafik 2.

Grafik 2. Skema CDS

Dengan menggunakan pendekatan dari Whatten et al (2004), premi dari CDS dapat

diukur dengan cara sbb:

1. Terdapat 2 tipe arus kas dari transaksi CDS, yakni arus tetap yang merupakan pembayaran

premi dari pembeli CDS dan arus kontijen (contingency cash flow), yakni arus kas yang

dibayar oleh penjual CDS hanya jika credit event terjadi.

2. Nilai CDS (bagi si pembeli) adalah nilai sekarang dari seluruh arus kontijen dikurangi dengan

arus tetap.

CDS Spreads

(bps)

ProtectionBuyer Protection

Seller

1 - Recovery rate(%)

Reference Entity

Trigger Event

Sumber : Whetten et al (2004)

Page 40: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

36 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

3. Nilai arus tetap tergantung atas nominal premi setiap periode dan survivalability 2. Jika

premi dinotasikan dengan S, di adalah periode pembayaran (sebagai suatu fraksi tahunan),

q(ti) adalah survival rate dan D(t

i) adalah discount factor yang sesuai, maka nilai saat ini dari

arus tetap dapat dihitung dengan formula sbb3:

(2)

2 Apabila credit event terjadi maka pembeli CDS tidak lagi perlu membayar. Dengan demikian terdapat probabilitas bahwa pada suatuperiode, pembeli CDS tidak perlu membayar premi karena terjadi credit event. Satu minus probability ini disebut dengan survivalability.

3 Bagian kedua dari formula 2 adalah nilai akrual pembayaran premi jika default terjadi diantara waktu pembayaran ti-1

dan ti.

4 Sebagian besar materi pada bagian ini dirangkum dari Beers dan Cavanaugh (2006).

4. Sedangkan jumlah arus kontijen dapat dihitung sebagai selisih kurang dari recovery rate (R)

terhadap par value, atau

(3)

5. Dalam kondisi ekuilibrium, nilai premi akan menyeimbangkan pembayaran dari arus tetap

dengan kontijen, dengan perkataan lain

(4)

6. Dengan sedikit operasi matematis, maka dapat diperoleh valuasi premi CDS sbb

(5)

2.2. Pendekatan Sovereign Rating Terhadap Premi CDS4

Sovereign rating adalah suatu evaluasi terhadap risiko kredit yang ada pada suatu entitas

pemerintahan nasional, tetapi tidak secara spesifik terhadap issuer tertentu. Rating ini

mencerminkan evaluasi risiko kredit kepada seluruh entitas lain yang ada pada suatu negara.

Rating kredit entitas lain tersebut biasanya akan lebih kecil atau sama dengan sovereign rating.

Dengan demikian arti sovereign rating menjadi sangat penting, mengingat biaya kredit berbagai

entitas didalam negeri akan terpengaruh apabila sovereign rating mengalami degradasi.

Page 41: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

37Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

Kejadian sovereign default sudah menurun dekade 1970-1980-an namun kembali

meningkat meskipun masih jauh dibawah rata-rata periode 1900-1950 (lihat grafik 3). Hal ini

terjadi karena faktor-faktor tradisional (seperti peperangan, revolusi serta kebijakan yang tidak

prudent) yang melatari jatuhnya kondisi fiskal juga jauh berkurang. Pada era modern saat ini,

lemahnya tata kelola hutang, produktivitas perekonomian yang rendah, serta kewajiban kontijen

(dari kejatuhan sistem perbankan) adalah faktor utama pemicu sovereign default.

Perhitungan rating kredit dilakukan melalui suatu proprietary model yang melibatkan

aspek kuantitatif sekaligus kualitatif (Cantor, 2004). Meskipun teknik perhitungan maupun

variabel dapat berbeda dari suatu institusi ke institusi yang lain, namun suatu benang merah

analisa dapat dikemukakan.

Pertama, terdapat dua komponen dari evaluasi kredit, yakni rating dan outlook. Rating

memberikan tingkat/nilai valuasi agency terhadap posisi (standing) risiko kredit suatu institusi

saat ini. Gradasi rating dapat bervariasi, namun umumnya terdiri dari sangat tinggi hingga

default. Sedangkan outlook (atau juga disebut watchlist) memberikan arah dugaan/prospek

risiko kredit tersebut dalam suatu periode kedepan (biasanya 6 bulan hingga 2 tahun). Outlook

ini terdiri dari :

a. Stabil: jika rating tidak diharapkan berubah,

b. Positif: jika rating diperkirakan meningkat dan,

c. Negatif jika rating diperkirakan menurun5.

Grafik 3.Sovereign Default 1800-2000.

5 Bannier dan Hirsch (2010) melakukan suatu studi empiris yang sangat menarik mengenai penggunaan rating outlook serta bagaimanaia mempengaruhi persepsi investor.

20

18

16

14

12

10

8

6

4

2

0

Sumber : Beers dan Cavanugh (2006)

1820 1830 1840 1850 1860 1870 1880 1890 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000*

Page 42: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

38 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Kedua, variabel-variabel ekonomi makro dan politik digunakan untuk mengukur rating

serta prospek risiko kredit. Sebagai contoh Standard & Poor menggunakan kelas/kategori variabel

sebagai berikut :

a. Risiko Politik

b. Struktur ekonomi agregat

c. Prospek pertumbuhan ekonomi

d. Kondisi dan kebijakan fiskal

e. Posisi kontijen (dalam dan luar negeri)

f. Kondisi dan kebijakan moneter

g. Kondisi dan kebijakan eksternal

Bagaimana kombinasi dari variabel-variabel ini digunakan banyak dilakukan melalui

judgement dan tidak tetap. Kondisi ekonomi dan politik yang dinamis menyebabkan bobot

pengaruh suatu variabel berubah dari waktu ke waktu.

Namun demikian suatu konsistensi dalam hierarki analisis tetap digunakan. Sebagai contoh

semakin besar defisit fiskal suatu negara maka semakin besar kemungkinan rating kreditnya

semakin rendah (lihat Grafik 4.a). Tidak ada suatu faktor yang dominan, suatu variabel tetap

dilihat secara relatif. Grafik 4b, menunjukkan bahwa median tingkat rasio hutang pemerintah

terhadap PDB pada rating AA justru lebih tinggi dari pada A.

Grafik 4.Evaluasi Dalam Credit Rating S&P.

(a) Rasio Defisit Fiskal Thd PDB (b) Rasio Hutang Pemerintah Thd PDB

AAA Median AA Median A Median BBB Median BB Median B Median

Sumber : Beers dan Cavanugh (2006)

0,5

0,0

(0,5)

(1,0)

(1,5)

(2,0)

(2,5)

(3,0)

(3,5)AAA Median AA Median A Median BBB Median BB Median B Median

Sumber : Beers dan Cavanugh (2006)

45

40

35

30

25

20

15

10

5

0

(%)

Page 43: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

39Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

Terdapat hubungan yang negatif antara premi CDS dengan sovereign rating. Negara-

negara dengan rating sovereign yang lebih rendah rata-rata membayar premi CDS yang lebih

tinggi (lihat Grafik 5). Dengan demikian dapat disimpulkan meskipun CDS adalah suatu instrumen

derivatif yang tradeable, para pelaku pasar (trader) tetap mendasarkan keputusan pembelian-

penjualan didasarkan pola yang kurang lebih sejalan dengan rating kredit.

Grafik 5.Hubungan Premi CDS dengan Sovereign Rating S&P.

2.3. Review Studi Empiris

Mengingat CDS adalah suatu instrumen yang baru aktif diperdagangkan, studi empiris

yang mengeskplorasi produk ini belum banyak dilakukan. Skinner dan Townend (2002) adalah

suatu studi empiris pertama yang menggunakan pendekatan regresi linier terhadap premi CDS.

Dengan mengasumsikan CDS sebagai suatu put option, mereka mengestimasi suatu model

linier yang menghubungkan premi dengan variabel standar penjelas harga opsi seperti: suku

bunga bebas risiko, yield serta volatilitas underlying instrument, jangka waktu serta strike price

(artificial).

Data yang digunakan adalah 29 titik realisasi perdagangan CDS sovereign US pada periode

September 1997 dan 1999. Setelah memperhitungkan dampak krisis Asia mereka menemukan

bahwa 4 dari 5 koefisien variabel yang digunakan menghasilkan tanda aljabar yang sesuai

hipotesis dan signifikan.

Weigel dan Gemmil (2006) membangun suatu instrumen khusus (disebut dengan distance

to default) dari proses statistik yield 4 negara berkembang: Argentina, Brazil, Mexico dan

0

200

400

600

800

1000

BB- BB BB+ BBB- BBB+ A-

Venezuela

Latvia

Romania

Panama IndiaThailand Malaysia

Philippines

TurkeyIndonesia

Vietnam Egypt

Morocco

Kazakhstan

Hungary

Brazil

Colombia

Peru

Page 44: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

40 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Venezuela. Sebagai variabel penjelas digunakan berbagai indikator ekonomi makro dan pasar,

yang dikategorikan sebagai global, regional dan country specific. Mereka menemukan bahwa

variabel country specific hanya menjelaskan 8% dari explained variance. Bagian terbesar (45%)

dijelaskan oleh faktor regional terutama melalui keterkaitan pasar keuangan. Sebesar 20%

dipengaruhi oleh faktor global (yang diproksikan oleh return pasar modal US). 20% variance

tidak dapat dijelaskan oleh faktor yang digunakan oleh model.

Salah satu indikator leading adanya masalah ekonomi yang dihadapi suatu negara adalah

nilai tukar. Dengan demikian secara alamiah dapat diduga hubungan yang positif diantara

tekanan nilai tukar dengan CDS. Hipotesis ini telah diverifikasi oleh Carr dan Wu (2007). Dengan

menggunakan data mingguan Brazil dan Mexico (pada periode Januari 2002 s/d Maret 2005),

mereka mengestimasi hubungan antara varians risiko nilai tukar dengan premi CDS melalui

suatu model joint-diffusion. Hasil studi mereka menunjukkan bahwa intensitas pergerakan

CDS lebih tinggi dari varians return nilai tukar. Hal ini mengindikasikan bahwa CDS over estimate

terhadap probabilitas default yang sebenarnya.

Suatu studi yang mengukur reaksi CDS sovereign negara berkembang (emerging

market) terhadap perubahan rating kredit (Standard & Poor) dilakukan oleh Ismailescu dan

Kazemi (2010). Mereka menggunakan dataset yang terdiri dari 22 negara pada frekuensi harian

pada periode 2 Januari 2001 sampai dengan 22 April 2009. Sebagai variabel tergantung adalah

perubahan CDS terkait dengan suatu dummy credit event dan sekelompok variabel kontrol.

Terdapat 2 tipe dummy credit event yang digunakan, yakni credit event bagi negara yang

mengalami (country credit event) dan credit event bagi negara yang satu blok (regional credit

event).

Mereka menemukan bahwa credit rating event memiliki sifat yang tidak simetris.

Pengumuman perubahan rating yang positif memberikan dampak langsung, sedangkan yang

negatif tidak membawa dampak. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa pengumuman positif

menyampaikan informasi yang lebih banyak dibandingkan yang negatif. Premi CDS juga memiliki

kemampuan untuk memprediksi event rating kredit yang negatif (downgrade) namun tidak

untuk yang positif. Terakhir, event rating kredit memiliki dampak spill over yang lebih kuat jika

ia positif daripada negatif.

Matsumura dan Vicente (2010), melakukan studi terhadap probabilitas default (latent

variable) Brazil dengan menggunakan lima variabel penjelas makro ekonomi (suku bunga The

Fed, VIX: implied volatility indeks S&P 500, nilai tukar real, indeks bursa saham (Ibovespa) dan

interest rate swap. Data harian pada periode 17 Februari 1999 s/d 15 September 2004 (1320

hari) digunakan untuk mengestimasi model empiris (dengan teknik maximum likelihood). Mereka

Page 45: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

41Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

menemukan bahwa suku bunga The Fed dan VIX adalah faktor terpenting dalam menjelaskan

perubahan probabilitas default surat hutang Brazil.

Bannier dan Hirsch (2010) membuat suatu studi empiris yang menarik mengenai fungsi

ekonomi dari pengumuman credit outlook. Mereka menggunakan data seluruh senior unsecured

debt yang diterbitkan oleh entitas US dan dirating oleh Moodys. Secara keseluruhan sample

memiliki 4043 observasi, yang terdiri atas 2531 upgrades dan 1512 donwgrades. Model

ekonometrika yang digunakan adalah linier panel dengan Cumulative Absolute Return (CAR)

sebagi variabel tergantung dan 7 variabel penjelas diantaranya besaran upgrade/downgrade

(dalam notchs) dan dummy kategori masuk/keluar investment grade.

Mereka menemukan bahwa rating downgrade memberikan respon pasar yang lebih

tinggi dibandingkan saat issuer memasuki watchlist. Temuan empiris juga memberikan dukungan

atas hipotesa implicit contract (Boot et al, 2006). Dalam hipotesa ini, watch list memiliki fungsi

ekonomi sebagai alat untuk mengkoordinasi persepsi investor dan mengarahkan issuer kepada

persepsi tersebut.

Studi kami memiliki beberapa perbedaan dengan kajian empiris yang telah dilakukan

sebelumnya. Pertama, model empiris yang dilakukan lebih sederhana. Mengingat hubungan

yang telah established antara premi CDS dengan variabel ekonomi makro melalui variabel

penentu harga (jatuh tempo, volatilitas, suku bunga bebas risiko, dsb) maka estimasi dilakukan

secara langsung melalui suatu bentuk reduced form. Model empiris yang bersifat parsimonous

ini diharapkan akan memberikan insight yang lebih intuitif.

Kedua, cakupan negara berkembang yang digunakan lebih banyak dengan data bersifat

panel. Konstruksi empiris yang lebih komprehensif ini diharapkan dapat memberikan temuan

empiris yang lebih kaya.

III. METODOLOGI

Verifikasi empiris keterkaitan antara CDS dengan variabel-variabel penjelas dilakukan

melalui suatu model ekonometrika panel data linier. Secara matematis model ekonometrika ini

dapat diberikan sbb

Dimana Sit adalah premi CDS 5 tahun suatu negara i pada periode t, α adalah intersep model,

X adalah vektor variabel penjelas dan εit adalah komponen residual. Disini kami hanya

Page 46: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

42 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

mengasumsikan komponen residual yang bersifat one way, yang berasal dari heterogenitas

cross section. Dengan demikian εit dapat diklasifikasikan menjadi dua komponen yakni: cross

section type error component (vi) dan idiosyncratic error (u

it). Heterogenitas residual dapat

berbentuk fixed constant (Fixed Effect, FE) atau random (Random Effect, RE). Pengujian

redundant fixed effect likelihood ratio digunakan untuk memilih model heterogenitas yang

paling tepat.

Tabel 1.Variabel Yang Digunakan Dalam Studi

No. Variabel Deskripsi, Proxy dan Notation Expected Sign

1 Credit Default Swap

2 Pertumbuhan Ekonomi

3 Inflasi

4 Depresiasi

5 Yield Spread

6 Hutang Pemerintah

7 Cadangan Devisa

8 Defisit Fiskal

9 Defisit Neraca Berjalan

10 Risk Appetite Global

Premi CDS dengan tenor 5 tahun

Persentase perubahan tahunan (year on year)Produk Domestik Bruto (PDB) Riil. (GROWGROWGROWGROWGROW)

Persentase perubahan tingkat harga tahunan(year on year) konsumen (INFLASIINFLASIINFLASIINFLASIINFLASI)

Persentase perubahan nilai tukar (terhadap USD)tahunan (year on year) (DEPRDEPRDEPRDEPRDEPR)

Selisih antara suku bunga surat hutangpemerintah degan US Treasury dengan tenor 5tahun (Y_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREAD)

Rasio antara hutang pemerintah terhadap PDBnominal (DEBTDEBTDEBTDEBTDEBT)

Nilai cadangan devisa negara i pada akhir tahunt (dalam milyar USD, DEVISADEVISADEVISADEVISADEVISA)

Rasio antara defisit fiskal pemerintah terhadapPDB nominal (FIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEF)

Rasio antara defisit neraca berjalan terhadapPDB nominal (CA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEF)

Nilai indeks VIX, implied volatility dari put optionindeks Standard & Poors 500 (VIXVIXVIXVIXVIX).

Variabel Tergantung

Negatif

Positif

Positif

Negatif

Positif

Negatif

Positif

Positif

Positif

Terdapat 9 variabel penjelas yang digunakan dalam studi ini6. Definisi, proksi operasional

serta ekspektasi tanda hubungan (hipotesis) diberikan pada tabel 1. 10 negara berkembang

digunakan sebagai obyek cross section dengan periode pengamatan 2004 s.d 2009 pada

frekuensi tahunan. Negara-negara tersebut adalah Indonesia, Columbia, Hongaria, Malaysia,

Peru, Philipina, Thailand, Turki, Venezuela dan Vietnam. Dengan demikian terdapat 60 observasi

dalam studi.

Page 47: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

43Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

IV. HASIL DAN ANALISIS

Dalam bagian ini akan diuraikan hasil estimasi terhadap model empiris serta analisa

ekonomi terhadap temuan yang diperoleh. Pertama akan diuraikan terlebih dahulu statistik

deskriptif dari variabel yang digunakan untuk suatu gambaran awal mengenai studi. Kemudian

akan diuraikan hasil estimasi yang diperoleh serta intrepretasi analitis. Bagian ini akan ditutup

dengan catatan teknik mengenai metodologi yang digunakan.

4.1. Gambaran Deskriptif Variabel

Tabel 2 menunjukkan statistik deskriptif (seluruh sampel) dari variabel-variabel yang

digunakan dalam model. Seperti yang diduga premi CDS, cadangan devisa dan depresiasi

nilai tukar adalah variabel yang memiliki rentang paling besar. Sedangkan defisit fiskal dan

defisit neraca berjalan adalah variabel yang relatif stabil.

Selanjutnya dapat juga dilihat statistik deskriptif berdasarkan negara sampel: rata-rata

setiap variabel (Tabel 3). Premi CDS rata-rata tertinggi dalam periode 2004-2009 dimiliki oleh

Venezuela (sebesar 865 bps) sedangkan terendah dimiliki oleh Malaysia (71 bps). Pola

pengelolaan ekonomi makro negara-negara ini terlihat cukup variatif. Sebagai contoh Hungaria

dan Philipina terlihat longgar dalam pengelolaan fiskal yang ditunjukkan oleh rasio defisit fiskal

dan hutang yang masing-masing mencapai -6.25% dan 68% serta -2.17% dan 64.8%

6 Beberapa variabel dalam studi ini seperti CDS, cadangan devisa dan VIX dikonversi dalam bentuk log natural. Hal ini dimaksudkanagar koefisien-koefisien yang diperoleh dari estimasi dapat diintrepretasikan sebagai suatu elastisitas.

Tabel 2.Statistik Deskriptif Variabel yang Digunakan

Variabel Mean Median Maksimum Minimum Std Deviasi

CDS 5CDS 5CDS 5CDS 5CDS 5 256.6918 167.0000 3218.044 16.23000 433.0109

GROWGROWGROWGROWGROW 4.826263 5.040000 18.28700 -6.730000 4.143712

INFLASIINFLASIINFLASIINFLASIINFLASI 8.839252 6.514625 31.90000 -11.34632 8.549880

DEPRDEPRDEPRDEPRDEPR -0.329263 -0.544737 30.98265 -17.71857 9.601061

Y_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREAD 5.188258 4.288700 21.63010 -0.909300 4.296805

DEBTDEBTDEBTDEBTDEBT 44.94912 43.40000 81.90000 13.90000 14.97648

DEVISADEVISADEVISADEVISADEVISA 41.37088 33.13500 137.8000 12.63100 28.12098

FIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEF -1.992982 -1.900000 9.500000 -9.300000 2.955555

CA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEF 1.272193 0.100000 17.88700 -11.91800 7.430450

VIXVIXVIXVIXVIX 20.56754 21.68000 40.00000 11.56000 10.09849

Sumber: Bloomberg, IMF dan Bank Dunia

Page 48: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

44 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Gambaran serupa terlihat dari sisi stabilitas eskternal. Venezuela adalah negara yang

paling rentan dengan posisi cadangan devisa (rata-rata) sebesar 25,88 milyar dan depresiasi

rata-rata tahunan mencapai 5,33%. Malaysia dapat dikatakan negara yang relatif stabil dengan

cadangan devisa yang mencapai (rata-rata) USD 84,85 milyar dan mata uang yang cenderung

terapresiasi pada tingkat (rata-rata) 1,71% pertahun.

4.2. Hasil Estimasi dan Analisis

Estimasi dilakukan dengan menggunakan tiga jenis teknik estimasi: estimated generalized

least squares (EGLS), fixed effect (FE) dan random effect (RE). Masing-masing disesuaikan dengan

karakter dan heterogenitas dari komponen error.

Hasil estimasi yang diberikan oleh Tabel 4 menunjukkan 6-7 koefisien variabel penjelas

memiliki tanda aljabar sesuai dengan hipotesis dan signifikan. Variabel seperti inflasi, depresiasi

dan rasio hutang luar negeri pemerintah memiliki tingkat signifikansi yang lebih rendah dari

pada yang lain.

Tingkat goodness of fit model empiris, cukup baik. Secara bersama variasi variabel-variabel

independen mampu menjelaskan 76% s/d 94% variasi yang ada pada premi CDS. Nilai statistik

uji F seluruhnya melebihi nilai kritis yang mengindikasikan penggunaan variabel pada model

memberikan nilai tambah informasi dibandingkan rata-rata.

Variabel VIX memiliki koefisien terbesar, yakni antara 0.861 (EGLS) s/d 1.457 (FE).

Mengingat koefisien ini memiliki arti elastisitas, maka 1% kenaikan persepsi risiko global

Tabel 3.Statistik Deskriptif Berdasarkan Negara

Negara CDS5Y Debt Fis_def Y_spread Grow CA_def Depr Devisa Inflasi

Kolumbia 201,12 46,90 -2,12 6,50 4,53 -2,08 -4,68 18,67 21,97

Hungaria 122,63 67,92 -6,25 4,35 1,30 -6,89 -1,00 26,38 5,30

Malaysia 70,94 44,82 -3,12 0,24 4,19 14,97 -1,71 84,85 2,83

Peru 176,42 32,60 1,03 2,71 6,62 0,05 -2,85 22,67 -1,52

Philipina 264,57 64,82 -2,17 4,56 4,76 3,18 -2,61 25,40 5,89

Thailand 86,24 42,67 -0,43 0,67 3,37 1,49 -2,67 80,76 3,23

Turki 215,30 46,48 -2,62 10,66 3,95 -4,60 2,11 58,08 8,62

Venezuela 865,31 23,83 1,08 7,41 8,36 11,52 5,33 25,88 21,97

Vietnam 184,21 34,18 -5,63 5,13 7,28 -6,04 2,87 16,03 11,40

Indonesia 289,02 42,42 -0,92 7,14 5,31 1,75 2,37 48,05 8,56

Sumber: Bloomberg, IMF dan Bank Dunia

Page 49: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

45Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

mendorong peningkatan CDS sebesar 0.861% s/d 1.457%. Temuan empiris ini mengkonfirmasi

hasil studi Matsumura dan Vicente (2010) yang telah diuraikan diatas. CDS sebagai suatu

kelas aset berisiko akan mengalami penurunan permintaan ketika sentimen pelaku pasar dunia

mengalami pemburukan. Hal ini juga sekaligus menunjukkan tingkat integrasi yang ada dipasar

derivatif terhadap siklus perekonomian dunia.

Cadangan devisa merupakan faktor berpengaruh pada urutan berikutnya. Estimasi

koefisien yang diperoleh menunjukkan bahwa setiap 1% kenaikan cadangan devisa akan

diikuti dengan penurunan CDS antara 0.511% (EGLS) s/d 0.651% (FE). Peran cadangan devisa

terhadap stabilitas suatu perekonomian sangat penting. Teori krisis generasi pertama yang

dikemukakan oleh Krugman (1979) serta Flood dan Garber (1984) menunjukkan bagaimana

suatu serangan terhadap nilai tukar terjadi dipicu oleh rendahnya cadangan devisa. Temuan

empiris ini memberikan dukungan bagi teori krisis generasi pertama.

Variabel selisih yield dengan US Treasury (yang comparable) menjadi variabel pengaruh

terbesar ketiga. Setiap 1% kenaikan selisih yield akan memberikan dampak kenaikan CDS

sebesar 0.104% s/d 0.169%. Selisih yield ini sebenarnya juga merupakan suatu ukuran risiko

sovereign, karena yield merupakan penjumlahan dari suku bunga riil (opportunity cost of

money) ditambah dengan premi risiko. Namun demikian mengingat yield curve juga merupakan

piranti kebijakan moneter maka sebagai ukuran risiko ia tidak terlalu sempurna.

Tabel 4.Hasil Estimasi

No. Dep Var: CDS Estimators

1 C 4.050 (0.00) 0.623 (0.56) 3.851 (0.00)

2 GROW -0.027 (0.29) -0.044 (0.00) -0.023 (0.09)

3 INFLASI -0.015 (0.01) -0.039 (0.00) -0.008 (0.24)

4 DEPR 0.011 (0.21) 0.00006 (0.99) 0.011 (0.03)

5 Y_SPREAD 0.169 (0.00) 0.104 (0.00) 0.154 (0.00)

6 DEBT 0.006 (0.24) 0.042 (0.00) 0.003 (0.46)

7 DEVISA -0.650 (0.00) -0.511 (0.00) -0.605 (0.00)

8 VIX 0.861 (0.00) 1.457 (0.00) 0.913 (0.00)

9 FIS_DEF 0.075 (0.00) -0.020 (0.08) 0.082 (0.00)

101 CA_DEF 0.038 (0.00) -0.002 (0.86) 0.041 (0.00)

Goodness of Fit

RRRRR22222 0.786 0.945 0.764

Adjusted RAdjusted RAdjusted RAdjusted RAdjusted R22222 0.745 0.919 0.719

F StatF StatF StatF StatF Stat 19.24 36.28 16.92

DWDWDWDWDW 1.36 2.03 1.24

Variables/Proxies EGLS FE RE

Page 50: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

46 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Pertumbuhan ekonomi, inflasi, depresiasi, rasio hutang, rasio defisit fiskal dan neraca

berjalan memiliki dampak yang jauh lebih kecil namun beberapa diantaranya tetap signifikan.

Variabel-variabel ini adalah bersifat spesifik perekonomian. Dengan demikian terlihat bahwa

memang kontribusi penjelas variabel internal adalah terbatas, sejalan dengan temuan Weigel

dan Gemmil (2006).

Secara umum tanda aljabar estimasi empiris serta signifikansinya telah mendukung

hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini. CDS sebagai suatu instrumen pasar memiliki

keterkaitan dengan variabel fundamental ekonomi (global dan domestik). Dengan demikian

pergerakan CDS juga mencerminkan persepsi para pelaku pasar terhadap prospek

perekonomian (sovereign risk). Lebih lanjut mengingat instrumen ini adalah diperdagangkan

secara harian, maka sangat mungkin ia dapat digunakan sebagai leading indicator dari prospek

risiko sovereign.

Dalam studi ini dilakukan estimasi dengan menggunakan 3 teknik ekonometrika panel

data didasarkan pada asumsi mengenai karakter dari komponen residual. Dalam bagian ini

akan dilakukan pengujian terhadap penggunaan asumsi yang paling tepat: pooled error, fixed

effect dan random effect component.

Tabel 5.Pengujian Fixed Effect dan Random Effect

No. Nama Test Statistik Df Prob

1 Redundant Fixed Effect F: 11.433 (9, 38) 0.00

2 Correlated Random Effect: Hausman Test χ2: 92.716 9 0.00

Kelayakan asumsi fixed effect diuji dengan menggunakan prosedur redundant fixed effect.

Teknik menguji hipotesis null apakah secara bersama seluruh cross section dummy adalah sama

dengan nol. Statistik uji (lihat Tabel 4), berupa nilai F menunjukkan angka 11.433 dengan

menggunakan degree of freedom sebesar 9 dan 38 diperoleh p value sebesar 0.00. Dengan

demikian hipotesis null redundant fixed effect tidak dapat diterima atau model fixed effect

telah cukup tepat digunakan.

Pengujian asumsi random effect dilakukan dengan menggunakan prosedur Hausman

Test. Hipotesis null dalam pengujian ini adalah bahwa random effect tidak memiliki hubungan

dengan variabel independen. Statistik uji (χ2) memiliki nilai sangat besar, 92.716, dengan

Page 51: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

47Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

demikian hipotesis null tidak dapat diterima. Dengan perkataan lain terdapat korelasi antara

random effect dengan variabel independen, sehingga spesifikasi RE adalah bias.

Kedua hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa teknik FE adalah yang terbaik dalam

memodelkan hubungan antara CDS dengan berbagai variabel independen. Disamping

melakukan pengujian spesifikasi, mengingat studi ini melibatkan cukup banyak variabel

independen maka dilakukan juga deteksi multikolinearitas. Keberadaan multikolinearitas

meskipun tidak menimbulkan bias pada parameter, namun bias pada varians dapat menyulitkan

pengambilan kesimpulan terkait dengan hipotesa. Dalam studi ini digunakan prosedur

sederhana, melalui nilai korelasi bivariate.

Dari Tabel 6 terlihat bahwa nilai koefisien korelasi bivariat diantara variabel bebas

seluruhnya berada dibawah 0.5. Deteksi awal multikolinearitas diberikan jika nilai koefisien

korelasi bivariat berada diatas 0.8. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa multikolinearitas

bukan menjadi suatu isu dalam skema empiris ini.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Studi ini telah melakukan review terhadap literatur yang ada mengenai hubungan antara

CDS dengan variabel fundamental (khususnya ekonomi makro). Mengingat CDS adalah suatu

instrumen derivatif (analog sebagai option) maka secara teoritis penilaian tergantung kepada

variabel suku bunga bebas risiko, jatuh tempo, strike price, volatilitas dan harga spot dari

underlying asset.

Tabel 6.Koefisien Korelasi Bivariat Diantara Variabel Bebas.

GROWGROWGROWGROWGROW INFLASIINFLASIINFLASIINFLASIINFLASI DEPRDEPRDEPRDEPRDEPR Y_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREAD DEBTDEBTDEBTDEBTDEBT DEVISADEVISADEVISADEVISADEVISA FIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEF CA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEF VIXVIXVIXVIXVIX

GROWGROWGROWGROWGROW Ω1.000000 Ω0.081179 Ω0.103939 -0.059887 -0.285217 -0.368460 Ω0.252166 Ω0.203625 -0.242872

INFLASIINFLASIINFLASIINFLASIINFLASI Ω0.081179 Ω1.000000 Ω0.141508 Ω0.549710 -0.267108 -0.317948 Ω0.012775 -0.003054 Ω0.187736

DEPRDEPRDEPRDEPRDEPR Ω0.103939 Ω0.141508 Ω1.000000 Ω0.263004 -0.068855 -0.022814 Ω0.064825 -0.003557 Ω0.377171

Y_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREADY_SPREAD -0.059887 Ω0.549710 Ω0.263004 Ω1.000000 -0.132355 -0.215354 -0.121660 -0.345598 Ω0.372907

DEBTDEBTDEBTDEBTDEBT -0.285217 -0.267108 -0.068855 -0.132355 Ω1.000000 -0.106676 -0.430229 -0.252147 -0.248663

DEVISADEVISADEVISADEVISADEVISA -0.368460 -0.317948 -0.022814 -0.215354 -0.106676 Ω1.000000 Ω0.068382 Ω0.342828 Ω0.250980

FIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEFFIS_DEF Ω0.252166 Ω0.012775 Ω0.064825 -0.121660 -0.430229 Ω0.068382 Ω1.000000 Ω0.469138 -0.004423

CA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEFCA_DEF Ω0.203625 -0.003054 -0.003557 -0.345598 -0.252147 Ω0.342828 Ω0.469138 Ω1.000000 -0.098183

VIXVIXVIXVIXVIX -0.242872 Ω0.187736 Ω0.377171 Ω0.372907 -0.248663 Ω0.250980 -0.004423 -0.098183 Ω1.000000

Page 52: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

48 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Beberapa studi empiris telah menunjukkan korelasi yang erat dari perilaku CDS terhadap

fundamental ekonomi. Studi yang dilakukan oleh Ismailescu dan Kazemi (2010) menunjukkan

adanya hubungan antara CDS dengan perubahan sovereign rating. Mengikuti metoda Standard

& Poor (Beers dan Cavanaugh, 2006), variabel fundamental ekonomi yang berpengaruh terhadap

rating dapat dibagi menjadi 7 klasifikasi yakni Risiko Politik, Struktur ekonomi agregat, Prospek

pertumbuhan ekonomi, Kondisi dan kebijakan fiskal, moneter serta eksternal dan posisi kontijen

(dalam dan luar negeri). Perubahan terhadap variabel fundamental ini dapat diduga akan

mempengaruhi premi CDS melalui variabel pricing.

Suatu dataset berfrekuensi tahunan yang terdiri atas 10 negara berkembang pada periode

2004-2009 digunakan untuk memverifikasi hipotesis ini. Hasil empiris menunjukkan bahwa

sentimen risiko global (diproksikan oleh indeks VIX), cadangan devisa serta yield spread

merupakan variabel fundamental paling berpengaruh terhadap premi CDS.

Temuan ini memberikan beberapa implikasi kebijakan yakni

a. Perlunya memonitor sentimen global dan mengurangi dampak dari pengaruh pemburukan

melalui kerjasama internasional yang lebih baik.

b. Pemupukan cadangan devisa secara mencukup sebagai buffer apabila terjadi shock negatif

yang mendadak. Cadangan devisa yang tinggi juga dapat menjadi sinyal kredibilitas kestabilan

sektor eksternal.

c. Memperhatikan pergerakan dipasar surat berharga/obligasi. Selisih yield adalah sinyal/

indikator terhadap perubahan persepsi risiko sovereign.

Page 53: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

49Analisa Sovereign Risk Negara Berkembang: Temuan dari Perilaku Premi Credit Default Swap

DAFTAR PUSTAKA

Bank For International Settlement, Triennial Quarterly Survey, Derivative Market, September

2010.

Bannier, C.E., dan Hirsch, C.W., 2010, ≈The economic function of credit rating agencies √

What does the watchlist tell us?∆, Journal of Banking and Finance, Vol. 34, hal. 3037-3049.

Beers, D.T dan M. Cavanaugh, 2006, Sovereign Credit Ratings: A Primer, 2006, Standard &

Poors Research.

Cameroon, A.C., and Triverdi., P. K., 2005, Microeconometrics: Methods and Applications,

Cambridge, New York.

Cantor, R., 2004, ≈An Introduction to recent research on credit ratings∆, Journal of Banking

and Finance, Vol 28, hal. 2565-2573.

Carr, P., dan Wu, L., 2007,∆Theory and evidence on the dynamic interactions between sovereign

credit swaps and currency option∆, Vol. 31, hal 2383-2403.

Hull, J.C., 2011,

Fundamentals Of Futures and Options Market., 7th Edition, Pearson.

Ismailescu, I dan Kazemi, H., 2010, ≈The reaction of emerging market credit default swap

spreads to sovereign credit rating changes∆, Journal of International Banking & Finance,

Vol. 34, page 2861-2873.

Matsumura, M.S. and Vicente, J.V.M, 2010,

≈The role of macroeconomic variables in sovereign risk∆, Emerging Markets Review, 11, hal

229-249.

Nomura, Fixed Income Research Team, Credit Default Swap Primer, May 2004.

Skinner, F.S dan Townend, T.G., 2002,∆An empirical analysis of credit default swaps∆,

International Review of Financial Analysis, Vol. 11, hal. 297-309.

Weigel, D.D. dan

Gemmill, G., 2006, ≈What drives credit risk in emerging markets? The roles of country

fundamentals and market co-movements ≈, Journal of≈International Money and Finance,

25, hal 476-502.

Whetten, M., Adelson M., dan Van Bemmelen, 2004, ≈Credit Default Swap: A Primer∆, Nomura

Fixed Income Research.

Page 54: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

50 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 55: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

51Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

PENYEBAB BANK RUNS DI INDONESIA:BAD LUCK ATAU FUNDAMENTAL?

Iskandar Simorangkir 1

Bank runs and banking crisis has been a global cycling phenomenon both in developed and

developing countries. This paper provide comprehensive analysis of the bank run determinant in Indonesia,

including the economic fundamental, bank performance and self fulfilling prophecy during the period of

1990-2005, using the dynamic panel estimation of Arrelano-Bond. The Result shows that the self-fulfilling

prophecy, bank performance (rentability, non performing loan) and macroeconomic condition (output

growth, inflation and real interest rate), determine the bank runs in Indonesia. This conclusion is robust

both for the sample period of 1997-1998 and 1990-2005.

1 Kepala Biro Riset Ekonomi, Bank Indonesia dan Dosen Program MM Pasca Sarjana Universitas Pelita Harapan Jakarta. Penulismengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Rustam Didong, Dr. Muliaman D. Hadad dan Dr. Sugiharso Safuan atas masukannya.Segala tulisan dalam paper ini merupakan pendapat pribadi penulis.

Abstract

Klasifikasi JEL: C29, C33, G21

Keywords: Bank runs, banking crisis, dynamic panel estimation, Arrelano-Bond, Indonesia

Page 56: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

52 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

I. PENDAHULUAN

Bank runs merupakan suatu peristiwa dimana banyak nasabah secara bersamaan menarik

dana secara besar-besaran dan sesegera mungkin pada suatu bank karena nasabah tidak percaya

bahwa bank mampu membayar dananya dalam jumlah penuh dan tepat waktu2. Bank runs

yang terjadi pada suatu bank akan menjadi krisis perbankan jika bank runs pada suatu bank

menjalar ke bank lainnya (contagious effect). Bank runs dan krisis perbankan telah menjadi

fenomena global dan terjadi berulang kali baik di negara maju maupun negara berkembang

dalam beberapa dekade terakhir. Fenomena krisis perbankan semakin sering terjadi sejak era

liberalisasi keuangan tahun 1980-an dan 1990-an (Davis dan Karim, 2007). Bahkan sejak

pertengahan 2007 hingga saat ini, pasar keuangan dunia menghadapi krisis keuangan global

yang berasal dari permasalahan subprime mortgage di Amerika Serikat (AS).

Dalam sejarah perbankan modern, krisis perbankan telah terjadi jauh sebelum perang

dunia pertama, seperti bank runs (bank panics) dan krisis perbankan yang terjadi di Amerika

Serikat (AS) pada 1837, 1873, 1884, 1890, 1907 dan 1933 (Calomiris, 2007). Penelitian yang

dilakukan oleh IMF di 181 negara anggotanya menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 hingga

pertengahan tahun 1996, terjadi 133 bank runs dan krisis perbankan yang serius (Lindgren,

Garcia dan Saal, 1996). Peristiwa krisis perbankan besar selanjutnya terjadi pada tahun 1997/

1998 di negara-negara Asia timur, yang meliputi Indonesia, Thailand, Malaysia, Philipina dan

Korea Selatan. Krisis tersebut diawali dari krisis nilai tukar di Thailand dan menular (contagious)

ke Indonesia dan negara Asia timur lainnya dan selanjutnya berkembang menjadi krisis perbankan

dan krisis ekonomi (Bank Indonesia, 1998). Krisis keuangan kembali terjadi di AS pada tahun

2007/2008 dan telah berkembang menjadi krisis keuangan global dan dampaknya saat ini

masih dirasakan.

Dalam kasus Indonesia, bank runs juga terjadi berulang-ulang. Pada tahun 1992, terjadi

bank runs pada beberapa bank nasional sehingga mengakibatkan dilikuidasinya Bank Summa.

Selanjutnya pada tahun 1997/1998 terjadi bank runs yang berkembang menjadi krisis perbankan

terparah dalam sejarah perbankan Indonesia. Penutupan 16 bank yang dilakukan Pemerintah

pada tanggal 1 November 1997 telah mengakibatkan menurunnya kepercayaan nasabah

terhadap banknya, khususnya bank swasta yang diyakini masyarakat mempunyai kinerja

keuangan yang rendah. Penurunan kepercayaan terhadap bank tersebut mendorong nasabah

secara besar-besaran menarik dananya (bank runs). Selanjutnya, penarikan pada satu bank

2 Definisi bank runs tersebut dikemukakan oleh George G. Kaufman pada The Concise Encyclopedia of Economics di website http://www.econlib.org/library/Enc/BankRuns.html atau di George G. Kaufman pada ≈Bank runs: Causes, Benefits and Costs∆. CatoJournal 2, No. 3 (Winter 1988): 559-88.

Page 57: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

53Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

menjalar secara sistemik3 (contagion) ke bank lain sehingga berkembang menjadi krisis

perbankan.

Berulangnya peristiwa bank runs dan krisis perbankan disebabkan bank merupakan

lembaga kepercayaan yang rentan terhadap penarikan dana oleh nasabah secara besar-

besaran. Kerentanan tersebut merupakan akibat dari kegiatan usaha bank yang

mentransformasikan kewajiban jangka pendek, seperti giro, tabungan dan deposito ke dalam

aktiva yang berjangka waktu lebih panjang, seperti kredit. Dengan kondisi tersebut, bank

selalu menghadapi permasalahan maturity mismatch sehingga sangat rentan terhadap

penarikan dana besar-besaran (bank runs) oleh nasabah karena terbatasnya aktiva likuid yang

dimiliki bank.

Selanjutnya bank runs pada satu bank tersebut dapat menimbulkan resiko sistemik, yaitu

menjalar ke bank lainnya. Resiko sistemik tersebut dapat terjadi karena nasabah di bank lain

tidak mengetahui informasi mengenai kondisi banknya (asymmetric information) sehingga

nasabah berpikir bahwa banknya juga menghadapi masalah sehingga nasabah juga berbondong-

bondong menarik dananya di bank. Proses bank runs yang sama juga terjadi pada bank-bank

lainnya sehingga akan banyak bank mengalami bank runs dan pada akhirnya mengakibatkan

krisis perbankan. Faktor penyebab bank runs yang berasal dari kekhawatiran (belief) nasabah

akibat tidak terdapatnya informasi mengenai kinerja bank tersebut sering disebut dengan self-

fulfilling prophecy. Bank runs yang disebabkan oleh faktor self-fulfilling prophecy merupakan

kejadian acak (random event) dari berita yang tidak simetris (asymmetric information) yang

diterima nasabah (agent). Model teori yang berpengaruh luas tersebut dikembangkan oleh

Diamond dan Dybvig (1983).

Selain faktor self-fulfilling prophecy, faktor penyebab bank runs adalah faktor

fundamental, baik yang berasal dari fundamental makroekonomi dan fundamental bank

(Kindleberger (1978), Gup dan Bartholomew (1999)). Goncangan (shock) yang terjadi pada

fundamental ekonomi, seperti kontraksi ekonomi, peningkatan suku bunga, volatilitas nilai

tukar, penurunan nilai aset dan peningkatan ketidakpastian di sektor keuangan, dapat

menimbulkan efek negatif terhadap kegiatan usaha bank. Kontraksi/pelemahan ekonomi dapat

mengakibatkan terjadinya peningkatan kredit macet bank dan selanjutnya dapat mengakibatkan

ketidakmampuan bank membayar penarikan simpanan nasabah karena sebagian besar dana

nasabah tertanam dalam kredit macet.

3 Resiko sistemik adalah resiko dimana suatu bank runs pada salah satu bank dapat mengakibatkan bank runs pada bank lain ataudalam literature akademik sering disebut resiko yang memberikan dampak contagion. Proses terjadinya resiko sistemik atau contagiontersebut melalui proses self-fulfilling prophecy (lihat pada Bab II).

Page 58: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

54 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa krisis perbankan yang terjadi di suatu negara

telah mengakibatkan kerugian bagi perekonomian dan masyarakat (Hoelscher dan Quintyn,

2003 dan Hanson, 2005). Terhambatnya akses pembiayaan untuk dunia usaha dapat

mengakibatkan kontraksi ataupun perlambatan ekonomi sehingga dapat mendorong

peningkatan pengangguran. Selain itu, penyehatan perbankan akibat krisis juga memerlukan

biaya fiskal yang besar dan pada akhirnya akan dibebankan kepada pembayar pajak (tax payer).

Output loss yang dialami negara-negara yang mengalami krisis perbankan bervariasi

tergantung kedalaman dan lamanya krisis. Hanson (2005) melakukan study mengenai output

loss akibat krisis perbankan. Dalam hasil study tersebut antara lain dikemukakan bahwa Indonesia

mengalami kerugian output (output loss) sebesar 35% hingga 39% dari PDB, Thailand sebesar

26,7% hingga 40% dari PDB, Korea sebesar 10% hingga 17% dari PDB pada periode krisis

1997-2002. Jepang sebesar 4,5% hingga 48% dari PDB pada periode krisis 1991-2005, Meksiko

sebesar 10% hingga 14,5% dari PDB pada periode krisis 1994-2000 dan Hongaria sebesar

14% hingga 36,4% dari PDB pada periode krisis 1991-1995.

Sehubungan dengan besarnya biaya yang ditimbulkan bank runs dan krisis perbankan,

maka paper ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi bank runs,

fundamental factors or bad luck?. Selanjutnya, pada sesi 2 akan dibahas konsep theory yang

mempengaruhi bank runs. Sesi 3 akan membahas perkembangan bank runs di Indonesia dan

section 4 akan menguraikan empirical model dan data. Hasil empiris dari kajian akan diuraikan

dalam sesi 5, sementara sesi 6 merupakan bagian akhir dari paper yang akan menyimpulkan

hasil kajian dan implikasi kebijakan.

II. TEORI

Dilihat dari dari faktor-faktor penyebabnya, terdapat dua teori utama yang menjelaskan

faktor penyebab bank runs. Teori pertama mengemukakan bahwa bank runs terjadi disebabkan

faktor fundamental, baik fundamental makroekonomi maupun fundamental bank (Kindleberger,

1978). Sementara teori kedua mengemukakan bahwa bank runs merupakan kejadian acak

(random) karena kepanikan (self-fulfilling prophecy) nasabah akibat informasi yang tidak

sempurna (asymmetric information) mengenai permasalahan kinerja bank (Diamond dan Dybvig,

1983).

Dalam teori fundamentalist, memburuknya fundamental bank dan makroekonomi dapat

mengakibatkan terjadinya bank runs. Memburuknya fundamental bank antara lain penurunan

penerimaan hasil investasi (return on investment) dan permasalahan insolvency, sementara

memburuknya fundamental ekonomi, antara lain resesi ekonomi dan inflasi yang tinggi.

Page 59: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

55Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

Kindleberger (1978) dan Canova4 (1994) berpandangan bahwa bank runs adalah endogenous

terhadap proses ekonomi dan cenderung muncul pada saat puncak dari fase ekspansi dalam

siklus ekonomi. Menurut teori ini, kondisi finansial menjadi rentan pada periode akhir ekspansi

ekonomi karena perusahaan-perusahaan yang merupakan debitur bank mengalami kesulitan

dalam melakukan pembayaran hutangnya karena penurunan keuntungan perusahaan.

Dalam model ini, bank runs adalah bagian dari siklus yang dapat mempengaruhi baik

perbankan maupun sektor riil dalam ekonomi. Teori ini mengemukakan bahwa dalam kondisi

siklus ekonomi yang membaik (upturn), bank akan meningkatkan pemberian kredit ke sektor

riil dengan dasar ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada masa yang akan

datang. Selanjutnya, bank akan mempunyai kredit yang besar (highly leveraged) dan jika siklus

ekonomi menurun, maka peminjam tidak dapat mengembalikan kredit. Kondisi ini

mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas dan tidak mempunyai cadangan yang cukup

untuk menutupi kerugiannya.

Penyebab bank runs juga dapat berasal dari faktor fundamental bank (Gorton, 1988).

Bank akan mengalami kesulitan menyediakan likuiditas untuk memenuhi penarikan nasabahnya

jika bank mempunyai kinerja keuangan yang buruk. Terjadinya kerugian, solvabilitas yang buruk

dan kualitas aktiva produktif yang buruk mengakibatkan tertahannya dana nasabah pada aktiva

yang buruk, seperti kredit macet. Selanjutnya, kondisi tersebut mengakibatkan minimnya

likuiditas yang tersedia di bank, sehingga bank selalu rentan terhadap bank runs.

Sementara itu, teori kedua menyebutkan bahwa bank runs terjadi karena kejadian acak

(random event) karena kepanikan nasabah bank (agent) dan tidak selalu terkait dengan

fundamental ekonomi. Model teori dari grup kedua yang berpengaruh luas dikembangkan

oleh Diamond dan Dybvig (1983). Model ini mengemukakan bahwa bank runs yang terjadi

merupakan respon rasional dari keyakinan (belief) dari agent akibat informasi yang tidak simetris

mengenai kinerja banknya. Jika nasabah (agent) berpikir bahwa bank tidak mempunyai dana

yang cukup untuk memenuhi penarikan nasabah maka bank runs akan terjadi. Suatu bank

akan menghadapi penarikan besar-besaran jika cukup banyak individual yang percaya bahwa

nasabah lainnya juga akan menarik dananya atau sering disebut dengan self-fullfilling prophecy.

Dalam kelompok ini juga termasuk Calomiris dan Gorton (1991) yang mengemukakan

kombinasi faktor self-fulfilling prophecy dan shock aset perbankan merupakan penyebab bank

runs. Selain itu, Chen (1999) mengemukakan selain self-fulfilling prophecy dan faktor likuiditas,

moral hazard juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya bank runs. Sementara itu, Aharony

4 Canova (1994) menyimpulkan pendapat Mitchell (1913), Fischer (1933) dan Minsky (1977). Lihat Fabio Canova. ≈Were FinancialCrises Predictable?∆. Journal of Money, Credit and Banking. Volume 26, Issue 1 (Feb. 1994), 102-124.

Page 60: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

56 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

dan Swary (1983) dan Allen dan Gale (2000) mengemukakan bahwa bank runs akibat pengaruh

contagion. Contagion dalam pembahasan bank runs sering diartikan sama dengan dengan

faktor self-fulfilling prophecy karena contagion berarti bank runs pada suatu bank akan

mempengaruhi bank runs pada bank lain. Proses mempengaruhi dari satu bank ke bank lain

melalui mekanisme transmisi penarikan nasabah (self-fulfilling prophecy). Dengan demikian

menurut theory ini, bank runs lebih disebabkan karena bad luck dan bukan fundamental factors.

Dari sisi empiris, penelitian bank runs dan determinan krisis perbankan telah banyak

dilakukan. Misalnya, Canova (1994) melakukan penelitian mengenai determinan krisis perbankan

pada periode tahun 1864-1914 di AS dengan model probit. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan bahwa krisis perbankan di AS pada periode tersebut disebabkan pengaruh faktor

kondisi ekonomi. Selanjutnya penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa dapat terjadi krisis

perbankan yang bersifat musiman dan dipengaruhi siklus ekonomi.

Penelitian mengenai determinan krisis perbankan secara menyeluruh dengan

menggunakan data panel negara-negara berkembang dan maju dilakukan oleh Demirgüç-

Kunt dan Detragiache (1998). Model yang digunakan adalah multivariate logit dengan hasil

kesimpulan yang menunjukkan bahwa krisis perbankan dapat terjadi jika kondisi ekonomi makro

lemah (pertumbuhan ekonomi rendah dan inflasi yang tinggi), suku bunga tinggi, tingginya

arus modal keluar mendadak (sudden capital outflow) dan tingginya pemberian kredit.

Eichengreen dan Rose (1998) melakukan penelitian kejutan eksternal (international shock)

terhadap krisis perbankan di negara-negara OECD dan hasilnya menunjukkan bahwa suku

bunga mempunyai pengaruh besar, sementara pertumbuhan ekonomi mempunyai pengaruh

kecil terhadap kerentanan krisis perbankan.

Penelitian determinan krisis perbankan tersebut di atas dilakukan dengan menggunakan

data agregat dari masing-masing negara (cross-country) sehingga terdapat kemungkinan

permasalahan agregasi, seperti faktor saling meniadakan diantara bank-bank yang diagregasi.

Sejalan dengan kelemahan tersebut, McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) menggunakan

data individual bank dan model panel data dinamis untuk mengetahui determinan bank runs

dan krisis perbankan di Argentina yang terjadi pada tahun 2001. Hasil temuan penelitian tersebut

menunjukkan bahwa determinan bank runs yang terjadi di Argentina adalah faktor self-fulfilling

prophecy, kejutan (shock) makroekonomi dan memburuknya kondisi fundamental bank.

III. PERKEMBANGAN KRISIS PERBANKAN DI INDONESIA

Pada awalnya krisis yang melanda perekonomian Indonesia sejak tahun 1997 terutama

dipicu oleh krisis nilai tukar rupiah. Tekanan depresiasi nilai tukar rupiah yang besar ini terutama

Page 61: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

57Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

berasal dari faktor contagion dari krisis nilai tukar Baht Thailand pada bulan Juli 1997. Pengaruh

contagion tersebut tidak hanya melanda Indonesia tetapi juga dengan cepat meluas ke negara-

negara Asia lainnya, seperti Filipina, Malaysia dan Korea Selatan. Semakin beratnya tekanan

depresiasi terhadap nilai tukar rupiah tersebut memaksa Indonesia melepas rezim nilai tukar

mengambang terkendali (managed floating) menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas

(Free Floating Exchange Rate) pada 14 Agustus 1997. Dalam rangka menghindarkan

perekonomian nasional dari krisis yang lebih dalam sebagai akibat dari tekanan depresiasi nilai

tukar dan capital outflow maka Pemerintah mengeluarkan paket kebijaksanaan ekonomi pada

September 1997. Selanjutnya, program ini diperluas menjadi program stabilisasi dan reformasi

ekonomi yang didukung oleh IMF, World Bank dan ADB secara formal pada November 1997.

Sebagai wujud dari pelaksanaan program reformasi di sektor keuangan guna menyehatkan

sistem perbankan, maka pada 1 November 1997 sebanyak 16 bank swasta nasional ditutup.

Penutupan 16 bank tersebut mengakibatkan terjadinya bank runs pada bank-bank yang

menurut persepsi masyarakat tergolong tidak sehat. Kebijakan penutupan bank yang seharusnya

dimaksudkan untuk menyehatkan perbankan nasional justru sebaliknya mengakibatkan

terjadinya penarikan dana besar-besaran pada bank-bank bukan pemerintah. Penarikan dana

besar-besaran ini terjadi karena runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan akibat

penutupan bank tersebut. Semakin meluasnya bank runs tersebut juga disebabkan kinerja

keuangan bank yang lemah, seperti peningkatan kredit macet dan menurunnya rentabitas

bank, akibat pengelolaan usaha yang tidak sepenuhnya mengikuti hakikat tata kelola yang

sehat (Warjiyo,2001 dan Bank Indonesia, 19985). Selain itu, pesatnya depresiasi nilai tukar

rupiah mengakibatkan membengkaknya hutang luar negeri bank dalam denominasi rupiah.

Kondisi tersebut diperparah lagi tidak terdapatnya program penjaminan. Di tengah belum

terdapatnya program penjaminan dan tidak terdapatnya informasi mengenai kondisi bank

(asymmetric information), nasabah bank, khususnya nasabah bank swasta, menarik dana secara

besar-besaran dan mengalihkan ke bank yang diperkirakan lebih sehat dan ke aset yang lebih

aman (uang kartal).

Satu bulan sejak penutupan 16 bank tersebut di atas (Desember 1997), jumlah dana

pihak ketiga yang terdapat di bank umum swasta nasional (BUSN) menurun sebesar Rp 22,9

triliun (11,94%). Penarikan dana pada umumnya dimulai sejak penutupan bank dan mencapai

puncak penarikan tertinggi pada Desember 1997 dan Januari 1998. Penarikan tersebut menurun

sejak Pemerintah memberikan jaminan (blanket guarantee) pada Januari 1998. Namun, pada

saat terjadi kerusuhan sosial pada Mei 1998, jumlah bank yang mengalami bank runs meningkat

kembali.

5 Laporan tahunan Bank Indonesia tahun 1997/1998.

Page 62: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

58 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Pada periode krisis perbankan pada tahun 1997/1998, penarikan dana besar-besaran

(bank runs) banyak terjadi pada BUSN non devisa6, bank beku kegiatan usaha7 dan bank beku

operasi8. Puncak penarikan besar-besaran pada BUSN nondevisa terjadi pada Desember 1997,

Januari 1998, dan Mei 1998. Sebagai gambaran, pada Desember 1997, dari 45 BUSN nondevisa,

25 bank mengalami penurunan dana pihak ketiga hingga 10%, 17 bank mengalami penurunan

dana hingga 20%, 13 bank mengalami penurunan dana hingga 40%, 11 bank mengalami

penurunan dana hingga 60%, dan 6 bank mengalami penurunan dana hingga 80% dari total

dana bulan sebelumnya.

Sebagaimana di BUSN nondevisa, bank runs juga terjadi di bank beku kegiatan usaha

(BBKU) dan bank beku operasi (BBO). Penarikan terbesar terjadi pada November 1997 sampai

dengan Januari 1998, dan Maret sampai dengan Mei 1998. Misalnya, pada November 1998,

dari 40 BBKU sebanyak 26 bank mengalami penurunan dana pihak ketiga hingga 10% dari

total dana pihak ketiga bulan sebelumnya, 14 bank mengalami penurunan dana hingga 20%

dibandingkan total dana bulan sebelumnya, dan 2 bank mengalami penurunan dana hingga

40% dibandingkan bulan sebelumnya. Bank runs pada BBO juga tidak jauh berbeda dengan

BBKU. Pada Januari 1998, dari 10 BBO, 6 bank mengalami penurunan dana pihak ketiga hingga

20% dan 4 bank menurun hingga 40%.

Pada periode November 1997 hingga Januari 1998, sebaliknya, dana pihak ketiga pada

bank pemerintah mengalami peningkatan sebesar 9,6% pada November 1997. Penarikan

dana dari bank asing juga tidak jauh berbeda dengan bank Pemerintah. Pada November 1997,

hanya satu bank yang mengalami penurunan dana pihak ketiga. Sementara itu, pada Desember

1997 sampai dengan Januari 1998 menunjukkan peningkatan sebesar 6,8% pada November

1997.

Dengan perkembangan tersebut, pangsa dana pihak ketiga bank persero dan bank asing

meningkat dari masing-masing sebesar 42,8% dan 7,2% pada Desember 1997 menjadi masing-

masing sebesar 47,7% dan 9,3% pada akhir Januari 1998. Sebaliknya, pangsa dana pihak

ketiga BUSN Devisa dan BUSN nondevisa menurun dari masing-masing sebesar 43,2% dan

2,2% pada Desember 1997 menjadi sebesar 36,9% dan 1,5% pada Januari 1998 (Tabel 1).

Perkembangan tersebut menunjukkan terdapatnya pengalihan dana dari bank swasta ke bank-

bank pemerintah dan bank asing.

6 BUSN non devisa adalah bank swasta nasional yang tidak diperkenankan melakukan kegiatan devisa dalam kegiatan usahanya.7 Bank beku kegiatan usaha (BBKU) adalah bank yang kegiatan usahanya dibekukan atau tidak diperkenankan untuk melakukan

kegiatan usaha sementara waktu atau jangka waktu tertentu.8 Bank beku operasi (BBO) adalah bank yang kegiatan operasinya dibekukan sementara waktu.

Page 63: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

59Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

Selain pengalihan dana pihak ketiga ke bank-bank tergolong sehat (flight to quality),

juga terdapat pengalihan dana ke uang kartal (currency), seperti tercermin dari peningkatan

uang kartal pada bulan Januari 1998 sebesar 31,8% (Rp 9,045 triliun) dibandingkan bulan

sebelumnya. Peningkatan tersebut di luar pola normal permintaan uang kartal, yang berdasarkan

Kelompok Bank

Tabel 1.Pangsa Dana Pihak III Perbankan

Bank UmumBank UmumBank UmumBank UmumBank Umum1. Bank Persero 36,0 42,8 47,7 47,0 46,62. Bank Devisa 49,7 43,2 36,9 37,1 37,63. BUSN Non Devisa 5,5 2,2 1,5 1,9 2,34. BPD 2,8 2,2 1,6 1,7 1,65. Bank Campuran 1,7 2,4 3,0 3,0 2,86. Bank Asing 4,1 7,2 9,3 9,3 9,2BPR*) 0,5 0,4 0,3 0,3 0,3

Des-96 Des-97 Jan-98 Feb-98 Mar-98

Pangsa (%)

* Pangsa terhadap bank UmumSumber : Bank Indonesia

Grafik 1.Perkembangan Uang Kartal dan Nilai Tukar

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

14000

16000

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

Uang kartal di masyarakat

Nilai Tukar

1 6 10 2 7 2 7 2 7 2 7 2 7 2 7 2 7 2 7 2 7 2 7 2 6 9-20,00

0,00

20,00

40,00

60,00

80,00

100,00

Sumber : Bank Indonesia, telah diolah kembali

Page 64: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

60 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

data dua tahun terakhir sebelum krisis, rata-rata pertumbuhan uang kartal hanya sebesar 9,5%

dalam per tahun.

Krisis perbankan tersebut diperberat lagi dengan depresiasi nilai tukar rupiah yang sangat

besar. Pada bulan Januari 1997, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada

pada posisi Rp 2.396. Posisi nilai tukar tersebut terus menurun. Bulan Juli 1997 nilai tukar

tercatat berada pada posisi Rp 2.599 per dolar AS, dan pada Desember 1997 menjadi sebesar

Rp 4.650 per dolar AS. Pada tahun 1998 posisi nilai tukar mengalami penurunan yang sangat

drastis, mencapai posisi Rp 10.525 per dolar AS pada bulan Mei 1998 dan terus melemah

hingga puncaknya pada bulan Juni 1998 pada posisi Rp 14.900 per dolar AS. Dari posisi tersebut

rupiah mulai mengalami penguatan hingga pada bulan Desember 1998 berada pada posisi Rp

8.025 per dolar AS. Sementara itu pada tahun 1999 posisi nilai tukar cenderung berfluktuasi

dan pada akhirnya menguat pada bulan Desember 1999 mencapai Rp 7.100 per dolar AS.

Depresiasi yang terjadi dari Januari 1997 hingga Desember 1998 tersebut mengakibatkan

pembengkakan kewajiban hutang luar negeri bank dalam mata uang rupiah. Sementara itu, di

sisi lain sebagian besar pinjaman luar negeri tersebut ditanamkan dalam bentuk kredit yang

menghasilkan rupiah (non ekspor), sehingga terjadi mismatch currency yang memberatkan

neraca (balance sheet) bank.

Penarikan dana bank secara besar-besaran oleh nasabah dan depresiasi nilai tukar rupiah

yang besar memberi tekanan terhadap neraca bank (balance sheet). Kondisi tersebut

mengakibatkan kinerja perbankan nasional secara keseluruhan semakin memburuk. Penurunan

kinerja perbankan terjadi pada semua aspek keuangan bank, yaitu mencakup permodalan,

kualitas aktiva produktif, rentabilitas, dan likuiditas. Kinerja permodalan (CAR) menurun tajam

sejak terjadinya krisis, seperti tercermin dari penurunan CAR semua bank dari sebesar 9,19%

pada akhir Desember 1997 menjadi sebesar √15,68% pada akhir Desember 1998. Demikian

halnya kinerja kualitas aktiva produktif (KAP), yang diukur dari perbandingan antara aktiva

produktif yang diklasifikasikan tidak lancar dengan total aktiva produktif, meningkat pesat dari

sebesar 4,80% pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 42,39% pada akhir tahun 1998, sebelum

menurun menjadi sebesar 12,74% pada akhir tahun 1999 sebagai akibat pengalihan kredit

bank bermasalah ke BPPN.

Sejalan dengan memburuknya KAP, maka kinerja rentabilitas, yang diukur dengan

perbandingan laba dengan aktiva rata-rata (ROA), menurun dari 1,37% pada tahun 1997

menjadi √18,76% pada tahun 1998 dan √6,14% pada tahun 1999. Kerugian yang dialami

hampir semua bank tersebut disebabkan tingginya biaya dana yang ditanggung bank, dengan

suku bunga deposito satu bulan mencapai 70% pada September 1998. Sementara di sisi lain

KAP meningkat dan jumlah kredit yang diberikan menurun sejalan dengan kontraksi ekonomi

Page 65: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

61Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

(13,1% pada tahun 1998) dan meningkatnya resiko usaha akibat ketidakstabilan sosial, politik,

dan keamanan. Sejalan dengan penurunan kredit, maka loan to deposit ratio (LDR) bank juga

menurun tajam dari sebesar 86,42% pada akhir tahun 1997 menjadi sebesar 72,37% pada

akhir tahun 1998 dan hanya sebesar 26,16% pada akhir tahun 1999.

IV. METODOLOGI

Study ini akan menggunakan model panel dinamis. Penggunaan model panel dinamis

dimaksudkan untuk menangkap perilaku nasabah suatu bank terhadap perilaku nasabah pada

bank lain melalui perubahan yang terjadi pada dana pihak ketiga pada suatu bank. Terbatasnya

informasi nasabah mengenai banknya (imperfect information) menyebabkan penurunan dana

pihak ketiga suatu bank yang signifikan ditafsirkan oleh nasabah bahwa banknya menghadapi

masalah sehingga akan mendorong nasabah menarik dana secara besar-besaran dari banknya

(self-fulfilling prophecy). Faktor self-fulfilling prophecy ini, secara kelembagaan juga dapat

mempengaruhi bank runs pada bank lain (resiko sistemik) atau sering disebut dengan contagion9.

Dengan demikian model panel dinamis yang akan digunakan dalam disertasi ini dapat

mengetahui secara bersamaan determinan bank runs yang berasal dari self-fulfilling prophecy,

faktor fundamental makroekonomi dan kinerja keuangan bank.

Model panel dinamis yang digunakan dalam study ini adalah panel dinamis Arrelano-

Bond. Model Arrelano-Bond digunakan untuk mengatasi permasalahan model dinamis pada

model efek tetap (MET) dan model efek random (MER). Korelasi antara lagged dependent

variable dan pengaruh individual efek dapat mengakibatkan penggunaan OLS estimator MET

dan MER menjadi bias dan tidak konsisten, sehingga model tersebut tidak robust digunakan

untuk mengestimasi determinan bank runs dalam paper ini. Model formal data panel dinamis

yang digunakan untuk menganalisis determinan bank runs pada paper ini sebagai berikut :

(1)

dimana ∆Depit merupakan variabel tidak bebas (dependent variable) yang berupa persentase

perubahan bulanan dana pihak ketiga masing-masing individual bank yang digunakan sebagai

proxy bank runs. Persentase perubahan dana pihak ketiga yang positif berarti tidak terjadi

bank runs, sebaliknya persentase perubahan dana pihak ketiga yang negatif berarti terjadi

9 Beberapa penulis, seperti D »Amato, Grubisic dan Powell (1997) dan Allen dan Gale (2000) menggunakan istilah contagion untukself-fulfilling prophecy.

Page 66: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

62 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

bank runs yang besar kecilnya tergantung besarnya dana pihak ketiga. Penggunaan ∆Depit

sebagai proxy bank runs sejalan dengan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1997) dan

McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003), yang menunjukkan variabel persentase perubahan

dana pihak ketiga merupakan yang robust sebagai proxy bank runs merupakan regressor dari

lag satu variabel tidak bebas, yang berupa persentase perubahan dana pihak ketiga dari bank,

yang berfungsi untuk menangkap pengaruh self-fulfilling dari terjadinya bank runs. Dengan

keterbatasan nasabah mengenai informasi banknya (asymmetric information), maka penurunan

dana pihak ketiga pada suatu bank atau bank runs di bank lain pada periode sebelumnya (t-1)

akan mendorong nasabah melakukan penarikan besar-besaran pada banknya atau bank runs

pada periode sekarang (t). Lag perubahan dana pihak ketiga bank tersebut digunakan D»Amato,

Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) sebagai proxy self-

fulfilling prophecy pada penelitiannya dan menunjukkan hasil yang robust.

Bk merupakan k variabel bebas dari kinerja keuangan bank. Kinerja keuangan yang

digunakan merupakan kombinasi dari penilaian tingkat kesehatan yang dilakukan BI yang berupa

CAMELS10. Fh merupakan h variabel bebas dari kondisi fundamental makroekonomi dengan

variabel makroekonomi.

Selanjutnya, dalam proses estimasi model Arrelano dan Bond (1991) tersebut di atas

digunakan intrumental variable (IV) untuk mendapatkan hasil estimasi yang robust. Dalam

model panel dinamis ini digunakan first difference dari semua variabel dengan menggunakan

k lags variabel sebagai independent variable. Dengan mengunakan first difference maka efek

spesifik dari bank dapat dihilangkan, tetapi dengan first difference maka akan terjadi serial

korelasi antara lag variable dengan difference residual. Untuk mengatasi permasalahan ini maka

Arrelano dan Bond mengusulkan untuk menggunakan lag explanatory variable dalam level,

termasuk lag dependent variable sebagai instrumen.

Estimasi GMM akan konsisten jika lag dari explanatory variable dalam level adalah instumen

yang valid untuk explanatory variable dalam bentuk difference. Hal tersebut bisa terjadi jika

residual tidak berkolerasi (serial correlation) dan masing-masing independent variable bersifat

exogenous. Kedua karakteristik ini akan dievaluasi melalui second order serial correlation test

dan Sargan test untuk mengidentifikasi restriksi yang berlebihan. Dengan Sargan test dapat

dievaluasi spesifikasi model bersama dan validitas dari instrumen.

10 BI menetapkan CAMELS sebagai kriteria penilaian tingkat kesehatan, yaitu C adalah capital atau permodalan, A adalah asset qualityatau kualitas aset, seperti non-performing loan (NPL), M adalah management, E adalah earning atau rentabilitas, L adalah liquidityatau likuiditas, dan S adalah systemic risk atau resiko sistemik. Sehubungan dengan penelitian terkait dengan kinerja keuanganbank, maka komponen kinerja keuangan yang digunakan adalah Capital, Asset quality, Earning dan Liquidity , sementara Managementdan Systemic risk tidak digunakan. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya sebagaimana disebutkan di atas.

Page 67: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

63Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

Nama Variabel

Tabel 2.Variabel Kinerja Keuangan Bank

Rasio kecukupan modal (CA)

Rasio laba terhadap totalaktiva (ROA)

Rasio laba terhadap modalsendiri (ROE)

Rasio Alat likuid terhadapTotal Aset (LIQ)

Rasio Kredit terhadap DanaPihak ketiga (LDR)

Pertumbuhan Kredit bulanan(GKREDIT)

Non Performing Loan (NPL)

Metode Pengukuran Dasar Pertimbangan Teori

Ukuran solvabilitas bank. Semakinbaik solvabiltas bank, maka semakintinggi ketahanan terhadap bank runs(tanda koefisien positif).

Ukuran rentabilitas bank. Semakinbesar rentabilitas, maka semakin baikkinerja keuangan bank dan padalanjutannya semakin tinggi dayatahan bank terhadap bank runs(tanda koefisien positif).

Ukuran rentabilitas bank. Semakinbesar rentabilitas, maka semakin baikkinerja keuangan bank dan padalanjutannya semakin tinggi dayatahan bank terhadap bank runs(tanda koefisien positif).

Ukuran likuiditas bank. Semakin besarlikuiditas maka semakin besar alatl ikuid yang dimiliki bank danselanjutnya meningkatkankemampuan bank dalam mengatasimasalah bank runs (tanda koefisienpositif).

Ukuran likuiditas. Semakin besar LDRberarti semakin besar peningkatankredit dibandingkan dana masyarakatyang dihimpun bank sehinggalikuiditas yang tersedia semakin kecildan selanjutnya meningkatkankerentanan terhadap bank runs(tanda koefisien -).

Sama seperti LDR, semakin tinggipertumbuhan kredit, maka semakinsedikit likuiditas yang dimiliki banksehingga meningkatkan kerentananterhadap bank runs (tanda koefisiennegatif).

Ukuran kualitas aktiva produktif(KAP). Semakin buruk KAP, makasemakin banyak dana pihak ketigayang tertahan di kredit non lancarsehingga alat likuid yang dimilikisemakin kecil dan selanjutnyameningkatkan kerentanan bankterhadap bank runs (tanda koefisiennegatif).

Rasio antara total modal (modaldisetor + laba ditahan + laba bersihtahun berjalan) dengan total aktiva

Rasio antara laba tahun berjalansetelah pajak dengan total aktiva

Rasio antara laba tahun berjalansetelah pajak dengan modal sendiri(Modal sendiri = Modal disetor +Laba ditahan + Laba bersih tahunberjalan)

Rasio antara likuiditas (Kas dan SBI)dengan total aktiva

Rasio antara total kredit dengan totaldana pihak ketiga

Pertumbuhan total kredit bulan saatini (t) dibandingkan total kredit bulansebelumnya (t-1)

Rasio antara total kredit non lancar(kurang lancar, diragukan dan macet)dengan total kredit

Page 68: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

64 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Nama Variabel

Tabel 3.Variabel Kondisi Makro Ekonomi

INFLASI

LGDP

SBI

LNT

GM2

GNFA

IHSG

RSBUNGA

Metode Pengukuran Dasar Pertimbangan Teori

Semakin tinggi inflasi, maka semakinketidakpastian ekonomi sehinggacenderung meningkatkan terjadi bankruns (tanda koefisien negatif).

Menurunnya pertumbuhan ekonomidapat meningkatkan gagal bayar kreditsehingga cenderung meningkatkanbank runs (tanda koefisien positif).

Semakin tinggi suku bunga, makasemakin berkurang kemampuannasabah dalam mengangsur/melunasikredit (kredit macet meningkat)sehingga cenderung meningkatkanbank runs (tanda koefisien negatif).

Semakin tinggi volatilitas nilai tukar,maka semakin tinggi ketidakpastiansehingga akan dapat meningkatkanterjadinya bank runs (tanda koefisiennegatif)

Semakin besar uang beredar berartisemakin longgar kebijakan monetersehingga likuiditas di sistem perbankansemakin besar sehingga akanmenurunkan kerentanan terhadap bankruns (tanda koefisien positif).

NFA merupakan faktor yangmempengaruhi M2. Semakin besar NFAberarti semakin besar pertumbuhan M2sehingga akan meningkatkan likuiditasdi pasar uang/perbankan dan padalanjutannya dapat menurunkankerentanan terhadap bank runs (tandakoefisien positif).

Semakin rendah indeks harga saham,maka semakin rendah harga asetsehingga dapat menimbulkankerentanan terhadap bank runs (tandakoefisien negatif).

Semakin tinggi suku bunga, makasemakin tinggi biaya dana debitursehingga mendorong peningkatankredit macet dan selanjutnyameningkatkan kerentanan terhadapbank runs (tanda koefisien negatif).

Laju inflasi tahunan dalam bulan yangbersangkutan.

Pertumbuhan ekonomi yang dihitung darilogaritma dari Produk Domestik Brutobulanan. Data bulanan diinterpolasi daridata triwulanan dengan menggunakanmetode quadratic dalam program eviews.

Suku bunga SBI 1 bulan.

Persentase perubahan bulanan nilai tukarrupiah/USD yang dihitung dari logaritmanilai tukar Rp/USD.

Pertumbuhan bulanan uang beredar (M2)

Pertumbuhan bulanan net foreign aset(NFA)

Persentase perubahan Indeks Harga SahamGabungan

Suku bunga riil yang dihitung denganmengurangkan suku bunga nominal SBI 1bulan dengan inflasi tahunan

Page 69: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

65Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

Data yang digunakan adalah data panel dari 94 bank dengan periode bulanan dari Januari

1990 sampai dengan Desember 2005. 94 bank yang dianalisis terdiri dari 7 bank pemerintah,

42 bank swasta devisa, 35 bank swasta non devisa dan 10 bank asing. Seluruh data panel bank

tersebut diperoleh dari laporan bulanan bank umum (LBU) individual bank dari Bank Indonesia.

Secara lengkap penjelasan data dapat dilihat pada Table 2 dan Tabel 3.

Sementara itu, indikator makroekonomi ( FHit

) yang digunakan meliputi inflasi,

pertumbuhan ekonomi (LPDB), suku bunga SBI 1 bulan (SBI), nilai tukar (LNT), pertumbuhan

uang beredar (GM2), pertumbuhan net foreign assets (GNFA), indeks harga saham gabungan

(IHSG) suku bunga riil (RSBUNGA) sebagaimana diuraikan pada Tabel 3. Data triwulanan PDB

diinterpolasi menjadi bulanan.

V. HASIL DAN ANALISIS

5. 1. Determinan Bank Runs Secara Agregat (1990-2005)

Untuk mengestimasi determinan bank runs, maka digunakan persamaan.1 dengan

menambah dummy bank runs (dcrisis) pada krisis perbankan tahun 1997/1998.

Penambahan variabel dummy diperlukan untuk menangkap terjadinya structural break dalam

data persentase perubahan dana pihak ketiga sebagai proxy variable dari bank runs. Terjadinya

structural break dalam data pada saat terjadinya krisis perbankan 1997/1998 dapat

mengakibatkan hasil estimasi menjadi tidak efisien. Sesuai dengan penelitian D»Amato, Grubisic

dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) sebagaimana diuraikan pada

section 4, persentase perubahan dana pihak ketiga yang positif berarti tidak terjadi bank runs,

sebaliknya persentase perubahan dana pihak ketiga yang negatif berarti terjadi bank runs,

yang tingkat keparahannya tergantung jumlah penarikan dana pihak ketiga.

Sehubungan dengan model yang digunakan adalah model GMM, maka keakuratan

(robustness) model dianalisis dengan melihat moment condition. Untuk melihat keakuratan

model tersebut, Arrelano dan Bond (1991) menyarankan untuk menggunakan tes serial korelasi

dari Arrelano dan Bond dan tes Sargan mengenai tidak terjadi permasalahan over identification

dalam model dinamis sebagaimana diuraikan dalam sesi 4.

Berdasarkan hasil Arrelano-Bond panel dinamis dengan pendekatan one-step

menunjukkan bahwa terjadi permasalahan di dalam model panel dinamis (model 1), yaitu

(2)

Page 70: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

66 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

terjadi masalah auto korelasi dan over-identification dalam variabel yang digunakan.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka indikator kinerja keuangan dan indikator

makroekonomi yang mempunyai hubungan (multicolinearity) tidak akan digunakan untuk

menghindarkan permasalahan ketidakakuratan spesifikasi dan serial korelasi dalam model.

Pada indikator kinerja keuangan bank, ROE tidak digunakan mengingat telah terdapat ROA.

Selain itu, kedua variabel tersebut mempunyai hubungan erat sehingga dapat menimbulkan

permasalahan multikolinieritas. Demikian pula halnya dengan variabel pertumbuhan kredit

(gkredit) dihilangkan karena masih terkait dengan loan to deposit ratio (LDR). Untuk variabel

indikator makroekonomi, pertumbuhan bulanan net foreign assets (GNFA) tidak digunakan

karena GNFA merupakan faktor yang mempengaruhi pertumbuhan uang beredar (GM2).

Selain itu, variabel inflasi, suku bunga SBI nominal 1 bulan (SBI) dan suku bunga riil (RSBUNGA)

akan dipisahkan dengan model tersendiri. Pemisahan tersebut dimaksudkan untuk

menghindarkan hubungan antara suku bunga dengan inflasi yang saling terkait. Dengan

mempertimbangkan permasalahan multikolinieritas, maka model 1 tidak digunakan untuk

menganalisis determinan bank runs melainkan model 2 (model 1 dengan SBI dikurangi ROE,

GKREDIT, GNFA, Inflasi dan rsbunga), model 3 (model 1 dengan INFLASI dikurangi ROE,

GKREDIT, GNFA, SBI dan rsbunga) dan model 4 (model 1 dengan RSBUNGA dikurangi ROE,

GKREDIT, GNFA, SBI dan Inflasi).

Hasil one-step model 2, 3 dan 4 juga menunjukkan tidak robust karena berdasarkan

hasil tes serial korelasi Arrelano-Bond, model menunjukkan serial korelasi dan tes Sargan

menunjukkan terdapat permasalahan dalam over-identifying restriction. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, selanjutnya dilakukan regresi two-step dari model Arrelano-Bond panel

dinamis. Hasil two-step tersebut menunjukkan bahwa model telah robust (akurat), sebagaimana

tercermin dari hasil tes Arrelano-Bond menunjukkan tidak terjadi serial korelasi dan tes Sargan

menunjukkan hasil tidak terdapat permasalahan dalam over-identifying restriction. Selain itu,

F statistik dari ketiga model secara statistik signifikan pada pada α = 1%, yang berarti model

dapat menolak Ho: seluruh koefisien independent variable sama dengan nol. Dengan demikian,

seluruh independent variable secara bersama-sama signifikan mempengaruhi dependent

variable (persentase perubahan bulanan dana pihak ketiga), yang merupakan proxy dari bank

runs.

Hasil two-step Arrelano-Bond model panel dinamis yang akurat (robust) tersebut disajikan

pada Tabel 4. Arah Koefisien tenggat waktu (lag) dana pihak ketiga (GDPK(-1)) yang digunakan

sebagai proxy self-fulfilling prophecy menunjukkan positif sehingga telah sejalan ekspektasi

yang diharapkan, yaitu penurunan dana pihak ketiga pada periode sebelumnya akan

mengakibatkan penurunan dana pihak ketiga pada periode sekarang. Dilihat dari signifikansinya,

Page 71: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

67Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

koefisien parameter (GDPK(-1)) pada model 2, 3 dan 4 menunjukkan angka signifikan, seperti

tercermin dari nilai p-value sebesar 0,000, yang berarti kurang dari α=1%. Dengan demikian,

hasil uji statistik menolak Ho: β1 = 0, yang berarti β1 secara statistik signifikan. Signifikannya

koefisien variabel ini menunjukkan bahwa informasi penurunan dana atau bank runs di suatu

bank dapat mendorong nasabah bank menarik dananya dan selanjutnya dapat mengakibatkan

terjadinya bank runs pada bank lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian D»Amato,

Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang menunjukkan

faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab bank runs di Argentina pada

tahun 1995 dan 2001.

Hasil determinan bank runs yang berasal dari kinerja keuangan bank yang berupa ROA,

LDR, LIQ, NPL, dan CA dapat diuraikan sebagai berikut. Koefisien ROA mempunyai arah positif

sehingga sesuai dengan pertimbangan teori sebagaimana dijelaskan pada Tabel 2 dan Tabel 3,

yaitu semakin tinggi rentabilitas bank, maka semakin baik kinerja keuangan bank sehingga

dapat mengurangi kerentanan terhadap bank terhadap bank runs. Dilihat dari signifikansinya,

nilai p-value koefisien ROA sebesar 0,000, yang berarti pada ±=1% ROA signifikan

mempengaruhi bank runs dalam hal ini digunakan proxy variabel bank runs yang digunakan

adalah perubahan dana pihak ketiga bank (GDPK).

Indikator kinerja keuangan LDR menunjukkan tanda positif sehingga tidak sesuai

dengan yang diharapkan. Seharusnya tanda koefisien LDR adalah negatif karena semakin

tinggi nisbah LDR semakin rendah likuiditas yang tersedia di bank sehingga bank rentan

terhadap penarikan dana besar-besaran (bank runs). Namun, koefisien LDR tersebut signifikan

secara statistik mempengaruhi bank runs dengan nilai p-value 0.0000. Koefisien LIQ juga

mempunyai arah negatif sehingga tidak sesuai dengan tanda yang diharapkan, namun secara

statistik signifikan mempengaruhi bank runs. Penjelasan dari berlawanannya arah koefisien

kedua variabel tersebut terutama disebabkan permasalahan terbatasnya informasi dari

nasabah mengenai kinerja bank (asymmetric information). Dengan keterbatasan informasi

tersebut, maka nasabah bank lebih memperhatikan tingkat rentabilitas dari publikasi laporan

keuangan bank dalam keputusan penarikan dananya di bank sebagaimana tercermin dari

sesuainya arah koefisien ROA. Sementara variabel LDR dan LIQ tidak sensitif terhadap

penarikan dana pihak ketiga.

Indikator kinerja keuangan lainnya, NPL menunjukkan tanda negatif sehingga sesuai

dengan tanda yang diharapkan. Dilihat dari signifikansinya, secara statistik koefisien tersebut

signifikan mempengaruhi bank runs dengan p-value sebesar 0,000. Koefisien CA (rasio

kecukupan modal) mempunyai arah negatif sehingga tidak sesuai dengan tanda yang

diharapkan, namun secara statistik siginifikan. Sebagaimana dijelaskan pada LDR dan LIQ,

Page 72: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

68 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

berlawanannya tanda koefisien tersebut disebabkan terbatasnya informasi nasabah atas laporan

keuangan bank melalui publikasi sehingga perubahan dana pihak ketiga tidak sensitif terhadap

rasio kecukupan modal (CA). Signifikannya variabel kinerja keuangan tersebut menunjukkan

bahwa semakin sehat keuangan suatu bank, maka kecenderungan terjadinya bank runs semakin

kecil.

Hasil determinan variabel kondisi makroekonomi yang meliputi LGDP, LNT, GM2, IHSG,

SBI, INFLASI dan RSBUNGA akan diuraikan selanjutnya. Pada semua model, pertumbuhan

ekonomi (LGDP) mempunyai arah positif sehingga sesuai dengan yang diharapkan dan secara

statistik signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%. Nilai tukar tidak signifikan

mempengaruhi bank runs pada semua model. Pada model 2, perubahan indeks saham

gabungan (IHSG) signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 5%, tetapi tidak signifikan

pada model 3 dan 4. Selanjutnya, variabel bebas IHSG dan LNT dipisahkan dengan

memasukkan masing-masing variabel pada model 2, 3 dan 4. Pemisahan tersebut dilakukan

untuk mendeteksi terjadinya multikolinearitas antara IHSG dan LNT. Hasil panel dinamis dengan

pemisahan kedua variabel bebas tersebut menunjukkan hasil yang sama, yaitu IHSG tetap

signifikan mempengaruhi bank runs pada model 2 dan mempunyai tanda negatif serta tidak

signifikan mempengaruhi bank runs pada model 3 dan 4. Tanda koefisien IHSG tersebut

negatif sehingga berlawanan dengan yang diharapkan. Negatifnya tanda IHSG tersebut

mengindikasikan bahwa penempatan dana nasabah di bank merupakan substitusi dengan

penempatan dana di pasar saham. Indikator makroekonomi lainnya yang signifikan

mempengaruhi bank runs adalah pertumbuhan uang beredar M2 (GM2) dengan p-value

pada ketiga model sebesar 0,000.

Variabel SBI, INFLASI dan RSBUNGA diestimasi dengan model tersendiri untuk

menghindarkan permasalahan multikolinearitas. SBI menggunakan model 2, INFLASI dengan

model 3 dan RSBUNGA dengan model 4. Koefisien SBI pada model 2 adalah negatif sehingga

sesuai dengan yang diharapkan dan signifikan mempengaruhi bank runs pada ± = 1%.

Negatifnya koefisien tersebut menunjukkan semakin tinggi suku bunga, maka semakin besar

biaya dana debitur sehingga mendorong peningkatan kredit macet dan selanjutnya

meningkatkan kerentanan terhadap bank runs. Koefisien INFLASI pada model 3, tidak signifikan

mempengaruhi bank runs. Sementara itu, koefisien suku bunga riil (RSBUNGA) signifikan

mempengaruhi bank runs pada α = 1% dan mempunyai koefisien negatif sehingga telah

sesuai dengan harapan. Signifikannya koefisien tersebut menunjukkan semakin besar suku

bunga riil, maka semakin besar biaya dana debitur dan selanjutnya meningkatkan kredit macet

dan kerentanan terhadap bank runs. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian D»Amato, Grubisic

dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang mengemukakan bahwa

Page 73: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

69Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

suku bunga dan inflasi yang tinggi merupakan salah satu penyebab»bank runs di Argentina

pada tahun 1995 dan 2001. Hasil tersebut juga sejalan teori yang dikemukakan Mishkin (1994),

semakin tinggi inflasi dan suku bunga, maka semakin tinggi ketidakpastian dalam perekonomian

dan selanjutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya»bank runs.

Sementara itu, dummy krisis perbankan 1997-1998 (dcrisis) menunjukkan koefisien tidak

signifikan mempengaruhi variabel tidak bebas (bank runs) pada semua model. Hasil ini

menunjukkan bahwa tidak ada permasalahan structural break pada data persentase perubahan

dana pihak ketiga sehingga tanpa menggunakan dummy krisis, estimasi model determinan

bank runs dalam disertasi ini telah tergolong robust.

VariabelBebas

Tabel 4.Hasil Panel Dinamis Two-Steps Arrelano-Bond Semua Bank (1990-2005)

Gdpk(-1)

roa

roe

ldr

liq

gkredit

npl

ca

inflasi

lgdp

lnt

gm2

gnfa

sbi

rsbunga

ihsg

dcrisis

_cons

F-statistik

Tes Serial

Korelasi

- Order 1

- Order 2

Tes Sargan

Model 1 Model 4Model 3Model 2Tanda

Koefisien yangdiharapkan*)

.0499097 (0.000)

.0003161 (0.000)

8.69e-07 (0.000)

1.51e-07 (0.000)

-.0045987 (0.010)

2.91e-07 (0.124)

-.0000752 (0.000)

-8.32e-09 (0.000)

.010806 (0.523)

55.58811 (0.000)

-1.721723 (0.794)

.6664031 (0.000)

.0346286 (0.022)

-.1413058 (0.000)

-.0146106 (0.000)

9.268824 (0.607)

-.2951076 (0.299)

6105.26

0.0183 (p-value)

0.3223 (p-value)

1.0000 (p-value)

.0558145 (0.000)

.0003511 (0.000)

1.51e-07 (0.000)

-.0039085 (0.000)

-.0000744 (0.000)

-9.43e-09 (0.000)

57.0019 (0.000)

-2.942458 (0.525)

.815951 (0.000)

-.1250546 (0.000)

-.0090919 (0.041)

-27.51757 (0.367)

-.4164169 (0.088)

27447.17

0.2939 (p-value)

0.2415 (p-value)

1.0000 (p-value)

.0546436 (0.000)

.0003656 (0.000)

1.51e-07 (0.000)

-.0037416 (0.029)

-.000075 (0.000)

1.07e-08 (0.000)

-.01272767 (0.582)

67.051549 (0.000)

-5.001888 (0.447)

.8681422 (0.000)

-.003091 (0.369)

-22.13916 (0.341)

-.4883353 (0.026)

15344.52

0.2919 (p-value)

0.2423 (p-value)

1.0000 (p-value)

.0568486 (0.000)

.0003308 (0.000)

1.50e-07 (0.000)

-.004143 (0.017)

-.0000741(0.000)

-9.85e-0 (0.000)

59.29535 (0.000)

-8.2788 (0.092)

.9139102 (0.000)

-.0192167 (0.388)

-.0060853 (0.080)

-10.05823 (0.642)

-.3563791 (0.135)

11575.41

0.2922 (p-value)

0.2421 (p-value)

1.0000 (p-value)

+

+

+

-

+

-

-

+

-

+

-

+

+

-

-

+

Catatan: Tanda ( ) pada koefisien adalah p-value *) Dasar pertimbangan teori tanda koefisien yang diharapkan lihat Tabel 5.1 dan Tabel 5.2

Page 74: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

70 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

5.2. Determinan Bank Runs Periode Krisis Perbankan 1997-1998

Determinan bank runs yang diperoleh dari hasil regresi panel data di atas dengan

menggunakan data bulanan dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2005. Namun, sebagaimana

diketahui pada tahun 1997 hingga tahun 1998 terjadi bank runs di Indonesia sehingga telah

memicu terjadinya krisis perbankan secara nasional. Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian

ini juga ingin melihat determinan bank runs dari bulan Januari 1997 sampai dengan bulan

Desember 199811. Selain itu, analisis determinan bank runs pada periode 1997-1998 merupakan

sebagai control variable terhadap penggunaan perubahan dana pihak ketiga sebagai proxy

dari bank runs. Sebagaimana dijelaskan pada section 4, control variable diperlukan mengingat

perubahan dana pihak ketiga tidak selalu diikuti dengan terjadinya bank runs.

Sehubungan dengan terdapat multikolinearitas antar variabel bebas, maka untuk

menganalisis determinan bank runs pada periode krisis perbankan 1997-1998 digunakan model

2, 3 dan 4. Hasil model panel data dinamis Arrelano-Bond dengan pendekatan one-step

menunjukkan bias karena hasil regresi menunjukkan serial korelasi dan terjadi permasalahan

over-identifying dalam restriksi persamaan. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, dicari

model yang tidak bias (robust), dengan menggunakan model two-step panel dinamis Arrelano-

Bond, dengan hasil dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil regresi GMM tersebut menunjukkan bahwa

hubungan antara variable tidak bebas (dependent variable) dengan variabel bebas (independent

variable) secara statistik signifikan, sebagaimana tercermin dari nilai F statistik signifikan pada

α = 1%.

Berdasarkan hasil regresi GMM tersebut, ketiga model menunjukkan lag satu DPK yang

digunakan sebagai proxy dari self-fulfilling prophecy mempunyai arah positif dan signifikan

secara statistik dengan p-value sebesar 0,000 atau α kurang dari 1%. Signifikannya koefisien

ini menunjukkan bahwa berita penurunan dana suatu bank atau bank runs di bank lain dapat

mengakibatkan nasabah lainnya berbondong-bondong menarik dananya di bank (bank runs).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian bank runs di Argentina yang dilakukan oleh

D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang

menunjukkan faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab bank runs di

Argentina.

Variabel kinerja keuangan ROA mempunyai tanda positif sesuai dengan yang diharapkan

dan siginifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%, dengan p-value sebesar 0,003. LDR

11 Penarikan dana besar-besaran telah mulai terasa sejak Pemerintah melepas bank nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistemmengambang penuh pada tanggal 14 Agustus 1997 dan gelombang bank runs semakin besar sejak ditutupnya 16 bank padabulan November 1997 hingga mereda pada bulan Agustus 1998.

Page 75: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

71Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

mempunyai tanda negatif sesuai dengan harapan dan signifikan mempengaruhi bank runs

pada α = 1%. Sebaliknya LIQ, NPL dan CA mempunyai tanda berlawanan dengan harapan,

dengan LIQ bertanda negatif, NPL bertanda positif dan rasio kecukupan modal bertanda negatif.

Berbedanya tanda koefisien tersebut kemungkinan disebabkan terbatasnya informasi nasabah

terhadap laporan keuangan sehingga ketiga variabel tersebut tidak sensitif terhadap penarikan

dana dari nasabah. Signifikannya beberapa variabel kinerja keuangan bank tersebut

menunjukkan bahwa semakin baik kondisi keuangan bank, maka semakin kecil kemungkinan

terjadi bank runs.

Variabel indikator makroekonomi, yang berupa pertumbuhan ekonomi (LGDP), nilai

tukar (LNT) dan pertumbuhan uang beredar (M2) pada ketiga model mempunyai tanda sesuai

harapan dan signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%. Signifikannya koefisien LGDP

menunjukkan bahwa semakin baik pertumbuhan ekonomi, maka semakin kecil kemungkinan

terjadinya bank runs. Sementara koefisien LNT yang signifikan menunjukkan semakin tinggi

depresiasi nilai tukar, maka semakin tinggi kewajiban luar negeri bank dalam denominasi

rupiah dan selanjutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya bank runs. Koefisien

GM2 yang signifikan menunjukkan semakin meningkat jumlah uang beredar, maka semakin

besar likuiditas yang tersedia di perbankan dan selanjutnya akan mengurangi kemungkinan

terjadinya bank runs. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh

Demirguc-Kunt dan Detragiache (1998), Hardy dan Pazarbasiouglu (1999) dan Ho (2004)

yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan nilai tukar mempengaruhi bank runs dan

krisis perbankan.

Variabel makroekonomi lainnya yang signifikan mempengaruhi bank runs pada α = 1%

dan mempunyai arah sesuai dengan teori bank runs adalah SBI 1 bulan pada model 2, INFLASI

pada model 3 dan suku bunga riil (RSBUNGA) pada model 4. Signifikannya koefisien inflasi,

suku bunga SBI dan suku bunga riil sejalan dengan teori yang dikemukakan Mishkin (1994)

dan penelitian D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet

(2003) yang mengemukakan bahwa suku bunga dan inflasi yang tinggi merupakan salah satu

penyebab»bank runs.

Sementara itu, variabel IHSG pada ketiga model signifikan mempengaruhi bank runs

pada α = 1%, tetapi arah koefisien tersebut negatif sehingga tidak sejalan dengan teori

sebagaimana dijelaskan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Negatifnya koefisien IHSG tersebut

menunjukkan bahwa dana pihak ketiga di perbankan merupakan substitusi terhadap produk

saham.

Page 76: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

72 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

6. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil study dari sections sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan data keseluruhan bank dengan menggunakan data bulanan dari tahun 1990

sampai dengan 2005, hasil Arrelano-Bond panel dinamis menunjukkan bahwa faktor self-

fulfilling prophecy signifikan mempengaruhi bank runs. Hasil ini menunjukkan bahwa berita

penurunan dana pihak ketiga atau bank runs yang terjadi pada satu bank sangat signifikan

mempengaruhi bank runs pada bank lain. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang

menunjukkan faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab bank runs di

Argentina pada tahun 1995 dan 2001.

2. Seluruh variabel kinerja keuangan bank yang berupa rentabilitas aset (ROA), likuiditas (LIQ),

dan rasio kredit non lancar (NPL), secara statistik signifikan mempengaruhi bank runs.

VariabelBebas

Tabel 5.Hasil Panel Dinamis Two-Step Arrelano-Bond Semua Bank (1997-1998)

Gdpk(-1)

roa

ldr

liq

npl

ca

inflasi

lgdp

lnt

gm2

rsbunga

sbi

ihsg

_cons

F-statistik

Tes Serial

Korelasi

- Order 1

- Order 2

Tes Sargan

Model 4Model 3Model 2Tanda

Koefisien yangdiharapkan*)

.2974066 (0.000)

3.765414 (0.000)

-.0238338 (0.000)

-7.481348 (0.000)

.1041378 (0.000)

-.0627725 (0.010)

6.666501 (0.000)

-8.495236 (0.000)

.6948838 (0.000)

-.1088567 (0.000)

-.04066 (0.000)

-.4034315 (0.000)

1.10e+09

0.3382 (p-value)

0.3547 (p-value)

0.0538 (p-value)

.3010486 (0.000)

3.520904 (0.000)

-.0244307 (0.000)

-7.839653 (0.000)

.0986703 (0.000)

.001975 (0.952)

.5976495 (0.000)

3.044591 (0.000)

-14.44655 (0.000)

.7581463 (0.000)

-.032471 (0.000)

-.482142 (0.000)

1.35e+09

0.3357 (p-value)

0.3533 (p-value)

0.0545 (p-value)

.298317 (0.000)

3.705551 (0.000)

-.239372 (0.000)

-7.53001 (0.000)

.107883 (0.000)

-.0647577 (0.013)

11.35838 (0.000)

-8.50948 (0.000)

.682149 (0.000)

-.1117645 (0.000)

-.0430248 (0.000)

-.4471285 (0.000)

1.11e+09

0.3389 (p-value)

0.3350 (p-value)

1.0000 (p-value)

+

+

-

+

-

+

-

+

-

+

-

-

+

Catatan: Tanda ( ) pada koefisien adalah p-value *) Dasar pertimbangan teori tanda koefisien yang diharapkan lihat Tabel 5.1 dan Tabel 5.2

Page 77: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

73Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

Koefisien ROA bertanda positif berarti semakin baik rentabilitas bank, maka semakin

meningkat kecenderungan nasabah menempatkan dananya di bank sehingga cenderung

mengurangi terjadinya bank runs. Sebaliknya, koefisien rasio kredit non lancar (NPL) yang

negatif menunjukkan bahwa semakin besar NPL, maka semakin besar dana nasabah yang

tertahan dalam kredit macet sehingga meningkatkan kerentanan terhadap bank runs. Hasil

tersebut juga sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan

D»Amato, Grubisic dan Powell (1995), McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) dan Ho

(2004).

3. Variabel kinerja makroekonomi yang signifikan mempengaruhi bank runs meliputi

pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan uang beredar M2, inflasi dan suku bunga. Koefisien

pertumbuhan ekonomi yang positif menunjukkan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi,

maka semakin tinggi minat menempatkan dana di bank dan semakin lancar pembayaran

kredit, sehingga akan cenderung mengurangi kemungkinan terjadinya bank runs.

Koefisien pertumbuhan uang beredar yang positif berarti semakin tinggi uang beredar,

maka semakin tinggi likuiditas perbankan sehingga selanjutnya dapat mengurangi

terjadinya bank runs.

4. Variabel inflasi dan suku bunga riil yang signifikan dan bertanda negatif, berarti semakin

tinggi suku bunga, maka semakin besar biaya dana debitur sehingga mendorong peningkatan

kredit macet dan menurunnya likuiditas yang tersedia di bank, selanjutnya hal tersebut

dapat meningkatkan kerentanan terhadap bank runs. Signifikannya variabel makroekonomi

tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Detragiache

(1998), Hardy dan Pazarbasiouglu (1999), McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) dan Ho

(2004) yang menunjukkan inflasi, suku bunga nominal dan riil mempunyai hubungan negatif

dan signifikan mempengaruhi bank runs dan krisis perbankan.

5. Determinan bank runs pada periode krisis perbankan tahun 1997-1998 juga menunjukkan

bahwa faktor self-fulfilling prophecy juga mempengaruhi bank runs. Hasil ini menunjukkan

lagi bahwa berita penurunan dana pihak ketiga atau bank runs yang terjadi pada suatu

bank dapat mempengaruhi ekspektasi nasabah untuk menarik dana besar-besaran di banknya

(bank runs). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian bank runs di Argentina yang

dilakukan oleh D»Amato, Grubisic dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet

(2003) yang menunjukkan faktor self-fulfilling prophecy merupakan salah satu penyebab

bank runs di Argentina.

6. Seluruh variabel kinerja keuangan bank siginifikan mempengaruhi bank runs pada krisis

perbankan 1997-1998. Tanda rentabilitas aset (ROA) dan loan to deposit ratio (LDR) sesuai

dengan teori, dengan tanda positif pada ROA dan tanda negatif pada LDR. Tanda positif

pada ROA berarti semakin tinggi rentabilitas, maka semakin besar kecenderungan nasabah

Page 78: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

74 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

menempatkan dananya di bank karena meningkatnya kepercayaan atas rentabilitas yang

semakin baik dan selanjutnya hal tersebut mengurangi kerentanan terjadinya bank runs.

Koefisien LDR yang negatif menunjukkan semakin besar nisbah LDR, maka semakin rendah

likuiditas yang tersedia untuk pembayaran penarikan dana nasabah sehingga dapat

meningkatkan kecenderungan terjadinya bank runs. Signifikannya ROA dan LDR dalam

mempengaruhi bank runs sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh D»Amato, Grubisic

dan Powell (1995) dan McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) yang mengemukakan

bahwa kinerja keuangan tersebut merupakan salah satu penyebab bank runs di Argentina

pada tahun 1995 dan 2001.

7. Dari sisi kondisi makroekonomi, pertumbuhan ekonomi (LGDP), nilai tukar (LNT) dan

pertumbuhan uang beredar (M2) mempunyai tanda positif sehingga sesuai dengan teori

dan signifikan mempengaruhi bank runs pada masa krisis perbankan tahun 1997-1998.

Demikian pula dengan suku bunga SBI 1 bulan, inflasi, suku bunga riil mempunyai

tanda negatif dan signifikan mempengaruhi bank runs. Signifikannya variabel

makroekonomi tersebut sebagai determinan bank runs sejalan dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Detragiache (1998), Hardy dan Pazarbasiouglu

(1999), McCandless, Gabrielli dan Rouillet (2003) dan Ho (2004) yang menunjukkan

pertumbuhan ekonomi, nilai tukar, inflasi dan suku bunga mempengaruhi bank runs

dan krisis perbankan.

Hasil panel dinamis menunjukkan bahwa bahwa variabel self-fulfilling prophecy signifikan

mempengaruhi bank runs di Indonesia. Policy implication dari hasil ini menunjukkan bahwa

informasi kejadian bank runs atau penarikan dana pihak ketiga yang signifikan pada suatu

bank dapat mempengaruhi ekspektasi nasabah untuk melakukan penarikan dana besar-besaran

pada bank lain. Sehubungan dengan hasil temuan tersebut, dalam kerangka pengawasan

bank yang berbasis resiko (risk-based supervision), otoritas pengawas perlu memetakan bank-

bank yang peka (sensitive) terhadap faktor self-fulfilling prophecy. Pemetaan sensivitas bank

tersebut dimasukkan pada siklus pengawasan bank dalam kerangka penilaian resiko terhadap

individual bank sehingga secara dini dapat dicegah dampak contagious bank runs pada suatu

bank ke bank lain. Selain itu, perlu dibangun manajemen komunikasi yang handal untuk

mengembalikan ekspektasi masyarakat yang memburuk terhadap suatu bank. Membangun

kepercayaan nasabah terhadap perbankan nasional tersebut juga perlu didukung oleh

Pemerintah sebagai sumber pembiayaan darurat dalam hal terjadi bank runs yang mempunyai

resiko sistemik. Bentuk dukungan tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan fungsi

koordinasi pengawasan bank antara Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam forum stabilitas

sistem keuangan yang sudah ada.

Page 79: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

75Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

Penelitian ini menggunakan lag variabel bebas (persentase perubahan dana pihak ketiga)

sebagai proxy bank runs. Penggunaan variable ini robust untuk menangkap faktor self-fulfilling

prophecy, tetapi tidak tertutup kemungkinan lain menemukan proxy yang lebih robust untuk

menangkap faktor self-fulfilling prophecy.

Page 80: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

76 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

DAFTAR PUSTAKA

Aharony, Joseph, and Itzhak Swary, 1983, ≈Contagion Effects of Bank Failures: Evidence from

Capital Markets.∆ The Journal of Business, July 1983, 56(3), pp. 305-322.

Allen, Franklin, and Douglas Gale, 1998, ≈Optimal Financial Crises∆ The Journal of Finance,

Vol. 53, No.4, Papers and Proceedings of the Fifty-Eighth Annual Meeting of the American

Finance Association, Chicago, Illinois, January 3-5, Aug., 1998, pp. 1245-1284.

______. ≈Bubbles and Crises∆, 2000, The Economic Journal, Vol. 110, No. 460 (Jan., 2000),

hal. 236-255.

______,2000, ≈Financial Contagion.∆ The Journal of Political Economy, February 2000, 108(1),

pp. 1-33.

Bank Indonesia, Laporan tahunan Bank Indonesia dari 1997/1998 sampai dengan tahun 2007.

Bryant, John, 1981, ≈Bank Collapse and Depression∆ Journal of Money, Credit and Banking,

Vol. 13, No. 4 (Nov., 1981), pp. 454-464.

Calomiris, Charles W.,2007, ≈Bank Failures in Theory and History: The Great Depression and

Other «Contagious» Events.∆ NBER Working Paper Series, No. WP 13597, November 2007.

______,1991, dan Gary Gorton.∆≈The Origins of Banking Panics: Models, Facts, and Bank

Regulation∆. Dalam R. G. Hubbard, Financial markets and Financial Crisis. Chicago: University

of Chicago Press, hal. 109-173.

Canova, Fabio.,1994, ≈Were Financial Crises Predictable?∆ Journal of Money, Credit, and

Banking, Vol. 26, 1 (Februari 1994), hal. 102-124.

D»Amato, Laura, Elena Grubisic dan Andrew Powell, 1997, ≈Contagion, Bank Fundamentals or

Macroeconomic Shock? An Empirical Analysis of the Argentine 1995 Banking Problems∆,

Banco Central de la República Argentina Working Paper Number 2, July 1997.

Davis, E. Philip dan Dilruba Karim.,2007, ≈Comparing Early Warning Systems for Banking Crises.∆

Working Paper Brunel University dan NIESR West London.

Demirguc-Kunt, Asli dan Detragiache, Enrica.,1997, ≈The Determinants of Banking Crises:

Evidence from Developing and Developed Countries.∆ IMF Working Paper, No. WP/97/106,

September 1997.

Diamond, Douglas W., 1991, ≈Debt Maturity Structure and Liquidity Risk.∆ The Quaterly Journal

of Economics, August 1991, 106(3), pp. 709-737.

Page 81: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

77Penyebab Bank Runs di Indonesia: Bad Luck atau Fundamental?

______, dan Philip H. Dybvig, 1983, ≈Bank Runs, Deposit Insurance, and Liquidity.∆ Journal of

Political Economy, June 1983, 91(3), hal. 401-419.

Kaufman, George G.,1988, ≈Bank Runs: Causes, Benefits and Costs.∆∆Cato Journal 2, no. 3

(Winter): 559-88.

______. ≈The Concise Encyclopedia of Economics di website≈http://www.econlib.org/library/

Enc/BankRuns.html∆ mimeo.

Kindleberger, 1978, C. P. Manias, Panics and Crashes. Basic Books, New York.

Lindgren, Carl-Johan; Garcia, Gillian, Garcia; dan Saal, Matthew I.,1996, ∆Bank Soundness and

Macroeconomic Policy.∆ IMF.

McCandless, George, Maria F. Gabrielli, Maria J. Rouillet, 2003, ≈Determining the Causes of

Bank Runs in Argentina During the Crisis of 2001∆, Revista De Analisis Economico, Vol. 18,

No. 1, Banco Central de la República Argentina.

Minsky, Hyman.,1977, ≈A Theory of System Fragility∆, dalam Edward Altman dan Arnold Sametz

(ed.), Financial Crises: Institutions and Markets in a Fragile Financial Environment, New York:

Wiley-Interscience.

Mishkin, Frederic S.,1996, ≈Understanding Financial Crises: A Developing Country Perspective.∆

NBER Working Paper Series, No. WP 5600, Mei 1996.

Safuan, Sugiharso.,2003, ≈Contagion and Interdependence in the Asian Crisis∆. Proceedings

Seminar Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan, Bank Indonesia. Jakarta, 27 Agustus

2003.

Warjiyo, Perry.,2001, ≈Bank Failure Management: The Case of Indonesia∆ APEC Policy Dialogue

on Bank Failure Management Paper, Mexico, June 7-8.

Page 82: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

78 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

halaman ini sengaja dikosongkan

Page 83: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

79Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

PENGUJIAN NETRALITAS UANG DAN INFLASI JANGKA PANJANGDI INDONESIA

Arintoko 1

This paper investigates long-run neutrality of money and inflation in Indonesia, with due consideration

to the order of integration, exogeneity, and cointegration of the money stock-real output and the money

stock-price, using annual time-series data. The Fisher-Seater methodology is used to do the task in this

research. The empirical results indicate that evidence rejected the long-run neutrality of money (both

defined as M1 and M2) with respect to real GDP, showing that it is inconsistent with the classical and

neoclassical economics. However, the positive link between the money and price in long run holds for

money defined as M1 rather than M2, which consistent with these theories. In particular, besides the

positive effect to long-run inflation, monetary expansions have long-run positive effect on real output in

the Indonesian economy.

1 Staf pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Jenderal Soedirman, sedang menempuh pendidikan S3 pada Program Doktor IlmuEkonomi UGM. e-mail: [email protected].

Abstract

JEL: C32, E31, E51

Keywords: long-run neutrality of money, inflation, unit root, exogeneity, cointegration

Page 84: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

80 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

I. PENDAHULUAN

Keberadaan netralitas uang dan hubungan positif antara uang dan harga telah diakui

dan dipahami dengan baik dalam literatur ekonomi. Dalam teori moneter klasik dinyatakan

bahwa perubahan dalam penawaran uang akan mempengaruhi variabel-variabel nominal,

namun tidak mempengaruhi variabel-variabel riil, karena menurut dikotomi klasik (classical

dichotomy) kekuatan yang mempengaruhi variabel riil dan nominal berbeda. Namun demikian

hal ini memunculkan sebuah pertanyaan yang masih menjadi isu yang menarik bagi para ahli

ekonomi bahwa ≈apakah perubahan uang beredar yang permanen hanya akan mempengaruhi

variabel nominal tanpa memberikan efek pada variabel riil?∆. Atau dengan kata lain ≈apakah

uang adalah netral?∆. Pertanyaan tersebut menjadi sebuah pemikiran bagi para ahli ekonomi

moneter yang menyita waktu cukup panjang bahwa injeksi uang atau ekspansi moneter oleh

pemerintah ke dalam perekonomian makro memiliki efek netral yang pasti dan hanya

menyebabkan kenaikan harga. Selama ini netralitas jangka panjang diangggap sebagai sesuatu

yang given, yang kebanyakan merupakan asumsi yang digunakan dalam teori ekonomi maupun

pertimbangan dalam pengambilan kebijakan bahkan sebagai asumsi yang radikal sekalipun.

Oleh karena itu bagi kalangan ahli ekonomi khususnya ahli ekonomi moneter, netralitas uang

ini kemudian menjadi perdebatan yang panjang.

Menurut Lucas (1995) netralitas uang digambarkan sebagai situasi di mana perubahan

dalam jumlah uang beredar hanya akan menyebabkan perubahan variabel-variabel nominal,

seperti harga, kurs nominal, dan upah nominal tanpa menyebabkan perubahan pada variabel-

variabel riil seperti output, konsumsi, investasi dan kesempatan kerja. Ide ini disampaikan

oleh ahli ekonomi klasik yaitu Hume (1752) yang menyatakan bahwa kenaikan dalam jumlah

uang beredar tidak memiliki pengaruh pada kesempatan kerja maupun investasi serta tingkat

atau pertumbuhan output. Lebih dari itu, konsep supernetralitas uang juga digunakan, yang

menyatakan bahwa perubahan dalam pertumbuhan jumlah uang beredar dalam

perekonomian tidak akan menyebabkan perubahan variabel-variabel riil ekonomi kecuali

perubahan tingkat inflasi. Hipotesis netralitas uang jangka panjang yang masih menjadi isu

yang diteliti dan diuji keberadaannya ini kebanyakan didasarkan pada teori moneter klasik,

model neoklasik ataupun model siklus bisnis riil (real business cycle). Teori-teori tersebut

memproposisikan bahwa uang adalah netral dalam perekonomian yang tidak berpengaruh

pada variabel riil, karena uang hanya berdampak pada tingkat harga yang gagasannya sejalan

dengan Hume dan Lucas.

Isu netralitas uang dan inflasi jangka panjang kembali mendapatkan perhatian dan semakin

intensif diteliti baik dari kalangan peneliti maupun akademisi dengan semakin bertambahnya

literatur tentang pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang dalam beberapa dekade

Page 85: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

81Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

terakhir. Para peneliti yang memiliki perhatian pada netralitas uang mengumpulkan bukti-bukti

empirik yang berkenaan dengan proposisi netralitas uang, sementara sebagian peneliti

memusatkan pada pengujian keberadaan hubungan uang dan harga pada jangka panjang.

Sejumlah studi mengenai netralitas uang dilakukan setelah dilakukan penelitian yang pada

awalnya dilakukan oleh King dan Watson (1992, 1997) serta Fisher dan Seater (1993) di Amerika

Serikat. Penelitian semacam itu kemudian dilakukan oleh para peneliti di sejumlah negara di

wilayah Amerika Selatan dan Utara, Australia, Asia termasuk Asia Selatan dan Tenggara di

samping juga di Eropa dan Afrika. Sejumlah penelitian tersebut dilakukan oleh antara lain

Boschen dan Otrok (1994), Olekalns (1996), Haug dan Lucas (1997), Serletis dan Koustas (1998,

2001), Bae dan Ratti (2000), Shelley dan Wallace (2003), Noriega (2004), Coe dan Nason (2004),

Oi et al. (2004), Bae et al. (2005), Noriega dan Soria (2005), Noriega et al. (2005), Wallace dan

Cabrera-Castellanos (2006), Chen (2007), dan Puah et al. (2008). Kebanyakan dari penelitian-

penelitian ini mengadopsi metodologi Fisher dan Seater (1993) serta King dan Watson (1992,

1997) yang di antaranya ada yang melakukan perluasannya. Khususnya untuk kasus di negara-

negara Asia sejumlah penelitian dilakukan oleh antara lain Oi et al. (2004) pada kasus di Jepang,

Ran (2005) di Hong Kong, Chen (2007) di Korea Selatan dan Taiwan, serta Puah et al. untuk

kasus 10 negara anggota South East Asian Central Banks (SEACEN) Resesarch and Training

Centre. Sementara itu isu mengenai keberadaan hubungan positif antara uang dan harga

dikumpulkan dalam studi terbaru oleh antara lain Saatcioglu dan Korap (2009), Roffia dan

Zaghini (2007), serta Browne dan Cronin (2007). Hasil-hasilnya sejalan dengan kesimpulan dari

sejumlah peneliti terdahulu antara lain Lucas (1980), Dwyer dan Hafer (1988), Friedman (1992),

Barro (1993), McCandless dan Weber (1995), Rolnick dan Weber (1997), Dewald (1998), Dwyer

(1998), Dwyer dan Hafer (1999).

Hasil dari studi mengenai netralitas moneter jangka panjang dalam beberapa kasus

menemukan bukti yang mendukung adanya netralitas uang, namun tidak menemukan bukti

adanya supernetralitas uang. Sementara itu pada studi-studi lain tidak menemukan bukti

substansi baik yang mendukung adanya netralitas maupun supernetralitas uang pada negara-

negara tertentu. Berkaitan dengan studi mengenai hubungan antara uang dan harga dalam

jangka panjang secara umum hasil empirik memberikan kesimpulan yang sama mengenai

keberadaan hubungan positif antara uang dan harga, meskipun terdapat perbedaan mengenai

sifat-sifat time-series dari data di beberapa negara.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik proposisi netralitas uang dan inflasi

jangka panjang untuk uang baik yang didefinisikan sebagai M1 maupun M2 masing-masing

terhadap output riil dan harga di Indonesia. Penelitian ini menggunakan data runtut waktu

tahunan. Studi ini termotivasi oleh masih sedikitnya penelitian mengenai pengujian netralitas

Page 86: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

82 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

moneter dan inflasi jangka panjang di negara-negara berkembang Asia Tenggara termasuk

Indonesia. Kedua proposisi diteliti sekaligus karena keduanya merupakan proposisi yang melekat

pada satu teori tertentu, khsususnya teori kuantitas uang dan model Lucas. Di Indonesia sendiri

penelitian semacam ini sangat jarang, bahkan untuk penelitian terkini yang hasilnya

dipublikasikan nampaknya belum ada. Adanya penelitian terhadap isu ini diharapkan

memperkaya literatur ekonomi dan kajian serta bahan pertimbangan dalam kebijakan moneter.

Tulisan ini diawali dengan pendahuluan yang menyampaikan alasan mengapa penelitian

yang berkenaan dengan pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang ini penting dan

perlu dilakukan untuk kasus Indonesia. Bagian kedua adalah kajian teori dan review penelitian

terdahulu. Bagian ketiga adalah metode penelitian, yang menjelaskan metodologi Fisher-Seater

beserta uji-uji prasyaratnya, yang meliputi integrasi, eksogenitas, dan kointegrasi. Bagian keempat

menyajikan hasil penelitian dan pembahasan yang kemudian diakhiri dengan bagian kelima

sebagai penutup berupa kesimpulan dan saran.

II. TEORI

2.1. Pandangan Hume dan Teori Kuantitas Klasik

Dalam sebuah essay David Hume (1752) berjudul of Money and of Interest, menyimpulkan

tentang pengaruh perubahan dalam jumlah uang yang kelihatannya tergantung pada jalan di

mana perubahan itu dipengaruhi. Berdasarkan teori kuantitas uang, Hume menekankan aspek

perubahan unit dari perubahan jumlah persediaan uang, serta tidak relevannya perubahan-

perubahan itu terhadap perilaku masyarakat rasional. Ia menyatakan bahwa uang itu tidak

berarti, namun uang merepresentasikan tenaga kerja dan komoditi.

Terdapat dua penyataan Hume yang membentuk suatu doktrin bahwa perubahan dalam

jumlah unit dari uang beredar akan memiliki pengaruh pada perubahan proporsional terhadap

seluruh harga yang dinyatakan dalam satuan uang dan tidak memiliki pengaruh pada variabel

riil seperti berapa masyarakat yang bekerja dan berapa barang yang diproduksi atau dikonsumsi.

Prediksi dari teori kuantitas bahwa dalam jangka panjang pertumbuhan jumlah uang beredar

bersifat netral terhadap tingkat pertumbuhan produksi dan berpengaruh terhadap inflasi secara

proporsional. Jadi menurut Hume, variabel-variabel ekonomi riil tidak berubah dengan adanya

perubahan penawaran uang (perubahan variabel nominal). Menurut dikotomi klasik, kekuatan

yang mempengaruhi variabel riil dan nominal berbeda. Oleh karena itu perubahan dalam

penawaran uang akan mempengaruhi variabel-variabel nominal, namun tidak mempengaruhi

variabel-variabel riil.

Page 87: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

83Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Dalam persamaan kuantitas (quantity equation) dari teori kuantitas klasik, dinyatakan

suatu persamaan kuantitas:

di mana persamaan tersebut menghubungkan kuantitas uang (M) kepada nilai nominal dari

output (P x Y), sementara V menunjukkan tingkat perputaran uang (velocity of money).

Persamaan kuantitas menunjukkan bahwa kenaikan dalam jumlah (kuantitas) uang dalam

perekonomian mencerminkan salah satu dari tiga variabel lain yaitu tingkat harga naik, jumlah

output naik, atau tingkat perputaran uang turun. Tingkat perputaran uang relatif stabil sepanjang

waktu. Ketika Bank Sentral mengubah jumlah uang beredar, akan menyebabkan perubahan

secara proporsional nilai nominal output (P x Y). Karena uang netral menurut teori klasik,

maka uang tidak mempengaruhi output. Dalam kebijakan moneter jika uang netral, maka

perubahan jumlah uang beredar tidak berpengaruh terhadap output, yang artinya kebijakan

moneter mengendalikan jumlah uang beredar tidak efektif mempengaruhi output.

2.2. Model Neoklasik

Penjelasan teoritik dalam model neoklasik berikut kebanyakan diambil dari Barro (1997).

Model ini diawali dengan model perekonomian terbuka kecil neoklasik dengan empat

persamaan yang mengasumsikan adanya mobilitas modal sempurna dalam obligasi.

(1)

(2)

(5)

(4)

(3)

Terdapat empat parameter yang tidak diketahui (unknown) dalam model ouput riil y,

tingkat bunga riil r, kurs riil ε, dan tingkat harga P. Persamaan (2) menunjukkan ekuilibrium

untuk pasar barang yang permintaannya, E merupakan fungsi dari pendapatan riil, tingkat

bunga riil, dan kurs riil. Kurs riil dalam pengertian ini didefinisikan sebagai:

(6)

Page 88: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

84 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

di mana e adalah kurs nominal, P dan Pf masing-masing merupakan tingkat harga domestik

dan luar negeri. Kenaikan dalam ε merepresentasikan apresiasi dari mata uang domestik, yang

menurunkan ekspor neto riil dan mengurangi permintaan barang riil.

Persamaan (3) menunjukkan ekuilibrium dalam pasar uang. Permintaan uang riil L,

diasumsikan merupakan fungsi dari pendapatan riil y, dan tingkat bunga riil r. Variabel b

merupakan variabel exogenous shock. Penawaran uang merupakan model Brunner-Meltzer,

yang terdiri dari pengganda uang m dan monetary base B. Penawaran uang diasumsikan sama

dengan jumlah currency dalam sirkulasi C, ditambah bank deposits D. Dengan membagi

penawaran uang dengan harga P, maka mengubah penawaran uang ke dalam arti riil.

Diasumsikan bahwa pengganda uang adalah:

di mana c adalah rasio currency terhadap deposit (C/D), r adalah rasio cadangan wajib minimum

(required reserve ratio), dan e adalah rasio kelebihan cadangan yang diinginkan (desired excess

reserve ratio). Diasumsikan pula bahwa ketiga variabel yang menentukan pengganda uang

tersebut adalah eksogen.

(7)

Grafik 1.Efek Kebijakan Moneter Jangka Panjang

r Ys

r*

YD

YY*

Y Yf (Kt-1, L)

P

(P*)LR

P*

M M»MD P

YYS, LR

Y* Y

M»V=PY

MV=PY

w/P*

w/PL* L

LS

LD

LL*

Page 89: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

85Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Dari persamaan (3) bahwa ketiadaan perubahan eksogen dalam y*, dan r*, atau

permintaan uang, maka penawaran uang riil adalah tetap. Kondisi ini menghasilkan netralitas

uang klasik, yaitu perubahan dalam penawaran uang menyebabkan perubahan dalam tingkat

harga dengan tetap menjaga penawaran uang riil dan variabel riil yang lain dalam model tidak

berubah.

Berdasarkan model neoklasik, maka Grafik 1 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang

beredar M tidak akan menyebabkan variabel riil seperti output Y dan kesempatan kerja L berubah,

yang menggambarkan netralitas uang jangka panjang.

Grafik 1 menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang dari M ke M’ hanya meningkatkan

harga P, sementara output Y dan kesempatan kerja L tidak berubah di mana keduanya

merupakan variabel riil. Keadaan yang digambarkan tersebut menunjukkan adanya netralitas

uang jangka panjang.

2.3. Model Lucas

Menurut model ini perekonomian digambarkan dengan menggunakan penawaran

agregat menurut Lucas dan fungsi permintaan agregat monetarist. Persediaan uang mengikuti

proses autoregressive yang dinyatakan pada persamaan (8).

di mana y, m, dan p masing-masing merupakan output riil, uang beredar dan tingkat harga

dalam logaritma. Uang beredar mengikuti proses stasioner, ( ρ = 1) dan εm adalah shock terhadap

uang beredar. Persamaan (8) adalah persamaan struktural sehingga hanya perubahan yang

tidak diharapkan dalam uang beredar saja yang mempengaruhi output. Jadi, perubahan

permanen dalam jumlah uang beredar tidak mempengaruhi output dan keadaan ini

menggambarkan netralitas uang jangka panjang.

Jika persamaan (8) diselesaikan untuk output, maka dapat diderivasikan model

distributional lag untuk uang beredar sebagaimana dituliskan dalam persamaan (9) berikut.

(8)

(9)

Page 90: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

86 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Walaupun persamaan (8) menunjukkan netralitas uang jangka panjang, model reduced-

form yang disajikan pada persamaan (9) menunjukkan bahwa suatu kenaikan permanen single

unit dalam stok penawaran akan menghasilkan kenaikan output θ(1-ρ)/(1+θδ) unit.

2.4. Penelitian Terdahulu

Beberapa bukti empirik dari hasil studi mengenai netralitas uang di antaranya adalah

studi oleh McCandless dan Weber (1995), yang menemukan korelasi yang tinggi (lebih dari

0,9) antara inflasi dan pertumbuhan jumlah uang beredar baik dengan indikator M0, M1 maupun

M2 selama 30 tahun pada 110 negara. Sebaliknya McCandless dan Weber menemukan bukti

tidak adanya korelasi antara pertumbuhan jumlah uang beredar dan pertumbuhan output riil

pada periode yang sama. Sementara itu Shelley dan Wallace (2003) dalam studi empirik yang

menguji netralitas uang jangka panjang menemukan adanya netralitas uang pada periode

1932 -1981 di Meksiko. Namun dalam periode 1932 √ 2001 Shelley dan Wallace dalam pengujian

model yang dikembangkan Fisher dan Seater menemukan tidak adanya netralitas uang tanpa

memperhatikan ukuran jumlah uang beredar yang digunakan. Wallace dan Cabrera-Castellanos

(2006) yang juga mendasarkan pada model Fisher-Seater menemukan adanya netralitas uang

jangka panjang di Guatemala untuk data 1950-2002. Studi ini menemukan adanya netralitas

M1 dengan GDP, pengeluaran dan konsumsi.

Dengan metodologi Fisher dan Seater, Bae dan Ratti (2000) menguji keberadaan netralitas

dan supernetralitas jangka panjang di Argentina dan Brazil. Dengan menggunakan data

berfrekuensi rendah untuk jumlah uang dan output, studi ini menemukan bukti yang

mendukung adanya hipotesis netralitas uang di Argentina dan Brazil. Namun penelitian ini

tidak menemukan adanya supernetralitas uang di kedua negara.

Beberapa peneliti yaitu Oi et al. (2004), Chen (2007) dan Puah et al. (2008) menemukan

sejumlah bukti berlakunya netralitas moneter jangka panjang di negara-negara Asia. Oi et al.

(2004 ) dengan menggunakan metodologi King dan Watson (1997) menemukan bukti netralitas

moneter jangka panjang di Jepang untuk variabel M2 pada periode 1890 √ 2003. Dengan

metodologi yang sama namun dengan data kuartalan Chen (2007) menemukan bukti

sepenuhnya bahwa netralitas moneter jangka panjang M2 juga berlaku di Korea Selatan pada

periode 1970.1 √ 2004.4. Sementara Puah et al. (2008) dengan metodologi Fisher-Seater

menemukan bukti netralitas moneter jangka panjang terhadap M1 di sejumlah negara Asia

seperti Malaysia, Myanmar, Nepal, Philipina, Korea Selatan.

Sejumlah penelian lain menemukan adanya bukti yang berbeda yaitu non-netralitas uang.

Temuan tersebut antara lain Fisher dan Seater (1993) yang menunjukkan M2 tidak netral di

Page 91: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

87Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Amerika Serikat selama 1968 √ 1975, Shelley dan Wallace (2003) untuk periode 1932√√ 2001

di Meksiko, Ran (2005) yang menguji netralitas uang jangka panjang pada dua rejim nilai tukar

yang berbeda di Hong Kong. Ran menguji netralitas uang dengan didasarkan pada perluasan

model Fisher dan Seater (1993) yang menemukan bahwa M1 tidak netral di bawah rejim kurs

mengambang, serta M2 tidak netral baik pada rejim sebelum maupun gabungan dengan rejim

kurs mengambang. Dengan metodologi yang sama, bukti empirik ini juga ditemukan oleh

Puah et al. (2008) bahwa M1 tidak netral pada jangka panjang di Indonesia untuk periode

1965 √ 2002. Bukti empirik adanya non-netralitas jangka panjang untuk M1 oleh Puah juga

ditemukan di Taiwan dan Thailand masing-masing pada periode 1951 √ 2002 dan 1953 √

2002. Bukti non-netralitas moneter jangka panjang di Taiwan juga diperkuat oleh hasil studi

Chen (2007) terhadap M2 dengan menggunakan metode yang berbeda yaitu King dan Watson

(1997) dan dengan data yang berbeda yaitu data kuartalan.

Sementara itu isu mengenai keberadaan hubungan positif antara uang dan harga

dikumpulkan oleh di antaranya studi terbaru oleh Saatcioglu dan Korap (2009), yang menguji

validitas hubungan uang dan harga menurut teori kuantitas uang di Turki. Hasilnya menunjukkan

bahwa bukti empirik mendukung keberadaan hubungan antara uang dan harga secara

proporsional dalam perekonomian Turki. Hasil penelitian lainnya adalah Roffia dan Zaghini

(2007) yang menganalisis pertumbuhan uang terhadap dinamik inflasi pada 15 negara industri.

Hasilnya menemukan bahwa pada horizon waktu 3 tahun hubungan positif antara agregat

moneter dan harga terjadi dalam kurang lebih 50 persen dari kasus. Studi lainnya adalah Browne

dan Cronin (2007) yang menemukan bukti empirik yang mendukung keberadaan hubungan

harga (baik harga komoditi maupun konsumen) dan jumlah uang beredar dalam jangka panjang

di Amerika Serikat. Hasil empirik dari penelitian-penelitian terbaru tersebut sejalan dengan

kesimpulan dari sejumlah peneliti terdahulu di antaranya Lucas (1980), Dwyer dan Hafer (1988),

Friedman (1992), Barro (1993), McCandless dan Weber (1995), Rolnick dan Weber (1997),

Dewald (1998), Dwyer (1998), Dwyer dan Hafer (1999) yang menemukan bahwa perubahan

jumlah uang beredar dan tingkat harga adalah berhubungan erat.

III. METODOLOGI

3.1. Variabel dan Data

Data yang dianalisis secara ekonometrik dalam penelitian ini adalah data tahunan dengan

periode waktu 1970 √ 2008. Variabel uang yang digunakan terdiri dari M1 dan M2. Perilaku

kedua variabel uang (m) tersebut penting untuk diteliti pengaruhnya terhadap variabel ekonomi

makro riil seperti output (y), selain pengaruhnya terhadap variabel nominal yaitu harga (p).

Page 92: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

88 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

(10)

Output riil direpresentasikan dengan produk domestik bruto (PDB) riil dengan harga konstan

tahun 2000, sementara harga direpresentasikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) dengan

tahun dasar yang sama. Data awal diperoleh dari Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI),

Laporan Tahunan Bank Indonesia dan Statistik Indonesia Badan Pusat Statistik berbagai terbitan.

Variabel M1 merupakan definisi/arti sempit bagi penawaran uang atau jumlah uang

beredar. M1 meliputi uang kartal dan uang giral seperti cek dan rekening cek. Variabel M2

merupakan definisi luas dari penawaran uang yang meliputi M1 ditambah near monies, seperti

tabungan di bank komersial (savings deposits) dan deposito berjangka. Jadi uang kartal ditambah

uang giral adalah M1, dan M1 ditambah uang kuasi adalah M2.

3.2. Integrated Series dan Eksogenitas

Integrated series dari variabel-variabel yang digunakan dalam metodologi Fisher-Seater

(FS) akan menentukan bentuk uji yang tepat. Dalam hal ini seri data dari uang, output dan

harga menentukan bentuk uji FS yang tepat untuk menguji netralitas uang dan inflasi jangka

panjang.

Model FS mensyaratkan bahwa dalam pengujian netralitas jangka panjang variabel-variabel

yang digunakan memiliki integrated of order sama, dalam hal ini diasumsikan I(1). Dalam aplikasi

FS untuk pengujian ini maka diasumsikan bahwa variabel uang, output dan harga adalah I(1).

Untuk menguji integrated of order dari seri data variabel-variabel yang digunakan maka dalam

penelitian ini dilakukan uji akar-akar unit melalui uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) dan Phillips-

Perron (PP). Uji ADF didasarkan pada proses autoregressive atau AR(1) berikut:

di mana µ dan ρ adalah parameter, dan εt diasumsikan white noise. y adalah seri yang stasioner

jika -1 < r < 1. Uji Dickey-Fuller (DF) dan PP menggunakan akar unit sebagai hipotesis nol, H0:

ρ = 1 dan H1: ρ < 1. Pengujian dilakukan dengan mengestimasi persamaan (10) dan

mengurangkan dengan yt-1

di kedua sisi persamaan sehingga menjadi:

di mana ργ −= 1 , dan hipotesis nol dan hipotesis alternatifnya adalah

H0: γ = 0; H

1: γ < 1

(11)

Page 93: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

89Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Sementara itu Phillips dan Perron (1988) mengajukan metode nonparametrik untuk

mengontrol serial korelasi order tinggi dalam sebuah seri. Regresi untuk uji PP adalah regresi

dengan proses AR(1):

Ketika uji ADF mengoreksi serial korelasi order tinggi dengan penambahan lagged differenced

terms pada sisi kanan persamaan, uji PP melakukan koreksi t-statistik koefisien γ dari regresi

AR(1) untuk menghitung serial korelasi dalam ε.

Selanjutnya untuk menguji bahwa metodologi FS dapat dilakukan maka harus memenuhi

asumsi bahwa variabel uang dalam hal ini M1 maupun M2 adalah eksogen. Variabel M1 dan

M2 sebagai variabel m dikatakan eksogen jika variabel tersebut tidak dipengaruhi atau

disebabkan oleh variabel y dalam uji kausalitas Granger terhadap bentuk regresi bivariat

berikut:

di mana diasumsikan bahwa disturbances u1 dan u

2 tidak berkorelasi. Berdasarkan persamaan

(14) dari model bivariat tersebut uang (m) dikatakan eksogen jika hasil estimasi menerima

H0:δ

j = 0. Hipotesis tersebut mengartikan bahwa variabel output maupun harga (sebagai

variabel y dalam model) tidak menyebabkan (mempengaruhi) variabel uang (m) atau

sebaliknya variabel uang (m) tidak disebabkan (dipengaruhi) oleh variabel output maupun

harga (y).

Hasil uji menolak H0 jika F(m,n – z) statistik > F(m,n – z) kritis pada α = 5%, dengan

derajat kebebasan m dan n-z, di mana m = jumlah lag, n = jumlah observasi dan z = jumlah

parameter yang diestimasi. Uji kausalitas berdasarkan persamaan (13) dan (14) untuk pengujian

eksogenitas ini mengacu pada Hafer (1982) sebagaimana disampaikan dalam Gujarati dan

Porter (2009)2 yang menggunakan pertumbuhan uang m dan pertumbuhan output y dalam

pengujian juga dapat dinotasikan sebagai ∆m dan ∆y.

(12)

(13)

(14)

2 Lihat Gujarati dan Porter (2009) halaman 699.

..

Page 94: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

90 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

3.3. Uji Kointegrasi

Uji kointegrasi dilakukan untuk menguji keberadaan hubungan jangka panjang di antara

variabel-variabel yang diestimasi. Argumentasi Fisher dan Seater (1993) menyatakan bahwa

netralitas moneter melibatkan adanya perubahan permanen dalam uang beredar. Dalam

pengertian ini menurut Engle dan Granger (1987) maka variabel nominal dan riil memerlukan

I(1), namun keduanya tidak berkointegrasi. Uji kointegrasi pada sistem multivariat ini digunakan

pendekatan Johansen (1995) yang didasarkan pada formulasi model berikut:

di mana k = jumlah lag

Dalam pengujian hipotesis dengan pendekatan ini digunakan nilai statistik yang dinamakan

Likelihood Ratio (LR) test statistic.

untuk r = 0, ,…., k-1 di mana λi merupakan nilai eigenvalue. T adalah jumlah sampel. Q

r juga

disebut trace statistic. Uji ini menolak H0 yang menyatakan tidak ada kointegrasi jika LR statistic

> nilai kritisnya pada α yang dipilih.

3.4. Metodologi Fisher-Seater

Metodologi FS diperkenalkan oleh Fisher dan Seater (1993) yang menggunakan sistem

bivariat untuk menguji netralitas uang jangka panjang dengan ukuran uang sebagai salah satu

variabel. Sistem bivariat yang digunakan adalah bentuk dua persamaan berikut:

di mana )(La , b(L), c(L) dan d(L) adalah lag polynomial, dan dan b0 dan c

0 adalah unrestricted.

Error vector (ut,w

t) ~ iid (0,Σ). Pada metodologi ini dimisalkan bahwa x t = ∆im

t dan z t = ∆ jm

t

dengan i,j = 0 atau 1. Variabel pertama adalah m yaitu jumlah uang beredar nominal M dalam

logaritma natural. Variabel kedua adalah variabel y yang menyatakan variabel riil maupun nominal

dalam logaritma natural juga, seperti output riil maupun harga. Jika variabel m dan y tidak

berintegrasi pada level atau I(0) maka kedua variabel harus memiliki integrated of order yang

(17)

(15)

(16)

(18)

Page 95: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

91Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

sama misalnya berintegrasi pada tingkat pertama atau I(1), yang artinya kedua variabel

berintegrasi pada perbedaan pertama (first difference). Jika variabel m adalah I(1), maka

pengujian yang tepat adalah pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang, sedang jika

variabel m adalah I(2), maka pengujian yang sesuai adalah pengujian supernetralitas jangka

panjang.

Fisher dan Seater mendefinisikan derivatif jangka panjang (long-run derivative, LRD)

sebagai perubahan dalam z terhadap perubahan permanen dalam x, yang dituliskan sebagai

berikut:

di mana

Persamaan (19) menunjukkan bahwa derivatif jangka panjang adalah limit dari elastisitas output

terhadap uang. Jika limit dari denominator pada persamaan tersebut adalah nol artinya tidak

ada perubahan permanen variabel moneter, jadi (m) = 0 sehingga tidak bisa dilakukan uji

netralitas. Untuk (m) > 1, metodologi FS menunjukkan bahwa persamaan (19) dapat ditulis

menjadi:

di mana α(L) dan γ(L) merupakan fungsi dari koefisien dari persamaan (17) dan (18) yaitu

α(L)=d(L)/[a(L)c(L)-b(L)c(L)] dan γ(L)=c(L)/[a(L)c(L)-b(L)c(L)] 3.

Mengacu pada Fisher dan Seater, uang netral pada jangka panjang (long-run neutrality, LRN)

jika LRDy,m

= λ, di mana λ = 1 jika y adalah variabel nominal, dan λ = 0 jika y adalah variabel riil.

Sementara itu uang supernetral pada jangka panjang ( long-run superneutrality, LRSN ) jika

LRDy, ∆m

= µ, di mana µ = 1 jika y adalah variabel nominal, dan µ = 0 jika y adalah variabel riil.

Dengan mengasumsikan bahwa variabel uang beredar adalah eksogen dan error terms

ut dan w

t merupakan serial yang tidak berkorelasi dalam model ARIMA, maka c(1)/d(1) merupakan

estimator Bartlett4 dari koefisien frekuensi nol dalam regresi ∆(y)yt terhadap ∆(m)m

t. Estimasi c(1)/

d(1) adalah given dengan , di mana adalah βk koefisien slope dari regresi ordinary

least squares (OLS) berikut:

(19)

3 Lihat Fisher and Seater (1993) hal. 404.4 Estimator Bartlett merupakan infinite limit dari koefisien slope.

(20)

Page 96: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

92 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Ketika (m) = (y) = 1, netralitas uang dan inflasi jangka panjang (long-run neutrality, LRN) dapat

diuji dan persamaan (21) menjadi:

Dalam pengujian hipotesis nol untuk netralitas uang dan inflasi jangka panjang adalah masing-

masing untuk y sebagai variabel output dan harga. Jika hasil estimasi tidak menolak hipotesis

nol maka proposisi netralitas uang dan inflasi jangka panjang didukung secara empirik. Dalam

pembahasan hasil, nilai estimasi dari βk disajikan bersama dengan 95% confidence interval,

yang ditentukan berdasarkan standard error 5 dan t-distribution dengan derajat kebebasan n/k,

dimana n = jumlah observasi dan k menunjukkan rentang perbedaan waktu dari data untuk

variabel y dan m. Dalam penelitian ini karena menggunakan data tahunan maka jika k = 1

artinya data y dan m dalam perbedaan dua tahun, demikian pula jika k = 2, 3, dan seterusnya.

IV. HASIL DAN ANALISIS

4.1. Analisis Variabel dan Data

Bagian ini diawali dengan analisis perkembangan variabel utama yang diteliti yaitu variabel

M1, M2, output dan harga. Variabel M1 dan M2 digunakan untuk menguji netralitas uang

terhadap variabel riil yaitu output yang direpresentasikan dengan tingkat Produk Domestik

Bruto riil dengan harga konstan 2000 dan hubungannya dengan variabel nominal dalam hal ini

adalah harga konsumen yang perubahannya mencerminkan inflasi dalam jangka panjang.

4.1.1. Uang Beredar

Variabel M1 merupakan variabel yang menggambarkan likuiditas perekonomian.

Perkembangan jumlah uang di Indonesia yang diukur dengan uang dalam arti sempit (M1)

pada Grafik 2 secara historis menunjukkan perkembangan dari tahun ke tahun yang meningkat.

Sejak tahun 1970 jumlah M1 meningkat setiap tahun secara terus menerus.

(21)

(22)

5 Standard error yang digunakan adalah standard error dari koefisien yang diperoleh dari estimasi OLS dengan pertimbangan bahwajumlah observasinya tidak besar, daripada standard error dari estimasi Newey-West (1987).

Page 97: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

93Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Grafik 2 menunjukkan likuiditas perekonomian yang tercermin pada jumlah M1 mengalami

peningkatan selama periode 1970 - 2010. Kecenderungan perkembangan jumlah M1 yang

meningkat terus ditunjukkan oleh peningkatan pesat untuk M1 yang terjadi sejak memasuki

awal 1990-an. Peningkatan pesat jumlah M1 tersebut merupakan dampak dari adanya serangkaian

deregulasi keuangan oleh pemerintah yang diawali oleh munculnya Paket Juni 1983.

Grafik 2.Perkembangan Jumlah M1 di Indonesia, 1970 √ 2010

700000

600000

500000

400000

300000

200000

100000

0

Jumlah M1 (Miliar Rp)

19701972

19741976

19781980

19821984

19861988

19901992

19941996

19982000

20022004

20062008

2010

Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

Grafik 3.Tingkat Pertumbuhan M1 di Indonesia, 1971 - 2010

60,00

50,00

40,00

30,00

20,00

10,00

0,00

Tingkat Pertumbuhan M1 (%)

19711973

19751977

19791981

19831985

19871989

19911993

19951997

19992001

20032005

20072009

Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (data diolah)

Page 98: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

94 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Jika diamati dari pertumbuhannya, M1 tumbuh dengan tingkat pertumbuhan yang

berfluktuasi. Grafik 3 menunjukkan adanya tingkat pertumbuhan M1 yang relatif tinggi

dibandingkan pertumbuhan variabel makro ekonomi lain seperti output dan harga, yang disajikan

pada bagian selanjutnya. Selama periode 1971 √ 2010 setiap tahun jumlah M1 selalu meningkat

dengan tingkat pertumbuhan positif. Rata-rata tingkat pertumbuhan M1 adalah 22,04%.

Tingkat pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 1972 sebesar 48,44% dan pertumbuhan

terendah sebesar 1,50% pada tahun 2008. Tingkat pertumbuhan terendah kedua adalah pada

tahun 1983 sebesar 6,29%. Setelah tahun 1983 pertumbuhan M1 meningkat dengan kisaran

yang lebih tinggi kecuali pada tahun 2008. Nampaknya serangkaian deregulasi perbankan

yang dimulai dengan Paket Juni 1983 juga memberikan dampak pada peningkatan pertumbuhan

M1 ini. Ekspansi kredit yang dilakukan oleh perbankan memberikan kontribusi yang berarti

terhadap peningkatan M1 tersebut

Memasuki tahun 2009, likuiditas perekonomian yang diukur dengan M1 tumbuh 12,92%

dan mencapai level Rp 515,824 triliun. Tahun 2010 M1 tumbuh menjadi 17,36% yang lebih

tinggi dari tahun sebelumnya dan mencapai level Rp 605,375 triliun. Menurut Bank Indonesia,

pertumbuhan likuiditas perekonomian dengan ukuran M1 tersebut dapat dikategorikan tinggi

jika dibandingkan dengan kondisi historisnya yang berupa semakin meningkatnya preferensi

likuiditas masyarakat dengan indikasi yang tampak pada percepatan pertumbuhan tabungan

relatif terhadap deposito.

Grafik 4.Perkembangan Jumlah M2 di Indonesia, 1970 - 2010

Jumlah M2 (Miliar Rp)

19701972

19741976

19781980

19821984

19861988

19901992

19941996

19982000

20022004

20062008

2010

Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia

3000000

2500000

1500000

2000000

1000000

500000

0

Page 99: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

95Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Terkait dengan kebijakan Bank Indonesia, meningkatnya likuiditas perekonomian pada

tahun 2009 juga tidak terlepas dari penurunan giro wajib minimum (GWM) pada kuartal akhir

tahun 2008 dari efektif 9,1% menjadi 7,5%. Pelonggaran moneter tersebut juga diikuti oleh

penurunan BI rate secara agresif mulai November 2008 hingga Maret 2009. Likuiditas mengalami

peningkatan pada tahun 2010 meskipun M1 belum kembali pada tingkat pertumbuhan sebelum

tahun 2008.

Selain M1, variabel M2 juga merupakan variabel yang menggambarkan likuiditas

perekonomian. Grafik 4 menunjukkan likuiditas perekonomian yang tercermin pada M2 yang

mana juga mengalami peningkatan dengan pola dinamik yang hampir sama dengan

perkembangan M1 selama periode yang sama. Namun demikian kecenderungan perkembangan

M2 yang meningkat terus cenderung relatif tinggi dibandingkan dengan M1. Perkembangannya

menunjukkan bahwa peningkatan pesat untuk M2 terjadi tahun-tahun memasuki krisis ekonomi

yang terjadi pada pertengahan tahun 1997.

Sebagaimana pertumbuhan M1, tingkat pertumbuhan M2 juga berfluktuasi. Grafik 5

menunjukkan adanya tingkat pertumbuhan M2 yang berfluktuasi relatif ekstrim dibandingkan

M1. Namun demikian rata-rata pertumbuhan M2 selama periode 1971 √ 2010 sebesar 21,90%

yang sedikit lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan M1 yaitu 22,04%.

Pertumbuhan M2 tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 62,35% dan pertumbuhan

terendah sebesar 4,72% pada tahun 2002. Setelah tahun 2002 pertumbuhan M2 terus terjadi

Grafik 5.Tingkat Pertumbuhan M2 di Indonesia, 1971 - 2010

Tingkat Pertumbuhan M2 (%)

Sumber : Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (data diolah)

60,00

50,00

40,00

30,00

20,00

10,00

0,00

70,00

19711973

19751977

19791981

19831985

19871989

19911993

19951997

19992001

20032005

20072009

Page 100: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

96 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

dan pada tahun 2005 tingkat pertumbuhannya kembali mencapai dua digit sampai pada

akhir periode.

Pada tahun 2009, likuiditas perekonomian yang diukur dengan M2 tumbuh 12,95%

meskipun masih di bawah rata-ratanya. Jumlah M2 pada tahun itu mencapai level Rp

2.141,384 triliun. Meskipun mencapai pertumbuhan dua digit, tingkat pertumbuhan M2

tersebut relatif rendah dibandingkan dengan kondisi historisnya khususnya empat tahun

sebelumnya. Selanjutnya pada tahun 2010 M2 tumbuh dengan tingkat yang lebih tinggi

dari tahun sebelumnya yaitu menjadi 15,32% dan mencapai level Rp 2.469,399 triliun.

Pada akhir periode analisis meningkatnya M2 terutama dipengaruhi oleh bertambahnya

uang kuasi seiring dengan derasnya uang masuk dari luar negeri. Menurut laporan Bank

Indonesia, berdasarkan faktornya pertumbuhan M2 pada tahun 2010 didukung oleh tingginya

kenaikan Aktiva Luar Negeri Bersih yang sebagian besar ditempatkan sebagai uang kuasi di

perbankan. Di samping itu perkembangan Aktiva Dalam Negeri Bersih pada tahun 2010 juga

meningkat yang bersumber pada pertumbuhan kredit yang akseleratif dan turut memberikan

kontribusi pada pertumbuhan M2.

Secara umum faktor domestik dominan mempengaruhi perkembangan likuiditas

perekonomian. Faktor domestik dalam bentuk kredit kepada sektor bisnis mendominasi kinerja

likuiditas perekonomian. Selain faktor internal, peningkatan likuiditas perekonomian juga

dipengaruhi oleh faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut tercermin pada perkembangan

aktiva luar negeri bersih (Net Foreign Assets - NFA) secara keseluruhan meningkat. Penambahan

tersebut terjadi pada NFA Bank Indonesia sejalan dengan meningkatnya cadangan devisa yang

bersumber dari penerimaan hasil migas akibat tingginya harga minyak dunia, khususnya

beberapa waktu terakhir.

4.1.2. Output

Selain perkembangan jumlah uang beredar, bagian ini juga menyajikan perkembangan

variabel riil yaitu PDB dengan harga konstan 2000. Selama kurun waktu 1970 √ 2010

perkembangan jumlah dan pertumbuhannya disajikan masing-masing pada Grafik 6 dan Grafik

7. Grafik 6 menunjukkan bahwa perkembangan tingkat output yang direpresentasikan dengan

PDB riil berdasarkan tahun dasar 2000 menunjukkan kecenderungan yang meningkat selama

periode 1970 √ 2010. Namun demikian terjadi penurunan dalam periode tersebut tepatnya

pada tahun 1998 sebagai akibat dari dampak krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan

tahun 1997. Pada tahun 1999 PDB riil kembali naik meskipun dengan kenaikan kecil. Tingkat

Page 101: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

97Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

PDB riil baru pulih kembali pada tahun 2004 dan setelah tahun tersebut PDB riil meningkat

terus sampai tahun 2010 sebagai akhir periode analisis.

Kenaikan output selama periode ini menunjukkan bahwa sektor riil tumbuh dengan

indikator meningkatnya nilai PDB riil dari tahun ke tahun kecuali pada saat krisis ekonomi

terjadi. Secara keseluruhan dalam kondisi ekonomi normal maka Grafik 6 menunjukkan adanya

Grafik 6. Perkembangan Produk Domestik Bruto Indonesiadengan Harga Konstan 2000, 1970 √ 2010

Grafik 7. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesiadengan Harga Konstan 2000, 1971 √ 2010

Perkembangan PDB Atas Harga Konstan 2000 (Miliar Rp)2500000

2000000

1500000

1000000

500000

01970

19721974

19761978

19801982

19841986

19881990

19921994

19961998

20002002

20042006

20082010

Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah)

Pertumbuhan PDB Indonesia (%)

15,00

10,00

5,00

0,00

-5,00

-10,00

-15,00

Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah)

19711973

19751977

19791981

19831985

19871989

19911993

19951997

19992001

20032005

20072009

Page 102: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

98 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

pertumbuhan sektor riil di Indonesia dengan indikasi kenaikan tingkat PDB riil tersebut. Kenaikan

PDB riil ini sebagai indikator yang lebih tepat untuk menggambarkan pertumbuhan ekonomi

daripada indikator PDB nominal, karena PDB riil sudah menghilangkan pengaruh inflasi. Jika

pertumbuhan ekonomi diukur dengan PDB nominal maka pada saat krisis ekonomi terjadi PDB

nominal terutama tahun 1998 tetap meningkat karena dinilai dengan harga yang sangat tinggi

akibat inflasi pada waktu itu. Oleh karena itu indikator ini tidak dapat digunakan untuk

menggambarkan pertumbuhan ekonomi makro atau perkembangan variabel riil.

Selanjutnya Grafik 7 menunjukkan bahwa dengan perhitungan PDB riil maka output

Indonesia mengalami pertumbuhan positif kecuali pada tahun 1998 yang secara ekstrim

pertumbuhannya mengalami negatif sebesar -13,13%. Grafik pertumbuhan output tersebut

menunjukkan bahwa selama kurun waktu 1971 - 2010 pertumbuhan output tertinggi terjadi

pada tahun 1980 akibat dampak positif dari masa oil boom dengan tingkat pertumbuhan

9,88%. Sementara itu rata-rata pertumbuhan output selama 1971 √ 2010 sebesar 5,56%.

Output yang diukur dengan PDB riil pada periode setelah krisis mengalami pertumbuhan

positif kembali meskipun masih pada kisaran angka pertumbuhan yang rendah. Tahun 1999

output hanya tumbuh sebesar 0,79% jauh di bawah rata-ratanya, namun pada tahun 2000

output sudah tumbuh 4,92% yang menunjukkan adanya indikasi awal proses pemulihan krisis

ekonomi. Pertumbuhan output kemudian relatif stabil sampai tahun 2003. Baru mulai tahun

2004 pertumbuhan output mencapai level 5,03% dan pertumbuhan pada kisaran lebih dari

5% terjadi sampai tahun 2006 sebelum meningkat sampai level 6,35% pada tahun 2007 dan

turun sedikit menjadi 6,01% pada tahun 2008. Pada tahun 2009 pertumbuhan PDB turun di

bawah 5% menjadi 4,58% namun pada tahun 2010 naik menjadi 6,10%. Rata-rata

pertumbuhan PDB sejak tahun 2000 adalah 5,19 persen. Meskipun masih di bawah rata-rata

pertumbuhan selama kurun waktu 1971 √ 2010 yang sebesar 5,56% namun pertumbuhan

PDB sejak tahun 2000 sudah relatif stabil dengan kecenderungan meningkat secara perlahan

setidaknya sampai dengan 2007.

Penurunan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 dari tahun sebelumnya dan

penurunan cukup signifikan pada tahun 2009 dengan tingkat pertumbuhan di bawah 5%

tidak terlepas dari dampak krisis perekonomian global. Dampak tersebut dirasakan melalui

tekanan berat pada stabilitas moneter dan sistem keuangan, serta menurunanya pertumbuhan

ekonomi akibat kontraksi ekspor barang dan jasa yang cukup besar. Menurut laporan Bank

Indonesia meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi turun di bawah 5% pada tahun 2009,

namun pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tertinggi ketiga setelah China dan India. Hal ini

terjadi karena struktur ekonomi banyak didukung oleh permintaan domestik baik konsumsi

rumah tangga maupun pemerintah.

Page 103: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

99Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Seiring dengan pemulihan perekonomian global, perekonomian Indonesia pada tahun

2010 tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan PDB tahun

2010 yang sebesar 6,10% lebih tinggi dari 4,58% pada tahun 2009. Di sisi permintaan ekspor

dan investasi yang tumbuh tinggi dengan disertai konsumsi rumah tangga yang kuat mendorong

pertumbuhan ekonomi tahun 2010. Kenaikan harga komoditas internasional turut menunjang

tingginya pertumbuhan ekspor Indonesia.

4.1.3. Keterkaitan antara Uang Beredar dan Output

Secara runtut-waktu jika dikaitkan dengan perkembangan jumlah uang beredar maka

perkembangan jumlah PDB seiring dengan jumlah uang beredar. Kecenderungan dari jumlah

uang beredar baik diukur dengan M1 maupun M2 yang meningkat dan pertumbuhannya

yang positif setiap tahun sama halnya dengan perkembangan jumlah dan pertumbuhan PDB.

Kedua variabel memiliki relasi satu-satu masing-masing untuk kenaikan jumlah maupun

pertumbuhan untuk setiap tahunnya selama kurun waktu 1970 √ 2010 kecuali pada tahun

1998, karena jumlah PDB turun dan pertumbuhannya negatif.

Sementara itu secara regional (cross-sectional) potret tahun 2009 menunjukkan distribusi

PDRB setiap wilayah yang berkaitan erat dengan persentase disribusi jumlah uang beredar6 di

daerah. Grafik 8 menunjukkan distribusi PDRB yang berkaitan dengan persentase distribusi

6 Karena sulit menemukan data uang beredar dengan ukuran M1 dan M2 untuk setiap propinsi, maka digunakan uang beredar daripinjaman perbankan yang diberikan ke sektor perkonomian di setiap propinsi.

Grafik 8. Distribusi Uang Beredar dari Pinjaman Perbankan danProduk Domestik Regional Bruto per Propinsi

di Indonesia Tahun 2009

40,00

35,00

30,00

25,00

20,00

15,00

10,00

5,00

0,00

Distribusi Uang Beredar dariPinjaman Perbankan (%)

Distribusi PDB (%)

Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah)

Aceh

Sum

ater

a Ut

ara

Sum

ater

a Ba

rat

Riau

Kepu

lauan

Riau

Jam

biSu

mat

era

Selat

anKe

pulau

an B

abel

Beng

kulu

Lam

pung

DKI J

akar

taJa

wa

Bara

tBa

nten

Jaw

a Te

ngah

DIY

Yogy

akar

taJa

wa

Tim

ur Bali

NTB

NTT

Kalim

anta

n Ba

rat

Kalim

anta

n Te

ngah

Kalim

anta

n Se

latan

Kalim

anta

n Ti

mur

Sulaw

esi U

tara

Goro

ntalo

Sulaw

esi T

enga

hSu

lawes

i Sela

tan

Sulaw

esi B

arat

Sulaw

esi T

engg

ara

Malu

kuM

aluku

Uta

raPa

pua

Papu

a Ba

rat

Page 104: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

100 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

uang beredar yang berasal dari pinjaman perbankan ke sektor ekonomi dan usaha di setiap

wilayah propinsi. Wilayah DKI Jakarta, Jawa Timur dan Jawa Barat sebagai tiga propinsi

yang memiliki PDRB terbesar masing-masing dengan kontribusi 17,89%, 15,42% dan

14,57% menerima bagian terbesar dalam jumlah uang beredar yang berasal dari pinjaman

perbankan di ketiga wilayah tersebut masing-masing dengan 35,97%, 10,07% dan 12,54%.

Sebaliknya tiga propinsi dalam perolehan PDRB terendah yaitu Maluku, Maluku Utara dan

Gorontalo memperoleh uang beredar dari pinjaman perbankan hanya sebesar masing-

masing 0,22%, 0,13% dan 0,22%. Secara runtut-waktu dan antar-wilayah terdapat korelasi

yang cukup jelas antara jumlah uang beredar dan output yang diukur dengan PDB di

Indonesia.

Sebelum pada kesimpulan secara statistik dan ekonometrik dari analisis data, maka hasil

dari gambaran data aktual menunjukkan bahwa kedua variabel berkorelasi yang memberikan

indikasi awal bahwa netralitas uang mungkin tidak terjadi di Indonesia. Pengertian netralitas

uang sebagaimana proposisi dalam teori klasik maupun neoklasik adalah bahwa jika jumlah

uang bertambah dan berarti likuiditas perekonomian meningkat maka dalam jangka panjang

output tidak berubah, dan hanya menimbulkan kenaikan harga. Misalnya jika uang beredar

naik karena bertambahnya pinjaman perbankan kepada sektor-sektor usaha maka dalam jangka

panjang misalnya dengan adanya perubahan jumlah uang beredar dalam rentang waktu tertentu

lebih dari 1 tahun maka hasilnya hanya berupa kenaikan harga dan tingkat output tidak berubah

atau sama seperti pada level awal. Namun dari indikasi awal sebelumnya nampaknya proposisi

ini mungkin tidak berlaku. Data aktual menggambarkan bahwa output meningkat sejalan

dengan peningkatan jumlah uang beredar baik secara runtut-waktu maupun antar-wilayah.

Bukti lebih lanjut dari análisis ini akan diperkuat oleh hasil pengujian secara statistik dan

ekonometrik di bagian berikutnya.

4.1.4. Harga

Akhir dari bagian ini juga dibahas mengenai perkembangan variabel harga.

Kecenderungan dari kenaikan harga-harga secara umum dan terus menerus mencerminkan

inflasi yang terjadi. Indeks Harga Konsumen merupakan indikator yang umum digunakan untuk

menggambarkan pergerakan harga tersebut. Inflasi menjadi variabel yang penting dalam

implememntasi kebijakan moneter yang menerapkan inflation targeting.

Secara keseluruhan selama periode penelitian, perkembangan tingkat harga yang diukur

dengan IHK cenderung meningkat terus. Grafik 9 menunjukkan bahwa sampai tahun 1996

harga meningkat dengan pertumbuhan yang relatif stabil, namun pada saat krisis ekonomi

Page 105: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

101Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

harga melonjak secara ekstrim. Setelah tahun 1998 tingkat harga bergerak relatif cepat

dibandingkan periode sebelum krisis, hal ini bisa dilihat dari lereng grafik yang lebih curam.

Jika dilihat dari perubahannya Grafik 10 menunjukkan bahwa sejak tahun 1970 inflasi

yang dicerminkan dari tingkat perubahan IHK cederung berfluktuasi sampai dengan adanya

gejolak inflasi yang terjadi tahun 1997/1998 sebagai indikator terjadinya krisis ekonomi di

Indonesia. Fluktuasi perubahan harga selama sebelum krisis relatif kecil dibandingkan fluktuasi

Grafik 9. Perkembangan Indeks Harga Konsumen di Indonesiadengan Tahun Dasar 2000, 1970 √ 2010

Perkembangan IHK Tahun Dasar 2000

19701972

19741976

19781980

19821984

19861988

19901992

19941996

19982000

20022004

20062008

2010

Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah)

250

200

150

100

50

0

Grafik 10. Perubahan Indeks Harga Konsumen di Indonesiadengan Tahun Dasar 2000, 1971 √ 2010

Tingkat Pertumbuhan IHK (%)

19711973

19751977

19791981

19831985

19871989

19911993

19951997

19992001

20032005

20072009

Sumber : Statistik Indonesia, Badan Pusat Statistik (data diolah)

90,00

80,00

70,00

60,00

50,00

40,00

30,00

20,00

10,00

0,00

Page 106: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

102 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

perubahan harga pada saat krisis terjadi dan sesudahnya. Perkembangan tingkat inflasi IHK

secara umum tidak terlepas dari perkembangan variabel-variabel seperti nilai tukar, ketersediaan

pasokan bahan makanan, dan harga-harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah

(administered price). Dari aspek moneter perkembangan tersebut juga tidak terlepas dari

dinamika dari tingkat dan perubahan jumlah uang beredar di Indonesia seperti ditunjukkan

pada Grafik 2 sampai dengan Grafik 5 pada bagian sebelumnya.

Selama periode 1971 √ 2010, rata-rata inflasi IHK sebesar 12,40%. Pada masa sebelum

krisis rata-rata inflasi adalah 11,96%, sedangkan pada masa krisis dan sesudahnya rata-rata

inflasinya adalah 13,23%. Nampak jelas bahwa rata-rata inflasi IHK pada masa krisis dan

sesudahnya lebih tinggi dibandingkan pada masa sebelumnya. Inflasi pada masa pertengahan

1980-an sampai dengan masa sebelum krisis relatif stabil. Pada kurun waktu 1985 √ 1996

inflasi yang terjadi di bawah 10%. Inflasi tertinggi pada masa sebelum krisis terjadi pada tahun

1974 dengan tingkat inflasi 40,32%. Sementara itu inflasi terendah pada masa sebelum krisis

adalah 3,11% yang terjadi pada tahun 1971. Pada masa setelah krisis terjadi inflasi tertinggi

dicapai pada tahun 1998 dengan tingkat inflasi 77,60%, yang merupakan inflasi tertinggi

selama kurun 1971 √ 2010. Sementara itu inflasi terendah setelah krisis adalah 2,01% yang

terjadi pada tahun 1999.

Setelah krisis ekonomi inflasi berfluktuasi dengan tingkat yang relatif tinggi dibandingkan

masa tahun 1980-an dan 1990-an sebelum krisis. Inflasi IHK pada tahun 2007 tercatat sebesar

6,59 % dan berada pada kisaran inflasi yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu sebesar 6,0 %

± 1,0 %. Tingkat inflasi pada tahun 2007 yang relatif stabil dibandingkan dua tahun sebelumnya

yaitu tahun 2005 dan 2006 yang tercatat masing-masing sebesar 17,11% dan 6,60% tidak

terlepas dari perkembangan nilai tukar yang stabil, ketersediaan pasokan bahan makanan

yang cukup, serta kenaikan harga-harga barang yang dikendalikan oleh pemerintah secara

minimal. Namun demikian tahun 2008 inflasi melonjak sampai dua digit yaitu 11,06% dan

turun kembali secara drastis menjadi 2,78% pada tahun 2009. Tingkat inflasi naik kembali

pada tahun 2010 menjadi 6,96%, yang melebihi tingkat sasaran yang ditetapkan oleh

pemerintah.

Tingkat inflasi tahun 2009 yang rendah merupakan inflasi yang lebih rendah dari inflasi

sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah sebesar 4,5%±1%. Menurut laporan Bank Indonesia

lebih rendahnya inflasi aktual dibandingkan sasaran inflasi tersebut tidak terlepas dari kebijakan

Bank Indonesia dan pemerintah serta berubahnya kondisi makroekonomi dibandingkan dengan

asumsi yang mendasari proyeksi inflasi tersebut. Secara fundamental, rendahnya inflasi IHK

2009 didukung oleh penguatan nilai tukar rupiah sejak awal kuartal II 2009, permintaan domestik

yang melambat dan ekspektasi inflasi yang membaik.

Page 107: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

103Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Sementara itu inflasi IHK pada tahun 2010 melebihi target yang ditetapkan yaitu sebesar

5%±1%. Tingginya inflasi ini disebabkan karena intensitas gangguan dari sisi penawaran

khusunya bahan makan, yang meningkat tajam akibat anomali cuaca memasuki kuartal III

2010. Kondisi ini memicu lonjakan harga komoditas pangan di pasar global maupun domestik.

Dalam waktu yang bersamaan kenaikan harga-harga komoditas juga terjadi di pasar domestik.

Dinamika inflasi tersebut dari aspek moneter juga tidak terlepas dari perkembangan jumlah

dan tingkat pertumbuhan uang beredar yang diukur baik dengan M1 maupun M2. Sebagai

contoh pada tahun 1998 inflasi IHK tertinggi terjadi bertepatan dengan melonjaknya uang

beredar dengan pertumbuhan M1 dan M2 yang tinggi pada waktu itu, masing-masing 29,17%

dan 62,35%. Demikian pula lonjakan inflasi yang mencapai dua digit pada tahun 2005 sebesar

17,11% bersamaan dengan meningkatnya pertumbuhan M2 pada tahun tersebut sebesar

16,37% dari tingkat sebelumnya yang hanya 8,14% serta pertumbuhan M1 yang tinggi pada

dua tahun sebelumnya yaitu 16,59% dan 13,42% pada tahun 2003 dan 2004. Naiknya inflasi

kembali ke dua digit tahun 2008 dari tahun sebelumnya juga berkenaan dengan tingkat

pertumbuhan uang beredar baik M1 maupun M2 yang tinggi pada tahun 2007 dan sebelumnya.

4.2. Integrated Series dan Eksogenitas

Tabel 1 berikut menunjukkan bahwa melalui uji akar-akar unit, variabel uang (m1 dan m

2),

output riil (y) dan harga (p) tidak stasioner pada level. Data runtut waktu dikatakan stasioner

jika mean dan variance-nya tidak bervariasi secara sistematik selama periode observasi. Jika

tidak stasioner pada level dengan kata lain bahwa variabel-variabel tersebut tidak berintegrasi

pada level atau tidak I(0).

Melalui uji ADF, nilai-nilai ADF hitung tersebut masih lebih besar dari nilai-nilai kritisnya

(nilai-nilai kritis MacKinnon7) dengan α = 5%. Hasil pengujian ini mengartikan bahwa keempat

Tabel 1.Hasil Uji Akar-Akar Unit Variabel-Variabel dalam Model

-2,9335

-4,4581

-4,2914

-5,5686

Variabel ADF PP Variabel ADF PP

m1

m2

y

p

-2,5441

-1,4874

-1,4866

-1,4833

-3,2990

-1,2319

-1,8175

-1,2133

∆m1

∆m2

∆y

∆p

-3,7175

-3,2671

-3,7744

-4,3353

Semua variabel dinyatakan dalam log natural (ln)Pengujian ADF : persamaan dengan konstanta; 1 lagged difference Pengujian PP : persamaan dengan konstanta; 3 truncation lag

7 Nilai kritis ADF untuk data level = -2,9422; ADF data first difference = -2,9446; PP untuk data level = -2,9399; PP untuk data firstdifference = -2,9422.

Page 108: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

104 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

variabel tersebut tidak stasioner pada level atau tidak I(0). Ketika variabel-variabel tersebut

tidak I(0) maka dari pengujian ini menunjukkan bahwa keempat variabel pada perbedaan

pertamanya (∆) menjadi stasioner atau berintegrasi sama yaitu I(1). Secara keseluruhan hasil

ini juga didukung oleh uji PP. Hasil pengujian pada Tabel 1 menunjukkan bahwa nilai ADF dan

PP hitung menurun signifikan dari level ke perbedaan pertama sehingga nilai keduanya lebih

kecil dari nilai-nilai kritisnya, yang berarti variabel uang (baik M1 maupun M2), output (PDB) riil

dan harga dalam model yang diestimasi berintegrasi sama atau I(1).

Untuk menguji netralitas uang dan inflasi jangka panjang baik dengan menggunakan

variabel M1 maupun M2 masing-masing terhadap variabel output (y) dan harga (p), maka

penerapan metodologi FS dapat dilakukan ketika variabel uang (M1 dan M2), variabel y dan (p)

berintegrasi sama atau I(1). Karena variabel M1 dan M2 adalah I(1) maka dalam penelitian ini

hanya relevan untuk melakukan pengujian netralitas uang dan inflasi jangka panjang, sementara

itu supernetralitas jangka panjang baik terhadap output maupun harga tidak tepat untuk diuji.

Dalam penerapan metodologi FS tersebut diasumsikan pula bahwa variabel M1 dan M2

adalah eksogen. Oleh karena itu asumsi ini harus dipenuhi sebelum menggunakan metodologi

FS untuk menguji netralitas uang dan inflasi jangka panjang. Hasil pengujian eksogenitas M1

dan M2 melalui uji kausalitas Granger didasarkan pada estimasi persamaan (14) seperti dilaporkan

pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan bahwa variabel M1 memberikan bukti kuat adanya

eksogenitas. Variabel M1 adalah eksogen karena tidak disebabkan atau dipengaruhi oleh variabel

output (y) atau harga (p) itu sendiri.

Keterangan :Variabel-variabel dalam lnm = jumlah lag; n = jumlah observasi; z = jumlah parameter yang diestimasiAngka dalam tanda kurung adalah p-value

Tabel 2.Hasil Pengujian Eksogenitas Variabel M1 dan M2 dengan Kausalitas Granger

∆y → ∆m1

∆y → ∆m2

H0: δ

j = 0

F(1,34) = 0,0863 (0,7707)

F(2,31) = 0,0540 (0,9476)

F(3,28) = 1,6002 (0,2116)

F(4,25) = 1,1034 (0,3768)

F(5,22) = 0,9874 (0,4478)

F(6,19) = 0,7134 (0,6433)

F(1,34) = 5,2081 (0,0289)

F(2,31) = 2,4132 (0,1062)

F(3,28) = 2,6953 (0,0650)

F(4,25) = 1,8704 (0,1471)

F(5,22) = 1,7562 (0,1638)

F(6,19) = 1,3301 (0,2921)

F(m,n – z) H0: δ

j = 0 F(m,n – z)

F(1,34) = 0,0964 (0,7581)

F(2,31) = 1,6492 (0,2086)

F(3,28) = 2,1951 (0,1108)

F(4,25) = 1,5768 (0,2114)

F(5,22) = 1,2073 (0,3384)

F(6,19) = 0,7550 (0,6134)

F(1,34) = 3,1158 (0,0865)

F(2,31) = 1,4944 (0,2401)

F(3,28) = 1,2021 (0,3271)

F(4,25) = 1,2884 (0,3013)

F(5,22) = 1,0044 (0,4384)

F(6,19) = 1,1403 (0,3775)

∆ p → ∆m1

∆ p → ∆m2

Page 109: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

105Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Melalui pengujian dengan satu sampai empat lag, variabel pertumbuhan M1 atau ∆m1

tidak dipengaruhi oleh pertumbuhan output atau harga (∆y) karena F hitungnya tidak signifikan

pada α = 5% yang berarti hasil uji menerima H0: δ

j = 0. Sementara itu variabel M2 pada tingkat

keyakinan yang sama menunjukkan sebagai variabel eksogen ketika pengujian menggunakan

dua lag sampai dengan empat lag sehingga kesimpulannya juga sama bahwa H0: δ

j = 0 diterima.

Pengujian dengan satu lag dengan α = 5% yang menunjukkan bahwa H0 ditolak atau

menunjukkan adanya eksogenitas merupakan indikasi awal bahwa M2 tidak netral sebelum

diuji dengan metodologi FS.

4.3. Kointegrasi

Hasil uji kointegrasi pada Tabel 3 menunjukkan bahwa variabel nominal yaitu uang (yang

masing-masing sebagai M1 dan M2) dan variabel riil (output riil) tidak berkointegrasi. Demikian

pula bahwa variabel uang (M1 dan M2) dan variabel nominal (harga) tidak berkointegrasi.

Bagian kiri tabel menyajikan nilai

LR statistic sebagai hasil uji kointegrasi antara variabel uang (M1 dan M2) dan output riil,

sedangkan bagian kanan menyajikan nilai LR statistic sebagai hasil uji kointegrasi variabel uang

(M1 dan M2) dan harga, masing-masing dengan empat lag.

Tabel 3.Hasil Uji Kointegrasi

Seri Lag Likelihood Ratio Seri Lag Likelihood Ratio

Asumsi : H1(r):

nilai kritis 5% (r = 0) = 15,41; nilai kritis 5% (r < 1) = 3,76*: menolak H

0(r): no cointegration; **: menolak H

0(r): at most one cointegration

Variabel r = 0 r < 1 Variabel r = 0 r < 1

m1 y

m2 y

1

2

3

4

1

2

3

4

14,0439

15,408

29,4527

10,5406

15,1043

21,5420*

14,0283

16,0130*

4,6685**

4,8426**

4,4848**

4,1990**

3,4735

4,3677**

3,8209**

3,6350

m1 p

m2 p

14,3488

11,8313

9,1893

8,1147

9,6757

13,1000

14,6110

15,9431*

5,0122**

3,5002

2,7646

1,3889

1,6400

1,4894

3,7128

5,7769**

1

2

3

4

1

2

3

4

Menurut Johansen (1995) dengan asumsi bahwa seri data memiliki trend linier namun

persamaan kointegrasi hanya memiliki intersep, yang dinyatakan :

Page 110: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

106 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

maka Tabel 3 bagian atas kiri menunjukkan bahwa variabel M1 dan output tidak berkointegrasi,

sehingga pengujian netralitas jangka panjang dapat menggunakan metodologi FS. Pada tabel

bagian atas kanan ditunjukkan pula bahwa variabel M1 dan harga tidak berkointegrasi, sehingga

pengujian hubungan positif jangka panjang antara kedua variabel dapat dilakukan. Kesimpulan

ini ditentukan dari nilai Likelihood Ratio dengan r = 0 yang lebih rendah dari nilai kritisnya,

yang berarti menerima H0 yang menyatakan tidak ada kointegrasi antara variabel M1-output

maupun variabel M1-harga. Berdasarkan Tabel 3 hasil uji kointegrasi akan valid menolak H0

pada LR stastistik untuk r < 1 yang menolak H0 jika LR statistik untuk r = 0 juga menolak H

0.

Demikian pula untuk uji kointegrasi antara variabel M2-output dan M2-harga dapat ditarik

kesimpulan bahwa keduanya secara umum tidak berkointegrasi sehingga metodologi ini juga

dapat diaplikasikan dalam pengujian netralitas dan inflasi jangka panjang. Namun demikian

pada pengujian dengan dua lag dan empat lag untuk r = 0 nampaknya bahwa hasil uji menolak

tidak adanya kointegrasi antara M2 dan output. Demikian pula pengujian dengan empat lag

untuk r = 0 dan r < 1 nampaknya juga menolak hasil uji tidak adanya kointergasi antara M2 dan

harga. Hal ini sebenarnya merupakan indikasi awal bahwa M2 tidak netral pada jangka panjang

baik terhadap output maupun harga.

4.4. Pengujian Netralitas Uang Jangka Panjang

Hasil pengujian netralitas uang variabel M1 dengan metodologi FS berdasarkan persamaan

(22) ditunjukkan pada Tabel 4. Dengan pengujian untuk perbedaan waktu yang digunakan

dari 2 sampai dengan 16 tahun dari data output dan M1 maka nilai dari βk mengalami kenaikan

terus menerus sampai dengan perbedaan waktu 11 tahun meskipun sedikit turun pada

perbedaan 10 tahun, namun tidak berarti. Pada perbedaan 12 tahun nilai βk mengalami

penurunan namun setelah itu nilai βk meningkat lagi sampai dengan pengujian pada perbedaan

16 tahun. Nilai dari βk merepresentasikan respon yang diestimasi dari perubahan output yang

diukur dengan perubahan PDB riil (dalam ln) terhadap perubahan M1 (dalam ln) pada periode

k+1. Kenaikan nilai βk diikuti pula dengan penurunan standard error-nya (SE

k). Penurunan

standard error menyebabkan t hitungnya meningkat atau p-value-nya menurun.

Indikasi pada Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa dengan a = 5% uang (dengan ukuran

M1) menjadi tidak netral dalam jangka panjang ketika digunakan perbedaan waktu lebih dari

6 tahun, bahkan jika dengan α = 10%, M1 tidak netral sejak digunakan perbedaan waktu

lebih dari 4 tahun. Hasil ini memberikan bukti bahwa netralitas uang jangka panjang (long-run

Page 111: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

107Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

neutrality) tidak berlaku di Indonesia dengan indikator M1. Artinya bahwa variabel nominal

seperti M1 dapat mempengaruhi variabel riil dalam hal ini variabel output (y) dalam jangka

panjang.

Grafik 11 menunjukkan koefisien dari β pada perbedaan-perbedaan waktu (nilai-nilai k)

yang sesuai dengan 95% confidence interval untuk estimasi dengan menggunakan M1. Grafik

tersebut menunjukkan dengan jelas adanya indikasi bahwa M1 tidak netral dengan

meningkatnya βk dan standard error yang semakin kecil. Secara keseluruhan dari perbedaan

waktu 2 tahun sampai dengan perbedaan 16 tahun koefisien dari βk mengalami kenaikan

dengan diikuti oleh signifikannya βk sejak digunakan perbedaan waktu lebih dari 4 tahun (dengan

α = 10%) dan sejak digunakan perbedaan waktu lebih dari 6 tahun (dengan α = 5%) hasil ini

memberikan bukti bahwa M1 tidak netral pada jangka panjang.

Dengan menggunakan metodologi FS, pengujian ini menemukan bukti bahwa uang

(dengan indikator M1) tidak netral dalam mempengaruhi variabel riil seperti output, yang berarti

menolak netralitas uang jangka panjang untuk periode penelitian ini di Indonesia. Bukti empirik

ini menunjukkan bahwa kenaikan jumlah uang beredar M1 di Indonesia memberikan pengaruh

pada kenaikan tingkat output dalam jangka panjang. Kenaikan output bisa terjadi melalui

kenaikan investasi dan permintaan akibat adanya pertambahan jumlah uang beredar. Dengan

metodologi yang sama, bukti empirik ini konsisten dengan temuan Puah et al. (2008) bahwa

M1 tidak netral pada jangka panjang di Indonesia untuk periode 1965 √ 2002. Temuan non-

Tabel 4.Hasil Regresi Jangka Panjang Output Riil terhadap M1 di Indonesia

k βk SEk

tk

p-value

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

0,0698

0,0761

0,0920

0,1064

0,1195

0,1364

0,1531

0,1644

0,1641

0,1656

0,1556

0,1577

0,1619

0,1656

0,2021

0,0618

0,0615

0,0615

0,0616

0,0622

0,0625

0,0624

0,0625

0,0631

0,0663

0,0691

0,0714

0,0734

0,0753

0,0780

1,1293

1,2373

1,4959

1,7272

1,1921

2,1810

2,4541

2,6317

2,5982

2,4994

2,2515

2,2085

2,2069

2,1994

2,5910

0,2665

0,2244

0,1442

0,0938

0,0640

0,0372

0,0204

0,0137

0,0150

0,0191

0,0334

0,0370

0,0376

0,0387

0,0170

Page 112: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

108 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Grafik 11. Koefisien βk dalam Pengujian Netralitas Uang

di Indonesia dengan Variabel M1.

netralitas uang ini sama dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Fisher dan Seater (1993)

yang menemukan bahwa netralitas uang jangka panjang ditolak untuk data tahunan di Amerika

Serikat.

Bukti bahwa netralitas uang jangka panjang tidak berlaku di Indonesia juga dibuktikan

dengan variabel M2. Tabel 5 menunjukkan bahwa dengan perbedaan waktu 2 sampai dengan

16 tahun koefisien dari βk berubah tanda dari negatif ke positif. Pada perbedaan waktu 5

tahun koefisien berubah tanda dari negatif ke positif yang kemudian meningkat sebelum turun

lagi mulai perbedaan waktu 12 tahun. Namun demikian sejak perbedaan waktu lebih dari 8

tahun koefisien βk

signifikan pada α = 5% yang menunjukkan bahwa M2 tidak netral pada

jangka panjang.

Grafik 12 menunjukkan koefisien dari b pada perbedaan-perbedaan waktu (nilai-nilai k)

yang sesuai dengan 95% confidence interval untuk estimasi dengan menggunakan M2. Grafik

tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa M2 tidak netral dengan meningkatnya βk dan

standard error yang semakin kecil, dan pada perbedaan waktu lebih dari 8 tahun koefisien

tersebut signifikan pada α = 5%. Meskipun mengalami penurunan pada perbedaan waktu 11

tahun, koefisien βk tetap signifikan pada α = 5% sampai dengan perbedaan waktu yang

digunakan adalah 16 tahun.

-0,2

0,0

0,2

0,4

0,6

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

βk with 95% confidence interval

Page 113: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

109Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Non-netralitas M2 seperti ditunjukkan pada Grafik 12 untuk perbedaan waktu 8 tahun

menunjukkan bahwa bukti ini memperkuat adanya non-netralitas uang dengan ukuran M1

sebelumnya. Dengan demikian baik dengan M1 maupun M2, investigasi untuk periode penelitian

ini menemukan bukti empirik bahwa netralitas uang jangka panjang tidak berlaku di Indonesia.

Tabel 5.Hasil Regresi Jangka Panjang Output Riil terhadap M2 di Indonesia

k βk SEk

tk

p-value

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

-0,0646

-0,0352

-0,0101

0,0250

0,0604

0,1018

0,1576

0,2143

0,2688

0,3280

0,2843

0,2633

0,2379

0,2254

0,2111

0,0732

0,0730

0,0736

0,0744

0,0751

0,0762

0,0782

0,0799

0,0798

0,0798

0,0772

0,0756

0,0772

0,0783

0,0840

-0,8827

-0,4816

-0,1371

0,3358

0,8053

1,3360

2,0157

2,6808

3,3689

4,1102

3,6814

3,4826

3,0831

2,8769

2,5117

0,3834

0,6332

0,8918

0,7392

0,4268

0,1916

0,0532

0,0122

0,0023

0,0004

0,0011

0,0019

0,0053

0,0088

0,0203

Grafik 12. Koefisien βk dalam Pengujian Netralitas Uang

di Indonesia dengan Variabel M2.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

βk with 95% confidence interval

-0,4

-0,2

0,0

0,2

0,4

0,6

0,8

Page 114: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

110 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Bagaimanapun juga kenaikan jumlah uang beredar di Indonesia berdampak pada kenaikan

output dalam jangka panjang. Kenaikan investasi dan permintaan akibat pertambahan jumlah

uang mendorong kenaikan tingkat output pada level yang lebih tinggi. Dengan kata lain

pertumbuhan jumlah uang beredar berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Bukti

empirik bahwa jumlah uang beredar baik M1 maupun M2 tidak netral terhadap tingkat output

melalui uji FS ini didukung oleh perilaku kedua variabel tersebut yang nampak dari data aktual

yang disajikan dalam grafik pada Grafik-Grafik di bagian sebelumnya.

Tidak terjadinya netralitas uang jangka panjang di Indonesia baik untuk variabel M1

maupun M2 menunjukkan bahwa bukti ini tidak konsisten dengan proposisi netralitas uang

menurut model neoklasik dan model siklus bisnis riil (real business cycle theory) serta model

moneter dari Lucas. Teori-teori tersebut memproposisikan bahwa uang adalah netral dalam

perekonomian yang tidak berpengaruh pada variabel riil, namun hanya berdampak pada tingkat

harga.

4.5. Pengujian Inflasi Jangka Panjang

Hasil pengujian hubungan positif antara variabel M1 dan harga pada jangka panjang

dengan metodologi FS juga didasarkan pada persamaan (22) dengan harga sebagai variabel y.

Hasil pengujiannya ditunjukkan pada Tabel 6. Dengan pengujian untuk perbedaan waktu yang

digunakan dari 2 sampai dengan 16 tahun, nilai dari βk positif dan signifikan pada α = 5%

Tabel 6.Hasil Regresi Jangka Panjang Harga terhadap M1 di Indonesia

k βk SEk

tk

p-value

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

0,4068

0,5550

0,5932

0,5785

0,5853

0,5750

0,5561

0,5505

0,5502

0,5309

0,5535

0,5808

0,5669

0,5216

0,4785

0,1347

0,1062

0,0956

0,0946

0,0881

0,0829

0,0868

0,0890

0,0857

0,0922

0,0983

0,0999

0,0993

0,1028

0,1086

3,0213

5,2279

6,2056

6,1145

6,6403

6,9359

6,4029

6,1865

6,4209

5,7604

5,6322

5,8143

5,7109

5,0763

4,4066

0,0047

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0000

0,0002

Page 115: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

111Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

dengan rata-rata nilai βk sebesar 0,5455. Nilai dari β

k merepresentasikan respon yang diestimasi

dari perubahan harga (dalam ln) terhadap perubahan M1 (dalam ln) pada periode k+1. Sejak

menggunakan perbedaan waktu 2 tahun terlihat bahwa βk sudah positif yang diikuti dengan

standard error (SEk) yang relatif kecil sehingga t hitungnya cukup besar yang mendukung

sangat kuat keberadaan hubungan positif antara uang M1 dan harga.

Indikasi pada Tabel 6 tersebut menunjukkan bahwa dengan α = 5% uang (dengan ukuran

M1) menyebabkan kenaikan harga atau inflasi secara proporsional dalam jangka panjang. Hasil

ini memberikan bukti bahwa hubungan positif yang kuat antara M1 dan harga jangka panjang

didukung hasil empirik di Indonesia. Artinya bahwa variabel nominal seperti M1 berpengaruh

terhadap variabel nominal lainnya yaitu harga, yang konsisten dengan proposisi dari teori

kuantitas klasik, model Lucas maupun neoklasik.

Grafik 13 menunjukkan koefisien dari b pada perbedaan-perbedaan waktu (nilai-nilai k)

yang sesuai dengan 95% confidence interval untuk estimasi inflasi jangka panjang dengan

menggunakan M1. Adanya indikasi bahwa M1 berpengaruh positif pada jangka panjang

terhadap harga yakni dengan signifikannya koefisien bk secara konsisten dari perbedaan waktu

yang digunakan dari 2 sampai dengan 16 tahun.

Grafik 13. Koefisien βk dalam Pengujian Inflasi jangka Panjang

di Indonesia dengan Variabel M1.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 150,0

0,2

0,4

0,6

0,8

1,0

1,2

Page 116: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

112 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Dengan menggunakan metodologi FS, pengujian ini menemukan bukti bahwa uang

(dengan indikator M1) cukup kuat dan konsisten dalam mempengaruhi variabel nominal dalam

hal ini adalah harga, yang berarti mendukung keberadaan hubungan positif antara uang (yang

didefinisikan sebagai M1) dan harga pada jangka panjang untuk periode yang penelitian yang

sama di Indonesia. Bukti empirik ini konsisten dengan kebanyakan hasil penelitian sebelumnya

di negara-negara maju seperti oleh studi Saatcioglu dan Korap (2009) di Turki, Roffia dan

Zaghini (2007) pada 15 negara industri, dan Browne dan Cronin (2007) di Amerika Serikat.

Namun demikian, bukti bahwa keberadaan hubungan positif jangka panjang antara uang

dan harga tidak didukung oleh hasil empirik dengan menggunakan M2. Tabel 7 menunjukkan

bahwa dengan perbedaan waktu yang digunakan dari 2 sampai dengan 16 tahun koefisien

dari βk berubah tanda dari positif ke negatif. Pada perbedaan waktu 8 tahun koefisien berubah

tanda dari positif ke negatif yang kemudian konsisten pada nilai βk yang negatif sampai dengan

perbedaan waktu yang digunakan 16 tahun. Sejak perbedaan waktu 11 tahun koefisien βk

bernilai negatif dan signifikan pada α = 5% sampai dengan perbedaan waktu 15 tahun, dan

pada α = 5% sampai dengan perbedaan waktu yang digunakan 16 tahun.

Grafik 14 menunjukkan koefisien dari β pada nilai-nilai k yang sesuai dengan 95%

confidence interval untuk estimasi inflasi jangka panjang dengan menggunakan M2. Grafik

tersebut menunjukkan adanya indikasi bahwa M2 tidak mendukung keberadaan hubungan

positif jangka panjang antara uang dan harga.

Tabel 7.Hasil Regresi Jangka Panjang Harga terhadap M2 di Indonesia

k βk SEk

tk

p-value

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

0,4488

0,3398

0,2650

0,1923

0,1166

0,0351

-0,0404

-0,1111

-0,2018

-0,3990

-0,3711

-0,3535

-0,3376

-0,3184

-0,2792

0,1609

0,1557

0,1563

0,1576

0,1567

0,1557

0,1642

0,1745

0,1793

0,1766

0,1720

0,1688

0,1605

0,1529

0,1492

2,7896

2,1820

1,6948

1,2205

0,7439

0,2251

-0,2462

-0,6368

-1,1251

-2,2598

-2,1584

-2,0937

-2,1028

-2,0821

-1,8708

0,0085

0,0361

0,0995

0,2312

0,4625

0,8234

0,8072

0,5294

0,2705

0,0324

0,0407

0,0470

0,0466

0,0492

0,0754

Page 117: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

113Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Tidak berpengaruhnya secara positif dan signifikan M2 terhadap harga pada jangka

panjang, seperti ditunjukkan pada Grafik 14 untuk perbedaan waktu yang digunakan 4 tahun,

menunjukkan bahwa bukti ini tidak sejalan dengan bukti mengenai hubungan positif uang M1

dan harga. Artinya bahwa keberadaan hubungan positif antara uang dan harga dapat

direpresentasikan oleh M1 daripada M2. Dengan demikian bahwa M1 bisa mendukung secara

empirik keberadaan hubungan positif antara uang dan harga pada jangka panjang di Indonesia

daripada M2.

V. KESIMPULAN

Estimasi dengan metodologi FS yang didahului dengan serangkaian seperti uji akar-

akar unit, eksogenitas, dan kointegrasi menarik kesimpulan bahwa pengujian netralitas

uang dan inflasi jangka panjang di Indonesia dapat dilakukan untuk data Indonesia periode

penelitian ini. Hasil estimasi dengan metodologi FS memberikan kesimpulan bahwa

netralitas uang jangka panjang tidak berlaku untuk kasus di Indonesia dengan data tahunan.

Sementara itu keberadaan hubungan positif antara uang dan harga dapat dibuktikan oleh

Grafik 14. Koefisien βk dalam Pengujian Inflasi jangka Panjang

di Indonesia dengan Variabel M2.

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15-1,5

-1,0

-0,5

0,0

0,5

1,0

Page 118: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

114 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

hasil penelitian ini, yang menunjukkan adanya inflasi jangka panjang karena perubahan

jumlah uang beredar. Variabel M1 dapat mendukung keberadaan hubungan positif tersebut

daripada variabel M2.

Bukti dari hasil uji netralitas uang jangka panjang ini tidak konsisten dengan proposisi

netralitas uang dari model neoklasik dan model siklus bisnis riil serta model moneter dari Lucas

bahwa uang adalah netral dalam perekonomian yang tidak berpengaruh pada variabel riil,

karena uang hanya berdampak pada tingkat harga. Namun demikian proposisi bahwa uang

berdampak pada tingkat harga terbukti dalam penelitian ini. Hubungan positif antara jumlah

uang beredar dan inflasi memang didukung oleh bukti-bukti empirik yang mendukung hubungan

dua variabel tersebut sehingga menjadi hubungan yang kokoh.

Non-netralitas uang jangka panjang di Indonesia yang ditemukan dalam penelitian ini

konsisten dengan temuan dari Puah et al. (2008) bahwa M1 tidak netral pada jangka panjang

di Indonesia untuk periode 1965 √ 2002. Lebih dari itu, dengan menggunakan M2, netralitas

uang jangka panjang juga tidak berlaku di Indonesia. Sementara itu untuk pengujian keberadaan

hubungan positif antara uang dan harga, penelitian ini menemukan bukti yang mendukung

proposisi tersebut. Hasil ini konsisten dengan teori dan kebanyakan penelitian terdahulu di

negara-negara lain. Dari hasil pengujian terhadap kedua proposisi ini secara umum menunjukkan

bahwa kecenderungan uang tidak netral merupakan karakteristik perekonomian makro ekonomi

jangka panjang di Indonesia, di samping keberadaan inflasi jangka panjang karena perubahan

jumlah uang beredar. Dengan demikian dalam jangka panjang uang adalah berarti (matter)

bagi perekonomian Indonesia meskipun pertumbuhannya berdampak pada inflasi.

Hasil penelitian ini mengimplikasikan bahwa bagaimanapun juga kebijakan moneter yang

dilakukan oleh otoritas moneter untuk menstabilkan fluktuasi dalam perekonomian makro

sangat berarti mengingat jumlah uang beredar pada jangka panjang mempengaruhi tingkat

output. Injeksi moneter dalam jangka panjang dapat mendorong kenaikan output. Namun

demikian injeksi moneter ini selain berpotensi meningkatkan output juga dapat menimbulkan

inflasi sebagaimana hasil penelitian ini membuktikannya. Oleh karena itu, di satu sisi ekspansi

moneter tetap penting untuk mendorong kenaikan output jangka panjang, namun di sisi lain

juga perlu diiringi dengan pengendalian jumlah uang beredar yang lebih cermat, khususnya

pada besaran M1, untuk mengantisipasi inflasi. Meskipun tidak mudah karena perilaku

permintaan berasal dari masyarakat, pengelolaan moneter harus lebih terukur dalam

mempertimbangkan kedua sisi tersebut. Jadi dalam kerangka inflation targeting, otoritas

moneter tetap bisa fokus pada inflasi tanpa mengabaikan pentingnya peran uang beredar

terhadap kenaikan output jangka panjang.

Page 119: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

115Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Untuk kepentingan kebijakan dan akademik, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan dorongan bagi kegiatan penelitian lebih lanjut mengenai netralitas uang dan isu-

isu yang terkait untuk memperkaya literatur ekonomi khususnya yang berkaitan dengan isu-isu

tersebut. Hal ini penting untuk dapat memperoleh kesimpulan yang kuat dan menguji kekuatan

(robustness) bukti empirik non-netralitas uang jangka panjang di Indonesia dengan melakukan

pengujian dengan periode yang berbeda, pengujian dengan perubahan struktur, serta pengujian

dengan metode dan pengembangan yang berbeda, serta data yang berbeda, misalnya data

kuartalan.

Page 120: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

116 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Bae, S. and R. Ratti (2000), ≈Long-Run Neutrality, High Inflation, and Bank Insolvencies in

Argentina and Brazil,∆∆Journal of Monetary Economics, 46: 581-604.

Barro, R (1997), Macroeconomics, 5th edition, Canbridge, MA: MIT Press.

Boschen, J.F. and C.M. Otrok (1994), ≈Long-Run Neutrality and Superneutrality in an ARIMA

Framework: Comment,∆∆American Economic Review, 84: 1470-1473.

Browne, F. and D. Cronin (2007), ≈Commodity Prices, Money and Inflation,∆ ECB Working

Paper Series, 738 (March): 1-33.

Chen, S.W. (2007), ≈Evidence of the Long-Run Neutrality of Money: the Case of South Korea

and Taiwan,∆∆Economics Bulletin, 64(3): 1-18.

Coe, P.J. and J.M. Nason (2004), ≈Long-Run Monetary Neutrality and Long-Horizon

Regressions,∆∆Journal of Applied Econometrics, 19 (3): 355-373

Dickey, D. and W.A. Fuller (1979), ≈Distribution of the Estimates for Autoregressive Time Series

with a Unit Root,∆∆Journal of the American Statistical Society, 74: 427-431.

Dewald, W.G. (1998), ≈Historical U.S. Money Growth, Inflation, and Inflation Credibility,∆∆Federal

Reserve Bank of St. Louis Review, 80:13√24.

Dwyer, G.P. and R. W. Hafer (1999), ≈Are Money Growth and Inflation Still Related?,∆∆Federal

Reserve Bank of Atlanta Economic Review, Second Quarter: 32-43.

Engle, R.F. and C.W.J. Granger (1987), ≈Cointegration and Error Correction: Representation,

Estimation and Testing,∆∆In Engle R.F. and C.W.J. Granger (1991),∆Long-Run Economic

Relationships: Readings in Cointegration, 81-111. New York: Oxford University Press.

Fisher, M.E and J.J. Seater (1993), ≈Long-Run Neutrality and Superneutrality in an ARIMA

Framework,∆∆American Economic Review, 83(3): 402-415.

Gujarati, D.N. and D.C. Porter (2009), Basic Econometrics, 5th Edition, New York: McGraw-Hill.

Hume, D. (1752), ≈Of Money, Of Interest, and Of the Balance of Trade,∆ In Essays, Moral,

Political, and Literary, Reprinted in Hume, 1955, Writings on Economics, Eugene Rotwein

ed. Diakses dari http://www.econlib.org/library/LFBooks/Hume/hmMPL.html

Johansen, S. (1995), Likelihood-based Inference in Cointegrated Vector Autoregressive Models,

New York: Oxford University Press.

King, R.G. and M.W. Watson (1997), ≈Testing Long-Run Neutrality,∆∆Federal Reserve Bank of

Richmond Economic Quarterly, 83(3): 69-101.

DAFTAR PUSTAKA

Page 121: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

117Pengujian Netralitas Uang dan Inflasi Jangka Panjang Di Indonesia

Lucas, R.E. (1972), ≈Expectations and the Neutrality of Money,∆∆Journal of Economic Theory,

4(2): 103√124.

__________ (1980), ≈Two Illustrations of the Quantity Theory of Money,∆∆American Economic

Review, 70: 1005√1014.

___________(1995), ≈Monetary Neutrality. Prize Lecture,∆ December 7, 1995. Diakses dari http:/

/nobelprize.org/economics/laureates/1995/lucas-lecture.pdf.

McCandless, G.T., Jr. and W.E. Weber (1995), ≈Some Monetary Facts,∆∆Federal Reserve Bank

of Minneapolis Quarterly Review, 19(3): 1-11.

Noriega, A.E (2004), ≈Long-Run Monetary Neutrality and the Unit-Root Hypothesis: Further

International Evidence,∆∆North American Journal of Economics and Finance, 15(2): 179-

197.

Noriega, A.E., L.M. Soria and R. Velazquez (2005), ≈International Evidence on Monetary Neutrality

under Broken Trend Stationary Models,∆ Mimeo. Diakses dari http://repec.org/esLATM04/

up.7482.1080751251.pdf

Oi, H., S. Shiratsuka, and T. Shirota (2004), ≈On Long-Run Monetary Neutrality in Japan,∆

Monetary and Economic Studies, 22(3): 79 √ 113

Olekalns, N. (1996), ≈Some Further Evidence on the Long-Run Neutrality of Money,∆∆Economics

Letters, 50(3): 393-98.

Phillips, P.C.B., and P. Perron (1988), ≈Testing for a Unit Root in Time Series

Regression,∆∆Biometrika, 75(2): 335-346.

Puah, C.H., M.S. Habibullah and S.A. Mansor (2008), ≈On the Long-Run Monetary Neutrality:

Evidence from the SEACEN Countries,∆∆Journal of Money, Investment and Banking, Issue

2: 50-62.

Ran, J. (2005), ≈Is There Long-Run Money Neutrality under Different Exchange Rate

Regimes?,∆∆Pacific Economic Review, 10(3): 361-370.

Roffia, B. and A. Zaghini (2007), ≈ Excess Money Growth and Inflation Dynamics,∆ ECB Working

Paper Series, 749: 1-40.

Romer, D. (2001), Advanced Macroeconomics, Second Edition, New York: McGraw-Hill.

Rolnick, A.J. and W.E. Weber (1997), ≈Inflation, Money, and Output under Alternative Monetary

Standards,∆ Federal Reserve Bank of Minneapolis Research Department, Staff Report 175.

Saatcioglu, C. and L. Korap (2009), ≈The Search for Co-IntegratÊon Between Money, PrÊces and

Income: Low Frequency EvÊdence from the TurkÊsh Economy,∆∆Panoeconomicus, 1: 55-72.

Serletis, A. and Z. Koustas (1998), ≈International Evidence on the Neutrality of Money,∆∆Journal

of Money, Credit and Banking, 30 (1): 1√25.

ƒƒƒ, and ƒƒƒ (2001),ƒ≈Monetary Aggregation and the Neutrality of Money,∆∆Economic

Inquiry, 39 (1): 124√138. Diakses dari http://econpapers.repec.org/article/oupecinqu/

Page 122: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

118 Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Juli 2011

Shelley, G.L. and F.H. Wallace (2003), ≈Testing for Long Run Neutrality of Money in Mexico,∆

Diakses dari http://129.3.20.41/eps/mac/papers/0402/0402003.pdf

Wallace, F.H. and L.F. Cabrera-Castellanos (2006), ≈Long Run Money Neutrality in

Guatemala,∆∆MPRA Paper 4025, University Library of Munich, Germany, revised 2006.

Diakses dari http://129.3.20.41/eps/mac/papers/

Page 123: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

PETUNJUK PENULISAN

1. Naskah harus merupakan karya asli penulis (perorangan, kelompok atau institusi) yang tidak

melanggar hak cipta. Naskah yang dikirimkan, belum pernah diterbitkan dan tidak sedang

dikirimkan ke penerbit lain pada waktu yang bersamaan. Hak cipta atas naskah yang diterima,

TETAP menjadi hak penulis.

2. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan, akan mendapatkan kompensasi finansial

sebesar Rp 2.500.000,-.

3. Naskah dapat dikirimkan dalam bentuk softcopy (file). Sangat disarankan untuk mengirimkan

softcopy anda ke:

[email protected] (Cc. to: [email protected].)

Jika tidak memungkinkan, file tersebut dapat disimpan dalam disket atau CD dan dikirimkan

melalui pos ke alamat redaksi berikut:

BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia

Gedung B, Lt. 20, JI. M. H. Thamrin No.2

Jakarta Pusat, INDONESIA Telpon: 62-21-3818202, Fax: 62-21-3800394

4. Naskah dibatasi.+ 25 halaman berukuran A4, spasi satu (1), font Times New Roman dengan

ukuran font 12.

5. Persamaan matematis dan simbol harap ditulis dengan mempergunakan Microsoft Equation.

6. Setiap naskah harus disertai abstraksi, maksimal satu (1) halaman ukuran A4. Untuk naskah

yang ditulis dalam bahasa Indonesia, abstraksi-nya ditulis dalam Bahasa Inggris, dan

sebaliknya.

7. Naskah harus disertai dengan kata kunci (Keyword) dan dua digit nomor Klasifikasi Journal

of Economic Literature (JEL). Lihat klasifikasi JEL pada, http:// www.aeaweb.org/journal/

jel_class_system.html.

8. Naskah ditulis dengan penyusunan BAB secara konsisten sebagai berikut,

Page 124: BULETIN EKONOMI MONETER DAN PERBANKAN - … · ekonomi global dibayangi sejumlah risiko, antara lain terkait krisis utang di Yunani, berakhirnya Quantitative Easing (QE) II oleh the

120 Buletin Ekonomi, Moneter dan Perbankan, Juli 2011

I. JUDUL BAB

I.1. Sub Bab

I.1.1. Sub Sub Bab

9. Rujukan dibuat dalam footnote (catatan kaki) dan bukan endnote.

10.Sistem referensi dibuat mengikuti aturan berikut,

a. Publikasi buku:

John E. HankeJohn E. HankeJohn E. HankeJohn E. HankeJohn E. Hanke dan Arthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. ReitschArthur G. Reitsch, (1940), Business Forecasting, PrenticeHall, New

Jersey.

b. Artikel dalam jurnal:

Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter.Rangazas, Peter. ≈Schooling and Economic Growth: A King-Rebelo Experiment with

Human Capital∆, Journal of Monetary Economics, Oktober 2000,46(2), hal. 397-416.

c. Artikel dalam buku yang diedit orang lain: Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A.Frankel, Jeffrey A. dan Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.Rose, Andrew K.

≈Empirical Research on Nominal Exchange Rates∆, dalam Gene Grossman dan Kenneth

Rogoff, eds., Handbook of International Economics. Amsterdam: North-Holland, 1995,

hal. 397-416.

d. Kertas kerja (working papers):

Kremer, MichaelKremer, MichaelKremer, MichaelKremer, MichaelKremer, Michael dan Chen, DanielChen, DanielChen, DanielChen, DanielChen, Daniel. ≈Income Distribution Dynamics with Endogenous

Fertility∆. National Bureau of Economic Research (Cambridge, MA) Working Paper

No.7530, 2000.

e. Mimeo dan karya tak dipublikasikan: Knowles, JohnKnowles, JohnKnowles, JohnKnowles, JohnKnowles, John. ≈Can Parental Decision Explain

U.S. Income Inequality?∆, Mimeo, University of Pennsylvania, 1999.

f. Artikel dari situs WEB dan bentuk elektronik lainnya: Summers, RobertSummers, RobertSummers, RobertSummers, RobertSummers, Robert dan HestonHestonHestonHestonHeston, Alan

W. ≈Penn World Table, Version 5.6∆ http:// pwtecon.unpenn.edu/, 1997.

g. Artikel di koran, majalah dan periodicals sejenis: Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon.Begley, Sharon. ≈Killed by Kindness∆,

Newsweek, April 12, 1993, hal. 50-56.

11.Naskah harus disertai dengan biodata penulis, lengkap dengan alamat, telepon, rekening

Bank dan e-mail yang dapat dihubungi. Disarankan untuk menulis biodata dalam bentuk

CV (curriculum vitae) lengkap.