buku pengaturan penanaman modal di indonesia

Upload: hayatulilabror

Post on 07-Aug-2018

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    1/131

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    2/131

      1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Pengertian penanaman modal kadangkala menimbulkan perbedaan penafsiran.

    Sebagian pendapat menyatakan bahwa pengertian penanaman modal secara langsung

    (direct investment ) memiliki penafsiran yang sama dengan penanaman secara tidak

    langsung atau melalui pasar modal (indirect investment ).

    Salah satu contoh perbedaan penafsiran pengertian penanaman modal terlihat

     pada penyikapan terhadap pembelian 40% saham PT Indosat oleh perusahaan asing.

    Jika mengacu pada Peraturan BAPEPAM-LK Nomor IX.H.1, perusahaan asing

    tersebut diwajibkan melaksanakan penawaran tender. Permasalahannya, apakah

     perusahaan asing tersebut dapat memiliki saham lebih dari 49%. Sementara itu, jika

    mengacu pada Peraturan Presiden No.111 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha

    Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang

    Penanaman Modal, sektor telekomunikasi dan informatika penyeleggaraan jaringan

    telekomunikasi yang tetap, kepemilikan modal asing maksimal 49%.

    Untuk mengatasi perbedaan penafsiran tersebut, maka harus dilihat pada pengertian yang tercantum dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang

    Penananam Modal (selanjutnya disebut dengan UU PM). Pada bagian Penjelasan

    umum alinea kelima UU PM disebutkan "Undang-undang ini mencakupi semua

    kegiatan penanaman modal langsung di semua sektor" Selanjutnya, pada Pasal 2

    disebutkan, “ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku bagi penanaman modal di

    semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia”.

    Sementara itu, pada Penjelasan Pasal 2 UU PM menyebutkan bahwa yang

    dimaksud dengan “ penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik

    Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal

    tidak langsung atau portofolio.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    3/131

      2

    Ketentuan dalam UU PM yang juga dapat digunakan untuk menafsirkan

     pengertian tentang penanaman modal adalah batasan berlakunya UU PM. Dalam UU

    PM tidak mencakup investasi yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan

    di sektor minyak dan gas bumi, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna

    usaha, pertambangan dalam kontrak karya, perjanjian karya pengusahaan

     pertambangan batubara, investasi yang dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor,

    investasi portofolio (pasar modal) dan investasi rumah tangga.

    Penafsiran di atas dipengaruhi oleh kebijakan penanaman modal sebelumnya.

    Pada Pasal 2 Keputusan Presiden R.I No.17 Tahun 1986 tentang Persyaratan

    Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing Untuk

    Diberikan Perlakuan Yang Sama Seperti Perusahaan Penanaman Modal Dalam

     Negeri. Syarat-syarat agar modal asing mendapat perlakuan yang sama dengan modal

    dalam negeri adalah “perusahaan modal asing minimal 75% (tujuh puluh lima persen)

    sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional, atau; minimal 51% (lima

     puluh satu persen) sahamnya dijual melalui pasar modal, atau; minimal 51% (lima

     puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh negara dan/atau swasta nasional dan yang

    dijual melalui pasar modal, dengan ketentuan bahwa saham yang ditawarkan untukdijual melalui pasar modal tersebut minimal 20% (dua puluh satu persen). Jika

    memenuhi syarat tersebut, perusahaan modal asing diberikan perlakuan sama seperti

     perusahaan yang dibentuk dalam rangka Undang-Undang No.6 Tahun 1968 tentang

    Penanaman Modal.

    Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, dapat dinyatakan bahwa kebijakan

     penanaman modal Indonesia pada masa sebelumnya sampai dengan lahirnya UU PM,

    memberikan pengertian yang berbeda antara penanaman modal langsung dengan

     penanaman tidak langsung atau penanaman melalui pasar modal.

    Dalam rangka lebih memberikan kepastian hukum, maka dalam perubahan

    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal perlu dirumuskan

     perbedaan yang jelas dan tegas pengertian penanaman modal yang secara langsung

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    4/131

      3

    dengan penanaman modal melalui pasar modal. Dengan demikian tidak terjadi multi

    tafsir terhadap pengertian penanaman modal.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    5/131

      4

    BAB II

    BENTUK-BENTUK PERUSAHAAN

    PENANAMAN MODAL

    Dalam melakukan kegiatan penanaman modal diperlukan suatu bentuk badan

    usaha. Pilihan bentuk badan usaha akan mempengaruhi terhadap pengembangan

    usaha, bentuk pertanggung jawaban, akses permodalan, pembagian keuntungan,

     pembubaran perusahaan, dan lain-lain.

    Bentuk perusahaan dalam penanaman modal dibedakan antara pemodal asing

    dan pemodal dalam negeri. Ketentuan ini diatur pada bab IV Pasal 5 UU PM, yang

     berbunyi:

    1)  Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha

    yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha

     perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    2)  Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan

    hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara RepublikIndonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.

    3)  Penanam modal dalam negeri dan asing yang melakukan penanaman

    modal dalam bentuk perseoran terbatas dilakukan dengan:

    a.  mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas;

     b.  membeli saham; dan

    c.  melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

    undangan.

    Pengertian di atas mengandung makna bahwa penanaman dalam negeri

    dalam melakukan investasi dapat membentuk badan hukum atau tidak berbadan

    hukum. Sedangkan bagi penanaman modal asing wajib berbadan hukum yang

     berbentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia. Selain itu, baik penanam

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    6/131

      5

    modal dalam negeri maupun asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk

     perseroan terbatas dapat dilakukan dengan mengambil bagian saham atau membeli

    saham.

    Dengan demikian, Pasal 5 ayat (2) UU PM mensyaratkan penanaman modal

    asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan

     berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, bukan dalam bentuk CV

    atau bentuk yang lain. Dasar hukum pembentukan PT mengacu pada Undang-Undang

     Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) sebagai pengganti

    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

    Pembentukan PT sebagai pilihan dalam melakukan usaha dipengaruhi oleh

     perkembangan PT dalam perekonomian di banyak negara. Secara historis PT telah

    ikut meningkatkan taraf hidup bangsa Indonesia, baik melalui penanaman modal

    asing maupun penanaman modal dalam negeri, sehingga PT merupakan salah satu

     pilar pekonomian nasional.

    Pertimbangan lain dipilihnya PT sebagai bentuk perusahaan dibandingkan

    dengan bentuk yang lain adalah PT merupakan asosiasi modal dan sekaligus sebagai

     badan hukum yang mandiri. Sebagai asosiasi modal maka ada kemudahan bagi pemegang saham PT untuk mengalihkan sahamnya kepada orang lain, sedangkan

    sebagai badan hukum yang mandiri berdasarkan UU PT menentukan bahwa

     pertanggungjawaban pemegang saham hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki.

    Unsur pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham PT tersebut

    merupakan faktor yang penting sebagai pendorong bagi kesediaan para calon

     penanam modal untuk menanamkan modalnya dalam PT. Perusahaan yang berbentuk

    PT secara fungsional dituntut memberikan nilai tambah (value added ), baik

     berbentuk financial return bagi para pemegang saham ( shareholders) maupun social-

    welfare, yang sekurang-kurangnya value added bagi stakeholders.

    Pertimbangan yang sangat menonjol orang lebih memilih PT sebagai bentuk

    hukum bagi kegiatan bisnisnya adalah dikarenakan pemegang saham PT hanya

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    7/131

      6

     bertanggung jawab sebesar nilai saham yang diambilnya dan tidak meliputi harta

    kekayaan pribadinya.

    UU PT menegaskan prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dengan

    menetapkan bahwa pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas

     perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian

     perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya.

     Namun demikian prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham tidak

     berlaku mutlak. Dalam hukum positif Indonesia, kemungkinan untuk mengecualikan

     prinsip tanggung jawab terbatas tersebut dimungkinkan jika: (a) persyaratan

     perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; (b) pemegang saham

    yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk

    memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi; (c) pemegang

    saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan

    oleh perseroan; (d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

    langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang

    mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang

     perseroan.Organ PT yang memiliki kedudukan strategis adalah Direksi. Direksi dituntut

    untuk menjadi organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan PT

    untuk kepentingan dan tujuan PT serta mewakili baik di dalam maupun di luar

     pengadilan.

    Secara umum Direksi merupakan agent dari PT. UUPT menetapkan hal

    demikian dalam pasal-pasal berikut:  pertama, Pasal 1 butir 4 jo. Pasal 82 UUPT,

    yang berbunyi: “Direksi merupakan organ perseroan yang bertanggung jawab penuh

    atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili

     perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan

    Anggaran Dasar”.  Kedua, Pasal 79 ayat (1) UUPT yang berbunyi “Kepengurusan

     perseroan dilakukan oleh Direksi”. Ketentuan ini, sebagaimana disebutkan dalam

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    8/131

      7

     penjelasannya, adalah menugaskan Direksi untuk mengurus perseroan yang antara

    lain meliputi pengurusan sehari-hari dari perseroan.

    Selain Direksi, karyawan (officer ) atau orang lain juga diberikan

    kemungkinan untuk mewakili PT (agent ). Berkenaan dengan hal tersebut, UUPT

    membatasi dengan ketentuan bahwa kemungkinan tersebut diberikan dengan kuasa

    tertulis dari Direksi kepada 1 (satu) orang karyawan PT atau lebih atau orang lain

    untuk dan atas nama PT melakukan perbuatan hukum tertentu.

    Dalam hal ini Direksi bertindak selaku  principal   dari karyawan atau orang

    lain yang diberi kuasa. Berkenaan dengan ketentuan mengenai agent , UU PT tidak

    mengaturnya secara lebih lanjut, tetapi aturan mengenai kewenangan mewakilkan

    dari Direksi selaku principal  diatur dalam masing-masing Anggaran Dasar PT yang

     bersangkutan, dan itupun terbatas hanya mengenai pengangkatan dan pemberhentian

     pegawai, pemberian penghargaan atau pengenaan sanksi. Berkaitan dengan

     pelaksanaan prinsip GCG, seharusnya terdapat penetapan sistem yang resmi dan

    transparan bagi pengangkatan pegawai, penetapan gaji dan penilaian yang adil atas

    kinerja pegawai.

    Selanjutnya UU PT menetapkan kewajiban Direksi dan Komisaris untukdengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan

    dan usaha perseroan. Keduanya dapat digugat ke pengadilan bilamana atas dasar

    kesalahan dan kelalaiannya menimbulkan kerugian pada PT. Untuk anggota Direksi

    terdapat tambahan ketentuan bahwa jika melakukan kesalahan atau kelalaiannya

    tersebut dapat dituntut pertanggungjawaban penuh secara pribadi. Begitu pula dalam

    hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan kekayaan PT

    tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota

    Direksi bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian dimaksud.

     Namun untuk mendukung terlaksananya prinsip-prinsip Good Corporate

    Covernance (GCG), ketentuan-ketentuan yang dimuat UU PT tersebut di atas masih

    menghadapi kendala. Karena, ketentuan UU PT dimaksud baru menjelaskan

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    9/131

      8

    tanggung jawab Direksi secara umum, yang secara teoritis lahir dari hubungan antara

    PT dengan Direksi yang merupakan hubungan yang didasarkan atas kepercayaan

    ( Fiduciary of Relationship).

    Bila hanya berpegang pada ketentuan UU PT, dapat menimbulkan

     permasalahan dalam menentukan kapan dan bagaimana Direksi dianggap telah

    melanggar prinsip-prinsip GCG. Hal ini mengingat adanya justifikasi dan fleksibilitas

    yang diberikan kepada Direksi dalam melaksanaan tugas dan wewenangnya. Secara

    konseptual fleksibilitas ini dikenal sebagai the Business Judgement Rule.

    Berdasarkan prinsip ini, Direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab secara pribadi

    sekalipun tindakannya mengakibatkan kerugian pada PT, baik karena salah

     perhitungan atau hal lain di luar kemampuan yang menyebabkan kegagalan dari

    tindakan tersebut, dengan syarat tindakan tersebut dilakukan dalam kerangka

    keputusan bisnis yang tulus dan dibuat berdasarkan itikad baik.

    Dalam prakteknya ada penyalahgunaan fungsi PT, misalnya munculnya

     praktik-praktik pendirian PT yang hanya dimaksudkan sebagai “paper company”,

    yakni suatu perusahaan yang di atas kertas berbentuk PT, namun hanya bertujuan

    sebagai penarik dana pinjaman bagi perusahaan lain dalam satu kelompok untukmengelabui peraturan perundang-undangan.

    Pada sisi lain, dalam prakteknya ada kemungkinan badan hukum asing yang

    ”beroperasi” di Indonesia tidak menggunakan PT. Berdasarkan Pasal 2 Ayat (5)

    Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan yang telah mengalami berbagai

     perubahan, perubahan terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang

    Pajak Penghasilan, badan usaha tersebut dapat berbentuk, (a) sebagai tempat

    kedudukan manajemen, (b) cabang perusahaan, (c) kantor perwakilan, (d) gedung

    kantor, (e) pabrik, (f) bengkel, (g) gudang, (h) ruang untuk promosi dan penjualan, (i)

     pertambangan dan penggalian sumber alam, (j) wilayah kerja pertambangan minyak

    dan gas bumi, perikanan, peternakan,pertanian, perkebunan, dan kehutanan, proyek

    konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan, pemberian jasa dalam bentuk apa pun

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    10/131

      9

    oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam

     jangka waktu 12 bulan, orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukan

    tidak bebas, agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan

    tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau

    menanggung risiko di Indonesia.

    Ketentuan lain yang mengatur tentang pembentukan kantor perwakilan asing,

    antara lain;  pertama, Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2000 tentang kantor

    Perwakilan Wilayah Perusahaan Asing dan Surat Keputusan Ketua BKPM No.

    22/SK/2001 tentang Ketentuan Pelaksanaan Keppres No. 90 Tahun 2000 tentang

    Kantor Perwakilan Perusahaan Asing); kedua, menjadi mitra asing dalam eksplorasi

     pertambangan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang

    Pertambangan, Mineral, dan Batu Bara. Ketiga, menjadi kontraktor proyek.

    Dalam konteks proses pendirian dari suatu PT yang merupakan penanaman

    modal asing sedikit berbeda dengan pendirian PT biasa. Ada beberapa proses awal

    yang mesti dilalui dan beberapa instansi pemerintah yang terkait sehubungan dengan

     penanaman modal asing ini, seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM),

    Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.Proses untuk mendirikan PT yang merupakan penanaman modal asing (PT

    PMA) mengacu kepada Surat Keputusan BKPM No. 38 Tahun 1999 Tanggal 6

    Oktober 1999 (Skep BKPM). Proses tersebut dimulai dengan menyampaikan

     permohonan penanaman modal asing kepada BKPM. Bentuk surat permohonan ini

    (formulir Model I PMA) sudah ada standarnya yang dapat diperoleh di toko buku

    atau di BKPM. Formulir Model I PMA ini merupakan lampiran dari Skep BKPM di

    atas.

    Tahap selanjutnya setelah surat persetujuan BKPM diterbitkan adalah

    mempersiapkan anggaran dasar perusahaan PMA. Anggaran dasar PMA tersebut

    disampaikan melalui Notaris kepada Menteri hukum dan Hak Asasi Manusia untuk

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    11/131

      10

    mendapatkan pengesahan. Setelah pengesahan diperoleh, PT PMA diumumkan dalam

     berita negara RI.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    12/131

      11

    BAB III

    PERUSAHAAN JOINT VENTURE

    DALAM PENANAMAN MODAL

    Badan usaha dalam rangka kegiatan penanaman modal dapat membentuk

     perusahaan  joint venture. Struktur kerja sama bisnis berdasarkan  joint venture 

    masing-masing pihak akan mengatur permasalahan kontrol dan tanggung jawab

    operasi usaha. Dimulai dengan perhitungan besaran kontrol dari jumlah perbandingan

     penyertaan modal saham. Hasilnya adalah komposisi pemilikan saham dari para

     pemegang saham. Ada pemegang saham mayoritas dan ada minoritas. Biasanya

    investor/pihak Indonesia menjadi pemegang saham minoritas. Komposisi pemilikan

    saham seperti ini diterapkan langsung dan seketika di tingkat kebijakan kontrol pada

    rapat umum pemegang saham (RUPS) sebagai organ dengan kekuasaan tertinggi.

    Pelaksanaan atas keputusannya didasarkan pada perhitungan hak suara dengan

    ketentuan satu saham adalah satu hak suara.

    Tingkat kebijakan kontrol kedua ada pada komposisi susunan direksi sebagai pengurus dan komisaris sebagai pengawas. Komposisi susunan di tingkat tersebut

    merefleksikan “kebijakan kontrol” atas komposisi pemilikan saham. Jika pemilikan

    saham 70% asing dan 30% Indonesia, berapa pun jumlah anggota direksi dan

    komisaris yag disepakati akan merefleksikan perbandingan yang sama. Area

    tanggung jawab di tingkat direksi pun biasanya terimbas. Dalam kasus dengan asumsi

    tersebut, posisi direktur utama dan direktur keuangan biasanya menjadi posisi

    strategis dan milik pihak asing.

    Dalam kegiatan perekonomian,  Joint Venture adalah suatu unit terpisah yang

    melibatkan dua atau lebih peserta aktif sebagai mitra. Kadang-kadang juga disebut

    sebagai aliansi strategis, yang meliputi berbagai mitra, termasuk organisasi nirlaba,

    sektor bisnis dan umum.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    13/131

      12

    Menurut Erman Rajagukguk ialah suatu kerja sama antara pemilik modal

    asing dengan pemilik modal nasional berdasarkan perjanjian, jadi pengertian tersebut

    lebih condong pada joint venture yang bersifat internasional.1 

    Kedua pengertian tersebut mempunyai satu kesepakatan bahwasanya  joint

    venture ialah suatu perjanjian, maka harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian

    menurut ketentuan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Namun dalam pengaturan  joint

    venture tersebut berada di luar KUH Perdata, karena joint venture termasuk ke dalam

     perjanjian yang tidak bernama serta tidak diatur dalam KUH Perdata.

    Unsur-unsur yang terdapat dalam  joint venture  ialah: kerjasama antara

     pemilik modal asing dan nasional, membentuk perusahaan baru antara pengusaha

    asing dan nasional, didasarkan pada kontraktual atau perjanjian.

    Akan tetapi tidak semua usaha wajib didirikan  joint venture  antara pemilik

    modal asing dengan pemilik modal nasional. Jenis perjanjian  joint venture  juga

    dimungkinkan joint venture domestik. Joint venture domestik didirikan antara

     perusahaan yang terdapat di dalam negeri dan joint venture Internasional yang

    didirikan di Indonesia oleh dua perusahaan dimana salah satunya perusahaan asing.

    Dalam perkembangannya, pemerintah mengharuskan perusahaan penanamanmodal asing membentuk perusahaan  joint venture. Hal ini terjadi setelah peristiwa

    Malari. Sebelumnya, pembentukan perusahaan  joint venture  bukanlah sesuatu yang

     bersifat imperatif dan tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang No.1 Tahun

    1967 tentang Penanaman Modal Asing. Namun demikian, bentuk perusahaan  joint

    venture  secara implisit dapat dilihat pada Pasal 23 Undang-Undang No. 1 Tahun

    1967 tentang Penanaman Modal Asing.

    1.  Dalam bidang-bidang usaha yang terbuka bagi modal asing dapat diadakan

    kerjasama antara modal asing dengan modal nasional.

    2.  Pemerintah menetapkan lebih lanjut bidang-bidang usaha, bentuk-bentuk dan

    cara-cara kerjasama antara modal asing dan modal nasional dengan

    1 Erman Rajagukguk, Hukum Penanaman Modal di Indonesia (Jakarta: Universitas Al AzharIndonesia, 2008)

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    14/131

      13

    memanfaatkan modal dan keahlian asing dalam bidang ekspor serta produksi

     barang-barang dan jasa-jasa.

    Ketentuan yang menunjukkan bahwa pembentukan perusahaan  joint venture 

     bukan suatu keharusan juga dapat dilihat pada Pasal 27 UU PMA, yang berbunyi:

    1.  Perusahaan yang seluruh modal adalah modal asing wajib memberi

    kesempatan partisipasi bagi modal nasional secara efektif setelah jangka

    waktu tertentu dan menurut imbangan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

    2.  Jikalau partisipasi termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan

     penjualan saham-saham yang telah ada maka hasil penjualan tersebut dapat

    ditransfer dalam valuta asli dari modal asing yang bersangkutan.

    Pada bagian penjelasan UU PMA, dapat dilihat pada penjelasan Pasal 8, yang

     berbunyi: untuk memperlancar pelaksanaan pembangunan ekonomi maka Pemerintah

    menentukan bentuk-bentuk kerjasama antara modal asing dan modal nasional yang

     paling menguntungkan untuk tiap bidang usaha. Mungkin bentuk kerjasama ini

     berwujud kontrak karya, joint venture atau bentuk lainnya.

    Ketentuan lebih lanjut yang menunjukkan perusahaan  joint venture  bukan

    suatu keharusan dapat dilihat pada Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967tentang Pemberian Perangsang-Perangsang Khusus Bagi Penanaman Modal Asing

    Yang Mengadakan Kerjasama Modal Inodonesia Dalam Bentuk  Joint Enterprises.

    Ketentuan yang memberikan perangsang jika perusahaan asing berbentuk  joint

    venture menunjukkan bahwa perusahaan joint venture pada dasarnya bersifat sukarela

    dan pemerintah hanya mendorong agar perusahaan modal asing membentuk

     perusahaan joint venture dengan memberikan insentif.

    Menurut Instruksi Presidium Kabinet No. 36/U/IN/6/1967, suatu perusahaan

     joint venture  dapat dibebaskan dari kewajiban untuk menanam modal sebesar

    minimum 2,5 juta dollar untuk mendapatkan pembebasan pajak perseroan dan pajak

    deviden. Selain itu, perusahaan yang berbentuk  joint venture  dapat diberikan lagi

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    15/131

      14

    tambahan pembebasan pajak perseroan dan pajak deviden selama satu tahun dengan

    ketentuan jumlah pembebasan kedua pajak tidak akan melebihi lima tahun.2 

    Ketentuan UU PMA yang menyebutkan terbukanya kerjasama antara modal

    asing dan modal nasional ditafsirkan sebagai tidak adanya suatu keharusan bagi

    investor asing untuk mengadakan kerjasama dengan pengusaha Indonesia. Ketentuan

    tersebut menunjukkan pada dasarnya pemerintah tidak mewajibkan perusahaan

     penanaman modal asing membentuk perusahaan  joint venture  tetapi hanya

    mendorong kerjasama tersebut, baik kerjasama pengusaha asing dengan swasta

    Indonesia atau pemerintah, dengan memberikan perangsang tambahan berupa

     pembebasan pajak perusahaan dan pajak keuntungan.3 

    Pada waktu itu, Pemerintah mendorong penanaman modal asing membentuk

     perusahaan  joint venture, terutama pada sektor-sektor yang produksinya belum

    mencukupi kebutuhan dalam negeri, sektor-sektor yang memperluas ekspor, sektor-

    sektor yang membuka kesempatan kerja yang cukup besar, sektor-sektor yang

    memungkinkan pengalihan keterampilan dan teknologi dan sektor-sektor untuk

    memelihara keseimbangan kualitas tata lingkungan.

    Pada tanggal 15 Januari 1974, bertepatan dengan kedatangan Perdana Menterikedatangan Perdana Menteri Kakuei Tanaka, Jakarta dilanda demonstrasi dan

    kerusuhan-kerusuhan. Kerusuhan tersebut telah menimbulkan pembakaran-

     pembakaran terutama terhadap mobil-mobil buatan Jepang. Hanya satu minggu

    setelah peristiwa 15 Januari 1974, Pemerintah mengumumkan kebijaksanaan baru

    dalam penanaman modal asing. Berdasarkan Keputusan Sidang Dewan Stabilisasi

    Ekonomi Nasional yang diselenggarkan 22 Januari 1974, penanaman modal asing di

    Indonesia harus berbentuk joint venture dengan modal nasional.

    2  Instruksi Presidium Kabinet No.36/U/IN/1967 Tentang Pemberian Perangsang-Perangsang Khusus Penanaman Modal Asing yang Mengadakan Kerjasama Dalam BentukJoint Eenterprises tertanggal 3 Juni 1967.

    3 Erman Rajagukguk, Indonesianisasi Saham, (Jakarta : Bina Aksara, 1985) hal. 11.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    16/131

      15

    Keputusan ini ditindaklanjuti dengan beberapa peraturan pelaksana, yaitu

    Surat Edaran Ketua BKPM No.B-1195/A/BK/X/1974. Kebijakan ini menentukan

     perbandingan jumlah saham antara pihak asing dengan modal nasional yaitu setelah

    10 tahun, perbandingannya saham nasional minimal 51% sementara pihak asing

    maksimal 49%.4 

    Ketentuan ini akhirnya tidak berlaku lama, karena telah keluar Keputusan

    Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam

    Perusahaan Penanaman Modal Asing. Dalam ketentuan ini, perusahaan penanaman

    modal asing harus berbentuk patungan dengan penyertaan modal nasional minimal

    20% dan meningkat menjadi paling kurang 51% dalam waktu 15 tahun.5  Namun

    demikian, penyertaan modal nasional tidak harus dilakukan untuk perusahaan

     penanaman modal asing yang berlokasi di kawasan berikat dan mengekspor 100%

    hasil produksinya dapat didirikan dengan penyertaan nasional 5% atau lebih tanpa

    keharusan peningkatan saham nasional.6 

    Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal No.5/SK/1987

    diperbarui dengan Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal

     No.08/SK/1989 tanggal 5 Mei 1989. Berdasarkan Ketua BKPM ini, perusahaan penanaman modal asing yang mengekspor 100% hasil produksinya dan berlokasi di

    kawasan berikat atau yang memiliki status entreport partikelir dapat didirikan dengan

     penyertaan nasional 5% atau lebih tanpa keharusan peningkatan saham nasional.

    Keputusan BKPM ini juga mengarahkan terjadinya perlakuan yang sama

    antara perusahaan penanaman modal asing dengan perusahaan penanaman modal

    dalam negeri. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang menyebutkan:  pertama,

    4  Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

    5  Pasal 1 Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan PemilikanSaham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

    6  Pasal 2 Keputusan Ketua BKPM No.5/SK/1987 tentang Persyaratan PemilikanSaham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    17/131

      16

     perusahaan penanaman modal asing yang menjual sahamnya minimal 20% melalui

     pasar modal sebagai saham atas nama sehingga minimal 45% sahamnya dimiliki oleh

    negara dan/atau swasta nasional diberi perlakuan yang sama seperti Perusahaan

    Penanaman Modal Dalam Negeri sehingga tidak diwajibkan meningkatkan saham

    nasionalnya menjadi sekurang-kurangnya 51%.

     Kedua, Perusahaan penanaman modal asing juga tidak diwajibkan

    mengikutsertakan partisipasi nasional, jika memenuhi beberapa persyaratan. Hal ini

    dapat dilihat dari Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal

     No.16/SK/1989 tanggal 24 Oktober 1989 tentang Perubahan dan Tambahan

    Keputusan Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 5/SK/1987 tentang

    Persyaratan Pemilikan Saham Nasional Dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing.

    Pasal 1 menyebutkan bahwa perusahaan penanaman modal asing dapat didirikan

    dengan penyertaan saham seluruhnya 100% (seratus persen) dimiliki oleh peserta

    asing, dengan syarat: berlokasi di Pulau Batam yang merupakan suatu kawasan

     berikat, seluruh 100% hasil produksinya untuk diekspor dan dalam waktu 5 (lima)

    tahun sesudah berproduksi secara komersial paling sedikit 5% dari sahamnya di jual

    kepada mitra usaha nasional, tanpa keharusan peningkatan saham nasional.Pengaturan penanaman modal asing diharuskan membentuk perusahaan  joint

    venture  juga dapat dilihat pada Surat Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana

    Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 15/SK/1994 tentang

    Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam

    Rangka Penanaman Modal Asing. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa penyertaan

    modal saham dalam perusahaan patungan yang didirikan dalam rangka penanaman

    modal asing, ditetapkan atas dasar kesepakatan para pihak dalam pendirian

     perusahaan patungan tersebut. Kewajiban mendirikan perusahaan patungan

    diperuntukkan pada sektor-sektor tertentu. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 8 ayat (1)

    yaitu, bidang pelabuhan; produksi, transmisi dan distribusi tenaga listrik untuk

    umum; telekomunikasi; pelayaran; penerbangan; air minum; kereta api umum;

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    18/131

      17

     pembangkit tenaga atom; dan mass media. Ayat (2) menyebutkan bahwa perusahaan

     patungan didirikan dengan modal saham perusahaan yang disetor dan ditempatkan

    sekurang-kurangnya 5% (lima perseratus) dari jumlah modal saham perusahaan

    diambil bagian oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang

    seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan/atau warga negara Indonesia.

    Berdasarkan perkembangan pengaturan tentang  joint venture  di Indonesia,

    keharusan bagi penanam modal asing agar berbentuk  joint venture dilakukan dengan

     pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut.7 

     Pertama, Peningkatan modal dalam bentuk modal kerja ataupun modal

    investasi untuk mesin-mesin, peralatan-peralatan  spareparts, dan lain-lain. Hal ini

    dapat terjadi karena bentuk usaha joint venture merupakan jenis usaha baru, sehingga

    akan membawa modal baik yang berupa modal kerja ataupun modal investasi.

     Kedua, dengan keahlian dan pengalaman terbatas di bidang “ processing ” dari

     barang-barang yang selama ini hanya dikenal sebagai “barang jadi”, para pengusaha

    nasional dapat mempertahankan fungsi dagangnya dan dapat mengambil alih fungsi-

    fungsi teknologis dari pihak investor asing pada suatu waktu tertentu.

     Ketiga, investor asing ikut serta dalam  joint venture  dalam usaha untukmendapatkan saluran-saluran distribusi di daerah-daerah dimana jaringan-jaringan

    distribusi yang telah ada tidak dapat mencapainya.

     Keempat , dengan adanya keharusan investasi asing berbentuk  joint venture,

    maka perusahaan asing tersebut akan berusaha untuk menjaga hubungan yang baik

    dengan pemerintah setempat, sehingga pemerintah dapat membantu dengan

    memberikan kemudahan-kemudahan dalam usaha atau tidak menghambat berbagai

     proyek perusahaan. Peluang ini juga didukung dengan adanya fakta bahwa

     perusahaan lokal mempunyai kelebihan untuk bisa mengatasi hambatan-hambatan

    7 Lihat Laurence J Brahm, Foreign Investment and Trade Law Invesment  (California: Stanford University Press, 2000) hal.74.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    19/131

      18

    dalam birokrasi dan lebih jauhnya dapat mempengaruhi birokrasi sesuai dengan

    tujuan atau kepentingan perusahaannya.

    Pada waktu itu, ketentuan mengenai keharusan peningkatan penyertaan modal

    nasional merupakan sesuatu yang wajar, oleh karena sering dominasi modal asing

    dilihat sebagai simbol penguasaan ekonomi oleh negara-negara industri yang maju,

    yang dianggap sebagai ancaman terhadap otonomi dan kedaulatan bangsa-bangsa

    sedang berkembang. Misalnya, di Amerika Latin, Mexico adalah negara yang juga

    mewajibkan para investor asing untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan-

     perusahaan Mexico, dimana penanaman modal asing hanya memegang posisi

    kepemilikan minoritas. Sebelumnya, Mexico menerapkan kebijakan penanaman

    modal asing yang liberal.8 

    Perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dalam membentuk

     perusahaan  joint venture di Indonesia dapat bermitra dengan, pribumi, non pribumi

    dan perusahaan negara. Dalam kenyataannya, perusahaan  joint venture  seringkali

    agak sukar untuk mengetahui apakah partner Indonesia adalah pribumi atau non-

     pribumi. Karena, pada dasarnya modal milik non pribumi dan pengusaha-pengusaha

     pribumi hanya bertindak sebagai wakil. Perusahaan ini dikenal dengan nama“perusahaan Ali Baba”.

    9  Perusahaan Ali (pengusaha pribumi) bertugas untuk

    memperoleh lisensi dan Baba (Cina peranakan atau totok ) menyediakan modal dan

    keahlian usaha. Perusahaan Ali Baba sudah ada sejak tahun 1950, tetapi jumlahnya

    meningkat pesat pada masa Kabinet Ali pertama. Praktek kepemilikan saham seperti

    ini dilakukan melalui nominee. Pada satu pihak yang oleh karena sesuatu

     pertimbangan tidak dapat atau dapat tetapi tidak menjadi pemilik saham pada suatu

     perseroan menggunakan pihak lain sebagai nominee-nya. Pengertian tidak dapat

    digambarkan dengan suatu keadaan dimana pihak-pihak tertentu, berdasarkan

    8  Said El-Nagar (ed),  Investment Policies in The Arab Countries  (InternationalMonetery Fund: 1990) hal. 75.

    9  Charles Himawan, The Foreign Investment Process in Indonesia  (Singapore:Gunung Agung, 1980) hal.230.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    20/131

      19

    ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak dibenarkan menjadi

     pemegang saham pada perseroan tertentu (misal PT lokal atau PT PMDN). Dalam

    keadaan yang lain, pihak-pihak tertentu sebenarnya dapat menjadi pemegang saham

    PT Indonesia tertentu karena yang bersangkutan warga negara Indonesia, namun

    dengan berbagai pertimbangan (diantaranya menghindari  public exposure  yang

     berkelebihan) memutuskan tidak mau memunculkan nama sendiri sebagai pemegang

    saham pada suatu perseroan, namun memilih sebaiknya dan menggunakan nominee 

    mewakili kepentingannya.10 

    Pemerintah Indonesia mengharapkan agar partner asing dapat menemukan

     partner pribumi dalam perusahaan-perusahaan joint venture secara seimbang. Namun,

    dengan kekecualian perusahaan-perusahaan negara, bukan pengusaha pribumi yang

    menanamkan modalnya, melainkan perusahaan “Ali-Baba” yang lebih banyak

     berperanan dalam perusahaan-perusahaan  joint venture. Praktek- praktek “Ali Baba”

    merupakan sesuatu hal yang biasa bukan hanya dalam kasus perusahaan asing, tetapi

     juga diantara perusahaan-perusahaan yang dimiliki orang-orang setempat, sebagai

    contohnya perusahaan-perusahaan pribumi yang sangat terbatas secara efektif

    dikendalikan oleh kelompok-kelompok non pribumi. Pada tahun 1950 ada cerita yang popular di kalangan rakyat Indonesia mengenai seorang bernama Ali Baba, seorang

    cerdik dan banyak akalnya dan sudah terbiasa mempermainkan raja dan

    memperalatnya untuk cepat kaya dan memperoleh kekuasaan.

    Pemerintah menyadari adalah tidak mudah untuk menemukan pengusaha-

     pengusaha pribumi mampu mengambil bagian dalam saham-saham joint venture,

    sekalipun sebagai pemegang saham minoritas. Oleh karenanya, pemegang saham

    kosong untuk pengusaha-pengusaha pribumi merupakan praktek umum. Dalam

     banyak hal, partner asing meminjamkan uang kepada partner lokal untuk

     penyertaannya dalam  joint venture. Pinjaman mana diharapkan akan dapat dibayar

    dari keuntungan yang diperoleh kemudian hari. Kadang-kadang partner lokal

    10  Felix Oentong Soebagjo,  Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan di Indonesia,(Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2006), hal.17.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    21/131

      20

    memasukkan panyertaannya dalam bentuk hak atas tanah yang dipakai dalam usaha

     joint venture tersebut. Bentuk lain dari penyertaannya adalah imbalan yang diberikan

     berdasarkan hubungan baik partner lokal dengan birokrasi, sehingga urusan-urusan

     perusahaan dengan birokrasi dapat diselesaikan dengan baik.

    Kebijakan pemerintah yang mengharuskan perusahaan penanaman modal

    asing membentuk perusahaan  joint venture setelah peristiwa Malari 15 Januari 1974

    tidak membawa hasil yang signifikan. Jumlah proyek penanaman modal asing dalam

     bentuk  joint venture  setelah tahun 1974 justru terus mengalami kemunduran, yaitu

    tahun 1974 berjumlah 126, tahun 1975 berjumlah 91, tahun 1976 berjumlah 43, tahun

    1977 berjumlah 34 dan tahun 1978 berjumlah 7.11 

    Di samping itu, kebijakan pemerintah yang bersifat restriktif tersebut,

    menyebabkan terjadinya penurunan perkembangan persetujuan penanaman modal

    asing. Setidak-tidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan tidak efektifnya kebijakan

    tentang pembentukan perusahaan joint venture, yaitu:

    Pertama, kesulitan menemukan partner Indonesia yang memiliki modal yang

    cukup besar untuk mengimbangi pemilik modal asing sehingga mencapai

     perimbangan sekurang-kurangnya 50:50.Kedua, persetujuan-persetujuan dalam perjanjian  joint venture  lebih banyak

    didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan ad hoc  bukan pertimbangan-

     pertimbangan yang bersifat jangka panjang, sehingga tidak membawa pengaruh yang

     berkesinambungan bagi pembangunan ekonomi.

    Ketiga, harapan pemerintah dan pengusaha swasta nasional bahwa semakin

     banyaknya joint venture pengusaha Indonesia akan menarik manfaat yang lebih besar

    dengan cara-cara produksi yang lebih modern, ternyata meleset dari yang

    diperkirakan sebelumnya, karena justru produksi yang lebih  shopisticated (modern)

    itu merupakan cara yang padat modal (capital insentive). 12 

    11 Badan Koordinasi Penanaman Modal, 197712  Sumantoro,  Aspek-Aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia. (Jakarta :

    Penerbit Binacipta,1977).hal.147.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    22/131

      21

    Selain tidak membawa hasil yang signifikan dalam peningkatan investasi,

    kebijakan yang yang mengharuskan perusahaan penanaman modal asing membentuk

     joint venture juga membawa dampak yang kurang kondusif bagi iklim investasi. Hal

    ini dapat dilihat dari pengaruh negatif kebijakan tersebut, yaitu:

    Pertama, membuka peluang terjadinya “creeping ” nasionalisasi. Pembentukan

     perusahaan  joint venture  merupakan hasil dari perasaan nasionalisme di bidang

     perekonomian. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan partisipasi nasional

     baik di sektor publik maupun swasta dalam pemilikan perusahaan-perusahaan

     penanaman modal asing dengan cara membatasi aktivitas perusahaan-perusahaan

    asing di sektor-sektor tertentu dan bentuk-bentuk larangan yang lain. Kebijakan ini

    dapat dikategorikan sebagai “creeping ” nasionalisasi atau erosi pemilikan dan kontrol

    terhadap manajemen dari perusahaan-perusahaan penanaman modal tersebut.13 

    Kedua, menyebabkan terjadinya benturan kepentingan partner asing dengan

     partner dalam negeri, karena masing-masing pihak merasa mendapat kerugian.

    Partner lokal merasa dirugikan karena tidak dapat menguasai sepenuhnya manajemen

     perusahaan karena harus dibagi dengan pihak asing yang lebih mempunyai

    kemampuan. Jika  joint venture  dilaksanakan oleh suatu MNC, maka strategi dan pasar akan ditentukan menurut cara-cara yang berlaku di dalam MNC tersebut. Selain

    itu, kebijakan training, alih teknologi dan manajemen juga tidak diberikan secara

    optimal.

    Ketiga, partner asing juga merasa dirugikan perusahaan penanaman modal

    asing harus berbentuk  joint venture. Hal ini dipengaruhi beberapa faktor, yaitu;

    manajemen tidak seluruhnya berada di tangannya melainkan harus dibagi

    kewenangannya dengan pihak domestik, teknologi harus terbuka bagi mitra lokal, dan

    strategi pemasaran dari barang-barang produksi mungkin tidak sepenuhnya dapat

    dikuasai karena tidak seluruhnya dapat disebarkan atau dipasarkan. Selain itu,

    13 Masao Sakurai,  Legal Problems of International Joint Ventures In Asia  (Tokyo :Institue of Developing Economies, 1980),hal. 97.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    23/131

      22

    seringkali perusahaan  joint venture  terjadi pertentangan kepentingan antara

     pemerintah penerima modal asing dengan penanam modal asing.

    BAB IV

    PENGATURAN BIDANG USAHA

    UNTUK PENANAMAN MODAL

    Pasal 12 ayat (1) UU PM menyebutkan bahwa semua bidang usaha atau jenis

    usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha

    yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Ada bidang-bidang yang

    tertutup karena alasan non-ekonomi dan ada bidang-bidang yang dibuka dengan

     persyaratan karena kepentingan nasional secara khusus.

    UU PM itu memberi kesempatan berusaha dengan kepastian hukum yang

    lebih kuat. Undang-undang ini pada dasarnya sebagai pendorong bagi penanaman

    modal. Dengan harapan adalah tambahan investasi yang lebih besar agar

     perekonomian bertambah baik. Pada gilirannya, pertambahan investasi dan dinamika

    ekonomi tersebut dapat menyelesaikan masalah pengangguran dan kemiskinan.Pada Penjelasan Pasal 12 Ayat (1): Bidang usaha atau jenis usaha yang

    tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan ditetapkan melalui Peraturan Presiden

    disusun dalam suatu daftar yang berdasarkan standar klasifikasi tentang bidang usaha

    atau jenis usaha yang berlaku di Indonesia, yaitu klasifikasi berdasarkan Klasifikasi

    Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dan/atau  Internasional Standard for

     Industrial Classification (ISIC)

    Selanjutnya, pada ayat 2, secara tegas undang-undang itu menyatakan

     beberapa bidang usaha yang tertutup karena alasan tertentu. Bidang usaha yang

    tertutup bagi penanam modal asing adalah: a) produksi senjata, mesiu, alat peledak,

    dan peralatan perang; dan b) bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup

     berdasarkan undang-undang.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    24/131

      23

    Mengingat semua bidang tidak bisa ditarik ke dalam bidang usaha ekonomi

    yang dikelola oleh penanam modal atau perusahaan, maka dengan pertimbangan-

     pertimnbangan strategis, pemerintah dapat menutup bidang usaha tersebut.

    Pada ayat 3, undang-undang itu menyebutkan: "Pemerintah berdasarkan

    Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal,

     baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral,

    kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan

    nasional lainnya."

    Presiden diberi kewenangan untuk membuat kebijakan itu dan mengatur

     bidang usaha. Pada Pasal 4 disebutkan: "Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang

    tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup

    dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan

    Presiden."

    Sementara itu, juga penting adalah bidang usaha yang terbuka dengan

     persyaratan. Disebutkan bahwa: "Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka

    dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan

    sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dankoperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi,

     partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk

    Pemerintah."

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini sangat

    memperhatikan kepentingan domestik. Faktor perlindungan sumber daya alam,

     perlindungan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi,

     pengawasan produksi dan distribusi, serta peningkatan kapasitas teknologi sudah

    didiskusikan sebagai hal penting untuk menjadi bagian dari kebijakan negara.

    Ketentuan ini oleh sebagian kalangan masyarakat dianggap bertentangan

    dengan Pasal 33 Ayat (2) dan (3) UUD 1945, karena Pasal 12 ayat (4) menyebutkan

     bahwa kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    25/131

      24

     persyaratan akan diatur dengan Peraturan Presiden. Ketentuan ini dianggap

    memberikan kebebasan penuh kepada Presiden untuk menentukan kriteria dan bidang

    usaha yang terbuka dengan persyaratan dalam suatu Peraturan Presiden. Di samping

    itu, menurut Pemohon, seharusnya bidang-bidang usaha yang terbuka dengan

     persyaratan harus disebutkan secara jelas dalam undang-undang a quo, sedangkan

    yang diatur dalam Peraturan Presiden hanyalah masalah-masalah teknis pengaturan.

    Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM

    tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat (2), (3) dan (5) Undang-Undang Dasar

     Negara Republik Indonesia Tahun 1945.14 

    Pemerintah mengemukakan beberapa alasan, bahwa bidang-bidang usaha

    yang masuk kriteria tersebut di atas diatur dengan Peraturan Presiden, dengan

     pertimbangan masalah tekhnis. Dengan Peraturan Presiden, dapat dikurangi atau

    ditambah, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ekonomi.15 

    Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa ketentuan tidak bertentangan UUD

    1945. Alasannya, kata-kata “berdasarkan undang-undang”, sama pengertiannya

    dengan “oleh undang-undang” Ketentuan Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM dapat

    dinyatakan sebagai konstitusional bersyarat (conditionally constitutional ).Keputusan Mahkamah Konstitusi telah sesuai dengan konstitusi, karena

    memang tidak ada muatan dalam Pasal 12 ayat (1), (3) dan (4) UU PM yang

     bertentangan dengan UUD 1945. Kekhawatiran bahwa dengan Peraturan Presiden

    akan memberi kesempatan yang besar kepada Presiden untuk menentukan bidang

    usaha yang tertutup atau terbuka, sangat tidak beralasan. Karena, penentuan bidang-

     bidang usaha tersebut telah “dipagari” dengan ketentuan yang lain, yaitu harus

    14  Lihat Keterangan Pemerintah pada Sidang Mahkamah Konstitusi, pada 3 November 2007.

     b15  Jawaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.IDalam Persidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 TentangPenanaman Modal Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,5 Desember 2007.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    26/131

      25

    melindungi sumber daya alam, mengembangkan UMKM dan dapat meningkatkan

    kapasitas teknologi.

    Ketentuan lebih lanjut mengenai daftar bidang usaha yang terbuka dengan

     persyaratan di bidang penanaman modal dapat dilihat dalam peraturan Presiden

     Nomor 77 Tahun 2007 dengan beberapa perubahan pada Peraturan Presiden No. 111

    Tahun 2007. Dalam peraturan presiden tersebut terdapat ketentuan bahwa pihak asing

    dapat menanamkan modalnya di Indonesia di bidang periklanan, karena bidang usaha

     periklanan tidak termasuk dalam bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal

    dalam negri dan penanaman modal asing [] 

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    27/131

      26

    BAB V

    PENANAMAN MODAL DI BIDANG PERTAMBANGAN

    Penanaman modal di bidang pertambangan, pada awalnya diatur dengan

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

    Pertambangan. Undang-undang tersebut sudah berlaku selama empat dasawarsa. Pada

    masa diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi

     pembangunan nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut

    yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan

    hukum, ekonomi dan politik.

    Pembangunan pertambangan menyesuaikan diri dengan perubahan

    lingkungan strategis, baik bersifat nasional maupun internasional. Untuk menghadapi

    tantangan lingkungan strategis telah disusun Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009

    Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba).

    UU Minerba diharapkan dapat memberikan landasan hukum bagi langkah-

    langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan

     pertambangan mineral dan batubara. Paling tidak UU ini memiliki 6 (enam)kelebihan dibandingkan dengan UU No. 11 Tahun 1967.16 

     Pertama, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan dilakukan melalui

     pemberian izin oleh pemerintah. Dengan pola ini, posisi negara berada di atas

     perusahaan pertambangan, sehingga negara memiliki kewenangan untuk mendorong

     perubahan kesepakatan bila ternyata merugikan bangsa Indonesia. Kewenangan ini

    tidak ditemukan dalam pola perjanjian kontrak karya. Pada pola ini, perusahaan

     pertambangan berada dalam posisi sejajar dengan negara sehingga perubahan atas

    kontrak hanya dapat dilakukan dengan kesepakatan kedua pihak.

     Kedua, undang-undang ini memperluas kewenangan pemerintah kota dan

    kabupaten dalam memberikan izin pertambangan. Artinya, pemerintah provinsi dan

    16 Lihat Bisnis Indonesia, Kamis 18 Desember 2008.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    28/131

      27

    kabupaten/kota juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin pertambangan di

    wilayahnya. Kewenangan tersebut memungkinkan daerah memiliki kesempatan

    untuk memperoleh penghasilan dari pengusahaan terhadap pertambangan minerba

    tersebut. Hal ini pada gilirannya akan dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat di

    daerah.

     Ketiga, mengakui kegiatan pertambangan rakyat dalam suatu wilayah

     pertambangan. Pengakuan ini penting mengingat selama ini kegiatan pertambangan

    rakyat dikategorikan liar dan ilegal, sehingga dilarang dengan ancaman hukuman

    yang cukup berat. Padahal, kegiatan ini sudah berlangsung lama dan dilakukan secara

    turun-temurun di sekitar lokasi pertambangan yang diusahakan, baik oleh BUMN

    maupun swasta.

     Keempat , UU Minerba mewajibkan perusahaan pertambangan yang sudah

     berproduksi untuk membangun pabrik pengolahan di dalam negeri. Kehadiran pabrik

    itu penting dalam upaya meningkatkan nilai tambah dari bahan tambang minerba,

    selain membuka lapangan kerja baru bagi rakyat Indonesia. Pembangunan pabrik

     pengolahan itu juga akan menimbulkan trickle down effect  bagi masyarakat di sekitar

    lokasi pabrik. Kondisi ini pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas ekonomi dankesejahteraan rakyat di sekitar lokasi pabrik.

     Kelima, UU Minerba ini juga mencantumkan batasan luas wilayah kegiatan

     pertambangan sebagai berikut : luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi mineral

    logam tidak melebihi 100.000 ha dan untuk operasi produksi mineral logam tidak

    melebihi 25.000 ha,17 luas wilayah pemegang IUP Eksplorasi batubara tidak melebihi

    50.000 ha dan untuk operasi produksi batubara tidak melebihi 15.000 ha,18  luas

    wilayah pemegang IUP Eksplorasi mineral non logam tidak melebihi 25.000 ha dan

    17 Lihat Pasal 50 dan Pasal 51Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral danBatubara .

    18  Lihat Pasal 59 dan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineraldan Batubara .

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    29/131

      28

    untuk operasi produksi tidak melebihi 5.000 ha,19, luas wilayah pemegang IUP

    Eksplorasi batuan tidak melebihi 5.000 ha dan untuk operasi produksi batubara tidak

    melebihi 1000 ha.20 

     Keenam, dalam UU Minerba beberapa ketentuan fiskal sebagai berikut, tarif

     perpajakan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke

    waktu/prevailing law,21  adanya kewajiban perpajakan tambahan sekitar 10%, yakni

    6% untuk pemerintah pusat dan 4% untuk pemerintah daerah,22  besaran tarif iuran

     produksi (royalty) ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi dan harga.23 

    Selain beberapa kelebihan di atas, UU Minerba ini juga membawa perubahan

    yang sangat fundamental, misalnya perubahan sistem Kontrak Karya (KK) dan

    Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi izin usaha

     pertambangan, masa peralihan bagi kontrak karya yang sedang berjalan, dan

    kewajiban pembangunan smelter (pengolahan) di dalam negeri. Sebelumnya,

     berdasarkan UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

    Pertambangan, pengusahaan dan pengelolaan pertambangan menggunakan pola

    kontrak karya. Dengan pola ini, manfaat yang diperoleh bangsa Indonesia dari

     pengusahaan dan pengelolaan pertambangan minerba dinilai tidak maksimal, karena posisi negara yang sejajar dengan perusahaan pertambangan. Padahal, negara

    merupakan pemilik seluruh deposit minerba yang ada di perut bumi Indonesia.

    Seluruh kekayaan tambang itu harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya

    kemakmuran rakyat Indonesia. Pada pasal 170 UU Minerba menyebutkan bahwa

    Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang telah

    19  Lihat Pasal 53 dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral

    dan Batubara .20  Lihat Pasal 56 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineraldan Batubara .

    21  Lihat Pasal 133 Ayat (3) dan Ayat (5), Pasal 136 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009Pertambangan Mineral dan Batubara .

    22 Lihat Pasal 134 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral danBatubara .

    23 Lihat Pasal 137 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2009 Pertambangan Mineral danBatubara .

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    30/131

      29

    ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu

     berakhirnya kontrak/perjanjian. UU tersebut juga mengatur bahwa meskipun KK dan

    PKP2B yang berjalan tetap berlaku, namun ketentuan-ketentuan yang tercantum di

    dalamnya harus disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU Minerba

    diberlakukan. Tapi tidak semua ketentuan yang disesuaikan, ketentuan yang terkait

     penerimaan negara tetap dipertahankan dan tidak perlu diubah.

    Sementara itu, Pasal 33 UU Minerba menyebutkan bahwa pengusahaan

     pertambangan yang sebelumnya menggunakan rezim kontrak dan perjanjian

    selanjutnya dilakukan melalui tiga bentuk, yaitu (a) Izin Usaha Pertambangan (IUP),

    (b) Izin Pertambangan Rakyat (IPR), dan (c) Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP).

    Bedanya, jika menggunakan bentuk kontrak dan perjanjian, maka pemerintah dan

     perusahaan tambang merupakan dua pihak yang setara. Dengan metode bentuk izin,

     posisi pemerintah bisa dikatakan lebih 'tinggi atau berkuasa' karena berlaku sebagai

     pihak yang memberi izin kepada perusahaan tambang untuk melakukan aktivitas

    tambang. Dengan begitu, pemerintah punya 'kuasa' untuk mencabut izin jika dirasa

     perlu melalui prosedur yang ada.

    Pemberian izin juga dibagi menjadi tiga, yaitu (a) untuk Izin UsahaPertambangan (IUP), izin diberikan kepada perusahaan tambang yang bisa

    melakukan pertambangan skala besar. (b) Izin Pertambangan Rakyat (IPR) diberikan

    untuk komunitas atau koperasi yang melakukan aktivitas pertambangan skala kecil.

    (c) Perjanjian Usaha Pertambangan (PUP) dilakukan perusahaaan tambang dengan

     badan pelaksana yang dibentuk pemerintah. Dalam sektor migas, badan tersebut

     bersifat seperti BP Migas. PUP diharapkan lebih memberikan kepastian hukum

    dibandingkan IUP dalam berusaha karena hingga saat ini Indonesia belum memiliki

     prevailling law system yang baik.

    Mengingat secara ekonomis, pengelolaan pertambangan di Indonesia dinilai

    kurang menguntungkan negara karena banyak produk tambang dalam negeri yang

    diekspor sebagai produk mentah, sehingga harganya murah. Setelah diolah di luar

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    31/131

      30

    negeri, banyak produk setengah jadi atau yang sudah jadi kembali diimpor ke

    Indonesia. Dengan begitu, nilai tambah produk-produk tambang justru dinikmati

    negara-negara lain. Maka dalam rangka meningkatkan pendapatan negara, maka UU

    Minerba menerapkan beberapa kewajiban bagi pemegang IUP dan PUP dalam

    melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri tercantum

     pada UU Minerba Pasal 110. Sementara itu, pada Pasal 171 disebutkan pelaksanaan

    ketentuan tentang pemurnian terhadap pemegang Kontrak Karya yang telah

     berproduksi dilaksanakan selambat-lambatnya 5 tahun sejak Undang-undang Minerba

    disahkan. Kelayakan suatu tambang juga harus menjadi pertimbangan dalam

    menentukan sejauh mana tingkat downstream  industri yang wajib dilakukan oleh

     perusahaan. Namun demikian, belum ada penjelasan rinci tentang penetapan batasan

    minimum suatu tambang telah menjalankan kewajiban pengolahan dan pemurnian

    dalam rangka peningkatan nilai tambah. Sebab jika tidak dibatasi tingkat minimum

    downstream  industri yang harus dijalankan dapat saja perusahaan tambang kembali

    menjual raw  material dalam bentuk bulk   yang tidak dapat dikategorikan sebagai

    komoditi.

    Selain itu jangka waktu 5 tahun untuk memenuhi kewajiban melakukan pengolahan di dalam negeri dinilai tidak efektif, mengingat pendirian pabrik harus

    mempertimbangkan berbagai hal, diantaranya kapasitas minimum, batasan teknologi,

    infrastruktur, energi, lokasi, biaya, sumber daya manusia, dan sebagainya.

    Dalam UU Minerba juga tercantum mengenai kewajiban pembangunan

     pengolahan (smelter) di dalam negeri. Hal ini ditetapkan untuk meningkatkan nilai

    tambah produk-produk tambang dalam negeri. Selain itu, undang-undang ini juga

    memperluas pemberian izin kepada perorangan selain badan usaha dan koperasi.

    Perluasan ketentuan ini akan mendorong penerbitan izin lebih banyak lagi. Saat ini

    sudah 8.375 KP diterbitkan pemerintah daerah.24  Mudahnya memperoleh izin

     pertambangan membuka kemungkinan penguasaan produksi oleh pihak luar. Pada

    24 Lihat Kompas, 19 Februari 2009.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    32/131

      31

    saat ini, China sudah menjadi investor bagi perusahaan lokal dan kemungkinan India

    akan segera menyusul. Selain upaya penguasaan saham perusahaan pertambangan

    seperti dilakukan Tata Power dengan mengakuisisi 30 persen saham PT Arutmin dan

    PT KPC, kerja sama dengan mendirikan perusahaan berbadan hukum Indonesia juga

    akan semakin banyak.

    Indonesia memiliki cadangan batu bara sekitar 120 miliar ton. Dalam lima

    tahun terakhir, produksi nasional naik signifikan. Tahun 2009 produksi batu bara

    nasional 250 juta ton, naik 175 juta ton dari produksi tahun 2004 sebesar 184,8 juta

    ton. Kenaikan produksi terutama disebabkan kenaikan permintaan dunia dan harga

     batu bara yang dipengaruhi kenaikan harga minyak. Dari total produksi tersebut, 190

     juta ton diekspor dan sisanya 60 juta ton digunakan untuk kebutuhan dalam negeri.

    Hanya dalam waktu satu tahun Indonesia menempati posisi pertama pengekspor batu

     bara, menggeser Australia. Konsumen utama Indonesia antara lain Jepang, Korea

    Selatan, Taiwan dan China.

    Perusahaan-perusahaan swasta yang memproduksi batu bara antara lain

     perusahaan yang memegang Perjanjian Karya Penguasaan Pertambangan Batu Bara

    (PKP2B), diikuti pemegang kuasa pertambangan (KP) sekitar 7 persen. Badan usahamilik negara hanya menyumbang 5 persen produksi nasional. Group Bumi Resources

    melalui dua anak usahanya, Kaltim Prima Coal (KPC) dan Arutmin Indonesia

    menempati urusan teratas dengan total produksi 58 juta ton diikuti Adaro Indonesia

    (41 juta ton) dan PT Tambang Batu Bara Bukit Asam (15 juta ton).25 

    Saat ini sektor pertambangan memiliki kaitan dengan 16 UU sektor lain dan

     berpotensi akan lebih banyak terjadi ketidaksinkronan. Hal ini disebabkan 16 UU

    sektor lain tersebut belum mengakomodasikan secara spesifik berkaitan dengan

    sektor pertambangan.

    Implementasi UU Minerba juga tidak berdiri sendiri tetapi harus dikaitkan

    dengan undang-undang lainnya seperti UU Kehutanan dan UU Lingkungan Hidup

    25 Lihat Kompas, 19 Februari 2010

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    33/131

      32

    yang berlaku. Penerapan undang-undang lainnya terkait dengan masalah

     perlindungan masyarakat korban yang terkena dampak usaha tambang. Berikut ini

    akan diperbandingkan sisi perubahan yang terkandung dalam undang-undang baru.

    Keterkaitan dengan undang-undang yang lain akan mempengaruhi bagaimana

    nanti implementasi yang lebih pasti dari UU Minerba ini dan bagaimana arah serta

    gambaran pengelolaan sektor pertambangan ke depan yang lebih pasti.

    Implementasinya akan sangat tergantung pada situasi, kondisi, dan kepentingan

     pengambil kebijakan pada saat peraturan pemerintah (PP) dan Perda dibuat.

    Pada dasarnya substansi UU No.4 Tahun 2009, berusaha menggunakan arah

     baru kebijakan pertambangan yang mengakomodasikan prinsip kepentingan nasional

    (national interest) , kemanfaatan untuk masyarakat, jaminan berusaha, desentralisasi

     pengelolaan dan pengelolaan pertambangan yang baik ( good mining practies). 

    Dengan sejumlah prinsip tersebut, maka dalam terjemahannya pada tingkat

    konstruksi pasal-pasal terdapat beberapa point maju meski disertai dengan cukup

     banyaknya klausul yang masih membutuhkan klarifikasi.

    Menguatnya Hak Penguasaan Negara (HPN), termasuk penguasaan SDA,

    Pemerintah menyelenggarakan asas tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus danmengawasi pengelolaan usaha tambang. Untuk itu dimulai dari perubahan sistem/rezim

    kontrak menjadi sistem/rezim perijinan. Dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana

    diterapkan selama ini berdasarkan UU No.11 Tahun 1967, posisi pemerintah tidak saja

    mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar

     juga merendahkan posisi Negara setara (level) kontraktor. Oleh sebab itu implikasi hukum

     perubahan sistem/rezim dalam undang-undang yang baru (UU Minerba) ini adalah

    mengembalikan asas HPN pada posisi secara ketatanegaraan.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    34/131

      33

    BAB VI

    PENGATURAN TANAH UNTUK

    KEPENTINGAN PENANAMAN MODAL

    Tanah mempunyai fungsi yang sangat penting untuk mendukung kegiatan

     penanaman modal. Secara umum, masalah tanah diatur dalam Undang-Undang No.5

    Tahun 1960 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria (UUPA). Ketentuan lebih

    lanjut, diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentang Pemanfaatan

    Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalam Rangka

    Penanaman Modal Asing.

    Keputusan Presiden No.23 Tahun 1980 menyebutkan bahwa hak guna usaha

    dalam rangka penanaman modal asing dipegang oleh peserta Indonesia atas nama

     badan hukum peserta Indonesia dalam usaha patungan yang bersangkutan. Jika dalam

    usaha patungan terdapat lebih dari satu peserta Indonesia, maka hak guna usaha

    diberikan atas nama salah satu dari peserta Indonesia tersebut. Permohonan untuk

    memperoleh hak guna usaha harus diajukan oleh peserta Indonesia yang dapat

    diperoleh dalam jangka waktu 35 tahun dengan kemungkinan diperpanjang palinglama menjadi 60 tahun.26 

    Pemegang hak guna usaha yang peserta Indonesia dapat menyerahkan tanah

    hak guna usaha dalam bentuk serah terima kepada usaha patungan, dengan ketentuan-

    ketentuan sebagai berikut:

    a.  Serah pakai tanah hak guna usaha berlaku untuk jangka waktu selama

     berlangsungnya usaha patungan, akan tetapi tidak boleh melebihi jangka

    waktu berlakunya hak guna usaha yang bersangkutan.

     b. 

    Untuk serah pakai tanah hak guna usaha tersebut pemegang hak guna usaha

    dapat memperoleh nilai pengganti sebesar nilai kumulatif pengganti

    26  Lihat Pasal 1 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentangPemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalamRangka Penanaman Modal Asing.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    35/131

      34

     pemanfaatan tanah hak guna usaha yang bersangkutan dan dapat memasukkan

     jumlah tersebut sekaligus atau secara bertahap ke dalam usaha patungan

    sebagai penyertaan modal.

    c.  Usaha patungan berkewajiban mengusahakan dengan baik tanah hak guna

    usaha yang diserahpakaikan sesuai dengan kelayakan usaha.

    d.  Apabila tanah hak guna usaha yang diserahpakaikan itu dinilai tidak

    diusahakan dengan baik, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

    undangan yang berlaku, maka dengan izin Ketua BKPM pihak peserta

    Indonesia pemegang hak guna usaha dapat membatalkan serah pakai tersebut.

    e. 

    Serah pakai tanah hak guna usaha tersebut tidak boleh dibatalkan secara

    sepihak oleh pemegang hak guna usaha, selama usaha patungan yang

     bersangkutan memenuhi kewajiban kepada pemerintah maupun kepada

     pemegang hak guna usaha.27 

    Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 dicabut dengan Keputusan

    Presiden Nomor 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan

    Hak Guna Bangunan Untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal

    Asing. Pasal 1 ayat (4) menyebutkan, Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu

     paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sepanjang perusahaan yang bersangkutan

    masih menjalankan usahanya dengan baik dan dapat diperbaharui. Selanjutnya, Pasal

    2 ayat (1) menyebutkan, Hak Guna Usaha yang dipegang oleh Perusahaan Patungan

    dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pasal 3 ayat (1)

    menyebutkan, bahwa dalam hal perusahaan patungan memerlukan tanah untuk

    keperluan emplasemen, bangunan pabrik, gudang, perumahan karyawan dan

     bangunan-bangunan lainnya, maka kepada usaha patungan tersebut dapat diberikan

    27  Lihat Pasal 2 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1980 tentangPemanfaatan Tanah Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan dalamRangka Penanaman Modal Asing.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    36/131

      35

    Hak Guna Bangunan atas tanah yang bersangkutan menurut ketentuan peraturan

     perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan tanah yang dimohon tersebut

    terletak di luar areal yang sudah ada Hak Guna Usahanya. Ayat (2), dalam hal tanah

    yang dikehendaki untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atas nama Perusahaan

    Patungan tersebut termasuk dalam areal yang sudah Hak Guna Usahanya, maka status

    haknya harus tetap Hak Guna Usaha dan tidak dapat diberikan Hak Guna Bangunan.

    Mengenai tanah-tanah perkebunan, Pasal 6 menyebutkan bahwa perusahaan

     penanaman modal asing yang memiliki/menguasai tanah-tanah perkebunan yang

    dikembalikan kepemilikannya/pengusahaannya berdasarkan Instruksi Kabinet

    Ampera Nomor 28/U/IN/17/1966 dan yang status haknya sudah dan/atau akan

     berakhir dapat diberikan perpanjangan dan/atau memohon hak baru dengan ketentuan

    mengubah statusnya menjadi Perusahaan Patungan dengan pihak Indonesia.

    Pengaturan masalah hak atas tanah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah

     No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai

    Atas Tanah. Latar belakang lahirnya peraturan pemerintah ini adalah terjadinya

     persaingan dengan negara-negara lain dalam menarik investasi asing. Karenanya,

     pemerintah Indonesia melakukan deregulasi peraturan pertanahan agar investor asingmasuk ke Indonesia. Pasal 8 menyebutkan bahwa jangka waktu HGU adalah 35 tahun

    dan dapat diperpanjang selama 25 tahun serta diperbaharui sekaligus untuk 35 tahun

    lagi sehingga total 85 tahun. Selanjutnya, pasal 11 menyebutkan bahwa untuk

    kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaharuan Hak

    Guna Usaha dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang

    ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna

    Usaha. Kemudian Pasal 28 menyebutkan bahwa untuk kepentingan penanaman

    modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat

    dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu

     pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    37/131

      36

    Ketentuan tentang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah No.40 Tahun

    1996 menimbulkan kontroversi karena dianggap bertentangan dengan Undang-

    Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Menurut Maria S.W.

    Sumardjono, ketentuan Peraturan Pemerintah 40 Tahun 1996 tidak bertentangan

    dengan UUPA. Setidak-tidaknya ada dua alasan yang dikemukakan.  Pertama,

    Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria sendiri tidak

    mengatur apakah yang akan terjadi setelah HGU dan HGB itu berakhir setelah

    diperpanjang jangka waktunya kecuali menyebutkan bhawa HGU dan HGB akan

    hapus apabila jika jangka waktunya berakhir. Logikanya adalah, dengan hapusnya

    HGU dan HGB tersebut, di atas tanah bekas HGU dan HGB yang statusnya kini

    menjadi tanah Negara dapat diberikan suatu hak atas tanah, termasuk kemungkinan

    diberikan HGU dan HGB baru, baik kepada pemohon baru, maupun pemohon bekas

     pemegang hak. Jika pemohonya adalah bekas pemegang hak yang lama yang masih

    memenuhi persyaratan, maka istilah lebih tepat digunakan adalah pembaharuan hak,

    mengingat bahwa HGU dan HGB itu tidak dimohon menjelang berakhirnya

     perpanjangan waktu HGU dan HGB tersebut.  Kedua,  penggunaan istilah

     pembaharuan hak, yang tentunya juga masih membuka kemungkinan untuk diberi perpanjangan apabila syarat-syaratnya dipenuhi, adalah sesuai dengan metode

    interpretasi terhadap pasal 29 dan pasal 35 UUPA sebagai salah satu cara

     pembangunan hukum dengan jalan penemuan hukum (rechtsvinding).28 

    Selanjutnya, Peraturan Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah

     No.41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing

    yang Berkedudukan di Indonesia. Menurut peraturan pemerintah ini, orang asing

    yang berkedudukan di Indonesia diperkenankan memiliki satu rumah untuk tempat

    tinggal, baik berupa rumah yang berdiri sendiri atau satuan rumah susun, sepanjang

    dibangun atas tanah berstatus Hak Pakai.

    28 Lihat Maria Sumardjono, “Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996”, Kompas, 24September 1996.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    38/131

      37

    Pengaturan masalah tanah dalam UU PM diatur pada Pasal 22 ayat (1) yang

    menyebutkan bahwa  perizinan hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang di

    muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal,

     berupa:

    a. Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima)

    tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus

    selama 60 (enam puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 35 (tiga puluh

    lima) tahun;

     b. Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh)

    tahun dengan cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus

    selama 50 (lima puluh) tahun dan dapat diperbarui selama 30 (tiga puluh)

    tahun; dan

    c. Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun dengan

    cara dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 45 (empat

     puluh lima) tahun dan dapat diperbarui selama 25 (dua puluh lima) tahun.

    Selanjutnya, ayat (2) menyebutkan bahwa hak atas tanah dapat diberikan dan

    diperpanjang di muka sekaligus untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain:

    a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan

     perubahan struktur perekenomian Indonesia yang lebih berdaya saing;

     b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang

    memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis

    kegiatan penanaman modal yang dilakukan;

    c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas;

    d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan

    e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan

    tidak merugikan kepentingan umum. 

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    39/131

      38

    Selain itu, ayat (3) menyebutkan bahwa, hak atas tanah dapat diperbarui

    setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan

     baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Akhirnya, ayat (4)

    menyebutkan bahwa Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan

    sekaligus di muka dan yang dapat diperbarui sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

    dan ayat (2) dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan

     penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum,

    menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan

     pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-

    undangan di bidang pertanahan.

    Fasilitas hak atas tanah dalam UU PM, pada dasarnya lebih moderat jika

    dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan sebelumnya, yaitu Peraturan

    Pemerintah No. 40 Tahun 1996. Memang kalau dibandingkan dengan Undang-

    Undang No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, jangka waktu hak atas

    tanah dalam UU PM, lebih lama sehingga terkesan liberal. Pasal 14 Undang-undang

     No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing menyebutkan bahwa, untuk

    keperluan perusahaan-perusahaan modal asing dapat diberikan tanah dengan hakguna-bangunan, hak guna-usaha dan hak pakai menurut peraturan perudangan yang

     berlaku.

    Hak atas tanah dalam UU PM, juga terkesan liberal jika dibandingkan dengan

    UUPA. Hal ini dipengaruhi dari faktor yang mempengaruhi lahirnya undang-undang

    ini yang anti modal asing, sebagaimana tercantum dalam jawaban Menteri Agraria

    Mr.Sadjarwo yang mewakili pemerintah atas pemandangan umum Anggota DPR-RI

    terhadap naskah RUU Pokok Agraria di muka Sidang Pleno DPR-GR, 14 September

    196029:

    “...Rancangan Undang-Undang ini selain akan menumbangkan puncak

    kemegahan modal asing yang telah berabad-abad memeras kekayaan dan

    29  Sadjarwo dalam Boedi Harsono,  Hukum Agraria Indonesia, cetakan ke XIX(Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003) hal.607-614.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    40/131

      39

    tenaga bangsa Indonesia, hendaknya akan mengakhiri pertikaian dan

    sengketa-sengketa tanah antara rakyat dan kaum pengusaha asing, dengan

    aparat-aparatnya yang mengadu-dombakan aparat-aparat pemerintah dengan

    rakyatnya sendiri, yang akibatnya mencetus sebagai peristiwa berdarah dan

     berkali-kali pentraktoran- pentraktoran yang sangat menyedihkan”.

    Selanjutnya dalam sidang terakhir untuk pembahasan UUPA, Sadjarwo

    menegaskan bahwa UUPA mengeleminasi investasi asing. Undang-Undang ini

    menyebutkan bahwa hak atas tanah paling lama 35 tahun dan setelah itu dapat

    diperpanjang 25 tahun lagi.

    Jangka waktu hak atas tanah dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960

    tentang Pokok Agraria, tidak memadai lagi, sehingga pemerintah mengeluarkan

    Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna

    Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.

    Pasal 11 menyebutkan tentang perpanjangan dan pembaruan Hak Guna

    Usaha, bahwa:

    (1) 

    Untuk kepentingan penanam modal, permintaan perpanjangan atas pembaruanHak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat dilakukan

    sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada

    saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha.

    (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud

    ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha hanya

    dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah

    mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

    (3) 

    Persetujuan untuk dapat membeikan perpanjangan atau pembaruan Hak Guna

    Usaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 dan perincian uang pemasukan

    sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam keputusan

     pemberian Hak Guna Usaha yang bersangkutan.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    41/131

      40

    Mengenai perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah untuk Hak Guna

    Bangunan diatur lebih lanjut Pasal 28 yang berbunyi:

    (1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan

     pembaharuan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25

    dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang

    ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak

    Guna Bangunan.

    (2) Dalam hal pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud dalam

    ayat (1) untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Guna Bangunan hanya

    dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah

    mendapat persetuan dari Menteri Keuangan.

    (3) Persetujuan untuk memberikan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna

    Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan perincian uang

     pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam

    keputusan pemberian Hak Guna Bangunan.

    Ketentuan mengenai perpanjangan dan pembaruan Hak Pakai lebih lanjut

    disebutkan pada Pasal 48 yang berbunyi sebagai berikut:(1) Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan

     pembaruan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dapat

    dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan

    untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai.

    (2) Dalam hal uang pemasukan telah dibayar sekaligus sebagaimana dimaksud

    dalam ayat (1), untuk perpanjangan atau pembaruan Hak Pakai hanya

    dikenakan biaya administrasi yang besarnya ditetapkan oleh Menteri setelah

    mendapat persetujuan Menteri Keuangan.

    (3) Persetujuan untuk pemberian perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai

    sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) serta perincian uang

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    42/131

      41

     pemasukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dicantumkan dalam

    keputusan pemberian Hak Pakai.

    Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, maka hak atas tanah dalam UUPM

    tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996. Kedua peraturan

    ini mengatur tentang jangka dan pembaharuan hak atas tanah. Meskipun ketentuan ini

    tidak diatur dalam UUPA, Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996 dan UUPM,

    tidak bisa dinyatakan bertentangan dengan UUPA.

    Setidak-tidaknya ada dua alasan bahwa Peraturan Pemerintah No.40 Tahun

    1996 dan UUPM tidak bertentangan dengan UUPA.  Pertama, UUPA tidak mengatur

    tindak lanjut setelah berakhirnya HGU dan HGB. Dengan demikian, memberi

    kemungkinan adanya perpanjangan dan pembaruan.  Kedua, UUPA tidak melarang

    adanya perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah.  Ketiga, dalam hukum dikenal

    metode penemuan hukum, artinya jika tidak diatur secara jelas, maka memberikan

    ruang untuk melakukan interpretasi.30 

    Ketentuan Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan Pasal 22 ayat (2) UUPM oleh

    sebagian kalangan dianggap bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 C ayat (1)

    dan Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3) Undang-Undang Dasar 1945. Alasannya, antaralain: Pertama, penguasaan hak atas tanah kepada penanam modal dalam bentuk HGU

    selama 90 tahun, HGB selama 80 tahun, dan Hak Pakai selama 70 tahun,

    mengakibatkan hilangnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas hidup dan demi

    kesejahteraan umat manusia. Kedua, ketentuan ini akan membatasi akses petani untuk

    mendapatkan tanah garapan yang berakibat pada meningkatnya jumlah petani gurem

    yang tidak mendapatkan jaminan untuk mengembangkan diri. Jangka waktu yang

    sangat lama akan mengakibatkan masyarakat terjauhkan dari peluang untuk

    mengakses tanah guna pertanian atas tanah negara, sementara pertumbuhan dan

    tingkat populasi masyarakat terus bertambah.  Ketiga, ketentuan ini lebih lama

    daripada atas tanah yang diatur dalam UUPA bahkan lebih lama dari pada hak atas

    30 Maria Sumardjono, Kompas, 24 September 1993

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    43/131

      42

    tanah yang diberikan Pemerintah Kolonial Belanda dalam  Agrarische Wet 1870 yang

    hanya membolehkan jangka waktu penguasaan selama 75 tahun. Sebagai

     perbandingan HGU dan HGB yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

    1960 selama 60 tahun untuk HGU dan 50 tahun untuk HGB sedangkan untuk HGU

    dalam UUPM diberikan paling lama 95 tahun dan untuk HGB diberikan paling lama

    80 tahun dan Hak Pakai paling lama 70 tahun.  Keempat , tanah sebagai cabang

     produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak, harus mengacu pada Undang-

    Undang Dasar 1945 Pasal 33. Ketentuan ini memberikan perlindungan hukum bagi

    rakyat terhadap cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.  Kelima,

    menimbulkan ketidakpastian hukum karena bertentangan dengan Politik Pertanahan

     Nasional dan aturan perundang-undangan lainnya. Keenam, menempatkan Hak Guna

    Usaha dan Hak Guna Bangunan menjadi individualistik dan melupakan fungsi

    sosialnya serta meniadakan kedaulatan rakyat.

    Pemerintah memberikan jawaban bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf a, b dan c dan

    Pasal 22 ayat (2) UUPM, tidak bertentangan dengan UUD 1945.31   Pertama,

     perpanjangan sekaligus pada waktu pemberian hak-hak atas tanah tersebut bagi

     penanam modal adalah merupakan insentif. Pelaksanaannya harus memenuhi syaratsebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 ayat (2) UUPM.  Kedua, hak atas tanah

    tersebut baru dapat diperbaharui setelah dilakukan evaluasi. Evaluasi ini meliputi,

    apakah tanah tersebut masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan

    keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak. Pemerintah menegaskan, tidak benar bahwa

     pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan hak atas tanah tersebut diberikan dimuka

    sekaligus, sehingga tidak otomatis Hak Guna Usaha (HGU) berjangka waktu 95

    (sembilan puluh lima tahun) tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 80 (delapan puluh)

    tahun dan Hak Pakai 70 (tujuh puluh) tahun.  Ketiga, hak atas tanah tersebut setiap

    saat dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah. Pembatalan hak atas tanah ini,

     jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan

    31 Jawaban Pemerintah R.I Atas Pertanyaan Hakim Mahkamah Konstitusi R.I DalamPersidangan Permohonan Pengujian Undang-Undang Penanaman Modal, 5 Desember 2007.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    44/131

      43

    umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan

    tujuan pemberian hak atas tanahnya.  Keempat , perpanjangan yang diberikan dimuka

    adalah berupa jaminan dari negara bagi penanam modal untuk mendapatkan jangka

    waktu yang cukup guna pengembalian modalnya. Ini berlaku untuk penanam modal

    asing dan dalam negeri.

    Jawaban pemerintah diperkuat dengan pendapat Felix Untung Soebagjo yang

    menyatakan bahwa, kebijakan pertanahan dalam UUPM tidak bertentangan dengan

     politik pertanahan nasional. Ketentuan ini pada dasarnya sama dengan apa yang

    diatur dalam UUPA. Bedanya hanya dalam cara penyajian. Undang-undang

    Penanaman Modal kelihatan “seksi”, pantas dilirik oleh calon penanam modal baik

    dalam maupun luar negeri, pantas dijadikan acuan, pantas dijadikan sebagai

     pedoman, pantas dijadikan sebagai alat bahwa kepastian hukum ada di Indonesia,

    maka bisa dibuat dengan cara yang lebih manis, lebih bisa menggoda orang lain.

    Lebih lanjut Felix Untung Soebagjo, bahwa ketentuan yang mengatur dan

    memungkinkan pemberian hak guna usaha sampai dengan jumlah 95 tahun, HGB

    sampai dengan jumlah 80 tahun, hak pakai sampai dengan 70 tahun kalau menurut

    saya adalah ”rumusan sexy ” baru.

    32

     Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1996, lebih liberal dibandingkan dengan

    Pasal 22 UU PM. Di samping itu, hak atas tanah dalam UU PM tidak bertentangan

    dengan Pasal 33 Undang-Undang 1945 dan Pasal 27 ayat (2) dari Undang-Undang

    Dasar 1945. Hal ini sesuai dengan adanya putusan-putusan dari Mahkamah

    Konstitusi tiga perkara sebelumnya yang meliputi uji materil terhadap Undang-

    Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Migas, Undang-Undang tentang Sumber

    Daya Air.

    32 Lihat, pendapat Dr.Felix Untung Soebagjo pada Sidang di Mahkamah Konstitusi,tanggal 20 November 2007.

  • 8/20/2019 Buku Pengaturan Penanaman Modal Di Indonesia

    45/131

      44

    Pandangan tersebut diperkuat dengan pandangan ahli pemerintah yang lain,

    yaitu Kurnia Toha yang menyatakan hak atas tanah dalam Undang-Undang Nomor

    25 Tahun 2007 tidak bertentangan dengan Pasal 33 ayat