buku pengabdi seni - · pdf filebuku ini diharapkan akan menjadi sumber informasi dan ......

17

Upload: lecong

Post on 24-Feb-2018

244 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

KATA PENGANTAR

Sesanti angayubagia puja pangastuti kami haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas asung wara nugraha-Nya kita diberi keselamatan dan kekuatan, maka buku kecil berjudul “ Penerima Penghargaan Seniman Pengabdi Seni dan Budayawan pada Pesta Kesenian Bali ke XXXVIII Tahun 2016, dapat diselesaikan.

Buku ini diharapkan akan menjadi sumber informasi dan sekaligus memberikan inspirasi kepada generasi muda dan masyarakat terhadap kiprah para seniman kita yang dengan tulus mengabdikan seluruh kehidupannya untuk pelestarian Budaya Bali.

Adapun Para Seniman Pengabdi Seni yang menerima penghargaan pada PKB XXXVIII Tahun 2016 sebanyak 9 ( sembilan) orang terdiri dari :

Dengan terbitnya buku ini tentu akan dijadikan reprensi dan bukti tertulis bagi masyarakat dan generasi muda untuk mampu mengikuti jejak dan langkah para pengabdi seni agar selalu berkarya seni secara inovatif bagi keberlangsungan budaya dan peradaban masyarakat Bali. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat, para seniman itu sendiri dan keluarganya.

Akhirnya pada kesempatan yang berbahagia ini saya menyampaikan penghargaan yang setingi-tingginya kepada para pengabdi Seni yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk selalu mengabdikan segala kemampuan yang dimiliki dalam melestarikan Budaya Bali. Demikian pula apresiasi kami sampaikan kepda semua pihak dan seluruh masyarakat Bali yang telah mendukung terlaksananya acara penyerahan penghargaan pengabdi seni dalam rangkaian pelaksanaan Pesta Kesenian Bali XXXVIII Tahun 2016 dapat terlaksana sesuai dengan harapan kita bersama.

Sekian dan terima kasihOm Santhi, Santhi, Santhi, Om

KEPALA DINAS KEBUDAYAANPROVINSI BALI

Drs. Dewa Putu Beratha,M.SiPembina Utama MudaNIP.19580105 198002 1 011

No Nama Kesenian Alamat 1 I Gusti Putu Raka Seni dan Tabuh Jln. Sudirman No 104 Subagan

Karangasem 2 I Wayan Wija Seni Pedalangan Br. Babakan Sukawati Gianyar 3 Ni Made Rusni Seni Tari Jln. Penyaringan No.4 D Sanur Denpasar 4 I Ketut Winda Seni Kerawitan Jln. Kembang Sari Blahkiuh Abiansemal

Badung 5 I Gusti Made Putra Wijaya Seni Lukis dan Ukir Br. Suralaga Abiantuwung Tabanan 6 I Made Arsana Berkesenian Musik Br. Bale Agung Lelurahan Paket Agung

Singaraja 7 I Ketut Nada Seni Kerawitan Desa Penyaringan Kec. Mendoyo

Jembrana

8 Jero Mangku Wayan Muliarsa

Seni Lukis Kabupaten Klungkung

9 I Wayan Sukadia Seni Sastra Desa Batur Utara Kabupaten Bangli

KATA SAMBUTAN

Om Swastyastu

Saya menyambut baik terbitnya buku “ Pemberian Penghargaan kepada Para Pengabdi Seni” Tahun 2016 ini, sebagai salah satu upaya untuk mendokumentasikan program Pemerintah Provinsi Bali dalam apresiasi kepada para seniman yang telah mengabdi dengan tulus kepada pelestarian dan pengembangan seni budaya Bali. Pengabdian para Seniman dan Budayawan yang tak pernah lelah untuk melestarikan dan mengembangkan seni budaya Bali, layak mendapatkan apresiasi dari Pemerintah Daerah.

Pemberian penghargaan kepada para pengabdi seni ini, merupakan salah satu wujud apresiasi Pemerintah Provinsi Bali kepada para seniman yang telah berjasa dalam melestarikan seni

budaya dan telah menunjukkan dharma bhakti-nya kepada Pemerintah, masyarakat, dan seni itu sendiri. Perkembangan dan eksistensi kebudayaan Bali saat ini, tidak dapat dilepaskan dari peran yang disumbangkan para seniman lingsir kita. Semua yang kita warisi sampai saat ini adalah berkat kerja keras dan pengabdi seniman-seniman lingsir tersebut.

Saya mengucapkan Selamat, kepada para penerima penghargaan. Saya berharap penghargaan ini menjadi motivasi untuk terus mengabdi dan menularkan semangat pengabdian itu kepada masyarakat luas, seniman lain, dan generasi muda Bali khususnya.

Semoga kegiatan ini memberikan inpirasi bagi seluruh seniman Bali untuk terus memantapkan pengabdian bagi pengembangan dan pelestarian kebudayaan daerah kita yang adiluhung.

Sekian dan Terima kasih.Om Santhi, Santhi, Santhi, Om.

GUBERNUR BALI

GUBERNUR BALI

KEPUTUSAN GUBERNUR BALI

TENTANG

PENERIMA PENGHARGAAN SENIMAN PENGABDI SENI BAGI SENIMAN DAN BUDAYAWAN

GUBERNUR BALI,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka peningkatan mutu, kreativitas dan pelestarian budaya Bali, perlu memberikan Penghargaan kepada para Seniman dan Budayawan berusia lanjut yang telah berjasa dibidangnya masing-masing ;

b. bahwa sesuai dengan hasil seleksi yang telah dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota dengan berbagai pertimbangan disesuaikan terhadap keahlian serta hasil karya seninya yang telah diwariskan sampai saat ini, maka ditetapkan penerima Penghargaan Seniman Pengabdi Seni bagi Seniman dan Budayawan :

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Gubernur tentang Penerima Penghargaan Seniman Pengabdi Seni bagi Seniman dan Budayawan :

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1649) ;

2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587 ) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234 )

4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4578) ;

5. Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 694);

7. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penghargaan Seni (Lembaran Daerah Propinsi Tingkat I Bali Tahun 1992 Nomor 52 Seri D Nomor 52) ;

8. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2016 (Lembaran Daerah Provinsi Tahun 2015 Nomor );

MEMUTUSKAN :Menetapkan :

KESATU : Menetapkan Penerima Penghargaan Seniman Pengabdi Seni bagi Seniman dan Budayawan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan dari Keputusan ini.

KEDUA : Penerima Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam diktum Kesatu diberikan Penghargaan berupa Piagam dan Uang sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang tidak terpisahkan Keputusan ini.

KETIGA : Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan kegiatan baik secara fisik maupun keuangan sesuai dengan Peraturan dan Perundang-undangan.

KEEMPAT : Segala biaya yang timbul sebagai akibat ditetapkannya Keputusan ini dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2016.

KELIMA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan

Ditetapkan di Denpasar

Keputusan ini disampaikan kepada :1. Menteri Dalam Negeri di Jakarta.2. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta.3. Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Jakarta.4. Ketua DPRD Provinsi Bali di Denpasar.5. Bupati/Walikota se-Bali.6. Inspektur Provinsi Bali di Denpasar.7. Kepala Bappeda Provinsi Bali di Denpasar.8. Rektor Institut Seni Indonesia Denpasar di Denpasar.9. Kepala Biro Perekonomian dan Pembangunan Setda Provinsi Bali di Denpasar.10. Kepala Biro Keuangan Setda Provinsi Bali di Denpasar.11. Kepala Biro Hukum dan HAM Sekretariat Provinsi Bali di Denpasar (3 eksemplar). 12. Ketua Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan ( LISTIBYA ) Provinsi Bali di Denpasar.13. Yang bersangkutan.

NO NAMA SENIMAN

ALAMAT BIDANG SENI JENIS KELAMIN, UMUR

UMUR PENGHARGAAN

1 2 3 4 5 6 7 1.

I Gusti Putu Raka

Jalan SudirmanNo.104 Subagan Karangasem

Seniman Seni Tari dan Tabuh

Laki

72 Tahun

Piagam dan Uang Sebesar Rp.10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)

2.

I Wayan Wija

Banjar BabakanSukawati Gianyar

Seniman Seni Pedalangan

Laki

64 Tahun

Piagam dan Uang Sebesar Rp.10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)

3.

Ni Made Rusni

Jlan Penyaringan No. 4 D Sanur Denpasar

Seniman Seni Tari

Perempuan

61 Tahun

Piagam dan Uang Sebesar Rp.10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)

4.

I Ketut Winda

Banjar Kembang sari Blahkiuh Abiansemal Badung

Seniman Seni

Kerawitan

Laki

69 Tahun

Piagam dan Uang Sebesar Rp.10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)

5.

I Gusti Made Putra Wijaya

Banjar SuralagaAbiantuwung Tabanan

Seniman Seni Lukis dan Ukir

Laki

68 Tahun

Piagam dan Uang Sebesar Rp.10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)

6.

I Made Arsana

Br. Baleagungkelurahan paketagung singaraja

Seniman Seni musik

laki

65 Tahun Piagam dan Uang Sebesar Rp.10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah)

7.

I Ketut Nada

Desa Panyaringan Kec. Mendoyo Kabupaten Jembrana

Seniman Seni

Karawitan

Laki

62 Tahun Piagam dan Uang Sebesar Rp.10.000.000,- (SEpuluh juta rupiah)

LAMPIRAN

PENERIMA PENGHARGAAN SENIMAN PENGABDI SENI BAGI SENIMAN DAN BUDAYAWAN

GUSTI RAKA GIGIH CETAK KADER TABUH DAN TARI

Ia dikenal masyarakat lingkungannya sebagai seniman serba bisa dan sangat pemurah, karena dengan senang hati melatih anak-anak muda dan mereka yang berminat mendalami tabuh dan tari Bali. Tidak terbilang entah berapa ratus, bahkan ribuan kader penerus penari dan penabuh gamelan Bali lahir dari sentuhan tangan terampil I Gusti Putu Raka (72), pria kelahiran Karangasem, 31 Desember 1944. Meskipun usianya telah uzur, namun kesehatan fisiknya masih prima. Ia adalah seniman praktisi sekaligus penyelamat seni kerawitan tradisional Bali. Selain memahami kesenian gong kebyar, Semara Pagulingan dan Angklung, suami dari I Gusti Ayu Nyoman Dawan itu juga memahami Wayang Parwa. Sosok pria yang mudah menyesuaikan diri dan cepat akrab dengan lawan bicaranya itu dibesarkan

dalam keluarga seniman dan sejak kecil sudah terbiasa memainkan perangkat gamelan. Gusti Putu Raka pada usia 13 tahun (1957) sudah terampil sebagai penabuh wayang wong, menyusul setahun kemudian sebagai penabuh gender wayang hingga sekarang. Ia kemudian tahun 1960 membentuk tari arja dalam lingkungan tempat tinggalnya di di Subagan, Kabupaten Karangasem dan berperan sebagai penari Cupak. Dua tahun kemudian (1962) sebagai penabuh Gambang Yadnya Suara yang tetap eksis hingga sekarang. Selain itu juga tercatat sebagai pendiri Sekaa Parwa Genta Swastika sekaligus sebagai penari Dalem, menyusul membentuk Drama Gong (1966) sekaligus pemain Raja Gila. Pria yang mengenyam pendidikan sekolah menengah pertama (SMA) itu juga pernah membentuk sekaa kesenian Parwa tahun 1997, yang 60 persen penarinya adalah anak-anak muda. Pementasan kesenian parwa yang cukup diminati masyarakat dan Bupati Karangasem saat itu I Ketut Merta dan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Dalam setiap membentuk kelompok kesenian Gusti Putu Raka menjadi peran yang menonjol. Keberhasilan dalam membentuk dan mengembangkan sekaa kesenian sekaligus mencetak kader-kader penerus seni budaya Bali hanya dilandasi keyakinan, kemauan dan ketekunan tanpa mengenal putusasa.

Kesenian langka Sosok Gusti Putu Raka yang masih enerjik pada usia senjanya itu unumnya membentuk kelompok kesenian dan melatih generasi muda terhadap kesenian-kesenian yang tergolong langka, karena peminatnya semakin terbatas. Kelompok kesenian tersebut antara lain Sekaa Gong Wijaya Kusuma (tahun 2000), menyusul pagelaran wayang Parwa Genta Swastika yang mewakili Kabupaten Karangasem dalam pementasan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-26 pada tahun 2004. Demikian pula membentuk sekaa angklung Gita Ulangun (2005), Sekaa Gong Wanita Curing Apsari (2007), menggarap pagelaran Wayang Parwa Genta Swastika PKB ke-34 tahun 2012 serta melatih anak-anak muda untuk memainkan gender wayang. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa mengenal putusasa sosok I Gusti Putu Raka mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

I WAYAN WIJA LAWATAN KE MANCANEGARA BERKAT WAYANG

Kepiawaian dan kharisma di atas pentas yang dimiliki, mengantarkan sosok I Wayan Wija (64) terbang ke mancanegara antara lain Amerika, Jepang, India, Kanada, Italia, Swis dan sejumlah negara lainnya di belahan dunia. Pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 31 Desember 1952 adalah seorang seniman dalang yang sangat andal, karena telah menjelajahi sejumlah negara berkat kepiawaiannya sebagai dalang wayang kulit. Belajar memainkan wayang pada usia 17 tahun dari seorang

dalang I Made Rajin (almarhum) dari Banjar Babakan, Sukawati tahun 1965 dan dua tahun kemudian berhasil menyandang nama seorang dalang dan melakukan pementasan wayang kulit di berbagai tempat di Bali. Sosok seniman yang tekun dan ulet itu pernah menjadi duta Kabupaten Gianyar pada Pesta Wayang se Bali tahun 1980 dan berhasil meraih prestasi yang membanggakan dan tahun 1981 menciptakan wayang kreasi berupa wayang Tantri. Cerita tentang binatang dengan pentas perdana tahun 1982 yang tetap eksis sampai sekarang, membuat wayang kaca dengan berbagai eksprimen yang sering dipentaskan hingga sekarang. Beberapa wayang ciptaan baru yang belum sempat populer di Bali, namun sudah sering dipentaskan mancanegara antara lain wayang Bungkling, wayang kreasi Dinosourus (binatang purba), wayang nasional untuk anak-anak dan wayang sinar maya. Suami dari Antonela De Santizs itu pertama kali mengadakan pementasan wayang kulit Mahabrata ke Amerika tahun 1983 dan tahun yang sama juga mengadakan pementasan di Jepang. Ayah dari tiga putri masing-masing Tantri, Parwati dan Laksmi pada tahun 1985 juga menentaskan wayang Ramayana dan Wayang Tantri di Vancouver dalam acara Asia Pasific Festival. Bulan Mei 1992 pentas wayang dan memberikan worshop di India, dan tahun yang sama pentas di Amerika Serikat berkolaborasi dengan Mabuo Mines Theatre Company, kembali pentas ke Jepang (Juli 1993), Belanda (1994), Kanda (1994), Australia (1997), Jepang (1997), Amerika (2001) dan Swis (2016). Kehidupan sosok pria sederhana itu tidak bisa dipisahkan dengan seni, khususnya gender dan wayang kulit yang digelutinya sejak usia remaja. Ia memiliki keahlian khusus memainkan wayang maupun instrumen gender yang mengiringi pementasan wayang kulit. Sosok yang akrab disapa Wija itu hampir setengah abad menekuni proses berkesenian digeluti pria yang sehat bugar di usia senja itu erat kaitan dengan bekerja secara iklas (ngayah) di sejumlah desa adat maupun pura saat berlangsungnya kegiatan ritual. Menekuni profesi dalang wayang kulit sebagai kegiatan sosial untuk membantu sesama warga dalam menyukseskan pelaksanaan kegiataan ritual. Pria yang sepenuhnya mengabdikan diri dalam bidang seni itu, dengan senang hati membina dan melatih anak-anak muda atau siapa saja yang berminat menjadi dalang, mengikuti jejaknya. Ia dengan senang hati "mentranfer" ilmu dan pengalaman yang dimiliki kepada anak binaannya, termasuk putrinya yang mewarisi dan melanjutkan upaya pengembangan dan pelestarian seni budaya Bali. Sejumlah anak binaannya yang kini menjadi seniman dalang wayang kulit antara lainI Ketut Kodi, Made Juanda, Wayan Mardika, Ni Wayan Nonderi (Dalang wanita), dan antok. Selain itu juga pernah tercatat sebagai pengajar di Kokar Denpasar atau Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN3) Sukawati selama enam tahun, 1981-1987. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa mengenal putusasa sosok I Wayan Wija mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

NI MADE RUSNI MENGABDI UNTUK SENI ARJA

Fasilitas hotel berbintang yang muncul di tengah kegemerlapan pariwisata di kawasan Sanur, Kota Denpasar yang merupakan pionir pengembangan pariwisata Bali, ternyata juga sanggup melahirkan seniman andal, pewaris dan penerus seni budaya Bali. Kehidupan sosok seniwati yang kesehariannya tidak bisa dipisahkan dengan seni, memang sejak kecil menyenangi tari arja, sejenis opera tradisional Bali dengan musik pengiring dan lagu. Ni Made Rusni (61), wanita kelahiran Sanur, Kota Denpasar, meskipun telah memasuki usia senja, namun masih menyimpan raut wajah yang menawan. Suami dari I Made Kuna Wijaya itu awalnya tak pernah bermimpi, apalagi menduga kalau dirinya bisa menari, menghibur tampil di hadapan ribuan warga masyarakat maupun pendengar lewat siaran radio RRI Stasiun Denpasar. Mengumandangkan tembang lagu daerah Bali yang umumnya digunakan dalam pementasan seni arja memang menjadi kesenangannya sejak usia delapan tahun. Ni Made Rusni tahun 1967 saat berusia sekitar 12 tahun mulai belajar menari di Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar berperan sebagai Desak Rai. Tiga tahun kemudian setelah cukup terampil dalam melakukan olah gerak tubuh mengikuti alunan instrumen musik tradisional Bali itu bergabung dengan Keluarga Kesenian Bali RRI Stasin Denpasar. Wanita yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar (SD) itu tahun 1970 dalam pementasan arja RRI Denpasar itu mendapat peran sebagai Liku menggantikan ibu Wayan Sadri yang dilakoninya hingga sekarang atau selama 46 tahun. Sosok wanita yang tetap enerjik di usia senjanya itu selama hampir setengah abad bergelut dalam bidang seni arja itu memiliki banyak pengalaman antara lain juga berperan dalam pementasan arja godogan, panji semirang, Pakang Raras dan Sampik Ing Tay (berperan sebagai Desak Rai. Sosok wanita yang lebih akrab disapa Odah Liku itu memiliki segudang pengalaman dalam pementasan tari arja di sejumlah tempat di Bali maupun di tingkat nasional, selain aktivitasnya di RRI Stasiun Denpasar. Ayah dari tiga putra masing-masing I Made Sukarya, I Nyoman Sujena dan I Ketut Arsana S.IP itu pernah mengadakan dua kali pementasan di Pulau Sulawesi bersama Sanggar Tari Desa Keramas Kabupaten Gianyar. Selain itu juga pernah mengadakan pentas ke Kalimantan bersama Departemen Penerangan pada masa pemerintahan Orde Baru serta bergabung dengan Sanggar Topeng Tugek Carangsari, Kabupaten Badung untuk mengadakan lawatan ke Jakarta. Demikian pula pernah memperkuat Sanggar Tari Desa Singapadu, Kabupaten Gianyar untuk mengadakan pementasan ke ibukota Jakarta. Tetap lestari Dramatari arja hingga sekarang tetap kokoh dan lestari yang disiarkan RRI Stasiun Denpasar setiap hari Minggu, jam 10.00-12.00 waktu setempat. Siaran tersebut menjadi “Brand/merk” bahwa setiap hari Minggu jam 10.00-12.00 Wita ada siaran Arja di RRI Denpasar. Ni Made Rusni, sosok wanita yang ramah itu mempunyai kepiawaian membawakan tari kelincahan olah tubuh yang serasi dengan instrumen gamelan yang mengiringinya, sehingga mendapat sambutan meriah dari penonton. Wanita yang kesehariannya tampil sederhana itu, namun lincah dan enerjik di atas panggung, selain menghibur pendengar RRI, juga pernah pentas hampir keliling Pulau Dewata. Ia dengan senang hati melatih generasi muda dan masyarakat yang tertarik mempelajari kesenian Bali, khususnya tari arja. Keluarga Kesenian Bali RRI Denpasar dalam melestarikan seni budaya Bali, selain memproduksi dramatari juga gaguritan, palawakya, taman penasaran serta ikut membina masyarakat dalam seni olah vokal dalam acara dagang gantal dan tembang warga. Dalam melestarikan seni budaya Bali, KKB RRI Denpasar senantiasa melakukan dharma bhaktinya kepada masyarakat dalam bentuk pesantian dan tabuh gamelan gong ke masyarakat dan Pura serta berperanserta secara aktif menyukseskan Pesta Kesenian Bali (PKB) dari tahun ke tahun yang kini sudah menginjak tahun ke-38. Berkat ketekunan dan kegigihannya dalam membina dan mengembangkan seni budaya Bali tanpa mengenal putusasa, sosok Ni Made Rusni mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkaitan dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

Kemampuan dan keahlian pria berpenampilan sederhana itu tidak diragukan dalam memainkan aneka jenis alat musik tradisional Bali (gamelan), karena sejak muda sudah biasa

ikut tampil di hadapan masyarakat umum di Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung.

I Ketut Winda (69), pria kelahiran Blahkiuh, 31 Desember 1947 bergabung dengan sekaa gong di tempat kelahirannya, disamping memanfaatkan waktunya untuk belajar memainkan alat musik tradisional. Ia sejak usia sekolah dasar (SD) sangat menyenangi bidang tabuh dan tari Bali, hal itu diimbangi dengan terus melatih diri dengan berguru dari sejumlah seniman, sehingga dalam usia 22 tahun sudah mampu menjadi pelatih sejumlah sekaa gong. Sosok pria berpenampilan sederhana itu dikenal masyarakat lingkungannya sebagai seniman serba bisa dan sangat pemurah, karena dengan senang hati melatih anak-anak muda dan mereka yang berminat menekuni seni kerawitan untuk mengiringi tari Bali. Upaya mencetak kader pewaris seni budaya Bali itu dilakukan lewat sejumlah sekaa gamelan yang dibinanya antara lain melatih sekaa gong Bongkasa selama tiga tahun 1969-1971, menyusul di Desa Ambengan 1972-1973. Selain itu juga melatih sejumlah sekaa gong di Kabupaten Buleleng selama tujuh tahun 1973-1980 dan dilanjutkan membina sekaa gong di Banjar Belok, Sidan, Plaga, Petang, Badung Utara antara 1980-1984. Ayah dari dua putra itu juga pernah sebagai koordinator pelatih Gong Kebyar anak-anak Kecamatan Petang antara 2011-2013 dan Banjar Pacung Sangeh 2013 hingga sekarang. Suami dari Ni Wayan Muka itu dengan senang hati melatih anak-anak muda dan mereka yang berminat menekuni seni tabuh untuk mengiringi tari Bali. Upaya mencetak kader pewaris seni budaya Bali itu dilakukan lewat pendidikan non formal tidak terbilang entah berapa ratus kader penerus tari dan penabuh gamelan Bali "lahir" dari sentuhan tangan I Ketut Winda. Ayah dari I Wayan Wiratmaja dan IKD Wiadnyana dalam usia "senjanya" itu tampak masih segar bugar dan sanggup memainkan aneka jenis gamelan tradisional Bali. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa mengenal putusasa sosok I Ketut Winda mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

I KETUT WINDA MENGABDI UNTUK SENI KERAWITAN

Orang awampun dengan mudah mengerti makna goresan tangan di atas kanvas yang kaya terhadap warna dan makna. Goresan seni di atas media itu mempunyai ciri khas dan unik, sehingga sangat disenangi masyarakat dan pencinta seni. I Gusti Made Putra Wijaya (68), pria kelahiran Banjar Suralaga, Abiantuwung, Kecamatan Kediri, Kabupaten Tabanan tahun 1945 itu sejak kecil memiliki bakat seni mengikuti jejak ayahnya yang juga bergelut dalam bidang seni ukir. Pria yang mengaku hanya mengenyam pendidikan sekolah rakyat atau setingkat sekolah dasar itu setiap ayahnya mengukir selalu diperhatikan dan selalu ikut ke mana ayahnya mengukit. Ketika usia enam tahun saat baru masuk sekolah rakyat sosok pria sederhana itu mulai memberanikan diri menuangkan kemampuan dalam bidang seni lukis yakni dengan mendapat inspirasi dari cara-cara yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Sepulang sekolah ia sering menanyakan kepada ayahnya cara untuk melukis sekaligus mendapat bimbingan hingga akhirnya mampu melukis di atas selembar kertas. Seiring perjalanan waktu umur 12 tahun setelah tamat sekolah rakyat ayahnya menyarankan untuk belajar melukis pada seorang guru lukis. Awalnya keberatan setelah dipikirkan secara matang akhirnya menuruti keinginan orang tua untuk belajar melukis pada seniman Ida Bagus Made Nadera di daerah Semebaung, Kabupaten Gianyar. Awalnya sangat asing di sana karena dengan perasaan kangen dan sedih meninggalkan keluarga di Tabanan. Hari demi hari dapat dilalui dan guru Ida Bagus Made mengajarkan melukis. Lambat laun sekitar sembilan tahun tinggal di rumah seniman tersebut akhirnya bisa melukis seperti gaya lukisan Ida Bagus Made Nadera, walaupun tidak sempurna betul. Setelah sembilan tahun belajar melukis kembali pulang ke orang tua di Tabanan dan menunjukkan kemampuan dalam menghasilkan karya kanvas. Sejumlah lukisan berhasil dirampungkan yang dipasang di tembok rumahnya.

PUTRA WIJAYA MENGABDI UNTUK SENI LUKIS

Ia kemudian membentuk rumah tangga dengan Jero Swati dikaruniai tiga putra putri masing-masing Gusti Bagus Windhu Widiatmika, Gisti Made Yoga Mantara dan I Gusti Ayu Sutari Dewi. Ketiga putra-putrinya yang telah membentuk rumah tangga itu kini dikarunia tujuh cucu, hampir semuanya mewarisi darah seni.

Tanah Lot Sosok Putra Wijaya mengawali apresiasinya untuk memenuhi panggilan hati nuranidalam bidang seni lukis tahun 1974 tinggal di sekitar objek wisata Tanah Lot untuk memulai aktivitas dalam bidang seni lukis. Dengan menggunakan sepeda gayung setiap hari menempuh jarak sekitar 15 km pergi pulang (PP) Abiantuwung-Tanah Lot. Pada saa t i tu kunjungan wisatawan mancanegara ke Tanah Lot tidak ramai seperti sekarang. Meskipun demikian lukisan yang dibuatnya ada saja yang d i b e l i o l e h w i s a t a w a n

mancanegara sehingga mulai mendapatkan berkah dari kerja keras yang digelutinya. Bahkan dari hasil penjualan lukisan itu mampu membangun rumah di desa. Dalam perkembangannya sosok Putra Wijaya banyak mengajar masyarakat yang berminat melukis, salah satu di antaranya I Ketut Boka yang mengalami cacat fisik. "Saya mengajarkan Ketut Boka membuat lukisan sesuai kemampuannya yang sangat terbatas, karena tangannya yang tidak bisa memegang sesuatu dengan sempurna," ujar Putra Wijaya. Ia kemudian diajarkan membuat lukisan yang praktis berbeda dari gaya lukisannya yang terlalu rumit dikerjakan seorang penyandang cacat. Lukisan yang diajarkan sangat simpel dengan sket yang sederhana, namun dimeriahkan dengan susunan warna warni yang menarik. Dengan kegigihan Ketut Boka akhirnya mampu membuat lukisan sesuai dengan gagasan yang diberikan. Lukisan yang dihasilkanya juga laku dibeli wisatawan mancanegara. Dalam perkembangannya Putra Wijaya tahun 1998 mampu membeli sebuah kios di objek wisata Alas Kedaton di Desa Kukuh, Kecamatan Marga untuk memajangkan dan menjual lukisannya. Selain menggeluti seni lukis sosok Putra Wijaya juga menekuni seni ukir, seni kerawitan, seni suara dan seni tari yang kini diwariskan kembali kepada putra-putri dan cucunya. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa putusasa sosok I Gusti Made Putra Wijaya mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

I MADE ARSANA MENGABDI UNTUK BLANTIKA MUSIK

Sosok pria yang selalu tampil bersahaja itu dikenal sebagai seniman serba bisa, aktivitas yang paling menonjol adalah pemain musik yang ditekuninya secara autodidak sejak masih usia dini ketika masih duduk di sekolah dasar (SD). I Made Arsana (65) dari Banjar Baleagung, Kelurahan Paket Agung, Singaraja memang lahir dalam lingkungan keluarga seni musik, karena ayahnya seorang pemain biola dan ibunya gemar bermain gitar (langgam kerocong). Di usia mudanya memang mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam blantika musik keroncong hingga akhirnya mendapat kepercayaan menjadi pimpinan Band Sekolah (STN) dan sempat ikut dalam festival band antar

pelajar sekolah lanjutan tingkat pertama dan atas (SLTP dan SLTA) di aula SGPD atau SMAN 1 Singaraja sekarang. Dalam festival musik tersebut STN asuhan Made Arsana keluar sebagai juara II menyisihkan belasan peserta lainnya. Ia pula pernah bergabung berkesenian antar siswadan tampil dalam sejumlah pementasan di Kota Denpasar, Singaraja, dan Amlapura. Dalam pagelaran seni musik yang dikoordinasikan oleh bapak Puja meraih sukses yang luar biasa karena penontonnya membludak. Seiring dengan perjalanan waktu sosok Made Arsana yang sangat akrab dengan lawan bicaranya itu tahun 1970 kembali mendapat kepercayaan untuk memimpin Grup Band 223 yang bermarkas di Jalan Diponogoro Singaraja. Grup Band 223 merupakan salah satu dari dari enam grup band yang ada di Kota Singaraja. Dalam kesempatan yang sama sosok Made Arsana juga dipercaya membina grup band Angkatan laut (Kowilhan) yang saat itu bermarkas di Kantor Bupati Buleleng sekarang. Karena kemampuan dan dedikasinya dalam memajukan blandika musik di Buleleng mendapat kepercayaan untuk membina dua penyanyi yang mewakili Bali ke tingkat nasional pada tahun 1980. Kedua penyanyi itu Titik Kurniati dan I Gusti Ayu Suratnadi. Selain itu juga membina dua penyanyi lainnya untuk mewaliki Bali dalan ajang Bahana Nusantara di Jakarta. Dalam lomba lagu daerah yang diwakili oleh penyanyi Noviyanti dab I Gusti Bagus Suratdipa juga sempat tampil bersama Band Los Morenos di Jakarta. Menyusul tahun 1986 pihaknya dipercaya sebagai duta seni Kabupaten Buleleng mewakili dalam Lomba Lagu Pop Bali Pesta Kesenian Bali yakni perpaduan alat musik tradisional dan alat musik modern dan Buleleng delapan kali berturut-turut sebagai juara pertama. Berkat kemampuan menularkan keterampilan musik keroncong sosok Made Arsana menerima penghargaan Karya Seni Wija Kusuma dari Pemkab Buleleng (1990), sekaligus mengantarkan Buleleng sebagai pelopor penemu musik kolaborasi yang berkembang pesat seperti sekarang ini. Selain itu juga sebagai pembina grup paduan suara Pemkab Buleleng, juri paduan suara tingkat nasional, membina anak-anak pemula dalam bina vokalis, menggarap paduan suara dan musik Pemkab Buleleng dalam Ajang Buleleng Festival 2013, 2014 dan 2015. Seiring usia sekarang masih tetap dipercaya sebagai pembina juri lomba paduan suara musik baik tingkat kabupaten Buleleng maupun Provinsi Bali. Dalam usia senja yang tampak tetap enerjik dan sehat walafiat hingga sekarang sebagai penikmat seni musik dengan segala ragam dan perkembangannya. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa putusasa sosok I Made Arsana mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

I KETUT NADA LAWATAN KE JEPANG BERKAT TARI

Kepiawaian, kharisma dan keahlian dalam bidang tabuh dan tari Bali yang dimiliki sosok pria sederhana itu menjadi modal untuk mengadakan tiga kali lawatan ke Jepang, disamping keliling ke sejumlah daerah di Indonesia. I Ketut Nada (62), pria kelahiran Penyaringan, Kabupaten Jembrana, Bali barat, 31 Desember 1954 adalah seorang seniman serba bisa yang senantiasa mendapat kesempatan untuk mengadakan lawatan ke luar negeri untuk menghibur masyarakat internasional. Suami dari Ni Ketut Sulati itu selama hidupnya menggeluti

bidang seni, baik sebagai penggarap, pembina tabuh dari tari di berbagai tempat di Bali dan sering mendapat kepercayaan untuk memperkuat tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke luar negeri. Lawatan perdana ke luar negeri untuk memperkuat tim kesenian Kabupaten Jembrana untuk mengadakan lawatan ke Okayama, Jepang pada tahun 1995, menyusul untuk memperkuat tim pertukaran Budaya ke Fukuoka, Jepang Selatan tahun 2003 dan kembali ikut Tim Pertukaran Budaya ke Oita Jepang tahun 2004. Ayah dari dua putra putri itu sejak duduk di bangku SMP menggeluti seni tabuh dan tidak pernah absen untuk ikut pentas bersama duta seni Kabupaten Jembrana dalam arena Pesta Kesenian Bali (PKB) yang kini telah memasuki usia ke-38 tahun 2016. Pria yang mengenyam pendidikan sekolah menengah umum (SMU) pada PKB yang ke-2 tahun 1979 misalnya bergabung dengan Sanggar Drama Modern berbahasa Bali dan Crew Gong Kebyar Anak-Anak Kabupaten Jembrana tampil di arena PKB. Hal itu dilakoni secara berkesinambungan, termasuk belakangan ini sebagai pembina duta seni Kabupaten Jembrana ke PKB tingkat Provinsi Bali. Ayah dari Ni Made Sasmitha Dewi dan I Nyoman Trihandana Putra juga pernah pentas keliling daerah di Indonesia antara lain menunjang kegiatan promosi pariwisata Kabupaten Jembrana ke Malang, Kediri dan Surabaya pada tahun 2004. Selain itu pentas seni dalam memeriahkan Hari Ulang Tahun (HUT) Kotao Ponorogo (2005), pentas seni ke Lampung, Sumatera Selatan dalam rangkaian Utsawa Dharma Gita tingkat nasional (2006) dan memeriahkan HUT Kota Probolinggo (2007). Demikian pula pentas dalam memeriahkan HUT Kota Banyuwangi (2007), Malang (2007) dan sejumlah daerah lainnya di Indonesia. Sosok I Ketut Nada yang akrab disapa Tut Nada juga menciptakan sejumlah gending-gending kerawitan yang pernah ditampilkan dalam berbagai kegiatan seni di tingkat nasional. Semua itu berkat prestasi dan kemampuan dalam bidang tabuh dan tari Bali, karena kegigihannya belajar tabuh dan tari Bali sejak usia dini. Alunan instrumen musik tradisional tersebut cukup memikat perhatian penikmatnya, karena diolah dengan penataan tetabuhan yang disikapi dengan teknik penyajian dan tidak terikat pada ensambel tertentu. Selain itu memanfaatkan instrumen lepas sesuai kondisi dan situasi panggung pementasan. Karya-karya ciptanya lahir dari pembelajaran menuju proses penuangan analisis berkesenian. Sosok I Ketut Nada yang kehidupannya tidak bisa dipisahkan dengan seni itu mengabdikan diri dan menularkan keahlian dan keterampilan yang dimilikinya kepada sekaa gong atau grup kesenian lainnya. Oleh sebab itu ia tercatat sebagai pembina dan pelatih belasan sekaa kesenian di Kabupaten Jembrana, Bali barat. Ia dengan senang hati menularkan keterampilan dalam bidang tabuh dan tarik kepada siapa saja yang berminat mempelajarinya. Berkat prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa putusasa sosok I Ketut Nada mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

JRO MANGKU MULIARSA PENEKUN SENI LUKIS KAMASAN

Goresan tangan yang lincah seperti m e n a r i - n a r i d i a t a s k a n v a s menciptakan warna menyerupai satu bentuk atau simbul yang kaya akan makna, mampu menggambarkan keindahan dan kedamaian dalam sebuah karya lukis. Jero Mangku Wayan Muliarsa (54), pria kelahiran Banjar Sangging, Kabupaten Klungkung adalah seorang seni lukis tradisional Klasik Wayang Kamasan yang telah menggeluti aktivitasnya itu selama 43 tahun. "Saya belajar melukis sejak umur sebelas tahun atau sekitar tahun 1973 didasari atas kesenangan melukis wayang. Setiap ada lomba selalu ikut dan sering kali keluar sebagai juara," tu tu r Je ro Mangku Mul ia r sa mengenang pengalamannya masa lalu.

Ia merupakan salah seorang penerus seniman pelukis wayang kamasan, di sela-sela melanjutkan pendidikan sejak sekolah menengah pertama (SMP) bekerja melukis dan karya seninya itu dijual untuk membiayai sekolah. Ketika duduk di sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA) pernah mengikuti pameran di Jakarta mewakili Desa Kamasan serta lomba lukis di tingkat kabupaten Klungkung, Provinsi Bali maupun tingkat nasional. Dalam lomba lukis tingkat Provinsi Bali keluar sebagai juara II dan mengantongi sejumlah penghargaan dari berbagai kegiatan yang diikuti antara lain dari Taman budaya Denpasar, Pemerintah Provinsi Bali dan sejumlah penghargaan bertaraf internasional. Jero Mangku Wayan Muliarsa merupakan salah seorang keturunan dari Maestro Sangging Madera yang ke-5 yakni merintis lukisan Wayang Kamasan secara otodidak yang telah mengantongi piagam penghargaan dari Bupati Klungkung, Gubernur Bali, tingkat nasional dan sejumlah penghargaan lainnya tingkat internasional. Ia sehari-hari sebagai pemimpin kegiatan ritual (pemangku) di Pura Kawitan, serta melatih belasan anak-anak untuk belajar melukis. Anak-anak sejak dini dibiasakan untuk melukis dan banyak hasil karyanya dibeli oleh wisatawan dalam dan luar negeri yang berkunjung ke Desa Kamasan, sekitar 50 km timur Denpasar. Dengan demikian jiwa seni yang diwarisi masyarakat Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, Bali itu diwariskan kembali kepada anak cucunya, sehingga lukisan klasik Bali atau yang lebih dikenal lukisan gaya kamasan itu tetap lestari, diwarisi satu generasi ke generasi berikutnya. Lukisan tradisional Kamasan sering dijadikan contoh ketahanan budaya tradisional Bali dalam menghadapi globalisasi dan munculnya bentuk-bentuk seni dan budaya material baru dengan identitas tradisional yang kuat. Kepala Program Studi Magister (S-2) Kajian Pariwisata Universitas Udayana Prof Dr I Nyoman Darma Putra, M.Litt mengatakan, pihaknya pernah menggelar seminar global "Kamasan: Daya Jelajah Seni Lukis Klasik Bali" menampilkan pembicara Dr Siobhan Campbell

dari University of Sydney, Australia. Dr Siobhan membahas tradisi lukisan Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, dan hubungannya dengan koleksi seni lukis klasik Bali yang memiliki daya jelajah lokal, nasional dan global yang luar biasa. Lukisan Kamasan hingga kini tetap mempertahankan fungsi sosial dan keagamaan yang penting dalam budaya lokal. Demikian pula lukisan klasik Kamasan memiliki sejarah interaksi antara agen-agen global dan lokal yang telah menghasilkan lukisan yang beredar di luar daerah setempat. Lukisan gaya Kamasan kini dikoleksi pencinta seni dan museum di berbagai negara di belahan dunia. Penjela jahan peredaran lukisan dan hubungan antara seniman serta kolektor mengungkapkan interaksi bernuansa lokal dan global y a n g m e n j a d i c i r i transformasi yang sedang berlangsung dalam praktik budaya tradisional Bali, tutur Darma Putra.

Kamasan adalah salah satu Desa di kabupaten Klungkung, Bali, yang memiliki nilai historis, karena salah seorang warganya, Ida Bagus Gelgel (alm), seniman serba bisa pernah mendapat penghargaan seni dari pemerintah Perancis pada tahun 1930. Penghargaan dunia internasional itu, diraihnya berkat keahlian menciptakan karya seni yang bermutu di atas kanvas saat yang bersangkutan mengadakan pameran ke beberapa negara di belahan dunia. Berkat promosi lewat pameran perdana seniman Bali ke mancanegara itu, Pulau Dewata mulai dikenal dan sejak saat itu pula, seniman asing berdatangan dan memilih kawasan Ubud, tempat untuk mengembangkan kreativitas seni. Klungkung, khususnya Desa Kamasan merupakan cikal bakal pengembangan seni lukis tradisional di Bali, karena 89 tahun yang silam hasil kreativitas seniman setempat sudah mampu berbicara di tingkat nasional maupun internasional. Berkat ketekunan dan kegigihannya dalam membina dan mengembangkan seni budaya Bali, khususnya seni lukis Kamasan, sosok Jro Mangku Wayan Muliarsa mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkait dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.

I WAYAN SUKADIA GELUTI SENI SASTRA

Sosok seniman sastra yang penuh daya kreativitas itu memiliki suara emas dalam mengumandangkan ayat-ayat suci agama Hindu, berupa kekawin, kekidung dan jenis metembang lagu daerah Bali lainnya. Sosok I Wayan Sukadia (77), pria kelahiran Desa Batur Selatan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli mempunyai andil dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bali. Ia mendapat kepercayaan sebagai kelian adat Desa Batur Selatan itu di tengah kesibukannya mengabdikan diri untuk masyarakat lingkungannya juga telah menghasilkan belasan buku tentang seni dan budaya Bali.

Membaca, mendengarkan, mendiskusikan, merenungkan, menulis memang menjadi kesenangan, meskipun hanya mengenyam pendidikan SMEP setingkat sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) tamat tahun 1958. Di antara karya tulis, beberapa di antaranya telah dibukukan antara lain berjudul "Ida Ratu Gede Ngurah Subandar Pura Ulun Danu Batur (2005), Selunding Pura Ulun Danu Batur (2006), Selayang Pandang Pura Ulun Danu Batur (2007) dan Kisah Ki Balian Batur (2008). Pria yang cukup enerjik diusia senjanya itu juga membukukan Karya Agung/Tawur Agung, Labuh Gentuh, Mendak Toya Pakelem Ring Segara Danu Batur (Danu Kertih) pada tahun 2009 dan tahun 2011 menyusun empat buku antara lain Padma Buana di Pura Ulun Danu Batur dan Prosesi Pemedegen Jero Mangku. Bahkan tahun 2014 merampungkan empat buku dan 2015 sebuah karya berjudul "Pasraman Widya Sinarata" Wayan Sukadia sebagai salah seorang tokoh masyarakat dalam setiap kesempatan mengajak warganya untuk melestarikan seni budaya untuk menjadi benteng yang tetap kokoh bagi generasi mendatang. Hal itu menjadi tugas pemerintah dan masyarakat untuk melestarikan adat, budaya, agama yang dapat saling melengkapi dan menyempurnakan satu sama lain. Bahkan buku karya sastra yang dihasilkan cukup memasyarakat dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya di daerah Kabupaten Bangli. Karya-karya seni sastra itu tercipta berkat sosok Wayan Sukadia memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap pelestarian warisan seni budaya bangsa yang merupakan puncak-puncak dari seni-seni budaya daerah. Kesenangannya sejak kecil itu dijadikan tuntunan, yang mampu memberikan ketenangan batin, sekaligus melengkapi kegiatan ritual yang digelar masyarakat dalam lingkungan desa adat maupun di Pura di Desa Batur Selatan, Kecamatan Kintamani. Sosok pria yang cukup disegani masyarakat sekitarnya kini semakin intensif mendalami sastra daerah Bali, terutama yang berkaitan dengan kegiatan ritual. Ia juga kini aktif melatih dan membina generasi muda untuk memenuhi seni sastra, dengan harapan gending-gending Bali tetap lestari di tengah impitan pengaruh budaya asing di tengah perkembangan sektor pariwisata Bali yang pesat. Proses pendidikan non formal itu mampu memudahkan bagi generasi muda dalam mempelajari pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu serta mendalami parwa dan jenis pustaka lainnya dalam bentuk sloka dan Palawakya. Meskipun usianya semakin "senja", namun kreativitas, khususnya dalam bidang seni sastra, justru semakin mantap dan menambah tekadnya untuk lebih memberikan perhatian khusus terhadap pelestarian dan pengembangan sastra daerah Bali. Berkat ketekunan dan kegigihannya dalam mengembangkan seni budaya Bali sosok Wayan Sukadia mendapat penghargaan pengabdi seni dari Pemerintah Provinsi Bali terkaitan dengan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-38 tahun 2016.