buku panduan praktikum gs.pdf

136
Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Tujuan a. Mengetahui cara penggambaran simbol struktur bidang dan struktur garis di peta. b. Mengetahui gambaran tiga dimensi dari struktur bidang dan struktur garis. 1.2. Alat dan Bahan 1. Busur derajat 2. Jangka 3. Plastik mika 4. Penggaris 5. Pensil warna 6. Alat tulis. 1.3. Definisi Geologi Struktur : Adalah suatu ilmu yang mempelajari perihal bentuk arsitektur, struktur kerak bumi beserta gejala-gejala geologi yang menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan bentuk (deformasi) pada batuan. Geologi struktur pada intinya mempelajari struktur batuan (struktur geologi), yaitu struktur primer dan struktur sekunder. (Bagian terbesar, terutama mempelajari struktur sekunder ini). Struktur Primer : Adalah struktur batuan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan batuan. Contoh : - Pada batuan sedimen: Perlapisan /laminasi sejajar perlapisan/laminasi silangsiur (cross bedding), perlapisan bersusun (graded bedding). Secara umum merupakan struktur sedimen.(Gambar 1.1 - 1.3). - Pada batuan beku : Kekar kolom (columnar joint), kekar melembar (sheeting joint), vesikuler (Gambar 1.4, 1.5). - Pada batuan metamorf: Foliasi (Gambar 1.6).

Upload: muhammad-rasyid

Post on 21-Jan-2016

1.347 views

Category:

Documents


244 download

TRANSCRIPT

Page 1: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Tujuan

a. Mengetahui cara penggambaran simbol struktur bidang dan struktur garis di

peta.

b. Mengetahui gambaran tiga dimensi dari struktur bidang dan struktur garis.

1.2. Alat dan Bahan

1. Busur derajat

2. Jangka

3. Plastik mika

4. Penggaris

5. Pensil warna

6. Alat tulis.

1.3. Definisi

Geologi Struktur :

Adalah suatu ilmu yang mempelajari perihal bentuk arsitektur, struktur kerak bumi

beserta gejala-gejala geologi yang menyebabkan terjadinya perubahan – perubahan

bentuk (deformasi) pada batuan. Geologi struktur pada intinya mempelajari struktur

batuan (struktur geologi), yaitu struktur primer dan struktur sekunder. (Bagian

terbesar, terutama mempelajari struktur sekunder ini).

Struktur Primer :

Adalah struktur batuan yang terbentuk bersamaan dengan proses pembentukan

batuan. Contoh :

- Pada batuan sedimen:

Perlapisan /laminasi sejajar perlapisan/laminasi silangsiur (cross bedding), perlapisan

bersusun (graded bedding). Secara umum merupakan struktur sedimen.(Gambar 1.1 -

1.3).

- Pada batuan beku :

Kekar kolom (columnar joint), kekar melembar (sheeting joint), vesikuler (Gambar

1.4, 1.5).

- Pada batuan metamorf:

Foliasi (Gambar 1.6).

Page 2: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 2

Gambar 1.3

Struktur sedimen perlapisan

bersusun (graded bedding)

Gambar 1.1

Struktur sedimen laminasi sejajar Gambar 1.2

Struktur sedimen silangsiur (cross bedding)

Gambar 1.4

Kekar kolom vertikal (columnar joint)

pada batuan beku basalt, perhatikan

bentuk poligonal pada penampang

atasnya.

Page 3: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 3

Struktur Sekunder:

Adalah struktur batuan yang terbentuk setelah proses pembentukan batuan yang

diakibatkan oleh deformasi. Contoh: kekar, sesar, lipatan (Gambar 1.7.a, 1.7.b, 1.7.c).

Gambar 1.7.a

Struktur Kekar

Gambar 1.7.b

Struktur sesar turun (sesar normal)

Gambar 1.5

Struktur kekar melembar pada batuan beku

(sheeting joint)

Gambar 1.6

Struktur foliasi pada batuan metamorf

(Slate)

Page 4: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 4

1.4. CARA MEMPELAJARI STRUKTUR GEOLOGI

Struktur geologi dipelajari dan dianalisis dengan tiga cara, yaitu :

1. Secara Deskriptif

Mempelajari struktur geologi dengan mengamati, mengukur unsur-unsur geometri

(struktur bidang dan struktur garis) di lapangan, dan menyajikannya dalam peta,

penampang, diagram dan analisis statistik.

2. Secara Kinematik

Meliputi pergerakan atau pergeseran dari struktur tersebut (analisis), identifikasi

dan klasifikasi (penamaan).

3. Secara Genetik

Meliputi pemahaman serta penjabaran mengenai pembentukan struktur geologi

yang berkaitan dengan pola tegasan pembentuknya.

Gambar 1.7.c

Struktur lipatan antiklin dan

sinklin

Page 5: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 5

TAHAP-TAHAP DALAM MEMPELAJARI

STRUKTUR BATUAN

GEOMETRI

STRUKTUR

BATUAN

Dikenali di

lapangan

Disajikan Berupa:

- Peta-peta,Penampang

- Diagram Roset,Stereonet

Diukur Kedudukan

Unsur-unsur

Struktur Batuan

- Struktur

Bidang

- Struktur Garis

Dianalisis

Kinematikanya

Ditentukan:

- Elips keterakan

- Pergeseran : arah dan

sifatnya

Input:

Hipotesa

Konsep dan teori struktur

batuan

Ditafsirkan mekanisme pembentukannya

Pengelompokan dan

penamaan Struktur

KEKAR

- Shear frac. - Extension

frac,

SESAR

- Mendatar

- Naik

- Turun

LIPATAN

- Flexure - Shear - Flow

Page 6: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 6

BAB 2

STRUKTUR BIDANG

2.1. Tujuan

a. Mampu menggambarkan geometri struktur bidang ke dalam proyeksi dua

dimensi

(secara grafis).

b. Mampu menentukan kedudukan bidang dari dua atau lebih kemiringan semu.

c. Mampu menentukan kedudukan bidang berdasarkan “problem tiga titik” ( three

point problem ).

d. Mampu melakukan ploting simbol-simbol geologi dengan geometri bidang

pada peta.

2.2. Alat dan bahan

1. Alat tulis lengkap.

2. Jangka, penggaris, busur derajat.

3. Peta topografi

2.3. Definisi

Struktur bidang adalah struktur batuan yang membentuk geometri bidang. Kedudukan

awal struktur bidang (bidang perlapisan) pada umumnya membentuk kedudukan

horizontal. Kedudukan ini dapat berubah menjadi miring jika mengalami deformasi

atau pada kondisi tertentu, misalnya pada tepi cekungan atau pada lereng gunung api,

kedudukan miringnya disebut initial dip. Di samping struktur perlapisan, struktur

geologi lainnya yang membentuk struktur bidang adalah: bidang kekar, bidang sesar,

bidang belahan, bidang foliasi dll.

Istilah-istilah struktur bidang (Gambar 2.1):

- Jurus (strike) : arah garis horisontal yang dibentuk oleh perpotongan antara

bidang yang bersangkutan dengan bidang bantu horisontal,

dimana besarnya jurus / strike diukur dari arah utara.

Page 7: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 7

- Kemiringan (dip) : besarnya sudut kemiringan terbesar yang dibentuk oleh bidang

miring yang bersangkutan dengan bidang horisontal dan

diukur tegak lurus terhadap jurus / strike.

- Kemiringan semu : sudut kemiringan suatu bidang yang bersangkutan

(apparent dip) dengan bidang horisontal dan pengukuran dengan arah tidak

tegak lurus jurus.

- Arah kemiringan : arah tegak lurus jurus yang sesuai dengan arah

(dip direction) miringnya bidang yang bersangkutan dan diukur dari arah

utara.

CARA MENGUKUR KEDUDUKAN STRUKTUR BIDANG (Gambar 2.2):

a. Berdasarkan pengukuran strike/dip (Gambar 2.2a dan Gambar 2.2b)

Pengukuran strike dilakukan dengan menempelkan sisi “E” kompas pada

bidang yang diukur dalam posisi kompas horizontal (gelembung berada pada

pusat lingkaran nivo mata sapi). Angka azimuth yang ditunjuk oleh jarum “N”

merupakan arah strike yang diukur (jangan lupa menandai garis strike yang

akan dipakai untuk pengukuran dip). Misal hasil dari pembacaan N 185o E.

Pengukuran dip dilakukan dengan menempelkan sisi “W” kompas pada bidang

yang diukur dalam posisi kompas tegak lurus garis strike (posisi nivo tabung

berada di atas). Putar klinometer sampai gelembung berada pada pusat nivo

tabung. Pembacaan besarnya dip yang diukur lihat gambar di bawah ini. Misal

hasil dari pembacaan dip adalah 50o.

Gambar cara pembacaan derajat dip

Maka notasi kedudukan bidang yang diukur adalah N 185o E/50o.

Page 8: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 8

b. Berdasarkan kemiringan dan arah kemiringan (dip,dip direction) (Gambar 2.2c)

Pengukuran arah kemiringan dilakukan dengan menempelkan sisi “S” kompas

pada bidang yang diukur dalam posisi kompas horizontal (gelembung berada

pada pusat lingkaran nivo mata sapi). Angka azimuth yang ditunjuk oleh jarum

“N” merupakan arah kemiringan yang diukur. Misal hasil dari pembacaan

adalah N 275o E.

Pengukuran dip dilakukan dengan cara sama seperti di atas.

Maka notasi kedudukan bidang yang diukur adalah 60o, N 275o E.

Strike

Gambar 2.1

A – B : Jurus (strike) bidang ABCD diukur terhadap arah utara

α : Kemiringan (dip) bidang ABCD diukur tegak lurus AB

β : Kemiringan semu (apparent dip)

A– O : Arah kemiringan (dip direction)

Gambar 2.2

Pengukuran kedudukan struktur bidang

B

D

C

L

K

O A

Dip

Apparent dip

Page 9: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 9

2.4. Aplikasi Metoda Grafis untuk Struktur Bidang

Di alam kadang-kadang kedudukan sebenarnya (true dip) sulit didapatkan, terutama

pada kondisi bawah permukaan dimana data kemiringan hanya diperoleh dari data

pemboran. Sehingga untuk mengetahui kedudukan sebenarnya digunakan metode

grafis.

Aplikasi metode grafis yang akan diterapkan pada praktikum ini meliputi:

A. Menentukan Kemiringan Semu.

B. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang

Sama.

C. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang

Berbeda.

D. Menentukan Kedudukan Bidang Berdasarkan Problem Tiga Titik (Three Point

Problems).

E. Melakukan ploting simbol struktur bidang pada peta topografi.

Di bawah ini diberikan petunjuk penyelesaian kasus A – E.

A. Menentukan Kemiringan Semu (Apparent Dip).

Suatu bidang ABCD dengan kedudukan N X°E / α°. Berapakah kemiringan semu yang

diukur pada arah N Y° E ?

Penyelesaian secara grafis : (Gambar 2.3)

1. Membuat proyeksi horizontal bidang ABCD pada kedalaman “d” yaitu dengan

membuat jurus yang selisih tingginya “h” dengan besar dip α°.

2. Menggambarkan proyeksi horizontal garis arah N Y° E sehingga memotong jurus

yang lebih rendah di titik L ( garis AL ).

3. Membuat garis sepanjang d melalui L dan tegak lurus terhadap garis AL (garis AK).

4. Menghubungkan A dan K, maka sudut KAL adalah kemiringan semunya.

Page 10: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 10

A

C

B

D

K

L

N x

° E

d

A

B

D

K

L

d

N x

° E

N y° E

d(a) (b)

N

d

d

Gambar 2.3

Menentukan kemiringan semu dengan grafis

B. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang

Sama

Pada bidang ABEF di lokasi O, terukur dua kemiringan semu pada titik C dan D

(ketinggian sama) masing -masing sebesar α1° pada arah N X° E dan α2° pada arah N

Y° E. Berapakah kedudukan bidang ABEF sebenarnya (true dip) ?

Penyelesaian secara grafis: (Gambar 2.4)

1. Menggambarkan rebahan masing-masing kemiringan semu sesuai dengan arahnya

dari lokasi O (pada kedalaman d).

2. Menghubungkan titik D dengan C, maka CD merupakan proyeksi horizontal strike

bidang ABEF.

3. Melalui O membuat garis OL tegak lurus CD.

4. Dari L diukur sepanjang d sehingga didapatkan titik K maka sudut KOL (β1) adalah

true dip dari bidang ABEF.

5. Kedudukan bidang ABEF adalah N Z° E / β1°

Page 11: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 11

(a)

A

O

B

F

C

K

E

D

L

d

?

N x° E

N y° E

(b)

N

d

d

d

O

F

d

d

C

d

K

L

d

dE

D

Gambar 2.4

Menentukan kedudukan bidang dari dua kemiringan semu

pada ketinggian yang sama.

C. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu pada Ketinggian yang

Berbeda

Pada bidang ABEF di lokasi O (ketinggian 400 m) terukur kemiringan semu αl° pada

arah N Y° E, sedangkan pada lokasi P (ketinggian 300 m) terukur kemiringan semu α2°

pada arah N X°E. Letak lokasi P terhadap O sudah diketahui. Berapakah kedudukan

bidang ABEF sebenarnya (true dip)?

Penyelesaian secara grafis: (Gambar 2.5)

Langkah kerja :

1. Menggambarkan rebahan kemiringan semu di O dan P sesuai arah dan besarnya.

2. Gambarkan lokasi ketinggian 300 m pada jalur O yaitu lokasi Q.

3. Membuat garis tegak lurus OQ sepanjang d (QR), dan sepanjang 2d (ST).

4. Menggambarkan lokasi ketinggian 200 m pada jalur O yaitu lokasi P.

5. Membuat garis tegak lurus OP sepanjang d sehingga didapat UV.

6. Hubungkan titik Q dan P. Garis ini merupakan strike bidang sebenarnya pada

ketinggian 300 m.

7. Hubungkan titik Q dan S yang merupakan kesejajaran garis QP. Garis ini

merupakan strike bidang sebenarnya pada ketinggian 200 m.

Page 12: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 12

8. Buat garis sejajar QP melalui titik O. Garis ini merupakan strike pada ketinggian

400 m.

9. Buat garis tegak lurus O sehingga didapat garis OW.

10. Buat garis sepanjang d pada garis strike 200 dan sepanjang 2d pada garis strike 300

(WX).

11. Hubungkan titik O dan X. Sudut WOX merupakan nilai dip sebenarnya.

O

B

U

T

W

X

S400

A

300

200

d

V

R

Q

d

d

dP

P

(a)

N

400

R

Q

d

2d

200

O

V

U

d

300

T

Gambar 2.5

Tahapan menentukan kedudukan bidang

dari dua kemiringan semu pada ketinggian berbeda.

(b)

N

S

300

P

O

400 300 200

Q

2d

2d

T

R

d

d

W

X

U

V

d

Page 13: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 13

D. Menentukan Kedudukan Bidang Berdasarkan Problem Tiga Titik (Three Point

Problems)

Maksudnya menentukan kedudukan bidang dari tiga titik yang diketahui posisi dan

ketinggiannya. Diketahui tiga titik, masing-masing : A ketinggian 200 m, B ketinggian

150 m, dan C ketinggian 100 m. Ketiga titik tersebut terletak pada bidang PQRS,

menentukan bidang PQRS.

Penyelesaian sceara grafis: (Gambar 2.6)

1. Menggambarkan kedudukan ketiga titik tersebut sesuai data kemudian

menghubungkan antara lokasi tertinggi (A) dengan lokasi terendah. (C).

2. Antara A dan C, bagilah menjadi dua bagian dengan pertolongan garis 1, sehingga

CE = EA

3. Berarti ketinggian E adalah 150 m, maka garis BE merupakan jurus ketinggian 150

m dari bidang PQRS.

4. Melalui A dan C dapat dibuat jurus 200 m dan 100 m yang sejajar dengan garis BE.

5. Menentukan kemiringannya dengan menggunakan selisih ketinggian jurus.

6. Kedudukan bidang PQRS adalah N X°E / α°

C

B

A

E

CI

BI

AI

BI I

d

d

d c

200

150

100

100

A

BI

B

d

d

CI

P Q

SR

200

150

100

C

Gambar 2.6

Menentukan kedudukan berdasarkan tiga titik.

E. Melakukan Ploting Simbol Struktur Bidang pada Peta Topografi

1. Menetukan koordinat dari kedudukan yang akan diplot

2. Mengeplotkan simbol kedudukan bidang sesuai data yang ada

Page 14: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 14

2.5. CARA PENULISAN SIMBOL STRUKTUR BIDANG

2.5.1. Struktur Bidang

Penulisan (notasi) struktur bidang dinyatakan dengan dua cara, yaitu:

A. Jurus (strike) / Kemiringan (dip)

B. Besar Kemiringan (dip), Arah Kemiringan (dip direction)

A. Jurus (strike) / Kemiringan (dip)

Penulisan struktur bidang dengan cara ini dapat dilakukan berdasarkan sistem

azimuth dan sistem kuadran.

Sistem Azimuth:

N X ° E / Y°

dimana :

X : jurus / strike, besarnya 0° - 360°

Y : kemiringan / dip, besarnya 0°- 90°

Contoh : N 042° E / 78° (notasi ini menunjukkan struktur bidang yang diukur

miring ke arah tenggara)

Sistem Kuadran :

( N / S) A° ( E / W) / B°C

dimana :

A : strike, besarnya 0° - 360°

B : dip, besarnya 0° - 90°

C : dip direction, menunjukkan arah kemiringan (dip)

Contoh: N 35° W / 30° SW atau S 35° E / 30° SW. (dalam sistem Azimuth:

N 145° E / 30°)

B. Besar Kemiringan (dip), Arah Kemiringan (dip direction)

Misalnya dalam sistem Azimuth ditulis dengan notasi N 145° E / 30°, maka penulisan

berdasarkan sistem "dip, dip direction" dapat ditulis dengan notasi 30°, N 2350 E.

Petunjuk praktis : Arah kemiringan / dip direction =jurus + 90°

Penggambaran simbol struktur bidang : (Gambar 1.8a)

1). Memplot garis jurus, tepat sesuai arah pengukuran pembacaan kompas di titik

lokasi dimana struktur bidang tersebut diukur.

2). Membuat tanda kemiringan (dip) digambarkan pada tengahnya dan tegak lurus,

searah jarum jam, dimana panjang tanda kemiringan (dip) sepertiga panjang garis

jurus.

3). Tulis besar kemiringan pada ujung tanda kemiringan.

Page 15: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 15

(Gambar 1.8)

Penggambaran simbol struktur bidang (a) dan simbpl struktur garis (b)

Gambar 1.9

Penggambaran kedudukan batuan pada peta lokasi

ditunjukkan oleh lokasi 12, 13, dan 14

Page 16: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 16

Simbol-simbol struktur bidang ( bidang perlapisan, bidang foliasi, bidang kekar, dsb ).

Bidang miring 30o (angka 30o menunjukkan “top” lapisan)

Bidang tegak 90 o (angka 90o menunjukkan “top” lapisan)

Bidang horizontal

Lapisan terbalik (angka 30o menunjukkan “bottom” lapisan)

Foliasi miring Sesar naik

Foliasi tegak Sesar turun

Foliasi horizontal Sesar mendatar kiri

Kekar miring Antiklin menunjam

(terisi mineral & tidak) 30° ke NE

Kekar vertikal sinklin menunjam

(terisi mineral & tidak) 30° ke NE

Kekar horisontal

30O

30O

30O

30O

30O

30O

30O

Page 17: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 17

BAB 3

STRUKTUR GARIS

3.1. Tujuan

a. Mampu menggambarkan geometri struktur garis ke dalam proyeksi dua

dimensi (secara grafis).

b. Mampu menentukan plunge dan rake/pitch suatu garis pada suatu bidang.

c. Mampu menentukan kedudukan struktur garis yang merupakan perpotongan

dua bidang.

3.2. Alat dan Bahan.

1. Penggaris, busur derajat

2. Jangka dan alat tulis lengkap

3.3. Definisi

Struktur garis adalah struktur batuan yang membentuk geometri garis, antara lain

gores garis, sumbu lipatan, dan perpotongan dua bidang. Struktur garis dapat

dibedakan menjadi stuktur garis riil, struktur garis semu.

Pengertian :

Struktur garis riil : struktur garis yang arah dan kedudukannya

dapat diamati dan diukur langsung di lapangan,

contoh: gores garis yang terdapat pada bidang

sesar.

Struktur garis semu :semua struktur garis yang arah atau

kedudukannya ditafsirkan dari orientasi unsur-

unsur struktur yang membentuk kelurusan atau

liniasi, contoh: liniasi fragmen breksi sesar, liniasi

mineral-mineral dalam batuan beku, arah liniasi

struktur sedimen (groove cast, flute cast) dan

sebagainya.

Berdasarkan saat pembentukannya, struktur garis dapat dibedakan menjadi struktur

garis primer yang meliputi: liniasi atau penjajaran mineral-mineral pada batuan beku

tertentu, dan arah liniasi struktur sediment. Struktur garis sekunder yang meliputi:

Page 18: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 18

gores garis, liniasi memanjang fragmen breksi sesar, garis poros lipatan dan kelurusan-

kelurusan dari topografi, sungai dan sebagainya.

Kedudukan struktur garis dinyatakan dengan istilah-istilah : arah penunjaman (trend),

penunjaman (plunge, baca : planj), arah kelurusan (bearing, baca : biring) dan rake

atau pitch.

3.3.1. Definisi Istilah - istilah dalam Struktur Garis.

Arah penunjaman (trend) : Azimuth yang menunjukkan arah penunjaman garis

tersebut, dan hanya menunjukkan satu arah tertentu

(Gambar 3.1).

Arah kelurusan (bearing) : Azimuth yang menunjukkan arah kelurusan garis

tersebut. Kelurusan ini memiliki dua pembacaan dimana

salah satu arahnya merupakan sudut pelurusnya (Gambar

3.1).

Plunge : Dip penunjaman (Gambar 3.1).

Rake/pitch : Besar sudut antara struktur garis dengan garis horisontal

yang diukur pada bidang dimana garis tersebut terdapat

dan membentuk sudut terkecil (sudut lancip) (Gambar 3.1)

3.3.2. Struktur Garis

Penulisan (notasi) struktur garis dapat dinyatakan berdasarkan dua sistem :

A. Sistem azimuth

B. Sistem kuadran

Penulisan struktur garis dengan cara ini dapat dilakukan berdasarkan sistem azimuth

dan sistem kuadran, yaitu:

A. Sistem Azimuth: Y°, N X°E

dimana :

Y = penunjaman / plunge, besarnya,0° - 90°

X = arah bearing, besarnya 0° -360°

contoh : 78°, N 042° E

B.Sistem Kuadran : tergantung pada posisi kuadran

Contoh : 45° SE, S 065° E (atau dalam sistem azimuth sama dengan 45°, N 115° E)

45° NW, S 065° E (atau dalam sistem azimuth sama dengan 45°, N 295° E).

Page 19: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 19

Penggambaran simbol struktur garis : (Gambar 1.8b)

1). Bearingnya digambarkan dengan tanda panah.

2). Tulis besar penunjamannya (plunge) pada ujung tanda panah tersebut.

Simbol: 40° terbaca 40°, N 90° E (sistem azimuth).

Gambar 3.1

Struktur garis dalam blok tiga dimensi

Keterangan :

A – L : Struktur garis pada bidang ABCD

A – K : Arah penunjaman (trend)

A – L / K – A : Arah kelurusan (bearing) = azimuth NAK

β : Penunjaman (plunge)

γ : Rake (pitch)

A

B

C

N

K

L

Page 20: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 20

3.4. Cara Pengukuran Struktur Garis Dengan Kompas Geologi

A. Cara pengukuran struktur garis yang mempunyai arah penunjaman (trend)

B. Cara pengukuran struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend)

A.Cara pengukuran struktur garis yang mempunyai arah penunjaman (trend)

Cara pengukuran arah penunjaman (trend ) : (Gambar 3.2)

1. Menempelkan alat bantu (buku lapangan atau clipboard) pada posisi tegak dan

sejajar dengan arah yakni struktur garis yang diukur.

2. Menempelkan sisi “W” atau “E” kompas pada posisi kanan atau kiri alat bantu

dengan visir kompas (sigthing arm) mengarah pada penunjaman struktur garis

tersebut.

3. Menghorizontalkan kompas (nivo mata sapi dalam keadaan

horizontal/gelembung berada di tengah nivo), maka harga yang ditunjuk oleh

jarum utara kompas adalah harga arah penunjamannya (trend).

Cara pengukuran sudut penunjaman (plunge) : (Gambar 3.2.a)

1. Menempelkan sisi “W” kompas pada sisi atas alat bantu yang masih dalam

keaadan vertikal.

2. Memutar klinometer hingga gelembung pada nivo tabung berada di tengah nivo

dan besar sudut penunjaman (plunge) merupakan besaran sudut vertikal yang

ditunjukkan oleh penunjuk pada skala klinometer.

Cara pengukuran Rake/Pitch : (Gambar 3.2.b)

1. Membuat garis horizontal pada bidang dimana struktur garis tesebut terdapat

(garis horizontal sama dengan jurus dari bidang tersebut) yang memotong

struktur garis.

2. Mengukur besar dari sudut lancip yang dibentuk oleh garis horizontal (dengan

menggunakan busur derajat).

Cara pengukuran arah kelurusan (bearing) : (Gambar 3.2.a)

1. Arah visir kompas sejajar dengan unsur-unsur kelurusan struktur garis yang

akan diukur, misalnya sumbu terpanjang pada fragmen breksi sesar.

Page 21: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 21

2. Menghorizontalkan kompas (gelembung nivo mata sapi berada di tengah nivo),

dengan catatan, posisi kompas masih seperti no.1 tersebut di atas, maka harga

yang ditunjuk oleh jarum utara kompas adalah harga arah bearing-nya.

B. Cara pengukuran struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend ) /

horizontal (pengukuran kelurusan/ linement)

Adapun yang termasuk struktur garis yang tidak mempunyai arah penunjaman (trend)

umumnya berupa arah-arah kelurusan, misalnya : arah liniasi fragmen breksi sesar,

arah kelurusan sungai, dan arah kelurusan gawir sesar.

Jadi yang perlu diukur hanya arah kelurusan (bearing) saja (Gambar 3.2.c dan 3.2.d).

(a) (b)

Page 22: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 22

(c)

(d)

Gambar 3.2

3.5. Aplikasi Struktur Garis

Aplikasi yang akan dibahas meliputi pemecahan dua masalah utama struktur garis:

A. Menentukan plunge dan rake sebuah garis pada sebuah bidang.

B. Menentukan kedudukan garis hasil perpotongan dua buah bidang.

A. Menentukan plunge dan rake sebuah garis pada sebuah bidang

Pada bidang ABCD dengan kedudukan N 000° E/45°, terletak garis AQ dengan arah

penunjaman N 135° E. Berapa besarnya plunge dan rake garis AQ ?

Penyelesaian secara grafis: (Gambar 3.3)

1. Membuat proyeksi horisontal bidang ABCD dengan kedalaman 'd'.

2. Dari titik 'A' membuat garis dengan arah N 135°E, sehingga memotong jurus pada

kedalaman 'd' di titik 'P'.

3. Melalui 'P' membuat garis PQ ( panjang = d ) tegak lurus AP, maka sudut PAQ

adalah besarnya "plunge" = 35°.

4. Memutar bidang ABCD sampai posisinya horisontal dengan "folding line" garis AB,

yakni dengan memanjangkan garis AD, ke 'Dr' dengan pusat putar titik A.

Page 23: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 23

5. Dari 'Dr' membuat garis sejajar lurus (AB), maka garis ini merupakan jurus pada

kedalaman 'd' setelah bidang ABCD diputar ke posisi horisontal.

6. Membuat melalui 'P' garis tegak lurus pada garis butir (5), serta memotongnya

dititik 'Lr'.

7. Menghubungkan 'Lr' dengan 'A', maka sudut 'BALr' adalah besarnya rake 54°.

B

P

Gambar 3.3

Penentuan plunge dan rake:

(a) penggambaran dalam blok diagram

(b) analisis secara grafis

A 45°

D

d

Dr

Q

C

(b)

N 135° E

Lr

N

A

B

C

D

K

L

d

(a)

Page 24: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 24

B. Menentukan Kedudukan Garis Perpotongan dari Dua Buah Bidang

Dua buah bidang yang masing-masing kedudukannya diketahui, yaitu bidang ABEK

dan CDFK saling berpotongan tegak lurus. Perpotongan antara keduanya merupakan

suatu garis lurus dan dapat ditentukan kedudukannya yaitu dinyatakan dengan :

plunge, rake, bearing (Gambar 3.4 dan Gambar 3.5)

Keterangan :

KL adalah trace (garis potong), sudut OKL adalah plunge ( β ), sudut δ1 adalah rake

KL pada bidang ABEK, sudut δ2 adalah rake KL pada bidang CDFK, arah KO adalah

bearing, diukur terhadap arah utara.

Contoh soal . :

Batugamping dengan kedudukan N 048°E / 300 NW terpotong intrusi dyke dengan

kedudukan N 021 °W / 50° NE, sehingga pada jalur perpotongannya terdapat

mineralisasi. Tentukan kedudukan jalur perpotongannya !

Penyelesaian secara grafis: (Gambar 3.4)

1. Menggambar strike batugamping dan intrusi dyke yang berpotongan di O.

2. Menggambarkan proyeksi horisontal batugamping dan dyke pada kedalaman „d '

dengan menggunakan FLI dan FL2, sehingga tergambar jurus dengan

kedalaman 'd' dari batugamping dan intrusi dyke serta berpotongan di C.

3. Garis OC adalah proyeksi horisontal jalur perpotongan, yang merupakan

bearing-nya, yaitu dengan mengukur sudut antara garis OC terhadap arah

utara, terhitung 0°, jadi bearing-nya adalah N 000° E.

4. Melalui C membuat garis CD (panjang = d) tegak lurus OC. Sudut COD adalah

plunge terhitung = 24°.

5. Memutar bidang batugamping dan dyke sampai posisi horisontal, maka

tergambar rebahan masing-masing jurus pada kedalaman 'd'

6. Membuat garis CDrg dan CDrd yang masing-masing tegak lurus pada garis

jurus.

7. Garis ODrg adalah rebahan OD pada batugamping dan ODrd adalah rebahan

OD pada dyke.

8. Sudut BODrg adalah rake pada batugamping = 53°

9. Sudut AODrd adalah rake pada dyke = 32°

10. Jadi kedudukan garis potongnya adalah = 24°, N 000° E

Page 25: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 25

Batugamping

Intrusi Dyke

Gambar 3.4

Penentuan unsur-unsur strukur garis perpotongan dari dua buah bidang dengan menggunakan

proyeksi grafis

O

A

B

D

50°

FL2

FL1 d

d

Drg

d 30° N 021° W N 048° E

Drd C

Page 26: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 26

Gambar 3.5

Kedudukan struktur garis perpotongan dari dua buah bidang dalam kenampakan tiga dimensi

Keterangan

K – L : Struktur garis dari perpotongan bidang ABEK dan

bidang CDEK

K – O : Arah penunjaman (trend)

K – O / O – K : Arah kelurusan (bearing) = azimuth NKO

Β : Penunjaman (plunge)

α1 : Rake (pitch) terhadap bidang ABEK

α2 : Rake (pitch) terhadap bidang CDFK

A

C

DL

B

F

E

K

O

Page 27: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 27

BAB 4

PROYEKSI STEREOGRAFIS DAN PROYEKSI KUTUB

4.1. Tujuan

a. Mampu memecahkan masalah geometri bidang dan geometri garis secara

stereografis.

b. Mampu menggunakan proyeksi stereografis sebagai alat bantu dalam tahap

awal analisis data yang diperoleh di lapangan untuk berbagai macam data

struktur.

4.2. Alat – alat praktikum

1. Alat tulis lengkap, stereonet dan paku pines

2. Kalkir ukuran 20 x 20 cm ( 4 lembar )

4.3. Definisi

4.3.1. Proyeksi Stereografis

Merupakan proyeksi yang didasarkan pada perpotongan bidang / garis dengan suatu

permukaan bola. Unsur struktur geologi akan lebih nyata, lebih mudah dan cepat

penyelesaiannya bila digambarkan dalam bentuk proyeksi permukaan bola.

Permukaan bola tersebut meliputi suatu bidang dengan pusat bola yang terlihat pada

bidang tersebut maka bidang tersebut memotong permukaan bola sepanjang suatu

lingkaran, yaitu lingkaran besar. Gambar 4.1 menunjukkan perbandingan antara

proyeksi orthografi dengan proyeksi permukaan bola.

Yang dipakai sebagai gambaran posisi struktur di bawah permukaan adalah belahan

bola bagian bawah. Selanjutnya proyeksi permukaan bola digambarkan pada

permukaan bidang horisontal dalam bentuk proyeksi stereografis. Hal tersebut didapat

dari perpotongan antara bidang horisontal yang melalui pusat bola dengan garis yang

menghubungkan titik-titik pada lingkaran besar terhadap titik zenithnya. Gambaran

proyeksi yang didapat disebut dengan stereogram dan hubungan sudut di dalam

proyeksi stereografi seperti nampak pada Gambar 4.2. Dari gambar tersebut tampak

bahwa pengukuran besar sudut selalu dimulai dari 0 di tepi lingkaran (lingkaran

primitif) dan 90° di pusat lingkaran.

Hubungan antara proyeksi permukaan bola dengan pembuatan lingkaran besar dan

lingkaran kecil seperti pada Gambar 4.3.

Page 28: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 28

Gambar 4.1

Gambar 4.2

Gambar 4.3

W

S

N

E

E

N

W

S

Bidang dasar

Zn

0

20 20

4545

70 7090

0W

S

E

N

Zn

Stereografis

Page 29: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 29

Macam-macam proyeksi sterografi :

1. Equal angle projection net atau Wulf net.

2. Equal area projection net atau Schmidt net.

3. Orthographic net.

Dalam proyeksi ini, penggunaan ketiga jaring tersebut pada prinsipnya sama, yaitu 0°

dimulai dari lingkaran primitif dan 90° di pusat lingkaran.

Wulf Net

Misalkan pada bidang kedudukan N 000° E/ 45° terletak garis dengan arah N 045° E.

Maka hubungan antara proyeksi gambaran orthografi, stereografis, dan stereogramnya

dapat dilihat pada Gambar 4.4.a, 4.4.b, dan 4.4.c.

Page 30: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 30

S

E

FN

O

C’

B’

(a) (b)

(c)

Gambar 4.4

Keterangan gambar :

Struktur bidang : strike = NOE

dip = EC' atau sudut COC'

Struktur garis OB' : bearing = busur NF

rake/pitch = busur NB' atau sudut.BON

plunge = B'F atau sudut BOB'

Stereogram struktur bidang adalah busur NB'C'S

Stereogram struktur garis adalah garis OB' .

W

N

E

S

0

C

B

C

B

W

S

N

E

B

C

C

B

F

Zn

Page 31: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 31

4.3.2. Struktur Bidang

Stereogram struktur bidang selalu diwakili oleh lingkaran besar, sehingga besar sudut

kemiringan selalu diukur pada arah E - W jaring, yaitu 0° pada lingkaran primitif dan

90° di pusat lingkaran.

Contoh:

Penggambaran stereogram bidang N 045° E/300 sebagai berikut :

Letakkan kertas kalkir di atas stereonet dan gambarkan lingkaran primitifnya.

Beri tanda N, E, S, dan W serta titik pusat lingkaran.

Gambar garis strike melalui pusat lingkaran sesuai dengan harganya (Gambar

4.5.a).

Putar kalkir sampai garis strike berimpit dengan garis N - S jaring. Lalu gambar

garis busur lingkaran besar sesuai dengan besarnya dip (ingat prinsip aturan

tangan kanan) (Gambar 4.5.b).

Putar kalkir sehingga N kalkir berimpit dengan jaring, maka nampak stereogram

dari bidang N O45° E / 30° (Gambar 4.5.c).

Page 32: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 32

N

E

S

45 0N

E

N

SE

Dip

30o

(a) (b)

(c)

Gambar 4.5

Penggambaran stereogram bidang N 045° E/300

S

E

N

Dip

Page 33: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 33

4.3.3. Struktur Garis

Stereogram struktur garis berupa suatu garis lurus dari pusat lingkaran. Besarnya

plunge dihitung 0° pada lingkaran primitif dan 90° di pusat lingkaran dan diukur pada

kedudukan bearing berimpit dengan N-S atau E-W jaring.

Contoh:

Penggambaran stereogram garis kedudukan 30° ,N 045° E sebagai berikut :

Tentukan titik pada lingkaran primitif sesuai harga bearing, dan hubungkan

dengan pusat lingkaran, sehingga merupakan garis lurus (Gambar 4.6.a).

Putar kalkir sehingga garis tersebut berimpit dengan N-S atau E-W jaring,

kemudian ukur besarnya plunge (Gambar 4.6.b).

Putar kalkir sehingga N-kalkir berimpit dengan N-jaring maka OD merupakan

stereogram garis kedudukan 30°, N 045° E (Gambar 4.6.c).

Page 34: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 34

(a) (b)

(c)

Gambar 4.6

Penggambaran stereogram garis kedudukan 30° ,N 045° E

45 0N

E

F

F

S

E

W

D

F

O

O

D

SE

3O

S

N45 0

F

EO

S

D

Plunge

Page 35: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 35

4.4 Aplikasi Metode Stereografis dalam Berbagai Jenis Kasus

Aplikasi metode Stereografis yang akan diterapkan pada praktikum ini meliputi :

A. Menentukan Apparent Dip, Plunge dan Rake Suatu Garis

B. Menentukan Kedudukan Bidang Dari Dua Kemiringan Semu

C. Menentukan Kedudukan Garis Potong Dari Dua Bidang Yang Berpotongan

Di bawah ini diberikan contoh-contoh cara penyelesaian kasus A – C.

A. Menentukan Apparent Dip, Plunge dan Rake Suatu Garis

Suatu bidang kedudukan N 050° E/50°. Tentukan apparent dip pada arah N 080° E!

Penyelesaian :

Gambar stereogram bidang N 050° E / 50° dan garis arah apparent dip N 080° E

(Gambar 4.7.a).

Putar kalkir sampai garis arah N 080° E tersebut berimpit dengan E-W jaring dan

baca besarnya apparent dip pada garis tersebut dimana 0° pada lingkaran primitif

(Gambar 4.7.b).

Jika pada bidang N 050° E / 50° ini terletak garis yang arahnya N 080° E, dengan cara

seperti di atas didapat besarnya plunge garis tersebut adalah 31° (Gambar 4.8.a dan

4.8.b). Sedangkan besarnya rake/pitch didapat sebagai berikut:

a. Putar kalkir sehingga garis strike bidang N 050° E/ 50° berimpit dengan N-S jaring.

Dan besarnya rake dihitung pada busur lingkaran besar bidang tersebut dengan

menggunakan lingkaran kecil serta dipilih yang lebih kecil dari 90°, yaitu dimulai

dari N-jaring sampai ke perpotongan garis dengan busur lingkaran besar bidang

tesebut, besarnya didapat 12° (Gambat 4.8.c).

Page 36: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 36

S

N

E

50

FO

50° 80°

S

N

EF

O

31° apparent dip

S

N

EF

O

31° plunge

42°

rake

S

N

E50

FO

50° 80°

(a)

( c )

(b)

Gambar 4.7

Penggambaran stereogram bidang N 050° E / 50° dan garis arah apparent dip N 080° E

Gambar 4.8

Penentuan plunge dan rake/pitch dari garis N 080° E pada bidang N 050° E / 50°

Page 37: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 37

B. Menentukan Kedudukan Bidang dari Dua Kemiringan Semu

Dua kemiringan semu suatu lapisan batupasir diketahui sebagai berikut :

A. 25° pada arah N 010° E

B. 34° pada arah N 110° E

Tentukan arah kedudukan batupasir tersebut!

Penyelesaian :

Gambar masing-masing arah kemiringan semunya, yaitu N 010° E dan N ll0° E

(Gambar 4.9.a).

Putar kalkir sehingga arah kemiringan semu N 010° E berimpit dengan E-W jaring,

plot besar kemiringan semu 25° dihitung dari lingkaran primitif, yaitu titik A

(Gambar 4.9.b).

Begitu juga untuk kemiringan semu 34° pada arah N llO° E, yaitu titik B (Gambar

4.9.c).

Kalkir diputar sehingga titik A dan B terletak dalam satu lingkaran besar. Dan

gambar lingkaran besar tersebut beserta garis strike-nya, serta hitung besarnya

dip, yaitu didapat 42° (Gambar 4.9.d).

Putar kalkir sehingga N kalkir berimpit dengan N jaring maka kedudukan

batupasir dapat dibaca, yaitu N 340° E / 42° (Gambar 4.9.e).

Page 38: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 38

E

N

S

EW

N

S

E

N

S

10o

110o

E

N

S

EW

N

S

E

N

S

10o

110o

A

E

N

S

EW

N

S

E

N

S

10o

110o

A

B

a b

(a) (b)

(c) (d)

e

(e)

Gambar 4.9

Menentukan Kedudukan Bidang Dari Dua Kemiringan Semu

Page 39: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 39

C. Menentukan Kedudukan Garis Perpotongan dari Dua Bidang

Suatu bidang A kedudukan N 010° E / 30° berpotongan dengan bidang B kedudukan

N 130° E/ 50°. Tentukan kedudukan garis potongannya !

Penyelesaian :

Gambarkan stereogram kedua bidang tersebut (Gambar 4.10.a).

OB adalah stereogram garis potongnya, sedangkan busur NEF adalah bearing OB

yang diukur pada saat N kalkir berhimpit N jaring.

Busur BF adalah plunge, diukur pada posisi OF berhimpit dengan E-W / N-S jaring

(Gambar 4.10.b).

Busur CB adalah rake OB pada bidang N 010° E / 30°, diukur pada posisi strike

bidang tersebut berimpit dengan N-S jaring. Begitu juga busur DB adalah rake OB

pada bidang S 050° E / 50° SW (Gambar 4.10.c).

Page 40: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 40

EW

N

S

EW

N

S

EW

N

S

10o

E

W

N

S

E

W

N

S

E

W

N

S

A

B

C

O

G

F

D

30o

50

o

30o

50o

(a) (b)

(c)

Gambar 4.10

Menentukan Kedudukan Garis Perpotongan dari Dua Bidang

Page 41: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 41

4.5. Proyeksi Kutub

4.5.1. Definisi

Proyeksi kutub suatu bidang berupa suatu titik hasil proyeksi permukaan bola

(Gambar 4.11), sedangkan proyeksi kutub suatu garis merupakan suatu titik tembus

suatu garis terhadap permukaan bola pada bidang horizontal (Gambar 4.12).

Catatan :

Pengeplotan proyeksi kutub struktur bidang 0° dimulai dari pusat lingkaran

sedangkan 90° dimulai atau terletak pada lingkaran primitif.

Pengeplotan proyeksi kutub struktur garis 0° dimulai dari lingkaran primitif,

sedangkan 90° terletak pada pusat lingkaran.

4.5.2. Schmidt Net

Dibuat berdasarkan luas daerah yang sama dari titik-titik proyeksi pada kedudukan

tertentu yang tercakup di dalamnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari distribusi

yang tidak merata apabila diadakan pengukuran dalam jumlah yang besar dalam

analisa secara statistik.

Suatu bidang dengan jurus N-S dan dip ke arah E, proyeksi kutubnya digambarkan

sebagai titik pada garis E-W ke arah barat dimana harga dip-nya dihitung 0° dari pusat

lingkaran sedangkan 90° pada lingkaran primitif (Gambar 4.13). Sedangkan suatu

garis dengan plunge tepat ke arah selatan, proyeksi kutubnya berupa titik pada garis

N-S jaring sebelah selatan dengan harga plunge 20° dimulai dari lingkaran primitif dan

90° pada pusat lingkaran, dihitung dari S-jaring (Gambar 4.14).

Perbedaan Utama :

Wulf Net yaitu lingkaran besar dan lingkaran kecil didapat dari proyeksi permukaan

bola ke arah titik zenit.

Schmidt Net yaitu lingkaran besar dan kecil dibuat berdasarkan luas yang mendekati

kesamaan dari jaring yang dihasilkan oleh perpotongannya sehingga interval tiap

lingkaran akan merata pada setiap kedudukan.

Page 42: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 42

Zn

W

N

E

S

Zn

N

EWZn

A

C

D

S

Gambar 4.11 Gambar 4.12

Proyeksi kutub struktur bidang Proyeksi kutub struktur garis

N

EP

S S

EW

P

N

90 0

S

P

W

Gambar 4.13 Gambar 4.14

Proyeksi kutub (P) bidang dengan Proyeksi kutub (P) garis dengan arah ke

jurus N-S dan dip ke arah E selatan dan plunge 20o

Page 43: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 43

4.5.1.1. Penggambaran Proyeksi Kutub Pada Schmidt Net

1. Penggambaran struktur bidang:

Contoh:

Struktur Bidang N 135° E / 60° (Gambar 4.15)

Memutar kalkir berlawanan dengan arah jarum jam sehingga N kalkir berimpit

dengan harga strike.

Kemudian menentukan proyeksi kutubnya berdasarkan besar dip (90° dari dip) ,

dimana 0° dimulai dari pusat lingkaran.

Memutar kalkir hingga N kalkir berimpit dengan jaring maka kedudukan titik

pada jaring (titik P) merupakan proyeksi kutub dari bidang dengan kedudukan

N 135° E/ 60°.

2. Penggambaran struktur garis:

Contoh:

Struktur garis 30°, N 225° E (Gambar 4.16)

Memutar kalkir berlawanan dengan arah jarum jam sehingga N kalkir berimpit

dengan harga bearing-nya.

Kemudian menentukan proyeksi kutubnya berdasarkan besar plunge (90° dari

plunge), dimana 0° dimulai dari lingkaran primitif.

Memutar kalkir hingga N kalkir berimpit dengan N jaring maka kedudukan

yang diperoleh kedudukan titik P merupakan proyeksi kutub dari garis 30°, N

225° E.

Page 44: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 44

N

WS

PE

E

S

W

N

P

(a) (b)

Gambar 4.15

Penggambaran proyeksi kutub pada Schmidt Net untuk bidang dengan kedudukan N 135° E /

60°

N

WS

P

E

E

S

W

N

P

(a) (b)

Gambar 4.16

Penggambaran proyeksi kutub pada Schmidt Net untuk struktur garis 30°, N 225° E

Page 45: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 45

4.5.1.2. Penggambaran Proyeksi Kutub Pada Polar Equal Area Net

Dalam pengeplotan penggambarannya, kertas kalkir posisinya tetap (tidak diputar-

putar). Prinsip dan hasilnya sama dengan bila menggunakan Schmidt Net, tetapi di

sini lebih praktis.

1. Struktur bidang dengan sistem azimuth (Gambar 4.17)

Untuk mempermudah penggambarannya maka pembagian derajat pada jaring

dimulai dari titik W (jurus 0°) searah dengan jarum jam. Sedangkan besar

kemiringan 0° dihitung dari pusat lingkaran dan 90° pada tepi lingkaran. Proyeksi

kutubnya berupa titik.

2. Struktur garis dengan sistem azimuth dan kwadran (Gambar 4.18)

Untuk mempermudah penggambarannya maka pembagian derajat pada jaring

dimulai dari titik N (bearing 0°) searah dengan jarum jam. Sedangkan besar

penunjaman 0° dihitung dari lingkaran luar (Lingkaian primitif) dan 90° pada

tengah lingkaran. Proyeksi kutubnya berupa titik.

Page 46: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 46

N

EW

S

80

50

40

30

60

70

20

10

0

90

270

180

P

Gambar 4.17

Cara penggambaran proyeksi kutub suatu bidang dengan

kedudukan N040°E / 60°

N

EW

S

0 10

20

30

40

50

60

70

80

90

P

P

Gambar 4.18

Cara penggambaran proyeksi kutub suatu garis dengan

kedudukan 40°, N 60°E

Page 47: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 47

Ringkasan cara penggunaan STEREONET

1. Proyeksi stereografis

a. Wulf Net

* Struktur Bidang.

- Strike : 0° dimulai dari arah utara (N) pada Wulf Net.

- Dip : 0° dimulai dari lingkaran primitif (tepi) dan 90° berada di

pusat Wulf Net.

* Struktur Garis.

- Bearing : 0° dimulai dari arah utara (N) pada Wulf Net.

- Plunge : 0° dimulai dari lingkaran primitif (tepi) dan 90° berada pada

pusat Wulf Net.

b. Schmidt Net.

* Struktur Bidang.

- Strike : 0° dimulai dari arah utara (N) pada Schmidt Net.

- Dip : 0° dimulai dari lingkaran primitif(tepi) dan.90° berada di pusat

Schmidt Net.

* Struktur Garis.

- Bearing : 0° dimulai dari arah utara (N) pada Schmidt Net.

- Plunge : 0° dimulai dari lingkaran primitif (tepi) dan 90° berada pada

pusat Schmidt Net.

2. Proyeksi Kutub (menggunakan Polar Equal Area Net)

* Struktur Bidang.

- Strike : 0° dimulai dari sisi barat (W) pada Polar equal area net.

- Dip : 0° dimulai dari pusat dan 90° berada di lingkaran primitif (tepi).

* Struktur Garis.

- Bearing : 0° dimulai dari utara (N).

- Plunge : 0° dari ligkaran primitif (tepi) dan 90° berada di pusat.

Page 48: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 48

ANALISA ARUS PURBA DENGAN PROYEKSI STEREOGRAFI

Penentuan atau analisa arus purba dapat dilakukan dengan menggunakan

struktur sedimen khususnya pada struktur-struktur sedimen yang dapat

memperlihatkan indikasi arah transport sedimen, baik berupa bidang maupun garis.

Beberapa struktur tersebut antaralain :

Cross bedding

Flute cast

Groove cast

Ripple mark (asimetri)

Dll

Dalam penentuan atau analisa arus purba dengan menggunakan struktur sedimen di

atas harus memperhatikan geometri dari struktur sedimen tersebut baik berupa bidang

atau berupa garis,karena terdapat perbedaan khas dalam cara penentuan arah arus

purbanya, antara lain:

1. Pada struktur sedimen dengan geometri garis, arah arus purba akan searah dengan

sumbu dari struktur sedimen. Struktur sedimen tersebut antara lain: flute cast,

groove cast, dll.

Menentukan arah arus purba dengan struktur sedimen yang bergeometri garis

(Contoh kasus dengan menggunakan flute cast):

1. Gambarkan kedudukan bidang dimana flute cast tersebut terdapat.

2. Gambarkan arah bearing dari flute cast

3. Menghorizontalkan kedudukan bidang dengan sumbu putarnya pada strike

bidang perlapisan tersebut

4. Tempatkan strike bidang perlapisan pada arah utara-selatan stereonet.

5. Pada perpotongan bearing flute cast dengan bidang perlapisan dihubungkan

ke lingkaran primitif stereonet dengan jaring-jaring kecil. Arah arus purba

adalah perpotongan antara lingkaran primitif dengan jaring-jaring tersebut

diukur dari arah utara stereonet sepanjang lingkaran primitif.

2. Pada struktur sedimen dengan geometri bidang, arah arus purba akan tegak lurus

jurus dan searah dengan dip perlapisan. Struktur sedimen tersebut antaralain : cross

bedding,ripple mark, dll.

Page 49: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 49

Menentukan arah arus purba dengan struktur sedimen yang bergeometri garis

(Contoh kasus dengan menggunakan cross bedding):

1. Plot kedudukan cross bedding dengan proyeksi stereografi, baik proyeksi bidang

maupun proyeksi kutubnya.

2. Plot kedudukan batupasir

3. Untuk mengembalikan bidang batupasir pada posisi horizontal, bidang

batupasir di rotasi sebesar dipnya ke lingkaran primitive, dengan strike

batupasir ditempatkan di posisi NS jaring stereografi.

4. Pada saat menghorisontalkan batupasir, maka cross bedding akan ikut terotasi

(untuk mudahnya gunakan proyeksi titik) sepanjang lingkaran kecil dengan

arah dan besar yang sama dengan dengan rotasi dari batupasir.

5. Proyeksi titik cross bedding setelah dirotasi di tempatkan sepanjang garis timur

barat, dan gambarkan proyeksi bidangnya.

6. Arah arus purba sejajar dengan arah dip dari cross bedding setelah terotasi.

Page 50: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 50

BAB 5

METODE STATISTIK

5.1. Tujuan

Mampu menentukan arah umum dari data struktur lapangan yang diambil di

lapangan.

5.2. Alat dan Bahan

Alat tulis lengkap

5.3. Definisi

Metode Statistik :

Adalah suatu metode yang diterapkan untuk mendapatkan kisaran harga rata-rata

atau harga maksimum dari sejumlah data acak, sehingga dapat diketahui

kecenderungan-kecenderungan bentuk pola ataupun kedudukan umum dari jenis

struktur yang sedang dianalisa.

Metode statistik disini terdiri dari dua metode yang pengelompokannya didasarkan

atas banyaknya parameter yang digunakan yaitu:

1. Pertama adalah metode statistik dengan satu parameter

2. Kedua adalah metode statistik dengan dua parameter

1. Metode statistik dengan satu parameter

Yang dimaksud satu parameter adalah data-data yang akan dibuat diagramnya hanya

terdiri dari satu unsur pengukuran, misalnya data-data jurus dari kekar vertikal, arah-

arah (bearing) liniasi struktur sedimen, arah liniasi fragmen breksi sesar, arah

kelurusan gawir, dsb. Jenis diagram dari metode adalah:

a) Diagram kipas

b) Diagram roset

c) Histogram.

a) Diagram kipas

Tujuan diagram ini adalah untuk mengetahui arah kelurusan umum yang datanya

hanya menggunakan satu unsur pengukuran saja (data bearing dan mengabaikan

Page 51: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 51

trend). Data-data pengukuran dimasukkan dalam suatu tabel sehingga mempermudah

proses dalam pembuatan diagramnya.

Cara Pembuatan Diagram Kipas :

Dari pengukuran dilapangan didapatkan data seperti di bawah ini :

Tabel: 5.1. 50 data pengukuran jurus kekar gerus vertikal.

N .............. °E N..........°E N........°E N...........°E N.........°E

186 8 190 189 351

10 188 183 2 174

191 181 3 16 353

12 1 357 4 6

187 16 18 199 21

9 13 197 359 23

356 192 16 179 201

177 7 193 199 24

14 185 15 178 204

7 195 203 172 11

1. Membuat tabulasi data dari data-data di atas.

2. Menentukan jari-jari diagram dengan menjadikan jumlah data terbanyak

sebagai jari-jari maksimum, dalam soal berarti 6 interval dimana tiap interval

berharga 4%.

3. Membagi sisi paling luar dari busur sesuai dengan pembagian arahnya, dari situ

ditarik garis-garis kearah pusat busur (Gambar 5.1.a & 5.1.b)

4. Terakhir memasukkan hasil perhitungan persentase (Tabel 7.2) ke dalam

gambar sehingga didapatkan analisa arah umum kekar gerusnya N007°E / 30° -

N018°E / 30° (Gambar 5.l.c).

Page 52: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 52

TABEL 5.2 : Tabulasi data untuk pembuatan diagram kipas

ARAH NOTASI JUMLAH PERSENTASE

N ........ °E N ......... °E

0 - 5 180 - 185 III 4 16%

5 - 10 185 - 190 IIIII I 6 24%

10 - 15 190 - 195 IIIII 5 20%

15 - 20 195 - 200 II 2 8%

20 - 25 200 - 205 III 3 12%

25 - 30 205 - 210

30 - 35 210 - 215

35 - 40 215 - 220

40 - 45 220 - 225

45 - 50 225 - 230

50 - 55 230 - 235

55 - 60 235 - 240

60 - 65 240 - 245

65 - 70 245 - 250

70 - 75 250 - 255

75 - 80 255 - 260

80 - 85 260 - 265

85 - 90 265 - 270

90 - 95 270 - 275

95 - 100 275 - 280

100 - 105 280 - 285

105 - 110 285 - 290

110 -115 290 - 295

115 - 120 295 - 300

120 - 125 300 - 305

125 - 130 305 - 310

130 -135 310 - 315

135 - 140 315 - 320

140 - 145 320 - 325

145 - 150 325 - 330

150 - 155 330 - 335

155 - 160 335 - 340

160 - 165 340 - 345

165 - 170 345 - 350 II 2 8%

170-175 350 - 355

175 - 180 355 - 360 III 3 12%

Page 53: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 53

Gambar 5.1.a

Jari – jari diagram setengah lingkaran dalam pembuatan diagram roset

Gambar 5.1.b

Pembagian interval dari pusat busur

0 10 2030

40

50

60

70

80

9024201612840

350340

330320

310

300

290

280

270

Gambar 7.1.b pembagian interval dari pusat bujur

Gambar 7.1.c Hasil analisis arah umum kekar.

0 10 2030

40

50

60

70

80

9024201612840

350340

330320

310

300

290

280

270

0 4 8 12 16 20 24Gambar 7.1.a

jari - jari diagram setengah lingkaran dalam pembuatan diagram roset

Page 54: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 54

Gambar 5.1.c

Hasil analisis arah umum kekar

b) Diagram roset.

Tujuan : Diagram ini dimaksudkan untuk mengetahui arah kelurusan umum dari data-

data dengan satu parameter, yaitu bearing (memperhatikan trend).

Tabulasi data: Data-data yang ada dimasukkan dalam tabel dengan tujuan untuk

mempermudah akan tetapi tabelnya berbeda dengan tabel pada diagram kipas.

Cara Pembuatan Diagram Roset:

Pada prinsipnya pembuatan sama dengan diagram kipas hanya perbedaannya disini

terletak pada bentuknya dimana diagram kipas berbentuk setengah lingkaran

sedangkan diagram roset berbentuk lingkaran penuh,dengan demikian pencantuman

tanda, serta arahnyapun berbeda.

CONTOH SOAL, didapat data-data seperti di bawah ini :

TABEL 5.3 : 50 data pengukuran arah struktur sedimen (memiliki trend) "Flute Cast"

N ......... °E N .......°E N ........ . °E N...... °E N ........ °E N......... °E N…..°E

175 169 157 109 127 118 122

136 162 307 126 141 111 128 116 132 106 148 144 302 146 166 112 134 142 123 133 113 138 304 130 127 129 163 126

131 297 107 143 223 151 121 168 114 111 124 47 108 97

Page 55: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 55

TABEL 5.4 Tabulasi data untuk pembuatan diagram rosset

ARAH NOTASI JUMLAH PERSENTASE ARAH NOTASI JUMLAH PERSENTASE

0-5 I 1 4% 180 – 185

1 - 15 185-189

15 - 20 189 -195

15 - 20 195 – 200

20 - 25 200 -205

25 - 30 205 – 210

30 - 35 210 -215

35 - 40 215 -220

40 - 45 220 – 225 1 1 4%

45 - 50 I I 4% 225 – 230

50 - 55 230 – 235

55 - 60 235 – 240

60 - 65 240 – 245

65 - 70 245 – 250

70 - 75 250 – 255

75 - 80 255 – 260

80 - 85 260 – 265

85 - 90 265 – 270

90 - 95 I l 4% 270 – 275

95 - 100 275 – 280

100 -105 II 2 8% 280 – 285

105 - 110 III 3 12% 285 – 290

110 - 115 III 3 12% 290 – 295

115 - 120 II 1 8% 295 – 300 1 1 4%

120 - 125 IIII 4 16% 300 – 305 11 2 8%

115 - 130 IIIIII 6 24% 305 – 310 I 1 4%

130 -135 IIIII 5 20% 310 – 315

135 -140 ll 2 8% 315 – 320

140 -145 IIII 4 16% 320 – 325

145 - 150 II 2 8% 325 – 330

150 -155 I I 4% 330 – 335

155 - 160 1 I 4% 335 – 340

160 -165 II 2 8% 340 – 345

165 -170 III 3 12% 345 – 350

170 .175 I l 4% 350 – 355

175 - 180 355 – 360

Page 56: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 56

Gambar 5.2

Analisis diagram roset

Page 57: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 57

c) Histogram

Tujuan : Seperti yang lain yaitu untuk mengetahui arah kelurusan umum dari unsur–

unsur struktur. Tabulasi data dan prinsip sama dengan diagram kipas yaitu data

bearing tanpa memperhatikan trend dimasukkan dalam satu tabel (tabulasi data)

seperti pada diagram kipas (Tabel 5.2)

Cara pembuatan Histogram:

Contoh pembuatan histogram yang diberikan di sini diambil dari data data pengukuran

kekar gerus vertikal sebanyak 50 buah (Tabel 5.1). Dari pemasukan data pengukuran

ke tabel 5.2 diperoleh persentase 0%,4%,…..24%. Harga-harga ini diperoleh pada

ordinat (sumbu vertikal), dari 0% ke atas hingga harga maksimum 21% dengan skala

bebas (Gambar 5.3). Pada absis (sumbu horizontal) diplot arah-arah dari barat ke timur

dengan patokan arah utara dibagian tengahnya (Gambar 5.3).

Langkah terakhir, masukkan hasil perhitungan (Tabel 5.2) ke dalam gambar 5.3

sehingga didapatkan diagram berupa batang dengan puncak yang paling menunjukkan

hasil analisa arah umum kekar gerus N007°E / 30° (Gambar 5.3). Maka harga

kedudukan umum akan sama dengan yang ditunjuk oleh diagram kipas (lihat Gambar

5.1).

W270 280 290 300310 320 330 340 350 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

EN

Arah N.... Eo

0

4

8

12

16

20

24

Gambar 5.3.

Page 58: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 58

Hasil Analisa Histogram

2. Metode Statistik dengan Dua Parameter (Diagram kontur).

Metode statistik dengan data yang menggunakan dua unsur pengukuran seperti pada

struktur garis (datanya terdiri dari bearing dan plunge), atau struktur bidang (datanya

terdiri dari strike dan dip). Metode yang digunakan adalah menggunakan diagram

kontur, yaitu diagram yang pembuatannya didasarkan pada prinsip-prinsip proyeksi

stereografis dan proyeksi kutub.

Pembuatan diagram kontur:

Cara pembuatan diagram kontur terdiri dari tiga tahap:

Tahap 1, tahap pengeplotan data.

Tahap 2, tahap perhitungan kerapatan data.

Tahap 3, tahap countouring titik-titik kerapatan.

Sebagai contoh di sini akan diuraikan tahap pembuatan diagram kontur dari 50 data

pengukuran kekar tarik (extention joint). Lihat gambar 5.4 dan 5.5.

TAHAP 1 : Mengeplotkan 50 data kedudukan kekar tarik yang ada ke dalam Polar

Equal Area sehingga didapatkan 50 titik yang merupakan proyeksi

kutubnya (Gambar 5.4.a)

TAHAP 2 : Menghitung kerapatan titik-titik tersebut ke dalam Kalsbeek Counting

Net. Setiap segi enam dari segitiga-segitiga yang bersebelahan dalam

jaring ini membentuk suatu segi enam (hexagonal) yang luasnya

berharga 1 % terhadap luas total jaring. Letakkan kalkir berisi hasil

pengeplotan tahap 1 di atas Jaring Kalsbeek pada suatu posisi yang tetap

dan tidak tergantung pada arah-arah mata angin, posisi tetap ini

diusahakan tidak berubah sampai proses perhitungan kerapatannya

selesai. Hitunglah jumlah titik-titik yang masuk ke dalam setiap bentuk

segi enam dan cantumkan angka pada titik pusat segi enam yang

bersangkutan, sesuai dengan jumlah (kerapatan) titik yang masuk ke

dalam segi enam yang bersangkutan.

Untuk titik-titik yang jatuh pada tempat-tempat tertentu pada Jaring

Kalsbeek, perhitungannya tidak menggunakan bentuk segi enam, tetapi

dapat berbentuk lingkaran, separuh lingkaran, separuh segi enam dan

Page 59: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 59

segi lima (Gambar 5.4.b), tetapi pada prinsipnya jumlah segi tiganya

tetap 6.

Untuk titik-titik pusat segi enam yang letaknya di pinggir jaring

bentuknya menjadi separuh segi enam atau separuh lingkaran (Gambar

5.4.b) angka kerapatan yang dicantumkan pada pusatnya merupakan

jumlah titik-titik kutub dari dua bentuk separuh lingkaran atau segi

enam yang saling berseberangan. Untuk segienam-segienam yang tidak

mempunyai angka kerapatan, cantumkan angka-angka nol pada pusat-

pusatnya yang akan berfungsi sebagai batas penarikan atau penyebaran

kontur kerapatannya (Gambar 5.5.a).

TAHAP 3 : Setelah semua angka-angka kerapatan selesai dicantumkan pada pusat-

pusat segi enamnya, tariklah garis kontur yang menghubungkan titik-

titik kerapatan yang sama (Gambar 5.5.a). Penarikan garis kontur disini

sama dengan prinsip penarikan garis kontur topografi. Semua garis

kontur yang di tarik harus bersifat tertutup, sehingga jika ada garis

kontur yang memotong garis tepi jaring harus dibuat tertutup melalui

titik-titik berseberangan dengan titik-titik potong dengan tepi jaring

(Gambar 5.5.a). Beri tanda yang berbeda untuk setiap daerah yang

dibatasi oleh dua kontur kerapatan yang berbeda (Gambar 5.5.b). Dengan

demikian setiap tanda yang dibuat akan menunjukkan kisaran atau

interval harga-harga kerapatannya. Karena jumlah pengukuran di sini =

50 data, maka harga satu titik kerapatannya adalah 1 / 50 x 100% = 2%.

Harga tertinggi atau maksimal dianggap sebagai "Pole" kedudukan

umumnya. Tentukan titik pusat dari pole ini dan baca kedudukannya

dengan Polar Equal Area (Gambar 5.5.b).

Page 60: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 60

N 000 EO

N 270 EO

N 180 EO

N 090 EO

7

(a) (b)

Gambar 5.4

(a) Plot data – data pengukuran kekar pada “Polar Equal Area Net”.

(b) Plotkan jumlah – jumlah titik pada pusat segienam pada “Kalsbeek”

>12%

8% -12% 2% - 4%

4 % - 8%

N 0 EO

N 180 EO

N 0 EO

(a) (b)

Gambar 5.5

(a) Penarikan kontur kerapatan pada diagram kontur

(b) Kedudukan umum terletak pada kontur > 12%.

Page 61: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 61

Gambar 5.6

Bidang dari kedudukan umum extension joint

Page 62: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 62

BAB 6

KEKAR

6.l. Tujuan

a. Mampu mengetahui definisi kekar dan mekanisme pembentukannya.

b. Mampu menganalisis struktur kekar baik secara statistik (diagram kipas)

maupun secara stereografis.

6.2. Alat dan bahan.

1. Stereonet

2. Pinnes

3. Alat tulis (Jangka, busur derajat, penggaris)

4. Kalkir 20 X 20 cm sebanyak 2 lembar

6.3. Definisi

Kekar adalah struktur rekahan yang belum/tidak mengalami pergeseran. Kekar dapat

terbentuk baik secara primer (bersamaan dengan pembentukan batuan, misalnya

kekar kolom dan kekar melembar pada batuan beku) maupun secara sekunder (setelah

proses pembentukan batuan, umumnya merupakan kekar tektonik). Pada acara

praktikum ini yang akan dibahas adalah kekar tektonik. Klasifikasi kekar berdasarkan

genesanya, dibagi menjadi :

1. Shear joint (kekar gerus), yaitu kekar yang terjadi akibat tegasan kompresif

(compressive stress).

2. Tension joint (kekar tarik) ,yaitu kekar yang terjadi akibat tegasan tarikan

(tension stress), yang dibedakan menjadi :

a. Extension joint, terjadi akibat peregangan / tarikan.

b. Release joint, terjadi akibat hilangnya tegasan yang bekerja.

Pola tegasan yang membentuk kekar-kekar tersebut terdiri dari tegasan utama

maksimum ( 1) , tegasan utama menengah ( 2) dan tegasan utama minimum ( 3).

Tegasan utama maksimum ( 1) membagi sudut lancip yang dibentuk oleh kedua shear

joint , sedangkan tegasan utama minimum ( 3) membagi sudut tumpul yang dibentuk

oleh kedua shear joint. (Gambar 6.1 dan Gambar 6.2).

Page 63: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 63

Secara teoritis, rekahan atau bidang geser yang terbentuk adalah AA dan BB yang

saling tegak lurus, tetapi karena setiap batuan mempunyai koefisien geseran dalam

masing-masing, maka bidang geser yang terbentuk adalah SS.

Gambar 6.1 Gambar 6.2

Tegasan yang bekerja pada suatu kubus Hubungan antara tegasan utama

dan pola kekar yang terbentuk dengan sudut geser dalam

- Ф :sudut geser dalam dari batuan

(angle of internal friction)

- α :sudut antara tegasan utama

maksimum ( 1) dengan shear joint

- θ :sudut antara tegasan utama

minimum ( 3) dengan shear joint

2α = 90° - Φ; dimana α = 45° - ½Ф

Page 64: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 64

6.4. Analisis Kekar

Secara skematis prosedur yang dilakukan pada pengambilan data lapangan sampai

interpretasi terbentuknya (sejarah terbentuknya) kekar adalah sebagai berikut :

Untuk analisa data digunakan metode statistik yang dilakukan dengan menggunakan

diagram kipas / roset, histogram dan diagram kontur (menggunakan stereonet).

A. Analisis Kekar dengan Diagram Kipas

Analisis dengan Diagram Kipas, digunakan untuk kekar-kekar vertikal

(kemiringan/dip 80°-90°), jadi data kekar yang dianalisa adalah jurus kekar saja.

Langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Memasukkan data ke dalam tabel dengan pembagian skala 5° (Gambar 6.3)

2. Membuat diagram kipas, yaitu berupa setengah lingkaran dengan pembagian jari-

jarinya, sesuai dengan jumlah data terbanyak. (Misalnya, data terbanyak yakni 4

data pengukuran, seperti digambarkan pada Gambar 6.4 dan Gambar 6.5).

3. Memasukkan data dalam tabel ke dalam diagram kipas yang telah dilakukan

pembagian skala sebesar 5°, selanjutnya menentukan kedudukan umum shear joint

dan kedudukan tegasan-tegasan pembentuknya ( 1, 2, dan 3).

Analisis tegasan berdasarkan arah umum kekar pada diagram kipas.

1. Bila sudut antara dua kedudukan umum merupakan sudut tumpul, maka sudut

baginya merupakan arah dari σ3. (Gambar 6.4 dan Gambar 6.5)

2. Bila sudut antara dua kedudukan umum merupakan sudut lancip maka sudut

baginya merupakan arah dari σ1.

Page 65: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 65

B. Analisa Kekar dengan Diagram Stereografi (Wulf Net)

Digunakan untuk menganalisa kekar-kekar dengan kedudukan yang bervariasi (bukan

kekar vertikal, dengan dip < 80°). Langkah - langkah yang dilakukan adalah : (Gambar

6.6)

1. Mencari kedudukan umum kekar (shear joint) dengan diagram kontur seperti

pada Bab Metode Statistik (Bab 5).

2. Mengeplotkan kedudukan umum tersebut ke dalam Wulf Net.

3. Perpotongan kedua shear joint adalah σ2.

4. σ2 diletakkan pada garis East - West (garis EW), kemudian membuat bidang

bantu yaitu 90° dari σ2 melewati pusat dihitung pada pembagian skala yang

terdapat di garis EW (bidang bantu tetap pada posisi NS).

5. Perpotongan antara bidang bantu dengan kedua shear joint:

- Apabila membentuk sudut lancip, maka sudut baginya adalah σ1, dan σ3

dibuat 90° dari σ1 pada bidang bantu (dimana bidang bantu tetap pada

kedudukan NS)

- Apabila membentuk sudut tumpul, maka sudut baginya adalah σ3 dan σ1

dibuat 90° dari σ3 pada bidang bantu (dimana bidang bantu tetap pada

kedudukan NS).

6. Membuat kedudukan dari extension joint yaitu melalui σ1 dan σ2.

7. Membuat kedudukan dari release joint yaitu melalui σ3 dan σ2.

Page 66: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 66

ARAH NOTASI JUMLAH

N ........ °E N ......... °E

0 - 5 180 - 185 III 4 16%

5 - 10 185 - 190 IIIII I 6 24%

10 - 15 190 - 195 IIIII 5 20%

15 - 20 195 - 200 II 2 8%

20 - 25 200 - 205 III 3 12%

25 - 30 205 - 210

30 - 35 210 - 215

35 - 40 215 - 220

40 - 45 220 - 225

45 - 50 225 - 230

50 - 55 230 - 235

55 - 60 235 - 240

60 - 65 240 - 245

65 - 70 245 - 250

70 - 75 250 - 255

75 - 80 255 - 260

80 - 85 260 - 265

85 - 90 265 - 270

90 - 95 270 - 275

95 - 100 275 - 280

100 - 105 280 - 285

105 - 110 285 - 290

110 -115 290 - 295

115 - 120 295 - 300

120 - 125 300 - 305

125 - 130 305 - 310

130 -135 310 - 315

135 - 140 315 - 320

140 - 145 320 - 325

145 - 150 325 - 330

150 - 155 330 - 335

155 - 160 335 - 340

160 - 165 340 - 345

165 - 170 345 - 350 II 2 8%

170-175 350 - 355

175 - 180 355 - 360 III 3 12%

Gambar 6.3

Tabulasi data untuk pembuatan diagram kipas

Page 67: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 67

Gambar 6.4

Diagram kipas dengan satu frekuensi maksimum kekar gerus

( 1 = N 348° E)

( 2= vertikal pada sumbu diagram)

( 3= N 078° E)

Gambar 6.5

Diagram kipas dengan dua frekuensi maksimum kekar gerus yang sama

( 1 = N 342° E)

( 2= vertikal pada sumbu diagram)

( 3= N 072° E)

Page 68: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 68

Gambar 6.6

Contoh analisa kekar pada Wulf Net, dengan kedudukan :

1 = 40°, N 240° E

2 = 16°, N 017° E

3 = 8°, N 090° E

Page 69: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 69

Gambar 6.6

Kenampakan kekar vertikal di lapangan

Gambar 6.7

Kenampakan kekar yang terisi mineral sekunder (misalnya, kalsit atau kuarsa). Kekar

semacam ini disebut Urat (Vein)

VEIN

Page 70: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 70

BAB 7

S E S A R

7.1. Tujuan

a. Mampu menentukan pergerakan sesar baik secara langsung di lapangan

maupun secara stereografis

b. Mampu menganalisa berdasarkan data-data yang menunjang serta

unsur-unsur penyertanya dengan menggunakan metode stereogafis.

7.2. Alat dan Bahan

1. Stereonet dan Pines.

2. Kalkir 20 x 20 = 4 lembar.

3. Alat tulis ( Pensil, pensil warna , penggaris , jangka ).

7.3. Definisi

Sesar adalah suatu rekahan yang memperlihatkan pergeseran cukup besar dan sejajar

terhadap bidang rekahan yang terbentuk. Pergeseran pada sesar dapat terjadi

sepanjang garis lurus (translasi) atau terputar (rotasi). Dalam praktikum ini, hanya

pergeseran translasi yang di analisis.

7.4. Anatomi Sesar (unsur-unsur sesar) (Gambar 7.1.)

1. Bidang sesar (fault plane) adalah suatu bidang sepanjang rekahan dalam

batuan yang tergeserkan.

2. Jurus sesar (strike) adalah arah dari suatu garis horizontal yang merupakan

perpotongan antara bidang sesar dengan bidang horizontal.

3. Kemiringan sesar (dip) adalah sudut antara bidang sesar dengan bidang

horizontal dan diukur tegak lurus jurus sesar.

4. Atap sesar (hanging wall) adalah blok yang terletak diatas bidang sesar apabila

bidang sesamya tidak vertikal.

5. Foot wall adalah blok yang terletak dibawah bidang sesar.

6. Hade adalah sudut antara garis vertikal dengan bidang sesar dan merupakan

penyiku dari dip sesar.

7. Heave adalah komponen horizontal dari slip / separation, diukur pada bidang

vertikal yang tegak lurus jurus sesar.

Page 71: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 71

8. Throw adalah komponen vertikal dari slip/separation,diukur pada bidang

vertikal yang tegak turus jurus sesar.

9. Strike-slip fault yaitu sesar yang mempunyai pergerakan sejajar terhadap arah

jurus bidang sesar kadang-kadang disebut wrench faults, tear faults atau

transcurrent faults.

10. Dip-slip fault yaitu sesar yang mempunyai pergerakan naik atau turun sejajar

terhadap arah kemiringan sesar.

11. Oblique-slip fault yaitu pergerakan sesar kombinasi antara strike-slip dan dip-

slip.(Gambar 7.2.)

12. Slickensides yaitu kenampakan pada permukaan sesar yang memperlihatkan

pertumbuhan mineral-mineral fibrous yang sejajar terhadap arah pergerakan.

Sifat pergeseran sesar dapat dibedakan menjadi :

a. Pergeseran semu (separation).

Jarak tegak lurus antara bidang yang terpisah oleh gejala sesar dan diukur

pada bidang sesar. Komponen dari separation diukur pada arah tertentu, yaitu

sejajar jurus (strike separation) dan arah kemiringan sesar (dip separation).

Sedangkan total pergeseran semu ialah net separation (Gambar 7.3.)

b. Pergesaran relatif sebenarnya (slip)

Pergeseran relatif pada sesar, diukur dari blok satu ke lainnya pada bidang

sesar dan merupakan pergeseran titik yang sebelumnya berhimpit. Total

pergeseran disebut Net Slip (Gambar 7.4.)

Page 72: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 72

Arrows indicatesense of relative movement

Fault plane

Angle of dip

Marker unit

Gambar 7.1

Anatomi Sesar

Gambar 7.2.

Oblique-slip fault memperlihatkan komponen net slip dan rake dari net slip

Gambar 7.3. Gambar 7.4.

Net separation Net Slip (A – A‟)

Page 73: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 73

7.5. Klasifikasi Sesar

Sesar dapat diklasifikasikan dengan pendekatan geometri yang berbeda, di mana aspek

yang terpenting dari geometri tersebut adalah pergeseran. Atas dasar sifat

pergeserannya, maka sesar dibagi menjadi :

7.5.1. Berdasarkan Sifat Pergeseran Semu (Separation)

a. Strike separation

- Left -separation fault

Jika pergeseran ke kirinya hanya dilihat dari satu kenampakan horizontal.

- Right -separation fault.

Jika pergeseran ke kanannya hanya dilihat dari satu kenampakan horizontal.

b. Dip separation

- Normal -separation fault

Jika pergeseran normalnya hanya dilihat dari satu penampang vertikal.

- Reverse -separation fault

Jika pergeseran naiknya hanya dilihat dari satu penampang vertikal.

7.5.2. Berdasarkan Sifat Pergeseran Relatif Sebenarnya (Slip)

a. Strike slip.

- Left -slip fault.

Blok yang berlawanan bergerak relatif sebenarnya ke arah kiri.

- Right -slip fault.

Blok yang berlawanan bergerak relatif sebenarnya ke arah kanan.

b. Dip slip.

- Normal -slip fault.

Blok hanging wall bergerak relatif turun.

- Reverse - slip fault.

Blok hanging wall bergerak relatif naik.

c. Oblique slip.

- Normal left -slip fault.

- Normal right -slip fault.

- Reverse left - slip fault.

- Reverse right -slip fault.

- Vertikal oblique -slip fault.

Page 74: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 74

7.6. Contoh Analisis Sesar.

Contoh yang akan diberikan di bawah ini adalah untuk kasus di mana data-data sesar

yang dijumpai di lapangan tidak menunjukkan adanya bukti pergeseran (slip indicator)

Misalnya offset lapisan, drag fold dsb. Data yang didapat berupa unsur-unsur penyerta

pada suatu jalur sesar biasanya terdiri dari kekar-kekar (Shear Fracture/SF dan Gash

Fracture/GF) dan Breksiasi.

Contoh Kasus

1. Pada Lokasi Pengamatan (LP) 48 di Sungai Lhokseumawe terdapat jalur breksiasi

pada satu satuan batuan yang memiliki sifat fisis cenderung brittle, sehingga

berkembang dengan baik struktur penyerta rekahan terbuka (gash fracture) dan

rekahan gerus (shear fracture) yang dapat dibedakan dengan jelas di lapangan, namun

tidak dijumpai bidang sesar. Maka seorang mahasiswa geologi melakukan pengukuran

kekar yang hasilnya sebagai berikut :

Shear Fracture N……˚E / …..˚ Gash Fracture N……˚E / …..˚

316/52

318/61

325/52

326/48

333/56

359/60

335/60

342/58

345/55

346/64

352/58

353/60

248/60

252/70

256/74

257/60

259/72

262/63

262/65

262/68

262/74

266/70

275/67

276/72

Breksiasi N…..˚ E

024

024

025

022

205

205

021

204

022

022

027

025

024

204

027

Penyelesaian :

1. Memplotkan semua data SF dan GF pada kertas kalkir di atas "Polar Equal Area

Net" (Gambar 7.4.).

2. Memplotkan hasil pengeplopatan SF dan GF pada kertas kalkir (nomor 1) pada

"Kalsbeek Counting Net", kemudian mulai menghitungnya (Gambar 7.5.).

3. Membuat peta kontur berdasarkan hasil perhitungan nomor 2 (Gambar 7.6.).

Page 75: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 75

4. Menghitung prosentase kerapatan data, yaitu (ketinggian/jumlah data) x 100 %

(Gambar 7.6.).

5. Membaca arah umum kedudukan dari SF dan GF dari titik tertinggi. Didapatkan

arah umum dari GF N 260 °E / 69 ° dan SF N 348° E/58°.

6. Menentukan arah umum dari breksiasi dengan diagram kipas, didapatkan N 024 °

E (Gambar 7.7.).

7. Kemudian dari ketiga data arah umum tersebut melakukan analisis dengan

menggunakan Wulf Net (Gambar 7.8.). Caranya :

a. Mengeplotkan kedudukan umum SF dan GF.

b. Perpotongan antara SF dan GF didapatkan titik σ2σ2'

c. σ2σ2' diletakkan di sepanjang W-E stereonet, kemudian hitunglah 90° ke arah

pusat stereonet, kemudian buatlah busur melalui titik 90° tersebut maka

didapat bidang bantu (garis putus-putus).

d. Perpotongan GF dengan bidang Bantu didapatkan titik σ1'.

e. Mengeplotkan arah umum breksiasi. Kemudian diletakkan pada N-S stereonet.

Buatlah busur melalui σ2σ2' maka didapatkan bidang sesar.

f. Perpotongan bidang sesar dengan bidang bantu adalah net slip.

g. Mengukur kedudukan bidang sesar dan rake net slip.

h. Bidang bantu diletakkan pada N-S stereonet. Perhatikan posisi SF dan GF.

i. Apabila sudut antara σ1'dengan net slip yang diukur sepanjang bidang Bantu

mempunyai kisaran 45°-75°, maka pergerakan sesar menuju sudut lancipnya.

j. Sedangkan sudut antara SF dengan net slip mempunyai kisaran 15°-.45°, maka

pergeseran sesar menuju sudut tumpulnya.

k. Mengeplotkan arah pergeseran pada net slipnya (simbol pergeseran sesar).

8. Dari hasil analisis didapatkan sebagai berikut :

Bidang sesar : N 024 °E / 74° σ1 : 34°, N 230°E

Net Slip : 30°, N 195°E σ2 : 54°, N 048°E

Rake : 32° σ3 : 03°, N 014°E

Gash fracture : N 260°E / 69° σ1‟ : 26°, N 271°E

Shear friacture : N 348°E/58° σ2': 54°, N 048°E

σ3‟ : 22°, N 196°E

9. Penamaan sesar berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972 (Gambar 7.9.). Caranya :

merekonstruksi pergeseran sesar berdasarkan net slipnya, apakah naik atau turun

dan kiri atau kanan. Misal slipnya adalah kiri - turun, maka pada diagram Rickard

yang ditutup pada bagian kanan dan naik. Kemudian data dip sesar dan rake net

Page 76: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 76

slip dimasukkan. Nama sesar dibaca sesuai dengan nomor yang terdapat pada

kotak.

10. Berdasarkan klasifikasi Rickard, 1972, nama sesarnya adalah Normal Right Slip

Fault. (nomor 11).

Page 77: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 77

SS

2

22

1

33

1

2

22

1

33

12

1

33

3

5

NN

5 51

2 5 51

2

2

22

1

33

1

2

22

1

33

12

1

33

3

5 1

13

2

2

4

5

NN

5 51

2 5 51

27

5

525

1

2

Gambar 7.4.

Plot kedudukan SF dan GF dalam "Polar

Equal Area Net"

Gambar 7.5.

Perhitungan nilai kontur pada

kalsbeek net

0 8 16 24%

4 12 20

5

S

NN

55 1

2 55

12

2

22

1

33

1

2

22

1

33

1

21

33

3

Gambar 7.6.

Penggambaran kontur dan perhitungan prosentase berdasarkan

perhitungan nilai kontur pada kalsbeek net

Page 78: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 78

W

22,5

E

Gambar 7.7.

Arah umum breksiasi

Gambar 7.8.

Analisis sesar pada Wulf Net dengan hasil

Bidang sesar : N 024 °E / 74° σ1 : 34°, N 230°E

Net Slip : 30°, N 195°E σ2 : 54°, N 048°E

Rake : 32° σ3 : 03°, N 014°E

Gash fracture : N 260°E / 69° σ1‟ : 26°, N 271°E

Shear fracture : N 348°E/58° σ2': 54°, N 048°E

σ3‟ : 22°, N 196°E

Page 79: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 79

0

10

45

80

90

80

45

10

0

0

10

45

80

90

80

45

10

1

2

6

3 5

4

7

8

9

10

11

12

14

17

16

18

13

15

19

2022

21

45

4545

45

Thru

st

La

gN

orm

al S

lipR

eve

rse

Slip

Right SlipLeft Slip

Pitch

of n

et slip

Dip of fault

Dip

of fa

ult

10

20

30

40

50

60

70

80

90

80

70

60

50

40

30

20

10

0102030405060708090

Gambar 7.9.

Diagram klasifikasi sesar translasi menurut Rickard, 1972

1. Thrust Slip Fault 12. Lag Slip Fault

2. Reverse Slip Fault 13. Normal Slip Fault

3. Right Thrust Slip Fault 14. Left Lag Slip Fault

4. Thrust Right Slip Fault 15. Lag Left Slip Fault

5. Reverse Right Slip Fault 16. Normal Left Slip Fault

6. Right Reverse Slip Fault 17. Left Normal Slip Fault

7. Right Slip Fault 18. Left Slip Fault

8. Lag Right Slip Fault 19. Thrust Left Slip Fault

9. Right Lag Slip Fault 20. Left Thrust Slip Fault

10. Right Normal Slip Fault 21. Left Reverse Slip Fault

11. Normal Right Slip Fault 22. Reverse Left Slip Fault

Page 80: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 80

HUBUNGAN SUDUT SESAR UTAMA DENGAN STRUKTUR PENYERTA

PENELITI Θ=β δ η ζ=β‟ γ=δ‟ ρ K

KADIN & MAGEN

( 1957, 1958 )

30° 60° - - - -

PU

RE

SH

EA

R

DOMATE

( 1961 )

0°-60°

0°-30°

90°-30°

90°-60° - - - -

ANDERSON

( 1951 )

30° 60° 15°

45°

45°

75°

45°

15°

15° & 75°

45° & 75°

PU

RE

SH

EA

R I

da

n

SIM

PL

E S

HE

AR

I -

PU

RE

SH

EA

R I

I

Mc. KIMSTER

( 1953 )

30° 60° 30° 60° 30° 30° & 75°

MOODE & HILL

( 1956, 1963 )

30° 60° 45° 75° 15° 45° & 75°

TJIA H.D

( 1971 )

30° 60°

15°

45°

45°

75°

45°

15°

15° & 75°

45° & 75°

MASON L. HILL

( 1976 )

30° 60° 20°

40°

50°

70°

40°

20°

20° & 60°

40° & 50°

RANGE

0°-60°

0°-30°

90°-30°

90°-60° 15°-45° 45°-75° 15°-45°

15°-45°

75°-90°

UMUM TERBENTUK

DALAM BATUAN

0°-30°

( 30° )

90°-60°

(60°) 15°-45° 45°-75° 15°-45° 15°-45°

Page 81: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 81

KETERANGAN

Θ=β : sudut antara σ1/extension joint dengan sesar utama.

δ : sudut antara sesar utama dengan Lipatan Utama (σ3).

η : sudut antara σ1 akibat Pure Shear I) dengan σ1‟ (akibat Simple

Shear I–Pure Shear II ): Shear Strain.

ζ=β‟ : sudut antara sesar utama dengan “Subsidiary Gash Fracture”.

γ=δ‟ : sudut antara sesar utama dengan “Axial Plane Subsidiary”

atau Drag Fold atau A.P Cleavage.

ρ : sudut antara sesar utama dengan “Subsidiary Shear

Fracture” atau Shear of Second Order atau pada Fault

disebut dengan Spaly Fault.

K : keterakan (Strain).

Page 82: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 82

BAB 8

L I P A TA N

8.1. Tujuan.

a. Mengenal macam-macam / jenis lipatan serta mekanisme gaya yang

membentuknya.

b. Mampu merekonstruksi dan menganalisa lipatan.

8.2. Alat dan bahan.

1. Stereonet , pines & kalkir 20 X 20 cm =3 lembar

2. Alat tulis (Pensil, pensil warna, penggaris, jangka).

8.3.Definisi

Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk dari suatu bahan yang ditunjukkan

sebagai lengkungan atau kumpulan dari lengkungan pada unsur garis atau bidang di

dalam bahan tersebut. Pada umumnya unsur yang terlibat di dalam lipatan adalah

bidang perlipatan, foliasi, dan liniasi. Berdasarkan proses perlipatan dan jenis batuan

yang terlipat, dapat dibedakan menjadi empat macam lipatan, yaitu :

l. Flexure / competent folding termasuk di dalamnya parallel fold (Gambar 8.1.a)

2. Flow / incompetent folding termasuk di dalamnya simillar fold (Gambar 8.1.b)

3. Shear folding (Gambar 8.1.c)

4. Flexure and Flow folding (Gambar 8.1.d)

Mekanisme gaya yang menyebabkannya ada dua macam :

1. Buckling (melipat) disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya sejajar dengan

permukaan lempeng (Gambar 8.2.a)

2. Bending (pelengkungan), disebabkan oleh gaya tekan yang arahnya tegak lurus

permukaan lempeng (Gambar 8.2.b)

Page 83: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 83

Gambar 8.1

Macam proses perlipatan dan jenis batuan yang terlipat

Gambar 8.2

Mekanisme gaya yang menyebabkan terbentuknya lipatan

Page 84: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 84

8.4. Jenis-jenis Lipatan.

1. Antiklin, struktur lipatan dengan bentuk convex (cembung) di mana lapisan

batuan yang tua berada di bagian inti antiklin.

2. Sinklin, struktur lipatan dengan bentuk concave (cekung) di mana lapisan

batuan yang muda berada di bagian inti sinklin.

3. Antiform, struktur lipatan seperti antiklin namun umur batuan tidak diketahui.

4. Sinform, struktur lipatan seperti sinklin namun umur batuan tidak diketahui.

5. Sinklin Antiformal, struktur lipatan seperti antiklin dengan lapisan batuan

yang tua di bagian atas dan batuan yang muda di bagian bawah.

6. Antiklin Sinformal, struktur lipatan seperti sinklin dengan lapisan batuan yang

tua dibagian atas dan lapisan batuan yang muda dibawah.

7. Struktur kubah (Dome) yaitu suatu jenis tertentu antiklin di mana lapisan

batuan mempunyai kemiringan ke segala arah yang menyebar dari satu titik.

8. Struktur depresi (Basinal) adalah suatu jenis unik sinklin di mana kemiringan

lapisan batuan menuju ke satu titik.

Page 85: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 85

Gambar 8.3

a. Antiklin dan Sinklin (penampang melintang), b. Antiform dan Sinform (penampang

melintang), c. Antiklin dan Sinklin dengan penunjaman ganda (kenampakan peta), d. Dome dan

basin (kenampakan peta), e. Antiformal sinklin dan Sinformal Antiklin (dalam penampang

melintang), C,O dan S menunjukan batuan berumur Kambrium, Ordovisium, dan Silur

( Moore, 1992,hal 224 )

Page 86: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 86

8.5. Unsur-unsur Lipatan.

Hinge, adalah titik pelengkungan maksimum dari lipatan. Hinge line / axial line

merupakan garis khayal yang menghubungkan titik-titik pelengkungan

maksimum tersebut. Sedangkan Hinge surface / Axial surface adalah bidang

khayal dimana terdapat semua hinge line dari suatu lipatan.

Crest, adalah titik tertinggi dari lipatan. Crestal line merupakan garis khayal

yang menghubungkan titik-titik tertinggi pada lipatan tersebut. Sedangkan

Crestal surface adalah bidang khayal dimana terdapat semua Crestal line.

Trough, adalah titik dasar terendah dari lipatan. Trough line merupakan garis

khayal yang menghubungkan titik-titik dasar terendah pada lipatan. Trough

surface adalah bidang khayal dimana terdapat semua trough line pada suatu

lipatan.

Plunge, sudut penunjaman dari hinge line terhadap bidang horizontal dan

diukur pada bidang vertikal.

Bearing, sudut horizontal yang dihitung terhadap arah tertentu dan ini

merupakan arah dari penunjaman suatu hinge line / axial line.

Rake, sudut antara hinge line / axial line dengan bidang / garis horizontal yang

diukur pada axial surface.

Page 87: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 87

Gambar 8.4.a

Unsur-unsur Lipatan

Gambar 8.4.b

Unsur-unsur Lipatan

Page 88: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 88

8.6. Klasifikasi Lipatan.

Klasifikasi lipatan yang digunakan dalam praktikum ini adalah klasifikasi menurut

Fluety, 1964 dan Rickard 1971 .

1. Fluety,1964

a. Berdasarkan besarnya "interlimb angle"

Tabel 8.1

Klasifikasi lipatan berdasarkan interlimb angle ( Fleuty, 1964 )

Interlimb Angle Description of Fold

1800 – 1200

1200-700

700-300

300-00

00

Negative Angle

Gentle

Open

Close

Tight

Isoclinal

Mushroom

b. Berdasarkan besarnya dip dari hinge surface dan plunge dari hinge line,

dibedakan atas :

Tabel 8.2.

Klasifikasi lipatan berdasarkan dip dari sumbu lipatan dan plunge dari hinge line (Fluety, 1964)

Angle Term Dip of H. Surface Plunge of H. Line

00

10-100

100-300

300-600

600-800

800-890

900

Horizontal

Subhorizontal

Gentle

Moderate

Steep

Subvertical

Vertical

Recumbent Fold

Recumbent Fold

Gentle Inclined Fold

Moderately Inclined Fold

Steeply Inclined Fold

Upright Fold

Upright Fold

Horizontal Fold

Horizontal Fold

Gentle Plunging Fold

Moderately Plunging Fold

Steeply Plunging Fold

Vertical Fold

Vertical Fold

Contoh penamaan lipatan :

Misalkan didapat besarnya dip of hinge surface 65° dan plunge of hinge line 15°, maka

untuk penamaan lipatannya dikombinasikan sehingga menjadi Steeply inclined gently

plunging fold (Fluety, 1964).

Page 89: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 89

2. Rickard, 1971

Dalam klasifikasi ini digunakan diagram segitiga seperti Gambar 8.5. Klasifikasi ini

berdasarkan pada nilai besarnya kemiringan hinge surface, penunjaman hinge line dan

pitch/rake hinge surface.

Cara penggunaannya:

Misal didapatkan dip of hinge surface 70° dan plunge of hinge line 45 °. Plotkan kedua

nilai tersebut pada diagram segitiga 1 (Gambar 8.5.a), sehingga didapat nilai

perpotongannya. Letakkan di atas diagram segitiga ke-2, (Gambar 8.5.b) maka titik

tadi akan menunjukkan jenis lipatannya yaitu Inclined fold (Gambar 8.5.

Page 90: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 90

Gambar 8.5.a Gambar 8.5.b

Gambar 8.5.c

Klasifikasi lipatan berdasarkan dip, sumbu lipatan, rake

dan plunge dari hinge line (Rickard, 1971)

Page 91: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 91

8.7. Rekonstruksi Lipatan

Rekonstruksi lipatan umumnya dilakukan berdasarkan hasil pengukuran kedudukan

lapisan dari lapangan, atau pembuatan suatu penampang dari peta geologi.

Rekonstruksi lipatan hanya dilakukan pada batuan sedimen dan berdasarkan pada

suatu lapisan penunjuk (key bed).

1 Metode Busur Lingkaran (arc method)

Metode ini dipakai untuk lipatan pada batuan yang competent, misalnya lipatan

parallel. Dasar dari metode ini adalah anggapan bahwa lipatan merupakan bentuk

busur dari suatu lingkaran dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu-sumbu

kemiringan yang berdekatan.

Rekonstruksinya dapat dilakukan dengan menghubungkan busur lingkaran secara

langsung bila data yang ada hanya kemiringan dan batas lapisan hanya setempat.

Contoh :

Pada lintasan tepat timur-barat dari suatu penyelidikan, didapatkan data pengukuran

kemiringan (dip lapisan) dengan jurus utara-selatan. Dimulai dari lokasi A paling barat

berturut-turut sebagai berikut: A=200 E, B=100 W ( A dan B merupakan batas lithologi

yang sama), C=450 W, D=100 W, E=horizontal, F=250 E, G=750 E, H=500 E, I=200 E.

Permasalahan :

Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut.

Rekontruksi : (Gambar 8.6)

1. Buat garis sumbu kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran

2. Garis-garis sumbu tersebut akan saling berpotongan di titik O1,O2,O3 dst.

3. Maka titik-titik O1,O2,O3 dst tersebut sebagai pusat lingkaran untuk membuat

busur sebagai rekonstruksi lipatannya.

4. Apabila batas-batas lapisannya dijumpai berulang pada lintasan yang akan

direkonstruksi, maka pembuatan busur lingkaran dilakukan dengan intrapolasi.

Rekonstruksi cara interpolasi dapat dikerjakan menurut cara Higgins (1962) dan cara

Busk (1928).

Page 92: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 92

Gambar 8.6

Rekonstruksi lipatan Arc Method

Page 93: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 93

2. Metode Interpolasi Higgins (1962)

Contoh :

Pada lintasan / penampang arah E-W, di lokasi A dan B dijumpai batas lapisan yang

sama dengan kedudukan yang berlawanan. Di lokasi A kemiringan 400 ke barat dan B

miring ke timur sebesar 600.

Permasalahan :

Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut.

Rekontruksi :(Gambar 8.7)

1. Tarik garis tegak lurus dan sama panjang dari A (A-OA) dan B (B-D) sehingga

berpotongan di titik C.

2. Hubungkabn titik D dan Oa serta buatlah bisektor D-Oa sehingga memotong

garis BD di Ob .

3. Tarik garis Oa-Ob sampai melewati batas busur yans akan di buat (garis ini

merupakan batas busur lingkaran).

4. Buatlah busur dari titik A dengan pusat di Oa sampai memotong garis Oa-Ob di

titik F.

5. Buatlah busur dari titik B dengan pusat di Ob dan memotong garis Oa-Ob di

titik F (busur dari titik A dan titik B bertemu di garis Oa-Ob).

Gambar 8.7

Rekonstruksi lipatan metode Interpolasi Higgins (1962)

Page 94: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 94

3. Metode Interpolasi Busk (1929)

Contoh :

Pada lintasan arah E-W dijumpai batas lapisan yang sama di lokasi A dan D,masing-

masing kemiringannya 500 ke timur dan 650 ke barat. Di lokasi B dan C dijumpai

singkapan dengan masing-masing kemiringannya 350 ke barat dan 500 ke timur.

Permasalahan :

Rekontruksi bentuk lipatan daerah tersebut.

Rekontruksi :(Gambar 8.8)

1. Secara teoritis bentuk lipatan adalah AHIJ dengan pusat lingkaran di O1, O2

dan O3.

2. Buat garis sumbu di A, B, C dan D

3. Buat busur lingkaran dengan pusat O1 dan O3, sehingga memotong garis sumbu

kemiringan di titik H dan K.

4. Melalui H dan K tarik garis HM dan Kt masing-masing tegak lurus pada garis

sumbu kemiringan serta berpotongan di N.

5. Melalui N tarik garis OP tegaklurus AD (arah lintasan / penampang) sehingga

memotong garis sumbu kemiringan di R dan S. AHIJ, dengan pusat busur

lingkaran di R dan S

6. Maka titik R sebagai pusat busur lingkaran dengan jari-jari RK dan titik S

sebagai pusat busur lingkaran dengan jari-jari SH

7. Lipatannya dapat direkonstruksi yaitu AHTKD.

Gambar 8.8

Rekonstruksi lipatan metode interpolasi Busk (1929)

A

SO2

H

B

O1

R

N

AC

K

I

O3

MOL

JD

EW

650

34025

0

350

P

Page 95: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 95

4. Kombinasi Metode Busur Lingkaran (Arc Method) dan Free Hand Method

Kombinasi ini digunakan untuk lipatan yang melibatkan batuan incompetent, dimana

terjadi penipisan dan penebalan yang tak teratur. Free Hand Method khusus pada

interpolasi yang tidak dapat dilakukan dengan Arc Method (Gambar 8.9)

Gambar 8.9

Rekonstruksi lipatan dengan metode gabungan

Arc Method dan Free Hand Method

Page 96: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 96

8.8. Analisis Lipatan

Analisis Lipatan dilakukan untuk mengetahui arah lipatan, kedudukan bidang sumbu

dan garis sumbu, bentuk lipatan, penunjaman dan pola tegasan yang berpengaruh

terhadap pembentukan lipatan. Di samping itu analisis ini juga bertujuan untuk

mengetahui jenis suatu struktur lipatan (klasifikasinya) secara deskriptif. Untuk

struktur lipatan berukuran kecil (micro fold) dan bentuk tiga dimensinya dapat

ditafsirkan, analisisnya dilakukan di lapangan dengan cara mengukur langsung unsur

– unsurnya (kedudukan bidang dan garis sumbu lipatan, bentuk lipatan, dan arah

penunjaman). Analisis untuk lipatan yang berskala besar (major fold) di dasarkan pada

:

1. Mengukur kedudukan struktur bidang yang terlipat, yaitu bidang perlapisan

(bedding orientation) pada batuan sedimen dan bidang-bidang foliasi pada

batuan metamorf.

2. Mengukur kedudukan Cleavage (Cleavage Orientation) yaitu rekahan rapat

yang berorientasi sejajar dan umumnya, sejajar pula dengan kedudukan bidang

sumbu lipatan (Axial Plane Cleavages).

3. Mengukur bidang-bidang dan garis-garis sumbu lipatan-lipatan kecil (hinge

lines of small fold).

4. Mengukur perpotongan bidang-bidang perlapisan dengan Cleavage (Cleavage

Bedding Intersection).

Analisis Lipatan dengan menggunakan Wulf Net

1. Masukkan kedudukan umum sayap lipatan yang didapatkan dari diagram

kontur (titik potongnya adalah σ2 ) (Gambar 8.10)

2. Membuat garis dari pusat lingkaran melalui σ2: garis ini adalah garis sumbu

lipatan.

3. Membuat bidang sumbu lipatan:

Membuat bidang bantu dengan cara menarik garis tegak lurus sumbu

lipatan dan membuat busur pada garis tersebut sebesar 90° dari titik σ2.

Busur bidang bantu akan memotong bidang-bidang sayap lipatan di L1 dan

L2.

Titik tengah perpotongan antara dua sayap lipatan adalah σ3 (baik lancip

maupun tumpul). σ 1 dibuat 90° dari σ3 pada bidang bantu di mana bidang

bantu tetap pada posisi NS.

Buatlah : hinge-surface dengan menghubungkan σ2 dan σ3.

Page 97: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 97

Hin

ge S

urfa

ce

Sayap L

ipata

n 1

Sayap Lipatan 2

Bidang bantuδ 1

δ 2

L2

4. Bacalah kedudukan hinge surface dan hinge linenya dan tentukan jenisnya

dengan menggunakan klasifikasi Rickard atau Fluety.

Gambar 8.10

Analisis lipatan pada Wulf Net dengan hasil:

Sayap Lipatan 1 : N 174 °E / 35° σ1 : 120 , N 285°E

Sayap Lipatan 2 : N 030 °E / 15° σ2 : 08°, N 182°E

Hinge Surface : N 016 °E / 82° σ3 : 64°, N 057°E

Hinge Line : 90,N 1820

Upright Horizontal fold (Fluety, 1964)

Upright Horizontal fold (Rickard, 1971)

L1

Page 98: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 98

BAB 9

PETA GEOLOGI

9.1. Tujuan

1. Mampu mengaitkan gejala-gejala morfologi dengan geologi struktur.

2. Mampu menganalisa tatanan geologi dari kenampakan morfologi.

3. Mampu membaca dan memahami dasar-dasar pembuatan peta geologi.

9.2. Alat dan Bahan

1. Alat tulis, penggaris dan busur.

2. Pensil warna.

9.3. Pendahuluan

Permukaan bumi merupakan salah satu bagian yang harus dipelajari dalam

penguasaan ilmu geologi karena ekspresi topografi dapat menunjukkan keadaan

geologi baik struktur maupun litologinya. Dengan demikian, geomorfologi sangat

terkait dalam mempelajari geologi struktur. Bentukan-bentukan morfologi yang kita

jumpai sekarang merupakan hasil dari gaya yang bekerja baik itu berasal dari dalam

maupun dari luar bumi. Bentukan-bentukan tersebut akan berbeda-beda bentuknya

tergantung dari sistem yang mempengaruhinya. Misalnya, perkembangan sistem

tektonik di suatu daerah akan memberikan konstribusi bagi perkembangan struktur

geologi yang secara langsung maupun tidak langsung akan terilustrasi dipermukaan.

Pada sisi lain litologi juga berperan dalam mengekspresikan topografi. Nilai resisten

dan tidaknya litologi akan memberikan relief yang berbeda-beda di permukaan. Litologi

yang keras (resisten) cenderung membentuk relief yang lebih menonjol (tinggi)

daripada daerah dengan litologi yang lebih lunak (kurang resisten). Misalnya daerah

yang disusun oleh litologi batugamping (resisten) akan membentuk suatu pola bentang

alam "karst topography" sebagai pola yang sangat khas (tersendiri). Bentukan yang

berlainan dari kedudukan litologi dan bentuk morfologi mengakibatkan terbentuknya

pola penyebaran litologi di permukaan atau disebut pola singkapan.

Dalam membaca dan memahami dasar-dasar pembuatan peta geologi dibutuhkan

pengertian unsur-unsur pendukung peta geologi, antara lain: pola singkapan, peta

Page 99: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 99

lintasan, penampang geologi, legenda dan keterangan, serta penentuan tebal lapisan

batuan.

9.4. Definisi

Peta geologi

Peta yang menggambarkan keadaan geologi suatu daerah meliputi penyebaran litologi,

struktur dan morfologi.

Pola singkapan

Perpotongan antara bidang litologi dan bidang permukaan bumi.

Peta lintasan

Suatu peta yang menggambarkan lintasan, lokasi pengamatan, dan hasil pengamatan

lapangan (litologi, struktur, pengambilan sample dan gejala geologi yang lain, misalnya

mata air, gerakan tanah, penambangan).

Penampang geologi

Gambaran secara vertikal bawah permukaan geologi suatu daerah, sehingga dari

gambaran ini akan diketahui hubungan antara satu dengan yang lain.

Legenda

Keterangan litologi yang disusun secara stratigrafis.

Keterangan

Menjelaskan simbol-simbol dalam peta.

Tebal lapisan

Jarak terpendek antara dua bidang sejajar yang merupakan batas bawah dan atas (top

& bottom) lapisan tersebut.

Kedalaman

Jarak vertikal dari ketinggian tertentu (umumnya permukaan bumi) ke arah bawah

terhadap suatu titik, garis atau bidang.

9.5. Pola Singkapan

Faktor-faktor yang mempengaruhi luas dan bentuk pola singkapan suatu lapisan

batuan:

1. Ketebalan lapisan

Ketebalan suatu lapisan menentukan luas sebaran pola singkapannya.

2. Kemiringan lapisan

Page 100: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 100

Kemiringan lapisan yang berbeda akan menunjukkan pola singkapan berbeda pula

meskipun slope dan ketebalan lapisannya sama.

3. Bentuk morfologi

Morfologi yang berbeda akan memberikan pola singkapan yang berbeda meskipun

dalam lapisan dengan tebal dan dip yang sama, dikenal dengan hukum V (V rule).

4. Bentuk struktur lipatan

Struktur lipatan akan membentuk pola singkapan yang khas. Untuk lipatan yang

menunjam yang terdiri dari sinklin dan antiklin, akan membentuk pola "zig-zag",

biasanya menunjukan ekspresi topografi punggungan.

Hukum "V" (V Rule)

Hukum ini menyatakan hubungan antara lapisan yang mempunyai kemiringan dengan

relief topografi yang menghasilkan suatu pola singkapan. Hukum tersebut sebagai

berikut :

a. Lapisan horisontal akan membentuk pola singkapan yang mengikuti pola garis

kontur (Gambar 9.1.a).

b. Lapisan dengan dip berlawanan arah dengan slope akan membentuk pola

singkapan berbentuk huruf "V" yang memotong lembah dimana pola singkapannya

berlawanan dengan arah kemiringan lembah (Gambar 9.1.b).

c. Lapisan tegak akan membentuk pola singkapan berupa garis lurus, dimana pola

singkapan ini tidak dipengaruhi oleh keadaan topografi (Gambar 9.1.c).

d. Lapisan dengan dip searah dengan arah slope dimana dip lapisan lebih besar dari

pada slope, akan membentuk pola singkapan dengan huruf “V" mengarah sama

(searah) dengan arah slope (Gambar 9.1.d).

e. Lapisan dengan dip searah dengan slope dan besarnya dip sama dengan slope,

maka pola singkapannya terpisah oleh lembah (Gambar 9.1.e.)

f. Lapisan dengan dip yang searah dengan slope, dimana besar dip lebih kecil dari

slope, maka pola singkapannya akan membentuk huruf "V" yang berlawanan

dengan arah slope (Gambar 9.1.f).

Page 101: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 101

Gambar 9.1

Ekspresi Hukum “V” yang menunjukkan hubungan kedudukan lapisan dengan morfologi

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

a b c

d e f

Page 102: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 102

9.6. Peta Geologi

Menurut Badan Standardisasi Nasional (BSN, 1998) peta geologi adalah bentuk

ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah/wilayah/kawasan dengan tingkat

kualitas berdasarkan skala. Peta geologi menggambarkan informasi sebaran dan jenis

serta sifat batuan, umur, stratigrafi, struktur, tektonika, fisiografi dan sumberdaya

mineral serta energi. Peta geologi disajikan berupa gambar dengan warna, simbol dan

corak atau gabungan ketiganya. Penjelasan berisi informasi, misalnya situasi daerah,

tafsiran dan rekaan geologi, dapat diterangkan dalam bentuk keterangan pinggir

(legenda).

9.6.1. Pengertian Skala dan Macam-Macam Peta Geologi (BSN,1998)

1. Skala peta merupakan skala perbandingan jarak di peta dengan jarak sebenarnya

yang dinyatakan dengan angka atau garis atau gabungan keduanya.

a. Peta geologi berskala 1:250.000 dan yang lebih besar (1:100.000 ; 1:50.000

dan seterusnya) disebut peta geologi skala besar, bertujuan menyediakan

informasi geologi. Peta geologi berskala 1:50.000 menyajikan informasi

yang lebih rinci dari peta geologi berskala 1:100.000 dan seterusnya.

b. Peta geologi berskala 1:500.000 dan yang lebih kecil (1:1.000.000;

1:2.000.000 dan 1:5.000.000) disebut peta geologi berskala kecil,

bertujuan menyajikan tataan geologi regional dan sintesisnya.

2. Kualitas peta geologi dapat dibedakan atas peta geologi standar dan peta geologi

tinjau/ permulaan .

a. Peta geologi standar adalah peta geologi yang dalam penyajiannya

memenuhi seperti persyaratan teknis yang tercantum dalam uraian 2

dengan proses pembuatan mengikuti seperti dalam unsur tambahan

utama uraian 3.

b. Peta geologi tinjau/permulaan adalah peta geologi yang dalam penyajian

dan pembuatannya belum seluruhnya mengikuti kaidah-kaidah peta

geologi standar.

3. Peta geologi dibedakan atas peta geologi sistematik dan peta geologi tematik.

a. Peta geologi sistematik adalah peta geologi yang menyajikan data dasar

geologi dengan nama dan nomor lembarnya mengacu pada SK Ketua

Bakosurtanal No.019.2.2/1/1975 atau SK Penggantinya.

Page 103: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 103

b. Peta geologi tematik adalah peta geologi yang menyajikan data geologi

untuk tujuan tertentu, misalnya peta geologi teknik, peta geologi kuarter.

4. Seluruh wilayah daratan Indonesia tercakup dalam peta geologi sistematik dari

berbagai skala sebagai berikut :

a. 1007 lembar peta geologi skala 1:100.000.

b. 198 lembar peta geologi skala 1:250.000.

c. 76 lembar peta geologi skala 1:500.000.

d. 16 lembar peta geologi skala 1:1.000.000.

e. 2 lembar peta geologi skala 1:2.000.000.

f. 1 lembar peta geologi skala 1:5.000.000.

5. Peta geologi diterbitkan oleh instansi pemerintah atau badan usaha yang ditunjuk

pemerintah. Instansi yang berwenang menerbitkan peta geologi sistematik adalah

Pusat Survey Geologi (disingkat PSG, dahulu Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi (P3G)), Direktorat Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen

Pertambangan dan Energi Republik Indonesia.

9.6.2. Persyaratan Teknis Pembuatan Peta Geologi (BSN,1998)

9.6.2.1. Simbol

Merupakan tanda yang dipakai untuk menggambarkan sesuatu pada peta geologi,

berupa

singkatan huruf, warna, simbol dan corak, atau gabungannya.

9.6.2.2. Singkatan Huruf

Satuan kronostratigrafi pada peta geologi ditunjukkan dengan singkatan huruf

(Gambar 9.2.). Sebagai dokumen/acuan satuan kronostratigrafi adalah tabel (chart)

yang dibuat oleh Elsevier (1989) atau revisinya.

1. Huruf pertama (huruf besar) menyatakan jaman, misalnya P untuk Perem, TR

untuk Trias, T untuk Tersier.

2. Huruf kedua (huruf kecil) menyatakan seri, misalnya Tm berarti kala Miosen dalam

jaman Tersier.

3. Huruf ketiga (huruf kecil) menyatakan nama formasi atau satuan litologi, misalnya

Tmc berarti Formasi Cipluk berumur Miosen.

4. Huruf Keempat (huruf kecil) menyatakan jenis litologi atau satuan peta yang lebih

rendah (anggota), misalnya Tmcl berarti anggota batugamping Formasi Cipluk yang

berumur Miosen.

Page 104: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 104

5. Huruf kelima digunakan hanya untuk batuan yang mempunyai kisaran umur

panjang, misalnya Tpokc berarti Anggota Cawang Formasi Kikim berumur

Paleosen-Oligosen.

6. Huruf pT (p kecil sebelum T besar ) digunakan untuk singkatan umur batuan

sebelum Tersier yang tidak diketahui umur pastinya.

7. Untuk batuan yang mempunyai kisaran umur panjang, urutan singkatan umur

berdasarkan dominasi umur batuan, misalnya QT untuk batuan berumur Tersier

hingga Kuarter yang didominasi batuan berumur Quarter; JK untuk batuan

berumur Jura hingga Kapur yang didominasi batuan berumur Jura.

8. Batuan beku dan malihan yang tak terperinci susunan dan umurnya cukup

dinyatakan dengan satu atau dua buah huruf, misalnya a untuk andesit, b untuk

basal, gd untuk granodiorit, um untuk ultramafik atau ofiolit dan s untuk sekis.

9. Batuan beku dan malihan yang diketahui umurnya menggunakan lambing huruf

jaman, misalnya Kg berarti granit berumur Kapur.

10. Pada peta geologi skala kecil, himpunan batuan cukup dinyatakan dengan huruf di

belakang lambang era, jaman atau sub-jaman; misalnya Pzm berarti batuan

malihan berumur Paleozoikum, Ks berarti sedimen berumur Kapur, Tmsv berarti

klastika gunungapi berumur Miosen, Tpv berarti batuan gunungapi berumur

Paleogen, Tni berarti batuan terobosan berumur Neogen. Satuan bancuh

dinyatakan dengan notasi m.

Page 105: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 105

Gambar 9.2.

Singkatan huruf satuan kronostratigrafi yang digunakan pada peta geologi

Page 106: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 106

9.6.2.3. Tata Warna

Warna dipakai untuk membedakan satuan peta geologi, dipilih berasaskan jenis

batuan, umur satuan dan satuan geokronologi.

1. Warna dasar yang digunakan adalah kuning, magenta (merah) dan sian (biru) serta

gabungannya.

2. Warna yang dipilih untuk membedakan satuan batuan sedimen dan endapan

permukaan sepenuhnya menganut sistem warna berdasarkan jenis dan umur.

Untuk membedakan beberapa satuan seumur dapat digunakan corak. (Gambar

9.4.).

3. Batuan malihan dibedakan berdasarkan (1) derajat dan fasies serta (2) umur nisbi

batuan pra-malihan dan litologi. Tata warna batuan malihan sama dengan batuan

sedimen atau mengunakan bakuan warna khusus. Corak untuk membedakan

litologi tertera.

4. Warna batuan beku menyatakan susunan kimianya : asam, menengah, basa, dan

ultrabasa. Untuk membedakannya dipilih warna yang berdekatan, dan singkapan

huruf seperti tercantum dalam uraian 2.1.1 atau menurut kunci warna yang sudah

dibakukan. Bila diperlukan, dapat digunakan corak dengan bakuan khusus.

5. Batuan gunung api yang berlapis dan dan diketahui umurnya, mengikuti tata

warna untuk batuan sedimen. Perbedaan litologi untuk lahar, breksi gunungapi dan

tuf dinyatakan dengan corak (Gambar 9.4.). Beberapa satuan batuan gunungapi

pada suatu lembar peta geologi dapat dibedakan berdasarkan susunan kimianya,

dengan bakuan warna khusus.

Page 107: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 107

9.6.2.4. Simbol dan Corak Geologi

Simbol dan notasi (corak) yang tertera pada peta geologi harus tertera pada legenda

dan sebaliknya. Bentuk dan ukurannya harus sama (Gambar 9.3.).

Page 108: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 108

Page 109: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 109

Gambar 9.3.

Simbol-simbol yang digunakan dalam peta geologi

Page 110: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 110

Gambar 9.4.

Skema corak dasar yang digunakan dalam peta geologi

batulempung serpih napal

batulanau batupasir batupasir konglomerat konglomerat

breksi batugamping batugamping pasiran dolomit

chert batusabak sekis

tuff breksi gunungapilahar

aluvium

Corak Dasar Batuan Sedimen

Corak Dasar Batuan Metamorf

Corak Dasar Batuan Volkanik

Corak Dasar Batuan Beku

menengah basa ultrabasa

hipabisal

lava

asam

Page 111: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 111

9.7. Istilah

Peristilahan geologi yang digunakan mengacu pada Glossary of Geology (American

Geological Institute, 1972); Peristilahan geologi dan ilmu berhubungan (M.M. Purbo

Hadiwidjojo, 1975) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia.

9.8. Keterangan Peta

Keterangan peta ditulis dalam bahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa

Inggris yang dicetak dengan huruf miring.

9.9. Penyajiaan Peta

1. Bagan bakuan tata letak peta geologi mengikuti seperti pada gambar peta geologi

daerah Perbukitan Jiwo penyimpangan tata letak dapat dilakukan selama proses

kartografi, yaitu berdasarkan atas pertimbangan teknik kekartografiannya.

2. Korelasi satuan peta diwujudkan dalam gambar, dimana formasi atau satuan

batuan yang terdapat pada lembar peta dikelompokkan ke dalam endapan

permukaan, batuan sedimen, batuan gunungapi, batuan malihan, batuan beku atau

terobosan dan tektonik. Setiap satuan dinyatakan dengan kotak berlambang huruf

dan disusun sesuai dengan kedudukan stratigrafinya.

3. Uraian singkat setiap satuan

a. Kotak satuan atau formasi berisi simbol huruf dan warna

b. Di belakang kotak dituliskan nama satuan atau formasi dengan huruf

besar

c. Di belakang nama diikuti titik dua (:) dan diuraikan macam batuannya

yang dimulai dari yang paling banyak menguasai.

Keterangan berikutnya

menerangkan :

- informasi tebal lapisan dan atau runtunan satuan/formasi

- fosil petunjuk, umur dan lingkungan pengendapan

- hubungan antar satuan

- sumberdaya mineral dan energi

- unsur penting yang akan menunjang kelengkapan data

Page 112: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 112

9.10. Penerbitan

9.10.1. Bahan Baku

Peta geologi yang disajikan dalam bentuk gambar, setelah melalui proses kartografi,

dicetak di atas kertas HVS dengan berat 115 g atau kertas konstruk yang tahan cuaca.

9.10.2. Ukuran

1). Peta geologi berskala besar dicetak di atas kertas berukuran 100 cm x 65 cm.

2). Peta geologi berskala kecil menggunakan kertas berukuran 115 cm x 85 cm.

9.11. Spesifikasi

1). Peta geologi skala besar menggunakan peta dasar topografi dengan proyeksi

UTM (Universal Transverse Mercator).

2). Peta geologi skala kecil menggunakan peta dasar topografi dan batimetri dengan

proyeksi kerucut sama bentuk Lambert.

3). Pencantuman batimetri atau kedalaman laut pada peta geologi berskala besar

bukan merupakan keharusan.

4). Peta geologi skala besar dilengkapi dengan penampang geologi.

5). Peta geologi digolongkan menjadi peta geologi standar dan peta geologi

tinjau/permulaan.

a). Peta geologi standar mempunyai data dan informasi yang lengkap dan akurat

setara dengan besar skala.

b). Peta geologi tinjau/permulaan masih memerlukan pemutakhiran data. Peta

ini dapat hanya dibuat dari hasil penafsiran citra inderaan jauh.

6). Peta geologi seyogyanya menyajikan data dasar dan informasi geologi selengkap

mungkin untuk pemakainya, dan berguna untuk tujuan keilmuan dan terapan.

a). Keilmuan, karena data dan informasinya dapat dipakai sebagai titik tolak

pembuatan hipotesis dan sintesis.

b). Terapan, karena dapat digunakan sebagai landasan petunjuk awal dalam prospeksi

dan eksplorasi mineral & sumberdaya energi dan pengembangan

wilayah.

- Peta geologi mencantumkan adanya petunjuk keterdapatan sumberdaya

mineral dan energi.

Peta geologi menggambarkan adanya sebaran gunungapi dan jalur lemah

di permukaan bumi, yang dapat memberikan informasi dasar bagi

kerekayasaan sipil, pertanian, perkebunan, kehutanan, dan kepariwisataan.

Page 113: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 113

Suatu lembar peta geologi yang lengkap mencakup:

1. Peta geologi

2. Penampang geologi

3. Keterangan pinggir

Page 114: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN „‟Veteran‟‟ Yogyakarta 114

Peta Geologi Daerah Perbukitan Jiwo

Page 115: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 115

9.12. Membuat Penampang Geologi

Syarat utama dalam pembuatan penampang geologi adalah tegak lurus dengan arah

umum strike, hal ini akan mengurangi faktor kesalahan dalam mengeplotkan dip pada

penampang. Jika penarikan garis tidak tegak lurus dengan strike maka didapatkan

adalah apparent dip (kemiringan semu) yang tentu saja besarnya akan berbeda dengan

true dip (pembuatan penampang struktur lipatan lihat pada bab lipatan).

Sebagai contoh :

Pada suatu peta geologi (Gambar 9.5.) dibuat penampang geologi melalui A-B dan X-Y

Rekonstruksinya adalah :

1. Membuat sayatan dengan arah tegak lurus dengan strike.

2. Membuat Base Line yang panjangnya sama dengan panjang garis sayatan.

3. Membuat End line membaginya sesuai dengan ketinggian yang kita dapatkan tidak

harus dimulai dengan angka nol.

4. Mengeplotkan ketinggian kontur yang terpotong dengan sayatan dan

menghubungkannya.

5. Menggambarkan keadaan geologi termasuk di dalamnya pengeplotan kemiringan

lapisan serta strukur geologi yang berkembang di daerah / sayatan tersebut

9.13. Penentuan Kemiringan Semu

Dalam penggambaran lapisan pada penampang geologi jika sayatan tidak tegak lurus

dengan strike, maka kemiringan lain yang digambarkan adalah apparent dip. Nilai ini

didapatkan dengan jalan mengkoreksi true dip.

Penentuan nilai ini (kemiringan semu) didapat dengan jalan :

1. Menggunakan Tabel (Gambar 9.7.).

2. Menggunakan Alignment Diagram (Gambar 9.6.).

3. Menggunakan rumus.

Dengan rumus ini kita dapat menghitung koreksi dip :

Arc Tg β = Tg α . Sin δ

Dimana :

β: Kemiringan semu (apperent dip)

α: Kemiringan sebenarnya (true dip).

δ : Sudut antara strike dengan arah sayatan penampang geologi.

Page 116: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 116

Gambar 9.5.

Rekonstruksi Sayatan

Page 117: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 117

Gambar 9.6.

“Alignment Diagram”

Skala pembagian dalam pengkoreksian dip berdasarkan sudut yang dibentuk oleh strike dan dip

directionnya

Page 118: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 118

Gambar 9.7.

Tabel pembacaan koreksi dip berdasarkan sudut yang dibentuk antara strike dan dip direction

Page 119: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 119

9.14. Contoh Soal

1. Pada pemetaan geologi di daerah "SAMAN" diperoleh data-data bahwa di lokasi A

tersingkap kontak antara batupasir dan lanau. Setelah dilakukan pengukuran

didapatkan kedudukan N 090°E /20°. Data tersebut terplotkan dalam peta (Gambar

9.8.a.). Yang menjadi permasalahan adalah bagaimana membuat pola singkapan

(peta geologi) daerah tersebut, dan bagaimana kedudukan stratigrafinya.

Tahap penyelesaian :

1. Membuat kemiringan bidang lapisan sebesar 20° diukur dari folding line

(garisOB).

2. Membuat kontur struktur di bawahnya dengan interval yang disesuaikan

dengan skala peta

3. Memberi tanda titik pada setiap perpotongan antara kontur struktur dengan

garis kontur yang mempunyai ketinggian sama.

4. Menghubungkan titik-titik potong yang sudah ditandai tersebut secara

berurutan.

Garis penghubung tersebut merupakan pola singkapannya, sehingga didapatkan peta

geologi daerah “SAMAN”. Dari peta tersebut dengan memperhatikan arah kemiringan

lapisan maka disimpulkan bahwa batupasir terletak di bawah lanau.

2. Gambar 9.8.b. adalah contoh rekonstruksi pola singkapan suatu lapisan batubara

dengan kedudukan N 180° E/15° dimana bagian bawah lapisan tersebut tersingkap

di titik A, sedangkan bagian atasnya tersingkap di titik B.

Rekonstruksi pola singkapan bagian bawah (bottom): lihat rekonstruksi bagian

bawah Gambar 9.8.b.

Rekonstruksi pola singkapan bagian atas (top): lihat rekonstruksi bagian atas

Gambar 9.8.b.

Page 120: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 120

Gambar 9.8.a

Rekonstruksi pola singkapan daerah Saman berdasarkan batas litologi batulanau dan batupasir

dengan kedudukan N 090° E/20°

dip

strike

Page 121: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 121

Gambar 9.8.b.

Rekonstruksi pola singkapan top dan bottom lapisan batubara berdasarkan batas litologi top

dan bottom lapisan batubara tersebut dengan kedudukan N 180° E/15°

A

B

Page 122: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 122

9.15. Tebal dan Kedalaman

Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara dua bidang sejajar yang merupakan batas

bawah dan atas (top & bottom) suatu lapisan. Karena itu, dengan kata lain

perhitungan ketebalan adalah jarak tegak lurus antara dua bidang yang merupakan

batas top & bottom lapisan tersebut (Gambar 9.9.). Jika pengukuran di lapangan

dilakukan tidak tegak lurus strike maka jarak dan sudut terukur di lapangan perlu

dikoreksi terlebih dahulu (Gambar 9.11.).

Kedalaman ialah jarak vertikal dari ketinggian tertentu (umumnya permukaan bumi)

ke arah bawah terhadap suatu titik, garis atau bidang (Gambar 9.9.).

9.15.1. Ketebalan

Ketebalan lapisan bisa ditentukan dengan beberapa cara, baik secara langsung

maupun yang tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan pada

suatu keadaan tertentu, misalnya lapisan horisontal yang tersingkap pada tebing

vertikal (Gambar 9.10.b). Lapisan vertikal yang tersingkap pada topografi datar

(Gambar 9.10.a). Apabila keadaan medan, struktur yang rumit, atau keterbatasan alat

yang dipakai tidak memungkinkan pengukuran secara langsung, diadakan pengukuran

secara tidak langsung, tetapi sebaiknya diusahakan pengukuran mendekati secara

langsung.

Pengukuran tidak langsung yang paling sederhana adalah pada lapisan miring,

tersingkap pada permukaan horisontal, di mana lebar singkapan sebenarnya (diukur

tegak lurus jurus), yaitu w (Gambar 9.11.). Dengan mengetahui kemiringan lapisan (δ)

maka ketebalannya:

t= w sin δ (Gambar 9.11.)

Apabila pengukuran lebar singkapan tidak tegak lurus (l) maka lebar singkapan

sebenarnya (w) harus dikoreksi lebih dahulu dengan rumus w = l sin ß, di mana ß

adalah sudut antara jurus dengan arah pengukuran. Ketebalan yang didapat adalah:

t= l sin ß sin δ

Page 123: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 123

Gambar 9.9.

Gambaran tiga dimensi tebal (t) dan kedalaman (d) suatu lapisan batuan

Gambar 9.10.

Pengukuran ketebalan secara langsung pada lapisan vertikal (a) dan horizontal (b)

Gambar 9.11.

Pengukuran tebal dengan arah pengukuran (l) tidak tegak lurus strike

Page 124: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 124

Cara yang sama dapat dipakai apabila pengukuran lebar singkapan dilakukan pada

topografi miring dengan slope tertentu. Dalam hal ini ketebalan merupakan fungsi

dari dip ( δ ) dan slope ( σ ). Beberapa posisi lapisan dengan slope tertentu dan

perhitungan ketebalannya ditunjukkan pada Gambar 9.12.

Pendekatan lain untuk mengukur ketebalan secara tidak langsung dapat dilakukan

dengan mengukur jarak antara titik yang merupakan batas lapisan sepanjang lintasan

tegak lurus strike.

Pengukuran ini dilakukan apabila bentuk lereng tidak teratur. Bisa juga menghitung

ketebalan lapisan pada Peta Geologi. Beberapa kemungkinan posisi lapisan terhadap

lereng dan ketebalannya ditunjukkan dalam Gambar 9.13. Untuk mengukur ketebalan

pada lereng, apabila pengukuran tidak tegak lurus strike digunakan persamaan

trigonometri

t = l [ |sin δ cos σ Sin β ± sin σ cosδ| ]

Dimana :

t : tebal lapisan yang diukur

l : panjang pengukuran yang tidak tegak lurus strike

σ : slope terukur.

δ : dip lapisan

β : sudut antara strike dan arah pengukuran.

Perhitungan dengan cara yang lain dapat juga dilakukan dengan mencari lebih dahulu

slope yang tegak lurus strike Gambar 9.15.

Untuk mencari kemiringan lereng yang tegak lurus jurus lapisan (w) dapat dilakukan

beberapa cara, yaitu dengan menggunakan Alignment nomograph dengan menganggap

kemiringan lereng terukur sebagai kemiringan semu dan kemiringan lereng tegak

lurus jurus sebagai kemiringan sebenarnya. Dengan menggunakan persamaan:

Tan σ = sin β tan φ

Dimana :

σ : sudut lereng terukur

β : sudut antara jurus dengan arah pengukuran.

φ : Sudut lereng tegak lurus jurus

Page 125: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 125

Dari perhitungan di atas didapat lebar singkapan yang tegak lurus jurus (w), dengan

menggunakan persamaan :

Sin σ

W = l

Sin φ

Gambar 9.12.

Posisi pengukuran dan perhitungan

Gambar 9.13.

Beberapa posisi pengukuran dan perhitungan ketebalan dengan komponen

vertikal dan horizontal

Page 126: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 126

Gambar 9.14.

Pengukuran ketebalan pada lereng dengan pengukuran tidak tegak lurus jurus sepanjang CA

Gambar 9.15.

Pengukuran ketebalan dengan slope tegak lurus strike sepanjang W

B

A

C

L

Page 127: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 127

Dengan menggunakan salah satu persamaan Gambar 9.12. dapat ditentukan

ketebalannya. Untuk mendapatkan ketebalan tanpa perhitungan. yang rumit dapat

digunakan alignment diagram (Gambar 9.17.).

Prosedur penggunaan alignment diagram:

Pada topografi yang mempunyai slope:

1. Mengamati arah kemiringan terhadap slope apakah berlawan ataukah searah

dengan kemiringan.

2. Memplotkan pada skala azimuth of traves bagian bawah nol derajat jika searah

dengan sudut yang dibentuk antara atas pengukuran dengan jurus lapisan.

3. Memplotkan pada bagian atas nol derajat jika berlawanan.

4. Menghubungkan dengan besarnya dip yang arahnya tegak horisontal yang

berada di tengah.

5. Menghubungkan garis yang berada di tengah dengan slope distance (lebar

singkapan ) sampai garis garis horizontal bagian bawah yang menunjukkan

besarnya ketebalan ( thickness of strata )

9.15.2. Kedalaman

Menghitung kedalaman lapisan ada beberapa cara, di antaranya :

Menghitung secara matematis

Dengan Alignment diagram

Secara grafis (pada contoh soal)

Dengan cara perhitungan matematis, yang perlu diperhatikan ialah : kemiringan

lereng, kemiringan lapisan dan jarak jurus dari singkapan ke titik tertentu. Pada

permukaan horisontal, kedalaman lapisan (d) dapat dihitung dengan rumus.

d = m tan σ (Gambar 9.16.A)

Di mana :

d = kedalaman yang diukur

m = jarak tegak lurus dari singkapan ke titik tertentu

σ = kemiringan lapisan

Page 128: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 128

Apabila tidak tegak lurus jurus, maka kemiringan lapisan yang dipakai adalah

kemiringan semu ( α )

d = m tan α

Untuk kemiringan lapisan dan kemiringan lereng tertentu kedalaman dapat dicari

dengan menggunakan rumus pada Gambar 9.16. sedang rumus umumnya :

d = m [ sin Δ ± cos Δ tan σ ]

Dimana :

m = jarak tegak lurus jurus pada bidang miring

σ = kemiringan lapisan

Δ = kemiringan lereng

Dengan menggunakan Alignment diagram, cara penggunannya sama dengan waktu

mencari ketebalan dan yang beda hanya alignment diagramnya (Gambar 9.18.).

Page 129: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 129

m dσ

m

d

α

E

Keterangan :

d = kedalaman yang diukur

m = jarak terukur

σ = kemiringan lapisan

Δ = kemiringan lereng

Gambar 9.16.

Beberapa posisi pengukuran dan kedudukan lapisan dan perhitungan kedalaman

Page 130: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 130

Gambar 9.17.

Alignment diagram untuk mencari ketebalan

Page 131: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 131

Gambar 9.18.

Alignment diagram untuk mencari kedalaman

100 20 30 40 50 60 70 901020304050607090

10

20

30

40

50

60

70

5

590

10

1520

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

75

65

55

45

35

25

15

100200

300400

500600

700800

9001000

15002000

25003000

40005000

10000

10020

030040

050060

070080

0900

1000

150020

00250030

00400050

00

10000

100

20

0

30

0

40

0

500

600

70

0

800

900

100

0

200

300

40

0

50

0

60

0

700

80

0

90

0

100

0 0

Azimuth of transverse (d scale)Use this when and are in the same direction δ α

Azimuth of transverse (d scale)Use this when and are in opposite direction δ α

Angl e

of dip (

scale)

δ

Angle of slope ( scale) α

t scale

Slope

dist

ance

(s sca

le) Slope distance (s scale)

Depth to a stratum (d scale)

Page 132: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 132

9.15.3. Aplikasi Tebal dan Kedalaman

Contoh soal dan penyelesaian :

1. Suatu singkapan dengan lebar masing masing 320 m, 385 m, 275 m, dan 400 m, yang

diukur pada lintasan dengan arah N 055° E sambil menuruni lereng dengan

kemiringan 30°. Dari atas dijumpai berturut - turut yaitu batupasir, batulempung,

batugamping dan breksi, kedudukan keempat lapisan batuan selaras yaitu N 030° E /

65°. Skala 1 : 10.000. (Gambar 9.19.)

Pertanyaan :

A. Tentukan ketebalan masing-masing lapisan batuan secara matematis !

B. Apabila kita akan melakukan suatu pemboran vertikal, di lokasi titik akhir

dijumpai breksi, berapa kedalaman yang akan dicapai untuk menjumpai batas atas

batupasir dan batas bawah batulempung ?

2. Pada daerah Gedung Kuning dijumpai adanya singkapan kontak bagian bawah

batupasir dengan bagian atas batugamping pada lokasi A (700 m), B(700 m), C(800

m). Pada lokasi D (900 m) dijumpai singkapan kontak antara bagian bawah breksi

dengan bagian atas atas batupasir di mana kedudukannya selaras. (Gambar 9.20.)

Pertanyaan :

A. Tentukan kedudukan lapisan batuan tersebut !

B. Tentukan ketebalan batupasir secara grafis !

Page 133: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 133

Gambar 9.19.

Penyelesaian soal no.1

Page 134: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 134

Gambar 9.20.

Peta Geologi

Page 135: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 135

DAFTAR PUSTAKA

1. Asikin Sukendar, 1966. Analisis Struktur Daerah Pra Tersier Luk Ulo Jawa Tengah,

Desertasi.

2. Asikin Sukendar, 1978, Dasar-dasar Geologi Struktur, DepartemenTeknik Geologi, ITB,

Bandung.

3. Badgley, P.C, 1959, Structural Method For The Ekploration Geologist. Oxford Book

Company. New Delhi.

4. Billings. M.p. 1977, Structural Geology. Third edition. Prentice Hall of India. New Delhi

5. Buchanan, P.G., and McClay, K., 1991, Sandbox Experiments of Inverted Listric and Planar

Fault Systems, Tectonophysics, v. 188, p. 97-115.

6. Byerlee, J.D., 1978, Friction of rocks, Pure and Applied Geophysics, v. 116, p. 615-626.

7. Christiansen, A.F., 1983, An Example of A Major Syndepositional Listric Fault, in

A.W.Bally, ed., Seismic Expression of Structural Styles, AAPG studies in Geology 15, p.2.3.1-

36-40.

8. Compton. Robert.R, 1962.Manual Field Geology. John Willey & Sons. Inc, New York.

9. Davis, G., and Reynolds, S. J., 1996, Structural Geology of Rocks and Regions, John Willey

and Sons Inc., New York, 776p.

10. Dahlen,F.A,Suppe,J., and Davis,D, 1984, Mechanics of Fold and Thrustbelts and

Accretionary Wedges:Cohesive Coulomb Theory, Journal of Geophysical

Research,v.89,no.B12,p.10087-10101.

11. Eisenstadt, G., Vendeville B. C., and Withjack, M. O., 1995, Introduction to Experimental

Modeling of Tectonic Processes, GSA Annual Meeting, New Orleans, USA.

12. Ellis, P., and McClay, K., 1988, Listric Extensional Fault Systems-Results of Analogue

Model Experiments, Basin Research, v. 1, p. 55-70.

13. Emmons, R, 1969, Strike-slip Rupture

14. Handoyo, Agus 1981, Metoda Geometri Geologi Struktur, Direktorat Jendral Pertambangan

Umum, PPTM, Bandung.

15. Hill, Masson L. 1976, Fault Tectonic, Atlantic Richfield Company.

16. Hobbs, B.E,W.D, Means & P.F Williams, 1976, An Outline of Structural Geology, John

WilIey & Sons. Inc, New York.

17. Hubbert, M.K., 1937, Theory of Scale Models as Applied to Study of Geological Structure,

Geological Society of America., v.48, p.1459-1520.

18. Jaeger, J. C., and Cook, N. G. W., 1976, Fundamental of Rocks Mechanics, Halsted Press,

New York, 585p.

19. Krantz, R. W., 1991, Measurements of Friction Coefficients and Cohesion for Faulting and

Fault Reactivation in Laboratory Models Using Sand and Sand Mixtures, Tectonophysics, v.

188, p. 203-207.

Page 136: Buku panduan praktikum GS.pdf

Laboratorium Geologi Struktur UPN “Veteran” Yogyakarta 136

20. Koyi, H., 1997, Analogue Modelling: From A Qualitative to A Quantitative Technique – A

Historical Outline, Journal of Petrouleum Geology, vol 20 (2), April 1997, p. 223-238.

21. McClay, K. R., 1987, The Mapping of Geological Structures, John Willey & Sonss, Inc,

NewYork.

22. McClay, K. R., 1989, Physical Models of Structural Styles During Extensional,in Tankard, A.

J., and Balkwill, H. R., eds., Extensional Tectonicsand Stratigraphy of North Atlantic

Margin, AAPG Memoir 46, p. 95-100.

23. McClay, K.R., 1996, Stuctural Geology Short Course for Conoco, Jakarta,Indonesia.

24. Mitra, S., 1990, Fault Propagation Folds: Geometry Kinematics and Hydrocarbon Traps,

AAPG, v.74, p.931-945.

25. Miyabe, N., 1934, Experimental Investigation of The Deformation of Sandmass, Part IV,

Tokyo University Earthquake Research InstituteBulletin, v. 12, p. 311-342.

26. PPTM, 1979, Fault and Fold Tectonic, ITB, Bandung.

27. Pattern in Sand Models, Tectonophysics, v. 7, p. 71-87.

28. Ragan. D.M. 1973, Structural Geology An Introduction to Geometrical Techniques, Second

Edition. John Willey & Sons. Inc, New York.

29. Sapiie, B. 2006, Structural Styles and Their Origin I, Short Course, s. 14, ITB, Bandung.

30. Spencer, Edgar W, 1977, Introduction to The Structure of Earth, Second Edition, Mc. Graw

Hill Kogakusha. Tokyo.

31. SNI.,1998, Pembuatan Peta Geologi, Badan Standarisasi Nasional, tidak diterbitkan .

32. Tjia, H.D, 1976. Tanda-tanda Pengenal Sifat Sesar, Direktorat Jendral Pengairan

33. Tunner, F.J & Lionel E. Weiss. -1963.Structural Analisis of Metamorphic Tectonites, Mc.

Graw Hill Book Company, Inc, New York

34. Withjack, M., and Jamison, W., 1986, Deformation Produced by Oblique Rifting,

Tectonophysics, v. 126, p. 99-124.