buku kajian ukm agribisnis

51
Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis 99 LAPORAN AKHIR Sistem Agribisnis Sentra UKM Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis 99 Dinamika UKM Dalam Sektor Agribisnis 4.1. Pendahuluan Sebagian pertanyaan yang ingin dijawab oleh bab ini adalah “Kenapa harus sektor agribisnis yang dikembangkan?” Dalam kajian ini, komoditas agribisnis dipahami sebagai komoditas yang dihasilkan oleh subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, atau dalam khazanah ekonomi yang disebut dengan sektor pertanian. Tabel 8. Proporsi Sektor Pertanian Terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Nasional Tahun 2004 dan 2006 PERTANIAN 2004 2006 satuan Pertumbuhan per tahun PDB non migas nasional 1,506,296,600 1,703,086,000 juta Rp 6.33% PDB pertanian 247,163,600 261,296,900 juta Rp 2.82% % PDB pertanian thd nasional 16.41% 15.34% % -3.30% Jumlah investasi ADH konstan 2000 nasional 354,561,295 404,606,624 juta Rp 6.82% Jumlah investasi sektor pertanian 16,276,312 17,682,377 juta Rp 4.23% % investasi pertanian thd nasional 4.59% 4.37% % -2.43% Ekspor non migas nasional 470,789,928 607,397,270 juta Rp 13.59% Ekspor sektor Pertanian 9,597,200 13,741,476 Juta Rp 19.66% % ekspor pertanian thd nasional 2.04% 2.26% % 5.35% Jumlah Unit Usaha nasional 44,784,073 48,936,840 Unit 4.53% Jumlah unit usaha sektor pertanian 25,799,864 26,209,399 Unit 0.79% % Unit usaha pertanian thd nasional 57.61% 53.56% -3.58% Jumlah Tenaga Kerja nasional 83,601,371 88,804,955 Orang 3.07% Jumlah Tenaga Kerja pertanian 37,691,288 38,814,535 Orang 1.48% % Tenaga Kerja pertanian thd nasional 45.08% 43.71% % -1.54% Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah 4

Upload: paelo-maldini

Post on 01-Dec-2015

112 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

IPTEK

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Kajian Ukm Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis

UKM Berbasis Agribisnis

99

LAPORAN AKHIR

Sistem Agribisnis Sentra UKM

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis

UKM Berbasis Agribisnis

99

Dinamika UKM Dalam Sektor Agribisnis

4.1. Pendahuluan Sebagian pertanyaan yang ingin dijawab oleh bab ini adalah “Kenapa harus sektor

agribisnis yang dikembangkan?” Dalam kajian ini, komoditas agribisnis dipahami

sebagai komoditas yang dihasilkan oleh subsektor tanaman bahan makanan,

perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, atau dalam khazanah ekonomi

yang disebut dengan sektor pertanian.

Tabel 8. Proporsi Sektor Pertanian Terhadap Beberapa Indikator Ekonomi Nasional Tahun 2004 dan 2006

PERTANIAN 2004 2006 satuan Pertumbuhan per tahun

PDB non migas nasional 1,506,296,600 1,703,086,000 juta Rp 6.33%

PDB pertanian 247,163,600 261,296,900 juta Rp 2.82%

% PDB pertanian thd nasional 16.41% 15.34% % -3.30%

Jumlah investasi ADH konstan 2000 nasional 354,561,295 404,606,624 juta Rp 6.82%

Jumlah investasi sektor pertanian 16,276,312 17,682,377 juta Rp 4.23%

% investasi pertanian thd nasional 4.59% 4.37% % -2.43%

Ekspor non migas nasional 470,789,928 607,397,270 juta Rp 13.59%

Ekspor sektor Pertanian 9,597,200 13,741,476 Juta Rp 19.66%

% ekspor pertanian thd nasional 2.04% 2.26% % 5.35%

Jumlah Unit Usaha nasional 44,784,073 48,936,840 Unit 4.53%

Jumlah unit usaha sektor pertanian 25,799,864 26,209,399 Unit 0.79%

% Unit usaha pertanian thd nasional 57.61% 53.56% -3.58%

Jumlah Tenaga Kerja nasional 83,601,371 88,804,955 Orang 3.07%

Jumlah Tenaga Kerja pertanian 37,691,288 38,814,535 Orang 1.48%

% Tenaga Kerja pertanian thd nasional 45.08% 43.71% % -1.54%

Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah

4

Page 2: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

100 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

100

Secara umum, dalam perekonomian Indonesia, posisi sektor ini sebenarnya tidak

terlalu “bersinar”. Ini dapat dilihat dari posisi sektor terhadap beberapa indikator

ekonomi seperti tampak dalam tabel diatas. Tampak bahwa sumbangan sektor

pertanian terhadap pendapatan nasional, jumlah investasi, serta jumlah ekspor

yang dilakukan tidaklah terlalu fenomenal besarnya dan pertumbuhannya

cenderung menurun.

Gambar 25. Proporsi Sektor Pertanian Terhadap PDB dan Ekspor Nasional Tahun 2006

Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah

Tetapi jika perhatikan proporsi jumlah unit usaha dan tenaga kerja yang ada di

sektor ini, yang nilainya hampir mencapai 50%, menunjukkan bahwa sektor ini

adalah sektor yang paling banyak digeluti dan pekerjaan yang paling banyak

dilakukan oleh rakyat Indonesia. Disamping itu, komoditas yang dihasilkan oleh

sektor ini merupakan komoditas strategis penunjang ketahanan pangan bagi

Indonesia secara keseluruhan. Dengan demikian tidaklah berlebihan jika pada

RPJM pemerintah mencantumkan sektor ini sebagai sektor yang perlu lebih dahulu

dikembangkan karena akan memberikan dampak pengali yang amat luas terhadap

perekonomian masyarakat.

Sektor ini umumnya bersifat padat karya dengan penerapan teknologi yang relatif

sederhana dan tepat guna, sehingga peran usaha kecil dan menengah pada sektor

ini cukup besar. Produk sektor ini merupakan kebutuhan pokok masyarakat

terutama sebagai produk yang dikonsumsi langsung dalam bentuk pangan oleh

rumah tangga maupun sebagai bahan baku dalam proses produksi sektor lainnya.

disamping itu produk pertanian ini juga menjadi komoditas ekspor, khususnya dari

Pertanian14%

Pertambangan9%

Pengolahan28%

Listrik, gas, air1%

Bangunan6%

Perdagangan, hotel, restoran

17%

Pengangkutan dan komunikasi

7%

Keuangan, persew aan dan Js pers

9%

Jasa-jasa9%

Pertanian2%

Pertambangan20%

Pengolahan78%

PDB Ekspor

Page 3: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

101 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

101

subsektor perkebunan dan perikanan.

Pada tahun 2006, jumlah unit usaha pada sektor ini sebanyak 26.209.399 unit

usaha yang terdiri dari 99,99% berskala usaha kecil, 0.006% skala usaha

menengah dan 0.0002% berskala usaha besar. Jumlah unit usaha UKM

mengalami pertumbuhan yang relatif lambat yaitu sebesar 0,79% per tahun selama

periode tahun 2004-2006.

Gambar 26. Proporsi Sektor Pertanian Terhadap Unit Usaha dan Tenaga Kerja Nasional Tahun 2006

Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah

Dari sisi penyerapan tenaga kerja, UKM sektor pertanian mampu menyerap

sebesar 99.8% tenaga kerja di sektor pertanian, atau sebesar 43.66% dari

keseluruhan tenaga kerja nasional. Secara umum, jumlah tenaga kerja yang

terserap di sektor pertanian tumbuh sebesar 1,48% pertahun sejak periode 2004

hingga 2006.

Pada tahun 2006, kontribusi Usaha kecil dan menengah dalam pembentukan PDB

sektor pertanian adalah sebesar 95,74%, sedangkan kontribusi terhadap total PDB

nasional adalah sebesar 14.69%. Pertumbuhan PDB sektor pertanian,

perkebunan, perikanan dan perkebunan selama periode tahun 2004-2006 sebesar

2,82% per tahun. Angka pertumbuhan ini masih dibawah pertumbuhan PDB non

migas nasional periode yang sama yang sebesar 6.33%.

Dalam sektor pertanian ini, di tahun 2006 sub-sektor tanaman pangan memberikan

Pertanian53%

Perdagangan, hotel, restoran

27%

Jasa-jasa6%

Pengangkutan dan komunikasi

6%

Keuangan, persew aan dan Js pers

0%

Pengolahan7%

Pertambangan1%

Listrik, gas, air0%

Bangunan0%

Pertanian44%

Pertambangan1%

Pengolahan13%Listrik, gas, air

0%

Bangunan1%

Perdagangan, hotel, restoran

25%

Pengangkutan dan komunikasi

4%

Keuangan, persew aan dan Js pers

1%

Jasa-jasa11%

Unit Usaha Tenaga Kerja

Page 4: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

102 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

102

kontribusi terbesar dalam pembentukan PDB sektor ini yaitu sebesar 49,45%

kemudian berturut-turut sub sekor perkebunan 15,72%, sub sektor perikanan

15,66%, sub sektor peternakan 12,75% dan sub sektor kehutanan 6,42%.

Tabel 9. Perkembangan Jumlah Unit Usaha, Penyerapan Tenaga Kerja, PDB, Investasi, Laju Indeks Harga Implisit dan Ekspor Sektor Pertanian

Menurut Skala Usaha Periode Tahun 2004-2006

Variabel Skala Usaha/ Sektor/Nasional

2004 2006 Tumbuh ’04-‘06

Jumlah Unit Usaha Usaha Kecil 25,798,155 26,207,670 0.79%

(Unit) Usaha Menengah 1,650 1,676 0.78%

Usaha Besar 59 53 -5.22%

Total 25,799,864 26,209,399 0.79%

Jumlah Tenaga Kerja Usaha Kecil 36,877,938 37,965,878 1.46%

(orang) Usaha Menengah 772,366 805,531 2.12%

Usaha Besar 40,984 43,126 2.58%

Total 37,691,288 38,814,535 1.48%

PDB ADH Konstan 2000 Usaha Kecil 213,528,700 226,756,900 3.05%

(Juta Rp) Usaha Menengah 22,663,700 23,415,500 1.65%

Usaha Besar 10,971,200 11,124,500 0.70%

Total 247,163,600 261,296,900 2.82%

Jumlah Investasi Usaha Kecil 5,437,785 5,894,212 4.11%

ADH Konstan 2000 Usaha Menengah 6,913,413 7,503,748 4.18%

(Juta Rp) Usaha Besar 3,925,116 4,284,417 4.48%

Total 16,276,314 17,682,377 4.23%

Ekspor Usaha Kecil 7,586,424 11,129,939 21.12%

(Juta Rp) Usaha Menengah 1,128,942 1,532,770 16.52%

Usaha Besar 881,834 1,078,767 10.60%

Total 9,597,200 13,741,476 19.66%

Laju Indeks Harga Usaha Kecil 4.38 14.06 79.17%

Implisit (%) Usaha Menengah 6.14 19.59 78.62%

Usaha Besar 7.98 21.94 65.81%

Total 4.68 14.86 78.19% Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah

Dari sisi PDB, secara umum sektor pertanian menyumbangkan 15.34% kepada

PDB nasional di tahun 2006. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2004 yang

16.41%. Penurunan terbesar terjadi pada subsektor peternakan, diikuti oleh

subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, kehutanan dan perikanan. Jika

dilihat sub sektor pembentuknya, maka akan tampak bahwa sektor tanaman bahan

makanan memberikan sumbangan paling besar (49.45%) terhadap PDB sektor

pertanian secara keseluruhan diikuti subsektor perkebunan (15.72%), subsektor

perikanan (15.66%), peternakan (12.75%) dan kehutanan (6.42%).

Page 5: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

103 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

103

Tabel 10. Beberapa Statistik Yang Berhubungan Dengan Unit Usaha, Tenaga Kerja, PDB, Jumlah Investasi, Ekspor dan Indeks Harga Implisit

Yang Dapat Diolahkan Tahun 2004-2006

2004 2006 satuan Tumbuh ’04-‘06

Jumlah Unit Usaha nasional 44,784,073 48,936,840 unit 4.53%

Jumlah unit usaha di sektor pertanian 25,799,864 26,209,399 unit 0.79%

Jumlah unit usaha UK+M pertanian 25,799,805 26,209,346 unit 0.79%

% Unit usaha UK+M thd sektor pertanian 99.9998% 99.9998% % 0.00001%

% Unit usaha UB thd sektor pertanian 0.0002% 0.0002% % -5.96%

Jumlah Tenaga Kerja nasional 83,601,371 88,804,955 orang 3.065%

Jumlah Tenaga Kerja di sektor pertanian 37,691,288 38,814,535 orang 1.479%

Jumlah TK UK+M sektor pertanian 37,650,304 38,771,409 orang 1.478%

% TK UK+M thd sektor pertanian 99.89% 99.89% % -0.001%

% TK UK+M thd nasional 45.04% 43.66% % -1.540%

PDB non migas ADH konstan 2000 nasional 1,506,296,600 1,703,086,000 juta Rp 6.33%

PDB ADH konstan 2000 pertanian 247,163,600 261,296,900 juta Rp 2.82%

PDB ADH konstan 2000 UK+UM pertanian 236,192,400 250,172,400 juta Rp 2.92%

% PDB UK+M thd sektor pertanian 95.56% 95.74% % 0.09%

% PDB UK+M thd nasional 15.68% 14.69% % -3.21%

% PDB pertanian thd nasional 16.41% 15.34% % -3.30%

% PDB subsektor pangan thd pertanian 49.61% 49.45% % -0.16%

% PDB subsektor perkebunan thd pertanian 15.72% 15.72% % 0.01%

% PDB subsektor peternakan thd pertanian 12.81% 12.75% % -0.26%

% PDB subsektor kehutanan thd pertanian 7.05% 6.42% % -4.57%

% PDB subsektor prikanan thd pertanian 14.81% 15.66% % 2.83%

Jumlah investasi ADH konstan 2000 nasional 354,561,295 404,606,624 juta Rp 6.82%

Jumlah investasi ADH konstan 2000 UK 70,902,434 na juta Rp na

Jumlah investasi ADH konstan 2000 UM 81,388,716 na juta Rp na

Jumlah investasi ADH konstan 2000 UB 202,270,145 na juta Rp na

Ekspor non migas nasional 470,789,928 607,397,270 juta Rp 13.59%

Ekspor sektor pertanian 9,597,200 13,741,476 juta Rp 19.66%

% ekspor sektor thd nasional 2.04% 2.26% % 5.35%

Laju indeks harga implisit nasional 6.79 13.3 % 39.96%

Laju indeks harga implisit UK nasional 5.15 12.96 % 58.63%

Laju indeks harga implisit UM nasional 5.69 14.37 % 58.92%

Laju indeks harga implisit UB nasional 9.21 13.68 % 21.87% Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah

Data jumlah investasi yang dilakukan secara umum menunjukkan angka kenaikan

dibandingkan tahun 2004 (kenaikan per tahunnya rata-rata 6%). Namun secara

jika diperhatikan sumbangan investasi subsektor pembentuknya terhadap investasi

nasional, tampak bahwa sumbangan subsektor mengalami penurunan

dibandingkan pertambahan investasi nasional. Hal ini menunjukkan minat

investasi di sektor ini tidak setinggi minat investasi di sektor lainnya. Jika

Page 6: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

104 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

104

diperhatikan subsektor pembentuknya, tampak pada subsektor tanaman bahan

makanan, peternakan dan kehutanan sesungguhnya mengalami penurunan

investasi, sedangkan subsektor perkebunan dan perikanan tetap memunjukkan

angka kenaikan jumlah investasi, meskipun kecil.

Tabel 11. Beberapa Statistik Yang Berhubungan Dengan PDB, Jumlah Investasi, Ekspor dan Indeks Harga Implisit Yang Dapat Diolahkan

Tahun 2004-2006

Variabel Skala Usaha Tanaman Bahan Makanan

Perkebunan Peternakan Kehutanan Perikanan

2006 Tumbuh 04-06

2006 Tumbuh 04-06

2006 Tumbuh 04-06

2006 Tumbuh 04-06

2006 Tumbuh 04-06

PDB ADH Konstan 2000

% Total Sub Sektor thd Sektor

49.45% -0.16% 15.72% 0.01% 12.75% -0.26% 6.42% -4.57% 15.66% 2.83%

% Total Sub Sektor thd Nasional

7.59% -3.46% 2.41% -3.29% 1.96% -3.55% 0.99% -7.72% 2.40% -0.57%

Investasi ADH Konstan 2000

% Total Sub Sektor thd Sektor

25.28% -0.07% 32.07% 0.08% 6.85% -0.11% 7.04% -0.09% 28.76% 0.02%

% Total Sub Sektor thd Nasional

1.10% -2.50% 1.40% -2.35% 0.30% -2.54% 0.31% -2.52% 1.26% -2.41%

Laju Indeks Harga Implisit (%)

Usaha Kecil 14.65 166.68% 7.79 13.47% 12.66 48.64% 35.77 112.92% 15.88 24.47%

Usaha Menengah 14.52 160.48% 7.79 35.87% 12.56 109.56% 36.93 109.30% 15.98 36.08%

Usaha Besar - - 6.53 9.76% 12.92 67.23% 35.44 89.68% 16.6 22.24%

Total Sub Sektor 14.65 166.68% 7.65 15.55% 12.65 55.08% 36.16 102.82% 15.9 25.47% Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS, 2006 dan diolah

Indeks harga implisit sektor pertanian secara umum tumbuh diatas pertumbuhan

indeks harga implisit nasional menunjukkan kenaikan harga komoditas di pasar

nasional dan dunia. Jika diperhatikan, tampak bahwa kenaikan harga dinikmati

oleh subsektor tanaman bahan makanan, kehutanan dan peternakan. Sedangkan

subsektor perikanan dan peternakan menunjukkan pertumbuhan indeks harga

implisit yang lebih rendah dibandingkan nasional, hal ini menunjukkan penurunan

harga komoditas ke dua subsektor ini di pasar domestik dan/atau ekspor.

Pada tahun 2006, peran usaha kecil dan menengah sangat besar pada empat sub

sektor yaitu sub sektor tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan.

Sedangkan pada sub sektor kehutanan, peran usaha kecil masih relatif kecil,

dimana peran ini di dominasi oleh HPH yang dimiliki oleh pengusaha besar dan

menengah.

4.1. Konsep Sistem Agribisnis Agribisnis merupakan suatu cara lain melihat pertanian sebagai suatu sistem yang

Page 7: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

105 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

105

terdiri dari subsistem-subsistem yang terkait satu dengan yang lainnya. Keterkaitan

antar sub sistem ini bertujuan untuk memandang kegiatan pertanian sebagai suatu

kegiatan bisnis yang memiliki daya saing.

Agribisnis menurut Davis and Goldbergh, Sonka and Hudson, Farell and Funk

(dalam Saragih, 2000) dinyatakan sebagai suatu cara lain untuk melihat pertanian

sebagai suatu sistem bisnis yang terdiri dari subsistem-subsistem yang terkait satu

dengan yang lain. Subsistem-subsistem tersebut adalah subsistem agribisnis hulu

(up-stream agribusiness), subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness),

subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness) dan subsistem jasa

penunjang (supporting institution)

Gambar 27. Sistem Agribisnis

Subsistem agribisnis hulu (up-stream agribusiness). Meliputi semua kegiatan

untuk memproduksi dan menyalurkan input-input pertanian dalam arti luas, atau

pengadaan sarana produksi, antara lain: Pembibitan, Agro Kimia, dan Agro

Otomotif.

Subsistem agribisnis usahatani (on-farm agribusiness). Meliputi kegiatan

mengelola input-input berupa lahan, tenaga kerja, modal, teknologi dan

manajemen untuk menghasilkan produk pertanian, atau budidaya, antara lain :

Tanaman Pangan, Tanaman Holtikultura, Tanaman Obat-obatan, Perkebunan,

Up-stream Agribusiness

Pembibitan Agro Kimia Agro Otomotif

Up-stream Agribusiness

On-farm Agribusiness

Tanaman Pangan Tanaman Holtikultura Tanaman Obat- obatan Perkebunan Peternakan Perikanan Kehutanan

On-farm Agribusiness

Down-stream Agribusiness

Intermediate Product Finished Product Wholesaler Retailer Consumer

Down-stream Agribusiness

Supporting Institution

Agro Institution Agro Services

Supporting Institution

Page 8: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

106 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

106

Peternakan, Perikanan, dan Kehutanan

Subsistem agribisnis hilir (down-stream agribusiness). Disebut juga agroindustri,

aktivitasnya merupakan aktivitas industri dengan menjadikan hasil-hasil pertanian

sebagai bahan bakunya. Atau Kegiatannya pengolahan dan pemasaran, meliputi:

Intermediate Product, Finished Product Wholesaler, dan Retailer Consumer.

Subsistem jasa penunjang (supporting institution). Subsistem ini merupakan

kegiatan jasa dalam mendukung aktivitas pertanian seperti Agro Institution dan

Agro Services.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam gambar 27:

Pembangunan sistem agribisnis merupakan pembangunan yang mengintegrasikan

pembangunan sektor pertanian dalam arti luas dengan pembangunan industri dan

jasa terkait dalam suatu klaster industri dengan keempat komponen subsistem

tersebut.

Gambar 28. Klaster UKM dalam Sistem Agribisnis

Keterkaitan UKM dengan sistem agribisnis terletak pada penekanan pada

hubungan dan integrasi vertikal antara beberapa subsistem agribisnis dalam satu

sistem komoditas. Koperasi sebagai bagian dari sistem agribisnis tersebut dalam

pengelolan klaster berperan besar untuk meningkatkan potensi pertanian dan

SDM

Perusahaan Besar (Subcontracting)

Konsumen

Pedagang Pemasok

Bahan Baku

Pemasok Mesin dan Alat Produksi

Koperasi

KLASTER UKM

Lembaga Pendukung :

� Pemerintah

� Universitas

� LSM

� Perusahaan Besar

� Dll

Page 9: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

107 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

107

memberikan nilai tambah yang lebih besar bagi produk-produk pertanian agar lebih

kompetitf serta dapat mendorong efisiensi usaha.

4.2. Dinamika UKM Dalam Sektor Agribisnis

Seperti pernah disampaikan di muka, ektor ini umumnya bersifat padat karya

dengan penerapan teknologi yang relatif sederhana dan tepat guna, sehingga

peran usaha kecil dan menengah pada sektor ini cukup besar. Pernyataan ini

kemudian tercermin dalam peran skala usaha Kecil dan Menegah yang tertangkap

dalam tabel I-O tahun 2000 dan data-data tambahan yang dikelurkan oleh

Kementerian Koperasi dan UKM serta BPS di tahun 2006.

Secara umum tampak bahwa hampir 90% sektor ini dibentuk oleh Usaha Kecil dan

Menengah.

Gambar 29. Proporsi Usaha Kecil, Menengah dan Besar Dalam Beberapa Indikator Ekonomi di Sektor Pertanian Tahun 2006

Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS 2006, diolah

Sektor pertanian ini dibentuk oleh 5 sub-sektor, (1) Subsektor Tanaman Bahan

Makanan, (2) Subsektor Perkebunan, (3) Subsektor Peternakan, (4) Subsektor

Kehutanan dan (5) Subsektor Perikanan.

Secara sektoral, tampak bahwa subsektor tanaman bahan makanan, perikanan

dan perkebunan merupakan 3 subsektor terbesar dalam sekor pertanian. Berikut

99.99% 97.81%86.78%

33.33%

81.00%

0.01% 2.08%

8.96%

42.44%

11.15%

0.00% 0.11% 4.26%

24.23%

7.85%

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Unit Usaha Tenaga Kerja PDB Investasi Ekspor

Usaha Kecil Usaha Menengah Usaha Besar

Page 10: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

108 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

108

ini gambaran dinamika Usaha Kecil dan Menengah dalam masing-masing sub-

sektor tersebut.

Gambar 30. Proporsi Pembentukan PDB, Investasi dan Ekspor Masing-Masing Sub Sektor Pertanian Terhadap Sektor Pertanian Tahun 2006

Sumber : Kementerian Koperasi dan UKM dan BPS 2006, diolah

4.2.1. Dinamika UKM Dalam Sub Sektor Pertanian/ Tanaman Bahan Makanan

Pangan merupakan kebutuhan pokok utama yang tidak dapat dipisahkan dengan

kehidupan manusia yang sangat berpengaruh terhadap stabilitas ekonomi, politik

dan keamanan nasional. Jumlah produksi pangan nasional pada tahun 2006

mencapai 89,8 juta ton (BPS, 2007). Selama periode tahun 2003-2006

pertumbuhan produksi pangan nasional mencapai 1,72%. Kontribusi terbesar

produksi pangan nasional bersumber dari tanaman padi mencapai 54,45 juta ton

atau 60,64% kemudian ubi kayu dan jagung masing-masing 22,26% dan 12,93%

serta lainnya sebesar 4,18%.

Dalam struktur permintaan pangan menurut skala usaha, seperti terlihat pada

Gambar diatas, menunjukkan bahwa permintaan pangan lebih di fokuskan kepada

pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri (90% untuk memenuhi permintaan

antara dan akhir dan hanya sekitar 1% untuk ekspor). Mengingat bahwa komoditi

pangan seperti beras, jagung dan kacang kedelai merupakan komodi yang

strategis sehingga orientasi permintaan pangan tidak mengarah kepada ekspor.

Jika dilihat struktur penyediaan tanaman bahan makanan nasional dari tabel I-O

tahun 2000 tampak bahwa sebanyak 78,12% berasal dari usaha kecil, impor

20,63% dan usaha menengah hanya 1,25%. Pada skala usaha kecil penyediaan

Tanaman Bahan Makanan

49%

Perkebunan16%

Peternakan13%

Kehutanan6%

Perikanan16%

Tanaman Bahan Makanan

25%

Perkebunan32%

Peternakan7%

Kehutanan7%

Perikanan29%

PDB Investasi

Page 11: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

109 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

109

pangan terbesar dari komoditi padi yaitu 16%, tanaman umbi-umbian 15,6% dan

sayuran 15,16%. Usaha besar belum memberikan kontribusi dalam penyediaan

pangan nasoional. Hal ini menunjukkan sistem pertanian tanaman pangan di

Indonesia masih relatif bersifat padat karya.

Gambar 31. Struktur Permintaan Sub sektor Bahan Makanan Menurut Skala Usaha Tahun 2000

Sumber: BPS, 2000. Diolah

Pada tahun 2000 struktur penyediaan bahan pangan yang disediakan di dalam

negeri hanya 79,37% selebihnya berasal dari impor yaitu sebanyak 20,63%.

Sedangkan struktur permintaan pada sub sektor ini masih berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan domestik baik untuk industri pengolahan maupun untuk

kebutuhan konsumsi langsung masyarakat. Mengingat komoditi pangan sebagai

komoditi strategis dan masih tingginya penyediaan yang bersumber dari impor

maka diharapkan kepada pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan melalui

program intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi pangan yang berkelanjutan.

Struktur permintaan pada sub sektor ini masih berorientasi pada pemenuhan

kebutuhan domestik baik untuk industri pengolahan maupun untuk kebutuhan

konsumsi langsung masyarakat. Mengingat komoditi pangan sebagai komoditi

strategis dan masih tingginya penyediaan yang bersumber dari impor maka

diharapkan kepada pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan melalui

program intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi pangan yang berkelanjutan.

Peran sub sektor ini sangat strategis dalam mendukung sektor riil di Indonesia,

48.0758.90

48.21

0.55

1.37

0.09

51.3839.73

51.70

0%

10%

20%

30%

40%50%

60%

70%

80%90%

100%

Usaha Kecil UsahaMenengah

Usaha Besar

Permintaan Akhir Ekspor Permintaan Antara

Page 12: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

110 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

110

terutama sebagai penyedia bahan konsumsi makanan langsung masyarakat serta

sebagai bahan baku industri pengolahan. Usaha menengah sub sektor ini

memiliki keterkaitan industri yang paling tinggi dengan indeks daya penyebaran

sebesar 6,0 sedangkan usaha kecil hanya 5,9 dan usaha besar 5,1. Indeks derajat

kepekaan usaha kecil paling tinggi yaitu 8,9 sedangkan usaha menengah dan

besar masing-masing 4,5 dan 5,1. Hal ini berarti, pada usaha kecil setiap kenaikan

satu unit permintaan akhir sub sektor pangan akan meningkatkan output sektor lain

secara keseluruhan sebesar 14,8 unit. Sedangkan untuk usaha menengah hanya

10,5 unit dan 10,2 untuk usaha besar. Indeks derajat kepekaan untuk usaha kecil

8,9 menunjukan bahwa sub sektor ini memiliki daya dorong yang tinggi untuk

meningkatkan 8,9 kali kapasitas produksi dan produktivitas industri yang

menggunakan bahan bakunya sebagai input dalam proses produksi industri

lainnya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha kecil relatif tinggi

51,4% dari output sub sektor ini digunakan sebagai input dalam proses produksi

industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha besar masing-masing

39,7% dan 51,7%.

Tabel 12. Perkembangan PDB, Indeks Harga Implisit dan Investasi Sub Sektor Tanaman Bahan Makanan Menurut Skala Usaha Periode 2004-

2006

Variabel Skala Usaha Tanaman Bahan Makanan

2004 2006 Tumbuh ’04-‘06

PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 121,733,800 128,281,000 2.65%

Usaha Menengah 877,900 930,200 2.94%

Usaha Kecil + Menengah 122,611,700 129,211,200 2.66%

Usaha Besar - - -

Total Sub Sektor 122,611,700 129,211,200 2.66%

% Total Sub Sektor thd Sektor 49.61% 49.45% -0.16%

% Total Sub Sektor thd Nasional 8.14% 7.59% -3.46%

Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 2,941,461 3,189,889 4.14%

Usaha Menengah 1,178,326 1,279,540 4.21%

Usaha Kecil + Menengah 4,119,787 4,469,429 4.16%

Usaha Besar - - -

Total Sub Sektor 4,119,787 4,469,429 4.16%

% Total Sub Sektor thd Sektor 25.31% 25.28% -0.07%

% Total Sub Sektor thd Nasional 1.16% 1.10% -2.50%

Laju Indeks Harga Implisit (%)

Usaha Kecil 2.06 14.65 166.68%

Usaha Menengah 2.14 14.52 160.48%

Usaha Besar - - -

Total Sub Sektor 2.06 14.65 166.68% Sumber : BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, diolah

Page 13: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

111 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

111

Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor ini hanya mengalami pertumbuhan

PDB sebesar 2.66% per tahun. Di tahun 2006, investasi sub sektor Tanaman

Bahan Makanan sekitar 25,28% dari total sektor pertanian atau sekitar 1,10% dari

total investasi nasional. Investasi pada skala usaha besar di sub sektor ini pada

tahun 2004 dan 2006 belum ada.

Laju indeks harga implisit sub sektor ini sebesar 166.68% dan berada di atas

indeks harga implisit secara nasional yang sebesar 39.96%. Tingginya

pertumbuhan laju indeks harga implisit selama periode 2004-2006 menunjukkan

naiknya harga-harga produk tanaman bahan makanan di pasar nasional.

Sub sektor tanaman bahan makanan memiliki rasio input antara 16,15%, yang

berarti 16,15% output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri

lainnya dan mampu menghasilkan nilai tambah 83,85% dari output yang

dihasilkan. Usaha kecil memiliki rasio input yang lebih rendah yaitu 12,67%

sedangkan pada usaha menengah yaitu 23,48%.

Kebutuhan antara untuk sektor ini pada usaha kecil dipasok oleh usaha kecil

sebesar 60,45%, usaha besar 14,77% impor 14,22% dan usaha menengah

10,66%. Sedangkan kebutuhan antara untuk usaha menengah dipasok oleh usaha

kecil sebesar 45,24%, impor 30,01%, usaha besar 13,91% dan usaha menengah

10,83%. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku, bahan

bakar maupun bahan penolong lainnya maka ketersediaan input antara untuk

usaha menengah relatif lebih dipengaruhi oleh kondisi pasar global yang memiliki

kecenderungan harga input antara dari impor yang lebih tinggi sehingga skala

usaha ini relatif tidak stabil dibandingkan dengan usaha kecil. Sehingga surplus

usaha usaha kecil lebih besar dari pada usaha menengah.

Peran koperasi dan UKM di sektor ini cukup besar, mengingat sifat sub sektor ini

yang padat karya. Koperasi dan UKM berperan sebagai pelaku dalam kegiatan

budidaya, penyedia bahan baku, pemasaran maupun proses pengolahan. Banyak

koperasi yang berperan dalam proses kegiatan on-farm maupun off-farm, seperti

koperasi pertanian.

4.2.2. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Tanaman Perkebunan

Berbeda dengan komoditas pertanian lainnya, neraca expor impor komoditi

perkebunan selalu mengalami surplus. Komoditi ini merupakan komoditi

Page 14: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

112 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

112

perdagangan yang merupakan penyumbang devisa terbesar dari sektor non

migas. Surplus perdagangan tahun 2001 mencapai US$ 1.893.411.000. Akan

tetapi tidak seperti sebagian besar produk perkebunan yang ditujukan untuk

ekspor, potensi produksi gula, kapas dan cengkeh untuk memenuhi kebutuhan

industri dalam negeri masih harus didukung oleh impor. Pada tahun 2001 impor

gula naik 6% dan cengkeh naik 2,98%.

Permintaan produk perkebunan sebagian besar untuk kegiatan yang bersifat

produktif yaitu sebagai bahan baku industri pengolahan lainnya. Untuk kebutuhan

konsumsi komoditi tanaman perkebunan relatif lebih besar daripada produksi yang

dihasilkan. Seperti halnya gula dan cengkeh, kebutuhan yang dipenuhi dari impor

sebanyak 36,12% dan 10,08%.

Peran sub sektor perkebuan sangat strategis dalam mendukung perkembangan

sektor riil di Indonesia, sebagai penyedia bahan baku industri dalam negeri dalam

kegiatan produktif. Sub sektor perkebunan memiliki keterkaitan industri yang tinggi

dengan indeks daya penyebaran 23,2 yang terdiri dari usaha kecil 9,9 usaha

menengah 6,9 dan usaha besar 6,5. Indeks derajat kepekaan 21,8 yang berarti

setiap kenaikan satu unit permintaan akhir sub sektor perkebunan akan

meningkatkan output sektor lain secara keseluruhan sebesar 21,8 unit (BPS 2004).

Tabel 13. Struktur Permintaan Sub Sektor Perkebunan Menurut Skala Usaha Tahun 2000

Skala Usaha Permintaan Antara

Ekspor Permintaan Akhir

Total

Usaha Kecil 84.98 4.24 10.77 100.00

Usaha Menengah 87.68 3.09 9.23 100.00

Usaha Besar 92.70 0.49 6.81 100.00 Sumber : BPS, 2004 (diolah)

Dalam struktur permintaan tanaman perkebunan menurut skala usaha

menunjukkan bahwa permintaan tanaman perkebunan lebih di fokuskan kepada

pemenuhan bahan baku industri dalam negeri. Mengingat bahwa tanaman

perkebunan seperti tebu, karet, kapas dan cengkeh merupakan komoditas yang

strategis sehingga orientasi permintaan tanaman perkebunan tidak mengarah

kepada ekspor.

Struktur penyediaan tanaman perkebunan, bahwa sebanyak 65,96% berasal dari

usaha kecil, usaha besar 14,4%, usaha menengah 13,90% sedangkan impor

Page 15: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

113 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

113

hanya 6,20%.

Indeks derajat kepekaan sebesar 21,8 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki

daya dorong yang tinggi untuk meningkatkan 21,8 kali kapasitas produksi dan

produktivitas yang menggunakan komoditi perkebunan sebagai input dalam proses

produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha kecil relatif

tinggi 84,9% dari output subsektor perkebunan digunakan sebagai input dalam

proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha besar

masing-masing 78,7% dan 92,7% (BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM

2004).

Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor perkebunan mengalami

pertumbuhan PDB sebesar 2,83%, nilai ini masih dibawah pertumbuhan PDB

nasional yang sebesar 6.33%. Sumbangan terbesar diberikan oleh Usaha Kecil

dengan persentase sebesar 74,91% dari total PDB subsektor Tanaman

Perkebunan, diikuti oleh Usaha Menengah (14,64%) dan Usaha Besar (10,43%).

Tabel 14. Perkembangan PDB, Investasi, dan Indeks Harga Implisit Sub Sektor Perkebunan Menurut Skala Usaha Periode 2000-2003

Variabel Skala Usaha Perkebunan

2004 2006 Grow/year

PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 29,152,500 30,774,400 2.74%

Usaha Menengah 5,699,200 6,018,400 2.76%

Usaha Kecil + Menengah 34,851,700 36,792,800 2.75%

Usaha Besar 3,997,600 4,288,900 3.58%

Total Sub Sektor 38,849,300 41,081,700 2.83%

% Total Sub Sektor thd Sektor 15.72% 15.72% 0.01%

% Total Sub Sektor thd Nasional 2.58% 2.41% -3.29%

Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 1,589,589 1,719,848 4.02%

Usaha Menengah 1,675,571 1,814,493 4.06%

Usaha Kecil + Menengah 3,265,160 3,534,341 4.04%

Usaha Besar 1,946,865 2,137,081 4.77%

Total Sub Sektor 5,212,025 5,671,422 4.31%

% Total Sub Sektor thd Sektor 32.02% 32.07% 0.08%

% Total Sub Sektor thd Nasional 1.47% 1.40% -2.35%

Laju Indeks Harga Implisit (%)

Usaha Kecil 6.05 7.79 13.47%

Usaha Menengah 4.22 7.79 35.87%

Usaha Besar 5.42 6.53 9.76%

Total Sub Sektor 5.73 7.65 15.55% Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, (diolah)

Investasi sub sektor ini sebesar 32,07% dari total investasi sektor pertanian atau

Page 16: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

114 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

114

sebesar 1,40% dari total investasi di Indonesia pada tahun 2006.

Sub sektor perkebunan memiliki rasio input antara 25,96%, yang berarti 25,96%

output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan

mampu menghasilkan nilai tambah 74,04% dari output yang dihasilkan. Usaha

menengah memiliki rasio input yang lebih rendah yaitu 24,46% dari pada usaha

kecil dan usaha besar yaitu masing-masing 25,82% dan 27,43% (BPS dan

Kementerian Koperasi dan UKM 2004).

Laju indeks harga implisit sub sektor perkebunan sebesar 15.55% berada jauh di

bawah indeks harga implisit secara nasional yang sebesar 39.96%. Rendahnya

pertumbuhan laju indeks harga implisit selama periode 2004-2006 terutama pada

skala usaha besar mengindikasikan adanya kemungkinan penurunan harga

komoditi perkebunan yang cukup signifikan di pasar domestik atau dunia.

Sub sektor perkebunan memiliki rasio input antara 25,96%, yang berarti 25,96%

output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan

mampu menghasilkan nilai tambah 74,04% dari output yang dihasilkan. Usaha

menengah memiliki rasio input yang lebih rendah yaitu 24,46% dari pada usaha

kecil dan usaha besar yaitu masing-masing 25,82% dan 27,43%.

Kebutuhan antara untuk sektor ini pada usaha kecil dipasok oleh usaha kecil

sebesar 39,87%, usaha menengah 13,47%, usaha besar 33,00% dan impor

13,67%. Untuk kebutuhan antara untuk usaha menengah sebagian besar dipasok

dari usaha kecil yaitu 43,73% dan pasokan impor paling rendah, hanya 13,07%.

Sedangkan usaha besar pasokan input antara dari impor impor bila dibandingkan

dengan UKM. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku,

bahan bakar maupun bahan penolong lainnya maka ketersediaan input antara

untuk usaha besar dari impor yaitu 22,71% yang memiliki kecenderungan harga

input antara relatif tidak stabil dibandingkan dengan usaha kecil. Hal ini

merupakan faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya surplus usaha besar

dibandingkan dengan UKM .

Peran Koperasi dan UKM

Pengembangan Koperasi dan UKM dibidang agribisnis khususnya pada sub sektor

perkebunan diharapkan berperan besar dalam percepatan pemulihan ekonomi

nasional melalui perannya dalam menghasilkan devisa dan membuka lapangan

kerja baru. Jenis komoditi perkebunan yang dikembangkan adalah kelapa sawit,

Page 17: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

115 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

115

kopi, gambir, nilam dan sabut kelapa. Bantuan perkuatan tersebut diberikan

dengan pola perguliran melalui Koperasi. Program percontohan pengembangan

usaha Koperasi di bidang agribisnis perkebunan meliputi:

�� Program pengembangan budidaya dan agroindustri serat rami (haramay)

melalui koperasi. Mulai tahun 2002 pengembangan usaha serat rami

dirintis di Kabupaten Wonosobo Jateng pada areal seluas 55 hektar dan di

Kabupaten Ogan Kemiring Ulu Sumsel pada areal seluas 35 hektar.

Rintisan pengembangan usaha agroindustri serat rami tersebut telah

dilengkapi dengan sarana prosesing. Program sentra turut memfasilitasi

agroindustri haramay di Jawa Barat.

�� Pengembangan Usaha Pengolahan Gambir. Kementerian Koperasi dan

UKM pada tahun 2002 dan 2003 telah memberikan dukungan perkuatan

bagi para petani gambir di Provinsi Sumatera Barat, berupa sarana

pengolahan gambir yang dikelola dengan pola perguliran melalui koperasi.

Program Sentra UKM juga turut bergerak dalam industri pengolahan

gambir ini.

�� Pengembangan Usaha Pengolahan Sabut Kelapa. Sebagai upaya untuk

mendorong peningkatan produktivitas usaha koperasi di sektor

perkebunan, juga telah difasilitasi dukungan perkuatan berupa sarana

pengolahan sabut kelapa, khususnya diperuntukkan bagi koperasi yang

berada di daerah yang potensial kelapa. Untuk itu telah di rintis

percontohan usaha pengolahan sabut kelapa di 4 daerah, yaitu Sumatera

Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Banten.

Komoditas serat rami, gambir dan sabut kelapa tersebut dapat dilaksanakan

dengan teknologi yang terjangkau oleh UKM dan memiliki pasar domestik dan

ekspor yang cukup luas. Hal ini menunjukkan potensi pengembangan UKM di

sektor perkebunan sangatlah besar. Dengan adanya program dan kebijakan

bantuan perkuatan dari Kementerian Koperasi dan UKM untuk mengembangkan

usaha Koperasi dan UKM dibidang agribisnis, seperti program bergulir untuk

sarana pengolahan kopi, gambir, sabut kelapa, pengembangan budidaya dan

agroindustri serat rami dan Pabrik Kelapa Sawit skala kecil, disamping menjadi

stimulan yang dapat memotivasi Pemerintah Daerah dalam memberikan

pembinaan dan bantuan dalam rangka pemberdayaan koperasi, usaha kecil dan

menengah di masa mendatang, juga diharapkan akan menggerakkan kegiatan

produktif masayarakat setempat.

Page 18: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

116 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

116

4.2.3. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Peternakan

Peran sub sektor perkebuan sangat strategis dalam mendukung perkembangan

sektor riil di Indonesia, baik untuk dikonsumsi langsung maupun sebagai penyedia

bahan baku industri dalam negeri dalam kegiatan produktif.

Sub sektor peternakan memiliki keterkaitan industri yang tinggi dengan indeks

daya penyebaran 6,5 yang terdiri dari usaha kecil 2,1 usaha menengah 2,2 dan

usaha besar 2,2. Indeks derajat kepekaan 5,8 yang berarti setiap kenaikan satu

unit permintaan akhir subsektor perkebunan akan meningkatkan output sektor lain

secara keseluruhan sebesar 5,8 unit.

Dalam struktur permintaan sub sektor peternakan dan hasil-hasilnya menurut

skalah usaha menunjukkan bahwa permintaan tersebut lebih di fokuskan kepada

pemenuhan bahan baku industri dalam negeri dan kebutuhan konsumsi langsung.

Struktur penyediaan sub sektor ini, sebanyak 78,19% berasal dari usaha kecil,

usaha menengah 15,39%, usaha besar 2,07%, sedangkan impor hanya 4,35%.

Indeks derajat kepekaan sebesar 5,8 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki

daya dorong yang tinggi untuk meningkatkan 5,8 kali kapasitas produksi dan

produktivitas yang menggunakan sub sektor ini sebagai input dalam proses

produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha kecil relatif

tinggi 60,2% dari output subsektor peternakan digunakan sebagai input dalam

proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha besar

masing-masing 59,3% dan 67,9%.

Tabel 15. Struktur Permintaan Sub Sektor Peternakan Menurut Skala Usaha, tahun 2000-2003

Skala Usaha Permintaan antara

Ekspor Permintaan Akhir

Total

Usaha Kecil 60.21 1.23 38.56 100.00

Usaha Menengah 59.26 1.08 39.67 100.00

Usaha Besar 67.90 0.48 31.63 100.00 Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2004, (diolah)

Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor ini mengalami pertumbuhan PDB

2,55% yang sebagian besar disumbangkan oleh Usaha Kecil. Investasi sub sektor

ini sekitar 0.3% dari total investasi nasional atau sekitar 6.85% dari total sektor

pertanian pada tahun 2006.

Page 19: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

117 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

117

Laju indeks harga implisit sub sektor peternakan sebesar 55.08% berada di atas

indeks harga implisit secara nasional (39.96%). Tingginya pertumbuhan laju

indeks harga implisit selama periode 2004-2006 terutama pada usaha menegah

dan besar yang naik hampir 100% pada tahun 2006. Hal ini mengindikasikan

adanya kenaikan harga komoditi peternakan yang cukup signifikan di Indonesia.

Penyebabnya diduga dampak recovery dari berlalunya wabah penyakit flu burung,

penyakit kuku dan mulut sapi yang melanda Asia Tenggara termasuk Indonesia

pada tahun 2001-2004 yang lalu.

Tabel 16. Perkembangan PDB dan Investasi Sub Sektor Peternakan Menurut Skala Usaha Periode 2004-2006

Variabel Skala Usaha Peternakan

2004 2006 Grow/year

PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 26,126,600 27,508,800 2.61%

Usaha Menengah 5,007,400 5,235,900 2.26%

Usaha Kecil + Menengah 31,134,000 32,744,700 2.55%

Usaha Besar 538,400 565,200 2.46%

Total Sub Sektor 31,672,400 33,309,900 2.55%

% Total Sub Sektor thd Sektor 12.81% 12.75% -0.26%

% Total Sub Sektor thd Nasional 2.10% 1.96% -3.55%

Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 164,516 178,961 4.30%

Usaha Menengah 548,261 594,518 4.13%

Usaha Kecil + Menengah 712,777 773,479 4.17%

Usaha Besar 405,293 438,511 4.02%

Total Sub Sektor 1,118,070 1,211,990 4.12%

% Total Sub Sektor thd Sektor 6.87% 6.85% -0.11%

% Total Sub Sektor thd Nasional 0.32% 0.30% -2.54%

Laju Indeks Harga Implisit (%)

Usaha Kecil 5.73 12.66 48.64%

Usaha Menengah 2.86 12.56 109.56%

Usaha Besar 4.62 12.92 67.23%

Total Sub Sektor 5.26 12.65 55.08% Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, (diolah)

Sub sektor peternakan memiliki rasio input antara 43,33%, yang berarti 43,33%

output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan

mampu menghasilkan nilai tambah 56,67% dari output yang dihasilkan. Usaha

kecil memiliki rasio input antara yang lebih rendah yaitu 40,64% dari pada usaha

menengah dan usaha besar yaitu masing-masing 43,87% dan 45,47%.

Kebutuhan antara untuk sektor ini pada usaha kecil dipasokan didominasi dari

usaha menengah sedangkan impor paling rendah pasokannya 6,53%. Hal yang

Page 20: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

118 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

118

sama juga terjadi pada usaha menengah dan usaha besar juga mendapat

pasokan kebutuhan antara dari usaha menengah yaitu masing-masing 48,77% dan

45,79%. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku, bahan

bakar maupun bahan penolong lainnya maka ketersediaan input antara untuk

usaha UKM maupun usaha besar masih didominasi dari produksi domestik atau

dalam negeri.

4.2.4. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Kehutanan

Peran sub sektor kehutanan sangat strategis dalam mendukung perkembangan

sektor riil di Indonesia, baik untuk digunakan langsung maupun sebagai penyedia

bahan baku industri dalam negeri dalam kegiatan ekonomi produktif.

Sub sektor ini memiliki keterkaitan industri yang tinggi dengan indeks daya

penyebaran 2,4 yang terdiri dari usaha kecil 0,8 usaha menengah 0,8 dan usaha

besar 0,8. Indeks derajat kepekaan 2,4 yang berarti setiap kenaikan satu unit

permintaan akhir subsektor kehutanan akan meningkatkan output sektor lain

secara keseluruhan sebesar 2,4 unit.

Dalam struktur permintaan sub sektor ini menurut skala usaha menunjukkan

bahwa usaha kecil dalam memenuhi permintaan ekspor lebih tinggi yaitu 7,32%

dari usaha menengah maupun besar. Permintaan tersebut lebih di fokuskan

kepada pemenuhan bahan baku industri dalam negeri.

Tabel 17. Struktur permintaan Sub Sektor Kehutanan Menurut Skala usaha, tahun 2000-2003

Skala Usaha Permintaan antara

Ekspor Permintaan Akhir

Total

Usaha Kecil 71.77 7.32 20.91 100.00

Usaha Menengah 87.19 1.44 11.37 100.00

Usaha Besar 88.09 0.91 11.00 100.00 Sumber : BPS 2004, diolah

Struktur penyediaan sub sektor ini, didominasi dari usaha menengah yaitu

43,55%, usaha besar 32,93% dan usaha kecil sebesar 21,71% sedangkan impor

hanya 1,81%.

Indeks derajat kepekaan sebesar 2,4 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki

daya dorong yang relatif tinggi untuk meningkatkan 2,4 kali kapasitas produksi

Page 21: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

119 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

119

dan produktivitas yang menggunakan komoditi kehutanan sebagai input dalam

proses produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha besar

relatif tinggi 88.1% dari output subsektor kehutanan digunakan sebagai input

dalam proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha

kecil masing-masing 87,2% dan 71,8%.

Selama periode tahun 2004-2006 PDB sub sektor kehutanan mengalami

penurunan rata-rata sebesar 1,88%. Investasi sub sektor ini sekitar 0,31% dari

total investasi nasional atau sekitar 7,04% dari total investasi sektor pertanian pada

tahun 2006.

Tabel 18. Perkembangan PDB dan Investasi Sub Sektor Kehutanan Menurut Skala Usaha Periode 2004-2006

Variabel Skala Usaha Kehutanan

2004 2006 Grow/year

PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 3,934,800 3,795,100 -1.79%

Usaha Menengah 7,587,200 7,303,100 -1.89%

Usaha Kecil + Menengah 11,522,000 11,098,200 -1.86%

Usaha Besar 5,911,800 5,685,900 -1.93%

Total Sub Sektor 17,433,800 16,784,100 -1.88%

% Total Sub Sektor thd Sektor 7.05% 6.42% -4.57%

% Total Sub Sektor thd Nasional 1.16% 0.99% -7.72%

Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 91,747 99,882 4.34%

Usaha Menengah 457,296 494,911 4.03%

Usaha Kecil + Menengah 549,043 594,793 4.08%

Usaha Besar 598,960 650,077 4.18%

Total Sub Sektor 1,148,003 1,244,870 4.13%

% Total Sub Sektor thd Sektor 7.05% 7.04% -0.09%

% Total Sub Sektor thd Nasional 0.32% 0.31% -2.52%

Laju Indeks Harga Implisit (%)

Usaha Kecil 7.89 35.77 112.92%

Usaha Menengah 8.43 36.93 109.30%

Usaha Besar 9.85 35.44 89.68%

Total Sub Sektor 8.79 36.16 102.82% Sumber: BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2004, diolah

Kebutuhan antara untuk sektor ini, untuk usaha kecil pasokan didominasi dari

usaha kecil sebesar 45,69% dan pasokan impor, lebih sedikit dari usaha

menengah maupun usaha besar yaitu sebesar 10,97%. Sangat berbeda dengan

usaha menengah dimana kebutuhan antara sebagian besar dipasok dari impor

yaitu 36,70%. Sedangkan usaha besar pasokan input antaranya didominasi dari

UKM, hanya 15,43% berasal dari impor. Dilihat dari kebutuhan antara yang

Page 22: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

120 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

120

dibutuhkan, baik bahan baku, bahan bakar maupun bahan penolong lainnya maka

usaha menengah diduga harga input antara relatif tidak stabil.

4.2.5. Perkembangan Kinerja KUKM Sub Sektor Perikanan

Peran sub sektor perikanan sangat strategis dalam mendukung perkembangan

sektor riil di Indonesia, baik untuk digunakan langsung maupun sebagai penyedia

bahan baku industri dalam negeri dalam kegiatan produktif.

Sub sektor ini memiliki keterkaitan industri yang tinggi dengan indeks daya

penyebaran 4,1 yang terdiri dari usaha kecil 1,4 usaha menengah 1,4 dan usaha

besar 1,3. Indeks derajat kepekaan 6,8 yang berarti setiap kenaikan satu unit

permintaan akhir subsektor kehutanan akan meningkatkan output sektor lain

secara keseluruhan sebesar 6,8 unit.

Dalam struktur permintaan sub sektor ini menurut skalah usaha menunjukkan

bahwa usaha besar dalam memenuhi permintaan ekspor lebih tinggi 6,50% dari

usaha menengah maupun besar. Berdasarkan Tabel 5.14 menunjukkan bahwa

permintaan pada sub sektor perikanan lebih besar untuk permintaan akhir

terutama untuk konsumsi rumah tangga secara langsung dari pada memenuhi

kebutuhan untuk bahan baku industri dan kegiatan produktif.

Struktur penyediaan sub sektor ini, didominasi dari usaha kecil yaitu 86,58%,

usaha menengah 12,07% dan usaha besar sebesar 1,25% sedangkan impor

hanya 0,12%.

Tabel 19. Struktur Permintaan Sub Sektor Perikanan Menurut Skala Usaha, tahun 2000-2003

Skala Usaha Permintaan antara

Ekspor Permintaan Akhir

Total

Usaha Kecil 22.85 3.14 74.01 100.00

Usaha Menengah 24.12 3.85 72.03 100.00

Usaha Besar 38.73 6.50 54.78 100.00 Sumber : BPS 2004, diolah

Indeks derajat kepekaan sebesar 6,8 menunjukkan bahwa sub sektor ini memiliki

daya dorong yang relatif tinggi untuk meningkatkan 6,8 kali kapasitas produksi

dan produktivitas yang menggunakan komoditi perikanan sebagai input dalam

proses produksinya. Rasio permintaan antara sub sektor ini pada usaha besar

Page 23: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

121 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

121

relatif tinggi yaitu 38.7% dari output subsektor perikanan digunakan sebagai input

dalam proses produksi industri lainnya. Sedangkan usaha menengah dan usaha

kecil masing-masing 24.1% dan 22.8%.

Selama periode tahun 2004-2006 sub sektor Perikanan mengalami pertumbuhan

PDB sebesar 5,73%, masih dibawah, meskipun mendekati, pertumbuhan PDB

nasional. Investasi sub sektor ini sekitar 1,26% dari total investasi nasional atau

sekitar 28,76% dari total sektor pertanian pada tahun 2006.

Sub sektor kehutanan memiliki rasio input antara 21,29%, yang berarti 21,29%

output yang dihasilkan digunakan untuk membeli input dari industri lainnya dan

mampu menghasilkan nilai tambah 78,71% dari output yang dihasilkan. Hampir

semua skala usaha memiliki rasio input yang relatif sama yaitu 23,30% untuk

usaha kecil, 23,32% usaha menengah dan 24,45% usaha besar.

Tabel 20. Perkembangan PDB dan Investasi Sub Sektor Perikanan Menurut Skala Usaha Periode 2004-2006

Variabel Skala Usaha Perikanan

2004 2006 Grow/year

PDB ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 32,581,000 36,397,600 5.69%

Usaha Menengah 3,492,000 3,927,800 6.06%

Usaha Kecil + Menengah 36,073,000 40,325,400 5.73%

Usaha Besar 523,300 584,500 5.69%

Total Sub Sektor 36,596,300 40,909,900 5.73%

% Total Sub Sektor thd Sektor 14.81% 15.66% 2.83%

% Total Sub Sektor thd Nasional 2.43% 2.40% -0.57%

Jumlah Investasi ADH Konstan 2000 (Juta Rp)

Usaha Kecil 650,472 705,631 4.15%

Usaha Menengah 3,053,958 3,320,286 4.27%

Usaha Kecil + Menengah 3,704,430 4,025,917 4.25%

Usaha Besar 973,997 1,058,749 4.26%

Total Sub Sektor 4,678,427 5,084,666 4.25%

% Total Sub Sektor thd Sektor 28.74% 28.76% 0.02%

% Total Sub Sektor thd Nasional 1.32% 1.26% -2.41%

Laju Indeks Harga Implisit (%)

Usaha Kecil 10.25 15.88 24.47%

Usaha Menengah 8.63 15.98 36.08%

Usaha Besar 11.11 16.6 22.24%

Total Sub Sektor 10.1 15.9 25.47% Sumber : BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM 2006, diolah

Kebutuhan antara untuk sektor ini, untuk usaha kecil usaha dan menengah

pasokan input antara yaitu lebih didominasi dari usaha keci, sedangkan pasokan

impornya relatif lebih rendah yaitu masing 11,44% dan 11,72%. Sangat berbeda

Page 24: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

122 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

122

dengan usaha besar dimana kebutuhan input antara juga sebagian besar usaha

kecil, namun pasokan dari impor juga jauh lebih tinggi dari UKM yaitu sekitar

29,61%. Dilihat dari kebutuhan antara yang dibutuhkan, baik bahan baku, bahan

bakar maupun bahan penolong lainnya maka usaha kecil dan menengah diduga

harga input antara relatif stabil dibandingkan usaha besar.

4.3. Potensi Beberapa Komoditas Agribisnis Indonesia Orang berkata, sepanjang masih ada manusia yang butuh makan, maka komoditas

agribisnis akan tetap menguntungkan untuk diproduksi dan diperdagangkan.

Begitu pula gambaran mengenai peluang komoditas agribisnis di Indonesia. Daya

dukung lahan, iklim, tenaga kerja dan infrastruktur seharusnya berpeluang

menjadikan sektor agribisnis sebagai salah satu sektor yang potensial untuk

meningkatkan penyerapan tenaga kerja, penanaman modal dan peningkatan

pendapatan nasional.

Peningkatan jumlah penduduk dunia saat ini berjalan dengan cepat, peningkatan

secara umum rata-rata sebesar 78 juta jiwa setiap tahunnya, Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) memperkirakan pada tahun 2030, populasi dunia akan mencapai 8

milyar jiwa. Peningkatan populasi penduduk dunia ini membawa konsekuensi

meningkatnya permintaan produk pangan dunia. Untuk memenuhi kebutuhan

akan pangan tersebut, pada tiga dekade terakhir, luas kawasan yang digunakan

untuk pertanian dan perkebunan di negara-negara berkembang telah berkembang

menjadi dua kali lipat, yaitu dari 50 juta hektar menjadi 100 juta hektar atau sama

dengan tiga kali luas propinsi Jawa Barat saat ini. Disamping peningkatan

populasi penduduk, permintaan akan produk pertanian dan perkebunan juga

didorong oleh meningkatnya pendapatan rata-rata penduduk dunia dan urbanisasi

penduduk di negara berkembang. Urbanisasi penduduk menurunkan kapasitas

sumberdaya manusia yang mengolah tanah pertanian, sedangkan meningkatnya

pendapatan merubah pola konsumsi dan belanja. Dua hal ini mendorong

peningkatan permintaan produk pangan dan pertanian lainnya. Hal-hal ini secara

umum menunjukkan peluang pasar komoditas agribisnis yang dapat diraih

Indonesia di masa depan.

Prospek yang masih terbuka luas dibidang agribisnis sebagai upaya memenuhi

kebutuhan masyarakat dunia ini perlu ditangani secara serius dan sistematis,

mengingat potensi Indonesia sebagai negara agraris besar yang memiliki hampir

semua kebutuhan faktor-faktor pendukung pertanian (iklim, geografis, tenaga kerja,

Page 25: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

123 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

123

lahan, teknologi dan infrastruktur) serta pengembangan agribisnis modern.

Beberapa komoditas pangan dunia adalah (1) Grain – Biji-bijian (termasuk beras,

gandum, jagung, barley), (2) Dairy – susu dan produk tutunannya (susu, susu

bubuk, susu non-fat, mentega, keju), (3) Lifestock – Daging-dagingan (daging sapi,

daging babi, daging ayam), (4) Fish – perikanan (baik hasil perikanan tangkap dan

budidaya, termasuk rumput laut). Jika diperhatikan, secara umum UKM Indonesia

masih berpeluang untuk terjun dalam industri agribisnis komoditas pangan dunia

tersebut karena data menunjukkan Indonesia sendiri masih menjadi tujuan ekspor

yang besar dari negara-negara penghasil pangan dunia tersebut untuk beberapa

komoditas utama seperti beras (Indonesia mengimpor dari Thailand, Vietnam, dan

Amerika Serikat) , susu (Indonesia mengimpor dari Amerika Serikat dan New

Zealand), dan daging sapi (Indonesia mengimpor dari Australia). Sedangkan

produk perikanan menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara eksportir

produk perikanan terbesar dunia, padahal potensi perikanan sendiri belum digali

secara penuh dan masih lebih banyak dimanfaatkan (dicuri) oleh negara lain.

4.3.1. Potensi Komoditas Beras

Mari kita perhatikan komoditas beras yang sudah tidak asing lagi. Dari data yang

dimiliki tampak bahwa untuk memenuhi permintaan dalam negeri pun masih

tersisa ruang pasar yang sangat besar. Permintaan terhadap beras meliputi

permintaan untuk konsumsi di dalam rumah; di luar rumah (antara lain di rumah

makan dan hotel); konsumsi makanan hasil industri pengolahan; dan kebutuhan

beras untuk cadangan rumah tangga. Disamping itu produk padi juga

dipergunakan untuk benih dan campuran pakan. Secara umum terdapat

kecenderungan penurunan konsumsi beras per kapita di dalam rumah, yang

diiringi peningkatan konsumsi di luar rumah dan konsumsi produk-produk industri

pangan. Komposisi penggunaan beras pada tahun 1999-2003 yaitu: 79,6 persen

(di dalam rumah); 10,8 persen (di luar rumah); dan 9,6 persen (makanan hasil

industri).

Tabel di atas menunjukkan bahwa kebutuhan beras di dalam negeri masih lebih

besar dari ketersediaan beras yang dapat dipasok oleh produksi pertanian

nasional. Sehingga untuk memenuhinya diambil langkah impor beras. Situasi

defisit tersebut, apabila berkelanjutan akan berdampak pada meningkatnya

ketergantungan pada pangan impor, yang pada gilirannya melemahkan tingkat

kepastian pangan dan ketahanan pangan nasional. Untuk menekan tingkat defisit

Page 26: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

124 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

124

tersebut, perlu upaya yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyediaan

(produksi) dan penurunan tingkat permintaan (konsumsi). Hal ini menunjukkan

salah satu peluang yang dapat diraih oleh industri agribisnis dalam negeri untuk

memenuhi salah satu komoditas utama kebutuhan indonesia.

Tabel 21. Produksi, Konsumsi dan Impor Beras Oleh Indonesia Tahun 2003-2007 (November)

Tahun 2003/04 2004/05 2005/06 2006/07 2007/08 Pertumbuhan

Produksi (000 ton) 35,024 34,830 34,959 33,300 34,000 -1.25%

% terhadap produksi dunia 8.95% 8.70% 8.37% 7.97% 8.07%

Konsumsi (000 ton) 36,000 35,850 35,739 35,550 36,150 -0.31%

% terhadap konsumsi dunia 8.72% 8.78% 8.60% 8.49% 8.52%

Impor (000 ton) 650 500 539 1,900 1,600 30.76%

% terhadap impor dunia 2.39% 1.72% 1.87% 6.57% 5.41% Sumber: USDA, 2007

Potensi komoditas beras lainnya dapat dilihat dari turunnya produksi beras dunia.

Jika dilihat catatan secara global, produksi padi pada tahun 2006 meningkat 0,49%

atau meningkat sebesar 3,097 juta ton, namun pada tahun 2007 ini, diramalkan

oleh FAO produksi padi dunia akan menurun menjadi 633 juta ton atau sebesar

0.25%. Penurunan ini disebabkan prospek pertanian yang kurang baik di

beberapa negara utama produsen padi khususnya Banglades, Kamboja, India,

Jepang, Republik Negara Korea, Negeri Nepal dan Thailand. Faktor yang

mempengaruhi turunnya produksi padi dunia disebabkan pemanasan global yang

menimbulkan iklim yang tidak menentu hal ini menyebabkan banyaknya lahan

pertanian padi yang rusak akibat bencana alam (kekeringan, banjir dan longsor).

Jika diperhatikan data produksi dan konsumsi beras dunia tahun 2003 hingga

2007, maka diduga akan terjadi defisit produksi beras dunia pada tahun berikutnya.

Selisih antara konsumsi dan produksi tersebut, seperti yang tampak dalam gambar

diatas, tidak berarti terjadinya shortage/kelangkaan beras karena sesungguhnya

dunia masih memiliki stock beras dari tahun-tahun sebelumnya. Angka tersebut

sebenarnya menunjukkan potensi impor beras yang akan dilakukan oleh negara-

negara yang menghadapi defisit produksi beras dan negara-negara yang ingin

menjaga stock berasnya. Dengan demikian angka ini mencerminkan potensi pasar

beras yang dapat diraih oleh sektor agribisnis Indonesia melalui komoditas beras

jika berhasil memanfaatkan kebutuhan beras dunia.

Page 27: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

125 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

125

Gambar 32. Produksi dan Konsumsi Beras Dunia Tahun 2003-2007 (000 ton)

Sumber: USDA 2007

Sebagai gambaran, di tahun 2008 impor beras yang akan dilakukan oleh pasar

dunia diperkirakan sebesar 19 juta ton. Jika harga beras (Thailand) di pasar

internasional tahun 2007 adalah sebesar kurang lebih USD 360 per ton nya, maka

potensi pasar komoditas beras yang dapat diraih adalah sebesar kurang lebih USD

6840 juta, atau sekitar Rp 61,56 trilyun (asumsi kurs Rp 9000/USD). Namun jika

potensi pasar hanya dihitung dari nilai defisit produksi beras dunia, maka angka

potensi ini menjadi sekitar Rp 9,72 trilyun (3 juta ton defisit beras x USD 360 x Rp

9000) dalam satu tahun. Sebuah nilai yang cukup besar.

4.3.2. Potensi Komoditas Susu

Indonesia memiliki 3 propinsi penghasil susu utama yaitu Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Secara keseluruhan produksi susu nasional Indonesia

cenderung stagnan pada tingkat produksi sekitar 1,2 juta liter per hari dari sekitar

400 ribu ekor sapi perah. Padahal, pertumbuhan konsumsi susu naik per tahun

sebesar 10%. Hal ini yang menyebabkan 70% kebutuhan susu Indonesia masih

diimpor.

Jika diperhatikan data yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan Amerika

Serikat, tampak bahwa ekspor susu Amerika ke Indonesia cukup tinggi. Indonesia

370,000

380,000

390,000

400,000

410,000

420,000

430,000

Tahun

Jum

lah

(00

0 to

n)

Produksi Konsumsi

Produksi 391,510 400,432 417,551 417,649 421,157

Konsumsi 412,985 408,090 415,450 418,854 424,229

2003 2004 2005 2006 2007

Page 28: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

126 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

126

digolongkan sebagai negara importir utama produk susu bubuk Amerika Serikat di

Asia disamping Cina, Malaysia, Filipina dan Taiwan.

Tabel 22. Produksi Susu Perusahaan Sapi Perah 2000 - 2004

2000 2001 2002 2003 2004

Jumlah (000 Ltr) 34,290.80 35,717.80 37,013.33 31,639.38 34,102.13

Nilai (Juta Rp) 55,826.83 59,815.11 65,969.26 59,634.51 67,347.55 Sumber: BPS

Tabel 23. Pasar Utama Susu Bubuk Whole Milk Amerika Serikat Tahun 2003-2006 (ton)

Negara 2003 2004 2005 2006 Pertumbuhan

Algeria 136,419 171,562 170,067 167,264 -1.30%

Venezuela 92,081 123,407 96,849 120,479 1.40%

Saudi Arabia 84,780 109,870 92,070 90,493 -9.00%

Nigeria 54,722 70,634 56,294 67,945 0.20%

China 98,774 96,145 76,093 73,458 -2.20%

Sri Lanka 54,520 57,220 65,377 65,144 6.90%

Indonesia 79,301 68,850 78,505 77,714 6.50%

Malaysia 92,748 91,302 70,610 71,227 -0.90%

UAE 29,439 42,559 43,696 52,819 11.80%

Cuba 28,376 39,392 51,148 46,042 9.90%

Total 751,161 870,940 800,709 832,584 -2.00% Sumber: USDA, 2007

Tabel 24. Tujuan Ekspor Susu Bubuk Non Fat Amerika Serikat di ASEAN Tahun 2004-2006 (ton)

Negara 2004 2005 2006 Pertumbuhan

Indonesia 13,337 23,419 36,264 39.57%

Philippines 22,788 22,522 33,332 13.51%

Malaysia 11,431 14,089 19,027 18.51%

Vietnam 7,575 16,591 15,852 27.91%

Singapore 4,757 5,495 6,977 13.62%

Thailand 5,939 7,704 5,999 0.34% Sumber: USDA, 2007

Tabel 23 dan 24 menunjukkan bahwa Indonesia merupakan importir produk susu

terbesar di kawasan ASEAN. Informasi lain yang dapat diperoleh dari tabel-tabel

tersebut adalah masih tingginya tingkat pertumbuhan kebutuhan produk susu di

negara-negara tetangga Indonesia. Pasar ini dapat dimanfaatkan oleh UKM

Page 29: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

127 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

127

peternakan Indonesia. Jika di perhatikan keadaan sumber daya alam Indonesia,

maka diyakini bahwa di masa depan Indonesia dapat menjadi salah satu eksportir

produk susu utama di dunia. Hal ini berkaitan dengan menurunnya produk susu

Australia dan New Zealand (dua produsen susu utama dunia) akibat kekeringan

berkelanjutan yang mereka hadapi, yang diduga pengaruh tidak langsung dari

proses pemanasan global.

Praktik berhasil industri agribisnis susu ini sudah dapat dilihat di Jawa Barat, Jawa

Tengah dan Jawa Timur. Di Lembang, Jawa Barat, misalnya, Koperasi Peternak

Sapi Perah Bandung Utara yang berhasil tumbuh pesat sehingga memiliki lini

produk yang beragam, unit pengolahan yang modern, dan asset sekitar Rp 40

milyar di tahun 2006, tanpa bantuan terlalu banyak dari Pemerintah.

Potensi pendapatan dari komoditas susu yang dapat diraih, dapat dihitung dari

besarnya impor yang dilakukan oleh pasar Asia. Jika diperhatikan kebutuhan

impor susu bubuk untuk pasar Asia Tenggara adalah sebesar 591,000 ton di tahun

2007. Jika harga susu diasumsikan sebesar USD 3 per kg nya, maka nilai impor

ini adalah sebesar US 1.77 atau sekitar Rp 15.9 trilyun (kurs Rp 9000/USD).

4.3.3. Potensi Komoditas Perikanan

Permintaan dunia akan produk perikanan digunakan untuk beragam manfaat,

antara lain: untuk konsumsi langsung dan dimanfaatkan oleh industri non makanan

termasuk sebagai pakan bagi pembudidayaan ikan. Mayoritas produksi perikanan

dunia digunakan untuk konsumsi langsung. Dalam laporan FAO tahun 2004,

dinyatakan bahwa sekitar 76% produksi perikanan dunia dimanfaatkan untuk

konsumsi langsung, sedangkan sisanya dimanfaatkan untuk industri non pangan.

Pada tahun 2002, 70% total produksi ikan dunia dimanfaatkan oleh industri

pengolahan. Dari jumlah tersebut, 63% di antaranya adalah untuk industri

pengolahan ikan untuk konsumsi dan sisanya sebagai produk non makanan.

Meskipun terdapat beragam bentuk pengolahan ikan, produk ikan segar tetap

menjadi produk yang paling diterima di pasar dunia. Selama periode tahun 1990

sampai dengan tahun 2002, proporsi ikan yang dipasarkan dalam bentuk ikan

hidup/ikan segar meningkat bila dibandingkan dengan produk ikan lain (ikan

kaleng, ikan beku, ikan yang diawetkan), yaitu sebesar 30%. Sedangkan untuk

ikan olahan, pembekuan masih menjadi metode paling banyak digunakan untuk

pemrosesan ikan konsumsi, yaitu sebesar 53%. Kemudian diikuti oleh

Page 30: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

128 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

128

pengalengan ikan (27%) dan pengawetan ikan (20%).

Gambar 33. Trend Pemanfaatan Produksi Ikan Dunia Tahun 1962 - 2002

Sumber: FAO (2004)

Tingkat konsumsi ikan per kapita penduduk dunia pada tahun 2004 berada pada

kisaran angka 16,5 kg/kapita/tahun. Angka ini meningkat lebih dari 20% bila

dibandingkan dengan tahun 1992 yang hanya sebesar 13,1 kg/kapita/tahun.

Tingkat konsumsi ikan perkapita pertahun tertinggi dipegang oleh Jepang sebesar

110 kg/kapita/tahun. Sementara Hongkong, Singapura, Taiwan, Korea Selatan dan

Amerika Serikat berturut-turut sebesar 80 kg, 70 kg, 65 kg, 60 kg dan 35 kg per

kapita pertahun. Sedangkan tingkat konsumsi ikan Indonesia pada tahun 2004

berada pada kisaran 23 kg/kapita/tahun.

Gambar 34. Pemanfaatan Produksi Ikan Dunia Tahun 2002

Sumber: FAO, 2004

Page 31: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

129 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

129

Gambar 35. Perbandingan Konsumsi Sumber Protein Penduduk Dunia Periode Tahun 1999-2001

Sumber: FAO. 2004

Pertumbuhan tingkat konsumsi ikan dunia ini sebagian besar disumbangkan oleh

China, yang diperkirakan memberikan kontribusi pada peningkatan konsumsi ikan

perkapita penduduk dunia dari 16% menjadi 33% pada tahun 2004. Peningkatan

konsumsi ikan per kapita penduduk dunia ini dikarenakan semakin pentingnya

posisi ikan sebagai salah satu sumber protein dan micronutrient. Hal ini dipicu oleh

meningkatnya kesadaran masyarakat dunia untuk mengkonsumsi protein hewani

yang sehat.

Dalam 25 tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan

kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis seafood lainnya sangat

baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia. Kenyataan ini disebabkan karena

ikan (seafood) rata-rata mengandung 20% protein yang mudah dicerna dengan

komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega-3

yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, dan mencegah terjadinya

penyakit jantung, stroke dan darah tinggi.

Potensi Perikanan Indonesia

Laut Indonesia yang sangat luas menyimpan potensi perikanan yang masih sangat

besar. Untuk seluruh kawasan lautnya, Indonesia masih mempunyai potensi ikan

laut sekitar 6,4 juta ton per tahun atau sekitar 7% dari total potensi lestari ikan laut

dunia. Yang baru dimanfaatkan hanya sebesar 4,8 juta ton. Jadi laut Indonesia

masih mempunyai sumberdaya yang masih bisa dimanfaatkan sekitar 25 persen

Page 32: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

130 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

130

yaitu sekitar 1,6 juta ton per tahun. Terdapat beberapa kelompok sumberdaya

yang pemanfaatannya sudah mendekati optimal yaitu pada golongan ikan pelagis

besar (80,8%) dan ikan demersal (97,4%). Meskipun ada juga pemanfaat

beberapa jenis ikan yang dinilai sudah berlebihan pemanfaatannya (over exploited)

yaitu pada kelompok ikan karang konsumsi (135%), kelompok udang peneid

sebesar 210% dan cumi-cumi sebesar 378%.

Tabel 25. Potensi, Tingkat Pemanfaatan dan Peluang Pengembangan Masing-Masing Kelompok Sumber Daya Ikan Laut

KELOMPOK SUMBER DAYA IKAN LAUT

Ikan Pelagis Besar

Ikan Pelagis Kecil

Ikan Demersal

Ikan Karang konsumsi

Udang Peneid

Cumi-cumi

Seluruh SDIL

Produksi 0,9 1,8 1,3 0,18 0,19 0,06 4,8

Potensi (106 Ton/Thn) 1,14 3,6 1,4 0,14 0,09 0,02 6,4

Pemanfaatan (%) 80,8 52,6 97,4 135 210 378 75%

Peluang Pengemb.(%) 19,2 47,7 2,6 25% Sumber : DKP dan BPS (diolah)

Meskipun potensi yang sangat besar tetapi terdapat beberapa kelompok

sumberdaya yang tingkat pemanfaatannya masih rendah yaitu berkisar 50%

seperti pelagis kecil sebesar 52,6%. Untuk kelompok-kelompok sumberdaya laut

yang masih rendah pemanfaatannya masih tersedia peluang untuk

pengembangannya. Berdasarkan tingkat pemanfaatan yang aman, lestari dan

berkelanjutan seperti yang ditentukan bahwa tingkat pemanfaatan yang aman

adalah 90 % dari besarnya potensi lestari atau MSY (maximum sustainable yield),

maka peluang pengembangan kelompok pelagis besar sekitar 9,2 %. Kemudian

untuk kelompok pelagis kecil dan lobster masing-masing 37,7%

Berdasarkan potensi total perikanan laut yang ada saat ini di perairan laut

Indonesia, maka secara keseluruhan Indonesia masih mempunyai peluang

pengembangan yang relatif besar yaitu sekitar 25%. Ini merupakan peluang emas

yang harus diantisipasi secara serius.

Berdasarkan data pada tabel 26 dapat dikatakan bahwa pemanfaatan potensi

perikanan laut dikawasan timur di Indonesia belum optimal. Ikan jenis tuna masih

sekitar 24%-48% sumberdaya yang masih bisa dikelola pemanfaatannya. Begitu

juga dengan ikan tongkol, bahkan di laut Arafuru, laut Banda, dan laut Sulawesi

baru sekitar 7%, 18%, dan 20% yang telah dimanfaatkan dan masih sekitar 93%,

82%, dan 80% potensi yang belum termanfaatkan. Kelihatannya kawasan laut

Page 33: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

131 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

131

Arafuru, laut Banda, laut Sulawesi, laut Maluku, dan lautan Hindia masih kaya akan

potensi ikan laut seperti ikan tuna, tongkol, pelagis kecil, cakalang, dan tenggiri.

Apabila sumberdaya laut ini dapat dikelola dengan baik dan benar maka ini

merupakan potensi laut yang sangat besar untuk dapat menghadapi tantangan

pasar di era globalisasi.

Tabel 26. Tingkat Pemanfaatan (100% Optimal) Sumberdaya Ikan Laut Indonesia tahun 2002

Wilayah Perairan Udang Demersal Pelagis kecil

Tuna Skipjack Tenggiri Tongkol

Selat Malaka 154 178 106

Laut Cina Selatan 114 30 23

Laut Jawa 161 54 132 46 114

Laut Flores 106 103 50 76 107 37 78

Laut Banda n.a 56 25 42 38 14 18

Laut Maluku 68 76 46 64 34 7 63

Laut Sulawesi 116 100 29 58 25 102 20

Laut Arafuru 98 93 4 52 70 26 7

Lautan india 88 84 41 38 19 29 58 Catatan : n.a = Tidak ada data

Sumber : DKP diolah

Tabel 27. Perkembangan Produksi Perikanan Tangkap (juta Ton)

2000 2001 2002 2003 2004 2005* Pertumbuhan per tahun

Total Produksi 5,120,518 5,354,473 5,516,652 5,920,323 6,350,377 6,633,302 4.40%

Budidaya 993,727 1,076,749 1,137,151 1,228,559 1,468,612 1,690,490 8.13%

Tangkap 4,126,791 4,277,724 4,379,501 4,691,764 4,881,765 4,942,812 3.42%

-Laut 3,279,039 3,377,646 3,437,805 3,713,018 3,832,290 3,960,522 3.17%

-Darat 847,752 900,078 941,696 978,746 1,049,475 982,290 4.36% Sumber: DKP, FAO, diolah

Pada bagian awal telah disebutkan bahwa Indonesia termasuk dalam negara

produsen perikanan tangkap terbesar di dunia setelah China, Peru, Chili dan

Amerika Serikat. Perkembangan produksi perikanan tangkap Indonesia dari tahun

ke tahun menunjukkan peningkatan, namun angka laju pertumbuhan cenderung

menurun. Dalam periode 5 tahun terakhir (2000-2004), produksi perikanan tangkap

meningkat rata-rata sebesar 3,61% per tahun, yaitu dari 4,12 juta ton pada tahun

2000 menjadi 4,97 juta ton pada tahun 2005. Sedangkan bila dilihat perkembangan

dari tahun 2004 ke 2005, maka laju pertumbuhan produksi kurang dari 2%, di

Page 34: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

132 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

132

mana produksi pada tahun 2004 sebesar 4,88 juta ton sedangkan pada tahun

2005 sebesar 4,9 juta ton.

Produksi ikan tangkap Indonesia masih didominasi oleh ikan pelagis, baik pelagis

besar maupun pelagis kecil. Secara ekonomis, ikan jenis ini nilainya dipasaran

kurang tinggi, kecuali spesies-spesies tertentu seperti tuna atau cakalang. Pada

tahun 2004, produksi ikan paling banyak adalah ikan layang (325 ribu ton), yang

diikuti oleh ikan cakalang (233 ribu ton) dan ikan kembung (201 ribu ton). Produksi

beberapa jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan dapat dilihat pada tabel

28.

Bila dilihat dari sisi nilainya, maka nilai produksi perikanan tangkap tertinggi dicapai

oleh jenis udang windu (1.798.3951,18 juta rupiah), kemudian diikuti oleh udang

jerbung (1.546.036,81 juta rupiah). Dari jenis ikan, nilai tertinggi dicapai oleh ikan

tongkol komo dengan nilai produksi pada tahun 2004 mencapai 1.485.336,21 juta

rupiah atau meningkat sebesar 24 % dibanding tahun 2003 yang nilainya

mencapai 1.196.542 juta rupiah. Kemudian diikuti oleh ikan tenggiri yang nilainya

pada tahun 2004 mencapai 1.342.354,41 juta rupiah. Perkembangan nilai produksi

beberapa jenis ikan tangkap dapat dilihat pada tabel 29.

Tabel 28. Volume Produksi Beberapa Jenis Ikan Tangkap Tahun 2000 – 2004 (dalam kg)

Jenis Ikan 2000 2001 2002 2003 2004

Selar 129913 132998 149193 154866 138923

Layang 255375 258393 301115 297937 325187

Tembang 172219 185912 182026 153771 145428

Lemuru 88744 103710 132170 136436 103361

Teri 173944 190182 168959 161141 154811

Peperek 69512 87757 89936 92838 90859

Kakap Merah 62306 67773 62303 74233 91339

Tongkol Komo 250522 233051 266955 267339 133000

Cakalang 236275 214077 203102 208626 233319

Kembung 207037 214387 221634 194427 201882

Madidihang 163241 153110 148439 151926 94904

Udang Jerbung 66644 65269 69508 66501 68699

Udang Windu 40987 43759 38088 34190 34533

Kepiting 8774 11752 11240 14802 20129

Rajungan 14053 22040 19988 30530 21854

Cumi-cumi 39838 60529 62133 51482 69357 Sumber: DKP, diolah

Page 35: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

133 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

133

Tabel 29. Nilai Produksi Beberapa Jenis Hasil Perikanan Tangkap Tahun 2000 – 2004 (dalam ribu rupiah)

Jenis Ikan 2000 2001 2002 2003 2004

Selar 390.226.364 482.022.187 599.517.182 701.537.549 654.783.237

Layang 777.706.320 973.853.374 1.173.723.832 1.229.561.801 1.305.851.517

Tembang 400.589.508 452.975.197 682.483.391 442.371.255 421.649.432

Lemuru 209.043.884 278.143.214 338.983.266 303.483.374 302.724.577

Teri 793.057.505 917.607.821 1.069.814.181 827.039.821 849.399.931

Peperek 126.978.349 180.668.447 200.295.449 199.845.990 243.190.619

Kakap Merah 349.404.691 434.941.266 446.497.421 564.516.932 609.078.059

Tongkol Komo - - - - 793.968.781

Cakalang 1.037.932.719 1.222.084.950 1.028.590.250 1.196.542.009 1.485.336.212

Kembung 888.524.764 1.010.313.868 1.149.317.529 1.133.615.400 1.213.120.473

Tenggiri 575.778.706 753.382.809 924.846.357 1.040.351.967 1.342.354.417

Udang Jerbung 1.701.405.234 1.688.705.550 1.812.160.747 1.703.368.608 1.546.036.813

Udang Windu 2.047.310.085 2.502.407.356 2.055.284.615 1.499.533.385 1.798.951.180

Kepiting 52.706.410 83.888.899 106.946.051 159.533.252 291.158.389

Rajungan 82.298.545 194.674.305 324.270.931 372.364.936 284.720.028

Cumi-cumi 262.993.600 337.604.742 556.916.293 440.612.405 647.076.939 Sumber: DKP, diolah

Tabel 30. Volume Produksi Perikanan Tangkap Berdasarkan Perairan Indonesia tahun 2004

Perairan Produksi

Barat Sumatra 276.804

Selatan Jawa 124.347

Selat Malaka 377.093

Timur Sumatera 525.073

Utara Jawa 779.821

Bali-Nusa Tenggara 241.360

Selatan/Barat Kalimantan 250.679

Timur Kalimantan 148.440

Selatan Sulawesi 502.336

Utara Sulawesi 314.995

Maluku-Papua 779.293

Total 4.320.241 Sumber: DKP, diolah

Area penangkapan ikan Indonesia relatif luas. Masing-masing perairan mempunyai

karakteristik tersendiri. Bila dilihat area penangkapannya, maka perairan yang

paling produktif adalah perairan di sekitar Maluku-Papua. Pada tahun 2004,

produksi ikan di perairan Utara Jawa dengan produksi mencapai 779.821 ton.

Kemudian diikuti oleh produksi di Maluku-Papua mencapai 779.293 ton, hanya

selisih sedikit dengan produksi di perairan Utara Jawa. Kedua perairan ini

Page 36: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

134 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

134

memberikan kontribusi masing-masing 16% dari total produksi ikan Indonesia pada

tahun 2004.

Jika diperhitungkan dari sektor perikanan tangkap saja, total nilai nya saat ini

mencapai sekitar Rp 14 trilyun per tahun. Jika peluang disebutkan sebesar 25%

dari nilai saat ini, maka potensi perikanan tangkap adalah sebesar paling tidak Rp

3.5 trilyun per tahun.

4.3.4. Potensi Komoditas Rumput Laut

Salah satu hasil kekayaan kelautan di Indonesia adalah komoditas rumput laut,

yang merupakan salah satu komoditas unggulan nasional. Hal ini mengingat 555

jenis rumput laut dapat tumbuh di perairan wilayah Indonesia. Rumput laut banyak

ditemukan di enam provinsi di Indonesia yaitu Bali, NTB, NTT, Sulawesi Tengah,

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara. Hingga saat ini sebagian besar produk

ekspor rumput laut masih dalam bentuk basah atau kering, sehingga memiliki nilai

ekonomi yang relative rendah. Sedangkan untuk keperluan industri non-pangan di

dalam negeri, Indonesia masih mengimpor sebagian besar produk olahan rumput

laut. Jumlah dan nilai produk ekspor rumput laut Indonesia tersaji pada Tabel 31.

Tabel 31. Volume dan Nilai Ekspor Hasil Perikanan Utama Indonesia

KOMODITAS 2001 2002 2003 2004 2005 *) Udang Volume (ton) 128.830 124.765 137.636 139.450 147.000 Nilai (USD 1000) 934.986 836.563 850.222 887.127 955.960 Tuna/Cakalang Volume (ton) 84.205 92.797 117.092 94.221 124.780 Nilai (USD 1000) 218.991 212.426 213.179 243.937 316.500 Rumput Laut Volume (ton) 27.874 28.560 40.162 51.011 63.020 Nilai (USD 1000) 17.230 15.785 20.511 25.296 39.970 Mutiara Volume (ton) 22 6 12 2 10 Nilai (USD 1000) 25.257 11.471 17.128 5.866 19.980 Ikan Hias Volume (ton) 2.682 3.514 3.378 3.516 4.010 Nilai (USD 1000) 14.603 15.054 15.809 15.809 20.440 Lainnya Volume (ton) 243.503 316.097 559.504 614.158 560.960 Nilai (USD 1000) 420.832 479.054 526.693 602.798 624.149 Jumlah Volume (ton) 487.116 565.739 857.784 902.358 909.770 Nilai (USD 1000) 1.631.899 1.570.353 1.643.542 1.780.833 1.976.999

Sumber : Ditjen Perikanan Tangkap DKP RI *) Angka Perkiraan

Jenis rumput laut yang banyak dibudidayakan adalah eucheuma, sp dan gracilaria.

Di samping sebagai bahan untuk industri makanan seperti agar-agar, jelly food dan

Page 37: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

135 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

135

campuran makanan seperti burger dan lain-lain, rumput laut adalah juga sebagai

bahan baku industri kosmetika, farmasi, tekstil, kertas, keramik, fotografi, dan

insektisida. Mengingat manfaatnya yang luas, maka komoditas rumput laut ini

mempunyai peluang pasar yang bagus dengan potensi yang cukup besar.

Rumput laut sebagai salah satu komoditas ekspor merupakan sumber devisa bagi

negara dan budidayanya merupakan sumber pendapatan petani nelayan, dapat

menyerap tenaga kerja, serta mampu memanfaatkan lahan perairan pantai di

kepulauan Indonesia yang sangat potensial.

Rumput laut merupakan bahan baku dari berbagai jenis produk olahan bernilai

ekonomi tinggi untuk tujuan pangan maupun non pangan, yaitu : agar-agar,

karaginan, dan alginate. Sebagai sumber gizi, rumput laut memiliki kandungan

karbohidrat, protein, sedikit lemak, dan abu (natrium, kalium, fosfor, natrium, besi,

yodium). Juga terdapat kandungan vitamin-vitamin yaitu A, B1, B2, B6, B12, dan

C, betakaroten.

Tabel 32. Manfaat Agar, Karaginan dan Alginat

Pemanfaatan Agar Karaginan Alginat Makanan dan Susu - ice cream, yoghurt , cream - coklat susu, pudding instant

x -

x -

x -

Minuman - minuman ringan, jus buah, bir

-

x

-

Roti x x x

Permen x - x Daging, ikan dalam kaleng x x x Saus, salad dressing - salad dressing, kecap

-

x

x

Makanan diet - Jelly, jam, sirup, puding

-

x

x

Makanan lain - makanan bayi

-

x

x

Farmasi dan kosmetik - pasta gigi, shampoo, obat - bahan cetak gigi , salep

- -

x -

x x

Selain digunakan untuk bahan makanan dan obat, ekstrak rumput laut yang

merupakan hidrokoloid seperti agar, karaginan, dan alginat juga banyak diperlukan

dalam berbagai industri. Rumput laut dimanfaatkan sebagai bahan penstabil,

pengemulsi, pembentuk gel, pengental, pensuspensi, pembentuk busa, pembentuk

film. Karaginan banyak dimanfaatkan oleh industri farmasi, kosmetik, makanan dan

Page 38: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

136 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

136

minuman, pet food, serta keramik.

Karaginan yaitu senyawa hidrokoloid yang merupakan senyawa polisakarida rantai

panjang yang diekstraksi dari rumput laut jenis-jenis karaginofit, yaitu Eucheuma

sp, Chondrus sp, Hypnea sp, Gigartina sp.

Jika diperhatikan tabel 33 dan 34, tampak bahwa peluang pasar komoditas rumput

laut masih terbuka lebar. Memperhatikan panjangnya garis pantai yang dimiliki

Indonesia, iklim yang amat mendukung, dan kebutuhan teknologi yang terjangkau

oleh UKM, maka komoditas rumput laut amat strategis untuk dikembangkan oleh

Indonesia. Jumlah peluang pasar rumput laut kering diperkirakan rata-rata

sebesar 150.000 ton per tahun. Jika harga rumput laut kering sebesar Rp 5500

per kilogram maka potensi ini bernilai sekitar Rp 825 milyar per tahunnya. Jika

petani mampu membangun pabrik pemrosesan rumput laut tahap 1 (tahap

pemasakan menjadi rumput laut setengah jadi), maka nilai ini dapat ditingkatkan

menjadi sekitar Rp 3 trilyun per tahun karena harga rumput laut setengah jadi

untuk bahan baku produk makanan adalah sebesar USD 2.5 per kilogram atau Rp

20 per kilogram di pasaran internasional.

Tabel 33. Volume Ekspor Rumput Laut Indonesia Menurut Negara Tujuan Tahun 1999-2003 (ton)

NEGARA TUJUAN 1999 2000 2001 2002 2003 Hongkong 6.857,3 9.157,4 7.808,8 7.164,5 7.867,0 Spanyol 3.450,9 3.838,3 4.359,3 4.700,0 3.363,6 Denmark 3.147,6 2.573,5 3.953,9 3.947,8 4.499,0 USA 2.298,7 979,9 1.661,6 1.804,4 2.127,7 Perancis 3.572,3 1.216,6 1.617,0 1.832,7 1.355,0 China 805,9 1.211,6 1.603,0 4.186,9 9.337,0 Filipina 1.204,9 139,6 1.522,8 1.471,9 4.573,8 Chili 335,0 200,0 1.360,0 340,0 1.116,7 Inggris 369,7 806,2 713,7 499,0 400,0 Australia 105,0 294,0 380,1 349,0 255,6 Jerman 175,1 455,2 335,0 209,0 338,6 Jepang 437,5 305,2 187,7 178,9 391,7 Lainnya 2.324,5 1.895,8 2.371,1 1.875,8 4.536,0 Jumlah 25.084,4 23.073,4 27.874,6 28.559,9 40.162,7

Sumber : Statistik Ekspor Hasil Perikanan 2003

Page 39: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

137 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

137

Tabel 34. Prediksi Peluang Pasar Rumput Laut Tahun 2006-2010 (ton)

Jenis Bahan Baku 2006 2007 2008 2009 2010 Kebutuhan (Jenis Eucheuma)

202.300 218.100 235.300 253.900 274.100

Produksi Luar Negeri 135.000 140.000 145.000 155.000 165.000 Peluang pasar 67.300 78.100 90.300 98.900 109.100 Kebutuhan (Jenis Glacilaria sp.)

79.200 87.040 95.840 105.440 116.000

Produksi Luar Negeri 40.500 44.000 48.500 54.000 61.000 Peluang pasar 38.700 43.040 47.340 51.440 55.000

Sumber : Jana T. Anggadireja, Tim RL BPPT, 2005

4.3.5. Jagung

Jagung adalah bagian dari tanaman pangan dunia yang penting bagi Indonesia.

Disamping dikonsumsi, jagung juga digunakan sebagai bahan baku industri pakan.

Produksi jagung dan kedelai pada tahun 2006 sebesar 11.61 juta ton jagung

pipilan dan 749.04 ton biji kedelai kering. Kedua komoditas ini mengalami

penurunan dari sisi luas panen namun mengalami kenaikan dari sisi produktivitas

lahan dibandingkan tahun sebelumnya. Upaya intesifikasi pertanian perlu terus

dilakukan mengingat Indonesia saat ini mulai menghadapi keterbatasan lahan dan

tenaga kerja serta modal yang tersedia untuk sektor pertanian.

Tabel 35. Produksi, Konsumsi dan Impor Jagung Indonesia Tahun 2003-2007 (November) (000 ton)

2003/04 2004/05 2005/06 2006/07 2007/08 Pertumbuhan

Produksi 6,350 7,200 6,500 6,700 7,000 1.97%

% terhadap produksi dunia 1.01% 1.01% 0.93% 0.95% 0.91%

Konsumsi 7,350 7,900 7,900 7,900 8,000 1.71%

% terhadap konsumsi dunia 1.13% 1.15% 1.12% 1.10% 1.05%

Impor 1,436 541 1,443 1,200 1,000 -6.98%

% terhadap impor dunia 1.82% 0.71% 1.75% 1.32% 1.07% Sumber: USDA, 2007

Pandangan terhadap tabel 35 menunjukkan pertumbuhan produksi yang lebih

tinggi dibandingkan pertumbuhan konsumsi dalam negeri. Ini menarik karena

berarti pada akhirnya potensi produksi jagung nasional dapat diarahkan untuk

mengisi pasar ekspor. Jika diperhatikan tingkat produksi dan kebutuhan jagung

dunia, tampak bahwa secara umum dunia cenderung dapat memenuhi kebutuhan

jagungnya dengan baik. Namun jika diperhatikan kebutuhan subtitusi impor jagung

Page 40: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

138 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

138

nasional dan kemungkinan pertumbuhan permintaan di masa depan, maka jagung

masih merupakan komoditas yang perlu dikembangkan di Indonesia.

Tabel 36. Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Tahun 2003-2007 (November) (000 ton)

2003/04 2004/05 2005/06 2006/07 2007/08 Pertumbuhan

Produksi Dunia 627,245 714,762 696,369 703,851 769,313 4.17%

Kebutuhan Dunia 648,881 687,981 704,029 720,714 766,426 3.39%

Surplus /(Defisit) (21,636) 26,781 (7,660) (16,863) 2,887 Sumber: USDA, 2007

4.3.6. Potensi Komoditas Daging Sapi dan Ayam

Secara umum tahun 2007 ini pertumbuhan sektor peternakan menempati posisi

kedua setelah perkebunan. Pertumbuhan itu ditopang komoditas daging dan telur

yang mencapai lebih dari 5.18% dibanding 2006.

Produksi daging sapi tahun 2007 ini diprediksi mencapai 418,2 ribu ton (dari 2006

yang sebesar 395,8 ribu ton). Sedangkan, ayam ras pedaging tahun ini akan

diproduksi sebesar 6,4% lebih tinggi dari 2006 (861,3 ribu ton). Sementara itu,

ternak domba akan memasok 84 ribu ton daging dan babi sebesar 198,9 ribu ton

tahun ini.

Tabel 37. Produksi Hasil Ternak Indonesia Tahun 2006-2007

Komoditas 2006 (000 ton)

2007 (000 ton)

Pertumbuhan

Sapi potong 395.8 418.2 5.7%

Ayam potong 861.3 918.5 6.6%

Domba 74.5 84.0 12.8%

Babi 196.0 198.9 1.5%

Telur 1200.0 1292.5 7.7% Sumber: BPS

Saat ini, masyarakat Indonesia baru mengkonsumsi daging unggas 10

gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia mencapai 100 gram /kapita/hari. Konsumsi

telur masyarakat Indonesia juga sangat rendah, yakni sebesar 2,7 kg/kapita/tahun,

sedangkan masyarakat Malaysia 14,4 kg/kapita/tahun, Thailand 9,9 kg dan Filipina

6,2 kg. Bila rata-rata satu kilogram telur terdiri atas 17 butir, maka konsumsi telur

masyarakat Indonesia baru 46 butir/kapita/tahun. Artinya, setiap orang Indonesia

Page 41: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

139 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

139

baru mengkonsumsi 1 butir telur setiap 8 hari sekali. Padahal penduduk Malaysia

setiap tahunnya memakan telur sebanyak 245 butir atau rata-rata 2 butir telur

dalam tiga hari sekali. Konsumsi susu masyarakat Indonesia juga sangat rendah,

yakni sekitar 7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 20

kg/kapita/tahun.

Konsumsi daging, telur dan susu yang rendah menyebabkan target konsumsi

protein hewani sebesar 6 gram/kapita/hari belum tercapai. Padahal untuk

meningkatkan kualitas hidup masyarakat, rata-rata konsumsi protein hewani ideal

adalah 26 gram/kapita/hari (Tuminga et. al. 1999). Analisis paling akhir yang

dilakukan Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional

Seoul (1999) menemukan sebuah fakta menarik. Ia menyatakan bahwa terdapat

relasi positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup

(UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani

masyarakat di suatu negara semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan

domestik bruto (PDB) negara tersebut.

Negara-negara berkembang seperti Korea, Brazil, China, Filipina dan Afrika

Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH

penduduknya berkisar 65-75 tahun. Negara-negara maju seperti AS, Perancis,

Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya berkisar 50-

80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Karena jangan heran bila

manusia yang berumur lebih dari 100 tahun sekarang banyak terdapat di Jepang.

Sementara negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10

gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya

berkisar 55-65 tahun (Han, 1999).

Rendahnya konsumsi protein hewani telah berdampak luas pada tingkat

kecerdasan dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Negara Malaysia yang pada

tahun 1970-an mendatangkan guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh

meninggalkan Indonesia, terutama dalam kualitas sumber daya manusia (SDM)

sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks (HDI) tahun

2004 yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP). Indonesia

berada pada peringkat ke-111, hanya satu tingkat di atas Vietnam (112), namun

jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Singapura (peringkat 25), Malaysia (59),

Thailand (76) dan Filipina (83) (Rusfidra, 2006b).

Studi Monckeberg (1971) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat konsumsi

protein hewani pada anak usia pra-sekolah dengan frekuensi kejadian defisiensi

Page 42: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

140 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

140

mental. Konsumsi protein hewani yang rendah pada anak usia pra sekolah dapat

mengakibatkan anak-anak berbakat normal menjadi sub-normal atau bahkan

defisien. Peningkatan konsumsi protein hewani dapat mengurangi frekuensi

kejadian defisiensi mental. Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan

untuk daya tahan tubuh (stamina). Hasil pengamatan Shiraki et al. (1972)

membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada

orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut

dikenal dengan istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah dengan

mengkonsumsi protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang

dikonsumsi harus berasal dari protein hewani. Protein hewani diduga berperan

terhadap daya tahan eritrosit (butir darah merah) sehingga tidak mudah pecah.

Protein hewani juga berperan dalam mempercepat regenerasi sel darah merah.

Protein hewani memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan

tubuh. Nilai hayati protein hewani relatif tinggi. Nilai hayati menggambarkan berapa

banyak nitrogen (N) dari suatu protein dalam pangan yang dimanfaatkan oleh

tubuh untuk pembuatan protein tubuh. Semakin tinggi nilai hayati protein suatu

bahan pangan makin banyak zat N dari protein tersebut yang dapat dimanfaatkan

untuk pembentukan protein tubuh. Hampir semua pangan asal ternak mempunyai

nilai hayati 80 ke atas. Telur memiliki nilai hayati tertinggi yakni 94-100

(Hardjosworo, 1987 dalam Rusfidra, 2005c).

Lebih lanjut, Hardjosworo (1987) dalam Rusfidra (2005) berhasil mengidentifikasi

empat faktor penting penyebab rendahnya konsumsi protein hewani: Pertama,

mahalnya harga pangan asal ternak bila diukur dari rata-rata pendapatan sebagian

besar masyarakat Indonesia. Untuk menghasilkan daging dan telur diperlukan

pakan yang mahal, apalagi komponen bahan pakan unggas (bungkil kedele,

tepung ikan dan jagung) merupakan bahan impor.

Kedua, tidak meratanya tingkat ketersediaan daging, susu dan telur di seluruh

penjuru tanah air. Bahan pangan tersebut melimpah di kota-kota besar dan

sekitarnya tetapi sangat langka di daerah yang jauh dari perkotaan. Ketiga,

pengaruh kemampuan produksi dalam negeri terhadap konsumen protein hewani.

Keempat, selera selektif dari masyarakat Indonesia. Bila dibandingkan dengan

negara-negara Barat yang lebih tinggi tingkat ekonominya, variasi jenis ternak

yang dijadikan sumber pangan di Indonesia sangat sempit. Sebagai contoh dari

ternak unggas hanya ayam yang disukai, sedangkan itik dan puyuh baru

sebagaian kecil yang memanfaatkan.

Page 43: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

141 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

141

Tabel 38. Kebutuhan Impor Daging Sapi Beberapa Negara (000 ton)

Negara 2002 2003 2004 2005 2006 2007* 2008** Pertumbuhan

Algeria 22 53 103 112 82 98 98 23.79%

Angola 54 76 79 90 101 101 101 9.36%

Chile 143 180 178 200 124 161 161 1.71%

Congo(Brazzaville) 7 8 13 17 23 23 23 18.52%

Georgia 17 27 20 23 20 20 20 2.35%

Iran 23 61 100 27 93 187 187 34.90%

Israel 82 89 102 86 103 103 103 3.31%

Jordan 24 53 46 59 68 68 68 16.04%

Kuwait 16 32 34 58 79 79 79 25.62%

Lebanon 19 28 34 34 39 39 39 10.82%

Libya 3 2 17 23 30 36 36 42.62%

Malaysia 133 136 171 169 158 158 158 2.49%

Oman 14 13 13 16 17 17 17 2.81%

Philippines 124 127 161 137 136 160 160 3.71%

Saudia Arabia 75 80 100 101 101 101 101 4.34%

Singapore 25 26 25 25 27 31 31 3.12%

Switzerland 10 11 15 19 22 20 20 10.41%

United Arab Emirates

53 43 44 69 71 71 71 4.27%

Vietnam 1 1 2 20 29 29 29 61.78% Keterangan: * Angka ementara, ** Angka forecasting Sumber: USDA, 2007

Tabel 39. Kebutuhan Impor Daging Ayam Beberapa Negara (000 ton)

Negara 2002 2003

2004 2005

2006 2007* 2008** Pertumbuhan

Angola 80 99 86 103 130 130 130 7.18%

Azerbaijan, 16 37 67 47 17 30 30 9.40%

Bahrain 21 22 23 28 21 26 28 4.20%

Columbia 24 24 13 23 23 23 23 -0.61%

Congo 22 33 23 29 23 23 23 0.64%

Cuba 92 89 119 113 115 130 135 5.63%

Gabon 16 17 29 25 21 25 25 6.58%

Ghana 24 36 45 51 52 52 52 11.68%

Guatemala 49 63 59 57 58 58 58 2.44%

Haiti 24 29 17 22 22 22 22 -1.24%

Iraq 56 76 119 116 110 120 120 11.50%

Jordan 2 11 23 27 18 33 35 50.51%

Kazakhstan, 5 12 13 8 38 15 15 16.99%

Oman 47 52 45 46 39 39 39 -2.63%

Philippines 13 14 22 27 35 40 40 17.42%

Qatar 26 30 31 39 41 41 41 6.72%

Singapore 86 103 85 96 97 100 100 2.18%

Vietnam 11 1 36 6 29 70 70 30.26%

Yemen 93 87 108 94 75 80 85 -1.28% Keterangan: * Angka ementara, ** Angka forecasting Sumber: USDA, 2007

Page 44: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

142 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

142

Memperhatikan hal-hal tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa tingkat kebutuhan

domestik terhadap komoditas-komoditas peternakan seperti daging dan telur akan

semakin meningkat di masa mendatang seiring dengan peningkatan pendapatan

dan tingkat pendidikan masyarakat. Pandangan terhadap kebutuhan impor daging

dari beberapa negara, termasuk beberapa negara tetangga dan negara anggota

gerakan non-blok, menunjukkan jumlah kebutuhan impor daging yang masih besar

dan positif dari tahun ke tahun. Sekali lagi, hal ini menunjukkan potensi pasar

komoditas agribisnis peternakan yang masih besar di masa depan. Untuk

komoditas ini, UKM sudah pasti dapat berperan besar di dalamnya. Bukan hanya

untuk memenuhi peningkatan kebutuhan di dalam negeri tetapi juga untuk

memanfaatkan peluang pasar yang tersedia di negara lain. Besarnya potensi

ekspor yang dapat diraih oleh komoditas daging sapi dan ayam ini kurang lebih

sama dengan Rp 100 milyar per tahunnya.

4.4. Masalah Dalam Pengembangan Komoditas Agribisnis Masalah utama yang dihadapi dunia, dan Indonesia, dalam pengembangan

potensi komoditas agribisnis saat ini adalah ketersediaan lahan dan perubahan

iklim.

4.4.1. Kebutuhan Lahan

Populasi penduduk yang terus meningkat, pendapatan yang lebih baik, dan

urbanisasi telah meningkatkan permintaan akan komoditas hasil pertanian.

Peningkatan permintaan komoditas pertanian ini membutuhkan ketersediaan lahan

yang kadang berbenturan dengan kebutuhan lain dan pelestarian alam.

Meningkatnya kebutuhan lahan terjadi karena proses produksi komoditas pertanian

memang membutuhkan ketersediaan lahan yang cukup besar. Seperti halnya

Indonesia dimana pemain utama penyedia komoditas pertanian adalah skala

usaha kecil dan menengah, di dunia pun komoditas pertanian sebagian besar

disediakan oleh negara berkembang yang memiliki daya dukung lahan yang

mencukupi, tenaga kerja yang murah, serta subsidi pemerintah untuk mendorong

meningkatnya pasokan-pasokan produksi hasil pertanian ini.

Pada negara berkembang, peningkatan hasil pertanian lebih banyak dilakukan

Page 45: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

143 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

143

dengan memperluas areal tanaman (ekstensifikasi) dibandingkan meningkatkan

produktifitas lahan (intensifikasi). Hal ini karena (1) ekstensifikasi dengan

membuka lahan baru lebih mudah dan segera dapat dilakukan (biasanya dengan

membakar lahan) dan (2) intensifikasi pun memiliki batasan teknologi pertanian

(penemuan varietas bibit baru, teknologi produksi yang lebih produktif, dan lain-

lain) dan biasanya lebih mahal dan sulit untuk dapat langsung diterapkan tanpa

perubahan perilaku masyarakat, bantuan pemerintah dan investasi dari investor

besar.

Misalnya pada peningkatan permintaan daging sapi di negara-negara berkembang

diperkirakan akan menjadi dua kali lipat dalam lima belas tahun yang akan datang.

Daging-daging sapi tersebut sebagian besar diproduksi oleh negara-negara

berkembang itu sendiri dan kebanyakan akan diproduksi oleh peternakan sapi

yang memerlukan lahan yang sangat luas. Untuk pembukaan lahan ini belum

diketahui dengan jelas berapa keuntungan yang sesungguhnya dapat diperoleh

negara-negara berkembang tersebut dengan melakukan hal ini, karena

peningkatan produksi menyebabkan harga produk turun, namun harus

mengorbankan hutan-hutan untuk kegiatan pertanian dan peternakan yang pada

akhirnya keberhasilan ini diikuti dengan kegagalan di sisi lain.

Seperti telah digambarkan dalam contoh permintaan daging sapi diatas, dalam

penyediaan lahan pertanian, masalah yang dihadapi adalah kompetisi antara

kebutuhan pertanian dan pelestarian alam. Kompetisi ini masih bisa dilengkapi

dengan kebutuhan lahan untuk hunian dan infrastruktur, serta industri.

Gambar 36. Kompetisi Kebutuhan Lahan

Wilayah Indonesia terbentang sepanjang 3.977 mil antara Samudera Hindia dan

LAHAN

Pertanian

Hunian dan Infrastruktur

Pelestarian

alam

Industri

Page 46: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

144 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

144

Samudera Pasifik. Apabila perairan antara pulau-pulau itu digabungkan, maka

luas Indonesia menjadi sekitar 4,275,000 km persegi. Lima pulau besar di

Indonesia adalah : Sumatera dengan luas 473.606 km persegi, Jawa dengan luas

132.107 km persegi, Kalimantan (pulau terbesar ketiga di dunia) dengan luas

539.460 km persegi, Sulawesi dengan luas 189.216 km persegi, dan Papua

dengan luas 421.981 km persegi.

Luas lahan pertanian Indonesia yang sebagian besar terdiri dari lahan perkebunan

dan lahan pertanian saat ini mencapai 169,727 km persegi (BPS, 2007) yang

terdiri dari 121,656 km persegi lahan pertanian padi dan 48,071 km persegi lahan

perkebunan. Luas ini baru sekitar 9.6% dari area daratan pulau utama Indonesia.

Menurut data Nation Master tahun 2005, luas area daratan Indonesia yang dapat

digunakan untuk kegiatan ekonomi adalah sebesar kurang lebih 478,000 km

persegi. Dari luas lahan tersebut, sekitar 50% nya (230,000 km persegi)

merupakan lahan yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan bercocok tanam. Hal

ini menunjukkan masih adanya lahan yang dapat dikelola secara lestari dan

berkelanjutan untuk kebutuhan pengembangan kegiatan agribisnis.

Tabel 40. Luas Area Pulau Utama Indonesia

Pulau Utama Luas Area (km persegi)

Sumatera 473,606

Jawa 132,107

Kalimantan 539,460

Sulawesi 189,216

Papua 421,981

Total luas pulau utama 1,756,370

Luas Wilayah Keseluruhan (termasuk lautan, perkiraan) 4,275,000

Sumber: BPS

Masalahnya adalah, angka diatas dihitung secara agregat, yaitu total gabungan

dari seluruh luas lahan yang tersebar di seluruh Indonesia. Padahal, disamping

luas totalnya, kegiatan pengembangan agribisnis yang efektif juga membutuhkan

kecukupan luas minimal, lokasi yang sesuai, dan komposisi kimia lahan untuk

pelaksanaan kegiatan agribisnis yang sesuai dan efektif.

Misalnya, (1) untuk kegiatan penanaman padi yang efektif dan lestari diperlukan

luasan lahan tertentu yang cukup besar dan dalam satu area yang tidak terlalu

jauh terpisah-pisah. Dengan demikian pengaturan irigasi dan distribusi bahan

baku menjadi lebih mudah dilakukan. Akan sulit mengembangkan pertanian padi

Page 47: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

145 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

145

jika lahan-lahan persawahannya terlalu kecil dengan lokasi yang terpisah-pisah

jauh. Kemudian (2) lahan yang tersedia tentunya memiliki komposisi kimia dan

jenis tanah yang berbeda-beda, dimana jenis tanah dan komposisi kimia tersebut

turut menentukan jenis tanaman apa yang cocok untuk kegiatan penanaman di

lahan tersebut.

Hal ini menunjukkan pentingnya pengaturan dan penjagaan tata guna lahan di

suatu daerah. Di sebuah propinsi, sejak awal perlu dianalisis kecocokan lahan dan

ditetapkan tata guna lahannya, mana yang tepat untuk kegiatan pengembangan

agribisnis, mana yang dapat untuk keperluan lainnya. Ketetapan tata guna ini

perlu dijaga agar di masa depan pengembangan agribisnis dapat lestari.

Masalah yang dihadapi adalah, tata guna lahan agribisnis dapat melampaui batas

wilayah kabupaten. Di Gorontalo, misalnya, untuk keperluan pengembangan

tanaman jarak penghasil bio diesel, perlu luas lahan yang meliputi lebih dari tiga

kabupaten. Jika antara kabupaten ini tidak ada kemauan untuk bekerjasama

untuk bersama-sama mengatur tata guna lahan bagi kegiatan agribisnisnya dan

lebih memilih untuk menggunakan lahan sebesar-besarnya untuk keperluan hunian

dan pembangunan bangunan komersial, maka program pengembangan agribisnis

yang dicanangkan tidak akan lestari di masa depan.

4.4.2. Perubahan Iklim

Pemanasan Global Mengurangi Lahan dan Merubah Iklim

Hasil penelitian Wetlands International dan Defl Hydrulics (2007), Indonesia

menempati urutan ketiga terbesar di dunia sebagai penyumbang emisi CO2

setelah Amerika Serikat dan China. Dari tahun 1997-2006, emisi CO2 akibat

kebakaran gambut di Indonesia diperkirakan mencapai 1.400 metrik ton CO2, dan

dari setiap hektar pengeringan hutan gambut diperkirakan CO2 yang terlepas

mencapai 90 metrik ton CO2 per tahun.

Pemanasan global merupakan kejadian meningkatnya temperatur rata-rata

atmosfer, laut dan daratan di Bumi. Temperatur rata-rata global pada permukaan

Bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 °C (1.33 ± 0.32 °F) selama seratus tahun

terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan

bahwa, sebagian besar peningkatan temperatur rata-rata global sejak pertengahan

abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-

Page 48: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

146 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

146

gas rumah kaca akibat aktivitas manusia, melalui efek rumah kaca. Kesimpulan

dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik,

termasuk semua akademi ilmu pengetahuan nasional dari negara-negara G8.

Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak setuju dengan beberapa

kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.

Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan temperatur

permukaan global akan meningkat 1.1 hingga 6.4 °C (2.0 hingga 11.5 °F) antara

tahun 1990 dan 2100. Adanya beberapa hasil yang berbeda diakibatkan oleh

penggunaan skenario-skenario berbeda pula dari emisi gas-gas rumah kaca di

masa mendatang juga akibat model-model dengan sensitivitas iklim yang berbeda

pula. Walaupun sebagian besar penelitian memfokuskan diri pada periode hingga

2100, pemanasan dan kenaikan muka air laut diperkirakan akan terus berlanjut

selama lebih dari seribu tahun jika tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Ini

mencerminkan besarnya kapasitas panas dari lautan.

Gambar 37. Prediksi Pemanasan Global

Dampak Pemanasan Global Ke Seluruh Dunia

Dampak dari pemanasan global ini secara garis besar antara lain meningkatnya

temperatur global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang

lain seperti naiknya muka air laut, meningkatnya intensitas kejadian cuaca yang

ekstrim, serta perubahan jumlah dan pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan

global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian, hilangnya gletzer dan

punahnya berbagai jenis hewan. Emisi gas rumah kaca mengalami kenaikan

Pertambahan Suhu (oC)

Page 49: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

147 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

147

70 persen antara 1970 hingga 2004.

Konsentrasi gas karbondioksida di atmosfer jauh lebih tinggi dari kandungan

alaminya dalam 650 ribu tahun terakhir. Rata-rata temperatur global telah naik 1,3

derajat Fahrenheit (setara 0,72 derajat Celsius) dalam 100 tahun terakhir. Muka air

laut mengalami kenaikan rata-rata 0,175 centimeter setiap tahun sejak 1961.

Sekitar 20 hingga 30 persen spesies tumbuh-tumbuhan dan hewan berisiko punah

jika temperatur naik 2,7 derajat Fahrenheit (setara 1,5 derajat Celsius). Jika

kenaikan temperatur mencapai 3 derajat Celsius, 40 hingga 70 persen spesies

mungkin musnah.

Meski negara-negara miskin yang akan merasakan dampak sangat buruk,

perubahan iklim juga melanda negara maju. Pada 2020, 75 juta hingga 250 juta

penduduk Afrika akan kekurangan sumber air, penduduk kota-kota besar di Asia

akan berisiko terlanda banjir dan rob. Di Eropa, kepunahan spesies akan ekstensif.

sementara di Amerika Utara, gelombang panas makin lama dan menyengat

sehingga perebutan sumber air akan semakin tinggi. Kondisi cuaca ekstrim akan

menjadi peristiwa rutin. Badai tropis akan lebih sering terjadi dan semakin besar

intensitasnya. Gelombang panas dan hujan lebat akan melanda area yang lebih

luas. Risiko terjadinya kebakaran hutan dan penyebaran penyakit meningkat. Data

dampak pemanasan global lainnya misalnya mencairnya glasier di Pegunungan

Himalaya, meningkatnya frekuensi badai di Kepulauan Pasifik Selatan, pemutihan

karang secara massal dan berdampak pada kematian di Great Barrier Reef

Australia, berkurangnya persediaan air bersih di Sungai Mekong dan lain-lain.

Kenaikan suhu (temperatur) bumi sampai mencapai akibat pemanasan global ini

bisa mencapai tingkat 11 derajat C lebih tinggi daripada suhu semula (BBC,

Desember 1999). Peristiwa ini akan memicu mencairkan berjuta-juta kubik lapisan

es di kedua Kutub Utara dan Selatan secara bersamaan yang pada gilirannya

terjadi peningkatan luar biasa volume air laut di seluruh dunia.

Hal ini menyebabkan juga terjadi peningkatan permukaan air laut di bumi ini hingga

mencapai 1 meter lebih tinggi daripada level semula. Dapat dibayangkan luas areal

daratan pantai yang bakal tergenang air laut, bahkan lebih dahsyat bakal tidak

terhitung lagi jumlah gugusan pulau dan kepulauan yang akan hilang lenyap

secara tiba-tiba ditelan air laut. Suatu bencana yang tidak kalah dahsyatnya dari

gelombang pasang tsunami dengan cakupan yang lebih mengglobal.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan kelaparan di dunia sedang meningkat

Page 50: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

148 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

148

sebagai akibat pemanasan global, karena perubahan iklim mengurangi luas lahan

pertanian di negara berkembang. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO,

mengatakan perubahan iklim dapat mengurangi 300 juta ton produksi pangan, dan

akibat paling parah adalah di Afrika Sub-Sahara. Sebuah laporan FAO

memperkirakan bahwa sampai 90 juta hektar lahan di Afrika dapat menjadi tidak

sesuai untuk pertanian kalau pemanasan global terus berlangsung tanpa

hambatan dalam puluhan tahun mendatang. Namun, Badan PBB tadi mengatakan

iklim serupa dapat meningkatkan produksi pertanian di Negara-negara Industri di

belahan bumi Utara. Selain itu, badan dunia PBB meramalkan bahwa panen

makanan pokok seperti gandum, beras dan jagung dapat merosot sampai 39%

dalam 100 tahun mendatang akibat pemanasan global yang terjadi (Konferensi

Perubahan Iklim VII, Maroko, November 2001). Suatu ancaman yang sangat

serius, apalagi pertumbuhan penduduk dunia ke depan terus melaju tidak

terkendalikan.

Jadi perubahan iklim bumi merupakan tantangan yang paling serius yang dihadapi

dunia di abad ke-21 ini.

Masalah pemanasan yang terjadi dalam 50 tahun terakhir sebenarnya disebabkan

oleh tindakan manusia sendiri di mana pemanasan global di masa depan bakal

lebih besar daripada dugaan semula. Oleh karena itu, protokol Kyoto yang semula

selalu menghadapi jalan buntu, akhirnya mulai difungsikan untuk mengurangi emisi

rumah kaca terutama dari dampak kegiatan industri negara-negara maju.

Dampak Pemanasan Global di Indonesia

Pemanasan global sudah dirasakan Indonesia dengan naiknya permukaan laut 0,8

cm per tahun yang berdampak pada tenggelamnya pulau-pulau Nusantara hampir

satu meter dalam 15 tahun ke depan. Indonesia sebagai negara kepulauan

menjadi pihak yang sangat merasakan dampak pemanasan global ini perlahan

tetapi pasti jika tak diatasi sejak sekarang.

Diperkirakan, dengan laju kenaikan muka air laut seperti saat ini, maka pada tahun

2010 permukaan air laut akan naik 1 meter dari muka laut saat ini. Hal ini akan

membuat sekitar 2000 pulau Indonesia hilang akibat tenggelam dan beberapa

kabupaten yang berada di daerah pesisir akan merasakan dampak berkurangnya

luas wilayah daratannya. Jika laju kenaikan ini tidak dikendalikan, maka

diprediksikan pada tahun 2100 muka air laut akan bertambah setinggi 7 meter, dan

Page 51: Buku Kajian Ukm Agribisnis

LAPORAN AKHIR

Dinamika UKM Dalam Agribisnis

Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

149 Kajian Efektifitas Model Penumbuhan Klaster Bisnis UKM Berbasis Agribisnis

149

diperkirakan hanya tersisa sekitar 2000-3000 an pulau di wilayah Indonesia.

Indikasi pemanasan global lain yang begitu jelas dirasakan misalnya kenaikan

suhu yang ekstrim beberapa waktu belakangan ini, misalnya suhu di Kalimantan

yang biasanya sekitar 35 derajat Celsius naik menjadi 39 derajat Celsius.

Sebagian tulisan ada yang berpendapat bahwa kenaikan muka air laut dan

berkurangnya luas daratan mungkin dapat dipandang sebagai hal yang positif bagi

sebuah negara kepulauan seperti Indonesia. Karena luas potensi kelautan yang

dimilikinya menjadi begitu besar. Masalah adalah, kajian terbaru menunjukkan

perubahan suhu bumi dan pencairan es di kutub juga mempengaruhi aliran panas

air laut yang mengakibatkan perubahan arus air laut. Perubahan ini ternyata

berdampak buruk bagi kelestarian biota laut dan ketersediaan ikan di dalamnya.

Dengan demikian pemanasan global memang menjadi momok bagi kita semua.

Peningkatan suhu, perubahan pola angin, perubahan arus laut dan perubahan

pertukaran panas menyebabkan perubahan iklim seperti suhu dan curah hujan,

yang pada akhirnya mempengaruhi keberhasilan panen dari produk agribisnis

yang dikembangkan.

Pulau Sumatera, misalnya, yang biasanya suhu berkisar pada 33-34 derajat naik

menjadi 37 derajat, dan di Jakarta yang biasanya 32-34 naik menjadi 36 derajat

Celsius, ujarnya. Untuk seluruh Indonesia, dampak yang dirasakan adalah berupa

pergeseran iklim dari yang seharusnya Juni 2006 sudah musim kemarau, untuk

Kalimantan dan Sumatera masih mengalami banjir besar dan bulan September

yang seharusnya sudah dimulai musim hujan bergeser mulai November.