buku kajian ri -rdtl final

29
GAMBARAN WILAYAH PERBATASAN RI – RDTL 1 Sejarah Batas RI –RDTL Dalam membahas tentang sejarah perbatasan wilayah NKRI dan RDTL, akan diuraikan tentang sejarah perbatasan darat dan laut, meskipun fokus dari pembahasan makalah secara keseluruhan terletak pada batas wilayah negara di laut. Hal ini dikarenakan bahwa sejarah penentuan batas NKRI dan RDTL di laut sangat dipengaruhi oleh sejarah penentuan batas di darat. Dilihat dari masa kelahirannya, perbatasan dengan Timor Leste merupakan perbatasan antarnegara terbaru yang dimiliki Indonesia. Secara historis, Indonesia telah dua kali berbatasan dengan RDTL yaitu di daratan Pulau Timor dan wilayah maritim di sekitarnya. Pertama, pada periode tahun 1949-1976, Indonesia berbatasan dengan Portugis (Portugal). Dan kedua, Tahun 2002 hingga sekarang, Indonesia berbatasan dengan Timor Leste, menyusul berdirinya negara tersebut pada tanggal 17 Juli 2002. Ketika masih bergabung dengan Indonesia sebagai provinsi ke 27, wilayah Provinsi Timor Timur mencakup seluruh bekas wilayah pemerintahan kolonial Portugis, termasuk wilayah 1

Upload: reni-carica

Post on 15-Dec-2014

339 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

kajian pembahasan kawasan perbatasan

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Kajian RI -RDTL Final

GAMBARAN WILAYAH PERBATASAN RI – RDTL

1 Sejarah Batas RI –RDTL

Dalam membahas tentang sejarah perbatasan wilayah NKRI dan RDTL, akan

diuraikan tentang sejarah perbatasan darat dan laut, meskipun fokus dari

pembahasan makalah secara keseluruhan terletak pada batas wilayah negara di

laut. Hal ini dikarenakan bahwa sejarah penentuan batas NKRI dan RDTL di laut

sangat dipengaruhi oleh sejarah penentuan batas di darat.

Dilihat dari masa kelahirannya, perbatasan dengan Timor Leste merupakan

perbatasan antarnegara terbaru yang dimiliki Indonesia. Secara historis, Indonesia

telah dua kali berbatasan dengan RDTL yaitu di daratan Pulau Timor dan wilayah

maritim di sekitarnya. Pertama, pada periode tahun 1949-1976, Indonesia

berbatasan dengan Portugis (Portugal). Dan kedua, Tahun 2002 hingga sekarang,

Indonesia berbatasan dengan Timor Leste, menyusul berdirinya negara tersebut

pada tanggal 17 Juli 2002.

Ketika masih bergabung dengan Indonesia sebagai provinsi ke 27, wilayah

Provinsi Timor Timur mencakup seluruh bekas wilayah pemerintahan kolonial

Portugis, termasuk wilayah kantong (enclave) Oekussi. Sejarah keberadaan enclave

ini dapat ditarik dari masa pemerintahan kolonial, sejak bangsa Portugis mendarat di

Pulau Timor pertama kali di Lifau, atau saat ini bernama Oekussi. Wilayah Oekussi

kemudian difungsikan sebagai pelabuhan utama dan dijadikan pusat pemerintahan

kolonial Portugis di pulau tersebut. Namun, akibat serangan-serangan dari kerajaan

lokal, ditambah desakan oleh kehadiran bangsa Belanda, pada tahun 1769 Portugis

dipaksa untuk memindahkan ibukota pemerintahan kolonialnya ke Dili.

1

Page 2: Buku Kajian RI -RDTL Final

Dalam perkembangan berikutnya, setelah kedua pemerintahan kolonial tersebut

berdamai, Belanda dan Portugis berusaha menetapkan batas wilayah pemerintahan

kolonial masing-masing. Pada awalnya, disepakati bahwa Timor Barat termasuk

Oekussi, merupakan wilayah Belanda, sedangkan Timor bagian Timur menjadi

wilayah Portugis. Akan tetapi, karena warga Oekussi menolak, akhirnya tercapai

kesepakatan pada tahun 1904, tentang Convention for the Demarcation of

Portuguese and Dutch Dominions on the Island of Timor, dimana Oekussi ditetapkan

berada di bawah pemerintahan kolonial Portugis.

Dengan pengakuan pemerintah kolonial Belanda atas kedaulatan Indonesia,

maka seluruh wilayah Belanda menjadi wilayah NKRI. Sejak saat itu, di Pulau Timor

dan perairan di sekitarnya, Indonesia berbatasan dengan Portugis, dan dengan

keberadaan Oekussi sebagai wilayah kantong Portugis. Perbatasan ini bertahan

hingga tahun 1976. Ketika Timor Timur secara resmi bergabung dengan NKRI,

Oekussi menjadi wilayah Provinsi Timor Timur. Pada saat Timor Timur memisahkan

diri dan membentuk negara Timor Leste pada tahun 2002, wilayah negara ini

mencakup wilayah bekas Provinsi Timor timur, termasuk dengan Oekussi.

1.1.Perbatasan Darat NKRI – RDTL

Sejarah perbatasan darat RI – RDTL tidak bisa dilepaskan dari sejarah

Pulau Timor. Dimana Pulau Timor menarik perhatian negara penjajah karena

adanya kayu cendana yang sangat menarik, selain digunakan untuk

perlengkapan perabotan rumah tangga juga untuk kegiatan ritual keagamaan.

Sejak jaman kolonial, Pulau Timor sudah dibagi menjadi dua bagian yang

masing-masing dikuasai oleh Portugis (Timor Timur) dan Belanda (Timor Barat).

Sejarah pembatasan Timor Timur dan Timor Barat diawali dari perebutan

wilayah kekuasaan antara Portugis dan Belanda dalam memperebutkan

2

Page 3: Buku Kajian RI -RDTL Final

dominasi perdagangan kayu cendana di Pulau Timor yang berlangsung mulai

tahun 1701 sampai 1755, yang kemudian melahirkan kesepakatan “Contract of

Paravinici” pada tahun 1755 yang membagi Pulau Timor menjadi dua bagian,

bagian timur (berpusat di Dilli) dikuasai oleh Portugis dan bagian barat (berpusat

di Kupang) dikuasai oleh Belanda. Didalam Perundingan lanjutan tahun 1846,

Portugis menukarkan wilayah Flores yang sebelumnya dikuasainya dengan

sebuah wilayah yang kita kenal sekarang sebagai wilayah Oekussi dan dua

pulau kecil di lepas pantai utara yaitu Pulau Atauro dan Pulau Jaco. Wilayah

Oekussi ini terletak dalam wilayah Timor Barat (enclave), dan sejak saat itulah

Flores dikuasai oleh Belanda dan Oekussi dikuasai oleh Portugis. Wilayah

enclave inilah yang selanjutnya akan menjadi salah satu persoalan penarikan

garis batas wilayah laut antara NKRI dan RDTL menjadi semakin rumit dan

kompleks.

Pada tanggal 1 Oktober 1904 sebuah konvensi yang diberi nama “A

Convention for The Demarcation of Portuguese and Dutch Dominions on the

Islands of Timor” telah ditandatangani oleh kedua belah pihak di Den Haag, dan

konvensi inilah yang dianggap sebagai perjanjian yang resmi yang telah

menyelesaikan persoalan perbedaan perbatasan antara Portugis dan Belanda di

Pulau Timor. Meskipun demikian, beberapa daerah yang belum sempat disurvei

(termasuk wilayah Oekussi) masih terus dibicarakan antar kedua negara. Pada

tahun 1909, komisi perbatasan yang dibentuk oleh pemerintah Portugis dan

Belanda gagal mencapai kesepakatan dalam menentukan tapal batas di wilayah

Oekussi (termasuk daerah Noel Meto).

3

Page 4: Buku Kajian RI -RDTL Final

Kegagalan ini membawa kedua negara tersebut menyerahkan persoalan

ini kepada Pengadilan Arbitrasi (Permanent Court of Arbitration) di Paris. Dalam

keputusannya pada tanggal 26 Juni 1914 adalah memenangkan klaim Belanda

atas daerah-daerah yang masih dipersengketakan. Banyak sekali problematika

yang muncul selama perundingan yang memakan waktu dan proses yang

panjang tersebut. Tidak saja semua titik perbatasan yang belum mampu

diselesaikan, tetapi juga karena dinamika wilayah perbatasan yang menciptakan

persoalan baru dari sisi teknis dan non teknis, seperti misalnya perubahan

kontur topografis penanda perbatasan (bukit, sungai, dan lain-lain), terjadinya

proses pengalihan hak atas tanah antar penduduk di wilayah perbatasan,

terjadinya migrasi penduduk, dan persoalan geografis lainnya. .

Gambar 2. Peta Laut Kleine Soenda Eilanden Terbitan Hidrografi Belanda Tahun 1925 (Menggambarkan Daerah Kepemilikan Pulau Timor Antara Belanda Dan Portugis, Pulau Batek Tidak Termasuk Wilayah Portugis) Bukti Peta ini, Bahwa Pulau Batek Milik Belanda, Menjadi Milik Indonesia, Telah Dikirimkan Kepada Menlu RI Tahun 2004 (Sumber : Janhidros, 2007)

4

P. BATEK

O E C U S S E (Portugis)

Page 5: Buku Kajian RI -RDTL Final

Pada saat Timor Timur masih menjadi bagian wilayah NKRI (1976 – 1999),

isu tentang perbatasan ini tidak begitu dipermasalahkan dan bukan persoalan

yang dianggap penting. Masyarakat Timor Timur dan Timor Barat bebas untuk

beraktifitas dan saling berinteraksi dalam kegiatan politik, sosial, ekonomi dan

budaya, karena memang pada dasarnya penduduk di kedua wilayah ini

mempunyai keeratan hubungan sosial dan budaya dan sejarah historis yang

sama. Keadaan menjadi berubah setelah Timor Timur merdeka. Masalah

perbatasan menjadi masalah sangat penting untuk dibicarakan karena

menyangkut wilayah kedaulatan dan keamanan masing-masing negara.

Langkah awal adalah menyepakati tapal batas yang pernah ada antara Timor

Timur dan Timor Barat.

Pada tanggal 2 Februari 2002, Menteri Luar negeri RI Hasan Wirayuda dan

pimpinan UNTAET yaitu Sergio Vierra de Mella, menandatangani kesepakatan

untuk mengatur prinsip uti posideti juris, yaitu menggunakan Konvensi 1904

yang telah ditandatangani Portugis dan Belanda serta hasil keputusan

Permanent Court of Arbitration 1914, sebagai dasar hukum yang mengatur

perbatasan RI – RDTL. Sampai saat ini kedua negara telah menandatangani

persetujuan sementara (provisional agreement) pada tanggal 8 April 2005 yang

menyepakati 907 koordinat titik batas atau sekitar 96 % dari total garis batas

darat. Kesepakatan sementara ini ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri RI

Hasan Wirayuda dan Menteri Luar Negeri RDTL Ramos Horta.

1.2. Perbatasan Laut NKRI – RDTL

Perjuangan dalam penentuan batas-batas laut merupakan satu kesatuan

dengan penentuan wilayah dan batas NKRI, baik di masa lalu, sekarang

maupun yang akan datang. Oleh karena itu kejelasan atas batas-batas darat

5

Page 6: Buku Kajian RI -RDTL Final

dan kepemilikan pulau-pulau menjadi kata kunci dalam penentuan batas-batas

laut tersebut.

Pada saat bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, wilayah

Indonesia merupakan wilayah kepulauan yang sebelumnya merupakan wilayah

kekuasaan Hindia Belanda dimana pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh

laut di sekelilingnya sesuai ketentuan TZMKO 1939. Sesuai dengan ketentuan

yang berlaku pada TZMKO-39, negara RI terdiri dari pulau-pulau besar dan

kecil yang satu sama lain dipisahkan oleh laut dan/atau selat di sekelilingnya.

Ini berarti kapal asing pada waktu itu dapat dengan leluasa melayari laut atau

selat yang mengelilingi atau disekitar pulau-pulau kita hingga tiga mil-laut

mendekati pantai. Hal itu jelas mengancam eksistensi keutuhan wilayah negara

RI dipandang dari sudut mana pun.

Ketentuan TZMKO-1939 tersebut dirasa sangat merugikan negara RI yang

baru berdiri pada saat itu, karena Indonesia hanya memiliki laut wilayah sejauh

3 mil-laut saja, sehingga antara pulau-pulau Indonesia yang berjumlah ribuan

menjadi terpisah-pisahkan oleh laut dan selat karenanya. Atas dasar

6

Gambar 3. Wilayah Laut Indonesia Tahun 1945

Page 7: Buku Kajian RI -RDTL Final

kenyataan inilah maka konsep Wawasan Nusantara kemudian diperjuangkan

untuk memperoleh pengakuan internasional atas hak-haknya sebagai negara

maritim, baik hak atas laut wilayah maupun hak atas kewenangan lainnya di

laut (yurisdiksi wilayah maritim) Pada tanggal 13 Desember 1957

pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan deklarasi, yang kemudian

dikenal dengan nama Deklarasi Djuanda, yang menyatakan bahwa laut antar

pulau tidak terpisahkan dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Laut

antar pulau merupakan laut penghubung, sehingga laut di antara pulau-pulau

merupakan satu kesatuan dengan pulau-pulau tersebut. Batas laut wilayah

(teritorial) Indonesia adalah 12 mil-laut dari garis pangkal (low water line) ke

arah laut lepas, dan Indonesia mempunyai kewenangan untuk mengelola

daerah kedaulatannya yang mempunyai batas wilayah 12 mil dari garis

pangkal tersebut.

Pada tanggal 17 Februari 1969 dikeluarkan Pengumuman Pemerintah

(Deklarasi) tentang Landas Kontinen Indonesia yang kemudian dipertegas

dengan UU RI No. 1 tahun 1973. Laut di atas landas kontinen ini merupakan

laut zone ekonomi eksklusif (ZEE) dengan batas sejauh 200 mil-laut dari garis

pangkal yang dapat dimanfaatkan Indonesia. Selama masa ini, khususnya

mulai 1969 hingga satu decade, Pemerintah RI gencar melakukan

perundingan-perundingan batas baik batas-batas darat, maupun batas-batas

maritim, baik secara bilateral maupun trilateral dengan negara tetangga.

7

Page 8: Buku Kajian RI -RDTL Final

Keadaan peta batas-batas wilayah kemudian berubah ketika Indonesia

melalui Ketetapan MPR tentang integrasi Timor-Timur ke wilayah Indonesia

sebagai Provinsi ke-27. Keputusan/Ketetapan tersebut dengan sendirinya

mempengaruhi keadaan batas-batas wilayah maritim Indonesia di sekitar pulau

Timor dan laut Timor. Setelah keputusan politik pada tahun 1973 tersebut di

atas, dalam kurun waktu 1974 hingga akhir tahun 1998, terdapat perubahan

politik dan hasil diplomasi politik yang substansial dan berhubungan dengan

batas-batas maritim NKRI, yaitu :(1) diakuinya eksistensi negara RI sebagai

negara kepulauan oleh masyarakat dunia melalui Konvensi PBB tentang

Hukum Laut tahun 1982 (UNCLOS 1982), (2) diundangkannya Undang-

Undang No 6 Tahun 1996 tentang Peraitan Indonesia dan (3) diundangkannya

perubahan daftar titik-titik dasar garis pangkal Indonesia disekitar laut Natuna

pada tahun 1998.

8

Gambar 4. Wilayah Laut Indonesia Setelah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957

Page 9: Buku Kajian RI -RDTL Final

Usaha memperjuangan wawasan nusantara melalui diplomasi politik di

tingkat dunia akhirnya membuahkan hasil pada Konvensi PBB tentang Hukum

Laut di Wina pada tahun 1982, atau dikenal dengan sebutan UNCLOS-82.

Berdasarkan ketentuan UNCLOS-82 tersebut Indonesia diakui oleh dunia

sebagai sebuah negara kepulauan (archipelagic state) dan Indonesia telah

mengikatkan diri terhadap ketentuan UNCLOS-82 sejak tahun 1985, yaitu

melalui UU RI No. 17/1985 tentang Ratifikasi UNCLOS-82. Secara

internasional ketentuan UNCLOS-82 dinyatakan efektif berlaku sejak 16

Nopember 1994.

Memasuki era demokratisasi baru di Indonesia yang dimulai sejak akhir

tahun 1998, ternyata juga ada kaitannya dengan perkembangan peta batas-

batas maritim NKRI. Dalam kurun waktu dari akhir tahun 1998 sampai saat ini,

dapat dicatat peta perubahan batas-batas maritim Indonesia yang secara

dominan ditandai dengan: (1) hasil jajak pendapat (referendum) rakyat di

Timor-Timur pada tahun 1999 yang berakhir dengan terbentuknya negara baru

Republik Demokratik Timor-Leste (RDTL), (2) ditetapkannya Peraturan

Pemerintah No. 38 tahun 2002 (PP No. 38/2002) bulan Juli 2002, dan (3)

diputuskannya status kepemilikan pulau-pulau Sipadan dan Ligitan menjadi

milik Malaysia oleh Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag pada 17

Desember 2002, (4) ditetapkannya Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008

tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2002 tentang

Daftar Koordinat Geografis Titik – Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

Terutama pada Peraturan Pemerintah ini juga memuat Titik Dasar Baru

Indonesia di sekitar Pulau Timor.

9

Page 10: Buku Kajian RI -RDTL Final

Hasil jajak pendapat (referendum) rakyat Timor-Timur tahun 1999

menghasilkan keputusan politik berdirinya negara RDTL memberikan

pekerjaan rumah (PR) baru untuk penyelesaian batas-batas negara baik di

darat maupun di laut. Selain batas-batas darat dan laut antara RI dengan

RDTL, harus pula ditetapkan kembali beberapa titik batas maritim (ZEE dan

landas kontinen) yang telah disepakati bersama antara Indonesia dengan

Australia beberapa tahun yang lalu, secara trilateral.

2 Keadaan Batas Wilayah RI – RDTL

2.1.Batas Darat

Panjang perbatasan darat antara indonesia-Timor Leste di Provinsi NTT

secara keseluruhan sekitar 287 kilometer, yang terdapat di dua lokasi yang

berbeda, yakni : Pertama, wilayah yang berbatasan langsung dengan daratan

utama Timor Leste. Dan kedua, wilayah perbatasan yang melingkari wilayah

Oekussi.

Perbatasan lndonesia-Timor Leste di kawasan pertama, terletak di

Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Distrik Covalima dan Bobonaro,

dengan panjang perbatasan mencapai 172 kilometer yang memanjang dan

membelah Pulau Timor menjadi dua bagian. Secara administratif, daerah

Kabupaten Belu yang berbatasan dengan Timor Leste adaiah Kec. Kobalima,

Kec. Tasifeto Barat, Kec. Tasifeto Timur, Kec. Lamaknen, dan Kec. Raihat.

Wilayah perbatasan yang rnelingkupi enclave Timor Leste (Distrik Oecussi)

secara administratif terletak di Kabupaten Kupang (Kec. Amfoang Utara) dan

Kabupaten Timor Tengah Utara (Kec. Insana Utara, Kec. Miomaffo Timur, dan

Kec. Miomaffo Barat). Panjang perbatasan di wilayah ini mencapai 115

10

Page 11: Buku Kajian RI -RDTL Final

kilometer, yang terdiri atas 104,5 kilometer berbatasan dengan Kabupaten Timor

Tengah Utara, dan 10,5 kilometer berbatasan dengan Kabupaten Kupang.

Di sepanjang perbatasan di Kabupaten Belu terdapat 7 titik simpang

(junction point) yang merupakan pintu pelintas batas dan titik pos pengamanan

bersama, yaitu Motaain, Motamasin, Nunura, Turiscain, Dilomil, Lakmars, dan

Laktutus. Sementara di perbatasan yang melingkupi wilayah Oekussi terdapat

5 titik simpang yaitu, Wini, Napan, Bawah, Manusasi, Aplal, dan Oepoli.

Permasalahan di perbatasan Rl-Timor Leste terkait dengan belum

tercapainya kesepakatan tentang tapal batas kedua negara. Garis batas yang

selama ini digunakan merupakan batas tradisional berdasarkan kesepakatan

atau traktat antara pemerintah Belanda dan Portugal pada 1 Oktober 1904 dan

peta wilayah perbatasan tahun 1914. Untuk menangani permasalahan ini, telah

dibentuk forum Joint Border Committee (JBC) dan Joint Technical Sub-

Committee on Border, Demarcation, dan Regulation (JTSC-BDR) oleh keldua

negara.

Hingga tahun 2005, terdapat sembilan titik yang masih menjadi masalah

dalam penyelesaian batas wilayah perbatasan, yaitu: 3 titik di Sektor Barat

(Perbatasan Kab. Kupang dan TTU-Distrik Oekussi): Noelbesi, Bijael Sunan-

Oben (Manusasi) dan Subina, dan 6 titik di Sektor Timur (Perbatasan Kab Belu-

Distrik Bobonaro dan Kovalima): Memo, Mota Tiboruk, Kalan Fehan, Tahi Fehu,

Uas Lulik dan Fatu Rokon.

Pada 9 April 2005, Pemerintah Indonesia dan Timor Leste menandatangani

perjanjian mengenai garis perbatasan darat. Namun, perjanjian ini masih bersifat

sementara karena masih terdapat sejumlah titik batas yang belum berhasil

disepakati, khususnya menyangkut garis perbatasan sungai di wilayah kedua

11

Page 12: Buku Kajian RI -RDTL Final

negara. Titik batas yang belum disepakati adalah segmen Dilumi/Meno seluas

37 hektar di perbatasan Timor Leste dan Kabupaten Belu, segmen Bijaelsunan-

Oben seluas 141 hektar di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Distrik Oekussi-

Timor Leste dan segmen wilayah Noelbesi seluas 1.009 hektar perbatasan

Kabupaten Kupang dan Distrik Oekussi-Timor Leste. Segmen-segmen wilayah

ini terletak di sekitar tanah adat (ulayat) atau tanah garapan masyarakat.

Belum diselesaikan batas wilayah darat di tiga segmen ini mendorong

timbulnya perselisihan tingkat masyarakat di perbatasan Salah satunya adalah

sengketa penduduk kampung Oepoli, Desa Netemnanu Utara, Kecamatan

Amfoang Utara, Kabupaten Kupang, antara penduduk dari Distrik Oekussi.

Masyarakat Oepoli menyatakan tanah leluhurnya seluas 1.009 hektar dicaplok

Timor Leste. Mereka bersedia mempertaruhkan nyawa guna membantu TNI

mempertahankan daerah segitiga yang merupakan areal persawahan terbesar

di Timor Barat.

Di luar wilayah ketiga segmen ini, atau sekitar 97 persen wilayah

perbatasan darat telah disepakati dan telah mulai dibangun patok-patok

pembatas, namun belum bersifat permanen dan bentuknya yang kecil

menyebabkan masyarakat; di sekitar kurang mengetahui batas-batas tersebut.

Terlebih, terkait batas-batas yang merupakan tanda-tanda alami seperti sungai

(river thalweg), seperti batas alam di Sungai Malibaka. Sungai ini tergolong jenis

sungai musiman, yang kering di musim kemarau dan penuh di musim

penghujan, sehingga perbedaan tipikal air yang mengalir selalu berubah-ubah.

Untuk kasus batas alam Sungai Malibaka, Indonesia dalam posisi dirugikan

karena arus sungai cenderung menggerus wilayah RI, akibat letak geografisnya

yang lebih rendah dibandingkan tepi sungai diwilayah Timor Leste. Terkait

12

Page 13: Buku Kajian RI -RDTL Final

dengan perubahan alami ini, pengaturan batas wilayah secara topografi yang

didasarkan pada satuan wilayah pengelolaan sungai atau DAS, belum diatur

secara teknis baik sistem pengelolaannya maupun lembaga/badan pengelola,

baik antara pemerintah RI dengan Timor Timur maupun tingkat level

dibawahnya.

Tabel 1Perkembangan Perundingan Perbatasan Darat

Indonesia – Timor Leste

No Wilayah Perbatasan

Panjang Perbatasan

Status Keterangan

1. Kab. Belu dengan Distrik Bobonaro dan Covalima

115 kmBelum disepakati

Dilumil-Memo (Belu)

2. Kab. TTU dengan Distrik Oekussi

105 kmBelum disepakati

Bijael Sunan-Oben (TTU)

3. Kab. Kupang dengan Distrik Oecussi

10,5 kmBelum disepakati

Noelbesi-Catrana (Kupang)

2.2.Batas Laut

Batas maritim antara Indonesia dan RDTL dapat dibagi dalam tiga segmen,

antara lain : segmen di Selat Ombai, Selat Wetar dan Laut Timor. Segmen Selat

Wetar yang terletak antara pulau Lirang, pulau Wetar, pulau Kisar, pulau Timor,

dan pulau Atauro.

Perbatasan maritim antara Indonesia – Timor Leste meliputi wilayah

perairan di sebelah selatan Pulau Timor (Laut Timor), sebelah timur Laut

Arafuru, dan perairan di sebelah utara Pulau Timor (Laut Sawu). Dengan

demikian, secara geografis wilayah RI yang berbatasan secara maritim dengan

Timor Leste tidak hanya berada di wilayah Propinsi NTT, melainkan juga

Provinsi Maluku dan Papua.

13

Page 14: Buku Kajian RI -RDTL Final

Kawasan perbatasan laut di wilayah NTT bersinggungan dengan tiga

kabupaten atau lima kecamatan, yakni Kabupaten Kupang (Kecamatan

Amfoang Utara), Kabupaten Belu (Kecamatan Tasifeto Barat dan Kobalima),

Kabupaten TTU (Kecamatan Insana Utara), dan Kabupaten Alor (Kecamatan

Alor Barat Daya).

Gambar 5Perbatasan Maritim RI – Timor Leste

(Laut Sawu dan Laut Timor)

Seperti perbatasan darat, garis perbatasan maritim RI – Timor Leste belum

disepakati, yakni terkait dengan batas laut teritorial, batas yurisdiksi ZEE dan

batas landas kontinen. Perundingan penentuan batas maritim dengan Timor

Leste akan dimulai setelah seluruh batas darat kedua negara disepakati. Pada

saat ini, garis batas yang akan berlaku dan diakui adalah batas wilayah

14

LAUT TIMOR

LAUT SAWU

Page 15: Buku Kajian RI -RDTL Final

perbatasan sewaktu Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI, yakni batas

maritim Propinsi Timor Timur.

Selain itu, konsekuensi dari berdirinya negara Timor Leste, permasalahan

penentuan batas maritim ZEE dan Landas Kontinen RI – RDTL juga akan

melibatkan Australia terkait dengan wilayah yang berdekatan dengan Celah

Timor dan Pulau Pasir.

Gambar 6Perbatasan Maritim Indonesia – Timor Leste

(Sebelah Timur Pulau Timor)

Belum disepakatinya garis batas wilayah maritim, tampaknya dipandang

menjadi celah bagi Timor Leste untuk melakukan penentuan batas secara

unilateral dengan melakukan perluasan wilayah maritim. Timor leste ditenggarai

melakukan perluasan wilayah lautnya seluas 50 mil di bagian selatan Kabupaten

15

L A U T T I M O R

L A U T A R A F U R U

L A U T B A N D A

LAUT SAWU

Page 16: Buku Kajian RI -RDTL Final

Belu, dan mengklaimnya sebagai ZEE negara tersebut. Pelebaran wilayah

maritim oleh Timor Leste ini diduga kuat merupakan skenario untuk melemahkan

posisi tawar Indonesia dalam memperoleh hak eksplorasi migas khususnya di

sumur Laminaria dan Bayu-Undan yang masih berada didalam perairan

Indonesia.

Penentuan batas wilayah maritim RI – Timor Leste ini juga telah terkait

dengan ditentukannya Titik Dasar (base point) baru di pulau-pulau sebelah Utara

Timor yakni Pulau alor, Pulau Wetar, Pulau Kisar dan Pulau Serwatu melalui

Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2008. Dengan belum disepakatinya batas

wilayah maritim menyebabkan timbulnya peristiwa-peristiwa yang mengganggu

hubungan Indonesia dengan Timor Leste terhadap nelayan Indonesia yang tidak

mengetahui batas wilayah RI – Timor Leste. Perbatasan maritim RI – Timor

Leste juga melibatkan Australia yakni di sekitar wilayah Celah Timor yang perlu

dilakukan secara trilateral.

3 Keadaan Demografi, Sosial, Ekonomi di Perbatasan RI – RDTL

Kehadiran garis batas negara, yang membelah Pulau Timor tidak dapat

menghapuskan realitas sosial yang sebelumnya ada. Kelompok-kelompok sosial

yang berada di antara garis batas tetap merupakan komunitas sosial-budaya yang

tersendiri. Pandangan di masa lalu bahwa kawasan perbatasan merupakan

kawasan yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian

para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih

mengutamakan pada pendekatan keamanan daripada kesejahteraan.

Konsekuensinya, hingga saat ini kawasan perbatasan di Indonesia merupakan

kawasan tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih

16

Page 17: Buku Kajian RI -RDTL Final

sangat terbatas. Kawasan perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh

oleh dinamika pembangunan dan masyarakatnya menjadi miskin.

Kondisi demikian menyebabkan secara ekonomi wilayah ini lebih berorientasi

kepada negara tetangga. Realitas ini terlihat sangat nyata dalam kasus perbatasan

Indonesia-Malaysia, dimana negara membangun pusat-pusat pertumbuhan di

koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang

telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya.

Dalam kasus perbatasan Indonesia-Timor Leste, kondisi demikian terjadi

sebaliknya, dimana penduduk Timor Leste lebih berorientasi ke lndonesia. Kondisi

bukan karena wilayah perbatasan Indonesia telah dibangun sarana dan prasarana

ekonomi dan sosial, namun lebih karena Timor Leste merupakan negara baru yang

tergolong miskin. Kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia juga tidak jauh lebih

maju daripada masyarakat di seberang, tetapi setidaknya masih terjangkau oleh

aliran pengiriman bahan dan barang makanan pokok dari pusat.

Di wilayah perbatasan, kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia relatif lebih

baik. Kegiatan perdagangan yang terjadi di kawasan ini lebih banyak diwarnai oleh

penjualan barang dan jasa dari Indonesia kepada penduduk Timor Leste dengan

nilai jual yang relatif tinggi. Dalarn jangka panjang, dimungkinkan terjadinya

kebangkitan ekonomi Timor Leste karena adanya dukungan potensi dari sektor

migas dan dukungan politik yang kuat dari beberapa negara maju.

Penduduk NTT yang telah berasimilasi dengan penduduk Timor Timur sejak

masa penjajahan kolonial Belanda dan Portugis. Selama masa itu, telah terjalin

hubungan kekerabatan dan emosional yang cukup erat di antara kedua masyarakat.

Letak geografis membawa konsekuensi yakni di tapal batas terjadi interaksi sosial

antara rakyat Indonesia dengan rakyat Timor Leste. Kedua rakyat diperbatasan ini

17

Page 18: Buku Kajian RI -RDTL Final

memiliki akar budaya dan agama yang sama, dan terikat dalam hubungan

genealogis yang kental.

Wilayah perbatasan di NTT dikenal sebagai daerah bergizi buruk, tingkat

kesejahteraan yang rendah, derajat kesehatan yang memprihatinkan, dan mayoritas

penduduknya putus atau hanya tamat sekolah dasar. Untuk bidang kesehatan di

wilayah perbatasan Rl-Timor Leste dan bidang pendidikan juga kurang mendapat

dukungan sarana dan prasarana dari pemerintah

Dalam kondisi kurangnya pemerataan pernbangunan ke perbatasan, kondisi

ekonomi masyarakat Indonesia di perbatasan cukup memprihatinkan. Walaupun

masyarakat Timor Leste di perbatasan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih

buruk, kondisi ini menggambarkan pentingnya peningkatan perhatian pemerintah

terhadap wilayah-wilayah perbatasan. Ditambah dengan terbatasnya sarana dan

prasarana (infrastruktur ekonomi) dan sistem transportasi, komunikasi dan akses

informasi, masyarakat di perbatasan mengalami keterbeIakangan dan

keterisolasian. Kesenjangan antar masyarakat kedua negara di perbatasan telah

mendorong munculnya aktivitas ekonomi secara ilegal berupa penyelundupan bahan

makanan dan BBM, dari wilayah NTT ke Oekussi.

Sumber mata pencaharian utama masyarakat di kawasan perbatasan adalah

kegiatan pertanian lahan kering yang sangat tergantung pada hujan. Kondisi ma~

syarakat di wilayah Indonesia ini saat ini pada umumnya bahkan masih relatif lebih

baik dari masyarakat Timor Leste yang tinggal di sekitar perbatasan. Akan tetapi,

kawasan perbatasan di NTT khususnya di lima kecamatan yang berbatasan

langsung dengan Timor Leste maupun daerah NTT secara keseluruhan

perlu .diperhatikan secara khusus karena dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan

18

Page 19: Buku Kajian RI -RDTL Final

yang cukup tajam antara masyarakat NTT di perbatasan dengan masyarakat Timor

Leste, khususnya penduduk Belu yang sebagian besar masih miskin.

Kondisi alam Provinsi NTT yang kurang menguntungkan menyebabkan potensi

sumberdaya alam dan kondisi lahan disekitar perbatasan tergolong kurang bagi

pengembangan pertanian. Selain ini, hutan di sekitar wilayah perbatasan bukan

merupakan hutan produksi atau konversi serta hutan lindung atau taman nasional

yang perlu dilindungi. Oleh karena itu, tidak aneh bila penduduk di perbatasan lebih

banyak memilih beternak sebagai mata pencaharian utama.

Rendahnya pengembangan potensi ekonomi di wilayah perbatasan, secara tidak

langsung memang disebabkan oleh rendahnya kapasitas masyarakat untuk

membangun daerahnya. Akan tetapi, perhatian pemerintah menjadi faktor

menentukan yang mendorong terciptanya kondisi ini.. Akibatnya, interaksi antar

masyarakat yang berseberangan cukup tinggi, walaupun sesungguhnya tidak

disebabkan oleh faktor ekonomi, melainkan juga didorong oleh faktor sosial-budaya.

Demi mempertahankan hidup dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar (basic

needs), menyebabkan kontak-kontak ekonomi yang mengabaikan batas-batas politik

yang berlaku di perbatasan. Kecenderungan ini tidak hanya berimplikasi terhadap

stabilitas keamanan di wilayah perbatasan. tetapi juga mempengaruhi situasi politik

di wilayah-wilayah sekitarnya.

Secara faktual, aktivitas-aktivitas masyarakat ini juga disebabkan oleh lemahnya

kemampuan pengawasan dan pengamanan wilayah perbatasan, termasuk kurang

efektifnya sistem pengaturan yang berlaku saat ini, seperti dalam pengurusan visa

yang membutuhkan proses yang cukup lama dan mahalnya biaya pengurusannya.

Selain masalah ekonomi, permasalahan di perbatasan lndonesia-Timor Leste

yang menonjol, yang bila tidak ditangani secara tepat dapat membawa konsekuensi

19

Page 20: Buku Kajian RI -RDTL Final

besarnya perhatian masyarakat internasional terhadap Indonesia adalah

penanganan pengungsi-pengungsi eks-Timor Timur. Kehadiran pengungsi eks

Timtim tidak dapat dihindari merupakan faktor menentukan yang mempengaruhi

suhu politik dan keamanan di perbatasan. Sejak Timor Leste merdeka, antara

pengungsi tersebut dengan masyarakat Timor Leste yang merupakan kelompok

pro-kemerdekaan kerapkali terjadi perselisihan yang tidak dapat dipungkiri

dipengaruhi oleh perasaan dendam.

20