buku e jurnal vol 1

192
Diterbitkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan ISSN 2089-

Upload: bhagaskoro-kurniawan

Post on 05-Dec-2014

4.738 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Buku e jurnal vol 1

Diterbitkan Oleh :Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

e- JURNALPENDIDIKA

N

Vol. 1 No. I Hlm. 1-66

GresikJuni -

Nopember

ISSN

Universitas Gresik

ISSN 2089-4554

Page 2: Buku e jurnal vol 1

e- JURNAL JENDELA PENDIDIKAN

JURNAL ILMIAH KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

Di Terbitkan oleh :

Ketua PenyutingRektor Universitas Gresik

Wakil PenyutingDekan FKIP

Penyuting PelaksanaDra. Eka Sri Rahayu, M.Pd

Dra. Adrijanti, M.PdEtiyasningsih, S.Pd., M.Pd

Sri Sundari, S.Pd.,M.PdDrs. Agus Tri Sulaksono, M.Pd

Penyuting AhliProf. Dr. H. Sukiyat.SH.,M.Si

Dra. Hj. Bariroh, M.PdDrs. Syaiful Khafid, M.Pd

Mitra BestariProf. Dr. Marhamah, M.Pd (Universitas Islam Jakarta)

Prof. Dr. Willem Mantja, M.Pd (Universitas Negeri Malang)Prof. Dr. H. Sukiyat, SH.,M.Si (Universitas Gresik )

PelaksanaAhmad Faizin, SS

Alamat Penerbit/RedaksiKampus Universitas Gresik

Jl. Arif Rahman Hakim No. 2B GresikTelp /Fax (031) 3978628

Page 3: Buku e jurnal vol 1

Terbit dua kali setahun pada bulan Juni dan Nopember . Berisi tulisan yang diangkat dari hasil penelitian dan kajian analitis-kritis di bidang administrasi pendidikan

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat dan hidayah, sehingga Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bisa

hadir di kalangan pendidikan.

Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik ( e-Journal) akan mendampingi Jurnal

Jendela Pendidikan versi cetak yang lebih dulu hadir, Jurnal Jendela Pendidikan

ini berisi tentang sejumlah artikel penelitian baik artikel bersifat empiris atau

laporan penelitian maupun artikel yang bersifat kajian teori atau artikel

konseptual. Penulis artikel berasal dari kalangan akademisi atau dosen di

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gresik yang akan dipublish

pada para pemangku pendidikan dan masyarakat luas khususnya para pemerhati

pendidikan. Hal ini sesuai dengan misi utama keberadaan e-Journal Pendidikan

sebagai media komunikasi dan informasi yang bersifat ilmiah.

Kami berharap partisipasi berbagai kalangan baik akademisi, praktisi,

maupun birokrasi untuk menulis dalam jurnal ini, sehingga berbagai temuan,

pemikiran dan ide serta gagasan dapat terkomunikasi dalam jurnal ini semoga

terbitan pertama Jurnal Jendela Pendidikan versi elektronik bermanfaat bagi kita

semua.

Gresik, Desember 2011

Tim Redaksi

Page 4: Buku e jurnal vol 1

DAFTAR ARTIKEL

SUPERVISI PENGAJARAN SEBAGAI PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU 1 - 09 Rochmanu Fauzi

PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI SISWA PADA BIDANG STUDI BAHASA INDONESIA DI SDN BANGSAL SURABAYA 10 - 18Etiyasningsih

PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DAN GAYA KOGNITIF TERHADAP

PEMAHAMAN UNIFLYING GEOGRAPHY 19-29

Syaiful Khafid

IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL FUTUHIYAH GENDONGKULON BABAT LAMONGAN 30-38 Sri Sundari

PENDIDIKAN KARAKTER : WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA 39 - 59

Soesetijo

PENGARUH DISIPLIN GURU TERHADAP PRESTASI SISWA DI SDN BANJARSARI GRESIK 60 - 78Etiyasningsih

STUDI TENTANG PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAAN PROSES BELAJAR MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO SURABAYA 79 - 87 Sri Sundari

TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA (EDUCATION FOR ALL)DALAM KONTEKS

ISSN 2089-4554

Page 5: Buku e jurnal vol 1

MANAJEMEN PENDIDIKAN 88 - 106

Soesetijo

e-Jurnal JENDELA

PENDIDIKAN

Vol. 01

No.01

Hlm. 1-106

GresikJuni -

Nopember

ISSN2089-4554

Page 6: Buku e jurnal vol 1

Supervisi Pengajaran sebagai Pembinaan Profesionalisme Guru

Oleh Rochmanu Fauzi

Abstrak

supervisi pengajaran adalah untuk meningkatkan kemampuan dan

keterampilan guru dalam melaksanakan tugas pokoknya sehari-hari yaitu

mengajar. Ada tiga pendekatan dalam supervisi pengajaran, yaitu (1)

pendekatan langsung, (2) pendekatan tidak langsung, dan (3) kolaboratif.

Teknik-teknik supervisi pengajaran yang paling bermanfaat adalah

kunjungan kelas, pembicaraan individual, Diskusi kelompok, demonstrasi

mengajar, dan sebagainya. Para guru lebih menghargai supervisor yang

hangat dan menghargai guru. Dalam praktiknya supervisi pengajaran

masih berorientasi pada aspek administratif saja. Berdasarkan uraian

tersebut disarankan para supervisor perlu ada penyegaran secara rutin,

dalam pelaksanaan supervisi pengajaran para supervisor sebaiknya

menggunakan pendekatan supervisi klinis, perlu ada pertemuan seusai

supervisi yang telah dilakukan oleh Kepala Sekolah atau Pengawas

Sekolah, sebagai upaya untuk tindak lanjut setelah pelaksanaan supervisi

dilaksanakan.

Kata kunci: mutu pendidikan, supervisi pengajaran.

Page 7: Buku e jurnal vol 1
Page 8: Buku e jurnal vol 1

Cara hidup suatu bangsa sangal

erat kaitannya dengan tingkat

pendidikannya, Pendidikan bukan

hanya sekedar melestaiikan

kebudayaan dan meneruskan dari

generasi ke generasi. Akan tetapi

juga diharapkan akan dapat

mengubah dan mengembangkan

pengetahuan.

Sementara itu, salah satu

fenomena di bidang pendidikan

yang banyak disoroti oleh para

pemerhati, cendekiawan maupun

masyarakat pada umumnya adalah

masalah mutu pendidikan.

Membahas masalah mutu

pendidikan, sebenarnya

membahas masalah yang sangat

kompleks. Oleh karena masalah

mutu pendidikan selalu kait-

mengkait dengan indikator-

indikator lainnya. Salah satu

instrumen yang dianggap cukup

efektif untuk meningkatkan mutu

pendidikan adalah dengan

supervisi pengajaran oleh Kepala

Sekolah maupun Pengawas.

Untuk itu perlu adanya

pergeseran dari paradigma lama

menuju ke paradigma yang baru.

Paradigma baru manajemen

pendidikan tinggi, terdiri dari

akreditasi, akuntabilitas,

evaluasi, otonomi dan mutu.

Kelima paradigma baru

pendidikan tersebut saling terkait

satu sama lain dan seyogyanya ini

dijadikan acuan dalam proses

peningkatan mutu pendidikan.

Oleh karena itu, mutu sebagai

salah satu paradigma yang harus

ditata secara terus menerus dan

berkelanjutan. Menurut Mastuhu

(2003) dalam pengelolaan suatu

unit pendidikan, mutu dapat

dilihat dari "masukan", "proses",

dan "hasil".

Permasalahan pendidikan

yang diidentifikasi (Depdikbud,

1983), sampai saat ini,

formulasinya tetap sama, yaitu

masalah (1) masalah kuantitatif,

(2) masalah kualitatif, (3) masalah

relevansi, (4) masalah efisiensi,

(5) masalah efektivitas, dan (6)

masalah khusus.

Uraian secara singkat

masalah-masalah tersebut adalah

sebagai berikut ini.

1.Masalah Kuantitatif

Masalah kuantitatif adalah

masalah yang timbul sebagai

akibat hubungan antara

pertumbuhan sistem pendidikan

pada satu pihak dan pertumbuhan

penduduk Indonesia pada pihak

lain. Untuk mengatasi masalah ini

perlu adanya suatu sistem

pendidikan nasional yang

memungkinkan setiap warga

ncgara Indonesia memperoleh

Page 9: Buku e jurnal vol 1

pendidikan yang layak sebagai

bekal dasar kehidupannya sebagai

warga negara. Dalam rangka

pemerataan pendidikan ini, perlu

dilaksanakan kewajiban belajar

dengan segala konsekuensinya

dalam bidang pembiayaan,

ketenagaan, dan peralatan.

2.Masalah kualitatif

Masalah kualitatif adalah

masalah bagaimana peningkatan

kualitas sumber daya manusia

Indonesia gara bangsa Indonesia

dapat meinpertahankan

eksistcnsinya. Dalam masalah ini

tercakup pula masalah

ketinggalan bangsa Indonesia dan

perkembangan modern. Ditinjau

dari latar bclakang ini, masalah

kualitas pendidikan merupakan

masalah yang memprihatinkan

dalam rangka kelangsungan hidup

bangsa dan negara. Dalam sistem

pendidikan ini sendiri, masalah

kualitas menyangkut

banyak hal, antara lain

kualitas calon anak didik, guru

dan tenaga kependidikan lainnya,

prasarana, dan sarana.

Penanganan aspek kualitatif ini

berhubungan erat dengan

penanganan aspek kuantitatif

sehingga perlu sekali adanya

keseimbangan yang dinamis dalam

proses pengembangan pendidikan

nasional, sehingga peningkatan

kualitas tidak sampai menghambat

peningkatan kuantitas dan

sebaliknya.

3.Masalah relevansi

Masalah relevansi adalah

masalah yang timbul dari

hubungan antara sistem

pendidikan dan pembangunan

nasional serta antara kepentingan

perorangan, keluarga, dan

masyarakat, baik dalam jangka

pendek maupun dalam jangka

panjang. Hal ini meminta adanya

keterpaduan di dalam

perencanaan dan pelaksanaan

pembangunan nasional agar

pendidikan merupakan wahana

penunjang yang efektif bagi

proses pembangunan dan

ketahanan nasional. Masalah ini

dengan sendirinya mempunyai

kaitan pula dengan masalah pokok

di dalam pembangunan nasional,

seperti masalah tata nilai,

industri. pembangunan pertanian,

perencanaan tenaga kerja, dan

pertumbuhan wilayah.

4.Masalah efisiensi

Masalah efisiensi pada

hakikatnya adalah masalah

pengelolaan pendidikan nasional.

Adanya keterbalasan dana dan

daya manusia sungguh-sungguh

memerlukan adanya sistem

Page 10: Buku e jurnal vol 1

pengelolaan efisien dan terpadu.

Keterpaduan pengelolaan tidak

hanya tercermin di dalam

hubungan antara negeri dan

swasta, antara pendidikan sekolah

dan pendidikan luar sekolah,

antara departemen yang satu dan

departemen yang lain, di dalam

lingkungan jajaran Departemen

Pendidikan Nasional sendiri,

tetapi juga di antara semua unsur

dan unit lersebut.

5.Masalah efektifitas

Masalah efektifitas adalah

masalah yang menyangkut

keampuhan pelaksanaan

pendidikan nasional. Dalam

hubungan dengan permasalahan

keseimbangan yang dinamis

antara kualitas dan kuantitas, di

samping keterbalasan sumber

dana dan tenaga, efektivitas

proses pendidikan amat penting.

Hal ini berkaitan dengan

kurikulum, termasuk aspek

metodologi dan evaluasi, serta

masalah guru, pengawas, dan

masukan instrumental lainnya.

6. Masalah khusus

Di samping masalah-masalah

umum yang telah dibicarakan di

atas, perlu dibicarakan pula

beberapa masalah khusus sebagai

berikut. Guru sebagai pelaksana

pendidikan faktor kunci di dalam

pelaksanaan sistem pendidikan

nasional. Masalah guru

menyangkut soal pengadaan di

lembaga-lembaga pendidikan

guru, pembinaan sistem karir dan

prestasi kerja, pengangkatan,

pemerataan dan penyebaran

menurut wilayah dan bidang studi,

pembinaan karir dan prestasi,

status, dan kesejahteraan.

Masalah yang kompleks ini

menyangkut banyak lembaga dan

unit serta koordinasi dan

kerjasama antara lembaga dan

unit tersebut.

Esensi dari permasalahan-

permasalahan pendidikan pada

hakekatnya adalah bermuara pada

satu istilah yaitu kualitas

pendidikan atau mutu pendidikan.

Mastuhu (2003) mengemukakan

bahwa kata kunci untuk

menggambarkan Sistem

Pendidikan Nasional yang

bagaimana yang diperlukan dalam

abad-abad mendatang ialah

pendidikan yang bermutu.

Selanjutnya, Mastuhu mengatakan

bahwa mutu (quality) merupakan

suatu istilah yang dinamis yang

turus bergerak; jika bergerak

maju dikatakan mutunya

bertambah baik, sebaliknya jika

bergerak mundur dikatakan

mutunya merosot. Mutu dapat

berarti superiority atau

Page 11: Buku e jurnal vol 1

excellence yaitu melebihi standar

umum yang berlaku. Sedangkan

sesuatu dikatakan bermutu jika

terdapat kecocokan antara syarat-

syarat yang dimiliki oleh benda

yang dikehendaki dengan maksud

dari orang yang menghendakinya

(Idrus, dkk., 2002).

Dalam pengelolaan suatu

unit pendidikan, mutu dapat

dilihat dari: "masukan", "proses",

dan "hasil". 'Masukan" meliputi:

siswa. Tenaga pengajar,

administrator, dana, sarana,

prasarana, kurikulum, buku-buku

perpustakaan, laboratorium, dan

alat-alat pembelajaran, baik

perangkat keras maupun

perangkat lunak. "Proses"

meliputi, pengelolaan lembaga,

pengelolaan program studi,

pengelolaan program studi.

pengelolaan kegiatan belajar-

mengajar, interaksi akademik

antara civitas akademika, seminar

dialog, penelitian, wisata ilmiah,

evaluasi dan akreditasi.

Sedangkan "hasil": meliputi

lulusan. penerbitan-penerbitan,

temuan-temuan ilmiah, dan hasil-

hasil kinerja lainnya.

Ketiga unsur di atas (input,

proses, dan output) terus

berproses atau berubah-ubah.

Oleh karena itu, pengelola unit

pendidikan atau sekolah perlu

menetapkan patokan atau

benchmark, yaitu standar target

yang harus dicapai dalam suatu

periode waktu tertentu dan terus

berusaha melampuinya. Seperti

dikemukakan oleh Watson (dalam

Taroeratjeka, 2000) bahwa suatu

upaya pencarian mutu secara

terus-menerus demi mendapatkan

cara kerja yang lebih baik agar

mampu tampil bersaing melampui

standar umum.

Menurut Supriadi (2000)

kita tidak perlu dipusingkan oleh

pertanyaan-pertanyaan mengenai

validitas metodologisnya atau

berusaha mencari excuse apabila

ternyata ada hasil-hasil studi yang

tidak sesuai dengan harapan kita.

Sikap optimis perlu untuk

dikembangkan bagi pendidikan di

Indonesia, walaupun hasil

surveinya tidak menyenangkan

sesuai dengan yang diharapkan.

langkah selanjutnya membuat visi

ke depan untuk meningkatkan

kualitas manajemen pendidikan.

Suatu saran yang

dikemukakan oleh Supriadi dalam

menghadapi permasalahan

rendahnya kualitas pendidikan di

Indonesia adalah memiliki visi

global dan kehendak untuk

bersaing secara internasional,

maka insan pendidikan mulai para

pengajar dan peneliti di lembaga

Page 12: Buku e jurnal vol 1

pendidikan tenaga kependidikan

di perguruan tinggi dan pengambil

keputusan dituntut untuk

membuka wacana terhadap studi-

studi internasional.

KONSEP DASAK SUPERVISI

PENGAJARAIN DI SEKOLAH

Di antara masalah-masalah

pendidikan yang sedang mendapat

pcrhatian pemerintuh salah

salunya adalah puningkatan mutu

pendidikan (Benly, IW2). Dalam

PROPENAS (2002) dijelaskan

bahwa sampai dengan awal abad

ke-21 pembangunan pendidikan

masih menghadapi krisis ekonomi

berbagai bidang kcliidupan.

Walaupun sejak tahun 2000,

ekonomi Indonesia telah mulai

tumbuh positif (4,8 persen), akibat

krisis dalam kehidupan sosial,

politik dan kepercayaan

dikawatirkan masih akan memberi

yang kurang menguntungkan

terutama bagi upaya peningkatan

kualitas SDM. Program

peningkatan mutu pendidikan di

sekolah dasar dapat dicapai

manakala proses belajar mengajar

dapat berlangsung dengan baik.

berdayaguna dan berhasil guna.

Dalam mengkaji risalah

mutu pendidikan, tidak dapat

lepas dari penyelenggaraan sistem

pendidikan. Dari berbagai faktor

penyebab rendahnya mutu

pendidikan, ditinjau dari aspek

manajemen pendidikan dapat

dikelompokkan ke dalam tiga

faktor, yaitu: (a) faktor

instrumental sistem pendidikan,

(b) faktor sistem manajemen

pendidikan, termasuk di dalamnya

sistem pembinaan profesional

guru, dan (c) faktor substansi

manajemen pendidikan (Mantja,

1998). Untuk dapat melaksanakan

pembinaan terhadap guru agar

lebih profesional, maka instrumen

yang sangat relevan dan tepat

adalah dengan melalui supervisi

pengajaran. Oleh karena supervisi

pengajaran pada hakikatnya

adalah untuk meningkatkan

kemampuan dan keterampilan

guru dalam melaksanakan tugas

pokoknya sehari-hari yaitu

mengajar para peserta didik di

kelas.

Dari berbagai kajian

mengenai rumusan definisi

mengenai supervisi, Mantja (1998)

menuliskan formulasi tentang

supervisi pengajaran adalah

semua usaha yang sifatnya

membantu guru atau melayani

guru agar ia dapat memperbaiki,

mengembangkan, dan bahkan

meningkatkan pengajarannya,

serta dapat pula menyediakan

kondisi belajar murid yang efek'if

dan efisien demi pertumbuhan

Page 13: Buku e jurnal vol 1

jabatannya untuk mencapai tujuan

pendidikan dan meningkatkan

mutu pendidikan. Definisi yang

dirumuskan oleh Mantja ini sudah

mewakili konsep supervisi

pengajaran.

Apabila dikaji dari tujuannya

supervisi pada hakikatnya adalah

untuk membantu guru untuk

meningkatkan kualitas proses

belajar mengajarnya.

Harsosandjojo (1999)

mengemukakan tujuan supervisi

yaitu membantu guru dalam hal

(1) membimbing pengalaman

belajar sisvva, (2) menggunakan

sumber-sumber pengalaman

belajar, (3) menggunakan metode-

metode yang baru dan alat-alal

pelajaran modern, (4) memenuhi

kebutuhan belajar para siswa, (5)

menilai proses pembelajaran dan

hasil belajar siswa, (6) mcmbina

reaksi mental atau moral kerja

guru-guru dalam rangka

pertumbuhan pribadi dan jabatan

mereka, (7) melihat dengan jelas

tujuan-tujuan pendidikan, dan (8)

mengguaakan waktu dan tenaga

mereka dalam pembinaan sekolah.

Tujuan supervisi ini pada akhirnya

adalah ditujukan untuk

meningkatkan kualitas para siswa.

Hal ini sebagaimana dikemukakan

oleh Sergiovanni (1983) bahwa

tujuan supervisi ialah (1) tujuan

akhir adalah untuk mencapai

pertumbuhan dan perkembangan

para siswa (yang bersifat total).

Dengan demikian sekaligus akan

dapat memperbaiki masyarakat,

(2) tujuan kedua ialah membantu

kepala sekolah dalam

menyesuaikan program

pendidikan dari waktu ke waktu

secara kontinyu (dalam rangka

menghadapi tantangan perubahan

zaman), (3) tujuan dekat ialah

bekerjasama mengembangkan

proses belajar mengajar yang

tepat. Tujuan tersebut ditambah

dengan (4) tujuan perantara ialah

membina guru-guru agar dapat

mendidik para siswa dengan baik,

atau menegakkan disiplin kerja

secara manusiawi.

Dalam kaitannya dengan

tugas-tugas supervisor, secara

lebih khusus Nurtain (1989)

membagi 10 (sepuluh) bidang

tugas supervisor yang dirinci

sebagai berikut ini. Tugas

I , pengembangan kurikulum.

Tugas 2, pengorganisasian

pengajaran. Tujuan 3, pengadaan

staf. Tugas 4, penyediaan

fasilitas. Tugas 5, pcnycdiaan

bahan-bahan. Tugas 6,

penyusunan penataran

pendidikan. Tugas 7, pemberian

orientasi anggota-anggota staf.

Tugas 8, berkaitan dengan

Page 14: Buku e jurnal vol 1

pelayanan murid khusus. Tugas 9,

pengembangan hubungan

masyarakat. Dan yang terakhir

tugas 10, penilaian pengajaran.

Mengkaji tugas-tugas

supervisi pengajaran tersebut di

atas, dapat ditelaah dari tujuan

supervisi pengajaran itu sendiri.

Sesuai dengan fungsi pokok

supervisi, yaitu memperbaiki dan

mengembangkan situasi belajar

mengajar dalam rangka mencapai

tujuan pendidikan nasional, maka

tujuan supervisi pendidikan

mencakup tujuan dasar, tujuan

umum dan tujuan khusus.

Tujuan dasar supervisi

pendidikan, adalah membantu

tercapainya tujuan pendidikan

nasional dan tujuan pendidikan

institusional. Tujuan pendidikan

nasional secara rinci dan jelas

dirumuskan dalam GBHN.

Sedangkan tujuan institusional

dapat dilihat di dalam kurikulum

yang memuat landasan, program

dan pengembangan.

Tujuan umum supervisi

pendidikan, adalah membantu

memperbaiki dan

mengembangkan administrasi

pendidikan. Administrasi yang

dimaksud adalah meliputi baik

administrasi sebagai substansi

maupun administrasi sebagai

proses.

Administrasi sebagai

substansi meliputi hal-hal sebagai

berikut: (1) administrasi

kesiswaan, (2) administrasi

ketenagaan, (3) administrasi

kurikulum, (4) administrasi

keuangan, (5) administrasi

sarana/prasarana, dan (6)

administrasi hubungan

masyarakat. Sedangkan

administrasi sebagai proses

meliputi hal-hal terkait dengan

unsur-unsur manajemen, antara

lain (1) kegiatan perencanaan

(planning), (2) kegiatan

pengorganisasian (organizing), (3)

kegiatan pengarahan (actuating)

yang meliputi kegiatan

pengarahan (directing) dan

kegiatan pengkoordinasian

(coordinating), dan (4) kegiatan

pengawasan (controlling).

Berdasarkan uraian tersebut

di atas, dapat dikemukakan bahwa

untuk meningkatkan kualitas

belajar mengajar, guru adalah

faktor sentral yang perlu

mendapatkan perhatian secara

optimal. Media untuk

meningkatkan profesionalisme

guru adalah melalui supervisi

pengajaran. Supervisi pengajaran

pada hakikatnya adalah ditujukan

untuk meningkatkan kualitas

pembelajaran yang dilakukan oleh

guru di kelas, sehingga tujuan

Page 15: Buku e jurnal vol 1

akhirnya adalah kualitas hash

belajar siswa dapat ditingkatkan

secara optimal.

SUPERVISI PENGAJARAN

Dalam pemakaiannya secara

umum supervisi diberi arti sama

dengan director, manager. Dalam

bahasa umum ini ada

kecenderungan untuk membatasi

pemakaian istilah supervisor

kepada orang-orang yang berada

dalam kedudukan yang lebih

bawah dalam hicrarkhi

manajemen.

Dalam sistem sekolah,

khususnya dalam sistem sckolah

yang ialah berkembang, situasinya

agak lain. Dalam Good (1976)

supervisi didefinisikan sebagai

segala usaha dari para pejabat

sekolah yang diangkat yang

diarahkan kepada penyediaan

kepemimpinan bagi para guru dan

tenaga kependidikan lain dalam

perbaikan pengajaran, melihat

stimulasi pertumbuhan

professional dan perkembangan

dari para guru, seleksi dan revisi

tujuan-tujuan peudidikan, bahan

pengajaran, dan metoda-metoda

mengajar, dan evaluasi

pengajaran.

Wiles (1982) menjelaskan bahwa

supervisi sebagai bantuan dalam

pengembangan situasi belajar-

mengajar yang lebih baik; ia

adalah suatu kegiatan pelajaran

yang disediakan untuk membantu

para guru menjalankan pekerjaan

mereka dengan lebih baik.

Peranan supervisor adalah

mendukung, membantu, dan

membagi, bukan menyuruh. Wiles

(1982) selanjutnya mengatakan

bahwa supervisi yang baik

hendaknya mengembangkan

kepemimpinan di dalam kelompok,

membangun program latihan

dalam jabatan untuk

meningkatkan keterampilan guru,

dan membantu guru meningkatkan

kemampuannya dalam menilai

hasil pekerjaannya.

SUPERVISI PENGAJARAN

SEBAGAI PEMBINAAN

PROFESIONAL GURU

Memperhatikan penting dan

peranannya pendidikan dasar dan

menengah yang demikian besar,

maka pendidikan dasar dan

menengah harus dipersiapkan

dengan sebaik-baiknya. Oleh

karena itu, pembinaan terhadap

para guru di sekolah dasar

merupakan suatu kebutuhan yang

tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Pembinaan terhadap guru sekolah

dasar, terutama diarahkan pada

pembinaan proses belajar

mengajar. Pembinaan proses

Page 16: Buku e jurnal vol 1

belajar mengajar adalah usaha

memberi bantuan pada guru untuk

memperluas pengetahuan,

meningkatkan keterampilan

mengajar dan menumbuhkan sikap

profesional, schingga guru

menjadi lebih ahli dalam

mengelola KBM untuk

membclajarkan anak didik dalam

rangka mencapai tujuan

pembelajaran dan tujuan

pendidikan di SD (Depdikbud,

1999/2000).

Supervisi pendidikan di

sekolah dasar lebih diarahkan

untuk meningkatkan kemampuan

guru sekolah dasar dalam rangka

peningkatan kualitas proses

belajar mengajar. Supervisi ini

dapat dilakukan oleh siapa saja,

baik Kepala Sekolah maupun

Pengawas Sekolah yang bertugas

sebagai supervisor melalui

pemberian bantuan yang bercorak

pelayanan dan bimbingan

profesional, sehingga guru dapat

melaksanakan tugasnya dalam

proses belajar mengajar dengan

lebih baik dari prestasi

sebelumnya.

Supervisi pendidikan di sekolah

pada hakekatnya adalah dalam

rangka pembinaan terhadap

para guru. Adapun sasaran

pembinaannya, antara lain (1)

merencanakan kegiatan belajar

mengajar sesuai dengan

strategi belajar aktif, (2)

mengelola kegiatan belajar

mengajar yang menantang dan

menarik, (3) menilai kemajuan

anak belajar, (4) memberikan

umpan balik yang bermakna,

(5) memanfaatkan lingkungan

sebagai sumber dan media

pengajaran, (6) membimbing

dan melayani siswa yang

mengalami kesulitan belajar,

terutama bagi anak lamban dan

anak pandai, (7) mengelola

kelas sehingga tercipta

lingkungan belajar yang

menyenangkan, dan (8)

menyusun dan mengelola

catatan kemajuan anak (record

keeping) (Depdikbud,

1999/2000).

Menurut Mantja (1990)

supervisi atau pembinaan

profesional adalah bantuan atau

layanan yang diberikan kepada

guru, agar ia belajar bagaimana

mengembangkan

kemampuannya untuk

meningkatkan proses belajar-

mengajar di kelas. Supervisor

atau pembina, yaitu Pengawas

Sekolah, Kepala Sekolah, atau

semua pejabat yang terlibat

dalam layanan supervisi, adalah

pihak yang selama ini

dipandang berwewenang, dan

Page 17: Buku e jurnal vol 1

karena itu pula dianggap paling

bertanggung jawab dalam

kegiatan supervisi.

Kilas balik kaji historis

supervisi pengajaran, pada

awalnya istilah yang

dimunculkan adalah supervisi

pendidikan (Kurikulum 1975).

Kemudian. pada Kurikulum

1984 dan 1994 digunakan

istilah pembinaan profesional

guiu atau pembinaan guru

untuk jenjang sekolah dasar.

Walaupun demikian istilah

supervisi pendidikan dalam

Kurikulum SMU 1994 masih

tetap digunakan. Dengan

demikian dapat disimpulkan

bahwa kegiatan supervisi

pendidikan maupun pembinaan

profesional merupakan nama

layanan yang digunakan secara

bergantian dalam praktik

pendidikan pada sekolah-

sekolah di Indonesia.

Dengan demikian dapat

dikemukakan bahwa supervisi

(pembinaan profesional guru )

dimaksudkan untuk

meningkatkan kemampuan dan

keterampilan guru dalam

melaksanakan tugas pokoknya

sehari-hari yaitu mengelola

proses belajar-mengajar dengan

segala aspek pendukungnya

sehingga berjalan dengan baik

khususnya dalam kegiatan

belajar mengajar, sehingga

tujuan pendidikan dasar dapat

tercapai secara optimal.

Pada hakikatnya kegiatan

pembinaan menyangkut dua

belah pihak yaitu pihak yang

dilayani atau pihak yang dibina

dan pihak yang melayani atau

yang membina (Ekosusilo,

2003). Baik yang dibina maupun

pembina harus sama-sama

memiliki kemampuan yang

berkembang secara serasi

sesuai dengan kedudukan dan

peran masing-masing. Oleh

sebab itu, sasaran pembinaan

profesional ini adalah kedua

belah pihak yaitu guru sebagai

pihak yang dibina dan kepala

sekolah atau pengawas sekolah

sebagai pihak yang membina.

BEBERAPA PENDEKATAN DALAM

SUPERVISI PENDIDIKAN

Secara garis besar ada

tiga pendekatan dalam

supervisi pendidikan, yaitu (1)

pendekatan langsung (directive

approach), (2) pendekatan tidak

langsung (non directive

approach), dan (3) pendekatan

kolaboratif (collaborative

approach). Pendekatan langsung

adalah sebuah pendekatan

supervisi, di mana dalam upaya

Page 18: Buku e jurnal vol 1

peningkatan kemampuan guru

peran kepala sekolah dasar,

pengawas TK/SD, dan pembina

lainnya lebih besar dari pada

peran guru yang bersangkutan.

Pendekatan tidak langsung

adalah sebuah pendekatan

supervisi, di mana dalam upaya

peningkatan kemampuan guru

peran kepala sekolah, pengawas

TK/SD, dan Pembina lainnya

lebih kecil daripada peran guru

yang bersangkutan. Pendekatan

kolaboratif adalah sebuah

pendekatan supervisi, di mana

dalam upaya peningkatan

kemampuan guru peran kepala

sekolah, pengawas TK/SD, dan

pembina lainnya sama besarnya

dengan peran guru yang

bersangkutan.

Penggunaan pendekatan

tersebut disesuaikan dengan

dua karakteristik guru yang

akan diberi supervisi, yaitu

tingkat abstraksi guru (level of

teacher abstraction) dan tingkat

komitmen guru (level of teacher

commitment). Daya abstraksi

guru bisa tinggi, sedang, dan

bisa juga rendah. Demikian pula

dengan komitmen guru bisa

tinggi, sedang, dan rendah.

Pendekatan supervisi yang

digunakan harus disesuaikan

dengan tinggi-rendahnya daya

abstraksi dan komitmen guru

yang disupervisi.

1. Guru yang memiliki daya

abstraksi dan komitmm yang

rendah sebaiknya disupervisi

dengan pendekatan

langsung.

2. Guru yang memiliki daya

abstraksi yang rendah, tetapi

komitmennya tinggi,

sebaiknya disupervisi dengan

pendekatan kolaboiatif.

3. Guru yang memiliki daya

abstraksi yang tinggi tetapi

komitmennya rendah,

sebaiknya disupervisi dengan

pendekatan kolaboratif.

4. Guru yang memiliki daya

abstraksi dan komitmen yang

tinggi sebaiknya disupervisi

dengan pendekatan tidak

langsung (Bafadal, 2003).

TEKNIK-TEKNIK SUPERVISI

Bagaimana Kepala Sekolah

dalam mensupervisi para

guru ?. Dalam konteks ini, maka

Kepala Sekolah perlu mengenal

dan mempraktekkan teknik-

teknik supervisi pendidikan

yang lazim digunakan dalam

pelaksanaan supervisi

pengajaran. Ada tersedia

sejumlah teknik supervisi yang

dipandang bermanlaat untuk

merangsang dan mengarahkan

Page 19: Buku e jurnal vol 1

perhatian guru-guru terhadap

kurikulum dan pengajaran,

untuk mengidentifikasi

masalah-masalah yang bertalian

dengan mengajar dan belajar,

dan untuk menganalisis kondisi-

kondisi yang mengelilingi

mengajar dan belajar. Yang

berikut ini pada umumnya

dipandang teknik yang paling

bermanfaat bagi supervisi.

1. Kunjungan kolas.

Kunjungan kelas (sering

disebut kunjungan supervisi)

yang dilakukan kepala sekolah

(atau pengawas/penilik) adalah

teknik paling efektif untuk

mengamati guru bekerja, alat,

metode, dan teknik mengajar

tertentu yang dipakainya, dan

untuk mem-pelajari situasi

belajar secara keseluruhan

dengan memperhatikan semua

faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan murid. Dengan

menggunakan hasil analisis

observasinya, ia bersama

dengan guru dapat menyusun

suatu program yang baik untuk

memperbaiki kondisi yang

melingkari mengajar-belajar d i

kelas tertentu. Sudan tentu,

kunjungan kelas, agar efektif,

hendaknya dipersiapkan dengan

teliti dan dilaksanakan dengan

sangat berhati-hati dengan

disertai budi bahasa yang baik

pula.

Pada umumnya kunjungan kelas

hendaknya diikuti oleh

pembicaraan individual antara

kepada sekolah dengan guru.

2. Pembicaraan individual

Pembicaraan individual

merupakan teknik supervisi yang

sangat penting karena

kesempatan yang diciptakannya

bagi kepala sekolah

(pengawas/penilik) untuk bekerja

secara individual dengan guru

sehubungan dengan masalah-

masalah profesional pribadinya.

Masalah-masalah yang mungkin

dipecahkan melalui pembicaraan

individual bisa macam-macam:

masalah-masalah yang bertalian

dengan mengajar, dengan

kebutuhan yang dirasakan oleh

guru, dengan pilihan dan

pemakaian alat pengajaran, teknik

dan prosedur, atau bahkan

masalah-masalah yang oleh kepala

sekolah dipandang perlu untuk

dimintakan pendapat guru.

Apapun yang dijadikan pokok

pembicaraan, ia mewakili teknik

yang sangat baik untuk membantu

guru mengembangkan arah diri

dan tumbuh dalam pekerjaan.

3. Diskusi Kclompok

Page 20: Buku e jurnal vol 1

Dengan diskusi kelompok

(atau sering pula disebut

pertemuan kelompok) dimaksud

sualu kegiatan dimana

sekelompok orang berkumpul

dalam situasi bcrlatap muka dan

melalui interaksi lisan bertukar

informasi atau berusaha untuk

mencapai suatu keputusan

tentang masalah-masalah

bersama. Kegiatan diskusi ini

dapal mengambil beberapa bentuk

pertemuan staf pengajar, seperti:

diskusi panel, seminar, lokakarya,

konperensi, kelompok studi,

pekerjaan komisi, dan kegiatan

lain yang bertujuan untuk

bersama-sama membicarakan dan

menilai masalah-masalah tentang

pendidikan dan pengajaran.

Pertemuan-pertemuan serupa ini

dipadang suatu kegiatan yang

begitu penting dalam program

supervisi modern, sehingga guru

sebenarnya hidup dalam suasana

pelbagai jenis pertemuan

kelompok.

4. Demonstrasi mengajar

Demonstrasi mengajar

merupakan teknik yang berharga

pula. Rencana demonstrasi yang

telah disusun dengan teliti dan

dicetak lebih dulu, dengan

menekankan pada hal-hal yang

dianggap penting atau pada nilai

teknik mengajar

tertentu, akan sangat membantu.

Pembicaraan sehabis demonstrasi

bisa menjelaskan banyak aspek.

Suatu analisis observasi adalah

perlu.

5. Kunjungan kelas antar guru

Sejumlah studi telah

mengungkapkan bahwa kunjungan

kelas yang dilakukan guru-guru di

antara mereka sendiri adalah

efektif dan disukai. Kunjungan ini

biasanya direncanakan atas

permintaan guru-guru. Teknik ini

akan lebih efektif lagi jika tiap

observasi diikuti oleh suatu

analisis yang berhati-hati.

6. Pengembangan kurikulum

Perencanaan penyesuaian

dan pengembangan kurikulum

menyediakan kesempatan yang

sangat baik bagi partisipasi guru.

Pentingnya relevansi kurikulum

dengan kebutuhan murid dan

masyarakat bagi pemeliharaan

dan peningkatan kualitas

pendidikan di negara kita diakui.

Page 21: Buku e jurnal vol 1

Tetapi dalam prakteknya, sekolah-

sekolah secara individual tidak

banyak melakukan usaha untuk

menyesuaikan dan

mengembangkan kurikulum

standar itu dengan kebutuhan

murid dan masyarakat terus

berubah. Terserah kepada kepala

sekolah untuk menciptakan

perhatian dan keinginan bagi

pekerjaan penting dan terus-

menerus itu. Penyesuaian dan

pengembangan kurikulum

dilakukan di sekolah dengan

mengembangkan materi muatan

lokal. Muatan lokal ini sesuai

dengan potensi lingkungan sekitar

sekolah.

6. Buletin supervisi

Buletin supervisi merupakan

alat komunikasi yang efektif. Ia

bisa berisi pengumuman-

pengumuman, ikhtisar tentang

penelitian-penelitian, analisis

presentasi dalam pertemuan-

pertemuan organisasi

professional, dan perkembangan

dalam berbagai bidang studi.

7. Perpustakaan Profesional

Perpustakaan professional

sekolah merupakan sumber

informasi yang sangat membantu

kepada peitumbuhan professional

personil pengajar di sekolah.

Perpustakaan professional

menyediakan tidak saja suatu

sumber informasi, tapi ia juga

suatu rangsangan bagi kepuasan

pribadi. Buku-buku tentang

pandangan professional, bacaan

suplementer yang lebih baru, dan

majalah professional yang banyak

jumlah-nya itu hendaknya tersedia

bagi semua guru. Juga

sumbangan-sumbangan dari guru

dapat menjadi bagian dari

"gudang" informasi ini.

8. Lokakarya

Lokakarya menyediakan

kesempatan untuk Kerjasama,

untuk memperteukan ide-ide,

untuk mendiskusikan masalah-

masalah bersama alau khuais, dan

untuk pertumbuhan pribadi dan

professional dalam berbagai

bidang studi. Ada banyak jenis

lokakarya itu. Dalam lokakarya

seni, barangkali sebagian bcsar

waktu akan diisi dengan

partisipasi sungguh dengan

mempelajari keterampilan dan

teknik-teknik kegiatan scni. Dalam

lokakarya matematika lebih

banyak tckanan mungkin

diberikan kepada menganalisis

dan memilih pengalaman belajar

yang sesuai, menemukan bahan

teknologi pengajaran dan metode-

Page 22: Buku e jurnal vol 1

metode presentasi ini, dan menilai

program-program baru.

9. Survey sekolah-masyarakat

Suatu studi yang

komprehensif tentang masyarakat

akan membantu guru dan kepala

sekolah untuk memahami dengan

lebih jelas program sekolah yang

akan memenuhi kebutuhan dan

kepentingan murid.

Sebenarnya ada teknik-

teknik lain, tetapi yang diterapkan

di atas dengan singkat adalah

teknik-teknik yang dalam sejumlah

penelitian dipandang telah

menunjukkan manfaatnya bagi

supervisi. Untuk pembahasan

yang lebih terurai pembaca

disarankan untuk membaca

sumber-sumber lain.

Pada hakekatnya tidak ada

satu teknik tunggal yang bisa

memenuhi segala kebutuhan; dan

bahwa sualu teknik tidaklah baik

alau buruk pada umumnya,

melainkan dalam kondisi tertentu.

Masalah yang utama adalah

menetapkan kebutuhan. Beberapa

teknik hubungan antara sekolah

dengan masyarakat yang

diperkenalkan oleh Sahertian

(1989) antara lain adalah seperti:

(1) laporan kepada orang tua

murid, (2) majalah sekolah, (3)

surat kabar sekolah, (4) pameran

sekolah, (5) open house, (6)

kunjungan ke sekolah, (7)

kunjungan ke rumah murid, (8)

melalui penjelasan yang

diberikan oleh personil sekolah,

(9) gambaran keadaan sekolah

melalui murid-murid, (10)

melalui radio dan televisi, (11)

laporan tahunan, (12)

organisasi perkumpulan alumni

sekolah, (13) melalui kegiatan

ekstra kurikulum, dan (14)

pendekatan secara akrab.

RESPON DAN SIKAP GURU

TERHADAP SUPERVISI

PENGAJARAN

Kajian tentang sikap guru

terhadap supervisi menjadi

perhatian Neagley & Evans

(dalam Mantja, 1998) dengan

merujuk sejumlah hasil

penelitian beberapa pakar

supervisi pengajaran. Temuan-

temuan yang dilaporkan, antara

lain (1) supervisi yang efektif

harus didasarkan atas prinsip-

prinsip yang sesuai dengan

perubahan sosial dan dinamika

kelompok, (2) para guru

menghendaki supervisi dari

kepala sekolah, sebagaimana

yang seharusnya dikerjakan

oleh tenaga personel yang

berjabatan supervisor, (3)

kepala sekolah tidak melakukan

Page 23: Buku e jurnal vol 1

supervisi dengan baik, (4)

semua guru membutuhkan

supervisi dan mengharapkan

untuk disupervisi, (5) para guru

lebih menghargai dan menilai

secara positif perilaku supervisi

yang "hangat", saling

mempercayai, bersahabat, dan

menghargai guru, (6) supervisi

dianggap bermanfaat bila

direncanakan dengan baik,

supervisor menunjukkan sifat

membantu dan menyediakan

model-model pengajaran yang

efektif, (7) supervisor

memberikan peran serta yang

cukup tinggi kepada guru untuk

pengambilan keputusan dalam

wawancara supervisi, (8)

supervisor mengutamakan

pengembangan keterampilan

hubungan insani, seperti halnya

dengan keterampilan teknis dan

(9) supervisor seharusnya

menciptakan iklim

organisasional yang terbuka,

yang memungkinkan

pemantapan hubungan yang

saling menunjang (supportive).

Dalam praktiknya

supervisi pengajaran yang

dilaksanakan selama ini masih

cenderung berorientasi pada

administratif saja. Walaupun

sudah dirumuskan dalam

kegiatan supervisi bahwa aspek

yang disupervisi adalah

administratif dan edukatif,

namun pada kenyataannya

masih cenderung lebih dominan

aspek administratif. Fenomena

ini dikaji secara khusus dalam

Konferensi Pendidikan di

Indonesia: Mengatasi Krisis

Menuju Pembaruan, yang

diikuti para pakar yang

kompclen. Salali satu

rekomendasi dari konferensi ini,

khusu'snya yang berkaitan

langsung dengan masalah

supervisi dikemukakan sebagai

berikut ini.

Rekomendasi 23

Fungsi-fungsi pengawasan

pada semua jenjang

pendidikan dioptimalkan

seba-gai sarana untuk

memacu mutu pendidikan.

Pengawasan dimaksud

dengan mengutamakan

aspek-aspek akademik

daripada administratif

sebagaimana berlaku selama

ini (Jalal & Supriadi, 2001).

Keefektifan penerapan

orientasi dan pendekptan

supervisi di atas, tidak hanya

tergangung pada supervisor saja,

melainkan juga sangat

dipengaruhi oleh persepsi, respon,

dan sikap guru terhadap orientasi

dan supervisi yang dilakukan oleh

Page 24: Buku e jurnal vol 1

supervisor. Penelitian mengenai

sikap guru terhadap supervisi

dikemukakan oleh Ekosusilo

(2003) bahwa guru tidak terlalu

positif terhadap supervisi yang

dilakukan supervisor. Selanjutnya

dikemukakan oleh Ekosusilo

dalam simpulan penelitiannya

bahwa supervisi yang dilakukan

supervisor dianggap biasa-biasa

saja dan monoton itu-itu saja,

bahkan nampak diacuhkan.

Namun guru tidak menampakkan

ketidak-setujuannya di hadapan

supervisor, karena dilandasi rasa

hormat sekaligus tidak ingin

menimbulkan konflik. Penelitian

yang dilakukan Mantja (1989) juga

menyimpulkan bahwa respon dan

sikap guru terhadap supervisi

ditentukan oleh kemanfaatan, data

pengamatan yang obyektif,

kesempatan menanggapi balikan,

perhatian supervisor terhadap

gagasan guru. Supervisi yang

teratur dan hubungan yang

diciptakan dapal mengurangi

ketegangan emosional guru. Guru

lebih menyukai pendekatan

supervisi kolaboratif atau non

direktif.

KENDALA-KENDALA

PELAKSANAAN SUPERVISI

PENGAJARAN

Dalam pelaksanaannya,

supervisi pengajaran di sekolah

banyak menghadapi kendala.

Mantja (1990) dalam temuan

disertasinya meuyalakan bahwa

kendala-kendala yang kurang

menunjang keefektifan supervisi,

antara lain: sikap personil sekolah

yang kurang positif terhadap

supervisi pengelola teknis

edukatif; kurangnya keterampilan

supervisi kepala sekolah;

pengendalian emosional

supervisor dalam menerima

respons guru; kepala sekolah yang

karena kurangnya tenaga guru

haras memegang kelas atau

bidang studi tertentu, sehingga

supervisi menjadi kurang efektif;

dan adanya guru yang tingkat

pendidikannya lebih tinggi dari

kepala sekolahnya. Temuan

Mantja ini, nampaknya mempunyai

kadar transferabilitas yang cukup

tinggi, karena kendala-kendala di

jenjang pendidikan dasar berkisar

pada permasalahan-permasalahan

temuan tersebut di atas. Isvanto

(1999) mengemukakan bahwa

permasalahan pendidikan, antara

lain adalah manajemen sekolah

yang tidak efektif, dan

kemampuan manajemen kepala

sekolah pada umumnya rendah

terutama di sekolah negeri dan

pembinaan karier dan

Page 25: Buku e jurnal vol 1

kesejahteraan guru yang tidak

konsisten.

Mengkaji perihal kendala-

kendala dalam pelaksanaan

supervisi, temuan Ekosusilo

(2003) menarik untuk

dikemukakan di sink Temuan

penelitian Ekosusilo tentang

pelaksanaan supervisi antara lain:

(1) supervisor tidak

mengkomunikasikan

rencana/program supervisinya

kepada para guru sebagai subyek

supervisi, (2) fokus supervisi

hanya terarah pada aspek

administrasi, kurang menyentuh

pada pengembangan kemampuan

guru dalam mengelola proses

belajar mengajar, (3) supervisor

tidak melaksanakan kunjungan

kelas secara serius, (4) supervisor

mendominasi pembicaraan dan

berjalan satu arah, (5) tidak ada

penilaian umpan balik, dan (6)

supervisor tidak pernah meminta

pada guru untuk meminta pada

guru untuk memberikan komentar

maupun penilaian terhadap

supervisi yang telah dilaksanakan.

Kendala-kendala inilah yang

mengakibatkan supervisi

pengajaran yang dilaksanakan

oleh Pengawas Sekolah di sekolah

dasar tidak dapat optimal,

sehingga tujuan pokok

pelaksanaan supervisi untuk

meningkatkan kualitas kegiatan

belajar mengajar tidak dapat

tercapai. Temuan Ekosusilo (2003)

ini memberikan gambaran bahwa

pembinaan profesional guru masih

perlu ditingkatkan lebih lanjut.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan uraian tentang

peningkatan mutu pendidikan

melalui supervisi pengajaran di

atas, maka dapatlah disimpulkan

hal-hal sebagai berikut: (1)

masalah-masalah dalam bidang

pendidikan adalah (a) masalah

kuantitatif, (b) masalah kualitatif,

(e) masalah relevansi, (d) masalah

efisiensi, (e) masalah efektivitas,

dan (f) masalah khusus; (2)

supervisi pengajaran pada

hakikatnya adalah untuk

meningkatkan kemampuan dan

keterampilan guru dalam

melaksanakan tugas pokoknya

sehari-hari yaitu mengajar para

peserta didik di kelas; (3)

supervisor atau pembina, yaitu

Pengawas Sekolah, Kepala

Page 26: Buku e jurnal vol 1

Sekolah, atau semua pejabat yang

terlibat dalam layanan supervisi,

adalah pihak yang dianggap

paling bertanggung jawab dalam

kegiatan supervisi; (4) ada tiga

pendekatan dalam supervisi

pengajaran, yaitu (a) pendekatan

langsung, (b) pendekatan tidak

langsung, dan (c) pendekatan

kolaboratif; (5) teknik-teknik

supervisi pendidikan yang paling

bermanfaat bagi supervisi antara

lain adalah: (a) kunjungan kelas,

(b) pembicaraan individual, (c)

diskusi kelompok, (d) demonstrasi

mengajar, (e) kunjungan kelas

antar guru, (1) pengembangan

kurikulum, (g) bulletin supervisi,

(h) perpustakaan profcsioml, (i)

lokakarya, (j) survey sekolah-

masyarakat; (6) para guru lebih

menghargai dan menilai secara

positif perilaku supervisi yang

"hangat", saling mempercayai,

bersahabat, dan menghargai guru;

dan (7) dalam praktiknya supervisi

pengajaran yang dilaksanakan

selama ini masih cenderung

berorientasi pada administratif

saja.

Saran-saran

Berdasarkan simpulan di

atas, maka dapatlah dikemukakan

saran-saran sebagai berikut: (1)

untuk meningkatkan kemampuan

supervisor, maka perlu secara

rutin ada program penyegaran

bagi para supervisor, sehingga

dalam melaksanakan tugasnya

sesuai dengan tujuau supervisi

dan sesuai dengan keinginan para

guru; (2) arah supervisi perlu

difokuskan/ditekankan kepada

aspek akademik tanpa

mengabaikan faktor administratif

sebagai pelengkap pelaksanaan

supervisi tcrhadap para guru di

sekolah; (3) dalam pelaksanaan

supervisi di sekolah, para

supervisor perlu membekali

format dokumen yang dapat

merekam dan mencatat kegiatan

guru dalam melaksanakan tugas-

tugasnya di sekolah; (4)

dalam melaksanakan supervisi

pengajaran disarankan untuk

menggunakan prosedur supervisi

klinis, dan (5) perlu ada

pertemuan sesuai supervisi untuk

mendiskusikan hasil supervisi

yang telah dilakukan oleh Kepala

Sekolah atau Pengawas Sekolah,

sebagai upaya tindak lanjut

setelah pelaksanaan supervisi

dilaksanakan.

Page 27: Buku e jurnal vol 1

DAFTAR RUJUKAN

Bafadal, I. 2003. Seri Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar, Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Benty, D.D.N. 1992. Kemampuan Kepi'la Sekolah Dasar Membantu Guru dalam Mengembangkan Pengajaran Menurut Persepsi Guru-Guru SD Negeri di Kecamatan Lowokwaru Kodya Malnng. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Program Pasa Sarjana, Institut Keguruan dan Ilmu pendidikan Malang.

Depdikbud. 1976. Kurikulum Sekolah Dasar 1975, Garis-Garis Besar Program Pengajaran Buku III D Pedoman Administrasi dan Supervisi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 1994/1995. Pedoman Kerja Pelaksanaan Supervisi. Jakarta: Proyek Peningkatan Mutu SD, TK dan SLB, Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menenga,'., Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 1995. Pedoman Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar. Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

Ekosusilo, M. 2003. Iiasil Penelitian Kualitatif, Supervisi Pengajaran Dalam Latar Budaya Jawa, Studi Kasus Pembinaan Guru SD di Kralon Surakarta. Sukoharjo: Penerbit Uvitet Bantara Press.

Indrafachrudi, S.(Koordinator). 1989. Administrasi Pendidikan. Malang: Penerbit IKIP Malang.

Idrus, N., dkk. 2000. Quality Assurance, Handbook. 3-Edition. Jakarta: Engineering Education Development Project, Du Malcomlm Jones (ed)., Director General of Higher Education.

Iswanto, B. 1999. Olonomi Daerah: Implikasi bagi Pengelolaan Pendidikan. Makalah disajikan dalam seminar nasional Formula Manajemen Pendidikan dalam Kerangka Otonomi Daerah di Bidang

Page 28: Buku e jurnal vol 1

Pendidikan pada tanggal 23 Aeustus 1999 di Universitas Neseri Malane.

Jalal, F. & Supriadi, D. 2001. Reformasi Penclidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Diterbitkan atas kerjasama Depdiknas-Bappenas-Adicita Karya Nusa.

Mantja, W. 1998. Manajemen Pembinaan Profesional Guru Berwawasan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Suatu Kajian Ko.tseptual-historik dan Empirik. Pidalo Pengukuhan Guru Besar [KIP Malang. Making: Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mastuhu. 2003. Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (The New Mind Set of National Education in the 21 s' Century). Yogyakarta: Safiria Insania Press bekerjasama dengan Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (MSI UII).

Sahertian, P.A. & Mataheru, F. 1982. Prinsip & Tehnik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.

Supriadi, D. 2004. Satuan Biaya Pendidikan, Dasar dan Menengah: Rujukan Bagi Penetapan Kebijakan Pendidikan Pada Era Otonomi dan Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung: PT Lemadja Rosdakarya.

Page 29: Buku e jurnal vol 1

PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SD TUNAS

BANGSA

KECAMATAN WONOKROMO SURABAYA

Etiyasningsih*)

Abstrak, Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak di sekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Penelitian dilakukan di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Populasi sebanyak 34 anak dan orang tua. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh 34 responden anak dan orang tua siswa. Pengumpulan data dengan dokumentasi dan kuesioner, selanjutnya dilakukan uji regresi sederhana untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.

Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula

Page 30: Buku e jurnal vol 1

signifikan hasil hitung αhitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan orang tua lebih banyak memberikan bimbingan kepada anaknya terutama dalam belajar bahasa Indonesia, bimbingan di keluarga hendaknya mencakup bantuan belajar, pengawasan, pengaturan waktu belajar dan keteladanan yang ditunjukkan secara rutin, dan orang tua wali murid selalu mengawasi cara belajar anaknya dan selalu berkonsultasi dengan guru atau orang lain. Pihak sekolah diharapkan dapat sering mengadakan hubungan dan konsultasi mengenai perkembangan belajar anak dan juga memecahkan kesulitan yang timbul dalam bimbingan belajar anak dengan wali murid atau orang tua siswa

Kata Kunci : Bimbingan Orang Tua terhadap Prestasi Belajar Siswa

Pendidikan yang berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan sedini mungkin merupakan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Banyak orang tua berpendapat bahwa tugas mencerdaskan anak adalah tugas guru dan institusi pendidikan, sementara mereka selaku orang tua asyik dengan profesinya sendiri, implikasi dari pendapat semacam ini adalah memunculkan ketidakpedulian orang tua terhadap spiritual, intelektual dan moral anaknya sendiri. Masih banyak di antara orang tua yang lalai akan tugasnya dalam membantu perkembangan dan pemahaman diri putra putrinya, mereka menyibukkan dirinya dengan urusan masing-masing.

Bagi orang tua yang taraf ekonominya kuat, waktunya banyak digunakan untuk acara-acara yang dianggap sesuai dengan martabat sosialnya, sementara bagi orang tua yang taraf ekonominya lemah,

waktunya banyak digunakan kegiatan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sehingga dengan keadaan ini timbulah berbagai kesulitan yang dihadapi oleh anak terutama kesulitan alam belajar yang mengakibatkan prestasi belajar mereka semakin menurun.

Ketika anaknya gagal memenuhi harapannya, pihak pertama yang dituding adalah guru dan institusi pendidikan, kalau kita renungkan anggapan orang tua bahwa pencapaian itu hanyalah tergantung pada lembaga sekolah, pendapat seperti ini kurang tepat, dan akan merugikan diri sendiri. Bagaimanapun guru, sekolah, dan institusi pendidikan yang lainnya hanyalah pihak yang membantu mencerdaskan peserta didik. Sedangkan keberhasilan dalam suatu pendidikan itu ditentukan oleh tiga komponen, yaitu orang tua (keluarga), guru (pemerintah), dan masyarakat (lingkungan).

Page 31: Buku e jurnal vol 1

Dalam mendidik seseorang anak tidak akan berhasil tanpa ada kerjasama yang baik antara orang tua yang mendidik di rumah, dengan guru yang mendidik di sekolah. Demikian juga dengan lingkungan di sekitarnya juga menunjang. Antara orang tua, guru dan lingkungan dalam menangani anak harus ada kerjasama yang baik sehingga merupakan tri tunggal yang tidak dapat dipisahkan. Sehubungan dengan hal tersebut, jika ditinjau ari segi waktu belajar antara pendidikan sekolah dan ada dirumah, maka waktu belajar tersebut lebih banyak dirumah. Oleh sebab itu sebagai orang tua harus benar-benar dapat membantu dan mengarahkan putra putrinya, memahami lebih jauh dan mendalam tentang pola dan upaya mencerdaskan. Orang tua harus mengerti tentang dasar-dasar pendidikan, psikologi perkembangan, proses belajar mengajar dan pengetahuan lain guna mencapai tujuan yang sesuai dengan harapan dan cita-citanya.

Negara Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang, dan sedang getol-getolnya membangun, seiring dengan pembangunan itu, maka di segala bidang harus dikembangkan pemerintah. Di dalam persiapan pembangunan yang siap dipakai perlu sumber daya manusia yang handal, maka pemerintah menggalakkan pembangunan di bidang pendidikan.

Maka tidaklah mengherankan apabila pemerintah selalu berusaha

dengan getol untuk meningkatkan pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif, guna mempercepat tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Untuk itu di dalam merealisir tujuan pendidikan itu, maka diseluruh jalur, jenis dan jenjang pandidikan baik dengan jalur formal maupun non formal berkewajiban untuk segera mendukung dan mewujudkannya. Bahkan dilingkungan keluargapun di harapkan peran serta aktifnya, karena suatu program akan berhasil dengan baik apabila aktifitas di dukung oleh semua pihak.

Di dalam Undang-undang pendidikan Nomor 2 tahun 1989, disebutkan bahwa tujuan pendidikan di Indonesia adalah sebagai berikut : “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”. Pendidikan Nasional harus juga menumbuhkan jiwa patriotic dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan social serta kesadaran pendidikan sejarah perjuangan bangsa dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berorientasi ke masa depan. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri dan budaya belajar di lingkungan

Page 32: Buku e jurnal vol 1

masyarakat, terus juga di kembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, dan berkeinginan untuk maju.

Dan sebagai bangsa Indonesia harus berkomunikasi di antara suku satu dengan suku yang lainnya dengan baik, agar tetap terpelihara rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Berkomunikasi antara suku kita harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam hal ini termuat dalam dokumen resmi Negara, seperti : Sumpah Pemuda dan dalam Undang-undang Dasar 1945, Bab XV pasal 36 : Bahasa Negara adalah bahasa Indonesia.

Bahasa Indonesia dipakai di sekolah dari tingkat paling rendah sampai perguruan tinggi, dipakai juga dalam acara resmi pada pemerintahan termasuk kehakiman pengadilan, serta di segala bentuk komunikasi tingkat nasional. Dari segi ilmiah dapat dijadikan kunci untuk membuka pintu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, dengan pertimbangan tersebut maka yang perlu diperjatikan adalah bimbingan orang tua dalam menunjang prestasi anak disekolah. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara orang tua, guru dan masyarakat. Namun berperan serta orang tua dan masyarakat dalam menunjang prestasi belajar anaknya belum tampak menggembirakan, apabila status pendidikan orang tuanya atau masyarakat pada umumnya masih rendah, maka semata-mata

pendidikan anaknya diserahkan kepada guru di sekolah.

Kesadaran bahwa tugas utama memberi bimbingan anak adalah tugas orang tua, maka akan memberikan pengaruh positif dalam pembentukan tanggung jawab dan mendorong motivasi belajar, mempermudah proses belajar pada anak dan pengkoordinasian lingkungan keluarga untuk mewujudkan anak-anak cerdas dan berprestasi terutama pada bidang studi bahasa Indonesia. Pemikiran inilah yang menjadikan penulis mengangkat judul skripsi ini dengan harapan dapat mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa pada Bidang Studi Bahasa Indonesia di SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh siswa kelas IV SD Tunas Bangsa Kecamatan Wonokromo Surabaya. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 34 siswa.

Variabel bebas (X) dalam penelitian ini yakni bimbingan orang tua, yang dimaksud bimbingan orang tua adalah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai

Page 33: Buku e jurnal vol 1

pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup. Variabel prestasi belajar Bahasa Indonesia (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar Bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai ulangan mata pelajaran Bahasa Indonesia.

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis. Uji hipotesis dilakukan untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :

Y = a + bX

Y = Prestasi Belajar Bahasa Indonesia

X = Bimbingan Orang Tua

a = Nilai konstanta

b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.

HASIL PENELITIAN

Hasil Pengujian Validitas

Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) dan Prestasi Belajar Siswa (Y) dapat dilihat sebagai berikut :Tabel 1 Hasil Uji Validitas Variabel

Prestasi Belajar Siswa (X)

Pernya-taan

Corrected item total

correlationKet

123456789

1011121314151617

0,8430,3720,6380,6010,5400,5410,7670,4760,6420,6200,6860,3550,6770,7930,5430,4390,354

ValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValidValid

Page 34: Buku e jurnal vol 1

Pernya-taan

Corrected item total

correlationKet

181920

0,4950,5350,651

ValidValidValid

Sumber : Hasil Olah Data SPSS

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk item pernyataan variabel bimbingan orang tua, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,339 (untuk jumlah responden 34 orang), hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai bimbingan orang tua adalah valid.

Hasil Uji Reliabilitas

Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (α), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel bimbingan orang tua (X) diperoleh alpha sebesar 0,7483 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.

Uji Asumsi Klasik

Uji normalitas

Dalam penelitian ini uji normalitas kriterianya adalah jika distribusi data adalah normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti garis diagonalnya.

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: Prestasi Belajar Siswa

Observed Cum P rob

1 ,0,8,5,30 ,0

Ex

pe

cte

d C

um

Pro

b

1 ,0

,8

,5

,3

0 ,0

Gambar 1 Grafik Normalitas Standar Residual Regresi

Sesuai kriterianya grafik normal plot di atas terlihat titik-titik menyebar di sekitar garis diagonalnya, serta penyebarannya mengikuti arah garis diagonal. Dengan demikian menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas.

Uji Heteroskedastisitas

Page 35: Buku e jurnal vol 1

Indikator uji ini adalah melihat grafik Scatterplot, jika titik-titik menyebar secara acak serta tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.

Scatterplot

Dependent Variable: P restasi B elajar S isw a

Regression S tandardized P redicted Value

210-1-2-3

Re

gre

ss

ion

Stu

de

nti

ze

d R

es

idu

al

2 ,0

1 ,5

1 ,0

,5

0 ,0

-,5

-1 ,0

-1 ,5

-2 ,0

Gambar 2 Grafik Scatterplot

Dari grafik scatterplot di atas terlihat titik menyebar secara acak dan tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada suhu Y, hal ini dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi sehingga model regresi layak dipakai untuk mengetahui pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.

Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana

Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas bimbingan orang tua terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah prestasi belajar siswa (Y),

maka digunakan analisis model agresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut :

Y = α + bX1

Dimana :

Y = Prestasi Belajar Siswa

X = Bimbingan Orang Tua

b3 = Koefisien regresi X

Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb

151, 891 1 151, 891 16, 995 , 000a

285, 991 32 8, 937

437, 882 33

Regression

Residual

Tot al

Model1

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Predict ors: (Const ant ) , Bimbingan Orang Tuaa.

Dependent Var iable: Prest asi Belajar Siswab.

Gambar 3 Uji F

Gambar 3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 16,995. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 32 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 32 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,17. Sehingga Fhitung = 16,995 > Ftabel = 4,17.

Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,000 jauh di bawah 0,05, yang

Page 36: Buku e jurnal vol 1

menandakan pengaruh yang signifikan.

Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,589 lebih dari rtabel sebesar 0,339 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 32 terlampir).

Co rre la tio n s

1 ,0 0 0 ,5 8 9

,5 8 9 1 ,0 0 0

, ,0 0 0

,0 0 0 ,

3 4 3 4

3 4 3 4

Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a n Ora n g T u a

Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a n Ora n g T u a

Pre s ta s i Be l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a n Ora n g T u a

Pe a rs o n Co rre l a t i o n

S i g . (1 -ta i l e d )

N

Pre s ta s iBe l a j a r S i s wa

Bi mb i n g a nOra n g T u a

Gambar Pearson Correlations

Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.

Coeffic ients a

35 ,537 3,292 10 ,797 ,000

,190 ,046 ,589 4,123 ,000 ,589 ,589 ,589

(Cons tan t)

Bimbingan Orang Tua

Mode l1

B Std . Erro r

Uns tandard iz edCoeffic ien ts

Be ta

Standard iz edCoeffic ien ts

t Sig . Ze ro-o rde r Partia l Pa rt

Corre la tions

Dependen t Va riab le: Pres tas i Bela jar Sis waa.

Gambar 4 Uji t

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.5 memperlihatkan thitung sebesar 4,123 > ttabel sebesar 2,042 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa.

Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat koefisien regresi (standarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :

Y = a + bX

= 35,537 + 0,190

Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh bimbingan orang tua terhadap prestasi belajar siswa berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:1) Konstanta sebesar 35,537

menyatakan bahwa jika variabel tingkat pendidikan dianggap konstan (tidak ada upaya membimbing), maka prestasi belajar siswa sebesar 35,537 point.

2) Koefisien regresi tingkat pendidikan sebesar 0,190 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin bimbingan orang tua akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 0,190 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya bimbingan orang tua sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 190 point.

Page 37: Buku e jurnal vol 1

INTERPRETASI

Bimbingan orang tua sangat berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Memang bimbingan orang tu sangat diperlukan oleh siswa mengingat belajar di sekolah tanpa diulang di rumah kemungkinan lupa atau kurang memahami. Jika orang tua mau dan mampu membimbing anaknya maka anak akan lebih mengingat dan memahami pelajaran yang diberikan oleh guru di sekolah.

Secara umum hal ini sesuai dengan Ketut Sukardi bahwa bimbingan adalah suatu proses bantuan yang diberikan pada seseorang agar mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki, mengenali dirinya sendiri, mengatasi persoalan sehingga mereka dapat menentukan sendiri jalan hidupnya, secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada seseorang atau orang lain. Selain itu bimbingan merupakan suatu proses pemberi bantuan yang terus menerus dan sistematis terhadap individu dalam memecahkan masalah yang dihadapi agar tercapai kemampuan untuk memahami dirinya (self undertanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self aceptaince), kemampuan untuk mencurahkan dirinya (self direction), sesuai dengan potensi atau kemampuan dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Bantuan yang diberikan orang-orang yang memiliki keahlian dan pengalaman khusus dalam bidang tertentu yaitu bidang pendidikan.

Bimbingan mencakup pertolongan yang diberikan seseorang dengan tujuan untuk menolong orang itu kemana ia ingin atau harus pergi, apa yang ia inginkan dilakukan dan bagaimana cara yang sebaik-baiknya tersebut memecahkan masalah yang timbul dalam kehidupan. Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan mengenai bimbingan, yaitu: Bimbingan ialah suatu proses pemberi bentuan secara terus menerus dan sistematik dari pembimbing kepada peserta bimbingan agar tercapai pemahaman dari penerima diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal sehingga dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan memperoleh kebahagian hidup (Totok Santoso, 1986:25).

Pertolongan dalam bimbingan menurut Slamet (1989:25) antara lain (1) Pertolongan di arahkan peningkatan kemampuan dalam menghadapi hidup dengan segala persoalan, (2) Pertolongan yang kontinyu yang diberikan atas dasar perencanaan dan pemikiran yang ilmiah, (3) Pertolongan yang proses pemecahan dari persoalan yang membutuhkan aktivitas dan tanggung jawab bersama antara yang menolong dan yang ditolong, (4) Pertolongan yang isi, bentuk dan caranya disesuaikan kebutuhan tiap-tiap kasus.

Secara spesifik tujuan bimbingan oleh orang tua ataupun pihak tertentu adalah dapat

Page 38: Buku e jurnal vol 1

mengetahui keadaan pribadi siswa untuk membantu kesulitan belajar yang mungkin dihadapi. Tujuan bimbingan belajar yang dimaksudkan adalah untuk memperoleh tingkat perkembangan belajar yang optimal bagi setiap siswa sesuai dengan kemampuannya agar dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.

Selain itu bimbingan bertujuan untuk membantu siswa agar mencapai perkembangan yang optimal yaitu siswa dapat menemukan dirinya sendiri, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan sehingga dapat mewujudkan dirinya sebagai pribadi yang mandiri dan bertanggung jawab, pelajar yang kreatif dan pekerja yang produktif. Drs. Bimo Walgito menyatakan bahwa tujuan utama bimbingan belajar agar masing-masing siswa dapat mengembangkan kemampuan yang ada pada mereka sehingga tercapai prestasi yang optimal.

Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan belajar adalah untuk mengenali kemampuan-kemampuan yang terendam dalam diri anak sehingga dapat diharapkan anak tersebut dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang terpendam, jadi bimbingan belajar sangat penting untuk keberhasilan siswa.

Tujuan bimbingan orang tua terhadap anaknya antara lain (1) Untuk mengetahui keadaan pribadi anak yang dianggap mempunyai

masalah, (2) Untuk memahami jenis atau sifat kesulitan belajar yang dihadapi, (3) Untuk mengetahui faktor penyebab kesulitan anak dalam pelajaran, (4) Untuk mengetahui baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara prefentif (pencegahan) kelemahan-kelemahan belajar yang dihadapi oleh anak.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Bimo Walgito. 1982. Bimbingan dan Penyuluhan Sekolah. Yayasan penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Dep. Dik. Bud. 1984. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta Jakarta.

Dewa Ketut Sukerdi, Drs . 1983 . Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Penerbit Indonesia.

GBHN, Ketetapan MPR RI No. 11/MPR/1008, Bima Pustaka Surabaya.

I. Djumhur dan Moh. Surya. 1975 Bimbingan dan Penyulahan di Sekolah (Guiedence Counseling). Penerbit CV. Ilmu Bandung.

Ngalim Purwanto MP, Drs. 1997. Psikologi Pendidikan. Remaja Resdakarya Bandung.

Page 39: Buku e jurnal vol 1

Suhartini Arikunto. 1981. Prosedur Penelitian , Rineka Cipta Jakarta.

Siti Rahaju Hadi Noto, 1982. Prinsip-prinsip Bimbingan dan Penyuluhan. Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Sutrisno Hadi, 1983. Metodologi Research I dan II, Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta.

Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Winamo Surahmad, Drs. Msc. 1976. Pengantar Penyelidikan Ilmiah. CV. Jenmars Bandung.

Wjs. Poerwodarminto, 1961. Kamus Bahasa Indonesia. Penerbit Balai Pustaka Jakarta.

Page 40: Buku e jurnal vol 1

Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah

dan Gaya Kognitif terhadap

Pemahaman Uniflying Geography

Syaiful Khafid

Email: [email protected]

Abstract: Penelitian ini dilaksanakan untuk membandingkan pemaha-man ‘uniflying geography’ antara siswa yang diajar dengan menggu-nakan pembelajaran berbasis masalah dan siswa yang diajar secara konvensional, dan antara siswa bergaya kognitif field independent dan siswa yang bergaya kognitif field dependent yang menggunakan desain kuasi eksperimental. Penelitian ini menunjukkan bahwa siswa yang diajar dengan menggunakan pembelajaran berbasis masalah mempe-roleh skor signifikan lebih tinggi dalam bidang geografi dari siswa yang diajar secara konvensional. Lagi pula, siswa dengan gaya field inde-pendent ternyata memperoleh skor signifikan lebih tinggi daripada siswa dengan gaya kognitif field dependent, Akan tetapi, penelitian tersebut tidak menunjukkan pengaruh interaksional dari model pembe-lajaran dan gaya kognitif terhadap pemahaman ‘uniflying geography’ siswa.

Kata kunci: pembelajaran berbasis masalah, gaya kognitif, pemahaman geografi

1

Page 41: Buku e jurnal vol 1

Geografi sebagai mata

pelajaran formal pertama yang

membawa siswa kontak dengan

realitas kehidupan seharusnya

dapat menjadi satu mata

pelajaran yang cukup menarik.

Bahkan arti penting geografi

bagi kehidupan diakui juga oleh

tokoh atau pejabat dari

kalangan ketentaraan maupun

pemerintahan. Kalau dalam

kenyataan geografi menjadi

kurang menarik sebagian besar

siswa tentu ada faktor-faktor

penyebab yang menjadikan

demikian (Suharyono dan

Amien, 1994) sehingga

berakibat rendahnya

pemahaman geografi (Khafid,

2010).

Rendahnya pemahaman

‘uniflying geography’

disebabkan paradigma

pendidikan konvensional yang

menggunakan metode

pembelajaran klasikal dan

ceramah, tanpa diselingi aneka

metode pembelajaran inovatif,

termasuk adanya penyekat

ruang struktural antara guru

dan siswa. Pembelajaran

‘uniflying geography’ yang

dilakukan guru geografi di

kelas hanya menekankan ranah

kognitif dan hafalan serta

kurang mendorong siswa

berpikir kritis dan kreatif

(Khafid, 2008:19) Menurut

penilaian Sudradjat (dalam

Daldjoeni, 1997:129)

permasalahan yang menonjol

adalah rendahnya partisipasi

siswa dalam mempelajari

geografi baik secara intelektual

maupun emosional. Pertanyaan

yang berasal dari siswa yang

berupa gagasan atau

sanggahan jarang muncul.

Jikapun ada yang berpendapat

jarang diikuti oleh gagasan lain,

sehingga sebagian siswa

merasakan bahwa

1

Page 42: Buku e jurnal vol 1

pembelajaran geografi

membosankan, kering, tidak

jelas, dan sulit dipahami.

Ada lima faktor penyebab

rendahnya kualitas pemahaman

‘uniflying geography’, yaitu: (1)

siswa belum mampu

menerapkan objek formal studi

geografi ketika mengkaji

fenomena geosfer (objek

material studi geografi), (2)

siswa kurang memiliki

kemampuan untuk

merumuskan gagasan sendiri,

(3) siswa kurang memiliki

keberanian untuk

menyampaikan pendapat

kepada orang lain, (4) siswa

belum terbiasa menggunakan

media peta ketika belajar

geografi. dan (5) siswa belum

terbiasa bersaing

menyampaikan pendapat

dengan teman yang lain

(Khafid, 2008:19). Di samping

itu, ada tiga faktor yang

mempengaruhi hasil belajar

siswa, yaitu: (a) faktor endogen,

berasal dari siswa, (b) faktor

eksogen, berasal dari

lingkungan, dan (c) faktor jenis

gaya kognitif yang digunakan

siswa (Syah, 2001:130). Hasil

belajar geografi yang rendah

tersebut bukan hanya

dibebankan kepada siswa,

melainkan yang pertama

bertanggung jawab adalah guru

geografi. Karena itu, guru perlu

merefleksi model pembelajaran

yang pernah diterapkan untuk

mengubah paradigma

pembelajaran dengan

memperhatikan gaya kognitif

belajar siswa.

Untuk meningkatkan

pemahaman ‘uniflying

geography’ diperlukan

perubahan paradigma yang

digunakan sebagai landasan

dalam pembelajaran.

2

Page 43: Buku e jurnal vol 1

Perubahan paradigma perlu

memikirkan bagaimana

siswa belajar dan bagaimana

guru mengelola

pembelajaran, bukan hanya

berfokus pada hasil belajar.

Menurut Degeng (2001a)

tujuan utama pembelajaran

adalah mengembangkan

kemampuan mental yang

memungkinkan seseorang

dapat belajar. Riyanto

(2005:98) mengatakan

bahwa peran guru adalah

memberikan kemudahan

kepada siswa untuk

membangun sendiri

pengetahuan dalam

benaknya. Guru memberi

siswa anak tangga yang

membawa siswa ke

pemahaman yang lebih

tinggi dengan catatan siswa

sendiri harus memanjat anak

tangga tersebut. Jadi, belajar

itu sendirilah yang menjadi

tujuan pembelajaran.

Keaktifan siswa menjadi

unsur yang sangat penting

dalam menentukan

kesuksesan belajar.

Sebenarnya target yang

harus dipenuhi guru adalah

siswa mampu

merekonstruksi sebuah

kejadian yang Model

pembelajaran berbasis

masalah menurut Mustaji

(2004:73) penggunaannya di

dalam pengembangan

tingkat berpikir yang lebih

tinggi dalam situasi yang

berorientasi pada masalah,

termasuk pembelajaran

bagaimana belajar. Pada

pembelajaran ini, guru

bereran mengajukan

permasalahan atau

3

Page 44: Buku e jurnal vol 1

pertanyaan, memberikan

dorongan, memotivasi dan

menyediakan bahan ajar, dan

fasilitas yang diperlukan

siswa. Selain itu, guru

memberikan dukungan

dalam upaya meningkatkan

temuan dan perkembangan

intelektual siswa.

Beberapa kelebihan

penerapan pembelajaran

berbasis masalah di

antaranya: (1) siswa lebih

memahami konsep yang

diajarkan sebab mereka

sendiri yang menemukan

konsep tersebut, (2)

melibatkan secara aktif

memecahkan masalah dan

menuntut keterampilan

berikir siswa yang lebih

tinggi, (3) pengetahuan

tertanam berdasarkan

skemata yang dimiliki siswa

sehingga pembelajaran lebih

bermakna, (4) siswa dapat

merasakan manfaat

pembelajaran sebab

masalah-masalah yang

diselesaikan langsung

dikaitkan dengan kehidupan

nyata, hal ini dapat

meningkatkan motivasi dan

ketertarikan siswa terhadap

bahan yang dipela-jari, (5)

menjadikan siswa lebih

mandiri dan lebih dewasa,

mampu memberi aspirasi

dan menerima pendapat

orang lain, menanamkan

sikap sosial yang positif di

antara siswa, dan (6)

pengondisian siswa dalam

belajar kelompok yang saling

berinteraksi terhadap guru

dan temannya sehingga

pencapaian ketuntasan

4

Page 45: Buku e jurnal vol 1

belajar siswa dapat

diharapkan.

Gaya kognitif dapat

dikonsepsikan sebagai sikap,

pilihan atau strategi yang

secara stabil menemukan cara-

cara siswa yang khas dalam

menerima, mengingat, berpikir,

dan memecahkan masalah.

Menurut Slameto (2003:162)

gaya kognitif adalah ”variabel

penting dalam pilihan-pilihan

yang dibuat oleh siswa dalam

sejumlah hal berhubungan

dengan perkembangan

akademik”. Jadi, gaya kognitif

dideskripsikan sebagai cara

bagaimana seseorang siswa

mengolah informasi,

sehingga ia dapat mencapai

prestasi belajar yang maksimal

(Degeng, 2001b:1).

Pendapat Atkinson

sebagaimana dikutip Lamba

(2006:124) membedakan gaya

kognitif, yaitu gaya kognitif

field independent (articulated)

dan field dependent (global).

Siswa yang bergaya kognitif

field independent mempunyai

kecenderungan untuk mencapai

prestasi lebih tinggi daripada

kecenderungannya

menghindari kegagalan.

Mereka selalu optimis akan

berhasil dan cenderung akan

mencapai prestasi yang

maksimal. Pendapat Witkin

sebagaimana dikutip Degeng

(2001b:3) siswa yang bergaya

kognitif field independent

cenderung melakukan analisis

dan sintesis terhadap informasi

yang dipelajari. Sebaliknya,

siswa yang bergaya kognitif

field dependent lebih

cenderung mengantisipasi

kegagalan dengan memilih

tugas-tugas yang mudah dan

sifatnya harus banyak

bimbingan, serta kurang

5

Page 46: Buku e jurnal vol 1

mampu memisahkan hal-hal

yang relevan dan tidak relevan

dalam suatu situasi. Individu

yang mempunyai gaya kognitif

field independent jika

dihadapkan pada tugas-tugas

yang kompleks dan bersifat

analisis cenderung

melakukannya dengan baik,

dan apabila berhasil, antusias

untuk melakukan tugas-tugas

yang lebih berat lebih baik lagi

dan mereka lebih senang untuk

bekerja secara mandiri. Gaya

kognitif sebagai keinginan

untuk mengalami keberhasilan

dan peran serta dalam kegiatan

di mana keberhasilan

bergantung pada upaya dan

kemampuan seseorang (Slavin,

1995). Gaya kognitif seseorang

dapat dilihat dari sikap dan

perilaku, misalnya keuletan,

ketekunan, daya tahan,

keberanian menghadapi

tantangan, kegairahan, dan

kerja keras.

Kemungkinan berhasil atau

gagal dalam konsep gaya

kognitif ada dua

kecenderungan yaitu

kecenderungan mendekati

keberhasilan dan

kecenderungan menjauhi

kegagalan. Gaya kognitif

sebagai gaya usaha untuk

berhasil dan menganggapnya

sebagai dorongan dengan

kecenderungan mendekati

suatu keberhasilan atau suatu

yang berkaitan dengan prestasi.

Gaya kognitif seseorang

individu ditentukan oleh kedua

kecenderungan tersebut.

Gaya kognitif memiliki

landasan teoretik dan empirik

yang kokoh. Perilaku ini telah

banyak diamati pada bidang

bisnis, pendidikan, dan latar

lainnya. Kajian Heller (1992)

6

Page 47: Buku e jurnal vol 1

menyimpulkan ada enam

karakteristik gaya kognitif yang

konsisten ditemukan dalam

konteks sekolah yaitu: (1) siswa

yang bergaya kognitif field

independent lebih menyukai

terlibat dalam situasi ada risiko

kegagalan. Sebaliknya, siswa

yang bergaya kognitif field

dependent cenderung memilih

tugas-tugas mudah, (2) faktor

kunci yang memotivasi siswa

bergaya kognitif field

independent adalah kepuasan

intrinsik dari keberhasilan itu

sendiri, bukan pada ganjaran

ekstrinsik, seperti uang atau

prestise. Siswa yang bergaya

kognitif field independent akan

bekerja keras agar berhasil, (3)

cenderung membuat pilihan

atau tindakan yang realistis,

dalam menilai kemampuannya

dengan tugas-tugas yang

dikerjakan, (4) siswa yang

bergaya kognitif field

independent menyukai situasi

yang dapat menilai sendiri

kemajuan dan pencapaian

tujuannya, (5) siswa yang

bergaya kognitif field

independent perspektif waktu

jauh ke depan, dan (6) siswa

yang bergaya kognitif field

independent tidak selalu

menunjukkan rata-rata nilai

yang tinggi di sekolah.

Kajian tingkat gaya kognitif

dalam penelitian ini terbatas

pada tingkat gaya kognitif yang

dapat dilihat dari perilaku

subjek. Misalnya, siswa mudah

dipengaruhi oleh

lingkungannya ataupun sulit

dipengaruhi oleh lingkungan di

mana siswa itu berada, harapan

untuk sukses, bekerja keras,

kekhawatiran akan gagal, dan

keinginan memperoleh nilai

yang tinggi (Lamba, 2006)

7

Page 48: Buku e jurnal vol 1

Mata pelajaran geografi

membangun dan

mengembangkan pemahaman

siswa tentang variasi dan

organisasi spasial masyarakat,

tempat, dan lingkungan di

permukaan bumi. Dengan

karakteristik yang kompleks ini

merupakan tantangan bagi

siswa, sehingga siswa yang

bergaya kognitif field

independent akan lebih tekun

belajar, bekerja keras,

berusaha semaksimal mungkin,

dan tidak membuang-buang

waktu karena merasa

tertantang, mereka ingin

berprestasi. Siswa yang

bergaya kognitif field

dependent tidak begitu rela

untuk melibatkan diri

sepenuhnya dalam

mengerjakan tugas-tugas yang

kompleks, karena takut gagal

tidak mau menanggung risiko.

Untuk menjadi geografi

terpadu (unifying geography)

perlu ditegaskan komponen inti

geografi. Matthews dan

Herbert (2004:379)

mengusulkan empat komponen

inti geografi, yaitu: (1) ruang

(space), tempat (place),

lingkungan (environment), dan

peta (maps). Ruang, tempat,

lingkungan, dan peta menjadi

label geografi. Keempat

komponen tersebut mempunyai

kedudukan yang sama dalam

kajian geografi, baik kajian

geografi fisik maupun geografi

manusia. Demikian juga dapat

menjadi dasar konsep untuk

disiplin geografi terpadu.

8

Page 49: Buku e jurnal vol 1

Gambar 1. Konsep ‘Uniflying

Geography’

Berdasarkan uraian di atas,

permasalahan penelitian ini

dapat dirumuskan sebagai

berikut: (1) adakah perbedaan

pemahaman ‘uniflying

geography’ secara signifikan

antara pembelajaran berbasis

masalah dan pembelajaran

konvensional?, (2) adakah

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara siswa yang

bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent?, dan (3) adakah

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’?

Penelitian ini bertujuan

untuk (1) menguji signifikansi

pemahaman ‘uniflying

geography’ yang berbeda

antara pembelajaran berbasis

masalah dan pembelajaran

konvensional, (2) menguji

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara siswa yang

bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent, dan (3) menguji

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’

9

Page 50: Buku e jurnal vol 1

METODE

Jenis penelitian ini adalah

penelitian kuasi eksperimental

dengan desain faktorial 2 x 2.

Variabel-variabel yang diteliti

adalah (1) variabel bebas yaitu

metode pembelajaran yang

terdiri atas pembelajaran

berbasis masalah dan

pembelajaran konvensional, (2)

variabel moderator yaitu gaya

kognitif yang dikategorikan

atas gaya kognitif field

independent dan gaya kognitif

field dependent, dan (3)

variabel terikat yaitu

pemahaman ‘uniflying

geography’. Populasi penelitian

ini adalah siswa kelas X SMAN

1 Sidayu semester genap tahun

pelajaran 2010/2011 dengan

jumlah siswa 280 orang.

Sampel penelitian berjumlah 64

siswa diambil dengan teknik

random yang terdiri atas 32

siswa yang bergaya kognitif

field independent dan 32 siswa

yang bergaya kognitif field

dependent.

Instrumen penelitian yang

digunakan dalam pengumpulan

data terdiri atas dua yaitu (a)

tes gaya kognitif, dan (b) tes

pemahaman geografi.

Instrumen gaya kognitif terdiri

dari 20 soal yang berbentuk

gambar-gambar yang rumit.

Dalam gambar-gambar yang

rumit itu ditempatkan gambar

yang sederhana. Sebagai

jawabannya siswa disuruh

mencari gambar yang

sederhana itu di dalam gambar

yang rumit dengan jalan

menebalkan gambar yang

sederhana tersebut. Tes gaya

kognitif dilaksanakan pada

minggu pertama bulan Januari

2011.

Tes pemahaman ‘uniflying

geography’ dengan

10

Page 51: Buku e jurnal vol 1

menggunakan 40 soal pilihan

ganda yang setelah

diujicobakan diperoleh soal

yang memenuhi syarat valid

dan reliabel sebanyak 35 soal

untuk setiap soal terdapat lima

kemungkinan jawaban.

Sebelum dilakukan pengujian

hipotesis, terhadap semua data

dilakukan uji prasyarat dengan

uji normalitas dan uji

homogenitas. Uji normalitas

digunakan uji Kolmogorov-

Smirnov. Uji homogenitas

menggunakan perangkat

analisis Levene Statistic. Dari

pengujian ternyata bahwa

semua kelompok data

memenuhi asumsi normalitas

dan homogenitas. Analisis data

dalam penelitian ini

menggunakan teknik analisis

kovarian (anakova).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara pembelajaran

berbasis masalah dan

pembelajaran konvensional.

Temuan ini membuktikan

bahwa hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini yaitu ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’secara

signifikan antara pembelajaran

berbasis masalah dan

pembelajaran konvensional

siswa kelas X SMAN 1 Sidayu.

Jadi, hipotesis yang diajukan

dalam penelitian ini diterima.

Maksudnya, metode

pembelajaran berbasis masalah

lebih unggul daripada metode

pembelajaran konvensional

dalam mempengaruhi

pemahaman ‘uniflying

geography’.

11

Page 52: Buku e jurnal vol 1

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying geography’ secara

signifikan antara siswa yang

bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent siswa kelas X SMAN

1 Sidayu. Temuan ini

menunjukkan bahwa siswa

yang bergaya kognitif field

independent rerata hasil

belajarnya lebih tinggi daripada

siswa yang bergaya kognitif

field dependent. Jadi, hipotesis

yang diajukan dalam penelitian

ini diterima. Maksudnya, siswa

yang bergaya kognitif field

independent lebih baik

pemahaman geografinya

daripada siswa yang bergaya

kognitif field dependent.

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa tidak ada

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’. Jadi, hipotesis yang

diajukan dalam penelitian yaitu

ada interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu ditolak.

Pengaruh Metode

Pembelajaran terhadap

Pemahaman ‘Uniflying

Geography’

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa ada

perbedaan pemahaman

‘uniflying grography’ secara

12

Page 53: Buku e jurnal vol 1

signifikan antara metode

pembelajaran berbasis masalah

dan metode pembelajaran

konvensional. Temuan ini

membuktikan bahwa hipotesis

yang diajukan dalam penelitian

ini yaitu ada perbedaan

pemahaman .uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu.

Geografi merupakan ilmu

integratif yang mempelajari

fenomena geografis mencakup

dimensi fisik dan sosial di

permukaan bumi dalam

perspektif keruangan untuk

pembangunan wilayah supaya

manusia hidup sejahtera.

Geografi sebagai disiplin ilmu

dan mata pelajaran dengan

kajian fenomena geografis yang

cukup luas, kompleks, dan sulit

sehingga menuntut kemampuan

siswa memecahkan masalah

untuk dapat memahami

fenomena fisik dan sosial

secara komprehensif dengan

pendekatan spasial maka guru

geografi harus melakukan

pembelajaran berbasis masalah

dengan melibatkan siswa

secara aktif. Untuk dapat

memahami fenomena fisik dan

sosial di permukaan bumi

dalam perspektif spasial maka

siswa perlu mendalami ilmu

geografi dan ilmu bantu

geografi dengan bimbingan

guru melalui kajian Gambar 2.

13

Page 54: Buku e jurnal vol 1

Gambar 2. Geografi dan bidang-

bidang ilmu bantunya (Haggett,

2001:766).

Geografi dan bidang-

bidang ilmu bantunya dapat

dikuasai oleh siswa, antara lain

jika digunakan metode

pembelajaran berbasis

masalah. Hal ini menurut

Khafid (2010:77) karena siswa

akan lebih banyak kesempatan

untuk berpartisipasi, memberi

dan menerima bantuan dalam

menjelaskan dan meningkatkan

belajar dalam kelompok,

meningkatkan motivasi untuk

sukses karena sukses tidak

hanya untuk dirinya sendiri

tetapi juga untuk kelompoknya.

Motivasi yang baik dalam

mengerjakan tugas akan

membantu perkembangan

belajar, siswa tidak terisolasi,

siswa diberi lebih banyak

tanggung jawab.

Metode pembelajaran

berbasis masalah menggunakan

level yang lebih tinggi dalam

berpikir. Berinteraksi dengan

teman atau orang lain

mendorong orang untuk

membangun kembali pikiran

mereka seperti merangkum,

menguraikan, dan menjelaskan.

Ketidaksetujuan, jika ditangani

dengan baik akan membantu

dalam kejernihan berpikir dan

meningkatkan untuk

membangun kembali

pengetahuan yang baru.

Mendengarkan perspektif

orang lain, terutama dalam

kelompok yang heterogen,

meningkatkan kesadaran

bahwa banyak cara pandang,

menghargai keberagaman

sebagaimana tuntutan studi

geografi.

14

Page 55: Buku e jurnal vol 1

Pengaruh Gaya Kognitif

terhadap ’Uniflying

Geography’

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan ada perbedaan

pemahaman ’uniflying

geography’ secara signifikan

antara siswa yang bergaya

kognitif field independent dan

siswa yang bergaya kognitif

field dependent. Temuan ini

menunjukkan bahwa siswa

yang bergaya kognitif field

independent rerata hasil

belajarnya lebih tinggi daripada

siswa yang bergaya kognitif

field dependent. Jadi, hipotesis

yang diajukan dalam penelitian

ini diterima dan siswa yang

bergaya kognitif field

independent lebih baik

pemahaman geografinya

daripada siswa yang bergaya

kognitif field dependent.

Temuan ini memperkuat

penelitian McCelland (dalam

Slameto, 2003) yang

menyatakan bahwa seorang

yang bergaya kognitif field

independent lebih baik hasil

belajarnya (pemahaman

geografi) dibandingkan dengan

yang bergaya kognitif field

dependent.

Dalam rangka belajar di

sekolah gaya kognitif terwujud

sebagai daya penggerak siswa,

sikap, dan perilaku untuk

mengusahakan kemajuan

belajar dan berprestasi yang

maksimal. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

keinginan untuk sukses benar-

benar berasal dari dalam diri

sendiri. Siswa ini tetap bekerja

keras baik dalam situasi

bersaing dengan orang lain,

maupun dalam bekerja sendiri.

Siswa yang bergaya kognitif

field independent untuk

memperoleh prestasi baik, dia

15

Page 56: Buku e jurnal vol 1

mencapai sesuai dengan taraf

kemampuannya. Untuk itu,

lebih tekun belajar, bekerja

keras, ingin berkompetisi

sehingga tidak pernah

membuang-buang waktu.

Pengalamannya bersukses

meningkatkan usaha untuk

sukses lagi dikemudian hari.

Sebaliknya, siswa yang bergaya

kognitif field dependent untuk

berprestasi baik tidak begitu

rela untuk melibatkan diri

sepenuhnya dalam

mengerjakan tugas belajar yang

dihadapinya. Pada siswa yang

bergaya kognitif field

independent berusaha secara

maksimal, ukuran mengenai

prestasi banyak ditentukan oleh

usaha mereka sendiri ataupun

belajar dengan teman-teman.

Siswa yang bergaya kognitif

field dependent dengan mudah

dipengaruhi oleh

lingkungannya, baik lingkungan

belajar maupun lingkungan

hidupnya. Ia ingin menghindari

kegagalan dan bersamaan

dengan itu memiliki aspirasi

yang tidak realistis,

menentukan target yang

sebenarnya terlalu rendah atau

terlalu tinggi untuk mencari

jaminan tidak akan mengalami

kegagalan. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

memiliki harapan untuk sukses

dan bekerja secara mandiri.

Mereka tidak mudah

dipengaruhi oleh

lingkungannya sehingga selalu

mau belajar terus sepanjang

hayat.

Interaksi Metode

Pembelajaran dan Gaya

Kognitif terhadap

Pemahaman ‘Uniflying

Geography’

16

Page 57: Buku e jurnal vol 1

Hasil analisis dan

pengujian hipotesis

menunjukkan bahwa tidak ada

interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’. Jadi, hipotesis yang

diajukan dalam penelitian yaitu

ada interaksi antara metode

pembelajaran dan gaya kognitif

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu terbukti tidak

ada interaksi.

Interaksi dalam penelitian

ini diartikan kerja sama dua

variabel bebas atau lebih dalam

mempengaruhi suatu variabel

terikat. Interaksi terjadi

manakala suatu variabel bebas

memiliki efek-efek yang

berbeda terhadap suatu

variabel terikat pada berbagai

tingkat dari suatu variabel

bebas lainnya. Dalam penelitian

ini terungkap bahwa tidak ada

interaksi, ini berarti bahwa

metode pembelajaran bekerja

sendiri-sendiri memengaruhi

pemahaman belajar geografi,

demikian juga dengan gaya

kognitif bekerja sendiri-sendiri

terhadap pemahaman belajar

geografi. Atau dengan kata lain

metode pembelajaran berbasis

masalah dan metode

pembelajaran konvensional

membawa suatu akibat

terhadap hasil belajar geografi

siswa kelas X SMAN 1 Sidayu

apapun juga tingkat gaya

kognitifnya. Demikian dengan

gaya kognitif, gaya kognitif

field independent dan gaya

kognitif field dependent

membawa suatu akibat

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu apapun juga

metode pembelajarannya.

Belajar adalah penyusunan

pengetahuan dari pengalaman

17

Page 58: Buku e jurnal vol 1

konkrit, aktivitas kolaborasi,

refleksi, dan interpretasi.

Aktivitas belajar lebih banyak

didasarkan data primer dan

bahan manipulatif dengan

penekanan pada keterampilan

berpikir kritis dan kompleks.

Karakteristik siswa begitu

sangat kompleks meliputi

antara lain intelegensia, sikap,

gaya belajar, gaya kognitif,

gaya berpikir, dan motivasi.

Gaya kognitif hanyalah

salah satu bagian dari sekian

banyak karakter sehingga kalau

interaksi belum tampak dalam

penelitian ini, hal itu dapat

dimaklumi, masih memerlukan

pengkajian lebih mendalam

dengan memasukkan variabel-

variabel lain sebagai variabel

kovarian atau mengeliminasi

variabel-variabel tersebut

dalam penelitian. Demikian

juga metode pembelajaran,

begitu banyaknya model-model

pembelajaran dan memang

harus diakui bahwa tidak ada

ketentuan yang pasti mengenai

metode pembelajaran yang

cocok untuk satu mata

pelajaran tertentu dalam

pembelajaran, sehingga tujuan

pembelajaran dapat tercapai.

Proses belajar itu sendiri

merupakan suatu sistem

pembelajaran yang secara

otomatis terjadi dalam diri

seseorang. Tugas pendidik

adalah bagaimana

membelajarkan peserta didik di

sekolah supaya mereka

memiliki kecakapan hidup dan

berkembang kecerdasan

majemuknya.

SIMPULAN DAN SARAN

Ada perbedaan

pemahaman ‘uniflying

geography’ secara signifikan

antara pembelajaran berbasis

18

Page 59: Buku e jurnal vol 1

masalah dan pembelajaran

konvensional siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu. Motode

pembelajaran berbasis masalah

lebih unggul daripada metode

pembelajaran konvensional

dalam mempengaruhi

pemahaman ‘uniflying

geography’.

Ada pemahaman ‘uniflying

geography’ yang berbeda

secara signifikan antara siswa

yang bergaya kognitif field

independent dan siswa yang

bergaya kognitif field

dependent di kelas X SMAN 1

Sidayu. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

pemahaman belajar geografinya

lebih tinggi daripada siswa

yang bergaya kognitif field

dependent.

Tidak ada interaksi antara

metode pembelajaran (metode

pembelajaran berbasis masalah

dan metode pembelajaran

konvensional) dan gaya kognitif

(gaya kognitif field independent

dan gaya kognitif field

dependent) terhadap

pemahaman ‘uniflying

geography’ siswa kelas X

SMAN 1 Sidayu. Metode

pembelajaran (metode

pembelajaran berbasis masalah

dan metode pembelajaran

konvensional) membawa suatu

akibat terhadap pemahaman

belajar geografi apapun juga

tingkat gaya kognitif siswa.

Gaya kognitif (gaya kognitif

field independent dan gaya

kognitif field dependent)

membawa suatu akibat

terhadap pemahaman ‘uniflying

geography’ apapun juga metode

pembelajarannya.

Pembelajaran berbasis

masalah adalah salah satu

model pembelajaran yang dapat

meningkatkan prestasi

19

Page 60: Buku e jurnal vol 1

akademik, kecakapan sosial,

dan kecakapan komunikasi,

siswa menjadi lebih aktif,

aktivitas belajar

menyenangkan, dan

menggairahkan. Guru geografi

disarankan untuk memulai

dengan model pembelajaran

berbasis masalah, karena model

pembelajaran ini adalah

sebagai salah satu metode yang

mampu memahami konsep

esensial geografi dan

memecahkan permasalahan

spasial global.

Gaya kognitif adalah salah

satu karakteristik siswa yang

perlu mendapat perhatian guru

di sekolah. Siswa yang bergaya

kognitif field independent

berikanlah tugas-tugas yang

menantang namun

memungkinkan untuk sukses,

mulailah dengan tugas-tugas

yang sedang. Sebaliknya, siswa

yang bergaya kognitif field

dependent berikanlah motivasi

terutama dalam hal tujuan

belajar di sekolah, mulailah

dengan tugas-tugas yang

mudah. Peningkatan kualitas

belajar bukan merupakan

kegiatan yang insidental,

melainkan harus merupakan

suatu proses yang

berkelanjutan.

Tidak ada ketentuan yang

pasti mengenai metode

pembelajaran yang paling tepat

digunakan. Tepat tidaknya

suatu metode baru terbukti dari

hasil belajar siswa melalui

evaluasi yang berkelanjutan

dan beragam yang mampu

memahami konsep geografi

yang satu (uniflying geography)

dan fenomena geosfer atau

masalah kegeografian melalui

pendekatan spasial dengan

sudut pandang ekologi manusia

dan regional. Guru geografi

disarankan melakukan

20

Page 61: Buku e jurnal vol 1

penelitian dengan mencoba

berbagai metode pembelajaran

inovatif

21

Page 62: Buku e jurnal vol 1

DAFTAR RUJUKAN

Daldjoeni, N. 1997. Pengantar Geografi untuk Mahasiswa dan Guru Sekolah

Bandung: Alumni.

Degeng, I.N.S. 2001a. Teori Belajar dan Pembelajaran. Malang: LP3 UM.

Degeng, I.N.S. 2001b. Karakteristik Belajar Mahasiswa: Kajian Temuan Peneli-

Tian dan Terapannya dalam Rancangan Pembelajaran. Malang: LP3 UM.

Heller, P.1992. Teaching Problem Solving Through Cooperative Grouping, Part I:

Group versus Individual Problem Solving. New York: McGraw-Hill. Haggett, P. 2001. Geography A Global Synthesis. London: Prentice Hall.Khafid, S. 2003. Pengembangan Rancangan Pembelajaran dengan Pendekatan

Konstruktivistik pada Mata Pelajaran Geografi. Tesis tidak diterbitkan. Sura-

baya: PPS Teknologi Pembelajaran Universitas PGRI Adi Buana Surabaya.

Khafid, S. 2007. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model Jigsaw dan Gaya

Kognitif terhadap Prestasi Belajar Geografi Siswa Kelas X SMAN 1 Sidayu.

Jurnal Forum Pendidikan & Ilmu Pengetahuan, II (04): 31-40.

Khafid, S. 2008. Peningkatan Pemahaman Konsep Geografi melalui Implementasi

Ayat-Ayat Pembelajaran Kontekstual Siswa SMAN 1 Sidayu. Jurnal Kajian

Teori dan Praktik Kependidikan, 35 (1): 17-28.

Khafid, S. 2010. Pembelajaran Kooperatif Model Investigasi Kelompok, Gaya

Kognitif, dan Hasil Belajar Geografi. Jurnal Ilmu Pendidikan, 17 (1): 73-78.

Lamba, H.A. 2006. Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Model STAD dan Gaya

Kognitif terhadap Hasil Belajar Fisika Siswa SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan,

13 (2): 122-128.

Matthews, J.A. and Herbert, D.T. 2004. Unifying Geography Common Heritage,

22

Page 63: Buku e jurnal vol 1

Shared Future. London: Routledge.

Mustaji. 2004. Pembelajaran Berbasis Konstruktivistik. Surabaya: Unesa Univer-sity Press.

Nur, M. dan Wikandari, P.R. 1999. Pengajaran Berpusat kepada Siswa dan

Pendekatan Konstruktivis dalam Pengajaran. Surabaya: Unesa University

Press.

Riyanto, Y. 2005. Paradigma Pembelajaran. Surabaya: Unesa University Press.

Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:

Rineka Cipta.

Slavin, R.E. 1995. Cooperative Learning Research, Theory and Practice. Boston:

Allyn and Bacon.

Suharyono dan Amien, M. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Jakarta: Dirjen.

Dikti. Depdikbud.

Suparno, P. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta:

Kanisius.

Syah, M. 2001. Psikologi Belajar. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

23

Page 64: Buku e jurnal vol 1

IKLIM KERJA LEMBAGA DI PONDOK PESANTREN AL-FUTUHIYAH

GENDONGKULON-BABAT LAMONGAN

Sri Sundari *)

Abstrak, Iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orang-orang di dalamnya selalu terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Lembaga penyelenggara pendidikan salah satunya memiliki fungsi dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan dalam rangka ikut dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keadaan iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan fokus penelitian adalah iklim kerja di Pondok Pesantren Al Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan. Data dikumpulkan dengan kuesioner selanjutnya data ditampilkan dengan tabel dan dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim kerja organisasi yang meliputi, suasana kerja, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, dan sistem ganjaran dirasakan nyaman, kondusif, penuh keakraban dan kekeluargaan, saling menghargai oleh pegawainya, dan terlaksananya kepemimpinan dengan baik.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan pimpinan pesantren dapat mempertahankan dan meningkatkan iklim kerja yang ada khususnya suasana kerja, orientasi nilai, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap, ganjaran dan meningkatkan citra diri orgaisasi di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan.

Kata Kunci : Iklim Kerja

24

Page 65: Buku e jurnal vol 1

PENDAHULUAN

Peningkatan prestasi kerja dalam suatu lembaga merupakan tujuan yang diinginkan oleh lembaga. Sebagai satu kesatuan yang kompleks dimana di dalamnya terdapat sekelompok manusia yang memiliki kesamaan tujuan dan kepentingan, mereka kurang bekerja secara produktif jika tidak disertai dengan adanya iklim kerja yang menyenangkan. Lembaga sebagai suatu proses, di dalamnya terdapat kerjasama antara pimpinan dan pegawai dalam pencapaian tujuan lembaga. Kerjasama dapat tercipta dengan baik, apabila setiap personil yang ada baik pimpinan maupun staf mempunyai pandangan bahwa “Keseluruhan lebih berarti dan bagian”. Sebagai faktor utama dalam lembaga, kelangsungan hidup dan keberhasilan lembaga bergantung pada manusia yang berperan dibalik alat-alat ataupun sumber-sumber daya lainnya. Oleh sebab itu, seharusnyalah lembaga sebagai wadah manusia beraktifitas mempunyai tanggungjawab penuh untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki serta selalu menciptakan iklim kerja yang kondusif dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.

Lingkungan tempat bekerja merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja pegawai di dalamnya, walaupun ada faktor-faktor lain yang menentukan maupun mempengaruhinya. Orang-orang yang berada di dalam lembaga, tempat bekerja haruslah

mampu menciptakan iklim kerja yang memberikan rasa aman, pengakuan dan penghargaan serta menjanjikan kepuasan kerja kepada anggotanya sehingga nanti pada akhirnya mampu berkinerja dengan baik. Iklim lembaga yang menyenangkan akan tercipta, bilamana hubungan antar manusia (human relationship) berkembang dengan harmonis. Lingkungan kerja yang harmonis yang mendukung lembaga dibutuhkan oleh orang-orang dalam lembaga baik atasan maupun bawahan. Hal ini sejalan dengan pemikiran Stoner dalam Mulyono (1993:88) iklim kerja / suasana lembaga (work situation characteristic) adalah faktor lingkungan kerja individu. Di dalam lembaga hendaknya timbul dinamika kerjasama. Kerja sama ini adalah bagian yang vital dalam kehidupan berlembaga. Adanya interaksi dan proses kerja sama anggota satu dengan anggota lainnya, antara bagian satu dengan bagian yang lainnya maupun antara atasan dan pegawainya akan menimbulkan pemahaman terhadap suatu kondisi dan lingkungan kerja sehingga mudah untuk mencrima informasi dan arus gagasan (ide) dalam melakukan kerjasama guna mencapai tujuan.

Pentingnya kebebasan berinteraksi dan menjalin hubungan dalam lembaga untuk menciptakan iklim kerja yang kondusif telah dikemukakan oleh Stoner (dalam Mulyono, 1993:67) yang mana iklim kerja yang permisifdan kreatifakan terpupuk apabila para individu

25

Page 66: Buku e jurnal vol 1

mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan para anggota kelompoknya sendiri maupun dengan kelompok-kelompok kerja lainnya. Interaksi semacam ini mendorong terjadinya pertukaran informasi yang bermanfaat, arus gagasan yang bebas dan perspektif yang sehat mengenai masalah yang ada.

Berkenaan dengan iklim kerja lembaga menurut Stoner (1982) ada dua golongan yang mempengaruhi situasi pekerjaan, yaitu lingkungan kerja langsung di dalamnya termasuk sistem imbalan lembaga dan kebijakan serta tindakan lembaga. Sedangkan Cribbin, (1981) menjelaskan salah satu unsur iklim kerja lembaga yang kondusif adalah gaya kepemimpinan. Dengan demikian iklim kerja yang kondusif adalah suatu kondisi, keadaan atau suasana kerja yang dirasakan menyenangkan oleh setiap individu yang ada dalam lembaga sehingga orang-orang di dalamnya selalu terdorong untuk terlibat secara produktif guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien.

Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan memiliki fungsi yang urgen dalam usaha-usaha mengembangkan pendidikan di daerah dalam rangka ikut dalam meningkatkan pendidikan daerah. Secara keseluruhan keadaan iklim kerja di lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah

Gendongkulon-Babat Lamongan dapat dikatakan kondusif. Hal ini bisa dilihat bagaimana masing-masing unit kerja begitu berhati-hati dalam menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh. Contohnya, informasi internal lembaga benar-benar dijaga kerahasiaannya, meskipun berusaha mendapatkannya dengan prosedur yang benar. Setiap unit menjalankan tugasnya dengan sistem birokrasi lembaga yang baik sesuai dengan fungsi tiap-tiap unit/bagian yang terdapat pada struktur lembaga. Dengan kata lain tiap-tiap unit/bagian bekerja benar-benar mengikuti aturan sistem “pintu ke pintu” (door to door). Begitu juga hubungan antar rekan kerjanya yang terjalin dengan baik antara satu dengan yang lain, meskipun masih terdapat hubungan yang kurang baik.

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian pada dasarnya merupakan keseluruhan proses dan penentuan secara matang hal-hal yang dilakukan untuk dijadikan pedoman selama pelaksanaan penelitian. Suatu penelitian diselenggarakan untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan metode penelitian yang sesuai. Berkaitan dengan metode penelitian,

26

Page 67: Buku e jurnal vol 1

Surakhmad (1982: 131) mengemukakan tiga macam metode penelitian yaitu : historis, deskriptif dan eksperimen. Ditinjau dan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan kejadian-kejadian masa lalu dan sekarang dengan melihat variabel yang ada.

Penelitian ini berupa penelitian deskriptif karena penelitian ini bertujuan untuk mencatat, mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan keadaan-keadaan yang ada tentang objek yang akan diteliti (Mardalis, 1990: 26). Dengan melihat variabel yang ada di dalam penelitian ini, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.

Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi

Populasi sebagai “keseluruhan subjek yang diteliti yang didapat dan suatu informasi tentang masalah penelitian yang akan dilakukan” (Arikunto. 1992:102). Latunussa (1988:11) menjelaskan “ populasi adalah sekumpulan objek yang diteliti”. Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh staf di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan yang berjumlah 67 orang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 1

Jumlah Staf Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-

Babat Lamongan

No Sub. BagianJumla

h1. Penasehat 42. Penanggungjawab 13. Pimpinan 44. Staf Pengajar 255. Tata Usaha 56. Dewan Pengurus 107. Bendahara 28. Sekretaris 29. Pegawai 8Jumlah 67

Sumber Pondok Pesantren AI-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan

Sampel Penelitian

Tujuan pengambilan sampel penelitian dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan tenaga, waktu dan biaya, namun sampel harus mewakili atau mencerminkan seluruh populasi yang menjadi objek penelitian.

Definisi sampel penelitian banyak dikemukakan oleh para ahli, Arikunto (1996:117) menjelaskan sampel adalah “Sebagian atau wakil populasi yang diteliti”. Sedangkan Hadi (1997:21) mengemukakan bahwa sampel adalah “Sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari populasi”. Sampel penelitian ini diambil acuan sebagai wakil populasi yang representatif. Ukuran besarnya sampel yang pasti memang tidak ada, namun untuk menjaga validitas data penelitian harus mempunyai

27

Page 68: Buku e jurnal vol 1

pedoman tertentu. Seperti yang dikemukakan oleh Arikunto (1996: 120) “Apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil seluruhnya, sehingga merupakan penelitian populasi, selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-50 atau lebih”.

Dengan melihat penjelasan di atas untuk mendapatkan sampel yang representatif maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel total. Dengan kata lain semua populasi akan menjadi subjek penelitian.

Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh seorang peneliti dalam pengumpulan data. Instrumen penelitian yang

digunakan untuk menyimpulkan data dari lapangan untuk variabel iklim kerja lembaga adalah angket. Alasan menggunakan angket adalah karena pertimbangan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya.

Prosedur Pengembangan Instrumen

Berkaitan dengan pengembangan instrumen, maka langkah berikutnya yaitu menyusun instrumen masing-masing variabel yang berpedoman pada indikator yang disajikan pada jabaran-jabaran. Kemudian jabaran masing-masing variabel ditetapkan dan disajikan dalam bentuk matrik jabaran variabel, sub variabel dan indikator penelitian. Sebaran nomer item instrumen penelitian ini dapat dilihat pada tabel 2 berikut.

Tabel 2

28

Page 69: Buku e jurnal vol 1

Jabaran variabel, sub variabel, indikator penelitian san nomor item dalam instrumen penelitian (sebelum uji coba)

Variabel Sub Variabel Indikator No. Item

Iklim kerja lembaga

a. Suasana kerja

a. Suasana kerja yang hangat, ramah, santai dan penuh kesungguhan

b.Saling menghargaic. Saling menolongd.Terbuka terhadap gagasan baru

1,2,3

456

b. Orientasi nilai

a. Mengerjakan yang baik-baikb.Kerjasama dengan orang lainc. Perlakuan etisd.Memperbaiki prestasie. Memutuskan tujuan unit atau lembaga

789

1011

c. Citra diri a. Cakapb.Percaya diric. Sangat konservatif dan hati-hati

121314

d. Gaya kepemimpinan

a.Konsultatif dan partisipatifb.Berorientasi pada pemecahan masalah bersamac. Memberikan pengarahan dan pengendaliand.Berorientasi pada manusiae.Banyak membantu dan memudahkanf. Adilg.Inovatifh.Berorientasi pada kebaikan dan terpusat pada

perspektif jangka pendek dan jangka panjang

15,16171819202122

23,2425,26,27,

28e. Daya tolak

atau daya dorong

a.Tumbuh sesuai rencanab.Mempertahankan kedudukanc. Menekan inovasi dan teknologid.Menekannkan sumber daya manusia dan

manajemen

2930

31,32,3334,35

f. Daya tangkap

a.Kecepatan lembaga yang tinggib.Tidak tergesa-gesac. Direncanakan

363738

g. Ganjaran a. Ganjaran materi1. Gaji2. Tunjangan

b. Ganjaran psikologis1. Pengakuhan dan penghargaan2. Perhatian dan tanggung jawab

3940,41,42,

43

4445

Analisis Data

Analisis data merupakan bagian metode penelitian yang sangat penting dalam mencari makna data untuk memecahkan masalah

penelitian. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan dalam penelitian ini. Untuk menentukan teknik analisis yang tepat, maka

29

Page 70: Buku e jurnal vol 1

harus memperhatikan tujuan penelitian dan data yang tersedia.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Teknik ini digunakan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan kondisi yang ada/tingkat iklim kerja lembaga yang dirasakan oleh pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan umum) serta keadaan/tingkat lingkungan kerja langsung, orientasi nilai, citra diri, gaya kepemimpinan, daya dorong, daya tanggap dan pemberian kompensasi pegawai di Lingkungan Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan (tujuan khusus). Adapun langkah-langkah yang perlu dilaksanakan adalah :

Menentukan kualifikasi

Langkah ini dilakukan untuk menentukan kualifikasi penilaian terhadap variabel penelitian, yang harus ditentukan terlebih dahulu lebar kelas intervalnya. Sedangkan untuk menentukan lebar kelas interval (i) adalah rentang (R)= skor tertinggi dikurangi dengan skor terendah, dibagi dengan banyaknya interval (k). Dengan demikian rumus untuk menentukan panjang interval (i) adalah :

i=Rentangskor (skor tertinggi−skor terendah)

Banyaknya interval kelas

Banyaknya interval/kategori kelas dalam penelitian ini ditetapkan berjumlah 4 yaitu:

Tabel 3

Kategori dan Penafsiran Skala Sikap

Katagori kelas

Penafsiran skala sikap

Skor interval

Sangat tinggi

Selalu 3,24 – 4

Tinggi Sering 2,6 – 3,25Cukup Kadang-

kadang1,76 – 2,5

Kurang Tidak pernah

1 – 1,75

Menentukan besarnya persentase

Untuk menyatakan kondisi masing-masing variabel dengan rumus :

% = fNx100%

Keterangan : f = Frekuensi N = Jumlah subyek

HASIL PENELITIAN

Tabel 4

Deskripsi Data Variabel Iklim Kerja Lembaga

No. Kualifikasi

B. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

131 – 160

25 37,31

2. Tinggi 101 – 130

39 58,20

3. Cukup 71 – 100 3 4,474. Kurang 40 – 70 - -

Total 67 100

30

Page 71: Buku e jurnal vol 1

Berdasar hasil pengolahan data variabel iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan menunjukkan bahwa secara umum berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 58,20% atau sebanyak 39 dari 67 responden menyatakan bahwa iklim kerja lembaga di Pondok Pesantren Al- Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Kossen (1986) menjelaskan bahwa hubungan manusiawi merupakan tanggungjawab setiap orang dalam lembaga. Manajer mempunyai tanggung jawab utarna untuk menegakkan iklim hubungan manusiawi yang menyenangkan, demikian pula para anggota (sub ordinal) dan para karyawan operasional lembaga juga mempunyai pengaruh terhadap iklim dan seyogyanya berbagi tanggungjawab.

Tabel 5

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Suasana Kerja

No. Kualifikasi

C. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

16,26 – 20 8 11,95

2. Tinggi 12,51 – 16,25

51 76,12

3. Cukup 8,76 – 12,50 8 11,95

4. Kurang 5 – 8,75 - -Total 67 100

Tabel 5 menunjukkan bahwa secara umum suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 76,12% atau sebanyak 51 dan 67 responden menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan 8 sponden dengan persentase 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan 8 orang reponden lainnya dengan persentase sebesar 11,95% menyatakan bahwa suasana kerja di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon Babat Lamongan berada dalam kategori cukup.

Tabel 6

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Orientasi Nilai

No. Kualifikasi

D. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

16,26 – 20 12 17,91

2. Tinggi 12,51 – 16,25

43 64,17

3. Cukup 8,76 – 12,50 12 17,91

4. Kurang 5 – 8,75 - -Total 67 100

Hasil pengolahan data untuk sub variabel orientasi nilai dengan menggunakan teknik persentase menunjukkan bahwa secara umum orientasi nilai di Pondok Pesantren

31

Page 72: Buku e jurnal vol 1

Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori tinggi yaitu sebesar 64,17% atau sebanyak 43dari 67 responden menyatakan bahwa orientasi nilai pegawai di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori tinggi. Sedangkan masing-masing 15 responden dengan persentase sebesar 17,91% menyatakan bahwa orientasi nilai di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi dan kategori cukup

Tabel 7

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Citra Diri

No.

Kualifikasi

E. Kelas

interval

f %

1. Sangat tinggi

9,76 – 12 17 25,37

2. Tinggi 7,51 – 9,75

10 14,93

3. Cukup 5,26 – 7,50

30 44,78

4. Kurang 3 – 5,25 10 14,93

Total 67 100

Tabel 7 menunjukkan bahwa secara umum citra diri di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori cukup dengan persentase sebesar 44,80% atau 30 dari 67 responden menyatakan bahwa citra din lembaga di Pondok Pesantren Al-

Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori cukup. Sedangkan 17 responden dengan persentase sebesar 23,90% menyatakan bahwa citra diri lembaga berada dalam kategori sangat tinggi, 10 responden dengan persentase sebesar 14,92% menyatakan berada dalam kategori tinggi dan 10 responden dengan persentase yang sama sebesar 14.92% menyatakan berada pada kategori kurang

Tabel 8

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Gaya Kepemimpinan

No.

Kualifikasi

F. Kelas

interval

f %

1. Sangat tinggi

40 – 48 36 53,73

2. Tinggi 31 – 39 23 34,33

3. Cukup 22 – 30 8 11,94

4. Kurang 12 – 21 - -Total 67 100

Tabel 8 menunjukkan bahwa secara umum gaya kepemimpinan di pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 53,73% atau sebanyak 36 dari 67 responden menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di kantor Dinas Penididikan Kabupaten Situbondo berada dalam kategori sangat tinggi.

32

Page 73: Buku e jurnal vol 1

Ini menunjukkan bahwa para pegawai merasa puas dengan gaya pemimpinan atasannya, mereka merasa diperhatikan, diarahkan dan dilibatkan dalam setiap pemecahan masalah di dalam lembaga, selain itu mereka merasa dimudahkan dan dibantu oleh atasan. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa gaya kepemimpinan atasan berada dalam kategori tinggi dan 8 responden dengan prentase sebesar 11,94% menyatakan dalam kategori cukup. Semakin efektif gaya kepemimpinan yang dilakukan maka akan mempermudah pencapaian tujuan lembaga yang ditetapkan.

Tabel 9

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Dorong

No. Kualifikasi

G. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

19,51 – 24 37 55,22

2. Tinggi 15,01 – 19,50

23 34,33

3. Cukup 10,51 – 15,00

7 10,45

4. Kurang 6 – 10,50 - -Total 67 100

Tabel 9 menunjukkan bahwa secara umum daya dorong di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 55,22% atau 37dari 67 responden menyatakan bahwa daya dorong lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 23 responden dengan persentase sebesar 34,32% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori tinggi dan 7 responden dengan persentase 10,44% menyatakan bahwa daya dorong lembaga berada dalam kategori cukup.

Tabel 10

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Daya Tanggap

No. Kualifikasi

H. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

9,76 – 12 57 85,07

2. Tinggi 7,51 – 9,75

9 13,43

3. Cukup 5,26 – 7,50

1 1,50

4. Kurang 3 – 5,25 - -Total 67 100

Tabel 10 menunjukkan bahwa secara umum daya tanggap lembaga di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah

33

Page 74: Buku e jurnal vol 1

Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 85,07% atau 57 dari 67 responden menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 9 responden dengan persentase sebesar 13,43% menyatakan bahwa daya tanggap lembaga berada dalam kategori tinggi dan 1 responden dengan persentase sebesar 1,50% menyatakan berada pada kategori cukup.

Tabel 4.11

Deskripsi Data untuk Sub Variabel Ganjaran

No. Kualifikasi

I. Kelas interval

f %

1. Sangat tinggi

19,51 – 24 31 46,27

2. Tinggi 15,01 – 19,50

21 31,34

3. Cukup 10,51 – 15,00

15 22,39

4. Kurang 6 – 10,50 - -Total 67 100

Tabel 4.11 menunjukkan bahwa secara umum pemberian ganjaran di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat Lamongan berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase sebesar 46,27% atau sebanyak 31 dan 67 responden menyatakan bahwa pemberian ganjaran di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulon-Babat

Lamongan berada dalam kategori sangat tinggi. Sedangkan 21 reponden dengan persentse sebesar 31,34% menyatakan pemberian ganjaran/kompensasi berada dalam kategori tinggi dan 15 responden dengan persentase 22,39% menyatakan pemberian ganjaran berada dalam kategori cukup.

KESIMPULAN

1. Iklim kerja organisasi di Pondok Pesantren Al-Futuhiyah Gendongkulo Babat Lamongan para pegawainya merasa nyaman dengan suasana kerja, kepemimpinan dan ganjaran.

2. Suasana kerja di kantor menunjukkan para pegawainya benar-benar merasakan adanya suasana kerja yang penuh keakraban, saling menghargai, saling menolong dan penuh kekeluargaan.

3. Orientasi nilai menunjukkan bahwa para pegawai memiliki rasa tanggungjawab, disiplin, berusaha meningkatkan prestasi kerja dan loyal.

4. Citra diri menunjukkan bahwa kurangnya kecakapan pegawai dalam bekerjasama dengan orang dan luar organisasi.

5. Gaya kepemimpinan menunjukkan bahwa pegawainya merasa pimpinan telah melaksanakan kepemimpinan dengan baik.

6. Daya dorong menunjukkan bahwa pegawai dalam menjalankan tanggungjawabnya penuh dengan perencanaan, dapat

34

Page 75: Buku e jurnal vol 1

memanfaatkan teknologi dengan baik dan mau mengikuti peraturan.

7. Daya tanggap menunjukkan para pegawainya bekerja sesuai dengan perintah atasan tanpa cenderung menunda pekerjaan.

8. Sistem menunjukkan para pegawai diperhatikan dan diberi kemudahan untuk kesejahteraannya.

DAFTAR PUSTAKA

Adair, J. 1993. Membina Colon Pimpinan (Sepuluh Prinsip Pokok). Jakarta : Bumi Aksara.

Albert. K. 1983. Pengemhangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa.

Anwar. 1985. Pengembangan Organisasi. Bandung : PT. Angkasa.

Arikunto, S. 1992. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Arikunto, S. 1996. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.

Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.

Cribbin, J.J. 1981. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan

Organisasi. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.

Faisal, S. 1981. Dasar dan Teknik Menyusun Angket. Surabaya : Usaha Nasional.

Furchan. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional.

Hadi, S. 1997. Statistik Jilid I. Yogyakarta : Andi Offset.

Hakim. 1994. Pengantar Sederhana Penelitian Pendidikan. Jakarta : Proyek Pengembangan Pendidikan Guru.

Hamzah, R. 1990. Kepemimpinan Strategi Mengefektifkan Organisasi. Jakarta :

Gramedia.

Handoko. 1987. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia Jilid 2. Yogyakarta : BPFE.

Indrawijaya. 1986. Pertumbuhan dan Pengembangan Organisasi. Bandung : Sinar Baru.

Kamalluddin. 1982. Manajemen. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.

Kossen, S. 1986. Aspek Manusia Dalam Organisasi. Bandung : Rineka Cipta.

Latif, A.G. 1988. Memberikan Pimpinan dengan Kerja Sama. Jakarta : UI Press.

Latunussa. 1988. Penelitian Pendidikan, Suntu Pengantar. Jakarta : P2LPTK.

Mardalis. 1990. Mefodologi Penelitian Suatu Pendekatan

35

Page 76: Buku e jurnal vol 1

Proposal. Jakarta : Bumi Aksara.

Marzuki. 1989. Metodologi Penelitian. Jakarta : Militon.

Muhyadi. 1989. Organisasi Teori, Struktur dan Proses. Jakarta : Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi.

Mulyono, M. 1993. Penerapan Produktivitas dalam Organisasi. Jakarta : Bumi Aksara - UI.

Owens. 1981. Organizational Behaviour in Education. Boston : Allyn Bacon.

Prayitno. 2003. Korelasi Antara lklim Organisasi Dan Motivasi Berprestasi Dengan Unjuk Kerja Guru Pada Sekolah Menengah Umum Negeri Di Kabupaten Pasuruan. Tesis tidak diterbitkan.

Purwanto, N. 1988. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta : CV. Remaja

Karya.

Santoso. 2001. Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo

Sari, D.N. 2003. Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Rangka Penciptaan lklim Kerja Organisasi Di Sekolah Dasar Negeri Se-Kecamatan Sukun Kota Malang. Skripsi tidak diterbitkan.

Sari, L. 2000. Iklim Organisiasi Hubungannya Dengan Unjuk Kerja Dosen Dalam Mengajar

Di IKIP Budi Utomo Malang. Tesis tidak diterbitkan.

Soepardi. 1988. Dasar-DasarAdministrasi Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikti P2LPTK.

36

Page 77: Buku e jurnal vol 1

1

Page 78: Buku e jurnal vol 1

PENDIDIKAN KARAKTER:

WACANA KONSEP DAN IMPLEMENTASINYA

Soesetijo *)

Kata-kata kunci: pendidikan karakter, wacana konsep, implementasi

Abstrak: pendidikan karakter menjadi perhatian serius untuk diimplementa-sikan di sekolah. Fenomena menunjukkan bahwa banyak keluhan masyarakat tentang menurunnya tata krama, etika dan kreativitas siswa, karena melemah-nya pendidikan budaya dan karakter bangsa. Sebagai langkah awal pendidikan karakter harus dimulai sejak dini, yakni pada jenjang pendidikan sekolah da-sar. Pada jenjang sekolah dasar, ini porsinya mencapai 60 persen dibandingkan dengan jenjang pendidikan lainnya. Menurut Wamendiknas telah terdapat 5 dari 8 potensi peserta didik yang implementasinya sangat lekat dengan tujuan pembentukan karakter. Kelekatan inilah yang menjadi dasar hukum begitu pentingnya pelaksanaan pendidikan karakter. Pendidikan budaya dan karakter bangsa ini memang harus dipraktekkan, titik beratnya bukan pada teori. Pendidikan budaya dan karakter bangsa seperti kurikulum yang tersembunyi. Bukan berarti akan diterapkan secara teoritis, tetapi menjadi penguat kuri-kulum yang sudah ada, yaitu dengan mengimplementasikanya dalam mata pelajaran dan keseharian peserta didik. Permasalahannya, mayoritas guru be-lum punya kemauan untuk melaksanakan. Kesadaran sudah ada, hanya saja belum menjadi sebuah aksi nyata. Oleh karena itu diperlukan buku pinter se-bagai acuan untuk implementasi pendidikan karakter di lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi serta perlu segera

2

Page 79: Buku e jurnal vol 1

Indonesia memerlukan

sumberdaya manusia dalam

jumlah dan mutu yang memadai

sebagai pendukung utama dalam

pembangunan. Untuk memenuhi

sumberdaya manusia tersebut,

pendidikan memiliki peran yang

sangat penting. Hal ini sesuai

dengan UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan

Nasional pada Pasal 3 yang

menyebutkan bahwa pendidikan

nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan

dan membentuk karakter serta

peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan Nasional bertujuan

untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan

bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga

Negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

*)Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.\

Berdasarkan fungsi dan

tujuan pendidikan nasional, jelas

bahwa pendidikan di setiap

jenjang pendidikan selalu

mengacu pada tujuan pendidikan

nasional tersebut di atas. Hal

tersebut berkaitan dengan

pembentukan karakter peserta

didik sehingga mampu bersaing,

beretika, bermoral, sopan santun

dan berinteraksi dengan

masyarakat. Berdasarkan

penelitian di Harvard University

Amerika Serikat (Ali Ibrahim

Akbar, 2000 dalam Mendiknas,

2010) ternyata kesuksesan

seseorang tidak ditentukan

semata-mata oleh kemampuan

mengelola diri dan orang lain

(soft skills). Penelitian ini

mengungkapkan, kesuksesan

hanya ditentukan sekitar 20

persen oleh hard skills dan

sisanya 80 persen soft skills.

Bahkan orang-orang tersukses di

dunia bisa berhasil dikarenakan

lebih banyak didukung

kemampuan soft skills daripada

hard skills. Hal ini

mengisyaratkan bahwa mutu

3

Page 80: Buku e jurnal vol 1

pendidikan karakter peserta didik

sangat penting untuk

ditingkatkan. Oleh karena itu,

Kementerian Pendidikan Nasional

(Kemendiknas) telah menyusun

grand design pendidikan karakter

bangsa. Ditargetkan, seluruh

satuan pendidikan telah

mengembangkannya pada tahun

2014.(Media Indonesia.com, 15-9-

2010).

Data dan fakta

menunjukkan, bahwa dari hasil

penelitian psikologi sosial menun-

jukkan bahwa orang yang sukses

di dunia ditentukan oleh peranan

ilmu sebesar 18%. Sisanya, 82%

dijelaskan oleh keterampilan

emosional, soft skills dan

sejenisnya.(Elfindri, 2010). Ini

menunjukkan bahwa soft skills

memberikan kontribusi bagi

keberhasilan karir seseorang.

Wacana pendidikan

karakter pada akhir-akhir ini

memperoleh perhatian yang

cukup intens dari pemerhati

pendidikan. Pemerintah

menyatakan, bahwa pendidikan

budaya dan karakter bangsa

selama ini telah diterapkan dan

menjadi kesatuan dengan

kurikulum pendidikan yang

sesungguhnya telah dipraktekkan

dalam kegiatan belajar mengajar

di sekolah. Menurut Direktur

Pembinanan SMP, Ditjen

Manajemen Pendidikan Dasar

dan Menengah, Didik Suhardi

(KOMPAS.Com, Jumat, 15 Januari

2010) pendidikan budaya dan

karakter bangsa ini memang

harus dipraktekkan, titik

beratnya bukan pada teori.

Pendidikan budaya dan karakter

bangsa seperti kurikulum yang

tersembunyi.

Konsep Pendidikan

Karakter

Karakter adalah “cara

berpikir dan berperilaku yang

menjadi ciri khas setiap individu

untuk hidup dan bekerjasama,

baik dalam lingkup kehidupan

keluarga, masyarakat, bangsa

dan Negara.(Suparlan, 2010).

4

Page 81: Buku e jurnal vol 1

Pendidikan karakter

meliputi 9 (sembilan) pilar yang

saling kait mengkait, yaitu: (1)

responsibility (tanggung jawab),

(2) respect (rasa hormat), (3)

fairness (keadilan), (4) courage

(keberanian), (5) honesty

(kejujuran), (6) citizenship

(kewarganegaraan), (7) self-

discipline (disiplin diri), (8) caring

(peduli), dan (9) perseverance

(ketekunan).

Penyelenggaraan

pendidikan nasional tidak semata

mentransfer ilmu dan

pengetahuan serta teknologi

kepada peserta didik. Lebih dari

itu, pendidikan harus bisa

menumbuhkan semangat

kebangsaan sebagai warga

bangsa dengan karakter ke-

Indonesia-an.(Rumapea, 2010).

Karakter merupakan nilai-

nilai perilaku manusia yang

berhubungan dengan Tuhan Yang

Maha Esa, diri sendiri, sesama

manusia, lingkungan, dan

kebangsaan yang terwujud dalam

pikiran, sikap, perasaan,

perkataan, dan perbuatan

berdsarkan norma-norma agama,

hukum, tata krama, budaya, dan

adat istiadat.

Pendidikan karakter adalah

suatu sistem penanaman nilai-

nilai karakter kepada warga

sekolah yang meliputi komponen

pengetahuan, kesadaran atau

kemauan, dan tindakan untuk

melaksanakan nilai-nilai tersebut,

baik terhadap Tuhan Yang Maha

Esa (YME), diri sendiri, sesama,

lingkungan, maupun kebangsaan

sehingga menjadi manusia insan

kamil. Dalam pendidikan karakter

di sekolah, semua komponen

(stakeholders) harus dilibatkan,

termasuk komponen-komponen

pendidikan itu sendiri, yaitu isi

kurikulum, proses pembelajaran

dan penilaian, kualitas hubungan,

penanganan atau pengelolaan

mata pelajaran, pengelolaan

sekolah, pelaksanaan aktivitas

atau kegiatan ko-kurikuler,

pemberdayaan sarana prasarana,

pembiayaan, dan ethos kerja

seluruh warga dan lingkungan

sekolah.

5

Page 82: Buku e jurnal vol 1

Terlepas dari berbagai

kekurangan dalam praktik

pendidikan di Indonesia, apabila

dilihat dari standar nasional

pendidikan yang menjadi acuan

pengembangan kurikulum

(KTSP), dan implementasi

pembelajaran dan penilaian di

sekolah, tujuan di lembaga

pendidikan sebenarnya dapat

dicapai dengan baik. Pembinaan

karakter juga termasuk dalam

materi yang harus diajarkan dan

dikuasai serta direalisasikan oleh

peserta didik dalam kehidupan

sehari-hari. Menurut Dr. Anita

Lie (2010) syarat menghadirkan

pendidikan karakter dan budaya

di sekolah harus dilakukan secara

holistik.

Sebagai upaya untuk

meningkatkan kesesuaian dan

mutu pendidikan karakter,

Kementerian Pendidikan Nasional

mengembangkan grand design

pendidikan karakter untuk setiap

jalur, jenjang, dan jenis satuan

pendidikan. Grand design

menjadi rujukan konseptual dan

operasional pengembangan,

pelaksanaan, dan penilaian pada

setiap jalur dan jenjang

pendidikan. Konfigurasi karakter

dalam konteks totalitas proses

psikologis dan social-kultural

tersebut dikelompokkan dalam:

Olah Hati (Spiritual and

emotional development), Olah

Pikir (intellectual development),

Olah Raga dan Kinestetik

(Physical and kinestetic

development), dan Olah Rasa dan

Karsa (Affective and Creativity

development). Pengembangan

danimplementasi pendidikan

karakter perlu dilakukan dengan

mengacu pada grand design

tersebut.

Menurut UU No. 20 Tahun

2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional pada 13 ayat 1

menyebutkan bahwa jalur

pendidikan terdiri dari atas

pendidikan formal, nonformal,

dan informal yang saling

melengkapi dan memperkaya.

Pendidikan informal adalah jalur

pendidikan keluarga dan

lingkungan. Pendidikan informal

sesungguhnya memiliki peran

6

Page 83: Buku e jurnal vol 1

dan kontribusi yang sangat besar

dalam keberhasilan pendidikan.

Peserta didik mengikuti

pendidikan di sekolah hanya

sekitar 7 jam per hari, atau

kurang dari 30%. Selebihnya

(70%), peserta didik berada

dalam keluarga dan lingkungan

sekitarnya. Jika dilihat dari aspek

kuantitas waktu, pendidikan di

sekolah berkontribusi hanya

sebesar 30% terhadap hasil

pendidikan peserta didik.

Selama ini, pendidikan

informal terutama dalam

lingkungan keluarga belum

memberikan kontribusi berarti

dalam mendukung pencapaian

kompetensi dan pembentukan

karakter peserta didik. Kesibukan

dan aktivitas kerja orang tua

yang relative tinggi, kurangnya

pemahaman orang tua dalam

mendidik anak di lingkungan

keluarga, pengaruh pergaulan di

lingkungan sekitar dan pengaruh

media elektronik ditengarai bisa

berpengaruh negatif terhadap

perkembangan dan pencapaian

hasil belajar peserta didik. Salah

satu alternatif untuk mengatasai

permasalahan tersebut adalah

melalui pendidikan karakter

terpadu, yaitu memadukan dan

mengoptimalkan kegiatan

pendidikan informal lingkungan

keluarga dengan pendidikan

formal di sekolah. Dalam hal ini,

waktu belajar peserta didik di

sekolah perlu dioptimalkan agar

peningkatan mutu hasil belajar

dapat dicapai, terutama dalam

pembentukan karakter peserta

didik.

Pendidikan karakter dapat

diintegrasikan dalam

pembelajaran pada setiap mata

pelajaran. Materi pembelajaran

yang berkaitan dengan norma

atau nilai-nilai pada setiap mata

pelajaran perlu dikembangkan,

dieksplisitkan, dikaitkan dengan

konteks kehidupan sehati-hari.

Dengan demikian, pembelajaran

nilai-nilai karakter tidak hanya

pada tataran kognitif, tetapi

menyentuh pada internalisasi,

dan pengalaman nyata dalam

kehidupan peserta didik sehari-

hari di masyarakat.

7

Page 84: Buku e jurnal vol 1

Kegiatan ekstra kurikuler

yang selama ini diselenggarakan

sekolah merupakan salah satu

media yang potensial untuk

pembinaan karakter dan

peningkatan mutu akademik

peserta didik. Kegiatan ekstra

kurikuler merupakan kegiatan

pendidikan di luar mata pelajaran

untuk membantu pengembangan

peserta didik sesuai dengan

kebutuhan, potensi, bakat, dan

minat mereka melalui kegiatan

yang secara khusus

Pendidikan karakter di

sekolah juga sangat terkait

dengan manajemen atau

pengelolaan sekolah. Pengelolaan

yang dimaksud adalah bagaimana

pendidikan karakter

direncanakan, dilaksanaan dan

dikendalikan dalam kegiatan-

kegiatan pendidikan di sekolah

secara memadai. Pengelolaan

tersebut antara lain mengikuti,

nilai-nilai yang perlu ditanamkan,

muatan kurikulum, pembelajaran,

penilaian, pendidik dan tenaga

kependidikan, dan komponen

terkait lainnya. Dengan demikian,

manajemen sekolah merupakan

salah satu media yang efektif

dalam pendidikan karakter di

sekolah.

Pendidikan Karakter yang

Efektif

Menurut Lickona, dkk.

(2007) terdapat 11 pinsip agar

pendidikan karakter dapat

berjalan efektif: (1) kembangkan

nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai

kinerja pendukungnya sebagai

fondasi karakter yang baik, (2)

definisikan ‘karakter’ secara

komprehensif yang mencakup

pikiran, perasaan, dan perilaku,

(3) gunakan pendekatan yang

komprehensif, disengaja, dan

proaktif dalam pengembangan

karakter, (4) ciptakan komunitas

sekolah yang penuh perhatian,

(5) beri siswa kesempatan untuk

melakukan tindakan moral, (6)

buat kurikulum akademik yang

bermakna dan menantang yang

menghormati semua peserta

didik, mengembangkan karakter,

dan membantu siswa untuk

8

Page 85: Buku e jurnal vol 1

berhasil, (7) usahakan

mendorong motivasi diri siswa,

(8) libatkan staf sekolah sebagai

komunitas pembelajaran dan

moral yang berbagi tanggung

jawab dalam pendidikan karakter

dan upaya untuk mematuhi nilai-

nilai inti yang sama yang

membimbing pendidikan siswa,

(9) tumbuhkan kebersamaan

dalam kepemimpinan moral dan

dukungan jangka panjangbagi

inisiatif pendidikan karakter, (10)

libatkan keluarga dan anggota

masyarakat sebagai mitra dalam

upaya pembangunan karakter,

(11) evaluasi karakter sekolah,

fungsi staf sekolah sebagai

pendidik karakter, dan sejauh

mana siswa memanifestasikan

karakter yang baik.

Dalam pendidikan karakter

penting sekal dikembangkan

nilai-nilai etika inti seperti

kepedulian, kejujuran, keadilan,

tanggung jawab, dan rasa hormat

terhadap diri dan orang lain

bersama dengan nilai-nilai kerja

pendukungnya seperti ketekunan,

etos kerja yang tinggi, dan

kegigihan—sebagai basis

karakter yang baik. Sekolah

harus berkomitmen untuk

mengembangkan karakter

peserta didik berdasarkan nilai-

nilai dimaksud mendefinisikan-

nya dalam bentuk perilaku yang

dapat diamati dalam kehidupan

sekolah sehari-hari, men-

contohkan nilai-nilai itu, mengkaji

dan mendiskusikannya,

menggunakannya sebagai dasar

dalam hubungan antarmanusia,

dan mengapresiasi manifestasi

nilai-nilai tersebut di sekolah dan

masyarakat. Yang terpenting,

semua komponen sekolah

bertanggung jawab terhadap

standar-standar perilaku yang

konsisten sesuai dengan nilai-

nilai inti.

Karakter yang baik

mencakup pengertian,

kepedulian, dan tindakan

berdasarkan nilai-nilai etika inti.

Karenanya, pendekatan holistik

dalam pendidikan karakter

berupaya untuk mengembangkan

keseluruhan aspek kognitif,

emosional, dan perilaku dari

9

Page 86: Buku e jurnal vol 1

kehidupan moral. Siswa

memahami nilai-nilai inti dengan

mempelajari dan

mendiskusikannya, mengamati

perilaku model, dan

mempraktekkan pemecahan

masalah yang melibatkan nilai-

nilai. Siswa belajar peduli

terhadap nilai-nilai inti dengan

mengembangkan keteram-pilan

empati, membentuk hubungan

yang penuh perhatian, membantu

menciptakan komunitas

bermoral, mendengar cerita

ilustratif dan inspiratif, dan

merefleksikan pengalaman hidup.

Sekolah yang telah

berkomitmen untuk

mengembangkan karakter

melihat diri mereka sendiri

melalui lensa moral, untuk

menilai apakah segala sesuatu

yang berlangsung di sekolah

mempengaruhi perkembangan

karakter siswa. Pendekatan yang

komprehensif menggunakan

semua aspek persekolahan

sebagai peluang untuk

pengembangan karakter. Ini

mencakup apa yang sering

disebut dengan istilah kurikulum

tersembunyi, hidden curriculum

(upacara dan prosedur sekolah;

keteladanan guru; hubungan

siswa dengan guru, staf sekola

lainnya, dan sesama mereka

sendiri; proses pengajaran;

keanekaragaman siswa; penilaian

pembelajaran; pengelolaan

lingkungan sekolah; kebijakan

disiplin); kurikulum akademik,

academic curriculum (mata

pelajaran inti, termasuk

kurikulum kesehatan jasmani),

dan program-program

ekstrakurikuler, extracurricular

programs (tim olahraga, klub,

proyek pelayanan, dan kegiatan-

kegiatan setelah jam sekolah).

Di samping itu, sekolah dan

keluarga perlu meningkatkan

efektivitas kemitraan dengan

merekrut bantuan dan komunitas

yang lebih luas (bisnis, organisasi

pemuda, lembaga keagamaan,

pemerintah, dan media) dalam

mempromosikan pembangunan

karakter. Kemitraan sekolah-

orang tua ini dalam banyak hal

seringkali tidak dapat berjalan

10

Page 87: Buku e jurnal vol 1

dengan baik karena terlalu

banyak menekankan pada

penggalangan dukungan

financial, bukan pada dukungan

program. Berbagai pertemuan

yang dilakukan tidak jarang

terjebak kepada tawar menawar

sumbangan, bukan bagaimana

sebaiknya pendidikan karakter

dilakukan bersama antara

keluarga dan sekolah.

Pendidikan karakter yang

efektif harus menyertakan usaha

untuk menilai kemajuan.

Terdapat tiga hal penting yang

perlu mendapat perhatian: (1)

karakter sekolah: sampai sejauh

mana sekolah menjadi komunitas

yang lebih peduli dan saling

menghargai?, (2) pertumbuhan

staf sekolah sebagai pendidik

karakter: sampai sejauh mana

staf sekolah mengembangkan

pemahaman tentang apa yang

dapat mereka lakukan untuk

mendorong pengembangan

karakter?, (3) Karakter siswa:

sejauh mana siswa

memanifestasikan pemahaman,

komitmen, dan tindakan atas

nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu

dapat dilakukan di awal

pelaksanaan pendidikan karakter

untuk mendapatkan baseline dan

diulang lagi di kemudian hari

untuk menilai kemajuan.

(http://www.mediaindonesia.com,

diakses tanggal 14 September

2010).

Menurut Doni Koesoemo A

(2010) pendidikan karakter jika

ingin efektif dan utuh mesti

menyertakan tiga basis desain

dalam pemrogramannya. Tanpa

tiga basis itu, program

pendidikan karakter di sekolah

hanya menjadi wacana semata.

Pertama, desain pendidikan

karakter berbasis kelas. Desain

ini berbasis pada relasi guru

sebagai pendidik dan siswa

sebagai pembelajar di dalam

kelas. Konteks pendidikan

karakter adalah proses relasional

komunitas kelas dalam konteks

pembelajaran. Relasi guru-

pembelajar bukan monolog,

melainkan dialog dengan banyak

arah sebab komunitas kelas

terdiri dari guru dan siswa yang

11

Page 88: Buku e jurnal vol 1

sama-sama berinteraksi dengan

materi. Memberikan pemahaman

dan pengertian akan keutamaan

yang benar terjadi dalam konteks

pengajaran ini, termasuk di

dalamnya pula adalah ranah

noninstruksional, seperti

manajemen kelas, konsensus

kelas, dan lain-lain, yang

membantu terciptanya suasana

belajar yang nyaman.

Kedua, desain pendidikan

karakter berbasis kultur sekolah.

Desain ini mencoba membangun

kultur sekolah yang mampu

membentuk karakter anak didik

dengan bantuan pranata sosial

sekolah agar nilai tertentu

terbentuk dan terbatinkan dalam

diri siswa. Untuk menanamkan

nilai kejujuran tidak cukup hanya

dengan memberikan pesan-pesan

modal kepada anak didik. Pesan

moral ini mesti diperkuat dengan

penciptaan kultur kejujuran

melalui pembuatan tata

peraturan sekolah yang tegas dan

konsisten terhadap setiap

perilaku ketidakjujuran.

Ketiga, desain pendidikan

karakter berbasis komunitas.

Dalam mendidik, komunitas

sekolah tidak hanya berjuang

sendirian. Masyarakat di luar

lembaga pendidikan, seperti

keluarga, masyarakat umum, dan

Negara, juga memiliki tanggung

jawab moral untuk

mengintegrasikan pembentukan

karakter dalam konteks

kehidupan mereka. Ketika

lembaga Negara lemah dalam

penegakan hukum, ketika mereka

yang bersalah tidak pernah

mendapatkan sanksi yang

setimpal, Negara telah mendidik

masyarakatnya untuk menjadi

manusia yang tidak menghargai

makna tatanan sosial bersama.

Pendidikan karakter hanya

akan bisa efektif jika tiga desain

pendidikan karakter ini

dilaksanakan secara simultan dan

sinergis. Tanpanya, pendidikan

kita hanya akan bersifat parsial,

inkonsisten dan tidak efektif.

12

Page 89: Buku e jurnal vol 1

Implementasi Pendidikan

Karakter di Lembaga

Pendidikan

Pendidikan karakter yang

bakal diterapkan di sekolah-

sekolah tidak diajarkan dalam

mata pelajaran khusus. Namun,

pendidikan karakter tersebut

akan diintegrasikan dengan mata

pelajaran yang sudah ada serta

melalui keseharian pembelajaran

di sekolah. Menurut Wakil

Menteri Pendidikan Nasional,

Fasli Jalal, dikemukakan bahwa

pendidikan karakter yang

didorong pemerintah untuk

dilaksanakan di sekolah-sekolah

tidak akan membebani guru dan

siswa. Sebab, hal-hal yang

terkandung dalam pendidikan

karakter sebenarnya sudah ada

dalam kurikulum, tetapi selama

ini tidak dikedepankan dan

diajarkan secara tersurat.

(http://bukuohbuku.wordpress.co

m, 1 September 2010).

Beberapa Upaya Pencarian

Soft Skills di Beberapa Negara

Upaya di berbagai Negara

mengenai pentingnya solft skills

juga beragam. Dari berbagai

liteatur yang disarikan dalam

modul bahan ajar oleh suatu Tim

di Dirjen Dikti (2008) telah

diupayakan di berbagai negara

seperti Taiwan, Korea Selatan,

Jepang, Australia, dan Indonesia.

1.Pengalaman di Taiwan

Taiwan sebagai salah satu

Negara yang memandang

kemajuan pembangunan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi

hasilnya dirasakan tanpa

meningkatkan harkat dan

martabat dari manusia. Moral

menjadi salah satu tuntutan yang

ingin dilengkapi seiring dengan

kemajuan dari ranah

pengetahuan.

Upaya ini dilakukan melalui

berbagai pendekatan,

diantaranya adalah dengan

membentuk komite disiplin dan

moral di bawah Kementerian

Pendidikan. Komite disiplin

kemudian mencoba menetapkan

13

Page 90: Buku e jurnal vol 1

berbagai standar etika yang mesti

diterapkan di masing-masing

satuan pendidikan, termasuk

memonitor implementasinya.

Kemudian mengembangkan

kurikukum moral dan etika yang

nantinya diterapkan dalam

system pembelajaran. Tahap

selanjutnya adalah dengan

mengimplementasikan aturan di

sekolah sebagai cara

meningkatkan nilai-nilai moral

dan etika. Taiwan menyadari

bahwa berpikir kritis adalah

penting maka arah

pengembangan ditujukan pada

ranah ini, termasuk

kewarganegaraan, dan nilai-nilai

sosial.

2. Pengalaman di Korea

Selatan

Di Korea Selatan, sebagai

salah satu Negara yang juga

mengalami kemajuan kemajuan

yang pesat pendidikannya, juga

sadar akan pentingnya soft skills.

Ini dikembangkan dengan

seperangkat upaya. Secara

makro, meningkatkan anggaran

pendidikan dan mempertahankan

kebijakan komitmen yang tinggi

semenjak tahun 1945. Semangat

dan komitmen ini dilahirkan

sebagai akibat dari Korea Selatan

juga ingin me-nyaingi

perkembangan kemajuan ilmu

dan teknologi yang dihasilkan

oleh Jepang, sebagai sebuah

Negara tetangga yang lebih dulu

berhasil.

Diantaranya adalah dengan

mengupayakan perbaikan metode

pengajaran dan pe-nyampaian

materi ajar, misalnya dengan

menekankan kesadaran guru

akan pentingnya ka-rakter; mulai

dari suasana, kemampuan, dan

fasilitas yang mengarah kepada

pembentukan karakter.

Hasil dari upaya ini telah

menyebabkan Korea Selatan

tampil sebagai salah satu Negara

yang memiliki karakter khas,

untuk tampil menyaingi Jepang.

Dengan karakter kerja keras,

salah satunya, telah pula

menghasilkan produk manufaktur

14

Page 91: Buku e jurnal vol 1

yang mampu masuk ke kancah

internasional.

Sebagai catatan tambahan,

Korea Selatan tercatat sebagai

salah satu Negara dimana tingkat

akses masyarakat mudanya

terhadap pendidikan tinggi

termasuk tertinggi di dunia.

Memulai kerja kerasnya semenjak

tahun 1945. Sekarang komitmen

anggaran dan dukungan

masyarakat adalah sangat besar

dalam memajukan pendidikan.

3. Pengalaman di Jepang

Merespons akan tuntutan

pentingnya membangun karakter

anak, maka di Jepang menurut

Scribner (2007) dalam Tim Dikti

(2008) untuk memenuhi aspek

soft skills, dimasukkan ke dalam

kegiatan-kegiatan ko-kurikuler di

sekolah dan di rumah.

Anak-anak Jepang diberi

rasa tanggungjawab yang tinggi

dalam mengembangkan

fungsinya kepada adik-adik

sewilayahnya, dimulai dengan

proses datang ke sekolah, metode

belajar di sekolah sampai pada

menanamkan rasa kemandirian

yang tinggi dan semangat untuk

menang. Kemudian terbiasa

untuk mengembangkan

kreativitas di dalam kelas, Sudah

menjadi motto bagi anak didik

Jepang, bahwa kerja kelompok

menjadi salah satu yang perlu

dibiasakan.

Karakter kerja keras dan

mandiri yang dibangun dalam

prinsip bushido, menyebabkan

bangsa Jepang menghasilkan

generasi yang sanggup

menguasai berbagai iptek untuk

berbagai bidang dan proses

industrialisasi.

Sayang sekali, Jepang

dalam membangun karakter

bangsa masih dibatasi oleh

berbagai kendala. Dimana

kendala utama dari proses

pembangunan manusia di Jepang

masih belum sanggup mengkikis

kebiasaan “bunuh diri” dari

sebagian dari mereka yang

frustasi.

4. Pengalaman di Australia

15

Page 92: Buku e jurnal vol 1

Sementara di Australia,

pengembangan soft skills

dilakukan semenjak usia dini,

melalui system penyampaian dan

desain pemebelajaran. Desain

pembelajaran yang

menyebabkan unsur-unsur soft

skills terintegrasi dalam setiap

proses pembelajaran.

Di Australia pembentukan

kepercayaan diri anak-anak

mulai pada pra sekolah.

Pembiasaan anak-anak untuk

mengisi masa akhir minggu

dengan orang tua, baik untuk

kepentingan olah raga dan

rekreasi.

Anak-anak Australia

terbiasa percaya diri. Karena

setiap minggu mereka didorong

untuk sanggup menyampaikan

pengalaman kepada teman se

kelasnya. Dan model seperti ini

dilaksanakan secara terus

menerus.

Guru sangat berperan

dalam mengkomunikasikan soft

skills di sekolah. Anak-anak

diajarkan akan hak dan

tanggungjawabnya. Termasuk

share bekerja dan hidup

berkelompok. Itulah

pemandangan pada sekolah-

sekolah dasar sampai menengah

yang dikembangkan.

5. Pengalaman di Indonesia

Kesadaran akan soft kills

juga berkembang di Indonesia,

namun dalam waktu yang terlalu

lama dan metode yang tidak

tepat. Upaya menekankan

pentingnya pendidikan P-4

sewaktu zaman Presiden Suharto

telah didesain kegiatan-kegiatan

yang lebih terpusat. Oleh karena

penekanan hanya kepada civic

education, atau pendidikan civic,

maka hasil dari usaha P-4 hanya

sebatas bagaimana hidup

bermasyarakat dan bernegara

saja.

Kelemahan utama yang

dirasakan bahwa pengembangan

soft skills lebih bersifat

indoktrinasi. Dengan kata lain

upaya Indonesia dalam

mendorong soft skills selama

berpuluh-puluh tahun melalui

16

Page 93: Buku e jurnal vol 1

penataran P-4 dianggap gagal,

mengingat model itu saat

sekarang sudah tidak dipakai

lagi. Bahkan dianggap kegiatan

P-4 dapat saja menyimpang dari

yang dipahami oleh kebanyakan

para ilmuwan. Diantaranya

bahkan yang diberikan lebih

kepada ilmuwan, bukanlah

bagaimana membentuk

keterampilan perangkat lunak

warga Negara. Selain dari itu

para instruktur banyak yang tidak

terbekali dengan baik. Sehingga

kegatan soft skills semacam itu

lebih diartikan kepada proyek-

proyek kegiatan oleh mereka

yang berkuasa.

Akselerasi adat juga

merupakan upaya-upaya untuk

mempertahankan soft skills,

mengingat kandungan budaya

lokal adalah menuntun soft skills.

Misalnya bagaimana budaya

dalam bertutur kata sepantasnya.

Maka proses tutur kata

masyarakat adat mesti

dipertahankan. Upaya ini

dilakukan oleh kaum adat.

Namun hal ini belum terlalu baik

diupayakan dalam

mendiseminasikan soft skills.

Demikian juga, bagaimana

kehidupan bergotong-royong

diupayakan masih eksis. Sayang

sekali kehidupan yang semacam

itu semakin sirna. Singkat kata

soft skills belum secara konsisten

untuk digarap dan dipelajari.

Apa yang dapat dimaknai

dari segala upaya untuk mencari

solf skills di berbagai Negara ?

Negara maju Asia Timur serta

Indonesia ? Maka upaya untuk

mengembangkan karakter masih

dalam batas keterbasan.

Keterbatasan terutama masih

menganggap bahwa taksonomi

ranah keilmuan menjadi

menonjol.

Sekalipun ada upaya untuk

meningkatkan ranah soft skills,

namun juga kelihatannya sangat

beragam dalam melihat

komponen-komponennya.

Diantaranya, masih luputnya

memasukkan unsur bagaimana

anak didik kita semakin berilmu

dia sadar semakin sadar akan

eksistensinya, posisinya dengan

17

Page 94: Buku e jurnal vol 1

Sang Pencipta. Hal inilah yang

menyebabkan bahwa dimensi

trancedental skills menjadi bahan

yang mesti disadari penting

masuk sebagai salah satu

taksonomi soft skills.(Elfindri,

dkk, 2010).

Penerapan Pendidikan

Karakter Dimulai SD

Pendidikan karakter yang

dicanangkan Kementerian

Pendidikan Nasional

(Kemendiknas) akan diterapkan

pada semua jenjang pendidikan,

namun porsinya akan lebih besar

diberikan pada Sekolah Dasar

(SD). Menurut Menteri

Pendidikan Nasional (Mendiknas)

Muhammad Nuh, mengatakan

pendidikan karakter harus

dimulai sejak dini yakni dari

jenjang pendidikan sekolah dasar

SD). Pada jenjang SD ini

porsinya mencapai 60 persen

dibandingkan dengan jenjang

pendidikan lainnya. Hal ini agar

lebih mudah diajarkan dan

melekat di jiwa anak-anak itu

hingga kelak ia dewasa.

Pendidikan karakter harus

dimulai dari SD karena jika

karakter tidak terbentuk sejak

dini maka akan susah untuk

merubah karakter seseorang.

Pendidikan karakter tidak

mendapatkan porsi yang besar

pada tingkat Taman Kanak-Kanak

(TK) atau sejenisnya karena TK

bukan merupakan sekolah tetapi

taman bermain. TK itu taman

bermain untuk merangsang

kreativitas anak, bukan tempat

belajar. Oleh karena itu, jika ada

guru yang memberikan tugas

atau PR maka guru tersebut tidak

memahami tugasnya. Sedangkan

dalam menanamkan karakter

pada seseorang yang paling

penting adalah kejujuran, karena

kejujuran bersifat universal.

Pertimbangan yang rasional

tentang mengapa penerapan

pendidikan karakter harus

dimulai pada siswa SD, karena

siswa SD masih belum

terkontaminasi dengan sifat yang

kurang baik sangat

memungkinkan untuk

ditanamkan sifat-sifat atau

18

Page 95: Buku e jurnal vol 1

karakter untuk membangun

bangsa. Oleh karena itu, selain

orang tua, guru SD juga

mempunyai peranan yang sangat

vital untuk menempuh karakter

siswa. Pembinaan karakter yang

termudah di-lakukan adalah

ketika anak-anak masih di bangku

SD. Itulah sebabnya kita

memprioritas-kan pendidikan

karakter di tingkat SD. Bukan

berarti pada jenjang pendidikan

lainnya tidak mendapat perhatian

namun porsinya saja yang

berbeda.

Dengan demikian maka

diharapkan dunia pendidikan

dapat sebagai motor pengge-rak

untuk memfasilitasi peserta didik

menjadi cerdas, juga mempunyai

budi pekerti dan sopan santun

sehingga keberadaannya sebagai

anggota masyarakat menjadi

bermakna baik bagi dirinya

maupun orang lain. Esensinya

pembinaan karakter harus

dilakukan pada semua tingkat

pendidikan hinga Perguruan

Tinggi (PT) karena PT harus

mampu berperan sebagai mesin

informasi yang membawa bangsa

ini menjadi bangsa yang cerdas,

sejahtera dan bermanfaat serta

mampu bersaing dengan bangsa

manapun.

Model Pendidikan Karakter di

Sekolah Menengah Pertama

(SMP)

Menurut Mochtar Buchori

(2007) dalam Kemendiknas

(2010) “Pembinaan Karakter di

Sekolah Menengah Pertama”,

bahwa pendidikan karakter

seharusnya membawa peserta

didik ke pengenalan nilai secara

kognitif, penghayatan nilai secara

afektif, dan akhirnya ke

pengamalan nilai secara nyata.

Permasalahan pendidikan

karakter yang selama ini ada di

SMP perlu segera lebih

operasional sehingga mudah

diimplementasikan di sekolah.

Pendidikan karakter

bertujuan untuk meningkatkan

mutu penyelenggaraan dan hasil

pendidikan di sekolah yang

mengarah pada pencapaian

19

Page 96: Buku e jurnal vol 1

pembentukan katakter dan

akhlak mulia peserta didik secara

utuh, terpadu, dan seimbang,

sesuai standar kompetensi

lulusan. Melalui pendidikan

karakter diharapkan peserta

didik SMP mampu secara mandiri

meningkatkan dan menggunakan

pengetahuannya, mengkaji dan

menginternalisasi serta

mempersonalisasi nilai-nilai

karakter dan akhlak mulia

sehingga terwujud dalam

perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter pada

tingkatan institusi mengarah

pada pembentukan budaya

sekolah, yaitu nilai-nilai yang

melandasi perilaku, tradisi,

kebiasaan keseharian, dan

simbol-simbol yang dipratikkan

oleh semua warga sekolah, dan

masyarakat sekitar sekolah.

Budaya sekolah merupakan ciri

khas, karakter atau watak, dan

citra sekolah tersebut di mata

masyarakat luas.

Sasaran pendidikan

karakter adalah seluruh Sekolah

Menengah Pertama (SMP) di

Indonesia negeri maupun swasta.

Semua warga sekolah, meliputi

para peserta didik, guru,

karyawan administrasi, dan

pimpinan sekolah menjadi

sasaran program ini. Sekolah-

sekolah yang selama ini telah

berhasil melaksanakan

pendidikan karakter dengan baik

dijadikan sebagai best practices,

yang menjadi contoh untuk

disebarluaskan ke sekolah-

sekolah lainnya.

Memalui program ini

diharapkan lulusan SMP memiliki

keimanan dan ketaqwaan kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, berkarakter mulia,

kompetensi akademik yang utuh

dan terpadu, sekaligus memiliki

kepribadian yang baik sesuai

norma-norma dan budaya

Indonesia. Pada tataran yang

lebih luas, pendidikan karakter

nantinya diharapkan menjadi

budaya sekolah.

Keberhasilan program

pendidikan karakter dapat

diketahui melalui pencapaian

indicator oleh peserta didik

20

Page 97: Buku e jurnal vol 1

sebagaimana tercantum dalam

Standar Kompetensi Lulusan

SMP, yang antara lain meliputi

sebagai berikut :

1. Mengamalkan ajaran

agama yang dianut

sesuai dengan tahap

perkembangan remaja;

2. Memahami kekurangan

dan kelebihan diri

sendiri;

3. Menunjukkan sikap

percaya diri;

4. Mematuhi aturan-aturan

social yang berlaku

dalam lingkungan yang

lebih luas;

5. Menghargai keragaman

agama, budaya, suku,

ras, dan golongan social

ekonomi dalam lingkup

nasional;

6. Mencari dan

menerapkan informasi

dari lingkungan sekitar

dan sumber-sumber lain

secara logis, kritis dan

kreatif;

7. Menunjukkan

kemampuan berpikir

logis, kritis, kreatif, dan

inovatif;

8. Menunjukkan

kemampuan belajar

secara mandiri sesuai

dengan potensi yang

dimilikinya;

9. Menunjukkan

kemampuan

menganalisis dan

memecahkan masalah

dalam kehidupan sehari-

hari;

10. Mendeskripsikan

gejala alam dan social;

11. Memanfaatkan

lingkungan secara

bertanggung jawab;

12. Menerapkan nilai-

nilai kebersamaan dalam

kehidupan

bermasyarakat,

berbangsa, dan

bernegara demi

terwujudnya persatuan

dalam Negara kesatuan

Republik Indonesia;

13. Menghargai karya

seni dan budaya

nasional;

21

Page 98: Buku e jurnal vol 1

14. Menghargai tugas

pekerjaan dan memiliki

kemampuan untuk

berkarya;

15. Menerapkan hidup

bersih, sehat, bugar,

aman, dan

memanfaatkan waktu

luang dengan baik;

16. Berkomunikasi dan

berinteraksi secara

efektif dan santun;

17. Memahami hak dan

kewajiban diri dan orang

lain dalam pergaulan di

masyarakat; menghargai

adanya perbedaan

pendapat;

18. Menunjukkan

kegemaran membaca

dan menulis naskah

pendek sederhana;

19. Menunjukkan

keterampilan menyimak,

berbicara, membaca, dan

menulis dalam bahasa

Indonesia dan bahasa

Inggris sederhana;

20. Menguasai

pengetahuan yang

diperlukan untuk

mengikuti pendidikan

menengah;

21. Memiliki jiwa

kewirausahaan.

Pada tataran sekolah,

kriteria pencapaian pendidikan

karakter adalah terbentuknya

budaya sekolah yaitu perilaku,

tradisi, kebiasaan keseharian,

dan simbol-simbol yang

dipratikkan oleh semua warga

sekolah, dan masyarakat sekitar

sekolah harus berlandaskan nilai-

nilai tersebut.(Kemendiknas,

2010).

Penyelenggaraan

pendidikan nasional tidak semata

mentransfer ilmu dan

pengetahuan serta teknologi

kepada peserta didik. Lebih dari

itu, pendidikan harus bisa

menumbuhkan semangat

kebangsaan sebagai warga

bangsa dengan karakter ke-

Indonesia-an. Bangsa ini harus

kembali kepada bangsa yang

berbudi. Mampu memiliki budi

pekerti yang luhur yang diajarkan

oleh para leluhur bangsa.

22

Page 99: Buku e jurnal vol 1

Caranya, dengan mengajarkan

pendidikan karakter kepada

anak-anak mulai dari bangku

sekolah. Memberikan mereka

pemahaman yang jelas tentang

karakter yang harus dimiliki

manusia Indonesia di masa

depan.

Dengan olah raga, olah

raga, dan olah jiwa sekolah kami

terus menerus menanamkan nilai-

nilai luhur yang harus dimiliki

manusia Indonesia. Oleh karena

itu, kami mengemasnya dalam

berbagai bentuk kegiatan

kesiswaan yang dimulai dari saat

siswa pertama kali masuk sekolah

sampai keluar (lulus) dari

sekolah.

Pembangunan karakter dan

pendidikan karakter menjadi

suatu keharusan, karena

pendidikan tidak hanya

menjadikan peserta didik menjadi

cerdas, tetapi juga mempunyai

budi pekerti dan sopan santun,

sehingga keberadaannya sebagai

anggota masyarakat menjadi

bermakna baik bagi dirinya

maupun orang lain.

Menanamkan karaker pada

seseorang yang paling penting

adalah kejujuran, karena

kejujuran bersifat universal.

(Mahatma, 2010).

Pendidikan Karakter Integral

Pendidikan karakter hanya

akan menjadi sekadar wacana

jika tidak dipahami secara lebih

utuh dan menyeluruh dalam

konteks pendidikan nasional kita.

Bahkan, pendidikan karakter

yang dipahami secara parsial dan

tidak tepat sasaran justru malah

bersifat kontraproduktif bagi

pembentukan karakter anak

didik.

Pendekatan parsial yang

tidak didasari pendekatan

pedagogi yang kokoh alih-alih

menanamkan nilai-nilai

keutamaan dalam diri anak,

malah menjerumuskan mereka

pada perilaku kurang bermoral.

Selama ini, jika kita berbicara

tentang pendidikan karakter,

yang kita bicarakan

sesungguhnya adalah sebuah

proses penanaman nilai yang

seringkali dipahami secara

23

Page 100: Buku e jurnal vol 1

sempit, hanya terbatas pada

ruang kelas, dan seringkali

pendekatan ini tidak didasari

prinsip pedagogi pendidikan yang

kokoh.

Sebagai contoh, untuk

menanamkan nilai kejujuran,

banyak skolah beramai-ramai

membuat kantin kejujuran. Di

sini, anak diajak untuk jujur

dalam membeli dan membayar

barang yang dibeli tanpa ada

yang mengontrolnya. Dengan

praksis ini diharapkan anak-anak

kita akan menghayati nilai

kejujuran dalam hidup mereka.

Namun, sayang, gagasan yang

tampaknya relevan dalam

mengembangkan nilai kejujuran

ini mengabaikan prinsip dasar

pedagogi pendidikan berupa

kedisiplinan sosial yang mampu

mengarahkan dan membentuk

pribadi anak didik.

Alih-alih mendidik anak

menjadi jujur, dibanyak tempat

anak yang baik malah tergoda

menjadi pencuri dan kantin

kejujuran malah bangkrut. Ini

terjadi karena kultur kejujuran

yang ingin dibentuk tidak disertai

dengan pemangunan perangkat

sosial yang dibutuhkan dalam

kehidupan bersama. Tiap orang

bisa tergoda menjadi pencuri jika

ada kesempatan.

Masifnya perilaku

ketidakjujuran itu telah

menyerambah dalam diri para

pendidik, siswa dan anggota

komunitas sekolah lain. Untuk

itu, pendekatan yang lebih utuh

dan integrallah yang dibutuhkan

untuk melawan budaya tidak

jujur ini.

Pendidikan karakter

semestinya terarah pada

pengembangan kultur edukatif

yang mengarahkan anak didik

untuk menjadi pribadi yang

integral. Adanya bantuan sosial

untuk mengembangkan

keutamaan merupakan ciri

sebuah lembaga pendidikan.

Dalam konteks kantin

kejujuran, bantuan sosial ini tidak

berfungsi, sebab anak malah

tergoda menjadi pencuri.

Kegagalan kantin kejujuran

adalah sebuah indikasi, bahwa

24

Page 101: Buku e jurnal vol 1

para pendidik memiliki kesalahan

pemahaman tentang makna

kejujuran dalam konteks

pendidikan. Mereka tidak mampu

melihat persoalan yang lebih

mendalam yang menggerogoti

sendi pendidikan kita.(Doni

Koesoema A, 2010).

Sementara itu, untuk

mengembangkan pendidikan

karakter di sekolah, Kementerian

Pendidikan Nasional

(Kemendiknas) memberikan

bantuan kepada sekolah-sekolah

yang ditunjuk sebagai

percontohan. Sebagai contoh

sebanyak 10 sekolah di semua

jenjang pendidikan di Nusa

Tenggara Barat mendapatkan

bantuan dari Kementerian

Pendidikan Nasional untuk

mengembangkan pendidikan

karakter. Setiap sekolah yang

mendapatkan percontohan

menerima bantuan sebesar Rp.

10.000.000,00 untuk menerapkan

dan membina pengembangan

pendidikan karakter.

(http://www.antaranews.com,

diakses tanggal 7 September

2010).

Sementara itu, Mendiknas,

Muhammad Nuh mengemukakan

bahwa intinya pembinaan

karakter harus dilakukan pada

semua tingkat pendidikan hingga

Perguruan Tinggi (PT) karena PT

harus mampu berperan sebagai

25

Page 102: Buku e jurnal vol 1

mesin informasi yang membawa

bangsa ini menjadi bangsa yang

cerdas, santun, sejahtera dan

bermartabat serta mampu

bersaing dengan bangsa

manapun.

Simpulan dan Saran

Simpulan

Berdasarkan pemaparan

tersebut di atas, maka dapatlah

dikemukakan beberapa simpulan

sebagai berikut: (1) karakter

adalah cara berpikir dan

berperilaku yang menjadi ciri

khas setiap individu untuk hidup

dan bekerjasama, baik dalam

lingkup kehidupan keluarga,

masyarakat, bangsa dan Negara;

(2) Pendidikan karakter meliputi

9 (sembilan) pilar yang saling kait

mengkait, yaitu: (a) responsibility

(tanggung jawab), (b) respect

(rasa hormat), (c) fairness

(keadilan), (d) courage

(keberanian), (e) honesty

(kejujuran), (f) citizenship

(kewarganegaraan), (g) self-

discipline (disiplin diri), (h) caring

(peduli), dan (i) perseverance

(ketekunan); (3) pembinaan

karakter harus dilaksanakan pada

semua tingkat pendidikan hingga

Perguruan Tinggi (PT), (4)

pembangunan karakter dan

pendidikan karakter menjadi

suatu keharusan karena

pendidikan tidak hanya

menjadikan peserta didik menjadi

cerdas, juga mempunyai budi

pekerti dan sopan santun,

sehingga keberadaannya sebagai

anggota masyarakat menjadi

bermakna baik bagi dirinya

maupun orang lain, (5)

pendidikan karakter yang

didalamnya ada akhlak mulia

akan menjadi jati diri bangsa

untuk mencapai kejayaan dan

kemajuan di dunia internasional,

(6) pendidikan budaya dan

karakter bangsa harus

dipraktekkan, titik beratnya

bukan teori, (7) menghadirkan

pendidikan karakter dan budaya

di sekolah harus dilakukan secara

holistik, karena tidak bisa

terpisah dengan pendidikan

sifatnya kognitif atau akademik,

(8) permasalahannya, mayoritas

guru belum punya kemauan

26

Page 103: Buku e jurnal vol 1

untuk melaksanakan pendidikan

karakter, kesadaran sudah ada

hanya saja belum menjadi sebuah

aksi nyata, (9) grand design

tentang pendidikan karakter

sudah tersusun, hanya belum

disosialisasikan ke seluruh

pelosok nusantara, terutama ke

lembaga-lembaga pendidikan,

dan (10) program pendidikan

karakter tidak hanya dilakukan

satu sampai dua tahun, namun

secara berkesinambungan hingga

2025.

Saran

Berdasarkan butir-butir

simpulan di atasa, maka untuk

mengimplemetasikan pendidikan

karakter di lembaga pendidikan

dikemukakan saran sebagai

berikut : (1) untuk

implementasikan pendidikan

karakter di sekolah dasar (SD),

sebagai porsi yang cukup besar

(60%), maka perlu disusun buku

petunjuk pelaksanaan (juklak)

yang dapat digunakan sebagai

acuan para tenaga kependidikan

pada jenjang pendidikan dasar,

(2) sebagaimana telah

dikemukakan di atas, bahwa

penerapan pendidikan karakter

dapat diimplementasikan mulai

pada jenjang pendidikan dasar

sampai dengan pendidikan tinggi.

Oleh karena itu, untuk

mempersiapkan semuanya secara

cermat, perlu diterbitkan buku

pinter yang memberikan acuan

kepada guru dan dosen agar

pendidikan karakter dapat

diterapkan sesuai dengan yang

diharapkan, (3) dalam konteks

pembelajaran di kelas atau ruang

kuliah, pendidikan karakter dapat

diintegrasikan pada mata

pelajaran atau mata kuliah yang

relevan, (4) agar tenaga

kependidikan (guru dan dosen)

mempunyai acuan yang baku

tentang penerapan pendidikan

karakter, maka perlu segera

disosialisasikan grand design

tentang pendidikan karakter, (5)

pendidikan karakter harus

diwujudkan untuk kepentingan

anak-anak Indonesia dalam

konteks kehidupan social dan

buaya masyarakat, (6) perlu

diadakan TOT (Training of

27

Page 104: Buku e jurnal vol 1

Trainer) untuk pendidikan

karakter bagi seluruh tenaga

tenaga kependidikan, baik guru

maupun dosen, (7) pelaksanaan

pendidikan karakter di sekolah

jangan hanya bersifat instan,

karena pemerintah saat ini

sedang intens dengan soal ini,

tantangannya justru bagaimana

pendidikan di sekolah itu berjalan

seimbang antara penguasaan

pengetahuan dan pembentukan

karakter siswa, dan (8) perlu

segera disosialisiasikannya grand

design pendidikan karakter di

lembaga pendidikan mulai

jenjang pendidikan Taman Kanak-

Kanak sampai dengan perguruan

tinggi.

28

Page 105: Buku e jurnal vol 1

PENGARUH DISIPLIN GURU TERHADAP PRESTASI BELAJAR

SISWA

DI SDN BANJARSARI CERME GRESIK

Etiyasningsih*)

Abstrak, Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar.

Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer, diperoleh responden sebanyak 19 orang. Data dikumpulkan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara dengan instrumen check list. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar digunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 6,171. > Ftabel = 4,45. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan para guru dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikap-sikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa, selain itu hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.

29

Page 106: Buku e jurnal vol 1

Kata Kunci : Disiplin Guru, Prestasi Belajar Siswa

PENDAHULUAN

Kita semua menyadari bahwa untuk mencapai tujuan pendidikan sangatlah berat, lebih-lebih pada saat sekarang ini. Sebenarnya telah banyak usaha pemerintah, dan aspek pendukung, guna terwujudnya tujuan pendidikan tersebut.

Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut pemerintah berusaha melak-sanakan kegiatan antara lain, (1) Menyempurnakan sistem pendidikan, (2) Memperluas kesempatan untuk mem-peroleh pendidikan, (3) Sarana dan prasarana pendidikan terus disempurnakan dan ditingkatkan serta lebih didayagu-nakan, (4) Meningkatkan jumlah guru dan mutunya, baik formal maupun non formal serta terus ditingkatkan pengembangan karier dan kesejahteraannya.

Mengelola pendidikan tidak semudah yang kita bayangkan selama ini, sebab pendidikan berperan penting sebagai alat atai tempat untuk membentuk manusia Indonesia dan sebagai warga masyarakat sekaligus sebagai warga Negara yang berbudi pekerti luhur, beriman dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta berkemampuan dan mempunyai ketrampilan dasar untuk bekal pendidikan selanjutnya dan bekal hidup di masyarakat.

Guru kelas sebagai administrator menempati posisi yang sangat penting karena memikul tanggung jawab untuk meningkatkan dan mengembangkan kemajuan sekolah secara keseluruhan. Sedangkan murid dan guru yang menjadi komponen penggerak aktifitas kelas harus didayagunakan secara maksimal agar dapat tercapai suatu kesatuan yang dinamis di dalam organisasi sekolah.

Pada dasarnya sekarang ini banyak para guru yang kurang siap dalam mengajar, dikarenakan guru tersebut belum membuat persiapan mengajar, dan juga melanggar tata tertib.

Disiplin merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Agar guru dapat berhasil dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka guru tersebut harus mentaati dan menyadari akan pentingnya kedisiplinan. Karena gurulah yang ikut bertanggung jawab dalam keberhasilan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar di sekolah, agar selalu berupaya untuk meningkatkan keberhasilan prestasi belajar siswa. Selain itu para guru hendaknya selalu memberikan bimbingan dan pengajaran secara baik dengan selalu berpedoman pada petunjuk dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, dalam

30

Page 107: Buku e jurnal vol 1

hal ini Departemen Pendidikan Nasional.

Kedisiplinan guru tentunya akan berimbas kepada para siswa, guru yang tidak atau kurang disiplin, siswanya pun akan cenderung tidak displin dan sebaliknya. Kedisplinan tidak hanya pada kehadiran guru semata, namun lebih dari itu disiplin dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dalam hal ini misalnya guru disiplin dalam membuat persiapan mengajar, Silabus, RPP, menyiapkan buku-buku paket penunjang, alat peraga dan lain-lain. Dengan kedisiplinan guru yang tinggi siswa akan lebih semangat belajar dan mendapatkan urutan materi pelajaran yang sistematis, hal ini akan meningkatkan prestasi belajarnya.

METODE PENELITIAN

Deskripsi Populasi

Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Banjarsari Cerme Gresik berjumlah 20 orang.

Penentuan Sampel

Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) berikut : “Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.”

Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel. Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah :

s = λ2 . N .P .Q

d2 (N−1 )+λ2 .P .Q

2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%

31

Page 108: Buku e jurnal vol 1

P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel

Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 20 orang dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 19 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik purposive sampling yaitu sesuai dengan kebutuhan dan yang tidak diikutkan adalah guru komputer.

Definisi Operasional Variabel

Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikator-dindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni

disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhi semua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Kehadiran di sekolah b. Ketepatan waktu mengajar

c. Persiapan mengajar yaitu silabus, RPP

d. Kegiatan belajar mengajar antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain.

2. Variabel terikat prestasi belajar (Y) yaitu suatu suatu hasil yang teah dicapai setelah kegiatan belajar mengajar. Dalam penelitian ini, indikator yang digunakan adalah nilai rata-rata hasil ulangan tiap mata pelajaran bagi guru mata pelajaran dan tiap kelas pada guru kelas.

Teknik Pengumpulan Data

Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :1. Survey Pendahuluan

Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Banjarsari Cerme Gresik.

2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah

mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236).

Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data nilai siswa. Dalam data sekunder yang diperoleh dengan teknik dokumentasi ini, peneliti juga menggunakan lembar cek list untuk mencatat indikator disiplin guru.

32

Page 109: Buku e jurnal vol 1

3. Wawancara Wawancara atau interview

adalah suatu metode yang tujuannya untuk memperoleh data evaluasi, secara berhadapan muka dengan secara individu, orang yang diinterview memberikan informasi-informasi yang diperlukan secara ilmiah dalam suatu relasi face to face” (Drs. Amatembun MA, supervise Pendidikan, 1975:191).

Pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara adalah meyakinkan hasil observasi tentang disiplin guru. Wawancara dilakukan kepada masing-masing guru yang bersangkutan dan kepala sekolah.

Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut :

1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.

2. Tabulating, adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca.

3. Skoring, adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari

hasil penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%, dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%.

4. Uji HipotesisUji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :

Y = a + bXY = Prestasi siswa X = Disiplin guru a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu

ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.

Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : 1) Membuat Ha dan Ho dalam

bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh

disiplin guru dengan prestasi siswa

Ho : Tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa

2) Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung ≥ Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa.

33

Page 110: Buku e jurnal vol 1

Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh disiplin guru dengan prestasi siswa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat 8 indikator dalam menjelaskan disiplin guru yang diperoleh datanya melalui observasi dan dokumentasi yaitu, kehadiran, ketepatan waktu mengajar, silabus, RPP, alat peraga, buku, absensi murid, buku penunjang, daftar nilai.

Tabel 1 Disiplin Guru di Sekolah Dasar Negeri Banjarsari Kec. Cerme Kabupaten Gresik

No

Daftar Nilai

Jumlah

Persentase (%)

123

KurangCukupBaik

14

14

5,221,173,7

Jumlah 19 100

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (73,7%) baik, 21,1% cukup, dan 5,2% kurang.

Sedangkan Prestasi belajar siswa diukur dari nilai rata-rata mata pelajaran dari guru yang bersangkutan jika guru tersebut adalah guru mata pelajaran, dan

nilai rata-rata kelas jika guru yang bersangkutan adalah guru kelas. Nilai tersebut diperoleh selama 6 kali evaluasi terakhir yang datanya diperoleh dari dokumentasi pada guru mata pelajaran atau guru kelas masing-masing.

Tabel 2 Nilai Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran

(6 x evaluasi terakhir)

No Resp.

Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran

(6 x evaluasi terakhir)

1 2 3 4 5 6Rata

-Rata

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

7,60

6,54

8,00

8,20

8,00

7,20

8,60

7,98

7,90

5,95

8,50

7,50

8,00

7,56

8,40

7,12

7,95

7,00

7,93

7,90

8,00

7,85

8,00

7,59

8,10

7,10

7,87

7,60

8,00

7,98

8,21

7,87

8,20

6,52

8,30

7,90

8,00

8,20

7,58

8,67

8,64

6,43

8,00

7,42

8,00

8,20

7,49

8,12

8,07

6,59

8,10

7,75

8,00

7,83

8,05

7,89

34

Page 111: Buku e jurnal vol 1

No Resp.

Nilai Rata-Rata Kelas atau Nilai Rata-rata Mata Pelajaran

(6 x evaluasi terakhir)

1 2 3 4 5 6Rata

-Rata

13

14

15

16

17

18

19

7,90

6,90

6,70

8,00

7,50

6,10

8,20

7,59

8,50

6,80

7,23

7,92

6,90

6,80

8,50

7,60

6,00

8,00

8,00

8,40

7,10

8,00

8,00

6,65

6,90

8,50

7,70

6,58

8,10

8,10

8,60

6,85

8,00

8,20

6,00

6,23

8,00

7,54

6,98

8,23

8,20

8,21

6,98

8,20

8,40

7,15

6,50

7,90

7,80

7,16

8,21

8,50

8,24

6,85

8,10

8,50

7,26

6,21

9,40

8,00

7,90

8,60

8,42

8,21

6,20

8,65

8,15

6,81

6,56

8,38

7,69

6,79

8,22

8,14

8,36

6,80

8,03

Uji Regresi Linier Sederhana

Data yang terkumpul sebagaimana paparan sebelumnya selanjutnya dianalisis untuk mengetahui pengaruh disiplin guru dengan prestasi belajar siswa.

Koding, skoring, dan tabulating telah dilaksanakan peneliti yang hasilnya tertera pada lampiran. Pada analisa data ini akan dipaparkan uji hipotesis dengan regresi linier sederhana. Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb

1, 918 1 1, 918 6, 171 , 024a

5, 282 17 , 311

7, 200 18

Regression

Residual

Tot al

Model1

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Predict ors: (Const ant ) , Disiplin Gurua.

Dependent Var iable: Prest asi Siswab.

Gambar 1 Uji F

Gambar 4.2 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 6,171. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel pada df = 17 sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 13 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,45. Sehingga Fhitung = 6,171 > Ftabel = 4,45.

Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,024 jauh di bahwa 0,05, yang

35

Page 112: Buku e jurnal vol 1

menandakan pengaruh yang signifikan.

Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif (Gambar 4.3) antar kedua variabel yang diperoleh Pearson Correlation sebesar 0,516 lebih dari rtabel sebesar 0,456 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 17 terlampir).

Corre la tions

1 ,000 ,516

,516 1 ,000

, ,012

,012 ,

19 19

19 19

Pres tas i Si s wa

Dis ip l i n Gu ru

Pres tas i Si s wa

Dis ip l i n Gu ru

Pres tas i Si s wa

Dis ip l i n Gu ru

Pears on Co rre la tion

Sig . (1 -ta i led )

N

Pres tas iSis wa Dis ip l i n Gu ru

Gambar 2 Uji Korelasi

Besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.

Coef f i ci ent sa

6, 191 , 619 10, 003 , 000

, 560 , 226 , 516 2, 484 , 024 , 516 , 516 , 516

( Cons t ant )

Dis iplin G ur u

M odel1

B St d. Er r or

Uns t andar dizedCoef f ic ient s

Bet a

St andar dizedCoef f ic ient s

t Sig. Zer o- or der Par t ial Par t

Cor r elat ions

Dependent Var iable: Pr es t as i Sis waa.

Gambar 3 Uji t

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.4 memperlihatkan thitung sebesar 2,484 > ttabel sebesar 2,110 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir untuk df = 17) artinya

terdapat pengaruh disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa.

Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.4 di atas sebesar 0,560. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :

Y = a + bX

= 6,191 + 0,560

Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:

1) Konstanta sebesar 6,191 menyatakan bahwa jika variabel disiplin guru dianggap konstan (tidak ada upaya meningkatkan disiplin guru), maka prestasi belajar siswa sebesar 6,191point.

2) Koefisien regresi disiplin guru sebesar 0,560 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin tingkat disiplin guru akan meningkatkan perkembangan perusahaan sebesar 0,560 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya peningkatan disiplin guru sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan prestasi belajar siswa sebesar 560 point.

36

Page 113: Buku e jurnal vol 1

PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan disiplin guru dipengaruhi oleh tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Tanggung jawab tersebut berasal dari pemerintah karena para guru adalah Pegawai Negeri Sipil yang mempunyai tugas pokok dan fungsi yang jelas.

Selain itu para guru juga bertanggung jawab atas prestasi belajar para siswanya. Guru cera umum akan merasa bangga apabila siswanya dapat berprestasi dan memiliki kemampuan yang baik.

Disebutkan bahwa faktor-faktor kesehatan jasmani dan rohani, ekonomi, status sosial, kepemimpinan dan peraturan dan tata tertib juga berpengaruh terhadap disiplin guru.

Kesehatan seluruh guru secara umum terlihat sehat jasmani maupun rohaninya. Dikatakan bahwa kesehatan seorang guru mempengaruhi terhadap tugas sehari-hari. Sudah sewajarnyalah bila setiap guru menginginkan rasa aman dalam kehidupannya sehingga akan terhindar dari segala gangguan kesehatan. Sehingga ia dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan yang akhirnya dapat membawa hasil yang baik pula.

Selanjutnya masalah ekonomi secara umum Pegawai Negeri Sipil telah mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Pemerintah melalui Presiden Abdurrahman Wahid pada tahun 2001 menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil mencapai 200% atau dua kali lipat, sehingga jika dibandingkan dengan penghasilan rata-rata penduduk di Indonesia Pegawai Negeri Sipil sudah cukup baik. Memang masalah ekonomi sangat penting terhadap disiplin guru. Dikatakan bahwa faktor ekonomi menambah beban bagi guru-guru dan menjadi persoalan pribadi yang dapat memungkinkan terganggunya tugas-tugas di sekolah. Padahal guru-guru menginginkan rasa aman, tentram dalam kehidupannya yang antara lain yaitu penerimaan gaji lancar, segala haknya dapat diterima dengan baik dan tepat pada waktunya, juga memiliki tempat tinggal untuk keluarganya dan lain-lain.

Kemudian tentang status sosial guru di dalam masyarakat mempunyai status yang cukup baik. Masyarakat memandang guru sebagai orang yang patut dihargai, karena mereka menyadari bahwa guru memegang peranan penting dalam pelaksanaan pembangunan di bidang pendidikan, karena pendidikan akan berjalan lancar dan berkembang baik apabila guru secara aktif ikut memajukan pendidikan di dalam masyarakat.

Faktor kepemimpinan merupakan faktor penting dalam membentuk disiplin para guru. Kepemimpinan yang dimaksud ini adalah kepemimpinan kepala

37

Page 114: Buku e jurnal vol 1

sekolah. Dikatakan bahwa kepala sekolah, jika kepemimpinannya efektif, maka guru-guru akan memperoleh sumbangan yang berharga dalam merumuskan tujuan-tujuan pendidikan, berlangsung pengajaran yang efektif, terciptanya suasana yang kondusif (berguna) sehingga hal demikian itu akan mendukung terciptanya kedisiplinan guru yang baik. Dengan demikian maka factor kepemimpinan dapat mempengaruhi kedisiplinan guru. Di SDN Banjarsari Kec Cerme Kabupaten Gresik, kepemimpinan kepala sekolah sukup baik, dan komunikasi kepala sekolah dengan para guru juga berlangsung dengan baik.

Tidak kalah penting adalah peraturan dan tata tertib sekolah yang mempengaruhi disiplin guru. Disiplin guru dan tata tertib sekolah merupakan dua hal yang saling terkait. Artinya disiplin guru tidak akan tercapai bila tidak ada peraturan atau ketentuan-ketentuan yang mengikat, sehingga menyebabkan guru untuk berbuat semaunya sendiri yang mengarah terciptanya sekolah yang tidak teratur/tertib. Tata tertib yang ada di SDN Banjarsari sudah cukup baik dan tercatat dan ditempatkan di posisi yang mudah dilihat.

Hasil uji menunjukkan pengaruh yang signifikan disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa.

Ketika belajar di sekolah, faktor guru dan cara mengajarkannya merupakan faktor yang paling

penting pula. Bagaimana sikap dan kepribadiannya guru, disiplinnya, tinggi rendahnya pengetahuan yang dimiliki guru, dan bagaimana cara guru itu mengajarkan pengetahuan kepada anak didiknya, turut menentukan bagaimana hasil belajar yang dapat dicapai oleh siswa.

Kesimpulan

1. Disiplin guru di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik sebagian besar baik.

2. Terdapat pengaruh positif disiplin guru terhadap prestasi belajar siswa di SDN Banjarsari Kecamatan Cerme Kabupaten Gresik.

Saran-saran

1. Para guru diharapkan agar dapat menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, disiplin, jujur, dan penuh didekasi, karena dengan sikap-sikap tersebut sangat membantu dalam tercapainya prestasi belajar siswa.

2. Para guru hendaknya juga lebih memperhatikan kehadiran, persiapan mengajar dan proses kegiatan belajar mengajar.

3. Bagi kepala sekolah dapat memberi motivasi agar para guru lebih disiplin dengan memberi stimulus yang proporsional.

38

Page 115: Buku e jurnal vol 1

DAFTAR PUSTAKA

Ametembun, Drs.M.A, “Supervisi Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1975

Ametembun, Drs.M.A, “Manajemen Kelas”, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981

Hendyat Sutopo, Dr., “Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1984

Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., “Administrasi Pendidikan Dasar”, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976

M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., “Pyskologi Pendidikan”, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990

M. Dimyati Mahmud, “Psykologi Pendidikan”, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta

Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., “Metodologi Reseach”, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967

Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971

S. Nasution, Prof.Dr.M.A “Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum”,

Penerbit Jemara Bandung 1989

Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo “Kepemimpinan Pendidikan”, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982

Subari, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan “Buku II Petunjuk Administrasi Sekolah Dasar”, tahun 1989

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur “Media Pendidikan”, Nomor 3 Edisi Mei 1991

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit Balai Pustaka 1989

TAP MPR No. II/MPR/1993 “Garis-Garis Besar Haluan” Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989

39

Page 116: Buku e jurnal vol 1

PENGARUH PELAKSANAAN SUPERVISI KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEDISIPLINAN GURU DALAM PELAKSANAKAN PROSES BELAJAR

MENGAJAR DI SDN NGAGELREJO II/397 KECAMATAN WONOKROMO

KOTA SURABAYA

Sri Sundari *)

Abstrak, Untuk mencapai tujuan pendidikan, guru juga perlu menaruh perhatian terhadap kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lain-lainnya. Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap kedisiplinan guru dalam pelaksanakan proses belajar mengajar.

Penelitian ini merupakan jenis regresional. Populasinya adalah seluruh guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo Kota Surabaya berjumlah 18 orang. Sampel diambil dengan teknik total sampling diperoleh responden sebanyak 18 orang. Data dikumpulkan dengan kuesioner, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh pelaksanaan supervisi kepala terhadap disiplin guru digunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49. Oleh karena Fhitung > Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Berdasarkan hasil penelitian diharapkan supervisi kepala sekolah dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu memberikan instrumen yang valid dan handal.

Kata Kunci : Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah, Kedisiplinan Guru

40

Page 117: Buku e jurnal vol 1

PENDAHULUAN

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi meliputi seluruh bidang kehidupan, misalnya bidang komunikasi, transportasi serta pembangunan fisik lainnya. Karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, maka hubungan antara negara-negara di dunia ini semakin berkembang. Jarak antara negara yang satu dengan negara yang lainnya seolah-olah semakin dekat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mendekatkan dan menyatukan negara yang satu dengan negara yang lain sehingga seolah-olah dunia ini mengglobal.

Oleh karena itu, bangsa Indonesia juga berusaha untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi agar sesuai dengan perkembangan jaman. Hal ini sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara yang tercantum dalam UUD 1945 alinea 4 yang berbunyi: “Mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Untuk melaksanakan hal tersebut diatas, maka salah satu bidang yang harus diutamakan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah dalam bidang pendidikan, karena pendidikan modal paling utama dalam menciptakan manusia yang cerdas dalam arti terampil, dapat berdiri sendiri serta bertanggung jawab terhadap bangsa dan negara.

Dalam pendidikan atau pengajaran, warga negara Indonesia dijamin haknya untuk mendapatkan pengajaran sebagaimana tercantum dalam Batang Tubuh UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat 1 yang berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Untuk pelaksanaan tersebut diatas, maka pemerintah berupaya serta mempunyai tanggung jawab dalam pendidikan. Hal ini diperkuat dengan ayat berikutnya (pasal 31 ayat 2) yang berbunyi : “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur oleh Undang-undang”.

Dengan melihat pernyataan diatas, maka pendidikan mencetuskan harapan, karena harapan terletak pada pendidikan, harapan juga

41

Page 118: Buku e jurnal vol 1

menjiwai perjuangan kemerdekaan. Karena itu pendidikan merupakan bagian mutlak dari perjuangan dan merupakan investasi yang paling utama dari setiap bangsa.

Oleh karena itu, mutu pendidikan lebih banyak cenderung dan tergantung pada guru dalam membimbing/mendidik proses belajar mengajar, serta kedisiplinan dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Kedisiplinan perlu sekali ditingkatkan untuk mencapai keberhasilan pendidikan, baik disiplin waktu maupun tugas.

Sebagai tenaga pendidik di sekolah, guru harus ikut aktif dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang tercantum dalam Ketetapan MPR No. 11/83 tentang GBHN halaman 93 yang berbunyi : “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap “Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan dan ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, mempertebal semangat kebangsaan seta cinta tanah air agar dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa dan negara”.

Untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut diatas, maka tugas guru juga perlu menaruh perhatian terhadap hal-hal lain. Laporan tentang kemajuan murid di samping evaluasi belajar memecahkan masalah atau problem yang dihadapi murid dan lain-lainnya.

Di dalam memperbaiki dan mensukseskan proses belajar mengajar serta memecahkan masalah lain sebagaimana tersebut, banyak dipengaruhi oleh pelaksanaan supervisi Kepala Sekolah terhadap guru dan lingkungan sekolahnya.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian explanatory survey. Pendekatan explanatory survey ini, sebagaimana simpulan Cooper dan Pamela (2003:13), Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi (1995:3) terbukti mampu dengan baik menjelaskan hubungan antar aspek yang diamati dan bukan hanya sekedar descriptive, sedangkan bentuk penelitian verifikatif menurut Moh. Nazir (1988:63) digunakan untuk menguji hipotesis yang menggunakan perhitungan-perhitungan statistik.

42

Page 119: Buku e jurnal vol 1

Deskripsi Populasi dan Penentuan Sampel

Deskripsi Populasi

Arikunto (2002) menyatakan bahwa populasi adalah obyek yang akan diteliti hasilnya, dianalisis, disimpulkan dan kesimpulan itu berlaku untuk seluruh populasi itu. Sudjana (1996) menjelaskan popupasi adalah totalitas semua nilai yang mungkin, hasil menghitung atau pengukuran, kuantitatif, atau kualitatif mengenai karateristik tertentu dari semua anggota kumpulan yang lengkap dan jenis yang ingin dipelajari sifat-sifatnya.

Penelitian ini dilakukan dengan mengambil populasi seluruh guru di SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya berjumlah 18 orang.

Penentuan Sampel

Pengambilan sampel ini didasari pendapat Arikunto (1998:120-121) “Untuk sekedar ancer-ancer maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau lebih tergantung setidak-tidaknya dari : a) kemampuan peneliti dari waktu, tenaga dan dana, b) Sempit luasnya wilayah

pengamatan dari setiap subyek, karena hal ini menyangkut banyak sedikitnya data, c) Besar kecilnya risiko yang ditanggung oleh peneliti. Untuk penelitian yang risikonya besar, tentu saja jika sampel besar, hasilnya akan lebih baik.”

Sugiyono (2009:124) menyatakan jumlah sampel tergantung dari tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki, misalnya tingat kesalahan 1%, 5%, 10% atau lainnya. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil sampel. Rumus untuk menghitung ukuran sampel dari populasi yang diketahui jumlahnya adalah :

s = λ2 . N .P .Q

d2 (N−1 )+λ2 .P .Q

2 dengan dk = 1, taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%

P = Q = 0,5 d = 0,05 s = jumlah sampel

Namun dari rumus tersebut telah dihitung untuk populasi-populasi dengan jumlah tertentu mulai 10 hingga 1.000.000 oleh Sugiono (2009:126) sebagaimana tabel terlampir. Untuk jumlah populasi 18 orang dengan taraf signifikan 0,05 diperoleh sampel sebanyak 18 orang. Oleh karena itu dalam penelitian ini Dari 19 orang ini dipilih dengan teknik total sampling yaitu mengambil seluruh guru menjadi responden.

43

Page 120: Buku e jurnal vol 1

Variabel Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan ini, variabel yang digunakan terdiri dari satu variabel bebas yaitu disiplin guru dan satu variabel terikat yaitu prestasi belajar.

Definisi Operasional Variabel

Agar tujuan penelitian dapat tercapai maka variabel harus didefinisikan dengan jelas dan menyebutkan indikator-dindikatornya, cara pengukurannya, dan skala atau kategori penilaian yang digunakan. Berikut ini adalah definisi operasional masing-masing variabel. 1. Variabel bebas (X) yakni

pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah suatu usaha untuk mewujudkan kemajuan sekolah yang bersifat teratur dan kontinyu dengan jalan membina, memperbaiki, meningkatkan kedisiplinan guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar untuk mempertinggi mutu pendidikan yang diberikan kepada siswa. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Prinsip konstruktif b. Prinsip kreatifitas c. Prinsip kooperatif d. Prinsip demokrasi e. Prinsip kontinyuitas f. Prinsip ilmiah

2. Variabel terikat (Y) yakni disiplin guru adalah suatu sikap mental seoang guru yang mengandung kesadaran dan kerelaan untuk mematuhisemua ketentuan, peraturan dan norma yang berlaku dalam menunaikan tugas dan tanggung jawab. Disiplin guru tersebut diukur dengan indikator-indikator sebagai berikut :a. Kehadiran di sekolah b. Ketepatan waktu mengajarc. Persiapan mengajar yaitu

silabus, RPP d. Kegiatan belajar mengajar

antara lain alat peraga, buku penunjang, buku absen siswa, daftar nilai, dan lain-lain.

Teknik Pengumpulan Data

Adapun proses pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :1. Survey Pendahuluan

Dalam kegiatan ini, penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data-data intern perusahaan di antaranya adalah profil SDN Ngagelrejo II Wonokromo Surabaya.

2. Dokumentasi Teknik dokumentasi adalah

mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya (Suharsimi, 2002 : 236).

44

Page 121: Buku e jurnal vol 1

Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk mencatat indikator disiplin guru.

3. Kuesioner Dalam penelitian ini

digunakan kuesioner tertutup dengan skala Likert. Menurut Arikunto (1998:151) kuesioner tertutup adalah kuesioner yang telah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih jawaban pada kolom yang sudah disediakan dengan memberi tanda cross (x). Dalam penelitian ini kuesioner digunakan untuk megambil data tentang pelaksanaan supervisi kepala sekolah.

Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian dilakukan analisis dengan urutan analisa sebagai berikut :

1. Coding, adalah memberi kode pada lembar check list sesuai dengan kategori yang telah ditentukan.

2. Tabulating, Tabulating adalah mentabulasi seluruh data hasil chek list ke dalam tabel-tabel yang diperlukan sehingga mudah dibaca.

3. Skoring, Skoring adalah memberi skor dari kategori-kategori tersebut sesuai skor yang telah ditentukan. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan disiplin guru diberi skor tinggi, sedang dan rendah. Skor tinggi jika penjumlahan dari hasil

penilaian mencapai >75%, skor sedang jika penjumlahan dari hasil penilaian mencapai 56-75%, dan rendah jika penjumlahan dari hasil penilaian <56%.

4. Uji HipotesisUji hipotesis berfungsi untuk menjawab hipotesa yang telah diajukan sebelumnya. Uji ini sekaligus juga menjawab rumusan masalah yang telah ditulis pada Bab I. Uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji Regresi Sederhana dengan rumus persamaan regresi sederhana :

Y = a + bXY = Disiplin guru X = Pelaksanaan supervisi

kepala sekolah a = Nilai konstanta b = Nilai arah sebagai penentu

ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau nilai penurunan (–) variabel Y.

Dalam penelitian ini perhitungan regresi dilakukan dengan bantuan program SPSS for Windows. Langkah menguji hipotesis : a. Membuat Ha dan Ho dalam

bentuk kalimat : Ha : Terdapat pengaruh

pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru

Ho : Tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru

45

Page 122: Buku e jurnal vol 1

b. Kaidah pengujian signifikansi : Jika Fhitung ≥ Ftabel maka Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.Jika Fhitung < Ftabel maka Ha ditolak dan Ho diterima artinya tidak terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1

Pelaksanaan Supervisi Kepala Sekolah

Pe la k s a n a a n Su p e rv is i Ke p s e k

3 1 6 ,7 1 6 ,7 1 6 ,7

1 3 7 2 ,2 7 2 ,2 8 8 ,9

2 11 ,1 11 ,1 1 0 0 ,0

1 8 1 0 0 ,0 1 0 0 ,0

Ku ra n g

Cu k u

Ba i k

T o ta l

Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t

Cu mu l a t i v ePe rc e n t

Tabel 1 menunjukkan dari 18 guru sebagai responden dalam menanggapi pelaksanaan supervisi kepala sekolah 72,2% menyatakan cukup, 16,7% menyatakan kurang, dan 11,1% masing menyatakan baik.

Tabel 2 Disiplin Guru di SDN Ngagelrejo II/397 Kec. Wonokromo

Kota Surabaya

Dis ip lin Guru

3 1 6 ,7 1 6 ,7 1 6 ,7

1 5 8 3 ,3 8 3 ,3 1 0 0 ,0

1 8 1 0 0 ,0 1 0 0 ,0

Cu k u p

Ba i k

To ta l

Va l i dF re q u e n c y Pe rc e n t Va l i d Pe rc e n t

Cu mu l a t i v ePe rc e n t

Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa disiplin guru dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar (83,3%) baik, dan 16,7% cukup.

Analisis Data

Hasil Pengujian Validitas

Validitas menunjukkan sejauh mana alat ukur yang digunakan mengukur apa yang diinginkan dan mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. Instrument valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapat data itu valid. Dalam uji validitas ini suatu butir pernyataan dikatakan valid jika corrected item total correlation lebih besar dari 0,468 (untuk jumlah responden 18 orang df = 16) sebagaimana tabel r produk momen terlampir. Hasil pengujian validitas terhadap variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 3 Hasil Uji Validitas Variabel Pelaksanaan Supervisi Kepala

Sekolah

46

Page 123: Buku e jurnal vol 1

Pernya-taan

Corrected item total

correlation

Keterangan

123456

0,7200,6920,6230,6680,6120,622

ValidValidValidValidValidValid

Sumber : Hasil Olah Data SPSSDari tabel di atas dapat diketahui

bahwa untuk item pernyataan variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah, corrected item total correlation yang diperoleh untuk seluruh item pernyataan adalah lebih besar dari 0,468 hal tersebut berarti bahwa secara keseluruhan item pernyataan mengenai pelaksanaan supervisi kepala sekolah adalah valid.

Hasil Uji Reliabilitas

Suatu alat ukur dikatakan reliabel atau handal, jika alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berbeda senantiasa menunjukkan hasil yang relatif sama. Untuk menguji reliabilitas suatu instrument dapat digunakan uji statistic Cronbach Alpha (α), dimana suatu alat ukur dikatakan reliabel jika nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,60. Hasil pengujian reliabilitas terhadap variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah diperoleh alpha sebesar 0,8773 lebih besar dari 0,6 sehingga dapat diputuskan bahwa item kuesioner telah reliabel.

Hasil Pengujian Regresi Linier Sederhana

Untuk mengetahui ada atau tidaknya pergaruh antara variabel bebas pelaksanaan supervisi kepala sekolah (X) terhadap variabel terikat yang dalam hal ini adalah disiplin guru (Y), maka digunakan analisis model regresi linier sederhana dengan model persamaan sebagai berikut :

Y = α + bX1

Dimana :

Y = Disiplin guru

X = Pelaksanaan supervisi kepala sekolah

b = koefisien regresi X

Output perhitungan dengan program SPSS for Windows seperti terlihat dalam gambar berikut.

ANOVAb

, 680 1 , 680 5, 975 , 026a

1, 820 16 , 114

2, 500 17

Regression

Residual

Tot al

Model1

Sum ofSquares df Mean Square F Sig.

Predict ors: (Const ant ) , Pelaksanaan Supervisi Kepseka.

Dependent Var iable: Disiplin Gurub.

Gambar 1 Uji F

Gambar 4.3 di atas menunjukkan hasil uji F dengan program SPSS for Windows, dengan Fhitung sebesar 5,975. Angka ini selanjutnya dibandingkan dengan Ftabel df = 16

47

Page 124: Buku e jurnal vol 1

sebagaimana Tabel F pada lampiran (Critical Values for the F Distribution α=0,05). Tabel F dengan df = 16 dan n =1 diperoleh Ftabel = 4,49. Sehingga Fhitung = 5,975 > Ftabel = 4,49.

Oleh karena Fhitung > Ftabel

maka Ha diterima dan Ho ditolak yang berarti terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Terlihat pula signifikan hasil hitung αhitung = 0,026 jauh di bawah 0,05, yang menandakan pengaruh yang signifikan.

Selain adanya pengaruh yang signifikan, pada uji korelasi juga terlihat adanya korelasi positif antar kedua variabel seperti tampak pada Gambar 4.2. Hasil Pearson Correlation sebesar 0,521 lebih dari rtabel sebesar 0,468 (Sebagaimana r tabel Product Moment pada df = 16 terlampir).

Co rre la tio n s

1 ,0 0 0 ,5 2 1

,5 2 1 1 ,0 0 0

, ,0 1 3

,0 1 3 ,

1 8 1 8

1 8 1 8

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i Ke p s e k

Pe a rs o n Co rre l a t i o n

Si g . (1 -ta i l e d )

N

Di s i p l i n Gu ru

Pe l a k s a n a a nSu p e rv i s i

Ke p s e k

Gambar 4.2 Pearson Correlations

Besarnya pengaruh atau kontribusi tingkat pendidikan terhadap perkembangan perusahaan dapat dilihat pada gambar Uji t berikut ini.

Coef f i ci ent sa

2, 112 , 305 6, 915 , 000

, 371 , 152 , 521 2, 444 , 026

( Const ant )

PelaksanaanSuper visi Kepsek

Model1

B St d. Er r or

Unst andar dizedCoef f icient s

Bet a

St andar dizedCoef f icient s

t Sig.

Dependent Var iable: Disiplin G ur ua.

Gambar 4.3 Uji t

Sebagaimana Uji F di atas yang menunjukkan adanya pengaruh, Uji t juga seperti pada Gambar 4.3 memperlihatkan thitung

sebesar 2,444 > ttabel sebesar 2,120 (sebagaimana Critical Value for the t Distribution terlampir) artinya terdapat pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru.

Untuk menunjukkan besarnya pengaruh atau kontribusi pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru dapat dilihat koefisien regresi (unstandarized coefficients Beta) pada gambar 4.2 sebesar 0,589. Selanjutnya sesuai dengan rumus regresi sederhana dapat dimasukkan angka-angka tersebut sebagai berikut :

Y = a + bX

= 2,112 + 0,371

Selanjutnya berdasarkan persamaan di atas deskripsi pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru berdasarkan unstandarized coeffisients beta adalah sebagai berikut:

48

Page 125: Buku e jurnal vol 1

1) Konstanta sebesar 2,112 menyatakan bahwa jika variabel pelaksanaan supervisi kepala sekolah dianggap konstan (tidak ada upaya supervisi), maka disiplin guru sebesar 2,112 point.

2) Koefisien regresi pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 0,371 menyatakan bahwa setiap peningkatan 1 poin pelaksanaan supervisi kepala sekolah akan meningkatkan disiplin guru sebesar 0,371 poin. Jika angka tersebut dikalikan 1000, deskripsinya menjadi setiap ada upaya pelaksanaan supervisi kepala sekolah sebesar 1000 poin maka akan meningkatkan disiplin guru sebesar 371 point.

Hasil uji regresi linier sederhana menunjukkan adanya pengaruh pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru. Adanya pengaruh ini menunjukkan betapa pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah.

Dalam kaitan pentingnya pelaksanaan supervisi kepala sekolah terhadap disiplin guru, Soewadji (1980:33) menyatakan supervisi merupakan rangsangan, bimbingan atau bantuan yang diberikan kepada guru-guru agar kemampuan profesionalnya semakin bertambah, sehingga situasi belajar mengajar lebih efektif dan efisien. Kemampuan profesional tidak lepas dari disiplin guru, dikatakan profesional berarti seorang guru

juga bisa melaksanakan disiplin dengan baik.

Baharudun Harahap menjelaskan masalah supervisi dalam administrasi pendidikan adalah pembinaan administrasi atau kepegawaian, yaitu masalah pengaturan, penyusunan dan penyimpanan data sebagai dasar dukungan keputusan mutasi yang menyangkut kepentingan pegawai dalam kedudukan sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil. Sedangkan yang dimaksud data di sini meliputi dokumen perorangan maupun data hasil olahan atau laporan. Laporan yaitu kartu merah, Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dan selain itu untuk mengetehui bagaimana kenaikan pangkat para guru atau pegawai dan pembagian tugasnya.

Apalagi jika pelaksanaan supervisi kepala sekolah yang memenuhi prinsip-prinsip yang telah ditentukan maka semakin jelas hasilnya terhadap disiplin guru. Prinsip konstruktif misalnya, bahwa pelaksanaan bersifat membangun yaitu harus tampak perbedaan antara sebelum diadakan supervisi dengan sesudah supervisi yaitu makin majunya dalam suatu hal pengetahuan, sikap atau nilai dan ketrampilan, profesi. Maka maksudnya, supervisor hendaknya menyadari sepenuhnya bahwa setiap guru pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan.

49

Page 126: Buku e jurnal vol 1

Prinsip kreativitas juga tidak kalah penting, Dolok Saribu dan Berlian T. Simbolon (1984:236) mengemukakan bahwa supervisi hendaknya mendorong guru untuk berinisiatif, melalui supervisi hendaknya guru dapat memperoleh pengetahuan, juga berkreasi atau mencipta dengan sikap atau nilai dan ketrampilan guru atas inisiatif sendiri tidak bergantung kepada kepala sekolah atau pemimpinannya.

Sedangkan prinsip kooperatif, juga telah dikembangkan oleh kepala sekolah yang dilaksanakan atas kerja sama antara kepala sekolah dan guru, sehingga terjalin kehamonisan kerja yang baik, saling mengisi dan menyadari kekurangan masing-masing. Supervisor tidak dianggap momok yang menakut-nakuti, namun di sini sebagai pemimpin mereka yang harus bias membantu kelancaran tugas para guru.

Prinsip demokrasi dilaksanakan oleh kepala sekolah tidak hanya atas kemampuannya, tetapi juga ternyata perlu mempertimbangkan kemauan/pendapat para guru. Kepala Sekolah sebagai supervisor menghargai kepribadian guru, dalam pembicaraan bersama ia harus memberi kesempatan kepada guru untuk mengeluarkan pendapatnya dalam mengambil keputusan. Keputusan yang diambil

hendaknya dengan jalan musyawarah.

Prinsip kontinyuitas yaitu melaksanakan terus-menerus secara teratur, tidak hanya karena akan ada inspeksi atasan, sehingga para guru sudah terbiasa bekerja dengan teratur disertai dengan rasa disiplin dan tanggung jawab.

Prinsip ilmiah menurut Made Pidharta (1986:39) bahwa supervisi dilaksanakan hendaknya dengan sistematika, objektif dan berdasarkan data atau informasi. Dalam hal ini tugas supervisi diharuskan pada pembinaan guru-guru. Supervisi berpegang pada tujuan sekolah, koordinasi merode belajar dan kualifikasi dengan segala aktifitasnya yang sudah ditentukan secara jelas.

SARAN

1. Pelaksanaan supervisi kepala sekolah seyogyanya dilaksanakan sebaik-baiknya sehingga lebih meningkatkan disiplin guru.

2. Guru hendaknya ikut mensukseskan pelaksanaan supervisi kepala sekolah agar kegiatan proses belajar mengajar lebih meningkat dan bermutu.

3. Bagi pihak-pihak terkait khususnya pemerintah hendaknya memperhatikan pelaksanaan supervisi kepala sekolah dan membantu

50

Page 127: Buku e jurnal vol 1

memberikan instrumen yang valid dan handal.

DAFTAR PUSTAKA

Ametembun, Drs.M.A, “Supervisi Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1975

Ametembun, Drs.M.A, “Manajemen Kelas”, Terbitan Ketiga Penerbit IKIP Bandung, 1981

Ghozali, Imam. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Undip, Semarang. 2002.

Hendyat Sutopo, Dr., “Ikhtiar Teknik Penilaian Pendidikan”, Penerbit IKIP Bandung, 1984

Ismed Syarif, Drs dan Nawas Riza, Drs., “Administrasi Pendidikan Dasar”, Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1976

M. Ngalim Purwanto, Drs.M.P., “Pyskologi Pendidikan”, Penerbit PT. Rosda Karya Bandung 1990

M. Dimyati Mahmud, “Psykologi Pendidikan”, Suatu Pendekatan Terapan Edisi I Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta

Sutrisno Hadi, Prof. Dr. M.A., “Metodologi Reseach”, Jilid II Penerbit FKP IKIP Yogyakarta 1967

Suhertin, Drs. Dan Nata Her, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Program Insenvice Education, Penerbit IKIP Malang 1971

S. Nasution, Prof.Dr.M.A “Didaktik dan Azas-Azas Kurikulum”, Penerbit Jemara Bandung 1989

Westy Sumanto, Drs dan Hendyat Sutopo “Kepemimpinan Pendidikan”, Peberbit Usaha Nasional Surabaya 1982

Subari, Drs “Supervisi Pendidikan”, Dalam Rangka Perbaikan Situasi Mengajar Penerbit Bumi Aksara Jakarta 1994

Departeman Pendidikan dan Kebudayaan “Buku II Petunjuk

51

Page 128: Buku e jurnal vol 1

Administrasi Sekolah Dasar”, tahun 1989

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Wilayah Jawa Timur “Media Pendidikan”, Nomor 3 Edisi Mei 1991

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia “Kamur Besar Bahasa Indonesia”, Penerbit Balai Pustaka 1989

TAP MPR No. II/MPR/1993 “Garis-Garis Besar Haluan” Negara 1993-1998, Penerbit Bina Pustaka Surabaya 1989.

52

Page 129: Buku e jurnal vol 1

TELAAH KRITIS PENDIDIKAN UNTUK SEMUA

(EDUCATION FOR ALL)

DALAM KONTEKS MANAJEMEN PENDIDIKAN

Soesetijo *)

Kata-kata kunci: telaah kritis, pendidikan untuk semua, manajemen pendidikan.

Abstrak: pendidikan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga Negara Indonesia untuk mendapatkan pengajaran. Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang menan-datangani “Education for All”. Oleh karena itu, Indonesia mencanang-kan Wajib Belajar 6 tahun pada tahun 1984 dan Wajib Belajar 9 tahun pada tahun 1994. Hakikat dari “Pendidikan untuk Semua dan Semua un-tuk Pendidikan” adalah mengupayakan agar setiap warga Negara dapat memenuhi haknya. Untuk mewujudkan program PUS (Pendidikan Untuk Semua) tersebut, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warganegara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk barpartisipasi aktif dalam menyukseskan pendidikan untuk semua. Agar program PUS dapat memenuhi target ca-paian sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dikelola secara profe-sional. Dalam konteks menejemen pendidikan, secara struktural penge-lolaan PUS perlu ada kosistensi dan komitmen yang sama dalam pelak-sanaannya, terutama dalam penerapannya di lembaga-lembaga pendi-dikan yang terkait.

1

Page 130: Buku e jurnal vol 1

Manusia membutuhkan

pendidikan dalam kehidupannya.

Pendidikan merupakan usaha

agar manusia dapat

mengembangkan potensi dirinya

melalui proses pembelajaran

dan/atau cara lain yang dikenal

dan diakui oleh masyarakat.

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 31 ayat (1) menyebutkan

bahwa setiap warga Negara

berhak mendapat pendidikan,

dan ayat (3) menegaskan bahwa

Pemerin-tah mengusahakan dan

menyelenggarakan satu sistem

pendidikan nasional yang

meningkatkan keimanan dan

ketakwaan serta akhlak mulia

dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa yang diatur

dengan undang-undang. Untuk

itu, seluruh komponen

*) Soesetijo, staf pengajar Universitas Gresik.

bangsa wajib mencerdaskan

kehidupan bangsa yang

merupakan salah satu tujuan

negara Indonesia.

Indonesia merupakan salah

satu Negara yang menandatangi

deklarasi “Education for All”.

Berkaitan dengan deklarasi ini

dan sekaligus juga sebagai wujud

keseriusan Indonesia

mensukseskannya, maka

Indonesia telah mencanangkan

Wajib Belajar 6 Tahun pada

tahun 1984 dan 10 tahun

berikutnya, yaitu pada tahun

1994, Indonesia mencanangkan

Wajib Belajar 9 Tahun. Melalui

Wajib Belajar 6 Tahun

diharapkan anak-anak usia

Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat

menikmati layanan pendidikan

Sekolah Dasar (SD). Artinya,

anak-anak usia SD dapat

menyelesaikan pendidikan SD.

Demikian juga halnya melalui

pencanangan Wajib Belajar 9

Tahun diharapkan anak-anak usia

SMP (13-15 tahun) dapat

menyelesaikan pendidikan SMP.

Dalam lingkungan

masyarakat Indonesia yang

pluralistis di mana setiap anak

yang mengalami berbagai jenis

kebudayaan diharapkan belajar

2

Page 131: Buku e jurnal vol 1

beradaptasi terhadap

kebudayaan utama Indonesia

(mainstream culture), upaya

pendekatan belajar bagi setiap

anak harus lebih banyak dikaji

secara mendalam sesuai dengan

perkembangan dan tuntutan

zaman dan sesuai dengan

kebutuhan perkembangan anak

(Developmentally Appropriate

Practice, DAP). Sejak

kemerdekaan bangsa ini maka

telah disebutkan dalam UUD

1945 pasal 31 ayat 1 bahwa

setiap anak Indonesia berhak

untuk belajar. UUD ini dilandasi

oleh filsafat yang serasi dengan

hak asasi manusia yang menjaga

kedaulatan manusia yang

memiliki hak untuk belajar.

Berbagai program yang

diarahkan untuk mendukung

keberhasilan pelaksanaan Wajib

Belajar 6 Tahun dan 9 Tahun

telah dilaksanakan secara

terencana dan bertahap.

Berkaitan dengan hal ini, satu hal

yang menjadi keprihatinan di

berbagai Negara adalah

mengenai anak-anak yang karena

satu dan lain hal terpaksa tidak

dapat menyelesaikan pendidikan

SD, sehingga mereka ini menjadi

warga Negara yang buta aksara.

Demikian juga dengan anak-anak

yang terpaksa tidak dapat

menyelesaikan pendidikan SMP,

maka mereka akan cenderung

masuk ke dalam kelompok tenaga

kerja kasar.

Konsep Pendidikan untuk

Semua (PUS)

Hakekat dari “Pendidikan

untuk Semua dan Semua untuk

Pendidikan” adalah

mengupayakan agar setiap warga

Negara dapat memenuhi haknya,

yaitu setidak-tidaknya untuk

mendapatkan layanan pendidikan

dasar (Wajib Belajar 9 Tahun).

Untuk dapat mewujudkan

“Pendidikan untuk Semua dan

Semua untuk Pendidikan”, semua

komponen bangsa, baik

pemerintah, swasta, lembaga-

lembaga sosial kemasyarakatan,

maupun warga Negara secara

individual, secara bersama-sama

atau sendiri-sendiri, berkomitmen

untuk berpartisipasi aktif dalam

menyukseskan “Pendidikan untuk

Semua dan Semua untuk

Pendidikan” sesuai dengan

3

Page 132: Buku e jurnal vol 1

potensi dan kapasitas masing-

masing.

Sebagai unit organisasi

terkecil, orang tua dari setiap

keluarga tergugah dan ter-

panggil untuk setidak-tidaknya

membimbing dan membelajarkan

anak-anaknya, baik melalui

pendidikan formal persekolahan,

lembaga pendidikan non-formal,

maupun melalui lembaga

pendidikan informal.

Mengirimkan anak untuk belajar

melalui lembaga pendidikan

sekolah sudah jelas yaitu mulai

dari Taman Kanak-Kanak (TK)

sampai dengan pendidikan tinggi.

Apabila karena satu dan

lain hal, seorang anak tidak

memungkinkan untuk mengikuti

pendidikan persekolahan, maka

orang tua dapat mengirimkan

anaknya untuk mengikuti

kegiatan pembelajaran pada

pendidikan non-formal, seperti

Paket A setara SD, Paket B setara

SMP, dan Paket C setara SMA.

Seandainya seorang anak tidak

memungkinkan juga mengikuti

pendidikan melalui pendidikan

formal dan non-formal, maka

masih ada model pendidikan

alternatif yang dapat ditempuh,

yaitu “Sekolah di Rumah” (Home

Schooling). Dalam kaitan ini,

orang tua dapat mengidentifikasi

lembaga-lembaga sosial

kemasyarakatan atau unit-unit

pendidikan prakarsa anggota

masyarakat yang

menyelenggarakan Sekolah di

Rumah” dan kemudian

mengirimkan anaknya untuk

mengikuti pendidikan di lembaga

atau unit pendidikan tersebut.

Atau, orang tua sendiri dengan

latar belakang pendidikan dan

pengetahuan yang dimiliki, dapat

membimbing dan membelajarkan

anak-anaknya sehingga pada

akhirnya sang anak dapat

mengikuti ujian persamaan

(Upers), baik pada satuan

pendidikan SD, SMP atau SMA.

Pendidikan untuk Semua

(PUS)

Pada tanggal 5-9 Maret

1990 di Jomtien, Thailand , 115

negara dam 150 organi-sasi

saling bertemu dan mengadakan

Konferensi Dunia membahas

Education for All (EFA) atau

Pendidikan Untuk Semua (PUS).

Dalam rangka mewujudkan

tujuan terse-but, perlu koalisi

4

Page 133: Buku e jurnal vol 1

yang luas dari pemerintah

nasional, masyarakat sipil

kelompok, dan lembaga

pembangunan seperti UNESCO

dan Bank Dunia. Mereka

berkomitmen untuk mencapai

enam tujuan pendidikan yaitu :

1. Memperluas dan

meningkatkan perawatan

anak usia dini yang

komprehensif dan

pendidikan, terutama bagi

yang paling rentan dan

anak-anak yang kurang

beruntung.

2. Memastikan bahwa pada

2015 semua anak,

khususnya anak

perempuan, yang dalam

keadaan sulit, dan mereka

yang termasuk etnik

minoritas, memiliki akses

lengkap dan bebas ke wajib

pendidikan dasar yang

berkualitas baik.

3. Memastikan bahwa

kebutuhan belajar semua

pemuda dan dewasa

dipenuhi me-lalui akses adil

untuk pembelajaran yang

tepat dan program

keterampilan hidup.

4. Mencapai 50% peningkatan

dalam keaksaraan orang

dewasa pada tahun 2015,

khususnya bagi perempuan,

dan akses ke pendidikan

dasar dan pendidikan ber-

kelanjutan bagi semua

orang dewasa secara adil.

5. Menghilangkan perbedaan

gender pada pendidikan

dasar dan menengah pada

tahun 2005, dan mencapai

kesetaraan gender dalam

pendidikan dengan 2015,

dengan fokus pada

perempuan bahwa mereka

dipastikan mendapat akses

penuh dan sama ke dalam

pendidikan dasar dengan

kualitas yang baik.

6. Meningkatkan semua aspek

kualitas pendidikan dan

menjamin semua, sehingga

diakui dan diukur hasil

pembelajaran yang dicapai

oleh semua, khususnya

dalam keaksaraan,

berhitung dan kecakapan

hidup yang esensial.

Setelah satu dekade,

karena lambatnya kemajuan dan

banyaknya Negara yang jauh dari

keharusan untuk mencapai

5

Page 134: Buku e jurnal vol 1

tujuan tersebut, masyarakat

internasonal menegas-kan

kembali komitmennya terhadap

Pendidikan Untuk Semua di

Dakar, Senegal, pada 26-28 April

2000 dan sekali lagi pada bulan

September tahun itu. Pada

pertemuan terakhir, 189 negara

dan mitra mereka mengadopsi

dua dari delapan tujuan

Pendidikan Untuk Semua yang

dikenal dengan nama Millenium

Development Goals (MDG) yaitu

MDG 2 mengenai pendidikan

dasar dan universal serta MDG 3

mengenai kesetaraan jender

dalam pendidikan pada tahun

2015.

Indonesia, sebagai anggota

Perserikatan Bangsa Bangsa

(PBB) turut menyepa-kati

komitmen dunia untuk

menyelenggarakan program

Education for All (EFA) atau

Pendidikan untuk Semua (PUS).

Komitmen dunia itu telah

dikumandangkan pada kon-

ferensi dunia di Jomtien,

Thailand, pada tahun 1990.

Namun baru dideklarasikan seba-

gai sebuah gerakan dunia pada

pertemuan di Dakar, Senegal,

pada 26-28 April 2000. The Dakar

Framework for Action berisikan

enam tujuan utama: 1)

memperluas pendi-dikan untuk

anak usia dini; 2) menuntaskan

wajib belajar untuk semu (2015);

3) mengembangkan proses

pembelajaran/keahlian untuk

orang muda dan dewasa; 4) me-

ningkatnya 50% orang dewasa

yang melek huruf (2015)

khususnya perempuan; 5) me-

ningkatkan mutu pendidikan; dan

(6) menghapuskan kesenjangan

gender.

Target pencapaian EFA

pada 2015 itu kemudian

disepakati untuk dipercepat.

Komitmen mempercepat target

EFA digaungkan E-9 Ministerial

Review Meeting on Educationfor

All atau para menteri pendidikan

dari Sembilan Negara

berpenduduk terbesar dunia,

pada pertemuan di Denpasar,

Bali, 12 Maret 2008. Anggota E-9

adalah Negara dengan jumlah

penduduk sekitar 60% populasi

dunia. Selain Indonesia, anggota

E-9 adalah Bangladesh, Brazil,

Cina, Mesir, India, Meksiko,

Nigeria, dan Pakistan.

Indonesia merasa

berkepentingan menandatangani

6

Page 135: Buku e jurnal vol 1

konvensi tersebut untuk

memperkuat komitmen bersama

sebagai bangsa dalam memenuhi

hak-hak setiap anak memperoleh

pendidikan. Upaya mencapai

target EFA merupakan bagian

dari upaya pembangunan

pendidikan nasional secara

keseluruhan. Sudah banyak yang

dapat dica-pai dalam

pembangunan pendidikan sejak

kemerdekaan. Tapi juga besar

pekerjaan ru-mah dan tantagan

era sekarang dalam rangka

menghasilkan sumber daya

manusia yang unggul untuk

pembangunan.

Kaitannya dengan

Kerangka Aksi Dakar Pendidikan

untuk Semua, seluruh war-ga

yang menandatangani deklarasi

termasuk Indonesia, berupaya

memegang komitmen

memperluas dan memperbaiki

pendidikan. Indonesia telah

menyusun Rencana Aksi Nasional

Pendidikan Untuk Semua (RAN-

PUS), yang dijabarkan ke dalam

Rancangan Aksi Daerah

Pendidikan Untuk Semua (RAD-

PUS) pada semua provinsi dan

sebagian besar kabupaten/kota.

Sebagian dari komitmen

menjalankan Pendidikan untuk

Semua, pemerintah

mencanangkan penuntasan

program Wajib Belajar

Pendidikan Dasar 9 Tahun. Wajar

Dikdas 9 Tahun mencakup

jenjang pendidikan

SD/MI/pendidikan setara dan

SMP/MTs/ pendidikan setara.

Program ini secara resmi

dicanangkan Presiden Soeharto

pada tanggal 2 Mei 1994. Saat

itu, Presiden Soeharto

menargetkan program tersebut

tuntas pada tahun 2004, dengan

indikator utama berupa angka

partisipasi kasar (APK) SMP/

MTs/pendidikan setara minimal

95%. Pada tahun 2004, Angka

Partisipasi Murni (APM) SD/MI

sebesar 94,12% dan Angka

Partisipasi Kasar (APK) SMP/MTs

81,22%. Han-taman krisis

ekonomi yang merangsek sejak

akhir tahun 1997 itu, membuat

target dire-visi menjadi akhir

tahun 2008. Keputusan

menjadwal ulang itu dilakukan

pada tahun 2000, saat

Abdurrahman Wahib menjadi

Presiden RI.

7

Page 136: Buku e jurnal vol 1

Landasan Pendidikan Untuk

Semua di Indonesia

Landasan yuridis

pelaksanaan pendidikan untuk

semua atau education for all di

Indonesia didasari oleh beberapa

hal, diantaranya adalah:

1. UUD 1945 (amandemen) pasal

31 ayat 1 : “setiap warga

Negara berhak mendapat

pendidikan.”

2. UU No. 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional

(Sisdiknas) :

a) Kewajiban bagi orangtua

untuk memberikan

pendidikan dasar bagi

anaknya (pasal 7 ayat 2)

b) Kewajiban bagi masyarakat

memberikan dukungan

sumber daya dalam

penyelenggaraan

pendidikan (pasal 9)

c) Pendanaan pendidikan

menjadi tanggung jawab

bersama pemerintah,

pemerintah daerah, dan

masyarakat (pasal 46 ayat

1).

Kebijakan Pendidikan di

Indonesia

Bangsa yang maju adalah

bangsa yang memperlihatkan

pendidikan dalam

pembangunannya. Karena

pendidikan merupakan proses

Proses pendidikan

merupakan upaya sadar manusia

yang tidak pernah ada hentinya.

Sebab, jika manusia berhenti

melakukan pendidikan, sulit

dibayangkan apa yang akan

terjadi pada sistem peradaban

dan budaya (Suyanto, 2006)

manusia. Dengan ilustrasi ini,

maka baik pemerintah maupun

masyarakat berupaya untuk

melakukan pendidikan dengan

standar kualitas yang diinginkan

untuk memberdayakan manusia.

“Sistem pendidikan yang

dibangun harus disesuaikan

dengan tuntutan zamannya, agar

pendidikan dapat menghasilkan

outcome yang relevan dengan

tuntutan zaman (Suyanto, 2006).

Indonesia, telah memiliki

sebuah sistem pendidikan dan

telah dikokohkan dengan UU

No. 20 tahun 2003.

Pembangunan pendidikan di

Indonesia sekurang-kurangnya

menggunakan empat strategi

dasar, yakni; pertama,

8

Page 137: Buku e jurnal vol 1

pemerataan kesempatan untuk

memperoleh pendidikan, kedua,

relevansi pendidikan, ketiga,

peningkatan kualiutas

pendidikan, dan keempat,

efesiensi pendidikan. Secara

umum strategi itu dapat dibagi

menjadi dua dimensi yakni

peningkatan mutu dan

pemerataan pendidikan.

Pembangunan peningkatan mutu

diharapkan dapat meningkatkan

efisiensi, efektivitas dan

produktivitas pendidikan.

Sedangkan kebijkan pemerataan

pendidikan diharapkan dapat

memberikan kesempatan yang

sama dalam memperoleh

pendidikan bagi semua usia

sekolah (Nana Fatah Natsir,

dalam Hujair AH. Sanaky, 2003).

Dari sini, pendidikan dipandang

sebagai katalisator yang dapat

menunjang faktor-faktor lain.

Artinya, pendidikan sebagai

upaya pengembangan

sumberdaya manusia (SDM)

menjadi semakin penting dalam

pembangunan suatu bangsa.

Untuk menjamin

kesempatan memperoleh

pendidikan yang merata disemua

kelompok strata dan wilayah

tanah air sesuai dengan

kebutuhan dan tingkat

perkembangannya perlu strategi

dan kebijakan pendidikan, yaitu :

(a) menyelenggarakan pendidikan

yang relevan dan bermutu sesuai

dengan kebutuhan masyarakat

Indonesia dalam menghadapi

tantangan global, (b)

menyelenggarakan pendidikan

yang dapat

dipertanggungjawabkan

(accountasle) kepada masyarakat

sebagai pemilik sumberdaya dan

dana serta pengguna hasil

pendidikan, (c)

menyelenggarakan proses

pendidikan yang demokratis

secara profesional sehingga tidak

mengorbankan mutu pendidikan,

(d) meningkatkan efisiensi

internal dan eksternal pada

semua jalur, jenjang, dan jenis

pendidikan, (e) memberi peluang

yang luas dan meningkatkan

kemampuan masyarakat,

sehingga terjadi diversifikasi

program pendidikan sesuai

dengan sifat multikultural bangsa

Indonesia, (f) secara bertahap

mengurangi peran pemerintah

menuju ke peran fasilitator dalam

implementasi sistem pendidikan,

9

Page 138: Buku e jurnal vol 1

(g) Merampingkan birokrasi

pendidikan sehingga lebih lentur

(fleksibel) untuk melakukan

penyesuaian terhadap dinamika

perkembangan masyarakat dalam

lingkungan global (Kelompok

Kerja Pengkajian, dalam Hujair

AH. Sanaky, 2003).

Empat strategi dasar

kebijakan pendidikan yang

dikemukakan di atas cukup

ideal. Tetapi Muchtar Bukhori,

seorang pakar pendidikan

Indonesia, menilai bahwa

kebijakan pendidikan kita tak

pernah jelas. Pendidikan kita

hanya melanjutkan pendidikan

yang elite dengan kurikulum

yang elitis yang hanya dapat

ditangkap oleh 30 % anak didik”,

sedangkan 70% lainnya tidak

bisa mengikuti (Kompas, 4

September 2004). Dengan

demikian, tuntutan peningkatan

kualitas pendidikan, relevansi

pendidikan, efesiensi

pendidikan, dan pemerataan

kesempatan untuk memperoleh

pendidikan, belum terjawab

dalam kebijakan pendidikan kita.

Kondisi ini semakin mempersulit

mewujudkan pendidikan yang

egalitarian dan SDM yang

semakin merata di berbagai

daerah.

Proses menuju perubahan

sistem pendidikan nasional

banyak menuai kendala serius.

Apalagi ketika membicarakan

konteks pendidikan nasional

sebagai bagian dari pergumulan

ideologi dan politik penguasa.

Problem-problem yang dihadapi

seringkali berkaitan dengan

kebijakan-kebijakan (policies)

yang sangat strategis. Maka,

dalam konteks kebijakan

pendidikan nasional, menurut

Suyanto, banyak pakar dan

praktisi pendidikan mengkritisi

pemerintah, dianggap tidak

memiliki komitmen yang kuat

untuk membenahi sistem

pendidikan nasional”.

(Suyanto,2006). Artinya,

kebijakan-kebijakan pendidikan

kita, kurang menggambarkan

rumusan-rumusan permasalahan

dan “prioritas” yang ingin

dicapai dalam jangka waktu

tertentu. Hal ini, “terutama

berkaitan dengan anggaran

pendidikan nasional yang

semestinya sebesar minimal

20%, daimbil dari APBN dan

APBD (pasal 31 ayat 4 UUD

10

Page 139: Buku e jurnal vol 1

Amandemen keempat). Tetapi,

sampai sekarang kebijakan

strategi belum dapat diwujudkan

sepenuhnya, pendidikan nasional

masih menyisihkan kegetiran-

kegetiran bagi rakyat kecil yang

tidak mampu mengecap

pendidikan di sekolah” (Suyanto,

2006).

Pasca Reformasi tahun

1998, memang ada perubahan

fundamental dalam sistem

pendidikan nasional. Perubahan

sistem pendidikan tersebut

mengikuti perubahan sistem

pemerintah yang sentralistik

menuju desentralistik atau yang

lebih dikenal dengan otonomi

pendidikan dan kebijakan

otonomi nasional itu

mempengaruhi sistem

pendidikan kita (Suyanto, 2006).

Sistem pendidikan kita pun

menyesuaikan dengan model

otonomi. Kebijakan otonomi di

bidang pendidikan (otonomi

pendidikan) kemudian banyak

membawa harapan akan

perbaikan sistem pendidikan

kita. Kebijakan tersebut masih

sangat baru, maka sudah barang

tertentu banyak kendala yang

masih belum terselesaikan.

Otonomi yang didasarkan

pada UU No. 22 tahun 1999,

yaitu memutuskan suatu

keputusan dan atau kebijakan

secara mandiri. Otonomi sangat

erat kaitanya dengan

desentralisasi. Dengan dasar ini,

maka otonomi yang ideal dapat

tumbuh dalam suasana bebas,

demokratis, rasional dan sudah

barang tentu dalam kalangan

insan-insan yang “berkualitas”.

Oleh karena itu, rekonstruksi

dan reformasi dalam Sistem

Pendidikan Nasional dan

Regional, yang tertuang dalam

GBHN 1999, juga telah

dirumuskan misi pendidikan

nasional kita, yaitu mewujudkan

sistem dan iklim pendidikan

nasional yang demokratis dan

bermutu, guna memperteguh

akhlak mulia, kreatif, inovatif,

berwawasan kebangsaan,

cerdas, sehat, berdisiplin,

bertanggung jawab,

berketerampilan serta

menguasai iptek dalam rangka

mengembangkan kualitas

manusia Indonesia.

(Soedjiarto,1999).

Untuk mewujudkan misi

tersebut mesti diterapkan arah

11

Page 140: Buku e jurnal vol 1

kebijakan sebagai berikut,

yaitu : (1) perluasan dan

pemerataan pendidikan, (2)

meningkatkan kemampuan

akademik dan profesionalitas

serta kesejahteraan tenaga

kependidikan, (3) melakukan

pembaharuan dalam sistem

pendidikan nasional termasuk

dalam bidang kurikulum, (4)

memberdayakan lembaga

pendidikan formal dan PLS

secara luas, (5) dalam realisasi

pembaharuan pendidikan

nasional mesti berdasarkan

prinsip desentralisasi, otonomi

keilmuan, dan manajemen, (6)

meningkatkan kualitas lembaga

pendidikan yang dikembangkan

oleh berbagai pihak secara

efektif dan efisien terutama

dalam pengembangan iptek, seni

dan budaya sehingga

membangkitkan semangat yang

pro-aktif, kreatif, dan selalu

reaktif dalam seluruh komponen

bangsa. (Soedjiarto, 1999).

Beberapa kalangan pakar

dan praktisi pendidikan,

mencermati kebijakan otonomi

pendidikan sering dipahami

sebagai indikasi kearah

“liberalisasi” atau lebih parah

lagi dikatakan sebagai indikasi

kearah “komersialisasi

pendidikan”. Hal ini, menurut

Suyanto, semakin dikuatkan

dengan terbentuknya Badan

Hukum Pendidikan (BHP) yang

oleh beberapa pengamat

dianggap sebagai

pengejawantahan dari sistem

yang mengarah pada

“liberalisasi pendidikan”

(Suyanto, 2006).

Persoalan sekarang, apakah

sistem pendidikan yang ada saat

ini telah efektif untuk mendidik

bangsa Indonesia menjadi

bangsa yang modern, memiliki

kemampuan daya saing yang

tinggi di tengah-tengah bangsa

lain? Jawabannya tentu belum.

Menurut Suyanto, berbicara

kemampuan, kita sebagai

bangsa nampaknya belum

sepenuhnya siap benar

menghadapi tantangan

persaingan (Suyanto, 2006).

Sementara, disatu sisi, bidang

pendidikan kita menjadi

tumpuan harapan bagi

peningkatan kualitas Sumber

Daya Manusia (SDM) Indonesia.

Tetapi disisi lain, sistem

pendidikan kita masih

12

Page 141: Buku e jurnal vol 1

melahirkan mismatch terhadap

tuntutan dunia kerja, baik secara

nasional maupun regional.

(Suyanto, 2006).

Berbagai problem

fundamental yang dihadapi

pendidikan nasional saat ini,

yang tercermin dalam “realitas”

pendidikan yang kita jalan.

Seperti persoalan anggaran

pendidikan, kurikulum, strategi

pembelajaran, dan persoalan

output pendidikan kita yang

masih sangat rendah

kualitasnya. Problem-problem

pendidikan yang bersifat

metodik dan strategik yang

membuahkan output yang

sangat memprihatinkan. Output,

pendidikan kita memiliki mental

yang selalu tergantung kepada

orang lain. Output pendidikan

kita tidak memiliki mental yang

bersifat mandiri, karena

memang tidak kritis dan kreatif.

Akhirnya, output yang pernah

mengenyam pendidikan, malah

menjadi “pengangguran

terselubung”. Ini artinya, setiap

tahunnya, pendidikan nasional

kita memproduksi pengangguran

terselubung. Mereka itu, adalah

korban dari ketidakberesan

sistem pendidikan kita yang

masing sedang merangka

berbenah. Mungkin saja, kita

sebagai insan yang

berpendidikan, tentu saja terus

atau banyakan berharap akan

datangnya perubahan

“fundamental” terhadap sistem

pendidikan (Suyanto, 2006) di

Indonesia.

Posisi Indonesia dalam PUS

Indonesia merupakan salah

satu Negara yang

menandatangani deklarasi

“Education for All.” Berkaitan

dengan deklarasi ini dan

sekaligus juga sebagai wujud

keseriusan Indonesia

mensukseskannya, maka

Indonesia telah mencnangkan

Wajib Belajar 9 Tahun pada

tahun 1984 dan 10 tahun

berikutnya, yaitu pada tahun

1994, Indonesia mencanangkan

Sekolah Dasar (7-12 tahun) dapat

menikmati layanan pendidikan

Sekolah Dasar (SD). Artinya,

anak-anak usia SD dapat

menyelesaikan pendidikan SD.

Demikian juga halnya melalui

pencanangan Wajib Belajar 9

Tahun diharapkan anak-anak usia

13

Page 142: Buku e jurnal vol 1

SMP (13-15 Tahun) dapat

menyelesaikan penddikan SMP.

Jalal dan Supriadi (2001)

mengemukakan meskipun

strategi perluasan dan

pemerataan kesempatan

pendidikan terfokus kepada

program wajib belajar pendidikan

dasar sembilan tahun, jenis dan

jenjang pendidikan lainnya yang

tercakup. Indikator-indikator

keberhasilannya adalah: (a)

mayoritas penduduk

berpendidikan minimal SMP dan

partisipasi pendidikan meningkat

yang ditunjukkan dengan APK-SD

15%, APK SMP mencapai 80%,

APK SLTA mencapai 47%, dan

APK PT sebesar 12% dengan

perluasan terkendali untuk

bidang-bidang unggulan dan

teknologi, (b) meningkatnya

budaya belajar di kalangan

masyarakat yang ditunjukkan

antara lain dengan meningkatnya

peserta program pendidikan

berkelanjutan seperti kursus-

kursus, program pendidikan

masyarakat, meningkatnya

penduduk melek huruf hingga

mencapai 88% pada tahun 2005;

(c) meningkatnya proporsi

penduduk kurang beruntung

yang memperoleh kesempatan

pendidikan.

Kebijakan program yang

harus dilakukan adalah:

1. Memperluas kesempatan

pendidikan dengan prioritas

pada pendidikan dasar;

2. Meningkatkan layanan

pendidikan kepada kelompok

yang kurang beruntng,

termasuk kaum perempuan;

3. Mengembangkan layanan

pendidikan alternatif tanpa

mengorbankan mutu program;

4. Menetapkan standar

kompetensi minimal keluaran

pendidikan;

5. Melanjutkan program PMTAS

secara terseleksi dan

terkendali bagi yang benar-

benar memerlukan;

6. Melanjutkan program

beasiswa bagi kalangan anak-

anak miskin;

7. Meningkatkan anggaran

pemerintah untuk pendidikan

secara bertahap dan

terencana; dan

8. Meningkatkan partisipasi

keluarga dan masyarakat

dalam membiayai pendidikan.

Sebagai wujud komitmen

pemerintah terhadap pentingnya

14

Page 143: Buku e jurnal vol 1

program Pendidikan Untuk

Semua (Education for All/EFA),

Kementerian Pendidikan

Nasional menggelar sejumlah

kegiatan melalui Pekan Aksi

Global Pendidikan Untuk Semua

2010. Tema aksi tahun ini adalah

“Pembiayaan Pendidikan

Bermutu Hak untuk Semua”. Aksi

ini yang dipusatkan di tiga kota,

yaitu di Jakarta, Bandung, dan

Makasar pada 19-25 April 2010.

Menurut Ela Yulaciawati

(2010), aspek pembiayaan dalam

program Pendidikan untuk

Semua cukup problematik.

Sejumlah pertanyaan muncul

menyangkut aspek pembiaya-

annya, terutama mengenai

standar biaya pendidikan

bermutu untuk semua orang.

Berapa biaya untuk pendidikan

anak-anak yang terpinggirkan

(marjinal). Kemudian, apakah

pembiayaan itu akan bermanfaat

atau malah mubazir? Untuk

mendidik anak-anak yang

marjinal, pemerintah tidak cukup

hanya memikirkan aspek

pendidikannya saja, melainkan

juga memikirkan aspek

kebutuhan dasar mereka.

Dikemukakan lebih lanjut

oleh Ela (2010) tidak semua

program pendidikan yang

diberikan bagi kelompok marjinal

dapat menghasilkan produk

pendidikan seperti yang

diharapkan. Kegiatan lain dari

pecan aksiglobal program

Pendidikan untuk Semua adalah

workshop layanan pendidikan

bagi para orang lanjut usia.

Masih menurut Ela (2010) orang

berusia lanjut umumnya tidak

bisia mandiri, oleh karena itu

perlu ada materi pendidikan

kecakapan hidup. Pendidikan ini

bertujuan mempersiapkan orang-

orang menjelang usia lanjut agar

bisa hidup mandiri dan sehat

pada saat mereka telah berusia

lanjut. Jika mereka bisa mandiri

dan sehat di usia senja, maka

biaya hidup me-reka akan bisa

lebih ditekan. Jadi arahnya untuk

efisiensi bagi Negara.

Dalam waktu yang

bersamaan juga diselenggarakan

kegiatan workshop layanan

pendidikan bagi anak-anak

terpinggirkan, yaitu keluarga

korban eksploitasi seksual anak

(ESA), anak perempuan jalanan,

dan anak dari para pekerja

15

Page 144: Buku e jurnal vol 1

rumah tangga. Seluruh rangkaian

acara tersebut merupakan bagian

dari kampanye tahunan dunia

yang dise-lenggarakan Kampanye

Global Campaign for Education,

sebuah koalisi internasional

organisasi nonpemerintah dan

serikat guru.

(http://bataviase.co.id, diakses

tanggal 16 September 2010).

Identifikasi Kendala-kendala

Implementasi Progeram PUS

Dalam implementasi PUS di

Indonesia tidak berjalan mulus,

banyak kendala yang ditemui di

lapangan. Dari sisi structural

birokrasi di Kementerian

Pendidikan Nasional (2007)

masih dirasa perlu dioptimalkan

masalah peningkatan kinerja,

peningkatan kerjasama,

koordinasi dan komunikasi

dengan berbagai instansi dan

unit kerja terkait, baik di pusat

maupun di daerah. Disamping itu

masalah lainnya adalah

menyesuaikan jadwal sesuai

target, memberdayakan dan

mengoptimalkan tenaga yang

tersedia melalui pembentukan

tim kerja sebagai wujud

koordinasi fungsional, dan

mengoptimakan sarana dan

fasilitas yang ada.

Temuan lainnya, dapat

diidentifikasi dari riset yang

dilakukan oleh Choiri (2006)

dalam penelitiannya yang

berjudul ‘Akuntabilitas Kinerja

Dinas Pendidikan Kabupaten

Malang (Studi Kasus tentang

Akuntabilitas Adminitrasi

Pelaksana Program Wajib Belajar

Pendidikan Dasar Sembilan

Tahun di Kecamatan Bululawang

Kabupaten Malang). Berdasarkan

penelitiannya, Choiri (2006)

memaparkan hasil penelitiannya

sebagai berikut: alasan perlunya

dilakukan akuntabilitas

administrasi oleh Dinas

Pendidikan adalah untuk

mempertanggungjawabkan suatu

program/kebijakan baik proses

maupun hasilnya, serta untuk

memenuhi standar criteria yang

sudah ditetapkan oleh

pemerintah. Namun dalam

pelaksanaan program wajib

belajar sembilan tahun di

kabupaten Malang terlihat bahwa

instansi (sekolah-sekolah) tidak

melaksanakan akuntabilitas

administrasinya. Untuk

mengatasi permasalahan ini

16

Page 145: Buku e jurnal vol 1

Dinas Pendidikan berupaya untuk

mengembangkan berbagai

kebijakan terkait dengan

implementasi Program Wajib

Belajar Sembilan tahun. Namun

hal inipun ternyata tidak

membawa perubahan yang

signifikan, sebab dalam

pelaksanaannya masih terdapat

berbagai penyimpangan. Adapun

faktor pendukungnya adalah:

tersusunnya kurikulum dengan

baik, koordinasi yang baik

diantara pihak-pihak yang

terlibat, serta partisipasi

masyarakat. Sedangkan faktor-

faktor yang menghambat

diantaranya: kapasitas dan

kemampuan tenaga pelaksana

rendah, kemampuan dan motivasi

tenaga pelaksana rendah,

dukungan dana operasional

rendah, respon orang tua yang

belum maksimal, sikap moral

masyarakat serta lingkungan

sosial yang tidak sehat.

Hasil analisis terhadap

Pelaksanaan Akuntabilitas

Administrasi adalah sebagai

berikut: dalam pelaksanaan

program wajib belajar Sembilan

tahun di kabupaten Malang

terlihat bahwa instansi (sekolah-

sekolah) tidak melaksanakan

akuntabilitas administrasinya.

Hal ini terlihat misalnya tidak ada

laporan pemberian beasiswa

diberikan. Sekolah-sekolah tidak

merasa perlu memberikan

laporan kepada instansi

diatasnya yakni Dinas Pendidikan

Kabupaten Malang. Mereka

justru hampir semua membuat

kebijakan sendiri terkait dengan

penyaluran dana beasiswa yang

tidak sesuai dengan pedoman

yang diberikan oleh Dinas

Pendidiikan. Dilihat dari

perspektif empat jenis

Akuntabilitas, belum satupun

jenis akuntabilitas yang dapat

dipenuhi sesuai standar oleh

Dinas Pendidikan Kabupaten

Malang, sehingga hal ini perlu

mendapatkan perhatian dari

berbagai pihak yang terlibat.

Sedangkan faktor pendukung

maupun penghambat lebih

merupakan faktor-faktor yang

memberikan penekanan.

Semuanya justru berada di

tangan pada penyelenggara

akuntabilitas sendiri, bagaimana

mereka-mereka bisa mengelola

potensi maupun tantangan yang

dihadapinya.

17

Page 146: Buku e jurnal vol 1

Sementara itu,

diprediksikan pendidikan untuk

semua (PUS) yang telah

dicanangkan oleh pemerintah

(Kementerian Pendidikan

Nasional). Sebagaimana diekspos

dalam harian Kompas, Rabu, 7

Juli 2010 bahwa target

Pendidikan Untuk Semua

ataupun Education for All,

terutama pendidikan dasar

universal, dikhawatirkan tidak

tercapai pada tahun 2015 saat

tenggat Tujuan Pendidikan

Milenium. Krisis ekonomi global

menjadi sala satu hambatan

besar pencapaian target tersebut.

Hal ini terungkap dalam

pembukaan 1st General Assembly

Forum of Asia Pasific

Parliamentarians for Education

(FASPED) atau Forum Parlemen

untuk Pendidikan Asia Pasifik,

Selasa (6 Juli 2010). Sidang

pertama yang diikuti oleh 26

parlemen dan dua parlemen

diwakili oleh perwakilannya di

Jakarta. Dalam sambutannya,

Presiden FASPED Marzuki Alie

mengatakan, krisis keuangan

global pada 2008 merupakan

rintangan terbesar untuk

pencapaian tujuan Education for

All (EFA).

Dampak krisis finansial

global telah mengancam akses

pendidikan bagi jutaan anak di

seluruh dunia. Saat ini sekitar 72

juta anak usia sekolah dasar

belum mendapatkan pendidikan

dasar. Kombinasi kemiskinan,

lambatnya pembangunan

ekonomi, dan krisis finansial

global akan menggerogoti

pencapaian Negara-negara pada

dekade sebelumnya. Hal tersebut

berarti turut mengganggu target

pencapaian Tujuan Pembangunan

Milineum nomor dua, yang

indikatornya antara lain angka

partisipasi dasar angka melek

huruf umur 15-25 tahun.

Ancaman tentang

melesetnya pencapaian target

terutama terjadi di Negara

berkembang yang sebagian besar

di kawasan Asia Pasifik. Menurut

Education for All Global

Monitoring Report 2010, target

EFA tercancam gagal tercapai di

Negara berkembang. Resesi

ekonomi yang terjadi pada tahun

2008 diperkirakan telah

menjerumuskan sekitar 90 juta

orang ke dalam kemiskinan

18

Page 147: Buku e jurnal vol 1

ekstrem. Saat ini sebagian

Negara yang terkena dampak

sangat besar masih dalam proses

pemulihan dari tingginya harga

pangan yang telah

mengakibatkan 175 juta kasus

malnutrisi tahun 2007 dan 2008.

Pendidikan juga tidak kebal dari

pengaruh-pengaruh tersebut

karena hal-hal itu kemudian

rentan dikebelakangan.

Kekhawatiran serupa juga

diungkapkan Director of

UNESCO Bangkok Office,

Regional Bureau for Education in

The Asia Pasific, Gwang-Jo Kim.

“Kita tetap belum on the track

(dalam jalur) untuk memenuhi

target EFA pada tahun 2015.

Akan nada 56 juta anak di luar

sekolah jika kita tidak

melipatgandakan upaya kita,

yang sebagiannya di wilayah Asia

Pasifik.” Ujarnya. Dia

mencontohkan, pada tahun 1999

kawasan Asia Timur dan Pasifik

merupakan tempat tinggal 6 juta

anak usia pendidikan dasar yang

tidak bersekolah. Tahun 2007,

jumlahnya meningkat menjadi 9

juta anak. Sementara sejumlah

Negara, terutama India,

mencapai kemajuan sangat baik.

“Waktu yang tersisa tinggal lima

tahun lagi,“ katanya.

Wakil Menteri Pendidikan

Nasional Fasli Jalal mengatakan,

Indonesia masih dalam jalur

pencapaian target EFA. Di tengah

krisis ekonomi dunia, Indonesia

tetap memprioritaskan anggaran

pendidikan, bantuan operasional

sekolah guna mengurangi

hambatan biaya anak ke sekolah,

buku pelajaran online, program

pendidikan kesetaraan, dan

peningkatan kualifikasi guru. Ini

merupakan beberapa upaya

pemerintah yang terus dilakukan.

Sementara itu anggaran untuk

fungsi pendidikan dalam APBN

tahun 2010 telah mencapai

sekitar Rp 209,5 triliun.

Marzuki Alie mengatakan,

perlu peran aktif anggota

parlemen untuk ikut aktif dalam

proses pembangunan pendidikan.

Di tengah sulitnya ekonomi dunia

dan berbagai tekanan,

pemerintah telah menghadapi

berbagai pilihan kebijakan yang

sulit. Parlemen berkewajiban

meminta pemerintah

mengalokasikan dana yang cukup

untuk pendidikan dan memonitor

pemerintah dalam

19

Page 148: Buku e jurnal vol 1

mengimplementasikan tujuan

pembangunan nasional

pendidikan.(KOMPAS, Rabu, 7

Juli 2010).

Kontribusi Pemerintah cq Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia dalam Program PUS

Dalam upayanya mencapai

tujuan “Pendidikan untuk Semua”

pada 2015, peme-rintah

Indonesia saat ini menekankan

pelaksanaan program wajib

belajar sembilan tahun bagi

seluruh anak Indonesia usia 6

sampai 15 tahun. Dalam hal ini,

UNICEF dan UNESCO member

dukungan teknis dan dana.

Bersama dengan

pemerintah daerah, masyarakat

dan anak-anak di delapan

propinsi di Indonesia, UNICEF

mendukung program

Menciptakan Masyarakat Peduli

Pendidikan Anak (CLCC). Proyek

ini berkembang pesat dari 1.326

sekolah pada tahun 2004 menjadi

1.496 pada tahun 2005. Kondisi

ini membantu 45.454 guru dan

menciptakan lingkungan belajar

yang lebih menantang bagi

sekitar 275.078 siswa.

Dalam 20 tahun terakhir

Indonesia telah mengalami

kemajuan di bidang pendidikan

dasar. Terbukti rasio bersih anak

usia 7-12 tahun yang bersekolah

mencapai 94 persen. Meskipun

demikian, negeri ini masih

menghadapi masalah pendidikan

yang berkaitan dengan sistem

yang tidak efisien dan kualitas

yang rendah. Terbukti, misalnya,

anak yang putus sekolah

diperkirakan masih ada dua juta

anak. Indonesia tetap belum

berhasil memberikan jaminan hak

atas pendidikan bagi semua anak.

Apalagi, masih banyak masalah

yang harus dihadapi, seperti

misalnya kualifikasi guru, metode

pengajaran yang efektif,

manajemen sekolah dan

keterlibatan masyarakat.

Sebagian besar anak usia 3

sampai 6 tahun kurang mendapat

akses aktifitas pengembangan

dan pembelajaran usia dini

terutama anak-anak yang tinggal

di pedalaman dan pedesaan.

Anak-anak Indonesia yang berada

di daerah tertinggal dan terkena

konflik sering harus belajar di

bangunan sekolah yang rusak

karena alokasi anggaran dari

20

Page 149: Buku e jurnal vol 1

pemerintah daerah dan pusat

yang tidak memadai. Metode

pengajaran masih berorientasi

pada guru dan anak tidak diberi

kesempatan memahami sendiri.

Metode ini masih mendominasi

sekolah-sekolah di Indonesia.

Ditambah lagi, anak-anak dari

golongan ekonomi lemah tidak

termotivasi dari pengalaman

belajarnya di sekolah. Apalagi

biaya pendidikan sudah relatif

tak terjangkau bagi mereka.

(UNICEF, 2010).

Indonesia telah mengalami

kemajuan di bidang pendidikan

dasar dalam 20 tahun terakhir

ini. Terbukti rasio bersih anak

usia 7-12 tahun yang bersekolah

mencapai 94 persen. Tetapi

Indonesia tetap belum berhasil

memberikan jaminan hak atas

pendidikan bagi semua anak.

Apalagi, masih banyak masalah

yang harus dihadapi, masalah

tersebut antara lain :

- Anak putus sekolah

diperkirakan masih ada dua

juta anak.

- Kualifikasi guru yang masih

kurang.

- Metode pengajaran yang tidak

efektif. Yaitu masih

beroientasi kepada guru dan

anak didik tidak diberi

kesempatan memahami

sendiri.

- Manajemen sekolah yang

buruk.

- Kurangnya keterlibatan

masyarakat.

- Kurangnya akses

pengembangan dan

pembelajaran usia dini bagi

sebagian besar anak usia 3

sampai 6 tahun terutama

anak-anak yang tinggal di

pedalaman dan pedesaan.

- Alokasi anggaran dari

pemerintah daerah dan pusat

yang tidak memadai.

- Biaya pendidikan yang tinggi.

Untuk mencapai

Pendidikan Untuk Semua,

pemerintah Indonesia dibantu

oleh UNICEF dan UNESCO

melakukan kegiatan-kegiatan

antara lain :

1. Sistem Informasi Pendidikan

Berbasis Masyarakat

UNICEF mendukung langkah-

langkah pemerintah Indonesia

untuk meningkatkan akses

pendidikan dasar melalui

Sistem Informasi Pendidikan

Berbasis Masyarakat. Dengan

21

Page 150: Buku e jurnal vol 1

system ini memungkinkan

penelusuran semua anak usia

dibawah 18 tahun yang tidak

bersekolah.

2. Program Wajib Belajar 9

Tahun

Dalam upaya mencapai tujuan

“Pendidikan untuk Semua”

pada 2015, pemerintah

Indonesia saat ini menekankan

pelaksanaan program wajib

belajar Sembilan tahun bagi

seluruh anak Indonesia usia 6

sampai 15 tahun. Dalam hal

ini, UNICEF dan UNESCO

member dukungan teknis dan

dana.

3. Program Menciptakan

Masyarakat Peduli Pendidikan

Anak (CLCC)

Bersama dengan pemerintah

daerah, masyarakat dan anak-

anak di delapan propinsi di

Indonesia, UNICEF

mendukung program

Menciptakan Masyarakat

Peduli Pendidikan Anak

(CLCC). Proyek ini

berkembang pesat dari 1.326

sekolah pada 2004 menjadi

1.496 pada 2005. Kondisi ini

membantu 45.454 guru dan

menciptakan lingkungan

belajar yang lebih menantang

bagi sekitar 275.078 siswa.

Di samping itu, yang tidak

kalah pentingnya adalah peran

Kepala Sekolah dan Pengawas

Sekolah dalam menyukseskan

program PUS yang dicanangkan

pemerintah. Hal ini sebagaimana

dikemukakan oleh Direktur

Jenderal Peningkatan Mutu

Pendidik dan tenaga

Kependidikan, Kementerian

Pendidikan Nasional (Dirjen

PMPTK Kemendiknas) Baedhowi

yang mengatakan bahwa peran

Kepala Sekolah dan Pengawas

Sekolah juga sangat penting guna

meningkatkan kualitas dan

pelayanan pendidikan saat ini.

Apabila kompetensi Kepala

Sekolah baik, maka hubungan

yang signifikan terhadap

peningkatan mutu pendidikan di

sekolah. Apabila Kepala

Sekolahnya baik dan memiliki

kompetensi bagus, maka kepala

sekolah itu diyakini bisa

melakukan pengelolaan sekolah

dengan baik pula.

(http://bataviase.co.id, diakses

tanggal 16 September 2010).

Simpulan dan Saran

22

Page 151: Buku e jurnal vol 1

Simpulan

Berdasar pemaparan

tersebut di atas, maka dapatlah

disimpulkan sebagai berikut: (1)

hakekat dari “Pendidikan untuk

Semua dan Semua untuk

Pendidikan” adalah

mengupayakan agar setiap warga

Negara dapat memenuhi haknya,

yaitu setidak-tidaknya untuk

mendapatkan layanan pendidikan

dasar (Wajib Belajar 9 Tahun); (2)

masalah yang harus dihadapi

dalam program PUS, antara lain:

(a) anak putus sekolah

diperkirakan masih ada dua juta

anak, (b) kualifikasi guru yang

masih kurang, (c) metode

pengajaran yang tidak efektif itu

masih beroientasi kepada guru

dan anak didik tidak diberi

kesempatan memahami sendiri,

(d) manajemen sekolah yang

buruk, (e) kurangnya keterlibatan

masyarakat, (f) kurangnya akses

pengembangan dan pembelajaran

usia dini bagi sebagian besar

anak usia 3 sampai 6 tahun

terutama anak-anak yang tinggal

di pedalaman dan pedesaan, (g)

alokasi anggaran dari pemerintah

daerah dan pusat yang tidak

memadai, dan (h) biaya

pendidikan yang tinggi; (3) untuk

mencapai Pendidikan Untuk

Semua, pemerintah Indonesia

dibantu oleh UNICEF dan

UNESCO melakukan kegiatan-

kegiatan antara lain: (a) Sistem

Informasi Pendidikan Berbasis

Masyarakat, (b) Program Wajib

Belajar 9 Tahun, dan (c) Program

Menciptakan Masyarakat Peduli

Pendidikan Anak (CLCC); (4)

dalam 20 tahun terakhir

Indonesia telah mengalami

kemajuan di bidang pendidikan

dasar, terbukti rasio bersih anak

usia 7-12 tahun yang bersekolah

mencapai 94 persen; (5)

pembangunan pendidikan di

Indonesia sekurang-kurangnya

menggunakan empat strategi

dasar, yakni; pertama,

pemerataan kesempatan untuk

memperoleh pendidikan, kedua,

relevansi pendidikan, ketiga,

peningkatan kualiutas

pendidikan, dan keempat,

efesiensi pendidikan, (6)

Indonesia tetap belum berhasil

memberikan jaminan hak atas

pendidikan bagi semua anak;

apalagi, masih banyak masalah

yang harus dihadapi, seperti

misalnya kualifikasi guru, metode

23

Page 152: Buku e jurnal vol 1

pengajaran yang efektif,

manajemen sekolah dan

keterlibatan masyarakat, dan (7)

peran Kepala Sekolah dan

Pengawas Sekolah sangat

penting guna meningkatkan

kualitas dan pelayanan

pendidikan.

Saran

Berdasarkan butir-butir simpulan di atas, maka dapatlah dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) dari sisi struktural birokrasi di Kementerian Pendidikan Nasional masih dirasa perlu dioptimalkan masalah peningkatan kinerja, peningkatan kerjasama, koordinasi dan komunikasi dengan berbagai instansi dan unit kerja terkait, baik di pusat maupun di daerah, (2) untuk dapat mewujudkan program PUS, semua komponen bangsa, baik pemerintah, swasta, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, maupun warga Negara secara individual, secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, berkomitmen untuk berpartisipasi aktif dalam menyukseskan “Pendidikan untuk Semua dan Semua untuk Pendidikan” sesuai dengan potensi dan kapasitas masing-masing; (3) pembangunan

pendidikan makin disadari sebagai sektor yang strategis untuk menunjang pembangunan sektor secara keseluruhan, oleh karena itu pembangunan pendidikan harus sensitif dan tanggap terhadap dinamika pembangunan sektor-sektor lainnya; (4) perlu peran aktif anggota parlemen untuk ikut aktif dalam proses pembangunan pendidikan, parlemen berkewajiban meminta pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk pendidikan dan memonitor pemerintah dalam mengimplementasikan tujuan pembangunan nasional pendidikan, dan (5) pemerintah (Negara) harus menyiapkan seluruh sarana dan prasarana dalam rangka menuntaskan pendidikan Sembilan tahun.

24

Page 153: Buku e jurnal vol 1

25