buku areal konflik riau

49
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan hutan bertujuan agar manfaat hutan dapat lebih optimal serta dapat memberikan dampak yang luas dan positif terhadap kondisi ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 menyatakan bahwa tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak mengharuskan terjadi interaksi di antara pihak-pihak yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Interaksi yang terjadi menyebabkan konflik menjadi hal yang sangat sulit dihindari. Namun konflik perlu dikelola sedemikian rupa sehingga tujuan pengelolaan hutan tetap tercapai. Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umumya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek “social spaceyang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara 2

Upload: selvia-sari

Post on 21-Jun-2015

609 views

Category:

Environment


10 download

DESCRIPTION

hutan, areal konflik, riau, melayu buku areal konflik, ulasan bpphp 3 pekanbaru

TRANSCRIPT

Page 1: Buku areal konflik Riau

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengelolaan hutan bertujuan agar manfaat hutan dapat lebih optimal

serta dapat memberikan dampak yang luas dan positif terhadap kondisi

ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007

menyatakan bahwa tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan

serta pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan.

Pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak mengharuskan

terjadi interaksi di antara pihak-pihak yang berada di dalam dan sekitar

kawasan hutan. Interaksi yang terjadi menyebabkan konflik menjadi hal yang

sangat sulit dihindari. Namun konflik perlu dikelola sedemikian rupa sehingga

tujuan pengelolaan hutan tetap tercapai.

Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang

memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan

sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan

yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada

umumya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam

karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan

“interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu

mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek

“social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara

para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang

sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan

distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber daya alam pada derajat

tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.

(www.psychologymania.com).

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering

bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan,

berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa

kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian

besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001) dalam (www.

psychologymania.com).

2

Page 2: Buku areal konflik Riau

Potensi konflik merupakan cikal bakal konflik. Potensi konflik memiliki

kemungkinan terjadi menjadi konflik yang sesungguhnya. Potensi konflik

perlu ditangani sehingga dapat menurunkan resiko konflik di masa

mendatang.

Provinsi Riau memiliki hutan tanaman yang luas dan terdiri dari

berpuluh-puluh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan

Tanaman (IUPHHK-HT) memerlukan penanganan dan pengelolaan areal

konflik dan areal potensi konflik. Terjadinya konflik antara masyarakat adat

maupun masyarakat di provinsi ini dengan pihak IUPHHK-HT memerlukan

perhatian serius dari pihak-pihak terkait baik dari unsur Kementerian

Kehutanan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten serta unsur

masyarakat adat maupun masyarakat yang terlibat langsung dengan konflik

yang terjadi.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Balai Pemantauan

Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) Wilayah III Pekanbaru perlu

menyusun Buku dengan judul Areal Konflik dan Areal Potensi Konflik Hutan

Tanaman di Provinsi Riau.

B. Maksud

Memberikan gambaran data areal konflik dan areal potensi konflik

hutan tanaman di Provinsi Riau.

C. Tujuan

Terwujudnya sumber data areal konflik dan areal potensi konflik hutan

tanaman di Provinsi Riau.

3

Page 3: Buku areal konflik Riau

II. PROVINSI RIAU

A. Masyarakat Asli Provinsi Riau

Adat istiadat yang berkembang dan hidup di Provinsi Riau adalah adat

istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga

masyarakatnya bersendikan Syariah Islam. Penduduknya pun terdiri dari

Suku Melayu Riau dan berbagai suku lainnya, mulai dari Bugis,

Banjar, Mandailing, Batak, Jawa, Minangkabau, dan China.

(http://boozemagazine.com/corner/culture/254-adat-istiadat-riau.html)

Uniknya, di Provinsi Riau ini masih terdapat kelompok masyarakat yang

di kenal dengan masyarakat asli, antara lain :

1. Suku Sakai : kelompok etnis yang berdiam di beberapa kabupaten

antara lain Kampar, Bengkalis, Dumai.

2. Suku Talang Mamak : berdiam di daerah Kabupaten Indragiri Hulu

dengan daerah persebaran meliputi tiga kecamatan : Pasir Penyu,

Siberida, dan Rengat.

3. Suku Akit : kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang

Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis.

A.1. Suku Sakai

Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid

dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa

pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni nusantara adalah

orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur

tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu

dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-

1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang

disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu.

Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang

migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum

Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda

atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang

4

Page 4: Buku areal konflik Riau

lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok

Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman,

orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan

orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil campur antara

keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang

Sakai. (http://palingindonesia.com/suku-sakai)

Menurut versi cerita yang lain, orang-orang Sakai dulunya adalah

penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan migrasi ke kawasan

rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri

Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan

penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus

sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan

kawasan hutan di sebelah timur Pagaruyung itu sebagai tempat

pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan

tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai

Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah

tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai

itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah

yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.

(http://palingindonesia.com/suku-sakai)

Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata

S-ungai, K-ampung, A-nak, I-kan. Maknanya, mereka adalah anak-

anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari

hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Hal tersebut

mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi

hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup

airya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian

besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai

berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang

Sakai dianggap jauh dari kemajuan. (http://palingindonesia.com/suku-

sakai)

Sebutan Suku Sakai yang primitif, menyendiri, anak negeri yang

hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan

5

Page 5: Buku areal konflik Riau

yang ada di sungai berupa ikan, kini mulai diprotes oleh masyarakat

suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal

yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan zaman.

Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi

banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena

wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau. Kini anak-anak

Sakai sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga Sarjana,

bahkan Putra asli suku sakai Muhammad Chandra, siswa kelas XI IPA

2 SMA Cendana Duri Kabupaten Bengkalis, lolos menjadi pasukan

Pengibar Bendera Pusaka di Istana Negara pada 17 Agustus 2012.

(http://palingindonesia.com/suku-sakai)

Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian

negatif dari orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat

animistik. Meskipun banyak diantara orang Sakai yang telah memeluk

Islam, namun mereka tetap mempraktekkan agama nenek moyang

mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis,

dan tentang makhluk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat

Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk

gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap

bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka

bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman

antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara

yang belum pernah dijamah manusia. (htt p://palingindonesia.com/suku-

sakai)

A.2. Suku Talang Mamak

Orang Talang Mamak merupakan sekumpulan masyarakat yang

terasing dan hidup masih secara tradisional di sehiliran Sungai

Indragiri, Provinsi Riau, Indonesia. Dalam kelompok masyarakat ini

terdapat sub kelompok yang mereka sebut dengan suku, kemudian

dibagi lagi dalam tobo dan unit terkecil mereka sebut dengan hinduk

atau perut atau disebut juga puak anak.Kelompok masyarakat ini

tergolong Proto Melayu (Melayu Tua) yang merupakan suku asli

6

Page 6: Buku areal konflik Riau

Indragiri Hulu dengan sebutan ”Suku Tuha”[ yang berarti suku pertama

datang dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri Hulu.

Selain itu juga, mereka termasuk Melayu Tua. (h ttp://id .wikipedia.

org/wiki/Orang_Talang_Mamak)

Masyarakat Talang Mamak berasal dari Pagaruyung yang

terdesak akibat konflik adat dan agama. Berdasarkan hikayat yang

berkembang pada masyarakat tersebut, bahwa nenek moyang mereka

turun dari Gunung Marapi menuju ke Talukkuantan, menelusuri Batang

Kuantan dipimpin oleh Datuk Patih bergelar Perpatih Nan Sebatang,

kemudian membangun pemukiman pada sehiliran sungai tersebut.

Masyarakat Talang Mamak dalam percakapan sehari-hari

menggunakan bahasa yang disebut dengan Bahasa Talang Mamak,

walaupun dalam percakapan dengan pihak di luar komunitas, mereka

biasa menggunakan Bahasa Melayu. Dalam kosakata Bahasa Talang

Mamak ini terdapat pengaruh Bahasa Minang dan Bahasa Melayu.

(h ttp://id .wikipedia. org/wiki/Orang_Talang_Mamak)

Suku Talang Mamak tersebar di kecamatan :

1. Batang Gansal, Indragiri Hulu , Riau

2. Batang Cenaku, Indragiri Hulu , Riau

3. Kelayang, Indragiri Hulu , Riau

4. Rengat Barat, Indragiri Hulu , Riau

5. Rakit Kulim, Indragiri Hulu , Riau

6. Sumay, Tebo , Jambi : Dusun Semarantihan Desa Suo-suo

Untuk menuju Dusun Tuo Datai Talang Mamak yang terletak di

Hulu Sungai Gansal dan Sungai Melenai Desa Rantau Langsat

Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu di Wilayah Taman

Nasional Bukit Tigapuluh dapat diakses jalan Darat. Yaitu melalui

Siberida (Pekanbaru-Siberida 285 km) dengan menggunakan Mobil

untuk menuju jalan bekas HPH. Atau juga melalui Simpang Pendowo

sekitar 2,5 km dari desa Keritang, desa yang terletak di Kecamatan

Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan

7

Page 7: Buku areal konflik Riau

Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Rute sejauh 22 km dari Simpang

Pendowo hingga memasuki perbatasan wilayah Taman Nasional Bukit

Tigapuluh (TNBT) atau juga yang lebih dikenal Jalan Dalex ini,

sebaiknya dilakukan dengan sepeda motor ”lelaki” atau mobil

bergardan dua. Selanjutnya, jarak tempuh dari jalan Dalex ke Dusun

Tuo Datai sekitar 6 hingga 8 km hanya bisa dilewati jalan kaki. Meski

tidak begitu jauh, namun jangan berharap akan segera sampai. Karena,

medan yang diarungi harus ”mendaki gunung melewati lembah sungai

mengalir indah.” Jadi, diperlukan stamina untuk menempuh 1 hingga 3

jam perjalanan. (h ttp://id .wikipedia. org/wiki/Orang_Talang_Mamak)

Sebagian besar masyarakat Talang Mamak mempercayai

kekuatan-kekuatan gaib pada benda-benda yang berada di sekitar

(animisme). Beberapa kepala keluarga beralih ke Islam. Mereka

mengakui bahwa Islam adalah agama mereka, namun untuk ibadah

hanya cukup di lisan saja. Secara keseluruhan, mata pencarian mereka

adalah berladang, menyadap karet, dan mengambil hasil hutan

nonkayu. Di samping berburu atau juga menangkap ikan. Untuk urusan

budaya, Masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

sedikit berbeda dengan Tigabalai-Pusat kebudayaan Talang Mamak.

Ini terlihat dari tidak adanya tradisi mengilir dan menyembah raja, serta

lunturnya sistem kebatinan. Umumnya, mereka hidup otonom dalam

beraktivitas sehingga berbagai persoalan yang ada akan diserahkan

kepada kepala desa. Namun begitu, mereka masih kental dengan

tradisi adat. Sebut saja Gawai (Pesta Pernikahan), Kemantan

(Pengobatan Penyakit), Tambat Kubur (Acara 100 hari kematian), serta

Khitanan untuk anak lelaki berumur 12 tahun ke atas yang dianggap

mendekati usia dewasa. Begitu juga dengan rumah yang masih

berbentuk panggung, sebagai ciri khas mereka, misalnya. Bangunan

kayu tanpa ruangan khusus serta sekat pembatas mulai dari dapur

hingga ruang tidur sehingga segala barang tergeletak menjadi satu

masih kokoh berdiri. Meskipun mereka hidup secara tradisional, namun

untuk masalah pengobatan bisa diandalkan juga. Hasil Ekspedisi Biota

Medika (1998) menunjukkan Suku Talang Mamak mampu

memanfaatkan 110 jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit

8

Page 8: Buku areal konflik Riau

dan mengenali 22 jenis cendawan obat. (h ttp://id .wikipedia. org/wiki/

Orang_Talang_Mamak)

A.3. Suku Akit

Orang Akit atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang

berdiam di daerah Hutan Panjang dan Kecamatan Rupat di Kabupaten

Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit” diberikan kepada masyarakat

ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka berlangsung di atas

rumah rakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat

ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga

membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk

dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada

tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.

Orang Akit telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau.

Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya catatan sejarah yang

menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan

Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa.

Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di

daerah ini tercatat mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit.

Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional berupa panah

beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.

Mata pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan,

mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu.

Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap.

Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya

disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau

binatang laut lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana,

misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu

sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama

beberapa bulan.

Hubungan orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh

dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka

untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu lampau

mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa

9

Page 9: Buku areal konflik Riau

terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan

menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya

memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat

membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan

karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa

kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara

lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara

bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.

Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah

dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap

sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya

di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara

pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi

dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.

Komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan

dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah mengenal

agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari

mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama

Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang

banyak datang dan menetap ke daerah ini.

10

Page 10: Buku areal konflik Riau

B. Tentang Provinsi Riau

B.1. Sejarah

Secara etimologi kata Riau berasal dari bahasa Portugis, Rio

berarti sungai Pada tahun 1514 terdapat sebuah ekspedisi militer

Portugis menelusuri Sungai Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah

kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut, dan

sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang melarikan diri

setelah kejatuhan Malaka.

Pada awal abad ke-16, Tome Pires dalam bukunya Suma

Oriental mencatat bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatera antara

Arcat (Aru dan Rokan) hingga Jambi merupakan pelabuhan raja-raja

Minangkabau. Dimasa ini pula banyak pengusaha Minangkabau yang

mendirikan kampung-kampung pedagang di sepanjang Sungai Siak,

Kampar, Rokan, dan Inderagiri. Satu dari sekian banyak kampung yang

terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi

Pekanbaru.

Pada masa kejayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang

didirikan oleh Raja Kecil, kawasan ini merupakan bagian dari wilayah

kedaulatan Siak. Sementara, Riau dirujuk hanya kepada wilayah Yang

Dipertuan Muda (raja bawahan Johor) di Pulau Penyengat, kemudian

menjadi wilayah Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang

berkedudukan di Tanjung Pinang, dan Riouw, dieja oleh masyarakat

setempat menjadi Riau.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Kesultanan Siak Sri

Indrapura dan Residentie Riouw dilebur dan tergabung dalam Provinsi

Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Kemudian Provinsi Sumatera

dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera

Tengah, dan Sumatera Selatan. Dominannya etnis Minangkabau dalam

pemerintahan Sumatera Tengah, menuntut masyarakat Riau untuk

membentuk provinsi tersendiri. Selanjutnya pada tahun 1957,

berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Provinsi

Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi

dan Sumatera Barat. Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau

yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri

11

Page 11: Buku areal konflik Riau

Inderapura dan Residentie Riouw serta ditambah Bangkinang yang

sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukan ke

dalam wilayah Rhio Shu.

Kemudian berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-

25, pada tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibu kota

provinsi Riau menggantikan Tanjung Pinang. Namun pada tahun 2002,

berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002, Provinsi Riau

kembali dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Riau dan Kepulauan

Riau. Hal ini juga tidak lepas dari ketidakpuasan masyarakat atas rasa

ketidakadilan dalam politik maupun ekonomi terutama yang berada

pada kawasan kepulauan.

B.2. Kondisi Sumber Daya Alam

B.2.1 Geografi

Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang

membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka. Riau

memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar

antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata hujan per

tahun sekitar 160 hari.

B.2.2 Sumberdaya Alam

Provinsi ini memiliki sumber daya alam, baik kekayaan

yang terkandung di perut bumi, berupa minyak bumi dan gas,

serta emas, maupun hasil hutan dan perkebunannya. Seiring

dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap mulai

diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan keuangan antara

pusat dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan tegas

mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber

daya, dan bagi hasil dengan lingkungan sekitar.

B.3. Kependudukan

B.3.1 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan

Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2010 sebesar 5.543.031 jiwa.

Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak

12

Page 12: Buku areal konflik Riau

adalah Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 903.902 jiwa,

sedangkan Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk terkecil

adalah Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 176.371

jiwa.

B.3.2 Suku Bangsa

Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku

bangsa. Mereka terdiri dari Jawa (25,05%), Minangkabau

(11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%), dan

Bugis (2,27%). Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar

dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Mereka

umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai,

Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak,

Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun begitu, ada juga

masyarakat asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang

berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan

sebagian Inderagiri Hulu. Juga masyarakat Mandailing di Rokan

Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai

Minangkabau ataupun Batak.

Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan

dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke

Riau. Mereka banyak bermukim di Kabupaten Indragiri Hilir

khususnya Tembilahan. Di bukanya perusahaan pertambangan

minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru,

mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu

nasib di Riau.

Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada

pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau

umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada

kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan

Dumai. Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama

dengan etnis Minangkabau yaitu menjadi pedagang dan

bermukim khususnya di Pekanbaru, serta banyak juga terdapat

13

Page 13: Buku areal konflik Riau

pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi,

Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis

B.3.3 Bahasa

Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku

bangsa. Mereka terdiri dari Jawa (25,05%), Minangkabau

(11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%), dan

Bugis (2,27%). Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar

dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Mereka

umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai,

Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak,

Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun begitu, ada juga

masyarakat asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang

berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan

sebagian Inderagiri Hulu. Juga masyarakat Mandailing di Rokan

Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai

Minangkabau ataupun Bata

B.3.4 Agama

Dilihat dari komposisi penduduk provinsi Riau yang penuh

kemajemukan dengan latar belakang sosial budaya, bahasa, dan

agama yang berbeda, pada dasarnya merupakan aset bagi

daerah Riau sendiri. Agama-agama yang dianut penduduk

provinsi ini sangat beragam, diantaranya Islam, Kristen

Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.

Berbagai sarana dan prasarana peribadatan bagi

masyarakat Riau sudah terdapat di provinsi ini, seperti Mesjid

Agung An-nur (Mesjid Raya di Pekanbaru), Masjid Agung Pasir

Pengaraian, dan Masjid Raya Rengat bagi umat muslim. Bagi

umat Katolik/Protestan diantaranya terdapat Gereja Santa Maria

A Fatima, Gereja HKBP di Pekanbaru, GBI Dumai, Gereja Kalam

Kudus di Selatpanjang, Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus

di Bagansiapiapi, Gereja Methodist (Jemaat Wesley) di

14

Page 14: Buku areal konflik Riau

Bagansiapiapi. Bagi umat Buddha/Tridarma ada Vihara Dharma

Loka dan Vihara Cetia Tri Ratna di Pekanbaru, Vihara Sejahtera

Sakti di Selatpanjang, Kelenteng Ing Hok Kiong, Vihara Buddha

Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni di Bagansiapiapi. Bagi Umat

Hindu adalah Pura Agung Jagatnatha di Pekanbaru.

B.4. Perekonomian

B.4.1 Pertanian dan Perkebunan

Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet

dan perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara

ataupun oleh rakyat. Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk

dan kelapa. Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini

propinsi Riau telah memiliki lahan seluas 1.34 juta hektar. Selain

itu telah terdapat sekitar 116 pabrik pengolahan kelapa sawit

(PKS) yang beroperasi dengan produksi crude palm oil (CPO)

3.386.800 ton per tahun.

B.4.2 Hutan dan Ikan

Pembangunan kehutanan pada hakekatnya mencakup

semua upaya memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber

daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta

ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga kehidupan

dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai

sumber daya pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi

utamanya sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang,

fungsi lindung, dan estetika sebagai dampak kebijakan

pemerintah yang lalu.

15

Page 15: Buku areal konflik Riau

III. STRUKTUR MASYARAKAT PROVINSI RIAU

A. Melayu

Adapun perkataan Melayu itu sendiri mempunyai kepada tiga

pengertian, yaitu Melayu dalam pengertian “ras” di antara berbagai ras

lainnya. Melayu dalam pengertian sukubangsa yang dikarenakan peristiwa

dan perkembangna sejarah, juga dengan adanya perubahan politik

menyebabkan terbagi-bagi kepada bentuk negara seperti Indonesia,

Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina. Melayu dalam pengertian suku,

yaitu bahagian dari suku bangsa Melayu itu sendiri.

Di Indonesia yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah yang

mempunyai adat istiadat Melayu, yang bermukim terutamanya di sepanjang

pantai timur Sumatera, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat.

Pemusatan suku bangsa Melayu adalah di wilayah Kepulauan Riau. Tetapi

jika kita menilik kepada yang lebih besar untuk kawasan Asia Tenggara,

maka ianya terpusat di Semenanjung Malaya.

Kemudiannya menurut orang Melayu, yang dimaksud orang Melayu

bukanlah dilihat daripada tempat asalnya seseorang ataupun dari keturun

darahnya saja. Seseorang itu dapat juga disebut Melayu apabila ia

beragama Islam, berbahasa Melayu dan mempunyai adat-istiadat Melayu.

Orang luar ataupun bangsa lain yang datang lama dan bermukim di daerah

ini dipandang sebagai orang Melayu apabila ia beragama Islam,

mempergunakan bahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu.

B. Jawa

Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan

suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa

Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan

etnis Jawa. Selain di ketiga provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim

di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Selain itu, suku Jawa

ada pula yang berada di negara Suriname, Amerika Tengah karena pada

16

Page 16: Buku areal konflik Riau

masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja dan kini

suku Jawa di sana dikenal sebagai Jawa Suriname.

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam

bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo

pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar

18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan

selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi

berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal

dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial

yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat

sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam

bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo

pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang

menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar

18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan

selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi

berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal

dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial

yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat

sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan

sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada

tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum

santri, abangan, dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut

agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara

nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum

bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia

mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi

sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar,

17

Page 17: Buku areal konflik Riau

misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti

orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.

C. Minang

Keunikan struktur masyarakat Minangkabau terletak pada struktur

masyarakat yang bertingkat-tingkat, mulai dari  jurai atau saparuik  (seperut),

suku, dan kaum yang memiliki adat istiadat yang khas. suku merupakan

mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dari nenek (niniek). Biasanya orang

menyebut sistem ini dengan sistem Matrilinial.

Pemimpin-pemimpin  dari setiap kelompok matrilinial tersebut juga

berbeda baik istilah maupun tugas dan kewenangannya, mulai dari

tungganai/mamak (saudara laki-laki ibu) memimpin rumah gadang, panghulu

kaum atau peanghulu suku yang memimpin beberapa kaum yang biasanya

bergelar datuak. Setiap tingkatan dalam masyarakat dalam minang kabau

mempunyai atau memiliki harta yang bersifat bersama (komunal) yang

diwarisi turun temurun yang biasa di sebagai Pusako yang tidak boleh dijual

atau digadaikan, namum ada pengecualian yang diperbolehkan sepanjang

adat pusako digadaikan. Pertama, Rumah gadang katirisan (rumah gadang

yang tiris atau bocor butuh biaya untuk merehabnya), rumah gadang

merupakan simbol atau cermin dari sebuah kaum atau suku, merupakan

suatu aib jika rumah gadang yang bocor dibiarkan. Kedua, gadih gadang

balun balaki (gadis besar belum punya suami) adalah tanggungjawab

mamak mencari pasangan untuk kemenakannya. Ketiga, mayik tabujua di

tangah rumah (mayat terbujur di tengah rumah) artinya jika keluarga tidak

punya biaya untuk penyelanggaraan pemakaman mayat, pusako boleh

digadai untuk membiayai penyelenggaraan pemakaman tersebut.

Di minangkabau anak laki-laki tidak menerima warisan tetapi mereka

tetap menerima semacam penghargaan yang biasanya penghargaan ini

melekat dengan pusako disebut sako yaitu harta yang tidak bersifat materil

tetapi berupa gelar kepenghuluan yang bersifat turun temurun, penurun

sako, khususnya daerah solok diberikan kepada kemenakan diwaktu tanah

tasirah (waktu masih di perkuburan) gelar langsung di lewa kan.

Keseluruhan struktur masyarakat diatur oleh hukum adatnya yang

biasa di sebut Tonggak tuo adat minang. Yaitu :

18

Page 18: Buku areal konflik Riau

1.   Adat nan sabana adat (adat yang sebenarnya adat), merupakan

ketentuan atau norma yang tidak bisa di tawar-tawar (mutlak). Sumber

dari adat ini adalah kitabullah (Al-quran).

2.    Adat nan diadatkan (adat yang diadatkan) artinya norma yang mendasar

sebagi warisan budaya yang dijadikan peraturan hidup bermasyarakat

orang minangkabau secara umum dan sama-sama berlaku dalam luhak

nan tigo.

3.    Adat nan teradat (adat yang teradat) artinya kebiasaan masyarakat yang

boleh ditambah atau dikurangi atau ditinggalkan sama sekali, selama

tidak bertentangan dengan Al-quran dan hadist.

4.    Adat istiadat merupakan kelaziman masyarakat suatu nagari yang tidak

bertentangan dengan tiga adat di atas.  

D. Batak

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak

diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di

Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi

menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah

berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di

zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak

Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka

dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera

Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal

India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara.

Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di

pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi

salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus

diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-

pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya,

perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang

Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera

Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan

sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang

19

Page 19: Buku areal konflik Riau

bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera

Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba,

Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak

Mandailing.

E. Banjar

Secara liguistik suku Banjar serumpun dengan Dayak Kendayan (logat

Dayak : Kanayatn), Dayak Iban, dan rumpun Melayu Lokal (Dayak

Bukit/Meratus, Kedayan-Brunei, Berau, Kutai Kota Bangun, Kutai

Tenggarong) yaitu rumpun bahasa Melayik. Mitologi suku Dayak Meratus

(Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan)

dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh

(Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Basiwara yang

menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa

Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan

melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis)

antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa

rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang

orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek

moyang orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang

Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi berotak cerdas.

Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan

jago berkelahi. Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-

bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di

kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero

pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul

dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu

berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan

berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang

sangat menentukan. Orang Banjar merupakan keturunan rumpun-rumpun

Dayak yang telah memeluk Islam kemudian mengadopsi budaya Jawa,

Melayu, Bugis dan Cina.

Suku Banjar sudah lama terdapat di Sumatera. Berdasarkan sensus

tahun 1930, suku Banjar di Sumatera berjumlah 77.838 jiwa yang

20

Page 20: Buku areal konflik Riau

terdistribusi di Plantation belt (Pantai Timur Sumatera Utara) 31.108 jiwa, di

Sumatera bagian Tengah 46.063 jiwa dan di Sumatera bagian Selatan 430

jiwa. Belakangan, suku Banjar di Sumatera banyak yang berpindah ke

Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar yang tinggal di Sumatera

(Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak (Paluh Kurau), Pantai Cermin,

Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para

imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar.

Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau

Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para

pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang

saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran

Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar

karena sebagai musuh politik, mereka sudah dijatuhi hukuman mati.

Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau

Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para

pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus

melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura

karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda

yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai

kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.

Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi

besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya

karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar

ketika itu meninggal di tangan Belanda.

Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri

Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri

sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini

adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat)

yang berasal dari Martapura dan menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.

F. Tionghoa

Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan

mendiami kepulauan Nusantara.

21

Page 21: Buku areal konflik Riau

Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien

pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu

kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk

mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar

bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama

Jñânabhadra.

Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran

Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan.

Pada prasasti -prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga

asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara,

daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti

perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina,

yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di

sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh

dari motif-motif kain sutera Tiongkok.

Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho,

menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan

kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga

komponen penduduk kerajaan itu. Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan

jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan

memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari

Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti

ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal

warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi

sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po

Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di

komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo

Awang".

Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri

Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit.

Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok,

meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan

kultur Tionghoa.

22

Page 22: Buku areal konflik Riau

Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan

rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada

tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan

Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar

sebelum mencapai tujuan di Kalapa.

Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama

kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1%

dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.

Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia

saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi

Indonesia.

Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa

Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan

sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar

3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra

yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66

yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa

dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.

Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin

Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu

Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat

Indonesia, namun Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang

menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan

Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring

dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta

tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang

tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup

lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar

itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106

inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung

itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat

latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi

tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan

23

Page 23: Buku areal konflik Riau

Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain

dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang

diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan

gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106

jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28

Oktober 1928.

Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di

Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di

Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi

Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw

Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini

diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru,

universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.

Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya

terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha

Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid

Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada

di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.

Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa

syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie

Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah

setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya

menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar

negeri.

Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman

budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan

taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya

kurang lebih 50 milyar rupiah.

G. Bugis

Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu

Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari

daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang

24

Page 24: Buku areal konflik Riau

berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan

Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La

Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka

merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau

orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah

dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari

Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan

melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra

terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.

Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang

tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.

Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili,

Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.

Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk

beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan,

bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis

klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng

dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses

pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan

Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu

Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan

antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros,

Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah

Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang

dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana),

Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene

Kepulauan).

Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad

ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan

di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan

Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut

terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini

banyak raja-raja di Johor & selangor yang merupakan keturunan Luwu.

25

Page 25: Buku areal konflik Riau

Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup

terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang

(Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama

Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan

tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat

namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini

masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to

nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak

dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’

Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan

martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang

mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang

anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka

ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang

ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya

hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum.

Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.

26

Page 26: Buku areal konflik Riau

IV. AREAL KONFLIK DAN AREAL POTENSI KONFLIK

HUTAN TANAMAN DI PROVINSI RIAU

Tujuan pembangunan hutan tanaman adalah meningkatkan potensi hutan

tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi dalam rangka

meningkatkan produksi hasil hutan dan meningkatkan partisipasi masyarakat

dalam pembangunan kehutanan. Penanaman tanaman baru ini akan diperoleh

suatu luasan kawasan, tetapi tidak mengubah hutan produksi alam yang

produktif menjadi hutan tanaman.

Kebijakan pengelolaan dalam rangka peningkatan produktivitas hutan

alam telah dikembangkan beberapa silvikultur terapan yang merupakan

pengembangan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur

Tanam Indonesia (TJTI), dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dengan

dukungan pengadaan bibit unggul, stek pucuk, kultur jaringan, dan teknologi

pemuliaan lainnya. Kesemuanya ini diharapkan mampu medukung terwujudnya

era industri yang kuat dengan dukungan bahan baku tangguh dari hasil-hasil

tersebut. Mengingat laju kerusakan hutan alam yang terus berjalan dan

diperkirakan oleh FAO bahwa hutan alam Indonesia setiap tahunnya mengalami

kerusakan 1,3 juta hektar per tahun, maka Indonesia kemungkinan pada tahun

2015 sudah tidak mampu lagi memasok kebutuhan bahan baku industri

kehutanan. Sedangkan permintaan hasil industri kehutanan terus meningkat,

maka sebagai peningkatan potensi dan kualitas hutan produksi guna pemenuhan

kebutuhan bahan baku industri dikembangkan bentuk pengusahaan hutan yang

disebut Pengusahaan Hutan Tanaman Idustri (HTI). Tujuan HTI sendiri antara

lain : menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri untuk

meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan

kualitas lingkungan hidup, memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha.

Berbagai penelitian dan uji coba telah diterapkan agar diperoleh suatu hasil yang

berkualitas, terurama dari bibit-bibit hasil pemuliaan. Pengelolaan hutan dengan

model-model silvikultur telah diterapkan untuk mencapai hasil produksi secara

ekonomi tanpa meninggalkan prinsip ekologis atau kelestarian, yang ditunjukkan

dengan adanya aturan AMDAL.

27

Page 27: Buku areal konflik Riau

Dengan berjalannya HTI, banyak pihak yang pro dan kontra dan sebagian

besar menganggap bahwa HTI memunculkan suatu dampak yang cukup serius

bagi bidang kehutanan. Sebab, HTI umumnya dikelola dengan satu jenis

tanaman, yang riskanterhadap serangan hama dan penyakit. Sedangkan HTI

juga tidak mengusahakan suatu tanaman tingkat bawah, sehingga erosi justru

akan timbul yang dapat menghilangkan lapisan tanah atas yang banyak

mengandung bahan organik tinggi.

Meskipun masih menjadi bahan perbincangan terhadap dampak yang

ditimbulkannya, ternyata ada sisi positifnya, antara lain sebagai berikut :

1. Menunjang kesinambungan produksi untuk pemenuhan bahan baku industri

dan kebutuhan masyarakat serta ekspor jangka panjang;

2. Meningkatkan luasan kawasan hutan yang produktif dan mutu lingkungan;

3. Menunjang kelestarian jenis-jenis pohon andalan setempat;

4. Memperluas kesempatan kerja dan lapangan usaha bagi masyarakat.

28

Page 28: Buku areal konflik Riau

Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 39/Menhut-II/2013

tanggal 16 Juli 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui

Kemitraan Kehutanan pada pasal 1 ayat 1 bahwa Pemberdayaan masyarakat

setempat melalui Kemitraan Kehutanan adalah upaya untuk meningkatkan

kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan

manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui Kemitraan

Kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial

yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau

di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang

memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung

pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.

Pemberdayaan masyarakat setempat melalui Kemitraan Kehutanan harus

menggunakan prinsip-prinsip :

a. Kesepakatan: semua masukan, proses dan keluaran Kemitraan Kehutanan

dibangun berdasarkan kesepakatan antara para pihak dan bersifat mengikat.

b. Kesetaraan: para pihak yang bermitra mempunyai kedudukan hukum yang

sama dalam pengambilan keputusan.

c. Saling menguntungkan : para pihak yang bermitra berupaya untuk

mengembangkan usaha yang tidak menimbulkan kerugian.

d. Lokal spesifik : Kemitraan Kehutanan dibangun dan dikembangkan dengan

memperhatikan budaya dan karakteristik masyarakat setempat, termasuk

menghormati hak-hak tradisional masyarakat adat.

e. Kepercayaan : Kemitraan Kehutanan dibangun berdasarkan rasa saling

percaya antar para pihak.

f. Transparansi: masukan, proses dan keluaran pelaksanaan Kemitraan

Kehutanan dijalankan secara terbuka oleh para pihak, dengan tetap

menghormati kepentingan masing-masing pihak.

g. Partisipasi : pelibatan para pihak secara aktif, sehingga setiap keputusan

yang diambil memiliki legitimasi yang kuat.

29

Page 29: Buku areal konflik Riau

V. KRITERIA DAN VERIFIER

Penilaian Areal Potensi Konflik IUPHHK-HT Provinsi Riau menggunakan pendekatan melalui 5 (lima) kriteria yaitu :

A. Infrastruktur (bobot 40%)1. Tidak rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit

manajemen ≥ 8 km.2. Kurang rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit

mamajemen 6 ≤ x < 8 km.3. Cukup rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit

manajemen 4 ≤ x < 6 km.4. Rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit

manajemen 2 ≤ x < 4 km.5. Sangat rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit

manajemen < 2 km.

B. Tata Batas (bobot 20%)1. Tidak rawan, tata batas sudah temu gelang.2. Kurang rawan, tata batas ≥ 75% terutama pada daerah yang bukan batas

persekutuan.3. Cukup rawan, tata batas 50% ≤ x < 75%, terutama pada daerah yang

bukan batas persekutuan.4. Rawan, tata batas < 50%, sebagian besar berada di luar batas

persekutuan. 5. Sangat rawan, tata batas < 50%, sebagian besar berada di dalam batas

persekutuan.

C. Jumlah Kebun (bobot 15%)1. Tidak rawan, unit manajemen berbatasan langsung ≥ 75% dengan kebun,

seluruhnya berbatasan dengan perusahaan perkebunan besar dengan luasan ≥ 6.000 ha.

2. Kurang rawan, unit manajemen berbatasan langsung ≥ 75% dengan kebun, namun ≤ 25% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.

3. Cukup rawan, unit manajemen berbatasan langsung ≥ 75% dengan kebun, namun 25% ≤ x < 50% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.

4. Rawan, unit manajemen berbatasan ≥ 75% dengan kebun, namun 50% % ≤ x < 75% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.

30

Page 30: Buku areal konflik Riau

5. Sangat rawan, unit manajemen berbatasan ≥ 75% dengan kebun, namun ≥ 75% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.

D. Penduduk (bobot 20%)1. Tidak rawan, areal unit manajemen berbatasan dengan kecamatan dengan

jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya masyarakat yang tidak suka berkebun.

2. Kurang rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya < 25% masyarakat yang suka berkebun.

3. Cukup rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya 25 % ≤ x < 50% masyarakat yang suka berkebun.

4. Rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya 50 % ≤ x < 75% masyarakat yang suka berkebun.

5. Sangat rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya ≥ 75% masyarakat yang suka berkebun..

E. Adat (bobot 5%)1. Tidak rawan, pengakuan hak-hak ulayat kurang kuat digambarkan dengan

tidak adanya pengakuan masyarakat hukum adat. 2. Cukup rawan, pengakuan hak-hak ulayat masih cukup kuat digambarkan

dengan ada beberapa data pengakuan masyarakat hukum adat. 3. Sangat rawan, pengakuan hak-hak ulayat masih sangat kuat digambarkan

dengan adanya pengakuan penuh masyarakat hukum adat.

Penilaian Areal Potensi Konflik IUPHHK-HT khusus di wilayah Kabupaten Kampar menggunakan pendekatan melalui 5 (lima) kriteria dengan bobot sebagai berikut :A. Infrastruktur (bobot 30%)B. Tata Batas (bobot 15%)C. Jumlah Kebun (bobot 15%)D. Penduduk (bobot 10%)E. Adat (bobot 30%)

Tingkat Potensi KonflikNilai maksimum adalah 10a) Nilai 8 - 10 potensi konflik rendah (warna biru)b) NILAI 6 - 7,9999 potensi konflik sedang (warna kuning)c) NILAI 4 – 5,9999 potensi konflik potensial (warna hijau)d) NILAI < 4 potensi konflik sangat potensial (warna merah)

31

Page 31: Buku areal konflik Riau

Hasil Penilaian Areal Potensi Konflik IUPHHK-HT sebagai berikut :1. 1

32

Page 32: Buku areal konflik Riau

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN SERTA RESOLUSI KONFLIK

HUTAN TANAMAN DI PROVINSI RIAU

2. PT. PERAWANG SUKSES PERKASA INDUSTRI

A. Data Pokok

1. Nama IUPHHK-HT : PT. Perawang Sukses Perkasa Industri

2. Alamat

– Kantor Pusat : Plaza BII Menara II Lt. 32 Jl. MH. Thamrin

Kavling 51 Jakpus, Telp. 398834473

– Kantor Cabang : Jl. Teuku Umar No. 51 Pekanbaru, Telp.

(0761) 24071

3. Keputusan IUPHHK-HT

– Nomor : No. 249/Kpts-II/1996

– Tanggal : 27 Februari 1996

– Luas Izin : 50.725 Ha

– Luas Efektif : 35.516 Ha

– Masa Berlaku :

B. RKUPHHK-HT Periode Berjalan

1. No. SK. RKUPHHK-HT : SK. 92/VI-BUHT/2012

2. Tanggal : 27 Desember 2012

3. Tata Ruang sesuai RKU :

– Kawasan Lindung : 7.743 ha/15,26 %

– Tanaman Pokok : 29.799 ha/58,75%

– Tanaman Unggulan : 1.910 ha/3,77 %

– Tanaman Kehidupan : 3.807 ha/7,51 %

– Areal Tidak Efektif : 7.466 ha/14,72 %

C. Ketersediaan Tenaga Teknis

1. Timber Cruising (TC) : 4

2. Perencanaan Hutan (Canhut) : 2

3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) : 2

4. Pemanenan Hutan (Nenhut) : 2

5. Pembinaan Hutan (Binhut) : 5

6. Kelola Lingkungan (Keling) : 3

33

Page 33: Buku areal konflik Riau

7. Kelola Sosial (Kesos) : 2

8. Penguji Kayu Bulat (PKB) : 6

D. Kondisi Areal Konflik dan Areal Potensi Konflik

1. Blok Petapahan

Pada blok ini, hampir keseluruhan sekeliling areal merupakan

areal konflik, kecuali sedikit pada areal yang berbatasan dengan

perkebunan PT. Ramajaya Pramukti. Sementara areal tanaman

unggulan seluruhnya areal konflik. Bahkan areal tanaman kehidupan

sebagian besar sudah konflik, kecuali yang berada di sekitar pemukiman

masyarakat di Batugajah, walaupun areal yang persis berada di

sekeliling pemukiman juga areal konflik. Bahkan kawasan lindung yang

seharusnya dilindungi dan dipertahankan karena memiliki fungsi lindung,

hampir seluruhnya termasuk areal konflik. Areal tanaman pokok juga

tidak luput dari konflik. Di blok ini, lebih dari 2/3 areal dari izin konsesi

telah terjadi konflik baik berupa perkebunan sawit, kebun karet maupun

klaim areal oleh pihak lain. Infrastruktur jalan banyak terdapat di

sekeliling areal IUPHHK-HT, sehingga hampir keseluruhan areal telah

dikepung oleh akses jalan.

2. Blok Lipat Kain

Pada blok ini terdapat dua hamparan, hamparan pertama yang

berdekatan dengan perkampungan Sungairambai dan Muarakketua

sudak seluruhnya konflik, yang berbatasan dengan perkebunan PT.

Ciliandra Perkasa juga konflik. Sedangkan hamparan kedua hampir

seluruhnya konflik.

Areal tersisa yang tidak konflik memiliki potensi konflik yang tinggi

karena berdasarkan 5 pendekatan memiliki skor :

34

Page 34: Buku areal konflik Riau

DAFTAR PUSTAKA

http://sciences-city.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-suku-akit-dan-

suku.html#.UeYefCIomKE. Diakses pada tanggal 16 Juli 2013

http://palingindonesia.com/suku-sakai-di-riau/. Diakses pada tanggal 16 Juli 2013

http://id.wikipedia.org/wiki/Riau. Diakses pada tanggal 17 Juli 2013

http://boozemagazine.com/corner/culture/254-adat-istiadat-riau.html. Diakses

pada tanggal 16 Juli 2013

http://gurindam12.co/2013/01/02/suku-talang-mamak. Diakses pada tanggal 16

Juli 2013

35