buku areal konflik riau
DESCRIPTION
hutan, areal konflik, riau, melayu buku areal konflik, ulasan bpphp 3 pekanbaruTRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengelolaan hutan bertujuan agar manfaat hutan dapat lebih optimal
serta dapat memberikan dampak yang luas dan positif terhadap kondisi
ekonomi, sosial dan ekologi. Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007
menyatakan bahwa tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan
serta pemanfaatan hutan merupakan bagian dari pengelolaan hutan.
Pengelolaan hutan yang melibatkan banyak pihak mengharuskan
terjadi interaksi di antara pihak-pihak yang berada di dalam dan sekitar
kawasan hutan. Interaksi yang terjadi menyebabkan konflik menjadi hal yang
sangat sulit dihindari. Namun konflik perlu dikelola sedemikian rupa sehingga
tujuan pengelolaan hutan tetap tercapai.
Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang
memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan
sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan
yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada
umumya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam
karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan
“interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu
mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek
“social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara
para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang
sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan
distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber daya alam pada derajat
tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.
(www.psychologymania.com).
Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering
bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan,
berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa
kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian
besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001) dalam (www.
psychologymania.com).
2
Potensi konflik merupakan cikal bakal konflik. Potensi konflik memiliki
kemungkinan terjadi menjadi konflik yang sesungguhnya. Potensi konflik
perlu ditangani sehingga dapat menurunkan resiko konflik di masa
mendatang.
Provinsi Riau memiliki hutan tanaman yang luas dan terdiri dari
berpuluh-puluh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan
Tanaman (IUPHHK-HT) memerlukan penanganan dan pengelolaan areal
konflik dan areal potensi konflik. Terjadinya konflik antara masyarakat adat
maupun masyarakat di provinsi ini dengan pihak IUPHHK-HT memerlukan
perhatian serius dari pihak-pihak terkait baik dari unsur Kementerian
Kehutanan, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten serta unsur
masyarakat adat maupun masyarakat yang terlibat langsung dengan konflik
yang terjadi.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka Balai Pemantauan
Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) Wilayah III Pekanbaru perlu
menyusun Buku dengan judul Areal Konflik dan Areal Potensi Konflik Hutan
Tanaman di Provinsi Riau.
B. Maksud
Memberikan gambaran data areal konflik dan areal potensi konflik
hutan tanaman di Provinsi Riau.
C. Tujuan
Terwujudnya sumber data areal konflik dan areal potensi konflik hutan
tanaman di Provinsi Riau.
3
II. PROVINSI RIAU
A. Masyarakat Asli Provinsi Riau
Adat istiadat yang berkembang dan hidup di Provinsi Riau adalah adat
istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga
masyarakatnya bersendikan Syariah Islam. Penduduknya pun terdiri dari
Suku Melayu Riau dan berbagai suku lainnya, mulai dari Bugis,
Banjar, Mandailing, Batak, Jawa, Minangkabau, dan China.
(http://boozemagazine.com/corner/culture/254-adat-istiadat-riau.html)
Uniknya, di Provinsi Riau ini masih terdapat kelompok masyarakat yang
di kenal dengan masyarakat asli, antara lain :
1. Suku Sakai : kelompok etnis yang berdiam di beberapa kabupaten
antara lain Kampar, Bengkalis, Dumai.
2. Suku Talang Mamak : berdiam di daerah Kabupaten Indragiri Hulu
dengan daerah persebaran meliputi tiga kecamatan : Pasir Penyu,
Siberida, dan Rengat.
3. Suku Akit : kelompok sosial yang berdiam di daerah Hutan Panjang
Kecamatan Rupat, Kabupaten Bengkalis.
A.1. Suku Sakai
Sakai merupakan percampuran antara orang-orang Wedoid
dengan orang-orang Melayu Tua. Catatan sejarah mengatakan bahwa
pada zaman dahulu penduduk asli yang menghuni nusantara adalah
orang-orang Wedoid dan Austroloid, kelompok ras yang memiliki postur
tubuh kekar dan berkulit hitam. Mereka bertahan hidup dengan berburu
dan berpindah-pindah tempat. Sampai suatu masa, kira-kira 2.500-
1.500 tahun sebelum Masehi, datanglah kelompok ras baru yang
disebut dengan orang-orang Melayu Tua atau Proto-Melayu.
Gelombang migrasi pertama ini kemudian disusul dengan gelombang
migrasi yang kedua, yang terjadi sekitar 400-300 tahun sebelum
Masehi. Kelompok ini lazim disebut sebagai orang-orang Melayu Muda
atau Deutro-Melayu. Akibat penguasaan teknologi bertahan hidup yang
4
lebih baik, orang-orang Melayu Muda ini berhasil mendesak kelompok
Melayu Tua untuk menyingkir ke wilayah pedalaman. Di pedalaman,
orang-orang Melayu Tua yang tersisih ini kemudian bertemu dengan
orang-orang dari ras Wedoid dan Austroloid. Hasil campur antara
keduanya inilah yang kemudian melahirkan nenek moyang orang-orang
Sakai. (http://palingindonesia.com/suku-sakai)
Menurut versi cerita yang lain, orang-orang Sakai dulunya adalah
penduduk Negeri Pagaruyung yang melakukan migrasi ke kawasan
rimba belantara di sebelah timur negeri tersebut. Waktu itu Negeri
Pagarruyung sangat padat penduduknya. Untuk mengurangi kepadatan
penduduk tersebut, sang raja yang berkuasa kemudian mengutus
sekitar 190 orang kepercayaannya untuk menjajaki kemungkinan
kawasan hutan di sebelah timur Pagaruyung itu sebagai tempat
pemukiman baru. Setelah menyisir kawasan hutan, rombongan
tersebut akhirnya sampai di tepi Sungai Mandau. Karena Sungai
Mandau dianggap dapat menjadi sumber kehidupan di wilayah
tersebut, maka mereka menyimpulkan bahwa kawasan sekitar sungai
itu layak dijadikan sebagai pemukiman baru. Keturunan mereka inilah
yang kemudian disebut sebagai orang-orang Sakai.
(http://palingindonesia.com/suku-sakai)
Sebutan Sakai sendiri berasal dari gabungan huruf dari kata-kata
S-ungai, K-ampung, A-nak, I-kan. Maknanya, mereka adalah anak-
anak negeri yang hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari
hasil kekayaan yang ada di sungai berupa ikan. Hal tersebut
mencerminkan pola-pola kehidupan mereka di kampung, di tepi-tepi
hutan, di hulu-hulu anak sungai, yang banyak ikannya dan yang cukup
airya untuk minum dan mandi. Namun, atribut tersebut bagi sebagian
besar orang Melayu di sekitar pemukiman masyarakat Sakai
berkonotasi merendahkan dan menghina karena kehidupan orang
Sakai dianggap jauh dari kemajuan. (http://palingindonesia.com/suku-
sakai)
Sebutan Suku Sakai yang primitif, menyendiri, anak negeri yang
hidup di sekitar sungai dan mencari penghidupan dari hasil kekayaan
5
yang ada di sungai berupa ikan, kini mulai diprotes oleh masyarakat
suku Sakai yang sudah maju, karena hal tersebut berkonotasi pada hal
yang tidak kuno dan bodoh, serta tidak mengikuti kemajuan zaman.
Sedangkan kenyataannya kini, masyarakat Sakai sudah tidak lagi
banyak yang masih melakukan tradisi hidup nomadennya, karena
wilayah hutan yang semakin sempit di daerah Riau. Kini anak-anak
Sakai sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga Sarjana,
bahkan Putra asli suku sakai Muhammad Chandra, siswa kelas XI IPA
2 SMA Cendana Duri Kabupaten Bengkalis, lolos menjadi pasukan
Pengibar Bendera Pusaka di Istana Negara pada 17 Agustus 2012.
(http://palingindonesia.com/suku-sakai)
Salah satu ciri masyarakat Sakai yang juga melahirkan penilaian
negatif dari orang Melayu adalah agama mereka yang bersifat
animistik. Meskipun banyak diantara orang Sakai yang telah memeluk
Islam, namun mereka tetap mempraktekkan agama nenek moyang
mereka yang masih diselimuti unsur-unsur animisme, kekuatan magis,
dan tentang makhluk halus. Inti dari agama nenek moyang masyarakat
Sakai adalah kepercayaan terhadap keberadaan ‘antu‘, atau mahluk
gaib yang ada di sekitar mereka. Masyarakat Sakai menganggap
bahwa antu juga memiliki kehidupan layaknya manusia. Mereka
bergerombol dan memiliki kawasan pemukiman. Pusat dari pemukiman
antu ini menurut orang Sakai berada di tengah-tengah rimba belantara
yang belum pernah dijamah manusia. (htt p://palingindonesia.com/suku-
sakai)
A.2. Suku Talang Mamak
Orang Talang Mamak merupakan sekumpulan masyarakat yang
terasing dan hidup masih secara tradisional di sehiliran Sungai
Indragiri, Provinsi Riau, Indonesia. Dalam kelompok masyarakat ini
terdapat sub kelompok yang mereka sebut dengan suku, kemudian
dibagi lagi dalam tobo dan unit terkecil mereka sebut dengan hinduk
atau perut atau disebut juga puak anak.Kelompok masyarakat ini
tergolong Proto Melayu (Melayu Tua) yang merupakan suku asli
6
Indragiri Hulu dengan sebutan ”Suku Tuha”[ yang berarti suku pertama
datang dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri Hulu.
Selain itu juga, mereka termasuk Melayu Tua. (h ttp://id .wikipedia.
org/wiki/Orang_Talang_Mamak)
Masyarakat Talang Mamak berasal dari Pagaruyung yang
terdesak akibat konflik adat dan agama. Berdasarkan hikayat yang
berkembang pada masyarakat tersebut, bahwa nenek moyang mereka
turun dari Gunung Marapi menuju ke Talukkuantan, menelusuri Batang
Kuantan dipimpin oleh Datuk Patih bergelar Perpatih Nan Sebatang,
kemudian membangun pemukiman pada sehiliran sungai tersebut.
Masyarakat Talang Mamak dalam percakapan sehari-hari
menggunakan bahasa yang disebut dengan Bahasa Talang Mamak,
walaupun dalam percakapan dengan pihak di luar komunitas, mereka
biasa menggunakan Bahasa Melayu. Dalam kosakata Bahasa Talang
Mamak ini terdapat pengaruh Bahasa Minang dan Bahasa Melayu.
(h ttp://id .wikipedia. org/wiki/Orang_Talang_Mamak)
Suku Talang Mamak tersebar di kecamatan :
1. Batang Gansal, Indragiri Hulu , Riau
2. Batang Cenaku, Indragiri Hulu , Riau
3. Kelayang, Indragiri Hulu , Riau
4. Rengat Barat, Indragiri Hulu , Riau
5. Rakit Kulim, Indragiri Hulu , Riau
6. Sumay, Tebo , Jambi : Dusun Semarantihan Desa Suo-suo
Untuk menuju Dusun Tuo Datai Talang Mamak yang terletak di
Hulu Sungai Gansal dan Sungai Melenai Desa Rantau Langsat
Kecamatan Batang Gansal Kabupaten Indragiri Hulu di Wilayah Taman
Nasional Bukit Tigapuluh dapat diakses jalan Darat. Yaitu melalui
Siberida (Pekanbaru-Siberida 285 km) dengan menggunakan Mobil
untuk menuju jalan bekas HPH. Atau juga melalui Simpang Pendowo
sekitar 2,5 km dari desa Keritang, desa yang terletak di Kecamatan
Kemuning Kabupaten Indragiri Hilir yang berbatasan langsung dengan
7
Kabupaten Indragiri Hulu, Riau. Rute sejauh 22 km dari Simpang
Pendowo hingga memasuki perbatasan wilayah Taman Nasional Bukit
Tigapuluh (TNBT) atau juga yang lebih dikenal Jalan Dalex ini,
sebaiknya dilakukan dengan sepeda motor ”lelaki” atau mobil
bergardan dua. Selanjutnya, jarak tempuh dari jalan Dalex ke Dusun
Tuo Datai sekitar 6 hingga 8 km hanya bisa dilewati jalan kaki. Meski
tidak begitu jauh, namun jangan berharap akan segera sampai. Karena,
medan yang diarungi harus ”mendaki gunung melewati lembah sungai
mengalir indah.” Jadi, diperlukan stamina untuk menempuh 1 hingga 3
jam perjalanan. (h ttp://id .wikipedia. org/wiki/Orang_Talang_Mamak)
Sebagian besar masyarakat Talang Mamak mempercayai
kekuatan-kekuatan gaib pada benda-benda yang berada di sekitar
(animisme). Beberapa kepala keluarga beralih ke Islam. Mereka
mengakui bahwa Islam adalah agama mereka, namun untuk ibadah
hanya cukup di lisan saja. Secara keseluruhan, mata pencarian mereka
adalah berladang, menyadap karet, dan mengambil hasil hutan
nonkayu. Di samping berburu atau juga menangkap ikan. Untuk urusan
budaya, Masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh
sedikit berbeda dengan Tigabalai-Pusat kebudayaan Talang Mamak.
Ini terlihat dari tidak adanya tradisi mengilir dan menyembah raja, serta
lunturnya sistem kebatinan. Umumnya, mereka hidup otonom dalam
beraktivitas sehingga berbagai persoalan yang ada akan diserahkan
kepada kepala desa. Namun begitu, mereka masih kental dengan
tradisi adat. Sebut saja Gawai (Pesta Pernikahan), Kemantan
(Pengobatan Penyakit), Tambat Kubur (Acara 100 hari kematian), serta
Khitanan untuk anak lelaki berumur 12 tahun ke atas yang dianggap
mendekati usia dewasa. Begitu juga dengan rumah yang masih
berbentuk panggung, sebagai ciri khas mereka, misalnya. Bangunan
kayu tanpa ruangan khusus serta sekat pembatas mulai dari dapur
hingga ruang tidur sehingga segala barang tergeletak menjadi satu
masih kokoh berdiri. Meskipun mereka hidup secara tradisional, namun
untuk masalah pengobatan bisa diandalkan juga. Hasil Ekspedisi Biota
Medika (1998) menunjukkan Suku Talang Mamak mampu
memanfaatkan 110 jenis tumbuhan untuk mengobati 56 jenis penyakit
8
dan mengenali 22 jenis cendawan obat. (h ttp://id .wikipedia. org/wiki/
Orang_Talang_Mamak)
A.3. Suku Akit
Orang Akit atau orang Akik, adalah kelompok sosial yang
berdiam di daerah Hutan Panjang dan Kecamatan Rupat di Kabupaten
Bengkalis, Provinsi Riau. Sebutan “Akit” diberikan kepada masyarakat
ini karena sebagian besar kegiatan hidup mereka berlangsung di atas
rumah rakit. Dengan rakit tersebut mereka berpindah dari satu tempat
ke tempat lain di pantai laut dan muara sungai. Mereka juga
membangun rumah-rumah sederhana di pinggir-pinggir pantai untuk
dipergunakan ketika mereka mengerjakan kegiatan di darat. Pada
tahun 1984 jumlah mereka diperkirakan sekitar 4500 jiwa.
Orang Akit telah bermukim di daerah ini sejak waktu lampau.
Keberadaan mereka dibuktikan dengan adanya catatan sejarah yang
menyebutkan bahwa mereka pernah menjalin hubungan dengan
Kesultanan Siak dalam menghadapi perlawanan pasukan dari Eropa.
Pasukan Belanda yang mencoba menanamkan pengaruhnya di
daerah ini tercatat mengalami beberapa perlawanan dari orang Akit.
Pasukan Akit dikenal dengan senjata tradisional berupa panah
beracun dan sejenis senjata sumpit yang ditiup.
Mata pencaharian pokok orang Akit adalah menangkap ikan,
mengumpulkan hasil hutan, berburu binatang, dan meramu sagu.
Orang Akit tidak mengenal sistem perladangan secara menetap.
Pengambilan hasil hutan yang ada di tepi-tepi pantai biasanya
disesuaikan dengan jumlah kebutuhan. Penangkapan ikan atau
binatang laut lainnya mereka lakukan dengan cara sederhana,
misalnya dengan memasang perangkap ikan (bubu). Hasil meramu
sagi biasanya dapat memenuhi kebutuhan akan sagu selama
beberapa bulan.
Hubungan orang Akit dengan masyarakat lain di sekitarnya boleh
dikatakan sangat jarang. Hal ini didukung oleh kecenderungan mereka
untuk mempertahankan identitas mereka. Beberapa waktu lampau
mereka memang masih sering digolongkan sebagai “suku bangsa
9
terasing”. Penduduk di sekitarnya banyak yang kurang berkenan
menjalin hubungan dengan mereka, karena orang Akit dipercaya
memiliki pengetahuan tentang ilmu hitam dan obat-obatan yang dapat
membahayakan. Kesulitan menjalin hubungan yang disebabkan
karena seringnya mereka berpindah-pindah. Pemerintah dan beberapa
kalangan sudah mencoba meningkatkan taraf hidup mereka, antara
lain, dengan mendirikan pemukiman tetap dan mengajarkan cara-cara
bercocok tanam dengan teknik pertanian modern.
Sistem kekerabatannya bersifat patrilineal. Seorang gadis telah
dapat dinikahkah bila usianya telah mencapai 15 tahun. Adat menetap
sesudah nikah menentukan bahwa seorang isteri mengikuti suaminya
di kediaman baru atau di sekitar kediaman kerabat suaminya. Upacara
pernikahan biasanya ditandai dengan hidangan berupa daging babi
dan sejenis tuak dari pohon nira serta acara menyanyi dan menari.
Komunikasi dengan masyarakat di sekitarnya biasanya dilakukan
dengan menggunakan bahasa Melayu. Walaupun sudah mengenal
agama-agama besar, seperti Islam dan Kristen, sebagian besar dari
mereka masih menganut kepercayaan animistik. Pengaruh agama
Budha mereka terima dari kalangan pedagang-pedagang Cina yang
banyak datang dan menetap ke daerah ini.
10
B. Tentang Provinsi Riau
B.1. Sejarah
Secara etimologi kata Riau berasal dari bahasa Portugis, Rio
berarti sungai Pada tahun 1514 terdapat sebuah ekspedisi militer
Portugis menelusuri Sungai Siak, dengan tujuan mencari lokasi sebuah
kerajaan yang diyakini mereka ada pada kawasan tersebut, dan
sekaligus mengejar pengikut Sultan Mahmud Syah yang melarikan diri
setelah kejatuhan Malaka.
Pada awal abad ke-16, Tome Pires dalam bukunya Suma
Oriental mencatat bahwa kota-kota di pesisir timur Sumatera antara
Arcat (Aru dan Rokan) hingga Jambi merupakan pelabuhan raja-raja
Minangkabau. Dimasa ini pula banyak pengusaha Minangkabau yang
mendirikan kampung-kampung pedagang di sepanjang Sungai Siak,
Kampar, Rokan, dan Inderagiri. Satu dari sekian banyak kampung yang
terkenal adalah Senapelan yang kemudian berkembang menjadi
Pekanbaru.
Pada masa kejayaan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang
didirikan oleh Raja Kecil, kawasan ini merupakan bagian dari wilayah
kedaulatan Siak. Sementara, Riau dirujuk hanya kepada wilayah Yang
Dipertuan Muda (raja bawahan Johor) di Pulau Penyengat, kemudian
menjadi wilayah Residentie Riouw pemerintahan Hindia-Belanda yang
berkedudukan di Tanjung Pinang, dan Riouw, dieja oleh masyarakat
setempat menjadi Riau.
Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Kesultanan Siak Sri
Indrapura dan Residentie Riouw dilebur dan tergabung dalam Provinsi
Sumatera yang berpusat di Bukittinggi. Kemudian Provinsi Sumatera
dimekarkan menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera
Tengah, dan Sumatera Selatan. Dominannya etnis Minangkabau dalam
pemerintahan Sumatera Tengah, menuntut masyarakat Riau untuk
membentuk provinsi tersendiri. Selanjutnya pada tahun 1957,
berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 19 tahun 1957, Provinsi
Sumatera Tengah dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Riau, Jambi
dan Sumatera Barat. Kemudian yang menjadi wilayah provinsi Riau
yang baru terbentuk adalah bekas wilayah Kesultanan Siak Sri
11
Inderapura dan Residentie Riouw serta ditambah Bangkinang yang
sebelumnya pada masa pendudukan tentara Jepang dimasukan ke
dalam wilayah Rhio Shu.
Kemudian berdasarkan Kepmendagri nomor Desember 52/I/44-
25, pada tanggal 20 Januari 1959, Pekanbaru resmi menjadi ibu kota
provinsi Riau menggantikan Tanjung Pinang. Namun pada tahun 2002,
berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2002, Provinsi Riau
kembali dimekarkan menjadi dua provinsi, yaitu Riau dan Kepulauan
Riau. Hal ini juga tidak lepas dari ketidakpuasan masyarakat atas rasa
ketidakadilan dalam politik maupun ekonomi terutama yang berada
pada kawasan kepulauan.
B.2. Kondisi Sumber Daya Alam
B.2.1 Geografi
Luas wilayah provinsi Riau adalah 87.023,66 km², yang
membentang dari lereng Bukit Barisan hingga Selat Malaka. Riau
memiliki iklim tropis basah dengan rata-rata curah hujan berkisar
antara 2000-3000 milimeter per tahun, serta rata-rata hujan per
tahun sekitar 160 hari.
B.2.2 Sumberdaya Alam
Provinsi ini memiliki sumber daya alam, baik kekayaan
yang terkandung di perut bumi, berupa minyak bumi dan gas,
serta emas, maupun hasil hutan dan perkebunannya. Seiring
dengan diberlakukannya otonomi daerah, secara bertahap mulai
diterapkan sistem bagi hasil atau perimbangan keuangan antara
pusat dengan daerah. Aturan baru ini memberi batasan tegas
mengenai kewajiban penanam modal, pemanfaatan sumber
daya, dan bagi hasil dengan lingkungan sekitar.
B.3. Kependudukan
B.3.1 Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk provinsi Riau berdasarkan data Badan
Pusat Statistik Provinsi Riau tahun 2010 sebesar 5.543.031 jiwa.
Kabupaten/Kota yang memiliki jumlah penduduk terbanyak
12
adalah Kota Pekanbaru dengan jumlah penduduk 903.902 jiwa,
sedangkan Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk terkecil
adalah Kabupaten Kepulauan Meranti yakni sebesar 176.371
jiwa.
B.3.2 Suku Bangsa
Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku
bangsa. Mereka terdiri dari Jawa (25,05%), Minangkabau
(11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%), dan
Bugis (2,27%). Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar
dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Mereka
umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai,
Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak,
Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun begitu, ada juga
masyarakat asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang
berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan
sebagian Inderagiri Hulu. Juga masyarakat Mandailing di Rokan
Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai
Minangkabau ataupun Batak.
Abad ke-19, masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan
dan Bugis dari Sulawesi Selatan, juga mulai berdatangan ke
Riau. Mereka banyak bermukim di Kabupaten Indragiri Hilir
khususnya Tembilahan. Di bukanya perusahaan pertambangan
minyak Caltex pada tahun 1940-an di Rumbai, Pekanbaru,
mendorong orang-orang dari seluruh Nusantara untuk mengadu
nasib di Riau.
Suku Jawa dan Sunda pada umumnya banyak berada
pada kawasan transmigran. Sementara etnis Minangkabau
umumnya menjadi pedagang dan banyak bermukim pada
kawasan perkotaan seperti Pekanbaru, Bangkinang, Duri, dan
Dumai. Begitu juga orang Tionghoa pada umumnya sama
dengan etnis Minangkabau yaitu menjadi pedagang dan
bermukim khususnya di Pekanbaru, serta banyak juga terdapat
13
pada kawasan pesisir timur seperti di Bagansiapiapi,
Selatpanjang, Pulau Rupat dan Bengkalis
B.3.3 Bahasa
Penduduk provinsi Riau terdiri dari bermacam-macam suku
bangsa. Mereka terdiri dari Jawa (25,05%), Minangkabau
(11,26%), Batak (7,31%), Banjar (3,78%), Tionghoa (3,72%), dan
Bugis (2,27%). Suku Melayu merupakan masyarakat terbesar
dengan komposisi 37,74% dari seluruh penduduk Riau. Mereka
umumnya berasal dari daerah pesisir di Rokan Hilir, Dumai,
Bengkalis, Kepulauan Meranti, hingga ke Pelalawan, Siak,
Inderagiri Hulu dan Inderagiri Hilir. Namun begitu, ada juga
masyarakat asli bersuku rumpun Minangkabau terutama yang
berasal dari daerah Rokan Hulu, Kampar, Kuantan Singingi, dan
sebagian Inderagiri Hulu. Juga masyarakat Mandailing di Rokan
Hulu, yang lebih mengaku sebagai Melayu daripada sebagai
Minangkabau ataupun Bata
B.3.4 Agama
Dilihat dari komposisi penduduk provinsi Riau yang penuh
kemajemukan dengan latar belakang sosial budaya, bahasa, dan
agama yang berbeda, pada dasarnya merupakan aset bagi
daerah Riau sendiri. Agama-agama yang dianut penduduk
provinsi ini sangat beragam, diantaranya Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Berbagai sarana dan prasarana peribadatan bagi
masyarakat Riau sudah terdapat di provinsi ini, seperti Mesjid
Agung An-nur (Mesjid Raya di Pekanbaru), Masjid Agung Pasir
Pengaraian, dan Masjid Raya Rengat bagi umat muslim. Bagi
umat Katolik/Protestan diantaranya terdapat Gereja Santa Maria
A Fatima, Gereja HKBP di Pekanbaru, GBI Dumai, Gereja Kalam
Kudus di Selatpanjang, Gereja Katolik Santo Petrus dan Paulus
di Bagansiapiapi, Gereja Methodist (Jemaat Wesley) di
14
Bagansiapiapi. Bagi umat Buddha/Tridarma ada Vihara Dharma
Loka dan Vihara Cetia Tri Ratna di Pekanbaru, Vihara Sejahtera
Sakti di Selatpanjang, Kelenteng Ing Hok Kiong, Vihara Buddha
Sasana, Vihara Buddha Sakyamuni di Bagansiapiapi. Bagi Umat
Hindu adalah Pura Agung Jagatnatha di Pekanbaru.
B.4. Perekonomian
B.4.1 Pertanian dan Perkebunan
Perkebunan yang berkembang adalah perkebunan karet
dan perkebunan kelapa sawit, baik itu yang dikelola oleh negara
ataupun oleh rakyat. Selain itu juga terdapat perkebunan jeruk
dan kelapa. Untuk luas lahan perkebunan kelapa sawit saat ini
propinsi Riau telah memiliki lahan seluas 1.34 juta hektar. Selain
itu telah terdapat sekitar 116 pabrik pengolahan kelapa sawit
(PKS) yang beroperasi dengan produksi crude palm oil (CPO)
3.386.800 ton per tahun.
B.4.2 Hutan dan Ikan
Pembangunan kehutanan pada hakekatnya mencakup
semua upaya memanfaatkan dan memantapkan fungsi sumber
daya alam hutan dan sumber daya alam hayati lain serta
ekosistemnya, baik sebagai pelindung dan penyangga kehidupan
dan pelestarian keanekaragaman hayati maupun sebagai
sumber daya pembangunan. Namun dalam realitanya tiga fungsi
utamanya sudah hilang, yaitu fungsi ekonomi jangka panjang,
fungsi lindung, dan estetika sebagai dampak kebijakan
pemerintah yang lalu.
15
III. STRUKTUR MASYARAKAT PROVINSI RIAU
A. Melayu
Adapun perkataan Melayu itu sendiri mempunyai kepada tiga
pengertian, yaitu Melayu dalam pengertian “ras” di antara berbagai ras
lainnya. Melayu dalam pengertian sukubangsa yang dikarenakan peristiwa
dan perkembangna sejarah, juga dengan adanya perubahan politik
menyebabkan terbagi-bagi kepada bentuk negara seperti Indonesia,
Malaysia, Singapura, Brunei dan Filipina. Melayu dalam pengertian suku,
yaitu bahagian dari suku bangsa Melayu itu sendiri.
Di Indonesia yang dimaksud dengan suku bangsa Melayu adalah yang
mempunyai adat istiadat Melayu, yang bermukim terutamanya di sepanjang
pantai timur Sumatera, di Kepulauan Riau, dan Kalimantan Barat.
Pemusatan suku bangsa Melayu adalah di wilayah Kepulauan Riau. Tetapi
jika kita menilik kepada yang lebih besar untuk kawasan Asia Tenggara,
maka ianya terpusat di Semenanjung Malaya.
Kemudiannya menurut orang Melayu, yang dimaksud orang Melayu
bukanlah dilihat daripada tempat asalnya seseorang ataupun dari keturun
darahnya saja. Seseorang itu dapat juga disebut Melayu apabila ia
beragama Islam, berbahasa Melayu dan mempunyai adat-istiadat Melayu.
Orang luar ataupun bangsa lain yang datang lama dan bermukim di daerah
ini dipandang sebagai orang Melayu apabila ia beragama Islam,
mempergunakan bahasa Melayu dan beradat istiadat Melayu.
B. Jawa
Suku Jawa (Jawa ngoko: wong Jowo, krama: tiyang Jawi) merupakan
suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan
etnis Jawa. Selain di ketiga provinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim
di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Selain itu, suku Jawa
ada pula yang berada di negara Suriname, Amerika Tengah karena pada
16
masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja dan kini
suku Jawa di sana dikenal sebagai Jawa Suriname.
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam
bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo
pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar
18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan
selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi
berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal
dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial
yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat
sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam
bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo
pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar
18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan
selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi
berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal
dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial
yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat
sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan
sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada
tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum
santri, abangan, dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut
agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara
nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum
bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia
mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi
sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar,
17
misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti
orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.
C. Minang
Keunikan struktur masyarakat Minangkabau terletak pada struktur
masyarakat yang bertingkat-tingkat, mulai dari jurai atau saparuik (seperut),
suku, dan kaum yang memiliki adat istiadat yang khas. suku merupakan
mereka yang dilahirkan dari seorang ibu dari nenek (niniek). Biasanya orang
menyebut sistem ini dengan sistem Matrilinial.
Pemimpin-pemimpin dari setiap kelompok matrilinial tersebut juga
berbeda baik istilah maupun tugas dan kewenangannya, mulai dari
tungganai/mamak (saudara laki-laki ibu) memimpin rumah gadang, panghulu
kaum atau peanghulu suku yang memimpin beberapa kaum yang biasanya
bergelar datuak. Setiap tingkatan dalam masyarakat dalam minang kabau
mempunyai atau memiliki harta yang bersifat bersama (komunal) yang
diwarisi turun temurun yang biasa di sebagai Pusako yang tidak boleh dijual
atau digadaikan, namum ada pengecualian yang diperbolehkan sepanjang
adat pusako digadaikan. Pertama, Rumah gadang katirisan (rumah gadang
yang tiris atau bocor butuh biaya untuk merehabnya), rumah gadang
merupakan simbol atau cermin dari sebuah kaum atau suku, merupakan
suatu aib jika rumah gadang yang bocor dibiarkan. Kedua, gadih gadang
balun balaki (gadis besar belum punya suami) adalah tanggungjawab
mamak mencari pasangan untuk kemenakannya. Ketiga, mayik tabujua di
tangah rumah (mayat terbujur di tengah rumah) artinya jika keluarga tidak
punya biaya untuk penyelanggaraan pemakaman mayat, pusako boleh
digadai untuk membiayai penyelenggaraan pemakaman tersebut.
Di minangkabau anak laki-laki tidak menerima warisan tetapi mereka
tetap menerima semacam penghargaan yang biasanya penghargaan ini
melekat dengan pusako disebut sako yaitu harta yang tidak bersifat materil
tetapi berupa gelar kepenghuluan yang bersifat turun temurun, penurun
sako, khususnya daerah solok diberikan kepada kemenakan diwaktu tanah
tasirah (waktu masih di perkuburan) gelar langsung di lewa kan.
Keseluruhan struktur masyarakat diatur oleh hukum adatnya yang
biasa di sebut Tonggak tuo adat minang. Yaitu :
18
1. Adat nan sabana adat (adat yang sebenarnya adat), merupakan
ketentuan atau norma yang tidak bisa di tawar-tawar (mutlak). Sumber
dari adat ini adalah kitabullah (Al-quran).
2. Adat nan diadatkan (adat yang diadatkan) artinya norma yang mendasar
sebagi warisan budaya yang dijadikan peraturan hidup bermasyarakat
orang minangkabau secara umum dan sama-sama berlaku dalam luhak
nan tigo.
3. Adat nan teradat (adat yang teradat) artinya kebiasaan masyarakat yang
boleh ditambah atau dikurangi atau ditinggalkan sama sekali, selama
tidak bertentangan dengan Al-quran dan hadist.
4. Adat istiadat merupakan kelaziman masyarakat suatu nagari yang tidak
bertentangan dengan tiga adat di atas.
D. Batak
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak
diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di
Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi
menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah
berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu di
zaman batu muda (Neolitikum). Karena hingga sekarang belum ada artefak
Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka
dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera
Utara di zaman logam. Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal
India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara.
Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di
pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi
salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus
diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-
pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya,
perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang
Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera
Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan
sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang
19
bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera
Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba,
Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak
Mandailing.
E. Banjar
Secara liguistik suku Banjar serumpun dengan Dayak Kendayan (logat
Dayak : Kanayatn), Dayak Iban, dan rumpun Melayu Lokal (Dayak
Bukit/Meratus, Kedayan-Brunei, Berau, Kutai Kota Bangun, Kutai
Tenggarong) yaitu rumpun bahasa Melayik. Mitologi suku Dayak Meratus
(Dayak Bukit) menyatakan bahwa Suku Banjar (terutama Banjar Pahuluan)
dan Suku Bukit merupakan keturunan dari dua kakak beradik yaitu Si Ayuh
(Sandayuhan) yang menurunkan suku Bukit dan Bambang Basiwara yang
menurunkan suku Banjar. Dalam khasanah cerita prosa rakyat berbahasa
Dayak Meratus ditemukan legenda yang sifatnya mengakui atau bahkan
melegalkan keserumpunan genetika (saling berkerabat secara geneologis)
antara orang Banjar dengan orang Dayak Meratus. Dalam cerita prosa
rakyat berbahasa Dayak Meratus dimaksud terungkap bahwa nenek moyang
orang Banjar yang bernama Bambang Basiwara adalah adik dari nenek
moyang orang Dayak Meratus yang bernama Sandayuhan. Bambang
Basiwara digambarkan sebagai adik yang berfisik lemah tapi berotak cerdas.
Sedangkan Sandayuhan digambarkan sebagai kakak yang berfisik kuat dan
jago berkelahi. Sesuai dengan statusnya sebagai nenek-moyang atau cikal-
bakal orang Dayak Maratus, maka nama Sandayuhan sangat populer di
kalangan orang Dayak Meratus. Banyak sekali tempat-tempat di seantero
pegunungan Meratus yang sejarah keberadaannya diceritakan berasal-usul
dari aksi heroik Sandayuhan. Salah satu di antaranya adalah tebing batu
berkepala tujuh, yang konon adalah penjelmaan dari Samali’ing, setan
berkepala tujuh yang berhasil dikalahkannya dalam suatu kontak fisik yang
sangat menentukan. Orang Banjar merupakan keturunan rumpun-rumpun
Dayak yang telah memeluk Islam kemudian mengadopsi budaya Jawa,
Melayu, Bugis dan Cina.
Suku Banjar sudah lama terdapat di Sumatera. Berdasarkan sensus
tahun 1930, suku Banjar di Sumatera berjumlah 77.838 jiwa yang
20
terdistribusi di Plantation belt (Pantai Timur Sumatera Utara) 31.108 jiwa, di
Sumatera bagian Tengah 46.063 jiwa dan di Sumatera bagian Selatan 430
jiwa. Belakangan, suku Banjar di Sumatera banyak yang berpindah ke
Malaysia sebelum kemerdekaannya. Suku Banjar yang tinggal di Sumatera
(Tembilahan, Tungkal, Hamparan Perak (Paluh Kurau), Pantai Cermin,
Perbaungan) dan Malaysia merupakan anak, cucu, intah, piat dari para
imigran etnis Banjar yang datang dalam tiga gelombang migrasi besar.
Pertama, pada tahun 1780 terjadi migrasi besar-besaran ke pulau
Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi emigran ketika itu adalah para
pendukung Pangeran Amir yang menderita kekalahan dalam perang
saudara antara sesama bangsawan Kesultanan Banjar, yakni Pangeran
Tahmidullah. Mereka harus melarikan diri dari wilayah Kesultanan Banjar
karena sebagai musuh politik, mereka sudah dijatuhi hukuman mati.
Kedua, pada tahun 1862 terjadi lagi migrasi besar-besaran ke pulau
Sumatera. Etnis Banjar yang menjadi imigrannya kali adalah para
pendukung Pangeran Antasari dalam kemelut Perang Banjar. Mereka harus
melarikan diri dari pusat pemerintahan Kerajaan Banjar di kota Martapura
karena posisi mereka terdesak sedemikian rupa. Pasukan Residen Belanda
yang menjadi musuh mereka dalam Perang Banjar yang sudah menguasai
kota-kota besar di wilayah Kerajaan Banjar.
Ketiga, pada tahun 1905 etnis Banjar kembali melakukan migrasi
besar-besaran ke pulau Sumatera. Kali ini mereka terpaksa melakukannya
karena Sultan Muhammad Seman yang menjadi raja di Kerajaan Banjar
ketika itu meninggal di tangan Belanda.
Migrasi suku Banjar ke Sumatera khususnya ke Tembilahan, Indragiri
Hilir sekitar tahun 1885 di masa pemerintahan Sultan Isa (raja Indragiri
sebelum raja yang terakhir). Tokoh etnis Banjar yang terkenal dari daerah ini
adalah Syekh Abdurrahman Siddiq Al Banjari (Tuan Guru Sapat/Datu Sapat)
yang berasal dari Martapura dan menjabat sebagai Mufti Kerajaan Indragiri.
F. Tionghoa
Orang dari Tiongkok daratan telah ribuan tahun mengunjungi dan
mendiami kepulauan Nusantara.
21
Beberapa catatan tertua ditulis oleh para agamawan, seperti Fa Hien
pada abad ke-4 dan I Ching pada abad ke-7. Fa Hien melaporkan suatu
kerajaan di Jawa ("To lo mo") dan I Ching ingin datang ke India untuk
mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar
bahasa Sanskerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama
Jñânabhadra.
Dengan berkembangnya kerajaan-kerajaan di Nusantara, para imigran
Tiongkok pun mulai berdatangan, terutama untuk kepentingan perdagangan.
Pada prasasti -prasasti dari Jawa orang Cina disebut-sebut sebagai warga
asing yang menetap di samping nama-nama sukubangsa dari Nusantara,
daratan Asia Tenggara dan anakbenua India. Dalam suatu prasasti
perunggu bertahun 860 dari Jawa Timur disebut suatu istilah, Juru Cina,
yang berkait dengan jabatan pengurus orang-orang Tionghoa yang tinggal di
sana. Beberapa motif relief di Candi Sewu diduga juga mendapat pengaruh
dari motif-motif kain sutera Tiongkok.
Catatan Ma Huan, ketika turut serta dalam ekspedisi Cheng Ho,
menyebut secara jelas bahwa pedagang Cina muslim menghuni ibukota dan
kota-kota bandar Majapahit (abad ke-15) dan membentuk satu dari tiga
komponen penduduk kerajaan itu. Ekspedisi Cheng Ho juga meninggalkan
jejak di Semarang, ketika orang keduanya, Wang Jinghong, sakit dan
memaksa rombongan melepas sauh di Simongan (sekarang bagian dari
Kota Semarang). Wang kemudian menetap karena tidak mampu mengikuti
ekspedisi selanjutnya. Ia dan pengikutnya menjadi salah satu cikal-bakal
warga Tionghoa Semarang. Wang mengabadikan Cheng Ho menjadi
sebuah patung (disebut "Mbah Ledakar Juragan Dampo Awang Sam Po
Kong"), serta membangun kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu. Di
komplek ini Wang juga dikuburkan dan dijuluki "Mbah Jurumudi Dampo
Awang".
Sejumlah sejarawan juga menunjukkan bahwa Raden Patah, pendiri
Kesultanan Demak, memiliki darah Tiongkok selain keturunan Majapahit.
Beberapa wali penyebar agama Islam di Jawa juga memiliki darah Tiongkok,
meskipun mereka memeluk Islam dan tidak lagi secara aktif mempraktekkan
kultur Tionghoa.
22
Kitab Sunda Tina Layang Parahyang menyebutkan kedatangan
rombongan Tionghoa ke muara Ci Sadane (sekarang Teluknaga) pada
tahun 1407, pada masa daerah itu masih di bawah kekuasaan Kerajaan
Sunda (Pajajaran). Pemimpinnya adalah Halung dan mereka terdampar
sebelum mencapai tujuan di Kalapa.
Dalam sensus penduduk pada tahun 2000, ketika untuk pertama
kalinya responden sensus ditanyai mengenai asal etnis mereka, hanya 1%
dari jumlah keseluruhan populasi Indonesia mengaku sebagai Tionghoa.
Perkiraan kasar yang dipercaya mengenai jumlah suku Tionghoa-Indonesia
saat ini ialah berada di antara kisaran 4% - 5% dari seluruh jumlah populasi
Indonesia.
Didirikannya sekolah-sekolah Tionghoa oleh organisasi Tiong Hoa
Hwee Koan (THHK) sejak 1900, mendorong berkembangnya pers dan
sastra Melayu Tionghoa. Maka dalam waktu 70 tahun telah dihasilkan sekitar
3000 buku, suatu prestasi yang luar biasa bila dibandingkan dengan sastra
yang dihasilkan oleh angkatan pujangga baru, angkatan 45, 66 dan pasca 66
yang tidak seproduktif itu. Dengan demikian komunitas ini telah berjasa
dalam membentuk satu awal perkembangan bahasa Indonesia.
Sumbangsih warga Tionghoa Indonesia juga terlihat dalam koran Sin
Po, dimana koran Sin Po menjadi koran pertama yang menerbitkan teks lagu
Indonesia Raya setelah disepakati pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Nama Sie Kok Liong memang sangat jarang didengar oleh masyarakat
Indonesia, namun Sie Kok Liong merupakan seorang warga Tionghoa yang
menyewakan rumahnya bagi para pemuda dalam menyelenggarakan
Sumpah Pemuda. Hanya sedikit catatan mengenai Sie Kok Liong, seiring
dengan tumbuhnya sekolah-sekolah pada awal abad ke-20 di Jakarta
tumbuh pula pondokan-pondokan pelajar untuk menampung mereka yang
tidak tertampung di asrama sekolah atau untuk mereka yang ingin hidup
lebih bebas di luar asrama yang ketat. Salah satu di antara pondokan pelajar
itu adalah Gedung Kramat 106 milik Sie Kok Liong. Di Gedung Kramat 106
inilah sejumlah pemuda pergerakan dan pelajar sering berkumpul. Gedung
itu, selain menjadi tempat tinggal dan sering digunakan sebagai tempat
latihan kesenian Langen Siswo juga sering dipakai untuk tempat diskusi
tentang politik para pemuda dan pelajar. Terlebih lagi setelah Perhimpunan
23
Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) didirikan pada September 1926. Selain
dijadikan kantor PPPI dan kantor redaksi majalah Indonesia Raya yang
diterbitkan oleh PPPI, berbagai organisasi pemuda sering menggunakan
gedung ini sebagai tempat kongres. Bahkan pada 1928 Gedung Kramat 106
jadi salah satu tempat penyelenggaraan Kongres Pemuda II tanggal 27 - 28
Oktober 1928.
Universitas Trisakti yang kini menjadi salah satu universitas terkenal di
Indonesia juga merupakan salah satu sumbangsih warga Tionghoa di
Indonesia. Pada tahun 1958, universitas ini didirikan oleh para petinggi
Baperki yang kebanyakan keturunan Tionghoa salah satunya yaitu Siauw
Giok Tjhan, pada tahun 1962 oleh Presiden Soekarno nama universitas ini
diganti menjadi Universitas Res Publika hingga 1965, dan sejak Orde Baru,
universitas ini beralih nama menjadi Universitas Trisakti hingga sekarang.
Di Medan dikenal kedermawanan Tjong A Fie, rasa hormatnya
terhadap Sultan Deli Makmun Al Rasyid diwujudkannya pengusaha
Tionghoa ini dengan menyumbang sepertiga dari pembangunan Mesjid
Raya Medan. Rumah peninggalan Tjong A Fie sampai sekarang masih ada
di kota Medan walaupun bangunannya terlihat tidak terurus lagi.
Di Bagansiapiapi terdapat Ritual Bakar Tongkang sebagai ucapan rasa
syukur masyarakat Tionghoa Bagansiapiapi atas perlindungan Dewa Kie
Ong Ya. Ritual Bakar Tongkang sangat diandalkan pemerintah daerah
setempat sebagai daya tarik wisata daerah dimana setiap tahunnya
menyedot puluhan ribu kunjungan wisatawan baik dalam maupun luar
negeri.
Saat ini di Taman Mini Indonesia Indah sedang dibangun taman
budaya Tionghoa Indonesia yang diprakarsai oleh PSMTI. Pembangunan
taman ini direncanakan akan selesai sebelum tahun 2012 dengan biaya
kurang lebih 50 milyar rupiah.
G. Bugis
Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu
Deutero. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari
daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang
24
berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan
Cina yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La
Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka
merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau
orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah
dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayah dari
Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan
melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra
terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio.
Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang
tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis.
Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili,
Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk
beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan,
bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis
klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng
dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses
pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan
Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu
Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Barru. Daerah peralihan
antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros,
Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah
Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang
dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana),
Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene
Kepulauan).
Setelah dikuasainya kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad
ke-17, banyak perantau Melayu dan Minangkabau yang menduduki jabatan
di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta meninggalkan
Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut
terlibat dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini
banyak raja-raja di Johor & selangor yang merupakan keturunan Luwu.
25
Di Sidrap pernah hidup seorang Tokoh Cendikiawan Bugis yang cukup
terkenal pada masa Addatuang Sidenreng dan Addatuang Rappang
(Addatuang = semacam pemerintahan distrik di masa lalu) yang bernama
Nenek Mallomo’. Dia bukan berasal dari kalangan keluarga istana, akan
tetapi kepandaiannya dalam tata hukum negara dan pemerintahan membuat
namanya cukup tersohor. Sebuah tatanan hukum yang sampai saat ini
masih diabadikan di Sidenreng yaitu: Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to
nakkeana. (Terjemahan : sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak
dan tidak mengenal Anak). Kata bijaksana itu dikeluarkan Nenek Mallomo’
Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan
martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang
mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang
anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka
ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang
ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya
hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum.
Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.
26
IV. AREAL KONFLIK DAN AREAL POTENSI KONFLIK
HUTAN TANAMAN DI PROVINSI RIAU
Tujuan pembangunan hutan tanaman adalah meningkatkan potensi hutan
tanaman yang dibangun di dalam kawasan hutan produksi dalam rangka
meningkatkan produksi hasil hutan dan meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan kehutanan. Penanaman tanaman baru ini akan diperoleh
suatu luasan kawasan, tetapi tidak mengubah hutan produksi alam yang
produktif menjadi hutan tanaman.
Kebijakan pengelolaan dalam rangka peningkatan produktivitas hutan
alam telah dikembangkan beberapa silvikultur terapan yang merupakan
pengembangan sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), Tebang Jalur
Tanam Indonesia (TJTI), dan Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) dengan
dukungan pengadaan bibit unggul, stek pucuk, kultur jaringan, dan teknologi
pemuliaan lainnya. Kesemuanya ini diharapkan mampu medukung terwujudnya
era industri yang kuat dengan dukungan bahan baku tangguh dari hasil-hasil
tersebut. Mengingat laju kerusakan hutan alam yang terus berjalan dan
diperkirakan oleh FAO bahwa hutan alam Indonesia setiap tahunnya mengalami
kerusakan 1,3 juta hektar per tahun, maka Indonesia kemungkinan pada tahun
2015 sudah tidak mampu lagi memasok kebutuhan bahan baku industri
kehutanan. Sedangkan permintaan hasil industri kehutanan terus meningkat,
maka sebagai peningkatan potensi dan kualitas hutan produksi guna pemenuhan
kebutuhan bahan baku industri dikembangkan bentuk pengusahaan hutan yang
disebut Pengusahaan Hutan Tanaman Idustri (HTI). Tujuan HTI sendiri antara
lain : menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri untuk
meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan
kualitas lingkungan hidup, memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha.
Berbagai penelitian dan uji coba telah diterapkan agar diperoleh suatu hasil yang
berkualitas, terurama dari bibit-bibit hasil pemuliaan. Pengelolaan hutan dengan
model-model silvikultur telah diterapkan untuk mencapai hasil produksi secara
ekonomi tanpa meninggalkan prinsip ekologis atau kelestarian, yang ditunjukkan
dengan adanya aturan AMDAL.
27
Dengan berjalannya HTI, banyak pihak yang pro dan kontra dan sebagian
besar menganggap bahwa HTI memunculkan suatu dampak yang cukup serius
bagi bidang kehutanan. Sebab, HTI umumnya dikelola dengan satu jenis
tanaman, yang riskanterhadap serangan hama dan penyakit. Sedangkan HTI
juga tidak mengusahakan suatu tanaman tingkat bawah, sehingga erosi justru
akan timbul yang dapat menghilangkan lapisan tanah atas yang banyak
mengandung bahan organik tinggi.
Meskipun masih menjadi bahan perbincangan terhadap dampak yang
ditimbulkannya, ternyata ada sisi positifnya, antara lain sebagai berikut :
1. Menunjang kesinambungan produksi untuk pemenuhan bahan baku industri
dan kebutuhan masyarakat serta ekspor jangka panjang;
2. Meningkatkan luasan kawasan hutan yang produktif dan mutu lingkungan;
3. Menunjang kelestarian jenis-jenis pohon andalan setempat;
4. Memperluas kesempatan kerja dan lapangan usaha bagi masyarakat.
28
Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 39/Menhut-II/2013
tanggal 16 Juli 2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui
Kemitraan Kehutanan pada pasal 1 ayat 1 bahwa Pemberdayaan masyarakat
setempat melalui Kemitraan Kehutanan adalah upaya untuk meningkatkan
kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan
manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui Kemitraan
Kehutanan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat.
Pada pasal 1 ayat 2 dijelaskan Masyarakat setempat adalah kesatuan sosial
yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau
di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang
memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung
pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Pemberdayaan masyarakat setempat melalui Kemitraan Kehutanan harus
menggunakan prinsip-prinsip :
a. Kesepakatan: semua masukan, proses dan keluaran Kemitraan Kehutanan
dibangun berdasarkan kesepakatan antara para pihak dan bersifat mengikat.
b. Kesetaraan: para pihak yang bermitra mempunyai kedudukan hukum yang
sama dalam pengambilan keputusan.
c. Saling menguntungkan : para pihak yang bermitra berupaya untuk
mengembangkan usaha yang tidak menimbulkan kerugian.
d. Lokal spesifik : Kemitraan Kehutanan dibangun dan dikembangkan dengan
memperhatikan budaya dan karakteristik masyarakat setempat, termasuk
menghormati hak-hak tradisional masyarakat adat.
e. Kepercayaan : Kemitraan Kehutanan dibangun berdasarkan rasa saling
percaya antar para pihak.
f. Transparansi: masukan, proses dan keluaran pelaksanaan Kemitraan
Kehutanan dijalankan secara terbuka oleh para pihak, dengan tetap
menghormati kepentingan masing-masing pihak.
g. Partisipasi : pelibatan para pihak secara aktif, sehingga setiap keputusan
yang diambil memiliki legitimasi yang kuat.
29
V. KRITERIA DAN VERIFIER
Penilaian Areal Potensi Konflik IUPHHK-HT Provinsi Riau menggunakan pendekatan melalui 5 (lima) kriteria yaitu :
A. Infrastruktur (bobot 40%)1. Tidak rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit
manajemen ≥ 8 km.2. Kurang rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit
mamajemen 6 ≤ x < 8 km.3. Cukup rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit
manajemen 4 ≤ x < 6 km.4. Rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit
manajemen 2 ≤ x < 4 km.5. Sangat rawan, terdapat jalan angkutan darat/kanal/sungai, jarak dari unit
manajemen < 2 km.
B. Tata Batas (bobot 20%)1. Tidak rawan, tata batas sudah temu gelang.2. Kurang rawan, tata batas ≥ 75% terutama pada daerah yang bukan batas
persekutuan.3. Cukup rawan, tata batas 50% ≤ x < 75%, terutama pada daerah yang
bukan batas persekutuan.4. Rawan, tata batas < 50%, sebagian besar berada di luar batas
persekutuan. 5. Sangat rawan, tata batas < 50%, sebagian besar berada di dalam batas
persekutuan.
C. Jumlah Kebun (bobot 15%)1. Tidak rawan, unit manajemen berbatasan langsung ≥ 75% dengan kebun,
seluruhnya berbatasan dengan perusahaan perkebunan besar dengan luasan ≥ 6.000 ha.
2. Kurang rawan, unit manajemen berbatasan langsung ≥ 75% dengan kebun, namun ≤ 25% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.
3. Cukup rawan, unit manajemen berbatasan langsung ≥ 75% dengan kebun, namun 25% ≤ x < 50% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.
4. Rawan, unit manajemen berbatasan ≥ 75% dengan kebun, namun 50% % ≤ x < 75% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.
30
5. Sangat rawan, unit manajemen berbatasan ≥ 75% dengan kebun, namun ≥ 75% berbatasan dengan perusahaan perkebunan dengan luasan < 6.000 ha.
D. Penduduk (bobot 20%)1. Tidak rawan, areal unit manajemen berbatasan dengan kecamatan dengan
jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya masyarakat yang tidak suka berkebun.
2. Kurang rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya < 25% masyarakat yang suka berkebun.
3. Cukup rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya 25 % ≤ x < 50% masyarakat yang suka berkebun.
4. Rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya 50 % ≤ x < 75% masyarakat yang suka berkebun.
5. Sangat rawan, areal unit manajemen berbatasan langsung dengan kecamatan dengan jumlah penduduk ≥ 80% asli masyarakat tempatan, sisanya ≥ 75% masyarakat yang suka berkebun..
E. Adat (bobot 5%)1. Tidak rawan, pengakuan hak-hak ulayat kurang kuat digambarkan dengan
tidak adanya pengakuan masyarakat hukum adat. 2. Cukup rawan, pengakuan hak-hak ulayat masih cukup kuat digambarkan
dengan ada beberapa data pengakuan masyarakat hukum adat. 3. Sangat rawan, pengakuan hak-hak ulayat masih sangat kuat digambarkan
dengan adanya pengakuan penuh masyarakat hukum adat.
Penilaian Areal Potensi Konflik IUPHHK-HT khusus di wilayah Kabupaten Kampar menggunakan pendekatan melalui 5 (lima) kriteria dengan bobot sebagai berikut :A. Infrastruktur (bobot 30%)B. Tata Batas (bobot 15%)C. Jumlah Kebun (bobot 15%)D. Penduduk (bobot 10%)E. Adat (bobot 30%)
Tingkat Potensi KonflikNilai maksimum adalah 10a) Nilai 8 - 10 potensi konflik rendah (warna biru)b) NILAI 6 - 7,9999 potensi konflik sedang (warna kuning)c) NILAI 4 – 5,9999 potensi konflik potensial (warna hijau)d) NILAI < 4 potensi konflik sangat potensial (warna merah)
31
Hasil Penilaian Areal Potensi Konflik IUPHHK-HT sebagai berikut :1. 1
32
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN SERTA RESOLUSI KONFLIK
HUTAN TANAMAN DI PROVINSI RIAU
2. PT. PERAWANG SUKSES PERKASA INDUSTRI
A. Data Pokok
1. Nama IUPHHK-HT : PT. Perawang Sukses Perkasa Industri
2. Alamat
– Kantor Pusat : Plaza BII Menara II Lt. 32 Jl. MH. Thamrin
Kavling 51 Jakpus, Telp. 398834473
– Kantor Cabang : Jl. Teuku Umar No. 51 Pekanbaru, Telp.
(0761) 24071
3. Keputusan IUPHHK-HT
– Nomor : No. 249/Kpts-II/1996
– Tanggal : 27 Februari 1996
– Luas Izin : 50.725 Ha
– Luas Efektif : 35.516 Ha
– Masa Berlaku :
B. RKUPHHK-HT Periode Berjalan
1. No. SK. RKUPHHK-HT : SK. 92/VI-BUHT/2012
2. Tanggal : 27 Desember 2012
3. Tata Ruang sesuai RKU :
– Kawasan Lindung : 7.743 ha/15,26 %
– Tanaman Pokok : 29.799 ha/58,75%
– Tanaman Unggulan : 1.910 ha/3,77 %
– Tanaman Kehidupan : 3.807 ha/7,51 %
– Areal Tidak Efektif : 7.466 ha/14,72 %
C. Ketersediaan Tenaga Teknis
1. Timber Cruising (TC) : 4
2. Perencanaan Hutan (Canhut) : 2
3. Pembukaan Wilayah Hutan (PWH) : 2
4. Pemanenan Hutan (Nenhut) : 2
5. Pembinaan Hutan (Binhut) : 5
6. Kelola Lingkungan (Keling) : 3
33
7. Kelola Sosial (Kesos) : 2
8. Penguji Kayu Bulat (PKB) : 6
D. Kondisi Areal Konflik dan Areal Potensi Konflik
1. Blok Petapahan
Pada blok ini, hampir keseluruhan sekeliling areal merupakan
areal konflik, kecuali sedikit pada areal yang berbatasan dengan
perkebunan PT. Ramajaya Pramukti. Sementara areal tanaman
unggulan seluruhnya areal konflik. Bahkan areal tanaman kehidupan
sebagian besar sudah konflik, kecuali yang berada di sekitar pemukiman
masyarakat di Batugajah, walaupun areal yang persis berada di
sekeliling pemukiman juga areal konflik. Bahkan kawasan lindung yang
seharusnya dilindungi dan dipertahankan karena memiliki fungsi lindung,
hampir seluruhnya termasuk areal konflik. Areal tanaman pokok juga
tidak luput dari konflik. Di blok ini, lebih dari 2/3 areal dari izin konsesi
telah terjadi konflik baik berupa perkebunan sawit, kebun karet maupun
klaim areal oleh pihak lain. Infrastruktur jalan banyak terdapat di
sekeliling areal IUPHHK-HT, sehingga hampir keseluruhan areal telah
dikepung oleh akses jalan.
2. Blok Lipat Kain
Pada blok ini terdapat dua hamparan, hamparan pertama yang
berdekatan dengan perkampungan Sungairambai dan Muarakketua
sudak seluruhnya konflik, yang berbatasan dengan perkebunan PT.
Ciliandra Perkasa juga konflik. Sedangkan hamparan kedua hampir
seluruhnya konflik.
Areal tersisa yang tidak konflik memiliki potensi konflik yang tinggi
karena berdasarkan 5 pendekatan memiliki skor :
34
DAFTAR PUSTAKA
http://sciences-city.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-suku-akit-dan-
suku.html#.UeYefCIomKE. Diakses pada tanggal 16 Juli 2013
http://palingindonesia.com/suku-sakai-di-riau/. Diakses pada tanggal 16 Juli 2013
http://id.wikipedia.org/wiki/Riau. Diakses pada tanggal 17 Juli 2013
http://boozemagazine.com/corner/culture/254-adat-istiadat-riau.html. Diakses
pada tanggal 16 Juli 2013
http://gurindam12.co/2013/01/02/suku-talang-mamak. Diakses pada tanggal 16
Juli 2013
35