buku ajar i farmakologi dasar

75
BAHAN AJAR FARMAKOLOGI DASAR (BUKU I) OLEH : NIKO RUSMEDI, S.Farm., Apt.

Upload: atrigadis

Post on 22-Dec-2015

445 views

Category:

Documents


31 download

DESCRIPTION

Keperawatan

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

BAHAN AJAR

FARMAKOLOGI DASAR

(BUKU I)

OLEH :

NIKO RUSMEDI, S.Farm., Apt.

Page 2: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

1

I. PENDAHULUAN

Dalam bidang kesehatan, obat merupakan salah satu unsur penting. Farmakologi mempunyai

peranan penting dalam memahami sifat – sifat obat dalam hubungannya dengan organisme hidup.

Pemberian obat dalam bidang kesehatan bertujuan :

1. Penetapan diagnosa, pencegahan penyakit (preventif) dan penyembuhan (kuratif) penyakit

2. Pemulihan (rehabilitatif) dan peningkatan (promotif) kesehatan.

3. Kontrasepsi.

I. DEFINISI

Beberapa definisi tentang obat :

1. Setiap zat kimia yang dapat mempengaruhi proses hidup.

2. Setiap zat kimia selain makanan yang mempunyai pengaruh terhadap atau dapat menimbulkan

efek pada organisme hidup.

3. Suatu bahan atau panduan bahan – bahan yang digunakan dalam menetapkan diagnosa,

mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau gejala penyakit, luka,

kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan, memperelok badan atau bagian badan

manusia.

Obat dapat diperoleh dari : - tumbuhan (mis. Kuinin)

- Hewan (mis. Insulin)

- Mineral (mis. Kaolin)

- Mikroorganisme (mis. Penisilin)

- Sintesis (mis. Sulfonamida)

- Bioteknologi (mis. Interferon)

Dewasa ini, sebagian besar obat yang digunakan merupakan hasil sintetis (atau semisintetis).

Farmakologi (berasal dari kata Yunani yaitu Pharmakon = obat dan Logia = studi) dapat diartikan

sebagai studi atau ilmu tentang obat. Pada mulanya Farmakologi mencakup berbagai pengetahuan

tentang obat yang meliputi sejarah, sumber, sifat – sifat fisika dan kimiawi, cara meracik, efek

fisiologik dan biokimiawi, mekanisme kerja, absorpsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi, serta

penggunaan obat untuk terapi dan penggunaan untuk tujuan lain.

Page 3: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

2

Sebagai akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Farmakologi dewasa ini

didefinisikan sebagai studi terintegrasi tentang sifat – sifat zat kimia dan organisme hidup serta

segala aspek interaksi mereka atau ilmu yang mempelajari interaksi obat dengan organisme hidup.

II. CABANG - CABANG FARMAKOLOGI

Farmakologi mempunyai cabang – cabang, beberapa di antaranya telah berkembang menjadi

cabang ilmu yang berdiri sendiri.

1. Farmakodinamika adalah studi tentang tempat dan mekanisme kerja serta efek fisiologik dan

biokimiawi obat pada organisme hidup atau pengaruh obat terhadap organisme hidup.

2. Farmakokinetika adalah studi tentang nasib obat dalam tubuh meliputi absorpsi, distribusi, dan

eliminasi (biotransformasi/metabolisme dan ekskresi) obat.

3. Farmasi adalah ilmu yang mempelajari cara membuat, memformulasikan, menyimpan dan

menyediakan obat.

4. Farmakognosi adalah ilmu yang mempelajari sifat – sifat tumbuhan dan bahan lain yang

merupakan sumber obat.

5. Farmakoterapi adalah studi penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit atau

ilmu yang mempelajari penggunaan obat untuk menegakkan diagnosis, mencegah dan

menyembuhkan penyakit serta penggunaan obat untuk mengubah fungsi normal tubuh untuk

tujuan tertentu (mis. Kontrasepsi dan anestetika).

6. Toksikologi adalah ilmu tentang racun (Toxicon = racun) yaitu ilmu yang mempelajari efek

toksik atau efek membahayakan dari zat – zat kimia baik mekanisme kerjanya maupun

kondisi yang menyebabkan terjadinya efek membahayakan itu. Cabang ilmu ini juga

mempelajari gejala dan pengobatan keracunan serta identifikasi racun.

7. Farmakologi Klinik adalah cabang farmakologi yang mempelajari efek obat pada manusia.

Semua obat pada dasarnya adalah racun yang dapat menimbulkan efek toksik pada dosis

tinggi, sedangkan efek toksik racun terjadi pada dosis yang relatif kecil.

Disamping cabang – cabang tersebut masih ada cabang farmakologi yang lebih spesifik

mempelajari pengaruh obat pada organ atau sistem biologik tertentu atau pada tingkat organisasi

tertentu dari organisme hidup misalnya :

● Organ atau sistem biologik

Kardiovaskuler ------------------------ farmakologi kardiovaskuler

Syaraf ------------------------ neurofarmakologi

Page 4: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

3

● Tingkat organisasi

Sel ------------------------ farmakologi seluler

Molekul biologik ------------------------ farmakologi molekuler

III. KLASIFIKASI OBAT

Klasifikasi obat dapat dilakukan menurut beberapa cara :

1. Struktur kimia

Contoh : asam (asetosal, asam mefenamat), alkohol (etanol, methanol), enol (vit. C), amin

(epinefrin).

2. Efek farmakologi

a. Obat farmakodinamik (mis. Asetosal dan Morfin)

b. Obat khemoterapetik (mis. Penisilin)

c. Hormon (mis. Insulin)

d. Zat diagnostik (mis. Barium sulfat)

3. Cara kerja

a. Nonspesifik struktural (mis. Eter)

b. Spesifik struktural (mis. Antihistamin)

IV. NAMA OBAT

Obat pada umumnya mempunyai lebih dari satu nama yang dapat dibedakan menjadi nama

umum (generik) atau nonproprietary name dan nama paten (dagang) atau proprietary name. Nama

umum biasanya berupa nama resmi (tercantum dalam kompedia resmi, mis. Farmakope) atau nama

kimia.

Contoh : Asetosal (nama umum)

Acidum acetylosalicylicum (nama resmi)

Asam 2 – asetoksibenzoat (nama kimia)

Aspirin® (Bayer) --------- nama paten

nama generik

Page 5: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

4

II. PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH

Di dalam tubuh obat dapat mengalami berbagai peristiwa. Secara umum peristiwa – peristiwa

yang dialami obat dalam tubuh dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut.

Obat dapat masuk ke dalam aliran darah dengan dua macam cara, yaitu cara langsung

(intravaskuler = iv) misalnya disuntikkan intravenus dan cara tidak langsung (ekstravaskuler = ev)

misalnya melalui mulut (per oral) atau disuntikkan intramuskuler. Pada cara tidak langsung obat

mengalami peristiwa absorpsi terlebih dahulu yaitu perpindahan obat dari tempat pemberian (aplikasi) ke

dalam aliran darah (sirkulasi sistemik).

Di dalam darah kebanyakan obat mengalami pengikatan secara reversibel dengan komponen –

komponen darah terutama albumin. Dengan demikian di dalam, obat terdapat dalam dua bentuk, yaitu

bentuk bebas dan bentuk terikat. Bentuk terikat terjadi karena molekul obat tersebut besar sehingga tidak

bisa menembus membran dan tetap tinggal dalam ruang vaskuler, sedangkan bentuk bebas akan

menembus dinding vaskuler masuk ke dalam jaringan – jaringan dan cairan tubuh lainnya. Peristiwa

penyebaran ini disebut distribusi yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam cairan tubuh lainnya (limfa

dan cairan ekstraseluler), jaringan serta organ – organ. Dalam jaringan obat terikat secara reversibel

dengan komponen – komponen jaringan seperti protein dan lemak jaringan. Jika dalam distribusi ini obat

dapat mencapai tempat kerjanya maka obat itu akan bekerja dan menimbulkan efek yang sering disebut

efek farmakologik atau respon biologik. Efek ini dapat terjadi sebagai akibat interaksi antara obat dengan

reseptornya.

Obat + reseptor kompleks efek

Yang dimaksud dengan kerja obat ialah perubahan kondisi yang dapat menimbulkan efek, sedangkan efek

adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat kerja obat. Efek obat pada hakekatnya

TEMPAT KERJA

(RESEPTOR)

Terikat Bebas

DEPOT JARINGAN

Bebas Terikat

DISTRIBUSI

Darah

Obat Bentuk

sediaan

ABSORPSI EKSKRESI Obat Bebas

Obat Terikat Metabolit

BIOTRANSFORMASI

SIRKULASI

SISTEMIK

Page 6: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

5

merupakan perubahan fungsi secara kuantitatif (bukan kualitatif) yang dapat berupa kontraksi otot, sekresi

oleh kelenjar, pelepasan hormon, perubahan dalam aktivitas saraf, perubahan dalam kecepatan

pembelahan sel, atau kematian sel.

Di dalam organ tertentu seperti hati, obat dapat mengalami perubahan kimiawi menjadi senyawa

lain. Peristiwa ini disebut biotransformasi dan senyawa hasil biotransformasi disebut metabolit. Jika

dibandingkan dengan senyawa induk atau asalnya (parent substance), aktivitas farmakologik metabolit

dapat berbeda secara kuantitatif atau kualitatif. Biotransformasi di dalam hati ini dapat terjadi setelah obat

di absorpsi dari saluran cerna sebelum mengalami distribusi ke seluruh tubuh. Peristiwa ini disebut first

pass effect atau efek lintas pertama.

Karena obat merupakan senyawa asing yang secara normal tidak dibutuhkan tubuh, pada akhirnya

obat akan dikeluarkan. Peristiwa ini dikenal sebagai ekskresi yaitu perpindahan obat dari darah ke dalam

cairan (urin,keringat) atau organ ekskretori (paru, empedu, ginjal). Organ yang mempunyai peranan

penting dalam ekskresi adalah ginjal karena hampir semua obat diekskresikan melalui organ ini. Bentuk

obat yang dikeluarkan dari tubuh kita bisa berupa obat yang belum atau tidak berubah (senyawa

induknya) dan metabolitnya.

Peristiwa – peristiwa yang dialami obat setelah masuk ke dalam darah atau setelah diabsorpsi

sering disebut disposisi. Di samping itu biotransformasi dan ekskresi sering digabungkan menjadi

eliminasi. Penggabungan menjadi eliminasi ini didasarkan kenyataan bahwa biotransformasi dan ekskresi

mengakibatkan pengurangan jumlah obat dalam tubuh.

Page 7: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

6

III. TRANSPORT OBAT

Dalam tubuh, obat mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lain. Jika perpindahan ini

disertai dengan penembusan membrane biologik, maka peristiwa ini disebut transport atau biotransport.

Transport terjadi dalam proses absorpsi, distribusi dan ekskresi.

I. Membran Sel

Membran sel ialah organel yang memisahkan isi sel dari lingkungan sekitarnya. Susunan

kimiawi membran sel (manusia atau hewan) terdiri dari protein dan lipid (terutama kolesterol dan

fosfolipid). Senyawa – senyawa ini seperti halnya protein mempunyai gugus yang dapat membentuk

ikatan ionik atau hidrogen dengan gugus yang sesuai.

Membran sel tidak bersifat inert, tetapi mempunyai fungsi spesifik. Sifat –sifat membran sel

ialah semipermeabel, mempunyai tegangan muka yang sangat rendah dan memiliki tegangan listrik

yang disebut potensial membran.

II. Mekanisme Transport

Obat dapat menembus membran biologik dengan beberapa cara yang dibagi menjadi dua

golongan yaitu transport yang tidak diperantarai pembawa dan transport yang diperantarai pembawa

(carrier-mediated transport).

1. Difusi sederhana atau difusi pasif

Difusi sederhana sering juga disebut difusi nonionik yaitu difusi yang umumnya terjadi pada

absorpsi dan distribusi obat. Mula – mula obat harus berada dalam larutan air pada permukaan

membran sel, kemudian molekul obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak

membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah

taraf mantap (steady state) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi membran akan sama.

Difusi sederhana dapat digambarkan dengan bagan sebagai berikut :

X

(obat)

C1 C2

luar membran dalam

X

C1 > C2

Page 8: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

7

Seperti diketahui bahwa sebagian besar obat berupa elektrolit lemah yang ionisasinya dapat

dinyatakan sbb :

asam lemah HA H+ + A

-

basa lemah BOH B+

+ OH-

Bentuk molekul mudah larut dalam lipid, sedangkan bentuk ionnya sukar atau tidak larut

dalam lipid. Mekanisme ini sangat penting karena sebagian besar obat diabsorpsi secara difusi

sederhana. Obat – obat yang diabsorpsi dengan mekanisme ini antara lain elektrolit organik

lemah (asam dan basa), nonelektrolit organik (alkohol) dan glikosida jantung. Difusi sederhana

juga dijumpai antara lain pada perpindahan obat dari darah menembus plasenta dan reabsorpsi

obat dari filtrat glomeruler dalam proximal tubule ginjal.

2. Transport konvektif

Dalam transport ini obat yang terlarut dalam medium berair pada tempat absorpsi bergerak

bersama zat pelarutnya (solven) menembus membran melalui pori. Ion (jika muatan listriknya

berlawanan dengan muatan dari dinding yang membatasi pori) maupun molekul netral dapat

melalui pori. Karena diameter pori 7 – 10 A, hanya molekul yang diameternya lebih kecil dapat

menembus membran melalui pori ini. Proses transport ini mirip proses filtrasi yang

kecepatannya tergantung antara lain koefisien filtrasi dan aliran medium.

Transport konvektif dijumpai misalnya pada absorpsi obat yang berupa elektrolit anorganik

dan organik dengan bobot molekul kecil (150 – 400), ion – ion yang muatannya berlawanan

dengan pori dan sulfonamida terionisasi. Ekskresi obat melalui glomerulus juga terjadi dengan

mekanisme ini.

(molekul) (ion)

(molekul) (ion)

luar membran dalam

X

(obat)

X

C1 C2

C1 > C2

Page 9: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

8

3. Transport aktif

Transport obat secara aktif biasanya terjadi pada sel saraf, hati dan tubuli ginjal. Proses ini

membutuhkan energi yang diperoleh dari aktivitas membran sendiri, sehingga zat dapat bergerak

melawan perbedaan kadar atau potensial listrik. Selain dapat dihambat secara kompetitif,

transport aktif ini bersifat selektif dan memperlihatkan kapasitas maksimal (dapat mengalami

kejenuhan). Beberapa obat bekerja mempengaruhi transport aktif zat – zat endogen dan transport

aktif suatu obat dapat pula dipengaruhi obat lain.

Transport aktif mempunyai ciri – ciri sebagai berikut :

a. Obat dapat bergerak melawan gradien kadar atau elektrokimiawi (jika obat berupa ion).

b. Obat membutuhkan suatu zat yang berfungsi sebagai pembawa.

c. Prosesnya dapat mengalami kejenuhan (saturasi).

d. Berlangsungnya transport aktif membutuhkan energi; oleh karena itu zat – zat yang bersifat

sebagai racun metabolisme (misalnya sianida, fluorida, dinitrofenol dan iodoasetat) dan

hipoksia dapat menghambat transport ini,

e. Transport aktif bersifat struktural spesifik, antara senyawa – senyawa yang strukturnya

saling berkompetisi.

f. Prosesnya berjalan satu arah (unidirectional)

Proses transport dapat digambarkan dengan bagan sbb :

Mekanisme transport aktif misalnya pada absorpsi ion Na, K, I, Fe dan Ca, monosakarida

(heksosa), asam amino, senyawa fosfat organik, senyawa basa pirimidina, vitamin B, hormon

kelamin (testosteron-estradiol), dan 5 – fluorourasil. Disamping itu transport aktif juga dijumpai

pada sekresi obat (asam atau basa) dari dalam darah ke proximal tubule ginjal.

4. Difusi fasilitatif

Difusi fasilitatif (facilitated diffusion) adalah suatu proses transport yang terjadi dengan

bantuan suatu faktor pembawa (carrier) yang merupakan komponen membran sel tanpa

menggunakan energi sehingga tidak melawan perbedaan kadar maupun potensial listrik. Proses

luar membran dalam

X

(obat)

X

C1 C2

C1 > C2

CX

CX

C

E = energi ; C = carrier (pembawa)

E

Page 10: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

9

ini juga bersifat selektif, terjadi pada zat endogen yang transportnya secara difusi biasa terlalu

lambat, misalnya masuknya glukosa ke dalam sel perifer. Mekanisme absorpsi ini mirip dengan

transport aktif, perbedaannya ialah obat bergerak sejalan dengan gradien kadar.

Contoh klasik difusi fasilitatif ialah absorpsi vitamin B12 dari saluran cerna. Vitamin ini

lebih dahulu membentuk kompleks dengan faktor intrinsik yang dihasilkan oleh dinding

lambung. Kemudian kompleks ini berikatan dengan pembawa dan selanjutnya ikatan ini di

absorpsi secara difusi fasilitatif. Kekurangan vitamin B12 menyebabkan timbulnya anemia

pernisiosa dan salah satu faktor penyebabnya ialah tidak adanya faktor intrinsik. Contoh lain

difusi fasilitatif adalah masuknya glukosa ke dalam eritrosit.

5. Transport pasangan ion

Senyawa – senyawa yang terionisasi kuat seperti senyawa amonium kuaterner dan asam

sulfonat, membentuk kompleks dengan senyawa endogen yang muatannya berlawanan dan

berasal dari saluran cerna misalnya musin. Kompleks yang bersifat netral, larut dalam lipid dan

air ini selanjutnya menembus membran (diabsorpsi) secara difusi sederhana.

6. Pinositosis

Pinositosis disebut juga transport korpuskuler atau partikulat. Prosesnya seperti fagositosis

yaitu ”penelanan” bakteri oleh leukosit. Cara transport pinositosis adalah dengan membentuk

vesikel, misalnya makromolekul seperti protein. Jumlah obat yang diangkut dengan cara ini

sangat sedikit.

luar membran dalam

X

(obat)

X

C1 C2

C1 > C2

CX

CX C

C = carrier (pembawa)

luar membran dalam

ion organik

- << +

Kompleks Difusi pasif Disosiasi

Page 11: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

10

Mekanisme ini dijumpai pada absorpsi vitamin – vitamin yang larut lemak (vitamin A, D, E

dan K), asam lemak dan asam amino. Termasuk telur parasit dapat menembus membran secara

pinositosis. Terhadap senyawa – senyawa lain peranan mekanisme ini belum diketahui.

Pinositosis inilah yang mungkin dapat menjelaskan mengapa vaksin polio efektif walaupun

diberikan secara oral.

Page 12: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

11

IV. ABSORPSI

Efek farmakologi suatu obat akan muncul setelah obat itu dalam jumlah yang memadai dapat

mencapai tempat kerjanya. Jika hal ini melibatkan aliran darah, kecepatan mencapai tempat kerjanya obat

tergantung pada kecepatan absorpsi (kecuali jika obat dimasukkan langsung ke dalam pembuluh darah)

dan proses ini ditentukan antara lain oleh cara pemberian obat.

I. Absorpsi

Absorpsi obat adalah peristiwa perpindahan/penyerapan obat dari tempat pemberian

(aplikasi) ke dalam sirkulasi sistemik. Tempat absorpsi dapat terjadi misalnya pada kulit, saluran

cerna dan paru. Adapun mekanismenya bisa dengan cara difusi sederhana, transport aktif, difusi

fasilitatif, transport pasangan ion dan pinositosis. Suatu obat bisa diabsorpsi dengan lebih dari satu

macam mekanisme.

Kecepatan absorpsi obat secara garis besar tergantung dari cara pemberian, faktor obat dan

faktor hayati. Untuk mengukur kecepatan absorpsi obat dapat dilakukan secara in vitro (misalnya

metoda kantong usus), in situ (misal metode Doluisio) dan in vivo (misalnya dengan mengukur

kecepatan timbulnya efek atau memantau kadar obat dalam darah selama waktu tertentu). Sebagai

ukuran absorpsi adalah bioavailibilitas atau ketersediaan hayati yaitu kecepatan dan jumlah obat

yang diabsorpsi.

II. Cara Pemberian Obat

Obat dapat diberikan dengan berbagai macam – macam cara yang dapat dibagi menjadi dua

golongan yaitu cara enteral dan parenteral.

Cara enteral adalah cara pemberian obat melalui jalur saluran cerna atau saluran

gastrointestinal (oral). Saluran ini dimulai dari rongga mulut sampai poros usus (rektum). Cara

enteral yang biasa dilakukan meliputi cara dengan menelan obat (oral/per oral), menempatkan obat

di bawah lidah (sublingual) dan memasukkan obat ke dalam rektum (rektal).

Cara parenteral adalah cara pemberian obat di luar saluran cerna. Cara ini meliputi antara

lain pemberian dengan mengoleskan obat pada kulit (topikal), penyuntikan (injeksi) dan penempatan

obat melalui paru (inhalasi). Jika dikaitkan dengan sistem vaskuler, pemberian obat dapat

diklasifikasikan ke dalam cara intravaskuler yaitu menempatkan obat langsung ke dalam aliran

darah misalnya cara intravenus (iv) dan cara ekstravaskular misalnya cara oral dan cara

intramuskular (im).

Efek obat jika dikaitkan dengan sistem vaskuler, dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu

efek lokal dan efek sistemik. Efek lokal ialah efek yang timbul tanpa memerlukan intervensi sistem

vaskuler untuk menghantarkan obat mencapai tempat kerjanya. Sebaliknya efek sistemik ialah efek

yang timbul setelah obat masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan didistribusikan oleh darah menuju

tempat kerjanya.

Page 13: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

12

1. Cara Enteral

Cara pemberian obat secara enteral yang paling sering digunakan dalam pengobatan adalah

cara oral.

A. Cara oral

Sebagian besar obat yang ditujukan untuk mendapatkan efek sistemik diberikan secara

oral, hanya sebagian kecil saja obat yang diberikan secara oral itu ditujukan untuk bekerja

dalam saluran cerna seperti obat cacing dan antasida. Kerja obat golongan ini tidak

memerlukan absorpsi dari saluran cerna.

Absorpsi obat yang diberikan secara oral dapat terjadi dalam lambung dan usus

tergantung dari sifat obatnya. Dalam hal ini usus halus mempunyai peranan yang sangat

penting karena usus halus mempunyai permukaan absorpsi yang sangat luas karena adanya

villi dan di dalam usus halus tersedia banyak mekanisme absorpsi.

Perjalanan obat yang diberikan secara oral untuk tujuan sistemik digambarkan sebagai

berikut :

Di dalam saluran cerna seperti dinding usus atau hati, obat tertentu (mis. Testoteron)

dapat mengalami perusakan menjadi senyawa lain yang aktivitas farmakologinya lebih

lemah. Perubahan yang dialami obat dalam saluran cerna ini dapat disebabkan oleh pengaruh

pH lingkungan, enzim pencernaan dan flora usus.

Pemberian obat secara oral lebih disukai pasien daripada cara lain karena relatif aman,

praktis dan ekonomis. Namun perlu diingat bawa cara peroral juga mempunyai kelemahan

sebagai berikut :

1) Timbulnya efek obat lambat.

2) Cara oral ini tidak memberikan manfaat bagi pasien yang sering muntah, menderita

diare, tidak sadar atau tidak kooperatif (misalnya penderita sakit jiwa).

3) Untuk obat – obat yang bersifat iritatif dan rasanya tidak enak jangan diberikan secara

oral.

4) Pemberian secara oral ini tidak memberikan manfaat jika obat yang diberikan itu

mengalami peruraian oleh cairan lambung atau usus (misalnya penisilin – G dan

Obat

(dalam saluran

cerna)

[ v. portal ]

hati [ v. hepatika ] jantung

ke seluruh tubuh Dinding usus

Page 14: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

13

insulin) yang akan mengalami perubahan secara intensif menjadi bentuk inaktif

sebelum mencapai sirkulasi sistemik.

Absorpsi obat yang diberikan secara oral dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain :

a. Kecepatan Disolusi

Jika obat diberikan secara oral dalam bentuk sediaan padat seperti tablet,

kecepatan absorpsinya seringkali dikendalikan oleh kecepatan pelarutan obat (disolusi)

dalam cairan tempat absorpsi. Dengan kata lain, kecepatan disolusi merupakan faktor

pembatas kecepatan absorpsi. Kecepatan disolusi antara lain dipengaruhi oleh luas

permukaan obat yang melarut.

b. Ukuran Partikel

Obat – obat yang sukar larut dalam air dapat disebabkan oleh ukuran partikel

sehingga mempengaruhi absorpsinya. Jadi suatu tablet yang mengandung senyawa

aktif dalam bentuk agregat besar tidak mudah melarut dalam cairan pada tempat

absorpsi, akibatnya jumlah obat yang diabsorpsi sangat sedikit. Ukuran partikel yang

kecil sangat penting pada absorpsi obat kortikosteroida, antibiotika seperti

kloramfenikol, griseofulvin, antikoagulan oral tertentu, tolbutamid dan spironolakton.

c. Kelarutan Dalam Lipid atau Air

Cairan absorpsi sebagian besar terdiri dari air, sedangkan membran sel bersifat

lipoid. Agar dapat diabsorpsi obat harus dapat larut dalam air maupun lipid. Sifat ini

sering dinyatakan dengan koefisien partisi (lipid/air). Namun demikian, koefisien

partisi yang besar belum menjamin absorpsinya, karena untuk dapat diabsorpsi obat

harus dapat larut dalam air dengan jumlah tertentu. Bagi obat – obat yang tidak larut

dalam air seperti vitamin – vitamin yang larut dalam lipid, garam empedu dapat

membantu absorpsinya dengan jalan membentuk emulsi.

d. Kadar

Semakin tinggi kadar obat pada tempat absorpsi, semakin besar gradien kadar.

Hal ini mengakibatkan semakin cepatnya absorpsi.

e. Luas Permukaan Absorpsi

Obat lebih mudah diabsorpsi dari usus halus daripada dalam lambung karena

permukaan absorpsi usus halus lebih luas daripada lambung. Berkurangnya luas

permukaan absorpsi ini dapat terjadi karena operasi atau pada ”sprue”.

f. Ionisasi

Kebanyakan obat pada umumnya berupa elektrolit lemah. Oleh karena itu

derajat ionisasi dipengaruhi oleh pH lingkungan. Dalam larutan, obat berada dalam dua

Page 15: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

14

bentuk yaitu bentuk terion yang mudah larut dalam air tetapi kurang larut dalam lipid

dan bentuk tak terion yang lebih mudah larut dalam lipid daripada dalam air. Bentuk

tak terion lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk terion.

Obat – obat yang bersifat asam lemah dalam lambung lebih banyak berbentuk

tak terion daripada dalam usus yang bersifat basa. Obat – obat yang bersifat asam

lemah tersebut lebih mudah diabsorpsi di dalam lambung daripada dalam usus.

Sebaliknya obat – obat yang bersifat basa lemah tidak (atau sangat sedikit) diabsorpsi

sampai obat itu mencapai usus.

Obat – obat seperti streptomisin, neomisin dan sulfaguanidin bersifat basa kuat.

Di dalam usus kadar bentuk tak terionnya sangat rendah. Oleh karena itu absorpsi

obat – obat tersebut dari saluran cerna sangat buruk. Hal yang sama juga bagi

obat – obat yang bersifat asam kuat.

Dari uraian di atas faktor – faktor yang menyebabkan perubahan pH lingkungan

cerna dapat mempengaruhi absorpsi obat.

g. Kecepatan Aliran Darah

Aliran darah pada daerah sekitar tempat absorpsi berfungsi mengambil obat

yang terabsorpsi dan selanjutnya didistribusikan. Dengan demikian aliran darah

membantu mempertahankan gradien kadar sehingga absorpsi dapat berlangsung terus.

Semakin cepat aliran darah semakin cepat absorpsinya.

h. Bentuk Sediaan

Secara umum urutan kecepatan absorpsi obat dari berbagai sediaan dinyatakan

sebagai berikut :

larutan > suspensi > kapsul > tablet > tablet salut

i. Integritas Fungsional Saluran Cerna

Meningkatnya aktivitas peristaltik saluran cerna seperti pada diare dapat

mengurangi absorpsi obat. Hal ini disebabkan waktu kontak obat dengan tempat

absorpsi terlalu singkat. Obat – obat antikolinergik misalnya propantelin, yang

mengurangi kecepatan pengosongan lambung dapat menurunkan absorpsi parasetamol

(asam lemah dengan pKa = 9,5), sebaliknya metoklorpramid yang mempercepat

pengosongan lambung meningkatkan absorpsinya.

j. Pengaruh Makanan

Banyak obat yang absorpsinya lambat jika diberikan bersama makanan.

Peristiwa ini terutama disebabkan efek penghambatan pengosongan lambung oleh

makanan. Pengaruh makanan terhadap absorpsi obat ini tergantung pada volume,

viskositas isi lambung serta tonisitasnya. Absorpsi lebih cepat jika obat diberikan

Page 16: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

15

sebelum makan, tetapi obat – obat iritan seperti asam salisilat dan garam besi sengaja

diberikan setelah makan untuk memperkecil atau menghindari kemungkinan iritasi

lambung.

k. Pengaruh Obat Lain

Vitamin C dapat meningkatkan absorpsi besi dari saluran cerna, sedangkan fitat

mencegahnya. Absorpsi vitamin – vitamin yang larut dalam lipid akan menurun jika

diberikan bersama parafin cair, dan absorpsi kolesterol dikurangi oleh sitosterol.

Kalsium yang terdapat dalam susu dapat membentuk kompleks yang tidak larut dengan

antibiotika golongan tetrasiklin dan berakibat mengurangi absorpsi antibiotika yang

bersangkutan.

B. Cara sublingual

Melalui cara ini, obat diletakkan di bawah lidah yang kaya akan pembuluh darah.

Keuntungan cara sublingual ini ialah obat dapat memberikan efek secara cepat, mencegah

kerusakan obat dalam saluran cerna dan biotransformasi dalam dinding usus serta hati dapat

dihindari karena obat yang terabsorpsi tidak melewati vena portal. Contoh obat yang

diberikan sublingual adalah nitrogliserin dan isosorbid dinitrat (ISDN) untuk mengobati

angina pektoris dan isoprenalin yang ditujukan untuk pengobatan asma bronkhial.

C. Cara rektal

Obat – obat tertentu diberikan secara rektal yang biasanya dalam bentuk supositoria

dengan tujuan untuk pengobatan lokal (misalnya pengobatan wasir) atau efek sistemik.

Pemberian obat secara rektal dengan tujuan sistemik ini ditempuh jika pemberian secara oral

mengalami kesulitan atau tidak dapat dilakukan karena obat bersifat iritatif terhadap

lambung, terurai di dalam lambung atau usus halus dan mengalami perubahan di dalam hati

(biotransformasi) sebelum masuk sirkulasi sistemik. Adapun obat – obat yang diberikan

secara rektal untuk tujuan sistemik misalnya asetosal, parasetamol, indometasin, teofilin dan

golongan barbiturat tertentu.

Absorpsi obat menembus mukosa rektum pada umumnya secara difusi sederhana/pasif.

Adapun faktor – faktor yang berpengaruh antara lain :

a. Bentuk Sediaan

Absorpsi obat dari rektum umumnya lebih cepat dan efisien jika diberikan

dalam bentuk larutan daripada dalam bentuk supositoria.

b. Materi Tinja

Adanya materi tinja dalam rektum menghambat absorpsi obat. Absorpsi lebih

cepat dan efisien jika dilakukan pembersihan dahulu dengan enema evakuan sebelum

pemberian obat.

Page 17: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

16

c. Basis Supositoria

Beberapa basis supositoria seperti carbowax bersifat iritatif terhadap rektum

dan memacu defekasi yang dapat mengakibatkan hilangnya obat.

d. Pelepasan Obat

Lambatnya pelepasan obat dari basis akan menyebabkan rendahnya

bioavailabilitas obat dalam bentuk supositoria.

2. Cara Parenteral

Melalui cara ini, obat ditempatkan atau dimasukkan ke dalam bagian tubuh selain saluran

cerna. Secara umum cara ini mempunyai keuntungan yaitu :

1) Cara parenteral dapat digunakan untuk pasien yang tidak sadar, sering muntah, diare,

mengalami kesulitan dalam menelan dan pasien yang tidak kooperatif.

2) Cara parenteral dapat dipergunakan untuk obat – obat yang mengiritasi lambung atau tidak

diabsorpsi dari saluran cerna.

3) Cara parenteral dapat menghindari kerusakan obat dalam saluran cerna dan hati (first pass

effect).

4) Obat yang diberikan secara parenteral dapat bekerja secara cepat dan ekonomis.

Cara parenteral agak berbahaya ini terutama suntikan karena dapat menyebabkan infeksi jika

dilakukan secara tidak benar.

A. Cara inhalasi

Pemberian obat secara inhalasi adalah cara pemberian dengan jalan memasukkan obat

ke dalam saluran nafas. Cara pemberian ini dapat digunakan untuk efek lokal atau sistemik.

Absorpsi obat melalui paru berlangsung cepat. Kadar obat (gas atau uap) dapat dikontrol

dengan mudah karena absorpsi dan ekskresi obat melalui paru tunduk pada hukum – hukum

gas.

Obat yang terabsorpsi melalui paru langsung masuk ke dalam atrium kiri melalui vena

pulmonal, maka pemberian obat secara inhalasi bisa menyebabkan toksisitas jantung. Di

samping itu timbulnya iritasi lokal dapat meningkatkan sekresi saluran nafas.

Obat – obat yang diberikan secara inhalasi dapat berupa gas, uap atau aerosol (yaitu

suspensi cairan atau zat padat dalam udara). Conroh obat yang diberikan secara inhalasi

adalah gas oksigen untuk menanggulangi anoksia, uap eter untuk anestesi, amilnitrit (uap)

untuk mengobati angina pektoris dan adrenalin (sebagai aerosol) untuk mengobati asma

(efek lokal).

Page 18: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

17

B. Pemberian obat pada kulit

Obat – obat yang diberikan dengan cara ini pada umumnya untuk efek lokal yaitu

mengobati gangguan pada kulit. Sediaan obat untuk tujuan efek lokal ini misalnya bedak

tabur, salep dan krim, cairan dan aerosol.

Sekarang dikembangkan juga transdermal therapeutic system atau teknik pemberian

obat pada kulit untuk tujuan terapi sistemik. Contoh obat dengan sediaan transdermal

misalnya skopolamin untuk mengobati mabuk perjalanan dan nitrogliserin untuk mencegah

angina.

Absorpsi obat melalui kulit (absorpsi perkutan) tergantung pada sifat fisikokimiawi

obat, kondisi kuli dan jenis bahan pembantu. Penghalang utama penetrasi obat menembus

kulit adalah stratum corneum yaitu lapisan sebelah luar epidermis yang mengandung zat

tanduk. Hilangnya lapisan ini akan meningkatkan absorpsi obat.

C. Secara suntikan (injeksi)

Pemberian obat dengan cara suntikan ditempuh bila obat tidak diabsorpsi dari saluran

cerna atau dibutuhkan kerja obat secara cepat misalnya pada situasi akut.

a. Intradermal (dalam lapisan kulit)

Melalui cara ini, obat dimasukkan ke dalam lapisan kulit (dermis). Contoh

vaksin cacar dan vaksin BCG. Suntikan ini menimbulkan rasa sakit dan hanya

sejumlah kecil cairan dapat dimasukkan dengan cara ini. Cara intradermal ini juga

digunakan untuk uji sensitivitas.

b. Subkutan/ s.k. (di bawah kulit)

Hanya obat yang bersifat tidak iritatif yang boleh diberikan secara subkutan.

Absorpsi obat yang diberikan subkutan lebih kecil jika dibandingkan dengan cara

intramuskuler. Hal ini disebabkan suplai darah dalam jaringan ini lebih sedikit

daripada dalam jaringan otot, namun demikian kerja obat yang diberikan dengan cara

ini bisa berlangsung terus menerus dan uniform. Absorpsi obat dari jaringan subkutan

dapat ditingkatkan dengan cara pemijatan, penghangatan untuk meningkatkan aliran

darah menuju tempat injeksi atau menambah enzim hialuronidase ke dalam larutan

obat. Enzim ini akan menguraikan asam hialuronat jaringan ikat sehingga penyebaran

obat menjadi lebih luas.

Absorpsi obat dapat diperlambat dengan penambahan suatu vasokontriktor

seperti epinefrin ke dalam larutan injeksi. Hal ini biasa dilakukan untuk memperlama

efek lokal obat misalnya prokain dan lidokain untuk anestesi lokal. Obat – obat yang

diberikan dengan cara ini termasuk juga insulin dan hormon steroid (secara

implantasi).

Page 19: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

18

c. Intramuskuler/ i.m. (dalam jaringan otot)

Melalui cara ini, obat dimasukkan ke dalam jaringan otot dan bentuk

sediaannya dapat berupa larutan, suspensi atau koloid. Volume cairan yang diberikan

sebaiknya tidak melebihi 10 mL.

Kecepatan absorpsi obat yang diberikan secara intramuskuler bersifat uniform

dan onsetnya berlangsung cepat. Faktor – faktor yang mempengaruhi kecepatan

absorpsi obat yang diberikan secara intramuskuler antara lain vaskularitas tempat

injeksi, derajat ionisasi dan kelarutan obat dalam lipid, volume larutan dan osmolalitas

larutan.

Tempat penyuntikan umumnya pada pantat (gluteus maximus), lengan bagian

atas (deltoid) dan paha (vastus lateralis).

d. Intravenus/ i.v (dalam vena)

Obat – obat yang langsung dimasukkan ke dalam vena (intravaskuler) bekerja

sangat cepat dan kadar yang dikehendaki dalam darah dapat dicapai dengan dosis yang

tepat. Cara ini berguna untuk memasukkan obat yang iritatif dan larutan hipertonik

karena darah dengan cepat mengencerkannya. Obat – obat yang disuntikkan secara

intravenus harus berupa larutan jernih.

Cara ini harus dilakukan secara hati – hati karena sekali obat masuk dalam

darah tidak dapat ditarik kembali. Iritasi lokal dapat menyebabkan trombosis dan jika

obat masuk ke dalam jaringan di luar vena dapat menimbulkan iritasi hebat misalnya

pada sediaan besi dan mustard nitrogen. Di samping lebih berbahaya, cara ini sukar

dilakukan oleh pasien sendiri.

Hal – hal yang perlu diperhatikan pada pemberian obat secara intravenus :

1) Sebelum obat dimasukkan dicek lebih dahulu apakah ujung jarum benar – benar

dalam vena.

2) Penyuntikan sekurang – kurangnya dilakukan dalam waktu 1 menit, dan untuk

obat – obat tertentu seperti sedian besi dan aminofilin lebih lama lagi. Penyuntikan

secara perlahan – lahan dimaksudkan agar tidak terjadi kenaikan kadar yang

mendadak karena dapat membahayakan.

e. Intra-arterial (dalam arteri)

Pemberian obat secara intra-arterial dapat menyebabkan kenaikan kadar yang

sangat mendadak dalam darah arteri, sehingga membahayakan jaringan yang darahnya

disuplai oleh arteri tersebut. Cara ini biasanya dipergunakan untuk tujuan diagnostik

misalnya angiogram. Obat kanker sering diberikan secara perfusi intra-arterial untuk

melokalisasi bahayanya.

Page 20: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

19

f. Intratekal

Obat yang diberikan secara intratekal misalnya anestetika spinal yang

dimasukkan ke dalam ruang subarakhnoid. Obat bekerja langsung pada sistem saraf

pusat. Sediaan obat yang diberikan dengan cara ini harus benar – benar aseptik.

` g. Intraperitoneal (dalam rongga perut)

Pemberian obat ini diinjeksikan ke dalam rongga perut yang permukaan luas,

dari rongga ini obat diabsorpsi secara cepat.

h. Intramedular (dalam sumsum tulang)

Cara intrameduler adalah cara memberikan obat ke dalam sumsum tulang. Cara

ini jarang dipergunakan dan hanya ditempuh jika memberikan secara intravenus tidak

mungkin dilakukan terutama pada bayi.

i. Intra-artikuler (dalam persendian)

Obat – obatan tertentu diberikan langsung ke dalam persendiaan untuk

pengobatan lokal. Cara ini menjamin kadar obat yang tinggi pada persendian. Obat

yang diberikan secara intra-artikuler misalnya hidrokortison asetat untuk mengobati

rematoid artritis.

Page 21: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

20

V. DISTRIBUSI

Setelah diabsorpsi, obat disebarkan atau didistribusikan dalam tubuh melalui cairan tubuh. Cairan

tubuh inilah yang menghantarkan obat menuju tempat kerjanya. Cairan tubuh pada orang dewasa sehat

kurang lebih 60 % berat badan dengan komposisi sebagai berikut :

Proses distribusi obat pada umumnya berlangsung cepat dan reversibel. Karena sifatnya yang

reversibel inilah maka perubahan kadar obat dalam darah mencerminkan perubahan kadar obat dalam

tempat kerjanya. Distribusi kebanyakan obat berlangsung secara difusi sederhana/pasif.

Kecepatan dan derajat distribusi obat tergantung pada faktor – faktor sebagai berikut :

1) Sifat – sifat fisikokimiawi obat terutama kelarutannya dalam lipid.

2) Distribusi regional aliran darah ke berbagai jaringan dan organ tubuh.

3) Pengikatan obat oleh protein dan konstituen tubuh lainnya.

4) Transport aktif beberapa obat menembus membran sel.

I. Kadar Obat Dalam Darah

Dalam proses absorpsi, obat masuk dari tempat absorpsi ke dalam aliran darah. Kadar obat

dalam darah ini mempunyai arti penting dalam farmakokinetika. Kecepatan perubahan kadar obat

dalam darah tergantung pada kecepatan absorpsi, distribusi dan eliminasi (biotransformasi dan

ekskresi).

II. Kecepatan Aliran Darah

Kecepatan aliran darah ke dalam jaringan dan organ mempunyai peranan penting dalam

proses farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi dan eliminasi. Kecepatan aliran darah meningkat

pada kegiatan fisik seperti olah raga.

III. Hukum Distribusi

Tolok ukur distribusi obat adalah volume distribusi yang merupakan gambaran sejauh mana

obat terdistribusi dalam tubuh.

Cairan badan

(60 % BB)

Cairan intraseluler (33 % BB)

Cairan ekstraseluler (26, 8 % BB)

Plasma (4,3 % BB)

Cairan interstisial (20 % BB)

Cairan trans-seluler (2,5 % BB)

Page 22: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

21

IV. Pengikatan Obat Oleh Material Hayati

Obat dapat mengalami pengikatan oleh material hayati terutama oleh protein di dalam darah

(albumin dan alfa 1-glikoprotein asam) dan jaringan. Pengikatan umumnya bersifat reversibel

(ikatan yang terlibat adalah ikatan lemah) dan tidak spesifik (banyak obat diikat oleh molekul

protein pada tempat yang sama).

Pengikatan obat oleh protein (material hayati) mempunyai arti penting yaitu antara lain :

1) Membantu kecepatan absorpsi obat, terutama obat – obat yang terionisasi kuat dalam saluran

cerna.

2) Membantu pengangkutan obat dan senyawa endogen yang tidak larut dalam air.

3) Membantu meratakan penyebaran obat ke jaringan – jaringan.

4) Membantu memperpanjang efek obat.

Sebagaimana telah diketahui plasma darah mengandung 73 % air, sedangkan sisanya (7 %)

terdiri dari berbagai senyawa terlarut terutama protein. Fraksi utama protein adalah albumin dengan

jumlah kurang lebih 5 % dari plasma. Protein tidak hanya terdapat dalam plasma, tetapi juga dalam

jaringan.

Albumin serum manusia mempunyai BM ± 67.500 dan tersusun dari 20 macam asam amino.

Jenis asam amino dan posisi relatifnya dalam molekul protein menentukan tempat pengikatan.

Dalam darah pada pH = 7,4; molekul albumin mengandung gugus – gugus yang bermuatan positif

dan negatif pada permukaannya. Gugus – gugus itu dapat mengikat ion – ion yang muatannya

berlawanan dengan gaya elektrostatik. Obat – obat asam terikat kuat oleh albumin, biasanya satu

atau dua ikatan pada setiap molekul albumin. Obat – obat yang bersifat basa (bermuatan positif)

terikat pada banyak tempat pada molekul albumin dan ikatan ini bersifat lemah. Pengikatan obat

basa dan protein seringkali tidak mempunyai makna klinis.

Seperti telah dikemukan, disamping albumin terdapat juga fraksi plasma protein lainnya

yang dapat mengikat obat yaitu alfa 1-glikoprotein asam (AAG) yang dikenal juga sebagai

orosomukoid. Protein ini mempunyai BM 41.000 – 45.000 dan terdiri dari polimer linear asam

amino dengan rantai cabang karbohidrat. Kadar AAG dalam plasma biasanya 0,6 – 0,8 %. AAG

hanya mempunyai satu tempat pengikatan yang afinitasnya tinggi terhadap obat basa yang sangat

lipofilik. Obat – obat yang dapat diikat oleh AAG misalnya adalah atenolol, klorpromazin,

diazepam, eritromisin, haloperidol, imipramin dan kuinidin.

Reaksi pengikatan obat oleh protein dapat digambarkan dengan persamaan berikut :

D + P D-P

(Obat) (Protein) (Kompleks Obat – Protein)

Page 23: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

22

Jika dalam peristiwa pengikatan tersebut diatas diterapkan Aksi Massa, maka diperoleh :

K1 [DP]

Ka = =

K2 [D] . [P]

K1 = tetapan kecepatan asosiasi ; K2 = tetapan kecepatan disosiasi ; Ka = tetapan asosiasi ;

[D] = kadar obat bebas ; [P] = kadar protein bebas ; [DP] = kadar kompleks obat – protein

1. Afinitas Obat Terhadap Protein

Afinitas dinyatakan dengan tetapan asosiasi (Ka) yang merupakan rasio tetapan kecepatan

asosiasi (K1) dan tetapan disosiasi (K2). Semakin besar Ka, semakin tinggi afinitas dan semakin

erat pula ikatan antara obat dan protein.

Dalam praktek, afinitas obat terhadap protein dinyatakan dengan fraksi atau persentase obat

yang terikat oleh protein pada kondisi terapetik.

atau

Karena pengikatan bersifat reversibel, maka obat yang terikat pada protein dapat didesak

oleh obat atau senyawa lain yang afinitasnya terhadap protein lebih kuat.

Apabila kadar protein dalam darah menurun misalnya terjadi pada albumin (hipoalbuminemia),

maka jumlah obat yang terikat berkurang. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kadar obat

bebas. Berkurangnya kadar protein dalam plasma dijumpai misalnya pada :

Keadaan

- Penyakit hati

- Trauma

- Luka Bakar

- Penyakit Ginjal

Mekanisme

- Menurunnya sintesis protein

- Meningkatnya katabolisme protein

- Distribusi albumin ke dalam ruang ekstravaskuler

- Eliminasi protein yang berlebihan

Disamping menurunnya kadar protein dalam darah, berkurangnya kemampuan albumin

mengikat obat dapat disebabkan oleh perubahan molekul albumin, adanya inhibitor endogen

misalnya asam lemak bebas dan asidosis metabolik.

Obat yang terikat pada protein dapat didesak dari ikatannya oleh obat atau senyawa lain yang

lebih kuat afinitasnya terhadap protein.

[DP]

fb =

[D]T

[DP]

fb =

[D] + [DP]

% obat terikat = fb x 100 %

fb = fraksi obat yang terikat protein ; [D]T = kadar obat total

Page 24: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

23

2. Jumlah Tempat Pengikatan

Semakin banyak tempat pengikatan pada molekul protein, semakin banyak obat yang dapat

diikat.

D(n) + P D(n) – P

Pada umumnya satu molekul protein dapat mengikat satu atau dua molekul obat.

3. Kadar Protein

Meningkatnya kadar protein menaikkan pula jumlah tempat pengikatan yang tersedia untuk

mengikat obat. Pada kadar obat tetap, jumlah obat yang terikat ditentukan oleh kadar protein.

Jika kadar protein meningkat, maka meningkat pula jumlah obat yang diikat oleh protein. Pada

saat eliminasi, peningkatan kadar protein tidak lagi berpengaruh terhadap jumlah obat yang

diikat.

4. Kadar Obat

Pada kadar protein tetap, peningkatan kadar obat akan menurunkan fraksi obat yang terikat.

Pada beberapa penyakit misalnya tumor ganas, mialgia, neurosis, psikosis, schizoperenia dan

paranoia dijumpai hiperalbuminemia.

Pengikatan obat oleh material hayati berpengaruh terhadap volume distribusi (Vd) obat.

Semakin banyak obat terikat oleh protein plasma, maka semakin kecil volume distribusinya.

Sebaliknya semakin banyak obat terikat oleh protein (material hayati) jaringan, semakin besar

Vd-nya.

V. Pendesakan

Seperti telah dikemukan, pengikatan obat oleh material hayati pada umumnya bersifat tidak

spesifik dan reversibel. Oleh karena itu, obat yang terikat pada protein dapat didesak oleh obat lain

yang afinitasnya terhadap protein lebih kuat daripada afinitas obat yang terikat.

VI. Penyimpanan Obat Dalam Jaringan

Suatu obat atau senyawa dapat disimpan dalam jaringan khusus. Penyimpanan ini bersifat

reversibel. Banyaknya obat yang tersimpan ini tergantung pada afinitas konstituen sel dari jaringan

terhadap obat dan suplai darah menuju jaringan. Heparin misalnya, disimpan dalam hati dan 4 jam

setelah pemberian, kadar obat itu mencapai kurang lebih 200 kali kadarnya di dalam. Vitamin B12

juga disimpan dalam hati. Iodium diambil dari darah oleh kelenjar gondok, kemudian disimpan

sebagai hormon tiroid. Jaringan lemak dapat menyimpan obat – obat yang sangat larut di dalam

lipid, misalnya obat turunan barbiturat. Obat ini nantinya akan dilepaskan kembali secara perlahan –

lahan.

Page 25: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

24

VII. Perpindahan Obat Menembus Plasenta

Perpindahan obat menembus plasenta terutama terjad secara difusi sederhana. Kelarutan

dalam lipid, pKa dan pengikatan oleh protein baik dalam badan induk (ibu) dan janin merupakan

faktor penentu kecepatan dan banyaknya obat yang ditransfer ke dalam janin. Obat – obat yang

dapat menembus plasenta meliputi hampir semua antibiotika, anestetika, glikosida jantung,

kortikosteroid, simpatomimetika, sulfonamida dan pada umumnya obat. Disamping secara difusi

sederhana, senyawa – senyawa endogen termasuk vitamin B, asam amino, ion anorganik dan

senyawa turunan pirimidin dapat menembus plasenta secara transport aktif.

Pemberian obat kepada wanita hamil perlu perhatian khusus karena obat yang diberikan itu

dapat mempengaruhi perkembangan janin yang dikandungnya. Tentang derajat pengaruh obat

terhadap janin ditentukan jenis obat, dosis dan waktu pemberian. Pemberian obat kepada wanita

hamil dalam trimester pertama dapat mempengaruhi perkembangan organ – organ janin. Seperti

diketahui, trimester pertama adalah masa pembentukan organ atau organogenesis. Contoh klasik

ialah tragedi talidomid yang terjadi dalam tahun 1960. Obat tersebut diperkenalkan sebagai obat

penenang dan hipnotika. Kemudian diketahui bahwa wanita – wanita yang menggunakan talidomid

semasa kehamilannya melahirkan bayi dengan anggota badan yang tidak sempurna.

Pemberian hormon adrogen mengakibatkan maskulinisasi janin wanita. Penggunaan tetrasiklin yang

berlebihan pada masa kehamilan dapat mengganggu perkembangan tulang janin dan menyebabkan

perwarnaan kuning/coklat pada gigi. Peristiwa ini terjadi karena tetrasiklin dideposisi pada tulang.

Jika pemberian obat dalam trimester pertama menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan

perkembangan organ, maka pemberian obat pada trimester terakhir dapat mengganggu fungsi vital

fetus. Pemberian morfin selama melahirkan dapat menyebabkan asfiksia. Antikoagulan

mengakibatkan perdarahan fatal pada bayi yang baru lahir (neonatus) dan radioiodin (131

I)

menyebabkan kretinisme. Obat – obat antitiroid menyebakan timbulnya gondok. Pemberian

obat – obat sulfonilurea dapat menyebabkan hipoglikemia dan kematian intrauterin.

VIII. Distribusi Obat Ke Dalam Sistem Saraf Pusat (SSP)

Otak merupakan organ yang sangat sulit dimasuki obat, antara lain karena di dalam otak ada

semacam penghalang yang dikenal sebagai blood brain barrier (BBB). Penghalang ini sebenarnya

selubung pembuluh darah yang berasal dari perpanjangan sel khusus di dalam otak yang disebut

lastrosit. Sehingga untuk dapat meninggalkan darah, obat harus menembus dinding kapiler dan

BBB. Obat – obat yang tidak dapat masuk ke dalam otak misalnya sulfonamida, ganetidin dan

debrisokuin. Sebaliknya obat – obat yang sangat larut dalam lipid seperti alkohol, barbiturat dan

anestetika umum, dengan mudah menembus penghalang untuk masuk ke dalam otak dan

menimbulkan efek. Glukosa yang sangat sukar larut dalam lipid dapat masuk ke dalam otak melalui

transport aktif.

Page 26: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

25

IX. Redistribusi

Tiopental adalah anestetik yang bekerja cepat namun durasinya sangat pendek. Jika

diberikan secara intravena maka pasien akan cepat tertidur dan setelah lebih 10 menit pasien itu

akan sadar kembali. Pada awalnya, durasi efek yang sangat pendek ini diduga karena tiopental

mengalami perubahan yang sangat cepat, namun kemudian diketahui bahwa biotransformasinya

sangat lambat, hanya 10 - 15 % obat diubah menjadi metabolit yang inaktif dalam waktu satu jam.

Hal ini berarti bahwa dalam 10 menit sebagian besar obat masih berada dalam badan sebagai

tiopental. Kemudian diketahui bahwa durasi efek tiopental yang sangat pendek tersebut bukan

karena obat mengalami biotransformasi secara intensif tetapi karena terjadinya redistribusi yaitu

perpindahan obat dari tempat kerjanya (otak) ke dalam otot, kulit dan jaringan lemak.

Page 27: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

26

VI. BIOTRANSFORMASI DAN METABOLISME

I. Definisi dan Pengertian Biotransformasi

Sudah diketahui sejak lama bahwa substansi kimiawi dapat merubah/mempengaruhi fungsi

fisiologis normal tubuh hewan dan manusia (Claude Bernard, 1763 – 1855). Namun baru

belakangan diketahui pula bahwa kontak dengan materi biologis dapat mempengaruhi struktur

substansi kimiawi tersebut.

Biotransformasi atau metabolisme obat secara sederhana didefinisikan sebagai perubahan

yang dialami senyawa kimia karena aktivitas materi biologis (enzim) atau dengan kata lain proses

perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim.

II. Peran Metabolisme Terhadap Nasib Obat Dalam Badan

1. Molekul metabolit menjadi lebih polar daripada molekul obat induknya

Metabolit pada umumnya cenderung lebih mudah terionisasi pada pH fisiologis, dengan

demikian metabolit lebih mudah diekskresikan oleh ginjal atau ke dalam empedu. Pada proses

ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang

larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresikan melalui ginjal. Obat – obat atau molekul

yang mudah larut dalam lipid akan direabsorpsi kembali.

Biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat, yang pada umumnya obat

menjadi inaktif. Tetapi ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif atau lebih toksik. Ada

obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini.

Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga

kerjanya berakhir.

2. Metabolisme akan merubah aktivitas biologis obat

Metabolisme tidak selalu berarti detoksifikasi, sebab beberapa metabolit obat justru bersifat

lebih toksik dari senyawa induknya. Walaupun metabolisme sering dianggap sebagai upaya

tubuh mengakhiri aksi obat, tetapi tidak selalu terjadi demikian karena ada beberapa obat yang

metabolitnya menunjukkan aktifitas farmakologik lebih besar daripada molekul obatnya.

Sebagai contoh :

imipramin desmetil imipramin

(lebih aktif)

α – metil dopa α – metil norepinefrin

(lebih aktif sebagai adrenergik)

prontosil rubrum sulfanilamida

(zat warna azo) (anti bakteri)

3. Jalur metabolisme

Dikenal dua fase/tahap reaksi metabolisme yaitu fase non sintetik atau fase I

(fungsionalisasi) dan fase sintetik atau fase II (konjugasi). Tidak semua obat dimetabolisme

Page 28: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

27

melalui kedua fase reaksi tersebut; ada obat yang mengalami reaksi fase I saja (satu atau

beberapa macam reaksi) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa macam reaksi). Tetapi

kebanyakan obat dimetabolisme melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi

beberapa macam metabolit.

A. Fase non sintetik (fase I)

Terdiri dari reaksi – reaksi :

1. Oksidasi Mikrosomal

Antara lain terdiri dari oksidasi rantai samping, hidroksilasi aromatik, N –

oksidasi, sulfoksidasi, N – dealkilasi, O – dealkilasi, S – dealkilasi, deaminasi

dan desulfurasi.

2. Oksidasi Nonmikrosomal

Antara lain terdiri dari oksidasi alkohol, aromatisasi.

3. Reduksi

Antara lain terdiri dari nitroreduksi, azoreduksi (disertai hidrolisis) dan

dehidrogenasi alkohol.

4. Hidrolisis

Reaksi metabolisme fase I ini melibatkan sistem enzim mikrosomal yang disebut juga

sistem mixed function oxidase (MFO). Sistem ini sering disebut juga sistem monooksigenase

yang berdasarkan letaknya dalam sel terdapat dalam retikulum endoplasma halus. Enzim

metabolisme ini terbagi menjadi enzim mikrosom dan nonmikrosom, terutama terdapat

dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain seperti paru, ginjal, epitel saluran

cerna dan plasma. Sistem enzim mikrosomal merupakan sistem enzim yang sangat

kompleks. Terdiri dari berbagai macam enzim yang reaksinya selalu terkait (coupled) satu

dengan yang lainnya. Komponen utama yang mempunyai peran sentral dari sistem MFO ini

adalah sitokrom P – 450. Sistem enzim ini mempunyai substrat yang sangat bervariasi.

Ternyata sitokrom P – 450 terdiri dari banyak isozim, yang satu dengan lainnya

mempunyai perbedaan dalam berat molekul (BM), urutan asam amino, sifat

immunokimianya serta berbeda spesifisitas substratnya. Karena substrat yang begitu

bervariasi pula maka sistem enzim ini disebut oksidase fungsi campur atau MFO.

Sistem ini bisa diinduksi oleh berbagai senyawa induktor. Berbagai macam induktor

telah dibuktikan mampu meningkatkan kadar sitokrom P – 450 yang akan meningkatkan laju

reaksi metabolisme suatu obat. Contoh beberapa induktor adalah :

a. Fenobarbital dan turunan barbiturat pada umumnya.

b. Metilkolantren dan senyawa hidrokarbon aromatik pada umumnya.

Page 29: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

28

c. Beberapa antibiotik seperti eritromisin, rifampisin, troleandomisin

d. Obat – obat anti epilepsi seperti fenitoin, karbamazepin.

e. Antidepresan trisiklik dan benzodiazepin seperti amitriptilin, domipramin,

diazepam dan lorazepam.

f. Hormon steroid sintetik seperti prednisolon.

g. Antidiabetika oral.

Banyaknya jenis induktor ternyata tidak menunjukkan kapasitas induksi yang sama terhadap

tiap isozim sitokrom P – 450. Perlu perhatian khusus terhadap obat – obat induktor tersebut

karena bila digunakan bersama obat – obat lain akan mempengaruhi laju obat lain tersebut.

Sistem enzim monooksigenase ini juga dapat dihambat oleh beberapa inhibitor seperti

metirapon, simetidin, ranitidin, propanolol, debrisoquin, tetrahidrofuran, penformin, dll.

Yang perlu diperhatikan bahwa di antara inhibitor tersebut juga bersifat induktor enzim. Hal

ini bisa terjadi karena memang isozim yang dipengaruhi berbeda.

B. Fase sintetik (fase II)

Metabolisme obat fase sintetik sering juga disebut reaksi konjugasi atau metabolisme

fase II. Jalur metabolisme fase sintetik ini terdiri dari reaksi glukuronidasi, sulfatasi, reaksi

pembentukan merkapturat/konjugasi dengan glutation, reaksi pembentukan amida (asetilasi

dan konjugasi dengan glisin) dan reaksi metilasi. Umumnya enzim – enzim yang berperan di

dalam reaksi konjugasi terdapat di dalam fraksi sitosolik, kecuali untuk enzim transferase

glukuronil yang berada di fraksi mikrosomal. Oleh sebab itu reaksi konjugasi umumnya juga

berlangsung di dalam sitosol.

Page 30: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

29

VII. EKSKRESI

Obat dikeluarkan dari tubuh melalui berbagai organ ekskresi dalam bentuk metabolit hasil

biotransformasi atau dalam bentuk asalnya. Obat atau metabolit polar diekskresikan lebih cepat daripada

obat larut lemak, kecuali pada ekskresi melalui paru. Seperti halnya biotransformasi, ekskresi suatu obat

dan metabolitnya menyebabkan penurunan konsentrasi bahan berkhasiat dalam tubuh. Ekskresi dapat

terjadi bergantung kepada sifat fisikokimia yaitu bobot molekul (BM), harga pKa, kelarutan, tekanan uap

dari senyawa yang diekskresi melalui :

- ginjal (dengan urin)

- empedu dan usus (dengan feses)

- paru – paru (dengan ekspirasi udara)

Ekskresi obat melalui kulit dan turunannya tidak begitu penting. Tetapi pada ibu yang menyusui,

eliminasi obat dan metabolitnya dalam air susu dapat menyebabkan intoksikasi yang membahayakan pada

bayi.

Ginjal merupakan organ ekskresi yang terpenting. Ekskresi di sini merupakan resultan dari 3

proses, yakni :

1. filtrasi di glomerulus,

2. sekresi aktif di tubuli proksimal, dan

3. reabsorpsi pasif di tubuli proksimal dan distal.

Glomerulus yang merupakan jaringan kapiler yang dapat melewatkan semua zat yang lebih kecil dari

albumin melalui celah antarsel endotelnya sehingga semua obat yang tidak terikat protein plasma

mengalami filtrasi di sana. Di tubuli proksimal, asam organik (penisilin, probenesid, salisilat, konyugat

glukuronid dan asam urat) disekresi aktif melalui sistem transport untuk asam organik; dan basa organik

(neostigmin, kolin, histamin) disekresi aktif melalui sistem transport untuk basa organik. Kedua sistem

transport tersebut relatif tidak selektif sehingga terjadi kompetisi antar asam organik dan antar basa

organik dalam sistem transportnya masing – masing. Untuk zat – zat endogen misalnya asam urat, sistem

transport ini dapat berlangsung dua arah, artinya terjadi sekresi dan reabsorpsi.

Di tubuli proksimal dan distal terjadi reabsorpsi pasif untuk bentuk non – ion. Oleh karena itu,

untuk beberapa obat elektrolit lemah, proses reabsorpsi ini bergantung pada pH lumen tubuli yang

menetukan derajat ionisasinya. Bila urin lebih basa, maka asam lemah terionisasi lebih banyak, sehingga

reabsorpsinya berkurang yang akibatnya ekskresi meningkat. Sebaliknya, bila urin lebih asam, ekskresi

asam lemah berkurang. Keadaan yang berlawanan terjadi dalam ekskresi basa lemah. Prinsip ini

digunakan untuk mengobati keracunan obat, yang diekskresinya dipercepat dengan pembasaan atau

pengasaman urin, misalnya salisilat dan fenobarbital.

Page 31: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

30

Ekskresi obat melalui ginjal menurun pada gangguan fungsi ginjal, sehingga dosis perlu

diturunkan (penyesuaian dosis) atau interval pemberian diperpanjang. Bersihan kreatinin dapat dijadikan

patokan dalam menyesuaikan dosis atau interval pemberian obat.

Banyak metabolit obat yang terbentuk di hati diekskresikan ke dalam usus melalui empedu,

kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali di saluran cerna dan akhirnya

diekskresi melalui ginjal. Ada 3 sistem transport ke dalam empedu, tetapi kesemuanya bekerja dengan

mekanisme transport aktif, yaitu masing – masing untuk asam organik termasuk glukuronid, basa organik

dan zat netral misalnya steroid. Telah disebutkan bahwa konyugat glukuronid akan mengalami sirkulasi

enterohepatik.

Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur (saliva), air mata, air susu dan rambut, tetapi

dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat

digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut pun dapat digunakan

untuk menemukan logam toksik misalnya arsen.

Page 32: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

31

VIII. INTERAKSI OBAT DAN RESEPTOR

Istilah reseptor dalam fisiologi hampir selalu dikaitkan dengan proses komunikasi, baik

komunikasi antar sel maupun komunikasi antara organisme dan lingkungan luarnya. Seperti telah

diketahui bahwa komunikasi antar sel bagi organisme multiseluler mempunyai peranan penting yaitu

mengatur perkembangan dan organisasi dalam jaringan, mengontrol pertumbuhan dan pembelahan sel,

serta mengkoordinasikan berbagai kegiatan kehidupan. Adapun komunikasi antara organisme dengan

lingkungan sekelilingnya berfungsi untuk mendeteksi perubahan yang terjadi di luar organisme itu. Dalam

hubungannya dengan proses komunikasi ini, reseptor merupakan alat yang berfungsi menerima rangsang

(stimulus) dan kemudian meneruskan langsung atau tidak langsung kepada efektor yaitu suatu struktur

yang bertugas menanggapi rangsang. Berdasarkan atas jenis stimulusnya, reseptor dapat dibedakan

menjadi mekanoreseptor (reseptor pada kulit), fotoreseptor (reseptor pada mata) dan khemoreseptor

(reseptor pada lidah).

I. Konsep Reseptor

Konsep tentang adanya reseptor untuk obat, hormon dan neurotransmitter pertama kali

muncul pada permulaan abad XX. Konsep reseptor tersebut berkembang dengan pesat oleh adanya

tiga sifat kerja obat yang sangat karakteristik yaitu :

1. Potensi tinggi

Obat umumnya bekerja pada kadar 10-8

M, bahkan ada obat yang dapat menimbulkan efek pada

kadar lebih rendah.

2. Spesifikasi kimiawi

Stereoisomer suatu obat mempunyai aktivitas biologik yang tidak sama. Sebagai contoh,

kloramfenikol, antibiotika ini mempunyai 4 stereoisomer, namun hanya satu yaitu stereoisomer

yang bersifat antibakteri.

3. Spesifisitas biologik

Aktivitas obat pada suatu jaringan bisa berbeda pada jaringan lain. Misalnya epinefrin

menunjukkan efek yang sangat kuat pada otot jantung, namun sangat lemah aktivitasnya pada

otot lurik.

Yang dimaksud dengan reseptor obat (atau reseptor farmakologik, dan selanjutnya disebut

reseptor saja) adalah komponen spesifik sel yang dapat berinteraksi dengan obat dan hasil interaksi

ini menimbulkan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang pada akhirnya menghasilkan efek atau

respon. Kata obat dalam hal ini mencakup juga hormon dan neurotransmitter.

Obat yang dapat menghasilkan efek setelah berinteraksi dengan reseptor dinamakan agonis,

sedangkan obat yang dapat berinteraksi dengan reseptor tanpa diikuti timbulnya efek disebut

antagonis. Istilah antagonis ini dipergunakan karena interaksi antagonis dan reseptor dapat

mengganggu interaksi agonis dan reseptornya dalam menimbulkan efek. Perlu juga dikemukan di

Page 33: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

32

sini, bahwa antagonis dalam farmakologi, istilah antagonis secara umum berarti tiap zat yang dapat

mengurangi atau meniadakan efek obat lain tanpa memperhatikan cara kerjanya.

II. Sifat dan Fungsi Fisiologik

Dari data analisis fisikokimiawi menunjukkan bahwa reseptor merupakan makromolekul

yang dapat berupa lipoprotein, glikoprotein, lipid, protein atau asam nukleat. Reseptor – reseptor

tersebut merupakan komponen fungsional membran plasma dan hanya sebagian kecil yang berlokasi

di dalam sel. Reseptor yang terletak pada permukaan sel meliputi reseptor untuk neurotransmiter,

hormon peptida (misal insulin). Sedangkan reseptor yang terdapat di dalam sel (reseptor

intraseluler) misalnya reseptor untuk hormon steroid.

Reseptor berfungsi untuk menerima rangsang (stimulus) dengan mengikat senyawa endogen

(obat) yang sesuai, kemudian menyampaikan informasi yang diterima itu ke dalam sel dengan

langsung menimbulkan efek seluler melalui perubahan permeabilitas membran (misal reseptor

nikotinik), pembentukan ”second messenger” (misal CAMP pada kerja reseptor adrenergik – beta)

atau mempengaruhi transkripsi DNA (misal reseptor estrogenik). Di samping sebagai alat

komunikasi, reseptor juga dapat berfungsi sebagai enzim dan asam nukleat.

III. Interaksi Obat – Reseptor

Interaksi obat – reseptor terjadi secara reversibel. Ikatan – ikatan yang terlibat dalam

interaksi ini pada umumnya berupa ikatan lemah. Interaksi obat – reseptor digambarkan sebagai

berikut :

K1

nD + R DnR

(obat) (reseptor) K2 (kompleks obat – reseptor)

Fraksi reseptor yang diduduki obat dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut :

[DnR] [D]n

r = =

[R]T [D]n

+ KD

r = fraksi reseptor yang diduduki obat

[D] = kadar obat bebas

[DnR] = kadar kompleks obat – reseptor atau reseptor yang diduduki obat

[R]T = kadar total reseptor = [R] + [DnR]

[R] = kadar reseptor bebas

KD = K2/ K1 = tetapan disosiasi kompleks obat – reseptor

Apabila n = 1 (pada umumnya dianggap demikian), maka :

[D]

r =

[D] + KD

Karena [R]T <<< [D], maka [D] bebas dianggap sama dengan [D] awal.

Page 34: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

33

V. Hubungan Interaksi Obat – Reseptor dengan Efek.

Ada dua teori utama :

1. Teori Okupasi (pendudukan) yang menyatakan bahwa efek atau respon merupakan fungsi

pendudukan.

Teori ini dikemukakan oleh Clark yang menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan oleh obat

(agonis) berbanding lurus dengan pendudukan reseptor dan efek maksimum terjadi jika semua

reseptor diduduki agonis.

D + R DR E

(efek)

[DR] ED

r = =

[R]T ED (maks)

atau

ED (maks) . [D]

ED =

[D] + KD

ED = efek

ED (maks) = efek maksimum

Asumsi yang melatarbelakangi persamaan tersebut di atas adalah :

a. Pada saat pengikatan setiap reseptor oleh molekul obat menimbulkan stimulus dan peristiwa

ini bersifat ”semua atau tidak”.

b. Stimulus akhir merupakan jumlah stimulus individual.

c. Stimulus mencapai maksimum jika semua reseptor telah diduduki obat.

d. Efek berbanding lurus dengan jumlah stimuli.

e. Kompleks obat – reseptor terbentuk dengan cara yang cepat dan dengan ikatan kimia yang

reversibel.

f. Pendudukan satu reseptor tidak mempengaruhi kecenderungan reseptor lain untuk diduduki.

2. Teori Laju yang mengemukan bahwa respon merupakan fungsi kecepatan pendudukan reseptor

oleh agonis.

Teori Okupasi (Clark) telah banyak berhasil dalam menjelaskan peristiwa hubungan antara

dosis – efek dengan memuaskan, namun tidak pada beberapa kasus. Sebagai contoh,

menurunnya intensitas efek maupun kadar agonis tetap. Kenyataan itu mendorong Raton

mengemukakan Teori Laju. Dalam teori ini dinyatakan bahwa efek farmakologik suatu obat

sebanding dengan laju pembentukan kompleks obat – reseptor. Menurut teori ini, agonis

mempunyai tetapan kecepatan disosiasi (K2) yang lebih besar daripada tetapan kecepatan

asosiasi (K1), sebaliknya antagonis mempunyai K2 yang lebih besar daripada K1.

Page 35: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

34

V. Afinitas dan Aktivitas Intrisik

Untuk dapat menimbulkan efek, obat harus mempunyai afinitas terhadap reseptor, aktivitas

intrinsik dan atau efikasi.

Afinitas adalah kemampuan obat untuk berikatan dan membentuk kompleks dengan

reseptor. Kemampuan ini dinyatakan dengan tetapan asosiasi yaitu tetapan yang harganya sama

dengan 1/Kd atau K1/K2. Jika hubungan antara pendudukan reseptor dan efek berlangsung linier,

maka :

KD = [D]50

[D]50 adalah kadar atau dosis obat yang menghasilkan efek sebesar 50 % efek maksimum. KD, yang

dihitung dengan cara tersebut di atas sering kali disebut tetapan disosiasi semu, karena kadar obat

terhadap reseptor tidak diketahui.

Dalam farmakologi, afinitas obat terhadap reseptor sering kali dinyatakan dengan pD2 yang dapat

dirumuskan :

pD2 = - log KD = - log [D]50

Semakin besar pD2, semakin kuat afinitas suatu obat terhadap reseptornya.

Di samping sebagai ukuran afinitas, pD2 sering juga dipergunakan untuk membandingkan

sensitivitas jaringan (reseptor) terhadap obat (agonis), atau membandingkan potensi obat terhadap

reseptornya dalam menghasilkan efek. Senakin besar pD2, semakin sensitif suatu jaringan terhadap

obat, demikian juga potensinya.

Syarat kedua yang harus dimiliki obat agar dapat menimbulkan efek ialah aktivitas intrinsik.

Parameter aktivitas intrinsik merupakan tetapan perbandingan efek dan kompleks obat – reseptor

atau dapat juga dinyatakan sebagai besarnya efek per unit kompleks obat – reseptor.

ED = α . [DR] atau ED [maks] = α . [R]

α = aktivitas intrinsik

Aktivitas intrinsik merupakan pengertian relatif dan sebagai skala respon maksimum jaringan.

ED [maks]

α =

ET [maks]

ED [maks] = efek maksimum obat

ET [maks] = respon maksimum jaringan

Dalam hal ini, hubungan antara dosis dan efek menjadi :

α . ET [maks] . [D]

ED =

[D] + KD

Page 36: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

35

Jika suatu obat mempunyai α = 1, disebut agonis penuh. Jika 0 < α < 1, disebut agonis parsial, jika

α ≤ 0, disebut antagonis.

Efikasi adalah kemampuan kompleks obat – reseptor untuk menghasilkan stimulus yang

pada akhirnya menimbulkan efek. Jika dua parameter itu dibandingkan aktivitas intrinsik

menghubungkan efek dan pendudukan reseptor, sedangkan efikasi menghubungkan stimulus dan

pendudukan reseptor. Stimulus yang dihasilkan ini berbanding langsung dengan fraksi reseptor yang

diduduki oleh obat. Dan efek yang dihasilkan merupakan fungsi stimulus. Hubungan (antara efek

dan stimulus) ini tidak selalu merupakan hubungan linier.

Obat – obat yang berbeda efikasinya menghasilkan stimulus yang berbeda, namun hubungan

stimulus dan efek bukan merupakan sifat obat, tetapi sifat jaringan (sifat yang tidak tergantung

jaringan).

Menurut konsep efikasi ini, agonis ialah obat yang mempunyai efek besar. Bagi obat – obat

yang tergolong agonis kuat, efek maksimumnya dapat dicapai tanpa harus menduduki semua

reseptor. Sisa reseptor yang tidak diperlukan untuk mencapai efek maksimum disebut reseptor

cadangan.

VI. Antagonisme

Antagonisme adalah peristiwa pengurangan atau penghapusan efek suatu obat oleh obat lain.

Peristiwa ini dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu antagonisme fisiologik atau fungsional,

antagonisme farmakologik, antagonisme biokimiawi dan antagonisme kimiawi.

1. Antagonisme fisiologik atau fungsional

Adalah antagonisme yang terjadi jika dua macam agonis bekerja pada dua macam reseptor

dan menghasilkan efek yang saling berlawanan pada fungsi fisiologik yang sama.

Contoh, antagonisme antara histamin dan norepinefrin terhadap tekanan darah. Histamin

menurunkan tekanan darah dengan cara melonggarkan pembuluh darah (vasodilatasi),

sedangkan norepinefrin menaikkan tekanan darah dengan cara menyempitkan pembuluh darah

(vasokontriksi). Contoh lain antagonisme antara metakholin dan isoprenalin pada trakhea.

2. Antagonisme farmakologik

Misalnya antagonisme yang terjadi antara histamin dan difenhidramin. Dalam hal ini,

difenhidramin mengurangi efek histamin dengan cara menghalangi pembentukan kompleks

histamin dan reseptornya. Contoh yang sejenis ialah antagonisme antara asetilkholin dan atropin,

antara isoprenalin dan propanolol. Termasuk dalam antagonisme ini adalah antagonisme parsial,

yaitu antagonisme antara agonis dan agonis parsial.

3. Antagonisme biokimiawi

Antagonisme ini dapat dipandang sebagi kebalikan dari sinergisme. Jenis antagonisme ini

terjadi jika obat kedua mengurangi secara tidak langsung obat pertama pada tempat kerjanya.

Page 37: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

36

Obat – obat yang dapat meningkatkan eliminasi agonis, atau berkompetisi dalam transportnya

disebut antagonisme biokimiawi. Sebagai contoh, fenobarbital mengurangi efek dikumarol

dengan cara meningkatkan biotransformasinya. Contoh lain yang serupa adalah antagonisme

antara alkohol (penggunaan secara kronik) dengan tolbutamid.

4. Antagonisme kimiawi

Berbeda dengan antagonisme yang telah dikemukakan, dalam antagonisme kimiawi ini,

antara agonis dan antagonis terjadi reaksi kimia langsung menghasilkan produk yang inaktif.

Misalnya, efek heparin (antikoagulan) yang bermuatan negatif direduksi oleh protamin (protein

basa). Antasida (Al atau Mg) mengurangi efek tetrasiklin karena mengurangi kompleks yang

sukar diabsorpsi.

VII. Antagonisme Farmakologik

Antagonisme ini dibagi menjadi dua jenis yaitu antagonisme kompetitif dan antagonisme

nonkompetitif.

1. Antagonisme kompetitif

Dalam antagonisme kompetitif, antagonis bereaksi secara reversibel dengan reseptor

sehingga menghalang – halangi agonis dalam berinteraksi dengan reseptornya.

D + R DR E

+

A AR

(antagonis – reseptor)

Hal ini mengakibatkan jumlah agonis yang berinteraksi dengan reseptornya berkurang, yang

pada gilirannya menyebabkan efek yang ditimbulkan menjadi lebih lemah. Untuk mendapatkan

efek yang sama seperti sebelum adanya antagonis, dibutuhkan dosis yang lebih besar. Jika

antagonisme ini digambarkan dengan KDLR (kurva logaritme dosis – respon), memperlihatkan

bahwa kurva bergeser sejajar ke kanan, pD2 menjadi lebih kecil, atau dengan perkataan lain

reseptor menjadi kurang peka terhadap agonis.

Sebagai parameter kekuatan antagonis kompetitif adalah pA2, yang didefinisikan sebagai

logaritma negatif kadar molar antagonis yang mengakibatkan kadar agonis harus dilipatkan

menjadi dua kali untuk mendapatkan efek yang sama dengan efek pada kondisi tidak adanya

antagonis. Besaran ini sebenarnya merupakan gambaran tetapan disosiasi kompleks

antagonis – reseptor atau afinitas antagonis terhadap reseptornya.

pA2 = - log [A]2 = - log KA

Semakin besar pA2 suatu antagonis, semakin besar afinitas antagonis itu terhadap reseptornya.

2. Antagonis nonkompetitif

Antagonisme ini terjadi jika antagonis mempunyai afinitas yang sangat kuat terhadap

reseptor atau menyebabkan perubahan kimiawi yang ireversibel pada reseptor. Hal ini akan

Page 38: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

37

mengurangi jumlah reseptor yang dapat berintegrasi dengan agonisnya, yang berakibat

menurunnya efek agonis. Berbeda dengan antagonisme kompetitif, gangguan ini tidak dapat

diatasi dengan cara memperbesar kadar agonis.

D + R DR E

+

A AR

(antagonis – reseptor)

KDLR agonis setelah adanya antagonis berupa sigmoid yang lebih landai dengan efek

maksimum yang lebih rendah daripada sebelum adanya antagonis, tetapi pD2 tetap tidak berubah.

Parameter yang digunakan untuk menyatakan kekuatan antagonis kompetitif adalah pD2,

yang didefinisikan sebagai kadar antagonis yang menyebabkan pengurangan efek maksimum

agonis menjadi 50 % efek maksimum sebelum adanya antagonis. Besaran ini sama dengan

logaritma negatif tetapan disosiasi kompleks antagonis – reseptor.

pD2 = - log [A]2 = - log K2

Termasuk juga dalam antagonisme kompetitif adalah jika gangguan antagonis itu terjadi pada

salah satu bagian dari rangkaian peristiwa yang menuju timbulnya efek.

Page 39: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

38

IX. KERJA DAN EFEK OBAT

Kerja dan efek obat merupakan dua masalah yang paling fundamental namun juga paling

kompleks dalam farmakodinamika. Kerja obat adalah perubahan kondisi yang mengakibatkan timbulnya

efek atau respon, sedangkan efek adalah perubahan fungsi struktur atau proses sebagai akibat kerja obat.

I. Tempat Kerja

Obat dapat bekerja :

1) pada tempat aplikasi

2) selama transport di dalam tubuh

3) pada tempat tertentu (jaringan atau sel)

Ditinjau dari sudut sel tempat kerja obat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :

1) ekstraseluler

2) pada permukaan sel

3) intraseluler

Penentuan tempat kerja obat membantu dalam :

1) mengklasifikasikan obat menjadi beberapa kelompok

2) menghindari penggunaan obat apabila tempat dimana obat biasanya bekerja tidak

berfungsi

3) memberikan informasi yang mungkin berguna dalam menentukan kecepatan absorpsi

dan ekskresi obat

4) sebagai langkah awal dalam mengungkap mekanisme kerja obat

II. Cara Penentuan Tempat Kerja Obat

Beberapa cara untuk penentuan tempat kerja obat yaitu :

1) Cara anatomis dan fisiologis isolasi jaringan atau organ

2) Lokalisasi biokimiawi isolasi enzim

3) Lokalisasi farmakologis identifikasi tempat kerja yang sama

4) Teknik perunut identifikasi dengan pengunaan unsur radioaktif

Page 40: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

39

III. Mekanisme Kerja Obat

Mekanisme kerja obat adalah cara bagaimana obat bekerja hingga menimbulkan efek.

Mekanisme kerja obat dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu :

1. Kerja Obat Yang Diperantarai Reseptor

Efek obat umumnya timbul karena interaksi obat dengan reseptor pada sel suatu organisme.

Interaksi obat dengan reseptornya ini mencetuskan perubahan biokimiawi dan fisiologi yang

merupakan respon khas untuk obat tersebut. Ada dua sifat khas kerja obat yang diperantarai oleh

reseptor adalah obat dapat mengubah kecepatan kegiatan faal tubuh dan obat tidak menimbulkan

suatu fungsi baru, tetapi hanya memodulasi fungsi yang sudah ada.

Hal ini sudah dibahas dengan jelas pada bab sebelumnya.

2. Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor

Kerja obat yang tidak diperantarai reseptor adalah kerja yang berdasarkan atas sifat – sifat

fisikokimia secara sederhana. Termasuk dalam golongan ini adalah kerja obat yang berdasarkan

atas :

A. Sifat fisika

a. Massa fisis : agar dan biji psyllium mengabsorpsi air jika diberikan secara oral dan

mengembang volumenya. Hal ini menyebabkan peristalsis dan purgasi.

b. Rasa : senyawa – senyawa dengan rasa pahit secara refleks akan meningkatkan aliran

asam klorida ke dalam lambung. Peristiwa ini akan menambah nafsu makan. Sebagai

contoh gentian.

c. Osmosis : obat yang menimbulkan efek karena sifat osmotiknya misalnya manitol

(diuretik osmotik) dan magnesium sulfat (purgatif osmotik).

d. Adsorps : contoh kaolin dan karbon aktif pada pengobatan diare.

e. Radioaktivitas : misalnya 131

I pada pengobatan hipertiroidisme

f. Radio-opasitas : misalnya barium sulfat yang dikenal sebagai bubur barium untuk

mendiagnosa gangguan pada saluran cerna dan senyawa iodium organik untuk

visualisasi air seni dan asam empedu.

g. Muatan listrik : misalnya heparin (antikoagulan) yang bersifat asam juat, diduga

bekerja berdasarkan atas muatan negatifnya.

B. Sifat kimia

Page 41: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

40

a. Asam dan basa : sebagai contoh asam klorida pada pengobatan hipoklorhidrin dan

antasida pada pengobatan borok lambung.

b. Khelasi : logam –logam seperti timbal dan tembaga dapat dikeluarkan dari tubuh

dengan bantuan senyawa – senyawa yang dapat membentuk kompleks khelat dengan

logam itu, misalnya EDTA dan dimerkaprol.

IV. Efek Obat

Dalam pengobatan, efek obat dapat dibagi menjadi efek normal dan efek abnormal

(idiosinkrasi). Efek normal adalah efek yang timbul pada kebanyakan individu, sedangkan efek

abnormal adalah efek yang dialami oleh individu atau kelompok individu tertentu. Kedua macam

efek tersebut dapat terjadi pada dosis lazim yang dipergunakan dalam terapi.

Kebanyakan obat jika diberikan dalam dosis terapi dapat menimbulkan lebih daripada satu

jenis efek. Efek ini dapat dibedakan menjadi efek utama (primer) dan efek samping (tambahan).

Efek primer adalah efek yang menjadi tujuan utama pengobatan. Efek samping adalah efek yang

tidak menjadi tujuan utama pengobatan, namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu

(merugikan) tergantung dari kondisi dan situasi pasien.

Efek utama dapat menimbulkan efek sekunder yaitu efek yang tidak diinginkan dan merupakan

reaksi organisme (tubuh) terhadap efek primer suatu obat.

Efek abnormal karena obat meliputi idiosinkrasi, toleransi, intoleransi dan alergi

(hipersensitivitas) serta ketergantungan obat. Idiosinkrasi merupakan efek atau respon abnormal

kualitatif dan dapat timbul secara individual, familial atau rasial.

Respon abnormal lainnya adalah toleransi dan intoleransi. Beberapa individu menunjukkan reaksi

berlebihan (hipereaktif) atau kurang reaktif (hiporeaktif) terhadap obat. Individu yang tergolong

hipereaktif ini akan memberikan respon terhadap obat walaupun obat itu diberikan dalam dosis

yang sangat kecil (jauh di bawah dosis lazim) atau yang sering disebut peristiwa intoleransi.

Sebaliknya, kelompok individu lain bersifat kurang responsif; untuk menimbulkan efek dengan

intensitas tertentu dibutuhkan dosis yang lebih tinggi daripada dosis lazim atau yang sering disebut

peristiwa toleransi.

Respon abnormal yang dikenal dengan alergi (hipersensitivitas) dapat timbul tergantung

apakah pasien pernah mendapatkan obat yang sama sebelumnya. Pada beberapa individu, pemberian

obat dapat menimbulkan zat anti (antibodi) di dalam tubuhnya dan pada pemberian obat berikutnya

akan terjadi reaksi antara obat itu (antigen) dan zat anti, yang pada gilirannya dapat menimbulkan

gangguan pada kulit, asma, dll. Bentuk alergi berat adalah syok anafilaksis.

Efek lain yang dapat ditimbulkan oleh obat adalah efek toksik. Efek ini timbul jika obat

diberikan dalam kadar tinggi. Efek toksis obat sering dikaitkan dengan jaringan atau organ yang

menjadi sasaran dari efek toksik tersebut. Misalnya hepatotoksik (toksisitas pada hati), nefrotoksik

(toksisitas pada ginjal) atau teratogenik (toksisitas pada janin).

Page 42: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

41

TERAPAN

Page 43: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

42

X. PERHITUNGAN DOSIS OBAT

Dalam pemberian terapi yang rasional, dosis obat merupakan faktor penting, karena kelebihan

atau kekurangan dosis akan menghasilkan efek yang tidak diinginkan, bahkan sering membahayakan.

Untuk menetapkan dosis yang tepat, antara lain Dosis Lazim (DL), Dosis Terapi (DT), Dosis

Maksimum (DM), dosis anak dan dosis geriatri.

Faktor yang sering dipertimbangkan untuk menentukan dosis individual yaitu :

1. Sifat obat (fisika, kimia, toksisitas).

2. Bioavailabilitas obat.

3. Kondisi penyakit (akut, kronis).

4. Kondisi penderita (anak, lansia, obesitas, dll).

5. Cara pemberian obat (oral, rektal, parenteral).

Yang dimaksud dosis suatu obat adalah dosis pemakaian sekali, per oral untuk orang dewasa,

kalau yang dimaksud bukan dosis tersebut di atas maka harus diberi keterangan jelas. Misalnya

pemakaian sehari, dosis untuk anak, dosis per injeksi dan seterusnya.

Dosis yang tertulis dalam resep adalah dosis yang dapat menyembuhkan untuk penderita tersebut

(individual) disebut dosis terapi (DT).

Dosis yang tercantum dalam literatur adalah dosis lazim (DL). Dosis lazim adalah dosis yang lazimnya

dapat menyembuhkan. Dalam menulis resep digunakan sebagai pedoman untuk menentukan dosis terapi.

Dosis maksimum (DM) adalah dosis/takaran maksimum/terbanyak yang dapat diberikan (berefek terapi)

tanpa menimbulkan bahaya. Dosis lazim dan dosis maksimum terdapat dalam buku Farmakope Indonesia

dsbnya.

Tidak semua DM untuk anak terdapat dalam literatur. Maka DM untuk anak dapat dihitung dengan

membandingkan kebutuhan anak terhadap dosis maksimum dewasa. Yang paling akurat adalah

perbandingan berdasarkan luas permukaan tubuh, kemudian berat badan dan selanjutnya umur anak.

Cara perhitungan dosis untuk anak :

1. Secara individual dengan menggunakan ukuran fisik anak.

a. Perhitungan dengan berat badan (BB) anak

Contoh : Diketahui dosis amoksisilin 25 mg/kg BB/hari, diberikan dengan dosis terbagi

dalam 3 – 4 kali.

Anak umur 2 tahun dengan berat badan 10 kg.

Maka, dosis sehari adalah 10 x 25 mg = 250 mg/hari. Bila pemberian dimaksudkan

sebanyak 3 kali dalam sehari, maka 250 mg/3 = 83,3 mg per sekali minum.

Page 44: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

43

b. Perhitungan luas permukaan tubuh (LPT) anak

Contoh : Diketahui dosis pemeliharaan metotreksat 15 mg/m2/minggu.

Anak 12 tahun dengan LPT 1,2 m2.

Maka, dosis anak tersebut adalah :

1,20

x 15 mg = 10,4 mg/minggu

1,73

2. Dihitung dari dosis dewasa

a. Berdasarkan umur anak

- rumus Young untuk anak < 8 tahun

n

x dosis dewasa n = tahun

n + 12

- rumus Dilling untuk anak > 8 tahun

n

x dosis dewasa n = tahun

20

Contoh : Diketahui dosis terapi (dewasa) Gliseril Guaikolat adalah 100 – 200 mg/kali.

Maka dosis untuk anak 4 tahun adalah :

4

x (100 – 200) mg = 25 – 50 mg/kali

4 + 12

b. Berdasarkan berat badan anak (Rumus Clark)

b

x dosis dewasa b = BB anak

70

c. Berdasarkan luas permukaan tubuh anak (Rumus Crawford – Terry – Rourke)

t

x dosis dewasa t = LPT anak

1,8

d. Tabel J. Hahn

Contoh : Diketahui dari tabel J.Hahn, anak umur 5 tahun, BB 14,2 – 17,8 kg, dapat diberikan

dosis 28 % dosis dewasa. Maka dosis Gliseril Guaikolat adalah :

28 % x (100 – 200) mg = (28 – 56) mg/kali

Catatan : rumus – rumus tersebut dapat dipergunakan untuk menentukan dosis lazim, dosis

terapi, maupun dosis maksimum pada anak.

Page 45: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

44

Dosis geriatri, umumnya lebih kecil dibanding dosis dewasa. Hal ini disebabkan organ – organ

tubuh sudah kurang berfungsi.

Page 46: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

45

XI. REAKSI OBAT YANG TIDAK DIKEHENDAKI

”Jika dikatakan bahwa suatu obat tidak menunjukkan efek samping, maka terdapat dugaan kuat

bahwa obat tersebut juga tidak mempunyai efek utama” (G. Kuschinsky). Reaksi obat yang tidak

dikehendaki didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak diharapkan serta

terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosis maupun terapi.

Reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat berupa kontraindikasi maupun efek samping obat. Reaksi

obat yang tidak dikehendaki ini dapat muncul dari faktor tenaga kesehatan, kondisi pasien maupun obat

itu sendiri.

Kontraindikasi adalah efek obat yang secara nyata dapat memberikan dampak kerusakan fisiologis

atau anatomis secara signifikan, memperparah penyakit serta lebih lanjut dapat membahayakan kondisi

jiwa pasien. Pemberian obat – obatan yang dikontraindikasikan pada kondisi tertentu ini harus

dihindarkan atau di bawah penanganan khusus. Dalam beberapa hal kontraindikasi juga dianggap

merupakan bagian dari efek samping obat.

Sebagai contoh asetosal dikontraindikasikan pada anak di bawah 12 tahun, ibu hamil dan menyusui

karena sifat antiplateletnya (antitrombosit); atau timbulnya stroke hemorragik pada penderita selesma

yang juga hipertensi tingkat berat setelah diberi obat selesma yang berisi fenilpropanolamin.

Efek samping obat adalah efek yang tidak menjadi tujuan utama pengobatan (efek sekunder),

namun efek ini dapat bermanfaat ataupun mengganggu (merugikan) tergantung dari kondisi dan situasi

pasien. Pada kondisi tertentu, efek samping obat ini dapat juga membahayakan jiwa pasien. Efek samping

obat ini pada dasarnya terjadi setelah pemberian obat tersebut, yang kejadiannya dapat diramalkan atau

belum dapat diramalkan sebelumnya. Sebagai contoh, penggunaan kortikosteroid (deksametason) dalam

waktu lama dapat menimbulkan efek moonface dan peningkatan nafsu makan.

Beberapa faktor penyebab yang dapat menimbulkan kontraindikasi (atau menimbulkan efek

samping obat) adalah :

1. Usia pasien (misalnya, anak di bawah < 2 tahun atau lansia > 65 tahun).

2. Kondisi penyakit tertentu pada pasien (misalnya, kerusakan fungsi hati dan ginjal).

3. Reaksi hipersensitivitas (alergi) terhadap obat tertentu.

4. Interaksi membahayakan dengan senyawa kimia atau obat – obatan lain.

5. Kondisi hamil dan menyusui.

6. Perbedaan ras dan genetika.

7. Jenis kelamin.

8. Polifarmasi (pengobatan yang tidak rasional).

Page 47: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

46

Identifikasi reaksi obat yang tidak diinginkan harus mengacu kepada faktor – faktor penyebab

tersebut di atas. Identifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat diperoleh atas dasar laporan dari

pasien ataupun kondisi nyata yang ditemukan oleh petugas kesehatan di lapangan.

Kriteria untuk mengidentifikasi reaksi obat yang tidak dikehendaki (apabila sudah terjadi efek samping)

ini adalah :

1. Waktu

Kapan kejadian tersebut muncul? Apakah terjadi sesaat setelah minum obat ataukah berselang

dalam waktu yang lama? Apakah reaksi tersebut terkait dengan pemakaian obat?

2. Dosis

Apakah dosis yang diberikan kepada pasien dengan kondisi tertentu terlalu besar?

3. Sifat permasalahan

Apakah ciri – ciri reaksi obat yang tidak diinginkan tersebut sama dengan sifat farmakologis

obatnya? Adakah kemungkinan interaksi obat?

4. Pengalaman

Apakah reaksi yang muncul tersebut mirip dengan reaksi yang pernah dilaporkan dalam pustaka

atau literatur?

5. Penghentian keterulangan

Apa yang terjadi apabila pemakaian obat dihentikan? Bagaimana jika di suatu hari kelak obat

yang menimbulkan reaksi yang tidak dikehendaki tersebut digunakan kembali, apakah reaksinya

muncul kembali?

Pencegahan reaksi obat yang tidak dikehendaki ini dapat melalui cara sebagai berikut :

1. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien sedang hamil, jangan

gunakan obat kecuali benar – benar diperlukan.

2. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting reaksi obat yang tidak dikehendaki. Tanyakan

pasien apakah pernah mengalami reaksi sebelumnya atau dengan mengecek riwayat penyakitnya.

3. Tanyakan kepada pasien jika sedang menggunakan obat – obat lainnya termasuk obat yang dipakai

sebagai swamedikasi (self medication), karena dapat terjadi kemungkinan interaksi obat.

4. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat, sehingga

diperlukan dosis yang lebih kecil. Faktor genetik juga mungkin terkait dengan variasi kecepatan

metabolisme, termasuk isoniazid dan anti depresan (trisiklik).

Page 48: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

47

5. Resepkan obat sesedikit mungkin dan berikan petunjuk yang jelas kepada pasien lanjut usia dan

pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.

6. Jika memungkinkan, gunakan obat yang sudah dikenal. Penggunaan obat baru perlu waspada akan

timbulnya reaksi obat yang tidak dikehendaki atau kejadian yang tidak diharapkan.

7. Jika kemungkinan terjadinya reaksi obat tak dikehendaki cukup serius, pasien perlu diperingatkan.

Mengatasi munculnya efek samping obat dapat menggunakan prinsip farmakoterapi yang rasional

yaitu M – 5 dan 4T + 1W. Prinsip M – 5 terdiri dari :

1. Mengenali gejala – gejala dan tanda – tanda penyakit.

2. Menegaskan dianosis penyakit.

3. Memilih tatalaksana terapi (non – farmakologik, farmakologik, gabungan non – farmakologik

dan farmakologik).

4. Memilih dan menetapkan produk obat.

5. Memantau dan mengevaluasi output pengobatan.

Prinsip 4T + 1W meliputi :

1. Tepat indikasi obat yang akan digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit yang akurat.

2. Tepat penderita tidak ada kontraindikasi dan atau kondisi khusus yang memerlukan

penyesuaian dosis dan atau kondisi yang mempermudah timbulnya efek samping.

3. Tepat obat pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan nisbah/rasio keamanan –

kemanjuran di antara obat yang ada.

4. Tepat dosis dan cara pemberian takaran, jalur pemberian, waktu dan lama pemberian (lama

pemakaian) tergantung kondisi penderita.

5. Waspada terhadap efek samping obat.

Langkah – langkah prosedural untuk dapat mengatasi kemungkinan memburuknya efek samping obat

sedangkan pengobatan harus tetap dilakukan adalah :

1. Analisa manfaat – resiko, bila terpaksa digunakan, hendaknya manfaat yang ingin dicapai lebih

besar daripada faktor resiko.

2. Penyesuaian dosis.

3. Pengaturan waktu pemberian obat.

4. Lama pemberian/pemakaian oleh pasien

Page 49: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

48

5. Pemantauan kondisi pasien secara intensif (pemantauan kadar obat dalam darah).

6. Menggunakan varian atau derivat obat lain yang yang lebih aman, tetapi memiliki khasiat dan

efek farmakologis yang serupa.

7. Penanganan kedaruratan (misalnya pada syok anafilaksis, peningkatan toksisitas).

8. Penggunaan obat – obatan lini pertama dapat memperkecil resiko terjadinya efek samping,

misalnya yang ada dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).

Page 50: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

49

XII. PENGGOLONGAN OBAT

Penggolongan obat menurut peraturan perundang – undangan terbagi atas :

• Obat Bebas Daftar B Lingkaran Hijau

• Obat Bebas Terbatas daftar W Lingkaran Biru

dengan peringatan

• Narkotika daftar O Lingkaran Merah

• Obat Keras daftar G Lingkaran Merah

terdiri dari :

1. Obat Wajib Apotek (OWA)

2. Obat Keras Tertentu (OKT) dan Psikotropika

3. Obat Keras Lainnya (diluar poin 1 & 2)

Tanda peringatan obat bebas terbatas berdasarkan SK Menkes No. 6355/Dir.Jend./SK/69, adalah :

P.No. 1 Awas! Obat Keras. Bacalah aturan memakainya.

P.No. 2 Awas! Obat Keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan.

P.No. 3 Awas! Obat Keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.

P.No. 4 Awas! Obat Keras. Hanya untuk dibakar.

P.No. 5 Awas! Obat Keras. Tidak boleh ditelan.

P.No. 6 Awas! Obat Keras. Obat wasir, jangan ditelan.

Sedangkan penggolongan obat secara secara farmakologi dapat berupa tempat, cara kerja dan sifat

obat tersebut maupun berdasarkan senyawa induknya (derivat – derivat yang merupakan hasil modifikasi

dari strutur kimia dasarnya).

Page 51: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

50

XIII. OBAT ESSENSIAL NASIONAL

Obat esensial nasional adalah obat terpilih yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan,

mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi, dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia pada unit

pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya.

A. Kriteria Pemilihan Obat Esensial

1. Memiliki rasio manfaat – resiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita.

2. Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavalabilitas.

3. Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan.

4. Praktis dalam penggunaan dan penyerahan yang disesuaikan dengan tenaga, sarana, dan fasilitas.

5. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh penderita.

6. Memiliki ratio manfaat – biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya langsung

dan tidak langsung.

7. Bila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan dijatuhkan

pada :

- Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan data ilmiah;

- Obat dengan sifat farmakokinetik yang diketahui paling menguntungkan;

- Obat yang stabilitasnya lebih baik;

- Mudah diperoleh;

- Obat yang telah dikenal.

8. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :

- Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap;

- Kombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada

masing – masing komponen;

- Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat untuk

sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut;

- Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat – biaya (benefit-cost ratio);

- Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya

resistensi dan efek merugikan lainnya.

Page 52: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

51

B. Daftar Obat Esensial Nasional

Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) merupakan daftar berisikan obat terpilih yang paling

dibutuhkan dan diupayakan tersedia di unit pelayanan kesehatan sesuai fungsi dan tingkatnya. DOEN

merupakan standar minimal untuk pelayanan kesehatan.

Page 53: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

52

XIV. UTEROTONIKA

Uterotonika atau sering juga disebut oksitosik adalah obat yang merangsang kontraksi uterus yang

berada dalam kehamilan, sehingga digunakan untuk memulai persalinan, baik pada kehamilan muda

(aborsi) maupun lanjut, dan mencegah/menghentikan perdarahan paskasalin. Kelompok ini terdiri dari

oksitosin, alkaloid ergot (seperti ergometrin maleat, metilergometrin maleat), dan prostaglandin (seperti

dinoproston, sulproston).

Pencegahan dan penghentian perdarahan paskasalin atau pada perdarahan pada abortus inkomplit dapat

dihentikan dengan ergometrin dan oksitosin secara intramuskular (im) dalam dosis yang disesuaikan

dengan kondisi pasien. Penggunaan oksitosik ini hanya disarankan dipergunakan dokter atau bidan yang

terlatih.

A. Oksitosin

Oksitosin yang diberikan secara infus intravena (iv) lambat efektif untuk induksi atau memacu

persalinan yang biasanya diberikan bersama dengan tindakan amniotomi (tindakan untuk

membuka selaput ketuban dan mengalirkan cairan air ketuban) kontraksi uterus harus

dipantau untuk mencegah stimulasi berlebihan pada otot rahim.

Oksitosin dosis besar atau infus berkepanjangan dengan dosis tinggi juga dapat menyebabkan

retensi cairan (tertahannya/kelebihan cairan) dan hiponatremia (kadar natrium di bawah normal)

untuk mencegah ini gunakan cairan elektrolit (jangan glukosa), pekatkan larutannya, kurangi

cairan per oral, monitor cairan dan elektrolit.

Oksitosin dikontraindikasikan pada setiap keadaan yang tidak memungkinkan persalinan per

vagina, lemah uterus, hipertensi berat dan penyakit jantung, serta preeklamsia berat.

B. Ergometrin Maleat dan Metilergometrin Maleat (Methergin)

Kedua obat ini dikontraindikasikan pada kondisi penyakit jantung berat, gangguan fungsi hati

dan ginjal yang berat, sepsis, hipertensi berat dan eklamsia.

C. Dinoproston

Dinoproston pada umumnya digunakan untuk induksi aborsi dalam bentuk tablet per vaginal

yang dimasukkan jauh ke dalam forniks posterior.

Obat ini dikontraindikasikan pada penyakit jantung, plasenta previa (plasenta yang letaknya

abnormal, cenderung menutupi jalan lahir), riwayat operasi Caesar, infeksi pelvis, gawat janin,

dan riwayat persalinan yang sulit/traumatik.

Page 54: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

53

XV. OBAT ANTI PERDARAHAN

Pada umumnya obat anti perdarahan ini terbagi atas golongan vitamin K (menadiol natrium fosfat

dan fitomenadion) dan golongan antifibrinolitik (asam traneksamat, desmopresin, aprotinin, dan

etamsilat).

A. Vitamin K

Vitamin K perlu untuk produksi faktor pembeku darah dan berbagai protein yang diperlukan

untuk kalsifikasi tulang.

Vitamin K larut dalam lemak, penderita dengan malabsorpsi lemak akan mengalami defisiensi

vitamin K, khususnya bila ada obstruksi bilier atau penyakit hati.

Vitamin K dikontraindikasikan pada wanita hamil tua.

Pemberian vitamin K pada bayi untuk profilaksis pendarahan karena defisiensi vitamin K harus

dibawah pengawasan dokter/dokter anak.

B. Antifibrinolitik

Fibrinolisis dapat meningkat pada keadaan patologik tertentu, terutama pada berbagai jenis

syok, setelah pembedahan pada daerah urogenital, pada leukosis, karsinoma, atau sirosis hati

Perdarahan ini terjadi karena terhambatnya faktor pembekuan darah oleh produk pecahan fibrinogen

dan fibrin pada kasus semacam ini dapat diberikan antifibrinolitik (obat penghambat fibrinolisis)

dengan pemantauan yang ketat terhadap status pembekuannya.

1. Asam traneksamat

Melarutnya fibrin dapat diganggu oleh pemberian asam traneksamat yang menghambat

aktivasi plasminogen dan fibrinolisis.

Asam traneksamat ini diindikasi pada fibrinolisis lokal dan menoragia.

2. Aprotinin

Merupakan penghambat enzim proteolitik yang bekerja pada plasmin dan kalidinogenase

(kalikrein).

Obat ini diindikasikan untuk pasien resiko tinggi kehilangan darah selama dan setelah bedah

jantung terbuka dan juga untuk pengobatan perdarahan yang mengancam jiwa akibat

hiperplasminemia.

3. Etamsilat

Mengurangi perdarahan kapiler dengan adanya trombosit yang normal.

Kerjanya tidak dengan cara stabilisasi fibrin, tetapi dengan cara mengoreksi adhesi platelet

(trombosit) yang abnormal.

Page 55: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

54

XVI. ANALGESIK

Obat yang bekerja sebagai analgesik umumnya terdiri dari analgesik non-opioid dan analgesik

opioid. Namun beberapa ahli farmakologi juga memasukan anti inflamasi non steroid (AINS) atau

Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) sebagai golongan analgesik non-opioid karena selain

memiliki aktivitas anti inflamasi juga efektif dalam mengurangi nyeri.

A. Analgesik Non – Opioid

1. Asetosal (Asam Asetilsalisilat atau sering disebut juga Aspirin).

Asetosal diindikasikan sebagai analgesik untuk nyeri ringan sampai sedang, sakit kepala,

nyeri muskuloskeletal sementara, anti inflamasi, dismenore, demam (antipiretik), dan anti

penggumpalan darah (antiplatelet).

Hindari penggunaan Asetosal pada kehamilan dan asma berat.

Asetosal dikontraindikasikan pada anak di bawah usia 12 tahun karena dapat menimbulkan

Sindrom Reye (kerusakan pada mitokondria liver sehingga liver tidak mampu mengubah

timbunan glikogen menjadi glukosa), reaksi alergi terhadap asetosal, dan pada kasus

perdarahan (termasuk menstruasi dengan darah yang banyak).

2. Parasetamol (atau sering disebut juga Asetaminofen).

Parasetamol memiliki kemanjuran yang mirip dengan Asetosal, namun tidak memiliki

aktivitas anti inflamasi yang berarti.

Parasetamol umumnya lebih disukai daripada asetosal karena kurang mengiritasi lambung,

terutama pada usia lanjut.

Selain aktivitasnya sebagai analgesik, Parasetamol juga memiliki aktivitas antipiretik yang

cukup efektif sehingga menjadi obat pilihan utama sebagai penurun panas.

Pemakaian secara terus – menerus dalam jangka waktu lama dan overdosis Parasetamol

dapat mengakibatkan kerusakan hati.

3. Dipiron

Dipiron sering disebut juga Antalgin atau Metampiron.

Antalgin ini memiliki aktivitas analgesik cukup kuat, namun aktivitas anti inflamasi dan

antipiretiknya cukup lemah.

Antalgin sering kurang disukai karena menyebabkan iritasi lambung dan menyebabkan rasa

mual.

Page 56: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

55

4. Asam Mefenamat

Asam Mefenamat adalah analgesik yang cukup kuat yang masih termasuk kelompok AINS,

tetapi sifat anti inflamasinya rendah.

Berbeda dengan AINS lainnya, asam mefenamat terkadang menimbulkan efek samping

diare dan kadang – kadang anemia hemolitik tidak dianjurkan pemakaian lebih dari 7

hari kecuali dalam pengawasan ahli.

B. Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

Obat – obatan AINS ini juga memiliki aktivitas sebagai analgesik sehingga termasuk dalam

golongan analgesik non – opioid.

Obat yang termasuk dalam golongan AINS ini antara lain adalah Ibuprofen, Naproksen,

Fenbufen, Fenoprofen, Flurbiprofen, Ketoprofen, Asam Tiaprofenat, Diklofenak, Aseklofenak,

Etodolak, Ketorolak, Diflunisal, Indometasin, Meloksikam, Piroksikam, Tenoksikam,

Nabumeton, Azapropazon, Fenilbutazon, Oksifenbutazon, Fentiazac, dan Asam Tolfenamat.

Dalam dosis tunggal, AINS mempunyai aktivitas analgesik yang setara dengan Parasetamol,

tetapi Parasetamol lebih disukai terutama untuk pasien usia lanjut.

Dalam dosis penuh (full dosage) yang lazim, AINS memperlihatkan efek analgesik yang

bertahan lama yang membuatnya sangat berguna pada pengobatan nyeri berlanjut atau nyeri

berulang akibat radang oleh karena itu, walaupun Parasetamol sering mengatasi nyeri dengan

baik pada osteoartritis, AINS lebih tepat daripada Parasetamol atau analgesik opioid dalam

artritis rematoid dan pada beberapa kasus osteoartritis lanjut.

AINS juga bermanfaat untuk nyeri punggung dan gangguan jaringan lunak yang tidak jelas.

Hampir sebagian besar AINS dapat menyebabkan iritasi lambung dan saluran cerna sehingga

dikontraindikasikan pada pasien dengan tukak lambung dan tukak pada usus.

1. Ibuprofen

Ibuprofen adalah turunan asam propionat yang berkhasiat anti inflamasi, analgesik, dan

antipiretik obat ini memiliki efek samping yang lebih sedikit dibanding AINS lain, tetapi

sifat anti inflamasinya lebih rendah.

Ibuprofen diindikasikan pada nyeri dan radang pada penyakit reumatik, gangguan otot skelet

lainnya, nyeri ringan sampai berat termasuk dismenore, analgesik paska bedah, nyeri dan

demam pada anak.

Page 57: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

56

2. Diklofenak

Pada umumnya sediaan diklofenak terdapat dalam bentuk garamnya yaitu natrium atau

kalium diklofenak.

Diklofenak ini diindikasikan untuk nyeri dan radang pada penyakit reumatik dan gangguan

otot skelet lainnya, gout akut, dan nyeri paska bedah.

C. Analgesik Opioid

Analgesik opioid umumnya digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat

penggunaan berulang dapat mengakibatkan ketergantungan dan toleransi.

Efek samping yang paling sering dijumpai adalah mual, muntah, konstipasi dan rasa mengantuk

pada dosis yang lebih besar dapat menimbulkan depresi nafas dan hipotensi.

Analgesik opioid pada umumnya dari golongan narkotika antara lain adalah Morfin,

Buprenorfin, Kodein, Dekstromoramid, Difenoksilat, Dipipanon, Dekstropropoksifen,

Diamorfin (Heroin), Dihidrokodein, Alfentanil, Fentanil, Remifentanil, Meptazinol, Metadon,

Nalbufin, Oksikodon, Papaveretum, Pentazocin, Petidin, Fenazocin, Fenoperidin, Tramadol, dan

sebagainya.

1. Morfin (dalam bentuk Morfin HCl)

Morfin merupakan analgesik opioid (narkotik) untuk nyeri berat walaupun sering

mengakibatkan mual dan muntah morfin merupakan standar yang digunakan sebagai

pembanding bagi analgesik opioid lainnya.

Selain menghilangkan nyeri dan digunakan untuk anestesi, morfin juga menimbulkan

keadaan euforia dan gangguan mental.

2. Kodein (dalam bentuk Kodein Fosfat)

Kodein adalah obat golongan narkotika yang efektif untuk mengurangi nyeri ringan hingga

sedang, tetapi terlalu banyak menimbulkan konstipasi bila dipakai untuk jangka panjang.

Kodein juga sering digunakan untuk mengurangi nyeri pada batuk yang berat dan lama

karena kemampuannya menekan refleks batuk pada sistem saraf pusat (SSP).

3. Fentanil

Fentanil adalah obat golongan narkotika yang diindikasikan untuk analgesia selama

pembedahan, memperdalam anestesia, depresan respirasi pada ventilasi buatan, dan nyeri

kronik yang sukar ditangani seperti pada kanker.

Baru – baru ini telah diperkenalkan juga Fentanil dengan sistem pemberian transdermal

sebagai plester.

Page 58: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

57

4. Petidin (dalam bentuk Petidin HCl)

Petidin adalah analgesik golongan narkotika yang memberikan efek analgesik yang cepat

tetapi bertahan untuk waktu yang singkat, kurang menimbulkan konstipasi dibanding morfin,

tetapi kurang poten sebagai analgesik bahkan dalam dosis tinggi.

Petidin tidak cocok digunakan untuk nyeri hebat dan berkepanjangan.

Petidin sangat umum digunakan sebagai analgesia dalam proses melahirkan dan pada

neonatus karena jarang terjadi depresi napas dibandingkan analgesik opioid yang lainnya,

hal ini disebabkan karena kerjanya yang lemah.

5. Tramadol (dalam bentuk Tramadol HCl)

Tramadol adalah analgesik opioid namun hanya termasuk golongan obat keras tertentu

(OKT) yang diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat.

Dilaporkan memiliki lebih sedikit efek samping yang khas opioid terlihat dari kurangnya

depresi nafas, konstipasi, dan potensi kecanduan.

Page 59: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

58

XVII. OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PENGOBATAN INFEKSI

A. Antibiotika/Antimikroba/Antibakteri

antibiotika ialah zat yang dihasilkan oleh mikroba, terutama fungi, yang dapat menghambat

atau membasmi mikroba jenis lain dapat juga dibuat secara sintetis.

tujuan penggunaan antibiotika adalah :

1. Terapi empirik infeksi

2. Terapi definitif infeksi

3. Profilaksis non – bedah.

4. Profilaksis bedah.

1. Penisilin

penisilin merupakan antibiotika beta – laktam bersifat bakterisid dan bekerja dengan

cara menghambat sintesis dinding sel.

efek samping utama adalah reaksi urtikaria; hipersensitivitas sering disebabkan struktur

dasar penisilin.

a. Benzilpenisilin (penisilin G) dan fenoksimetilpenisilin (penisilin V)

benzilpenisilin dirusak oleh penisilinase, absorpsi per oral sangat terbatas karena

dirusak oleh asam lambung karena itu diberikan secara parenteral.

penisilin prokain merupakan garam penisilin yang larut dalam air.

b. Penisilin tahan penisilase

terdiri dari kloksasilin, flukoksasilin

kloksasilin dan flukoksasilin tidak dirusak oleh penisilase sehingga efektif untuk

strain kuman tersebut juga tahan terhadap asam lambung sehingga dapat

diberikan per oral.

c. Penisilin spektrum luas

terdiri dari ampisilin, amoksisilin, coamoksiklav, bakampisilin, pivampisilin.

ampisilin per oral diabsorpsi tidak lebih dari separuhnya absorpsi lebih rendah

lagi bila ada makanan dalam lambung.

amoksisilin merupakan turunan ampisilin yang hanya berbeda pada 1 gugus

hidroksil dan memiliki spektrum antibakteri yang sama diabsorpsi lebih baik

Page 60: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

59

diberikan per oral dan menghasilkan kadar yang lebih tinggi dalam plasma dan

jaringan absorpsi tidak terganggu dengan adanya makanan dalam lambung.

coamoksiklav terdiri dari amoksisilin dan penghambat β – laktamase (asam

klavulanat) asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki efek antibakterial,

tetapi denan menginaktifkan penisilase kombinasi ini efektif terhadap bakteri

penghasil penisilase yang resisten terhadap amoksisilin.

d. Penisilin antipseudomonas

terdiri dari ureidopenisilin, azlosilin, tikarsilin, piperasilin, sulbenisilin.

2. Sefalosporin/cefalosporin dan antibiotik beta – laktam lainnya

a. Sefalosporin/cefalosporin

termasuk antibiotik beta – laktam yang bekerja dengan cara menghambat sintesis

dinding sel mikroba.

sefalosporin aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif, tetapi spektrum

antimikroba masing – masing derivat bervariasi.

sefalosporin generasi I terdiri dari cefaleksin, cefradin, cefadroksil, cefazolin

sefalosporin generasi II terdiri dari cefaklor, cefprozil, cefuroksim, cefamandole,

cefmetazole, cefocinid.

sefalosporin generasi III terdiri dari cefiksim, cefpodoksim, cefotaksim, ceftidoren,

ceftriakson, ceftazidime, cefoperazone, ceftizoxime.

sefalosporin generasi IV terdiri dari cefepime, cefpirome, cefclidin.

b. Antibiotik beta – laktam lainnya

terdiri dari azetronam, imipenem, meropenem

azetronam merupakan β – laktam monosiklik (monobaktam) dengan spektrum

antibakterial terbatas pada kuman aerobik gram negatif.

imipenem merupakan antibiotik dengan spektrum luas mencakup kuman gram

positif dan negatif, aerob dan anaerob sebagian mengalami inaktivasi secara

enzimatik di ginjal, karena itu diberikan bersama silastatin (suatu penghambat enzim

spesifik di ginjal).

3. Tetrasiklin

merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang terdiri dari tetrasiklin, demeklosiklin,

doksisiklin, minoksiklin, oksitetrasiklin.

Page 61: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

60

tetrasiklin dideposit di jaringan tulang dan gigi yang sedang tumbuh (kalsium) yang

menyebabkan pewarnaan dan kadang – kadang hipoplasia pada gigi.

tidak boleh diberikan pda anak – anak ≤ 12 tahun, ibu hamil dan menyusui.

absorpsi tetrasiklin terganggu bila diberikan bersama susu (kecuali doksisiklin,

minosiklin), antasida, kalsium, zat besi dan magnesium.

4. Aminoglikosida

aminoglikosida bersifat baktrisidal dan aktif terhadap bakteria gram positif dan negatif.

terdiri dari amikasin, gentamisin (pada infeksi berat dapat dikombinasikan dengan

penisilin atau metronidazol), kanamisin, neomisin sulfat (sangat toksik, seringkali hanya

digunakan topikal), netilmisin, tobramisin, streptomisin (spesifik untuk TB).

aminoglikosida tidak diserap melalui saluran cerna, sehingga harus diberikan secara

parenteral.

aminoglikosida dapat mengganggu transmisi saraf dan pemberiannya harus dihindari

pada miastenia gravis dosis besar pada waktu operasi dapat menyebabkan sindrom

miastenia.

aminoglikosida tidak boleh diberikan bersama diuretik yang potensial menimbulkan

ototoksisitas (misal furosemid dan asam etakrinat) bila tidak dapat dihindarkan,

usahakan jarak/waktu pemberian jauh.

pengukuran kadar plasma sebaiknya selalu dilakukan dan merupakan keharusan paa

anak, orang tua, obesitas, gangguan fungsi ginjal dan pemberian ≥ 7 hari.

aminoglikosida dapat menembus sawar plasenta, sehingga pemberian pada wanita hamil

sebaiknya dihindari.

5. Makrolid

terdiri atas eritromisin, azitromisin, klaritromisin, roksitromisin, spiramisin.

eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir sama dengan penisilin,

merupakan alternatif penisilin.

azitromisin merupakan makrolid dengan aktivitas sedikit lebih rendah dari eritromisin

terhadap kuman gram positif, tapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif.

klaritromisin merupakan turunan eritromisin dengan aktivitas lebih tinggi dibanding

senyawa induknya.

Page 62: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

61

6. Kuinolon/Quinolon (atau sering juga disebut fluorokuinolon)

golongan kuinolon bekerja dengan menghambat DNA gyrase sehingga sintesa DNA

kuman terganggu.

kuinolon generasi I (prototipe awal) terdiri dari asam nalidiksat, asam pipemidat, asam

oksolinat, cinoksasin, norfloksasin aktivitas utamanya terapi gram negatif infeksi

saluran kemih.

kuinolon generasi II terdiri dari pefloksasin, enoksasin, ciprofloksasin, sparfloksasin,

lomefloksasin, fleroksasin spektrum aktivitas lebih luas untuk terapi infeksi

community – acquired maupun infeksi nosokomial.

kuinolon generasi III terdiri dari levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin.

kuinolon generasi IV yaitu trovafloksasin.

7. Sulfonamida dan trimetoprim

sulfonamida terdiri dari kotrimoksasol, sulfadiazin, sulfadimidin, sulfasalazin,

sulfametopirazin.

kotrimoksasol merupakan kombinasi sulfametoksazol dan trimetoprim dengan

perbandingan 5 : 1 sifat sinergis ini memperluas spektrum terapi infeksi

community – acquired.

sulfametoksazol menghambat sintesis asam folat, sedangkan trimetoprim menghambat

reduksi asam dihydrofolat menjadi tetrahydrofolat sehingga menghambat enzim pada

alur sintesis asam folat.

8. Kloramfenikol

terdiri dari kloramfenikol, tiamfenikol.

merupakan antibiotika spektrum luas, namun bersifat toksik.

obat ini bekerja menghambat sintesis protein kuman dengan cara berikatan pada

ribosom 50S sehingga menghambat pembentukan rantai peptida.

9. Klindamisin

terdiri dari klindamisin, linkomisin.

klindamisin aktif terhadap kuman kokus gram positif termasuk yang resisten penisilin,

juga terhadap kuman anaerob.

bila terjadi diare, hentikan pengobatan akibat efek samping kolitis.

obat ini dikonsentrasikan dalam tulang dan diekskresikan dalam urin dan empedu.

Page 63: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

62

10. Vankomisin

termasuk antibiotik golongan glikopeptida aktivitas bakterisidal terhadap kuman

gram positif aerobik dan anaerobik.

penggunaannya terbatas pada profilaksis dan pengobatan endokarditis, kolitis pseudo

membranosa dan infeksi berat lainnya yang disebabkan oleh kokus gram positif

termasuk yang multiresisten.

bersifat ototoksik dan nefrotoksik pemberian per oral tidak efektif untuk infeksi

sistemik, karena hampir tidak diabsorpsi.

11. Spektinomisin

aktif terhadap berbagai kuman gram negatif

12. Polimiksin

terdiri dari polimiksin, kolistin.

kolistin aktif terhadap kuman gram negatif tidak diabsorpsi saluran cerna

indikasi terbatas karena sangat toksik.

kolistin digunakan per oral untuk sterilisasi usus pada pasien netropenia (biasanya

bersama nistatin) tidak dianjurkan untuk infeksi saluran cerna dapat diberikan

secara inhalasi untuk terapi tambahan.

sediaan topikal (misal tetes mata) mengandung polimiksin B dan kolistin.

B. Antimikobakteri

tuberkulosa dan lepra disebabkan bakteri tahan asam yang sifatnya berbeda dengan lainnya.

1. Tuberkulostatik

kasus tuberkulosa (TB) digolongkan berdasarkan tempat infeksi, beratnya penyakit,

hasil pemeriksaan bakteriologis dan riwayat pengobatan sebelumnya.

obat TB terdiri dari isoniazid (INH), rifampisin, pyrazinamid, etambutol, streptomisin,

sikloserin.

obat – obat sekunder diberikan untuk TBC yang disebabkan kuman yang resisten, atau

bila obat primer menimbulkan efek samping yang tidak bisa ditoleransi obat

sekunder adalah kapreomisin, sikloserin, makrolid generasi baru (azitromisin dan

klaritromisin), 4 – kuinolon (ciprofloksasin dan ofloksasin) dan protionamid.

2. Leprostatik

obat yang dianjurkan untuk pengobatan lepra adalah dapson, klofazimin, rifampisin.

Page 64: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

63

C. Anti jamur

1. Golongan polien

termasuk dalam golongan ini adalah amfoterisin dan nistatin.

amfoterisin tidak diabsorpsi di saluran cerna dan merupakan anti jamur yang diberikan

parenteral (i.v.) digunakan untuk infeksi jamur sistemik dan aktif terhadap sebagian

besar jamur dan ragi.

nistatin terlalu toksik jika diberikan secara parenteral (i.v.)

2. Golongan imidazol

terdiri dari imidazol, klotrimazol, mikonazol, ketokonazol, ekonazol, fentikonazol,

isokonazol, sulkonazol dan tiokonazol.

golongan ini aktif terhadap berbagai jenis jamur dan ragi.

3. Golongan triazol

terdiri dari flukonazol dan itrakonazol

4. Anti jamur lainnya

yaitu griseofulvin dan terbinafin

griseofulvin secara selektif dikonsentrasikan di lapisan keratin dan merupakan obat

terpilih untuk dermatofitosis yang luas dan bandel lebih efektif untuk jamur kulit

daripada jamur kuku.

griseofulvin diabsorpsi dengan baik di saluran cerna terutama bila diminum bersama

susu tidak aktif bila diberikan secara topikal.

terbinafin merupakan anti jamur alilamina, diperkenalkan untuk kurap dan infeksi jamur

pada kuku dapat juga digunakan per oral.

D. Antivirus

1. Pengobatan pada herpes simpleks dan varisella zoster

terdiri dari asiklovir, famsiklovir, valasiklovir.

penggunaan asiklovir meliputi pengobatan sistemik varisella zoster termasuk cacar air,

pengobatan sistemik dan topikal herpes simpleks kulit dan membran mukosa (termasuk

herpes genitalis)

asiklovir merupakan obat penyelamat jiwa (life-saving drug) untuk pasien herpes

simplek atau herpes zoster immunocompromised.

Page 65: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

64

famsiklovir merupakan prodrug pensiclovir dan memiliki aktivitas yang sama dengan

asiklovir diindikasikan untuk herpes zoster dan herpes genitalis.

valasiklovir merupakan ester asiklovir yang diindikasikan untuk herpes zoster, herpes

simpleks kulit dan mukosa (termasuk herpes genitalis).

2. Pengobatan pada Human Immunodeficiency Virus (HIV)

a. Penghambat Reverse Transkriptase Nukleotida (atau analog nukleotid)

terdiri dari didanosin, lamivudin, stavudin, zalsitabin, zidovudin.

zidovudin merupakan obat pertama yang digunakan untuk HIV obat ini dapat

menembus sawar darah otak dan mungkin bermanfaat juga mencegah dimensia

(pikun) karena AIDS.

b. Penghambat Protease

terdiri dari indinavir, ritonavir, saquinavir.

kerja menghambat sistem enzim sitokrom P – 450, sehingga potensial menimbulkan

reaksi dengan obat lain.

3. Pengobatan sitomegalovirus

yaitu gansiklovir

mirip dengan asiklovir, tetapi lebih aktif terhadap sitomegalovirus dan bersifat lebih

toksik hanya digunakan bila manfaat jelas – jelas lebih besar dari risikonya.

E. Antiprotozoa

terdiri dari metronidazol, tinidazol.

metronidazol merupakan antimikroba dengan aktivitas yang sangat baik terhadap bakteri

anaerob dan protozoa aktivitas antibakteri anaerobnya sangat bermanfaat untuk sepsis

pada kasus bedah dan ginekologis efektif untuk pengobatan kolitis pseudomembranosa

akibat antibiotik.

metronidazol merupakan obat terpilih untuk disentri amuba invasi akut.

tinidazol mempunyai aktivitas yang sama dengan metronidazol, tetapi masa kerja lebih

panjang.

metronidazol dan tinidazol juga efektif terhadap amuba yang bermigrasi ke dalam hati

pengobatan metronidazol/tinidazol biasanya diikuti dengan pemberian diloksanid furoat

selama 10 hari.

metronidazol efektif untuk abses amuba pada hati tinidazol merupakan alternatif.

Page 66: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

65

F. Anti malaria

terdiri dari klorokuin, halofantrin, meflokuin, primakuin, sulfadoksin – pirimetamin, kina,

artemether, arterakine (dihydroartemisinin + piperaquine fosfat).

klorokuin, halofantrin, meflokuin, sulfadoksin – pirimetamin dan kina sering digunakan

untuk mengobati malaria dari tipe Plasmodium falciparum.

klorokuin digunakan untuk profilaksis malaria di daerah yang kemungkinan resistensi

klorokuin masih rendah.

halofantrin tidak boleh digunakan untuk profilaksis.

meflokuin digunakan untuk profilaksis malaria di daerah endemis malaria yang resisten

terhadap klorokuin.

primakuin digunakan untuk membasmi profilaksis P. vivax dan P. ovale.

sulfadoksin – pirimetamin tidak direkomendasikan untuk profilaksis malaria, tapi digunakan

untuk pengobatan malaria falsiparum dan dapat digunakan bersama atau sesudah obat

malaria lainnya (misalnya kina).

kina tidak digunakan untuk profilaksis malaria hanya untuk pengobatan.

artemether dan arterakine (dihydroartemisinin + piperaquine fosfat) disebutkan dapat

mengobati semua jenis malaria berat termasuk pada multi – resistensi Plasmodium

falciparum dan yang resisten terhadap klorokuin.

G. Antihelmintik

terdiri dari mebendazol, albendazol, tiabendazol, piperazin, levamisol, niklosamid,

prazikuantel, dietilkarbamazin, ivermectin, pirantel pamoat.

aktivitas antihelmintik tiap obat tersebut secara garis besar efektif pada setiap parasit.

Page 67: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

66

XVIII. HIPNOTIK – SEDATIF

Obat yang termasuk hipnotik – sedatif ini pada umumnya adalah golongan psikotropika.

Dipandang dari sudut efeknya, obat – obat dalam kelompok ini mempunyai pengaruh yang saling

dapat saling tumpang tindih contohnya Diazepam mempunyai efek ansiolitik dan juga sedatif –

hipnotik pengaruh sedatif juga berefek mengurangi ansietas dan juga mempermudah tidur.

Obat sedatif (atau ansiolitik) akan mengurangi ansietas, menimbulkan ketenangan tanpa

mempengaruhi fungsi motorik dan mental.

Obat hipnotik menyebabkan mengantuk, menpercepat tidur dan mencukupkan keadaan tidur sedapat

mungkin menyerupai tidur alami.

Dengan meningkatkan dosis maka pengaruh sedatif dapat menjadi hipnotik, akan tetapi harus diingat

bahwa efek sedatif dapat juga merupakan efek samping dari obat – obatan yang bukan depresan

sistem saraf pusat (SSP).

Golongan Benzodiazepin merupakan hipnotik – sedatif yang paling penting karena sering dipakai

sebagai antiansietas ansiolitik dan hipnotik, relaksan otot, antiepilepsi dan juga menimbulkan sedasi

dan amnesia sebelum dan selama tindakan operasi.

Golongan Benzodiazepin kurang menimbulkan efek samping dibandingkan dengan golongan

Barbiturat, dan dalam keadaan overdosis kurang berbahaya Benzodiazepin juga tidak

mempengaruhi enzim mikrosom hati, sehingga resiko interaksi dengan obat lain sedikit.

Benzodiazepin dan juga Barbiturat mempengaruhi GABA (gamma amino butyric acid) yaitu suatu

neurotransmiter penghambat yang penting di sistem saraf pusat.

A. Benzodiazepin yang digunakan sebagai hipnotik

Beberapa obat golongan Benzodiazepin dipakai sebagai hipnotik adalah durasi kerja panjang

(Nitrazepam, Flunitrazepam, Flurazepam) dan durasi kerja pendek (Loprazolam, Lormetazepam,

Temazepam) termasuk juga Kloralhidrat, Midazolam, Estazolam, Triazolam.

Benzodiazepin ansiolitik seperti Diazepam yang diberikan malam hari dengan dosis tunggal

dapat juga berperan sebagai hipnotik.

B. Benzodiazepin yang digunakan sebagai sedatif (ansiolitik)

Golongan Benzodiazepin yang bekerja sebagai ansiolitik efektif dalam menghilangkan ansietas

dan banyak digunakan dipakai untuk gejala – gejala yang berkaitan dengan stres, tidak

bahagia, dan penyakit fisik minor.

Benzodiazepin dipakai untuk pemakaian jangka pendek pada ansietas yang berat terbagi atas

durasi kerja panjang (Diazepam, Alprazolam, Bromazepam, Klobazam, Klorazepat) dan durasi

kerja pendek (Lorazepam, Oksazepam)

Page 68: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

67

Diazepam dan Lorazepam kadang – kadang digunakan secara intravena (i.v.) untuk

mengendalikan panik pemakaian intramuskular (i.m.) tidak lebih menguntungkan dibanding

dengan pemakaian oral.

C. Barbiturat

Golongan Barbiturat yang kerjanya sedang hanya digunakan pada pengobatan insomnia yang

sulit diobati dan berat, pada pasien – pasien sebelumnya telah mendapat Barbiturat.

Obat golongan Barbiturat ini dihindari pada usia lanjut.

Golongan Barbiturat dengan durasi kerja lama seperti Fenobarbital dan Metilfenobarbital

kadang – kadang masih bermanfaat pada kasus epilepsi.

Barbiturat yang durasi kerjanya sangat pendek seperti Metoheksital dan Tiopental sering

digunakan dalam anestesia.

Page 69: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

68

XIX. OBAT YANG DIGUNAKAN UNTUK PENYAKIT PADA

SISTEM KARDIOVASKULER

A. Obat inotropik positif

bekerja dengan menaikkan kontraksi otot jantung (miokardium) dan digunakan untuk gagal

jantung (keadaan dimana jantung gagal untuk memompakan darah dalam volume yang

dibutuhkan) sebagai pembanding, inotropik negatif berfungsi menurunkan kontraksi otot

jantung

1. Glikosida jantung (digitalis)

paling berguna pada takikardi supraventrikel terutama untuk memperlambat denyut

ventrikel pada fibrilasi atrium

digitalis terdiri dari digoksin dan digitoksin

pada gagal jantung yang telah dikendalikan, digitalis dihentikan dan hanya dibutuhkan

untuk mempertahankan ritme.

digoksin + diuretik harus ditambah suplemen kalium hipokalemia menyebabkan

intoksikasi digitalis.

2. Penghambat fosfodiesterase

merupakan penghambat enzim fosfodiesterase menyeababkan peningkatan kadar

siklik AMP (cAMP) dalam sel miokard yang akan meningkatkan kadar kalsium intrasel.

penggunaan iv untuk jangka pendek membantu sirkulasi gagal jantung.

penggunaan oral untuk jangka panjang menyebabkan efek samping yang tidak dapat

ditoleransi dan peningkatan mortalitas.

terdiri dari milrinon dan amirinon.

B. Obat – obat antiaritmia

1. Aritmia supraventrikel

terdiri dari adenosin (adenosin triphosphat/ATP) dan verapamil HCl.

obat terpilih untuk menghentikan takikardi supraventrikel adalah adenosin karena masa

kerja pendek 8 – 10 detik, tetapi memanjang bila diberikan bersama dipiridamol.

pada asma, lebih baik dipilih verapamil daripada β – blocker.

2. Aritmia supraventrikel dan ventrikel

terdiri dari amiodaron HCl, disopiramid, prokainamid HCl, kinidin.

Page 70: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

69

3. Aritmia ventrikel

terdiri dari lidokain HCl, meksiletin HCl, fenitoin natrium.

bretilium hanya digunakan sebagai obat antiaritmia pada resusitasi secara i.v. dan i.m.,

tetapi dapat menyebabkan hipotensi.

C. Obat – obat antihipertensi

strategi terapi : terapi tanpa obat (kendalikan bobot badan; pembatasan sodium/

natrium, lemak jenuh, alkohol; olahraga dan tidak

merokok)

Terapi diuretik jangka pendek

Beta – bloker jangka pendek

Penghambat ACE jangka panjang

Antagonis kalsium jangka panjang

Obat lain vasodilator (hidralazin, minoksidil), alfa – bloker

(prazosin, terazosin, doksazosin), kerja sentral

(metildopa, moksonidin) pada pasien yang tidak

terkendalikan oleh obat lain atau dikontraindikasikan.

lini pertama untuk hipertensi biasanya tiazid + beta – bloker, tiazid + penghambat ACE.

hipertensi pada kehamilan lebih aman metildopa, beta – bloker aman pada trimester ketiga

(misal Labetalol HCl), bila kondisi parah gunakan injeksi i.v. hidralazin (hipertensi kritis).

1. Penghambat saraf adrenergik

bekerja mencegah pelepasan noradrenalin dari pasca – ganglion saraf adrenergik,

guanetidin juga mengosongkan ujung saraf dari noradrenalin.

obat – obat ini ditemukan kurang dapat mengendalikan tekanan darah berbaring dan

dapat menyebabkan hipotensi postural.

terdiri dari debrisokuin dan reserpin.

sudah jarang digunakan mengingat efek samping yang besar seperti impotensi dan

depresi berat, sebagai tambahan terapi lain pada hipertensi yang resisten.

2. Alfa – bloker

terdiri dari doksazosin, indoramin, prazosin HCl, terazosin.

alfa – bloker dengan cepat menurunkan tekanan darah setelah dosis pertama, hati – hati

pada dosis pertama dapat digunakan bersama antihipertensi lainnya.

Page 71: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

70

prazosin menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena, sehingga jarang menimbulkan

takikardi indoramin menimbulkan banyak efek samping.

3. Penghambat enzim pengubah angiotensin (Penghambat ACE)

bekerja dengan cara menghambat pengubahan angiotensin I menjadi angiotensin II,

biasanya lebih efektif dan dapat ditoleransi dengan baik.

penghambat ACE (angiotensin converting enzym) dipertimbangkan bila tiazid +

beta – bloker dikontraidikasikan, tidak dapat ditoleransi atau gagal mengendalikan

tekanan darah.

dikontraindikasikan pada pasien dengan stenosis arteri ginjal bilateral yang berat,

penghambat ACE mengurangi dan meniadakan filtrasi glomerulus sehingga

menyebabkan gagal ginjal yang berat dan progresif.

penghambat ACE dikontraindikasikan pada kehamilan dan harus dihindari pada pasien

yang mungkin akan hamil

kombinasi tiazid + penghambat ACE seharusnya digunakan pada pasien yang tidak

responsif pada salah satunya.

terdiri dari kaptopril, benazepril, delapril, fosinopril, lisinopril, perindopril, kuinapril,

ramipril dan silazapril.

4. Antagonis reseptor angiotensin II

termasuk losartan, valsartan, kandesartan dan irbesartan.

sifatnya mirip dengan penghambat ACE, perbedaannya obat ini tidak menghambat

pemecahan bradikin dan kinin – kinin lainnya, sehingga tampaknya tidak menimbulkan

batuk kering yang persisten seperti pada penghambat ACE, sehingga merupakan

alternatif pengganti.

5. Obat – obat antihipertensi yang bekerja sentral

terdiri dari metildopa, klonidin HCl, moksonidin dan guanfasin.

metildopa aman bagi pasien asma, gagal jantung dan kehamilan (ESO diperkecil) jika

dosis perhari dipertahankan tetap di bawah 1 gram.

klonidin mempunyai kerugian karena penghentian pengobatn tiba – tiba dapat

menyebabkan krisis hipertensif.

moksonidin untuk hipertensi ringan sampai sedang; obat ini digunakan apabila tiazid,

beta – bloker, penghambat ACE dan penyekat saluran kalsium tidak sesuai atau gagal

mengendalikan tekanan darah.

Page 72: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

71

D. Obat – obat antiangina

untuk menanggulangi serangan akut angina pektoris dan profilaksisnya, meliputi golongan

nitrat, gol. Antagonis kalsium dan gol. beta – bloker.

sebagian besar angina pektoris dengan beta – bloker, senyawa nitrat masih berperan sebagai

profilaksis sebelum kerja fisik dan nyeri dada yang terjadi sewaktu istirahat.

1. Golongan nitrat

bekerja langsung merelaksasi otot polos pembuluh vena tanpa bergantung pada sistem

persyarafan miokardium, sehingga dilatasi vena menyebabkan alir balik vena berkurang

sehingga mengurangi beban hulu jantung merupakan vasodilator koroner yang poten.

terdiri atas gliseril trinitrat, isosorbid dinitrat (ISDN), isosorbid mononitrat dan

pentaeritritol tetranitrat.

gliseril trinitrat diberikan secara sublingual merupakan obat untuk mengurangi gejala

angina dengan cepat, efeknya hanya 20 – 30 menit tersedia juga dalam bentuk

semprot aerosol (inhalasi) untuk mempercepat efek.

ISDN efektif secara oral untuk profilaksis, walaupun kerja lambat tetapi efeknya dapat

bertahan beberapa jam

sediaan konvensional isosorbid mononitrat tidak boleh diberikan lebih dari 2x sehari

(kecuali bila digunakan dosis kecil), sedangkan bentuk retard hanya boleh 1x sehari.

2. Golongan antagonis kalsium

bekerja dengan cara menghambat influks ion kalsium transmembran, yaitu mengurangi

masuknya ion kalsium melalui kanal kalsium lambat ke dalam sel otot polos jantung dan

saraf

berkurangnya kadar kalsium bebas di dalam sel – sel tersebut menyebabkan

berkurangnya kontraksi otot polos pembuluh darah (vasodilatasi), berkurangnya

kontraksi otot jantung (inotropik negatif) serta berkurangnya pembentukan dan konduksi

impuls dalam jantung (kronotropik dan dromotropik negatif).

3 tipe antagonis kalsium (nifedipin, verapamil, diltiazem) menyebabkan vasodilatasi

pembuluh darah dengan potensi berbeda nifedipin paling kuat berbeda dengan

verapamil, nifedipin dan derivatnya tidak memiliki aktivitas antiaritmia.

secara keseluruhan antagonis kalsium terdiri dari nifedipin, amlodipin besilat, felodipin,

nikardipin HCl, nimodipin, verapamil dan diltazem HCl.

amlodipin berefek serupa dengan nifedipin dan nikardipin, tetapi tidak punya efek

inotropik negatif dan masa kerja lebih panjang (bisa 1x sehari)

Page 73: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

72

antagonis kalsium tidak mengurangi risiko infark miokard pada angina tidak stabil

dicadangkan bagi pasien yang resisten beta – bloker, golongan nitrat, serta antikoagulasi

dengan asetosal dan heparin i.v.

penghentian antagonis kalsium yang mendadak (putus obat) dapat disertai dengan

memburuknya angina.

3. Golongan beta – bloker (penghambat adrenoseptor beta)

bekerja dengan menghambat adrenoseptor beta di jantung, pembuluh darah perifer,

bronkus, pankreas dan hati.

beta – bloker sendiri/bersama obat lain digunakan untuk pengobatan hipertensi, infark

miokard, tirotoksikosis, aritmia dan angina pektoris.

terdiri dari propanolol HCl, asebutolol, atenolol, betaksolol, bisoprolol fumarat,

karvediol, labetalol HCl, metoprolol tartrat, nadolol, oksprenolol HCl, pindolol,

sotalol HCl.

beberapa beta – bloker (oksprenolol, pindolol, asebutolol) mempunyai aktivitas

simpatomimetik intrinsik (aktivitas agonis parsial), yakni kapasitas untuk merangsang

maupun menghambat reseptor adrenergika beta, karena itu kurang menimbulkan

bradikardi di banding yang lain.

beberapa beta – bloker larut dalam lemak dan beberapa lainnya larut dalam air (atenolol,

nadolol, sotalol), karenanya beta – bloker larut dalam air tersebut sukar masuk ke dalam

otak, sehingga kurang menimbulkan efek gangguan tidur dan mimpi buruk.

beta – bloker umumnya kerja singkat (harus diberikan 2 – 3x/hari), sediaan lepas lambat

cukup 1x/hari pada hipertensi dan pada angina bila perlu 2x/hari.

beberapa beta – bloker seperti atenolol, betaksolol, bisoprolol, karvediol dan nadolol

pada dasarnya memiliki kerja yang panjang, sehingga dapat diberikan 1x/hari.

seluruh kerja beta – bloker memperlambat denyut jantung dan dapat menyebabkan

depresi miokard dan mencetuskan gagal jantung tidak boleh pada pasien yang baru

gagal jantung atau dengan blok aritmia ventrikuler derajat 2 dan 3.

beta – bloker dapat mencetuskan asma dan efek ini berbahaya, dikontraindikasikan pada

pasien dengan penyakit asma dan penyakit paru obstruktif menahun.

atenolol, betaksolol, bisoprolol, metoprolol dan asebutolol kurang berefek pada reseptor

beta – 2, karena itu relatif kardioselektif (tetapi tidak kardiospesifik) beta – bloker

tersebut efeknya kurang pada resistensi saluran nafas (namun tetap tidak bebas dari efek

samping ini).

Page 74: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

73

E. Diuretika

diuretik digunakan untuk mengurangi edema akibat gagal jantung atau akibat lainnya,

oliguria karena gagal ginjal dan hipertensi.

oliguria = berkurangnya ekskresi urin/hari ± 100 – 400 mL.

tiazid + diuretika hemat kalium berguna untuk gagal jantung yang kurang berat bila

hipokalemia sulit diatasi atau dihindari seperti pada pasien yang terus – menerus

cenderung mengalami aritmia ventrikel yang mengancam jiwa.

hipokalemia akan berbahaya pada penyakit arteri koroner yang berat dan pada pasien yang

sedang diobati dengan glikosida jantung.

hipokalemia dipicu diuretik dapat mencetuskan ensefalopati (pada gangguan hati), terutama

pada sirosis alkoholik.

suplemen kalsium digunakan pada kondisi – kondisi berikut :

1. Jika pasien termasuk lansia, karena sering kekurangan kalium dalam dietnya.

2. Pasien menggunakan digoksin/glikosida jantung lainnya, dimana deplesi kalium

dapat menimbulkan aritmia jantung.

3. Pasien yang mungkin mengalami hiperaldosterinisme seperti pada stenosis arteri

ginjal, sirosis hati, sindroma nefrotik dan gagal jantung yang berat.

4. Pasien dengan kehilangan kalium yang berlebihan, seperti pada diare kronis yang

terkait dengan malabsorpsi usus atau penyalahgunaan pencahar.

5. Pasien yang menerima dosis tinggi tiazid atau diuretika kuat.

1. Diuretika golongan tiazid

merupakan diuretik potensi sedang, bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi

natrium pada bagian awal tubulus distal.

mula kerja per oral 1 – 2 jam, sedangkan masa kerja 12 – 24 jam, lazim diberikan pagi

hari agar diuresis tidak mengganggu tidur.

terdiri dari bendrofluazid, klortalidon, metalazon, xipamid, indapamid, benztiazid,

klorotiazid, klopamid, siklopentiazid, hidroklorotiazid (HCT), hidroflumetiazid,

mefrusid, politiazid.

dosis yang tinggi terkadang dapat menyebabkan penurunan kalium, asam urat, glukosa,

lipid plasma tanpa serta – merta

Page 75: Buku Ajar i Farmakologi Dasar

74

2. Diuretik kuat (Loop diuretics)

kerjanya dengan menghambat resorpsi cairan dari ”loop” Henle asending dalam tubulus

ginjal.

digunakan dalam pengobatan edema paru akibat gagal jantung kiri dan gagal jantung

yang telah berlangsung lama pada gangguan ginjal terkadang diperlukan dosis

besar.

hati – hati/hindari pada hipokalemia dan hipotensi

terdiri dari frusemid (furosemid), bumetanid, torasemid.

furosemid bekerja setelah 1 jam per oral dan diuresis sempurna dalam 6 jam, sehingga

dapat diberikan 2x/hari tanpa mengganggu tidur pada dosis besar terkadang

menimbulkan ketulian dan mialgia.

furosemid per i.v., efek puncak dalam waktu 30 menit.

3. Diuretika hemat kalium

diuretika hemat kalium tidak boleh diberikan bersama suplemen kalium, demikian juga

penghambat ACE meningkatkan hiperkalemia.

terdiri dari amilorid HCl, triamteren, spironolakton diuretika lemah yang

menyebabkan retensi kalium.

spironolakton memperkuat efek tiazid/diuretika kuat dengan cara mengantagonisasi

aldosteron.

4. Diuretika merkuri

hampir tidak pernah digunakan karena efek nefrotoksisitasnya.

contohnya, mersalil harus diberikan lewat injeksi i.m., penggunaan i.v. dapat

menyebabkan hipotensi beratdan kematian mendadak.

5. Diuretika osmotik

jarang digunakan pada gagal jantung karena meningkatkan volume darah secara akut.

manitol pada edema serebral dengan dosis khasnya 1g/kg sebagai suatu larutan 20 %

yang diberikan lewat infus i.v. yang cepat.

6. Diuretika penghambat enzim karbonik anhidrase

asetazolamid merupaka diuretika lemah dan jarang digunakan.

asetazolamid dan tetes mata dorzolamid menghambat pembentukan cairan bola mata

dan digunakan untuk glaukoma.