buku ajar ekotok

50
BUKU AJAR EKOTOKSIKOLOGI (BIO 409) DISUSUN OLEH: ANDHIKA PUSPITO NUGROHO, M.Si. FAKULTAS BIOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA JULI 2004

Upload: muhamad-hibban

Post on 24-Dec-2015

115 views

Category:

Documents


25 download

DESCRIPTION

Ekotoksikologi

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Ajar Ekotok

BUKU AJAR

EKOTOKSIKOLOGI(BIO 409)

DISUSUN OLEH:ANDHIKA PUSPITO NUGROHO, M.Si.

FAKULTAS BIOLOGIUNIVERSITAS GADJAH MADA

JULI 2004

Page 2: Buku Ajar Ekotok

Minggu I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekotoksikologi dari kata Ekologi dan Toksikologi

timbul karena adanya

efek bahan kimia di lingkungan (ekosistem) organisme

Ekotoksikologi

mempelajari efek toksik substansi (substances) pada non human species dalam suatu

kompleks sistem (system) (Gambar 1).

Gambar 1. Ekotoksikologi merupakan studi multidisipliner mengenai efek toksiksubstansi pada species dalam kompleks sistem (Leuween 1995).

Tabel 1 menunjukkan disiplin dan bidang kajian ekotoksikologi.

Minggu I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekotoksikologi dari kata Ekologi dan Toksikologi

timbul karena adanya

efek bahan kimia di lingkungan (ekosistem) organisme

Ekotoksikologi

mempelajari efek toksik substansi (substances) pada non human species dalam suatu

kompleks sistem (system) (Gambar 1).

Gambar 1. Ekotoksikologi merupakan studi multidisipliner mengenai efek toksiksubstansi pada species dalam kompleks sistem (Leuween 1995).

Tabel 1 menunjukkan disiplin dan bidang kajian ekotoksikologi.

Minggu I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ekotoksikologi dari kata Ekologi dan Toksikologi

timbul karena adanya

efek bahan kimia di lingkungan (ekosistem) organisme

Ekotoksikologi

mempelajari efek toksik substansi (substances) pada non human species dalam suatu

kompleks sistem (system) (Gambar 1).

Gambar 1. Ekotoksikologi merupakan studi multidisipliner mengenai efek toksiksubstansi pada species dalam kompleks sistem (Leuween 1995).

Tabel 1 menunjukkan disiplin dan bidang kajian ekotoksikologi.

Page 3: Buku Ajar Ekotok

Tabel 1. Disiplin ekotoksikologi dan beberapa topik penelitian (Leuween 1995).

Kimia Toksikologi

Ekologi MatematikaExposure

assessment

Transpor

Partitioning

Transformasi

SARs/QSARs

Effect assessment

Modes of toxic

action

Bioakumulasi

Biotransformasi

Ekstrapolasi

Struktur komunitas

Fungsi komunitas

Dinamika populasi

Siklus nutrien

Various

interactions

Envi. fate models

Phamacokinetic

models LC50 &

NOEC statistics

Species2

extrapolation

Population &

ecosystem models

Efek ekotoksikologis yang dipelajari merupakan respon pada tingkat organisasi

biologis, dari tingkat molekular-ekosistem (Gambar 2). Berdasarkan gambar tersebut,

perubahan biokimiawi merupakan salah satu respon molekular yang dapat dipelajari.

Respon biokimiawi terjadi dalam waktu paling singkat, setelah organisme

mengalami pendedahan suatu bahan kimia (polutan). Selain itu, respon tersebut

merupakan respon yang paling mudah untuk mengetahui hubungan respon dengan

bahan kimia spesifik. Namun, berdasarkan relevansi ekologis, respon biokimiawi

menunjukkan relevansi yang paling rendah.

Gambar 2. Skema hubungan antara respon terhadap polutan pada tingkat organisasibiologis dengan peningkatan waktu respon, peningkatan kesulitan untukmengetahui hubungan respon dengan bahan kimia spesifik, danincreasing importance (Walker et al. 2001).

Tabel 1. Disiplin ekotoksikologi dan beberapa topik penelitian (Leuween 1995).

Kimia Toksikologi

Ekologi MatematikaExposure

assessment

Transpor

Partitioning

Transformasi

SARs/QSARs

Effect assessment

Modes of toxic

action

Bioakumulasi

Biotransformasi

Ekstrapolasi

Struktur komunitas

Fungsi komunitas

Dinamika populasi

Siklus nutrien

Various

interactions

Envi. fate models

Phamacokinetic

models LC50 &

NOEC statistics

Species2

extrapolation

Population &

ecosystem models

Efek ekotoksikologis yang dipelajari merupakan respon pada tingkat organisasi

biologis, dari tingkat molekular-ekosistem (Gambar 2). Berdasarkan gambar tersebut,

perubahan biokimiawi merupakan salah satu respon molekular yang dapat dipelajari.

Respon biokimiawi terjadi dalam waktu paling singkat, setelah organisme

mengalami pendedahan suatu bahan kimia (polutan). Selain itu, respon tersebut

merupakan respon yang paling mudah untuk mengetahui hubungan respon dengan

bahan kimia spesifik. Namun, berdasarkan relevansi ekologis, respon biokimiawi

menunjukkan relevansi yang paling rendah.

Gambar 2. Skema hubungan antara respon terhadap polutan pada tingkat organisasibiologis dengan peningkatan waktu respon, peningkatan kesulitan untukmengetahui hubungan respon dengan bahan kimia spesifik, danincreasing importance (Walker et al. 2001).

Tabel 1. Disiplin ekotoksikologi dan beberapa topik penelitian (Leuween 1995).

Kimia Toksikologi

Ekologi MatematikaExposure

assessment

Transpor

Partitioning

Transformasi

SARs/QSARs

Effect assessment

Modes of toxic

action

Bioakumulasi

Biotransformasi

Ekstrapolasi

Struktur komunitas

Fungsi komunitas

Dinamika populasi

Siklus nutrien

Various

interactions

Envi. fate models

Phamacokinetic

models LC50 &

NOEC statistics

Species2

extrapolation

Population &

ecosystem models

Efek ekotoksikologis yang dipelajari merupakan respon pada tingkat organisasi

biologis, dari tingkat molekular-ekosistem (Gambar 2). Berdasarkan gambar tersebut,

perubahan biokimiawi merupakan salah satu respon molekular yang dapat dipelajari.

Respon biokimiawi terjadi dalam waktu paling singkat, setelah organisme

mengalami pendedahan suatu bahan kimia (polutan). Selain itu, respon tersebut

merupakan respon yang paling mudah untuk mengetahui hubungan respon dengan

bahan kimia spesifik. Namun, berdasarkan relevansi ekologis, respon biokimiawi

menunjukkan relevansi yang paling rendah.

Gambar 2. Skema hubungan antara respon terhadap polutan pada tingkat organisasibiologis dengan peningkatan waktu respon, peningkatan kesulitan untukmengetahui hubungan respon dengan bahan kimia spesifik, danincreasing importance (Walker et al. 2001).

Page 4: Buku Ajar Ekotok

Adanya polutan dalam suatu lingkungan (ekosistem), dalam waktu singkat,

dapat menyebabkan perubahan biokimiawi suatu organisme. Selanjutnya perubahan

tersebut dapat mempengaruhi perubahan fisiologis dan respon organisme, perubahan

populasi, komposisi komunitas, dan fungsi ekosistem (Gambar 2). Perubahan

biokimiawi sampai dengan ekosistem menunjukkan adanya peningkatan waktu respon

terhadap bahan kimia, peningkatan kesulitan untuk mengetahui hubungan respon

dengan bahan kimia spesifik, dan increasing importance.

Berdasarkan Gambar 2, apabila terjadi perubahan komposisi komunitas, hal

tersebut diawali dengan adanya perubahan biokimiawi individu — individu dari

populasi penyusun komunitas, yang selanjutnya diikuti perubahan fisiologis, respon

organisme (kematian dan kemampuan reproduksi), dan perubahan populasi, yang

pada akhirnya mempengaruhi komposisi komunitas.

Gambar 3 menunjukkan sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan

serta efek (respon) pada individu, populasi, komunitas, dan ekosistem. Berdasarkan

gambar tersebut, polutan dilepaskan dari sumber polutan ke dalam ekosistem,

selanjutnya mengalami proses distribusi dan transpor melalui daur atau siklus

biogeokimia serta mengalami transformasi, balk secara fisik atau biologis. Polutan

tersebut kemudian dapat diuptake oleh organisme dan dapat menyebabkan efek

lethal (kematian) dan sublethal. Dalam tubuh organisme, polutan dapat mengalami

biotransformasi dan bioakumulasi. Selanjutnya, terjadi perubahan karakteristik dan

dinamika populasi (reproduksi, imigrasi, recruitment, mortalitas), struktur dan fungsi

komunitas (diversitas spesies, perubahan hubungan predator — prey), dan fungsi

ekosistem (respirasi terhadap rasio fotosintesis, laju siklus nutrien, dan pola aliran

nutrien).

Rute masuknya polutan ke dalam lingkungan

1. Secara alami

a. Mengikuti daur biogeokimia

b. Pelapukan batuan

c. Aktivitas/letusan gunung berapi

2. Disebabkan aktivitas manusia

a. Pelepasan unintended (kecelakaan nuklir, penambangan, kecelakaan kapal)

b. Pembuangan berbagai jenis limbah ke lingkungan secara sengaja maupun

tidak sengaja

c. Aplikasi biocide dalam penanganan hama dan vektor

Page 5: Buku Ajar Ekotok

Gambar 3. Sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan serta responterhadap polutan pada organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem(Francis 1994).

Gambar 3. Sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan serta responterhadap polutan pada organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem(Francis 1994).

Gambar 3. Sumber, distribusi, transpor, dan transformasi polutan serta responterhadap polutan pada organisme, populasi, komunitas, dan ekosistem(Francis 1994).

Page 6: Buku Ajar Ekotok

Minggu II

KELAS UTAMA POLUTAN

Klasifikasi utama polutan (Walker et al. 2001 : 3 — 22)

1. Ion anorganik

a. Metal : kadmium (Cd), timbal (Pb), seng (Zn), mangan (Mn), merkuri (Hg)

b. Anion : nitrat dan fosfat

2. Polutan organik

Senyawa organik : senyawa yang mengandung karbon (C), kecuali CO2 dan

CO

a. Hidrokarbon : Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH)

b. Polychlorinated Biphenyls (PCBs)

c. Polychlorinated Dibenzodioxins (PCDDs)

d. Polychlorinated Dibenzofurans (PCDFs)

e. Polybrominated Biphenyls (PBBs)

f. lnsektisida organoklorin (DDT, aldrin, dieldrin, dan lindane)

g. Insektisida organofosfat

h. lnsektisida karbamat

i. Insektisida piretroid

j. Herbisida fenoksida

k. Rodentisida antikoagulan I. Deterjen m. Klorofenol

3. Senyawa organometalik

Senyawa hasil ikatan antara logam dengan ligan organik, misalnya senyawa

organomerkuri (metilmerkuri) dan organotimbal

4. Isotop radioaktif (radionuklida)

5. Polutan gas

Ozon (03) dan oksida karbon, nitrogen, dan sulfur

Page 7: Buku Ajar Ekotok

Minggu III

EMISI DAN TRANSPOR POLUTAN SERTA NASIB POLUTAN DALAMLINGKUNGAN

A. Emisi dan Tipe EmisiEmisi

Pelepasan polutan dari sumbernya atau pelepasan polutan ke dalam

kompartemen lingkungan yang lain atau yang lebih lugs (kompartemen

lingkungan dibedakan menjadi air, tanah atau sedimen, udara, dan

organisme).

Secara alami, emisi suatu substansi ke dalam kompartemen lingkungan yang

lain, dapat disebabkan adanya letusan gunung berapi (gas SO2), pelapukan

batuan (mineral), adanya angin (Pb di udara, yang berasal dari kendaraan

bermotor, dapat terbawa angin dan terdeposisi dalam tanah) atau terbawa air .

Tipe emisi :

1. Continuous emissions

Emisi yang terjadi dengan laju aliran konstan dalam periode waktu yang

panjang

Contoh : emisi bahan kimia dari proses produksi yang kontinyu (kilang

minyak-oil refinery).

2. Block emissions

Emisi dengan laju aliran yang konstan pada waktu tertentu dan terdapat

interval waktu tanpa atau rendah emisi.

Contoh : emisi dari lalu lintas dalam sehari, pada jam sibuk, terjadi emisi

gas buangan kendaraan bermotor yang tinggi.

Minggu III

EMISI DAN TRANSPOR POLUTAN SERTA NASIB POLUTAN DALAMLINGKUNGAN

A. Emisi dan Tipe EmisiEmisi

Pelepasan polutan dari sumbernya atau pelepasan polutan ke dalam

kompartemen lingkungan yang lain atau yang lebih lugs (kompartemen

lingkungan dibedakan menjadi air, tanah atau sedimen, udara, dan

organisme).

Secara alami, emisi suatu substansi ke dalam kompartemen lingkungan yang

lain, dapat disebabkan adanya letusan gunung berapi (gas SO2), pelapukan

batuan (mineral), adanya angin (Pb di udara, yang berasal dari kendaraan

bermotor, dapat terbawa angin dan terdeposisi dalam tanah) atau terbawa air .

Tipe emisi :

1. Continuous emissions

Emisi yang terjadi dengan laju aliran konstan dalam periode waktu yang

panjang

Contoh : emisi bahan kimia dari proses produksi yang kontinyu (kilang

minyak-oil refinery).

2. Block emissions

Emisi dengan laju aliran yang konstan pada waktu tertentu dan terdapat

interval waktu tanpa atau rendah emisi.

Contoh : emisi dari lalu lintas dalam sehari, pada jam sibuk, terjadi emisi

gas buangan kendaraan bermotor yang tinggi.

Minggu III

EMISI DAN TRANSPOR POLUTAN SERTA NASIB POLUTAN DALAMLINGKUNGAN

A. Emisi dan Tipe EmisiEmisi

Pelepasan polutan dari sumbernya atau pelepasan polutan ke dalam

kompartemen lingkungan yang lain atau yang lebih lugs (kompartemen

lingkungan dibedakan menjadi air, tanah atau sedimen, udara, dan

organisme).

Secara alami, emisi suatu substansi ke dalam kompartemen lingkungan yang

lain, dapat disebabkan adanya letusan gunung berapi (gas SO2), pelapukan

batuan (mineral), adanya angin (Pb di udara, yang berasal dari kendaraan

bermotor, dapat terbawa angin dan terdeposisi dalam tanah) atau terbawa air .

Tipe emisi :

1. Continuous emissions

Emisi yang terjadi dengan laju aliran konstan dalam periode waktu yang

panjang

Contoh : emisi bahan kimia dari proses produksi yang kontinyu (kilang

minyak-oil refinery).

2. Block emissions

Emisi dengan laju aliran yang konstan pada waktu tertentu dan terdapat

interval waktu tanpa atau rendah emisi.

Contoh : emisi dari lalu lintas dalam sehari, pada jam sibuk, terjadi emisi

gas buangan kendaraan bermotor yang tinggi.

Page 8: Buku Ajar Ekotok

3. Peak emissions

Emisi polutan dalam jumlah besar, yang terjadi dalam waktu singkat, tetapi

jarak antar emisi dapat terjadi dalam waktu yang lama.

Contoh : emisi spent liquid setelah isolasi suatu substansi dalam batch

process.

Berkaitan dengan emisi, ada beberapa tipe sumber polutan :

1. Point sources

Sumber polutan, berupa satu atau beberapa titik, yang dapat dikuantifikasi

berdasarkan jumlah polutan yang diemisikan dari sumber.

2. Diffuse sources

Kumpulan small point sources dengan tipe sama

3. Line sources

Kumpulan besar small point sources dengan tipe sama (mobile), yang

terdistribusi sepanjang jalur tertentu.

4. Area sources

Konsentrasi sejumlah point sources

Emisi berhubungan dengan risk assessment where and when?

B. TransporSetelah masuk ke dalam lingkungan, bahan kimia ditranspor dan dapat

ditransformasi menjadi bahan kimia yang lain. Transpor dapat terjadi dalam suatu

kompartemen, misalnya dalam udara atau tanah, atau antar kompartemen, antara

air udara, udara - tanah, dan air - tanah (Gambar 4).

Mekanisme transpor :

1. Transpor Intramedia (dalam suatu kompartemen)

Transpor intramedia terjadi dalam kompartemen yang mobile, yaitu air dan

udara, melalui mekanisme adveksi dan dispersi. Adveksi menyebabkan bahan

kimia berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, sebagai hasil aliran atau

pergerakan medium (kompartemen). Sedangkan dispersi menyebabkan

terjadi perpindahan bahan kimia, yang disertai dengan penurunan gradien

konsentrasi.

3. Peak emissions

Emisi polutan dalam jumlah besar, yang terjadi dalam waktu singkat, tetapi

jarak antar emisi dapat terjadi dalam waktu yang lama.

Contoh : emisi spent liquid setelah isolasi suatu substansi dalam batch

process.

Berkaitan dengan emisi, ada beberapa tipe sumber polutan :

1. Point sources

Sumber polutan, berupa satu atau beberapa titik, yang dapat dikuantifikasi

berdasarkan jumlah polutan yang diemisikan dari sumber.

2. Diffuse sources

Kumpulan small point sources dengan tipe sama

3. Line sources

Kumpulan besar small point sources dengan tipe sama (mobile), yang

terdistribusi sepanjang jalur tertentu.

4. Area sources

Konsentrasi sejumlah point sources

Emisi berhubungan dengan risk assessment where and when?

B. TransporSetelah masuk ke dalam lingkungan, bahan kimia ditranspor dan dapat

ditransformasi menjadi bahan kimia yang lain. Transpor dapat terjadi dalam suatu

kompartemen, misalnya dalam udara atau tanah, atau antar kompartemen, antara

air udara, udara - tanah, dan air - tanah (Gambar 4).

Mekanisme transpor :

1. Transpor Intramedia (dalam suatu kompartemen)

Transpor intramedia terjadi dalam kompartemen yang mobile, yaitu air dan

udara, melalui mekanisme adveksi dan dispersi. Adveksi menyebabkan bahan

kimia berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, sebagai hasil aliran atau

pergerakan medium (kompartemen). Sedangkan dispersi menyebabkan

terjadi perpindahan bahan kimia, yang disertai dengan penurunan gradien

konsentrasi.

3. Peak emissions

Emisi polutan dalam jumlah besar, yang terjadi dalam waktu singkat, tetapi

jarak antar emisi dapat terjadi dalam waktu yang lama.

Contoh : emisi spent liquid setelah isolasi suatu substansi dalam batch

process.

Berkaitan dengan emisi, ada beberapa tipe sumber polutan :

1. Point sources

Sumber polutan, berupa satu atau beberapa titik, yang dapat dikuantifikasi

berdasarkan jumlah polutan yang diemisikan dari sumber.

2. Diffuse sources

Kumpulan small point sources dengan tipe sama

3. Line sources

Kumpulan besar small point sources dengan tipe sama (mobile), yang

terdistribusi sepanjang jalur tertentu.

4. Area sources

Konsentrasi sejumlah point sources

Emisi berhubungan dengan risk assessment where and when?

B. TransporSetelah masuk ke dalam lingkungan, bahan kimia ditranspor dan dapat

ditransformasi menjadi bahan kimia yang lain. Transpor dapat terjadi dalam suatu

kompartemen, misalnya dalam udara atau tanah, atau antar kompartemen, antara

air udara, udara - tanah, dan air - tanah (Gambar 4).

Mekanisme transpor :

1. Transpor Intramedia (dalam suatu kompartemen)

Transpor intramedia terjadi dalam kompartemen yang mobile, yaitu air dan

udara, melalui mekanisme adveksi dan dispersi. Adveksi menyebabkan bahan

kimia berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, sebagai hasil aliran atau

pergerakan medium (kompartemen). Sedangkan dispersi menyebabkan

terjadi perpindahan bahan kimia, yang disertai dengan penurunan gradien

konsentrasi.

Page 9: Buku Ajar Ekotok

2. Transpor Intermedia (antar kompartemen)

Transpor intermedia jugs terjadi melalui mekanisme adveksi dan dispersi.

Proses adveksi terjadi jika suatu bahan kimia ditranspor dari suatu

kompartemen ke kompartemen lain oleh adanya physical carrier, misalnya

deposisi fog, raindrop, dan aerosol dari udara ke tanah atau air. Intermedia

dispersi terjadi seperti intramedia dispersi, misal volatilizasi dan absorpsi gas

(udara - air dan udara - tanah).

Gambar 4. Transpor intramedia dan intermedia. 1, 5, 8 : adveksi dan dispersi

intramedia; 2, 3, 4, 6, dan 7 : adveksi dan dispersi intermedia (Berg et

al. 1995).

Dalam suatu sistem yang terdiri dari lebih dari satu fase atau kompartemen

(phase or compartment), bahan kimia cenderung untuk bermigrasi dari satu fase

ke fase yang lain (transpor intermedia), jika fase-fase tersebut belum mencapai

ekuilibrium (Gambar 5).

Faktor yang mempengaruhi tFaktor yang mempengaruhi transpoalam

lingkungan :

1. Solubilitas dalam air

Jumlah maksimum senyawa yang larut dalam air murni pada scat ekuilibrium

dan suhu tertentu.

Solubilitas dalam air menentukan

a. distribusi,

b. mobilitas, dan

c. efek bahan kimia.

2. Transpor Intermedia (antar kompartemen)

Transpor intermedia jugs terjadi melalui mekanisme adveksi dan dispersi.

Proses adveksi terjadi jika suatu bahan kimia ditranspor dari suatu

kompartemen ke kompartemen lain oleh adanya physical carrier, misalnya

deposisi fog, raindrop, dan aerosol dari udara ke tanah atau air. Intermedia

dispersi terjadi seperti intramedia dispersi, misal volatilizasi dan absorpsi gas

(udara - air dan udara - tanah).

Gambar 4. Transpor intramedia dan intermedia. 1, 5, 8 : adveksi dan dispersi

intramedia; 2, 3, 4, 6, dan 7 : adveksi dan dispersi intermedia (Berg et

al. 1995).

Dalam suatu sistem yang terdiri dari lebih dari satu fase atau kompartemen

(phase or compartment), bahan kimia cenderung untuk bermigrasi dari satu fase

ke fase yang lain (transpor intermedia), jika fase-fase tersebut belum mencapai

ekuilibrium (Gambar 5).

Faktor yang mempengaruhi tFaktor yang mempengaruhi transpoalam

lingkungan :

1. Solubilitas dalam air

Jumlah maksimum senyawa yang larut dalam air murni pada scat ekuilibrium

dan suhu tertentu.

Solubilitas dalam air menentukan

a. distribusi,

b. mobilitas, dan

c. efek bahan kimia.

2. Transpor Intermedia (antar kompartemen)

Transpor intermedia jugs terjadi melalui mekanisme adveksi dan dispersi.

Proses adveksi terjadi jika suatu bahan kimia ditranspor dari suatu

kompartemen ke kompartemen lain oleh adanya physical carrier, misalnya

deposisi fog, raindrop, dan aerosol dari udara ke tanah atau air. Intermedia

dispersi terjadi seperti intramedia dispersi, misal volatilizasi dan absorpsi gas

(udara - air dan udara - tanah).

Gambar 4. Transpor intramedia dan intermedia. 1, 5, 8 : adveksi dan dispersi

intramedia; 2, 3, 4, 6, dan 7 : adveksi dan dispersi intermedia (Berg et

al. 1995).

Dalam suatu sistem yang terdiri dari lebih dari satu fase atau kompartemen

(phase or compartment), bahan kimia cenderung untuk bermigrasi dari satu fase

ke fase yang lain (transpor intermedia), jika fase-fase tersebut belum mencapai

ekuilibrium (Gambar 5).

Faktor yang mempengaruhi tFaktor yang mempengaruhi transpoalam

lingkungan :

1. Solubilitas dalam air

Jumlah maksimum senyawa yang larut dalam air murni pada scat ekuilibrium

dan suhu tertentu.

Solubilitas dalam air menentukan

a. distribusi,

b. mobilitas, dan

c. efek bahan kimia.

Page 10: Buku Ajar Ekotok

Gambar 5. Sifat senyawa (compound properties) yang menunjukkan

ekuilibrium antara 2 fase (Berg et al. 1995).

2. Octanol — water partition coefficient (Kow)

Kow merupakan rasio konsentrasi bahan kimia (X) organik pada scat

ekuilibrium dalam fase octanol dengan konsentrasi bahan tersebut (X) dalam

fase air (Gambar 6). Octanol merupakan model solven, yang dipandang

menyerupai lipid dalam organisme dan karbon organik dalam tanah. Kow

berguna untuk :

a. Model estimasi untuk untuk pengukuran toksisitas, bioakumulasi, dan

sorption pada tanah dan sedimen.

b. Pengukuran hidrofobisitas

Nilai Kow tergantung pada jenis bahan kimia. Gambar 6 menunjukkan

Kow hexachlorobenzene lebih tinggi dibandingkan acetone. Hal ini

disebabkan hexachlorobenzene menunjukkan preferensi yang tinggi pada

octanol dibandingkan acetone.

Dalam Gambar 6, nilai Kow berbanding lurus dengan bioconcentration

factor dan soil sorption, tetapi berbanding terbalik dengan LC50.

Gambar 5. Sifat senyawa (compound properties) yang menunjukkan

ekuilibrium antara 2 fase (Berg et al. 1995).

2. Octanol — water partition coefficient (Kow)

Kow merupakan rasio konsentrasi bahan kimia (X) organik pada scat

ekuilibrium dalam fase octanol dengan konsentrasi bahan tersebut (X) dalam

fase air (Gambar 6). Octanol merupakan model solven, yang dipandang

menyerupai lipid dalam organisme dan karbon organik dalam tanah. Kow

berguna untuk :

a. Model estimasi untuk untuk pengukuran toksisitas, bioakumulasi, dan

sorption pada tanah dan sedimen.

b. Pengukuran hidrofobisitas

Nilai Kow tergantung pada jenis bahan kimia. Gambar 6 menunjukkan

Kow hexachlorobenzene lebih tinggi dibandingkan acetone. Hal ini

disebabkan hexachlorobenzene menunjukkan preferensi yang tinggi pada

octanol dibandingkan acetone.

Dalam Gambar 6, nilai Kow berbanding lurus dengan bioconcentration

factor dan soil sorption, tetapi berbanding terbalik dengan LC50.

Gambar 5. Sifat senyawa (compound properties) yang menunjukkan

ekuilibrium antara 2 fase (Berg et al. 1995).

2. Octanol — water partition coefficient (Kow)

Kow merupakan rasio konsentrasi bahan kimia (X) organik pada scat

ekuilibrium dalam fase octanol dengan konsentrasi bahan tersebut (X) dalam

fase air (Gambar 6). Octanol merupakan model solven, yang dipandang

menyerupai lipid dalam organisme dan karbon organik dalam tanah. Kow

berguna untuk :

a. Model estimasi untuk untuk pengukuran toksisitas, bioakumulasi, dan

sorption pada tanah dan sedimen.

b. Pengukuran hidrofobisitas

Nilai Kow tergantung pada jenis bahan kimia. Gambar 6 menunjukkan

Kow hexachlorobenzene lebih tinggi dibandingkan acetone. Hal ini

disebabkan hexachlorobenzene menunjukkan preferensi yang tinggi pada

octanol dibandingkan acetone.

Dalam Gambar 6, nilai Kow berbanding lurus dengan bioconcentration

factor dan soil sorption, tetapi berbanding terbalik dengan LC50.

Page 11: Buku Ajar Ekotok

KOW = (X) octanol / (X) water

Gambar 6. Kow merupakan rasio konsentrasi bahan kimia dalam octanol dan

air pada saat ekuilibrium. Kow digunakan untuk estimasi

biokonsentrasi, sorption, dan toksisitas (Leeuwen and Hermens

1995).

3. Vapour pressure

The compound's tendency to evaporate into the air compartment to

affect partitioning and transport of chemicals between environmental media

(compartment).

4. Henry's law constant

Volatilization affect transport of chemicals between the air and water

compartment. Henry's law partitioning of a chemical between a gaseous

phase and a liquid phase Henry's law (H, Pa.m3/mol).=5. Stabilitas molekular

Molekul rekalsitran mempunyai resistensi (stabilitas) tinggi terhadap

transformasi biokimiawi dan mempunyai waktu paruh yang lama dalam biota,

tanah, sedimen, dan air.

Contoh : p,p' — DDE, dieldrin, beberapa PCB, dan dioxin.

KOW = (X) octanol / (X) water

Gambar 6. Kow merupakan rasio konsentrasi bahan kimia dalam octanol dan

air pada saat ekuilibrium. Kow digunakan untuk estimasi

biokonsentrasi, sorption, dan toksisitas (Leeuwen and Hermens

1995).

3. Vapour pressure

The compound's tendency to evaporate into the air compartment to

affect partitioning and transport of chemicals between environmental media

(compartment).

4. Henry's law constant

Volatilization affect transport of chemicals between the air and water

compartment. Henry's law partitioning of a chemical between a gaseous

phase and a liquid phase Henry's law (H, Pa.m3/mol).=5. Stabilitas molekular

Molekul rekalsitran mempunyai resistensi (stabilitas) tinggi terhadap

transformasi biokimiawi dan mempunyai waktu paruh yang lama dalam biota,

tanah, sedimen, dan air.

Contoh : p,p' — DDE, dieldrin, beberapa PCB, dan dioxin.

KOW = (X) octanol / (X) water

Gambar 6. Kow merupakan rasio konsentrasi bahan kimia dalam octanol dan

air pada saat ekuilibrium. Kow digunakan untuk estimasi

biokonsentrasi, sorption, dan toksisitas (Leeuwen and Hermens

1995).

3. Vapour pressure

The compound's tendency to evaporate into the air compartment to

affect partitioning and transport of chemicals between environmental media

(compartment).

4. Henry's law constant

Volatilization affect transport of chemicals between the air and water

compartment. Henry's law partitioning of a chemical between a gaseous

phase and a liquid phase Henry's law (H, Pa.m3/mol).=5. Stabilitas molekular

Molekul rekalsitran mempunyai resistensi (stabilitas) tinggi terhadap

transformasi biokimiawi dan mempunyai waktu paruh yang lama dalam biota,

tanah, sedimen, dan air.

Contoh : p,p' — DDE, dieldrin, beberapa PCB, dan dioxin.

Page 12: Buku Ajar Ekotok

C. Nasib (fate) polutan dalam IingkunganPolutan yang masuk ke dalam suatu Iingkungan dapat mengalami proses

abiotik dan biotik, yang dapat mengubah struktur kimiawi polutan tersebut.

1. Proses abiotik

a. Hidrolisis

Perubahan struktur kimiawi melalui reaksi dengan air secara langsung

b. Oksidasi

Proses transformasi, elektron ditransfer dari bahan kimia pada spesies

penerima elektron

c. Reduksi

Transfer elektron terjadi dari reduktan ke bahan kimia, untuk direduksi

d. Degradasi fotokimiawi

Transformasi melalui interaksi dengan cahaya

2. Proses biotik

a. Biodegradasi

Pemecahan (breakdown) suatu bahan kimia secara enzimatis

b. Biotransformasi

Konversi suatu bahan kimia menjadi satu atau lebih produk dengan

mekanisme biologis

Page 13: Buku Ajar Ekotok

Minggu IV

NASIB POLUTAN ORGANIK DALAM INDIVIDU DAN EKOSISTEM

A. IndividuPolutan organik yang masuk ke dalam suatu ekosistem, dapat teruptake oleh

organisme, sebagai konsekuensi adanya mekanisme difusi pasif melalui natural

barrier (lipid bilayer). Sebagai contoh, masuknya polutan melalui dawn dan akar

tumbuhan; melalui kulit, saluran pencernaan, dan paru-paru pada vertebrate;

tracheae pada invertebrate terestrial, dan insang pada ikan.

Proses pergerakan polutan melalui lipid bilayer tergantung pada solubilitas

polutan. Polutan yang mempunyai keseimbangan antara solubilitas dalam lipid dan

air (Kow 1), akan dengan mullah melalui lipid bilayer. Selain itu, proses difusi

juga ditentukan fluiditas lipid bilayer. Pada suhu rendah, lipid bilayer kehilangan

fluiditas, sehingga proses difusi tidak terjadi.

Setelah melalui proses uptake, selanjutnya, polutan tersebut dapat mengalami

proses distribusi, metabolisme, dan penyimpanan dalam tubuh organisme serta

ekskresi dari tubuh organisme. Keseluruhan proses ini disebut toksikokinetik.

Gambar 7. Model yang menggambarkan nasib polutan lipofilik dalam organisme

(Walker et al. 2001).

Minggu IV

NASIB POLUTAN ORGANIK DALAM INDIVIDU DAN EKOSISTEM

A. IndividuPolutan organik yang masuk ke dalam suatu ekosistem, dapat teruptake oleh

organisme, sebagai konsekuensi adanya mekanisme difusi pasif melalui natural

barrier (lipid bilayer). Sebagai contoh, masuknya polutan melalui dawn dan akar

tumbuhan; melalui kulit, saluran pencernaan, dan paru-paru pada vertebrate;

tracheae pada invertebrate terestrial, dan insang pada ikan.

Proses pergerakan polutan melalui lipid bilayer tergantung pada solubilitas

polutan. Polutan yang mempunyai keseimbangan antara solubilitas dalam lipid dan

air (Kow 1), akan dengan mullah melalui lipid bilayer. Selain itu, proses difusi

juga ditentukan fluiditas lipid bilayer. Pada suhu rendah, lipid bilayer kehilangan

fluiditas, sehingga proses difusi tidak terjadi.

Setelah melalui proses uptake, selanjutnya, polutan tersebut dapat mengalami

proses distribusi, metabolisme, dan penyimpanan dalam tubuh organisme serta

ekskresi dari tubuh organisme. Keseluruhan proses ini disebut toksikokinetik.

Gambar 7. Model yang menggambarkan nasib polutan lipofilik dalam organisme

(Walker et al. 2001).

Minggu IV

NASIB POLUTAN ORGANIK DALAM INDIVIDU DAN EKOSISTEM

A. IndividuPolutan organik yang masuk ke dalam suatu ekosistem, dapat teruptake oleh

organisme, sebagai konsekuensi adanya mekanisme difusi pasif melalui natural

barrier (lipid bilayer). Sebagai contoh, masuknya polutan melalui dawn dan akar

tumbuhan; melalui kulit, saluran pencernaan, dan paru-paru pada vertebrate;

tracheae pada invertebrate terestrial, dan insang pada ikan.

Proses pergerakan polutan melalui lipid bilayer tergantung pada solubilitas

polutan. Polutan yang mempunyai keseimbangan antara solubilitas dalam lipid dan

air (Kow 1), akan dengan mullah melalui lipid bilayer. Selain itu, proses difusi

juga ditentukan fluiditas lipid bilayer. Pada suhu rendah, lipid bilayer kehilangan

fluiditas, sehingga proses difusi tidak terjadi.

Setelah melalui proses uptake, selanjutnya, polutan tersebut dapat mengalami

proses distribusi, metabolisme, dan penyimpanan dalam tubuh organisme serta

ekskresi dari tubuh organisme. Keseluruhan proses ini disebut toksikokinetik.

Gambar 7. Model yang menggambarkan nasib polutan lipofilik dalam organisme

(Walker et al. 2001).

Page 14: Buku Ajar Ekotok

Berdasarkan Gambar 7, setelah melalui proses uptake, polutan akan

mengalami proses distribusi dalam tubuh organisme dan dapat mencapai :

1. Site of action

Bentuk toksik polutan akan berinteraksi dengan makromolekul, misalnya

protein atau DNA, yang menyebabkan efek toksik pada organisme.

2. Site metabolism

Polutan dapat mengalami proses metabolisme secara enzimatis, yang

merupakan proses detoksifikasi atau bioaktivasi.

3. Site of storage

Polutan dapat terakumulasi atau tersimpan dalam organ, tetapi tidak

berinteraksi dengan makromolekul atau mengalami metabolisme.

4. Site of excretion

Polutan yang masuk dalam tubuh organisme dapat langsung mencapai

tempat ekskresi, untuk dikeluarkan dari dalam tubuh. Selain itu, juga

diekskresikan hasil metabolisme atau biotransformasi yang larut dalam air.

Gambar 8 memberikan ilustrasi mengenai proses uptake, rute distribusi,

metabolisme, dan penyimpanan polutan dalam tubuh serta ekskresi polutan dari

dalam tubuh mamalia.

1. MetabolismePolutan organik dapat menyebabkan efek merugikan pada organisme.

Selain itu, berdasarkan konsep fugasitas (kecenderungan polutan (bahan

kimia) untuk berpindah dari satu fase ke fase yang lain), polutan organik dapat

terakumulasi dalam jumlah besar dalam tubuh organisme. Hal ini disebabkan

tubuh organisme mempunyai kapasitas yang besar untuk mengikat polutan

organik, dengan adanya jaringan lemak.

Apabila organisme membutuhkan energi melalui proses katabolisme

lemak, polutan organik yang semula terikat pada jaringan lemak akan terurai,

dapat &pat berinteraksi dengan sel. Berdasarkan hal tersebut, organisme

mempunyai kemampuan untuk melakukan proses biotransformasi polutan

organik menjadi produk (metabolit) yang mullah larut dalam air, dan dapat

dikeluarkan dari dalam tubuh (Gambar 9 dan 10).

Page 15: Buku Ajar Ekotok

Gambar 9 menunjukkan jenis polutan organik dan proses biotransformasi

yang mengarah kepada pembentukan produk yang larut dalam air. Pada

umumnya, polutan organik mengalami 2 fase biotransformasi, yaitu fase I dan

II (Gambar 10). Reaksi fase I menyebabkan polutan menjadi lebih larut dalam

air, dengan penambahan gugus polar, misal gugus —OH. Fase ini merupakan

microsomal mixed — function oxidase, yang dikatalisis oleh cytochrome P —

450 enzim, yang terdapat dalam retikulum endoplasma sel hati (Gambar 10).

Pada reaksi fase II, hasil reaksi fase I mengalami reaksi konjugasi,

dengan penambahan agen konjugasi (Tabel 2). Hal ini bertujuan agar hasil

reaksi fase II mempunyai polaritas dan kelarutan yang tinggi serta mullah

diekskresi (Gambar 10).

Reaksi konjugasi dalam fase II dapat terjadi dalam 4 jalur, yaitu glucuronic

acid conjugation, sulphate conjugation, acetyl conjugation, dan glutathione

conjugation.

Reaksi glucuronic acid conjugation :+ − − − +dimana :

X = O, COO or NH

UDPGA = uridine diphosphoglucuronic acid

GT = glucuronyltransferase

Tabel 2. Agen konivaasi dan enzim vana menakatalisis reaksi fase II

Agen Konjugasi EnzimGlucuronide

Glutathione

Sulphate

Acetyl

UDP glucuronyltranferase

Glutathionetransferase

Sulphotransferase

Acetyltransferase

Page 16: Buku Ajar Ekotok

Gambar 8. Proses uptake, rute distribusi, metabolisme, dan penyimpanan polutandalam tubuh serta ekskresi polutan dari dalam tubuh mamalia(Manahan 1994).

Gambar 8. Proses uptake, rute distribusi, metabolisme, dan penyimpanan polutandalam tubuh serta ekskresi polutan dari dalam tubuh mamalia(Manahan 1994).

Gambar 8. Proses uptake, rute distribusi, metabolisme, dan penyimpanan polutandalam tubuh serta ekskresi polutan dari dalam tubuh mamalia(Manahan 1994).

Page 17: Buku Ajar Ekotok

Gambar 9. Jalur biotransformasi polutan dalam organisme (Berg et al 1995).Gambar 9. Jalur biotransformasi polutan dalam organisme (Berg et al 1995).Gambar 9. Jalur biotransformasi polutan dalam organisme (Berg et al 1995).

Page 18: Buku Ajar Ekotok

Ilustration of Phase II reactions (Manahan 1994)Gambar 10. Reaksi fase I dan II biotransformasi (Manahan 1994).

2. PenyimpananPolutan lipofilik yang masuk ke dalam tubuh organisme, dapat

mengalami proses penyimpanan. Proses ini bertujuan untuk mencegah

interaksi polutan dengan site of action. Polutan yang bersifat lipofilik

umumnya disimpan dalam jaringan lemak.

3. EkskresiBeberapa vertebrata akuatik dapat mengekskresikan polutan

lipofilik melalui difusi. Ikan dapat mengekskresikan polutan tersebut melalui

insang, sedangkan katak melalui kulit yang permeabel. Burung dan

mamalia air tidak mempunyai kulit yang permeabel, sehingga ekskresi

dilakukan melalui feses atau urin. Ekskresi polutan lipofilik melalui urin

merupakan hasil proses reaksi fase I dan II biotransformasi.

Page 19: Buku Ajar Ekotok

Minggu V

NASIB POLUTAN ORGANIK DALAM INDIVIDU DAN EKOSISTEM

4. Konsep ModelModel tiruan ekosistem sebagai alat analisis

interaksi komponen dalam ekosistem

seharusnya tidak dipandang sebagai tujuan akhir dalam

studi ekologis

Model dan real (realita) dihubungkan melalui dua prosedur, yaitu abstraksi

dan interpretasi

abstraction

real system model

interpretation

Abstraction : berarti generalisasi -4 memilih komponen (variabel,

parameter) paling penting dalam real system dan

mengabaikan komponen yang kurang penting

Interpretation : komponen dan perilaku model dapat menggambarkan

komponen, karakteristik, dan perilaku dari real system.

Modelling strategy :

1. Select optimal level of complexity

2. Never plan model development for more than 1 year

3. Avoid the temptation to incorporate all available information into the model

4. Follow specific objectives, don't try to make a universal model

5. If possible, incorporate already existing models

System properties and model properties :

1. Many system propeties are not represented in the model

2. Some model properties cannot be found in real systems

Page 20: Buku Ajar Ekotok

Sistem

Kumpulan komponen yang saling mempengaruhi dan merupakan suatu

keseluruhan yang terpadu

Ciri sistem

1. Adanya masukan

2. Adanya keluaran

3. Adanya organisasi

4. Mengandung hirarki

5. Memungkinkan umpan- balik

6. Dapat dibuat simulasi

7. Dapat dibuat model

5. Model Toksikokinetik (Toxicokinetic Models)Model toksikokinetik untuk mendeskripsikan dan memprediksi laju uptake,

laju eliminasi, dan biokonsentrasi toksikan dalam organisme. Model yang

sederhana dapat terdiri dari 2 kompartemen :

1. Organisme

2. Lingkungan di sekitarnya

Dalam model tersebut

dapat menunjukkan perpindahan toksikan antar kompartemen, yaitu

perpindahan toksikan dari lingkungan sekitar organisme ke dalam organisme,

dan perpindahan toksikan dari dalam tubuh organisme ke lingkungan

sekitarnya (Berg et al. 1995).

Menurut Berg et al. (1995), Widianarko dan Straalen (1996), dan Hattum

(1995), peningkatan atau penurunan konsentrasi toksikan dalam organisme

akuatik dapat dinyatakan dalam fungsi waktu :

dCo/dt = kwCw - keCo (persamaan 1)

dimana,

Co = konsentrasi toksikan dalam tubuh organisme (mol/kg)

Cw = konsentrasi toksikan dalam air (mol/L)

kw = laju uptake toksikan (L/kg.d)

ke = laju eliminasi toksikan (l/d)

Page 21: Buku Ajar Ekotok

Bila organisme secara kontinu terdedah oleh suatu toksikan, maka

Co (t) = Cwkw/ke[1 — e-ke.t] (persamaan 2)

Laju uptake dapat diperoleh dari inisial uptake toksikan, dengan asumsi, tidak terjadi

eliminasi toksikan, sehingga

Co = kwCwt (persamaan 3)

Dalam t , e-ke.t mendekati nol, dan steady — state akan dicapai (dCo/dt = 0),sehingga faktor biokonsentrasi (BCF) dapat ditentukan,

BCF = Co/C, = kw/ke (persamaan 4)

Rasio konsentrasi toksikan dalam organisme akuatik dan air (Co/Cw) (persamaan 4),

hanya merepresentasikan biokonsentrasi pada steady — state. Jika konsentrasi

dalam organisme dan air ditentukan sebelum steady— state diperoleh, maka rasio

Co/Cw akan mengunderestimate nilai BCF. Tetapi, jika rasio ditentukan dalam

kondisi, yaitu konsentrasi dalam air menurun lebih cepat dibandingkan konsentrasi

dalam organisme, maka rasio Co/Cw akan mengoverestimate nilai BCF.

Dalam lingkungan akuatik, organisme dapat mengalami pendedahan dalam

periode waktu yang pendek. Penghentian pendedahan dan penurunan

konsentrasi toksikan dalam air (atau Cw = 0), akan menyebabkan toksikan

tereliminasi dari organisme. Laju eliminasi dapat ditentukan dari persamaan 1,

dengan Cw = 0, sehingga akan menghasilkan penurunan konsentrasi toksikan

dalam organisme dan diperoleh persamaan

Co(t) = Co(t=0) e-ke.t (persamaan 5)

dimana, Co(t=0) merupakan konsentrasi toksikan dalam organisme, saat awal periode

eliminasi (mol/kg) (Berg et al. 1995).

Page 22: Buku Ajar Ekotok

Minggu VI

NASIB POLUTAN ORGANIK DALAM INDIVIDU DAN EKOSISTEM

6. ToksikodinamikDalam tubuh organisme, polutan mengalami fase kinetik

(toksikokinetik) dan dinamik (toksikodinamik). Toksikodinamik merupakan

interaksi polutan dengan sel, jaringan atau organ, dalam bentuk respon

toksik. Fase dinamik dapat dibedakan menjadi

1. Reaksi polutan dengan reseptor atau organ target

2. Respon biokimiawi

3. Efek yang dapat diobservasi (Gambar 11)

Toxicant or toxic metabolite

Primary reactionToxicant + receptor modified receptor

Biochemical effectEnzyme inhibition

Cell membrane disruption

Malfunction of protein biosynthesis

Disruption of lipid metabolism

Disruption of carbohydrate metabolism

Inhibition of respiration (02 utilization)

Behavioural or physiological responseAlteration of vital signs

Central nervous system

Teratogenesis

Mutagenesis

Carcinogenesis

Effects on immune system

Gambar 11. Fase dinamik toksikan (Manahan 1994).

Page 23: Buku Ajar Ekotok

B. Ekosistem1. Ekosistem akuatik

Nasib polutan yang masuk ke dalam ekosistem akuatik ditentukan oleh

sifat fisik, lipofilisitas, vapour pressure, dan stabilitas kimiawi. Senyawa yang

mempunyai stabilitas kimiawi yang rendah, cenderung mengalami hidrolisis,

sehingga tidak menimbulkan efek merugikan bagi ekosistem akuatik, kecuali

bila senyawa tersebut mengalami transformasi menjadi senyawa (produk)

yang toksik. Dalam ekosistem akuatik, senyawa yang bersifat volatil

cenderung tidak berada dalam waktu yang lama. Polaritas senyawa berperan

penting dalam menentukan distribusi dan persistensi senyawa tersebut.

Senyawa hidrofilik cenderung terlarut dan terdistribusi pada permukaan air.

Sebaliknya senyawa lipofilik berasosiasi dengan materi organik yang berada

di dalam sedimen.

Pada sedimen sungai dan danau terdapat bentuk asosiasi antara partikel

organik-anorganik dengan organisme. Polutan organik dapat diadsorbsi oleh

partikel sedimen, sehingga membatasi mobilitas polutan dan availibilitas

terhadap organisme akuatik. Namun, keberadaan polutan dalam sedimen

memungkinkan teruptakenya polutan tersebut oleh organisme benthik

tertentu, misalnya makroinvertebrata benthik (grazer), yang menggunakan

partikel sedimen (organik) sebagai somber makanannya. Selain itu organisme

benthik yang bersifat filter feeder (bivalvia), memungkinkan berinteraksi

langsung dengan polutan.

Dalam suatu perairan, kandungan oksigen terlarut menentukan laju

transformasi kimiawi dan biokimiawi polutan. Bila kandungan oksigen terlarut

menurun, proses transformasi oksidatif akan segera digantikan oleh proses

reduksi.

Dalam ekosistem akuatik adanya proses makan memakan (rantai

makanan) menyebabkan terjadinya transfer polutan. Keberadaan atau lama

waktu suatu polutan dalam suatu rantai makanan sangat tergantung dari

waktu paruh dan bioavailibilitas senyawa polutan tersebut dalam organisme.

Polutan lipofilik,

misalnya PAHs, tidak menunjukkan keberadaan dalam jangka waktu yang

lama dan menyebabkan terjadinya biomagnifikasi, dalam suatu rantai

makanan. Hal ini disebabkan waktu paruh senyawa tersebut yang relatif

singkat. Beberapa invertebrata pada tingkat trofik yang rendah (Mytilus

Page 24: Buku Ajar Ekotok

edulis), mempunyai kemampuan yang rendah dalam melakukan metabolisme

terhadap PAHs, sehingga PAHs terakumulasi dalam kadar yang rendah.

Organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi, misalnya ikan, mempunyai

kemampuan untuk mendetoksifikasi senyawa tersebut melalui mekanisme

induksi enzim monooksigenase, sehingga kecenderungan terjadinya

biomagnifikasi pada tingkat trofik yang lebih tinggi, menjadi lebih kecil.

2. Ekosistem daratan

Pestisida merupakan polutan penting dalam tanah pertanian. Polutan

tersebut langsung mengkontaminasi tanah atau melalui transfer residu dari

tanaman yang telah mengalami aplikasi pestisida.

Beberapa pestisida merupakan senyawa organik. Distribusi senyawa

organik tersebut dalam tanah tergantung pada solubilitas (Kow), vapour

pressure, dan stabilitas kimiawi. Polutan tersebut akan mengalami hidrolisis,

oksidasi, isomerasi, dan apabila terdapat di permukaan tanah akan

mengalami degradasi secara fotokimiawi. Degradasi tersebut umumnya

mengarah pada penurunan toksisitas, tetapi beberapa senyawa menjadi

bersifat lebih toksik, misalnya isomerasi senyawa organofosfat malathion

menjadi isomalathion. Senyawa yang bersifat polar mullah larut dalam soil

water dengan konsentrasi rendah dan cenderung secara kuat teradsorbsi

pada permukaan partikel tanah. Senyawa yang mempunyai vapour

pressure tinggi cenderung mengalami volatilisasi ke dalam soil water atau

atmosfer (Gambar 12). Pengikatan molekul organik (polutan) pada

permukaan koloid tanah membatasi pergerakan polutan dalam tanah dan

availibilitas pada organisme tanah.

Gambar 12. Nasib pencemar dalam tanah (Walker et al. 2001).

edulis), mempunyai kemampuan yang rendah dalam melakukan metabolisme

terhadap PAHs, sehingga PAHs terakumulasi dalam kadar yang rendah.

Organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi, misalnya ikan, mempunyai

kemampuan untuk mendetoksifikasi senyawa tersebut melalui mekanisme

induksi enzim monooksigenase, sehingga kecenderungan terjadinya

biomagnifikasi pada tingkat trofik yang lebih tinggi, menjadi lebih kecil.

2. Ekosistem daratan

Pestisida merupakan polutan penting dalam tanah pertanian. Polutan

tersebut langsung mengkontaminasi tanah atau melalui transfer residu dari

tanaman yang telah mengalami aplikasi pestisida.

Beberapa pestisida merupakan senyawa organik. Distribusi senyawa

organik tersebut dalam tanah tergantung pada solubilitas (Kow), vapour

pressure, dan stabilitas kimiawi. Polutan tersebut akan mengalami hidrolisis,

oksidasi, isomerasi, dan apabila terdapat di permukaan tanah akan

mengalami degradasi secara fotokimiawi. Degradasi tersebut umumnya

mengarah pada penurunan toksisitas, tetapi beberapa senyawa menjadi

bersifat lebih toksik, misalnya isomerasi senyawa organofosfat malathion

menjadi isomalathion. Senyawa yang bersifat polar mullah larut dalam soil

water dengan konsentrasi rendah dan cenderung secara kuat teradsorbsi

pada permukaan partikel tanah. Senyawa yang mempunyai vapour

pressure tinggi cenderung mengalami volatilisasi ke dalam soil water atau

atmosfer (Gambar 12). Pengikatan molekul organik (polutan) pada

permukaan koloid tanah membatasi pergerakan polutan dalam tanah dan

availibilitas pada organisme tanah.

Gambar 12. Nasib pencemar dalam tanah (Walker et al. 2001).

edulis), mempunyai kemampuan yang rendah dalam melakukan metabolisme

terhadap PAHs, sehingga PAHs terakumulasi dalam kadar yang rendah.

Organisme pada tingkat trofik yang lebih tinggi, misalnya ikan, mempunyai

kemampuan untuk mendetoksifikasi senyawa tersebut melalui mekanisme

induksi enzim monooksigenase, sehingga kecenderungan terjadinya

biomagnifikasi pada tingkat trofik yang lebih tinggi, menjadi lebih kecil.

2. Ekosistem daratan

Pestisida merupakan polutan penting dalam tanah pertanian. Polutan

tersebut langsung mengkontaminasi tanah atau melalui transfer residu dari

tanaman yang telah mengalami aplikasi pestisida.

Beberapa pestisida merupakan senyawa organik. Distribusi senyawa

organik tersebut dalam tanah tergantung pada solubilitas (Kow), vapour

pressure, dan stabilitas kimiawi. Polutan tersebut akan mengalami hidrolisis,

oksidasi, isomerasi, dan apabila terdapat di permukaan tanah akan

mengalami degradasi secara fotokimiawi. Degradasi tersebut umumnya

mengarah pada penurunan toksisitas, tetapi beberapa senyawa menjadi

bersifat lebih toksik, misalnya isomerasi senyawa organofosfat malathion

menjadi isomalathion. Senyawa yang bersifat polar mullah larut dalam soil

water dengan konsentrasi rendah dan cenderung secara kuat teradsorbsi

pada permukaan partikel tanah. Senyawa yang mempunyai vapour

pressure tinggi cenderung mengalami volatilisasi ke dalam soil water atau

atmosfer (Gambar 12). Pengikatan molekul organik (polutan) pada

permukaan koloid tanah membatasi pergerakan polutan dalam tanah dan

availibilitas pada organisme tanah.

Gambar 12. Nasib pencemar dalam tanah (Walker et al. 2001).

Page 25: Buku Ajar Ekotok

Minggu VII

BIOMARKER DAN BIOINDIKATOR

Bioindikator

Respon yang diinduksi secara antropogenik, yang dikaji melalui parameter

biomolekular, biokimiawi atau fisiologis, yang dihubungkan dengan efek

biologis pada tingkat organisasi biologis, dari individu-ekosistem.

Biomarker

Respon biologis terhadap adanya polutan di lingkungan pada tingkat individu

pengukuran secara biokimiawi, fisiologis, histologis, dan morfologis.

Gambar 13. Signifikansi ekologis dan lama respon beberapa parameterbioindikator/biomarker terhadap polutan (Walker et al. 2001).

Minggu VII

BIOMARKER DAN BIOINDIKATOR

Bioindikator

Respon yang diinduksi secara antropogenik, yang dikaji melalui parameter

biomolekular, biokimiawi atau fisiologis, yang dihubungkan dengan efek

biologis pada tingkat organisasi biologis, dari individu-ekosistem.

Biomarker

Respon biologis terhadap adanya polutan di lingkungan pada tingkat individu

pengukuran secara biokimiawi, fisiologis, histologis, dan morfologis.

Gambar 13. Signifikansi ekologis dan lama respon beberapa parameterbioindikator/biomarker terhadap polutan (Walker et al. 2001).

Minggu VII

BIOMARKER DAN BIOINDIKATOR

Bioindikator

Respon yang diinduksi secara antropogenik, yang dikaji melalui parameter

biomolekular, biokimiawi atau fisiologis, yang dihubungkan dengan efek

biologis pada tingkat organisasi biologis, dari individu-ekosistem.

Biomarker

Respon biologis terhadap adanya polutan di lingkungan pada tingkat individu

pengukuran secara biokimiawi, fisiologis, histologis, dan morfologis.

Gambar 13. Signifikansi ekologis dan lama respon beberapa parameterbioindikator/biomarker terhadap polutan (Walker et al. 2001).

Page 26: Buku Ajar Ekotok

Tabel 3. Tipe bioindikator/biomarker (Anonymous 2001)

BiokimiawiFisiolo

gisHistopato

logisIndividu Populasi Komunitas

IntegritasDNA

Hormonsteroid Nekrosis Pertumbuhan Kemelimpahan Richness

Proteinstres

Fungsiimunitas

Lesiparasitik Total lipid

Distribusi/struktur umur

Indeksdiversitas

Enzimantioksidan Trigliseri

da KarsinomaAnomali

pertumbuhanRasio seks

Indeksintegritas

biotik

Tabel 4. Karakteristik bioindikator dan biomarker (Anonymous 2001)

Biomarker (exposure) Bioindikator (efek)Tipe respon Biomolekular, biokimiawi Individu — komunitasSensitivitas terhadap

stresor

Tinggi RendahHubungan terhadap efek Tinggi RendahVariabilitas respon Tinggi Rendah — mediumSpesifitas terhadap stresor Medium — tinggi Rendah — mediumRelevansi ekologis Rendah Tinggi

Gambar 14. Kondisi fisiologis organisme terhadap adanya polutan pada tiap zonastres. Indikator dalam zona stres 1 lebih sensitif terhadap polutan, sedangkan indikatorpada zona stres 3 kurang sensitif terhadap polutan, tetapi mempunyai relevansiekologis lebih tinggi (Anonymous 2001).

Tabel 3. Tipe bioindikator/biomarker (Anonymous 2001)

BiokimiawiFisiolo

gisHistopato

logisIndividu Populasi Komunitas

IntegritasDNA

Hormonsteroid Nekrosis Pertumbuhan Kemelimpahan Richness

Proteinstres

Fungsiimunitas

Lesiparasitik Total lipid

Distribusi/struktur umur

Indeksdiversitas

Enzimantioksidan Trigliseri

da KarsinomaAnomali

pertumbuhanRasio seks

Indeksintegritas

biotik

Tabel 4. Karakteristik bioindikator dan biomarker (Anonymous 2001)

Biomarker (exposure) Bioindikator (efek)Tipe respon Biomolekular, biokimiawi Individu — komunitasSensitivitas terhadap

stresor

Tinggi RendahHubungan terhadap efek Tinggi RendahVariabilitas respon Tinggi Rendah — mediumSpesifitas terhadap stresor Medium — tinggi Rendah — mediumRelevansi ekologis Rendah Tinggi

Gambar 14. Kondisi fisiologis organisme terhadap adanya polutan pada tiap zonastres. Indikator dalam zona stres 1 lebih sensitif terhadap polutan, sedangkan indikatorpada zona stres 3 kurang sensitif terhadap polutan, tetapi mempunyai relevansiekologis lebih tinggi (Anonymous 2001).

Tabel 3. Tipe bioindikator/biomarker (Anonymous 2001)

BiokimiawiFisiolo

gisHistopato

logisIndividu Populasi Komunitas

IntegritasDNA

Hormonsteroid Nekrosis Pertumbuhan Kemelimpahan Richness

Proteinstres

Fungsiimunitas

Lesiparasitik Total lipid

Distribusi/struktur umur

Indeksdiversitas

Enzimantioksidan Trigliseri

da KarsinomaAnomali

pertumbuhanRasio seks

Indeksintegritas

biotik

Tabel 4. Karakteristik bioindikator dan biomarker (Anonymous 2001)

Biomarker (exposure) Bioindikator (efek)Tipe respon Biomolekular, biokimiawi Individu — komunitasSensitivitas terhadap

stresor

Tinggi RendahHubungan terhadap efek Tinggi RendahVariabilitas respon Tinggi Rendah — mediumSpesifitas terhadap stresor Medium — tinggi Rendah — mediumRelevansi ekologis Rendah Tinggi

Gambar 14. Kondisi fisiologis organisme terhadap adanya polutan pada tiap zonastres. Indikator dalam zona stres 1 lebih sensitif terhadap polutan, sedangkan indikatorpada zona stres 3 kurang sensitif terhadap polutan, tetapi mempunyai relevansiekologis lebih tinggi (Anonymous 2001).

Page 27: Buku Ajar Ekotok

Tabel 5. Bioindikator dalam tiap zona stres (Anonymous 2001)

Zona stres 1

(paling sensitif)

Zona stres 2

(moderately sensitive)

Zona stres 3

(kurang sensitif)

Enzim detoksifikasi Bioenergetik Parameter populasiKerusakan DNA Sistem imunitas Parameter komunitasEnzim antioksidan Pertumbuhan Perubahan rasio seksProtein stres Parameter reproduksi Perubahan food web

Gambar 15. Efek langsung dan tidak langsung polutan terhadap organisme(Anonymous 2001).

Tabel 5. Bioindikator dalam tiap zona stres (Anonymous 2001)

Zona stres 1

(paling sensitif)

Zona stres 2

(moderately sensitive)

Zona stres 3

(kurang sensitif)

Enzim detoksifikasi Bioenergetik Parameter populasiKerusakan DNA Sistem imunitas Parameter komunitasEnzim antioksidan Pertumbuhan Perubahan rasio seksProtein stres Parameter reproduksi Perubahan food web

Gambar 15. Efek langsung dan tidak langsung polutan terhadap organisme(Anonymous 2001).

Tabel 5. Bioindikator dalam tiap zona stres (Anonymous 2001)

Zona stres 1

(paling sensitif)

Zona stres 2

(moderately sensitive)

Zona stres 3

(kurang sensitif)

Enzim detoksifikasi Bioenergetik Parameter populasiKerusakan DNA Sistem imunitas Parameter komunitasEnzim antioksidan Pertumbuhan Perubahan rasio seksProtein stres Parameter reproduksi Perubahan food web

Gambar 15. Efek langsung dan tidak langsung polutan terhadap organisme(Anonymous 2001).

Page 28: Buku Ajar Ekotok

Kriteria pemilihan bioindikator (Anonymous 2001) :

1. Relevansi - hubungan kausal terhadap endpoints yang signifikan secara ekologis

2. Sensitivitas - responsiveness dosis terhadap stressor/polutan spesifik

3. Spesifisitas - respon terhadap stressor/polutan spesifik

4. Broad applicability - over temporal and spatial scales

5. Representativeness - role as surrogate for other responses

6. Variabilitas - variabilitas relatif rendah terhadap adanya gangguan dalam sistem

7. Biaya - reasonable for available resources and scope of study

Potensi penggunaan bioindikator (Anonymous 2001) :

1. mengindikasikan adanya kontaminan

2. membantu identifikasi mekanisme toksisitas

3. memberikan peringatan awal adanya kerusakan lingkungan

4. memberikan indikasi awal adanya perbaikan lingkungan

5. menunjukkan adanya hubungan antara penyebab (polutan) dengan efek relevan

secara ekologis

6. dapat digunakan dalam ecological risk assessment

Komponen utama dalam bioassessment evaluation (Anonymous 2001) :Biomarkers Is biological exposure to stressors significant?

BioindicatorsIs the stressors hazardous to organisms & populations?

Ecological Is the stressor causing significant ecological damage to the ecosystem?

Risk Assessment

Contoh aplikasi bioindikator (Jeffree et al. 1995: 33 - 41) :

Bivalvia Air Tawar Australia : Aplikasinya dalam Studi Polusi Logam

Pendahuluan

Bivalvia air tawar mempunyai sejumlah atribut fisiologis, perilaku, life history

(sejarah hidup), dan anatomis, yang dapat digunakan sebagai indikator adanya polusi

logam yang masuk ke dalam ekosistem akuatik (Tabel 6).

Page 29: Buku Ajar Ekotok

Investigasi terhadap beberapa spesies bivalvia air tawar Australia, yaitu Velesunio

angasi, Velesunio ambiguus, dan Hyridella depressa, telah menunjukkan bahwa

spesies tersebut relevan untuk studi polusi logam, termasuk sebagai indikator dalam

monitoring tingkat (level) logam yang bioavailable dalam ekosistem akuatik.

Tabel 6. Atribut biologis bivalvia air tawar yang relevan dalam studi polusi

logam (Jeffree et al. 1995 : 33 — 41)

Atribut biologis Relevansi terhadap polusi logam

Fisiologis

Membran mempunyai permeabilitas

tinggi terhadap medium akuatik potensial

Laju influx yang tinggi Ca dan

logam yang analog dengan Ca ke dalam

jaringan, terjadi bioakumulasi

Granula kalsium fosfat ekstraseluler

terdeposit dalam jaringan

Logam yang mengalami bioakumulasi

dengan konsentrasi tinggi dalam

jaringan, mempunyai waktu paruh

biologis yang lama

Perilaku

Filtrasi air dalam volume yang besar Derajat kontak yang tinggi dengan

polutan dalam medium akuatik

Siklus hidup dan anatomi

Struktur cangkang berkapur

terlaminasi, yang bertambah, dan

berkaitan dengan panjangnya lama

hidup

Rekaman mengenai tingkat

logam bioavailable di lingkungan akuatik

dalam periode panjang

Siklus hidup kompleks, memerlukan

ikan sebagai host species, dan

pemajanan tahap- tahap siklus hidup

pada media lingkungan yang berbeda

Probabilitas pemajanan (exposure) lebih

besar pada konsentrasi polutan yang

ditingkatkan dengan konsekuensi

mengganggu siklus hidup

Namun, informasi mengenai (1) dasar mekanisme metabolisme logam, (2)

waktu paruh logam dalam jaringan tubuh bivalvia, dan (3) variabilitas konsentrasi

logam dalam jaringan di antara individu (spesies) bivalvia, akan lebih menunjukkan

kemampuan bivalvia sebagai indikator yang efektif dalam monitoring atau studi polusi

logam dalam ekosistem akuatik. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari karakter

kinetika logam dalam jaringan melalui model mekanistik dan prediktif.

Page 30: Buku Ajar Ekotok

Model Metabolic Analogue Akumulasi Logam oleh Bivalvia Air Tawar

Hasil investigasi dengan menggunakan model yang telah diuji dalam skala

laboratorium dan investigasi lapangan menunjukkan bahwa

(1) beberapa logam diabsorbsi dari medium akuatik oleh bivalvia melalui jalur

metabolik yang analog dengan Ca, yaitu melalui kanal Ca.

(2) logam tersebut kemudian mengikuti jalur metabolik Ca, dan sebagian besar

terdeposit dalam granula kalsium fosfat ekstraseluler, yang kemudian terdispersi

secara meluas dalam jaringan bivalvia.

(3) laju diferensiasi akumulasi logam dalam seluruh jaringan dipengaruhi oleh laju

diferensiasi penurunan logam yang terdeposit dalam granula.

(4) laju diferensiasi penurunan logam dari seluruh jaringan dikontrol oleh kelarutan

logam tersebut sebagai hidrogen fosfat dalam granula ekstraseluler.

Aplikasi dalam Lingkungan

Signifikansi Ca dalam air. Keberadaan (konsentrasi) Ca dalam air

menentukan laju uptake logam yang bioavailable dibandingkan konsentrasi logam

tersebut dalam air. Hal ini ditunjukkan oleh uptake 226Ra oleh V. angasi, yang

mengalami tingkat reduksi sama besar dengan peningkatan konsentrasi Ca dalam air.

Namun, adanya Mg dalam air tidak menunjukkan signifikansi reduksi uptake seperti

Ca. Peningkatan konsentrasi Mg dalam air hanya mereduksi uptake logam sebesar

one tenth dari reduksi oleh Ca. Reduksi efektif uptake logam oleh Ca secara

eksperimen juga terjadi dalam uptake logam Pb, Mn, Co, dan Cd, pada spesies V.

ambiguus dan H. depressa, sehingga Ca merupakan variabel utama yang mengontrol

bioavailabilitas logam yang ada di medium akuatik. Implikasi hasil ini menunjukkan

konsistensi terhadap logam (divalen dan trivalen) dan filum air tawar lain.

Penqgunaan Ca sebagai prediktor konsentrasi loqam dalam jaringan. Peningkatan

konsentrasi Ca dalam jaringan V. angasi dapat menunjukkan peningkatan konsentrasi

logam lain (Ba dan 226Ra) dalam jaringan, dengan variabilitas antar individu sebesar

87-98 %, dibandingkan variabel umur bivalvia (36-65 %) (P 0.05). Konsentrasi Ca

dalam jaringan juga menunjukkan konsentrasi logam Mn dan Zn dalam jaringan H.

depressa dan V. ambiguus, dengan variabilitas antar individu sebesar 76-97 %,

dibandingkan variabel panjang cangkang bivalvia (56-59%). Namun, variabilitas

konsentrasi Mn dan Zn dalam jaringan V. ambiguus tidak signifikan terhadap panjang

cangkang (Gambar 16 dan 17).

Page 31: Buku Ajar Ekotok

Gambar 16. Regresi konsentrasi Ba dan 226Ra dalam jaringan dengan umur bivalvia (atas) dankonsentrasi Ca dalam jaringan bivalvia (bawah), untuk V. angasi dari Corndorl danMudginberri billabongs in Magela Creek, Northern Territory, Australia (Jeffree et al.1995 : 36).

Gambar 16. Regresi konsentrasi Ba dan 226Ra dalam jaringan dengan umur bivalvia (atas) dankonsentrasi Ca dalam jaringan bivalvia (bawah), untuk V. angasi dari Corndorl danMudginberri billabongs in Magela Creek, Northern Territory, Australia (Jeffree et al.1995 : 36).

Gambar 16. Regresi konsentrasi Ba dan 226Ra dalam jaringan dengan umur bivalvia (atas) dankonsentrasi Ca dalam jaringan bivalvia (bawah), untuk V. angasi dari Corndorl danMudginberri billabongs in Magela Creek, Northern Territory, Australia (Jeffree et al.1995 : 36).

Page 32: Buku Ajar Ekotok

Gambar 17. Regresi konsentrasi Zn dan Mn dalam jaringan dengan panjang cangkang bivalvia(atas) dan konsentrasi Ca dalam jaringan bivalvia (bawah), untuk H. depressa danV. ambiguus, dari the upper Nepean River, New South Wales, Australia (Jeffree etal. 1995: 37).

Gambar 17. Regresi konsentrasi Zn dan Mn dalam jaringan dengan panjang cangkang bivalvia(atas) dan konsentrasi Ca dalam jaringan bivalvia (bawah), untuk H. depressa danV. ambiguus, dari the upper Nepean River, New South Wales, Australia (Jeffree etal. 1995: 37).

Gambar 17. Regresi konsentrasi Zn dan Mn dalam jaringan dengan panjang cangkang bivalvia(atas) dan konsentrasi Ca dalam jaringan bivalvia (bawah), untuk H. depressa danV. ambiguus, dari the upper Nepean River, New South Wales, Australia (Jeffree etal. 1995: 37).

Page 33: Buku Ajar Ekotok

Minggu VIII

EFEK POLUTAN PADA INDIVIDU, POPULASI, DAN KOMUNITAS

A. Efek Biokimiawi Polutan Organik (Individu)Polutan yang masuk dalam tubuh organisme tubuh (uptake) dapat

menyebabkan perubahan pada organisme. Perubahan tersebut dapat

bersifat melindungi organisme terhadap efek toksik yang ditimbulkan polutan

(respon protektif) atau mengarah pada manifestasi toksik (respon non

protektif) (Tabel 7). Induksi MFO dan metallohionein merupakan salah satu

contoh respon protektif. Sedangkan penghambatan AChE

(asetilkolinesterase) dan pembentukan DNA adduct merupakan salah satu

contoh respon non protektif.

Tabel 7. Respon protektif dan non protektif terhadap polutan (Walker et al 2001)

Tipe respon Contoh Konsekuensi

Protektif

Induksi monooxygenases

(mixed function oxidases-

MFO)

Peningkatan laju metabolisme

polutan menjadi lebih larut dalam air

dan peningkatan laju ekskresi

Induksi metallothionein Peningkatan laju pengikatan logam

untuk menurunkan bioavailibilitas

Non —

protektif

Penghambatan AChE Efek toksik timbul apabila terjadi

penghambatan AChE sebesar 50 %

Formasi DNA adduct Dapat menyebabkan mutasi

(Walker et al 2001)

Gambar 18. Jalur aktivasi dan detoksifikasi bahan kimia (Walker et al 2001).

Minggu VIII

EFEK POLUTAN PADA INDIVIDU, POPULASI, DAN KOMUNITAS

A. Efek Biokimiawi Polutan Organik (Individu)Polutan yang masuk dalam tubuh organisme tubuh (uptake) dapat

menyebabkan perubahan pada organisme. Perubahan tersebut dapat

bersifat melindungi organisme terhadap efek toksik yang ditimbulkan polutan

(respon protektif) atau mengarah pada manifestasi toksik (respon non

protektif) (Tabel 7). Induksi MFO dan metallohionein merupakan salah satu

contoh respon protektif. Sedangkan penghambatan AChE

(asetilkolinesterase) dan pembentukan DNA adduct merupakan salah satu

contoh respon non protektif.

Tabel 7. Respon protektif dan non protektif terhadap polutan (Walker et al 2001)

Tipe respon Contoh Konsekuensi

Protektif

Induksi monooxygenases

(mixed function oxidases-

MFO)

Peningkatan laju metabolisme

polutan menjadi lebih larut dalam air

dan peningkatan laju ekskresi

Induksi metallothionein Peningkatan laju pengikatan logam

untuk menurunkan bioavailibilitas

Non —

protektif

Penghambatan AChE Efek toksik timbul apabila terjadi

penghambatan AChE sebesar 50 %

Formasi DNA adduct Dapat menyebabkan mutasi

(Walker et al 2001)

Gambar 18. Jalur aktivasi dan detoksifikasi bahan kimia (Walker et al 2001).

Minggu VIII

EFEK POLUTAN PADA INDIVIDU, POPULASI, DAN KOMUNITAS

A. Efek Biokimiawi Polutan Organik (Individu)Polutan yang masuk dalam tubuh organisme tubuh (uptake) dapat

menyebabkan perubahan pada organisme. Perubahan tersebut dapat

bersifat melindungi organisme terhadap efek toksik yang ditimbulkan polutan

(respon protektif) atau mengarah pada manifestasi toksik (respon non

protektif) (Tabel 7). Induksi MFO dan metallohionein merupakan salah satu

contoh respon protektif. Sedangkan penghambatan AChE

(asetilkolinesterase) dan pembentukan DNA adduct merupakan salah satu

contoh respon non protektif.

Tabel 7. Respon protektif dan non protektif terhadap polutan (Walker et al 2001)

Tipe respon Contoh Konsekuensi

Protektif

Induksi monooxygenases

(mixed function oxidases-

MFO)

Peningkatan laju metabolisme

polutan menjadi lebih larut dalam air

dan peningkatan laju ekskresi

Induksi metallothionein Peningkatan laju pengikatan logam

untuk menurunkan bioavailibilitas

Non —

protektif

Penghambatan AChE Efek toksik timbul apabila terjadi

penghambatan AChE sebesar 50 %

Formasi DNA adduct Dapat menyebabkan mutasi

(Walker et al 2001)

Gambar 18. Jalur aktivasi dan detoksifikasi bahan kimia (Walker et al 2001).

Page 34: Buku Ajar Ekotok

Gambar 18 menunjukkan jalur aktivasi dan detoksifikasi bahan kimia.

Dalam gambar tersebut, bahan kimia dapat mengalami proses detoksifikasi dan

aktivasi yang dikatalisis oleh monooxigenase (MFO). Reaksi detoksifikasi yang

terjadi merupakan reaksi fase I biotransformasi.

+ − + + ⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯⎯ + +Cytochrome P — 450 enzymes merupakan bagian dari sistem enzim (MFO)

Selain itu, bahan kimia dapat berinteraksi dengan DNA, yang dapat

mengakibatkan mutasi atau terjadi mekanisme DNA repair.

Tabel 8 menunjukkan beberapa spesifitas respon terhadap masuknya

bahan kimia tertentu ke dalam tubuh organisme.

Tabel 8. Beberapa spesifitas respon terhadap bahan kimia tertentu (Walker et al 2001)

Respon Biologis Bahan Kimia

Penghambatan ALAD (Amino-

Laevulinic

Acid Dehydratase)

Lead

Penghambatan siklus vitamin K Anticoagulant rodenticides

Penghambatan AChEOrganophosphorous (OPs)compounds

and carbamates

Induksi monooxygenases Organochlorines, polynuclear aromatic

Metallothionein

Metallothionein (MT) ditemukan oleh Margoshes dan Vallee pada tahun

1957. Metalothioneins merupakan protein stres yang terdapat dalam berbagai

spesies hewan dan tumbuhan. Protein ini mempunyai berat molekul yang rendah

dan hanya memiliki sedikit asam amino aromatik. Namun, metallothionein memiliki

banyak residu sistein dalam bentuk tereduksi (Gambar 19), sebesar 26 — 33 %,

yang mempunyai kemampuan tinggi dalam mengikat ion logam.

CH2 - CH - COO-

| |

SH NH3+

Amino acid : cystein (polar)

Gambar 19. Asam amino sistein.

Page 35: Buku Ajar Ekotok

Metallothionein menunjukkan peranan dalam detoksifikasi logam berat

(Hg2+, Cd(+2), metabolisme ion Zn+2 dan Cu+2, detoksifikasi oksigen reaktif, dan

metabolisme metallodrugs dan alkylating agents.

Pada manusia dan mamalia, MTs mengikat 7 ion Zn+2 atau Cd+2 s melalui

20 residu sistein, yang terdistribusi dalam 2 klaster bebas dan sangat dinamik,

Cd4(Stb)11 dan Cd3(Stb)9, terletak pada domain alpha- and beta- protein

(Gambar 20).

Gambar 20. Metallothionein yang mengikat Cd.

Metallothionein menunjukkan peranan dalam detoksifikasi logam berat

(Hg2+, Cd(+2), metabolisme ion Zn+2 dan Cu+2, detoksifikasi oksigen reaktif, dan

metabolisme metallodrugs dan alkylating agents.

Pada manusia dan mamalia, MTs mengikat 7 ion Zn+2 atau Cd+2 s melalui

20 residu sistein, yang terdistribusi dalam 2 klaster bebas dan sangat dinamik,

Cd4(Stb)11 dan Cd3(Stb)9, terletak pada domain alpha- and beta- protein

(Gambar 20).

Gambar 20. Metallothionein yang mengikat Cd.

Metallothionein menunjukkan peranan dalam detoksifikasi logam berat

(Hg2+, Cd(+2), metabolisme ion Zn+2 dan Cu+2, detoksifikasi oksigen reaktif, dan

metabolisme metallodrugs dan alkylating agents.

Pada manusia dan mamalia, MTs mengikat 7 ion Zn+2 atau Cd+2 s melalui

20 residu sistein, yang terdistribusi dalam 2 klaster bebas dan sangat dinamik,

Cd4(Stb)11 dan Cd3(Stb)9, terletak pada domain alpha- and beta- protein

(Gambar 20).

Gambar 20. Metallothionein yang mengikat Cd.

Page 36: Buku Ajar Ekotok

Formasi DNA AdductPolutan dapat menyebabkan adduct pada DNA. Adanya adduct dapat

diperbaiki dengan mekanisme DNA repair (Gambar 21).

Gambar 21. Mekanisme DNA repair (Walker et al. 2001).

Formasi DNA AdductPolutan dapat menyebabkan adduct pada DNA. Adanya adduct dapat

diperbaiki dengan mekanisme DNA repair (Gambar 21).

Gambar 21. Mekanisme DNA repair (Walker et al. 2001).

Formasi DNA AdductPolutan dapat menyebabkan adduct pada DNA. Adanya adduct dapat

diperbaiki dengan mekanisme DNA repair (Gambar 21).

Gambar 21. Mekanisme DNA repair (Walker et al. 2001).

Page 37: Buku Ajar Ekotok

Penghambatan Asetilkolinesterase (AChE)Polutan organofostat (OP) dapat menyebabkan terjadinya penghambatan

asetilkolinesterase. OP berikatan dengan gugus hidroksil, yang merupakan gugus

fungsional AChE (Gambar 22), sehingga enzim yang terfosforilasi tersebut tidak

dapat mengkatalisis hidrolisis asetilkolin menjadi asam asetat dan kolin.

Gambar 22. Mekanisme aksi AChE. Dalam kondisi normal, asetilkolin berikatandengan asetilkolonesterase dan dihidrolisis menghasilkan asamasetat dan kolin. Organofosfat mengikat gugus hidroksil, yangmenyebabkan enzim dihambat dan tidak dapat menghidrolisisasetilkolin (Walker et al. 2001).

Penghambatan Asetilkolinesterase (AChE)Polutan organofostat (OP) dapat menyebabkan terjadinya penghambatan

asetilkolinesterase. OP berikatan dengan gugus hidroksil, yang merupakan gugus

fungsional AChE (Gambar 22), sehingga enzim yang terfosforilasi tersebut tidak

dapat mengkatalisis hidrolisis asetilkolin menjadi asam asetat dan kolin.

Gambar 22. Mekanisme aksi AChE. Dalam kondisi normal, asetilkolin berikatandengan asetilkolonesterase dan dihidrolisis menghasilkan asamasetat dan kolin. Organofosfat mengikat gugus hidroksil, yangmenyebabkan enzim dihambat dan tidak dapat menghidrolisisasetilkolin (Walker et al. 2001).

Penghambatan Asetilkolinesterase (AChE)Polutan organofostat (OP) dapat menyebabkan terjadinya penghambatan

asetilkolinesterase. OP berikatan dengan gugus hidroksil, yang merupakan gugus

fungsional AChE (Gambar 22), sehingga enzim yang terfosforilasi tersebut tidak

dapat mengkatalisis hidrolisis asetilkolin menjadi asam asetat dan kolin.

Gambar 22. Mekanisme aksi AChE. Dalam kondisi normal, asetilkolin berikatandengan asetilkolonesterase dan dihidrolisis menghasilkan asamasetat dan kolin. Organofosfat mengikat gugus hidroksil, yangmenyebabkan enzim dihambat dan tidak dapat menghidrolisisasetilkolin (Walker et al. 2001).

Page 38: Buku Ajar Ekotok

Minggu IX

EFEK POLUTAN PADA INDIVIDU, POPULASI, DAN KOMUNITAS

B. Efek pada Populasi dan Komunitas1. Populasi

Polutan yang masuk ke dalam suatu ekosistem dapat berinteraksi dengan

individu suatu populasi. Interaksi tersebut dapat menyebabkan efek lethal

maupun sublethal pada individu organisme, yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan dinamika populasi.

Berdasarkan Gambar 23, saat polutan masuk ke dalam ekosistem :

a. Ukuran populasi beberapa spesies akan mengalami penurunan sampai

zero atau hilang dari ekosistem tersebut (i).

b. Ukuran populasi beberapa spesies mengalami penurunan, tetapi tidak

mencapai zero. Hal ini terjadi apabila konsentrasi polutan dalam

ekosistem bersifat kronis (rendah) (ii).

c. Laju pertumbuhan populasi mengalami peningkatan (iii).

Apabila polusi terjadi dalam waktu singkat, populasi dapat mengalami

recovery, sehingga ukuran populasi pada Gambar 23 (ii) mengalami

peningkatan (Gambar 23 (iv)). Adanya imigrasi dan rekolonisasi, populasi

yang hilang dari suatu ekosistem (Gambar 23 (i)), akan muncul kembali dan

mengalami peningkatan besarnya ukuran populasi.

Gambar 23. Respon ukuran populasi terhadap pencemar (Walker et al.2001 : 195).

Minggu IX

EFEK POLUTAN PADA INDIVIDU, POPULASI, DAN KOMUNITAS

B. Efek pada Populasi dan Komunitas1. Populasi

Polutan yang masuk ke dalam suatu ekosistem dapat berinteraksi dengan

individu suatu populasi. Interaksi tersebut dapat menyebabkan efek lethal

maupun sublethal pada individu organisme, yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan dinamika populasi.

Berdasarkan Gambar 23, saat polutan masuk ke dalam ekosistem :

a. Ukuran populasi beberapa spesies akan mengalami penurunan sampai

zero atau hilang dari ekosistem tersebut (i).

b. Ukuran populasi beberapa spesies mengalami penurunan, tetapi tidak

mencapai zero. Hal ini terjadi apabila konsentrasi polutan dalam

ekosistem bersifat kronis (rendah) (ii).

c. Laju pertumbuhan populasi mengalami peningkatan (iii).

Apabila polusi terjadi dalam waktu singkat, populasi dapat mengalami

recovery, sehingga ukuran populasi pada Gambar 23 (ii) mengalami

peningkatan (Gambar 23 (iv)). Adanya imigrasi dan rekolonisasi, populasi

yang hilang dari suatu ekosistem (Gambar 23 (i)), akan muncul kembali dan

mengalami peningkatan besarnya ukuran populasi.

Gambar 23. Respon ukuran populasi terhadap pencemar (Walker et al.2001 : 195).

Minggu IX

EFEK POLUTAN PADA INDIVIDU, POPULASI, DAN KOMUNITAS

B. Efek pada Populasi dan Komunitas1. Populasi

Polutan yang masuk ke dalam suatu ekosistem dapat berinteraksi dengan

individu suatu populasi. Interaksi tersebut dapat menyebabkan efek lethal

maupun sublethal pada individu organisme, yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan dan dinamika populasi.

Berdasarkan Gambar 23, saat polutan masuk ke dalam ekosistem :

a. Ukuran populasi beberapa spesies akan mengalami penurunan sampai

zero atau hilang dari ekosistem tersebut (i).

b. Ukuran populasi beberapa spesies mengalami penurunan, tetapi tidak

mencapai zero. Hal ini terjadi apabila konsentrasi polutan dalam

ekosistem bersifat kronis (rendah) (ii).

c. Laju pertumbuhan populasi mengalami peningkatan (iii).

Apabila polusi terjadi dalam waktu singkat, populasi dapat mengalami

recovery, sehingga ukuran populasi pada Gambar 23 (ii) mengalami

peningkatan (Gambar 23 (iv)). Adanya imigrasi dan rekolonisasi, populasi

yang hilang dari suatu ekosistem (Gambar 23 (i)), akan muncul kembali dan

mengalami peningkatan besarnya ukuran populasi.

Gambar 23. Respon ukuran populasi terhadap pencemar (Walker et al.2001 : 195).

Page 39: Buku Ajar Ekotok

2. Komunitas

Polutan dapat mempengaruhi struktur dan fungsi komunitas, antara lain

melalui gangguan terhadap hubungan atau interaksi antar spesies (populasi)

(Gambar 24).

Dalam hubungan atau interaksi predator-prey, penurunan besarnya

ukuran populasi prey dapat mempengaruhi satu atau lebih predator, yang

selanjutnya mempengaruhi struktur komunitas. Selain itu, efek polutan yang

dapat menyebabkan eliminasi populasi, dapat menurunkan biodiversitas.

Polutan/toksikan

Efek sublethal/lethal

populasi target

Interaksi antar spesies (hubungan predator-prey dan kompetisi)

Gambar 24. Efek toksikan pada interaksi antar spesies (Stine and Brown1996: 189).

Page 40: Buku Ajar Ekotok

Minggu X

PENGUJIAN TOKSISITAS AKUT

Pengujian toksisitas

Untuk mengevaluasi konsentrasi/dosis pencemar (toksikan) dan durasi

pendedahan, . yang dibutuhkan untuk menghasilkan efek tertentu.

Kriteria dan pendekatan

1. Pengujian harus dapat memprediksi efek pencemar pada organisme yang berbeda

2. Prosedur pengujian menggunakan dasar statistik dan dapat diulang pada waktu dan

tempat yang berbeda, dengan hasil yang hampir sama

3. Data meliputi efek berbagai konsentrasi selama durasi pendedahan dan dapat

dikuantitatifkan melalui grafik interpolasi atau analisis statistik

4. Data dapat digunakan untuk risk assessment analysis

5. Pengujian mudah dilakukan dan ekonomis

6. Pengujian dapat dengan mudah (sensitif) mendeteksi dan mengukur efek

Organisme uji

1. mempunyai kisaran sensitifitas yang lebar

2. merepresentasikan kondisi Iingkungan yang tercemar

3. mudah diperoleh (melimpah)

4. mudah dipelihara dalam kondisi laboratorik, termasuk untuk culturing dan rearing.

Sistem pendedahan pengujian toksisitas dalam Iingkungan akuatik

1. Statik

Bejana uji terdiri dari still solution dan kontrol

2. Renewal

Larutan bahan kimia uji diganti secara periodik

3. Flow - through

Bahan kimia uji mengalir masuk dan keluar bejana uji, balk secara intermittent atau

kontinyu

Berdasarkan lama pendedahan, pengujian

1. Akut, 14 hari, dinyatakan dalam LC50 atau LD50

2. Kronis, > 90 hari

Life span organisme uji jugs menentukan lama pendedahan

Page 41: Buku Ajar Ekotok

Faktor yang harus diperhatikan dalam pengujian toksisitas

1. Rute pendedahan dalam aplikasi dosis

a. Oral

b. Intraperitoneal

c. Intramuscular

d. Subcutaneous

e. Intravenous

2. Lama pendedahan

Life span organisme uji menentukan lama pendedahan

3. Analisis data

a. Statistik (analisis probit)

b. Interpolasi, ekstrapolasi atau intrapolasi

A. Pengujian toksisitas akut

Pengujian toksisitas akut bertujuan menentukan konsentrasi (dosis) bahan kimia

yang menyebabkan efek merugikan pada organisme, melalui pendedahan bahan

kimia dalam waktu yang singkat. Dalam pengujian ini, respon yang dipelajari berupa

quantal response (dead or alive). Hubungan antara konsentrasi (dosis) bahan kimia

dengan persentase organisme yang menunjukkan efek (respon), dinyatakan dalam

bentuk kurva konsentrasi (dosis) — mortalitas.

Hasil pengujian toksisitas akut berupa persentase organisme yang mati dalam

setiap konsentrasi (dosis) dan LC50 atau LD50 (konsentrasi atau dosis yang

menyebabkan kematian 50 % organisme uji).

1. Organisme Uji

a. Vertebrata, ikan : Cyprinus carpio dan Tilapia nilotica, tikus : Mus

musculus dan Rattus norvegicus

b. Invertebrata, daphnid : Daphnia magna; amphipod : Gammarus

lacustris; midge : Chironomus sp.

2. Penentuan konsentrasi atau dosis definitive test (uji sebenarnya)

Konsentrasi atau dosis ditentukan berdasarkan range-finding test (uji

pendahuluan). Dalam pengujian ini, organisme uji mengalami pendedahan

dengan konsentrasi (dosis) bahan kimia berdasarkan rasio logaritmik, yaitu 0.01,

0.1, 1, 10, dan 100 mg/I atau mg/kg, dalam waktu 96 jam atau sama dengan

lama waktu uji sebenarnya.

Page 42: Buku Ajar Ekotok

Penentuan konsentrasi atau dosis yang akan digunakan dalam uji sebenarnya

berdasarkan kisaran konsentrasi atau dosis dalam uji pendahuluan, yang

menyebabkan kematian 50 % organisme uji.

3. Definitive test (Uji Sebenarnya)

Kisaran konsentrasi atau dosis dari hasil uji pendahuluan digunakan dalam

penentuan konsentrasi atau dosis uji sebenarnya. Dalam kisaran tersebut,

konsentrasi atau dosis ditentukan secara geometrik, misalnya 10, 5, 2.5, 1.25,

0.62 mg/I atau mg/kg.

Setelah penentuan konsentrasi atau dosis, organisme uji mengalami masa

pendedahan dalam waktu yang ditentukan, misalnya 96 jam, tergantung pada life

span organisme uji.

Selama masa pendedahan, dicatat jumlah kematian dalam setiap konsentrasi

atau dosis.

4. Penentuan LC50 atau LD50

Setelah masa pendedahan berakhir, hasil uji sebenarnya dianalisis untuk

menentukan LC50 atau LD 50. Penentuan LC50 atau LD 50 dapat dilakukan

dengan

a. Analisis probit

b. Interpolasi

Hasil uji sebenarnya diplotkan dalam grafik dengan sumbu X =

konsentrasi (dosis) dan sumbu Y = persentase kematian. Kemudian dicari

kisaran antar titik, yang terdapat kematian 50 % organisme uji dan

dihubungkan dengan garis. Pada konsentrasi atau dosis 50 % sumbu Y

ditarik garis, sampai memotong garis antara 2 titik tersebut. Titik potong

tersebut diproyeksikan ke sumbu X, sehingga diperoleh LC50 atau LD50.

c. Ekstrapolasi

Apabila hasil uji sebenarnya, tidak diperoleh konsentrasi atau dosis

dengan kematian organisme uji > 50 %. Hasil uji sebenarnya diplotkan

dalam grafik dengan sumbu X = konsentrasi (dosis) dan sumbu Y =

persentase kematian. Di antara titik-titik dalam grafik tersebut, dibuat garis

linier sembarang, kemudian dari konsentrasi atau dosis 50 % sumbu Y

ditarik garis, sampai memotong garis linier tersebut. Titik potong tersebut

diproyeksikan ke sumbu X, sehingga diperoleh LC50 atau LD50.

Page 43: Buku Ajar Ekotok

d. Penggunaan garis

Hasil uji sebenarnya diplotkan dalam grafik dengan sumbu X =

konsentrasi (dosis) dan sumbu Y = persentase kematian. Di antara titik-titik

dalam grafik tersebut, dibuat garis linier sembarang, kemudian dari

konsentrasi atau dosis 50 % sumbu Y ditarik garis, sampai memotong garis

linier tersebut. Titik potong tersebut diproyeksikan ke sumbu X, sehingga

diperoleh LC50 atau LD50.

Page 44: Buku Ajar Ekotok

Minggu XI

PENGUJIAN TOKSISITAS CAMPURAN BAHAN KIMIA

Dalam lingkungan alami, organisme umumnya mengalami pendedahan beberapa

bahan kimia secara bersamaan. Pengujian suatu toksisitas bahan kimia terhadap

organisme, kurang dapat memberikan gambaran kondisi sebenarnya di clam. Hal ini

yang mendorong dikembangkan pengujian toksisitas campuran bahan kimia.

Pengujian toksisitas campuran bahan kimia dilakukan berdasarkan konsep isobol

(Gambar 25). Dari gambar tersebut, 2 bahan kimia diaplikasikan berdasarkan rasio

konsentrasi antara kedua bahan kimia tersebut, sehingga apabila bahan kimia A

diaplikasikan sebesar 50 % LC50 bahan kimia A, maka bahan kimia B diaplikasikan

sebesar 50 % LC50 bahan kimia B. Aplikasi kedua bahan kimia tersebut dapat

menimbulkan efek aditif, sinergisme atau antagonisme.

Gambar 25. Isobol LC50 senyawa A dan B (Marking 1985).

Efek aditif merupakan efek yang diharapkan akibat adanya pencampuran bahan

kimia. Sinergisme (greater than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia

mengakibatkan peningkatan toksisitas atau efek toksik pada organisme. Sedangkan

antagonisme (less than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia

mengakibatkan penurunan toksisitas pada organisme.

Minggu XI

PENGUJIAN TOKSISITAS CAMPURAN BAHAN KIMIA

Dalam lingkungan alami, organisme umumnya mengalami pendedahan beberapa

bahan kimia secara bersamaan. Pengujian suatu toksisitas bahan kimia terhadap

organisme, kurang dapat memberikan gambaran kondisi sebenarnya di clam. Hal ini

yang mendorong dikembangkan pengujian toksisitas campuran bahan kimia.

Pengujian toksisitas campuran bahan kimia dilakukan berdasarkan konsep isobol

(Gambar 25). Dari gambar tersebut, 2 bahan kimia diaplikasikan berdasarkan rasio

konsentrasi antara kedua bahan kimia tersebut, sehingga apabila bahan kimia A

diaplikasikan sebesar 50 % LC50 bahan kimia A, maka bahan kimia B diaplikasikan

sebesar 50 % LC50 bahan kimia B. Aplikasi kedua bahan kimia tersebut dapat

menimbulkan efek aditif, sinergisme atau antagonisme.

Gambar 25. Isobol LC50 senyawa A dan B (Marking 1985).

Efek aditif merupakan efek yang diharapkan akibat adanya pencampuran bahan

kimia. Sinergisme (greater than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia

mengakibatkan peningkatan toksisitas atau efek toksik pada organisme. Sedangkan

antagonisme (less than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia

mengakibatkan penurunan toksisitas pada organisme.

Minggu XI

PENGUJIAN TOKSISITAS CAMPURAN BAHAN KIMIA

Dalam lingkungan alami, organisme umumnya mengalami pendedahan beberapa

bahan kimia secara bersamaan. Pengujian suatu toksisitas bahan kimia terhadap

organisme, kurang dapat memberikan gambaran kondisi sebenarnya di clam. Hal ini

yang mendorong dikembangkan pengujian toksisitas campuran bahan kimia.

Pengujian toksisitas campuran bahan kimia dilakukan berdasarkan konsep isobol

(Gambar 25). Dari gambar tersebut, 2 bahan kimia diaplikasikan berdasarkan rasio

konsentrasi antara kedua bahan kimia tersebut, sehingga apabila bahan kimia A

diaplikasikan sebesar 50 % LC50 bahan kimia A, maka bahan kimia B diaplikasikan

sebesar 50 % LC50 bahan kimia B. Aplikasi kedua bahan kimia tersebut dapat

menimbulkan efek aditif, sinergisme atau antagonisme.

Gambar 25. Isobol LC50 senyawa A dan B (Marking 1985).

Efek aditif merupakan efek yang diharapkan akibat adanya pencampuran bahan

kimia. Sinergisme (greater than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia

mengakibatkan peningkatan toksisitas atau efek toksik pada organisme. Sedangkan

antagonisme (less than additive) terjadi apabila pencampuran bahan kimia

mengakibatkan penurunan toksisitas pada organisme.

Page 45: Buku Ajar Ekotok

Dalam pengujian toksisitas campuran bahan kimia, efek aditif, sinergisme atau

antagonisme yang dihasilkan, dapat dipelajari dengan menghitung indeks aditif, melalui

pengujian toksisitas akut setiap bahan kimia, baik secara individu maupun campuran.

Pengujian secara campuran dengan memperhatikan konsep isobol, yaitu

menggunakan beberapa konsentrasi campuran dengan rasio tertentu. Selanjutnya,

hasil kedua pengujian tersebut dihitung dengan menggunakan rumus :

+ =Keterangan :

i dan m toksisitas bahan kimia A dan B secara individu dan campuran

Apabila nilai :

S 1, maka indeks aditif = − 1.0S 1, maka indeks aditif = S(-1) + 1

Dengan memperhatikan Gambar 26, berdasarkan indeks aditif yang diperoleh,

dapat dipelajari efek campuran bahan kimia.

Gambar 26. Penentuan efek campuran bahan kimia. Titik 0 menunjukkan efek aditif(Marking 1985).

Dalam pengujian toksisitas campuran bahan kimia, efek aditif, sinergisme atau

antagonisme yang dihasilkan, dapat dipelajari dengan menghitung indeks aditif, melalui

pengujian toksisitas akut setiap bahan kimia, baik secara individu maupun campuran.

Pengujian secara campuran dengan memperhatikan konsep isobol, yaitu

menggunakan beberapa konsentrasi campuran dengan rasio tertentu. Selanjutnya,

hasil kedua pengujian tersebut dihitung dengan menggunakan rumus :

+ =Keterangan :

i dan m toksisitas bahan kimia A dan B secara individu dan campuran

Apabila nilai :

S 1, maka indeks aditif = − 1.0S 1, maka indeks aditif = S(-1) + 1

Dengan memperhatikan Gambar 26, berdasarkan indeks aditif yang diperoleh,

dapat dipelajari efek campuran bahan kimia.

Gambar 26. Penentuan efek campuran bahan kimia. Titik 0 menunjukkan efek aditif(Marking 1985).

Dalam pengujian toksisitas campuran bahan kimia, efek aditif, sinergisme atau

antagonisme yang dihasilkan, dapat dipelajari dengan menghitung indeks aditif, melalui

pengujian toksisitas akut setiap bahan kimia, baik secara individu maupun campuran.

Pengujian secara campuran dengan memperhatikan konsep isobol, yaitu

menggunakan beberapa konsentrasi campuran dengan rasio tertentu. Selanjutnya,

hasil kedua pengujian tersebut dihitung dengan menggunakan rumus :

+ =Keterangan :

i dan m toksisitas bahan kimia A dan B secara individu dan campuran

Apabila nilai :

S 1, maka indeks aditif = − 1.0S 1, maka indeks aditif = S(-1) + 1

Dengan memperhatikan Gambar 26, berdasarkan indeks aditif yang diperoleh,

dapat dipelajari efek campuran bahan kimia.

Gambar 26. Penentuan efek campuran bahan kimia. Titik 0 menunjukkan efek aditif(Marking 1985).

Page 46: Buku Ajar Ekotok

Minggu XII

PENGUJIAN TOKSISITAS KRONIK

Toksisitas kronik merupakan potensi suatu bahan kimia untuk menimbulkan efek

merugikan pada organisme melalui masa pendedahan organisme secara terus

menerus dalam jangka waktu lama.

1. Pengujian Toksisitas Kronik

a. Mempelajari dan mengevaluasi efek suatu bahan kimia pada setiap tahap

dalam siklus hidup suatu organisme.

b. Menerapkan berbagai konsentrasi atau dosis bahan kimia pada setiap tahap

siklus hidup organisme, dari gamet — dewasa (pertumbuhan, perkembangan,

dan reproduksi), untuk mempelajari efek merugikan bahan kimia tersebut,

sehingga pengujian ini berlangsung secara terus menerus, dalam jangka

waktu minggu- tahun, tergantung pada lama siklus hidup suatu organisme.

c. Dalam populasi organisme uji, pemberian konsentrasi bahan kimia yang

tinggi diharapkan dapat menimbulkan efek merugikan, sesuai dengan kriteria

spesifik (standar). Sedangkan pada konsentrasi bahan kimia yang rendah,

efek (respon) yang diharapkan sesuai dengan kontrol.

d. Memberikan hasil pengujian yang lebih sensitif dibandingkan pengujian

toksisitas akut.

2. Kriteria efek spesifik dalam pengujian toksisitas kronik organisme uji

a. Jumlah atau persentase embrio yang dapat berkembang secara normal

b. Jumlah Fl (offspring) yang dapat tumbuh secara normal

3. Organisme uji

a. Permasalahan menentukan jenis spesies yang akan digunakan dalam

pengujian toksisitas kronik

b. Organisme uji yang digunakan

1) Invertebrata, Daphnia magna, Mysidopsis bahia, Acartia tonsa,

Palaemonetes pugio, Gammarus pseudolimnaeus, Chironomus tentans,

Tanytarus dissimilis, Neanthes arenaceodentata, dan Capitella capitata.

2) Vertebrata, Pimephales promelas, Cyprinodon variegatus, Jordanella

floridae, dan Salvelinus fontinalis.

Page 47: Buku Ajar Ekotok

4. Tipe pengujian toksisitas kronik

a. Life - cycle toxicity test

Mengukur efek pendedahan kronik suatu bahan kimia pada reproduksi,

pertumbuhan, kesintasan, dan parameter lain, dalam satu atau lebih generasi

suatu populasi organisme uji.

b. Sensitive life stage test

Mengukur efek pendedahan kronik pada kesintasan dan pertumbuhan, scat

organisme uji berada pada tahapan siklus hidup yang paling sensitif.

c. Functional test

Mengukur efek bahan kimia pada fungsi biokimiawi atau fisiologis suata

organisme uji.

5. Desain Pengujian

a. Terdiri dari minimum 5 konsentrasi bahan kimia dan 1 kontrol negatif

b. Pemilihan konsentrasi berdasarkan hasil flow through acute toxicity

c. Konsentrasi yang digunakan berkisar 0.01 - 0.05 dari hasil pengujian akut

d. Sistem pendedahan dengan flow through

e. Hasil pengujian yang diharapkan konsentrasi bahan kimia yang tinggi dapat

menimbulkan efek merugikan, sesuai dengan kriteria spesifik (standar).

Sedangkan pada konsentrasi bahankimia yang rendah, efek (respon) yang

diharapkan sesuai dengan kontrol. Hal ini bertujuan untuk menentukan MATC(Maximum Acceptable Toxicant Concentration - kisaran konsentrasi toksikan

yang menimbulkan efek merugikan), berdasarkan nilai NOEC (No Observed

Effect Concentration konsentrasi bahan kimia tertinggi yang secara statistik

tidak menyebab efek merugikan, dengan membandingkan kontrol) dan LOEC(Low Observed Effect Concentration - konsentrasi bahan kimia terendah yang

secara statistik signifikan menyebabkan efek merugikan, dengan

membandingkan kontrol).

6. Data yang dikoleksi

Berdasarkan pengujian toksisitas kronik dengan menggunakan organisme uji, ikan

a. Hasil analisis kualitas air

b. Jumlah dan persentase telur yang menetas dan dapat menjadi larva normal

c. Jumlah dan persentase juvenil yang sintas dalam 30 hari perlakuan

d. Total panjang dan berat basah ikan

e. Abnormalitas fisik dan perilaku

Page 48: Buku Ajar Ekotok

7. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis statistik dengan menggunakan analisisvariansi, membandingkan kontrol dan perlakuan. Jika hasil analisis variansimenunjukkan P 0.05, dilanjutkan dengan pengujian DMRT.

Berdasarkan Tabel 9 diperoleh hasil NOEC = 0.049 dan LOEC = 0.096,sehingga diperoleh NOEC<MATC<LOEC = 0.049<MA TC<0.096.

Tabel 9. Hasil pengukuran biologis pada pengujian toksisitas akut bahan kimia X

Page 49: Buku Ajar Ekotok

Minggu XIII

BIOMONITORING

Biomonitoring

Biomonitoring (pemantauan biologis) merupakan pengukuran dan evaluasi

kondisi sistem kehidupan (biota). Hasil kegiatan tersebut merupakan

parameter/metrik yang dapat memberikan gambaran kondisi sistem biologis,

dari tingkat individu ekosistem, dan jugs landscape (abiotik), terutama akibat

aktivitas manusia (Tabel 10).

Tabel 10. Tipe metrik (parameter) merefleksikan multidimensi sistem biologis (Karr and

Chu 1999 : 63)

Tipe metrik lndividu Populasi Komunitas Ekosistem Landscape

Kekayaan taksa v v v v

Toleransi,

intoleransiv v

Struktur trofik v v v

Kesehatan

individuv

Pendekatan

Biomonitoring merupakan "slat" untuk mempelajari dinamika suatu ekosistem,

balk secara meruang maupun mewaktu, sebagai usaha melindungi ekosistem dan

kepentingan manusia. Kegiatan pemantauan tersebut dapat dilakukan dengan

menggunakan parameter fisik, kimiawi, dan biologis. Usaha pemantauan secara fisik

dan kimiawi, relatif lebih mudah dan cepat diketahui, tetapi kurang memberikan

keakuratan mengenai kondisi atau masalah ekosistem yang sebenarnya. Penggunaan

organisme dalam pemantauan tersebut (biomonitoring) mempunyai kelebihan

dibandingkan jenis pemantauan yang lain, yaitu organisme sungai tertentu dapat

memberikan respon biologis, dari tingkat molekuler — komunitas, terhadap perubahan

yang terjadi dalam ekosistem.

Dalam kegiatan biomonitoring, respon biologis pada tingkat populasi dan

komunitas paling mudah dipelajari dibandingkan respon biokimiawi dan fisiologis,

Page 50: Buku Ajar Ekotok

meskipun respon pada tingkat tersebut merupakan respon yang diperoleh dalam

jangka waktu yang lebih lama dibandingkan respon biokimiawi atau fisiologis. Respon

tingkat komunitas, yaitu kekayaan taksa, jumlah genus dominan, jumlah total individu,

kesamaan dan keanekaragaman komunitas, merupakan jenis respon atau parameter

biologis yang umum digunakan dalam menilai atau merefleksikan kondisi suatu

ekosistem.

Usaha biomonitoring diawali dengan pemilihan jenis parameter/respon biologis

(metrik), dengan mempelajari respon biologis tingkat komunitas, pada berbagai

kondisi ekosistem. Jenis parameter biologis yang dipilih berdasarkan adanya

perubahan respon signifikan sejalan dengan perubahan kondisi ekosistem

(Gambar 27). Pemilihan tersebut melibatkan pemilihan bioindikator yang tepat,

yang dapat merefleksikan dinamika kondisi ekosistem.

Gambar 27. Pemilihan metrik dalam biomonitoring. Metrik A merupakan indikator yang baik untukbiomonitoring, dibandingkan metrik B (Karr and Chu 1999 : 50).

meskipun respon pada tingkat tersebut merupakan respon yang diperoleh dalam

jangka waktu yang lebih lama dibandingkan respon biokimiawi atau fisiologis. Respon

tingkat komunitas, yaitu kekayaan taksa, jumlah genus dominan, jumlah total individu,

kesamaan dan keanekaragaman komunitas, merupakan jenis respon atau parameter

biologis yang umum digunakan dalam menilai atau merefleksikan kondisi suatu

ekosistem.

Usaha biomonitoring diawali dengan pemilihan jenis parameter/respon biologis

(metrik), dengan mempelajari respon biologis tingkat komunitas, pada berbagai

kondisi ekosistem. Jenis parameter biologis yang dipilih berdasarkan adanya

perubahan respon signifikan sejalan dengan perubahan kondisi ekosistem

(Gambar 27). Pemilihan tersebut melibatkan pemilihan bioindikator yang tepat,

yang dapat merefleksikan dinamika kondisi ekosistem.

Gambar 27. Pemilihan metrik dalam biomonitoring. Metrik A merupakan indikator yang baik untukbiomonitoring, dibandingkan metrik B (Karr and Chu 1999 : 50).

meskipun respon pada tingkat tersebut merupakan respon yang diperoleh dalam

jangka waktu yang lebih lama dibandingkan respon biokimiawi atau fisiologis. Respon

tingkat komunitas, yaitu kekayaan taksa, jumlah genus dominan, jumlah total individu,

kesamaan dan keanekaragaman komunitas, merupakan jenis respon atau parameter

biologis yang umum digunakan dalam menilai atau merefleksikan kondisi suatu

ekosistem.

Usaha biomonitoring diawali dengan pemilihan jenis parameter/respon biologis

(metrik), dengan mempelajari respon biologis tingkat komunitas, pada berbagai

kondisi ekosistem. Jenis parameter biologis yang dipilih berdasarkan adanya

perubahan respon signifikan sejalan dengan perubahan kondisi ekosistem

(Gambar 27). Pemilihan tersebut melibatkan pemilihan bioindikator yang tepat,

yang dapat merefleksikan dinamika kondisi ekosistem.

Gambar 27. Pemilihan metrik dalam biomonitoring. Metrik A merupakan indikator yang baik untukbiomonitoring, dibandingkan metrik B (Karr and Chu 1999 : 50).