buku ajar bab ii manusia

15
BAB II HAKEKAT MANUSIA DALAM AGAMA HINDU Pada bagian ini disajikan hakekat manusia dalam agama hindu . Bab ini difokuskan pada pemahaman tentang konsepsi manusia dalam perspektif Agama Hindu; Tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu; Eksistensi dan martabat manusia; tugas dan kewajiban manusia dalam perspektif agama Hindu. Dengan mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang konsepsi manusia dalam agama hindu. Mahasiswa mampu mendefinisikan konsepsi manusia dalam perspektif agama Hindu. Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu. Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan martabat manusai dalam perspektif Agama Hindu. Mahasiswa mampu menyebutkan tugas dan kewajiban manusia dalam perspektif agama Hindu. 2.1. Konsepsi manusia dalam perspektif Hindu Dalam pandangan Hindu (terutama berdasarkan Veda), istilah manusia (manusya) secara etomologis berasal bahasa 56

Upload: kadeq-ditya-putra

Post on 27-Oct-2015

159 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

nnnn

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Ajar BAB II Manusia

BAB IIHAKEKAT MANUSIA DALAM AGAMA HINDU

Pada bagian ini disajikan hakekat manusia dalam agama hindu . Bab ini difokuskan

pada pemahaman tentang konsepsi manusia dalam perspektif Agama Hindu; Tujuan

hidup manusia dalam perspektif Hindu; Eksistensi dan martabat manusia; tugas dan

kewajiban manusia dalam perspektif agama Hindu.

Dengan mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang

konsepsi manusia dalam agama hindu.

Mahasiswa mampu mendefinisikan konsepsi manusia dalam perspektif agama Hindu.

Mahasiswa mampu menjelaskan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu.

Mahasiswa mampu menjelaskan eksistensi dan martabat manusai dalam perspektif

Agama Hindu.

Mahasiswa mampu menyebutkan tugas dan kewajiban manusia dalam perspektif

agama Hindu.

2.1. Konsepsi manusia dalam perspektif Hindu

Dalam pandangan Hindu (terutama berdasarkan Veda), istilah manusia (manusya)

secara etomologis berasal bahasa sansekerta, yakni kata manu (berarti pikiran) dan sya

(bentuk genetif yang menyatakan arti, milik atau sifat yang dimiliki kata benda yang

dilekatinya). Dengan demikian secara harfiah kata manusya/manusia berarti (ia) yang

memiliki pikiran atau (ia) yang senantiasa berpikir dan menggunakan akal pikirannya.

Pengertian ini dapat dikaitkan dengan pandangan filsafat bahasa Ludwig

Wittgenstein yang menyatakan, bahwa kata/bahasa adalah logika, sehingga secara

konsepsional dapat kita pahamkan bahwa dalam kata manu dan manusia tersebut pada

56

Page 2: Buku Ajar BAB II Manusia

dasarnya telah terumuskan tentang makna hakiki dari jenis makhluk hidup yang bernama

manusia, berpikir dengan akal pikirannya (manah). Berpikir merupakan perwujudan dari

tindakan sadar mengada (eksistensi) dari manusia sebagai subjek pengada yang

berkesadaran, karena itu kepastian pertama dari eksestensi manusia menurut Rene

Descartes adalah, “cogito, ergo sum” (saya berpikir, maka saya ada), dan selanjutnya

dinyatakan dengan “cogito, ergo sum cogitans” , yang meksudnya saya berpkir, maka

saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari budi, sebuah substansi sadar

(Gallagher, 1994:33-34).

Berkenaan dengan itu, maka Hindu beranggapan bahwa semua umat yang bernama

manusia adalah keturunan dari Manu (Swayambhu Manu). Pemahaman dan penjelasan

tentang sejarah para Manu secara mitologis diuraikan dalam kitab-kitab Purana, yang

secara substansial akan membicarakan 5 topik besar, yaitu :

a. Sorga, penciptaan alam semesta,

b. Pratisarga, penciptaan segala isi alam semesta,

c. Manvantara, riwayat penciptaan dan keturunan manu,

d. Vamsa, riwayat dinasti candra dan surya, dan

e. Vamsanucarita, riwayat hidup raja-raja dari dinasti Candra dan Surya

(Tejomayananda, 1994 : 158).

Dari konsep-konsep ini dapat dipahami bahwa secara dasariah manusia adalah

makhluk rasional karena berpikir dengan akal (budi) pikirannya. Akal budi pikiran yang

dimilikinya itu merupakan dasar yang penting dalam pengembangan wiweka yakni

kemampuan akar pikiran rasional untuk mempertimbangkan sesuatu secara arif. Karena

itu secara konseptual manusia Hindu adalah manusia yang mampu mengembangkan dan

mengedepankan daya berpikir dan pikiran rasional (manah) untuk menjadikan dirinya

sendiri sebagai manusia (Swayambhu manu) dalam tatanan hidup dan kehidupan ini.

Dalam melihat manusia Hindu, sebagaimana halnya manusia pada umumnya, maka

hal pertama yang menjadi perhatian kita adalah badan (tubuh) dan jiwanya. Kesatuan

yang utuh dan kompleks dari badan jiwa dalam makhluk yang bernama manusia ini

menjadikan ia sebagai pribadi yang secara psiko fisik terus berkembang secara dinamis,

baik di dalam dirinya (substansial) maupun di dalam alam lingkungannya. Dilihat dari

sudut pandang filsafat manusia, maka tubuh sebagai res estensa yakini aktualisasi

57

Page 3: Buku Ajar BAB II Manusia

keluasan substansi semesta, sedangkan jiwa adalah res cogitans (perwujudan substansi

berpikir).

Realitas manusia sebagai pribadi yang memiliki badan jasmani dan jiwa telah

membuka beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia, misalnya pandangan

materialisme seperti dianut kaum Carvaka di India) menganggap bahwa badan jasmani

lebih bernilai (penting) daripada jiwa. Sebaliknya, pandangan spiritualisme beranggapan

bahwa jiwa jauh lebih bernilai (penting) dibadingkan badan jasmani. Akan tetapi dalam

pandangan Veda (Hindu), baik badan jasmani maupun jiwa memiliki hakikat yang sama

pentingnya, jawatma dapat menjadi dasar dalam pemahaman badan jasmani (wadag) atau

dapat juga sebaliknya. Bidang yang mengkaji hakikat badan jasmani Hindu sebagai res

extensa dari substansi semesta (makrokosmos) adalah Purusatattwa atau Adipurusatattwa

(filsafat non-kebendaan, purusa). Pembicaraan baik segi Mayatatwa dan Purusatatwa

terhadap hakikat badan ajsmani dan jiwatma manusia yang das ding an sich pada

dasarnya merupakan sebuah cara pemahaman yang esensial dari kosmologi Hindu

(veda).Secara kosmologis, manusia (yang berupa kesatuan jiwa badan jasmaninya) yang

sering disebut mikrokosmos (bhuvana alit, jagad cilik) adalah perwujudan dari (res

extensa dan res cogitans) substansi semesta atau makrokosmos (bhuwana agung jagad

gede). Dengan demikian eksistensi dan hidup manusia di dunia ini adalah satu kesatuan

kosmos/kosmis, maksudnya bahwa pemahaman tentang hakikat manusia (nilai manusia

dan kemanusiaannya) tidak saja terkait dengan diri pribadi manusia di dalam umat

manusia umumnya, akan tetapi berkaitan pula dengan makhluk-makhluk hidup lainnya,

bahkan tidak terpisahkan dengan realitas seisi semesta raya ini.

Badan jasmani atau tubuh mempunyai makna penting bagi jiwaatma, karena

jiwaatma yang menjadi akar hidup dan dilahirkan dalam badan jasmani (badan wadag,

stula sarira) sebagai manusia dalam pandangan Hindu merupakan suatu keutamaan dan

kemuliaan. Hal ini bukan saja dinyatakan dalam kitab Veda atau para maharsi, tetapi juga

oleh ahli manajemen sumber daya manusia seperti Abraham Maslow (1908-1970) yang

mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan layak, bahkan mampu

berbuat luhur dan mulia.

Dalam kitab-kitab Upanisad dan Purana serta kanda, tafsir dan pemahaman tentang

hakikat badan jasmnai dan jiwa manusia diberi penjelasan yang lebih kritis dan

58

Page 4: Buku Ajar BAB II Manusia

mendalam. Dalam kitab Maitreya Upanisad dinyatakan, “ deho devalayah proktah, sa

jiwa kevala sivah” artinya badan itu adalah sthanaNya para dewa (devalaya), dan jiwa itu

sendiri adalah siswa yang meresapi segalanya. Sementara dalam kitab Brahma Purana

228,45 (Punyatmadja,1993.4) disebutkan “dharmarthakamamoksanam sariram

sadhanam” artinya tubuh adalah sarana atau jalan dalam pelaksanaan dharma (kewajiban,

kebajikan) untuk mendapatkan artha(harta benda dan kekayaan), kama (kesenangan dan

kebahagiaan duniawi), dan moksa (kebebasan abadi). Dalam Brahmana Purana juga

disebutkan ungkapan yang hampir serupa, yakni “ sariram adyam khalu dharma

sadhanam”, artinya sesungguhnya badan jasmani ini merupakan jalan utama untuk

mencapai dharma (kebenaran tertinggi) dalam kehidupan.

Melihat demikian pentingnya makna badan jasmani manusia Hindu, maka dalam

Veda dan seluruh system pengetahuan yang menjadi cabang-cabangnya senantiasa

mempertegas dalam uraiaannya, bahwa perawatan badan jasmani ini, baik berkenaan

dengan kebersihan, kesehatan, dan kesuciaannya serta segala hal yang terkait sepatutnya

terjaga dengan teratus, harmonis dan tetap kondusif. Perawatan badan jasmani teratur

menurut prinsip-prinsip dharma, sistacara atau tradisi suci dianggap sebagai suatu ibadah

religius, jiwaatma yang merupakan percikan dari Paramatma (Brahman) dapat

bersemayam dengan tentram di dalamnya. Hal ini dengan tegas diatur dalam kitab hukum

Hindu yakni Manavadharmasastra atau Manusmrti V.109 (Pudja,1996.311), sebagai

berikut :

Terjemahannya; tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan/disucikan kebenaran, jiwa-atma disucikan dengan pelajaran suci dan tapa brata, dan kecerdasan disucikan dengan pengetahuan kerohanian yang benar.

Di samping itu, untuk tetap mengkondisikan kualitas badan jasmaniah yang sehat,

bersih, suci, maka manusia selaku pribadi juga patut memilih dengan cermat segala

makanan yang dimakan. Karena bahan dan sifat kananan yang dimakan dalam pandangan

Upanisad secara apriori akan menentukan sifat, perilaku serat kesucian diri manusia

bersangkutan. Dalam kitab Taitriya Upanisad II.2.1,7.1 disebutkan bahwa jiwa-atma di

dalam badan jasmani pada dasarnya dibungkus 5 lapisan yang disebut Panca Mayakosa,

yang terdiri atas :

59

Page 5: Buku Ajar BAB II Manusia

a. Annamayakosa (pembungkus berupa badan jasmani yang terbentuk dari makanan

yang dimakan,

b. Pranamayakosa (lapisan pembungkus berupa energi prana),

c. Manomayakosa (lapisan pembungkus berupa pikiran),

d. Vaijnanamayakosa (lapisan pembungkus berupa kecerdasan), dan

e. Anandamayakosa ( lapis pembungkus berupa kebahagiaan).

Karena itu bentuk dan jenis makanan apa yang dimakan (anna = makanan) secara

langsung akan memberi pengaruh kepada jiwa-atma yang terbungkus di dalamnya. Atma

tak akan dapat tinggal dengan tentram di dalamnya,bahkan dapat meninggalkannya, jika

badan jasmani yang ditumpanginya itu telah rusak dan kacau.

Namun harus disadari pula bahwa badan jasmani bukanlah tempat tinggal yang

abadi, tetapi sampai batas waktu yang ditentukan pasti ditinggalkannya. Oleh karena

badan jasmani merupakan tumpangan sementara bagi jiwa-atma, maka orientasi

pemahaman terhadap hakikat manusia Hindu pun akhirnya terarah kepada jiwa-atma, dan

selanjutnya pikiran manusia adalah dipusatkan pada jiwa-atma sebagai upaya untuk

mengendalikan badan jasmani.

2.2. Tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu

Menurut Agama Hindu, kehidupan sebagai manusia adalah merupakan kesempatan

emas untuk dapat menuju kebebasan (moksa), tidak demikian halnya dengan makhluk

hidup lainnya, walaupun kebebasan itu merupakan hak semua makhluk hidup. Hal ini

secara jelas diungkapkan dalam Sarasamuccaya, dimana pada hekikatnya makna dari

penjelmaan menjadi manusia adalah proses pendidikan, proses belajar, sampai pada

jenjang pendidikan yang terkahir bagi manusia. Hanya manusia yang dapat melaksanakan

baik dan buruk, sehingga ia dapat mengetahui bagaimana caranya memperbanyak

perbuatan baik dan mengurangi sejauh mungkin perbuatan buruk. Disamping itu ia juga

tahu apa konsekwensi melakukan perbuatan baik ataupun buruk itu, sehingga dapat

menyikapi dengan sebaik-baiknya sehingga kebebasan dapat diraihnya. (Sarasamuccaya,

II.2-5). Tujuan utama pendidikan ini tidak hanya sekedar naik kelas, meningkat dari

jenjang yang lebih tinggi (sorga) tapi bertujuan untuk tamat belajar (pembebasan atau

moksa).

60

Page 6: Buku Ajar BAB II Manusia

Hidup dan kehidupan manusia adalah merupakan anugrah Sanghyang Widhi, Tuhan

Yang Maha Esa. Menurut ajaran Hindu, manusia dan semua makhluk dihidupkan oleh

atman dan jiwatman, yang menjadikan sesuatu itu hidup dan bernyawa. Jiwatman berasal

dan merupakan percikan sinar suci Tuhan Yang Maha Esa. Untuk itu setiap umat

manusia dituntut untuk memanfaatkan kehidupan ini dengan sebaik-baiknya sehingga

atman atau jiwatmannya dapat bersatu kembali dengan paramatma atau Tuhan Yang

Maha Esa.

Dengan demikian kehidupan manusia bukan merupakan suatu kehidupan tanpa

tujuan, coba-coba dan apa saja boleh. Menurut Hindu tujuan hidup manusia adalah catur

warga atau catur purusa artha, yaitu empat tujuan hidup manusia di dunia ini, yaitu artha,

kama, dharma, moksa. Dalam Bhagavata Purana (4.22.34) dikatakan bahwa,

Those who strongly desire to cross the ocean of nescience must not associate with the modes of ignorance (tamas) because hedonistic activities are the greatest obstructions to realization of religious principles, economic development, regulated sense grstification and at last, liberation. The Vedic literature describes eating, sleping, mating, and defending as being common to the human being and the animal. Dharma, however, is the human being’s special prerogative. (Satsvarupa dasa Gosvami, 1977.64-65).

2.3. Eksistensi dan martabat manusia (Hindu)

Berdasarkan pandangan Veda secara awam dapat dikemukakan di sini, bahwa

aspek-aspek yang langsung ataupun tidak langsung dianggap mengindikasikan dan

merepresentasi tentang rumusan (konsepsi) harkat martabat manusia (Hindu);

a. Jati (kelahiran)

b. Dharma (kewajiban hidup, kebenaran, serta kedudukan dan peran sosial

kemasyarakatan keagamaan)

c. Warna/kasta (profesi/bidang pekerjaan)

d. Karma (secara luas meliputi, manacika, wacika, dan kayika)

e. Guna ( yang dapat berupa, guna sattwam, rajas, tamas)

f. Tingkat kebrahmacaryan dan wawasan pengetahuan (Vedajna, Wedaparaga,

Sastrajna, Gunawan)

g. Tingkat keimanan dan kerohaniawanan (sradham, satyam).

Jati (kelahiran), seperti telah disinggung dalam uraian di atas, di satu sisi dapat

menjadi indikasi pertama yang menentukan harkat martabat yang tinggi seorang manusia.

61

Page 7: Buku Ajar BAB II Manusia

Misalnya orang yang merupakan kelahiran dari sorga, salah satunya dapat dilihat bahwa

di dunia ia akan menikmati hidup baik, keluarga terhormat, dan kekayaan yang

berlimpah.Akan tetapi dari sisi lain, jati bisa dimaknai sama sekali bagi martabat

seseorang, seperti dikatakan Maharsi Kautilya (Titib, 1996.15):

“Apa gunanya lahir dikalangan keluarga terhormat tetapi tidak memiliki pengetahuan suci. Walaupun seseorang lahir dari keluarga rendah, tetapi ia terpelajar, memiliki pengetahuan suci, dan bijaksana, patutlah ia dihormati seperti dewa”.

Dari kutipan di atas kita dapat melihat bahwa memiliki pengetahuan suci, terpelajar

dan bijaksana jauh lebih bernilai daripada sekadar kelahiran pada keluarga terhormat,

untuk menentukan martabat kemanusiaan seorang manusia (Hindu) bagi merek yang

berkelahiran dari kasta rendah sekalipun. Dalam kaitan itu, jati secara langsung akan

berkenaan dengan dharma sekaligus warna seseorang. Jika melalui kelahirannya itu

seseorang dapat melaksanakan dharmanya sebaik-baiknya maka jatinya menjadi sangat

bermakna.

2.4. Tugas dan kewajiban manusia (Hindu).

Tanggung jawab utama dalam kaitannya dengan Brahman Sang Pencipta semesta

adalah menyangkut Parhyangan, yang meliputi aktivitas pendirian dan pemeliharaan

tempat suci, dan melakukan upacara yadnya kepada para dewa atau Hyang Maha Kuasa.

Kewajiban dan tanggung jawab ini pada dasarnya terkait dengan Satyam (kebenaran)

sekaligus di dalamnya terkandung pemahaman sradham dan siwam (kesucian). Jika

pemahaman ini dihubungkan dengan mitologi dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan

tentang penciptaan semesta, srwa bhuta, dewa-dewa, dan manusia, maka dapat

dimengerti tanggung jawab dan kewajiban melakukan yadnya dalam kaitannya dengan

Parhyangan di samping untuk memuja dewa-dewa (Hyang Widhi), ternyata juga untuk

penyucian semesta dan penyucian kemanusiaan diri pribadi manusia (Hindu) itu sendiri.

Dalam Bhagawadgita disebutkan, bahwa pelaksanaan yadnya akan mendatangkan hujan

dan kemakmuran bagi umat manusia.

Dalam hal ini maka secara vertical manusia (Hindu) bertanggung jawab untuk

mempertingi derajat dan kesucian kemanusiaannya sehingga mencapai tingkatan

tertinggi, untuk menjadi manusia dewa (seperti Wrespati), bahkan jika perlu monitis

62

Page 8: Buku Ajar BAB II Manusia

(moksa) dengan Brahman. Hal ini merupakan tanggung jawab individual yang bersifat

intrapersonal dari setiap manusia, yakni mampu membebaskan dirinya sendiri untuk

mencapai Parama Manu (Brahman sebagai pikiran absolute/cemerlang).

Secara horizontal tanggung jawab manusia telah terjabar dalam bentuk Pawongan

dan Palemahan. Rumusan ini sejalan dengan pandangan filsafat kebudayaan yang

dikemukakan oleh Bakker (1984.22) yang mengatakan, “Man humanizes himself in

humanizing the world around him” (manusia akan memanusiakan dirinya sendiri, dalam

arti akan meningkat kemanusiaannya, memanusiakan (memberadabkan) dunia di

sekelilingnya). Dalam pandangan Veda, manusia tidak saja memiliki tanggung jawab

untuk memanusiakan (memberadabkan) manusia, tetapi yang lebih penting adalah

“mengentaskan” (melakukan somya) sarwa bhuta yang ada di sekililingnya ke kehidupan

yang lebih tinggi, seperti dilakukan dalam upacara tawur agung berkenaan dengan hari

suci Nyepi. Dengan cara demikian terjadilah sundaram (keindahan) yang pada hakikatnya

merupakan kedamaian dan harmoni di jagad raya ini.

Dari pemahaman ini maka jelas bahwa tanggung jawab terbesar manusia adalah :

a. Mengkondisikan kemakmuran umat manusia melalui yadnya yang dilakukan.

b. Menjaga satyam dan dharma sebagai cosmic order untuk tetap berjalan pada relnya.

c. Mengentaskan kemiskinan berdana dan spiritual, serta mengangkat (mengentaskan)

derajat makhluk yang rebih rendah agar menjadi lebih tinggi (seperti disebutkan

dalam lontar Purwa Bhumi Kamulan) pada kelahirannya mendatang.

d. Menjaga kedamaian dan keharmonisan jagad raya ini secara berkelanjutan (ad

infinitum).

Konsep manusia dalam pandangan Hindu adalah “Manu” (berarti pikiran dan “sya”

adalah milik atau sifat yang dimiliki. Jadi manusia berarti ia yang memiliki pikiran atau

ia yang senantiasa berpikir dan menggunakan akal pikirannya.

Eksistensi dan martabat manusia pada dasarnya didudukkan sebagai makhluk yang

utama karena manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Sesungguhnya martabat manusia dalam pandangan Hindu adalah jati, dharma, warna,

63

Page 9: Buku Ajar BAB II Manusia

karma, dan guna (Tri guna). Manusia dalam keutamaannya karena dapat menolong

dirinya sendiri dari kesengsaraan melalui dharma.

Konsepsi manusia dalam pandangan Hindu terutama dalam ajaran susila, bahwa

tujuan hidup manusia adalah catur purusaartha yaitu, dharma, artha, kama, dan moksa.

Sedangkan tugas dan kewajiban manusia adalah melaksanakan dharma dan

melaksanakan tri hita karana, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan

lingkungan alam semesta, dan manusia dengan manusia.

Untuk memperdalam pemahaman anda terhadap materi diatas silahkan melatih

kemampuan anda dengan menjawab pertanyaan berikut dengan singkat dan jelas

1. Jelaskan konsepsi manusia dalam perspektif agama Hindu?

2. Jelaskan tujuan hidup manusia dalam perspektif Hindu?

3. Jelaskan eksistensi dan martabat manusia dalam perspektif Agama Hindu ?

4. Sebutkan tugas dan kewajiban manusia dalam perspektif agama Hindu? Jelaskan!

ugas kelompokBuatlah kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 4-6 orang (ada pembagian tugas

yang jelas). Tugas kelompok.

1. Studi kasus : Konsep karma dan kemiskinan

2. Studi kasus : Manusia baik dan jahat

3. Studi kasus : Pelanggaran kewajiban manusia

4. Studi kasus : Upacara dan peningkatan spiritual

5. Studi kasus : Warna dan kasta

6. Studi kasus : Grahasta dan Nyukla brahmacari

64

Page 10: Buku Ajar BAB II Manusia

Pudja, G. 1986; Sarascamuscaya, Jakarta Departemen Agama RI Ditjen Bimas Hindu dan Buddha.

Pudja, G dan Tjokorda Rai Sudharta; Manawa Dharmasastra V.109. Departemen Agama RI 1978.

Pudja, G, MA.SH; Bhagawadgita, Penerbit Mayasari, Jakarta Tahun 1981.

Maslaw, Abraham, Matikation and Personality, MC. Gram Hill, 1992.

Djumberamsjah indar, Filsafat Pendidikan, karya Abditama, Surabaya 1994.

Conny Semiawan dan Yh.I.Setiawan; Yupiarti; panorama Filsafat Ilmu; Teraju, PT.Mizan Publike Th. 2005.

A.W. Widjaya; manusia Indonesia, Individu Keluarga dan Masyarakat, CV. Akademika Pressindo Jakarta 1986.

.Bibik Debroy Dipavali Debroy; Brahma Purana, Paramita Surabaya Th. 2000.

Babbi De Porter; Mark Reardon dan Smal” Quantung Teacling; kaifa, bandung Th. 2000.

Bobbi De Porter; Mike Hernaeki; Quantum Learning; Dell, Publishing New York 1992.

HAM, Pusat Kurikulum Balitbang Depdinas; PT.Sarana Kreasindo Utama 2004.

Haoy Kaas; Lontar Purwa Bumi Kumulan.

Titib; Pengantar Weda, Departemen Agama RI, 2004

65