budaya sasi di kampung warsambin -...

34
75 Bab Lima Budaya Sasi di Kampung Warsambin Pengantar Usaha untuk mempertahankan hasil sumber daya alam baik dari sisi ekosistem maupun keberlangsungan produksinya menjadi perhatian yang serius bagi berbagai daerah di Indonesia. Terlebih di tengah ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang akan berpengaruh pada jumlah sumber daya alam itu sendiri. Masyarakat tradisional memiliki sistem/budaya yang dibangun untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki. Di kepulauan Maluku dan Papua budaya seperti ini disebut dengan istilah budaya Sasi. Walaupun khusus untuk di Papua secara umum istilah Sasi jika dirunut kebelakang secara historis bukan memakai istilah tersebut. Sama halnya dengan budaya sasi yang ada di desa Warsambin. Sasi yaitu suatu bentuk larangan pengambilan sumber daya alam baik darat maupun laut dalam kurun waktu tertentu sehingga memungkinkan sumberdaya alam dapat tumbuh, berkembang dan dilestarikan (Renjaan dkk, 2013). Dengan melakukan sasi diharapkan hasil sumber daya alam dapat terlindungi dan bertambah. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan fakta bahwa sasi mengalami pergeseran makna dan tujuannya seiringnya waktu.

Upload: lytuong

Post on 30-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

75

Bab Lima

Budaya Sasi

di Kampung Warsambin

Pengantar

Usaha untuk mempertahankan hasil sumber daya alam baik

dari sisi ekosistem maupun keberlangsungan produksinya menjadi

perhatian yang serius bagi berbagai daerah di Indonesia. Terlebih di

tengah ancaman eksploitasi dan kerusakan lingkungan yang akan

berpengaruh pada jumlah sumber daya alam itu sendiri.

Masyarakat tradisional memiliki sistem/budaya yang dibangun

untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki. Di kepulauan

Maluku dan Papua budaya seperti ini disebut dengan istilah budaya

Sasi. Walaupun khusus untuk di Papua secara umum istilah Sasi jika

dirunut kebelakang secara historis bukan memakai istilah tersebut.

Sama halnya dengan budaya sasi yang ada di desa Warsambin.

Sasi yaitu suatu bentuk larangan pengambilan sumber daya

alam baik darat maupun laut dalam kurun waktu tertentu sehingga

memungkinkan sumberdaya alam dapat tumbuh, berkembang dan

dilestarikan (Renjaan dkk, 2013). Dengan melakukan sasi diharapkan

hasil sumber daya alam dapat terlindungi dan bertambah. Dalam

penelitian ini penulis mendapatkan fakta bahwa sasi mengalami

pergeseran makna dan tujuannya seiringnya waktu.

Page 2: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

76

Pada bab ini penulis akan memaparkan hasil temuan di

lapangan tentang pelaksanaan budaya sasi. Dimana hasil temuan

didasarkan pada amatan selama di lapangan dan dilengkapi dengan

wawancara-wawancara bersama narasumber terkait.

Dari Kabus Menjadi Sasi

“Dulu masyarakat Teluk Mayalibit tidak mengenal istilah Sasi. Yang masyarakat tahu itu kabus dalam bahasa Maya. Keduanya memiliki prinsip yang sama bertujuan untuk melindungi sumber daya alam milik perseorangan atau klan” ungkap Bambang.70

Demikian petikan wawancara antara penulis dengan Bambang

pria asli suku Maya (Teluk Mayalibit), seorang aktifis lingkungan yang

kini menjadi anggota DPD Provinsi Papua Barat. Bambang,

mengungkapkan jauh sebelum masyarakat menggunakan istilah sasi,

masyarakat sudah punya sistem sendiri yang mirip dengan sasi. Sistem

itu dikenal dalam bahasa suku Maya yaitu Kabus.

Kabus dalam pemahaman orang Maya adalah larangan

pengambilan sumber daya yang ada di darat maupun di laut untuk

memberikan kesempatan tumbuhan/hewan itu berkembang, dengan

cara menempelkan cerita mistis di sebuah area pelarangan. Pelarangan

itu bisa berlangsung berdasarkan jenis tumbuhan/hewan atau

berdasarkan besaran area. Baik itu hasil kebun seperti pinang, sayur,

kelapa, keladi, ubi, bahkan pohon yang ada dalam kawasan hutan milik

pribadi maupun klan. Hal ini juga diberlakukan bagi kawasan laut yang

diakui sebagai bagian dari kepemilikan pribadi maupun klan. Larangan

dibalut cerita mistis yang melekat dalam tradisi kabus diharapkan

mendatangkan kepatuhan bagi masyarakat agar tidak melanggar

larangan yang dibuat. Tempat-tempat yang di kabus sering juga disebut

daerah pamali/sakral sehingga benar-benar terlindungi dari sentuhan-

sentuhan tangan dan aktifitas pencaharian mansia. Cerita mistis yang

70

Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.

Page 3: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

77

dimaksud seperti halnya orang-orang tua dahulu bercerita pernah

bertemu dengan makhluk halus di tempat tersebut sehingga siapa pun

tidak boleh pergi ke wilayah itu, ternyata cukup ampuh untuk

melindungi wilayah itu dari aktifitas masyarakat.

Lalu kapan terjadi pergantian istilah dari kabus menjadi sasi?

Tidak ada yang tahu secara pasti kapan istilah kabus berubah menjadi

sasi. Yang diketahui masyarakat, istilah sasi diperkenalkan pertama kali

oleh gereja kepada masyarakat.

“Konsep sasi sebenarnya dibawa oleh gereja, gereja yang bawa sasi itu. Orang Raja Ampat tidak kenal sasi, kenapa? Karena sebenarnya Raja Ampat itu tidak perlu dilindungi juga orang tidak akan saling korek-korek. Manusia masih sedikit, hasilnya melimpah, masing-masing suku akan tinggal di pulau setempat dan tidak akan korek tempat lain. Karena bagiannya sendiri itu tidak akan habis oleh dirinya sendiri. Gereja yang saya maksudkan disini adalah para missionaris atau penginjil yang datang dari kepulauan Maluku dan Sangihe Talaud.” ungkap Bagiyo.71

Kehadiran gereja di Raja Ampat merupakan faktor pendukung

penghapusan budaya kabus yang kemudian belakangan diganti menjadi

sasi. Kehadiran gereja yang dibawa oleh misionaris asal Maluku dan

Sangihe Talaud. Tetapi ketika melihat peristiwa penghapusan kabus, mungkin oleh karena persepsi perseorangan hamba Tuhan bukan

gereja sebagai lembaga. Ada hal yang mendasar kenapa para misionaris

saat itu meminta masyarakat untuk menghilangkan budaya kabus. Alasan tersebut adalah ketika budaya kabus dilakukan, dan sebuah

daerah dinyatakan pamali/sakral masyarakat justru menggunakan itu

sebagai tempat sembah-sembah nenek moyang (mengingat saat itu

sebelum kekristenan masuk, masyarakat menganut paham animisme).

Kekhawatiran para hamba Tuhan tentang perilaku masyarakat yang

melakukan praktek penyembahan terhadap berhala, membuat para

hamba Tuhan melakukan tindakan mengutuk tempat-tempat kabus tersebut. Dampak dari dihilangkannya pamali dari tempat-tempat

71 Wawancara dengan Bagiyo, Rabu, 10 Agustus 2011, Pukul. 16.00 WIT.

Page 4: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

78

kabus adalah terbukanya area tersebut bagi orang luar. Terbukanya

area kabus menjadikan area tersebut bisa diakses oleh siapa saja dan

akhirnya terja eksploitasi terhadap sumber daya yang selama ini sudah

dijaga lewat kabus.

“Gereja juga pernah melakukan satu kesalahan, terutama pribadi-pribadi hamba Tuhan. Mereka menganggap, daerah pamali itu nanti bikin orang-orang asli pergi ke tempat pamali lalu sembah-sembah karena tempat itu sakral dan untuk memperoleh kekuatan gaib. Sehingga hamba-hamba Tuhan pergi ke tempat itu dan berdoa serta mengutuk tempat itu sehingga tempat itu menjadi terbuka. Saat itulah, orang mulai masuk ke tempat itu dan akhirnya tempat itu hancur” cerita Bagiyo.72

Terbukanya sebuah area kabus tentu menjadi incaran banyak

orang, karena tentu area tersebut akan sangat kaya akan sumber daya

alamnya. Hal ini disebabkan selama area itu di kabus, tidak ada aktifitas

pencaharian baik itu sumber daya alam darat maupun laut pada area

itu, tentu akan tersimpan banyak sekali sumber dayanya. Saat inilah

ancaman terhadap kerusakan lingkungan dan eksploitasi alam mulai

terjadi.

Dalam perjalanan kehidupan gereja dan masyarakat, gereja pun

mulai khawatir dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat lokal

pasca hilangnya budaya kabus. Kekhawatiran ini didasarkan karena

lingkungan yang mereka miliki bahkan sumber daya alam yang mereka

punyai perlahan-lahan mulai dicuri/dijarah oleh orang luar Raja

Ampat. Hal ini diperparah dengan pertambahan jumlah penduduk

yang tentu juga berdampak pada jumlah konsumsi di daerah tersebut.

Terlebih penduduk yang datang adalah pedagang-pedagang yang

menjadikan sumber daya alam sebagai komoditi perdagangan baik hasil

sumber daya alam yang di darat dan di laut.

“Pada saat itulah gereja mulai berpikir, kalau tempat ini tidak ditutup maka hasilnya akan habis dan masyarakat

72

Ibid

Page 5: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

79

tidak dapat apa-apa. Maka konsep sasi dilihat dari adanya ancaman. Konsep sasi ini dibawa oleh misionaris dari kepulauan Maluku.” ungkap Bagiyo.73

Ditengah kondisi ancaman inilah kemudian gereja, mulai

mencari cara untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki oleh

masyarakat. Gereja saat itu berpikir paling tidak cara yang baru ini

dapat meminimalisir pencurian/penjarahan terhadap hasil sumber daya

alam yang dimiliki oleh masyarakat. Gereja saat itu ada dalam sebuah

pilihan dilematis antara mengaktifkan kembali tradisi kabus yang

penuh dengan nuansa mistis dan praktek berhala, itu berarti

memberikan kesempatan kepada masyarakat lagi untuk melakukan

praktek penyembahan kepada kekuatan gaib, ataukah mencari

alternatif lain agar masyarakat bisa melindungi sumber daya yang

mereka miliki.

Pilihan itu jatuh pada menggunakan alternatif lain dengan

melakukan sasi. Mengapa sasi, seperti yang sudah saya sampaikan di

bab III, bahwa budaya sasi itu adalah budaya yang digunakan oleh

masyarakat di kepulauan Maluku, dan tentu budaya tersebut sangat

dekat dengan para misionaris asal Maluku yang melakukan pelayanan

di Raja Ampat. Lalu gereja saat itu mulai mendorong masyarakat untuk

melakukan sasi untuk melindungi sumber daya alam baik darat

maupun laut.

Peristiwa pergantian dari kabus (istilah lokal) menjadi sasi

(oleh karena intervensi gereja), sama persis terjadi pada masyarakat

kampung Rambatu, distrik Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat

(Ngamelubun, dkk. 2013). Di kampung Rambatu terdapat juga budaya

Matakao yang dalam perjalanannya juga berganti istilah menjadi Sasi.

Pergantian ini terjadi setelah masuknya agama Kristen yang dibawa

oleh Pendeta Suma. Matakao adalah tanda larangan atau petaka

mengandung kekuatan gaib, biasa diletakkan di kebun atau barang

milik tidak bergerak. Pergantian istilah dari Matakao menjadi Sasi juga

73 Ibid

Page 6: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

80

disebabkan oleh Matakao yang bersifat animisme dan tidak dapat

diterima oleh gereja.

Selama melakukan penelitian di kampung Warsambin, penulis

menemukan ada dua jenis sasi yang dilakukan oleh masyarakat. Dua

jenis sasi itu dibagi berdasarkan tujuan dilaksanakan sasi. Jenis sasi

yang ada di kampung Warsambin adalah Sasi Adat dan Sasi Gereja.

Sasi Adat dan Sasi Gereja

“Di kampung ini tong cuma tahu ada 2 (dua) sasi, yang sa tahu itu ada sasi adat dan sasi gereja. Walau sekarang memang sudah jarang sekali torang lakukan keduanya. Terakhir itu tahun 2010 pas torang sasi adat Mon. Sedangkan sasi gereja itu su jarang sekali yang buat” Ungkap Joko.74

Sasi adat dan sasi gereja adalah dua jenis sasi yang dilakukan

oleh masyarakat kampung Warsambin. Kedua jenis sasi ini memang

secara mendasar memiliki tujuan yang sama yaitu memberikan

kesempatan bagi sumber daya alam untuk bertumbuh dan berkembang

biak dalam jangka waktu tertentu. Yang menjadi pembedaan mendasar

antara sasi adat dan sasi gereja adalah para pelaku sasi. Sedangkan ritual

yang dilakukan kurang lebih sama.

Nanti dalam perkembangannya, sasi adat dan sasi gereja

mengalami banyak pergeseran makna bahkan pembentukan makna

baru oleh karena masuknya nilai kekristenan dalam kehidupan

masyarakat.

Sasi Adat

Yang dimaksud dengan sasi adat adalah larangan

pengambilan sumber daya alam dalam waktu tertentu, dan sasi ini

dilakukan oleh seorang warga/klan tertentu untuk sumber daya

alam yang masuk dalam kepemilikan pribadi. Misalnya pohon

kelapa, pohon pinang, pohon pisang, dan semua sumber daya alam

74 Wawancara dengan Joko, Kamis 1 September 2011, Pukul. 10.00 WIT.

Page 7: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

81

yang masuk dalam wilayah kepemilikan pribadi/klan baik yang ada

di darat dan di laut. Larangan ini dilakukan agar hasil dari sumber

daya alam yang di sasi tersebut menghasilkan panen yang baik dan

banyak, sekaligus juga melindungi hasil sumber daya itu dari

pencurian/penjarahan yang dilakukan oleh orang lain.

Sasi adat dilakukan oleh masyarakat kampung yang masih

memeluk agama suku, walaupun saat itu kekristenan sudah masuk

ke kampung Warsambin. Sehingga setiap ritual yang nantinya

dilakukan ditujukan hanya kepada arwah-arwah nenek moyang

atau leluhur.

a) Mempersiapkan Sasi Adat

Pada pelaksanaan sasi adat lebih sederhana

dibandingkan sasi gereja. Seperti yang penulis sampaikan

sebelumnya, inisiatif sasi adat berasal dari perseorangan/klan.

Biasanya seorang warga akan melakukan persiapan, dengan

menyiapkan segala keperluan yang akan digunakan untuk

melakukan sasi adat. Antara lain sesembahan atau yang sering

masyarakat sebut dengan Kakes75 serta perlengkapan tanda

wilayah sasi. Untuk tanda wilayah sasi dalam masyarakat

terdapat dua buah tanda yang digunakan, ada yang

menggunakan anyaman daun kelapa dan kain merah. Anyaman

daun kelapa dan kain merah ini nantinya akan diikatkan pada

pohon (jika di darat) dan pada sebuah batang kayu (jika di laut,

yang ditancapkan) di wilayah sasi. Sehingga siapapun yang

memasuki sebuah wilayah dan melihat ada tanda berupa

anyaman daun kelapa dan kain merah, berarti daerah tersebut

sedang disasi.

75

Kakes adalah sesembahan yang digunakan dalam pelaksanaan sasi. Sesembahan ini terdiri buah pinang dan sirih (buah bukan daun), kapur, dan rokok. Dalam beberapa pelaksanaan juga biasanya ditambahkan dengan nasi kuning, nasi putih, dan ayam putih.

Page 8: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

82

b) Pelaksanaan Tutup Sasi Adat

Setelah semua persiapan selesai, maka sasi mulai

dilakukan.Yang dilakukan pertama adalah mengikatkan

anyaman daun kelapa pada semua batang pohon, atau

mengikatkan kain merah pada batang kayu kemudian

ditancapkan di wilayah laut yang ingin disasi. Setelah semua

penanda sudah dipasangkan, dilanjutkan dengan menaruh

kakes pada sebuah tempat. Setelah itu pelaksana sasi membaca

doa menggunakan bahasa daerah (kalau di kampung

Warsambin menggunakan bahasa suku Maya) atau yang sering

disebut dengan bahasa tanah. Doa yang dibacakan tersebut

ditujukan kepada para leluhur agar memberikan kesuburan

bagi tanah sehingga tumbuhan yang berkembang dapat

menghasilkan buah yang baik dan banyak. Selain itu isi doa

juga meminta kepada leluhur untuk menjaga segala tanaman

dan sumber daya laut yang disasi agar tidak dicuri atau dijarah

oleh orang lain. Leluhur dalam pelaksanaan sasi adat menjadi

pusat utama ketika sebagian masyarakat masih menganut

agama suku. Leluhur adalah pusat segala sumber, yang

menyeimbangkan kehidupan antara alam dan manusia. Setelah

pembacaan doa selesai maka pelaksanaan sasi telah selesai dan

tutup sasi telah berlaku. Lamanya sasi ini berlaku sesuai dengan

kehendak sang pemilik wilayah sasi tersebut. Ada masyarakat

yang melakukan sasi dalam jangka waktu 3 bulan, 6 bulan,

bahkan ada juga yang selama 1 tahun.

c) Larangan Selama Sasi Adat

Setelah tutup sasi berlaku, maka ada aturan yang harus

dipatuhi dan tidak boleh dilanggar. Aturan ini berlaku baik

bagi orang lain dan juga orang yang melakukan sasi itu sendiri.

Aturan itu antara lain :

1) Siapapun dilarang mengambil hasil sumber daya alam yang

sudah disasi adat.

Page 9: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

83

2) Jika ada hasil sumber daya yang sudah matang dan jatuh ke

tanah dari pohonnya, hasil tersebut pun tidak boleh diambil.

d) Pelaksanaan Buka Sasi Adat

Ketika waktu tutup sasi adat telah selesai, waktunya

untuk melakukan panen hasil sumber daya yang biasanya oleh

masyarakat disebut dengan buka sasi. Pada pelaksanaan buka

sasi berlangsung dengan cara yang sederhana. Pelaku sasi akan

memulainya dengan membaca doa yang ditujukan kepada

leluhur. Dalam doa tersebut tersampaikan ucapan terima kasih

pada leluhur yang sudah menjaga semua wilayah dan sumber

daya yang di sasi. Selain itu, dalam doa itu juga disampaikan

keinginan pelaku sasi agar para leluhur senantiasa memberikan

kesuburan pada tanah sehingga setelah buka sasi selesai, semua

sumber daya yang ada tetap bisa menghasilkan buah.

Setelah ritual doa selesai dilakukan selanjutnya adalah

memanen semua hasil sumber daya yang disasi. Saat panen ini

biasanya dilakukan oleh keluarga inti pemilik kebun. Semua

hasil sumber daya yang sudah dipanen selanjutnya digunakan

untuk kebutuhan keluarga tersebut. Sebagian akan digunakan

sendiri, dan sebagian lainnya akan dijual ke pasar. Dalam sasi

adat pemanfaatan hasil sumber daya dari sasi diperuntukkan

hanya untuk keluarga sendiri tidak termasuk keluarga besar.

Sasi Gereja

Yang dimaksud dengan sasi gereja adalah larangan

pengambilan sumber daya alam dalam waktu tertentu, untuk

memberikan kesempatan bagi margasatwa bertumbuh,

berkembang biak sebagai bentuk tanggungjawab umat dalam

menjaga dan melestarikan alam yang sudah diberikan Tuhan

kepada manusia. Sasi gereja ini dilakukan baik oleh

perorangan/klan dan seluruh warga gereja dalam kesatuan umat.

Berbeda dengan sasi adat, sasi gereja ini dilakukan dengan

pusat ritual adalah Allah sebagai pencipta alam semesta. Dan sasi

Page 10: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

84

gereja mendorong perilaku masyarakat untuk menghargai dan

menjaga alam ciptaan Allah yang harus dilestarikan demi

kelangsungan kehidupan bagi anak dan cucu kita. Lewat sasi gereja

dapat dipahami juga bahwa Allah memakai gereja untuk

memuliakan nama Allah lewat kebudayaan. Leiwakabessy, (1992)

juga pernah melakukan penelitian tentang peranan gereja dalam

melaksanakan budaya sasi di Seram dan Lease. Leiwakabessy

menemukan bahwa gereja justru memiliki peran penting lewat

budaya sasi untuk mendidik masyarakat agar lebih peduli terhadap

alam dengan cara menjaga dan melindunginya.

a) Mempersiapkan Sasi Gereja

Untuk melakukan sasi gereja baik yang akan dilakukan

oleh perseorangan/klan atau seluruh warga gereja sebagai

kesatuan umat, ada rangkaian yang harus dipersiapkan. Tidak

beda jauh dengan cara-cara mempersiapkan sasi adat, dalam

sasi gereja masyarakat pun menggunakan kakes, anyaman daun

kelapa atau kain merah sebagai atribut/tanda bahwa sumber

daya sedang disasi.

Walaupun dalam sasi gereja kakes yang dipersiapkan

memang diperuntukkan bagi arwah-arwah nenek moyang atau

leluhur, bukan dalam rangka dan tujuan seperti yang ada dalam

sasi adat. Masyarakat yang melakukan sasi gereja memahami

dari sudut pandang berbeda. Dalam sasi gereja, masyarakat

memahami leluhur adalah pihak yang diberikan mandat oleh

Allah untuk menjaga dan melindungi semua hasil alam.

Sehingga siapapun masyarakat yang ingin mengambil hasil

alam tersebut, hendaknya meminta kepada Allah yang adalah

pencipta alam semesta melalui leluhur yang diberikan

wewenang untuk menjaga semua isi alam. Maka kakes yang

dipersiapkan ini bukan sebagai sesembahan kepada leluhur,

melainkan bagian dari penghormatan selaku orang adat kepada

para leluhur yang selama ini menjadi penjaga seluruh alam

yang masyarakat miliki.

Page 11: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

85

Selain kakes, anyaman daun kelapa atau kain merah,

masyarakat yang akan melakukan sasi gereja harus

mempersiapkan sejumlah uang untuk diserahkan ke gereja

dalam sebuah ibadah sebagai persembahan yang dalam

masyarakat dikenal dengan nazar. Nazar ini berlaku untuk sasi

yang dilakukan oleh perorangan/klan ataupun komunal.

Sedangkan untuk jumlah uang yang akan dipersembahkan

tidak ada patokan atau kewajiban yang harus dipenuhi,

melainkan sukarela.

b) Pelaksanaan Tutup Sasi Gereja

Untuk pelaksanaan tutup sasi gereja, penulis akan

membaginya dalam 2 (dua) pembahasan, karena sasi gereja bisa

dilakukan secara perorangan dan bisa secara komunal artinya

seluruh warga gereja.

1) Tutup Sasi Gereja oleh Perorangan

Tujuan dilakukannya sasi gereja oleh perorangan,

sama dengan tujuan sasi pada umumnya, yaitu memberikan

kesempatan bagi sumber daya untuk bertumbuh dan

berkembang biak. Sasi gereja perorangan diberlakukan bagi

sumber daya yang menjadi kepemilikan pribadi seperti

kebun atau wilayah laut. Harapannya sumber daya yang di

sasi dapat menghasilkan panen yang baik dan berkualitas.

Untuk memulai sasi gereja perorangan, warga yang

ingin melakukan sasi bagi kebun atau wilayah laut

miliknya memberitahukan keinginan tersebut kepada

pendeta atau presbiter (majelis jemaat). Pemberitahuan ini

nanti akan diumumkan kepada seluruh warga gereja pada

pelaksanaan ibadah minggu. Ketika sampai pada waktu

pelaksanaan ibadah, pemberitahuan ini akan diselipkan di

tengah-tengah liturgi peribadahan. Menurut Julianto,

pemberitahuan ini biasanya diletakkan sebelum khotbah

berlangsung, tepatnya sebelum doa syafaat.

Page 12: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

86

“Nanti sebelum khotbah kan ada doa syafaat to? Nah sebelum itu nanti warga yang mau melakukan sasi, akan dipanggil sama pendeta/presbiter untuk maju ke depan. Abis itu, pendeta/presbiter akan menjelaskan bahwa warga yang maju ke depan akan melakukan sasi untuk dia pu kebun atau sumber daya laut. Setelah itu juga nanti dong akan kasi tahu ke warga jemaat daerah mana saja yang disasi. Biar semua masyarakat itu tahu kalo si A atau si B sedang melakukan sasi dan berada pada wilayah yang ini dan itu. Dan berapa lama sasi itu akan berlangsung.” ujar Julianto.76

Setelah pemberitahuan tentang sasi yang dilakukan

oleh seorang warga gereja disampaikan oleh pendeta/

majelis, maka warga tersebut dipersilahkan untuk

membawa nazar yang sudah dipersiapkan dari rumah agar

diletakkan pada altar. Lalu dilanjutkan dengan doa syafaat

yang didalamnya juga mendoakan rencana sasi yang

dilakukan oleh seorang warga. Dalam doa tersebut

pendeta/majelis meminta kepada Allah Sang Pencipta

Semesta untuk turut campur tangan dalam proses sasi

tersebut. Harapan juga terucap didalam doa, agar Allah

memberikan kesuburan bagi tanah, cuaca yang baik,

menjauhkan segala macam hama dan penyakit yang bisa

menyerang sumber daya, agar nantinya pada saat buka sasi,

warga bisa mendapatkan hasil yang baik dan berkualitas.

Ucapan doa ini dilandaskan pemahaman bahwa Allah-lah

yang empunya segalanya termasuk alam semesta, sehingga

campur tangan Allah sangat diharapkan selama sasi gereja

ini berlangsung.

Jika ritual di gereja telah selesai, selanjutnya warga

yang melakukan sasi gereja akan menuju ke kebun/wilayah

laut miliknya untuk menaruh tanda-tanda yang

76 Wawancara dengan Julianto, Selasa, 30 Agustus 2011, Pukul. 12.00 WIT.

Page 13: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

87

menunjukkan bahwa sumber daya miliknya sedang disasi.

Anyaman daun kelapa atau kain merah yang sudah

dipersiapkan pun mulai diikatkan satu per satu pada

tanaman-tanaman atau sebatang kayu yang nanti

ditancapkan di wilayah laut. Kemudian setelah semua

tanda-tanda tersebut terpasangkan, langkah selanjutnya

yang dilakukan warga adalah menaruh kakes pada sebuah

tempat sebagai wujud penghormatan kepada leluhur yang

bertugas untuk menjaga seisi alam semesta. Peletakkan itu

dilanjutkan dengan pembacaan doa dengan menggunakan

bahasa daerah atau bahasa tanah leluhur, yang meminta

agar para leluhur berkenan untuk menjaga dan melindungi

seluruh sumber daya selama sasi berlangsung. Harapannya

selama sasi ini dilakukan leluhur mampu melindungi

sumber daya dari perilaku oknum-oknum warga yang tidak

bertanggungjawab untuk mencuri atau menjarah. Lamanya

sasi gereja perorangan berlangsung sesuai dengan keinginan

warga yang melakukan sasi. Ada yang dilakukan selama 1

bulan, 3 bulan, 6 bulan, bahkan selama 1 tahun.

2) Pelaksanaan Sasi Gereja Secara Komunal

Sasi gereja secara komunal memiliki tujuan tidak

berbeda dengan tujuan sasi pada umumnya. Selain itu sasi

gereja secara komunal memberikan spirit hidup dalam

kebersamaan untuk menjaga, melindungi dan melestarikan

sumber daya alam yang sudah Allah berikan bagi

masyarakat kampung Warsambin.

Dalam pelaksanaannya, memang sasi gereja secara

komunal berbeda dengan sasi gereja perorangan/klan. Sasi

gereja secara komunal dilakukan oleh seluruh warga gereja

sebagai kesatuan umat. Selain bertujuan untuk mengajak

warga gereja untuk mampu memiliki wawasan untuk

menjaga, melindungi dan melestarikan sumber daya alam,

sasi gereja secara komunal juga bertujuan untuk menunjang

Page 14: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

88

rangkaian pelayanan gereja secara keuangan. Untuk

bahasan ini akan disampaikan pada sub bahasan

selanjutnya. Sasi gereja secara komunal selama ini lebih

cenderung dilakukan bagi sumber daya alam laut. Sebab

untuk sumber daya alam darat semua berstatus kepemilikan

pribadi, walau dalam beberapa kasus biasanya ada

kesepakatan antara warga dan gereja yang merelakan

kebun pribadinya dijadikan sasi untuk keperluan gereja.

Untuk memulai sasi gereja secara komunal biasanya

dimulai dengan mengadakan rapat majelis jemaat dengan

melibatkan badan pengurus intera gerejawi (kategorial).

Dalam rapat ini, pembahasan seputar rangkaian persiapan,

pembagian tugas, sampai pada pelaksanaan sasi gereja.

Misalnya, untuk mempersiapkan perlengkapan yang akan

digunakan dalam sasi gereja seperti anyaman daun kelapa,

perahu, dan perlengkapan lainnya yang akan digunakan,

biasanya akan dipercayakan bagi kategorial Perseketuan

Kaum Bapak (PKB) dan Persekutuan Anak Muda (PAM).

Sedangkan untuk menopang terselenggaranya kegiatan ini

dari sisi konsumsi biasanya langsung dipercayakan bagi

kategorial Persekutuan Wanita (PW). Selain itu,

pembahasan rapat juga membicarakan tentang sumber daya

laut apa yang akan disasi dan berapa lama sasi akan

berlangsung. Penentuan tentang sumber daya laut apa yang

akan disasi biasanya bergantung pada kebutuhan apa yang

ingin dipenuhi lewat sasi ini? Sebab itu akan sangat terkait

dengan harga pasar. Ada 2 jenis hasil laut yang sering di

sasi oleh masyarakat kampung Warsambin, Taripang dan

Bia Lola (sejenis kerang). Sedangkan untuk berapa lama sasi

akan berlangsung berdasarkan pertimbangan kapan

kebutuhan untuk keperluan gereja harus terpenuhi, sangat

relatif dan sesuai dengan kesepakatan dalam rapat

pembahasan ini.

Page 15: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

89

Setelah semua persiapan sudah dilakukan maka

masuk dalam pelaksanaan sasi gereja secara komunal.

Pelaksanaan sasi ini dimulai dengan melakukan ibadah di

gereja yang dipimpin oleh pendeta atau guru jemaat.

Ibadah yang diselenggarakan tersebut adalah bagian dari

ungkapan syukur masyarakat kampung oleh setiap

anugerah yang sudah taruhkan dalam kehidupan mereka,

baik itu anugerah nafas hidup dan juga berkat lewat alam

serta segala isinya. Dalam ibadah ini, warga gereja diajak

untuk merenungkan kembali semua kebaikan Tuhan.

Selain itu juga dalam ibadah ini meminta campur tangan

Tuhan dalam rencana pelaksanaan sasi, sehingga nantinya

ketika sasi dibuka hasil panen dapat melimpah dan

kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Pada ibadah ini semua

warga gereja diundang untuk hadir untuk mengikuti

ibadah tersebut. Ibadah ini tidak dilakukan pada hari

minggu tetapi sesuai dengan kesepakatan pada rapat

pembahasan. Selain masyarakat kampung Warsambin,

masyarakat kampung lainnya yang berdekatan dengan

Warsambin juga diundang untuk ikut bersama.

Usai ritual di gereja berlangsung. Maka pendeta dan

majelis jemaat akan mengajak semua warga gereja untuk

sama-sama menuju lokasi yang akan disasi. Dalam

perjalanan ke lokasi yang akan disasi biasanya warga akan

menggunakan perahu yang sudah disiapkan oleh majelis

jemaat. Perahu yang digunakan juga adalah perahu milik

masyarakat kampung Warsambin dan kampung sekitarnya

yang dipinjamkan secara cuma-cuma untuk kegiatan sasi

gereja ini. Setelah sampai di lokasi yang akan disasi, acara

selanjutnya dilanjutkan dengan pemasangan tanda sasi

berupa anyaman daun pisang dan kain merah pada

beberapa titik wilayah laut yang disasi. Sebagai penanda

bagi orang dari luar bahwa mereka sedang memasuki

wilayah laut yang sedang disasi.

Page 16: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

90

Pemasangan tanda wilayah sasi sudah selesai

terpasang, acara selanjutnya adalah kata sambutan yang

diwakili oleh 3 pihak yaitu kepala kampung (mewakili

pemerintah), tua-tua adat, dan pendeta atau guru jemaat.

Inti dari setiap sambutan mengajak masyarakat untuk

sama-sama mentaati aturan sasi yang sudah ditetapkan,

untuk saling mengingatkan satu dengan yang lainnya. Dan

juga sama-sama mengawasi wilayah sasi agar tidak terjadi

pelanggaran yang dilakukan oleh orang dari luar daerah

sebab sanksi yang akan diterima oleh para pelanggar akan

sangat membahayakan jiwa dan keselamatan mereka.

Ketika semua sambutan telah selesai disampaikan

oleh 3 pihak, selanjutnya adalah pembacaan doa oleh

pendeta atau guru jemaat sebagai akhir dari setiap proses

pelaksanaan sasi gereja secara komunal. Setelah doa selesai,

masyarakat pun kembali ke kampung Warsambin untuk

melewati acara terakhir yaitu ramah-tamah dengan acara

makan bersama. Dalam acara ramah-tamah ini masyarakat

berbaur menjadi satu dalam kebersamaan dan

kekeluargaan. Turut serta juga semua masyarakat kampung

sekitar yang diundang hadir dalam acara tutup sasi gereja

tersebut.

c) Larangan Selama Sasi Gereja

Untuk larangan selama sasi gereja perorangan dan sasi

gereja secara komunal memiliki aturan masing-masing. Namun

aturan ini selalu berlandaskan pada ajaran kasih yang juga

menjadi spirit dari nilai kekristenan. Itu bukan berarti aturan

tersebut tidak dilangsungkan secara tegas. Berikut penjelasan

tentang larangan sasi gereja baik yang dilakukan secara

perorangan ataupun secara komunal.

Page 17: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

91

1) Sasi Gereja Perorangan

Selama kurun waktu yang ditentukan untuk sasi

gereja perorangan, ada aturan yang harus dipatuhi oleh

warga yang melakukan sasi dan masyarakat lainnya.

Aturannya memang agak sedikit berbeda dengan yang

berlaku pada sasi adat. Aturan yang sama hanya pada point

yang pertama, yaitu siapapun dilarang mengambil hasil

sumber daya alam yang sudah disasi. Untuk sumber daya di

darat, selama buah masih melekat dengan pohonnya seperti

kelapa atau pinang, siapapun itu dilarang untuk

mengambilnya.

Sedangkan aturan yang kedua pada sasi adat, bahwa

jika ada hasil yang sudah matang dan jatuh ke tanah dari

pohonnya, hasil tersebut pun tidak boleh diambil, tidak

berlaku untuk sasi gereja perorangan. Ada pengecualian

bagi masyarakat lain yang berasal dari luar kampung yang

sedang melakukan perjalanan jauh tetapi membutuhkan

makanan atau minuman dari hasil yang sedang disasi. Jika

ada masyarakat dari luar kampung sedang melakukan

perjalanan jauh, dan kemudian membutuhkan bantuan

berupa makanan atau minuman mereka diperbolehkan

mengambil buah yang sudah jatuh ke tanah dari pohon

yang disasi. Dengan cara harus meminta ijin terlebih

dahulu kepada pemilik kebun. Hasil buah itu hanya boleh

dimakan ditempat tersebut dan tidak boleh dibawa pulang

dalam jumlah yang banyak. Jika ingin dibawa sebagai

bekal, cukup mengambil sesuai dengan perhitungan makan

sampai kampung terdekat.

Mengapa terjadi perubahan ini dalam sasi gereja

perorangan? Nilai kristiani sangat mempengaruhi pola pikir

masyarakat. Membantu dan menolong sesama yang

kesusahan yang adalah spirit kekristenan justru

memberikan ruang untuk terjadinya proses tawar-menawar

Page 18: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

92

pada aturan sasi yang berlaku. Selama tidak melanggar

esensi sebenarnya dari tradisi sasi tersebut.

“Kan tra mungkin to, tong tidak bantu dorang yang membutuhkan tong pu pertolongan. Apalagi kalau dong butuh makan dan lagi dalam perjalanan jauh. Tetap kitong harus bantu, sebab ini alam Tuhan kasi buat torang semua umat manusia. Jadi dong boleh ambil hasil sasi, tapi yang su jatuh di tanah, tra boleh ambil yang masih di pohon dan seijin sang pemilik kebun. Kalau sa orang Kristen yang diajarkan untuk melakukan hukum kasih jadi sa harus lakukan itu. Ini alam Tuhan punya, tong cuma dapa suruh jaga saja, jadi kalo ada orang yang susah datang minta tolong kitong harus bantu.” ungkap Julianto.77

2) Sasi Gereja Secara Komunal

Aturan yang berlaku selama sasi gereja secara

komunal dilaksanakan juga tidak berbeda jauh dengan

aturan sasi gereja perorangan. Namun karena lokasi sasi

gereja secara komunal lebih cenderung pada wilayah laut

dan ini menjadi kesepakatan keseluruhan masyarakat

kampung serta diberitahukan kepada masyarakat dari

kampung lain sehingga aturan menjadi lebih ketat. Aturan

ini pun bergantung pada model sasi yang dilakukan. Dalam

sasi gereja secara komunal terdapat 2 model sasi yang

dilakukan. Pertama, sasi gereja wilayah perairan yang

artinya seluruh sumber daya laut yang masuk dalam area

sasi dilarang untuk diambil oleh siapapun. Kedua, sasi

gereja pada jenis biota tertentu seperti taripang, bia lola

(sejenis kerang), atau salah satu jenis ikan. Aturan yang

berlaku pada model yang kedua, bahwa setiap jenis biota

yang disasi dilarang untuk diambil selama sasi gereja, tetapi

77 Ibid

Page 19: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

93

untuk jenis biota yang tidak disasi boleh diambil. Dan yang

boleh mengambil dalam area sasi hanya masyarakat

kampung sekitar tidak boleh orang dari luar daerah.

d) Pelaksanaan Buka Sasi Gereja

Setelah melewati masa tutup sasi gereja sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan, selanjutnya yang dilakukan

adalah kegiatan buka sasi gereja. Buka sasi gereja yang

dilakukan oleh perseorangan berbeda yang dilakukan secara

komunal. Oleh sebab itu dalam bagian ini, penulis akan

membaginya dalam 2 sub bahasan yaitu : Buka Sasi Gereja

Perorangan dan Buka Sasi Gereja Secara Komunal.

1) Buka Sasi Gereja Perorangan

Ketika masa tutup sasi gereja perorangan telah

selesai, yang dilakukan selanjutnya adalah pelaksanaan

buka sasi gereja. Untuk pelaksanaan buka sasi gereja

perorangan, pertama kali yang dilakukan adalah

melaporkan kembali kepada pendeta atau majelis jemaat

bahwa masa tutup sasi telah berakhir dan akan dilakukan

buka sasi. Setelah pemberitahuan ini disampaikan ke

gereja, maka pada ibadah hari minggu akan diumumkan

kepada warga jemaat bahwa sasi yang dilakukan oleh salah

seorang warga telah selesai dan akan dilakukan buka sasi.

Dalam ibadah tersebut pendeta atau guru jemaat akan

mendoakan rencana pelaksanaan buka sasi yang akan

dilakukan. Kemudian pada ibadah tersebut itu juga, warga

gereja yang melakukan sasi gereja perorangan akan

mengucapkan terimakasih kepada gereja dan seluruh warga

gereja telah mendukung pelaksanaan tutup sasi yang

mereka lakukan.

Yang dilakukan selanjutnya adalah pelaksanaan

buka sasi di lokasi kebun yang disasi. Buka sasi gereja

perorangan ini dilakukan oleh pemilik kebun bersama

Page 20: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

94

keluarga inti dan keluarga besar. Biasanya sang pemilik

kebun juga mengundang beberapa warga kampung sesuai

dengan kedekatan warga tersebut dengan keluarga pemilik

kebun. Ritual buka sasi gereja ini dimulai dengan

pembacaan doa yang dibawakan oleh salah satu anggota

keluarga. Isi doa tersebut antara lain adalah mengucap

syukur kepada Tuhan, oleh karena berkat penyertaan dan

kasih Tuhan proses tutup sasi sudah berjalan dengan baik

dan semua hasil sasi akan siap untuk dipanen. Setelah

pembacaan doa syukur selesai dilanjutkan dengan ritual

adat yaitu mempersiapkan kakes untuk diberikan kepada

leluhur sebagai penghormatan dan ucapan terimakasih

karena leluhur telah menjaga tanaman-tanaman yang disasi

sehingga tidak dicuri atau dijarah orang lain.

Ritual doa syukur dan ritual adat mengawali

pembukaan sasi gereja perorangan. Setelah kedua ritual itu

selesai, selanjutnya yang dilakukan adalah memanen hasil

tanaman yang disasi. Yang menarik dan membedakan

antara sasi adat dan sasi gereja perorangan ini adalah

peruntukkan dari hasil sasi. Jika disasi adat hasil yang sudah

dipanen hanya digunakan sebagai kebutuhan keluarga

pemilik kebun sendiri dan sisanya kemudian dijual.

Sedangkan pada sasi gereja perorangan, hasil panen sasi

sebagiannya harus dibagikan bagi keluarga-keluarga

lainnya dan masyarakat sesuai dengan kedekatan antara

pemilik kebun dengan warga tersebut. Sisa dari hasil sasi

setelah dibagi-bagi tersebutlah yang kemudian dijual

kembali oleh pemilik kebun. Sekali lagi, nilai kekristenan

sangat mempengaruhi pola pikir dan perilaku masyarakat

di kampung Warsambin.

“Tong tra boleh makan hasil sasi itu sendiri. Tong harus berbagi dengan orang lain. Ketika tong mau lakukan sasi gereja itu kan tong minta sama Tuhan supaya memberikan hasil yang baik

Page 21: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

95

dan banyak. Setelah Tuhan kabulkan trus tong makan itu hasil sendiri ka? Kan tra boleh to? Makanya setelah buka sasi gereja, dia pu hasil tong harus berbagi deng orang lain. Tuhan itu baik ade… Buktinya setelah tong bagi-bagi, kitorang tra pernah merasa kurang, hasil tetap ada dan cukup banyak yang dijual. Ada dia pu aneh, coba kalo bikin sasi gereja trus ko panen lalu ko makan dia pu hasil sendiri. Ko pu tumbuhan yang ko sasi abis panen itu langsung mati. Tra berbuah, langsung besoknya kering. Coba itu kenapa? Itu pernah terjadi di kampung ini” jelas Joko.78

Sasi gereja perorangan yang dilakukan masyarakat

kampung Warsambin memberikan pelajaran tersendiri bagi

mereka. Menjalani kehidupan dalam satu kesatuan

komunal berdasarkan kasih yang tergambarkan dalam

perilaku saling berbagi adalah buah manis dari pengabaran

injil di kampung Warsambin. Gereja memberikan warna

dalam cara berpikir dan perilaku masyarakat. Dan sasi pun

digunakan tidak hanya bagaimana masyarakat harus

menjaga, melindungi dan melestarikan alam yang sudah

Allah berikan, melainkan juga bagaimana sasi mengajarkan

masyarakat untuk hidup saling berbagi satu dengan

lainnya.

Sisa dari hasil sasi yang sudah dibagi-bagikan

kepada sesama, kemudian dijual di pasar. Dan setelah

semua hasil jualan tersebut, maka pemilik kebun akan

membawa perpuluhan dari hasil penjualan tersebut ke

gereja. Perpuluhan itu disampaikan pada ibadah minggu di

gereja.

78 Wawancara dengan Joko, Kamis 1 September 2011, Pukul. 10.00 WIT.

Page 22: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

96

2) Buka Sasi Gereja Secara Komunal

Untuk melakukan buka sasi gereja secara komunal,

langkah-langkahnya tidak jauh berbeda ketika saat

melakukan tutup sasi gereja. Setelah masa tutup sasi gereja

berakhir maka akan dilakukan pertemuan persiapan

kegiatan buka sasi gereja. Pertemuan tersebut difasilitasi

oleh gereja dengan menghadirkan pendeta atau guru

jemaat, majelis jemaat, badan pengurus intera gerejawi, dan

juga tokoh-tokoh masyarakat. Pertemuan ini membahas

rangkaian persiapan kegiatan buka sasi, pembagian tugas

sama seperti pada saat tutup sasi gereja, dan juga

pembahasan tentang berapa lama buka sasi ini akan

dilakukan. Pembahasan tentang berapa lama kegiatan buka

sasi ini akan berlangsung, berkaitan dengan tujuan sasi

gereja ini dilakukan. Apakah sasi dilakukan dalam rangka

untuk memberi kesempatan kepada biota berkembang biak

yang kemudian setelah disasi lalu ditutup kembali?

Ataukah sasi dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

rangkaian pelayanan di gereja? Untuk penjelasan ini akan

disampaikan selanjutnya bersama dengan pembahasan pada

sub bahasan ini.

Usai rapat persiapan berlangsung dan penentuan

tanggal pelaksanaan buka sasi gereja akan dilakukan, maka

rangkaian persiapan pun dimulai. Pelaksanaan buka sasi

gereja diawali dengan ibadah di gereja bersama warga

gereja dan masyarakat kampung juga masyarakat dari

kampung sekitar. Ibadah ini diselenggarakan untuk

mengucap syukur kepada Allah oleh karena pelaksanaan

tutup sasi gereja akan segera berakhir, dan selama itu pula

Allah memberikan segala berkatNya. Harapannya bahwa

sasi gereja kali ini akan mendapatkan hasil panen yang baik

bagi masyarakat dan juga bagi gereja untuk menopang

pelayanan gereja. Dalam ibadah ini pula disampaikan

Page 23: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

97

kepada warga gereja dan masyarakat berapa lama buka sasi

ini akan berlangsung.

Ibadah syukur buka sasi gereja berakhir,

selanjutnya warga gereja dan masyarakat bersama pendeta

atau guru jemaat serta majelis jemaat juga tokoh-tokoh

masyarakat menuju ke lokasi daerah sasi dengan perahu-

perahu yang sudah dipersiapkan. Ritual yang selanjutnya,

sama ketika melaksanakan tutup sasi gereja. Pendeta dan

tokoh masyarakat memimpin doa di lokasi wilayah sasi.

Pendeta berdoa bagi Allah Sang Pencipta alam semesta

sedangkan tokoh masyarakat atau tokoh adat berbicara

kepada leluhur.

Doa yang dibawakan oleh pendeta atau guru jemaat

pertanda bahwa panen sasi akan segera dimulai. Untuk

panen sasi gereja secara komunal ini biasanya ada aturan

yang mengatur berapa lama buka sasi ini akan berlangsung.

Untuk sasi gereja secara komunal yang bertujuan untuk

memberikan kesempatan kepada biota laut untuk

berkembang biak biasanya berlangsung sedikit lebih

lama. Buka sasi gereja akan berlangsung 1-3 minggu.

Dan setelah itu, wilayah tersebut kembali ditutup.

Sedangkan untuk hasil panen dari sasi tersebut

sepenuhnya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat kampung.

Untuk sasi gereja secara komunal yang bertujuan untuk

menopang kegiatan pelayanan gereja, seperti

membangun gedung gereja atau prasarana lainnya,

menopang pelayanan diakonia, atau membiayai

aktifitas pelayanan kategorial diluar kampung,

dilakukan dalam jangka waktu yang lebih pendek.

Buka sasi gereja akan berlangsung selama ± 1 minggu.

Waktu ± 1 minggu itu hasilnya pun dibagi antara untuk

gereja dan untuk masyarakat. Pembagian tersebut

berdasarkan kesepakatan yang dilakukan pada

Page 24: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

98

pertempuan persiapan. Misalnya jika buka sasi akan

berlangsung dalam waktu 7 hari, maka untuk hasil

panen sasi hari ke-1 sampai hari ke-4 semua diserahkan

untuk gereja. Sedangkan hasil panen sasi hari ke-5

sampai hari ke-7 menjadi hak masyarakat. Setelah masa

buka sasi itu berakhir daerah tersebut kemudian

kembali ditutup.

Budaya Sasi Mon Tahun 2010, masyarakat kampung Warsambin melakukan

budaya sasi yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Budaya

sasi ini merupakan perpaduan antara sasi adat dan sasi gereja. Budaya

sasi ini disebut dengan Sasi Mon atau sering juga disebut sasi leluhur.

Sasi Mon pada tujuannya memang tidak jauh berbeda dengan budaya

sasi pada umumnya. Perbedaan mendasar antara sasi Mon dan sasi pada

umumnya, terletak pada pelaksana sasi dan lokasi pelaksanaan sasi.

Jika sasi adat dan sasi gereja dilakukan oleh perorangan dan

gereja secara komunal, sedangkan sasi Mon dilakukan oleh masyarakat

adat yang berasal dari salah satu suku asli di Teluk Mayalibit yaitu

masyarakat adat dengan marga Ansan. Masyarakat adat dengan marga

Ansan adalah suku asli teluk Mayalibit yang mendiami pulau sebelah

timur di teluk Mayalibit dan memiliki hak adat bagi sebagian besar

wilayah perairan di pintu masuk teluk Mayalibit.

Mon sendiri adalah sebutan orang Ansan bagi leluhur mereka.

Bagi orang Ansan, mereka mempercayai bahwa wilayah adat mereka

didiami atau dihuni oleh para leluhur. Leluhur ini pula yang dipercayai

sebagai penjaga dan pelindung alam beserta segala isinya yang telah

diciptakan oleh Allah. Maka dalam kepercayaan orang Ansan, Mon merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

masyarakat orang Ansan. Artinya mereka meyakini bahwa sampai

sekarang ini mereka masih hidup bersama dengan leluhur mereka, dan

interaksi hubungan mereka dengan leluhur itu dapat terlihat dari

perilaku-perilaku budaya yang dilakukan.

Page 25: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

99

Sasi Mon adalah salah satu bukti bahwa orang Ansan masih

berinteraksi dengan leluhur mereka lewat perilaku budaya. Sasi Mon

yang dilakukan oleh orang Ansan yang bertempat tinggal di kampung

Warsambin, bertujuan untuk melindungi wilayah adat dari tangan-

tangan yang ingin menjarah dan mencuri sumber daya alam, dan juga

melindungi wilayah adat tersebut dari kerusakan lingkungan.

Pada pelaksanaan sasi Mon semua unsur masyarakat dilibatkan.

Unsur yang terlibat didalamnya ada pimpinan adat, pemerintah, gereja,

LSM, dan juga masyarakat kampung Warsambin serta masyarakat dari

kampung-kampung lainnya yang berada di distrik Teluk Mayalibit.

Yang menarik dari sasi Mon adalah sasi akan berlangsung

dalam jangka waktu yang tidak ditentukan. Dalam kata lain sasi Mon akan berlangsung seumur hidup. Sampai pada penulisan data penelitian

ini, wilayah perairan adat marga Ansan masih di sasi Mon. Karena sasi

yang dilakukan berdasarkan luasan wilayah dan bukan terhadap jenis

biota laut, maka wilayah sasi Mon tertutup dan tidak diperbolehkan

orang luar ataupun masyarakat kampung di Teluk Mayalibit

memancing di wilayah tersebut. Menurut Dortheus Metansan salah

satu anak adat dari marga Ansan, sasi Mon bisa dibuka jika memang

dewan adat orang Ansan memutuskan untuk dibuka. Jika tidak maka

wilayah adat yang dilakukan sasi Mon tersebut akan terus tertutup

untuk aktifitas memancing.

Intervensi LSM Conservation International dalam Pelaksanaan Sasi

Mon

“Setelah CI masuk ke Teluk Mayalibit, banyak sekali kegiatan konservasi yang sudah dong buat disini. CI dong mengingatkan torang tentang bagaimana tong bisa jaga kitorang pu lingkungan sebagai aset masa depan. Sa harus mengakui, kadang juga masyarakat sendiri tidak sadar ketika torang mencari ikan di laut, tong pu cara menangkap ikan itu tidak ramah lingkungan. Contoh kayak nelayan yang memakai bom ikan. Jelas itu sudah salah sekali. Bikin rusak karang, trus ikan mo hidup dimana? Tahun 2010 itu juga tong marga Ansan sepakat

Page 26: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

100

bersama dengan CI untuk lakukan Sasi Mon di wilayah adat kami. Sa setuju sekali, untuk mengaktifkan kembali budaya sasi supaya tong pu sumber daya alam bisa terus menghasilkan” ungkap Anwar.79

Hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya LSM-

LSM ke Raja Ampat paska pemekaran kabupaten ternyata

memberikan dampak yang signifikan dalam proses pembangunan.

Bahkan ada yang sudah bergerak dengan aktifitasnya jauh sebelum

kabupaten Raja Ampat dimekarkan. Di Teluk Mayalibit lokasi

penelitian ada LSM Conservation International (CI), yang bergerak

dalam persoalan konservasi laut.

CI dalam semua aktifitasnya, kembali membangkitkan

semangat masyarakat untuk peduli terhadap keberlanjutan sumber

daya alam. Serangkaian kegiatan konservasi mulai dari membangun

pemahaman baru tentang konservasi, pelatihan-pelatihan,

membangun sistem dan jejaring konservasi, sampai pada

membangun komunitas masyarakat konservasi.

Untuk memulai aktifitas konservasi bersama dengan

masyarakat bukanlah hal yang mudah. Pertama kali CI masuk ke

Teluk Mayalibit penolakan dari masyarakat sudah terjadi. Dengan

melakukan pendekatan-pendekatan personal antara CI dengan

tokoh-tokoh masyarakat ternyata membuahkan hasil yang manis.

Di tengah-tengah pendekatan personal, CI menjelaskan maksud

dan kedatangan mereka ke Teluk Mayalibit kepada tokoh-tokoh

masyarakat. Beberapa kali pertemuan harus dilakukan untuk

menjelaskan kedatangan CI, serta memberikan pemahaman-

pemahaman tentang apa itu konservasi. Buah manis itu akhirnya

terlihat ketika CI pun mulai diterima di tengah-tengah masyarakat.

Keberhasilan ini menurut penulis terletak pada pendekatan yang

dilakukan oleh CI. Dalam perjalanan aktifitas konservasi ini, CI

merekrut sejumlah orang yang berasal dari kampung-kampung

yang ada di Teluk Mayalibit untuk menjadi berperan langsung

79 Wawancara dengan Anwar, Senin, 12 Januari 2015, Pukul. 11.00 WIT.

Page 27: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

101

sebagai perwakilan CI. Inilah faktor yang menurut penulis menjadi

kekuatan pendekatan CI sehingga mereka dapat diterima oleh

masyarakat Teluk Mayalibit.

Seperti yang sudah penulis sampaikan pada halaman

sebelumnya, bahwa ada berbagai aktifitas konservasi yang

dilakukan CI di Teluk Mayalibit. Semua berawal dari bagaimana

mempersiapkan komunitas masyarakat konservasi sebagai barisan

terdepan dalam menjawab persoalan kerusakan lingkungan dan

eksploitasi sumber daya alam. Dan untuk mencapai tujuan tersebut

CI melakukan berbagai aktifitas seperti pertemuan-pertemuan

bersama masyarakat kampung dalam rangka menjelaskan apa itu

kegiatan konservasi dan manfaatnya bagi masyarakat. Kemudian

mempersiapkan sumber daya masyarakat kampung untuk terlibat

aktif dalam kegiatan konservasi dengan melakukan pelatihan-

pelatihan.

Gambar. 5.1. Pelatihan bagi masyarakat oleh Fasilitator dari Conservation

International (Sumber Docs. Conservation International)

Tabel 5.1. Jadwal Kegiatan Pelatihan Masyarakat

No Nama Kegiatan Tempat dan Waktu

Peserta Keterangan

1. Pelatihan perbengkelan dan pertukangan

Sorong, September

2010

2 orang dari MPA Teluk Mayalibit

Kerjasama MPA dengan Pemda

Raja Ampat

2. Pelatihan MPA 101 Warkabu, Oktober 2010

35 orang

(11 Kampung)

Focus Group Konservasi

3. Pelatihan Diving Wayag, November

2 orang dari MPA Teluk

Kerjasama Jejaring MPA

Page 28: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

102

2010 Mayalibit

4. Pelatihan Pengawasan Kawasan (Patroli)

Warkabu, Desember

2010

35 orang dari Teluk Mayalibit

Focus Group Konservasi

5. Pelatihan Radio RAPI

Warkabu, Januari 2011

4 orang dari MPA Teluk Mayalibit

Focus Jejaring KKLD Raja

Ampat

6. Pelatihan Mantatouw

Waiwo, Februari 2011

2 orang dari MPA Teluk Mayalibit

Kerjasama Tim Monitoring

7. Pelatihan Ikan Lema

Warkabu, Maret 2011

22 orang dari masyarakat

Fokus pada nelayan

8. Pelatihan Lobster Warkabu, Maret 2011

4 orang dari MPA Teluk Mayalibit

Jumlah Tim 8 Orang, Tim

monitoring CI

9. Pelatihan Perikanan Berkelanjutan

Ambon, April 2011

3 orang dari MPA Teluk Mayalibit

NOOA Training

10. Pelatihan Stransect Karang

Waiwo, Mei 2011

1 orang dari Teluk Mayalibit

Kerjasama Tim Monitoring

Sumber : Docs. Conservation International

Data yang penulis dapatkan di lapangan adalah data setelah

komunitas masyarakat konservasi terbentuk dan melakukan

serangkaian pelatihan-pelatihan. Namun sebelum itu sudah banyak

aktifitas yang dilakukan CI bersama masyarakat, termasuk

melakukan sasi Mon.

Intervensi yang besar dari CI untuk mendorong masyarakat

untuk menghidupkan kembali budaya sasi, merupakan cara LSM

ini untuk membantu masyarakat dalam melindungi sumber daya

alam di Teluk Mayalibit. Mengangkat kearifan lokal budaya sasi

dan melekatkan konsep konservasi terhadap budaya sasi adalah

cara yang tepat memperkenalkan konservasi dengan istilah lokal.

“Orang di kampung itu tidak tahu konsep dari konservasi. Kita datang dari kota lalu bicara dengan mereka dengan bahasa dan konsep kita yang modern, jangan heran kalau ada penolakan dari masyarakat. Tetapi ketika pahamnya kita lekatkan dengan konsep lokal mereka maka itu kan sangat mudah diterima. Contohnya budaya sasi. Secara prinsip jika kita lihat apa

Page 29: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

103

yang dilakukan dengan budaya sasi, itulah prinsip dari konservasi sebenarnya. Bagaimana kita memberikan kesempatan bagi tumbuhan dan hewan untuk bertumbuh dan berkembang biak. Juga bagaimana kita melakukan batasan-batasan terhadap hasil laut yang bisa diambil dan mana yang tidak bisa diambil. Membatasi wilayah-wilayah tertentu untuk tidak boleh kita mengambil ikan di sana karena alasan tertentu. Itulah konservasi yang sebenarnya. Sehingga CI datang memperkenalkan konservasi dengan konsep lokal masyarakat.” ungkap Bambang.80

Dengan memberikan pemahaman seperti yang dijelaskan

oleh Goram, CI mampu mendorong masyarakat menghidupkan

kembali budaya sasi di tengah kehidupan masyarakat kampung

Warsambin. Maka pada tahun 2010 itulah deklarasi sasi Mon diselenggarakan oleh masyarakat adat marga Ansan.

Gambar. 5.2 Pelaksanaan Deklarasi Sasi Mon Tahun 2010 di Teluk

Mayalibit (Sumber : Docs. Conservation International)

Ketika penulis turun lapangan pada Desember 2014, CI

telah menyelesaikan masa kontrak sesuai dengan kesepakatan

dengan pemerintah. Jangka waktu 10 tahun yang diberikan

pemerintah kepada CI untuk melakukan aktifitasnya di kabupaten

Raja Ampat telah usai. Kini seluruh aset beserta seluruh jaringan

komunitas konservasi yang berada di seluruh Raja Ampat,

80 Wawancara dengan Bambang, Kamis, 18 Agusutus 2011, Pukul. 11.00 WIT.

Page 30: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

104

termasuk yang berada di Teluk Mayalibit diserahkan kepada

Pemda untuk dikelola.

Pemerintah Kabupaten Raja Ampat Mendukung Pelaksanaan Sasi

Mon.

Usaha yang dilakukan masyarakat adat marga Ansan dan CI

untuk melaksanakan sasi Mon, ternyata ibarat gayung bersambut.

Rencana ini disambut positif oleh Pemerintah Daerah (Pemda)

kabupaten Raja Ampat.

“Semangatnya masih sama, yaitu melindungi sumber daya alam Raja Ampat. Jadi tidak ada alasan untuk pemerintah tidak mendukung pelaksanaan sasi Mon. Dengan mendukung sasi Mon itu artinya kami dalam hal ini pemerintah sedang melindungi sumber daya alam yang menjadi tempat pencaharian masyarakat Raja Ampat. Dan ini juga sama dengan spirit pemerintah dalam Peraturan Daerah No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat. Oleh sebab itu kami mendorong masyarakat untuk ikut berperan serta lewat kearifan lokal untuk melindungi sumber daya alam yang kita punya.” ungkap Lucky.81

Pemda Raja Ampat pun ikut serta dalam mendukung

kegiatan pelaksanaan sasi Mon pada tahun 2010 tersebut. Dengan

menyediakan sejumlah dana serta sarana dan prasarana untuk

mendukung terlaksana kegiatan sasi Mon, Pemda menunjukkan

keseriusannya dalam usaha melindungi sumber daya alam Raja

Ampat.

Peraturan Bupati No. 66 Tahun 2007 tentang Kawasan

Konservasi Laut Kabupaten Raja Ampat (KKL Raja Ampat) menjadi

alasan utama pemerintah untuk terlibat dalam usaha masyarakat

81 Wawancara dengan Lucky, di Badan Layanan Umum Daerah Unit Pelaksana

Teknis Kawasan Konservasi Perairan Daerah Raja Ampat pada Dinas Kelautan dan

Perikanan Kabupaten Raja Ampat. Sabtu, 24 Januari 2015, Pukul 08.00 WIT.

Page 31: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

105

dan LSM dalam melindungi sumber daya alam Raja Ampat. Pada

pasal 2 PerBup tersebut tercantum bahwa Teluk Mayalibit ditunjuk

sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat.

Keseriusan PemDa dalam persoalan melindungi sumber daya alam

semakin terlihat ketika PerBup ini kemudian dinaikkan

tingkatannya menjadi PERDA No. 27 Tahun 2008 tentang Kawasan

Konservasi Laut Daerah Kabupaten Raja Ampat, yang ditetapkan

pada tanggal 12 Desember 2008 oleh Bupati Raja Ampat, Drs.

Marcus Wanma., M.Si.

Dengan berdasarkan pada asas pemanfaatan, dan tidak

membatasi ruang mata pencaharian masyarakat lokal yang sebagian

besar adalah nelayan. Maka KKLD Raja Ampat pun dibagi dalam 3

zona berdasarkan pemanfaatannya dan kondisi terumbu karang.

Gambar 5.3. Peta Kondisi Kesehatan Terumbu Karang

(Sumber UPTD KKLD Kab. Raja Ampat)

Berdasarkan gambar diatas maka 3 zona yang dimaksud

adalah : Zona Inti, Zona Pemanfaatan, dan Zona Lainnya. Yang

dimaksudkan Zona Inti atau sering disebut sebagai No Take Zone

Page 32: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

106

(zona dilarang ambil) adalah wilayah yang ditutup dan tidak boleh

ada aktifitas pengambilan ikan. Dilihat dari kondisi perairan

tersebut yang dikelilingi oleh hutan mangrove seluas 64 ha

merupakan titik dimana ikan melakukan aktifitas reproduksi.

Sehingga menjadi penting untuk menutup lokasi tersebut dari

aktifitas pencarian ikan. Untuk zona pemanfaatan terbatas dibagi

menjadi 2 sub zona yaitu : sub zona ketahanan pangan dan

pariwisata dan sub zona perikanan berkelanjutan dan budidaya.

Sedangkan zona lainnya juga dibagi menjadi 2 sub zona yaitu : sub

zona pemanfaatan tradisional masyarakat dan sub zona

pemanfaatan lainnya.

Wilayah sasi Mon yang dilakukan oleh masyarakat masuk

dalam sub zona ketahanan pangan dan pariwisata. Sub zona

tersebut merupakah wilayah perairan yang memiliki terumbu

karang cukup banyak, walau didominasi oleh terumbu karang yang

sudah mati diantara karang-karang masih hidup. Oleh sebab itu

dengan dilakukannya sasi Mon pada sub zona tersebut, maka

karang yang masih hidup dapat berkembang biak dengan baik dan

mampu menggantikan karang yang telah mati. Harapannya ketika

karang itu bertumbuh mampu merubah memperbanyak terumbu

karang dan menjadi habitat baru bagi ikan. Sasi Mon yang

berlangsung lama dan menjadikan daerah tersebut tertutup sangat

membantu cepat tumbuhnya terumbu karang yang baru.

Merujuk pada pemahaman inilah Pemda memberikan

dukungan penuh kepada masyarakat untuk kembali

membangkitkan kearifan lokal budaya sasi agar mampu menjadi

benteng untuk melindungi dan menjaga sumber daya alam yang

dimiliki Raja Ampat. Selain itu dengan menggiatkan kembali

kearifan lokal masyarakat, dapat menguatkan kembali pemahaman

masyarakat tentang bagaimana memperlakukan lingkungan dengan

ramah. Agar kemudian bisa membentuk perilaku masyarakat dalam

menangkap ikan dengan cara-cara yang tradisional dan ramah

lingkungan. Bersamaan dengan itu, ketika budaya sasi kembali

Page 33: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

Budaya Sasi di Kampung Warsambin

107

digiatkan harapannya sumber daya alam Raja Ampat dapat

terhindar dari ancaman eksploitasi.

Pro dan Kontra Pelaksanaan Budaya Sasi di Kampung

Warsambin Berhasilnya pelaksanaan sasi Mon di kampung Warsambin oleh

marga Ansan atas wilayah adat mereka berlangsung bukan tanpa pro

dan kontra. Ketika berada di lapangan pada saat penelitian, penulis

menemukan perbedaan pendapat dari beberapa anggota masyarakat

yang mengungkapkan ketidaksetujuan mereka atas deklarasi sasi Mon

yang diselenggarakan oleh masyarakat marga Ansan, pemerintah,

gereja dan CI. Menariknya justru perbedaan pendapat dari

ketidaksetujuan masyarakat dengan sasi Mon yang sudah dilaksanakan,

datangnya dari salah satu warga yang juga bagian dari marga Ansan.

Andi seorang bapak yang kesehariannya sebagai nelayan,

mengungkapkan ketidaksepahaman beliau dengan sasi Mon yang

dilakukan oleh marga Ansan. Alasan lainnya penulis sampaikan dalam

beberapa point yang menjadi perhatian beliau, sehingga beliau tidak

bersepakat dengan pelaksanaan sasi Mon tersebut. Point tersebut

antara lain :

1) Tidak Dilibatkannya Seluruh Pemangku Hak Adat di Teluk

Mayalibit. Dalam persoalan ini menurut Nikson, seharusnya

seluruh masyarakat yang memiliki hak adat diundang untuk duduk

berbicara bersama untuk sasi Mon. Walaupun sasi Mon hanya

ditujukan bagi wilayah adat marga Ansan, itu bukan berarti kita

mengabaikan pemangku adat lainnya. Ini menyangkut kepentingan

khalayak banyak, karena wilayah yang disasi tersebut juga menjadi

tempat pencaharian masyarakat dari kampung lain.

2) Dengan dilakukannya sasi Mon, maka semakin sempit pula ruang

mata pencaharian masyarakat. Alasan kedua ini lebih nampak

faktor ekonomisnya. Beliau beranggapan, jika semakin banyak

ruang wilayah yang di sasi maka masyarakat akan semakin sulit

Page 34: Budaya Sasi di Kampung Warsambin - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/12736/5/T2_092009110_BAB V.pdf75 Bab Lima Budaya Sasi . di Kampung Warsambin . Pengantar

BUDAYA SASI: Perlawanan Negara dan Masyarakat Terhadap Eksploitasi dan Kerusakan Sumber Daya Alam

108

untuk mencari ikan, terlebih ketika wilayah yang disasi tersebut

merupakan area menghasil ikan sangat banyak.

3) Pemerintah dan CI harus konsisten jika ingin betul-betul

menghidupkan kembali budaya sasi. Misalnya persoalan komunitas

konservasi yang dibentuk, apakah benar-benar SDM-nya

terperhatikan dengan benar ataukah justru dibentuk lalu dibiarkan

saja. Jika ada masyarakat yang ditarik masuk dalam tim CI

seharusnya juga memperhatikan kesejahteraan dari masyarakat itu

sendiri.

4) Ketika melaksanakan sasi, mereka melakukan ritual adat dengan

meminta leluhur untuk menjaga dan melindungi daerah yang

disasi. Dalam kepercayaan lokal masyarakat di Teluk Mayalibit,

ketika sasi sudah dilakukan biasanya leluhur akan selalu

menampakkan diri dalam wujud buaya sebagai penjaga wilayah

sasi. Beberapa kejadian sudah memakan korban jiwa, ketika ada

masyarakat yang menjadi korban penyerangan buaya. Walau

sebenarnya hal ini terjadi oleh karena ulah masyarakat itu sendiri

yang mencoba melakukan aktifitas memancing atau menyelam di

area yang telah disasi.

Dalam wawancara yang penulis lakukan bersama Andi, pada

akhir wawancara tersebut beliau pun mengakui bahwa sebenarnya

budaya sasi memang perlu digalakkan kembali. Sebab beliau melihat

bahwa ancaman terhadap kerusakan lingkungan serta eksploitasi

sumber daya alam semakin nampak di depan. Namun menurut beliau

pengecualian terjadi ketika melihat pada sasi Mon seperti point-point

di atas yang sudah penulis sampaikan.

Secara jumlah memang kelompok yang tidak setuju lebih

sedikit dibandingkan dengan masyarakat yang setuju adanya sasi Mon. Data ini terkuak ketika penulis melakukan obrolan-obrolan singkat

dengan masyarakat kampung Warsambin yang penulis tentukan secara

acak, ditengah aktifitas kerja mereka. Ketidaksetujuan dari kelompok

yang kecil ini muncul setelah sasi Mon sudah terlaksana, sehingga

tidak menjadi penghambat pelaksanaan sasi.