budaya adat pernikahan

28
Budaya Adat pernikahan Banjar Suku Banjar mengenal Daur Hidup dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah Upacara Perkawinan. Upacara ini merupakan

Upload: ahmad-noor-fajar

Post on 09-Aug-2015

72 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Mulok

TRANSCRIPT

Page 1: Budaya Adat Pernikahan

Budaya Adat pernikahan Banjar

Suku Banjar mengenal Daur Hidup dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah Upacara Perkawinan. Upacara ini merupakan salah satu bagian dari Daur Hidup yangharusdilewati.

Page 2: Budaya Adat Pernikahan

Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah “berpacaran” sebelum memasuki jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah “batunangan”. Yaitu, ikatan kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk mencalonkan kedua anak mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini dilakukan sejak masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja.

Pelaksanaan upacara perkawinan memakan waktu dan proses yang lama. Hal ini dikarenakan harus melalui berbagai prosesi, antara lain :

1.Basasuluh.Seorang laki-laki yang akan dikawinkan biasanya tidak langsung dikawinkan, tetapi dicarikan calon gadis yang sesuai dengan sang anak maupun pihak keluarga. Hal ini dilakukan tentu sudah ada pertimbangan-pertimbangan, atau yang sering dikatakan orang dinilai “bibit-bebet-bobot”nya terlebih dahulu. Setelah ditemukan calon yang tepat segera dicari tahu apakah gadis tersebut sudah ada yang menyunting atau belum. Kegiatan ini dalam istilah bahasa Banjar disebut dengan BASASULUH.

2.Batatakun atau Melamar.Setelah diyakini bahwa tidak ada yang meminang gadis yang telah dipilih maka dikirimlah utusan dari pihak lelaki untuk melamar, utusan ini harus pandai bersilat lidah sehingga lamaran yang diajukan dapat diterima oleh pihak si gadis. Jika lamaran tersebut diterima maka kedua pihak kemudian berembuk tentang hari pertemuan selanjutnya yaitu Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.

3.Bapapayuan atau Bapatut Jujuran.Kegiatan selanjutnya setelah melamar adalah membicarakan tentang masalah kawin. Pihak lelaki kembali mengirimkan utusan, tugas utusan ini adalah berusaha agar masalah kawin yang diminta keluarga si gadis tidak melebihi kesanggupan pihak lelaki.Untuk dapat menghadapi utusan dari pihak keluarga lelaki, terutama dalam hal bersilat lidah, maka pihak keluarga sang gadis itu pun meminta kepada keluarga atau tetangga dan kenalan lainnya, yang juga memang ahli dalam bertutur kata dan bersilat lidah.Jika sudah tercapai kesepakatan tentang masalah kawin tersebut. Maka kemudian ditentukan pula pertemuan selanjutnya yaitu Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.

4.Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.Merupakan kegiatan mengantar masalah kawin kepada pihak si gadis yang maksudnya sebagai tanda pengikat. Juga sebagai pertanda bahwa perkawinan akan dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh para ibu, baik dari keluarga maupun tetangga. Apabila acara Maatar Jujuran ini telah selesai maka kemudian dibicarakan lagi tentang hari pernikahan dan perkawinan.

5. Bakakawinan atau Pelaksanaan Upacara Perkawinan .Sebelum hari pernikahan atau perkawinan, mempelai wanita mengadakan persiapan, antara lain:a. Bapingit dan Bakasai.

Page 3: Budaya Adat Pernikahan

Bagi calon mempelai wanita yang akan memasuki ambang pernikahan dan perkawinan, dia tidak bisa lagi bebas seperti biasanya, hal ini dimaksudkan untuk menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan (Bapingit).Dalam keadaan Bapingit ini biasanya digunakan untuk merawat diri yang disebut dengan Bakasai dengan tujuan untuk membersihkan dan merawat diri agar tubuh menjadi bersih dan muka bercahaya atau berseri waktu disandingkan di pelaminan.

b. Batimung.Hal yang biasanya sangat mengganggu pada hari pernikahan adalah banyaknya keringat yang keluar. Hal ini tentunya sangat mengganggu khususnya pengantin wanita, keringat akan merusak bedak dan dapat membasahi pakaian pengantin. Untuk mencegah hal tersebut terjadi maka ditempuh cara yang disebut Batimung. Setelah Batimung badan calon pengantin menjadi harum karena mendapat pengaruh dari uap jerangan Batimung tadi.

c. Badudus atau Bapapai.Mandi Badudus atau bapapai adalah uapacara yang dilaksanakan sebagai proses peralihan antar masa remaja dengan masa dewasa dan juga merupakan sebagai penghalat atau penangkal dari perbuatan-perbuatan jahat. Upacara ini dilakukan pada waktu sore atau malam hari. Upacara ini dilaksanakan tiga atau dua hari sebelum upacara perkawinan.

d. Perkawinan (Pelaksanaan Perkawinan)Upacara ini merupakan penobatan calon pengantin untuk memasuki gerbang perkawinan. Pemilihan hari dan tanggal perkawinan disesuaikan dengan bulan Arab atau bulan Hijriah yang baik. Biasanya pelaksanaan upacara perkawinan tidak melewati bulan purnama.

Kegiatan pada upacara perkawinan ini antara lain:

1). Badua Salamat Pengantin.Hal ini ditujukan untuk keselamatan pengantin dan seluruh keluarga yang melaksanakan upacara perkawinan itu. Dalam hal ini pembacaan doa-doa dipimpin oleh Penghulu atau Ulama terkemuka di kampung tersebut. Selesai prosesi tersebut para undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang telah disediakan. Hal ini berlangsung hingga acara Maarak Pengantin.

2). Bahias atau Merias Pengantin.Sekitar jam 10 pagi, tukang rias sudah datang ke rumah mempelai wanita untuk merias. Kegiatan ini meliputi tata rias muka, rambut dan pakian, serta kelengkapan lainnya seperti Palimbayan dan lainnya. Bagi pengantin pria, bahias ini dilakukan setelah sholat Zuhur.

3). Maarak Pengantin.Apabila pihak pengantin sudah siap berpakaian, maka segera dikirim utusan kepada pihak pria bahwa mempelai wanita sudah menunggu kedatangan mempelai pria. Maka

Page 4: Budaya Adat Pernikahan

kemudian diadakanlah upacara Maarak Pengantin. Pada waktu maarak pengantin biasanya diiringi dengan kesenian Sinoman Hadrah atau Kuda Gepang. Pihak wanita juga mengadakan hal yang sama untuk menyambut mempelai pria juga untuk menghibur para undangan.

4). Batatai atau Basanding.Kedatangan pengantin pria disambut dengan Salawat Nabi dan ketika Salawat itu dikumandangkan pengantin wanita keluar dari dinding kurung untuk menyambut pengantin pria. Di muka pintu, pengantin pria disambut oleh pengantin wanita, untuk beberapa saat mereka bersanding di muka pintu, kemudian mereka di bawa ke Balai Warti untuk bersanding secara resmi.

Apabila telah cukup waktu bersanding, kedua mempelai diturunkan dari Balai Warti untuk kemudian dinaikkan keusungan atau dinamakan Usung Jinggung, yang diiringi kesenian Kuda Gepang. Setelah di Usung Jinggung kedua mempelai disandingkan di petataian pengantin yang disebut Geta Kencana. Kemudian dilanjutkan dengan sujud kepada orang tua pengantin wanita dan para hadirin serta memakan nasi pendapatan (Badadapatan). Setelah itu kedua pengantin berganti pakaian untuk istirahat.

e. Bajajagaan PengantinPada malam hari pertama sampai ketiga sejak hari perkawinan, biasanya diadakan acara Bajajagaan atau menjagai pengantin, yang isinya dengan pertunjukan kesenian,

Page 5: Budaya Adat Pernikahan

seperti Bahadrah atau Barudat (Rudat Hadrah), Bawayang Kulit (Wayang Kulit), Bawayang Gong (Wayang Orang), Mamanda dan sebagainya.

f. SujudTiga hari sesudah upacara perkawinan, kedua mempelai kemuadian di bawa ke rumah orang tua pengantin pria untuk sujud kepada orang tua pengantin pria. Malam harinya juga diadakan acara menjagai pengantin dengan maksud untuk menghibur kedua mempelai yang sedang berkasih mesra itu.

Keesokan harinya mereka dibawa lagi ke rumah mempelai wanita untuk selanjutnya tinggal di tempat mempelai wanita bersama orang tua mempelai wanita untuk mengatur kehidupan berumah tangga. Apabila telah mampu untuk mencari nafkah sendiri barulah berpisah dalam artian berpisah dalam hal makan saja, namun tetap tinggal bersama orang tua mempelai wanita.

Begitulah proses upacara perkawinan yang dilakukan oleh suku Banjar pada masa lalu. Namun pada era globalsasi saat ini tata cara perkawinan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat khususnya masyarakat Banjar. Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman, yang otomatis dianggap tidak sesuai lagi dengan budaya-budaya leluhur seperti contohnya upacara perkawinan tersebut. Dan juga dianggap terlalu bertele-tele. Hal ini tentu sangat menyedihkan bagi kita, budaya leluhur yang diajarkan secara turun temurun malah dengan mudahnya kita tinggalkan tanpa ada upaya untuk melestarikannya. Namun, masih ada juga daerah yang tetap melaksanakan prosesi tersebut. Seperti di daerah Margasari Kab. Tapin, di sana masih dilaksanakan prosesi tersebut, namun tidak semuanya dilaksanakan. Maksudnya ada bagian tertentu yang tidak dilaksanakan lagi karena dianggap sudah tidak sesuai.Pada masa sekarang dalam hal mencari calon isteri tidak lagi pengaruh orang tua berperan penting, sekarang anak muda dalam hal mencari jodoh ditempuh dengan cara pacaran seperti yang telah dikemukakan di bagian awal tadi. Di masyarakat perkotaan sudah jarang yang memakai tata cara perkawinan seperti ini, namun tentu ada saja orang yang tetap melaksanakannya.Untuk itu peran pemerintah dan masyarakat sangat diharapkan untuk melestarikan kebudayaan yang kita miliki ini. Negara kita terkenal karena kebudayaannya yang unik untuk itu kita sebagai generasi penerus haruslah melestarikan kebudayaan yang kita miliki.

Page 6: Budaya Adat Pernikahan

Upacara Kematian pada Masyarakat Banjar

Kematian bagi masyarakat manapun, termasuk masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan Selatan, merupakan masalah sosial karena ia tidak hanya melibatkan anggota keluarganya tetapi juga masyarakatnya. Oleh karena itu, jika ada kematian, seluruh warga kampung datang membantu keluarga yang sedang berkabung. Biasanya salah seorang perempuan dari setiap keluarga datang ke rumah keluarga yang sedang berduka cita sambil membawa sejumlah beras. Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam persiapan penguburan, juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk masak-memasak dalam rangka selamatan (kendurian).

Orang yang meninggal, mayatnya ditutup dengan bahalai (kain panjang) kemudian dibaringkan dengan posisi membujur ke arah baitullah (kiblat). Di sisinya disediakan buku (Surat Yasin) atau Al Quran. Dengan demikian, siapa saja yang ingin mengirimkan doa kepada yang meninggal dapat mengambil dan membacanya. Sementara itu, pihak keluarga yang meninggal merundingkan mengenai proses pemakamannya, seperti: memandikan mayat, waktu pemakaman, dan orang-orang yang menyembahyangkan mayat. Sebagai catatan, jika ada ahli waris yang belum datang, maka penguburan ditunda. Namun demikian, tidak boleh lebih dari 14 jam terhitung dari saat seseorang meninggal. Jika yang ditunggu dalam waktu tersebut belum datang juga, maka penguburan dilakukan (tidak perlu lagi menunggu ahli waris yang belum datang).

Proses Upacara Kematian

Sebagai suatu proses, upacara kematian mesti dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Tahap-tahap itu adalah: memandikan mayat, menyembahyangkan mayat, turun tanah, meniga hari, dan meyeratus hari. Berikut ini adalah uraian yang lebih renci tentang tahap-tahap tersebut.

1. Tahap Memandikan Mayat

Orang-orang yang dipilih untuk memandikan mayat umumnya adalah orang-orang yang saleh atau para ulama atau orang-orang yang ahli dalam memandikan mayat. Jumlahnya biasanya ganjil (bisa 3 orang, bisa 5 orang, atau 7 orang). Dari jumlah itu ada yang disebut sebagai mirandu (ahli waris) yang dalam pemandian bertugas membersihkan dubur dan kemaluan mayat. Sebelum mayat dimandikan, ia dibaringkan di atas batang pohon pisang. Kemudian, mayat diwudlukan (seperti orang yang akan sholat), selanjutnya disiram dengan air sabun sejumlah tiga kali, lalu dengan air yang dicampur dengan kapur barus sejumlah tiga kali, dan akhirnya disiram dengan air bersih, juga sejumlah tiga kali. Setelah itu, mayat dilapisi dengan kain putih (tiga lapis). Selanjutnya, bagian-bagian tertentu, seperti: muka, tapak tangan, dan kemaluan ditutup dengan kapas yang telah ditetesi dengan minyak cendana. Sebagai catatan, sebelum

Page 7: Budaya Adat Pernikahan

muka mayat ditutup dengan kain kavan (kain putih), para keluarganya diberi kesempatan untuk melihat yang terakhir kalinya.

2. Tahap Menyembahyangkan Mayat

Setelah tahap memandikan mayat selesai, maka tahap berikutnya adalah menyembahyangkan mayat. Mayat yang telah dibaringkan dalam usungan (tandu) dibawa ke tempat peribadatan (langgar atau surau atau mesjid) untuk disembahyangkan. Jumlah orang yang menyembahyangkan minimal 40 orang. Jumlah tersebut oleh masyarakat Banjar disebut satu-dirian. Adapun yang menjadi imam adalah orang yang dipercayai atau ditunjuk oleh ahli waris.

3. Tahap Penguburan

Sebelum mayat diusung ke pemakaman, yaitu ketika dibawa keluar dari tempat peribadatan, anak dan atau cucunya disuruh untuk menyusup di bawah tandu. Maksudnya adalah agar anak dan atau cucunya tadi tidak sakit-sakitan dan umurnya panjang. Setelah itu, barulah mayat diusung ke tempat pemakaman (kuburan). Di sana telah dibuat liang kubur yang sesuai dengan ukuran mayat. Setelah sampai di kuburan, mayat dibaringkan dengan posisi miring ke kanan dan muka menghadap ke kiblat. Selanjutnya, liang kubur ditimbuni dengan tanah kembali (tanah bekas galian). Sebagai catatan, untuk daerah-daerah yang rendah (rawa-rawa), sebelum mayat dikebumikan, ia dimasukkan dalam sebuah peti yang oleh masyarakat Banjar disebut tabala. Oleh karena itu, ukuran liang lahatnya (kubur) lebih sempit dibandikan dengan liang lahat pada tanah tinggi atau non-rawa-rawa (biasanya hanya 1,5 depax3 jengkal).

Selanjutnya, liang lahat yang telah ditimbuni dengan tanah sehingga membentuk gundukan itu, diberi nisan dari pohon karambat atau kamboja. Setelah itu, mayat ditalqinkan oleh orang alim. Maksudnya adalah agar almarhum kelak dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh malaikat. Dan, dengan berakhirnya talqin, maka berakhir sudah acara pemakaman. Dan, sebagai catatan pula, semua pakaian almarhum disedekahkan kepada fakir miskin dan orang-orang yang memandikan Selain itu, mereka juga diberi piring, mangkok, dan gelas. Sedangkan, penalqin diberi selembar tikar dan stoples yang berisi air yang telah “dimantrai” (dibacakan ayat-ayat suci).

4. Tahap Selamatan atau Kendurian

Bagi masyarakat Banjar, selamatan yang berkenaan dengan kematian tidak hanya dilakukan pada malam pertama (turun tanah) saja, tetapi juga malam ke-2 (mendua hari), ke-3 (meniga hari), ke-7 (memitung hari), ke-25 (mayalawi), ke-40 (mematang puluh), ke-50, 60, 70, 80, 90 yang disebut sebagai manyala ari, dan ke-100 hari (manyaratus hari) terhitung dari meninggalnya seseorang.

Selamatan atau kendurian, baik yang dilakukan pada hari pertama, kedua, dan seterusnya (ke-100 hari) pada dasarnya sama, yaitu diikuti oleh sanak saudara,

Page 8: Budaya Adat Pernikahan

tetangganya dan kenalannya; dimulai dengan tahlilan (zikir 100x), kemudian dilanjutkan doa yang maksudnya adalah agar dosa-dosanya dimaafkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, diterima amal baktinya, sehingga dapat diterima di sisi-Nya; dan diakhiri dengan penyantapan nasi beserta lauk-pauknya (daging ternak) dan apam surabi. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada perbedaan sama sekali. Perbedaan tetap ada, khususnya yang berkenaan dengan sajian yang dihidangkan pada hari yang ke-100. Hari yang ke-100 oleh masyarakat Banjar dianggap sebagai yang terpenting. Oleh karena itu, setiap orang akan berusaha untuk menyelenggarakannya secara lebih besar ketimbang hari-hari lainnya. Apalagi jika yang meninggal termasuk orang yang terpandang dan meninggalkan harta yang banyak (berlimpah). Dalam hal ini biasanya keluarga yang ditinggalkan akan menyeratus dengan menyembelih kerbau atau sapi. Sebab jika tidak, keluarga tersebut akan dianggap sebagai keluarga yang rakus terhadap apa yang warisan oleh yang meninggal.

Nilai Budaya

Upacara kematian adalah salah satu upacara di lingkaran hidup individu. Upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Banjar yang berada di Kalimantan Selatan ini, jika dicermati secara mendalam, maka di dalamnya mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan bersama dan bekal kehidupan di kemudian hari. Nilai-nilai itu antara lain kegotong-royongan, kemanusiaan, dan religius.

Nilai kegotong-royongan tercermin dalam perilaku warga masyarakat di sekitar keluarga yang sedang berkabung. Dalam hal ini, tanpa diminta, setiap keluarga datang membantunya dengan mengirim salah seorang anggotanya (perempuan) ke rumah keluarga yang sedang berkabung sambil membawa sejumlah beras. Sementara itu, para lelakinya, disamping membantu dalam persiapan penguburan, juga mempersiapkan kayu-kayu yang diperlukan untuk masak-memasak dalam rangka selamatan (kendurian). (gufron)

UPACARA MANDI HAMIL DALAM PANDANGAN MASYARAKAT BANJAR

Page 9: Budaya Adat Pernikahan

A. PENDAHULUAN

Berbagai upacara mandi yang ditemukan di lapangan ialah upacara mandi menjelang

kawin pertama kali, upacara mandi bagi seorang wanita yang pertama kali hamil,

berbagai upacara mandi sebaagi cara penyembuhan, dan mandi sebagai salah satu

syarat atau bentuk amalan.

Tidak semua wanita yang hamil pertama kali harus menjalani upacara mandi. Konon

yang harus menjalaninya ialah yang keturunannya secara turun temurun memang

harus menjalaninya. Pada upacara mandi hamil, mungkin si calon ibu sebenarnya

bukan tergolong yang wajib menjalaninya, tetapi konon bayi yang dikandungnya

mungkin mengharuskannya melalui ayahnya dan dengan demikian si calon ibu ini pun

harus menjalaninya pula. Lalai melakukan upacara itu konon menyebabkan yang

bersangkutan atau salah seorang anggota kerabat dekat “dipingit”. Sebagai akibat

peristiwa “pemingitan” itu proses kelahiran berjalan lambat.[1]

Seperti sudah dikemukakan di atas, tidak semua wanita hamil pertama kali harus

melakukan upacara mandi. Yang harus melakukannya hanyalah mereka yang memang

keturunan dari orang-orang yang selalu melaksanakannya. Namun dalam

kenyataannya banyak ibu-ibu muda yang melaksanakan upacara itu dalam bentuknya

yang sangat sederhana, meskipun konon sebenarnya tidak ada keharusan baginya

untuk melakukan hal itu.

Di Anduhum dan di Rangas prosedur yang lengkap tidak berhasil ditemukan, sekalipun

dinyatakan sebagian ada dilakukan oleh keturunan tertentu. Di kalangan mereka yang

secara tradisional melaksanakannya pun tampaknya ada kecendrunagn untuk

menyederhanakan upacara itu, mungkin karena menghindarai pembiayaannya yang

besar.

Untuk melaksanakan upacara ini kadang-kadang dipadakan saja dengan meminta

banyu baya kepada seorang bidan, membuat banyu Yasin sendiri yang kemudian

dicampur dengan bunga-bungaan dan melakukan sendiri upacara di rumah yang

Page 10: Budaya Adat Pernikahan

dibantu oleh wanita-wanita tua yang masih berhubungan kerabat dekat dengannya atau

dengan suaminya.

Sebagai syarat melaksanakan upacara mandi ini disiapkan nasi ketan dengan inti, yang

dimakan bersama setelah upacara selesai. Upacara mandi yang demikian sederhana

ini sebenarnya juga dilaksanakan pada kehamilan ketiga, kelima dan seterusnya di

Dalam Pagar dan sekitarnya, khususnya apabila terdapat kesukaran pada kehamilan

sebelumnya.[2]

B. MASA KEHAMILAN

1. Upaya Mendapatkan Keselamatan

Wanita yang hamil pertama kali (tian mandaring) harus diupacara mandikan. Keharusan

melakukan upacara mandi hamil ini konon hanyalah berlaku bagi wanita nag turun

temurun melakukan upacara ini. Seorang wanita yang keturunannya seharusnya tidak

mengharuskan dilakukannya upacara itu, tetapi karena kondisi si bayi dalam

kandungan mengharuskannya melalui ayahnya, si wanita itu harus pula menjalaninya.

Jika tidak konon wanita itu dapat dipingit, sehingga umpamanya si bayi lambat lahir dan

akibatnya ia sangat menderita karenanya.[3]

Dalam kehidupan masyarakat Banjar yang masih terikat akan tradisi lama, apabila

seseorang wanita yang sedang hamil untuk kali pertamanya, ketika usia kehamilan

mencapai tiga bulan atau pada kehamilan tujuh bulan maka diadakanlah suatu upacara

dengan maksud atau tujuan utama untuk menolak bala dan mendapatkan keselamatan.

Karena menurut kepercayaan sebagian masyarakat Banjar, bahwa wanita yang sedang

hamil tersebut suka diganggu mahluk-mahluk halus yang jahat.[4]

Upacara ini juga mempunyai maksud dan tujuan untuk keselamatan bagi ibu yang

sedang hamil serta keselamatan bagi seluruh keluarganya. Bagi masyarakat Banjar

Hulu Sungai khususnya, menganggap bahwa angka ganjil seperti 3, 7 dan 9 bagi yang

hamil merupakan saat-saat yang dianggap sakral. Bukankah kelahiran sering terjadi

pada bulan ke7 dan bulan ke-9? Dan menurut kepercayaan mereka bahwa roh-roh

Page 11: Budaya Adat Pernikahan

halus dan hantu selalu berusaha mengganggu si ibu dan dan bayi dalam kandungan,

karena menurut mereka bahwa wanita hamil 3 bulan itu baunya harum.[5]

Pada masyarakat Banjar Batang Banyu telah diketahui ada suatu upacara yang disebut

“Batapung Tawar Tian (hamil) Tiga Bulan”, menyusul kemudian dilaksanakan upacara

mandi “Tian Mandaring” ketika kehamilan telah berusia tujuh bulan. Tetapi pada

masyarakat Banjar Kuala sampai saat ini hanya mengenal dan melakukan upacra

mandi “Tian Mandaring” atau sering pula disebut upacara mandi “Bapagar Mayang”.

Dikatakan demikian karena upacara tersebut dikelilingi oleh benang yang direntangkan

dari tiang ke tiang tersebut di tebu (manisan) serta tombak (bila ada), sehingga

merupakan ruang persegi empat pada benang-benang tersebut disangkutkan mayang-

mayang pinang dan kelengkapan lainnya. Adapun tata pelaksanaan upacara “Mandi

Tian Mandaring” ini akan dikupas pada pembahasan selanjutnya.

Upacara mandi dengan bepagar mayang ini kebanyakan dilaksanakan oleh kelompok,

tutus bangsawan atau tutus candi, tetapi pada kebanyakan rakyat biasa atau orang

yang tidak mampu tetapi ingin melaksanakan upacara in, maka pelaksanaan cukup

sederhana saja tanpa menggunakan pagar mayang.

Selain upacara yang berupa mandi tersebut, adapula beberapa upaya yang diusahakan

oleh para orang tua untuk anak atau menantunyayang sedang hamil sebagai wujud

sebuah pengharapan dari seluruh keluarga agar ibu yang akan melahirkan kelak

selamat dan tidak ada gangguan pada saat persalinan (kada halinan) serta anak yang

lahir sempurna keadaannya. Upaya-upaya tersebut antara lain:

1. Mengingatkan anak menantunya yang sedang hamil untuk menghindari dari

hal-    hal yang bersifat pantangan (tabu).

2. Memberikan doa atau bacaan al-Qur’an untuk dijadikan amalan selama masa

kehamilan.

3. Meminta air (banyu tawar) yang telah dibacakan doa-doa dari seorang tabib atau

orang pintar.[6]

Page 12: Budaya Adat Pernikahan

2. Hal-hal yang Berupa Pantangan

Sebagian dari kelompok masyarakat yang masih memakai adat tradisi lama, hal-hal

yang bersifat pantangan atau pamali masih mereka yakini, namun sebagiannya tidak

memperdulikan hal-hal yang bersifat pantangan tersebut. Sebab sebagian beranggapan

bahwa hal-hal yang seperti tidak masuk akal (mustahil) dapat mempengaruhi

kehamilan. Hal-hal yang berupa pantangan tersebut antara lain:

1. Tidak boleh duduk di depan pintu, dikhawatirkan akan susah melahirkan.

2. Tidak boleh keluar rumah pada waktu senja hari menjelang waktu maghrib,

dikhawatirkan kalau diganggu mahluk halus atau roh jahat.

3. Tidak boleh makan pisang dempet, dikhawatirkan anak yang akan dilahirkan akan

kembar dempet atau siam.

4. Jangan membelah puntung atau kayu api yang ujungnya sudah terbakar, karena

anak yang dilahirkan bisa sumbing atau anggota badannya ada yang buntung.

5. Jangan meletakan sisir di atas kepala, ditakutkan akan susah saat melahirkan.[7]

6. Dilarang pergi ke hutan, karena wanita hamil menurut kepercayaan mereka baunya

harum sehingga mahluk-mahluk halus dapat mengganggunya.

7. Dilarang menganyam bakul karena dapat berakibat jari-jari tangannya akan

berdempet menjadi satu.[8]

Pantangan-pantangan tersebut di atas bukan hanya pada si calon ibu saja, tetapi juga

berlaku terhadap suaminya.

3. Pemeliharaan Kehamilan dan Keselamatan

Cara pemeliharaan kehamilan tidaklah berbeda dengan wanita-wanita dari suku lain.

Pusat Kesehatan Masyarakat (puskesmas) banyak mereka kunjungi untuk memeriksa

Page 13: Budaya Adat Pernikahan

kehamilan. Selain itu pemeriksaan kehamilan secara tradisional pun mereka lakukan

yaitu dengan cara:

1. Melakukan pijatan atau dengan istilah Banjar “Baurut” pada seorang dukun beranak

atau bidan kampung yang ahli dalam bidang pijatan (urut).

2. Membatasi diri untuk tidak terlalu suka minum air es.

3. Memperbanyak makan sayur dan buah-buahan.

4. Jika perut terasa sakit karena masuk angin, oleh bidan kampung disuruh

meminum air rebusan gula merah dengan jahe (tipakan).

5. Jika kaki bengkak, maka digosok dengan wadak panas atau ramuan beras kencur.

C. UPACARA MANDI HAMIL

1. Nama Upacara dan Tahap-tahapnya.

Berbagai nama bagi upacara mandi hamil ialah: mandi-mandi matian, mandi baya,

mandi bepapai dan badudus. Dinamakan mandi baya karena menggunakan antara lain

banyu baya, air yang disiapkan oleh bidan khusus untuk keperluan tersebut.

Dinamakan bapapai karena memapai, yaitu memercikan air dengan berkas daun-

daunan, merupakan salah satu acara pokok dalam upacara ini. Badudus ialah istilah

lain bagi upacara mandi (bandingkan dengan duduk dalam ras.1968: Glosary dan

Index), demikian pula mandi-mandi atau bamandi-mandi. Tambahan kata batian pada

istilah mandi-mandi untuk membedakannya dengan upacara mandi lainnya (hamil,

batian, memperoleh hamil). Kata baya dalam ungkapan banyu baya dan mandi baya

tidak jelas artinya.[9]

Untuk mengetahui makna atau pengertian, baiklah kita lihat atau kita tinjau dari

pengertian istilah atau nama dari upacara ini, yaitu “Betapung Tawar Tian Tiga Bulan”.

Betapung berasal dari kata tapung dalam bahasa Banjar maksudnya mengikat atau

mendekatkan antara satu benda dengan benda yang lain. “Ba” adalah satu awalan

Page 14: Budaya Adat Pernikahan

dalam bahasa Banjar, di mana digunakan untuk menunjukan pekerjaan dan berfungsi

sebagai penegas dari kata tapung. Sedangkan tawar berarti terang atau selamat.

Sedangkan tian maksudnya adalah kehamilan atau hamil atau kandungan yang berada

dalam rahim ibu yang sedang mengandung.

Oleh Karena itu Batapung Tawar Tian Tiga Bulan berarti suatu upacara yang bertujuan

untuk mendapatkan keselamatan bagi wanita yang sedang hamil atau mengandung tiga

bulan.

Secara kata atau istilah berarti bahwa Batapung Tawar Tian Tiga Bulan ialah

memercikan air tepung tawar kepada wanita yang sedang hamil tiga bulan.[10]

2. Waktu Penyelenggaraan Upacara

Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada umur kehamilan tujuh bulan atau tidak

lama sesudahnya. Upacara mandi ini harus dilaksanakan pada waktu turun bulan,

khususnya pada hari-hari dalam minggu ke tiga bulan Arab. Apabila karena sesuatu hal

upacara mandi tidak dapat dilaksanakan pada waktu tersebut, pelaksanaannya ditunda

pada bulan berikutnya. Juga upacara ini harus dilaksanakan pada waktu turun

matahari, upacara ini biasanya dilakukan sekitar jam 14.00 dan tidak pernah setelah

jam 16.00. Secara darurat upacara mandi ini pernah dilaksanakan di Dalam Pagar,

yaitu pada saat si wanita sudah hampir melahirkan. Si wanita ini sudah lama sakit akan

melahirkan, dan oleh bidan yang menolongnya dinyatakan bahwa meskipun si wanita

bukan keturunan yang harus melakukan upacara itu, tetapi si bayi mengharuskannya

melalui ayahnya. Oleh karena itu upacara mandi secara darurat dilaksanakan, yaitu

hanya sekedar menyiram dan memerciki si ibu dengan banyu baya. Segera setelah

selesai dimandikan tersebut konon lahirlah bayinya.

3. Tempat Penyelenggaraan Upacara

Para informan di Dalam Pagar menyatakan upacara ini harus dilaksankan di dalam

pagar mayang. Pada upacara yang berhasil diamati di Akar Bagantung dan Teluk

Selong (1979), pagar mayang memang digunakan, tetapi pada upacara mandi yang

Page 15: Budaya Adat Pernikahan

dilaksanakan di Dalam Pagar (1980) tidak dibangun pagar mayang, melainkan cukup

dilaksanakan di atas palatar belakang.[11]

4. Pihak yang Terlibat dalam Upacara

Pihak yang terlibat dalam upacara ini di antaranya:

- Orang tua dari kedua belah pihak baik itu ibu kandung atau ibu mertua.

- Saudara-saudara, kerabat-kerabat seperti julak (saudara ibu), uma kacil (adik ibu)

dan begitu pula dari pihak mertua.

- Di pimpin oleh bidan kampong (dukun beranak) dan Tuan Guru (mualim) yang

membacakan doa selamat setelah upacara berakhir.

Selain pihak-pihak di atas masih ada yang terlibat dalam upacara tersebut, yakni para

undangan yaitu wanita-wanita tetangga dan kerabat dekat, umumnya terdiri dari ibu-ibu

muda dan wanita-wanita muda yang sudah kawin. Wanita-wanita tua yang hadir

biasanya adalah mereka yang banyak tahu tentang upacara ini atau karena diperlukan

untuk membantu bidan melaksanakannya.

5. Persiapan dan Perlengkapan Upacara

Upacara mandi hamil mengharuskan tersedianya 40 jenis penganan atau “wadai ampat

puluh”. Mungkin sebenarnya berjumlah 41, atau bahkan lebih. Wadai 40 ini terdiri dari:

apam (putih dan merah), cucur (putih dan merah), kawari, samban, tumpiangin (sejenis

rempeyek di Jawa, tetapi kali ini tidak menggunakan kacang tanah melainkan kelapa

iris), cicin (cincin, perhiasan dipakai di jari, dua jenis dan tiga warna), parut hayam

(perut lilit ayam, tiga warna), sarang samut (sarang semut, tiga warna), cangkaruk

(cengkaruk), ketupat (empat jenis), nasi ketan putih (dengan inti di atasnya), wajik,

kokoleh (putih dan merah), tapai, lemang, dodol, madu kasirat (sejenis dodol tapi masih

muda), gagati (empat jenis), dan sesisir pisang mahuli.[12]

Page 16: Budaya Adat Pernikahan

Sedangkan hidangan untuk para tamu ialah nasi ketan (dengan inti) dan apam dari

wadai 40 ini, tetapi bisa juga ketupat dan sayur tumis ditambah dengan nasi ketan, atau

hidangan lainnya. Tetapi di Anduhum konon kadang-kadang ada keharusan (dahulu)

menghidangkan bubur ayam, yang mungkin mengandung perlambang tertentu pula.

Dapat diduga meskipun terdapat kesamaan dalam jumlah jenis penganan yang harus

dihidangkan pada upacara mandi hamil di Martapura namun terdapat perbedaan

tentang keharusan adanya jenis-jenis penganan tertentu tergantung pada kerabat yang

melaksanakannya. Pada upacara mandi yang diamati di Dalam Pagar terdapat detail-

detail seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Kue apam dan cucur, masing-masing berwarna merah dan putih, adalah kue-kue yanag

biasa dipergunakan sebagai syarat upacara batumbang, yang dilaksanakan setelah

upacara mandi selesai. Kue samban dan kawari merupakan lambang jenis kelamin bayi

yang akan lahir. Samban melambangkan jenis kelamin perempuan dan kawari

melambangkan jenis kelamin pria. Apam, cucur, kokoleh, wajik, nasi ketan, dodol dan

madu kasirat merupakan kue-kue yang harus ada karena menggunakan air sungai

Kitanu. Nasi ketan kuning dan telur rebus di atasnya merupakan sajian untuk buaya

kuning yang konon (dahulu) menghuni sebuah lubuk dekat balai padudusan di tepi

sungai Kitanu. Kue gagati jumlahnya harus sembilan dan ketupat jumlahnya harus

tujuh. Tidak berhasil diungkapkan untuk siapa disajikan dan mengapa harus sembilan

dan tujuh, sedangkan kue-kue lainnya tidak harus demikian.

Di Dalam pagar mayang, atau di tempat upacara mandi akan dilaksanakan, diletakan

perapen, dan berbagai peralatan mandi. Sebuah tempayan atau bejana plastik berisi air

tempat merendam mayang pinang (terurai), beberapa untaian bunga (kembang

berenteng), sebuah ranting kambat, sebuah ranting balinjuang dan sebuah ranting

kacapiring. Sebuah tempat air yang lebih kecil berisi banyu baya, yaitu air yang

dimantrai oleh bidan, sebuah lagi berisi banyu Yasin, yaitu air yang dibacakan surah

Yasin, yang sering dicampuri dngan banyu Burdah yaitu air yang dibacakan syair

Burdah. Selain itu pada pengamatan di Dalam Pagar, terdapat sebuah gelas berisi air

(banyu) sungai Kitanu. untuk keperluan mandi ini terdapat juga kasai (bedak, param)

temugiring dan keramas asam jawa atu jeruk nipis. Dahulu, sebagai tempat duduk si

Page 17: Budaya Adat Pernikahan

wanita hamil itu diletakan sebuah kuantan (sejenis panci terbuat dari tanah yang

diletakan tengkurap dan di atasnya diletakan bamban (bamban bajalin). Merupakan alat

mandi pula ialah mayang pinang yang masih dalam seludangnya, kelapa tumbuh

(berselimut kain kuning), benang lawai dan kelapa muda.

Untuk keperluan mandi hamil diperlukan dua buah piduduk. Sebuah akan diserahkan

kepada bidan yang memimpin upacara dan yang membantu proses kelahiran, dan

sebuah lagi sebagai syarat upacara. Yang pertama dilengkapi dengan rempah-rempah

dapur, sedangkan yang sebuah lagi termasuk di dalamnya alat-alat yang diperlukan

untuk melahirkan, ayam, pisau dan sarung berwarna kuning. Konon jenis kelamin ayam

harus sesuai denagn jenis kelamin bayi yang akan lahir, sehingga praktis tidak mungkin

disediakan, dan demikian pula alat-alat yang diperlukan untuk melahirkan biasanya juga

belum tersedia, namun harus tegas dinyatakan sebagai ada. Bagian dari piduduk yang

belum tersedia ini dikatakan sebagai “dihutang”, sebagai syarat menyediakan barang

yang belum ada ini harus disediakan nasi ketan dengan inti, yang dihidangkan kepada

hadirin setelah upacara selesai.

6. Proses Upacara

Berikut upacara mandi yang terjadi di Teluk Selong, sebuah kampung yang terletak

bersebrangan sungai dengan Dalam Pagar.

Wanita hamil yang diupacarakan memakai pakaian yang indah-indah dan memakai

perhiasan, duduk di atas lapik di ruang tengah sambil memangku sebiji kelapa tumbuh

yang diselimuti kain kuning menghadapi sajian wadai ampat puluh. Setelah beberapa

lama duduk dengan disaksikan oleh para undangan wanita, perempuan hamil itu turun

ke pagar mayang sambil menggendong kelapa tumbuh tadi. Ketika ia turun ke pagar

mayang, ia menyerahkan kelapa yang digendongnya kepada orang lain, bertukar

pakaian dengan kain basahan kuning sampai batas dada, lalu duduk di atas bamban

bajalin, sedemikian sehingga kuantan tanah langsung remuk. Para wanita tua yang

membantunya mandi (jumlahnya selalu ganjil, sekurang-kurangnya tiga dan paling

banyak tujuh orang dan seorang di antaranya bertindak sebagi pemimpinnya, yaitu

Page 18: Budaya Adat Pernikahan

biasanya bidan) menyiraminya dengan air bunga, membedakinya dengan kasai

temugiring lalu mengeramasinya.

Selanjutnya para pembantunya itu berganti-ganti mamapaikan berkas mayang, berkas

daun balinjuang dan berkas daun kacapiring kepadanya dan kadang-kadang juga

kepada hadirin di sekitarnya. Proses berikutnya ialah menyiramkan berbagai air lainnya,

yaitu banyu sungai Kitanu, banyu baya, yang telah dicampur dengan banyu Yasin atau

banyu doa, dan banyu Burdah. Setiap kali disiram dengan air-air tersebut, si wanita

hamil diminta untuk menghirupnya sedikit. Sebuah mayang pinang yang masih belum

terbuka dari seludangnya diletakkan di atas kepala wanita hamil tersebut lalu ditepuk,

diusahakan sekali saja sampai pecah. Mayang dikeluarkan dari seludangnya lalu

diletakkan di atas kepala wanita hamil dan disirami dengan air kelapa muda tiga kali

berturut-turut dengan posisi mayang yang berbeda-beda. Kali ini juga airnya harus

dihirup oleh wanita hamil itu.

Kemudian diambil dua tangkai mayang dan diselipkan di sela-sela daun telinga si

wanita hamil masing-masing sebuah. Lalu dua orang perempuan tua membantunya

meloloskan lawai dari kepala sampai ke ujung kaki, tiga kali berturut-turut. Untuk

melepaskan lawai dari kakinya, pada kali yang pertma ia melangkah ke depan, kali

yang ke dua melangkah ke belakang dan terakhir kembali melangkah ke depan.

Sesudah itu badannya dikeringkan dan ia berganti pakaian lalu keluar dari pagar

mayang. Di luar telah tersedia sebiji telur ayam yang harus dipijakinya ketika

melewatinya. Ketika ia keluar untuk kembali ke ruang tengah ini dibacakan pula

shalawat berramai-ramai. Di ruang tengah si wanita hamil itu kembali duduk di atas

lapik di hadapan tamu-tamu, disisiri dan disanggul rambutnya. Pada saat itu juga di

tepung tawari, yaitu dipercikan minyak likat beboreh dengan anyaman daun kelapa

yang dinamakan tepung tawar.

Setelah itu lalu batumbang dibacakan doa selamat oleh salah seorang hadirin.

Sementara itu si wanita hamil menyalami semua wanita yang hamil menyalami semua

wanita yang hadir, lalu masuk ke dalam kamarnya. Setelah itu hidangan pokok

Page 19: Budaya Adat Pernikahan

diedarkan dan kemudian ditambah dengan hidangan tambahan berupa nasi ketan

(dengan inti), apam, cucur dan kue-kue lainnya yang sebelumnya dipamerkan sebagai

saji. Sebagian kue saji harus disiapkan untuk dibawa pulang oleh bidan dan

perempuan-perempuan tua yang tadi membantu si wanita hamil itu mandi.

7. Arti Lambang dan Makna di Balik Upacara

Dalam upacara mandi ini dilambangkna kelancaran proses kelahiran dengan berbagai

cara, yaitu:

1. Pecahnya kuantan tanah ketika diduduki melambangkan pecahnya ketuban.

2. Pecahnya mayang dengan sekali tepuk saja menandakan proses kelahiran akan

berjalan dengan lancar, tetapi bila perlu ditepuk beberapa kali agar pecah, konon

menandakan proses kelahiran akan terganggu (halinan baranak), meskipun          

diharapkan akan berakhir dengan selamat juga.

3. Proses kelahiran diperagakan dengan meloloskan lawai pada tubuh si wanita

mengisyaratkan mudahnya proses itu.

4. Pecahnya telur ketika dipijak juga melambangkan prose kelahiran yang cepat pula.

5. Kelapa tumbuh yang dipangku dan kemudian digendong melambangkaan bayi.

6. Memerciki dengan tepung tawar ialah guna memberkatinya.

7. Dan batumbang konon akan memperkuat semangatnya.

D. PENUTUP

Pada sebagian masyarakat Banjar dalam hal kehamilan masih melakukan daur hidup

yang berupa upacara adat maupun berupa hal-hal yang dipercayai sehingga

menimbulkan adanya pantangn atau tabu.

Page 20: Budaya Adat Pernikahan

Upacara kehamilan yang berupa upacara mandi tian mandaring sampai sekarang

masih berlangsung terutama sering dilakukan di daerah-daerah pedesaan yang masih

kuat dengan tradisi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan pada masa perkotaan yang

sudah mengalami perkembangan kemajuan alam pikiran dan teknologi sebagian telah

meninggalkan beberapa upacara adat dan tidak lagi mengindahkan berupa hal-hal yang

dipercayai yang bersifat mustahil. Kalaupun mereka lakukan, kadang-kadang sudah

berpadu dengan unsur modern. Baik dalam adat upacara maupun dalam pelaksanaan

upacara lebih menitik beratkan pada unsur-unsur yang praktis daripada unsur-unsur

yang bersifat magis.

Bagi masyarakat Banjar yang masih memakai adat, terutama yang berhubungan

dengan kehamilan dan kelahiran dengan segala pantangannya, dalam hal upacara adat

selalu mereka selenggarakan walaupun diimplemantasikan dalam bentuk upacara yang

sangat sederhana sekali sebatas sebagai persyaratan belaka. Karena mereka khawatir

akan dapat berakibat buruk terhadap bayi yang dikandungnya apabila tidak

melaksanakan upacara adat. Oleh karena tujuan utama penyelenggaraan upacara

untuk mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kehamilan.

Adanya lapisan kebudayaan lama / asli dengan segala unsur religinya yang

berakulturasi yang mana unsur agama lebih banyak sekali mempengaruhi adat istiadat

kebudayaan masyarakat Banjar. Karena masyarakat Banjar merupakan penganut

agama Islam yang kuat, namun walaupun demikian sebagian masyarakat Banjar masih

mempercayai kepercayaan lama yang berupa kepercayaan terhadap roh-roh halus

yang dapat mengganggu kehidupannya. Karena itu setiap upacara adat yang

merupakan daur hidupnya suku Banjar dilaksanakan secara Islami namun tidak

meninggalkan unsur kepercayaan lama, dan sampai sekarang masih berkembang di

masyarakat walaupun sebagiannya sudah hampir punah.

Page 21: Budaya Adat Pernikahan