bu kek siansu - cinta bernoda darah 2

Upload: beny-uchiha

Post on 07-Mar-2016

264 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Bu Kek Siansu - Cinta Bernoda Darah 2

TRANSCRIPT

  • Belum tentu.... belum tentu....! Suma Boan menggeleng kepalanya, dia lihai sekali. Heran

    aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan? Sambil bersunggut-

    sunggut dan me nyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun diikuti oleh si jenggot

    panjang, Ciok Kam, masuk ke dalam gedung. Se bentar saja para pelayan menyambutnya,

    keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di atas

    genteng. Akan tetapi, Suma Boan membentak, Tidak ada apa-apa, mundur semua! Pelayan-

    pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat

    masing-masing. Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu.

    Bu Sin dan adiknya amat bingung me mikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata. Adikmu

    tidak berada di dalam ge dung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian

    lekas pergi dari sini, amat berbahaya di sini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah me naruh

    perhatian akan urusan kami. Biar pun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian

    menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah di sini. Nanti dulu....! Bu Sin

    mencegah. Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini? Urusan apakah

    yang menimbulkan semua keributan ini? Wanita itu yang menjawab kini, ter senyum duka,

    Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda.

    Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, se orang sakti yang aneh. Percuma kau

    mencarinya, tak mungkin mengikuti je jak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami....

    hemmm, cukup kauketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk

    Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada di sini, pergi cepat. Ber

    bahaya! Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap.

    Bu Sin dan Sian Eng saling pan dang, mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin.

    Akan tetapi mere ka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh daripada cukup untuk

    dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan meng hadapi si

    jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja sudah terlalu berat bagi

    mereka, apalagi It-gan Kai-ong ada di situ! Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali

    segera menyelinap pergi dari tempat itu, lari keluar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan

    malam. Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan

    alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulis an Lin Lin di atas

    meja, tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja. Sin-ko dan Eng-cici, Terpaksa aku

    pergi dulu berpisah de ngan kalian. Kakek gundul yang me nolongku memaksa aku ikut dia

    sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tem pat

    pembunuh orang tua kita. Sampai jumpa pula, Lin Lin Bu Sin menarik napas panjang, lega

    hatinya. Tentu yang dimaksudkan di da lam surat, yang disebut oleh Lin Lin kakek gundul itu

    adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli.

    Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu

    akan ketemu batunya kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini

    kadang-kadang mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan ten tu

  • kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya. Dia diberi petunjuk orang sakti akan

    jejak musuh besar kita, baik sekali. Mu dah-mudahan dia berhasil dan selamat, katanya sambil

    merobek-robek surat itu. Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Ke mana kita harus mencari atau

    mengikuti Lin Lin? Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya,

    apalagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan

    perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu,

    karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak

    pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita. Demikianlah, pada keesokan

    harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui, menuju ke kota

    raja. *** Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar

    biasa. Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu

    dengan cara menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng

    sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng berloncatan

    ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng. Akan tetapi, selagi ia kebingungan

    dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pu kulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong

    menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah kalau

    saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu meng apa dan bagaimana, akan tetapi

    tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti

    dibawa angin terbang melalui genteng, cepat bukan main. Tentu saja ia takut sekali dan

    berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak terbanting,

    namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia terbang dengan tubuh

    telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat

    itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi. Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang

    ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya dan ketika kedua kakinya menginjak

    tanah, ia telah berada di luar kota An-sui! Heh-heh-heh, untung kau tidak men jadi korban It-

    gan Kai-ong, terdengar suara terkekeh bicara. Lin Lin membalikkan tubuh, ke kanan kiri,

    memutar tubuh melihat ke sekeliling nya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu

    tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis yang tabah dan

    menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini

    membuat ia yakin bahwa ia sedang di ganggu iblis dan dongeng-dongeng ten tang iblis yang

    pernah ia dengar mem buat ia ketakutan. Siapa kau? Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku

    sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apalagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh!

    Aku dan kau sama saja! Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar

    tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan

    main dan ia sengaja mengerahkan gin-kangnya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat

    kosong, tidak ada bayangan, apalagi orangnya! Suara itu masih terkekeh-kekeh, Heh-heh-heh,

    siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, di mana dan siapa aku, heh-heh-heh! Suara itu

    tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan. Panas juga dada Lin

  • Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biarpun seorang

    manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat men carimu?

    Demikian pikirnya dengan gemas. Cepat ia melompat lagi, berputaran dan mengeluarkan

    kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya.

    Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-

    menerus berbunyi, tertawa-tawa di bela kang, kanan dan kirinya! Heh-heh-heh! Kau seperti

    seekor an jing hendak menggigit buntut sendiri berputaran. Heh-heh.... lucu.... lucu.... lagi,

    Nona. Sekali lagi, lucu benar....! Tentu saja Lin Lin tidak sudi ber putar lagi, malah ia cepat

    berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia menangis. Kau ini setan apa manusia? Kalau ma

    nusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butub setan! bentaknya

    sambil bertolak pinggang. Heh-heh, lebih baik jadi setan, biarpun selalu melakukan kejahatan

    akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut

    setan? Setidaknya setan meng akui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura

    suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor daripada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di be

    lakangmu, masa kau tidak dapat melihat? Lin Lin membalikkan tubuhnya dan.... tidak melihat

    apa-apa. Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu. Lho, aku di sini,

    lihat baik-baik. Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri

    seorang kakek yang.... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi

    jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu

    tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badan nya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola

    karet, licin tidak berambut se helai pun juga. Tapi alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu

    berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua

    daun telinganya lebar seperti telinga area Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak.

    Melihat orang seperti itu anehnya, Lin Lin tak dapat menahan ketawanya. Hi-hi-hik, kau ini

    golongan apa? Apakah pemain wayang? Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya. Memang

    dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana la konnya dan apa peran apa

    yang harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara

    menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si

    pengemis busuk. Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagai

    mana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu gin-kang bertahun-tahun akan tetapi

    belum ada sekuku hitam dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu

    sihir? Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung

    menyeberangi lautan! Aku tang gung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan

    selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lam

    bat, kau namakan itu ilmu gin-kang? Ho-heh-hoh, lucu amat! Panas perut Lin Lin, bibirnya

    cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa, memegangi

    perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya. Dan pedang itu....

    heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang

  • ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itupun kurang tajam, baiknya untuk

    menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan? Lin Lin membanting kakinya. Kakek

    pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong....! Kakek itu tiba-tiba

    meringis, mem perlihatkan isi mulutnya. Hebat giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri.

    Kaulihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi

    siapa lebih putih, lebih mengkilap! Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis inipun wataknya aneh,

    mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu

    meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia tertawa juga. Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-

    kuning begitu! Kakek itu kelabakan. Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok

    dengan bata. Kau bohong....! Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia

    cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri yang

    terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak telah berada di tangan kakek

    itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk ber cermin! Bunga perak pada tusuk

    konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu ber usaha untuk bercermin memeriksa giginya dari

    pantulan sinar bintang yang me nimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia. Diam-diam Lin

    Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat me rampas tusuk kondenya sedemikian

    cepat nya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini me miliki

    kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepada nya! Kek, mengapa

    kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku ke sini? akhirnya

    dia ber tanya. Kakek itu mengomel, Gigiku putih.... tidak kuning....! Mengapa kau menolong

    aku? Siapa bilang gigiku kuning, memalu kan! Kakek itu bersungut-sungut. Lin Lin hendak

    marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi.

    Memang gigimu putih, siapa bilang kuning? Kau tadi yang bilang! Dan kau percaya? Ih,

    bodohmu sen diri mengapa percaya. Gigimu putih seperti.... seperti kapur. Kakek itu nampak

    girang. Kapur me mang putih sekali, maka ia girang men dengar ucapan ini. Tangannya bergerak

    dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sem pat mengelak,

    ketika ia meraba gelung nya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali

    tidak merasakannya! Makin kagum hatinya. Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau

    membawa aku ke sini? Karena kau cantik, seperti anakku dahulu. Rasa haru sejenak

    menyelinap di hati Lin Lin. Di mana anakmu, Kek? Di mana? Di.... mana, ya? Sang Sutradara

    sudah lama membebaskannya daripada tugas di panggung wayang. Dia tidak MAIN lagi. Makin

    terharu hati Lin Lin. Anakmu sudah mati? Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi.

    Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi, karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu

    dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani menghina

    mu. Aku bangsamu? Bangsa apa Kek? Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku?

    Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi. Otomatis, terpengaruh

    oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biarpun kedua matanya sam

    pai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apalagi

  • memandang giginya! Betapapun juga, ucapan ini menusuk pe rasaannya, membuat jantungnya

    berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya

    atau siapa pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang

    sejati. Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu

    karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini

    menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biarpun ia tidak bisa percaya dan tidak percaya, hatinya

    berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan hati nya adalah pernyataan kakek itu

    hendak memberinya bekal kepandaian. Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian,

    Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh

    besarku. Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar daripada nafsu sendiri.

    Siapa musuh besarmu? Sayang, aku sendiri tidak tahu Kek, Lin Lin menggeleng kepalanya.

    Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya

    meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu bersuling. Tiba-tiba kakek itu

    melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak

    memang gil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi.

    Suling Emas? Suling Emas mem bunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu? Orang tua angkat,

    Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek.... Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han? Kau

    kenal Ayah angkatku, Kek? Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu

    berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya. Aneh

    tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas.... Jantung Lin Lin berdegupan. Apa? Musuh besarku

    betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu di mana dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding

    mengadu nyawa. Seketika kakek itu memandang ke padanya seperti terkejut, kemudian ia

    tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia

    tertawa. Lin Lin marah. Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau

    tertawa, gigimu kuning....! Seketika kakek itu berhenti tertawa. Apa kau bilang? Gigiku putih

    seperti.... seperti.... .... seperti kapur! kata Lin Lin tersenyum. Nah, jangan tertawa saja, apa

    sih yang lucu? Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kauperas dan kuras

    habis kepandaianmu, belum tentu kau bisa menang. Tidak peduli. Aku akan menemuinya.

    Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau aku kalah. Kan hidung dan

    gigi kita sama, bukan? Betul, betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu aku. Awas dia

    kalau berani ganggu kau! Senang hati Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, den

    jalan satu-satunya untuk membalas budi, hanya lah membalasken dendam kduarga itu. Tapi

    aku tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan

    mencariku ke mana-mana. Kalau Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-

    saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot? Ih, jangan gitu, Kek. Biarpun saudara

    angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung sendiri. Baiklah, mari

    kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di ka mar mereka. Lin Lin maklum

    bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa

  • ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan di saat

    berikutnya ia harus meme gang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang

    seperti ter bang cepatnya! Setelah menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu

    pergi keluar kota An-sui bersama kakek itu. Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin

    disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia melihat betapa kakek pendek itu berjalan

    seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah ter tinggal. Kalau merayap seperti keong

    begini, kapan bisa sampai di sana? Kakek itu bersungut-sungut. Kau maksudkan sampai di

    tempat Suling Emas, Kek? Di mana lagi? Bukankah kita men cari dia? Tapi kau harus belajar

    ilmu pukulan lebih dulu untuk menghadapinya. Mari! Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan

    tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat daripada

    biasanya. Menjelang pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat in dah.

    Bermacam bunga memenuhi hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di

    hutan-hutan dan mem biarkan seribu satu macam bunga ber kembang amat indahnya. Heh-

    heh, bagus di sini. Kita main-main di sini! Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon

    menjadi tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas

    sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang pohon. Per sis

    seperti anak kecil main ayun-ayunan. Melihat kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa

    gembira, Lin Lin menegur, Kek, katanya hendak mengajar ilmu kepadaku? Aku sedang

    mengajarmu sekarang. Kaulihat baik-baik! Lin Lin mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini

    main-main selalu. Masa ia akan diajari main ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan

    membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat lari se perti terbang, memiliki gerakan tangan yang

    luar biasa cepatnya ketika memin jam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini

    seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempu nyai kepandaian lari cepat saja, dan

    hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak bersepatu, pakai

    anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti anak kecil. Kek, kau ini sebenarnya

    siapakah? Namamu saja aku belum tahu. Heh-heh, aku pun belum tahu nama mu. Apa sih

    artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan? Lin Lin tidak mau pedulikan lagi fil

    safat yang aneh-aneh dari kakek itu. Kek, namaku Lin, sheku tentu saja.... Lin Lin hendak

    mengatakan Kam, akan tetapi kakek itu sudah mendahuluinya. .... tidak ada karena kau

    bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang me nyebutku Kim-lun Seng-jin. Gagah nama ku, ya?

    Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia. Ketika tangannya bergerak dan tahu-tahu ia

    telah menge luarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang bukan gelang, karena tengahnya

    dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi

    disembunyikan di balik baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah le

    nyap lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja. Namaku Roda Emas, memang hidup ini

    berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah kau sudah memperhatikan

    pelajaran ini? Lin Lin terkejut, juga geli mendengar ia dipanggil A-lin. Ketika mengeluarkan

    sepasang roda atau gelang tadi, amat cepat. Akan tetapi apakah benda-benda itu mcrupakan

  • senjata? Andaikata dijadi kan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek itu tiada hentinya

    berayun, bagai mana bisa bilang memberi pelajaran? Pelajaran yang mana, Kek? Hehhh!

    Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang

    kota! Lihat baik-baik! Lin Lin melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa

    kakek itu bukanlah berayun sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak,

    kakinya tidak dipakai mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang

    mendorohg. Anehnya, kadang-kadang ayunan itu ter henti di tengah jalan, baik sedang terayun

    ke belakang maupun sedang ter ayun ke depan. Dengan duduk di ayunan mampu

    menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja. Nah, kau sudah lihat

    sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan

    Kosong Selaksa Kati). Biarpun kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati biarpun berat

    dan kuat, namun kosong. Inti pe lajaran ini kelak dapat membuat tubuh mu menjadi ringan atau

    berat menurut sesukamu, dan lari terbang bukan men jadi lamunan kosong lagi. Mulailah Lin

    Lin menerima gembleng an dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang

    jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari per kara.

    Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh perkum pulan atau oleh negara.

    Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-

    ouw dan biarpun tidak ada orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini

    karena ia tidak pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun

    mereka itu yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te-liok-koai, Si

    Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap Kim-lun Seng-

    jin. Pada masa itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te-liok-koai dan para ketua partai

    persilatan besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling

    Emas se bagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh rahasia dan

    jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh

    dijajarkan dengan orang-orang aneh lain, yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang

    aneh lain yang hanya dikenal dengan sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di

    tingkat paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah terdengar

    ada tokoh yang melebihi kesaktiannya daripada kakek ini. Lin Lin boleh dianggap beruntung

    dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini selama nya tak pernah

    mau menerinna murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan ilmu meringankan tubuh

    yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang se kaligus merupakan lwee-kang yang luar biasa. Di

    samping ini, juga kakek aneh itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan

    Kosong Mengurung Gunung). Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang, ia membawa Lin

    Lin merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di pinggir

    sungai yang amat sunyi. Aneh dua orang ini, seorang gadis remaja se orang lagi kakek tua, tiap

    hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat kakek itu mengalah karena gadis inilah yang

    dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah serta terutama sekali dapat

  • menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang lezat. Lin Lin pandai sekali mengambil

    hati kakek itu dengan panggang daging binatang hu tan yang lezat. Dari kakek ini ia menge nal

    pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan. Ternyata Kim-lun Seng-jin amat luas

    pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh, malah ia me ngenal pula

    ayah Li Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya, dan baru pada saat Lin Lin

    memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan

    ini. Kam-goanswe? Heh, Ayah angkatmu itu seorang yang keras hati, seorang perajurit sejati

    yang jujur dan setia. Ke jujuran dan kesetiaannya ditambah ke kerasan hatinya itulah yang

    mombuat ia dipandang orang, kepandaiannya sih tidak ada artinya. Akan tetapi ia pernah meng

    gemparkan dunia kang-ouw ketika ia da hulu berhasil mencuri hati Liu Lu Sian, seorang gadis

    sakti yang berjuluk Tok-siauw-kwi (Setan Cantik Beracun). Lalu bagaimana, Kek? tanya Lin

    Lin, dapat menduga bahwa Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian ini tentulah ibu Bu Song yang oleh Kui Lan

    Nikouw disebut wa nita dari golongan hitam yang telah ber cerai dari ayah angkatnya. Entah

    bagaimana selanjutnya aku tidak dengar lagi. Akan tetapi perkawin an mereka

    menggemparkan. Setan cantik itu adalah anak seorang Kepala Agama Beng-kauw yang amat

    sakti, seorang berpengaruh besar sekali dan masih ada hubungan keluarga dengan raja-raja di

    Nan-cao (Yu-nan Barat). Liu Gan, se orang sakti ini, tidak setuju puterinya menikah dengan Ayah

    angkatmu, akan tetapi kerena Liu Lu Sian amat keras hati dan nekat, orang tua itupun tak dapat

    berbuat apa-apa. Akan tetapi ke dengar hubungan antara ayah dan puteri nya ini menjadi

    putus. Selanjutnya entah. *** Lin Lin tahu selanjutnya. Liu Lu Sian melahirkan seorang putera,

    yaitu yang bernama Kam Bu Song dan yang sekarang sedang ia cari, dan Liu Lu Sian telah

    bercerai dari ayah angkatnya. Di mana sekarang adanya Liu Lu Sian dan ayahnya yang

    bernama Liu Gan itu, Kek? Heh, mana aku tahu? Bukankah Liu Lu Sian itu Ibu

    angkatmu? Bukan. Dia sudah bercerai lama sekali, meninggalkan seorang putera yang

    sekarang pergi pula, entah ke mana. Kalau ada orang yang amat benci Ayah, agaknya Liu Gan

    itu, Kek. Di mana dia sekarang? Mana aku tahu? Dia orang yang amat tinggi kedudukannya.

    Kemudian ia menghilang, tidak ada kabarnya lagi. Pula, aku tidak ada hubungan dengannya, aku

    pun tidak sudi menyelidiki. Dia orang.... hemmm, orang golongan hitam, aku takut kedua

    tanganku menjadi hitam juga kalau berhubungan dengannya. Daging itu sudah matang. Kim-

    lun Seng-jin menelan air liurnya dan dengan lahap ia menyambar daging paha kelinci yang

    diangsurkan Lin Lin terus diganyang panas-panas. Wah, kau hebat! Heran aku, kenapa kalau

    aku yang memanggang tidak bisa begini sedap dan gurih? Tanganmu me mang luar biasa!

    katanya sambil me nikmati daging panas. Lin Lin tersenyum. Bukan tangannya yang membikin

    daging itu menjadi sedap dan gurih, melainkan garam dan bumbu, terutama daun harum dan

    kayu manis yang ia dapatkan di hutan itu, yang ia pergunakan sebagai bumbu. Agaknya kakek

    yang pandai ma kan ini tidak pandai masak, buta akan rahasia bumbu masak. Aku sudah masak

    seenak-enaknya untukmu, tapi apa balasanmu? Ihhh, bukankah aku setiap hari me latihmu

    dengan ilmu-ilmu itu? Segala Ilmu Khong-in (Awan Kosong), agaknya juga kosong gunanya.

  • Apa arti nya kalau dipakai menghadapi musuh besarku, Si Suling Emas? Kakek itu mencak-

    mencak, tapi masih menggerogoti daging, Kaupandang ren dah sekali, ya? Hendak kulihat,

    kalau Suling Emas mampu menangkapmu, aku berani mempertaruhkan kedua mataku! Jangan

    kau main-main, bocah nakal. Dengan Khong-in-ban-kin sudah terlatih sempurna, biar It-gan Kai-

    ong takkan mampu mengejarmu, tahu? Jadi, aku hanya akan mampu melari kan diri saja?

    Kau melatihku untuk berlari-lari menyelamatkan diri kalau ber temu orang sakti? Heh, apa

    kaukira hal itu tidak perlu? Itulah yang paling penting, menyelamatkan diri lebih dulu. Apa

    artinya pandai memukul orang kalau akhirnya kita pun kena pukul mampus? Ilmu pukulan

    Khong-in-liu-san itu, jangan kaupandang ringan. Dengan mempelajari ini, sekarang ke

    pandaianmu sudah lipat menjadi sepuluh kali daripada yang sudah-sudah, kau tahu? Tentu

    saja Lin Lin tidak percaya akan hal ini, akan tetapi diam-diam ia girang juga. Apa kaukira

    sekarang aku sudah dapat melawan Suling Emas? Kim-lun Seng-jin membelalakkan kedua

    matanya dengan alis diangkat. Enak saja bicara! Melawan segala macam penjahat masih

    boleh, tapi meng hadapi dia? Kaukira orang macam apa Suling Emas itu? Orang apa sih dia?

    Bagaimana kepandaiannya? Dia sih orang biasa saja, tapi ilmu kepandaiannya hebat. Sukar

    dipegang ekornya. Dia orang yang seperti juga aku, tidak mau berdekatan dengan ke ramaian.

    Selalu bekerja dengan diam-diam secara rahasia. Aku sendiri pun hanya mengetahuinya sebagai

    Suling Emas, orang muda yang amat lihai, tapi siapa dia sebetulnya tidak ada orang tahu. Entah

    dari mana datangnya, hanya dunia kang-ouw mengenalnya selama tujuh de lapan tahun

    ini. Kenapa kau mengira bahwa mungkin dia yang membunuh orang tua angkatku,

    Kek? Orang macam dia itu bisa berbuat apa saja. Pendeknya, tidak ada yang mengherankan

    andaikata mendengar pada suatu hari bahwa Suling Emas mem bunuh Kaisar, atau membunuh

    ketua Kun-lun-pai. Sepak terjangnya tidak da pat diikuti orang. Mungkin orang tuamu

    dibunuhnya karena ada kesalahan ter hadapnya, mungkin juga karena sikap Ayahmu terhadap

    kerajaan, atau pun karena urusan lain, siapa bisa tahu? Kek apakah dia benar-benar

    lihai? Dia hebat. Kau takut terhadap Suling Emas? Kakek itu mencak-mencak lagi, tu lang

    kelinci yang sudah tak berdaging lagi digigit pecah dan disedot sumsum nya. Takut apa? Kim-

    lun Seng-jin tidak pernah mengenal takut. Kalau begitu kau berani melawannya? Kau dan dia

    siapa lebih lihai, Kek? Apa kau bisa menangkan dia? Kakek itu duduk kembali, menarik napas.

    Jangan kaukira bisa mengadu aku dengan Suling Emas. Tentu saja kalau dia mengganggumu,

    aku akan turun tangan. Akan tetapi aku tidak bisa memastikan apakah aku akan menang.

    Betapapun juga saat ini ingin aku mencoba kepandaiannya. Girang hati Lin lin. Kalau begitu,

    mari cepat kita mencarinya di kota raja, Kek. Kau bilang dia berada di sana, bukan? Kira-kira

    begitulah. Akan tetapi orang macam dia memang sukar diikuti bayangannya. Kita lihat saja

    nanti, di kota raja kita dapat mencari keterangan tentang dia. Sebaiknya kau melatih lagi ilmu

    pukulan itu. Demikianlah, sambil melakukan perjalanan mencari Suling Emas, Lin Lin terus

    dilatih ilmu silat oleh Kim-lun Seng-jin dan tanpa disadarinya sendiri kepandaian Lin Lin

    meningkat dengan cepat. Gadis ini sama sekali tidak sadar bahwa Kim-lun Seng-jin sengaja

  • mengambil jalan memutar, melalui gunung-gunung dan hutan-hutan sehingga waktu yang

    mereka pergunakan untuk sampai di kota raja menjadi lima kali lebih panjang, perjalanan

    menjadi amat jauh dan sukar. Kakek ini sengaja berbuat demikian karena ia ingin melihat Lin Lin

    dapat melatih diri sampai matang dalam ilmu silat itu sehingga keselamatan Lin Lin dapat

    terjaga. Sering kali, di waktu mereka tidur dalam hutan, kakek itu duduk dan memandang wajah

    Lin Lin sampai berjam-jam. Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.

    Serupa benar.... serupa benar.... *** Kita tinggalkan dulu Lin Lin yang melakukan perjalanan

    bersama Kim-lun Seng-jin dan mari kita menengok keadaan Bu Sin dan Sian Eng. Kakak beradik

    ini juga cepat meninggalkan An-sui, menuju ke kota raja untuk mencari kakak mereka yang

    selamanya belum pernah mereka lihat, seorang yang bernama Kam Bu Song. Dua orang ini

    melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi sekarang jauh berkuranglah kegembiraan

    mereka di perjalanan setelah Lin Lin tidak berada di dekat mereka. Malah keduanya agak

    muram wajahnya, karena biarpun Lin Lin hanya seorang adik angkat, namun me reka amat

    mengasihinya. Terutama sekali Bu Sin selalu berkerut keningnya. Dia adalah saudara tertua dan

    dialah yang merasa bertanggung jawab atas kesela matan Lin Lin. Sekarang gadis itu pergi tanpa

    diketahuinya ke mana. Kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak baik, bukankah dia yang

    bertanggung jawab dan pula dia yang kelak disalahkan, baik oleh kakak tirinya, Kam Bu Song,

    maupun oleh bibi gurunya yaitu Kui Lan Nikouw. Akan tetapi teringat akan bunyi surat yang

    ditinggalkan Lin Lin di kamar penginapan, dan mengingat akan pesan suami isteri Hou-han itu

    yang menyatakan bahwa Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti, hatinya menjadi agak

    lega. Kota raja Kerajaan Sung tidak jauh lagi dan dengan melakukan perjalanan cepat, dalam

    waktu sepekan saja Bu Sin dan Sian Eng sudah memasuki kota raja. Ketika masih tinggal

    bersama ayahnya di Pegunungan Cin-ling-san di dusun Ting-chun sebelum ayahnya tewas,

    bekas Jen deral Kam sering kali mendongeng ke pada tiga orang anaknya tentang keadaan kota

    raja yang amat ramai dan indah. Memang dahulu, Jenderal Kam Si Ek biarpun bertugas di Shan-

    si, namun ia adalah seorang pejabat pemerintah Kera jaan Sung karena pada masa itu, Keraja

    an Hou-han belum bangkit dan wilayah Shan-si masih termasuk wilayah Sung. Oleh karena

    pernah mendengar ten tang kota raja ini, ketika memasuki kota raja, Bu Sin dan adiknya merasa

    gembira dan kagum, akan tetapi tidak terheran-heran seperti orang-orang desa yang baru

    pertama kali selama hidupnya memasuki kota raja yang besar. Mereka berdua mencari rumah

    penginapan, kemudian mulailah mereka dengan penyelidikan mereka, bertanya ke sana ke

    mari, ten tang diri seorang pemuda bernama Bu Song, she Liu. Bu Sin dan adiknya masih

    teringat akan penuturan bibi guru mereka betapa Bu Song pernah menempuh ujian di kota raja

    ini dengan menggunakan she Liu, yaitu she ibunya. Orang pertama yang mereka tanyai adalah

    seorang guru sastra yang membuka sekolah bagi calon-calon pengikut ujian seorang laki-laki

    yang sudah ber usia enam puluh tahun lebih. Memang Bu Sin selalu berhati-hati dan ia amat cer

    dik dan pandai mencari keterangan. Ti dak ada orang yang lebih tepat dimintai keterangan

    tentang seorang penempuh ujian belasan tahun yang lalu di kota raja selain seorang guru sastra

  • yang sudah tua. Akan tetapi guru sastra itu meng geleng kepalanya dan mengerutkan kening.

    Sungguh menyesal aku tidak ingat lagi akan semua nama-nama itu. Ada ratusan orang

    banyaknya she Liu, dan semenjak empat belas tahun sampai sekarang, en tah sudah ada berapa

    ribu orang pelajar yang menempuh ujian. Bu Sin dan Sian Eng kelihatan kecewa dan menyesal

    sekali. Malah Sian Eng hampir menangis kalau ia ingat betapa perjalanan mereka selain sia-sia

    belaka, juga mereka malah kehilangan Lin Lin. Mencari seorang kakak belum dapat di temukan,

    sekarang malah kehilangan seorang adik dan mendengar jawaban guru tua ini, agaknya

    memang tak mung kin mencari seorang yang berada di kota raja ini dan menjadi penempuh

    ujian pada empat belas tahun yang lalu! Pada saat mereka hampir putus asa itu, kakek guru tua

    tadi berkata meng hiburnya, Masih ada satu jalan untuk mencari orang itu. Pada empat belas

    tahun yang lalu, yang menjabat sebagai kepala ujian adalah Pangeran Suma Kong yang sekarang

    tinggal di kota An-sui. Kalian coba saja menghadap beliau dan mohon pertolongannya, karena

    kurasa pangeran itu mempunyai catatan tentang para pengikut ujian dan siapa tahu beliau akan

    dapat memberi keterangan di mana adanya Liu Bu Song itu. Wajah kakak beradik itu berubah

    dan mereka saling lirik ketika mendengar kata-kata ini. Pangeran Suma di An-sui? Itulah

    keluarga yang gedungnya mereka datangi, dan di sana pula Lin Lin lenyap. Di sana malah

    terdapat It-gan Kai-ong dan pemuda lihai yang mereka dengar disebut Suma-kongcu. Karena

    pikiran ini membuat merasa bingung dan tegang, Bu Sin segera menghaturkan terima kasih dan

    minta diri. Setelah keluar dari rumah kakek guru itu, Bu Sin menarik napas panjang. Apakah

    kita harus pergi ke rumah itu? Tempat yang amat berbahaya itu, bagaimana kalau mereka yang

    berada di sana, terutama It-gan Kai-ong, mengenal kita? Bukankah itu sama halnya dengan

    memasuki gua naga dan harimau? Sin-ko, dengan mereka kita tidak mempunyai

    permusuhan. Kalau Pangeran Suma orang satu-satunya yang dapat menolong kita, mengapa

    kita meragu? Lebih baik kita mencoba, siapa tahu pangeran tua itu mengerti di mana ada nya

    Kakak Bu Song. Kalau bukan bertanya dia, siapa lagi? Kakek guru itu saja tidak dapat menolong

    kita, apalagi orang lain? Dengan keluarga Pangeran Suma memang kita tidak ada

    permusuhan, akan tetapi kau harus ingat It-gan Kai-ong yang berada di sana. Kita pernah ribut

    dengan para pengemis. Bukankah dia sudah memaafkan kita setelah diberi uang perak oleh

    Lin Lin? Kalau memang dia berniat jahat, kiranya dia sudah turun tangan sejak dulu. Akhirnya

    Bu Sin mengambil keputusan dan berkata, Baiklah, kita ke An-sui, bertanya dan minta tolong

    kepada Pange ran Suma Kong. Apapun yang akan ter jadi, harus kita hadapi karena ini men jadi

    kewajiban kita memenuhi pesan ter akhir dari Ayah untuk mencari Kakak Bu Song. Mari, Eng-

    moi, kita kembali ke An-sui. Hanya semalam mereka di kota raja dan pada keesokan harinya,

    kembali me reka melakukan perjalanan ke An-sui dengan cepat. Begitu tiba di An-sui be berapa

    hari kemudian di waktu siang, mereka berdua langsung menuju ke ru mah gedung yang pernah

    mereka kenal di suatu malam itu, memasuki halaman rumah yang luas. Hati mereka berdebar

    tegang ketika pelayan yang mereka mintai tolong untuk melaporkan kepada Pa ngeran Suma

    bahwa mereka berdua mo hon menghadap, memasuki pintu depan yang besar. Akhirnya pintu

  • terbuka dan alangkah kaget dan tegang hati mereka. Yang muncul keluar bukanlah seorang

    pangeran tua, melainkan seorang pemuda tinggi tegap dan tampan berhidung bengkok

    bermata tajam seperti burung hantu. Ini adalah pemuda yang mereka lihat malam itu, Suma-

    kongcu atau Suma Boan! Lebih-lebih Sian Eng tergetar hatinya ketika melihat sepasang mata

    pemuda itu me mandangmya seakan-akan hendak me nelannya bulat-bulat dan mulut yang

    membayangkan kelicikan itu tersenyum-senyum. Di belakang pemuda ini keluar pula belasan

    orang laki-laki tinggi besar dan sekali lihat saja dapat menduga bah wa mereka adalah perajurit-

    perajurit pengawal karena pakaian mereka seragam. Suma-kongcu memberi isyarat dan

    belasan orang pengawal itu masuk kembali ke dalam, kemudian pemuda itu membalas

    penghormatan kedua orang tamunya de ngan menjura dan berkata. Menurut laporan

    pelayan, Nona dan saudara hendak menghadap Pangeran Suma. Kebetulan sekali Ayah sedang

    tidur siang, akan tetapi kalau ada urusan, boleh Ji-wi (Kalian) bicarakan dengan saya, karena

    semua urusan Ayah telah diwakilkan kepada saya. Apakah keperlu an Ji-wi datang menghadap

    Ayah? Karena bagi Bu Sin sama saja, baik Pangeran Suma maupun puteranya asal dapat

    memberi keterangan tentang ka kaknya, maka ia segera berkata dengan hormat. Maafkan

    kalau kami mengganggu waktu yang berharga, Suma-kongcu. Ke datangan kami mohon

    menghadap Pange ran Suma adalah dengan maksud mohon pertolongan, karena untuk urusan

    kami ini, kiranya hanya Pangeran Suma yang dapat menolong. Wajah Suma Boan berubah

    ramah, tapi pandang matanya penuh selidik dan seperti tadi, sekilas ia memandang ke arah

    pedang yang tergantung di pinggang dan punggung kedua orang muda itu. Heran sekali, kami

    tidak pernah menge nal Ji-wi, pertolongan apakah yang kami lakukan? Begini, Kongcu. Kami

    mencari seorang pengikut ujian yang berada di kota raja dan mengikuti ujian empat belas tahun

    yang lalu. Karena pada waktu itu kami mendapat keterangan bahwa Pange ran Suma yang

    menjabat kepala penguji, maka kiranya sudi memberi keterangan kepada kami apakah beliau

    mengetahui di mana adanya pelajar itu sekarang. Siapakah namanya pelajar itu? Em pat

    belas tahun yang lalu? Hemmm, agaknya dapat dilihat dalam buku catat an tentang

    pelajar. Pada waktu itu, ia memasukkan namanya sebagai Liu Bu Song.... Bu Song....?

    Suma-kongcu kelihatan kaget bukan main dan wajahnya seketika berubah merah, matanya

    terbelalak lebar. Apamukah dia itu? per tanyaannya kini tidak halus lagi. Bu Sin dan Sian Eng

    kaget melihat perubahan ini, akan tetapi karena tidak dapat menduga apa yang menyebabkan

    Suma-kongcu berubah demikian, Bu Sin menjawab sejujurnya, Dia adalah kakak

    kami.... Bagus....! Suma-kongcu melompat bangun lalu tertawa bergelak. Ha-ha-ha-ha, Bu

    Song! Kau telah mengirim dua orang adikmu, bagus! Adik laki-laki boleh menggantikan

    hukumanmu, adik perempuan hemmm.... cukup cantik membayar penghinaanmu. Ha-ha-ha!

    Suma-kongcu ber tepuk tangan dan belasan orang pengawal muncul dengan cepat sekali.

    Tangkap me reka! Bukan main kagetnya Bu Sin dan Sian Eng melihat sikap Suma-kongcu dan

    men dengar perintah ini. Tanpa menanti lebih lama lagi mereka segera meloncat mun dur

    sambil mencabut pedang. Namun gerakan Suma Boan bukan main cepat nya. Bagaikan seekor

  • burung elang me nyambar ia telah menerjang Bu Sin dan Sian Eng, kedua tangannya bergerak

    me lakukan serangan. Bu Sin dan Sian Eng belum sempat menarik pedang, terpaksa mereka

    menangkis karena serangan ini cepat dan berbahaya sekali. Kedua ta ngan Suma Boan bertemu

    dengan tang kisan tangan Bu Sin dan Sian Eng. Aki batnya, Bu Sin terhuyung mundur dan Sian

    Eng terguling! Kaget sekali kakak beradik ini. Sian Eng cepat hendak me loncat bangun, namun

    sebuah totokan dengan dua jari tangan Suma Boan telah mengenai jalan darahnya dengan

    cepat, membuat ia tidak mampu berkutik lagi! Sambil tertawa-tawa Suma Boan me nyambar

    tubuh Sian Eng dan memondong nya. Lepaskan adikku! Bu Sin membentak, pedangnya yang

    sekarang sudah ia cabut menyambar ke arah Suma Boan. Per mainan pedang Bu Sin bukanlah

    lemah. Pedang itu meluncur cepat dan Suma Boan terpaksa menghindarkan diri sambil

    melompat ke samping. Akan tetapi pe dang Bu Sin mengejar terus. Pada saat itu, para

    pengawal sudah mengepung Bu Sin sehingga pemuda ini tidak mampu lagi menolong adiknya.

    Terpaksa dengan kemarahan meluap-luap ia memutar pedangnya melayani belasan orang

    pengawal itu. Menghadapi para pengawal ini, biarpun dikeroyok, baru tampak kelihaian ilmu

    pedang Bu Sin. Sebentar saja tiga orang pengawal roboh terluka. Pengawal-pengawal lainnya

    men jadi gentar juga. Tak mereka sangka ilmu pedang pemuda ini demikian hebat. Kini mereka

    tidak berani mendekat rapat. Melihat ini, Suma Boan menjadi habis sabar. Ia merebahkan

    tubuh Sian Eng ke atas dipan di sudut ruangan, kemudian ia melompat ke medan pertandingan

    sambil membentak. Mundur kalian, orang-orang tiada guna dan lihat bagaimana aku

    menangkap cacing ini! Para pengawal menjadi lega hati mereka. Cepat mereka mundur sambil

    menolong tiga orang kawan mereka yang terluka. Adapun Bu Sin ketika melihat Suma Boan,

    segera membentak nyaring dan menerjang maju. Ia bermaksud me robohkan kongcu itu untuk

    dapat me nolong adiknya yang ia lihat masih rebah di atas dipan, tak dapat bergerak. Orang

    jahat she Suma! Apa kesalah an kami maka kau melakukan penangkap an? Ha-ha-ha, Bu

    Song, kakakmu itu mu suh besarku. Menyerahlah! Sebelum mati takkan menyerah. Li hat

    pedang. Suma Boan tetap tertawa sambil me ngelak dari sambaran pedang. Di lain saat kedua

    tangannya sudah bergerak menyodok dan menotok sebagai penye rangan balasan. Putera

    pangeran ini menghadapi Bu Sin dengan tangan kosong saja. Memang dia seorang ciang-hoat

    (silat tangan kosong) yang amat lihat, mewarisi ilmu silat tinggi dari It-gan Kai-ong, Bu Sin

    bukanlah lawannya, ka rena dibandingkan dengan putera pange ran ini, ilmu kepandaian Bu Sin

    masih amat rendah, kalau beberapa tingkat! Tidaklah mengherankan apabila dalam beberapa

    belas jurus saja, pergelangan tangan kanan Bu Sin kena disabet dengan tangan miring sehingga

    pedangnya ter pental jauh, kemudian sebelum Bu Sin sempat menyelamatkan diri, ia telah

    tertotok roboh dan segera ditubruk dan diringkus oleh para pengawal. Beberapa orang

    pengawal yang marah karena pe muda ini sudah melukai tiga orang ka wan mereka,

    menghujankan pukulan-pukul an. Bu Sin tentu akan tewas kalau saja Suma Boan tidak

    menghardik orang-orang nya. Jangan sentuh dia! Aku sendiri yang akan menghukumnya.

    Hemm, orang-orang tiada guna, kalau kalian memukuli sampai mati, nyawa kalian gantinya!

  • Akan tetapi Bu Sin tidak mati, hanya pingsan saja. Suma Boan menengok ke arah dipan dan

    alangkah kagetnya ketika melihat dipan itu kosong. Sian Eng si cantik manis yang tadi telah

    tertotok dan tak mampu bergerak, rebah di atas dipan, kini tidak tampak lagi, lenyap dari

    tempat itu tanpa bekas! Keparat, di mana dia....? Suma Boan dengan sekali lompat sudah

    tiba di dekat dipan dan sepasang matanya melotot, mukanya pucat ketika ia melihat sebuah

    benda tertancap di atas dipan sebagai ganti gadis cantik itu. Benda ini adalah sebuah bendera

    kecil, gagangnya dari kayu hitam menancap pada dipan, benderanya berbentuk segi tiga

    berdasar hitam dengan gambar Hek-giam-lo si malaikat maut yang memegang sabit, tersulam

    dengan benang warna kuning emas! Hek-giam-lo....! bibir Suma Boan berbisik, lalu ia

    menggertak gigi, lagi-lagi Hek-giam-lo mengganggu, keparat....! Akan tetapi ia maklum bahwa

    tak mung kin ia dapat mengejar setan itu yang telah menculik tawanannya. Kemarahan nya ia

    tumpahkan kepada Bu Sin. Seret ia ke dalam kebun belakang! Para pengawal menyeret

    tubuh Bu Sin yang sudah siuman dari pingsannya tapi tidak berdaya lagi itu ke belakang. Atas

    perintah Suma Boan, mereka mendirikan dua batang balok yang dipasang menyi lang,

    kemudian mengikat tubuh Bu Sin di atas balok bersilang itu. Bu Sin sudah siuman, maklum

    akan bahaya maut yang mengancam nyawanya. Namun ia seorang pemuda gagah perkasa,

    sedikit pun tidak takut. Dengan pandang mata tajam ia menatap Suma Boan yang berdiri di

    depannya dan di kanan kiri berdiri para pengawal. Orang she Suma! Kata Bu Sin de ngan

    juara ketus dan nyaring. Antara kau dan aku tidak ada permusuhan, akan tetapi kaukatakan

    bahwa kakakku Bu Song adalah musuh besarmu. Baik, aku sebagai adiknya siap menerima

    hukuman apa saja. Sayang kepandaianku terlalu rendah, kalau tidak tentu aku akan me wakili

    kakakku itu memberi hajaran kepadamu, manusia rendah. Ha-ha, kematian sudah di depan

    mata dan masih berlagak! dengus Suma Boan dan sekali ia meroboh saku, ia telah

    mengeluarkan enam batang anak panah. Sebentar lagi kau mampus. Siapa takut mati?

    Seorang gagah se kali-kali tidak berkedip menghadapi ke matian, asal saja ia mati dalam

    kebenar an! Akan tetapi, ceritakan mengapa ka kakku memusuhi orang macam kau, agar aku

    tahu untuk apa aku mati. Bu Song seorang jahanam besar. Ia telah ditolong oleh Ayah,

    ujiannya diberi angka baik agar ia lulus, kemudian ka rena tertarik oleh kepintarannya Ayah

    telah memberinya kedudukan baik sebagai pembantu pribadi. Siapa kira, kakakmu manusia

    rendah itu tidak tahu akan ke dudukannya sebagai hamba, berani main gila dengan adik

    perempuanku. Dia sudah kuikat seperti kau sekarang ini, meng alami cambukan seratus kali,

    tapi agak nya tubuhnya yang sudah hampir menjadi bangkai itu dibawa setan, atau mungkin

    juga dimakan setan sampai habis. Ha-ha-ha, dan sekarang kau adiknya datang untuk

    melanjutkan hukumannya. Tidak puas hatiku ketika itu, sekarang barulah aku puas. Penghinaan

    atas diri adikku akan kubalas himpas hemmm.... kalau saja perempuan itu tidak lenyap.... Di

    mana adikku, Sian Eng? Suma-kongcu, kita sama-sama lelaki, kau mau membalas, silakan, aku

    akan menerima dengan mata melek. Akan tetapi, kau bebaskan adikku. Dia wanita, tidak ber

    tanggung jawab akan perbuatan kakakku. Ha-ha-ha, adikmu akan kurusak, kemudian

  • kuserahkan kepada para pengawal, penghinaan ini harus dibayar sampai ha bis, berikut

    bunganya. Pucat wajah Bu Sin, akan tetapi ia tidak mau membuka mulut. Ia tahu bah wa

    percuma saja membujuk orang macam ini, malah akan mendapat penghinaan yang

    menyakitkan hati. Apapun yang akan dialami oleh Sian Eng, paling hebat tentu kematian dan ia

    percaya bahwa Sian Eng tentu akan mempergunakan setiap kesempatan untuk meloloskan diri

    atau untuk membunuh diri dari pada dijamah tangan-tangan kotor itu. Pengecut, siapa takut

    ancamanmu? Mau bunuh lekas buhuh! bentaknya. Tangan kiri Suma Boan bergerak dan

    meluncurlah sebatang anak panah, me nancap ke paha kiri Bu Sin. Terasa nyeri dan perih,

    namun Bu Sin tetap meman dang dengan mata marah, berkedip pun tidak pemuda perkasa

    ini. Kalian lihat, semua anak panah ini akan mengenai sasaran tanpa membunuh korbannya.

    Dan hati-hati, dia harus di biarkan tersiksa sampai mati kehabisan darah, semua harus bergiliran

    menjaga malam ini. Aku tidak mau kehilangan dia seperti belasan tahun yang lalu. Besok pagi

    akan kulihat bangkainya tetap ter gantung di sini. Baik, Kongcu, hamba sekalian akan

    menjaganya, harap Kongcu jangan khawatir. Serempak para pengawal men jawab sambil

    memberi hormat. Dengan senyum keji dan mata berapi, Suma Boan lalu berturut-turut

    melepas kan anak panah dengan kedua tangannya. Cepat anak-anak panah itu meluncur dan

    dengan tepat menancap di paha kanan, kedua lengan dan di kedua pundak. Dapat dibayangkan

    betapa hebat penderitaan Bu Sin. Rasa nyeri pada kaki tangan den pundaknya masih dapat ia

    pertahankan dengan menggigit bibir, sedikit pun ke luhan tidak ada yang keluar dari mulut nya.

    Namun penghinaan ini benar-benar amat menyakitkan hatinya, hampir ia tidak kuat menahan

    hati untuk memaki-maki dan berteriak-teriak. Kalau ia terus dibunuh, itu masih tidak mengapa.

    Akan tetapi dijadikan sasaran anak panah lalu dibiarkan terpanggang di situ menjadi tontonan,

    benar-benar menyakitkan hati sekali. Suma Boan tertawa-tawa mengejek, lalu meludahi muka

    Bu Sin sebelum per gi meninggalkan tempat itu. Bu Sin ha nya membuang muka ke samping,

    akan tetapi tak dapat mencegah pipi kirinya terkena sambaran ludah. Ia merasa pipi itu panas

    dan sakit sehingga diam-diam ia harus mengakui kehebatan putera pa ngeran ini yang memiliki

    lwee-kang amat kuatnya. Namun sakit di hatinya lebih hebat. Jaga baik-baik, awas, jangan

    sampai ada yang mencuri calon mayat ini, pe san Suma Boan kepada anak buahnya. Mereka

    memberi hormat lagi dengan sikap menjilat-jilat, menyatakan kesang gupan mereka. Setelah

    kongcu itu pergi, para penga wal yang dua belas orang banyaknya itu duduk mengelilingi balok

    bersilang di mana tubuh Bu Sin tergantung. Mereka bercakap-cakap dan merasa yakin bahwa

    penjagaan mereka amat kuat. Pedang dan golok mereka terletak di atas tanah, dekat tangan,

    siap untuk dipergunakan sewaktu-waktu. Bu Sin merasa seluruh tubuhnya sakit-sakit. Bagian

    yang tertusuk anak panah terasa panas dan kejang. Akan tetapi ia segera melupakan rasa nyeri

    ini, malah ia tidak mendengarkan percakapan para penjaga. Pikirannya sibuk memikirkan

    kakaknya. Tahulah ia sekarang mengapa kakaknya lenyap dari kota raja tak dapat ditemukan

    ayahnya. Kiranya kakaknya itu tadinya diangkat oleh Pangeran Suma menjadi pembantunya,

    kemudian kakaknya agaknya bermain cinta dengan puteri pangeran, ketahuan dan ditangkap

  • lalu disiksa seperti yang ia alami sekarang. Akan tetapi kakaknya lenyap pada malam hari. Ke

    mana? Benarkah sudah mati? Ah, masa dimakan setan? Ditolong setan juga tak mungkin.

    Siapakah yang mau menolong kakaknya? Seperti juga dia sendiri sekarang ini, siapa yang mau

    menolongnya? Tiba-tiba matanya terbelalak kaget. Ia berusaha mengikuti sinar berkelebatan

    dengan matanya, namun tetap saja mata nya silau dan tak dapat melihat apa yang

    berkelebatan itu. Tahu-tahu para penjaga yang tadinya duduk bercakap-cakap sudah rebah

    malang-melintang, tak bergerak lagi, entah mati entah masih hidup. Dan tahu-tahu, seperti

    main sulap saja, bayangan berkelebat di dekatnya dan dalam sedetik ikatan kaki tangannya

    terlepas, kemudian anak-anak panah yang enam buah banyaknya itu tercabut. Da rah

    bercucuran keluar dan Bu Sin tidak ingat lagi. Ia pingsan dan tidak tahu apa yang telah terjadi

    atas dirinya. Ketika Bu Sin sadar kembali, ia men dapatkan dirinya sudah berada di sebuah

    hutan, dibaringkan di bawah sebatang pohon besar. Di dekatnya ada sebuah api unggun yang

    masih bernyala, akan tetapi tidak seorang pun manusia di situ. Bu Sin cepat bangkit duduk,

    memeriksa luka-lukanya. Kiranya enam buah luka di tubuhnya sudah diobati orang dan dibalut

    dengan kain putih dan bersih, rasanya nyaman tidak nyeri lagi. Cepat ia me lompat berdiri,

    dilihatnya pedangnya terletak di dekat api, segera dipungutnya. Ketika memungut pedang inilah

    pandang matanya bertemu dengan tanah yang di coret-coret merupakan huruf-huruf. ADIKMU

    DIBAWA HEK-GIAM-LO, AKU BERUSAHA MENGEJARNYA. Bu Sin terduduk kembali. Agaknya

    orang yang menolongnya ini sejak tadi menjaganya di situ dan melihat ia sium an, baru orang

    itu pergi sambil meninggalkan tulisan di dekat api dan pedang. Siapa gerangan orang itu?

    Kepandaiannya hebat, tidak seperti manusia. Setankah dia? Tiba-tiba ia teringat akan

    penuturan Suma-kongcu. Apakah setan ini pula yang belasan tahun yang lalu telah menolong

    kakaknya, Bu Song? Ia merasa menyesal sekali, mengapa penolongnya itu melaku kan ini secara

    bersembunyi sehingga ia sama sekali tidak dapat menduga-duga siapa gerangan penolongnya.

    Lebih kha watir lagi hatinya ketika mendapat ke nyataan bahwa Sian Eng dibawa lari Hek-giam-

    lo. Ia tidak tahu siapa itu Hek-giam-lo. Tiba-tiba ia teringat. Pernah ia mendengar nama ini

    disebut orang. Ia mengingat-ingat, lalu terbayang dalam benaknya pengalamannya bersama Lin

    Lin dan Sian Eng ketika mereka bertiga ber sembunyi di dalam hutan, di atas pohon besar

    kemudian mereka terancam oleh It-gan Kai-ong. Betapa kemudian ter dengar suara melengking

    tinggi yang membuat It-gan Kai-ong agaknya lari ketakutan, kemudian orang yang menge-

    luarkan lengking tinggi tampak punggung nya dan menyebut-nyebut nama Hek-giam-lo, Siang-

    mou Sin-ni, dan Bu Kek Siansu. Dan sekarang Hek-giam-lo yang disebut-sebut itu telah

    membawa lari Sian Eng! Siapa dan apa itu Hek-giam-lo ia tidak tahu, akan tetapi melihat

    namanya, Hek-giam-lo berarti Iblis Maut Hitam! Bu Sin termenung, bingung karena tidak tahu

    harus berbuat apa. Lin Lin dibawa lari seorang sakti yang bernama Kim-lun Seng-jin, sekarang

    Sian Eng dibawa lari Hek-giam-lo. Kedua orang adiknya tidak ia ketahui bagaimana nasibnya dan

    berada di mana sekarang. Men cari kakaknya belum juga bertemu, ha nya mendengar nasibnya

    yang buruk, di siksa hampir mati dan lenyap. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Dengan

  • pikiran bingung dan gelisah sekali Bu Sin terpaksa meninggalkan tempat itu, menyusup-nyusup

    hutan kare na ia maklum bahwa ia tentu dikejar oleh Suma-kongcu dan sekali lagi terjatuh di

    tangannya berarti akan hilang nyawanya. *** Ke mana lenyapnya Sian Eng yang tadinya

    berada dalam keadaan tertotok jalan darahnya, tak dapat bergerak terbaring di atas dipan?

    Gadis ini biarpun sudah tak dapat bergerak karena jalan darah thian-hu-hiat tertotok

    membuatnya lemas kehilangan tenaga, namun ingatan nya masih berjalan baik dan panca in

    deranya tidak terpengaruh. Ia berusaha sedapat mungkin untuk mengumpulkan tenaga lwee-

    kang untuk membebaskan diri daripada totokan, namun usahanya belum juga berhasil. Hatinya

    gelisah bukan main melihat kakaknya dikeroyok itu. Tiba-tiba sesosok bayangan nitam

    berkelebat dan tahu-tahu ia merasa diri nya diterbangkan dari tempat itu. Demi kian cepatnya

    gerakan yang menolongnya sehingga ia tidak dapat melihat orang ataukah setan penolongnya

    itu. Ia dipondong dan karena masih dalam ke adaan tertotok, ia tidak dapat meng gerakkan

    kepala untuk memandang pe mondongnya. Pakaian orang ini dari sutera hitam dan ia

    mengingat-ingat. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Orang yang dahulu melengking tinggi

    mengejar It-gan Kai-ong, yang hanya terlihat punggungnya, juga berpakaian hitam. Orang yang

    membawa suling dan yang mereka duga adalah Suling Emas, dan juga pem bunuh orang tua

    mereka! Celaka, pikirnya, kalau pembunuh orang tuanya, mu suh besar ini yang sekarang

    menculiknya pergi, tentu tidak bermaksud baik. Ia tidak tahu dibawa ke jurusan mana, ce pat

    sekali larinya seperti terbang saja. Menjelang senja mereka tiba di lereng gunung. Sian Eng

    sekarang sudah mampu meng gerakkan kepala karena urat lehernya sudah mulai terbebas

    daripada totokan, jalan darahnya sudah mulai mengalir kembali. Akan tetapi biarpun ia

    menengok dan memutar leher, tetap saja ia tidak dapat memandang muka pemondongnya

    yang berjubah hitam, karena kepalanya berada di punggung orang itu. Ketika ia memandang ke

    sekitarnya mdalui kedua pundak pemondongnya, ia terkejut dan merasa ngeri. Kiranya mereka

    telah ber ada di sebuah tempat kuburan kuno yang amat luas. Agaknya kuburan orang besar,

    karena selain luas, juga amat indah. Bongpai (batu nisan) besar-besar dan megah berdiri di

    sana, di dalam ling kungan pagar tembok dan di sana sini berdiri patung-patung yang terukir

    indah. Jalan menuju ke batu nisan itu menanjak. Agaknya penolongnya hendak membawa nya

    ke batu nisan itu. Akan tetapi ternyata tidak. Ia dibawa memasuki sebuah terowongan melalui

    sebuah pintu rahasia di balik batu nisan. Terowongan yang gelap sekali. Tak lama kemudian

    sampai lah mereka di sebuah ruangan bawah tanah yang cukup luas dan tidak gelap, agaknya

    sinar matahari dapat masuk ke ruangan ini. Sian Eng dilempar ke atas sebuah bangku panjang,

    akan tetapi ia tidak terbanting, melainkan jatuh terduduk. Ini kembali membuktikan bahwa

    penolong atau penculiknya itu adalah se orang yang amat tinggi kepandaiannya. Sian Eng yang

    sudah dapat bergerak lagi cepat menoleh dan.... gadis itu hampir saja menjerit kalau tidak

    lekas-lekas menutupi mulut dengan kedua tangannya. Ia hanya duduk dengan mata terbelalak

    lebar memandang ke depan, kepada orang yang memondongnya tadi. Sehelai demi sehelai bulu

    di tubuhnya berdiri, dan gadis ini hampir pingsan karena kaget, takut, dan ngeri. Ternyata yang

  • memondongnya tadi bukanlah manusia! Tengkorak hidup! Jubah hitam itu menutup sampai

    kepalanya, yang tampak hanya muka tengkorak dengan kedua lubang mata yang lebar, lubang

    hidung yang kecil dan bekas mulut yang amat lebar, masih bergigi. Mengerikan! Di tempat

    seperti itu, yakni di bawah tanah, bawah kuburan bertemu dengan mahluk seperti ini, benar-

    berar membutuhkan syaraf membaja untuk tidak menjerit-jerit ketakutan. Kemudian mahluk

    itu yang berdiri tak bergerak seperti patung, mengeluarkan suaranya yang terdengar bergema

    namun seperti dari jauh datangnya, suara yang tidak pantas menjadi suara manusia hi dup,

    Nona datang dari Ting-chun, di kaki Gunung Cin-ling-san puteri Jenderal Kam Si Ek? Karena

    masih dicekam kengerian, Sian Eng belum mampu mengeluarkan suara, hanya mengangguk dan

    sepasang matanya yang bening itu terbelalak lebar, beberapa kali menelan ludah untuk

    membasahi ke rongkongannya yang mendadak menjadi kering sekali. Mendadak terjadi hal

    yang aneh dalam pandangan Sian Eng. Mahluk itu, yang kini ia dapat menduga tentulah seorang

    manusia yang memakai to peng tengkorak, tiba-tiba menjatuhkan dirinya berlutut di depan

    bangku itu, di mana Sian Eng sudah bangkit berdiri! Aduhai Sang Puteri.... bertahun-tahun

    hambamu seluruh rakyat menanti kehadiran Paduka Puteri, bertahun-tahun hamba yang hina

    mencari dengan susah payah. Akhirnya hamba mendapatkan jejak Jenderal Kam di Ting-chun,

    akan tetapi Paduka sudah pergi.... ah, siapa duga hamba dapat bertemu dengan Pa duka di sini.

    Rakyat telah menanti untuk menjemput Paduka sebagai ratu.... Sampai di sini, si kedok

    tengkorak itu lalu menangis sesenggukan. Dapat dibayangkan betapa Sian Eng melongo

    keheranan, bulu tengkuknya berdiri kaku karena ia menganggap bah wa kedok iblis ini tentulah

    seorang yang miring otaknya! Akan tetapi suara tangis an kedok iblis itu demikian mengharukan

    hati sehingga dalam takutnya Sian Eng ikut terharu dan tak dapat menahan lagi membanjirnya

    air matanya. Ia ikut pula menangis! Kedok iblis itu segera membentur-benturkan jidat

    tengkoraknya ke atas lantai sambil berkata, Wahai, Paduka Puteri junjungan hamba...., betapa

    bahagianya hati hamba, betapa bahagianya rakyat kita, setelah bertahun-tahun di kuasai raja

    yang tak berhak. Kini Paduka telah muncul, bagaikan Sang Matahari muncul untuk mengusir

    awan hitam yang gelap. Jangan Paduka khawatir, ada ham ba Hek-giam-lo yang akan

    membantu Paduka merampas kembali mahkota dan singgasana yang memang menjadi hak

    Paduka.... Tentu saja Sian Eng makin tidak me ngerti dan menganggap orang yang mi ring

    otaknya ini sedang kambuh gilanya maka bicaranya makin tidak karuan. Pada saat itu terdengar

    suara mirip ta ngisan yang melengking tinggi menembus sampai ke ruangan di bawah tanah itu.

    Lapat-lapat terdengar suara memanggil nama Hek-giam-lo disusul maki-makian. Hek-giam-lo

    mengangguk-anggukkan kepala tengkoraknya di depan kaki Sian Eng, lalu berkata halus,

    Mohon perkenan Paduka untuk menghalau pengacau yang berada di luar istana. Mau tak

    mau Sian Eng menggigil. Tempat kuburan mengerikan seperti ini dianggap istana dan ia hendak

    dijadikan ratunya. Celaka! Akan tetapi untuk mem bantah, ia tidak berani karena maklum

    bahwa orang gila yang menyeramkan ini memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Ia

    hanya mengangguk dan agar orang gila itu tidak kecewa dan marah ia berkata lirih,

  • Pergilah.... Tampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu Hek-giam-lo telah lenyap dari

    depannya. Sian Eng menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan. Mimpikah ia?

    Ataukah semua itu tadi peristiwa yang benar terjadi? Kalau be gitu, agaknya bukan manusia si

    kedok tadi, jangan-jangan memang benar teng korak hidup. Kalau manusia, masa pandai

    menghilang seperti itu? Di sebelah atas, depan bongpai (batu nisan) yag besar dan megah itu,

    berdiri seorang wanita yang rambutnya panjang riap-riapan sampai ke kaki. Seorang wa nita

    cantik sekali, rambutnya hitam halus dan mengeluarkan keharuman yang me wakili taman

    bunga, baju luarnya putih bersih dari sutera halus. Seorang wanita cantik namun menyeramkan.

    Sukar me ngira-ngira usianya. Melihat wajah halus mata jeli bibir merah itu orang akan mengira

    ia masih amat muda, akan te tapi sikap, gerak-gerik dan pandang ma tanya membayangkan

    kematangan lahir batin di samping watak yang mendirikan bulu roma. Siang-mou Sin-ni (Wanita

    Sakti Rambut Harum)! Telah kita kenal wataknya yang aneh dan kekejamannya yang melewati

    batas pada permulaan cerita ini. Ia sekarang berdiri di depan batu nisan besar sambil memaki-

    maki dengan suara nyaring, diseling lengking tinggi seperti orang menangis. Hek-giam-lo,

    tengkorak busuk bau bangkai! Keluarlah jangan sembunyi seperti cacing tanah! Kalau kau tidak

    lekas ke luar, lihat saja kau! Batu nisan yang bagus-bagus ini kubikin remuk. Hendak kulihat

    apakah kau masih tidak akan muncul! Tentu saja ucapan ini membikin marah Hek-giam-lo

    yang tepat muncul dari sebuah lubang di depan batu nisan se telah membuka penutup lubang

    itu dari bawah. Orang biasa tentu akan kaget setengah mati dan lari terkencing-kencing

    ketakutan kalau melihat mahluk seperti Hek-giam-lo tiba-tiba muncul dari lubang di depan batu

    nisan itu. Akan tetapi Siang-mou Sin-ni bukanlah orang biasa. Ia segera menyambut munculnya

    Hek-giam-lo dengan makian sambil menudingkan telunjuk kirinya yang runcing dan tangan

    kanan bertolak pinggang. Hek-giam-lo tengkorak busuk! Hayo lekas kauserahkan padaku surat

    yang kaucuri dari gerombolan It-gan Kai-ong si jembel tua bangka! Hek-giam-lo tidak

    menjawab akan tetapi segera melompat keluar dan meng hadapi Siang-mou Sin-ni dengan

    marah. Sin-ni, antara kita sudah terdapat saling pengertian, karena jalan hidup kita tidak

    bersimpangan. Kau tahu bahwa aku harus membela negaraku, surat itu amat penting bagi

    negaraku. Kerajaan Sung selalu memusuhi Khitan, dan sekarang, setelah aku menemukan

    kembali Puteri Mahkota calon ratu, surat itu terlebih penting. Dengan memperlihatkannya

    kepada Kerajaan Sung, tentu mempererat hubungan antara Khitan dan Sung. Mau apa kau

    pinta surat itu? Tengkorak busuk! Kaukira hanya kau seorang yang mau mengambil peran se

    bagai patriot pembela bangsa dan negara? Cih, bangsa Khitan, perantau tak tentu tanah airnya,

    berlagak patriot segala! Surat itu adalah surat persekutuan antara Nan-cao dan Hou-han. Apa

    sangkut-paut nya dengan Khitan? Dan kau harus tahu bahwa aku adalah pembela Hou-han.

    Surat itu harus kudapatkan kembali dan kuserahkan kembali kepada yang berhak yaitu Kerajaan

    Hou-han atau Nan-cao yang wajib menerimanya. Biarpun untuk itu aku harus mengadu ilmu

    dengan patriot-patriot Khitan, aku tidak akan un dur setapak pun! Hemmm, kau perempuan

    mau main politik segala? Siang-mou Sin-ni, namamu cukup terkenal sebagai seorang di antara

  • Thian-te Liok-koai. Lebih baik kaupertahankan nama itu dan ja ngan mencampuri urusan

    negara. Urusan ini adalah bagian laki-laki. Cerewet! Kau ini selamanya pakai kedok

    tengkorak, siapa tahu kau perem puan atau laki-laki? Hayo kembalikan! Siang-mou Sin-ni

    menggertak dan rambut-rambut hitam panjang di kepalanya itu sudah bergoyang-goyang.

    Rambutnya me rupakan senjatanya yang paling ampuh dan memang rambutnya itulah yang

    amat ditakuti di dunia kang-ouw. Bagi wanita biasa, agaknya rambut yang hitam pan jang halus

    dan harum itu akan menjadi kebanggaan dan akan disukai banyak orang, terutama kaum pria.

    Akan tetapi rambut Siang-mou Sin-ni yang harum ini merupakan cengkeraman-cengkeraman

    maut yang entah sudah menewaskan nya wa beberapa banyak orang! Sin-ni, kau tahu aturan

    antara kita. Surat ini kudapatken dengan jalan meng gunakan kepandaian, tentu saja tidak

    mungkin kuberikan kepadamu begini saja. Sambil berkata demikian, Hek-giam-lo sudah

    mengeluarkan sabitnya, juga tangan kirinya mengeluarkan sehelai surat yang ia rampas dari

    tangan Suma Boan tanpa diketahui orangnya. Melihat surat itu di tangan Hek-giam-lo, Siang-

    mou Sin-ni mengeluarkan lengking tangis yang menggetarkan kalbu, rambutnya seakan-akan

    hidup menyambar untuk merampas surat sedangkan sebagian rambutnya yang lain lagi

    menyambar ke arah jalan darah di dada, leher, pangkal lengan dan pergelangan yang

    maksudnya selain merobohkan lawan juga merampas sabit! Uhhh! Hek-giam-lo membentak,

    surat itu sudah lenyap di saku bajunya lagi dan sabitnya hilang, berubah menjadi sinar putih

    yang menyilaukan mata, tubuhnya menjadi bayangan hitam yang bergulung-gulung dengan

    sinar sabitnya. Pada detik-detik berikutnya, Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni sudah saling

    terjang dengan ganas sehingga terjadilah perkelahian yang luar biasa. Kalau kebetulan ada

    orang melihat pertempuran ini, tentu mengira bahwa iblis-iblis kuburanlah yang sedang

    bertanding ini. Kadang-kadang mereka bertanding di atas lantai depan batu bisa, kadang-

    kadang dengan gerakan ringan dan cepat keduanya berlompatan dan berkejaran di atas

    bongpai (batu nisan), melayang di antara pohon-pohon untuk kembali ke lantai lagi,

    melanjutkan pertandingan yang amat hebatnya. Namun keduanya sama kuat. Perta hanan

    masing-masing terlampau kokoh dan rapat sehingga sukar bagi mereka untuk mencari lubang

    dan memasuki serangan mematikan. Hi-hik, tengkorak busuk. Mana pela jaranmu dari Bu Kek

    Siansu? Untuk apa kaurampas setengah kitabnya? Hayo ke luarkan, kulihat jurus-jurusmu

    adalah yang dulu juga, sudah lapuk dan kuno! ejek Siang-mou Sin-ni. Hek-giam-lo mendengus

    dan memutar sabitnya. Kau merampas alat tetabuhan khim untuk apa pula? Tidak perlu cere

    wet, rampaslah suratmu kakau kau me mang becus! Keparat, hari ini Hek-giam-lo mam pus di

    tanganku! Siang-mou Sin-ni mem perhebat gerakannya dan kini mereka bertanding lebih seru

    lagi, berusaha mencari kemenangan dengan mengeluarkan jurus-jurus mematikan. Sementara

    itu, Sian Eng ketika melihat dirinya ditinggalkan sendiri oleh Hek-giam-lo, segera timbul

    keberaniannya. Kesempatan baik sekali untuk melarikan diri. Cepat ia melompat turun dari atas

    bangku panjang, menyambar pedangnya yang tadi dibawa pula agaknya oleh Hek-giam-lo, dan

    berjalanlah ia melalui lorong di bawah tanah yang gelap. Seberapa kali ia salah jalan. Kiranya

  • lorong itu mempunyai banyak jalan simpangan yang menyesatkan. Setelah meraba sana,

    merayap ke sini, akhirnya Sian Eng berhasil melihat sinar matahari melalui sebuah lubang.

    Pengharapannya menebal dan cepat ia merayap ke arah sinar itu yang ternyata masuk dari

    sebuah lubang yang cukup besar. Ia mengerahkan gin-kang dan melompat keluar dari

    lubang. Sejenak kedua matanya silau dan ter paksa ia berdiri sambil memejamkan mata. Baru

    saja keluar dari tempat gelap ke tempat terang memang amat menyi laukan mata, hampir ia tak

    dapat percaya apa yang dilihatnya. Ternyata ia telah berada di depan batu-batu nisan besar dan

    di situ berkelebatan dua orang yang sedang bertanding dengan hebat dan aneh. Yang seorang

    adalah Hek-giam-lo, yang mempergunakan sebuah sabit yang mengerikan. Orang ke dua adalah

    seorang wanita cantik sekali, akan tetapi cara bertempur wanita itu aneh karena wanita itu

    selalu menggunakan rambutnya yang panjang dan gemuk hitam sebagai senjata! Sian Eng tidak

    tahu apa yang harus dilakukannya menghadapi pertandingan itu. Hek-giam-lo dianggapnya

    seorang miring otak yang menganggap dia sebagai seorang Puteri calon ratu, akan tetapi ia

    masih tidak tahu apakah iblis hitam itu mengandung niat baik ataukah buruk terhadap dirinya.

    Adapun wanita cantik yang bertempur melawan Hek-giam-lo itupun ia tidak kenal, tidak tahu

    pula mengapa bertempur melawan Hek-giam-lo. Oleh karena ini, Sian Eng tidak mem pedulikan

    pertempuran itu dan mendapat kan kesempatan baik ini ia segera me larikan diri. Akan tetapi

    Sian Eng benar-benar keliru kalau dia mengira bahwa dua orang itu tidak melihatnya dan tidak

    tahu bah wa ia melarikan diri. Dua orang itu ada lah orang-orang sakti yang tentu saja melihat

    dia keluar dari lubang tadi. Be lum jauh Sian Eng melarikan diri, Hek-giam-lo mendengus. Sin-

    ni, lain waktu kita lanjutkan. Aku harus mengejar dia. Hik-hik, tinggalkan dulu surat itu, baru

    aku memberi ampun padamu! Sabit di tangan Hek-giam-lo menyambar sepenuh tenaga,

    namun dengan mudah Siang-mou Sin-ni mengelak dan mem balas dengan sambaran

    rambutnya. Keparat kau! Aku perlu sekali dengan gadis itu! kembali Hek-giam-lo berkata,

    minta pertandingan dihentikan. Aku pun perlu sekali dengan surat itu. Sebelum kauserahkan

    kepadaku, jangan harap kau bisa mendapatkan gadis itu. Hi-hik. Kewalahan Hek-giam-lo

    menghadapi lawannya yang selain pandai bertempur, juga amat pandai berdebat ini. Nah,

    kaumakanlah suratmu! Hek-giam-lo sudah mengeluarkan surat itu dan melemparkannya ke

    arah Siang-mou Sin-ni, kemudian melompat jauh untuk mengejar Sian Eng. Adapun Siang-mou

    Sin-ni melihat menyambarnya benda putih, segera ditangkapnya dan ia terkekeh girang melihat

    bahwa benda itu memang benar merupakan surat persekutuan antara Pemerintah Nan-cao dan

    Pemerintah Hou-han. Sambil tersenyum manis ia memasukkan surat itu ke dalam saku

    jubahnya, kemudian bersenandung lirih dan membalikkan tubuh hendak pergi dari tempat itu.

    Akan tetapi ketika ia membalikkan tubuh, matanya memandang ke arah sebuah di antara

    jajaran patung yang kebetulan berada di depannya. Sebuah patung sebesar patung seorang

    sastrawan kuno. Wajah patung itu amat halus buatannya, seperti manusia hidup saja. Ih,

    tampan juga kau! Siang-mou Sin-ni tersenyum. Sayang kau hanya batu, tidak punya darah dan

    daging. Ih, matamu terlalu tajam, lebih baik lehermu kupatahkan sebelum aku pergi. Siang-

  • mou Sin-ni menggerakkan kepalanya, segumpal rambut panjang me nyambar ke arah leher

    patung. Plakkk! Rambut itu terpental kembali dan leher patung tidak apa-apa. Jangankan

    patah, gempil pun tidak. Sepasang mata jeli bening itu ter belalak. Biasanya, hantaman

    rambutnya akan mampu memecahkan batu hitam, masa sekarang mematahkan leher patung

    saja tidak kuat? Sekali lagi ia meng gerakkan kepala, kini setengah rambutnya semua

    menyambar, merupakan gumpalan yang cukup besar. Plakkk! Kali ini tubuh Siang-mou Sin-ni

    tergetar karena kekuatan yang ia pergunakan tadi lebih besar sehingga ketika terpental, lebih

    hebat pula terasa olehnya. Wanita ini berubah wajahnya. Matanya melirik ke arah patung itu,

    lalu kepada patung-patung lain yang berjajar di situ. Kalau semua patung itu sekuat ini, agak

    nya memiliki kesaktian, hiiiiih, Siang-mou Sin-ni merasa bulu tengkuknya ba ngun dan ia cepat-

    cepat meninggalkan tempat itu! Seorang wanita yang terkenal ganas seperti iblis sekarang lari

    ketakut an, mengira bahwa patung-patung itu sudah menjadi iblis. Mungkin menghadapi

    sesama manusia, iblis wanita rambut panjang itu tidak akan gentar seujung rambut pun, akan

    tetapi menghadapi patung batu yang dapat tahan menghadapi dua kali hantaman rambutnya,

    benar-benar melewati batas ketabahannya. Kalau saja Siang-mou Sin-ni tahu betapa

    sepeninggalnya patung yang dihantamnya tadi dapat bergerak-gerak, tentu ia tidak akan lari

    malah akan diserang mati-matian! Setelah iblis wanita rambut panjang itu pergi, patung itu

    menarik napas panjang, melemparkan selubung kain putih dan tampaklah seorang pemuda

    tinggi besar berpakaian seperti sastrawan, pakaian berwarna hi tam. Suling Emas! Seperti juga

    Siang-mou Sin-ni, Suling Emas yang menyamar sebagai patung itu berkelebat lenyap ke arah

    perginya Hek-giam-lo. Sian Eng sudah girang hatinya dapat terbebas. Ia lari sekuat tenaga dan

    me masuki hutan besar. Napasnya terengah-engah dan setelah masuk di bagian hutan yang

    gelap, merasa dirinya aman, gadis ini memperlambat langkahnya untuk me ngaso dan

    mengatur napas. Akan tetapi, dapat dibayangkannya betapa kagetnya, sampai mukanya

    menjadi pucat tak ber darah lagi, ketika ia menoleh di depannya berdiri.... Hek-giam-

    lo! Paduka hendak ke mana, Sang Puteri? Harap hati-hati, tanpa hamba yang melindungi,

    sebaiknya Paduka jangan pergi ke mana-mana. Banyak berkeliaran musuh-musuh kita,

    terdengar Hek-giam-lo ber kata dengan suaranya yang menyeramkan. Tidak.... tidak.... biarkan

    aku pergi sendiri. Jangan ganggu aku! teriak Sian Eng yang ketakutan, dan ia hendak lari. Akan

    tetapi iblis itu sekali berkelebat telah berada di depannya. Sian Eng menjadi nekat dan

    menggunakan pedangnya membacok. Akan tetapi entah bagaimana pedangnya seperti

    bertemu benda keras dan terpental jauh kemudian tubuhnya terangkat dan ia sudah dibawa

    lari se perti terbang cepatnya tanpa dapat meronta sedikit pun. Sian Eng menggigil ketakutan

    dan pingsan dalam pondongan Hek-giam-lo. *** Lin Lin membanting-banting kedua kakinya

    seperti anak kecil tidak dituruti permintaannya. Kek, kau membohongi aku! Kau bilang dia

    berada di kota raja, mana dia sekarang? Hayo katakan, mana dia? Sudah sepekan kita berada di

    sini, setiap malam berkeliaran semalam sun tuk, kalau siang tidur di kuil tua, persis seperti

    kelelawar, malam berkeliaran siang tidur. Dan Suling Emas belum juga tampak batang

  • hidungnya! Kakek gundul pelontos itu, Kim-lun Seng-jin, duduk di atas lantai kuil tua yang

    kotor, bersandar dinding yang sudah retak-retak, tertawa lebar memperlihat kan giginya yang

    putih dan mengkilap tertimpa sinar api unggun yang dibuat nya, sehingga keadaan dalam kuil

    yang gelap itu menjadi terang. Heh-heh-heh, Lin Lin, sudah kukata kan kepadamu bahwa

    orang macam Su ling Emas itu sukar dipegang buntutnya. Apa dia bukan manusia,

    Kek? Heh? Manusia tapi seperti iblis. Ya, dia manusia seperti kita. Melihat dara remaja itu

    mengajukan pertanyaan dengan muka sungguh-sungguh, meledak ketawa Kim-lun Seng-jin.

    Uuhh, kau benar-benar masih hijau. Masa tidak mengerti apa yang kumaksudkan? Sukar

    dipegang buntutnya berarti sukar diikuti ke mana perginya. Wah, kalau begitu, sia-sia saja

    kita berkeliaran di kota raja ini, Kek? Lin Lin kembali timbul marahnya dan membanting

    kaki. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini, semuanya berguna dan ada manfaatnya, asal saja kita

    tahu bagaimana memper gunakannya dan memetik manfaatnya. Kita sudah berada di kota raja,

    bukalah matamu baik-baik. Bukankah kau me nemui keadaan yang baru bagimu? Tidak kah kau

    ingin melihat istana raja dari dalam? Aku selalu singgah di istana ka lau datang ke sini dan tak

    pernah lupa menjenguk dapurnya. Heh-heh, sudah lama tidak kunikmati masakan

    istana. Seketika kemurungan hati Lin Lin lenyap. Wajahnya yang jelita berseri, matanya

    berkilat dan seketika itu juga perutnya mendadak menjadi lapar sekali. Wah, mari kita ke sana,

    Kek, ada ma sakan apa saja di sana? Aduh perutku lapar sekali! Kakek itu tertawa terpingkal-

    pingkal agaknya senang sekali melihat watak yang mudah berubah dan aneh dari gadis remaja

    itu. Heh-heh-heh, serupa benar kau, serupa benar. Serupa siapa, Kek? Serupa dengan

    orang yang sudah tidak ada. Lin Lin, kau boleh ikut aku ke istana dan menikmati masakan dapur

    yang selama hidupmu belum pernah kaumakan atau lihat. Akan tetapi amat ber bahaya, banyak

    penjaganya yang pandai. Aku tidak takut! Bukan soal berani atau takut, melainkan

    kepandaianmu yang kuragukan. Eh, eh, kau mencela aku sama dengan mencela dirimu

    sendiri, Kek. Bu kankah kau sudah memberi pelajaran serba kosong itu? cela Lin Lin. Kakek itu

    tersenyum masam. Cara gadis itu menyebut ilmu yang ia ajarkan benar-benar amat

    memandang rendah. Disebut nya serba kosong, memang nama ilmu yang ia turunkan adalah

    Khong-in (Mega Kosong). Biarpun kau sudah menerima pelajaran dariku, akan tetapi aku

    belum yakin apakah kau sudah berlatih sampai matang betul. Marah Lin Lin. Kepalanya

    dikedikkan, dadanya dibusungkan. Pagi siang sore malam kausuruh aku berlatih, tak pernah

    membiarkan aku mengaso, sampai lupa makan lupa tidur lupa tempat, masih kau bilang aku

    belum berlatih matang, Kek? Kau benar-benar seorang yang kurang terima sekali. Wah, celaka,

    dapat se orang teman satu kali saja begini tak ingat budi dan jerih payah orang! Huah-ha-ha-

    ha! Kakek itu terping kal-pingkal. Benar-benar gila. Dia yang mengajar ilmu kesaktian, eh,

    bocah ini malah memarahinya dan seakan-akan bocah ini yang memberi sesuatu kepada nya

    karena sudah rajin berlatih. Benar-benar pintar memutarbalikkan kenyataan. Ya sudahlah, aku

    setuju kau berlatih keras selama ini. Akan tetapi, untuk dapat menyelinap masuk ke dapur

    istana, harus benar-benar mahir Khong-in-ban-kin. Coba kauperlihatkan padaku sekali lagi ilmu

  • Khong-in-liu-san yang kau pelajari sambil mengerahkan tenaga dan gin-kang. Kau kurasa sudah

    cukup, sekarang juga kita pergi ke istana, makan besar, pesta-pora tanpa bayar! Lin Lin girang

    sekali, lalu mencabut pedangnya dan besilat penuh semangat. Akan tetapi pada jurus ke tujuh,

    ia terlalu keras menggunakan tenaga sin-kang dan krakkk! pedang yang diayunnya patah

    menjadi tiga potong! Gadis itu ter kejut dan berdiri tertegun, kecewa dan menyesal melihat

    tangan kanannya hanya memegang gagang pedang sedangkan pedangnya sudah runtuh ke

    bawah. Akan tetapi Kim-lun Seng-jin bersorak dan bertepuk tangan sambil menari-nari

    kegirangan. Lin Lin mengerutkan kening, mulutnya cemberut, matanya merah, mengira bahwa

    kakek itu mengejeknya. Bagus, bagus....! Kaulihat sendiri, cucuku, dengan tenaga Khong-in-

    ban-kin, pedangmu yang buruk itu patah men jadi tiga potong. Ha-ha-ha, sudah hebat

    tenagamu, hanya belum mampu kau mengendalikan sehingga membikin rusak senjata sendiri.

    Cukup dan marilah ikut ke istana, tidak hanya pesta besar kita, juga kau akan bisa memilih

    sendiri se batang pedang pusaka dalam kamar pu saka. Seketika lenyap kemarahan Lin Lin

    seperti awan tipis disapu angin. Ia me loncat dekat kakek itu merangkul pundaknya. Betulkah,

    Kek? Hayo, lekas kita berangkat kalau begitu! Sambil tertawa riang keduanya lalu berkelebat

    lenyap dalam kegelapan malam. Kim-lun Seng-jin tidak membual ketika ia menyatakan bahwa

    setiap kali datang ke kota raja ia pasti mampir ke istana dan memasuki dapur istana. Memang,

    kesukaan kakek ini hanya makan, makan enak, apalagi masakan-masakan lezat mahal di dapur

    istana yang dapat dipilihnya tanpa bayar! Kakek itu membuktikan omongannya dengan

    pengetahuannya yang luas tentang seluk-beluk istana. Hafal betul ia akan jalan menuju ke

    istana, malah ia dapat memilih dinding pagar mana yang tidak begitu keras penjagaannya. Hal

    ini saja sudah membuktikan bahwa ia memang sudah menjadi langganan tempat terlarang

    itu. Dari sebelah selatan, tembok yang mengurung kompleks istana memang amat sunyi. Pintu

    gerbang sudah tertutup dan beberapa orang penjaga bercakap-cakap di dalam gubuk

    penjagaan. Ada pula yang meronda pagar tembok, membawa tombak dan pedang. Jengkel

    juga Kim-lun Seng-jin melihat para penjaga itu terus-menerus meronda pagar tembok yang

    dipilihnya untuk me lompat masuk. Pagar tembok itu amat tinggi, tidak kurang dari tujuh meter

    tingginya. Akan tetapi yang ia pilih itu adalah tempat di mana tumbuh sebatang pohon tidak

    jauh dari tembok, hanya dua meter jaraknya dari cabang terdekat dengan tembok. Kalau saja ia

    tidak pergi bersama Lin Lin, tentu saja ia bisa memilih tembok yang mana saja. Diambil nya

    sebuah batu dan disambitnya ke arah kiri. Terdengar suara orang mengaduh di sebelah kiri.

    Ternyata seorang penjaga yang sedang berdiri tegak di dekat pintu gerbang, terkena sambitan

    batu itu, te pat pada tulang keringnya di kaki, mem buat ia meloncat-loncat dan mengaduh-

    aduh sambil memegangi tulang kering yang dicium batu. Teman-temannya segera lari

    menghampiri, termasuk me reka yang meronda. Kesempatan ini di pergunakan oleh Kim-lun

    Seng-jin, mem beri isyarat kepada Lin Lin untuk melompat dan mengikutinya. Mula-mula kakek

    itu melompat ke atas cabang po hon terdekat dengan tembok, ia me lompat ke atas tembok.

    Lin Lin agak ngeri juga melihat dari tempat yang tinggi itu. *** Akan tetapi ia mengeraskan hati

  • dan melompat bagaikan seekor walet. Ia heran mendapat kenyataan bahwa lompatannya amat

    ringan dan mudah. Mengertilah ia sekarang bahwa ini adalah hasil latihan Ilmu Khong-in-ban-

    kin, maka diam-diam ia amat berterima kasih kepada kakek itu. Dengan mudah mereka

    melompat ke sebelah dalam dari atas tembok dan tibalah mereka di daerah istana. Siapa tahu

    di sini kita akan bertemu dengan Suling Emas, Kek, kata Lin Lin, mengagumi bangunan-

    bangunan besar yang dihias lampu-lampu beraneka warna. Boleh jadi, boleh jadi.... Kakek itu

    mengangguk-angguk. Orang macam dia itu bisa berada di manapun juga. Apa dia itu hebat

    sekali, Kek? Apakah kau pernah bertempur dengan dia? Kakek itu menggeleng kepala. Belum

    pernah, bertemu pun belum. Akan tetapi dalam beberapa tahun ini, ia telah mem buat nama

    besar, jauh melebihi aku yang sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia kang-ouw. Aku....

    aku tidak suka membuat nama besar, bikin repot saja. Nah, itu di sana dapurnya, mari! Kim-

    lun Seng-jin memegang tangan Lin Lin dan keduanya melompat naik ke atas genteng. Tanpa

    mengeluarkan suara seperti dua ekor kucing saja, kakek dan dara remaja itu berloncatan di atas

    gen teng. Kakek itu mengajak berhenti di atas genteng yang agak rendah, membuka genteng,

    mematahkan kayu penyangga genteng, lalu menytisup ke dalam, diikuti oleh Lin Lin. Mereka

    telah berada di atas langit-langit dapur. Dengan gerakan perlahan, Kim-lun Seng-jin membuka

    langit-langit di pojok yang agaknya me mang sudah lama terbuka. Ini pintu rahasiaku, kubuat

    belasan tahun yang lalu, bisiknya sambil ter senyum lebar. Lin Lin menjadi geli juga hatinya.

    Kakek ini benar-benar seperti seekor kucing hendak mencari daging, pikirnya. Dari lubang itu

    mereka meng intip ke bawah dan bau yang sedap ma suk melalui lubang itu menyambut hidung

    mereka. Ehhhmmmm, waaahhhhh, sedapnya....! Kim-lun Seng-jin menyedot-nyedot dengan

    hidungnya. Juga Lin Lin merasa amat lapar sekarang. Di bawah tidak ada orang, sisa-sisa

    hidangan Kaisar sudah dipanaskan lagi, mari! Ia mem buka lubang itu dan melayang ke bawah,

    diikuti oleh Lin Lin. Dapur itu tidak menyerupai dapur bagi Lin Lin. Terlalu bersih, terlalu me

    wah. Lebih bersih daripada kamar tidurnya di rumah orang tuanya sana. Yang begini disebut

    dapur? Lantainya meng kilap, dindingnya dari batu marm