booklet 2011 setting indonesia-final...

67

Upload: nguyenkien

Post on 06-Jul-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  1

Kata Pengantar Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) merupakan salah satu unit kerja eselon dua di lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Dalam pelaksanaan tugasnya, PSEKP memfokuskan diri pada analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan di bidang pertanian. Selain itu, PSEKP juga menelaah ulang program dan kebijakan pertanian, melaksanakan kerja sama serta mendayagunakan hasil analisis dan pengkajian maupun konsultasi publik di bidang sosial ekonomi dan kebijakan pertanian.

Selama lebih dari tiga dasawarsa, PSEKP telah melaksanakan tugasnya sebagai sebuah lembaga penelitian yang kritis dan dipercaya di tingkat nasional maupun internasional. Dalam melakukan kegiatan penelitian, lembaga ini banyak menghasilkan pengetahuan sosial ekonomi pertanian, serta proaktif dalam memberikan alternatif rekomendasi kebijakan pembangunan pertanian kepada stakeholder lingkup Kementerian Pertanian dan lembaga pemerintah lainnya

Dalam buku ini disampaikan informasi tentang sejarah, visi, misi, tugas dan fungsi, struktur organisasi, keberadaan sumberdaya manusia, fasilitas, program penelitian, publikasi, fasilitas perpustakaan serta kegiatan kerja sama penelitian yang dilaksanakan oleh PSEKP. Penerbitan buku ini dimaksudkan untuk memberikan informasi singkat tentang kiprah dan keberadaan PSEKP. Selain itu diharapkan melalui penerbitan buku ini dapat mendorong berbagai pihak terkait untuk lebih memanfaatkan hasil penelitian PSEKP, serta terjalinnya komunikasi dan kerja sama dalam kegiatan penelitian dan pemanfaatan hasil. Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam membantu penerbitan buku ini kami sampaikan terima kasih, dan saran serta masukan pembaca sangat diharapkan untuk penyempurnaan pada edisi berikutnya.

Bogor, Oktober 2013

Kepala Pusat,

Dr. Handewi P. Saliem

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian2

Sejarah Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) merupakan salah satu lembaga penelitian setingkat eselon II di lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pada awal berdirinya tahun 1976, lembaga ini dikenal sebagai Pusat Penelitian Agro Ekonomi (PAE). Sejalan dengan dinamika

pembangunan pertanian, beberapa kali lembaga ini mengalami perubahan nama. Pada tahun 1990, PAE berubah menjadi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (P/SE), kemudian menjadi Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian (Puslitbangsosek) pada tahun 2001. Pada tahun 2005, berganti nama lagi menjadi Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Terakhir pada tahun 2010, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 61/Permentan/OT.140/8/2010, nama lembaga ini ditetapkan menjadi Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.

Dalam kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa dari sejak berdirinya (1976-2012), PSEKP telah dipimpin oleh tujuh Kepala Pusat, yaitu Prof. Dr. Syarifudin Baharsyah (1976–1983), Dr. Faisal Kasryno (1983–1989), Prof. Dr. Effendi Pasandaran (1989–1995), Prof. Dr. Achmad Suryana (1995–1998), Prof. Dr. Tahlim Sudaryanto (1998–2002), Prof. Dr. Pantjar Simatupang (2002–2005), Prof. Dr. Tahlim Sudaryanto (2005-2010), dan Dr. Handewi P. Saliem (2010–sekarang)

Tugas Pokok dan Fungsi PSEKP mempunyai tugas melaksanakan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian. Fungsi PSEKP adalah: (a) merumuskan program analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; (b) melaksanakan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan di bidang pertanian; (c) melaksanakan telaah ulang program dan kebijakan di bidang pertanian; (d) memberikan pelayanan teknik di bidang analisis sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; (e) melaksanakan kerja sama dan mendayagunakan hasil analisis dan pengkajian serta konsultasi publik di bidang sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; (f) mengevaluasi dan melaporkan hasil

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  3

analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian; dan (g) mengelola urusan tata usaha dan rumah tangga pusat.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 634/Kpts/OT.140/1/2011, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, maka PSEKP dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di dukung Unit Eselon III, yaitu Bagian Umum, Bidang Program dan Evaluasi, serta Bidang kerja sama dan Pendayagunaan Hasil, disamping kelompok jabatan fungsional sebagai

pelaksana teknis kegiatan penelitian dan pengkajian dan tugas teknis lainnya, secara lengkap uraian tugas unit eselon III tersebut adalah sebagai berikut:

A. Bagian Umum, terdiri dari:

1. Subbagian Kepegawaian dan Rumah Tangga, mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian, rumah tangga, surat menyurat dan kearsipan.

2. Subbagian Keuangan dan Perlengkapan, mempunyai tugas melakukan urusan keuangan dan perlengkapan.

B. Bidang Program Dan Evaluasi, terdiri dari:

1. Subbidang Program, mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan penyusunan rencana, program dan anggaran kegiatan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian.

2. Subbidang Evaluasi dan Pelaporan, mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan pemantauan, evaluasi dan penyusunan laporan pelaksanaan kegiatan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian.

C. Bidang Kerja Sama dan Pendayagunaan Hasil, terdiri dari:

1. Subbidang Kerja Sama, mempunyai tugas memberikan pelayanan teknik dan penyiapan bahan penyusunan kerja sama analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian.

2. Subbidang Pendayagunaan Hasil, mempunyai tugas melakukan penyiapan bahan promosi, diseminasi, komersialisasi, dokumentasi, serta pelaksanaan urusan perpustakaan dan publikasi hasil analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian4

Visi Menjadi institusi penelitian/pengkajian yang kritis dan terpercaya, bertaraf internasional dalam menghasilkan informasi dan ilmu pengetahuan sosial ekonomi pertanian, serta proaktif dalam memberikan alternatif rekomendasi kebijakan pembangunan pertanian.

Misi Melakukan analisis dan pengkajian, guna

menghasilkan informasi dan ilmu pengetahuan sosial ekonomi pertanian yang merupakan produk primer PSEKP.

Analisis kebijakan, yaitu kegiatan untuk mengolah informasi dan ilmu pengetahuan hasil analisis menjadi rumusan usulan dan pertimbangan kebijakan pembangunan pertanian.

Melakukan advokasi kebijakan pembangunan pertanian kepada stakeholder terkait.

Mengembangkan kemampuan institusi PSEKP sehingga mampu mewujudkan visi dan misinya secara berkelanjutan.

Program Penelitian Untuk melaksanakan misi, dengan mempertimbangkan lingkungan strategis dan implikasinya terhadap tantangan pembangunan pertanian, program utama PSEKP untuk lima tahun ke depan (2011 – 2014) adalah sebagai berikut:

1. Program Pengkajian Kebijakan Penguatan dan Perlindungan Usaha Pertanian

2. Program Pengkajian Kebijakan Sumberdaya Alam, Infrastruktur dan Investasi Pertanian

3. Program Pengkajian Kebijakan Kelembagaan dan Regulasi Pertanian

4. Program Pengkajian Kebijakan Ekonomi Makro, Ketahanan Pangan, Pengentasan Kemiskinan dan Pembangunan Perdesaan

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  5

5. Program Penelitian Dinamika Ekonomi Pertanian dan Perdesaan

6. Evaluasi dan Tanggap Cepat Atas Isu Kebijakan Aktual

7. Program Diseminasi Hasil dan Peningkatan Kapasitas Lembaga

Struktur Organisasi

Dukungan Sumberdaya Manusia Dalam pelaksanaan tupoksinya PSEKP didukung oleh sumberdaya manusia yang handal sebanyak 167 orang. Secara rinci pegawai yang bergelar Doktor 29 orang, Magister 33 orang, Sarjana 36 orang, Diploma 16 orang, SMU 45 orang, serta SLTP/SD 8 orang. Dari pegawai tersebut, 87 orang diantaranya merupakan tenaga fungsional dengan rumpun fungsional sebagai berikut: 81 orang memiliki jabatan fungsional Peneliti di berbagai keahlian (3 orang diantaranya telah menjadi Profesor Riset) dan 6 orang tenaga fungsional non peneliti (Pranata Komputer, Pustakawan, Arsiparis, Litkayasa).

Kabag Umum

Ir. Hasyim Asyari, MM

Kepala Pusat Sosial Ekonomidan Kebijakan Pertanian

Dr. Handewi P. Saliem

Kabid Kerjasama dan Pendayagunaan Hasil

Dr. Sri Hery Susilowati

Plh. Kasubbid Pendayagunaan Hasil

Ir. Wartiningsih

Kasubbid Kerjasama

Dr. Hermanto

KasubbidProgram

M. Suryadi, SP

Plh. Kasubbid Evaluasi dan

Pelaporan

Ir. Sri H.Suhartini, MSi

Kelompok Jabatan Fungsional

Kabid Program dan Evaluasi

Ir. Supena Friyatno, MSi

Kasubbag Kepegawaian dan RT

Endro Gunawan, SP, ME

Kasubbag Keuangan dan Perlengkapan

Drs. Agus Subekti

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian6

PSEKP memiliki tiga Kelompok Peneliti (Kelti), yaitu: (1) Ekonomi Makro dan Perdagangan Internasional; (2) Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis; (3) Sosial Budaya Pertanian dan Perdesaan.

Bila dilihat dari latar belakang dan disiplin ilmu yang ditekuni, sebagian besar staf peneliti PSEKP mempunyai disiplin ilmu Ekonomi Pertanian, terutama untuk jenjang S2 dan S3 serta Sosial Ekonomi Pertanian pada jenjang S1. Sementara itu minat dan bidang keahlian yang ditekuni para peneliti dapat dipilah antara lain Sistem Usaha Pertanian, Kebijakan Pertanian dan Pembangunan, Sosiologi Pertanian dan Perdesaan, Ekonomi Internasional, Perdagangan Internasional, Ekonomi Lahan, Ilmu Ekonomi Sumberdaya, Sosiologi dan Kelembagaan, Pembangunan Wilayah, Pemberdayaan Masyarakat, Penyuluhan dan Komunikasi, Agribisnis serta Pembiayaan Pertanian (rincian terlampir).

Fasilitas 1. Laboratorium Komputer dan Analisis Data

Untuk pengolahan data penelitian, PSEKP didukung sebuah laboratorium komputer yang dilengkapi dengan PC stand alone dan PC LAN (Local Areal Network). Dalam perkembangan ke depan direncanakan akan dibangun laboratorium Perdagangan Internasional dan Panel Petani Nasional (PATANAS). Selain fasilitas tersebut, juga tersedia database berupa kumpulan data

primer maupun sekunder dari kegiatan penelitian yang telah dilaksanakan. Program yang digunakan dalam analisis data meliputi SAS, STATA, GAMS,

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  7

SHAZAM, GTAP, RunDynam, TradeCAN, GEMPACK, CSPro2, Minitab, SPSS serta aplikasi program analisis lainnya. 2. Perpustakaan dan Penyebaran Informasi Penelitian

Pengolahan Bahan Pustaka

Pengolahan bahan pustaka selama ini menggunakan program CDS/ISIS dengan jumlah database mencapai 19. Nama-nama database adalah BUKU, BPS, STAT, MAJA, DALAK, BROSUR, KORAN, ACIAR, IFPRI, PROS, P/SE, THESIS, CGPRT, SDP, SAE, WIN, SEMI, SP, dan TAHUN. Untuk peningkatan pelayanan kepada pengguna, Pada tahun 2007 perpustakaan secara bertahap telah mengolah bahan pustaka

menggunakan program WIN/ISIS. Kemudian pada tahun 2010 terjadi perubahan Database sesuai dengan arahan dari Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian menjadi 4 Database yaitu: BUKU, MAJALAH, SEMINAR, dan IPTAN. Untuk mendapatkan informasi mengenai buku dan artikel yang dimiliki, dapat diakses melalui website http://digilib.litbang.deptan.go.id/~psekp/.

Koleksi dan Jumlah Database Bahan Pustaka di Perpustakaan PSEKP per Desember 2012

No. Database Koleksi Jumlah

1. BUKU Kumpulan buku-buku yang dimiliki pustaka 9123

2. MAJALAH Kumpulan majalah yang dimiliki pustaka 689

3. SEMINAR Kumpulan makalah seminar 1048

4. IPTAN Kumpulan artikel/tulisan ilmiah pertanian 7586

Total 18446

Pelayanan Perpustakaan

Pelayanan perpustakaan PSEKP yang diberikan kepada pengguna, dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan sistem pelayanan terbuka untuk peneliti PSEKP dan sistem pelayanan tertutup untuk pengguna luar PSEKP. Sistem pelayanan dan penelusuran data, dilakukan melalui sistem katalog dengan pola komputerisasi, serta untuk pemenuhan data yang dibutuhkan oleh pengguna, disediakan layanan langsung melalui petugas perpustakaan atau dapat dilakukan secara online setelah Perpustakaan Digital PSEKP dioperasionalkan, sehingga materi yang dibutuhkan dari Perpustakaan PSEKP dapat secara langsung diakses oleh pengguna. Kerja Sama Antar Perpustakaan

Kerja sama antarperpustakaan dalam kaitannya dengan pelayanan informasi kepada pengguna, dilaksanakan melalui Subbidang Pendayagunaan Hasil

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian8

dengan seluruh perpustakaan lingkup Badan Litbang Pertanian terutama yang berada di Bogor. Dalam kegiatan kerja sama ini perpustakaan menyediakan formulir/bon pinjaman Pelayanan Antar-Perpustakaan (PAP). Sejak tahun 2009 kerja sama antarperpustakaan selain diarahkan pada penelusuran publikasi PSEKP di seluruh perpustakaan yang terdaftar dalam pendistribusian publikasi PSEKP juga melalui jaringan perpustakaan digital.

Secara lebih luas, kerja sama informasi, publikasi dan perpustakaan juga tidak hanya dilakukan dengan berbagai perpustakaan lingkup Departemen Pertanian, tetapi juga dengan berbagai perpustakaan Universitas, Lembaga Penelitian maupun Institusi-institusi terkait di daerah. Di tingkat Pusat dengan Perpustakaan Nasional, Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian, perpustakaan lingkup Badan Litbang, maupun perpustakaan Lembaga – lembaga Riset Nasional/ Internasional lainnya. Tahun 2012, kerja sama perpustakaan melalui Subbidang Pendayagunaan Hasil, tercatat mencapai: 18 Eselon I, 84 Eselon II, 79 Perpustakaan Universitas, 31 Perpustakaan BPTP, 9 Lembaga Internasional, 22 Perpustakaan Dinas Propinsi, serta 11 perpustakaan instansi lainnya diseluruh Indonesia.

Publikasi Publikasi yang diterbitkan oleh PSEKP terdiri atas : (1) Jurnal Agro Ekonomi (JAE), (2) Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE), (3) Analisis Kebijakan Pertanian (AKP), (4) Prosiding Hasil Seminar Nasional, (5) Buku Tematik, (6) Laporan Tahunan, (7) Laporan Teknis Hasil Penelitian, dan (8) Newsletter.

Sejak tahun 2006, tiga publikasi PSEKP telah mendapatkan akreditasi. Pada tahun 2012, hasil akreditasi ulang oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) diterapkan akreditasi untuk Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) berdasarkan SK No. 444/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 dan untuk Jurnal Agro Ekonomi (JAE) 444/AU2/P2MI-LIPI/08/2012. Untuk Analisis Kebijakan Pertanian (AKP) tidak terakreditasi. Informasi tentang profil dan publikasi yang telah dihasilkan PSEKP dapat diakses melalui website: http://pse.litbang.deptan.go.id

Penulis untuk publikasi berkala (JAE, FAE, dan AKP) terbuka bagi peneliti dan tenaga pengajar lembaga dan institusi di luar PSEKP. Demikian juga topik yang di tulis, meliputi berbagai isu seputar pembangunan perdesaan dan pertanian. Secara detail keragaan dari publikasi berkala tersebut adalah sebagai berikut: Jurnal Agro Ekonomi (JAE)

Jurnal Agro Ekonomi (JAE) adalah media primer penyebaran hasil-hasil penelitian sosial ekonomi pertanian dengan misi meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan profesional para ahli sosial ekonomi pertanian. JAE memuat informasi bagi ilmuwan dan pemerhati pembangunan pertanian, pengambil kebijakan, dan pelaku pembangunan pertanian dan perdesaan.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  9

JAE diterbitkan oleh PSEKP 2 kali setahun, pada bulan Mei dan Oktober.

Selama tahun 2011-2012 jumlah naskah yang sudah diterbitkan di JAE sebanyak 20 naskah. Sebagian besar penulis di JAE berasal dari luar lingkup PSEKP dan hanya 30 persen dari lingkup PSEKP. Penulis dari luar PSEKP umumnya berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan beberapa negara.

Dari hasil penelusuran terbitan JAE selama dua tahun terakhir (20 naskah) diperoleh persentase topik dari artikel yang diterbitkan di JAE sebagai berikut: (a) Sumberdaya (15%), (b) Pengembangan agribisnis (15%), (c) Ketahanan pangan (15%), (d) Evaluasi program pembangunan pertanian (10%), (e) Pemasaran/ perdagangan Internasional (25%), dan (f) Kelembagaan dan organisasi (20%). Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE)

Forum Penelitian Agro Ekonomi (FAE) merupakan publikasi ilmiah yang memuat review hasil penelitian sosial ekonomi pertanian dan juga menampung naskah-naskah yang berupa gagasan ataupun konsepsi orisinal dalam bidang sosial dan ekonomi pertanian. Media ini terbit dua kali setahun yaitu bulan Juli dan Desember.

Jumlah naskah yang telah diterbitkan pada Forum Penelitian Agro Ekonomi dari tahun 2011 – 2012 sebanyak 20 naskah yang penulisnya berasal dari PSEKP (95%) dan dari luar PSEKP (5%).

Topik dari 20 naskah yang telah diterbitkan tersebut berkisar pada isu: (a) Pengembangan Agribisnis (25%), (b) Kelembagaan dan Organisasi (25 %), (c) Ketahanan Pangan (termasuk diversifikasi, keamanan pangan) (15%), (d) Pembangunan Perdesaan (25%), (e) Kredit, Pembiayaan, Asuransi (5%), (f) Sumberdaya (lahan, tenaga kerja, alam) (15%), dan (g) Isu Lingkungan/ Pembangunan Berkelanjutan (10%).

Analisis Kebijakan Pertanian (AKP)

Analisis Kebijakan Pertanian (AKP) adalah media jurnal ilmiah yang membahas isu aktual kebijakan pertanian yang memuat artikel analisis kebijakan pertanian dalam bentuk gagasan, dialog dan polemik. AKP terbit empat kali setahun yaitu pada bulan Maret, Juni, September, dan Desember.

Jumlah naskah yang diterbitkan pada Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian selama dua tahun terakhir (2011-2012) adalah 40 naskah. Dari jumlah tersebut yang berasal dari PSEKP sebanyak 25 naskah (62,5%) dan dari luar PSEKP sebanyak 15

naskah (37.5%).

Topik artikel yang dimuat berkisar pada isu sebagai berikut: (a) Pemasaran/Perdagangan Internasional (15%), (b) Pembangunan Perdesaan (2,5%), (c) Sumberdaya (lahan, Tenaga Kerja, alam) (15%), (d) Kredit,

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian10

Pembiayaan, Asuransi (2,5%), (e) Ketahanan Pangan (termasuk diversifikasi, keamanan pangan (7,5%); (f) Evaluasi Program Pembangunan Pertanian (15%); (g) Kelembagaan dan Organisasi (20%); (h) Isu lingkungan/ Pembangunan Berkelanjutan (5%); (i) Pengembangan Agribisnis (5%); dan (j) lain-lain (12,5%).

Kerja Sama Penelitian 1. Lembaga dan Lingkup Kerja Sama

Sebagai Lembaga Penelitian yang memiliki tugas dan fungsi melaksanakan analisis dan pengkajian sosial ekonomi dan kebijakan pertanian, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP) telah melaksanakan kegiatan penelitian bekerja sama dengan instansi/lembaga dalam dan luar negeri. Beberapa lembaga/instansi yang telah menjalin kerja sama dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2011-2012) adalah:

No Mitra Kerjasama Judul Penelitian Masa/Waktu

Tahun Anggaran

Luar negeri

1 International Food Policy Research Institute (IFPRI)

Market for High-Value Commodities in Indonesia: Promoting Competitiveness and Inclusiveness

1 juni 2009 – November 2011

2 International Food Policy Research Institute (IFPRI)

Plausible Futures for Economic Development and Structural Adjustment in Indonesia-Impacts and Policy Implication for the Asia Pasific Region

1 Januari 2009 – 30 Desember 2011

3 Australian Centre for International Agricultural (ACIAR)

Cost Effective Bio Security for Non Industrial Commercial Poultry Production in Indonesia

Juni 2008 – November 2012

4 The International Development Research (IDRC)

Eco-Health Assessment on Poultry Production Clusters (Ppcs) for the Livelihood Improvement of Small Producers

Juli 2011 – Juli 2014

5 Michigan State University (MSU)

Access to Modernizing Value Chains by Smalls Farmers in Indonesia and Nicaragua

Februari – September 2011

Dalam negeri

1 Kemenristek/Badan Litbang

Studi Kebutuhan Pengembangan Produk Olahan Pertanian dalam Rangka Liberalisasi Perdagangan

2011

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  11

No Mitra Kerjasama Judul Penelitian Masa/Waktu

Tahun Anggaran

2 Kemenristek/Badan Litbang

Peningkatan Kapabilitas Kelompok Tani dalam Adaptasi terhadap Perubahan Iklim

2011

3 Kemenristek/Badan Litbang

Analisis Volatilitas Komoditas Pangan dalam Rangka Peningkatan Stabilisasi Harga Pangan Pokok

2011

4 Kemenristek/Badan Litbang

Proyeksi Kinerja Petani Jangka Panjang 2012-2035 dalam Mendukung Pengembangan MP3EI di Koridor Sumatera

2012

5 Kemenristek/Badan Litbang

Analisis Permintaan, Penawaran dan Kebijakan Pengembangan Komoditas Tanaman Pangan Utama dalam Program MP3EI di Koridor Sulawesi dan Gorontalo

2012

2. Beberapa Hasil Terpilih Kegiatan Kerja Sama

Kerja sama penelitian PSEKP dengan lembaga internasional dan nasional telah menghasilkan beberapa rekomendasi serta pengetahuan baru, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut: A. Peningkatan Kapabilitas Kelompok Tani dalam Adaptasi terhadap

Perubahan Iklim

Penelitian ini merupakan kerjasama antara Kemenristek dan PSEKP. Latar belakang penelitian ini adalah lemahnya kapabilitas kelompok tani dalam menanggulangi dampak perubahan iklim dengan hasil penelitian sebagai berikut:

Bentuk adaptasi secara antisipatif yang dilakukan petani pada kasus kebanjiran di Kabupaten Bantul adalah membuat saluran draenase berupa selokan untuk membuang kelebihan air, dan melakukan pemeliharaan/pendalaman saluran draenase. Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat bentuk adaptasi antisipatif terhadap kasus kebanjiran dilakukan dengan penyesuaian pola tanam, jenis varietas dan dosis pemupukan. Bentuk adaptasi antisipatif terhadap kasus kekeringan di Kabupaten Gunung Kidul, DIY adalah menaikkan air dari sungai dengan membuat bendungan atau dam, membuat sumur ladang dan membuat sumur bor. Pada kasus kekeringan di Jawa Barat, adaptasi responsif dilakukan dengan cara: (1) menggunakan varietas padi berumur pendek misalnya varietas Ciherang; (2) melakukan curi ”start” tanam, dengan cara memanen sebagian kecil tanaman padi MH lebih awal guna mempersiapkan persemaian pada MK1; (3) mengurangi dosis pupuk urea pada

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian12

MK 1; (4) menjadikan jerami hasil MH sebagai pupuk organik; (5) meningkatkan pupuk organik untuk mengikat air sehingga dapat memperlambat penguapan; (6) melakukan pompanisasi dengan sumber air berasal dari saluran pembuangan; (7) menjemput air (istilah setempat gilir giring), dimana biaya menjemput air biasanya ditanggung oleh pemerintah desa.Efektifitas strategi adaptasi pada kasus kebanjiran Di Kabupaten Bantul, DIY mencapai nilai R/Ca rasio 1.09 dari R/Cn rasio 1.56 dalam kondisi normal. Produktivitas rata-rata dalam kondisi kebanjiran hanya mencapai 4,5 ton per hektar, sementara dalam kondisi normal produktivitas padi rata-rata mencapai 6,0 ton per hektar per musim. Efektifitas strategi adaptasi pada kasus kebanjiran Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mencapai nilai R/Ca rasio 1.01 dari nilai R/Cn rasio 1.47 dalam kondisi normal. produktivitas rata-rata hanya mencapai 3,5 ton per hektar sedangkan dalam kondisi normal produktivitas padi rata-rata mencapai 5,0 ton per hektar. Efektifitas strategi adaptasi pada kasus kekeringan di Kabupaten Gunung Kidul DIY, hanya mencapai nilai R/Ca rasio 0.93 R/C dari R/Cn rasio dalam kondisi normal 1.48. Produktivitas padi rata-rata dalam kondisi normal mencapai 5,5 ton per hektar, sedangkan dalam kondisi terjadi kekeringan produktivitas rata-rata hanya mencapai 3,5 ton per hektar. Dengan harga jual yang sama, fenomena ini menyebabkan penerimaan total usahatani padi diantara kedua kondisi tersebut juga sangat berbeda. Efektifitas strategi adaptasi dalam kasus Kekeringan di Kabupaten Indramayu Jawa Barat hanya mencapai nilai R/Ca rasio 0.24, menurun drastis dari R/Cn 1,7 dalam kondisi normal. Pada kondisi normal, produktivitas usahatani padi pada MK 1 hanya mencapai 3,0 ton GKP per hektar, sedangkan pada kondisi kekeringan produktivitas padi hanya mencapai 0.4 kuintal GKP per hektar. Kapabilitas kelompok dianalisis dengan menilai faktor-faktor eksternal dan internal, baik dari aspek teknis, ekonomi, sosial dan kelembagaan yang mempengaruhinya. Dukungan faktor eksternal dalam aspek teknologi, informasi dan infrastruktur di Provinsi DIY dan Jawa Barat relatif belum memadai ( 2,44). Demikian juga dari aspek kebijakan, Pemerintah Pusat dan Daerah dalam membantu peningkatan kapasitas kelompok menghadapi perubahan iklim relatif kurang memadai (<2,00). Faktor internal, aspek teknis terkait aspek penguasaan pengetahuan dan kemampuan kelompok tani terhadap perubahan iklim secara umum masih relatif rendah dan kurang memadai (<2,44). Paling tidak terdapat 5 (lima) hal yang menjelaskan mengapa tingkat pengetahuan kelompok tani terhadap masalah perubahan iklim relatif rendah, yaitu: teknologi adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim, relatif kurangnya pelatihan penyuluhan teknologi, keikutsertaan dalam sekolah lapang iklim, dan pemahaman tentang perubahan iklim. Faktor ekonomi yang berupa ketersediaan sarana prasarana dan permodalan finansial masih jauh dari memadai untuk mengatasi dampak perubahan iklim berupa kebanjiran di Kabupaten Indramayu (2,20) dan di Kabupaten Gunung Kidul (2,23). Dalam kasus kekeringan Kabupaten Bantul dan Gunung Kidul memiliki nilai yang sama

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  13

yaitu 2,07. Dengan lemahnya dua faktor ini akan sulit bagi kelompok tani mempunyai kapabilitas yang dapat diandalkan untuk merespon dampak perubahan iklim. Faktor sosial terkait dengan respon pengurus dan kompetensi SDM dalam kelompok secara umum masih belum memadai (<3,00). Respon pengurus terhadap dampak kekeringan nampak lebih tinggi dibandingkan kebanjiran. Pada kasus di Provinsi DIY, antara kebanjiran dan kekeringan, tidak menunjukkan kesenjangan yang besar (kebanjiran=2,60; kekeringan=2,65). Pada kasus di Jawa Barat, terdapat kesenjangan antara kasus kebanjiran (1,90) dan kasus kekeringan (2,75). Faktor sosial terkait aspek kompetensi anggota dalam kelompok secara umum hampir memadai. Pada kasus kebanjiran, tingkat kompetensi anggota kelompok tani di Provinsi DIY mencapai 2,88 dan 2,74 untuk Provinsi Jabar. Sementara pada kasus kekeringan, tingkat kompetensi anggota kelompok tani di Provinsi DIY mencapai 2,72 dan di Provinsi Jabar mencapai 2,76. B. Analisis Permintaan, Penawaran dan Kebijakan Pengembangan

Komoditas Tanaman Pangan Utama dalam Program MP3EI di Koridor Sulawesi

Penelitian ini merupakan kerjasama antara Kemenristek dengan PSEKP. Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui secara aktual bagaimana situasi mengenai permintaan dan penawaran serta pengembangan komoditas pangan saat ini. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kerangka pemanfaatan hasil penelitian ini yaitu berupa bentuk: (1) Laporan hasil penelitian yang dapat dimanfaatkan oleh lembaga/instansi

terkait di lokasi penelitian, (2) Publikasi hasil penelitian sebagai bahan informasi dan pertimbangan perumusan kebijakan dalam pengembangan komoditas tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai) khususnya di lokasi penelitian Provinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo, (3) Seminar hasil penelitian untuk menyebarluaskan hasil penelitian. Strategi pemanfaatan hasil penelitian ini yaitu dengan cara mengirimkan hasil laporan penelitian ke instansi/lembaga terkait di lokasi penelitian, menyebarluaskan hasil penelitian melalui media publikasi hasil penelitian, dan publikasi seminar hasil penelitian. Hasil penelitian atau kajian memiliki urgensi penting sebagai bahan informasi kebijakan dalam pengembangan komoditas tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai) khususnya di lokasi penelitian Provinsi Sulawesi Selatan dan Gorontalo dimasa mendatang. Dengan demikian pengembangan dan peningkatan informasi hasil penelitian untuk tahun yang akan datang perlu terus ditingkatkan dalam rangka mendukung kebijakan pengembangan komoditas tanaman pangan utama (padi, jagung dan kedelai). Hal ini disebabkan oleh dinamisnya berbagai aspek yang menyangkut aspek sosial ekonomi dan kebijakan pengembangan tanaman pangan. Keberlanjutan penelitian/kajian dengan dukungan dana dari program Ristek sangat diharapkan. Dukungan keberlanjutan kajian juga tidak hanya dari program ristek pusat, akan tetapi juga dari pemerintah daerah.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian14

C. Proyeksi Kinerja Pembangunan Pertanian Jangka Panjang: 2012-2035 dalam Mendukung Pengembangan MP3EI di Koridor Sumatera

Pembangunan pertanian merupakan salah satu bagian integral dari pembangunan nasional. Meskipun peran relatif sektor pertanian terhadap perekonomian nasional cenderung terus menurun, namun dinamika yang terjadi di perekonomian Indonesia ditopang oleh sektor pertanian dan intervensi pemerintah terhadap kebijakan makro ekonomi yang menyangkut sektor pertanian masih cukup kuat. Pertumbuhan rata-rata PDB sektor pertanian dalam periode tahun 2000-2010 mencapai 3,2 persen, namun kontribusinya terhadap ekonomi nasional secara keseluruhan menurun dari 19,0 persen pada 1990 menjadi hanya 15 persen pada 2010. Di sisi lain, sektor pertanian masih diharapkan dapat menjadi katup pengaman bagi penyediaan kesempatan kerja. Pada 1990 sektor pertanian menyerap sekitar 56 persen dari total tenaga kerja dan turun menjadi 38 persen pada 2010. Implikasi dari kebijakan seperti ini akan mempengaruhi efisiensi sektor pertanian dan memperlambat peningkatan produktifitas pertanian dan pada akhirnya akan melemahkan daya saing produk pertanian. Pembangunan pertanian dapat didefinisikan sebagai suatu proses perubahan sosial yang implementasinya tidak hanya ditujukan untuk meningkatkan status dan kesejahteraan petani saja, tetapi juga untuk mengembangkan potensi sumberdaya manusia baik secara ekonomi, sosial, politik, budaya, lingkungan, maupun melalui perbaikan, pertumbuhan dan perubahan. Sejalan dengan hal itu indikasi keberhasilan pembangunan suatu negara atau wilayah yang banyak digunakan adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi diukur dari tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) untuk lingkup nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) untuk lingkup wilayah. Selain dipengaruhi faktor internal, pertumbuhan ekonomi suatu negara juga dipengaruhi faktor eksternal, terutama setelah era ekonomi yang semakin mengglobal. Secara internal, tiga komponen utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi tersebut adalah pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat. Ketiga komponen tersebut sebaiknya berkedudukan sejajar dalam mengelola sumberdaya ekonomi, politik, hukum, sosial dan budaya.

Pada era globalisasi seperti saat ini dinamika perekonomian nasional sangat dipengaruhi oleh perekonomian regional dan internasional. Oleh karena itu, pembangunan pertanian memerlukan penyempurnaan dan perbaikan dari kegiatan pembangunan sebelumnya menyesuaikan dinamika perubahan lingkungan strategis yang selalu berubah. Hal ini menjadi penting karena kinerja pembangunan pertanian tidak akan

terlepas dari lingkungan strategis yang melingkupinya, baik lingkungan strategis internasional, regional, nasional maupun wilayah/daerah. Dengan demikian untuk dapat merumuskan arah pembangunan pertanian ke depan secara baik, maka pemahaman yang seksama atas dinamika lingkungan strategis serta proyeksi pembangunan pertanian tersebut perlu dilakukan. Untuk mendukung

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  15

pembangunan ekonomi Indonesia, pemerintah membuat Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI ditetapkan oleh Peraturan Presiden RI No. 32 Tahun 2011. MP3EI menjadi acuan untuk menetapkan kebijakan sektoral bagi menteri dan pimpinan lembaga non kementerian di masing-masing bidang dan acuan untuk penyusunan kebijakan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, MP3EI sebagai salah satu pemicu dalam mempercepat pembangunan ekonomi nasional dalam kurun waktu 15 tahun yang sesuai dengan rencana pemerintah dalam RPJMN tahun 2011-2025. Sementara bagi dunia usaha MP3EI merupakan acuan bagi dunia usaha untuk berinvestasi dengan tujuan utama menghasilkan produk-produk yang mempunyai nilai tambah (added value) dan membangun pusat-pusat produk unggulan di luar pulau Jawa. Strategi utama MP3EI adalah: (1) pengembangan koridor ekonomi, (2) konektifitas nasional (daerah) dan (3) pengembangan Iptek dan SDM. Untuk mensukseskan MP3EI Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut: (1) revisi UU agar terjamin kepastian hukum, (2) percepatan infrastruktur, (3) debirokrasi aparatur negara, (4) reformasi pelaksanaan peraturan perpajakan, bea cukai dan tarif, (5) dukungan perbankan nasional (Perpres 32 Tahun 2011). Program MP3EI terdiri dari 22 kegiatan utama, di mana 15 kegiatan di antaranya merupakan bidang usaha industri, yaitu: Pengembangan Klaster Industri Kelapa Sawit, Karet, Batu

Bara, Nikel, Tembaga, Minyak dan Gas, Makanan Minuman, Kakao, Tekstil, Mesin Peralatan Transportasi, Perkapalan, Baja, Aluminium, Telematika, dan Alutsista. Program dan kegiatan tersebut difokuskan pada 6 koridor ekonomi yang telah ditetapkan. Keenam koridor tersebut terdiri dari: 1) Koridor Sumatera, 2) Koridor Jawa, 3) Koridor Kalimantan, 4) Koridor Sulawesi, 5) Koridor Bali – Nusa Tenggara, dan 6)

Koridor Papua – Kepulauan Maluku. Masing-masing koridor ekonomi memiliki fokus kegiatan utama yang akan dikembangkan. Untuk koridor ekonomi Sumatera, kegiatan ekonomi yang akan dikembangkan akan difokuskan pada kelapa sawit, karet, batu bara, besi baja, dan perkapalan. Berdasarkan ketentuan dalam MP3EI, Kementerian Pertanian akan fokus pada pengembangan kelapa sawit dan karet di koridor Sumatera,. Sedangkan untuk Koridor Ekonomi Jawa sebagai Sentra Pengembangan Industri Makanan/Pangan difokuskan pada pengembangan industri makanan/pangan melalui penumbuhan industri di pedesaan yang mengolah produk-produk pertanian menjadi produk olahan makanan. Pada koridor Sumatera, Kementerian Pertanian telah membangun kawasan sentra produksi padi, jagung dan kakao berdasarkan potensi agro-ekosistem dan memfasilitasi kegiatan penyediaan infrastruktur, perbenihan maupun pemberdayaan petani. Pada Koridor Ekonomi Bali-NTB-NTT Kementerian Pertanian akan mengembangkan koridor ini sebagai sentra produksi jagung, kedelai dan ternak. Pada tahun 2011 telah dialokasikan anggaran di Bali, NTB dan NTT untuk mendukung pengembangan jagung, kedelai dan ternak.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian16

Adapun untuk koridor Ekonomi Papua, Kementerian Pertanian akan mengembangkan Koridor Ekonomi ini sebagai sentra produksi pangan, perkebunan dan peternakan.

Hasil proyeksi kinerja pembangunan pertanian jangka panjang diharapkan akan dapat menjadi bahan dalam mencari peluang yang perlu dirumuskan dalam dinamika lingkungan strategis untuk mempertajam tujuan dan sasaran pembangunan pertanian antara lain dengan mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan. Disamping itu searah dengan dinamika lingkungan strategis, maka penajaman arah dan pengelompokan kebijakan yang memperhatikan pasar dan lingkungan sumberdaya spesifik lokalita. Hal ini disebabkan kedua potensi tersebut akan sangat menentukan keuntungan komparatif dan kompetitif dari komoditas pertanian Indonesia.

Success Story dan Penelitian Unggulan PSEKP Dua Tahun Terakhir 1. Success Story PSEKP

Sebagai salah satu lembaga penelitian yang mendalami kajian tentang aspek sosial ekonomi pertanian di Indonesia, keberadaan PSEKP telah banyak mewarnai berbagai wacana dan kebijakan di seputar pembangunan ekonomi perdesaan, khususnya yang terkait dengan isu pertanian. Pengumpulan data series tentang beberapa indikator pembangunan perdesaan, dalam bentuk panel data mikro petani nasional (PATANAS), diacu berbagai kalangan stakeholders baik dalam negeri maupun luar negeri (seperti World Bank), dimana data PATANAS dirujuk sebagai indikator pencapaian pembangunan pertanian, khususnya di wilayah perdesaan pada berbagai agroekosistem. Database PATANAS dengan cakupan berbagai aspek ekonomi pertanian, juga digunakan oleh banyak mahasiswa untuk penyelesaian program S-2 dan S-3 mereka.

Selain PATANAS, beberapa hasil penelitian lainnya yang sangat menonjol adalah PUAP, PSDS, Studi Kebijakan Akselerasi Pertumbuhan Produksi Padi di Luar Pulau Jawa dan Kajian Alternatif Skema Pembiayaan APBN untuk Mendukung Swasembada Beras. Implikasi kebijakan penelitian PUAP antara lain untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui penyediaan modal dalam kegiatan agribisnis.

Dalam tata perdagangan dunia yang semakin terbuka saat ini PSEKP juga berperan sangat nyata dalam memandu para pengambil kebijakan di

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  17

Kementerian Pertanian, Perdagangan, Perindustrian, Kantor Menko Perekonomian serta Kementerian Luar Negeri, dalam menyikapi atau mengambil inisiatif berbagai kebijakan terkait komoditas pertanian Indonesia di forum kerja sama multilateral dan bilateral. Peran serta PSEKP merupakan wujud dari komitmen perlindungan petani dan konsumen dalam negeri. Peneliti PSEKP secara aktif menjadi anggota delegasi Republik Indonesia dalam berbagai forum internasional tentang perdagangan komoditas pertanian, seperti WTO, APEC dan lainnya. Untuk medukung keterlibatan peneliti PSEKP dalam berbagai forum ini, beberapa topik penelitian dilakukan terkait dengan perdagangan internasional, proyeksi serta perilaku harga dan indikator lainnya dari komoditas terpilih.

Selain beberapa hal di atas, secara sporadis PSEKP juga telah mewarnai berbagai kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia, yang dilakukan secara cepat, akurat dan tepat melalui kegiatan analisis kebijakan (Anjak). Berbagai kajian yang dilakukan didasarkan pada permintaan untuk mendukung suatu kebijakan, baik dari lingkup Kementerian Pertanian ataupun stakeholder (seperti Bappenas dan Kementerian Perdagangan) lainnya, dan juga bersifat antisipasi terhadap berbagai hal yang terkait dengan dampak dari suatu kebijakan atau dari suatu kejadian. Beberapa kajian cepat yang terkait dengan penanggulangan bencana erupsi Merapi, subsidi pupuk dan stabilisasi harga pasar merupakan contoh dari kegiatan yang telah dilakukan. 2. Penelitian Unggulan Dua Tahun Terakhir

Beberapa hasil penelitian unggulan yang dijadikan sintesis, pertimbangan dan advokasi kebijakan pembangunan pertanian dan digunakan oleh pimpinan Kementerian Pertanian serta pihak terkait lainnya selama tahun 2011 – 2012 diantaranya adalah: A. Penentuan Desa Calon Lokasi PUAP 2011 dan Evaluasi Pengembangan

Usaha Agribisnis Perdesaan

Dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, sebagian besar pelaku/ petani menghadapi kendala permodalan, baik modal sendiri maupun akses terhadap lembaga permodalan yang ada. Untuk mengatasi keterbatasan modal petani tersebut, pemerintah mengambil inisiatif untuk memberikan stimulan bantuan modal finansial berasal dari APBN dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ke kelompok tani/Gapoktan. Pola BLM telah dimulai tahun 2000 dan sejak tahun 2008, pola BLM ini diperkenalkan dalam bentuk program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) dibawah koordinasi PNPM Mandiri yang dilanjutkan pada tahun 2011. Untuk menyempurnakan pelaksanaan program PUAP tahun 2011 perlu dilakukan kegiatan yang mencakup: (a) membantu penentuan calon penerima dana BLM PUAP 2011 dan (b) evaluasi terhadap pelaksanaan program PUAP sebelumnya.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian18

Evaluasi kinerja pelaksanaan program PUAP sudah dilaksanakan sejak tahun 2009. Secara umum, hasil evaluasi menunjukkan bahwa kinerja input, proses, output, outcome, dan dampak program masih belum dapat mencapai sasaran secara optimal. Di sisi lain, evaluasi tentang Program PUAP baru dilakukan pada Tahun 2011 dan hal ini sangat dibutuhkan untuk mendapatkan informasi dan pemahaman terhadap kelayakan pelaksanaan program PUAP. Seluruh informasi yang akan dikumpulkan diharapkan dapat memberikan gambaran secara holistik tentang pencapaian program PUAP di perdesaan.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, Kementerian Pertanian telah merealisasikan pencairan dana BLM PUAP sebanyak 29.013 gapoktan yang tersebar di 33 Provinsi wilayah Indonesia, yakni 10.542 gapoktan pada tahun 2008, 9884 gapoktan (2009) dan 8587 gapoktan (2010). Hingga bulan November 2011, berdasarkan lima SK penetapan dana BLM PUAP mencakup 6697 gapoktan dengan nilai penyaluran Rp 669.693.808. Hal ini berarti bahwa sampai dengan tahun 2011, dari total desa di Indonesia (lebih dari 70.000 desa) maka hampir 50 persen jumlah desa yang ada di Indonesia telah menerima dana BLM PUAP.

Meskipun sumber usulan tetap sama dari tahun ke tahun, yakni usulan dari pemerintah daerah, aspirasi masyarakat dan unit kerja eselon I lingkup Kementan, namun terjadi perubahan pada mekanisme pengusulan desa calon lokasi penerima dana BLM PUAP. Perubahan mekanisme pengusulan desa ini terjadi akibat penyesuaian pelaksanaan PUAP dari tahun ke tahun.

Pada aspek sosialisasi yang dilakukan berjenjang dari tingkat provinsi hingga desa dirasakan masih sangat kurang. Hal ini sangat berkaitan erat dengan pemahaman Program PUAP hingga level pengurus gapoktan dan petani. Pada umumnya, baik Penyuluh Pendamping dan Penyelia Mitra Tani menganggap materi pelatihan telah dapat dipahami dengan baik, namun pelaksanaan pelatihan terus diupayakan meningkat, baik dari aspek waktu, praktikum dan kualitas nara sumber. Koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah perlu ditingkatkan. Frekuensi pendampingan oleh Penyuluh Pendamping umumnya lebih intensif dibandingkan pendampingan oleh Penyelia Mitra Tani. Hal ini antara lain disebabkan oleh rasio jumlah gapoktan yang harus didampingi oleh Penyelia Mitra Tani melebihi kapasitasnya sehingga menjadi kurang optimal.

Introduksi inovasi teknologi dan rekayasa kelembagaan lebih menekankan pada pendekatan budaya material (bantuan dana, alsintan, sarana produksi) dibanding nonmaterial (membangun sistem nilai). Peranan BPTP dalam inovasi teknologi terhadap gapoktan cukup menonjol dengan langkah operasional kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh BPTP yang terkait dengan integrasi PUAP dan program lainnya. Pembinaan untuk kelembagaan Gapoktan dan LKM-A yang telah dilakukan melalui pendekatan kelompok, namun pendekatan partisipatif masih belum dilakukan secara maksimal. Pengembangan kelembagaan

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  19

Gapoktan dan LKM-A cenderung menggunakan pendekatan struktural dari pada pendekatan kultural;

Penyaluran dana BLM PUAP umumnya masih dilakukan oleh pengurus gapoktan atau unit usaha yang ada di bawah gapoktan. Pendirian Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A) masih jarang ditemui di lokasi provinsi contoh, kecuali di Jawa Timur dan Kabupaten Karo yang pada umumnya sudah membentuk LKM-A sebagai pengelola dana PUAP, walaupun sifatnya masih berupa unit usaha di bawah Gapoktan dan pengurusnya juga masih merangkap sebagai pengurus Gapoktan. Perkembangan dana BLM PUAP cukup lancar, kecuali untuk gapoktan di Provinsi NTB yang perkembangan dananya ada yang negatif karena terjadi penurunan harga ternak sapi. Perguliran dana PUAP rata-rata 2-4 kali dengan tingkat jasa yang ditetapkan antara 1,5 hingga 2,5 persen per bulan. Mekanisme peminjaman dana BLM PUAP umumnya yarnen, meskipun ada juga yang bulanan atau bahkan tahunan (kasus ternak sapi). Rata-rata gapoktan telah mempunyai unit usaha simpan pinjam, dengan menetapkan simpanan pokok, wajib dan sukarela yang merupakan syarat dalam pembentukan unit usaha simpan pinjam dan merupakan salah satu sumber permodalan yaitu sebagai modal swadaya masyarakat.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah program PUAP ditujukan, antara lain untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani melalui penyediaan modal dalam kegiatan agribisnis. Dalam hal pembinaan kegiatan gapoktan oleh PP dan PMT, informasi yang sangat kuat menunjukkan bahwa kwalitas dan frekwensi pembinaan mereka tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Selain karena tidak memiliki sarana angkutan sendiri, sebagian PP masih berstatus honorer dengan masa depan yang tidak pasti. Demikian juga dengan PMT yang harus membagi waktu untuk mengunjungi 20 hingga 30 gapoktan secara bergiliran, namun hanya mendapat honorarium 8-10 bulan dalam setahun. Kondisi seperti ini diduga turut berkontribusi terhadap kurang efektifnya pembinaan di lapangan. Dalam konteks ini, sangat arif mengusulkan agar dapat dicarikan jalan keluar untuk kedua masalah diatas.

Alternatif yang dapat diusulkan untuk dipertimbangkan adalah kepastian masa depan para penyuluh. Pengangkatan penyuluh lapangan (atau PP) yang berstatus tenaga honorer menjadi pegawai tetap pemerintah perlu diprioritaskan dan diusulkan anggaran untuk kegiatan mereka, bahkan secara bertahap perlu diangkat penyuluh-penyuluh baru dan diberi tanggungjawab

bersama-sama petani membantu meningkatkan kinerja usahatani pada setiap gapoktan. Selanjutnya, mengikuti pengangkatan PMT di daerah yang bantuannya sangat dibutuhkan untuk mendorong pengembangan gapoktan, maka kepada mereka layak diberikan kontrak dengan honorarium penuh selama 12 bulan dalam masa satu tahun.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian20

Menyoroti kelembagaan PUAP saat ini, harus diakui bahwa tidak semua gapoktan penerima BLM PUAP memiliki potensi kuat memajukan agribisnis di wilayah masing-masing. Gapoktan yang memiliki potensi kuat untuk dikembangkan, dengan persyaratan tertentu, perlu diidentifikasi. Pembinaan berkelanjutan terhadap gapoktan berpotensi ini harus dilakukan dalam berbagai program yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Perkuatan kelembagaan harus dilakukan dengan berbagai upaya, baik upaya yang dilakukan pemerintah pusat dan disinkronkan dengan upaya yang mampu dilakukan oleh pemerintah daerah. Sinergi program kedua tingkat pemerintahan ini harus dilakukan secara terpadu agar percepatan pengembangan dapat diciptakan. Evaluasi yang dilakukan melalui penelitian ini mengindikasikan perlunya perkuatan kelembagaan gapoktan potensial tersebut.

Jika Program PUAP masih atau tidak dilanjutkan pada tahun-tahun yang akan datang pada desa/gapoktan lainnya, hasil penelitian ini mengindikasikan perlunya dilaksanakan identifikasi gapoktan potensial, khususnya gapoktan yang telah mempunyai LKM dan menekuni usaha ekonomi yang menjanjikan. Hal ini perlu dipertimbangkan dan dijadikan prioritas kegiatan (Ditjen PSP) pada tahun yang akan datang sehingga proses

pengembangannya dapat dipercepat dan menjadi model yang dapat ditiru oleh gapoktan lain dalam peningkatan pengelolaan bantuan dana Program PUAP.

Aspek lain terkait dengan dibutuhkannya dokumen legal LKM-A untuk melaksanakan dan memperluas kegiatan usaha/agribisnis adalah pemilihan bentuk badan hukum yang sesuai dengan keberadaan petani dalam gapoktan.

Peran pembina gapoktan di daerah sangat penting. Para pembina daerah seharusnya memiliki agenda pembinaan yang jelas, terarah, serta konsisten dan dilakukan oleh individu-individu yang mewakili instansi/lembaga terkait. Daerah masih sangat lemah dalam koordinasi kegiatan seperti ini, terutama karena selain tidak memiliki agenda pembinaan yang jelas, seringnya pergantian pejabat yang mengurus kepentingan petani di daerah sangat memengaruhi kinerja para pembina ini. Arah dan konsistensi pembinaan dapat berubah dan kelanjutan kegiatan juga dapat terhambat. Oleh karena itu, para pembina di daerah perlu berkoordinasi dan membuat agenda pembinaan yang konkrit dan berkelanjutan, dan jika pergantian pejabat di daerah tidak dapat dihindarkan, maka setiap individu pembina ini harus tunduk pada agenda pembinaan dengan kegiatan yang telah disepakati. Tim Pembina/Teknis Program PUAP harus mengambil inisiatif melakukan komunikasi secara intensif dengan berbagai instansi terkait dan merumuskan berbagai bentuk pembinaan gapoktan, jika perlu untuk setiap gapoktan lengkap dengan materi, waktu, tempat, dan berbagai kebutuhan lainnya.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  21

B. Panel Petani Nasional (PATANAS): Indikator Pembangunan Pertanian dan Perdesaan di Wilayah Agroekosistem Lahan Kering Berbasis Sayuran dan Palawija

Pembangunan pertanian dari sejak pemerintahan Orde Baru hingga ke pemerintahan Orde reformasi tidak pernah berhenti yang ditandai dengan silih bergantinya kebijakan dan program yang dijalankan yang semuanya dimaksudkan untuk mencapai target-target utama pembangunan pertanian. Selama lima tahun kedepan (2010-2014) ada 4 (empat) target utama Kementerian Pertanian, yaitu: (a) pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, (b) peningkatan diversifikasi pangan, (c) peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor, dan (d) peningkatan kesejahteraan petani (Kementerian Pertanian, 2009). Untuk mengetahui hasil-hasil dan dampak dari pembangunan pertanian khususnya yang berkaitan dengan target utama berupa peningkatan kesejahteraan petani sudah barang tentu pemerintah membutuhkan informasi yang dimaksudkan untuk mempertajam tujuan dan sekaligus kebijakan maupun program pembangunan pertanian itu sendiri. Infomasi tersebut dirumuskan dalam bentuk indikator-indikator pembangunan ekonomi.

Dengan diperolehnya indikator-indikator pembangunan ekonomi tersebut akan diperoleh sejumlah manfaat. Pertama, indikator-indikator tersebut dapat melengkapi indikator pembangunan ekonomi di tingkat agregat nasional, provinsi atau kabupaten yang secara berkala diterbitkan oleh BPS. Kedua, indikator-indikator tersebut dapat digunakan untuk memperoleh gambaran tentang dinamika hasil-hasil dan dampak pembangunan pertanian di tingkat rumah tangga di wilayah pedesaan khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan petani dalam periode 2008-2011. Ketiga, indikator-indikator tersebut dapat dijadikan masukan dalam rangka mempertajam tujuan dan sekaligus kebijakan maupun program pembangunan khususnya pembangunan pertanian yang bersifat spesifik lokasi dan spesifik komoditas.

Secara garis besar tujuan penelitian adalah menyajikan sejumlah indikator yang merefleksikan dinamika hasil-hasil dan dampak pembangunan pertanian dan perdesaan di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis sayuran dan palawija khususnya di tingkat usahatani dan rumah tangga. Lokasi penelitian dilakukan di Provinsi Lampung, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukan bahwa luas lahan tegalan tidak mengalami pertambahan, sementara di sisi lain jumlah penduduk terus meningkat sehingga tekanan jumlah penduduk terhadap lahan pertanian cenderung semakin berat yang diindikasikan oleh rata-rata luas lahan tegalan per rumah tangga yang relatif sempit. Konsekuensinya, daya serap subsektor tanaman pangan di desa-desa lokasi penelitian terhadap pertambahan tenaga kerja akan semakin terbatas. Oleh karena itu, pemerintah perlu membuka seluas-luasnya lapangan kerja di sektor

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian22

non-pertanian agar terjadi pergeseran struktur kesempatan kerja di wilayah pedesaan

Kapasitas produksi usahatani komoditas utama (komoditas basis) di desa-desa lokasi penelitian masih memungkinkan ditingkatkan melalui penggunaan benih unggul berlabel dan penerapan pemupukan berimbang. Dalam hubungan ini yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah tetap memberikan subsidi untuk pupuk anorganik. Subsidi semacam ini harus juga diterapkan untuk benih palawija dan sayuran. Melalui pemberian subsidi pupuk dan benih diharapkan beban biaya usahatani yang harus ditanggung petani menjadi relatif lebih ringan.

Pada saat ini diversifikasi sumber pendapatan harus dilakukan rumah tangga petani sebagai konsekuensi dari terbatasnya pendapatan dari usahatani komoditas utama (komoditas basis) dan atau sektor pertanian untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga sehari-hari baik berupa pengeluaran makan maupun non-makanan.

Dengan menggunakan pangsa pengeluaran pangan sebagai petunjuk tingkat kesejahteraan, selama periode tahun 2008-2011 secara agregat rumah tangga petani lahan kering berbasis palawija mengalami peningkatan kesejahteraan yang ditunjukkan oleh penurunan pangsa pengeluaran pangan dari 62 persen pada tahun 2008 menjadi 57,54 persen pada tahun 2011, sementara itu secara agregat rumah tangga petani lahan kering berbasis sayuran mengalami penurunan tingkat kesejahteraan yang ditunjukkan oleh kenaikan pangsa pengeluaran pangan dari 47 persen pada tahun 2008 menjadi 56,67 persen pada tahun 2011.

Selama periode tahun 2008-2011 jumlah rumah tangga miskin khususnya di desa-desa lokasi penelitian diperkirakan meningkat disebabkan oleh penurunan tajam profitabilitas beberapa usahatani dan relatif rendahnya tingkat dan laju upah tenaga kerja di sektor pertanian selama periode tahun tersebut. Oleh karena itu program raskin dinilai tetap bermanfaat bagi meringankan beban pengeluaran (khususnya pengeluaran pangan) bagi penduduk miskin. C. Keragaan, Permasalahan dan Upaya Mendukung Akselerasi Program

Swasembada Daging Sapi

Selama 40 tahun terakhir industri sapi potong Indonesia mengalami dinamika yang arahnya cenderung negatif. Ketika dasawarsa 1979-1980 Indonesia merupakan negara eksportir sapi potong. Kemudian pada dasawarsa 1980-1990 Pemerintah mengambil kebijakan menghentikan ekspor sapi potong dan kerbau). Akhirnya sejak awal tahun 1990-an sampai saat ini justru Indonesia menjadi negara pengimpor sapi potong. Hal ini disebabkan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan pendapatan. Di lain pihak, pertumbuhan produksi daging sapi dalam negeri relatif lambat.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  23

Mengingat pentingnya kemandirian pangan, dengan dukungan politik dan dana serta pengalaman di masa lalu maka kebijakan swasembada daging sapi dan kerbau dilakukan lagi dengan rancangan yang melibatkan berbagai stakeholder. Rancangan dibuat dalam suatu dokumen berupa blue print (BP). Dengan demikian diharapkan program akan memberi hasil lebih baik dari dua program sebelumnya. Untuk mendapat hasil sesuai dengan tujuan dan maksud dari PSDS maka diperlukan data dan informasi terkait dengan implementasi dan dampak PSDS. Untuk itu penelitian yang terkait dengan kinerja dan upaya akselerasi PSDS perlu dilakukan sebagai bahan masukan bagi instansi terkait yang melaksanakan program tersebut, khususnya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjennak dan Keswan), Kementerian Pertanian (Kementan).

Dalam BP, PSDS 2014 akan ditempuh dengan 13 rencana aksi. Namun darimana menurunkan ketigabelas rencana aksi tersebut merupakan masalah yang perlu ditelusuri. Apakah kegiatan yang ada diturunkan dari struktur organisasi Ditjennak yang cenderung membagi tugas namun tidak melihat urgensi kegiatan dikaitkan dengan keterbatasan dana dan waktu untuk melaksanakan program? Atau, kegiatan yang ada diturunkan dari teori fungsi produksi atau penawaran, sehingga upaya yang dilakukan adalah bagaimana menggeser kurva penawaran ke kanan. Selanjutnya dari peubah yang ada apakah ada langkah-langkah penentuan prioritas, sehingga kegiatan mana yang didahulukan. Artinya, perlu diketahui apa konsep swasembada yang digunakan dan upaya apa yang dilakukan untuk mencapai swasembada tersebut.

Implementasi kebijakan selama ini cenderung bersifat top down dan seragam pada berbagai daerah. Padahal kondisi bervariasi dan kebijakan akan dirasakan berbagai pihak.

Senjang permintaan dan penawaran daging sapi nasional terus melebar. Untuk menutupi senjang tersebut dipenuhi dari impor. Pertumbuhan volume impor ternak dan daging sapi nasional terus meningkat. Efisiensi

produksi dan pemasaran di dan dari negara eksportir memicu semakin besarnya pangsa impor tersebut. Akibatnya industri sapi potong nasional yang berbasis peternakan skala kecil terus terdesak. Apabila tidak ada upaya khusus, ketergantungan impor akan semakin meningkat dan mengancam kemandirian pangan dan industri sapi potong nasional. Pemerintah mencanangkan program swasembada daging sapi (PSDS). Upaya tersebut tidak mudah, membutuhkan alokasi anggaran yang besar, butuh komitmen tinggi antar instansi dan tingkat Pemerintahan, melibatkan banyak stakeholder dan membutuhkan waktu lama. Agar program berjalan efektif diperlukan informasi dan data dukung terkait dengan permasalahan implementasi program di lapangan sejak konsep, dukungan anggaran dan pelaksanaan kegiatan di lapang. Informasi dan data dukung tersebut akan dikomunikasikan kepada berbagai instansi terkait untuk mengakselerasi tujuan dan maksud yang ingin dicapai PSDS.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian24

Penelitian ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan PSDS 2014 baik di tingkat pusat maupun di berbagai daerah khususnya pada empat lokasi penelitian mendapat dukungan berbagai pihak. Hal itu terlihat dari dukungan program dan dana baik dari Ditjen dalam Kementan, kementerian lain, Pemda, Program CSR dan Community Development pihak swasta yang mendukung 13 kegiatan PSDS 2014 koheren mencapai sasaran. Distribusi dokumen formal sebagai payung hukum pelaksanaan PSDS di daerah masih belum berjalan dengan baik. Sosialisasi dan pelaksanaan di daerah terutama pada tingkat kabupaten/kota terkadang menghadapi kendala dana operasional akibat sistem otonomi daerah yang mengharuskan daerah membiayai sendiri programnya.

Dukungan SDM untuk mensukseskan PSDS masih kurang, terutama pada aspek budidaya (reproduksi) dan pascapanen (tenaga di RPH). SDM mutlak diperlukan untuk menjamin berlangsungnya keseluruhan program terlaksana dengan baik sesuai dengan petunjuk pelaksanaan 13 kegiatan PSDS.

Peningkatan populasi dan produksi ternak dan daging sapi melalui berbagai program pada poknak termasuk SMD diperkirakan akan berpengaruh positif namun dalam menentukan calon kelompok dan calon lokasi perlu diperketat. Pencapaian target pengembangan pupuk organik dan biogas akan mudah dicapai, namun hasilnya tidak berpengaruh langsung pada kegiatan peningkatan populasi dan produksi terrnak dan daging sapi. Kegiatan ini dapat merangsang peternak untuk berusaha karena mampu memberi penghasilan baik tunai maupun tidak. Kegiatan integrasi sawit sapi merupakan potensi besar untuk meningkatkan populasi dan produsi ternak dan daging sapi. Namun pihak pengelola perkebunan sawit masih banyak yang belum terlibat, padahal potensi keuntungan yang dihasilkan cukup baik.

Penyediaan bibit sapi dalam bentuk produksi dan distribusi semen beku menunjukkan hasil yang baik terutama yang dilakukan oleh UPT Pusat. Namun dalam pelaksanaan IB di tingkat peternak masih mengalami hambatan. Hal ini terindikasi dari nilai service per conception (S/C) yang besar dan jarak kelahiran lebih dari 14 bulan. Masalah utama adalah kekurangan tenaga inseminator, pemeriksa kebuntingan, dan tenaga lain yang mendukung keberhasilan IB.

Implementasi kegiatan penjaringan betina produktif masih mendua antara dilakukan di RPH, di pasar hewan, atau di tingkat peternak. Hasil sementara beberapa sapi betina hasil penjaringan sudah memberi keturunan dengan kualitas yang baik. Namun beberapa opsi tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan, terutama ada dugaan terjadi manipulasi pemanfaatan dana.

Pengendalian impor ternak dan daging sapi pada akhir 2010 telah mampu mendorong meningkatnya volume pemasaran dari sentra produksi terutama dari Jawa ke sentra konsumsi di Jabar. Hal ini terindikasi dari banyaknya sapi yang diperdagangkan di pasar hewan Ciwareng

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  25

yang memperdagangkan sapi bibit dan sapi potong serta sapi yang masuk RPH Ciroyom Bandung.

Di tingkat makro, untuk mensukseskan PSDS 2014 dukungan kebijakan impor sapi bibit/bakalan, daging sapi, dan jeroan harus ditinjau ulang untuk menjamin kelangsungan usahaternak sapi skala kecil yang mendominasi peternakan sapi Indonesia. Diharapkan pemerintah tidak melakukan kebijakan berstandar ganda, sehingga akan menghambat target yang ingin dicapai Program PSDS.

Implikasi kebijakan dari penelitian ini adalah: (1) Seleksi kelompok mendukung peningkatan populasi perlu dilakukan dengan seleksi ketat sehingga hasilnya menjadi lebih efektif. Upaya lain adalah melibatkan BUMN, investor lokal, dan mengembangkan usaha skala menengah yang ada di masyarakat; (2) Mulai 2012 sebaiknya penerapan pengolahan pupuk organik dan biogas dilakukan pada lokasi yang benar-benar dibutuhkan dan sumber pupuk

kandang tersedia tidak disamaratakan pada setiap daerah. Pada beberapa daerah, keberadaan biogas dan pupuk organik masih belum dibutuhkan; (3) Upaya mengoptimalkan sistem integrasi sawit sapi memerlukan peran pihak lain di luar Kementerian Pertanian, seperti pihak BUMN, Asosiasi Perkebunan, dan penyandang dana yang terkait dengan usaha perkebunan sawit; (4) Namun beberapa opsi tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan, terutama ada dugaan terjadi manipulasi pemanfaatan dana. Karena masih pada tahap awal, maka kegiatan ini perlu terus dimonitor dan dievaluasi secara khusus, sehingga terhindar dari upaya-upaya moral hazard yang merugikan; (5) Untuk meningkatkan efektivitas program penjaringan betina produktif memerlukan monitoring, evaluasi, dan perbaikan terus-menerus, sehingga terhindar dari upaya-upaya moral hazard yang merugikan; (6) Kegiatan VBC belum memberi hasil yang memuaskan. Oleh karena itu, kegiatan VBC sebaiknya dialihkan pada kegiatan pertama, yaitu pengembangan usaha pembiakan sapi lokal; (7) Untuk mendorong kegiatan peningkatan populasi dan produksi daging sapi di dalam negeri diperlukan pengendalian impor ternak dan daging sapi yang dilakukan dengan komitmen tinggi dan konsisten; (8) Perbaikan di berbagai lini harus dilakukan di tingkat mikro dan makro dan mengarahkan kegiatan menjadi lebih fokus, sehingga dana, tenaga, dan waktu untuk mencapai target swasembada menjadi lebih efisien dan efektif; (9) Distribusi dan pemasaran sapi dan daging harus memperhatikan aspek keswan dan kesmavet. Pencegahan penyakit menular dari ternak ke ternak atau dari ternak ke manusia harus menjadi agenda setiap pihak yang terlibat dalam saluran distribusi dan pemasaran tersebut; (10) Masyarakat perlu ditingkatkan kesadarannya tentang pentingnya memperoleh daging ASUH dari ternak yang sehat dan tidak membeli karena harga murah. Di setiap mata rantai pemasaran akan selalu ada celah pelanggaran terkait kedua aspek tersebut. Peran Pemerintah penting dalam membuat aturan dan sanksi tegas atas pelanggaran kedua aspek ini, sehingga memberi efek jera.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian26

D. Studi Kebijakan Akselerasi Pertumbuhan Produksi Padi di Luar Jawa

Secara historis, Pulau Jawa merupakan sentra produksi padi dan sebagian besar produksi padi nasional dihasilkan di Pulau Jawa. Selama tahun 1985-2005 sekitar 55-62 persen produksi padi nasional dihasilkan di Pulau Jawa. Sekitar 95 persen produksi padi tersebut dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya dihasilkan dari lahan kering (padi ladang). Akan tetapi, laju pertumbuhan produksi padi sawah di Pulau Jawa akhir-akhir ini justru cenderung turun. Selama tahun 1985-1995 produksi padi sawah di Jawa rata-rata meningkat 1,60 persen per tahun tetapi pada tahun 1995-2005 laju peningkatan produksi padi tersebut hanya sebesar 0,59 persen per tahun.

Dalam jangka panjang laju pertumbuhan produksi padi di Jawa diperkirakan akan terus mengalami penurunan atau semakin lambat terutama karena konversi lahan sawah ke penggunaan non pertanian di Pulau Jawa akan terus meningkat sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang membutuhkan lahan untuk pemukiman sehingga akan mengurangi kapasitas produksi padi sawah. Oleh karena itu, untuk mendorong peningkatan produksi padi nasional maka perlu dilakukan suatu terobosan dengan memacu peningkatan produksi padi di luar Jawa. Secara agronomis upaya peningkatan produksi padi tersebut dapat ditempuh melalui peningkatan produktivitas, peningkatan luas tanam, dan peningkatan intensitas tanaman padi, khususnya di daerah yang memiliki agroklimat yang sesuai untuk pengembangan tanaman padi.

Kecamatan di Pulau Sulawesi sebagian besar memiliki basis sumberdaya lahan kering (74,7% kecamatan). Hal ini mengungkapkan bahwa sebagian besar kecamatan di pulau Sulawesi memiliki sumberdaya lahan kering yang relatif dominan. Jika dikaji menurut peranannya terhadap luas tanaman padi di Pulau Sulawesi, maka sebagian besar kecamatan tidak tergolong sebagai sentra tanaman padi dan hanya 214 kecamatan atau 27,5 persen kecamatan yang tergolong sentra tanaman padi.

Struktur tanaman pangan yang didominasi oleh tanaman padi dan areal tanaman padi yang relatif luas, menyebabkan kecamatan sentra padi memiliki peranan cukup besar terhadap total luas tanaman padi di Pulau Sulawesi. Sekitar 75 persen tanaman padi di Pulau Sulawesi dikembangkan pada kecamatan sentra tanaman padi dan sisanya diusahakan pada kecamatan non sentra tanaman padi. Namun sekitar 62 persen tanaman kedele juga dikembangkan pada kecamatan sentra padi dan sisanya dikembangkan pada kecamatan non sentra tanaman padi.

Dari segi luas lahan sawah, luas lahan sawah cenderung lebih besar di kecamatan sentra tanaman padi (3601 ha/kecamatan) dibanding kecamatan bukan sentra tanaman padi (784 ha/kecamatan). Dari segi luas lahan sawah per keluarga, luas lahan sawah per keluarga relatif lebih luas di kecamatan sentra

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  27

tanaman padi (0,56 ha/keluarga) dibanding kecamatan bukan sentra tanaman padi (0,18 ha/keluarga). Dari segi ketersediaan jaringan irigasi, jumlah desa yang tersedia jaringan irigasi cenderung lebih banyak di kecamatan sentra tanaman padi (71,8% desa) dibanding kecamatan bukan sentra tanaman padi (36,1% desa).

Dari segi jumlah tenaga kerja buruh tani, jumlah tenaga kerja buruh tani relatif lebih banyak di kecamatan sentra tanaman padi (2888 orang per kecamatan) dibanding kecamatan bukan sentra tanaman padi (1274 orang per kecamatan). Selanjutnya, dari segi keberadaan fasilitas kredit, jumlah desa yang telah menikmati fasilitas kredit cenderung lebih banyak di kecamatan sentra tanaman padi (KKP 9,6% desa;KUK 26,4% desa; KPR 11,2% desa dan kredit lainnya 41,2% desa) dibanding kecamatan bukan sentra tanaman padi (KKP 4,9% desa; KUK 22,2% desa;KPR 6,3% desa; dan kredit lainnya 25,7% desa).

Dari segi peranan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan penduduk, peranan sektor pertanian sebagai sumber pendapatan penduduk cenderung lebih besar di kecamatan sentra tanaman padi (97,0%) dibanding kecamatan bukan sentra tanaman padi (81,7%). Dari segi luas tanam padi, luas tanam padi cenderung lebih banyak di kecamatan sentra tanaman padi (5210 ha/kecamatan) dibanding kecamatan bukan sentra tanaman padi (654 ha/kecamatan). Kemudian, dari segi IP padi, 60,8 persen luas sawah di kecamatan sentra tanaman padi memiliki IP padi 100-200 persen. Sementara itu 70,5 persen luas sawah di kecamatan bukan sentra tanaman padi memiliki IP padi kurang dari 100 persen.

Besarnya peranan faktor-faktor penentu pengembangan padi diurut dari yang terbesar hingga terkecil adalah sebagai berikut: (1) kondisi iklim dan tanah (31,0%), (2) karakteristik sumberdaya lahan (18,6%), (3) infrastruktur pendukung (14,7%), (4) lembaga pendukung (9,7%), (5) lingkungan sosial ekonomi (10,3%), (6) karakteristik petani (7,5%), dan (7) ketersediaan teknologi (8,1%).

Di Pulau Sulawesi, Sumatera dan Papua ketersediaan air masih melebihi kebutuhan air dengan kata lain masih mengalami surplus. Surplus air tersebut pada umumnya terjadi pada musim hujan maupun musim kemarau. Di Pulau Sulawesi surplus air tersebut sekitar 89 persen pada musim hujan dan 37 persen pada musim kemarau dan hal ini menunjukkan bahwa dari segi ketersediaan air peningkatan luas tanaman semusim masih memungkinkan. Dalam konteks perluasan tanaman padi hal tersebut mengindikasikan bahwa peluang keberhasilan peningkatan IP padi di Pulau Sulawesi masih cukup besar.

Potensi perluasan sawah di Pulau Sulawesi sebesar 423 ribu hektar. Seluruh sumberdaya lahan yang dapat dijadikan lahan sawah tersebut berupa lahan bukan rawa. Di Pulau Sulawesi kendala sosial pengembangan lahan sawah relatif kecil dibanding Pulau Maluku dan Papua atau Pulau Kalimantan, karena sebagian besar petani di Pulau Sulawesi telah terbiasa menanam padi.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian28

Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa secara sosial peluang keberhasilan perluasan lahan sawah dalam rangka mendorong peningkatan produksi padi di luar Pulau Jawa relatif besar di Pulau Sulawesi dibanding pulau lainnya.

Khusus di Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat 146 kecamatan atau 52,0 persen kecamatan yang memiliki potensi pengembangan padi relatif tinggi dengan total luas sawah sekitar 479,9 ribu hektar atau 81,0 persen dari luas sawah yang tersedia. Kecamatan tersebut pada umumnya merupakan kecamatan sentra tanaman padi. Sekitar 53 persen lahan sawah tersebut terdapat di 4 kabupaten utama, yaitu Kabupaten Wajo, Bone, Pinrang dan Sidrap.

Sementara di Provinsi Sulawesi Tengah terdapat 31 kecamatan atau 27,2 persen kecamatan yang memiliki potensi pengembangan padi relatif tinggi dengan total luas sawah sekitar 94,2 ribu hektar atau 63 persen dari luas sawah yang tersedia. Kecamatan tersebut pada umumnya merupakan kecamatan sentra tanaman padi. Sekitar 59,5 persen lahan sawah tersebut terdapat di 3 kabupaten utama, yaitu Kabupaten Sigi, Parigi Moutong dan Banggai.

Implikasi kebijakan penelitian ini adalah bahwa ancaman konversi lahan sawah pada tipe kecamatan sentra padi relatif tinggi sehingga lahan sawah yang tersedia cenderung berkurang, padahal pada wilayah tersebut mempunyai peranan relatif besar terhadap luas tanaman padi, kedele dan jagung. Untuk mengatasi masalah ini perlu diterapkan kebijakan insentif yang difokuskan pada kecamatan potensial padi. Disamping untuk mengatasi masalah konversi lahan kebijakan tersebut juga diperlukan untuk mengurangi kemiskinan di wilayah tersebut.

Peluang peningkatan IP padi di Pulau Sulawesi juga masih cukup besar mengingat surplus air pada musim hujan dan musim kemarau masih cukup besar. Dalam kaitan ini, pemanfaatan air sungai untuk irigasi melalui pompanisasi merupakan salah satu alternatif yang dapat ditempuh, mengingat cukup banyak desa yang dilalui sungai tetapi hanya sebagian kecil yang telah dimanfaatkan untuk irigasi. Pendekatan lain yang perlu ditempuh pada lahan sawah irigasi adalah melakukan penataan jadwal pengairan dan pasokan air yang optimal untuk usahatani padi. Dalam kaitan ini koordinasi dengan institusi pengairan sangat diperlukan. E. Panel Petani Nasional (Patanas): Dinamika Indikator Pembangunan

Pertanian Dan Perdesaan di Wilayah Agroekosistem Lahan Kering Berbasis Perkebunan

Penelitian PATANAS (Panel Petani Nasional) merupakan kajian yang bersifat panel, dirancang untuk memantau dan memahami berbagai perubahan jangka panjang profil rumahtangga di daerah perdesaan. Kajian PATANAS menghasilkan data panel mikro, gabungan data time series dan cross section

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  29

yang memiliki kandungan data dan informasi yang rinci serta memiliki spektrum ekonomi dan sosial yang sangat luas mencakup berbagai variasi agroekosistem dan wilayah serta komoditas basis. Dinamika pembangunan pertanian dan perdesaan di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan mengkaji perubahan kondisi sosial ekonomi perdesaan dalam rentang waktu 2009 – 2012. Dari kajian ini akan dihasilkan sejumlah indikator pembangunan pertanian dan perdesaan.

Tujuan umum penelitian adalah mengkaji dinamika sosial ekonomi perdesaan di agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan dalam periode 2009-2012 guna menghasilkan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan kapasitas produksi usahatani dan kesejahteraan rumah tangga di wilayah agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan. Dasar pemilihan provinsi-provinsi yang menjadi lokasi penelitian yang

mewakili agroekosistem lahan kering berbasis perkebunan yang sudah dilakukan pada survei pertama (tahun 2009) adalah berdasarkan konsep sentra produksi dengan metoda LQ (Loqation Qoution), adalah Jambi (mewakili komoditas karet dan kelapa sawit), Jawa Timur (mewakili komoditas Tebu), Kalimantan Barat (mewakili komoditas karet dan kelapa sawit), dan Sulawesi Selatan (mewakili komoditas kakao).

Kajian penelitian ini menghasilkan kesimpulan antara lain: (1) Dinamika penguasaan lahan selama periode 2009-2012 mengalami peningkatan cukup nyata pada wilayah komoditas basis karet dan kelapa sawit yang umumnya diperoleh melalui lahan warisan yang semula masih berupa hutan dan melalui pembelian kebun dari petani lain dengan distribusi penguasaan lahan yang dicerminkan melalui indeks Gini secara umum bergeser dari status ketimpangan ringan ke sedang; (2) Penyerapan tenaga kerja dan partisipasi kerja cenderung meningkat, kecuali untuk wilayah komoditas basis tebu yang cenderung menurun; (3) Adopsi teknologi budidaya cenderung meningkat yang ditunjukkan melalui peningkatan partisipasi penggunaan bibit unggul, dan teknik pemeliharaan yang baik; (4) Pendapatan rumahtangga perkebunan setara beras meningkat rata-rata 82 persen dari 3707 kg/kapita/tahun menjadi 6753 kg/kapita/tahun karena membaiknya harga komoditas perkebunan dan semakin banyaknya ragam sumber pendapatan; (5) Selama periode 2009-2012 pengeluaran total rumahtangga secara nominal meningkat 50 persen, sedangkan secara riil setara kg beras rata-rata hanya meningkat 17 persen; (6) Secara rataan insiden kemiskinan (headcount index) berkisar 5,0 persen - 15,0 persen, kecuali untuk kabupaten Pinrang yang mewakili agroekosistem lahan kering perkebunan berbasis komoditas kakao sebesar 35,9 persen; (7) Secara umum nilai tukar petani (NTP) pekebun selama periode 2009-2012 terhadap total pengeluaran, dan total konsumsi pangan dan non pangan, namun nilai tukar terhadap biaya produksi cenderung menurun, yang mengindikasikan semakin meningkatnya biaya produksi usahatani; dan (8) Pada kelembagaan Agribisnis, cara pemasaran

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian30

hasil cenderung mengarah pada mekanisme yang lebih baik, yaitu semakin meningkatnya penjualan hasil secara persatuan hasil dan menurunnya cara tebasan dan ijon. F. Kajian Alternatif Skema Pembiayaan APBN untuk Mendukung

Swasembada Beras

Pada beberapa tahun terakhir ini, sektor pertanian juga dihadapkan pada tantangan yang semakin berat, tetapi sekaligus merupakan peluang dalam kaitan anomali iklim. Iklim ekstrim yang sulit diprediksi menjadi penghalang bagi kegiatan pengembangan usaha pertanian, khususnya usahatani padi. Berbagai jenis tanaman budidaya sulit diharapkan dapat berproduksi secara optimal, sehingga petani dihadapkan

pada risiko kerusakan tanaman yang berujung pada kerugian. Namun di tengah tantangan itu, terbuka peluang mengoptimalkan berbagai potensi yang tersedia guna meningkatkan produksi berbagai produk pertanian. Melalui sosialisasi penerapan teknologi budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim, perbaikan infrastruktur pertanian, perluasan areal pertanaman, sistem irigasi yang efisien, dan manajemen usahatani yang lebih baik, peluang meningkatkan produksi beberapa komoditas pertanian sangat terbuka.

Permasalahan dan tantangan yang akan dihadapi dimasa mendatang untuk meningkatkan produksi komoditas pangan, terutama beras akan semakin berat dengan semakin terbatasnya sumber-sumber pembiayaan pemerintah dan sumber daya lainnya. Untuk itu diperlukan upaya mengefektifkan setiap kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan pertanian dan pengembangan usahatani oleh pemerintah, khususnya untuk meningkatkan kapasitas produksi padi/beras. Dalam konteks ini, skema pembiayaan peningkatan kapasitas produksi perlu dirumuskan untuk mendukung pencapaian swasembada beras dalam tahun-tahun yang akan datang. Pembiayaan pertanian yang bersumber dari APBN akan semakin terbatas karena banyaknya kebijakan dan program pembangunan di berbagai sektor. Dalam kaitan ini, perubahan pendekatan dibutuhkan untuk merumuskan alternatif skema pembiayaan APBN yang lebih efektif sebagai masukan dalam pengambilan keputusan kebijakan peningkatan produksi/produktivitas padi/beras nasional.

Beras sebagai bahan pangan pokok harus selalu tersedia, dapat diakses dan diperoleh dengan harga yang terjangkau. Pembangunan pertanian tanaman pangan oleh Kementerian Pertanian difokuskan pada komoditas padi, jagung, kedelai, tebu dan sapi. Program peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pangan, khsususnya padi, dilaksanakan dalam berbagai bentuk kegiatan dan membutuhkan pendanaan yang besar yang berasal dari APBN. Secara umum, tujuan kajian ini adalah untuk memperoleh skema pembiayaan peningkatan kapasitas produksi padi/beras yang efisien yang bersumber dari APBN. Secara khusus, tujuan kajian ini adalah untuk: (a) Meninjau kembali skema pembiayaan

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  31

APBN untuk mendukung swasembada beras; (b) Mengevaluasi implementasi skema pembiayaan APBN dalam rangka peningkatan kapasitas produksi dan produktivitas beras; (c) Menganalisis efektivitas skema pembiayaan APBN dalam rangka peningkatan kapasitas produksi dan produktivitas beras

Hasil kajian menunjukkan bahwa banyak program diarahkan untuk swasembada beras, seperti subsidi harga input, subsidi bunga kredit, bansos, sekolah lapang, perbaikan/peningkatan infrastruktur, bantuan alsintan, perluasan areal, perlindungan usahatani yang pelaksanaannya kurang terkoordinasi, tumpang tindih, atau tidak efektif mencapai sasaran. Alternatif skema pembiayaan

APBN membutuhkan penelaahan mendalam/revisiting seluruh program dengan mengidentifikasi semua bentuk pembiayaan dan memusatkan perhatian/refocusing upaya peningkatan produksi dan produktivitas melalui rekayasa teknologi dan inovasi benih, pembaruan skema subsidi dengan sumber keuangannya, peningkatan perlindungan usahatani, bantuan alsintan secara tepat, perluasan areal dengan infrastruktur memadai, dan menghindari program bersifat bansos.

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian32

Daftar Nama Peneliti Berdasarkan Minat dan Bidang Keahlian

No. Nama Peneliti Bidang Keahlian dan Minat Email

1. Dr. Ir. Handewi P. Saliem, MS. Ekonomi Pertanian [email protected]

2. Prof. Dr. Ir. Hutabarat Budiman F.

Ekonomi Pertanian Produksi & Perdagangan Produk Pertanian Kebijakan Pertanian Pembangunan Pertanian

[email protected]

3. Dr. Ir Tri Pranadji, MSi. Sosiologi Pertanian Sosiologi Politik dan Perundang-undangan Akuntanbilitas Lingkungan dan

Pembangunan Berkelanjutan

[email protected]

4. Dr. Ir. Delima Hasri Azahari, MS.

Ekonomi Pertanian [email protected]

5. Dr. Ir. Nizwar Syafa'at, MS. Ekonomi Pertanian [email protected]

6. Dr. Ir. Agus Pakpahan Ekonomi Pertanian [email protected]

7. Prof. Dr. I Wayan Rusastra, MS.

Ekonomi Pertanian Kebijakan Pertanian Ketahanan Pangan & Kemiskinan

[email protected]

8. Prof. Dr. Dewa K.S. Swastika, MS.

Ekonomi Pertanian Supply-Demand Komoditas Tanaman

Pangan Ekonomi Pasca-Panen Padi

[email protected]

9. Ir. Herman Supriadi, MS. Sistem Usaha Pertanian Pemberdayaan Petani Pembangunan Pertanian

[email protected]

10. Dr. Bambang Irawan, MS. Kebijakan Pertanian Ekonomi Pertanian

[email protected]

11. Ir. Sri Wahyuni, MS. Sosiologi Pertanian Kelembagaan Gender

[email protected]

12. Ir. Mewa Ariani, MS Ketahanan Pangan [email protected]

13. Dr. Erwidodo Ekonomi Pertanian [email protected]

14. Dr. Ir. Muchjidin Rachmat, MS. Ekonomi Pertanian [email protected]

15. Dr. Saptana Ekonomi Pertanian Agribisnis Komoditas Pertanian Dayasaing Komoditas Pertanian Kelembagaan Pertanian dan Perdesaan

[email protected]

16. Ir. Amiruddin Syam, MS. Sistem Usaha Pertanian [email protected]

17. Drs. Edi Basuno, M.Phil, Phd Sosiologi Pertanian Kelembagaan Perdesaan Gender Kebijakan Pertanian

[email protected]

18. Dr. Ir. Hermanto, MS Ekonomi Pertanian [email protected]

19. Dr. Ir. Sumaryanto, MS. Ekonomi Pertanian Ekonomi Sumberdaya Perubahan Iklim Agribisnis

[email protected]

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  33

No. Nama Peneliti Bidang Keahlian dan Minat Email 20. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu,

M.Eng. Ekonomi Pertanian Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Pengembangan Kelembagaan Pertanian Pengembangan Agribisnis dan Agro

Industri

[email protected]

21. Ir. Amar Kadar Zakaria Sistem Usaha Pertanian Kelembagaan Sosial Ekonomi Pertanian

[email protected]

22. Dr. Ir. Bambang Sayaka, MSc. Ekonomi Pertanian Pembiayaan Pertanian Industri Benih Pemasaran Pertanian

[email protected]

23. Ir. Adreng Purwoto, MS. Ekonomi Pertanian Pembangunan Perdesaan Ekonomi Kelembagaan Agribisnis

[email protected]

24. Ir. Supadi Ekonomi Pertanian [email protected]

25. Drs. Bambang Winarso Ekonomi Pertanian Agribisnis Pembangunan Perdesaan

[email protected]

26. Dr. Ir. Nyak Ilham, MSi. Ekonomi Pertanian Ekonomi Peternakan Ketahanan Pangan Kebijakan Pertanian

[email protected]

27. Dr. Ir Sri Hery Susilowati, MS. Ekonomi Pertanian Pembangunan Pertanian dan Perdesaan Ekonomi Makro Perdagangan Nasional Kemiskinan

[email protected]

28. Ir. Wahyuning K. Sejati, MSi. Sosiologi Pertanian Komunikasi Pertanian Perdesaan Kelembagaan Pertanian Sosiologi Perdesaan

[email protected]

29. Dr. Ir. Erna M. Lokollo, MS. Ekonomi Pertanian Economics of Biodiversity (Inc. Economics

of Biotechnology) Ekonomi Makro dan Perdagangan

Internasional Kebijakan Publik

[email protected]

30. Ir. Rita Nur Suhaeti, MSi. Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga

Sosiologi Perdesaan Gender dan Pembangunan Pemberdayaan Masyarakat Pendekatan Partisipasi

[email protected]

31. Ir. Muhammad Iqbal, MS. Sosiologi Pertanian Pemberdayaan Masyarakat Pembangunan Perdesaan Ekonomi Kesehatan Hewan

[email protected]

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian34

No. Nama Peneliti Bidang Keahlian dan Minat Email

32. Valeriana Darwis, SE. MM. Ekonomi Pertanian Agribisnis Kelembagaan Manajemen

[email protected]

33. Dr. Ir. Henny Mayrowani, MSc. Ekonomi Pertanian Agribisnis Pembangunan Perdesaan

[email protected]

34. Ir. Roosganda Elizabeth, MSi. Sosiologi Pertanian Pembangunan Pertanian & Perdesaan Kelembagaan Pertanian & Perdesaan

[email protected]

35. Dr. Ir. Adang Agustian, MP. Ekonomi Pertanian & Sumberdaya Kebijakan Pertanian/Komoditas Pertanian Pembangunan Pertanian Perdesaan

[email protected]

36. Dr. Ir. Gatoet S. Hardono, MSi.

Ekonomi Pertanian Konsumsi & Ketahanan Pangan Ekonomi Pangan & Ekonomi

Rumahtangga Kebijakan dan Pembangunan Pertanian

[email protected]

37. Dr. Ir. Saktyanu K.D., MSi. Ekonomi Pertanian Ekonomi Makro Perdagangan Internasional Pembangunan Wilayah/Perdesaan

[email protected]

38. Ir. Rudy Sunarja Rivai, MS. Ekonomi Pertanian [email protected]

39. Dr. Ir. Reni Kustiari, MSc. Ekonomi Pertanian Perdagangan Internasional Agribisnis Pembangunan Perdesaan

[email protected]

40. Dr. Syahyuti Sosiologi Perdesaan & Pertanian [email protected]

41. Ir. Iwan S. Anugrah, MP. Sosiologi Pertanian Pemberdayaan Masyarakat Komunikasi Pembangunan Pertanian Kelembagaan Pertanian

[email protected]

42. Tjetjep Nurasa, SE. Ekonomi Pertanian Agribisnis Pembangunan Perdesaan

[email protected]

43. Ir. Supriyati, MS. Ekonomi Pertanian Ekonomi Ketenagakerjaan Pembangunan Perdesaan/Ketahanan

Pangan Ekonomi Gula, Agro Industri

[email protected]

44. Dr. Ir. Kurnia S. Indraningsih, MSi.

Ekonomi Pertanian Komunikasi Pembangunan Pertanian &

Perdesaan Penyuluhan Pembangunan

[email protected]

45. Wahida, SP., MSi. Ekonomi Pertanian [email protected]

46. Ir. Erma Suryani, MSi. Ekonomi Pertanian [email protected]

 

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian  35

No. Nama Peneliti Bidang Keahlian dan Minat Email 47. Ir. Supena Friyatno, MSi. Ekonomi Pertanian

Ekonomi Regional Ekonomi Sumberdaya

[email protected]

48. Dr. Ir. Arief Iswariyadi Ekonomi Pertanian Perdagangan Internasional Agribisnis Pembangunan Perdesaan

[email protected]

49. Ashari, SP., MP. Ekonomi Pertanian Pembiayaan Pertanian Kemitraan Agribisnis Kebijakan Pertanian

[email protected]

50. Sri Nuryanti, S.TP, MP. Ekonomi Pertanian Perdagangan Internasional Ekonomi Pembangunan & Lingkungan Ekonomi Sumberdaya

[email protected]

51. Dr. Ir. Hermanto, MP. Ekonomi Pertanian Perdagangan Internasional

[email protected]

52. Ir. Sunarsih, MSi. Sosiologi Pertanian [email protected]

53. Ir. Tri Bastuti Purwantini Ekonomi Pertanian Ketahanan Pangan Pembangunan Perdesaan

[email protected]

54. Dr. Ir. Bambang Prasetyo, MS. Ekonomi Pertanian [email protected]

55. Ir. Sri Hastuti Suhartini, MSi Ekonomi Pertanian [email protected]

56. Adi Setiyanto, SP. Kebijakan Pertanian [email protected]

57. Ir. Herlina, MSi. Sosiologi Pertanian [email protected]

58. Drs Chairul Muslim Ekonomi Pertanian Perdagangan Internasional Ekonomi Perdesaan

[email protected]

59. Dr. Ening Ariningsih Ekonomi Pertanian [email protected]

60. Julia F. Sinuraya, SP., MSi. Ekonomi Pertanian Pembangunan Perdesaan

[email protected]

61. Frans B.M. Dabukke, MSi. Ekonomi Pertanian [email protected]

62. Helena J. Purba, SP., MSi. Ekonomi Pertanian Perdagangan Internasional Supply Chain Management

[email protected]

63. Mohamad Maulana, SP. Ekonomi Pertanian Kebijakan dan Pembangunan Pertanian Analisis Usahatani/Mikro Ekonomi Pupuk

[email protected]

64. Muhammad Suryadi, SP. Ekonomi Pertanian [email protected]

65. Juni Hestina, SE Agribisnis Pembiayaan Pertanian Pembangunan Pertanian

[email protected]

 

1Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

Preface Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies (ICASEPS) is one of the echelon II working units within the Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD). In performing its tasks, ICASEPS focuses on analyzing and assessing socio-economic and policy in agriculture. The ICASEPS also re-examines agricultural programs and policies, implements research collaboration, utilizes results of the analyses and assessments, and conducts public consultation related with agricultural socio-economic policies.

For more than three decades, ICASEPS has been a critical, credible research institution in conducting research activities both at national and international levels. The center has produced a lot of agricultural socio-economic research results and proactively provides alternative agricultural development policy recommendations for the stakeholders within the Ministry of Agriculture and the other government agencies.

This booklet conveys information on the ICASEPS’ status, vision, mission, main tasks and functions, organizational structure, human resources, facilities, research programs, publication, library facilities and undertaken research collaboration activities. The objective of publishing the booklet is to provide brief information on the existence of ICASEPS. In addition, it is expected that this booklet will encourage various stakeholders to utilize ICASEPS’ research results, establish research collaboration, and improve research results use. I extend my gratitude and appreciation to any party who has contributed to the publication of this booklet. Any helpful criticism from all readers is welcome for improvement of the future edition of this booklet.

Bogor, October 2013

Director of ICASEPS,

Dr. Handewi P. Saliem

 

2 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

History Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies (ICASEPS) is one of the echelon II level research institutions within the Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD). At its inception in 1976, this institution was known as the Center for Agro Economic

Research (CAER). In line with the dynamics of agricultural development, this center has changed its name several times. In 1990, CAER turned into the Center for Agro-Socio-Economic Research (CASER), and then became the Center for Agro-Socio-Economic Research and Development (CASERD) in 2001. In 2005, the Center changed its name again to Indonesia Center for Agro-Socio Economic Analysis and Policy Studies (CASEPS). Finally in 2010, based on the Regulation of Minister of Agriculture No. 61/Permentan/OT.140/8/2010, the name of this institution determined to be an Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies (ICASEPS).

Within more than three decades since its founding (1976-2011), ICASEPS has been led by seven directors, namely: Prof. Dr. Syarifudin Baharsyah (1976-1983), Dr. Faisal Kasryno (1983-1989), Prof. Dr. Effendi Pasandaran (1989-1995), Prof. Dr. Achmad Suryana (1995-1998), Prof. Dr. Tahlim Sudaryanto (1998-2002), Prof. Dr. Pantjar Simatupang (2002-2005), Prof. Dr. Tahlim Sudaryanto (2005-2010), and Dr. Handewi P. Saliem (2010-present).

Main Tasks and Functions The ICASEPS is responsible for conducting analysis and assessments of socio-economic and agricultural policy. The center’s functions are: (a) to formulate programs on socio-economic and agricultural policy analysis, (b) to carry out analysis and assessment of socio- economic and agriculture policy, (c) to review programs and policies in agriculture, (d) to provide technical services in the field of socio-economic analysis and agricultural policy, (e) to conduct research collaboration, to utilize the results of the analysis and assessment, and to carry out public consultation in the

 

3Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

field of socio-economic and agricultural policies, (f) to evaluate and to report the results of the analysis and assessment of socio-economic and agricultural policies, and (g ) to manage the center’s administrative and general affairs.

According to the Decree of Minister of Agriculture No. 634/Kpts/OT.140/1/2011, on Organization and Administration of the Ministry of Agriculture, there are three Echelon III units in the ICASEPS to support its duties and functions, namely the General Affairs Division, Division of Program and Evaluation, and Division of Dissemination and Collaboration Research Results. In

addition, there are functional groups implementing research and assessment activities and other technical tasks. The complete job description of the echelon III level units are as follows:

A. General Affairs Division consists of:

1. Sub-division of Personnel and Internal Affairs manages personnel and internal affairs including correspondence and archives.

2. Sub-division of Finance and Appliance conducts financial affairs and provides appliances.

B. Programs and Evaluation Division consists of:

1. Program Sub-division prepares materials for program and budgeting of socio-economic analysis and assessment and agricultural policy.

2. Evaluation and Reporting Sub-division prepares the materials for monitoring, evaluation and preparation of report on the analysis and assessment of socio-economic and agricultural policy implementation.

C. Dissemination and Collaboration Research Results consists of:

1. Collaboration Sub-division provides technical services and prepares materials on collaboration of analysis and assessment of socio-economic and agricultural policy.

2. Dissemination Research Results Sub-division prepares materials for promotion, dissemination, commercialization, documentation, and implements library affairs and publication on results of socio-economic analysis and assessment, and agricultural policy.

 

4 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

Vision To be a critical and reliable research institution, an international level center of excellence in providing information and knowledge on social and agricultural economics, and proactively offering alternative policy recommendations on agricultural development.

Mission To conduct analysis and assessment in

order to produce information and knowledge on agricultural socio-economics as the primary product of ICASEPS.

To produce policy analysis, i.e., to process information and science of the research results and propose and consider them as agricultural development policies.

To advocate agricultural development policy to main stakeholders

To develop ICASEPS’ institutional capacity building such that the center is able to realize its vision and mission in a sustainable manner.

Research Programs In carrying out the mission, ICASEPS takes into account the strategic environment and its implications on agricultural development challenges, the main programs of ICASEPS’ for the next five years (2011 – 2014) are as follows:

1. Policy Research Program on Agribusiness Strengthening and Protection.

2. Program Research Program on Natural Resources, Infrastructure and Agricultural Investment.

3. Policy Research Program on Institutional and Agricultural Regulations.

4. Policy Research Program on Macro-economy, Food Security, Poverty Alleviation and Rural Development.

 

5Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

5. Research Program on Dynamics of Agricultural and Rural Economy.

6. Evaluation and Rapid Response on Current Policy Issues.

7. Program on Research Results Dissemination and Institutional Capacity Building.

Organizational Structure

Human Resources In implementing its main duties, ICASEPS is supported by reliable human resources as many as 167 persons. In detailed, the existing staff consists of 29 persons of Doctoral Degree holders, 33 persons of Master Degree holders, 36 persons of Bachelor Degree holders, 16 persons of Diploma Degree holders, 45 persons of High School Graduates, as well as 8 persons of Junior High School/Elementary School Graduates. Of these employees, 87 out of them are functional staff with functional clusters as the following: 81 persons belong to

Head of General Affairs

Ir. Hasyim Asyari, MM

Director of Indonesian Center for Agricultural Socio-

Economic and Policy Studies

Dr. Handewi P. Saliem

Head of Dissemination and Collaboration

Division

Dr. Sri Hery Susilowati

Head of Research Results Dissemination Sub-division Caretaker

Ir. Wartiningsih

Head of Collaboration Sub-

division

Dr. Hermanto

Head of Program Sub-division

M. Suryadi, SP

Head of Evaluation and Reporting Sub-division Caretaker

Ir. Sri H Suhartini, MSi

Functional Groups

Head of Program andEvaluation Division

Dr. Supena Friyatno, MSi

Head of Human Resources and General

Affairs Sub-division

Endro Gunawan, SP, ME

Head of Financial and Facilities Affairs

Drs. Agus Subekti

 

6 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

researchers with various ranks (3 of them are Research Professors) and 6 persons of non-researcher functional rankers (computer-related functional groups, librarian, archivist, and engineering-related functional groups).

ICASEPS has three Research Groups (RG), namely: (1) RG on Macro-economics and International Trade, (2) RG on Agricultural Economics and Agribusiness Management, and (3) RG on Agricultural and Rural Socio-Culture.

Based on the educational background, most of ICASEPS’ researchers, especially for the Masteral Degree (S-2) and Doctoral Degree (S-3) holders are majoring in Agricultural Economics, and the Bachelor Degree holders are majoring in Agricultural Socio-Economics. The researchers specialize in Farming Systems, Agricultural and Development Policy, Rural and Agricultural Sociology, International Economics, International Trade, Land Economics, Resource Economics, Sociology and Institution, Regional Development Economics, Community Empowerment, Agricultural Extension and Communication, Agribusiness, and Agricultural Finance (see attachment).

Facilities 1. Computer Laboratory and Data Analysis

For the purpose of data processing, ICASEPS is equipped with a computer laboratory consisting of PCs and Local Area Network (LAN) PCs. In the future, an International Trade and National Farmers Panel (Patanas) laboratories are to be built. In addition, there are also available database of primary and secondary data collected during research activities. Programs used in data analysis

19

2515

9

13 12 3

ICASEPS Functional Rank

Senior Researcher*) Associate ResearcherAssistant Researcher Junior ResearcherNon-Class Researcher Computer ProgrammersLibrarians Archivists

Note: *) 3 Senior Researchers have been awardedResearch Professorial rank

2933 36

16

45

8

0

20

40

60

ICASEPS Staff Level of Education 

Doctoral Degree Master Degree

Bachelor degree Diploma

Senior High School Junior High/Elementary School

 

7Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

include SAS, Stata, Gams, Shazam, GTAP, CSPro2, Minitab, SPSS and other analysis program applications. 2. Library and Research Results Dissemination

Literature Material Processing

Processing of literature materials has been using CDS/ISIS with the number of database is 19. The names of the databases are BUKU, BPS, STAT, MAJA, DALAK, BROSUR, KORAN, ACIAR, IFPRI, PROS, P/SE, THESIS, CGPRT, SDP, SAE, WIN, SEMI, SP, and TAHUN. To make a significant improvement on library service to users, since 2007 the library had gradually processed library materials using WIN/ISIS program. Then in 2010 database

processing was changed in accordance with the directives from the Center for Agricultural Library and Technology Dissemination into 4 databases namely: BUKU (BOOKS), MAJALAH (MAGAZINES), SEMINAR (SEMINARS), and IPTAN. To access information on the books and articles of the ICASEPS’ library, you can click the following web site http://katalog.pustaka-deptan.go.id/ ~psekp/.

Collection and Total Number of Literature owned by the ICASEPS’ Library on December 2012 are as follows:

No. Database Collection Number 1. BUKU Book collection owned by the library 9,123

2. MAJALAH Magazine collection owned by the library 689

3. SEMINAR Papers collected from seminars 1,048

4. IPTAN Collected agricultural scientific articles 7,586

Total 18,446

Library Services

There are two systems of services offered by ICASEPS library, namely open system for ICASEPS’ researchers and the other is a closed system for non-ICASEPS’ staff. The service system and data retrieval are implemented using a catalog system with a computerized pattern. Data fulfillment needed by users is served directly by the librarians or the ICASEPS’ Digital Library can be accessed online, so that the users can directly access the needed materials. Inter-Library Cooperation

Cooperation among libraries in terms of information services to users is conducted by the Research Results Utilization Sub-division with all libraries within the IAARD mainly those located in Bogor. The ICASEPS’ library provides a special form for Inter-Library Borrowing Services (ILBS). Since 2009, ICASEPS has operated a digital library service network in addition to the ILBS.

 

8 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

The ICASEPS also performs a wider inter-library cooperation, not only with libraries within the Ministry of Agriculture (MOA) but also with those of universities, research institutions and related institutions in all provinces all over Indonesia. At the national level, the ILBS is implemented with the Center for Agricultural Library and Technology Dissemination and with other National or International Research Institutes’ libraries. In 2012, the documented ILBS performed by the Research Results Utilization Sub-Division are 18 Echelons I, 84 Echelons II, 79 University Libraries, 31 Assessment Institute of Agricultural Technology Libraries, 9 International Institutes, 22 e-Libraries of provincial government offices, and 11 other institutions throughout the country.

Publications The ICASEPS issues some publications, namely: (1) Journal of Agro-economics (JAE), (2) Agro-economic Research Forum (FAE), (3) Agricultural Policy Analysis (APA), (4) Working Paper (WP), (5 ) Proceedings of the National Seminar Results, (6) Monograph, (7) Thematic Books, (8) Annual Report, (9) Research Technical Report, (10) Newsletter, and (11) ICASEPS ‘ News.

Since 2006, three scientific publications of ICASEPS have gained accreditation. In 2012, the results of the re-accreditation performed by the Indonesian Institute of Sciences (IIS) are A grade for FAE according to the Decree No.170/AU1/P2MBI/08/2009 and B grades for both JAE and APA based on the Decree No. 198 and 197/AU1/P2MBI/08/2009. Information about the profile of publications of ICASEPS’ can be accessed through the website: http://pse.litbang.deptan.go.id.

Non-ICASEPS’ researchers and teaching staff of universities and other institutions are also welcome to write scientific articles to be published in the periodical publications (JAE, FAE, and APA). Topics of the articles cover various issues on rural development and agriculture. In detailed, the performances of the periodical publications are as follows: Journal of Agro-Economics (JAE)

Journal of Agricultural Economics (JAE) is a primary medium for dissemination of research results on agro-socio economics with the mission of improving the knowledge and professional skills of agro-socio-economist. The JAE uploads information for scientists and observers of agricultural development, policy makers, and agricultural and rural development agents. The JAE is published by ICASEPS 2 times a year, i.e., on May and October.

During 2011-2012, the number of articles published in the JAE was 20 manuscripts. Most authors in the JAE are non-ICASEPS researchers and only 30 percent of them are those of ICASEPS. The non-ICASEPS’ authors come from various universities in Indonesia as well as other countries.

 

9Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

The retrieval for the article topics of JAE during the last five years for 50 articles revealed the following: (a) Resources (15%), (b) Agribusiness development, (c) Food security (15%), (d) Evaluation of agricultural development programs (10%), (e) International marketing/trade, (f) Institution and organization (20%). Agro Economic Research Forum (FAE)

Agro Economic Research Forum (FAE) is a scientific publication reviewing agricultural socio-economic research results as well as original ideas or concepts in agricultural socio-economic issues. This periodical is published twice a year, i.e., on July and December. The number of articles published on the Agro Economic Research Forum between 2011 and 2012 was 20 articles and the authors are mostly ICASEPS’ researchers (95%). Topics of the published articles are: (a) Agribusiness Development (25%), (b) Institution and Organization (25%), (c) Food Security including food diversification and food safety, (d) Rural

development (25%), (e) Credit, Finance, Insurance (5%), (f) Land, labor, and natural resources (15%), and (g) Environmental and Sustainable Development issues (10%). Agricultural Policy Analysis (APA)

Agricultural Policy Analysis (APA) is a periodical of scientific publication discussing and analyzing current agricultural policy issues in the form of ideas, dialogues and polemics. The APA is published four times a year, i.e., on March, June, September and December. Number of articles published in APA during the last two years (2010-2012) was 40 articles. Most articles (62.5%) were written by ICASEPS’ researchers and the remaining 37.5 percent were written by non-ICASEPS’ researchers.

Issues of the articles consist of: (a) Marketing/International Trade (15%), (b) Rural development (2.5%), (c) Land, labor, and natural resources (25%), (d) Credit, Financing, Insurance (2.5%), (e) Food Security, including diversification and food security (7.5%), (f) Evaluation of Agricultural Development Programs (15%), (g) Institution and organization (20%), (h) Environmental/Sustainable Development Issues (5%), (i) Agribusiness Development (5%), and (j) Others ( 12.5%).

Research Cooperation 1. Institution and the Scope of Cooperation

As a Research Institute with its tasks and functions of conducting socio-economic analysis and agricultural policy assessment, ICASEPS conducts collaborative

 

10 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

research activities with both domestic and international institutions. The following are institutions collaborating with ICASEPS in the last two years (2011-2012): No Partner Research Topic Period

International

1 International Food Policy Research Institute (IFPRI)

Market for High-Value Commodities in Indonesia: Promoting Competitiveness and Inclusiveness

June 1, 2009 – November 2011

2 International Food Policy Research Institute (IFPRI)

Plausible Futures for Economic Development and Structural Adjustment in Indonesia-Impacts and Policy Implication for the Asia Pacific Region

January 1, 2009 – December 30 2011

3 Australian Centre for International Agricultural (ACIAR)

Cost Effective Bio Security for Non Industrial Commercial Poultry Production in Indonesia

June 2008 – November 2012

4 The International Development Research (IDRC)

Eco-Health Assessment on Poultry Production Clusters (PPCS) for the Livelihood Improvement of Small Producers

July 2011 – July 2014

5 Michigan State University (MSU)

Access to Modernizing Value Chains by Smalls Farmers in Indonesia and Nicaragua

February – September 2011

Domestic

1 Coordinating Ministry of Research and Technology/ Indonesian Agency for Agricultural Research and Development (IAARD)

Study on Demand for Agricultural Processed Products Development in Terms of Agricultural Liberalization

2011

2 Coordinating Ministry of Research and Technology/ (IAARD)

Enhancing Farmers Groups’ Capability in Adapting to Climate Change

2011

3 Coordinating Ministry of Research and Technology/ (IAARD)

Analysis of Food Commodities Volatility for Stabilizing Staple Food Prices

2011

4 Coordinating Ministry of Research and Technology/ (IAARD)

Forecasting Agricultural Development Performance in the Long Term of 2012-2035 to Support MP3EI Development in the Sumatera Corridor

2012

5 Coordinating Ministry of Research and Technology/ (IAARD)

Analyses of Demand and Supply, and Policy on Main Food Crops Development Related with MP3EI Program in the Sulawesi Corridor

2012

 

11Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

2. Selected Results of Collaborative Research Activities  

The collaborative research activities between ICASEPS and both national/international institutions produce some recommendations and new knowledge, among others is as follows: A. Enhancing Farmers Groups’ Capability in Adapting to Climate Change

This research is a collaboration between Coordinating Ministry of Research and Technology (Kemenristek) and ICASEPS. Background of this study is weak capability of farmers’ groups in dealing with climate change.

Anticipative adaptation is carried out by the farmers in Bantul, Yogyakarta Province, for dealing with the flood through establishing the ditches for draining the flooding water and maintaining the ditch depth. In Indramayu Regency, West Java Province, anticipative adaptation is carried out by farmers through adjustment of planting patterns, variety types planted, and fertilizer dosage. The farmers in Gunung Kidul Regency, Yogyakarta, anticipate drought through establishing dams to elevate water in the river for irrigation, and making wells on the dry farm land and drilling wells on other sites. Farmers in West Java adapt drought responsively through: (i) planting the fast-harvested rice varieties such as Ciherang; (ii) planting rice earlier by early harvesting small part rice crop on wet season for seedling bed preparation for planting rice on the first dry season; (iii) reducing Urea dosage during first dry season; (iv) composing rice straw on the wet season into organic fertilizer; (v) increasing organic fertilizer application to retain moist such that it will slow down evaporation; (vi) elevating water from drainage irrigation using pumps; (vii) directing water flow in which the cost is paid by the rural governments. Effectiveness of adaptation strategy to cope with flood in Bantul Regency, Yogyakarta, is indicated by R/Ca ratio of 1.09 compared to R/Cn ratio1.56 during normal condition. Average yield during flood is only 4.5 ton per hectare and during normal condition it is 6.0 per hectare per season. In Indramayu Regency, West Java, adaptation strategy effectiveness in dealing with flood is indicated by R/Ca ratio of 1.01 compared to R/Cn ratio of 1.47 during normal condition. Average yield is only 3.5 tons per hectare, but it is 5.0 tons per hectare during normal condition. Adaptation strategy effectiveness in Gunung Kidul Regency, Yogyakarta, is lower revealed by R/Ca of 0.93 compared to R/Cn of 1.48 in the normal condition. Average rice yield in the normal condition is 5.5 tons per hectare, but it is 3.5 tons per hectare during drought. Given the same selling price, farmers’ incomes for normal and drought are quite different. Adaptation effectiveness for dealing with drought in Indramayu Regency, West Java, reveals R/Ca ratio of 0.24 much lower than R/Cn of 1.7 during normal condition. During normal condition on the first dry season the farmers get average yield of 3.0 tons per hectare and during drought it is 0.4 ton per hectare only. Farmers groups’ capability is analyzed using values of external and internal factors, i.e., technical, economic, social, and institutional aspects. External support in terms of

 

12 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

technology, information, and infrastructure in Yogyakarta and West Java Provinces are not sufficient (2.44). The policy applied by the Central and Regional Governments is not adequate to improve the farmers groups’ capability in dealing with climate change (<2.00). The internal factor, i.e., technical aspect including those of knowledge and farmers’ capability in coping with climate change is relatively low such as technology for climate change adaptation, lack of training on technology extension, participation in climate field school, and climate change understanding. The economic factor such as infrastructure availability and finance are relatively limited to cope with climate change of flood in Indramayu Regency (2.20) and Gunung Kidul Regency (2.23). For the case of drought, both Gunung Kidul and Bantul Regencies have the same score (2.07). Both factors weaken farmers’ capability in coping with climate change impacts. The social factor related with the farmers’ group management’s response and human resource competence in general is not sufficient (<3.00). The farmer group management’s response to drought is higher than that to flood. In Yogyakarta cases, responses to flood (2.60) and drought (2.65) are not much different. Responses to flood (1.90) and drought (2.75) in West Java are relatively high. The social factor related with competence of members the farmers group is relatively sufficient. For the flood case, the members’ competence in Yogyakarta is 2.88 and in West Java are 2.74. For the drought case, the members’ competences in Yogyakarta and West Java are 2.72 and 2.76, respectively.

B. Analyses of Demand and Supply, and Policy on Main Food Crops Development Related with MP3EI Program in the Sulawesi Corridor

This study aims to identify actually the demand for and supply of food crops and how the food crops are developed. Utilization of this study includes: (i) technical report utilized by the related institutions the study sites; (ii) research result publication used for information and policy formulation in developing main food crops in South Sulawesi and Gorontalo Provinces; and (iii) seminar on research results for dissemination. Strategy for research results dissemination is through sending the research report to the related institutions in the study sites, research publication dissemination through publication media, and publication on of research results seminar. This study gives important information for policy formulation on main food crops (rice, corn, and soybean) especially in study sites in South Sulawesi and Gorontalo. Thus, enhancing research results dissemination in the future is urgent especially on main food crops improvement. This is related with dynamics of socio-economic aspect and food crop development policy. It is expected that the research fund from Coordinating Ministry of Research and Technology to sustain the study. Research fund support is also expected from regional governments.

 

13Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

C. Forecasting Agricultural Development Performance in the Long Term of 2012-2035 to Support MP3EI Development in the Sumatera Corridor

Agricultural development is an integral part of national development. Even though relative role of agricultural sector to national economy tends to decline, Indonesian economic dynamics is supported by this sector. In addition, government intervention related with agricultural sector is still significant. Average growth rate of agricultural sector in GDP (Gross Domestic Product) in the period of 2000-2010 was 3.2 percent but its

contribution to national economy declines from 19.0 percent in 1990 to 15 percent in 2010. On the other hand, agricultural sector is expected to provide employment opportunity. In 1990 agricultural sector employed 56 percent of total labor, but it decreased to 38 percent in 2010. It implies that agricultural efficiency is affected, productivity improvement is retarded, and competitiveness is lower. Agricultural development is a social change process and it is not aimed to improve farmers’ welfare only but it is also aimed to improve human resource potential in terms of economic, social, political, cultural, and environmental aspects. Agricultural development is also carried out through improvement, growth, and change. Successful development in a country is indicated by economic growth. Economic growth is measured through GDP growth for a national region and Gross Regional Domestic Product (RGDP) for a region within a country. Besides internal factors, economic growth of a country is also affected by external factors especially during a globalized economy era. Internally the three main components determining economic growth are government, business, and society. Those components should mutually manage economic, political, law, social, and cultural resources.

During current globalization era the national economic development is affected by both regional and international economies. Thus, agricultural development needs improvement along with changing strategic environment. This is critical since agricultural development performance is always linked with its strategic environment at international, regional, national, and regional levels. To determine agricultural development direction properly, it is urgent to well understand the strategic environment and to anticipate agricultural development in the future. To support Indonesian economic development, the government launches the Indonesian Economic Acceleration and Enhancement Master Plan (MP3EI) enacted through Indonesian President Regulation (Perpres) No. 32/2011. MP3EI is the reference to each Minister and the leaders of non-ministry institution for establishing sector policy and also reference to formulate policy on economic development acceleration an enhancement at provincial and regency levels. MP3EI is used to trigger national economic development in the period of 15 years in accordance with the government’s plan or the National Mid-Term Development Plan (RPJMN) 2011-2025. MP3EI is a reference to the business sector for investment and producing prime products in outside Java. The main strategies of MP3EI are: (i) economic corridor development, (ii) national (regional) connectivity, and (iii) science and technology and human resource improvement. To

 

14 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

accomplish MP3EI the Indonesian Businessmen Association (APINDO) requests the government to carry out the following steps: (i) revising laws to get bylaw certainty, (ii) infrastructure acceleration development, (iii) simplifying government officials, (iv) reforming implementation of tax, custom, and tariff acts, and (v) national banking support. MP3EI has 22 main activities in which 15 of them are industrial business sector, namely industrial clusters development for oilpalm, rubber, coal, nikel, copper, oil and gas, food and beverages, cacao, textile, trasnportation machinaries, ship, steel, alumunium, telematics, and weaponry. Those programs and activities are focused on the 6 corridors, namely: (i) Sumatera Corridor, (ii) Java Corridor, (iii) Klaimantan Corridor, (iv) Sulawesi Corridor, (v) Bali-Nusa Tenggara Corridor, (vi) Papua-Maluku Islands. Each corridor focuses on its main economic activity. In Sumatera Corridor, the focused activities are oilpalm, rubber, coal, steel, and ship manufacture. Java Corridor focuses on food industry development through enhancement of rural industry processing agricultural products into food processed product industry. In Sumatera Corridor the Ministry of Agriculture (MOA) has developed producing centers of rice, corn, and cacao based on agro-ecosystem potential. Infrastructure and seed industry is also developed, and farmers’ empowerment is implemented. In the Bali-Nusa Tenggara Corridor, MOA will develop the producing center of corn, soybean, and livestock. Papua and Maluku Islands will be developed as the center of food, estate crops, and livestock.

Results of long-term agricultural performance forecast are expected to be useful for seeking opportunities formulation in the strategic environment dynamics. It is intended to focus aims and targets of agricultural development such as evaluating previous policies. It is also necessary to classify policies based on market and local resources. Both potentials will determine comparative and competitiveness of Indonesian agricultural products.

Successful Stories and Advanced Research of ICASEPS for the Last Two Years 1. Successful Stories of ICASEPS

As a research institution specializing in the studies of agricultural socio-economic aspects in Indonesia, the existence of ICASEPS contributes to various discourses and policies on rural economic development, particularly agricultural issues. Collection of series data on some rural development indicators such as micro data of national

 

15Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

farmers panel (PATANAS) were referred by various stakeholders both abroad (e.g. World Bank) and in the country where PATANAS data are referred as agricultural development achievement especially in rural areas on many agro-ecosystems. PATANAS data are also utilized by both graduate and post-graduate students for their thesis researches.

In addition to Patanas, other outstanding study results are PUAP (rural agribusiness development), PSDS (beef self-sufficiency program), Study on Rice Production Growth Acceleration Policy in Outside Java, and Alternative Government Budget Financing Scheme to Support Rice Self Sufficiency Assessment. PUAP study implications are enhancing farmers’ income and welfare through capital assistance for agribusiness activities.

In the recent globalized trade era, ICASEPS plays a significant role in guiding the policy makers in the MOA, Ministry of Trade, Ministry of Industry, Coordinating Ministry of Economic Affairs, and Ministry of Foreign Affairs in making decision related with Indonesian agricultural commodities in both multilateral and bilateral forums. This ICASEPS’ role is its commitment in terms of protecting the farmers and domestic consumers. ICASEPS’ researchers are active delegates of Republic of Indonesia in various international forums on agricultural commodities trade such as WTO, APEC, among others. To support involvement of the ICASEPS’ researchers in these forums, some research topics related with international trade, forecasting, price fluctuation, among others are carried out.

Besides the involvement mentioned above, ICASEPS periodically participates in various agricultural policies in Indonesia through quick, accurate policy analysis activities. Many activities carried out are based on demand for policy support, both in MOA or other stakeholders (e.g. Bappenas and Ministry of Trade) and for anticipating impacts of policy or natural calamities. Some of the assessments are rapid assessment of Merapi volcano eruption impacts mitigation, fertilizer subsidy, and market price stabilization of agricultural commodities.

2. Advanced Research for the Last Two Years

Some research results compiled as a synthesis, consideration and advocacy of agricultural development policy and utilized by the MOA leaders and other stakeholders duirng 2001-2013 are: A. Selection of PUAP Village Location Candidates

One of agricultural development constraints is that the farmers deal with limited capital both that of credit and their own. To overcome farmers’ constraint to capital access the government stimulates the farmers through financial capital assistance using government budget. ICASEPS was assigned to determine the candidates receiving the cash assistance of PUAP and to evaluate PUAP implementation in the previous year.

 

16 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

PUAP implementation evaluation has been conducted since 2009. The evaluation reveals that input performance, process, output, outcome, and program impacts are not optimal. On the other hand, PUAP evaluation was just conducte din 2011 and it is urgently needed to get information and undestanding about PUAP implementation feasibility. All iformation gathered is expected to describe overall PUAP achievements in rural areas.

During the last three years, MOA has realized Community Cash Assistance (BLM) PUAP to 29,013 Gapoktans in 33 provinces in the country, i.e. 10,542 9,884, and 8,557 Gapktans, respectively in 2008, 2009, and 2010. Until November 2011 based on the Decree Quotition, BLM PUAP fund was distributed to 6,697 Gapoktans as much as Rp 666,693,808. It reveals that until 2011 almost 50 percent of total villages in Indonesia has recieved BLM PUAP.

Even though sources of proposals are fixed over the years, i.e. those from regional governments, community’s aspiration, and Echelons I at MOA, buth the mechanism for proposing the vilage candidates receiving BLM PUAP fund changes.change in mechanism is due to PUAP implementation adjustment over the years. Socialization from the province to the village is limited. This is due to lack of understanding about PUAP at Gapoktan management to the farmers. In general, the Extension Workers and the Farmer Partner Supervisors deem that training materials are well understood by the farmers, but time allocation, practices, and the trainers are improved. Coordination between central and regional government needs enhancement. Mentoring frequency carried out by the Extension Workers are more intensive than that of the Farmer Partner Supervisors. This is due to number of Gapoktans are numerous such that it is more than the Supervisors’ capacity.

Technology innovation and institutional engineering are mainly focused on material culture approach (fund assistance, agricultural machinaries, production inputs) compared to those non material (value system building). AIAT’s role in technology innovation adopted by Gapoktan is dominant through integrating PUAP into other other activities. Gapoktan and LKM-A (Agribusiness Micro Finance Institution) development is carried out through a group approach, but the participatory approach is not maximally implemented. Gapoktan and LKM-A institutional development is carried out using a structural approach rtaher than cultural approach. BLM PUAP fund is generally distributed gapoktan management or business unit under Gapoktan. LKM-A establishment is rarely found in the sample provinces, except in East Java and Karo Regency which already estabished it as the PUAP fund managing unit. LKM-A in both regions are business units under Gapoktan and their managements are also manage Gapoktan. BLM PUAP fund grows very well except some in West Nusa Tenggara (NTB) grow negatively due to decreased cows price. PUAP fund scroll is between 2-4 times with interest rate of 1.5 to 2.5 percent per month. Credit payment is usually after harvest, but some debtors pay very monthly or even

 

17Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

annually for cows credit. In general Gapoktan has saving and credit business unit with prequisites for their members such as main, obligatory, voluntary savings.

This study implies that PUAP is able to improve farmers’ income and welfare through capital supply for agribusiness devlopment. The extension workers and the supervisors could not conduct their jobs optimally. Teh extension workers do not have their own vehicles and their job status is still not permanent. The supervisors have to vist 20 to 30 Gapoktans in rows but they just get salaries for 8 to 10 months per year. The government should solve these problems.

The extension workers who are now temporary staff should be recruited permanently. They have to receive specific budget for their job activities and there should be newly recruited extension workers. The supervisors should get slaries of 12 months per year.

Not all Gapoktans receving BLM PUAP fund are able to accelerate agribusiness devleopment in their respective regions. It is necessary to identify potential Gapoktans for upgrading. These Gapoktans need sustainable enhancement with various programs such as instututional strengthening carriedout by both central and regional governments. Gapoktans with LKM-A are potential for further enhancement whether PUAP is sustained or not. Directorate General for Agricultural Finance and Infrastructure needs to develop the potential Gapoktans as the model for the other Gapoktans in managing PUAP.

The other important issue is the legal aspect of LKM-A for business enhancement. Thus, it is necesary to determine what type of business to choose legally in accordance with farmers’ membership in Gapoktans.

The steering officials at the regional government play important role in improving Gapoktans’ performance. There is no specific agenda for developing Gapoktans and lack of leadership focusing on farmers and agriculture. The regional officials should coordinate each other and make a real program for Gapoktans enhancement. PUAP Steering/Technical Team need to communicate intensively with related instituions for improving each Gapoktan specifically.

B. National Farmers Panel (PATANAS): Agricultural and Rural Development

Indicators in the Vegetables and Secondary Crops Based Dry Agro Ecosystem Regions

Agricultural development keeps going on since the New Order up to the Reform Order marked by change in programs and all of them aims to achieve main agricultural development targets. For the next five years (2010-2014) there are four main targets of MOA, namely: (a) self-sufficiency achievement and sustainable self-sufficiency, (b) food diversification enhancement, (c) value added, competitiveness, and export

improvement, (d) farmers’ welfare growth (MOA, 2009). The government needs

 

18 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

information related with agricultural development results and impacts, especially farmers’ welfare improvement. It aims to focus more on agricultural development objectives, policies, and programs. The information is revealed as economic development indicators.

The economic development indicators will offer some benefits. First, those indicators deepen economic development indicators at national, provincial, and regency levels periodically published by BPS (Agency for Statistical Center). Second, those indicators describe the dynamics of agricultural development results and impacts at the household level in rural areas especially farmers’ welfare improvement during period of 2008-2011. Third, these indicators are inputs for focusing more on development objectives, policies, and programs mainly specific location and specific commodity agricultural development.

In general this study aims to describe some indicators reflecting dynamics of results and impacts of agricultural and rural development in vegetables and secondary crops based dry-land agro-ecosystem at farm business and household levels. The study sites were Lampung, south Sulawesi, East Java, Central Java, and West Java Provinces.

Results of the study reveal that dry land area size does not increase. On the other hand, population keeps growing such that agricultural land pressure gets higher indicated by relatively low average of dry land ownership per household. The consequence of this condition is lower labor absorption of food crop sub-sector in the villages of study sites. Thus, the government needs to enhance non-agricultural employment in order to shift employment structure in rural areas.

Production capacity of main commodity farm-business (commodity base) in villages of the study sites is still potential to increase by applying certified improved-seed and balanced fertilizer. Herein, the government needs to keep subsidizing inorganic fertilizer. The government should also subsidize vegetable and secondary crop seeds. It is expected that fertilizer and seed subsidies will reduce farmers’ expenses for their farm business.

Currently the farmer households have to diversify their income sources as the consequence of limited income from main commodity (commodity based) farm business or agricultural sector. The farmers have to meet their daily needs either food or non-food.

Using food expense share as the indicator, during the period of 2008-2011 the overall farmer households in dry land with main commodity of secondary crops experienced better welfare. It was indicated by decreased food expense share from 62 percent in 2008 to 57.54 percent in 2011. On the other hand, in the same period the vegetable-base dry land farmer households showed lower welfare indicated by increase in food expense share from 47 percent in 2008 to 56.67 percent in 2011.

 

19Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

During the period of 2008-2011 total poor households especially in the villages of study sites was probably increasing due to much less farm business profits and lower labor wage. Thus, rice for the poor program is useful to the poor people especially in lessening food expense.

C. Supporting Beef Self Sufficiency Program Acceleration

During the last 40 years the beef cow industry in Indonesia tends to decline. In the period of 1979-1980 Indonesia was a beef cow exporting country. In the decade of 1980-1990 the government stopped exporting cows and buffaloes. Finally, since 1990’s up to now Indonesia is a beef cow importing country due to population growth and improved income. On the other hand, domestic beef production growth is relatively slow.

Concerning the food self-reliance, the beef self-sufficiency program (PSDS) is implemented again along with political and financial support and the design is involving the stakeholders. The design is made as a blue print (BP) document. It is expected that this current program will be better off than the two programs previously. Data and information on PSDS implementation and impacts are required to carry out the current PSDS. Research related

with PSDS performance and acceleration attempt is necessary to conduct as policy input to related institutions implementing this program, especially Directorate General of Livestock and Veterinary (DGLS), MOA.

In the BP it is mentioned that PSDS 2014 will be achieved through 13 actions. However it is necessary to understand how the government derives these 13 actions. Are the activities are created by DGLS organization tending to distribute the tasks without concerning the activities along with limited budget and time allocation? Are the actions derived from a production or supply function such that it will improve supply? Is any priority from the exiting variables to arrange the actions? It is necessary to understand the self-sufficiency concept and the efforts to achieve it.

PSDS implementation currently is using a top-down approach and relatively uniform across regions. The existing condition is various which is experienced by many parties.

Gap between demand for and supply of national beef is widening. The government imports beef to meet the supply shortage. Livestock and beef imports growth rate keep increasing. Improved production and marketing carried out by the exporting countries trigger the import. National beef cow industry mostly managed by smallholders could not well develop. If there is no special action, import dependence will enhance and threaten both food self-reliance and national beef industry. To deal with this matter the government launches PSDS Program. It is not an easy task since it needs much budget and commitment of the

 

20 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

government institutions, involves stakeholders and takes time. To make this program effective, it needs information and data on program implementation and budget allocation. Those information and data will be communicated with related institutions to accelerate PSDS.

This study shows that PSDS 2014 at national level, and especially in the four study sites, gets support from many parties. It is indicated by the supports offered from Directorate Generals at the MOA, other Ministries, Regional Governments, CSR program and community development carried out by private sector. The formal document as the legal base for PSDS implementation is well distributed to the regional governments. PSDS socialization and implementation in the regions especially at the regency/municipality level deal with constraint of regional budget along with regional autonomy system.

PSD is lack of human resource support, especially in terms of breeding and post-harvest at the slaughtering houses. Human resource is urgently required to sustain the well implemented program.

Increases in cow population, livestock production, and beef are due to many programs implementation at the farmer groups’ level including SMD (fresh graduate working in the village). Candidate selection for farmer groups and locations should be more carefully conducted. Organic fertilizer and biogas production targets are easily achieved but they have no direct impact on increases in cow population and production of livestock and beef. Both production targets are profitable to the farmers due to additional cash income they get. Integrated cows and oil palm farming is potential to increase cow population, livestock and beef production. However, many oil palm plantation owners are reluctantly involved.

Cow calf supply and frozen cement distribution are well implemented especially those conducted by Central UPT (Technical Implementing Unit). Artificial insemination, however, is not well implemented at farmers’ level indicated by high service preconception (S/C) and birth interval of more than 14 months. The main problems are lack of inseminators, pregnancy observers, and other staff related with artificial insemination.

Selection of productive female is ambiguous, whether it is carried out at slaughtering houses, animal markets, or at farmers’ level. Preliminary results show that productive female selection gives birth with good quality. Those options have weakness and strength especially budget manipulation.

Livestock and beef imports control up to the end of 2010 enhanced marketing volume from producing centers in Java to the consuming center in West Java. It was indicated by many cows sold at the Ciwareng animal market trading calves and beef cows processed in the Ciroyom slaughtering house in Bandung.

 

21Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

At macro level, to make PSDS 2014 successful it is necessary to evaluate policy imports on calves, beef, and offal to sustain the smallholder dominating the cow farmers in Indonesia. The government should not apply a double standard since it will restrain PSDS 2014 achievement. Implications of this study are: (i) Cow farmers selection for cow population improvement should be carried out accurately to get more effective program. Other suggested efforts are: (i) involving State Own Corporation (BUMN), local investors, and medium-scale cow farm business; (ii) Starting in 2012 the organic fertilizer and biogas processing is implemented in the areas where these programs are urgently needed and supply of dung manure is in accordance with its supply in each area. Biogas and organic fertilizer are not yet required; (iii) Optimizing the integrated oil palm-livestock system needs involvement of other parties outside the MOA, such as BUMN, Estate Crop Association, and investor related with oil palm plantation; (iv) Those options, however, have weaknesses and strengths especially on budget allocation since this activity just begins and, thus, needs monitoring to avoid moral hazard; (v) To enhance selection of productive females, it needs continuous monitoring, evaluation, and improvement; (vi) The VBC activity indicates no successful results. Thus, it will be better off if VBC is shifted to the first activity, i.e. local cow breeding farm business; (vii) To boost domestic cow population and beef production, it needs commitment to control livestock and beef imports consistently; (viii) Improving all aspects both at micro and macro levels and focusing activities such that fund, man power, and time are allocated more efficiently and effectively to achieve the target of bee self-sufficiency; (ix) Marketing and distribution of cows and beef should be in accordance with animal health and veterinary community health aspects. Transmitted diseases control among livestock and from livestock to human are the concern of the distribution actors; (x) It is necessary to improve community’s awareness of safe, healthy, undamaged, and halal (ASUH) meat from healthy livestock and they do not buy it because of its cheap price. There will be an opportunity to trespass these two aspects and the government needs to enforce the law.

D. Study on Rice Production Growth Acceleration Policy in Outside Java

Island

Historically, Java Island is the rice producing center and most of national rice comes from this island. During the period of 1985-2005 around 55-62 percent of national rice was produced in Java Island. Almost 95 percent of rice is produced on lowland and the remaining is produced form the dry land. Currently, rice production growth rate in Java tends to decline. During the period of 1985-1995 the lowland rice production growth rate in Java on average increased by 1.6 percent per year, but in the period of 1995-2005 it grew only at the rate of 0.59 percent only.

 

22 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

In the long term, rice production growth rate in Java will decline mainly due to lowland conversion for non-agricultural uses along with economic and population growth rates. These two aspect need more lowland for settlement such that rice production will be affected. Thus, it need a breakthrough to boost national rice production through rice production acceleration in outside Java. Based on the agronomy aspect, the rice production is possible through improving yield, planted area, and rice cropping index especially in the regions where their agro-climate conditions are suitable.

Most of the districts in Sulawesi Island have dry land resources (74.7%). Furthermore, only 214 districts (27.5%) in Sulawesi are rice producing areas.

Around 75 percent of rice is produced in the rice producing districts in Sulawesi and the remaining is produced in the other districts. However, 62 percent of soybean production in this Island is also produced in the rice producing districts.

Total lowland area size in the rice producing districts (3.061 hectares per district) are higher than that in the non-rice producing districts (784 districts). Lowland area per family in the rice producing districts (0.56 hectare per family) is higher than that in the non-rice producing districts (0.18 hectare per family). The villages with irrigation network infrastructure in the rice producing districts (71.8%) are more than those in non-rice producing districts (36.1%).

Total farm labor in the rice producing districts (2,888 persons per district) is more than that in the non-rice producing districts (1,274 persons per district). Total villages receiving credit in the rice producing districts (KKP 9.6%; KUK 26.4%; KPR 11.2%; and other credit schemes 41.2%) compared to the non-rice producing districts (KKP 4.9%; KUK 22.2%; KPR 6.3%; and other credit schemes 25.7%).

Role of agricultural sector as the source of income to the people in the rice producing districts (97.0%) is higher than that in the non-rice producing districts (81.7%). Rice planted area in the rice producing districts (5.210 hectare per district) is higher than that in the non-rice producing districts (654 hectares per district). As many as 60.8 percent of rice planted area in the rice producing districts have a rice cropping index of 100 to 200 percent. On the other hand, the non-rice producing districts have the index of less than 100 percent.

The determining factors for rice production development are as follows: (i) soil and climate (31.0%); (ii) land resource characteristics (18.6%); (iii) supporting infrastructure (14.7%); (iv) supporting institutions (9.7%); (v) social economic environment; (vi) farmers’ characteristics (7.5%); and (vii) available technology (8.1%).

In Sulawesi, Sumatera, and Papua Islands the water supply is more than its demand or surplus. Water surplus takes place during both wet and dry seasons. In Sulawesi, water surplus is 89 percent on wet season and 37 percent on dry

 

23Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

season indicating that seasonal-crops planted area enhancement is still possible. It also reveals that rice cropping index in Sulawesi is promising.

Lowland area enhancement potential in Sulawesi Island is 423,000 hectares. All of the potential land is not swamp land. In Sulawesi Island the social constraint is less than that in Maluku, Papua, and Kalimantan Islands because most farmers in Sulawesi are accustomed to planting rice. Thus, possibility of improving rice planted area outside Java is in Sulawesi compared to other islands.

Especially in South Sulawesi Province there are 146 districts (52.0%) potential for rice planted area enhancement, i.e. 479,900 hectares or 81.0 percent of existing lowland area. Those districts are the rice producing areas. Around 53 percent of the lowland is found in the four main regencies, i.e. Wajo, Bone, Pinrang, and Sidrap. In Central Sulawesi there are 31 districts (27.2%) potential for rice planted areas development with total lowland area of 94,200 hectares or 63 percent of existing lowland. Those districts are generally the rice producing areas. Around 59.5 percent of the lowland is found in three districts, i.e. Sigi, Parigi Moutong and Banggai.

The study implies that lowland conversion threatens the rice producing districts. It leads to decrease lowland area which is potential for growing rice, soybean, and corn. The government needs to offer incentive to the districts specialized in rice production. The policy is not aimed to overcome land conversion, but also for poverty alleviation in those districts.

Opportunity for enhancing rice production in Sulawesi Island is still significant as this island is still water surplus on wet and dry seasons. Water pump application is a reasonable alternative since some rivers flow across many villages but the usage is till limited. Another approach is to arrange irrigation schedule and optimal water supply into lowland for rice farming. It needs coordination with related institutions.

E. National Farmer Panel (Patanas): Dynamics of Agricultural and Rural

Development Indicators in the Agriculture-Base Dry Land Agro-Ecosystem Region

Patanas is a panel study designed to monitor and to understand various long-term changes in rural households. Patanas collects micro panel data, and time series and cross section data containing detailed information and wide socio-economic spectrum of many agro-ecosystem, regions, and commodity bases. This study assessed rural socio-economic condition change for the period of 2009-2012. It resulted in agricultural and rural development indicators.

This study aims to assess dynamics of rural social economy in estate-crop base dry land in the period of 2009-2012. It results in policy recommendation to improve farm business production capacity and household welfare.

 

24 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

Selection of sample provinces in this study in 2009 was based on a production center concept using an LQ (Location Quotient) method. The samples were Provinces of Jambi (rubber and oil palm), East Java (sugarcane), West Kalimantan (rubber and oil palm), and South Sulawesi (cacao).

Conclusions of this study are: (i) Land holding dynamics during the period of 2009-2012 improved significantly in the areas of rubber and oil pam. It was acquired through heritage of forest land and purchase from other farmers which shifted land holding indicated by the Gini Index from low to medium gap; (ii) labor absorption and participation tended to increase, except that in sugar cane area; (iii) Practice technology adoption was better off indicated by participation enhancement in improved varieties application and good crop maintenance; (iv) Estate-crop households’ equal to rice income increased by 82 percent on average from 3,707 kg/capita/year to 6,753 kg/capita/year due to an increase in estate-crop commodity prices and more various sources of income; (v) During the period of 2009-2012 the total household expenses nominally increased by 50 percent, but in real price equal to rice it grew by 17 percent only; (vi) Average poverty incidence (headcount index) ranged from 5.0 to 15.0 percent, except that in Pinrang Regency representing cacao-base estate-crop dry land agro-ecosystem (35.9%); (vii) Farmers’ term of trade of estate-crop farmers during the period of 2009-2012 compared to total expenses and total food and non-food consumption increased but it fell if it was compared to production cost. It indicated that farm business costs was getting more expensive; (viii) Agribusiness institution especially products marketing method was better off, i.e. improved sale value per product unit and decreased standing-crop and pre-harvest sales.

F. An Alternative Study on APBN (Government Budget) to Support Rice

Self-Sufficiency

During the last years the agricultural sector deals with more difficult challenges, but it is also an opportunity in the climate anomaly. Extreme climate constrains agricultural business development, especially that of rice farming. Many grown crops could not produce optimally and the farmers have to cope with losses. However, there are opportunities to enhance various agricultural production. Disseminating adaptive practice

technology to climate change, agricultural infrastructure improvement, plated area enhancement, more efficient irrigation, and better farm management are among actions for improving some agricultural commodities.

In the future, food (especially) production enhancement will deal with more serious problems and challenges due to limited sources of government financial and other resources. Thus, it is necessary to improve effectiveness of government policies, programs, and activities related with agricultural and farm business development for rice production capacity improvement. Financial scheme for production enhancement is urgent for rice self-sufficiency achievement.

 

25Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

Agricultural finance from government budget will be limited more and more due to many development policies and programs in other sectors. More effective government financial scheme is required in order to formulate policy on national rice production.

Rice as the staple food must be available, accessible, and affordable. Agricultural development implemented by MOA include rice, corn, soybean, sugarcane, and cow. Food crop, especially rice, production and yield enhancement programs need significant fund from government budget. This study aims to assess the efficient financial schemes form government budget for rice production. In details, the study

aims: (a) to review government budget financial scheme for rice self-sufficiency achievement; (b) to evaluate government budget scheme implementation in term of rice production and yield enhancement; (c) To analyze effectiveness of government budget financial scheme in term of rice production and yield enhancement.

Results of the study indicates there are various programs supporting rice self-sufficiency, i.e. overlapped or ineffective input price subsidy, credit interest rate subsidy, social assistance, field school, infrastructure improvement, agricultural machinery aid, farm land area enhancement, farm business protection. Government budget financial scheme alternatives need to revisit all programs related with finance. It also refocuses on rice production and yield enhancement through technology engineering, seed innovation, subsidy scheme renewal including its financial sources, farmers protection improvement, effective agricultural machinery aid, farm land area enhancement along with sufficient infrastructure, and social aid program circumvention.

 

26 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

List of Researchers by Expertise

No. Name of Researcher Areas of Expertise

and Interests Email Address

1. Dr. Ir. Handewi P. Saliem, MS. Agricultural Economics [email protected]

2. Prof. Dr. Ir. Budiman Hutabarat F. Agricultural Economics Production and Trade of Agricultural

Products Agricultural Policy Agricultural Development

[email protected]

3. Dr. Ir.Tri Pranadji, MSi. Rural Sociology Sociology Politics and Legislation Environment Accountability and

Sustainable Development

[email protected]

4. Dr. Ir. Hasri Delima Azahari, MS. Agricultural Economics [email protected]

5. Ir. Nizwar Syafa'at, MS. Agricultural Economics [email protected]

6. Dr. Ir. Agus Pakpahan Agricultural Economics [email protected]

7. Prof. Dr. I Wayan Rusastra, MS. Agricultural Economics Agricultural Policy Food Security and Poverty

[email protected]

8. Prof. Dr. Dewa K.S. Swastika, MS. Agricultural Economics Supply-Demand of Food Crops Post-Harvest Rice Economics

[email protected]

9. Ir. Herman Supriadi, MS

Farming Systems Farmers Empowerment Agricultural Development

[email protected]

10. Dr. Bambang Irawan, MS. Agricultural Policy Agricultural Economics,

[email protected]

11. Ir. Sri Wahyuni, MS. Rural Sociology Rural Institution Gender

[email protected]

12. Ir. Mewa Ariani, MS Food Security [email protected]

13. Dr. Erwidodo Agricultural Economics [email protected]

14. Dr. Ir. Muchjidin Rachmat, MS. Agricultural Economics [email protected]

15. Dr. Saptana Agricultural Economics Agribusiness Competing Agricultural

Commodities Agricultural and Rural Institutional

[email protected]

16. Ir. Amiruddin Syam, MS. Farming System [email protected]

17. Drs. Edi Basuno, M. Phil, PhD Sociology Agriculture sRural Institution Gender Agricultural Policy

[email protected]

18. Dr. Ir. Hermanto, MS Agricultural Economics [email protected]

 

27Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

No. Name of Researcher Areas of Expertise

and Interests Email Address

19. Dr. Ir. Sumaryanto, MS. Agricultural Economics Resource Economics Climate Change Agribusiness

[email protected]

20. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, M. Eng. Agricultural Economics Regional and Rural Development Development of Institutional

Farming Agribusiness and Agro-Industry

Development

[email protected]

21. Ir. Amar Kadar Zakaria Farming Systems Institutional Agricultural Economics Social

[email protected]

22. Dr. Ir. Bambang Sayaka, MSc. Agricultural Economics Financing Agriculture Seed Industry Agricultural Marketing

[email protected]

23. Ir. Adreng Purwoto, MS. Agricultural Economics Rural Development Institutional Economics Agribusiness

[email protected]

24. Ir. Supadi Agricultural Economics [email protected]

25. Drs. Bambang Winarso

Agricultural Economics Agribusiness Rural Development

[email protected]

26. Dr. Ir. Nyak Ilham, MSi. Agricultural Economics Livestock Economy Food Security Agricultural Policy

[email protected]

27. Dr. Ir. Sri Hery Susilowati, MS. • Agricultural Economics [email protected]

28. Ir. Wahyuning K. Sejati, MSi. Development Communication Agricultural Institutional Rural Sociology

[email protected]

29. Dr. Ir. Erna M. Lokollo, MS. Agricultural Economics Economics of Biodiversity

(Economics of Biotechnology Inc.) Macro Economics and International

Trade Public Policy

[email protected]

30. Ir. Rita Nur Suhaeti, MSi. Community Nutrition and Family Resources

Rural Sociology Gender and Development Development Communication and

Participation Approach

[email protected]

 

28 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

No. Name of Researcher Areas of Expertise

and Interests Email Address

31. Ir. Muhammad Iqbal, MS. Sociology Agriculture Community Empowerment Rural Development Animal Health Economics

[email protected]

32. Valeriana Darwis, SE. MM. Agricultural Economics Agribusiness Institutional Management

[email protected]

33. Dr. Ir. Henny Mayrowani, MSc. Agricultural Economics Agribusiness Rural Development

[email protected]

34. Ir. Roosganda Elizabeth, MSi Agricultural Sociology Agricultural and Rural Development Agricultural and Rural Institution

35. Dr. Ir. Adang Agustian, MP Agricultural Economics Agricultural Policy Agricultural-Rural Development

36. Dr. Gatoet S. Hardono, MSi Agricultural Economics Consumption and Food Security Food and Household Economics Policy and Agricultural Development

[email protected]

37. Dr. Saktyanu K.D., MSi. Agricultural Economics Macro-economics International Trade Regional / Rural Development

[email protected]

38. Ir. Rudy Sunarja Rivai, MS. Agricultural Economics Regional Development

[email protected]

39. Dr. Reni Kustiari, Ir. MSc. Agricultural Economics International Trade Agribusiness Rural Development

[email protected]

40. Dr. Syahyuti Agriculture & Rural Sociology, [email protected]

41. Ir. Iwan S. Anugrah, MP. Sociology Agriculture Community Empowerment Agricultural Development

Communication Agricultural Institutional

[email protected]

42. Tjetjep Nurasa, SE.

Agricultural Economics Agribusiness Rural Development

[email protected]

43. Ir. Supriyati, MS. Agricultural Economics Labor Economics Rural Development Food Security Sugar Economics Agro-industry

[email protected]

 

29Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies 

No. Name of Researcher Areas of Expertise

and Interests Email Address

44. Dr. Ir. Kurnia S. Indraningsih, MSi. Agricultural Economics Agricultural Communication & Rural

Development Agricultural Extension

[email protected]

45. Wahida, SP., MSi. ; Agricultural Economics [email protected]

46. Ir. Erma Suryani, MSi. Agricultural Economics [email protected]

47. Ir. Supena Friyatno, MSi. Agricultural Economics Regional Economics Resource Economics

[email protected]

48. Dr. Ir. Ariel Iswariyadi

Agricultural Economics International Trade Agribusiness Rural Development

[email protected]

49. Ashari, SP., MP. Agricultural Economics Financing Agriculture Agribusiness Partnership Agricultural Policy

[email protected]

50. Sri Nuryanti, STP, MP. Agricultural Economics International Trade Development & Environment

Economics Resource Economics

[email protected]

51. Dr. Ir. Hermanto, MP Agricultural Economics International Trade

[email protected]

52. Ir. Sunarsih, MSi. Sociology Agriculture [email protected]

53. Ir. Tri Bastuti Purwantini Agricultural Economics Food Security Rural Development

[email protected]

54. Dr. Ir. Bambang Prasetyo, MS. Agricultural Economics [email protected]

55. Ir. Sri Hastuti Suhartini, MSi Agricultural Economics [email protected]

56. Adi Setiyanto, SP. Agricultural Policy [email protected]

57. Ir. Herlina Tarigan, MSi. Rural Sociology [email protected]

58. Drs Chairul Muslim Agricultural Economics International Trade Rural Economy

[email protected]

59. Dr. Ening Ariningsih Agricultural Economics [email protected]

60. Julia F. Sinuraya, SP., MSi. Agricultural Economics Rural Development

[email protected]

61. Frans B.M. Dabukke, MSi. Agricultural Economics [email protected]

62. Helena J. Purba, SP., MSi. Agricultural Economics International Trade Supply Chain Management

[email protected]

63. Mohamad Maulana, SP.

Agricultural Economics Policy and Agricultural Development Micro Economics Fertilizer Economics

[email protected]

64. Muhammad Suryadi, SP. Agricultural Economics [email protected]

 

30 Indonesian Center for Agricultural Socio-Economic and Policy Studies

No. Name of Researcher Areas of Expertise

and Interests Email Address

65. Juni Hestina, SE Agribusiness Agricultural Finance Agricultural Development

[email protected]