bono budi p - unsur adat dalam ideologi koperasi indonesia

Upload: fatah-adzkia-sastromidjojo

Post on 18-Jul-2015

144 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Bono Budi P

Unsur "Adat" dalam Ideologi Koperasi IndonesiaDalam penjelasan mengenai hakikat koperasi Indonesia, Hatta menekankan bahwa gagasan koperasi Indonesia "...berakar pada adat-istiadat asli rakyat Indonesia." Terlepas dari kenyataan bahwa suasana kebatinan kebanyakan pendiri negara pada waktu itu diliputi kegandrungan dan damba akan jatidiri keIndonesia-an, tidak saja konsep bangsa dan negara Indonesia yang - seperti dikatakan Supomo - organik dan totaliter, sesuai dengan "alam pikiran ketimuran", tetapi juga bangunan ekonomi nasional hendak didasarkan pada jatidiri ke-Indonesia-an. Jatidiri itu, yang berakar pada adat-istiadat asli rakyat Indonesia, sebagaimana ternyata dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 yang asli, dirumuskan sebagai "perekonomian [yang] disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan." Dalam rumusan sederhana ini, setidaknya ada tiga pengertian yang terhadapnya harus diberikan batasan, yaitu: (i) disusun; (ii) usaha bersama; dan, (iii) [asas] kekeluargaan. Mengenai "disusun", Sri-Edi Swasono berpendapat bahwa yang dimaksud adalah suatu perekonomian yang direncanakan - atau dengan sengaja disusun - oleh negara (planned economy) sebagaimana dapat dipertentangkan dengan perekonomian yang sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar (market economy). Tafsir ini dapat dikaitkan dengan pemahaman mengenai "masyarakat" yang lazim berkembang dalam studi [hukum] adat. Masyarakat - dan mungkin bisa dianalogikan dengan bangsa [yang menegara], seperti juga kerangka-pikir UU Nomor 5 Tahun 1960 atau UUPA - adalah suatu pranata yang diadakan oleh manusia untuk mewujudkan keteraturan hidup bersama. Anggota masyarakat menyerahkan sebagian dari wewenangnya sepanjang menyangkut kepentingan tersebut. Dengan demikian, dapatlah dipahami peran masyarakat [negara] dalam merencanakan penyelenggaraan pemenuhan kebutuhan hidup oleh anggotaanggotanya orang-seorang agar teratur; misalnya, tidak saling melanggar kepentingan orang lain sesama anggota masyarakat, yang artinya melanggar kepentingan masyarakat itu sendiri. Masih terkait dengan pemahaman mengenai masyarakat dalam studi hukum adat, pengertian "usaha bersama", sangat terkait dengan pemahaman mengenai hubungan antara masyarakat dengan alat produksi, yang dalam hal ini terutama adalah - meski tidak terbatas pada - tanah. Hubungan antara masyarakat dengan tanah [dalam pemahaman hukum adat] tidak dapat dipahami sekadar sebagai "kepemilikan". Iman Sudiyat, misalnya, menekankan bahwa dalam masyarakat asli Indonesia yang kegiatan perekonomiannya boleh dikatakan masih sederhana dan melulu bercorak agraris, tanah adalah satu-satunya alat produksi dan, karena itu, teramat sangat penting artinya. Kebersamaan anggota-anggota masyarakat dalam berproduksi, dan pola-pola interaksinya dengan alat produksi terpenting [jika bukan satu-satunya] itu, 'memaksa' van Vollenhoven untuk merumuskan suatu pengertian hukum yang sama-sekali baru pada masanya, yang disebutnya sebagai beschikkingsrecht. Secara resmi, pemahaman hukum adat tentang tanah yang sedemikian, sekaligus konsepbeschikkingsrecht ini, diadopsi dalam - dan menjadi dasar dari - hukum agraria nasional (UUPA), serta diterjemahkan menjadi "hak ulayat". Pengertian hak ulayat, sebagaimana dalam pemahaman bahasa aslinya (Belanda), mengisyaratkan adanya suatu subjek hukum tersendiri yang sengaja dibentuk untuk menjalankan peran sebagai "badan penguasa"; maka digunakanlah kata "ulayat" atau "wilayat" yang berasal dari bahasa Arab, yang sedikit banyaknya mengandung pengertian "kepenguasaan" [Supomo menggunakan istilah "pertuanan"]. Subjek hukum yang menjalankan peran badan penguasa ini, yaitu "masyarakat hukum adat", bertugas untuk mengatur penggunaan bersama alat produksi dengan cara, antara lain, memberikan pengakuan atau pengukuhan (to allocate, to avail, to dispose over) atas penempatan (occupation), pengusahaan (possession) dan pemanfaatan (usufruct) oleh anggota-anggota masyarakat hukum adat bersangkutan (Hooker, 1978). Dengan demikian, hak ulayat memiliki dua wajah:

(i) hak bersama; dan, (ii) hak menguasai, dalam arti mengatur. Kedua wajah ini, ketika akhirnya muncul dalam hukum agraria nasional Indonesia, dipahami oleh Harsono (2003) sebagai: (i) Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA); dan, (ii) Hak Menguasai Negara (Pasal 2 UUPA). Ternyata, pemahaman "usaha bersama" yang demikian ini kemudian diperluas, tidak terbatas pada kegiatan perekonomian yang bercorak agraris saja. Hal ini tampak dalam rumusan Pasal 33 Ayat (2) yang berbunyi: "Cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara." Dengan penggunaan istilah "cabang-cabang produksi" - atau yang dalam istilah masa kini mungkin dapat dikatakan "sektor-sektor industri" - jelaslah bahwa yang dimaksud adalah segala lapangan perekonomian. Lagipula, khusus untuk "tanah" - dalam pengertian yang sangat luas - diatur tersendiri dalam Pasal 33 Ayat (3) yang berbunyi: "Bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat." Pengaturan tersendiri terhadap "tanah" yang pengertiannya diperluas menjadi semua sumberdaya alam ini sejalan dengan pemahaman mengenai keterkaitan sangat-erat antara masyarakat dengan tanahnya. Jika diperhatikan, baik dalam ayat (2) maupun (3) kedua wajah hak ulayat tetap muncul; sebagai hak bersama, ia dirumuskan sebagai "menguasai hajat hidup orang banyak" dan "dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat", sedangkan sebagai hak menguasai, ia dirumuskan sebagai "dikuasai oleh negara". Akhirnya, dapatlah dipahami bahwa ideologi koperasi Indonesia yang dirumuskan dalam UUD 1945 sebagai "Perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas dasar asas kekeluargaan", yang menurut Hatta "...berakar pada adat-istiadat asli rakyat Indonesia" tidak lain adalah ekstrapolasi idealisasi konsep "hak ulayat" sebagaimana dalam masyarakat hukum adat ke dalam perekonomian nasional Indonesia. Jelaslah, pengertian "disusun" dan "usaha bersama" tidak lain merupakan kedua wajah dari gagasan hak ulayat; di satu sisi dalam bentuk hak menguasai, di lain sisi dalam bentuk hak bersama. Akan halnya diberi penjelasan "atas dasar asas kekeluargaan", kiranya untuk membedakan dengan gagasan-gagasan serupa [namun tidak sama] mengenai perekonomian terencana dan perekonomian kolektif lainnya, seperti dalam perekonomian sosialis yang didasari oleh gagasan-gagasan Marxis-Leninis, misalnya. Dengan kata lain, meski bercorak terencana dan kolektif, perekonomian Indonesia, sebagaimana suatu masyarakat [hukum] adat, berdasarkan atas ikatan kekeluargaan dalam arti yang sangat luas, yaitu keluarga besar bangsa Indonesia, yang lahir, hidup dan mati di tanah-air bersama berupa wilayah kedaulatan negara Indonesia.