bismillah bab 2

41
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1 Transfer Pemerintah Pusat Transfer pemerintah pusat tidak lain adalah dana perimbangan. Dana ini dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi. Dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Sebelum diatur dengan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan dialokasikan sebagai (i) bagian bagi hasil pajak/ bukan pajak dan (ii) bagian sumbangan dan bantuan sesuai dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1974. Dalam memori penjelasan UU No. 33 Tahun 2004 disebutkan 10

Upload: ruskanulmaarif

Post on 14-Dec-2015

231 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

g

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1 Transfer Pemerintah Pusat

Transfer pemerintah pusat tidak lain adalah dana perimbangan. Dana

ini dibentuk untuk mendukung pendanaan program otonomi. Dana

perimbangan merupakan dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran

Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah

untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Sebelum diatur dengan UU No. 25 Tahun 1999 yang kemudian diganti

dengan UU No. 33 Tahun 2004, Dana Perimbangan dialokasikan sebagai (i)

bagian bagi hasil pajak/ bukan pajak dan (ii) bagian sumbangan dan bantuan

sesuai dengan ketentuan UU No. 5 Tahun 1974. Dalam memori penjelasan

UU No. 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa selain dimaksudkan untuk

membantu daerah dalam mendanai kewenangannya.

Dana perimbangan bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber

pendanaan pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi

kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-daerah. Ketiga komponen Dana

Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari pemerintah serta

merupakan satu kesatuan yang utuh.

10

Salah satu peran transfer dari pemerintah pusat adalah adanya

kewajiban untuk menjaga tercapainya standar pelayanan minimum di setiap

daerah. Daerah-daerah dengan sumber daya yang sedikit memerlukan

bantuan (subsidi) agar dapat mencapai standar pelayanan minimum itu. Jika

dikaitkan dengan postulat Musgrave (1983) yang menyatakan bahwa peran

redistributif (pemerataan) dari sektor publik akan lebih efektif dan cocok jika

dijalankan oleh pemerintah pusat, maka penerapan standar pelayanan

minimum di setiap daerah pun akan lebih bisa dijamin pelaksanaannya oleh

pemerintah pusat. Fisher (1996) memberikan gambaran bahwa transfer

sudah merupakan fenomena umum yang terjadi di semua Negara di dunia

terlepas dari system pemerintahannya dan bahkan sudah menjad ciri yang

paling menonjol dari hubungan keuangan antara pusat dan daerah.

2.1.1.1 Jenis Dana Perimbangan

1. Dana Alokasi Umum (DAU)

DAU merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang

dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar

daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan

desentralisasi (UU no.33 tahun 2004).

Secara definisi DAU diartikan sebagai berikut (Sidik, dalam Kuncoro,

2004). Salah satu komponen dari Dana Perimbangan pada APBN, yang

11

pengalokasiannya didasarkan atas konsep Kesenjangan Fiskal atau

Celah Fiskal (Fiscal Gap), yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan

Kapasitas Fiskal. 2) Instrumen untuk mengatasi horizontal imbalance,

yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan

antar daerah di mana penggunaannya ditetapkan sepenuhnya oleh

daerah. 3) Equalization grant, yaitu berfungsi untuk menetralisasi

ketimpangan kemampuan keuangan dengan adanya PAD, Bagi Hasil

Pajak dan Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang diperoleh daerah.

Henley, et.al (dalam Mardiasmo, 2004) mengidentifikasi beberapa

tujuan pemerintah pusat memberikan dana bantuan dalam bentuk grant

kepada pemerintah daerah, yaitu: a) Untuk mendorong terciptanya

keadilan antar wilayah (geo-graphical equity); b) Untuk meningkatkan

akuntabilitas (promote accountability); c) Untuk meningkatkan sistem

pajak yang lebih progresif; dan d) Untuk meningkatkan keberterimaan

(acceptability) pajak daerah.

Pengalokasian DAU lebih diprioritaskan pada daerah yang mempunyai

kapasitas fiskal rendah. Dimana daerah yang memiliki kapasitas fiskal

tinggi akan mendapatkan alokasi DAU yang relative lebih rendah agar

dapat mengurangi disparitas fiskal antar daerah dalam era otonomi.

Adapun cara menghitung DAU menurut ketentuan adalah sebagai berikut:

12

1) Dana alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% dari

penerimaan dalam negeri yang ditetapkan APBN. 2) Dana alokasi umum

untuk daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota ditetapkan masing-

masing 10% dan 90 % dari dana alokasi umum yang ditetapkan diatas.

Dari dana alokasi umum untuk suatu daerah kabupaten/kota tertentu

ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah dana alokasi umum untuk

daerah kabupaten/kota yang ditetapkan APBN dengan porsi daerah

kabupaten/kota yang bersangkutan. Porsi daerah kabupaten/kota

sebagaimana dimaksud diatas merupakan proporsi bobot daerah

kabupaten/kota diseluruh Indonesia.

DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antardaerah

yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan

keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang

mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.

2. Dana Bagi Hasil

A. Dana Bagi Hasil Pajak

Dana bagi Hasil Pajak adalah bagian daerah yang berasal dari

penerimaan pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan

bangunan, pajak penghasilan pasal 25 dan 29 wajib pajak orang pribadi

dalam negeri dan pajak penghasilan pasal 21.

13

Menurut Bird dan Vaillancourt (2000), banyak Negara menggunakan

sistem bagi hasil pajak dengan mendistribusikan suatu persentase tetap

pajak-pajak nasional tertentu, misalnya pajak pendapatan atau pajak

pertambahan nilai ke pemerintah daerah. Untuk menambah pendapatan

daerah dalam rangka pembiayaan pelaksanaan fungsi yang menjadi

kewenangannya dilakukan dengan pola bagi hasil penerimaan pajak dan

bukan pajak (SDA) antara pusat dan daerah.

Alokasi Dana Bagi Hasil Pajak dilaksanakan seiring dengan

pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya Undang-undang No. 25 tahun

1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana

telah diubah dengan Undang - undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang

Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah

Daerah.

Adapun alokasi dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan bagian

daerah menurut peraturan menteri keuangan no. 23/PMK.07/2009 adalah

penerimaan Negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan

imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah.

Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 90% (sembilan

puluh persen) dibagi dengan rincian sebagai berikut: 1) 16,2% (enam

belas dua persepuluh persen) untuk provinsi yang bersangkutan. 2)

64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk

14

kabupaten/kota yang bersangkutan. 3) 9% (sembilan persen) untuk biaya

pemungutan.

Sementara itu penerimaan Negara dari dana bagi hasil biaya

perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan imbangan 20%

untuk pemerintah dan 80% untuk daerah rincian alokasi untuk dana bagi

hasil biaya hak atas tanah dan bangunan daerah yaitu 16% untuk provinsi

bersangkutan, dan 64% untuk kabupaten/kota yang bersangkutan.

Penerimaan Negara dari pph Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri

dan pph 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20%, dengan rincian 8%

unruk provinsi yang bersangkutan dan 12% untuk kabupaten/kota provinsi

yang bersangkutan.

B. Dana Bagi Hasil Sumber daya Alam

Dana bagi Hasil Sumber daya alam adalah bagian daerah yang

berasal dari penerimaan dari penerimaan sumber daya alam kehutanan,

pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi,

pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi

Alokasi Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam dilaksanakan seiring

dengan pelaksanaan otonomi daerah sejak adanya Undang-undang No.

25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

sebagaimana telah diubah dengan Undang - undang Nomor 33 Tahun

15

2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan

Pemerintah Daerah.

Alokasi DBH kehutanan yang berasal dari Iuran Izin Usaha

Pemanfaatan Hutan (IIUPH) untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan

rincian16% untuk provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk

Kabupaten/kota penghasil. Sementara DBH kehutanan yang berasal dari

Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk daerah sebesar 80% dibagi

dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk

Kabupaten/Kota penghasil dan 32% untuk Kabupaten/kota lainnya dalam

provinsi bersangkutan. DBH kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi

(DR) sebesar 40% dibagi kepada Kabupaten/Kota penghasil untuk

mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.

Untuk alokasi DBH pertambangan umum yang berasal dari Iuran tetap

untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang

bersangkutan, dan 64% untuk Kabupaten/Kota penghasil. DBH

pertambangan umum yang berasal dari Iuran eksplorasi untuk daerah

sebesar 80% dibagi dengan rincian 16% untuk provinsi yang

bersangkutan, 32% untuk Kabupaten/Kota penghasil dan 32% untuk

Kabupaten/Kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. DBH

pertambangan umum yang berasal dari Iuran ekspliotasi untuk daerah

sebesar 80% dibagi dengan rincian 26% untuk provinsi yang

16

bersangkutan, dan 54% untuk Kabupaten/Kota dalam provinsi

bersangkutan.

Alokasi DBH perikanan untuk daerah sebesar 80% dibagikan dengan

porsiyang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota.

Alokasi DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% berasal dari

penerimaan Negara suber daya alam pertambangan minyak bumi dari

wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi komponen

pajak dan pungutan lainnya. Dengan rincian sebesar 15% di bagi untuk

provinsi yang bersangkutan sebesar 3%, 6% untuk kabupaten/kota

penghasil, dan 6% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi

yang berangkutan. DBH pertambangan minyak bumi sebesar 0,5% dibagi

dengan rincian sebesar 0,1% untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2%

untuk kabupaten/kota penghasil dan 0,2% untuk seluruh kabupaten/kota

lainnya dalam provinsi bersangkutan. DBH pertambangan minyak dan

bumi dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh

kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Alokasi DBH pertambangan minyak bumi sebesar 15,5% berasal dari

penerimaan Negara suber daya alam pertambangan minyak bumi dari

wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak

dan pungutan lainnya. Dengan rincian dari 15%, di bagi untuk provinsi

yang bersangkutan sebesar 5%, dan 10% untuk seluruh kabupaten/kota

lainnya dalam provinsi yang berangkutan. DBH pertambangan minyak

17

bumi sebesar 0,5% dibagi dengan rincian sebesar 0,17% untuk provinsi

yang bersangkutan, dan 0,33% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya

dalam provinsi bersangkutan. DBH pertambangan minyak dan bumi

dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota

dalam provinsi yang bersangkutan.

Alokasi DBH pertambangan gas bumi sebesar 30,5% berasal dari

penerimaan Negara sumber daya alam pertambangan gas bumi berasal

dari wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan setelah dikurangi

komponen pajak dan pungutan lainnya. Sebesar 30% dibagi dengan

rincian 6% untuk provinsi yang bersangkutan, 12% untuk kabupaten/kota

penghasil dan 12% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi

yang bersangkutan. Sebesar 0,5% dibagi dengan rincian 0,1% untuk

provinsi yang bersangkutan, 0,2% untuk kabupaten/kota penghasil dan

0,2% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan.

DBH pertambangan gas bumi dibagikan dengan porsi yang sama besar

untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.

Alokasi DBH pertambangan gas bumi sebesar 30,5% berasal dari

penerimaan Negara suber daya alam pertambangan minyak bumi dari

wilayah provinsi yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak

dan pungutan lainnya. Dengan rincian dari 30%, di bagi untuk provinsi

yang bersangkutan sebesar 10%, dan 20% untuk seluruh kabupaten/kota

lainnya dalam provinsi yang berangkutan. DBH pertambangan gas bumi

18

sebesar 0,5% dibagi dengan rincian sebesar 0,17% untuk provinsi yang

bersangkutan, dan 0,33% untuk seluruh kabupaten/kota lainnya dalam

provinsi bersangkutan. DBH pertambangan gas bumi dibagikan dengan

porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang

bersangkutan.

Alokasi DBH pertambangan panas bumi berasal dari setoran bagian

pemerintah, iuran tetap dan iuran produksi. DBH pertambangan panas

bumi untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan rincian16% untuk provinsi

yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/kota penghasil, dan 32% untuk

seluruh kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.

Penyaluran DBH sebagaimana yang dilaksanakan berdasarkan

realisasi penerimaan sumber daya alam tahun anggaran berjalan.

Penyaluran DBH ini dilakukan secara triwulan.

3. Dana Alokasi Khusus (DAK)

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari

pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan

tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan

urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan

khusus di daerah tertentu yang merupakan urusan daerah dan sesuai

dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana

19

dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai

standar tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan daerah.

DAK memiliki karakter yang paling spesifik di antara dana transfer

lainnya di mana DAK hanya dapat digunakan sesuai dengan menu

kegiatan yang ditetapkan oleh Departemen Teknis yang terkait dengan

bidang alokasi DAK. Berdasarkan klasifikasi Hyman, DAK dapat

dikategorikan sebagai matching grant karena adanya kewajiban

penyediaan dana pendamping dan sekaligus restricted grant karena

karakternya sebagai categorical grant-in-aid.

2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Dalam kebijakan fiskal dikenal ada beberapa kebijakan anggaran yaitu

anggaran berimbang, anggaran surplus dan anggaran defisit. Dalam

pengertian umum, anggaran berimbang yaitu suatu kondisi di mana

penerimaan sama dengan pengeluaran (G = T). Anggaran surplus yaitu

pengeluaran lebih kecil dari penerimaan (G < T). Sedangkan anggaran defisit

yaitu anggaran pengeluaran lebih besar dari penerimaan (G > T). Anggaran

surplus digunakan jika pemerintah ingin mengatasi masalah inflasi.

Sedangkan anggaran defisit digunakan jika pemerintah ingin mengatasi

masalah pengangguran dan peningkatan pertumbuhan ekonomi.

APBD/N merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan

ekonomi. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah satu penentu

20

tercapainya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan untuk

mengatasi berbagai kendala dan permasalahan pokok yang merupakan

tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan

mandiri.

Menurut Mamesha (1995) APBD merupakan rencana operasional

keuangan daerah, dimana disatu pihak menggambarkan perkiraan

pengeluaran setinggi-tingginya guna membiayai kegiatan-kegiatan dan

proyek-proyek daerah dalam satu tahun anggaran tertentu dan pihak lain

mneggambarkan perkiraan penerimaan dan sumber-sumber penerimaan

daerah guna menutupi pengeluaran-pengeluaran yang dimaksud.

Sementara itu menurut Halim (2004) APBD adalah rencana pekerjaan

keuangan (financial workplan) yang dibuat untuk jangka waktu tertentu.

Dalam waktu mana badan legislatif (DPRD) memberikan kredit kepada badan

eksekutif (kepala daerah) untuk melakukan pembiayaan guna kebutuhan

rumah tangga daerah sesuai dengan rancangan yang menjadi dasar

penetapan anggaran dan yang menunjukkan semua penghasilan untuk

menutupi pengeluaran tadi.

Menurut Bastian (2000) APBD merupakan “pengejawantahan rencana

kerja Pemerintah Daerah (Pemda) dalam bentuk satuan uang untuk kurun

waktu satu tahun dan berorientasi pada tujuan kesejahteraan publik.

Dan menurut Saragih (2003) APBD adalah dasar dari pengelolaan

keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu, umumnya satu tahun.

21

Kebijakan pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan

manfaat pendapatan, belanja dan pembiayaan bagi tercapainya sasaran atas

agenda- agenda pembangunan tahunan. Di bidang pengelolaan pendapatan

daerah, akan terus diarahkan pada peningkatan PAD. Untuk merealisasikan

hal tersebut akan dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan

mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada maupun

menggali sumber-sumber baru. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan

peningkatan pendapatan daerah beberapa hal penting yang perlu dilakukan

antara lain dengan memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan

dan perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap

wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak, dan

mencari sumber-sumber pendapatan lainnya yang sesuai dengan

perundang-undangan yang berlaku. Sementara pada sisi belanja, kebijakan

pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan

kepada masyarakat, dengan mengupayakan peningkatan porsi belanja

pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja aparatur. Dalam

kaitannya dengan pembiayaan, akan terus diupayakan peningkatan

penyertaan modal pada beberapa badan usaha milik daerah agar dapat

menghasilkan peningkatan PAD. Selanjutnya disiplin dan efisiensi anggaran

akan secara konsisten dipertahankan dan dilaksanakan guna meningkatkan

SiLPA tanpa mempengaruhi penurunan kinerja SKPD. Bersamaan dengan

itu, kebijakan pembiayaan defisit akan diarahkan penanggulangannya melalui

22

sumber selain pinjaman daerah, mengingat masih terbatasnya sumber

pendapatan asli daerah dan belum dinamisnya sektor industri maupun jasa

sebagai basis penerimaan daerah.

2.1.3 Belanja Modal

Definisi belanja modal merupakan pengeluaran anggaran yang

dugunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset

lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta

melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang

ditetapkan pemerintah. Aset tetap tersebut dipergunakan untuk operasional

kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja bukan untuk dijual.

Menurut Halim (2004) belanja modal merupakan belanja pemerintah

daerah yang manfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah

asset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang

bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi

umum.

Belanja modal adalah belanja yang dilakukan pemerintah yang

menghasilkan aktiva tetap tertentu (Nordiawan 2006). Terdapat tiga cara

untuk memperoleh aset tetap pemerintah daerah yaitu membangun sendiri,

menukarkan dengan asset tetap lainnya, atau juga dengan membeli.

Pemerintah daerah biasanya melakukan dengan cara membangun sendiri

23

atau membeli. Belanja modal memiliki karakteristik spesifik dan menunjukkan

adanya berbagai pertimbangan dalam pengalokasiannya.

Untuk memberikan kemudahan dalam mekanisme pelaksanaan APBN

dan penyusunan Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga, maka

diterbitkan Perdirjen Perbendaharaan No. PER-33/PB/2008 tentang pedoman

penggunaan AKUN pendapatan, belanja pegawai, belanja barang dan

belanja modal sesuai dengan BAS.

Menurut Perdirjen Perbendaharaan tersebut, suatu belanja

dikategorikan sebagai belanja modal apabila:1) Pengeluaran tersebut

mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang

menambah masa umur, manfaat dan kapasitas; 2) Pengeluaran tersebut

melebihi batasan minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang

telah ditetapkan pemerintah; 3) Perolehan aset tetap tersebut diniatkan

bukan untuk dijual. Sayang tidak dijelaskan bagaimana cara mengetahui niat

bukan untuk dijual atau untuk dijual.

karakteristik aset lainnya adalah tidak berwujud, akan menambah aset

pemerintah, mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, dan nilainya

relatif material. Belanja modal juga mensyaratkan kewajiban untuk

menyediakan biaya pemeliharaan.

24

2.1.4 Suku Bunga

Menurut Karl dan Fair (2001), suku bunga adalah pembayaran tahunan

dari suatu pinjaman, dalam bentuk presentase dari pinjaman yang diperoleh

dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman.

Sedangkan menurut samuelson (2001), suku bunga adalah harga yang harus

dibayar karena meminjam uang untuk jangka waktu tertentu.

Dalam teori makro Keynes, suku bunga erat kaitannya dengan

investasi. Keputusan apakah suatu investasi akan dilaksanakan atau tidak,

tergantung kepada perbandingan antara besarnya keuntungan yang

diharapkan (yang dinyatakan dalam persentase per satuan waktu) di satu

pihak dan biaya penggunaaan dana atau tingkat bunga di lain pihak.

Dalam asumsi klasik dimana yang terjadi adalah full employment, maka

Klasik berpendapat bahwa suku bunga ditentukan oleh faktor yang tersedia

dalam masyarakat dan permintaan dana modal untuk investasi.

2.1.5 Pertumbuhan Ekonomi Daerah

Pertumbuhan ekonomi secara singkat merupakan kenaikan output

perkapita dalam jangka panjang,pengertian ini menekankan pada tiga hal

yaitu proses, output per kapita, dan jangka panjang. Proses menggambarkan

perkembangan perekonomian dari waktu ke waktu yang lebih bersifat

dinamis, output per kapita mengaitkan aspek output total (GDP) dan aspek

jumlah penduduk, sedangkan jangka panjang menunjukkan kecenderungan

25

perubahan perekonomian dalam jangka tertentu yang didorong oleh proses

intern perekonomian (self generating).

Menurut Harrod-Domar, setiap perekonomian dapat menyisihkan suatu

proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya jika hanya untuk mengganti

barang-barang modal (gedung-gedung, peralatan dan material) yang rusak.

Namun untuk menumbuhkan perekonomian diperlukan investasi-investasi

baru sebagai tambahan stok modal. Jika dianggap ada hubungan ekonomis

secara langsung antara besarnya stok modal (K) dan output total (Y), maka

setiap tambahan bersih terhadap stok modal akan mengakibatkan kenaikan

output total sesuai dengan rasio output modal tersebut.

Menurut teori pertumbuhan Solow-Swan, pertumbuhan ekonomi

tergantung pada pertambahan penyediaan faktor-faktor produksi (penduduk,

tenaga kerja, dan akumulasi modal) dan tingkat kemajuan teknologi.

Pandangan ini didasarkan pada analisis klasik, bahwa perekonomian akan

tetap mengalami tingkat pekerjaan penuh (full employment) dan kapasitas

peralatan modal akan tetap sepenuhnya digunakan.

Pertumbuhan ekonomi lebih menunjuk kepada perubahan yang bersifat

kuantitatif dan biasanya diukur menggunakan data produk domestik bruto

(PDB) atau pendapatan atau nilai akhir pasar dari barang-barang akhir dan

jasa-jasa yang dihasilkan dari suatu perekonomian selama kurun waktu

tertentu.

26

2.2 Hubungan Antar Variabel

2.2.1 Hubungan Dana Alokasi Umum terhadap Belanja Modal

Dana Alokasi Umum merupakan komponen terbesar pembentuk

anggaran pemerintah daerah, tujuan dari transfer DAU adalah untuk

memperkuat kondisi fiskal daerah dan mengurangi ketimpangan antar

daerah.

Dengan adanya transfer DAU ini, daerah bisa lebih fokus terhadap

penggunaan PAD yang dimiliki guna untuk membiayai belanja modal yang

menunjang tujuan pemerintah yaitu meningkatkan pelayanan publik.

Semakin banyak pendapatan yang dihasilkan oleh daerah baik dari DAU

maupun PAD, maka daerah akan mampu memenuhi dan membiayai semua

keperluan yang diharapkan oleh masyarakat.

Dalam penelitian Holtz-Eakin, et.al (1994) menunjukkan adanya

keterkaitan erat antara transfer dari pemerintah pusat dengan belanja

modal. Prakosa (2004) serta Harianto dan adi (2007) memberikan fakta

empirik dimana DAU mempunyai pengaruh positif terhadap belanja modal

pemerintah daerah.

Hal ini menunjukkan bahwa besarnya dana DAU akan memberikan

dampak yang berarti bagi peningkatan belanja modal.

27

2.2.2 Hubungan Dana Bagi Hasil Pajak terhadap Belanja Modal

Bagi hasil pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh pemerintah

pusat untuk didistribusikan antara pusat dan daerah otonom berdasarkan

potensi daerah masing-masing. Sehingga transfer dana bagi hasil pajak ini

juga mendorong pemerintah daerah untuk secara intensif menggali sumber

penerimaannya.

Melalui pengaturan dana bagi hasil pajak, daerah diharapkan mampu

mengelola keuangannya dan mengalokasikannya untuk belanja-belanja

pembangunan daerah secara tepat sesuai dengan kebutuhan

pembangunan. Dana bagi hasil pajak merupakan salah satu sumber

pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal

dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan yang

bukan berasal dari PAD dan DAU.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Alfan H.Harahap (2009)

menunjukkan dana bagi hasil pajak berpengaruh positif terhadap belanja

modal.

2.2.3 Hubungan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam terhadap Belanja

Modal

Dana Bagi Hasil SDA merupakan salah satu komponen dana

perimbangan yang memiliki peranan dalam menyelenggarakan otonomi

28

daerah karena penerimaannya didasarkan oleh potensi daerah penghasil.

Setiap daerah dituntut untuk dapat menggali potensi SDA yang ada dan

mengelolanya sehingga pendapatan daerah dapat terus meningkat dan

ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat dapat

berkurang.

Melalui kebijakan bagi hasil SDA diharapkan masyarakat daerah

dapat merasakan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya., hal ini

karena selama pemerintahan orde baru hasil SDA lebih banyak dinikmati

oleh pemerintah pusat sehingga terjadi ketimpangan pembangunan antara

daerah yang satu (Jawa) dengan daerah yang lain (Luar Jawa).

Alokasi dana bagi hasil SDA untuk investasi sektor kunci dalam

perekonomian akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah. Hal ini

dapat berjalan bila di tunjang dengan regulasi dan alokasi dana yang

diberikan pada pos belanja modal.

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga penyelidikan ekonomi dan

masyarakat (LPEM) FE-UI 2001 Dari studinya dihasilkan bahwa Dana Bagi

Hasil Sumber Daya Alam (DBHSDA) memperburuk disparitas antar daerah

dan Dana Alokasi Umum (DAU) cukup efektif untuk mengurangi disparitas

antar daerah. DBHSDA ternyata sangat menguntungkan daerah yang kaya

akan SDA dan tidak akan mempengaruhi daerah yang miskin SDA.

Sedangkan untuk kondisi makroekonomi dampak DBHSDA dan DAU, baik

29

secara terpisah maupun bersama-sama ternyata hanya berdampak sedikit

terhadap pertumbuhan konsumsi dan investasi.

2.2.4 Hubungan Dana Alokasi Khusus terhadap Belanja Modal

Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang berasal dari APBN,

yang dialokasikan kepada Daerah untuk membantu membiayai kebutuhan

tertentu (UU No. 33 Tahun 2004). Dana dekonsentrasi dan dana tugas

pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran kementerian negara,

yang digunakan untuk melaksanakan urusan daerah, secara bertahap

dialihkan menjadi dana alokasi khusus.

Dana alokasi khusus digunakan untuk menutup kesenjangan

pelayanan publik antardaerah dengan memberi prioritas pada bidang

pendidikan, kesehatan, infrastruktur, kelautan dan perikanan, pertanian,

prasarana pemerintahan daerah, dan lingkungan hidup.

2.2.5 Hubungan Belanja Modal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting

untuk mengetahui dan mengevaluasi hasil pembangunan yang

dilaksanankan. Syaratan fundamental untuk pembangunan ekonomi adalah

tingkat pengadaan modal pembangunan yang seimbang dengan

pertambahan penduduk. Pembentukan modal tersebut harus didefinisikan

secara luas sehingga mencakup pengeluaran yang sifatnya meningkatkan

produktivitas (Ismerdekaningsih & Rahayu, 2002).

30

Jika PEMDA menetapkan anggaran belanja pembangunan lebih

besar dari pengeluaran rutin, maka kebijakan ekspansi anggaran daerah ini

akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah (Saragih, 2003).

Peningkatan pelayanan publik secara berkelanjutan akan meningkatkan

sarana dan prasarana publik, investasi pemerintah juga meliputi perbaikan

fasilitas pendidikan, kesehatan, dan sarana penunjang lainnya.

Infrastruktur dan sarana prasarana yang ada di daerah akan

berdampak pada pertumbuhan ekonomi daerah. Jika sarana dan prasarana

memadai maka masyarakat dapat melakukan aktivitas sehari – harinya

secara aman dan nyaman yang akan berpengaruh pada tingkat

produktivitasnya yang semakin meningkat, dan dengan adanya infrastruktur

yang memadai akan menarik investor untuk membuka usaha di daerah

tersebut. Dengan bertambahnya belanja modal maka akan berdampak

pada periode yang akan datang yaitu produktivitas masyarakat meningkat

dan bertambahnya investor akan meningkatkan pendapatan asli daerah

(Abimanyu, 2005).

2.2.6 Hubungan Suku Bunga terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Perubahan tingkat suku bunga akan berdampak pada perubahan

jumlah investasi di suatu negara, baik yang berasal dari investor domestik

maupun dari investor asing, khususnya pada jenis invesatsi portfolio yang

umunya berjangka pendek. Perubahan tingkat suku bunga ini akan

31

berpengaruh pada perubahan jumlah permintaan dan penawaran di pasar

uang domestik.

Tingkat bunga menentukan jenis-jenis investasi yang akan memberi

keuntungan kepada para pengusaha. Para pengusaha akan melaksanakan

investasi yang mereka rencanakan hanya apabila tingkat pengembalian

modal yang mereka peroleh melebihi tingkat bunga. Dengan demikian

besarnya investasi dalam suatu jangka waktu tertentu adalah sama dengan

nilai dari seluruh investasi yang tingkat pengembalian modalnya adalah

lebih besar atau sama dengan tingkat bunga. Apabila tingkat bunga menjadi

lebih rendah, lebih banyak usaha yang mempunyai tingkat pengembalian

modal yang lebih tinggi daripada tingkat suku bunga. Semakin rendah

tingkat bunga yang harus dibayar para pengusaha, semakin banyak usaha

yang dapat dilakukan para pengusaha. Semakin rendah tingkat bunga

semakin banyak investasi yang dilakukan para pengusaha (Sukirno, 1998).

2.2.7 Hubungan Transfer Pemerintah Pusat terhadap Pertumbuhan

Ekonomi

Transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah merupakan satu

dari beberapa pilar pokok desentralisasi fiskal. Implikasi dari transfer

dana, pemerintah pusat memberikan bagi hasil pajak dan bagi hasil sumber

daya alam pada daerah yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan

vertikal. Distribusi sumber daya alam dan pajak tidak merata disemua

32

daerah. Oleh sebab itu, pemerintah pusat memberikan dana alokasi umum

yang bertujuan untuk fiscal equalizations dan mengurangi kesenjangan

antar daerah.

The Impact of Fiscal Decentralization Process to Indonesian Regional

Economies: A Simultaneous Econometrics Approach ” dilakukan oleh

Bambang P.S Brodjonegoro, 2001 Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan model makro ekonometrik simultan untuk melihat dampak

desentralisasi fiskal terhadap perekonomian Indonesia. Hasil studi

menunjukkan bahwa dengan skema DAU, DBHSDA, dan Dana Bagi Hasil

Pajak Penghasilan (DBHPPh) disparitas ekonomi antar daerah akan

semakin meningkat. Yang ditunjukkan oleh meningkatnya angka indeks

williamson. Sedangkan untuk pertumbuhan ekonomi daerah, dengan skema

yang sama menghasilkan tingkat pertumbuhan yang berbeda-beda antar

daerah, daerah yang kaya SDA dan menerima DAU tinggi menunjukkan

tingat petumbuhan yang tinggi, demikian sebaliknya.

2.3Tinjauan Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan transfer pusat, belanja

modal dan pertumbuhan adalah sebagai berikut: 1) Alfian H.Harahap tahun

2009, Pengaruh Dana Bagi Hasil pajak dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya

Alam terhadap Belanja Modal. Variable yang digunakan yaitu dana bagi hasil

pajak, dana bagi hasil SDA, dan belanja modal. Hasil penelitian ini

33

menunjukkan bahwa secara simultan kedua variabel independen

berpengaruh positif terhadap belanja modal, dan secara parsial dana bagi

hasil pajak berpengaruh signifikan positif terhadap belanja modal sedangkan

dana bagi hasil SDA tidak berpengaruh terhadap belanja modal. 2) Friska

Sihite tahun 2009, Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum,

Dana Alokasi Khusus dan Belanja Modal terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Daerah di Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa secara parsial variabel Pendapatan Asli Daerah, Dana

Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus berpengaruh positif dan signifikan

terhadap pertumbuhan ekonomi, namun variabel Belanja Modal tidak

berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. 3) Gunawan Wahyudi Septian

tahun 2008, Pengaruh belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi dan

pendapatan asli daerah di Indonesia. Hasil dari penelitian ini yaitu

pendapatan asli daerah dipengaruhi oleh belanja modal dan belanja modal

juga akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.

2.4 Kerangka Konseptual dan Hipotesis2.4.1 Kerangka Konseptual

Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang memberikan kesimpulan

adanya pengaruh DAU, DBH, DAK dan belanja modal terhadap pertumbuhan

daerah, maka penulis membuat kerangka konseptual atas penelitian ini

sebagai berikut:

34

Gambar 2.1Kerangka Konseptual

Dana alokasi umum, dana bagi hasil dan dana alokasi khusus adalah

bagian dari transfer pemerintah pusat yang memiliki kontribusi yang besar

dalam sumber penerimaan daerah dalam struktur APBD.

Pengalokasian anggaran belanja modal yang tinggi dapat memacu

pertumbuhan ekonomi melalui kebijakan fiskal yang selanjutkan akan

menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Belanja modal yang

dilakukan digunakan untuk pembangunan sehingga masyarakat dapat

menikmati pembangunan tersebut. Dengan tersedianya infrastruktur yang

baik diharapkan dapat menciptakan efisiensi dan efektivitas di berbagai

sektor. Sehingga produktivitas masyarakat semakin tinggi dan pada akhirnya

akan terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi.

35

Suku Bunga (Q)

DAK (X3)

Pertumbuhan Ekonomi Daerah

(Y)

(Y

Belanja Modal (Z)

DBH (X2)

DAU (X1)

Suku Bunga (R)

DAK (X3)

Pertumbuhan Ekonomi Daerah

(Z)

(Y

Belanja Modal (Y)

DBH (X2)

DAU (X1)

2.4.2 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan gambaran sementara terhadap rumusan masalah

penelitian karena jawaban yang diberikan masih berdasarkan teori yang

relevan, belum berdasarkan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui

pengumpulan data (Sugiono 2003).

Berdasarkan kerangka konseptual dan uraian teoritis tersebut, maka

penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Transfer Pemerintah Pusat berpengaruh positif dan suku bunga

berpengaruh negatif terhadap Belanja Modal di Kabupaten/Kota

Sulawesi Selatan.

2. Belanja Moda berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi di

kabupaten/kota Sulawesi Selatan.

3. Transfer Pemerintah Pusat berpengaruh positif dan suku bunga

berpengaruh negative terhadap pertumbuhan ekonomi di

Kabupaten/Kota Sulawesi Selatan melalui variabel belanja modal.

36