berkibarlah industri indonesia memerdekakan industri nasional · menyatakan fenomena itu...

1
P ERTUMBUHAN produk domestik bru- to (PDB) atau gross do- mestic product (GDP) sejatinya menjadi fondasi per- hitungan laju pertumbuhan ekonomi suatu negara. PDB Indonesia pada semes- ter I 2010 tercatat sudah men- capai angka Rp3.069 triliun, mendekati angka PDB 2009 yang sebesar Rp5.613 triliun. Selama ini penyumbang PDB Indonesia terbesar berasal dari tiga kelompok, yakni industri pengolahan (manufaktur). Ke- mudian, pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Disusul perdagangan, hotel, serta restoran. Sektor industri manufaktur sendiri masih menjadi pe- nyumbang tertinggi PDB sebe- sar 26,4%, atau senilai Rp1.481 triliun pada 2009. Untuk tahun ini, sumbangan industri manu- faktur terhadap PDB masih terjaga di level 25,5% pada triwulan I dan 24,9% pada triwulan II. Meskipun demikian, jika dirunut tiga tahun ke belakang, sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB justru terus menurun. Pada 2009, sektor ini hanya mampu menyumbang 26,4% dalam struktur PDB Indonesia. Sebelumnya, sektor manufak- tur mampu mendekati angka 28% pada 2008. Sementara di 2007, sektor manufaktur me- nyumbang 27%. Pengamat manufaktur dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mudrajad Kuncoro menyatakan fenomena itu mempertegas terjadinya laju deindustrialisasi di Indonesia. “Industri mengalami dein- dustrialisasi dini. Harusnya deindustrialisasi itu baru ter- jadi setelah angka 35%. Ini, kita baru 28% saja sudah turun terus sampai 25%. Di sisi lain, malah sektor pertanian yang naik kontribusinya terhadap PDB,” urainya, dalam perbin- cangan dengan Media Indonesia, di Jakarta, pekan lalu. Guna memaksimalkan kem- bali peran sektor industri, menurut Mudrajad, peme- rintah harus mengawinkan strategi di tiga sektor, yakni pertanian, perindustrian dan perdagangan. Kenapa demikian? Mudrajad menerangkan, semua itu karena liberalisasi perdagangan yang dialami hampir semua sektor lapangan usaha. Ia mencon- tohkan realisasi kerja sama per- dagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang dilakukan secara bertahap di sektor pertanian dan manufaktur. “Awalnya memang perdagangan. Ujung-ujungnya kena ke industri juga. Tapi, bicara koordinasi, di negeri ini itu sudah jadi barang mewah,” serunya. Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Moneter Fiskal dan Kebijakan Publik Hariyadi B Sukamdani menambahkan, me- nyusutnya kontribusi manufak- tur juga disebabkan kurangnya insentif. “Kalau untuk insentif, pemerintah kita susah. Pem- bicaraannya lama dan kalau ngasih juga setengah hati.” Hal itu berbanding terbalik dengan pemerintah China yang justru memanjakan indus- trinya dengan berbagai paket insentif. Agroindustri Wakil Rektor dan Guru Besar Ilmu Ekonomi Institut Perta- nian Bogor Hermanto Siregar mengamini besarnya potensi agroindustri untuk dikem- bangkan di Indonesia. Pasal- nya, selama ini industri masih mengandalkan ekspor dalam bentuk produk mentah. Tengok saja, berjuta-juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) maupun kakao Indonesia yang dijual mentah- mentah tanpa diolah lagi. Pa- dahal, jika diproses lebih lanjut, dari CPO itu puluhan produk turunannya bisa dikembangkan, yang nilainya lebih mahal. Begitu juga dengan hasil panen kakao kita, yang semes- tinya bisa diproduksi menjadi cokelat olahan. Akhirnya, kebia- saan ini lama-kelamaan mem- buat pengusaha kita menjadi manja dan kurang inovatif. “Industri kita ingin cepat mendapatkan revenue, enggak usah payah-payah langsung dapat dolar. Ak- hirnya negara-negara lain pengimpor produk kelapa sawit Indonesia yang mendapatkan keuntungannya. Mereka bisa meng olahnya menjadi produk hilir, baru kemudian menjualnya de- ngan harga yang lebih tinggi. Seperti cokelat (kakao),” urai Hermanto. Dampak serius yang terjadi kemudian ialah tidak bertum- buhnya sektor industri nasional dan terus membesarnya jumlah pedagang (trader). Jika ini ber- lanjut, lama-kelamaan, panci pun kita bakal impor. Ke depan, menurut Her- manto, sektor agroindustri yang digarap serius akan dapat menciptakan multiplier efek tinggi bagi pertumbuhan sek- tor pertanian, industri, dan ekonomi secara keseluruhan. “Jika berbicara pertanian saja, pangsa kita kira-kira 13%. Kalau semua produk turunan dijumlah, bisa menjadi sekitar 55%-60%,” tutur Hermanto. Potensi agroindustri ini, ka- tanya, ibarat mutiara terpen- dam bagi Indonesia. Dengan membangun industri yang menghasilkan produk bernilai tambah, lapangan kerja akan lebih banyak terbuka. Dengan kata lain, tingkat pengangguran pun dapat di- tekan secara perlahan namun pasti, seperti yang ditargetkan pemerintah pada 2014, menu- run hingga 5%-6%. Ketua Komite Tetap Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Alat Angkut Kadin Indonesia Gunadi Sindhuwinata meng- ingatkan, kerangka kebijakan investasi di sektor manufaktur juga harus terarah. Khususnya investasi di hilir. Di sinilah, timpalnya, begitu besar peranan sektor kelistrik- an, migas, pengangkutan, dan komunikasi sebagai penyokong sektor industri lainnya. “Ini semua bergantung pada ke- bijakan pemerintah. Mereka harus memiliki perencanaan pertumbuhan yang jelas dan berkualitas,” tutur Gunadi. Faktanya, meskipun angka pertumbuhan ekonomi Indone- sia mencapai 5,9% di semester I 2010, jumlah penyerapan tenaga kerja masih belum mak- simal. Sektor pertanian yang justru menyerap banyak tenaga kerja malah ditinggalkan. Sejatinya, mendorong indus- tri yang memiliki nilai tambah seperti di agroindustri membu- tuhkan komitmen serius dari pemerintah dan pengusaha. Tentunya, dalam kerangka kebijakan yang positif dan bukan kontraproduktif. Sebab, membangun industri bernilai tambah juga menjadi bukti nasionalisme. “Tenaga kerja bisa terserap, sekaligus memajukan tenaga kerja se- bagai anak bangsa,” kata Her- manto. (P-4) [email protected] Memerdekakan Industri Nasional Begitu banyak potensi yang ada. Namun, akselerasi kebijakan yang minim dengan ego sektoral yang kuat menyebabkan gerak industri nasional masih terpasung. Marchelo SENIN, 16 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS 14 | Berkibarlah Industri Indonesia ANTARA/ YUSRAN UCCANG Guna memaksimalkan kembali peran sektor industri, pemerintah harus mengawinkan strategi di tiga sektor.” Mudrajad Kuncoro Pengamat Manufaktur UGM PANEN KAKAO : Seorang petani memetik buah kakao saat panen di Masamba, Lutra, Sulsel, beberapa waktu lalu. Hasil panen kakao Indonesia sebagian besar diekspor mentah-mentah. Padahal semestinya, kakao itu bisa diproduksi menjadi cokelat olahan yang harga jualnya lebih tinggi.

Upload: vanthu

Post on 18-Aug-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Berkibarlah Industri Indonesia Memerdekakan Industri Nasional · menyatakan fenomena itu mempertegas terjadinya laju deindustrialisasi di Indonesia. “Industri mengalami dein-dustrialisasi

PE R T U M B U H A N produk domestik bru-to (PDB) atau gross do-mestic product (GDP)

sejatinya menjadi fondasi per-hitungan laju pertumbuhan ekonomi suatu negara.

PDB Indonesia pada semes-ter I 2010 tercatat sudah men-capai angka Rp3.069 triliun, mendekati angka PDB 2009 yang sebesar Rp5.613 triliun.

Selama ini penyumbang PDB Indonesia terbesar berasal dari tiga kelompok, yakni industri pengolahan (manufaktur). Ke-mudian, pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan. Disusul perdagangan, hotel,

serta restoran.Sektor industri manufaktur

sendiri masih menjadi pe-nyumbang tertinggi PDB sebe-sar 26,4%, atau senilai Rp1.481 triliun pada 2009. Untuk tahun ini, sumbang an industri manu-faktur terhadap PDB masih terjaga di level 25,5% pada triwulan I dan 24,9% pada triwulan II.

Meskipun demikian, jika dirunut tiga tahun ke belakang, sumbangan sektor industri manufaktur terhadap PDB justru terus menurun.

Pada 2009, sektor ini hanya mampu menyumbang 26,4% dalam struktur PDB Indonesia. Sebelumnya, sektor manufak-tur mampu mendekati angka 28% pada 2008. Sementara di

2007, sektor manufaktur me-nyumbang 27%.

Pengamat manufaktur dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Mudrajad Kuncoro menyatakan fenomena itu mempertegas terjadinya laju deindustrialisasi di Indonesia.

“Industri mengalami dein-dustrialisasi dini. Harusnya deindustrialisasi itu baru ter-jadi setelah angka 35%. Ini, kita baru 28% saja sudah turun terus sampai 25%. Di sisi lain, malah sektor pertanian yang naik kontribusinya terhadap PDB,” urainya, dalam perbin-cangan dengan Media Indonesia, di Jakarta, pekan lalu.

Guna memaksimalkan kem-bali peran sektor industri, menurut Mudrajad, peme-rintah harus mengawinkan strategi di tiga sektor, yakni pertanian, perindustrian dan perdagangan.

Kenapa demikian? Mudrajad menerangkan, semua itu karena liberalisasi perdagangan yang dialami hampir semua sektor lapangan usaha. Ia mencon-

tohkan realisasi kerja sama per-dagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) yang dilakukan secara bertahap di sektor pertanian dan manufaktur. “Awalnya memang perdagang an. Ujung-ujungnya kena ke industri juga. Tapi, bicara koordinasi, di negeri ini itu sudah jadi barang mewah,” serunya.

Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Moneter Fiskal dan Kebijakan Publik Hariyadi B Sukamdani menambahkan, me-nyu sutnya kontribusi manufak-tur juga disebabkan kurangnya insentif. “Kalau untuk insentif, pemerintah kita susah. Pem-bicaraannya lama dan kalau ngasih juga setengah hati.”

Hal itu berbanding terbalik dengan pemerintah China yang justru memanjakan indus-trinya dengan berbagai paket insentif.

AgroindustriWakil Rektor dan Guru Besar

Ilmu Ekonomi Institut Perta-nian Bogor Hermanto Siregar mengamini besarnya potensi agroindustri untuk dikem-bangkan di Indonesia. Pasal-nya, selama ini industri masih mengandalkan ekspor dalam bentuk produk mentah.

Tengok saja, berjuta-juta ton minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) maupun kakao Indonesia yang dijual mentah-mentah tanpa diolah lagi. Pa-dahal, jika diproses lebih lanjut, dari CPO itu puluhan produk turunannya bisa dikembangkan, yang nilainya lebih mahal.

Begitu juga dengan hasil panen kakao kita, yang semes-tinya bisa diproduksi menjadi cokelat olahan. Akhirnya, kebia-saan ini lama-kelamaan mem-buat pengusaha kita menjadi manja dan kurang inovatif.

“Industri kita ingin cepat mendapatkan reve nue, enggak usah payah-payah langsung

dapat dolar. Ak-hirnya nega ra-negara lain pengimpor produk kelapa sawit Indonesia yang mendapatkan keuntung annya. Mereka bisa meng olahnya menjadi produk hilir, baru kemudian menjualnya de-ngan harga yang lebih tinggi.

Seperti cokelat (kakao),” urai Hermanto.

Dampak serius yang terjadi kemudian ialah tidak bertum-buhnya sektor industri nasional dan terus membesarnya jumlah pedagang (trader). Jika ini ber-lanjut, lama-kelamaan, panci pun kita bakal impor.

Ke depan, menurut Her-manto, sektor agroindustri yang digarap serius akan dapat menciptakan multiplier efek tinggi bagi pertumbuhan sek-tor pertanian, industri, dan ekonomi secara keseluruhan. “Jika berbicara pertanian saja, pangsa kita kira-kira 13%. Kalau semua produk turunan dijumlah, bisa menjadi sekitar 55%-60%,” tutur Hermanto.

Potensi agroindustri ini, ka-tanya, ibarat mutiara terpen-dam bagi Indonesia. Dengan membangun industri yang menghasilkan produk bernilai tambah, lapangan kerja akan

lebih banyak terbuka. Dengan kata lain, tingkat

pengangguran pun dapat di-tekan secara perlahan namun pasti, seperti yang ditargetkan pemerintah pada 2014, menu-run hingga 5%-6%.

Ketua Komite Tetap Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Alat Angkut Kadin Indonesia Gunadi Sindhuwinata meng-ingatkan, kerangka kebijakan investasi di sektor manufaktur juga harus terarah. Khususnya investasi di hilir.

Di sinilah, timpalnya, begitu besar peranan sektor kelistrik-an, migas, pengangkutan, dan komunikasi sebagai penyokong sektor industri lainnya. “Ini semua bergantung pada ke-bijakan pemerintah. Mereka harus memiliki perencanaan pertumbuhan yang jelas dan berkualitas,” tutur Gunadi.

Faktanya, meskipun angka pertumbuhan ekonomi Indone-sia mencapai 5,9% di semester I 2010, jumlah penyerapan tenaga kerja masih belum mak-simal. Sektor pertanian yang justru menyerap banyak tenaga kerja malah ditinggalkan.

Sejatinya, mendorong indus-tri yang memiliki nilai tambah seperti di agroindustri membu-tuhkan komitmen serius dari pemerintah dan pengusaha.

Tentunya, dalam kerangka kebijakan yang positif dan bukan kontraproduktif.

Sebab, membangun industri bernilai tambah juga menjadi bukti nasionalisme. “Tenaga kerja bisa terserap, sekaligus memajukan tenaga kerja se-bagai anak bangsa,” kata Her-manto. (P-4)

[email protected]

Memerdekakan Industri NasionalBegitu banyak potensi yang ada. Namun, akselerasi kebijakan yang minim dengan ego sektoral yang kuat menyebabkan gerak industri nasional masih terpasung.

Marchelo

SENIN, 16 AGUSTUS 2010 | MEDIA INDONESIA | EDISI KHUSUS14 | Berkibarlah Industri Indonesia

ANTARA/ YUSRAN UCCANG

Guna memaksimalkan kembali peran sektor industri, pemerintah harus mengawinkan strategi di tiga sektor.”

Mudrajad KuncoroPengamat Manufaktur UGM

PANEN KAKAO : Seorang petani memetik buah kakao saat panen di Masamba, Lutra, Sulsel, beberapa waktu lalu. Hasil panen kakao Indonesia sebagian besar diekspor mentah-mentah. Padahal semestinya, kakao itu bisa diproduksi menjadi cokelat olahan yang harga jualnya lebih tinggi.