berita inderaja 14

80
3 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Upload: cimasuk

Post on 05-Feb-2016

90 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

informasi

TRANSCRIPT

Page 1: Berita Inderaja 14

3BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Page 2: Berita Inderaja 14

4 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Page 3: Berita Inderaja 14

3BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

.......................Dari Redaksi

Sidang Pembaca Yang Terhormat,

Majalah Berita Inderaja kembali terbit dan mengunjungi para pembaca setia untuk

memenuhi kebutuhan informasi perkem bang-an teknologi penginderaan jauh (inderaja). Materi tulisan yang disajikan pada edisi Juli 2009 kali ini, merupakan hasil kegiatan pene-litian dan operasional di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN dan ki-riman tulisan dari teman-teman di LEMI-GAS serta UNIVERSITAS GADJAH MADA. Tulisan/artikel adalah hasil pemanfaatan data satelit inderaja, diantaranya meng-gunakan data satelit Landsat7, ALOS, TRMM, CBERS dan NPP. Diharapkan ma-teri/tulisan yang disampaikan dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Tema tentang pemanfaatan data satelit inderaja dan pemodelan 3D tu-runan SRTM mengisi ruang pada Rubrik Topik Inderaja dengan judul adalah: Penurunan Digital Elevation Model (DEM) ALOS untuk Simulasi Genangan Tsunami, Pemanfaatan Data Alos untuk Deteksi Perubahan Tutupan Lahan Akibat Bencana Tsunami dan Pengenalan Aplikasi Geologi Daerah Bojone-goro dan Sekitarnya Menggunakan Data Landsat-7 ETM+.

Pada Rubrik Aplikasi Inderaja, disajikan beberapa judul tulisan, diantaranya adalah: Aplikasi Data Satelit Inderaja untuk Mendukung Pengelolaan Kawa-san Danau - Studi Kasus: Danau Toba, Pemanfaatan Data Trmm dalam Men-dukung Pemantauan dan Prediksi Curah Hujan Di Indonesia, Menggunakan Data Satelit Mendeteksi Titik Panas (Hotspot), Kebakaran Hutan dan Lahan dan Sistem Informasi Data Spasial Daerah (Sisda) Berbasis Web untuk Ma-najemen Data Spasial Daerah Studi Kasus Kab. Biak Numfor. Judul tulisan yang dimuat pada rubrik Aplikasi Inderaja tersebut merupakan hasil kegiatan penelitian yang berkaitan dengan pemanfaatan data dan informasi inderaja.

Penyebarluasan informasi tentang produk data satelit masa depan dan perkembangan teknologi satelit inderaja saat ini, dimuat pada Rubrik Informa-si Data Inderaja. Judul tulisannya adalah: China-Brazil Operasikan Serial Sa-telit Sumber Alam CBERS, Program Satelit Lingkungan Orbit Polar NPOESS Preparatory Project (NPP) Pasca Satelit Terra dan Aqua, dan Siklon Tropis Memasuki Wilayah Indonesia.

Kami tetap berusaha untuk menyajikan informasi pemanfaatan data in-deraja kepada para pembaca setia. Informasi disampaikan melalui makalah/tulisan, artikel dan pemuatan poster Peta Citra Satelit inderaja yang meliputi wilayah-wilayah di seluruh Indonesia. Dan pada kesempatan ini pula, redak-si menyampaikan permohonan ma’af, karena belum dapat memenuhi semua permintaan pembaca yang disampaikan melalui pengembalian Formulir Tang-gapan Surat Pembaca. Tetapi, insya Allah pada edisi-edisi mendatang, secara bertahap kami dapat memenuhi permintaan dan harapan pembaca. Terima kasih atas perhatiannya, selamat membaca.

Hormat Kami,

Redaksi

Diterbitkan oleh:Bidang Penyajian Data,

Pusat Data Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional

Pelindung:Kepala LAPAN, Deputi Bidang

Penginderaan Jauh LAPAN

Penanggung Jawab:Kepala Pusat Data Penginderaan Jauh

Editor:Ir. Mahdi Kartasasmita M.S, Ph.D,

Prof. Drs. Mulyadi Kusumowidagdo, Prof. DR. F. S. Hardiyanti Purwadhi.

Staf Redaksi:Ir. Yuliantini Erowati, M. Si,

Yudho Dewanto ST, Drs. Mohammad Natsir, M.T,

Ir. Wawan K. Harsa Nugraha, M.Si.

Staf Sekretariat:Liberson Pakpahan, Arief Nurcahyo,

Abdul Makmun, Bambang Haryanto, SE, Sri Sulistini.

Alamat Redaksi:Bidang Penyajian Data,

Pusat Data Penginderaan Jauh LAPAN, Jl. Lapan No. 70 Jakarta 13710.

Telp.: (021) 8717715, 8710786, 8721870.Fax.: (021) 8717715

Website: http://www.lapanrs.com.Email: [email protected].

Majalah ini diterbitkan untuk pengguna data satelit penginderaan jauh LAPAN.

Redaksi menerima tulisan, saran, dan kritik dari para pembaca. Naskah mohon diketik

satu spasi dan bila ada gambar dalam format (.gif/.tiff ).

Frekuensi terbit: 2 kali setahun.

3

Page 4: Berita Inderaja 14

4 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 20094 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Surat Pembaca.............................................Informasi yang Bermanfaat untuk Pengembangan Sumber Daya Air

Buku/majalah inderaja ini sangat bermanfaat untuk pengembangan Sumber Daya Air di Indonesia.

Ir. Eko Winar Irianto, MTPeneliti Madya Pusat Litbang SDA

Jl. Juanda 193, Bandung 40153Telp: 022-2504053Fax: 022-2500163

Pada edisi kali ini, salah satu topik yang dimuat ada-lah tentang pengelolaan kawasan danau, dengan judul tulisan adalah: ”Aplikasi Data Satelit Inderaja untuk Men-dukung Pengelolaan Kawasan Danau” (Studi Kasus: Da-nau Toba). Dengan dimuatnya topik ini, redaksi berharap majalah ini dapat bermanfaat dan menambah informasi bagi para pembaca dan khususnya para Peneliti di bi-dang pengembangan Sumber Daya Air. Bapak Ir. Eko Winar Irianto, MT, terima kasih atas atensinya.

Informasi Pengembangan PJ & SIG untuk Pemerintah Daerah

Isi/topik lebih difokuskan kepada aplikasi, agar lebih mu-dah untuk di pahami (disamping informasi pengemba ngan PJ & SIG, juga dapat dimanfaatkan secara langsung oleh pemerintah daerah).

DR. Ir. Ribaldi, M.SiKepala Bappeda Kabupaten Pasaman Barat

Jl. Ki Hajar Dewantara No. 29, Pasaman BaratTelp: 0753-65405Fax: 0753-65405

E-mail: [email protected]

Terima kasih atas masukan/saran Bapak DR. Ir. Ribaldi, M.Si tentang fokus tulisan kepada aplikasi. Pada penerbitan majalah edisi Juli 2009, redaksi menampilkan tulisan mengenai aplikasi PJ & SIG yang disajikan pada rubrik Aplikasi Inderaja. Judul tulis-an yang kami angkat adalah: ”Sistem Informasi Data Spasial Daerah (Sisda) Berbasis Web Untuk Manajemen Data Spasial Daerah Studi Kasus Kab. Biak Numfor”. Dimuatnya judul tulisan ini, redaksi berharap majalah Berita Inderaja dapat membantu/mendukung dalam pelaksanaan tugas Bapak sehari-hari dan juga dapat dimanfaatkan secara langsung khususnya bagi pemerintah daerah.

Informasi GIS

Kami sampaikan penghargaan dan terimakasih atas pe-ngiriman informasi ini dan sangat bermanfaat karena kami memiliki GIS center Bappeda Aceh Besar.

• Bentuk, isi dan informasi sangat exlusive.• Tingkatkan terus mutu dan info untuk membangun

bangsa, salam.

Ir. Zulkifl i RKepala Bappeda Aceh Besar

Jl. Prof. A. Majid Ibrahim No. 3 Kota Jantho Aceh BesarTelp: 0651-92569Fax: 0651-92241

E-mail: zulkifl [email protected]

Terima kasih atas atensi dan dorongan yang telah Bapak Ir. Zulkifl i R berikan kepada kami. Diharapkan, semoga majalah Berita Inderaja dapat bermanfaat bagi pembangunan di daerah Bapak dan daerah lainnya di Indonesia. Melalui kesempatan ini, redaksi majalah juga mengharapkan adanya peran serta dan partisipasi dari Pembaca majalah Berita Inderaja untuk mengirim-kan tulisan/ artikel sampai ke meja redaksi, sehing ga pada pener-bitan majalah yang akan datang tulisan yang dimuat dapat me-menuhi keinginan dan kebutuhan dari para pembacanya.

Informasi Sangat Baik dalam Menyiapkan Kebijakan Perencanaan Pembangunan Kota

Atas nama Bappeda Kota Medan, kami mengucapkan terima kasih atas penyampaian majalah Berita Inderaja Volu-me VII No. 13 Desember 2008. Informasi yang ada dalam majalah tersebut kami nilai sangat baik dalam menyiapkan kebijakan perencanaan pembangunan kota, khususnya pe-ningkatan penataan ruang di kota medan. Demikian, atas kerjasamanya diucapkan terima kasih.

Ir. Syaiful BahriKepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Kabupaten Kota MedanJl. Kapten Maulana Lubis No. 2 Lt. III, Medan 20112

Telp: 4517646Fax: 4571753

Terima kasih atas atensi yang telah Bapak Ir. Syaiful Bahri sampaikan, dan redaksi berharap semoga majalah Berita In-deraja ini dapat bermanfaat bagi pembangunan di daerah Ba-pak serta di daerah lainnya di Indonesia. Dan untuk masa yang akan datang, redaksi juga berharap dapat menjalin hubungan kerjasama yang lebih baik antara LAPAN dengan Badan Peren-canaan Pembangunan Daerah Kabupaten Kota Medan.

Page 5: Berita Inderaja 14

5BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 5BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

DARI REDAKSI 3SURAT PEMBACA 4TOPIK INDERAJA

Penurunan Digital Elevation Model (DEM) dari Data ALOS untuk Simulasi Genangan Tsunami 6

Pemanfaatan Data ALOS untuk Deteksi Perubahan Tutupan Lahan Akibat Bencana Tsunami 10

Pengenalan Aplikasi Geologi Daerah Bojonegoro dan Sekitarnya Menggunakan Data Lansat-7 ETM+ 15

APLIKASI INDERAJA Pemanfaatan Data Trmm dalam Mendukung

Pemantauan dan Prediksi Curah Hujan Di Indonesia 29 Mendeteksi Titik Panas (Hotspot), Kebakaran Hutan

dan Lahan Menggunakan Data Satelit 35 Sistem Informasi Data Spasial Daerah (Sisda) Berbasis

Web untuk Manajemen Data Spasial Daerah. Studi Kasus Kabupaten Biak Numfor 40

INFORMASI DATA INDERAJA China - Brazil Operasikan Seri Satelit Sumber Alam

Cbers 46 Program Satelit Lingkungan Orbit Polar NPOESS

Preparatory Project (NPP) Pasca Satelit Terra dan Aqua 53

Siklon Tropis Memasuki Wilayah Indonesia 61

BERITA RINGAN Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Mengikuti

Pameran Static Show Di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta 66

BERITA INDERAJA Volume VIII, No. 14, Juli 2009 - ISSN 1412-4564

DAFTAR ISI

Kunjungan Siswa Pendidikan Spesialis Perwira Hidro Oseanografi (DIKSPESPA HIDROS - TNI AL) ke Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN 67

Sosialisasi Pilot Project Penggunaan Data ALOS di Indonesia 68

Bimbingan Teknis Pengelahan Data Penginderaan Jauh untuk Peningkatan SDM Pemda Kabupaten Sampang, Provinsi Jawa Timur 70

Peresmian Pengoperasian Sistem Antena X-Band AXYOM Model 50 di Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh LAPAN, Parepare 71

PERISTIWA DALAM GAMBAR LAPAN Tandatangani MoU dengan Dirjen Perkebunan

Departemen Pertanian 72 Kerjasama antara LAPAN dengan ITC Belanda 72 Penandatangan MoU antara Deputi Inderaja dengan

Seslakhar Bakorkamla 73

POSTER PCS Sibolga 75 PCS Kota Agung 76 PCS Kalabahi 77 PCS Cilacap 78

COVERDepan : Penutup Lahan Danau Toba 2006Depan Dalam : PCS PameungpeukBelakang Dalam: PCS P. TernateBelakang : PCS Majene

APLIKASI INDERAJA

Aplikasi Data Satelit Inderaja untuk Mendukung Pengelolaan Kawasan Danau. Studi Kasus: Danau TobaHalaman 23

Page 6: Berita Inderaja 14

6 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 20096

TOPIK INDERAJA

Penurunan Digital Elevation Model (DEM) dari Data ALOS untuk Simulasi

Genangan Tsunami

Model Elevasi Digital (Digital Elevation Model - DEM) merupakan informasi atau data ke-tinggian (topografi ) suatu wilayah permukaan

bumi dalam bilangan digital, yang dapat disimpan dalam bentuk raster berbasis piksel atau dalam bentuk data vektor dengan format Triangulated Irregular Network (TIN). Data DEM digunakan untuk mendukung berba-gai kegiatan, seperti: koreksi citra, pemetaan daerah ra-wan bencana (banjir, longsor dan tsunami), pembuatan kontur dan penyusunan tata ruang. Tulisan ini memba-has mengenai DEM yang dihasilkan menggunakan data satelit penginderaan jauh, dan aplikasinya untuk sebagai data masukan untuk simulasi daerah genangan tsunami. Simulasi daerah genangan ini merupakan hasil kerjasa-ma antara LAPAN dan BPPT.

DEM dapat dihasilkan dengan beberapa teknik: 1) In-terpolasi titik ketinggian hasil pengukuran lapangan atau hasil digitasi dari peta topografi , 2) Menghitung keting-gian dari paralaks menggunakan citra stereo optik, dan 3) menghitung ketinggian dengan metode interferome-tri menggunakan data Synthetic Aperture Radar (SAR).

Arah satelit

Arah DepanForward

Mf MbG

M

Tegak lurusNadir

Arah belakangBackward

Objek

M=G

Citra Nadir

G

Mf

Paralak

Citra Forward

Arah satelit

Bambang Trisakti*, Ita Carolita*, Aris Subarkah**, dan Samsul Arifi n** Peneliti LAPAN ** Peneliti BPPT

E-mail: [email protected]

Gambar 1. Sistem stereo pada sensor ALOS PRISM (atas), Paralaks pada citra stereo (bawah).(Sumber: Ono, 2009)

Page 7: Berita Inderaja 14

7BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 7

TOPIK INDERAJA

Teknik kedua dan ketiga juga memerlukan interpolasi untuk dapat memperoleh informasi ketinggian seluruh titik dalam jaringan (grid) yang melingkupi wilayah yang diperhatikan (area of interest). Penurunan DEM dengan teknik menghitung ketinggian dari paralaks dilakukan dengan memanfaatkan satelit optik yang dapat merekam citra stereo (dua atau lebih citra yang direkam dari su-dut sensor yang berbeda), seperti : sensor Panchromatic Remote-Sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang dipasang pada satelit Advanved Land Observing Sa-tellite (ALOS) dapat menghasilkan citra stereo pankro-matik (panjang gelombang 0.52-0.77μm) dari arah nadir (tegak lurus), forward (arah depan) dan backward (arah belakang) dalam sekali perekaman. Berdasarkan lapo-ran Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA), DEM yang dihasilkan dari citra stereo ALOS PRISM dapat mempunyai akurasi yang cukup untuk memetakan topo-grafi permukaan bumi dengan skala 1:25.000 atau lebih besar.

Prinsip penurunan DEM dari satelit ALOS diperli-hatkan pada Gambar 1 (atas). Sensor PRISM mempu-nyai tiga teleskop yang digunakan untuk merekam per-mukaan bumi dengan tiga arah yaitu arah tegak lurus, depan dan belakang (Gambar 1a). Sistem stereo (multi looking) ini memetakan objek permukaan bumi yang mempunyai ketinggian pada posisi yang berbeda. Bila diasumsikan terdapat objek di permukaan bumi dengan dasar pada titik G (titik 0 m) dan puncak pada titik M. Pada saat sensor merekam citra dari arah tegak lurus, maka G dan M akan dipetakan pada posisi yang sama (M=G). Tetapi pada saat merekam citra dari arah miring (misal: arah depan), maka M akan dipetakan ke Mf yang mempunyai posisi yang berbeda dari G. Jarak perbeda-an posisi Mf dan G disebut paralaks yang disebabkan karena pengaruh ketinggian objek di permukaan bumi. Paralaks tidak terjadi pada objek yang mempunyai ke-tinggian 0 m, sebagai contoh G akan dipetakan pada po-sisi yang sama walau direkam dari arah yang berbeda. Sebaliknya, paralaks yang terjadi akan menjadi semakin besar bila objek permukaan bumi yang akan direkam semakin tinggi. Gambar 1 (bawah) memperlihatkan paralaks yang terjadi dari perekaman arah tegak lurus dan arah depan. Selanjutnya hubungan antara paralaks (Mf-G atau Mb-G), sudut perekaman satelit (model sen-sor) dan ketinggian objek dapat digunakan untuk meng-hitung ketinggian objek permukaan bumi.

Perhitungan paralaks yang selanjutnya digunakan untuk menghasilkan informasi DEM diperlukan mini-mal dua citra yang direkam dari arah berbeda. Gambar 2

0 m

1000 m

U

B ogor

D epokB ekas i

B ogor

D epokB ekas i

(atas) memperlihatkan DEM dengan cakupan sekitar 35 x 35 km untuk wilayah Bogor, Depok dan Bekasi yang dihasilkan dengan menggunakan citra Nadir dan citra Forward data ALOS PRISM. Citra DEM yang dihasilkan mempunyai resolusi spasial tinggi 2.5 m, walaupun untuk menghasilkan DEM dengan pola yang lebih halus perlu dilakukan proses lanjut dengan melakukan fi ltering dan penurunan resolusi menjadi 5-10 m. Penggabungan an-tara DEM (informasi topografi ) dan citra pankromatik dapat membentuk tampilan 3 dimensi dari permukaan bumi untuk wilayah pengamatan (bawah).

Informasi DEM yang diturunkan dari data pengin-

Gambar 2. Data DEM dari citra stereo ALOS PRISM (atas), Tampilan 3D permukaan bumi untuk wilayah pengamatan

(bawah)

Page 8: Berita Inderaja 14

8 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 20098

TOPIK INDERAJA

deraan jauh, khususnya tutupan lahan dan topografi , sangat dibutuhkan untuk mendukung kegiatan mitigasi bencana, seperti: pemetaan daerah rawan bencana dan penentuan lokasi evakuasi. Pemetaan daerah rawan tsu-nami umumnya dilakukan dengan menggunakan model simulasi genangan tsunami (tsunami inundation model) yang menggunakan data topografi wilayah sebagai salah satu parameter kunci. Gambar 3 memperlihatkan DEM dari data ALOS PRISM untuk wilayah pesisir Kabupaten Cilacap. Kabupaten Cilacap mempunyai populasi pen-duduk mencapai 1.8 juta orang dan merupakan daerah industri yang strategis di pantai selatan pulau Jawa, yang dibuktikan dengan adanya fasilitas pengolahan minyak dan pelabuhan pengisian minyak untuk keperluan eks-por. Tetapi wilayah ini sangat rawan terhadap bencana tsunami karena letaknya yang berdekatan dengan dae-rah subduksi (daerah pertumbukan antara lempeng Ero-asia dan lempeng Indoaustralia) di selatan pulau Jawa dan kondisi topografi nya wilayah pesisirnya yang relatif datar. Daerah subduksi ini selalu bergerak dan menye-babkan terjadinya gempa tektonik yang mengakibatkan terjadinya tsunami, seperti kejadian gempa bumi yang diiringi oleh tsunami pada tahun 1994 dan 2006 yang menghantam wilayah pesisir Banyuwangi dan Pangan-daran.

Pembuatan daerah genangan tsunami dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak TUNAMI N2 yang dibuat oleh Profesor Imamura dari Universitas Tohoku, Jepang. Perangkat lunak ini dilengkapi dengan

program untuk melakukan simulasi numerik pergerakan gelombang tsunami di laut dalam, laut dangkal dan naik-nya tsunami ke daratan (run-up). Yang pertama harus dilakukan adalah membuat skenario dengan mengasum-sikan parameter gempa, seperti: lokasi pusat gempa, kekuatan gempa, panjang dan lebar patahan, kedalaman gempa dan beberapa parameter lainnya. Pada kegiatan ini, kekuatan gempa diasumsikan sebesar 8.9 Mw (sama dengan magnitude gempa yang terjadi di Aceh), dan pu-sat gempa terletak di daerah subduksi selatan Cilacap dengan jarak 240 km dari garis pantai. Asumsi ini bertu-juan untuk mengetahui resiko terburuk yang mungkin terjadi bila terjadi bencana tsunami. Selanjutnya, sumber data spasial yang digunakan adalah data bathymetri dari General Bathymetric Chart of the Oceans (GEBCO) un-tuk wilayah perairan dan data topografi dari DEM ALOS PRISM untuk wilayah daratan yang diturunkan dengan teknik yang telah dibahas di depan.

Simulasi pergerakan awal gelombang tsunami yang disebabkan oleh gempa diperlihatkan pada Gambar 4, di-mana perbedaan ketinggian gelombang ditampilkan de-ngan perbedaan warna. Hasil simulasi memperlihatkan terjadinya perubahan ketinggian gelombang terhadap ketinggian perairan di sekeliling lokasi epicenter gem-pa. Dengan menarik garis transek A-A, dapat diketahui bahwa gempa dengan magnitude 8.9 Mw mengakibatkan perubahan (turun-naik) ketinggian gelombang tsunami hingga mencapai 3.5 m pada awal terjadinya gempa. Ge-lombang tsunami akan bergerak seluruh arah, dengan

0 m

170 m

Longitude

Latit

ude

Tinggi air

Gambar 3. Data DEM wilayah pesisir Cilacapdari data ALOS

Gambar 4. Simulasi pergerakan awal gelombang tsunami yang disebabkan oleh gempa

Page 9: Berita Inderaja 14

9BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 9

TOPIK INDERAJA

G enangan G enangan

Keterangan: (a) 1 jam setelah gempa; (b) 2 jam setelah gempa; (c) 3 jam setelah gempa

perubahan arah dan ketinggian gelombang tsunami di-pengaruhi oleh kondisi topografi dasar laut. Selanjutnya gelombang tsunami akan mencapai pantai dan menyapu wilayah pesisir Cilacap.

Gambar 5 memperlihatkan run-up tsunami (naiknya air ke daratan) setelah, 1 jam, 2 jam dan 3 jam setelah terjadi gempa. Hasil memperlihatkan bahwa pada menit-menit awal setelah gempa kondisi perairan pantai Cilacap masih belum dipengaruhi gelombang tsunami. Setelah 1 jam, pengaruh gelombang tsunami sudah dapat dilihat walaupun energi dan ketinggian gelombang masih be-lum cukup untuk membawa air naik ke daratan. Selanjut-nya setelah 2 jam, gelombang tsunami dan gelombang su-sulannya telah naik dan mengenangi daratan. Terakhir, hasil 3 jam setelah gempa memperlihatkan bahwa luasan genangan tsunami tidak bertambah bahkan cenderung berkurang yang menandakan bahwa energi gelombang tsunami yang semakin berkurang. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa maksimum daerah genangan adalah sekitar 11,95 Km2, sedangkan maksimum keting-gian genangan adalah 5,25 m. Luasan daerah genangan ini tentunya akan menimbulkan kerusakan dan keru-gian yang cukup besar, terutama bila terjadi di wilayah pemukiman atau lokasi industri strategis. Batas daerah genangan maksimum merupakan data utama untuk me-metakan daerah rawan tsunami, selanjutnya daerah re-siko tsunami diperoleh dengan mengabungkan daerah rawan dan daerah rentan (dipengaruhi oleh kondisi fi sik lahan dan sosial ekonomi masyarakat).

Analisis yang akurat untuk menentukan daerah ra-wan bencana dan menghitung dampak bila terjadi ben-cana membutuhkan informasi spasial yang detil (seperti

informasi topografi dan tutupan/penggunaan lahan). Hasil kajian pembuatan daerah genangan tsunami di atas menunjukkan bahwa data ALOS khususnya mau-pun data inderaja satelit pada umumnya dapat menjadi suatu alternatif untuk memenuhi kebutuhan ini. Selain itu cakupan datanya yang luas dalam setiap perekaman dan dapat mencapai seluruh wilayah Indonesia membuat data ALOS khususnya data inderaja satelit pada umum-nya sangat sesuai untuk memetakan daerah rawan ben-cana tsunami dan bencana lainnya di seluruh wilayah Indonesia secara akurat dan ekonomis.

Gambar 5. Simulasi run-up tsunami beberapa waktu setelah gempa.

(a) (b) (c)

Page 10: Berita Inderaja 14

10 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 200910

TOPIK INDERAJA

Indonesia merupakan negara yang diberkahi sekali-gus diancam oleh kondisi alamnya. Wilayah Indone-sia sangat luas dengan panjang wilayah sekitar 6000

km dari ujung barat sampai ujung timur dan terbagi menjadi 3 daerah waktu. Selain itu, Indonesia merupa-kan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jum-lah penduduk lebih dari 200 juta orang. Yang tak dapat disangkal adalah kenyataan bahwa wilayah Indonesia terletak pada pertemuan antara lempeng Caroline Pa-sifi k, lempeng laut Filipina, lempeng Asia dan lempeng Hindia-Australia, yang mengakibatkan sebagian besar wilayah Indonesia menjadi rawan terhadap bencana alam seperti: gempa bumi, Tsunami, gunung berapi dan tanah longsor.

Gempa bumi dan tsunami dengan kekuatan besar pada tanggal 26 Desember 2004 dengan pusat di pan-tai barat Sumatra telah menghancurkan sebagian besar infrastruktur transportasi, bangunan, area persawahan, hutan mangrove dan juga merenggut korban jiwa di beberapa kabupaten wilayah Aceh. Pasca bencana ter-sebut, pemerintah Indonesia telah melakukan program rehabilitasi dan rekontruksi Aceh untuk membangun kembali wilayah Aceh yang rusak akibat bencana gempa dan tsunami yang masih terus berjalan hingga saat ini. Untuk mendukung kelancaran pembangunan kembali wilayah Aceh, masukan berupa data/informasi menge-nai kondisi aktual tutupan lahan dan perubahan lahan sangat dibutuhkan.

Selama 25 tahun terakhir, teknologi penginderaan jauh telah dimanfaatkan secara intensive untuk meman-tau perubahan lingkungan, perluasan pemukiman dan pemetaan tutupan/penggunaan lahan. Kelebihan dari data penginderaan jauh adalah perulangan yang tinggi (temporal), near real time, dan datanya dalam format digital sehingga dapat dianalisis secara kuantitatif. Saat

Pemanfaatan Data ALOS untuk Deteksi Perubahan Tutupan Lahan

Akibat Bencana Tsunami

ini data satelit ALOS (Advanced Land Observation Satel-lite) dengan tingkat kedetilannya yang tinggi (spasial 2.5 - 10m) dan cakupannya yang luas merupakan salah satu data satelit yang potensial untuk menurunkan informasi fi sik lingkungan yang mendukung kegiatan pengelola-an bencana. ALOS merupakan satelit dengan orbit sun synchronous yang dilengkapi dengan 3 instrumen sensor, yaitu: 1) Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dengan resolusi spasial 2,5m; 2) Advanced Visible Near-Infrared Radiometer-2 (AV-NIR-2) dengan resolusi spasial 10m; dan 3) Phased Ar-ray L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) dengan resolusi spasial 10-100m. Data stereo dari sensor PRISM digunakan untuk menghasilkan Digital Elevation Model (DEM), yang selanjutnya akan dimanfaatkan untuk me-metakan topografi permukaan bumi. Data PALSAR di-gunakan untuk mengatasi masalah tutupan awan yang sering menjadi kendala di wilayah tropis, sedangkan data fusi sensor optis PRISM dan AVNIR-2 dimanfaatkan untuk memantau kondisi permukaan bumi, terutama tutupan lahan.

Kegiatan ini merupakan salah satu kerjasama antara LAPAN-JAXA dalam kerangka ALOS Pilot Project 2006-2008 dimana Unsyiah menjadi anggotanya. Pada kegia-tan ini data ALOS digunakan untuk memetakan peru-bahan tutupan lahan pasca bencana tsunami. Kemudian hasilnya dibandingkan dengan tutupan lahan sebelum bencana tsunami menggunakan data SPOT-5 dan Land-sat ETM. Dengan menggunakan data multi temporal dapat dianalisis perubahan tutupan lahan wilayah pesisir akibat bencana gempa dan tsunami.

Daerah kajian (Gambar 1.) meliputi sebagian Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nan-groe Aceh Darussalam (NAD). Luas area mendekati 1.728 ha, yang terdiri dari beberapa desa di Kota Ban-

Ita Carolita1), Muzailin Affan2), Bambang Trisakti1), dan Muhammad Rusdi2)

1) Peneliti Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Inderaja, LAPAN2) Peneliti Pusat GIS dan RS, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Page 11: Berita Inderaja 14

11BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 11

TOPIK INDERAJA

da Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. daerah ini meliputi area dengan tutupan lahan berupa tambak, mangrove dan pemukiman.

Data ALOS yang digunakan adalah data PRISM Na-dir dan AVNIR-2 tahun 2007 (Gambar 1.(b)). Pertama, melakukan koreksi geometrik menggunakan referensi citra foto udara dengan resolusi spasial 30cm, yang ber-tujuan untuk menghasilkan citra terkoreksi geometrik yang akurat yang dibutuhkan pada proses fusi. Proses fusi dilakukan dengan menggunakan metoda Principal Component antara data pankromatik PRISM resolusi 2.5m dengan data AVNIR-2 multispektral resolusi 10m. Hasil fusi memperlihatkan citra dengan pewarnaan se-perti data AVNIR-2 dan resolusi spasial 2.5m seperti data PRISM (Gambar 2.).

Beberapa contoh hasil identifi kasi secara visual tutu-pan lahan dengan menggunakan citra fusi ALOS, SPOT-5 dan Landsat ETM pada daerah kajian diperlihatkan pada Tabel 1. Citra fusi ALOS dan SPOT-5 memberikan ha-sil yang baik dan detil untuk mengindentifi kasi berbagai jenis tutupan lahan disebabkan kedua citra ini mempun-yai resolusi spasial yang tinggi (2.5m). Sedangkan data Landsat memberikan hasil kurang detil dan sulit mengi-dentifi kasi objek berukuran kecil, disebabkan resolusi spasial yang rendah (30m). Secara visual, citra setelah tsunami (ALOS) mempunyai penampakan yang kurang teratur dan pola yang agak kasar dibandingkan dengan citra sebelum tsunami (SPOT-5), hal ini diperkirakan ka-rena adanya bangunan serta infrastruktur yang masih dalam kondisi rusak (belum diperbaiki).

(a). Peta lokasi (b). Citra ALOS-AVNIR

Gambar 1. Daerah penelitian di wilayah Aceh.

Gambar 2. Fusi antara data PRISM dan data AVNIR-2.

(a). Data PRISM (2.5 m)

(b). Data AVNIR-2 (10 m) (b). Data fusi ALOS (2.5 m)

Page 12: Berita Inderaja 14

12 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 200912

TOPIK INDERAJA

No. Objects Fusi ALOS (2.5m) SPOT-5 (2.5m) Landsat ETM (30m)

1 Vegetasi

2 Area terbangun

3 Tambak

4 Pesisir pantai

Kejadian Tsunami menyebabkan rusaknya area ter-bangun dan vegetasi (hutan mangrove, kebun dan sa-wah), dan berubah menjadi lahan tergenang atau lahan terbuka. Kegiatan ini memantau kerusakan lahan dan luas kerusakan akibat Tsunami, oleh karena itu identi-fi kasi hanya dilakukan untuk 4 objek, yaitu: tubuh air (water body), vegetasi (vegetation), lahan terbuka (bar-ren land) dan area terbangun (built up). Klasifi kasi di-lakukan menggunakan metoda maximum likelihood classifi cation, dan diproses untuk data yang berlainan waktu, sehingga dapat dipantau kondisi perubahan yang terjadi. Hasil klasifi kasi tutupan lahan untuk citra Land-sat ETM (akusisi 2002), SPOT-5 (akusisi 2004) dan citra fusi ALOS (akusisi 2007) diperlihatkan pada Gambar 3. Perbandingan ketiga hasil klasifi kasi tutupan lahan

memperlihatkan bahwa citra ALOS dan SPOT-5 meng-hasilkan informasi yang dapat membedakan keempat kelas secara jelas dengan tingkat kedetilan yang tinggi, sedangkan citra Landsat menghasilkan informasi tutu-pan lahan dalam skala lebih global. Berdasarkan hasil pengujian lapangan diperoleh bahwa tingkat akurasi kla-sifi kasi tutupan lahan dari data ALOS lebih besar dari 85%. Tingkat akurasi ini dapat ditingkatkan dengan me-ningkatkan keakuratan sampling yang digunakan dalam proses klasifi kasi.

Dengan membandingkan hasil klasifi kasi menggu-nakan data SPOT-5 tahun 2004 (sebelum Tsunami) dan data fusi ALOS tahun 2007 (setelah Tsunami), dapat di-hitung luasan perubahan tutupan lahan yang terjadi (Ta-bel 2). Setelah terjadi Tsunami, area yang digenangi air

Tabel 1. Contoh beberapa penampakan tutupan lahan menggunakan citra fusi ALOS, SPOT-5 dan Landsat ETM.

Page 13: Berita Inderaja 14

13BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 13

TOPIK INDERAJA

(a) Landsat ETM (2002)

(b) SPOT-5 (2004)

Gambar 3. Hasil klasifi kasi tutupan/ penggunaan lahan.

(c) Fusi ALOS (2007)

Page 14: Berita Inderaja 14

14 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 200914

TOPIK INDERAJA

(tubuh air) meningkat sebesar 222 ha atau 55% dari luas sebelumnya. Penambahan area genangan air terutama disebabkan karena rusak dan tergenangnya area berve-getasi (terutama hutan mangrove yang mendominasi vegetasi wilayah pantai) dan sebagian area terbangun yang terletak di dekat pantai. Gambar 4 memperlihat-kan hutan mangrove yang masih baik sebelum Tsunami dan hutan mangrove yang rusak dan tergenang setelah bencana Tsunami. Lahan terbuka juga mengalami pe-ningkatan sebesar 52 ha dibandingkan dengan kondisi sebelum Tsunami. Walaupun ada beberapa area lahan terbuka yang tergenangi air tetapi lebih banyak area ter-bangun (pemukiman) yang rusak dan hancur, sehingga berubah menjadi lahan terbuka.

Berdasarkan pemaparan diatas, data fusi ALOS spa-sial 2.5m (penggabungan data AVNIR-2 dan PRISM) mempunyai kemampuan yang baik dalam memetakan kondisi tutupan lahan. Tingkat kedetilan dan akurasi dari hasil pemetaan yang diperoleh menggunakan data fusi ALOS relatif sama dengan hasil pemetaan menggunakan data SPOT-5 resolusi spasial 2.5m. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, data ALOS dapat dipertimbangkan untuk menjadi data utama dalam memenuhi kebutuhan

Gambar 4. Perubahan lahan yang terjadi setelah bencana gempa dan Tsunami Aceh

Tutupan lahan SPOT 2004 ALOS 2007 PerubahanHa Ha Ha %

Tubuh air 403.01 625.10 222.09 55.11Vegetasi 495.40 282.93 -212.48 -42.89Lahan terbuka 468.04 519.93 51.88 11.09Area terbangun 347.08 299.70 -47.38 -13.65

Tabel 2. Perubahan tutupan lahan tahun 2004 and 2007

mendapatkan informasi secara kuantitatif perubahan la-han yang aktual dan up to date. Juga diharapkan data ALOS mampu melakukan pemantauan perubahan tutu-pan lahan untuk mendukung kegiatan pengelolaan pasca bencana di berbagai wilayah Indonesia.

Page 15: Berita Inderaja 14

15BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 15

TOPIK INDERAJA

Aplikasi data penginderaan jauh untuk geologi te-lah banyak dilakukan, terutama di negara-negara yang cenderung kering. Hal ini karena secara

umum di daerah tersebut didominasi oleh lahan terbu-ka, padang rumput atau semak belukar sehingga struk-tur geologi dapat dikenali menggunakan data penginde-raan jauh, dan sebagian batuan terekspose dipermukaan sehingga dapat dijelaskan menggunakan aspek spektral (Maruyama, 1994). Aspek spektral data penginderaan

Pengenalan Aplikasi Geologi Daerah Bojonegoro dan Sekitarnya

Menggunakan Data Landsat-7 ETM+

jauh mencerminkan sifat tutupan lahan dan batuan di permukaan bumi. Hal ini dikarenakan tutupan lahan dan atau batuan di permukaan bumi mempunyai sifat meman-tulkan kembali gelombang elektromagnetik yang dipan-carkan oleh sumbernya dan selanjutnya diterima sensor penginderaan jauh. Pada spektrum panjang gelombang optis obyek di permukaan bumi memantulkan gelom-bang elektromagnetik yang diterimanya sesuai dengan karakteristik seperti obyek tersebut.

Tri Muji Susantoro*, Projo Danoedoro**, Sutikno*** Staf Kelompok Penginderaan Jauh, KPRT Eksplorasi, PPPTMGB “LEMIGAS”

** Staf Pengajar di Fakultas Geografi , Universitas Gadjah Mada.

Gambar 1. Citra Landsat 7 ETM+ 3/1, 5/7, 3/5 RGB hasil fusi dengan SRTM

Page 16: Berita Inderaja 14

16 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 200916

TOPIK INDERAJA

Rationing band (hasil bagi dua kanal yang berbeda) merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meng-optimalkan aspek spektral obyek, sehingga di harapkan mampu menajamkan kenampakan berbagai tutupan la-han dan batuan seperti tingkat kehijauan daun, kandung-an oksida besi, clay mineral dan lainnya. Melalui cara ini akan diperoleh citra baru yang merupakan hasil bagi atau ratio satu saluran dengan saluran yang lain. Secara teori hal ini akan menghasilkan nilai digital number yang baru (Drury, 1987). Sabin (1987) melakukan eksperimen rationing band menghasilkan citra komposit dengan ga-bungan dari tiga band hasil rationing citra penisbahan 3/1, 5/7 dan 3/5 dari data Landsat TM berturut-turut digabung sebagai RGB. Ternyata citra komposit yang di-hasilkan lebih mengekspresikan informasi geologi dan mempunyai kontras yang besar diantara unit batuan di-banding citra komposit konvensional.

Berdasarkan cara rationing band yang dilakukan oleh Sabin (1987), pemetaan geologi yang dilakukan di daerah Kawengan dan sekitarnya sebagai sebuah con-toh pemetaan geologi di daerah tropis. Untuk lebih me-ningkatkan pemanfaatan citra hasil olahan perlu dilaku-kan penggabungan data Landsat 7 ETM+ yang terolah dengan data DEM dari SRTM, sehingga dapat mening-katkan aspek relief, topografi dan pola aliran, artinya in-terpretasi geologi secara visual lebih baik (lihat Gambar 1). Selain itu langkah tersebut diharapkan juga dapat digunakan sebagai dasar pemetaan geologi yang lebih luas aplikasinya, misalnya untuk bidang migas, mineral maupun bidang lainnya yang terkait.

Penginderaan jauh sistem optis secara umum meng-gunakan panjang gelombang tampak, near infrared and short-wave infrared untuk membentuk citra pada permu-

kaan bumi dengan mendeteksi pantulan radiasi mata-hari dari obyek yang diindra. Setiap obyek yang berbeda mempunyai pantulan dan penyerapan yang berbeda pada berbagai macam panjang gelombang (Gambar 2).

Pantulan tubuh air yang jernih secara umum adalah rendah dan mempunyai pantulan maksimum pada spek-trum biru yang kemudian menurun dengan meningkat-nya panjang gelombang. Pada air keruh yang terdapat suspensi sedimen pantulan akan meningkat pada spek-trum merah. Pada tanah terbuka secara umum tergan-tung dari komposisinya, sedangkan pada vegetasi mem-punyai kurva spektral yang unik seperti terlihat pada Gambar 2. pantulan pada vegetasi yang rendah pada spektrum biru dan merah karena adanya penyerapan oleh klorofi l untuk fotosintesis dan sangat rendah pada spektrum hijau. Pada near infrared kurva pantulan ada-lah yang tertinggi karena adanya pantulan dari struktur internal daun. Hal ini dapat digunakan sebagai kunci identifi kasi untuk vegetasi dan dapat ditajamkan lagi dengan rationing band (Sanderson, 2008).

Metode rationing band menekankan perbedaan slo-pe kurva pantulan spektral antara dua band. Pada visible dan inframerah pantulan perbedaan utama dari spektral-nya adalah pada nilai material yang diekspresikan dalam slope kurva pantulan, tetapi dengan citra penisbahan memungkinkan untuk mengekstrak variasi pantulan pada satu material. Ouattara, et al. (2004) menyatakan pada penelitian di white mountain, beaver co., utah, USA dengan saluran tunggal hasil rationing saluran 3 dengan saluran 1 yang merupakan iron oxide menggambarkan hampir semua area diberbagai bayangan tampak abu-abu gelap dengan beberapa tampak lebih terang. Hal ini sesuai dengan zona perubahan kandungan hematitic. Perbandingan saluran 5 dan 7 sangat baik untuk deteksi clay mineral. Hal ini karena pada saluran 7 clay mineral menyerap radiasi sehingga secara signifi kan terjadi pen-gurangan pantulan sehingga nilai rationing band kedua-nya menjadi lebih tinggi (Gambar 3). Kelemahan dari citra hasil rationing adalah menyembunyikan perbedaan albedo sehingga material yang mempunyai perbedaan albedo tetapi slope kurva pantulan sama pada kurva pan-tulan memungkinkan tidak dapat dibedakan. Citra hasil rationing band juga meminimalisasikan kondisi illumi-nation sehingga ekspresi topografi menjadi berkurang atau hilang. Kelemahan citra hasil rationing band dapat dieliminir melalui penggabungan dengan DEM dalam hal ini menggunakan data SRTM atau kontur dari peta yang ada. Penggabungan tersebut dapat dilakukan de-ngan metode topographic modeling.

Gambar 2. Kurva spektral pada obyek-obyek utama di permukaan bumi (Sanderson, 2008).

Page 17: Berita Inderaja 14

17BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 17

TOPIK INDERAJA

Pada kegiatan ini dilakukan pengolahan data pengin-deraan jauh menggunakan software ENVI dan Erdas Ima-gine sedangkan untuk visualisasi dalam sistem informasi geografi s menggunakan Mapinfo. Pengolahan data peng-inderaan jauh merupakan suatu teknik pengolahan data yang berbasis raster. Pada pengolahan data penginderaan jauh dilakukan standar pengolahan data, yaitu koreksi geometrik antara Landsat 7 ETM+ dengan referensi Peta Rupa Bumi yang bersumber dari Bakosurtanal skala 1 : 25.000. Hasil Landsat 7 ETM+ terkoreksi digunakan untuk koreksi DEM dari SRTM sehingga error posisi geogra-fi s antara kedua citra penginderaan jauh tersebut dapat dieliminir. Hal ini sangat penting untuk proses penggabu-ngan antara kedua citra tersebut. Pengolahan selanjut nya adalah rationing band, yaitu membandingkan antara band satu dengan band yang lainnya sehingga diperoleh sua-tu data baru dengan nilai digital yang baru pula. Proses selanjutnya adalah pembuatan citra komposit dengan menggabungkan citra hasil rationing band sehingga dipe-roleh citra berwarna. Citra komposit tersebut selanjutnya dilakukan penggabungan dengan DEM dari SRTM un-tuk meningkatkan kenampakan morfologi. Interpretasi dilakukan secara manual pada citra hasil pengolahan dan analisis dilakukan secara deskriptif. Diagram alir studi di-berikan pada Gambar 4.

Citra Landsat 7 ETM+ yang telah dilakukan koreksi geometrik dengan peta RBI skala 1 : 25.000 dilakukan pengolahan data dengan cara rationing band, yaitu menggunakan perbandingan band 3/band 1, band 5/band7 dan band3/band 5. Selain itu juga dilakukan ko-reksi geometrik DEM dari SRTM dengan referensi citra Landsat ETM+ yang telah terkoreksi geometrik dengan tujuan penyamaan posisi geografi s keduanya. Hal hal penting yang perlu diketahui dari hasil pengolahan citra, lihat (Gambar 5).

a. Rationing band 3 dengan band 1.Pada Gambar 5.a citra hasil rationing band 3 dengan

band 1 merupakan iron oxida index, sehingga pada hasil-nya pada saluran tunggal obyek yang mempunyai oksida besi yang tinggi akan tampak keputihan dan cerah. Hal

Gambar 3. Kurva pantulan Calcite dan clay mineral (Husen, 1994)

Gambar 4. Diagram Alir Penelitian.

SRTMRAW DATA

KOREKSIGEOMETRIK

LANDSAT 7ETM+RAW DATA

KOREKSIGEOMETRIK

PETA RBISkala 1:25.000

SRTMTERKOREKSI

PETA GEOLOGIP3G BANDUNGSkala 1:10.000

LANDSAT 7ETM+TERKOREKSI

INTERPRETASIGEOLOGI

RATIONING BAND

SURVEILAPANGAN

ANALISIS DANLAPORAN

ANALISIS DANFUSI SRTM &

LANDSAT 7ETM+

Page 18: Berita Inderaja 14

18 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 200918

TOPIK INDERAJA

ini dikarenakan pantulan obyek yang mengandung ok-sida besi pada umumnya tinggi di band 3 dan rendah di band 1 sehingga nilai digital yang dihasilkan pada citra hasil rationing band menjadi tinggi. Citra ini dapat diman-faatkan untuk membedakan satuan –satuan batuan yang mempunyai oksida besi. Pada sampel citra yang diolah, oksida besi yang tinggi terletak di bagian Timur sebelah Utara yang merupakan formasi Tawun dan Ngrayong. Hal ini sesuai dengan penelitian. Pringgoprawiro (1983) yang mennyatakan bahwa satuan ini mempunyai oksida besi yang tinggi. Hasil survei lapangan menunjukan bahwa daerah ini kebanyakan digunakan untuk ladang yang tergantung pada hujan. Pada survei lapangan di-temukan pasir kuarsa lepas yang tebal berwarna putih

kotor sampai kemerahan dan mudah diremas. Di be-berapa lokasi ditemukan sisipan batugamping tipis dan sisipan batulempung. Pada lembah-lembah soil relatif tebal dan berwarna merah dan singkapan tidak begitu baik. Lembah – lembah tersebut digunakan untuk seba-gai sawah tadah hujan dan sebagian lagi untuk ladang. Perlapisan jarang ditemukan kecuali pada sisipan ba-tugamping. Warna gelap pada citra hasil rationing index band 3/ band 1 yang berwarna gelap merupakan vege-tasi. Hal ini karena pada umumnya vegetasi pada band 3 pada umumnya lebih rendah pantulannya dibandingkan dengan band 1, sehingga nilai digital citra hasil rationing band menjadi rendah.

Z O N A R E M B A N G

Z O N A R A N D U B L A T U N G

Z O N A K E N D E N G

Gambar 5. Citra hasil Rationing Band dan penggabungannya dalam bentuk Citra Komposit (RGB).

a. Citra hasil rationing band 3/1 b. Citra hasil rationing band 5/7

a. Citra hasil rationing band 3/5 b. Citra Komposit 3/1, 5/7 dan 3/5 (RGB)

Page 19: Berita Inderaja 14

19BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 19

TOPIK INDERAJA

b. Rationing band 5 dengan band 7.Citra hasil rationing band 5 dengan band 7 merupa-

kan clay mineral index Gambar 5.b). Pada saluran 5 clay yang mengandung mineral memantulkan secara maksi-mal energi elektromagnetik sehingga pada kurva pan-tulan menjadi tinggi (Gambar 3). Pada saluran 7 radiasi diserap oleh clay yang mengandung mineral, sehingga secara signifi kan perbandingan antara keduanya pada lapisan clay yang mengandung mineral mempunyai nilai digital yang tinggi. Pada citra hasil clay mineral index terlihat bahwa di daerah yang bermorfologi datar dan bergelombang lemah mempunyai nilai digital yang ting-gi. Daerah ini merupakan endapan aluvium yang dido-minasi oleh clay. Mineral yang diduga tertransportasi dan terendapkan di daerah ini. Daerah yang merupakan satuan batugamping mempunyai nilai digital yang ren-dah sehingga berwarna gelap pada citra hasil rationing band 5/7. Hal ini berarti batugamping menyerap radia-si gelombang electromagnetik secara maksimal pada saluran 5 sehingga memudahkan dalam membedakan satuan batugamping dengan batuan lainnya.

c. Rationing band 3 dengan band 5.Citra hasil rationing band 3 dengan band 5 dapat

membedakan kelembaban tanah. Pada band 3 masih peka terhadap kebasahan, sedangkan band 5 kurang peka, sehingga perbandingan keduanya akan meningkat-kan kecerahan pada tanah-tanah yang lembab atau basah (Gambar 5.c). Citra yang berwarna cerah pada Gambar 5.c menunjukkan bahwa citra tersebut mempunyai ke-basahan yang tinggi. Hal ini biasanya digunakan untuk mengidentifi kasi satuan endapan aluvial dan tubuh air.

d. Penggabungan citra hasil Rationing dengan DEM dan SRTM.

Penggabungan antara tiga citra hasil rationing band (3/1, 5/7 dan 3/5) diperlukan untuk mengoptimalkan keunggulan dari masing-masing citra tersebut dan men-geliminir kelemahannya. Kelemahan dari citra hasil rationing band adalah hilangnya atau berkurangnya ke-nampakan suatu obyek karena ingin menonjolkan suatu obyek yang lain. Kelemahan lainnya yang diperlukan da-lam pemetaan geologi adalah hilangnya efek topografi , sehingga perlu ditambahkan data lain yang dapat men-gekspresikan efek topografi tersebut. Oleh karena itu citra komposit hasil rationing band digabungkan den-gan DEM dari SRTM. Keuntungannya adalah ekspresi topografi menjadi sangat baik dan dapat mempertegas kenampakan resistensi batuan (Gambar 5.d).

Interpretasi pada citra hasil rationing band citra Land-sat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM dilakukan secara visual dan digitasi langsung pada layar (on screen digitizing). Obyek utama yang diinterpretasi adalah lito-logi dan struktur geologi dengan memperhatikan unsur dasar pengenalan citra dan unsur dasar interpretasi geo-logi. Prinsip pengenalan suatu obyek mendasarkan ka-rakteristiknya pada citra yang merupakan penciri obyek tersebut sehingga dapat dibedakan dengan obyek lain. Dasar interpretasi batas litologi dan struktur geologi adalah Peta Geologi P3G Lembar Bojonegoro. Struktur geologi menjadi sangat jelas, terutama struktur antiklin, sinklin dan kelurusan-kelurusan baik yang diduga seba-gai sesar maupun kelurusan lainnya. Sementara batas litologi kurang begitu jelas, tetapi untuk batugamping terlihat sangat jelas perbedaannya dengan batuan lain. Demikian juga dengan endapan aluvial yang berupa da-taran. Batas perlapisan secara umum mulai dapat tera-mati, sebagiannya relatif jelas dan sebagian lainnya ku-rang begitu jelas. Batas perlapisan yang jelas terutama di daerah antiklin di sekitar zona Rembang. Sementara di zona Kendeng batas perlapisan sebagian jelas sebagian lagi samar.

Struktur pada citra hasil rationing band terlihat jelas sebagai kenampakan kelurusan dan bidang perlapisan (bedding trace). Struktur yang dimaksud adalah Sesar, perlipatan dan kelurusan lainnya yang dimungkinkan se-bagai kekar. Faktor pengenal dalam interpretasi struktur antara lain perbedaan besar kemiringan lapisan batuan, perbedaan rona/warna tutupan lahan, ketidak sesuaian bidang perlapisan, kelurusan sungai dan pergeseran morfologi. Faktor tersebut di atas juga digunakan seba-gai penentu untuk mengidentifi kasi jenis strukturnya. Berdasarkan interpretasi citra dikenali adanya struktur lipatan sinklin dan antiklin. Struktur Lipatan sinklin diin-terpretasikan berdasarkan arah dip yang ke dalam. Hal ini dibuktikan pada survei lapangan, dimana berdasar-kan pengukuran kemiringan diperoleh kemiringan yang menuju pusat sumbu. Pada interpretasi struktur lipatan sangat dipengaruhi oleh kemampuan interpreter dalam menentukan jurus dan kemiringan (strike & dip). Hal ini relatif sulit, terutama pada struktur lipatan yang bersifat asimetri, sedangkan pengenalan yang paling mudah ada-lah berdasarkan pola elips/ lonjong pada citra.

Struktur lipatan antiklin di Zona Rembang mem-punyai kecenderungan kemiringan bidang perlapisan di bagian Selatan lebih curam dibanding bagian Utara. Struktur lipatan antiklin ini merupakan struktur lipatan antiklin asimetri dan menunjam. Perbedaan cukup je-

Page 20: Berita Inderaja 14

20 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 200920

TOPIK INDERAJA

las pada citra dengan melihat perbedaan bayangan dan ekspresi morfologi yang ditimbulkan pada citra. Hal ini dikuatkan denga hasil survei lapangan, dimana hasil pengukuran memperlihatkan kemiringan di bagian Se-latan lebih curam dibanding bagian Utara dengan arah kemiringan yang menjauhi pusat sumbu antiklin. Di Zona Kendeng struktur lipatan antiklin yang terbentuk merupakan struktur lipatan antiklin normal, kecuali satu buah di daerah Ngluyu yang relatif lebih curam di bagian Selatan. Hasil survei di lapangan menunjukkan bahwa struktur lipatan antiklin ini mempunyai dip dengan arah kemiringan yang menuju pembaca (Gambar 6).

Fenomena sesar atau kekar dikenali dengan kenam-pakan kelurusan pada citra. Kelurusan-kelurusan terse-but dibedakan sebagai sesar normal, sesar geser, sesar naik atau pun kelurusan biasa (sebagai kekar). Sesar dikenali dengan kenampakan kelurusan yang relatif pan-jang, pergeseran kenampakan morfologi untuk sesar ge-ser, kelurusan sungai dan kelurusan lembah. Kelurusan dapat dianggap sebagai kekar apabila kelurusan tersebut relatif pendek dibandingkan kelurusan pada sesar.

Beberapa litologi terlihat jelas pada citra, misalnya

Formasi Paciran dan Anggota Dander Formasi Lidah. Formasi Paciran tampak berwarna magenta yang me-nandakan satuan ini tidak bervegetasi/ vegetasi tipis (di-mungkinkan semak). Ciri khusus satuan ini adalah relief yang tinggi, tekstur halus sedang dan pola pengaliran subdendritik pada bagian atas dan paralel di lerengnya. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa pada satuan ini adalah batugamping. Ciri batugampingnya adalah berwarna putih abu-abu, apabila ditumbuk berbutir halus seperti lanau, masif membentuk morfologi yang khas yaitu berbukit-bukit dan bersifat kapuran (Chalky) pada bagian atasnya. Selain itu batugamping tersebut be-rongga halus (porous), rapuh lunak dan kaya akan fosil-fosil. Batugamping ini dimanfaatkan oleh warga sekitar dengan ditambang untuk bahan bangunan. Secara stra-tigrafi satuan ini ekuivalen dengan formasi Paciran pada Peta Geologi Lembar Bojonegoro (Gambar 7.a).

Anggota Dander Formasi Lidah pada citra hasil ra-tioning band Landsat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM terlihat jelas berwarna magenta, biru dan hijau ke arah kecoklatan dengan batas yang relatif tegas. Warna magenta menunjukkan bahwa daerahnya relatif terbuka

Gambar 6. Kenampakan Struktur Lipatan pada citra hasil rationing band Landsat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM.b. Antiklin Asimetria. Sinklin

Gambar 7. Kenampakan pada citra hasil rationing band Landsat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM.b. Anggota Dander Formasi Lidaha. Formasi Paciran

Page 21: Berita Inderaja 14

21BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009 21

TOPIK INDERAJA

atau hanya terdapat semak tipis, warna hijau kecoklatan menunjukkan bahwa daerahnya tertutup vegetasi, sur-vei lapangan menunjukan bahwa daerahnya tertutup hutan jati. Warna kebiruan menunjukkan daerahnya mengandung air atau kelembaban tinggi. Hal ini terjadi pada lembah-lembah dimana konsentrasi air terkumpul (Gambar 7.b). Hasil survei lapangan menunjukkan ba-hwa batugamping yang ada merupakan batugamping terumbu dengan warna putih kekuningan, berlubang-lubang, sebagian kristalin dan mengandung koral. Ba-tugamping yang ada mempunyai bentuk tidak beraturan membentuk morfologi bergelombang karst. Soil tipis diatas permukaan batugamping dimanfaatkan untuk penanaman jati. Daerah ini merupakan milik perhutani, dimana warga sekitar boleh memanfaatkan hasil hutan berupa ranting-ranting kayu jati untuk bahan bakar.

Litologi lainnya yang terlihat jelas pada citra adalah Formasi Notopuro dan Formasi Kabuh. Formasi Noto-puro merupakan bagian dari zona Kendeng yang beru-mur paling muda. Dibedakan dengan satuan yang lain-nya berdasarkan perbedaan teksturnya, dimana satuan ini mempunyai tekstur lebih halus ke arah sedang diban-dingkan dengan satuan batuan lainnya. Kedudukan re-lief termasuk sedang dan secara morfologi merupakan bagian dari lereng gunungapi dengan pola pengaliran paralel. Satuan ini pada citra berwarna hijau dan me-rah kecoklatan. Hal ini menunjukan bahwa permukaan-nya masih tertutupi vegetasi dengan baik. Hasil survei menunjukkan bahwa daerah ini ditutupi oleh hutan jati pada sebagian besar tutupannya dan sedikit hutan cam-pur di Selatan Breksi Pandan. Menurut Pringgoprawiro (1983) batuapung merupakan ciri kusus dari satuan ini dan ditemukan sebagai fragmen dalam breksi vulkanik oleh batulempung pasiran. Batulempung berwarna ku-ning kecoklatan dan batupasir berwarna putih ke arah

kuning hingga kemerahan. Batupasir yang ada merupa-kan batuan lepas yang mudah diremas dan mengandung kuarsa. Sisipan batugamping yang ada berwarna abu-abu coklat sampai kuning kecoklatan dan tersementasi dengan baik dengan penyusun utama fosil foraminifera (Gambar 8.a).

Formasi Kabuh pada citra masih dapat dibedakan dengan satuan yang lainnya berdasarkan perbedaan teksturnya, pola pengaliran dan reliefnya. Formasi mem-punyai tekstur halus ke kasar dan mempunyai pola peng-aliran paralel. Tekstur halus terdiri dari batupasir tufan dan tekstur kasar berupa konglomerat. Satuan ini dari citra mirip dengan Formasi Notopuro hanya saja dibe-dakan dan terlihat adanya batas perlapisan yang agak je-las. Formasi ini pada citra hasil rationing band Landsat 7 ETM+ yang digabungkan dengan SRTM berwarna hijau cerah, hijau kecoklatan sampai merah. Perbedaan vege-tasi yang ada sangat mempengaruhi perubahan warna tersebut. Di sebelah Timur bagian Selatan ketersedian air lebih banyak sehingga dimanfaatkan untuk pertanian bukan kehutanan. Hasil survei lapangan menunjukan ba-hwa satuan ini ditempati batupasir kasar yang berwarna abu-abu kecoklatan, konglomerat dan debu tufa yang berwarna kekuningan dan terkadang batulempung dan batulanau yang berwarna coklat. Melihat dari penyusun-nya satuan ini masih terpengaruh dari aktivitas vulkanik. Hal ini ditegaskan oleh Pringgoprawiro (1983) bahwa di Zona Kendeng bagian Timur formasi ini terdiri dari dua facies, yaitu facies vulkanik dan facies lempung laut (Gambar 8.b)

Pemetaan geologi dapat dilakukan dengan menggu-nakan data Landsat 7 ETM+ dan SRTM. Penggunaan cara rationing band (3/1, 5/7 dan 3/5) pada Landsat 7ETM+ yang dikompositkan dalam RGB dan digabung-kan dengan SRTM menunjukkan hasil yang baik untuk

Gambar 8. Kenampakan pada citra hasil rationing band Landsat ETM+ yang digabungkan dengan SRTM.

b. Kemampuan Formasi Kabuha. Formasi Notopuro

Page 22: Berita Inderaja 14

22 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 200922

TOPIK INDERAJA

pemetaan geologi. Fungsi SRTM tersebut adalah untuk meningkatkan efek topografi dan relief pada citra hasil rationing band sehingga mempertegas kenampakan resistensi batuan dan pola aliran. Pada hasil rationing band yang digabungkan dengan SRTM tersebut dapat dibedakan dengan jelas berbagai struktur yang ada (sin-klin, antiklin dan kelurusan) dan litologi. Kenampakan struktur menjadi lebih detil dengan adanya penggabu-ngan tersebut. Demikian juga dalam hal litologi, peng-gunaan metode tersebut dengan jelas dapat membedaan satuan-satuan litologi tertentu. Dan hasil kegiatan pada pembuatan peta interpretasi geologi Kab. Bojonegoro dan sekitarnya dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Peta geologi Kab. Bojonegoro dan sekitarnya hasil interpretasi dari citra Landsat 7 ETM+ 3/1, 5/7, 3/5 RGB hasil fusi dengan SRTM.

Page 23: Berita Inderaja 14

23

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Danau/waduk berfungsi menampung air dan sebagai sarana konservasi untuk menjaga kes-eimbangan air dan ketersediaan air. Kawasan

di sekitar danau/waduk merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi danau/waduk dan berpengaruh dalam siklus hidrologi. Pada Keppres 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung disebutkan ka-wasan sekitar danau/waduk adalah kawasan tertentu di sekeliling danau/waduk yang mempunyai manfaat pent-ing untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk. Dinyatakan pula bahwa kriteria kawasan sekitar danau/waduk adalah daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan

Oleh: Sukentyas Estuti SiwiStaf Bidang Prodata PUSDATA LAPAN

Aplikasi Data Satelit Inderaja untuk Mendukung Pengelolaan

Kawasan DanauStudi Kasus: Danau Toba

kondisi danau/waduk antara 50-100 meter dari titik pa-sang tertinggi ke arah daratan.

Jenis penutup lahan yang ideal di kawasan sekitar danau/waduk, terlebih lagi yang merupakan Daerah Tangkapan Air (DTA), adalah tegakan hutan atau la han bervegetasi dengan jenis tanaman menahun, bukan tanaman budidaya. Perubahan penutup/penggunaan la-han di kawasan suatu danau atau di DTA dapat dipantau dengan memanfaatkan potensi data satelit penginderaan jauh (inderaja).

DTA suatu danau adalah permukaan bumi di sekeli-ling danau yang dibatasi oleh punggung bukit yang me-nampung air hujan dan mengalirkannya melalui sungai-

Gambar 1. Daerah Tangkapan Air Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara

Page 24: Berita Inderaja 14

24

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

sungai atau melalui aliran permukaan serta aliran bawah tanah menuju danau. Pada Gambar 1. dapat dilihat batas DTA salah satu danau yang terkenal keindahannya, yai-tu Danau Toba di Provinsi Sumatera Utara. Batas DTA tersebut diturunkan dari data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM).

Berdasarkan proses terjadinya danau diketahui bah-wa Danau Toba merupakan danau vulkanik, yaitu danau yang terbentuk akibat aktivitas vulkanisme (gunung berapi). Secara geografi s DTA Danau Toba terletak an-tara koordinat 02°12’00” Lintang Utara (LU) – 02°56’00” LU dan 98°25’00” Bujur Timur (BT) – 99°21’00” BT. Mengacu pada wilayah administrasi pemerintahan, DTA Danau Toba meliputi wilayah di 7 (tujuh) kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Toba, Kabupaten Samosir, Ka-bupaten Simalungun, Kabupaten Karo, dan Kabupaten Dairi.

Dimensi Danau Toba adalah panjang 100 kilometer dan lebar 30 kilometer. Ciri khas Danau Toba adalah adanya sebuah pulau vulkanik di tengah danau tersebut, yaitu Pulau Samosir, dengan luas 64.000 hektar. Ben-tuk DTA Danau Toba adalah lonjong yang menyebab-kan waktu konsentrasi air hujan yang mengalir menuju outlet relatif lama sehingga fl uktuasi banjir juga relatif rendah.

Air yang masuk ke dalam Danau Toba berasal dari dua sumber, yaitu: a. Air hujan yang langsung jatuh di Danau Toba dan sekitarnya, dan b. Air yang berasal dari sungai-sungai yang masuk ke dalam danau. Menurut Dokumen LTEMP-BKPEKDT No: 0401, di sekeliling danau terdapat 19 Sub DTA yang merupakan daerah tangkapan air bagi 19 sungai yang masuk ke dalam da-nau. Sungai-sungai tersebut adalah: Sungai Sigubang, S. Bah Bolon, S. Guloan, S. Arun, S. Tomok, S. Pulau Kecil/Sibandang, S. Halian, S. Simare, S. Aek Bolon, S. Mandosi, S. Gongpan, S. Bah Tongguran, S. Mongu, S. Kijang, S. Sinabung, S. Ringo, S. Prembakan, S. Sipul-takhuda dan Sungai Silang. Di sisi lain, air yang keluar dari Danau Toba dialirkan melalui Sungai Asahan.

Permukaan air Danau Toba terletak pada ketinggian 903 meter di atas permukaan laut (dpl), sedangkan DTA-nya berada pada ketinggian lebih dari 903 meter dpl sampai 1.981 meter dpl. Informasi ketinggian (elevasi) Danau Toba dan DTA-nya secara spasial disajikan pada Gambar 2. Informasi spasial tersebut dibuat berdasar-kan data SRTM. Secara umum ketinggian di DTA Danau Toba dibagi ke dalam tiga kelas elevasi, yaitu: a. Keting-gian 700-1.000 meter dpl, b. Ketinggian 1.000-1.400 me-ter dpl, dan c. Ketinggian 1.400-2.000 meter dpl.

Kondisi topografi didominasi oleh perbukitan dan pegunungan, dengan variasi kondisi kelerengan lahan

Gambar 2. Informasi Ketinggian Daerah Tangkapan Air Danau Toba.

Page 25: Berita Inderaja 14

25

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

81.49386.745

49.596 42.769

25.552

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

LUA

S (H

ekta

r)

KEMIRINGAN LAHAN

D atar Landai Agak C uram C uram Sangat C uram

NO KONDISI KEMIRINGAN (%)LUAS 2 DIMENSI LUAS 3 DIMENSI

( Ha ) ( Ha ) ( % )(1) (2) (3) (4) (5) (6)1. Lahan Datar 0-8 81.449,49 81.493,22 28.482. Lahan Landai >8–15 86.424,44 86.745,20 30,313. Lahan Agak Curam >15-25 48.986,41 49.596,45 17,334. Lahan Curam >25-45 41.165,31 42.769,15 14,955. Lahan Sangat Curam >45 21.466,33 25.552,52 8,93

Sub JUMLAH 279.492,18 286.156,53 100,00Permukaan Air Danau 112.834,50 112.834,50

JUMLAH 392.362,68 398.991,03

adalah: datar, landai, agak curam, curam, dan sangat curam sampai terjal. (Dapat dilihat pada Tabel 1). Luas 2D adalah hasil perhitungan luas berdasarkan citra dua dimensi. Sementara itu, luas 3D diperoleh dengan memperhatikan sudut kemiringan lahan pada citra tiga dimensi. Luas 3D dihitung dengan rumus: L2D/cos α, dimana L2D = luas dua dimensi; dan α adalah sudut ke-miringan lahan.

Berdasarkan hasil pengolahan data Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM), diperoleh informasi bah-wa DTA Danau Toba memiliki luas 398.991,03 hektar yang terdiri dari perairan Danau Toba 112.834,50 hek-tar dan kawasan daratan 286.156,53 hektar, sedangkan keliling DTA adalah 553.740 kilometer. Akan tetapi, jika dihitung berdasarkan citra 2D, tanpa memperhatikan faktor kemiringan lahan, maka luas DTA tersebut adalah 392.362,68 hektar. Dengan demikian terdapat selisih 6.628,35 hektar.

Kondisi DTA Danau Toba didominasi oleh lahan yang datar dan landai dengan luas mencapai 168.238,42 hektar, sedangkan luas lahan yang agak curam sampai sangat curam adalah 117.918,11 hektar. Informasi spa-sial yang memberikan gambaran kelerengan lahan DTA Danau Toba dapat dilihat pada Gambar 4.

Informasi jenis penutup lahan dan luasnya diperoleh berdasarkan data Landsat_7 Ortho tahun 2001 dan Land-sat_5 TM tahun 2006. Pada Tabel 2. disajikan informasi spasial penutup lahan berdasarkan pada citra 2D, sedang-kan pada Tabel 3. informasi penutup lahan berbasis citra 3D. Klasifi kasi penutup lahan dibagi menjadi delapan kelas, yaitu danau, hutan, ladang/tegalan, permukiman, sawah, semak/belukar, lahan terbuka, dan jenis penutup lahan lainnya.

Pada tahun 2006 (Tabel 3.), jenis penutup lahan yang memiliki luas paling besar adalah semak/belukar, yaitu 142.119,99 hektar (=35,62%). Sementara itu, luas

Tabel 1. Kondisi Topografi di Daerah Tangkapan Air Danau Toba

Gambar 3. Histogram Kelas Kemiringan Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba

Page 26: Berita Inderaja 14

26

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

NO PENUTUP LAHANTAHUN 2001 TAHUN 2006

(Hektar) (%) (Hektar) (%)(1) (2) (3) (4) (5) (6)1. Danau 112.834,50 28,74 112.836,91 28,752. Hutan 71.209,19 18,14 70.195,25 17,883. Ladang/Tegalan 40.520,60 10,32 40.932,31 10,434. Permukiman 1.858,84 0,47 1.858,84 0,475. Sawah 27.668,45 7,05 28.257,77 7,206. Semak/Belukar 137.641,88 35,06 138.174,58 35,207. Lahan Terbuka 638,63 0,16 124,56 0,038. Lainnya 172,09 0,04 163,96 0,04

JUMLAH 392.544,18 100,00 392.544,18 100,00

NO PENUTUP LAHANTAHUN 2001 TAHUN 2006 PERUBAHAN LUAS

(Hektar) (%) (Hektar) (%) Hektar %

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)=(5)-(3) (8)=(6)-(4)1. Danau 112.834,50 28,28 112.836,91 28,28 2,41 0,002. Hutan 73.067,09 18,31 72.057,58 18,06 -1.009,51 -0,253. Ladang/Tegalan 40.967,87 10,27 41.390,02 10,37 422,15 0,104. Permukiman 1.839,75 0,46 1.864,70 0,47 24,95 0,015. Sawah 27.823,57 6,97 28.432,51 7,13 608,94 0,156. Semak/Belukar 141.642,37 35,50 142.119,99 35,62 477,62 0,127. Lahan Terbuka 641,25 0,16 125,32 0,03 -515,93 -0,138. Lainnya 174,63 0,04 164,00 0,04 -10,63 0,00

JUMLAH 398.991,03 100,00 100,00 0,00 0,00

Gambar 4. Informasi Kelerengan Daerah Tangkapan Air Danau Toba.

Catatan: Tanda negatif pada kolom (7) dan (8)

menunjukkan penurunan luas.

Tabel 2. Luas Penutup Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Tahun 2001 - 2006 Berbasis Citra Dua Dimensi (2D)..

Tabel 3. Luas Penutup Lahan di Daerah

Tangkapan Air Danau Toba Tahun 2001 -

2006 Bebasis Citra Tiga Dimensi (3D).

Page 27: Berita Inderaja 14

27

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

-1.009,51

422,15

24,95

608,94477,62

-515,93

-10,63

-1.200,00

-1.000,00

-800,00

-600,00

-400,00

-200,00

0,00

200,00

400,00

600,00

800,00PE

RUBA

HAN

LUAS

(Hek

tar)

JENIS PENUTUP LAHAN

Hutan Ladang/Tegalan Permukiman SawahSemak/Belukar Lahan Terbuka Lainnya

Gambar 5. Hitogram Perubahan Luas Penutup Lahan di DTA Danau Toba. Tahun 2001-2006.

Gambar 6. Penutup Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Tahun 2001.

Page 28: Berita Inderaja 14

28

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Gambar 7. Penutup Lahan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba Tahun 2006.

hutan, ladang/tegalan dan sawah masing-masing adalah 72.057,58 hektar (=18,06%), 41.390,02 hektar (=10,37%), dan 28.432,51 hektar (=7,13%). Perbandingan antara luas lahan yang bervegetasi (hutan, ladang/tegalan, sawah, dan semak belukar) dan lahan non-vegetasi (permuki-man dan lahan terbuka) adalah 284.000,10 hektar ber-banding 1.990,02 hektar. Daerah-daerah yang berve-getasi tersebut harus dilindungi, terutama kawasan hu-tan, dan harus tetap dijaga kelestariannya sebagai lahan bervegetasi.

Dalam periode tahun 2001 sampai 2006 di DTA Danau Toba banyak terjadi perubahan penutup lahan. Hutan dan lahan terbuka mengalami penurunan luas. Penurunan luas yang paling besar adalah hutan, dalam periode enam tahun terjadi alih fungsi hutan sebanyak 1.009,51 hektar. Sementara itu, ladang/tegalan, sawah, dan semak/belu-kar mengalami pertambahan luas, masing-masing 422,15 hektar, 608,94 hektar, dan 477,62 hektar.

Dalam konteks konservasi sumber daya air dan keles-tarian fungsi danau, yang perlu mendapat perhatian adalah hutan. Berdasarkan peraturan yang berlaku, luas hutan di daerah tangkapan air minimal harus 30% dari total luas-nya. Luas hutan di DTA Danau Toba terdeteksi berdasar-kan citra satelit sebanyak 73.067,09 hektar, yang artinya hanya setara 25,53% dari luas lahan di DTA. Di samping itu, dalam periode tahun 2001-2006 terjadi alih fungsi hu-

tan yang luasnya mencapai 1.009,51 hektar. Berkurang-nya luas lahan yang bervegetasi di daerah tangkapan air tersebut, terutama tegakan hutan, akan memberikan dampak negatif terhadap siklus hidrologi yang bermuara di Danau Toba, karena sebelum berkurang (2001) luas hutannya sudah lebih kecil dari 30 %.

Pada Keppres No. 32/1990 Pasal 17 dinyatakan se-cara eksplisit bahwa perlindungan terhadap kawasan di sekitar danau/waduk dilakukan untuk melindungi danau/waduk dari kegiatan budidaya yang dapat meng-ganggu kelestarian fungsi danau/waduk. Pengawasan pemanfaatan lahan di kawasan danau/waduk agar tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku dapat dibantu dengan menggunakan data satelit inderaja, yaitu untuk memantau penutup/penggunaan lahan dan mengetahui perubahan yang terjadi.

Page 29: Berita Inderaja 14

29

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Curah hujan adalah salah satu komponen iklim yang sangat penting bagi kehidupan mahluk hi-dup di bumi. Indonesia sebagai negara kepulau-

an di wilayah tropis mempunyai karakteristik hujan yang berbeda-beda, baik di wilayah barat hingga ke timur maupun di wilayah utara ekuator hingga selatan ekuator. Kondisi curah hujan di Indonesia secara global dipenga-rui oleh Asia-Australia monsun, El Niño/La Niña, dan Indian Ocean Dipole Mode (IOD). Sementara itu, secara lokal curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh perbedaan pemanasan daratan dan lautan yang di-kenal dengan land-sea breeze.

Sebagai negara kepulauan yang terletak di katulistiwa, Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim global. Perubahan iklim global yang dinyatakan sebagai dam-pak dari pemanasan suhu global terjadi akibat ke naikan konsentasi gas-gas rumah kaca terutama karbondioksi-da (CO2) dan metana (CH4). Hasil pengamatan menun-jukkan suhu rata-rata global naik hingga 0.74°C antara tahun 1906 sampai tahun 2005 (Solomon, et al. 2007). In-tergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) sebagai lembaga dunia yang didirikan oleh World Meteorological Organization dan United Nations Environment Program-me memproyeksikan perubahan suhu dan curah hujan hingga tahun 2099. Pada akhir abad ke 21 diproyeksikan suhu di wilayah tropik akan terus meningkat hingga 3°C, sedangkan curah hujan akan meningkat terutama pada musim hujan (Desember-Februari).

Upaya adaptasi (penyesuaian) dan mitigasi (penang-gulangan) perlu dilakukan dalam menghadapi perubah-an iklim dalam semua sektor, agar dapat mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang akan timbul akibat terjadinya perubahan iklim. Salah satu upaya adaptasi yang harus dilakukan adalah penyediaan informasi cua-ca yang akurat, seperti pemantauan dan prediksi curah hujan sebagai sistem peringatan dini terhadap dampak

Pemanfaatan Data TRMM dalam Mendukung Pemantauan dan Prediksi

Curah Hujan Di IndonesiaOleh: Orbita Roswintiarti, Parwati Sofan, dan Any Zubaidah

Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (LAPAN)

yang akan ditimbulkannya. Informasi curah hujan yang dikenal masyarakat, berasal dari hasil pengukuran sta-siun pengamatan cuaca di lapangan. Saat ini, data curah hujan yang berasal dari data satelit penginderaan jauh mampu memberikan informasi terkini (near real-time), baik secara temporal maupun spasial.

Sejak tahun 1994, LAPAN telah memberikan pre-diksi curah hujan bulanan melalui data Outgoing Long-wave Radiation (OLR) yang mempunyai resolusi spasial 2.5° x 2.5°. Data OLR diperoleh dari satelit National Oce-anic and Atmospheric Administration (NOAA), tersedia sejak Juni 1974 sampai sekarang (http://www.cdc.noaa.gov/cdc/data.interp_OLR.html). Data tersebut kemu-dian dikonversi menjadi data curah hujan berdasarkan beberapa data stasiun pengamatan di P. Jawa. Data Glo-bal Precipitation Climatological Project (GPCP) dengan resolusi spasial 2.5° x 2.5° dari USA National Aeronau-tics and Space Administration (NASA) pada tahun 2004 digunakan sebagai pelengkap konversi data OLR men-jadi curah hujan untuk seluruh wilayah Indonesia. Data GPCP tersedia dari Januari 1979 dan berakhir pada April 2008 (http://precip.gsfc.nasa.gov), sedangkan. data sate-lit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25° telah tersedia sejak Januari 1998 hingga sekarang, dan telah memberikan informasi curah hujan terkini setiap tiga jam sekali, melalui web-site Sistem Informasi untuk Mitigasi Bencana Alam (SIMBA) di http://www.rs.lapan.go.id/SIMBA. LAPAN juga telah mengembangkan model prediksi curah hujan bulanan dengan resolusi spasial yang lebih tinggi dari data OLR.

Tulisan ini ditujukan untuk mensosialisasikan pemanfaatan data TRMM sebagai alternatif sumber in-formasi curah hujan di wilayah Indonesia. Pembahasan yang akan dikemukakan adalah mengenai spesifi kasi data TRMM, beberapa perbandingan antara data curah

Page 30: Berita Inderaja 14

30

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

hujan dari OLR, GPCP, dan TRMM, juga hasil uji akurasi antara curah hujan dari TRMM dibandingkan dengan data curah hujan hasil pengukuran stasiun meteorologi di lapangan.

Satelit TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) dalam memantau dan mempelajari curah hujan di wilayah tropik. TRMM diluncur-kan pada tanggal 28 November 1997 pada ketinggian 403 km, dan dapat memantau permukaan bumi wilayah tropik (50°LU – 50°LS) sebanyak 16 kali sehari setiap 92.5 menit (Gambar 1). Je-nis sensor TRMM dapat dilihat pada Tabel 1.

Data TRMM tersedia dalam berbagai produk dengan resolusi spasial dan temporal yang berbe-da-beda. Masing-masing produk dihasilkan dari sensor berbeda. Contoh beberapa produk data TRMM dapat dilihat pada Ta-bel 2. Produk data TRMM dapat diakses melalui website Goddard Space Flight Center NASA (GSFC

NASA) di http://trmm.gsfc.nasa.gov serta website Earth Observation Research Center JAXA (EORC) di http://www.eorc.java/TRMM/index_e.htm. Berbagai penelitian, validasi, serta aplikasi data TRMM telah banyak dilakukan (Meneghi-ni et al. 2004, Mori et al. 2004, Wolff et al. 2005, Ichikawa and Yasunari 2006, Shige et al. 2007).

Data yang digunakan pada analisis perbandingan hasil peman-tauan dan prediksi curah hujan di Indonesia adalah TRMM, OLR, GPCP. Pada analisis perbandin-gan hasil pemantauan curah hu-jan digunakan periode data pada saat kondisi iklim ekstrim yaitu kejadian El Niño pada bulan Ok-tober 2006, dan La Niña pada bulan Desember 2007. Peristiwa El Niño dikenal sebagai suatu periode dimana curah hujan di Indonesia mengalami penurunan dari kondisi normalnya sehingga menimbulkan kekeringan yang lebih parah daripada biasanya, se-baliknya curah hujan di Indonesia pada kondisi La Niña cenderung lebih tinggi dibanding kondisi nor-

Gambar 1. Karakteristik sensor-sensor yang dibawa satelit TRMM.

*SSM/I: Special Sensor Microwave Imager (satelit Defense Meteorological Satellite Program)**AMSR-E: Advanced Microwave Scanning Radiometer - Earth Observing System (satelit Aqua)***AMSU-B: Advanced Microwave Sounding Unit – B (satelit NOAA)

Jenis Sensor Resolusi spasial Lebar sapuan Kemampuan

Precipitation Radar (PR) 5 km 247 km

• menyediakan profi l vertikal hujan/salju dari permukaan hingga ketinggian 20 km

• mendeteksi intensitas hujan ringan (sampai 0.7 mm/jam)

• mendeteksi intensitas hujan lebat

TRMM Microwave Imager (TMI) 5.1 km 878 km

• menghitung kandungan uap air dalam atmosfer dan awan

• menghitung intensitas curah hujanVisible and Infrared Scanner (VISR) 2 km 720 km Mengetahui kondisi keawananLightning Imaging Sensor (LIS) 4 km 600 km Mengetahui penyebaran dan variabilitas awanCloud and Earth Radiant Energy Sensor (CERES) 25 km seluruh bumi Mengetahui penyebaran dan variabilitas awan

Tabel 1. Jenis sensor TRMM.

Page 31: Berita Inderaja 14

31

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Jenis DeskripsiResolusi

PeriodeSpasial Temporal

3A11 Khusus curah hujan di atas lautan, diperoleh dari sensor PR. 5.0° x 5.0° bulanan Desember 1997 - sekarang

3A25 Curah hujan di atas daratan dan lautan, diperoleh dari sensor PR.

5.0° x 5.0°dan

0.5° x 0.5°bulanan Desember 1997 - sekarang

3A26 Curah hujan di atas daratan dan lautan, diperoleh dari sensor PR. 5.0° x 5.0° bulanan Desember 1997 - sekarang

3A31 Curah hujan di atas daratan dan lautan, diperoleh dari sensor PR dan TMI. 5.0° x 5.0° bulanan Desember 1997 - sekarang

3A46 Curah hujan di atas daratan dan lautan, diperoleh dari sensor SSM/I*. 1.0° x 1.0° bulanan Januari 1998 -sekarang

3B42Curah hujan di atas daratan dan lautan, diperoleh dari sensor-sensor TRMM dan lainnya (SSM/I, AMSR-E**, AMSU-B***).

0.25° x 0.25° setiap 3 jam Desember 1997 - sekarang

3B46 Curah hujan di atas daratan dan lautan, diperoleh dari gabungan data 3B42 dan raingauge. 0.25° x 0.25° setiap 3 jam Januari 1998 - sekarang

malnya, sehingga dapat menimbulkan banyak bencana banjir.

Gambar 2 menunjukkan perbandingan antara data OLR, GPCP, dan TRMM pada puncak kejadian El Niño 2006 pada bulan Oktober 2006. Terlihat bahwa distribusi OLR, GPCP, dan TRMM mempunyai pola yang relatif sama. Apabila OLR rendah mempunyai potensi curah hujan GPCP dan TRMM tinggi dan sebaliknya. Curah hujan terendah (dibawah 50 mm/bulan) pada bulan Ok-tober 2006 terdapat di wilayah P. Jawa, sebagian Suma-tera Selatan, Kalimantan, dan Sulawesi. Curah hujan di wilayah tersebut pada kondisi iklim normal bulan Okto-ber rata-rata di atas 100 mm/bulan.

Sementara itu pada kondisi puncak La Niña 2007 pada bulan Desember 2007 (Gambar 3), ketiga data di atas juga memberikan informasi curah hujan dengan pola yang relatif sama. Curah hujan yang tinggi (diatas 350 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah P. Jawa, Bengkulu, Padang, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Papua. Pada kondisi iklim normal, curah hujan di wilayah tersebut pada bulan Desember rata-rata di atas 300 mm/bulan. Dari uraian di atas dapat ditunjukkan bahwa secara global data TRMM mampu merepresen-tasikan kondisi curah hujan pada saat kondisi ekstrim, baik pada waktu El Niño maupun La Niña. Selain itu, terlihat juga bahwa data TRMM mampu memberikan in-formasi curah hujan dengan kedetilan spasial yang lebih baik dibandingkan dengan data OLR dan GPCP, karena resolusi spasial data TRMM sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan data OLR dan GPCP.

Metode analisis yang kedua adalah dengan mem-

bandingkan hasil prediksi curah hujan di Indonesia yang dibangun dari data OLR dan SST (Sea Surface Tempera-ture) Pasifi k Tropik (periode 1982 -2003), dengan hasil prediksi curah hujan yang dibangun dari data TRMM dan SST Pasifi k Tropik (periode 1998 – 2008). Meto-de statistik yang digunakan untuk menghasilkan mo-del prediksi curah hujan tersebut adalah metode EOF (Emphirical Orthogonal Function) dan CCA (Canonical Correlation Analysis).

Gambar 4 menunjukkan perbandingan hasil prediksi curah hujan pada bulan April 2009 untuk model prediksi OLR (Gambar 4a-b) dan TRMM (Gambar 4c-d) dengan input suhu permukaan laut Pasifi k Tropik bulan Maret 2009. Dapat dilihat bahwa dari kedua model tersebut, prediksi curah hujan untuk bulan April 2009 menunjuk-kan distribusi yang sama dimana curah hujan di atas 250 mm/bulan akan terjadi di atas P. Sumatera, Kalimantan, P. Sulawesi, dan Papua. Sementara itu, intensitas curah hujan di P. Jawa umumnya diprediksikan lebih rendah dibandingkan P. Sumatera, Kalimantan, P. Sulawesi, dan Papua. Demikian pula dengan prediksi anomali curah hujan di antara kedua model yang secara umum mem-berikan pola yang sama, yaitu rendah/negatif dibagian selatan khatulistiwa. Akan tetapi, secara lebih detil mem-perlihatkan beberapa perbedaan. Hal ini dapat diakibat-kan oleh perbedaan dalam menentukan nilai rata-rata (klimatologi) curah hujannya.

Sementara itu, Gambar 5 menunjukkan perbandin-gan hasil prediksi curah hujan untuk bulan Mei 2009 untuk model prediksi OLR (Gambar 5a-b) dan TRMM (Gambar 5c-d) dengan input suhu permukaan laut Pa-

Tabel 2. Contoh produk data TRMM yang tersedia.

Page 32: Berita Inderaja 14

32

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

anomali curah hujan negatif terlihat sudah semakin ber-gerak ke utara.

Untuk mengetahui seberapa besar data curah hujan TRMM mampu merepresentasikan kondisi curah hu-jan lokal di suatu wilayah, telah dilakukan validasi an-tara data TRMM dengan curah hujan hasil pengukuran stasiun meteorologi. Wilayah yang dikaji adalah Kabu-

sifi k Tropik bulan Maret 2009. Prediksi curah hujan untuk bulan Mei 2009 dari kedua model tersebut masih menunjukkan distribusi yang sama, dimana intensitas curah hujan di P. Jawa, P. Sumatera, Kalimantan, P. Su-lawesi dan Papua menjadi semakin lebih rendah diban-dingkan pada bulan Apil 2009. Wilayah Nusa Tenggara diprediksi memasuki musim kemarau. Sementara itu,

Gambar 2. Perbandingan antara data OLR, GPCP, dan TRMM pada puncak kejadian El Nino bulan Oktober 2006.

Gambar 3. Perbandingan antara data OLR, GPCP, dan TRMM pada puncak kejadian El Nino bulan Desember 2007.

a a

b b

c c

Page 33: Berita Inderaja 14

33

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Gambar 4. Prediksi curah hujan dan anomali curah hujan untuk bulan April 2009 yang diperoleh dari model statistik yang dibangun dari data suhu permukaan laut Pasifi k tropik dan data OLR tahun 1982 - 2003 (a dan b)

dan data TRMM tahun 1998 - 2008 (c - d)

Gambar 5. Prediksi curah hujan dan anomali curah hujan untuk bulan Mei 2009 yang diperoleh dari model statistik yang dibangun dari data suhu permukaan laut Pasifi k tropik dan data OLR tahun 1982 - 2003 (a dan b)

dan data TRMM tahun 1998 - 2008 (c - d)

Page 34: Berita Inderaja 14

34

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Curah Hujan Bulanan di Indramayu (1998 - 2004)

0

100

200

300

400

500

600

1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004

r = 0.807Cu

rah

hujan

(mm

/bula

n)

CH TRM MCH O B S E RV A S I

Curah Hujan Bulanan di Palangkaraya (1998 - 2007)

0

100

200

300

400

500

600

700

19 9 8 19 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 2 0 0 7

r = 0.779

Cura

h hu

jan (m

m/b

ulan)

CH TRM MCH O B S E RV A S I

paten Indramayu dan Kota Palangkaraya. Data stasiun meteorologi yang digunakan untuk wilayah di Kabu-paten Indramayu adalah sebanyak 22 stasiun dengan periode data bulanan (1998 – 2004). Sedangkan di Kota Palangkaraya hanya dari 1 stasiun meteorologi dengan periode data bulanan (1998 – 2007).

Hasil analisis timeseries pada Gambar 6a terlihat bah-wa pola fl uktuasi curah hujan dari TRMM dan dari sta-siun meteorologi di Kabupaten Indramayu relatif sama, dan koefi sien korelasinya (r) sebesar 0.807. Begitu pula di Kota Palangkaraya, pola fl uktuasi curah hujan dari TRMM dan dari stasiun meteorologi relatif sama (Gam-bar 6b). Koefi sien korelasi (r) yang didapatkan adalah sebesar 0.779. Dapat ditunjukkan bahwa data TRMM mampu merepresentasikan curah hujan wilayah lokal dengan cukup baik.

Berdasarkan hasil analisis di atas maka dapat ditun-jukkan bahwa data TRMM sangat berpotensi untuk di-gunakan sebagai salah satu alternatif dalam memantau

dan memprediksi curah hujan di Indonesia. Data TRMM juga mempunyai keunggulan, antara lain tersedia secara near real-time setiap tiga jam sekali, konsisten, daerah cakupan yang luas yaitu wilayah tropik, resolusi spasial yang cukup tinggi (0.25° x 0.25°), dan dapat diakses secara gratis. Meskipun demikian, keterbatasan dari ap-likasi data TRMM adalah periode waktu dari data yang relatif masih singkat serta masih diperlukan banyak vali-dasi terutama untuk pemanfaatan curah hujan lokal.

Generasi selanjutnya dari satelit TRMM adalah satelit konstelasi Global Precipitation Measurement (GPM) dengan cakupan yang lebih luas (68°LU-68°LS), dan di-harapkan akan menghasilkan data curah hujan dengan resolusi spasial dan temporal yang lebih tinggi, yaitu 1 km x 1 km tiap satu jam. Rencananya satelit GPM akan mulai diluncurkan pada tahun 2013 dan saat ini sudah dilakukan berbagai penelitian pemodelan dan masalah teknis lainnya.

Gambar 6. Hubungan curah hujan bulanan antara yang diperoleh dari data TRMM dan dari stasiun meteorologi untuk a) Kabupaten Indramayu dan b) Kota Palngkaraya.

Page 35: Berita Inderaja 14

35

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Hampir pada setiap tahun di wilayah Pulau Suma-tera dan Kalimantan terjadi kebakaran hutan dan lahan, terutama sekali pada musim kemarau

yang umumnya terjadi pada bulan-bulan sekitar April hingga Oktober. Terjadinya Kebakaran hutan dan la-han dapat diakibatkan oleh faktor-faktor alami dan juga faktor manusia. Faktor alami berupa iklim dalam kon-disi kering, kondisi tutupan vegetasi berupa rumput dan semak belukar kering, serta tanah yang mengandung bahan organik tinggi (tanah gambut) yang sangat ber-potensi memicu terjadinya kebakaran. Faktor manusia yang merupakan pemicu utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah dengan pembukaan lahan (land-clearing) baik untuk ladang maupun perkebunan dengan cara membakar. Kebakaran hutan dan lahan akan se-makin diperparah apabila terjadi El Nino. Dalam kurun waktu 1997 – 2008, di Indonesia telah terjadi empat kali El Nino, yaitu pada tahun 1997, 2002, 2004 dan 2006. Me-nurut prediksi International Research Institute (IRI), di Indonesia pada tahun 2009 akan mengalami peristiwa El Nino lagi.

Salah satu upaya untuk mengantisipasi terjadinya ke-bakaran hutan dan lahan ini adalah dengan melakukan deteksi dini lokasi-lokasi daerah yang terbakar dengan menggunakan satelit penginderaan jauh. Indikator yang digunakan untuk mengetahui adanya kebakaran hutan dan lahan dari data satelit adalah titik panas (hotspot). Hotspot merupakan suatu lokasi di permukaan bumi yang mempunyai suhu relatif lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya. Data satelit yang dapat digunakan untuk kegiatan pemantauan dan deteksi titik panas ke-bakaran hutan dan lahan adalah data satelit penginde-raan jauh NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration), MODIS (Moderate Imaging Resolution Spectroradiometer) dan ATSR (Along Track Scanning

Mendeteksi Titik Panas (Hotspot), Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Data Satelit

Oleh : Suwarsono*, Parwati* dan Totok Suprapto*** Staf Peneliti Bidang PSDAL, Pusbangja, LAPAN

** Kepala Bidang PSDAL, Pusbangja, LAPAN

Radiometer). Data satelit tersebut dilengkapi dengan suatu alat pengukur (sensor) yang mampu menangkap radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh permukaan bumi. Sedikitnya ada 2 jenis sensor yang digunakan untuk pemantauan hotspot, yaitu sen-sor panas (thermal) dan sensor cahaya tampak (visible). Sensor thermal digunakan untuk mendeteksi adanya titik panas di areal kebakaran hutan dan lahan dimana suhunya relatif lebih tinggi daripada daerah yang tidak terbakar. Sensor visible digunakan untuk mengidentifi -kasi kabut asap hasil kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, kedua satelit tersebut mampu mengamati permuka-an bumi beberapa kali sehari dengan cakupan yang luas dan mendekati real time, sehingga sangat cocok untuk kegiatan pemantauan kebakaran lahan dan hutan di wi-layah Indonesia.

Kegiatan pemantauan hotspot telah dilakukan oleh beberapa institusi baik dalam maupun luar negeri dengan menggunakan jenis-jenis data satelit yang beraneka ra-gam pula. Di tingkat nasional, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) memantau hotspot dengan menggunakan data NOAA seri 18 dan MODIS, sedangkan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan RI menggunakan data NOAA seri 18. Di tingkat regional ASEAN, pemantauan hotspot dilakukan oleh ASMC (ASEAN Specialised Meteorologi-cal Centre) yang juga menggunakan data NOAA seri 18. Adapun untuk informasi hotspot di tingkat global terda-pat sumber-sumber dari University of Maryland – USA yang menggunakan data MODIS dan European Space Agency (ESA) yang menggunakan data ATSR.

Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LA-PAN) memiliki stasiun bumi (Ground Station) yang ber-lokasi di Jakarta, Biak, Pare-pare, dan Bogor. Stasiun Bumi di Jakarta mengakuisisi data satelit NOAA (seri

Page 36: Berita Inderaja 14

36

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

15, 16, 17, 18 dan 19), MTSAT (Multi-functional Trans-port Satellite) dan Feng Yun. Stasiun Bumi di Pare-pare mengakuisi data satelit MODIS dan SPOT (seri 2 dan 4). Stasiun Bumi di Bogor mengakuisisi data satelit MO-DIS. Sedangkan stasiun bumi di Biak mengakuisisi data satelit NOAA (seri 15, 16, 17, 18 dan 19) dan Feng Yun. LAPAN memperoleh informasi hotspot dengan meman-faatkan data satelit NOAA seri 18 dan MODIS. Pada saat ini operasional dari mulai akusisi data satelit, pengo-lahan data untuk mendapatkan informasi hotspot hingga penyebarluasan informasi melalui situs internet memer-lukan waktu kurang lebih 90 menit. Setiap harinya hasil informasi hotspot dapat diunduh oleh masyarakat luas sekitar pukul 15.00 – 16.00 WIB pada situs internet LA-PAN di http://www.rs.lapan.go.id/SIMBA.

Adanya berbagai sumber data satelit yang digu-nakan untuk menghasilkan informasi hotspot tentu saja terdapat perbedaan antara informasi hotspot yang satu dengan lainnya. Umumnya perbedaan hasil infor-masi hotspot tersebut disebabkan oleh adanya perbe-daan nilai ambang batas suhu yang digunakan, jenis data yang digunakan dan perbedaan jam perekaman oleh satelit pada daerah yang sama. Sebagai contoh, penggunaan ambang batas suhu pada data NOAA seri

Sumber : Departemen KehutananJenis Data : NOAA-18Tanggal : 16-Juli-2009Jam : 13:08 WIBJumlah Hotspot : 313

18 terutama pada spektrum radiasi inframerah tengah, LAPAN menggunakan nilai ambang batas suhu 330 Kel-vin (57°Celcius), sedangkan ASMC menggunakan suhu yang berbeda, yaitu 320 Kelvin (47°Celcius) atau lebih rendah 10°Celcius dari yang LAPAN gunakan. Departe-men Kehutanan menggunakan ambang batas suhu yang lebih rendah lagi, yaitu 318 Kelvin (45°Celcius). Secara teknis, nilai ambang batas suhu yang lebih rendah akan menghasilkan jumlah hotspot lebih banyak. Penggunaan nilai ambang batas suhu yang berbeda ini tentu saja di-sesuaikan dengan tujuan penggunaan informasi hotspot yang berbeda-beda di masing-masing instansi. Dalam hal ini, LAPAN menggunakan nilai ambang suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan institusi lain nya karena in-formasi hotspot yang dihasilkan ditujukan untuk mengi-dentifi kasi lokasi-lokasi yang berpeluang tinggi untuk te-rjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sementara institusi lain yang menggunakan nilai ambang suhu yang lebih rendah ditujukan untuk menghasilkan informasi yang lebih bersifat peringatan dini bahaya kebakaran.

Sebagai contoh perbandingan informasi hotspot yang dilakukan terhadap beberapa sumber data, yaitu dari satelit NOAA seri 18 yang diolah oleh LAPAN, ASMC dan Departemen Kehutanan, serta dari data satelit MO-

Gambar 1. Hasil pemantauan hotspot dari Departemen Kehutanan menggunakan data NOAA-18

Page 37: Berita Inderaja 14

37

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Sumber : ASMCJenis Data : NOAA-18Tanggal : 16-Juli-2009Jam : 13:04 WIBJumlah Hotspot : 235

DIS yang diolah oleh LAPAN pada tanggal 16 Juli 2009 dengan memilih waktu perekaman yang berdekatan un-tuk wilayah Kalimantan. Sumber dari Departemen Ke-hutanan perekaman data NOAA seri 18 jam 13.08 WIB memberikan hasil paling tinggi yaitu 313 hotspot (Gam-bar 1), dari ASMC perekaman data NOAA seri 18 jam 13.04 WIB terdapat 235 hotspot (Gambar 2), dan dari LAPAN perekaman data NOAA seri 18 jam 13.02 WIB terdapat 35 hotspot (Gambar 3). Selain itu dari data MODIS jam 12.05 yang diakuisisi oleh LAPAN terda-pat 97 hotspot (Gambar 4). Memperhatikan informasi hotspot dari berbagai sumber tersebut, tampak terdapat perbedaan dalam jumlah.

Namun demikian semuanya menunjukkan lokasi tertentu dengan pola sebaran yang mirip. Perhatikan Gambar 1 dan 2, titik – titik panas api yang terdeteksi dari data satelit tersebut bisa saja berpeluang menjadi daerah yang terbakar ataupun tidak terbakar.

Pada Tabel 1 dan Tabel 2 merupakan informasi identifi kasi lokasi hotspot yang dapat dilihat pada web-site LAPAN, yang terdiri dari hotspot dari data NOAA-18/AVHRR (Tabel 1) dan data MODIS (Tabel 2). Pada informasi tersebut disertakan pula lokasi koordinat

Gambar 2. Hasil pemantauan hotspot dari ASMC menggunakan data NOAA-18.

lintang dan bujur (latitude dan longitude) serta wilayah administrasi (Provinsi dan Kabupaten) untuk lebih me-mudahkan masyarakat dan instansi terkait dalam mem-pergunakan lebih lanjut informasi ini. Dengan adanya in-formasi ini, diharapkan dapat dimanfaatkan oleh Pemda untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya.

Page 38: Berita Inderaja 14

38

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Sumber : LAPANJenis Data : NOAA-18/AVHRRTanggal : 16-Juli-2009Jam : 13:02 WIBJumlah Hotspot : 35

Informasi hotspot dari LAPAN dapat diakses melalui:Website: http://www.rs.lapan.go.id/SIMBA, ASMC (http://www.weather.gov.sg/wip/web/ASMC), dan Departemen Kehutanan (http://www.dephut.go.id)

Gambar 3. Hasil pemantauan hotspot dari LAPAN menggunakan data NOAA18/ AVHRR.

Sumber : LAPANJenis Data : MODISTanggal : 16-Juli-2009Jam : 12:05 WIBJumlah Hotspot : 97

Gambar 4. Hasil pemantauan hotspot dari LAPAN menggunakan data MODIS.

Page 39: Berita Inderaja 14

39

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

LATITUDE LONGITUDE PROVINSI KABUPATEN

-1.77 105.60 BANGKA-BELITUNG BANGKA BARAT

-1.90 105.58 BANGKA-BELITUNG BANGKA BARAT

-1.90 105.60 BANGKA-BELITUNG BANGKA BARAT

-1.92 105.26 BANGKA-BELITUNG BANGKA BARAT

-1.93 105.26 BANGKA-BELITUNG BANGKA BARAT

-1.93 105.27 BANGKA-BELITUNG BANGKA BARAT

-2.04 105.44 BANGKA-BELITUNG BANGKA BARAT

-1.74 102.15 JAMBI BUNGO

-1.75 102.15 JAMBI BUNGO

-2.27 102.43 JAMBI SAROLANGUN

0.78 108.91 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

0.78 108.92 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

0.68 108.94 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

0.67 108.94 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

0.67 108.96 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

0.60 108.97 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

0.59 108.96 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

0.59 108.97 KALIMANTAN BARAT BENGKAYANG

-0.85 109.60 KALIMANTAN BARAT PONTIANAK

-0.86 109.60 KALIMANTAN BARAT PONTIANAK

-0.87 109.60 KALIMANTAN BARAT PONTIANAK

-0.87 109.61 KALIMANTAN BARAT PONTIANAK

-0.87 109.61 KALIMANTAN BARAT PONTIANAK

1.49 109.08 KALIMANTAN BARAT SAMBAS

1.49 109.10 KALIMANTAN BARAT SAMBAS

1.48 109.08 KALIMANTAN BARAT SAMBAS

1.48 109.10 KALIMANTAN BARAT SAMBAS

1.45 109.11 KALIMANTAN BARAT SAMBAS

LONGITUDE LATITUDE PROVINSI KABUPATEN

116.73 0.23 KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR

116.59 0.62 KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR

116.58 0.63 KALIMANTAN TIMUR KUTAI TIMUR

116.31 -1.57 KALIMANTAN TIMUR PASIR

114.91 -2.41 KALIMANTAN TENGAH BARITO SELATAN

114.69 -2.25 KALIMANTAN TENGAH BARITO SELATAN

114.68 -2.25 KALIMANTAN TENGAH BARITO SELATAN

114.68 -2.24 KALIMANTAN TENGAH BARITO SELATAN

114.67 -2.24 KALIMANTAN TENGAH BARITO SELATAN

114.96 -2.06 KALIMANTAN TENGAH BARITO TIMUR

115.20 -1.99 KALIMANTAN TENGAH BARITO TIMUR

115.10 -1.64 KALIMANTAN TENGAH BARITO TIMUR

113.49 -1.03 KALIMANTAN TENGAH GUNUNGMAS

113.01 -0.98 KALIMANTAN TENGAH GUNUNGMAS

114.25 -2.97 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.30 -2.92 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.63 -2.77 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.58 -2.75 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.59 -2.74 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.62 -2.65 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.76 -2.59 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.40 -2.47 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.39 -2.23 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

114.49 -1.95 KALIMANTAN TENGAH KAPUAS

113.41 -2.95 KALIMANTAN TENGAH KATINGAN

113.42 -2.94 KALIMANTAN TENGAH KATINGAN

113.41 -2.94 KALIMANTAN TENGAH KATINGAN

113.60 -2.22 KALIMANTAN TENGAH KATINGAN

Tabel 2. Informasi identifi kasi lokasi hotspot dari data MODIS(dapat dilihat pada website LAPAN).

Tabel 1. Informasi identifi kasi lokasi hotspot dari data NOAA-18/AVHRR

(dapat dilihat pada website LAPAN).

Page 40: Berita Inderaja 14

40

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Dewasa ini Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) berusaha meningkatkan pelayanan dalam pendistribusian data pengin-

deraan jauh dan pemanfaatannya yang bertujuan untuk mendukung pembangunan dan pengembangan dae-rah yang berkesinambungan. Citra Satelit penginde-raan jauh yang dimiliki LAPAN dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai sumber daya yang dimiliki oleh suatu daerah. Penerapan teknologi pengin-deraan jauh, baik itu dengan menggunakan data citra satelit dan Sistem Informasi Geografi s (SIG) dapat di-gunakan dalam perencanaan tata ruang wilayah untuk memberikan informasi yang lebih cepat, tepat, faktual dan aktual terhadap perubahan yang terjadi baik secara spasial (ruang) maupun temporal (waktu), serta mem-punyai ba nyak manfaat (multipurpose).

Pembangunan data spasial memerlukan pembiayaan yang relatif besar, baik dalam proses pengadaan data dasar (mentah), pengolahan dan analisa data, maupun penyajian dalam bentuk peta. Akses terhadap data spa-sial (seperti peta dasar atau citra satelit) umumnya di-perlukan oleh lebih dari satu instansi. Oleh karena itu, berbagai data spasial yang telah dibuat dan dikembang-kan oleh masing-masing instansi akan lebih bermakna bila dapat saling dipertukarkan (dapat saling diakses oleh instansi terkait). Pertukaran data (data sharing) antar instansi terkait akan memberikan efi siensi peman-faatan dana yang sangat signifi kan dan biaya proses pe-ngolahan/analisa data dapat dihemat.

Sistem Informasi Geografi s (SIG) merupakan bagian dari kemajuan teknologi informasi (information technolo-gy). Sebagai teknologi berbasis komputer, SIG dapat digunakan dalam berbagai bidang pekerjaan seperti pe-

Riyan Mahendra Saputra *, Ruslan Ginting **e-mail: [email protected]

Peneliti Instalasi Lingkungan dan Cuaca BIAK – LAPAN *Kepala Instalasi Lingkungan dan Cuaca BIAK – LAPAN **

Sistem Informasi Data Spasial Daerah (SISDA) Berbasis Web untuk

Manajemen Data Spasial DaerahStudi Kasus Kabupaten Biak, Numfor.

rencanaan, inventarisasi, monitoring, dan sistem pendu-kung pengambilan keputusan (decission support system). Bidang aplikasi SIG yang demikian luas, dari urusan perencanaan tata ruang wilayah sampai pada persoalan bagaimana membagi jalur jalan untuk menentukan rute kendaraan umum, pembuatan jaringan pipa distribusi air dan sebagainya, menghendaki penanganan pekerjaan yang dilakukan secara terpadu (integrated) dan multi-disiplin ilmu. Dengan semakin berkembangnya peman-faatan SIG, kegiatan pengadaan data spasial semakin me-ningkat. Data spasial akan memberikan informasi secara keruangan, letak dan posisi, sesuai dengan tema yang dikembangkan. Pengadaan data merupakan salah satu kegiatan yang memerlukan biaya tinggi dan alokasi wak-tu yang cukup lama. Mengingat besarnya investasi yang harus dikeluarkan untuk pengadaan dan pemeliharaan, maka diperlukan adanya suatu upaya untuk menekan bi-aya. Pertukaran data spasial (spatial data exchange) atau menggunakan data spasial secara bersama-sama (spatial data sharing), merupakan salah satu upaya untuk me-ngurangi biaya yang diperlukan. Setiap pengguna (users) yang memerlukan data spasial di lokasi tertentu, dapat menggunakan data dari institusi penyedia data atau dari pengguna lain yang telah memiliki data spasial di lokasi tersebut dan contohnya dapat dilihat seperti pada gambar 1, yaitu: informasi peta citra satelit.

Institusi penyedia data spasial umumnya menyimpan dan mengelola data spasial dalam model/ format yang berbeda-beda. Akibatnya para pengguna akan menemui kesulitan apabila ingin menggunakan data tersebut, dan memerlukan konversi data yang nanti akan dipergu-nakan dalam aplikasi yang diinginkan, maka diperlukan suatu standar data yang akan digunakan.

Page 41: Berita Inderaja 14

41

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Pada dasarnya Infrastruktur Data Spasial (IDS) merupakan inisiatif untuk membuat suatu kondisi yang memungkinkan berbagai macam pengguna dapat meng-akses dan memperoleh data dalam cakupan wilayah ter-tentu, secara lengkap, konsisten, mudah dan aman. IDS juga merupakan dasar dalam melakukan fasilitasi dan koordinasi dalam melakukan pertukaran data spasial diantara stakeholder dari berbagai macam tingkat juris-diksi dalam komunitas data spasial (Rajabidfard and Wil-liamson, 2000).

Infrastruktur SIG oleh komite tetap untuk infrastruk-tur SIG di Asia Pasifi k (PCGIAP, 1998), dirumuskan se-bagai berikut: 1. Kerangka kerja kelembagaan/ institusi untuk me-

nentukan kebijakan, legislasi dan pengaturan admi-nistratif dalam membangun, memelihara, mengak-ses dan menerapkan standard dan data dasar.

2. Standard teknis yang menggambarkan karakteristik teknis dari data dasar.

3. Data dasar yang meliputi kerangka geodesi, data topografi s dan data mengenai tanah.

4. Kerangka kerja teknis yang memungkinkan penggu-na untuk mengidentifi kasi dan mengakses data dasar seperti hak kepemilikan tanah dan penggunaannya, manajemen sumber daya dan konservasi serta pem-bangunan ekonomi yang didukung organisasi dalam

bentuk basis nasional atau suatu kawasan adminis-trasi dan untuk tujuan analisa meliputi cakupan spa-sial dan cakupan informasi yang luas dan berkaitan mengenai sosial, ekonomi dan lingkungan.

Kabupaten Biak Numfor memiliki data dan infor-masi spasial yang masih relatif sangat terbatas, terfrag-mentasi dan tersedia dalam skala kecil. Melihat kondisi seperti ini diperlukan sebuah sistem informasi data spasial yang dapat digunakan untuk model pengelolaan dan penyimpanan data. Pembangunan infrastruktur data spasial daerah sangat berguna dalam menyusun suatu perencanaan pengembangan daerah. Model dan desain sistem informasi spasial daerah dihimpun berdasarkan standar tertentu dalam bentuk basis data spasial, aturan atau prosedur, bentuk dan aturan kerjasama antar instan-si pengguna data tersebut.

Tahapan yang dikerjakan pada pembuatan sistem in-formasi spasial daerah, yaitu melalui penyusunan peta tematik dengan metode klasifi kasi, analisis spasial dan survei ke dinas/ instansi terkait. Kemudian untuk me-nyusun peta tematik, diperlukan standarisasi data agar dapat menyamakan format peta tematik. Hal ini juga dimaksudkan untuk memudahkan dalam berbagi data (data sharing). Selanjutnya membuat basis data spa-sial yang diintegrasikan dengan data tabular, sehingga

Gambar 1. Tampilan data spasial daerah detil (dengan peta citra satelit)

Page 42: Berita Inderaja 14

42

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

menghasilkan peta-peta tematik dengan informasi yang baru. Peta tersebut digunakan sebagai bahan dasar pembentukan kerangka basis data spasial daerah Kabu-paten Biak Numfor (rancangan sistem informasi spasial daerah). Setelah itu rancangan sistem informasi spasial daerah serta desain basis data disusun pada sebuah pro-gram sistem informasi berbasis web, dan hasilnya dapat ditampilkan sebagai informasi peta penutup lahan pada gambar 2.

Pengolahan data yang dilakukan adalah dengan mengekstraksi informasi dari citra satelit Landsat 7 ETM+ tanggal perekaman 12 Mei 2002, Ikonos pereka-man 2006, Quickbird perekaman 2006 dan data SRTM. Dimana sebelum melakukan pengolahan data dilakukan proses pra-pengolahan data, yaitu berupa rektifi kasi citra melalui proses koreksi geometris, translasi dan rotasi pada citra penginderaan jauh. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan citra yang sesuai dengan posisi dan lokasi dipermukaan bumi dengan koordinat standar (UTM Zona 53 S). Dalam melakukan koreksi geometri terhadap data citra satelit digunakan titik kontrol tanah (GCP) dengan titik ikat orde 4 dari BPN Biak Numfor (terlebih dahulu diubah proyeksinya dari TM-3 menjadi UTM). Selanjutnya untuk koreksi datanya dilakukan pengolahan data, yaitu berupa penajaman citra (image

enhancement), pemotongan citra (cropping) berdasar-kan studi area dan pengolahan digital. Sedangkan pada tahap pengolahan SIG dilakukan interpretasi data citra dengan cara interpretasi secara visual yang dilanjutkan dengan proses digitasi pada layar (on screen digitation) untuk meghasilkan data vektor sesuai dari tema (sangat dimungkinkan untuk dilakukan analisa objek sesuai de-ngan tema dan kebutuhan tertentu). Tema-tema tertentu dapat diperoleh melalui proses tumpang susun (overlay) sehingga menghasilkan informasi baru (batas admi-nistrasi, ketinggian, kelerengan, jaringan jalan, penutup lahan, sarana kesehatan, sarana pendidikan, kesesuaian lahan dan sebagainya).

Perancangan sistem informasi dilakukan untuk merancang prosedur yang akan dijalankan pada sistem dengan membuat diagram alir yang dapat mewakili se-tiap proses yang akan dilaksanakan didalam sistem dan menetapkan standar yang akan digunakan oleh sistem. Perancangan sistem ini dibuat berdasarkan kelompok (entity) yang berpengaruh terhadap sistem yang akan didesain dan menjadi dasar dalam membuat basis data. Untuk suatu sistem tertentu perlu dibuat terlebih da-hulu desain Diagram alir data yang bertujuan untuk mengetahui aliran data/ informasi yang masuk kedalam sistem dan keluar dari sistem yang akan didesain. Hasil

Gambar 2. Halaman data spasial daerah detil (dengan peta penutup lahan)

Page 43: Berita Inderaja 14

43

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

sain sistem yang akan dibuat yaitu sistem informasi spa-sial daerah dengan mengkonstruksi model data konsep-tual, yang mencerminkan struktur dan batasan dari basis data (Eddy Prahasta, 2005). Kegiatan ini menghasilkan tabel-tabel kelompok dalam sistem dan tabel–tabel yang mencerminkan proses-proses yang akan berjalan pada sistem dan pembentuk basis data. Hasil kegiatan desain basis data dilanjutkan pada tahap berikutnya yaitu desain model relasi antar tabel yang telah dibuat menggunakan model entity-relasional data. Hubungan yang terjadi dari tabel-tabel tersebut dibuatkan model hubungan yang ter-jadi pada basis data dan akan menjadi dasar untuk tahap selanjutnya yaitu pemrograman sistem informasi.

Tahap pemograman sistem informasi web dilakukan proses penerjemahan algoritma model, alur kerja sistem, integrasi tiap komponen sistem dan antarmuka sistem kedalam bahasa komputasi. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah PHP/ Mapscript. Hasil proses ini berupa perangkat lunak sistem informasi berbasis web. Untuk dapat menampilkan data spasial (raster dan vek-tor) dalam bentuk peta dihalaman web memiliki prose-dur/ aturan tersendiri, data raster atau data vektor yang diakses pengguna akan dikonversikan kedalam format fi le gambar (JPG/PNG/GIF) kemudian dikirimkan kem-bali ke pengguna, dapat dilihat arsitektur umum apli kasi pemetaan di web pada gambar 4.

Web browser disisi client mengirim data request ke server web. Karena server web tidak memiliki kemam-puan pemrosesan peta, maka request client akan diterus-kan oleh server web ke server aplikasi (web image), dalam kegiatan ini menggunakan MapServer kemudian hasil pemrosesan akan dikirim kembali melalui server web dalam bentuk html/php atau applet ke komputer client.

MapServer menggunakan fi le *.map sebagi fi le kon-fi gurasi peta (gambar 5). File ini berisi komponen tam-

perancangan tersebut akan menjadi acuan dalam peran-cangan basis data spasial. Desain sistem informasi spa-sial daerah yang akan dibuat ditunjukkan pada gambar 3. Diagram level 0 adalah diagram level tertinggi dari DFD yang menggambarkan hubungan sistem dengan lingkungan luarnya, dilanjutkan dengan level 1 yang berisi proses/prosedur yang terjadi/dirancang didalam sistem, pada level selanjutnya diuraikan proses-proses pada level 1 menjadi proses yang lebih detail.

Sistem yang dibuat mempunyai 3 kelompok yang akan dibuat tabel dari kelompok tersebut yaitu:• Kelompok User: pengguna dari sistem ini ter-

diri dari tiga pengguna yaitu pengguna umum, pengguna khusus (manajemen) dan pengguna administrator, setiap pengguna mempunyai hak akses (privillage) ke basis data yang berbeda, untuk pengguna umum hanya diberikan hak akses untuk membaca data sedangkan untuk pengguna khusus diberikan hak akses baca, update data, untuk pengguna administrator mempunyai hak akses untuk baca, update dan hapus data.

• Kelompok Peta-peta tematik: data-data peta tematik• Kelompok Citra satelit: data-data citra satelit

Dari kelompok-kelompok yang dihasilkan akan di-gunakan sebagai dasar untuk pembuatan tabel dalam basis data spasial.

Tahap kegiatan pembuatan kerangka basis data yang dilakukan adalah merancang basis data berdasarkan de-

Gambar 3. Data diagram alir Level 0 (DFD) Sistem Informasi Spasial Daerah.

Gambar 4. Arsitektur Umum Aplikasi Pemetaan di Web.

Page 44: Berita Inderaja 14

44

APLIKASI INDERAJA

BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

pilan peta seperti defi nisi layer, defi nisi proyeksi peta, pengaturan legenda, skala dan sebagainya. Di dalam fi le*.map layer-layer yang ada akan diproses oleh mapserver, kemudian akan dikirimkan hasilnya berupa data spasial dan data citra dalam format fi le gambar (PNG), yang memiliki kompresi data yang kecil (loss-less compretion) yang tergabung dalam fi le html/ php ke komputer client (Ruslan Nuryadin, 2005).

Gambar 5. Komponen fi le *.map di MapServer.

Perancangan halaman web dalam pembuatan sistem informasi spasial daerah terdiri dari menu utama (gam-bar 6) dan menu untuk manajemen data spasial (gambar

7). Menu utama dapat diakses oleh semua pengguna, berisi menu data citra dan data spasial (gambar 8, 7 dan 8). Menu data citra berisi informasi mengenai data ci-tra satelit yang dimiliki oleh daerah, tanggal perekaman data dan instansi yang memiliki data tersebut. Menu data spasial berisi informasi peta-peta tematik yang di-miliki oleh daerah. Untuk fungsi manajemen data spa-sial, pengguna diharuskan untuk login terlebih dahulu, agar bisa masuk kehalaman menu manajemen, yang ter-diri dari menu data spasial, data citra, entry data, edit data, manajemen menu dan manajemen user. Menu data spasial dan data citra pada menu manajemen sedikit berbeda dengan menu utama, terdapat link untuk entry data, update data, hapus data sesuai dengan hak akses yang diberikan. Dalam menu entry data, pengguna dapat menambahkan data baru, baik itu data spasial maupun data citra. menu edit data, pengguna dapat merubah informasi dari data yang telah ada. Untuk manajemen user, terdapat menu untuk tambah pengguna baru, dan setiap pengguna mempunyai hak akses (privillage) yang berbeda-beda yang ditentukan oleh pihak manajemen. Manajemen menu berisi informasi menu dan sub menu yang terdapat pada aplikasi, dimungkinkan untuk me-nambah, update, hapus menu dan sub menu.

Dengan adanya sistem informasi spasial daerah, se-hingga dapat memberi kemudahan dalam mena ngani/

Gambar 6. Halaman utama sistem informasi spasial daerah

Page 45: Berita Inderaja 14

45BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

APLIKASI INDERAJA

mengelola data spasial disuatu daerah, dimungkin-kannya untuk pertukaran data spasial (spatial data exchange), menggunakan data spasial secara bersama-sama (spatial data sharing), serta kemudahan penggu-na (user) untuk mencari informasi mengenai data spa-

sial dan potensi yang dimiliki di suatu daerah melalui web browser. Model dan desain dari sistem informasi spasial daerah dapat dikembangkan untuk pembuatan aplikasi sistem informasi geografi s dengan tema ter-tentu disuatu daerah.

Gambar 8. Halaman data spasial daerah.

Gambar 7. Halaman pengelolaan sistem informasi spasial daerah.

Page 46: Berita Inderaja 14

46 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Seri satelit CBERS (China Brazil Earth Resources Satellite) atau ZY (Zi Yuan) adalah program ker-jasama antara CAST (Chinese Academy of Space

Technology), China, dan INPE (Instituto de Pesquisas Espa-ciais), Brazil. Program CBERS dimulai sejak persetujuan awal antar dua negara China-Brazil ditandatangani pada tanggal 6 Juli 1988, yang tujuannya adalah membangun suatu sistem penginderaan jauh (inderaja) yang lengkap (ruas bumi dan ruas antariksa) untuk memperlengkapi citra inderaja multispektral kedua negara tersebut den-gan mengembangkan dan mengoperasikan dua satelit inderaja pada orbitnya. Program CBERS pada awalnya adalah untuk meluncurkan dua satelit pada tahun 1996 dan 1998-1999. Dua satelit inderaja tersebut diprogram-kan diluncurkan dengan roket China: Long March dari lokasi peluncuran Shanxi. Pesawat antariksa CBERS di-rancang mempunyai massa 1,450-kg dengan dimensi ke-seluruhan 2 m x 3.3 m x 8.3 m serta dengan kapasitas 1,1 kW, panel sel surya tunggal, dan akan beroperasi dalam suatu orbit sinkron matahari, pada ketinggian orbit seki-tar 800-km dengan pola waktu pengulangan setiap 26 hari untuk suatu lokasi di permukaan bumi. Pada tahun 2002, kedua pemerintah tersebut memutuskan untuk memperluas kerjasama awalnya dengan menyertakan dua tambahan satelit inderaja.

Tujuan diluncurkannya seri satelit CBERS adalah untuk menghasilkan citra permukaan bumi untuk ap-likasi di berbagai sektor seperti pertanian, lingkungan, hidrologi dan sumber daya laut, hutan, geologi dan lain-lain. Payload observasi bumi atau sensor pencitra yang dirancang dibawa adalah tiga kamera yaitu : 1). Kamera CCD Resolusi Tinggi (High Resolution CCD Camera-HRCC), 2). Kamera IRMSS (Infrared Multispectral Scan-

China - Brazil Operasikan Seri Satelit Sumber Alam CBERS

Oleh: Gokmaria Sitanggang(Peneliti di Bidang Bangfatja, Pusat Pengembangan Pemanfaatan

dan Teknologi Penginderaan Jauh – LAPAN)

ner Camera), dan 3). Kamera WFI (Wide Field Imager Camera).

CBERS-1 diluncurkan pada tanggal 14 Oktober 1999 dari Pusat Peluncuran Satelit Taiyuan, yang berjarak sekitar 750 km dari Beijing, di propinsi Chinese Sanxi, menggunakan peluncur Roket Long March 4B dan beroperasi hingga tanggal 13 Agustus 2003. CBERS-2 juga diluncurkan dari Pusat Peluncuran Satelit Taiyuan dengan menggunakan peluncur Roket Long March 4B pada tanggal 21 Oktober 2003, sebagai pengganti dari pendahulunya CBERS-1, dan terus menerus menghasil-kan produk citra, sekalipun hanya dalam mode yang ter-degradasi. Kedua pesawat antariksa tersebut melampaui waktu hidupnya, yang dirancang untuk 2 tahun.

Pada tanggal 19 September 2007, satelit inderaja CBERS-2B berhasil diluncurkan menggunakan roket peluncur Long March 4B, dari Pusat Peluncuran Satelit Taiyuan. CBERS-2B adalah satelit ketiga dari kerjasama antara China dan Brazil yang dibangun untuk melan-jutkan keberlangsungan program pencitraan nasional dalam pemanfaatan antariksa, dan untuk menjamin kelangsungan proyek-proyek ribuan institusi dan peng-guna program CBERS yang sudah terbiasa menggunak-an data CBERS generasi pertama, dan oleh karenanya CBERS-2B hampir identik dengan CBERS-1 dan 2. Meski demikian, beberapa peningkatan dilakukan yaitu teruta-ma pada muatan (payload), yang mengalami perubahan yang sebelumnya pencitra IRMSS menjadi HRC (High Resolution Panchromatic Camera). Peningkatan lainnya adalah suatu sistem perekaman pada satelit (on-board) yang baru, dan sebuah Sistem Posisi Lebih Maju (Ad-vanced Positioning System), yang meliputi GPS (Global Positioning System) dan sensor bintang.

Page 47: Berita Inderaja 14

47BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

China dan Brazil telah mengakhiri studi-studi ke-layakan untuk membuat dua lagi satelit inderaja yaitu: CBERS-3 dan CBERS-4, yang direncanakan akan di-luncurkan masing-masing pada tahun 2010 dan 2012, dengan sensor-sensor yang baru. Pada CBERS-3 dan 4, kamera CCD yang ada pada CBERS-1, 2, dan 2B, akan digantikan dengan yang mempunyai resolusi spasial 5 meter. Kedua satelit juga akan membawa perekam data solid-state digital untuk keempat pencitra yaitu sepasang kamera CCD, salah satunya Pankromatik dan satu lagi multi-spektral, ditambah satu versi lanjut dari pencitra Infrared Multispectral dan Wide Field Imager.

Lembaga yang tegabung dalam program CBERS adalah untuk Brazil: INPE - National Institute for Space Research, sebagai penanggung jawab pengembangan, dan AEB, Brazilian Space Agency, sebagai penanggung jawab sektor industri. Untuk China: CAST (Chinese Academy for Space Technolog), sebagai penanggung jawab pengembangan, CNSA (China National Space Administration), CRESDA (China Center for Resources Satellite Data and Applications), bertanggung jawab atas citra permukaan bumi, dan CLTC (China Satellite and Tracking General), bertanggung jawab atas stasiun/ kontrol bumi. Pembagian tanggung jawab antara China dan Brazil adalah: Brazil menyumbang 30% dari total in-vestasi dan sisanya China yakni sebesar 70%.

Satelit CBERS-1, 2 dan 2B dirancang untuk cakupan global dan melakukan observasi optik dengan orbit sink-ron matahari pada ketinggian 778 km, menyelesaikan sekitar 14 putaran bumi setiap harinya dan dilengkapi dengan suatu Transponder Sistem Pengumpulan Data untuk mengumpulkan data sumber daya alam dan ling-kungan. Waktu matahari lokal pada saat melewati ekua-tor adalah 10.30 pagi, sehingga menghasilkan kondisi iluminasi matahari yang sama dari citra yang diambil di-hari yang berbeda. Karakteristik teknis orbit seri satelit satelit CBERS ditunjukkan di dalam Gambar 1.

Sistem satelit CBERS-1, 2 dan 2B terdiri dari dua modul, yaitu: Modul Payload dan Modul Pelayanan. Modul Payload menyimpan sistem optik dan elektronik yang digunakan untuk observasi bumi dan pengumpulan data, mendukung pelaksanaan fungsi kamera, merekam dan mentransmisikan data citra, serta mendukung fung-si transponder untuk Sistem Pengumpulan Data Ling-kungan Brazil (Brazilian Environmental Data Collection System). Modul Payload terdiri dari subsistem: 1) High

Resolution CCD Camera (HRCC) (pada satelit CBERS-1, 2, 2B), 2) Infrared Multispectral Scanner (IR-MSS) (han-ya pada CBERS-1 dan 2), 3) Wide Field Imager (WFI) (pada satelit CBERS-1, 2, 2B) dan High-Resolution Pan-chromatic Camera (HRC) (hanya dalam CBERS-2B), 4) Pentransmisi Data Citra, 5) Transponder untuk Sistem Pengumpulan Data Lingkungan Brazil, dan 6) Peman-tauan Lingkungan Antariksa.

Modul Pelayanan melakukan fungsi penyediaan persediaan energi, kontrol, komunikasi pelayanan, su-pervisi pada satelit (onboard) dan fungsi-fungsi lainnya yang diperlukan untuk operasi satelit. Modul ini terdiri dari subsistem: 1) Struktur, 2) Kontrol Termal, 3) Kon-trol Orbit dan Sikap Satelit (Orbit and Attitude Control), 4) Persediaan Energi, 5) Supervisi Pada Satelit (On-Board Supervision), dan 6) Telekomunikasi Pelayanan. Tenaga listrik 1100 W yang diperlukan untuk mengop-erasikan peralatan pada satelit, diperoleh melalui panel surya yang dibuka pada saat satelit tersebut berada di orbit dan secara kontinu diorientasikan ke arah matahari secara automatik. Untuk menghasilkan akurasi pengara-han (pointing) yang tinggi, yang diperlukan oleh sistem sensor citra-citra resolusi tinggi dari jarak kira-kira 800 km, satelit tersebut dilengkapi dengan suatu Sistem Kon-trol Sikap Satelit (Attitude Control System) yang sensitif yang juga digabung dengan satu set pendorong (thrust-ers) hydrazine, yang juga akan digunakan pada manu-ver koreksi orbit. Data internal yang digunakan untuk memantau kesehatan satelit dikumpulkan dan diproses oleh sistem komputer terdistribusi sebelum data terse-but dtransmisikan ke bumi. Sistem Kontrol Termal aktif dan passif menghasilkan kondisi lingkungan yang tepat untuk operasi peralatan pada satelit. Karakteristik tek-nis satelit CBERS-1, 2 dan 2B ditunjukkan pada Tabel 1, dan Struktur/Komponen satelit CBERS-1, 2 ditunjukkan pada Gambar 2.

Pembuatan Subsistem Modul Pelayanan dan Modul Payload dilakukan oleh masing-masing negara Brazil dan China sesuai dengan tanggung jawabnya masing-mas-ing. Selain menyediakan subsistem-subsistem di bawah tanggung jawabnya secara langsung, Brazil juga menye-diakan beberapa peralatan untuk beberapa subsistem di bawah tanggung-jawab China, antara lain: Unit-unit Terminal-terminal Pusat (Central Terminals Units) dan Unit-unit Terminal Jarak Jauh (Remote Terminal Units) untuk Subsistem-subsistem Supervisi Pada Satelit (On-

Page 48: Berita Inderaja 14

48 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Board Supervision Subsystem), Solid State Power Ampli-fi er untuk Pentransmisi Data Citra dan Komputer Pen-gontrol Orbit.

Ketinggian Orbit: 778 km, Inklinasi: 98.504ºPeriode: 100,26 min.

Gambar 1. Konfi gurasi satelit dan Karakteristik teknis orbit serial satelit satelit CBERS

Tabel 1. Karakteristk Teknis Satelit Cbers-1, 2, dan 2B

Karakteristik yang unik dari satelit CBERS-1,2 dan 2B adalah payload multi-sensornya dengan resolusi spa-sial dan frekuensi pengumpulan citra yang berbeda. Sen-sor berupa Kamera Pencitra Medan Luas (Wide Field Imager - WFI) (pada satelit CBERS-1, 2, 2B) beroperasi

Satelit CBERS-1, 2 , 2BNegara China, BrazilJenis/ Aplikasi Observasi BumiMassa Total 1450 KgMenghasilkan Power 1100 WBaterei 2 X 30 Ah NicdDimensi Tubuh Satelit (1.8 X 2.0 X 2.2) MDimensi Panel Matahari 6.3 X 2.6 MKetinggian Orbit Sinkron Matahari 778 Km

Sensor CCD, WFI, IRMSS (#1, 2) HRC (#2B)

Propulsi Hydrazine 16 X 1 N; 2 X 20 NStabilisasi 3 AxisSupervisi Pada Satelit ( Onboard) DidistribusikanKomunikasi Pelayanan (TT&C) Kanal UHF Dan SUmur Satelit ( Lifetime) (0.6 Reliabilitas) 2 Tahun

pada dua kanal spektral (merah dan inframerah), meng-hasilkan citra dengan lebar liputan 890 km dengan suatu pandangan sinoptik dengan resolusi spasial 260 meter. Permukaan bumi secara lengkap diliput dalam 5 hari. Sensor pencitra berupa Kamera CCD Resolusi Tinggi (High Resolution CCD Camera – HRCC) menghasilkan citra dengan lebar liputan 113 km dan resolusi spasial 20 meter. Kamera HRCC beroperasi dalam 5 kanal spektral yang terdiri dari: tiga kanal tampak, satu kanal infram-erah dekat, dan satu kanal Pankromatik. Kedua kanal spektral WFI juga terdapat dalam kamera HRCC untuk melengkapi data dari dua jenis citra inderaja tersebut. Karena kamera ini memiliki kemampuan pengarahan ke samping (sideways pointing) sebesar ± 32 derajad, menjadikannya mampu mengambil citra stereoskopik pada suatu wilayah tertentu. Di samping itu, fenomena apapun yang dideteksi oleh WFI dapat ‘diperbesar’ den-gan pandangan oblique kamera CCD dengan maksimum waktu tunda tiga hari. Satu siklus cakupan lengkap ka-mera HRCC membutuhkan waktu 26 hari.

Sensor pencitra Infrared Multispectral Scanner (IRMSS) hanya terdapat dalam CBERS-1 dan 2, tetapi tidak ada dalam CBERS-2B. IRMSS beroperasi dalam 4

kanal spektral, termasuk di dalamnya satu kanal Pankromatik, dan memperluas caku-pan spektral citra hingga kisaran infram-erah termal. IRMSS menghasilkan citra dengan lebar liputan 120 km dengan resolu-si spasial 80 meter (160 meter untuk kanal inframerah termal). Dalam 26 hari mampu memperoleh cakupan lengkap permukaan bumi yang dapat dikorelasikan dengan ci-tra-citra kamera CCD. Karakteristik teknis sensor-sensor: kamera WFI, kamera CCD dan IRMSS pada seri satelit CBERS, serta karakteristik data citranya ditunjukkan pada Tabel 2. Contoh citra satelit CBERS menggunakan kamera WFI, kamera CCD dan Kamera IRMSS ditunjukkan masing-masing pada Gambar 3, 4 dan 5.

Kamera Pankromatik Resolusi Tinggi (High Resolution Panchromatic Camera - HRC) berop-erasi dalam kanal spektral tunggal: 0,50 – 0,80 µm (Pan-kromatik). HRC hanya ada dalam CBERS-2B (tidak ada dalam CBERS-1 dan 2). HRC menghasilkan citra dengan lebar liputan 27 km dengan resolusi spasial 2.7 meter,

Page 49: Berita Inderaja 14

49BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

yang memungkinkan observasi objek-objek permukaan bumi dengan detil dan luas. Dengan lebar liputan 27 km, lima kali siklus 26 hari diperlukan bagi HRC untuk mencakup 113 km lebar liputan satu citra standar CCD. Dengan kemampuan seperti ini sangatlah mungkin un-tuk memperoleh, setiap 130 hari, satu cakupan lengkap suatu negara untuk dikorelasikan dengan yang diperoleh kamera CCD, yang dalam periode tersebut, sudah akan mencakup negara tersebut sebanyak lima kali.

Sensor Penginderaan Jauh

Kamera CCD Resolusi Tinggi (High Resolution CCD Camera-HRCC)(pada satelit CBERS-1, 2, 2B)

Kamera IRMSS (Infrared Multispectral Scanner Camera-IRMSS) (hanya pada CBERS-1 dan 2)

Kamera WFI (Wide Field Imager Camera-WFI) (pada satelit CBERS-1, 2, 2B)B )

Medan pandang (FOV) 8.3º 2.1º 60º

Kanal Spektral

0,51 – 0,73 µm (pan) 0,45 – 0,52 µm (biru) 0,52 – 0,59 µm (hijau) 0,63 – 0,69 µm (merah) 0,77 – 0,89 µm (inframerah dekat)0.5- 0.8 µm (PanKro HRC, hanya pd. CBERS-2B)

0.50 – 1.10 µm (pan) 1.55 – 1.75 µm 2.08 – 2.35 µm 10.40 – 12.50 µm

0.63 – 0.69 µm (merah)0.77 – 0.89 µm (inframerah)

Resolusi spasial 20 x 20 mPanKro HRC 2.7x2.7 m

80 x 80 m (160 x 160 m termal, malam)

260 x 260 m

Resolusi Suhu 1.2 º KResolusi temporal 26 hari (arah nadir)

3 hari (arah samping maksimum) 26 hari 5 hari

Lebar liputan satu citra di permukaan bumi.

113 kmPanKro HRC 27 km

120 km 890 km

Kemampuan pointing cermin

±32º

Kecepatan bit data citra 2 x 53 Mbit/detik

6.13 Mbit/detik 1.1 Mbit/detik

Frequensi pembawa RF 8103 MHz and 8321 MHz 8216.84 MHz 8203.35 MHzEIRP 43 dBmUmur satelit Dua tahun

Penanganan data payload CBERS dilaksanakan oleh Pusat Aplikasi dan Data Satelit Sumber Alam China (China Centre for Resources Satellite Data and Applica-tion - CRESDA) di China, dan INPE di Brazil. Keduanya beroperasi secara mandiri satu sama lain. CRESDA men-ggunakan data yang dikumpulkan dari stasiun stasiun penerima data citra di China, dan INPE menerima di counterpart Brazilia.

Produk-produk citra INPE disediakan kepada para

Gambar 2. Struktur/Komponen-komponen satelit CBERS-1, 2.

1. Modul Pelayanan2. Sensor Matahari3. Kumpulan Pendorong

(Thruster Assembly) 20N4. Kumpulan Pendorong (Thruster Assembly) 1N5. Dinding Bagian Tengah6. Antenna Penerima UHF7. Infrared Scanner (IRMSS)8. AntennaPemancar IR9. AntennaPemancar VHF

10. Antenna UHF Tx/Rx11. Antenna Kanal- S (DCS)12. Antenna Pemancar CCD13. AntennaPemancar UHF14. KameraCCD15. Antenna Kanal- S(TT&C)16. Modul Payload17. Array Matahari18. Antenna Kanal- S (TT&C)19. Antenna Penerima UHF20. WFI

Tabel 2. Karakteristik Teknis Sensor Inderaja Pada Serial Satelit CBERS

Page 50: Berita Inderaja 14

50 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

pengguna melalui sistem browsing online, yang dikem-bangkan oleh suatu perusahaan Brazil. Para pengguna dapat menyampaikan pertanyaan melalui internet, me-mvisualkan sampel pada daerah target yang terpilih, me-mesan produk yang menarik bagi mereka, dan meneri-ma data citra melalui e-mail. INPE melakukan perolehan kembali data citra pada stasiun penerimanya di Cuiabá, mengarsipkan dan mengolah data di INPE Pusat, dan penyebaran produk dari cabangnya di Cachoeira Pau-lista. Data DCS (Data Collection Subsystem) lingkungan diterima pada stasiun-stasiun penerima data di Cuiabá dan Alcântara, yang membagi infrastruktur yang sama pada sistem TT&C (Telemetry, Tracking and Control). Data ini ditransfer ke Cachoeira Paulista untuk diolah, digunakan dan didesiminasikan.

Untuk mengaplikasikan data serial satelit CBERS ke dalam berbagai bidang secara efektif, sangat diperlukan kajian mengenai kualitas data dan riset demonstrasi apli-kasi data CBERS. Sehubungan dengan hal itu, Zhao, et al., 2001, dari Nanjing Institute of Geography and Lim-nology, Chinese Academy of Sciences, dan Wua,X., et al,

2001 dari China Centre for Resource Satellite Data and Application (CRESDA) melakukan studi untuk menge-valuasi kualitas data CBERS-1 dengan mengaplikasikan data tersebut ke berbagai bidang secara efektif. Hasil evaluasi kualitas data CBERS-1 menunjukkan bahwa data CBERS-1 dijamin dapat dimanfaatkan dan lebih baik dari data TM Landsat, dan data kamera CCD (HRCC) - CBERS-1 dapat digunakan dalam berbagai bidang, se-perti Penggunaan/ Tutupan Lahan, Tutupan Hutan, Ge-ologi dan Pertanian, dan lain-lain, yang dapat dimanfaa-tkan untuk membantu mendukung pengembangan sum-berdaya alam. Antunes (2001) di dalam Leila M.G et al, 2003 meringkaskan empat cabang aplikasi utama dara-tan yang dapat didukung secara keilmuan menggunakan citra-citra kamera CCD ( HRCC) kanal 2, 3 dan 4 yaitu: 1) Pertanian dan Sumberdaya Kehutanan, 2) Analisis Lingkungan, 3) Evaluasi dan Manajemen Batas Air, dan 4) Evaluasi, Pemantauan dan Manajemen Sumberdaya air. Leila M.G et al, 2003 dari National Institute for Space Research. (INPE) mempresentasikan beberapa aplikasi CBERS-1 yang dilaksanakan di Brazil, diantaranya: Pe-

Gambar 3. Contoh Citra kamera WFI CBERS-2: Bendungan Itaipu.

Page 51: Berita Inderaja 14

51BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Gambar 5. Contoh Citra kamera IRMSS - CBERS-2: Pemandangan Vale do Rio Açu yang berlokasi di Rio Grande de Norte State.

Gambar 4. Contoh citra kamera CCD resolusi tinggi - CBERS-2: Wilayah Man.

Page 52: Berita Inderaja 14

52 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

mantauan penebangan hutan, Perencanaan penggunaan lahan, Peta-peta citra. Contoh Peta Citra Negara bagian Sao Paulo menggunakan citra WFI – CBERS-1 ditun-jukkan pada Gambar 6.

Data citra Wide Field Imager (WFI) dapat diaplikasi-kan untuk bermacam bidang seperti: 1) Mosail-mosaik skala besar, 2) Deteksi perubahan penutup lahan dan In-deks Vegetasi untuk tujuan pemantauan, 3) Pemantauan masa panen pertanian, 4) Penilaian canopy, 5) Tree gra-ding, 6) Penebangan hutan, 7) Kehutanan, 8) Kebakaran

Gambar 6. Peta Citra Negara bagian Sao Paulo dalam skala jutaan memperlihatkan mosaik WFI (940 km) dengan luas sekitar 240.000 km persegi. Waktu antara akuisisi bingkai pertama dan

terakhir adalah 30 hari atau 6 rekaman berurutan

hutan/wildfi res, dan infestasion, 9) Operasi bersama den-gan data dunia lain.

Data citra High Resolution CCD Camera (HRCC) dapat diaplikasikan untuk bermacam bidang, seperti: 1) Vegetasi, 2) Pertanian, 3) Lingkungan, 4) Perairan, 5) Kartografi , 6) Geologi dan tanah.

Data citra Infrared Multispectral Scanner (IR-MSS) (hanya dalam CBERS-1 dan 2) dapat diaplikasikan untuk bermacam bidang seperti: 1) Analisis modifi kasi tempe-ratur permukaan, 2) Mosaik-mosaik skala luas.

Page 53: Berita Inderaja 14

53BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Pemanfaatan teknologi satelit penginderaan jauh untuk pemantauan lingkunngan dan cuaca meru-pakan hajat hidup masyarakat dalam mengelola

kehidupannya. Sejak dikembangkannya satelit pengin-deraan jauh untuk pemantauan lingkungan dan cuaca oleh Amerika Serikat dalam hal ini NASA (National Aero-nautics and Space Administration) seperti satelit NOAA (National Oceanic Atmospheric Administration), Jepang seperti satelit GMS (Geo-Stationary Meteorological Satel-lite) dan lain sebagainya, kesinambungan satelit lingkun-gan dan cuaca tersebut menjadi keharusan sesuai dengan meningkatnya kebutuhan informasi lingkungan.

Indonesia sejak awal tahun 1970-an telah melihat ke-butuhan data satelit lingkungan dan cuaca menjadi pent-ing. Oleh karena itu, LAPAN membangun stasiun bumi lingkungan dan cuaca agar dapat menerima data satelit NOAA hingga kini. Perkembangan satelit lingkungan dan cuaca yang dikembangkan NASA maju sedemikian pesatnya, dengan dibuatnya satelit generasi riset Terra dan Aqua dengan berbagai macam sensor untuk berb-agai aplikasi pemantauan lingkungan. Kemudian dikem-bangkan generasi satelit operasional yaitu NPOESS (Na-tional Polar-orbiting Operational Environmental Satellite System). Sebelum beroperasinya satelit NPOESS terse-but, dibangunlah satelit riset yang bersifat semi opera-sinal yaitu satelit NPP (NPOESS Preparatory Project).

NPP merupakan misi kerjasama program antara Badan Antariksa NASA, IPO (Integrated Program Offi ce) dan NOAA. NPP merupakan proyek persiapan satelit sebelum diluncurkannya satelit NPOESS. Dengan per-timbangan efektivitas dan kesinambungan misi satelit.

Program Satelit Lingkungan Orbit Polar NPOESS Preparatory Project (NPP)

Pasca Satelit Terra dan AquaOleh: Ali Syahputra Nasution*, Islam W. Bagdja*, Suhermanto*

Dony Kushardono*** Peneliti Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN

** Kepala Bidang Pengembangan Teknologi Penginderaan Jauh LAPAN

NPP dimaksudkan untuk menggabungkan beberapa misi generasi satelit lingkungan sebelumnya yang ter-pisah antara misi militer dengan satelit DMSP (Defense Meteorological Satellite Program) dan misi sipil dengan satelit NOAA dan MODIS-TERRA/AQUA.

Satelit NPP direncanakan akan diluncurkan sekitar tahun 2010 dari Western Range di pangkalan angkatan udara Vandenberg dari SLC-2, California, dengan meng-gunakan peluncur Boeing Delta II-7920-10. Satelit NPP akan membawa misi antara lain sebagai berikut :a. Menjadi satelit transisi antara EOS (Earth Observing

System) NASA meliputi Terra, Aqua, dan Aura den-gan NPOESS.

b. Melanjutkan perekaman data observasi lingkungan dan iklim global yang telah dilakukan oleh satelit EOS NASA sebelumnya.

c. Menjadi sarana uji coba sensor-sensor yang telah dikembangkan dengan cara mendemonstrasikan dan memvalidasi instrumen baru dan algoritma pemrosesan data guna mengurangi resiko kegaga-lan operasi.

Satelit NPP akan diluncurkan pada orbit polar sun-synchronous dengan ketinggian = 824 km, inklinasi = 98.7º, periode = 101 menit, melintasi ekuator (khatulis-tiwa) pada jam 10.30 ± 10 menit (descending node). Satelit NPP direncanakan akan beroperasi selama 5 tahun. Data seluruh perekaman pertiap putaran akan dikirimkan (downlink) ke stasiun bumi Svalbard Norwegia, sedang seluruh data misi akan dikirimkan keseluruh stasiun bumi yang dilintasi secara real time direct broadcast me-

Page 54: Berita Inderaja 14

54 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

lalui X-band. Ilustrasi satelit NPP terlihat seperti gambar 1. Satelit NPP akan membawa empat buah sensor seb-agai berikut :

Gambar 1. Illustrasi Satelit NPP

• Visible/Infrared Imager and Radiometer Suite (VIIRS)

VIIRS menggambarkan kemampuan terbaik dari sensor-sensor observasi bumi yang bersifat riset mau-pun operasional yang sekarang ada. Sensor VIIRS ber-fungsi mengumpulkan data radiometrik dan citra visible/infrared. Tipe data yang dikumpulkan meliputi atmosfer, awan, radiasi bumi, permukaan air/udara bersih, suhu permukaan laut, ocean color dan citra visible resolusi ren-dah. Gambar 2 memperlihat ilustrasi dari sensor VIIRS.

Sensor VIIRS mempunyai 22 kanal multispektral yang terdiri 9 kanal Visible/Near IR, 8 kanal Middle Wave

IR, 4 kanal Long Wave IR, dan 1 kanal DayNight. Ke-22 kanal tersebut memiliki resolusi 370 m dan 740 m. Sensor ini didesain berbasis beberapa sensor seperti Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) dari NOAA, MODIS dari NASA Terra/Aqua , serta Operational Lin-escan Sensor (OLS) dari DMSP. Sensor ini memiliki le-bar sapuan 3040 km, massa 275 kg, mengkonsumsi pow-er maksimum sebesar 240 W, dan laju data maksimum 10.5 Mbps. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan distribusi kanal spektral sensor VIIRS dan Environmental Data Re-cords (EDRs) yang akan dihasilkan.

• Cross-Track Infrared Sounder (CrIS)Bersama dengan ATMS, sensor CrIS berfungsi

mengumpulkan data atmosfer yang diperlukan dalam perhitungan profi l suhu dan kelembaban udara dengan resolusi temporal (harian) yang tinggi. Permukaan bumi dapat diliput dalam periode 2 sampai dengan 3 hari. Data tersebut akan digunakan untuk model prediksi cuaca baik global maupun regional seperti prediksi pola cuaca, jalur badai dan curah hujan. Dibandingkan dengan sen-sor HIRS (High-resolution Infrared Radiation Sounder) pada satelit POES (Polar-orbiting Operational Environ-mental Satellite System) dengan 20 buah kanal infrared yang mampu menyediakan karakteristik profi l suhu at-mosfer dengan akurasi suhu antara 2 – 3 K, sensor CrIS menyediakan lebih dari 1000 kanal spektral (hyperspec-tral) infrared pada arah resolusi spasial horisontal dan dapat mengukur profi l suhu vertikal dengan akurasi mendekati 1 K (pada skala suhu mutlak). Akurasi tinggi tersebut mampu meningkatkan kualitas model suhu yang dihasilkan oleh senor CrIS.

Sensor ini bekerja pada panjang gelombang 3,92 – 15,38 μm. Selain itu sensor ini memiliki massa 152 kg,

Gambar 2. Ilustrasi Sensor VIIRS.

Page 55: Berita Inderaja 14

55BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

mengkonsumsi power maksimum sebesar 245 W dan laju data maksimum 1,8 Mbps. Gambar 3 di bawah ini memperlihatkan ilustrasi dari sensor CrIS.

• Advaned Technology Microwave Sounder (ATMS)

Sensor ini pada dasarnya merupakan gabungan sen-sor gelombang mikro-pasif yaitu antara AMSU (Advance Microwave Sounding Unit)-A1/A2 dan AMSU-B/MHS (Microwave Humidity Sounding) dengan tujuan mengu-rangi konsumsi energi yang diperlukan dan memperke-cil ukuran massa (menjadi ⅓ kali ukuran instrument mi-crowave sounder pada satelit POES dan AQUA). Sensor ATMS digunakan untuk mengukur energi gelombang mikro yang dipancarkan atau dihamburkan oleh atmos-fer, yang jika dikombinasikan dengan sensor CrIS akan mampu mengamati temperature atmosfer global harian, uap air (embun) dan profi l tekanan udara. Hal ini sama seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

ATMS juga merupakan radiometer gelombang mi-kro dengan teknik scanning whiskbroom (cross-track), dengan resolusi spasial 1.5 km. Detektornya terbagi menjadi 22 buah kanal yang berada pada rentang frekue-

Tabel 1. Distribusi Kanal Spektral Sensor VIIRS.

Gambar 3. Ilustrasi Sensor CrIS

Page 56: Berita Inderaja 14

56 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

ChannelCenter

frequency (GHz)

Max. bandwidth

(GHz)

Center frequency

stability (MHz)

Temp. sensitivity NEDT (K)

Calibration accuracy (K)

Static beamwidth (º)

Quasi polarization

Characterization at nadir(reference only)

1 23.8 0.27 10 0.9 2.0 5.2 QV Window-waterVapor 100 mm

2 31.4 0.18 10 0.9 2.0 5.2 QV Window-waterVapor 500 mm

3 50.3 0.18 10 1.20 1.5 2.2 QH Window-surfaceEmissivity

4 51.76 0.40 5 0.75 1.5 2.2 QH Window-surfaceEmissivity

5 52.8 0.40 5 0.75 1.5 2.2 QH Surface air

6 53.596 ±0.115 0.17 5 0.75 1.5 2.2 QH 4 km ~700 mb

7 54.40 0.40 5 0.75 1.5 2.2 QH 9 km ~ 400 mb

8 54.94 0.40 10 0.75 1.5 2.2 QH 11 km ~ 250 mb

9 55.50 0.33 10 0.75 1.5 2.2 QH 13 km ~ 180 mb

10 57.290344 0.33 0.5 0.75 1.5 2.2 QH 17 km ~ 90 mb

11 57.290344 ±0.217 0.078 0.5 1.20 1.5 2.2 QH 19 km ~ 50 mb

12 57.290344 ±0.3222 ±0.048

0.036 1.2 1.20 1.5 2.2 QH 25 km ~ 25 mb

nsi 23 – 183 GHz. Ke-22 kanal ini dikelompokkan lagi ke dalam dua grup, yaitu grup frekuensi rendah (23 – 57 GHz) dan grup frekuensi tinggi (88 – 183 GHz). Kanal dengan frekuensi rendah (kanal 1 – 15) digunakan un-tuk mengukur temperatur udara, sedangkan kanal den-gan frekuensi tinggi (kanal 16 – 22) digunakan untuk mengukur kelembaban udara (profi l uap air). Sensor ATMS memiliki massa 85 kg, mengkonsumsi power maksimum sebesar 160 W, dan laju data maksimum 30 Kbps (maksimum). Gambar 4 di bawah ini memperlihat-kan ilustrasi sensor ATMS.

Gambar 4. Ilustrasi Sensor ATMS

Tabel 2 di bawah menunjukkan karakteristik mas-ing-masing kanal pada sensor ATMS.

• Ozone Mapping and Profi ler Suite (OMPS)OMPS merupakan sensor yang berfungsi memantau

kandungan ozon di ruang angkasa. OMPS mengumpul-kan profi l vertikal dan kolom total data ozon serta meng-hasilkan data kontinyu ozon global harian melalui sistem pemantauan ozon secara langsung, yaitu berupa instru-men SBUV/2 (Solar Backscatter Ultaviolet Radiometer) dan TOMS (Total Ozone Mapping Spectrometer) dengan akurasi yang lebih tinggi. Data ini digunakan untuk me-mantau penipisan lapisan ozon.

Sensor nadir menggunakan teleskop pushbroom dengan sudut pandang yang lebar untuk menjangkau dua buah spektrometer yang terpisah. Total nadir spek-tometer kolom (mapper) mampu mengukur radiansi an-tara 300 – 380 nm dengan resolusi 1 nm yang disampling pada panjang gelombang 0.42 nm. Sementara sensor limb dengan along-track limb digunakan untuk mengu-kur radiansi matahari yang terhambur dengan sampling sejauh 1 km pada rentang panjang gelombang 290 – 1000 nm. Tiga sampel slit vertical limb pada interval 250 km. Tiga slit tersebut akan diumpan menjadi citra ke dalam satu CCD (charge couple device).

Sensor ini memiliki lebar sapuan 2600 km, massa 63 kg, mengkonsumsi power maksimum sebesar 97 W, dan laju data maksimum 190 Kbps. Gambar 5 di bawah mem-perlihatkan ilustrasi sensor OMPS.

Tabel 2. Karakteristik Kanal Spektral pada Sensor ATMS.

Page 57: Berita Inderaja 14

57BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

13 57.290344 ±0.3222±0.022

0.016 1.6 1.50 1.5 2.2 QH 29 km ~ 10 mb

14 57.290344 ±0.3222±0.010

0.008 0.5 2.40 1.5 2.2 QH 32 km ~ 6 mb

15 57.290344 ±0.3222±0.0045

0.003 0.5 3.60 1.5 2.2 QH 37 km ~ 3 mb

16 87-91 2.0 200 0.5 2.0 2.2 QV Window H2O 150 mm

17 166.31 2.0 200 0.6 2.0 1.1 QH H2O 18 mm

18 183.31±7.0 2.0 100 0.8 2.0 1.1 QH H2O 8 mm

19 183.31±4.5 2.0 100 0.8 2.0 1.1 QH H2O 4.5 mm

20 183.31±3.0 1.0 50 0.8 2.0 1.1 QH H2O 2.5 mm

21 183.31±1.8 1.0 50 0.8 2.0 1.1 QH H2O 1.2 mm

22 183.31±1.0 0.5 30 0.9 2.0 1.1 QH H2O 0.5 mm

Gambar 5. Ilustrasi Sensor OMPS

NPP akan menghasilkan tiga jenis produk yaitu :• Raw Data Records (RDRs) :

sama dengan produk level 0 EOS NASA

• Sensor Data Records (SDRs) : sama dengan produk level 1B EOS NASA

• Environmental Data Re-cords (EDRs) : sama dengan produk level 2 EOS NASA

Produk level 2 (EDRs) yang dihasilkan oleh sensor-sensor satelit NPP seperti yang terlihat pada gambar 6 yaitu sejumlah 24 EDRs. Dari gambar 6 di bawah terlihat bahwa sensor VIIRS menghasilkan 20 EDRs. Sensor CrIS bersama dengan sensor ATMS menghasilkan 3 EDRs

dan sensor OMPS menghasilkan 1 EDRs.Gambar-gambar di bawah ini memperlihatkan be-

berapa contoh data simulasi yang akan dihasilkan oleh sensor satelit NPP dibandingkan dengan satelit lingkun-gan orbit polar lainnya.

Pada tulisan ini hanya diperlihatkan data simulasi berikut perbandingannya antara sensor VIIRS dengan NOAA, sedangkan untuk sensor CrIS, ATMS dan OMPS tidak dijelaskan.

Gambar 6. NPP EDRs

Page 58: Berita Inderaja 14

58 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Gambar 7. Perbandingan Citra visible simulasi Sensor AVHRR NOAA dan Sensor VIIRS NPP pada Posisi Nadir.

Gambar 7 di atas merupakan simulasi sensor AVHRR satelit NOAA dan sensor VIIRS satelit NPP pada posisi nadir. Citra simulasi diperoleh dari satelit Landsat yang didasarkan pada panjang gelombang yang sama atau berdekatan dengan kanal sensor AVHRR dan VIIRS. Ter-lihat bahwa citra simulasi sensor VIIRS lebih baik kuali-tasnya daripada citra simulasi sensor AVHRR.

Gambar 8. Perbandingan Citra visible simulasi Sensor AVHRR NOAA dan Sensor VIRRS NPP pada Posisi Edge of Scan

Pada gambar 8 diatas terlihat bahwa citra AVHRR menurun kualitasnya pada posisi edge of scan sedangkan VIIRS akan menjaga kualitas (resolusi) sampai keselu-ruhan scan.

Gambar 9 merupakan simulasi kanal visible satelit NOAA-17 dan satelit NPP. Citra simulasi diperoleh dari MODIS Aqua yang didasarkan pada panjang gelombang yang sama atau berdekatan dengan satelit NOAA-17 dan NPP. Terlihat bahwa satelit NPP memiliki resolusi spasial yang lebih tinggi sehingga kualitas citra yang di-hasilkan lebih baik daripada NOAA-17.

Berikut diperlihatkan beberapa contoh keluaran citra informasi (EDRs) yang akan dihasilkan oleh sen-sor-sensor satelit NPP. Dimana ditunjukan bahwa dari sensor satelit NPP akan dapat dihasilkan berbagai in-

Gambar 9. Perbandingan citra simulasi sensor satelit NOAA-17 (kiri) dan satelit NPP (kanan).

formasi yang akan bisa dipergunakan untuk berbagai aplikasi seperti pemantauan cuaca, lingkungan atmosfer dan fi sik perairan hingga produksi informasi untuk men-dukung penangkapan ikan di laut.

Gambar 10. VIIRS Land Surface Temperature.

Land Surface Temperature merupakan suhu luar dari lapisan paling atas permukaan daratan. EDR ini hanya diperlukan untuk sel-sel horizontal dimana sel dan se-luruh sel tetangganya dikategorikan sebagai kondisi bebas dari tutupan awan. EDR ini menyediakan pengu-kuran suhu untuk daerah inland (navigable water) dan coastal water.

Page 59: Berita Inderaja 14

59BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Gambar 13. VIIRS Aerosol Optical Thickness.

Aerosol Optical Thickness (AOT) merupakan pemu-nahan (hamburan + penyerapan) suspensi partikel cair atau padat di atmosfer pada narrow band sekitar panjang gelombang tertentu.

Gambar 14. CrIS/ATMS Atmospheric Vertical Temperature Profi le.

Atmospheric Vertical Temperature Profi le merupakan serangkaian perkiraan suhu atmosfer rata-rata sel tiga dimensi yang terpusat pada titik-titik tertentu sepanjang suatu vertikal lokal. EDR ini dibutuhkan dalam kondisi cerah, sedikit berawan dan berawan.

Gambar 11. VIIRS Sea Surface Temperature.

Sea Surface Temperature (SST) merupakan pengu-kuran suhu air laut pada lapisan batas permukaan (skin) dan 1 meter lebih atas (bulk).

Gambar 12. VIIRS Cloud Base Height.

Cloud Base Height (CBH) merupakan ketinggian di atas permukaan laut saat cloud base terjadi.

CBH = Ketinggan awan paling atas – Ketebalan awan

Page 60: Berita Inderaja 14

60 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Gambar 15. CrIS/ATMS Atmosheric Vertical Moisture Profi le.

Atmospheric Vertical Moisture Profi le merupakan serangkaian perkiraan mixing ratio rata-rata dalam sel tiga dimensi yang terpusat pada titik-titik tertentu sepan-jang suatu vertikal lokal. Mixing ratio pada suatu sample udara adalah rasio sample uap air dalam sample dengan massa udara kering dalam sample. Satuan mixing ratio adalah g/kg. EDR ini dibutuhkan dalam kondisi cerah, sedikit berawan dan berawan.

Gambar 16. OMPS Ozone Total Column

Ozone Total Column (TC) merupakan jumlah ozone dalam vertikal kolom atmosfer yang diukur dalam satu-an Dobson.

Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa : 1. NPOESS merupakan satelit operasional kelanjutan

satelit NOAA yang teknologinya sangat berbeda dengan satelit yang operasional saat ini (NOAA). Un-tuk itu diperlukan serangkaian uji coba dan testing melalui beberapa tahap yang dimulai dari generasi satelit EOS (Terra, Aqua).

2. NPP merupakan satelit yang menjembatani antara satelit generasi EOS yang bersifat research (Terra, Aqua) menuju satelit operasional NPOESS. Sedan-gkan sensor-sensor yang akan dibawa satelit NPP kelak sama dan merupakan sebagian dari beberapa sensor yang akan dibawa satelit NPOESS.

3. Terkait dengan perubahan iklim global, instrumen satelit NOAA yang dioperasionalkan mulai tahun 1970, telah tidak sesuai lagi dengan konsep penggu-naan pasangan satelit pada satelit NOAA. Dan saat ini telah menjadi 1 sistem yang terintegrasi, yaitu: satelit NPOESS. Sehingga bisa dikatakan, bahwa dengan diluncurkannya satelit NPP akan memberi-kan manfaat yang luas dan dapat menambah kemam-puan satelit-satelit lingkungan yang sudah ada.

Page 61: Berita Inderaja 14

61BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di wilayah katulistiwa sangat rentan terhadap peruba-han iklim global, khususnya yang saat ini sudah mu-

lai dirasakan sebagai akibat terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim ini yang dinyatakan dengan adanya peningkatan suhu bumi yang menimbulkan terjadinya peningkatan curah hujan, sebagai akibat pemanasan glo-bal yang disebabkan oleh kenaikan gas-gas rumah kaca terutama karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Pengamatan suhu global sejak abad 19 menunjukkan adanya perubahan, rata-rata suhu naik hingga 0,74° C terjadi pada tahun 1906 hingga tahun 2005. (Solomon, et.al.,2007). Perubahan suhu rata-rata ini ditandai de-ngan adanya gejala alam, salah satu gejala alam tersebut adanya kejadian siklon.

Siklon adalah sebuah wilayah atmosfer bertekanan rendah, bercirikan terjadinya pusaran angin yang ber-putar berlawanan dengan arah jarum jam untuk wilayah di belahan bumi utara dan sebaliknya di belahan bumi selatan (UCAR dan BBC Weather, 2006). Siklon merupa-kan gejala alam yang berlangsung secara periodik, yaitu berupa cuaca buruk yang merusak dan sangat mengan-cam kehidupan manusia. Siklon tropis sangat berbahaya karena energi perusaknya berupa angin berkecepatan tinggi, hujan deras, badai petir yang seringkali disertai banjir, tornado, dan tanah longsor. Tornado adalah suatu kolom udara yang berputar dengan kencang yang timbul

Siklon TropisMemasuki Wilayah Indonesia

Oleh: Nanik Suryo Haryani*, Any Zubaidah*, Totok Suprapto*** Peneliti Iklim dan Cuaca, Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN

** Kepala Bidang Pemantauan Sumberdaya Alam dan Lingkungan - Pusbangja LAPAN

dari dasar awan comulunimbus atau cumulus (dalam be-berapa kejadian) dan sering (tidak selalu) tampak seper-ti corong awan. Sebuah pusaran angin dapat dianggap sebagai tornado jika pusaran angin tersebut menyentuh tanah dari dasar awan comulunimbus.

Daerah pertumbuhan siklon tropis paling subur di dunia adalah Samudra Hindia dan perairan barat Aus-tralia. Pertumbuhan siklon di kawasan tersebut rata-rata mencapai 10 kali per tahun (Biro Meteorologi Australia, 1960). Siklon tropis di Selatan Indonesia ini selalu muncul setiap tahun. Penyebabnya adalah ting-ginya suhu muka laut di timur laut Australia. Wilayah Indonesia tidak dilalui pusat badai tropis, hanya terke-na imbas dari ekor badai tersebut. Imbasnya berupa angin kencang, hujan deras, dan tingginya gelombang laut. Pemunculan siklon diawali pusat tekanan rendah di barat laut Australia dan bergerak menuju barat daya. Efek yang biasa terjadi di wilayah pantai selatan Indo-nesia di pengaruhi oleh ekor siklon, bukan akibat pusat badai tropis. Fenomena siklon tropis memang sangat menarik, karena walaupun kehilangan energi ketika melewati daratan, siklon tropis masih membawa sejum-lah moisture/uap air di atas daratan yang menyebabkan munculnya thunderstorms yang berkolaborasi dengan banjir dan tanah longsor.

Siklon mempunyai bagian-bagian antara lain: kum-pulan hujan, dinding mata dan mata (pusat dari pusaran

Gambar 1. Siklon.

Page 62: Berita Inderaja 14

62 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

siklon). Siklon dan bagian–bagiannya dapat dilihat pada Gambar 1.

Dampak adanya siklon tropis yang muncul bukan hanya di pusat wilayah tempat terjadinya siklon tropis saja melainkan juga sangat dirasakan di wilayah sekitarnya. Sebagai contoh badai yang terjadi di laut selatan Indonesia, sebenarnya bukan akibat pusat badai tropis melainkan hanya akibat/pengaruh ekor siklon tropis yang terjadi di wilayah barat laut Australia bagian utara, seperti dijelaskan sebelumnya. Bahkan karena wilayah Indonesia yang berada tepat di daerah tropis sangat mungkin dilanda badai tropis secara periodik.

Menurut Landsea, C.W.(2000) kondisi yang me-mungkinkan terjadinya siklon tropis di suatu wilayah, biasanya memenuhi persyaratan sebagai berikut: a) suhu laut lebih besar atau sama dengan 26,5° Celcius, b) kondisi pendinginan atmosfer yang lebih cepat sehingga terjadi pengangkatan masa konveksi (kumpulan awan tebal), c) jarak minimum dari equator 10 ° lintang utara dan 10 ° lintang selatan merupakan wilayah yang poten-sial terjadinya siklon, d) pengaruh gaya memutar dan konvergensi di dekat permukaan, dan e) nilai kecepa-tan angin vertikal yang rendah kurang dari 10 m/detik, apabila kecepatan angin vertikal lebih tinggi dari 10 m/detik akan mencegah terjadinya pembentukan siklon.

Siklon tropis yang terjadi di Asia Tenggara selama bulan April 2009 tercatat sebanyak 3 (tiga) kejadian, yaitu siklon Bijli yang terjadi pada tanggal 15 sampai de ngan 17 April 2009 di Samudera Hin-dia sebelah barat daya Pulau Sumatera. Siklon Twenty seve yang terjadi pada tanggal 26 sampai dengan 29 April 2009 ber samaan dengan siklon Kirrily yang terjadi pada tanggal 27 sampai dengan 29 April 2009 kedua-duanya terjadi di Laut Ban da. Dampak siklon tropis Bijiil, Twentysave dan Kirrili mengakibatkan peningkatan peluang hujan di wilayah yang berada di daerah sekitarnya. Ke-jadian siklon tropis selama bulan April 2009 dapat dilihat pada Gambar 2.

Di wilayah tersebut terjadi tekanan rendah yang memusat dan memutar di wilayah Indonesia tepatnya di Laut Ban-da yang dinamakan siklon Twentysave terjadi pada tanggal 26 sampai dengan 29 Gambar 2. Siklon di Indonesia dan Asia Tenggara Bulan Januari – Juni 2009.

April 2009, dan siklon Kirrili yang terjadi pada tanggal 27 sampai dengan 29 April 2009. Pengaruh kedua siklon yaitu menarik awan-awan yang ada di Indonesia ke arah pusat siklon (Laut Banda). Akibatnya sebagian besar wi-layah Indonesia bagian barat berpeluang cerah hingga berawan, sedangkan wilayah Indonesia bagian timur berpeluang hujan lebat selama beberapa hari. Terutama wilayah Papua dan Maluku yang berpeluang kuat ter-jadi hujan lebat karena lebih dekat dengan pusat siklon Twentysave dan Kirrili.

Dampak siklon yang sama dapat dilihat pada Gam-bar 3, yaitu citra infra merah MTSAT (Meteorological Satellite) pada tanggal 26 April 2009 Jam 16 – 19 UTC. Terlihat bahwa di wilayah Indonesia bagian barat Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan terlihat awan cerah sampai berawan tipis (tam-pak dengan warna putih sampai dengan biru muda), se-dangkan di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur terutama di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Su-lawesi Tengah, Sulawesi Utara tampak liputan awan se-dang sampai dengan tinggi (dengan warna biru sampai kuning), sementara Wilayah Maluku dan Papua liputan awan tinggi sampai dengan sangat tinggi (warna kuning sampai dengan merah).

Kejadian siklon Twentysave dan Kirrili juga berpenga-ruh terhadap peluang hujan yang terjadi di wilayah Indo-nesia. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4, data TRMM (Tropical Rainfall Measurement Mission) pada tanggal

Page 63: Berita Inderaja 14

63BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

24 - 29 April 2009 Jam 00 – 23 UTC. Pada data TRMM tanggal 24 - 25 April 2009 (Gambar 4a dan 4b) sebe-lum terjadi siklon terlihat bahwa peluang hujan sedang di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur terutama Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah dan Papua bagian selatan. Sedangkan setelah adanya kejadian siklon Twentysave dan Kirrili dapat dilihat pada data TRMM tanggal 26 - 27 April 2009 (Gambar 4c dan 4d) adanya peluang hujan di sebagian Pulau Sumatera, sebagian Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua berpeluang hujan sedang, tinggi sampai dengan sangat tinggi, dimana pada Gambar 4c dan 4d terlihat peluang hujan berwarna biru, hijau sampai merah. Se-dangkan pada Gambar 4e dan 4f pada tahap berakhir-nya kejadian siklon terlihat bahwa peluang hujan sudah berkurang, peluang hujan hanya terjadi di wilayah seki-tar lokasi kejadian siklon saja.

Kejadian siklon tropis yang terjadi di Indonesia dise-babkan oleh anomali/ penyimpangan perubahan iklim yang terjadi di Benua Australia. Perubahan iklim itu ter-jadi sangat signifi kan, sehingga berdampak pada angin yang sangat kencang di laut disebut siklon, dan apabila terjadi di darat biasa disebut dengan angin puting beli-ung. Perubahan iklim itu bisa menyebabkan kondisi gelombang tinggi yang disertai hujan lebat. Meski kon-disinya seperti itu, wilayah laut yang terkena siklon tro-pis akan terasa kering akibat tebaran udara yang sangat panas di sekitar kawasan yang terkena badai.

Wilayah Indonesia bukan merupakan daerah pem-bentukan siklon tropis namun hanya berbatasan dengan daerah pembentukan dan lintasan siklon tropis yaitu pada daerah yang mempunyai letak geografi s lebih be-sar dari 10 ° Lintang Utara dan 10 ° Lintang Selatan. Berdasarkan pembahasan kejadian siklon tropis di wi-layah Indonesia menunjukkan bahwa adanya anomali/ penyimpangan kejadian siklon yaitu siklon tropis telah memasuki wilayah Indonesia yaitu di Laut Banda (Gam-bar 2) yang terjadi pada tanggal 26 sampai dengan 29 April 2009 adalah siklon Twentysave dan Kirrili. Hal ini menunjukkan salah satu indikasi adanya perubahan iklim khususnya di Indonesia yang berakibat pada be-rubahnya arah dan kecepatan angin serta di wilayah terjadinya siklon akan turun hujan lebat, sehingga akan berdampak pada bergesernya musim. Gambar 3. Citra infra Merah MTSAT

Tanggal 26 April 2009 Jam 16 – 19 UTC.

Gambar 3a. MTSAT – 1R 26 April 2009 jam 16 UTC

Gambar 3b. MTSAT – 1R 26 April 2009 jam 17 UTC

Gambar 3c. MTSAT – 1R 26 April 2009 jam 16 UTC (cropping)

Page 64: Berita Inderaja 14

64 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Gambar 4. TRMM Tanggal 24 - 29 April 2009 Jam 00 – 23 UTC.

Gambar 4a. TRMM 24 April 2009 jam 00-23 UTC Gambar 4b. TRMM 25 April 2009 jam 00-23 UTC

Gambar 4c. TRMM 26 April 2009 jam 00-23 UTC Gambar 4d. TRMM 27 April 2009 jam 00-23 UTC

Gambar 4e. TRMM 28 April 2009 jam 00-23 UTC Gambar 4f. TRMM 29 April 2009 jam 00-23 UTC

Page 65: Berita Inderaja 14

65BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Page 66: Berita Inderaja 14

66 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

BERITA RINGAN

Dalam rangka mendukung kegiatan Rapat Pimpinan (Rapim) TNI Tahun Anggaran 2009

diselenggarakan Pameran Static Show di Markas Besar Tentara Nasional Indonesia (TNI) Cilangkap Jakarta Timur. Pameran dilaksanaan pada 22 – 23 Januari 2009 bertempat di arena Parkir Timur Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur.

Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPANMengikuti Pameran Static Show di Mabes TNI Cilangkap -

Jakarta

Kunjungan KASAD Jend. Agustadi.

Acara ini diikuti oleh berbagai Instansi baik Pemerintah maupun Swasta. Peserta dari in-stansi Pemerintah diantranya adalah: beberapa Litbang TNI, beberapa Perguruan Tinggi (Univer-sitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, UPN Veteran Jakarta, Uni-versitas Surya Darma, dan beberapa Lembaga Pemerintah Non Departemen (LIPI, LAPAN) dan BPIS (PT. Pindad, PT. Dirgantara Indonesia, PT. LEN, PT. PAL, PT. Dahana, PT. Krakatau Steel, PT. INTI, PT. INKA, PT. Batara Indonesia). Pameran ini juga diikuti oleh beberapa Perusahaan Swasta dari dalam negeri.

Para kontributor Pameran: menampilkan berbagai jenis alat pertahanan negara yang diproduksi oleh industri dalam negeri. Kede-putian Bidang Penginderaan Jauh (Inderaja) LAPAN pada acara ini turut berpartisipasi dan menampilkan berbagai produk unggulan yang merupakan hasil-hasil kegiatan Litbang yang terkait dengan Sistem Pertahanan Nasional. Se-lain itu juga ditamplikan berbagai hasil produk dari kegiatan kerjasama LAPAN dengan Instansi TNI. Produk inderaja yang ditampilkan dalam acara ini adalah Perbaharuan Peta Topografi TNI AD, Peta Daerah Latihan TNI, Peta Perbatasan Negara, dan Peta Pulau-Pulau Kecil Terluar. Produk tersebut di layout dalam bentuk Panel/ Poster Peta Citra Satelit (PCS) ukuran kertas A1. Dan pada kesempatan ini juga didistribusikan beberapa Modul Promosi inderaja seperti Ma-jalah Berita Inderaja, Buku Pulau-Pulau Kecil Ter-luar dan Brosur.

Melalui kegiatan semacam ini diharapkan dapat disosialisasikan berbagai hasil produk inderaja LAPAN guna mendukung industri Per-tahanan Negara di dalam upaya menjaga keu-tuhan NKRI.

Kunjungan Panglima TNI Jend. DJoko Santoso beserta Kasal Jend. Tedjo Edhy P didampingi oleh Staf LAPAN Ir. Sigit Julimantoro MSi.

Page 67: Berita Inderaja 14

67BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

BERITA RINGAN

Pekayon, 3 Februari 2009

Selasa, 3 Februari 2009, Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN menerima rom-

bongan tamu dari Siswa DIKSPESPA HIDROS TNI Angkatan Laut yang didampingi oleh Pelatih dan Pembantu Pelatih dengan jumlah keselu-ruhan rombongan adalah sebanyak: 29 orang. Penerimaan kunjungan ini mendapat sambu-tan langsung dari Deputi Bidang Penginder-aan Jauh, Bapak Ir. Nur Hidayat, Dipl. Ing. Acara dilaksanakan di Gedung Training pada Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh – LAPAN Pekayon.

Pada acara pembukaan, Bapak Deputi Bi-dang Penginderaan Jauh menyampaikan kata sambutan yang kemudian dilanjutkan oleh Ke-pala Bidang Produksi Data - Pusat Data, Bapak Ir. Agus Hidayat, M.Sc. Kepala Bidang Produk-si Data pada kesempatan ini menyapaikan penjelasan materi tentang Tugas Pokok, Fungsi dan Fasilitas-fasilitas yang di miliki De Inderaja LAPAN - Pekayon. Setelah penjelasan materi, selanjutnya Rombongan TNI AL beserta Siswa peserta DIKSPESPA HIDROS diberi kesempatan mengadakan Tour keliling untuk meyaksikan se-cara lebih dekat fasilitas-fasilitas LAPAN khusus-nya di Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh baik yang ada pada Pusat Data Penginder-aan Jauh maupun pada Pusat Pengembangan Pemafaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh.

Acara semacam ini merupakan bentuk kontri-busi dari Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN dalam menyampaikan informasi perkem-bangan teknologi Penginderaan Jauh kepada masyarakat dan khususnya kepada TNI AL.

Kunjungan Siswa Pendidikan Spesialis Perwira Hidro Oseanografi (DIKSPESPA HIDROS - TNI AL)

Ke Kantor Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN

Deputi Bidang Penginderaan Jauh, Ir. Nur Hidayat, Dipl Ing dan Pengawas Latihan Letkol Laut (P) Amril.

Kepala Bidang Produksi Data Ir. Agus Hidayat, MSc memberikan penjelasan tentang informasi Peta Citra Satelit (PCS) kepada rombongan tamu siswa

peserta Dikspespa Hidros

Page 68: Berita Inderaja 14

68 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

BERITA RINGAN

Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh di Indonesia sudah semakin pesat kemaju-

annya dan signifi kan. Untuk lebih meningkat-kan pemanfaatan teknologi inderaja diadakan kerjasama antara LAPAN dengan JAXA (Jepang). Kerjasama ini mencakup kegiatan kajian untuk mengetahui tingkat akurasi/ ketelitian sistem sensor pada satelit ALOS. Kegiatan kajian pe-manfaatan teknologi inderaja menggunakan data satelit ALOS (ALOS Pilot Project I) sudah di-laksanakan sejak 2006.

Dalam pemanfaatan data inderaja, LAPAN telah mengadakan kerjasama dengan beberapa instansi terkait: Departemen Pertanian, Departe-men Kehutanan, Departemen Energy dan Sum-ber Daya Mineral, serta BAKOSURTANAL. Selain itu kerjasama dengan beberapa Perguruan Ting-gi, diantaranya adalah: Universitas Syiah Kuala (Banda Aceh), Universitas Udayana (Bali), ITB dan IPB. Dari beberapa kegiatan kajian pemanfaatan data ALOS yang telah selesai dilaksanakan, se-telah itu diadakan acara Seminar Sehari dengan judul “Final Seminar on Pilot Project of Utilizing ALOS data in Indonesia”. Acara ini diselenggara-

Sosialisasi Pilot Project Penggunaan Data ALOS di Indonesia

kan di Hotel Borobudur - Jakarta, pada tanggal 12 Maret 2009. Pembukaan acara dilakukan oleh Kepala Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh (Pusbangja) LA-PAN, Ibu Dra. Ratih Dewanti, MSc.

Acara Seminar Sehari ini dihadiri oleh 150 orang, yang terdiri dari berbagai instansi Pe-merintah: DEPTAN, DEPHUT, DESDM, KLH, TNI AL, TNI AD, BAKOSURTANAL, DKP, RISTEK, BPPT, LAPAN. Beberapa Perguruan Tinggi: UI, ITB, IPB, UGM, Universitas Diponegoro, Universitas Paku-an, Universitas Syiah Kuala. Instansi lainnya yang hadir: JICA dan Kedutaan Besar Jepang (Gambar 2). Tujuannya adalah: mensosialisasikan hasil ka-jian/ penelitian menggunakan data ALOS untuk beberapa aplikasi kepada pengguna data Inder-aja dan pengambil keputusan; mempromosikan penggunaan data ALOS dan data penginderaan jauh lainnya untuk pemetaan, manajemen sum-ber daya alam, mitigasi bencana dan juga seka-ligus meningkatkan hubungan LAPAN dengan instansi dalam maupun luar negeri.

Pembukaan acara oleh K. Pusbangja LAPAN Ibu Dra. Ratih Dewanti, MSc.

Page 69: Berita Inderaja 14

69BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

BERITA RINGAN

Peserta seminar Sehari di Hotel Borobudur, Jakarta 12 Maret 2009.

Daftar Narasumber:1. Presentasi utama:LAPAN : Dra. Ratih Dewanti, MSc, Kapusbangja

LAPAN.JAXA : Mr. Chiyoshi Kawamoto, Planning

Manager, Satellite Applications and Promotion Center, JAXA.

Dr. Preesan Rakwatin, Researcher, Earth Observation Research Center,

JAXA (Possibility of ALOS/ PALSAR data for forest monitoring in Indonesia).RESTEC: Mr. Makoto Ono, Advisory Scientist, RESTEC.2. Presentasi hasil penelitian dengan menggu-

nakan data satelit ALOS:a. Muzailin Aff an (Universitas Syiah Kuala, Ban-

da Aceh): Aplikasi data ALOS untuk Penggu-naan Lahan.

b. Dr. Baba Barus (IPB): Aplikasi data ALOS un-tuk Penggunaan Lahan.

c. Dr. Fahmi Amhar (BAKOSURTANAL): Aplikasi data ALOS untuk pemetaan.

d. Retnosari (Departemen Kehutanan ): Aplika-si data ALOS untuk kehutanan.

e. Ita Carolita dan Dr. Bambang Trisakti (LA-

PAN): Pemanfaatan Informasi DEM dan Penggunaan Lahan dari ALOS untuk Miti-gasi Bencana Tsunami.

f. Sidarto (Departemen Energy dan Sumber daya Mineral): Aplikasi data ALOS untuk pe-metaan Geologi.

g. Dr. Osawa (CreSOS, Universitas Udayana Bali): Aplikasi data ALOS untuk pesisir (te-rumbu karang).

h. Wahyunto (Departemen Pertanian): Aplikasi data ALOS untuk mitigasi bencana Longsor.

i. Firman Hadi (ITB) : Aplikasi data ALOS untuk mitigasi bencana longsor.

j. Dr. Agus Kristijono (BPPT): Aplikasi data ALOS untuk Volkanologi.

Beberapa makalah yang disampaikan na-rasumber, data ALOS mampu diekstrak untuk memperoleh informasi spasial beragam (untuk pemetaan, manajemen sumber daya alam, dan mitigasi bencana). Selain itu hasil yang diperoleh, data ALOS memiliki potensi yang baik serta pu-nya pasar cukup bagus untuk dimanfaatkan oleh para pengguna di Indonesia. Kedepan, diharap-kan kegiatan ini dapat terus dilanjutkan, yaitu pada kegiatan Pilot Project ALOS tahap ke-2.

Saat acara diskusi panel pada sosialisasi Pilot Project ALOS.

Page 70: Berita Inderaja 14

70 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

BERITA RINGAN

Senin, 8/6, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sam-

pang - Provinsi Jawa Timur, menyelenggarakan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pembuatan Basis Data Spasial Kabupaten Sampang.

Kegiatan Bimtek diselenggarakan di Kantor Kedepu-tian Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Gedung Training Pusat Data Penginderaan Jauh dan acara Bimtek dibuka secara resmi oleh Deputi Bidang Penginderaan Jauh LA-PAN, Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing. Dalam sambutannya Deputi Inderaja menyambut baik pelaksanaan Bimtek ini yang merupakan salah satu wujud kerjasama LAPAN dengan Pemda. Dalam kerjasama tersebut LAPAN siap berkont-ribusi dalam penyediaan data dan informasi hasil-hasil litbang penginderaan jauh untuk dimanfaatkan dalam pengembangan wilayah Kabupaten Sampang. Hadir da-lam pembukaan Bimtek ini antara lain, Bupati Sampang Noer Tjahja yang didampingi beberapa Kepala Dinas dan pejabat dari Kedeputian Bidang Penginderaan Jauh LA-PAN, yaitu: Kapus Data Penginderaan Jauh. Ir. Agus Hida-yat, M.Sc., Kapus Pemanfaatan Teknologi Dirgantara, Drs. I.L. Arisdiyo, M.Si., Peneliti ahli Inderaja LAPAN Ir. Mahdi Kartasasmita MS.Ph.D, dan Prof.Dr.Sri Hardiyanti Purwadhi serta pelabat lainnya.

Bupati Sampang, dalam sambutannya menginformasi-kan bahwa dalam rencana pembangunan jangka menen-gah daerah Kabupaten Sampang menitik beratkan pada pembanguan ekonomi, menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan. Sejalan dengan dioperasikannya Jembatan Suramadu pada tanggal 10 Juni 2009, tentunya mempermudah akses dari Kabupaten Sampang ke Surabaya maupun sebaliknya. Sehingga akan menjadikan Kabupaten Sampang sebagai alternatif untuk melakukan investasi. Ka-bupaten Sampang sampai saat ini belum mempunyai in-dustri, padahal daerah ini kaya dengan Sumber Daya Alam khususnya Gas Alam. Dengan dioperasikannya Jembatan Suramadu diharapkan akan banyak investor yang tertarik untuk melakukan investasi di Madura khususnya Kabupaten Sampang dan akan menjadi ”titik sentra pembangunan di Pulau Madura”. Selanjutnya disampaikan oleh Bupati Sam-pang, bahwa hasil bimtek Pengolahan dan Pemanfaatan Data Penginderajan Jauh yang dilaksanakan 8 s/d 19 Juni 2009 (selama 11 hari), merupakan persiapan aparat supaya selalu berinovasi untuk mengolah sumberdaya alam yang ada agar nantinya dapat menjadi pemain jangan hanya menjadi penonton. Dengan menjadi pemain kita tentunya akan dapat menciptakan lapangan kerja yang tentunya akan mengurangi ketertinggalan dari daerah lain. (AK)

Bimbingan Teknis Pengolahan Data Penginderaan JauhUntuk Peningkatan SDM Pemda Kabupaten Sampang -

Provinsi Jawa Timur

Foto Bersama: Kapus Data Penginderaan Jauh Ir. Agus Hidayat, M.Sc (duduk kesatu dari kiri), Prof.Dr.Sri Hardiyanti Purwadhi (duduk ketiga dari kiri), Bupati Sampang Noer Tjahja (duduk keempat dari kiri), Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing (duduk keli-ma dari kiri), Peneliti ahli Inderaja LAPAN Ir. Mahdi Kartasasmita MS.Ph.D (duduk keenam dari kiri), dan peserta Bimtek.

Page 71: Berita Inderaja 14

71BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

BERITA RINGAN

Sabtu, 25 Juli 2009, peresmian pengoperasian sistem An-tena X-Band AXYOM Model 50 di Stasiun Bumi Satelit

Penginderaan Jauh Sumber Daya Alam Parepare dilakukan oleh Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Nur Hi-dayat, Dipl.Ing. Acara peresmian ini dihadiri oleh Deputi Bi-dang RIPTEK Kementrian Negara Riset dan Teknologi, Dr. Ir. Teguh Raharjo, Kepala Badan Litbang Deptan, Dr. Ir. Gatot Irianto serta Walikota Parepare yang diwakili oleh Sekretar-is Kota, Drs. H. Rahim Rauf, M.M. Selain itu hadir pula dalam acara ini Bupati Enrekang La Tinro La Tunrung, Bupati Pol-man Drs. Ali Baal, M.Si, Wakil Bupati Sidrap H. Dollah Mando serta perwakilan dari 7 kabupaten/ kota di Sulawasi Barat dan Sulawesi Selatan serta unsur pimpinan wilayah dan MUSPIDA Kota Parepare.

Walikota Parepare dalam sambutannya yang diba-cakan oleh Sekretaris Kota Parepare Drs. H. Rahim Rauf, M.M menyambut baik kehadiran antena baru ini dan mengharapkan antena tersebut dapat lebih meningkat-kan kinerja LAPAN dalam melayani kebutuhan penyediaan informasi geo-spasial bagi kepentingan perencanaan dan pemantauan pembangunan, pelestarian lingkungan hidup dan penanggulangan bencana. Walikota juga mendukung kehadiran Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh di Pare-pare yang telah menjadi salah satu icon Kota Parepare sejak didirikannya pada tahun 1993.

Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Nur Hi-dayat, Dipl.Ing dalam sambutannya mengharapkan den-gan penambahan sistem antena di Stasiun Bumi Parepare dapat meningkatkan kualitas penyediaan data satelit penginderaan jauh untuk seluruh Indonesia. Pada kesem-patan tersebut Deputi Bidang Inderaja berterima kasih atas dukungan Bapak Bupati dan Wa-likota dalam pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk perenca-naan dan pemantauan pembangunan di daerah. Dan juga berharap dapat lebih meningkatkan mutu pelayanan serta memperluas kerjasama dengan memanfaatkan hasil-hasil litbang LA-PAN selain bidang penginderaan jauh, seperti dintaranya: AWS, Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid, dll. Selain itu juga Deputi bidang inderaja LAPAN me-nyambut baik penyelenggaraan lomba

Peresmian Pengoperasian Sistem Antena X-Band AXYOM Model 50 Di Stasiun Bumi Satelit Penginderaan Jauh

LAPAN, Parepare

Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, Ir. Nur Hidayat, Dipl.Ing saat menyampaikan sambutan pada acara peresmian

Antena X-Band.

roket air yang merupakan kerjasama antara LAPAN dengan PP IPTEK dan menugaskan Satker LAPAN Parepare untuk memfasilitasi kegiatan ini.

Acara peresmian sistem Antena X-Band AXYOM Mod-el 50, diakhiri oleh presentasi dan diskusi oleh Dr. Gatot

Irianto (Ka. Balitbang Deptan) yang membawakan topik pemanfataan data satelit penginderaan jauh dalam bidang pertanian serta Dr. Bambang Semedi (UNHAS) dengan topik pemanfaatan data satelit penginderaan jauh dalam bidang perikanan. Seluruh peserta yang hadir yang berasal dari perwakilan 11 Kabupaten/ Kota sangat antusias dalam mengikuti diskusi ini dan sebagai mod-erator adalah Kapusdata LAPAN, Ir. Agus Hidayat, M.Sc. (AK) Sistem Antena X-Band AXYOM Model 50

(latar belakang adalah Antena NEC)

Page 72: Berita Inderaja 14

72 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

PERISTIWADalam Gambar

Selain itu, kerjasama LAPAN dan ITC juga mencakup pertukaran karyawan dan penelitian bersama. Dalam naskah kesepahaman, keduanya sepakat untuk mengadakan penelitian bersama di bidang penginderaan jauh, sistem informasi spasial, dan teknologi geo-in-formasi. (AK)

Pada hari Rabu tanggal 20 Mei 2009, dilakukan Penandatan-ganan MoU oleh Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN

Ir.Nurhidayat, Dipl. Ing dan Direktorat Jenderal Perkebunan, De-partemen Pertanian Republik Indonesia Ir. Achmad Mangga Barani, MM. di Gedung C, Ruang Rapat Direktorat Jenderal Perkebunan De-partemen Pertanian. Dalam sambutannya, Deputi Inderaja mengin-formasikan, LAPAN siap berkontribusi dalam pembiayaan dan pe-nyediaan data satelit penginderaan jauh.

Dengan menggunakan dan memanfaatkan data satelit pengin-deraan jauh, dapat melakukan pemantauan sebaran tanaman kelapa sawit, sebagai contoh adalah perkebunan kelapa sawit yang ada di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Sehingga diharapkan informasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk pengambi-lan keputusan dalam kaitannya dengan perkebunan di Indonesia.

LAPAN Tandatangani MoU dengan DirJen Perkebunan Departemen Pertanian

Deputi Bidang Penghinderaan Jauh Ir. Nurhidayat, Dipl.Ing. me-nyaksikan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Kepala

LAPAN dan Rektor The International Institute for Geo-Information Science and Earth Observation (ITC) Belanda, pada hari Senin, 1 Juni 2009, di kantor LAPAN Pusat, Rawamangun - Jakarta. Nota kesepa-haman kerjasama tersebut dalam hal penelitian dan pengemban-gan penginderaan jauh.

ITC adalah lembaga pendidikan dan penelitian dalam bidang ap-likasi teknik observasi bumi dan penggunaan informasi spasial untuk perencanaan kota dan desa serta pengawasan dan pengelolaannya. Kerjasama LAPAN dan ITC ini mencakup peningkatan sumberdaya manusia, transfer teknologi, penelitian, pengembangan, dan disemi-nasi pengetahuan. Kerjasama keduanya mengkhususkan pada bidang penginderaan jauh dan sistem informasi geografi serta aplikasinya.

Kerjasama Antara LAPAN dengan ITC Belanda

Pada tingkat implementasinya, sebaiknya kegiatan ini jangan berhenti sampai disitu. Karena data dan informasi pemetaan yang di-hasilkan untuk perkebunan kelapa sawit itu sifatnya berkesinambun-gan dan harus up to date (secara terus menerus). Hal ini dilakukan un-tuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi pada penutupan lahannya dan selalu terpantau,” ujar Deputi Inderaja. Untuk masa yang akan datang, upaya pemanfaatan data penginderaan jauh khususnya untuk pendataan sebaran kelapa sawit di Pulau Sumatera dan Kali-mantan harus lebih ditingkatkan. Informasi ini dapat menjadi solusi dalam rangka pemantauan lahan perkebunan, karena data ini memi-liki tingkat akurasi dan ketelitian yang tinggi.

Sementara dalam sambutannya Ir. Achmad Mangga Barani, MM, menginformasikan pada era tahun 80an, Departemen Perta-nian sangat kaya akan peta-peta tentang komoditas hasil perke-bunan di seluruh Indonesia. Namun seiring dengan adanya peme-karan daerah/ otonomi daerah, praktis data-data di daerah tersebut kurang terinventarisasi dan kurang terkoordinasi dengan baik. Data-data tentang komoditas utama perkebunan yang di miliki menjadi kurang lengkap.

Ia berharap, kerjasama dengan LAPAN dapat terus dibina dan dikembangkan agar Deptan memiliki data-data yang lebih lengkap dan akurat. Dengan informasi ini, dapat menjadi sumber masukan dalam pembuatan/penyusunan kebijakan. Tak hanya terfokus pada tanaman kelapa sawit, namun bisa juga dilaksanakan secara para-lel untuk memperoleh informasi hasil dari komoditas lain di sektor perkebunan. (AK)

Page 73: Berita Inderaja 14

73BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

PERISTIWAD a l a m G a m b a r

Deputi Bidang Penginderaan Jauh (De Inderaja) LAPAN, Ir. Nurhidayat, Dipl.

Ing dan Sekretaris Pelaksana Harian (Ses Lakhar) Bakorkamla, Dr.Ir.Dicky Munaf, M,Sc. menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pada tanggal 24 Juni 2009 di Hotel Borobudur, Flores A, Jakarta. Penandatanganan MoU tersebut merupakan tindak lanjut dari kerjasama dalam bidang pemanfaatan penginder-aan jauh untuk maritim.

Dalam penjelasannya, Dicky Munaf, menyatakan MoU ini dibuat untuk menguatkan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan penginder-aan jauh pada kegiatan pemetaan maritim di Indonesia. Dalam hal ini instansi yang berkompeten dibidang penginderaan jauh adalah LAPAN, sehingga diharapkan dapat memperoleh informasi serta manfaat yang lebih luas.

Sementara, dalam sambutannya, Nurhidayat menambahkan bahwa proses kerjasama ini bukanlah proses yang tiba-tiba, sudah

dilakukan penjajakan lebih dahulu, di-tandai dengan kunjungan tim teknis dari BAKORKAMLA ke LAPAN Parepare. Dengan kerjasama institusional ini di-harapkan bisa saling bersinergi dalam mengembangkan peralatan dan sum-ber daya manusia (SDM) sehingga man-faat teknologi satelit khususnya pengin-deraan jauh untuk bidang maritim bisa dicapai dengan maksimal. Terlebih cak-upan perairan Indonesia yang sangat

luas mengharuskan penggunaan teknologi satelit.Kerjasama ini meliputi pendayagunaan fasilitas dan teknologi

perangkat keras dan perangkat lunak. Teknologi yang dikembang-kan mencakup sistem perolehan, pengolahan, analisis, dan interpre-tasi data satelit penginderaan jauh untuk bidang maritim. Kegiatan ini diharapkan di masa yang akan datang dapat membuka peluang kerjasama internasional terkait dengan pemanfaatan penginderaan jauh untuk maritim. (AK).

Penandatangan MoU antara Deputi Inderaja dengan Seslakhar Bakorkamla

Page 74: Berita Inderaja 14

74 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

Informasi Data INDERAJA

Page 75: Berita Inderaja 14

75BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

POSTER

Page 76: Berita Inderaja 14

76 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

POSTER

Page 77: Berita Inderaja 14

77BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

POSTER

Page 78: Berita Inderaja 14

78 BERITA INDERAJA, Volume VIII, No. 14, Juli 2009

POSTER

Page 79: Berita Inderaja 14
Page 80: Berita Inderaja 14