berfilsafat pasti berfikir

32
1. Berfilsafat pasti berfikir, tapi tidak smua berfikir berfilsafat, apa maksudnya? Jelaskan..!!! 2. Jelaskan persamaan dan perbedaan antar : filsafat, agama dan ilmu pengetahuan, Dalam hal mempersoalkan bidang garapan/kajiannya....!!! 3. Jelaskan perebedaan aliran materialisme, spiritualisme, eksistensialisme 4. dalam memandang. Bagaimana implikasinya dalam

Upload: dwi-budi-sumartono

Post on 13-Dec-2014

508 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

Pandangan filsafat tentang berfikir

TRANSCRIPT

Page 1: Berfilsafat Pasti Berfikir

1. Berfilsafat pasti berfikir, tapi tidak smua berfikir berfilsafat, apa maksudnya? Jelaskan..!!!2. Jelaskan persamaan dan perbedaan antar : filsafat, agama dan ilmu pengetahuan, Dalam hal

mempersoalkan bidang garapan/kajiannya....!!!3. Jelaskan perebedaan aliran materialisme, spiritualisme, eksistensialisme 4. dalam memandang. Bagaimana implikasinya dalam

Page 2: Berfilsafat Pasti Berfikir

Apakah filsafat itu? Bagaimana definisinya? Demikianlah pertanyaan pertamayang kita

hadapi tatkala akan mempelajari ilmu filsafat. Istilah

"filsafat" dapat ditinjau dari dua segi, yakni:

a. Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab 'falsafah', yang berasal dari

bahasa Yunani, 'philosophia', yang berarti 'philos' = cinta, suka (loving), dan 'sophia' =

pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi 'philosophia' berarti cinta kepada kebijaksanaan atau

cinta kepada kebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi

bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut 'philosopher', dalam bahasa

Arabnya 'failasuf". Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan

sebagai tujuan hidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.

b. Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti 'alam pikiran' atau 'alam

berpikir'. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat.

Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan

mengatakan bahwa "setiap manusia adalah filsuf". Semboyan ini benar juga, sebab

semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak

semua manusia yang berpikir adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang yang memikirkan

hakikat segala sesuatu dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Tegasnya: Filsafat

adalah hasil akal seorang manusia yang mencari dan memikirkan suatu kebenaran

dengan sedalam-dalamnya. Dengan kata lain: Filsafat adalah ilmu yang mempelajari

dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.

Beberapa definisi

Kerana luasnya lingkungan pembahasan ilmu filsafat, maka tidak mustahil kalau banyak

di antara para filsafat memberikan definisinya secara berbeda-beda. Coba perhatikan

definisi-definisi ilmu filsafat dari filsuf Barat dan Timur di bawah ini:

a. Plato (427SM - 347SM) seorang filsuf Yunani yang termasyhur murid Socrates dan

guru Aristoteles, mengatakan: Filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada (ilmu

pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli).

b. Aristoteles (384 SM - 322SM) mengatakan : Filsafat adalah ilmua pengetahuan yang

meliputi kebenaran, yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika,

etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda).

d. Al-Farabi (meninggal 950M), filsuf Muslim terbesar sebelum Ibnu Sina, mengatakan :

Page 3: Berfilsafat Pasti Berfikir

Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat

yang sebenarnya.

e. Immanuel Kant (1724 -1804), yang sering disebut raksasa pikir Barat, mengatakan :

Filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya

empat persoalan, yaitu:

" apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)

" apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)

" sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh antropologi)

f. Prof. Dr. Fuad Hasan, guru besar psikologi UI, menyimpulkan: Filsafat adalah suatu

ikhtiar untuk berpikir radikal, artinya mulai dari radiksnya suatu gejala, dari akarnya suatu

hal yang hendak dimasalahkan. Dan dengan jalan penjajakan yang radikal itu filsafat

berusaha untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.

Kesimpulan

Setelah mempelajari rumusan-rumusan tersebut di atas dapatlah disimpulkan bahwa:

a. Filsafat adalah 'ilmu istimewa' yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak

dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar

jangkauan ilmu pengetahuan biasa.

b. Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau

mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu:

" hakikat Tuhan,

" hakikat alam semesta, dan

" hakikat manusia,

serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham tersebut. Perlu

ditambah bahwa definisi-definisi itu sebenarnya tidak bertentangan, hanya

cara mengesahkannya saja yang berbeda.

 

Page 4: Berfilsafat Pasti Berfikir

RELASI DAN RELEVANSI ANTARA ILMU, FILSAFAT DAN AGAMAPosted on Juni 2, 2008 by mawardiumm

RELASI DAN RELEVANSI ANTARA ILMU, FILSAFAT DAN AGAMA

Oleh Imam Mawardi

Jalan untuk mencari, menghampiri dan menemukan kebenaran dapat ditempuh dengan jalan, yaitu: ilmu, filsafat

dan agama. Ketiga jalan ini mempunyai titik persamaan, titik perbedaan dan titik singgung yang satu terhadap

yang lainnnya.

Ilmu Pengetahuan

Sebagai ilustrasi dikisahkan, bertanyalah seorang kawan kepada ahli filsafat yang arif dan bijaksana,

“Bagaimana caranya agar saya mendapatkan pengetahuan yang benar?

“Mudah saja”, jawab filosof itu, “Ketahuilah apa yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu” (Jujun,

1990:19).

Dari ilustrasi ini dapat digambarkan bahwa pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu dan merupakan hasil

proses dari usaha manusia. Beranjak dari pada pengetahuan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah

pengetahuan, maka di dalam kehidupannya manusia dapat memiliki berbagai pengetahuan dan kebenaran.

Adapun–sebagaimana dikatakan Burhanuddin Salam (1995:5)–beberapa pengetahuan yang dimiliki manusia,

yaitu:

1. Pengetahuan biasa atau common sense.

2. Pengetahuan ilmu atau science

3. Pengetahuan filsafat

4. Pengetahuan religi

Sedang ilmu pengetahuan sendiri mempunyai pengertian sebagai hasil usaha pemahaman manusia yang

disusun dalam satu sistematika mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hukum-hukum

tentang hal ikhwal yang diselidiinya (alam, manusia, dan juga agama) sejauh yang dapat dijangkau daya

pemikiran manusia yang dibantu penginderaannya, yang kebenarannya diuji secara empiris, riset dan

experimental (Anshari, 1979:157).

Filsafat

Endang Saifuddin Anshari, MA (1979:157), mendefiniisikan filsafat sebagai hasil daya upaya manusia dengan

akal budinya untuk memahami (mendalami dan menyelami) secara radikal dan integral hakikat sarwa yang ada:

(a) Hakekat Tuhan; (b) hakekat alam semesta; (c) hakekat manusia; serta sikap manusia termasuk sebagai

konsekwensi daripada faham (pemahamnnya) tersebut.

Hal yang menyebabkan manusia berfilsafat karena dirangsang oleh: ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya,

dan keraguan kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang dialami manusia dalam kehidupannya (Rapar,

1996:16).

Untuk itulah dalam berfikir filsafat perlu dipahami karakteristik yang menyertainya, pertama, adalah sifat

menyeluruh artinya seorang ilmuan tidak puas lagi mengenal ilmu hanya dari segi pandang ilmu sendiri, tetapi

melihat hakekat ilmu dalam konstalasi pengetahuan yang lainnya, kedua, sifat mendasar, artinya bahwa seorang

yang berfikirfilsafat tidak sekedar melihat ke atas, tapi juga mampu membongkar tempat berpijak secara

fundamental, dan ciri ketiga, sifat spekulatif, bahwa untuk dapat mengambil suatu kebenaran kita perlu spekulasi.

Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang dapat diandalkan yang merupakan titik awal

dari perjelajahan pengetahuan (Jujun, 1990:21-22)

Agama

Agama–pada umumnya– merupakan (10 satu sistem credo (tata keimanan atau tata keyakinan) atas adanya

sesuatu yang mutlak di luar manusia; (20 satu sistem ritus (tata peribadatan) manusia kepada yang dianggapnya

mutlak itu; (3) satu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dan alam

lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribadatan (Anshari, 1979:158).

Agama berbeda dengan sains dan filsafat karena agama menekankan keterlibatan pribadi. Kemajuan spiritual

manusia dapat diukur dengan tingginya nilai yang tak terbatas yang ia berikan kepada obyek yang ia sembah.

Seseorang yang religius merasakan adanya kewajiban yang tak bersyarat terhadap zat yang ia anggap sebagai

sumber yang tertinggi bagi kepribadian dan kebaikan.

Agama tak dapat dipisahkan dari bagian-bagian lain dari kehidupan manusia, jika ia merupakan reaksi terhadap

Page 5: Berfilsafat Pasti Berfikir

keseluruhan wujud manusia terhadap loyalitasnya yang tertinggi. Sebaiknya, agama harus dapat dirasakan dan

difikirkan: ia harus diyakini, dijelaskan dalam tindakan (Titus, 1987:414).

Titik Persamaan dan Perbedaan

Baik ilmu, filsafat ataupun agama bertujuan–sekurang-kurangnya berurusan dengan hal yang–sama yaitu

kebenaran. Namun titik perbedaannya terletak pada sumbernya, ilmu dan filsafat berumur pada ra’yu (akal, budi,

rasio, reason, nous, vede, vertand, vernunft) manusia. Sedangkan agama bersumberkan wahyu.

Disamping itu ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset, research), pengalaman

(empiri) dan percobaan (eksperimen) sebagai batu ujian. Filasafat menghampiri kebenaran dengan exploirasi

akal budi secara radikal (mengakar); tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya

sendiri bernama logika. Manusia mencari dan menemukan kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan

mempertanyakan pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci.

Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (berlaku sampai dengan saat ini), kebenaran filsafat

adalah kebenaran spekulatif (dugaan yang tidak dapat dibuktikan secara empiri, riset dan eksperimental). Baik

kebenaran ilmu maupun kebenaran filsafat kedua-duanya nisbi (relatif). Sedangkan kebenaran agama bersifat

mutlak (absolut) karena agama adalah wahyu yang diturunkan Allah.

Baik ilmu maupun filsafat dimulai dengan sikap sanksi dan tidak percaya. Sedangkan agama dimulai dengan

sikap percaya atau iman (Annshari, 1996:158-160).

DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1979.

Burhanuddin Salam, Pengantar Filsafat, Jakarta: Bumi Aksara, cet. iii, 1995.

Butler, J. Donald, Four Philosophies and Their Practice in Education and Religion, New York: Horper and

Brothers, 1951.

Inu kencana Syafi’i, Filsafat kehidupan (Prakata), Jakarta: Bumi Aksara, 1995.

I.R. Poedjawijatna, Tahu dan Pengetahuan, Pengantar ke IImu dan Filsafat, Jakarta: Bina Aksara. 1987.

Jujun S. Sumiasumantri (ed), Ilmu dalam Prespektif, Jakarta: Gramedia, cet. 6, 1985.

———-, Filsafat Ilmu,Sebuah Pengantar Populer, Jakarata: Pustaka Sinar harapan, 1990.

Kneller, George F., Movement of Thought in Modern Education, New York: John Witey and Sound, 1984

Rapar, Jan Hendrik, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: kanisius, 1996

Richard Pratte, Conteporary Theories of Education, Scranton, N. J: Intext International Publisher, 1977.

Titus, Harold H., dkk., Living Issues in Philasophy, Terj. H. M. Rasyidi, Persoalan-Persoalan Filsafat, Jakarta:

Bulan Bintang, 1987.

Filsafat, agama, dan ilmu pengetahuan

a. Filsafat dan agama

Dalam buku Filsafat Agama karangan Dr. H. Rosjidi diuraikan tentang perbedaan filsafat dengan agama,

sebab kedua kata tersebut sering dipahami secara keliru.

Filsafat

1) Filsafat berarti berpikir, jadi yang penting ialah ia dapat berpikir.

2) Menurut William Temple, filsafat adalah menuntut pengetahuan untuk memahami.

3) C.S. Lewis membedakan 'enjoyment' dan 'contemplation', misalnya laki-laki mencintai perempuan.

Rasa cinta disebut 'enjoyment', sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut 'contemplation', yaitu

pikiran si pecinta tentang rasa cintanya itu.

4) Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang.

Page 6: Berfilsafat Pasti Berfikir

5) Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya.

6) Seorang ahli filsafat, jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain, biasanya bersikap

lunak.

7) Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya, sering mengeruhkan pikiran pemeluknya.

8) Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen, walaupun argumenya

sendiri.

Agama

1) Agama berarti mengabdikan diri, jadi yang penting ialah hidup secara beragama sesuai dengan

aturan-aturan agama itu.

2) Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat yang terutama merupakan hubungan manusia

dengan Tuhan.

3) Agama dapat dikiaskan dengan 'enjoyment' atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication)

atau 'contentment'.

4) Agama banyak berhubungan dengan hati.

5) Agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya.

6) Agama, oleh pemeluk-pemeluknya, akan dipertahankan dengan habis-habisan, sebab mereka telah

terikat dn mengabdikan diri.

7) Agama, di samping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, juga

mempunyai efek yang menenangkan jiwa pemeluknya.

8) Filsafat penting dalam mempelajari agama.

CIRI UTAMA ILMU:

Ilmu adalah sebagian pengetahuan bersifat koheren, empiris, sistematis, dapat diukur, dan dibuktikan. Berbeda dengan iman, yaitu pengetahuan didasarkan atas keyakinan kepada yang gaib dan penghayatan serta pengalaman pribadi

Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri, sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek [atau alam obyek] yang sama dan saling berkaitan secara logis. Karena itu, koherensi sistematik adalajh hakikat ilmu. Prinsip-prinsip obyek dan hubungan-hubungannya yang tercermin dalam kaitan-kaiatan logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip logis yang dapat dilihat dengan jelas. Bahwa prinsip-prinsip metafisis obyek menyingkapkan dirinya sendiri kepada kita dalam prosedur ilmu secara lamban, didasarkan pada sifat khusus intelek kita yang tidak dapat dicarikan oleh visi ruhani terhadap realitas tetapi oleh berpikir

Ilmu tidak memerlukan kepastian lengkap berkenaan dengan masing-masing penalaran perorangan, sebab ilmu dapat memuat di dalamnya dirinya sendiri hipotesis-hipotesis dan teori-teori yang belum sepenuhnya dimantapan

Page 7: Berfilsafat Pasti Berfikir

Ciri hakiki lainnya dari ilmu ialah metodologi, sebab kaitan logis yang dicari ilmu tidak dicapai dengan penggabungan tidak teratur dan tidak terarah dari banyak pengamatan ide yang terpisah-pisah. Sebaliknya, ilmu menuntut pengamatan dan berpikir metodis, tertata rapi. Alat Bantu metodologis yang penting adalah terminology ilmiah. Yang disebut belakangan ini mencoba konsep-konsep ilmu.

DIFINISI ILMU MENURUT PARA AHLI

Mohammad Hatta, mendifinisikan ilmu adalah pengetahuan yang teratur tentang pekerjaan hukum kausal dalam suatu golongan masalah yang sama tabiatnya, maupun menurut kdudukannya tampak dari luar, amupun menurut hubungannya dari dalam

Ralp Ross dan Ernest Van Den Haag, mengatakan ilmu adalah yang empiris, rasional, umum dan sistematik, dan keempatnya serentak

Karl Pearson, mengatakan ilmu adalah lukisan atau keterangan yang komprehensif dan konsisten tentang fakta pengalaman dengan istilah sederhana

Ashely Montagu, Guru Besar Antropolo di Rutgers University menyimpulkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang disususn dalam satu system yang berasal dari pengamatan, studi dan percobaan untuk menetukan hakikat prinsip tentang hal yang sedang dikaji.

Harsojo, Guru Besar antropolog di Universitas Pajajaran, menerangkan bahwa ilmu adalah:Merupakan akumulasi pengetahuan yang disistematisasikan-------Suatu pendekatan atau mmetode pendekatan terhadap seluruh dunia empirisyaitu dunia yang terikat oleh factor ruang dan waktu yang pada prinsipnya dapat diamati panca indera manusia-------Suatu cara menganlisis yang mengizinkan kepada ahli-ahlinya untuk menyatakan suatu proposisi dalam bentuk: “jika,….maka…”

Afanasyef, seorang pemikir Marxist bangsa Rusia mendefinisikan ilmu adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dan konsep-konsep, kategori dan hukum-hukum, yang ketetapnnya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN FILSAFAT DAN ILMU

PERSAMAAN:

Keduanya mencari rumusan yang sebaik-baiknya menyelidiki obyek selengkap-lengkapnya sampai ke-akar-akarnya

Keduanya memberikan pengertian mengenai hubungan atau koheren yang ada antara kejadian-kejadian yang kita alami dan mencoba menunjukkan sebab-akibatnya

Keduanya hendak memberikan sistesis, yaitu suatu pandangan yang bergandengan

Keduanya mempunyai metode dan sistem

Keduanya hendak memberikan penjelasan tentang kenyataan seluruhnya timbul dari hasrat manusia [obyektivitas], akan pengetahuan yang lebih mendasar.

PERBEDAAN: Obyek material [lapangan] filsafat itu bersifat universal [umum], yaitu segala sesuatu yang ada [realita] sedangkan obyek material ilmu [pengetahuan ilmiah] itu bersifat khusus dan empiris. Artinya, ilmu hanya terfokus pada disiplin bidang masing-masing secra kaku dan terkotak-kotak, sedangkan kajian filsafat tidak terkotak-kotak dalam disiplin tertentuObyek formal [sudut pandangan] filsafat itu bersifat non fragmentaris, karena mencari pengertian dari segala sesuatu yang ada itu secara luas, mendalam dan mendasar. Sedangkan ilmu bersifat

Page 8: Berfilsafat Pasti Berfikir

fragmentaris, spesifik, dan intensif. Di samping itu, obyek formal itu bersifatv teknik, yang berarti bahwa cara ide-ide manusia itu mengadakan penyatuan diri dengan realita

Filsafat dilaksanakan dalam suasana pengetahuan yang menonjolkan daya spekulasi, kritis, dan pengawasan, sedangkan ilmu haruslah diadakan riset lewat pendekatan trial and error. Oleh karena itu, nilai ilmu terletak pada kegunaan pragmatis, sedangkan kegunaan filsafat timbul dari nilainnya

Filsafat memuat pertanyaan lebih jauh dan lebih mendalam berdasarkan pada pengalaman realitas sehari-hari, sedangkan ilmu bersifat diskursif, yaitu menguraikan secara logis, yang dimulai dari tidak tahu menjadi tahu

Filsafat memberikan penjelasan yang terakhri, yang mutlak, dan mendalam sampai mendasar [primary cause] sedangkan ilmu menunjukkan sebab-sebab yang tidak begitu mendalam, yang lebih dekat, yang sekunder [secondary cause]

Page 9: Berfilsafat Pasti Berfikir

Aliran dalam filsafat, secara garis besar terdapat dua aliran utama, yaitu pertama, Filsafat aliran realisme dan kedua, Filsafat aliran idealisme. Kedua aliran tersebut, masing-masing pengertiannya, yaitu bercorak aliran realisme, merupakan aliran yang berpandangan bahwa pengetahuan manusia yang benar adalah apa sesungguhnya ada yang baik dalam arti realita atau kenampakan. Berikutnya mengenai aliran idealisme, yang berpahamkan bahwa pengetahuan manusia ti dak lain apa yang tergambar di dalam jiwanya, sedangkan yang nyata terlihat tersebut adalah bukan sebenarnya melainkan gambaran luarnya semata (Subagio:1992 : 47).Kemudian tahap perkembangan berikutnya bermunculan corak pemikiran atau aliran Filsafat baru lainnya, yakni sebagai berikut:

Positivisme Mengagungkan aspek kenyataan yang konkret (indera). Pragmatisme Mengagungkan aspek kefaedahan. Materialisme Mengagungkan aspek kebendaan. Naturalisme Mengagungkan aspek alami. Empirisme Mengagungkan aspek pengalaman dunia luar (inderawi). Rasionalisme Mengagungkan aspek akal budi dan rasional. Eksistensialisme Mengagungkan keberadaan manusia yang konkret. Spiritualisme Mengagungkan ruh (spiritual) sebagai hakikatnya.

Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, maka filsafat pendidikan memiliki

berbagai aliran atau mazhab, di antaranya : 

1. Filsafat pendidikan idealisme 

Idealisme berpendapat bahwa hakikat kenyataan dunia adalah ide yang sifatnya rohani atau

intelegensi. Termasuk dalam paham idealisme adalah spiritualisme, rasionalisme, dan

supernaturalisme. Tentang teori pengetahuan, idealisme mengemukakan bahwa pengetahuan

yang diperoleh melalui indera tidak pasti dan tidak lengkap karena dunia hanyalah merupakan

tiruan belaka, sifatnya maya yang menyimpang dari kenyataan sebenarnya. Selain itu, menurut

pandangan idealisme, nilai adalah absolut. Apa yang dikatakan baik, benar, salah, cantik atau jelek

secara fundamental tidak berubah, melainkan tetap dan tidak diciptakan manusia. Idealisme

memiliki tujuan pendidikan yang pasti dan abadi, di mana tujuan itu berada di luar kehidupan

manusia, yaitu manusia yang mampu mencapai dunia cita, manusia yang mampu mencapai dan

menikmati kehidupan abadi yang berasal dari Tuhan. 

2. Filsafat pendidikan realisme 

Aliran ini berpendapat bahwa dunia rohani dan dunia materi merupakan hakikat yang asli dan

abadi. Kneller membagi realisme menjadi dua : 

a. Realisme rasional, memandang bahwa dunia materi adalah nyata dan berada di luar

pikiran yang mengamatinya, terdiri dari realisme klasik dan realisme religius. 

b. Realisme natural ilmiah, memandang bahwa dunia yang kita amati bukan hasil kreasi akal

manusia, melainkan dunia sebagaimana adanya, dan substansialitas, 

sebab akibat, serta aturan-aturan alam merupakan suatu penampakan dari dunia itu

sendiri.

Page 10: Berfilsafat Pasti Berfikir

Selain realisme rasional dan realisme natural ilmiah, ada pula pandangan lain mengenai realisme,

yaitu neo-realisme dan realisme kritis. Neo-realisme adalah pandangan dari Frederick Breed

mengenai filsafat pendidikan yang hendaknya harmoni dengan prinsip-prinsip demokrasi, yaitu

menghormati hak-hak individu. Sedangkan realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel

Kant yang mensintesiskan pandangan berbeda antara empirisme dan rasionalisme, skeptimisme

dan absolutisme, serta eudaemonisme dengan prutanisme untuk filsafat yang kuat. 

3. Filsafat pendidikan materialisme 

Materialisme berpandangan bahwa realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual, atau

supernatural. Cabang materialisme yang banyak dijadikan landasan berpikir adalah positivisme

yang menganggap jika sesuatu itu memang ada, maka adanya itu adalah jumlah yang dapat

diamati dan diukur. Oleh karena itu, positivisme hanya 

mempelajari yang berdasarkan fakta atau data yang nyata. 

4. Filsafat pendidikan pragmatisme 

Pragmatisme merupakan aliran paham dalam filsafat yang tidak bersikap mutlak, tidak doktriner,

tetapi relatif atau tergantung pada kemampuan manusia. Dalam pragmatisme, makna segala

sesuatu dilihat dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan, atau benar tidaknya suatu

ucapan, dalil, dan teori, semata-mata bergantung pada manusia dalam bertindak. Menurut

pragmatisme, pendidikan bukan merupakan proses pembentukan dari luar dan juga bukan

pemerkahan kekuatan laten dengan sendirinya, melainkan proses reorganisasi dan rekonstruksi

dari pengalaman individu. 

5. Filsafat pendidikan eksistensialisme 

Eksistensialisme adalah aliran yang menekankan pilihan kreatif, subjektivitas pengalaman

manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat

manusia atau realitas. Menurut eksistensialisme, pengetahuan manusia tergantung pada

pemahamannya tentang realitas, interpretasinya terhadap realitas, dan pengetahuan yang

diberikan di sekolah bukan sebagai alat untuk memperoleh pekerjaan, tetapi untuk alat

pekembangan dan pemenuhan diri secara pribadi. 

6. Filsafat pendidikan progresivisme 

Progresivisme adalah gerakan pendidikan yang mengutamakan penyelenggaraan pendidikan di

sekolah berpusat pada anak, sebagai reaksi terhadap pelaksanaan pendidikan yang masih

berpusat pada guru atau bahan pelajaran yang didasari oleh filosofi realisme religius dan

humanisme. Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum, pengalaman bersifat

dinamis dan temporal sehingga nilai pun terus berkembang. 

7. Filsafat pendidikan esensialisme 

Esensialisme dalam pendidikan adalah gerakan pendidikan yang memprotes skeptisisme dan

sinisme dari progresivisme terhadap nilai-nilai yang tertanam dalam warisan budaya/sosial.

Esensialisme berpendapat bahwa pendidikan haruslah berasaskan nilai yang telah teruji keteguhan

dan kekuatannya sepanjang masa. Gerakan ini bertumpu pada mazhab idealisme dan realisme. 

8. Filsafat pendidikan perenialisme 

Perenialisme adalah aliran yang berorientasi dari neo-thomisme dan memandang bahwa nilai

universal itu ada, pendidikan hendaknya dijadikan suatu pencarian dan penanaman kebenaran

nilai tersebut. Berikut adalah beberapa pandangan tokoh perenialisme terhadap pendidikan : 

Page 11: Berfilsafat Pasti Berfikir

a. Plato : “Program pendidikan yang ideal harus didasarkan atas paham adanya nafsu,

kemauan, dan akal.” 

b. Aristoteles : “Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan

filsafat sebagai alat untuk mencapainya. 

c. Thomas Aquina : “Pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur

agar menjadi aktif atau nyata.”

9. Filsafat pendidikan rekonstruksionisme 

Rekonstruksionisme adalah paham yang memandang pendidikan sebagai rekonstruksi

pengalaman-pengalaman yang berlangsung terus dalam hidup. Rekonstruksionisme dapat

dibedakan menjadi rekonstruksionisme individual dari John Dewey dan rekonstruksionisme sosial

dari George S. Counts yang keduanya adalah bersumber pada pragmatisme.

Pertanyaan-pertanyaan seperti “Mengapa seseorang perlu berfilsafat?”, atau “Untuk apa

seseorang berfilsafat?”, yang terkadang bernada curiga ini, secara khusus dianalisis dalam bagian

ini. Pertanyaan mendasarnya, “Mengapa (manusia) berfilsafat ?”

Benarkah anggapan bahwa filsafat tidak membawa apa-apa bagi kepentingan manusia atau

masyarakat pada umumnya? Bahwa filsafat hanya milik para filsuf dan mahasiswa filsafat?

Kemudian, benarkah juga proposisi bahwa filsafat tidak mungkin dapat mempertanggungjawabkan

pemikiran-pemikiran yang dihasilkan darinya, karena para filsuf adalah kumpulan pengelamun

saja? Lagipula, mengapa harus filsafat yang berperanan dalam hal-hal yang kini “ditangani” oleh

filsafat? Apakah tidak ada hal lain di luar filsafat yang mampu menyelidikinya? Pertanyaan-

pertanyaan kritis tersebut akan dicoba diperiksa pada keseluruhan sub-sub menu Mengapa

Berfilsafat? ini.

K O D R A T

Cara terpenting untuk memahami apa itu filsafat tidak lain adalah dengan berfilsafat. Berfilsafat,

artinya menyelidiki suatu permasalahan dengan menerapkan argumen-argumen yang filosofis.

Yang dimaksud dengan argumen-argumen yang filosofis adalah argumen-argumen yang memiliki

sifat-sifat: deskriptif, kritis atau analitis, evaluatif atau normatif, spekulatif, rasional, sistematis,

mendalam, mendasar, dan menyeluruh. Dengan perkataan lain, berfilsafat berarti:

mempertanyakan dasar dan asal-usul dari segala-galanya, mencari orientasi dasar bagi kehidupan

manusia.

Dalam rangka berfilsafat itu, ada empat sikap batin yang diperlukan:

Keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini.

Page 12: Berfilsafat Pasti Berfikir

Kesediaan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal

terhadap suatu pernyataan filsafat, tidak peduli sekonyol apa pun tampaknya tanggapan kita

pada saat itu.

Tekad untuk menempatkan upaya mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang”

atau kekecewaan karena “kalah” dalam perdebatan.

Kemampuan untuk memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi, agar tidak

menyebabkan kekaburan berpikir atau konflik pribadi sehingga dapat menghambat proses

diskusi filsafat.

Pokok pertanyaan kita adalah, “Mengapa (kita) berfilsafat?” atau “Untuk apa (kita) berfilsafat?”

Salah satu jawaban yang terkesan spekulatif namun paling mungkin adalah, “Karena pada suatu

saat kita secara tidak sadar sudah bergelut dengan suatu permasalahan filsafat, yang dengan

sendirinya jadi bahan pemikiran kita.” Meskipun kita tidak memiliki minat untuk belajar filsafat, ada

masalah-masalah filsafat yang mau tak mau menarik perhatian kita. Masalah persisnya tentu

berbeda dari orang ke orang. Kita mungkin akan terserap dalam suatu pembahasan filsafat

walaupun persoalan yang dibahas kelihatannya sama sekali tidak “filosofis”. Entah kita seorang

mahasiswa filsafat atau bukan, kita dapat saja terbawa ke arah pemikiran filsafat. Ringkasnya,

setiap orang pasti menyimpan asumsi-asumsi atau keyakinan-keyakinan filsafat. Dengan demikian,

pertanyaannya bukan lagi haruskah kita menangani permasalahan filsafat, melainkan

bagaimanakah caranya.

Daya tarik filsafat seringkali membuat kita lebih peka terhadap hal-hal yang tidak pernah

terpikirkan sebelumnya. Beberapa kita yang Kristen mungkin termasuk orang-orang yang sedari

kecil terbiasa mengucapkan doa “Bapak Kami” setiap pagi di sekolah tanpa pernah memikirkan

bagaimana pendapat orang-orang ateis, Yahudi, atau non-Kristiani lain mengenai hal itu. Ada

orang-orang dewasa yang kerap menguliahi anak-anak mereka tentang betapa jahatnya pengaruh

ganja, sementara mereka sendiri sibuk membereskan meja dan mempersiapkan minuman alkohol

untuk pesta akhir pekan bersama kawan-kawan. Kita hidup dalam sistem yang konon berprinsip

perdagangan bebas, tetapi dalam sistem itu perusahaan yang lebih besar dan lebih kuat bisa

mendapatkan perlakuan khusus dari Pemerintah, sementara perusahaan-perusahaan yang lebih

kecil tertindas dan berguguran. Lalu, bagaimana dengan “semua sama di depan hukum”? Benar,

kita semua tentu setuju, meskipun nyatanya orang-orang kaya mempunyai posisi yang lebih baik

untuk menghindar dari tuntutan hukum dibanding mereka yang miskin. Contoh lain, bagaimana

dengan mereka yang meyakini adanya U.F.O.? Orang-orang gila? Akan tetapi, kemungkinan

mereka mengalami gegar budaya ternyata jauh lebih kecil dibanding kita yang tidak percaya

U.F.O., yakni ketika atau apabila suatu saat nanti terungkap bahwa ternyata “kita tidak sendirian”

Page 13: Berfilsafat Pasti Berfikir

di alam raya ini. Di bawah ini, di tingkat akar rumput macam inilah, awal mula berkembangnya

persoalan besar filsafat.

Rangsangan untuk mulai berfilsafat seringkali muncul ketika orang berhadapan dengan sebuah

pernyataan yang dirasanya sebagai keliru. Misalnya, kita pasti akan terusik ketika mendengar

pernyataan sembrono semacam ini: “Orang tidak harus bertanggungjawab atas perbuatannya.”

Contoh lain, orang ateis mana yang tidak akan tergelitik oleh pernyataan, “Allah benar-benar ada,

dan saya telah menemukan alasan-alasan untuk membuktikannya”? Jika suatu pernyataan

ternyata didukung oleh argumentasi yang masuk akal, orang bisa kehabisan akal. Dalam benaknya

berkecamuk: pernyataan itu mustahil benar, tapi sepertinya alasan-alasan yang masuk akal juga

untuk mempercayai kebenarannya.

Bahkan, mereka yang tidak menaruh minat pada teori-teori filsafat bisa saja tertarik pada satu dua

permasalahan filsafat tertentu. Tujuan utama pengantar filsafat biasanya adalah mengamati

beberapa contoh penting permasalahan filsafat. Teori-teori filsafat, yang seringkali kompleks dan

tak jarang rumusannya aneh-aneh itu, kiranya tidak akan menarik minat sebelum seseorang tahu

bagaimana teori-teori tersebut sebenarnya menjawab permasalahan filsafat yang dihadapinya.

Percuma memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang belum diajukan.

Sama seperti kaum profesional lainnya, para filsuf seringkali menulis dalam bahasa khusus

menurut spesialisasi bidangnya dalam mempertahankan atau mengkritik suatu teori. Tidak jarang,

teori-teori yang disoroti merupakan reaksi atas masalah-masalah yang lain lagi. Namun, tidak

peduli sekompleks dan seberat apapun, teori-teori tersebut pada dasarnya adalah tanggapan

terhadap masalah-masalah biasa seni, moralitas, ilmu pengetahuan, agama, dan akal sehat. Di

pinggiran-pinggiran wilayah keseharian inilah para filsuf menemukan soal-soal yang tersembunyi;

mereka tidak mengadakan masalah. Di dalam wilayah keseharian itu tersimpan masalah-masalah

yang sangat mungkin akan membawa seseorang masuk ke dalam suatu kajian filsafat secara

umum.

Untuk memberi gambaran, mari kita lihat bagaimana orang-orang yang bukan filsuf dapat terbawa

kepada pemikiran filsafat, biasanya melalui persoalan-persoalan yang secara langsung relevan

dengan kepentingan mereka. Perhatikan contoh-contoh berikut:

1. Seorang neuropsikolog, yang sedang meneliti korelasi antara fungsi-fungsi tertentu otak

manusia dan rasa sakit, mulai sangsi, apakah “akal budi” sungguh berbeda dengan otak.

2. Seorang ahli fisika nuklir, setelah berketetapan bahwa materi sebagian besar adalah ruang

hampa yang di dalamnya terjadi transformasi-transformasi energi tanpa warna, mulai

bertanya-tanya, sejauh manakah dunia yang padat, berkeluasan, dan berwarna seperti yang

Page 14: Berfilsafat Pasti Berfikir

kita persepsikan ini berkaitan dengan keberadaannya yang sesungguhnya dan manakah di

antara keduanya itu yang lebih “nyata”.

3. Seorang psikolog aliran behaviorisme, yang semakin berhasil memprediksikan perilaku

manusia, bertanya-tanya, adakah tindakan manusia yang dapat dikatakan “bebas”.

4. Mahkamah Agung, ketika merumuskan suatu peraturan tentang karya seni yang sopan dan

yang tidak sopan, terpaksa harus bergelut dengan pertanyaan tentang hakikat dan fungsi

seni.

5. Seorang teolog, setelah kalah perang melawan sains mengenai arti harfiah alam semesta

(atau “kenyataan”), terpaksa harus merumuskan kembali seluruh tujuan dan cakupan

teologi tradisional.

6. Seorang antropolog, yang mengamati bahwa setiap masyarakat ternyata memiliki

konsepsinya sendiri tentang kode moral, mulai mempertanyakan apa sebenarnya yang

membedakan antara sudut pandang moral dan sudut pandang bukan moral.

7. Seorang ahli bahasa, dalam penyelidikannya tentang bagaimana bahasa membentuk

pandangan kita terhadap dunia, menyatakan bahwa tidak ada satu “kenyataan sejati”

karena semua pandangan mengenai kenyataan dikondisikan dan dibatasi oleh bahasa yang

digunakan untuk mengungkapkan pandangan-pandangan itu.

8. Seorang skeptis sejati, yang telah terbiasa menuntut dan menolak bukti-bukti absolut bagi

setiap sudut pandang yang ditemuinya, menyatakan bahwa tidak mungkin bagi manusia

untuk mengetahui apapun.

1. Seorang komisaris daerah, ketika harus menentukan peraturan baru mengenai pembatasan

wilayah, mulai bertanya-tanya, apakah akibat ataukah maksud (ataukah keduanya) yang

menyebabkan peraturan itu diskriminatif.

1. Seorang kepala perpajakan, ketika harus menentukan organisasi-organisasi religius mana

saja yang harus dibebaskan dari pajak, terpaksa harus merumuskan apa yang dimaksudkan

dengan “religius” dan apa “kelompok religius”.

1. Seorang ibu, yang bertekad untuk “mempertobatkan” anaknya yang komunis, terpaksa

harus membaca Comunist Mainfesto dan belajar mengenai ideologi Marx dan kapitalis.

Daftar itu masih bisa kita tambahi dengan sekian banyak contoh lain. Yang jelas, kita sudah dapat

melihat bahwa ketika dihadapkan dengan suatu persoalan yang relevan, bahkan orang yang bukan

filsuf pun sangat mungkin tergiring ke dalam suatu pemikiran filsafat. Jika orang yang bukan filsuf

itu tetap tidak dapat melihat pentingnya tujuan bidang filsafat, cobalah mengajukan suatu

permasalahan filsafat yang secara khusus berkaitan dengan minat atau kepentingannya. Ketika ia

menguji kemungkinan-kemungkinan jawaban atas permasalahannya, mungkin ia akan

menemukan kecenderungan atau kertertarikan pada suatu tesis filsafat tertentu.

Page 15: Berfilsafat Pasti Berfikir

Kita mungkin baru sadar bahwa diri kita sudah ada di dalam filsafat dan terlibat dalam persoalan-

persoalannya, tidak hanya berdiri di luar dan menunggu sampai diyakinkan bahwa kita harus

terlibat di dalamnya. Bolehlah dikatakan bahwa kodrat berfilsafat telah ada di dalam diri setiap

manusia, karena lingkungan dan bahkan kita sendiri sesungguhnya telah menyimpan

permasalahan-permasalahan filsafat. Kita dapati di sini sebagian dari kebenaran pernyataan

bahwa “Semua orang memang filsuf”. Namun harus dicatat juga bahwa sedikit sekali orang yang

berfilsafat secara sistematis. Karena disadari bahwa untuk itu diandaikan suatu sikap ilmiah yang

baru diperoleh setelah studi bertahun-tahun.

Demikian Magnis, “Kalau berfilsafat disamakan dengan berkhayal saja, dengan berpikir berputar-

putar tanpa tertib, kalau filsafat dipakai sebagai pentil untuk mengelamun, saya kira filsafat

semacam itu tidak kita perlukan. Biarpun laku dalam masyarakat, biarpun dapat barangkali kita

jual kepada orang awam sebagai ‘kebijaksanaan’, sebenarnya kita mengibulkan masyarakat

dengan itu. Kita akan menjadi tukang candu sebagaimana dituduhkan Marx kepada agama.”

MANFAAT (1)

Bagi banyak orang, pertanyaan “Untuk apa berfilsafat?” menyiratkan suatu kepentingan praktis,

yaitu “Apa manfaat filsafat untukku, selain pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri?” Ada

sebuah jawaban yang juga praktis untuk pertanyaan itu. Keterlibatan kita secara kritis dalam

filsafat dapat mengubah keyakinan-keyakinan dasar kita, termasuk sistem nilai yang kita miliki dan

bagaimana kita memandang dunia secara umum.

Perubahan sistem nilai atau pandangan-pandangan dunia kita itu dapat mengubah perspektif

kebahagiaan kita, tujuan yang hendak kita kejar dalam profesi kita, atau sekadar gaya hidup kita.

Namun, manfaat-manfaat itu lebih merupakan hasil sampingan saja, bukan tujuan yang spesifik,

dari kajian filsafat.

Tidak sulit untuk mencari contoh relevansi praktis yang muncul ketika kita mengambil pandangan

filsafat tertentu. Misalnya, jika betul tidak ada tindakan yang benar-benar bebas, maka kita harus

mempertimbangkan kembali pandangan kita mengenai hukuman mati dan rehabilitasi para

narapidana. (Mengapa harus menghukum orang yang tidak mampu mengendalikan

perbuatannya?) Contoh lain, pilihan yang kita jatuhkan dalam pemungutan suara berkaitan dengan

pro-kontra suatu masalah atas pemilihan seorang kandidat dapat sangat dipengaruhi oleh

pandangan filsafat politik tertentu yang kita miliki. Contoh lain lagi, jika betul keindahan itu hanya

ada di mata pengamat, bagaimana kita dapat menentukan bahwa suatu karya seni layak

dianugerahi penghargaan sebagai karya seni “terbaik”? dan konsepsi kita mengenai perilaku mana

yang bermoral dan mana yang tidak bermoral niscaya akan berakibat sangat jauh bagi relasi

personal kita dengan orang lain.

Page 16: Berfilsafat Pasti Berfikir

Lebih lanjut, seandainya saja kita melihat bahwa diri kita merupakan bagian tak terpisahkan dari

alam, barangkali kita tidak akan terlalu bernafsu menguasai dan menaklukkannya, dan kita pun

mungkin tidak akan terlalu menderita akibat tindakan perusakan alam. Contoh lain, jika dalam arti

tertentu pandangan dunia Barat dapat “di-Timur-kan”, maka akan lebih mudah bagi orang Barat

untuk menjelaskan dan menerima fenomena akupuntur. Itu semua hanya beberapa contoh untuk

menunjukkan relevansi kajian permasalahan filsafat dengan kehidupan sehari-hari. Bacalah juga

beberapa jurnal filsafat. Di situ kita mungkin akan menjumpai artikel-artikel dengan judul semacam

ini: “IQ: Keturunan dan Ketidakadilan”, “Eutanasia”, “Perilaku Paternalistik”, “Memaklumi

Pemerkosaan”, atau “Rudal dan Moral: Pandangan Utilitarian tentang Perlucutan Senjata Nuklir”.

Sebelum kita beranjak lebih jauh, ada satu hal yang perlu diingat. Penelusuran sebab-sebab

terjadinya perubahan pada keyakinan-keyakinan dasar seseorang seringkali adalah persoalan

psikologi, bukan tugas filsafat, dan tidak dapat ditangani oleh seorang filsuf. Memang perubahan

semacam itu dapat terjadi karena seseorang mempelajari filsafat, sama seperti karena ia

mempelajari bidang studi lain atau karena ia mendapat tekanan dari teman-teman sebayanya.

Namun, dengan berfilsafat atau melibatkan diri secara kritis dalam persoalan-persoalan filsafat,

tidak ada jaminan bahwa keyakinan-keyakinan seseorang akan berubah. Juga tidak bisa dikatakan

bahwa memang sebaiknya terjadi perubahan. Ada orang yang merasa bahwa dengan mempelajari

filsafat keyakinan agamanya semakin diteguhkan, sementara orang lain justru mengalami

guncangan. Para filsuf tidak pernah berusaha dengan sengaja menimbulkan kedua macam reaksi

itu.

MANFAAT (2)

Kita akan memetik manfaat bukan hanya dari keterlibatan diri kita dalam filsafat pada umumnya,

melainkan juga secara khusus dari kegiatan melakukan telaah atau kajian filsafat. Penelaahan

filsafat yang efektif, sekali lagi, bersifat luas, mendalam, dan kritis. Relevansi kritis dari penelaahan

semacam itu tidak dapat dipungkiri. Singkatnya, dengan melakukan telaah filsafat, kita akan

semakin mandiri secara intelektual, lebih toleran terhadap perbedan sudut pandang, dan semakin

membebaskan diri dari dogmatisme.

Pertama, sikap-sikap yang disebutkan di atas dapat berkembang karena luasnya kajian filsafat

yang kita lakukan. Perhatikan pertanyaan, “Apakah yang menjadikan tindakan yang benar itu

benar?” Banyak jawaban yang secara sepintas nampaknya dapat diterima: besarnya kebahagiaan

yang dihasilkan oleh suatu tindakan, kepentingan pribadi, kelangsungan hidup spesies manusia,

desakan suara hati, atau apapun yang menurut masyarakat benar. Tidak satupun dari jawaban itu

mutlak harus diterima oleh semua filsuf. Barangkali tidak ada disiplin lain yang sedemikian setia

untuk melakukan telaah yang ketat dan tidak berat sebelah terhadap “sudut pandang orang lain”.

Sudut pandang orang lain itu mungkin nampaknya tidak masuk akal, namun tidak jarang didukung

Page 17: Berfilsafat Pasti Berfikir

dengan argumen-argumen yang kuat. Menyadari bahwa selain pandangan diri sendiri ternyata ada

pandangan-pandangan lain yang argumennnya kokoh, dapat menjadi pengalaman yang membuat

frustrasi atau justru membebaskan. Apapun hasilnya, kesadaran itu membuka pintu bagi sikap

toleran dan bebas dari dogmatisme.

Kedua, kebebasan intelektual dan sikap-sikap lainnya yang berkaitan, akan kita peroleh dengan

mengkaji persoalan-persoalan filsafat secara mendalam. Dalam suatu kuliah filsafat, misalnya, kita

berkesempatan untuk menyelidiki tema-tema yang dalam kuliah lain hanya dibicarakan sambil

lalu. Misalnya, dalam kuliah pengantar ilmu pengetahuan kerap dinyatakan bahwa ilmu

pengetahuan didasarkan pada prinsip determinisme, yakni keyakinan bahwa segala persitiwa pasti

memiliki sebab. Dalam kuliah sosiologi dan antropologi, tesis bahwa moral berbeda-beda dalam

setiap kebudayaan sering dinyatakan sebagai bukti atas klaim kontroversial bahwa benar dan

salah semata-mata adalah soal kesukaan dan ketidaksukaan seseorang atau sekelompok orang

belaka. Dalam kuliah seni, seorang mahasiswa mungkin akan mengatakan bahwa tidak ada kriteria

untuk membedakan seni yang baik dari yang buruk; yang ada hanyalah suka atau tidak suka pada

yang kita lihat. Masing-masing pernyataan tesebut, dan masih dapat ditambah dengan banyak

contoh lain, mengandung berbagai asumsi, implikasi, dan ambiguitas yang biasanya jarang

disentuh. Pernyataan-pernyataan semacam itu kerap diterima begitu saja secara tidak kritis

sebagai “kebenaran”. Filsafat mengajak kita untuk menguji dan mempersoalkan kembali dogma-

dogma yang telah kita anggap benar, mengajak kita untuk mengambil posisi dan menetapkan

pendirian.

Yang ketiga adalah penilaian kritis. Tujuan berfilsafat bukan sekadar meninjau berbagai macam

teori, tetapi juga menilainya secara kritis. Entah apapun kesimpulan akhir kita mengenai persoalan

tertentu, kita tetap dapat mengembangkan sikap yang kritis secara umum. Sikap kritis berarti

tidak menerima sesuatu begitu saja hanya berdasarkan autoritas, mencermati asumsi-asumsi dan

ambiguitas-ambiguitas dalam setiap pernyataan yang dapat dipersoalkan (termasuk pernyataan

kita sendiri), menolak ikut arus pendapat umum, dan mencari penjelasan dan alasan-alasan bagi

hal-hal yang oleh orang lain dianggap sudah jelas. Inilah unsur-unsur kemandirian intelektual. Inti

filsafat adalah membentuk pemikiran, bukan sekadar mengisi kepala dengan fakta-fakta.

Ringkasnya, berfilsafat – mengkaji permasalahan filsafat secara serius – memberikan manfaat

pribadi dalam dua cara. Pertama, pengkajian filsafat dapat membawa kepada perubahan

keyakinan dan nilai-nilai dasar seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arah

kehidupan pribadi maupun profesinya. Kedua, pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan

dari dogmatisme, toleransi terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, serta kemandirian

intelektual.Namun, sudah disinggung sebelumnya, tidak ada jaminan bahwa pengkajian filsafat

pasti akan menghasilkan buah-buah itu. Tentu ada hal-hal lain yang juga dapat mengembangkan

Page 18: Berfilsafat Pasti Berfikir

toleransi, kemandirian intelektual, ataupun perubahan nilai dan keyakinan dasar seseorang.

Filsafat hanyalah salah satu alternatif terbaik.

Mungkin, beberapa dari kita ada yang mempertanyakan apa sebenarnya manfaat praktis yang

“nyata” dari mempelajari filsafat, taruhlah dalam soal mencari pekerjaan? Memang, gelar sarjana

dalam bidang filsafat tidak akan mempersiapkan kita untuk suatu pekerjaan tertentu, selain

mempersiapkan kita untuk studi tingkat pasca-sarjana atau mengajar. Lain halnya dengan bidang-

bidang studi lain yang lebih teknis sifatnya. Kelebihan filsafat adalah bahwa ia memperlengkapi

kita untuk berbagai bidang non-akademis, dan dalam banyak hal dapat membantu kita

mengembangkan diri dalam karier yang kita pilih.

Posisi-posisi kepemimpinan dan yang memikul tanggung jawab dalam berbagai profesi –

kedokteran, hukum, teologi, bisnis, dan lain-lain – menuntut seseorang untuk bergulat dengan

permasalahan filsafat. Setiap orang bisa menghafalkan fakta-fakta, sebagaimana yang biasa kita

lakukan di sekolah dulu. Namun, lapangan kerja di dunia nyata menuntut jauh lebih banyak dari

sekadar menghafalkan fakta-fakta, jika kita memang ingin berhasil dan unggul. “Fakta-fakta”

masih perlu dipertanyakan, disusun ulang, ditinjau dari berbagai perspektif, disingkirkan, dipungut

lagi, diuji, dan ditimbang-timbang terus secara logis, jelas dan inovatif. Kemampuan untuk

melakukan semua itulah yang hendak diperoleh dari belajar filsafat ataupun berfilsafat, entah dari

bidang mana pun fakta-faktanya berasal.

Ringkasnya, mengkaji permasalah filsafat secara serius memberikan manfaat pribadi dalam dua

cara. Pertama, pengkajian filsafat dapat membawa kepada perubahan keyakinan dan nilai-niali

dasar seseorang, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi arah kehidupan pribadi maupun

profesinya. Kedua, pengkajian filsafat dapat membuahkan kebebasan dari dogmatisme, toleransi

terhadap pandangan-pandangan yang berbeda, serta kemandirian intelektual. Namun, sudah

disinggung di atas, tidak ada jaminan bahwa pengkajian filsafat pasti akan menghasilkan buah-

buah itu. Tentu ada hal-hal lain yang juga dapat mengembangkan toleransi, kemandiran

intelektual ataupun perubahan nilai dan keyakinan dasar seseorang. Filsafat hanyalah salah satu

alternatif terbaik.

“Fakta-fakta” masih perlu dipertanyakan, disusun ulang, ditinjau dari berbagai perspektif,

disingkirkan, dipungut lagi, diuji dan ditimbang terus secara logis, jelas, dan inovatif. Kemampuan

untuk melakukan semua itulah yang hendak dikembangkan melalui kegiatan berfilsafat itu sendiri

– yang pada hakikatnya merupakan sebuah latihan juga, entah dari bidang manapun fakta-

faktanya berasal.

F U N G S I

Page 19: Berfilsafat Pasti Berfikir

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa studi filsafat semakin menjadikan orang mampu untuk

menangani pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang tidak terletak dalam wewenang

metodis ilmu-ilmu spesial. Jadi berfilsafat membantu untuk mendalami pertanyaan-pertanyaan

asasi manusia tentang makna realitas (filsafat teoretis) dan lingkup tanggung jawabnya (filsafat

praktis). Kemampuan itu dipelajarinya dari dua jalur: secara sistematis dan secara historis.

Pertama, secara sistematis. Artinya, filsafat menawarkan metode-metode mutakhir untuk

menangani masalah-masalah mendalam manusia, tentang hakikat kebenaran dan pengetahuan,

baik biasa maupun ilmiah, tentang tanggung jawab dan keadilan, dan sebagainya.

Jalur kedua adalah sejarah filsafat. Di situ orang belajar untuk mendalami, menanggapi, serta

belajar dari jawaban-jawaban yang sampai sekarang ditawarkan oleh para pemikir dan filsuf

terkemuka terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kemampuan ini memberikan sekurang-kurangnya tiga kemampuan yang memang sangat

dibutuhkan oleh segenap orang yang di jaman sekarang harus atau mau memberikan pengarahan,

bimbingan, dan kepemimpinan spiritual dan intelektual dalam masyarakat.

1. Suatu pengertian lebih mendalam tentang manusia dan dunia. Dengan mempelajari

pendekatan-pendekatan pokok terhadap pertanyaan-pertanyaan manusia yang paling

hakiki, serta mendalami jawaban-jawaban yang diberikan oleh para pemikir terbesar umat

manusia, waawasan dan pengertian kita sendiri diperluas.

2. Kemampuan untuk menganalisis secara terbuka dan kritis argumentasi-argumentasi,

pendapat-pendapat, tuntutan-tuntutan dan legitimasi-legitimasi dari berbagai agama,

ideologi dan pandangan dunia. Secara singkat, filsafat selalu juga merupakan kritik ideologi.

Justru kemampuan ini sangat diperlukan dewasa ini di mana kebudayaan merupakan

pasaran ide-ide dan ideologi-ideologi religius dan politis yang mau membujuk manusia untuk

mempercayakan diri secara buta kepada mereka. Dalam situasi ini sangat diperlukan

kemampuan untuk tidak sekadar menolak ideologi-ideologi itu secara dogmatis dan dari

luar, melainkan untuk menanggapinya secara kritis dan argumentatif.

3. Pendasaran metodis dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam menjalani studi-studi di

ilmu-ilmu spesial, termasuk teologi.

Dengan mempertimbangkan hal di atas, dapat dikatakan bahwa filsafat, demikian kegiatan

berfilsafat, sangat diperlukan oleh profesi-profesi seperti pendidik, wartawan, pengarang dan

penerbit, budayawan, sosiolog, psikolog, ilmuwan politik, agamawan, dan teolog.

Di samping itu, filsafat juga mempunyai fungsi khusus dalam lingkungan sosial budaya Indonesia

Page 20: Berfilsafat Pasti Berfikir

1. Bangsa Indonesia berada di tengah-tengah dinamika proses modernisasi yang meliputi

semakin banyaknya bidang dan hanya untuk sebagiannya dapat dikemudikan melalui

kebijakan pembangunan. Menghadapi tantangan modernisasi dengan perubahan pandangan

hidup, nilai-nilai dan norma-norma itu, filsafat membantu untuk mengambil sikap yang

sekaligus terbuka dan kritis.

2. Filsafat merupakan sarana baik untuk menggali kembali kekayaan kebudayaan, tradisi-

tradisi, dan filsafat Indonesia untuk mengaktualisasikannya bagi Indonesia modern yang

sedang kita bangun.

3. Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati warisan rohani tidak hanya secara museal

dan verbalistik, melainkan secara evaluatif, kritis dan refleksif, sehingga kekayaan rohani

bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan terus-menerus identitas modern bangsa

Indonesia.

4. Sebagai kritik ideologi, filsafat membangun kesanggupan untuk mendeteksi dan membuka

kedok-kedok ideologis pelbagai bentuk ketidakadilan sosial dan pelanggaran-pelanggaran

terhadap martabat dan hak-hak asasi manusia yang masih terjadi. Jadi filsafat membuat

sanggup untuk melihat secara terbuka masalah-masalah sosial serta percaturan kekuasaan

yang sedang berlangsung.

5. Filsafat merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam kehidupan

intelektual bangsa pada umumnya dan khususnya dalam kehidupan intelektual di

universitas-universitas dan lingkungan akademis. Filsafat dapat berfungsi sebagai

interdisipliner sistem, tempat bertemunya berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di

universitas-universitas, fakultas filsafat sering disebut “fakultas sentral” atau “inter-

fakultas”, karena semua fakultas lain, yang selalu menyelidiki salah satu segi dari

kenyataan, menjumpai pertanyaan-pertanyaan yang membutuhkan refleksi yang tidak lagi

termasuk bidang khusus mereka. Misalnya, pertanyaan tentang batas-batas pengetahuan

kita, tentang asal bahasa, tentang hakikat hidup, tentang hubungan badan dan jiwa, tentang

hakikat materi, tentang dasar moral.

6. Salah satu fungsi terpenting filsafat adalah bahwa ia menyediakan dasar dan sarana

sekaligus bagi diadakannya dialog di anatara agama-agama yang ada di Indonesia pada

umumnya dan secara khsus dalam rangka kerja sama antar-agama dalam membangun

masyarakat adil-makmur. Jadi filsafat adalah dasar bagus bagi dialog antar-agama, karena

argumentasinya mengacu pada manusia dan rasionalitas pada umumnya, tidak terbatas

pada pendekatan salah satu agama tertentu, itu pun tanpa mengurangi pentingnya sikap

beragama. Justru para agamawan memerlukan filsafat supaya dapat bicara satu sama lain

dan bersama-sama memecahkan masalah-masalah sosial dan masalah-masalah nasional.

T U G A S

Page 21: Berfilsafat Pasti Berfikir

Salah satu alasan mengapa seorang berfilsafat adalah karena memang dalam diri filsafat itu

sendiri mengandung suatu tugas. Kita sudah mengetahui bahwa filsafat didasari oleh suatu

kebebasan berpikir, namun suatu kebebasan berpikir yang ditandai oleh hasrat keakraban dengan

kebenaran yang dikandung oleh penampilan realitas. Sementara, tidak semua bentuk berpikir

dalam filsafat harus terus-menerus dijamin oleh kesungguhan dan kejujuran dalam menempuh

tahap-tahap pikiran menuju kebenaran, sedangkan kesaksian terhadap kesungguhan dan

kejujuran ini tidak bisa diterapkan oleh orang lain kecuali oleh nurani filsuf yang bersangkutan.

Oleh karenanya, orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir sambil bertanggungjawab. Di

sinilah letak tugasnya, yang sudah menjadi sifat filsafat itu sendiri, yang terpenting. Refleksi

tentang ini diuraikan dengan bagus oleh sejumlah pemikir jaman kita, seperti Karl Popper, Gabriel

Marcel dan Alfred North Whitehead.

* Karl Popper

Tugas filsafat sekarang ini, menurut Sir Kal Popper (lahir di Wina 1902, mengajar filsafat di Inggris,

Selandia Baru dan Amerika Serikat), lebih-lebih “berpikir kritis tentang alam raya dan tentang

tempat manusia di dalamnya; berpikir tentang kemampuan-kemampuan pengetahuan kita dan

kemampuan-kemampuan kita terhadap kebaikan dan kejahatan”. (K. Popper, “How I See

Philosophy”, dalam: Ch. Bontempo – S. Jack Odell, The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy,

New York 1975, hlm. 55.)

Hidup kita di dunia ini – sebuah planet kecil dalam kosmos yang sebagian besar kosong –

merupakan suatu misteri besar. Hidup mempunyai nilai sebagai sesuatu yang sangat istimewa.

Hidup itu mahal. Kita cenderung untuk melupakan itu dengan memandanganya sebagai sesuatu

yang murah.

“Semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan

kematian. Ada orang yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup ini akan

berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu

bahwa – kalau hidup tidak akan berakhir – hidup tanpa harga, dan bahwa bahaya yang selalu

hadir, yaitu bahwa kita dapat kehilangan hidup, sekurang-kurangnya ikut menolong untuk

menyadari nilai dari hidup.” (K. Popper, “How I See Philosophy”, hlm. 55.)

* Gabriel Marcel

Gabriel Marcel (lahir di Paris 1889, meninggal 1973) melihat filsafat sebagai “reconaissance”. Kata

Perancis ini berarti sekaligus “mengingat”, “mengakui”, “menyelidiki” dan “berterima kasih”.

Gabriel Marcel menekankan dua arti, yaitu “penyelidikan” dan “sikap berterima kasih” atau

“penghargaan”. Kedua arti ini dari “reconaissance” (dalam bahasa Inggris “recognation” dan

Page 22: Berfilsafat Pasti Berfikir

“acknowledgement”) memperlihatkan kedua dimensi pengetahuan manusia: masa lampau dan

masa depan.

· Terhadap masa lampau kita harus berterima kasih, mengakui bahwa kita berhutang.

“Reconaissance” ini dilupakan oleh para teknokrat dan ideolog. Karena mereka hanya memilih

salah satu unsur atau ajaran dari seluruh warisan sejarah filsafat. Dan bagian kecil ini – misalnya

ajaran Marx – kemudian didewakan. Sikap ini berarti suatu devaluasi dari semua sistem yang

mendahului sistem satu-satunya yang didewakan itu.

Terhadap masa depan kita harus terbuka: siap untuk menyelidiki dan menerima.

Tugas filsafat sekarang ini, kata Gabriel Marcel, terdiri dari kedua jenis “reconaissance” ini: sikap

penghargaan dan sikap keterbukaan, kerelaan untuk menerima, “acceptance”. Dengan demikian

filsafat menjadi suatu “re-thinking”, suatu refleksi kedua yang dapat mengatasi jurang yang

dialami manusia dalam jaman kita, yaitu jurang antara sikap teknis dan analitis di satu pihak dan

hidup di lain pihak. (G. Marcel, “Philosophy as I See it Today”, dalam Ch. Bontempo – S. Jack Odell,

The Owl of Minerva, Philosophers on Philosophy, New york 1975, hlm. 119-122.)

Gabriel Marcel mengemukakan sesuatu yang sangat klasik. Plato sudah mengajar bahwa

“mengetahui” sebetulnya “mengingat”, dan Hediegger mengatakan bahwa “berpikir” (dalam

bahasa Jerman “denken, bahasa Inggris “to think”) harus bersifat “berterima kasih” (dalam bahasa

Jerman “danken”, bahasa Inggris “to thank”). Berpikir itu sesuatu yang dianugerahkan kepada kita,

sesuatu yang harus dihargai dan diterima.

* Alfred North Whitehead

Alfred North Whitehead (1861-1947 mengajar matematika dan filsafat di Cambridge, Inggris, dan

di Harvard, Amerika Serikat) menguraikan tugas filsafat dengan kata-kata ini:

Filsafat itu tidak salah satu ilmu di antara ilmu-ilmu lain. “Filsafat itu pemeriksaan (‘survey’) dari

ilmu-ilmu, dan tujuan khusus dari filsafat itu menyelaraskan ilmu-ilmu dan melengkapinya.” (A.N.

Whitehead, Science and the Modern World, Cambridge 1953, hlm. 108.)

Filsafat mempunyai dua tugas: menekankan bahwa abstraksi-abstraksi dari ilmu-ilmu betul-betul

hanya bersifat abstraksi (maka tidak merupakan keterangan yang menyeluruh), dan melengkapi

ilmu-ilmu dengan cara ini: membandingkan hasil ilmu-ilmu dengan pengetahuan intuitif mengenai

alam raya, pengetahuan yang lebih konkret, sambil mendukung pembentukan skema-skema

berpikir yang lebih menyeluruh.

Page 23: Berfilsafat Pasti Berfikir

Definisi Whitehead ini – filsafat sebagai “survey of sciences” – diterima oleh banyak orang dewasa

ini. Definisi Whitehead masih dapat diperluas sedikit: filsafat itu tidak hanya “survey of sciences”,

melainkan juga “survey” (atau”re-thinking”) dari semua ideologi, semua interpretasi mengenai

dunia, dan dari seluruh kenyataan manusiawi.

Ketiga uraian dari Popper, Marcel dan Whitehead dapat dibaca sebagai satu definisi: Tugas filsafat

itu “berpikir kritis tentang alam raya dan tentang tempat kita di dalamnya (Popper), “re-thinking”

dengan “sikap keterbukaan dan penghargaan” (Marcel), penyelidikan kritis mengenai hasil ilmu-

ilmu abstrak untuk mencapai suatu gambaran yang lebih menyeluruh (Whitehead).

Istilah-istilah lain yang sekarang sering terdengar dalam uraian-uraian mengenai tugas filsafat: “re-

interpretasi” kenyataan manusiawi, “penciptaan suatu bahasa umum yang dapat dipakai sebagai

bagian dari semua ilmu khusus”, “dialog yang mendamaikan abstraksi-abstraksi dan spesialisme-

spesialisme ilmu-ilmu”, dan “mencari hikmat di tengah semua pengetahuan”.

Tidak begitu penting uraian mana yang dipilih. Yang penting adalah suatu sikap tertentu, yaitu

sikap keterbukaan dalam berfilsafat dan memikul tugas yang memang sudah melekat padanya.

Cakrawala pengetahuan kita semakin luas. Namun kita tidak boleh melupakan bahwa pengetahuan

yang luas ini tidak pernah utuh. Kita tidak “memiliki” kebenaran. Filsafat mencari kebenaran, dan

itu mulai dengan menyadari betapa sedikit yang sungguh kita ketahui.

(Sumber : http://www.filsafatkita.f2g.net)

Saat kita menemukan halangan dalam usaha mencapai sebuah jawaban

yang jelas dan pasti mengenai suatu hal, pada saat itulah kita mulai

belajar filsafat. Sebab filsafat adalah usaha untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang hakiki mengenai suatu hal dengan tidak dogmatis dan

ceroboh.  Di mana usaha-usaha menjawab pertanyaan tersebut dilakukan

secara kritis. Dapat juga diartikan sebagai kegiatan berpikir guna

mencapai kebaikan dan kebenaran. Namun kegiatan berpikir dalam

berfilsafat bukan sembarang berpikir, melainkan berpikir secara radikal

sampai ke akar-akarnya.

Berfilsafat berarti berpikir dengan tidak terbelenggu dengan pemikiran-

pemikiran yang sudah diterima umum. Sebab apabila kita berpikir

dengan terbelenggu oleh pemikiran-pemikiran umum, maka kita tidak

akan mampu berpikir secara bebas. Di samping itu berpikir filfasat juga

harus berpikir secara menyeluruh, tidak hanya pada bagian-bagian

tertentu atau khusus saja yang sifatnya terbatas.

Page 24: Berfilsafat Pasti Berfikir

Berpikir dalam filsafat juga harus mengacu pada kaidah-kaidah tertentu.

Beberapa dari kaidah tersebut sudah saya sebutkan di atas, yaitu

berpikir secara mendalam (radikal) serta berpikir secara menyeluruh

(universal). Di samping itu berpikir filsafat harus sistematis tentang

keterkaitan antara satu unsur dengan unsur-unsur lain sehingga tersusun

sebuah pola pemikiran yang mana di antara unsur-unsur yang dipikirkan

tersebut tidak terjadi sesuatu yang bertentangan dan tersusun secara

logis. Ditambah lagi dalam berpikir serta melihat suatu gejala tidak

hanya dari satu sudut pandang saja, melainkan dari berbagai sudut

pandang (komprehensif).

Mengapa filsafat dirasakan oleh sebagian orang sebagai sesuatu yang

rumit?. Ini dikarenakan mereka sejak awal sudah kurang tepat dalam

mengartikan filsafat. Sebab baik disadari ataupun tidak berfilsafat

bukanlah sesuatu yang asing dan terlepas dari kehidupan sehari-hari.

Segala sesuatu yang ada dan yang mungkin untuk dipikirkan dapat

menjadi objek filsafat apabila selalu dipertanyakan, difikirkan dan

ditelaah secara mendalam guna mencapai suatu kebenaran.

Langkah awal untuk masuk ke dalam dunia filsafat adalah pertama-tama

kita harus membebaskan diri kita dari apa yang biasa disebut sebagai

“manusia praktis”. Manusia praktis yaitu orang yang hanya mengenal

kebutuhan materi, yang hanya menyadari bahwa manusia harus

mengonsumsi makanan untuk jasmaninya, tapi tidak peduli dengan

makanan untuk pikirannya. Tanpa menyadari bahwa segala kebaikan

untuk tubuh sama baiknya dengan segala kebaikan untuk jiwa.

Khususnya dalam kebaikan pikiranlah nilai-nilai filsafat bisa ditemukan.

Orang-orang yang paham mengenai ini tidak akan memiliki asumsi

bahwa berfilsafat adalah kegiatan yang membuang-buang waktu.

Namun bukan berarti dengan berfilsafat maka kita akan menemukan

akhir pencarian dari sebuah pertanyaan. Sebab justru dengan berfilsafat

maka dari pencarian suatu pertanyaan maka akan muncul pertanyaan-

pertanyaan lain. Namun bagi saya disitulah asiknya berfilsafat. Filsafat

seperti sebuah game di play station yang tak memiliki game over serta

menyebabkan kecanduan untuk terus memainkannya. Apabila satu level

telah selesai, maka kita akan diantarkan pada level selanjutnya. Begitu

seterusnya.

Page 25: Berfilsafat Pasti Berfikir

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARDAFTAR ISIBAB. I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANGB. TUJUAN MASALAH BAB. II PEMBAHASAN MASALAHA. PENGERTIAN BERPIKIR DAN MENGINGAT

BAB. III PENUTUPA. KESIMPULANB. SARAN

DAFTAR PUSTAKA

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berpikir adalah tingkah laku yang menggunakan ide-ide yaitu proses simbolis contohnya. Kalau

kita membayangkan suatu makanan yang tidak ada maka kita menggunakan ide (berpikir) atau

simbol-simbol tertentu.

Mengingat adalah bukti bahwa seseorang telah belajar untuk mengingat banyak hal setiap harinya.

B. TUJUAN MASALAH

Sesuai tugas yang diberikan dosen mata kuliah psikologi umum semester satu, bahwa tujuan

penulisan psikologi umum semester satu, bahwa tujuan penulisan ini untuk memenuhi tugas

pelajaran psikologi umum serta untuk menambah nilai psikologi umum. Serta memberikan

masukan kepada para mahasiswa/ mahasiswi STAI Al-Hauld Ketapang tentang bagaimana

caranya membedakan antara berpikir dan mengingat.

KATA PENGANTAR

Alhamdullilah, Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Berkat limpahan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah ini tepat waktu yang telah ditentukan.

Makalah ini disusun untuk menambah nilai ulangan umum semester ganjil (satu) di Perguruan

Tinggi STAI Al-Hauld Ketapang.

Makalah ini telah disusun oleh kami dengan usaha yang maksimal. Namun, apabila menurut

pembaca masih ada kekurangan dan kesalahan. Kami harapkan saran perbaikan yang sifatnya

membangun. Demi kesempurnaan karya tulis selanjutnya.

Ketapang, 20 Oktober 2008

Page 26: Berfilsafat Pasti Berfikir

PenyusunDownload Lengkap Makalah via Ziddu

BAB II

PEMBAHASAN MASLAAH

A. PENGERTIAN BERPIKIR DAN MENGINGAT

a. Pengertian Berpikir

Berpikir adalah tingkah laku yang menggunakan ide untuk membantu seseorang berpikir.

Macam-macam kegiatan berpikir dapat kita golongkan sebagai berikut:

1. Berpikir asosiatif, yaitu proses berpikir di mana suatu ide merangsang timbulnya ide lain. Jalan

pikiran dalam proses berpikir asosiatif tidak ditentukan atau diarahkan sebelumnya, jadi ide-ide

timbul secara bebas. Jenis-jenis berpikir asosiatif:

a. Asosiasi bebas: Suatu ide akan menimbulkan ide mengenai hal lain, tanpa ada batasnya.

Misalnya, ide tentang makan dapat merangsang timbulnya ide tentang restoran dapur, nasi atau

anak yang belum sempat diberi makanan atau hal lainnya.

b. Asosiasi terkontrol: Satu ide tertentu menimbulkan ide mengenai hal lain dalam batas-batas

tertentu. Misalnya, ide tentang membeli mobil, akan merangsang ide-ide lain tentang harganya,

pajaknya, pemeliharaannya, mereknya, atau modelnya, tetapi tidak merangsang ide tentang hal-

hal lain di luar itu seperti peraturan lalu lintas, polisi lalu lintas, mertua sering meminjam barang-

barang, piutang yang belum ditagih, dan sebagainya.

c. Melamun: yaitu menghayal bebas, sebebas-bebasnya tanpa batas, juga mengenai hal-hal yang

tidak realistis.

d. Mimpi: ide-ide tentang berbagai hal yang timbul secara tidak disadari pada waktu tidur. Mimpi

ini kadang-kadang terlupakan pada waktu terbangun, tetapi kadang-kadang masih dapat diingat.

e. Berpikir artistik: yaitu proses berpikir yang sangat subjektif. Jalan pikiran sangat dipengaruhi

oleh pendapat dan pandangan diri pribadi tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Ini sering

dilakukan oleh para seniman dalam mencipta karya-karya seninya.

2. Berpikir terarah, yaitu proses berpikir yang sudah ditentukan sebelumya. Dan diarahkan pada

sesuatu, biasanya diarahkan pada pemecahannya persoalan. Dua macam berpikir terarah, yaitu:

a. Berpikir kritis yaitu membuat keputusan atau pemeliharaan terhadap suatu keadaan.

b. Berpikir kreatif, yaitu berpikir untuk menentukan hubungan-hubungan baru antara berbagai

hal, menemukan pemecahan baru dari suatu soal, menemukan sistem baru, menemukan bentuk

artistik baru dan sebagainya.

Dalam berpkir selalu dipergunakan simbol, yaitu sesuatu yang dapat mewakili segala hal dalam

alam pikiran. Misalnya perkataan buku adalah simbol uang mewakili benda yang terdiri dari

lembaran-lembaran kertas yang dijilid dan tertulis huruf-huruf. Di samping kata-kata, bentuk-

bentuk simbol antara laibn angka-angka dan simbol matematika, simbol simbol yang

dipergunakan dalam peraturan lalu lintas, not musik, mata uang, dan sebagainya.

Telah dikatakan di atas, bahwa berpikir terarah diperlukan dalam memecahkan persoalan-

persoalan. Untuk mengarahkan jalan pikiran kepada pemecahan persoalan, maka terlebih dahulu

diperlukan penyusunan strategi. Ada dua macam strategi umum dalam memecahkan persoalan:

1. Strategi menyeluruh: di sini persoalan dipandang sebagai suatu keseluruhan dan dipecahkan

untuk keseluruhan itu.

2. Strategi detailistis: di sini persoalan di bagi-bagi dalam bagian-bagian dan dipecahkan bagian

demi bagian.

Kesulitan dalam memecahkan persoalan dapat ditimbulkan oleh:

1. Set: pemecahan persoalan yang berhasil biasanya cenderung dipertahankan pada persoalan-

persoalan yang berikutnya (timbul: set). Padahal belum tentu persoalan berikut itu dapat

dipecahkan dengan cara yang sama. Dalam hal ini akan timbul kesulitan-kesulitan terutama kalau

orang yang bersangkutan tidak mau mengubah dirinya.

Page 27: Berfilsafat Pasti Berfikir

2. Sempitnya pandangan: sering dalam memecahkan persoalan, seseorang hanya melihat satu

kemungkinan jalan keluar. Meskipun ternyata kemungkinan yang satu ini tidak benar, orang

tersebut akan mencobanya terus, karena ia tidak melihat jalan keluar yang lain. Tentu saja ia

akan mengalami kegagalan. Kesulitan seperti ini disebabkan oleh sempitnya padangan orang

tersebut. Sehingga tidak dapat melihat adanya beberapa kemungkinan jalan keluar.

c. Pengertian Mengingat

Mengingat adalah tingkah laku manusia yang selalu diperoleh pengalaman masa lampau yang

diingatnya.

Mengingat dapat didefinisikan sebagai pengetahuan sekarang tentang pengalaman masa lampau.

1. Mengingat dapat terjadi dalam beberapa bentuk. Bentuk yang paling sederhana adalah

mengingat sesuatu apabila sesuatu itu dikenakan pada indera. Bentuk ini disebut rekognisi.

Misalnya, kita mengingat wajah kawan, komposisi musik, lukisan, dan sebagainya.

2. Bentuk mengingat yang lebih sukar adalah recall. Kita me-recall sesuatu apabila kita sadar

bahwa kita telah mengalami sesuatu di masa yang lalu,tanpa mengenakan sesuatu itu pada indera

kita. Misalnya, kita me-recall nama buku yang telah selesai kita baca minggu lalu.

3. Lebih sukar lagi ialah mengingat dengan cukup tepat untuk memproduksi bahan yang pernah

dipelajari. Misalnya anda mengenal kembali (rekognisi) sebuah nyanyian dan ingat juga bahwa

anda pernah mempelajari nyanyian itu (recall), tetapi apakah anda menyanyikannya kembali

(reproduksi)?

4. Bentuk mengingat yang keempat ialah melakukan (performance) kebiasaan-kebiasaan yang

sangat otomatis.

Apabila kita melakukan rekognisi, recall, reproduksi ataupun performance, pertama-tama kita

harus memperoleh materinya. Memperoleh materi merupakan langkah pertama dalam

keseluruhan proses yang bertitik puncak pada mengingat.

Suatu bentuk memperoleh materi tertentu dikaitkan dengan tiap bentuk mengingat. Untuk

merekognisi dan me-recall, seseorang harus mempersepsi, sedangkan untuk memperoduksi,

seseorang harus membentuk kebiasaan. Karena itu, seseorang perlu belajar.

Ada beberapa cara untuk mengingat kembali hal-hal yang sudah pernah diketahui sebelumnya.

1. Rekoleksi, yaitu menimbulkan kembali ingatan suatu peristiwa, lengkap dengan segala detail

dan hal-hal yang terjadi di sekitar tempat peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Misalnya:

seorang pria mengingat peristiwa pertama kali ia pergi dengan seorang gadis.

2. Pembauran ingatan, hampir sama dengan rekoleksi, tetapi ingatannya hanya timbul kalau ada

hal yang merangsang ingatan itu. Misalnya dalam contoh di atas ingatan timbul setelah pria

tersebut secara kebetulan berjumpa kembali dengan gadis yang bersangkut.

3. Memanggil kembali ingatan, yaitu mengingat kembali suatu hal, sama sekali terlepas dari hal-

hal lain di masa lalu. Misalnya, mengingat sajak. Yang diingat di sini hanya sajaknya saja, tetapi

pada suatu saat apa saja yang dipelajari untuk pertama kalinya, tidak diperhatikan lagi.

4. Rekognisi, yaitu mengingat kembali suatu hal setelah menjumpai sebagian dari hal tersebut.

Misalnya ingat suatu lagu, setelah mendengar sebagian dari nada lagu tersebut.

5. Mempelajari kembali, terjadi kalau kita mempelajari hal sama untuk kedua kalinya, bhanyak

hal-hal yang akan diingat kembali, sehingga tempo belajar dapat menjadi jauh lebih singkat.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian kami yang telah diuraikan pada bab pembahasan masalah dapatlah

disimpulkan hal-hal berikut:

1. Berpikir adalah seseorang yang berpikir bukan saja dengan otaknya tetapi berpengaruh juga

dengan keseluruhan anggota tubuhnya.

2. Berpikir selalu berdampingan dalam mengingat suatu peristiwa/ kejadian masa lampau, yang

Page 28: Berfilsafat Pasti Berfikir

telah terjadi pada diri kita sendiri maupun orang lain.

3. Berpikir dan mengingat yang bermanfaat maka akan menghasilakn hal yang sangat baik

(positif) apabila berpikir dan mengingat yang tidak bermanfaat maka akan menghasilkan hal yang

buruk (negatif)

4. Berpikir dan mengingat juga mempunyai perbedaan

B. SARAN

1. Berpikir dan mengingat merupakan cara yang baik dalam proses belajar. Oleh karena itu

sebagai kaum pelajar kita harus mengembangkannya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Pelajar adalah masyarakan yang terpelajar. Yang dianggap sebagai kaum pelajar, karena

mereka telah mengetahui apa itu berpikir dan mengingat.

DAFTAR PUSTAKA

Fauzi, Ahmad.Drs. H. 1999. Untuk Fakultas Tarbiyah Komponen MKDK. Bandung: Penerbit:

Pustaka Setia.