belajar mengatasi banjir dari kota palembang

Upload: nadinda-maulidya-ilham

Post on 10-Jul-2015

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Belajar Mengatasi Banjir dari Kota PalembangRabu, 02-07-2008 09:25:15 oleh: Hidayatullah Adronafis Kanal: Layanan Publik Banjir boleh jadi merupakan persoalan yang dihadapi hampir semua kota-kota besar di tanah air. Terutama kota yang sedang giat-giatnya membangun. Namun, dari sekian banyak kota yang berkutat dengan banjir, ada beberapa kota yang dinilai mempunyai resep jitu memberantas genangan air tak diundang itu. Kota Palembang merupakan contoh terbaik. Dilihat dari topografinya, kota metropolis ini terletak di dataran rendah yang dibelah sebuah sungai besar. Sistem drainasenya rumit bak benang kusut. Dua tahun lalu, Palembang menjadi terkenal dan menghiasi berbagai berita di televisi dan surat kabar daerah maupun nasional gara-gara sering kebanjiran. Tak kurang dari 57 titik banjir tercatat saat itu, termasuk kawasan dan jalan-jalan utama. Saat ini kota yang dibelah Sungai Musi tersebut memang masih tergenang. Tapi, kondisinya sudah jauh lebih baik. Titik banjir yang terdeteksi pun sudah jauh berkurang. Data dari dinas PU Kota Palembang, pada 2004 terdapat 57 titik genangan air di ruas jalan utama dan jalan akses. Namun, pada 2007 telah berkurang menjadi 31 titik saja. Secara umum, banjir di perkotaan terjadi karena kapasitas saluran drainase tidak mencukupi lagi untuk mengalirkan debit air hujan. Apalagi, seiring dengan banyaknya pembangunan, sehingga kawasan resapan air semakin hilang. Ini diperparah jika saluran drainasenya tersumbat karena sampah dan kotoran lainnya. Akibatnya, air meluap ke jalan, menggenangi rumah-rumah penduduk, perkantoran, bahkan masjid dan rumah sakit. Membenahi seluruh drainase kota secara serentak jelas sangat sulit, bahkan tidak mungkin. Karena itu, Pemkot Palembang mencari solusi dengan membuat drainase primer, pompanisasi, pembangunan kolam retensi, dan pemasangan box culvert. Semua sistem drainase di Palembang juga bermuara di sungai besar. Pemkot Palembang membuat satu drainase primer yang menampung air buangan dari seluruh kota sebelum bermuara ke sungai. Secara bersamaan, dibangun kolam retensi. Kolam itu berfungsi sebagai resapan air, menggantikan fungsi rawa yang semakin berkurang seiring dengan giatnya pembangunan kota. Saat ini ada 17 kolam retensi di seluruh wilayah Kota Palembang. Luasnya bervariasi. Ada yang setengah hektar, ada juga yang satu hektar lebih. Bergantung ketersediaan lahan. Menariknya, kolam yang terletak di tempat-tempat strategis itu belakangan sangat dirasakan manfaatnya, yakni menyejukkan kota. Bahkan, masyarakat menjadikan areal kolam sebagai tempat rekreasi. Seperti di Kawasan kambang Iwak.

Untuk mengatasi genangan air di jalan-jalan utama, dilakukan pemasangan pompa dan box culvert. Pompa dipasang di beberapa titik rawan banjir untuk mengalirkan air yang menggenangi ruas jalan. Sementara itu, box culvert (sejenis gorong-gorong dari beton bertulang yang berbentuk kotak) dipasang di bawah ruas jalan. Box culvert ini berfungsi mengalirkan air agar tidak membanjiri salah satu sisi jalan. Dari aspek pendanaan pun, Pemkot Palembang kian menunjukkan komitmennya. Buktinya, kian meningkatnya alokasi anggaran untuk mengatasi persoalan banjir ini. Pada tahun anggaran 2004, pemerintah menganggarkan dana APBD sebesar Rp 3.737.212.000 yang difokuskan untuk pembangunan saluran air. Dengan dana tersebut ada 16 saluran yang dibangun. Mulai dari pembangunan saluran air di Kelurahan 7 Ulu dengan panjang 140 meter sampai dengan pembangun saluran di Jalan Tanah Merah sepanjang 4000 meter. Selanjutnya pada 2005, pemerintah mengucurkan dana sebesar RP 20.432.863.990 guna pembuatan, pelebaran, normalisasi saluran air, pembuatan kolam retensi, perbaikan dinding parit, pembuatan saluran primer di beberapa kawasan seperti Sei Sekanak, Sei Tawar, Saluran Outlet Lapangan Gof, Siring Gading Jalan Sudirman, hingga normalisasi Kambang Iwak Besar dan Kecil. Pada 2006 dana sebesar Rp 23.709.059.000 dikucurkan guna pembangunan pencegahan kawasan banjir di hampir seluruh kecamatan dalam wilayah Palembang, kecuali Kecamatan Kertapati. Kemudian pada 2007 kembali dianggarkan dana sebesar Rp 19.263.116.180 untuk pembangunan sarana dan prasarana, seperti normalisasi saluran hingga pemasangan pompa banjir dan pengadaan wing serta aksesoris pengangkat eceng gondok. Tahun 2008 ini Pemkot Palembang menganggarkan dana sebesar Rp 13.905.000.000 untuk membangun tiga unit pompa masing-masing berkapasitas 500 liter per detik di tiga anak sungai. Dana tersebut juga diperuntukkan untuk pembangunan box culvert, koker, pengerukan serta pengerjaan rutin normalisasi sungai dan saluran air. Dengan pengerjaan ini pemerintah menargetkan pengurangan lokasi genangan air di enam titik ruas jalan utama dan jalan akses. Seperti di Jalan Sudirman (depan Hotel Selatan), Jalan Mayor Ruslan, Jalan Gersik-Yayasan IBA, Jalan Bangau, Jalan Bay Salim, dan Jalan R.Sukamto. Dari berbagai upaya tersebut, warga kota metropolis boleh bernapas lega. Rasa waswas rumah akan kebanjiran saat hujan turun atau tidak bisa pulang karena takut kendaraan mogok akibat jalanan tergenang, mulai terkikis. Kondisi ini tentu saja dapat menjadi spirit bagi kota-kota lain di Indonesia, untuk meniru Palembang dalam mengatasi persoalan banjir. Palembang masih banjir, kayaknya nggak deh! (yat/berbagai sumber)

`Apa yang terpikir dalam benak anda ketika mendengar nama Negara Belanda tersebut?. Ya, Belanda, Negara Kincir Angin yang pernah menjajah Indonesia selama tiga setengah abad lamanya ini adalah Negara dengan sistem pengelolaan air terbaik di dunia. Banyak bangsa yang memiliki inovasi luar biasa dalam penataan kota, namun tidak banyak Negara yang berhasil dalam meingintegrasikan tata ruang dan tata air dengan harmoni seperti Belanda. Belanda telah banyak memberikan kontribusi terhadap pengelolaan sistem air di dunia termasuk di Indonesia. Kotabaru atau dulu disebut Nieuwe Wijk merupakan sebuah kawasan di tengah kota Yogyakarta yang pada mulanya adalah permukiman warga Belanda. Dibangun pada tahun 1920. Nieuwe Wijk adalah sebuah produk perencanaan kota yang matang. Mulai dari desain kawasan dengan pola radial yang sangat rapi; bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur indies, landscap cantik dengan kehadiran boulevard, taman dan pepohonan yang rindang sepanjang jalan, hingga infrastruktur yang tentu saja direncanakan dengan amat cermat. Belanda memang pakar dalam perencanaan infrastruktur kota. Nieuwe Wijk adalah sebuah permukiman yang sehat. Saluran air bawah tanah (assainering) untuk mengelola limbah rumah tangga dibangun untuk mencegah pencemaran lingkungan, sementara itu sistem drainase bekerja dengan baik ketika hujan deras mengguyur kota. Air larian digelontorkan dengan lancar melalui selokan-selokan yang dirancang menyesuaikan kontur kawasan. Dari selokan-selokan kecil, air dialirkan ke selokan-selokan yang lebih besar dan pada akhirnya bermuara di pembuangan akhir Sungai Code. Berkat sistem drainase tersebut, hujan lebat yang melanda nyaris tak pernah menyisakan genangan di jalanan, apalagi luapan banjir yang mengganggu aktivitas warga. Tidak hanya itu, Perhatian Belanda dalam urusan tata air ini juga dicurahkan pada perencanaan pembangunan Batavia-istilah bagi Jakarta tempo dulu. Sejarahnya, Batavia di tahun 1918 pernah dilanda banjir besar yang memakan banyak korban jiwa. Oleh Departement Waterstaat kala itu, seorang ahli hidrologi Belanda bernama Van Breen ditunjuk untuk menyusun rencana pencegahan banjir secara terpadu. Konsep dari rencana tata air yang dibuat oleh Van Breen secara prinsip terinspirasi oleh pengalaman dalam mengendalikan banjir kota-kota di negeri Belanda yang secara geomorfologis kondisinya mirip dengan Batavia yaitu sama-sama berada di bawah permukaan air laut. Van Breen mengusulkan pengendalian aliran air dari hulu sungai dan membatasi volume air masuk ke wilayah Batavia. Konsep Van Breen tersebut menjadi pedoman bagi upaya pencegahan banjir di masa-masa selanjutnya. Kini, kita pun mengenal Banjir Kanal Barat dan Timur serta polder-polder yang dibangun sebagai bagian yang terintegrasi untuk mengendalikan banjir Batavia. Konsep fundamental tersebut masih sangat relevan hingga saat ini. Fakta tersebut menunjukkan betapa majunya pola pikir para insinyur Belanda di masa lalu dalam rangka menyelamatkan Batavia dari banjir. Namun, tingginya tingkat urbanisasi di wilayah Jabodetabek dan parahnya pengrusakan lingkungan di daerah hulu membuat upaya pengendalian banjir menjadi belum maksimal saat ini. Selain di Indonesia, juga tercatat bahwa ketika Badai Katrina melanda New Orleans dan menimbulkan banjir besar, pakar hidrologi Belanda pulalah yang diundang oleh pemerintah AS untuk membenahi sistem drainase disana.

Belanda adala daratan yang berasal dari tumpukan pasir yang terbawa aliran sungai-sungai di pedalaman Eropa yang akhinya menagalami sendimentasi. Endapan pasir selama ribuan tahun menjelma menjadi dataran Nederlandensebutan bagi Belanda yang bermakna negeri di dataran rendahdi sekeliling delta Sungai Rhine, Scheldt dan Meuse. Selain itu, secara tidak langsung air juga berkontribusi dalam perkembangan ekonomi Belanda. Berbagai komoditas dari penjuru Eropa dapat diangkut melalui pelayaran pedalaman baik melalui kanal maupun sungai menuju pelabuhan Rotterdam, sehingga menjadikan Belanda sebagai salah satu simpul dagang utama di dunia.

Belanda menerapkan sistem reklamasi lahan melalui sistem polder yang kompleks untuk mempertahankan wilayah Belanda dari ancaman banjir dan air pasang. Polder merupakan sistem tata air tertutup dengan elemen meliputi tanggul, pompa, saluran air, kolam retensi, pengaturan lansekap lahan, dan instalasi air kotor terpisah. Sistem polder mula-mula dikembangkan Belanda pada abad ke-11 dengan adanya dewan yang bertugas untuk menjaga level ketinggian air dan untuk melindungi daerah dari banjir (waterschappen). Kemudian sistem polder ini disempurnakan dengan penggunaan kincir angin pada abad ke-13 untuk memompa air keluar dari daerah yang berada di bawah permukaan air laut. Dengan semakin banyaknya pembangunan sistem hidrolik inovatif di negeri Van Oranje tersebut, polder dan kincir angin akhirnya menjadi identik dengan Negeri Belanda. Belanda sebagai negara yang tak pernah berhenti berupaya melahirkan inovasi. Perjuangan melawan banjir telah dilakukan Belanda hampir selama satu milenium. Lebih dari seratus bencana banjir pernah menyerang Belanda dalam kurun waktu tersebut. Salah satu bencana banjir yang paling memakan banyak korban adalah yang terjadi pada tahun 1953. Sebagai reaksi preventif, Pemerintah Belanda membuat Proyek Delta (Delta Works/ Deltawerken), yaitu pembangunan infrastruktur polder strategis untuk menguatkan pertahanan terhadap bencana banjir. Secara konsep, Proyek Delta ini akan mengurangi resiko banjir di South Holland dan Zeeland untuk sekali per 10.000 tahun. Meskipun Proyek Delta telah selesai tahun 1997, masih ada ancaman kenaikan muka air laut akibat perubahan iklim yang mendorong Belanda untuk terus-menerus menyempurnakan sistem poldernya. Ini adalah perjuangan berat jangka panjang bangsa Belanda dalam menaklukan air. Kembali kepada masalah banjir, yang belakangan ini sering terjadi di kota ini, bahkan juga hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Maka hal yang bijak kiranya jika kita mulai belajar

sistem drainase kepada sang suhu Belanda. Di Indonesia sendiri, telah ada beberapa perusahaan yang memanfaatkan jasa konsultan Belanda untuk urusan drainasenya. Sebagai contoh ialah Summarecon Group, perusahaan yang bergerak dalam bidang property dan kawasan hunian telah bekerjasama dengan konsultan belanda untuk menjamin kawasan huniannya bebas banjir.

Potensi Pengolahan Air Hujan Menjadi Air Minum di IndonesiaOPINI | 27 May 2010 | 18:07 1471 33 1 dari 1 Kompasianer menilai Menarik

Air merupakan sumber daya alam yang sangat vital bagi kelangsungan hidup umat manusia. Manusia biasanya menggunakan air untuk keperluan minum, mandi, mencuci, dan mengairi lahan pertanian. Namun, akhir-akhir ini, di beberapa wilayah di Indonesia seperti Jakarta Timur dan Jakarta Utara, air menjadi barang langka. Krisis air di beberapa wilayah ini umumnya disebabkan oleh infrastruktur air minum yang sangat terbatas. Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Dr. Ir. Setyo S. Moersidik, DEA mengatakan bahwa kecepatan pengadaan infrastruktur air minum lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan penduduk di Indonesia (Seminar Hari Air Nasional, 2010). Jadi, tidak heran jika banyak penduduk Jakarta yang tetap memilih untuk mengonsumsi air tanah, padahal penggunaan air tanah yang berlebihan ini dapat menyebabkan penurunan muka tanah dan intrusi air laut. Hal ini menjadi masalah besar dan penting sehingga memerlukan suatu solusi yang cepat, tepat, dan komprehensif. Salah satu solusinya adalah mencari sumber air alternatif yang dapat mensubtitusi fungsi air tanah. Sumber air alternatif yang paling potensial di Indonesia adalah air hujan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara tropis yang kaya akan curah hujan. Setiap tahunnya, curah hujan di Indonesia dapat mencapai 2000-4000 mm. Sayangnya, ketika curah hujan di Indonesia cukup tinggi, masyarakat jarang sekali memanfaatkannya. Air hujan yang berlimpah ini lebih banyak terbuang sia-sia dibandingkan dimanfaatkan. Sebaliknya, ketika curah hujan di Indonesia sangat rendah, masyarakat justru kekurangan air. Hal ini menjadi suatu ironi yang tak terelakkan ketika negara lain yang curah hujannya terbatas bisa memanfaatkan air hujan dengan sangat baik seperti Inggris. Dengan curah hujan hanya sekitar 700 mm/tahun saja, Inggris tidak pernah mengalami kekurangan air. Mereka membangun danau-danau buatan untuk menampung air hujan, sehingga pada saat musim kemarau datang mereka tetap memiliki cadangan air. Sebenarnya, sudah ada masyarakat Indonesia yang memanfaatkan air hujan dengan cara menampung air hujan terlebih dahulu di dalam suatu bak penampungan. Namun, air hujan yang ditampung, biasanya hanya dimanfaatkan untuk keperluan mencuci saja bukan untuk mandi apalagi minum. Untuk kebutuhan air minum, masyarakat masih bergantung pada air tanah dan air PAM, padahal cadangan air tanah di Indonesia semakin menipis dan harga air PAM juga tergolong mahal (Dinas Pengembangan Air Minum Kementrian Pekerjaan Umum, 2010). Selain itu, untuk mengonsumsi air PAM sebagai air minum pun perlu proses pemasakan terlebih dahulu agar kuman dan bakteri yang terkandung dalam air PAM mati. Proses pengolahan air minum seperti ini menjadi tidak praktis dan boros energi. Jadi, secara tidak langsung dapat dikatakan bahwa metode pemanfaatan air hujan di Indonesia sampai saat ini masih belum optimal.

Dari uraian di atas, tentu kita berpikir mengapa Indonesia tidak memulai untuk mengembangkan suatu teknologi yang dapat mengolah air hujan yang berlimpah menjadi air siap minum yang memenuhi syarat kualitas air minum?

Berdasarkan Kepmenkes No 907/Menkes/SK/VII/2002 tentang Syarat dan Pengawasan Kualitas Air Minum, air minum harus bebas dari komponen anorganik dan organik seperti bakteri, racun, limbah berbahaya, dan zat kimia. Saat ini, sudah banyak sekali teknologi yang dapat menghilangkan komponen anorganik yang terkandung dalam air, misalnya dengan filtrasi. Begitu juga dengan teknologi penghilangan komponen organik, seperti teknologi disinfeksi bakteri. Untuk skala sederhana, disinfeksi bakteri dapat dilakukan dengan memberikan kaporit ke dalam air, atau dengan menjemur air dengan sinar matahari atau sinar ultraviolet. Disinfeksi bakteri dengan kaporit akan menyebabkan air berbau kaporit dan mengandung klorin, sehingga tidak layak diminum. Jika kita menggunakan radiasi sinar matahari, pada cuaca cerah biasanya dibutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 5-6 jam untuk proses disinfeksi bakteri secara sempurna (www.who.or.id, 2010). Oleh karena itu, teknologi yang cepat, dan efektif untuk disinfeksi bakteri sangatlah diperlukan. Salah satu teknologi yang dapat mendisinfeksi bakteri adalah fotokatalisis. Teknologi ini merupakan teknologi terintegrasi yang melibatkan reaksi fotokimia oleh suatu katalis. Reaksi ini mengakibatkan dinding dan membran sel bakteri rusak, sehingga bakteri mati. Katalisnya disebut sebagai fotokatalis karena hanya akan aktif ketika terkena cahaya, termasuk cahaya matahari. Katalis yang digunakan, yaitu titanium oksida (TiO2), tergolong aman dan ramah lingkungan karena non toksik. Selain itu, karena menggunakan energi radiasi sinar matahari, fotokatalisis termasuk teknologi hemat energi. Dengan demikian, fotokatalisis merupakan teknologi yang cukup solutif untuk mendisinfeksi bakteri.Dalam upaya pengaplikasian teknologi ini, saya dan teman-teman saya, Ayuko Cheeryo Sinaga dan Ikha Muliawati, di bawah bimbingan Dosen Ahli Fotokatalisis Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia, yaitu Dr. Ir. Slamet, MT., telah melakukan riset kecil-kecilan untuk disinfeksi bakteri dengan teknologi fotokatalisis. Dengan menggunakan air keran rumahan yang mengandung bakteri sebagai sampel, kami melakukan eksperimen dengan tiga macam variasi kondisi, yaitu: pertama, sampel diradiasi dengan sinar UV saja dan kedua, sampel diradiasi dengan sinar UV dan terdapat fotokatalis. Masing-masing eksperimen dilakukan pada kotak uji acrylic berlapiskan aluminium foil yang berisi 6,75 L air sampel, dengan 1g fotokatalis, sebuah lampu UV-A dengan daya 8 W yang diradiasikan selama 80 menit. Dalam penelitian ini, kami menggunakan TiO2 Degussa P-25 berukuran nano sebagai katalis yang kemudian dilapiskan ke batu apung. Batu apung yang digunakan terdiri dari dua variasi ukuran, yaitu diameter 0,5-1 cm, dan diameter 1-3 mm. Dengan memvariasikan ukuran batu apung, akan terdapat batu apung yang tenggelam di dasar kotak uji dan mengapung di permukaan sampel. Selain itu, dengan ukuran yang batu apung yang lebih kecil, maka luas permukaan kontak antara fotokatalis dengan sampel akan semakin besar, sehingga proses disinfeksi bakteri akan semakin efektif. Hasil penelitian kami cukup memuaskan, sampel pertama menunjukkan penurunan jumlah bakteri sebanyak 7,74% dan sampel kedua 27,83%. Dengan demikian, terbukti bahwa dengan adanya fotokatalisis proses disinfeksi bakteri menjadi tiga setengah kali lebih cepat dibandingkan dengan tanpa fotokatalis. Untuk mencapai proses

disinfeksi bakteri secara sempurna (mematikan seluruh bakteri di dalam air), kita dapat menambah jumlah katalis dan juga menambah intensitas cahaya yang digunakan. Secara teori, proses disinfeksi bakteri berbanding lurus dengan intensitas cahaya yang digunakan. Jadi, jika kita menggunakan matahari yang notabene intensitasnya sangat jauh lebih besar dibandingkan dengan lampu UV yang digunakan dalam penelitian ini, maka proses disinfeksi juga seharusnya jauh lebih cepat. Kesimpulannya, jika kita mengombinasikan teknologi filtrasi yang telah ada dengan teknologi fotokatalisis, air hujan yang selama ini jarang kita manfaatkan dapat kita olah menjadi air siap minum. Kedua teknologi ini merupakan teknologi yang sangat potensial untuk menyelesaikan masalah yang terkait dengan ketahanan air nasional secara

Rainwater Harvesting, Pelengkap Kehadiran Roof Garden Beberapa masalah lingkungan yang yang di hadapi oleh kota besar yang padat adalah polusi udara, kekurangan air bersih dan kekurangan ruang hijau tanaman. Ide roof garden atau taman di atap sudah lama menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Roof garden menjawab kekurangan ruang hijau di atas tanah dan sebagai filter polusi udara. Namun sangat disayangkan jika fungsi roof garden tersebut hanya berhenti sampai disitu. Fungsi roof garden terasa lebih lengkap jika memang membantu penyerapan air hujan yang mampu menghasilkan air yang akan di olah menjadi air yang kembali siap pakai minmal untuk keperluan siram menyiram termasuk untuk flushing toilet.Secara kalkulatif, 1 m2 roof garden dapat menyaring 0,2 kg debu aerosol dan partikel asap setiap tahunnya. Bahkan keberadaan roof garden dapat mengurangi suhu ruangan di bawahnya sekitar 3-4 derahat celcius sehingga diharapkan dapat menghemat listrik dari penggunaan AC sekitar 50%.

Untuk mendukung pengolahan air hujan yang di tampung di atap diperlukan sistem rainwater harvesting. Sistem rainwater harvesting, yang prinsipnya adalah menampung air hujan dan di olah kembali menjadi siap pakai, akan membantu mengurangi limpahan air hujan yang dapat menyebabkan

banjir serta membantu penghematan penggunaan air tanah. Dari sisi ekonomis secara berkelanjutan, sistem rainwater harvesting mengurangi biaya tagihan penggunaan air. Secara perhitungan umum, jika suatu kota dapat menyediakan 100.000 rumah yang menggunakan roof garden masing masing seluas 100 m2 maka kota tersebut dapat menyediakan ruang hijau untuk resapan seluas 1000 hektar. Roof garden seluas 155 m2 cukup untuk menghasilkan oksigen untuk satu orang selama 24 jam.

Sistem rianwater harvesting sudah banyak berkembang dan di kenal, sehingga sudah ada beberapa modifikasi dan varian dari sistem tersebut. Namun secara sederhana dan konvensionla, sistem rainwater harvesting sebenarnya adalah kelanjutan dari sistem roof garden. Secara sederhana sistem roof garden adalah susunan lapisan tanah sebagai media tumbuhnya tanaman, diikuti lapisan pasir, geotextile dan kerikil atau sirtu di atas pelat beton yang sudah di lapisi waterproofing. Lapisan tanah yang digunakan ber variasi kedalaman dan bebannya tergantung jenis tanaman yang akan digunakan. Dalam perkembangannya, kerikil atau sirtu bisa diganti lapisan membran lain yang bisa mengurangi beban berat dari kerikil ataupun sirtu tersebut. Sudah banyak beredar teknologi membran pengganti sirtu tersebut. Selanjutnya hasil resapan dari roof garden di saurkan ke dalam tanki yang fungsinya untuk menampung air sebelum mengalami filterisasi atau pengolahan sederhana melalui media pasir. Setelah mengalami proses sedimentasi air hasil olahan akan di pompa ke dalam penampungan air bersih untuk menjadi sumber air yang akan digunakan untuk keperluan siram menyiram. Di dalam tanki pengolahan, air juga akan mengalami proses saringan yang memisahkan partikel pasir dan tanah yang terkandung dalam air. Sebenarnya sudah ada teknologi filterisasi yang mampu mengolah air tersebut menjadi siap minum. Namun secara psikologis, masih banyak orang yang belum berani meminum langsung air hasil filterisasi tersebut.

Jika teknologi rainwater harvesting bisa diterapkan di rumah rumah dengan teknologi sederhana dan murah maka akan penggunaan air tanah bisa dikurangi dan siklus penggunaan air juga akan lebih hemat, mengurangi banyaknya air yang terbuang sia sia. Di beberapa negara Afrika sejak tahun 1970-n sudah dikembangkan teknologi sederhana dan konvensional untuk rainwater harvesting yang bisa di buat oleh tukang tukang biasa. Cara cara yang lebih sederhana dan murah akan memudahkan pemasalan sistem pengolahan air limpahan hujan sehingga membantu perbaikan lingkungan.

PERSYARATAN UMUM PONDASI5 Okt

Kedalaman Cukup untuk menjamin tidak ada desakan dari tanah (tidak bergeser) [min.60 cm], bebas dari perubahan musim/gangguan alam [min. 1 m] atau di bawah level scouring dan tanah organik. Sistem pondasi aman terhadap geser, guling, kapasitas dukung tanah/setlement dan longsor massa pada daerah berbukit (banyak parameter yang tidak diketahui). Pondasi aman terhadap bahan-bahan reaktif (awet), tidak boleh retak dan tidak boleh melentur berlebihan.

Pondasi ekonomis baik dalam tinjauan struktur maupun pelaksanaan. Pondasi ramah lingkungan (tidak menarik bangunan sekitar akibat setlement). Pondasi fleksibel terhadap kondisi sekitar (perencana harus meninjau kondisi lapangan sebelum mendesain pondasi).

BEBERAPA FAKTOR YANG DIPERTIMBANGKAN TERHADAP PERENCANAAN DAN PELAKSANAAN Air Tanah (m.a.t) Berdampak terhadap kapasitas dukung, stabilitas keseluruhan, gangguan dewatering mengeringkan sumur tetangga), dan teknik pelaksanaan (lempung becek diinjak-injak pekerja secara berlebihan dapat merusak kapasitas dukung tanah.

Podasi bisa miring pada tanah granular terendam air akibat gerusan pada dasar pondasi. Sehingga disarankan jangan dibawah m.a.t atau dengan teknik pelaksanaan yang baik.

Pondasi Baru Dekat dengan Pondasi Lama

Pondasi lama akan terbawa turun juga akibat beban pondasi baru. Solusinya dengan pengaturan jarak yang cukup (sebaran beban 1:1) atau gunakan sheet pile. Suku ke-2 kapasitas dukung tanah akan hilang, sehingga kapasitas dukung menjadi berkurang. Solusi dengan pengaturan jarak yang cukup (sebaran 1:1) atau gunakan sheet pile/buis beton. Volume konstan akan menggesar tanah secara lateral dan bangunan kecil akan terdorong ke samping. Dapat juga bangunan kecil akan terbawa turun. Jika bangunan besar turun 5 cm biasa saja, tetapi kalau bangunan kecil bagaimana? Solusi untuk pondasi pile hingga lapisan keras/lapisan batuan.Berkatian dengan Aliran Air (Erosi)

Dasar pondasi harus di bawah pengaruh gerusan. Pondasi di Atas Tanah Pasir yang Tidak Padat

Masalah yang timbul adalah setlement, erosi air baik di permukaan maupun di dalam tanah. Untuk mencegah dampak erosi permukaan diperlukan kedalaman pondasi yang cukup, namun untuk erosi yang ada dalam tanah diusahakan jangan ada pemompaan atau aliran air. Pondasi di Atas Tanah Ekspansif

Sifat tanah ekspansif: pada saat basah mengembang dan pada saat kering tanah menyusut baik ke arah vertikal (dominan) maupun horisontal.

Pada jalan jika penyusutan tidak bersamaan, aspal akan pecah-pecah. Sedangkan pada saat pengembangan kapasitas dukung tanah mengecil yang dapat berakibat penurunan yang tidak merata.Solusi: Mengganti tanah dengan tanah yang baik, perbaikan tanah dengan bahan kimia semen/kapur), pengontrolan kadar air agar tidak terjadi penyusutan dan pengembangan.

Untuk pondasi dapat dipasang rongga pengatur kembang susut.Untuk pondasi tiang, agar tiang tidak terpengaruh kebang susut dapat digunakan pelapis bitumen agar permukaan tiang licin sehingga tidak menarik maupun mendorong tiang.

Untuk pasangan tegel rumah di atas tanah ekspansif disarankan,

Sedangkan untuk pondasi telapak disarankan mengganti lapisan ekspansif dengan jenis tanah yang tidak ekspansif.

Pondasi di Atas Tanah Lempung Non-EkspansifLaminating Clays (lempung keras tapi berlapis dan bercelah) akan menyebabkan bidang licin jika ada air hujan sehingga qu tidak bisa ditetapkan besarnya. Disarankan menggunakan residual strength-nya. Lempung lunak akan menimbulkan masalah setlement dan kapasitas dukung yang rendah dan jenis tanah ini dapat mengalir dan menggeser tiang pancang. Pondasi di Atas Timbunan yang Tidak DirencanakanJika akan mendesain pondasi di atas timbunan yang tidak direncanakan perlu diyakinkan dahulu materialnya apa, dan keseragaman/kepadatannya bagaimana. Apakah materialnya berupa sampah, puing bangunan, tanah bekas tanaman atau kayu. Masalah yang timbul adalah perbedaan setlement akibat kepadatan dan keseragaman yang berbedabeda. FAKTOR LINGKUNGAN YANG PERLU DIPERHATIKAN PRINSIP: Menjaga kelestarian lingkungan dengan mempertimbangkan dampak pada lingkungan, meminimalkan dampak dan mencegah serta mengatasi dan memperbaiki.PENGEBORAN Saat penyelidikan tanah, lubang bor jangan dibiarkan terbuka untuk menghindari pencemaran air tanah. Perlu dipikirkan penyelamatan Top Soil, pencegahan kerusakan struktur tanah pada pengoboran di dekat sungai/aliran air serta efek pengeboran pada muka air tanah terutama di atas lapisan rapat air.

BAHAN GALIAN Bahan galian jangan masuk ke saluran drainase dan tercecer di jalan. PELAKSANAAN PONDASI Pertimbangkan dampak kebisingan dan getaran akibat pemancangan tiang.

PENGGUNDULAN TANAMAN Pertimbangkan erosi dan instabilitas lereng serta kembang susut aktif. PEKERJAAN DI TEPI SUNGAI/LAUT Reklamasi pantai akan menyebabkan hidraulik gradien turun, aliran air lamban dan banjir. Pertimbangkan pengaruh intrusi air laut dan keragaman hayati.

PEMOTONGAN BUKIT Perlu dipertimbangkan bahaya longsor. PENGEMBANGAN DAERAH YANG DILINDUNGI Pantai berterumbu karang, berbakau dan pasir bukit alami.http://cumulonimbuss.wordpress.com/category/civil-engineering/

Merintis Swasembada Air Tanah di Kawasan Perkotaan Padat Pemukiman Oleh : Friski Cahya Nugraha, S.T. (Sleman, DIY) Tanggal : Senin, 31 Mei 2010 Permasalahan Air bersih adalah salah satu bentuk Sumber Daya Alam di bumi ini, yang sekaligus menjadi kebutuhan vital setiap umat manusia di seluruh penjuru dunia, di mana salah satu sumber pemenuhannya adalah dengan eksploitasi (pengambilan) air tanah. Di kawasan perkotaan padat penduduk, krisis air tanah merupakan sebuah permasalahan yang terus berakumulasi. Sebagai contoh, dalam (Febrianti, 2009) disebutkan bahwa besarnya kebutuhan air tawar bersih per tahun di DKI Jakarta sekitar 548 juta meter kubik, itu pun hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga warga Jakarta, belum termasuk kebutuhan industri, perkantoran, dan hotel yang bisa ditambahkan sekitar 30% dari angka yang tercantum. Alur permasalahan Krisis Air Tanah di kawasan perkotaan padat penduduk ditampilkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Alur permasalahan Krisis Air Tanah di Kawasan Perkotaan Padat Penduduk Akumulasi dari terjadinya Krisis Air Tanah dapat menimbulkan bencana kemanusiaan di masa yang akan datang, sehingga perlu dilakukan penanggulangan yang komprehensif dan holistik serta melibatkan semua stakeholder terkait. Solusi yg ditawarkan Untuk mengatasi krisis air tanah, diperlukan pendekatan/metode dari berbagai sudut pandang serta kerja sama dari semua stakeholder terkait. Semua metode tersebut merupakan bentuk upaya untuk mewujudkan Swasembada Air Tanah di Kawasan Perkotaan Padat Pemukiman. Dari segi teknis, dapat dilakukan dengan pembuatan Sumur Resapan (Gambar 2) serta Taman

Bertanggul Resapan (Gambar 3), prinsip dasar kedua metode tersebut adalah meresapkan aliran air hujan/debit limpasan yang terjadi di permukaan masuk ke dalam tanah (menambah pasokan air tanah), Metode ini cocok diterapkan di kawasan perkotaan dengan kedalaman muka air tanah relative dalam serta permeabilitas tanah yang porus (cenderung berupa pasir). Secara analitis, kapasitas tampung (debit air yang masuk) sumur resapan dapat dihitung dengan Formula dari Sunjoto (1988) sebagai berikut :

dengan : H: tinggi muka air dalam sumur (m), Q: debit air masuk (m3/jam) ' kapasitas tampung, F: faktor geometri (m) ' tergantung komponen penyusun dan geometri, K: koefisisen permeabilitas tanah (m/jam), T: durasi dominan hujan (jam), R: jari-jari sumur (m). Jumlah ideal sumur resapan di suatu kawasan dapat dihitung dengan membagi Debit Limpasan Lahan dengan Debit kapasitas tampung 1 sumur resapan, adapun besarnya Debit Limpasan Lahan yang terjadi dapat dihitung dengan menggunakan Metode Rasional (UGM, 2005) , dengan formula sebagai berikut : Q=kxCxIxA dengan Q : debit limpasan lahan (m3/s), k : faktor konversi satuan dengan nilai 0,00278, C : koefisien runoff (antara 0 s/d1, semakin kedap air = semakin besar) I : intensitas hujan (mm/jam), A : luasan lahan (Ha). Sedangkan solusi lainnya dari segi teknis dapat dilakukan dengan membuat tanggul setinggi 1020 cm di sekeliling taman/rerumputan, sehingga air hujan yang jatuh di luasan taman tersebut tidak mengalir menjadi aliran permukaan, sehingga secara analitis dapat dikatakan Jika Taman bertanggul resapan bekerja optimal, koefisien runoff akan bernilai Nol (semua aliran air hujan meresap ke dalam tanah).

Gambar 2. Sketsa sumur resapan (Sumber: BPLHD, 2001 dalam UGM, 2005)

Gambar 3. Foto Taman Bertanggul Resapan di Taman bagian dalam Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada (Sumber : Nugraha, 2010) Solusi dari segi hukum, dapat dilakukan dengan membuat peraturan yang jelas dan tidak multitafsir mengenai kewajiban masyarakat serta developer pemukiman/bangunan niaga untuk membangun sumur resapan dalam jumlah dan dimensi yang memadai sebagai "kompensasi" dari berkurangnya luasan daerah resapan air akibat bangunan baru yang mereka dirikan. Setelah peraturan dibuat, yang tidak kalah pentingnya adalah pemantauan di lapangan terhadap efektivitas penerapan dari peraturan tersebut serta adanya hukuman yang adil, proporsional dan "mendidik" bagi pihak yang melanggarnya. Adapaun solusi dari segi ekonomi, dapat dilakukan dengan memberikan stimulus berupa dana segar kepada warga masyarakat kelas menengah yang membangun sumur resapan di kawasan rumahnya, misalkan biaya pembangunan sumur resapan di kawasan pemukiman kelas menengah, ditentukan komponen biaya ditanggung bersama 50% - 50% antara Pemerintah Daerah dan Pemilik Rumah atau Developer Perumahan. Sumber dana untuk stimulus ini dapat diambil dari sebagian alokasi dana pembuatan saluran drainasi perkotaan, karena jika penerapan sumur resapan dan taman bertanggul resapan dapat berjalan optimal, toh pada akhirnya "beban" debit banjir yang harus ditampung saluran drainasi akan menurun (meningkatnya aliran air yang meresap ke tanah ekuivalen dengan menurunnya aliran air yang masuk ke saluran drainasi). Dari segi sosial dan keilmuan, dapat dilakukan dengan melakukan publikasi secara rutin

(misalkan: setahun sekali, dan dipublikasikan pada saat peringatan Hari Lingkungan Hidup) kepada masyarakat mengenai terjadinya penurunan muka air tanah beserta efek domino yang akan ditimbulkannya, di mana besarnya penurunan muka air tanah tersebut merupakan hasil riset yang dapat dipertanggung jawabkan keilmiahan dan keakuratannya. Dengan publikasi yang massif dan rutin, diharapkan secara perlahan (namun pasti), kesadaran masyarakat untuk meminimalisir terjadinya krisis air tanah akan terbangun, dan lebih jauh lagi, diharapkan masyarakat ikut berperan aktif dalam usaha Merintis Swasembada Air Tanah di Kawasan Perkotaan Padat Pemukiman. Kesimpulan Seiring berkembangnya zaman, permasalahan akan terus bertambah, baik dalam aspek kuantitas maupun kualitas, termasuk permasalahan krisis air tanah di Kawasan Perkotaan Padat Penduduk, yang dapat berujung pada terjadinya bencana kemanusiaan. Untuk meminimalisir permasalahan tersebut,kita harus secepat mungkin mulai Merintis Swasembada Air Tanah di Kawasan Perkotaan Padat Pemukiman yang langkah-langkahnya telah diuraikan di bagian ke-2 (Solusi yang ditawarkan) dari Tulisan ini.http://www.mediaindonesia.com/webtorial/klh/?ar_id=NzQ0NA==

Keunggulan dan Manfaat Biopori on: 02 February 2010, 13:24 Lubang resapan biopori adalah teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk mengatasi banjir dengan cara: - meningkatkan daya resapan air - mengubah sampah organik menjadi kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan) - memanfaatkan peran aktivitas fauna tanah dan akar tanaman, dan mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti penyakit demam berdarah dan malaria. Meningkatkan Daya Resapan Air Kehadiran lubang resapan biopori secara langsung akan menambah bidang resapan air, setidaknya sebesar luas kolom/dinding lubang. Sebagai contoh bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dalam 100 cm maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3140 cm2 atau hampir 1/3 m2. Dengan kata lain suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm2 setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3218 cm2.

Teknologi Biopori, Solusi Tepat Atasi BanjirBogor (ANTARA News) - Sebagai salah satu upaya mengatasi banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya setiap tahun, Institut Pertanian Bogor (IPB) memperkenalkan teknologi lubang serapan biopori yang relatif mudah diaplikasikan mulai dari skala rumahtangga hingga skala lebih luas. Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan, kata dosen Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir. Kamir R Brata MS di Bogor, Selasa. Prinsip dari teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. "Selama ini yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran," kata dia. Dinamakan teknologi biopori atau mulsa vertikal karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah

organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki. "Cara ini disamping membantu mengatasi masalah sampah perkotaan, juga diharapkan menjadi solusi atas bencana banjir yang selalu melanda Jakarta," kata Kamir. Di kawasan perumahan yang 100 persen kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumahtangga. Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori. Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. "Tidak perlu khawatir sampah organik akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik," ujarnya. Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata. Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka. "Saya sudah membuktikan, dengan membuat lubang-lubang semacam ini di dekat pohon, pohon menjadi semakin subur," kata dia. Sementara itu, untuk kawasan persawahan di lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air. Air justru diserapkan ke dalam tanah dengan cara diberi serasah di dasar saluran atau dengan membuat cekungan berisi serasah. Prinsip ini sama dengan lubang serapan yang diisi dengan sampah organik. "Jangan khawatir ada tikus atau ular karena cekungan ini akan selalu tergenang air," kata Kamir. Lebih lanjut ia menegaskan, aplikasi teknologi tepat guna ini memerlukan dukungan masyarakat untuk mengubah kebiasaan mencampur sampah organik dan anorganik. Diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas, dari wilayah hulu hingga hilir, sehingga teknologi ini bisa dirasakan manfaatnya untuk mengatasi banjir, kata

biopori adalah lubang-lubang di dalam tanah yang terbentuk akibat berbagai aktifitas organisme di dalamnya, seperti cacing, perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya. lubang-lubang yang terisi udara, dan akan menjadi tempat berlalunya air di dalam tanah. Bila lubang-lubang seperti ini dapat dibuat dengan jumlah yang banyak, maka kemampuan dari sebidang tanah untuk meresapkan air akan semakin meningkat. meningkatnya kemampuan tanah untuk meresapkan air akan memperkecil peluang terjadinya aliran air di permukaan atanah, atau dengan kata lain akan dapat mengurangi bahaya banjir yang mungkin terjadi. peningkatan jumlah biopori tersebut dapat dilakukan dengan membuat lubang vertkal ke dalam tanah. lubang-lubang tersebut selanjutnya diisi dengan bahan organik, seperti sampah-sampah organik, seperti sampah rumah tangga, atau rumput dsb. bahan organik ini nantinya akan menjadi sumber energi bagi organisme dalam tanah, sehingga aktivitas bawah tanah akan meningkat dan terbentuk biopori lainnya. kesinergisan antara lubang vertikal yang dibuat dengan biopori yang terbentuk akan memungkinkan lubang-lubang ini dimanfaatkan sebagai lubang peresapan air artifisial yang relatif murah dan ramah lingkungan. LUBANG RESAPAN BIOPORI atau LRB dapat dengan mudah diaplikasikan mulai dari lingkungan rumah kita sendiri. info lengkapnya : www.biopori.com

Mendaur Ulang Air Jadi Layak Pakai27 Mar 2010

Harian Ekonomi Neraca Lingkungan

Karena menipisnya persediaan air bersih di Indonesia, banyak hal yang dilakukan untuk konservasi air. Salah satunya adalah dengan cara mengolah air limbah hasil industri menjadi air bersih. Hal tersebut dilakukan banyak perusahaan demi menyumbangkan sesuatu yang berarti bagi lingkungan sekitar. NERACA - Siapa sangka air limbah yang kotor dapat berubah menjadi air bersih? Dulu, hal ini mungkin sangat sulit dilakukan. Seiring dengan majunya teknologi, air limbah bukan hanya dapat menjadi air bersih saja tetapi juga dapat dikonsumsi manusia. "Air limbah merupakan konsekuensi dari aktivitas pabrik," tutur Jarig Langhout, Direktur Operasional Frisian Flag Indonesia. Oleh sebab itu, menurutnya, semua orang yang terlibat dalam industri memiliki tanggungjawab dalam hal memastikan bahwa air limbah tersebut tidak membahayakan lingkungan. Dan salah satu caranya adalah dengan menerapkan fasilitas yang tepat untuk mengolah limbah tersebut sesuai dengan standar lokal dan internasional. Waste Water Treatment Modern Salah satu perusahaan yang merasa turut bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitar adalah PTToyota Motor Manufacturing Indonesia (PTTMMIN). Perusahaan ini membangun sistem pengolahan limbah modern dengan proses kimia dan biologi sehingga air hasil olahan limbah cair dapat dipergunakan kembali. Sistem pengolahan limbah ini menggunakan suatu proses unik, yaitu air floation dan acticon tact aeration untuk mengurangi pembentukan sludge (endapan lumpur). Waste Water Treatment (WWT) Sunter 1 mulai dioperasikan tahun 1994, dengan kapasitas 2500 m3 perhari. Menyusul di tahun 1997 untuk pengoperasian WWT Karawang, dan terakhir di tahun 2006 untuk WWT Sunter 2. Hasil dari pengolahan limbah tersebut dapat digunakan kembali untuk berbagai keperluan seperti untuk menyiram toilet, mencuci belt press (mesin pres limbah padat/endapan lumpur) dan dolly (alat angkut palet), serta air penangkap limbah cat. Tidak hanya itu, dengan menerapkan sistem pengolahan limbah menjadi air bersih tersebut, Karawang Plant mendapatkan sertifikat ISO 14001 untuk Environment Management System pada bulan Juni 2000. Water Treatment Plant T-300 Bila dulu olahan air limbah hanya dapat digunakan untuk utilitas pabrik, kini air tersebut dapat diolah menjadi air minum bersih yang layak konsumsi. Seperti PT Adaro Indonesia yang menggunakan sistem pengolahan air limbah Water Treatment Plant

(WTP) T300. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk dapat memproduksi air bersih siap minum " sebesar 20 liter perdetik. Proses mengolah air limbah menjadi air bersih dan siap minum melalui beberapa tahap. Pertama, PH adjustment atau netralisasi air. Berikutnya, air dijernihkan dengan mengendap-kan partikelpartikel terlarut yang terdapat dalam air dan tahap terakhir adalah teknik corrinasi. Tujuannya adalah sebagai desinfektan yang membunuh bakteri seperti E-coli dan coliform. Setelah melalui tahapan tersebut, air yang dihasilkan sudah memenuhi standar baku mutu, yang ditentukan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang standar air minum dan air bersih. Namun, para peneliti tetap melakukan peningkatan kualitas terhadap air tersebut sehingga semakin aman dikonsumsi. Dengan menerapkan teknologi WTP T-300 ini, PT. Adaro Indonesia mendapatkan penghargaan Indonesia CSR Award 2008 di bidang lingkungan, untuk program air bersih dengan memanfatkan air limbah tambang. Sistem Curieau Adalah Frisian Flag Indonesia yang pertamakali menerapkan sistem pengolahan limbah dari AQUA Industrial Water Treatment tersebut di Asia. Dengan pengap-likasian sistem daur ulang air ini, Frisian Flag Indonesia mampu menghemat sekitar 50% air sumur dalam operasionalnya. Hal ini juga mengurangi pembuangan air hasil olahan air limbah ramah lingkungan sebesar 25% ke sungai terdekat. Sistem Curieau tersebut merupakan sistem daur ulang air yang sangat canggih dan dapat mengolah limbah industri menjadi air layak konsumsi. Sampai saat ini, baru ada empat perusahaan di dunia yang menerapkan sistem tersebut, tiga di Eropa (Jerman dan Belanda) dan satu di Indonesia. Sistem pengolahan air yang diterapkan di Indonesia ini setara dan secanggih sistem yang diterapkan di Jerman. "Alasannya karena masalah kelayakan dan keamanan," ujar Arjan dee Brejen, wakil dari AQUA Industrial Water Treatment, kepada Neraca pada saat peluncuran sistem tersebut (2/3). Menurutnya, air yang dihasilkan di Indonesia harus layak konsumsi mengingat harga air tanah yang semakin melambung karena kelangkaan-nya. Oleh sebab itu, harapannya air hasil pengolahan tersebut dapat dipergunakan kembali, bahkan untuk diminum. Memang sejak berdirinya (kurang lebih 2 tahun yang lalu), penerapan sistem pengolahan Curieau ini dikhususkan untuk industri makanan. "Hal ini karena kita tahu betul bagaimana cara mengolah limbah dari industri makanan tersebut," ujar Arjan. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan sistem yang sama dapat diterapkan untuk jenis industri lainnya. "Dengan catatan ada tenaga ahli yang dapat membantu kita menjalankan sistem tersebut," tambahnya.

Terdapat tujuh tahapan yang harus dilalui dalam penggunaan Sistem Curieau ini. Ketujuh tahapan tersebut kemudian dibagi lagi menjadi dua fase. Dalam fase pertama - mulai dari Multi Media Filtration, Advanced Oxi-dation, sampai AC Filtration - air yang dihasilkan telah memenuhi standar kelayakan WHO. Air tersebut dapat digunakan untuk irigasi dan untuk mencuci. Selain itu, air yang dihasilkan itu sudah bebas dari bau, tidak berwarna, serta tidak mengandung bakteri yang membahayakan. Dalam fase kedua yang terdiri dari empat tahapan (Absolute Filtration, Water Hardening, Water Storage, dan Final Disinfection), air tersebut telah memenuhi standar air Europe Union dan standar Indonesia. Air yang dihasilkan dapat digunakan untuk proses industri dan untuk diminum. Tidak hanya itu, air tersebut sesegar dan selayak air mineral botol yang dijual di supermarket. Air layak konsumsi yang dihasilkan oleh sistem Curieau sejak Januari lalu telah digunakan untuk utilitas Frisian Flag Indonesia, seperti boiler, sistem pendingin, dan fasilitas pembersih. Tidak hanya itu, Frisian Flag Indonesia juga menerapkan sistem daur ulang air ini untuk meningkatkan kapasitas pabriknya di wilayah Pasar Rebo dan Ciracas. *tia/dbs

Biopori sebagai ramah lingkungan & Cadangan Air Bawah Tanah

Biopori sempat santer beberapa waktu lalu. Namun entah mengapa kemudian gaungnya tak lagi 'semeriah' pada awalnya. Berikut kita akan meng-gaung-kan kembali wacana biopori ini sebagai salah satu alternatif pencegah banjir. Dari Kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Ir Kamir R Brata, MS, staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB, mencoba menawarkan solusi teknologi alternatif, yang bisa mengurangi dampak banjir yang telah diterapkan di area sekitar tempat tinggalnya. "Teknologi ini bisa diaplikasikan di kawasan perumahan yang 100 % kedap air atau sama sekali tidak ada tanah terbuka maupun di areal persawahan yang berlokasi di kawasan perbukitan. Teknologi ini merupakan salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi musibah banjir negeri ini," katanya. Teknologi 'Lubang Resapan Biopori-LRB' ini diawali dengan pembuatan lubang sedalam 80 cm dan diameter 10 cm. Langkah selanjutnya adalah memasukkan sampah dua hingga tiga kilogram, tergantung jenis sampah ke dalam lubang tersebut. Sampah-sampah tersebut kemudian diurai oleh organisme pengurai sehingga terbentuk pori-pori tanah dan dengan cara ini, air hujan yang turun tidak membentuk aliran permukaan, melainkan meresap ke dalam tanah melalui pori-pori tersebut. Cara ini tak membuat tanah menjadi lunak, karena air yang terserap akan tersimpan menjadi cadangan air di bawah tanah, imbuhnya. Disarankan agar kedalaman lubang yang dibuat kurang dari satu meter, karena bila lebih dari itu cacing-cacing dan organisme pengurai lainnya kekurangan oksigen sehingga tidak dapat bekerja dengan baik. Prinsip pada teknologi ini adalah menghindari air hujan mengalir ke daerah yang lebih rendah dan membiarkannya terserap ke dalam tanah melalui lubang resapan tersebut. "Selama ini yang menjadi salah satu faktor penyebab banjir adalah air hujan yang mengguyur wilayah hulu tidak bisa diserap dengan baik karena berkurangnya pepohonan dan banyaknya bangunan, sehingga wilayah hilir kebanjiran," paparnya. Dinamakan teknologi biopori atau 'mulsa vertikal', karena teknologi ini mengandalkan jasa hewan-hewan tanah seperti cacing dan rayap untuk membentuk pori-pori alami dalam tanah, dengan bantuan sampah organik, sehingga air bisa terserap dan struktur tanah diperbaiki. Di kawasan perumahan yang 100% kedap air, teknologi lubang serapan biopori ini diterapkan dengan membuat lubang di saluran air ataupun di areal yang sudah terlanjur diperkeras dengan semen dengan alat bor. Kemudian ke dalam lubang berdiameter 10 cm dengan kedalaman 80 cm

atau maksimal satu meter tersebut, dimasukkan sampah organik yang bisa berupa daun atau ranting kering serta sampah rumahtangga. Keberadaan sampah organik ini berfungsi untuk membantu menghidupkan cacing tanah dan rayap yang nantinya akan membuat biopori. Di saluran air, lubang serapan ini bisa dibuat setiap satu meter dan pada ujung saluran dibuat bendungan sehingga air tidak lagi mengalir ke hilir namun diserap sebanyak-banyaknya ke dalam lubang. Sampah organik tidak akan meluap karena air akan begitu cepat terserap ke dalam lubang. Begitu pun tidak ada bau yang ditimbulkan dari sampah karena terjadi proses pembusukan secara organik di dalam tanah. Penyerapan air ini juga tidak akan merusak pondasi bangunan karena air meresap secara merata. Teknologi ini juga bisa diterapkan di rumah-rumah yang memiliki lahan terbuka. Penerapan dengan membuat lubanglubang semacam ini di dekat pohon, membuat pohon menjadi semakin subur. Sementara itu, untuk kawasan persawahan di lahan miring, sebaiknya ditanami dengan padi gogo yang tidak membutuhkan banyak air. Air justru diserapkan ke dalam tanah dengan cara diberi serasah di dasar saluran atau dengan membuat cekungan berisi serasah. Prinsip ini sama dengan lubang resapan yang diisi dengan sampah organik. Aplikasi teknologi tepat guna ini memerlukan dukungan masyarakat untuk mengubah kebiasaan mencampur sampah organik dan anorganik, tegas Kamir. Diperlukan keterlibatan masyarakat secara luas, dari wilayah hulu hingga hilir, sehingga teknologi ini bisa dirasakan manfaatnya untuk mengatasi banjir. So, jangan cuma bisa menyalahkan pihak lain kalau banjir, semua bisa dimulai dari rumah kan? (ee/ net)