bbm, dinamika gejolak sosial

9
BBM, DAN DINAMIKA GEJOLAK SOSIAL Oleh: Salman Munthe, S.Pd,SE.M.Si 1 Perlunya kontak antara ’etika’ dan ’ilmu ekonomi’ sehingga kerangka analisa yang dilakukan oleh sebahagian besar ekonom “mainstream” (arus utama) tidak mengalami “biasedPendahuluan Di tahun 2013 kebijakan pemerintah nampaknya sepakat mengurangi subsidi BBM yang membebani APBNP-2013 berkisar 300 triliyun, jika hal ini tidak dilakukan pengurangan subsidi BBM dihawatirkan pemerintah tidak sanggup membiayai sektor- sektor lain yang juga sangat vital segera harus dijalankan, jika kita lihat jumlah 300 triliun rupiah adalah angka yang sangat besar jika dana tersebut digunakan untuk membangun jembatan seperti selat sunda sudah rampung dengan alokasi dana hanya 200 triliun yang masa pengerjaannya juga bertahap berkisar 10 tahun, tapi kebijakan tidak ”populis” pemerintah selama ini terus di pertahankan dengan mempertimbangkan masyarakat miskin akan termiskinkan sehingga memberikan subsidi bukan hanya masyarakat lemah tapi masyarakat kaya juga termasuk mendapat subsidi BBM dari pemerintah. Sungguh tidak terlalu asing jika kita bertanya dimanakah sumberdaya alam yang kita miliki selama ini? lalu dapat kita simpulkan bahwa sumberdaya alam kita selama ini terutama minyak dan gas (migas) dijadikan idola pemerintah untuk penerimaan negara di luar migas, seperti pajak. Akhirnya sumberdaya itu akan habis seperti yang terjadi saat ini. Apa mau dikata agaknya nasi sudah menjadi bubur saat ini 1 Penulis Adalah Ketua Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Tjut Nyak Dhien Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan, Ketua Yayasan Pendidikan Putra Kualuh Labura Sumatera Utara, Sarjana Pendidikan dari Unimed (2002), Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Unsyiah Banda Aceh (2006). Sataf Pengajar di Pemerintah Kabupaten Langkat. Email: [email protected] 1

Upload: salman-munthe

Post on 20-Nov-2014

344 views

Category:

Economy & Finance


0 download

DESCRIPTION

Di tahun 2013 kebijakan pemerintah nampaknya sepakat mengurangi subsidi BBM yang membebani APBNP-2013 berkisar 300 triliyun, jika hal ini tidak dilakukan pengurangan subsidi BBM dihawatirkan pemerintah tidak sanggup membiayai sektor-sektor lain yang juga sangat vital segera harus dijalankan, jika kita lihat jumlah 300 triliun rupiah adalah angka yang sangat besar jika dana tersebut digunakan untuk membangun jembatan seperti selat sunda sudah rampung dengan alokasi dana hanya 200 triliun yang masa pengerjaannya juga bertahap berkisar 10 tahun, tapi kebijakan tidak ”populis” pemerintah selama ini terus di pertahankan dengan mempertimbangkan masyarakat miskin akan termiskinkan sehingga memberikan subsidi bukan hanya masyarakat lemah tapi masyarakat kaya juga termasuk mendapat subsidi BBM dari pemerintah. Sungguh tidak terlalu asing jika kita bertanya dimanakah sumberdaya alam yang kita miliki selama ini? lalu dapat kita simpulkan bahwa sumberdaya alam kita selama ini terutama minyak dan gas (migas) dijadikan idola pemerintah untuk penerimaan negara di luar migas, seperti pajak. Akhirnya sumberdaya itu akan habis seperti yang terjadi saat ini. Apa mau dikata agaknya nasi sudah menjadi bubur saat ini pemerintah dengan mudah mengalihkan pendapatan negara bukan dari (migas) sebab minyak dan gas tidak memadai lagi untuk diganyang, maka pajaklah yang menjadi sasaran kebijakan fiskal (fiscal policy) dipungut dari masyarakat. Memang edan kita punya pemerintah, sudah tahu akibat dari pengisapan sumberdaya alam secara berlebihan sejak tahun 1973 telah memproduksi 1,3 juta barel perhari, Indonesia mampu mengekspor minyak mentah seharga US$ 8 perbarel. Lalu pada tahun 1982, Indonesia di nobatkan sebagai salah satu negara pengekspor minyak mentah seharga US$ 8 perbarel.

TRANSCRIPT

Page 1: Bbm, dinamika gejolak sosial

BBM, DAN DINAMIKA GEJOLAK SOSIAL

Oleh: Salman Munthe, S.Pd,SE.M.Si1

Perlunya kontak antara ’etika’ dan ’ilmu ekonomi’ sehingga kerangka analisa yang dilakukan oleh sebahagian besar ekonom “mainstream” (arus utama) tidak mengalami “biased”

PendahuluanDi tahun 2013 kebijakan pemerintah nampaknya sepakat mengurangi subsidi BBM

yang membebani APBNP-2013 berkisar 300 triliyun, jika hal ini tidak dilakukan pengurangan subsidi BBM dihawatirkan pemerintah tidak sanggup membiayai sektor-sektor lain yang juga sangat vital segera harus dijalankan, jika kita lihat jumlah 300 triliun rupiah adalah angka yang sangat besar jika dana tersebut digunakan untuk membangun jembatan seperti selat sunda sudah rampung dengan alokasi dana hanya 200 triliun yang masa pengerjaannya juga bertahap berkisar 10 tahun, tapi kebijakan tidak ”populis” pemerintah selama ini terus di pertahankan dengan mempertimbangkan masyarakat miskin akan termiskinkan sehingga memberikan subsidi bukan hanya masyarakat lemah tapi masyarakat kaya juga termasuk mendapat subsidi BBM dari pemerintah.

Sungguh tidak terlalu asing jika kita bertanya dimanakah sumberdaya alam yang kita miliki selama ini? lalu dapat kita simpulkan bahwa sumberdaya alam kita selama ini terutama minyak dan gas (migas) dijadikan idola pemerintah untuk penerimaan negara di luar migas, seperti pajak. Akhirnya sumberdaya itu akan habis seperti yang terjadi saat ini. Apa mau dikata agaknya nasi sudah menjadi bubur saat ini pemerintah dengan mudah mengalihkan pendapatan negara bukan dari (migas) sebab minyak dan gas tidak memadai lagi untuk diganyang, maka pajaklah yang menjadi sasaran kebijakan fiskal (fiscal policy) dipungut dari masyarakat. Memang edan kita punya pemerintah, sudah tahu akibat dari pengisapan sumberdaya alam secara berlebihan sejak tahun 1973 telah memproduksi 1,3 juta barel perhari, Indonesia mampu mengekspor minyak mentah seharga US$ 8 perbarel. Lalu pada tahun 1982, Indonesia di nobatkan sebagai salah satu negara pengekspor minyak mentah seharga US$ 8 perbarel.

Kebijakan Sumberdaya BBMPotret sejarah baru negeri ini tercermin dari kepanikan masyarakat terhadap

kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan dilakukan pemerintah di tahun 2013 dapat berakibat pada menumpuknya masyarakat untuk mendapatkan harga terakhir disetiap SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak) baik pusat maupun

1 Penulis Adalah Ketua Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Tjut Nyak Dhien Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan, Ketua Yayasan Pendidikan Putra Kualuh Labura Sumatera Utara, Sarjana Pendidikan dari Unimed (2002), Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Unsyiah Banda Aceh (2006). Sataf Pengajar di Pemerintah Kabupaten Langkat. Email: [email protected]

1

Page 2: Bbm, dinamika gejolak sosial

daerah, antrian panjang dan perilaku menunggu datangnya BBM menjadi fenomena yang biasa. Kehawatiran tidak mendapat BBM untuk menjalankan mesin kendaraan, disaat kita akan beraktivitas menggunakan sepeda motor maupun mobil pribadi tentunya membutuhkan BBM untuk menjalankan mesin, sehingga masyarakat mencari solusi sendiri dengan membawa jerigen dengan harapan petugas SPBU mau mengisi BBM untuk sekedar menghindari antrian yang luar biasa panjang.

Di sela kepanikan seluruh masyarakat akan dampak dari kenaikan harga BBM yang berlarut larut tanpa ada kepastian kapan waktunya alias tarik ulur harga subsidi BBM maka pemeritah mengambil sebuah keputusan menetapkan secara bijak kenaikan harga BBM dan jangan mengulur waktu sehingga dihawatirkan akan terjadi penimbunan BBM oleh spekulan demi keuntungan peribadi tanpa memperhatikan kesengsaraan masyarakat akan dampak kenaikan BBM disampaikan oleh pemerintah secepatnya bagaimana slogan yang biasa kita dengar dari mantan wakil Presiden RI (Yusuf Kalla) “ Lebih cepat lebih baik.”

Untuk memenuhi kebutuhan BBM sekitar 60,14 juta kiloliter pemerintah harus mengimpor sebahagian kekurangan dari Negara Singapura dan Timur Tengah, supaya harga BBM domestik tidak terlampau mahal, maka pemerintah memberikan subsidi kepada PT. Pertamina (persero), salah satunya perusahaan yang memonopoli BBM di Indonesia. Dalam APBN P-2005 subsidi BBM direncanakan Rp. 76,5 triliun, ini di luar harga minyak dunia yang saat ini mencapai US$60 perbarel, ditahun 2012 APBN subsidi BBM berkisar 300 Triliun dan kemungkinan ditahun 2013 akan naik menjadi 400 triliun inilah beban negara yang paling besar hanya untuk memanjakan rakyat (baik masyarakat kaya maupun miskin mendapat prilaku sama terhadap manisnya sumbangan pemerintah melalui Sumsidi BBM, anehnya subsidi pemerintah terhadap BBM dananya dari pinjaman alias utang negara yang pembayarannya adalah generasi akan datang sebab penerimaan dan kebutuhan negara minus.

Tapi apakah subsidi BBM ini benar-benar menyentuh masyarakat cilik? Apa tidak mungkin wong gedek tertawa terbahak-bahak karena perlakuan pemerintah sama terhadap dirinya, agaknya inilah yang menjadi Perkerjaan Rumah (PR) pemerintah di bawah kendali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kebijakan seperti ini di dalam ilmu ekonomi disebut “trade off,” bila pemerintah memberikan subsidi BBM tentu menguntungkan orang kaya negeri ini apabila BBM di cabut akan mensengsarakan rakyat miskin, bila dilakukan diskriminasi harga akan memicu spekulasi dan Black Market (pasar gelap).

Maka perlu peranan kaum intelektual, LSM dan pemerhati masalah Energi untuk menyampaikan kepada seluruh kalangan masyarakat bahwa perilaku hemat BBM secara bersama-sama mampu mempertahankan pasokan BBM hingga 10 persen, berarti generasi anak cucu kita masih bisa menikmati emas sebab Negara Indonesia memang mempunyai faktor “ambundance” yang melimpah, keunggulan mutlak atas sumberdaya yang kita miliki seperti yang dituliskan oleh Bapak Ilmu ekonomi “Adam Smith” dalam bukunya yang terkenal tahun 1776 berjudul “The Wealth of Nations,” kita mampu menciptakan perdagangan Internasional yang menguntungkan negara, apabila kita berspesialisasi pada sumberdaya alam terutama minyak dan gas (migas), tetapi karena disebabkan keinginan yang kuat untuk menggapai tingkat pertumbuhan ekonomi, dengan terpaksa mengorbankan sumberdaya alam yang rawan (BBM) itu untuk dijadikan komoditi unggulan penerimaan negara terbesar di era 1970 s.d 1980-an, saat ini baru kita

2

Page 3: Bbm, dinamika gejolak sosial

sadari begitu berhargaya sumberdaya energi yang dulunya kita tidak pandai mengatur untuk keberlanjutan persediaan BBM di negeri ini.

Kita memang tertarik apa yang pernah di tulis oleh Ahli ekonomi kebangsaan India “Amartya sen” yang mendapat penghargaan Nobel (1980) atas karya beliau menulis buku dengan judul “On Ethich and Economics” yang artinya masih adakah harapan bagi kaum miskin, menjelaskan bahwa ilmu ekonomi pada saat ini memadukan sebuah pendekatan logika “positivisme-empirik,” pendekatan ini hanya menekankan pada fenomena yang rill yang dapat dikuantifisir dalam bentuk angka-angka Sen mengkaji kembali perlunya kontak antara etika dan ilmu ekonomi sehingga kerangka analisa yang dilakukan oleh sebahagian besar ekonom “mainstream” (arus utama) tidak mengalami “biased”. Usulan Sen agar ilmu ekonomi memasukkan nilai-nilai etika moral, tentu saja mengejutkan dan membukakan mata semua pihak akan betapa keringnya ilmu ekonomi terhadap nilai-nilai sosial kemasyarakatan sehingga terjadi “tragedy of The Commons” yang pernah dikemukakan oleh ahli Biologis “Garrett Hardin,” ketika manusia berusaha keras menghisap sumberdaya alam terutama minyak dan gas (migas) secara berlebihan padahal sumberdaya alam tersebut terbatas (Unrenewable resource) maka kehancuranlah salah satu jalan yang dituju jika memang pemerintah tidak memasukkan nilai etika dalam analisa kebijakan ekonomi yang di ambil untuk mempertahankan pasokan BBM secara nasional.

Ada beberapa kebijakan yang tentunya harus segera dilakukan pemerintah untuk mengatasi membengkaknya konsumsi BBM. Pertama, segera kurangi ketergantungan impor BBM dengan secara bertahap membangun kilang minyak di dalam negeri. Kedua, segera lakukan penjaminan pasokan minyak mentah melalui kerja sama dengan Negara-negara kaya akan minyak mentah. Ketiga, secara bertahap menaikkan harga BBM di dalam negeri dan mempokuskan target subsidi BBM pada sektor-sektor yang mampu membuka lapangan kerja bagi masyarakat miskin. Keempat, segera mengkaji segala potensi gejolak masyarakat akibat kenaikan harga BBM dan dapat memisahkan gejolak akibat rekayasa politik, serta melakukan upaya mitigasi risiko gejolak sosial.

Kerawanan Bahan Bakar Minyak (BBM)Kerawanan BBM agaknya sudah menjadi sorotan negara - negara besar seperti

Amerika Serikat (AS), dan akan menjadikan ajang perebutan global terhadap ladang minyak dunia. Amerika Serikat (AS) adalah negara yang “consumerisme” terhadap BBM, data menunjukkan 60 persen minyak dunia di konsumsi oleh masyarakat AS sedangkan sisanya 40 persen minyak dunia di konsumsi oleh negara-negara di luar AS, sehingga pada abad ini BBM adalah rawan dan menjadikan sumber konflik Global.

Jumlah penduduk dunia diperkirakan 7,2 milyar juta jiwa pada tahun 2013 akan menghawatirkan konsumsi minyak global sebagi mana ramalan ahli ekonomi klasik “Thomas Rober Malthus” dalam bukunya yang berjudul “Essay on Future Improvemen of Society” terbitan tahun 1798. Malthus menyimpulkan bahwa pertumbuhan manusia jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan produksi untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri, Malthus mengilustrasikan dengan cara matematika “bahwa manusia berkembang menurut deret ukur (1,2,4,8,1,6,32, dan seterusnya) sedangkan pertumbuhan produksi itu sendiri berkembang menurut deret hitung (1,2,3,4,5 dan seterusnya)”. Ramalan ini tepat untuk krisis BBM saat ini, harga mahal disebabkan pertumbuhan manusia dan pertumbuhan kenderaan tidak sebanding dengan persediaan BBM untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri, pemerintah tidak perduli dalam pembatasan jumlah impor

3

Page 4: Bbm, dinamika gejolak sosial

kendaraan baik sepeda motor maupun mobil, tidak ada pembatasan, sehingga dengan mudah para pemegang modal/orang kaya memakai sebanyak-banyaknya mobil yang ia inginkan, dan juga perilaku pejabat dinegeri ini, ganti pejabat ganti pula mobil dinas, perilaku boros ini pemicu konsumsi BBM berlebihan, belum lagi dikaitkan ruas jalan yang tidak sebanding dengan jumlah kenderaan sehingga menimbulkan kemacetan dimana-mana dan ini pemborosan besar-besaran terhadap BBM apa pemerintah tidak perubah berpikir bagaimana membuat kebijakan yang tentunya menyenangkan rakyat, toh juga pejabat kena dampak kemacetan. Studi banding yang dilakukan para pejabat negeri ini tidak menularkan perubahan yang berarti bagi kemajuan bangsa dan negara, hanya pelepas stress mereka dengan keadaan rakyat yang terus menggerutu menuntut hak sesuai dengan konstitusi “ hidup layak dinegeri sendiri.”

Ungkapan “Thomas Rober Malthus” yang berusia 215 tahun yang lalu menjadi kenyataan pahit bangsa di tahun 2013 ini, berbagai penelitian yang dilakukan oleh ahli – ahli saintis di dunia bahwa BBM tidak dapat disaingi oleh energi alternatif lainnya, Tuhan memang merancang sumberdaya alam berupa minyak dan gas (migas) lebih efisien untuk kehidupan manusia, Tuhan telah mencukupkan energi itu sepanjang hayat kita, tetapi manusialah yang menodai karunia yang tak ternilai itu, kerusakan yang terjadi di darat dan di laut bukan disebabkan oleh hewan, tapi tangan-tangan manusialah yang merusaknya, resiko yang ditimbulkannya cukup besar seperti kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM) justru mematikan semua sektor penggerak ekonomi sebab minyak merupakan nadi pergerakan ekomomi itu sendiri, jadi bagaimanakah jalan keluar dari kelangkaan (scarcity) Bahan Bakar Minyak (BBM) yang terjadi? Ada tiga kiat yang segera mungkin diambil bagi pemegang otorita kebijakan di negeri ini diantaranya. Menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak BBM Kebijakan yang ini perlu dipertimbangkan pemerintah untuk mengatasi krisis BBM adalah menaikkan sesuai dengan harga pasar negara maju seperti Singapura sebagai barometer harga pasar dunia, kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM tidak hanya pemakaian yang efisien juga akan menghimpun dana untuk bisa menemukan solusi energi alternatif yang dapat menggantikan posisi dan jauh lebih baik dari BBM. Langkah pemerintah menaikkan harga tersebut tentunya dapat mengurangi konsumsi BBM, dan subsisi BBM secara nasional dan akhirnya mampu bertahan beberapa tahun kedepan untuk generasi sesudah kita.Bila kita kaitkan dalam ilmu ekonomi, jika komoditi tersebut langka dan permintaan terhadap barang cukup tinggi maka harga akan cepat naik, ini di sebut dengan “Teory Scarcity” seberapa besar kenaikannya tergantung kepada mekanisme pasar yang alamiah menentukannya. Subsidi BBM yang selama ini ditanggung oleh pemerintah harus dicabut karena pemerintah tidak sanggup menanggung beban negara yang cukup besar terutama hutang yang masih terus di bayar tentunya dengan memakai cadangan devisa yang masih ada memang dalam penerapan pengurangan subsidi akan mensengsarakan rakyat miskin dan akan terus menderita akan kepapaannya tapi ingatlah ada kesulitan pasti juga ada jalan keluar.

P e n u t u p.Diakhir tulisan ini perlu penekanan yang mendalam tentang betapa hebatnya

karunia Tuhan menciptakan sumberdaya alam seperti minyak dan gas (migas) yang tak seorang pun mampu untuk menandinginya, maka bukti rasa sukur kita hendaknya kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tidak berperilaku boros terhadap sumberdaya alam yang tidak bisa diperbaharui ini (Anrenewable resource) dan tetap menjaga agar tetap sustainable kita miliki, dan pemerintah juga harus jeli memberikan

4

Page 5: Bbm, dinamika gejolak sosial

harga yang betu—betiul tidak melukai perasaan rakyat, jangan sampai eksternalitas kenaikan BBM menjadikan inflasi yang tidak terkendali sehingga memperparah kondisi hidup warga yang tidak tahu bagaimana solusi hidup ketika kenaikan BBM, kenaikan BBM menjadi pemicu kenaikan harga sembilan bahan pokok, jangan sampai kenaikan BBM menjadi pemicu gejolak yang berakibat patal seperti demostrasi, penjarahan yang tidak terkendali tentunya merugikan bangsa dan Negara, masyarakat tidak butuh janji tapi bukti nyata dari pemerintah untuk dapat memperjuangkan rakyat agar tidak termiskinkan di negeri sendiri tapi saya berkeyakinan pemerintah tidak mau menjalami rakyat, meski pahit, kebijakan pengurangan subsidi BBM terus dilanjutkan.

Penulis

Salman Munthe, S.Pd,SE.M.Si

5

Page 6: Bbm, dinamika gejolak sosial

Salman Munthe, lahir pada 20 April 1978 di Labuhanbatu Utara, Menyelesaikan Pendidikan Ekonomi Pada Fakutas Ilmu Pengetahuan Sosial (FIS) Universitas Negeri Medan (UNIMED) pada tahun 2002. Kemudian, ia bekerja sebagai Pembimbing pada Pendidikan Ahli Bisnis Terapan (PABT) Medicom Medan sejak Tahun 1999, sewaktu itu beliau masih bersetatus mahasiswa. Kemudian menjadi Staf Pengajar Pada Sekolah Menengah Atas (SMA) Pulau Berayan Darat (PBD) Medan, dan Sekolah Menegah Atas Prayatna Medan

Bakat menulisnya ter asah sejak mahasiswa dengan menjadi wartawan lepas pada Harian Lokal di Medan. Ketika menjadi Mahasiswa, ia berhasil Menulis Artikel Iptek berjudul “Peranan Sistem Informasi Manajemen Abad-21” dan beberapa Tulisan Ilmiah

yang mendapat penghargaan dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirtanadi Medan Dengan Judul “Peranan PDAM Tirtanadi Sebagai Penyedia Air Bersih dan Kepedulian Masyarakat Terhadapnya”, Bukan hanya sekedar itu beliau mendapat penghargaan dari Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Sumatera Utara karna berhasil menulis karya ilmiah dengan judul “Pengelolaan Air Bersih dan Sanitasi Untuk Kesehatan Rakya Sumatera Utara”. Serta mendapat penghargaan dari PT. PLN (Persero) Sumbagut karena berhasil menulis dengan Judul ”Kepedulian Masyarakat Terhadap Krisis Listrik PLN”

Disela kesibukan beliau dapat menyelesaikan pendidikan Pascasarjana di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh tahun 2006 pada Program Studi Ilmu Ekonomi da Studi Pembangunan (IESP) dan beliau sempat menjadi dosen di Universitas Tri Karya medan sejak tahun 2004, dan menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas yang sama tahun (2006-2008), dan Menjabat Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Univ. Tri Karya Medan (2009) saat ini penulis menjadi Dosen dan Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Tjut Nyak Dhien Medan sejak tahun 2009 sampai tulisan ini diturunkan, Penulis berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dilingkungan Pemerintah Kabupaten Langkat sejat tahun 2010. Hp. 085 213 907 500, Email: [email protected]

6