bayi tabung

5
Pandangan Sosial Terhadap Bayi Tabung Masalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia. Mantan Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari suami-isteri sendiri. Secara etika dan moral sebagian masyarakat menolak karena proses pembuahan pada bayi tabung dilakukan dengan menggunakan dengan cawan petri sehingga embrio yang diperlukan yang dimasukkan kembali kerahim, sedangkan sisanya “dibuang”. Hak hidup embrio yang dibuang inilah yang dipermasalahkan, sebab banyak yang memandang hal ini sebagai tindakan pembunuhan. Masalah utama di dalam bayi tabung dari perspektif Kristen adalah berhubungan dengan embrio-embrio “yang terbuang” Sebagian besar metode-metode dalam teknologi reproduksi memaksa untuk mengorbankan banyak embrio guna mendapatkan satu embrio yang lebih unggul dan dapat bertahan hidup. Saat ini program bayi tabung menjadi salah satu masalah yang cukup serius. Hal ini terjadi karena keinginan pasangan suami-istri yang tidak bias memiliki keturunan secara alamiah untuk memiliki anak tanpa melakukan adopsi. Dan juga menolong suami-istri yang memiliki penyakit atau kelainan yang menyebakan kemungkinan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dalam hal ini menjadi suatu tantangan bagi norma agama. Penerapan TRB sesuai dengan kaidah al hajatu tanzilu manzilah al dharurat (hajat atau kebutuhan yang mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat). Dilihat dari segi teknologinya, 4 lembaga fatwa, Bahtsul Masail NU, Komisi Fatwa MUI, Dewan Hisbah

Upload: fendy-hardian-permana

Post on 27-Dec-2015

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bayi Tabung

Pandangan Sosial Terhadap Bayi TabungMasalah inseminasi buatan ini sejak tahun 1980-an telah banyak dibicarakan di

kalangan Islam, baik di tingkat nasional maupun internasional. Misalnya Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam Muktamarnya tahun 1980, mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor sebagaimana diangkat oleh Panji Masyarakat edisi nomor 514 tanggal 1 September 1986. Lembaga Fiqih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam sidangnya di Amman tahun 1986 mengharamkan bayi tabung dengan sperma donor atau ovum, dan membolehkan pembuahan buatan dengan sel sperma suami dan ovum dari isteri sendiri. Vatikan secara resmi tahun 1987 telah mengecam keras pembuahan buatan, bayi tabung, ibu titipan dan seleksi jenis kelamin anak, karena dipandang tak bermoral dan bertentangan dengan harkat manusia. Mantan Ketua IDI, dr. Kartono Muhammad juga pernah melemparkan masalah inseminasi buatan dan bayi tabung. Ia menghimbau masyarakat Indonesia dapat memahami dan menerima bayi tabung dengan syarat sel sperma dan ovumnya berasal dari suami-isteri sendiri.

Secara etika dan moral sebagian masyarakat menolak karena proses pembuahan pada bayi tabung dilakukan dengan menggunakan dengan cawan petri sehingga embrio yang diperlukan yang dimasukkan kembali kerahim, sedangkan sisanya “dibuang”.  Hak hidup embrio yang dibuang inilah yang dipermasalahkan, sebab banyak yang memandang hal ini sebagai tindakan pembunuhan.

Masalah utama di dalam bayi tabung dari perspektif  Kristen adalah berhubungan dengan embrio-embrio “yang terbuang” Sebagian besar metode-metode dalam teknologi reproduksi memaksa untuk mengorbankan banyak embrio guna mendapatkan satu embrio yang lebih unggul dan dapat bertahan hidup.

Saat ini program bayi tabung menjadi salah satu masalah yang cukup serius. Hal ini terjadi karena keinginan pasangan suami-istri yang tidak bias memiliki keturunan secara alamiah untuk memiliki anak tanpa melakukan adopsi.  Dan juga menolong suami-istri yang memiliki penyakit atau kelainan yang menyebakan kemungkinan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dalam hal ini menjadi suatu tantangan bagi norma agama.

Penerapan TRB sesuai dengan kaidah al hajatu tanzilu manzilah al dharurat(hajat atau kebutuhan yang mendesak diperlakukan seperti keadaan darurat). Dilihat dari segi teknologinya, 4 lembaga fatwa, Bahtsul Masail NU, Komisi Fatwa MUI, Dewan Hisbah PERSIS, dan MPKS. Keempatnya menyepakati bolehnya inseminasi buatan dan bayi tabung. Sepanjang sperma berasal dari suami dan sel telur dari istrinya yang masih terikat dalam pernikahan dan dihamilkan oleh wanita pemilik oosit tersebut, dan mengharamkan inseminasi buatan atau bayi tabung donor karena akan berakibat merancukan nasab (silsilah keturunan).

Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa padangan masyarakat terhadap bayi tabung bermacam-macam, ada pihak yang setuju dengan program bayi tabung dengan alasan menolong pasangan suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan, sedangkan pihak yang tidak setuju dengan alasan hak hidup dari embrio yang dibuang.

Pandangan Budaya Terhadap Bayi TabungProgram bayi tabung menjadi salah satu masalah yang cukup serius. Hal ini terjadi

karena keinginan pasangan suami-istri yang tidak bias memiliki keturunan secara alamiah untuk memiliki anak tanpa melakukan adopsi.  Dan juga menolong suami-istri yang memiliki penyakit atau kelainan yang menyebakan kemungkinan tidak memperoleh keturunan.

Sejak kelahiran Louise Brown, teknik bayi tabung atau In Vitro Fertilization (IVF) semakin populer saja di dunia. Di Indonesia, teknik bayi tabung (IVF) ini pertama kali diterapkan di Rumah Sakit Anak-Ibu (RSAB) Harapan Kita, Jakarta, pada 1987. Teknik bayi tabung yang kini disebut IVF konvensional itu berhasil melahirkan bayi tabung pertama,

Page 2: Bayi Tabung

Nugroho Karyanto, pada 2 Mei 1988. Setelah itu lahir sekitar 300 "adik" Nugroho, di antaranya dua kelahiran kembar empat.

Dibandingkan dengan negara tetangga, jumlah klinik bayi tabung di Indonesia memang masih sedikit, yakni baru 26 klinik di 11 kota, terutama di kota-kota besar. Bandingkan dengan Jepang yang berpenduduk 110 juta orang dan memiliki 600 klinik kesuburan. Kesebelas kota besar yang dimaksud meliputi Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Denpasar, Medan, Depok, Magelang, dan Padang. "Tetapi, dari segi fasilitas dan kemampuan, dokter kita sudah setara dengan negara tetangga. Angka keberhasilannya pun hampir sama, sekitar 40 persen," kata dr Budi Wiwengko, Sp OG, sekjen Perkumpulan Fertilisasi In Vitro Indonesia (Perfitri). Di Indonesia, program bayi tabung membutuhkan dana sekitar Rp 30-60 juta. Sejak program bayi tabung dimulai di Indonesia sejak 1987, baru sekitar 3000 bayi tabung (IVF: In Vitro Fertilization) lahir di Indonesia. Biaya adalah alasan mengapa banyak pasangan tidak mengikuti program ini.

Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bayi tabung di Idonesia sudah membudaya di masyarakat untuk mengatasi masalah sulitnya mempunyai keturunan, hanya saja program bayi tabung di Indonesia ini hanya terbentur oleh masalah biaya proses bayi tabung yang mahal.

Pandangan Etika Terhadap Bayi TabungTeknologi bayi tabung dan inseminasi buatan merupakan hasil terapan sains modern

yang pada prinsipnya bersifat netral sebagai bentuk kemajuan ilmu kedokteran dan biologi. Sehingga meskipun memiliki daya guna tinggi, namun juga sangat rentan terhadap penyalahgunaan dan kesalahan etika bila dilakukan oleh orang yang tidak beragama, beriman dan beretika sehingga sangat potensial berdampak negatif dan fatal. Oleh karena itu kaedah dan ketentuan syariah merupakan pemandu etika dalam penggunaan teknologi ini sebab penggunaan dan penerapan teknologi belum tentu sesuai menurut agama, etika dan hukum yang berlaku di masyarakat.

Selanjutnya Keputusan MenKes RI tersebut dibuat Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan Swasta, DepKes RI, yang menyatakan bahwa:1. Pelayanan teknik reprodukasi buatan hanya dapat dilakukan dengan sel sperma dan sel

telur pasangan suami-istri yang bersangkutan.2. Pelayanan reproduksi buatan merupakan bagian dari pelayanan infertilitas, sehingga

sehinggan kerangka pelayannya merupakan bagian dari pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.

3. Embrio yang dipindahkan ke rahim istri dalam satu waktu tidak lebih dari 3, boleh dipindahkan 4 embrio dalam keadaan:• Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru lahir.• Pasangan suami istri sebelumnya sudah mengalami sekurang-kurangnya dua kali

prosedur teknologi reproduksi yang gagal.• Istri berumur lebih dari 35 tahun.

4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.5. Dilarang melakukan jual beli spermatozoa, ova atau embrio.6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian, penelitian atau

sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dapat dilakukan apabila tujuannya telah dirumuskan dengan sangat jelas.

7. Dilarang melakukan penelitian dengan atau pada embrio manusia dengan usia lebih dari 14 hari setelah fertilisasi

8. Sel telur yang telah dibuahi oleh spermatozoa manusia tidak boleh dibiakkan in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk waktu impan beku)

Page 3: Bayi Tabung

9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimen terhadap atau menggunakan sel ova, spermatozoa atau embrio tanpa seijin dari siapa sel ova atau spermatozoa itu berasal.

10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies, kecuali fertilisasi tran-spesies tersebut diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis infertilitas pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fretilisasi trans-spesies harus diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.

Etika Teknologi Reproduksi Buatan belum tercantum secara eksplisit dalam Buku Kode Etik Kedokteran Indonesia. Tetapi  dalam addendum 1, dalam buku tersebut di atas terdapat penjelasan khusus dari beberapa pasal revisi Kodeki Hasil Mukernas Etik Kedokteran III, April 2002. Pada Kloning dijelaskan bahwa pada hakekatnya: menolak kloning pada manusia, karena menurunkan harkat, derajat dan serta martabat manusia sampai setingkat bakteri, menghimbau ilmuwan khususnya kedokteran, untuk tidak mempromosikan kloning pada manusia, dan mendorong agar ilmuwan tetap menggunakan teknologi kloning pada :1. sel atau jaringan dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan misalnya untuk pembuatan

zat antigen monoclonal.2. sel atau jaringan hewan untuk penelitian klonasi organ, ini untuk melihat kemungkinan

klonasi organ pada diri sendiri.

http://himakep-tms.blogspot.com/2011/11/etika-dan-hukum-teknik-bayi-tabung.html

http://health.detik.com/read/2010/06/07/154232/1373335/764/rawan-pelanggaran-etika-klinik-bayi-tabung-harus-dibatasi

http://health.kompas.com/read/2013/03/26/16032758/Program.Bayi.Tabung.di.Indonesia.Tak.Kalah.