baruga edisi 23 2015

36
satu mata hati satu kata hati Edisi 23 | 2015 frekuensi publik milik siapa?

Upload: baruga-kosmikuh

Post on 21-Jul-2016

220 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Baruga 2015

TRANSCRIPT

satu mata hati satu kata hati

Edisi 23 | 2015

frekuensi publik milik siapa?

2 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

3 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Penanggung JawabAmal Darmawan

Pemimpin RedaksiSiti Rafika

Redaktur Pelaksana Ainun Jariah Yusuf

Sekretaris Redaksi Andi Chairiza Bahrun

Editor Rahimah Muslihah

Koordinator Liputan Tristania Indah W.

Reporter Andini KhaerunnisaWulan Dwioyanti R.Fachrul RozyJabal NoorMuflisha SetjafajriniRosi AnindiastutiMuh. DarwisMuh. FirdausAyu Indah TrisusilowatiRizki RivanNur Yani Alifaty

Redaktur FotoLia Lestari Lobo

Fotografer KIFO KOSMIK

Desain Grafis Fachrul Reza

Pembantu Umum Seluruh warga KOSMIK yang terlibat langsung maupun tidak langsung.

Alamat Redaksi Gedung FIS IV Lantai 2 Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unhas, Makassar

FacebookBarugaMagz KOSMIK Unhas

Penerbit

siti RafikaPemimpin Redaksi

Assalamualaium Wr.WBSegala puji terhaturkan atas segala ridho dan karunia dari Sang Pencipta Menulis adalah bicara, berkata, dan menyapa dalam bentuk yang lain. Cara untuk

menyentuh seseorang tanpa batas ruang dan waktu. Belajar untuk menuliskan setiap peristiwa yang terjadi berarti belajar untuk menghayati segala momen yang terjadi di sekitar kita. Dalam penghayatannya, setiap inci gerak kehidupan ditumpahkan dengan jujur dan apa adanya.

Pada edisi kali ini, kami menghadirkan atmosfer media yang begitu kental. Arus in-formasi yang diciptakan media kurang lebih mengaburkan peran mereka yang sesung-guhnya. Belum lagi dengan kehadiran media sosial sebagai salah satu media informasi yang populer saat ini. Akhirnya, masyarakat dituntut untuk mampu menyaring segala informasi yang ada.

Akhir kata, terima kasih yang sedalam-dalamnya kami ucapkan kepada seluruh warga KOSMIK yang selalu menjadi saudara yang selalu mendukung untuk terus bela-jar dan berkarya. Semoga halaman demi halaman dari majalah ini mampu memberikan manfaat bagi kita semua.

Salam Biru MerahDesign CoverTristania IndahAfiful Fanani

frekuensi publik milik siapa?

4 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

contentsEdisi 23 | 2015

6 Laporan Utama Frekuensi publik milik siapa?

14 Liputan Khusus Sarjana hasil pabrik

20 Opini Sayfullah AF : Media sosial, agen baru penye baran informasi. Iqbal Tawakkal : Mema hami Kembali Jurnalis tik sesuai dengan Era Perkembangan Komu nikasi

24 Komunitas Solidaritas Anti Peng gusuran (SAP) : Bersatu dan Lawan Penggusu ran

27 Technoside Ponsel Pintar, Kon sumen Pintar

28 Beside Us Menolak #Makassarti dakaman

30 Resensi Film Tolong...

32 Kaleidoskop

34 Resensi Buku Mengenal sang Maha Guru Shankara

5 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

frekuensi publik milik siapa?By Ainun Jariah Yusuf, Wulan Dwiyanti R, Fachrul Rozy, Jabal Noor, Muflisha Setyafajrini, Ilustrasi Afiful Fanani dan Tristania Indah

Ingat acara pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina yang dita-yangkan langsung oleh RCTI dan Trans TV? Bagaimana dengan acara persalinan Ashanty? Sepertinya ini bukan kali pertama hajat priba-di dijadikan konsumsi publik. Jika menelusuri kembali ke belakang, acara pernikahan pasangan Anang-Ashanty juga disiarkan oleh RCTI ke publik pada tahun 2012. Edhi Baskoro Yudhoyono dan Siti Rubi Aliya Rajasa yang notabene-nya adalah anak pejabat bahkan men-dapatkan perlakuan yang sama di dua statiun televisi sekaligus. Sctv pada tahun yang sama juga menyiarkan acara pernikahan Andhika Pratama-Ussy Sulistyawati. Di tahun 2010, layar ANTV dihiasai oleh wajah pasangan Nia Ramadhani dan Ardi Bakrie. Televisi seakan mengalami pengalihan fungsi menjadi usaha dokumentasi untuk ka-langan papan atas.Beberapa pihak menyatakan keberatan terhadap model-model ta-yangan di atas, karena kehidupan pribadi selebritas yang kemudian dijadikan komoditas. Pro-kontra soal tayangan televisi lumrah saja terjadi, penonton boleh saja suka atau tidak dengan program acara.ada juga pihak yang kemudian mendukungnya dengan alasan pro-gram acara tersebut “diminati oleh publik”. Bahkan ada yang ber-argumen “kan menghibur, membagi kebahagiaan” atau “tayangan mendidik karena menampilkan kebudayaan jawa”.

Laporan Utama

7 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

8 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Media dan Selebriti

Menurut Simon Chopper, jika melihat fenomena televisi sekarang hak yang

tidak terbayangkan menjadi komunitas, jadi komunitas. Identitas kini telah men-jadi komuditas baru di layar kaca. Dalam kemunculan selebritas yang dibentuk bu-kan hanya ketenaran, tapi juga karakter yang disematkan. Karakter inilah yang kemudian disebut sebagai citra selebritas.Ruang pribadi dari selebriti kemudian dirajut sedemikian rupa untuk mendu-kung pemasaran selebriti tersebut. Publik mengkonsumsi bukan hanya profesionali-tas selebriti, tapi juga ruang-ruang pribadi dalam kehidupannya. Hal yang kemudian menarik dalam tayangan-tayangan sele-britas itu adalah memudarnya batas “pri-vat” dan “publik” di televisi.

Pengaburan antara yang “privat” dan “publik” terjadi melalui televisi, yang ber-peran sebagai jembatan antara penonton di depan layar dengan peristiwa yang terjadi di tempat lain. Baudrillard dalam Simulation & Simularca (1981), menge-mukakan adanya yang disebut fenomena

hyperrealita. Yakni sebuah keadaan diam-ana yang riil dan ilusi sudah tidak dapat dibedakan lagi. hiperrealitas ini dicip-takan oleh medium yang bersifat publik yang malah menciptakan realitas baru.

Fenomena selebritas menjelma men-jadi hiperrealitas dalam tayangan yang menampilkan kehidupan pribadinya.Jadi yang dijembatani oleh televisi da-lam tayangan privat misalnya pernikahan Raffi-Nagita bukanlah realitas. Kita tidak tahu persis apakah keharuan yang diper-tontonkan itu benar-benar tulus, karena pihak-pihak yang hadir sadar akan ke-beradaan kamera yang tentunya memba-wa dampak psikologis. Kamera membuat mereka bukan sekedar menghadiri acara, melainkan juga membuat sebuah pertun-jukan.Benda Publik, Milik Publik, Dan Ra-nah Publik

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Ten-tang Penyiaran, spektrum frekuensi radio adalah gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan me-

rambat di udara serta ruang angkasa tan-pa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam yang terbatas. Indonesia Media Watch juga me-nambahkan bahwa penggunaan frekuensi radio didasarkan pada ruang jumlah ge-taran dan lebar pita yang hanya dpat di-pergunakan oleh satu pihak. Sedangkan publik dapat disinonimkan sebagai warga negara (citizen).

Gelombang elektromagnetik meru-pakan salah satu dari benda alam yang ada sepanjang masa namun terbatas dan memiliki sifat kelangkaan. Menurut In-donesia Media Watch, frekuensi dikatego-rikan sebagai milik publik. Terdapat tiga pemaknaan atas status frekuensi sebagai domain, yaitu benda publik, milik publik, dan ranah publik. Ketiganya mengandung substansi yang sama bahwa frekuensi se-bagai entitas yang menjadi wilayah ke-kuasaan publik. Untuk itu, publik berhak memperoleh keuntungan sosial dari itu.Hal tersebut sesuai dengan Undang Un-dang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat 3 bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkan-

Laporan Utama

9 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

dung didalamnya dikuasai negara dan di-pergunakan sebesar-besarnya untuk kese-jahteraan rakyat.

Berdasarkan Undang-undang 32 Pa-sal 3, Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, men-cerdaskan kehidupan bangsa, memaju-kan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera, serta me-numbuhkan industri penyiaran Indone-sia.

“Undang-undang penyiaran telah mengisyaratkan bahwa frekuensi publik harus digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Artinya, jika media hanya melayani satu orang atau satu ke-lompok maka media tersebut menging-kari aturan tersebut” ujar Rusdin Tompo.

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulsel Tahun 2012-2014 ini juga menambahkan, hal tersebut bisa terjadi karena pemilik media sudah sejak awal meniatkan pendirian medianya bu-

kan untuk melayani kepentingan publik. Tapi untuk dijadikan sebagai alat kampa-nye dan propaganda untuk kepentingan dan kekuasaan.Diatas Nama Rating

Rating secara umum berarti evalua-si atau penilian terhadap sesuatu. Rating program acara sendiri adalah data kepe-mirsaan televisi yang merupakan hasil pengukuran secara kuantitatif. Jadi dapat dikatakan bahwa rating adalah jumlah rata-rata pemirsa pada suatu program tertentu terhadap populasi televisi yang dipresentasikan.

Data jumlah rata-rata tersebut diper-oleh melalui survei kepemirsaan televise (TV Audience Measurement/ TAM). Di Indonesia sendiri survei seperti ini dido-minasi oleh sebuah lembaga survei berna-ma AGB Nielsen Media Research (AGB NMR) atau dikenal dengan AC Nielsen. Pihak-pihak yang membutuhkan data kepemirsaan, seperti pengelola stasiun te-levisi, radio dan pengiklan lebih memper-cayakan hasil penelitian kuantitatif yang dihasilkan oleh AC Nielsen

Data kepemirsaan televisi yang meng-ukur presentasi pemirsa televisi mem-punyai pengaruh yang sangat besar. Jika presentasi pemirsa suatu program acara cukup banyak, maka rating acara akan naik. Sehingga pengiklan akan tertarik untuk mengiklankan produknya di pro-gram tersebut. Tentu saja, hal ini akan mempengaruhi pendapatan finansial sta-siun televisi tersebut. Ibarat seorang ha-kim, rating adalah penentu kemenangan atau kekalahan dalam dunia pertelevisian di Indonesia.

Berdasarkan hasil perhitungan AC Nielsen, summary rating program televisi tahun 2014 memberikan gambaran be-tapa terjadi dinamika program maupun televisi penayangnya yang mengejutkan.Share paling besar yang pernah diraih oleh stasiun televisi diraih oleh SCTV sebesar 17,6% pada bulan Agustus 2014. Dari 10 stasiun televisi bersiaran nasional dari Januari-desember 2014, SCTV paling dominan peraihan Top Share (10 bulan) diatas televisi lainnya. Dilihat dari Top Program untuk seluruh kategori tahun

Laporan Utama

10 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

2014, SCTV memimpin dengan 6 pro-gram, disusul RCTI dan ANTV dengan masing-masing 2 program. Sisanya Trans-TV dan Indosiar Visual Mandiri (IVM).

Top program entertainment selama kurun waktu 1 tahun diraih oleh pro-gram resepsi pernikahan Nagita-Raffi di RCTI, dengan meraih rating 7,7 Dan sha-re mencapai 38,3%. Televisi yang merajai Top program dalam kategori entertain-ment adalah IVM dan SCTV dengan masing-masing 4 program. Dengan kata lain, kedua statiun televisi ini menguasai hampir 70% kategori ini. IVM unggul dengan D’Academy , sementara SCTV unggul dengan variety show ( Mengetuk Hati, Siaran Langsung SCTV Awards, dan Malam puncak 24 teristimewa). Dari ha-sil surveyiAC Nielsen pula, diungkapkan data bahwa stasiun televisi paling banyak ditonton di tahun 2014 adalah SCTV, ke-mudian disusul oleh RCTI dan ANTV.

“Rating dalam sebuah program TV dan Stasiun TV merupakan salah satu penghasilan buat pihak media. Jadi, jika

Rating ini dihilangkan, maka proses ker-ja stasiun TV juga dapat terhambat dan bisa-bisa gulung tikar. Nah, kembali lagi pada masing-masing stasiun TV bagai-mana mereka mebuat segala cara untuk mengejar Rating dengan tetap mengikuti kode etik jurnalis (KEJ)” ungkap Tim Kreatif Ve-ChannelLili Sukriana. S.

Menurut Garin Nugroho dalam Ke-kuasaan dan Hiburan (1998), kuasa rating sangat menentukan dalam prduksi sebu-ah tayangn televisi. Menurutnya, pertim-bangan pasar melalui rating menembus semua tingkat pengambilan keputusan, dan seringkali mengabaikan kualitas, es-tetika, social, dan psikologis tontonan.

Coba saja tengok Metro TV, yang ke-rap kali menampilkan pidato pemiliknya yang juga ketua umum Partai Nasdem, Surya Paloh, dan memberitakannnya se-cara positif. Sementara itu, TV One yang gencar menampilkan sosok Aburizal Bak-rie disetiap jeda iklan. Sosoknya digam-barkan sebagai tokoh yang “sempurna”, ayah yang paling “wah”, dan panutan uta-

ma. Tapi, jangan harap stasiun televisi ini akan menayangkan penderitaan korban Lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Dalam perkembangan sejarah, media kerap kali dijadikan corong untuk menya-lurkan pesan-pesan pemerintah yang se-ring kali malah dimanfaatkan oleh tokoh yang berkuasa. Ada kecenderungan tele-visi kini menjelma menjadi medan perang pengaruh, bukan lagi wadah untuk infor-masi yang netral dan hiburan.

KPI dan KeberadaannyaFrekuensi yang saat ini ditumpangi

oleh stasiun televisi sesungguhnya milik publik, yang pemanfaatannya digunakan seluas-luasnya untuk melayani kepenting-an publik. Frekuensi ini dikelola oleh pe-merintah, melalui Kementerian Komuni-kasi dan Informatika. Stasiun televisi yang beruntung mendapatkan frekuensi dan berhasil siaran haruslah mengisi konten mereka dengan berbagai acara yang vari-atif, mendidik, inspiratif, dan menghibur untuk masyarakat luas. Bukan hanya ter-

Laporan Utama

11 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

paku pada satu jenis acara tertentu, apa-lagi membuat program yang durasinya berjam-jam, tapi tidak bermanfaat bagi masyarakat luas. Sesuai dengan UU No-mor 32 Tahun 2002 Pasal 4 Ayat 1, penyi-aran berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, control dan perekat sosial.

Dalam penyelenggaraan penyiaran, kemudian dibentuk sebuah komisi yang berfungsi sebagai regulator. Komisi Pe-nyiaran Indonesia (KPI) merupakan lembaga independen yang kedudukan-nya setingkat dengan lembaga regulator lainnya. Dalam Undang-undang tentang penyiaran disebutkan bahwa KPI ada-lah lembaga independen yang mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah public harus dikelola secara indepen-den, bebas dari campur tangan pemodal dan kepentingan politik. KPI merupakan wujud peran serta masyarakat yang ber-fungsi mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran.

Ada pesimisme terhadap KPI, bah-wa KPI itu hanya tukang stempel yang dimana lalu lintas administrasi melalui mereka. Sementara mereka tidak memi-

liki kewenangan. Dalam tataran tertentu, KPI bisa menjatuhkan sanksi, hanya saja sanksi yang ditetapkan hanyalah sank-si administratif. Kemudian yang berikut KPI juga bisa merekomendasikan lemba-ga penyiaran hadir atau tidak hadir, eksis atau tidak eksis. Tapi persoalannya tidak semudah yang dibayangkan, harus ada kesamaan pandangan dengan para semua komisioner, kemudian antara komisioner KPI dengan komisioner yang bersangkut-an dengan persoalan-persoalan begini.

“Ada ekspektasi masyarakat terhadap KPI, supaya lebih memainkan peran stra-tegis dan peran yang lebih efektif. Kare-na mereka melihat dampak dari siaran ini sangat luar biasa. Bagaimana dia bisa mengubah perilaku masyarakat, bagaima-na dia bisa mempengaruhi pola berpikir, bagaimana dia bisa mempengaruhi opini public” jelas Rusdin Tompo.

“Peran KPI sangatlah besar yang dapat mencabut hak siar suatu program dalam stasiun televisi, karena KPI sama seperti lembaga hukum bagi orang-orang yang media. Jika kita lihat KPI sangatlah ber-patokan dengan Undang-undang, dalam hal ini mengenai Undang-undang Penyi-aran dan Undnag-undang Pers” Ujar Lili

Sukriana. S.Berdasarkan aturan yang ditetapkan

oleh KPI dan disepakati bersama, kita da-pat menilai mana konten yang layak dan tidak layak. Bukan berdasarkan selera pi-hak tertentu saja.Media Penyiaran Yang Ideal

Media penyiaran yang baik tentu seara ideal memenuhi syarat yang diatur dalam UU penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran. Tapi diluar itu secara sederhana ketika dia bisa memenuhi kebutuhan kita, kebutuh-an hiburan, kebutuhan informasi kita,dan nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat atau oleh Negara ini.

“Ketika misalnya kita menjadikan korupsi sebagai agenda bersama, maka media kita juga membangun wacana dalam rangka membangun kesadaran. Membangun semangat kejujuran ma-syarakat unutk melawan krisis itu atau ketika misalnya spirit dari gerakan kita membangun kesetaraan, membangun ke-giatan adil jender. Maka media juga harus menyediakan itu. Bukan hanya misalnya spirit gerakannya adil gender, sementara sinetron-sinetron kita sarat dengan ta-yangan-tayangan kekerasan dalam rumh

“tangga.Padahal kita sudah memiliki UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Media ini baik secara visualisa-si, secara dramatic menghadirkan tindak kekerasan rumah tangga, tapi dia lebih punya misi. Bukan hanya drama dengan mata melotot dan muka marah, tapi juga ada pesan moral dari tayangan-tayangan seperti itu” Terang Rusdin Tompo.

Prof. Dr. A. Alimuddin Unde, M.Si mengatakan media juga berperan seba-gai sosial kontrol yang berperan dalam-

mengontrol kebijakan-kebijakan. Bukan hanya menyorot pemerintah/birokrasi namun juga sosial kontrol di masyarakat. Yaitu hal-hal yang membuat kehidupan tidak nyaman, bukan hanya menyoroti pemerintah namun juga perilaku-peri-laku masyarakat yang membuat ketidak-nyamanan. Bukan sosial kontrol untuk memenuhi kepentingan orang atau ke-lompok tertentu. Seharusnya memberi-kan sosial kontrol untuk kemaslahatan orang banyak. Hal-hal tersebut yang seha-

rusnya diluruskan sehingga nyaman selu-ruh pihak. “Padahal jika saja media inigin menjadi media yang memegang idealism professional, media tersebut malah akan menjadi media yang berada di rating ter-tinggi” tambah Guru Besar Ilmu Komu-nikasi ini.

Pengelolaan system penyiaran yang mer-upakan ranah public harus dikelola secara

independen, bebas dari campur tangan pemodal dan kepentingan politik.

Laporan Utama

12 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Seorang penari asal Cina berlenggok di panggung Baruga Andi Pangerang Pettarani Unhas dalam rangka pentas seni kerjasama Cina-Indonesia. (21/10/2014)

13 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Sarjana hasilpabrikBy Rahimah, Ayunda, Rosi, Firdaus, DarwisPhoto by Amal Darmawan dan Lia Lestari

Baru-baru ini Universitas Hasanuddin (Unhas) menggelar Wisuda Lulusan Program Sarjana Periode III Tahun Akademik 2014/2015 melalui Rapat Senat Terbuka Luar Biasa di Baruga A. P. Pettarani, Rabu (18/3/2015). Sebanyak 1063 lulusan dari berbagai fakultas dan jurusan pun mengikuti kegiatan ini dan

resmi mengantongi titel sarjana.

16 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Sebagai kampus terbesar di Kawasan Timur Indonesia (KTI), Unhas selalu

menghasilkan ribuan lebih sarjana dalam satu kali pelaksanaan wisuda yang dilak-sanakan lebih dari satu periode di setiap tahun akademik. Namun sayangnya, ti-dak semua sarjana dapat langsung mene-rapkan pengetahuan yang dimilikinya se-lepas dari kampus. Sarjana pengangguran pun terus bertambah setiap tahunnya.

Organization for Economic Co-operati-on Development (OECD) merilis di tahun 2012 yang menunjukkan bahwa Indonesia diprediksi menjadi negara dengan jumlah sarjana terbanyak kelima di dunia pada tahun 2020 mendatang. Data tersebut me-rupakan proyeksi dari berbagai program peningkatan jumlah lulusan perguruan tinggi yang dilaksanakan setiap tahunnya. Namun ironisnya penyerapan lulusan sar-jana di Indonesia justru tergolong lambat. Data dari Badan Pusat Statistik di tahun 2013 menyatakan masih ada 442.000 lu-lusan sarjana di Indonesia yang masih menganggur dan masih mencari peker-jaan. Jumlah ini mewakili 5,5% dari total tingkat pengganguran terbuka di Indone-

sia yang mencapai 7,17 juta orang.Pertanyaan selanjutnya adalah meng-

apa hal ini dapat terjadi. Apa karena sis-tem pendidikan di Indonesia yang selalu menjadi masalah? Universitas yang tidak cukup baik dalam memfasilitasi proses pendidikan? Atau karena mahasiswa itu sendiri yang tidak mampu mengembang-kan potensi yang dimiliki?

Universitas sebagai Pabrik Sarjana Di tahun 2014 lalu, pemerintah me-

lalui Kementerian Pendidikan dan Kebu-

dayaan (Kemendikbud) mematok target 33% untuk angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi. Berbagai program pun diluncurkan untuk mencapai target terse-but.

Mulai dari pemberian beasiswa Bidik-misi bagi mahasiswa PTN dan PTS, hing-ga menaikkan 10% dari kapasitas PTN untuk menampung lebih banyak mahasis-wa. Akibatnya, mahasiswa di PTN mem-beludak. Ruang-ruang kelas penuh sesak oleh mahasiswa. Wakil Rektor III Bi-dang Kemahasiswaan Unhas, Dr. Ir. Abd. Rasyid Jalil, M.Si mengaku di tahun 2014 ada 4000 lebih mahasiswa baru di kampus merah yang masuk melalui berbagai jalur.

Tidak hanya di PTN, berbagai PTS di Indonesia pun memiliki kondisi yang serupa bahkan lebih parah. Ada banyak kampus swasta yang menerima mahasis-wa baru sebanyak-banyaknya dan kemu-dian mengesampingkan kualitas. Baik kualitas kampus, maupun kualitas tenaga pengajar.

Kampus sebesar Unhas, memiliki jumlah pengajar yang juga besar. Dikutip dari unhas.ac.id/biroumum, kampus ber-

logo ayam jantan ini memiliki 1675 do-sen dengan 277 diantaranya adalah guru besar. Sayangnya angka fantastis ini tidak diikuti dengan peningkatan mutu dosen. Sering terlambat bahkan tidak hadir pada jam perkuliahan menjadi salah satu kebi-asaan yang dianggap sepele namun sulit hilang. Tidak hanya di Unhas, mungkin kebiasaan ini juga dimiliki banyak dosen lainnya di berbagai kampus di Indonesia.

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 ten-tang Guru dan Dosen, dijelaskan bah-

wa: “Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan dengan tugas utama men-transformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada ma-syarakat.”

Berdasarkan UU tersebut terlihat je-las bahwa dosen mempunyai tugas pokok yaitu mengajar. Melihat realitas yang ada, sepertinya masih ada dosen yang terli-hat tidak terlalu peduli dengan tugas po-koknya tersebut. Maka jangan heran bila perguruan tinggi di Indonesia disebut “pabrik sarjana”. Institusi yang seharusnya menghasilkan manusia mandiri, kreatif, dan berkualitas, justru menjadi pabrik yang mencetak lulusan bertitel sarjana namun minim kualitas dan kompetensi.

Pembatasan Masa KuliahBeberapa waktu yang lalu Kemendik-

bud menerapkan sebuah kebijakan baru tentang rentang waktu lama kuliah bagi mahasiswa S1/D-IV. Aturan baru yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pedi-dikan dan Kebudayaan (Permendikbud)

Nomor 49/2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT) mencantum-kan waktu lama kuliah 4-5 tahun saja.

Dengan adanya peraturan ini maka beban belajar bagi para mahasiswa S1/D-IV adalah sebanyak 144 Satuan Kredit Semester (SKS) dan harus diselesaikan dalam rentang waktu sekitar 4-5 tahun atau 8-10 semester. Meski diberlakukan bagi para mahasiswa baru angkatan 2014, peraturan ini tetap saja mendapat pro dan kontra dari banyak pihak.

Berbagai Lembaga Mahasiswa (Lema)

Liputan Khusus

Peraturan ini membatasi gerak mahasiswa juga kreativitas dan peran kelembagaan tiap lembaga dalam mendidik kader dan menghasilkan kader.

Kampus itu kan sarana dan prasarana bagaimana menjadi cerdas dari segala nilai kemanusiaan,

bukannya penjara.

17 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

contohnya. Lema menganggap peraturan tersebut akan semakin mempersempit ru-ang gerak mahasiswa. Seolah-olah penge-tahuan dibatasi hanya pada bidang akade-mik saja dan mahasiswa dijadikan barang dengan cetakan yang sama dan siap dijual saat sarjana nanti.

Seorang mahasiswa Teknik Mesin Un-has, Firman, berpendapat bahwa peratur-an ini adalah bentuk pelanggaran HAM. “Peraturan ini membatasi gerak mahasis-wa juga kreativitas dan peran kelembaga-an tiap lembaga dalam mendidik kader dan menghasilkan kader. Kampus itu kan sarana dan prasarana bagaimana menjadi cerdas dari segala nilai kemanusiaan, bu-kannya penjara.”

Elni Yantri Mangnga juga mengung-kapkan pendapat yang senada. Bagi ma-hasiswi Fakultas Kehutanan Unhas ini penerapan peraturan tersebut membuat Universitas seperti mencetak mahasis-wa sesuai waktu dan kegunaannya tanpa mempentingkan dalamnya ilmu yang di-miliki. “Peraturan ini membuat suka tidak suka, cerdas tidak cerdas mereka harus lulus dalam lima tahun. Kebebasan ber-fikir ta’ dikungkung mi’. Ini menjadikan mahasiswa semakin lemah baik dalam akademik maupun lembaga,” ujarnya me-nambahkan.

Hal yang menjadi ketakutan bagi pi-hak yang kontra atas penerapan aturan ini adalah terhambat dan sulitnya per-kembangan para mahasiswa itu sendiri, karena dengan dipangkasnya waktu kuli-ah maka mahasiswa hanya akan menjadi

pengejar nilai semata dan mengabaikan hal-hal positif lainnya seperti aktif beror-ganisasi ataupun aktif di kegiatan lainnya. Padahal kegiatan semacam itu justru akan sangat berguna saat mahasiswa mengabdi pada masyarakat nantinya.

Lain halnya dengan Elni, Ika, maha-siswi dari Fakultas Ekonomi Unhas ini mengaku peraturan tersebut justru dapat menjadi motivasi mahasiswa untuk cepat sarjana. “Daripada dibatasi tujuh tahun, nanti kita itu bisa bersantai-santai, terus nanti orang tua ta’ susah mi’ bayar SPP ta’,” jawab Ika dengan serius. Bagi Ika, kuliah maksimal lima tahun tetap dapat mem-buatnya aktif berorganisasi, tinggal bagai-mana mengatur waktu dengan baik.

Banyak pihak yang pro dengan per-aturan ini pun mengatakan hal yang sama dengan Ika dan Nurul Ilmi. Mere-ka menganggap peraturan tersebut dapat mendorong mahasiswa untuk lebih serius belajar dan juga dapat menghemat biaya kuliah.

Wakil Rektor III Unhas yang juga se-tuju dengan peraturan tersebut menam-bahan bahwa pembatasan masa kuliah tersebut dapat berguna bagi mahasiswa baru nantinya. “Durasi kuliah kalau se-makin panjang, ada hak orang lain yang kita ambil, yang sementara orang itu juga tanda kutip butuh yang namanya pendi-dikan. Kuota ini kan selalu terbatas, pada saat kita berlama-lama ada kuota saudara kita yang harusnya masuk malah tidak.”

Tipe Mahasiswa di Kampus

Kita tentu sering mendengar pernya-taan bahwa mahasiswa adalah agen per-ubah dan sosial kontrol. Kunci peradaban dan harapan bangsa di masa depan nanti. Semangat mahasiswa yang masih meng-gebu-gebu adalah cara mereka untuk mempertahankan prinsip dan idealisme-nya. Ketika memasuki sebuah kampus, ada beragam sifat dan kebiasaan maha-siswa. Mulai dari mahasiswa yang hanya mementingkan nilai dan IPK tinggi, ma-hasiswa yang hanya sekedar pergi kuliah, hingga yang aktif berorganisasi. Berbagai istilah pun tercipta untuk menggambar-kannya.

Istilah pertama adalah kupu-kupu. Kupu-kupu merupakan singkatan dari Kuliah pulang-kuliah pulang. Tidak se-dikit mahasiswa yang merasa bahwa tu-gasnya hanyalah menyelesaikan kuliah, mempertahankan nilai dan IPK agar ti-dak turun tanpa memperdulikan hal la-innya. Mahasiswa seperti ini umumnya merasa organisasi akan menghambat me-reka dalam menyelesaikan kuliah. Mereka biasanya akan pulang ke rumah, ke kost, atau kontrakan masing-masing setelah jam kuliah. Ketika di rumah sibuk dengan game, atau tidur, dan membuang waktu luang dengan sia-sia.

Ada juga mahasiswa yang selesai per-kuliahan langsung pergi nongkrong, en-tah di restoran, tempat ngopi, atau mall. Mahasiswa seperti ini dikenal dengan is-tilah kunang-kunang atau Kuliah nongk-rong-kuliah nongkrong. Mahasiswa tipe ini akan menghabiskan waktunya dengan

Liputan Khusus

18 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

bergosip atau menghamburkan uang. Hidup hedonis dan budaya konsumeris-me menjadi kebiasannya. Mereka lebih memprioritas waktu luang dengan mon-dar-mandir dibandingkan menghabiskan waktu untuk kepentingan orang banyak. Tipe mahasiswa seperti ini biasanya lebih mementingkan diri sendiri, tidak peka bahkan apatis terhadap permasalahan-permasalahan di sekitarnya.

Tipe mahasiswa selanjutnya adalah Kura-kura, yaitu Kuliah rapat-kuliah ra-pat. Kebiasaan ini hanya dimiliki oleh mahasiswa yang mementingkan kuliah dan tidak melupakan organisasi. Mereka mengisi waktu luang dengan bermacam rapat organisasi, diskusi tentang isu ma-syarakat hingga mengkritisi berbagai ke-bijakan yang ada. Mahasiswa dengan tipe ini memiliki banyak keuntungan. Tidak hanya mendapatkan hard skill di kelas dan ruang belajar, mereka juga memiliki soft skill yang didapat dari pengalaman organisasinya. Sayangnya tidak sedikit mahasiswa kura-kura yang menjadi lebih fokus dengan organisasi dan kuliah men-jadi terbengkalai.

Menanggapi mahasiswa tipe ini Wakil Rektor III Unhas member komentar bah-wa mahasiswa yang baik itu menjaga ke-seimbangan antara kegiatan akedemik de-ngan kegiatan organisasi. “Keseimbangan ini tidak bisa jalan bersamaan tetap harus ada yang menjadi prioritas utama dan prioritas selanjutnya. Menjadi mahasiswa memang adalah harus kita prioritas kegi-atan akademik, yang lain itu menyempur-nakan bagaimana kita menjadi seorang alumni dan berhadapan dengan kehidup-an yang sebenarnya.”

Berbagai sifat dan kebiasaan maha-siswa ini memang kembali kepada ma-hasiswa itu sendiri. Memang tidak ada salahnya sibuk berorganisasi, tapi bukan berarti perkuliahan lantas diabaikan begi-tu saja. Tapi fokus pada akademik saja lalu apatis dengan sekitarnya pun juga tidak

bijak. Mahasiswa merupakan gambaran sebuah bangsa di masa depan. Harapan untuk perbaikan, perubahan, dan kema-juan agar lebih baik ada di tangan maha-siswa.

Kualitas Sarjana di Indonesia Indonesia adalah negara yang mela-

hirkan banyak sarjana setiap tahunnya. Kuantitas sarjana tentu tidak akan berarti apa-apa ketika sarjana-sarjana tersebut tidak memiliki kualitas. Indonesia pada Human Development Index 2014 mera-ih peringkat ke-108 dari 187 negara dan 8 negara-teritori. Dengan peringkat 108, Indonesia menempati kelas Medium Hu-man Development dan berada dibawah negara tetangga seperti Sri Lanka (73), Malaysia (62), dan Singapura (9).

Laporan OECD juga menyatakan bah-wa sarjana Indonesia merupakan rantai terlemah dalam pertumbuhan ekonomi. Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia terutama lulusan akademisinya masih sangat kurang se-

hingga banyak sarjana Indonesia terting-gal dari negara-negara lain dan kurang bisa berkompetisi secara global. OECD juga menilai bahwa sarjana di Indonesia kurang kritis. Hal ini tentu sangat disa-yangkan bila banyak sarjana masih belum bisa mengaplikasikan ilmu pengetahuan-nya pada masyarakat dan belum bisa ikut serta memajukan bangsanya. Rendahnya kualitas sarjana ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja. Namun universi-tas, tenaga pengajar, serta mahasiswa itu sendiri harus bisa saling melengkapi agar tidak ada lagi sarjana asal.

Perguruan tinggi sebagai salah satu tempat mahasiswa menimba ilmu harus bisa memfasilitasi mahasiswa dengan baik. Bukan hanya fasilitas sarana dan prasarana untuk menunjang proses pen-belajaran, namun juga fasilitas tenaga pengajar yang harus berkualitas.

Merujuk data Litbang Depdiknas yang dirilis beberapa tahun lalu menunjukkan, dari 120.000 dosen tetap PTS dan PTN di Indonesia, masih ada 50,65% atau sekitar

Liputan Khusus

Ini menjadikan maha-siswa semakin lemah baik dalam akademik

maupun lembaga

19 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

60.000 di antaranya belum berpendidikan S2 atau baru S1. Data lain menunjukkan bahwa jumlah seluruh dosen di PTN se-banyak 240.000 orang, 50% di antaranya belum memiliki kualifikasi pendidikan setara S2. Di antara jumlah tersebut, baru 15% dosen yang bergelar doktor. Jika di-bandingkan dengan perguruan tinggi di Malaysia, Singapura dan Filipina yang jumlah doktornya sudah mencapai angka 60% lebih, maka tampak bahwa dosen di perguruan tinggi Indonesia masih jauh ketinggalan.

Seorang dosen memiliki tanggung ja-wab dan peran serta yang cukup besar da-lam membimbing mahasiswa dan meng-hasilkan lulusan yang berkualitas dari tempatnya mengajar. Untuk dapat men-jalankan fungsi dan tanggung jawabnya, tentu seorang dosen pun harus memiliki kualitas yang jauh lebih baik daripada ku-alitas lulusan yang ingin dicapai.

Keberhasilan suatu perguruan ting-gi juga dilihat dari kebebasan akademik. Berbagai peraturan yang dibuat maupun

diterapkan di perguruan tinggi pun ja-ngan sampai membatasi ruang gerak ma-hasiswa untuk berkembang. Penerapan peaturan maksimal masa kuliah S1/D-IV yang dibatasi sampai lima tahun, misal-nya. Peraturan ini tentu membatasi maha-siswa untuk mencari pengalaman semasa kuliahnya karena dipaksakan untuk fokus pada akademik saja.

Mahasiswa juga harus mulai mem-perbaiki kualitas diri. Selain harus mem-punyai kemampuan intelektual baik sesuai bidang keilmuan yang dipilih de-ngan tanggung jawab, juga mempunyai kemampuan dalam berorganisasi dan bersosialisai dengan lingkungannya ser-ta peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Jangan sampai mahasiswa yang di-sebut-sebut sebagai harapan bangsa, pe-mimpin di masa depan, mengalami “ke-kosongan intelektualitas” dengan gaya hidupnya yang hedonis dan konsumtif. Mahasiswa jangan juga hanya mengejar nilai semata kemudian menjadi apatis ter-

hadap situasi dan kondisi yang terjadi di masyarakat dan kurang responsif terha-dap setiap permasalahan di sekelilingnya.

Seseorang mengenyam pendidikan untuk mendapatkan pengetahuan, na-mun saat ini pendidikan dinilai sebagai cara untuk mendapatkan perkerjaan. Padahal seharusnya, posisi pengetahuan sendiri adalah cara untuk mengaktualisa-sikan diri, mengenal potensi, dan menjadi sempurna sebagaimana “manusia” seha-rusnya. Bukankah pendidikan untuk me-manusiakan manusia?

Pendidikan merupakan kegiatan ko-lektif yang melibatkan banyak unsur. Ke-tika hanya satu unsur saja yang memiliki kemauan untuk berkembang, maka ja-ngan harap segala tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Pendidikan merupakan hajat semua orang. Karena itu, maju dan mundurnya pendidikan pun merupakan tanggung jawab semua orang. ***

Liputan Khusus

20 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Media Sosial, Agen Baru Penyebaran Informasi

Tahun ini pengguna internet di Indonesia diperkirakan sudah ber-jumlah 83.7 juta orang atau duduk di urutan keenam negara peng-guna internet di dunia. Untuk media sosial sendiri Indonesia berada di urutan lima besar dunia untuk dua media sosial paling populer; Facebook dan Twitter. Pengguna Facebook di Indonesia diperkirakan berjumlah 69 juta orang dan masuk ke urutan 4 besar di dunia. Untuk Twitter, penggunanya di Indonesia diperkirakan mencapai angka 16 juta dan berada di posisi lima besar dunia.

Tingginya tingkat pengguna internet khususnya media sosial di Indonesia

mendorong timbulnya budaya-budaya baru dan mengubah kebiasaan para peng-gunanya. Media sosial meruntuhkan be-ragam tembok yang sebelumnya berdiri tegak di jalur penyebaran informasi.

Sebelumnya informasi yang bersifat massif hanya dihasilkan oleh media atau pihak yang punya kuasa dan dana. Infor-masi dikonsumsi warga lewat satu pin-tu bernama media arus utama (tulisan, gambar maupun video), apapun kepen-tingannya. Kehadiran internet dan media

Opini

By Sayfullah AF (Ipul Gassing)Rewritten by Andi Chairiza Bahrun

21 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

sosial perlahan mengubah praktek terse-but. Saat ini media sosial dengan internet sebagai jalurnya menjadi media alternatif untuk penyebaran informasi.

Salah satu contoh perubahan pola in-formasi adalah ketika peristiwa bom yang meledakkan hotel JW Marriot di Jakarta 17 Juli 2009. Kala itu seorang warga perta-ma kali melaporkan kejadian tersebut me-lalui media sosial Twitter. Kicauan sang warga segera menyebar, lebih cepat dari kabar beragam media arus utama. Salah satu media internasional bahkan meng-gunakan kicauan tersebut sebagai dasar laporannya.

Contoh ini membuktikan kecepatan media sosial sebagai penyampai kabar. Bertahun-tahun kemudian banyak media lokal yang kemudian menjadikan isu ha-ngat di media sosial sebagai dasar liputan mereka atau sekadar menjadikannya isu yang bisa diangkat ke media mereka.

Media Sosial Untuk Gerakan War-ga

Di level yang berbeda media sosial juga sudah menjadi bagian penting dalam mendukung gerakan-gerakan warga, baik yang bersifat sosial maupun perlawanan. Ketika gunung Merapi di Yogyakarta me-letus tahun 2010 lalu sekelompok warga menjadikan akun Twitter @JalinMerapi sebagai akun resmi yang menyebarkan in-formasi tentang bencana tersebut.

Melalui akun @JalinMerapi warga bisa mengetahui kondisi terakhir dari bencana tersebut lengkap dengan informasi me-ngenai kebutuhan relawan maupun logis-

tik untuk para korban. Terbukti, kehadir-an @JalinMerapi sangat membantu proses pemulihan korban bencana meletusnya gunung Merapi.

Di ibu kota, sekelompok warga juga membuat akun Twitter @blood4lifeID yang kemudian menjadi akun penghu-bung informasi antara mereka yang butuh darah dan mereka yang ingin menyum-bangkan darahnya.

Dua contoh ini menjadi bukti bagai-mana media sosial menjadi satu media penyampai dan penyambung informasi antar warga. Contoh lain adalah peng-gunaan medium blog sebagai sarana me-numbuhkan jurnalisme warga, memberi ruang bagi warga untuk menceritakan kisah mereka sendiri. Kisah-kisah yang mungkin tidak akan tercatat dan diberita-kan oleh media arus utama.

Media Sosial Untuk Pemerintahan dan Bisnis.

Kemajuan teknologi informasi yang ditandai dengan peningkatan jumlah pengguna internet dan media sosial juga berpengaruh pada pola komunikasi pe-merintahan. Mau tidak mau pemerintah yang selama ini terkenal kaku dan penuh birokrasi berbelit harus menyesuaikan de-ngan perkembangan jaman.

Beberapa pemerintahan daerah mulai mengikuti perkembangan tersebut de-ngan memanfaatkan media sosial untuk menjalin komunikasi dengan warganya. Pemerintah kota Bandung salah satu con-tohnya, lewat tangan dingin walikotanya yang baru pemerintah kota Bandung me-

manfaatkan media sosial untuk menjalin komunikasi yang cair dengan warganya.

Pemerintah kota Bandung menggu-nakan media Facebook sebagai tempat untuk menjelaskan program-program mereka sambil menyerap masukan, saran atau kritikan dari warganya. Di media lain seperti Twitter pemerintah kota Bandung lewat sang walikota juga giat berkicau dan menanggapi kicauan warganya.

Pola komunikasi menggunakan media sosial itu perlahan-lahan menggantikan pola komunikasi sebelumnya yang lekat dengan kekakuan dan komunikasi satu arah.

Di bidang bisnis penerapan pola ko-munikasi menggunakan media sosial su-dah lebih dulu diterapkan. Perusahaan-perusahaan besar banyak menggunakan media sosial untuk menjembatani mereka dengan para konsumen atau calon konsu-men. Media sosial juga dimanfaatkan un-tuk membangun brand mereka di pasar. Tidak heran kalau saat ini makin banyak perusahaan yang bergerak di bidang digi-tal agency dengan tugas utama memoles pencitraan dari perusahaan-perusahaan besar atau tokoh-tokoh besar.

Ragam bukti di atas adalah bukti nya-ta betapa besar pengaruh media sosial da-lam kehidupan masyakarat modern saat ini. Media sosial masuk ke beragam sendi masyarakat dan menciptakan pola-pola komunikasi yang baru, pola-pola yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebe-lumnya.

Sayfullah AF (Ipul Gassing)

Seorang blogger aktif di daeng-gassing.com, aktivis SAFEN-ET (South East Asia Freedom of Expression Network) dan penggerak komunitas blogger Makassar Anging Mammiri. Ak-tif di media sosial, selain di blog pribadinya juga dapat dihubun-gi di akun Facebook: ipul.ji dan akun Twitter @iPulGs

Opini

Media sosial masuk ke beragam sendi masyarakat dan menciptakan

pola-pola komunikasi yang baru

22 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Memahami Kembali Jurnalistik sesuai dengan Era Perkembangan Komunikasi

Munculnya Ilmu Komunikasi sampai Berkembangnya Tradisi Barat.Komunikasi adalah ilmu terapan yang dihasilkan dari ilmu psikologi dan sosiologi. ‘awalnya ilmu komu-nikasi dikenalkan oleh plato. Dengan menakan kan bahwa komunikasi adalah meotode filosofis yang di-sebut dialektika. Dialaketika dimana individu secara seksama mencari kebenaran baru berdasarkan apa yang sudah diketahui. Berbeda dengan muridnya sendiri, Arstoteles menekankan komunikasi sebagai proses retorika, yakni retorika penting bagi substansi dalam komunikasi serta gaya bagi komunikator.

Opini

By Iqbal Tawakkal

23 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Kemunculan seni retorika pada tahun 400 an SM berhasil menjadi landasan

bagi para penduduk koloni syracuse yang bertempat di pulau sisilia. Pada saat itu koloni tersebut baru saja menggulingkan rezim politik yang menindas dipimpin oleh thrasybulus, selama bertahun-tahun koloni tersebut dipimpin oleh rezim pe-nindas. Adalah seroang corax yang tampil untuk mengajarkan orang-orang mem-buat argumentasi yang meyakinkan di pengadilan. Dan bentuk retorika tersebut terbukti mampu mengalahkan kekuatan besar.

Kini komunikasi adalah proses pe-nyampaian pesan yang dilakukan secara masif. Awalnya dimulai setelah perkem-

bangan mesin cetak dirintis oleh Gut-tenberg tahun 1439 , dengan otomatis peningkatan literasi yakni baca dan tulis mulai berkembang serta saing mendu-kung dalam pengembangan isu-isu poli-tik.

Jurnalistik sebagai the fourth estate

Era ini adalah era komunikasi massa. Komunikasi massa telah menjadi pijakan baru bagi dunia sebagai the forth estate. Namun ide besar mengenai jurnalistik su-dah muncul jauh sebelum adanya mesin cetak. Terbukti dengan dikenalnya Acta diurna sebagai media yang digunakan di era romawi kuno. Maka jurnalistik pun

dianggap bagian penting setelah lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif.

Perkembangan jurnalisme sebagai ba-gian akademik terutama awalnya ditandai di amerika (chicago school) dan eropa (frankfurt school).

Pengaruh filsafat pragmatis yang mendominasi di amerika sehingga dalam perkembangan teori kurang begitu filo-sofis. Padahal akar kajian komunikasi di amerika awalnya cukup humanistik. Bagi bebrapa ahli seperti John Dewey , Geogre Mead, mereka berpendapat bahwa perha-tian terhadap pentingnya suratkabar bagi kehidupan komunitas.

Namun kini tradisi kritis juga tampak di amerika . ditandai dengan kemunculan Mills pada dekade 50 an . dan orientasi aliran kritis adalah emansipatoris seperti yang ada dalam karya Noam Chomsky.

Sedangkan ilmu sosial di eropa lebih filosofis. Teori-teori yang lebih bersifat normatif sangat terasa di eropa. Terutama pemikiran marxis yang mengakar kuat.

Namun berkat keilmuan. Di eropa juga menembangkan pendekatan empiris, seperti halnya di amerika yang mengem-bangkan pendekatan krits.

Jika kajian empiris hanya fokus ten-tang individu sedangkan kajian kritis me-miliki relasi yang besar misalnya hubung-an antar lembaga tingkat makro. Tradisi kedua hal tersebut kini lebih dikenal de-ngan tradisi barat.

Opini

Kini komunikasiadalah proses

penyampaian pesan yang dilakukan

secara masif.

24 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Solidaritas Anti Penggusuran (SAP): Bersatu dan Lawan PenggusuranBy Andini KhaerunnisaPhoto by Andi Chairiza Bahrun

Kita bukan pahlawan sebet-ulnya, kita cuma mahasiswa yang menjadi agent of con-

trol. Kita cuma percaya tidak ada manusia yang pantas kelaparan maupun kehil-angan tempat tinggalnya.

Semua atas nama kemanu-sian. - Yaya

Jika kita berbicara tentang kemanusi-aan, maka akan banyak isu-isu yang

sekarang ini bisa kita bahas lebih men-dalam. Isu-isu kemanusian yang seka-rang ini Kota Makassar sedang ceritakan, tentang penggusuran. Makin banyaknya investor-investor dari luar dan pemodal lokal yang menginginkan lokasi usahanya yang strategis. Tidak banyak, pemukiman warga dilirik sebagai cikal bakal sumber penghasilan untuk kelangsungan hidup-nya. Terkadang, banyak para pemodal-pemodal menginginkan sebidang tanah tersebut dengan cara apapun. Dari cara persuasif kepada warga di sekitar, mau-pun dengan cara yang bisa dikatakan ku-rang halus.

Berbicara tentang penggusuran, su-dah pasti ada beberapa kepala keluarga yang akan kehilangan tempat tinggalnya. Menurut Undang-Undang Dasar Nega-ra Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 28H ayat 1 yang berbunyi: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan ke-

sehatan.” Dan juga dibahas pada UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

Pasal 5 ayat (1): “Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembi-naannya dilaksanakan oleh pemerintah”. Berangkat dari peraturan ini, jika peng-gusuran yang terjadi sekarang ini tidak menjamin warga-warga yang tergusur akan mendapatkan rumah baru, maka para penggusur tersebut telah melanggar UUD 1945 Pasal 28H ayat 1. Penggusuran tidak akan terjadi jika tidak memiliki izin eksekusi dari Jaksa maupun dari peme-rintah, itu sama saja dengan pemerintah menelantarkan masyarakatnya.

Melihat fenomena yang tidak me-nyenangkan tersebut, sekelompok anak muda yang menyebut dirinya sebagai So-lidaritas Anti Penggusuran (SAP) berini-siatif untuk melawan ketidak adilan yang sering dialami oleh masyarakat golongan menengah ke bawah. Menurut Hidayat, saat ditemui disela-sela kegiatannya, awal terbentuknya SAP karena adanya kesama-an ide dan pendapat bahwa semua orang

Komunitas

25 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

berhak medapatkan rumah, berhak men-dapatkan tempat beristirahat yang nya-man. “Kebutuhan Papan (re: rumah) me-rupakan salah kebutuhan dasar manusia yang harus dimiliki masyarakat. Jika, ke-butuhan papannya tidak terpenuhi maka masyarakat tersebut tidak bisa dikatakan sejahtera. Dan tidak ada manusia yang harus bingung mencari tempat untuk pu-lang, semua orang butuh rumah. keluarga sebagai bentuk pemerintahan terkecil ti-dak memiliki rumah sebagai pondasinya untuk memenuhi kebutuhannya.” tutur pria yang lebih akrab disapa Yaya ini. Ia juga menambahkan bahwa Negara ini juga menjajikan masyarakatnya sejahtera, jika kebutuhan papannya tidak terpenuhi seperti sekarang ini berarti masyarakat tidak sejahtera. Berangkat dari semangat tersebut, Yaya dan bersama beberapa te-man mulai saling membantu dalam mela-wan penggusuran.

Sejak tahun 2010, mereka fokus di kasus Pandang Raya. Bahkan, beberapa penggerak SAP sudah mengawal kasus Pandang Raya sebenarnya sudah dikawal dari taun 2002. Dan pada tahun 2010,

para pemuda yang peduli tersebut yang terdiri dari Yaya, Fajri, Ipank, Titin, Ato, Maulana, Pratama Adi, Aan, Tian, dkk akhirnya menggagas untuk memben-tuk sebuah barisan yang terfokus pada kasus penggusuran, salah satunya kasus Pandang Raya yang terus diperjuangkan hingga sekarang. “Tak hanya di Pandang Raya, teman-teman lain juga mengko-ordinasi beberapa titik yang terancam penggusuran seperti di Mariso, Bulu-Bulu, Borong, Batua Raya, Mapanyukki, dan Pasar Kassi-Kassi.” papar pemuda yang sedang fokus dengan skripsinya yang membahas tentang Penggusuran di Pandang Raya. Menurut Yaya, ada alasan tersendiri mengapa SAP hingga sekarang memfokuskan perhatiannya di Pandang Raya. “Jika Pandang Raya sampai berha-sil diratakan dengan tanah, maka akan semakin banyak lagi penggusuran yang akan terjadi di Kota Makassar. Selain itu, lokasi Pandang Raya yang cukup strate-gis sangat menggiurkan bagi para pemo-dal untuk menginvestasikan usahanya di sana.” jelasnya.

Gerakan ini terbuka untuk semua

kalangan. “Caranya untuk bergabung dengan teman-teman SAP, bisa dengan ikut terlibat aktif di beberapa kegiatan SAP seperti kegiatan diskusi, konsolida-si, kelas-kelas workshop, dan sebagainya.” ungkap lelaki yang juga mahasiswa Ilmu Antropologi Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Ia juga menambahkan bahwa sebelumnya belum ada tempat yang tetap untuk berkumpul, namun dua tahun terakhir ada rumah yang dipinjamkan oleh warga di Pandang Raya yang sekarang bisa mereka gunakan sebagai sekret. Kegiatan SAP tidak ha-nya dilakukan di Pandang Raya, ada pula beberapa kegiatan yang dilakukan oleh teman-team SAP lainnya di beberapa lo-kasi. “SAP sebenarnya dalah gagasan tim kerja yang merespon isu-isu penggusur-an. Kami mendapatkan info dari warga, dari LBHN, dan Walhi. Awal mula warga dapat langsung menghubungi SAP, keti-ka adanya aksi penolakan penggusuran bersama para pedagang di Pasar Terong. Salah seorang ibu yang juga ketua perseri-katan pedagang di Pasar Terong yang me-miliki kontak salah satu teman dari SAP. Namun, banyak juga warga yang lagsung menghubungi lembaga-lembaga hukum.” tutur Yaya. Ada juga beberapa teman dari SAP yang bekerja di LBHN. Sehingga mempermudah langkah SAP mengadvo-kasikan kasus-kasus penggusuran yang mereka angani. Ia juga menambahkan bahwa tiap daerah yang mendapat an-caman penggusuran di kawal oleh tim kerja yang telah di bagi oleh SAP. Mereka bernisiatif agar para warga yang menda-patkan ancaman perebutan rumahnya bisa saling berkomunikasi, mereka ingin para warga yang menjadi korban tetap bersilahturahmi untuk mempererat ba-risan melawan penggusuran. “Kita bukan pahlawan sebetulnya, kita Cuma maha-siswa yang menjadi agent of control. Kita Cuma percaya tidak ada manusia yang pantas kelaparan maupun kehilangan tempat tinggalnya. Semua atas nama ke-manusian” ungkap lelaki yang gemar menggunakan topi.

Adapun suka dan duka yang dialami oleh Yaya dan kawan-kawan. Hal-hal yang mereka dapatkan di SAP seper-ti keluarga baru dan saudara baru yang memiliki kesamaan ide dan tujuan, tahu hal-hal baru seperti mengetahui seberapa

Komunitas

26 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

buruknya negara ini, UU Agraria masih belum benar, dan departemen yang ada di bawahanya tidak jelas bagaimana kiner-janya. “Duka yang saya rasakan selama tergabung d SAP ini jika tidak dapat ikut terlibat advokasi dan beberapa semangat teman yang mulai mengendur dengan berbagai alasan.” Kendala yang biasa me-reka hadapi seperti ketika pertama kali SAP bertemu warga yang menjadi korban ada yang tidak percaya, karena kondisi psikologi masyarakat yang terancam ter-gusur biasanya mulai tidak percaya de-ngan orang2 dari luar. Tapi teman-teman SAP terus datang dan meyakinkan warga yang sedang was-was, bahwa mereka da-tang untuk membantu.

“Untuk mencari dukungan dari warga yang tidak menjadi korban penggusur-an, kami mengadakan kegiatan-kegiatan seperti pemutaran film yang membahas tentang anti penggusuran, aksi-aksi de-monstrasi, bagi-bagi flyer, dan juga me-lalui sosial media. Sosial media bisa kita gunakan sebagai senjata, tapi bagaimana kita mengisi pelurunya” ujarnya. Yaya juga menambahkan bahwa gerakan ini tidak memiliki struktur yang tetap, tetapi

mereka mengandalkan seorang penang-gung jawab (PJ). Seperti tiap kegiatan yang digelar oleh SAP ada PJnya di tiap daerah berbeda sesuai dengan kesepa-katan. Tentunya ia memiliki kredibilitas di kegiatan yang ditanganinya. “Tidak ada batas-batas dalam tim kerja di SAP, tetapi kita lebih mengandalkan kesadar-an diri tiap teman-teman SAP dan saling mengomunikasikan kepada teman-teman yang lain. Jika sedang bermusyawarah, cara kita mengambilan keputusan adalah dengan mengunakan metode konsensus, yang disepakati bersama dan juga sudah dipertimbangkan sebelumnya.” jelasnya.

Setelah jalur advokasi selesai dilaku-kan, hasil dari advokasi tersebut dibawa ke lembaga hukum. Seperti mengajukan banding ke pengadilan negeri makassar, teman-teman SAP juga menyertakan be-berapa bukti, seperti tanah yang digusur tersebut ternyata salah sasaran. Bukti-bukti tersebut juga mereka tunjukkan ke LBH agar mereka juga mendapatkan du-kungan yang makin kuat. Selain itu, ada juga jalur non hokum yang mereka laku-kan. ”Kami juga berkomunikasi dengan beberapa teman di luar Makassar seperti

di Solo, Jakarta, Bandung, dan Kenda-ri untuk salin berbagi ide dalam isu-isu yang sama. Karena penggusuran tidak ha-nya terjadi di kota ini. Justru, di beberapa kota besar lainnya juga mengalaminya, bahkan lebih banyak dari Kota Makassar.” jawabnya.

Langkah selanjutnya yang dilaku-kan oleh teman-teman SAP untuk kasus Pandang Raya yaitu mengajukan ban-ding. Karena ada beberapa kesalahan saat penggusuran, seperti saat eksekusi tidak ditunjukkan marka tanah sebelum peng-gusuran, marka tanah menunjuukan ta-nah mana yang akan digusur, pembacaan surat eksekusi yang seharusnya dibacakan sebelum eksekusi, bukan sesudah ekseku-si. Bahkan, pemberitahuan surat ekseku-si seharusnya keluar seminggu sebelum penggusuran bukan 3 hai sebelumnya. “Kita sudah menempuh jalur hukum se-perti Ke Badan Pertanahan Negara (BPN) dan BPN Kanwil untuk menunjukkan bahwa daerah tersebut salah objek, walau-pun sampai saat ini belum direspon. Kami juga sempat bertemu dengan Walikota Makassar, Dany pomanto dan beliau me-nyatakan tidak akan menerbitkan surat izin mendirikan bangunan jika masalah ini belum selesai.” jawabnya. Selain itu, mereka tetap menyebarkan info melalui sosial media, diskusi, berkomnikasi de-ngan LBH perihal progres kasus Pandang Raya ini. Yaya juga mengatakan, “Jika se-mua cara tersebut tidak berhasil, maka cara terakhir kami adalah reclaiming. Yaitu mengambil tanah tersebut dengan langsung membangun rumah di atasnya. Walaupun beberapa warga yang tinggal di sana tidak memiliki surat karena pekerja-annya hanya seorang tukang becak mau-pun hanya seorang kuli, namun ada be-berapa warga yang memang sudah la,ma menempati tanah tersbut dan memiliki surat tanah yang sah namun tetap saja rumahnya diratakan dengan tanah sejak tahu 1983.”

SAP selalu mengusung semangat perlawanan, perlawanan untuk merebut tanah-tanah yang akan tergusur. Dan banyak bentuk cara perlawanan, seperti melalui tulisan, film, foto, dan sebagainya. “Harapan saya kedepannya, semoga ma-kin yang datang ke Pandnag Raya, semoga Pandang raya menang dan tidak ada lagi penggusuran tanah.” ujarnya.

27 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Ponsel pintar, konsumen pintarBy Siti Rafika, Photo by Lia Lestari

Perilaku konsumtif masyarakat saat ini tidak lagi didasarkan pada needed

theory, yang mengedepankan kebutuhan-kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Namun bergeser pada praktik perilaku konsumsi yang hanya berdasarkan kei-nginan semata. Tentu saja gengsi menjadi salah satu faktor yang mendorong perila-ku konsumtif tersebut.

Handphone yang pada awalnya me-rupakan barang langka dan dianggap mewah, kini telah berubah menjadi salah satu daftar barang yang wajib dimiliki juga lebih mudah dibeli. Handphone menja-di alat komunikasi penting dan digemari oleh seluruh tingkatan masyarakat. Keha-diran handphone sangat membantu ma-syarakat untuk melakukan komunikasi dari mana saja dengan lebih mudah.

Saat ini fungsi handphone sudah mu-lai bergeser. Dahulu handphone hanya digunakan untuk menelpon atau sekedar berkirim pesan, kini lebih sering diguna-kan untuk menjelajahi dunia maya atau

hanya sekedar bersosial media. Handp-hone saat ini lebih sering disebut smar-tphone oleh masyarakat. Berbagai fitur unggulan diciptakan untuk melengkapi smarphone ini, mulai dari resolusi ka-mera, fasilitas layar sentuh, retina display hingga perintah suara menjadika masya-rakat tertarik untuk membeli dan akhir-nya masyarakat menjadi sangat peka un-tuk mengikuti perkembangan teknologi. Tidak hanya itu, berbagai operator seluler juga saling berlomba untuk mengenalkan paket internet yang super cepat dan super murah mereka yang mengiringi perkem-bangan teknologi smarphone ini.

Masyarakat secara terus-menerus mengikuti perkembangan teknologi smartphone dengan berbagai alasan. Dari yang hanya ingin selalu terlihat up to date, prestise, hingga yang benar-benar me-manfaatkan perkembangan telepon selu-ler untuk meningkatkan produktifitasnya. Pertumbuhan penggunaan smartphone diikuti oleh gaya hidup seseorang yang

selalu membutuhkan jaringan internet dalam hidupnya khususnya demi berso-sial media.

Seperti halnya provider seluler, ber-bagai perusahaan yang mengembangkan aplikasi social networking yang meleng-kapi berbagai smartphone ini menyajikan fitur-fitur yang menarik para konsumen-nya untuk mendownload aplikasi tersebu mulai dari menyediakan layanan voice note hingga menyediakan stiker-stiker yang lucu sebagai salah satu bentuk eks-presi si pengguna smartphone saat mela-kukan obrolan.

Sementara itu kecanggihan ponsel-ponsel pintar yang dikemas oleh berba-gai media promosi sangat sukses dalam meningkatkan hasrat para konsumen untuk membeli. Bahkan ponsel-ponsel canggih ini kini sangat mudah ditemukan dijual dengan harga murah, tidak jarang pula masyarakat juga rela menggunakan ponsel tangan kedua demi mendapatkan ponsel canggih yang diidamkan.

Jumlah pengguna smartphone yang ada bisa saja menunjukkan jumlah ma-syarakat yang melek teknologi. Tapi, su-dahkah para pengguna smartphone be-nar-benar mengeksplorasi kecanggihan ponsel pintar tersebut? Pada akhirnya, smarthphone hanya mengarah pada per-soalan gaya hidup. Peningkatan masyara-kat yang haus akan teknologi merupakan salah satu pertanda perkembangan tek-nologi. Hanya saja kesadaran mengenai teknologi yang

Technoside

28 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

menolak#MakassartidakamanBy Sabda Taro

Dalam dunia digital hari ini, persebaran informasi tidak membu-tuhkan hitungan jari dua tangan kita. Cukup hitungan pada jari-jari

satu tangan saja, kita telah mengetahui informasi atau peristiwa yang terjadi di belahan bumi yang lain. Persis ketika saya membaca sebuah portal online tetang peristiwa penembakan di Perancis. Kor-ban penembakan adalah tim redaksi Charlie Hebdo yang seringkali

memuat pemberitaan sensitif menyangkut keyakinan beragama. Seminggu setelah penembakan tersebut, media Charlie Hebdo kem-bali terbit dengan tulisan cover depan “JeSuisCharlie” dalam bahasa

Indonesia, ‘Saya Adalah Charlie”. Di Inggris, beberapa kelompok mengampanyekan kebebasan berekspresi turun ke jalan dengan

membawa tulisan “We Are Charlie”.

Jargon selain memiliki fungsi sosiali-sasi juga memiliki fungsi identifikasi

identitas. Dalam hal ini, identitas meru-juk pada siapa yang membuat jargon ter-sebut dan siapa yang dituju oleh jargon tersebut. Seperti pada jargon “JeSuisC-harlie” dan “We Are Charlie” terkandung makna identitas di dalamnya. Pertama adalah identitias internal di mana meru-juk pada sekelompok orang atau individu yang membuat jargon. Kelompok ini di-asumsikan sebagai komunitas yang men-dukung gerakan kebebasan berekpresi tanpa tekanan, intervensi ataupun intimi-dasi. ‘Je Suis’ dan ‘We Are’ menunjukkan hal tersebut. Sedangkan ‘Charlie’ merujuk pada identitas eksternal yang merupakan representasi kebebasan berekspresi yang merujuk pada harian media Charlie Heb-do.

Di Indonesia sendiri, jargon yang sama digunakan oleh pasangan Jokowi–Jusuf Kalla pada kampanye Pilpres 2014 lalu. Jargon “Jokowi-JK Adalah Kita” me-rujuka pada sosok Jokowi-JK dan meru-juk pada masyarakat Indonesia. Dapat dikatakan, ketiga jargon di atas mencoba dengan ‘lancang’ untuk mewakili setiap individu dan mempersuasif agar seti-ap individu merasa bagian dari mereka. Tentunya pertanyaan yang sangat mudah bagi ketiga jargon tersebut adalah, apakah benar saya, atau kalian adalah Charlie? Atau saya dan kalian adalah Jokowi-JK? Jawabannya pun begitu mudah. Saya bu-kan Charlie dan saya bukan Jokowi – JK.

Dalam diskusi postmodernisme, seo-rang Jean Baudrillard menyebut hypere-alitas. Baudrillard menegaskan mengenai media hari ini tidak lagi mencerminkan

realitas tetapi telah melampaui realitas. Contohnya adalah iklan pemutih wajah atau iklan obat sakit kepala, yang dengan sekejap dapat memutihkan dan menyem-buhkan sakit kepala. Apabila Baudrillard hidup hari ini, maka mungkin saja konsep hyperalitas tidak pernah ada tetapi ter-gantikan dengan lebaylitas. Penyebutan kata ‘saya’ yang merujuk pada ‘kita’ dan ‘kami’ pada ketiga jargon tersebut adalah lebaylitas.

Begitu juga dengan “#Makassar Tidak Aman” yang disebarkan oleh akun Twit-ter ‘Anak Makassar @supir pete2’. Jargon ini disebarkan oleh ‘Anak Makassar @su-pir pete2’ salah satu akun buzzer Twitter di Makassar, dengan melihat beberapa contoh kasus tindak kriminal yang terja-di akhir-akhir ini di Makassar. Jargon ini juga merujuk pada dua identitas, di mana

Beside Us

29 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

identitas pembuat dan penyebar (‘Anak Makassar @supir pete2’), yaitu akun buz-zer dan identitas yang merujuk pada kota Makassar.

Ada beberapa hal yang mesti dikriti-si dalam jargon “Makassar Tidak Aman”. Pertama adalah identitas penyebar, di mana merupakan akun buzzer Twitter. Buzzer Twitter berangkat dari strategi promosi dan penjualan yang dilakukan oleh media Twitter. Sederhananya, buz-zer Twitter memiliki fungsi membuat rumor dan mengembangkan isu yang berdampak pada banyaknya jumlah ki-cauan yang membicarakan tentang rumor atau isu tersebut. Lebih jauhnya lagi, hasil dari tingginya kicauan mengenai rumor bisa menjadi nilai positif terhadap brand atau juga negatif. Pada akhirnya, jargon “Makassar Tidak Aman” dijadikan sebu-

ah wacana untuk mempertahankan dan meningkatkan jumlah perbincagan dan kicauan dalam akun buzzer, dalam hal ini akun buzzer penyebar isu. Hal ini di-lakukan karena, faktor utama dalam elek-tabilitas buzzer oleh sebuah produk atau brand terlihat dari grafik kicauan dan ob-rolan dalam linimasa.

Kedua adalah identitas yang merujuk pada kota ‘Makassar’ dan representasi kata ‘aman’. Merujuk pada beberapa ka-sus yang diangkat dalam linimasa akun buzzer penyebar rumor, kita akan ter-cengang membaca banyaknya kicauan mengenai tidak kriminal yang dialami warga Makassar. Selain itu, beberapa hari lalu, beberapa portal online juga gencar memberitakan peritiwa kriminal yang dilakukan oleh geng motor di Makassar. Ini seperti apa yang dikatakan oleh Wil-bur Shramm mengenai hypodermic the-ory. Sebuah teori usang, di mana media akan menyuntikkan informasi-informasi yang sama dan ketika itu pula audiens akan terpengaruh. Dalam linimasa akun buzzer Twitter tersebut, sama sekali tidak ada yang memberitakan atau mengabar-kan mengenai kondisi yang berkebalikan atau aman.

Akun Twitter ini (‘Anak Makassar @supir pete2’) terus menjejali followers-nya dengan informasi kriminal yang dirasa-kan oleh warga Makassar. Mengapa tidak ada informasi mengenai, contohnya “Saya Pulang Jam 02.30 dari daerah Tamalanrea ke Cendrawasih aman-aman saja.#Yes-MakassarAman”

Identitas kota Makassar yang diru-

juk pada jargon ini juga tidak repsenta-tif. Saya yakin, apabila ada 10-50 kasus misalnya dalam waktu satu bulan yang mengindikasikan Makassar tidak aman, maka kita dapat saja menampilkan 10 -50 kali lipat yang mengindikasikan kota Makassar aman. Lalu mengapa tidak ada informasi mengenai Makassar yang aman di lini masa akun buzzer Twitter tersebut, jawabannya adalah media memiliki prin-sip bahwa informasi yang baik-baik saja tidak baik untuk dijual. Akhirnya, kota Makassar dikonstruksi seperti kota yang ada dalam kondisi ingin perang, di mana kenikmatan yang luar biasa apabila kita mampu melintasi jalan-jalan di Makassar dalam kondisi baik-baik saja dan esoknya melihat matahari terbit.

Jargon “Makassar Tidak Aman” alih-alih sebagai gerakan protes dan kritik terhadap Pemkot dan pihak berwajib akhirnya digunakan untuk kepentingan komodifikasi. Lebaylitas dalam identitas Kota Makassar dan konsep Aman terlalu dihiperbolakan. Kepanikan dan ketakut-an warga semakin menjadi-jadi. Dampak-nya paling terasa apabila Pemkot mene-rapkan jam malam seperti Kota Bandung dan mungkin kita akan mengucapkan selamat tinggal untuk jajanan Pisang ‘Epe’ BNI dan segala aktivitas ekonomi kecil yang memanfatkan bahu jalan pada ma-lam hari.

“Beside Us

Media hari ini tidak lagi mencerminkan realitas tetapi telah

melampaui realitas.

30 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Resensi Film

Tolong...Dewasa ini, media massa sudah bisa

menjamah semua kalangan. Mulai dari yang muda dan tua, anak-anak dan orang dewasa, bahkan beberapa lapisan yang ada di struktur masyarakatpun dapat mengonsumsinya. Media massa sangat membantu dalam penyebaran informasi secara mendetail dan lengkap. Namun, jika kita melihat beberapa headline yang sedang berlenggak-lenggok di halaman depan Koran, isu-isu yang menghiasi du-nia maya, hingga pemberitaan di televisi cukup meyakinkan kita agar tidak mene-lan mentah-mentah apa yang disodorkan oleh media.

Melihat fenomena yang meresahkan tersebut, Korps Mahasiswa Ilmu Komuni-kasi (KOSMIK) melalui Klub KIFO (Kine dan Fotografi) menggagas sebuah karya yang memaparkan kembali, bagaimana kekuatan media dapat membuat kesan yang kurang menyenangkan bagi seki-

tarnya. Film ‘Tolong…’ ini mengajak kita untuk tidak mudah mengonsumsi isu-isu yang sedang beredar sekarang.

Isu hangat yang dibahas dalam film ini adalah tentang kekerasan yang terjadi di angkutan umum, khususnya di Kota Makassar. Kota Daeng ini sudah cukup belepotan dengan pemberitaan tentang tawuran antar mahasiswanya dan juga geng motor yang meresahkan warga Kota Makassar. Tagar #MakassarTidakAman dan #MakassarHarusAman pun sudah tak asing lagi di kalangan netizen Kota Makassar. Bahkan, untuk keluar rumah pada malam hari dengan pete-pete, war-ga akan berfikir dua kali untuk keluar. Dengan alasan geng motor, hingga kea-manan di pete-pete menjadi alasan warga untuk khawatir keluar malam hari dengan kendaraan umum tersebut. Rieski Kurnia-sari, seorang mahasiswi Ilmu komunikasi sekaligus pemilik ide cerita film ini men-

coba menceritakan kembali pengalaman cukup canggung milik temannya melalui sebuah film pendek. Bersamaan dengan isu-isu kekerasan yang gencarnya media ceritakan tentang kota ini, ia bersama Fauzi Ramadhan selaku Sutradara film ini mengolaborasikannya dengan cikal bakal cerita tersebut.

Film yang juga merupakan proyek dari Sasaran Kine 2014 ini, menceritakan kekhawatiran Ovy (Nurifqa Annisa) yang terbentuk akibat ia melihat pemberitaan-pemberitaan yang ia lihat disekitarnya. Saat ia sedang kerja kelompok bersama Nanda (Ulfa Apriani), Dian (Riska Amal-ia), dan Fatir (Muh. Faturrahman) yang mengharuskannya untuk pulang malam, tak ada pilihan lain kecuali menaiki pete-pete. Dalam beberapa adegan, diperlihat-kan ketika Ovy sedang menunggu teman-teman menjemputnya sambil melihat timeline twitter dari salah satu kicauan di

31 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

timeline-nya berisi tentang isu kekerasan yang terjadi di angkutan umum. Kemu-dian ia melihat sebuah headline yang se-rupa di sebuah koran yang sedang dibaca oleh seseorang yang berada di halte. Da-lam hal ini, Ovy tidak membacanya se-cara seksama maupun tidak menelusuri kebenarannya, ia hanya membaca sekilas berita-berita tersebut. Dalam adegan ini, sutradara ingin menyinggung bagaimana masyarakat menjadi latah dengan isu-isu yang ada sekarang ini, tanpa dibarengi de-ngan klarifikasi isu-isu tersebut.

Jika kita kaitkan dengan metode lite-rasi media, maka peranan metode ini da-lam kehidupan masyarakat khususnya di kalangan mahasiswa (yang digambarkan oleh sosok Ovy), belum berhasil mem-baca isu-isu tersebut dengan seksama. Karena media dapat melakukan pencitra-an yang kurang menyenangkan. Bahkan, melalui film berdurasi 10 menit 18 detik

ini kita dapat melihat masyarakat akan menganggap segelintir orang dengan be-berapa ciri khas tertentu dikatakan jahat. Dalam film ini, tergambar jelas stereotype yang ditujukan terhadap supir pete-pete. Adegan di dalam pete-pete, ada gambar yang memfokuskan pada tato yang ada di tangan kiri Si Supir. Stereotype tentang orang bertato disimbolkan sebagai orang jahat sudah banyak kita dapati di seki-tar kita. Bahkan, media juga mempunyai peran dalam pelemparan isu ini. Kita dapat melihat dalam beberapa tayangan yang menggambarkan preman-preman yang beringas dan kejam memilki tato. Namun, faktanya dalam kehidupan se-hari-hari kita, tidak semua orang yang memiliki tato itu dilabeli jahat. Toh, ada juga yang memiliki tato karena menyukai nilai seni yang tergambar di badannya. Ada juga yang memiliki tato dengan alas-an ingin mengingat hal-hal penting yang

ada dalam kehidupannya. Sebenarnya, diperlukan bagaimana cara kita meman-dang dan menyikapi sesuatu yang ada di sekitar kita. Tampaknya media memban-tu dengan cara makin mengumbar-umbar citra tersebut.

Dibalik itu semua, film ini tetap mengajarkan kita untuk tidak langsung termakan omongan media. Karena media sudah terlalu halus untuk menyembunyi-kan maksud sebenarnya dari isu-isu yang mereka gulirkan sekarang ini. Agar kita juga tidak salah menilai seseorang dan tidak mengalami ‘obesitas media’ karena terlalu banyak mengonsumsi isu-isu di media tanpa menganalisisnya.

TitleTolong…

Duration10:18

ProductionKIFO KOSMIK-UH

Year2015

ProducerTaher Rabbani

DirectorFauzi Ramadhan

Asst. DirectorAndini Khaerunnisa M

StoryRieski Kurniasari

Script writerAinun Jariah Yusuf

Story board:Wira Yudha SatriaTristania Indah

D.O.PDwy Rahmadi

Camera personDwiky SepthylioYudhi Kurniadi

Still PhotographyMuh. Hidayat Said

Sound Recording Ahmad Syafei Ma’arifFachrul Rozzy

Art & Wadrobe:Rahimah MuslihahAndi Chairiza Bahrun

Editor:Fachrul RezaYusman Nur

Runner:Wahyu Al-MardhaniNur Ihsan Juzaili

CastNurifqa Aulia as OvyRiska Amalia as DianUlfa Apriani Hasan as NandaFaturrahman as FatirWahyu as Pria di Halte

Resensi Film

32 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Musyawarah Bersama Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi ke-26

Pelaksanaan rapat kerja pengurus 2014-2015 di tanjung bayang pada bulan maret.

Pelantikan pengurus KOSMIK peri-ode 2014-2015.

Pelatihan menulis liputan dan peris-tiwa (Timelines) oleh biro Baruga di Lec Athira Baruga pada bulan Mei..

Pelatihan dasar fotografi (BCOP) yang dilaksanakan di GPI pada bulan April.

Diskusi kelompok pengembangan periklanan yang dibawakan Yusuf Gala pada bulan April di ruang 209.

Pelaksanaan LPJ triwulan pengurus Kosmik.

kaleidoskop

33 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Tudang Sipulung dalam rangka perayaan ulang tahun Kosmik yang ke-25

Pelaksanaan charity day di panti asuhan At-tiin sebagai bentuk kepedulian sosial warga Kosmik

Pelaksanaan pendidikan dasar klub GCC di lembah Ramma pada bulan April 2014.

Pemberian materi kepada mahasiswa baru pada pelakasanaan Obscura.

Penerimaan dan pembinaan maha-siswa baru 2015 dihadiri oleh Sam-su Rizal M.Si selaku wakil walikota Makassar

Peserta nurani 2014 melatih kekompakan dengan megikuti games angkat bambu.

34 BARUGA| Edisi 23 Tahun 2015

Mengenal Sang Maha GuruShankara

“Bersoraklah dengan gembira, sebut nama Govinda, bodoh!” Itulah bait

pertama dari lirik dari lagu “Bhaja Govin-dam”. Bhaja Govindam adalah lagu yang dinyanyikan Sang Maha Guru Shankara bersama murid-muridnya. Lagu ini se-jatinya dihadiahkan kepada beliau oleh para muridnya, kemudian akhirnya disu-sun bersama. Lewat penafsiran lagu ini, Anand Krishna akan mengenalkan kepa-da kita kebijaksaan-kebijaksanaan yang diajarkan oleh Sang Maha Guru ini.

Sang Maha Guru Shankara hampir seperti sufi lainnya; sering dianggap gila oleh masyarakatnya sendiri. Beliau hidup di tengah-tengah masyarakat yang tidak bisa memahami beliau. Untung saja, na-sib beliau tidak seburuk Siti Jenar. Beliau bebas berkeliaran bersama murid-murid-nya karena memang sudah dicap ‘gila’ dan mengakui ‘kegilaan’ mereka sendiri.

Salah satu kebijaksanaan yang banyak diajarkan beliau adalah melepaskan ke-terikatan dengan dunia. Tentu saja, kare-na itu merupakan masalah pokok umat manusia. Membentuk keterikatan selain kepada-Nya takkan membawa kita ke-mana-mana, hanya berputar dalam ling-karan setan yang sama. Keterikatan pula lah yang seringkali membangkitkan na-

luri hewani dalam diri kita. Sang Maha Guru memberikan kita arah bagaimana mengorganisir naluri hewani kita, tan-pa harus membuangnya. Bagaimanapun juga, naluri hewani memang tidak bisa dihilangkan, ia ada bersama kita, hingga akhir hayat kita. Tugas kita hanyalah me-ngorganisirnya, dan cara satu-satunya ha-nyalah dengan kesadaran.

Dibalik semua itu, lewat lagu ini Guru Shankara ingin memberi kita semacam shock therapy that-kick-our-ass-hardly. Beliau tidak segan menggunakan bahasa yang kita anggap tidak sopan. Memang, beliau tidak pernah menganggap diri se-bagai cendekiawan atau sastrawan. Tuju-an dari tindakan beliau–selalu dan selalu–adalah untuk kesadaran murid-muridnya.

Kesimpulannya, Sang Maha Guru Shankara akan menunjukkan kepada kita kebijaksanaan-kebijaksanaan ala sufis-me. Dalam arti, sisi sufistik beliau akan memberi tamparan keras pada diri kita, membuat kita menyadari kebodohan kita sendiri. Buku ini akan membantu kita menerjemahkan masalah-masalah hidup yang kita hadapi melalui penyadaran.

Sang Maha Guru Shankara hanyalah ‘sendok’, alat yang kita gunakan untuk makan. Meskipun sendok ini sudah lama

dan antik, namun masakannya masih segar. Gunakan sendok sebagai sendok, sebagai sarana untuk makan. Begitulah penulis Anand Krishna menganggap be-liau. Dan begitu pula lah kita harus meng-anggapnya.

“Bersoraklah dengan gembira, sebut nama Govinda, bodoh!”

By Iqbal Tawakkal

Resensi Buku