baru bab iii -...
TRANSCRIPT
45
BAB III
KONSEP ILMU MENURUT YÛSUF
AL-QARDÂWI DAN AL-GAZÂLÎ
A. Yûsuf Al-Qardâwi
1. Biografi dan Karyanya
Dalam buku autobiografinya, Yûsuf Al-Qardâwi memulai
menceritakan kelahirannya dengan mengatakan: kami tidak pernah
berkeinginan atau berharap agar dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota
besar seperti Kairo, yang merupakan tempat kelahiran Ahmad Amin; di
Damaskus yang merupakan tempat kelahiran Ali Thathawi, sehingga kami
dapat bercerita panjang mengenai keistimewaan dan keindahan kota
kelahiran kami. Kenyataannya, kami dilahirkan dan dibesarkan di sebuah
kampung terpencil yang terdapat di pedalaman Mesir dan jauh dari hiruk
pikuk kota modern.1
Yûsuf Al-Qardâwi dilahirkan di sebuah desa di Republik Arab
Mesir pada tahun 1926.2 Dia lahir dalam keadaan yatim. Oleh sebab itulah
dia dipelihara oleh pamannya. Pamannya ini yang mengantarkanYûsuf Al-
Qardâwi kecil ke surau tempat mengaji. Di tempat ituYûsuf Al-Qardâwi
terkenal sebagai seorang anak yang sangat cerdas. Dengan kecerdasannya
beliau mampu menghafal al-Qur'an dan menguasainya hukum-hukum
tajwidnya dengan sangat baik. Itu terjadi pada saat dia masih berada di
bawah umur sepuluh tahun. Orang-orang di desa itu telah menjadikan dia
sebagai imam dalam usianya yang relatif muda, khususnya pada saat
shalat subuh. Sedikit orang yang tidak menangis saat shalat di
belakangYûsuf Al-Qardâwi. Setelah itu dia bergabung dengan sekolah
1Yûsuf Al-Qardâwi, Perjalanan Hidupku 1, Terj. Cecep Taufikurrahman dan
Nandang Burhanuddin, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003), hlm. 9. 2Yûsuf Al-Qardâwi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, jilid 1, Terj. As'ad Yasin, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), hlm. 960
46
cabang al-Azhar. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengahnya di
lembaga pendidikan itu dan selalu menempati ranking pertama.
Kecerdasannya telah tampak sejak dia kecil, hingga salah seorang gurunya
menggelarinya dengan "allamah" (sebuah gelar yang biasanya diberikan
pada seseorang yang memiliki ilmu yang sangat luas, pent). Dia meraih
ranking kedua untuk tingkat nasional, Mesir, pada saat kelulusannya di
Sekolah Menengah Umum. Padahal saat itu dia pernah dipenjarakan.
Setelah itu beliau masuk fakultas Ushuludin di Universitas al-
Azhar. Dari al-Azhar ini dia lulus sebagai sarjana S1 pada tahun 1952.
Beliau meraih ranking pertama dari mahasiswa yang berjumlah seratus
delapan puluh. Kemudian ia memperoleh ijazah setingkat S2 dan
memperoleh rekomendasi untuk mengajar dari fakultas Bahasa dan Sastra
pada tahun 1954. Dia menduduki ranking pertama dari tiga kuliah yang
ada di al-Azhar dengan jumlah siswa lima ratus orang. Pada tahun 1958
dia memperoleh ijazah diploma dari Ma'had Dirasat al-Arabiyah al-Aliyah
dalam bidang bahasa dan sastra. Sedang di tahun 1960 dia mendapatkan
ijazah setingkat Master di jurusan Ilmu-ilmu al-Qur'an dan Sunnah di
Fakultas Ushuluddin. Pada tahun 1973 dia berhasil meraih gelar Doktor
dengan peringkat summa cum laude dengan disertasi yang berjudul Az-
Zakat wa Atsaruha fi Hill al-Masyakil al-Ijtimaiyyah (Zakat dan
Pengaruhnya dalam Memecahkan Masalah-masalah Sosial
Kemasyarakatan). Dia terlambat meraih gelar doktornya karena situasi
politik Mesir yang sangat tidak menentu. 3
Yûsuf Al-Qardâwi pernah bekerja sebagai penceramah (khutbah)
dan pengajar di berbagai masjid. Kemudian menjadi pengawas pada
Akademi Para Imam, lembaga yang berada di bawah Kementerian Wakaf
di Mesir. Setelah itu dia pindah ke urusan bagian Administrasi Umum
untuk Masalah-masalah Budaya Islam di al-Azhar. Di tempat ini dia
bertugas untuk mengawasi hasil cetakan dan seluruh pekerjaan yang
3Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yûsuf Al-Qardâwi, Terj. Samson Rahman, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001), hlm. 3-6
47
menyangkut teknis pada bidang dakwah. Pada tahun 1961 dia ditugaskan
sebagai tenaga bantuan untuk menjadi kepala sekolah sebuah sekolah
menengah di negeri Qatar. Dengan semangat yang tinggi dia telah
melakukan pengembangan dan peningkatan yang sangat signifikan di
tempat itu serta berhasil meletakkan pondasi yang sangat kokoh dalam
bidang pendidikan karena berhasil menggabungkan antara khazanah lama
dan kemodernan pada saat yang sama. Pada tahun 1973 didirikan fakultas
tarbiyah untuk mahasiswa dan mahasiswi, yang merupakan cikal bakal
Universitas Qatar. Syaikh Yusuf ditugaskan di tempat itu untuk
mendirikan jurusan Studi Islam dan sekaligus menjadi ketuanya.4
Pada tahun 1977 dia ditugaskan untuk memimpin pendirian dan
sekaligus menjadi dekan pertama fakultas Syari'ah dan Studi Islam di
Universitas Qatar. Dia menjadi dekan di fakultas itu hingga akhir tahun
ajaran 1989-1990. Dia hingga kini menjadi dewan pendiri pada Pusat
Riset Sunnah dan Sirah Nabi di Universitas Qatar. Pada tahun 1990/1991
dia ditugaskan oleh pemerintah Qatar untuk menjadi dosen tamu di al-
Jazair. Di negeri ini dia bertugas untuk menjadi ketua Majlis Ilmiyah pada
semua universitas dan akademi negeri itu. Setelah itu dia kembali
mengerjakan tugas rutinnya di Pusat Riset Sunnah dan Sirah Nabi. Pada
tahun 1411 H, dia mendapat penghargaan dari IDB (Islamic Development
Bank) atas jasa-jasanya dalam bidang perbankan. Sedangkan pada tahun
1413 dia bersama-sama dengan Sayyid Sabiq mendapat penghargaan dari
King Faisal Award karena jasa-jasanya dalam bidang keislaman. Di tahun
1996 dia mendapat penghargaan dari Universitas Islam Antar Bangsa
Malaysia atas jasa-jasanya dalam ilmu pengetahuan. Pada tahun 1997 dia
mendapat penghargaan dari Sultan Brunai Darus Salam atas jasa-jasanya
dalam bidang fikih.5
Dr. Yûsuf Al-Qardâwi adalah salah seorang tokoh umat Islam
yang sangat menonjol di zaman ini, dalam bidang ilmu pengetahuan,
4Yûsuf Al-Qardâwi, Perjalanan Hidupku 1, op. cit, hlm. 419 5Ishom Talimah, op. cit, hlm. 5.
48
pemikiran, dakwah, pendidikan dan jihad. Kontribusinya sangat dirasakan
di seluruh belahan bumi. Hanya sedikit kaum muslimin masa kini yang
tidak membaca buku-buku dari karya tulis, ceramah dan fatwaYûsuf Al-
Qardâwi. Banyak umat Islam yang telah mendengar pidato dan
ceramahYûsuf Al-Qardâwi baik yang beliau ucapkan di masjid-masjid
maupun di universitas-universitas, ataupun lewat radio, TV, kaset dan
lain-lain.
Pengabdiannya untuk Islam tidak hanya terbatas pada satu sisi atau
satu medan tertentu. Aktivitasnya sangat beragam dan sangat luas serta
melebar ke banyak bidang dan sisi. Kami akan berusaha membahas
sumbangan dan aktivitasYûsuf Al-Qardâwi itu dalam bahasan di bawah
ini secara lebih terperinci.
1. Dalam bidang ilmu pengetahuan
2. Dalam bidang fikih dan fatwa
3. Dalam bidang dakwah dan pengarahan
4. Dalam bidang seminar dan muktamar
5. Dalam kunjungan dan ceramah-ceramah
6. Dalam bidang ekonomi Islam
7. Dalam amal sosial
8. Dalam usaha kebangkitan umat
9. Dalam bidang pergerakan dan jihad
10. Keterlibatannya dalam lembaga-lembaga dunia.6
Adapun Karya-karya Yûsuf Al-Qardâwi dapat disebutkan di
antaranya:
1. Al-Halal wal-Haram fil-Islam
2. Fatawa Mu'ashirah juz 1
3. Fatawa Mu'ashirah Juz 2
4. Fatawa Muashirah Juz 3
5. Taysir al-Fiqh: Fiqh Shiyam
6. Al-Ijtihad Fisy-Syari'ah al-Islamiyyah
6Ibid, hlm. 5-6.
49
7. Madkhal Li Dirasat al-Syariah al-Islamiyyah
8. Min Fiqhid-Daulah al-Islam
9. Taysir al-Fiqh li al-Muslim al-Muashir l
10. Al-Fatwa baina al-Indhibath wat-Tasayyub
11. Awamil as-Sa'ah wal-Murunah fisy-Syari'ah al-Islamiyyah
12. Al-Fiqh al-Islami bainal-Ashalah wat-Tajdid
13. Al-Ijtihad al-Mu'ashir bainal-Indhibath wal-Infirath
14. Ziwaj al-Misyar
15. Adh-Dhawabith asy-Syariyyah li Binaa al-Masajid
16. Al-Ghina' wal-Musiqa fi Dhau'il-Kitab was-Sunnah
17. Fiqhuz-Zakat (dua juz)
18. Musykilat al-Faqr wa Kaifa 'Alajaha al-Islam
19. Bai'al-Murabahah lil-Amir bisy-Syira'
20. Fawaidul-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram
21. Daurul-Qiyam wal-Akhlaq fil-Iqtishad al-Islami
22. Bidang Ulum Al-Qur'an dan Sunnah
23. Ash-Shabru wal-'IImu fil-Qur'an al-Kariem
24. Al-'Aqlu wal-'lmu fil-Qur'an al-Kariem
25. Kaifa Nata'amal Ma'al-Qur'an al-'Azhiem?
26. Kaifa Nata'amal Ma'as-Sunnah an-Nabawiyyah (Bagaimana
berinteraksi dengan Sunnah)
27. Tafsir Surat ar-Ra'd
28. Al-Madkhal li Dirasatas-Sunnah an-Nabawiyyah
29. Al-Muntaqa fit-Targhib wat-Tarhib (dua juz)
30. As-Sunnah Mashdar lil-Ma'rifah wal-Hadharah
31. Nahwa Mausu'ah lil-Hadits an-Nabawi
32. Quthuf Daniyyah min al-Kitab was-Sunnah
33. Al-Iman wal-Hayat
34. Mauqif al-Islam min Kufr af-Yahud wan-Nashara
35. Al-Iman bil-Qadar
36. Wujudullah
50
37. Haqiqat at-Tauhid
38. Bidang Fikih Perilaku
39. Al-Hayat ar-Rabbaniyyah wal-'Iimu
40. An-Niyat wal-Ikhlash
41. At-Tawakkul
42. At-Taubat Ila Allah
43. Tsaqafat ad-Da'iyyah
44. At-Tarbiyyah al-lslamiyyah wadrasatu Hasan al-Banna
45. Al-Ikhwan al-Muslimin 70 'Aaman fil al-Da'wah wa al-Tarbiyyah
46. Ar-Rasul wal-'lLmu
47. Rishafat al-Azhar baina al-Amsi wal-Yaum wal-Ghad
48. Al-Waqtu fi Hayat al-Muslim
49. Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Juhud wat-Tatharruf
50. Ash-Shahwah al-lslamiyyah wa Humum al-Wathan al-'Arabi wal-
Islami
51. Ash-Shahwah al-lslamiyyah bainal-Ikhtilafal-Masyru' wat-Tafarruq
al- Madzmum
52. Min Ajli Shahwah Rasyidah Tujaddid ad-Din wa Tanhad bid-Dunya
53. Ayna al-Khalal?
54. Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyah fil al-Marhalah al-Qadimah
55. Al-Islam wal-'Almaniyyah Wajhan bi Wajhin
56. Fi Fiqh al-Awlawiyyat (FiqihPrioritas)
57. Ats-Tsaqafah al-Arabiyyah al-Islamiyyah baina al-Ashalah wa al-
Muasharah
58. Malamih al-Mujtama' al-Islami alladdzi Nunsyiduhi
59. Ghayrul al-Muslimin fi al-Mujtama' al-Islami
60. Syari'at- al-Islam Shalihah lil-Tathbiq fi Kulli Zamanin wa Makanin
61. Al-Ummat al-Islamiyyah Haqiqat la Wahm
62. Zhahirat al-Ghuluw fit-Tafkir
63. Al-Hulul al-Musrawridah wa Kayfa Janat 'Ala Ummatina
64. Al-Hill al-Islami Faridhah wa Dharurah
51
65. Bayyinal-Hill al-Islami wa Syubuhat al-'ilmaniyyin wal-Mutagharribin
66. A'da' al-Hill al-Islami
67. Dars an-Nakbah al-Tsaniyyah
68. Jailun-Nashr al-Mansyud
69. An-Naas wa al-Haq
70. Ummatuna bainal-Qarnayn
71. Bidang Penyatuan Pemikiran Islam
72. Syumul al-Islam
73. Al-Marji'iyyah al-'Ulya fi al-Islam li al-Qur'an was-Sunnah
74. Mauqif al-Islam min al-Ilham wa al-Kaysf wa al-Ru'aa wa min al-
Tamaim wa al-Kahanah wa al-Ruqa
75. Al-Siyasah al-Syar'iyyah fi Dhau'Nushush al-Syari'ah wa Maqashidiha
76. Al-'Ibadah fi al-Islam
77. Al-Khashaish al-'Ammah fi al-Islam
78. Madkhal li Ma'rifat al-Islam
79. Al-lslam Hadharat al-Ghad
80. Khuthab al-SyaikhYûsuf Al-Qardâwi juz 1
81. Khuthab al-SyaikhYûsuf Al-Qardâwi juz 2
82. Liqaat wa Muhawarat hawla Qadhaya al-Islam wal-'Ashr
83. Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inghilaq
84. Qadhaya Mu'ashirah 'Ala Bisath al-Bahts
85. Al-Iman Al-Ghazali baina Madihihi wa Naqidihi
86. Asy-Syaikh al-Ghazali kama 'Araftuhu: Rihlah Nishfu Qarn
87. Nisaa' Mu'minaat
88. Al-Imam al-Juwaini Imam al-Haramain
89. 'Umar bin Abdul Aziz Khamis al-Khulafa' al-Rasyidin
90. Nafahat wa Lafahat (kumpulan puisi)
91. Al-Muslimin Qadimum (kumpulan puisi)
92. Yusuf ash-Shiddiq (naskah drama dalam bentuk prosa)
93. 'Alim wa Thagiyyah
94. Ad-Din fi 'Ashr al-'Ilmi
52
95. Al-Islam wa al-Fann
96. An-Niqaab lil-Mar'ah baina al-Qawl bi Bid'atihi wal-Qawl bi
Wujubihi
97. Markaz al-Mar'ah fil-Hayah al-lslamiyyah
98. Fatawa lil-Mar'ah al-Muslimah
99. Jarimah ar-Riddah wa 'Uqububat al-Murtad fi Dhau' al-Qur'an was-
Sunnah
100. Al-Aqlliyat ad-Diniyyah wal-Hill al-Islami
101. Al-Mubasyyirat bi Intishar al-Islam
102. Mustaqbal al-Ushuliyyah al-lslamiyyah
103. Al-Quds Qadhiyat Kulli Muslim
104. Al-Muslimun wal-'Awlamah
105. Kaset-kaset Ceramah SyaikhYûsuf Al-Qardâwi
106. Limadza al-Islam
107. Al-Islam alladzi Nad'u Ilaihi
108. Wajib Asy-Syabab al-Muslim
109. Muslimat al-Ghad
110. Ash-Shaliwah al-Islamiyyah bainal-'Amal wal-Mahadzir
111. Qimat al-Insan wa Ghayat Wujudihi fil-Islam
112. Likay Tanjah Muassasah az-Zakat fit-Tathbiq al-Mu'ashir
113. At-Tarbiyyah 'inda al-Imam asy-Syathibi
114. Al-Islam Kama Nu'minu Bihi
115. Insan Suratal-'Ashr
116. As-Salam al-Mustahil bainal-'Arab wa Israel
117. Al-Islam wal-Muslimun wa 'Ulum al-Mustaqbal 'Ala A'tab al-Qarn
al- Qadim
118. Al-Muslimin wat-Takhalluf al-'Ilmi
119. Ash-Shahwah al-Islamiyah wa Fiqh al-Awlawiyyat
53
2. Pemikiran Yûsuf Al-Qardâwi tentang Konsep Ilmu
Menurut Al-Qardâwi di antara ilmu, ada yang hukum
mempelajarinya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah, serta ada pula
yang tercela. Ilmu yang wajib dipelajari terbagi menjadi dua, yaitu wajib
'ain (wajib bagi setiap orang) dan wajib kifayah (wajib bagi sebagian
orang). Dalam hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan yang lainnya
"Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim". Maksud muslim di sini
mencakup laki-laki dan juga perempuan, sehingga mereka bersepakat
bahwa hadis tersebut mencakup muslim dan muslimah, walaupun tidak
terdapat lafazh wa muslimah dalam hadis tersebut.
Menurut Al-Qardâwi para pakar hadis berbeda pendapat tentang
'ilm yang wajib dipelajari. Masing-masing kelompok memprioritaskan
spesialisasi ilmu yang mereka geluti. Seorang teolog (ahli kalam)
berpendapat, bahwa ilmu yang wajib dicari adalah ilmu kalam karena ia
merupakan ilmu untuk mengetahui keesaan Allah, mengimani para
malaikat, kitab dan utusan-utusan-Nya serta hari kiamat. Dan ini adalah
pondasi agama. Ahli fikih menyatakan bahwa yang wajib dipelajari
terlebih dahulu adalah ilmu fiqih, karena ia adalah ilmu untuk mengetahui
yang halal dan yang haram, keabsahan suatu ibadah dan konsistensi
transaksi sesuai syariat.7
Pakar ilmu tafsir mengatakan bahwa yang wajib dipelajari terlebih
dahulu adalah ilmu untuk menafsirkan kitab Allah sebagai dasar agama
dan referensi umat Islam. Sedangkan pakar hadis menyatakan bahwa yang
wajib dipelajari terlebih dahulu adalah ilmu hadis sebagai penjelas Al-
Qur'an dan simbolisasi sejarah hidup Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam, perkataan, perbuatan dan ketetapan beliau.
Menurut Al-Qardâwi, seorang ahli tasawuf berpendapat bahwa
yang harus diutamakan adalah ilmu untuk menuju akhirat dan jalan Allah
Subhanahu Wa Ta'ala, cara penyucian jiwa dan penyembuhan penyakit-
7Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa
Sunnah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1999), hlm. 187.
54
penyakit setan serta menutupi celah-celah yang bisa dimasuki. Pakar ushul
fikih lebih menyatakan bahwa ilmu usul fikihlah yang lebih utama untuk
dipelajari karena ia merupakan ilmu untuk menyimpulkan maksud dari
sebuah teks dan mengambil konklusi dari sesuatu yang tidak memiliki
dalil tekstual. Bahkan ada yang mengatakan, ilmu bahasa Arab seperti
Nahwu, Sharraf dan Balaghah adalah lebih utama karena ia merupakan
instrumen untuk memahami Al-Qur'an dan hadis.
Ada juga yang berpendapat bahwa yang lebih utama adalah ilmu
kedokteran sebab dengannya dapat diketahui sehat dan sakitnya
seseorang. Salah seorang mereka membagi ilmu kepada dua macam; ilmu
agama dan ilmu jasmani, dan ilmu jasmani lebih utama dari pada ilmu
agama. Sedangkan sebagian lain yang menyebutkannya bahwa pernyataan
tersebut perlu dikaji lagi. Menurut Al-Qardâwi sendiri bahwa ia melihat
pendapat-pendapat tersebut mencampuradukkan antara ilmu yang wajib
dipelajari oleh setiap muslim laki-laki dan perempuan, yaitu
mencampuradukan antara yang fardhu ain dan fardhu kifayah. Ilmu tafsir,
hadis, ushul fikih dan ilmu-ilmu bahasa Arab, tak terkecuali ilmu
kedokteran adalah yang wajib dipelajari dalam lingkup sebuah umat,
namun tidak wajib dipelajari oleh semua individu, maka hal seperti ini
masuk dalam kategori fardhu kifayah. Yang dimaksud fardhu kifayah
adalah sesuatu yang dibutuhkan masyarakat secara kolektif, dan cukup
sebagian orang melaksanakannya untuk menutupi kekosongan dan
memenuhi kebutuhan, kalau tidak ada seorang pun yang melakukan
seluruh kaum tersebut menanggung dosa. 8
Menurut Al-Qardâwi di antara yang termasuk dalam 'kategori
fardhu ain pada zaman sekarang, menurut pendapat dan ijtihad Al-
Qardâwi adalah seorang muslim harus belajar baca tulis dan
menghilangkan stempel buta huruf. Buta huruf telah menjadi penghambat
umat dari kemajuan dan perkembangan, dan belajar menjadi salah satu
faktor kemuliaan dan kemenangan atas musuh mereka. Dalam arena
8Ibid, hlm. 188.
55
persaingan ekonomi dan peradaban di zaman sekarang tidak ada tempat
lagi bagi umat yang mayoritas individunya buta huruf.9
Menurut Al-Qardâwi, salah satu kaidah syara' menetapkan, "Satu
kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan adanya sesuatu, maka
sesuatu itu menjadi wajib." Umat Islam wajib berada pada posisi paling
depan dan maju serta memiliki kekuatan dan keunggulan, dan itu tidak
akan tercapai kecuali dengan memberantas buta huruf dan
memasyarakatkan budaya belajar pada semua anggotanya, dengan
demikian kita akan dapat menyaingi umat lain.10
Menurut Al-Qardâwi, salah satu himbauan al-Qur'an dalam dunia
ilmu pengetahuan adalah manusia diwajibkan belajar kepada siapa saja
yang mempunyai ilmu, dan bermanfaat bagi hidupnya di dunia maupun di
akhirat kelak. Sekalipun ia lebih muda umurnya dan lebih rendah
derajatnya.11Nabi Muhammad Shallallahu Alaih wa Sallam sendiri telah
memerangi buta huruf pada masa hidupnya sejak tahun kedua hijrah
ketika beliau memerintahkan kepada para tawanan perang yang pandai
menulis untuk mengajari sepuluh dari putra-putra orang Islam cara tulis-
baca. Kewajiban umat Islam sekarang adalah menyempurnakan langkah
tersebut sehingga tidak terbelakang dalam kompetisi peradaban dan agar
umat Islam tidak pengekor umat lain, tapi menjadi lokomotif kemajuan
karena posisinya sebagai umat terbaik.12
Menurut Al-Qardâwi, sebuah lontaran pertanyaan yang harus
dijawab, yakni bagaimana seorang muslim mendapatkan ilmu yang harus
dituntutnya? Dan metode apa yang lebih bermanfaat baginya? Menurut
Al-Qardâwi, jawaban atas pertanyaan ini berbeda sesuai perbedaan
kondisi individu seorang muslim, karena kondisi seorang muslim yang
9Ibid, hlm. 194. 10Ibid, hlm. 194 11Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, Terj.
Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 253. 12Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa
Sunnah, op. cit, hlm. 194.
56
pandai membaca tidak sama dengan kondisi seorang muslim yang tidak
dapat membaca.13
Menurut Al-Qardâwi, seorang muslim bisa mendapatkan ilmu
yang wajib tersebut adalah dengan cara talaqqi (menerima langsung) dan
mendengarkan secara bertatap muka dari para ulama yang terpercaya
dalam ilmu dan ketakwaan mereka serta mendalam pemahamannya akan
agama dan realita secara kebersamaan. Ini yang wajib bagi para orang
awam, dan tidak ada alternatif lain bagi mereka dalam hal ini. Usaha yang
dituntut dari seorang muslim dalam kondisi seperti ini adalah memilih
seorang guru yang dia belajar kepadanya. la harus mampu membedakan
antara seorang alim tempat ia meminta nasehat dan peringatannya, dan
seorang ahli fikih tempat ia menanyakan hukum-hukum syariat. Karena
tidak semua pemberi nasehat yang berpengaruh, atau orator ulung, atau
ahli tafsir dan hadis memiliki kredibilitas dalam fikih dan fatwa-fatwanya.
Yang demikian karena Allah menganugerahkan bakat dan kemampuan
pada tiap-tiap orang, kecuali yang dianugerahkan kepadanya semua bakat
dan kemampuan tersebut, dan hal itu sedikit.14
Menurut Al-Qardâwi, golongan muslim yang awam tidak sedikit
pula dari golongan terpelajar sering mencampuradukkan urusan ini.
Mereka menyangka bahwa para pemberi nasehat profesional juga seorang
yang mendalam dalam hukum-hukum syariat sehingga mereka meminta
fatwa dalam berbagai masalah yang pelik, dan mereka pun menjawab
sesuai kemampuan pengetahuan mereka yang kadang terjerumus ke dalam
kesalahan fatal, sementara mereka tidak menyadarinya. Jika mereka
termasuk orang-orang yang bertindak adil, niscaya mengatakan,
"Tanyakan kepada selain kami, karena kami tidak mengetahuinya."
Semoga Allah menganugerahkan rahmat-Nya kepada orang yang
menyadari dan berbuat sesuai batas kemampuannya. Karena sebuah hadis
13Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, op.
cit, hlm. 253. 14Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa
Sunnah, op. cit, hlm. 195.
57
shahih dari Bukhari dan Muslim memperingatkan kita dari orang-orang
yang ditanya dan memberikan fatwa tanpa didasari ilmu pengetahuan,
sehingga mereka sesat dan menyesatkan.
Menurut Al-Qardâwi, di antara sarana edukatif zaman sekarang
adalah pita kaset yang merupakan sarana penting dan besar pengaruhnya,
karena seseorang dapat menggunakannya, baik ketika dalam perjalanan
maupun di rumah, dan seorang perempuan pun dapat menggunakannya di
dapur tanpa merasa repot untuk mendengarkan atau memahaminya.15
Selain dari itu adalah, program-program keagamaan yang disiarkan
oleh stasiun-stasiun televisi dan radio, dan yang mungkin dapat disajikan
melalui alat audio visual seperti video. Seorang muslim hendaknya
mampu memfilter apa yang didengarnya dari kaset-kaset tersebut, karena
tidak setiap kaset yang berbau agama itu baik untuk didengarkan, karena
sebagian kaset tersebut merupakan sajian yang dibumbui kebohongan dan
semacamnya. Sehingga bahayanya lebih banyak daripada manfaatnya,
lebih banyak sisi destruktifnya dibanding sisi konstruktifnya, karena
isinya tidak semuanya dilandaskan kepada ilmu yang benar dan dalil-dalil
syar'i yang shahih.
Menurut Al-Qardâwi, banyak di antaranya yang dipenuhi oleh
ancaman adzab kubur dan hari akhir yang berlebih-lebihan, dibangun atas
dasar metode yang mempersulit dan bukan mempermudah (taysir), serta
menjauhkan dan bukan mendekatkan diri pada kebenaran, hal itu adalah
karena bertolak belakang apa yang diperintahkan Nabi Saw.
Sebagian orang tua menurut Al-Qardâwi, telah menceritakan
kepadanya bahwa putrinya sering bangun tengah malam dengan penuh
ketakutan dan gemetaran. Hal tersebut menghantuinya dalam tempo yang
cukup lama semenjak ia mendengarkan kaset tentang azab kubur yang
dilebih-lebihkan. Di dalamnya dikisahkan tentang ular-ular sebesar gajah
serta kalajengking sebesar keledai dan seterusnya.
15Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, op.
cit, hlm. 254.
58
Menurut Al-Qardâwi, sarana lain di era moderen sekarang ini
adalah jaringan internet yang banyak menyajikan info-info keislaman.
Semua itu mengharuskan umat Islam untuk memperingatkan setiap
muslim agar tidak mengambil ajaran agamanya kecuali dari orang-orang
yang telah terpercaya, diakui kualitas ilmu dan agamanya, serta tidak
mengambilnya dari sembarang orang menurut seleranya. Tapi hendaknya
ia meneliti dan berhati-hati akan setiap sumber agama yang diambilnya,
karena tidak semua buku dan risalah yang diterbitkan suatu percetakan
bisa dipercaya. Cukup banyak buku yang penuh dengan khurafat dan
kekeliruan.
Di antara yang perlu diwaspadai adalah israiliyyat dalam kitab-
kitab tafsir dan hadis-hadis palsu dalam kitab hadis, serta cerita-cerita dan
khayalan-khayalan yang tidak logis dalam buku-buku nasehat, anjuran dan
ancaman. Menurut Al-Qardâwi, hendaknya kepada setiap muslim yang
berusaha untuk mendapatkan pengetahuan yang benar tidak keliru mencari
guru, karena itu carilah orang yang benar-benar paham tentang ilmu hadis,
karena tidak semua ulama dan pemberi nasehat memahami hal tersebut.16
Sebaiknya seorang muslim memiliki sebuah buku yang mencakup
hadis-hadis shahih, seperti Al-Maqashid Al-Hasanah karangan As-
Sakhawi, atau Kasyf Al-Khafa' wa Al-Ilbas fiima Isytahara min Al-Hadis
'ala Alsinah An-Naas karangan Al-'Ajlauni, dan lain-lain.
Menurut Al-Qardâwi, seorang muslim juga dapat belajar dengan
cara membaca dan menelaah buku-buku karangan para ulama terpercaya.
Semua buku tersebut akan tetap mengandung nilai dan pengaruhnya serta
medan pendidikan dan peningkatan wawasan, karena buku lebih tahan
lama umur dan pengaruhnya. Seorang muslim secara umum harus dapat
memilih buku-buku yang dibacanya, dan terlebih lagi dalam memilih
buku-buku keagamaan. Karena percetakan-percetakan setiap harinya
menerbitkan buku yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat, yang baru
16Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa
Sunnah, op. cit, hlm. 195.
59
dan yang usang. Cukup banyak hal di dalamnya yang bermanfaat dan
membahayakan, dan seorang muslim hendaknya mengambil yang baik
dan meninggalkan yang buruk. Orang bijak mengatakan, "Beritahukan
kepadaku, apa yang sedang engkau baca?" Maka akan aku beritahukan
siapa kamu!"
Di sini Al-Qardâwi mewanti-wanti adanya racun dalam buku
bacaan sebagaimana yang terdapat dalam kaset-kaset. Di antara buku-
buku tersebut ada yang tampak bahaya dan kefatalannya, seperti buku-
bukunya orang-orang kafir dan para zending yang terang-terangan. Ada
juga buku yang mengandung racun berselubungkan madu, seperti buku-
bukunya para sekularis, marxisme dan yang semisalnya, mereka yang
dapat menyesatkan seorang muslim biasa dari jalan kebenaran, karena
kebatilan dipaksa sedemikian indah, sehingga banyak orang yang tertipu.
Dan yang paling berbahaya adalah buku-buku agama yang tidak
berdasarkan ilmu yang benar yang tidak diteliti dan diseleksi. Buku-buku
tersebut dipenuhi kekeliruan, berlebih-lebihan dan menyesatkan. Buku-
buku tersebut laku laris di tengah-tengah orang awam yang tidak dapat
membedakan antara barang bermutu dan palsu.17
Contoh lain menurut Al-Qardâwi adalah buku-buku tulisan para
ekstrimis yang mengharamkan hampir semua yang halal, mempersulit dan
bukan mempermudah serta menjauhkan dan bukan mendekatkan. Sudah
semestinya ada sebuah pengawasan atas buku-buku dan selebaran-
selebaran yang dikeluarkan untuk umum, sebagaimana adanya
pengawasan atas produksi makanan yang rusak, terkontaminasi dan
kadaluarsa.
Menurut Al-Qardâwi, tidak semua orang memiliki kemampuan
untuk membaca literatur klasik karena untuk hal tersebut dibutuhkan
perangkat-perangkat dan kunci-kunci tertentu khusus untuk dapat
membuka dan memahaminya. Sebab di dalamnya terdapat banyak istilah
17Yûsuf Al-Qardâwi, Al-Qur'an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan, op.
cit, hlm. 255.
60
dan problematika ilmiah yang berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu,
baik secara linguistik, syariat dan logika yang sulit dipahami oleh
kebanyakan orang. Untuk ini dibutuhkan adanya talaqqi dari para ahli di
bidang tersebut untuk menguraikan simpul-simpulnya dan mengembalikan
kepada dasar-dasarnya. Karena orang yang bukan ahlinya jika
membacanya sendirian, maka ia bagaikan berjalan di tengah padang tanpa
seorang pemandu jalan, sehingga ia akan celaka dan hilang.
Menurut Al-Qardâwi, orang-orang yang mendalam
pengetahuannya memperingatkan tentang orang yang belajar dari
shuhufiyyin, yakni orang yang mendapat ilmu dengan cara otodidak dari
buku semata tanpa duduk di bangku sekolah, berkumpul dengan para
ahlinya, dan berbaur dengan guru-guru dan murid-muridnya. Karena
itulah sebagian universitas zaman sekarang mewajibkan presentase
kahadiran seorang mahasiswa pada perkuliahan sebesar 75%, dan tidak
dianggap sebagai mahasiswa suatu perguruan tinggi kalau dia tidak
memenuhinya.18
B. Al-Gazâlî
1. Biografi dan Karyanya
Al-Gazâlî (1058 – 1111 M), nama lengkapnya adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta'us Ath-Thusi Asy-
Syafi'i Al-Gazâlî.19 Secara singkat, dipanggil Al-Gazâlî atau Abu Hamid Al-
Gazâlî. la dipanggil Al-Gazâlî karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu
kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum
Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad.
Menurut As-Subki sebagaimana dikutip Solihin bahwa ayah Al-Gazâlî adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama dan sering aktif menghadiri majelis-majelis
18Yûsuf Al-Qardâwi, Taysirul Fiqh lil Muslim al-M'uasir fi Daw'i al-Qur'an wa
Sunnah, op. cit, hlm. 195. 19Pradana Boy, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran dan Tokoh, UMM Press, Malang,
2003, hlm. 175.
61
pengajian. Menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Gazâlî dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi.20 Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya:
إن ىل لنأسفاعظيماعلى عدم تعلم الخط وأشتهى استدراك مافاتنى 21فى ولدي هذين
"sesungguhnya aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini."
Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan
mengajar keduanya. Suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu
tidak mampu lagi memberi makan keduanya ia menyarankan pada kedua
anak titipan tersebut untuk belajar di madrasah sekaligus menyambung
hidup mereka dengan mengelola madrasah tersebut.22
Di madrasah tersebut, Al-Gazâlî mempelajari ilmu fiqh kepada
Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian Ai-Ghazali memasuki
sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan di sinilah ia berguru kepada
Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu
manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika
perdebatan.
Selama berada di Naisabur, Al-Gazâlî tidak saja belajar kepada Al-
Juwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori
tamsawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan
praktik tasawuf kendatipun hal itu belum mendatangkan pengaruh berarti
dalam hidupnya.
Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia
kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, dan ia
mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya.
Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Gazâlî
20Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, CV Pustaka Setia, Bandung, 2003, hlm.
111. 21Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, Terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf,
(Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 37. 22Ibid, hlm. 40
62
dengan sebutan Bahr Mu'riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan
keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Gazâlî membuatnya menjadi
populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diam-diam di hati
Imam Haramain timbul rasa iri.23
Setelah Imam Haramain wafat (478 H./1086 M.), Al-Gazâlî pergi ke
Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485
H/1091 M). Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus
diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antarulama terkenal. Sebagai
seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk
melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Dalam perdebatan-
perdebatannya, ternyata ia sering mengalahkan para ulama ternama
sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Gazâlî.24
Sejak saat itu nama Al-Gazâlî menjadi termasyhur di kawasan
Kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham
Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad,
pada tahun 483 H/1090 M," meskipun usianya baru 30 tahun. Selain
mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan diskusi dengan para
tokoh paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu.
Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, semua
itu menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak memberikan
kepuasan batinnya. Untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatan
dan pengaruhnya lalu meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina,
kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh
kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia
menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember
1111 Masehi," atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah,
dengan meninggalkan banyak karya tulisnya.
23Imam Haramain timbul rasa iri hingga ia mengatakan: "Engkau telah memudarkan
ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati."
24A.Mustofa, Filsafat Islam, CV Pustaka Setia, Bandung, 1997, hlm. 215
63
Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Gazâlî menunjukkan
keistimewaanya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh
masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar
di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis25 di Naisabur maupun setelah
berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang.
Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Gazâlî mencapai 300
buah. la mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur.
Waktu yang ia pergunakan untuk mengarang terhitung selama tiga puluh
tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak
kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa lapangan ilmu
pengetahuan, antara lain: filsafat dan ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir,
tasawuf, dan akhlak.
Karya-karyanya itu membuat Al-Gazâlî tidak mungkin diingkari
sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan
Islam sendiri banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah orang
kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. sendiri. Mungkin
berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian
serupa itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh
di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen.
"Titisan" Al-Gazâlî dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filosof
Yahudi besar, Musa bin Maymun (Moses the Maimonides). Karya-karyanya
yang amat penting dalam sejarah perkembangan Filsafat Yahudi itu dapat
sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Gazâlî.
Di kalangan Kristen abad pertengahan, pengaruh Al-Gazâlî
merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun,
Bonaventura pun dipandang sebagai "titisan" Kristen dari Al-Gazâlî. Lebih
jauh, pandangan-pandangan tasawuf Al-Gazâlî juga memperoleh salurannya
dalam mistisisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah ordo
yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam, memiliki orientasi
25Yang dimaksud skeptis di sini yaitu Al-Gazâlî ketika dalam proses pencarian kebenaran ia mengalami keraguan terhadap kebenaran ilmu yang selama ini ia yakini sebagai kebenaran.
64
ilmiah yang lebih kuat dibandingkan ordo-ordo lainnya, seperti diungkapkan
dalam novel abest seller-nya Umberto Eco, The Name of the Rose
Dunia Islam mengenal Al-Gazâlî sebagai sosok ulama yang sangat
alim dan berilmu tinggi sehingga diberi gelar kehormatan dengan sebutan
Hujjatul Islam (pembela Islam).26 Dia adalah ulama besar dalam bidang
agama. Dia termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran
agama secara keseluruhan. Barangkali Al-Gazâlî dan Shalahuddin al-
Ayyubi adalah orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat
karena keduanya dianggap sebagai orang muslim yang paling dekat dengan
orang Kristen.27 Dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, Al-Gazâlî
dapat menjadikan sunnah, filsafat dan sufisme menjadi satu aturan yang
harmonis dan seimbang.28
Harus diakui juga bahwa banyak literatur yang menyebutkan jasa-
jasa Al-Gazâlî bagi peradaban Islam. Cyrill Glasse, misalnya, menyebutkan,
"Peradaban Islam telah mencapai kematangannya berkat Al-Gazâlî." Suatu
penilaian yang banyak mendapat dukungan. Namun, tidaklah demikian
pandangan lawan-lawannya. Sebagai mana layaknya dalil umum bahwa
tidak ada manusia yang sempurna, Al-Gazâlî pun tidak lepas dari
kekurangan.
Adapun karya-karya Al-Gazâlî dapat dijelaskan bahwa Al-Faqih
Muhammad ibnul Hasan bin Abdullah al- Husaini al-Wasithy dalam
kitabnya, ath-Thabaqatul Aliyah fi Manaqibi asy-Syafi'iyah, menyebutkan
ada 98 judul kitab karya Al-Gazâlî. Sedangkan as-Subky dalam kitabnya,
ath-Thabaqat asy-Syafi'iyah, menyebutkan ada 58 judul karyanya. Thasy
Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya, Miftahus Sa'adah wa Misbahus
Siyadah, jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab. la menambahkan bahwa
buku dan risalah-risalahnya mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Tidak
26Abdillah F Hassan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Jawara, Surabaya, 2004,
hlm. 193 27Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2003, hlm. 177 28Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, Intimedia & Ladang
Pustaka, Jakarta, 2001, hlm. 115
65
mudah bagi orang yang ingin mengenal nama-nama kitabnya. Bahkan
pernah dikatakan, Al-Gazâlî memiliki seribu minus satu karya. Walaupun
hal tersebut bertentangan dengan adat kebiasaan, namun orang yang
mengenal kondisi Al-Gazâlî sebenarnya, bisa jadi akan membenarkan
informasi tersebut. Abdurrahman Badawi mengikutsertakan jumlah dan
nama-nama kitab Al-Gazâlî dalam bukunya, Muallifatul Ghazali, sebanyak
487 judul. Di antara karya-karya itu bisa disebutkan di sini.29
a. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam
1. Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Filosof)
2. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof)
3. Al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Moderasi Dalam Aqidah)
4. Al-Muqidz minal-Dhalal (Pembebas Dari Kesesatan)
5. Al-Maqshad al-Asna fi Ma'ani Asma'illah al-Husna (Arti Nama-Nama
Tuhan),
6. Faisahal al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah (Perbedaan Islam
dan Atheis)
7. Al-Qisthas al-Mustaqim (Jalan Untuk Menetralisir Perbedaan
Pendapat)
8. Al-Mustadziri (Penjelasan-penjelasan)
9. Hujjah al-Haq (Argumen Yang Benar)
10. Mufahil al-Hilaf fi Ushul al-Din (Pemisah Perselisihan dalam Prinsip-
Prinsip Agama)
11. Al-Muntaha fi 'ilmi al-Jidal (Teori Diskusi)
12. Al-Madznun bihi 'ala ghairi Ahlihi (Persangkaan Pada yang Bukan
Ahlinya)
13. Mihaq al-Nadzar (Metode Logika)
14. Asraru ilm al-Din (Misteri Ilmu Agama)
15. Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 Masalah Pokok Agama)
29Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran Al-Gazâlî, Terj. Achmad Satori Ismail,
Risalah Gusti, Surabaya, 1997, hlm. 189
66
16. Iljam al-Awwam fi Ilm al-Kalam (Membentengi Orang Awam dari
Ilmu Kalam)
17. Al-Qaul al-Jamil fi Raddi 'ala Man Ghayyar al-Injil (Jawaban jitu
untuk Menolak Orang yang Mengubah Injil)
18. Mi'yar al-Ilmi (Kriteria Ilmu)
19. Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam)
20. Itsbat al-Nadzar (Pemantapan Logika)
b. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh
1. Al-Basith (Pembahasan Yang Mendalam)
2. Al-Wasith (Perantara)
3. Al-Wajiz (Surat-Surat Wasiat)
4. Khulashah al-Mukhtashar (Inti Sari Ringkasan Karangan)
5. Al-Mankhul (Adat Kebiasaan)
6. Syifa' al-'Alil fi al-Qiyas wa al-Ta'wil (Terapi yang Tepat pada Qiyas
dan Ta'wil)
7. Al-Dzari'ah ila Makarim al-Syari'ah (Jalan Menuju Kemuliaan
Syari'ah)
c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf
1. Ihya 'Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama)
2. Mizan al-'Amal (Timbangan Amal)
3. Kimya' al-Sa'âdah (Kimia Kebahagiaan)
4. Misykat al-Anwar (Relung-relung Cahaya)
5. Minhaj al-'Abidin (Pedoman Orang yang Beribadah)
6. Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (Mutiara Penyingkap
Ilmu Akhirat)
7. Al-Anis fi al-Wahdah (Lembut-Lembut dalam Kesatuan)
8. Al-Qurabah ila Allah 'Azza wa Jalla (Pendekatan Diri pada Allah)
9. Akhlaq al-Abrar wa Najat al-Asyrar (Akhlak Orang-Orang Baik dan
Keselamatan dari Akhlak Buruk)
67
10. Bidayah al-Hidayah (Langkah Awal Mencapai Hidayah)
11. Al-Mabadi wal al-Ghayah (Permulaan dan Tinjauan Akhir)
12. Talbis al-Iblis (Tipu Daya Iblis)
13. Nashihat al-Muluk (Nasihat untuk Raja-Raja)
14. Al-Ulum al-Ladduniyah (Risalah Ilmu Ketuhanan)
15. Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci)
16. Al-Ma'khadz (Tempat Pengambilan)
17. Al-Amali (Kemuliaan)
d. Kelompok Ilmu Tafsir
1. Yaqut al-Ta'wil fi Tafsir al-Tanzil (Metode Ta'wil dalam Menafsirkan
al-Qur'an)
2. Jawahir al-Qur'an (Rahasia-Rahasia al-Qur'an).
2. Pemikiran Al-Gazâlî tentang Konsep Ilmu
Al-Gazâlî berbicara konsep belajar dimulai dengan konsep ilmu
yang memang keduanya tali temali dan tidak bisa dipisahkan secara tegas.
Ia mengupas masalah ilmu dimulai pada halaman enam. Menurut Al-
Gazâlî jika manusia ingin selamat dan hendak beribadah, maka lebih
dahulu harus mencari ilmu, karena ilmu itu pokok ibadah. Ketahuilah
menurut Al-Gazâlî bahwa ilmu dan ibadah merupakan dua mutiara yang
menyebabkan adanya apa yang dilihat dan didengar, seperti: kitab-kitab
karangan para pengarang, pengajaran para pengajar, petuah para pemberi
fatwa dan renungan para pemikir. Bahkan lanjut Al-Gazâlî karena ilmu
dan ibadah maka kitab suci diturunkan dan para utusan diutus. Karena
ilmu dan ibadah pula langit bumi seisinya ini diciptakan Allah.30
Ilmu dan ibadah merupakan bagian yang penting dalam
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tanpa ilmu maka ibadah bisa
menjadi keliru, sebaliknya ilmu tanpa ibadah akan menjadi sia-sia. Karena
30Imam Al-Gazâlî, Minhâj al-Â'bidîn, (Beirut: Dar-al-Fikri, tth), hlm. 6
68
keduanya harus dijalankan dan dipahami secara baik. Namun demikian
ilmu sangat penting untuk menerangi cara ibadah yang benar dan diridhai
Tuhan.31
Selain ilmu dan ibadah, maka menurut Al-Gazâlî merupakan
perkara yang pasti hilang, rusak, tidak ada kebaikannya, kosong dan tidak
ada faedahnya (faedah yang kekal). Ilmu itu lebih mulia dan lebih utama
daripada ibadah. Meskipun demikian, manusia harus beribadah, selain
berilmu. Jika ia tidak mau beribadah, maka ilmunya sama dengan debu
yang bertaburan. Sebab, kedudukan ilmu bagaikan pohon, sedangkan
ibadah bagaikan buah pohon tersebut Kemuliaan tentu menjadi milik
pohon, karena pohon merupakan asal, tetapi pohon itu tidak ada gunanya
kalau tanpa buah. Bila demikian kata Al-Gazâlî jelaslah bahwa hamba
tidak bisa lepas dart ilmu dan Ibadah. Lebih jauh Al-Gazâlî mengutip
Imam Al-Hasan Al-Bashriy yang berkata : "Tuntutlah ilmu ini tanpa
merugikan ibadah dan lakukanlah ibadah tanpa merugikan ilmu".
Manakala sudah ditetapkan bahwa hamba tidak boleh meninggalkan ilmu
dan ibadah, maka harus diketahui pula bahwa ilmu lebih utama untuk
didahulukan. Karena, ilmu merupakan asal dan menjadi petunjuk benar
bagi ibadah.
Selanjutnya menurut Al-Gazâlî, ilmu menjadi asal yang diikuti dan
wajib didahulukan atas ibadah hanyalah karena dua hal:
1. Supaya bisa menghasilkan ibadah yang selamat dan benar. Sebab,
pertama kali manusia wajib mengenal Allah yang disembah, kemudian
beribadah kepadaNya. Bagaimana mungkin dapat beribadah
(menyembah) Dzat yang tidak dikenal asma-Nya, sifat-sifat DzatNya,
sifat-sifat yang wajib bagiNya dan sifat-sifat yang mustahil ada
padaNya? Boleh jadi menurut Al-Gazâlî bahwa manusia mempunyai
keyakinan yang menyimpang dari kebenaran mengenai Dzat dan
sifatNya, sehingga mengakibatkan ibadah orang tersebut menjadi
seperti debu yang bertebaran. Kemudian manusia wajib mengetahui
31Imam Al-Gazâlî, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, juz 1, (Surabaya: Salim Nabhan, tth), hlm. 5
69
apa yang harus dilakukan, yaitu kewajiban-kewajiban agama menurut
cara yang telah diperintahkan Allah untuk dilakukan. Selain itu wajib
juga mengetahui larangan-larangan Allah yang harus ditinggalkan.
Kalau tidak mengetahui, lalu bagaimana cara berbuat tha'at terhadap
apa yang tidak diketahui itu, bagaimana cara mengerjakannya?
Bagaimana cara melakukan sebagaimana mestinya, atau bagaimana
cara dapat menjauhi maksiat, padahal orang itu tidak mengetahui
bahwa itu maksiat ? Jadi kata Al-Gazâlî bahwa ibadah-ibadah
menurut agama Islam seperti bersuci, salat, puasa dan sebagainya
wajib diketahui hukum-hukumnya dan syarat-syaratnya, supaya dapat
melaksanakannya dengan benar. Karena, boleh jadi manusia itu telah
bertahun-tahun dan sudah lama melakukan perbuatan yang dapat
membatalkan bersuci atau salatnya, serta tidak sesuai dengan sunnah
Rasulullah, sedangkan manusia tersebut tidak merasa, misalnya:
melakukan sujud dengan menelentangkan telapak kaki, atau berwudlu
yang airnya tidak mengenai seluruh wajah. Kadang-kadang
menghadapi kemusykilan, tetapi orang itu tidak menemukan orang
yang bisa ditanyai tentang masalah yang menyulitkan hati itu, padahal
orang itu tidak mengetahui hukumnya.32
2. Selanjutnya Al-Gazâlî menuturkan bahwa manusia wajib pula
mengetahui larangan-larangan Allah yang berkaitan dengan perbuatan
hati yang menjadi lawan dari perangai-perangai, seperti: benci kepada
takdir Allah, melanturnya angan-angan tanpa mengingat akhirat, riya,
takabur, yang kesemuanya itu harus dijauhi. Sebab, ibadah hati yang
dituturkan di atas juga termasuk fardhu 'a'in yang ditetapkan dan
diperintahkan Allah, serta dilarang perbuatan yang menjadi lawannya.
Mungkin saja lanjut Al-Gazâlî bahwa manusia mengeluh dan
membenci ketentuan (qadla) Allah, lalu menganggapnya sebagai
merendah diri kepada Allah. Kadang-kadang riya benar-benar, tetapi
mengira telah memuji Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau sebagai ajakan
32Imam Al-Gazâlî, Minhâj al-Â'bidîn, op. cit, hlm. 7
70
kepada masyarakat berbuat baik, lalu manusia itu menghitung-hitung
pahala dari Allah terhadap perbuatan maksiat (riya) ini. Manusia
memperkirakan ganjaran besar di tempat siksa Allah. Jadi manusia
tersebut berada dalam jaringan tipu-daya setan yang sangat besar dan
kealpaan yang teramat buruk. Demi Allah kata Al-Gazâlî bahwa hal ini
merupakan bencana yang sangat jelek bagi orang yang beramal tanpa
ilmu. Selain apa yang tersebut di atas, sesungguhnya amal-amal lahiriyah
itu ada hubungannya dengan amal-amal yang samar (amal hati). Amal-
amal hati ini bisa membaguskan amal lahir dan dapat pula merusakkannya
Amal-amal hati itu seperti : ikhlas, riyaa, ujub, mengingat anugerah Allah
dan sebagainya. Barang siapa tidak mengetahui amal-amal batin dan
sebab-sebab berpengaruhnya pada ibadah lahiriyah, serta cara-cara
memelihara amal lahir dan amal batin yang jelek, maka amal lahir orang
tersebut tentu tidak dapat selamat dari kerusakan, akibatnya ia kehilangan
amal lahir dan sekaligus amal batin. Yang tinggal pada dirinya tidak ada
lain kecuali celaka dan kepayahan. Ini merupakan kerugian yang nyata. 33
Tha'at dan ibadah tidak bisa berhasil bagi hamba dan tidak dapat selamat,
jika tidak menggunakan ilmu, karena itu wajib mendahulukan ilmu yang
ada hubungannya dengan ibadah.
3. Penyebab kedua orang wajib mendahulukan ilmu ialah: Ilmu yang
bermanfaat itu bisa menimbulkan rasa takut kepada Allah.34
Ilmu kata Al-Gazâlî dapat menimbulkan bermacam-macam laku
tha'at dan mencegah berbagai maksiat, dengan mendapat pertolongan
Allah. Selain dua hal ini (timbulnya tha'at dan tercegahnya maksiat),
bukanlah menjadi tujuan hamba dalam beribadah kepada Allah. Lalu ilmu
apakah yang menuntutnya dianggap fardlu itu ? Dan apakah batasan ilmu
yang wajib dihasilkan oleh hamba dalam masalah ibadah? Selanjutnya Al-
Gazâlî menjawab bahwa ilmu yang fardhu menuntutnya itu secara global
33Imam Al-Gazâlî, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, Juz 1, op. cit, hlm. 6 34Imam Al-Gazâlî, Minhâj al-Â'bidîn, op. cit, hlm. 7
71
ada tiga yaitu: Ilmu Tauhid, Ilmu Sirri: Ilmu yang berhubungan dengan
gerak hati dan Ilmu Syari'ah.
Adapun batas kewajiban mempelajari tiga ilmu ini adalah sebagai
berikut:
1. Dari Ilmu Tauhid.
Sekedar bisa mengetahui pokok-pokok agama seperti
mengetahui bahwa Tuhan Maha mengetahui, Maha kuasa
berkehendak, hidup dan berfirman, mendengar dan melihat, Maha Esa
tanpa ada yang menyukutuiNya, mempunyai sifat-sifat kesempurnaan,
bersih dari sifat kekurangan dan kemusnahan, bersih dan tanda-tanda
kebaruan, menyendiri dengan sifat qidam dari setiap yang baru. Juga
mengerti bahwa Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam
adalah hamba Allah dan UtusanNya, dan membenarkan semua yang
diterangkan Nabi SAW seperti mengenai akhirat. Kemudian
mengetahui tanda sunnah Rasulullah. Dalam kondisi ini Al-Gazâlî
memeperingatkan agar hati-hati yakni jangan sampai membuat bid'ah
dalam agama Allah tanpa berdasar Al-Qur'an atau Atsar (Hadis Nabi
atau perkataan para shahabat beliau), yang bisa mengakibatkan
manusia tersebut berada dalam kedudukan yang mengkhawatirkan di
hadapan Allah Ta'ala.
Secara umum kata Al-Gazâlî bahwa segala hal yang tidak
dimengerti seseorang, lalu orang itu merasa tidak aman dari
kerusakan, maka adalah fardlu 'ain mencari ilmunya dan tidak boleh
meninggalkannya. Inilah keterangan yang benar, demikian tegas Al-
Gazâlî.
2. Dari Ilmu Sirri.
Yang termasuk fardlu 'ain mempelajarinya ialah: mengetahui
mana yang wajib dikerjakan dan mana yang wajib ditinggalkan,
supaya seseorang dapat benar-benar mengagungkan Allah, ikhlas
beramal hanya karena Allah, niat yang benar dari selamatnya iman.
3. Dari Ilmu Syari'ah.
72
Yang dianggap fardlu 'ain mempelajarinya yaitu mengetahui
seluk-beluk perbuatan yang difardlukan kepada manusia, agar dapat
mengerjakannya dengan benar. Misalnya: bersuci dan salat. Adapun
haji, zakat dan jihad, jika memang telah menjadi fardlu 'ain bagi orang
itu, maka mengetahui' ilmunya juga fardlu 'ain, supaya bisa
mengerjakannya dengan benar.35
Untuk memperkuat pendapat dan uraiannya, Al-Gazâlî
menggunakan dalil-dalil di bawah ini:36
)122: التوبة (فلوال نفر من كل فرقة منهم طآئفة ليتفقهوا في الدين
Artinya: Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama. (Q.S. At-Taubah: 122)37
)43: النحل (فاسألوا أهل الذكر إن كنتم ال تعلمون
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (Q.S. An-Nahl: 43)38
قال عليه وسلم ه صلى الله رسول الل رضي اهللا عنه أن ي هريرة عن أب ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنـة
39) رواه مسلم(
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
barangsiapa menempuh jalan bertujuan mencari ilmu, niscaya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. (H.R. Muslim).
35Imam Al-Gazâlî, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, Juz 1, op. cit, hlm. 6 36Ibid, hlm. 9 37Soenaryo, Al-Qur'an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1978), hlm. 301 38Ibid., hlm. 408. 39Abu Zakaria Yahya Muhiddin bin Syarf al-Dimasqi. Riyad as-Salihin, (Beirut: al
Ijtimaiyah tth), hlm. 529.
73
عليـه رسول اهللا صلى الله سمعت رضي اهللا عنه قال هريرةعن أبي ه ذكر اهللا تعاىل ومـا واال ونة ملعون ما فيها إال عوسلم يقول الدنيا مل
40) رواه الترمذى( اموعالما أو متعل
Artinya: Dari Abu Hurairah ra. berkata: "Aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Dunia itu terkutuk dan terkutuk pulalah isinya, kecuali zikir dan taat kepada Allah Ta'ala, orang alim dan orang yang belajar. (HR. Turmudzi).
ريدعيد الخأبي س نرضي اهللا عنه ع نلى اهللا عول الله صسـه رليع عبشي قال لن لمسر ويخ من منؤا م اههتنكون مى يتـة حنرواه (لج
41) الترمذى
Artinya: Dari Anas ra., ia berkata: "Rasulullah Saw. bersabda:
"Barangsiapa ke luar rumah untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai pulang". (HR. Turmudzi).
قـال عليه وسلم صلى اهللا رسول اهللا رضي اهللا عنه أن عن أبي أمامة رسول الله صلى فضل العالم على العابد كفضلي على أدناكم ثم قال
حتى النملـة فـي هل السموات والأرض وملائكته وأ إن اهللا سلم اهللاـ حوت ليصلون على معل لجحرها وحتى ا رواه ( النـاس الخيـر ىم
42) الترمذى
Artinya: Dari Abu Umamah ra., bahwa Rasulullah Saw. bersabda: "Keutamaan seorang alim dibandingkan dengan seorang ahli ibadah, adalah laksana keutamaan diriku dibanding dengan orang yang paling rendah di antara kalian." Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, dan penghuni semesta langit, bahkan semut di lubangnya, bahkan ikan-ikan bershalawat kepada orang yang mengajarkan kebajikan kepada orang lain." (HR. Turmudzi).
40Ibid., hlm. 530 41Ibid., hlm. 530. 42Ibid., hlm. 531
74