bank indonesia daftar isi...mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di indonesia kepada para...

5
xiv xv BANK INDONESIA BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA BANK INDONESIA BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA EXECUTIVE SUMMARY PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA Kelembagaan dan Kebijakan, serta Tantangannya ke Depan Perkembangan industri keuangan Islam dunia telah dimulai sejak tahun 1970-an. Tahun 1970-1980-an adalah periode di mana industri keuangan Islam mulai muncul dan terbatas pada kebutuhan umat Islam, terutama untuk pembiayaan perdagangan dan modal kerja dengan motode yang masih mereplikasi mekanisme kerja di perbankan konvensional. Antara tahun 1980-2000-an, laju perkembangan industri keuangan Islam semakin menggembirakan. Periode ini dikenal sebagai periode kebangkitan. Bank tidak hanya berbentuk komersial, namun juga investasi serta asuransi. Hal ini mengindikasikan bahwa bentuk industri keuangan Islam mulai terstruktur dengan berbagai macam produk keuangan yang bebas bunga, seperti leasing, pasar modal, dan asuransi. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri keuangan Islam semakin relevan dalam ekonomi modern sehingga mampu menarik non-muslim yang sedang mencari ethical investment. Ekspansi industri keuangan terus berjalan di mana pada rentang tahun 2000-2010, pangsa usahanya berkembang menjadi lembaga investasi, aset manajemen, broker, dan pasar modal. Dengan kata lain, pada periode ekspansi, industri keuangan Islam telah mampu menjadi institusi bernilai tambah tinggi (full value added). Selain itu, pada periode ini, industri keuangan Islam telah mampu menawarkan produk yang lebih sophisticated, dan bersaing dengan produk konvensional. Kondisi ini telah mendorong industri keuangan untuk terus menjadi efisien dan produktif sebagai lembaga intermediasi. Walhasil, pada rentang waktu ini industri keuangan Islam diakui secara global sebagai genuine alternatif pada keuangan modern saat ini. Dengan makin berkembangnya perbankan syariah di dunia internasional termasuk di Indonesia, maka sangat penting untuk melakukan penulisan dan kajian mengenai sejarah dan perkembangan perbankan syariah terutama dari aspek kelembagaan dan kebijakan. Melalui buku ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman perjalanan perbankan syariah di Indonesia dan peran Indonesia dalam euforia internasional dalam mengembangkan perbankan syariah. Oleh karena itu, penulisan buku ini penting bukan saja untuk Indonesia tetapi juga dapat berkontribusi secara global, dalam berbagi pengalaman membangun dan mengembangkan industri perbankan syariah, berdasarkan sejarah dan perjalanan perbankan syariah di Indonesia. Keinginan masyarakat Indonesia untuk beraktifitas ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah sudah dimulai sejak didirikannya Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905. Sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara kelembagaan diawali dengan didirikannya Koperasi Jasa Keahlian Teknosa. Koperasi Jasa Keahlian Teknosa merupakan sebuah lembaga keuangan syariah yang pertama kali beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Koperasi ini berbentuk Baitul Tamwil yang mulai beroperasi pada 4 Juli 1984. Salah satu prestasi yang diraih oleh koperasi ini adalah berupa pencapaian aset sebesar Rp1.5 miliar dari modal awal Rp34 juta. Pada tahun 1989, koperasi ini ditutup karena adanya pembiayaan bermasalah. Selain itu, perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga diawali dengan adanya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang beroperasi secara syariah. Pada tahun 1988, BPR Berkah Amal Sejahtera pertama kali beroperasi secara syariah. Di mana, pada tahun 1991 terdapat tiga BPR yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah yaitu BPR Berkah Amal Sejahtera, BPR Dana Mardhatillah, dan BPR Amanah Rabbaniyah. Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya dengan tema “Bunga Bank dan Perbankan” di Cisarua Bogor. Lokakarya tersebut menghasilkan rekomendasi perlunya dibentuk bank yang menggunakan prinsip syariah tanpa bunga. Kemudian, pada tanggal 22 Agustus 1990, rekomendasi yang dihasilkan dari lokakarya tersebut dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) IV MUI. Sebagai tindak lanjut PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Upload: others

Post on 02-Jan-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BANK INDONESIA DAFTAR ISI...mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di Indonesia kepada para menteri dan para pejabat tinggi yang pada akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim

xiv xv BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIAxiv xv BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

EXECUTIVE SUMMARYPERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Kelembagaan dan Kebijakan, serta Tantangannya ke Depan

Perkembangan industri keuangan Islam dunia telah dimulai sejak tahun 1970-an. Tahun 1970-1980-an adalah periode di mana industri keuangan Islam mulai muncul dan terbatas pada kebutuhan umat Islam, terutama untuk pembiayaan perdagangan dan modal kerja dengan motode yang masih mereplikasi mekanisme kerja di perbankan konvensional. Antara tahun 1980-2000-an, laju perkembangan industri keuangan Islam semakin menggembirakan. Periode ini dikenal sebagai periode kebangkitan. Bank tidak hanya berbentuk komersial, namun juga investasi serta asuransi. Hal ini mengindikasikan bahwa bentuk industri keuangan Islam mulai terstruktur dengan berbagai macam produk keuangan yang bebas bunga, seperti leasing, pasar modal, dan asuransi. Kondisi ini menunjukkan bahwa industri keuangan Islam semakin relevan dalam ekonomi modern sehingga mampu menarik non-muslim yang sedang mencari ethical investment.

Ekspansi industri keuangan terus berjalan di mana pada rentang tahun 2000-2010, pangsa usahanya berkembang menjadi lembaga investasi, aset manajemen, broker, dan pasar modal. Dengan kata lain, pada periode ekspansi, industri keuangan Islam telah mampu menjadi institusi bernilai tambah tinggi (full value added). Selain itu, pada periode ini, industri keuangan Islam telah mampu menawarkan produk yang lebih sophisticated, dan bersaing dengan produk konvensional. Kondisi ini telah mendorong industri keuangan untuk terus menjadi e� sien dan produktif sebagai lembaga intermediasi. Walhasil, pada rentang waktu ini industri keuangan Islam diakui secara global sebagai genuine alternatif pada keuangan modern saat ini. Dengan makin berkembangnya perbankan syariah di dunia internasional termasuk di Indonesia, maka sangat penting untuk melakukan penulisan dan kajian mengenai sejarah dan perkembangan perbankan syariah terutama dari aspek kelembagaan

dan kebijakan.

Melalui buku ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman perjalanan perbankan syariah di Indonesia dan peran Indonesia dalam euforia internasional dalam mengembangkan perbankan syariah. Oleh karena itu, penulisan buku ini penting bukan saja untuk Indonesia tetapi juga dapat berkontribusi secara global, dalam berbagi pengalaman membangun dan mengembangkan industri perbankan syariah, berdasarkan sejarah dan perjalanan perbankan syariah di Indonesia.

Keinginan masyarakat Indonesia untuk berakti� tas ekonomi yang sesuai dengan prinsip syariah sudah dimulai sejak didirikannya Syarikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905. Sejarah perkembangan perbankan syariah di Indonesia secara kelembagaan diawali dengan didirikannya Koperasi Jasa Keahlian Teknosa. Koperasi Jasa Keahlian Teknosa merupakan sebuah lembaga keuangan syariah yang pertama kali beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Koperasi ini berbentuk Baitul Tamwil yang mulai beroperasi pada 4 Juli 1984. Salah satu prestasi yang diraih oleh koperasi ini adalah berupa pencapaian aset sebesar Rp1.5 miliar dari modal awal Rp34 juta. Pada tahun 1989, koperasi ini ditutup karena adanya pembiayaan bermasalah. Selain itu, perkembangan perbankan syariah di Indonesia juga diawali dengan adanya Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang beroperasi secara syariah. Pada tahun 1988, BPR Berkah Amal Sejahtera pertama kali beroperasi secara syariah. Di mana, pada tahun 1991 terdapat tiga BPR yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah yaitu BPR Berkah Amal Sejahtera, BPR Dana Mardhatillah, dan BPR Amanah Rabbaniyah.

Pada tanggal 18-20 Agustus 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya dengan tema “Bunga Bank dan Perbankan” di Cisarua Bogor. Lokakarya tersebut menghasilkan rekomendasi perlunya dibentuk bank yang menggunakan prinsip syariah tanpa bunga. Kemudian, pada tanggal 22 Agustus 1990, rekomendasi yang dihasilkan dari lokakarya tersebut dikukuhkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) IV MUI. Sebagai tindak lanjut

PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAPERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Page 2: BANK INDONESIA DAFTAR ISI...mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di Indonesia kepada para menteri dan para pejabat tinggi yang pada akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim

xvi xvii BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIAxvi xvii BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

dari hasil lokakarya dan Munas IV MUI, dibentuklah kelompok kerja (pokja) yang diberi nama “Panitia Persiapan dalam Usaha Berdirinya Bank Bebas Bunga”, serta dibentuk pula kelompok “Panitia Kecil Penyiapan Buku Panduan Bank Bebas Bunga”. Kedua kelompok tersebut kemudian menyatu yang kemudian terbentuklah Tim Perbankan MUI yang terdiri dari seluruh anggota panitia kecil buku panduan dan sebagian anggota panitia besar (pokja). Tim Perbankan MUI terus melakukan proses sosialisasi serta lobi untuk mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di Indonesia kepada para menteri dan para pejabat tinggi yang pada akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim ini berhasil menemui Presiden Soeharto untuk menyampaikan ide pendirian bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah.

Pada tanggal 25 Maret 1992, Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan disahkan setelah melalui proses yang panjang. Pengesahan undang-undang ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan sudah tidak dapat mengikuti perkembangan perekonomian nasional maupun perekonomian internasional. Pengesahan undang-undang ini menandai dimulainya babak baru bagi sistem perbankan di Indonesia yaitu dari single banking system menjadi dual banking system. Setelah melalui liku-liku dalam rangka merealisasikan ide pendirian bank syariah di Indonesia, akhirnya pada tanggal 1 November 1991 diumumkan akta pendirianbank syariah pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia di Hotel Sahid Jaya.

Penandatanganan akta tersebut dilakukan agar keberadaannya diakui secara formal oleh Pemerintah. Pada kesempatan ini pula ditetapkan bahwa modal dasar pendirian bank syariah pertama tersebut adalah sebesar Rp500 miliar. Penyelenggaraan acara silaturahim antara Presiden Soeharto dengan masyarakat Jawa Barat di Istana sebagaimana yang telah direncanakan berlangsung pada tanggal 3 November 1991. Dalam acara ini, jumlah modal dasar berhasil ditingkatkan dari Rp85 miliar menjadi Rp110 miliar yang dicapai dengan dukungan empat ribu masyarakat Islam di Jawa Barat. Adapun pengoperasian Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai

Bank Umum Syariah pertama di Indonesia dimulai pada 1 Mei 1992.

Selanjutnya, pemerintah menunjukkan political will-nya dengan melakukan amandemen terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang disahkan pada tanggal 10 November 1998. Amandemen ini dilakukan dalam rangka menghadapi perkembangan perekonomian nasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi dengan tantangan yang semakin kompleks serta sistem keuangan yang semakin maju yang memerlukan adanya penyesuaian kebijakan di bidang perbankan. Selain itu, badai krisis yang terjadi juga menjadi salah satu pertimbangan diamandemennya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana pada saat itu bank syariah terbukti mampu bertahan di tengah badai krisis yang terjadi. Dengan diamandemennya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan memberikan ketegasan terhadap keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Selain itu, dengan diamandemennya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 ini memberikan ketentuan mengenai diperbolehkannya bank konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah melalui pembukaan Unit Usaha Syariah (UUS).

Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia disahkan pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 disahkan dengan menimbang bahwa Undang-Undang No. 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral sudah tidak sesuai dan perlu diganti dengan undang-undang baru tentang Bank Indonesia. Selain itu, undang-undang ini disahkan dalam rangka mengantisipasi Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menegaskan mengenai keberadaan bank syariah di Indonesia dan memperkenankan bank konvensional memiliki unit yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah (unit usaha syariah – UUS). Maka sejak pemberlakuan tersebut kini perbankan syariah di Indonesia berubah dari dual banking system menjadi dual system bank.

PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAPERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Page 3: BANK INDONESIA DAFTAR ISI...mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di Indonesia kepada para menteri dan para pejabat tinggi yang pada akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim

xviii xix BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIAxviii xix BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

Pada tahun 1999, Unit Usaha Syariah pertama dari bank konvensional mulai beroperasi. Pengoperasian Unit Usaha Syariah pertama ini tidak terlepas dari adanya berbagai bentuk dukungan regulasi yang telah diberikan bagi perbankan syariah. Adapun Unit Usaha Syariah dari bank konvensional yang pertama kali beroperasi adalah Unit Usaha Syariah Bank IFI. Konsekuensinya, dibutuhkan penyesuaian terkait peranan Bank Indonesia sebagai otoritas pengawasan perbankan dan otoritas moneter. Di mana, sejak disahkannya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia memiliki peran dalam mengatur dan mengawasi perbankan syariah dan Bank Indonesia juga memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.

Adanya penegasan peran Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas perbankan syariah dan pelaksana kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah mendorong Bank Indonesia untuk menciptakan piranti moneter yang sesuai dengan prinsip syariah dalam rangka pengendalian moneter melalui operasi pasar terbuka. Oleh karena itu, pada tanggal 23 Februari 2000, Bank Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia No. 9 tahun 2000 tentang Serti� kat Wadiah Bank Indonesia. Selain itu, pada tanggal 23 Februari 2000, Bank Indonesia juga menetapkan Peraturan Bank Indonesia No. 8 tahun 2000 tentang Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Berdasarkan Prinsip Syariah, di mana peraturan ini ditetapkan dalam rangka menyediakan sarana untuk penanaman dana atau pengelolaan dana berdasarkan prinsip syariah. Kedua peraturan ini menandai dimulainya kegiatan di pasar keuangan antar bank syariah dan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah.

Dengan adanya penegasan peran Bank Indonesia bagi perbankan syariah sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka Bank Indonesia berkewajiban untuk mengembangkan bank syariah dengan menyusun ketentuan serta mempersiapkan infrastruktur yang sesuai dengan karakteristik bank syariah. Oleh karena itu, pada tanggal 31 Mei 2001 dibentuklah Biro Perbankan Syariah di Bank Indonesia. Biro Perbankan Syariah tersebut menangani pengembangan perbankan

syariah secara komprehensif. Sebelum Biro Perbankan Syariah ini dibentuk, pada tanggal 1 April 1999 Tim Pengembangan Bank Syariah dibentuk pada Biro Penelitian Penelitian UPPB, di mana terdapat pemisahan antara Tim Manajemen dan Operasional Perbankan (Tim Manop) konvensional dengan Tim Manajemen dan Operasional Perbankan (Tim Manop) syariah. Tim Manop ini merupakan cikal bakal dari terbentuknya Biro Perbankan Syariah tersebut.

Berkembangnya industri perbankan syariah membuat Bank Indonesia memerlukan cetak biru pengembangan perbankan syariah yang dapat memberikan arahan serta tahapan-tahapan dalam rangka mencapai sasaran pengembangan jangka panjang. Berkaitan dengan hal tersebut, sejak tahun 2001 Biro Perbankan Syariah-Bank Indonesia telah melakukan kajian dan menyusun Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Nasional untuk periode 2002-2011. Pada tahun 2002, “Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia” diterbitkan. Selanjutnya pada tahun yang sama, Biro Perbankan Syariah dengan melibatkan para konsultan, akademisi, dan praktisi melakukan penyusunan naskah akademis Rancangan Undang-Undang (RUU) Perbankan Syariah.

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa perbankan syariah nasional pada saat itu mengalami perkembangan yang cepat, sehingga dipandang perlu bagi bank syariah untuk memiliki landasan hukum yang lebih kuat dan lengkap. Kajian ini juga diperlukan karena pada kenyataannya produk, kegiatan usaha, serta hubungan antar pihak dalam perbankan syariah berbeda apabila dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Selain itu, adanya rencana revisi terhadap Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga menjadi pertimbangan untuk melakukan penyusunan naskah akademis RUU perbankan syariah.

Selanjutnya Bank Indonesia secara bertahap melengkapi ketentuan-ketentuan terkait kelembagaan, produk dan infrastruktur industri perbankan syariah. Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) pada tanggal 7 Mei 2008.

PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAPERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Page 4: BANK INDONESIA DAFTAR ISI...mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di Indonesia kepada para menteri dan para pejabat tinggi yang pada akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim

xx xxi BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIAxx xxi BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

Pengesahan undang-undang ini dilakukan mengingat bahwa sumber pembiayaan pembangunan nasional dengan menggunakan instrumen keuangan berbasis syariah yang memiliki peluang besar belum dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, undang-undang ini disahkan dalam rangka menumbuh-kembangkan sektor ekonomi dan keuangan syariah melalui pengembangan instrumen keuangan syariah. Pengesahan UU SBSN ini sedikit banyak mendorong percepatan pengesahan UU Perbankan Syariah yang sejak lama sudah disiapkan.

Tepat pada tanggal 16 Juli 2008, pengesahan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dilakukan oleh DPR. Pengesahan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dilakukan mengingat bahwa belum spesi� knya pengaturan perbankan syariah di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Pada tanggal 20 November 2008, Bank Indonesia menetapkan Peraturan Bank Indonesia No. 32 tahun 2008 tentang Komite Perbankan Syariah sebagai amanah dari UU No 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan ini ditetapkan dengan mempertimbangkan bahwa perlu dibentuknya Komite Perbankan Syariah yang bertugas melakukan penafsiran dan pemaknaan fatwa di bidang perbankan syariah. Komite Perbankan Syariah ini dibentuk dalam rangka membantu Bank Indonesia untuk menerapkan fatwa Majelis Ulama Indonesia menjadi ketentuan yang akan dituangkan ke dalam Peraturan Bank Indonesia. Komite Perbankan Syariah ini merupakan forum yang beranggotakan para ahli di bidang syariah muamalah dan atau ahli ekonomi, ahli keuangan, serta ahli perbankan.

Pada tanggal 3 Maret 2009, Pemerintah menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan Kegiatan Usaha Berbasis Syariah sebagai konsistensi political will pemerintah dalam memajukan industri keuangan dan perbankan syariah nasional. Peraturan Pemerintah ini ditetapkan

dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, di mana dalam Pasal 31D undang-undang tersebut memerintahkan untuk membentuk Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur perlakuan pajak penghasilan atas transaksi kegiatan usaha berbasis syariah dipersamakan dengan atau sebagaimana yang berlaku atas transaksi sepadan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam industri yang sama pada sistem konvensional.

Persamaan perlakuan pajak penghasilan atas transaksi kegiatan usaha berbasis syariah dilakukan dengan mempertimbangkan bahwa terdapat perbedaan antara transaksi berdasarkan prinsip syariah dengan transaksi berdasarkan sistem konvensional yang akan mengakibatkan beberapa implikasi, di mana salah satunya adanya perlakuan perpajakan yang berbeda dalam suatu industri yang sama. Dengan adanya perbedaan tersebut, maka perlakuan perpajakan menjadi tidak netral bagi para pihak yang terlibat. Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, perlakuan pajak penghasilan tidak bersifat distortif serta akan memberikan perlakuan yang sama bagi Wajib Pajak dalam suatu industri yang sama.

Selanjutnya, Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan pada tanggal 22 November 2011. Undang-undang ini disahkan dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, sehingga diperlukan penyelenggaraan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel, serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan pembentukan Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan di dalam sektor jasa keuangan secara terpadu, independen, dan akuntabel.

Selain itu, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan juga merupakan amanat dari Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank

PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAPERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA

Page 5: BANK INDONESIA DAFTAR ISI...mempersiapkan pendirian bank syariah pertama di Indonesia kepada para menteri dan para pejabat tinggi yang pada akhirnya pada tanggal 27 Agustus 1991 tim

xxii xxiii BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

BANK INDONESIABANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIAxxii xxiii BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA BANK INDONESIA

BANK SENTRAL REPUBLIK INDONESIA

Indonesia yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang, di mana undang-undang ini mengamanatkan pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang mencakup perbankan, asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.

Dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, maka terhitung sejak 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK. Sedangkan fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan dialihkan dari Bank Indonesia kepada (OJK) terhitung sejak tanggal 31 Desember 2013.

Sehingga mulai tanggal 1 Januari 2014, fungsi pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan telah resmi berpindah dari Bank Indonesia kepada OJK. Dengan disahkannya Undang-Undang OJK, maka fungsi pelaksanaan mikroprudensial berada di OJK, sedangkan fungsi pelaksanaan makroprudensial tetap berada di Bank Indonesia. Peran dan kontribusi yang cukup positif dari industri keuangan dan perbankan syariah bagi sistem keuangan nasional selama ini, membuat Bank Indonesia tetap ingin melanjutkan peran dan kontribusinya dalam mengembangkan industri keuangan dan perbankan syariah Indonesia. Oleh sebab itu tahun 2014 di bentuk Divisi Syariah dalam satuan kerja Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) Bank Indonesia.

Di akhir tahun 2013, perbankan syariah Indonesia telah menjadi the biggest retail Islamic banking di dunia yang memiliki 17.3 juta nasabah, 2990 kantor bank, 1267 layanan syariah dan 43 ribu karyawan. Bank

syariah di Indonesia juga telah dikenal di seluruh dunia sebagai bank syariah yang un-doubtful dan applicable, sehingga banyak digunakan sebagai contoh (benchmark) dan tempat belajar bagi bank-bank syariah negara-negara lain. Un-doubtful karena fatwa-fatwa terkait operasi bank syariah dikeluarkan oleh komite fatwa nasional yang kredibel dan independen, yaitu Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia atau DSN-MUI, sehingga tidak diragukan ke-syariahan-nya. Applicable karena fatwa-fatwa DSN-MUI kemudian diterjemahkan menjadi Peraturan Bank Indonesia atau PBI agar mudah diaplikasikan oleh bank syariah. Dengan demikian, perbankan syariah Indonesia telah menjelma menjadi kiblat baru perbankan syariah dunia.

Meskipun kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan termasuk perbankan syariah telah beralih dari Bank Indonesia kepada OJK, namun Bank Indonesia masih memiliki kewenangan terhadap industri perbankan syariah khususnya melalui sektor sistem pembayaran dan kebijakan moneter. Bank Indonesia masih berwenang mengatur produk sistem pembayaran seperti kartu kredit syariah dan instrumen moneter seperti Serti� kat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Dengan demikian Bank Indonesia masih memiliki peran dan terus berkontribusi maksimal dalam mengembangkan industri perbankan dan keuangan syariah di tanah air. Bahkan untuk menegaskan kesungguhan dalam memajukan industri keuangan dan perbankan syariah nasional, Bank Indonesia membentuk unit kerja khusus yaitu Divisi Keuangan Syariah di bawah Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) dan Tim Pasar Uang Syariah pada Task Force Pendalaman Pasar Keuangan yang juga dibawah DKMP-BI.

Demikianlah perjalanan sejarah pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Kedepannya industri ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan. Untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan kemapanan industri yang kuat dan sehat, industri ini menghadapi berbagai tantangan pada semua aspek, dari masalah kebijakan, regulasi, produk, sumber daya manusia, tatakelola syariah serta sosialisasi dan edukasi.

PERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIAPERJALANAN PERBANKAN SYARIAH DI INDONESIA