banjir rob.docx

66
TUGAS MAKALAH MK. TEKNIK MITIGASI BENCANA (TSL 600) Mitigasi Bencana Banjir Pasang (Rob) Studi Kasus Kota Semarang Oleh: Diah Listyarini (A153130021) Dosen: Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHAN

Upload: diah-listyarini

Post on 15-Nov-2015

48 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

TUGAS MAKALAHMK. TEKNIK MITIGASI BENCANA (TSL 600)

Mitigasi Bencana Banjir Pasang (Rob)Studi Kasus Kota Semarang

Oleh:Diah Listyarini (A153130021)

Dosen:Dr. Ir. Yayat Hidayat, M.Si

SEKOLAH PASCASARJANAPROGRAM STUDI MITIGASI BENCANA KERUSAKAN LAHANDEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHANFAKULTAS PERTANIANINSTITUT PERTANIAN BOGOR2014PENDAHULUANLatar Belakang

Pesisir merupakan salah satu kawasan yang sangat dinamis dengan berbagai penggunaan lahan yang sangat kompleks. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kawasan pesisir yang sangat strategis yang dapat dioptimalkan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan. Namun demikian wilayah pesisir merupakan wilayah yang sangat rentan terhadap tekanan lingkungan baik yang berasal dari darat maupun dari laut. Salah satu tekanan yang akhir-akhir ini mengancam keberlangsungan wilayah pesisir diseluruh dunia adalah adanya kenaikan muka air laut yang menyebabkan terjadinya banjir pasang (rob). Banjir pasang (rob) merupakan fenomena yang umum terjadi dikota yang terletak di tepi pantai, Supariharjo (2013) mengemukakan bahwa fenomena banjir pasang (rob) yang terjadi hampir disepanjang tahun baik terjadi dimusim hujan maupun dimusim kemarau. Hal ini menunjukkan bahwa curah hujan bukanlah faktor utama yang menyebabkan fenomena banjir rob. Banjir rob terjadi terutama karena pengaruh tinggi-rendahnya pasang-surut air laut yang terjadi oleh gaya gravitasi yakni gravitasi bulan merupakan pembangkit utama pasang surut. Terjadinya banjir rob akibat adanya kenaikan muka air laut yang disebabkan oleh pasang surut, dan faktor-faktor lain atau external force seperti dorongan air, angin atau swell (gelombang yang diakibatkan dari jarak jauh) dan badai yang merupakan fenomena alam sering terjadi di laut. Selain itu banjir rob juga terjadi akibat adanya fenomena iklim global yang ditandai dengan adanya peningkatan temperature rata-rata bumi dari tahun ke tahun. Indonesia sendiri banjir pasang (rob) sering terjadi dan salah satu kota yang sering dilanda oleh banjir pasang (rob) adalah kota Semarang. Permatasari (2012) mengemukakan bahwa banjir di kota Semarang tiap tahunnya dari tahun 2005 hingga tahun 2010 selalu meningkat. Peningkatan banjir rob di kota Semarang disebabkan karena adanya perubahan iklim global, degadasi lingkungan, dan bertambahnya jumlah penduduk makin memperbesar ancaman resiko bencana. Bencana tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerugian yang besar. Dimasa mendatang, dampak banjir rob ni diprediksikan semakain besar dengan adanya scenario kenaikan muka air laut sebagai efek pemanasan global. Bahkan banjir rob dikawasan pesisir akan semakin parah dengan adanya genangan air hujan atau banjir kiriman, dan banjir local akibat saluran drainase yang kurang terawat (Suriyanti, 2009). Marfai dan King (2009) dalam Pratiwi (2012) menyatakan bahwa kota Semarang merupakan wilayah pesisir dengan penggunaan lahan yang bervariasi dan aktivitas yang dinamis. Kompleksitas kota Semarang antara lain aktivitas industri dan pelabuhan, aktivitas pertanian, pertumbuhan populasi penduduk, penggunaan air tanah, perkembangan penduduk, aktivitas rekreasi, dan perikanan. Kompleksitas kegiatan dan aktivitas yang ada diwilayah semarang menyebabkan besarnya tekanan diwilayah tersebut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa luas lahan yang mengalami penurunan di kawasan pesisir Semarang dapat mencapai 2.227 ha pada tahun 2020. Antisipasi banjir yang selam ini mendera wilayah Semarang harus diperhatikan melalui tiga hal, yaitu melalui pemanenan air hujan didaerah atas, pembuatan pompa untuk daerah bawah dan membendung air laut yang masuk ke wilayah daratan. Selain penurunan muka tanah, banjir rob disebabkan juga oleh peningkatan muka air laut, luapan sungai karena hujan sebagai akibat kurangnya pemeliharaan terhadap jaringan drainase kota, berkurangnya daerah tangkapan air dan timbul banjir sebagai dampak dari perubahan penggunaan lahan diwilayah Semarang atas. Dampak yang ditimbulkan oleh banjir rob bagi aktivitas social-ekonomi masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap pemukiman penduduk, (d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko wabah penyakit dan sebagainya. Soedarsono (1996) menambahkan bahwa terjadinya banjir rob menyebabkan anak-anak rentan terhadap penyakit dan infeksi dari genangan banjir tersebut. Penyakit tersebut antara lain : diare, demam, dan malaria menjadi lebih mudah menyerang selama banjir karena kondisi buruk. Banjir rob juga mempengaruhi kualitas bangunan atau kondisi bangunan. Akibat genangan pada bangunan secara kontinyu dan frekuensi Rahayu (2009) menambahkan Semarang merupakan daerah yang sering mengalami banjir pasang (rob) hingga menggenangi kawasan yang berjarak tiga kilometerdari pesisir utara Semarang dengan ketinggian air diatas mata kaki orang dewasa. Pemerintah dan masyarakat dapat melakukan adaptasi dan mitigasi untuk mengurangi resiko rob. Pengetahuan warga dalam mengenal datangnya suatu bencana akan berpengaruh terhadap kesigapan mereka dalam menghadapi bencana tersebut. Pengetahuan ini berkaitan dengan kebiasaan membaca tanda-tanda alam terhadap datangnya bencana tersebut. Diberbagai daerah di Indonesia dengan kearifan local masyarakat setempat dalam membaca tanda-tanda alam akan datangnya bencana mampu menyelamatkan nyawa banyak orang, namun tidak semua warga masyarakat mengetahui atau mencermati tanda-tanda tersebut (Mardiatno, 2012). Dengan semakin meluasnya area genangan banjir rob maka hal ini bukan hanya mempengaruhi penggunaan lahan. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya dalam pegurangan risiko bencana yang memadukan upaya mitigasi dan adaptasi yang terkait secara langsung dengan pembangunan berkelanjutan sebagai upaya untuk mengurangi resiko terhadap kerugian dan penghidupan masyarakat serta peningkatan daya tahan (resilience) masyarakat terhadap berbagai potensi bencana.

TujuanAdapun tujuan dari penulisan paper ini adalah sebagai berikut :1. Kriteria dan parameter penyebab terjadinya bencana rob2. Menganalisis tingkat bahaya (hazard), tingkat kerentanan (vulnerability) dan kapasitas masyarakat terhadap bencana banjir pasang (rob)3. Merumuskan zonasi risiko bencana banjir pasang (rob) di Kota Semarang4. Mengajak pembaca untuk dapat berfikir kritis dalam menghadapi bencana atau masalah yang terjadi sehingga bencana atau masalah yang terjadi sehingga bencana tidak lagi menjadi masalah namun dapat membawa berkah.

PEMBAHASANGambaran Umum Kota SemarangKota Semarang terletak di pantai utara Jawa Tengah yang berada dalam wilayah 650-710 LS dan 10935-11035 BT. Disebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kendal, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Demak, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Semarang dan sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dan panjang garis pantai meliputi 13.6 km, dan berada pada ketinggian 0.75- 348 diatas garis pantai. Secara administratif, kota Semarang terbagi atas 16 wilayah Kecamatan dan 177 kelurahan. Luas wilayah kota Semarang tercatat 373,70 km2 yang terdiri dari 39.56 km2 (10.59%) sawah dan 334.14 km2 (89.41%) lahan bukan sawah yang 42.17% dari luas tersebut merupakan daerah terbangun (BPS, 2013). Bakti (2010) menambahkan bahwa kota Semarang berada pada posisi yang sangat strategis bagi Jawa Tengah, karena kota tersebut menjadi simpul empat pintu gerbang, yakni koridor pantai Utara, koridor Selatan kearah kota-kota dinamis seperti kabupaten Magelang, Surakarta. Koridor timur kearah kabupaten Demak atau kabupaten Grobongan dan kearah barat menuju kabupaten Kendal. Secara administrasi, kota Semarang sebelah barat utara berbatasan dengan Laut Jawa, disebelah timur berbatasan dengan kabupaten Demak, disebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Semarang dan disebelah barat berbatasan dengan kabupaten Kendal (Bakti, 2010).

Gambar 1. Peta Wilayah Kota Semarang (Sumber : Bappeda Kota Semarang, 2011)

Bakti (2010) menambahkan bahwa kota Semarang di bagian utara merupakan pantai dan dataran rendah yang memiliki kemiringan 0-20% dengan ketinggian bervariasi antara 0-25m dpl. Sementara dibagian selatan kota Semarang merupakan daerah perbukitan dengan kemiringan 2-40%dan ketinggian antara 25-400m dpl. Pemanfaatan kota semarang bagian hulu harus difungsikan sebagai daerah konservasi untuk melindugi kota Semarang bagian bawah dari kemungkinan terjadinya banjir kiriman. Semarang bagian atas memiliki kemiringan >40% dan tidak diperkenankan untuk kegiatan budidaya. Adapun untuk lahan dengan kemiringan antara 25-40% dapat digunakan untuk budidaya namun dengan penggunaan terbatas, sedangkan lahan dengan kemiringan 40%, maka aliran permukaan yang terjadi masih cukup besar. Dan bahan induk didataran rendah memiliki permeabilitas lambat sehingga mengakibatkan terjadinya genangan dipemukiman (Suwardi, 1999). d. IklimSalah satu faktor iklim yang mempengaruhi terjadinya banjir rob dikota semarang adalah curah hujan. Berikut data curah hujan dan lamanya tahun 2008-2012 :

Tabel 1. Data Curah Hujan Dan Rata-rata curah hujan tiap kecamatan di Kota Semarang Tahun 2008-2011TahunRata-rata Curah Hujan (mm/thn)Rata-rata curah hujan tiap kecamatan

20082.643220.25

20091.845153.75

20102.869239.20

20112.164201.20

Sumber : BPS, 2012

Curah hujan dengan intensitas tinggi, ditambah dengan periode hujan yang panjang sekitar 8 bulan, dan keadaan tanah yang selalu dalam keadaan lembab, akan mengakibatkan air hujan yang mengalir dipermukaan lebih besar dibandingkan dengan jumlah air yang meresap kedalam tanah sehingga dapat memperbesar timbulnya banjir (Suwardi, 1999). e. HidrologiMasalah hidrologi yang menyebabkan banjir rob di kota Semarang yakni kondisi saluran drainase dan kondisi air tanah. Sarana drainase utama yang terdapat dipusat kota Semarang adalah saluran Kali Semarang dan saluran Kali Benger. Pada waktu dulu Kali Semarang dan Kali Benger merupakan saluran irigasi yang masing-masing intake-nya terletak pada saat sekarang keduanya telah berubah fungsi menjadi saluran utama pada pusat kota semarang. Namun saat ini seiring dengan meningkatnya konversi lahan menjadi lahan terbangun mengakibatkan menurunnya kapasitas saluran yang ada akibat kurangnya pemeliharaan sehingga sedimentasi dari endapan erosi dan sampah yang dibuang penduduk semakin tebal. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya perkembangan pemukiman yang menimbulkan banyak banyak bangunan yang didirikan dikiri-kanan saluran bahkan ada yang diatas saluran. Hal ini menyebabkan saluran menyempit dan sulit dibersihkan. Jika terjadi hujan lebat, maka saluran-saluran drainase yang ada tidak mampu menampung aliran air sehingga terjadi banjir. Disamping itu tumbuhnya wilayah pemukiman di wilayah Banjir Kanal Timur dan Banjir Kanal Barat juga menyebabkan pola dan kapasitas saluran drainase didataran fluvio-marin tidak lagi mendukung saluran sehingga mengakibatkan banjir.Kisdianto (2013) menambahkan secara hidrologis, air tanah bebas merupakan air tanah yang terdapat pada lapisan pembawa air (aquifer) dan tidak tertutup oleh lapisan kedap air. Permukaan air tanah bebas ini sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan sekitarnya. Penduduk kota Semarang yang berada didaerah dataran rendah banyak memanfaatkan air tanah ini dengan membuat sumur-sumur galian (dangkal) dengan kedalaman rata-rata 3-18 meter.

Gambar 2. Amblesan air tanah dan instusi air laut

Gambar 3. Pergerakan limpasan Rob kota Semarang

Sementara perkembangan kota dan meningkatnya jumlah penduduk, berpengaruh terhadap proses terjadinya penurunan air tanah akibat adanya pengeboran sumur dalam yang tidak terkendali. Pengambilan air tanah yang berasal dari sumur bor yang cukup intensif mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah dan intuisi air laut. Penurunan permukaan air tanah secara terus-menerus dapat mengakibatkan penurunan tanah dan penerobosan air asin kedalam air tanah, akan tetapi penurunan tanau atau intuisi tersebut tidak seluruhnya disebabkan oleh pemompaan air tanah yang berlebihan. Selain itu juga berkaitan erat dengan kondisi geologi wilayah. Diwilayah Semarang Utara kondisi ini ditandai dengan terus menerus naiknya permukaan air laut kea rah hulu Kali Asin, Kali Semarang, kali Baru dan Kali Benger sehingga banjir genangan akibat rob terus meningkat.Penurunan tanah terjadi karena penurunan tekanan air tanah dalam kapiler dan adanya penurunan konsolidasi lapisan atas dan bawah dari akifer. Adanya air tanah yang tertekan kedalam zona delta (lapisan lempung) maka penurunan tanah terjadi cukup besar, tetapi pada lapisan pasir dan kerikil penurunan tanah tidak begitu besar. Akibat lain dari hal ini adalah memudahkan air laut menekan kandungan air tanah semakin ke hulu. Jika air tanah bebas dipantai. Air yang asin telah berada di bawah akifer, maka air asin akan menerobos kedalam sumur setelah pemukaan air yang dipompa berada lebih rendah dari permukaan laut dan apabila akifer tidak tebal, penerobosan peneobosan air laut dapat menyebar ke pantai. Selain itu jika tekanan air tanah pada mulut akifer dilaut menjadi lebih rendah dari tekanan air laut maka intuisi akan lebih mudah terjadi (Suwardi. 1999). 2. Pengaruh kegiatan manusiaa. Perubahan Penggunaan Lahan Semarang termasuk wilayah pesisir yang spesifik, sebab berada diperbatasan antara pengaruh daratan dan lautan. Wilayah pesisir bersifat dinamis karena cepat dan berkembang bila dibandingan dengan wilayah pedalaman. Pesatnya pertumbuhan dan perkembangan wilayah pesisir memerlukan perencanaan yang baik, agar mampu memenuhi kebutuhan lahan bagi pengguna. Perkembangan kota Semarang didukung kegiatan pembangunan yang padat, sehingga ketersediaan lahan untuk membangun kawasan pemukiman, industri dan fasilitas umum semakin menyempit. Pembangunan yang terus menerus berkembang menambah bebean terhadap tanah, hal ini akan menimbulkan penurunan tanah, selanjutnya dapat mengakibatkan naiknya permukaan air laut sehingga genangan air pasang semakin meluas. Suryanti (2008) menambahkan bahwa Terjadinya perubahan pada penggunaan lahan pada wilayah pantai, contohnya lahan tambak, rawa dan sawah yang dulu secara alami berfungsi sebagai penahan dan penampung laju masuknya air pada saat pasang kini peruntukannya telah berubah menjadi pemukiman, kawasan industri, dan pemanfaatan lainnya. Perubahan ini dilakukan dengan cara menimbun atau meninggikan daerah-daerah tersebut sehingga apabila terjadi pasang air laut maka akan menggenangi daerah yang lebih rendah. Tabel 2. Perbadingan Persentasi Penggunaan Lahan antara Tahun 2007 dan 2012.KeteranganTahun 2007Tahun 2012

Areal terbangun (indusrti, perumahan dll).37.64%40.70%

Tegalan15.77%20.89 %

Kebun Campuran13.47%7.81%

Sawah12.96%10.24%

Tambak6.96 %6.27%

Hutan3.69 %2.85%

Lain-lain 9.51%11.24%

Sumber : BPS, 2007 dan 2012

Dibagian utara wilayah Semarang banyak areal persawahan dan tambak beralih fungsi menjadi areal pemukiman dan industri seperti Perumahan Tanah Mas, Pondok Hasanuddin, Pondok Indraprasta, Puri Sakti dan Cakrawala. Sementara bagian selatan Kota Semarang yang terdiri dari perbukitan dan berfungsi sebagai kawasan penyangga/resapan air, ternyata banyak juga digunakan untuk pemukiman baru. Akibatnya volume air yang mengalir ke kota bawah semakin besar, dan tidak tertampung oleh sistem drainase kota yang tersedia sehingga meningkatkan genangan banjir. b. Penurunan Permukaan Tanah (land subsidence) Penurunan tanah (Land subsidence) adalah suatu fenomena alam yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan sedimen, seperti Jakarta, Semarang, Bangkok, Shanghai, dan Tokyo. Penurunan muka tanah terjadi perlahan-lahan dan sering tidak dirasakan secara langsung. Terjadinya penurunan muka tanah baru disadari setelah terlihat tanda-tanda perubahan fisik pada bangunan yang dibangun di atas lahan yang mengalami penurunan muka tanah itu. Penurunan muka tanah yang terjadi karena beban fisik akan berlangsung terus tanpa batas waktu tertentu selama beban fisik masih berada di atasnya (Bakti, 2010). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Suryanti (2008) bahwa terjadinya penurunan tanah pada kawasan pantai. Marfai dan King (2008) menambahkan bahwa terjadinya penurunan tersebut diakibatkan penggunaan air tanah yang berlebihan dan keberadaan recharger air tanah pada kawasan konservasi yang buruk. Berdasarkan penelitian Bakti (2010) kota Semarang mengalami penurunan muka secara perlahan, yang disajikan pada peta berikut :

Gambar 4. Peta Penurunan Muka Tanah (land subsidence) Kota Semarang (Sumber : Bakti, 2010)

Gambar 5. Peta Penurunan Muka Tanah (land subsidence) Kota Semarang (Sumber : ESDM,2007 dalam Bakti, 2010)

Terjadinya penurunan permukaan tanah atau amblesan tanah (land subsidence) yang besarnya berkisar antara 2-25 cm/thn. Amblesan permukaan tanah ini disebabkan adanya tekanan konus bangunan dan infrastruktur yang dibangun diatas lahan yang tanahnya bersifat labil (alluvial). Amblesan tanah yang terjadi didaratan Semarang disebabkan oleh dua faktor yaitu penurunan muka air tanah akibat adanya pemompaan dan penungkatan beban karena pengurungan tanah. Tektonik di Pulau Jawa yang cukup aktif pada Pliosen akhir Plistosen tengah, menghasilkan pola struktur geologi yang kompleks di daerah selatan. Struktur sesar yang aktif belum diketahui dengan jelas pengaruhnya terhadap proses amblesan tanah didataran alluvial semarang. Akibatnya apabila berlangsung terus-menerus, beberapa wilayah justru lebih rendah daripada permukaan laut (Kisdianto,2013). Bakti (2010) menambahkan penanggulangan penurunan muka tanah dapat direalisasikan melalui pemantauan yang bertujuan menentukan parameter penurunan muka tanah yang terkait dengan waktu, yaitu kecepatan dan percepatan penurunan muka tanah.c. Degradasi lingkunganAdapun degradasi lingkungan yang terjadi seperti hilangnya tumbuhan penutup lahan pada catchment area, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya sehingga menyebabkan terjadinya banjir rob (Hildaliyani, 2011). Suwardi (1999) menambahkan bahwa di kota Semarang terdapat beberapa sungai yang bermuara ke Laut Jawa, diantaranya Kali Semarang dan Kali Banger. Berdasarkan analisis Semarang Drainase proyek (1983) bahwa jumlah sedimen yang mengendap di Kali Semarang sebesar 12.146 m3/tahun dan Kali Banger sebesar 8.056 m3/tahun. Pantai semarang menurut morfologinya berbentuk teluk. Pada musim barat arus laut membawa sedimen dan mengendap dimuara, dan pada musim timur arus laut tidak dapat membuang kembali sedimen yang terbawa pada musim barat. Hal ini karena terhalang oleh bangunan pemecah gelombang yang terletak disebelah timur muara Kali Semarang, akibatnya sedimen terus menerus bertambah dan mengendap dimuara.

d. Reklamasi PantaiReklamasi pantai utara Semarang dapat berpengaruh terhadap kondisi hidrologi wilayah sekitar, terutama terhadap lingkungan air permukaan yang berasal dari pasang surut air laut. Penambahan daratan didepan daratan alluvial menjadi ledok fluvial apabila lahan baru itu lebih tinggi. Proses geomorfologi yang dapat terjadi pada daerah adalah banjir berkala atau banjir permanen. Dampak reklamasi pantai Semarang yang saat ini timbul adalah adanya genangan banjir disekitar perumahan Tanah Mas akibat daerah hasil reklamasi lebih tinggi daripada daerah asli disebelah selatannya, sehingga menjadi cekungan. Pada saat hujan dan pasang naik terisi air sehingga menimbulkan banjir genangan. Meluasnya area limpasan rob, yang terjadi berkaitan dengan pelaksanaan reklamasi pantai. Hal ini terjadi karena hempasan air laut yang biasanya menggenangi area yang direklamasi kemudian mencari tempat lain yang lebih rendah. Celakanya justru area sekitarnya yang merupakan pemukiman penduduk dan diwilayah ini terdapat infrastruktur utama kota, seperti pelabuhan, Tanjung Mas, Stasiun KA Tawang, Terminal Bus Terboyo, Bandar Udara Ahmad Yani, sistem drainase, air bersih, pengolahan air limbah, persampahan dan jalan raya kelas I, II, III dan jalan lingkungan. Juga kawasan perumahan mewah, kumuh, kawasan industri dan perdagangan serta kawasan wisata pantai (Kisdianto,2013).e. Sikap MasyarakatKurangnya kesadaran masyarakat yang tinggal disepanjang sungai dan saluran drainase, misalnya kegiatan pemanfaatan sungai dan saluran drainase untuk pembuangan sampah. Perilaku masyarakat yang kurang menyadari bahwa sampah yang dibuang tersebut mengurangi kapasitas saluran dan menghambat aliran, sehingga mengakibatkan terjadinya banjir.

Bahaya (Resiko (risk), dan Kerentanan Bencana Banjir robTerkait kebencanaan, BNPB (2011) menetapkan beberapa istilah antara lain : Pertama bahaya/kerawanan (hazard) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang mempunyai potensi dapat menimbulkan kerusakan, kehilanganjiwa manusia atau kerusakan hutan. Adapun daerah yang tergenang banjir rob di kota Semarang periode tahun 2000 dan 2010 berdasarkan penelitian Bakti (2010) adalah sebagai berikut :

Gambar 7. Peta Genangan Banjir Rob Di Wilayah Kota Semarang Tahun 2000(Sumber : Bakti, 2010)

Gambar 8. Peta Genangan Banjir Rob Di Wilayah Kota Semarang Tahun 2010(Sumber : Bakti, 2010)Berdasarkan hasil penelitian Miladan (2009) diketahui adanya prediksi bahwa wilayah pesisir kota Semarang yang tergenang setelah kenaikan paras muka air laut dalam 20 tahun mendatang sebesar 16 cm yakni seluas 2672,2 Ha. Hasil interprestasi data SIG yang ada diketahui bahwa dari 6 Kecamatan Pesisir Kota Semarang, 5 kecamatan yang diprediksikan sebagian wilayahnya akan tergenang banjir dan rob akibat kenaikan permukaan air laut. Kecamatan-kecamatan tersebut yakni Kecamatan Genuk, Kecamatan Gayamsari, Kecamatan Semarang Barat, Kecamatan Semarang Utara, dan Kecamatan Tugu. Sedangkan Kecamatan Semarang Timur yang juga termasuk pada Kecamatan Pesisir Kota Semarang diprediksi pada 20 tahun mendatang belum terjadi kerawanan tersebut. Dari kecamatan-kecamatan tersebut, tidak seluruh wilayahnya tergenang namun hanya di beberapa kelurahan saja terutamanya yang berada/berbatasan langsung dengan Laut Jawa.

Tabel 3. Prediksi wilayah pesisir kota Semarang yang diprediksi tergenang akibat kenaikan air laut tahun 2029 (15 tahun mendatang).

KecamatanKelurahanLuas Kelurahan (ha)LuasGenangan (ha)% Tergenang

TuguMangkang Kulon 544,221287,45652,820

Mangunharjo 461,084326,17170,740

Mangkang Wetan 404,766192,23247,492

Randu Garut 477,111291,24361,043

Karang Anyar412,388230,10355,798

Tugu Rejo 577,035305,98253,026

Jerakah 143,34255,92739,016

Semarang UtaraTanjung Mas 384,415197,31151,328

Bandarharjo 222,836110,75249,701

Panggung Lor 190,97445,82723,996

Semarang BaratTawangsari 362,37062,03617,120

Tambakharjo 534,161212,27939,741

GenukTerboyo Kulon 275,939155,61156,393

Terboyo Wetan 194,48167,54534,731

Trimulyo 331,528127,98338,604

GayamsariTambakrejo103,2763,7543,635

Total5619,9282672,21247,549

Adapun prediksi dari pengunaan lahan yang akan hilang akibat kenaikan air laut pada tahun 2029 disajikan pada tabel berikut :

Tabel 4. Pengunaan lahan yang akan hilang akibat kenaikan air laut pada tahun 2029 (15 tahun mendatang). Penggunaan LahanLuas (ha)

Bandar Udara 158,65

Campuran Perdagangan dan Jasa, Permukiman 1,89

Industri 893,24

Instalasi Pengolahan Limbah Cair (WWTP) 13,17

Konservasi 285,09

Lap. Penumpukan 59,19

Olah Raga dan Rekreasi 100,32

Pelabuhan Laut 18,25

Pergudangan 36,28

Perkantoran 11,92

Permukiman 203,52

Pertanian Lahan Basah 79,78

PLTU Tambak Lorok 0,25

Pusat Pendaratan Ikan (PPI) 16,21

Rencana jalan 0,03

Taman18,06

Tambak 776,34

Total 2672,21

Lebih lanjut disjelaskan bahwa Dalam perkiraan tersebut, lahan terluas yang akan hilang yakni kawasan industri seluas 893,24 Ha. Aset lahan ini dinilai sangat penting dalam mendongkrak ekonomi Kota Semarang. Selain itu, aset lahan yang cukup luas dan akan tergenang yakni kawasan pertambakan seluas 776,34 Ha. Kondisi saat ini diketahui bahwa sudah terdapat beberapa areal pertambakan yang hilang akibat bencana ini. Lahan pertambakan yang hilang tersebut terutama di Kecamatan Tugu dan Kecamatan Genuk (Survei Primer, 2009 dalam Miladan 2009). Sedangkan untuk kawasan pemukiman serta kawasan campuran perdagangan jasa dan permukiman yang akan hilang diprediksi yakni seluas 205,41 Ha. Dengan tergenangnya kawasan pemukiman ini tentu saja sangat merugikan masyarakat lokal kawasan tersebut. Jika bencana ini benar-benar terjadi maka kerawanan tersebut akan mengancam asset bangunan rumah maupun lahan pekarangan yang dimiliki oleh masyarakat. Adapun prediksi dari pengunaan lahan yang akan hilang akibat kenaikan air laut pada tahun 2029 disajikan pada peta dibawah ini :

Gambar 5. Peta penggunaan lahan rawan genangan banjir rob akibat kenaikan air laut di wilayah kota Semarang tahun 2029 (sumber : Miladan, 2009)

Kedua kerentanan (vulnerability) adalah suatu kondisi yang dditentukan oleh faktor-faktor atau proses-proses fisik, social, ekonomi, dan lingkunganyang mengakibatkan peningkatan kerawanan masyarakat dalam mengjasapi bahaya atau kerawanan (hazard). Diposaptono (2005) dalam Miladan (2009) menambahkan bahwa kerentanan ditujukan pada upaya mengidentifikasi dampak terjadinya bencana berupa jatuhnya korban jiwa maupun kerugian ekonomi dalam jangka pendek yang terdiri dari hancurnya permukiman infrastruktur, sarana dan prasarana serta bangunan lainnya, maupun kerugian ekonomi jangka panjang berupa terganggunya roda perekonomian akibat trauma maupun kerusakan sumber daya alam lainnya. Analisis kerentanan ditekankan pada kondisi fisik kawasan dan dampak kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal. Kerentanan bencana merupakan bagian dalam penilaian resiko bencana. Resiko bencana merupakan potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Terkait dengan kerentanan, penentuan kerentanan bencana secara total berdasar pada beberapa jenis kerentanan bencana yang meliputi kerentanan fisik, kerentanan sosial ekonomi, kerentanan sosial kependudukan, kerentanan lingkungan dan kerentanan ekonomi wilayah. Berdasarkan penelitian Miladan (2009) bahwa bahwa pada Wilayah Pesisir Kota Semarang untuk kerentanan total/final terdiri atas kerentanan rendah hingga sedang. Tidak ada kawasan yang termasuk dalam kategori kerentanan tinggi. Kerentanan Sedang hanya terjadi di Kelurahan Bandarharjo, Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Tanjung Mas, Kelurahan Terboyo Kulon, Kelurahan Trimulyo. Kerentanan sedang terluas berada di Kelurahan Tanjung Mas dengan luas kawasan seluas 197,31 Ha atau keseluruhan dari luas wilayah kelurahan tersebut.Kerentanan sedang ini tidak berada di seluruh luasan wilayah 6 kelurahan tersebut. Hal ini karena terdapat 5 kelurahan yang memiliki kawasan kerentanan sedang dan kerentanan rendah yang meliputi Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Terboyo Kulon, Kelurahan Trimulyo, Kelurahan Bandarharjo dan Kelurahan Mangkang Wetan. Sedangkan 10 Kelurahan lainnya yang meliputi Kelurahan Panggung Lor, Kelurahan Randu Garut, Kelurahan Tambakharjo, Kelurahan Tambakrejo, Kelurahan Tawang Sari, Kelurahan Terboyo Wetan, Kelurahan Tugu Rejo, Kelurahan Jerakah, Kelurahan Karang Anyar dan Kelurahan Mangkang Kulon termasuk pada kategori kerentanan rendah. Kelurahan-kelurahan yang memiliki kerentanan rendah ini tentunya penanganan/penentuan strateginya akan lebih mudah daripada kelurahan-kelurahan yang memiliki kerentanan sedang. Temuan-temuan kerentanan ini selanjutnya akan dijadikan dasar pada penentuan strategi dalam penanganan kerentanan bencana kenaikan air laut di Wilayah Pesisir Kota Semarang. Adapun detail dari kerentanan total akibat kenaikan air laut diwilayah kota Semarang tahun 2029 disajikan pada peta berikut :

Gambar 6. Kerentanan Total Akibat Kenaikan Air Laut Diwilayah Kota Semarang Tahun 2029 (sumber : Miladan, 2009)

Ketiga risiko (risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentuyang dapat mengakibatkan kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat. Resiko bencana merupakan hasil perkalian dari kerawanan dan kerentanan.

Dampak Banjir Pasang (rob)Banjir pasang (rob) yang setiap tahun terjadi pesisir seperti di wilayah pesisir semarang menimbulkan permasalahan dan pengaruh yang besar terhadap kondisi social ekonomi masyarakat terutama mereka yang bertempat tinggal diwilayah kawasan pesisir. Berdasarkan penelitian Suryanti dan Marfai (2008) bahwa terjadinya rob pada batasan tertentu telah mengubah kondisi fisik lingkungan sehingga berdampak negative terhadap masyarakat, bangunan dan infrastruktur pemukiman dikawasan tersebut. Aktivitas harian masyarakat nyaris tidak bisa berjalan secara normal. Selain itu keterrsediaan air bersih dan listrik tidak dapat berfungsi secara normal untuk menunjang kegiatan rumah tangga. Sebagian masyarakat nyaris tidak dapat melanjutkan pekerjaan harian mereka untuk menghidupi keluarganya. Terjadinya rob juga berdampak pada pekerja domestic wanita datau penjaga rumah yang mengalami kesulitan dalam mengamankan peralatan rumah tangga selama banjir rob, membersihkan rumah dan lingkungan setelah banjir rob surut (Kobayash, 2003).Sukamdi (2010) mengemukakan bahwa adapun dampak yang ditimbulkan oleh banjir rob antara lain : a. Kerusakan bangunan tempat tinggal karena selain mengenangi permukaan lantai dan halaman, banjir rob bersifat korosi dan merusak pada bangunan.b. Salinitas ( Keasinan ) Air disebabkan banjir rob semakin luas dan lama genangan banjir rob, maka mempengaruhi kualitas air tanah dan air permukaan. c. Kehilangan lahan disebabkan banjir rob yang semakin tinggi sehingga banyak lahan di pesisir pantai tenggelam dan tidak dapat lagi dimanfaatkan.d. Kerusakan lahan tambak mempengaruhi nilai produksi dan menyebabkan kerugian yang cukup besar.Gumilar et al., (2009) dalam Arif (2012) menambahkan bahwa akibat banjir pasang (rob) akan menghasilkan kerugian ekonomi langsung (direct economics losses) seperti bangunan yang rusak, dan hancurnya fasilitas-fasilitas umum, dan kerugian ekonomi tak langsung (indirect economics losses) seperti guncangan pada dunia bisnis, berkurangnya pendapatan, dan meningkatnya pengeluaran sector public, dan juga kerugian yang ditanggung individu dan rumah tangga.

Mitigasi terhadap Banjir Pasang (rob)Dalam pengelolaan manajemen mitigasi bencana, salah satu kegiatan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pemetaan resiko bencana. Pemetaan ini meliputi pemetaan ini meliputi pemetaan ancaman (hazard), pemetaan kerentanan, dan pemetaan kapasitas dari suatu daerah yang mempunyai potensi bencana. Dalam proses pemetaan risiko memerlukan penilaian dan klasifikasi yang sesuai dengan karakteristik kota Semarang. Hal ini ini tidak mudah dilakukan, mengingat keterbatasan data dan kevalidan data tersebut sulit didapatkan. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pemetaan ini diperlukan kajian pemodelan yang tepat sehingga dapat dihasilkan peta resiko yang benar-benar sesuai dengan kondisi sebenarnya (Arif et al., 2012). Beberapa langkah penanggulangan yang ditempuh Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi banjir, antara lain: (1) normalisasi dan pengerukan sedimen sungai-sungai utama, (2) instalasi pompa air di beberapa lokasi untuk memperlancar aliran air, (3) pembuatan embung-embung penampung air di beberapa lokasi, (4) pembuatan Waduk Jatibarang dan Polder Tawang; (5) penyusunan Master plan drainase Kota Semarang pada Tahun 2007 (Bakti, 2010). Beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam penanganan bencana antara lain : pencegahan, mitigasi, kesigapan, dan penanggulangan kedaruratan. Titik berat dari tindakan yang dapat dilakukan pra bencana adalah tindakan mitigasi bencana. Secara spesifik mitigasi bencana wilayah pesisir yakni upaya untuk mengurangi risiko bencana secara struktur atau fisik melalui pembangunan fisik alami atau buatan maupun nonstruktur atau non fisik melalui peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana diwilayah pesisir datau pulau-pulau kecil (UU nomor 24 dan 27 dalam Miladan, 2009). Forum Mitigasi (2007) membedakan mitigasi bencana atas dua macam, yaitu mitigasi pasif (non structural) dan mitigasi aktif (structural). Mitigasi pasif (non structural) terdiri dari : (1) penyusunan peraturan perundang-undangan, (2) penyesuaian rencana tata ruang berdasarkan peta risiko bencana serta pemetaan masalah, (3) pembuatan pedoman/standar/produser, (4) pembuatan brosur/poster, (5) pembuatan rencana alternative tindakan kedaruratan (contingency plan), (6) penelitian/pengkajian karakteristik bencana/analisis risiko bencana, (7) internalisasi penanggulangan bencana (PB) dalam muatan local pendidikan, (8) pembentukan satuan tugas bencana/perkuatan unit-unit social masyarakat, (9) pengarutusan PB dalam pembangunan dan sosialisasi. Sementara mitigasi aktif (structural) meliputi : (1) pembuatan dan penempatan tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan bencana atau tanda peringatannya, (2) pemindahan penduduk dari daerah yang rawan ke daerah aman, (3) pembangunan bangunan penampungan sementara, daerah jalur evakuasi, (4) pembuatan bangunan struktur seperti : pengamanan lereng (slope protection/seawalls), pemecah ombak (breakwater/detached breakwater), krib tegak lurus penahan gerakan sedimentasi sejajar grisik (groyne) dan pengamanan gisik (beach protective). Perencanaan tata ruang kawasan pesisir mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi menjadi empat zone yaitu (1) zona preservasi (2) zona konservasi (3) zona penyangga dan (4) zona budidaya (zona pemanfaatan) (Dahuri dkk, 2004). Miladan (2009) dalam Arif (2012) pelaksanaan pemetaan kerentanan dilakukan sebagai landasan salam melakukan penanganan banjir pasang (rob) menggunakan strategi akomodatif dan strategi akomodatif dan strategi mundur daalam perencanaan tata ruang wilayah yang terkena dampak banjir tersebut. Adapun pemetaan kerentanan meliputi : kerentanan fisik, social ekonomi wilayah, dimana dalam penentuan komponen-komponen kerentanan tersebut didasarkan pada Undang-undang Penanggulangan Bencana, Perencanaan tata kota pengelolaan wilayah pesisir dn pulau-pulau kesil serta konsep praktis dari good local governance (GLG) Provinsi Jawa Tengah dan Bakornas Penanggulangan Bencana.

Pengendalian Banjir robMenurut Wahyudi (2007) mengemukakan bahwa dalam pengendalian banjir rob antara lain : a. Aspek teknisRencana penanganan pengendalian banjir hatus ditinjau dari berbagai aspek, yang simultas serta komprehensif. Hal ini mengingat sifat permasalahan yang sangat kompleks. Untuk suatu daerah pengaliran kali/sungai agar dapat mewujudkan suatu rencana yang optimal serta dijadikan pedoman untuk semua pihak baik pelaku maupun pengguna perlu didukung dan didasari oleh produk hokum (PERDA), namun demikian keterbatasan dana dalam pembangunan menjadi bahan pertimbangan.i. SungaiSecara khusus penanganan banjir local yang terjadi didaerah pengaliran sungai/kali Tenggang dan Kali Seringin masih mengacu pada pola penataan sungai yang ada di Kota Semarang. Hal ini masih berkaitan dengan ketentuan-ketentuan antara lain : UU No. 11 tahun 1974 tentang pengairan, UU No. 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan air dan PP. No. 35 Tahun 1991 tentang sungai serta Permen PU No. 63/1993 tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas Sungai serta peraturan-peraturan daerah yang berlaku di kota Semarang itu sendiri. Kisdianto (2013) mengemukakan normalisasi sungai, perbaikan sistem drainase, peningkatan aspek operasi dan pemeliharaan, penertiban pengambilan air tanah, pembangunan waduk Jati Barang (kreo) serta penanganan di daerah hulu.

Gambar 7. Rencana Pembangunan Waduk Jati Barang

ii. Sistem Drainase Dalam penyusunan rencana pengendalian banjir local dan pasang surut air laut pada daerah aliran Kali Tenggang dan Kali Seringin mengacu kepada konsep pengendalian wilayah timur sungai Banjir Kanal Timur sampai Kali Babon. iii. Tata Guna LahanSesuai fungsi dan peruntukannya dari Tata Guna Lahan perkembangan pembangunan kawasan lingkungan pemukiman, pabrik/industri. Lahan pertanian dan rawa serta kawasan lingkungan perdagangan dan jasa serta kawasan lainnya semakin hari semakin bertambah yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya limpasan permukaan (run off) yang tinggi. iv. Pembangunan Dam Lepas Pantai (DLP). Kisdianto (2013) mengemukakan bahwa adapun proyek ini bertujuan untuk mengatasi banjir rob yang selalu melanda pantai utara Jawa, terutama kota Semarang, yaitu dengan membangun DLP sebagai pemisah laut da daratan di kabupaten Kendal hingga kabupaten Jepara sepanjang 139 km. luasan keseluruhan yang tercover adalah seluas 45.000 ha. DLP dibangun paling jauh 15 km dari bibir pantai ke tengah laut dengan kedalaman 20 m. pembuatan dam ini akan menghasilkan tambahan tanah seluas 15.000 ha termasuk area untuk pembangunan pelabuhan baru dan akan memunculkan 2 danau seluas 21.000 ha yang akan menghasilkan air tawar dengan kandungan garam yang rendah (5%) yang dapat digunakan untuk industri, kebutuhan perkotaan dsb. Dam yang terbangun dan lahan yang akan muncul tersebut akan dikembangkan untuk : (1) pembangunan pelabuhan samudera yang baru dan fasilitas penunjangnya, (2) pembangunan infrastruktur dan pengembangan Bandara Ahmad Yani, (3) pembangunan Kawasan Industri dan Komersial dan (4) pembangunan Apartemen, pemukiman dan public area untuk rekreasi.

Sumber : Kisdianto (2013)Lebih lanjut Wahyudi (2010) menambahkan bahwa selain upaya diatas, langkah lain yang dapat diambil dalam pengendalian banjir rob adalah pembangunan sistem polder. Dalam upaya menanggulangi bencana banjir rob, sungai yang membawa air dari wilayah atas disalurkan langsung ke laut dengan talud sungai yang relatif tinggi. Sedangkan sungai yang mengalirkan air dari dalam kota secara gravitasi tidak dapat menuju ke laut pada saat air laut pasang. Untuk itu sungai tersebut di tutup dan diisolasi dari aliran dari air laut, sehingga memerlukan sistem polder. Sungai principal drainase kota semarang yang direncanakan dan dikonstruksi adalah Sungai Semarang dengan rencana sistem polder dengan stasiun pompa (Semarang Pumping Station) dengan kapasitas 30 m3/s. Sedangkan sistem polder yang juga dalam perencanaan dan konstruksi adalah sistem polder Kali Banger dengan stasiun pompa 6 m3/s.Peta situasi Sistem Polder Kali Semarang dapat dilihat dalam gambar 7. Antara sungai dan laut ditutup oleh pintu gerak. Air yang dari sungai ditampung di kolam sebelum dipompa. Untuk itu disediakan station pompa yang direncanakan memiliki kapasitas terbesar yaitu 30 m3/s. didepan station pompa dilindungi dengan talud yang sekaligus akan dijadikan tempat untuk penampungan sedimen hasil pengerukan kolam dan sedimen dari sungai di sistem drainase Kali Semarang.

Gambar 7. Rencana Sistem Drainase Semarang untuk menanggulangi Kenaikan Air Laut (sumber (Mondeel, 2010)

Polder Kali Banger memiliki catchment area 675 Ha, adapun wilayah administrasi ada di kecamatan Semarang Timur yang meliputi 9 Kelurahan yaitu: Kelurahan Rejomulyo, Kelurahan Mlati Baru, Kelurahan Mlatiharjo, Kelurahan Sari Rejo, Keluarahan Bugangan, Kelurahan Rejo Sari, Kelurahan Karang Turi, Kelurahan Karang Tempel dan Kelurahan Kemijen. Sistem Polder Kali Banger memiliki komponen infrastruktur yang terdiri dari (Herman Mondeel, 2010 dalam Wahyudi, 2010): Northern dike (Pembangunan Tanggul Arteri Utara), melindungi kawasan Polder Kali Banger dari muka air laut, Eastern dike (Pembangunan Tanggul Banjir Kanal Timur) melindungi kawasan Polder dari Sungai Banjir kanal Timur, Dam Kali Banger (Pembangunan Bendung K. Banger) yang akan menutup koneksi aliran dari kawasan Polder dengan sungai dan laut, Pumping station difungsikan untuk mengendalikan elevasi air karena kawasan Polder ditutup bending, Retention basin (Kolam Retensi) digunakan untuk pengendalian elevasi air sistem polder sebelum dipompa. Elevasi air dalam kolam retensi dikendalikan -2 m MSLv. Pembangunan landscape Mangrove diwilayah pesisir.Seperti diketahui bersama bahwa salah satu fungsi mangrove adalah sebagai pelindung pantai dari hempasan gelombang laut penyebab abrasi dan banjir rob dikawasan pesisir. Penelitian membuktikan bahwa keberadaan vegetasi mangrove dengan perakarannya yang rapat dan kuat, mampu memperkecil kekuatan hempasan gelombang pada saat menerjang pantai dan mengurangi dan masuknya air laut kedaratan pada saat terjadinya pasang. Penanaman mangrove dikawasan pesisir Semarang merupakan salah satu upaya yang ramah lingkungan, tidak membutuhkan biaya yang relative besar, namun yang aling penting adalah manfaat yang dapat diperoleh dari ekosistem mangrove dapat dirasakan dalam jangka panjang terutama dalam melindungi terhadap terjadinya bencana dikawasan pesisir. Tak hanya itu, manfaat mangrove lainnya yaitu sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan pencarian makan bagi ikan dan binatang laut lainnya. Oleh sebab itu dapat diterapkan sebagai salah satu upaya mitigasi bencana banjir rob di pesisir kota Semarang. Adapun rencana landscape mangrove yang dapat diterapkan dipesisir Kota Semarang adalah sebagai berikut ; Gambar 8. Rencana landscape mangrove dalam mitigasi banjir rob di Semarang

(a) (b)Gambar 9. Langkah penanaman Mangrove dikawasan Pesisir Semarang

b. Aspek non teknisAspek non teknis meliputi aspek-aspek social budaya yang perlu ditinjau antara lain : (1) pemahaman terhadap pentingnya drainase/saluran/kali/sungai (2) pemahaman terhadap adanya kepentingan bersama/umum dalam lingkungan yang lebih luas (3) menanamkan rasamemiliki (sense of belonging) dengan cara diikutsertakan berperan aktif dalam penanganan pembangunan melalui jalur swadaya (4) meningkatkan rasa dan sifat peduli terhadap lingkungan. i. Kelembagaan PengelolaanKelembagaan untuk mengelola kawasan polder diperlukan Badan Pengelola Polder, Badan ini merupakan organisasi berbasis stakeholder. Dalam pelaksanaan operasional dan pemeliharaan, Badan ini perlu pelaksana harian. Badan Pengelola Polder kali Banger, sudah dibentuk melalui SK Walikota Semarang yang kemudian dinamakan BPPB SIMA. Tugas dari badan ini bekerja sesuai tahapan manajemen konstruksi. Pada tahap perencanaan supaya dapat mendampingi untuk mendapatkan hasil perencanaan yang terpadu, satu kawasan satu perencanaan. Pada tahap pengambilan keputusan supaya dilakukan bersama antara perwakilan masyarakat, pemerintah dan sektor usaha. Pada tahap pembangunan, mendampingi agar sesuai dengan perencanaan dan mengakomodasi kepentingan masyarakat. Dan tugas utama.Badan ini adalah saat operasional dan pemeliharaan baik secara teknis, non-teknis dan pendanaan. Dengan mengupayakan pendanaan dari pemerintah dan menggali pendanaan dari masyarakat di kawasan Polder diantaranya untuk kepedulian. Bidang pengelolaan pada tahap operasional secara teknis dapat dibagi menjadi 3 yaitu: pengelolaan sampah dan sedimen, pengelolaan elevasi air melalui pompa dan pengelolaan tanggul. Dalam pelaksanaan operasional dan pemeliharaan ini BPPB SIMA memerlukan pelaksana harian.Strategi Pengelolaan Kawasan Potensi Banjir Pasang (Rob)Pengelolaan kawasan terdampak harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang merupakan pedoman bagi Kota Semarang dalam melaksanakan pembangunan secara fisik. Selain itu aktivitas pembangunan dan perencanaan kota dalam RTRW Kota Semarang, yang secara detail dijabarkan dalam RDTR Kota Semarang. Beberapa langkah penanggulangan yang pernah ditempuh Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi banjir, antara lain :a. Normalisasi dan pengerukan sedimen sungai-sungai utamab. Instalasi pompa iar dibeberapa lokasi untuk memperlancar aliran air.c. Pembuatan waduk Jatibarang dan Polder Tawangd. Penyusunan Master Plan Drainase Kota Semarang. Miladan (2009) Berdasarkan pengkajian literature/teori tentang alternative strategi penanganan kenaikan air laut dan hasil penilaian kerentanan di wilayah pesisir Kota Semarang maka dapat disimpulkan alternative strategi yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi dampak kenaikan air laut di wilayah pesisir kota Semarang sebagai berikut : a. Pada kawasan yang memiliki kerentanan rendah maka strategi yang digunakan dengan memberikan kebijakan tidak adanya pembangunan fisik, penarikan subsidi dan penerapan pajak tinggi bagi pembangunan fisik dan masyarakat, meningkatkan atau menetapkan kawasan mundur/pindah, memberikan kemudahan perizinan bagi investor/masyarakat yang akan dan telah meninggikan lahan skala kawasan (reklamasi) secara swadaya dan memberikan gambaran kerentanan yang ada, memindahkan bangunan-bangunan dan penduduk terancam, memperkirakan pergerakan kenaikan air laut, mengatur realignment garis pantai, menciptakan penyangga/jalur hijau dikawasan upland dan konversi fungsi lahan tergenang menjadi kawasan tambak ikan, hutan mangrove dan kawasan wisata. b. Pada kawasan yang memiliki tingkat kerentanan sedang maka strategi yang digunakan meliputi perubahan tataguna lahan dan pemanfaatan ruang (memperluas jalur hijau/konservasi, meningkatkan sistem drainase/kanalisasi peninggian kawasan modifikasi bangunan, pembangunan seawall/tanggul/revetment, perencanaan dan penyediaan jalur evakuasi dan emergensi, meningkatkan kelembagaan siaga bencana, pengaturan dan regulassi yang ketat dalam pembangunan kawasan, memberikan kemudahan perizinan bagi investor/masyarakat yang menggikan kawasan/lahan (reklamasi) secara swadaya dan memperkirakan pergerakan kenaikan air laut.

Adaptasi MasyarakatAdaptasi merupakan suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya Adaptasi merupakan suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan-perubahan lingkungan dan sosial. Banjir pasang (rob) yang hampir terjadi setiap tahun memaksa masyarakat untuk melakukan adaptasi terus menerus. Adaptasi ini dilakukan sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan baru. Proses adaptasi yang sangat dinamis karena lingkungan dan manusia berkembang dan berubah secara terus-menerus. Umumnya masyarakat yang telah tebiasa terkena banjir enggan untuk pindah. Mereka tetap memilih tinggal di daerah asal meskipun tiap tahun mengalami langganan banjir rob. Faktor yang menyebabkan masyarakat enggan untuk berpindah antara lain : (1) sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan ataupun buruh industri ddisekitar daerah pelabuhan (2) sebagian masyarakat berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah yang tidak memiliki modal untuk berpindah ketempat lain. Berbagai adaptasi telah dilakukan oleh masyarakat. Menurut Kobayashi (2001) adaptasi yag dilakukan oleh masyarakat yang terkena banjir rob antara lain : pindah kelokasi yang lebih aman, membangun polder dan pompa, menambah tanah tempat yang rendah merubah jenis bangunan (rumah panggung atau rumah susun).Sedangkan menurut Suryanti dan Marfai (2008) adaptasi yang telah dilakukan masyarakat antara lain : (1) membuat tanggul kecil/urug didalam rumah atau meninggikan pondasi rumah (2) membuat talud dan tanggul permanen dan non permanen dipantai (3) meninggikan jalan sekitar 1-1,5 meter untuk menghindari agar jalan tidak tergenang saat rob terjadi sehingga akses untuk transportasi tetap lancar (4) sebagian warga telah membangun rumah panggung. Sukamdi (2010) mengemukakan bahwa beberapa adaptasi yang dilakukan masyarakat terhadap banjir rob antara lain :a. Adaptasi pada tempat tinggal yang dilakukan masyarakat yakni dengan membuat tanggul, meninggikan rumah dan atapnya, meninggikan lantai rumah dengan cara mengurug , membuat saluran air disekitar rumah.

Gambar 8. Peninggian lantai rumah oleh wargab. Adaptasi pada ketersediaan air bersih dilakukan karena banjir rob berdampak pada salinitas dan kualitas air di daerah tersebut. Sehingga masyarakat membutuhkan air bersih layak konsumsi yang diperoleh dan dipasok dari daerah lain, baik dari PAM maupun dari truk tangki air bersih, untuk hal tersebut masyarakat harus mengeluarkan biaya.

Gambar 9. Bak Penampungan air bersih oleh wargac. Adaptasi pada lahan tambak dilakukan untuk mengurangi dampak dan kerugian akibat banjir rob yang dilakukan dengan membuat tanggul, memasang jarring atau waring disekeliling tambak, peninggian tanggul, pembuatan saluran air penghubung antar kolam tambak serta penanaman dan perawatan tananaman bakau di sekitar pantai dan tambak. Penanaman bakau berfungsi pula untuk mengurangi dampak banjir rob lainnya seperti kehilangan lahan dan abrasi pantai.

Gambar 10. Tanggul beton dan jarring pada tambak

PENUTUPKesimpulanBerdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan :1. Banjir rob yang terjadi dikota Semarang tidak hanya disebabkan oleh naiknya permukaan air laut, melainkan juga disebabkan oleh aktivitas manusia seperti meningkatnya alih fungsi lahan dan degradasi lahan sehingga mengakibatkan penurunan muka tanah, reklamasi lahan serta penyempitan saluran drainase yang memicu terjadinya banjir2. Dalam upaya mitigasi bencana banjir tidak hanya terpaku pada aspek teknis saja, melainkan juga dilakukan pada aspek non teknis yakni pada aspek social budaya.

SaranAtas kesimpulan tersebut maka rekomendasi yang diberikan untuk mengurangi dampak dari terjadinya banjir rob yakni :1. Bagi Pemerintah Kota Semarang ;a. Agar segera menerapkan berbagai kebijakan dan strategi dalam upaya mitigasi/adaptasi di Wilayah Pesisir Kota Semarang terhadap potensi kerawanan bencana perubahan iklim, dengan melalui zonasi dan regulasi kawasan yang meliputi: i. Pada kawasan kerentanan rendah direkomendasikan agar adanya pembatasan atau bahkan pelarangan pengembangan kawasan ekonomi strategis (kawasan permukiman, kawasan perdagangan jasa dan industri maupun kawasan perkantoran).ii. Pada kawasan kerentanan sedang direkomendasikan agar melakukan tindakan antisipasi dengan mempertahankan kawasan tersebut. Hal ini mengingat saat ini sudah terdapat berbagai kawasan ekonomi strategis di kawasan kelurahan-kelurahan tersebut.iii. Segera menentukan/memetakan daerah yang dapat dikembangkan sebagai kawasan mundur/pindah.b. Bersifat proaktif untuk mengawali penanganan resiko bencana ini melalui :i. Inventarisasi aset daerah pada kawasan yang diprediksi beresiko bencana kenaikan air laut tersebut. ii. Memberikan pemahaman mitigasi dan adaptasi terhadap masyarakat local sehingga masyarakat akan menyadari betul langkah-langkah yang harus diambil dalam menghadapi potensi bencana ini. iii. Menetapkan kebijakan/regulasi yang bertujuan untuk memisahkan kawasan yang akan dipertahankan dan kawasan tidak dipertahankan dalam menghadapi bencana kenaikan air laut.iv. Pemerintah Kota harus memulai memikirkan model pendanaan dalam upaya mitigasi dan adaptasi pada Wilayah Pesisir Kota Semarang sehingga kedepan potensi bencana ini sudah memiliki pos anggaran pembiayaannya.2. Bagi Masyarakat Lokala. Agar memperkuat sistem kelembagaan penanganan potensi bencana tersebut. Contohnya mengembangkan lembaga/paguyuban siaga bencana khusus mengantisipasi permasalahan ini.b. Masyarakat harus berperan nyata dan proaktif dalam lembaga/paguyuban siaga yang dibentuk, reaktif dan patuh terhadap kebijakan/strategi yang akan digunakan oleh Pemerintah Kota Semarang dalam menghadapi resiko bencana ini.3. Selain saran diatas, untuk masyarakat yang berada dikawasan pesisir dan tinggal di wilayah zona rawan banjir dapat mengadopsi konsep rumah panggung yang telah diterapkan diwilayah pemukiman pesisir Jakarta Utara (pemukiman angke dan pemukiman marunda). Berdasarkan penelitian Listiyanti (2011) terdapat tiga tipe rumah yang dapat diadopsi oleh masyarakat yang tinggal diwilayah rawan bencana banjir rob, antara lain :

Gambar 11. Tipe pemukiman angke dan pemukiman marundaa. Tipe ARumah tipe A masih terlihat kepanggunannya. Rumah ini terdapat diarea pinggir pantai yang landau. Sehingga rumah tipe ini memerlukan tiang penopang yang lebih tinggi sekitar 2-3 meter. Meskipun cukup tinggi, ruang kolong ini tidak pernah dipakai untuk beraktivitas karena selalu digenangi oleh air laut. Adapun hasil tingkat pengujian pada tipe rumah A tersebut adalah sebagai berikut :

b. Tipe BTipe rumah B masih terlihat kepanggungannya. Rumah ini terdapat daratan sedikit menjauh dari pinggir pantai. Tiangnya yang digunakan pada rumah tipe B lebih rendah dibandingkan dengan rumah tipe A. rumah ini terdiei dari tiang yang setinggi 1-2 meter . Adapun hasil tingkat pengujian pada tipe rumah A tersebut adalah sebagai berikut :

c. Tipe C Rumah tipe C merupakan hasil renovasi sehingga hampir tidak ada keterkaitan dengan rumah panggung. Rumah tipe ini biasanya berada sedikit jauh dari bibir pantai. Adapun hasil tingkat pengujian pada tipe rumah A tersebut adalah sebagai berikut :

DAFTAR PUSTAKA

Amirul. 2012. Paper Robhttp://amirul-k.blogspot.com/2011/01/paper-rob.html

Desmawan BT. 2012. Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesisir Terhadap Banjir Rob Di Kecamatan Sayung Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Jurnal Bumi Indonesia. 1(1) : 1-9

Hildaliyani U. 2011. Analisis Daerah Genangan Banjir Pasang (rob) di Pesisir Utara Jakarta Menggunakan Data Citra Satelit SPOT dan Alos. Skripsi. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Khoiriyah L. 2011. Analisa Aspek Geomorfologi Penyebab Banjir Rob Kota Semarang. Yogyakarta (ID). Universitas Gadjah Mada.

Listiyanti S. 2011. Transformasi Rumah Panggung Pada Pemukiman Pesisir Jakarta Utara (Studi Kasus : Pemukiman Nelayan Angke dan Pemukiman Marunda). Skripsi. Universitas Indonesia. Depok.

Kisdianto A. 2013. Banjir Rob Akibat Reklamasi Pantai Untuk Pengembangan Kota Semarang. http://andikisdianto.blogspot.com/2013/09/banjir-rob-akibat-reklamasi-pantai.html

Permatasari IS. 2012. Strategi Penanganan Kebencanaan di Kota Semarang. Skripsi. Semarang. Universitas Diponegoro.

Pratiwi MR. 2012. Dampak Dinamika Banjir Pasang (Rob) Terhadap Sistem Sosial Ekologis Kota Semarang (Studi Kasus di Kelurahan Tanjung Mas). Tesis. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Mardiatno D, Marfai MA, Rahmawati K, Tanjung R, Sianturi RS, Mutiarni YS. 2012. Penilaian Multirisiko Banjir dan Rob Di Kecamatan Pekalongan Utara. Rahmawati N, editor. Yogyakarta (ID): Pohon Cahaya.

Mildan N. 2009. Kajian Kerentanan Wilayah Pesisir Kota Semarang Terhadap Perubahan Iklim. Tesis. Semarang. Universitas Diponegoro.

Supriharjo RD dan Chandra RK. 20013. Mitigasi Bencana Banjir Rob Jakarta Utara. Jurnal Teknik POMMITS. 2 (1): 26-30.

Suriyanti ED dan Marfai MA. 2008. Adaptasi Masyarakat Kawasan Pesisir Semarang terhadap Bahaya Banjir

Utomo WY. 2013. Analisis Potensi Rawan (hazard) dan Resiko (Risk) Bencana Banjir dan Longsor (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat). Tesis. Bogor. Institut Pertanian Bogor.

Wahyudi SI. 2007. Tingkat Pengaruh Elevasi Pasang Laut Terhadap Banjir dan Rob Di Kawasan Kaligawe Semarang. Riptek. 1 (1) : 27-34

Wahyudi SI. 2010. Perbandingan Penanganan Banjir Rob Di La Briere (Prancis), Rotterdam (Belanda) dan Perspektif Di Semarang (Indonesia). Riptek. 4(I1) : 29-35.

Wirasatriya A, Hartoko A, Suripin. 2006. Kajian Kenaikan Muka Laut Sebagai Landasan Peanggulangan Rob Pesisir Kota Semarang. Jurnal Pasir Laut. 2(1):31-42.