bakso ikan

110
PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus) Oleh: Bahrudin C34103034 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Upload: johan-budiman

Post on 13-Apr-2016

365 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

  • PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING

    IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)

    Oleh:

    Bahrudin C34103034

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

  • RINGKASAN

    BAHRUDIN. C34103034. Penggunaan Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus). Dibawah bimbingan PIPIH SUPTIJAH dan MALA NURIMALA.

    Ikan merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi. Salah satu bentuk produk diversifikasi yang berbasis daging ikan adalah bakso ikan. Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk bulatan dan selanjutnya direbus. Bakso kering merupakan produk pangan yang telah mengalami proses pengeringan dengan alat freeze dryer. Perlu diketahui bahwa manfaat dari pencucian pada surimi dalam pembuatan bakso ikan adalah untuk meningkatkan kemampuan daging dalam membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin. Penggunaan Na-sitrat ditujukan untuk menghasilkan produk yang lebih porous (berongga).

    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui frekuensi pencucian terbaik dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebagai bahan baku bakso kering, mempelajari pengaruh Na-sitrat terhadap jenis tepung yang digunakan dan mempelajari karakteristik bakso kering ikan mata goyang (Priacanthus tayenus).

    Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pendahuluan untuk menentukan frekuensi pencucian terbaik dengan uji yang dilakukan adalah derajat putih, Protein Larut Garam (PLG), kekuatan gel, uji lipat serta gigit. Penelitian utama terdapat dua tahap yaitu tahap pertama menentukan bakso terbaik dengan uji yang dilakukan adalah rasio susut masak, rasio rehidrasi dan uji organoleptik skala hedonik, kemudian setelah ditentukan bakso kering terbaik dilakukan tahap dua yaitu membandingkan dua jenis bakso terpilih dengan uji yang dilakukan adalah uji kekuatan gel, kekerasan, Water Holding Capacity (WHC), uji lipat dan gigit, proksimat serta uji organoleptik skala hedonik.

    Berdasarkan hasil penelitian dapat dilaporkan bahwa pencucian terbaik adalah pencucian surimi satu kali dengan nilai kekuatan gel sebesar 1470,95 g.cm, derajat putih sebesar 22,23 %, protein larut garam sebesar 2,70 % serta uji lipat dan gigit sebesar 4,93 dan 8,53. Pencucian satu kali kemudian dipakai untuk penelitian utama, terdapat 6 (enam) jenis bakso yaitu KTT (Kontrol Tepung Tapioka), RTT (Rendam Tepung Tapioka), TTT (Tambah Tepung Tapioka), KTS (Kontrol Tepung Sagu), RTS (Rendam Tepung Sagu) dan TTS (Tambah Tepung Sagu) kemudian dilakukan beberapa uji yang menghasilkan bakso jenis TTT dan TTS sebagai bakso kering terbaik dengan rasio susut masak sebesar 81,92 % dan 76,12 %, rasio rehidrasi sebesar 35,98 % dan 25,76 % sedangkan untuk uji organoleptik skala hedonik jenis bakso TTS memiliki nilai tertinggi yaitu 5,33; 5,23 dan 5,90. Jenis bakso TTT dan TTS kemudian dibandingkan, dengan nilai uji yang dihasilkan adalah 370,00 g.cm dan 257,00 g.cm pada uji kekuatan gel; 345,00 g.cm dan 712,50 g.cm pada uji kekerasan; 2,75 dan 3,00 pada uji WHC; 3,20 dan 2,97 pada uji lipat; 6,20 dan 5,70 pada uji gigit. Nilai proksimat untuk bakso jenis TTT adalah kadar air 59,01 %, kadar abu 1,55 %, kadar protein 19,99 %, kadar lemak 1,05 % dan kadar karbohidrat 18,41 % sedangkan untuk jenis bakso TTS adalah kadar air 56,07 %, kadar abu 2,16 %, kadar protein 16,40 %, kadar lemak 0,93 % dan kadar karbohidrat 24,44 %.

  • PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING

    IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)

    Skripsi

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh:

    Bahrudin C34103034

    PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

  • Judul : PENGGUNAAN Na-SITRAT PADA JENIS TEPUNG YANG BERBEDA DALAM PEMBUATAN BAKSO KERING IKAN MATA GOYANG (Priacanthus tayenus)

    Nama : Bahrudin

    NRP : C34103034

    Menyetujui,

    Pembimbing I Pembimbing II

    Dra. Pipih Suptijah, MBA Mala Nurimala, SPi, MSi NIP. 131 478 638 NIP. 132 315 793

    Mengetahui,

    Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

    Prof.Dr.Ir. Indra Jaya, MSc NIP. 131 578 799

    Tanggallulus:

  • PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

    Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Penggunaan

    Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam Pembuatan Bakso Kering Ikan

    Mata Goyang (Priacanthus tayenus) adalah karya sendiri dan belum diajukan

    dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang

    berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

    dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.

    Bogor, 04 September 2008

    Bahrudin C34103034

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis dilahirkan di Tangerang pada tanggal 14 Mei

    1984, merupakan anak kedua dari dua bersaudara keluarga

    Bapak Sarih dan Ibu Tihaya Bentih. Penulis menyelesaikan

    sekolah di SD Assadatudarain II Pamulang Timur lulus

    tahun 1997, SMP Arraisiyyah Pamulang Barat lulus tahun 2000, SMU Negeri 1

    Pamulang Tangerang lulus tahun 2003. Penulis diterima di IPB pada tahun 2003

    melalui jalur USMI pada Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan.

    Selama menjadi mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis

    aktif berorganisasi menjadi anggota FKM-C (Forum Keluarga Muslim Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan) pada tahun 2003-2004. Penulis pernah menjadi

    asisten mata kuliah Ikhtiologi pada tahun 2005 di jurusan Manajemen

    Sumberdaya Perikanan IPB.

    Dalam menyelesaikan tugas akhir, penulis melaksanakan penelitian yang

    berjudul Penggunaan Na-Sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam

    Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus). Dibawah bimbingan Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Mala Nurimala, SPi, MSi.

  • KATA PENGANTAR

    Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala

    rahmat, hidayah, serta anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

    ini yang berjudul Penggunaan Na-sitrat pada Jenis Tepung yang Berbeda dalam

    Pembuatan Bakso Kering Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus), yang

    merupakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

    pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

    Selama penyusunan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan dan

    masukan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan

    terimakasih kepada:

    1. Ibu Dra. Pipih Suptijah MBA dan Ibu Mala Nurimala SPi, MSi selaku dosen

    pembimbing yang telah memberikan bimbingan, motivasi, saran, dan kritik

    selama penelitian.

    2. Ibu Dr. Tati Nurhayati SPi, MSi dan Bapak Uju Sadi SPi, MSi selaku dosen

    penguji yang telah banyak memberikan saran dan masukan untuk

    kesempurnaan skripsi ini.

    3. Ibu dan Bapak tercinta, kakak, seluruh keluarga besar dan Novita Indah

    Fitriyani atas segala cinta dan kasih sayang-nya, kesabaran, ketegaran, serta

    doa dan jerih payahnya, semoga selalu berada dalam lindungan Allah SWT

    dan sehat walafiat.

    4. Dosen-dosen, TU, dan seluruh civitas akademik THP yang telah membantu

    penulis dalam menyelesaikan studi.

    5. Ibu Diana atas segala kesabarannya dalam membimbing penulis. Pak Basirun,

    Cak Giran, Bu Sisil, Pak Dicky, Mas Hazil, Bu Netty, Pak Susilo, Pak Didik,

    Bu Azrina, Pak Dwi dan seluruh staff Laboratorium Pengolahan yang telah

    memberikan kemudahan dan bantuan selama penelitian di BBP2HP Muara

    Baru.

    6. Mang Karim yang telah mempersiapkan penginapan salama di Muara Baru.

    Teh Nonon yang selalu menyiapkan makan siang selama penelitian.

    7. David, Sigit, Tendi dan Ari cowo, atas kebersamaam dan bantuan selama

    penelitian di Muara Baru.

  • 8. Keluarga Besar Wisma Az-Zahra, Wisma Panggung, Juhli, Indra, Bangun,

    Umam, Jule, Matul, Feri dan Beni.

    9. Keluarga Besar THP 40, Meri, Nono, Hilman, Abdul, Juhli, Dian, Sigit,

    Liany, Novita, Pisuko, Setyo, Fikri, Indrugs, Bangun, Nola, Aal, Deden,

    Tenjo, Angling, Hoe, Rici, Edo, Roedex, Gea, Windo, Tomi, Tendi, Iqbal,

    Wida, Yunita, Ira, Gami, Tobi, Riri, dan semua anak THP 40, 39, 41. Terima

    kasih atas persaudaraan, keceriaan serta cinta kasihnya.

    10. Keluarga Besar THP 39, 41, 42, 43, 44 dan 45 yang tidak dapat disebutkan

    satu persatu, atas kebersamaannya selama ini.

    11. Keluarga Besar Mig33 room IPB BOGOR, Muad, Rae, Yudhi, Ivan, Cydra,

    Indra, Jule, Juhli, Tendi, Henny, Pikah, Mae, Putri dan seluruh keluarga besar

    mig33 room IPB BOGOR yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima

    kasih atas dukungan serta doa kalian sehingga penulis mampu menyelesaikan

    skripsi ini.

    11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi yang

    tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

    Bogor, 04 September 2008

    Bahrudin C34103034

  • DAFTAR ISI

    Halaman

    DAFTAR TABEL .......................................................................................... x

    DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi

    DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii

    1. PENDAHULUAN...................................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1

    1.2 Tujuan.................................................................................................. 3

    2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4

    2.1 Deskripsi Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus) .......................... 4

    2.2 Daging Ikan ......................................................................................... 5

    2.2.1 Protein miofibril......................................................................... 5 2.2.2 Protein sarkoplasma................................................................... 6 2.2.3 Protein jaringan ikat (Stroma) ................................................... 6

    2.3 Surimi .................................................................................................. 6

    2.3.1 Definisi surimi ........................................................................... 6 2.3.2 Bahan tambahan......................................................................... 7

    (1) Garam .................................................................................. 7 (2) Polifosfat.............................................................................. 7 (3) Bahan cryoprotectant .......................................................... 8

    2.3.3 Syarat mutu surimi beku (Standar Nasional Indonesia) ............ 9 2.3.4 Pengaruh pencucian ................................................................... 9 2.3.5 Pembentukan gel ikan................................................................ 10

    2.4 Bakso Ikan........................................................................................... 11

    2.4.1 Definisi bakso ............................................................................ 11 2.4.2 Cara pembuatan bakso ikan ....................................................... 12 2.4.3 Bahan pengisi............................................................................. 14 2.4.4 Bumbu-bumbu ........................................................................... 17 2.4.5 Es atau air es .............................................................................. 17

    2.5 Freeze Dryer (Pengeringan Beku)....................................................... 18

    2.5.1 Proses pembekuan ..................................................................... 18 2.5.2 Proses pengeringan sublimasi.................................................... 19 2.5.3 Pindah panas dan masa .............................................................. 20 2.5.4 Konduktivitas panas................................................................... 22 2.5.5 Permeabilitas air ........................................................................ 23 2.5.6 Konsentrasi dan suhu bahan ...................................................... 23

    2.6 Pengaruh Pembekuan .......................................................................... 23

  • 2.7 Perendaman dan Perlakuan Kimia....................................................... 24

    3. METODOLOGI ........................................................................................ 27

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................. 27

    3.2 Bahan dan Alat .................................................................................... 27

    3.3 Metode Penelitian................................................................................ 28

    3.3.1 Penelitian pendahuluan.............................................................. 28 3.3.2 Penelitian utama......................................................................... 29

    (1) Skema pembuatan surimi pada penelitian pendahuluan...... 30 (2) Skema pembuatan bakso pada penelitian utama ................. 31

    3.4 Metode Analisis Mutu Bakso .............................................................. 31

    3.4.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985) .............................................. 32 3.4.2 Uji fisik ...................................................................................... 32

    (1) Kekuatan gel (Gel strenght) (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi) ........................................................................ 32

    (2) Kekerasan (Hardness) (Ranggana 1986)............................. 32 (3) Derajat putih (Whiteness) (Kett Electric Laboratory 1981

    diacu dalam Nurhayati 1994) ............................................... 32 (4) Uji pelipatan (Folding test) (Suzuki 1981).......................... 33 (5) Uji gigit (Teeth cutting test) (Suzuki 1981)......................... 33 (6) Rasio susut masak (Soeparno 1992).................................... 34 (7) Rasio rehidrasi (Muchtadi dan Andarwulan 1988).............. 34 (8) Protein larut garam (PLG) ( Saffle dan Galbrcath 1964

    diacu dalam Wahyuni 1992) ................................................ 34 3.4.3 Uji Kimia ................................................................................... 35

    (1) Kadar air (AOAC 1995) ...................................................... 35 (2) Kadar abu (AOAC 1996)..................................................... 36 (3) Kadar protein (AOAC 1996) ............................................... 36 (4) Kadar lemak (AOAC 1995)................................................. 37 (5) Kadar karbohidrat (Winarno 1992) ..................................... 37 (6) TVB (Total volatile base) (Official Journal of the European

    Union 2005 diacu dalam BBP2HP 2006) ............................ 38 (7) WHC (Water holding capacity) (Grau dan Hamm 1972

    diacu dalam Wahyuni 1992) ................................................ 38

    3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data ............................................ 39

    3.6 Perlakuan pada Penelitian ................................................................... 40

    4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 41

    4.1 Penelitian Pendahuluan ....................................................................... 41

    4.1.1 Uji kekuatan gel (Gel strenght) ................................................. 41 4.1.2 Derajat putih (Witheness) .......................................................... 43 4.1.3 Protein larut garam (PLG) ......................................................... 45 4.1.4 Uji lipat (Folding test) ............................................................... 46 4.1.5 Uji gigit (Teeth cutting test)....................................................... 47

  • 4.2 Penelitian Utama ................................................................................. 49

    4.2.1 Penelitian utama tahap satu........................................................ 49 (1) Rasio susut masak ................................................................ 49 (2) Rasio rehidrasi ...................................................................... 52 (3) Uji organoleptik.................................................................... 53

    (a) Penampakan.................................................................... 53 (b) Tekstur............................................................................ 54 (c) Warna.............................................................................. 55

    4.2.2 Penelitian utama tahap dua......................................................... 57 (1) Kekuatan gel (Gel strenght) ................................................ 57 (2) Kekerasan (Hardness) ......................................................... 58 (3) WHC (Water holding capacity)........................................... 59 (4) Uji lipat (Folding test) ......................................................... 61 (5) Uji gigit (Teeth cutting test) ................................................ 62 (6) Uji organoleptik................................................................... 63 (7) Kadar proksimat .................................................................. 64

    5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 66

    5.1 Kesimpulan.......................................................................................... 66

    5.2 Saran.................................................................................................... 66

    DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 67

    LAMPIRAN.................................................................................................... 74

  • DAFTAR TABEL

    No Teks Halaman

    1. Spesifikasi persyaratan mutu surimi beku (SNI 1992) .............................. 10

    2. Stabilitas emulsi dari protein larut garam .................................................. 13

    3. Komposisi kimia tepung tapioka................................................................ 15

    4. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain................................... 16

    5. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan .............................................. 16

    6. Nilai mutu uji pelipatan (folding test) ........................................................ 33

    7. Nilai mutu uji gigit (teeth cutting test) ....................................................... 33

  • DAFTAR GAMBAR

    No Teks Halaman

    1. Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus)..................................................... 4

    2. Diagram fase air pada tekanan 610 Pa dan 0C ........................................... 19

    3. Pindah panas dan massa pada bahan selama proses pengeringan beku ....... 21

    4. a. Skema pembuatan surimi pada penetian pendahuluan (Modifikasi Suzuki 1981) ............................................................................. 30

    b. Skema pembuatan bakso pada penelitian utama..................................... 31

    5. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap kekuatan gel kamaboko . 42

    6. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap derajat putih gel kamaboko............................................................................................... 44

    7. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap PLG kamaboko.............. 45

    8. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji lipat kamaboko ......... 47

    9. Diagram pengaruh frekuensi pencucian terhadap uji gigit kamaboko......... 48

    10. Diagram analisis rasio susut masak bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda................................................................................................ 50

    11. Diagram analisis rasio rehidrasi bakso kering beku dari jenis tepung yang berbeda................................................................................................ 53

    12. Diagram nilai rata-rata penampakan bakso kering beku............................. 54

    13. Diagram nilai rata-rata tekstur bakso kering beku ...................................... 55

    14. Diagram nilai rata-rata warna bakso kering beku ....................................... 56

    15. Diagram perbedaan kekuatan gel pada produk bakso kering beku terpilih ........................................................................... 58

    16. Diagram perbedaan kekerasan pada produk bakso kering beku terpilih..... 59

    17. Diagram perbedaan WHC pada bakso kering beku terpilih ....................... 60

    18. Diagram perbedaan uji lipat produk bakso kering beku yang terpilih ........ 61

    19. Diagram perbedaan uji gigit produk bakso kering beku yang terpilih........ 63

    20. Diagram perbedaan organoleptik bakso kering beku terpilih ..................... 64

    21. Diagram perbedaan kadar proksimat pada produk bakso kering beku terpilih .......................................................................... 65

  • DAFTAR LAMPIRAN

    No Halaman

    1. Score sheet organoleptik .............................................................................. 74

    1.a. score sheet uji gigit .............................................................................. 74 1.b. score sheet uji lipat............................................................................... 75 1.c. score sheet organoleptik bakso kering skala hedonik .......................... 76 1.d. score sheet organoleptik bakso basah skala hedonik ........................... 77

    2. Data mentah uji organoleptik ....................................................................... 78

    2.a Data uji gigit kamaboko...................................................................... 78 2.b Data uji lipat kamaboko ...................................................................... 78 2.c Data organoleptik bakso kering .......................................................... 79 2.d Data organoleptik bakso basah ulangan1............................................ 81 2.e Data organoleptik bakso basah ulangan2 ............................................ 81 2.f Data uji gigit bakso basah ................................................................... 82 2.g Data uji lipat bakso basah ................................................................... 82 2.h1 Data organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 1..................... 83 2.h2 Data organoleptik hedonik bakso basah TTT ulangan 2..................... 83 2.i1 Data organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 1..................... 84 2.i2 Data organoleptik hedonik bakso basah TTS ulangan 2..................... 84

    3. Tabel uji statistik .......................................................................................... 85

    3.1 Uji lipat dan kigit Kamaboko................................................................ 85 3.2 Derajat putih kamaboko ........................................................................ 86 3.3 Kekuatan gel kamaboko........................................................................ 87 3.4 Protein larut garam (PLG) kamaboko ................................................... 89 3.5 Rasio rehidrasi....................................................................................... 90 3.6 Rasio susut masak ................................................................................. 91 3.7 Organoleptik bakso kering .................................................................... 93 3.8 Water holding capacity (WHC) ............................................................ 96

  • 1. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Sektor perikanan di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk

    dikembangkan, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat tetapi

    juga untuk kepentingan ekspor. Potensi perikanan Indonesia untuk perikanan laut

    saja diperkirakan sekitar 6,2 juta ton per tahun (Budiyanto dan Djazuli 2003).

    Dari seluruh hasil produksi perikanan Indonesia ternyata sekitar 40 % dari

    jumlah produksi total perikanan Indonesia dijadikan bahan baku untuk produk

    olahan. Sekitar 80 % dari produk olahan tersebut dijadikan produk perikanan

    tradisional seperti ikan asin, ikan kering, ikan asap, dan ikan fermentasi. Sisanya

    sebesar lebih kurang 20 % diproses dengan teknologi modern untuk kepentingan

    ekspor (Dahuri 2003).

    Ikan merupakan bahan pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi yang

    umumnya disukai oleh masyarakat, baik dari golongan ekonomi rendah sampai

    golongan ekonomi tinggi karena harganya yang relatif terjangkau.

    Beberapa keunggulan dari ikan, yaitu proteinnya mengandung jaringan ikat lebih

    sedikit dan kandungan asam amino yang lengkap selain itu asam lemak yang

    dikandungnya merupakan asam lemak tak jenuh.

    Kandungan lemak pada ikan rendah dan asam lemaknya sebagian besar

    merupakan asam lemak tak jenuh ganda terutama asam lemak omega-3 yang

    dapat menurunkan kadar kolestrol, meningkatkan kecerdasan otak dan mencegah

    berbagai penyakit degeneratif. Ikan juga banyak mengandung vitmin A dan

    berbagai sumber mineral yang penting seperti besi, posfor, iodin, kalsium,

    magnesium, selenium, seng dan tembaga (Sudarisman dan Elvina 1996). Ditinjau

    dari segi ekonomi harga daging ikan relatif lebih murah dibandingkan dengan

    daging lainnya sehingga dapat terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.

    Untuk meningkatkan konsumsi ikan maka diperlukan adanya usaha-usaha

    diversifikasi dalam pengolahan produk perikanan sehingga mampu memanfaatkan

    sumber daya perikanan menjadi optimal dan meningkatkan minat masyarakat

    untuk mengkonsumsi ikan. Salah satu bentuk produk diversifikasi yang berbasis

    daging ikan adalah bakso ikan.

  • Bakso ikan merupakan salah satu jenis produk pangan yang terbuat dari

    bahan utama daging ikan yang dilumatkan, dicampur dengan bahan lain, dibentuk

    bulatan, dan selanjutnya direbus (Koswara et al. 2001). Pada dasarnya, hampir

    semua jenis ikan dapat dimanfaatkan dagingnya untuk diolah menjadi bakso

    (Wibowo 2006).

    Bakso ikan memiliki beberapa variasi dalam hal bentuk serta cara

    penyajiannya, salah satu contoh yang akan dilakukan penelitian adalah bakso

    dalam bentuk kering yang memiliki keunggulan lebih awet, lebih mudah dalam

    penyimpanan, bahan pelengkap produk-produk instan dan memiliki potensi yang

    besar untuk dipasarkan. Bakso kering merupakan salah satu produk pangan yang

    telah mengalami proses pengeringan dengan alat freeze dryer sampai diperoleh

    produk akhir bakso kering.

    Bahan baku utama dalam pembuatan bakso kering ini adalah adalah surimi

    dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Ikan mata goyang memiliki nama

    Indonesia swangi/brajanata (Priacanthus tayenus), dengan daerah penyebaranya

    pada perairan indo-pasifik terutama daerah dengan dasar perairan karang batu.

    Ikan ini memiliki ciri-ciri khusus yaitu memiliki mata yang cukup besar, sirip

    dorsal dua buah, bentuk sirip kaudal cagak, warna tubuh merah serta ukurannya

    panjangnya dapat mencapai lebih dari 30 cm (DKP 2008). Menurut data statistik

    perikanan tangkap Indonesia (2006), nilai produksi total ikan mata goyang

    (swangi) pada tahun 2004 sebesar 13.075 ton/tahun dengan kenaikan rata-rata

    pertahun sebesar 16,19 %. Ikan jenis ini merupakan ikan hasil tangkapan samping

    yang pemanfaatannya oleh nelayan kurang, ikan mata goyang biasa digunakan

    sebagai bahan baku pada pembuatan bakso ikan, sosis ikan, nugget ikan dan lain-

    lain.

    Pengetahuan mengenai frekuensi pencucian dalam pembuatan surimi

    merupakan hal yang penting dalam pembuatan bakso ikan, karena pencucian

    memiliki manfaat yang sangat besar dalam meningkatkan kemampuan daging

    membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin dan menurunkan

    protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Lee 1984).

    Penggunaan bahan kimia dalam hal ini Na-sitrat ditujukan untuk mengganggu dan

    menguraikan struktur protein dari tepung yang terdapat dalam bakso sehingga

  • produk yang dihasilkan lebih porous (Gregory 1976 diacu dalam Utomo 1999).

    Keadaan porous pada bahan diharapkan akan mempercepat proses rehidrasi bakso

    kering untuk kembali pada keadaan semula dan memperbesar rasio susut masak.

    1.2 Tujuan

    Penelitian ini bertujuan untuk :

    mengetahui frekuensi pencucian terbaik dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) sebagai bahan baku bakso kering;

    mempelajari pengaruh Na-sitrat pada jenis tepung yang digunakan; mempelajari karakteristik bakso kering ikan mata goyang

    (Priacanthus tayenus).

  • 2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Deskripsi Ikan Mata Goyang (Priacanthus tayenus)

    Klasifikasi ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) menurut Richardson

    1846 dalam www.annual.sp2000.org/show_spesies_detail.php adalah sebagai

    berikut :

    Phylum : Chordata

    Class : Actinopterygii

    Order : Perciformes

    Family : Priacanthidae

    Genus : Priacanthus

    Species : Priacanthus tayenus

    Gambar 1. Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus)

    Ikan mata goyang (Priacanthus tayenus) berbentuk bulat agak memanjang

    dan mata cukup besar dengan bintik hitam pada bagian sirip pectoral. Ikan ini

    hidup pada perairan dangkal dengan kedalaman 150 sampai 200 m lebih pada

    daerah batu karang, kadang-kadang jumlahnya banyak. Ikan ini memiliki sifat

    nokturnal pada perairan dalam dengan memakan zooplankton, cacing polikaeta,

    krustasea dan ikan-ikan kecil. Pada umumnya ikan ini penyendiri, tetapi ada

    beberapa yang membentuk kelompok. Ikan ini dapat tumbuh maksimum

    memcapai 30 cm dan termasuk ikan non-ekonomis penting, daerah

    penyebarannya adalah perairan dengan dasar karang berbatu seperti pada laut

    Arafuru Indonesia (Richardson 1986).

  • 2.2 Daging Ikan

    Bahan baku utama pembuatan bakso ikan adalah daging ikan dari satu atau

    beberapa jenis ikan. Jenis ikan berdaging putih cocok untuk dibuat bakso karena

    selain warnanya yang putih, jenis kandungan aktin dan miosin yang cukup tinggi

    sehingga tekstur bakso yang dihasilkan bagus (Wibowo 2006).

    Menurut Lembaga Pengawasan Makanan dan Obat-obatan Amerika

    Serikat yang dikutip oleh Tranggono dan Sutardi (1990), daging adalah bagian

    dari otot hewan yang secara biokimiawi sangat dekat dengan sifat otot manusia.

    Unit dasar otot adalah serat, multinukleat, sel silindris yang bergabung menjadi

    satu dan dibungkus oleh jaringan penghubung yaitu epimisium. Otot ikan tidak

    banyak memiliki jaringan penghubung seperti pada daging hewan lainnya

    (Tranggono dan Sutardi 1990).

    Pada ikan yang dimaksud daging adalah otot putih yang memiliki kualitas

    protein tinggi. Protein ikan berdasarkan sifat kelarutannya dibagi menjadi tiga

    kelas, yaitu protein larut air, protein larut garam, dan fraksi protein yang tidak

    larut. Protein yang tidak larut umumnya berupa jaringan ikat, protein ini bersifat

    tidak larut walaupun pada cairan dengan kekuatan ion yang tinggi (Watabe 1990).

    2.2.1 Protein miofibril

    Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan daging ikan,

    dimana protein ini bersifat larut dalam larutan garam (Watabe 1990). Protein ini

    terdiri dari miosin, aktin, dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin).

    Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin.

    Protein miofibril berfungsi untuk kontraksi otot. Protein ini dapat

    diekstrak dengan larutan garam netral yang berkekuatan ion sedang (>0,5 M).

    Penampakan miofibril ikan mirip dengan otot hewan mamalia, hanya lebih mudah

    kehilangan aktivitas ATP-asenya dan laju agregasi lebih cepat. Protein miofibril

    sangat berperan dalam pembentukan gel terutama dari fraksi aktomiosin

    (Suzuki 1981).

    Miosin adalah protein paling penting dari semua protein otot, bukan hanya

    karena jumlahnya yang besar (50 %-60 % dari total miofibril) (Shahidi 1994)

    tetapi juga karena mempunyai sifat biologis khusus. Adanya aktivitas enzim

    ATP-ase dan kemampuannya pada beberapa kondisi dapat bergabung dengan

  • aktin membentuk kompleks aktomiosin (Watabe 1990). Aktin merupakan protein

    miofibril yang paling besar kedua setelah miosin di dalam daging ikan, yaitu

    sekitar 20 % dari total protein miofibril (Sahidi 1994).

    2.2.2 Protein sarkoplasma

    Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut air dan secara normal

    ditemukan dalam plasma sel dimana protein tersebut berperan sebagai enzim yang

    diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot dan pembawa oksigen

    (Watabe 1990). Protein sarkoplasma yang mengandung berbagai jenis protein

    yang larut dalam air disebut miogen. Kandungan miogen dalam otot ikan

    tergantung spesiesnya, namun pada umumnya lebih tinggi pada ikan pelagis

    dibandingkan dengan ikan demersal (Suzuki 1981).

    Pencucian dengan air terhadap daging lumat ikan sangat diperlukan untuk

    menghilangkan darah, bau ikan, dan juga membuang protein sarkoplasma yang

    menghalangi kemampuan pembentukan gel.

    2.2.3 Protein jaringan ikat (stroma)

    Protein stroma adalah protein yang membentuk jaringan ikat. Protein

    stroma ini tidak dapat diekstrak dengan larutan asam, alkali, atau garam

    berkekuatan tinggi (Sahidi 1994).

    Protein stroma penting dalam industri pengolahan pangan karena stroma

    memiliki sifat yang mengganggu sifat fungsional daging, yaitu menyebabkan

    menurunnya kapasitas emulsi daging dan mengganggu water holding capacity

    daging. Disamping itu protein stroma memiliki nilai gizi yang rendah karena

    mengandung sedikit asam amino essensial (Pomeranz 1991).

    2.3 Surimi

    Surimi merupakan salah satu produk perikanan yang memiliki potensi

    yang besar untuk dikembangkan. Surimi dapat dibuat dari berbagai jenis ikan

    dengan tahapan proses tertentu.

    2.3.1 Definisi surimi

    Surimi merupakan daging lumat yang dibersihkan dan dicuci berulang-

    ulang sehingga sebagian besar komponen bau, darah, pigmen, dan lemak hilang.

  • Jika disimpan, surimi disimpan dalam bentuk beku dengan menambahkan bahan

    antidenaturasi (cryoprotectant) (Peranginangin et al. 1999)

    Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun demikian,

    ikan berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai

    kemampuan membentuk gel yang bagus akan menghasilkan surimi yang lebih

    baik (Peranginangin et al. 1999).

    Selama proses pembuatan surimi faktor utama yang perlu diperhatikan

    adalah suhu air pencuci dan penggilingan daging ikan. Jumlah protein larut air

    yang hilang selama pencucian tergantung pada suhu air pencuci karena akan

    berpengaruh terhadap kekuatan gel. Suhu air yang lebih tinggi dari 15 oC akan

    lebih banyak melarutkan protein larut air. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika

    hancuran daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10 C-15 oC (Schwarz dan

    Lee 1988 diacu dalam Andini 2006).

    2.3.2 Bahan tambahan

    Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan atau diberikan

    dengan maksud dan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi

    nilai gizi, cita rasa, untuk mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk,

    tekstur dan rupa (Winarno et al. 1980). Jenis-jenis bahan yang ditambahkan

    dalam pembuatan surimi adalah garam, gula, dan polifosfat.

    (1) Garam

    Pada pembuatan surimi penambahan garam sebanyak 0,2 %-0,3 % selama

    proses leaching memudahkan penghilangan air dari daging ikan yang telah

    dilumatkan (Ditjen Perikanan Tangkap 1990). Fungsi yang paling utama dalam

    penambahan garam ini adalah untuk melepaskan miosin dari serat-serat ikan yang

    sangat penting untuk pembentukan jeli yang kuat. Selain itu juga digunakan

    sebagai bumbu, penyedap rasa, dan penambah aroma, tapi jika digunakan dengan

    kadar yang cukup tinggi dapat mengubah cita rasa makanan.

    (2) Polifosfat

    Polifosfat yang digunakan dalam pembuatan bakso adalah natrium

    tripolifosfat (STTP). Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan

  • dengan miosin. Miosin dan poliposfat akan berikatan dengan air dan menahan

    mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan

    polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan

    kapiler (Irianto 1987 diacu dalam Haryati 2001).

    Penambahan bahan polifosfat bertujuan untuk menambah nilai kelembutan

    dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan.

    Polifosfat meskipun bukan berfungsi sebagai cryoprotectant tetapi perlu

    ditambahkan untuk memperbaiki daya ikat air (WHC) dan memberikan sifat pasta

    yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi. Biasanya polifosfat

    ditambahkan sebanyak 0,2 %-0,3 % dalam bentuk garam natrium tripolifosfat

    (Peranginangin et al. 1999).

    (3) Bahan cryoprotectant

    Cryoprotectant adalah bahan yang biasa digunakan dalam pembuatan

    surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan

    disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Cryoprotectant

    digunakan untuk menghambat proses denaturasi protein selama pembekuan dan

    penyimpanan beku. Bahan yang dapat menginaktifkan kondensasi dengan cara

    mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen disebut cryoprotectant.

    Cryoprotectant meningkatkan kemampuan air sebagai energi pengikat, mencegah

    pertukaran molekul-molekul air dari protein, dan menstabilkan protein (Zhou

    et al. 2006).

    Fungsi cryoprotectant adalah sebagai zat antidenaturan. Cyoprotectant

    dibutuhkan untuk meminimalisasi denaturasi protein selama masa penyimpanan

    beku (Pipatsattayanuwong et al. 1995). Penambahan polifosfat dapat

    menyebabkan surimi tahan disimpan selama lebih dari satu tahun (Lee 1984).

    Penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan tingkat N-aktomiosin dari

    350 mg% menjadi 520 mg% dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi

    489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score)

    (Peranginangin et al. 1999).

    Denaturasi protein mengakibatkan lapisan molekul protein bagian dalam

    yang bersifat hidrofobik terbalik keluar dan bergabung dengan fase cair

    (Wong 1989). Proses hidrasi hidrofobik ini menghasilkan energi bebas positif.

  • Perubahan energi bebas positif ini akan meningkatkan permukaan protein.

    Permukaan protein yang lebih luas ini secara termodinamik tidak stabil dari pada

    bentuk yang tidak terdenaturasi (Hultin 1985 diacu dalam Fennema 1985). Proses

    hidrofobik ini dapat dicegah dengan antidenaturan, khususnya gula.

    Gula mempunyai grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul

    air oleh ikatan hidrogen, sehingga dapat meningkatkan tegangan permukaan dan

    mencegah keluarnya molekul air dari protein, dan stabilitas protein tetap terjaga

    (Whistler et al. 1985 diacu dalam Fennema 1985). Dalam pembuatan surimi

    digunakan sukrosa sebagai pelindung protein karena dapat mencegah denaturasi

    protein selama masa pembekuan.

    2.3.3 Syarat mutu surimi beku (Standar Nasional Indonesia)

    Syarat mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu

    bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan,

    bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain

    yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan (Standar

    Nasional Indonesia 1992). Persyaratan mutu surimi beku terdapat pada Tabel 1.

    Secara organoleptik bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran

    sekurang-kurangnya sebagai berikut:

    a. Rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jensi ikan

    b. Bau : segar spesifik jenis

    c. Daging : elastis dan kompak

    d. Rasa : netral agak manis

    2.3.4 Pengaruh pencucian

    Pada proses pembuatan surimi, pencucian merupakan tahapan yang paling

    penting khususnya untuk ikan-ikan yang mempunyai kemampuan membentuk gel

    yang rendah, serta berdaging merah. Pencucian surimi bertujuan untuk

    melarutkan lemak, darah, enzim, dan protein sarkoplasma yang dapat

    menghambat pembentukan gel ikan. Pengaruh pencucian dalam pembuatan

    surimi selain berfungsi untuk mendapatkan warna daging yang putih, juga untuk

    menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel

    (Suzuki 1981).

  • Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara

    5 C-10 oC (Suzuki 1981). Pencucian dengan air dapat menunjang kemampuan

    membentuk gel (ashi) dan menghambat denaturasi protein akibat pembekuan.

    Protein yang hilang selama proses pencucian dapat mencapai 25 %. Air pencuci

    yang berkesadahan tinggi justru dapat merusak tekstur dan mempercepat

    terjadinya degradasi lemak, sedangkan bila menggunakan air laut atau air garam

    kehilangan proteinnya akan semakin tinggi (Irianto 1990).

    Tabel 1. Spesifikasi persyaratan mutu surimi beku (SNI 1992)

    Jenis uji Satuan Persyaratan mutu a) Organoleptik

    nilai min.

    7 a) cemaran mikroba

    ALT, maks E. coli, maks Coliform, maks Salmonella *) Vibrio

    Cholerae*)

    Koloni/gram APM/gram APM/gram Per 25 gram Per 25 gram

    5 x 105

  • kenaikan suhu, perlahan-lahan sol aktomiosin berubah membentuk gel suwari hal

    ini disebabkan oleh terbentuknya struktur jala yang didominasi oleh ikatan

    hidrofobik akibat suhu setting kemudian terjadi perusakan gel suwari pada suhu

    sekitar 60 oC dimana peristiwa ini disebut modori, yaitu proses pelunakan gel

    (Suzuki 1981) yang kemudian setelah suhu diatas 70 oC, terbentuklah gel

    kamaboko.

    2.4 Bakso Ikan

    Bakso merupakan salah satu panganan berbentuk bulat yang berisi daging.

    Produk ini merupakan salah satu produk yang paling banyak disantap orang

    karena rasanya yang lezat, bergizi tinggi, dapat disantap dengan dan dalam

    keadaan apapun serta sangat mudah diterima oleh semua kalangan.

    2.4.1 Definisi bakso

    Bakso adalah produk olahan ikan atau daging yang telah dihaluskan

    kemudian diberi bumbu dan tepung lalu dibentuk bulat (Sudarisma dan Elvina

    1996). Daging yang akan dibuat harus sesegar mungkin. Daging yang telah

    mengalami penyimpanan akan menghasilkan bakso yang rendah baik mutu

    maupun rendemennya (Winarno dan Rahayu 1994).

    Bakso merupakan produk pangan yang terbuat dari bahan utama daging

    yang dilumatkan, dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatan-

    bulatan, dan selanjutnya direbus. Berbeda dengan sosis, bakso dibuat tanpa

    mengalami proses curing, pembungkusan maupun pengasapan (Koswara et al.

    2001).

    Bakso merupakan salah satu bentuk produk emulsi yang mencengkram air

    dan minyak dengan baik. Emulsi daging memiliki karakteristik yang sama

    dengan emulsi minyak dalam air, dalam hal ini lemak berfungsi sebagai fase

    diskontinyu dan air sebagai fase kontinyu. Komponen daging yang berperan

    dalam produk bakso adalah protein khususnya protein yang bersifat larut garam,

    terutama aktin dan miosin (Kramlich 1971). Fungsi protein daging dalam bakso

    adalah sebagai bahan pengikat hancuran daging selama pemanasan dan sebagai

    emulsifier sehingga produk menjadi empuk, kompak dan kenyal (Winarno dan

    Rahayu 1994). Kemampuan protein sebagai bahan pengemulsi tergantung pada

  • konsentrasi protein, kecepatan pencampuran jenis lemak, sistem emulsi, dan jenis

    emulsi (Carpenter dan Saffle 1965). Kemampuan daya ikat sebagai akibat

    perlakuan fisik atau kimia (Siegel dan Scmidth 1979).

    2.4.2 Cara pembuatan bakso ikan

    Pembuatan bakso terdiri dari persiapan bahan, penghancuran daging,

    pencampuran bahan dan pembuatan adonan, pencetakan dan pemasakan.

    Persiapan bahan meliputi pemilihan daging dan penyiangan bahan tambahan

    lainnya. Daging bisa dipilih yang segar, bersih atau dibersihkan dari lemak

    permukaan dan jaringan ikat atau urat (Koswara et al. 2001).

    Penghancuran daging bertujuan untuk memecah serabut daging, sehingga

    protein yang larut dalam larutan garam akan mudah keluar (Koswara et al. 2001).

    Pada proses pencincangan perlu ditambahkan es atau air sebanyak 20 % dari berat

    adonan agar menghasilkan emulsi yang baik dan mencegah kenaikan suhu akibat

    gesekan (Winarno dan Rahayu 1994). Temperatur yang tinggi hingga lebih dari

    22 C akan mengakibatkan pecahnya emulsi sehingga lemak dan air akan terpisah

    selama pemasakan akibat terdenaturasinya protein (Wilson 1981).

    Penghancuran daging untuk bakso dapat dilakukan dengan cara memecah,

    menggiling, atau mencincang sampai lumat. Pembentukan adonan dapat

    dilakukan dengan mencampur seluruh bagian bahan kemudian menghancurkannya

    sehingga membentuk adonan atau menghancurkan daging bersama-sama garam

    dan es batu terlebih dahulu, baru kemudian dicampurkan bahan-bahan lainnya

    (Koswara et al. 2001). Suhu adonan tidak boleh melebihi 20 C.

    Pencetakan dilakukan dengan cara adonan dibentuk bulatan-bulatan

    dengan ukuran yang dikehendaki. Pembulatan dapat dilakukan dengan

    menggunakan mesin atau dengan cara menggunakan tangan yang dibentuk dengan

    sendok (Wibowo 2006).

    Pemanasan menyebabkan molekul protein terdenaturasi dan mengumpul

    membentuk satu jaring-jaring. Hanya protein yang larut dalam garam yang

    berperan dalam pembentukan gel. Diantara protein miofibril, miosin dan

    aktomiosin yang menghasilkan emulsi yang paling stabil, seperti yang dapat

    dilihat pada Tabel 2.

  • Tabel 2. Stabilitas emulsi dari protein larut garam

    No Protein pH Kekuatan Ion Stabilitas Emulsi

    1 Miosin 8 0,35 >4 minggu

    2 Sarkoplasma 7 0,35 12 jam

    3 Aktomiosin 6,7 0,35 >3 minggu

    4 Aktin 7,2 0,35

  • bakso bertujuan untuk membentuk struktur yang kompak, kenyal, dan padat

    sebagai akibat koagulasi protein dan gelatinisasi pati.

    2.4.3 Bahan pengisi

    Bahan pengisi merupakan merupakan fraksi bukan daging yang biasanya

    ditambahkan dalam pembuatan produk emulsi daging, seperti bakso dan sosis.

    Fungsi bahan pengisi adalah memperbaiki sifat emulsi daging, mereduksi

    penyusutan selama pemasakan, memperbaiki sifat fisik dan citarasa, serta

    menurunkan biaya produksi. Jenis bahan pengisi yang biasa ditambahkan pada

    proses pembuatan bakso adalah tepung berpati, misalnya tepung tapioka, tepung

    gandum, dan tepung sagu. Tepung pati tidak dapat mengemulsikan lemak tetapi

    memiliki kemampuan dalam mengikat air karena mampu menahan air selama

    proses pengolahan dan pemanasan.

    Penggunaan tepung pati dalam pembuatan bakso untuk konsumsi rumah

    tangga biasanya 4 %-5 % dari berat daging, sedangkan pada pembuatan

    komersial, penambahan tepung berkisar antara 50 %-100 % dari berat daging.

    Hal ini dimaksudkan untuk menekan biaya produksi dan mengurangi harga bakso.

    Penambahan tepung terlalu tinggi akan menutup rasa daging sehingga rasa bakso

    kurang disukai konsumen (Koswara et al. 2001). Bakso yang bermutu kadar

    patinya kira-kira 15 % (Winarno dan Rahayu 1994). Agar bakso lezat, tekstur

    bagus dan bermutu tinggi, jumlah tepung yang digunakan sebaiknya sekitar

    10 %-15 % dari berat daging (Wibowo 2006).

    Tepung pati yang biasa digunakan dalam pembuatan bakso yaitu tepung

    tapioka dan tepung sagu. Tepung tapioka merupakan pati (amilum) yang

    diperoleh dari umbi kayu segar (Manihot utilissima Phol atau Manihot usculenta

    crants) setelah melalui cara pengolahan tertentu (DSN 1994). Tapioka

    mengandung amilosa sebesar 17 % dan amilopektin sebesar 83 %. Amilosa (larut

    dalam air panas) memiliki struktur lurus dengan ikatan (1,4) D-glukosa,

    sedangkan amilopektin (tidak larut dalam air panas) memiliki struktur bercabang

    dengan ikatan (1,6) D-glukosa. Fraksi amilosa bertanggung jawab atas

    keteguhan gel. Sedangkan perbandingan antara kandungan amilosa dan

    amilopektin dan semakin kecil kandungan amilosa bahan yang digunakan, maka

    semakin lekat produk olahannya (Winarno 1997). Tapioka memiliki banyak

  • kelebihan sebagai bahan baku karena harganya relatif murah, dapat memberikan

    dekstrin dengan kelarutan yang baik, citarasa netral, dan menyebabkan warna

    terang pada produk. Komposisi kimia tepung tapioka dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Komposisi kimia tepung tapioka

    Unsur Gizi Komposis (%)

    Kadar Air 12

    Kadar Abu 0,3

    Kadar Protein 0,5

    Kadar Lemak 0,3

    Kadar Karbohidrat 86,9 *Sumber: Direktorat Gizi (1995)

    Tepung sagu berasal dari tanaman sagu yang merupakan salah satu tanaman

    yang pertama kali digunakan oleh penduduk Asia Tenggara dan Oceania sebagai

    bahan pangan. Pati merupakan komponen kimia terbesar pada batang sagu. Pati

    sagu diperoleh dari proses ekstraksi inti batang (empulur) tanaman sagu. Empulur

    batang sagu mengandung 20,2 %- 29 % pati, 50,66 % air dan 13,8 %-21,3 %

    bahan lain atau ampas (Flach 1983). Dihitung dari berat kering, empulur batang

    sagu mengandung 54 %-60 % pati dan 40 %-46 % ampas. Untuk membebaskan

    granula pati dari jaringan pengikatnya membutuhkan perombakan dinding sel

    melalui pemarutan atau penggilingan menggunakan air sebagai pelarut.

    Pati sagu mengandung 27 % amilosa dan 73 % amilopektin (Flach 1983).

    Pati sagu mengandung 27,4 % amilosa dan 72,6 % amilopektin. Perbandingan

    amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat

    gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih

    basah, lengket, dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan

    amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lekat, dan mudah menyerap air

    (higroskopis) (Wirakartakusumah et al. 1984).

    Pati sagu memiliki granula berbentuk oval dengan ukuran yang cukup

    besar yaitu 20 mikron sampai 60 mikron (Cecil et al. 1982). Pati sagu juga

    mempunyai suhu gelatinisasi yang cukup tinggi yaitu sekitar 69 C. Pati sagu

    memiliki granula berbentuk elips agak terpotong dengan ukuran granula sebesar

  • 20 mikron sampai 60 mikron dan suhu gelatinisasi berkisar antara 60 C-72 C

    (Knight 1989). Karakteristik pati sagu dibandingkan dengan beberapa jenis pati

    lain dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Karakteristik pati sagu dan beberapa jenis pati lain

    Jenis pati Bentuk Granula

    Ukuran granula (m)

    Kandungan Kisaran suhu gelatinisai (C)

    amilosa amilopektin

    Sagu Ellips 20-60 27 73 60-70

    Beras Poligonal 3-8 17 89 61-78

    Jagung Poligonal 5-25 26 74 62-74

    Kentang Bulat 15-100 24 76 56-69

    Tapioka Oval 5-35 17 83 52-64

    Gandum Ellips 2-35 25 75 52-64

    Ubi jalar Poligonal 16-25 18 82 58-74 *Sumber: Knight (1989)

    Pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein.

    Kandungan kalori sagu relatif besar yaitu 333 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda

    dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan

    RI 1990). Komposisi kimia pati sagu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 5.

    Tabel 5. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan

    Komponen Jumlah

    Kalori (kkal) 353

    Protein (g) 0,7

    Lemak (g) 0,2

    Karbohidrat (g) 84,7

    Air (g) 14,0

    Fosfor (mg) 13

    Kalsium (mg) 11

    Besi (g) 1,5 *Sumber: Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)

  • 2.4.4 Bumbu-bumbu

    Bumbu-bumbu yang umumnya digunakan dalam pembuatan bakso ikan

    adalah garam, bawang merah, bawang putih, dan Monosodium Glutamat (MSG).

    Bawang merah dan bawang putih berfungsi sebagai antioksidan, sedangkan garam

    berfungsi sebagai pemberi rasa pada bakso, pelarut protein, pengawet, dan

    meningkatkan daya ikat air dari protein daging. Pemakaian garam dalam

    pembuatan bakso berkisar antara 5 sampai 10 % dari berat daging. Penggunaan

    garam yang semakin meningkat (0 sampai 6 %) mengakibatkan semakin tingginya

    protein yang terlarut. Penambahan MSG umumnya berkisar antara 1,0 sampai

    2,5 % dari berat daging (Koswara et al. 2001).

    Garam dapur dan MSG sama-sama memiliki fungsi sebagai pemberi rasa

    pada produk bakso. Bakso sebaiknya tidak menggunakan penyedap masakan

    MSG atau vetsin sebagai gantinya digunakan campuran kombinasi antara bawang

    putih dengan merica sebesar 2 % dari berat daging atau campuran antara bawang

    merah, bawang putih, dan jahe dengan perbandingan 15:3:1 (Wibowo 2006).

    Penggunaan tepung merica yang berbintik-bintik gelap sebaiknya tidak digunakan

    karena akan menyebabkan bakso menjadi berbintik-bintik gelap.

    2.4.5 Es atau air es

    Tekstur dan keempukan produk bakso dipengaruhi oleh kandungan airnya.

    Penambahan air pada adonan bakso diberikan dalam bentuk es batu atau air es,

    supaya suhu adonan selama penggilingan dan ekstraksi protein berjalan dengan

    baik. Dalam adonan, air berfungsi untuk melarutkan garam dan menyebarkannya

    secara merata keseluruh bagian masa daging, memudahkan ekstraksi protein dari

    daging dan membantu dalam pembentukan emulsi. Air ditambahkan sampai

    adonan mencapai tekstur yang dikehendaki. Jumlah penambahan air biasanya

    berkisar antara 20 sampai 50 % dari berat daging yang digunakan. Jumlah

    penambahan ini dipengaruhi oleh jumlah tepung yang ditambahkan (Koswara

    et al. 2001).

  • 2.5 Freeze Dryer (Pengeringan Beku)

    Pengeringan beku (freeze drying) adalah salah satu metode pengeringan

    yang mempunyai keunggulan dalam mempertahankan mutu hasil pengeringan,

    khususnya untuk produk-produk yang sensitif terhadap panas.

    2.5.1 Proses pembekuan

    Proses pembekuan pada pengeringan beku akan menentukan hasil akhir

    produk yang dikeringkan. Laju pembekuan yang digunakan akan menentukan

    porositas produk kering beku yang dihasilkan. Pembekuan cepat akan

    menghasilkan produk kering beku yang mempunyai pori lebih kecil, karena laju

    perpindahan panas dari sistem berlangsung cepat sehingga dihasilkan kristal es

    yang kecil tersusun secara merata pada jaringan. Pembekuan lambat akan

    menyebabkan terbentuknya kristal es yang besar yang tersususn pada ruang

    antar sel dengan ukuran pori-pori yang besar dan ukuran pori yang dihasilkan

    akan berbanding lurus dengan suhu yang digunakan pada proses pembekuan

    (Heldman dan Singh 1981).

    Fennema dan Powrie (1964) menyatakan bahwa ada 4 faktor yang

    mempengaruhi laju pembekuan bahan pangan, yaitu (1) beda suhu antara produk

    dengan medium pendingin, (2) cara pindah panas ke dalam produk dan di dalam

    produk, (3) ukuran, bentuk dan tipe kemasan, (4) ukuran, bentuk, dan sifat

    termofisik bahan yang dibekukan.

    Liapis dan Bruttini (1995) mengatakan bahwa proses pengeringan beku

    melibatkan tiga tahap berikut :

    (a) Tahap pembekuan; pada tahap ini bahan pangan atau larutan didinginkan

    hingga suhu di mana seluruh bahan menjadi beku.

    (b) Tahap pengeringan utama; di sini air dan pelarut dalam keadaan beku

    dikeluarkan secara sublimasi. Dalam hal ini tekanan ruang harus kurang

    atau mendekati tekanan uap kesetimbangan air di bahan baku. Karena bahan

    pangan atau larutan bukan air murni tapi merupakan campuran bersama

    komponen-komponen lain, maka pembekuan harus dibawah 0 C dan

    biasanya dibawah -10 C atau lebih rendah, untuk tekanan kira-kira

    2 mmHg atau lebih kecil. Tahap utama ini berakhir bila semua air beku

    telah tersublim.

  • (c) Tahap pengeringan sekunder; tahap ini mencakup pengeluaran uap air hasil

    sublimasi atau air terikat yang ada di lapisan kering. Tahap pengeringan

    sekunder dimulai segera setelah tahap pengeringan utama berakhir.

    2.5.2 Proses pengeringan sublimasi

    Pengeringan beku merupakan suatu teknik pengeringan pada bahan dalam

    keadaan beku yang dilakukan pada tekanan rendah (Slade 1967). Pada

    pengeringan beku, bahan yang akan dikeringkan terlebih dahulu dibekukan dan

    pada tekanan yang rendah kandungan air bahan yang berupa es akan langsung

    menjadi uap yang dikenal dengan istilah sublimasi. Proses sublimasi dilakukan

    pada suhu dan tekanan di bawah titik triple, yaitu pada kondisi suhu di bawah

    0 C dan tekanan dibawah 610 Pa. Hubungan antara tekanan dan suhu yang juga

    merupakan diagram fase air dapat dilihat pada Gambar 2.

    Gambar 2. Diagram fase air pada tekanan 610 Pa dan suhu 0 C

    Menurut Harper et al. (1962) untuk merubah fase es pada bahan menjadi

    fase uap diperlukan panas sebesar panas laten sublimasi, yaitu sekitar 666

    kalori/gram es. Panas ini dapat diperoleh dari suhu lingkungan atau dari sumber

    panas dari luar bahan. Pada pengeringan beku secara komersial, panas untuk

    sublimasi diperoleh dengan menempatkan lempeng pemanas didalam ruang

    pengering dan uap air yang terbentuk ditarik dengan pompa vakum yang

    dilengkapi dengan kondensor untuk menangkap uap air pada proses sublimasi.

    Selanjutnya Harper et al. (1962), menyatakan bahwa proses pengeringan

    terjadi keseimbangan antara aliran uap yang keluar dari bahan dan panas yang

  • masuk ke dalam bahan. Gerakan uap air dapat terjadi oleh adanya gerakan

    hidrodinamik akibat adanya perbedaan tekanan parsial uap air. Jika tekanan total

    pada ruang vakum lebih kecil dibandingkan dengan tekanan uap es pada bahan

    tersebut, maka proses difusi sangat kecil dibandingkan dengan aliran

    hidrodinamik.

    Pada tekanan total yang tinggi perbedaan tekanan antara permukaan

    sublimasi dengan permukaan lapisan kering biasanya sangat kecil dan aliran uap

    air terjadi secara difusi. Karena koefesien difusi bervariasi secara berlawanan

    terhadap tekanan total, maka laju aliran uap air menurun jika tekanan totalnya

    naik. Tekanan uap air ini tidak boleh lebih dari tekanan kesetimbangan sublimasi

    uap es pada bahan yang dikeringkan beku. Pada suhu 0 C, tekanan

    kesetimbangan ini adalah 4,6 mmHg atau 610 Pa, untuk menjaga agar bahan yang

    dikeringkan berada pada fase beku maka suhunya harus dibawah 0 C.

    2.5.3 Pindah panas dan massa

    Dalam pengeringan beku terdapat dua macam pindah panas yang dominan,

    yaitu pindah panas secara radiasi dan pindah panas secara konduksi, sedangkan

    pindah panas secara konveksi sangat kecil sehingga dapat diabaikan. Pindah

    panas secara radiasi berlangsung dari pelat pemanas ke permukaan bahan yang

    dikeringkan, sedangkan pindah panas secara konduksi berlangsung dari

    permukaan lapisan kering ke permukaan sublimasi.

    Radiasi merupakan proses pindah panas dimana panas secara langsung

    pindah dari satu bagian ke bagian lain yang terpisah oleh radiasi elektromagnetik,

    yang umumnya terjadi pada suhu tinggi sedangkan pindah panas secara konduksi

    adalah perpindahan panas di dalam suatu bahan yang satu dengan bahan lainnya

    yang terjadi karena perubahan energi kinetik diantara molekul-molekulnya tanpa

    melibatkan perpindahan dari molekul tersebut (Heldman dan Singh 1981).

    Pada proses pengeringan akan terdapat tiga lapisan pada bahan, yaitu

    lapisan beku yang terdapat pada bagian dalam bahan, lapisan kering yang terdapat

    pada bagian permukaan bahan dan lapisan transisi yang merupakan permukaan

    sublimasi seperti pada Gambar 3. Selama proses pengeringan beku, permukaan

    sublimasi akan bergerak ke bagian dalam dan lapisan kering yang berada pada

    bagian luar akan semakin tebal.

  • Gambar. 3 Pindah panas dan massa pada bahan selama proses pengeringan beku

    Panas yang digunakan untuk sublimasi merambat melewati lapisan kering

    bahan menuju kepermukaan sublimasi secara konduksi. Jika suhu lapisan beku

    dan suhu permukaan bahan tetap, maka laju panas yang masuk ke dalam bahan

    akan seimbang dengan laju uap air yang keluar dari bahan yang dikeringkan. Laju

    aliran panas yang besar akan dapat menaikan suhu lapisan beku sampai tekanan

    uapnya cukup besar besar untuk meningkatkan aliran uap air untuk keluar sampai

    kepada permukaan lapisan kering.

    Menurut Harper et al. (1962), secara prinsip pada pengeringan beku, panas

    yang masuk dapat dinaikan sampai bahan beku mulai akan mencair, tetapi karena

    lapisan kering merupakan penghantar panas yang buruk (isolator), maka panas

    tidak dapat merambat secara maksimal. Pada proses pindah panas konduksi ini

    terjadi dua kondisi, yaitu kondisi aliran mantap (steady state) dan kondisi aliran

    tidak mantap (unsteady state). Jika panas yang masuk ke dalam bahan sama

    dengan panas yang keluar melalui uap air, maka suhu pada beberapa titik pada

    bahan pangan tidak tergantung pada waktu dan kondisi ini disebut steady state.

    Sebaliknya jika panas yang masuk tidak sama dengan panas yang keluar dan

    kandungan panas bahan berubah terhadap waktu, maka hal tersebut menunjukkan

    keadaan tidak mantap atau keadaan unsteady state (Frank 1986).

    Menurut Lombrana dan Izkara (1996), variabel kontrol yang paling

    penting dalam pengeringan beku adalah tekanan dalam ruang pengering, dimana

    tekanan ini dapat mempengaruhi pindah panas secara konduksi ke permukaan

    sublimasi dan aliran uap dari permukaan sublimasi ke permukaan lapisan kering.

    Konduktifitas panas pada lapisan kering akan semakin tinggi dengan semakin

  • tingginya tekanan di dalam ruang pengering sampai pada tekanan di bawah titik

    tripel. Sebaiknya difusifitas uap air pada lapisan kering akan semakin kecil

    dengan semakin tingginya tekanan dalam ruang pengering. Tekanan dalam ruang

    pengering juga menentukan suhu lapisan beku bahan, semakin rendah tekanan

    semakin rendah pula suhu lapisan beku.

    Lama pengeringan pada pengeringan beku dipengaruhi oleh kandungan air

    bahan, ketebalan bahan, suhu dan tekanan dalam ruang pengering. Suhu

    pengeringan ditentukan oleh ketahanan bahan terhadap panas, misalnya terhadap

    kandungan gula, asam dan komponen volatilnya. Pada pengeringan beku, suhu

    pengeringan ditetapkan pada jangkauan suhu yang dapat mencegah atau

    mengurangi kehilangan kandungan gula, asam dan komponen volatilnya

    (Desrosier 1988).

    Menurut Lombrana dan Izkara (1996), simulasi pada pengeringan beku

    hanya dapat dilakukan jika pengetahuan tentang koefesien pindah panas dan

    fenomena transpor dan hubungannya dengan kondisi pengering dapat dikuasai.

    Koefesien pindah panas ini harus dilakukan dengan percobaan dengan mengukur

    massa air yang menguap pada suhu dan tekanan yang telah diatur dengan baik.

    Pengukuran suhu pada permukaan sublimasi menjadi lebih sulit karena

    pergerakan permukaan sublimasi tersebut dan merupakan faktor kesalahan yang

    utama dalam menentukan koefesien pindah panas.

    2.5.4 Konduktivitas panas

    Konduktivitas panas bahan merupakan sifat bahan yang menunjukan

    mudah tidaknya bahan tersebut untuk merambatkan panas. Semakin besar nilai

    konduktivitas panasnya, maka semakin mudah pula bahan tersebut untuk

    melewatkan energi panas (Kamil 1983). Secara umum nilai konduktivitas panas

    suatu bahan sudah tertentu, apabila ditelaah lebih lanjut nilai konduktivitas panas

    ini dapat dipengaruhi oleh suhu bahan tersebut.

    Panas yang dialirkan secara konduksi melalui medium berpori yang berupa

    gabungan antara bahan padat dan gas, secara teori kinetik menunjukan bahwa

    konduktivitas panas dari gas tidak tergantung kepada tekanan jika jarak rata-rata

    antara molekul gas lebih kecil jika dibandingkan dengan dimensi dari ruang pori.

    Kondisi ini tidak terjadi pada bahan yang berpori, karena perubahan tekanan akan

  • mempengaruhi konduktivitas panas gas dan akan mempengaruhi konduktivitas

    panas bahan.

    2.5.5 Permeabilitas air

    Pada tekanan yang tinggi, aliran gas yang melalui medium yang berpori

    akan mengikuti Hukum Darcy yang sama dengan Hukum Poiseulle sebagaimana

    aliran viskos yang melewati suatu tabung. Harper et al. (1962) menyetakan

    bahwa pada tekanan yang rendah, perbandingan jarak rata-rata antar molekul

    menjadi nyata terhadap diameter pori bahan dan kondisi ini dikenal sebagai slip

    flow, dimana keadaan ini terdapat slip aliran gas sepanjang permukaan yang padat

    dan kecepatannya akan semakin besar dari aliran viskos biasa.

    2.5.6 Konsentrasi dan suhu bahan

    Konsentrasi bahan yang dikeringkan dengan pengeringan beku

    mempunyai pengaruh yang besar terhadap karakteristik pengeringan. Suhu bahan

    (suhu permukaan) sangat berperan dalam proses pengeringan beku, jika suhu

    permukaan bahan semakin tinggi maka laju dari permukaan bahan ke permukaan

    sublimasi akan semakin besar. Menurut Wenur (1997), suhu permukaan dan

    tekanan memberi pengaruh terhadap lama pengeringan beku udang. Semakin

    tinggi suhu permukaan bahan dan semakin rendah tekanan (tekanan ruang

    vakum), maka pengeringan akan semakin singkat.

    2.6 Pengaruh Pembekuan

    Pembekuan dan penyimpanan beku akan meningkatkan pengembangan

    molekul-molekul pati melalui ikatan hidrogen. Proses ini akan melepaskan air

    yang terdapat dalam sistem gel. Pemerasan setelah proses thawing akan

    meningkatkan padatan yang berstruktur mikrosponge. Setelah proses

    pengeringan, padatan kering yang porous ini dapat dengan cepat tergelatinisasi

    pada waktu rehidrasi dengan air panas. Proses pembekuan dilakukan untuk

    menghasilakan sifat porositas yang tinggi sehingga waktu rehidrasi menjadi lebih

    singkat (Anjani et al. 2001).

    Perubahan nyata dalam proses pembekuan adalah kehilangan struktur yang

    mempengaruhi struktur kristal es yang besar. Seperti retrogradasi, pembentukan

    kristal es yang besar disebabkan karena proses pembekuan yang lambat.

  • Freeze drying rice mengakibatkan kernel terbuka lebih lebar dan ini dapat

    direhidrasi dalam beberapa menit tanpa pendidihan (Kobs 2000).

    Kandungan amilosa memegang peranan penting dalam mengontrol laju

    retrogradasi pati. Retrogradasi terjadi lebih lambat pada amilopektin daripada

    amilosa dan laju ini sangat cepat terjadi pada suhu 32 F (Kobs 2000).

    Pembekuan pada suhu 0 C (32 F) selama 1 sampai 3 jam dapat

    menghasilkan struktur kristal es yang besar, proses ini memecahkan struktur

    koloid pati dan menghasilkan struktur kernel yang porous. Produk yang

    dihasilkan dapat dengan cepat menyerap air pada tahap pemasakan kembali.

    2.7 Perendaman dan Perlakuan Kimia

    Bila pati mentah dimasukkan ke dalam air dingin maka akan terjadi

    penyerapan air dan pengembangan garanula pati. Namun demikian jumlah air

    yang dapat diserap dan pengembangan granula pati ini terbatas. Jumlah air yang

    dapat diserap berkisar antara 26 % dari berat awal beras (Winarno 1997). Hanya

    sebagian kecil air yang dapat masuk kebagian yang tidak beraturan pada granula

    pati (Osman 1972). Ikatan-ikatan intermolekul yang kuat pada bagian kristal pati

    tidak dapat menyerap air dan menahan pengembangan granula pati selanjutnya.

    Perendaman meningkatkan keseragaman masuknya air pemasakan ke

    dalam butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk ke dalam butir beras

    tergantung pada lamanya waktu perendaman dan suhu air perendaman. Smith

    et al. (1985) menyatakan bahwa perembesan air ini memperkecil kecendrungan

    butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan osmotik pada butir beras selama

    pemasakan, dimana pati mulai terlepas ke dalam air pemasakan, waktu

    perendaman optimum untuk penyerapan air oleh beras dan pengembangan volume

    beras pada suhu 26,3 C (suhu kamar) adalah 2 jam.

    Perendaman dapat dilakukan dengan menggunakan larutan kimia, seperti

    yang dijelaskan oleh Hubeis (1984), dilakukan dengan merendam beras dalam

    larutan Na2HPO4 0,2 % selama 18 jam. Pemberian garam natrium mengakibatkan

    struktur fisik beras pasca tanak lebih porous, sehingga proses penyerapan air akan

    lebih cepat pada waktu perendaman maupun pada waktu rehidrasi. Penambahan

    fospat sebagai senyawa yang mengion pada produk yang berasal dari pati dapat

    mengakibatkan granula pati produk tersebut tahan terhadap retrogradasi selama

  • pendinginan dan peningkatan suhu setelah pendinginan. Produk ini akan

    memiliki derajat putih yang tinggi, kapasitas pengikatan air yang tinggi dan tidak

    dapat membentuk gel. Pemberian garam phospat pada pembuatan mie terutama

    ditujukan untuk menjaga kestabilan tekstur, bentuk dan meningkatkan daya serap

    air tanpa merusak bentuk pada mie.

    Kalsium phospat dan kalsium khlorida memudahkan penyerapan air oleh

    pati dan meningkatkan warna putih pada produk beras, tetapi pengaruh kalsium

    phospat lebih nyata dari pada kalsium khlorida (Cox dan Cox 1975). Zat kimia

    yang dapat memodifikasi struktur protein dari beras adalah garam sitrat, antara

    lain magnesium sitrat, sodium sitrat dan kalsium sitrat. Garam sitrat ini tidak

    banyak berpengaruh bila digunakan tersendiri, oleh karena itu untuk

    menghasilkan beras instan yang diinginkan, penggunaan garam sitrat dilakukan

    bersama dengan perlakuan pemanasan (Gregory 1976 diacu dalam Utomo 1999).

    Perendaman beras dalam larutan Na-sitrat akan mengganggu dan menguraikan

    struktur protein beras, sehingga butiran menjadi porous. Sodium sitrat juga

    digunakan dalam pembuatan dry soup untuk mempercepat waktu rehidrasi.

    Perendaman dalam larutan asam sitrat dapat menyebabkan produk menjadi lebih

    jernih, bahkan dapat menghambat terjadinya proses ketengikan. Diperoleh

    kesimpulan bahwa perendaman dalam larutan 1 persen larutan Na-sitrat dan

    Ca(H2PO4) (1:1) selama 2 jam merupakan hasil terbaik dalam pembuatan bubur

    nasi kering (Mulyana 1988).

    Pati bila dipanaskan akan mengalami gelatinisasi dan proses ini

    merupakan proses yang kompleks. Pada beras, dengan adanya proses gelatinisasi

    maka akan terjadi leaching dari amilosa dan hilangnya bentuk kristal. Untuk

    mencegah hal tersebut, maka waktu pemanasan dapat ditambahkan bahan-bahan

    kimia (Suliantari 1988).

    Asam natrium pirofospat merupakan preservative, sekuestran dan buffer,

    dimana keasamannya sedang dengan pH berkisar 4,1. Senyawa ini akan larut

    dalam air, dengan tingkat kelarutan 15 g dalam 100 ml pada suhu 25 C dan

    digunakan pada pembuatan donat dan biskuit untuk pelepasan gas selama

    pembuatan adonan dan proses pembakaran. Selain itu juga, pada produk ikan

    kalengan digunakan untuk mengurangi level dari strutive crystals (magnesium

  • ammonium phosphate hexahydrat) yang tidak diinginkan. Senyawa ini digunakan

    juga sebagai pengkelat metal pada proses pembuatan kripik kentang (Igoe dan Hui

    1996).

    Sodium sitrat merupakan buffer dan sekuestran. Sodium sitrat anhidrous

    mempunyai kelarutan dalam air sebesar 57 g dalam 100 ml air pada suhu 25 C,

    sedangkan sodium sitrat dihidrat mempunyai kelarutan dalam air sebesar 65 g

    dalam 100 ml ai pada suhu 25 C. Senyawa ini digunakan sebagai buffer pada

    pembuatan minuman berkarbonasi dan untuk mengontrol pH pada pembuatan

    minuman serta dapat meningkatkan whipping properties pada cream dan menjaga

    emulsifikasi dan solubilitas protein pada pembuatan keju. Pada pembuatan dry

    soup, senyawa ini digunakan untuk meningkatkan rehidrasi sehingga mengurangi

    waktu pemasakan. Sodium sitrat berfungsi juga sebagai sekuestran pada

    pembuatan pudding serta sebagai agen pengkompleks besi, kalsium, magnesium

    dan alumunium (Igoe dan Hui 1996).

  • 3. METODOLOGI

    3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2007

    di Laboratorium Kimia dan Mikrobiologi Balai Besar Pengembangan dan

    Pengendalian Hasil Perikanan, jalan Muara Baru Ujung Penjaringan Jakarta Utara,

    Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, dan

    Laboratorium Teknologi Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

    3.2 Bahan dan Alat

    Bahan yang dipergunakan pada penelitian ini ada 3 (tiga) jenis yaitu bahan

    utama, bahan pendukung dan bahan analisa bakso. Bahan utama bakso ini adalah

    ikan mata goyang (Priacanthus tayenus); bahan pendukung dalam pembuatan

    bakso antara lain garam, lada, bawang merah, bawang putih, tepung tapioka,

    tepung sagu (rose brand 500 g), backing soda (cap koepoe-koepoe) dan air es;

    sedangkan bahan analisa bakso antara lain chloroform, tablet katalis, K2SO4,

    CuSO4/CuSO4. 5H2O, H2SO4 pekat, H2O2, H3BO3, aquades, NaOH, Na2S2O3.

    5H2O, HCl, indikator merah metil, asam perklorat, NaOH, H3BO4, Na2B4O7,

    silicon antifoaming agent, indikator fenolftalein, indikator tashiro.

    Alat-alat yang dipergunakan dalam pembuatan bakso kering ikan mata

    goyang ada 2 (dua) jenis yaitu alat pembuat surimi antara lain talenan, ember,

    pisau, kain penyaring, sendok, grinder, food processor, timbagan analitik, kertas

    timbang, alat pengepres surimi, baskom, sealer dan meat bone separator;

    sedangkan alat untuk analisa bakso antara lain alat pengukur tekstur Analyser

    TAX2i Stable Micro System , whiteness meter, oven, cawan, desikator, cawan

    porselin, tanur, labuh kjehdahl, destilasi, erlenmeyer, kondensor, soxhlet,

    timbangan, pH meter Inolab, freeze drier, crusible, spatula, alat penjepit, neraca

    analitis, pemanas listrik, labu bulat, selongsong lemak, kertas saring, rotary

    evaporator, labu destruksi, buret dan statip, pipet volumetrik, pipet tetes, blender,

    beaker glass, labu takar, corong, dan kertas saring.

  • 3.3 Metode Penelitian

    Metode penelitian dibagi menjadi dua bagian yaitu penelitian pendahuluan

    untuk mencari frekuensi pencucian terbaik untuk surimi dan penelitian utama

    untuk menentukan jenis bakso kering terbaik berdasarkan beberapa pengujian.

    3.3.1 Penelitian pendahuluan

    Penelitian pendahuluan ditujukan untuk mendapatkan frekuensi pencucian

    terbaik terhadap surimi dari ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Pembuatan

    surimi dimulai dengan ikan disiangi dengan cara dibuang bagian isi perut, kepala

    serta sisik ikan dan kemudian ikan dicuci bersih pada air mengalir lalu dilakukan

    pem-fillet-an pada ikan tersebut dan daging ikan bisa didapatkan dengan cara

    diambil/dikerok menggunakan sendok atau menggunakan meat bone separator

    untuk memisahkan antara daging dengan kulit ikan. Daging ikan digiling

    kemudian dicuci sebanyak 1, 2 atau 3 kali dalam bak atau ember. Suhu pencucian

    dipertahankan pada 5-10 C. Setelah proses pencucian ikan dipres sampai kadar

    air lebih kurang 80-82 %. Langkah selanjutnya adalah proses penapisan (strainer)

    untuk menghilangkan sisa-sisa sisik, serat-serat dan duri-duri yang tertinggal.

    Untuk mendapatkan surimi dengan mutu baik selanjutnya ditambahkan gula

    2-3 % dan polifosfat 0,2 % dengan tujuan untuk mencegah penurunan mutu

    selama proses penyimpanan. Setelah surimi jadi, kemudian diuji derajat putih dan

    PLG (Protein Larut Garam). Surimi kemudian ditambahkan garam 2,5 % lalu

    dilumatkan pada alat food processor sampai terbentuk sol. Untuk mengetahui

    mutu surimi ini maka dibuat kamaboko. Proses pembuatan kamaboko adalah

    pencetakan surimi di dalam selongsong. Setelah dicetak dilakukan proses

    pemanasan pada suhu 40 C selama 20 menit dan pada suhu 90 C selama 30

    menit sehingga terbentuk kamaboko. Setelah terbentuk ini dilakukan pengujian

    organoleptik, seperti uji lipat dan uji gigit, serta uji kekuatan gel (gel strenght).

    berdasarkan pengujian maka ditentukan frekuensi pencucian terbaik dari surimi

    ikan mata goyang (Priacanthus tayenus). Skema pembuatan surimi pada

    penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 4.

  • 3.3.2 Penelitian utama

    Langkah-langkah pembuatan bakso kering dalam penelitian utama adalah

    surimi terbaik ditambahkan bumbu-bumbu sampai merata dengan menggunakan

    food processor, kemudian ditambahkan tepung dengan konsentrasi 12,5 %

    dimana jenis tepung yang digunakan ada dua jenis yaitu tepung tapioka dan

    tepung sagu. Selanjutnya pada kedua jenis tepung tersebut diberikan dua

    perlakuan dengan masing masing terdapat satu kontrol yang tidak diberi Na-sitrat

    1 %. Perlakuan tersebut adalah penambahan Na-sitrat 1 % pada adonan bakso dan

    perendaman bakso dalam larutan Na-sitrat 1 %. Setelah terbentuk 6 (enam) jenis

    bakso, kemudian bakso dimasukkan ke dalam alat pengering freeze dryer sampai

    didapatkan produk kering. Setelah jadi produk kering kemudian diuji organoleptik

    skala hedonik terhadap kesukaan bakso, uji rasio rehidrasi serta uji rasio

    penyusutan bakso kering, sehingga didapatkan produk terpilih atau terbaik

    kemudian bakso dimasak kembali lalu diuji seperti uji organoleptik skala hedonik,

    uji lipat dan gigit, uji kekerasan, WHC, serta proksimat. Skema pembuatan bakso

    pada penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 4b.

  • Gambar 4a. Skema pembuatan surimi pada penelitian pendahuluan *(Modifikasi Suzuki 1981)

    Penyiangan

    Pencucian pada suhu 5-10 C

    Pemfilletan dan penggilingan daging

    Pencucian 1, 2 atau 3 kali - Rasio Akuades : Daging giling = 4:1

    - Suhu 5-10C - Waktu 15 menit

    - Penambahan 0,3 % b/v NaCl pada pencucian terakhir

    Pemerasan dan penapisan

    Pengujian derajat putih dan PLG

    - Penambahan 2,5 % b/b NaCl - Mixing

    - Pencetakan - Pemanasan

    1. pada suhu 40C selama 30 menit 2. pada suhu 90C selama 20 menit (Suhu Setting)

    Kamaboko Pengujian lipat dan gigit

    serta kekuatan gel

    Daging giling

    Penambahan Gula 3 % b/b STTP 0,2 % b/b

    Ikan mata goyang

    Surimi

  • Jenis Tepung Perlakuan

    Tepung Tapioka (TT) Tepung Sagu (TS)

    Kontrol (K) KTT KTS

    Rendam (R) RTT RTS

    Tambah (T) TTT TTT

    (*) suhu 40C;20 menit dan 90C;20 menit

    Gambar 4b. Skema pembuatan bakso pada penelitian utama

    3.4 Metode Analisis Mutu Bakso

    Pengujian terhadap produk bakso meliputi uji organoleptik, seperti

    penampakan, tekstur, aroma dan rasa; uji fisik meliputi uji kekuatan gel,

    kekerasan, derajat putih, uji pelipatan, uji gigit, rasio rehidrasi dan rasio

    susut masak; sedangkan uji terakhir adalah uji kimia yang meliputi kadar protein,

    air, lemak, abu dan karbohidrat serta Total Volatile Base (TVB), Protein Larut

    Garam (PLG) dan Water Holding Capacity (WHC).

    Penambahan bumbu (garam 2,6 % b/b, lada 0,25 % b/b,bawang merah 1 % b/b,

    bawang putih 0,5 % b/b, baking soda 0,1 % b/b, air 20-30 % v/b)

    Bakso

    Uji hedonik, uji lipat dan gigit, kekuatan gel dan kekerasan, WHC serta proksimat

    Dilakukan pemasakan bakso kering terpilih

    Freeze dryer 110 jam

    Pengujian -Hedonik -% Rehidrasi -% Susut masak

    Surimi terbaik

    Bakso kering

    Bakso terpilih/terbaik

  • 3.4.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985)

    Uji organoleptik dilakukan dengan menggunakan penilaian. Penilaian

    organoleptik dengan skala hedonik yang ditransfer dalam bentuk angka, meliputi

    penampakan, tekstur, aroma dan rasa.

    3.4.2 Uji fisik

    Uji fisik yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji kekuatan gel,

    uji kekerasan, uji derajat putih, uji lipat dan uji gigit.

    (1) Uji kekuatan gel (Gel Strenght) (Shimizu et al. 1992 yang telah dimodifikasi)

    Uji kekuatan gel bakso dilakukan dengan alat pengukur tekstur

    Analyser TAX2i Stable Micro System. Contoh bakso diberi tekanan dengan beban

    50 Kg. Contoh bakso dipotong-potong membentuk balok, kemudian diletakan

    pada meja penahan dan ditekan dengan penahan jenis anvil sampai ketebalan

    3 mm. Nilai kekuatan ditentukan dengan satuan kg/mm/luas penekan.

    (2) Uji kekerasan (Hardness) (Ranggana 1986)

    Uji kekerasan bakso secara objektif dilakukan dengan menggunakan alat

    Rheoner RE 3305. Sampel diletakkan di atas meja penahan dan ditekan dengan

    penahan anvil yang memiliki berat 50 kg hingga sampel pecah. Tinggi puncak

    tertinggi dibagi dengan panjang kurva disaat grafik mulai meningkat sampai titik

    akhir memperlihatkan nilai kekerasan bakso, dinyatakan dalam satuan g.cm.

    (3) Uji derajat putih (Whiteness) (Kett Electric Laboratory 1981 diacu dalam Nurhayati 1994)

    Pengujian derajat putih dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut

    Whiteness meter. Alat ini merupakan alat analisis warna secara objektif untuk

    mengukur refleksi warna pada permukaan produk. Alat ini menggunakan sistem

    hunter, dimana produk yang akan diukur derajat putihnya dicari warna dasarnya

    terlebih dahulu dengan cara mencocokan warna sampel dengan atribut warna yang

    ada pada alat whiteness meter. Setelah diketahui nilai kecerahannya, kemudian

    sampel produk diletakkan pada alat penembak. Dengan jalan memijat tombol

    pada penembak, maka akan terlihat notasi angka yang menggambarkan

    penyerapan warna produk yang dianalisis.

  • (4) Uji pelipatan (Folding test) (suzuki 1981)

    Sampel diiris setebal 3-5 mm, kemudian diletakan pada telunjuk. Sampel

    dilipat untuk mengamati adanya keretakan terdiri. Kriteria mutu dalam

    hubungannya dengan uji pelipatan disajikan pada Tabel 6.

    Tabel 6. Nilai mutu uji pelipatan (Folding test)

    Uji Lipat Nilai

    Tidak retak jika dilipat empat AA

    Sedikit retak jika dilipat empat A

    Sedikit retak jika dilipat dua B

    Retak tapi masih menyatu jika dilipat dua C

    Retak seluruhnya jika dilipat dua D *Sumber: Suzuki (1981)

    (5) Uji gigit (Teeth cutting test) (Suzuki 1981)

    Uji ini memberikan taksiran secara objektif dengan melatih 10 orang

    panelis. Pengujian dilakukan dengan cara memotong atau menggigit sample

    antara gigi seri atas dan bawah. Sampel yang diuji memiliki ketebalan 5-6 mm

    dan berdiameter 12 mm. Nilai atau skor sebagai atribut pengujian dalam

    hubungan dengan uji potong atau gigit dapat dilihat pada Tabel 7.

    Tabel 7. Nilai mutu uji gigit (teeth cutting test)

    Nilai Sifat Kekenyalan Nilai Sifat Kekenyalan

    10 Amat sangat kuat 5 Dapat diterima, agak kenyal

    9 Sangat kuat 4 Kekenyalannya lemah

    8 Kuat 3 Kekenyalannya lemah, agak

    lunak

    7 Cukup kuat 2 Kekenyalannya sangat

    lemah, lunak

    6 Dapat diterima 1 Hancur/mushy, sangat lunak *Sumber: Suzuki (1981)

  • (6) Rasio Susut Masak (Soeparno 1992)

    Penentuan rasio susut masak dilakukan dengan menimbang berat bakso

    sebelum pengeringan, dimana mula-mula bakso disobek menjadi 4 (empat) bagian

    kemudian disusun teratur dalam rak pengering beku. Selanjutnya setelah tersusun

    rapih, bakso dikeringkan selama 4 hari pada suhu -50 C dengan tekanan 5 Hg,

    setelah 4 hari kemudian bakso dikeluarkan dan ditimbang berat bakso setelah

    dikeringkan dalam freeze dryer. Berat yang hilang (Penyusutan berat) selama

    pemasakan atau yang juga lazim disebut cooking loss dapat diketahui dengan

    perhitungan sebagai berikut :

    %susutmasak= 100xnpengeringasebelumberat

    npengeringasesudahberatnpengeringasebelumberat

    (7) Rasio Rehidrasi (Muchtadi dan Andarwulan 1988)

    Bakso yang telah dikeringkan dalam Freeze dryer ditimbang, kemudian

    bakso kering dimasak menggunakan air pada suhu 80 C-90 C selama 7 sampai

    15 menit kemudian diangkat dan ditiriskan di atas kawat kasa selama 5 menit pada suhu ruang (25 C sampai 28 C) setelah tiris, kemudian ditimbang kembali

    beratnya. Rasio rehidrasi dapat dihitung dengan persamaan berikut :

    % rasio rehidrasi = 100xrehidrasisebelummassasegarbaksomassa

    rehidrasisebelummassarehidrasisesudahmassa

    (8) Protein Larut Garam (PLG) (Saffle dan Galbrcath 1964 diacu dalam Wahyuni

    1992)

    Penentuan pro