bahan bacaan blok ggn respirasi

77
Rhinitis Alergika Pengertian rinitis alergi Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE. Klasifikasi rinitis alergi Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu: 1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis) 2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial) Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

Upload: rizkan-mulyadi

Post on 03-Dec-2015

255 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

grtyiubfsdsd

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Rhinitis Alergika

Pengertian rinitis alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien

atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu

mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,

1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis

alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat

setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

Klasifikasi rinitis alergi

Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)

2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)

Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,

Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan

rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,

yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.

2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:

1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,

berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.

2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al,

2001).

Etiologi

Page 2: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam

perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis

alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada

dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti

urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari

klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan

rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang

tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides

farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan

binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai

tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi

merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan

memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau

aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

• Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,

serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.

• Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,

ikan dan udang.

• Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan

lebah.

• Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya

bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).

Patofisiologi rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan

diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic

reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen

sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)

Page 3: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan

dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang

berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang

menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen

pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC

kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper

(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan

mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai

sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel

limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah

akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

Page 4: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan

sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang

sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya

dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed

Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT

C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-

CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut

sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan

rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan

sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.

Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang

ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). pada RAFC, sel mastosit juga akan

melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di

jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan

mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis

dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa

hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony

Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau

hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya

seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic

Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang

merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,

2008).

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran

sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan

membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

Page 5: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,

mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang

tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi

jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan

masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:

1. Respon primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan

dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut

menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem

imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada

tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem

imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.

3. Respon tersier

Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat

sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi

anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks

imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan

jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati,

Kasakayan, Rusmono, 2008).

Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :

Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya

bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan

sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan

sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap

Page 6: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis

(Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar

(lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda

hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintang pada tengah punggung hidung

akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat

dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai

dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti

konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi

membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda

faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda

laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA

Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,

masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa

orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur

(Harmadji, 1993).

Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.

Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah

terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan

banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak

air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama

atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).

Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,

identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi

rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat

ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5

kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,

dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

Page 7: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

2. Pemeriksaan Fisik

Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap

di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain

itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian

sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung

tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna

pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat

adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.

Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya

seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula

pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai

normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain

rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan

RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay

Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap

berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi

makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,

2002).

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan

atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan

untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang

bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta

dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji

Page 8: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan

diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari

tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai

diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada

diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika

gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).

Penatalaksanaan rinitis alergi

1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2. Simptomatis

a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara

inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang

paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam

kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi

dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non

sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah

otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat

simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan

atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal

hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat

berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal

(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat

antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena

aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b. Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka

inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai

AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

Page 9: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan

hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya

berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

Komplikasi rinitis alergi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:

a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi

sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia

epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif,

terutama pada anak-anak.

c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.

Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan

sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal

tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan

menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh

mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin

parah (Durham, 2006).

Page 10: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Pneumonia

1. Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)

(Silalahi. L, 2004). Menurut Fauzi (2006) pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan

oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Selanjutnya,

menurut Price dan Wilson (2006) pneumonia adalah peradangan akut parenkim paru yang

biasanya berasal dari suatu infeksi. Sedangkan menurut Sudoyo.A.W, dkk (2006) Pneumonia

adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang

mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan

gangguan pertukaran gas setempat.

2. Etiologi

Penyebab paling sering pneumonia didapat dari masyarakat dan nosokomial (Price dan

Wilson, 2006). Adapun pembagian dari masing-masing penyebab tersering pneumonia dari

masyarakat antara lain adalah : Streptococus pneumonia, mycoplasma pneumonia, haemophilus

influenza, legionella pneumophilia, clhamydia pneumonia, anaerob oral (aspirasi), influenza tipe

A dan B, dan adenovirus. Sedangkan dari nosokomial antara lain adalah : basil usus gram negatif

(misal, escherichia coli, klobsiella pneumonia), pseudomonas aeruginosa, staphylococus aureus,

dan anaerob oral (aspirasi).

3. Patofisiologi

Streptococus pneumonia

Respon peradangan

Edema alveolar

Pembentukan exudate

Alveoli dan bronkiolus terisi cairan exudat, sel darah dan fibrin bakteri

Pneumonia

Dari bagan diatas terlihat adanya gangguan terminal pada jalan nafas dan alveoli oleh

mikroorganisme patogen yaitu bakteri Streptococus pneumonae, Staphylococcus aureus.

Page 11: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Kemudian terdapat infiltrate yang biasanya mengenai pada multiple lobus. Terjadinya destruksi

sel dengan menanggalkan debris cellular ke dalam lumen, yang mengakibatkan gangguan fungsi

alveolar dan jalan nafas. Pada anak, kondisi ini dapat akut dan kronik misalnya AIDS, Cystic

Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan resiko pneumonia.

(Suryadi dan Yulianti. R, 2001).

4. Patogenesis

Pneumonia dapat terjadi akibat menghirup bibit penyakit di udara atau kuman ditenggorokan

terhisap masuk ke paru-paru. Penyebaran juga bisa melalui darah dari luka tempat lain, misalnya

dikulit. Jika melalui saluran nafas, agen (bibit penyakit) yang masuk akan dilawan oleh berbagai

sistem pernafasan tubuh manusia, misalnya dengan batuk-batuk atau oleh perlawanan sel-sel

pada lapisan lendir tenggorokan, hingga gerakan rambut-rambut halus (silia). Untuk

mengeluarkan mukus (lendir) tersebut keluar. Tentu itu semua tergantung besar kecilnya ukuran

penyebabnya (Ranuh, 2006).

Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor, yaitu :

a.       Keadaan (immunitas) inang.

b.      Mikroorganisme yang menyerang pasien, dan

c.       Lingkungan yang berinteraksi satu sama lain (Sudoyo, 2006),

Menurut Price dan Wilson (2006), pneumoccocus masuk kedalam paru-paru melalui

jalan pernafasan secara percikan (droplet) mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru sering

terkena efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka pneomoccocus menimbulkan respon khas

yang terdiri dari empat tahap berurutan yaitu :

a.       Stadium Kongesti (4 sampai 12 jam pertama)

Eksudat serosa masuk kedalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.

b.      Stadium Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)

Paru-paru tampak merah dan bergranula (hepatisasi = seperti  hepar) karena sel-sel darah merah,

fibrin, dan leukosit polimorfonuklear mengisi alveoli.

c.       Stadium Hepatisasi Kelabu (3 sampai 8 hari)

Paru-paru tampak kelabu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang

terserang

d.      Stadium Resolusi (7 sampai 11 hari)

Page 12: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada

strukturnya semula.

5. Gejala Umum

Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului infeksi saluran nafas atas akut selama

beberapa hari, selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40

derajat celcius, nyeri dada, dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning

hingga hijau. Pada sebagian penderita juga menemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu

makan, sakit kepala, nyeri otot, kelemahan, muntah-muntah, tekanan atau stress, dan

mengeluarkan bunyi yang abnormal ketika bernafas (Arief. N, 2006).

6. Diagnosa

Setelah mengetahui gejala klinis dan kelainan fisik melalui pemeriksaan fisik masih diperlukan

pemeriksaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Hal ini perlu untuk memperkuat

diagnosis apakah seorang mengidap pneumonia atau tidak, kelainan yang tampak pada foto

rontgen penderita pneumonia dapat berupa bercak putih setempat atau tersebar diseluruh paru,

ataupun gambaran lainnya bila terdapat komplikasi pneumonia. Gambaran foto rontgen itu

kadang dapat dibedakan dengan penderita tuberkulosis (TB) yaitu gambaran bercak putih

dibagian atas paru. Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan laboratorium berupa

pemeriksaan hitung sel darah tepi, pemeriksaan terhadap kuman

(mikrobiologi), ataupun pemeriksaan lainnya. Pada penderita pneumonia, jumlah leukosit (sel darah

putih) dapat melebihi batas normal (10.000/µL). (Arief N, 2006). Pengambilan sputum/dahak juga

diperlukan guna dibiakan sehingga mengetahui mikroorganisme penyebab pneumonia, dan obat apa

saja yang tepat untuk mikroorganisme tersebut. Pengambilan sputum dilakukan dengan cara

dibatukkan ataupun didahului proses perangsangan (induksi) untuk mengeluarkan dahak dengan

menghirup NaCL 3%. Selain itu dahak dapat diperoleh dengan menggunakan alat tertentu (misalnya,

protective brush, semacam sikat untuk mengambil sputum pada saluran nafas bawah). Sputum yang

telah diambil dimasukkan kedalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak itu segera (tidak boleh lebih

dari 4 jam) dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan.

Page 13: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya insiden pneumonia pada anak balita yaitu : umur,

jenis kelamin, status gizi, riwayat BBLR, status imunisasi, status pemberian ASI, polusi udara,

kepadatan hunian, membedong anak (menyelimuti berlebihan), defisiensi vitamin A (Prabu, 2009).

Sedangkan faktor yang meningkatkan angka kematian pada pneumonia yaitu : umur kurang dari 2

bulan, tingkat sosio ekonomi rendah, kurang gizi, BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat

jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai,

menderita penakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah

(Depkes RI, 2002).

8. Klasifikasi

Menurut WHO (2003), klasifikasi pneumonia dibagi atas :

a.       Pneumonia sangat berat

Tanda klinisnya adalah : batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan sianosis sentral,

tidak dapat minum dan disertai penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam  (severe chest

indrawing).

b.      Pneumonia berat

Tanda klinisnya adalah : berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu  dengan baik), kejang rasa

kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi’, demam (38º c

atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (dibawah 35,5º c), pernapasan cepat 50 kalipermenit

atau lebih, batuk atau kesulitan bernafas tanpa disertai sianosis sentral, grunting, serangan apnea,

distensi abdomen, dapat minum, dan disertai penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

pada waktu anak menarik nafas (severe chest indrawing).

c.       Pneumonia

Tanda klinisnya adalah : batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa penarikan dinding dada dan

disertai pernafasan cepat. Batas nafas cepat ialah untuk usia kurang 1 tahun aalah 50 kali per

menit atau lebih dan untuk usia 1-4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.

d.      Bukan Pneumonia (batuk atau pilek biasa)

Tanda klinis adalah : batuk (atau kesulitan bernafas), tanpa pernafasan cepat, atau tanpa

penarikan dinding dada, dan tidak tanda-tanda pneumonia.

e.       Pneumonia persisten

Page 14: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Tanda klinisnya adalah : penarikan dinding dada, frekuensi pernafasan yang tinggi, dan demam

ringan. Penyebab yang mungkin adalah tuberkulosis, pneumonia clhamedia, dan pneumonia

pneumokistik.

9. Pencegahan penyakit pneumonia

Menurut Dinkes DKI (2005) Pencegahan penyakit Pneumonia dapat dilakukan dengan cara

meningkatkan tahap menjaga kesehatan, seperti : pemberian ASI eksklusif, menjauhi tempat yang

sesak dan berdebu, mengutamakan tempat tinggal yang bersih, pengadaan rumah dengan ventilasi

yang memadai, perbaikan lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat. Peningkatan gizi balita

dengan pemberian nutrisi yang baik, istirahat yang cukup, dan menghindari kontak dengan

penderita, menghindari pajanan asap rokok, asap dapur dan asap kendaraan bermotor, menutup

hidung dan mulut dengan sapu tangan ketika batuk dan bersin, pemberian imunsasi DPT dan

campak sesuai jadwal, dan penderita yang sakit harus berobat dan menghindari kontak dengan

orang sehat.

Vaksinasi dapat membantu mencegah sebagian jenis bakteri pada golongan anak-anak dan

golongan dewasa yang berisiko. Vaksin yang diberikan adalah :

a.       Suntikan Pneumococal untuk mencegah pneumonia yang disebabkan oleh streptoccus

pneumonia.

b.      Vaksin influenza

c.       Vaksin Hib untuk mencegah pneumonia yang disebabkan oleh influenza haemopilus jenis B.

Vaksin ini diberikan pada bayi dan anak-anak yang berusia diantara 2 sampai 15 bulan (Fauzi,

2006)..

Selain itu, vaksin pnumococcal polusaccharide mampu memberi pertahanan terhadap kuman

streptococcus pneumonia, bakteri yang dikenal pasti sebagai penyebab meningitis dan radang

paru-paru. Vaksin itu juga untuk mencegah pneumonia yang disebabkan oleh kuman

streptococcus pneumonia dikalangan anak-anak berusia 2 tahun keatas dan orang tua yang

mengalami penyakit-penyakit kronik(Fauzi, 2006).

10. Penatalaksanaan pneumonia

Menurut WHO (2003) penatalakasanaan pnumonia terdiri dari :

a. Pneumonia sangat berat

Page 15: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Penatalaksanaannya melalui cara :

1)      Rawat dirumah sakit

2)      Berikan oksigen

3)      Terapi antibiotik dengan cara memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam.

Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi

kloramfenikol oral. Berikan kloramfenikol paling selama 10 hari. Jika kloramfenikol tidak

tersedia, berikan benzilpensilin ditambah dengan golongan aminoglikosida (contohnya,

gentamisin). Kloramfenikol juga efektif untuk meningitis bakterialis, yang dapat terjadi pada

anak dengan pneumonia. Diduga pneumonia stafilokokus jika terdapat tanda perburukan klinis

walaupun diberikan pengobatan dengan kloramfenikol, atau hasil foto rontgen dada

memperlihatkan gambaran pneumatokel atau empiema. Pneumonia stafilokokus sebaiknya

diobati dengan kloksasilin (atau fluklosasilin, oksasilin, nafsilin, atau methisilin) ditambah

gentamisin , paling sedikit diberikan selama 3 minggu

4)      Obati demam dengan cara efektif dengan memberikan parasetamol.

Beri parasetamol jika suhu aksila lebih dari 39ºc,  kecuali pada bayi muda : 10 sampai 15 mg per

kg berat badan per oral, setiap 6 jam. Menyeka dengan air suam-suam kuku atau air dingin

sebaiknya tidak dilakukan karena hal tersebut akan meningkatkan konsumsi oksigen dan

meningkatkan produksi karbon dioksida yang dapat menyebabkan kegagalan pernapasan pada

anak yang menderita pneumonia

5)      Obati mengi dengan memberikan bronkodilator kerja singkat (seperti salbutamol yang diuapkan)

kemudian nilai responnya setelah 15 menit jika diperlukan, pemberiannya dapat diulang.

6)      Perawatan suportif melalui :

a). Makanan, dimana anak dengan pneumonia berat dapat mengalami kesulitan makan karena adanya

pernafasan cepat atau sulit bernafas. Anjurkan anak untuk sering makan-makanan ringan dan

tetap terus minum ASI. Membiarkan ibu tetap tinggal bersama anaknya dirumah sakit

merupakan hal yang penting dan jangan memaksa anak untuk makan.

b). Cairan, peningkatan kehilangan cairan terjadi selama infeksi pernafasan akut, khususnya jika

terdapat pernafasan cepat atau demam. Kehilangan cairan dari paru terutama terdiri dari air. Oleh

karena itu, untuk mengganti cairan pada anak tanpa disetai diare. Berikan ASI, air bersih, minum

susu, dan cairan lain yang berkadar garam rendah.

Page 16: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

c). Sekresi, karena banyak bayi yang tidak dapat bernafas dengan normal melalui mulut, sumbatan

pada hidung yang padat menyebabkan gawat pernafasan dan kesulitan pemberian ASI. Gunakan

spuit plastik (tanpa jarum) untuk menghisap dengan hati-hati adanya secret hidung jika

diperlukan untuk menghasilkan jalan nafas. Gunakan tetes hidung isotonis jika hidung tersumbat

oleh mukus yang kering.

d). Suhu lingkungan, tidak membuat suhu terlalu panas atau dingin pada anak yang menderita

pneumonia merupakan hal yang penting. Tekanan panas dan dingin

dapat meningkatkan produksi karbon dioksida dan mencetuskan terjadinya kegagalan pernafasan.

Suhu lingkungan yang netral memperkecil konsumsi oksigen.

7)      Hati-hati dengan pemberian terapi cairan

Anak yang menderita pneumonia berat dapat mensekresi hormon anti diuretik (ADH) dalam

jumlah besar secara tidak sesuai dan berisiko terjadi kelebihan cairan serta edema paru. Oleh

karena itu jika anak dalam keadaan shock, sebaiknya hindari pemberian cairan intravena dan

sebagai gantinya dapat diberikan secara oral atau dengan selang nasogastrik.

8)      Nilai ulang setiap 2 jam oleh perawat dan setiap 2 kali sehari oleh dokter.

Apabila anak memiliki respon buruk terhadap pengobatan : maka periksa adanya komplikasi

seperti empiema dimana terdapat demam persisten, perkusi yang pekak, adanya cairan pleura

pada pemeriksaan sinar X. Gagal jantung, jika adanya pembesaran hati, denyut jantung > 160

x/menit, pembeseran jantung, bunyi murmur jantung, tekanan vena yang tinggi, pengaliran darah

yang buruk ke ekstermitas, bronkospasme. Antibiotika diganti dengan kloksasilin ditambah

dengan gentamicin jika diduga adanya pneumonia stafilokokus. Bila pneumonia menetap lebih

dari 10 hari walaupun telah diberi therapi antibiotik, pertimbangkan penyebab pneumonia

persisten.

b. Pneumonia Berat

Penatalaksanaannnya dengan cara :

1.      Rawat di rumah sakit

2.      Apabila perawatan untuk semua anak dengan penarikan dinding dada tidak memungkinkan

dapat dipertimbangkan untuk memberikan terapi antibiotika di rumah dengan pengawasan yang

ketat pada anak yang tidak mengalami penarikan dinding dada yang hebat, sianosis, atau tanda

penyakit yang sangat berat.

Page 17: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

3.      Berikan oksigen jika frekuensi pernafasan > 70 x/menit, terdapat penarikan dinding dada yang

hebat atau gelisah.

4.      Terapi antibiotika dengan memberikan benzilpenisillin/ampisilin  secara intra muskuler setiap 6

jam paling sedikit selama 3 hari. Setelah anak membaik ganti dengan ampisilin atau amoksilin

oral

Tuberkulosis

Definisi Tuberkulosis

Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah suatu

penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini

adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia. Penyakit ini biasanya

menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ

lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks

Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi

tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah

kasus. (PDPI, 2006)

Epidemiologi Tuberkulosis

Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih

menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan

tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat

8,8 juta kasus baru tuberculosis pada tahun 2002 dan 3,9 juta adalah kasus BTA positif.

Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO

jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia.

Indonesia berada dalam peringkat ketiga terburuk setelah China dan India di dunia untuk jumlah

penderita TB. Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya

meninggal. Perkiraan kejadian BTA sputum positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998.

Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB

Page 18: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

menempati rangking nomer 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi

nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. (Amin dan Asril, 2006)

Etiologi Tuberkulosis

Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks Mycobacterium tuberculosis.

Mycobacteria termasuk dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo

Actinomycetales. kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M.

africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis

merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. (Mansjoer, 2001)

M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak membentuk

spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya,

misalnya dengan Pewarnaan Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh pewarnaan

gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka

mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa mikroorganisme lain yang

juga memiliki sifat tahan asam, yaitu spesies Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, dan

protozoa Isospora dan Cryptosporidium. Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan

dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas

dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul

lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen,

menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofaga. (PDPI, 2006)

Patogenesis Tuberkulosis

TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang

menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan

dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell

yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus

primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer.

Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. (Silbernagl dan

Lang, 2007)

Page 19: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru

sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.

Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang

reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus

(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening

(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami

salah satu nasib berikut:

1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)

2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic,

sarang perkapuran di hilus)

3. Menyebar dengan cara:

a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah

epituberklosis.

b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru

sebelahnya atau tertelan

c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan

daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat

sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,

penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis

milier, meningitis TB, dll. (PDPI, 2006)

TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang telah mendapatkan

infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi

ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa

satu atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh

sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan

mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. (Depkes, 2005)

Gejala penting TB paru post primer adalah :

1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya

ringan dan makin lama makin berat.

2) Batuk darah atau bercak saja.

3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal.

Page 20: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya

Parenkim paru yang luas

5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial.

6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun

Klasifikasi Tuberkulosis

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.

1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas:

a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:

- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif

b. Tuberkulosis paru BTA (-)

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan

kelainan radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif.

- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis

positif

2. Berdasarkan tipe pasien

Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe

pasien yaitu :

a. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.

b. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali

lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.

Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi

aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa

Page 21: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

kemungkinan :

- Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik

selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.

- Infeksi jamur

- TB paru kambuh

Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.

c. Kasus defaulted atau drop out

Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa

pengobatannya selesai.

d. Kasus gagal

- Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada

akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)

- Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA

positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan

e. Kasus kronik / persisten

Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan

ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. (PDPI, 2006)

Diagnosa Tuberkulosis

Untuk menegakkan diagnosis TB paru, perlu diketahui tentang : gambaran klinik,

pemeriksaan jasmani, gambatan foto toraks, pemeriksaan basil tahan asam, pemeriksaan uji

tuberkulin dan pemeriksaan laboratorium penunjang.

Gambaran klinik

Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas : gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik

(paru).

1) Gejala sistemik (umum), berupa :

a) Demam

Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala influenza.

Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam, kadang-kadang

suhu badan dapat mencapai 40° 41° C. Serangan seperti influenza ini bersifat hilang timbul,

dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan

Page 22: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

(dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan). Rasmin mengatakannya sebagai serangan influenza

yang melompat-lompat dengan masa tidak sakit semakin pendek dan masa serangan semakin

panjang.

b) Gejala yang tidak spesifik

TB paru adalah peradangan yang bersifat kronik, dapat ditemukan rasa tidak enak badan

(malaise), nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan

badan pegal-pegal. Pada wanita kadang-kadang dapat dijumpai gangguan siklus haid.

2) Gejala respiratorik (paru)

a) Batuk

Pada awal teljadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru; batuk baru

akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus,

bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi produktif karena

diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat

mukoid atau purulen.

b)Batuk darah

Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah; berat atau ringannya batuk darah tergantung

dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah ini tidak selalu terjadi pada setiap

TB paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda perluasan proses TB paru. Batuk darah tidak

selalu ada sangkut pautnya dengan terdapatnya kavitas pada paru.

c)Sesak napas

Sesak napas akan terjadi akibat luasnya kerusakan jaringan paru, didapatkan pada

penyakit paru yang sudah lanjut. Sedangkan pada penyakit yang baru tidak akan dijumpai gejala

ini.

d)Nyeri dada

Biasanya terjadi bila sistem saraf terkena, dapat bersifat lokal atau pleuritik.

Pemeriksaan jasmani

Secara umum pemeriksaan jasmani paru menggambarkan keadaan struktural jaringan

paru, pemeriksaan ini tidak memberikan keterangan apa penyebab penyakit paru tersebut.

Namun demikian mungkin ada beberapa hal yang dapat dipakai sebagai pegangan pada TB paru

Page 23: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

yaitu lokasi dan kelainan struktural yang terjadi. Pada penyakit yang lanjut mungkin dapat

dijumpai berbagai kombinasi kelainan seperti konsolidasi, fibrosis, kolaps atau efusi.

Gambaran foto toraks

Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto toraks PA

dan lateral, sedangkan foto top lordotik, oblik, tomogram dan floroskopi dikerjakan atas indikasi.

Crofton mengemukakan beberapa karakteristik radiologik pada TB paru :

- Bayangan lesi terutama pada lapangan atas paru

- Bayangan berawan atau berbercak

- Terdapat kavitas tunggal atau banyak

- Terdapat kalsifikasi

- Lesi bilateral terutama bila terdapt pada lapangan alas paru

- Bayangan abnormal menetap pada foto toraks ulang setelah beberapa minggu.

Letak lesi pada orang dewasa biasanya pada segmen apikal dan posterior lobus atas,

segmen posterior lobus bawah, meskipun dapat juga mengenai semua segmen.

Gambaran radiologik TB paru tidak memperlihatkan hanya satu bentuk sarang saja, akan

tetapi dapat terlihat berbagai bentuk sarang secara bersamaan sekaligus yang merupakan bentuk

khas TB paru. Adapun bentuk sarang yang dijumpai pada kelainan radiologik adalah : sarang

dini/sarang minimal, kavitas non sklerotik, kavitas sklerotik, keadaan penyebaran penyakit yang

sudah lanjut. Kelainan radiologik foto toraks hendaklah dinilai secara teliti, karena TB paru

dapat memberikan semua bentuk abnormal pada pemeriksaan radiologik dan dikenal dengan

istilah "great imitator". (PDPI, 2006)

Pemeriksaan basil tahan asam

Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum, mempunyai arti yang sangat penting

dalam menegakkan diagnosis TB paru, namun kadang-kadang tidak mudah untuk menemukan

BTA tersebut. BTA barn dapat ditemukan dalam sputum, bila bronkus sudah terlibat, sehingga

sekret yang dikeluarkan melalui bronkus akan mengandung BTAPemeriksaan mikroskopik

langsung dengan BTA (--), bukan berarti tidak ditemukan Mycobacterium tuberculosis sebagai

penyebab, dalam hal penting sekali peranan hasil biakan kuman. Faktor-faktor yang dapat

menyebabkan basil bakteriologik negatip adalah :

Page 24: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

- belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada awal sakit,

- terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara pengambilan bahan yang tidak

adekuat,

- cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat,

- pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin.

Bila diagnosis TB paru semata-mata berdasarkan pada ditemukannya BTA dalam

sputum, maka sangat banyak TB paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan justru pada

TB paru yang baru dengan sputum BTA (--) dan belum menular pada orang lain, paling mudah

diobati dan disembuhkan sempurna. (PDPI, 2006)

Pemeriksaan uji tuberkulin

Pemeriksaan uji tuberkulin merupakan prosedur diagnostik paling penting pada TB paru

anak, kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis.

Sedangkan pada orang dewasa, terutama di daerah dengan prevalensi TB paru masih tinggi

seperti Indonesia sensitivitasnya rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Handoko dkk terhadap

penderita TB paru dewasa yang menyimpulkan bahwa reaksi uji tuberkulin tidak mempunyai arti

diagnostik, hanya sebagai alat bantu diagnostik saja, sehingga uji tuberkulin ini jarang dipakai

untuk diagnosis kecuali pada keadaan tertentu, di mana sukar untuk menegakkan diagnosis.

(PDPI, 2006)

Pemeriksaan laboratorium penunjang

Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat menunjang untuk mendiagnosis TB paru dan

kadang-kadang juga dapat untuk

mengikuti perjalanan penyakit yaitu :

- laju endap darah (LED)

- jumlah leukosit

- hitung jenis leukosit.

Dalam keadaan aktif/eksaserbasi, leukosit agak meninggi dengan geseran ke kiri dan

limfosit di bawah nilai normal, laju endap darah meningkat. Dalam keadaan regresi/menyembuh,

leukosit kembali normal dengan limfosit nilainya lebih tinggi dari nilai normal, laju endap darah

akan menurun kembali. (PDPI, 2006)

Page 25: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Pengobatan Tuberkulosis

Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu, fase intensif (2-3 bulan) dan fase

lanjutan 4-7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

Obat Anti Tuberkulosis

Obat yang dipakai :

1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan:

- INH

- Rifampicin

- Pirazinamid

- Streptomisin

- Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)

- Kanamisin

- Amikasin

- Kuinolon

- Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin dan asam klavulanat

- Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain: Kapreomisin,

Sikloserin, PAS, Derivat INH dan Rifampisin, Thioamides (ethioamide dan

prothioamide)

Kemasan

- Obat Tunggal, disajikan secara terpisah, yakni INH, Rifampisin, Pirazinamid dan

Etambutol

- Obat Kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination-FDC). Kombinasi dosis tetap

ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

Dosis Obat

Obat Dosis

(mg/kgBB/hari

)

Dosis yang Dianjurkan

(mg/kgBB/hari)

Dosis

Max

Dosis (mg) / Berat Badan (kg)

Page 26: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Harian Intermitten <40 40-60 >60

R 8-12 10 10 600 300 450 600

H 4-6 5 10 300 150 300 450

Z 20-30 25 35 750 1000 1500

E 15-20 15 30 750 1000 1500

S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Tabel 1. Dosis Obat Tuberkulosis (PPDI, 2006)

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang paling penting

untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multidrug resistance tuberculosis).

Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemic TB merupakan priority utam WHO.

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan

untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB

primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberculosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO.

Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:

1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal

2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan

yang tidak disengaja

3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan

standar

4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit

5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan

penggunaan monoterapi

Penetuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah

ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis

terapi dan non toksik. (PDPI, 2006)

Paduan Obat Anti Tuberkulosis

Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:

1. TB Paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto thoraks lesi luas. Paduan obat yang

dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3

Page 27: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Paduan ini dianjurkan untuk:

a. TB Paru BTA (+), kasus baru

b. TB Paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas

2. TB Paru (kasus baru), BTA negative, pada foto thoraks lesi minimal. Paduan obat yang

dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3

3. TB Paru kasus kambuh

Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan dengan

hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE

selama 5 bulan

4. TB Paru kasus gagal pengobatan

Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6

bulan Kanamisin, Ofloksasin, Etionamid, Sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan Ofloksasin,

Etionamid, Sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat

diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi dapat

diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk

mendapatkan hasil yang optimal.

5. TB Paru kasus putus obat

Pasien TB Paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan

criteria sebagai berikut:

a. Berobat > 4 bulan

- BTA saat ini negative

Klinis dan radilogi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan.

Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan

diagnosis TB denganmempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila

terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat

dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

- BTA saat ini positif

Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka waktu

pengobatan yang lama.

b. Berobat < 4 bulan

Page 28: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

- Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut

dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

- Bila TB negative, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan.

6. TB Paru kasus kronik

- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan

RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi

(minmal terdapat 4 macam OAT yang massif sensitive) ditambah dengan obat lini 2

seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak

mampu dapat diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk

meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB kronik perlu dirujuk ke dokter

spesialis paru. (PDPI, 2006)

Efek Samping Obat

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun

sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan kemungkinan

terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi

dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi simptomatis maka pengobatan

OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa

terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan

dosis 100 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat

diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrome pellagra). Efek

samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang terjadi pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila

terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentkan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman

TB pada keadaan khusus.

2. Rifampisin

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah:

- Sindrom Flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

- Sindrom dispepsi, berupa sakit perut, mual, anorexia, muntah-muntah kadang diare.

Page 29: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

- Gatal-gatal dan kemerahan

Efek samping yang berat namun jarang terjadi:

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut, OAT harus distop dulu dan

penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari

gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi

walaupun gejalanya telah menghilang.

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna

merah tersebut terjadi karena proses metabolism obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus

diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.

3. Pirazinamid

Efek samping utama adalah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB

pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang

dapat menyebabkan arthritis gout. Hal ini kemingkinan disebabkan berkurangnya

ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,

kemerahan dan reaksi kulit yang lain.

4. Etambutol

Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,

buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut

tergantung dengan dosis yang diapakai, jarang sekali terjadi pada dosis 15-25

mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan

akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya

etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler untuk dideteksi.

5. Streptomisin.

Efek samping utama adalah kelainan syaraf VIII (Nervus Vestibulocochlearis) yang

berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan

meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko

tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek

samping yang terlihat adalah telinga berdenging (tinnitus), pusing dan kehilangan

keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya

Page 30: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

dikurangi 0,25 gram. Jika pengobatan diteruskan makan kerusakan alat keseimbangan

makin parah dan menetap.

Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit

kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang

terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera

setalah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram.

Streptomisisn dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada

perempuan hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin. (PDPI, 2006)

Pengobatan Tuberkulosis pada Keadaan Khusus

Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk ringan, tetapi lama-lama tambah hebat

hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-gejala lainnya adalah: penderita tampak pucat, badan

lemah semakin kurus, suhu badan naik dan kalau malam hari mengeluarkan keringat. Kadang-

kadang ada juga yang suaranya sampai habis.

Menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya sebagai daya pertahanan alam. Menjuhi

sumber penularan. Selain itu bagi yang biasa ke dokter, dapat juga minta penyuntikan vaksin

BCG. Seorang ibu yang menderita TBC paru-paru, sebaiknya tidak menyusui anaknya selama

belum sembuh. Seseorang yang menderita penyakit tertentu, di samping TB, memerlukan

pengobatan yang berhati-hati sehingga tidak terjadi kesalahan pemberian obat.

a. Kehamilan

Pada prinsipnya pengobatan Tuberkolosis (TB) pada kehamilan tidak berbeda dengan

pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua Obat Anti Tuberkolosis (OAT)

aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan

karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi

yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya

sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan

dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

Page 31: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

b. Ibu menyusui dan bayinya

Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan

pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang

menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat

merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi

tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH

diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

c. Penderita TB pengguna kontrasepsi

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),

sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang penderita TB sebaiknya

mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis

tinggi (50 mcg).

d. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS

Tatalaksana pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama

seperti penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya dengan

penderita TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan penderita TB-HIV adalah

dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan

stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus

memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal)

Pengobatan penderita TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk

menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur.

Page 32: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

e. Penderita TB dengan hepatitis akut

Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda

sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat

diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai

hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6

bulan.

f. Penderita TB dengan kelainan hati kronik

Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum

pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan

bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali,

pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita dengan

kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah

2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

g. Penderita TB dengan gagal ginjal

Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan

dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan

dengan dosis standar pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal.

Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari

penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal

tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.

Paduan OAT yang paling aman untuk

penderita dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

Page 33: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

h. Penderita TB dengan Diabetes Melitus

Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral

anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat

digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti

diabetes oral. Pada penderita Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika,

oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan

tersebut.

i. Penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid

Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa

penderita seperti:

Meningitis TB

TB milier dengan atau tanpa meningitis

TB dengan Pleuritis eksudativa

TB dengan Perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian

diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan

pengobatan. (WHO, 2003)

Page 34: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

I. DEFINISI

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran

napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis

kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.

Bronkitis kronik

Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam

setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.

Emfisema

Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus

terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis

kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat

dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.

II. PERMASALAHAN DI INDONESIA

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 5

sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992

menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat

ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.

Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :

• Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)

• Pertambahan penduduk

• Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun

pada tahun 1990-an

• Industrialisasi

• Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan

Page 35: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang

sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak

terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, klasifikasi) yang

minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel.

Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi

Pascatuberkulosis (SOPT).

Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah

sakit pusat rujukan masih jauh dari fasiliti pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu

kompetensi sumber daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti

spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas.

Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang

dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan

baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini,

penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi

III. FAKTOR RISIKO

1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih

penting dari faktor penyebab lainnya.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :

a. Riwayat merokok

- Perokok aktif

- Perokok pasif

- Bekas perokok

b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang

rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :

- Ringan : 0-200

- Sedang : 200-600

- Berat : >600

2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja

3. Hipereaktiviti bronkus

4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang

Page 36: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

IV. PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel

goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema

ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding

alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:

- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama

mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.

- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada

paru bagian bawah

- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan

sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura

Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan

struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi

otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Konsep patogenesis PPOK

Page 37: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Perbedaan patogenesis asma dan PPOK

V. DIAGNOSIS

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga

berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :

A. Gambaran klinis

a. Anamnesis

- Keluhan

- Riwayat penyakit

- Faktor predisposisi

b. Pemeriksaan fisis

B. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan rutin

b. Pemeriksaan khusus

A. Gambaran Klinis

a. Anamnesis

- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan

- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja

- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga

Page 38: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),

infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak

- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

b. Pemeriksaan fisis

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

• Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)

- Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas

- Pelebaran sela iga

- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungka.

- Penampilan pink puffer atau blue bloater

• Palpasi; Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

• Perkusi; Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar

terdorong ke bawah.

• Auskultasi

- suara napas vesikuler normal, atau melemah

- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa

- ekspirasi memanjang

- bunyi jantung terdengar jauh

Pink puffer

Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed –

lips breathing

Blue bloater

Page 39: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan

ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pursed - lips breathing

Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.

Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai

mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

B. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan rutin

1. Faal paru

• Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).

Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %

- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan

memantau perjalanan penyakit.

- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun

kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi

dan sore, tidak lebih dari 20%

• Uji bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian

dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan

< 200 ml.

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.

2. Darah rutin; Hb, Ht, leukosit

3. Radiologi

Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain

Pada emfisema terlihat gambaran :

- Hiperinflasi

Page 40: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

- Hiperlusen

- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar -

Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)

Pada bronkitis kronik :

• Normal

• Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)

1. Faal paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,

VR/KPT meningkat

- DLCO menurun pada emfisema

- Raw meningkat pada bronkitis kronik

- Sgaw meningkat

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %

2. Uji latih kardiopulmoner

- Sepeda statis (ergocycle)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

3. Uji provokasi bronkus

Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti

bronkus derajat ringan

4. Uji coba kortikosteroid

Page 41: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau

metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1

pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan

faal paru setelah pemberian kortikosteroid

5. Analisis gas darah, Terutama untuk menilai :

- Gagal napas kronik stabil

- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi

- CT - Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak

terdeteksi oleh foto toraks polos

- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru

7. Elektrokardiografi

Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel

kanan.

8. Ekokardiografi; Menilai funfsi jantung kanan

9. Bakteriologi

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan

untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas

berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.

10. Kadar alfa-1 antitripsin

Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),

defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

VI. DIAGNOSIS BANDING

• Asma

• SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)

Page 42: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis

dengan lesi paru yang minimal

KANKER PARU

Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru (Price, Patofisiologi, 1995).

Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel – sel yang mengalami proliferasi dalam paru

(Underwood, Patologi, 2000). Tumor adalah neoplasma pada jaringan yaitu pertumbuhan

jaringan baru yang abnormal. Paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan letaknya

didalam rongga dada. Jenis tumor paru dibagi untuk tujuan pengobatan, meliputi SCLC ( Small

Cell Lung Cancer ) dan NSLC ( Non Small Cell Lung Cancer / Karsinoma Skuamosa,

adenokarsinoma, karsinoma sel besar.

Kanker paru adalah tumor berbahaya yang tumbuh diparu, sebagian besar kanker paru

berasal dari sel-sel didalam paru tapi dapat juga berasal dari bagian tubuh lain yang terkena

kanker. ( Zerich 150105 Weblog, by Erich ).

B. ETIOLOGI

Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang

bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru :

1. Merokok.

Tak diragukan lagi merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang defenitif telah

ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dari kanker paru (karsinoma

bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderung sepuluh kali lebih besar dari pada

perokok ringan. Selanjutnya orang perokok berat yang sebelumnya dan telah meninggalkan

kebiasaannya akan kembali ke pola resiko bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun.

Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan

pada kulit hewan, menimbulkan tumor.

2. Iradiasi.

Page 43: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan

penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru) berkaitan

dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen etiologi

operatif.

3. Kanker paru akibat kerja.

Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel (pelebur

nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru – paru hematite) dan

orang – orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan kromat juga mengalami peningkatan

insiden.

4. Polusi udara.

Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada

mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari industri dan

uap diesel dalam atmosfer di kota. ( Thomson, Catatan Kuliah Patologi,1997).

5. Genetik.

Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :

a. Proton oncogen.

b. Tumor suppressor gene.

c. Gene encoding enzyme.

6. Diet.

Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A

menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru. (Ilmu Penyakit Dalam, 2001).

C. KLASIFIKASI

Pada Klasifikasi menurut WHO untuk Neoplasma Pleura dan Paru – paru (1977) :

1. Karsinoma Bronkogenik.

Page 44: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

a. Karsinoma epidermoid (skuamosa).

Kanker ini berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia,

atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor.

Terletak sentral sekitar hilus, dan menonjol kedalam bronki besar. Diameter tumor jarang

melampaui beberapa centimeter dan cenderung menyebar langsung ke kelenjar getah bening

hilus, dinding dada dan mediastinum.

b. Karsinoma sel kecil (termasuk sel oat).

Biasanya terletak ditengah disekitar percabangan utama bronki. Tumor ini timbul dari sel

– sel Kulchitsky, komponen normal dari epitel bronkus. Terbentuk dari sel – sel kecil dengan inti

hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe

hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ – organ distal.

c. Adenokarsinoma (termasuk karsinoma sel alveolar).

Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus.

Kebanyakan timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang – kadang dapat dikaitkan

dengan jaringan parut local pada paru – paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi seringkali

meluas melalui pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan secara klinis tetap tidak

menunjukkan gejala – gejala sampai terjadinya metastasis yang jauh.

d. Karsinoma sel besar.

Merupakan sel – sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma

yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel – sel ini cenderung untuk timbul pada

jaringan paru - paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat –

tempat yang jauh

e. Gabungan adenokarsinoma dan epidermoid.

f. Lain – lain.

1). Tumor karsinoid (adenoma bronkus).

2). Tumor kelenjar bronchial.

Page 45: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

3). Tumor papilaris dari epitel permukaan.

4). Tumor campuran dan Karsinosarkoma

5). Sarkoma

6). Tak terklasifikasi.

7). Mesotelioma.

8). Melanoma.(Price, Patofisiologi, 1995).

D. PATOFISIOLOGI

Sebab-sebab keganasan tumor masih belum jelas, tetapi virus, faktor lingkungan, faktor

hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan resiko terjadinya tumor. Permulaan terjadinya

tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat intiation yang merangasang permulaan terjadinya

perubahan sel. Diperlukan perangsangan yang lama dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya

penyakit tumor.

Initiati agen biasanya bisa berupa nunsur kimia, fisik atau biologis yang berkemampuan bereaksi

langsung dan merubah struktur dasar dari komponen genetik ( DNA ). Keadaan selanjutnya

diakibatkan keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma dengan terbentuknya

tumor, hal ini berlangsung lama meingguan sampai tahunan.

Kanker paru bervariasi sesuai tipe sel daerah asal dan kecepatan pertumbuhan. Empat tipe sel

primer pada kanker paru adalah karsinoma epidermoid ( sel skuamosa ). Karsinoma sel kecil ( sel oat ),

karsinoma sel besar ( tak terdeferensiasi ) dan adenokarsinoma. Sel skuamosa dan karsinoma sel kecil

umumnya terbentuk di jalan napas utama bronkial. Karsinoma sel kecil umumnya terbentuk dijalan

napas utama

bronkial. Karsinoma sel besar dan adenokarsinoma umumnya tumbuh dicabang bronkus perifer

dan alveoli. Karsuinoma sel besar dan karsinoma sel oat tumbuh sangat cepat sehigga

mempunyai progrosis buruk. Sedangkan pada sel skuamosa dan adenokar. Paru merupakan

Page 46: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

organ yang elastis, berbentuk kerucut dan letaknya di dalam rongga dada atau toraksinoma

prognosis baik karena pertumbuhan sel ini lambat.

E. MANIFESTASI KLINIS

1. Gejala awal.

Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi bronkus.

2. Gejala umum.

a. Batuk

Page 47: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk mulai sebagai batuk

kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang

kental dan purulen dalam berespon terhadap infeksi sekunder.

b. Hemoptisis

Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang mengalami ulserasi.

c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.

Adapun manifestasi klinik lainnya adalah : manifestasi klinik pada penderita tumor paru yaitu:

a. Batuk yang terus menerus dan berkepanjangan

b. Napas pendek-pendek dan suara parau

c. Batuk berdarah dan berdahak

d. Nyeri pada dada, ketika batuk dan menarik napas yang dalam

e. Hilang nafsu makan dan berat badan

F. KOMPLIKASI

Adapun beberapa komplikasi dari ca.paru adalah :

- Hematorak

- Pneumotorak

- Empiema

- Endokarditis

- Abses paru

- Atelektasis

Page 48: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

G. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :

a. Kuratif

Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup klien.

b. Paliatif.

Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.

c. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.

Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.

d. Supotif.

Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian nutrisi, tranfusi darah

dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeks

Penatalaksanaan ca.paru ada terbagi atas :

1. Penatalaksanaan medik :

a. Pembedahan, memiliki kemungkinan kesembuhan terbaik, namun hanya < 25% kasus

yang bisadioperasi dan hanya 25% diantaranya ( 5% dari semua kasus ) yang telah hidup setelah

5 tahun.Tingkat mortalitas perioperatif sebesar 3% pada lobektomi dan 6% pada

pneumonektomi.

b. Radioterapi radikal, digunakan pada kasus kanker paru bukan sel kecil yang tidak bisa

dioperasi.Tetapi radikal sesuai untuk penyakit yang bersifat lokal dan hanya menyembuhklan

sedikit diantaranya.

c. Radioterapi paliatif, untuk hemoptisis, batuk, sesak napas atau nyeri local

Page 49: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

d. Kemoterapi, digunakan pada kanker paru sel kecil, karena pembedahan tidak pernah sesuai

denganhistologi kanker jenis ini. Peran kemoterapi pada kanker bukan sel kecil belum jelas.

e. Terapi endobronkia, seperti kerioterapi, tetapi laser atau penggunaan stent dapat

memulihkan gejala dengan cepat pada pasien dengan penyakit endobronkial yang signifikan

f. Perawatan paliatif, opiat terutama membantu mengurangi nyeri dan dispnea. Steroid

membantu mengurangi gejala non spesifik dan memperbaiki selera makan

PNEUMOTORAK

I. Defenisi

Pneumotorak adalah adanya udara dalam raongga pleura. Biasanya pnemotorak hanya

temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan pnemotorak bilateral.

(Halim danusantoso, 2000) Pneumutorak adalah adanya udara dalam rongga pleura akibat

robeknya pleura (Silvia. A Price, 1999). Pneumotorak adalah keluarga udara dari paru yang

cedera kedalam rongga pleural (Dieane C Baughman, 2000)

II.    Klasifikasi Dan Etiologi

Berdasarkan penyebabnya pnemutorak dapat dibagi atas :

a.   Pneumotorak Traumatik

Pneumutorak traumstik yaitu pneumotorak yang terjadi akibat penetrasi kedalam rongga pleura

karena luka tembus, luka tusuk, leka tembak atau tusukan jarum.

Pneumaotorak traumatik dibagi 2 jenis yaitu :

Pneumotorak traumatik bukan latrogenik

Pneumotorak traumatik bukan latrogenik adalah pneumotorak yang terjadi karena jejas

kecelakaan misalnya : jejas dada terbuka/tertutup, barotrauma.

Pneumatorak traumatik Iatrogenik

Pneumotorak yang terjadi akibat tindakan oleh tenaga medis.

Pneumotorak traumatik Iatrogenik aksidental

Page 50: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Pneumotorak yang terjadi pada tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan

tersebut,misalnya pada tindakan biopsi pleural, biopsi transbronkial biopsi/aspirasi paru

perkutaneus, barotrauma.

Pneumatorak traumatik Iatrogenik artifisial (deciberate)

Pneumotorak yang sengaja dikerjakan dengan cara mengisi udara kedalam pleura melalui

jarum dengan suatu alat Maxuell Box biasanya untuk terapi tuberkulosis (sebelum era

antibiotik) atau untuk menilai permukaan paru.

b.   Pneumotorak Spontan

Pneumotorak spontan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu pneumotorak

yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga atau tanpa penyakit paru-paru yang mendasarinya,

penumotorak spontan ini dapat menjadi 2 yaitu :

Pneumotorak spontan primer

Pneumotorak spontan primer adalah suatu pneumotorak yang terjadi adanya penyakit paru

yang mendasari sebelumnya umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan

dengan aktivitas belum diketahui penyebabnya.

Pneumotorak spontan sekunder

Pneumotorak spontan sekunder adalah suatu pneumotorak yang terjadi adanya riwayat

penyakit paru yang mendasarinya (pneumotorak, asma bronkial, TB paru, tumor paru dll).

Pada klien pneumotorak spontan sekunder bilateral, dengan resetasi torakoskopi dijumpai

metastasis paru yang primernya berasal dari sarkoma jaringan lunak di luar paru. (Silvia A

Price, 1995)

III. Manifestasi Klinis

Dispnea (jika luas)

Nyeri pleuritik hebat

Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotorak

Takikardia

Sianosis (jika luas)

Page 51: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Pergerakan ada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena

Perkusi hipersonor diatas pneumotorak

Perkusi meredup diatas paru-paru yang kollaps

Suara napas berkurang pada sisi yang terkena

Premitus vokal dan raba  berkurang

IV. Patofisiologi

Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjang oleh jaringan ikat,

pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening, rongga pleura dibatasi oleh 2

lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis yang melapisi otot-otot dinding dada,

tulang dan kartilago, diapragma dan menyusup kedalam pleura dan tidak sensitif terhadap nyeri.

Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10 - 20 ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara

kedua lapisan pleura.

Patogenesis pneumotorak spontan sampai sekarang belum jelas

a.       Pneumotorak Spontan Primer

Pneumotorak spontan primer tejadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura

viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotorak spontan yang

parunya dipesersi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk blab dab bulla.

Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik yang menebal

sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematus.

Blab terbentuk dari satu alveoli yang pecah melalui suatu jaringan intertisial kedalam lapisan

fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme

pembentukan bulla/blab belum jelas, banyak pendapat mengatakan terjadinya kerusakan bagian

apeks paru akibat tekanan pleura yang lebih negatif. Pada pneumotorak spontan terjadi apa bila

dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di apeks paru. Observasi klinik yang

dilakukan pada pasien pneumotorak spontan primer ternyata mendapatkan pneumotorak lebih

banyak dijumpai pada pasien pria berbadan kurus dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konektif

mempunyai kecenderungan terbentuknya blab atau bulla yang meningkat.

Page 52: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

Bleb atau bulla yang pecah masih belum jelas hubungan dengan aktivitas yang berlebihan,

karena pada orang-orang yang tanpa aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak.

Pecahnya alveoli juga dikatakan berhubungan dengan

obstruksi check-valve pada salurana napas dapat diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain:

infeksi atau infeksi tidak nyata yang menimbulkan suatu penumpukan mukus dalam bronkial.

b.   Pneumotorak Spontan Sekunder

Disebutkan bahwa terjadinya pneumotorak ini adalah akibat pecahnya bleb viseralis atau bulla

pneumotorak dan sering berhubungan dengan penyakit paru yhang mendasarinya. Patogenesis

pneumotorak ini umumnya terjadi akibat komplikasi asma, fibrsosis kistik, TB paru, penyakit-

penyakit paru infiltra lainnya (misalnya pneumotorak supuratif, pneumonia carinci).

Pneumotorak spontan sekunder lebih serius keadaanya karena adanya penyakit yang

mendasarinya.

V. Komplikasi

Timbulnya infeksi sekunder pada fungsi toraks darurat maupun secara akibat pemasangan WSD

sangat ditakutkan. Infeksi dapat berupa empiema ataupun abses paru (Halim Danusantoso, 2000)

VI. Prognosis

Pneumotorak pada orang dewasa muda prognosisnya sangat baik. Hal ini diakibatkan

karena jaringan parunya sendiri masih cukup baik, kecuali daerah tempat terjadinya kebocoran

dengan terapi yang tepat, kesembuhan yang dicapai selalu sempurna dan kemungkinan kambuh

prkatis kecil sekali, tgerkecuali bila penderita kemudian hari menjadi seorang perokok, juga bila

terapi terhadap penyakit dasarnya (TB) tidak sempurna.

Sebaliknya pneumotorak pada orang dewasa setengah tua atau memang sudah tua, apabila

kalau dia seorang perokok, maka pada sudah ada emfisema paru dengan tekanan udara

intrapulmonal yang tinggi, maka pada keadaan sedemikian kesembuhan dapat disusul dengan

suatu kekambuhan yang bahkan dapat sampai berkali-kali. (Halim Danusantoso, 2000)

VII.    Penatalaksanaan

Page 53: Bahan Bacaan Blok GGN Respirasi

1. Berikan oksigen konsentrasi tinggi untuk mengatasi hipoksi

2. Ubah menjadi pneumotorak sederhana dengan memasukkan jarum berdasarkan besar

kedalam rongga pleura untuk menghilangkan tekanan.

3. Selang dada dimasukkan untuk membuang udara dan cairan yang tersisa.

(Diane C Baughman, 2000)