bahan ajar kedua

21
B A B I I F I L S A F A T D A L A M K E B U D A Y A A N Y U N A N I K U N O Pada awal bagian telah dijelaskan arti atau hakikat filsafat. Tetapi bagi mereka yang berkecimpung dalam dunia filsafat umumnya sepakat bahwa hakikat filsafat akan jauh lebih dikenal bila orang terjun langsung ke dalam dunia filsafat dalam arti mulai berfilsafat. Salah satu cara yang paling ampuh untuk mengembangkan kemampuan berfilsafat adalah mempelajari pemikiran para filsuf yang berkembang dalam peta perkembangan filsafat. Dalam uraian ini kita hendak mengawali proses berfilsafat dengan pertama-tama merujuk pada pemikiran yang berkembangan pada jaman Yunani Kuno. Telah menjadi kesepakatan umum bahwa negeri Yunani merupakan tanah kelahiran Filsafat Barat dalam abad ke-6 sM. Pertanyaannya, bagaimanakah proses kelahirannya?” Pertanyaan ini perlu dirujuk pada situasi Yunani saat itu. 1. Pergeseran dari Mitos ke Logos Pada kurang lebih abad ke-7 sM sampai abad ke-6 sM kehidupan masyarakat Yunani didominasi oleh pengaruh keagamaan yang sangat kuat. Orang Yunani percaya bahwa Yang Maha Kuasa atau Yang Transenden menjelmakan dirinya dalam kekuatan-kekuatan alam. Kekuatan alam ini kemudian dipersonifikasikan sebagai seorang

Upload: rain-noel-sualang

Post on 06-Aug-2015

44 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Ilmu Filsafat

TRANSCRIPT

Page 1: Bahan ajar kedua

B A B I I

F I L S A F A T D A L A M K E B U D A Y A A N

Y U N A N I K U N O

Pada awal bagian telah dijelaskan arti atau hakikat filsafat. Tetapi bagi

mereka yang berkecimpung dalam dunia filsafat umumnya sepakat bahwa

hakikat filsafat akan jauh lebih dikenal bila orang terjun langsung ke dalam

dunia filsafat dalam arti mulai berfilsafat. Salah satu cara yang paling ampuh

untuk mengembangkan kemampuan berfilsafat adalah mempelajari

pemikiran para filsuf yang berkembang dalam peta perkembangan filsafat.

Dalam uraian ini kita hendak mengawali proses berfilsafat dengan pertama-

tama merujuk pada pemikiran yang berkembangan pada jaman Yunani

Kuno.

Telah menjadi kesepakatan umum bahwa negeri Yunani merupakan

tanah kelahiran Filsafat Barat dalam abad ke-6 sM. Pertanyaannya,

bagaimanakah proses kelahirannya?” Pertanyaan ini perlu dirujuk pada

situasi Yunani saat itu.

1. Pergeseran dari Mitos ke Logos

Pada kurang lebih abad ke-7 sM sampai abad ke-6 sM kehidupan

masyarakat Yunani didominasi oleh pengaruh keagamaan yang sangat kuat.

Orang Yunani percaya bahwa Yang Maha Kuasa atau Yang Transenden

menjelmakan dirinya dalam kekuatan-kekuatan alam. Kekuatan alam ini

kemudian dipersonifikasikan sebagai seorang pribadi yang lasim disebut

dewa. Begitu kebudayaan Yunani Kuno dicirikhaskan oleh kepercayaan akan

adanya dewa-dewa. Para dewa diyakini dekat dan turut berperan dalam

kehidupan manusia. Manusia sadar dan yakin bahwa seluruh hidup dan

peristiwa yang terjadi dalam realitas senantiasa bersumber pada dewa. Maka

berhadapan dengan peristiwa kelahiran, kematian, atau bencana alam

Page 2: Bahan ajar kedua

seperti gunung meletus, banjir yang meluap, dsb, bagi orang Yunani semua

peristiwa itu merupakan karya para dewa.

Keyakinan dan penghayatan tersebut mewujud dalam apa yang

disebut mitos dan mitologi. Kata mitos atau mite berasal dari kata Yunani

mythos yang berarti kata atau perkataan. Sebagai suatu istilah teknis, mitos

dapat dipakai untuk menyatakan apa yang tidak dapat hadir secara

kelihatan. Maka mitos secara sederhana dapat dikatakan sebagai kisah atau

cerita tentang asal usul dunia dan alam semesta dan manusia yang berasal

dari para dewa. Atau kisah tentang perkejaan dewa-dewa dalam kehidupan

dunia manusia dan alam semesta. Ada empat karakteristik mitos. Pertama,

mitos selalu berbicara tentang para dewa dalam hubungannya dengan

manusia dan dunia, dalam arti segala sesuatu terjadi dalam alam semesta

berasal dari para dewa. Kedua, karena mitos memuat kisah suci tentang asal

mula manusia dan alam semesta, maka mitos hanya dapat dibacakan atau

diceritakan di tempat-tempat suci, misalnya di tempat ibadah atau kuil para

dewa. Ketiga, mitos harus dikisahkan pada waktu-waktu khusus atau waktu-

waktu suci, misalnya pada waktu ibadat atau pemujaan kepada para dewa.

Keempat, mitos tidak dapat berubah. Sifat sedemikian memperlihatkan

bahwa mitos berbeda dengan cerita biasa atau cerita kepahlawanan yang

dapat diceritakan oelh siapa saja, di mana saja, dan kapan saja.

Mitos perlu dibedakan dari mitologi. Mitologi berasal dari gabungan

kata mythos dan logos yang secara harafiah berarti kata tentang perkataan

atau kata-kata tentang apa yang tak kelihatan. Demikian mitologi

dimaksudkan sebagai penafsiran atau interpretasi mengenai mitos yang

dijadikan doktrin atau ajaran resmi agama. Karakteristik mitologi jika

dibandingkan dengan mitos adalah bahwa mitos pada dasarnya tidak bisa

berubah, sedangkan mitologi bisa berubah bila dipandang interpretasi

tersebut tidak lagi relevan. Karakteristik lain, jika mitos diterima begitu saja

tanpa interpretasi, maka mitologi umumnya dapat diciptakan oleh mereka

yang berkepentingan demi tujuan tertentu dan dapat diganti sesuai

kehendak interpretator.

Page 3: Bahan ajar kedua

Mitos harus diceritakan pada waktu khusus, tempat khusus di mana

semua orang yang hadir dalam peristiwa itu dihantar kembali pada situasi

primordial atau situasi awal penciptaannya oleh para dewa. Atas cara itu

semua orang yang ikut serta dalam peristiwa mitis memperoleh keterangan

tentang asal usul dan hakikatnya sebagai manusia dalam alam semesta.

Dalam arti ini mitos memiliki fungsi epistemik dalam arti memberikan

penjelasan atau pengetahuan tentang keadaan hakiki manusia dan alam

semesta. Itulah pengetahuan yang diyakini sebagai ajaran penyelamatan

yang harus diketahui oleh setiap orang. Oleh karena itu keterangan-

keterangan mitos dan mitologi cenderung diterima begitu saja atas dassr

kepercayaan religius tanpa pengujian kritis rasional.

Demikian berabd-abad lamanya atau sekurang-kurangnya sejak abad

ke-8 hingga abad ke-6 sM, masyarakat Yunani hidup dalam iklim yang

dicirikhaskan oleh kepercayaan mitos dan mitologi. Mitos dan mitologi

menjadi saran eksplanatif asal usul realitas. Akan tetapi pada permulaan

abad ke-6 muncullah suatu kecenderungan baru untuk meninggalkan

kemapanan mitos dan mitologi. Hal itu ditandai dengan penemuan logos.

Proses pergeseran mitos ke logos ini amat dipengaruhi oleh dua kondisi.

Pertama, keterbukaan masyarakat Yunani pada waktu itu terhadap pengaruh

budaya luar. Dalam awal abad ke-6 sM datanglah ke Yunani khususnya kota

Athena, berbagai orang dari berbagai bangsa. Maka terjadilah pluralisme

atau kemajemukan penduduk di mana kota Athena mulai mengenal tradisi

dan kultur bangsa-bangsa lain. Konsekuensi dari keterbukaan ini adalah

kebiasaan-kebiasaan dan tradisi kebudayaan Yunani yang dulunya mapan,

kini mulai dipertanyakan termasuk kewibawaan mitos dan mitologi.

Kepercayaan dan keyakinan orang Yunani mulai diuji dan dipertanyakan.

Para penduduk baru yang datang ke Athena mulai mengajukan berbagai

pertanyaan yang menggugat kebiasaan-kebiasaan lama yang berlaku.

Begitu kebiasaan-kebiasaan orang Yunani mulai digugat. Disisi lain

keterbukaan ini juga ternyata membawa dampak yang rumit pada kehidupan

sosial politik. Kemajemukan penduduk dan budaya mendatangkan berbagai

Page 4: Bahan ajar kedua

persoalan baru yang tidak mudah untuk diselesaikan, misalnya kebutuhan

akan aturan dan konstitusi yang mengatur kehidupan bersama.

Kedua, kondisi sosial politik. Kurang lebih pada pertengahan abad ke-7

sM, muncullah di Yunani kebudayaan masyarakat baru yang disebut polis.

Polis dimaksudkan sebagai negara kota yang secara administratif dan

konstitusional memiliki otonomi untuk mengurus kepentingannya sendiri. Ciri

khas “polis” adalah keterbukaan para warganya menerima unsur-unsur baru

dalam hidup. Setiap anggota masyarakat dapat secara bebas

mengungkapkan pendapatnya tentang kebijakan-kebijakan yang mengatur

kehidupan bersama. Di pusat polis yang disebut agora (pasar dalam arti

luas) menjadi tempat perdebatan dan percakapan diadakan. Di agora inilah

setiap orang secara bebas mengemukakan pendapatnya.

Dalam iklim seperti itulah mulai muncul berbagai interpretasi tentang

mitos dan mitologi. Orang Yunani mulai menggugat dan mempertanyakan

berbagai kebiasaan lama yang dipandang kurang lagi memadai, termasuk

kewibawaan mitos dan mitologi yang dianggap tidak memberikan

keterangan yang memuaskan tentang realitas. Keterangan-keterangan mitos

dan mitologi dipandang tidak memuaskan, sementara pelbagai peristiwa

alam terus membangkitakan rasa ingin tahu. Orang mulia bertanya tentang

dari mana datangnya manusia? Mengapa manusia lahir dan kemudian mati?

Mengapa ada realitas? Dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu orang-

orang Yunani mulai menyelidiki fenomen-fenomen dibalik realitas. Orang

mulai mencari prinsip-prinsip dasar atau arkhe dari realitas dengan tidak

mendasarkan diri pada keyakinan spiritual mitos dan mitologi, tetapi pada

“logos” atau rasio. Logos atau rasio digunakan untuk menjelaskan berbagai

fenomen yang terjadi dalam realitas. Hal ini disebabkan karena keterangan-

keterangan mitos dan mitologi dipandang tidak lagi mampu menjelaskan

berbagai fenomen yang dihadapi manusia. Proses peralihan dari “mitos” ke

“logos” inilah yang menandai lahirnya filsafat.

Page 5: Bahan ajar kedua

2. Prinsip Dasar Realitas

Usaha untuk meninggalkan kekuatan mitos dan mitologi ditandai

dengan peristiwa penemuan logos atau rasio dipandang sebagai sarana

utama dalam menjelaskan realitas. Dengan logos orang berusaha untuk

memahami dan mempertanyakan berbagai peristiwa yang terjadi dalam

realitas. Manakah prinsip dasar (arkhe) dari realitas? Pertanyaan ini dijawab

oleh tiga filsuf pertama yakni: Thales, Anaximandros, dan Anaximenes.

2.1 Thales (abad ke-6 sM)

Menjawab pertanyaan dasar, manakah prinsip-prinsip dasar realitas,

Thales yang digelari Aristoteles sebagai filsuf pertama menjawab bahwa

“air” merupakan prinsip pertama atau asas pertama dari realitas. Alasannya,

karena segala sesuatu dalam realitas mengandung air dan karena air pula

segala sesuatu dapat hidup. Air mempunyai pelbagai bentuk (cair, beku, dan

uap) yang dapat menyatu dengan segala sesuatu. Thales bahkan menduga

bahwa bumi kita terapung di atas permukaan air. Oleh karena sifat air yang

menyatu dalam segala sesuatu maka baginya airlah yang menjadi prinsip

asali realitas.

2.2 Anaximandros (c.a. 610-540 sM)

Anximandros mulanya sependapat dengan Thales bahwa realitas

mestinya berasal dari sesuatu. Ada suatu prinsip dasar yang mendasari

segala sesuatu dalam realitas. Tetapi bagi Anaximandros prinsip dasar

tersebut haruslah berasal dari sesuatu yang tak terbatas, sesuatu yang

melampaui realitas yang terbatas. Maka bagi Anaximandros dasar dari

segala sesuatu ialah “yang tak terbatas” (to aperion) yang bersifat ilahi,

abadi, dan meliputi segala sesuatu.

Page 6: Bahan ajar kedua

2.3 Anaximenes (Tak diketahui riwayat hidupnya, tetapi

agaknya lebih muda dari Anaximandros)

Seperti dua filsuf sebelumnya, Anaximenes yakin bahwa alam semesta

pun memiliki prinsip dasar. Prinsip dasar realitas menurut Anaximandros

adalah “udara”. Karena udara melingkupi segala sesuatu dan bahkan

manusia bisa hidup hanya karena udara. Kendati udara tidak kelihatan dan

tak terbatas, tetapi dapat dirasa dan dialami.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa satu pertanyaan yang sama bisa

mendapatkan jawaban yang berbeda. Jawaban ketiga filsuf ini memang

nampak berbeda. Kendati demikian satu hal yang sama dalam pemikiran

mereka adalah usaha mereka untuk menjelaskan arke atau prinsip dasar

realitas tidak berdasarkan mitos dan mitologi, melainkan berdasarkan logos

atau rasio. Thales, Anaximandros, Anaximenes berupaya untuk memberikan

keterangan-keterangan yang rasional atas persoalan-persoalan fundamental

yang dihadapi dalam hidup. Maka filsafat di sini berarti bertanya secara

rasional dan mencari jawaban atas prinsip-prinsip pertama atau arkhe dari

realitas.

3. Perubahan atau Transformasi

Peristiwa penemuan logos mengakibatkan kekuatan mitos dan mitologi

semakin lama semakin ditinggalkan orang. Orang Yunani mulai menggeser

kekuatan mitos dan mitologi dan menggantinya dengan logos sebagai

instrumen atau alat untuk menjelaskan realitas. Upaya ketiga filsuf pertama

untuk menemukan prinsip asal realitas dengan menggunakan rasio

memperlihatkan kecenderungan baru itu.

Usaha untuk memahami realitas dengan instrumen utama rasio terus

dikembangkan oleh para pemikir Yunani sesudah Thales, Anximandros, dan

Anximenes. Kendati demikian seperti akan kita temui bahwa pusat perhatian

mereka bukan lagi pada prinsip dasar realitas, melainkan pada perubahan

Page 7: Bahan ajar kedua

yang selalu dialami manusia. Dengan kata lain, titik tolak perhatian para

filsuf sesudah para filsuf pertama adalah upaya mereka untuk menjelaskan

perubahan atau transformasi. Menurut pengalaman realitas selalu berada

dalam perubahan yang terus menerus. Ada siang dan malam, ada terang

dan gelap, ada tua dan muda, dst. Berhadapan dengan berbagai fakta

perubahan itu, muncul pertanyaan, bagaimana perubahan yang terus

menerus terjadi dapat dimengerti? Adakah sesuatu yang menjadi sumber

perubahan tersebut? Ada sesuatu yang menetap dibalik segala sesuatu yang

berubah? Dan apakah perubahan itu sungguh-sungguh riil? Kalau perubahan

itu riil, bagaimana menjelaskannya secara rasional? Pertanyaan ini dihadapi

beberapa filsuf Yunani. Di sini dikemukakan dua teori dari dua filsuf yakni

Herakleitos dan Parmenides.

3.1 Herakleitos (k.sl. 540-475 sM)

Berhadapan dengan pertanyaan dasar, apakah perubahan itu

sungguh-sungguh riil, Heraklitos memberi suatu jawaban positif. Herakleitos

yakin bahwa segala sesuatu senantiasa berada dalam perubahan yang terus

menerus. Tidak ada sesuatupun yang menetap dalam realitas. Baginya

hakikat realitas adalah perubahan dalam arti realitas menjadi realitas karena

perubahan. Tanpa perubahan realitas tidak menjadi realitas. Herakleitos

menggunakan simbolisme sungai untuk menggambarkan betapa segala

sesuatu dalam realitas mengalami perubahan terus-menerus ibarat air

sungai yang mengalir. Ia berkata, “Anda tidak bisa turun dua kali ke dalam

air sungai yang sama”. Maksudnya, sungai selalu mengalir terus menerus

dan airnya berganti-ganti sehingga seseorang tak dapat menginjakkan

kakinya ke dalam air sungai yang sama lebih dari satu kali. “Segalanya

mengalir bagaikan sungai” dan termasyurlah perkataan “panta rhei kau

uden menei.”

Itu berarti bagi Herakleitos perubahan pada dasarnya bercorak riil

dalam arti sungguh-sungguh terjadi sebagaimana dialami manusisa. Jika

hakikat realitas adalah perubahan, apakah yang menjadi sumber perubahan

Page 8: Bahan ajar kedua

itu? Atau, manakah prinsip perubahan itu? Herakleitos menjawab pertanyaan

fundamental ini dengan menunjuk pada “Api Abadi” sebagai prinsip

perubahan. Tetapi “Api” sebagai prinsip perubahan tidak dimengerti

sebagaimana “air” menurut Thales atau “udara” dalam pandangan

Anximenes. Air dan udara dalam pandangan para filsuf pertama itu

dimengerti sebagai anasir asali atau dasar realitas. Sedangkan “Api” dalam

pandangan Herakleitos menunjuk pada sumber transformasi yang dapat

menerima segala sesuatu dan mengubah segala sesuatu. Mengapa Api?

Karena api dapat berubah (besar-kecil), tetapi juga bisa mengubah segala

sesuatu menjadi bentuk lain. Nyala api dapat membakar kayu,

mengubahnya menjadi arang dan abu. Dalam proses transformasi Api tetap

Api. Jelas di sini Api tidak hanya diidentifikasikan dengan sesuatu yang

mengubah, tetapi juga dengan prinsip perubahan itu sendiri. Maka baginya

prinsip perubahan adalah “Api”.

Api yang digunakan Herakleitos sebenarnya menunjuk pada Logos

universal atau Rasio yang diyakini meresap dalam segala sesuatu. Api atau

rasio itulah yang disebut sebagai the one. Segala sesuatu (dalam arti the

many) ada dalam (the one) dan Api ada dalam segala sesuatu. Api atau rasio

universal mempersatukan segala sesuatu. Oleh karena api yang bercorak

rasional itu meresap dalam realitas maka realitas bercorak rasional dalam

arti dapat diketahui. Manusia sebagai bagian dari realitas mewarisi Api abadi

itu dan memungkinkan tu mereka untuk berpikir. Pertanyaannya, bagaimana

hal itu dapat dikenal? Bagi Herakleitos proses penjelmaan itu dikenal melalui

oposisi-oposisi. Ia berkeyakinan bahwa akar dari segala sesuatu adalah

oposisi atau perbedaan. Tanpa perbedaan dunia tidak dapat dibentuk. Hanya

dalam perbedaan unsur-unsur baru dapat lahir. Tetapi pada dasarnya

perbedaan-perbedaan atau yang banyak (the many) itu menemui

kesatuaanya dalam “Yang satu” (the one). Maksudnya, pelbagai bentuk yang

berubah-ubah dan tampaknya saling bertentangan itu sebetulnya disatukan

secara harmonis dalam “Yang satu” yaitu “logos” universal. Dalam Api

(rasio) segala sesuatu yang bertentangan disatukan.

Page 9: Bahan ajar kedua

3.2 Parmenides (k.l. 515 sM)

Uraian di atas memperlihatkan bahwa bagi Herakleitos realitas

senantiasa berada dalam perubahan. Dari perubah yang menetap, lahirlah

segala yang ada dari “the one” sebagai sumber asali.

Parmenides kemudian tampil dengan menolak konsep perubahan

seperti itu sebagaimana yang dikemukakan Herakleitos. Bagi Parmenides,

jika ada suatu prinsip dasar dibalik segala sesuatu yang berubah, maka

secara logis konsep perubahan menjadi kabur, dan fenomen perubahan pada

dasarnya hanyalah ilusi. Mengapa? Karena bagi Parmenides apa yang ada,

ada secara mutlak; atau tidak ada sama sekali. Ada secara mutlak dalam arti

apapun yang ada, ada. Kita tidak dapat menerima bahwa segala sesuatu

yang masuk ke dalam eksistensi atau ada, datang dari ketiadaan (not being).

Berarti apa yang ada, ada: dan yang tidak ada, tidak ada (being, is, not

being, is not). Bagi Parmenides, bila orang mengatakan B berasal dari

sesuatu yang telah ada (A) maka sebetulnya tidak ada sesuatu yang baru,

sebab sebelum B ada, ia sebenarnya sudah berada dalam A. Dalam arti itu

bagi Parmenides sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru atau tidak ada

perubahan. Baginya berpikir berarti berpikir tentang sesuatu; dan karena itu

kita tidak mungkin berpikir tentang sesuatu yang berubah dari tidak ada

menjadi ada. Dengan kata lain, berpikir tentang ketiadaan eksistensial (not-

being) adalah kemustahilan. Realitas (Being) ialah apa yang ada, dan bukan

sesuatu yang lain. Dalam arti itu bagi Parmenides konsep perubahan

sebagaimana dikemukakan Herakleitos perlu ditolak.

Meskipun Parmenides berhasil menunjukkan kekaburan perubahan

dalam pandangan Herakleitos namun ia tidak berhasil menghapus konsep

perubahan tersebut dari percakapan sehari-hari. Kenyataan membuktikan

bahwa dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berhadapan dengan

pelbagai peristiwa dan perubahan yang menimpa hidupnya. Itu berarti

perubahan tetap menjadi bagian pengalaman hidup manusia. Kendati

Page 10: Bahan ajar kedua

demikian penolakkan Parmenides mengingatkan manusia pada lapisan

“dunia lain” yakni lapisan ontologis atau metafisik atau realitas yang

sebenarnya dari kehidupan manusia yang sering tidak tersentuh.

Kebanyakan orang seringkali hanya mengenal lapisan dunia inderawi atau

apperance dan memandangnya sebagai realitas yang sebenarnya. Dalam

lapisan dunia inderawi perubahan selalu dialami, tetapi pada lapisan ontologi

terdapat sesuatu yang tetap. Dalam konteks itu baik Herakleitos maupun

Parmenides masing-masing memberi penekanan yang berbeda. Herakleitos

menekankan dunia onologis atau metafisik (reality). Apapun kelemahannya

tetapi kedua filsuf ini mengingatkan kita pada dua dunia yang selalu dialami

manusia dalam pengalaman hidupnya.

4. Retorika dan Dialektika

Uraian di atas kiranya cukup memperlihatkan usaha para filsuf untuk

memberikan keterangan-keterangan rasional atas berbagai fenomen yang

terjadi dalam realitas. Para filsuf pertama telah berusaha untuk mencari

prinsip dasar realitas maupun menjelaskan perubahan yang terjadi dalam

realitas dengan rasio sebagai instrumen hakiki. Rasio berfungsi sebagai

sarana eksplanatif dalam arti rasio menjadi sarana untuk mengerti dan

menjelaskan hakikat realitas. Kesamaan dasar dari usaha para filsuf pada

masa itu ialah perhatian yang terpusat pada realitas secara keseluruhan.

Baik Thales, Anaximandros, Anximenes maupun Herakleitos dan Parmenides,

mereka umumnya memusatkan perhatian mereka pada peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam realitas pada umumnya. Kendati memusatkan perhatian

pada realitas pada umumnya mereka tetap memperlihatkan jawaban

filosofis yang amat beragam tentang kosmos. Interpretasi yang beragam

terhadap realitas di satu sisi mengakibatkan skeptisisme tentang

kemampuan akal budi manusia untuk menemukan kebenaran tentang alam

semesta, tetapi di lain pihak dapat pula merangsang munculnya arah filsafat

yang baru.

Page 11: Bahan ajar kedua

Jika para filsuf pertama telah memusatkan perhatian mereka atas alam

semesta pada umumnya, maka kaum sofis dan Sokrates tampil sebagai

pembaharu yang mengubah orientasi filsafat kepada studi tentang manusia.

Mereka tidak lagi mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang prinsip-

prinsip dasar realitas. Bagi mereka filsafat harus terpusat secara langsung

pada perilaku manusia. Pertanyaan yang dihadapi berbunyi, entahkah

pikiran manusia dapat mencapai kebenaran tertinggi dan universal? Apakah

pikiran manusia bisa mencapai pengetahuan yang absolut. Pertanyaan-

pertanyaan ini semakin sulit dijawab karena dikemukakan dalam konteks

multi kultural Yunani. Bangsa Yunani yang terdiri dari pelbagai suku dan

budaya, karena itu kebenaran dan kebaikan universal berarti kebenaran dan

kebaikan yang dapat diterima semua pihak. Mungkinkah terdapat suatu

konsep universal tentang kebaikan jika manusia tak mampu mengetahui

kebenarab universal? Pertanyaan ini dijawab oleh kedua kelompok orang

yakni kaum sofis dan Sokrates.

4.1 Kaum Sofis

Kata “sofis” berasal dari bahasa Yunani “sophistis” yang berarti orang

bijaksana atau orang yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu.

Dalam abad ke-5 sM nama itu dipakai dalam arti sarjana atau cendekiawan.

Tetapi sejak abad ke-4 sM nama tersebut dipakai untuk menyebut guru-guru

yang berkeliling dari kota ke kota terutama untuk mengajar kaum muda.

Mereka (sofis) selalu menganggap diri sebagai “pemilik” kebijaksana dan

karena mereka memiliki kebijaksanaan mereka selalu berusaha untuk

memberikan kebijaksanaan atau pengetahuan itu kepada orang lain,

terutama pada kaum muda. Semangat ini tentu berbeda dengan seorang

“philosophos” senantiasa mencintai kebijaksanaan maka ia selalu berusaha

untuk mencarinya. Jiwa seorang “philosophos” adalah selalu mencari

pengetahuan atau kebijaksanaan.

Kaum sofis umumnya berasal dari latar belakang budaya yang

berbeda, serta memiliki pengetahuan yang luas dan lengkap tentang banyak

Page 12: Bahan ajar kedua

kebudayaan dan tradisi-tradisi. Mereka menaruh minat yang amat besar

pada bidang prosa dan gramatika serta ketrampilan berdebat. Kemashyuran

dan reputasi mereka terutama terletak pada usaha mereka dalam melatih

kaum mida agar mampu mengungkapkan pikiran secara jelas dan efektif.

Percakapan yang jelas dan kekuatan persuasif merupakan faktor penting

dalam pelbagai pertemuan. Mereka berpendapat bahwa suatu kebenaran

amat tergantung pada cara berbicara dan kepandaian persuasi. Semakin

pintar seseorang dalam berbicara dan semakin mampu seseorang membujuk

orang lain dengan kata-kata indah, semakin ia memperoleh kebenaran. Bagi

mereka, kebenaran amat tergantung dari kepintaran mengutarakan kata-

kata. Oleh karena itu retorika (ilmu berpidato) menjadi pisau debat yang

paling ampuh.

Konsekuensi dari pandangan ini adalah relativisme dan skeptisisme.

Relativisme dalam arti kebenaran bersifat relatif karena kebenaran

tergantung pada kesepakatan manusia dalam mencapai kebanaran itu,

sarana utama yang digunakan adalah debat. Dalam situasi seperti itu adat

istiadat semua orang dipandang memiliki kebenarannya sendiri-sendiri.

Orang Athena, orang Sparta dan orang Barbar, masing-masing memiliki

kebenarannya sendiri-sendiri. Tidak ada kebanaran universal dan mutlak.

Dalam konteks relativisme ini kaum sofis gampang dapat memperdaya kaum

muda dengan mengatakan bahwa tidak ada kebenaran dan kebaikan

obyektif. Semua yang baik, baik secara relatif, apa yang baik dapat menjadi

jahat. Konsekuensi langsung dari relativisme adalah skeptisisme dalam arti

sikap meragukan atau sikap tidak percaya bahwa pikiran manusia bisa

mencapai pengetahuan yang mutlak dan kebenaran universal. Manusia

mulai skeptis atau meragukan kemampuan rasionalnya yang mampu

mencapai pengetahuan dan kebenaran tertinggi.

4.2 Sokrates

Banyak orang Athena mengira bahwa Sokrates adalah seorang sofis.

Padahal, ia justru menampilkan diri sebagai kritikus terbesar terhadap kaum

Page 13: Bahan ajar kedua

sofis. Jika kaum sofis menganut relativisme dan skeptisisme, maka Sokrates

amat yakin bahwa pikiran manusia mampu mencapai suatu pengetahuan

tertinggi dan kebenaran universal. Sokrates adalah filsuf pertama Yunani

yang berpendapat bahwa filsafat harus memusatkan perhatian pada

manusia. Dengan kata lain, manusia harus menjadi obyek penting dalam

studi filsafat karena berbicara tentang manusia berarti berbicara tentang

kehidupan manusia. Semboyannya yang terkenal, “Kehidupan yang tak

pernah diuji atau dipertanyakan, tidak layak dihidupi”. Bagi Sokrates

kehidupan yang diuji atau dipertanyakan adalah kehidupan yang dipikirkan

dan disadari dalam arti kehidupan yang harus dijalani dengan pengetahuan

dan pengetahuan berarti kebijaksanaan. Dengan itu Sokrates

menghubungkan pengetahuan dengan tindakan atau kehidupan dengan

pendapat bahwa “mengetahui yang baik sama dengan melaksanakan yang

baik”. Pengetahuan identik dengan kebijaksanaan.

Sokrates amat sadar bahwa mengatasi relativisme dan skeptisisme

kaum sofis, ia harus menemukan dasar yang sungguh-sungguh kokoh bagi

landasan pengetahuan yang meyakinkan. Dasar itu ditemukan Sokrates

bukan dalam alam semesta di luar diri manusia, melainkan dalam diri

manusia sendiri yakni jiwa (psykhe). Menurut Sokrates, jiwa manusia

memiliki kemampuan untuk dua aktivitas sekaligus yakni aktivitas

“mengetahui” dan aktivitas “menghendaki” atau “bertindak”. Aktivitas

mengetahui menunjuk pada kemampuan jiwa manusai untuk mencapai atau

menangkap sesuatu di luar dirinya. Jiwa manusia merupakan suatu

intelegensi dan karakter yang berfungsi untuk “mengetahui” dan untuk

“mempengaruhi” atau bahkan mungkin untuk “mengarahkan” dan

“mengontrol” setiap aktivitas yang dilakukan seseorang. Keyakinan ini

menghantar Sokrates untuk tiba pada kesimpulan bahwa bila seseorang

memiliki pengetahuan tentang yang baik maka ia akan terdorong untuk

berbuat yang baik. Oleh karena itu bagi Sokrates jiwa yang baik harus diisi

dengan pengetahuan karena hanya dengan pengatahuan manusia bisa

Page 14: Bahan ajar kedua

melakukan yang baik. Semakin banyak jiwa seseorang mengetahui, semakin

banyak ia berbuat yang baik.

Demikian Sokrates menemukan jiwa sebagai landasan yang kokoh

untuk pengetahuan. Sokrates amat yakin bahwa konsepnya tentang jiwa dan

aktivitasnya memungkinkan manusia untuk mencapai pengetahuan yang

dapat diandalkan sebagai dasar moralitas. Tetapi bagaimana pengetahuan

itu dapat dicapai? Atau bagaimanakah jiwa manusia dapat diisi dengan

pengetahuan?

Pengetahuan tersebut dijawab Sokrates dengan mengatakan bahwa

cara yang paling pasti untuk mengisi jiwa dengan pengetahuan adalah

melalui metode dialektika atau praksisi percakapan atau lasim dikenal

dengan dialog. Dialektika dimulai dari suatu problem dan melalui dialog

setiap partisipan dipaksa atau didorong untuk menjelaskan ide-idenya

sehingga akan diperoleh suatu hasil akhir berupa definisi yang jelas tentang

apa yang dimaksudkan pada awal dialog. Dalam dialog Euthyphro misalnya,

Sokrates memperlihatkan dirinya sebagai seorang bidan yang berpura-pura

tidak mengetahui tentang pokok tertentu dan memancing lawan bicaranya

untuk mengungkapkan segala pengetahuan yang dimilikinya tentang pokok

tersebut. Dengan mengemukakan pertanyaan yang berurut, Sokrates

bertindak bagaikan seorang bidan yang membedah rahim intelektual agar

melahirkan pengetahuan tertinggi. Karena itu, metode dialektikanya disebut

juga ilmu kebidanan intelektual (maieutike tekhne = seni kebidanan). Dalam

metode ini Sokrates tidak saja mengajukan pertanyaan, tetapi juga

mengoreksi konsep yang tidak lengkap dari lawan bicaranya. Atas cara ini

lawan bicara dituntun kepada ekspresi kebenaran yang diketahuinya.

Metode ini berdasar pada keyakinan Sokrates bahwa jiwa manusia

mengandung kemampuan untuk mengetahui sesuatu. Oleh karena jiwa

manusia memiliki kualitas mengetahui itu maka dialog dipandang sebagai

sarana utama untuk melahirkan pengetahuan itu dari rahim intelektual

seseorang. Percakapan atau dialog antara Sokrates dengan Euthyphro di

Page 15: Bahan ajar kedua

depan istana raja Arkhon menjadi satu contoh menarik dialektika yang

dikemukakan Sokrates ini.1

Sasaran akhir dari dialektika sebagaimana diperlihatkan dalam dialog

Euthyphro adalah definisi. Menurut Sokrates, definisi ialah ide yang jelas dan

teguh. Baginya, konsep itu melandasi lapisan realitas yang berubah-ubah,

tetapi harus terdapat sesuatu yang sama dan menetap yang merajut semua

peristiwa partikular tersebut. Yang menetapkan atau tak terubahkan itulah

yang disebut definisi atau hakikat. Kita sering membandingkan antara ada

rumah yang indah, lebih indah dan sangat indah. Mengapa kita bisa

membuat perbandingan itu? Sokrates mengatakan bahwa perbandingan itu

mungkin dilakukan karena kita berpikir tentang hakikat keindahan atau ide

keindahan. Semua rumah; entah rumah itu indah, lebih indah atau sangat

indah, tetapi semuanya berpartisipasi dalam ide keindahan. Rumah-rumah

merupakan benda-benda partikular yang mendapat kesamaannya dalam ide

keindahan yang sifatnya menetap. Ide keindahan itulah yang disebut hakikat

yang bercorak universal. Manusia pun memiliki unsur-unsur partikular yang

berbeda misalnya; ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang gemuk

dan kurus, ada yang hitam dan yang putih, dst. Kendati memiliki unsur-unsur

partikular yang berbeda, mereka semua disebut manusia. Ide manusia itulah

yang disebut hakikat atau definisi.

Melalui pembuktian seperti itulah Sokrates memperlihatkan bahwa

pengetahuan yang sejati adalah mungkin dan pengetahuan itu lebih dari

sekedar meneliti fakta-fakta. Pengetahuan harus dihubungkan dengan

kekuatan akal budi untuk menemukan hakikat realitas, yaitu elemen

pemersatu yang tetap sesudah fakta-fakta partikular lenyap. Pengetahuan

yang terbatas pada fakta-fakta partikular akan menghantar orang untuk

menyimpulkan bahwa segala sesuatu berbeda-beda dan tidak ada dua hal

yang persis sama. Itulah yang diajarkan kaum sofis ketika mereka

menyebarkan pandangan bahwa kebaikan dan keadilan bercorak relatif.

1 Kisah dialog antara Sokrates dengan Euthyphro yang direkam Plato dapat dibaca dalam buku, Pengantar Berfilsafat, karya Drs. Yong Ohoitimur, MA, Jakarta: Gapura, 1997. Hlm. 37-39

Page 16: Bahan ajar kedua

Melalui metode dialektik yang menghantar pada definisi, Sokrates berhasil

memperlihatkan bahwa pengetahuan sejati atau pengetahuan tertinggi dan

kebaikan universal adalah mungkin. Jiwa manusia memungkinkan manusia

untuk mengetahui kebenaran universal atau absolut. Dengan ini Sokrates

berhasil membuktikan kekeliruan ajaran kaum sofis tentang relativisme dan

skeptisisme.

Dualisme Plato