bahan ajar ham
TRANSCRIPT
PENGANTAR HAK ASASI MANUSIA
Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan
Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak
ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian
bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya. Sebab
apabila seseorang melakukan sesuatu yang dapat dikategorikan melanggar hak
asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Hak asasi
Menurut Drs. Usman Surur, M.Pd. Hak Asasi Manusia terdiri dari rangkaian
tiga buah kata, yaitu :
1. Hak berasal dari bahasa Arab yang artinya kebenaran, dalam kamus bahasa
Indonesia juga diartikan dengan kebenaran, dan yang berkaitan dengan
kepemilikan, kekuasaan atau kewenangan
2. Asasi berasal dari bahasa Arab Asasiyyun artinya bersifat prinsip,
maksudnya sesuatu yang prinsip itu adalah hal yang amat mendasar dan
tidak boleh tidak ada
3. Manusia dalam pengertian umum adalah makhluk yang berakal budi, orang
Jawa menyebut Manungso (Manunggaling Raso), baru disebut manusia kalau
memahami perasaan orang lain, atau dalam bahasa Arab digunakan Nas dari
kata Anasa yang artinya melihat, mengetahui atau meminta ijin.
Berdasarkan rangkaian kata tersebut, maka yang dimaksud Hak Asasi Manusia
adalah sejumlah nilai yang menjadi ciri khas manusia yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
Ada 3 hak asasi manusia yang paling fundamental (pokok) dalam kehidupan
sehari – hari, yaitu :
a. Hak Hidup (life)
b. Hak Kebebasan (liberty)
c. Hak Memiliki (property)
PENGERTIAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak asasi manusia
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah,
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
John Locke
" Hak Asasi Manusia adalah hak yang dibawa sejak lahir yang secara kodrati
melekat pada setiap manusia dan tidak dapat diganggu gugat (bersifat
mutlak)."
Prof. Koentjoro Poerbopranoto (1976)
"Hak asasi manusia adalah hak yang bersifat asasi. Artinya, hak-hak yang
dimiliki manusia menurut kodratnya yang tidak dapat dipisahkan dari
hakikatnya sehingga bersifat suci."
G.J. Wolhots
"Hak-hak asasi manusia adalah sejulah hak yang melekat dan berakar pada
tabiat setiap pribadi manusia, bersifat kemanusiaan."
Jan Materson
"Anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB, merumuskan pengertian HAM dalam
“human right could be generally defines as those right which are inherent in our nature and without which we cannot live as human being” yang
artinya HAM adalah hak-hak yang secara secara inheren melekat dalam diri
manusia, dan tanpa hak itu manusia tidaka dapat hidup sebagai manusia."
Prof. Darji Darmodiharjo, S. H.
"Mengatakan : hak – hak asasi manusia adalah dasar atau hak – hak pokok
yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugrah tuhan yang maha esa. Hak –
hak asasi itu menjadi dasr dari hak dan kewajiban – kewajiban yang lain."
Muladi (1996)
"Mengemukakan pengertian HAM secara universal,yang dirumuskan sebagai those
rights which are inherent in our nature and without which we cannot live as
human being.Rumusan tersebut garus besarnya adalah segala hak-hak dasar
yang melekat dalam kehidupan manusia."
Jack Donnely
"Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena
ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia."
Miriam Budiardjo
"Berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang
telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di dalam
kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa
perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat
universal. "
Karel Vasak
"Mengklasifikasikan hak asasi manuasi dari tiga generasi yang diambil
revolusi prancis. Alasan Karel Vasak menggunakan pengistilahan “generasi”
adalah karena generasi yang dimaksud adalah dengan merujuk pada inti atau
substansi dan ruang lingkup hak yang menjadi prioritas utama pada kurun
waktu tertentu."
Menurut Maududi, HAM adalah hak kodrati yang dianugrahkan oleh Allah SWT
kepada setiap manusia dan tidak dapat dicabut atau dikurangi oleh kekuasaan
atau badan apapun. Hak-hak yang diberikan oleh Allah itu bersifat permanen,
kekal, dan abadi. Tidak boleh diubah atau dimodifikasi.
1. 2. Karakteristik, Kandungan Nilai dan Cakupan Hak Asasi Manusia
Ciri khas dari Hak Asasi Manusia, antara lain :
1) Qodrat, artinya Hak Asasi Manusia itu adalah pemberian dari Tuhan
kepada setiap manusia agar hidupnya terhormat
2) Hakiki, Hak Asasi Manusia itu melekat pada diri setiap manusia, tanpa
melihat latar belakang kehidupan dan status sosialnya
3) Universal, artinya Hak Asasi Manusia itu berlaku umum, tidak membeda-
bedakan manusia yang satu dengan yang lainnya
4) Tidak Dapat Dicabut, artinya Hak Asasi Manusia dalam keadaan
bagaimana pun, tetap ada pada setiap orang
5) Tidak Dapat Dibagi, artinya Hak Asasi Manusia itu tidak dapat
diwakili atau pun dialihkan kepada orang lain
Kandungan Nilai Hak Asasi Manusia
Kebebasan atau Kemerdekaan ; manusia dilahirkan dalam keadaan merdeka,
karena itu menjadi harapan setiap manusia menjalani kehidupannya dalam
keadaan merdeka. Seperti merdeka memilih negara, tempat tinggal,
berkeluarga, bergerak, memilih pekerjaan, berserikat, berkumpul,
berekspresi, mengemukakan pendapat, memperoleh dan mendayagunakan informasi
dan lain sebagainya
Adapun macam-macam hak asasi manusia dapat digolongkan sebagai berikut :
a. Hak asasi pribadi, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan
pribadi manusia.
A. Hak untuk memilih agama
B. Hak untuk memilih tempat tinggal
C. Hak kebebasan bergerak dalam wilayah Negara
D. Hak meninggalkan negeri dan kembali ke negeri sendiri
E. Hak atas rahasia surat menyurat
F. Hak memilih jodohnya dan sebagainya
b. Hak asasi politik, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan politik.
A. Hak ikut serta dalam pemerintahan atau
menjabat suatu jabatan pemerintahan
B. Hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum
C. Hak kebebasan berkumpul dan berapat
D. Hak kebebasan mengeluarkan pendapat, baik dengan
lisan atau tulisan
E. Hak ikut serta dalam pertahanan Negara dan
sebagainya
c. Hak asasi ekonomi, yaitu hak yang berhubungan dengan kegiatan perekonomian.
B. Hak untuk memiliki suatu benda, membeli, menjual, dan
menggunakannya
C. Hak untuk memilih pekerjaan yang disukainya
D. Hak mendapatkan pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan
E. Hak untuk mendirikan atau memasuki serikat kerja
F. Hak untuk mendapatkan upah yang cukup dan adil, dan
sebagainya.
d. Hak asasi budaya, yaitu hak yang berhubungan dengan kehidupan
bermasyarakat.
A. Hak jaminan social bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar
B. Hak mendapatkan derajat hidup yang layak bagi
kemanusiaan
C. Hak mendapat jaminan social di hari tua
D. Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran
E. Hak kebebasan melakukan pekerjaan social dan
amal
F. Hak kebebasan memberikan pengajaran dan
pendidikan yang disukainya
G. Hak kebebasan mengusahakan kebudayaan,
kesenian dan ilmu pengetahuan, dan
sebagainya.
e. Hak kesamaan kedudukan dalam hukum dah pemerintahan, yaitu hak yang
berkaiatan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan.
B. Hak mendapatkan perlakuan hokum yang sama di depan
pengadilan
C. Hak mendapat perlakuan jujurdala perkaranya dari hakim
yang tidak memihak
D. Hak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan
kesalahannyadi depan hakim
E. Hak tidak hukum yang mengakibatkan kematian perdata,
dan sebagainya
f.
.
LANDASAN HAKUM MENGENAI HAM DI INDONESIA
Pengakuan akan hak asasi manusia dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-
undangan adalah sebagai berikut.
a. Pembukaan UUD 1945 alinea pertama
Negara Indonesia sejak mas berdirinya, tidak bias lepas dari HAM
itu sendiri. Hal ini dapat dilihat pada alinea pertama UUD 1945
yang berbunyi: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa”… berdasarkan hal ini, maka bangsa Indonesia
mengakui adanya hak untuk merdeka atau bebas.
b. Pembukaan UUD 1945 alinea keempat
Pembukaan UUD 1945 alinea keempat berbunyi: kemudian dari pada
itu, untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan utnuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
berdasrkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social,
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu Undang-
Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk daalm susunan Negara
Republik Indonesia, yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Imdonesia, Kerakyatan dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilam, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sila kedua Pancasila, kemausiaan yang adil dan beradab, merupakan
landasan idiil akan pengakuan dan jaminan hak asasi manusia di
Indonesia.
c. Batang tubuh UUD 1945
Rumusan hak tersebut mencakup hak dalm bidang politik, ekonomi,
social, dan budaya yang tersebar dari pasl 27 sampai dengan pasl
34 UUD 1945.
d. Ketetapan MPR
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 adalah tentang Hak Asasi Manusia.
Macam-macam hak asasi manusia yang tercantum dalam ketetapan ini
adalah:
a. Hak untuk hidup
b. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
c. Hak keadilan
d. Hak kemerdekaan
e. Hak atas kebebasan informasi
f. Hak keamanan
g. Hak kesejahteraan
h. Kewajiban
i. Perlindungan dan pemajuan
e. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang tentang HAM di Indonesia adalah Undang-Undang nomor
39 tahun 1999, sebagai berkut:
1. Hak untuk hidup (pasal 4)
2. Hak untuk berkeluarga (pasal 10)
3. Hak untuk mengembangkan diri (pasal 11, 12, 13, 14, 15, dan
16).
4. Hak untuk memperoleh keadilan (pasal 17, 18, 19).
5. Hak atas kebebasan pribadi (pasal 20 – 27).
6. Hak atas rasa aman (pasal 28 – 35).
7. Hak atas kesejahteraan (pasal 36 – 42)
8. Hak turut serta dalam pemerintahan (pasl 43 – 44)
9. Hak wanita (pasl 45 – 51).
10. Hak anak (pasal 52 – 66).
Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia telah memiliki
tiga undang-undang dasar dengan empat kali masa berlaku yaitu : Undang-
undang Dasar 1945 yang berlaku mulai dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27
Desember 1949, Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang
mulai berlaku pada tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950, dan Undang-
undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang di berlakukan 17 agustus 1950 – 5
Juli 1959. Lalu sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang konstitusi
Negara Indonesia kembali pada Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam konstitusi RIS tentang HAM di atur dalam pasal 7 - 33. Sedangkan
dalam UUDS tahun 1950 tentang HAM ini di atur dalam pasal 7 – 34.
Pengaturan tentang Hak Asasi manusia dalam UUDS 1950 merupakan pemindahan
dari pasal-pasal yang terdapat dalam konstitusi RIS hanya berubah satu
kalimat saja dan penambahan satu pasal.
Ketika para pendiri negara (founding fathers) merumuskan Konstitusi Negara
RI tahun 1945 juga tidak lepas dari diskursus tersebut. Prof. Soepomo
memandang HAM sangat identik dengan ideologi individual-liberal yang
karenanya tidak cocok dengan sifat kekeluargaan bangsa Indonesia. Sementara
M. Yamin berpendapat bahwa tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan
alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam UUD yang sedang dirancang.
Dari pertentangan pemikiran tersebut akhirnya tercapai kompromi untuk
memasukkan beberapa prinsip HAM dalam UUD yang sedang dirancang. Wujudnya
adalah tampak pada pasal 27, 28, 29, 31, dan 34 UUD 1945. Dibanding dengan
UUDS Tahun 1950 yang memuat 36 pasal (pasal 7 – pasal 43) terkait HAM,
tentu saja pemuatan HAM dalam UUD 1945 relatif lebih sedikit.
Kemudian berbagai pihak berpendapat bahwa untuk melengkapi UUD 1945 yang
berkaitan dengan HAM, melalui MPRS dalam sidang-sidangnya awal orde baru
telah menyusun Piagam Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban
Warg Negara. MPRS telah menyampaikan nota MPRS kepada presiden dan DPR
tentang pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Karena berbagai kepentingan
politik pada saat itu, akhirnya tidak jadi di berlakukan. Dapat dilihat
bahwa pada saat itu pemerintahan Orde abaru bersifat anti terhadap piagam
HAM, dan beranggapan bahwa masalah HAM sudah di atur di berbagai peraturan
perundang-undangan. Untuk menghapus kekecewaan pada kepada bangsa Indonesia
terhadap piagam HAM, maka MPR pada sidang Istimewanya pada tanggal 11
Nopember 1998 mensahkan ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menugaskan
kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh Apratur Pemerintah, untuk
menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada
seluruh masyarakat. Ketetapan ini juga menegaskan kepada Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat untuk meratifikasi berbagai instrumen PBB tentang HAM,
sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Perkembangan demokrasi dan HAM pada era orde baru belum berjalan dengan
baik. Meski demikian terdapat beberapa peraturan yang menyangkut tentang
HAM yang lahir pada masa orde baru. Hal tersebut lebih disebabkan faktor
keanggotan Indonesia sebagai anggota PBB, penghormatan terhadap Piagam PBB
dan Deklarasi Universal HAM serta untuk perlindungan, pemajuan, penegakan
dan pemenuhan HAM sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan bangsa
Indonesia, Pancasila dan Negara berdasarkan atas Hukum telah menetapkan:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 Tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita
2. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Hak-Hak Anak,
3. Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional HAM.
Pada tanggal 15 Agustus 1998 Presiden B.J. Habibie telah menetapkan
berlakunya
Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rencana Aksi Nasional Hak-Hak Asasi
Manusia Indonesia 1998-2003 atau yang disebut RAN HAM. Dalam Keppres
tersebut ditegaskan bahwa RAN HAM akan dilaksanakan secara bertahap dan
berkesinambungan dalam program 5 (lima) tahunan yang akan ditinjau dan
disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi begitu cepat dalam lingkup domestik
maupun Internasional dan kehadiran Kementrian Negara Urusan Hak Asasi
Manusia pada Kabinet Persatuan Nasional (yang kemudian digabungkan dengan
Depatemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi Departemen Kehakiman dan Hak
Asasi Manusia) membuat RAN HAM harus disesuaikan.
Sebagai tindak lanjut dari Keppres Nomor 129 Tahun 1998 maka ditetapkanlah
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang merupakan penetapan dari pengesahan
Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman
lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia)
Pada tanggal 23 September 1999 diberlakukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berlandaskan pada Ketetapan MPR Nomor
XVII/MPR/1998. Selain diatur mengenai Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar
Manusia, dalam UU HAM juga diatur beberapa hal yang berkaitan dengan
Kewajiban Dasar Manusia.
Pada tanggal 8 Oktober 1999 Pemerintah membentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1999 Tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia. Keluarnya Perpu tersebut didasarkan pada pertimbangan untuk
menjaga agar pelaksanaan HAM sesuai dengan harkat dan martabat manusia
serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman bagi
perorangan maupun masyarakat maka perlu diambil tindakan atas pelanggaran
terhadap HAM.
B. HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945
Memasukan norma HAM ke dalam Undang-undang Dasar Indonesia merupakan
perjuangan yang panjang. Pada awal Negara di bentuk telah menjadi
pertentangan antara pendiri Negara dan perancang konstitusi tentang perlu
atau tidaknya HAM dimasukan ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
Pertentangan tersebut terjadi karena adanya pandangan bahwa prinsip HAM
identik dengan ideology liberal-individual yang tidak sesuai dengan jiwa
bangsa.
Perdebatan mengenai masalah ini mencapai titik temu ketika disetujui adanya
pembatasan HAM yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Karena itu, pemahaman
terhadap Pasal 28J pada saat itu adalah pasal mengenai pembatasan HAM yang
bersifat sangat bebas dan indvidualistis itu dan sekaligus pasal mengenai
kewajiban asasi. Jadi tidak saja hak asasi tetapi juga kewajiban asasi.
Karena itulah, dengan undang-undang, hak dan kebebasan yang telah
dicantumkan dalam pasal-pasal sebelumnya dapat dibatasi dengan maksud
semata-mata :
1. untuk menjamin pengakuan serta penghormatan dan pembatasan terhadap hak
dan kebebasan orang lain dan
2. untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Pada saat itu rumusan pasal 28I ayat (1) (yang terkenal dengan pasal
retroaktif) hampir deadlock karena ada yang tidak setuju terhadap rumusan
Pasal 28I ayat (1) itu. Akhirnya rumusan Pasal 28I ayat (1) dapat diterima
dan disahkan dengan pengertian yang utuh dengan rumusan Pasal 28J. Jadi
pasal 28I, tidak dapat ditafsirkan secara independen. Hal ini ditegaskan
kembali dalam buku sosialisasi hasil Perubahan UUD yang dikeluarkan oleh
MPR RI. Sedangkan kekhawatiran tidak terakomodirnya prinsip-prinsip
kolektivitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai agama terjawab dengan
rumusan bagian akhir dari pasal 28J itu. Berdasarkan pertimbangan itulah
dalam hal-hal tertentu rektroaktive itu dimungkinkan sebagaimana yang
diatur dalah undang-undang pengadilan HAM.
Pasal lain yang menyita waktu perdebatan dan loby yang melelahkan adalah
rumusan Pasal 28E ayat (1). Terkait dengan “aliran kepercayaan”. Semula
tiga baris pertama rumusan ayat (1) tersebut kata “dan kepercayaannya
itu” setelah kata agama, yang mengikuti rumusan Pasal 29 ayat (2).
Penambahan kata “kepercayaannya itu” ditentang oleh sebagian anggota dan
meminta agar dua kata tersebut dihapuskan. Pada sisi lain anggota yang
sangat keberatan dengan penghapusan dua kata itu, karena dua kata tersebut
tercantum juga dalam pasal 29 ayat (2). Jalan keluar atas perbedaan ini
yang disetujui bersama adalah mengenai aliran kepercayaan diakomodir pada
ayat (2) Pasal 28E ini yaitu hak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurananinya.
Berikut adalah nilai-nilai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar
1945:
1. Kemerdekaan ialah hak segala bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea pertama
)
2. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan (Pembukaan UUD, alinea pertama
)
3. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
(Pembukan UUD 1945, alinea ke empat)
4. Memajukan kesejahteraan umum (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
5. Mencerdaskan kehidupan bangsa (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
6. Ikut melaksanakan ketertiban dunia (Pembukaan UUD 1945, alinea keempat)
7. Hak atas persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27
Ayat 1 UUD 1945)
8. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2 UUD 1945)
9. Hak dan kewajiban ikut serta dalam upaya pembelaan Negara (Pasal 27 Ayat
3 UUD 1945)
10. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul (Pasal 28 UUD 1945)
11. Kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (Pasal 28 UUD
1945)
12. Hak untuk hidup (Pasal 28A UUD 1945)
13. Hak bekeluarga (Pasal 28B UUD 1945)
14. Hak mengembangkan diri (Pasal 28C UUD 1945)
15. Hak mendapatkan keadilan (Pasal 28D UUD 1945)
16. Hak Kebebasan (Pasal 28E UUD 1945)
17. Hak berkomunikasi (Pasal 28F UUD 1945)
18. Hak mendapatkan keamanan (Pasal 28G UUD 1945)
19. Hak mendaptkan kesejahteraan (Pasal 28H UUD 1945)
20. Hak memperoleh perlindungan (Pasal 28I UUD 1945)
21. Kewajiban menghormati hak orang lain (Pasal 28J UUD 1945)
22. Kewajiban tunduk pada undang-undang (Pasal 28J UUD 1945)
Prinsip HAM ini telah di akui dalam Undang-Undang Dasar negar Indonesia HAM
dalam UUD 1945 yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus
dipatuhi oleh negara. Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-
ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh
negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab
negara terutama pemerintah.
C. HAM dalam UU No.39 Tahun 1999
Dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun
2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Hak Asasi Manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah
dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
UU No. 39 Tahun 1999 ini memuat norma-norma ataupun prinsip-prinsip HAM
yang dihasilkan berbagai deklarasi, konvensi, maupun oleh statute Roma,
maka masalah HAM di Indonesia telah menggunakan standar International
(khususnya standar barat) yang selama orde baru berkuasa dan bahkan oleh
cina dan Malaysia sangat berhati-hati dalam mengadopsinya.
Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia di Indonesia disahkan pada tanggal
23 September 1999. Undang-undang ini terdiri atas 11 bab dan 106 pasal yang
antara lain memuat hak-hak sebagai berikut :
1. Hak untuk hidup (Pasal 9)
2. Hak berkeluaga dan melanjutkan keturunan (Pasal 10)
3. Hak mengembangkan diri (Pasal 3-6)
4. Hak memperoleh keadilan (Pasal 17-19)
5. Hak atas kebebasan pribadi (Pasal 20-27)
6. Hak atas rasa aman (Pasal 28-35)
7. Hak kesejahteraan (Pasal 36-42)
8. Hak turut serta dalam pemerintahan (Pasal 43-44)
9. Hak wanita (Pasal 45-51)
10. Hak anak (Pasal 52-66)
D. HAM Dalam Undang-Undang Lainnya Di Indonesia
1. Undang-undang No 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
Pengadilan HAM adalah Pengadilan Khusus terhadap pelanggaran Hak Asasi
Manusia yang berat. Pelanggaran HAM yang berat diperiksa dan diputus oleh
Pengadilan HAM baik pelanggaran HAM dilakukan oleh perseorangan, kelompok
orang sipil maupun militer .
Pelanggaran HAM berat yang meliputi :
a. Kejahatan Genosida
b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Menurut Pasal 8 Undang-Undang No 26 tahun 2000 Kejahatan Genosida adalah
setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis,
kelompok agama, dengan cara:
1) Membunuh anggota kelompok;
2) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-
anggota kelompok;
3) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
4) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran didalam
kelompok; atau
5) Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
Kejahatan terhadap kemanusiaan
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditunjukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
1) Pembunuhan;
2) Pemusnahan;
3) Perbudakan;
4) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
5) Perampasan kemerdekaan atau perampasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
6) Penyiksaan;
7) Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau strelisasi secara aksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
8) Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu yang didasari persamaan
paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau
alasan laim yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang
menrut hukum internasional;
9) Penghilangan orang secara paksa; atau
10) Kejahatan apartheid.
Pengadilan HAM berada diperadilan khusus yang berada diperadilan umum,
Pengadilan HAM berkedudukan didaerah kabupaten atau kota yang daerah
hukumnnya meliputi daerah hukum Pengadilan Negeri yang bersangkutan dan
untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, pengadilan HAM berkedudukan di setiap
wilayah Pengadilan Negeri yang bersnagkutan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak
Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 yang berdasarkan kepada UU No 39 Th
1999 bahwa Negara Kesatuan republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-
tipa warganegaranya, termasuk perlindungan terhadap hak-hak yang merupakan
hak asasi manusia dan agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab
tersebut, maka ia perlu mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk
tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta mewujudkan
kesejahteraan anak dengan memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya
serta adanya perlauan tanpa diskriminasi. Untuk mewujudkan perlindungan dan
kesejahteraan anak diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-
undangan yang dapat menjamin pelaksanaannya.
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan yang memerlukan perlindungan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,
dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasasn dan diskriminasi .
Dalam pasal 2 UU no 23 tahun 2002 mempunyai prinsip-prinsip dasar konvensi
hak-hak anak yang meliputi:
a. Non diskriminasi;
b. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. Penghargaan terhadap pendapat anak
3. Undang-Undang republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Masuknya undang-undang ini yang berhubungan dengan HAM diIndonesia ini
mengacu pada Pasal 28A, Pasal 28B, pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal
28 E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J yang terdapat
dalam Undang-Undang dasar 1945 Tentang HAM.
Dalam Pasal 1 UU No 23 th 2004 kekerasan rumah tangga adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup
rumah tangga. Pengahpusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang
diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga, menindak pelaku kekerasan korban rumah tangga, dan melindungi
korban kekerasan rumah tangga.
Ruang lingkup rumah tangga meliputi:
a. Suami, istri, anak
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan sebagaimana dimaksud
pada huruf a karena hubungan darah perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan
perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Penghormatan hak asasi manusia;
b. Keadilan dan kesetaraan gender;
c. Nondiskriminasi; dan
d. Perlindungan korban
Setiap orang dilarangt melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
ruang lingkup rumah tangganya, dengan cara :
Kekerasan fisik
Kekerasan psikis
Kekerasan seksual, atau
Penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit, atau luka berat. Kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertidak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada
seseorang.
Sedangkan kekerasan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam lingkup rumah tangga tersebut; pemaksaan hubungan seksual terhadap
seorang dalam lingkup rumah tagganya dengan orang lain untuk tujuan
komersial dan atau tujuan tertentu.
Dalam Pasal 10 korban yang mengalami KDRT berhak mendapatkan perlindungan
dari pihak keluarga, kepolisisan. Kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga
sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah, pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, penanganan
secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban, pendampingan oleh
pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan pelayanan
bimbingan rohani.
Sumber:
Muladi, 2005. HAK ASASI MANUSIA Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam
Perspektif Hukum dan masyarakat. PT Refika Aditama. Bandung.
Peter Baehr, 2001 Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia,
Yayasan Obor Indonesia,
Philipus M. Hadjon, 2007. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia (suatu
studi tentang Prinsip-prinsipnya, penanganannya oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum dan pembentukan peradilan administrasi),
Peradaban,
Satya Arinanto, 2005 Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,
Cet. II, Pusat Studi Hukum Tata Negara, Jakarta.
Darsim Budimansyah, 2004. PKn untuk SMP, Epsilon Grup, Bandung.
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilah HAM
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan dalam Rumah
Tangga
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang (PTPPO)
Hendaarmin Ranadineksa, Pengertian HAM, diunduh melalui , pada 19-09-2011
(20.00 WIB)
Hamdan Zoelvan, Konsekuensi Implementasi HAM dalam UUD 1945, diunduh
melalui , pada 19-11-2011 (20.30 WIB
1. 3. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
Pada umumnya para pakar HAM berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan
lahirnya Magna Charta. Sejak lahirnya piagam ini maka dimulailah babak
baru bagi pelaksanaan HAM yaitu jika raja melanggar hukum, ia harus di
adili dan mempertanggung jawabkan kebijaksanaannya kepada parlemen. Artinya
sejak itu, sudah mulai dinyatakan bahwa raja terikat dengan hukum dan
bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat undang-undang
pada masa itu lebih banyak berada ditangannya. Dengan demikian, kekuasaan
raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarki konstitusional yang
berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.[7]
Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih
konkret, dengan lahirnya Bill Of Right di inggris pada tahun 1689.
Berbarengan dengan peristiwa itu timbullah adagium yang intinya bahwa
manusia sama dimuka hukum (Equality Before The Law). Adagium ini
selanjutnya memperkuat dorongan timbulnya supremasi Negara hukum dan
domokrasi. Kehadiran Bill Of Right telah menghasilkan asas persamaan harus
diwujudkan, betapapun berat resikonya yang dihadapi, karena hak kebebasan
baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan.[8]
Untuk mewujudkan asas persamaan itu maka lahirlah teori “kontrak sosial”
J.J. Rosseau. Setelah itu kemudian disusul oleh Mountesquieu dengan doktrin
trias politikanya yang terkenal yang mengajarkan pemisahan kekuasaan untuk
mencegah tirani. Selanjutnya jhon locke di inggris dan Thomas Jefferson di
AS dengan gagasan tentang hak-hak dasar kebebasan dan persamaan.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan kemunculan the American
declaration of independence di Amerika Serikat yang lahir dari semangat
paham Rosseau dan Monesquieu. Jadi sekalipun di Negara kedua tokoh HAM itu
yakni Inggris dan Perancis belum lahir rincian HAM, namun telah muncul
amerika. Sejak inilah mulai dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak
di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah masuk akal bila sesudah lahir ia
harus dibelenggu. [9]
Selanjutnya pada tahun 1789 lahir The French Declaration, dimana hak-hak
asasi manusia ditetapkan lebih rinci lagi yang kemudian menghasilkan
dasar-dasar Negara hukum atau The Rule Of Law,dalam dasar-dasar ini antara
lain dinyatakan bahwa tidak boleh terjadi penangkapan dan penahanan yang
semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alas an yang sah atau ditahan tanpa
surat perintah, yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Di dalamnya
dinyatakan pula asas presumpsion of innocence, yaitu bahwa orang-orang yang
ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah
sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap menyatakan ia
bersalah. Selanjutnya dipertegas juga dengan asas freedom of
expression (kebebasan mengeluarkan pendapat), freedom of
religion (kebebasan menganut keyakinan atau agama yang dikehendaki), the
right of property (perlindungan hak milik), dan hak-hak dasar lainnya.[10]
Penting untuk diketahui bahwa The Four Freedoms dari presiden Roosevelt
yang dinyatakan pada 6 januari 1941, “pertama, kebebasan berbicara dan
menyatakan pendapat. Kedua, kebebasan memeluk agama dan beribadah sesuai
dengan ajaran agama yang diperlukannya. Ketiga, kebebasan dari kemiskinan
dalam Pengertian setiap bangsa berusaha mencapai tingkat kehidupan yang
damai dan sejahtera bagi penduduknya. Keempat, kebebasan dari ketakutan,
yang meliputi usaha, pengurangan persenjataan, sehingga tidak satupun
bangsa berada dalam posisi berkeinginan untuk melakukan serangan terhadap
tetangganya”.[11]
Latar belakang sejarah hak asasi manusia pada hakikatnya muncul karena
keinsyafan manusia terhadap harga diri, harkat dan martabat kemanusiaannya,
sebagai akibat tindakan sewenang-wenang dari penguasa, penjajahan,
perbudakan ketidakadilan dan kelaliman (tirani) yang hampir melanda seluruh
umat manusia, di antaranya :
Tahun 2500 – 1000 SM ; (1) Perjuangan Nabi Ibrahim AS. melawan kelaliman
Raja Namruds, (2) Nabi Musa AS. memerdekakan bangsa Yahudi dari perbudakan
Raja Fir’aun di Mesir agar terbebas dari kesewenang-wenangan, dan (3)
Hukum Hammurabi pada masyarakat Babylonia yang menetapkan ketentuan-
ketentuan hukum yang menjamin keadilan bagi warganya
Tahun 600 SM ; di Athena Yunani, Solon telah menyusun Undang-undang yang
menjamin keadilan dan persamaan bagi setiap warganya. Untuk itu ia
membentuk Haliaea, yaitu Mahkamah Keadilan untuk melindungi orang-orang
miskin, dan Majelis Rakyat atau ‘Ecclesia’ yang karena itu ia dianggap
sebagai Bapak Pengajar Demokrasi, perjuangan Solon ini didukung juga oleh
Pericles, seorang tokoh negarawan Athena
Tahun 527 – 322 SM ; (1) Kaisar Romawi, Flavius Anacius Justianus
menciptakan peraturan hukum modern yang terkodifikasi, ‘Corpus Iuris’
sebagai jaminan atas keadilan dan hak-hak asasi manusia, (2) pada masa
kebangkitan, Yunani banyak melahirkan filsuf terkenal dengan visi hak asasi
seperti, Socrates dan Plato sebagai peletak dasar diakuinya hak-hak asasi
manusia, serta Aristoteles yang mengajarkan tentang pemerintahan
berdasarkan kemauan dan cita-cita mayoritas warga
Tahun 30 SM – 632 M ; Kitab suci Injil yang dibawa Nabi Isa Almasih,
sebagai peletak dasar etika Kristiani dan ide pokok tingkah laku manusia
agar senantiasa hidup dalam cinta kasih, baik terhadap Tuhan maupun sesama
manusia, (2) Kitab suci Al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
banyak mengajarkan tentang toleransi, berbuat adil, tidak boleh memaksa,
bijaksana, serta menerapkan kasih sayang, selain itu ‘Madinah Charter’
sebagai dokumen tertulis perjanjian perdamaian antar seluruh komunitas di
Madinah setelah Nabi Muhammad SAW. hijrah, selaku konstitusi pembentukan
negara Madinah, juga menetapkan perlindungan atas hak asasi manusia
Tahun 1215 ; salah satu langkah awal terjadinya gerakan Rasionalisme dan
Humanisme di Eropa bergolak secara revolusioner di bidang hukum, hak asasi,
dan ketatanegaraan pada abad XVII-XIX, yaitu lahirnya Magna Charta
(Pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia) di Inggris, yang
dipelopori antara lain John Locke dan Thomas Aquino
Tahun 1679 ; Habeas Corpus Act, di Britania Raya, yaitu jaminan kebebasan
warga negara dan mencegah pemenjaraan yang sewenang-wenang terhadap rakyat
Tahun 1689 ; Bill of Rights di Britania Raya, yaitu Undang-undang tentang
hak-hak dan kebebasan warga negara
Tahun 1776 ; Declaration of Indefendence di Amerika yang banyak dipengaruhi
ajaran J.J. Rousseau (Prancis), hak asasi secara resmi termuat dalam
Constitution of United States of America (USA) tahun 1787, berkat jasa
presiden Thomas Jeferson, yang disusul Abraham Licoln, Woodrow Wilson dan
lain-lain
Tahun 1789 ; Declaration des Droit de I’homme et Du Citoyen, yaitu
pernyataan hak-hak asasi manuisa dan warga negara sebagai hasil revolusi
Prancis di bawah kepemimpinan Jenderal Lafayatte dengan simbol Liberte,
Egalite, dan Freternite (kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan), untuk
menjamin hak asasi manusia tercantum dalam konstitusi. Revolusi ini
diprakarsai oleh para pemikir besar Prancis, seperti : J.J. Rousseau,
Voltaire dan Montesquieu. Pada tahun berikutnya diikuti oleh konstitusi
negara lain seperti, Belgia (1831), Jerman (1919), Autralia dan Ceko
(1920), Uni Sovyet (1936), dan Indonesia (1945)
Tahun 1941 ; Atlantic Charter yang muncul pada saat berkobarnya perang
dunia II, dengan pelopornya F.D. Roosevelt, yang menyebutkan empat
kebebasan (The Four Freedom) sebagai tiang penyangga hak-hak asasi yang
mendasar, yaitu : (1) kebebasan untuk berbicara dan mengeluarkan pendapat,
(2) kebebasan untuk beragama, (3) kebebasan dari rasa takut, dan (4)
kebebasan dari kemelaratan
Tahun 1948 ; lahirnya Universal Declaration of Human Rights yang diterima
dan diumumkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10
Desember 1948 (tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari Hak Asasi
Manusia Internasional) melalui resolusi 217 A (III), yaitu pernyataan
sedunia tentang hak-hak asasi manusia atau juga disebut Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang terdiri atas 30 pasal. Piagam tersebut
menyerukan kepada semua anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bangsa lain
di dunia untuk menjamin dan mengakui hak-hak asasi manusia yang termuat di
dalam konstitusi negara masing-masing. Pesan moral dari deklarasi ini
adalah jangan ada perang, jangan ada kesewenang-wenangan dari yang punya
kekuatan, karena itu harus ada usaha yang sungguh-sungguh untuk menjunjung
tinggi martabat manusia (Human Dignity), agar tetap menjadi makhluk mulia
Tahun 1966 ; hasil sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tanggal 16 Desember 1966 menerima ‘Covenants on Human Rights’ Resolusi
2200 A (XXI), Covenants telah diakui dalam hukum Internasional dan
diratifikasi oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu
antara lain :
1. The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yaitu
memuat tentang hak-hak sipil dan hak-hak politik (seperti berkaitan
dengan persamaan hak antara pria dan wanita)
2. The International Covenant on Economic, Social and Culture Rights
(ICESCR), yaitu berisi syarat-syarat dan nilai-nilai bagi sistem
demokrasi ekonomi, sosial dan budaya
3. Optional Protocol, yaitu adanya kemungkinan seorang warga negara yang
mengadukan pelanggaran hak asasi kepada ‘The Human Rights Committee’
Perserikatan Bangsa-Bangsa setelah melalui upaya pengadilan di negaranya
Tahun 1986 ; tepat pada tanggal 04 Desember 1986, Sidang Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa kembali telah mensahkan Deklarasi tentang Hak untuk
Pembangunan, inti deklarasi ini adalah menegaskan kembali komitmen
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui
pembangunan seluruh aspek kehidupan dengan tetap mengedepankan penghormatan
terhadap hak asasi manusia
Sebelum dibahas lebih mendalam mengenai hak asasi manusia di Indonesia,
terlebih dahulu kita membahas sekelumit sejarah perkembangan dan perumusan
hak asasi manusia di Dunia. Perkembangan atas pengakuan hak asasi manusia
ini berjalan secara perlahan dan beraneka ragam. Perkembangan tersebut
antara lain dapat ditelusuri sebagai berikut.
1. Hak Asasi Manusia di Yunani
Filosof Yunani, seperti Socrates (470-399 SM) dan Plato (428-348 SM)
meletakkan dasar bagi perlindungan dan jaminan diakuinya hak – hak asasi
manusia. Konsepsinya menganjurkan masyarakat untuk melakukan sosial kontrol
kepada penguasa yang zalim dan tidak mengakui nilai – nilai keadilan dan
kebenaran. Aristoteles (348-322 SM) mengajarkan pemerintah harus
mendasarkan kekuasaannya pada kemauan dan kehendak warga negaranya.
2. Hak Asasi Manusia di Inggris
Inggris sering disebut–sebut sebagai negara pertama di dunia yang
memperjuangkan hak asasi manusia. Tonggak pertama bagi kemenangan hak-hak
asasi terjadi di Inggris. Perjuangan tersebut tampak dengan adanya berbagai
dokumen kenegaraan yang berhasil disusun dan disahkan. Dokumen-dokumen
tersebut adalah sebagai berikut :
MAGNA CHARTA
Pada awal abad XII Raja Richard yang dikenal adil dan bijaksana telah
diganti oleh Raja John Lackland yang bertindak sewenang–wenang terhadap
rakyat dan para bangsawan. Tindakan sewenang-wenang Raja John tersebut
mengakibatkan rasa tidak puas dari para bangsawan yang akhirnya berhasil
mengajak Raja John untuk membuat suatu perjanjian yang disebut Magna
Charta atau Piagam Agung.
Magna Charta dicetuskan pada 15 Juni 1215 yang prinsip dasarnya
memuat pembatasan kekuasaan raja dan hak asasi manusia lebih penting
daripada kedaulatan raja. Tak seorang pun dari warga negara merdeka
dapat ditahan atau dirampas harta kekayaannya atau diasingkan atau
dengan cara apapun dirampas hak-haknya, kecuali berdasarkan pertimbangan
hukum. Piagam Magna Charta itu menandakan kemenangan telah diraih sebab
hak-hak tertentu yang prinsip telah diakui dan dijamin oleh pemerintah.
Piagam tersebut menjadi lambang munculnya perlindungan terhadap hak-hak
asasi karena ia mengajarkan bahwa hukum dan undang-undang derajatnya
lebih tinggi daripada kekuasaan raja.
Isi Magna Charta adalah sebagai berikut :
Raja beserta keturunannya berjanji akan menghormati kemerdekaan,
hak, dan kebebasan Gereja Inggris.
Raja berjanji kepada penduduk kerajaan yang bebas untuk
memberikan hak-hak sebagi berikut :
Para petugas keamanan dan pemungut pajak akan menghormati hak-
hak penduduk.
Polisi ataupun jaksa tidak dapat menuntut seseorang tanpa
bukti dan saksi yang sah.
Seseorang yang bukan budak tidak akan ditahan, ditangkap,
dinyatakan bersalah tanpa perlindungan negara dan tanpa alasan
hukum sebagai dasar tindakannya.
Apabila seseorang tanpa perlindungan hukum sudah terlanjur
ditahan, raja berjanji akan mengoreksi kesalahannya.
PETITION OF RIGHTS
Pada dasarnya Petition of Rights berisi pertanyaan-pertanyaan
mengenai hak-hak rakyat beserta jaminannya. Petisi ini diajukan oleh
para bangsawan kepada raja di depan parlemen pada tahun 1628. Isinya
secara garis besar menuntut hak-hak sebagai berikut :
Pajak dan pungutan istimewa harus disertai persetujuan.
Warga negara tidak boleh dipaksakan menerima tentara di rumahnya.
Tentara tidak boleh menggunakan hukum perang dalam keadaan damai.
HOBEAS CORPUS ACT
Hobeas Corpus Act adalah undang- undang yang mengatur tentang
penahanan seseorang dibuat pada tahun 1679. Isinya adalah sebagai
berikut :
Seseorang yang ditahan segera diperiksa dalam waktu 2 hari
setelah penahanan.
Alasan penahanan seseorang harus disertai bukti yang sah menurut
hukum.
BILL OF RIGHTS
Bill of Rights merupakan undang-undang yang dicetuskan tahun 1689 dan
diterima parlemen Inggris, yang isinya mengatur tentang :
Kebebasan dalam pemilihan anggota parlemen.
Kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Pajak, undang-undang dan pembentukan tentara tetap harus seizin
parlemen.
Hak warga Negara untuk memeluk agama menurut kepercayaan masing-
masing .
Parlemen berhak untuk mengubah keputusan raja.
3. Hak Asasi Manusia di Amerika Serikat
Pemikiran filsuf John Locke (1632-1704) yang merumuskan hak-hak
alam,seperti hak atas hidup, kebebasan, dan milik (life, liberty, and
property) mengilhami sekaligus menjadi pegangan bagi rakyat Amerika sewaktu
memberontak melawan penguasa Inggris pada tahun 1776. Pemikiran John Locke
mengenai hak – hak dasar ini terlihat jelas dalam Deklarasi Kemerdekaan
Amerika Serikat yang dikenal dengan DECLARATION OF INDEPENDENCE OF THE
UNITED STATES.
Revolusi Amerika dengan Declaration of Independence-nya tanggal 4 Juli
1776, suatu deklarasi kemerdekaan yang diumumkan secara aklamasi oleh 13
negara bagian, merupakan pula piagam hak – hak asasi manusia karena
mengandung pernyataan “Bahwa sesungguhnya semua bangsa diciptakan sama
derajat oleh Maha Pencipta. Bahwa semua manusia dianugerahi oleh
Penciptanya hak hidup, kemerdekaan, dan kebebasan untuk menikmati
kebhagiaan.
John Locke menggambarkan keadaan status naturalis, ketika manusia telah
memiliki hak-hak dasar secara perorangan. Dalam keadaan bersama-sama, hidup
lebih maju seperti yang disebut dengan status civilis, locke berpendapat
bahwa manusia yang berkedudukan sebagai warga negara hak-hak dasarnya
dilindungi oleh negara.
Declaration of Independence di Amerika Serikat menempatkan Amerika
sebagai negara yang memberi perlindungan dan jaminan hak-hak asasi manusia
dalam konstitusinya, kendatipun secara resmi rakyat Perancis sudah lebih
dulu memulainya sejak masa Rousseau. Kesemuanya atas jasa presiden Thomas
Jefferson presiden Amerika Serikat lainnya yang terkenal sebagai
“pendekar” hak asasi manusia adalah Abraham Lincoln, kemudian Woodrow
Wilson dan Jimmy Carter.
Amanat Presiden Flanklin D. Roosevelt tentang “empat kebebasan” yang
diucapkannya di depan Kongres Amerika Serikat tanggal 6 Januari 1941 yakni
:
Kebebasan untuk berbicara dan melahirkan pikiran (freedom of speech and
expression).
Kebebasan memilih agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya
(freedom of religion).
Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear).
Kebebasan dari kekurangan dan kelaparan (freedom from want).
Kebebasan- kebebasan tersebut dimaksudkan sebagai kebalikan dari
kekejaman dan penindasan melawan fasisme di bawah totalitarisme Hitler
(Jerman), Jepang, dan Italia. Kebebasan – kebebasan tersebut juga
merupakan hak (kebebasan) bagi umat manusia untuk mencapai perdamaian dan
kemerdekaan yang abadi. Empat kebebasan Roosevelt ini pada hakikatnya
merupakan tiang penyangga hak-hak asasi manusia yang paling pokok dan
mendasar.
4. Hak Asasi Manusia di Prancis
Perjuangan hak asasi manusia di Prancis dirumuskan dalam suatu naskah
pada awal Revolusi Prancis. Perjuangan itu dilakukan untuk melawan
kesewenang-wenangan rezim lama. Naskah tersebut dikenal dengan DECLARATION
DES DROITS DE L’HOMME ET DU CITOYEN yaitu pernyataan mengenai hak-hak
manusia dan warga negara. Pernyataan yang dicetuskan pada tahun 1789 ini
mencanangkan hak atas kebebasan, kesamaan, dan persaudaraan atau
kesetiakawanan (liberte, egalite, fraternite).
Lafayette merupakan pelopor penegakan hak asasi manusia masyarakat
Prancis yang berada di Amerika ketika Revolusi Amerika meletus dan
mengakibatkan tersusunnya Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen.
Kemudian di tahun 1791, semua hak-hak asasi manusia dicantumkan seluruhnya
di dalam konstitusi Prancis yang kemudian ditambah dan diperluas lagi pada
tahun 1793 dan 1848. Juga dalam konstitusi tahun 1793 dan 1795. revolusi
ini diprakarsai pemikir – pemikir besar seperti : J.J. Rousseau, Voltaire,
serta Montesquieu. Hak Asasi yang tersimpul dalam deklarasi itu antara lain
:
1) Manusia dilahirkan merdeka dan tetap merdeka.
2) Manusia mempunyai hak yang sama.
3) Manusia merdeka berbuat sesuatu tanpa merugikan pihak lain.
4) Warga Negara mempunyai hak yang sama dan mempunyai kedudukan serta
pekerjaan umum.
5) Manusia tidak boleh dituduh dan ditangkap selain menurut undang-undang.
6) Manusia mempunai kemerdekaan agama dan kepercayaan.
7) Manusia merdeka mengeluarkan pikiran.
8) Adanya kemerdekaan surat kabar.
9) Adanya kemerdekaan bersatu dan berapat.
10) Adanya kemerdekaan berserikat dan berkumpul.
11) Adanya kemerdekaan bekerja,berdagang, dan melaksanakan kerajinan.
12) Adanya kemerdekaan rumah tangga.
13) Adanya kemerdekaan hak milik.
14) Adanya kemedekaan lalu lintas.
15) Adanya hak hidup dan mencari nafkah.
5. Hak Asasi Manusia oleh PBB
Setelah perang dunia kedua, mulai tahun 1946, disusunlah rancangan
piagam hak-hak asasi manusia oleh organisasi kerja sama untuk sosial
ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang terdiri dari 18 anggota. PBB
membentuk komisi hak asasi manusia (commission of human right). Sidangnya
dimulai pada bulan januari 1947 di bawah pimpinan Ny. Eleanor Rossevelt.
Baru 2 tahun kemudian, tanggal 10 Desember 1948 Sidang Umum PBB yang
diselenggarakan di Istana Chaillot, Paris menerima baik hasil kerja panitia
tersebut. Karya itu berupa UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RIGHTS atau
Pernyataan Sedunia tentang Hak – Hak Asasi Manusia, yang terdiri dari 30
pasal. Dari 58 Negara yang terwakil dalam sidang umum tersebut, 48 negara
menyatakan persetujuannya, 8 negara abstain, dan 2 negara lainnya absen.
Oleh karena itu, setiap tanggal 10 Desember diperingati sebagai hari Hak
Asasi Manusia.
Universal Declaration of Human Rights antara lain mencantumkan, Bahwa
setiap orang mempunyai Hak :
Hidup
Kemerdekaan dan keamanan badan
Diakui kepribadiannya
Memperoleh pengakuan yang sama dengan orang lain menurut hukum untuk
mendapat jaminan hokum dalam perkara pidana, seperti diperiksa di
muka umum, dianggap tidak bersalah kecuali ada bukti yang sah
Masuk dan keluar wilayah suatu Negara
Mendapatkan asylum
Mendapatkan suatu kebangsaan
Mendapatkan hak milik atas benda
Bebas mengutarakan pikiran dan perasaan
Bebas memeluk agama
Mengeluarkan pendapat
Berapat dan berkumpul
Mendapat jaminan sosial
Mendapatkan pekerjaan
Berdagang
Mendapatkan pendidikan
Turut serta dalam gerakan kebudayaan dalam masyarakat
Menikmati kesenian dan turut serta dalam kemajuan keilmuan
Majelis umum memproklamirkan Pernyataan Sedunia tentang Hak Asasi
Manusia itu sebagai tolak ukur umum hasil usaha sebagai rakyat dan bangsa
dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar memajukan dan menjamin
pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan- kebebasan yang termasuk
dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian, namun semua
anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.
SEJARAH PERKEMBANGAN HAM DI INDONSEIA
1. Perkembangan Pemikiran HAM di Indonesia
Secara garis besar menurut Prof. Dr. Bagir Manan, dalam bukunya
Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia (2001), membagi
perkembangan pemikiran HAM dalam dua periode, yaitu periode sebelum
kemerdekaan (1908-1945) dan periode setelah kemerdekaan (1945-
sekarang).[12]
1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)
Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai dalam
organisasi pergerakan sebagai berikut:
1. Budi Oetomo, pemikirannya, “Hak Kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat”
2. Perhimpunan Indonesia, pemikirannya “Hak untuk menentukan nasib
sendiri (the right of self determination).”
3. Sarekat Islam, “Hak penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan
dam diskriminasi rasial.”
4. Partai Komunis Indonesia, pemikirannya, “Hak sosial dan berkaitan
dengan alat-alat produksi.”
A. Periode Sesudah Kemerdekaan (1945-sekarang)
B. Periode 1945-1950. Pemikiran HAM pada periode ini menekankan pada
hak-hak mengenai:
1) Hak untuk merdeka (self dtermination).
2) Hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi polotik yang
didirikan.
3) Hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
1. Periode 1950-1959. Pemikiran HAM dalam periode ini lebih menekankan
pada semangat kebebasan demokrasi liberal yang berintikan kebebasan
individu.
2. Periode 1959-1966. Pada periode ini pemikiran HAM tidak mendapat ruang
kebebasan dari pemerintah atau dengan kata lain pemerintah melakukan
pemasungan HAM, yaitu hak sipil, seperti hak untuk berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pkiran dengan tulisan.
3. Periode 1966-1998. Dalam periode ini, pemikiran HAM dapat dilihat
dalam tiga kurun waktu yang berbeda.Pertama, tahun 1967 berusaha
melindungi kebebasan dasar manusia yang ditandai dengan adanya hak uji
materiil yang diberikan kepada Mahkamah Agung. Kedua, kurun waktu
tahun 1970-1980, pemerintah melakukan pemasungan HAM dengan sikap
defensive (bertahan), represif (kekerasan), yang dicerminkan dengan
produk hokum yang bersikap restriktif (membatasi) terhadap
HAM. Ketiga, kurun waktu 1990-an pemikiran HAM tidak lagi hanya
bersifat wacana saja melainkan sudah dibentuk lembaga penegakan HAM.
4. Periode 1998-sekarang. Pada periode ini, HAM mendapat perhatian yang
resmi dari pemerintah dengan melakukan amandemen UUD 1945 guna
menjamin HAM dan menetapakn UNdang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
hak asasi manusia. Artinya bahwa pemerintah member perlindungan yang
signifikansi terhadap kebebasan HAM dalam semua aspek, yaitu aspek hak
politik, sosial, ekonomi, budaya, keamanan, hukum dan
pemerintahan.[13]
Sejarah Perkembangan HAM di Indonesia
Pemahaman Ham di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di
masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Secara
garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan
HAM di Indonesia ( 2001 ), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia
dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 ), periode
setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang ).
A. Periode Sebelum Kemerdekaan ( 1908 – 1945 )
• Boedi Oetomo, dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo
telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan
pendapat melalui petisi – petisi yang dilakukan kepada pemerintah
kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa.
Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan
berserikat dan mengeluarkan pendapat.
• Perhimpunan Indonesia, lebih menitikberatkan pada hak untuk
menentukan nasib sendiri.
• Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh
penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi
rasial.
• Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham
Marxisme lebih condong pada hak – hak yang bersifat sosial dan
menyentuh isu – isu yang berkenan dengan alat produksi.
• Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak
untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama
dan hak kemerdekaan.
• Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh
kemerdekaan.
• Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak
politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan
nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka
hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan juga terjadi perdebatan dalam
sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan
Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan
pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan
masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak
berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran
dengan tulisan dan lisan.
B. Periode Setelah Kemerdekaan ( 1945 – sekarang )
a) Periode 1945 – 1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka, hak
kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak
kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM
telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan
masuk kedalam hukum dasar Negara ( konstitusi ) yaitu, UUD 45. komitmen terhadap
HAM pada periode awal sebagaimana ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1
November 1945.
Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan partai
politik. Sebagaimana tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945.
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950 – 1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan
periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum
yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi
liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik.
Seperti dikemukakan oleh Prof. Bagir Manan pemikiran dan aktualisasi HAM pada
periode ini mengalami “ pasang” dan menikmati “ bulan madu “ kebebasan.
Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek. Pertama, semakin
banyak tumbuh partai – partai politik dengan beragam ideologinya masing –
masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul – betul menikmati
kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung
dalam suasana kebebasan, fair ( adil ) dan demokratis. Keempat, parlemen atau
dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan
kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif
terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim
yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem demokrasi
terpimpin sebagai reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer.
Pada sistem ini ( demokrasi terpimpin ) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan
presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan
inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran
infrastruktur poltik. Dalam kaitan dengan HAM, telah terjadi pemasungan hak asasi
masyarakat yaitu hak sipil dan dan hak politik.
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat
untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar
tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang
merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan
Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968
diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil
( judical review ) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka
pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah
menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak – hak Asasi
Manusia dan Hak – hak serta Kewajiban Warganegara.
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an
persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi
dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang
dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif
pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang
tidak sesuai dengan nilai –nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam
Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana
tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi
Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan
bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara – Negara Barat untuk memojokkan
Negara yang sedang berkembang seperti Inonesia.
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran
HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang
dimotori oleh LSM ( Lembaga Swadaya Masyarakat ) dan masyarakat akademisi yang
concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui
pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang
terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di
Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh
hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari
represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang
berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap
tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM ) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993.
Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi
pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat
besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai
dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang
beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan
penyusunan peraturan perundang – undangan yang berkaitan dengan
pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di
Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan
ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM
diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu
tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada
tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan
tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara ( Undang – undang Dasar
1945 ), ketetapan MPR ( TAP MPR ), Undang – undang (UU), peraturan
pemerintah dan ketentuan perundang – undangam lainnya.
KASUS KASUS PELANGGARAN HAM
Contoh Kasus Pelanggaran HAM
Modus kekerasan terhadap anak di Indonesia masuk dalam kategori paling
sadis di dunia. Dari mulai penjualan untuk dijadikan budak seks, sampai
kekerasan fisik yang menyebabkan korban jiwa.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait, kematian bocah
3,5 tahun bernama Indah Sari di Serpong, Tangerang, yang dibakar ibu
kandungnya sendiri, merupakan salah satu buktinya.
"Pelaku tega menyeterika, menyiram dengan air panas, bahkan membakar hidup-
hidup," ujarnya kepadaVIVAnews.com, Senin, 27 September 2010. Tak cuma itu,
Arist membeberkan bahkan ada anak yang digorok ibunya karena tidak punya
uang.
Kekerasan sadistis yang diterima mereka akan membuat kejiwaan anak
bermasalah. Trauma psikologis di masa kecil kemungkinan besar akan memicu
mereka membalas dendam kelak atas apa yang pernah mereka alami.
Data Komnas Perlindungan Anak menunjukkan sejak Januari hingga September
2010, ada sebanyak 2.044 kasus kekerasan terhadap anak di seluruh
Indonesia. Jumlah tersebut lebih tinggi dari tahun sebelumnya dan 2008.
Pada 2009, jumlah kasus hanya 1.998, setahun sebelumnya mencapai 1.826,
sedangkan pada 2007 sejumlah 1.510. Pada 2007 kekerasan fisik terhadap anak
paling mendominasi. Jumlahnya mencapai 642. Sementara kekerasan seksual
berjumlah 527 dan kekerasan psikis mencapai 341.
Pada 2009, kekerasan seksual balik mendominasi. Angkanya mencapai 705. Hal
yang sama juga terjadi pada 2010. Kekerasan seksual terhadap anak mencapai
592. Semua kasus tersebut paling banyak terjadi di Jabodetabek.
Arist menambahkan, kekerasan seperti itu terjadi karena himpitan ekonomi.
Anak meminta susu, sementara ibu tidak dapat memenuhi karena tidak ada
uang. Akibatnya, orangtua mengalami depresi luar biasa.
"Anak menjadi korban karena paling tidak berdaya di dalam sebuah komunitas
keluarga," ungkapnya.
Budaya patrialineal juga menjadi faktor penyebab kekerasan seksual. Pria
begitu dominan dan tidak bisa diajak bermusyawarah oleh istri, atau bahkan
menganiaya sang istri. Karena itu, anaklah kemudian menjadi korban
penganiayaan. "Anak menjadi korban pelampiasan amarah sang istri," Arist
menerangkan.
Lingkungan yang kurang berpendidikan juga kerap menjadi pemicu kekerasan.
Yang tragis, sekitar 70 persen pelaku kekerasan terhadap anak adalah ibu,
baik itu ibu kandung, ibu tiri, ibu asuh, ataupun ibu guru di sekolah.
Menurut Arist, kasus kekerasan anak yang jumlahnya tidak sedikit ini
mestinya mulai menjadi keprihatinan nasional.
http://metro.vivanews.com/news/read/179841-kekerasan-anak-di-indonesia-
paling-sadis
Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia
( Beberapa waktu terakhir )
Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Menurut Pasal 1 Angka 6 No. 39 Tahun 1999 yang dimaksud dengan
pelanggaran hak asasi manusia setiap perbuatan seseorang atau kelompok
orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan
atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan
tidak akan memperoleh penyesalan hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.
Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan
pelanggaran hak asasi manusia, baik di Indonesia maupun di belahan
dunia lain. Pelanggaran itu, bisa dilakukan oleh pemerintah maupun
masyarakat, baik secara perorangan ataupun kelompok.
Kasus pelanggaran HAM ini dapat dikategorikan dalam dua jenis, yaitu :
a. Kasus pelanggaran HAM yang bersifat berat, meliputi :
1. Pembunuhan masal (genisida)
2. Pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan
3. Penyiksaan
4. Penghilangan orang secara paksa
5. Perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis
b. Kasus pelanggaran HAM yang biasa, meliputi :
1. Pemukulan
2. Penganiayaan
3. Pencemaran nama baik
4. Menghalangi orang untuk mengekspresikan pendapatnya
5. Menghilangkan nyawa orang lain
Setiap manusia selalu memiliki dua keinginan, yaitu keinginan berbuat
baik, dan keinginan berbuat jahat. Keinginan berbuat jahat itulah yang
menimbulkan dampak pada pelanggaran hak asasi manusia, seperti
membunuh, merampas harta milik orang lain, menjarah dan lain-lain.
Pelanggaran hak asasi manusia dapat terjadi dalam interaksi antara
aparat pemerintah dengan masyarakat dan antar warga masyarakat. Namun,
yang sering terjadi adalah antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Apabila dilihat dari perkembangan sejarah bangsa Indonesia, ada
beberapa peristiiwa besar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi
dan mendapat perhatian yang tinggi dari pemerintah dan masyarakat
Indonesia, seperti :
a. Kasus Tanjung Priok (1984)
Kasus tanjung Priok terjadi tahun 1984 antara aparat dengan warga
sekitar yang berawal dari masalah SARA dan unsur politis. Dalam
peristiwa ini diduga terjadi pelanggaran HAM dimana terdapat rarusan
korban meninggal dunia akibat kekerasan dan penembakan.
b. Kasus terbunuhnya Marsinah, seorang pekerja wanita PT Catur Putera
Surya Porong, Jatim (1994)
Marsinah adalah salah satu korban pekerja dan aktivitas yang hak-hak
pekerja di PT Catur Putera Surya, Porong Jawa Timur. Dia meninggal
secara mengenaskan dan diduga menjadi korban pelanggaran HAM berupa
penculikan, penganiayaan dan pembunuhan.
c. Kasus terbunuhnya wartawan Udin dari harian umum bernas (1996)
Wartawan Udin (Fuad Muhammad Syafruddin) adalah seorang wartawan dari
harian Bernas yang diduga diculik, dianiaya oleh orang tak dikenal dan
akhirnya ditemukan sudah tewas.
d. Peristiwa Aceh (1990)
Peristiwa yang terjadi di Aceh sejak tahun 1990 telah banyak memakan
korban, baik dari pihak aparat maupun penduduk sipil yang tidak
berdosa. Peristiwa Aceh diduga dipicu oleh unsur politik dimana
terdapat pihak-pihak tertentu yang menginginkan Aceh merdeka.
e. Peristiwa penculikan para aktivis politik (1998)
Telah terjadi peristiwa penghilangan orang secara paksa (penculikan)
terhadap para aktivis yang menurut catatan Kontras ada 23 orang (1
orang meninggal, 9 orang dilepaskan, dan 13 orang lainnya masih
hilang).
f. Peristiwa Trisakti dan Semanggi (1998)
Tragedi Trisakti terjadi pada 12 Mei 1998 (4 mahasiswa meninggal dan
puluhan lainnya luka-luka). Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13
November 1998 (17 orang warga sipil meninggal) dan tragedi Semanggi II
pada 24 September 1999 (1 orang mahasiswa meninggal dan 217 orang luka-
luka).
g. Peristiwa kekerasan di Timor Timur pasca jejak pendapat (1999)
Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia menjelang dan pasca jejak pendapat
1999 di timor timur secara resmi ditutup setelah penyerahan laporan
komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia - Timor Leste kepada
dua kepala negara terkait.
h. Kasus Ambon (1999)
Peristiwa yang terjadi di Ambon ni berawal dari masalah sepele yang
merambat kemasala SARA, sehingga dinamakan perang saudara dimana telah
terjadi penganiayaan dan pembunuhan yang memakan banyak korban.
i. Kasus Poso (1998 – 2000)
Telah terjadi bentrokan di Poso yang memakan banyak korban yang
diakhiri dengan bentuknya Forum Komunikasi Umat Beragama (FKAUB) di
kabupaten Dati II Poso.
j. Kasus Dayak dan Madura (2000)
Terjadi bentrokan antara suku dayak dan madura (pertikaian etnis) yang
juga memakan banyak korban dari kedua belah pihak.
k. Kasus TKI di Malaysia (2002)
Terjadi peristiwa penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita Indonesia
dari persoalan penganiayaan oleh majikan sampai gaji yang tidak
dibayar.
m. Kasus-kasus lainnya
Selain kasusu-kasus besar diatas, terjadi juga pelanggaran Hak Asasi
Manusia seperti dilingkungan keluarga, dilingkungan sekolah atau pun
dilingkungan masyarakat.
Contoh kasus pelanggaran HAM dilingkungan keluarga antara lain:
1. Orang tua yang memaksakan keinginannya kepada anaknya
(tentang masuk sekolah, memilih pekerjaan, dipaksa untuk bekerja,
memilih jodoh).
2. Orang tua menyiksa/menganiaya/membunuh anaknya sendiri.
3. Anak melawan/menganiaya/membunuh saudaranya atau orang
tuanya sendiri.
4. Majikan dan atau anggota keluarga memperlakukan pembantunya
sewenang-wenang dirumah.
Contoh kasus pelanggaran HAM di sekolah antara lain :
1. Guru membeda-bedakan siswanya di sekolah (berdasarkan
kepintaran, kekayaan, atau perilakunya).
2. Guru memberikan sanksi atau hukuman kepada siswanya secara
fisik (dijewer, dicubit, ditendang, disetrap di depan kelas atau
dijemur di tengah lapangan).
3. Siswa mengejek/menghina siswa yang lain.
4. Siswa memalak atau menganiaya siswa yang lain.
5. Siswa melakukan tawuran pelajar dengan teman sekolahnya
ataupun dengan siswa dari sekolah yang lain.
Contoh kasus pelanggaran HAM di masyarakat antara lain :
1. Pertikaian antarkelompok/antargeng, atau antarsuku(konflik
sosial).
2. Perbuatan main hakim sendiri terhadap seorang pencuri atau
anggota masyarakat yang tertangkap basah melakukan perbuatan
asusila.
3. Merusak sarana/fasilitas umum karena kecewa atau tidak puas
dengan kebijakan yang ada.
Bom Bali I ( 12 Oktober 2002 )
Bom Bali terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002 di kota kecamatan
Kuta di pulau Bali, Indonesia, mengorbankan 202 orang dan mencederakan 209
yang lain, kebanyakan merupakan wisatawan asing. Peristiwa ini sering
dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.
Beberapa orang Indonesia telah dijatuhi hukuman mati karena peranan mereka
dalam pengeboman tersebut. Abu Bakar Baashir, yang diduga sebagai salah
satu yang terlibat dalam memimpin pengeboman ini, dinyatakan tidak bersalah
pada Maret 2005 atas konspirasi serangan bom ini, dan hanya divonis atas
pelanggaran keimigrasian.
Korban Bom Bali I
* Australia 88
* Indonesia 38 (kebanyakan suku Bali)
* Britania Raya 26
* Amerika Serikat 7
* Jerman 6
* Swedia 5
* Belanda 4
* Perancis 4
* Denmark 3
* Selandia Baru 3
* Swiss 3
* Brasil 2
* Kanada 2
* Jepang 2
* Afrika Selatan 2
* Korea Selatan 2
* Ekuador 1
* Yunani 1
* Italia 1
* Polandia 1
* Portugal 1
* Taiwan 1
Pelaku Bom Bali I
* Abdul Goni, didakwa seumur hidup
* Abdul Hamid (kelompok Solo)
* Abdul Rauf (kelompok Serang)
* Abdul Aziz alias Imam Samudra, terpidana mati
* Achmad Roichan
* Ali Ghufron alias Mukhlas, terpidana mati
* Ali Imron alias Alik, didakwa seumur hidup
* Amrozi bin Nurhasyim alias Amrozi, terpidana mati
* Andi Hidayat (kelompok Serang)
* Andi Oktavia (kelompok Serang)
* Arnasan alias Jimi, tewas
* Bambang Setiono (kelompok Solo)
* Budi Wibowo (kelompok Solo)
* Dr Azahari alias Alan (tewas dalam penyergapan oleh polisi di Kota Batu
tanggal 9 November 2005)
* Dulmatin
* Feri alias Isa, meninggal dunia
* Herlambang (kelompok Solo)
* Hernianto (kelompok Solo)
* Idris alias Johni Hendrawan
* Junaedi (kelompok Serang)
* Makmuri (kelompok Solo)
* Mohammad Musafak (kelompok Solo)
* Mohammad Najib Nawawi (kelompok Solo)
* Umar Kecil alias Patek
* Utomo Pamungkas alias Mubarok, didakwa seumur hidup
* Zulkarnaen
Bom Bali II ( 1 Oktober 2005 )
Pengeboman Bali 2005 adalah sebuah seri pengeboman yang terjadi di Bali
pada 1 Oktober 2005. Terjadi tiga pengeboman, satu di Kuta dan dua di
Jimbaran dengan sedikitnya 23 orang tewas dan 196 lainnya luka-luka.
Pada acara konferensi pers, presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengemukakan
telah mendapat peringatan mulai bulan Juli 2005 akan adanya serangan
terorisme di Indonesia. Namun aparat mungkin menjadi lalai karena
pengawasan adanya kenaikan harga BBM, sehingga menjadi peka.
Tempat-tempat yang dibom:
* Kafé Nyoman
* Kafé Menega
* Restoran R.AJA’s, Kuta Square
Menurut Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan (Menko Polhukam), Inspektur Jenderal (Purn.) Ansyaad Mbai, bukti
awal menandakan bahwa serangan ini dilakukan oleh paling tidak tiga
pengebom bunuh diri dalam model yang mirip dengan pengeboman tahun 2002.
Serpihan ransel dan badan yang hancur berlebihan dianggap sebagai bukti
pengeboman bunuh diri. Namun ada juga kemungkinan ransel-ransel tersebut
disembunyikan di dalam restoran sebelum diledakkan.
Komisioner Polisi Federal Australia Mick Keelty mengatakan bahwa bom yang
digunakan tampaknya berbeda dari ledakan sebelumnya yang terlihat
kebanyakan korban meninggal dan terluka diakibatkan oleh shrapnel (serpihan
tajam), dan bukan ledakan kimia. Pejabat medis menunjukan hasil sinar-x
bahwa ada benda asing yang digambarkan sebagai "pellet" di dalam badan
korban dan seorang korban melaporkan bahwa bola bearing masuk ke belakang
tubuhnya
Korban Bom Bali II
23 korban tewas terdiri dari:
* 15 warga Indonesia Flag of Indonesia.svg
* 1 warga Jepang Flag of Japan.svg
* 4 warga Australia Flag of Australia.svg
* tiga lainnya diperkirakan adalah para pelaku pengeboman.
Pelaku Bom Bali II
Inspektur Jenderal Polisi Ansyaad Mbai, seorang pejabat anti-terorisme
Indonesia melaporkan kepada Associated Press bahwa aksi pengeboman ini
jelas merupakan "pekerjaan kaum teroris".
Serangan ini "menyandang ciri-ciri khas" serangan jaringan teroris Jemaah
Islamiyah, sebuah organisasi yang berhubungan dengan Al-Qaeda, yang telah
melaksanakan pengeboman di hotel Marriott, Jakarta pada tahun 2003,
Kedutaan Besar Australia di Jakarta pada tahun 2004, Bom Bali 2002, dan
Pengeboman Jakarta 2009. Kelompok teroris Islamis memiliki ciri khas
melaksanakan serangan secara beruntun dan pada waktu yang bertepatan
seperti pada 11 September 2001.
Pada 10 November 2005, Polri menyebutkan nama dua orang yang telah
diidentifikasi sebagai para pelaku:
* Muhammad Salik Firdaus, dari Cikijing, Majalengka, Jawa Barat - pelaku
peledakan di Kafé Nyoman
* Misno alias Wisnu (30), dari Desa Ujungmanik, Kecamatan Kawunganten,
Cilacap, Jawa Tengah - pelaku peledakan di Kafé Menega
Kemudian pada 19 November 2005, seorang lagi pelaku bernama Ayib Hidayat
(25), dari Kampung Pamarikan, Ciamis, Jawa Barat diidentifikasikan.
Tragedi Semanggi
Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap
pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga
sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-
13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan
tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II
terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa
dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban
luka - luka.
Jumlah masyarakat dan mahasiswa yang bergabung diperkirakan puluhan ribu
orang dan sekitar jam 3 sore kendaraan lapis baja bergerak untuk
membubarkan massa membuat masyarakat melarikan diri, sementara mahasiswa
mencoba bertahan namun saat itu juga terjadilah penembakan membabibuta oleh
aparat ketika ribuan mahasiswa sedang duduk di jalan. Saat itu juga
beberapa mahasiswa tertembak dan meninggal seketika di jalan. Salah satunya
adalah Teddy Wardhani Kusuma, mahasiswa Institut Teknologi Indonesia yang
merupakan korban meninggal pertama di hari itu.
Mahasiswa terpaksa lari ke kampus Universitas Atma Jaya untuk berlindung
dan merawat kawan-kawan seklaligus masyarakat yang terluka. Korban kedua
penembakan oleh aparat adalah Wawan, yang nama lengkapnya adalah Bernardus
Realino Norma Irmawan, mahasiswa Fakultas Ekonomi Atma Jaya, Jakarta,
tertembak di dadanya dari arah depan saat ingin menolong rekannya yang
terluka di pelataran parkir kampus Universitas Atma Jaya, Jakarta[2]. Mulai
dari jam 3 sore itu sampai pagi hari sekitar jam 2 pagi terus terjadi
penembakan terhadap mahasiswa di kawasan Semanggi dan penembakan ke dalam
kampus Atma Jaya.
Semakin banyak korban berjatuhan baik yang meninggal tertembak maupun
terluka. Gelombang mahasiswa dan masyarakat yang ingin bergabung terus
berdatangan dan disambut dengan peluru dan gas airmata. Sangat dahsyatnya
peristiwa itu sehingga jumlah korban yang meninggal mencapai 17 orang.
Korban lain yang meninggal dunia adalah: Sigit Prasetyo (YAI), Heru Sudibyo
(Universitas Terbuka), Engkus Kusnadi (Universitas Jakarta), Muzammil Joko
(Universitas Indonesia), Uga Usmana, Abdullah/Donit, Agus Setiana, Budiono,
Doni Effendi, Rinanto, Sidik, Kristian Nikijulong, Sidik, Hadi.
Jumlah korban yang didata oleh Tim Relawan untuk Kemanusiaan berjumlah 17
orang korban, yang terdiri dari 6 orang mahasiswa dari berbagai Perguruan
Tinggi di Jakarta, 2 orang pelajar SMA, 2 orang anggota aparat keamanan
dari POLRI, seorang anggota Satpam Hero Swalayan, 4 orang anggota Pam
Swakarsa dan 3 orang warga masyarakat. Sementara 456 korban mengalami luka-
luka, sebagian besar akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras,
tajam/tumpul. Mereka ini terdiri dari mahasiswa, pelajar, wartawan, aparat
keamanan dan anggota masyarakat lainnya dari berbagai latar belakang dan
usia, termasuk Ayu Ratna Sari, seorang anak kecil berusia 6 tahun, terkena
peluru nyasar di kepala.
Pada 24 September 1999, untuk yang kesekian kalinya tentara melakukan
tindak kekerasan kepada aksi-aksi mahasiswa.
Kala itu adanya pendesakan oleh pemerintahan transisi untuk mengeluarkan
Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang materinya menurut
banyak kalangan sangat memberikan keleluasaan kepada militer untuk
melakukan keadaan negara sesuai kepentingan militer. Oleh karena itulah
mahasiswa bergerak dalam jumlah besar untuk bersama-sama menentang
diberlakukannya UU PKB.
Mahasiswa dari Universitas Indonesia, Yun Hap meninggal dengan luka tembak
di depan Universitas Atma Jaya.
Kasus Marsinah
Marsinah (10 April 1969?–Mei 1993) adalah seorang aktivis dan buruh pabrik
PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan
kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga
hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan
Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Dua orang yang terlibat dalam otopsi pertama dan kedua jenazah Marsinah,
Haryono (pegawai kamar jenazah RSUD Nganjuk) dan Prof. Dr. Haroen
Atmodirono (Kepala Bagian Forensik RSUD Dr. Soetomo Surabaya),
menyimpulkan, Marsinah tewas akibat penganiayaan berat.
Marsinah memperoleh Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun yang sama.
Kasus ini menjadi catatan ILO (Organisasi Buruh Internasional), dikenal
sebagai kasus 1713.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No.
50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan
kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji
pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh
karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran
perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya
(PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya,
karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993
menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250.
Marsinah adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Perkasa yang aktif
dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa
tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa
pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo.
3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon
Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh.
4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk
perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp
2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa
diterima, termasuk oleh buruh yang absen.
Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-
rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah
menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan
perundingan dengan pihak perusahaan.
Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut
unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat
itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah
menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan
sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya
yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam,
Marsinah lenyap.
Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-
rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei
1993.
Tanggal 30 September 1993 telah dibentuk Tim Terpadu Bakorstanasda Jatim
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus pembunuhan Marsinah.
Sebagai penanggung jawab Tim Terpadu adalah Kapolda Jatim dengan Dan Satgas
Kadit Reserse Polda Jatim dan beranggotakan penyidik/penyelidik Polda Jatim
serta Den Intel Brawijaya.
Delapan petinggi PT CPS ditangkap secara diam-diam dan tanpa prosedur
resmi, termasuk Mutiari selaku Kepala Personalia PT CPS dan satu-satunya
perempuan yang ditangkap, mengalami siksaan fisik maupun mental selama
diinterogasi di sebuah tempat yang kemudian diketahui sebagai Kodam V
Brawijaya. Setiap orang yang diinterogasi dipaksa mengaku telah membuat
skenario dan menggelar rapat untuk membunuh Marsinah. Pemilik PT CPS, Yudi
Susanto, juga termasuk salah satu yang ditangkap.
Baru 18 hari kemudian, akhirnya diketahui mereka sudah mendekam di tahanan
Polda Jatim dengan tuduhan terlibat pembunuhan Marsinah. Pengacara Yudi
Susanto, Trimoelja D. Soerjadi, mengungkap adanya rekayasa oknum aparat
kodim untuk mencari kambing hitam pembunuh Marsinah.
Secara resmi, Tim Terpadu telah menangkap dan memeriksa 10 orang yang
diduga terlibat pembunuhan terhadap Marsinah. Salah seorang dari 10 orang
yang diduga terlibat pembunuhan tersebut adalah Anggota TNI.
Hasil penyidikan polisi ketika menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian
kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos
Marsinah. Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih
ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari
Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.
Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah
stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka
naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam
proses selanjutnya pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung Republik Indonesia
membebaskan para terdakwa dari segala dakwaan (bebas murni). Putusan
Mahkamah Agung RI tersebut, setidaknya telah menimbulkan ketidakpuasan
sejumlah pihak sehingga muncul tuduhan bahwa penyelidikan kasus ini adalah
"direkayasa".
Kasus Munir ( Pejuang HAM )
Munir Said Thalib (lahir di Malang, Jawa Timur, 8 Desember 1965 –
meninggal di Jakarta jurusan ke Amsterdam, 7 September 2004 pada umur 38
tahun) adalah pria keturunan Arab yang juga seorang aktivis HAM Indonesia.
Jabatan terakhirnya adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi
Manusia Indonesia Imparsial.
Saat menjabat Koordinator Kontras namanya melambung sebagai seorang pejuang
bagi orang-orang hilang yang diculik pada masa itu. Ketika itu dia membela
para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dari Kopassus.
Setelah Soeharto jatuh, penculikan itu menjadi alasan pencopotan Danjen
Kopassus Prabowo Subianto dan diadilinya para anggota tim Mawar.
Jenazah Munir dimakamkan di Taman Pemakaman Umum, Kota Batu.
Istri Munir, Suciwati, bersama aktivis HAM lainnya terus menuntut
pemerintah agar mengungkap kasus pembunuhan ini.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin
melaporkan kepada pilot Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama
Munir yang duduk di kursi nomor 40 G menderita sakit. Munir bolak balik ke
toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor kondisi Munir. Munir
pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya. Penerbangan menuju
Amsterdam menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September
2004, pukul 08.10 waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat
diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda
(Institut Forensik Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah
otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh polisi Indonesia. Belum diketahui
siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga bahwa oknum-
oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun
hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa
Pollycarpus, seorang pilot Garuda yang sedang cuti, menaruh arsenik di
makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik pemerintah tersebut.
Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh
agen intelijen senior, tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu
Presiden Susilo juga membentuk tim investigasi independen, namun hasil
penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.
Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Pr, yang kebetulan juga orang dekat
Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, ditangkap dengan
dugaan kuat bahwa dia adalah otak pembunuhan Munir. Beragam bukti kuat dan
kesaksian mengarah padanya.Namun demikian, pada 31 Desember 2008, Muchdi
divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini tengah ditinjau
ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa
Kasus Babeh Baekuni
Nama Bakeuni alias Babe, mendadak terkenal. Setelah ditangkap polisi,
lelaki berusia 50 tahun itu diduga menjadi pelaku pembunuhan dan mutilasi
anak-anak jalanan di Jakarta. Ada yang dibuang di Jakarta, sebagian
“dikubur” di sawah milik keluarganya di tepi Kali Gluthak Desa Mranggen,
Magelang, Jawa Tengah. Babe memang berasal dari desa itu.
Sebelum namanya terkenal karena kasus pembunuhan itu, nama Babe sebetulnya
hanya dikenal di kalangan terbatas: Anak-anak jalanan dan beberapa penggiat
anak-anak jalanan. Di mata anak-anak itu, yang sebagian kini beranjak
dewasa, Babe adalah dewa penolong. Bukan saja dia menyediakan tempat
menginap di kontrakannya di Gang Mesjid RT 06/02, Pulogadung, Jakarta Timur
tapi Babe juga melindungi anak-anak itu. “Pernah suatu hari, teman saya
bernama Diki, dipalak laki-laki bernama Gomgom. Laki-laki itu lebih tua dan
lebih besar dibandingkan Diki.
Ketika Diki mengadu ke Babe, Gomgom langsung didatangi Babe dan diancam,”
kata Anggi Setiawan, 17 tahun, yang pernah ikut dan tinggal bersama Babe.
Perkenalan Anggi dengan Babe terjadi 10 tahun silam, saat usia Anggi baru
tujuh tahun. Anggi ingat, saat itu dia sedang mengamen di pintu tol Cakung,
ketika melihat banyak anak-anak pengamen lainnya akrab dengan seorang pria
penjual rokok. “Anak-anak itu memanggilnya Babe,” kenang Anggi.
Sejak itu Anggi kemudian tinggal di rumah Babe. Di kontrakan itu, setiap
hari empat hingga lima anak jalanan menginap. Kalau akhir pekan, jumlahnya
bisa bertambah hingga 15 anak. Kata Anggi, semua anak diperlakukan sama.
Anggi ingat, Babe selalu memotong pendek, rambut anak-anak jalanan itu.
Potongannya seragam: Bagian depan dibiarkan panjang, dan dipangkas habis di
bagian belakang. Karena air untuk mandi terbatas, bergiliran anak-anak itu
dimandikan Babe.
Biasanya kata Anggi, dimulai dengan guyuran dari atas lalu tangan anak-anak
itu direntangkan. Babe kemudian menyabuni tubuh anakanak dengan deterjen.
Sabun cuci itu juga digunakan sebagai sampo. “Nunduk, nunduk,” Anggi
masih ingat kata-kata Babe saat 10 tahun lalu memandikannya. Ketika anak-
anak itu sudah terlelap, jam dua pagi, Babe biasanya bangun dan mencuci
baju anakanak. Dia keluar rumah sekitar jam lima pagi untuk berjualan
rokok, dan kembali ke rumah sekitar jam 10 pagi untuk membangunkan
anakanak. Sarapan pagi sudah disediakan Babe.
Menunya menu ikan cuek goreng, sayur sawi dan satu baskom sambal. Malam
hari, Babe mengajak patungan membeli mi instan. “Dia juga memasok nasi
goreng untuk kami,” kata Anggi. Begitu seterusnya, setiap hari. Kalau
misalnya ada anak yang sakit, Babe pula yang mengobati mereka. Biasanya,
kata Anggi, Babe ngerokin anak-anak itu. “Dia disayangi anakanak, dan saya
menganggap sebagai orang tua sendiri,” kata Anggi yang masih punya orang
tua, dan tinggal di Tanjung Priok. Sumber Unicef Deni 13 tahun yang juga
pernah tinggal di kontrakan Babe bercerita, Babe selalu mengajarkan anak-
anak itu agar uang hasil mengamen dikumpulkan dan diberikan kepada orang
tua masing-masing.
Sebagian anak-anak jalanan yang tinggal di rumah Babe, memang masih
memiliki orang tua, termasuk Anggi. Kalau anak-anak itu tidak menurut,
misalnya, Babe mengancam mereka agar tidak tinggal bersamanya. Sering pula
Babe mengajak anakanak itu ke Magelang, tempat asal Babe. Sebelum
berangkat, Babe meminta mereka menabung, untuk bekal ongkos. Sehari lima
ribu rupiah. “Saya pernah ikut Babe, Desember lalu, setelah menabung
selama satu bulan,” kata Deni.
Mungkin karena semua perhatiannya kepada anak-anak itu, beberapa tahun lalu
Babe pernah menjadi sumber Unicef. Badan PBB itu mencoba mengangkat
kehidupan anakanak jalanan termasuk yang ada di Jakarta dan di tempat Babe.
Kini semua berubah. Babe ditangkap polisi dan diduga sebagai pelaku
pembunuhan terhadap anak-anak jalanan itu. Kepada polisi, Babe mengaku
membunuh 10 anak sejak 1995 tapi Arist Merdeka Sirait meragukan
keterangannya. Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak itu menduga
korban Babe bisa lebih 15 orang. Alasan Arist, ada sekitar 15 foto anak
jalanan yang dikoleksi Babe.
“Menurut keterangan anak jalanan, foto-foto yang disimpan itu yang
disenangi dia (Babe),” kata Arist. Benarkah Babe yang melakukan semua
pembunuhan sadis itu? “Polisi menunjukkan foto-foto korban. Babe enggak
mengakui kalau memang tidak kenal. Dia akan bilang enggak kenal,” kata
Rangga B. Rikuser, pengacara Babe. Mengutip keterangan Babe, Rangga
bercerita, Babe membunuh anakanak itu dengan cara dijerat menggunakan tali
plastik. Biasanya, Babe membelakangi korban, lalu leher mereka dikalungi
tali plastik. Tangan kanan Babe kemudian mendorong kepala korban ke depan,
dan tangan kirinya menarik tali ke belakang.
“Dia menikmati erangan bocah-bocah yang dijerat lehernya itu. Detik-detik
bocah itu meregang nyawa menjadi sensasi tersendiri bagi Babe,” kata
Rangga. Jika korban sudah meninggal, barulah Babe menggauli bocah-bocah
itu. “Korbannya pasti berkulit bersih dan putih, karena sewaktu anak-anak,
kulit Babe juga bersih,” kata Rangga. Babe bukan tidak menyesal melakukan
pembunuhan itu. Masih menurut Rangga, usai memotong tubuh korbannya, Babe
selalu menyesal tapi dia juga sulit menghentikan nafsunya. Babe, karena
itu, juga seolah selalu memberi tanda ke polisi agar kelakuannya segera
terungkap.
Caranya, setiap korban yang dibunuh, selalu dia letakkan dalam kardus air
mineral. “Sehari-hari dia kan berdagang rokok, dan air mineral,” kata
Rangga. Dan tanda dari Babe itu baru diketahui polisi, awal Januari silam:
Sebuah kardus air mineral ditemukan berisi potongan tubuh seorang bocah,
yang belakangan diketahui bernama Ardiansyah 10 tahun. Babe atau yang
dikenal juga dengan sebutan Bungkih ditangkap dan diduga sebagai pelakunya.
Dari mulut Babe, belakangan muncul pengakuan, jumlah korban yang dibunuhnya
bisa lebih 10 orang. Semuanya dimasukkan dalam kardus air mineral. “Saya
percaya dan tidak percaya dia jadi pembunuh,” kata Anggi. _ rangga
prakoso.
KASUS – KASUS YANG LAIN SEPERTI :
1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI
Umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian
hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan.
Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan
Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah
berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku
Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah
(Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum
aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu
yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang
telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup
yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam
dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta
pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan
swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan
membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana
kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau
bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang
luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah
hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang
telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya
penyelesaian konflik yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak
konsistennya pemerintah dalam upaya penyelesaian konflik, ada ketakutan di
masyarakat akan diberlakukannya Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga
ada pemahaman bahwa umat Islam dan Kristen akan saling menyerang bila
Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan
kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses
penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan
saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh
pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi
dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada
masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban
sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen),
masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam
kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang
dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di
suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi
sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan
tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan
diperbatasan antara supir Islam danKristen tetapi sejak 1 bulan lalu
sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi
baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak
langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit
untukmengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program
PendidikanAlternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental
anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar
bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap
aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan
obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus
diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak
berfungsi.
Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang
diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk kepentingan
kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini melakukan
banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah
(radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara
Pembaruan MuslimMaluku).
3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja
Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang
justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang
menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus.Hal-hal ini dicatat dalam buku
sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja
difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang
hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan
kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters,
juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” ,
dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang
diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama
ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu
film GOYA’s GOST.
Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat ‘marah’ sebagian
kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana
kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah hitam Gereja. Kisah-
kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya Seniman Spanyol
Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film GOYA’s
GOST ini.
Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama,
berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan
kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama
apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang
tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21,
akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia
yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan
sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita
telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama
jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS)
sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-
Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq,
penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada
terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak
berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang
super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-
belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana
mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS
mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya.
Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri
karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang
sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris
kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh
dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George
Bush adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya,
karena gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia
menempakan dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari
para teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung
“fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak
baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’, sutradara
Inggris, Ridley Scott memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali
bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan
kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of Heaven adalah sebuah
‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus
yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu
bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.
Dibawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan dibawah payung
Agama, bukan berniat melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu, melainkan
sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang melawan/menindas orang lain
yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah? membela tradisi?
membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?
4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan
pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah
keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan
tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa
keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan
politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing
hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan
pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam
Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk
dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman
minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider)
hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal
Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun
penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-
ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila
terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya
minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan
dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan
keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam
kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas
oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang
mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur
yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000
tewas.Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan
tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua
dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”
5. Kontroversi G30S
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S
bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan
terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober
1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-
sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,”
jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang
terjadi pasca G30S.
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai
keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua
surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha.
Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk
mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai
simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran
lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di
Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban
pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39
artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar
antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka
menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas
seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh
sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain,
menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung
cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer
Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu.
Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua,
konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah
berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam
menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan
masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media
inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet
kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti
diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak
dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita
tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada
1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan
yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan
banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang
dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan
militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan
pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah
datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan
tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya.
Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk
menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran
darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan
menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa
dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas
Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965:
Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam
memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan
sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya
dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang
pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian
mereka yang masih hidup.
Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda,
satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar adil mestinya langkah itu
yang kita lakukan.”
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah
mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah
kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November
1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan
putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari
rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.”
Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga
dari pelaku pembunuhan orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu
terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas
tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa
mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan
dibunuh. Pimpinannya itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan
perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?”
Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari
masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya
tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari
korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran
KKR kelak harus memilah secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1
Oktober.
1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI
umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian
hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan.
Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan
Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah
berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku
Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah
(Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum
aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu
yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang
telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup
yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan
Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta
pembakaran rumah. Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan
swadaya untuk wilayah pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan
membuat aturan orang dapat masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana
kota sampai saat ini masih tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau
bom di sekitar kota.
Akibat konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang
luka – luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah
hancur serta terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang
telah menjadi pengungsi di dalam/luar Maluku. Masyarakat kini semakin tidak
percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik yang dilakukan
karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam upaya
penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya
Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan
Kristen akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan
kondisi yang terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses
penyelesaian konflik serta ketegangan yang terjadi saat ini.
Komunikasi sosial masyarakat tidak jalan dengan baik, sehingga perasaan
saling curiga antar kawasan terus ada dan selalu bisa dimanfaatkan oleh
pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan terus. Perkembangan situasi
dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang menjelaskan kepada
masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat mencari jawaban
sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen),
masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam
kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang
dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di
suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh
kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi
sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan
tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan
diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu
sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi
baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak
langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk
mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan
Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah
menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain
itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM
dilakukan oleh NGO).
Masyarakat Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan
obat – obatan tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus
diperoleh dengan harga yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak
berfungsi. Belum ada media informasi yang dianggap independent oleh kedua
pihak, yang diberitakan oleh media cetak masih dominan berita untuk
kepentingan kawasannya (sesuai lokasi media), ada media yang selama ini
melakukan banyak provokasi tidak pernah ditindak oleh Penguasa Darurat
Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan oleh Laskar Jihad (radio
SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).
3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja
Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang
justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang
menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam
buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja
difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang
hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan
kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters,
juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” ,
dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang
diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama
ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu
film GOYA’s GOST. Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat
‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan
Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah
hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan
karya Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh
sentral dari film GOYA’s GOST ini.
Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama,
berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan
kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama
apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang
tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21,
akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia
yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan
sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita
telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama
jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS)
sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-
Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq,
penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada
terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak
berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang
super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-
belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana
mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS
mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya.
Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri
karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang
sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris
kalangan Islam Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh
dunia. Tapi tidak menutup kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George Bush
adalah juga seorang ‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya, karena
gaya Bush yang sering ‘secara implisit’ terbaca dimana ia menempakan
dirinya sebagai penganut Kristiani yang memerangi terorisme dari para
teroris Muslim Fundamentalis. Tentu saja apa-apa yang mengandung
“fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/ agama yang lain, bermakna tidak
baik.
Sebelumnya, ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’, sutradara
Inggris, Ridley Scott memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali
bisa juga digunakan untuk menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan
kata“crusades” dalam pidatonya. Film The Kingdom of Heaven adalah sebuah
‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus
yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang telah terjadi selama 4 abad itu
bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi lebih merupakan sejarah hitam.
Dibawah ini review dari sebuah film, tentang kejahatan dibawah payung
Agama, bukan berniat melecehkan suatu Agama/ Aliran tertentu, melainkan
sebagai perenungan apakah perlakuan seseorang melawan/menindas orang lain
yang tidak ‘seagama’ itu tujuannya membela Allah? membela tradisi?
membela doktrin, ataukah membela diri sendiri?
4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh
Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan
pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah
keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan
tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa
keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan
politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing
hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan
pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam
Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk
dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman
minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider)
hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal
Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun
penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-
ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila
terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya
minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan
dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan
keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam
kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas
oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang
mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur
yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan
selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000
tewas. Horta mengatakan, “Bagi saya bukan fair atau tidaknya keputusan
tersebut. Saya hanya khawatir rakyat Timor Timur yang akan membayar semua
dosa yang dilakukan oleh orang Indonesia”.
5. Kontroversi G30S
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S
bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan
terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober
1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-
sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ”Anggaplah kasus ini selesai,”
jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang
terjadi pasca G30S. Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965
berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya
yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB)
dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk
mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai
simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran
lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di
Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban
pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39
artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar
antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka
menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas
seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh
sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain,
menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung
cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer
Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu.
Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua,
konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah
berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam
menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan
masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media
inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet
kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti
diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak
dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita
tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada
1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan
yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan
banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang
dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan
militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan
pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah
datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan
tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya.
Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk
menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran
darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan
menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa
dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas
Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965:
Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam
memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan
sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya
dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang
pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian
mereka yang masih hidup. Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari
Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil pertemuan Belgia. ”Biar
adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.”
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. “saya pernah
mewawancarai seorang putera dari sepasang suami-isteri guru SD di sebuah
kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh awal November
1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan
putera terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari
rumah sakit persalinan dan langsung dibunuh.” Menurut pengakuan sang
putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan
orang tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan
pembunuhan karena diperintah atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang
menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa mereka diperintah
oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya
itu kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ”Apakah Anda menyimpan dendam?”
Sang anak menjawab, ”Semula Ya.” Tapi setelah kami mempelajari
masalahnya, dendam saya hilang. ”Mereka hanyalah pelaksana yang sebenarnya
tak tahu menahu masalahnya.” Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari
korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya. Bisa jadi memang benar,
dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah
secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.
6. Kasus Pembunuhan Munir
Munir Said Thalib bukan sembarang orang, dia adalah aktifis HAM yang pernah
menangani kasus-kasus pelanggaran HAM. Munir lahir di Malang, 8 Desember
1965. Munir pernah menangani kasus pelanggaran HAM di Indonesia seperti
kasus pembunuhan Marsinah, kasus Timor-Timur dan masih banyak lagi. Munir
meninggal pada tanggal 7 September 2004 di dalam pesawat Garuda Indonesia
ketika ia sedang melakukan perjalanan menuju Amsterdam, Belanda. Spekulasi
mulai bermunculan, banyak berita yang mengabarkan bahwa Munir meninggal di
pesawat karena dibunuh, serangan jantung bahkan diracuni. Namun, sebagian
orang percaya bahwa Munir meninggal karena diracuni dengan Arsenikum di
makanan atau minumannya saat di dalam pesawat. Kasus ini sampai sekarang
masih belum ada titik jelas, bahkan kasus ini telah diajukan ke Amnesty
Internasional dan tengah diproses. Pada tahun 2005, Pollycarpus Budihari
Priyanto selaku Pilot Garuda Indonesia dijatuhi hukuman 14 tahun penjara
karena terbukti bahwa ia merupakan tersangka dari kasus pembunuhan Munir,
karena dengan sengaja ia menaruh Arsenik di makanan Munir.
7. Pembunuhan Aktivis Buruh Wanita, Marsinah
Marsinah merupakan salah satu buruh yang bekerja di PT. Catur Putra Surya
(CPS) yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Masalah muncul ketika
Marsinah bersama dengan teman-teman sesama buruh dari PT. CPS menggelar
unjuk rasa, mereka menuntut untuk menaikkan upah buruh pada tanggal 3 dan 4
Mei 1993. Dia aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Masalah memuncak ketika
Marsinah menghilang dan tidak diketahui oleh rekannya, dan sampai akhirnya
pada tanggal 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan meninggal dunia. Mayatnya
ditemukan di sebuah hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk,
Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Menurut hasil otopsi,
diketahui bahwa Marsinah meninggal karena penganiayaan berat.
8. Penembakan Mahasiswa Trisakti
Kasus penembakan mahasiswa Trisakti merupakan salah satu kasus penembakan
kepada para mahasiswa Trisakti yang sedang berdemonstrasi oleh para anggota
polisi dan militer. Bermula ketika mahasiswa-mahasiswa Universitas Trisakti
sedang melakukan demonstrasi setelah Indonesia mengalami Krisis Finansial
Asia pada tahun 1997 menuntut Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Peristiwa ini dikenal dengan Tragedi Trisakti. Dikabarkan puluhan mahasiswa