bagian i sistem produksi padi dan ketahanan pangan nasional · variabilitas dan perubahan iklim...

42
9 Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional Ringkasan Ketahanan pangan nasional tetap membutuhkan beras dalam memenuhi kecukupan pangan, namun demikian tekanan terhadap peningkatan produksi padi terkendala oleh permasalahan konversi lahan pertanian, kerusakan jaringan irigasi, perubahan iklim, dan serangan hama penyakit. Kebijakan diversifikasi pangan tetap menjadi prioritas dalam pengendalian konsumsi beras. Dalam kurun waktu yang cukup panjang selama 1961-2013, fluktuasi produksi padi nasional mengalami pertumbuhan yang bervariasi. Target pertumbuhan produksi padi harus memenuhi kebutuhan nasional, apabila kurang mencukupi maka pemerintah melakukan impor beras. Secara umum pertumbuhan produksi padi mengalami pertumbuhan di atas pertumbuhan penduduk kecuali pada periode 1961-1966, 1998-2004, dan 2005-2007. Di sisi lain, kebijakan terhadap penggunaan faktor produksi yang lebih efisien sangat penting di masa yang akan datang mengingat kompetisi penggunaan lahan dan air serta tenaga kerja semakin meningkat. Oleh karena itu, akselerasi penggunaan teknologi di tingkat petani tetap menjadi program utama agar ketersediaan komoditas seiring arahnya dengan pertumbuhan penduduk Indonesia. Selain itu, diperlukan upaya perluasan area pertanian dan upaya adaptasi untuk mengurangi risiko perubahan iklim. Untuk menyikapi dampak variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan melakukan adaptasi budidaya pertanian sehingga tidak menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kesinambungan ketahanan pangan.

Upload: vanthuan

Post on 06-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

9

Bagian I

Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional

Ringkasan

Ketahanan pangan nasional tetap membutuhkan beras dalam memenuhi kecukupan pangan, namun demikian tekanan terhadap peningkatan produksi padi terkendala oleh permasalahan konversi lahan pertanian, kerusakan jaringan irigasi, perubahan iklim, dan serangan hama penyakit. Kebijakan diversifikasi pangan tetap menjadi prioritas dalam pengendalian konsumsi beras. Dalam kurun waktu yang cukup panjang selama 1961-2013, fluktuasi produksi padi nasional mengalami pertumbuhan yang bervariasi. Target pertumbuhan produksi padi harus memenuhi kebutuhan nasional, apabila kurang mencukupi maka pemerintah melakukan impor beras. Secara umum pertumbuhan produksi padi mengalami pertumbuhan di atas pertumbuhan penduduk kecuali pada periode 1961-1966, 1998-2004, dan 2005-2007. Di sisi lain, kebijakan terhadap penggunaan faktor produksi yang lebih efisien sangat penting di masa yang akan datang mengingat kompetisi penggunaan lahan dan air serta tenaga kerja semakin meningkat. Oleh karena itu, akselerasi penggunaan teknologi di tingkat petani tetap menjadi program utama agar ketersediaan komoditas seiring arahnya dengan pertumbuhan penduduk Indonesia. Selain itu, diperlukan upaya perluasan area pertanian dan upaya adaptasi untuk mengurangi risiko perubahan iklim. Untuk menyikapi dampak variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan melakukan adaptasi budidaya pertanian sehingga tidak menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kesinambungan ketahanan pangan.

Page 2: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan
Page 3: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

11

Bab 1

Sistem Produksi Padi Nasional

Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, Bambang Sayaka, dan Kharmila Sari Hariyanti

Dasar Pemikiran

Padi merupakan salah satu komoditas pangan yang paling dominan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimana padi merupakan bahan makanan yang mudah diubah menjadi energi, di samping mengandung gizi dan penguat yang cukup bagi tubuh. Untuk menuju kecukupan pangan yang berasal dari beras/padi, pemerintah baik sejak masa kolonial Belanda maupun setelah kemerdekaan dan hingga saat ini, menerapkan berbagai kebijakan seiring dengan pertumbuhan penduduk. Beberapa hal yang terus menjadi perhatian dalam meningkatkan produksi adalah meningkatkan produktivitas melalui berbagai teknologi baru mulai dari penyediaan benih, pengolahan lahan hingga pascapanen, juga menambah luas tanam dan luas panen melalui peningkatan indeks pertanaman padi. Sepanjang sejarah Indonesia, peran ekonomi, sosial, dan geopolitik mempengaruhi pertumbuhan produksi padi. Sistem produksi padi ini pun sangat rentan terhadap penyimpangan iklim. Berdasarkan hal tersebut, beberapa hal yang mendasar dari perkembangan sejarah pertanaman padi memberikan tantangan dan arah produksi serta sistem yang mempengaruhinya. Jumlah penduduk yang sangat besar, saat ini sudah berkisar 250 juta jiwa, tentunya tidak mudah untuk memenuhi kecukupan pangan beras yang saat ini semakin terdesentralisasi serta membutuhkan dana besar. Koordinasi yang melibatkan institusi lintas kementerian dan lintas daerah tidaklah cukup, peran petani dan kelembagaan petani yang telah ada perlu diberdayakan dan terus dikembangkan. Pemerintah perlu mendukung dengan regulasi dan petunjuk operasional sesuai

Page 4: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

persyaratan teknis standar. Dengan demikian, pemerintah terus berupaya memberi keyakinan dan perhatian akan pentingnya sektor pertanian melalui penyediaan sarana dan prasarana, kemudahan bagi petani seperti subsidi dan penyediaan teknologi baru bagi petani.

Dinamika Penerapan Teknologi dan Produksi Padi Era Kolonial dan Awal Kemerdekaan

Penerapan teknologi tidak lepas dari perkembangan jumlah penduduk di Indonesia. Jawa merupakan pulau yang memiliki jumlah penduduk yang cukup padat dimana pada tahun 1900 berkisar 28 juta jiwa dan pada tahun 1920 mencapai 34 juta jiwa (Breman 1971). Tingginya jumlah penduduk ini mengakibatkan rentan terhadap krisis pangan. Sejak masa Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yaitu tahun 1602, hingga pemerintahan Hindia Belanda, pola kebijakan tanaman pangan lebih banyak difokuskan pada jenis tanaman pangan utama seperti beras, jagung, dan beberapa jenis tanaman perkebunan yang lebih laku untuk diperdagangkan. Teknologi pertanian di Indonesia diawali dengan kehadiran kolonial Inggris yang membawa sejarah baru bagi Indonesia yaitu pendirian Kebun Raya Bogor oleh Gubernur Jenderal Reindward pada tahun 1817 atas prakarsa Raffles. Hal ini diikuti dengan pembangunan Kebun Tanaman Dagang atau Cultuurtuin (1876), dan beragam lembaga penyelidikan pada tahun 1880, serta Sekolah Pertanian (Landen Tuinbouw Cursus) pada tahun 1903 oleh Melchior Treub (Mardikanto 2007). Di samping itu, seiring dengan pelaksanaan politik etis yang dipelopori oleh Conrad Theodor van Deventer, pada tahun 1910 dibentuk Departemen Pertanian, Kerajinan dan Perdagangan (Landbouw, Nijverheid en Handel) dan Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw- voorlichtingsdienst/LVD). Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, pemerintah kolonial Belanda mengupayakan pangan secara maksimal agar tidak terjadi krisis pangan (Mufti 2009). Intensifikasi pertanian adalah salah satu upaya yang dipilih pemerintah kolonial Belanda. Pada tahun 1885, Pemerintah Hindia Belanda membangun irigasi Brantas (Jawa Timur) dan Demak (Jawa Tengah) sekitar 76.800 ha dan pada 1902 diperluas menjadi 138.400 ha. Di samping itu, pemerintah Hindia

Page 5: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

13

Belanda membangun lumbung desa yang berfungsi menyediakan bibit secara murah. Pada 1902, di wilayah Cirebon terdapat 994 lumbung. Pada 1904, Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Volkscrediet Bank (Bank Kredit Rakyat) yang meminjamkan padi untuk digunakan sebagai bibit. Pemerintah kolonial Belanda menargetkan dengan intensifikasi pertanian ini adalah panen dua kali dalam setahun. Awalnya berhasil, namun kurangnya dukungan teknologi, bahan organik dalam tanah terus berkurang, yang mengakibatkan kesuburan tanah turun dari waktu ke waktu, serta rentan terserang hama. Krisis pangan dan bahaya kelaparan menjadi makin sering terjadi. Ekstensifikasi juga dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1870-1900 untuk mengatasi permasalahan pangan. Ekstensifikasi pertanian membuat luas sawah makin bertambah berkat adanya pembangunan irigasi secara besar-besaran dan juga melakukan impor beras dari semenanjung Indocina, Birma dan Thailand. Namun krisis pangan sulit dikendalikan dengan terjadinya kegagalan panen di Asia pada 1911-1912. Krisis pangan terus terjadi hingga perang dunia I (1914-1918) dimana Inggris memblokade pelabuhan milik Belanda untuk melemahkan kekuatan Jerman yang memiliki banyak investasi di Belanda, sehingga terjadi kesulitan mendapat kapal angkutan bahan pangan. Krisis pangan dilanjutkan dengan terjadinya masa kering yang panjang pada akhir 1918 sehingga mengakibatkan keterlambatan panen 1,5 bulan dan tidak diperbolehkannya ekspor beras di seluruh daerah Asia Tenggara. Kekurangan beras pada 1914-1917 rata-rata per tahun sekitar 400.000 ton atau 13% dari hasil beras di Jawa serta impor beras dari luar negeri tidak tetap mengakibatkan kepanikan dari berbagai pihak. Adanya penghapusan sebagian industri tebu berakibat Jawa dan Madura sebenarnya sudah dapat mencapai swasembada pangan pada 1935. Pada tahun 1937 pemerintah kolonial menerapkan intensifikasi pertanian yang dikenal dengan Verbeterde Cultuur Technieken (pembudidayaan penanaman yang diperbaiki). Namun karena terjadinya defisit beras di luar Jawa, tetap saja Jawa dan Madura sulit mengalami swasembada. Pada 1939 dibentuk Stichting Van Het Voedingsmidelfonds (VMF) atau Yayasan Dana Bahan Makanan (yang menjadi cikal bakal BULOG) sebagai upaya

Page 6: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

pemerintah kolonial dalam mengatur perdagangan beras sehingga sering melakukan intervensi langsung di pasar. Lembaga tersebut belum sempat disempurnakan ketika masuknya pendudukan Jepang pada tahun 1943. Kemudian pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan beberapa program yang disebut dengan Kinkyu Shokuryo Taisaku. Program-program tersebut difokuskan pada peningkatan produksi dengan cara seperti pengenalan jenis padi baru (horai dari Taiwan), inovasi teknik-teknik penanaman (melakukan pemindahan bibit tanaman dengan jarak tanam sekitar 20 cm dengan pola tandur (tanam mundur), peningkatan infrastruktur pertanian dan perluasan sawah (pembangunan irigasi dan drainase). Selain itu, propaganda para petani yang dalam hal ini para pegawai pemerintah memperoleh pendidikan di sekolah pertanian Nomin dojo lalu ditugaskan melakukan penyuluhan-penyuluhan dan propaganda pertanian kepada petani terutama dalam hal teknik-teknik pertanian yang baik. Namun demikian tetap saja produksi padi Indonesia pengalami penurunan seperti dalam Gambar 1.

Gambar 1. Perkembangan produksi padi di Jawa dan Madura, 1937-1945 (Sumber: Mufti 2009, diolah)

Penurunan produksi padi pada masa pendudukan Jepang diakibatkan oleh: (a) pada tahun 1944 hampir seluruh negara di Asia Tenggara mengalami musim kemarau yang panjang, (b) waktu dan tenaga harus disisihkan untuk pembangunan proyek-proyek

y = -0.731x + 9.663R² = 0.872

4

5

6

7

8

9

10

1937-1941 1942 1943 1944 1945

Prod

uksi

pad

i (ju

ta to

n)

Tahun

Page 7: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

15

pertahanan seperti benteng, lubang perlindungan dipegunungan, dan (c) hama tikus yang meningkat. Jaman pendudukan Jepang (1942-1945) merupakan kehancuran pembangunan pertanian di Indonesia. Meskipun aparat pertanian diperluas sampai tingkat Mantri Tani (Son Sidoing) dan Koperasi Pertanian (Nogya Komisi) di setiap kecamatan, tetapi lebih banyak ditugaskan untuk memperlancar produksi dan pengumpulan hasilnya untuk keperluan angkatan perang Jepang. Memasuki masa kemerdekaan, pada 1947 pemerintah menetapkan Plan Kasimo yang merupakan rencana produksi pertanian selama 3 tahun (1948-1950) dengan mendirikan Balai Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD, Hafsah dan Sudaryanto 2004). Isi dari Plan Kasimo adalah anjuran untuk memperbanyak kebun bibit padi unggul dan pencegahan penyembelihan hewan pertanian, serta menanami lahan-lahan kosong dengan tanaman pangan (Mufti 2009). Tetapi rencana ini tidak terlaksana sebagaimana yang diharapkan, karena terjadinya agresi Belanda I dan II. Kebijakan ini kemudian digabung dengan Rencana Wicaksono menjadi Rencana Kesejahteraan Istimewa (RKI) tahap I (1950-1955) dan Tahap II (1955-1960). Untuk mewujudkan rencana ini dilaksanakan perbanyakan benih unggul, perbaikan dan perluasan pengairan, penggunakan pupuk fosfat dan nitrogen pada padi, pemberantasan hama tanaman, pengendalian bahaya erosi, intensifikasi tanah kering, serta pendidikan masyarakat desa. Pada tahun 1952 melalui Keputusan Presiden tahun 1952, dibentuk Panitia Menambah Hasil Bumi (PMHB) yang anggotanya terdiri dari Departemen Pertanian, Keuangan, Dalam Negeri dan Pekerjaan Umum yang bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan makanan. Berdasarkan Musyawarah Nasional Untuk Pembangunan (MUNAP) pada bulan November 1957, pada tahun 1958 PMHB diganti dengan Dewan Bahan Makanan (DBM) yang dipimpin oleh Deputi Perdana Menteri dan 13 menteri sebagai anggota (Nataatmadja et al. 1988). Pada tahun 1958, DBM membentuk Badan Padi Sentra untuk menjalankan program intensifikasi tanaman padi yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dengan memanfaatkan potensi lahan, daya, dan dana yang ada secara optimal, serta memperhatikan kelestarian sumberdaya alam.

Page 8: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

Strategi intensifikasi yang digelar sejak awal kelahirannya adalah strategi pembelajaran, yaitu menciptakan kondisi masyarakat dan lingkungan agar petani termotivasi untuk meniru, paham dan terampil dalam mengadopsi inovasi baru, disertai dengan pencerdasan momentum pemacu agar petani secara masal dapat menerapkan paket teknologi yang dianjurkan. Dalam program intensifikasi dikenal dengan teknologi Panca Usaha Tani yang meliputi (i) penyediaan air dalam jumlah cukup dan waktu yang tepat, (ii) penggunaan benih unggul dengan potensi hasil tinggi, mempunyai ketahanan hidup yang tinggi dan masa tumbuh yang relatif pendek, (iii) penyediaan pupuk yang cukup, (iv) pengendalian hama terpadu, dan (v) cara bercocok tanam yang baik. Teknologi ini sebenarnya tidak terlalu beda dengan teknologi yang diterapkan dalam RKI.

Dinamika Penerapan Teknologi dan Produksi Padi Era 1959-1997

Seiring dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, RKI diganti dengan Rencana Pembangunan Semesta Berencana Tahap I, yang mengubah Padi Sentra menjadi Gerakan Swasembada Beras (SSB) di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM). Namun program ini dinilai gagal karena tidak dapat mewujudkan swasembada beras dalam waktu yang ditentukan. Kegagalan itu disebabkan antara lain belum adanya terobosan teknologi serta lemahnya pembiayaan dan koordinasi pelaksanaan. Selama periode 1963/1964–1964/1965, Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan Demonstrasi Masal Swasembada Bahan Makanan (DEMAS-SSBM) yang diawali pada tahun 1963 dengan pilot proyek di Karawang yang mampu meningkatkan hasil panen padi dua kali lipat. Adapun teknologi yang diterapkan adalah penggunaan benih unggul bermutu, pemupukan sesuai rekomendasi, pengendalian hama dan penyakit, pembimbingan petani, dan penyuluhan intensif. Keberhasilan proyek ditindak lanjuti dengan program DEMAS pada tahun 1965 dimana paket Panca Usaha Tani dilaksanakan secara utuh dan petani peserta diberi bantuan sarana produksi maju.

Page 9: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

17

Pada tahun 1967 dikembangkan menjadi Bimbingan Masal (BIMAS) yang dilembagakan dengan Keputusan Menteri Pertanian untuk lebih meningkatkan kinerja pelaksanaan intensifikasi pada beberapa sentra produksi padi. Bersamaan dengan program BIMAS, International Rice Research Institute (IRRI) menemukan IR-5 dan IR-8 (PB-5 dan PB-8) yang merupakan varietas unggul padi sawah yang sangat responsif terhadap pemupukan dan teknik budidaya. Dalam perjalanannya, pada musim tanam 1968/1969 BIMAS dikembangkan menjadi BIMAS Gotong Royong yang melibatkan peran swasta nasional (PERTAMINA) dan Swasta Asing (CIBA-Geigy, COOPA, NICHIMEN) yang bertujuan mendukung BIMAS, yang cakupannya ternyata memerlukan pembiayaan yang cukup besar dan sebagian besar sarana produksi berupa pupuk kimia dan pestisida harus diimpor padahal kemampuan pemerintah saat itu relatif terbatas. Program tersebut mengembangkan konsep Catur Sarana Unit Desa (KUD, Bank Unit Desa, PPL, dan Kios Sarana Produksi) yang diujicobakan oleh Prof. Soedarsono Hadisapoetro di D.I Yogyakarta. Sejak 1970 diubah lagi menjadi Bimas Nasional Yang Disempurnakan (BNYD). Lebih lanjut, keberhasilan BIMAS diikuti dengan program Intensifikasi Masal (INMAS) yang memberikan kebebasan kepada petani untuk melakukan intensifikasi tanpa harus memanfaatkan kredit BIMAS, tetapi tetap dapat memanfaatkan kredit sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dengan makin meluasnya penerapan Bimas maka pada tahun 1979 sistem pengelolaannya dikembangkan menjadi bentuk kelompok yang disebut Intensifikasi Khusus (INSUS). Para petani dibagi dalam kelompok-kelompok tani sehingga memudahkan dalam pembinaan dan hubungan antar petani dalam bentuk gotong royong. Dalam program INSUS terjadi perbaikan paket pemupukan yaitu tambahan penggunaan pupuk KCl dan zat pengatur tumbuh (ZPT) seperti Citosin dan Hydrasil. Program tersebut dilakukan akibat telah terjadinya leveling-off dari pemanfaatan teknologi inovasi, sehingga dilanjutkan penerapan inovasi sosial berupa kerjasama kelompok tani. Melalui program tersebut, akhirnya berhasil mewujudkan swasembada beras pada tahun 1984.

Page 10: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

Kebijakan program pengembangan produksi padi juga mengikuti pola tanam yang terjadi di Indonesia. Pedagang antar pulau, termasuk BULOG, saat itu melakukan perdagangan didasarkan pada perbedaan bulan-bulan sesuai pola tanamnya, seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 1 (Mears 1982).

Tabel 1. Jadwal tanam dan panen padi sawah dan ladang di beberapa provinsi di Indonesia tahun 1978

Provinsi

Tanaman pertama

Sawah Ladang

Tanam Panen Tanam Panen Sumatera Utara Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan

Sep/Nov Nov/Jan Nov/Feb Des/Mar Des/Feb Mei/Jun

Jan/Mar Apr/Jun Mar/Mei Mar/Jun Mar/Mei Ags/Sep

Jun/Ags Okt/Nov Okt/Des Nov/Des Nov/Jan Nov/Jan

Des/Feb Okt/Jan Feb/Apr Jan/Mar Feb/Apr Feb/Mei

Tanaman kedua

Sumatera Utara Sumatera Selatan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Sulawesi Selatan

Mei/Jun Jun/Jul Apr/Jun Mei/Jun Mei/Jun Jan/Feb

Ags/Sep Sept/Okt Jul/Okt Jul/Sep Ags/Sep Apr/Jun

Mar/Apr

Jun/Ags

Sumber: Mears (1982)

Pada tahun 1988, INSUS dikembangkan lagi menjadi SUPRA INSUS dengan penerapan 10 jurus teknologi yang terdiri dari: (i) pola tanam tahunan secara bergilir, (ii) pengolahan tanah, (iii) benih unggul bermutu, bersertifikat, (iv) pergiliran varietas, (v) jarak tanam, (vi) pemupukan berimbang, (vii) penggunaan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)/Pupuk Pelengkap Cair (PPC), (viii) pengendalian jasad pengganggu secara terpadu, (ix) tata-guna air di tingkat usaha tani (TIGATUT), dan (x) penanganan pascapanen. Program ini dilakukan untuk menghadapi gejala pelandaian pada tahun 1986, ketika areal INSUS mencapai di atas 50% dari areal panen. Hal ini merupakan ancaman bagi kelestarian swasembada pangan yang dicapai tahun 1984. Dalam upaya meningkatkan produksi beras lebih lanjut telah dianjurkan untuk meningkatkan mutu intensifikasi melalui: (1) peningkatan areal yang menggunakan benih bermutu serta meningkatkan populasi tanaman, (2) perluasan areal usaha tani yang menerapkan pemupukan berimbang dengan takaran dan waktu yang tepat, (3) peningkatan areal yang menggunakan zat

Page 11: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

19

pengatur tumbuh dan pupuk pelengkap cair, (4) pemberantasan hama dan penyakit dengan melakukan pengendalian hama terpadu (PHT), dan (5) peningkatan mutu sekaligus mempercepat pengolahan tanah untuk menjamin terlaksananya pola dan jadwal tanam yang ditetapkan.

Dinamika Penerapan Teknologi dan Produksi Padi Era Reformasi (1997-sekarang)

Pada periode selanjutnya, upaya pembangunan pertanian tidak sekedar bertujuan untuk mencapai swasembada pangan, tetapi juga untuk mendukung ekspor non-migas. Sayangnya, seiring dengan meredupnya pemerintahan orde baru, sejak awal 1990-an dirasakan terjadinya penurunan peran pertanian dalam perekonomian nasional yang berorientasi ekspor tersebut. Bahkan menjelang reformasi pada 1998, kembali terjadi krisis beras di dalam negeri. Kondisi kekurangan pangan terutama beras, kembali mengancam Indonesia yang turut memberikan andil bagi runtuhnya orde baru. Kondisi seperti itu baru memperoleh perhatian serius sejak bergulirnya reformasi (1998), yang mendorong Departemen Pertanian menetapkan "7 Agenda reformasi" yang diawali dengan kebijakan "GEMA PALAGUNG” (Gerakan Mandiri Padi, Kedelai, dan Jagung) untuk mencapai swasembada tahun 2001. Tetapi, upaya tersebut tidak mampu mencapai tujuan yang diharapkan, bahkan Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras dengan volume yang semakin besar. Seiring dengan itu, pada tanggal 11 Juni 2005 pemerintah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK) yang mencakup 12 strategi operasional, yaitu: (i) Investasi dan pembiayaan, (ii) Manajemen pertanahan dan tata ruang, (iii) Pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam, (iv) Infrastruktur pedesaan, (v) Pengembangan SDM dan Pemberdayaan petani-nelayan, (vi) Riset dan pengembangan teknologi, (vii) Kebijakan perdagangan, (viii) Promosi dan pemasaran, (ix) Perpajakan dan strategi retribusi, (x) Dukungan langsung bagi petani-nelayan, (xi) Kebijakan pangan, dan (xii) Agroindustri.

Page 12: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

Untuk meningkatkan produksi beras nasional, pada tahun 2007 dilaksanakan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Lokasi program meliputi 350 kabupaten/kota sentra produksi di 31 provinsi. Kegiatan APBN dalam memfasilitasi program ini difokuskan melalui bantuan benih unggul bermutu, pelaksanaan Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (SL-PTT), Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) dan fasilitasi bantuan alat mesin pertanian. Tujuan dan sasaran Program P2BN adalah sebagai berikut: (i) program P2BN bertujuan untuk mempercepat terjadinya peningkatan produksi beras nasional dengan target pertumbuhan 5% setiap tahun dan pencapaian swasembada beras berkelanjutan, (ii) memperluas tingkat penggunaan benih unggul bermutu, meluasnya penerapan teknologi budidaya anjuran spesifik lokasi, dan (iii) meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani. Capaian peningkatan produksi padi tahun 2007 dan 2008 tersebut menyebabkan Indonesia mampu surplus dan berswasembada beras secara berkelanjutan. Peningkatan produksi padi pada tahun 2007 dan 2008 tersebut dihasilkan melalui peningkatan produktivitas dan luas areal panen. Pada periode tersebut produktivitas padi nasional meningkat cukup signifikan dimana tahun 2007 telah mencapai 4,71 ton/ha atau naik sebesar 0,085 ton/ha (1,84%) dari produktivitas tahun 2006, dan pada tahun 2008 mencapai 4,88 ton/ha atau naik sebesar 0,178 ton/ha (3,79%) dari produktivitas tahun 2007. Pada periode sebelumnya produktivitas hanya tumbuh rata-rata sekitar 1% per tahun (tahun 2005 hanya 0,83% dan tahun 2006 1,01%). Di samping produktivitas, luas panen juga meningkat cukup tinggi. Pada tahun 2007 luas panen mencapai 12,148 juta ha, atau naik sebesar 361.000 ha (3,06%), dan tahun 2008 menjadi 12,344 juta ha, atau naik sebesar 200.000 ha (1,61%), sedangkan tahun sebelumnya cenderung menurun.

Page 13: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

21

Potensi dan Peluang Peningkatan Produksi Padi Nasional di Masa yang akan Datang

Indonesia masih akan menghadapi defisit beras nasional untuk beberapa tahun mendatang. Tantangan ke depan, khususnya menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN 2015 adalah akan terbukanya kerjasama antara negara ASEAN dimana Indonesia diperhadapkan oleh interaksi positif antara negara ASEAN (Dermoredjo dan Darwanto 2012). Kerjasama aktual pengembangan dan penerapan teknologi antara negara ASEAN akan meningkat seiring dengan kebutuhan pangan regional ASEAN. Saat ini dalam mengatasi kecukupan pangan serta untuk menekan defisit dan impor beras, kapasitas produksi beras nasional domestik perlu ditingkatkan melalui peningkatan intensitas tanam, pembangunan irigasi baru, pemeliharaan sarana irigasi yang ada, serta menekan alih fungsi lahan sawah beririgasi. Penciptaan varietas baru, teknologi produksi yang efisien, dan teknologi pascapanen untuk menekan kehilangan hasil juga sangat penting untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi beras nasional. Dengan cara ini pendapatan usaha tani padi dapat ditingkatkan serta beras domestik (nasional) mampu bersaing dengan beras impor.

Potensi sumberdaya lahan untuk meningkatkan produksi beras nasional

Produksi pangan nasional di Indonesia saat ini masih belum mencukupi kebutuhan. Produksi pangan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan lahan pertanian tanaman pangan yang tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagai lahan utama penghasil pangan. Namun demikian, proses konversi lahan yang berlangsung terus menerus telah dan akan selalu memberikan dampak yang tidak diinginkan terhadap ketersediaan lahan pertanian pangan. Badan Pusat Statistik mencatat bahwa luas konversi lahan sawah setiap tahun rata-rata mencapai 110.000 ha. Sebaliknya, pencetakan sawah baru hanya berkisar antara 15.000 sampai 30.000 ha saja. Guna mencukupi tuntutan kebutuhan pangan diperkirakan sampai tahun 2020, pemerintah harus membuka lahan baru (perluasan areal pertanian pangan) seluas minimal 1.614.000 ha atau seluas 161.400 ha per tahun.

Page 14: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

Strategi pemenuhan kebutuhan pangan dengan perluasan areal pertanian pangan dan peningkatan kapasitas produksi disebut twin-track strategy. Stategi ini tepat untuk diimplementasikan dalam kondisi Indonesia yang memiliki lahan luas yang potensial untuk produksi pangan, yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Lahan cadangan yang dapat diharapkan mampu membantu meningkatkan produksi pangan adalah lahan-lahan bukan sawah (lahan inkonvensional) yang tersebar di berbagai wilayah di tanah air. Salah satu lahan inkonvensional yang memiliki potensi dan mampu membantu meningkatkan pasokan pangan adalah lahan kering, baik lahan yang telah diusahakan, maupun lahan yang belum atau tidak diusahakan (lahan tidur). Lahan lainnya adalah lahan basah dan lahan rawa pasang surut, lahan hutan dan kehutanan, serta lahan-lahan perkotaan yang tidak atau belum dibangun. Pemanfatan lahan kering memiliki harapan yang lebih cerah dibandingkan lahan lainnya karena ancaman konversi lahan ke non-pertanian tidak sebesar pada lahan sawah, potensi peralihan lahan hutan rakyat menjadi lahan kering relatif tinggi, dan keberlanjutan kegiatan pertanian lahan kering relatif lebih terjamin. Namun kegiatan pertanian pangan pada lahan kering akan lebih terjamin lagi bila ketersediaan dan kebutuhan teknologi pendukung tercukupi dan berkesinambungan. Perspektif lahan basah sebagai pemasok produk pertanian, terutama pangan, memiliki masa depan yang baik. Sumberdaya lahan basah sebagai salah satu sumberdaya strategis, bersifat multi fungsi dan pada hakekatnya diperlukan oleh semua pihak. Pada saat ini, degradasi lahan basah telah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Keterlambatan merehabilitasi dan pengabaian azas keberlanjutan yang membutuhkan biaya besar patut dipertimbangkan secara matang. Kebijakan pengelolaan lahan basah di Indonesia harus memprioritaskan aspek keberlanjutan dan keadilan. Para pemangku kepentingan dari berbagai sektor hendaknya mempunyai akses yang proporsional sesuai kebutuhan masing-masing sektor.

Page 15: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

23

Pemanfaatan lahan inkonvensional lainnya adalah rawa pasang surut yang tersebar diberbagai pelosok Indonesia. Lahan pasang surut dapat memainkan peran strategis dalam mendukung pencapaian sasaran produksi beras karena areal rawa pasang surut sangat luas. Pengembangan pertanian khusus padi di lahan rawa pasang surut gambut merupakan langkah strategis dalam upaya mencari alternatif untuk meningkatkan produksi beras nasional. Namun, perlu diingat bahwa lahan rawa pasang surut bersifat marginal, tidak stabil, dan tanahnya berpotensi sulfat masam dan gambut. Kondisi demikian sangat rentan terhadap perusakan lingkungan dan ancaman serangan hama/penyakit tanaman. Teknologi produksi tanaman pangan di lahan rawa pasang surut sudah tersedia, namun belum sepenuhnya diadopsi petani. Keberhasilan dan keberlanjutan pengembangan pertanian di lahan rawa tidak hanya ditentukan oleh penggunaan teknologi tepat guna tetapi juga oleh ketersediaan sarana produksi dan infrastruktur kelembagaan penunjang yang memadai serta partisipasi masyarakat dan kebijakan pemerintah yang kondusif. Oleh karena itu, diperlukan koordinasi, sinkronisasi, dan keterpaduan kerja antar instansi terkait dalam upaya pencapaian sasaran. Alternatif terakhir pemanfaatan lahan inkonvensional untuk meningkatkan produksi beras nasional adalah penggunaan lahan tidur perkotaan. Walaupun perkembangan perkotaan yang pesat telah mengambil alih dan mengkonversi lahan pertanian konvensional, pembangunan dan pengembangan wilayah perkotaan juga menyisakan lahan kosong diantara wilayah-wilayah pemukiman dan wilayah bisnis perkotaan. Lahan-lahan demikian, walaupun dalam luasan relatif sempit dan terfragmentasi, masih memberikan peluang untuk dimanfaatkan selama lahan tersebut tidak atau belum dimanfaatkan untuk kebutuhan kota.

Potensi sumberdaya air dan agroklimat untuk meningkatkan produksi beras nasional

Kekeringan dan banjir merupakan bencana alam yang silih berganti mengancam sistem produksi pertanian nasional dan berdampak luas ke berbagai aktivitas perekonomian di Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, diduga adanya kecenderungan perubahan

Page 16: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

perilaku bencana alam kekeringan dan banjir, baik dari segi intensitas, kekerapan, luas, dan sebaran wilayah yang terkena bencana maupun kualitas dan dampak yang diakibatkannya. Perubahan perilaku kekeringan dan banjir tersebut tidak saja disebabkan oleh adanya perubahan atau penyimpangan iklim, khususnya curah hujan, tetapi juga disebabkan oleh perubahan tatanan air (daur hidrologi) yang berkaitan dengan sistem pengelolaan air dan sumberdaya air, tata guna dan sistem pengelolaan lahan pada masing-masing zona tata air dalam suatu sistem DAS. Masalah air dan sumberdaya air juga masih menjadi perhatian serius tidak saja disebabkan oleh peningkatan kebutuhan dan masih kurang efisiennya penggunaan air untuk pertanian, tetapi juga oleh makin meningkatnya kebutuhan air untuk sektor non pertanian. Bahkan selain itu, pengembangan industri dan pemukiman tidak hanya akan meningkatkan kebutuhan air tetapi juga mempunyai dampak tersendiri terhadap kualitas air lingkungan yang pada akhirnya juga akan berpengaruh pada hasil produksi pangan. Kebutuhan air pertanian meliputi kebutuhan air konsumtif tanaman, efisiensi irigasi, pengolahan awal tanam dan laju perkolasi separuhnya dipenuhi oleh curah hujan, sedang separuh lainnya dari irigasi. Kebutuhan air irigasi ini dipenuhi dari aliran sungai dan waduk dalam keadaan tanpa kendala, yaitu pada musim hujan atau segera sesudah musim hujan. Pemberian air irigasi adalah 0,54 liter/detik/ha selama masa tumbuh tanaman dan 100-150 hari atau setara dengan kebutuhan air sebesar 5.750 m3/musim tanam/ha. Dengan pertimbangan hal tersebut, kebutuhan air pertanian sepenuhnya ditentukan oleh potensi sumberdaya air wilayah. Potensi sumberdaya air di Indonesia berdasarkan kajian keseimbangan air hidrologi dengan mengevaluasi total air tersedia dan total kebutuhan air secara nasional menunjukkan status aman dengan volume kebutuhan air sebesar 77 ribu MCM (mega cubic meter) pada tahun 1990 dan meningkat menjadi 82 ribu MCM pada tahun 2020. Dalam kurun waktu 1990-2020 porsi kebutuhan air pertanian telah menurun dari 92 menjadi 82% dari kebutuhan total. Berdasarkan potensi sumberdaya air, budidaya pertanian padi dapat dilakukan di hampir semua kabupaten di Indonesia, walau setelah mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti kesesuaian

Page 17: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

25

lahan, ketersediaan lahan, sumberdaya manusia, dan sarana/prasarana maka faktor ketersediaan air juga sering menjadi kendala. Untuk itu penentuan masa tanam sangat diperlukan dalam mendukung perencanaan pola tanam untuk mengurangi risiko kegagalan panen. Berdasarkan kajian analisis keseimbangan air hidrologi maka pada Tabel 2 disajikan daerah-daerah di Indonesia dengan kondisi sumberdaya air krisis, waspada, dan aman.

Tabel 2. Wilayah di Indonesia dengan kondisi sumberdaya air (SDA) krisis, waspada, dan aman

Kondisi SDA Kabupaten/wilayah

Krisis

DKI Jakarta, dan wilayah Cirebon, Indramayu, Purwakarta, Karawang, Bekasi, Tangerang, Bantul, Sidoarjo, Lamongan, dan Gianyar

Waspada Aceh utara, Deliserdang, Tanah Datar, hampir semua kabupaten di Jawa

Aman Kabupaten lainnya

Sumber: Pawitan et al. (1996)

Potensi sumberdaya agroklimat telah banyak dipetakan, walaupun tidak secepat perkembangan penyusunan peta tanah dan topografi, peta iklim di Indonesia juga telah mengalami berbagai perkembangan dan perubahan-perubahan sesuai dengan tujuan dan metode yang digunakan. Data iklim yang digunakan dalam menyusun peta-peta iklim tersebut umumnya adalah data pengamatan masa lalu sedangkan data terbaru jumlahnya sangat terbatas. Oleh sebab itu kehandalan dari peta iklim tersebut makin berkurang, apalagi adanya berbagai dugaan bahwa sejak beberapa dekade terakhir telah terjadi pergeseran jumlah dan sebaran hujan secara global. Selain itu, metode dan kriteria yang digunakan masih kurang relevan dengan masalah dan tantangan yang dihadapi pada saat ini dan masa yang akan datang yang membutuhkan akurasi yang lebih tinggi. Di sisi lain, berbagai metode analisis dan teknik penyusunan peta secara kuantitatif yang didukung dengan program komputer telah berkembang dengan pesat seperti GIS (Geography Information System).

Page 18: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

Pengembangan dan Penerapan Teknologi Inovasi Padi

Padi merupakan komoditas utama penduduk Indonesia. Kebutuhan beras terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan penduduk. Namun persoalannya budidaya padi dewasa ini dihadapkan pada perubahan iklim global. Guna mengantisipasi dan menghadapi perubahan iklim perlu dilakukan teknologi inovasi antara lain: (1) menghasilkan varietas padi toleran terhadap cekaman abiotik seperti rendaman (banjir), kekeringan, dan salinitas, (2) mengemas komponen budidaya padi dalam satu paket yaitu Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), dan (3) mengendalikan hama dan penyakit. Sejak tahun 2008, penamaan varietas unggul baru (VUB) tidak lagi menggunakan nama sungai, tetapi mengikuti penamaan padi hibrida. Penamaan VUB untuk ekosistem sawah irigasi memakai nama Inpari (Inbrida Padi Irigasi), ekosistem rawa memakai nama Inpara (Inbrida Padi Rawa), dan lahan kering memakai nama Inpago (Inbrida Padi Gogo), (Badan Litbang Pertanian 2011). Pemilihan varietas yang cocok sangat menentukan hasil produksi padi. Untuk mengatasi permasalahan kekeringan di beberapa daerah kering dan juga tanah podsolik merah kuning akibat keracunan Al, dapat menggunakan varietas padi gogo seperti varietas Limboto, Batutegi, Situ Bagendit, Inpago 4, 5, dan 6. Untuk lahan sawah, terdapat varietas padi sawah yang tahan kekeringan seperti varietas Dodokan, Silugonggo, dan Inpari 10. Untuk lahan rawa dapat dipilih varietas yang tahan terhadap rendaman atau banjir yaitu varietas Inpara 3, 4, 5, dan 6. Pada lahan sawah yang berpotensi tergenang air laut dengan kadar salinitas tinggi dapat memilih varietas yang toleran salin (kadar garam tinggi) yaitu varietas Margasari, Dendang, Lambur, Indragiri, Air Tenggulang, dan Banyuasin. Daerah dengan musim tanam yang pendek, yang dicirikan dengan jumlah bulan kering lebih besar, dapat memilih varietas genjah seperti Inpari 11, 12 dan 13 (Badan Litbang Pertanian 2011). Teknologi inovasi budidaya tanaman padi perlu dikemas dalam satu paket Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT). Komponen pendukung PTT, dapat dibagi menjadi komponen dasar dan pilihan. Komponen dasar merupakan komponen yang sangat dianjurkan, sedangkan komponen pilihan merupakan komponen yang disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan petani setempat.

Page 19: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

27

Komponen dasar, terdiri dari: (1) Varietas unggul baru (VUB). (2) Benih bermutu dan berlabel. (3) Pemberian bahan organik melalui pengembalian jerami ke

sawah atau dalam bentuk kompos. (4) Pengaturan populasi secara optimum. (5) Pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara

tanah. (6) Pengendalian hama dan penyakit dengan menggunakan

pendekatan pengendalian hama terpadu (PHT).

Komponen pilihan terdiri dari: (1) Pengelolaan tanah sesuai musim dan pola tanam. (2) Penggunaan bibit muda. (3) Tanam bibit 1–3 batang per rumpun. (4) Pengairan berselang atau intermitten. (5) Penyiangan dengan landak atau gasrok. (6) Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.

Serangan hama dan penyakit tanaman berhubungan dengan perubahan suhu, kelembaban, dan curah hujan. Hama utama padi yang sering dijumpai adalah tikus. Saat ini telah dikembangkan teknologi PHTT (Pengendalian Hama Tikus Terpadu) yang berdasarkan pada pemahaman ekologi tikus, PHTT dilakukan secara dini, intensif, dan berkelanjutan dengan memanfaatkan berbagai teknologi pengendalian yang sesuai dan tepat waktu. Teknologi pengendalian berupa tanam dan panen serempak, sanitasi sawah yang bersih, pengemposan, gropyokan massal, rodentisida, dan Trap Barrier System (TBS) serta Linear Trap Barrier System (LTBS). Penyakit tanaman padi yang sering dijumpai adalah penyakit blast. Serangan Blast dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan anakan produktif. Blast menyebabkan malai kecil dengan sedikit gabah bahkan dapat menyebabkan seluruh tanaman mati sebelum berbunga. Cara yang paling efektif, murah dan ramah lingkungan dalam pengendalian penyakit Blast adalah penggunaan varietas tahan seperti varietas Limboto, Danau Gaung, Situ Patenggang, dan Batutegi. Usaha lain yang dapat dilakukan untuk pengendalian penyakit Blast antara lain:

Page 20: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

(1) Hindari penggunaan pupuk N di atas dosis anjuran. (2) Hindari tanam padi terus-menerus sepanjang tahun dengan

varietas yang sama. (3) Sanitasi lingkungan harus intensif. (4) Hindari tanam padi terlambat dari petani di sekitarnya. (5) Pengendalian secara dini dengan perlakuan benih sangat

dianjurkan untuk menyelamatkan persemaian sampai umur 40 hari setelah sebar.

(6) Penyemprotan fungisida sistemik minimum sekali pada awal berbunga untuk mencegah penyakit blast leher.

(7) Hindari jarak tanam rapat (sebar langsung). (8) Pemakaian jerami sebagai kompos.

Kondisi Prasarana Infrastruktur dan Sarana Produksi Padi

Tanaman padi merupakan salah satu jenis tanaman yang membutuhkan air sangat besar. Selama ini kontinuitas produksi padi terancam oleh ketersediaan air yang tidak/kurang memadai. Di musim kemarau pasokan air kurang, sebaliknya di musim hujan suplai air berlebih, bahkan mengakibatkan banjir. Dari ketimpangan neraca air pada musim kemarau dan musim hujan, sesungguhnya memberi gambaran bahwa sebenarnya ada yang bisa dikelola untuk mengeliminir kerugian yang terjadi. Disinilah pentingnya manajemen air. Berkaitan dengan pertanian, manajemen air itu bertalian dengan pengelolaan satuan daerah aliran sungai (DAS) dan penyediaan infrastruktur irigasi yang akan memasok air ke lahan sawah. Sistem irigasi secara nasional sebenarnya bisa mengairi total lahan pertanian (sawah) seluas 7.23 juta ha (tahun 2010), namun sumber air irigasi (waduk) yang tersedia secara nasional hanya mampu menjamin ketersediaan air untuk irigasi lahan sawah seluas 797.971 ha (11%). Tabel 3 menyajikan informasi luas lahan sawah dan sumber air irigasi secara nasional.

Page 21: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

29

Tabel 3. Luas sawah irigasi (ha) dan sumber air irigasi (waduk)

Provinsi Waduk Luas sawah irigasi (ha)

Total luas sawah irigasi (ha)

Lampung Batutegi Way Rarem Way Jepara

90.000 21.100 6.651

118.651

Jawa Barat Jatiluhur Darma

237.790 22.316

260.106

Jawa Tengah Kedungombo Wonogiri Sempor Wadaslintang Cacaban Malahayu Penjalin

70.919 26.000 17.000 31.853 17.481 18.456 29.000

215.692

D.I Yogyakarta Sermo 3.330 3.550 Jawa Timur Lahor

Selorejo Wlingi Sutami Bening Pacal Wonorejo Gondang Kedung Brubus

1.100 5.700

13.600 34.000 9.912

16.600 7.540

10.500 1.400

126.520

Bali Palasari Grogak

1.300 1.700

3.000

NTB Batujai Pengga Mamak Tiu Kulit Palaparado Batu Bulan Pelara Gapit Sumi

3.350 3.585 5.173 1.940 2.466 5.576 1.309 1.300 2.272

27.322

Kalimantan Selatan Riam Kanan 7.331 7.331 Sulawesi Selatan Kampili

Bissua Kalola Bili-bili Ponre-ponre

10.545 10.758 5.405 2.443 4.411

35.799

Sumber: BAPPENAS (2012)

Page 22: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

Secara nasional pada tahun 2010 lebih dari separuh daerah irigasi dalam kondisi rusak. Infrastruktur irigasi yang buruk ini setidaknya disebabkan oleh dua hal. Pertama, sedimentasi yang tinggi akibat kerusakan tanah oleh erosi. Kedua, rendahnya investasi untuk rehabilitasi dan pemeliharaan infrastruktur irigasi. Berdasarkan informasi BAPPENAS, kondisi jaringan irigasi nasional dari total 7,23 juta ha, 3,74 juta ha dalam kondisi rusak (rusak ringan, sedang sampai berat) dan sebagian besar jaringan irigasi yang rusak berada pada kewenangan pemerintah daerah yaitu seluas 2,68 juta ha (Tabel 4). Pemerintah daerah harus mulai memberikan perhatian pada jaringan irigasi yang menjadi kewenangannya.

Tabel 4. Kondisi daerah irigasi nasional

Kewenangan

Baik Rusak

Luas (juta ha)

%

Luas (juta ha)

%

Pusat 1,25 17 1,06 15 Daerah 2,23 31 2,68 37 Total 3,48 48 3,74 52

Sumber: BAPPENAS (2012)

Konsolidasi kelembagaan yang menjamin terkelolanya sumberdaya air sesuai prinsip-prinsip ketahanan air masih jauh dari berhasil. Khudori (2008) dalam Ironi Negeri Beras menjelaskan, jika konsolidasi kelembagaan tidak kunjung berhasil, akan menjadi ancaman serius ketahanan pangan nasional, sebab 80% produksi padi ada di sawah beririgasi. Diluar itu produksi padi juga mudah sekali terguncang akibat kinerja yang berkelanjutan jaringan irigasi setidaknya oleh: (i) luas areal pertanian (jaringan irigasi) yang rusak karena banjir atau bencana alam lain, (ii) daerah irigasi penyedia air melalui waduk yang lebih dapat dijamin kehandalannya hanya seluas 797.971 ha (11% dari jaringan irigasi yang ada), dan (iii) terjadinya konversi lahan sawah beririgasi menjadi peruntukan lain dengan laju rata-rata 15.000-20.000 ha per tahun.

Page 23: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sistem Produksi Padi Nasional

31

Penutup

Dinamika sistem produksi padi pada setiap zaman memiliki kecenderungan yang berbeda dan setiap zaman memiliki kelebihan dan kekurangan. Pada era kolonial dan awal kemerdekaan lahan pertanian yang tersedia untuk diolah masih sangat luas akan tetapi jumlah penduduk masih rendah sehingga tenaga kerja di sektor pertanian terbatas. Meskipun kemajuan padi unggul pada zaman ini masih belum ada dan luas irigasi masih terbatas akan tetapi kebutuhan masih mencukupi dan risiko perubahan iklim belum muncul. Pada era 1959-1997 berkat pengaruh revolusi hijau Indonesia mampu mencapai swasembada beras. Pada zaman ini banyak dikembangkan sistem intensifikasi pertanian (BIMAS, DENMAS, INMAS, INSUS, dan SUPRA INSUS) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi padi nasional. Pada tahun 1997 terjadi anomali iklim El-Nino dan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penurunan produktivitas padi. Selain risiko iklim faktor lain yang menyebabkan turunnya produksi padi adalah degradasi lahan pertanian dan semakin tingginya kerusakan jaringan irigasi, meskipun telah banyak varietas baru dihasilnya namun masih sulit untuk meningkatkan produksi padi. Pada masa yang akan datang diperlukan upaya perluasan area pertanian dan upaya adaptasi untuk mengurangi risiko perubahan iklim. Mencermati dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia khususnya produksi padi, serta untuk memperkuat daya tahan sektor pertanian terhadap ancaman variabilitas iklim, maka diperlukan suatu upaya strategis. Untuk mengantisipasi dampak variabilitas iklim adalah dengan melakukan adaptasi budidaya pertanian agar dampak anomali yang cenderung meningkat tersebut dapat diminimalisasi sehingga tidak menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi kesinambungan ketahanan pangan.

Page 24: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Dermoredjo et al.

Daftar Pustaka

Badan Litbang Pertanian. 2011. Inovasi Padi Menghadapi Perubahan Iklim. Agro Inovasi. Jakarta.

BAPPENAS. 2012. Adaptasi Perubahan Iklim dan Bencana Terhadap Ketahanan Pangan

Breman, J.C. 1971. Jawa Pertumbuhan Penduduk Dan Struktur Demografis. Bhratara. Jakarta.

Dermoredjo, S.K., D.H. Darwanto. 2012. Dinamika Ketersediaan Pangan ASEAN dan Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Regional. e-journal ekonomi pertanian (agricultural economics electronic journal). 1(1):19-34.

Hafsah, M.J., T. Sudaryanto. 2004. Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembangannya dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Khudori. 2008. Ironi Negeri Beras. INSIST Press. Mardikanto, T. 2007. Pengantar Ilmu Pertanian. Pusat

Pengembangan Agrobisnis dan Perhutanan Sosial. Surakarta Mears, L.A. 1982. Era Baru Ekonomi Perberasan Indonesia. Gadjah

Mada University Press. D.I Yogyakarta.

Mufti, H.R. 2009. Kebijakan Pangan Pemerintah Orde Baru dan Nasib Kaum Petani Produsen Beras Tahun 1969-1988. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Program Studi Ilmu Sejarah (Skripsi).

Nataatmadja, H., D. Kertosastro, A. Suryana. 1988. Perkembangan Produksi dan Kebijaksanaan Pemerintah dalam Produksi Beras. Dalam Padi (Buku 1). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Pawitan, H., I. Las, H. Suharsono, R. Boer, Handoko, J.S. Baharsjah. 1996. Implementasi Pendekatan Strategis dan Taktis Gerakan Hemat Air. Dalam Pemantapan Gerakan Hemat Air untuk Mengoptimalkan Pemanfaatan Sumberdaya Air. Prosiding Seminar Nasional. Jakarta 11 Juli 1996.

Page 25: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

33

Page 26: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

34

Bab 2

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

Bambang Sayaka, Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, dan Yeli Sarvina

Dasar Pemikiran

Sebagai kebutuhan dasar hidup penduduk selain pakaian dan perumahan, kebutuhan pangan memiliki posisi strategis. Pangan selalu menjadi isu penting dalam pembangunan nasional khususnya dalam sektor pertanian. Menurut Undang-Undang (UU) Pangan No. 18 tahun 2012, pangan merupakan segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang digunakan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia. Sementara itu ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau. Organisasi Pangan Dunia (FAO) mendefinisikan ketahanan pangan sebagai kemampuan untuk menjamin tersedianya pangan bagi seluruh penduduk sepanjang tahun dengan harga terjangkau untuk dapat hidup sehat dan aktif. Beragam bahan pangan tersedia cukup banyak di berbagai daerah di negara kita. Dari beragam sumber bahan pangan, hanya ada beberapa yang masih dikonsumsi sebagai bahan pangan pokok. Saat ini beras merupakan sumber pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Kurang beragamnya sumber bahan pangan yang dikonsumsi penduduk membuat ketergantungan pada sumber pangan tertentu, khususnya beras menjadi semakin besar. Upaya peningkatan produksi pangan nasional hampir identik dengan peningkatan produksi beras.

Page 27: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

35

Ketahanan pangan bisa tercapai melalui ketersediaan pangan yang secara kuantitatif memenuhi kebutuhan penduduk. Kemampuan menyediakan suplai pangan sepanjang tahun dan merata di berbagai daerah menjadi sangat mendesak. Untuk itu diperlukan upaya peningkatan produksi pangan dengan mengatasi berbagai hambatan yang ada. Di samping itu, akses penduduk terhadap bahan pangan yang ada di pasar merupakan faktor penting. Untuk bisa mengakses bahan pangan maka penduduk dituntut untuk bisa menghasilkan sendiri atau mempunyai daya beli agar kebutuhan pangan terpenuhi. Produksi pangan tetap harus ditingkatkan dengan berbagai program yang ada dalam rangka kemandirian pangan. Di lain pihak, peningkatan daya beli penduduk juga perlu mendapat perhatian khusus agar akses pangan menjadi lebih beragam dan berkualitas.

Posisi Beras terhadap Ketahanan Pangan Nasional

Beras sebagai bahan pangan menduduki peringkat teratas mengingat sebagian besar penduduk Indonesia menggunakan komoditas ini sebagai pangan pokok. Partisipasi rumah tangga dalam mengkonsumsi beras semakin banyak (97%) seiring kurang beragamnya pangan pokok yang ada di tanah air. Partisipasi konsumsi terigu cenderung meningkat tetapi masih relatif rendah (33%). Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak rumah tangga yang meninggalkan bahan pangan lain sebagai pangan pokok seperti jagung, ubi-ubian, dan sagu. Sebaliknya, diversifikasi konsumsi pangan cenderung kurang mengalami kemajuan. Banyak rumah tangga memilih beras sebagai bahan pangan pokok karena berbagai alasan, antara lain praktis dalam pengolahan dan penyajian, mudah diperoleh, dan secara umum mengandung gizi yang relatif baik. Pada taraf tertentu mengkonsumsi beras juga memiliki status sosial yang lebih tinggi. Pemerintah juga berperan mendorong partisipasi rumah tangga terhadap beras dengan bantuan untuk kelompok masyarakat miskin berupa beras, walaupun bantuan pangan sekarang ini juga mencakup jenis pangan lainnya.

Page 28: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

Rata-rata konsumsi beras per kapita di Indonesia pada tahun 2012 rata-rata 113 kg/tahun. Dibandingkan tahun 2010, konsumsi beras per kapita turun dari 139 kg tahun 2010. Walaupun demikian konsumsi beras per kapita di Indonesia masih tinggi dibandingkan dengan Malaysia dan Jepang masing-masing 80 kg dan 60 kg per kapita/tahun (IRRI News 2012). Manfaat beras dalam konsumsi rumah tangga juga ditunjukkan oleh besarnya asupan kalori yang berasal dari beras (40%). Di samping itu, pengeluaran rata-rata rumah tangga di Indonesia untuk pangan relatif tinggi (>50%) dan untuk rumah tangga miskin pasti lebih tinggi lagi.

Dinamika Produksi

Perkembangan produksi padi mengalami fluktuasi baik itu untuk produksi, produktivitas, dan luas panen. Terkait dengan produktivitas yang berkaitan dengan sistem produksi, secara umum kebijakan program terjadi cenderung untuk meningkatkan produktivitas padi, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1 di bawah ini. Program BIMAS ditunjukkan untuk meningkatkan produktivitas 1967-1978, INSUS 1979-1987, SUPRA INSUS 1988-1997, GEMAPALAGUNG 1998-2004, dan RPPK/P2BN 2005-sekarang. Dalam kurun waktu yang cukup panjang selama 1961-2013, melalui periode tertentu, fluktuasi produksi padi nasional mengalami pertumbuhan yang bervariasi. Target pertumbuhan produksi padi harus memenuhi kebutuhan nasional, apabila kurang mencukupi maka pemerintah melakukan impor beras. Kalau diperhatikan dalam Tabel 1, secara umum pertumbuhan produksi padi mengalami pertumbuhan di atas pertumbuhan penduduk, kecuali periode 1961-1966, 1998-2004, dan 2005-2007. Periode tersebut merupakan periode yang cukup sulit untuk memulihkan kondisi pertumbuhan produksi padi nasional. Upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi pada periode 1961-1966 adalah awal dimulainya gerakan swasembada beras dimana saat itu pertumbuhan produksi padi masih 1,92% per tahun, sedangkan pertumbuhan penduduk 2,49% per tahun.

Page 29: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

37

Gambar 1. Perkembangan produktivitas dan produksi padi, tahun 1961-2013 (Sumber: www.faostat.org dan www.bps.go.id, diolah)

Di samping itu, pertumbuhan produktivitas dan luas panen juga di bawah pertumbuhan jumlah penduduk dan impor beras mencapai hampir 800 ribu ton/tahun. Pada kondisi yang kurang menguntungkan tersebut dan pedapatan per kapita Indonesia tahun 1960 masih di bawah $100, Indonesia mengalami penurunan impor beras 23,59% per tahun. Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia sulit untuk memenuhi kebutuhan beras baik melalui produksi maupun impor. Pada periode selanjutnya, 1967-1978, untuk memulihkan kondisi pangan nasional, produksi padi Indonesia sudah melebihi pertumbuhan jumlah penduduk dimana pertumbuhan produksi pada periode tersebut mencapai 4,34% per tahun dan pertumbuhan penduduk 2,5% per tahun. Selain itu, pertumbuhan produktivitas juga meningkat di atas pertumbuhan penduduk, namun untuk pertumbuhan luas panen belum dapat mengikuti pertumbuhan jumlah penduduk. Pada kondisi yang demikian, untuk memenuhi kecukupan beras nasional, pemerintah melakukan impor hingga mencapai 1 juta ton per tahun dengan pertumbuhan berkisar 12,28% per tahun. Begitu pula pada periode 1979-1987 yaitu periode terjadinya swasembada beras 1984 menunjukkan pola yang sama yaitu pertumbuhan produksi padi (4,89% per tahun) di atas pertumbuhan penduduk (2,17%) per tahun. Pada kondisi yang

Page 30: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

demikian rata-rata produktivitas padi juga mengalami peningkatan menjadi 3,7 ton/ha dengan pertumbuhan 3,31% per tahun, namun pertumbuhan luas panen juga masih di bawah pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan impor mengalami penurunan sekitar 33,15% per tahun dan rata-rata impor hanya 700 ribu ton/tahun. Terjadinya pertumbuhan produktivitas yang melandai pada periode 1988-1997 yaitu 0,62% per tahun mengakibatkan pertumbuhan produksi padi (1,83% per tahun) mendekati pertumbuhan penduduk (1,66% per tahun) dan pertumbuhan luas panen juga tidak meningkat (1,22% per tahun) mengakibatkan impor kembali meningkat hingga 26,27% per tahun. Proses yang kurang menguntungkan tersebut, kembali terjadi setelah resesi 1997/1998, pada periode 1998-2004 luas panen mengalami penurunan sekitar 0,20% per tahun mengakibatkan pertumbuhan produksi 1,16% per tahun di bawah pertumbuhan penduduk 1,44% per tahun. Pada kondisi yang demikian, impor beras mencapai hampir 2 juta ton/tahun. Memasuki periode 2005-2006, pemulihan ekonomi belum memberikan kondisi pertumbuhan produksi di atas pertumbuhan penduduk walaupun produktivitas padi rata-rata telah mencapai 4,6 ton/ha. Barulah pada periode 2007-2013, pertumbuhan produksi padi Indonesia sebesar 3,30% per tahun kembali meningkat di atas pertumbuhan penduduk 1,33% per tahun. Pertumbuhan produksi bisa tercapai pada kondisi tersebut akibat dari pertumbuhan luas panen 2,04% per tahun di atas pertumbuhan penduduk. Pada kondisi yang demikian, mengantisipasi resesi ekonomi 2008, pemerintah melakukan impor beras pada periode 2007-2013 hingga 1 juta per tahun dengan pertumbuhan 8,61% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecukupan beras sangat sensitif terhadap reaksi dari pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan produksi padi. Pola kebijakan kecukupan kebutuhan beras melalui teknologi dan pemulihan sumberdaya alam sangat dibutuhkan untuk periode-periode selanjutnya.

Page 31: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

39

Tabel 1. Perkembangan Produksi, Produktivitas, Luas Panen Padi (GKG, Impor Beras dan Jumlah Penduduk Indonesia 1961-2013)

Tahun

Produksi Produktivitas Luas Panen Impor Jumlah Penduduk

Rata-rata (juta ton/

tahun)

%/ thn

Rata-rata (ton/ ha)

%/ thn

Rata-rata (juta ha/

tahun)

% / thn

Rata-rata (juta ton/

tahun)

%/ thn

Rata-rata (juta jiwa/

tahun)

%/ thn

1961-1966 12.6 1.9 1.7 0.1 7.1 1.8 0.7 -23.5 96.7 2.4 1967-1978 20.5 4.3 2.4 3.4 8.2 1.0 1.0 12.2 121.7 2.4 1979-1987 34.9 4.8 3.6 3.3 9.4 1.6 0.7 -33.1 155.6 2.1 1988-1997 46.9 1.8 4.3 0.6 10.8 1.2 0.7 26.2 186.3 1.6 1998-2004 51.4 1.1 4.4 1.3 11.7 -0.2 1.9 -24.7 212.0 1.4 2005-2006 54.3 0.5 4.6 1.0 11.8 -0.4 0.3 82.7 226.1 1.4 2007-2013 64.8 3.3 4.9 1.2 13.0 2.0 1.0 8.6 240.6 1.3

Sumber: FAO (2014) dan BPS (2014), diolah

Upaya Meningkatkan Produksi Menghadapi berbagai Kendala

Berbagai cara ditempuh oleh pemerintah dalam meningkatkan produksi pangan nasional. Konversi lahan pertanian, kerusakan jaringan irigasi, perubahan iklim, dan serangan hama penyakit. UU No. 41/2009 mengatur tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan PP No. 1/2011 mengatur tentang Penetapan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan telah menyatakan lahan pertanian pangan berkelanjutan sebagai kawasan strategis nasional. Setiap kabupaten/kota harus mengalokasikan sebagian lahan pertanian yang ada untuk Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan cadangan LP2B. Di samping itu, LP2B dan cadangan LP2B harus dimasukkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota. Walaupun demikian tidak secara otomatis alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian bisa dicegah. Masih banyak petani yang menjual lahannya untuk keperluan non pertanian dan di lain pihak pemerintah kabupaten/kota tidak bisa memberi sangsi sesuai dengan yang tercantum dalam UU No. 41/2009. Konversi lahan terus berlangsung untuk keperluan perumahan, jalan raya, maupun kompleks industri. Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor non pertanian lebih menjanjikan dibanding PAD dari sektor pertanian juga membuat banyak pemerintah kabupaten/kota belum serius melaksanakan UU No. 41/2009 (Sayaka et al. 2011).

Page 32: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

Konversi lahan pertanian sebagian besar terjadi di Jawa sebagai daerah penghasil utama padi. Selama 1990-1993 konversi lahan pertanian mencapai 52.773 ha atau rata-rata 18.260 ha/tahun. Tahun 200-2002 konversi lahan sebanyak 563.000 ha atau 188.000 ha/tahun (Irawan 2005). Selama periode 2008-2010 konversi lahan sawah sebanyak 200.000 ha (Rahmadi 2013). Di lain pihak program pencetakan sawah baru hanya sekitar 20.000-40.000 ha/tahun (Antara 2013). Konversi lahan sawah mempunyai dampak negatif yaitu hilangnya produksi pangan dari lahan sawah termasuk beras. Di samping itu, hilangnya pendapatan usaha tani dan kesempatan kerja di lahan pertanian (Ashari 2003). Beberapa hal yang bisa disarankan untuk mengendalikan konversi lahan selain pemberlakuan otoritas sentral seperti undang-undang dan peraturan pemerintah adalah pemberian insentif kepada petani agar tetap bersedia mengelola lahan pertaniannya dan tidak menjual untuk keperluan non pertanian. Dalam hal ini, termasuk memberi insentif kepada pemerintah kabupaten/kota agar bersedia mempertahankan lahan pertanian. Di samping itu, perlu peningkatan kemampuan petani secara kolektif dalam mengendalikan konversi lahan (Pasandaran 2006). Kementerian PU melakukan beberapa program pembangunan dan rehabilitasi jaringan irigasi. Pembangunan ini ditujukan untuk mengantisipasi menurunnya kemampuan jaringan irigasi dan rawa yang berakibat pada penurunan ketersediaan air. Dari 7,2 juta ha sawah yang dibangun, sekitar 36% mengalami kerusakan jaringan irigasi. Tahun 2013 Kementerian PU melakukan perluasan jaringan irigasi seluas 277.741 ha, rehabilitasi jaringan irigasi seluas 238.136 ha, operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi seluas 2.278.510 ha Selain saluran irigasi konvensional, Kementerian PU juga mengoptimalkan potensi jaringan irigasi rawa melalui peningkatan jaringan rawa seluas 32.632 ha, rehabilitasi jaringan rawa seluas 119.073 ha, serta operasi dan pemeliharaan jaringan rawa seluas 1.027.393 ha. Jika konsisten dikembangkan maka jaringan irigasi rawa yang saat ini hanya sekitar 1,8 juta ha dapat dikembangkan mendekati angka potensi jaringan irigasi rawa yang sekitar 33,4 juta ha. Sedangkan untuk menjaga dan meningkatkan keberlanjutan fungsi dan

Page 33: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

41

keberadaan sumberdaya air serta prasarana sumberdaya air pada tahun anggaran 2013 direncanakan pembangunan 21 waduk dan 252 embung/situ, rehabilitasi 29 waduk dan 107 embung/situ serta operasi dan pemeliharaan 706 waduk/embung/situ. Hal ini untuk meningkatkan penyediaan prasarana air baku pada tahun 2013 (Tempo 2013). Perubahan iklim selama lebih dari dua dasawarsa terakhir menyebabkan fluktuasi produksi pangan, khususnya beras. Kekeringan dan banjir merupakan dampak dari perubahan iklim ekstrem, di samping serangan hama penyakit yang lebih intensif. Sumaryanto et al. (2012) mengestimasi pola produksi pangan utama (padi, jagung, dan kedelai) melalui dampak El-Nino dan La-Nina. Dampak El-Nino adalah mengurangi luas tanam tanaman pangan dan dampak La-Nina adalah meningkatkan luas tanam. Walaupun demikian dampak negatif El-Nino lebih besar dari dampak positif La-Nina. Selain menurunkan luas tanam, El-Nino juga menurunkan produktivitas padi yang secara keseluruhan menurunkan produksi padi. Perlu diseminasi informasi peramalan iklim dan implikasinya untuk kalender tanam serta meningkatkan kemampuan petani merancang pola tanam. Pengendalian hama dan penyakit padi bisa dilakukan melalui perbaikan budidaya, pengendalian secara kimiawi, hayati maupun pemantauan secara dini. Pengendalian secara budidaya, khususnya terhadap hama wereng coklat, adalah melalui adopsi varietas unggul antara lain varietas Inpari yang sudah disebarluaskan ke petani.

Program Peningkatan Produksi Beras Nasional

Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) adalah kegiatan peningkatan produksi beras disertai penyediaan sarana dan prasarana produksi melalui optimalisasi sumberdaya pertanian, teknologi, dan kelembagaan. P2BN merupakan gerakan nasional dengan melakukan sinergi para pemangku kepentingan dari pusat hingga ke desa. Road Map Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) tahun 2012-2014 menuju surplus 10 juta ton beras tahun 2014 mempunyai sasaran produksi padi tahun 2013 sebanyak 72,06 juta ton GKG. Sasaran produksi tahun 2013 meningkat 4,24

Page 34: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

juta ton (6,25%) dari produksi tahun 2012 (67,83 juta ton). Sasaran produksi padi tahun 2014 adalah 75,57 juta ton GKG. Program Penguatan Ketahanan Pangan Nasional melalui Intensifikasi dan Ekstensifikasi yang dinamakan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) dilaksanakan oleh beberapa BUMN yang bergerak di sektor pertanian. Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) didasarkan pada Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Iklim Ekstrem (Sekretariat Kabinet RI 2011). Tugas Kementerian BUMN dalam inpres tersebut adalah: (i) menyediakan lahan pada kawasan hutan dengan pola tumpang sari produksi untuk tanaman padi, (ii) menyediakan dan menyalurkan sarana produksi dan distribusi gabah/beras, dan (iii) melakukan pengadaan dan pengelolaan cadangan gabah/beras pemerintah. Selain Kementerian BUMN juga dilibatkan kementerian-kementerian lainnya. Dalam hal ini, tugas Kementerian Pertanian adalah: (i) menganalisis risiko dampak iklim ekstrem terhadap produksi dan distribusi gabah/beras serta menyebarluaskan informasi kepada petani, (ii) meningkatkan luas lahan dan pengelolaan air irigasi untuk pertanian padi dalam mengantisipasi dan menghadapi kondisi iklim ekstrem, (iii) menambah ketersediaan benih, pupuk, dan pestisida yang sesuai, baik dalam jenis, mutu, waktu, lokasi, dan jumlah, (iv) memperbaiki tata kelola usaha tani, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), penanganan bencana banjir, dan kekeringan pada lahan pertanian padi, (v) menjamin dan menyalurkan bantuan benih, pupuk, dan pestisida secara cepat serta bantuan biaya usaha tani, bagi daerah yang mengalami puso dan terkena bencana, (vi) memperbaiki kinerja petugas lapangan dalam mengantisipasi dan melaksanakan respon cepat dampak kondisi iklim ekstrem, (vii) menambah alat dan mesin pertanian untuk mempercepat pengelolaan usaha tani padi, (viii) memperbaiki kegiatan pascapanen untuk mengurangi kehilangan hasil dan penurunan mutu gabah/beras, (ix) meningkatkan cadangan gabah/beras, dan (x) mendorong penganekaragaman konsumsi dan cadangan pangan. PT Pupuk Indonesia Holding Company (2013) ditunjuk sebagai salah satu operator GP3K dengan areal penugasan pada tahun 2011

Page 35: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

43

seluas 100.000 ha. Implementasi program GP3K dilakukan melalui pendekatan Optimalisasi Lahan Sawah, yaitu inovasi paket usaha tani dikembangkan di lahan sawah untuk meningkatkan produktivitas. Pola kerjasama dengan petani/ kelompok tani (poktan) adalah Pola Yarnen (bayar panen) dimana seluruh kebutuhan sarana produksi petani dibantu dalam bentuk pinjaman natura dan bukan natura serta dibayar oleh petani/kelompok tani setelah panen. Pada tahun 2011 PT Pupuk Indonesia Holding Company (PT PIHC) mendapat penugasan seluas 100.000 ha untuk program GP3K yang didistribusikan kepada empat anak perusahaan, yaitu PT Pusri Palembang, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, dan PT Petrokimia Gresik. Walaupun demikian realisasi calon petani dan calon lokasi (rencana tanam) adalah 79.675 ha dan realisasi tanam dan panen seluas 67.929 ha (486.313 ton) atau terjadi peningkatan produktivitas rata-rata 19% dibanding sebelum mengikuti GP3K. Realisasi panen lebih rendah dari rencana tanam karena sebagian petani (11.746 ha) menggeser jadwal tanamnya. Program GP3K pada tahun 2012 bukan hanya intensifikasi tetapi juga mencakup Program Beras BUMN dan Food Estate sesuai dengan Surat Kementerian BUMN No.S-135/MBU/2012 tentang Penugasan Pelaksanaan Program-program Pangan BUMN. PT PIHC mendapatkan Penugasan Program GP3K seluas 100.000 ha, Program Beras BUMN 100.000 ha, dan Food Estate atau ekstensifikasi 30.000 ha. Realisasi Program GP3K seluas 203.489 ha (203% dari penugasan) dengan luas panen 199.425 ha (1.425.172 ton GKP). Terjadi gagal panen seluas 4.065 ha karena kekeringan dan serangan hama. Realisasi Program Beras BUMN hanya 343,75 ha (0,34% dari rencana) karena sulit menyewa lahan petani dengan sewa lahan yang sangat mahal. Food Estate dilaksanakan di Kabupaten Tana Tidung, Kalimantan Timur, hanya terealisasi 2.873 ha (9,6% dari rencana) karena sebagian besar lahan sudah digunakan untuk perkebunan sawit dan kawasan budidaya hutan. Garis besar Program GP3K yaitu: (1) mendukung pencapaian surplus pangan nasional, (2) mengoptimalkan perusahaan BUMN pangan sesuai dengan peran dan fungsinya, dan (3) memperkenalkan sistem korporasi bagi petani. Sedangkan tujuan pelaksanaan program GP3K adalah mendorong produktivitas padi,

Page 36: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

jagung, dan kedelai pada tingkat frontier melalui penyediaan paket teknologi, modal, saprodi sesuai dengan kalender tanam, dan jaminan harga serta pembelian hasil. Hasil kajian Biro Perencanaan (2012) menyebutkan pada tahun 2011, GP3K dilaksanakan oleh 4 BUMN sebagai operator meliputi 3 komoditas yakni padi, jagung, dan kedelai yang tersebar di 27 provinsi. BUMN yang menjadi operator GP3K adalah PT Sang Hyang Seri (Persero), PT Pertani (Persero), PT Pusri (Persero), dan Perum Perhutani (Persero) berserta anak perusahaannya, yaitu PT Pusri Palembang, PT Pupuk Kujang, PT Pupuk Kaltim, dan PT Petrokimia Gresik. Beberapa permasalahan utama yang dihadapi oleh petani maupun operator pelaksana di lapangan dalam melaksanakan GP3K adalah sebagai berikut:

(1) Kekurangan modal usaha tani. Akar permasalahan yang dihadapi di tingkat petani adalah kurangnya modal kerja. Biaya usaha tani tidak selalu dapat ditutupi petani karena pendapatan rumah tangga harus dibagi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, penyediaan modal kerja secara penuh dan utuh yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan usaha tani (saprodi dan upah tenaga kerja) menjadi sasaran utama program bantuan kepada petani. (2) Ketidakseragaman format bantuan. Setiap operator memiliki bentuk dan isi perjanjian sendiri-sendiri dengan ragam dan besaran bantuan masing-masing. Ketidakseragaman ini membuat perbedaan dalam aplikasi usaha tani anjuran (yang seharusnya dilakukan). Sebagai contoh, operator A memberikan paket penuh kebutuhan saprodi dengan uang tunai untuk persiapan lahan/tenaga kerja senilai Rp5 juta/paket/MT, sementara operator B hanya menyediakan pupuk dan pestisida senilai Rp1,5 juta/paket/MT. Kedua operator ini sama-sama menyelenggarakan program GP3K, namun dampaknya terhadap produksi atau produktivitas menjadi sangat berbeda. (3) Keterlambatan pembayaran. Keterlambatan penyelesaian pembayaran terjadi di lapangan, baik pinjaman petani, maupun pelunasan pembelian gabah petani oleh operator. Beberapa petani tidak mampu membayar pinjaman

Page 37: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

45

sesuai kesepakatan karena umumnya mengalami gagal panen. Untuk kondisi seperti ini dapat dilakukan penjadwalan ulang pembayaran pinjaman. Namun, dalam hal kelambatan pelunasan pembayaran atas pembelian gabah petani (penangkar) oleh operator, sangat sulit bagi petani untuk menerima keadaan ini. Petani yang seharusnya dibantu, namun keadaan seperti ini telah mendorong mereka kembali melirik pelepas uang untuk memperoleh modal kerja pada musim tanam (MT) berikutnya. Konsekuensinya adalah petani tidak bersedia lagi mengikuti program GP3K pada MT berikutnya karena mengalami krisis kepercayaan. (4) Distribusi paket yang mengalami kelambatan. Hal ini berakibat langsung pada RDKK yang telah disusun petani, khususnya waktu (hari) tanam. Kelambatan tersebut mengakibatkan perubahan jadwal pergiliran air irigasi, ketersediaan tenaga kerja (tanam), dan waktu penyulaman yang tidak sesuai. (5) Minimum bantuan dalam penyuluhan. Tidak semua operator dapat menyediakan bantuan penyuluhan, sementara koordinasi dengan instansi terkait di masing-masing daerah tidak selalu terjalin dengan baik. Hanya operator yang agresif yang memperoleh bantuan penyuluhan dari instansi/penyuluh setempat, sementara operator yang lain lebih mempercayakan keadaan pertanaman kepada petani/kelompok tani yang bersangkutan. Khusus Program GP3K pada kawasan hutan, sosialisasi dan penyuluhan yang lebih efektif kepada petani dalam kelompok-kelompok kerja pada LMDH masih terkendala dalam banyak aspek, seperti ketersediaan SDM dan paket teknologi inovasi pada lahan hutan. (6) Kesulitan untuk mendapatkan Calon Peserta dan Calon Lokasi

(CP/CL). Dukungan Dinas Pertanian untuk mendapatkan CP/CL sangat diperlukan operator pelaksana untuk memperlancar kegiatan program GP3K. Koordinasi antara operator dengan dinas setempat menunjang sinkronisasi kegiatan pembangunan pertanian daerah dengan program GP3K.

Page 38: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

(7) Kendala kerjasama kelembagaan. Pelaksanaan GP3K masih terkendala dalam banyak hal, antara lain belum siapnya berbagai jajaran pelaku program ini di tingkat provinsi, kabupaten dan di tingkat pelaksana di lapangan. Kelembagaan operator pelaksana belum tertata dengan baik untuk mampu melaksanakan rangkaian kegiatan GP3K, terutama untuk penyusunan rencana, pelaksanaan di lapangan maupun pengawasan. Demikian juga petani, masih belum memahami dengan baik pola kemitraan GP3K, bahkan banyak di antara petani yang masih mengharapkan bantuan dengan pola bansos yang bersifat hibah. Promosi/sosialisasi untuk lebih memahami Program GP3K dan tujuan utamanya masih sangat dibutuhkan. Keberpihakan kepada petani menjadi dasar dari seluruh kebijakan dalam berbagai bentuk program dan kegiatan peningkatan produksi komoditas pangan. Selain upaya-upaya perluasan areal tanam, perbaikan infrastruktur irigasi, distribusi benih unggul, pembangunan jalan usaha tani, dan penyediaan alat mesin pertanian (alsintan) tepat guna serta pendampingan/penyuluhan dalam berusaha tani, akses terhadap modal kerja dinilai sebagai faktor yang sangat penting. Untuk semua usaha tani pangan, ketersediaan modal kerja adalah prioritas. Dalam kerangka menuju pencapaian surplus beras, beberapa terobosan program perlu disiapkan sebagai masukan untuk pengambilan keputusan. Dari deskripsi di atas, Kementerian Pertanian perlu melaksanakan alternatif kebijakan berikut yang akan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah operasional: (1) Program sejenis GP3K diperluas hingga mencakup sebagian

besar lahan sawah beririgasi berbasis poktan atau gabungan kelompok tani (gapoktan). Paket usaha tani lengkap disediakan untuk menghasilkan produksi secara optimal.

(2) Dana pendukung diharapkan dapat disediakan melalui APBN pembangunan pertanian. Dana tersebut diajukan sebagai pilihan lain atas dana bantuan kepada petani yang bersifat sosial. Dana yang dipinjamkan kepada petani dinilai lebih produktif dan efektif serta mendidik.

(3) Produksi padi dapat berupa produksi benih dan produksi konsumsi. Peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan nasional untuk

Page 39: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

47

mengurangi ketargantungan terhadap impor dan sekaligus menghemat devisa negara.

(4) Keberhasilan program, antara lain didukung oleh komunikasi dan koordinasi antara operator/pelaksana di lapangan dengan petani/poktan/gapoktan. Dengan demikian, petugas pelaksana di lapangan perlu memahami kebutuhan petani yang diselaraskan dengan tujuan pemberian bantuan.

(5) Ketersediaan sumberdaya manusia, khususnya tenaga pendamping atau penyuluh pertanian lapangan sangat erat kaitannya dengan tingkat keberhasilan yang ingin dicapai, namun dengan catatan bahwa tenaga pendamping atau penyuluh tersebut mampu bekerjasama dengan petani (dan “bekerja dengan hati”), tidak semata-mata mengejar karier yang didorong oleh faktor finansial.

(6) Khusus untuk tenaga pendampingan atau penyuluh, pemerintah (pusat dan daerah) tidak perlu dihadapkan pada ketersediaan tenaganya sendiri dan ketersediaan keuangan yang mendukungnya. Para petani progresif yang umumnya ada diantara petani (poktan/gapoktan) dapat direkrut sebagai tenaga pendamping atau penyuluh yang difasilitasi pemerintah dengan biaya yang lebih ringan dibandingkan dengan perekrutan tenaga kerja baru. Para petani progresif ini perlu mendapatkan pelatihan, penguatan pengetahuan dan dibekali dengan keterampilan manajemen administrasi. Di satu sisi, penyerapan tenaga kerja di daerah menjadi terhambat, tetapi keberhasilan usaha tani pangan lebih dimungkinkan karena tenaga-tenaga pendamping atau penyuluh berasal dari kalangan petani sendiri.

(7) Keberpihakan kepada petani harus ditunjukkan oleh membaiknya pendapatan rumah tangga petani, dalam hal ini, petani komoditas pangan. Makna keberpihakan dapat ditunjukkan oleh meningkatnya harga yang diterima petani dari penjualan produksi. Harga pokok penjualan (HPP) untuk gabah yang saat ini sekitar Rp2800 hingga Rp3300 per kilogram dipandang tidak memadai lagi. Jika pemerintah benar-benar ingin meningkatkan pendapatan petani, memperbaiki taraf hidup, dan mengangkat petani dari perangkap kemiskinan, maka harga yang layak diusulkan antara Rp5000 hingga Rp6000 per kilogram GKP, menurut kualitasnya, layak dipertimbangkan. Jika kenaikan harga ini memicu inflasi, maka hal tersebut adalah

Page 40: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

salah satu konsekuensi logis dari kebijakan dan risiko yang ditanggung negara demi masa depan masyarakat tani dan keluarganya,

(8) Keberhasilan GP3K diperkirakan akan semakin besar jika didukung oleh fasilitasi yang lebih konkrit dari Kementerian Pertanian, seperti rekomendasi pola usaha tani spesifik lokasi, program penyuluhan dan pendampingan terjadwal, dan perbaikan infrastruktur usaha tani.

(9) GP3K mencanangkan penanaman kedelai seluas 125 ribu ha. Seluas 51,5 ribu ha diantaranya berada di kawasan hutan yang memungkinkannya menjadi andalan utama peningkatan produksi, namun perlu mendapat dukungan dari jajaran instansi lingkup pertanian pusat dan daerah. Jika tersedia, informasi tentang teknologi, perlakuan usaha tani untuk varietas unggul tertentu, penanganan pascapanen, dan informasi harga perlu disiapkan/disediakan dalam program ini.

Kementerian Pertanian melaksanakan program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) padi untuk peningkatan produksi padi nasional. Program ini dilaksanakan dengan prinsip integrasi, interaksi, dan partisipatif. Komponen dasar SL-PTT padi meliputi penggunaan varietas baru, benih bermutu, pemupukan secara efisien, dan pengendalian hama secara terpadu (Departemen Pertanian 2008). Di samping padi sawah, SL-PTT padi juga meliputi meliputi padi tadah hujan, padi gogo, padi rawa lebak, dan padi pasang surut. Pada tahun 2013 sasaran bantuan saprodi SL-PTT mencakup 4.625.000 ha meliputi kawasan pertumbuhan 297.900 ha, kawasan pengembangan 589.700 ha, dan kawasan pemantapan 3.737.400 ha. Jenis padi yang dibudidayakan meliputi padi inbrida sawah, padi inbrida pasang surut, padi inbrida rawa lebak, padi inbrida lahan kering, dan padi hibrida (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2013). Tahun 2012 Kementerian Pertanian memperkenalkan System of Rice Intensification (SRI), yaitu budidaya tanaman padi secara intensif dan efisien dengan manajemen sistem perakaran berbasis pengelolaan tanah, tanaman, dan air. SRI pada tahun 2012 dilaksanakan di 20 provinsi (109 kabupaten/kota) seluas 60.300 ha. Petani yang mengikuti program ini disyaratkan mengelola lahan

Page 41: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Produksi Beras dan Ketahanan Pangan Nasional

49

sawah beririgasi tetapi bukan daerah genangan dan memiliki drainase yang baik serta dekat dengan sumber bahan organik (Direktorat Perluasan dan Pengelolaan Lahan 2012).

Penutup

Ketahanan pangan nasional tetap membutuhkan beras dalam memenuhi kecukupan pangan, namun demikian tekanan terhadap peningkatan produksi sangat mendapat tantangan terhadap arus yang menguat pada konversi lahan pertanian, kerusakan jaringan irigasi, perubahan iklim, dan serangan hama penyakit. Oleh karena itu, kebijakan diversifikasi pangan tetap menjadi prioritas dalam pengendalian konsumsi beras, walaupun kondisi saat ini terjadi indikasi penurunan konsumsi beras per kapita dari 139 kg/kapita/tahun menjadi 113 kg/kapita/tahun. Di sisi lain, kebijakan terhadap penggunaan faktor produksi yang lebih efisien sangat penting pada masa yang akan datang mengingat kompetisi penggunaan lahan dan air serta tenaga kerja semakin meningkat. Oleh karena itu, akselerasi pengunaan teknologi yang tercermin dalam buku kalender tanam terpadu ini di tingkat petani tetap menjadi program utama agar ketersediaan komoditas seiring arahnya dengan pertumbuhan penduduk Indonesia.

Daftar Pustaka

Antara. 2013. Kementan: Pertanian Berkelanjutan untuk Hentikan Konversi Lahan. Jakarta. Senin, 19 Agustus 2013.

Ashari. 2003. Fenomena Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Indonesia 25(2):3-4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor.

Biro Perencanaan. 2012. Evaluasi Pelaksanaan Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K). Biro Perencanaan, Kementerian Pertanian. Jakarta.

BPS. 2014. Luas Panen-Produktivitas-Produksi Tanaman Padi Provinsi di Indonesia. www.bps.go.id.

Departemen Pertanian. 2008. Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi. Departemen Pertanian. Jakarta.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2013. Pedoman Teknis Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi dan Jagung Tahun 2013. Kementerian Pertanian. Jakarta.

Page 42: Bagian I Sistem Produksi Padi dan Ketahanan Pangan Nasional · variabilitas dan perubahan iklim terhadap ketahanan pangan di Indonesia, maka diperlukan suatu upaya strategis dengan

Sayaka et al.

Direktorat Perluasan dan Peneglolaan Lahan. 2012. Konsep Pedoman Teknis Pengembangan Sistem of Rice Intensification TA 2012. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian. Jakarta.

FAO. 2014. The Agricultural Production. Food and Agriculture Organization of the United Nations. www.faostat.org

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(6):2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

IRRI News. 2012. Indonesia: No Rice, No Way. http://www.irrinews.org/report/94884/indonesia-no-rice-no-way. Diakses tanggal 17 February 2012.

Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25(4):123-129.

PT Pupuk Indonesia Holding Company. 2013. GP3K (Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi). http://pupuk-indonesia.com/id/pemasaran/info-program/gp3k.

Rahmadi, A. 2012. Indonesia at the crossroads: addressing food security. Jakarta Post, 12 Agustus 2013.

Sayaka, B., K. Suradisastra, B. Irawan, S.M. Pasaribu. 2011. Pemanfaatan Lahan Pertanian di Berbagai Daerah. Dalam S.M. Pasaribu, H.P. Saliem, H. Sopearno, E. Pasandaran, F. Kasryno (Penyunting). Konversi dan Fragmentasi Lahan Ancaman terhadap Kemandirian Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, kementerian Pertanian. Jakarta.

Sekretariat Kabinet RI. 2011. Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Iklim Ekstrem. Jakarta.

Sumaryanto, M.H. Sawit, B. Irawan, A. Setiyanto, J. Situmorang, M. Suryadi. 2012. Impacts of Climate Change on Seasonal Food Insecurity. Agro-Socio economic Newsletter 06(2):2-4.

Tempo. 2013. Kerusakan Irigasi Turunkan Produksi Beras. www.tempo.com, Minggu, 24 November 2013. Pkl. 17:22 WIB. Jakarta.