babi pendahuluan 1.1 latar belakang masalahrepository.utu.ac.id/943/1/bab i-v.pdf · 2017. 9....
TRANSCRIPT
-
1
BABI
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Partisipasi politik merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara
demokrasi, sekaligus merupakan ciri khas adanya modernisasi politik.Secara
umum dalam masyarakat tradisional yang sifat kepemimpinan politiknya lebih
ditentukan oleh segolongan elit penguasa, keterlibatan warga negara dalam ikut
serta memengaruhi pengambilan keputusan, dan memengaruhi kehidupan bangsa
relatif sangat kecil. Warga negara yang hanya terdiri dari masyarakat sederhana
cenderung kurang diperhitungkan dalam proses-proses politik (Sudijono, 2004:
h.56)
Kemajuan perkembangan politik suatu Negara dapat dilihat dari baik
buruknya partisipasi masyarakatnya, seperti yang dikemukakan oleh Rauf (2001:
h.12) bahwa kemajuan di bidang politik yang terjadi di negara-negara modern
oleh masyarakat akan menjadi inspirasi untuk menilai perkembangan politik
negara. Setiap orang dapat mengetahui perkembangan demokrasi dan politik di
negaranya melalui pandangannya terhadap partisipasi masyarakat di bidang
politik dan pemerintahan di negaranya.
Partisipasi merupakan proses aktif dan inisiatif yang muncul dari
masyarakatdalam suatu kegiatan.Di Indonesia berpartisipasi politik dijamin oleh
negara. Hal ini tercantum di pasal 28 dalam UUD 1945 yang berbunyi;
"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".Selain itu, diatur pula di dalam
UU No 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan politik, di mana poin-
1
-
2
poin hak yang harus dilindungi oleh negara mengenai hak berpendapat, hak
berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama di hadapan hukum dan
pemerintahan, hak mendapatkan keadilan, dan lain-lain.
Menurut Budiardjo (2009: h.367), partisipasi politik adalah kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara yang secara langsung
atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Dengan
demikian, partisipasi politik erat kaitannya dengan kesadaran politik, karena
semakin sadar dirinya diperintah orang kemudian menuntut diberikan hak
bersuara dalam penyelenggaraan pemerintahan. Terkait hal tersebut, salah satu
tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemilu di tanah air dewasa ini
adalah menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat.Kondisi itu setidaknya
dapat dilihat dari beberapa hasil pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) sebelumnya,
yaitu Pemilu 1999 dengan tingkat partisipasi politik masyarakat mencapai 92,74
persen, pemilu 2004 dengan 84,07 persen dan pemilu 2009 dengan tingkat
partisipasi masyarakat sebesar 71 persen.
Fenomena menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat dalam
pemilu itu setidaknya juga tergambar dari pelaksanaaan pemilihan kepala daerah
(pilkada) pada tahun 2013. Setidaknya, angka partisipasi politik masyarakat dalam
pilkada berkisar antara 50-70 persen. Sinergitas dari seluruh pemangku
kepentingan pemilu sangatlah diharapkan, terutama dalam rangka memberikan
sosialisasi yang tepat kepada masyarakat tentang arti pentingnya pemilu bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
-
3
Hasil survei dari LSI (Lembaga Survei Indonesia) merata-ratakan total
partisipasi politik rakyat dalam Pilkada sekitar 60 persen atau dengan kata lain
rata-rata jumlah Golput mencapai 40 persen. Sejatinya Golput adalah fenomena
yang alamiah. Fenomena ini ada di setiap pemilihan umum di manapun itu, tidak
terkecuali di Amerika Serikat.
Salah satu hal mendasar menyebabkan besarnya jumlah Golput adalah
adanya motivasi yang beragam dari para peserta pemilu. Motivasi tersebut lebih
cenderung pada kepentingan politik semata dengan mengabaikan hal-hal ini
seprti pendidikan politik rakyat. Istilah pendidikan politik sering disamakan
dengan istilah political socialization.Istilah political sosialization jika diartikan
secara harfiah bermakna sosialisasi politik. Oleh karena itu, dengan menggunakan
istilah political sosialization banyak yang mensinonimkan istilah pendidikan
politik dengan istilah Sosialisasi Politik, karena keduanya memiliki makna yang
hampir sama.
Sosialisasi politik adalah pendidikan politik dalam arti sempit.Sosialisasi
politik dibagi dua yaitu pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan
politik merupakan suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan.
Melalui proses ini para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai,
norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam
sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Para Caleg dalam kampanyenya akan lebih cenderung mengajak rakyat
untuk memilih dirinya atau tidak memilih. Kondisi akan berbeda jika ada muatan
untuk memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Bahwa rakyat adalah pemegang
kedaulatan yang memiliki tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara
-
4
demokratis paling kurang dalam dua hal yaitu memilih pemimpin yang akan
membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh komponen
masyarakat, ke dua untuk memilih wakil rakyat yang akan di tugasi mengawal
dan mengawasi jalannya pemerintah.Secara lebih tegas
lagimengenaipendidikanpolitikdapat dilihat dalam Pasal 31 UU Nomor 2 tahun
2008, yang menyatakan bahwa Partai politik melakukan pendidikan politik bagi
masyarakat sesuai ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan
keadilan dan kesetaraan gender dan tujuannya antara lain:Meningkatkan
kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat, meningkatkan
kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka
memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.Atas dasar ini pendidikan politik
rakyat adalah hal yang strategis untuk menimbulkan efek Pemilu yang lebih
berkualitas. Melihat penyebab munculnya Golput di Indonesia karena kurangnya
sosialisasi dan pemahaman politik yang benar, maka pendidikan politik ini juga
berpotensi untuk meningkatkan tingkat partisipasi politik rakyat.
Memahami pendidikan politik di masyarakat merupakan hal yang sangat
menarik untuk diketahui. Karena pendidikan politik itu merupakan suatu proses
dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini para anggota
masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan simbol-
simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah,
pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik mengajarkan masyarakat untuk
lebih mengenal sistem politik negaranya. Seperti yang di sebutkan dalam pasal 1
ayat (4) UU No. 2 Tahun 2008 tentang partai politik yang menyebutkan bahwa
-
5
pendidikan politik merupakan proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak,
kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga Negara dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Menurut pasal tersebut jelas dikatakan bahwa partai politik berhak
memberikan pendidikan politik kepada setiap warga Negara dan seiap warga
Negara juga berhak menerima pendidikan itu. Misalnya pendidikan politik yang
diberikan oleh partai politik kepada masyarakat, disini partai politik memberikan
pendidikan politik secara berkala kepada masyarakat.
Menurut Ramlan Surbakti (2000: h.117) dalam memberikan
pengertian tentang pendidikan politik harus dijelaskan terlebih dahulu
mengenai sosialisasi politik bahwa sosialisasi politik dibagi dua yaitu
pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan
suatu proses dialogik diantara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini
para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilai-nilai, norma-norma,
dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik
seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik.
Pendidikan politik mempunyai dua tujuan utama. Pertama, pendidikan
politik adalah untuk mengubah dan membentuk tata perilaku seseorang agar
sesuai dengan tujuan politih yang dapat menjadikan setiap individu sebagai
partisipan politik yang bertanggung jawab. Kedua, pendidikan politik dalam arti
yang lebih luas untuk membentuk suatu tatanan masyarakat yang sesuai dengan
tuntutan politik yang ingin diterapkan. Partisipasi politik merupakan aktifitas
masyarakat yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warga negara, bukan
-
6
politikus atau pegawai negeri. Partisipasi politik ini pun bersifat sukarela dan
bukan dimobilisasi oleh Negara maupun partai yang berkuasa (Basri, 2011: h.97).
Partisipasi politik itu merupakan suatu hal yang bersifat suka rela
terhadap masyarakat yang aktif dalam perpolitikan di Indonesia ini. Disini dapat
kita lihat bahwa masyarakat sebagai subjek dalam pembangunan untuk ikut serta
dalam menentukan keputusan yang menyangkut keputusan bersama (umum).
Oleh karena itu di dalam mengambil keputusan dibutuhkannya kerja sama antara
partai politik dan masyarakat untuk memberikan keputusan yang baik dalam
perpolitikan bagi negaranya.
Berdasarkan hasil observasi awal dilapangan pada gampong Simpang
Peut KecamatanArongan Lambalek merupakan suatu lingkungan yang sebagian
masyarakatnya ikut berperan atau ikut dalam suatu organisasi partai politik.
Masyarakat yang tinggal di mukim tersebut pada dasarnya adalah mempunyai
pekerjaan yang berbeda-beda, mulai dari pekerjaan sebagai petani, pegawai negeri
sipil dan lain-lain. Akan teteapi terdapat sebagian dari masyarakat masih merasa
tidak penting untuk mengikuti kegiatan politik khusunya pada saat pemilu
terutama pada pemilihan caleg bulan april lalu tahun 2014. Masyarakat merasa
ikut atau berpartisipasi dalam pemilu caleg tidak juga akan merubah kehidupan
mereka, dimana mereka juga harus tetap banting tulang untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Sedangkan para caleg menikmati kehidupan mereka di
bangku DPR nantinya.
Hal ini terjadi karena masyarakat sudah bosan dengan janji-janji para
caleg terdahulu.Dari dulu para caleg yang naik selalu memberikan janji-janji yang
hampir 50 persennya tidak menepati janji tersebut setelah terpilih menjadi anggota
-
7
DPR. Masyarakat merasa kecewa dan merasa bahwa setiap caleg yang naik selalu
akan melakukan hal yang sama.
Dari latar belakang diatas penulis merasa tertarik mengadakan penelitian
dengan judul “Pendidikan Masyarakat Dan Partisipasi Politik Pada
Pemilihan Legislatif 2014(PILEG) di Gampong Simpang Peut Kecamatan
Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka perumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanapendidikan masyarakat pada pemilihan caleg 2014di Gampong
Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek dalam partai politik atau yang
lain?
2. Bagaimana bentuk partisipasi masyarakat terhadap politik di Gampong
Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek berdasarkan tingkat
pendidikan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan
tersebut, maka penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui bagaimanapendidikan masyarakat pada pemilihan caleg
2014di Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek dalam partai
politik atau yang lain.
-
8
2. Untuk mengetahui bagaimanabentuk partisipasi masyarakat terhadap politik
di Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek berdasarkan
tingkat pendidikan?
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, manfaat yang akan diperoleh
dengan diadakannya penelitian ini:
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Penulis
Menambah wawasan penulis sebagai bahan perbandingan antara teori yang
telah dipelajari dengan praktek yang telah diterapkan berdasarkan hasil data
Kantor Gampong atau Mukim dan hasil pengamatan dilapangan.
2. Lingkungan Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam menambah bahan bacaan
bagi mahasiswa Universitas Teuku Umar khususnya bagi mahasiswa Fakultas
FISIP.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil analisis dalam penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
bahan masukan bagi pemerintah untuk menentukan kebijaksanaan dalam
meningkatkan pendidikan politik bagi masyarakat.
-
9
1.5 Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah:
1. BabPertama, Pendahuluan
Terdiri dari:
a. Latar Belakang
b. Rumusan Masalah
c. Tujuan Penelitian
d. Manfaat Penelitian
e. Sistematika Pembahasan.
2. Bab Kedua, Tinjauan Pustaka
Terdiri dari:
a. Tijauan Tentangkajian terdahulu
b. Tinjauan Tentang Pendidikan
c. Tijauan Tentang Partisipasi
d. Tinjauan TentangHubungan Politik dan Pendidikan
e. Tinjauan Tentang Peran Politik dan Pendidikan
f. Tinjauan Tentang Teori Partisipasi Politik Easton
3. Bab Ketiga, Metode Penelitian
Terdiri dari:
a. Jenis Penelitian
b. Waktu dan Lokasi Penelitian
c. Instrumen Penelitian
d. Subyek Penelitian
e. Tekhnik Pengumpulan Data
-
10
f. Tekhnik Analisis Data
4. Bab Keempat, Hasil dan Pembahasan
Terdiri dari:
a. Masalah tentang Hasil Penelitian
b. Masalah tentang Pembahasan Hasil Penelitian
5. Bab Kelima, Penutup
Terdiri dari:
a. Kesimpulan
b. Saran
-
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Dani Wahyu Rahma (2010)
Universitas Negeri Semarangyang mengangkat judul “Partisipasi Politik
Pemilih Pemula Dalam Pelaksanaan Pemilu Tahun 2009 di Desa Puguh
Kecamatan Boja Kabupaten Kendal”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
bentuk partisipasi politik pemilih pemula dalam pelaksanaan pemilu tahun
2009 di Desa Puguh Kecamatan Boja Kabupaten Kendal terbagi dalam bentuk
pemberian suara,kampanye, dan berbicara masalah politik. Tingkat Partisipasi
politik pemilih pemula dalam Pemilu legislatif tahun 2009 di Desa Puguh
kecamatan Boja Kabupaten Kendal yaitu pemberian suara, bentuk partisipasi
politik ini dilakukan 95% pemilih pemula yang terdaftar dalam DPT Desa
Puguh dan sesuai daftar kehadiran.
Selanjutnya Penelitian yang dilakukan oleh Sri Budi Eko Wardani (2004)
dengan judul “Penelitian Pemilu yang Memberdayakan Masyarakat” kepedulian
masyarakat terhadap pemilu sebetulnya sudah tinggi. Partisipasi pemilih berada di
atas 70%.
Penelitian yang dilakukan oleh Budi Utomo, (2010) dengan judul
“pengaruh perilaku partai politik terhadap partisipasi politik pemilih” persiapan
pilkada langsung sebagai referensi adalah keberadaan, eksistensi dan perilaku
parpol di dalam menjalankan fungsi-fungsi politiknya. Perilaku setiap partai
politik menentukan pola hubungan dengan pemilih yang ditentukan oleh batas-
11
-
12
batas lingkungan tertentu (wilayah, ideologi dan informasi). Begitu halnya dengan
perilaku PDI Perjuangan dalam rangka pemilihan kepala daerah di Kabupaten
Bekasi. Masyarakat di Kabupaten Bekasi dalam batas-batas lingkungan tertentu
memberikan apresiasi yang besar terhadap apa yang ditampilkan dan dilakukan
oleh PDI Perjuangan, baik secara personal melalui aktivitas para kader atau
fungsionaris partai maupun oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh PDI
Perjuangan.
Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian ini adalah, pada
penelitian ini peneliti hanya meniliti tentang pendidikan politik dan partisipasi
politik masyarakat pada pemilihan legislatif 2014 di gampong Arongan
Lambalek.Dimana yang menjadi informan adalah masyarakat yang sudah dapat
melakukan hak pilih dan yang melihat berapa besar partisipasi masyarakat pada
pemilihan caleg 2014.
2.2 Pendidikan
2.2.1 Pengertian Pendidikan
Pada dasarnya pengertian pendidikan ( UU SISDIKNAS No.20 tahun
2003 ) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Menurut kamus Bahasa Indonesia kata pendidikan berasal dari kata
„didik‟ dan mendapat imbuhan „pe‟ dan akhiran „an‟, maka kata ini mempunyai
arti proses atau cara atau perbuatan mendidik. Secara bahasa definisi pendidikan
-
13
adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusiamelalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Menurut Ki Hajar Dewantara (1977: h.32) menjelaskan tentang
pengertian pendidikan yaitu: Pendidikan yaitu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya
anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan
kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai
anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-
tingginya.
Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang
akan datang.
Istilah pendidikan berasal dari bahasa yunani, paedagogy, yang
mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang
pelayan. Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan
paedagogos. Dalam bahasa romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang
artinya mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa inggris,
pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih
intelektual. (Noeng Muhadjir, 2002: h.21).
John Dewey memandang pendidikan sebagai sebuah rekonstruksi atau
reorganisasi pengalaman agar lebih bermakna, sehingga pengalaman tersebut
dapat mengarah pengalaman yang didapat berikutnya (Jhon Dewel, 2004: h.89-
90).
Pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan dan
kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian
http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-menurut-ahli/http://belajarpsikologi.com/kurikulum-pendidikan-jangan-sering-berubah/
-
14
disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung dengan alat
(media) yang disususn sedemikian rupa, sehingga pendididkan dapat digunakan
untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan
yang ditetapkan. (Wiji Suwarno, 2006: h.20)
2.1.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan di Indonesia dapat diartikan sebagai perwujudan
proses pembelajaran di sekolah sebagai penyelenggara pendidikan formal.
Sedangkan pengertian sekolah adalah lembaga pendidikan yang secara resmi
menyelenggarakan kegiatan pembelajaran secara sisitematis, berencana dan
terarah, yang dilakukan oleh pendidika yang profesional, dengan program yang
diruangkan dalam kurikulum tertentu dan diikuti oleh peserta didik pada setiap
jenjang tertentu (Daryanto, 2002: h.42)
Sementara pengertian pendidikan formal sendiri menurut Undang-
Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun (2003, No. 20) adalah jalur pendidikan
yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar (SD),
pendidikan menengah (SLTP dan SLTA), dan pendidikan tinggi (Perguruan
Tinggi), dimana masing-masing jenjang memiliki kurikulum dan target
capaiannya, yang meliputi :
1. Kegiatan belajar mengajar pada tingakat sekolah dasar (SD) dimaksud untuk
menghasilkan lulusan yang dimiliki dasar-dasar karakter, kecakapan,
ketrampilan dan pengetahuan yang memadai untuk mengembangkan potensi
diri secara optimal sehingga memiliki ketahanan dan keberhasilan dalam
pendidikan lanjutan, serta kehidupan yang selalu berubah sesuai dengan
perkembangan zaman.
-
15
2. Sedangkan sekolah menengah baik menengah pertama dan atas bertujuan
untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter, kecakapan, dan
ketrampilan yang kuat untuk mengadakan hubungan timbal balik dengan
lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta mengembangkan
kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan lebih lanjut.
3. Adapun perguruan tinggi ditujukan untuk mengembangkan kemampuan
efektif, psikomotorik, serta kemampuan analisis guna dapat meneyelesaikan
persoalan sosial.
2.1.3 Penyelenggaraan Pendidikan
MenurutEngkos(2007: h.548-549) Pengertian penyelenggaraan berasal
dari pada kata “selenggara” yang artinya menguras dan mengusahakan sesuatu
(seperti memelihara dan merawat)melakukan atau melaksanakan (perintah,
undang-undang, rencana dan sebagainya). Yang kemudian mendapat imbuhan
pe,yang berubah menjadi “penyelenggara” yang maknanya, pemelihara, pemiara;
orang yang menyelenggarakan. Kemudian mendapatkan imbuan pe- dan -an,
berubah menjadi “penyelenggaraan” yang maknanya, pemeliharaan, pemiaraan,
proses, perbuatan, cara menyelenggarakan dalam berbagai-bagai arti(seperti
pelaksanaan,penunaian). Jadi penyelenggaraan memiliki makna suatu proses
dalam pelaksanaan sesuatu kegiatan agar terlaksana.
Pemgelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan
pengalaman belajaryangoptimal.Jadi dapat dikatakan bahwasanya:
penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan
memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta
perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi
-
16
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan
pendidikan (UU Pendidikan tahun 2003 pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut
dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (UU
Pendidikan tahun 2003 pasal 54 ayat 2). Oleh karena itu masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta
manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (UU
Pendidikan tahun 2003 pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis
masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat),
pemerintah daerah dan/atau sumber lain.
2.3 Partisipasi
2.3.1 PengertianPartisipasi
Partisipasi adalah proses aktif dan inisiatif yang muncul dari masyarakat
serta akan terwujud sebagai suatu kegiatan nyata apabila terpenuhi oleh tiga faktor
pendukungnya yaitu:
1. Adanya kemauan
2. Adanya kemampuan
3. Adanya kesempatanuntuk berpartisipasi (Slamet, 2004: h.56).
Partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang secara sadar ke
dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu, seseorang
bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam kelompok,
melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi,
perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab (Kaelan, 2002: h.29).
-
17
Partisipasi dapat diartikanmenjadi beberapa pengertian, yaitu:
1. Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek tanpa
ikut serta dalam pengambilan keputusan
2. Partisipasi adalah “pemekaan” (membuat peka) pihak masyarakat untuk
meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan untuk menanggapi
proyek-proyek pembanguna
3. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan
yang ditentukannya sendiri
4. Partisipasi adalah suatu proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa
orang atau kelompok yang terkait, mengambil inisiatif dan menggunakan
kebebasannya untuk melakukan hal itu
5. Partisipasi adalah pemantapan dialog antara masyarakat setempat dengan para
staf yang melakukan persiapan, pelaksanaan, monitoring proyek, agar supaya
memperoleh informasi mengenai konteks lokal, dan dampak-dampak social
6. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri,
kehidupan, dan lingkungan mereka.
2.3.2 Tipe Partisipasi
Tipe partisipasi masyarakat yaitu:
a. Partisipasi pasif/manipulatif
b. Partisipasi dengan cara memberikan informasi,
c. Partisipasi melalui konsultasi,
d. Partisipasi untuk insentif materil
e. Partisipasi fungsional
f. Partisipasi interaktif, dan self mobilization
-
18
Ada beberapa tingkatan partisipasi masyarakat dirinci dari partisipasi
terendah ke tinggi yaitu :
1. Partisipasi serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Jenis
partisipasi ini adalah jenis yang paling umum (ironisnya dunia pendidikan
kita). Pada tingkatan ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk
mendidik anak-anak mereka.
2. Partisipasi serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan, dan tenaga. Pada
partisipasi jenis ini masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan
pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, atau
tenaga.
3. Partisipasi serta secara pasif. Masyarakat dalam tingkatan ini menyetujui dan
menerima apa yang diputuskan pihak sekolah (komite sekolah), misalnya
komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya
yang bersekolah dan orang tua menerima keputusan itu dengan mematuhinya.
4. Partisipasi serta melalui adanya konsultasi. Pada tingkatan ini, orang tua
datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah pembelajaran yang
dialami anaknya
5. Partisipasi serta dalam pelayanan. Orang tua/masyakarat terlibat dalam
kegiatan sekolah, misalnya orang tua ikut membantu sekolah ketika ada studi
tur, pramuka, kegiatan keagamaan, dsb.
6. Partisipasi serta sebagai pelaksana kegiatan. Misalnya sekolah meminta orang
tua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya pendidikan,
masalah jender, gizi, dsb. Dapat pula misalnya, berpartisipasi dalam mencatat
-
19
anak usia sekolah di lingkungannya agar sekolah dapat menampungnya,
menjadi nara sumber, guru bantu, dan sebagainya.
7. Partisipasi serta dalam pengambilan keputusan. Orang tua/masyarakat terlibat
dalam pembahasan masalah pendidikan baik akademis maupun non
akademis, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam Rencana
Pengembangan Sekolah (RPS).
2.3.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Partisipasi
Pengertian Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat adalah
keikutsertaan masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah dan potensi
yang ada di masyarakat, pemilihan dan pengambilan keputusan tentang alternatif
solusi untuk menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi masalah, dan
keterlibatan masyarakat dalam proses mengevaluasi perubahan yang terjadi.
Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam suatu program juga
dapat berasal dari unsur luar/lingkungan.Isbandi (2007: h.27)
Menurut Isbandi (2007: h.27) ada beberapa poin yang dapat
mempengaruhi partisipasi masyarakat yang berasal dari luar/lingkungan, yaitu:
a. Komunikasi yang intensif antara sesama warga masyarakat, antara warga
masyarakat dengan pimpinannya serta antara sistem sosial di dalam
masyarakat dengan sistem di luarnya
b. Iklim sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam kehidupan keluarga,
pergaulan, permainan, sekolah maupun masyarakat dan bangsa yang
menguntungkan bagi serta mendorong tumbuh dan berkembangnya
partisipasi masyarakat
-
20
c. Kesempatan untuk berpartisipasi. Keadaan lingkungan serta proses dan
struktur sosial, sistem nilai dan norma-norma yang memungkinkan dan
mendorong terjadinya partisipasi sosial
d. Kebebasan untuk berprakarsa dan berkreasi. Lingkungan di dalam keluarga
masyarakat atau lingkungan politik, sosial, budaya yang memungkinkan dan
mendorong timbul dan berkembangnya prakarsa, gagasan, perseorangan atau
kelompok.
Partisipasi yang tumbuh dalam masyarakat dipengaruhi oleh banyak
faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan seseorang dalam
berpartisipasi, yaitu:
a. Usia
Faktor usia merupakan faktor yang mempengaruhi sikap seseorang terhadap
kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang ada. Mereka dari kelompok usia
menengah ke atas dengan keterikatan moral kepada nilai dan norma
masyarakat yang lebih mantap
b. Jenis kelamin
Nilai yang cukup lama dominan dalam kultur berbagai bangsa mengatakan
bahwa pada dasarnya tempat perempuan adalah “di dapur” yang berarti
bahwa dalam banyak masyarakat peranan perempuan yang terutama adalah
mengurus rumah tangga, akan tetapi semakin lama nilai peran perempuan
tersebut telah bergeser dengan adanya gerakan emansipasi dan pendidikan
perempuan yang semakin baik.
c. Pendidikan
Dikatakan sebagai salah satu syarat mutlak untuk berpartisipasi.
-
21
d. Pekerjaan dan penghasilan
Pekerjaan dan penghasilan yang baik dan mencukupi kebutuhan sehari-hari
dapat mendorong seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
masyarakat.
e. Lamanya tinggal
Lamanya seseorang tinggal dalam lingkungan tertentu dan pengalamannya
berinteraksi dengan lingkungan tersebut akan berpengaruh pada partisipasi
seseorang.
2.3.4 Landasan Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok
yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson (2003: h.67)
membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan
yang serupa.
2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama,
bahasa, atau etnis yang serupa.
3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya)
berdekatan.
4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi
formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol
atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan.
5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang
terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan
-
22
patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial,
pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
2.3.5 Bentuk Partisipasi Politik
Jika mode partisipasi politik bersumber pada faktor “kebiasaan”
partisipasi politik di suatu zaman, maka bentuk partisipasi politik mengacu pada
wujud nyata kegiatan politik tersebut. Huntington dan Nelson (2003: h.69)
membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:
1. Kegiatan Pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum,
mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon
legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi
hasil pemilu;
2. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan
politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu;
3. Kegiatan Organisasi – yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik
selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan
keputusan oleh pemerintah;
4. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan
dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka
5. Tindakan Kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok guna
mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik
manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta,
pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah
menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak
-
23
membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi
politik legal atau ilegal. Sebab itu, penyuapan, ancaman, pemerasan, dan
sejenisnya di tiap bentuk partisipasi politik adalah masuk ke dalam kajian
ini.Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif
lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik
seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang
berlangsung di dalam skala subyektif individu.
Thomas M. Magstadt (2004: h.55) menyebutkan bentuk-bentuk
partisipasi politik dapat meliputi:
1. Opini publik
Opini publik adalah gagasan serta pandangan yang diekspresikan oleh para
pembayar pajak dan konstituen pemilu.Opini publik yang kuat dapat saja
mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan
mereka atas suatu isu.
2. Polling
Upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling
inilah, partisipasi politik (menurut Magstadt) warganegara menemui
manifestasinya. Di dalam polling, terdapat aneka konsep yang menjadi bagian
di dalam dirinya yaitu: straw polls, random sampling, stratified sampling, exit
polling, dan tracking polls.Polling. Polling adalah upaya pengukuran opini
publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah, partisipasi politik
(menurut Magstadt) warganegara menemui manifestasinya. Dalam polling,
terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya yaitu:
-
24
Straw polls adalah survey yang tidak ilmiah karena bersifat sederhana,
murah, dan amat terbuka untuk penyalahgunaan dan manipulasi. Straw
polls dianggap tidak ilmiah karena tidak memertimbangkan representasi
populasi yang menjadi responden polling. Penentuan responden bersifat
serampangan, dan terkadang hanya menggunakan sampel yang hanya
merupakan bagian tertentu dari populasi.
Random sampling adalah metode polling yang melibatkan canvassing atas
populasi secara acak. Lawan dari random sampling adalah stratified
sampling. Lawan dari random sampling adalah stratified sampling.
Metode ini adalah cara menentukan responden polling, yang diadakan
akibat munculnya keterbatasan untuk melakukan random sampling. Dalam
stratified sampling, pihak yang menyelenggarakan polling memilih
populasi yang cukup kecil tetapi memiliki karakteristik khusus (agama,
usia, income, afiliasi partai politik, dan sejenisnya).
Exit polling adalah polling yang memungkinkan jaringan televisi
memrediksi pemenang suatu pemilihan umum segera setelah pemungutuan
suara usai. Teknik yang dilakukan adalah menyurvei pemberi suara di
TPS-TPS tertentu.
Tracking polls adalah polling yang dilakukan atas responden yang sama
dalam suatu periode kampanye. Tujuannya mengidentifikasi peralihan
sentimen pemilih atas suatu calon, partai, ataupun isu. Tujuan dari polling
ini adalah memerbaiki kinerja kampanye calon, kampaye parpol, bahkan
kinerja pemerintah.
-
25
3. Pemilihan umum
Pemilihan umum (Pemilu) erat hubungannya dengan polling. Pemilu
hakikatnya adalah polling "paling lengkap" karena menggunakan seluruh
warga negara benar-benar punya hak pilih (tidak seperti polling yang
menggunakan sampel).
4. Demokrasi langsung.
Demokrasi langsung adalah suatu situasi di mana pemilih (konstituen)
sekaligus menjadi legislator. Demokrasi langsung terdiri atas plebisit dan
referendum. Plebisit adalah pengambilan suara oleh seluruh komunitas atas
kebijakan publik dalam masalah tertentu. Misalnya, dalam kasus kenaikan
harga BBM ketika parlemen mengalami deadlock dengan eksekutif,
diambilah plebisit apakah naik atau tidak. Referendum adalah pemberian
suara dengan mana warganegara dapat memutuskan suatu undang-undang.
Misalnya, apakah undang-undang otonomi daerah perlu direvisi ataukah
tidak, dan parlemen mengalami deadlock, dilakukanlah referendum.
2.4 Hubungan Politik dan Pendidikan
Pendidikan dan politik adalah dua elemen penting dalam sistem sosial
politik di setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Keduanya
sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah, yang satu sama lain tidak
memiliki hubungan apa-apa. Padahal, keduanya bahu membahu dalam proses
pembentukan karakteristik masyarakat di suatu negara.
Rasyid (2003: h.8) menyimpulkan bahwa dalam sejarah perkembangan
Islam, institusi politik ikut mewarnai corak pendidikan yang dikembangkan.
Keterlibatan para penguasa dalam kegiatan pendidikan pada waktu itu tidak hanya
-
26
sebatas dukungan moral kepada para peserta didik, melainkan juga dalam bidang
administrasi, keuangan, dan kurikulum.Tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga
pendidikan merupakan salah satu konstalasi politik. Peranan yang dimainkan oleh
masjid-masjid dan madrasah-madrasah dalam mengokohkan kekuasaan politik
para penguasa dapat dilihat dalam sejarah. Pada pihak lain, ketergantungan
kepada uluran tangan para penguasa secara ekonomis, membuat lembaga-lembaga
tersebut harus sejalan dengan nuansa politik yang berlaku.
Berdasarkan kutipan di atas, dapat diketahui bahwa madrasah merupakan
salah satu lembaga yang menjadi corong pesan-pesan politik, sebagai contoh
madrasah Nizhamiyah di Baghdad. Hal ini dapat dipahami, bahwa madrasah
Nizhamiyah merupakan instrumen kebijakan politik yang salah satu fungsi
utamanya adalah untuk menanamkan doktrin kenegaraan yang memperkuat
kerajaan. Pada masa itu, perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak
dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan
institusi-intitusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan
mereka, sebab tujuan pemerintahan Islam.
Menurut Abdul Gaffar Aziz (2001: h.95), adalah menegakkan kebenaran
dan keadilan, dengan syariat sebagai senjata. Syariat tidak akan berjalan bila umat
tidak memahami ajaran Islam. Ada dua alasan utama mengapa para penguasa
Muslim sangat peduli dengan pendidikan. Pertama, karena Islam adalah agama
yang totaliter jam'i, mencakup semua aspek kehidupan seorang Muslim mulai dari
makan dan minum, tata cara berumah tangga, urusan sosial kemasyarakatan,
sampai pada ibadat semuanya diatur oleh syariat. Untuk mengetahui bagaimana
hidup yang Islami, seorang Muslim mesti terlibat dengan kegiatan-kegiatan
-
27
pendidikan. Kedua, karena motivasi politik, sebab di dalam Islam antara politik
dan agama sulit untuk dipisahkan. Para penguasa Muslim sering menjadikan
kekuasaan sebagai alat untuk menanamkan paham-paham keagamaan,
menanamkan ideologi negara dengan tujuan lahirnya kesamaan ide antara
penguasa dan masyarakat umum sehingga memudahkan pengaturan masalah-
masalah kenegaraan. Jadi pada masa kesultanan dan kerajaan Islam terdahulu,
pendidikan disinkronisasikan dengan misi dakwah
Setelah Indonesia merdeka, pendidikan dikelola oleh pemerintah.
Pendidikan umum sebagai kelanjutan dari sistem pendidikan kolonial Belanda
diserahkan kewenangannya kepada Kementrian Pendidikan, sedangkan
pendidikan Agama berada dalam naungan Kementrian Agama. Beberapa
karakteristik kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda, yaitu:
kolonialistik, intelektualistik, heterogen, diskriminatif, dan self-serving, diarahkan
semata-mata untuk kepentingan kolonialisme. Kebijakan pendidikan tersebut
berdampak pada kehidupan masyarakat pada waktu itu, antara lain: (1)
menimbulkan konflik keagamaan antara kelompok Muslim dan non-Muslim; (2)
menciptakan divisi sosial dan kesenjangan budaya antara kelompok minoritas
angkatan muda Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke atas dan kelompok
angkatan muda Indonesia yang berasal dari keluarga biasa; (3) menciptakan
polarisasi sosial tanpa mempedulikan kemampuan kerja mereka; dan (4)
menghambat perkembangan kaum pribumi. Pada masa awal kemerdekaan, kaum
nasionalis dapat menguasai birokrasi dan sektor-sektor strategis.
Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik dan apa yang akan
ditentukan oleh pelaku politik sebagai ciri-ciri utama budaya politik mereka
-
28
sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara
budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak
secara final membentuk pelaku politik. Akan tetapi, pendidikan memberi dasar-
dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar
kemungkinan (probabilitasnya) akan lahir pelaku-pelaku politik yang baik.
Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh,
kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-
pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.
Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para
pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik berbeda
dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem
pendidikan yang kurang memadai. Para pelaku politik dengan latar belakang
pendidikan pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang
datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari latar belakang
pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi feodal atau militer.
2.5 Peranan Politik dalam Pendidikan
Keterkaitan antara pendidikan dan politik berimplikasi pada semua
dataran, baik pada dataran filosofis maupun dataran kebijakan. Di Indonesia,
filsafat pendidikan nasional adalah artikulasi pedagogis dari nilai-nilai yang
terdapat pada Pancasila dan UUD 1945. Pada dataran kebijakan, sangat sulit
memisahkan antara kebijakan-kebijakan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah
di suatu negara dengan persepsi dan kepercayaan politik yang ada pada
pemerintah tersebut.
-
29
Menurut Abernethy dan Coombe (2003: h.287) menulis sebagai berikut:
A goverment's education policy reflects, and sometimes betray, its view of society
or political creed. The formulation of policy, being a function of government, is
essentially part of the political process, as are the demands made on government
by the public for its revision (kebijakan pendidikan suatu pemerintahan
merefleksikan dan terkadang merusak pandangannya terhadap masyarakat atau
keyakinan politik. Sebagai fungsi pemerintahan, formulasi kebijakan secara
esensial merupakan bagian dari proses politik, sebagai tuntutan-tuntutan publik
pemerintah untuk melakukan perubahan). Pada gilirannya, implementasi dari
suatu kebijakan pendidikan berdampak pada kehidupan politik. Berbagai
kebijakan pendidikan berdampak langsung pada akses, minat dan kepentingan
pendidikann para stakeholder pendidikan terutama orangtua dan peserta didik, dan
masyarakat pada umumnya. Sedang empat aspek kehidupan masyarakat yang
dapat dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, yaitu
lapangan kerja, mobilitas sosial, ide-ide, dan sikap.
Politik pendidikan yang dimaksud termanifestasikan dalam kebijakan-
kebijakan strategis pemerintah dalam bidang pendidikan. Politik pendidikan yang
diharapkan tentunya politik pendidikan yang berpihak pada rakyat kecil atau
miskin. Bagaimanapun, hingga hari ini masih banyak orang tua yang tidak mampu
menyekolahkan anak-anaknya sampai tingkat SD sekalipun. Masih banyak
sekolah yang kekurangan fasilitas atau bahkan tidak memiliki gedung yang
representatif atau tak memiliki ruang belajar sama sekali. Masih banyak sekolah
yang sangat kekurangan guru pengajar. Masih banyak pula guru (honorer) yang
dibayar sangat rendah yang menyebabkan motivasi mengajarnya sangat rendah.
-
30
Dinamika hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dalam suatu
masyarakat terus meningkat, seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi
dalam masyarakat tersebut. Di negara-negara berkembang, dinamika tersebut
cenderung lebih tinggi karena perubahan-perubahan di negara-negara tersebut
terjadi lebih intens.
Abernethy dan Coombe (2003: h.288) mengamati hal-hal berikut ini.
Secara umum, signifikansi politik pendidikan dalam masyarakat
kontemporer meningkat dengan derajat perubahan yang sedang berlangsung
dalam masyarakat. Perubahan-perubahan besar yang telah dialami oleh negara-
negara berkembang dan perubahan-perubahan, baik yang disengaja atau tidak
disengaja, yang sedang berproses, semuanya memperlihatkan hubungan timbal
balik antara politik dan pendidikan
Kutipan di atas paling tidak menggambarkan tiga hal, pertama, eratnya
hubungan antara dunia pendidikan dan dunia politik. Kedua, besarnya pengaruh
hubungan tersebut terhadap tatanan kehidupan sosial politik masyarakat. Ketiga,
besarnya peran persekolahan modern dalam keruntuhan kolonialisme.
Hubungan dan peran politik dalam pendidikan terwujud ke dalam berbagai bentuk
yang berbeda-beda, sesuai karakteristik setting sosial politik di mana hubungan itu
terjadi. Misalnya, dalam masyarakat yang lebih primitif, yang berdasarkan pada
basis kesukuan (tribal-based societes), adalah lazim bagi orangtua dari satu suku
memainkan dua peran, sebagai pemimpin politik dan sebagai pendidik. Mereka
membuat keputusan-keputusan penting dan memastikan bahwa keputusan-
keputusan ini diimplementasikan dan diterapkan. Mereka juga mempersiapkan
generasi muda untuk memasuki kehidupan dewasa dengan mengajarkan mereka
-
31
teknik-teknik berburu dan mencari ikan, metode-metode berperang, dan
sebagainya. Selain itu, mereka juga menanamkan pada generasi muda mereka
kepercayaan, nilai-nilai dan tradisi, dan mempersiapkan mereka untuk berperan
secara politis.
Masyarakat yang lebih maju dan berorientasi teknologi, dan mengadopsi
nilai-nilai dari lembaga Barat, pola hubungan antara pendidikan dan politik
umumnya sama dengan pola hubungan pendidikan dan politik di negara-negara
Barat. Ada satu perbedaan bahwa di negara-negara berkembang yang lebih maju,
pendidikan formal memainkan peran yang sangat penting dan nyata dalam
mencapai perubahan politik, dan dalam proses rekruitmen dan pelatihan
pemimpin dan elite politik baru.
Masyarakat modern pada umumnya, pendidikan adalah komoditi politik
yang sangat penting. Proses dan lembaga-lembaga pendidikan memiliki aspek dan
wajah politik yang banyak, serta memiliki beberapa fungsi penting yang
berdampak pada sistem politik, stabilitas dan praktik sehari-harinya.serta telah
menjadi sektor wilayah tanggung jawab pemerintah yang besar. Sebagai wilayah
pemerintah, pendidikan sering 'dipaksa' menyesuaikan diri dengan pola-pola
administratif umum dan norma-norma yang berlaku.Karena kuatnya kaitan antara
masalah pendidikan dan politik, setiap kebijakan pemerintah di bidang pendidikan
pada umumnya merefleksikan pandangannya tentang masyarakat dan keyakinan
politiknya. Masing-masing pemerintah menempatkan prioritas pendidikan yang
berbeda-beda, dan menyukai kebijakan-kebijakan yang merefleksikan pandangan
dasar dan kepentingan-kepentingan mereka. Dari waktu ke waktu pemerintah
membuat kebijakan-kebijakan pendidikan atas dasar pertimbangan-pertimbangan
-
32
politik. Keputusan-keputusan tentang pendidikan sring dipengaruhi oleh faktor-
faktor keuangan pemerintah.Jika politik dipahami sebagai 'praktik kekuatan,
kekuasaan, dan otoritas dalam masyarakat dan pembuatan keputusan otoritatif
tentang alokasi sumber daya dan nilai-nilai sosial' (Harman, 2002: h.9).
Menurut para pakar pendidikan banyak yang mengatakan bahwa masalah
pendidikan tidak mungkin dilepaskan dari masalah sosio-politik, karena
bagaimanapun kebijakan politik sangat menentukan arah pembinaan dan
pengembangan pendidikan.
2.6 Teori Easton dan Gabriel Tentang Partisipasi Politik
Pengertian sistem politik menurut David Easton masih memegang posisi
kunci dalam studi politik negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel
Almond mempertajam konsep David Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan
seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk
mencapai tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas)
seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja
untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik ditujukan untuk
memberi penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap fenomena politik. Pendekatan
sistem politik dimaksudkan juga untuk menggantikan pendekatan klasik ilmu
politik yang hanya mengandalkan analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan
sistem politik diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari
disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem politik, masyarakat adalah konsep induk oleh
sebab sistem politik hanya merupakan salah satu dari struktur yang membangun
masyarakat seperti sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan
-
33
dan lain sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang
diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah masyarakat.
Masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem politik
saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang biasanya dipelajari
kinerjanya adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem agama, sistem sosial,
atau sistem budaya-psikologi. Dari aneka jenis sistem yang berbeda tersebut, ada
persamaan maupun perbedaan. Perbedaan berlingkup pada dimensi ontologis (hal
yang dikaji) sementara persamaan berlingkup pada variabel-variabel (konsep yang
diukur) yang biasanya sama antara satu sistem dengan lainnya.Variabel-variabel
kunci dalam memahami sebuah sistem adalah adalah struktur, fungsi, aktor, nilai,
norma, tujuan, input, output,respon, dan umpan balik.
Struktur adalah lembaga politik yang memiliki keabsahan dalam
menjalankan suatu fungsi sistem politik. Dalam konteks negara (sistem politik)
misal dari struktur ini struktur input, proses, dan output. Struktur input bertindak
selaku pemasok komoditas ke dalam sistem politik, struktur proses bertugas
mengolah masukan dari struktur input, sementara struktur output bertindak selaku
mekanisme pengeluarannya. Hal ini mirip dengan organisme yang membutuhkan
makanan, pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Struktur input, proses dan output umumnya dijalankan oleh aktor-aktor
yang dapat dikategorikan menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor
ini menjalankan tugas kolektif yang disebut sebagai pemerintah (government).
Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus memiliki fungsi yang berbeda-
beda: Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang berbeda karena akan
menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun merupakan dasar dari disusunnya
-
34
konsep Trias Politika (pemisahan kekuasaan) seperti digagas para pionirnya di
masalah abad pencerahan seperti John Locke dan Montesquieu.
Nilai adalah komoditas utama yang berusaha didistribusikan oleh
struktur-struktur di setiap sistem politik yang wujudnya adalah:
(1) Kekuasaan,
(2) Pendidikan atau penerangan;
(3) Kekayaan;
(4) Kesehatan;
(5) Keterampilan;
(6) Kasih sayang;
(7) Kejujuran dan keadilan;
(8) Keseganan, dan respek.
Nilai-nilai tersebut diasumsikan dalam kondisi yang tidak merata
persebarannya di masyarakat sehingga perlu campur tangan struktur-struktur yang
punya kewenangan (otoritas) untuk mendistribusikannya pada elemen-elemen
masyarakat yang seharusnya menikmati. Struktur yang menyelenggarakan
pengalokasian nilai ini, bagi Easton, tidak dapat diserahkan kepada lembaga yang
tidak memiliki otoritas: Haruslah negara dan pemerintah sebagai aktornya.
Norma adalah peraturan, tertulis maupun tidak, yang mengatur tata
hubungan antar aktor di dalam sistem politik.Norma ini terutama dikodifikasi di
dalam konstitusi (undang-undang dasar) suatu negara. Setiap konstitusi memiliki
rincian kekuasaan yang dimiliki struktur input, proses, dan output. Konstitusi juga
memuat mekanisme pengelolaan konflik antar aktor-aktor politik di saat
menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang memiliki
-
35
otoritas dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki norma yang
berlainan sehingga konsep norma ini dapat pula digunakan sebagai parameter
dalam melakukan perbandingan kerja sistem politik suatu negara dengan negara
lain.
Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat di dalam
konstitusi. Umumnya, tujuan suatu sistem politik terdapat di dalam mukadimah
atau pembukaan konstitusi suatu negara.Tujuan sistem politik Indonesia
termaktub di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945, sementara tujuan sistem politik Amerika Serikat termaktub
di dalam Declaration of Independence.
Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang
berhubungan erat. Apapun output suatu sistem politik, akan dikembalikan kepada
struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap apapun output yang
dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan atas sistem,
sementara jika negatif akan mendampak muncultuntutanatas sistem. Umpan balik
(feedback) adalah situasi di mana sistem politik berhasil memproduksi suatu
keputusan ataupun tindakan yang direspon oleh struktur output.
2.6.1 Pendekatan Sistem Politik Easton
Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa pemikiran Easton dapat di rujuk
pada tiga tulisannya yaitu The Political System, A Framework for Political
Analysis, dan A System Analysis of Political Life.Di dalam buku pertama yang
terbit tahun 1953 (The Political System) Easton mengajukan argumentasi seputar
perlunya membangun satu teori umum yang mampu menjelaskan sistem politik
secara lengkap. Teori tersebut harus mampu mensistematisasikan fakta-fakta
-
36
kegiatan politik yang tercerai-berai ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan
tertata rapi.
Easton mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam
masyarakat secara otoritatif. Kata secara otoritatif membuat konsep sistem politik
Easton langsung terhubungan dengan negara. Atas definisi Easton ini Michael
Saward menyatakan adanya konsekuensi-konsekuensi logis berikut:
1. Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;
2. Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif
yaitu hanya di tangan lembaga yang memiliki otoritas;
3. Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan
sebab itu: (a) keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya
bersumber dari konstitusi dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi
dimaksudkan untuk menghindari chaos politik; dan
4. Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara
legitimate.
Menurut Chilcote, dalam tulisannya di The Political System, Easton
mengembangkan empat asumsi (anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori
umum (grand theory) sebagai cara menjelaskan kinerja sistem politik, dan
Chilcote menyebutkan terdiri atas:
1. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk
mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan.
2. Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai
keseluruhan, bukan parsial.
-
37
3. Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data
situasional. Data psikologisterdiri atas karakteristik personal serta motivasi
para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang
muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari
lingkungan fisik (topografi, geografis), lingkungan organis nonmanusia
(flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya).
4. Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium
(ketidakseimbangan).
Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut tanpa adanya identifikasi.
Dari kondisi chaos ini, ilmu pengetahuan muncul sebagai obor yang menerangi
kegelapan lalu peneliti dapat melakukan klasifikasi secara lebih jelas.Ilmu
pengetahuan melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan hubungan antar fakta
secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu
pengetahuan politik memiliki dimensi ontologis, epistemologis, dan
aksiologis.Easton memaksudkan teori yang dibangunnya mampu mewakili ketiga
unsur ilmiah tersebut.
Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton menghendaki adanya suatu
teori umum yang mampu mengakomodasi bervariasinya lembaga, fungsi, dan
karakteristik sistem politik untuk kemudian merangkum keseluruhannya dalam
satu penjelasan umum.Proses kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan
kembali lagi ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamerayang mampu
merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas sistem,
Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur tidak dilepaskan
dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton menghendaki kajian sistem
-
38
politik bersifat menyeluruh, bukan parsial. Misalnya, pengamatan atas
meningkatnya tuntutan di struktur input tidak dilakukan secara per senmelainkan
harus pula melihat keputusan dan tindakanyang dilakukan dalam struktur output.
Easton juga memandang sistem politik tidak dapat lepas dari
konteksnya.Sebab itu pengamatan atas suatu sistem politik harus
mempertimbangkan pengaruh lingkungan.Pengaruh lingkungan ini disistematisasi
ke dalam dua jenis data, psikologis dan situasional.Kendati masih abstrak, Easton
sudah mengantisipasi pentingnya data di level individu.Namun, level ini lebih
dimaksudkan pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang
perilaku warganegara (seperti umum dalam pendekatan behavioralisme).Easton
menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan kegiatan
di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu antisipasinya atas
pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi geografis ataupun topografi
wilayah yang ia anggap punya pengaruh tersendiri atas sistem politik, selain
tentunya lingkungan sistem sosial (masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di
luar sistem politik. Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam
kondisi disequilibriun (tidak seimbang).Ketidakseimbangan inilah yang
merupakan bahan bakarsehingga sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton paling tidak ingin membangun
suatu penjelasan atas sistem politik yang jelas tahapan-tahapannya. Konsep-
konsep apa saja yang harus dikaji dalam upaya menjelaskan fenomena sistem
politik, lembaga-lembaga apa saja yang memang memiliki kewenangan untuk
pengalokasian nilai di tengah masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan
dasar dari kerangka pikir ini.
-
39
Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa setelah mengajukan empat
asumsi seputar perlunya membangun suatu teori politik yang menyeluruh (dalam
hal ini teori sistem politik), Easton mengidentifikasi empat atribut yang perlu
diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang terdiri atas:
1. Unit-unit dan batasan-batasan suatu sistem politik
Serupa dengan paradigma fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik
pun terdapat unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja
sama untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah
lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem politik
seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik, lembaga masyarakat sipil,
dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam batasan sistem politik, misalnya
dalam cakupan wilayah negara atau hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.
2. Input-output
Inputmerupakan masukan dari masyarakat ke dalam sistem politik. Input yang
masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik dapat berupa tuntutan dan
dukungan. Tuntutansecara sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan
yang alokasinya belum merata atas sejumlah unit masyarakat dalam sistem
politik.Dukungan secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung
keberadaan sistem politik agar terus berjalan.Output adalah hasil kerja sistem
politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan masyarakat.Output
terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah.Keputusan adalah pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan
sesuai tuntutan atau dukungan yang masuk.Sementara itu, tindakan adalah
implementasi konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.
-
40
3. Diferensiasi dalam sistem
Sistem yang baik harus memiliki diferensiasi (pembedaan dan pemisahan)
kerja.Di masyarakat modern yang rumit tidak mungkin satu lembaga dapat
menyelesaikan seluruh masalah. Misalkan saja dalam proses penyusunan
Undang-undang Pemilu, tidak bisa hanya mengandalkan DPR sebagai
penyusun utama, melainkan pula harus melibatkan Komisi Pemilihan Umum,
lembaga-lembaga pemantau kegiatan pemilu, kepresidenan, ataupun
kepentingan-kepentingan partai politik, serta lembaga-lembaga swadaya
masyarakat. Sehingga dalam konteks undang-undang pemilu ini, terdapat
sejumlah struktur (aktor) yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
4. Integrasi dalam sistem
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar unit yang berbeda untuk mencapai
tujuan bersama. Undang-undang Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta
ditindaklanjuti jika tidak ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan,
KPU, Bawaslu, Partai Politik, dan media massa.
Unit-unit dalam sistem politik menurut Easton adalah tindakan politik
(political actions) yaitu kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR
terhadap Presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan
sejenisnya. Dalam awal kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit
input.
Input adalah pemberi makan sistem politik. Input terdiri atas dua jenis:
tuntutan dan dukungan. Tuntutan dapat muncul baik dalam sistem politik maupun
dari lingkungan intrasocietal maupun extrasocietal.Tuntutan ini dapat berkenaan
dengan barang dan pelayanan (misalnya upah, hukum ketenagakerjaan, jalan,
-
41
sembako), berkenaan dengan regulasi (misalnya keamanan umum, hubungan
industrial), ataupun berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik (misalnya
mendirikan partai politik, kebebasan berorganisasi).
Di dalam karyanya yang lain - A Framework for Political Analysis
(1965) dan A System Analysis of Political Life (1965) Chilcote menyebutkan
bahwa Easton mulai mengembangkan serta merinci konsep-konsep yang
mendukung karya sebelumnya – penjelasan-penjelasannya yang abstrak – dengan
coba mengaplikasikannya pada kegiatan politik konkrit dengan menegaskan hal-
hal sebagai berikut:
Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta
bersifat terbuka;
Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari
totalitas perilaku sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam
masyarakat secara otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi
politik dari Easton; dan
Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.
Lingkungan intrasocietal terdiri atas lingkungan fisik serta sosial yang
terletak di luar batasan sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang
sama. Lingkungan intrasocietal terdiri atas:
Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia). Misalnya dari lingkungan ini
adalah kondisi geografis wilayah yagng didominasi misalnya oleh
pegunungan, maritim, padang pasir, iklim tropis ataupun dingin;
-
42
Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras). Misal dari
lingkungan ini adalah semitic, teutonic, arianic, mongoloid, skandinavia,
anglo-saxon, melayu, austronesia, caucassoid dan sejenisnya;
Lingkungan psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial,
bekas penjajah, maju, berkembang, terbelakang, ataupun superpower; dan
Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur
sosial, kondisi ekonomi, dan demografis.
Lingkungan extrasocietal adalah bagian dari lingkungan fisik serta sosial
yang terletak di luar batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik
berada. Lingkungan extrasocietal terdiri atas:
Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah
kondisi pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan
feminisme, gerakan revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa
yang kini dikenal dalam terminologi International Regime (rezim
internasional) yang sangat banyak variannya.
Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional
adalah keterpisahan negara berdasar benua (amerika, eropa, asia, australia,
afrika), kelangkaan sumber daya alam, geografi wilayah berdasar lautan
(asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming atau
berkurangnya hutan atau paru-paru dunia.
Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah
PBB, NATO, ASEAN, ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara
Asia Afrika, blok-blok perdaganan dan poros-poros politik khas dan
menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke dalam sistem
-
43
politik internasional adalah pola-pola hubungan politik antar negara seperti
hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-lembaga
internasional.
-
44
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian
deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengungkapkan fakta yang
sudah ada dan mendeskriptifkan sesuai fenomena. Menurut Sanapiah (2007: h.30)
jenis penelitian deskriptif ialah pengungkapan dan pengklarifikasi mengenai suatu
fenomena atau kenyataan sosial. Penelitian deskriptif mempelajari masalah-
masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat,
situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan kegiatan-kegiatan, sikap-sikap,
pandangan-pandangan serta proses-prosesyang sedang berlangsung dan pengaruh-
pengaruh dari suatu fenomena. Hal ini disebabkan oleh adanya penerapan metode
kualitatif. Selain itu semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci
terhadap apa yang sudah diteliti.
Melalui metode ini penulis akan menggambarkan masalah yang dibahas
berdasarkan data-data yang relevan diperoleh serta menafsirkan data-data yang
dimaksud sebagai suatu proses analisa untuk mencari relevansi antar variabel.
Penelitian akan mendeskripsikan fakta dan data tentang Pendidikan Masyarakat
Dan Partisipasi Politik Pada Pemilihan Legislatif 2014(PILEG) di Gampong
Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat.
45
-
45
3.2 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan alat bantu pengumpulan dan pengolahan
data tentang variabel-variabel yang diteliti. Secara garis besar, instrumen terbagi 2
yaitu instrumen tes dan instrumen nontes. Instrumen tes dapat berupa tes objektif
dan tes uraian, sedangkan instrumen yang tergolong nontes diantaranya dapat
berupan angket, wawancara, observasi atau studi dokumentasi (Subana dan
Sudrajat, 2009: h.127).
Dalam penelitian tentang Pendidikan Masyarakat dan Partisipasi Politik
Pada Pemilihan Legislatif 2014(PILEG) di Gampong Simpang Peut Kecamatan
Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Baratyang menjadi instrumen penelitian
adalah wawancara, observasi dan dokumentasi.
3.3 Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, pemilihan subjek penelitian dapat
menggunakan criterion-based selection (Muhajir, 2002: h.58), yang didasarkan
pada asumsi bahwa subjek tersebut sebagai aktor dalam tema penelitian yang
diajukan. Selain itu dalam penentuan informan, dapat digunakan model snow ball
sampling. Metode ini digunakan untuk memperluas subjek penelitian. Hal lain
yang harus diketahui bahwa dalam penelitian kualitatif, kuantitas subjek bukanlah
hal utama sehingga pemilihan informan lebih didasari pada kualitas informasi
yang terkait dengan tema penelitian yang diajukan. Sedangkan dalam penelitian
ini menggunakan tekhnik purposive sampling yaitu tekhnik penarikan dengan cara
sengaja atau menunjuk langsung kepada orang yang dianggap dapat mewakili
populasi, oleh karena itu tekhnik ini didasarkan olek kriteria atau pertimbangan-
pertimbangan tertentu adapun pertimbangan yang digunakan penulis adalah
-
46
dikarenakan informan yang ditetapkan ini dianggap lebih mengetahui dan
memahami masalah penelitian.
Informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Kepala Desa 1 Orang
b. Masyarakat 8 Orang
c. Ketua KIP 1 Orang
d. Petugas KIP 2 Orang
12 Orang
3.4 Tekhnik Pengumpulan Data
3.4.1 Data Primer
Data primer adalah data asli yang dikumpulkan sendiri oleh peneliti
untuk menjawab masalah penelitian secara khusus. Metode pengumpulan data
primer dilakukan dengan cara:
a. Pengamatan (Observasi)
Metode ini dilakukan untuk melihat dan mengamati secara langsung keadaan
dilapangan agar memperoleh gambaran yang jelas tentang permasalahan yang
diteliti.Peneliti melakukan pengamatan langsung dilapangan untuk mengamati
sambil terus melakukan pengamatan dan pencatatan terhadap segala bentuk
informasi yang berkaitan dengan Pendidikan Masyarakat dan Partisipasi Politik
Pada Pemilihan Legislatif 2014 (PILEG) diGampong Simpang Peut Kecamatan
Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat.
b. Wawancara (Interview)
Wawancara dilakukan dengan pihak yang berkompeten atau berwenang serta
yang dianggap lebih mengetahui dan memahami masalah penelitian untuk
-
47
memberikan informasi dan keterangan yang sesuai dengan apa yang dibutuh
oleh peneliti.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu cara atau metode dalam mengumpulkan data dari
dokumen barang-barang tertulis. Metode ini dilakukan untuk mengumpulkan
berbagai informasi yang berhubungan dengan objek penelitian yang diperoleh
dari instansi terkait.
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan oleh pihak lain, bukan
oleh peneliti sendiri. Metode pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara
dokumentasi yaitu pengumpulan data dari dokumen barang-barang tertulis dan
dokumen lainnya.
3.5 Tehnik Analisa Data
Analisa data yang dilakukan meliputi 3 kegiatan yaitu:
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang dilakukan dengan cara
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan dan sesuai dengan tujuan
penelitian yang akan dicapai, selain itu melakukan pembuangan terhadap
data yang dianggap tidak perlu sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan-
kesimpula final yang diverifikasikan.
2. Penyajian Data
Penyajian data yaitu melakukan penyajian data dari keadaan atau
fenomena sesuai dengan data yang telah direduksi menjadi informasi yang
-
48
tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan.
3. Verifikasi atau menarik kesimpulan
Dalam tahap ini peneliti membuat rumusan dengan prinsip logika,
mengangkatnya sebagai temuan penelitian, kemudian dilanjutkan dengan
mengkaji secara berulang-ulang terhadap data yang ada, pengelompokkan
data yang telah terbentuk dan telah dirumuskan.Langkah selanjutnya yaitu
melaporkan hasil penelitian lengkap dengan temuan baru yang berbeda
dari temuan yang sudah ada.
3.6 Waktu dan Lokasi Penelitian
Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah di Gampong Simpang
Peut Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat.Penentuan lokasi
tersebut dilakukan dengan cara sengaja (Purporsive), dikarenakan desa
tersebutmerupakan Gampong yang terdekat dengan tempat tinggal peneliti dan
desa ini paling dominan jumlah pemilih tetap untuk PEMILU tahun 2014.
Adapun tabel jadwal penelitian yang dilaksanakan dari bulan Desember
2013 dan berakhir pada bulan Maret 2014.
Tabel 3.1
Jadwal Penelitian
No Jenis Kegiatan DES
`14
JAN
`14
MEI
`14
JULI
`14
AGUST
`14
OKT
`14
1 Persian Penelitian
2 Pengumpulan Data Skunder
3 Penelitian awal dan Seminar
proposal
4 Penelitian Lapangan
5 Pengolahan Data dan Penulisan Hasil penelitian
6 Seminar Hasil dan Sidang
Akhir
-
49
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Geografis Lokasi Penelitian
Kecamatan Arongan Lambalek adalah salah atu kecamatan yang ada di
Kabupaten Aceh Barat. Pada Kecamatan Arongan Lambalek terdiri dari 2 Mukim
yaitu mukin Arongan dan mukim Lambalek. Desa Simpang Peut berada pada
mukim Lambalek Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat.Adapun
batas-batas wilayah yaitu :
Sebelah Utara : Gampong Simpang
Sebelah Selatan : Gampong Panton Makmu
Sebelah Barat : Gampong Rimba Langgeh
Sebelah Timur : Gampong Suak Ie Beusoh Lama
Jarak Gampong Simpang Peut dengan Ibu kota Provinsi adalah 250 Km,
sedangkan jarak Gampong Simpang Peut dengan Ibu kota Kabupaten adalah 44
Km dan jarak Gampong Simpang Peut dengan Ibu Kota Kecamatan adalah 3 Km.
Gampong Simpang Peut terdiri dari 3 dusun yaitu dusun Keude Simpang Peut
dengan jumlah penduduk sebanyak 253 jiwa, dusun Teungoh dengan jumlah
penduduk 188 jiwa dan dusun Jaya Baru dengan jumlah penduduk sebanyak 440
jiwa. Dengan demikian jumlah penduduk Gampong Simpang Peut adalah
sebanyak 881 jiwa. Jumlah penduduk yang berumur 18 tahun keatas dan sudah
dapat mengikuti PEMILU di Gampong Simpang Peut adalah sebanyak 539 jiwa.
49
-
50
4.2 Hasil Penelitian
Partisipasi masyarakat dalam suatu kegiatan PEMILU khusunya pemilihan
legislatif pada bulan April tahun 2014 lalu sangat dibutuhkan. Hal ini dikarenakan
hak pilih masyarakat dalam hal ini adalah suara masyarakat dalam memilih
merupakan penentu bagi kemajuan suatu daerah khusunya bagi Kabupaten Aceh
Barat. Untuk melihat dan mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat Gampong
Simpang Peut dalam pemilihan legislatif bulan April Tahun 2014 dan apakah
partsipasi masyarakat tersebut tergantung pada tingkat pendidikan masyarakat.
Hal ini dapat kita lihat dari beberapa pernyataan yang diungkapkan oleh Bapak
Sudirman sebagai Keuchik Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan
Lambalek Kabupaten Aceh Barat, berdasarkan hasil wawancara, sebagai berikut :
“Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara dalam
menggunakan hak pilihnya, dalam hal ini kesadaran masyarakat untuk
menggunakan suaranya dalam memilih pemimpin daerah dan negara.”
(Wawancara, 22 Agustus 2014).
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Dahlan selaku masyarakat
Gampong Simpang Peut dan mahasiswa yaitu:
“Partisipasi politik adalah suatu tindakan seseorang/kelompok dalam
kehidupan politik yang dapat mempengaruhi kebijakan umum baik itu
secara langsung ataupun tidak langsung.. (Wawancara, 23
Agustus2014).
Pernyataan lain juga di disampaikan oleh Desi Safriani selaku
masyarakat Gampong Simpang Peut dan mahasiswa, berdasarkan hasil
wawancara sebagai berikut :
“Partisipasi politik adalah sukarela dalam bentuk suatu kesepakatan
bersama dalam bermasyarakat. (Wawancara, 23 Agustus 2014).
-
51
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Suriyantoselaku masyarakat
Gampong Simpang Peut dan mahasiswa, berdasarkan hasil wawancara sebagai
berikut :
“Partisipasi politik adalah suatu kegiatan masyarakat yang bertujuan
untuk mempengaruhi dalam pengambilan keputisan politik
(Wawancara, 24 Agustus 2014).
Pernyataan lain juga di lontarkan oleh Asri Asyra, selaku masyarakat
Gampong Simpang Peut dan mahasiswa, berdasarkan hasil wawancara sebagai
berikut :
“Partisipasi politik adalah keikut sertaan masyarakat dalam
memberikan hak pilihnya sebagai warga negara yang baik dan ikut
serta dalam menentukan pemimpin-pemimpin bangsa. (Wawancara,
24 Agustus 2014).
a. Pendidikan dalam Partisipasi Masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek pada Pemilihan Legislatif 2014
Peran pendidikan dalam hal politik sangat sering di perbincangkan, dimana
dalam partai politik sangat menentukan tingkat pendidikan seseorang baik yang
menjadi calon legislatif maupun anggota partai politiknya. Pada masyarakat hal
tersebut juga menjadi tolak ukur yang sangat nyata, dimana kebanyakan
masyarakat yang ikut serta menggunakan hak pilihnya adalah masyarakat yang
memiliki pendidikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak Sudirman selaku
Keuchik GampongSimpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh
Barat, dalam hal ini menyatakan bahwa:
“tingkat pendidikan masyarakat sangat mempengaruhi partisipasi
politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Selain itu peran
politik sangat berbahaya jika tidak diseimbangkan dengan ilmu
pengetahuan. Hal ini didasari karena politik harus memakai rasional
atau pemikiran yang nyata yang memiliki pertimbangan sendiri, jadi
dengan adanya pendidikan masyarakat akan dapat menentukan pilihan
sesuai dengan apa yang diinginkan (Wawancara, 22 Agustus 2014).
-
52
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Dahlan selaku mahasiswa dan
masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten
Aceh Barat, menyatakan bahwa:
“pendidikan masyarakat tidak terlalu berpengaruh kepada partisipasi
politik. Hal ini dikarenakan kenyataan dilapangan dimana saat ini
masyarakat yang saat ini ikut serta dalam pasrtisipasi politik khusunya
dalam organisasi politik adalah mereka yang memiliki banyak uang ,
mampu nmengambil keputusan yang tepat, tegas, berani dan mampu
memberikan solusi bagi kemajuan bangsa dan organisasi politiknya..
(Wawancara, 23 Agustus 2014).
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Desi Safrianiselaku mahasiswa
dan masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek
Kabupaten Aceh Barat, menyatakan bahwa:
“tidak ada hubungan yang erat antara pendidikan masyarakat dengan
partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak suaranya pada
pemilihan legislatif April lalu. Hal ini dikarenakan partisipasi
masyarakat pada legislatif April lalu ditentukan oleh masing-masing
pribadi masyarakat itu sendiri, dimana masyarakat yang merasakan
ingin memilih maka akan menggunakan haknya sebagai pemilih,
sedangkan masyarakat yang tidak merasa ingin memilih maka tidak
menggunakan hak pilihnya sebagai pemilih(Wawancara, 23 Agustus
2014).
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Suriyanto, selaku Mahasiswa
dan masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek
Kabupaten Aceh Barat, menyatakan bahwa:
“tingkat pendidikan masyarakat sangat mempengaruhi partisipasi
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya sebagai pemilih, hal ini
dikarenakan kita dapat melihat apa yang terjadi pada kondisi
masyarakat saat ini dimana masyarakat yang memiliki pendidikan
baik tidak akan mudah terpengaruh oleh ajakan politik yang
merugikan demikian sebaliknya masyarakat yang memiliki pendidikan
yang kurang baik akan mudah terpengaruh dengan ajakan politik yang
kurang baik dan akan merugikan dirisendiri serta orang lain..
(Wawancara, 24 Agustus 2014).
-
53
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Asri Asyra , selaku salah satu
masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten
Aceh Baratmenyatakan bahwa:
“pendidikan sangat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat, hal
ini dikarenakan politik tidak akan berjalan dengan baik dan benar
sesuai dengan harapan masyarakat jika masyarakat yang
menggunakan hak pilihnya hanya memilih asal-asalan, maksudnya
dengan adanya pendidikan maka masyarakat akan mengunakan hak
;pilihnya sesuai dengan pertimbangan dan harapan yang ingin
dicapainya. (Wawancara, 24 Agustus 2014).
b. Partisipasi Masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek pada Pemilihan Legislatif 2014
Partisipasi masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan
Lambalek Kabupaten Aceh Barat sangat berperan penting dalam menentukan hak
pilih atau menentukan suara hak pilih mereka untuk memilih wakil rakyat yang
dapat membawa perubahan bagi daerah dan negara ini. Akan tetapi partisipasi
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya telah banyak dipengaruh oleh hal-
hal yang menurut mereka menjanjikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Bapak
Sudirman selaku Keuchik GampongSimpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek
Kabupaten Aceh Barat, dalam hal ini menyatakan bahwa:
“kebanyakan masyarakat khusunya diri saya sendiri memiliki
pertimbangan sendiri dalam menggunakan hak pilih pada
pemilihan legislatif April lalu, dimana saya memilih calon
legislatif yang dapat memberikan perubahan baik bagi Gampong
kami, seperti para legislatif yang berjanji akan membangun
Gampong dan memperhatikan Gampong-gampong terpencil
yang membutuhkan (Wawancara, 22 Agustus 2014).
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Desi Safriani selaku mahasiswa
dan masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek
Kabupaten Aceh Barat, menyatakan bahwa:
-
54
“dalam berpartisipasi politik khusunya pada pemilihan legislatif
April lalu banyak yang mempengaruhi masyarakat khusunya
saya, dimana ada calon kandidiat legislatif dari partai-partai
tertentu yang yang meminta masyarakat untuk memilih dirinya
dengan imbalan atau janji-janji yang menggiurkan masyarakat.
Hal ini membuat masyarakat tertarik, untuk memilih
(Wawancara, 23 Agustus 2014).
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Suriyanto, selaku Mahasiswa
dan masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek
Kabupaten Aceh Barat, menyatakan bahwa:
“dalam melakukan pemilihan banyak yang mempengaruhi saya
dan masyarakat sekitar, hal ini tyerjadi karena kekuasaan, dengan
kekuasaan seseorang dapat mempengaruhi pihak lain untuk
berfikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak orang yang
mempengaruhi. (Wawancara, 24 Agustus 2014).
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Asri Asyra , selaku salah satu
masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten
Aceh Barat menyatakan bahwa:
“banyak dari para calon legislatif yang mempengaruhi
masyarakat, dalam hal ini adalah saya selaku masyarakat.
Dimana para calon legislatif melakukan pertemuan-pertemuan
dan pendekatan-pendekatan dengan masyarakat dengan berbagai
cara sehingga masyarakat akan memilih dirinya.(Wawancara, 24
Agustus 2014).
Tidak semua masyarakatGampong Simpang Peut Kecamatan Arongan
Lambalek Kabupaten Aceh Barat melakukan pemilihan umum pada bulan April
lalu, hal ini dikarenakan berbagai alasan. Hal ini dapat kita lihat dari hasil
wawancara dengan masyarakat dan keuchik Gampong Simpang Peut Kecamatan
Arongan Lambalek Kabupaten Aceh Barat, sebagaimana hasil wawancara dengan
keuchik Gampong Simpang Peut Kecamatan Arongan Lambalek Kabupaten Aceh
Barat (Bapak Sudirman), sebagai berikut:
-
55
“saya mengikuti pemilihan umum legislatif bulan April lalu, hal
ini saya lakukan karena itu meryupakan hak saya sebagai warga
negara selain itu dalam pemilihan legislatif sangat menentukan
pemimpin wakil rakyat yang memperhatikan rakyat nantinya.
(Wawancara, 22 Agustus 2014).
Pernyataan serupa juga di sampaikan oleh Desi Safriani selaku mahasiswa
dan masyarakat Gampong Simpang Peut Kecamatan Aro