bab1

14
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang. Jasa konstruksi merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya yang mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas. Pesatnya pembangunan fisik membutuhkan regulasi di bidang jasa konstruksi. Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan pemerintah antara lain : Peraturan Pelaksanaan Jalan Raya dan Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia pada tahun 1961, Peraturan Bangunan Nasional tahun 1967, Peraturan Beton Bertulang Indonesia, Kepres No. 16 Tahun 1994. Merupakan ironi bahwa selama kurang lebih 30 tahun masa pembangunan, kontrak-kontrak konstruksi yang dibuat tidak mengacu kepada suatu landasan hukum yang baku. Pada tahun 1999 atas persetujuan DPR, pemerintah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yang diikuti dengan peraturan-peraturan pelaksananya.

Upload: jesper-m-hasibuan

Post on 29-Dec-2015

8 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

i

TRANSCRIPT

Page 1: BAB1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan

strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau

bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi

mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang. Jasa konstruksi

merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya yang

mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang

terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin

mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan

keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil

pekerjaan konstruksi yang berkualitas.

Pesatnya pembangunan fisik membutuhkan regulasi di bidang jasa konstruksi.

Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan pemerintah antara lain : Peraturan

Pelaksanaan Jalan Raya dan Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia pada tahun 1961,

Peraturan Bangunan Nasional tahun 1967, Peraturan

Beton Bertulang Indonesia, Kepres No. 16 Tahun 1994. Merupakan ironi bahwa selama

kurang lebih 30 tahun masa pembangunan, kontrak-kontrak konstruksi

yang dibuat tidak mengacu kepada suatu landasan hukum yang baku. Pada tahun 1999

atas persetujuan DPR, pemerintah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa

Konstruksi, yang diikuti dengan peraturan-peraturan pelaksananya.

Page 2: BAB1

Industri jasa konstruksi merupakan salah satu kunci kepentingan di dalam suatu

sistem ekonomi negara dan merupakan suatu kegiatan pembangunan yang meliputi

kegiatan yang beragam. Di negara-negara Eropa konstruksi diklasifikasikan sebagai

berikut:

Construction: erecting, repairing buildings; constructing dan repairing roads and bridges; erecting steel and reinforced concrete structures; other civil engineering works such as laying sewers and gas mains, erecting overhead line supports and aerial masts, open caste mining, etc. Establishments specialising in demolition work or in electrical wiring, flooring, glazing, installing heating and ventilating apparatus, painting, plumbing, plastering, roofing. The hiring of contractor’s plant and scaffolding is included. It also includes other activities where the major elements of their works is building, civil engineering, other installation of products and systems either in buildings or in association with civil engineering works.1

(Konstruksi adalah pembangunan, perbaikan bangunan, pembuatan dan perbaikan jalan dan jembatan, pemancangan baja dan struktur beton bertulang, pekerjaan teknik sipil lainnya seperti pemasangan saluran dan pipa gas, kabel penunjang dan tiang antena, tambang terbuka, dan sebagainya. Pelaksanaan pekerjaan pembongkaran atau elektrikal kabel, pekerjaan lantai, pemasangan kaca, pemasangan peralatan pemanas dan ventilasi, pengecatan, pemasangan pipa air, lapisan plester, pembangunan atap. Termasuk pabrik dari kontraktor dan steger. Hal tersebut juga termasuk aktivitas lain yang elemen utamanya adalah pekerjaan pembangunan, teknik sipil, instalasi produk dan sistim lainnya baik itu sehubungan dengan bangunan atau yang berhubungan dengan pekerjaan teknik sipil lainnya.)

Di dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi,

pekerjaan konstruksi didefinisikan sebagai berikut :

Keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.2

Dalam era globalisasi kita harus mengikuti tata tertib pergaulan dunia, membuka

hubungan kerja sama bisnis, memperluas pasar, khususnya dengan adanya kemungkinan

1 Abrahamson, Max W., Engineering Law and the I.C.E. Contracts, London, 1979, hal.102 Indonesia, Undang-Undang Jasa Konstruksi, UU No.18 Tahun 1999, ps. 1 ayat (2).

Page 3: BAB1

untuk turut serta dalam tender internasional yang menggunakan standar kontrak

internasional. Perjanjian jasa konstruksi adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para

pihak yang saling sepakat untuk mengikatkan diri terhadap isi perjanjian yang mengatur

tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga segala hal yang menyangkut

detail pekerjaan dan hubungan hukumnya dapat diperjanjikan dengan baik, dengan

demikian diharapkan segala bentuk perselisihan atau persengketaan dapat dihindari.

Apabila para pihak sepakat untuk menuangkan segala hal yang menyangkut hubungan

hukum atas hak dan kewajibannya dalam suatu perjanjian dan selama perjanjian tersebut

tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian konstruksi maupun prinsip

hukum lain yang berlaku di Indonesia, maka menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata

perjanjian tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang

membuatnya.

Pada umumnya dalam perjanjian jasa konstruksi, posisi penyedia jasa selalu lebih

lemah daripada posisi pengguna jasa. Penyedia jasa hampir selalu harus memenuhi

konsep atau draft perjanjian konstruksi yang dibuat pengguna jasa. Sebelum lahirnya UU

No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada peraturan perundang-undangan

yang baku yang mengatur hak dan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi

sehingga asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 KUH

Perdata dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Dengan posisi

yang dominan maka pengguna jasa lebih leluasa menyusun kontrak dan hal tersebut dapat

merugikan penyedia jasa. Ketidakseimbangan antara terbatasnya pekerjaan konstruksi

atau proyek dan banyaknya penyedia jasa mengakibatkan posisi tawar penyedia jasa

sangat lemah. Selain itu faktor KKN seperti tender diatur, tender arisan, nilai tender

Page 4: BAB1

dinaikkan (mark up), pekerjaan fiktif dan sebagainya menjadi wajah kontrak konstruksi

semakin tidak wajar dan buruk. Biasanya penyedia jasa enggan bertanya akan hal-hal

yang dianggap sensitif namun penting seperti ketersediaan dana, isi kontrak, kelancaran

pembayaran dan sebagainya.

Perjanjian jasa konstruksi tidak hanya berlangsung antara penyedia jasa nasional

dengan pengguna jasa lokal tapi juga dengan pihak asing termasuk kedutaan asing.

Perjanjian jasa konstruksi antara penyedia jasa nasional dengan kedutaan asing

merupakan suatu kontrak internasional karena ada foreign element atau unsur asing di

dalamnya. Seringkali terdapat perbedaan dalam sistem hukum di antara para pihak,

sehingga para pihak harus menentukan hukum yang akan digunakan dalam kontrak

tersebut. Para pihak dalam kontrak internasional, tentu senantiasa mempunyai keinginan

kuat untuk melindungi kepentingannya dan sedapat mungkin menggunakan hukum

tertentu yang mereka akan pakai sebagai dasar transaksi dan kesepakatan yang akan

dibentuknya.

Dua pihak yang berbeda yang akan melakukan suatu kontrak dapat menentukan

hukum apa yang akan digunakan dalam mengatur transaksi mereka, pada konteks ini

“para pihak dimaksud hanya mempunyai kebebasan untuk menentukan suatu pilihan

hukum dan tidak bebas menentukan sendiri perundang-undangannya”. 3 Salah satu

alasan untuk memungkinkan kebebasan memilih sendiri hukum adalah kenyataan

bahwa kebebasan itu diperlukan demi hubungan lalu lintas hukum internasional.

Pilihan hukum telah menjadi salah satu ajaran tersendiri di dalam Hukum Perdata

Internasional (HPI) dan ada cukup banyak istilah mengenai pilihan hukum ini, antara

3 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Binacipta,

1987, hal. 168.

Page 5: BAB1

lain: partij autonomie, autonomie de la volonte, intention of the parties, rechtskeuze,

choise of law and connecting agreement. Di samping prinsip nasionalitas dan ketertiban

umum, pilihan hukum dianggap sebagai sendi alas utama dari seluruh sistem HPI.

Kebutuhan-kebutuhan dari "internationaal rechtsverkeer" yang menjadi dasar utama

un tuk kebebasan memilih hukum oleh para pihak. Adalah suatu hal yang penting bagi

para pihak yang hendak menutup kontrak, apabila mereka dari awalnya dapat

menentukan hukum apakah yang harus dipergunakan untuk kontrak mereka.

Dalam hal perjanjian jasa konstruksi dengan pihak asing, UU Nomor 18 Tahun

1999 tentang Jasa Konstruksi tidak menyebutkan ketentuan mengenai hukum yang

berlaku namun hanya memuat ketentuan mengenai bahasa yang dipergunakan dalam

perjanjian dengan pihak asing yaitu dalam Pasal 22 ayat (6) sebagai berikut:

“Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak

kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan

bahasa Inggris.”

Sedangkan di dalam Pasal 23 ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 29

Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa :

Pada kontrak kerja konstruksi dengan mempergunakan 2 (dua) bahasaharus dinyatakan secara tegas hanya 1 (satu) bahasa yang mengikat secara hukum.Kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia.4

Dalam praktek ditemui bahwa dalam beberapa perjanjian jasa konstruksi dengan

beberapa kedutaan asing berlaku hukum negara pengguna jasa. Hal tersebut merupakan

suatu kontradiksi dengan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (6) PP No. 29 Tahun 2000

4 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, PP No.29 Tahun

2000, ps. 23 ayat (5) dan ayat (6).

Page 6: BAB1

tersebut di atas yang menyatakan bahwa kontrak konstruksi tunduk pada hukum yang

berlaku di Indonesia.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka penulis

melakukan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan pilihan hukum pada perjanjian jasa konstruksi dengan

kedutaan asing dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Jasa Konstruksi?

2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa bagi para pihak dihubungkan dengan

pilihan hukum menurut Hukum Perdata Internasional?

C. Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah yang penulis uraikan dalam penulisan ini hanya sebatas

tentang ketentuan undang-undang atau hukum yang berlaku khususnya Undang-Undang

No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun

2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk meneliti bagaimana penerapan pilihan hukum pada perjanjian jasa

konstruksi dengan kedutaan asing dihubungkan dengan ketentuan Undang-

Undang Jasa Konstruksi.

2. Untuk mengetahui dan meneliti bagaimana penyelesaian sengketa bagi para pihak

dihubungkan dengan pilihan hukum menurut HPI.

Page 7: BAB1

Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan baik secara

teoritis maupun praktis sebagai berikut:

1. Kegunaan teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk

mengembangkan dan memperluas wawasan pengetahuan di bidang ilmu hukum,

khususnya perjanjian jasa konstruksi.

2. Kegunaan praktis

Secara praktis penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pelaku usaha

yang terlibat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi untuk dapat menyadari

pentingnya syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam perjanjian jasa

konstruksi.

E. Kerangka Teori dan Kerangka Analisis

Industri jasa konstruksi berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan

berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan

masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang

dimilikinya, dalam dua dasawarsa terakhir, jasa konstruksi nasional telah menjadi salah

satu potensi pembangunan nasional dalam mendukung perluasan lapangan usaha dan

kesempatan kerja serta peningkatan penerimaan negara.

Jasa konstruksi nasional diharapkan mampu mengembangkan perannya dalam

pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha

yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.

Page 8: BAB1

Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan

pekerjaan konstruksi secara lebih efisien dan efektif, sedangkan struktur usaha yang

kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik

yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis,

dan terampil, serta perlu diwujudkan pula ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi

untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam

hak dan kewajiban. Dengan demikian potensi jasa konstruksi nasional ini perlu

ditumbuhkembangkan agar lebih mampu berperan dalam pembangunan nasional.

Hubungan para pihak dalam perjanjian adalah suatu hubungan hukum yaitu

hubungan yang diatur oleh hukum. Kaidah hukum yang sempurna yang diterapkan

kepada subyek yang bersangkutan yang dalam hal ini adalah pihak yang saling

berhubungan dalam suatu kepentingan tertentu yang melahirkan hak dan tuntutan

kewajiban satu sama lain.

Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perjanjian

adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap

satu orang lain atau lebih. Definisi tersebut di atas tidaklah jelas, karena setiap perbuatan

dapat disebut perjanjian, juga tidak tampak asas konsensualisme. Ketidakjelasan definisi

diatas disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan, sehingga yang

bukan perbuatan hukum pun dapat disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas

pengertian itu maka harus dicari dalam dokrin.

Menurut dokrin yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata

sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam definisi ini telah tampak adanya asas

konsensualisme dan timbulnya akibat hukum. Lebih lanjut dalam Pasal 1320 KUH

Page 9: BAB1

Perdata memuat ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yaitu harus

mengandung unsur sepakat untuk mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk mengadakan

perjanjian yang merupakan syarat subyektif, sedangkan syarat obyektif suatu perjanjian

adalah adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila suatu perjanjian

yang tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan,

sedangkan apabila tidak memenuhi syarat obyektif maka perjanjian itu batal demi hukum.

Hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan

jasa konstruksi dituangkan dalam suatu perjanjian jasa konstruksi. Sebelum lahirnya

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, ketentuan umum

perjanjian jasa konstruksi diatur dalam Buku Ketiga Bab VII A Bagian 1 KUH Perdata

tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan dan dalam Buku Ketiga Bab VII A Bagian

6 KUH Perdata tentang pemborongan pekerjaan atau kontrak bangunan. Perjanjian untuk

melakukan pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 KUH Perdata sebagai berikut :

Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah, perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.5

Jika dipandang dari sudut hukum perjanjian, maka “perjanjian pemborongan

pekerjaan adalah suatu perjanjian tidak bernama yang mempunyai karakteristik yaitu

mempunyai unsur-unsur perjanjian pemborongan dan sekaligus unsur-unsur perjanjian

pemberian sementara jasa-jasa”.6 Eksistensi dari perjanjian pemborongan pekerjaan ini

memperoleh justifikasi yuridis melalui asas kebebasan berkontrak sesuai ketentuan Pasal

5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Terjemahan R. Subekti dan R.

Tjitrosudibio, Jakarta : Pradnya Paramita, 1976, Pasal 16016 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994, hal. 59.

Page 10: BAB1

1338 KUH Perdata juncto Pasal 1319 KUH Perdata. Ketentuan dalam KUH Perdata

menyebutkan bahwa perjanjian pemborongan adalah merupakan perjanjian yang bersifat

konsensuil artinya perjanjian pemborongan itu lahir dari adanya kata sepakat yaitu antara

yang memborongkan pekerjaan dengan pihak pemborong tentang suatu karya dan harga

borongan/kontrak.

Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perjanjian

jasa kontruksi lahir pada masa reformasi yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999

tentang Jasa Konstruksi yang ditetapkan pada tanggal 17 Mei 1999, diikuti dengan

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa

Konstruksi, PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan PP No.

30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, sebagai peraturan

pelaksananya. Latar belakang lahirnya undang-undang ini karena berbagai peraturan

perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi pada pengembangan jasa

konstruksi yang sesuai dengan karakteristiknya. Hal ini mengakibatkan kurang

berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal

maupun bagi kepentingan masyarakat.

Dalam hal perjanjian jasa konstruksi dengan pihak asing, maka ada aspek hukum

perdata internasional karena ada foreign element atau unsur asing di dalamnya. Dalam

kontrak internasional ada satu hal penting yang biasa disebut sebagai pilihan hukum.

Pilihan hukum ini menjadi pokok penting untuk menentukan hukum yang akan

digunakan para pihak di dalam pembuatan suatu kontrak. Secara singkat pilihan hukum

dapat diartikan sebagai “kebebasan yang diberikan kepada para pihak dalam bidang

Page 11: BAB1

perjanjian untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan”.7 Para pihak dapat

kebebasan untuk memilih hukum yang diberlakukan untuk perjanjian mereka.

Kebebasan memilih hukum ini dipercayakan kepada individu demi kepentingan

hubungan kelancaran lalu lintas masyarakat internasional itu sendiri. Dengan

kemungkinan memilih sendiri hukum oleh para pihak yang melangsungkan suatu

kontrak internasional akan bertambahlah kepastian mengenai hukum yang akan

diberlakukan bila kelak timbul perselisihan.

Di dalam melakukan pilihan hukum ini ada beberapa asas penting yang senantiasa

digunakan untuk membuat suatu kontrak internasional, yaitu:

1. Asas Lex Fori, yaitu suatu asas untuk menentukan hukum acara negara tertentu

atau setempat yang akan dipakai sebagai pedoman para hakim.

2. Asas Lex Causae atau penetapan hukum acara yang tepat. Pelaksanaan asas ini

sangat memperhatikan beberapa asas lainnya, seperti:

a. Asas Renvoi, penunjukan kembali hukum yang tepat;

b. Asas Lex Situs Rei, asas yang berlaku didasarkan atas letak benda, khususnya

benda tetap;

c. Asas Lex Locus Actus, asas yang didasarkan atas tempat perbuatan hukum

dilakukan;

d. Asas Lex Locus Solutions, asas yang didasarkan atas tempat perjanjian

diselesaikan;

e. Asas Lex Loci Contractus, asas yang didasarkan atas tempat perjanjian dibuat.

7 Sudargo Gautama 2, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kelima Jilid Kedua (Bagian

Keempat), Bandung : Alumni, 2004, hal. 5.

Page 12: BAB1

Jika kemudian “para pihak sendiri tidak menentukan pilihan hukumnya maka

digunakanlah suatu asas lainnya yang biasa dikenal sebagai asas most characteristic

connection of an individual contract”.8

Beberapa kalangan ahli dalam menentukan kualifikasi pilihan hukum

melakukannya dengan cara “membuat qualification of law dan kemudian baru

mengkajinya dengan melihat qualification of facts dari suatu kontrak internasional seperti

yang dinyatakan oleh Schnitzer”.9 Hukum yang akan berlaku sedikit banyak tergantung

pada kesepakatan para pihak dan dapat berupa hukum nasional suatu negara tertentu,

biasanya hukum nasional tersebut terkait dengan nasionalitas salah satu pihak.

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat

deskriptif analitis yaitu penelitian disusun dalam bentuk uraian berupa penjabaran

masalah yang terkait dengan penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh gambaran

yang menyeluruh dan sistematis mengenai praktik penyelenggaraan perjanjian jasa

konstruksi dengan kedutaan asing di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum terhadap bahan

pustaka dan data sekunder berupa kajian terhadap asas-asas maupun kaidah-kaidah

hukum positif serta perundang-undangan yang berlaku.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan

mempelajari dokumen-dokumen dan literatur yang berhubungan dengan masalah hukum

perjanjian dan hukum perdata internasional dalam penyelenggaraan perjanjian jasa

8 Ibid., hal. 23.9 Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Binacipta,

1995, hal. 71.

Page 13: BAB1

konstruksi dengan kedutaan asing di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menganalisis

data sekunder dari bahan-bahan hukum primer, seperti UUD 1945, UU No. 18 Tahun

1999 tentang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang

Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana

Pembangunan Menengah Nasional, dan sebagainya. Selain itu juga ditunjang oleh bahan-

bahan hukum sekunder berupa buku-buku ilmu hukum dan manajemen konstruksi,

jurnal-jurnal ilmiah, hasil penelitian (tesis dan disertasi) yang berkaitan dengan topik

penelitian ini serta bahan-bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan kamus bahasa.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ilmiah ini dibagi dalam lima bab yang disusun secara

sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang permasalahan, perumusan masalah, ruang

lingkup masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan kerangka

analisis, metode penelitian dan sistematika penulisan dengan topik

penyelenggaraan jasa konstruksi oleh kedutaan asing dihubungkan dengan

undang-undang jasa konstruksi di Indonesia.

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN JASA

KONSTRUKSI DI INDONESIA

Page 14: BAB1

Bab ini merupakan kajian teoritis dengan menguraikan perjanjian pada

umumnya serta perjanjian yang terkait dengan jasa konstruksi dan hal-hal

yang timbul karena perjanjian tersebut.

BAB III ASPEK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DALAM

PERJANJIAN JASA KONSTRUKSI DENGAN PIHAK ASING

Bab ini berisi penjelasan tentang praktik dan pelaksanaan perjanjian jasa

konstruksi dengan pihak asing di Indonesia dan aspek-aspek hukum perdata

internasional yang timbul dari perjanjian tersebut.

BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA KONSTRUKSI DENGAN

KEDUTAAN ASING

Mengkaji dan meneliti bagaimana penerapan pilihan hukum dan penyelesaian

sengketa dalam perjanjian jasa konstruksi dengan kedutaan asing

dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Jasa Konstruksi.

BAB V PENUTUP

Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari analisis

masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.