bab1
DESCRIPTION
iTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Dalam pembangunan nasional, jasa konstruksi mempunyai peranan penting dan
strategis mengingat jasa konstruksi menghasilkan produk akhir berupa bangunan atau
bentuk fisik lainnya, baik yang berupa prasarana maupun sarana yang berfungsi
mendukung pertumbuhan dan perkembangan berbagai bidang. Jasa konstruksi
merupakan salah satu kegiatan dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya yang
mempunyai peranan penting dalam pencapaian berbagai sasaran guna menunjang
terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Jasa konstruksi nasional diharapkan semakin
mampu mengembangkan perannya dalam pembangunan nasional melalui peningkatan
keandalan yang didukung oleh struktur usaha yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil
pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
Pesatnya pembangunan fisik membutuhkan regulasi di bidang jasa konstruksi.
Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan pemerintah antara lain : Peraturan
Pelaksanaan Jalan Raya dan Peraturan Konstruksi Kayu Indonesia pada tahun 1961,
Peraturan Bangunan Nasional tahun 1967, Peraturan
Beton Bertulang Indonesia, Kepres No. 16 Tahun 1994. Merupakan ironi bahwa selama
kurang lebih 30 tahun masa pembangunan, kontrak-kontrak konstruksi
yang dibuat tidak mengacu kepada suatu landasan hukum yang baku. Pada tahun 1999
atas persetujuan DPR, pemerintah mengeluarkan UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa
Konstruksi, yang diikuti dengan peraturan-peraturan pelaksananya.
Industri jasa konstruksi merupakan salah satu kunci kepentingan di dalam suatu
sistem ekonomi negara dan merupakan suatu kegiatan pembangunan yang meliputi
kegiatan yang beragam. Di negara-negara Eropa konstruksi diklasifikasikan sebagai
berikut:
Construction: erecting, repairing buildings; constructing dan repairing roads and bridges; erecting steel and reinforced concrete structures; other civil engineering works such as laying sewers and gas mains, erecting overhead line supports and aerial masts, open caste mining, etc. Establishments specialising in demolition work or in electrical wiring, flooring, glazing, installing heating and ventilating apparatus, painting, plumbing, plastering, roofing. The hiring of contractor’s plant and scaffolding is included. It also includes other activities where the major elements of their works is building, civil engineering, other installation of products and systems either in buildings or in association with civil engineering works.1
(Konstruksi adalah pembangunan, perbaikan bangunan, pembuatan dan perbaikan jalan dan jembatan, pemancangan baja dan struktur beton bertulang, pekerjaan teknik sipil lainnya seperti pemasangan saluran dan pipa gas, kabel penunjang dan tiang antena, tambang terbuka, dan sebagainya. Pelaksanaan pekerjaan pembongkaran atau elektrikal kabel, pekerjaan lantai, pemasangan kaca, pemasangan peralatan pemanas dan ventilasi, pengecatan, pemasangan pipa air, lapisan plester, pembangunan atap. Termasuk pabrik dari kontraktor dan steger. Hal tersebut juga termasuk aktivitas lain yang elemen utamanya adalah pekerjaan pembangunan, teknik sipil, instalasi produk dan sistim lainnya baik itu sehubungan dengan bangunan atau yang berhubungan dengan pekerjaan teknik sipil lainnya.)
Di dalam Pasal 1 ayat (2) UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi,
pekerjaan konstruksi didefinisikan sebagai berikut :
Keseluruhan atau sebagian rangkaian kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal dan tata lingkungan masing-masing beserta kelengkapannya, untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.2
Dalam era globalisasi kita harus mengikuti tata tertib pergaulan dunia, membuka
hubungan kerja sama bisnis, memperluas pasar, khususnya dengan adanya kemungkinan
1 Abrahamson, Max W., Engineering Law and the I.C.E. Contracts, London, 1979, hal.102 Indonesia, Undang-Undang Jasa Konstruksi, UU No.18 Tahun 1999, ps. 1 ayat (2).
untuk turut serta dalam tender internasional yang menggunakan standar kontrak
internasional. Perjanjian jasa konstruksi adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para
pihak yang saling sepakat untuk mengikatkan diri terhadap isi perjanjian yang mengatur
tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak sehingga segala hal yang menyangkut
detail pekerjaan dan hubungan hukumnya dapat diperjanjikan dengan baik, dengan
demikian diharapkan segala bentuk perselisihan atau persengketaan dapat dihindari.
Apabila para pihak sepakat untuk menuangkan segala hal yang menyangkut hubungan
hukum atas hak dan kewajibannya dalam suatu perjanjian dan selama perjanjian tersebut
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum perjanjian konstruksi maupun prinsip
hukum lain yang berlaku di Indonesia, maka menurut ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata
perjanjian tersebut akan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya.
Pada umumnya dalam perjanjian jasa konstruksi, posisi penyedia jasa selalu lebih
lemah daripada posisi pengguna jasa. Penyedia jasa hampir selalu harus memenuhi
konsep atau draft perjanjian konstruksi yang dibuat pengguna jasa. Sebelum lahirnya UU
No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, belum ada peraturan perundang-undangan
yang baku yang mengatur hak dan kewajiban para pelaku industri jasa konstruksi
sehingga asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 KUH
Perdata dipakai sebagai satu-satunya asas dalam penyusunan kontrak. Dengan posisi
yang dominan maka pengguna jasa lebih leluasa menyusun kontrak dan hal tersebut dapat
merugikan penyedia jasa. Ketidakseimbangan antara terbatasnya pekerjaan konstruksi
atau proyek dan banyaknya penyedia jasa mengakibatkan posisi tawar penyedia jasa
sangat lemah. Selain itu faktor KKN seperti tender diatur, tender arisan, nilai tender
dinaikkan (mark up), pekerjaan fiktif dan sebagainya menjadi wajah kontrak konstruksi
semakin tidak wajar dan buruk. Biasanya penyedia jasa enggan bertanya akan hal-hal
yang dianggap sensitif namun penting seperti ketersediaan dana, isi kontrak, kelancaran
pembayaran dan sebagainya.
Perjanjian jasa konstruksi tidak hanya berlangsung antara penyedia jasa nasional
dengan pengguna jasa lokal tapi juga dengan pihak asing termasuk kedutaan asing.
Perjanjian jasa konstruksi antara penyedia jasa nasional dengan kedutaan asing
merupakan suatu kontrak internasional karena ada foreign element atau unsur asing di
dalamnya. Seringkali terdapat perbedaan dalam sistem hukum di antara para pihak,
sehingga para pihak harus menentukan hukum yang akan digunakan dalam kontrak
tersebut. Para pihak dalam kontrak internasional, tentu senantiasa mempunyai keinginan
kuat untuk melindungi kepentingannya dan sedapat mungkin menggunakan hukum
tertentu yang mereka akan pakai sebagai dasar transaksi dan kesepakatan yang akan
dibentuknya.
Dua pihak yang berbeda yang akan melakukan suatu kontrak dapat menentukan
hukum apa yang akan digunakan dalam mengatur transaksi mereka, pada konteks ini
“para pihak dimaksud hanya mempunyai kebebasan untuk menentukan suatu pilihan
hukum dan tidak bebas menentukan sendiri perundang-undangannya”. 3 Salah satu
alasan untuk memungkinkan kebebasan memilih sendiri hukum adalah kenyataan
bahwa kebebasan itu diperlukan demi hubungan lalu lintas hukum internasional.
Pilihan hukum telah menjadi salah satu ajaran tersendiri di dalam Hukum Perdata
Internasional (HPI) dan ada cukup banyak istilah mengenai pilihan hukum ini, antara
3 Sudargo Gautama, Pengantar Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Binacipta,
1987, hal. 168.
lain: partij autonomie, autonomie de la volonte, intention of the parties, rechtskeuze,
choise of law and connecting agreement. Di samping prinsip nasionalitas dan ketertiban
umum, pilihan hukum dianggap sebagai sendi alas utama dari seluruh sistem HPI.
Kebutuhan-kebutuhan dari "internationaal rechtsverkeer" yang menjadi dasar utama
un tuk kebebasan memilih hukum oleh para pihak. Adalah suatu hal yang penting bagi
para pihak yang hendak menutup kontrak, apabila mereka dari awalnya dapat
menentukan hukum apakah yang harus dipergunakan untuk kontrak mereka.
Dalam hal perjanjian jasa konstruksi dengan pihak asing, UU Nomor 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi tidak menyebutkan ketentuan mengenai hukum yang
berlaku namun hanya memuat ketentuan mengenai bahasa yang dipergunakan dalam
perjanjian dengan pihak asing yaitu dalam Pasal 22 ayat (6) sebagai berikut:
“Kontrak kerja konstruksi dibuat dalam bahasa Indonesia dan dalam hal kontrak
kerja konstruksi dengan pihak asing, maka dapat dibuat dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris.”
Sedangkan di dalam Pasal 23 ayat (5) dan ayat (6) Peraturan Pemerintah Nomor 29
Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dinyatakan bahwa :
Pada kontrak kerja konstruksi dengan mempergunakan 2 (dua) bahasaharus dinyatakan secara tegas hanya 1 (satu) bahasa yang mengikat secara hukum.Kontrak kerja konstruksi tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia.4
Dalam praktek ditemui bahwa dalam beberapa perjanjian jasa konstruksi dengan
beberapa kedutaan asing berlaku hukum negara pengguna jasa. Hal tersebut merupakan
suatu kontradiksi dengan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (6) PP No. 29 Tahun 2000
4 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, PP No.29 Tahun
2000, ps. 23 ayat (5) dan ayat (6).
tersebut di atas yang menyatakan bahwa kontrak konstruksi tunduk pada hukum yang
berlaku di Indonesia.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan diatas, maka penulis
melakukan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana penerapan pilihan hukum pada perjanjian jasa konstruksi dengan
kedutaan asing dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Jasa Konstruksi?
2. Bagaimanakah penyelesaian sengketa bagi para pihak dihubungkan dengan
pilihan hukum menurut Hukum Perdata Internasional?
C. Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah yang penulis uraikan dalam penulisan ini hanya sebatas
tentang ketentuan undang-undang atau hukum yang berlaku khususnya Undang-Undang
No. 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi juncto Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun
2000 Tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk meneliti bagaimana penerapan pilihan hukum pada perjanjian jasa
konstruksi dengan kedutaan asing dihubungkan dengan ketentuan Undang-
Undang Jasa Konstruksi.
2. Untuk mengetahui dan meneliti bagaimana penyelesaian sengketa bagi para pihak
dihubungkan dengan pilihan hukum menurut HPI.
Manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut:
1. Kegunaan teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk
mengembangkan dan memperluas wawasan pengetahuan di bidang ilmu hukum,
khususnya perjanjian jasa konstruksi.
2. Kegunaan praktis
Secara praktis penelitian ini dapat memberikan informasi kepada pelaku usaha
yang terlibat dalam penyelenggaraan jasa konstruksi untuk dapat menyadari
pentingnya syarat-syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi dalam perjanjian jasa
konstruksi.
E. Kerangka Teori dan Kerangka Analisis
Industri jasa konstruksi berfungsi mendukung pertumbuhan dan perkembangan
berbagai bidang, terutama bidang ekonomi, sosial, dan budaya untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan segala keterbatasan dan kelemahan yang
dimilikinya, dalam dua dasawarsa terakhir, jasa konstruksi nasional telah menjadi salah
satu potensi pembangunan nasional dalam mendukung perluasan lapangan usaha dan
kesempatan kerja serta peningkatan penerimaan negara.
Jasa konstruksi nasional diharapkan mampu mengembangkan perannya dalam
pembangunan nasional melalui peningkatan keandalan yang didukung oleh struktur usaha
yang kokoh dan mampu mewujudkan hasil pekerjaan konstruksi yang berkualitas.
Keandalan tersebut tercermin dalam daya saing dan kemampuan menyelenggarakan
pekerjaan konstruksi secara lebih efisien dan efektif, sedangkan struktur usaha yang
kokoh tercermin dengan terwujudnya kemitraan yang sinergis antar penyedia jasa, baik
yang berskala besar, menengah, dan kecil, maupun yang berkualifikasi umum, spesialis,
dan terampil, serta perlu diwujudkan pula ketertiban penyelenggaraan jasa konstruksi
untuk menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dengan penyedia jasa dalam
hak dan kewajiban. Dengan demikian potensi jasa konstruksi nasional ini perlu
ditumbuhkembangkan agar lebih mampu berperan dalam pembangunan nasional.
Hubungan para pihak dalam perjanjian adalah suatu hubungan hukum yaitu
hubungan yang diatur oleh hukum. Kaidah hukum yang sempurna yang diterapkan
kepada subyek yang bersangkutan yang dalam hal ini adalah pihak yang saling
berhubungan dalam suatu kepentingan tertentu yang melahirkan hak dan tuntutan
kewajiban satu sama lain.
Pengertian perjanjian diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perjanjian
adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang lain atau lebih. Definisi tersebut di atas tidaklah jelas, karena setiap perbuatan
dapat disebut perjanjian, juga tidak tampak asas konsensualisme. Ketidakjelasan definisi
diatas disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan, sehingga yang
bukan perbuatan hukum pun dapat disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas
pengertian itu maka harus dicari dalam dokrin.
Menurut dokrin yang disebut perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata
sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Dalam definisi ini telah tampak adanya asas
konsensualisme dan timbulnya akibat hukum. Lebih lanjut dalam Pasal 1320 KUH
Perdata memuat ketentuan mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yaitu harus
mengandung unsur sepakat untuk mengikatkan dirinya dan kecakapan untuk mengadakan
perjanjian yang merupakan syarat subyektif, sedangkan syarat obyektif suatu perjanjian
adalah adanya suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila suatu perjanjian
yang tidak memenuhi syarat subyektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan,
sedangkan apabila tidak memenuhi syarat obyektif maka perjanjian itu batal demi hukum.
Hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam penyelenggaraan
jasa konstruksi dituangkan dalam suatu perjanjian jasa konstruksi. Sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, ketentuan umum
perjanjian jasa konstruksi diatur dalam Buku Ketiga Bab VII A Bagian 1 KUH Perdata
tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan dan dalam Buku Ketiga Bab VII A Bagian
6 KUH Perdata tentang pemborongan pekerjaan atau kontrak bangunan. Perjanjian untuk
melakukan pekerjaan diatur dalam Pasal 1601 KUH Perdata sebagai berikut :
Selain perjanjian-perjanjian untuk melakukan sementara jasa-jasa, yang diatur oleh ketentuan-ketentuan yang khusus untuk itu dan oleh syarat-syarat yang diperjanjikan, dan jika itu tidak ada, oleh kebiasaan, maka adalah dua macam perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan bagi pihak yang lainnya dengan menerima upah, perjanjian perburuhan dan pemborongan pekerjaan.5
Jika dipandang dari sudut hukum perjanjian, maka “perjanjian pemborongan
pekerjaan adalah suatu perjanjian tidak bernama yang mempunyai karakteristik yaitu
mempunyai unsur-unsur perjanjian pemborongan dan sekaligus unsur-unsur perjanjian
pemberian sementara jasa-jasa”.6 Eksistensi dari perjanjian pemborongan pekerjaan ini
memperoleh justifikasi yuridis melalui asas kebebasan berkontrak sesuai ketentuan Pasal
5 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Terjemahan R. Subekti dan R.
Tjitrosudibio, Jakarta : Pradnya Paramita, 1976, Pasal 16016 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994, hal. 59.
1338 KUH Perdata juncto Pasal 1319 KUH Perdata. Ketentuan dalam KUH Perdata
menyebutkan bahwa perjanjian pemborongan adalah merupakan perjanjian yang bersifat
konsensuil artinya perjanjian pemborongan itu lahir dari adanya kata sepakat yaitu antara
yang memborongkan pekerjaan dengan pihak pemborong tentang suatu karya dan harga
borongan/kontrak.
Peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perjanjian
jasa kontruksi lahir pada masa reformasi yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999
tentang Jasa Konstruksi yang ditetapkan pada tanggal 17 Mei 1999, diikuti dengan
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa
Konstruksi, PP No. 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi dan PP No.
30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi, sebagai peraturan
pelaksananya. Latar belakang lahirnya undang-undang ini karena berbagai peraturan
perundang-undangan yang berlaku belum berorientasi pada pengembangan jasa
konstruksi yang sesuai dengan karakteristiknya. Hal ini mengakibatkan kurang
berkembangnya iklim usaha yang mendukung peningkatan daya saing secara optimal
maupun bagi kepentingan masyarakat.
Dalam hal perjanjian jasa konstruksi dengan pihak asing, maka ada aspek hukum
perdata internasional karena ada foreign element atau unsur asing di dalamnya. Dalam
kontrak internasional ada satu hal penting yang biasa disebut sebagai pilihan hukum.
Pilihan hukum ini menjadi pokok penting untuk menentukan hukum yang akan
digunakan para pihak di dalam pembuatan suatu kontrak. Secara singkat pilihan hukum
dapat diartikan sebagai “kebebasan yang diberikan kepada para pihak dalam bidang
perjanjian untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan”.7 Para pihak dapat
kebebasan untuk memilih hukum yang diberlakukan untuk perjanjian mereka.
Kebebasan memilih hukum ini dipercayakan kepada individu demi kepentingan
hubungan kelancaran lalu lintas masyarakat internasional itu sendiri. Dengan
kemungkinan memilih sendiri hukum oleh para pihak yang melangsungkan suatu
kontrak internasional akan bertambahlah kepastian mengenai hukum yang akan
diberlakukan bila kelak timbul perselisihan.
Di dalam melakukan pilihan hukum ini ada beberapa asas penting yang senantiasa
digunakan untuk membuat suatu kontrak internasional, yaitu:
1. Asas Lex Fori, yaitu suatu asas untuk menentukan hukum acara negara tertentu
atau setempat yang akan dipakai sebagai pedoman para hakim.
2. Asas Lex Causae atau penetapan hukum acara yang tepat. Pelaksanaan asas ini
sangat memperhatikan beberapa asas lainnya, seperti:
a. Asas Renvoi, penunjukan kembali hukum yang tepat;
b. Asas Lex Situs Rei, asas yang berlaku didasarkan atas letak benda, khususnya
benda tetap;
c. Asas Lex Locus Actus, asas yang didasarkan atas tempat perbuatan hukum
dilakukan;
d. Asas Lex Locus Solutions, asas yang didasarkan atas tempat perjanjian
diselesaikan;
e. Asas Lex Loci Contractus, asas yang didasarkan atas tempat perjanjian dibuat.
7 Sudargo Gautama 2, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Buku Kelima Jilid Kedua (Bagian
Keempat), Bandung : Alumni, 2004, hal. 5.
Jika kemudian “para pihak sendiri tidak menentukan pilihan hukumnya maka
digunakanlah suatu asas lainnya yang biasa dikenal sebagai asas most characteristic
connection of an individual contract”.8
Beberapa kalangan ahli dalam menentukan kualifikasi pilihan hukum
melakukannya dengan cara “membuat qualification of law dan kemudian baru
mengkajinya dengan melihat qualification of facts dari suatu kontrak internasional seperti
yang dinyatakan oleh Schnitzer”.9 Hukum yang akan berlaku sedikit banyak tergantung
pada kesepakatan para pihak dan dapat berupa hukum nasional suatu negara tertentu,
biasanya hukum nasional tersebut terkait dengan nasionalitas salah satu pihak.
F. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat
deskriptif analitis yaitu penelitian disusun dalam bentuk uraian berupa penjabaran
masalah yang terkait dengan penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh gambaran
yang menyeluruh dan sistematis mengenai praktik penyelenggaraan perjanjian jasa
konstruksi dengan kedutaan asing di Indonesia. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum terhadap bahan
pustaka dan data sekunder berupa kajian terhadap asas-asas maupun kaidah-kaidah
hukum positif serta perundang-undangan yang berlaku.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan
mempelajari dokumen-dokumen dan literatur yang berhubungan dengan masalah hukum
perjanjian dan hukum perdata internasional dalam penyelenggaraan perjanjian jasa
8 Ibid., hal. 23.9 Sunaryati Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perdata Internasional Indonesia, Bandung : Binacipta,
1995, hal. 71.
konstruksi dengan kedutaan asing di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan menganalisis
data sekunder dari bahan-bahan hukum primer, seperti UUD 1945, UU No. 18 Tahun
1999 tentang Jasa Konstruksi, Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Jasa Konstruksi, Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Menengah Nasional, dan sebagainya. Selain itu juga ditunjang oleh bahan-
bahan hukum sekunder berupa buku-buku ilmu hukum dan manajemen konstruksi,
jurnal-jurnal ilmiah, hasil penelitian (tesis dan disertasi) yang berkaitan dengan topik
penelitian ini serta bahan-bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan kamus bahasa.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ilmiah ini dibagi dalam lima bab yang disusun secara
sistematis untuk menguraikan masalah yang akan dibahas dengan urutan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memuat latar belakang permasalahan, perumusan masalah, ruang
lingkup masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan kerangka
analisis, metode penelitian dan sistematika penulisan dengan topik
penyelenggaraan jasa konstruksi oleh kedutaan asing dihubungkan dengan
undang-undang jasa konstruksi di Indonesia.
BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA DAN PERJANJIAN JASA
KONSTRUKSI DI INDONESIA
Bab ini merupakan kajian teoritis dengan menguraikan perjanjian pada
umumnya serta perjanjian yang terkait dengan jasa konstruksi dan hal-hal
yang timbul karena perjanjian tersebut.
BAB III ASPEK HUKUM PERDATA INTERNASIONAL DALAM
PERJANJIAN JASA KONSTRUKSI DENGAN PIHAK ASING
Bab ini berisi penjelasan tentang praktik dan pelaksanaan perjanjian jasa
konstruksi dengan pihak asing di Indonesia dan aspek-aspek hukum perdata
internasional yang timbul dari perjanjian tersebut.
BAB IV PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA KONSTRUKSI DENGAN
KEDUTAAN ASING
Mengkaji dan meneliti bagaimana penerapan pilihan hukum dan penyelesaian
sengketa dalam perjanjian jasa konstruksi dengan kedutaan asing
dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Jasa Konstruksi.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab terakhir yang berisikan kesimpulan dan saran dari analisis
masalah yang telah diuraikan pada bab sebelumnya.