bab1 (1)

15
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembahasan dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya 1 . Untuk menyelesaikan sengkata ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase temuat dalam Pasal 1 angka 8 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa : “Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa“ 2 1 Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 3. 2 Indonesia (a), Undang – Undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30, LN No. 138 tahun 1999, TLN No. 3872, Pasal 1 angka 8.

Upload: cszoel-challer-aschool

Post on 31-Dec-2015

13 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ijhhhg

TRANSCRIPT

Page 1: bab1 (1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembahasan dalam suatu hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada

kemungkinan timbulnya sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah

mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi

perjanjian ataupun disebabkan hal lainnya1.

Untuk menyelesaikan sengkata ada beberapa cara yang bisa dipilih, yaitu

melalui negosiasi, mediasi, pengadilan dan arbitrase. Pengertian arbitrase temuat

dalam Pasal 1 angka 8 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa :

“Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa“2

1 Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka

Utama, 2006), hal. 3.

2 Indonesia (a), Undang – Undang Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UU No. 30, LN No. 138 tahun 1999, TLN No. 3872, Pasal 1 angka 8.

Page 2: bab1 (1)

2

Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa, disebutkan bahwa : “Sengketa yang dapat diselesaikan

melalui arbitrase hanyalah di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan

peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”3

Dengan demikian arbitrase tidak dapat diterapkan untuk masalah-masalah dalam

lingkup hukum keluarga, arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah diluar

lingkup hukum keluarga contohnya seperti dalam hukum perjanjian. Bagi pengusaha,

arbitrase merupakan pilihan yang paling menarik guna menyelesaikan sengketa sesuai dengan

keinginan dan kebutuhan mereka4.

Arbitrase dikenal di Indonesia sejak zaman Belanda, dasar hukumnya Pasal 337 HIR (

Het Herziene Indonesisch Reglement ) dan Pasal 705 RBg ( Rechtsreglement voor

de Buitengewesten ) yang berbunyi : “Jika orang Indonesia dan timur asing menghendaki

perselisihan mereka ditentukan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan

pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa”5

Dalam Rv Pasal-pasal mengenai arbitrase diatur dalam buku ketiga tentang aneka

acara. Pada bagian pertama diatur ketentuan mengenai keputusan wasit (arbitrase) mulai dari

Pasal 615 sampai dengan Pasal 651. Pasal-Pasal ini memuat lima bagian pokok, yaitu:

1. Bagian pertama ( Pasal 615-623 ), mengatur mengenai arbitrase dan pengangkatan arbitrase;

2. Bagian kedua ( Pasal 624-630 ), mengatur mengenai pemeriksaan di muka badan arbitrase;

3. Bagian ketiga ( Pasal 631-640 ), mengatur mengenai putusan arbitrase;

3 Ibid. , Pasal 5, hal. 13

4 Soemartono, op.cit, hal.4

5 Gunawan Widjaja dan Achmad Yani, Hukum Arbitrase, ed. 1.

Page 3: bab1 (1)

3

4. Bagian keempat ( Pasal 641-647 ), mengatur mengenai upaya-upaya terhadap putusan arbitrase;

5. Bagian kelima ( Pasal 647-651 ), mengatur mengenai berakhirnya acara-acara arbitrase 6.

Ketentuan-ketentuan tersebut sekarang ini sudah tidak berlaku lagi setelah

diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, undang-undang ini selain mengatur

mengenai arbitrase juga mengatur mengenai pilihan penyelesaian sengketa lainnya. Dalam

banyak perjanjian perdata, penyelesain sengketa melalui arbitrase banyak digunakan sebagai

pilihan penyelesaain sengketa karena memiliki beberapa kelebihan dan kemudahan7.

Arbitrase merupakan lembaga volenter yang dipilih dan ditunjuk berdasarkan

kesepakan para pihak apabila mereka menghendaki penyelesaian sengketa yang timbul di

antara mereka diputus oleh seseorang atau beberapa orang arbiter yang bertindak sebagai

pemutus yang tidak memihak8. Ditinjau dari segi penunjukan arbiter yang akan duduk

menjalankan fungsi dan kewenangan arbitrase, memperlihatkan kedudukannya dan

keberadaannya tiada lain daripada badan swasta atau “private”. Arbitrase bukan merupakan

badan kekuasan badan peradilan judicial power resmi yang sengaja didirikan oleh kekuasaan

negara berdasar konstitusi ketatanegaraan dari negara9.

Arbitrase Institusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan

arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai

aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Nasional

Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari The

Internasional Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The

6 Ibid.

7 Indonesia (a), Op. Cit. Penjelasan Umum.

8 M. Yahya Harahap, Arbitrase, cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 83.

9 Ibid.

Page 4: bab1 (1)

4

Internasional Center For Settlement of Invesment Disputes (ICSID) di Washington10. badan-

badan tersebut mempunyai peraturan dan sistim arbitrase sendiri-sendiri.

Lembaga arbitrase masih memiliki ketergantungan pada pengadilan, misalnya dalam

hal pelaksanaan putusan arbitrase, ada keharusan untuk medaftarkan putusan arbitrase di

Pengadilan Negeri. Hal ini menunjukan bahwa lembaga arbitrase tidak mempunyai upaya

pemaksa terhadap para pihak untuk mentaati putusannya tanpa adanya keterlibatan

Pengadilan Negeri.

Perjanjian Arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausa arbitrase yang tercantum

dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau

perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Adanya suatu

kesepakatan (konsensus) dari para pihak menyebabkan semua persetujuan yang dibuat

berlaku sebaga undang-undang11. Bila dihubungkan dengan klausula arbitrase dalam suatu

perjanjian, maka ketentuan mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase mengikat para

pihak yang membuat dan menadatangani perjanjian itu, asalkan tidak bertentangan dengan

ketentuan sahnya suatu perjanjian yakni sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal12.

Klausula arbitrase dalam setiap perjanjian merupakan accesoir sebagai buntut dari

perjanjian pokoknya yang dibuat dalam suatu perjanjian. Disepakati bilamana dikemudian

hari timbul perselisihan, maka para pihak memilih jalur penyelesain di luar peradilan umum,

atua dikenal dengan nama Pactum de Comprottendo. Dengan adanya kesepakatan tersebut,

sudah selayaknya forum arbitraselah yang mempunyai kompetensi untuk menyelesaikan

perkara yang timbul dari kontrak tersebut, dalam hal ada klausula arbitrase dalam perjanjian

10 Gatot Soemartono, Op. Cit, hal. 27.

11 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Tjitrosudibio, cet. 33, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2003), pasal 1338 Ayat.

12 Ibid, Pasal 1320.

Page 5: bab1 (1)

5

maka apabila terjadi sengketa antara para pihak yang sudah sepatutnya pengadilan tidak

berwenang memeriksa dan mengadili perkara tersebut13.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyalesaian Sengketa, adalah sebagai dasar hukum pelaksanaan arbitrase dan alternatif

penyelesaian sengketa di Indonesia. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 11Undang-undang

Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang

menyatakan bahwa putusan arbitrase tersebut adalah Final and Binding, dimana dengan

adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan

penyelesaian sengketa ke Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Negeri wajib menolak serta

tidak akan ikut campur tangan terhadap penyelesaian sengketa yang didalamnya terdapat

perjanjian sengketa. Seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pengadilan Negeri tidak

mempunyai kewenangan untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam

perjanjian sengketa.

Namun demikian dalam prakteknya masih timbul perbedaan dalam penerapan

kompetesi absolute dari arbitrase tersebut, artinya dalam beberapa kasus masih terdapat

Pengadilan Negeri yang tetap memeriksa perkara tersebut walau dalam perjanjiannya terdapat

klausula arbitrase14. Hal ini dapat terjadi karena belum adanya kesepahaman mengenai

klausula arbitrase, beberapa hakim berpendapat bahwa mereka tidak dapat menolak perkara

yang dibawa kehadapanya15. Lebih lanjut masih adanya ketidak jelasan apabila para pihak

sendiri yang berperkara salah satunya atau bahkan keduanya hadir dihadapan sidang.

13 Gatot Soemartono, Op. Cit, hal. 27.14 Ibid.

15 Indonesia (b),Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4, LN No. 8 Tahun 2004 , TLN No. 4358, Pasal 16 Ayat (1).

Page 6: bab1 (1)

6

Seperti yang sudah dijelaskan, pada prinsipnya putusan arbitrase merupakan putusan

yang bersifat Final and Binding dan Pengadilan Negeri tidak memiliki kompetensi untuk

memeriksa suatu sengketa yang didalamnya terdapat kluasula arbitrase, akan tetapi

Pengadilan Negeri memiliki peranan dalam arbitrase.peranan pengadilan dalam

penyelenggaraan arbitrase berdasrkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, antara lain mengenai penunjukan arbiter atau

majelis arbiter dalam hal para pihak tidak ada kesepakatan16, dan dalam hal putusan arbitrase

nasional maupun internasional yang harus dilakukan melalui mekanisme sistem peradilan

yaitu pendaftaran putusan tersebut dengan menyerahkan salinan autentik17, pembatalan

putusan arbitrase berdasarkan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.Pembatalan putusan arbitrase dimungkinkan

dilakukan dengan mengajukan permohonan pembatalan kepada Pengadilan Negeri18,

permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah

didaftarkan di pengadilan19. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang terdapat dalam

Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa,harus dibuktikan dengan putusan pengadilan20. Apabila pengadilan

menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan

pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan

atau menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase21.

16 Indonesia (a), Op. Cit, Pasal 14 ayat (3).

17 Ibid. Pasal 59 ayat (1).

18 Ibid. Pasal 71.

19 Ibid. Penjelasan Pasal 70.

20 Ibid.

21 Ibid.

Page 7: bab1 (1)

7

Permohonan pembatalan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal

72 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa, Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenangan untuk memeriksa tuntutan

pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat pembatalan seluruhnya atau

sebagian dari putusan arbitrase bersangkutan22.ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan

bahwa setelah diucapkan pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa

kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa tidak mungkin

diselesaikan lagi melalui arbitrase23.

Dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase para pihak

dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung

unsur - unsur sebagai berikut:

1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui

palsu atau dinyatakan palsu,

2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang

disembunyikan oleh pihak lawan, atau

3. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam

pemeriksaan sengketa24.

B. Pokok Permasalahan

22 Ibid. Penjelasan Pasal 72 ayat (2).

23 Ibid.

24 Ibid. Pasal 70.

Page 8: bab1 (1)

8

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis perlu membuat perumusan

masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini. Adapun pokok permasalahannya sebagai

berikut:

1. Apakah permohonan pembatalan putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

antara BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA dan Dr. H. SOETOMO dengan

PT. BAKRIE SWASAKTI UTAMA sudah sesuai dengan Undang-Undang Arbitrase No.

30 Tahun 1999?

2. Bagaimana kekuatan hukum terhadap putusan Arbitrase dengan adanya pembatalan

putusan arbitrase tersebut ?

C. Ruang Lingkup Penulisan

Sesuai dengan judul skripsi ini akan dianalisa permohonan pembatalan putusan

Arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan antara BADAN ARBITRASE NASIONAL

INDONESIA dan Dr. H. SOETOMO dengan PT. BAKRIE SWASAKTI UTAMA, dan

dalam skripsi ini juga akan membahas mengenai bagaimana kekuatan hukum terhadap

penjelasan arbitrase dengan adanya pembatalan putusan arbitrase tersebut?

D. Maksud Dan Tujuan Penulisan

Adapun maksud dari penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat

memperoleh gelar Sarjana S1 Ilmu Hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas

Hukum Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta.

Sedangkan tujuan dari penulisan skripsi ini untuk mengetahui bagaimana prosedur

permohonan pembatalan putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan antara

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA dan Dr. H. SOETOMO dengan PT.

Page 9: bab1 (1)

9

BAKRIE SWASAKTI UTAMA. Dan penulis ingin mengetahui bagaimana kekuatan hukum

terhadap penjelasan arbitrase dengan adanya pembatalan putusan arbitrase tersebut.

E. Kerangka Teori Dan Kerangka Konseptual

1. Kerangka Teori

Arbitase sebagai suatu upaya alternatif penyelesaian di luar pengadilan yang

dipilih dan disepakati oleh para pihak dalam perjanjian, karena merupakan lembaga yang

bebas dan otonom menentukan aturan sendiri, biasanya waktu prosedur singkat, diperiksa

oleh arbiter yang professional dan memiliki kerahasiaan (privat) bagi para pihak yang

bersengketa.

Adapun pengertian tentang Arbitrase sangat beragam, antara lain ;

a. Menurut ahli hukum Prof. M. Subekti Arbitrase adalah penyelesaian suatu

perselisihan atau perkara oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang

bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa dengan tidak diselesaikan

oleh pengadilan.

b. Sedangkan pengertian Arbitrase menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Umum adalah cara penyelesaian satu perkara

perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat

secara tertulis oleh pihak yang bersengketa, dan

c. Pada umumnya terdapat persamaan pengertian bahwa Arbitrase adalah sebuah

perjanjian dimana para pihak yang bersengketa sepakat untuk menyelesaiakan

sengketa tersebut oleh orang atau pihak ketiga baik seorang atau beberapa orang wasit

atau arbiter yang dipilih sendiri oleh para pihak tersebut.

Sedangkan Arbiter adalah orang yang dipilih atau di tunjuk bersama-sama oleh

para pihak yang bersengketa sebagai penengah atau wasit untuk menyelesaikan sengketa.

Page 10: bab1 (1)

10

bicara mengenai arbiter dalam arbitrase menyangkut permasalahan yang berkenaan

dengan persoalan syarat-syarat penunjukan arbiter, jumlah arbiter dan cara pengangkatan

arbiter.

a. Syarat-syarat Arbiter

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 memberikan syarat-syarat kepada seorang

arbiter sebagai berikut:

1) Cakap dalam melakukan tindakan hukum,

2) Berumur minimal 35 (tiga puluh lima) tahun,

3) Tidak mempunyai hubungan keluarga atau semenda sampai dengan derajat kedua

dengan salah satu pihak yang bersengketa,

4) Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan

arbitrase,

5) Mempunyai pengalaman serta menguasai secara efektif dibidangnya paling sedikit

15 (lima belas) tahun, dan

6) Hakim, Jaksa, Panitera dan pejabat peradilan lainnya tidak boleh menjadi arbiter.

b. Jumlah Arbiter

Dalam menentukan berapa orang yang menjadi arbiter dalam suatu kasus,

apakah tiga orang atau cukup satu orang patut dipertimbangkan faktor-faktor seperti

jumlah yang dipersengketakan, kompleksitas, klaim, nasionalitas dari para pihak,

kebiasaan dagang atau bisnis atau profesi yang relavan yang terlibat dalam sengketa,

ketersediaan arbiter yang layak dan tingkat urgensinya dari kasus yang bersangkutan25.

c. Pengangkatan Arbiter

Pengangkatan arbiter dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

1) Penunjukan dengan Pactum de Compromittendo,

25 Munir Fuady, Arbitrase Nasional : Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2000). hal. 68.

Page 11: bab1 (1)

11

2) Penunjukan dengan Akta Kompromis,

3) Penunjukan langsung oleh para pihak setelah terjadi sengketa,

4) Penunjukan oleh Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri, dan

5) Penunjukan oleh Lembaga Arbitrase.

2. Kerangka Konseptual

Untuk memudahkan dalam memahami pengertian-pengertian, maka diperlukan

batasan konseptual terhadap apa yang dimaksud dan diteliti, batasan-batasan konseptual

sebagai berikut:

a. Negosiasi, yaitu cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi

(musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya

diterima oleh para pihak tersebut.

b. Mediasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang

netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu

pihak-pihak yang bersengketa mencapai penyelesaian (solusi) yang di terima oleh

kedua belah pihak.

c. Pengadilan, adalah lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk

mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara berdasarkan hukum

acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

d. Arbitrase, adalah cara penyelesaian sengketa di luar peradilan, berdasarkan pada

perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang

dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.

e. Arbiter, adalah orang yang dipilih atau di tunjuk bersama-sama oleh para pihak yang

bersengketa sebagai penengah atau wasit untuk menyelesaikan sengketa.

f. Perjanjian, adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau

dimana 2 (dua) orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.

Page 12: bab1 (1)

12

F. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis juga menggunakan metode penelitian kepustakaan

yang brsifat yuridis normatif. Pada penelitian hukum normatif, bahan kepustakaan merupakan

data dasar yang dalam penelitian di golongkan sebagai data sekunder26. Sedangkan, yuridis

normatif artinya penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta yang berlaku dan mengikat

masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat.

Bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan pustaka yang

meliputi:

1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma

dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, hukum adat, yurisprudensi dan

traktat27 yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, dimana dalam penelitian kali

ini penulis menggunakan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Keputusan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan No. 237/Pdt. P/2000/Jak. Sel.

2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang isinya menjelaskan mengenai

bahan hukum primer, berupa literature-literatur, buku, majalah, artikel internet, tesis,

disertasi dan makalah dalam seminar yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

3. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan bahan-bahan

hukum primer maupun sekunder yang dalam hal akan digunakan kamus dan ensiklopedi

hukum yang juga dianggap relevan dengan penelitian ini.

26 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: CV Rajawali, 1990), hal.

28

27 Ibid, hal. 14.

Page 13: bab1 (1)

13

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data-data yang lebih konkrit

tentang penyelesaian sengketa melalui lembaga Arbitrase, kemudian disusun secara teratur,

sistematis dan lengkap dalam suatu bentuk karya ilmiah sehingga memudahkan untuk

dipahami dan dipelajari.

G. Sistematika Penulisan

Dalam hal pembahasan atau pengurain skripsi ini, penulis membuat suatu sistematika

dengan maksud untuk mempermudah penulisannya yaitu dengan membagi lima bab dimana

masing-masing bab terdapat beberapa sub-bab yang merupakan pembahasan dari bab-bab

utama, yang tiap-tiap babnya terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu :

Page 14: bab1 (1)

14

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini dijelaskan mengenai Latar Belakang Masalah, Pokok

Permasalahan, Ruang Lingkup Pembahasan, Maksud dan Tujuan Penulisan,

Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual, Metode Penulisan, Sistematika

Penulisan

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE

Pada bagian bab ini akan menjelaskan tentang Pengertian Arbitarse, Ruang

Lingkup Arbitrase yang mencakup: Objek Sengketa Arbitrase, Sumber

Hukum Arbitrase, Jenis Arbitrase dan Badan Arbitrase, Perjanjian Arbitrase,

Klausa Arbitrase, Putusan Arbitrase, Keunggulan dan Kekurangan Arbitrase.

Prosedur Arbitrase.

BAB III : ANALISA PUTUSAN ARBITRASE NO. 237 / PDT. P / 2000 / PN.

Jak-Sel

Pada bab ini penulis akan membahas tentang pembatalan hukum dan putusan

arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diajukan oleh pihak yang

keberatan dengan Putusan Arbitrase antara BADAN ARBITRASE

NASIONAL INDONESIA dan Dr. H. SOETOMO dengan PT. BAKRIE

SWASAKTI UTAMA

BAB IV :PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DI PENGADILAN NEGERI

JAKARTA SELATAN

Pada bab ini penulis akan membahas tentang Apakah Permohonan Pembatalan

Putusan Arbitrase di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dansudah sesuai

dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dan bagaimana kekuatan hukum

terhadap putusan arbitrase dengan adanya pembatalan putusan arbitrase

tersebut.

Page 15: bab1 (1)

15

BAB V :KESIMPULAN DAN SARAN

Bagian ini merupakan bab terakhir dari skripsi ini. Didalamnya penulis akan

menjelaskan mengenai Kesimpulan dan Saran yang didapat dari hasil

penulisan skripsi ini.