bab viii resistensi pkl dalam perspektif teori … viii.pdfbahwa pedagang kaki lima (pkl) melakukan...

28
371 BAB VIII RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau resisten terhadap pemerintah kota Semarang bukannya tanpa sebab. Mereka melakukan perlawanan karena untuk mempertahankan tempat berdagang dan lapak demi menyambung hidup dan kehidupannya. Tindakan perlawanan tersebut tentu saja bukan tindakan individual, tetapi merupakan tindakan kolektif. Secara individual jelas mereka tidak akan berani melakukan perlawanan, karena sumber daya personal yang mereka punyai tidak dapat digunakan sebagai modal untuk melawan. Untuk menganalisis bagaimana tindakan PKL berkaitan dengan perlawanan mereka terhadap pemerintah kota Semarang, akan dikaji substansi tindakan mereka secara individual maupun kolektif, dengan mengacu pada konsep agen dalam perspektif teori struktural dari Anthony Giddens. Tindakan PKL sebagai agen dalam struktur sosial juga akan dibahas menurut teori tindakan Weber dan Parsons. Setelah itu akan dikemukakan titik-titik simpul bahwa perlawanan atau resistensi PKL terhadap pemerintah kota Semarang merupakan tindakan rasional bertujuan. A. Perspektif Teori Struktural Giddens Analisis terhadap tindakan pedagang kaki lima (PKL) tidak menyangkut seluruh tindakan mereka, tetapi hanya tindakan perlawanan mereka terhadap kebijakan yang diambil Pemkot Semarang, yang telah menertibkan dan menggusur mereka dari tempat mereka berdagang dan menjalankan segala aktivitas

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 371 371

    BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    Sebagaimana sudah diuraikan pada bagian sebelumnya

    bahwa pedagang kaki lima (PKL) melakukan perlawanan atau

    resisten terhadap pemerintah kota Semarang bukannya tanpa

    sebab. Mereka melakukan perlawanan karena untuk

    mempertahankan tempat berdagang dan lapak demi

    menyambung hidup dan kehidupannya. Tindakan perlawanan

    tersebut tentu saja bukan tindakan individual, tetapi

    merupakan tindakan kolektif. Secara individual jelas mereka

    tidak akan berani melakukan perlawanan, karena sumber daya

    personal yang mereka punyai tidak dapat digunakan sebagai

    modal untuk melawan.

    Untuk menganalisis bagaimana tindakan PKL berkaitan

    dengan perlawanan mereka terhadap pemerintah kota

    Semarang, akan dikaji substansi tindakan mereka secara

    individual maupun kolektif, dengan mengacu pada konsep agen

    dalam perspektif teori struktural dari Anthony Giddens.

    Tindakan PKL sebagai agen dalam struktur sosial juga akan

    dibahas menurut teori tindakan Weber dan Parsons. Setelah itu

    akan dikemukakan titik-titik simpul bahwa perlawanan atau

    resistensi PKL terhadap pemerintah kota Semarang merupakan

    tindakan rasional bertujuan.

    A. Perspektif Teori Struktural Giddens

    Analisis terhadap tindakan pedagang kaki lima (PKL) tidak

    menyangkut seluruh tindakan mereka, tetapi hanya tindakan

    perlawanan mereka terhadap kebijakan yang diambil Pemkot

    Semarang, yang telah menertibkan dan menggusur mereka dari

    tempat mereka berdagang dan menjalankan segala aktivitas

  • 372

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    ekonomi lainnya. Yang ingin dilihat adalah bagaimana tindakan

    PKL sebagai agen dalam kerangka struktur sosial, sebagaimana

    teori struktural yang dikembangkan oleh Giddens.

    Tindakan PKL bukan merupakan tindakan spontanitas,

    tetapi merupakan tindakan yang terjadi dalam suatu struktur

    sosial. Struktur sosial dimaksud adalah organisasi atau

    paguyuban internal yang dimiliki PKL dan organisasi eksternal

    yang menaungi aktivitas mereka, seperti PPKLS, LBH, dan lain-

    lain. Dalam perspektif teori struktural Giddens, ditegaskan

    pentingnya keseluruhan atau keutuhan sosial atas bagian-

    bagian atau aktor individual (Giddens 2009; Giddens 2010;

    Giddens 2011).

    Tindakan PKL sebagai agen individual dapat dilihat dalam

    kerangka struktur sosial dalam perspektif strukturalisme

    Giddens. Itulah sebabnya, dapat dipahami bahwa aktivitas-

    aktivitas sosial, menurut perspektif teori ini tidak dihadirkan

    oleh para aktor sosial, melainkan diciptakan terus-menerus oleh

    mereka melalui sarana-sarana pengungkapan diri mereka

    sebagai aktor. Melalui aktivitas-aktivitas tersebut, para agen

    memproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan keberadaan

    aktivitas-aktivitas tersebut.

    Dalam pemahaman Giddens, tindakan manusia sebagai

    agen, merupakan tindakan disengaja, yang memiliki alasan-

    alasan atas aktivitas yang dilakukan dan jika diminta mampu

    mengelaborasi secara diskursif alasan-alasan tersebut. Semua

    aktor sosial mengetahui tentang kondisi dan akibat dari apa

    yang mereka kerjakan dalam kehidupan sehati-hari mereka

    (Sztompka 2004).

    Tindakan aktor, menurut Giddens, terjadi dalam arus

    tindakan yang terus-menerus seperti halnya kesadaran

    (cognition). Refleksi atas tindakan manusia ini tertanam dalam monitoring terus-menerus dari tindakan manusia yang

    diharapkan juga diperlihatkan kepada orang lain. Monitoring

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    373

    refleksif terhadap tindakan bergantung pada rasionalisasi dan

    dipahami sebagai suatu proses daripada keadaan. Hal itu

    inheren dalam kompetensi para agen.

    Dalam teori strukturasi, tindakan bukan merupakan

    gabungan perbuatan-perbuatan. Monitoring refleksif,

    rasionalisasi, dan motivasi tindakan merupakan sederet proses

    yang melekat. Seperti halnya monitoring refleksif dan motivasi

    tindakan, rasionalisasi tindakan merujuk kepada kesengajaan

    sebagai proses. Rasionalisasi tindakan adalah upaya yang

    dilakukan oleh para aktor yang secara rutin mempertahankan

    suatu pemahaman teoretis yang terus menerus tentang aktivitas

    mereka (Giddens 2010:8). Rasionalisasi tindakan dalam

    keanekaragaman keadaan interaksi merupakan basis utama bagi

    orang lain dalam mengevaluasi kompetensi umum para aktor.

    Dalam pandangan Giddens (2010), monitoring refleksif atas

    tindakan merupakan satu unsur tetap dari tindakan sehari-hari

    yang melibatkan tidak hanya perilaku si individu, tetapi juga

    perilaku dari individu-individu lain. Para aktor atau agen akan

    memonitor terus menerus arus aktivitas mereka dan berharap

    orang lain juga melakukan hal sama terhadap aktivitas mereka

    sendiri. Para aktor juga secara rutin memonitor aspek-aspek

    sosial dan fisik dari konteks di mana mereka bergerak.

    Rasionalisasi tindakan para aktor dalam sistem tindakan

    tidak dipahami sebagai alasan-alasan bagi suatu tindakan

    tertentu, tetapi lebih pada kompetensi bahwa para aktor akan

    mampu menjelaskan sebagian besar tindakannya jika diminta.

    Visualisasi tentang rasionalisasi tindakan tersebut dapat dilihat

    pada gambar berikut.

  • 374

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    Gambar 55. Rasionalisasi Tindakan dari Giddens

    Dalam gambar di atas, monitoring refleksif dan rasionalisasi

    tindakan memiliki perbedaan dilihat dari aspek motivasinya.

    Jika alasan-alasan merujuk pada dasar-dasar tindakan, motivasi

    mengacu pada keinginan-keinginan yang mendorongnya.

    Namun demikian, motif tidak dibatasi langsung oleh

    kesinambungan tindakan-tindakan seperti halnya monitoring

    refleksif atau rasionalisasinya. Motivasi mengacu pada potensi

    tindakan, bukan pada cara tindakan dilakukan terus menerus

    oleh agen bersangkutan (Giddens 2010). Motif-motif cenderung

    memiliki hubungan langsung dengan tindakan hanya dalam

    keadaan-keadaan yang relatif tidak lazim, situasi-situasi yang

    terputus dari rutinitas. Kebanyakan perilaku agen sehari-hari

    tidak didasarkan pada motivasi langsung.

    Umumnya keberlangsungan kehidupan sehari-hari

    mengalir dari suatu tindakan yang disengaja. Namun demikian,

    ada juga tindakan yang memiliki konsekuensi yang tidak

    disengaja. Konsekuensi-konsekuensi tidak disengaja ini bisa

    secara sistematis memberikan umpan balik untuk menjadi

    konsekuensi-konsekuensi tidak terkenali dari tindakan

    selanjutnya. Agensi manusia hanya bisa ditetapkan berdasarkan

    maksud-maksud (Giddens 2010). Artinya, bahwa agar sebuah

    perilaku dapat dianggap sebagai tindakan, siapa pun yang

    melakukan harus memiliki maksud untuk melakukan tindakan

    tersebut. Jika tidak, maka perilaku tersebut hanya merupakan

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    375

    respon reaktif saja. Hal ini masuk akal, karena terdapat

    sejumlah tindakan yang tidak bisa berlangsung kecuali jika si

    agen memang berkeinginan untuk melakukan tindakan

    tersebut. Misalnya konsep bunuh diri yang diintroduksi

    Durkheim. Bunuh diri tidak dapat dikatakan terjadi, kecuali

    apabila seseorang bermaksud untuk menimbulkan kematian

    bagi dirinya.

    Seseorang yang menyeberang jalan secara sembrono,

    kemudian tertabrak mobil lalu meninggal, tidak bisa dikatakan

    sebagai tindakan bunuh diri, karena kejadian tersebut adalah

    kecelakaan meskipun diawali dari kesembronoan si korban. Ini

    adalah kejadian kecelakaan atau accident, yakni sebagai sesuatu yang menimpa orang yang celaka, bukan karena orang itu

    sengaja melakukan supaya dirinya ditabrak mobil. Agar suatu

    kejadian yang melibatkan manusia dapat dianggap sebagai

    contoh agensi, maka perlu ada persyaratan bahwa apa yang

    dilakukan oleh seseorang adalah disengaja berdasarkan

    deskripsi, kendatipun agen keliru mengenai deskripsi tersebut.

    Seseorang bisa melakukan sesuatu secara sengaja, meskipun

    sesuatu itu tidak seperti yang diharapkan.

    Jika seseorang dengan sengaja menumpahkan kopi karena ia

    mengira kopi tersebut adalah teh, maka menumpahkan kopi

    tersebut sejatinya merupakan tindakan orang tersebut

    meskipun tidak dilakukan secara sengaja. Namun demikian,

    menumpahkan sesuatu dapat dikatakan sebagai kekhilafan di

    tengah-tengah tindakan seseorang yang hendak melakukan

    sesuatu yang berbeda. Freud mengatakan bahwa hampir semua

    perilaku khilaf seperti itu, memiliki motivasi tidak sadar

    (Giddens 2010).

    Tindakan merupakan suatu proses berkesinambungan, yaitu

    suatu arus yang di dalamnya kemampuan introspeksi dan

    mawas diri yang dimiliki individu sangat penting bagi

    pengendalian terhadap tubuh yang biasa dijalankan para aktor

  • 376

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    dalam kehidupan mereka sehari-hari (Giddens 2010). Seseorang

    acapkali melakukan banyak hal yang tidak ingin dilakukan,

    tetapi hal itu tetap terjadi. Seseorang bisa saja melakukan

    perbuatan yang tidak disengaja, meskipun hal itu tidak semata-

    mata ia yang melakukannya.

    Si A bermaksud iseng meletakkan secara tidak pas secangkir

    kopi di atas lepek, sehingga B mengambil cangkir itu bisa

    dipastikan akan tumpah. B benar-benar mengambil cangkir

    tersebut dan tumpah karenanya. B tentu tidak sengaja

    menumpahkan cangkir tadi, karena posisinya memang

    dimungkinkan akan tumpah ketika diambil. Siapa yang

    menumpahkan? Jelas B yang bertindak menumpahkan cangkir

    tersebut, tetapi perbuatan A juga dipandang turut

    mengakibatkan tumpahnya cangkir.

    Semua tindakan manusia dapat dikelompokkan ke dalam

    dua jenis tindakan, yaitu tindakan disengaja dan tindakan yang

    tidak disengaja. Tindakan disengaja jelas maknanya, karena

    dilakukan untuk maksud-maksud tertentu. Orang membeli

    tiket pesawat Garuda untuk pergi ke Jakarta pada hari Senin,

    karena ada urusan tertentu, merupakan contoh dari tindakan

    disengaja. Apa arti melakukan sesuatu tindakan tidak disengaja?

    Giddens (2010) memberikan contoh sederhana mengenai hal

    ini. A menghidupkan lampu agar ruangan menjadi terang.

    Ternyata di dalam ruangan tersebut ada seorang pencuri dan

    ketahuan setelah lampu tersebut dihidupkan. Meskipun

    tindakan menghidupkan lampu disengaja oleh A, tetapi

    menghidupkan lampu yang memberitahukan keberadaan

    seorang pencuri bukanlah tindakan disengaja.

    Untuk mengetahui apakah suatu tindakan itu disengaja atau

    tidak, Giddens (2010) menjelaskan bahwa yang dimaksud

    dengan tindakan disengaja adalah upaya menyifati sebuah

    tindakan yang diketahui atau diyakini oleh pelakunya akan

    memiliki kualitas atau hasil tertentu dan pengetahuan itu

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    377

    dimanfaatkan si pelaku untuk memperoleh kualitas atau hasil

    tertentu. Dari pengertian tindakan disengaja ini, maka perilaku

    A menghidupkan lampu yang mengakibatkan si pencuri

    ketahuan berada di ruangan tersebut, tergolong sebagai

    tindakan tidak disengaja. Hal ini karena si pelaku tidak

    mengetahui kalau pencuri ada di dalam ruangan. Apakah jika si

    pencuri ketahuan lalu ditangkap polisi, merupakan konsekuensi

    yang disengaja dari tindakan A?

    Menurut konsep Giddens, segala hal yang menimpa si

    pencuri setelah A menghidupkan lampu, termasuk

    konsekuensi tidak disengaja dari tindakan menghidupkan

    lampu karena A tidak mengetahui keberadaan si pencuri.

    Semakin jauh rentang waktu konsekuensi-konsekuensi dari

    konteks tindakan pertama, maka akan semakin kecil

    kemungkinan konsekuensi-konsekuensi itu disengaja.

    Anggapan ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang dipunyai

    aktor dan daya kuasa dia untuk memobilisasinya.

    Kadangkala perilaku manusia bersifat irasional, tetapi

    aktivitas yang irasional atau yang kelihatannya tahayul, bisa

    saja dipandang rasional. Menurut Merton, hal ini terutama

    terjadi pada aktivitas atau praktik-praktik yang sudah

    berlangsung cukup lama. Jika ditemukan bahwa ada fungsi

    laten di balik aktivitas atau praktik tertentu, seperangkat

    konsekuensi yang tidak disengaja yang mengiringi atau

    mempertahankan keterulangan aktivitas atau praktik tersebut,

    dapat dipastikan praktik tersebut tidak irasional (Giddens

    2010).

    Sebagai contoh, sebuah upacara dapat memiliki fungsi

    laten, berupa penguatan identitas kelompok dengan

    memberikan kesempatan rutin kepada setiap anggota kelompok

    yang tersebar untuk berkumpul dengan melakukan aktivitas

    bersama. Aktivitas-aktivitas sosial kelompok mengadakan

    upacara bersama ini, selain untuk mempertahankan identitas

  • 378

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    kelompok juga untuk menjaga kelangsungan hidup (survival)

    mereka. Dalam konteks individu, relasi yang dibangun antara

    anggota kelompok yang satu dengan lainnya, ditengarai ada

    dorongan motivasional yang disengaja untuk memenuhi

    kebutuhan sosial mereka.

    Dalam relasinya dengan orang lain, aktor atau agen dalam

    bertindak harus mampu menggunakan secara terus menerus

    kekuasaan kausal, termasuk dalam memengaruhi kekuasaan

    yang dijalankan oleh orang lain (Giddens 2010). Tindakan agen

    tergantung pada kemampuannya untuk memengaruhi keadaan

    atau peristiwa yang telah ada sebelumnya. Menurut Giddens

    (2010:23), seorang agen tidak lagi mampu berperan demikian

    apabila ia kehilangan kemampuan untuk memengaruhi orang

    lain. Kekuasaan agen dipahami dalam kaitannya dengan

    maksud atau kehendak, yakni sebagai kemampuan untuk

    mencapai hasil-hasil yang diinginkan atau dimaksudkan.

    Dalam pandangan Parsons, kekuasaan merupakan sebuah

    kepemilikan masyarakat atau komunitas sosial.

    Kekuasaan berbeda dengan sumber daya, dan sebagaimana

    diungkapkan Giddens (2010) bahwa kekuasaan memang bukan

    sumber daya. Sumber daya itu sendiri merupakan sarana untuk

    menggunakan kekuasaan dalam sistem interaksi sosial. Dalam

    sistem sosial, kekuasaan mengandaikan adanya rutinisasi relasi

    kemandirian dan ketergantungan di antara para aktor atau

    kelompok dalam konteks interaksi sosial. Ketergantungan

    dalam keadaan tertentu dapat menawarkan sumber daya yang

    memberikan kemampuan kepada pengikut atau anggota

    kekompok untuk memengaruhi ketua atau pimpinan

    kelompok. Inilah yang oleh Giddens disebut dengan dialektika

    kendali dalam sistem sosial.

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    379

    B. Perspektif Teori Tindakan Weber

    Sebagaimana sudah dipaparkan sebelumnya bahwa respon

    yang ditunjukkan PKL dalam menghadapi kebijakan penataan

    PKL oleh Pemkot bermacam-macam. Mereka yang ditertibkan

    dan digusur ada yang pasrah menerima nasib, bersedia pindah

    ke lokasi yang disediakan Pemkot, ada yang bersedia minggir

    tetapi setelah itu kembali ke lokasi berdagang (run and back), dan ada yang resisten tetap bertahan di lokasi di mana mereka

    melakukan aktivitas ekonomi sektor informal.

    Dari hasil penelitian di tiga lokasi, yaitu di Sampangan,

    Basudewo, dan Kokrosono, resistensi PKL yang merupakan

    respon terhadap kebijakan Pemkot, terdiri atas dua bentuk

    yaitu dengan perlawanan fisik (kekerasan) dan perlawanan

    nonkekerasan.

    Perlawanan kekerasan (violence resistance) ditunjukkan dengan adu mulut, mendorong petugas, mempertahankan

    bangunan dan lapak yang akan dibongkar, menaiki begu,

    menghalangi pengemudi untuk menjalankan begu, dan

    menghadang petugas yang akan membongkar bangunan dan

    lapak PKL.

    Perlawanan nonkekerasan (nonviolence resistance) diperlihatkan dalam bentuk melakukan demonstrasi damai,

    berorasi, lari dan kembali (run and back), membuat pamflet atau poster, membuat spanduk, dan mendirikan Posko Anti

    Penggusuran. Apa yang mereka lakukan merupakan tindakan

    kolektif dan terorganisasi. Tindakan PKL bukan merupakan

    tindakan spontanitas, tetapi merupakan tindakan yang terjadi

    dalam suatu struktur sosial, yaitu di bawah naungan organisasi

    atau paguyuban internal atau organisasi yang menaungi

    aktivitas mereka.

    Weber (dalam Habermas 2009) memperkenalkan makna

    sebagai konsep tindakan dasar dan menggunakannya untuk

  • 380

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    membedakan tindakan dari perilaku yang dapat diamati.

    Perilaku manusia, yang eksternal maupun internal, aktif

    maupun pasif, akan disebut tindakan manakala aktor

    melekatkan makna subjektif ke dalam perilaku tersebut. Teori

    tindakan Weber yang bersifat subjektif ini berbeda dengan

    teori tindakan Habermas yang bercorak komunikatif atau

    intersubjektif.

    Dalam ruang sosial, konsep tindakan subjektif Weber tidak

    dapat diterima oleh Habermas, karena tindakan aktor tidak

    dipandang bermakna kalau hanya berdasarkan rasionalitas sang

    aktor. Itulah sebabnya, menurut Habermas (2009), model

    tindakan bertujuan harus diperluas dengan dua spesifikasi agar

    syarat bagi interaksi sosial terpenuhi. Pertama, suatu orientasi ke arah perilaku subjek lain yang bertindak. Kedua, suatu relasi refleksif orientasi tindakan resiprokal dari beberapa subjek yang

    bertindak. Meskipun demikian, Weber menyadari bahwa suatu

    tindakan akan mengandung makna sebagaimana dimaksud oleh

    seorang atau beberapa aktor, apabila tindakan tersebut

    menjelaskan perilaku orang lain dan orientasinya juga

    dipengaruhi oleh perilaku orang lain tersebut. Dalam bahasa

    Ricoeur, tindakan dimaknai sebagai pemenuhan-pemenuhan

    dan intervensinya dalam peristiwa publik dan pengejawantahan

    publik lainnya (Kaplan 2010).

    Weber membagi tindakan manusia ke dalam empat aspek,

    yaitu tindakan rasional bertujuan, tindakan rasional bernilai,

    tindakan afektual, dan tindakan tradisional (den Doel 1988;

    Habermas 2009; Abercrombie, et al 2010).

    Tindakan rasional bertujuan dicapai melalui harapan-

    harapan seperti keadaan objek-objek di dalam dunia eksternal

    atau perilaku orang lain. Harapan-harapan ini dijadikan

    seseorang sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan,

    serta dipertimbangkan dan diupayakan secara rasional

    berdasarkan keberhasilannya.

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    381

    Tindakan rasional bernilai ditempuh melalui kepercayaan

    sadar, seperti etis, estetis, religius terhadap nilai intrinsik dan

    mutlak dari mode perilaku tertentu sebagaimana adanya dan

    terlepas dari apakah berhasil atau tidak.

    Tindakan efektual atau emosional, diperoleh melalui

    kondisi afeksi atau emosional yang tengah dialami. Perasaan

    senang atau benci pada sesuatu dapat memicu tindakan

    seseorang.

    Tindakan yang berada dalam situasi tradisional berupa

    pembiasaan praktik yang telah lama dilakukan.

    Wolfgang Schluchter (dalam Habermas 2009) menyarankan

    bahwa tipologi tindakan Weber ini dapat direkonstruksi

    menurut unsur formal tindakan rasional bertujuan. Bagi

    Schluchter, seorang aktor bertindak secara rasional bertujuan

    ketika dia memilih tujuan dari suatu cakrawala konsekuensi

    nilai yang jelas dan mengorganisasi sarana-sarana yang sesuai

    dengan mempertimbangkan konsekuensi alternatif yang

    mungkin muncul. Cakupan hal-hal yang dipertimbangkan

    aktor dalam bertindak semakin menyempit. Dalam tindakan

    rasional bernilai, konsekuensi-konsekuensi yang dipilih dari

    makna subjektif lalu diikat dengan kontrol rasional. Dalam

    tindakan afektual, konsekuensi yang dijadikan pertimbangan

    adalah konsekuensi itu sendiri dan nilai-nilai yang ada. Dalam

    tindakan berbasis tradisi, konsekuensi yang dijadikan

    pertimbangan adalah tujuan. Versi resmi dari konsep tindakan

    Weber dapat dilihat pada tabel berikut.

    Tabel 15. Tipologi Resmi Tindakan Weberian

    Jenis-jenis Tindakan menurut rasionalitas dari tertinggi hingga terendah

    Makna Subjektif mencakupi elemen-elemen berikut.

    Sarana Tujuan Nilai Konsekuensi

    Rasionalitas bertujuan + + + + Rasionalitas bernilai + + + - Afektual + + - - Tradisional + - - -

    Sumber: Habermas (2009)

  • 382

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    Dalam kajian konsep tindakan dalam versi tidak resmi,

    Weber (dalam Habermas 2009) menetapkan tindakan sosial

    pada level konseptual, dengan membedakan tindakan sosial

    dalam mekanisme koordinasi tindakan individu dan didasarkan

    pada kesepakatan normatif. Dalam mekanisme pertama,

    stabilitas relasi sosial dicapai melalui perbenturan posisi

    kepentingan secara faktual; sedangkan yang kedua, stabilitas

    interaksi sosial dicapai melalui pengakuan tambahan atas klaim

    validitas normatif. Koordinasi tindakan yang hanya terbentuk

    melalui kepentingan yang saling melengkapi dapat secara

    normatif ditata ulang dengan menambahi validitas yang

    didasarkan pada kesepakatan, seperti keyakinan bahwa perilaku

    tertentu diwajibkan oleh hukum atau konvensi (Habermas

    2009).

    C. Perspektif Teori Tindakan Parsons

    Parsons dengan mengutip Weber, menjelaskan bahwa

    tindakan seorang aktor merupakan tindakan rasional bertujuan

    atau tindakan normatif. Dalam kaitan ini, Parsons (dalam

    Habermas 2009) membedakan tindakan voluntaristik dan

    konsep normativis tentang tatanan. Dengan mengutip kata-

    kata Weber, Parsons mengatakan, “setiap refleksi mendalam

    tentang elemen-elemen hakiki dari tindakan bermakna yang

    dilakukan manusia, pada dasarnya dilakukan berdasarkan

    kategori tujuan dan sarana. Parsons mengambil struktur

    teleologis bertujuan yang terkandung dalam seluruh tindakan

    sebagai panduan dalam analisisnya tentang konsep tindakan

    sosial (Habermas 2009). Dalam model tindakan teleologis, aktor

    dipahami sebagai orang yang pada situasi tertentu menetapkan

    tujuan tertentu serta memilih dan menetapkan cara yang sesuai

    untuk mencapainya.

    Tujuan dipahami Parsons sebagai hal-hal pada masa depan

    yang ingin diwujudkan oleh sang aktor (Habermas 2009). Hal-

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    383

    hal yang mendasari keputusan aktor di antara berbagai pilihan

    sarana merupakan aturan dasar; sedangkan yang mendasari

    penetapan tujuan merupakan orientasi nilai dan norma.

    Keduanya dipadukan Parsons dalam suatu standar normatif.

    Dalam hal ini, tindakan dapat dianalisis sebagai orientasi

    tindakan yang dilakukan sang aktor dalam sebuah situasi

    tindakan.

    Kerangka konseptual tindakan Parsons memiliki dua

    implikasi.

    Pertama, model tindakan tidak hanya mengandaikan aktor memiliki kapasitas kognitif, tetapi juga menyarankan bahwa

    aktor dapat membuat keputusan yang dipandu secara normatif

    berkaitan dengan penetapan tujuan dan pemilihan sarana. Teori

    tindakan ini menurut Parsons termasuk tindakan voluntaristik.

    Kedua, konsep Parsons tentang situasi mengandaikan bahwa sarana dan syarat yang terkait dengan orientasi tindakan

    ditafsirkan dari perspektif agen sendiri. Dalam hal ini, teori

    tindakan diletakkan pada konteks subjektivitas.

    Hal ini juga diakui oleh Ricoeur, bahwa pribadi-pribadi

    merupakan tujuan dalam dirinya sendiri (Kaplan 2010). Dalam

    hal tindakan, Ricoeur juga memahami bahwa sebuah diri bukan

    fondasi mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu

    mampu berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan

    bertindak secara bertanggung jawab.

    Dalam hal orientasi tindakan, Parsons melihat dua aspek

    penting.

    Pertama, tindakan direpresentasikan sebagai proses pencapaian tujuan sembari mempertimbangkan standar

    normatif. Dalam aspek pencapaian tujuan, diperlukan upaya

    atau biaya yang berbuah hasil atau kepuasan.

  • 384

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    Kedua, pertimbangan standar normatif berupa tindakan menjembatani kesenjangan antara wilayah yang sebenarnya

    dengan wilayah yang seharusnya, antara fakta dengan nilai,

    antara kondisi situasi tertentu dengan orientasi agen. Elemen

    normatif dari suatu tindakan menurut Parsons hanya dapat

    dicapai melalui serangkaian tindakan, sebab dengan tindakan,

    norma dapat direalisasikan sepenuhnya.

    Untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana tatanan

    sosial muncul, Parsons mengkaji konsep Durkheim. Parsons

    menerima pandangan Durkheim bahwa tindakan para aktor

    hanya dapat dikoordinasi secara memuaskan berdasarkan

    norma-norma yang diakui secara intersubjektif. Parsons

    mengembangkan gagasan tentang sistem nilai yang

    mengandung imperatif moral, yang pada satu sisi terkandung

    dalam norma sosial dan di sisi lainnya terdapat pada motif aktor

    yang bertindak. Ketika diterapkan pada regulasi baku perbuatan

    dalam sejumlah kondisi yang relatif ajek, maka sistem nilai

    seperti itu terkandung dalam serangkaian aturan normatif

    (Habermas 2009).

    Aturan-aturan tersebut tidak hanya menjadi tujuan dari

    perilaku spesifik dan mata rantai dari tujuan-tujuan tersebut,

    tetapi juga mengatur secara keseluruhan atau sebagian tindakan

    individu. Pada gilirannya, proses tersebut memerlukan kontrol

    atas perilaku internal. Individu konkret normal adalah individu

    yang memiliki disiplin secara moral. Ini artinya bahwa elemen-

    elemen normatif telah terinternalisasi dalam diri individu.

    Norma-norma yang semula mengekang individu, menurut

    Parsons berubah menjadi kewajiban moral. Subjektivitas

    tindakan individu Parsons ini menerapkan konsep moral yang

    telah dikembangkan oleh Durkheim.

    Sejalan dengan Durkheim, Parsons merasa puas telah

    berhasil menemukan karakter dimensi normatif sebagai sikap di

    mana aktor yang bertindak dapat mematuhi atau melanggar

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    385

    perintah-perintah yang mengikat. Dalam hal ini, aktor

    memiliki otonomi moral, yakni kebebasan untuk mematuhi

    suatu aturan. Otonomi atau otoritas moral sebagai suatu

    tatanan, sebuah istilah yang dipinjam dari Durkheim, dalam

    bahasa Weber disebut dengan legitimasi. Tindakan aktor yang

    otonom mengacu pada konsensus nilai dan menurut Parsons,

    tindakan tersebut pasti berorientasi pada tujuan. Tatanan ini

    mensyaratkan adanya tindakan berorientasi nilai-rasional.

    Parsons (dalam Habermas 2009) mengakui bahwa tatanan sosial

    kadang juga dibentuk melalui kompromi antara kepentingan

    individu yang saling bertumpang tindih. Sembari tetap

    memiliki kepentingan individunya, aktor menyelaraskan

    kepentingannya dalam suatu tindakan terkoordinasi dalam

    sebuah tatanan sosial yang absah.

    Konsep tindakan Parsons, utamanya tindakan rasional

    bertujuan, ditafsirkan dalam kerangka alur utilitarian. Dalam

    pandangan Parsons, aktor berhadapan dengan suatu dunia

    objektif, berupa hal-hal yang terjalin dan ia memiliki

    pengetahuan empiris yang pasti tentang peristiwa dan situasi

    tempat ia berada. Empirisme mengasimilasikan subjek yang

    bertindak dan subjek yang merepresentasikan dan menilai.

    Asumsinya adalah aktor telah mengetahui fakta situasi tempat

    ia bertindak, syarat-syarat yang diperlukan dan sarana yang

    tersedia untuk merealisasikan tujuan-tujuannya. Parsons

    menyebut konsep tindakan ini sebagai tindakan rasional.

    Selanjutnya, menurut Parsons, keberhasilan tindakan bertujuan

    yang diorientasikan kepada fakta hanya diukur dari apakah

    tindakan tersebut mengarah pada tujuan atau tidak (Habermas

    2009). Selain aturan dasarnya adalah peningkatan manfaat,

    norma lain dalam model tindakan rasional bertujuan adalah

    berkaitan dengan efektivitas sarana yang dipilih atau

    berhubungan dengan efisiensi intervensi yang dilakukan.

    Konsep tindakan rasional bertujuan tidak menyediakan

    mekanisme yang digunakan oleh aktor untuk

  • 386

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    mengkoordinasikan tindakan satu dengan lainnya. Parsons

    (dalam Habermas 2009) mengintroduksi juga konsep tindakan

    strategis, yang ia sebut dengan atomistik. Apabila aktor hanya

    berhadapan dengan dunia yang ada, keputusan aktor lain hanya

    relevan baginya dari sudut pandang keberhasilannya sendiri.

    Hubungan stabil antara para aktor hanya dapat terjadi ketika

    kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam relasi sosial saling

    melengkapi dan saling menopang.

    Mengacu pada pandangan Hobbes, Parsons (dalam

    Habermas 2009) meyakini bahwa subjek atau aktor dibekali

    kemampuan untuk melakukan tindakan rasional bertujuan.

    Pencapaian kepentingan tiap-tiap individu menurut Hobbes

    akan terjebak pada perang untuk memperebutkan barang,

    karena hasrat dari tiap-tiap individu beranekaragam. Masing-

    masing aktor juga memandang bahwa keputusan setiap aktor

    lainnya merupakan sarana atau syarat untuk mewujudkan

    tujuan mereka sendiri.

    Dalam hal ini, setiap orang berusaha untuk memengaruhi

    orang lainnya. Dalam interaksi ini muncul apa yang disebut

    dengan kekuasaan. Dalil rasionalnya adalah bahwa seluruh

    manusia pasti menginginkan kekuasaan atas sesamanya. Konsep

    kekuasaan ini menempati posisi sentral dalam analisis tatanan.

    Oleh karena masyarakat terperosok ke dalam perjuangan untuk

    memperoleh kekuasaan jangka pendek, maka tujuan akhir

    berupa keinginan bersama tidak akan pernah ada. Solusi yang

    ditawarkan Hobbes adalah adanya kontrak untuk menyerahkan

    kekuasaan kepada pihak yang memiliki kekuasaan mutlak

    (Habermas 2009).

    Parsons menentang pandangan Hobbes tentang solusi

    berupa kontrak kekuasaan tersebut. Parsons yakin bahwa

    kontrak yang memberikan kepada penguasa tersebut tidak

    sejalan dengan konsep rasional bertujuan. Dua alasan berikut

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    387

    menjadi pertimbangan Parsons menolak pandangan Hobbes

    tentang kontrak kekuasaan.

    Pertama, realisasi kontrak biasanya dijalankan dengan menggunakan paksaan dan penipuan.

    Kedua, paksaan dan penipuan tersebut tidak sesuai dengan hakikat rasional bertujuan yang lebih banyak bersifat persuasif.

    Berbeda dengan pandangan Hobbes yang memerlukan

    suatu kekuatan tertentu untuk membatasi perilaku alamiah

    manusia yang cenderung egois, Locke percaya bahwa setiap

    manusia memiliki kesetaraan dan kebebasan serta mereka

    memiliki kewajiban resiprokal untuk mengakui setiap orang

    dan mereka bersedia mengorbankan kepentingan sesaatnya.

    Sikap tunduk pada kekuasaan mutlak harus didasarkan pada

    konsensus normatif, bukan pada paksaan. Normalah yang

    menjadi pembatas tindakan aktor yang dikendalikan oleh

    kepentingan diri. Pembatasan tersebut berlangsung melalui

    orientasi terhadap nilai. Orientasi tindakan individu mengarah

    pada nilai-nilai yang mengikat. Dengan mengacu pada nilai-

    nilai atau kesepakatan normatif, maka tindakan bertujuan yang

    berorientasi pada nilai akan berjalan seiring dengan tatanan

    yang mengintegrasikan nilai.

    Tatanan sosial yang dipahami Parsons merupakan struktur

    sosial. Dalam struktur sosial ini, suatu masyarakat dapat

    terorganisasi dalam hubungan-hubungan yang dapat

    diramalkan melalui pola perilaku yang berulang antarindividu

    dan antarkelompok. Sementara itu, sistem sosial sebagai bagian

    dari struktur sosial dipahami Parsons sebagai sejumlah aktor

    individual yang saling berinteraksi dalam situasi yang sekurang-

    kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik, aktor-aktor

    yang memiliki motivasi, dalam arti mempunyai kecenderungan

    untuk mengoptimalkan kepuasan yang berhubungan dengan

    situasi yang didefinisikan dan dimediasi dalam simbol bersama

    yang terstruktur secara kultural (Martono 2011:50).

  • 388

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    Tidak semua sistem sosial dapat berfungsi dengan baik.

    Agar sistem sosial dapat bekerja dengan baik dalam kondisi

    stabil, maka ada empat fungsi terintegrasi yang harus

    dijalankan. Empat fungsi itu adalah adaptation atau adaptasi (A), goal attainment atau pencapaian tujuan (G), integration atau integrasi (I), dan latent pattern maintenance atau pemeliharaan pola-pola laten (L) (Kinloch 2005). Keempat

    fungsi tersebut terkenal dengan singkatan AGIL.

    Fungsi adaptasi dari sistem dilakukan dengan cara

    menyesuaikan diri dengan lingkungan sekaligus menyesuaikan

    lingkungan dengan kebutuhannya. Fungsi adaptasi meupakan

    fungsi organisme atau sistem organis tingkah laku. Dalam

    fungsi pencapaian tujuan, sistem harus dapat mendefinisikan

    dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Fungsi ini disebut

    juga fungsi kepribadian. Dalam hal integrasi, sistem harus

    mampu mengatur dan menjaga hubungan bagian-bagian yang

    menjadi komponennya. Sistem juga harus mampu menjalankan

    fungsi untuk memelihara pola, termasuk juga dalam

    memelihara dan memperbaiki motivasi pola-pola individu dan

    kultural. Fungsi yang terakhir dari sistem tersebut adalah

    pemeliharaan pola-pola laten.

    D. Resistensi PKL sebagai Tindakan Rasional

    Pandangan Giddens, Weber, dan Parsons mengenai

    tindakan aktor atau subjek individual tidak jauh berbeda.

    Mereka meyakini bahwa tindakan aktor dalam suatu aktivitas

    tertentu merupakan tindakan rasional atau tindakan rasional

    bertujuan. Tindakan aktor tersebut cenderung untuk mengejar

    kepentingan mereka masing-masing. Namun tindakan aktor

    tidak akan berlangsung jika tidak berada dalam suatu struktur

    sosial tertentu, di mana masing-masing aktor berinteraksi satu

    dengan lainnya.

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    389

    Pedagang kaki lima (PKL) resisten terhadap Pemkot

    Semarang merupakan tindakan yang disadari dan memiliki

    tujuan, agar mereka tetap diizinkan berdagang di lokasi guna

    memenuhi keperluan hidup hidup sehari-hari. PKL seperti

    halnya kelas bawah lainnya sesungguhnya tidak memiliki

    keberanian melawan pemerintah atau negara, tetapi

    sebagaimana dikemukakan Paige, intervensi dari luar

    berpotensi menggerakkan kelas bawah dalam suatu bentuk

    perlawanan tertentu (Alisjahbana 2006). Dukungan dari

    PPKLS, LBH, dan organisasi lainnya, menguatkan nyali PKL

    melawan Pemkot. Semua itu mereka lakukan agar mereka

    dapat bekerja di tempat yang bagi mereka mudah untuk

    memperoleh penghasilan, sehingga mereka dapat menghidupi

    keluarganya. Dengan bekerja, kelangsungan hidup mereka

    dapat terjaga. Gambaran tentang bagaimana PKL resisten

    terhadap pemerintah dan apa tujuan mereka bertindak resisten

    dapat dilihat pada gambar berikut.

    Gambar 56. Tindakan PKL sebagai Tindakan Bertujuan

    Tindakan PKL disadari dan bertujuan

    Resistensi PKL Kebijakan

    Pemerintah yang

    tidak akomodatif PKL Bertahan

    Hidup (Survive)

    Dukungan dari Organisasi atau Lembaga Swadaya

    Masyarakat

  • 390

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    Di Semarang terdapat dua tempat untuk menampung para

    pedagang kaki lima (PKL) yang bersedia dipindah atau

    direlokasi, yaitu di Kokrosono dan Pasar Waru, tetapi mengapa

    PKL menolak direlokasi atau menolak perubahan terhadap

    dirinya. Banyak aspek, faktor, atau alasan mengapa PKL tidak

    bersedia dipindah dan mereka melawan ketika digusur. Dari

    penelitian yang telah dilakukan, faktor-faktor yang membuat

    PKL menolak direlokasi atau melakukan perlawanan ketika

    digusur dan dipindah adalah (1) adanya pengalaman buruk

    ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah menikmati zona aman

    (comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak pemkot dengan PKL, (4)

    PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL dikendalikan oleh sikap

    self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti pendapatan, (7) PKL takut

    mengalami kegagalan di tempat yang baru, (8) PKL merasa

    tidak memiliki pilihan lain kecuali berdagang di lokasi tersebut,

    (9) PKL merasa terancam pekerjaannya, (10) resiko di tempat

    baru lebih besar daripada resiko yang ditanggung ketika masih

    berada di lokasi semula.

    Respon-respon dari yang ditunjukkan oleh PKL

    Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono, semuanya adalah untuk

    kepentingan bertahan hidup (survive) atau paling tidak untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari. Memang ada di antara

    PKL yang diteliti, tidak sekedar bertahan hidup. Di Kokrosono

    yang lokasinya tidak layak untuk berdagang, karena tempatnya

    berada di pinggir sungai, kumuh, kotor, dan bau ketika hujan,

    terdapat dua orang pedagang yang sukses menekuni pekerjaan

    sebagai pedagang kaki lima. Demikian pula, di Sampangan, ada

    seorang pedagang gado-gado yang cukup sukses secara

    ekonomi, meskipun ia mengalami penggusuran di tempat di

    mana ia berjualan. Pedagang kaki lima yang sukses juga ditemui

    di bundaran Simpang Lima. Namun demikian, sebagian besar

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    391

    PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi di Sampangan,

    Basudewo, Kokrosono, dan di tempat lainnya hidup sebagai

    PKL hanya cukup untuk bertahan hidup atau menjaga

    kelangsungan hidupnya.

    Tindakan PKL melawan Pemerintah kota Semarang dapat

    dipahami dalam konteks tindakan individual dan tindakan

    kolektif. Dalam hal tindakan individual, konsep aktor atau agen

    dari Giddens dapat menjelaskan mengapa PKL bersikap resisten

    terhadap kebijakan yang diambil Pemkot. Sebagaimana

    dikatakan Giddens bahwa aktor atau agen memiliki kesadaran

    (kognitif) terhadap apa yang mereka lakukan, artinya mereka

    tahu apa yang akan dan telah dilakukan. Tindakan agen

    tersebut memang sengaja dilakukan, di dalamnya ada unsur

    kehendak dan kebebasan (Moya 1990). Tindakan tersebut

    merupakan tindakan rasional. Tindakan tersebut tentu sengaja

    dilakukan, tidak secara kebetulan. Masih adanya beberapa PKL

    yang nekat berdagang di Basudewo, di Kokrosono, dan

    beberapa tempat lainnya, menunjukkan bahwa para PKL

    memang sadar mengenai apa yang dilakukan, dan mereka pun

    siap menanggung resiko ketika harus ditertibkan petugas Satpol

    PP kota Semarang.

    PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak

    patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot

    Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan

    rasional, karena apa yang mereka lakukan telah disadari betul,

    sebab jika mereka tidak melakukan perlawanan, mereka tidak

    bisa melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi

    keluarganya. Tindakan PKL tersebut juga disengaja dilakukan,

    karena mereka juga menyadari akan resiko yang akan

    ditanggungnya. Para PKL ini bertindak melawan pemerintah,

    karena memiliki alasan-alasan tertentu yang bagi mereka

    rasional, di antaranya mereka khawatir jika pindah di tempat

    baru akan kehilangan atau kekurangan pendapatan. Pak Haji

    Mustaqim merupakan salah satu contoh PKL Kokrosono liar

  • 392

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    yang semula sudah pindah ke sentra PKL Kokrosono, tetapi

    karena dagangan sepi, pak Haji kembali berjualan di tepi sungai

    Banjir Kanal Barat. Agar diizinkan berjualan di tepi sungai

    Banjir Kanal Barat tersebut, pak Haji bersedia membayar kalau

    diperlukan. Ketika diwawancarai, pak Haji berujar:

    “membayar sepuluh juta pun saya mau pak, asalkan

    diperbolehkan berjualan di sini (tepi jalan)”. Hal ini juga diakui

    pak Mul, “kalau harus membayar…saya siap pak…asal boleh

    berdagang di sini”.

    Sikap resisten dan tindakan PKL melawan pemerintah, dari

    sisi agen merupakan tindakan manusia yang di dalamnya

    terlekat makna subjektif (Weber) atau bersifat individual.

    Tindakan melawan, dalam arti tetap bertahan di lokasi untuk

    berjualan sebagaimana diperlihatkan PKL Kokrosono

    merupakan tindakan subjektif. Para PKL menggunakan taktik

    run and back, merupakan contoh tindakan subjektif dan ini rasional bagi mereka.

    Tipe tindakan rasional bertujuan Weber juga dapat

    menjelaskan mengapa PKL resisten terhadap Pemkot. Para PKL

    tetap bertahan di lokasi memang disengaja dengan tujuan agar

    Pemkot memperhatikan nasib dan masa depan PKL yang

    berjualan di tepi sungai, yakni dengan mendirikan tempat yang

    layak bagi mereka untuk berdagang, meski kenyataannya hal

    itu tidak sesuai dengan harapan para PKL. Pemkot tetap pada

    pendiriannya, yaitu menertibkan, menggusur, dan

    memindahkan PKL sebagaimana dialami PKL Basudewo.

    Tindakan melawan yang dilakukan PKL juga dapat dipahami

    dari aspek tindakan rasional bernilai dari Weber.

    Para PKL tetap bertahan di lokasi untuk berjualan sadar

    betul bahwa apa yang mereka lakukan memang tidak benar,

    tetapi mereka juga mengakui bahwa mereka terpaksa harus

    berdagang di tempat tersebut karena selama ini dagangan

    mereka ramai dikunjungi pembeli dan jika pindah belum tentu

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    393

    dagangannya laku. Kenikmatan pada zona aman (comfort zone) ketika berada di lokasi lama, membuat PKL bersikukuh

    bertahan di lokasi. Dalam hal tindakan kolektif, para PKL

    bertahan di lokasi karena tindakan mereka sudah terkoordinasi,

    seperti yang terlihat pada tindakan kolektif PKL Sampangan

    dan PKL Basudewo.

    Adanya kesepakatan bersama (normatif) dari PKL untuk

    tetap bertahan di lokasi hingga tuntutan mereka dikabulkan

    Pemerintah kota, membuat tindakan individual PKL

    bertransformasi menjadi tindakan kolektif. Tindakan kolektif

    ini terwujud dalam bentuk menghalangi petugas yang akan

    menggusur mereka, memblokade jalan, pawai menuju Kantor

    Balaikota, dan berdemonstrasi. Kekuatan kolektif inilah yang

    membuat para individu PKL berani melawan dan tidak patuh

    terhadap kebijakan relokasi yang ditempuh oleh Pemkot

    Semarang.

    Tindakan individual PKL juga dapat dipahami dalam

    konteks teori tindakan Parsons. Teori tindakan Parsons mirip

    dengan teori tindakan Weber, di mana aktor bertindak rasional,

    subjektif, dan cenderung mengutamakan kepentingan diri

    sendiri (self-interest). Parsons setuju dengan konsep tindakan rasional bertujuan dari Weber, di mana tindakan memiliki

    tujuan-tujuan tertentu dan mengandaikan adanya sarana untuk

    mencapai tujuan tersebut. Para PKL bertindak melawan

    Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan

    mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika

    ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional

    bertujuan, karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya

    laku.

    Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten

    tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota

    Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota

    Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL

  • 394

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para

    PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama

    dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti Lembaga

    Bantuan Hukum, Pattiro, Organisasi Mahasiswa, dan lain-lain.

    Organisasi dan jejaring yang dibangun PKL yang terkena

    kebijakan relokasi ini digunakan para PKL untuk mewujudkan

    tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi semula.

    PKL Sampangan berhasil mewujudkan tujuannya, yakni

    tetap berdagang di lokasi semula, meskipun tempat

    berdagangnya sedikit bergeser ke arah selatan. PKL Basudewo

    bertahan di lokasi, hingga akhirnya pindah pada awal tahun

    2011. PKL Kokrosono (liar) tidak pindah, tetap bertahan untuk

    berjualan di tepi sungai Banjir Kanal Barat. Keberhasilan

    gerakan rakyat kecil ini sejalan dengan hasil temuan Roever

    (2005) yang menunjukkan bahwa rakyat miskin dalam situasi

    tertentu berhasil memobilisasi dan mendesakkan tuntutan

    mereka. Aktivitas PKL Basudewo yang masih berjalan hingga

    akhir Desember 2010 dan kegiatan kuliner PKL Sampangan

    yang masih berlangsung hingga kini merupakan contoh dari

    keberhasilan tindakan kolektif PKL.

    Tindakan para PKL untuk tetap bertahan di lokasi di mana

    mereka berjualan sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan

    memang memerlukan upaya dan biaya yang tidak kecil (bagi

    ukuran PKL) seperti yang diperlihatkan oleh PKL Basudewo.

    Perjuangan PKL Basudewo selama dua tahun, yaitu tahun 2009

    sampai dengan 2010 membutuhkan energi yang luar biasa dari

    para PKL, tidak hanya uang, tetapi tenaga, waktu, dan pikiran.

    Buah dari kerja keras itu adalah mereka tetap dapat bertahan

    berjualan di lokasi, di tengah-tengah ancaman preman dan

    tindakan kekerasan dari aparat pemerintah, seperti Satpol PP

    dan Kepolisian.

    Sebagai aktor yang bertindak individual dalam kaitannya

    dengan posisinya sebagai pedagang yang cenderung

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    395

    mengutamakan self-interest, tindakan para PKL juga dapat dikoordinasi berdasarkan norma-norma intersubjektif, yakni

    oleh paguyuban internal yang mereka bangun, seperti yang

    dimiliki PKL Basudewo. Sebagaimana dikemukakan Durkheim,

    bahwa dengan adanya paguyuban, ada imperatif moral dari

    sistem nilai bersama yang menegaskan adanya aturan normatif

    yang berfungsi mengontrol perilaku anggota PKL sebagai aktor.

    Salah satu contoh dari nilai bersama yang disepakati para

    PKL adalah ketika PKL Basudewo bersepakat untuk tetap

    bertahan di lokasi. Dalam rapat yang diselenggarakan pada hari

    Minggu tanggal 23 Mei 2010, para PKL bersepakat untuk turun

    ke jalan menemui walikota Semarang pada tanggal 25 Mei

    2010, dengan tujuan agar mereka diberi kesempatan untuk

    tetap dapat berdagang di Basudewo. Jumlah mereka yang

    berangkat turun ke jalan adalah 65 orang PKL, dengan

    didampingi beberapa orang dari Lembaga Bantuan Hukum

    (LBH) Semarang. Untuk kepentingan aksi ini, PKL bersepakat

    membayar iuran sebesar Rp10.000,00 per orang. Para PKL yang

    ingin tetap dapat berdagang di Basudewo harus bersedia

    bergabung dan bekerja bersama dalam paguyuban yang telah

    mereka bentuk. Norma yang disepakati, di antaranya

    membayar iuran Rp10.000,00 setiap diadakan rapat, harus hadir

    jika diundang rapat, dan tidak berjualan pada saat mengadakan

    aksi ke jalan, merupakan norma yang seakan-akan mengekang

    hak individual PKL.

    Rasa solidaritas terhadap perjuangan paguyuban PKL

    Basudewo, menyebabkan banyak anggota PKL yang turut

    bergabung dalam tindakan kolektif yang diinisiasi oleh

    paguyuban. Mereka merasa kewajiban tersebut tidak

    dipaksakan, tetapi merupakan kewajiban moral yang harus

    ditanggung bersama. Rapat PKL dalam rangka

    memperjuangkan tujuan untuk dapat berdagang di lokasi lama,

    telah dilakukan PKL Basudewo tidak kurang dari 20 kali selama

    tahun 2010-2011. Dari komitmen dan aktivitas PKL Basudewo

  • 396

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    menunjukkan bahwa anggota PKL sebagai aktor individu dapat

    menyelaraskan kepentingannya dalam suatu tatanan sosial

    sebagaimana dikehendaki oleh paguyuban PKL Basudewo.

    Selaras dengan pandangan Parsons, PKL sebagai aktor

    menyadari apa yang mereka lakukan, yaitu bekerjasama untuk

    kepentingan bersama, agar PKL tetap diizinkan berdagang di

    lokasi yang selama ini mereka tempati.

    Tindakan PKL dalam konteks individual juga dapat

    dipahami dari pandangan Ricoeur. Sebagaimana diungkapkan

    Ricoeur bahwa sebuah diri seorang subjek bukan fondasi

    mutlak, melainkan sebuah diri yang mampu, yaitu mampu

    berbicara, bertindak, memperhitungkan diri, dan bertindak

    secara bertanggung jawab (Kaplan 2010). Pedagang kaki lima

    (PKL) dalam pandangan Ricoeur ini juga merupakan aktor yang

    mampu berbicara, meskipun kebanyakan pendidikannya tidak

    tamat SMA, dan bertindak untuk merealisasikan

    kebutuhannya.

    Mereka berdagang di tempat terlarang, memang mereka

    akui salah, tetapi tidak ada pilihan lain bagi mereka selain

    berdagang meskipun harus menempati lokasi yang dilarang

    oleh ketentuan Peraturan Daerah. Mereka sudah

    memperhitungkan segala sesuatunya, termasuk ketika harus

    menerima resiko digusur dari tempat di mana mereka

    berjualan. Mereka sejatinya juga bertanggung jawab atas apa

    yang mereka lakukan. PKL Sampangan misalnya, selesai

    berdagang pasti juga membersihkan kotoran dan sampah yang

    timbul akibat dari usaha perdagangan mereka. Demikian pula,

    yang dilakukan oleh PKL Basudewo dan Kokrosono. Apabila

    mereka diberi otonomi dan kepercayaan untuk mengelola

    aktivitasnya, tidak digusur dari tempatnya, atau bahkan

    didukung dengan dibuatkan tempat untuk berdagang yang

    layak, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan bertanggung

    jawab terhadap apa-apa yang telah diberikan oleh pemerintah

    kepadanya.

  • BAB VIII

    RESISTENSI PKL DALAM PERSPEKTIF TEORI TINDAKAN

    397

    E. Rangkuman

    Kebijakan Pemkot Semarang merelokasi PKL dengan cara-

    cara represif, direspon PKL dengan tindakan resisten. Resistensi

    merupakan suatu sikap, respon atau reaksi yang dilakukan

    individu atau sekelompok individu untuk menolak, menentang,

    dan melawan setiap perintah, aturan, dan kebijakan pihak lain

    atau pihak yang memegang otoritas. Relokasi atau pemindahan

    ke lokasi baru bagi PKL merupakan sebuah ancaman akan

    posisi status quo mereka yang selama ini sudah dapat

    menikmati aktivitasnya sebagai PKL. Relokasi juga dipandang

    oleh PKL sebagai perubahan terhadap posisi dan prospek hidup

    mereka, yang belum tentu memberi jaminan dengan

    kepindahannya di tempat baru, mereka akan menikmati hidup

    lebih baik. Inilah yang menyebabkan para PKL bersikap

    resisten ketika ditertibkan, digusur, dan dipindahkan.

    Faktor-faktor yang membuat PKL menolak direlokasi atau

    melakukan perlawanan ketika digusur dan dipindah adalah (1)

    adanya pengalaman buruk ketika PKL dipindah, (2) PKL sudah

    menikmati zona aman (comfort zone) di lokasi di mana mereka berdagang, (3) komunikasi yang buruk antara pihak Pemkot

    dengan PKL, (4) PKL tidak terlibat secara fair dalam pengambilan keputusan yang menyangkut diri mereka, (5) PKL

    dikendalikan oleh sikap self interest, (6) PKL khawatir di tempat baru akan kehilangan sesuatu yang bernilai, seperti

    pendapatan, (7) PKL takut mengalami kegagalan di tempat yang

    baru, (8) PKL merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali

    berdagang di lokasi tersebut, (9) PKL merasa terancam

    pekerjaannya, (10) resiko di tempat baru lebih besar daripada

    resiko yang ditanggung ketika masih berada di lokasi semula.

    PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) tidak

    patuh dan tidak mau tunduk kepada kebijakan Pemkot

    Semarang untuk merelokasi mereka merupakan tindakan

    rasional, sebagaimana pandangan Giddens, karena apa yang

  • 398

    Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang

    mereka lakukan telah disadari betul. Jika mereka tidak

    melakukan perlawanan, mereka khawatir tidak bisa

    melanjutkan pekerjaan dan mencari nafkah bagi keluarganya.

    Para PKL ini bertindak melawan pemerintah, karena memiliki

    alasan-alasan tertentu yang bagi mereka rasional, misalnya

    mereka khawatir jika pindah di tempat baru akan kehilangan

    atau kekurangan pendapatan. Para PKL bertindak melawan

    Pemkot Semarang dengan sikap tetap bertahan di lokasi dan

    mempertahankan lapak dan barang-barang dagangan ketika

    ditertibkan dan digusur, merupakan tindakan rasional

    bertujuan, sebagaimana diintroduksi Weber dan Parsons,

    karena mereka bertahan di lokasi agar dagangannya laku dan

    pembelinya tidak lari ke tempat lain.

    Sarana yang digunakan untuk menguatkan sikap resisten

    tersebut adalah dengan bersandar pada organisasi PKL di kota

    Semarang, yaitu Paguyuban Pedagang Kaki Lima kota

    Semarang (PPKLS) dan membentuk organisasi intern PKL

    seperti yang dilakukan oleh PKL Basudewo. Selain itu, para

    PKL di bawah kepemimpinan pak Achmad menjalin kerjasama

    dan berjejaring dengan organisasi lain, seperti LBH, Pattiro,

    Organisasi Kemahasiswaan, dan lain-lain. Organisasi dan

    jejaring yang dibangun PKL digunakan para PKL untuk

    mewujudkan tujuannya, agar tetap dapat berjualan di lokasi

    yang selama ini mereka gunakan untuk berdagang dan

    melakukan aktivitas ekonomi lainnya.