bab vii penataan pkl di surakarta dan semarang …

48
323 BAB VII PENATAAN PKL DI SURAKARTA DAN SEMARANG Peraturan daerah (Perda) dan Peraturan walikota merupakan wujud kebijakan yang digunakan oleh pemerintah kota untuk mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima. Isi Perda yang mengatur tentang pedagang kaki lima antara daerah yang satu dengan lainnya tidak jauh berbeda, namun karakter kepemimpinan dan kultur masyarakat daerah yang membedakan bagaimana pemerintah kota mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan eksistensi pedagang kaki lima. Demikian pula, akan tampak dalam uraian berikut bagaimana perbedaan implementasi kebijakan yang diambil oleh pemerintah kota Surakarta dan pemerintah kota Semarang dalam mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima. Dalam uraian juga akan dapat diketahui hambatan apa saja yang dialami pemerintah dalam menata pedagang kaki lima (PKL), serta apa dampak dari penataan tersebut terhadap nasib dan masa depan pedagang kaki lima (PKL). A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan Semarang Hampir semua kepala daerah, bupati dan walikota di Indonesia merasakan bahwa keberadaan pedagang kaki lima (PKL) yang makin marak, merupakan persoalan pelik yang tidak mudah diatasi. Para PKL umumnya melakukan aktivitas di tempat-tempat publik, seperti trotoar, taman, tepi jalan, tanah kosong, tepi bantaran sungai, alun-alun, depan kantor pemerintah, depan sekolah, dan tempat-tempat strategis lainnya. Banyak ruang publik berubah fungsi yang tidak sesuai

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Eksistensi Pedagang Kaki Lima Studi Tentang Kontribusi Modal Sosial Terhadap Resistensi PKL di Semarang merupakan wujud kebijakan yang digunakan oleh pemerintah
kota untuk mengatur, menata, dan membina pedagang kaki
lima. Isi Perda yang mengatur tentang pedagang kaki lima
antara daerah yang satu dengan lainnya tidak jauh berbeda,
namun karakter kepemimpinan dan kultur masyarakat daerah
yang membedakan bagaimana pemerintah kota
mengimplementasikan kebijakan yang berkaitan dengan
eksistensi pedagang kaki lima.
bagaimana perbedaan implementasi kebijakan yang diambil
oleh pemerintah kota Surakarta dan pemerintah kota Semarang
dalam mengatur, menata, dan membina pedagang kaki lima.
Dalam uraian juga akan dapat diketahui hambatan apa saja yang
dialami pemerintah dalam menata pedagang kaki lima (PKL),
serta apa dampak dari penataan tersebut terhadap nasib dan
masa depan pedagang kaki lima (PKL).
A. Kebijakan dan Strategi Penataan PKL di Surakarta dan
Semarang
Indonesia merasakan bahwa keberadaan pedagang kaki lima
(PKL) yang makin marak, merupakan persoalan pelik yang
tidak mudah diatasi. Para PKL umumnya melakukan aktivitas
di tempat-tempat publik, seperti trotoar, taman, tepi jalan,
tanah kosong, tepi bantaran sungai, alun-alun, depan kantor
pemerintah, depan sekolah, dan tempat-tempat strategis
lainnya. Banyak ruang publik berubah fungsi yang tidak sesuai
324
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dengan peruntukannya, karena ditempati PKL untuk berdagang
dan menjalankan usahanya. Akibatnya, lingkungan yang
ditempati PKL menjadi kumuh, bau, semrawut, sumpek, tidak
sedap dipandang mata, dan tidak jarang mengganggu arus lalu
lintas. Kenyamanan pengguna ruang publik, baik pejalan kaki
maupun pengemudi sepeda motor dan mobil menjadi terganggu
pula. Kondisi inilah yang menyebabkan bupati dan walikota
yang menghadapi masalah PKL, membuat kebijakan penataan
dan penertiban PKL, tidak terkecuali adalah walikota Surakarta
dan Semarang.
menjadi tempat persinggahan serta arus manusia dan kendaraan
yang menuju dari dan ke kota-kota sekitarnya, seperti
Sukoharjo, Karanganyar, Sragen, Purwodadi, Wonogiri,
Pacitan, Klaten, Yogyakarta, Boyolali, Salatiga, dan Semarang.
Tidak seperti halnya di Semarang, jalan-jalan di Surakarta,
kecuali jalan Slamet Riyadi, merupakan jalur lalu lintas yang
sangat padat. Para pedagang dan jenis usaha sektor informal
lainnya, tumpah ruah menempati tepi jalan, berdesak-desakan
dengan toko-toko di sekitarnya. Mall-mall dan pasar swalayan,
seperti Grand Mall, Matahari, dan lain-lain, tidak luput pula
dari kerumunan para PKL yang ingin mencari rezeki dari
tempat keramaian.
Alun-alun kota Surakarta dan pasar Klewer juga padat
dijejali PKL, baik yang berdagang makanan dan minuman,
maupun yang menjual pakaian dan kerajinan. Kendaraan pun
bahkan sering kali padat merayap, sulit masuk dan ke luar dari
area alun-alun hingga pasar Klewer, karena tepi jalan di kanan
maupun kirinya, banyak dipakai oleh PKL untuk berdagang.
Bagi para wisatawan kuliner atau batik yang pernah singgah ke
pasar Klewer, pasti akan merasakan kesumpekan dan
ketidaknyamanan, akibat dari berjubelnya para pedagang yang
325
meluber hingga menjorok ke bahu atau tengah jalan. Tetapi,
apakah mereka akan diusir atau digusur.
Demi keindahan kota dan kenyamanan warga kota, sudah
semestinya pemerintah layak mengusir mereka. Jika hanya
berpedoman pada Perda tentang PKL, sudah seharusnya PKL
ditertibkan, dilarang, dan digusur dari lokasi-lokasi tersebut,
karena menempati lokasi yang tidak sesuai dengan
peruntukannya. Namun hal lain yang harus menjadi
pertimbangan sebelum mengambil keputusan adalah masa
depan PKL. Pak Joko Widodo, walikota Surakarta, melihatnya
dari sisi lain, yaitu aspek kemanusiaan. “Rocker juga manusia”,
kata Candil, pentolan “Band Serius”. PKL juga manusia, bukan
barang atau patung yang dengan mudahnya dapat dipindah ke
sana kemari.
dilema. Di satu sisi, para PKL yang beraktivitas di lahan-lahan
yang terlarang, sebagian terbesar adalah untuk mencukupi
kebutuhan hidup sehari-hari diri dan keluarganya. Pada sisi
lainnya, pemerintah ingin agar kota bersih, indah, tertib, rapi,
dan nyaman. Kebijakan menggusur PKL jelas akan berhadapan
dengan keterbatasan yang dimilikinya, yaitu terbatasnya
kemampuan pemerintah menyediakan lapangan kerja bagi
warga kota maupun pendatang. Untuk menata PKL, Pemkot
Surakarta mempertimbangkan semua hal, termasuk keinginan
memberdayakan PKL dalam rangka menghidupkan dan
mengembangkan ekonomi kerakyatan.
tercatat ada 5.817 PKL, (2) banyaknya fasilitas umum ruang
publik yang digunakan oleh PKL, (3) kesemrawutan lalu lintas
di lokasi-lokasi kawasan PKL, (4) permasalahan sosial dan
ekonomi, (5) makin dirasakan perlunya ruang hijau dan ruang
326
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
terbuka untuk perbaikan kualitas lingkungan, serta (6)
keinginan dan desakan dari masyarakat untuk pelaksanaan
penataan dan penertiban ruang usaha bagi PKL (Badan
Informasi dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).
Program penataan PKL ini juga merupakan realisasi dari
program prioritas walikota dan wakil walikota Surakarta, Ir. H.
Joko Widodo dan Fx. Hadi Rudyatmo, yang ingin
mengembalikan Surakarta sebagai kota yang bersih, sehat, rapi,
dan indah atau terkenal dengan motto “Surakarta Berseri”.
Dalam penataan PKL, pemerintah kota Surakarta menyadari
bahwa PKL merupakan bagian tak terpisahkan dari
perekonomian daerah. Penataan PKL ini oleh pemerintah kota,
dimaksudkan untuk memberikan kepastian usaha kepada para
PKL, sehingga diharapkan mereka dapat hidup dengan layak
dan perekonomian kerakyatan dapat tumbuh dan berkembang.
Ruang publik, yang semula digunakan oleh para PKL, setelah
penataan, diharapkan dapat dikembalikan peruntukannya
seperti semula, sehingga dapat diwujudkan tata ruang kota yang
harmonis.
kantong-kantong PKL, yang pelaksanaannya dilakukan melalui
lima strategi.
tersedia lahan di lokasi dan jumlah PKL banyak.
Kedua, shelter knock down, yaitu PKL dibuatkan shelter
jika di lokasi masih tersedia lahan.
Ketiga, tendanisasi, yakni pemberian tenda kepada PKL,
yang diperuntukkan pada PKL pada wilayah yang lahannya
tersedia dan dioperasikan pada malam hari.
Keempat, gerobakisasi, yakni pemberian gerobak kepada
PKL pada wilayah yang lahannya tidak tersedia untuk selter
327
dan tenda. Gerobak ini bersifat mobile, dapat dipindahkan
setiap saat.
untuk seluruh PKL yang ada di kota Surakarta, meskipun
hingga sejauh kini belum semua dapat dijalankan.
Jumlah PKL di Surakarta yang terdata oleh Pemkot
sebanyak 5.817 orang pedagang (Badan Informasi dan
Komunikasi Pemkot Surakarta 2007). Secara sistematis dan
menggunakan skala prioritas, PKL sebanyak itu akan ditata
pemerintah. Dari 5.817 orang pedagang kaki lima tersebut,
yang sudah berhasil ditata dengan menggunakan pendekatan
atau strategi penataan PKL kota Surakarta ada 989 PKL. Mereka
adalah PKL yang beraktivitas di Monumen Banjarsari (Monjari)
yang kemudian direlokasi ke pasar Klitikan Notoharjo
Semanggi. Sebelum direlokasi, wilayah Monumen Banjarsari
sebagai area publik kumuh dan semrawut. Monumen Banjarsari
(Monjari) dahulu adalah tempat yang nyaman bagi warga
Surakarta untuk berolahraga atau beristirahat. Anak-anak yang
sekolahnya berdekatan dengan monumen juga sering
menggunakan tempat tersebut untuk berolahraga. Area
monumen yang asri sesungguhnya juga digunakan sebagai salah
satu paru-paru kota Surakarta, karena kehijauannya yang
terjaga dengan baik.
monumen. Mereka mendirikan lapak dan berdagang di sana.
Lama kelamaan jumlahnya bertambah banyak dan menurut
catatan pemerintah kota Surakarta, jumlahnya mencapai 989
PKL. Jenis barang-barang yang diperdagangkan di monumen
tersebut adalah alat dan perlengkapan mobil dan sepeda motor,
aki, ban, sandal dan sepatu, helm, aneka elektronik, alat
328
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
pertanian, pakaian, handphone, alat bangunan, barang-barang
antik, las, cat, kaset/CD, barang-barang bekas, serta makanan
dan minuman.
Masyarakat Mandiri jalan Bali, Pengin Maju, Roda-2, PKL 2000,
PKL Sumber Urip, PKL Sumber Rejeki, PKL Guyub Rukun A,
PKL Guyub Rukun B, dan PKL non Paguyuban.
Desakan untuk mengembalikan monumen Banjarsari sesuai
peruntukannya datang dari berbagai kalangan masyarakat.
Menanggapi tuntutan tersebut, pemerintah kota Surakarta
menyediakan layanan hotline pesan singkat dengan cara
mengirim SMS ke Walikota melalui nomor 0817441111 dan ke
nomor Wakil Walikota 0817442222. Beberapa SMS yang
pernah terkirim ke Pemkot Surakarta di antaranya berbunyi
“Kami merindukan suasana seperti dahulu”, Mohon kepada bapak Walikota agar menata PKL Banjarsari”, Tempat yang dahulu indah kini jadi kumuh”, dan masih banyak SMS lainnya
yang sejenis (Badan Informasi dan Komunikasi Pemkot
Surakarta 2007).
mengembalikan fungsi Monumen Banjarsari tidak hanya
karena adanya desakan dari warga masyarakat, tetapi juga
karena Monumen Banjarsari merupakan situs sejarah yang
harus dilestarikan dan kawasan monumen merupakan wilayah
resapan air dan ruang terbuka. Berbagai pertimbangan itulah
yang melatarbelakangi mengapa Pemerintah Kota Surakarta
memilih kebijakan untuk merelokasi PKL Monumen Banjarsari
ke tempat lain, tanpa mengorbankan kepentingan
kelangsungan usaha PKL. Relokasi yang dilakukan oleh Pemkot
Surakarta tidak dimaksudkan untuk meminggirkan para PKL,
329
tetapi lebih kepada pemberian kepastian akan kelangsungan
usaha, sekaligus memberi rasa aman kepada para PKL.
Rencana Pemkot Surakarta merelokasi para PKL monumen
Banjarsari pada tahun 2005 sempat ditolak oleh sebagian PKL.
Mereka menolak rencana Pemkot, karena mereka ragu apakah
Pemkot mampu “membersihkan” kawasan Monumen
Banjarsari pasca relokasi. Demikian pula, para PKL juga
meragukan keberanian Pemkot untuk bertanggungjawab
mengenai kelangsungan usaha PKL di Semanggi pasca relokasi.
Kelompok PKL lainnya cenderung setuju jika Pemkot hanya
melakukan penataan atas masalah maraknya PKL di Monumen
Banjarsari, tidak dengan memindahkan mereka.
Meskipun ada ketidaksetujuan dan penentangan dari
sebagian PKL, Pemkot tetap berketetapan hati untuk
merelokasi mereka, meskipun ada sebagian PKL yang
mengancam akan turun ke jalan. Walikota Surakarta
menegaskan bahwa kebijakan relokasi tetap akan dijalankan,
karena Pemkot sudah berbuat banyak kepada PKL, sehingga
tidak alasan bagi PKL untuk menolak dipindahkan. Relokasi ini
sejatinya adalah untuk menjamin kepastian dan kelangsungan
usaha PKL. Seperti diungkapkan pak Walikota berikut ini.
Konsep relokasi PKL didasari pada pemikiran bahwa
PKL merupakan salah satu potensi ekonomi yang
dimiliki kota Surakarta, karena itu keberadaannya
tetap dipertahankan tanpa harus mengabaikan aturan
hukum dan kepentingan seluruh warga kota
Surakarta…relokasi justru akan menjamin kepastian
dan kelangsungan usaha mereka” (Badan Informasi
dan Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).
Untuk mewujudkan rencana relokasi, Pemkot secara terus
menerus melakukan sosialisasi, tidak hanya terhadap para PKL,
tetapi juga kepada warga masyarakat lainnya. Walikota dan
Wakil Walikota tidak jarang turun ke lapangan untuk berdialog
330
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
langsung dengan para PKL. Sosialisasi dan dialog juga dilakukan
dengan mengadakan pertemuan di Balaikota maupun di rumah
dinas walikota. Media lokal turut mendukung wacana relokasi
dengan menerbitkan berita tentang relokasi PKL Monumen
Banjarsari.
seluruh PKL Monumen Banjarsari bersedia mendaftarkan diri
untuk direlokasi ke Semanggi sebelum akhir Januari tahun
2006. Bentuk kesediaan dan dukungan PKL Banjarsari terhadap
program relokasi, selain kesediaan mendaftar untuk direlokasi,
juga berupa spanduk yang dipasang di berbagai tempat dan
lokasi, misalnya spanduk bertuliskan “Seluruh PKL
Monumen’45 Banjarsari siap direlokasi ke Semanggi”, “Terima
kasih kepada Pemkot Surakarta yang telah memikirkan nasib
kami”, “Kami pro Relokasi”, “Terima kasih kepada Bapak
Jokowi dan Bapak Rudy yang telah memikirkan nasib dan
keluarga kami”, dan sejumlah spanduk lainnya.
Upaya relokasi PKL Banjarsari ke Sentra PKL yang baru,
yaitu Semanggi dilakukan secara sistematis dan terstruktur,
terlihat dari jadwal yang disusun oleh Pemkot Surakarta.
Jadwal relokasi itu adalah sebagai berikut.
Pertama, pendataan PKL pada bulan September 2005.
Kedua, desain teknis dan rancangan penempatan pedagang
atau zoning kios pada bulan Oktober 2005.
Ketiga, sosialisasi intern oleh Pemkot Surakarta kepada
PKL, bekerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga swadaya
masyarakat, tokoh masyarakat, dan media massa pada bulan
November 2005.
331
Kelima, pelaksanaan relokasi, yang meliputi persiapan para
PKL, pelaksanaan boyongan bersama, peresmian dan
pembukaan oleh walikota pada bulan Juni 2006.
Keenam, revitalisasi monumen, yakni persiapan, perataan
tanah, pekerjaan saluran, pemagaran, pavingisasi, pengaspalan
jalan, pekerjaan konstruksi sarana bermain anak, jalan setapak,
dan penyelesaian (finishing ) pada bulan Juni-Juli 2006.
Ketujuh, peresmian pemanfaatan kawasan Monumen”45
Banjarsari, diawali dengan upacara bendera dipimpin walikota
pada tanggal 17 Agustus 2006.
Sumber: Dokumen Pribadi
depan
lokasi baru bagi pedagang kaki lima yang direlokasi. Pemkot
telah menyiapkan lahan di Semanggi seluas 11.950 m² dan di
atas lahan itulah dibangun 1.018 kios dan sarana prasarana
lainnya, di antaranya adalah tempat parkir mobil, parkir sepeda
332
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
motor, koridor, kantor pengelola, mushola, dan lavatory atau
kamar mandi dan toilet umum (Badan Informasi dan
Komunikasi Pemkot Surakarta 2007).
Lokasi Semanggi dipilih dengan pertimbangan bahwa lokasi
tersebut memiliki potensi ekonomi dan sosial yang tinggi, di
antaranya sarana transportasi lengkap, ada pusat kegiatan
sebagai pemacu pertumbuhan kawasan, seperti pasar besi, pasar
ayam, pasar klitikan, pasar rakyat, rumah toko, subterminal dan
bongkar muat, perumahan, penginapan, hotel, restoran, rumah
sakit, dan tempat ibadah.
PKL di Pasar Notoharjo
murah dibandingkan dengan harga di toko-toko, sarana
angkutan yang memadai, seperti angkota, bis kota, dan bis antar
wilayah, sarana kawasan memadai, seperti jalan, subterminal,
333
penunjuk arah dan pusat kegiatan lainnya, serta kenyamanan
pembeli pun lebih baik daripada ketika harus berdesak-desakan
membeli barang ketika masih di Monumen Banjarsari. Dalam
realitasnya, dagangan dan usaha PKL Monjari yang telah
berpindah di Semanggi laku dan diminati pembeli. Seperti
diungkapkan pak Marsudi (40 tahun), salah seorang penjual
pakaian berikut ini.
di sini, pembeli dan pelanggan mulai berdatangan. Kita
tidak kehilangan pelanggan pak, karena kita sudah
punya nomor kontak (handphone), sehingga ketika
kita pindah…mereka sudah kita beritahu…kapan
mereka butuh barang, mereka tinggal telepon…usaha
kita juga tidak mati, karena kita pindah bersama-
sama…istilahnya “bedol deso” pak…jadi ya pasar tetap
hidup” (wawancara dengan Marsudi, Kamis, 28 April
2011).
Semanggi berjalan mulus pak”, demikian ungkap pak Marsudi.
“Saya sendiri lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di
Semarang, jelek-jelek saya sarjana lho pak, meskipun pekerjaan
saya hanya berjualan pakaian” (wawancara dengan Marsudi,
Kamis, 28 April 2011).
yang baik dari pemerintah kota Surakarta. Untuk
memperlancar kepindahan ke Semanggi, utamanya untuk
mengangkut barang-barang dagangan dengan segala
perlengkapan dagang lainnya, Pemkot telah menyediakan 40
truk dengan 80 orang tenaga angkut (Badan Informasi dan
Komunikasi Pemkot Surakarta 2007). Kios yang ditempati PKL
334
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
juga diberikan secara cuma-cuma, tidak ditarik bayaran sedikit
pun. Pembagian kios diserahkan kepada para pedagang atau
paguyuban, didampingi oleh jajaran pemerintah kota. Desain
atau tata letak kios juga disesuaikan dengan kebutuhan
pedagang, sehingga setiap pembeli bisa merasakan kenyamanan
dalam setiap transaksi.
izin penempatan dengan diberi Surat Hak Penempatan dan
Kartu Pengenal, yang berlaku satu tahun. Surat hak atau surat
izin penempatan yang diberikan kepada PKL gratis. Hal ini
sesuai dengan amanat pasal 7 Perda Nomor Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Pedagang Kaki Lima, yang berbunyi “dalam
memberikan izin penempatan PKL, pemerintah daerah tidak
memungut biaya”.
pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda
Daftar Perusahaan (TDP), yang semuanya diberikan tanpa
ditarik bayaran. Dalam hal pengembangan usaha PKL di Pasar
Notoharjo Semanggi, Pemkot juga membantu pedagang kaki
lima dalam pemasaran produk. Upaya promosi dilakukan, baik
melalui media massa cetak dan elektronik, maupun melalui
pemasangan baliho, spanduk, dan penyelenggaraan kegiatan
khusus agar lokasi baru cepat dikenal.
Tidak seperti halnya pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta di bawah
kepemimpinan walikota Joko Widodo, telah melakukan
pendekatan budaya dalam menata PKL, utamanya PKL
Monumen Banjarsari. Relokasi atau boyongan dari Monumen
Banjarsari ke Pasar Notoharjo Semanggi dilakukan dalam
sebuah upacara kirab budaya, yang melibatkan unsur
335
pemerintah kota Surakarta, anggota DPRD, beberapa elemen
masyarakat, dan para pedagang kaki lima. Prosesi kirab budaya
yang menandai boyongan resmi para pedagang kaki lima (PKL)
dari kawasan Monumen Banjarsari menuju lokasi baru di
Semanggi Pasar Kliwon yang diberi nama baru Pasar Notoharjo
dilakukan pada tanggal 23 Juli 2006.
Pindahan atau “bedol deso” PKL Banjarsari ke Semanggi
terbilang langka, karena (1) jumlah PKL yang pindah secara
sukarela relatif banyak, yaitu 989 pedagang, (2) mereka pindah
secara bersama-sama, dan (3) peserta kirab berjalan kaki
menuju Semanggi dengan berpakaian adat Jawa, termasuk
walikota dan wakil walikota Surakarta. Kirab budaya juga
dimeriahkan oleh kehadiran kereta kuda, barisan prajurit dari
Keraton Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran dan Kelompok
Sadar Wisata. Setelah melalui rute yang telah ditentukan,
peserta kirab disambut Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto, di
pasar Klitikan Notoharjo Semanggi. Perhatian yang besar dari
pemerintah kota maupun pemerintah provinsi dan perasaan
“diuwongke” (diperlakukan secara manusiawi) inilah yang
menjadi kunci mengapa para pedagang kaki lima di Monumen
Banjarsari bersedia pindah ke Semanggi.
Relokasi PKL Monumen Banjarsari sebagai bagian dari
kebijakan penataan PKL di kota Surakarta boleh dibilang sukses
dan sudah 6 tahun ini para PKL menjalankan aktivitas
ekonominya di lokasi yang baru, yaitu Pasar Klitikan Notoharjo
Semanggi. Selain membangun pasar Notoharjo untuk pedagang
kaki lima Monumen Banjarsari, Pemkot Surakarta juga
membangun pasar Panggung Rejo dan Pucang Sawit. Sementara
itu, pedagang kaki lima lainnya, yang telah memiliki gerobak
disediakan Shelter, yaitu di Surakarta Square, DKT, Manahan,
Jebres, dan tempat lainnya. Kebijakan yang diambil Pemkot
Surakarta terhadap PKL, tidak hanya bersifat penataan, tetapi
juga pemberdayaan dan pembinaan.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Dalam rangka pemberdayaan dan pembinaan PKL, Pemkot
Surakarta telah memberikan pelatihan atau training kepada
pedagang kaki lima, seperti training tentang bagaimana
melayani pembeli, training penataan barang, dan training
manajemen (wawancara dengan Joko Widodo, Walikota
Surakarta, Kamis, 28 April 2011). Pemberdayaan yang
dilakukan oleh Pemkot Surakarta sesuai dengan arahan pasal 12
ayat (1) Perda nomor 3 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa
untuk pengembangan usaha PKL, Walikota berkewajiban
memberikan pemberdayaan, berupa (a) bimbingan dan
penyuluhan manajemen usaha, (b) pengembangan usaha
melalui kemitraan dengan pelaku ekonomi yang lain, (c)
bimbingan untuk memperoleh peningkatan permodalan, dan
(d) peningkatan sarana dan prasarana PKL.
Ketika ditanya, mengapa pak Walikota berkenan
memberdayakan PKL? Berikut jawaban pak Joko Widodo, “PKL
adalah pedagang sektor informal dan mereka merupakan aset
ekonomi kota, sehingga harus diberdayakan” (wawancara
dengan Joko Widodo, Walikota Surakarta, Kamis, 28 April
2011). “Lagipula,” masih menurut pak Jokowi, panggilan
akrabnya, “pada tahun 2010, PKL bersama pasar memberikan
sumbangan yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah
(PAD), yaitu sebesar 19 milyar rupiah, sedangkan sektor
lainnya termasuk rendah, seperti terminal hanya 2,8 milyar
rupiah; restauran menyumbang 6 milyar rupiah, dan hotel
sumbangannya sebesar 9,8 milyar rupiah”. Keberhasilan
Pemkot Surakarta dalam menata PKL, utamanya PKL
Monumen Banjarsari sedikit banyak memberi dukungan
terhadap visi kota Surakarta sebagai kota budaya yang
bertumpu pada potensi perdagangan, jasa, pendidikan,
pariwisata, dan olahraga.
tidak heran jika Semarang menjadi tempat tujuan para migran
dari desa yang ingin mengubah nasib lebih baik dengan bekerja
337
di kota. Tahun 2005, penduduk migran yang datang ke kota
Semarang mencapai angka 38.910 orang (RPJPD Kota Semarang
Tahun 2005-2025). Pada tahun-tahun berikutnya, terjadi
peningkatan jumlah migran, yaitu tahun 2006 meningkat
menjadi 42.714 orang, tahun 2007 menjadi 43.151 orang, dan
tahun 2008 meningkat lagi menjadi 44.187 orang (Bappeda dan
BPS Kota Semarang 2010). Tahun 2009 merupakan tahun
penurunan jumlah migran di kota Semarang, yakni 35.518
orang, namun demikian jumlah tersebut tetap signifikan jika
dikaitkan dengan persoalan kesempatan kerja.
Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang
menyediakan berbagai fasilitas ekonomi dan sosial budaya,
yang memberi daya tarik tersendiri bagi para migran. Fasilitas
fisik, seperti hotel, mall, ritel, tempat-tempat hiburan, serta
restoran, kafe dan warung-warung makan, memberikan daya
tarik bagi migran untuk mencari pekerjaan. Demikian pula,
bangunan kota lama, seperti Gereja Blenduk, Lawang Sewu,
Tugu Muda, dan Kuil Sam Poo Kong, menarik para wisatawan
lokal maupun pendatang untuk berekreasi. Bangunan baru,
yaitu Anjungan Jawa Tengah yang ada di pantai Marina dan
Masjid Agung Jawa Tengah juga tidak pernah sepi dari
pengunjung, baik lokal Semarang maupun dari luar Semarang.
Industri dan pabrik-pabrik yang ada di kawasan dalam kota
Semarang maupun di sekitarnya, seperti pabrik tekstil, kayu
olahan, keramik, mebel, rokok, jamu, makanan, minuman, dan
lain-lain, menyediakan lapangan kerja yang mencukupi bagi
warga kota Semarang maupun para migran.
Para migran yang tidak tertampung bekerja di sektor formal
dapat mengais rezeki dari sektor informal dengan berdagang
atau menjalankan usaha di tempat-tempat keramaian yang
tersebar di 16 kecamatan. Mereka kebanyakan berdagang atau
menjalankan usaha di kota bawah, karena daerah padat
penduduk ada di wilayah kota bawah. Daerah padat penduduk
di kota bawah, tersebar di kecamatan Semarang Tengah,
338
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Semarang Utara, Semarang Timur, Gayamsari, Genuk,
Pedurungan, Semarang, Candisari, Gajahmungkur, Semarang
Barat, dan Tugu. Kota bawah ini merupakan pusat kegiatan
pemerintahan, perdagangan, perindustrian, pendidikan dan
kebudayaan.
Arus lalu lintas manusia yang ada di kota bawah menjadi
daya tarik bagi PKL. Tepi bantaran sungai, tepi jalan protokol
dan jalan umum lainnya, lingkungan pabrik, lingkungan
kantor, lingkungan pertokoan, lingkungan mall, lingkungan
pasar tradisional, trotoar, taman kota, lingkungan kampus
perguruan tinggi dan sekolah, dan tempat-tempat keramaian
lainnya, penuh dengan para pedagang kaki lima (PKL). Para
PKL ini sering menempati daerah atau area yang terlarang atau
dilarang oleh Perda nomor 11 tahun 2000.
PKL yang terorganisasi dengan baik telah ditata oleh
Pemkot Semarang, dengan ditempatkan pada lokasi yang tidak
mengganggu arus lalu lintas, misalnya PKL Kalisari yang
menjalankan usaha berdagang tanaman bunga dan PKL Barito
yang menjalankan usaha perdagangan barang-barang klitikan.
Para PKL yang berdagang barang-barang klitikan dan alat-alat
pertanian dan rumah tangga juga ditempatkan di sentra PKL
Kokrosono. PKL yang berdagang makanan dan minuman yang
semula berada di kawasan jalan Pahlawan, ditempatkan di
lokasi PKL jalan Menteri Soepeno. PKL-PKL terorganisasi
tersebut memperoleh perhatian yang memadai dari Pemkot,
baik dalam hal perizinan, permodalan, tempat usaha, gerobak
atau lapak, dan perlindungan.
Sementara itu, di luar PKL terorganisasi terdapat PKL
lainnya yang oleh pihak Pemkot disebut PKL liar. PKL jenis ini
menempati hampir di semua wilayah kecamatan yang ada di
kota Semarang. Mereka berdagang atau menjalankan usaha
tidak hanya pada pagi hingga siang hari, tetapi ada juga yang
berdagang dari sore hingga malam hari. Di antara para PKL liar
339
tersebut adalah PKL yang menjalankan aktivitas ekonomi yang
ada di tepi bantaran sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat,
yaitu PKL Sampangan, PKL Basudewo, dan PKL Kokrosono.
Kemacetan lalu lintas, kekotoran, kekumuhan, dan
kesemrawutan merupakan pandangan sehari-hari ketika para
pengguna jalan atau siapa pun yang melintasi jalan-jalan yang
padat PKL.
ini, lokasi PKL Kokrosono yang dipandang paling ramai,
semrawut, dan kumuh. Hal ini karena: (1) para PKL umumnya
menjajakan barang-barang bekas, berupa barang klitikan, (2)
mereka kebanyakan berjualan secara lesehan, menggelar barang
dagangan seperti apa adanya di tepi jalan, dan (3) jalan
Kokrosono lebarnya tidak lebih dari 6 meter, sehingga ketika
ditempati para PKL di sisi kanan dan kiri, akan makin sempit
dan mengganggu arus lalu lintas.
Proyek pembangunan waduk Jatibarang dan normalisasi
sungai Kaligarang dan Banjir Kanal Barat, yang telah lama
menjadi prioritas Kementerian Pekerjaan Umum, mulai
dikerjakan pada tahun 2009 dan diharapkan akan berakhir pada
tahun 2014. Proyek normalisasi sungai tentu saja memberikan
pengaruh terhadap keberadaan para PKL yang menjalankan
aktivitas ekonomi di sisi sungai. Pembangunan fisik sungai,
mulai dari pengerukan lumpur akibat dari sedimentasi sungai
yang sudah terlalu lama dan pembuatan talut, telah
menyingkirkan PKL yang menempati tepi sungai, baik mereka
yang ada di Sampangan, Basudewo, maupun Kokrosono.
Sebagai bagian dari pemerintah pusat, tentu saja
pemerintah kota Semarang mengambil sikap mendukung
proyek, sehingga diambil kebijakan relokasi bagi PKL yang
menempati wilayah tepi sungai. Apalagi rencana normalisasi
sungai Kaligarang dan sungai Banjir Kanal Barat juga sudah
dituangkan dalam RPJPD kota Semarang tahun 2005-2025,
340
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
RPJMD kota Semarang tahun 2010-1015, dan RTRW kota
Semarang tahun 2011-2031.
ditandai dengan aktivitas merapikan sungai, tidak hanya di
dalam dan di pinggir (DAS dan sempadan), tetapi juga menata
dan merapikan lingkungan di sisi kanan dan kiri sungai yang
ditempati para pedagang. PKL terkena dampaknya, tidak dapat
menjalankan aktivitas ekonomi dan harus keluar dari wilayah
tersebut. Relokasi ini diawali dengan tindakan penertiban yang
dilakukan oleh Pemkot Semarang. Tidak adanya komunikasi
yang efektif antara Pemkot dengan para PKL, penertiban yang
dilakukan oleh Pemkot menyebabkan terjadinya perlawanan
dari para PKL, terutama mereka yang menjalankan aktivitas di
Sampangan dan Basudewo. Demikian pula, tidak adanya
perencanaan yang komprehensif dari Pemkot, menyebabkan
perlawanan (resistensi) di kalangan para PKL.
Tidak seperti yang dilakukan oleh pemerintah kota
Surakarta, strategi Pemkot Semarang dalam menata PKL lebih
diutamakan pada dua hal, yaitu penertiban (penggusuran) dan
relokasi. Sebagaimana sudah dikemukakan sebelumnya,
penertiban terhadap PKL dilakukan di hampir semua pelosok
kota yang terdapat pedagang sektor informal. Pedagang nasi,
pedagang makanan dan minuman, pedagang jajanan oleh-oleh
khas Semarangan, pedagang bunga, dan pedagang barang-
barang bekas yang berjualan di tepi sungai, di trotoir, di taman-
taman kota, dan tempat-tempat lain yang terlarang, pernah
mengalami penertiban dan penggusuran. Ada yang kapok, lalu
tidak berjualan lagi di tempat tersebut, tetapi banyak juga yang
kembali berjualan ketika mereka merasa aman dan tidak ada
tindakan penertiban dari aparat Satpol PP. Taktik “run and back” yang mereka gunakan, yaitu lari menyingkir dan kembali
lagi setelah kondisi aman.
Pemkot menertibkan para pedagang tersebut, lebih didasari
oleh kepentingan sepihak, yaitu menata kota agar tertib, asri,
indah, bersih, aman, dan nyaman. Hal ini dilakukan untuk
mengejar tujuan jangka pendek, yaitu dalam rangka meraih
penghargaan Adipura. Sementara itu, kepentingan pedagang,
untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tidak
begitu diperhatikan. Pendek kata, yang penting kota bersih,
tidak ada lagi PKL yang mengotorinya, demikian yang
dikehendaki Pemkot.
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Semarang Tahun
2010-2015, Pemkot Semarang ingin mewujudkan visi kota
Semarang, yaitu terwujudnya kota Semarang sebagai kota
Perdagangan dan Jasa yang berbudaya menuju Masyarakat
Sejahtera.
SETARA atau Semarang Kota Sejahtera. Waktunya Semarang
Setara, sebagaimana sering diucapkan walikota dalam berbagai
kesempatan, dimaksudkan untuk membangun motivasi dan
mengoptimalkan potensi kota Semarang, melalui komitmen
seluruh pemangku kepentingan (pemerintah, masyarakat, dan
swasta) untuk bersama-sama membangun kota Semarang dan
mensejajarkannya dengan kota metropolitan lainnya.
Waktunya Semarang Setara juga dimaksudkan sebagai
momentum kebangkitan seluruh masyarakat kota Semarang
agar mampu menjadikan kota Semarang sejajar dengan kota-
kota metropolitan lainnya dalam segala aspek kehidupan, guna
mencapai kesejahteraan bersama. Oleh karenanya, Semarang
342
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Kota Sejahtera merupakan sasaran akhir dari pembangunan
kota, terutama pada masa kepemimpinan Soemarmo HS.
Untuk mewujudkan visi kota Semarang, Pemkot Semarang
merumuskan misi sebagai berikut.
Kedua, mewujudkan pemerintahan kota yang efektif dan
efisien, meningkatkan kualitas pelayanan publik, serta
menjunjung tinggi supremasi hukum.
Keempat, mewujudkan tata ruang wilayah dan
infrastruktur yang berkelanjutan.
Visi dan misi kota Semarang diwujudkan dengan
memprioritaskan program-program pembangunan dalam
penanggulangan kemiskinan dan pengurangan pengangguran,
(2) program penanganan rob dan banjir, (3) program
peningkatan pelayanan publik, (4) program tata ruang dan
peningkatan infrastruktur, (5) program peningkatan kesetaraan
dan keadilan gender, (6) program peningkatan pelayanan
pendidikan, dan (7) program peningkatan pelayanan kesehatan
(http://semarangkota.go.id/cms/index.php?option=com_content
&task=view&id=34&Itemid=53. diunduh pada hari Kamis, 8
September 2011).
yang hanya bertumpu pada penertiban dan relokasi, serta
didukung oleh sikap petugas Satpol PP yang arogan, akhirnya
menimbulkan tingkat akseptabilitas yang rendah di kalangan
pedagang. Pada hampir semua tempat yang digusur, para
pedagang memperlihatkan reaksi yang hampir sama, yaitu
menolak dan melawan. Penolakan dan perlawanan yang
dilakukan PKL memiliki motif yang sama, yaitu untuk
mempertahankan lokasi berdagang demi menyambung hidup.
Gambar di bawah ini menunjukkan bagaimana arogansi dari
petugas Satpol PP dan bagaimana reaksi dari pedagang kaki
lima yang digusur.
Gambar 46. Petugas Satpol PP sedang membongkar Lapak
PKL di Indraprasta Semarang
Kusumawardani Semarang pada tanggal 19 Mei 2011 misalnya,
menimbulkan perlawanan dari PKL (Suara Merdeka, Jumat, 20
Mei 2011). Sebagaimana diberitakan Suara Merdeka tersebut,
proses pembongkaran bangunan sempat diwarnai kericuhan
dan para pedagang melakukan perlawanan karena mereka
merasa belum pernah mendapatkan teguran dan peringatan
sebelumnya. Pedagang kecil, seperti pedagang bakso, meskipun
sendirian, berani melawan dan menolak digusur ketika sedang
berjualan. Tipologi perlawanan yang dilakukan PKL, yaitu
membandel, bertahan di tempat atau tidak mau dipindah.
344
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Sumber: Semarang Metro, 21 Juni 2011
Gambar 47. Pedagang Bakso bersitegang dengan Aparat
Satpol PP di Jl.Pandanaran Semarang
Sikap membandel dari pedagang bakso di atas merupakan
salah satu contoh dari perlawanan “wong cilik” terhadap
kebijakan penertiban dan penggusuran yang dilakukan Pemkot.
Perlawanan yang hebat dan sistematis, terjadi di lokasi PKL
Sampangan dan Basudewo, karena bangunan dan lapak mereka
dibongkar oleh petugas Satpol PP. Bukan hanya itu yang
membuat mereka melawan. Tidak adanya kepastian relokasi
yang representatif, membuat mereka menolak dipindahkan dan
tetap bertahan di lokasi.
Monjari
memiliki kebijakan dan strategi dalam menata dan membina
pedagang kaki lima (PKL) tanpa adanya penentangan yang
berarti dari para PKL. Pemindahan pedagang kaki lima (PKL)
345
Monumen Banjarsari (Monjari) ke sentra PKL Notoharjo
merupakan contoh dari kebijakan relokasi yang bagus. Sejak
dilakukan boyongan pada tanggal 23 Juli 2006 ke lokasi PKL
Semanggi, praktis pemerintah kota Surakarta tidak menemui
hambatan berarti dalam penataan PKL.
Namun demikian, persoalan PKL di kota Surakarta tidak
berarti telah selesai, sebab jumlah PKL yang berhasil ditangani
baru 989 yakni mereka yang dahulu melakukan aktivitas
ekonomi di Monumen Banjarsari. Padahal sebagaimana
diketahui, jumlah PKL di Surakarta pada tahun 2006 yang lalu
saja sudah mencapai angka 5.817 pedagang. Mereka belum
semua tertangani dengan baik, namun pendekatan yang
ditempuh Pemkot Surakarta berpedoman pada Perda Nomor 3
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Pedagang Kaki Lima,
ditengarai dapat mengatasi masalah pedagang kaki lima di kota
Surakarta, apalagi Pemkot Surakarta juga telah melakukan
banyak hal untuk mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan
para PKL, yakni selain memperbaiki pasar yang dapat
menampung para PKL, juga membuat selter-selter dan
memberikan bantuan gerobak kepada PKl yang bersedia dibina
dan dikembangkan. Seperti halnya pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota lainnya, Pemkot Surakarta pun tidak segan-
segan melakukan penertiban bagi pedagang kaki lima yang
melanggar Perda.
penataan PKL di kota Surakarta. Bagi Walikota dan Wakil
Walikota Surakarta, keberhasilan penataan PKL Monumen
Banjarsari tidak berarti penataan PKL di kota Surakarta telah
paripurna, tetapi justru keberhasilan penataan PKL Monumen
Banjarsari dijadikan sebagai momentum, pengalaman, dan
pembelajaran yang berharga dalam menata PKL di tempat
lainnya, yang jumlahnya juga tidak sedikit. Apalagi pemerintah
kota dan masyarakat memiliki tekat yang sama, yaitu ingin
346
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
menjadikan kota Surakarta tetap BERSERI, yakni bersih, sehat,
rapi, dan indah. Komitmen Jokowi, sang walikota yang
penampilannya sederhana dan penuh kesantunan ini, untuk
tetap membela kepentingan usaha mikro, kecil, dan menengah,
termasuk di dalamnya PKL memberi kontribusi bagi
keberhasilan penataan PKL. Keberpihakan pak walikota kepada
rakyat kecil, utamanya para pedagang kaki lima, ditunjukkan
secara terang-terangan, seperti dalam ungkapan berikut.
“Saya membela PKL, karena mereka merupakan aset
ekonomi bagi kota Surakarta pak…dengan dididik dan
diberdayakan, mereka akan tumbuh menjadi
pengusaha yang tidak kalah hebatnya dari pengusaha
kaya yang memiliki mall-mall di Surakarta. Saya
sendiri tidak anti mall, juga tidak anti
pengusaha…tetapi kita harus cermat dalam
memberikan izin mendirikan mall…jangan sampai
karenanya, kegiatan ekonomi pedagang kecil mati”
(wawancara dengan Joko Widodo, walikota Surakarta,
Kamis, 28 April 2011).
memengaruhi sikapnya terhadap pedagang kaki lima selama ini.
Dalam kepemimpinan Asthabrata, pak Jokowi termasuk tipe
pemimpin yang berwatak matahari. Matahari diyakini memiliki
manfaat yang besar, sehingga ia diambil sebagai tamsil dalam
ajaran Asthabrata (Suratno 2006:79). Sebagai sang surya,
matahari menjadi sumber kehidupan bagi semua makhluk, baik
hidup maupun makhluk tidak hidup. Pemimpin berwatak
matahari memiliki karakter yang sama dengan matahari, yaitu
menerangi dunia, memberikan kehidupan kepada semua
makhluk, sabar dalam menjalankan tugas, dan ikhlas
memberikan miliknya kepada orang lain (Suratno 2006:79).
Penampilannya yang sederhana dan tutur katanya yang
halus, menunjukkan bahwa pak Jokowi orang yang tidak
arogan, sok kuasa; justru sebaliknya, pak Jokowi adalah tipe
347
walikota ideal, yang kehalusan budi dan kesederhanaannya,
patut menjadi teladan bagi masyarakatnya. Sifat tidak “tega”
melihat rakyatnya menderita, membuat pak Jokowi dicintai
oleh masyarakatnya.
memiliki tiga prinsip hidup yang selalu melekat pada dirinya,
yaitu “ngayomi” (memberi perlindungan), “ngayemi”( membuat
tenteram), dan “ngayani” (memberi kesejahteraan) atau dikenal
dengan prinsip 3N.
dengan prinsip 3N di atas, harus mampu memberikan
perlindungan kepada rakyat, siapa pun juga, apakah mereka
rakyat jelata yang tidak memiliki apa-apa hingga rakyat berada
atau mempunyai harta berlebih.
menyakiti hati rakyat atau membuat mereka menderita. Justru
dengan kepemimpinannya, rakyat harus dibuat tenteram dan
nyaman hidupnya. Pemimpin seperti ini, jika pergi akan
dirindukan bawahannya dan ketika ada di tengah-tengah
bawahannya, membuat bawahan merasa senang.
Pemimpin Jawa juga harus berjiwa “memberi”, memiliki
sikap dermawan, peduli kepada rakyatnya, dan akan sedih
hatinya jika rakyatnya hidup dalam penderitaan dan
kemiskinan. Apa pun akan dilakukan pemimpin untuk
menyenangkan dan membuat bahagia rakyatnya.
Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang “Njawani”,
karena mampu menterjemahkan prinsip 3N, dengan
memberikan apa yang terbaik bagi rakyat Surakarta, khususnya
mereka yang berada pada lapisan menengah ke bawah.
Strategi komprehensif yang dilakukan oleh Pemkot
Surakarta dalam menata PKL menunjukkan keberhasilan,
terutama dilihat dari tidak adanya resistensi dari para pedagang,
348
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
bahkan mereka sangat antusias merespon kebijakan relokasi
yang ditentukan Pemkot. PKL Monjari yang pindah ke pasar
Notoharjo Semanggi, merasa dirinya “diuwongke”
(dimanusiakan), sehingga kepindahannya ke Pasar Notoharjo
Semanggi tidak menimbulkan gejolak. Akseptabilitas yang
tinggi, ditunjukkan oleh ekspresi mereka dalam merespon
kebijakan pak walikota, menjadi preseden yang bagus sekaligus
bisa menjadi contoh bagi daerah lain yang memiliki kebijakan
dalam penataan pedagang kaki lima.
Dari uraian keberhasilan relokasi PKL Monjari ke
Notoharjo Semanggi, dapat disimpulkan bahwa terdapat 3
faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan penataan PKL
Monjari oleh Pemkot Surakarta.
yang “Njawani”, yang lebih berpihak kepada kepentingan wong
cilik, sehingga ia diterima dengan baik oleh masyarakat
Surakarta, utamanya rakyat kecil.
dalam kebijakan penataan PKL menjadikan apa yang
dikehendaki walikota Surakarta juga merupakan keinginan
PKL, sehingga relokasi ke pasar Notoharjo tidak menemui
hambatan.
dengan baik, karena adanya blue print penataan PKL Surakarta,
mulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan relokasi dan pasca
relokasi.
Walikota Joko Widodo dalam menata pedagang kaki lima,
membuat banyak pemimpin daerah kabupaten dan kota belajar
dari kisah sukses pak Jokowi. Bahkan delegasi negara tetangga,
yaitu Philipina, Kamboja, Vietnam, dan Thailand pernah
berkunjung ke Surakarta untuk belajar bagaimana pemerintah
349
kota, terutama walikotanya dalam menata PKL tanpa
menimbulkan gejolak (Kompas, Kamis, 24 Juni 2010, halaman
22). Kondisi PKL pasca relokasi juga menjadi daya tarik bagi
pemimpin daerah dalam negeri maupun luar negeri yang
hendak belajar dalam menata dan membina PKL. Aktivitas
ekonomi yang berjalan baik di Pasar Notoharjo Semanggi,
didukung oleh fasilitas pasar dan kebersihan yang bagus,
memberikan nilai plus kepada kebijakan pemerintah kota
Surakarta, utamanya kebijakan pasca relokasi.
Tidak banyak pemerintah kota dan pemerintah kabupaten
yang sukses dalam menata PKL pasca relokasi. Ambil contoh,
relokasi PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono (liar) ke
sentra PKL Kokrosono, yang dilakukan Pemkot Semarang,
hingga kini masih menyisakan persoalan. Sentra PKL
Kokrosono yang menjadi tempat relokasi bagi PKL Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono liar terdapat gedung untuk relokasi
yang tidak dilengkapi kios yang dapat digunakan oleh PKL
untuk menjalankan usahanya.
yang harus dibangun di lantai dua menjadi hambatan bagi PKL
yang berdagang nasi, membuka usaha bengkel, dan PKL yang
menjalankan usaha mebel. Pembeli yang enggan naik ke lantai
dua menjadi alasan pula mengapa cukup banyak PKL yang
tidak bersedia pindah menempati gedung yang sudah
disediakan pemerintah.
bantuan dana untuk membuat kios, menyebabkan para PKL
yang bersedia dipindah, membuat sendiri kiosnya dengan
bahan-bahan baku bekas, seperti papan kayu untuk ruang kios,
cat seadanya, dan lantai ada yang “dikeramik” dan ada pula
350
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
yang dibiarkan polos dari lantai beton. Kios yang ditempati juga
dimanfaatkan untuk sembarang usaha dan aktivitas, seperti
pembuatan mebel, ternak ayam, warung minuman, kamar
tidur, dan lain-lain. Gambar di bawah ini adalah beberapa kios
PKL yang dibangun sendiri oleh pedagang di gedung PKL
Kokrosono blok H.
Sumber: Dokumen Pribadi
oleh PKL yang direlokasi
dari Pemkot, membuat banyak kios yang diperjualbelikan oleh
PKL tanpa sepengetahuan Pemkot. Konflik antar PKL juga
tidak dapat dihindari, karena tidak adanya ketegasan dari
Pemkot. Kegiatan penataan kios di gedung G dan H dari 8
gedung berlantai dua yang disediakan untuk kepentingan PKL,
yang tidak dikontrol dengan baik oleh Pemkot, menyebabkan
terjadinya perebutan tempat antar PKL. Praktik jual beli kios
secara liar membuat kondisi PKL Kokrosono menjadi kian tak
terkendali. Adanya “free rider” dalam penempatan PKL yang
351
dipindahkan dari tempat lain, membuat lokasi PKL Kokrosono
tidak nyaman untuk aktivitas ekonomi. Belum lagi tempat yang
kumuh dan kotor di sekeliling gedung PKL Kokrosono,
membuat pembeli tidak betah berlama-lama di Kokrosono.
Sikap lepas tangan dari pejabat Pemkot membuat para PKL
yang berada di Kokrosono bertindak seenaknya terutama dalam
menjualbelikan kios kepada orang lain. Jika dibandingkan
dengan sentra PKL di Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta,
lokasi PKL Kokrosono jauh dari ideal, karena tidak ada fasilitas
yang mendukung kelancaran dan kenyamanan bagi PKL dalam
menjalankan aktivitas ekonomi, seperti yang terlihat di Pasar
Notoharjo. Gambar berikut menunjukkan bahwa bangunan
PKL Kokrosono dan lingkungan fisik di sekitarnya tidak
terawat dan terkesan kumuh.
terawat
penataan dan pembinaan PKL memberi inspirasi kepada
walikota Semarang yang baru, yaitu Soemarmo HS untuk
352
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
memperindah dan mempercantik kota Semarang tanpa
menyakiti warga masyarakat miskin, khususnya pedagang kaki
lima. Itu pun dilakukan setelah memperoleh masukan dari
Paguyuban Pedagang Kaki Lima Kota Semarang (PPKLS), LSM,
dan tokoh-tokoh masyarakat. Apa yang dilakukan walikota
Semarang tersebut juga berkaitan dengan “grand strategy”
Pemkot untuk mewujudkan kota Semarang sebagai pusat
perdagangan dan jasa sesuai dengan arahan Perda kota
Semarang Nomor 6 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) kota Semarang
Tahun 2005-2025, Perda kota Semarang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) kota Semarang Tahun 2010-1015, dan Perda kota
Semarang Nomor 14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah kota Semarang Tahun 2011-2031.
Berdasarkan Perda-perda tersebut, walikota sejak
kepemimpinannya pada tahun 2010 melakukan penataan fisik
kota Semarang. Daerah pusat kota, seperti area bundaran
Simpang Lima dan sekitarnya, jalan Pahlawan, jalan Menteri
Soepeno, jalan Pemuda, area Monumen Tugu Muda dan jalan-
jalan di sekitarnya ditata dengan apik, yang membuat ruang
publik di sekitarnya menjadi indah dan bersih.
353
Sumber: Dokumen Pribadi
Gambar 50. Ruas jalan Pahlawan yang telah ditata rapi oleh
Pemkot
muda berbondong-bondong mendatangi pusat-pusat kota untuk
menikmati keindahan malam kota Semarang. Ada di antara
mereka yang sekedar bercengkerama, berbincang-bincang ke
sana kemari sekedar untuk melepaskan ketegangan karena lelah
beraktivitas pada pagi hingga sore hari. Ada pula yang
menyalurkan hobi, seperti berkumpulnya anggota geng motor
dan mobil, beradu ketangkasan bersepeda, bermain sepatu roda,
menari dan berdansa, serta banyak juga yang menyalurkan
hobinya dengan memfoto objek-objek menarik di Tugu Muda
maupun di jalan Pahlawan. Ruang publik yang berada di
bundaran Simpang Lima, jalan Pahlawan, jalan Menteri
Soepeno, jalan Pemuda, dan Monumen Tugu Muda ramai
dipadati warga kota Semarang terutama pada hari Jumat hingga
Minggu malam.
bersih, Pemkot Semarang juga membangun shelter yang
354
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
diperuntukkan bagi pedagang kaki lima di sekitar bundaran
Simpang Lima dan jalan Menteri Soepeno. Shelter-shelter ini
diberikan secara gratis kepada para PKL yang sejak awal sudah
berdagang di sekitar bundaran Simpang Lima dan di tepi jalan
Pahlawan. Para PKL yang berjualan di tepi jalan Pahlawan pada
akhir tahun 2010 direlokasi ke sentra PKL di jalan Menteri
Soepeno, tepatnya di sekeliling Taman KB. Di lokasi PKL yang
baru ini, para PKL mendapatkan fasilitas shelter dan gerobak
gratis. Berkat kerjasama dengan PT. Coca-Cola, gerobak dapat
diberikan secara gratis kepada para pedagang. Gambar di bawah
ini memperlihatkan shelter yang disediakan Pemkot di jalan
Menteri Soepeno.
jalan Menteri Soepeno
memperoleh fasilitas sarana prasarana gratis dari pemerintah
kota Semarang. Semula ia berdagang di jalan Pahlawan
membantu pamannya. Sejak akhir tahun 2010 ia pindah di jalan
Menteri Soepeno, sesuai dengan kebijakan Pemkot Semarang
355
yang merelokasi PKL yang berjualan di jalan Pahlawan ke
lokasi PKL jalan Menteri Soepeno.
Menurut penuturan Oka, semua fasilitas untuk berdagang,
yaitu tempat (shelter) dan gerobak disediakan gratis oleh
Pemkot. Selain itu, juga disediakan fasilitas air dan listrik.
“Sekarang enak pak, serba gratis…kita hanya bayar retribusi
untuk Dinas Pasar, yaitu Rp14.000,00, itu sudah termasuk air
dan listrik; sedangkan untuk paguyuban kita bayar Rp2.000,00”,
kata Oka. Ketika ditanya, berapa pendapatan per hari, dengan
agak malu-malu, ia menjawab: “ya tidak pasti pak…kalau
dirata-rata per hari hanya Rp50.000,00…sepi pak, tidak seperti
ketika berjualan di jalan Pahlawan, ramainya hanya hari Sabtu
dan Minggu” (Wawancara dengan Oka, Minggu, 9 Oktober
2011).
Di jalan Menteri Soepeno awalnya terdapat 48 shelter yang
ditempati PKL, yang diberikan kepada (1) PKL yang pada
356
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
waktu pagi hari berjualan di sekitar Taman KB jalan Menteri
Soepeno dan (2) PKL Pahlawan yang dipindah ke jalan Menteri
Soepeno. Pada bulan November 2011 telah dibangun pula
shelter di lokasi yang biasa digunakan berdagang oleh pedagang
jagung bakar dan penjual helm. Bulan Desember, shelter tersebut telah ditempati oleh pedagang jagung bakar yang
berjualan pada malam hari. Di lokasi yang juga berada di jalan
Menteri Soepeno ini, dibangun 40 shelter meskipun tempatnya
tidak sebaik shelter yang berada di sekeliling Taman KB,
namun dapat digunakan para pedagang untuk tempat berjualan,
karena juga disediakan fasilitas perlistrikan.
Sementara itu, shelter di Bundaran Simpang Lima
jumlahnya ada 87 buah, yang diperuntukkan bagi PKL yang
dahulu berdagang di sekitar Bundaran Simpang Lima.
Kedelapan puluh tujuh shelter tersebut mengelilingi bundaran
Simpang Lima, yang berada di sisi barat, selatan, dan timur;
sedangkan sisi utara yang berada di depan hotel Ciputra tidak
disediakan shelter karena adanya keberatan dari pihak
manajemen hotel. Demikian pula, di depan masjid
Baiturrahman Semarang yang biasa digunakan oleh PKL untuk
berdagang, tidak dibuatkan shelter karena untuk menghormati
warga kota yang hendak sholat di masjid tersebut. Namun
demikian, meskipun tidak ada shelter yang dibangun, para
pedagang tetap nekat berjualan di depan masjid. Shelter yang
disediakan untuk pedagang merupakan bagian dari upaya
Pemkot Semarang untuk mempercantik Kota Semarang. Untuk
menyelesaikan shelter tersebut, Pemkot telah menghabiskan
anggaran sebesar Rp15 milyar.
anggaran tersebut digunakan untuk menata dan mempercantik
seluruh bundaran Simpang Lima, termasuk pembuatan shelter bagi PKL. Ketika ditanyakan mengapa Pemkot harus
mengeluarkan sedemikian banyak anggaran guna menata
bundaran Simpang Lima, walikota mengungkapkan bahwa,
357
didasarkan atas keberadaan Simpang Lima sebagai wajah utama
kota Semarang, bahkan Simpang Lima ini sudah menjadi ikon
kota sejak lama (Harian Semarang, Kamis, 26 Agustus 2010,
halaman 2).
dibuat di depan E-Plaza Semarang, yang berada di sebelah barat
bundaran Simpang Lima. Sejak awal tahun baru (2012), seluruh
shelter yang ada di sekeliling bundaran Simpang Lima sudah
digunakan pedagang makanan dan minuman untuk berjualan.
Sejak dioperasikan shelter-shelter tersebut, suasana malam
Simpang Lima makin ramai, karena di sekeliling bundaran
Simpang Lima, banyak dipadati para pedagang nasi dan
minuman serta pengunjung Simpang Lima yang ingin
menikmati suasana malam Simpang Lima sambil makan dan
minum.
358
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Secara selintas, kebijakan Pemkot Semarang ini sepertinya
memberikan manfaat bagi semua PKL yang ada di kota
Semarang. Sesungguhnya tidak seperti itu. Hanya PKL yang
terorganisasi dan yang mudah terjangkau oleh pemerintah kota
Semarang yang diberi perhatian secara memadai oleh Pemkot.
Kebijakan diskriminatif dalam penataan PKL ditunjukkan
Pemkot.
untuk menjalankan usaha ekonomi, seperti dibuatkan shelter
dan dibantu gerobak untuk berdagang, sedangkan PKL liar
yang jumlahnya lebih banyak dari PKL terorganisasi dibiarkan
tanpa ada fasilitasi dan mereka rentan terkena penggusuran.
Pembuatan shelter di pinggir bundaran Simpang Lima pun
sesungguhnya dapat dilihat dari dua sisi. Di satu sisi,
pemerintah memang peduli kepada kehidupan wong cilik, yaitu
PKL, dengan memberikan tempat berdagang di pusat kota. Pada
sisi lain, bisa saja pembuatan shelter di pusat kota tersebut
untuk memberi kesan bahwa Pemkot Semarang peduli kepada
kehidupan dan nasib rakyat kecil, utamanya PKL. Padahal jika
ditilik secara mendalam, sikap diskriminatif Pemkot masih
tampak. PKL yang liar, sulit diatur, dan sulit dikendalikan,
seperti mereka yang beraktivitas ekonomi di Sampangan,
Basudewo, dan Kokrosono, tidak ditata dengan baik, bahkan
ada kesan dibiarkan, sehingga permasalahan PKL di kota
Semarang belum tuntas diselesaikan.
ekonomi tidak hanya yang berlokasi di Sampangan, Basudewo,
dan Kokrosono, yang ketiganya berada di tepi sungai Kaligarang
dan Banjir Kanal Barat. Masih banyak PKL liar yang menempati
lokasi-lokasi strategis, baik di pusat kota maupun di pinggir
kota, yang semuanya belum ditangani secara baik oleh Pemkot.
Ini semua adalah akibat dari tidak adanya pedoman penataan
dan pembinaan PKL yang komprehensif.
359
C. Hambatan yang dihadapi Pemerintah
Setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah sudah tentu
tidak semuanya dapat diterima masyarakat. Ada pihak yang pro
dan ada pula yang kontra terhadap kebijakan yang diambil.
Mereka yang pro atau setuju dengan kebijakan biasanya adalah
pihak yang diuntungkan atau setidaknya tidak dirugikan dari
kebijakan yang telah diputuskan. Sementara itu, pihak yang
kontra, menolak, atau menentang kebijakan tersebut adalah
pihak yang tidak memperoleh keuntungan apa pun dari
kebijakan tersebut atau mereka berada pada pihak yang
dirugikan akibat dari kebijakan yang akan dan telah diambil.
Permasalahan PKL bukan persoalan yang mudah
dipecahkan. Banyak faktor yang melingkupinya. Tidak hanya
terkait dengan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor
formal, tetapi juga berhubungan dengan faktor-faktor lainnya,
seperti meningkatnya arus migrasi ke kota, bertambahnya
jumlah penduduk kota, makin sempitnya lahan kota karena
dipadati oleh gedung-gedung perkantoran, bisnis, perbankan,
dan perdagangan, makin lengkapnya fasilitas kota, karakteristik
urban yang umumnya rendah pendidikan dan tak
berketerampilan, dan faktor lainnya, yang membuat kota
menjadi tempat menarik bagi migran atau urban yang hendak
mengubah nasibnya menjadi lebih baik.
Para migran dan urban yang tidak terserap oleh sektor
ekonomi formal, umumnya mencari rezeki dengan memasuki
sektor informal, misalnya dengan menjadi pedagang kaki lima.
Jenis usaha yang dipilih pun beraneka ragam, ada yang menjadi
pedagang makanan dan minuman, pedagang alat-alat pertanian
dan pertukangan, pedagang barang-barang bekas (klitikan),
pedagang pakaian, dan lain-lain.
mencari tempat yang ramai atau padat manusia. Tidak adanya
360
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
tempat kosong yang khusus disediakan oleh Pemkot, membuat
mereka nekat menempati area terlarang, seperti tepi sungai,
trotoar, emperan toko, ruang dekat pasar tradisional maupun
modern, ruang dekat sekolah, ruang dekat perkantoran, dan
area lainnya yang mudah diakses pembeli. Anggaran yang
terlalu kecil sering menjadi kendala bagi pemerintah kabupaten
dan kota di Jawa Tengah untuk melakukan penataan dan
pembinaan pedagang kaki lima.
mengalami kesulitan dalam menata dan menertibkan PKL. Data
jumlah PKL ini bisa saja berubah lebih tinggi, karena data
terbaru belum diperoleh. Selain itu, pertumbuhan dan
perkembangan yang cepat dari sektor ekonomi informal (PKL)
juga merupakan variabel yang dapat menambah data jumlah
PKL.
merupakan kendala tersendiri, apalagi sebagian lahan harus
disediakan pemerintah untuk ruang terbuka hijau (RTH) yang
tidak boleh digunakan untuk aktivitas lain, selain untuk
kepentingan RTH. Sikap PKL yang sulit diatur juga menjadi
kendala bagi Pemkot untuk menata dan membina PKL. Hari ini
ditertibkan, mereka patuh tidak menempati area terlarang,
tetapi begitu tidak ada penertiban, mereka kembali lagi ke
tempat semula. Mirip film Tom and Jerry, petugas Satpol PP
sebagai Tom selalu mengejar-ngejar PKL sebagai Jerry. Mereka
tidak pernah akur, Tom dengan gigi taringnya menakut-nakuti
Jerry, tetapi Jerry yang cerdik tampaknya tidak pernah jera.
PKL tampaknya memang tidak pernah jera untuk
berdagang di tempat terlarang, meskipun acapkali Satpol PP
menertibkannya. Pemerintah kabupaten Grobogan misalnya,
mengakui kewalahan dalam mengatur pedagang kaki lima di
Purwodadi. Menurut Kabid Pengendalian Lingkungan BLH
361
Grobogan memperoleh Adipura, karena masih adanya kawasan
kumuh yang ditempati para PKL (Semarang Metro, Sabtu, 5
November 2011).
penataan PKL, salah satu tujuan terpenting adalah untuk
memperoleh penghargaan Adipura, sebuah penghargaan
prestisius bagi bupati atau walikota yang berhasil
memperolehnya. Untuk keperluan tersebut, tidak segan-segan
pemerintah menggusur PKL atau setidaknya mengarahkan PKL
agar tidak mengganggu persiapan dan pelaksanaan penilaian
Adipura. Pemkot Semarang biasanya meminta PKL untuk tidak
berdagang beberapa hari ketika tiba masa penilaian Adipura
dari pemerintah pusat.
menjadi penyebab sekaligus hambatan mengapa PKL sulit
ditata. Macetnya komunikasi antara kedua belah pihak,
menyebabkan munculnya perasaan saling curiga dan tidak
adanya kepercayaan satu dengan lainnya. Keberhasilan relokasi
PKL Monjari ke pasar Notoharjo Semanggi Surakarta
merupakan bukti dari berlangsungnya komunikasi yang intensif
antara Pemkot dengan PKL.
wakilnya melepas baju kedinasan dan bersedia berbaur dengan
PKL, sehingga PKL menjadi impresif terhadap apa yang
dilakukan orang nomor satu dan nomor dua di Surakarta
tersebut. Perhatian yang besar dari pemimpin tersebut mampu
membuka kunci ketertutupan, kebandelan, dan kenekatan dari
PKL, sehingga para PKL akhirnya bersedia dipindah ke tempat
lain yang lebih baik kondisinya. Hal ini tidak terjadi di kota
Semarang.
dan PKL menjadikan PKL tidak mudah menerima kebijakan
362
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pemkot. Rapat-rapat yang diadakan PKL tidak pernah dihadiri
oleh pejabat kota Semarang. Kalau pun pernah, hanya
menjelang akhir perjuangan PKL Basudewo, wakil walikota
bersedia hadir, itu pun hanya sekali untuk menegosiasi PKL
agar mereka bersedia pindah ke sentra PKL Kokrosono. Pejabat
kota Semarang yang lebih mengedepankan gengsi kekuasaan,
membuat mereka tidak dengan mudah diterima di kalangan
para PKL. “Kalau diundang untuk membicarakan nasib kita,
mereka tidak pernah datang pak, mungkin gengsinya turun
kalau hadir di tengah orang miskin”, demikian ungkap pak
Achmad. Pedagang kaki lima (PKL) menjadi resisten ketika
mereka ditertibkan, apalagi penertiban dilakukan secara tidak
manusiawi.
Pemkot menjadi pintu masuk bagi PKL untuk melakukan
perlawanan, apalagi dalam realitas kebijakan yang dikeluarkan
Pemkot, para PKL harus berada pada posisi harus mengalah,
kalah dan dikalahkan demi kepentingan yang lebih besar.
Mereka harus minggir dari jalanan atau tempat terlarang
lainnya, demi pembangunan yang lebih besar manfaatnya bagi
kota dan masyarakat.
sebagian PKL di kota Semarang. Sikap bandel dan
membangkang ini juga merupakan hambatan yang dihadapi
Pemkot dalam menata PKL. Para PKL pada saat “dirazia” akan
pergi dari lokasi, tetapi begitu kondisi sudah aman, mereka
akan kembali ke tempat semula. Ini terjadi tidak hanya di
Semarang, tetapi juga di daerah lainnya.
“Kami berkali-kali telah memperingatkan, tetapi tidak
diindahkan, terpaksa kami merazia mereka”, keluh
Daniel Sandanafu, Kabid pengendalian dan
Operasional Satpol PP Kota Semarang (Semarang
Metro, Kamis, 17 November 2011).
363
Kebandelan PKL juga dirasakan oleh Kepala Satpol PP
Kabupaten Grobogan, Daru Wisakti.
tertibkan, dan kali ini bagi yang melanggar akan kami
proses sampai Pengadilan atas pelanggaran Perda”,
tegas Daru (Semarang Metro, Sabtu, 5 November
2011).
ditunjukkan dari banyaknya PKL yang tidak memiliki Surat
Keputusan resmi dari Pemkot untuk izin berdagang. Mereka
yang sudah menempati lahan dan telah mendirikan bangunan
dan lapak tidak resmi, juga banyak di antaranya yang menjual
lahan kepada pihak lain.
dipindahtangankan kepada pihak lain…sebenarnya hal
ini dilarang dan bertentangan dengan ketentuan Perda
PKL, tetapi mereka tetap membandel…di Semarang
banyak PKL liar yang tidak memiliki SK resmi
sehingga sulit bagi kami untuk melakukan penataan
dan penertiban”, demikian keluh pak Azis, Ka.Sub.
Dinas Pasar Semarang (wawancara dengan pak Azis,
Rabu, 29 Februari 2012).
(2009:94) dalam disertasinya berjudul Resistensi dan
Akomodasi: Suatu Kajian tentang Hubungan-hubungan
Kekuasaan pada Pedagang Kaki Lima (PKL), Preman, dan
Aparat di Depok Jawa Barat, menemukan bahwa petugas Satpol
PP sesungguhnya tidak tega ketika akan menggusur PKL,
karena mereka membutuhkan tempat untuk mencari
penghidupan, tetapi karena harus taat pada tugas dan perintah
dari pimpinan, maka petugas Satpol PP mau tidak mau harus
menertibkan PKL. Ini artinya, bahwa petugas Satpol PP di
Depok dalam melaksanakan perintah sesungguhnya tidak
sepenuh hati.
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Namun demikian, ditemukan pula, bahwa ada di antara
petugas Satpol PP yang dalam melaksanakan tugasnya
memanfaatkan kesempatan dengan menarik sejumlah uang
kepada para PKL dengan dalih untuk uang keamanan. Perilaku
petugas Satpol PP ini tidak jauh berbeda dengan tindakan
preman di sekitar lokasi PKL yang melakukan pungutan liar,
juga dengan dalih untuk dana keamanan.
D. Dampak Kebijakan Penataan PKL
Dalam kasus PKL Monjari, pemerintah kota Surakarta
termasuk berhasil dalam melakukan penataan PKL. Sebanyak
989 PKL bersedia dipindah setelah melalui serangkaian strategi
yang ditempuh pemerintah kota Surakarta, mulai dari kegiatan
sosialisasi, komunikasi, penyiapan lahan, pembangunan sarana
prasarana, hingga kirab budaya kepindahan para PKL ke Pasar
Notoharjo Semanggi Surakarta. Pendekatan budaya yang
diterapkan walikota Surakarta, Joko Widodo, membuat para
PKL menjadi “ewuh pakewuh” dan bersedia pindah tanpa ada
konflik.
Di tempat yang baru, yakni di Pasar Notoharjo, para PKL
dapat menjalankan usaha dagangnya tanpa ada rasa takut dan
was-was akan digusur petugas Satpol PP, karena di pasar ini
mereka berdagang sudah diberi izin untuk menjalankan usaha.
Fasilitas pasar yang memadai, mulai dari kios, area parkir,
sarana kebersihan, WC dan toilet, mushola, hingga terminal
angkutan kota, membuat mereka betah bekerja di tempat yang
baru. Mereka juga tidak kehilangan pelanggan dan pembeli,
karena pada saat pindah mereka sudah memiliki nomor ponsel
pelanggan, sehingga ketika pindah para pelanggan diberitahu
tentang kepindahan tersebut. Hubungan antara penjual dan
pembeli, utamanya dengan pelanggan hingga kini tetap
terpelihara.
365
Pasar Notoharjo sebagai sentra PKL untuk barang-barang
klitikan tetap ramai dikunjungi pembeli, tidak hanya warga
dari Surakarta, tetapi juga dari daerah sekitarnya, seperti
pembeli dari Sukoharjo dan Karanganyar. Para PKL juga
merasakan dampak positif dari usahanya di Pasar Notoharjo dan
hingga kini pun usaha dagangnya masih tetap lancar, sehingga
kebutuhan ekonomi keluarga dapat dipenuhi. Gambar di bawah
ini menunjukkan bagaimana kondisi pedagang kaki lima (PKL)
yang berdagang di Pasar Klitikan Notoharjo, Semanggi,
Surakarta.
Kebijakan penataan PKL di Surakarta mendapat sambutan
positif dari para PKL, salah satunya adalah karena Walikota
Surakarta beserta segenap jajarannya memberi layanan yang
sebaik-baiknya kepada para PKL. Mereka yang direlokasi ke
Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta, tidak ditarik iuran sedikit
pun. Semua urusan kepindahan, termasuk sarana transportasi
366
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
untuk memindahkan barang-barang pedagang ditangani oleh
Pemkot. Pendek kata, PKL tinggal datang ke tempat yang baru
untuk berdagang. Sikap akomodatif yang ditunjukkan Pemkot
Surakarta memberikan suasana kondusif bagi kepindahan para
PKL.
melibatkan semua pihak, baik pemerintah provinsi Jawa
Tengah, jajaran pemerintah kota Surakarta, media massa,
tokoh-tokoh masyarakat Surakarta, hingga para pedagang kaki
lima yang akan dipindah, membuat para PKL merasa
“diuwongke” atau ditempatkan sebagai manusia yang harus
dihormati hak-haknya, sehingga mereka secara sukarela
bersedia dipindah.
dengan kebijakan penataan PKL yang diimplementasikan
Pemkot Semarang, utamanya dalam menata PKL Sampangan,
Basudewo dan Kokrosono. Pendekatan kekuasaan yang
diperagakan Pemkot Semarang memberikan dampak berupa
resistensi dari kalangan pedagang kaki lima. Penataan PKL di
kota Semarang tidak dilakukan secara komprehensif dengan
melibatkan seluruh komponen masyarakat kota Semarang. Jika
pemerintah kota Surakarta melibatkan aparat pemerintah,
seperti petugas Satpol PP, Dinas Pasar, kalangan DPRD, asosiasi
PKL, tokoh-tokoh masyarakat, media massa, dan PKL;
sementara Pemkot Semarang tidak melakukannya.
Pelaksanaan kebijakan penataan PKL di Semarang
dilakukan secara sepihak, yakni dari Pemkot yang melibatkan
Dinas Pasar, Satpol PP dan pihak Kepolisian Resort kota
Semarang yang lebih banyak bersifat koersif, sehingga perilaku
mereka lebih didasarkan pada pengutamaan tugas (orientasi
pada tugas) ketimbang memperhatikan hubungan antar
manusia. Itulah sebabnya, tidak mengherankan apabila
penataan PKL mereka pahami sebagai upaya penertiban
367
terhadap PKL Sampangan, Basudewo, dan Kokrosono yang
dinilai membangkang dan melanggar Peraturan Daerah tentang
PKL. Bagi mereka, PKL yang melanggar ketentuan Perda harus
dihukum dan diberi sanksi, di antaranya dengan dipaksa pindah
dari lokasi berdagang.
PKL Kokrosono yang kondisinya tidak memadai untuk
melaksanakan kegiatan ekonomi, karena yang ada hanya
bangunan, sedangkan kios tidak disiapkan oleh Pemkot.
Sempitnya bangunan, kios belum disiapkan, lingkungan yang
kumuh, menyebabkan banyak PKL yang tidak bersedia pindah
ke Kokrosono. PKL Sampangan misalnya, hingga tahun 2012
masih menjalankan aktivitas ekonomi di sisi selatan lokasi yang
telah dibongkar Satpol PP. Nasib PKL Basudewo lebih tragis.
Sebagian kecil bersedia pindah ke Kokrosono, sedangkan
sebagian besar lainnya tidak diketahui ke mana mereka
menjalankan aktivitas ekonomi. Bahkan masih ada beberapa
PKL yang nekat mencari rezeki di Basudewo, meskipun
aktivitas proyek masih berlangsung. Sementara itu, PKL
Kokrosono liar masih berdagang dan menjalankan aktivitas
ekonomi di lokasi semula, meskipun tempat mereka berdagang
digunakan sebagai lalu lintas truk-truk proyek dan
menempatkan material untuk proyek normalisasi sungai Banjir
Kanal Barat.
berdagang atau menjual jasa termasuk tempat terlarang, tidak
boleh dipakai untuk aktivitas ekonomi, tetapi karena tempat ini
cukup ramai dikunjungi pembeli, maka mereka tidak mau
beranjak dari lokasi meskipun banyak di antara mereka yang
sudah diberi kesempatan menempati lokasi resmi PKL di
Kokrosono yang tempatnya berada di sebelah utara rel kereta
api.
368
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
Pak Mustaqim, salah seorang PKL yang menjual peralatan
rumahtangga, pertanian, dan pertukangan, nekat berjualan di
tepi sungai Banjir Kanal Barat, karena menurut penuturannya,
lokasinya ramai. Bahkan pak Mustaqim yang sudah pergi haji
dua kali ini, bersedia membayar Rp10 juta asalkan diizinkan
tetap berjualan di tepi sungai tersebut. Lain dengan PKL
Sampangan dan Kokrosono yang tetap nekat berjualan di lokasi
semula, PKL Basudewo yang berdagang dan menjalankan
aktivitas ekonomi di tepi sungai Banjir Kanal Barat, akhirnya
menyerah dan bersedia dipindah ke lokasi PKL Kokrosono. Itu
pun hanya beberapa orang saja yang pindah, sedangkan
sebagian besar lainnya yang berprofesi sebagai pengrajin mebel
tidak diketahui lagi kemana mereka menjalankan aktivitas
ekonomi.
menghadapi persoalan PKL. Berkaitan dengan keberadaan PKL,
pemerintah Surakarta dan Semarang menghadapi persoalan
yang lebih rumit. Sebagai kota perdagangan dan jasa, Surakarta
dan Semarang menjadi tujuan para urban untuk mengais rezeki.
Mereka yang tidak tertampung di sektor formal, menceburkan
diri dalam aktivitas ekonomi di sektor informal, banyak di
antaranya yang berprofesi sebagai pedagang kaki lima (PKL).
Keberadaan PKL inilah yang membuat pusing walikota di dua
kota tersebut. Penataan terhadap PKL merupakan suatu
keharusan bagi Pemkot untuk menata kota asri, indah, bersih,
dan nyaman, tetapi dengan tidak mematikan geliat sektor
informal, utamanya PKL.
terlanjur menjamur dan tidak terkontrol, di mana pada tahun
2006 tercatat ada 5.817 PKL, (2) banyaknya fasilitas umum
369
ruang publik yang digunakan oleh PKL, (3) kesemrawutan lalu
lintas di lokasi-lokasi kawasan PKL, (4) permasalahan sosial dan
ekonomi, (5) makin dirasakan perlunya ruang hijau dan ruang
terbuka untuk perbaikan kualitas lingkungan, serta (6)
keinginan dan desakan dari masyarakat untuk pelaksanaan
penataan dan penertiban ruang usaha bagi PKL. Kebijakan
penataan PKL di kota Surakarta secara garis besar dilakukan
dengan (1) membuat kawasan PKL dan (2) membuat kantong-
kantong PKL, yang pelaksanaannya dilakukan melalui lima
strategi.
tersedia lahan di lokasi dan jumlah PKL banyak.
Kedua, shelter knock down, di mana PKL dibuatkan shelter
jika di lokasi masih tersedia lahan.
Ketiga, tendanisasi, yakni pemberian tenda kepada PKL,
yang diperuntukkan pada PKL pada wilayah yang lahannya
tersedia dan dioperasikan pada malam hari.
Keempat, gerobakisasi, yakni pemberian gerobak kepada
PKL pada wilayah yang lahannya tidak tersedia untuk selter
dan tenda. Gerobak ini bersifat mobile, dapat dipindahkan
setiap saat.
untuk seluruh PKL yang ada di kota Surakarta, meskipun
hingga sejauh kini belum semua dapat dijalankan.
Tidak seperti halnya kebijakan yang diambil oleh Pemkot
Surakarta, Pemkot Semarang tidak memiliki pedoman dalam
menata PKL. Mereka hanya memfokuskan diri pada program
relokasi. Kalau pun ada program yang serupa dengan program
Pemkot Surakarta, seperti pembuatan shelter bagi PKL, itu pun
370
Studi tentang kontribusi Modal Sosial terhadap Resistensi PKL di Semarang
dilakukan setelah mereka belajar dari keberhasilan Pemkot
Surakarta dalam menata PKL, utamanya relokasi PKL
Monumen Banjarsari ke Pasar Notoharjo Semanggi Surakarta.
Implementasi kebijakan penataan PKL di Surakarta dan
Semarang berbeda dalam empat hal.
Pertama, Pemkot Surakarta dalam melakukan penataan
PKL menggunakan buku pedoman yang disusun secara
komprehensif dengan melibatkan banyak unsur, sedangkan
Pemkot Semarang tidak memikiki buku pedoman dalam
penataan PKL.
pendekatan yang ditempuh adalah pendekatan budaya dan
nonkekerasan, sementara itu pendekatan yang diambil Pemkot
Semarang berbasis kekuasaan dan cenderung berifat kekerasan.
Ketiga, Pemkot Surakarta tidak bertindak diskriminatif
terhadap PKL, sedangkan Pemkot Semarang berlaku
diskriminatif terhadap PKL.
Pemkot Semarang yang lebih banyak berpihak kepada para
investor (kapitalis).