bab vii konstribusi adat kebiasaan terhadap...

21
139 BAB VII KONSTRIBUSI ADAT KEBIASAAN TERHADAP PENGEMBANGAN DAKWAH ISLAMIYAH Dakwah mengandung makna melakukan upaya sistematis untuk mengusahakan perubahan dalam segala aspek kehidupan guna disesuaikan dengan ideal-moral Islam (Amrullah, 1996:25). Kegiatan dakwah diarahkan minimal ke dalam tiga hal, pertama mensosialisasikan nilai-nilai ideal masyarakat (dakwah ilal-khair). Kedua memajukan tatanan masyarakat yang sudah baik menjadi lebih baik (amar ma’ruf). Ketiga merubah tatanan masyarakat yang dianggap destruktif (nahi munkar). Ketiga fokus tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan, apalagi diambil salah satu saja. Sebab jika yang pertama diambil tanpa kedua dan ketiga, maka dakwah yang dilakukan hanya bersifat normatif, tidak realistis, sehingga tidak ada efek berarti secara sosial. Jika yang kedua saja tanpa yang pertama dan ketiga, seorang da’i atau muballigh akan terlalu pragmatis, tidak menjamin keselamatan kebijaksanaannya. Yang paling kurang tepat jika hanya mengambil bagian ketiga saja, tanpa pertama dan kedua. Akibatnya dakwah hanya berisi melarang tanpa memberi jalan keluar, bahkan mungkin hanya berisi maki-makian dan kutukan- kutukan (Madjid, 1993:200-201). Enjang (2009: 53-62) mengklasifikasikan bentuk kegiatan dakwah sesuai dengan karakteristiknya baik pola, teknik, pendekatan media atau sasaran dakwahnya: 1) Tabligh al-Islam Tabligh al-Islam merupakan aktivitas dakwah yang dilakukan dengan cara menyampaikan/menyebarluaskan (transmisi) ajaran Islam melalui media

Upload: lekhanh

Post on 02-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

139

BAB VII

KONSTRIBUSI ADAT KEBIASAAN TERHADAP PENGEMBANGAN DAKWAH ISLAMIYAH

Dakwah mengandung makna melakukan upaya sistematis untuk

mengusahakan perubahan dalam segala aspek kehidupan guna disesuaikan dengan

ideal-moral Islam (Amrullah, 1996:25). Kegiatan dakwah diarahkan minimal ke

dalam tiga hal, pertama mensosialisasikan nilai-nilai ideal masyarakat (dakwah

ilal-khair). Kedua memajukan tatanan masyarakat yang sudah baik menjadi lebih

baik (amar ma’ruf). Ketiga merubah tatanan masyarakat yang dianggap destruktif

(nahi munkar). Ketiga fokus tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan, apalagi diambil

salah satu saja. Sebab jika yang pertama diambil tanpa kedua dan ketiga, maka

dakwah yang dilakukan hanya bersifat normatif, tidak realistis, sehingga tidak ada

efek berarti secara sosial. Jika yang kedua saja tanpa yang pertama dan ketiga,

seorang da’i atau muballigh akan terlalu pragmatis, tidak menjamin keselamatan

kebijaksanaannya. Yang paling kurang tepat jika hanya mengambil bagian ketiga

saja, tanpa pertama dan kedua. Akibatnya dakwah hanya berisi melarang tanpa

memberi jalan keluar, bahkan mungkin hanya berisi maki-makian dan kutukan-

kutukan (Madjid, 1993:200-201).

Enjang (2009: 53-62) mengklasifikasikan bentuk kegiatan dakwah sesuai

dengan karakteristiknya baik pola, teknik, pendekatan media atau sasaran

dakwahnya:

1) Tabligh al-Islam

Tabligh al-Islam merupakan aktivitas dakwah yang dilakukan dengan cara

menyampaikan/menyebarluaskan (transmisi) ajaran Islam melalui media

140

mimbar atau media massa dengan sasaran orang banyak atau khalayak. Dari

segi metode (ushlub), tabligh bisa dilakukan secara lisan (khitabah) dan tabligh

melalui tulisan (kitabah).

2) Irsyad al-Islam

Proses dakwah yang dilakukan dengan menyampaikan dan

menginternalisasikan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, penyuluhan

dan psikoterapi Islami dengan sasaran individu atau kelompok kecil. Irsyad

dilihat dari prosesnya lebih bersifat kontinyu, simultan dan intensif. Contoh

seorang kyai yang membimbing para santrinya di pesantren, perawat rohani

Islam yang ikut membantu pasien di rumah sakit, termasuk bimbingan orang

tua kepada putra-putrinya. Dari segi materi irsyad dilaksanakan atas dasar

masalah khusus (kasuistik) dalam sebuah aspek kehidupan yang

berdampaknpada kehidupan individu atau kelompok kecil.

3) Tadbir Islam

Kegiatan dakwah dengan mentransformasikan ajaran Islam melalui kegiatan

aksi amal shaleh berupa penataan lembaga-lembaga dakwah dan kelembagaan

Islam lainnya. Fungsi-fungsi manajemen merupakan karakteristik menonjol

dalam dakwah tadbir.

4) Tathwir al-Islam

Kegiatan dakwah dengan mentransformasikan ajaran Islam melalui aksi amal

shaleh berupa pemberdayaan (taghyir, tamkin) sumber daya manusia dan

sumber daya lingkungan dan ekonomi umat dengan mengembangkan pranata-

pranata sosial, ekonomi dan lingkungan atau pengembangan kehidupan muslim

dalam aspek-aspek kultur universal. Dakwah tathwir antara lain dapat

141

dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, pendampingan, pengadaan sarana-

prasarana dan lain sebagainya.

Umat Islam di Desa Krajankulon, sebagaimana telah dijelaskan pada bab

sebelumnya, secara umum tidak pernah kering dari sentuhan dakwah. Dakwah

yang dilakukan saat ini adalah dakwah bil lisan atau tabligh melalui majlis taklim

dengan berbagai kajian kitab kuning sebagai acuan materinya. Selain itu

keteladanan para ulama juga mewarnai proses dakwah.

Krajankulon sebagai Kota Santri memiliki kekayaan adat kebiasaan islam

(tradisi islam) yang masih dilakukan secara kontinyu. Meskipun tradisi dimaksud

telah mengalami perubahan, sebagai bagian dari adaptasi para pelakunya dengan

perkembangan jaman. Secara substantif dapat dipertahankan, sehingga pelaksanaan

setiap tradisi akan memberikan pengaruh positif dalam pengembangan dakwah

Islam kepada para pelakunya khususnya sejumlah umat Islam yang berpartisipasi

dalam kegiatan tersebut. Misalnya tradisi weh-wehan, dahulu makanan yang

disajikan dalam tradisi itu berupa sumpil berbentuk limas, dan ketan. Sekarang

makanan itu diganti dengan jajanan lain yang disukai anak-anak di Desa

Krajankulon. Tradisi bubur suran, jika dahulu makanan itu berbentuk bubur

dengan dicampur tahu, tempe, telur, srundeng, saat ini ada yang mengganti bubur

dengan nasi kuning. Tradisi syawalan juga mengalami perubahan, jika dahulu

dilaksanakan secara sederhana oleh masyarakat. Tetapi seiring dengan kemudahan

transportasi, dan komunikasi, sehingga tradisi itu dihadiri tidak hanya oleh

masyarakat setempat, juga dihadiri oleh masyararakat di luar daerah. Kegiatan

menjadi lebih semarak, dengan adanya pasar dadakan selama kegiatan syawalan

berlangsung.

142

Tradisi pertunjukan seni kentrungan, dan wayang kulit tidak ditampilkan

secara rutin sebagaimana pada jaman dulu. Pada event-event tertentu saja kesenian

itu dipentaskan, misalnya pada acara Festival Al-Muttaqin dan Pekan Maulid.

Keengganan masyarakat Desa Krajakulon itu, dapat dipahami mengingat

pengaruh-pengaruh dari luar terutama globalisasi telah mengancam keberadaan,

legitimasi, dan keberlanjutan budaya lokal. Maka munculnya kekuatan atau lebih

tepatnya revitalisasi kearifan lokal dapat difungsikan untuk memperkokoh jatidiri

suatu bangsa atau masyarakat, meliputi kesadaran sejarah memegang peranan

penting dalam menumbuhkembangkan jati diri dan identitas. Sehingga

penghayatan kebersamaan di masa lampau dapat membangkitkan rasa kepemilikan

terhadap kearifan lokal. Selain itu persatuan dan kesatuan akan terus terpelihara

dalam mempersiapkan masa datang tanpa meninggalkan nilai-nilai luhur yang

diwariskan para pendahulu (Darwan Sari, 2011: 19-20)

Dalam konteks ini adat kebiasaan atau tradisi islam di masyarakat

Krajankulon, sebenarnya telah memberikan konstribusi untuk pengembangan

dakwah. Artinya nilai-nilai dan hasil-hasil dari kebudayaan lokal masyarakat yang

nota benenya bersumber dari ajaran Islam, secara terus-menerus tersosialisasikan

kepada para pemegang kebudayaan tersebut (da’i dan mad’u). Sehingga selalu ada

momentum yang mendorong masyarakat untuk mengaktualisasikan nilai-nilai

luhur (kearifan lokal) dalam kehidupan sehari-hari, untuk menangkal segala

macam pengaruh dari luar yang dibawa oleh globalisasi. Secara ringkas konstribusi

adat-istiadat atau tradisi Islam dalam konteks pengembangan dakwah di

Krajankulon dapat digambarkan dalam tabel berikut:

143

Tabel 11

Kontribusi Tradisi Islam untuk Pengembangan Dakwah

No Tradisi Islam

Kontribusi Untuk Pengembangan Dakwah Da’i Mad’u Maddatut

Da’wah Thariqatut Da’wah

Wasilatut Da’wah

1. Bari’an Dzikir dan sholawat, kebersamaan dengan mad’u

Dzikir dan sholawat, kebersamaan dengan da’i

Dzikir dan sholawat

Mauidzah, bershodaqoh

buku

2. Wayang kulit

Mengingatkan kepada sifat-sifat yang harus dimiliki da’i

Mengenalkan kepada mad’u sifat-sifat baik yang harus dimiliki mad’u

Tauhid dan akhlak

Infiltrasi karyaseni

3.

Rebo pungkasan Mauludan, Festival, Pekan Maulid

Dzikir dan sholawat

Dzikir dan sholawat

Dzikir dan sholawat

Mauidzah, infiltrasi

buku

Dzikir dan sholawat

Dzikir dan sholawat

Dzikir dan sholawat

Mauidzah buku

Solidaritas sosial, silaturahim, meneladani sifat2 nabi saw

Solidaritas sosial, silaturahim, meneladani sifat2 nabi saw

Dzikir, sholawat, akhlaq, shodaqoh

Mauidzah, home visit, keteladanan, infiltrasi, mujadalah

Buku,

Nuansa psikologis jaman nabi

Nuansa psikologis jaman nabi

Infiltrasi Karya seni lampu hias

5. Ujung-Ujung/Halal Bihalal, syawalan

Silaturahim, meneladani nilai perjuangan kyai guru, menjaga peninggalan kyai guru

Silaturahim, meneladani nilai perjuangan kyai guru, menjaga peninggalan kyai guru

Taubat, silaturahim, birrul walidain

Home visit, mauidzah, infiltrasi, mujadalah

Tatap muka, buku, pameran, pementasan tradisi keIslaman

6. Dugderan dan ramadhan

senang menyambut ramadhan, dzikir, solidaritas

senang menyambut ramadhan, dzikir, solidaritas

Puasa, nuzulul qur’an,lailatul qadr,zis,

Infiltrasi, mauidzah, mujadalah

Karya seni, shodaqoh

7. Bubur Suran Refleksi sejarah perjuangan umat Islam, silaturahim

Refleksi sejarah perjuangan umat Islam, silaturahim

Bulan muharram, kisah para nabi

Bershodaqoh dan keteladanan

shodaqoh

144

A. Kontribusi Pengembangan Da’i dan Mad’u

Da’i adalah individu, sekelompok orang, lembaga yang menginisiasi

terjadinya proses dakwah. Idealnya setiap da’i memenuhi persyaratan tertentu,

sebagai pejuang moral da’i harus menjadi rujukan moral, sekaligus ilmu bagi

masyarakatnya. Untuk itu, Syekh Ali Mahfudz (1961) dalam kitabnya Hidayatul

Mursyidin menenkankan perluanya persiapan ilmu agama (diniyah) maupun

ilmu kemasyarakatan (wadhiyyah). Abu A’la al-Maududi (1984: 36-54) dalam

bukunya Tadzkiratud Dua’atil Islam seorang da’i harus memiliki sifat-sifat

sebagai berikut :

a) Sanggup memerangi musuh dalam dirinya agar terus berada dalam ketaatan

kepada Allah SWt dan rasul-Nya.

b) Sanggup berhijrah dari hal-hal yang maksiat yang dapat merendahkan

dirinya di hadapan Allah SWT dan dihadapan masyarakat.

c) Mampu menjadi uswatun hasanah bagi mad’unya.

d) Memiliki persiapan mental dengan berbagai turunannya seperti : sabar,

teguh pendirian, welas-asih, semangat dan rela berkorban.

Desa Krajankulon sebagai pusat Kota Santri di Kecamatan Kaliwungu,

terdapat sejumlah da’i yang memiliki kompetensi yang tidak diragukan dalam

hal penguasaan ilmu agama Islam. Karena mereka sekaligus sebagai pengasuh

pondok pesantrennya sendiri, baik sebagai pendiri maupun sebagai pewaris dari

orang tuanya. Para penyuluh agama di Kecamatan Kaliwungu sampai tidak

mendapatkan tempat untuk melaksanakan tugas-tugas kepenyuluhannya di Desa

Krajakulon (Wawancara Ibnu Fikri, 12 Mei 2013). Tetapi menurut Muhammad,

kegiatan penyuluh agama dari KUA Kecamatan Kaliwungu, terbatas pada

pengajian rutin di majlis ta’lim. Pak Sholahudin ba’da maghrib, Pak Zainuri

145

ba’da ashar setiap hari, Pak Kyai Nidhom ba’da subuh kecuali hari jum’at, Pak

Muhib Patean setiap selasa dan sabtu, semua waktu sudah terisi semua 7 hari full

terisi pengajian (Wawancara 28 Mei 2013).

Sebenarnya, Penyuluhan agama Islam merupakan salah satu bentuk

satuan kegiatan yang memiliki nilai strategis dalam memperlancar pelaksanaan

pembangunan di bidang keagamaan. Keputusan Menteri Agama (KMA)

Nomor 516 tahun 2003 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Penyuluh

Fungsional dinyatakan bahwa Fungsi utama penyuluh agama Islam adalah

melakukan dan mengembangkan kegiatan bimbingan atau penyuluhan agama

dan pembangunan melalui bahasa agama kepada masyarakat.

Penyuluh Agama Islam merupakan ujung tombak dari Kementerian

Agama dalam pelaksanaan tugas membimbing umat Islam dalam mencapai

kehidupan yang bermutu dan sejahtera lahir batin. Penyuluh agama Islam

memiliki peran dalam membina umat, paling sedikit penyuluh agama diwajibkan

memiliki empat kelompok warga binaan. Penyuluh agama memiliki tanggung

jawab untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat, sebagai konselor untuk

mencari solusi permasalahan yang dihadapi masyarakat dan membina kehidupan

beragama untuk mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Hasil akhir

yang ingin dicapai dari penyuluhan agama pada hakekatnya ialah terwujudnya

kehidupan masyarakat yang memiliki pemahaman mengenai ajaran agamanya,

ditunjukkan melaui pengamalannya dengan komitmen dan kosisten disertai

wawasan multicultural, untuk mewujudkan tatanan kehidupan yang harmonis

dan saling menghargai satu sama lain (Marmiati, 2012,2).

Bahkan di Desa Krajankulon, jumlah da’inya paling banyak

dibandingkan dengan desa-desa lain se-Kecamatan Kaliwungu. Menurut data

146

dari KUA Kecamatan Kaliwungu tahun 2008, terdapat 55 orang yang berperan

sebagai da’i yaitu 23 ulama, 17 muballigh dan 15 khotib. Diantara nama-nama

da’i tersebut: KH. Khafidhin Ahmaddum, KH.Masduki Abdul Hamid, KH. Fauzi

Shodaqoh, KH.Muchsin Ghofur, KH. Ahmad Nur Fatoni, KH. Muhibudin Al-

Hafidz, K.Ahmad Khasan Aqib, KH. Ahmad Munib Abu Khair, KH.Sholahudin,

KH.Baduhun Badawi, KH. Najib Mubarok, K.Abdul Ghoni, KH. Muslim

Fauzan, Hamdani Mu’in, KH.Solekhan Al’Asyari, Zumrotuttaqiyah Ahz,

KH.Ridwan Amin, KH.Maghzunun Irja’, KH.Munawirudin Badawi, K.Shodiqin,

KH.Irfan Aziz, As’ad (RMI, 2008: 14-45).

Posisi da’i di Desa Krajankulon sekaligus sebagai ulama/kyai mempunyai

kekuatan yang lebih di hati masyarakat. Menurut Mudjahirin Thohir, orang-

orang yang disebut kyai itu (kecuali penyebutan yang direkayasa) adalah orang-

orang yang sudah lulus (sementara) dari seleksi secara alamiah dari masyarakat

yang bersangkutan. Mereka yang sudah terpilih itu, kemudian sering menerima

ungkapan perasaan masyarakat seperti: “Para kyai ingkang tansah kawula

dereaken sedoyo fatwa-fatwahipun” . Ini secara langsung menjelaskan adanya

legitimasi masyarakat akan peran kyai, dan juga kyai diberi kewenangan di

dalam kerangka memberi nasehat warganya. Kyai yang diberi otoritas dan

ditempatkan pada posisi tinggi dalam struktur atau susunan sosial masyarakat,

bukan saja terbatas pada masa “sugengnya” saja, tetapi pengakuan itu juga

diteruskan sampai pada masa sang kyai itu berada di alam barzah. Ini ditandai

oleh apa yang kita kenal dan rasakan dengan upacara khoul kyai (Mudjahirin,

2013). Otoritas yang dimiliki kyai, tidak hanya terbatas bidang agama. Tetapi

mencakup hampir seluruh bidang kehidupan seperti ekonomi, politik, keamanan,

147

kesehatan, pendidikan. Intensitas perhatian kyai dalam berbagai bidang

kehidupan di masyarakat telah mengantarkan tokoh agama Islam ini menjadi

satu-satunya elit pemegang otoritas kepemimpinan di masyarakat. Jika

menggunakan klasifikasi Max Weber, otoritas yang dimiliki kyai termasuk

otoritas kharismatik yaitu otoritas yang didasarkan pada kemampuan luar biasa

yang diberikan Tuhan. Kualitas seperti itu menarik para pengikut yang setia pada

pemimpin kharismatik secara pribadi dan memiliki komitmen terhadap

keteraturan normatif atau moral yang digambarkannya. Otoritas kharismatik

semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan individu yang bersangkutan

untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat dan pengikut-pengikutnya

(Faqih, 2003: 16-17).

Menurut Suzanne Keller (1984), selama suatu masyarakat masih kecil

dan beragam tunggal, maka pola kepemimpinannya cenderung berbentuk tunggal

dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat. Akan tetapi apabila

masyarakat bertambah besar karena bertambah jumlah penduduknya, lagipula

apabila terjadi diversifikasi dalam bidang ekonomi, politik dan sosial, maka pola

kepemimpinannya yang beragam tunggal sukar sekali dilestarikan. Apabila

struktur masyarakat menjadi beraneka ragam, maka dengan sendirinya polanya

beragam pula. Pada tiap-tiap bidang kehidupan masyarakat akan tumbuh suatu

golongan dengan suatu hirarkhi tersendiri, dimana setiap elit atau golongan kecil

memegang peranan yang paling berpengaruh dalam bidangnya. Misalnya elit

militer berpengaruh dalam bidang militer, elit ilmu berpengaruh dalam bidang

ilmu pengetahuan, elit kebudayaan berpengaruh dalam bidang kebudayaan, elit

politik berpengaruh dalam bidang politik.

148

Menurut Mudjahirin Thohir, otoritas kepemimpinan kyai di Krajankulon

saat ini, mulai ada pergeseran. Dalam arti otoritas yang dulunya mencakup

semua aspek kehidupan masyarakat, saat ini terbatas bidang agama dan politik.

Bidang ekonomi sudah diambil alih oleh elit ekonomi, bidang kesehatan sudah

diambil alih oleh elit kesehatan (Wawancara, 12 Juni 2013).

Dalam konteks dakwah, berbagai adat kebiasaan yang masih eksis

dengan berbagai macam modivikasi karena tuntutan perkembangan jaman, akan

mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan kepribadian para da’i dan

mad’u. Dalam adat kebiasaan syawalan misalnya, da’i dan mad’u akan selalu

diingatkan dengan nilai-nilai perjuangan Kyai Asy’ari sebagai tokoh dakwah

yang menjadi tonggak awal Islam di Kaliwungu. Keikhlasan, kesabaran,

kesederhanaan, merupakan nilai-nilai yang seharusnya selalu dimiliki oleh para

da’i dan mad’u di Desa Krajankulon.

Di era globalisasi saat ini, ketiga nilai itu mendapat tantangan yang

sangat kuat dari nilai matrealisme, dan pragmatisme. Hubungan-hubungan sosial

yang mengikat antar manusia bersifat transaksional. Artinya hubungan ini

terjalin karena adanya kesepakatan imbalan tertentu terhadap setiap jasa yang

digunakan dan tujuan-tujuan praktis untuk kepentingannya. Fenomena “da’i

amplop” merupakan tanda kemerosotan nilai keikhlasan da’i dalam menyebarkan

Islam sebagai tugas suci. Ketulusan (ikhlas) merupakan salah satu prinsip moral

yang ditegaskan berulangkali di dalam al-Qur’an, sebagai sikap mental yang

harus terpancar pada setiap umat Islam maupun dalam aktivitas dakwah. Nilai

ketulusan telah menjadi sikap mental yang melekat pada diri para nabi dalam

menjalankan missi risalahnya (Safrodin, 2008: 221). Nabi Nuh as hingga

149

menegaskan ketulusan dirinya dalam berdakwah dengan menyatakan dirinya

tidak meminta dari mereka upah sedikitpun dari aktivitas dakwah yang

dilakukan, karena upahnya akan ditanggung oleh Allah swt. (Wahbah al-Zuhali,

1991: 56-57). Allah swt menegaskan dalam firmannya:

� ا��ي ا� �� هللا� � ا���ا ا��� ����ا و���م �اسء��� �����ردا� ! و� ا�

ر!�� و���' ارا&� %�� $#���ن

“Wahai kaumku saya tidak akan meminta harta benda kepada kamu sebagai upah bagi dakwahku. Upahku hanya dari Allah swt dan aku sekali-kali tidak akan mengusir orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya mereka akan bertemu dengan Tuhannya, akan tetapi aku memandangmu suatu kaum yang tidak mengetahui” (QS.11: 29).

Diantara da’i dan mad’u juga ada yang terjebak pada kehidupan yang

bermegah-megahan, jauh dari kehidupan sederhana yang dicontohnya oleh umat

Islam jaman dahulu. Pelaksanaan adat kebiasaan syawalan diharapkan mampu

memberikan lecutan baru bagi para da’i dan mad’u di Desa Krajankulon untuk

menjaga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh Kyai Asy’ari.

Dalam tradisi mauludan, pekan maulid, dan festival maulid, dengan

segala bentuk kegiatan yang ada di dalamnya, akan selalu memberikan dorongan

kepada para da’i dan mad’u untuk meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad saw.

Shiddiq, amanah, tabligh, fathanah, adalah sifat-sifat dasar yang seharusnya

melekat pada diri setiap da’i dan mad’u di Krajankulon. Bagi da’i dan mad’u di

Krajankulon, keempat sifat dasar itu tidak mudah untuk diamalkan. Karena para

da’i dan tidak hanya memiliki satu peran dalam kehidupan sosialnya. Sebagian

da’i adalah pemimpin pondok pesantren, mereka juga sebagai pengurus partai

politik. Dari dua peran ini saja, cukup berat bagi mereka untuk benar-benar

150

mengamalkan sifat-sifat Nabi Muhammad saw. Pertentangan peran sosial yang

dimiliki, secara serius dapat menurunkan kredibilitas da’i di tengah-tengah

masyarakat. Pada akhirnya akan berpengaruh terhadap setiap kegiatan dakwah

yang dilaksanakan.

Nilai lain yang dapat digali dari tradisi itu adalah nilai silaturahmi dan

solidaritas sosial. Dalam tradisi weh-wehan sebagai bagian tradisi mauludan,

tradisi bubur suran, dan tradisi zakat infaq dan shodaqoh di bulan ramadhan,

akan melatih kepekaan sosial dan terjalinnya komunikasi antara da’i dengan

mad’u, antar sesama da’i dan antar sesama mad’u. Misalnya dalam tradisi weh-

wehan, masing-masing anggota keluarga akan berkunjung ke tetangga dan

saudara terdekat untuk bertukar menukar makanan khas atau jajanan tertentu. Hal

ini menjadi momentum kepada semua pihak untuk saling berkomunikasi, dan

meningkatkan tali silaturahim diantara mereka.

B. Kontribusi Pengembangan Maddatut Da’wah (Materi Dakwah)

Materi dakwah adalah ajaran Islam itu sendiri yang mecakup seluruh segi

kehidupan manusia tanpa kecuali bersumber pada kitab suci al-Qur’an, dan

Hadits. Menurut Hamka (1984: 236) materi dakwah atau topic dakwah harus

membawa mad’u untuk dekat dengan al-Qur’an, yang berfungsi sebagai

pengajaran, ilmu, tuntunan hidup, dan ideologi bernegara. Pesan dakwah yang

bersumber al-Qur’an harus dapat membangun pribadi muslim yang memiliki

identitas Islam. Akhirnya, pada diri seorang muslim aka nada nilai-nilai

sebagaimana terkandung dalam al-Qur’an. Pengembangan topik dakwah harus

mencakup semua aspek peradaban manusia. Ajaran Islam secara komprehensip

harus disosialisasikan kepada umat (Abdullah, 2012: 92).

151

Hampir sama denga pendapat Hamka, M.Natsir menjelaskan pesan

dakwah mencakup seluruh isi al-Qur’an. Tidak boleh ada yang ketinggalan atau

disembunyikan karena alasan tertentu sehingga tidak didahwahkan. Menurut

M.Natsir da’i harus menyampaikan ajaran Islam secara syumul, yaitu suatu

konsep dinamis Islam. Keduanya sependapat, bahwa perlu ada prioritas dalam

penyampaian pesan dakwah yaitu tentang keimanan. Sebab tauhid berperan

untuk memerdekakan manusia, yaitu merdeka dari kekuatan kepada selain Allah

dan hanya memperhambakan diri kepada-Nya. M. Natsir mengumpamakan

tauhid ibarat akar pada pohon. Bila akarnya kuat, maka pohon tersebut menjadi

kuat dan berbuah banyak. Pribadi muslim yang memiliki tauhid dan keimanan

yang teguh, maka akan memancarkan sinar keimanannya dalam wujud ketaatan

kepada Allah dan akhlak mulia kepada sesama manusia dan lingkungan

(Abdullah, 2012: 94).

Sebagai basis Kota Santri, materi dakwah yang disampaikan kepada

mad’u dominan berasal dari tradisi pesantren yaitu pengajaran kitab kuning.

Kitab kuning adalah buku-buku berbahasa arab yang dikarang oleh ulama-ulama

klasik, berisi kajian tentang fiqh, ushul fiqh, hadits, tafsir, tauhid, tarikh, hadits,

adab, tasawuf, akhlak (Zamakhsyari Dhofier, 1994: 20).

Pada salah satu musholla di Jln. Sawahjati yaitu Mushollah Al-

Muwahiddin, setiap hari ada pengajian kitab yaitu tafsir al-Qur’an, bulughul

marom, fathul majid, siroh nabi, al-kabair, riyadhus solihin, dan mulakhos

(Observasi tanggal 12 Mei 2013). Demikian juga di musholla-musholla lain,

termasuk di Masjid Al-Muttaqin, setiap hari ba’da subuh ada kajian kitab klasik

yang diajar oleh pengasuh Pesantren APIP (Asrama Perguran Islam dan Pelajar).

Karena dominannya materi dakwah yang bersumber pada kitab-kitab klasik,

152

menyebabkan umat Islam Krajankulon seolah banyak diajari oleh kultur dan

fatwa yang bernostalgia dengan peninggalan masa lalu. Orientasi berfikir masa

lalu ini yang menjadikan umat Islam kesulitan diajak berfikir ke masa depan

(Muhammad Fadlullah, 2004: 22).

Di dalam tradisi Islam Desa Krajankulon, yang sudah berlangsung secara

turun-temurun dan terus-menerus, telah berkontribusi untuk pengembangan

materi dakwah yang disampaikan da’i. Materi dakwah yang dimaksud antara

lain: dzikir dan sholawat, akhlak, zakat, infaq, shodaqoh, birrul walidain, taubat,

silaturrahim, puasa, nuzulul qur’an, lailatul qadr, kisah para nabi, tahun baru

Islam. Beberapa materi ini tentunya membutuhkan pengembangan yang

disesuaikan dengan konteks perubahan yang terjadi akibat globalisasi yang

melanda utamanya di desa Krajankulon. Sehingga dengan materi dakwah yang

telah dikembangkan, dapat disampaikan kepada mad’u melalui metode dan

media dakwah yang cocok. Sehingga diharapkan hasil-hasil dakwahnya semakin

kelihatan nyata.

C. Kontribusi Pengembangan Thariqatut Da’wah (Metode Dakwah)

Metode dakwah adalah cara yang dipakai oleh juru dakwah (da’i) untuk

menyampaikan ajaran agama Islam. Kejelian dan kebijakan da’I dalam memakai

metode sangat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan dakwah (Azis, 2005:

123). Metode dakwah meliputi : metode hikmah, metode al-mauidhah al-

hasanah (nasehat yang baik), dan metode mujadalah (metode diskusi) (Awaludin

Pimay, 2006: 46).

a. Metode Hikmah

Hikmah adalah kalimat yang umum meliputi perkataan yang didalamnya

terdapat pembangkit jiwa, wasiat kebaikan dan motivasi untuk meraih

153

kebahagiaan serta merupakan dasar-dasar adab yang paripurna. Hikmah juga

merupakan pengetahuan yang menyelamatkan pemiliknya dari jurang kesalahan

dan kebodohan dalam mengajar manusia, mensucikan serta mengarahkan

mereka. Menurut Ibnu Zaid, hikmah adalah setiap perkataan yang merupakan

nasehat kepada kebaikan atau mengajak kepada kemuliaan dan mencegah dari

kejahatan.

b. Metode al-mauidhah al-hasanah (nasehat yang baik).

Adalah perkataan yang melunakkan jiwa orang yang diajak bicara agar

siap melakukan kebaikan dan menerima ajakan. Oleh karena itu al- mauidhah

mencakup motivasi, ancaman, peringatan dengan berita gembira. Menurut M.A.

Machfud al-mauidhah Al-hasanah adalah tutur kata yang minimal tidak

menyinggung ego dan melukai perasaan hati orang lain, maksimal memuaskan

perasaan hati orang lain, baik secara sengaja atau tidak. Sedangkan Sayyid

Quthub mengemukakan bahwa al-mauidhah al-hasanah berarti menyampaikan

dakwah yang mampu meresap ke dalam hati dengan halus dan merasuk ke dalam

perasaan mereka dengan lemah lembut, tidak bersikap menghardik, memarahi

dan membuka aib atas kesalahan mad’u. Sikap halus ini pada diharapkan

mendatangkan petunjuk bagi hati yang sesat dan menjinakkan hati yang benci

serta mendatangkan kebaikan, ketimbang hardikan, kemarahan dan ancaman.

c. Metode mujadalah (metode diskusi)

Adalah metode berdakwah dengan mengutamakan pemikiran, pertukaran

pemikiran,perdebatan perbedaan ide dalam rangka mencari kebenaran,

membahas kebenaran, membahas kebenaran dari suatu perkara. Metode ini

bersifat perbincangan dua pihak atau bersifat dialogis, dan dituntut kemampuan

kedua belah pihak untuk mengemukakan alasan rasioanl tentang suatu masalah

154

sesuai dengan pengetahuan dan pandangannya. Metode ini cocok digunakan

untuk mad’u yang memiliki keangkuhan. Tidak bisa ditundukkan dengan

pandangan yang saling menolak, kecuali dengan cara yang halus sehingga tidak

ada yang merasa kalah, merasa meggurui dan harus tetap ada penghargaan harga

diri agar tidak tersinggung.

Berdasarkan pengamatan peneliti di Desa Krajankulon, kegiatan dakwah

didominasi dakwah bil-lisan yaitu suatu kegiatan dakwah dengan menggunakan

metode al-mauidhah al-hasanah (nasehat yang baik). Dakwah bil-lisan di Desa

Krajankulon, dari segi waktu pelaksanaannya dapat diklasifikasikan sebagai

berikut:

a) Kegiatan dakwah harian

Kegiatan dakwah harian, ada yang dilaksanakan ba’da subuh, ba’da ashar, dan

ba’da isya’.

b) Kegiatan dakwah mingguan

Kegiatan dakwah mingguan dilaksanakan pada hari kamis malam jum’at, dan

minggu malam senin. Seperti pengajian yasinan dan barzanji.

c) Kegiatan dakwah bulanan

Kegiatan dakwah bulanan merupakan kegiatan khusus, biasanya melibatkan

lebih banyak jama’ah yang diikuti gabungan dari jama’ah beberapa musholla.

d) Kegiatan dakwah musiman

Kegiatan dakwah musiman diselenggarakan khusus untuk memperingati

peristiwa sejarah Islam seperti: Maulid Nabi Muhammad Saw, Tahun Baru

Islam/Muharram, Isro’ Mi’roj, dan Nuzulul Qur’an.

e) Kegiatan dakwah tahunan

155

Kegiatan dakwah tahunan misalnya khaul KH.Asy’ari pada setiap tanggal 8

Syawal. Kegiatan ini dikenal dengan sebutan Syawalan, yang menjadi

identitas umat Islam di Desa Krajankulon pada khususnya dan Kecamatan

Kaliwungu pada umumnya.

Metode dakwah bil-lisan yang dilakukan para da’i di Krajankulon

menggunakan kajian Islam tradisional (pengajaran pesantren). Mad’u diceramahi

tentang Islam yang seharusnya, bersumber dalam teks-teks agama dan

meninggalkan kajian Islam aktual. Misalnya mad’u diajari tentang hukum

pencurian, hukum perjudian, tetapi sangat jarang diberi penjelasan tentang

bagaimana modus-modus pencurian yang modern dan canggih merajalela di

negara-negara yang menamakan dirinya sebagai negara Islam, daerah-daerah

yang berpredikat kota santri (Muhammad Fadlullah, 2004: 34-36). Ada beberapa

kelemahan motode dakwah semacam ini:Pertama, mengimplikasikan sikap dan

pandangan hidup parsialistik dan dikotomis. Kedua, umat Islam kurang peka

terhadap persoalan-persoalan empiris dan actual. Ketiga, model normative

oriented akan berakibat pada pensakralan sejarah. Umat Islam semakin lama

akan terjerumus untuk memahami sejarah Islam sebagai “sejarah suci”. Pada

ujungnya, hal-hal yang merupakan tradisi Islam dianggap sebagai sebenar-

benarnya ajaran Islam.

Tradisi Islam di Krajankulon, dapat dipandang sebagai cara atau metode

berdakwah di masyarakat. Metode dakwah yang digunakan oleh da’i, sebenarnya

tidak hanya dengan ceramah, keteladanan dan diskusi, tetapi dapat

dikembangkan dari tradisi tersebut metode-metode seperti metode infiltrasi, dan

metode home visit. Metode infiltrasi adalah metode yang dilaksanakan dengan

cara menyisipkan misi dakwah secara tersembunyi. Sehingga mad’u tidak

156

merasa digurui, atau didoktrin secara terbuka. Metode home visit yang berarti

berkunjung ke rumah. Maksudnya seorang da’i sengaja mendatangi ke rumah

mad’u untuk melihat secara nyata tentang kondisi kehidupannya. Dengan

demikian da’i akan lebih memahami tentang karakteristik mad’u sebagai bahan

untuk menentukan aktivitas dakwah selanjutnya. Selain itu mad’u akan merasa

dihargai dengan berkunjungnya da’i mereka ke tempat tinggalnya. Ikatan batin

ini akan memberikan kontribusi yang positif untuk mencapai keberhasilan

dakwah. Karena model dakwah semacam ini, yang diteladankan Nabi

Muhammad saw dalam rangka membimbing, mendampingi mad’u untuk

menyelesaikan problematikanya. Berbeda dengan pola dakwah saat ini, dakwah

yang nota benenya disalurkan melalui media-media modern seperti televisi,

radio, koran, majalah, tabloid, VCD, dan internet. Hubungan antara da’i dan

mad’u seringkali bersifat transaksional, dimana hubungan itu dominan

berdasarkan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga ketika tujuan itu sudah tercapai,

maka hubungan antara keduanya putus. Mungkin saja antara da’i dan mad’u

tidak saling mengenal, terutama jika metode dakwah yang digunakan disalurkan

melalui media massa. Akibatnya problem-problem yang muncul setelah mad’u

menerima pesan-pesan dakwah, tidak dapat dikomunikasikan secara langsung

kepada da’i.

D. Kontribusi Pengembangan Wasilatut Da’wah (Media Dakwah)

Media dakwah adalah alat atau saluran yang menghubungkan ide dengan

umat, misalnya: Koran, majalah, bulletin, buku, televisi, radio, internet,

handphone, wayang kulit, dan berbagai bentuk karya seni. Menurut Munir

157

(2006:1) media dakwah dapat dibagi menjadi 5 yaitu melalui lisan, tulisan,

lukisan, audio visual dan akhlak.

a) Lisan adalah media dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah

dan suara, dakwah dengan media ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah,

bimbingan, penyuluhan dan lain-lain.

b) Tulisan adalah media dakwah melalui tulisan, buku, majalah, surat kabar dan

sebagainya.

c) Lukisan adalah media dakwah melalui gambar, karikatur dan sebagainya.

d) Audiovisual adalah media dakwah yang dapat merangsang indra

pendengaran, penglihatan atau keduanya seperti televisi, slide, OHP, internet

dan sebagainya.

e) Akhlak yaitu media dakwah melalui perbuatan-perbuatan nyata yang

mencerminkan ajaran Islam yang dapat dilihat dan didengarkan oleh mad’u.

Pelaksanaan dakwah di Desa Krajankulon, jika dilihat dari media dakwah

yang digunakan terdiri dari media lisan, tulisan, lukisan, dan akhlak. Media lisan,

digunakan da’i untuk menyebarluaskan ajaran Islam kepada masyarakat. Media

lisan ini digunakan pada kegiatan dakwah seperti ceramah, kultum, kuliah subuh.

Media tulisan, digunakan da’i untuk menyebarluaskan ajaran Islam yang berasal

dari kitab-kitab klasik sebagai acuan utama. Misalnya kuliah subuh, da’i sengaja

membaca dan mengulas kitab klasik tertentu sesuai dengan keinginan da’i, dan

atau da’i bersama dengan mad’u. Media lukisan, digunakan para da’i untuk

menyebarluaskan ajaran agama Islam dalam bentuk kaligrafi di masjid dan

musholla.

158

Media akhlak, digunakan para da’i di Krajankulon dengan memberi

contoh nyata pengamalan ajaran agama Islam yang tidak terpisahkan dari

kehidupan da’i sehari-hari. Tetapi ada kelemahan para kyai dalam memberikan

contoh menepati waktu, dimana mereka selalu datang terakhir atau terlambat.

Menurut penuturan Mudjahirin Thohir (2001: 2-3) diceritakan pada suatu

kesempatan para tamu undangan menunggu kedatangan kyai pada acara

walimatul arusy :

“Para kyai selalu datang terakhir. Para kyai tidak khawatir kalau ketinggalan sebab acara akan dimulai justru ketika mereka sudah datang. Ketika datang, mereka dipapak banyak orang. Para peserta undangan yang sudah datang lebih awal, sebagian berdiri, mengungkapkan rasa hormatnya. Mereka bersalaman dengan mencium tangannya. Kyai mencorongkan tangannya biar benar-benar dicium tangannya. Menikmati dan mengabadikan suatu tradisi yang menguntungkannya. Sebagian undangan yang lain acuh tak acuh. Tak berminta melakukan hal yang serupa. Malahan merasa agak sebal karena menunggu terlalu lama. Yang lain lagi nggedumel karena khawatir kalau sampai terlambat untuk berangkat kerja.”

Dalam berbagai event penyelenggaraan tradisi Islam di Krajankulon,

telah memberikan kontribusi bagi pengembangan media dakwah. Artinya

berdakwah pada masyarakat Krajankulon, dapat dilakukan dengan berbagai

macam media yang dapat dipilih da’i sesuai dengan tujuan dakwah yang telah

direncanakan. Misalnya pada tradisi Festival Al-Muttaqin, digelar berbagai

macam acara seperti lomba teng-tengan, Musabaqah Tilawatil Al-Qur’an

(MTQ), lomba rebana, lomba blantenan, lomba kaligrafi, pengajian dan pemeran

budaya Islami. Dalam berbagai acara itu, media dakwah bisa berbentuk lisan,

tulisan, seni musih, dan karya seni. Penggunaan media yang berbeda-beda, akan

memberikan pengalaman yang lebih berkesan bagi mad’u. Agama tidak selalu

diarahkan untuk menyentuh dimensi pengetahuannya saja, tetapi juga bisa

159

diarahkan untuk menyentuh dimensi-dimensi keagamaan yang lain yaitu dimensi

keyakinan, dimensi pengamalan, dimensi pengalaman, dan dimensi konsekuensi.

Karena dimensi-dimensi keagamaan itu hakekatnya merupakan pintu masuk bagi

seseorang untuk mengindahkan kebenaran agama yang dipeluknya.

E. Keterbatasan Penelitian

Topik kajian yang telah dilakukan oleh peneliti, disadari memiliki ruang

lingkup yang cukup luas. Sehingga dibutuhkan perangkat metodologis yang lebih

lengkap. Peneliti menyadari jenis penelitian kualitatif yang dipilih, kurang bisa

menangkap fenomena-fenomena yang bervariasi dan tersebar di kancah

penelitian. Pendekatan sosiologis, antropologis, dan dakwah belum cukup untuk

menggambarkan fenomena secara utuh dan sistematik. Seharusnya dilengkapi

dengan pendekatan sejarah, untuk menguji kebenaran data-data sejarah yang

saling bertentangan, termasuk dapat mendeskripsikan fenomena sosial sesuai

dengan alur atau proses terjadinya suatu fenemona tertentu.