bab vi unit-unit instalasi pengolahan air · pdf fileunit-unit instalasi pengolahan air minum...
TRANSCRIPT
VI-1
BAB VI
UNIT-UNIT INSTALASI PENGOLAHAN AIR MINUM
VI.1 Umum
Perencanaan instalasi pengolahan air minum yang terdiri dari unit-unit
pengolahannya didesain berdasarkan kriteria desain yang ada. Pada bab ini
akan dipaparkan teori dan kriteria desain dari setiap unit terpilih seperti pada
skema pengolahan air minum yang terdapat pada BAB V.
VI.2 Intake
Intake dibangun pada sumber air baku dengan tujuan untuk mengambil air
baku dari sumbernya yang kemudian akan dialirkan menuju instalasi
pengolahan. Kapasitas intake harus dapat memenuhi jumlah kebutuhan air
maksimum harian sepanjang periode perencanaan. Ada beberapa jenis
intake sungai, yaitu intake weir, intake tower, intake gate, dan intake crib
(JICA, 1990).
Pada perencanaan instalasi pengolahan air minum ini akan digunakan jenis
intake gate. Intake gate cocok digunakan pada instalasi pengolahan air
minum dengan debit intake skala kecil atau medium (<100.000 m3/hari),
pemeliharaan dan kontrol yang sederhana, serta biaya konstruksi yang tidak
murah.
Konstruksi intake gate ini, pada umumnya, terdiri dari inlet beton bertulang
berbentuk persegi panjang atau tapal kuda, gerbang atau flash-boards untuk
mengontrol aliran pada intake, dan di depannya terdapat penyaring (screen)
untuk mencegah masuknya potongan kayu dan benda-benda terapung
lainnya. Apabila diperlukan dapat dilengkapi dengan bak pengumpul
sebelum air baku dialirkan menuju instalasi pengolahan air minum, hal ini
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-2
berfungsi untuk mengatasi debit sumber air baku yang berfluktuasi dari
waktu ke waktu.
Pada perencanaan instalasi pengolahan air minum ini, intake gate yang
digunakan akan dilengkapi dengan :
1. Bar Screen
2. Saluran Intake
3. Pintu Air
4. Bak Pengumpul
5. Sistem Transmisi
VI.2.1 Bar Screen
Bar screen berfungsi untuk menyisihkan benda-benda kasar, seperti
batangan kayu yang terapung agar tidak mengganggu kinerja unit-unit
selanjutnya. Unit ini perlu pembersihan secara berkala.
Kriteria desain dari unit ini adalah :
Jarak antar batang, b -
Tebal batang, w -
Kecepatan aliran saat melalui batang, v = 0,3 0,75
m/dtk
Panjang penampang batang, p = 1,0
Kemiringan batang dari horizontal, = 30 -
Headloss maksimum, hL = 6
Persamaan yang digunakan untuk menghitung kehilangan tekan pada unit
ini adalah sebagai berikut :
sin3/4
vL hbwH
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-3
dimana : = Faktor Kirschmer, untuk batang bulat = 1,79
w = Diameter batang (m)
b = Jarak bukaan antar batang (m)
hv = Velocity head = Vb2/2g
HL = Headloss (m)
Persamaan-persamaan lain yang digunakan :
Jumlah batang :
bnwnL )1(
Jumlah bukaan total, s :
1ns
Lebar bukaan total, Lt :
bsLt
Panjang batang terendam, Yt :
sin/YYt
Luas total bukaan, At :
ttt YLA
Kecepatan aliran melalui batang, Vb :
t
b AQV
Tinggi
LHYY '
dimana : L = Lebar Saluran (m)
n = Banyak batang
Y = Kedalaman air (m)
VI.2.2 Saluran Intake
Saluran intake merupakan saluran yang mengalirkan air baku dari sumber
air menuju bak pengumpul. Dalam merencanakan jenis intake ini maka
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-4
harus diperhatikan karakteristik air seperti tinggi air minimum dan
maksimum, materi tersuspensi dan terapung. Kecepatan merupakan
parameter penting agar tidak terjadi pengendapan.
Kriteria desain saluran intake menurut Al-Layla (1980) adalah :
Untuk mencegah sedimentasi dan erosi, kecepatan air adalah,
V = 0.6 1.5 m/s
Kecepatan aliran pada kedalaman minimum harus lebih besar dari
0.6 m/s.
Kecepatan aliran pada kedalaman maksimum harus lebih kecil dari
1.5m/s.
Saluran berupa rektangular dan persamaan yang dapat digunakan untuk
menentukan dimensi saluran intake, menurut JICA (1990) adalah :
VHQB ... (6.2.9)
dimana : B = Lebar saluran intake (m)
Q = Debit maksimum (m3/s)
H = Kedalaman air yang masuk (m)
V = Kecepatan aliran air masuk (m/s)
VI.2.3 Pintu Air
Pintu air berfungsi untuk mengatur aliran dalam intake, menjaga agar
aliran tetap stabil saat aliran pada sumber air berfluktuasi, dan berfungsi
untuk menutup aliran saat akan dilakukan pembersihan pada intake.
Umumnya pintu air dibuat dari bahan baja atau besi cor dan menggunakan
tenaga listrik dalam pengoperasiannya. Akan tetapi, dalam situasi tertentu,
pintu air pun harus dapat dioperasikan secara manual. Lebar pintu air
biasanya sekitar 3 meter, dengan pertimbangan kemudahan dalam operasi
dan perawatan. Kecapatan melalui pintu air ditetapkan kurang dari 1 m/s
untuk mencegah sebisa mungkin masuknya pasir dan kerikil.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-5
Persamaan yang dapat dipergunakan untuk menghitung headloss yang
terjadi pada pintu air adalah sebagai berikut :
pfL Lh
Qh 3/2746.2
dimana : hL = Headloss pada pintu air (m)
Q = Debit air yang melalui pintu air (m3/s)
hf = Tinggi bukaan pintu air (m)
Lp = Lebar pintu air (m)
VI.2.4 Bak Pengumpul
Bak pengumpul ini memiliki fungsi untuk mengumpulkan air baku yang
masuk melalui pintu air sebelum dialirkan menuju instalasi pengolahan air
minum. Pada unit inilah sistem pemompaan akan diterapkan untuk
menyediakan head yang cukup agar air baku dapat dialirkan menuju lokasi
instalasi pengolahan.
Menurut Al-Layla (1980), kriteria desain untuk bak pengumpul ini adalah
:
Untuk mempermudah pemeliharaan jumlah bak minimum adalah 2
buah.
Waktu tinggal di dalam bak pengumpul maksimal 20 menit.
Dasar bak pengumpul minimum 1 meter di bawah dasar sungai
atau 1,52 meter di bawah tinggi muka air minimum.
Dinding saluran dibuat kedap air dan konstruksinya terbuat dari
beton bertulang dengan ketebalan minimum 20 cm.
VI.2.5 Sistem Transmisi
Sistem transmisi merupakan sistem untuk mentransmisikan air baku dari
intake menuju ke instalasi pengolahan air minum. Sistem ini terdiri dari
sistem perpipaan dan sistem pemompaan. Hal ini dikarenakan lokasi
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-6
intake yang lebih rendah dibandingkan dengan lokasi instalasi pengolahan
air minum.
Pipa Transmisi
Pipa transmisi merupakan sistem perpipaan yang akan mengalirkan air
baku dari intake menuju instalasi pengolahan. Terdapat beberapa jenis
pipa yang dapat digunakan sebagai pipa transmisi ini, yaitu :
1. Pipa besi (ductile iron pipe)
2. Pipa baja
3. Pipa PVC (hard PVC pipe)
Pemilihan pipa transmisi perlu mempertimbangkan beberapa hal seperti
kemampuan dalam menahan tekanan internal ataupun eksternal, kodisi
tanah, dan kemudahan dalam konstruksi. Keuntungan dan kerugian
lainnya dari masing-masing jenis pipa dapat dilihat pada Tabel 6.1.
Pipa yang akan digunakan dalam perencanaan ini adalah pipa baja dengan
pertimbangan kekuatan dan ketahanan baja terhadap tekanan.
Pompa Transmisi
Terdapat berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemompaan
yaitu, volume air, head pemompaan, variasi aliran, dan ketersediaan tenaga
listrik. Pompa tranmisi ini digunakan untuk menyediakan head yang cukup
agar pengaliran air dari lokasi intake menuju instalasi pengolahan air
minum dapat dilakukan. Klasifikasi pompa berdasarkan prinsip mekanis
dalam pengoperasiaanya yaitu (Al Layla, 1980):
Reciprocating Pump
Fland Pump
Centrifugal Pump
Air Lift Pump
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-7
Tabel 6.1 Keuntungan dan Kerugian Beberapa Jenis Pipa
Sumber : JICA, 1990
Jumlah pompa yang digunakan tergantung pada besarnya debit aliran dan
kapasitas pompa ditentukan oleh head yang diperlukan. Kriteria dalam
menentukan jumlah pompa diberikan oleh Tabel 6.2
JENIS PIPA KEUNTUNGAN KERUGIAN
Pipa Besi
1 Durabilitas dan kekuatan yang tinggi 1 Relatif Berat
2 Ketahanan terhadap dampak 2 Memerlukan perlindungan tergantung dari jenis sambungan yang digunakan
3 Memiliki sambungan yang fleksibel dan expandable, dapat menyesuaikan variasi tanah
3 Mudah terkorosi jika terdapat kerusakan pada lapisan dalam maupun luar 4 Mudah dalam pekerjaan pemasangan
5 Memiliki tipe sambungan yang sangat banyak
Pipa Baja
1 Durabilitas dan kekuatan yang tinggi 1 Sambungan yang dilas membutuhkan pekerja terampil dan peralatan khusus
2 Ketahanan terhadap dampak 2 Korosi secara elektrolitik harus diperhitungkan
3
Dapat disambungkan dengan menggunakan pengelasan sambungan, dan bisa mengikuti variasi muka tanah dalam alur yang sangat panjang
3 Mudah terkorosi jika terdapat kerusakan pada lapisan dalam maupun luar
4 Baik dalam proses pembuatan 5 Memiliki banyak jenis pelapisan
Pipa PVC
1 Sangat tahan terhadap korosi 1 Ketahanan terhadap dampak berkurang pada suhu rendah
2 Cukup ringan dan mudah dalam perkerjaan pemasangan 2 Sensitif terhadap pelarut organik
tertentu, panas, dan sinar ultraviolet
3 Baik dalam proses pembuatan 3 Kekuatan jangka panjang harus diperhitungkan
4 Tidak mengalami perubahan kekasaran pada permukaan bagian dalam pipa
4 Kekuatan berkurang apabila permukaan mengalami kerusakan
5 Perlindungan spesial diperlukan
6 Pada sambungan yang dilem kekuatan dan kekedapan terhadap air harus diperhitungkan
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-8
Tabel 6.2 Kriteria Penentuan Jumlah Pompa
Debit (L/menit)
Jumlah Pompa Keterangan
<1895 2 1 operasi - 1 cadangan 1895 - 5685 3 2 operasi - 1 cadangan 5685 - 11370 4 3 operasi - 1 cadangan
> 11370 6 4 operasi - 2 cadangan Sumber : Al-Layla, 1980
Kriteria desain untuk pipa hisap pada sistem pemompaan, menurut Al-
Layla (1980), adalah sebagai berikut :
Kecepatan dalam pipa hisap 1 1,5 m/s
Beda ketinggian antara tinggi air minimum (LWL) dan pusat
pompa tidak lebih dari 3,7 m.
Jika pompa diletakkan lebih tinggi dari LWL, jarak penyedotan
harus kurang dari 4 m.
Lebih diutamakan peletakan pompa di bawah LWL, apabila
memang lebih ekonomis.
VI.3 Bak Penenang
Bak penenang atau bak penerima air baku dibangun dengan tujuan untuk
menstabilkan muka air baku yang berasal dari bak pengumpul pada sistem
intake, mengukur jumlah air baku, menampung air baku yang akan
dialirkan pada unit selanjutnya, dan juga dapat digunakan sebagai tempat
pembubuhan bahan kmia yang diperlukan dalam proses pengolahan.
Selain itu, bak penerima ini juga dapat menerima air recycle seperti air
sisa pencucian.
Berbagai kriteria desain bak penenang berdasarkan JICA (1990):
Bentuk bak dapat berupa persegi, bulat, atau elips.
Bak penerima biasanya dibagi menjadi beberapa bak untuk
kebutuhan perbaikan atau pembersihan.
Overflow berupa pipa atau pelimpah diperlukan untuk
mengatasi terjadinya tinggi muka air yang melebihi
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-9
kapasitas bak. Pipa overflow harus dapat mengalirkan
minimum 1/5 x debit inflow.
Freeboard dari bak penenang sekurang-kurangnya 60 cm.
Waktu detensi bak penenang sekitar 1,5 meter atau lebih
dengan kedalaman air 3-5 meter
Pada umumnya bak penenang ini dilengkapi oleh alat ukut debit sebagai
kontrol aliran. Alat ukur yang dipakai dapat berupa V-notch. Debit melalui
V-notch dengan sudut 90° dapat diukut menggunakan rumus : 5.254.2 HQ
dimana : Q = Debit aliran yang masuk (ft3/s)
H = Tinggi muka air di atas V-notch (ft)
VI.4 Preklorinasi (Unit Penyisihan Besi dan Mangan)
Umumnya, senyawa besi organik yang terlarut dalam air baku seperti
ferrous oxide dan koloid besi, dioksidasi dan diendapkan sebagai senyawa
besi tak terlarut melalui aerasi atau preklorinasi dan kemudian disisihkan
melalui koagulasi-sedimentasi dan filtrasi (JICA, 1990). Begitu pula
halnya dengan mangan yang dapat disisihkan melalui proses oksidasi
kimia pada unit preklorinasi. Penyisihan besi dan mangan dilakukan selain
untuk mengatasi warna, bau, dan rasa, serta mencegah terjadinya
gangguan pada proses disinfeksi karena terjadinya ikatan antara
disinfektan dengan besi dan mangan.
Klor digunakan dalam proses ini sebagai agen pengoksidasi. Klor selain
memiliki kemampuan sebagai disinfektan juga merupakan zat
pengoksidasi kuat. Ketika klor ditambahkan ke dalam air, klor akan
bereaksi dengan senyawa pereduksi, ammonia, dan amina organik. Reaksi
ini akan menghasilkan sisa klor dalam air yang apabila diplotkan dalam
grafik terhadap dosis klor yang dibubuhkan, akan dihasilkan kurva seperti
yang terlihat pada Gambar 6.1 (Rich, 1963):
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-10
Sis
aK
lor
Dosis klor
A
D
C
B
Gambar 6.1 Kurva Sisa Klor
Klor yang ditambahkan pertama-tama akan bereaksi dengan senyawa
pereduksi di dalam air. Reaksi ini tidak akan menghasilkan sisa klor
seperti dapat dilihat pada bagian A-B dari kurva di atas. Senyawa-senyawa
pereduksi yang umum terdapat dalam air adalah hidrogen sulfida, nitrit,
dan ion besi. Setelah kebutuhan klor untuk senyawa pereduksi terpenuhi,
maka penambahan klor berikutnya akan bereaksi dengan ammonia
membentuk chloramines (Rich, 1963).
Persamaan kimia berikut ini akan memperlihatkan bahwa reaksi yang
terjadi ketika klor mengoksidasi besi dan mangan adalah sebagai berikut :
2 Fe(HCO3)2 + Ca(HCO3)2 + Cl2 3 + CaCl2 + 6 CO2
Mn(HCO3)2 + Ca(HCO3)2 + Cl2 2 + CaCl2 + 4 CO2 + 2 H2O
Persamaan di atas menunjukkan bahwa 1 mg/L klor mengoksidasi 1,58
mg/L besi dan 0,78 mg/L mangan (Amanda, 2005). Pada perencanaan
instalasi pengolahan air minum ini, pembubuhan klor untuk proses
penyisihan besi akan dilakukan diantara bak penenang dan unit koagulasi.
Hal ini dilakukan untuk memperoleh waktu kontak yang memadai agar
klor dapat mengoksidasi besi dengan baik, selain itu hal ini dilakukan agar
pembubuhan klor dilakukan sebelum pembubuhan koagulan pada proses
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-11
koagulasi sehingga pH yang optimum untuk proses preklorinasi bisa
dicapai (penambahan koagulan, dalam hal ini alum, akan menurunkan
pH).
VI.5 Koagulasi
Pada prinsipnya ada dua aspek yang penting dalam proses ini yaitu
pembubuhan bahan kimia (koagulan) dan pengadukan. Pada proses
koagulasi, koagulan dibubuhkan ke dalam air baku kemudian dilakukan
pengadukan selama beberapa saat dalam suatu koagulator. Dari
pencampuran ini akan terjadi destabilisasi koloid dan partikel tersuspensi
oleh koagulan. Secara umum proses koagulasi berfungsi untuk :
Mengurangi kekeruhan akibat adanya partikel koloid anorganik
maupun organik di dalam air.
Mengurangi warna yang diakibatkan oleh partikel koloid di dalam
air.
Mengurangi bakteri-bakteri patogen dalam partikel koloid, algae,
dan organisme plankton lain.
Mengurangi rasa dan bau yang diakibatkan oleh partikel koloid
dalam air.
Ada tiga faktor yang mempegaruhi keberhasilan proses koagulasi yaitu:
Jenis koagulan yang dipakai
Dosis pembubuhan koagulan
Proses pengadukan
Jenis Koagulan
Pemilihan koagulan sangat penting untuk menetapkan kriteria desain dari
sistem pengadukan, serta sistem flokulasi yang efektif. Jenis koagulan
yang biasanya digunakan adalah koagulan garam logam dan koagulan
polimer kationik. Contoh koagulan garam logam diantaranya adalah:
Alumunium sulfat atau tawas (Al3(SO4)2.14H2O)
Feri klorida (FeCl3)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-12
Fero klorida (FeCl2)
Feri sulfat (Fe2(SO4)3)
Koagulan yang umum digunakan adalah alumunium sulfat atau tawas.
Sedangkan contoh koagulan polimer atau sintetis adalah:
Poli Alumunium Klorida (PAC)
Sitosan
Currie flock
Koagulan polimer yang umumnya digunakan adalah PAC. Perbedaan dari
kedua jenis koagulan diatas adalah pada tingkat hidrolisa dalam air.
Koagulan garam logam mengalami hidrolisa ketika dicampurkan ke dalam
air sedangkan koagulan polimer tidak.
Pembentukan unsur hidrolisis tersebut terjadi pada periode yang sangat
singkat, yaitu kurang dari 1 detik. Reaksi hidrolisis menghasilkan senyawa
hidrokompleks seperti Al(OH)2+, Fe(H2O)3
3+, dan Fe(OH)2+. Setelah
terbentuk, produk tersebut langsung teradsorbsi ke dalam partikel koloid
serta menyebabkan destabilisasi muatan listrik pada koloid tersebut. Hal
ini mengakibatkan polimerisasi dari reaksi hidrolisis. Oleh sebab itu, pada
pembubuhan koagulan yang berupa garam logam, proses pengadukan
cepat (flash mixing/rapid mixing) sangat penting, karena :
1. Hidrolisis dan polimerisasi adalah reaksi yang sangat cepat
2. Suplai koagulan dan kondisi pH yang merata sangat penting untuk
pembentukan unsur hidrolisis
3. Adsorpsi koagulan ke dalam partikel koloid berlangsung cepat.
4. Apabila pengadukan lambat, maka reaksi koloid dengan koagulan
tidak akan sempurna.
Sedangkan pada penggunaan koagulan polimer, pengadukan cepat tidak
terlalu kritis karena reaksi hidrolitik tidak terjadi dan adsorpsi koloid
terjadi lebih lambat karena ukuran fisik polimer yang lebih besar. Waktu
pengadukan sekitar 2-5 detik.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-13
Koagulan sebagai bahan kimia yang ditambahkan ke dalam air tentunya
memiliki beberapa sifat atau kriteria tertentu, yaitu :
1. Kation trivalen (+3)
Koloid bermuatan negatif, oleh sebab itu dibutuhkan suatu kation
untuk menetralisir muatan ini. Kation trivalen merupakan kation
yang paling efektif.
2. Non toksik
3. Tidak terlarut pada batasan pH netral
Pada perencanaan instalasi pengolahan air minum ini akan digunakan
Alumunium Sulfat (Alum) sebagai koagulan, karena koagulan jenis ini
lebih mudah didapatkan, lebih ekonomis, dan melalui jar test yang telah
dilakukan terbukti cukup efektif untuk memperbaiki kualitas air baku.
Pada penggunaan alumunium sulfat sebagai koagulan, air baku harus
memiliki alkalinitas yang memadai untuk bereaksi dengan alumunium
sulfat menghasilkan flok hidroksida. Umumnya, pada rentang pH dimana
proses koagulasi terjadi alkalinitas yang terdapat dalam bentuk ion
bikarbonat. Reaksi kimia sederhana pada pembentukan flok adalah sebagai
berikut :
Al2(SO4)3 2O + 3 Ca(HCO3)2 2 Al(OH)3 + 3 CaSO4 + 14 H2O + 6
CO2
Apabila air baku tidak mengandung alkalinitas yang memadai, maka harus
dilakukan penambahan alkalinitas. Umumnya alkalinitas dalam bentuk ion
hidroksida diperoleh dengan cara menambahkan kalsium hikdrosida,
sehingga persamaan reaksi koagulasinya menjadi sebagai berikut :
Al2(SO4)3 2O + 3 Ca(OH)2 2 Al(OH)3 + 3 CaSO4 + 14 H2O
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-14
Sebagian besar air baku memiliki alkalinitas yang memadai sehingga tidak
diperlukan penambahan bahan kimia lain selain alumunium sulfat.
Rentang pH optimum untuk alum adalah 4.5 sampai dengan 8.0, karena
alumunium hidroksida relatif tidak larut pada rentang tersebut. Faktor-
faktor yang mempengaruhi proses koagulasi antara lain :
1. Intensitas pengadukan
2. Gradien kecepatan
3. Karakteristik koagulan, dosis, dan konsentrasi
4. Karakteristik air baku, kekeruhan, alkalinitas, pH, dan suhu
Pendekatan rasional untuk mengevaluasi pengadukan dan mendesain bak
tempat pengadukan dilakukan telah dikembangkan oleh T.R. Camp
(1955). Derajat pengadukan merupakan didasarkan pada daya (power)
yang diberikan ke dalam air, dalam hal ini diukur oleh gradien kecepatan.
Laju tabrakan partikel proporsional terhadap gradien kecepatan ini,
sehingga gradien tersebut harus mencukupi untuk menghasilkan laju
tabrakan partikel yang diinginkan.
Dosis Koagulan
Dosis koagulan berbeda-beda tergantung dari jenis koagulan yang
dibubuhkan, temperatur air, serta kualitas air yang diolah. Penentuan dosis
koagulan dapat dilakukan melalui penelitian laboratorium dengan metode
jar test. Prosedur jar test pada prinsipnya merupakan proses pengolahan
air skala kecil.
Dosis optimum dari hasil percobaan ini digunakan sebagai acuan dalam
pembubuhan koagulan dalam pengolahan air. Umumnya dosis optimal
yang diperoleh dari hasil jar test menggambarkan dosis yang perlu
diterapkan dalam operasional instalasi pengolahan air minum. Namun,
untuk skala operasional akan terjadi penyimpangan, karena umumnya
dosis yang perlu dimasukkan lebih banyak dari dosis hasil jar test.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-15
Perbedaan ini disebabkan karena ketidakefisienan dalam pengadukan cepat
(Darmasetiawan, 2004).
Pengadukan
Tujuan dari pengadukan adalah untuk menciptakan tumbukan antar
partikel yang ada dalam air baku. Tipe alat yang biasanya digunakan untuk
memperoleh intensitas pengadukan dan gradien kecepatan yang tepat bisa
diklasifikasikan sebagai berkut :
1. Pengaduk Mekanis
Pengadukan secara mekanis adalah metode yang paling umum
digunakan karena metode ini dapat diandalkan, sangat efektif, dan
fleksibel pada pengoperasiannya. Biasanya pengadukan cepat
menggunakan turbine impeller, paddle impeller, atau propeller
untuk menghasilkan turbulensi (Reynolds, 1982). Pengadukan tipe
ini pun tidak terpengaruh oleh variasi debit dan memiliki headloss
yang sangat kecil. Apabila terdapat beberapa bahan kimia yang
akan dibubuhkan, aplikasi secara berurutan lebih dianjurkan,
sehingga akan membutuhkan kompartemen ganda. Untuk
menghasilkan pencampuran yang homogen, koagulan harus
dimasukkan ke tengah-tengah impeller atau pipa inlet.
2. Pengaduk Pneumatis
Pengadukan tipe ini mempergunakan tangki dan peralatan aerasi
yang kira-kira mirip dengan peralatan yang digunakan pada proses
lumpur aktif. Rentang waktu detensi dan gradien kecepatan yang
digunakan sama dengan pengadukan secara mekanis. Variasi
gradien kecepatan bisa diperoleh dengan memvariasiakan debit
aliran udara. Pengadukan tipe ini tidak terpengaruh oleh variasi
debit memiliki headloss yang relatif kecil.
3. Pengaduk Hidrolis
Pengadukan secara hidrolis dapat dilakukan dengan beberapa
metode, antara lain dengan menggunakan baffle basins, weir,
flume, dan loncatan hidrolis. Hal ini dapat dilakukan karena
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-16
masing-masing alat tersebut menghasilkan aliran yang turbulen
karena terjadinya perubahan arah aliran secara tiba-tiba. Sistem ini
lebih banyak dipergunakan dinegara berkembang terutama di
daerah yang jauh dari kota besar, sebab pengadukan jenis ini
memanfaatkan energi dalam aliran yang menghasilkan nilai G yang
tinggi, serta tidak perlu mengimpor peralatan, mudah dioperasikan,
dan pemeliharaan yang minimal (Schulz & Okun, 1984). Tetapi
metode ini memiliki kekurangan antara lain tidak bisa disesuaikan
dengan keadaan dan aplikasinya sangat terbatas pada debit yang
spesifik.
Pengadukan cepat (flash mixing) yang diaplikasikan dalam proses
koagulasi bertujuan untuk meratakan koagulan yang dibubuhkan dengan
partikel-partikel koloid dalam air. Pada perencanaan instalasi pengolahan
air minum ini, sistem pengaduk cepat yang akan diaplikasikan pada proses
koagulasi adalah sistem pengaduk hidrolis dengan menggunakan loncatan
hidrolis. Pengadukan dengan sistem ini memberikan hasil yang cukup
memuaskan dengan biaya konstruksi, operasional, dan pemeliharaan yang
relatif rendah. Mengenai keterbatasan fleksibilitas yang dimiliki oleh unit
ini dapat diatasi dengan melakukan pengolahan pada debit yang spesifik.
Pengadukan dengan loncatan hidrolis adalah pengadukan yang umum
digunakan pada instalasi dengan kapasitas lebih besar dari 50 L/detik.
Pembubuhan dilakukan sesaat sebelum air diterjunkan sehingga air yang
terjun sudah mengandung koagulan yang siap diaduk. Energi atau daya
pengadukan adalah sama dengan tinggi terjunan (Darmasetiawan, 2004).
Pengadukan cepat harus harus dilakukan dalam waktu yang singkat,
merata, dan dengan energi yang dapat menghasilkan nilai gradien
kecepatan (G) yang tepat. Persamaan gradien kecepatan yang digunakan
untuk unit koagulasi hidrolis adalah sebagai berikut :
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-17
TghG L
dimana : G = Gradien kecepatan (dtk-1)
= Massa jenis air (kg/m3)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
hL = Headloss karena friksi, turbulensi, dll (m)
= Viskositas absolut air (kg/m-dtk)
T = Waktu detensi (dtk)
Berikut ini adalah skema unit loncatan hidrolis yang akan digunakan sebagai
pengaduk cepat pada proses koagulasi :
Gambar 6.2 Skema Loncatan Hidrolis
Rumus-rumus yang digunakan untuk melakukan perhitungan dimensi pada
unit lompatan hidrolis tersebut adalah sebagai berikut :
3
2)/(gH
bqD
WQq
27.03.4 DHLd
425.01 54.0 DHY
27.02 66.1 DHY
)181(21 2
1
2 FYY
bd LLLLmin
H
h
Y1 Y2
Ld L Lb
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-18
dimana : D = Bilangan terjunan (Drop Number)
Q = Debit aliran dalam tiap unit koagulasi (m3/s)
W = Lebar unit koagulasi (m)
q = Debit/lebar unit
H = Tinggi terjunan (m)
Y1 = Kedalaman air pada hulu loncatan hidrolis (m)
Y2 = Kedalaman air pada hilir loncatan hidrolis (m)
V = Kecepatan aliran (m/s)
F = Bilangan Froud
Lmin = Panjang minimal bak koagulasi (m)
L = Panjang loncatan hidrolis (m); ditentukan dari besar
nilai L/Y2 untuk tiap nilai F1 yang diperoleh dari
grafik terlampir (Chow, 1959).
Ld = Panjang terjunan (m)
Lb = Panjang bak setelah loncatan (m)
Kriteria Desain Unit Koagulasi Hidrolis:
Gradien Kecepatan, Gtd = 104 - 105 (dtk-1) (Reynolds, 1982)
Waktu Detensi, td = 20 60 detik (Reynolds, 1982)
Tabel 6.3 Waktu detensi dan Gradien Kecepatan untuk Bak Pengaduk
Cepat
Waktu detensi Gradien Kecepatan td (detik) G (detik-1)
20 1000 30 900 40 790
700 Sumber : Reynolds, 1982
Headloss, hL (Kawamura, 1991)
(Schulz&Okun, 1984)
Bilangan Froud, Fr1 (Schulz&Okun, 1984)
Rasio Kedalaman, Y2/Y1 > 2.83 (Schulz&Okun, 1984)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-19
VI.6 Flokulasi
Secara garis besar pembentukan flok terbagi dalam empat tahap yaitu :
1. Tahap destabilisasi partikel koloid
2. Tahap pembentukan mikroflok
3. Tahap penggabungan mikroflok
4. Tahap pembentukan makroflok
Tahap 1 dan 2 terjadi pada proses koagulasi sedangkan tahap 3 dan 4
terjadi pada proses flokulasi.
Flokulasi adalah tahap pengadukan lambat yang mengikuti unit pengaduk
cepat. Tujuan dari proses ini adalah untuk mempercepat laju tumbukan
partikel, hal ini menyebabkan aglomerasi dari partikel koloid
terdestabilisasi secara elektrolitik kepada ukuran yang terendapkan dan
tersaring. Terdapat beberapa kategori sistem pengadukan untuk melakukan
flokulasi ini, yaitu :
1. Pengaduk Mekanis
2. Pengadukan menggunakan baffle channel basins
Pada perencanaan instalasi pengolahan air minum ini, flokulasi akan
dilakukan dengan menggunakan horizontal baffle channel (around-the-end
baffles channel). Pemilihan unit ini didasarkan pada kemudahan
pemeliharaan peralatan, ketersediaan headloss, dan fluktuasi debit yang
kecil.
Kriteria Desain Flokulasi dengan Horizontal Baffled Channel:
G x td = 104 - 105 (Droste, 1997)
Gradien Kecepatan, G = 10 60 dtk-1 (Droste, 1997)
Waktu detensi, td = 15 45 menit (Droste, 1997)
Kecepatan aliran dalam bak, v = 0.1 - 0.4 m/s (Huisman, 1981)
Jarak antar baffle, l > 0.45 m (Schulz&Okun, 1984)
Koefisien gesekan, k = 2 - 3.5 (Bhargava&Ojha, 1993)
Banyak saluran, n
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-20
Kehilangan tekan, hL = 0.3 1 m (Kawamura, 1991)
Perhitungan turbulensi aliran yang diakibatkan oleh kehilangan tekan
dalam bak horizontal baffled channel didasarkan pada persamaan :
1. Perhitungan Gradien Kecepatan (G)
Persamaan matematis yang dipergunakan untuk menghitung
gradien kecepatan ini sama dengan perhitungan yang telah
diberikan pada unit koagulasi, yaitu :
TghG L
dimana : G = Gradien kecepatan (dtk-1)
= Massa jenis air (kg/m3)
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
hL = Headloss karena friksi, turbulensi, dll (m)
= Viskositas absolut air (kg/m-dtk)
T = Waktu detensi (dtk)
2. Perhitungan Kehilangan Tekanan Total (Htot)
Kehilangan tekanan total sepanjang saluran horizontal baffle
channel ini diperoleh dengan menjumlah kehilangan tekanan
pada saat saluran lurus dan pada belokan.
Htot = HL + Hb
Dimana :
a. Hb adalah kehilangan tekanan pada belokan yang disebabkan
oleh belokan sebesar 180°. Persamaan untuk menghitung
besarnya kehilangan tekan ini adalah sebagai berikut :
gVkH b
b 2
2
dimana : Hb = Kehilangan tekan di belokan (m)
k = Koefisien gesek, diperoleh secara empiris
Vb = Kecepatan aliran pada belokan (m/s)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-21
g = Percepatan gravitasi (m/s2)
b. HL adalah kehilangan tekanan pada saat aliran lurus.
Kehilangan tekanan ini terjadi pada saluran terbuka
sehingga perhitungannya didasarkan pada persamaan
Manning :
2
3/2
2/1
2/13/21
RLVnH
SRn
V
LL
L
dimana : HL = Kehilangan tekan pada saat lurus (m)
n = Soefisien Manning,
saluran terbuat dari beton n = 0.013
VL = Kecepatan alirang pada saluran lurus (m/s)
L = Panjang saluran (m)
R = Jari-jari basah (m)
= A/P
A = Luas basah (m2)
P = Keliling basah (m)
VI.7 Sedimentasi
Sedimentasi adalah proses pemisahan partikel solid tersuspensi melalui
gaya gravitasi sehingga partikel tersebut terendapkan. Keberadaan partikel
di dalam air dapat diukur dengan dua cara yaitu dengan melihat tingkat
kekeruhan air (dalam satuan mg/l SiO2 atau NTU) atau dengan mengukur
langsung berat zat padat yang terlarut (dalam satuan mg/l).
Aplikasi utama dari sedimentasi pada instalasi pengolahan air minum
adalah (Reynolds, 1982):
1. Pengendapan awal sebelum pengolahan oleh unit saringan pasir
cepat.
2. Pengendapan setelah air melalui proses koagulasi dan flokulasi
sebelum memasuki unit saringan pasir cepat.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-22
3. Pengendapan setelah melalui proses koagulasi dan flokulasi pada
instalasi yang menggunakan sistem pelunakan air oleh kapur-soda.
4. Pengendapan setelah air melalui proses penyisihan besi dan
mangan.
Coe dan Clevenger (1916) mengklasifikasikan tipe pengendapan yang
mungkin terjadi, dan kemudian dikembangkan oleh Camp (1946) dan
Fitch (1956). Klasifikasi ini membagi pengendapan menjadi empat kelas
yang didasarkan pada konsentrasi dari partikel dan kemampuan dari
partikel tersebut untuk berinteraksi. Penjelasan mengenai keempat jenis
pengendapan tersebut adalah sebagai berikut (Reynolds, 1982):
1. Pengendapan Tipe I
Pengendapan Tipe I atau free settling adalah pengendapan dari
partikel diskrit yang bukan merupakan flok pada suatu suspensi.
Partikel terendapkan sebagai unit terpisah dan tidak terlihat
flokulasi atau interaksi antara partikel-partikel tersebut. Contoh
pengendapan tipe I adalah prasedimentasi dan pengendapan pasir
pada grit chamber. Menurut Kawamura (1991), untuk air baku
dengan kekeruhan melebihi 1000 NTU, maka dibutuhkan unit
prasedimentasi untuk proses pengolahan conventional complete.
2. Pengendapan Tipe II
Pengendapan Tipe II atau flocculent settling adalah pengendapan
dari partikel-partikel yang berupa flok pada suatu suspensi.
Partikel-partkel tersebut akan membentuk flok selama
pengendapan terjadi, sehingga ukurannya akan membesar dan
mengendap dengan laju yang lebih cepat. Contoh pengendapan tipe
ini adalah pengendapan primer pada air buangan dan pengendapan
pada air yang telah melalui proses koagulasi dan flokulasi.
3. Pengendapan Tipe III
Pengendapan Tipe III atau zone/hindered settling adalah
pengendapan dari partikel dengan konsentrasi sedang, dimana
partikel-partikel tersebut sangat berdekatan sehingga gaya antar
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-23
partikel mencegah pengendapan dari partikel disekelilingnya.
Partikel-partikel tersebut berada pada posisi yang tetap satu sama
lain dan semua mengendap dengan kecepatan konstan. Sebagai
hasilnya massa partikel mengendap dalam satu zona. Pada bagian
atas dari massa yang mengendap akan terdapat batasan yang jelas
antara padatan dan cairan.
4. Pengendapan Tipe IV
Pengendapan Tipe IV atau compression settling adalah
pengendapan dari partikel yang memiliki konsentrasi tinggi dimana
partikel-partikel bersentuhan satu sama lain dan pengendapan bisa
terjadi hanya dengan melakukan kompresi terhadap massa tersebut.
Pada perencanaan instalasi pengolahan air minum ini, unit sedimentasi
ditujukan untuk mengendapkan flok-flok yang dihasilkan baik dari proses
koagulasi-flokulasi maupun dari proses penyisihan besi dan mangan
(preklorinasi). Sehingga tipe pengendapan yang digunakan adalah
pengendapan Tipe II.
Efisiensi penyisihan dari pengendapan Tipe II dapat dihitung melalui suatu
percobaan dengan tabung Camp, yang dilakukan secara batch. Tes
pengendapan secara batch biasanya dibutuhkan untuk mengevaluasi
karakteristik pengendapan dari partikel. Alat yang digunakan adalah
berupa kolom pengendapan dengan diameter 5-8 inchi untuk
meminimalisasi efek dinding kolom dan ketinggian kolom minimal setara
dengan kedalaman bak sedimentasi yang akan digunakan. Contoh air
dimasukkan ke dalam kolom dan sampling dilakukan pada titik-titik yang
telah disediakan setiap rentang waktu tertentu, kemudian akan didapatkan
persentase partikel yang tersisihkan. Persentase penyisihan kemudian akan
diplotkan pada suatu grafik terhadap waktu dan kedalaman pengambilan
sampel. Interpolasi dibuat diantara angka-angka tersebut dan kemudian
dibuatlah kurva dari titik-titik dengan persentase penyisihan yang sama.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-24
Persentase penyisihan total pada suatu waktu pengendapan tertentu dapat
diketahui melalui persamaan berikut ini :
o
ioT Z
ZrrR ... (6.7.1)
dimana : RT = Persentase penyisihan total pada waktu
pengendapan tertentu
ro = Persentase penyisihan pada titik terendah dalam
kolom sedimentasi
= Selisih persentase antara 2 garis isokonsentrasi
yang berdekatan
Zi = Kedalaman kolom rata-rata di antara 2 garis
isokonsentrasi yang berdekatan
Zo = Kedalaman maksimum air dalam kolom
sedimentasi
Gambar 6.3 Metode Tes Pengendapan dengan Kolom Sedimentasi
Perhitungan persentase penyisihan total tersebut dapat dilakukan pada
berbagai variasi waktu pengendapan. Dari masing-masing waktu
pengendapan tersebut bisa diperoleh nilai overflow rate berdasarkan
persamaan berikut :
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-25
To t
HV ... (6.7.2)
dimana : Vo = Overflow rate dengan waktu pengendapan
tertentu (m3/jam-m2)
H = Kedalaman kolom sedimentasi (m)
tT = Waktu pengendapan (jam)
Setelah mengetahui beberapa variasi waktu pengendapan, overflow rate,
dan persentase penyisihan, dapat dilakukan desain bak pengendap sesuai
kebutuhan.. Apabila tes pengendapan di atas tidak dapat dilakukan, nilai
kecepatan pengendapan bisa didapatkan berdasarkan beberapa literatur.
Kecepatan pengendapan dapat dilihat pada Tabel 6.4
Tabel 6.4 Kecepatan Pengendapan Berbagai Jenis Partikel
Jenis Partikel Specific Gravity
Ukuran Partikel
Kecepatan Pengendapan
Mesh mm mm/s fpm Tanah 2.65 18 1.00 100 19.7 Tanah 2.65 20 0.85 73 14.3 Tanah 2.65 30 0.60 62 12.2 Tanah 2.65 40 0.40 42 8.2
Lempung 2.65 70 0.20 21 4.1 Lempung 2.65 100 0.15 15 3 Lempung 2.65 140 0.10 8 1.6
Lempung dan Tanah Liat 2.65 200 0.03 6 1.2 Lempung dan Tanah Liat 2.65 230 0.06 3.8 0.75 Lempung dan Tanah Liat 2.65 400 0.04 2.1 0.41
Tanah Liat 2.65 - 0.02 0.62 0.12 Tanah Liat 2.65 - 0.01 0.154 0.03 Flok Alum 1.001 - 1-4 0.2 - 0.9 0.04 - 0.18 Flok Kapur 1.002 - 1-3 0.4 - 1.2 0.08 - 0.23
Sumber : Kawamura, 1991
Bak sedimentasi pada umumnya terbuat dari konstruksi beton bertulang
dengan bentuk bulat maupun persegi panjang. Secara umum, beberapa hal
yang perlu direncanakan dalam sistem bak sedimentasi adalah
perencanaan bidang pengendapan, perencanaan inlet dan outlet, serta
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-26
perencanaan ruang lumpur. Untuk perencanaan bidang pengendapan, ada
dua jenis bak pengendap yang dikenal, yaitu (Darmasetiawan, 2004):
1. Bak pengendap dengan aliran batch
2. Bak pengendap dengan aliran kontinu, meliputi:
a. Bak pengendap dengan aliran horizontal
b. Bak pengendap dengan plate settler
c. Bak pengendap dengan aliran vertikal
Beberapa parameter penting yang perlu diperhatikan dalam perencanaan
bak pengendap adalah waktu pengendapan dan karakteristik aliran, yang
ditunjukkan dalam bilangan R eynold dan bilangan Froude. Dalam
perencanaan instalasi pengolahan air minum, bak pengendap jenis batch
tidak/jarang diimplementasikan. Hanya dalam kondisi tertentu saja metode
ini dilakukan, misalnya proses penjernihan air untuk penyediaan air bersih
di kawasan pengungsian.
Pada umumnya bak sedimentasi berbentuk persegi panjang dengan aliran
horizontal adalah konfigurasi bak yang paling menguntungkan. Hal ini
disebabkan stabilitas hidrolisnya dan toleransinya terhadap shock loading.
Bak tipe ini juga memiliki efektifitas kerja yang dapat diprediksi, mampu
mengatasi debit dua kali lipat dari desain, mudah untuk dioperasikan, dan
mudah beradaptasi terhadap instalasi plate settler atau sejenisnya
(Kawamura, 1991).
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka bak sedimentasi yang digunakan
dalam perencanaan ini adalah bak sedimentasi persegi panjang dengan
aliran horizontal menggunakan plate settler. Bak Sedimentasi ini terdiri
dari komponen sebagai berikut:
1. Zona Inlet
2. Zona Bidang Pengendapan
3. Zona Outlet
4. Zona Lumpur
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-27
Untuk mencapai pengendapan yang baik, bentuk bak sedimentasi harus
dibuat sedemikian rupa sehingga karakteristik aliran di dalam bak tersebut
memiliki aliran yang laminar dan tidak mengalami aliran mati (short-
circuiting). Pada perencanaan instalasi pengolahan air minum ini akan
digunakan plate settler yang berfungsi untuk meningkatkan laminaritas
dan stabilitas aliran di dalam bak sedimentasi. Penggunaan plate settler ini
juga memberikan keuntungan tambahan, yaitu kebutuhan lahan yang
relatif kecil dibandingkan dengan bak konvensional serta waktu detensi
yang jauh lebih singkat.
Kriteria Desain Bak Sedimentasi:
Zona Inlet
Desain zona inlet sangat berpengaruh terhadap proses pengendapan dan
penyisihan flok-flok pada bak sedimentasi agar tidak terjadi
ketidakstabilan aliran dalam bak sedimentasi atau terhentinya aliran.
Sangat penting untuk menjaga keseragaman aliran yang masuk ke dalam
bak sedimentasi agar tidak terjadi turbulensi yang akan mengakibatkan
hancurnya flok-flok yang telah terbentuk.
Menurut Kawamura (1991), berbagai metode baffling pada zona inlet telah
diuji untuk distribusi air menuju bak pengendap, tetapi metode yang paling
sederhana dan efektif adalah perforated baffle. Kriteria desain dari
perforated baffle ini adalah sebagai berikut :
Bukaan harus didistribusikan secara merata pada dinding baffle,
sehingga meliputi keseluruhan penampang memanjang bak.
Jumlah bukaan maksimum harus disediakan sehingga pancaran
dapat diminimalisir dan zona mati diantara bukaan dapat dikurangi.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-28
Headloss pada bukaan harus berada dikisaran 0.3 0.9 mm untuk
menyamakan distribusi aliran pada inlet dengan pemecahan flok
yang minimum.
Ukuran bukaan harus memiliki diameter yang sama, yaitu 0.075
0.2 m, untuk menghindari penyumbatan oleh alga dan partikel
lainnya.
Jarak antar pusat bukaan kurang-lebih 0.25 0.5 m untuk
menyediakan kekuatan struktur pada dinding baffle.
Konfigurasi bukaan harus diatur sehingga pancaran parallel akan
mengarahkan aliran menuju zona outlet.
Zona Pengendapan
Kriteria desain dari zona pengendapan pada bak sedimentasi berbentuk
persegi panjang yang dilengkapi dengan plate settler adalah sebagai
berikut (Kawamura, 1991):
Jumlah bak minimum Jb = 2
Kedalaman air h = 3 5 m
Rasio panjang dan lebar bak p : l = (4-6) : 1
Rasio lebar bak dan kedalaman air l : h = (3-6) : 1
Freeboard : fb = 0.6 m
Kecepatan aliran rata-rata : Vh = 0.15 0.2
m/min
Waktu detensi : td = 5 20 menit
Beban pelimpah : Wl < 12.5 m3/m-jam
Kemiringan plate settler : = 45° - 60°
Jarak antar plate settler : w = 25 50 mm
Bilangan Reynolds : NRe < 2000
Bilangan Froud : NFr > 10-5
Perfomance bak : n = 1/8 (sangat baik)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-29
A
B
C
D
w
Vo
So
H
Gambar 6.4 Skema Plate Settler
Persamaan-persamaan yang digunakan untuk perhitungan dimensi bak
pengendapan ini antara lain adalah :
Koreksi kecepatan pengendapan (Vs = Q/As) n
s
sT AQ
VnR
/1
/11
dimana : RT = Total Removal
n = Performansi dari bak, diasumsikan sangat baik
(n=1/8)
Vs = Kecepatan mengendap partikel terbesar (m/dtk)
Q = Debit pengolahan (m3/dtk)
As = Luas permukaan (m2)
Tinggi pengendapan, z :
coswCDz ... (6.7.4)
dimana : w = Jarak tegak lurus antar plate settler (m)
= Sudut kemiringan plate settler (°)
Panjang plate, p :
sin' HACp ... (6.7.5)
dimana : H = Kedalaman zona pengendapan dengan plate (m)
tansin' wHACp ... (6.7.6)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-30
Kecepatan pengendapan di dalam plate, Vs :
dds t
CDtzV ... (6.7.7)
Waktu detensi, td :
sd V
zt ... (6.7.8)
Kecepatan horizontal di dalam plate, Vo :
sso
sd
o
Vw
wHVw
wH
V
Vz
ACtACV
sincoscos
cos
tansin 2
...
(6.7.9)
Debit per satu kolom plate, q :
LwVAVq ocrosso ... (6.7.10)
dimana : L = Lebar plate settler / bak pengendap (m)
Jumlah plate yang dibutuhkan, n :
1qQn ... (6.7.11)
dimana : Q = Debit pengolahan bak sedimentasi (m3/dtk)
Panjang zona plate settler, Pz :
cossin
)1( pwnPz ... (6.7.12)
Jari-jari hidrolis, R :
2wR ... (6.7.13)
Bilangan Reynolds, NRe :
RVN o
Re
dimana : = Viskositas kinematis (m2/dtk)
Bilangan Froud, NFr :
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-31
RgVN o
Fr
2
)
dimana : g = Percepatan gravitasi (m/s2)
Zona Outlet
Zona outlet harus dirancang sedemikian rupa agar air yang keluar dari dari
bak pengendap dapat ditampung secara merata sehingga tidak
mengganggu aliaran dalam zona pengendapan. Beberapa bentuk zona
outlet antara lain (Darmasetiawan, 2004):
Saluran datar memanjang
Saluran berbentuk V
Pipa berlubang yang menjulur pad bak pengendap
Zona outlet ini terdiri dari pelimpah, saluran pelimpah, saluran pengumpul
dan saluran outlet. Pada zona outlet ini digunakan pelimpah berupa mercu
tajam sehingga menghasilkan terjunan.
Zona Lumpur
Penampungan lumpur merupakan bagian penting lainnya dalam unit
sedimentasi. Produk dari proses sedimentasi selain air dengan kualitas
yang lebih baik juga lumpur yang merupakan buangan hasil penyisihan.
Zona lumpur berfungsi sebagai tempat akumulasi lumpur atau buangan
hasil pengendapan.
VI.8 Filtrasi
Filtrasi adalah suatu proses penyisihan partikel tersuspensi atau partikel
halus (sisa-sisa flok) yang tidak terendapkan pada proses sedimentasi
dengan cara melewatkan air pada suatu media tertentu. Proses filtrasi yang
paling umum digunakan adalah dengan menggunakan media butir dengan
ukuran dan kadalaman tertentu.
Filter dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe media yang digunakan, yaitu
(Reynolds, 1982):
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-32
1. Single-medium filters
Tipe ini terdiri dari satu jenis media, biasanya pasir atau batu bara
antrasit yang dihancurkan.
2. Dual-media filters
Tipe ini terdiri dari dua jenis media, biasanya sntrasit yang
dihancurkan dan pasir.
3. Multimedia filters
Tipe ini terdiri dari tiga jenis media, biasanya antrasit yang
dihancurkan, pasir, dan garnet.
Mekanisme penyisihan partikel yang terjadi pada proses filtrasi adalah
mechanical straining atau penyaringan partikel pada permukaan lapisan
filter, sedimentasi di dalam lapisan filter, serta adsorpsi partikel halus dan
senyawa terlarut dalam air. Terdapat dua jenis filtrasi yang umum
digunakan pada pengolahan air minum ditinjau dari segi desain kecepatan
filtrasi yaitu Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter) dan Saringan Pasir
Lambat (Slow Sand Filter). Perbandingan antara kedua jenis filtrasi dapat
dilihat pada Tabel 6.5.
Berdasarkan hasil pemilihan unit pengolahan dengan metode prediksi dari
JICA (1990) pada bab sebelumnya, dipilih Saringan Pasir Cepat (SPC)
dalam proses filtrasi ini. Selain itu terdapat beberapa keuntungan SPC,
misalnya, area yang dibutuhkan relatif kecil, biaya konstruksi yang lebih
murah, dan sistem filtrasi yang dapat menghasilkan air dengan kualitas
baik. Saringan pasir cepat dapat merupakan tipe filter gravitasi dengan bak
terbuka, self backwashing filter, atau tipe filter bertekanan. Tipe yang
paling umum digunakan untuk pengolahan air minum adalah tipe gravitasi
dengan bentuk bak terbuka yang terbuat dari beton yang di dalamnya
terdiri dari media penyaring, media penyangga, dan sistem underdrain.
Tipe tersebut yang akan digunakan pada perencanaan instalasi pengolahan
air minum ini.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-33
Tabel 6.5 Kriteria Umum Konsrtruksi dan Operasional Saringan Pasir
Lambat dan Saringan Pasir Cepat
Saringan Pasir Lambat Saringan Pasir Cepat Laju filtrasi Luas saringan Kedalaman media Ukuran pasir Distribusi ukuran
butiran pasir Sistem underdrain Headloss Rentang waktu
pencucian Penetrasi bahan
tersuspensi Metode pencucian Jumlah air untuk
pencucian pasir Pengolahan
pendahuluan Pengolahan
tambahan Biaya konstruksi Biaya operasi Penurunan nilai
1-10 m/hari Besar, 2000 m2 Kerikil : 0,3 m Pasir : 0,6-1 m Effective size : 0,25-0,3 mm Coefficient nonuniformity : 2-3 mm Unstratified Split tile laterals-tile or concrete main drain 6-12 cm 20-60 hari Dangkal Mengangkat pasir untuk pencucian, disimpan, penggantian pasir secara periodik Pencucian di tempat dengan alat pencuci
0,2-0,6 % dari air terfiltrasi Biasanya tidak ada Klorinasi Relatif tinggi Relatif rendah, terutama jika dilakukan pencucian pasir di tempat Relatif rendah
100-300 m/hari Kecil, 40-400 m2 Kerikil : 0,5 m Pasir : 0,8 m Effective size Coefficient nonuniformity mm (tergantung sistem underdrain) Disusun, ukuran paling kecil atau paling ringan berada di lapisan atas dan ukuran paling besar atau paling berat berada di lapisan paling bawah Pipa berlubang lateral-pipa utama Plat dengan pori di atas inlet Blok dengan pori dan saluran
31-274 cm 12-72 jam Dalam Backwashing 1-6 % dari air terfiltrasi Koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi Klorinasi Relatif rendah Relatif tinggi Relatif tinggi
Sumber : Fair, Geyer, & Okun, 1968
Media Penyaring dan Media Penyangga
Jenis media yang paling banyak digunakan adalah pasir kwarsa dengan
kadar silika hingga 96%. Beberapa hal yang mempengaruhi perhitungan
hidrolis media filter adalah tingkat kebulatan (sphericity), ukuran butir dan
distribusi ukuran partikel, serta perhitungan stok pasir. Ukuran yang
menggambarkan karakteristik pasir adalah (Darmasetiawan, 2004):
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-34
Ukuran efektif (effective size, ES) dari butiran pasir didefinisikan
sebagai ukuran ayakan yang telah meloloskan 10 % dari total
butiran pasir yang ada (P10).
Koefisien keseragaman (uniformity coefficient, UC) adalah ukuran
yang telah meloloskan 60 % dibagi ukuran yang telah meloloskan
10 % dari total bahan baku pasir (P60/P10).
Pasir yang akan digunakan sebagai media filter harus memenuhi kriteria
ES dan UC. Karakteristik media filtrasi yang secara umum digunakan
dapat dilihat pada Tabel 6.6
Tabel 6.6 Karakteristik Media Filter
Material Bentuk Tingkat kebulatan
Berat Jenis
Relatif
Porositas (%)
Ukuran efektif (mm)
Pasir Silika Pasir Silika Pasir Ottawa Kerikil Silika Garnet Anthrasit Plastik
Rounded Angular Spherical Rounded
Angular
0.82 0.73 0.95
0.72
2.65 2.65 2.65 2.65
3.1-4.3 1.50-1.75
42 53 40 40
55
0.4-1.0 0.4-1.0 0.4-1.0 1.0-50 0.2-0.4 0.4-1.4
Bisa dipilih sesuai kebutuhan Sumber : Droste, 1997
Pada perencanaan instalasi pengolahan air minum ini, saringan pasir cepat
yang digunakan adalah saringan pasir cepat dengan media ganda karena
memiliki beberapa kelebihan dibandingkan filter dengan media tunggal,
yaitu waktu filtrasi yang lebih panjang, laju filtrasi yang lebih besar, dan
kemampuan untuk memfilter air dengan turbiditas dan partikel tersuspensi
yang tinggi.
Untuk media penyangga digunakan kerikil (gravel) yang umumnya
digunakan. Media penyangga berfungsi sebagai penyangga media
penyaring yang diletakkan pada bagian bawah media penyaring tersebut.
Sebagai media penyangga ini biasanya diletakkan secara berlapis-lapis,
umumnya digunakan lima lapisan dengan ukuran kerikil yang digunakan
berdegradasi mulai dari 1/18 inchi pada bagian atas sampai dengan 1-2
inchi pada bagian bawah. Ukuran kerikil ini sangat bergantung pada
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-35
ukuran pasir pada media penyaring dan tipe sistem underdrain yang
digunakan.
Sistem Underdrain
Sistem underdrain berfungsi untuk mengumpulkan air yang telah difiltrasi
oleh media penyaring pada saat saringan pasir cepat beroperasi, sedangkan
ketika backwash sistem ini berfungsi untuk mendistribusikan air
pencucian. Laju backwash menentukan desain hirolik dari filter karena
laju backwash beberapa kali lebih besar daripada laju filtrasi.
Pada dasarnya terdapat dua jenis sistem underdrain, yaitu :
1. Sistem manifold dengan pipa lateral
2. Sistem false bottom.
Kriteria desain saringan pasir cepat:
Tabel 6.7 adalah kriteria desain untuk saringan pasir cepat menurut
Reynolds (1982):
Tabel 6.7 Kriteria Desain Unit Saringan Pasir Cepat
Karakteristik Satuan Nilai Rentang Tipikal
Antrasit Kedalaman cm 45,72-60,96 60,96 Ukuran Efektif mm 0.9-1,1 1,0 Koefisien Keseragaman 1,6-1,8 1,7 Pasir Kedalaman cm 15,24-20,32 15,24 Ukuran Efektif mm 0,45-0,55 0,5 Koefisien Keseragaman 1,5-1,7 1,6 Laju Filtrasi m3/hr-m2 176-469,35 293,34
Sumber : Reynolds, 1982
Ketinggian air di atas pasir : 90 120 cm
Kedalaman media penyangga : 15.24 60.96 cm
Ukuran efektif media penyangga : 0.16 5.08 cm
Perbandingan panjang dan lebar bak filtrasi : (1-2) : 1
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-36
Kecepatan aliran saat backwash : 880 1173.4 m3/hari-m2
Ekspansi media filter : 20 50 %
Waktu untuk backwash : 3 10 menit
Jumlah bak minimum : 2 buah
Jumlah air untuk backwash : 1 5 % air terfiltrasi
Selain kriteria desain di atas dapat kita lihat pula kriteria desain untuk
saringan cepat menurut Fair, Geyer, dan Okun (1968) :
Dimensi Bak dan Media Filtrasi
Kecepatan Filtrasi : 5 7.5 m/jam
Kecepatan backwash : 15 100 m/jam
Luas permukaan filter : 10 20 m2
Ukuran media :
- Ukuran efektif : 0.5 0.6 mm
- Koefisien keseragaman : 1.5
- Tebal media penyaring : 0.45 2 m
- Tebal media penunjang : 0.15 0.65 m
Sistem Underdrain
Luas orifice : Luas media : (1.5 5) x 10-3 : 1
Luas lateral : Luas orifice : 2 4 : 1
Luas manifold : Luas lateral : (1.5 3) : 1
Diameter orifice : 0.25 0.75 inchi
Jarak antar orifice terdekat : 3 12 inchi
Jarak antar pusat lateral terdekat : 3 12 inchi
Pengaturan Aliran
Kecepatan aliran dalam saluran inlet, Vin : 0.6 1.8 m/s
Kecepatan aliran dalam saluran outlet, Vout : 0.9 1.8 m/s
Kecepatan dalam saluran pencuci, Vp : 1.5 3.7 m/s
Kecepatan dalam saluran pembuangan, Vb : 1.2 2.5 m/s
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-37
Persamaan-persamaan yang dipergunakan pada perencanaan unit saringan
pasir cepat ini adalah :
Dimensi Bak Filter
Jumlah bak, N : 5.02.1 QN 8.1)
dimana : Q = Debit pengolahan (mgd)
Debit tiap bak, Qn :
NQQn /
Luas permukaan, As :
fns VQA /
dimana : Vf = Kecepatan filtrasi (m/s)
Dimensi bak :
lpAs
dimana : p = Panjang bak filtrasi (m)
l = Lebar bak filtrasi (m)
Sistem Inlet dan Outlet
Luas penampang pipa inlet dan outlet, A :
pVQA ... (6.8.5)
dimana : A = Luas penampang pipa (m2)
Q = Debit pengolahan (m3/dtk)
Vp = Kecepatan aliran di dalam pipa (m/dtk)
Diameter pipa inlet dan outlet, d :
Ad 4
dimana : d = Diameter pipa inlet dan outlet (m)
Kehilangan tekan sepanjang pipa inlet dan outlet, hmayor :
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-38
54.0/1
63.2
54.0
2785.0 dCLQhmayor
dimana : hmayor = Kehilangan tekan sepanjang pipa (m)
Q = Debit pengolahan (m3/dtk)
L = Panjang pipa (m)
C = Koefisien Darcy-Weischbach
d = Diameter pipa (m)
Kehilangan tekan akibat aksesoris pipa, hminor :
gVkh or 2
2
min
dimana : hminor = Kehilangan tekan akibat aksesoris
pipa (m)
k = koefisien
V = Laju aliran (m/dtk)
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
Sistem Filtrasi
1. Persamaan pada saat Filtrasi berlangsung (Blake-Kozeny)
Headloss pada media yang bersih :
2
2
3
2 61
i
ifL d
XLVgkh
dimana : hL = Kehilangan tekan pada media (m)
k = Koefisien Kozeny, k = 5
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
Vf = Kecepatan filtrasi (m/dtk)
= Viskositas kinematis (m2/dtk)
= Porositas media
= faktor bentuk
L = Kedalaman media (m)
Xi = Fraksi berat partikel
di = Ukuran tengah geometrik butir media (m)
2. Persamaan pada saat pencucian (Backwash)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-39
e : 23 6
1 iwm
wbw
e
e
e
dV
gk
dimana : e = Porositas terekspansi
ke = Koefisien Kozeny pada saat pencucian, ke = 4
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
Vbw = Laju pencucian (m/dtk)
= Viskositas kinematis (m2/dtk)
w = Berat jenis spesifik air (kg/m3)
m = Berat jenis spesifik media (kg/m3)
= faktor bentuk
d = Diameter efektif media (m)
Tebal media terekspansi, Le :
e
ie
XLL1
)1(
dimana : Le = Tebal media saat terekspansi (m)
L = Tebal media (m)
= Porositas awal
e = Porositas terekspansi
Xi = Fraksi tebal lapisan media
Kehilangan tekan pada media terekspansi, he :
eie
ebw
ee L
dV
gk
h2
3
2 61
dimana : he = Kehilangan tekan pada media terekspansi
(m)
e = Porositas terekspansi
= Viskositas kinematis (m2/dtk)
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
Vbw = Laju pencucian (m/dtk)
d = Diameter efektif media (m)
Le = Tebal media saat terekspansi (m)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-40
Sistem Underdrain
1. Orifice
Luas orifice total = (Luas orifice : Luas media filter) x As
Luas per orifice 2 (d = diameter orifice)
Jumlah orifice = Luas orifice total / Luas per orifice
Kehilangan tekan pada orifice, hor :
gAqkh
or
oror 22
2
dimana : hor = Kehilangan tekan pada orifice (m)
k = Konstanta (Kawamura, 1991 : k = 2.4)
qor = Debit yang melalui orifice (m3/dtk)
Aor = Luas orifice (m2)
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
2. Lateral
Luas lateral total = (Luas lateral : Luas orifice) x Luas orifice
total
Jumlah pipa lateral, nl = n / r
dimana : n = Panjang manifold (m)
r = Jarak antar pipa lateral (m)
Diameter lateral, dl = (Luas lateral total/nl1/2
Jumlah orifice/lateral = Jumlah orifice / Jumlah lateral
Jarak antar orifice = pl / Jumlah orifice per lateral
dimana : pl = Panjang lateral (m)
Kehilangan tekan pada lateral, Hl :
gV
DL
fH l
l
ll 23
1 2
dimana : Hl = Kehilangan tekan pada lateral (m)
f = Konstanta
Ll = Panjang lateral (m)
Vl = Kecepatan aliran pada lateral (m/dtk)
Dl = Diameter lateral (m)
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-41
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
3. Manifold
Luas manifold = (Luas manifold : Luas lateral) x Luas
lateral total
Dia. manifold, dm = (Luas manifold/0.25 1/2
Kehilangan tekan pada manifold, Hm :
gV
DL
fH m
m
mm 23
1 2
dimana : Hm = Kehilangan tekan pada lateral (m)
f = Konstanta
Lm = Panjang lateral (m)
Vm = Kecepatan aliran pada lateral (m/dtk)
Dm = Diameter lateral (m)
g = Percepatan gravitasi (m/dtk2)
VI.9 Desinfeksi
Unit desinfeksi bertujuan untuk membunuh mikroorganisme patogen.
Mikroorganisme tersisih dari air secara bertahap selama proses
sedimentasi, penambahan senyawa kimia, dan filtrasi. Akan tetapi agar air
aman dikonsumsi manusia, perlu didisinfeksi. Disinfeksi air dapat
mambunuh bakteri, protozoa, dan virus. Kuantitas disinfektan yang
dibutuhkan untuk proses ini sedikit dan tidak berbahaya bagi manusia.
Jika faktor lainnya konstan, penyisihan organisme akan sebanding dengan
waktu kontak dan konsentrasi disinfektan. Pada kenyataannya, laju
penyisihan dapat meningkat atau menurun terhadap waktu. Adanya
gangguan, ketahanan sel mikroorganisme yang berbeda-beda, dan faktor-
faktor lainnya dapat mempengaruhi tingkat laju. Karakteristik air yang
akan diolah merupakan faktor penting yang akan mempengaruhi proses
disinfeksi (Al Layla, 1980).
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-42
Terdapat berbagai disinfektan yang dapat digunakan. Al Layla (1980)
membaginya menjadi dua dua golongan, yaitu
Fisik
Pendidihan air dapat membunuh organisme penyakit dalam 15
sampai 20 menit, walaupun untuk mendapatkan air yang aman
dikonsumsi, pendidihan memerlukan waktu yang lebih lama.
Cahaya matahari merupakan disinfektan alami karena sinar ultra
violetnya.
Kimia
Klorin, bromin, dan iodin, yang merupakan kelompok kimia
halogen, efektif sebagai disinfektan. Agen pengoksidasi seperti
potasium permanganat, klorin dioksida, dan ozon juga dapat
digunakan sebagai disinfektan.
Agen klorin dapat berupa gas klorin yang dimampatkan (liquefied),
sodium hipoklorit, dan kalsium hipoklorit. Kalsium hipoklorit dapat
berupa bubuk, butiran, atau tablet, dan konsentrasi klor dapat mencapai 60
% atau lebih. Selain itu kulitasnya dapat tetap terjaga dalam ruang
penyimpanan. Untuk perencanaan instalasi pengolahan air minum ini akan
digunakan kalsium hipoklorit (Ca(OCl)2) sebagai disinfektan.
Reaksi kimia yang terjadi pada saat pembubuhan desinfektan ke dalam air
baku adalah sebagai berikut :
323
222
222
222
2)()(
COHHCOH
OClHHOClHOClOHCaOHOClCa
322322 22)(22)( COHOClOHCaHCOOHOClCa
Hipoklorit (HOCl) yang terbentuk akan terlebih dahulu bereaksi dengan
ammonia yang terkandung di dalam air membentuk monokloramin,
dikloramin, dan trikloramin menghasilkan klor terikat. Persamaan kimia
yang memperlihatkan terbentuknya kloramin ini adalah sebagai berikut :
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-43
OHNClHOClNHOHNHClHOClNH
OHClNHHOClNH
233
223
223
3322
Oleh sebab itu, dosis klor yang harus diaplikasikan ke dalam air baku
harus disesuaikan dengan break point chlorination yang dapat dilihat pada
Gambar 6.5 (Rich, 1963).
Pada Gambar 6.5 dapat dilihat bahwa pada kurva bagian A-B, klor beraksi
dengan agen-agen pereduksi yang terdapat di dalam air. Kemudian pada
kurva bagian B-C adalah ketika klor bereaksi membentuk kloramin. Pada
kurva bagian C-D, terdapat sejumlah klor bebas sehingga terjadi oksidasi
dari kloramin yang sebelumnya terbentuk, sehingga jumlah sisa klor di
dalam air terus berkurang, hal ini disebabkan oleh reduksi atom klor
sampai dengan angka oksidasinya yang paling rendah.
Sis
aK
lor
Dosis klor
A
D
C
B
Gambar 6.5 Kurva Sisa Klor
Setelah oksidasi selesai, penambahan klor lebih lanjut akan menghasilkan
pembentukan sisa klor bebas di dalam air yang dibutuhkan pada saat
distribusi air minum dengan dosis kurang lebih 0.5 mg/L. Pada kurva di
Sehingga jumlah klor yang dibutuhkan untuk desinfeksi pada suatu unit
pengolahan air minum adalah :
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-44
Kebutuhan Klor (mg/L) = Kebutuhan DPC (mg/L) + Sisa Klor (mg/L)
Perlengkapan yang diperlukan pada unit desinfeksi ini antara lain, wadah
penampung klor yang telah dilarutkan, sistem penyuplai desinfektan baik
secara gravitasi maupun dengan pemompaan, dan suplai air untuk
melarutkan klor.
Kriteria Desain Unit Desinfeksi
Desinfektan yang digunakan adalah kalsium hipoklorit (Ca(OCl)2)
dengan persentase Cl2 yang terkandung didalamnya adalah 35,56
%.
Jumlah sisa klor yang dibutuhkan pada saat distribusi berkisar
antara 0,2 s.d. 0,5 mg/L
Bak penampung desinfektan dapat terbuat dari plastik atau tanah
liat dengan jumlah bak minimum 2 buah. Volume bak penampung
sangat tergantung pada periode pengisian bak pelarut dan
konsentrasi larutan yang keduanya dapat diatur sedemikian rupa
sehingga memudahkan kegiatan operasi dan perawatan.
Klor yang terdapat dalam bak penampung dapat dialirkan secara
gravitasi maupun dengan pemompaan melalui sistem perpipaan.
Waktu kontak diatur berdasarkan pH larutan.
Berikut ini adalah persamaan-persamaan yang akan dipergunakan dalam
perencanaan unit desinfeksi :
Dosis Klor (mg/L) = DPC + Sisa Klor
Kebutuhan Kaporit = Q x Dosis Klor x Kemurnian
Volume Kaporit = Kebutuhan Kaporit / Berat Jenis Kaporit
Volume Pelarut = KaporitVolLaruiKonsentras
LaruiKonsentras .tan
tan100
Volume Larutan Kaporit = KaporitVolLaruiKonsentras
.tan
100
Dimensi Bak, Vol. Bak = Volume Lar.Kaporit = p x l x t
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-45
VI.10 Netralisasi
Pembubuhan kapur berfungsi untuk menghasilkan air yang tidak agresif.
Dalam melakukan pembubuhan kapur hal yang terpenting adalah dosis
kapur dan kondisi jenuh kapur. Larutan kapur berada pada kondisi jenuh
bila memiliki konsentrasi sebesar 1100 mg/L. Untuk melakukan
pembubuhan kapur diperlukan beberapa unit yaitu pelarut kapur dan
penjenuh kapur (lime saturator).
VI.11 Menara Air
Reservoir berupa menara air ini digunakan untuk menampung air yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan di instalasi pengolahan air minum.
Untuk memenuhi kebutuhan ini, digunakan menara air agar memenuhi
head untuk pengaliran ke unit instalasi yang membutuhkan air. Kebutuhan
air di instalasi meliputi kebutuhan uintuk filtrasi (backwashing), kebutuhan
air untuk pelarutan bahan kimia (koagulan, disinfektan, dan kapur), serta
untuk kebutuhan kantor.
VI.12 Reservoir Pelayanan
Reservoir pelayanan merupakan reservoir untuk distribusi air ke wilayah
pelayanan. Reservoir ini berfungsi sebagai tempat ekualisasi aliran.
Reservoir pelayanan dapat berupa bak atau menara air. Kapasitas reservoir
yang dibutuhkan dapat ditentukan melalui metode analitik ataupun grafik
berdasrkan fluktuasi pemakaian dalam satu hari di wilayah pelayanan.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam merancang reservoir adalah :
1. Volume reservoir
Volume ditentukan berdasarkan tingkat pelayanan dengan
memperhatikan fluktuasi pemakaian dalam satu hari di satu kota yang
akan dilayani.
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-46
2. Tinggi elevasi energi
Elevasi energi reservoir harus bisa melayani seluruh jaringan
distribusi. Elevasi energi akan menentukan sistem pengaliran dari
reservoir menuju jaringan distribusi. Bila elevasi energi pada reservoir
lebih tinggi dari sistem distribusi maka pengaliran dapat dilakukan
secara gravitasi. Untuk kondisi sebaliknya, bila elevasi energi
reservoir lebih rendah dari jaringan distribusi maka pengaliran dapat
dilakukan dengan menggunakan pompa.
3. Letak reservoir
Reservoir diusahakan terletak di dekat dengan daerah distribusi. Bila
topografi daerah distribusi rata maka reservoir dapat diletakkan di
tengah-tengah daerah distribusi. Bila topografi naik turun maka
reservoir diusahakan diletakkan pada daerah tinggi sehingga dapat
mengurangi pemakaian pompa dan menghemat biaya.
4. Pemakaian pompa
Jumlah pompa dan waktu pemakaian pompa harus bisa mencukupi
kebutuhan pengaliran air.
5. Konstruksi reservoir
a. Ambang Bebas dan Dasar Bak
Ambang bebas minimum 30 cm di atas muka air tertinggi
Dasar bak minimum 15 cm dari muka air terendah
b. Inlet dan Outlet
Posisi dan jumlah pipa inlet ditentukan berdasarkan
pertimbangan bentuk dan struktur tanki sehingga tidak ada
daerah dengan aliran yang mati
Pipa outlet dilengkapi dengan saringan dan diletakkan
minimum 10 cm di atas lantai atau pada muka air terendah
Perlu memperhatikan penempatan pipa yang melalui dinding
reservoir, harus dapat dipastikan dinding kedap air dan diberi
flexible-joint
Pipa inlet dan outlet dilengkapi dengan gate valve
Unit-Unit Instalasi Pengolahan Air Minum
VI-47
Pipa peluap dan penguras memiliki diameter yang mampu
mengalirkan debit air maksimum secara gravitasi dan saluran
outlet harus terjaga dari kontaminasi luar.
c. Ventilasi dan Manhole
Reservoir dilengkapi dengan ventilasi, manhole, dan alat ukur
tinggi muka air
Tinggi ventilasi 50 cm dari atap bagian dalam
Ukuran manhole harus cukup untuk dimasuki petugas dan
kedap air
VI.13 Unit Penanganan Lumpur
Lumpur yang dihasilkan dalam proses pengolahan air minum berasal dari
unit sedimentasi atau hasil pencucian pada unit filtrasi (backwashing).
Penanganan lumpur yang dapat dilakukan ditunjukkan oleh Gambar 6.6
(Fair, Geyer, dan Okun, 1968).
Digestion Aerobic extended aerationAnaerobic digestion
Drying
Air and bed dryingFluid-solid heat dryingWet oxidation-heat and
pressure
Incineration Multiple hearth-dewateredFluid solid-heat-dried
DewateringFlotationVacuum FiltrationCentrifuging
Concentration(Thickening)
Gravity settling andresettling
Mechanical concentrationBiological and pressure or
vacuum flotation
Gambar 6.6 Diagram alir penanganan lumpur
Untuk penenganan lumpur pada perencanaan instalasi pengolahan air
minum ini digunakan sludge drying bed.