bab vi ideologi dlm laporan dari bawah
TRANSCRIPT
BAB VIREPRESENTASI IDEOLOGI DALAM
LAPORAN DARI BAWAH
Sumber penyusunan antologi Laporan dari Bawah adalah Harian Rakjat
selama periode 1951-1965 yang memuat cerpen-cerpen karya para penyair kubu
Lekra. Antologi ini memuat 96 judul cerpen dari 61 pengarang. Persebaran
cerpen-cerpen tersebut dapat dilihat pada lampiran tabel 6. Sugiarti Siswadi
adalah pengarang yang paling banyak menyumbang karya (6 judul), di bawahnya
disusul oleh Abdul Kohar Ibrahim, (5 judul). Selebihnya, antologi ini memuat
karya antara 1-4 judul dari seorang pengarang.
Ditinjau dari segi tema, cerpen-cerpen tersebut mengangkat tema yang
sangat beragam (lampiran tabel 7). Dari keberagaman tema tersebut, ditemukan
enam kategori tema umum, yaitu tema-tema yang muncul minimal lima kali,
seperti: (1) propaganda PKI (16 cerpen), (2) perang bangsa Indonesia melawan
penjajah (14 cerpen), (3) sengketa tanah, Landreform (UUPA, UUPBH) (11
cerpen), (4) penderitaan rakyat jelata (kemiskinan) (11 cerpen), (5) perjuangan
buruh (8 cerpen), dan (6) antiimperialisme, antikolonialisme, anti-Amerika dan
sekutu-sekutunya (8 cerpen). Di luar tema umum tersebut, ditemukan tema-tema
seperti: perlawanan terhadap feodalisme, perang melawan gerombolan bersenjata,
kritik terhadap korupsi, perlawan rakyat tertindas kepada penguasa lokal, gaya
hidup orang kaya, perjuangan kaum perempuan dalam bidang sosial politik,
perjuangan kelas, perjuangan pemuda rakyat, perjalanan kembali ke desa yang
dilakukan oleh seorang prajurit, kawin paksa, peristiwa Madiun, nasionalisme,
89
perusahan film yang pailit karena perebutan perempuan, dokter yang membela
rakyat jelata, kritik terhadap kyai karena percaya kepada mistik, persahabatan
warga negara Amerika dan Indonesia, permasalahan sosial politik pada
masyarakat yang sedang menjalankan revolusi, dan makna tanah.
Berdasarkan teori New Historicism dapat dikemukakan bahwa tema umum
cerpen-cerpen tersebut memiliki pararelitas dengan pandangan Aidit (1964,
1964a), yaitu perjuangan PKI melalui suatu revolusi. Sementara itu, pararelitas
cerpen-cerpen Lekra dengan pandangan Presiden Soekarno (1964) dapat
ditemukan dalam cerpen-cerpen yang mengangkat tema perang bangsa Indonesia
melawan penjajah (14 cerpen), (3) sengketa tanah, Landreform (UUPA,
UUPBH), penderitaan rakyat jelata (kemiskinan), antiimperialisme-
antikolonialisme-anti-Amerika dan sekutu-sekutunya. Cerpen-cerpen yang
mengangkat tema propaganda PKI mencerminkan pandangan partai terhadap
kesusastraan, yaitu karya sastra sebagai alat perjuangan kaum tertindas. Cerpen-
cerpen propaganda sarat dengan muatan ideologi. Sejalan dengan hal itu,
keindahan cerpen sebagai karya seni sastra tidak menjadi perioritas utama karena
Lekra mengutamakan fungsi praktis karya sastra (Karyanto, 1997: 12; Toer, 2003:
69; Situmorang, 2004: 183).
5.1 Pencipta Sejarah adalah Massa Rakyat Pekerja
Di samping tokoh petani dan buruh, rakyat jelata lainnya (pegawai rendah,
pembantu atau babu, nelayan/pelaut, prajurit rendah, tukang cukur keliling,
pemain ketoprak, pelacur yang hidup miskin, tukang aspal jalan yang jasa-jasanya
dilupakan, pengabdian seorang loper koran, pengemis di ibu kota, dan kelasi yang
90
bekerja tiada mengenal lelah) juga mendapat tempat yang terhormat dan terpuji di
dalam cerpen-cerpen Laporan dari Bawah karena mereka menyadari peranannya,
seperti pernyataan ”Kami yang tertindas tapi penentu hari esok,” (dalam cerpen
”Pak Wirjo Komunis Tua”, hal. 526). Kenyataan tersebut, pararel dengan
pandangan Aidit (1964: 51) bahwa massa rakyat pekerja sebagai pencipta sejarah.
Hal inilah yang menjadi genetik mengapa rakyat jelata selalu hadir di dalam
cerpen-cerpen Laporan dari Bawah.
Penghadiran mereka antara lain dalam rangka melakukan tugas ideologi
dan partai; untuk pengungkapan kenyataan hidup mereka yang miskin, tertindas,
dan melarat; untuk menggalang perlawanan-perlawanan terhadap musuh-musuh
rakyat atau lawan-lawan PKI; untuk mencapai kemerdekaan dari segala bentuk
belenggu; dan untuk menanamkan optimisme terhadap harapan dan hari esok
yang lebih baik (sosialisme, masyarakat tanpa kelas). Keadaan tersebut dibahas
dalam bagian berikut ini.
a. Kaum Tani
Kehadiran kaum tani mendominasi cerpen-cerpen Laporan dari Bawah
(tabel 8 dalam lampiran) karena mereka merupakan populasi terbesar di Indonesia
dan identik dengan strategi perjuangan PKI, yaitu pergerakan berbasis kepada
kaum tani (Kasdi, 2001: 69-70). Di dalam cerpen-cerpen tersebut, mereka
digambarkan hidup miskin karena tertindas oleh tuan tanah. Di samping itu,
mereka selalu mendapat perlakuan yang idak adil dalam sistem bagi hasil.
Cerpen-cerpen tersebut, memicu kesadaran revolusioner progresif di kalangan
kaum tani untuk melakukan perlawanan terhadap tuan tanah di atas landasan
91
kebijakan reforma agraria (landreform, UUPA,1 UUPBH2) yang dikeluarkan oleh
Presiden Soekarno (1964: 419).
Cerpen ”Boyolali” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 50-51)
mengemukakan kisah petani-petani yang diteror dan ditembak di desa Ketaon
(Boyolali) karena mereka berjuang melawan tuan tanah yang tidak menaati
pelaksanaan landreform, UUPA, dan UUPBH. Perjuangan semacam itu, juga
dikemukakan dalam sejumlah cerpen lainnya, misalnya dalam cerpen ”Paman”
karya L.S. Retno (hal. 146-154). Cerpen tersebut menceritakan Umi dan ”aku”
(temannya) berjuang bersama-sama membela kaum tani, melawan tuan tanah
yaitu ”Paman” (ayah Umi sendiri) karena penguasa tanah di desanya. Perjuangan
seperti yang dilakukan oleh Umi dan temannya muncul lagi dalam cerpen ”Lelaki
Itu Datang Lagi” karya L.S. Retno (hal. 155-161), yang mengungkapkan
perjuangan Bungaintan dan Biran (sepasang kekasih yang disatukan oleh cinta
dan ideologi) di tanah perkebunan.
Kaum tani adalah pengawal pelaksanaan landreform di suatu desa karena
tuan tanah tidak sepenuh hati mengikuti pelaksanaan landreform sehingga
sebanyak 130 terdakwa (kaum tani) memenuhi ruang sidang sebuah pengadilan
dalam perkara tanah dengan seorang tuan tanah (Pak Sanusi), sebagaimana
dikisahkan dalam cerpen ”Pengadilan Tani” karya Sugiarti Siswadi (hal. 447-
456). Cerpen ”Ketika Padi Mulai Menguning” karya T.B. Darwin Effendie (hal.
494-496), kembali memunculkan tema perjuangan kaum tani melawan kelas
penindas (persekutuan tuan tanah dengan seorang tengkulak). Sementara itu,
1 UU No. 5/1960, tercantum dalam Lembaran Negara No. 1042 UU No. 2/1960, tercatat dalam Lembaran Negara No. 2/1960
92
perjuangan seorang petani menghadapi seorang haji yang serakah dan kikir,
terungkap dalam cerpen ”Tetap Bertahan” karya Sesongko (hal. 380-387). Cerpen
ini mengangkat kisah hidup Mustari, seorang petani dari desa Cibeo, yang sangat
bergantung kepada air namun air (sumber kehidupan bagi kaum tani) dikuasai
oleh seorang haji.
Cerpen”Pak Guru” karya Marapisingga (hal. 220-222), mengungkapkan
kisah perjuangan seorang guru (Bung Parto) membela kaum tani di suatu desa.
Bung Parto tinggal selama satu bulan di sebuah desa yang miskin. Di samping
menyelenggarakan kursus pemberantasan buta huruf dan memberi penjelasan-
penjelasan sederhana tentang gerakan Komunis, Bung Parto juga mempelajari
cara hidup kaum tani yang menyangkut beberapa hal seperti bagaimana hubungan
kaum tani dengan tanah yang digarapnya (apakah tanah miliknya sendiri atau
disewa dari tuan tanah), luas tanah yang dimiliki oleh seorang juragan, besaran
upah kerja dalam sehari, dan jumlah ternak yang dimiliki oleh seorang petani.
Persoalan-persoalan tanah, sebagaimana dikemuakakan dalam puisi-puisi
tersebut, pararel dengan pemikiran Presiden Soekarno (1964: 263) dan Aidit
(1964b: 56-57) mengenai kaum tani dan tanah. Menurut Presiden Soekarno, kaum
tani menginginkan hal yang mendasar (makanan, pakaian, dan rumah), yang
bertumpu kepada tanah:
[...]Tanah untuk mengambil makanan daripadanja, tanah untuk mengambil pakaian daripadanja, tanah untuk menaruh perumahan di atasnja.
Persoalan kaum tani adalah bagaimana agar mereka bisa mempunyai tanah dan
jalan keluarnya adalah landreform dalam rangka mencapai masyarakat adil dan
makmur, khusunya agar taraf hidup kaum tani meningkat, yang juga akan
93
meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia (Soekarno, 1964: 419).
Presiden Soekarno menegaskan bahwa landreform adalah bagian yang mutlak
dari Revolusi Indonesia. Menurut Presiden Soekarno (Soekarno, 1964: 419), tanah
tidak boleh menjadi alat pengisapan dan tanah harus untuk kaum tani:
[...]Tanah untuk mereka jang betul-betul menggarap tanah! Tanah tidak untuk mereka jang dengan duduk ongkang-ongkang mendjadi gemuk-gendut karena mengisap keringatnja orang-orang jang disuruh menggarap tanah itu!
Untuk meaykinakan bangsa Indonesia akan arti penting landreform, Presiden
Soekarno mengemukakan bahwa landreform tidak identik dengan tuntutan PKI
(Soekarno, 1964: 420). Karena itu, landreform diadakan di negara-negara yang
non-Komunis, seperti Pakistan, Mesir, dan Iran. Presiden Soekarno juga
mengemukakan pandangan PBB bahwa keburukan-keburukan tata pertanahan di
dunia telah menjadikan kaum tani kecil dan buruh tani mengalami keterpurukan
ekonomi.
Sejalan dengan pandangan Presiden Soekarno, Aidit (1964: 56)
mengemukakan bahwa pelaksanaan landreform secara radikal berarti
membebaskan kaum tani secara radikal pula dari penindasan feodal. Hal itu
diuraikan oleh Aidit, seperti dalam kutipan di bawah ini.
[...]berarti membebaskan kaum tani dari rasa takut karena kekuasaan sewenang-wenang dari penguasa-penguasa feodal. Untuk ini kaum tani harus mempunjai miliktanah garapannja sendiri. Dengan demikian mereka bisa bebas dari pologoro, tidak lagi harus bekerdja rodi untuk tuantanah, tidak perlu lagi takut karena belum membajar sewatanah, tidak perlu lagi takut karena belum dapat mengangsur hutangnya jang sudah puluhan tahun tidak pernah lunas. Hanja djika kaum tani telah mendjadi tuan atas tanahnja sendiri maka akan lahir kegembiraan untuk meningkatkan produksi dan ini berarti mereka dengan sukarela melaksanakan sebagian dari azas ”mentjiptakan ekonomi jang beridi diatas kaki sendiri”.
b. Perempuan (Tani)
94
Pengarang-pengarang kubu Lekra memiliki minat yang cukup tinggi
terhadap perjuangan kaum perempuan dalam politik, yang tampak melalui
sejumlah cerpen yang menghadirkan tokoh revolusioner perempuan tani. Melalui
cerpen-cerpen berikut ini diketahui bahwa perempuan juga memegang peranan
yang sangat penting dalam perjuangan untuk memperoleh hak atas tanah dan
keadilan dalam sistem bagi hasil. Hal itu dihadirkan dalam cerpen dengan cara
menampilkan tokoh-tokoh kaum perempuan tani yang dicitrakan sebagai
perempuan pemberani dan mandiri.
Dalam cerpen ”Dua Kemenangan” karya Dwijono (hal. 104-107) Wati
bersama teman-temannya berjuang di atas landasan UUPBH untuk menutut
keadilan dalam sistem bagi hasil kepada tuan tanah. Sebelum adanya undang-
undang ini penggarap hanya memperoleh sepertiga panen, serta harus
menanggung segala ongkos produksi. Cerpen tersebut senada dengan cerpen ”Bibi
Kerti” karya Putu Oka (hal. 305-309). Cerpen ini menampilkan perempuan
pemberani (Bibi Kerti) dalam memperjuangkan hak atas tanah di atas landasan
landreform. ”Aku” dalam cerpen ini menggambarkan Bibi Kerti sebagai
perempuan yang mampu berbuat melebihi seorang perempuan. Dalam cerpen
”Paman” karya L.S. Retno (hal. 146-154), Umi berjuang membela kaum tani agar
mereka memperoleh tanah dari tuan tanah (ayahnya sendiri). Sejalan dengan
cerpen tersebut, cerpen ”Lelaki Itu Datang Lagi” karya L.S. Retno (hal. 155-161)
juga mengemukakan perjuangan Bungaintan untuk memperoleh hak atas tanah
dari penguasaan juragan perkebunan.
95
c. Rakyat Miskin
Cara yang lazim juga digunakan oleh para pengarang kubu Lekra dalam
mengangkat persoalan yang dialami oleh massa rakyat pekerja adalah dengan
memotret kemiskinan, kemelaratan, dan penderitaan mereka. Dengan demikian,
diharapkan wawasan pembaca terbuka dan bersimpati. Yang menarik dari
pengungkapan tersebut, meskipun mereka miskin namun tetap memiliki harapan
akan masa depan yang gemilang (sosialisme). Potret penderitaan tersebut
dikemukakan dalam sejumlah cerpen yang dibicarakan berikut ini.
Dalam cerpen berjudul ”Lapar” karya Bohari (hal. 80-86) dikisahkan
kemiskinan keluarga Djapar (istrinya, Inah dan As --kedua anak mereka) dan
berjuang untuk bertahan hidup di Jakarta. Kisah serupa juga ditemukan dalam
cerpen ”Tikar dan Debu” karya Marapisingga (hal. 217-219), yang menceritakan
kemiskinan keluarga Sidin dan Minah. Karena miskin, Sidin dan Minah tidak
berdaya lagi memberi makan anak-anaknya sehingga kedua anaknya yang
masing-masing baru berumur tiga dan satu tahun harus diserahkan kepada
tetangganya yang lebih kaya. Karena kemiskinan itu juga, Sidin dan Minah harus
”membuang” anaknya yang ketiga yang baru saja lahir. Dalam cerpen ”Trisik”
karya Misbach Tamrin (hal. 224-227), dikisahkan kemiskinan yang dialami oleh
Pak Nojo dan petani-petani lainnya di desa Trisik tetapi mereka tetap tegar.
Cerpen ”Onah Ditepi Ciliwung” karya S. Djin (hal. 318-324)
menampilkan gambaran kaum miskin pinggiran kota Jakarta, yang berpusat pada
perjalanan hidup Onah. Ketika ia berkenalan dengan Bang Dul, harapan hidupnya
tubuh karena diakomodasi oleh PKI. Cerpen ini menyiratkan agar muncul
96
berbagai simpati atau keberpihakan serta optimisme hidup yang dijanjikan oleh
PKI.
Kemiskinan dalam beberapa cerpen berikut ini adalah kemiskinan yang
tragis, seperti yang dikisahkan dalam cerpen ”Kuntarni” karya N. Rosa (hal. 236-
238). Kuntarni sejak lama menginginkan gaun putih yang akan dikenakan dalam
memperingati hari Kartini di sekolahnya namun karena miskin dan serangan
malaria, ibunya tidak pernah bisa membeli gaun tersebut. Cerpen ”Sripanggung”
karya S. Gita (hal. 338-340) mengisahkan kemiskinan rombongan ketoprak
keliling ketika musim sepi penonton akibat musim hujan di suatu kota tempat
pertunjukan, maka barang-barang milik mereka harus dijual untuk menyambung
hidup. Cerpen ”Pergi” karya Setiawan H.S. (hal. 390-391) memotret kemiskinan
keluarga tukang rel kereta api dengan dua anak (Amrin dan adiknya, Maman).
Kemiskinan menghancurkan harapan dan cinta istrinya kepada suaminya dan
kedua anaknya. Kemiskinan itu pula memaksanya meninggalkan keluarganya.
Dalam cerpen ”Beras” karya Tjak Wib (hal. 507-508) kemiskinan menimpa Pak
Wongso, Pak Dullah, dan Pak Karno karena mereka tidak memiliki uang untuk
membeli beras.
Noor Djaman melalui cerpen ”Insaf” (hal. 250-252), memandang
kemiskinan dengan cara yang berbeda dengan cerpen-cerpen sebelumnya. Di
dalam cerpen ini kemiskinan bukan sebagai penderitaan tetapi sebagai kehormatan
hidup ketimbang kaya karena korupsi. Walaupun keluarga tersebut miskin ”dia”
bersama istrinya tetap hidup harmonis, merasa terhormat, dan senantiasa bisa
menikmati karya-karya Maxim Gorki.
97
d. Rakyat Melek Ideologi dan Politik
Selain menghadirkan massa rakyat pekerja seperti yang telah dibicarakan,
muncul pula sejumlah cerpen yang mencitrakan massa rakyat yang melek
persoalan-persoalan ideologi dan politik, khususnya Marxisme, Komunisme, dan
gerakan PKI untuk merebut kekuasaan demi terwujudnya sosialisme di Indonesia.
Pencitraan rakyat yang sedemikian rupa muncul dalam cerpen ”Sedikit Hangat”
karya Nusananta (hal. 278-282). Dalam cerpen ini dihadirkan tokoh seorang
tukang cukur keliling yang memahami ajaran Marxis dan melek persoalan sosial
politik Indonesia pada periode 1950-1965. Hal itu muncul pula dalam cerpen
”Gambar Pemimpin” karya Saibun (hal. 364-371), yang mana suami-istri, Kodim
dan Murni menjadikan persoalan politik sebagai bahan percakapan sehari-hari.
Mereka berdiskusi dan berdebat tentang keunggulan program PKI ketimbang
program partai lain, memperbincangkan kepemimpinan D.N. Aidit, dan
perjuangan Gerwani bagi kemajuan perempuan di Brastagi.
Cerpen-cerpen berikut ini juga mencitrakan massa rakyat yang melek
politik (khususnya mengerti tujuan perjuangan PKI), yaitu membela kaum tani.
Cerpen ”Menyambut Kongres Nasional Ke-VI PKI” (hal. 165-170) karya L.S.
Retno, menceritakan perbincangan di antara Pak Santo, Kamdar, Kusmo, dan
Kasman dengan topik bahwa perhatian PKI terhadap nasib kaum tani sangat
besar. Sejalan dengan cerpen tersebut, cerpen ”Pak Wirjo Komunis Tua” karya
Zein D. Datu (hal. 527) juga mengungkapkan rakyat melek politik yang
diungkapkan melalui pandangan-pandangan Pak Wirjo mengenai kesadaran kelas
98
di kalangan kaum buruh. Cerpen ini juga mengungkapkan bahwa hubungan PKI
dengan buruh di Indonesia sangat erat.
Pencitraan massa rakyat yang melek ideologi dan politik juga
dikemukakan melalui cerpen ”Istri Kawanku” karya Jadi (hal. 124-128), ”Subang”
karya Ira (hal. 118-120), dan ”Pesta Rakyat” karya Namikakanda (hal. 240-243).
Sejalan dengan citra tersebut, melalui cerpen ”Loper” karya Putu Oka (hal. 300-
304) diketahui bahwa pengabdian rakyat kepada PKI adalah tindakan yang terpuji.
Cerpen tersebut mengisahkan pengabdian seorang loper koran Harian Rakjat,
yang bersedia bekerja tanpa dibayar karena ia memahami arti penting dan masa
depan perjuangan PKI bagi dirinya.
Di balik pengungkapan keterlibatan massa rakyat pekerja dalam persoalan
ideologi, sosial politik, ternyata muncul pula sejumlah cerpen yang menghadirkan
massa rakyat di tengah-tengah persoalan-persoalan domestik. Cerpen ”Atik” karya
Koe Iramanto (hal. 134-136) mengisahkan kerinduan seorang anak kepada
ayahnya, yang ”telah pergi mendekap bumi”, ”meninggal di penjara, dadanya
dikoyak oleh peluru kaum pemberontak PRRI”. Persoalan yang sama muncul lagi
dalam cerpen ”Keyakinan yang Tak Tergoyahkan” karya L.S. Retno (hal. 162-
164), yang mengisahkan kerinduan Rosmauli kepada ayahnya yang telah gugur
dalam perlawanan menghadapi peberontak PRRI. Setelah dicermati, kedua cerpen
tersebut memang membicarakan kerinduan (sebagai persoalan domestik) namun
tetap dalam bayang-bayang melampaui persoalan individu. Cerpen tersebut tetap
berada di dalam koridor narasi besarnya, yaitu massa rakyat yang hadir di tengah-
tengah persoalan ideologi, politik.
99
e. Pelaut, Nelayan, Kelasi, Tukang Aspal
Tokoh, pelaut, kelasi, nelayan, dan tukang aspal tidak banyak muncul di
dalam antologi Laporan dari Bawah. Tokoh pelaut misalnya, dikemuakan dalam
cerpen ”Don Mariano” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 52-56) yang
mengangkat tema Nasakom. Sementara itu, kehidupan seorang nelayan (Hasan)
dari Pantai Ampenan, Lombok dikemukakan dalam cerpen ”Air Pasang” karya
Lilik M. (hal 172-174). Cerpen ini memotret kemiskinan Hasan sehingga ia sering
mengebon minyak tanah (untuk bahan bakar mesin perahunya) pada Haji Zakaria
dan membayarnya dengan ikan, yang dihargai sangat murah.
Dalam cerpen “Memecah Gelombang” karya S. Djin (hal. 327),
dikemukakan kepribadian Andi, seorang kelasi kapal dengan hati membaja dan
tangan kuat, cekatan memegang palu godam yang selalu mendering dan
menggema di pelabuhan-pelabuhan dan yang telah meluncurkan kapal-kapal
buatan Indonesia, mengarungi lautan merangkai pulau-pulau dan memecah
gelombang. Cerpen ”Tukang Aspal” karya S. Gita (hal. 337) mengisahkan
Wahab, tukang aspal selama tiga zaman, yang jasanya akan dicatat dalam sejarah
kota sebab ia termasuk peletak batu-batu pertama tanpa upacara. Dalam cerpen
“Perjuangan dan Hidup” karya Lyn Suharti (hal. 180-183) ditampilkan kisah
hidup buruh percetakan yang miskin (Mirjam dan Narpi) namun demikian,
mereka tetap berjuang untuk membebaskan diri dari penderitaan.
f. Dokter yang Merakyat
100
Meskipun cerpen ”Dokter Tjoa” karya Sobron Aidit (hal. 400)
menghadirkan tokoh dokter namun karya ini sejalan dengan cerpen-cerpen yang
menghadirkan tokoh massa rakyat pekerja, yaitu sama-sama menunjukkan
keberpihakan kepada rakyat. Keberpihakan itu dilakukan oleh dokter Tjoa, seperti
dalam kutipan di bawah ini.
”[...] Ya, ya, aneh dokter itu kok mau mancing sama-sama dengan kita yang begini ini, mau datang ke pondok kita yang bau-bau tidak keruan. Herannya bila diajak makan di rumah kita tidak pernah beliau menolaj. Betul-betul rendah hati, tidak merasa jijik rupanya beliau pada kita-kita ini,” berkata Pain yang baru-baru ini pernah sakit disentri dan baru sembuh sesudah dibelikan obat dari Doketr Tjoa [...]
”Bagi pak Tjoa kita sama dengan dia,” kata Amat penjaga kuburan Nunuk. ”Dan anehnya beliau banyak bergaul dengan kita daripada dengan orang besar, pak Bupati, Wedana atau lainnya,” kata sebuah mulut belakang [...] (“Dokter Tjoa” karya Sobron Aidit, hal. 400)
Dokter Tjoa bukan anggota kelas massa rakyat pekerja yang miskin dan tertindas
namun ia hidup berbaur di tengah-tengah rakyat. Dengan demikian, cerpen ini
adalah representasi gagasan ideal mengenai keberpihakan kepada rakyat tertindas
melalui penghadiran seorang dokter yang merakyat.
g. Lawan Massa Rakyat Pekerja
Jika suatu cerpen harus menghadirkan tokoh penindas/pengisap atau tokoh
yang menjadi lawan kelas massa rakyat pekerja, maka tokoh tersebut dilukiskan
sebagai pihak yang kalah atau kelas yang terhina. Hal itu misalnya dialami oleh
Pak Ibrahim yang dengan terpaksa menerima donor darah Amat, seorang PKI,
dalam cerpen ”Pak Ibrahim dan Transfusi” karya Bambang Sukowati (hal. 68).
Karena tidak ada pilihan lain, Pak Ibrahim menerima darah Amat (seorang PKI)
melalui transfusi.
Demikian pula halnya dengan cerpen “Kapitalis Birokrat dan Bahasa
Angka” karya Sobron Aidit (hal. 406) yang menghadirkan kapitalis birokrat
101
sebagai pelaku kejahatan (korupsi). Cerpen-cerpen yang menghadirkan tokoh
lawan kelas massa rakyat pekerja memang tidak menonjol dalam antologi
Laporan dari Bawah karena bertentangan dengan ajaran massa rakyat pekerja
sebagai pembuat sejarah (Aidit, 1964: 51). Hal ini pararel dengan pandangan
Presiden Soekarno (1964: 279) bahwa rakyat jelata adalah motor dan revolusi itu
sendiri.
Untuk memperdalam uraian di atas, pada bagian ini dibahas cerpen yang
berjudul ”Boyolali” karya Amarzan Ismail Hamid. Cerpen yang mengangkat tema
sengketa tanah ini menggunakan gaya monolog ”aku” untuk menghadirkan
perlawanan kaum tani di Ketaon (Boyolali) terhadap tuan tanah. Cerpen ini tidak
memiliki alur cerita dan hanya berupa pengungkapan kembali fakta-fakta di
seputar sengketa tanah, seperti (1) penembakan dan teror terhadap kaum tani, (2)
pengkhianatan tuan tanah terhadap undang-undang pertanahan yang sah (UUPA
dan UUPBH), (3) hubungan revolusi dengan landreform, (4) simpati kepada kaum
tani yang ditembak, dan (5) kecaman terhadap sikap tuan tanah yang menjadikan
tanah sebagai alat pengisapan dan penindasan:
[...]Kenyataannya demikianlah. Masih ada petani ditembak. Masih ada petani diteror. Masih ada petani difitnah. Dan itu semua terjadi ketika Tavip sudah mengumandangkan di angkasa tanah air, menggugah setiap hati yang mau sungguh-sungguh memenangkan revolusi.
”Ketaon” tidak berdiri sendiri! ”Ketaon” bukanlah suatu peristiwa kebetulan! ”Ketaon” adalah rangkaian peristiwa yang sudah direncanakan untuk menteror kaum tani, untuk memprovokasi kaum tani, untuk menyerimpung landreform, menyerimpung UUPA dan UUPBH, menyerimpung Undang-undang pemerintah yang sah!Telah terjadi ”Ketaon”, dan akan terjadi ”Ketaon” lagi, selama pengkhianatan-pengkhianatan masih bisa hidup di tanah air kita, selama kemunafikan masih bisa bermain dengan bermacam cara.
[...]”Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan... omong besar tanpa isi,” kata Bung Karno[...]
[...]Tapi Wirjowiredjo itu jelas tuan tanh bukan hanya diukur dari luas tanah yang dia kuasai, tapi dari caranya memperlakukan tanah itu, sebagai senjata untuk mengisap kaum tani, notebene sebagai senjata untuk melawan UUPBH dan UUPA.
102
Cerpen ini menunjukkan sikap yang jelas, yaitu membela kaum tani dan
melawan tuan tanah. Representasi massa rakyat pekerja sebagai pembuat sejarah
di dalam cerpen dilakukan oleh pengarang dengan cara menunjukkan
keberpihakan kepada mereka. Cerpen ini bertitik tolak dari pemahaman dan
pandangan pengarang terhadap realitas, misalnya dengan menulis tanggal
peristiwa gugurnya tiga orang petani (18 November 1964). Di samping itu,
pengarang juga mencantumkan fakta mengenai kepemilikan tanah dan
perunutkannya, sesuai dengan UUPBH, seperti dalam kutipan di bawah ini.
Demikianlah Wirjowiredjo, suami-istri tuan tanah itu berhasil menguasai 28 patok tanah di ”Ketaon”. 3, 75 hektar dari dua patok tanah itu dikerjakan oleh 13 orang kaum tani dengan sistem bagi hasil. Tanah selebihnya disewakan kepada pabrik gula ”Colomadu” imbangan hasil-hasil antara tuan tanah Wirjo dan kaum tani adalah 1:2. Satu bagian untuk kaum tani, dua bagian untuk tuan tanah. Ini adalah satu pelanggaran terhadap UUPBH. Menurut pedoman pelaksanaan UUPBH imbangan itu sekurang-kurangnya 1:1.
Karena lebih mengutamakan pengungkapan kembali fakta-fakta, maka cerpen ini
tidak memiliki kekuatan cerita (imajinasi, penokohan, pelukisan seting, pilihan
kata). Walaupun demikian, cerpen ini memberi sedikit ruang untuk merenungkan
kembali peristiwa tersebut, melalui pelukisan suasana kemanusiaan yang
mendalam, seperti tampak pada kutipan di bawah ini.
[...]Dan alangkah benarnya ucapan seorang petani tua tadi senja padaku: ”Bagi kami, Nak, Jumeri, Sono, dan Parto tidak pernah mati. Setiap butir nasi yang kami makan dituai dari cucuran keringat dan darah mereka!”
5.2 Perjuangan Kelas
Perjuangan kelas direpresentasikan dalam bentuk pertentangan atau
konflik antara tokoh yang tertindas (petani, rakyat, buruh, nelayan, prajurit
103
rendah, babu) dengan kelas penindas/pengisap (tuan tanah, orang kaya atau toke,
penguasa, majikan). Pertentangan atau konflik di antara kelas yang bertentangan
itu menjadi fokus pembicaraan karena bagian itulah yang paling jelas
direpresentasikan dalam cerpen-cerpen Lekra. Perjuangan kelas yang
direpresentasikan dalam antologi Laporan dari Bawah dapat dipilah menjadi dua,
yaitu perjuangan kelas kaum tani dan buruh. Perjuangan kelas kaum tani dan
buruh mendominasi cerpen-cerpen Laporan dari Bawah karena terkait erat
dengan strategi perjuangan PKI (Kasdi, 2001: 113).
Representasi konflik atau pertentangan antara kaum tertindas dan kaum
penindas dalam cerpen-cerpen Lekra, pararel dengan pandangan Aidit (1964: 49-
51) mengenai perjuangan kelas. Aidit mengemuakan bahwa perjuangan kelas
muncul sejak masyarakat terbagi menjadi kelas-kelas yang memiliki kepentingan
yang saling bertentangan. Berdasarkan pandangan Aidit, perjuangan kelas adalah
perjuangan dalam bidang ekonomi masyarakat, yang bertujuan mengubah sistem
hak milik atas alat-alat produkasi, yaitu menghapuskan hak milik perseorangan
sehingga alat-alat produksi menjadi hak milik masyarakat. Dengan perubahan
tersebut, pembagian kelas dalam masyarakat telah dihapuskan karena alat-alat
produksi tidak lagi dijadikan alat penindasan.
Menurut Aidit, Revolusi Indonesia yang masih berada pada tingkatan
perlawanan terhadap imperialisme dan feodalisme, adalah suatu bentuk
perjuangan kelas. Hal ini pararel dengan cerpen-cerpen yang mengangkat tema
antiimperialisme dan antikolonialisme. Aidit menegaskan bahwa konsep
perjuangan kelas yang dianut PKI tidak terlepas dengan perspektif revolusinya,
104
yaitu masyarakat sosialis. Sejalan dengan itu, tujuan perjuangan kelas adalah
menghapuskan pengisapan manusia oleh manusia yang hanya bisa dicapai dengan
cara menghapuskan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi. Semasih alat-
alat produksi dimiliki oleh segelintir orang, selama itu pengisapan manusia oleh
manusia tetap terjadi. Konsep ini sangat jelas pararelitasnya pada cerpen-cerpen
yang bertema seketa tanah antara kaum tani dengan tuan tanah. Tuntutan
kepemilikan tanah yang diperjuangkan oleh kaum tani adalah perjuangan untuk
menghapuskan hak perseorangan (dalam hal ini tuan tanah) atas tanah sebagai alat
produksi. Sementara itu, perjuangan kelas kaum buruh yang dikemukakan di
dalam cerpen-cerpen Lekra baru sampai kepada tahap menuntut kenaikan upah.
a. Perjuangan Kelas Kaum Tani: Tanah dan Keadilan
Perjuangan kelas kaum tani dalam rangka memperoleh tanah tidak
terlepaskan dari kebijakan pertanahan pada awal dekade 1960-an, yaitu
landreform dan berlakunya UUPA dan UUPBH (lampiran tabel 8). Sejak tahun
1960 persoalan hak tanah dan penggunaan tanah mulai muncul dalam pidato-
pidato tahunan Presiden Soekarno. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) telah
mengusulkan perombakan hak dan penggunaan tanah kepada pemerintah. Hal itu
bertujuan agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara, khususnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup petani dan rakyat jelata (Soekarno, 1964: 419).
Sejalan dengan itu, pemerintah pun memutuskan Rancangan Undang-undang
Pokok Agraria menjadi UUPA (Undang-undang Pokok Agraria).
Perselisihan antara kaum tani dengan tuan tanah merupakan salah satu
bentuk representasi perjuangan kelas yang umum terjadi dalam gerakan PKI, yang
105
terkenal dengan istilah aksi sepihak (Sanit, 2000; Kasdi, 2001; Tornquist, 2011;
Mortimer, 2011). Tujuan perjuangan kelas adalah kemenangan kelas tertindas
sehingga tidak ada lagi penindasan dan pengisapan manusia oleh manusia karena
dalam hal ini, tanah tidak lagi dikuasai oleh segelintir orang saja. Kemenangan
kaum tani dicapai ketika beralihnya kepemilikan tanah dari tuan tanah kepada
kaum tani. Pembicaraan cerpen-cerpen berikut ini difokuskan pada dua motif yang
memicu konflik, yaitu tanah dan keadilan bagi kaum tani.
Pada prinsipnya, pemicu pertentangan kelas di kalangan kaum tani adalah
keinginan mereka memiliki tanah sendiri sehingga tidak lagi bergantung kepada
tuan tanah dan tuntutan kaum tani terhadap keadilan dalam sistem bagi hasil.
Kedua motif tersebut menjadi persoalan pokok dalam cerpen-cerpen Laporan dari
Bawah, yang mengangkat tema sengketa tanah, Landreform (UUPA, UUPBH).
Cerpen ”Boyolali” karya Amarzan Ismail Hamid (hal. 50-51) mengemukakan
konflik atau pertentangan antara kaum tani dan tuan tanah yang terjadi di
Boyolali, tepatnya di Desa Ketaon. Pertentangan tersebut berujung kepada
tertembaknya tiga orang petani (Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo). Bagi
kaum tani di Boyolali, Jumari, Sonowiredjo, dan Partodikromo tidak pernah mati
karena bagi mereka, ”setiap butir nasi yang kami makan dituai dari cucuran
keringat dan darah mereka”.
Dalam cerpen ”Paman” karya L.S. Retno (hal. 146) terjadi perselisihan
antara ”ayah” dan Umi, putrinya, mengenai perkara tanah. Menurut putrinya,
sawah-sawah yang berlebihan yang dimiliki ayahnya harus diserahkan kepada
rakyat yang tidak memiliki tanah namun ayahnya menolak.
106
Perlawanan kaum tani terhadap tuan tanah juga dalam rangka menuntut
keadilan dalam sistem bagi hasil panen yang dikisahkan misalnya dalam cerpen
”Pengadilan Tani” karya Sugiarti Siswadi (hal 456). Keadilam dalam sistem bagi
hasil panen diperjuangkan lewat pengadilan oleh Kromosentono beserta 130 kaum
tani lainnya dari kekuasaan tuan tanah, Pak Sanusi. Pengadilan pun memenangkan
kaum tani. Persoalan yang sama muncul juga dalam cerpen ”Ketika Padi
Menguning” karya T.B. Darwin Effendie (hal. 494-496), yang menceritakan tuan
tanah atau pemilik sawah tidak memberi tahu petani yang menggarap sawah
mereka ketika padi yang menguning ternyata telah dijual secara sepihak kepada
tengkulak. Perselisihan di antara mereka diselesaikan melalui pengadilan dan
yang menang adalah kaum tani. Sejalan dengan cerpen tersebut, dalam cerpen
”Dua Kemenangan” karya Dwijono (hal. 104-107) dikemukakan perselisihan
yang terjadi antara Parijem, Wati, Tarman dkk. (petani penggarap) dengan Pak
Pardi (pemilik sawah). Perselisihan itu dipicu oleh Pak Pardi yang tidak menepati
janji bahwa UUPBH harus dilaksanakan pada panen kali ini.
b. Perjuangan Kelas Kaum Buruh: Kenaikan Upah
Konflik-konflik yang dialami oleh kaum buruh dipicu oleh keinginan
mereka memperoleh upah yang lebih tinggi sehingga hidup sejahtera. Untuk
memenangkan perselisihan ini, kaum buruh membentuk organisasi, misalnya
SOBSI (Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), seperti dikemukakan dalam
cerpen ”Delegasi” karya K.Sunarjo (hal. 130-132) dan ”Kakitangan dan Pembela”
karya Siswa Patria (hal. 394-398). Dalam cerpen ”Delegasi” dikemuakan bahwa
Pak Wikrama, seorang Mandor I pada salah satu perkebunan di Asahan, berjuang
107
secara aktif melalui Sarbupri (salah satu dari tiga organisasi buruh yang berdiri di
Asahan, yaitu Sarbupri, Perbupri, dan SBH). Pak Wikrama dan kaum buruh
perkebunan memperoleh kemenangan melawan majikan perkebunan. Dalam
cerpen ”Setelah Dipecat” karya S. End (hal. 360-362) dijelaskan bahwa walaupun
Sachroni kehilangan pekerjaan, ia bahagia karena akan diikutkan dalam
perundingan dengan mantan majikannya untuk membicarakan nasibnya dan 18
kawannya yang juga dipecat. Cerpen ”Dekat Jam Empat” karya Tjahjani (hal.
498-501) mengemukakan perselisihan dan perlawanan Djiman dkk. terhadap
majikannya. Untuk menunjukkan solidaritas sesama kaum buruh, Djiman dkk.
tidak bekerja tetapi Kusumo (majikan) tidak memberi izin libur kepada kaum
buruh yang disebutnya ”monyet-monyet” namun buruh-buruh tetap melawan.
Djiman dkk. tidak peduli ancaman Kusumo walaupun mereka akan dipecat.
Dalam cerpen ”Batuk” karya Tjak Wib (hal. 504-506) dikemukakan adanya
solidaritas di antara sesama anggota organisasi buruh yang diterima oleh Pak Mul
(buruh pabrik limun) yang sakit (batuk). Pak Mul dijenguk oleh seorang anggota
serikat buruh dan mendapat sekadar bantuan (Rp 5.00) dari organisasi buruh
tersebut. Manfaat organisasi buruh sangat besar bagi pencapaian tujuan
perjuangan buruh.
Melalui cerpen-cerpen yang bertema konflik kelas di kalangan kaum buruh
diketahui bahwa kehidupan buruh sangat miskin dan untuk memperbaiki nasibnya
mereka harus terlibat dalam konflik sebagai bentuk perlawanan dan perjuangan
nasib. Berdasarkan teori New Historicism, hal itu pararel dengan pandangan Aidit
(1964: 71-72) mengenai keberadaan kaum buruh atau proletar dalam sistem
108
kapitalis. Dalam sistem ini, buruh adalah kelas yang bebas karena tidak dikuasai
oleh kaum kapitalis. Karena buruh sama sekali tidak memiliki alat-alat produksi
maka mereka terpaksa menjual tenaga kerjanya kepada pemilik alat-alat produksi.
Agar kaum buruh tidak mati kelaparan, mereka bekerja membanting tulang dan di
pihak lain, kelompok kecil manusia pengisap mendapat laba yang besar. Menurut
Aidit, keadaan tersebut bertolak belakang dengan penderitaan dan kesengsaraan
kaum buruh. Untuk melipatgandakan laba, kaum kapitalis memperluas produksi
dan memperkeras pengisapan atas kaum buruh dengan prinsip, jam kerja yang
lebih lama dan upah yang rendah. Ketika produksi melimpah dan barang-barang
yang dihasilkan tidak terjual di pasaran, kegiatan produksi dihentikan dan kaum
buruh dipecat. Presiden Soekarno (1964: 153) mengambarkan penderitaan kaum
buruh seperti kuda beban. Presiden Soekarno berpendapat bahwa kaum buruh
harus diperlakukan sebagai tenaga manusia yang hidup dan berhak hidup
berbahagia. Kaum majikan harus menghargai kaum buruh (Soekarno, 1964: 153).
Untuk memberikan gambaran yang lebih lengkap dan mendalam, pada
bagian ini disajikan pembahasan cerpen ”Paman” karya L.S. Retno. Tema cerpen
ini adalah sengketa tanah antara kaum tani di suatu desa dengan tuan tanah,
seorang lurah. Kaum tani sebagai kelas tertindas diwakili oleh tokoh Budi
(keponakan paman) Umi (anak paman sendiri), dan Sasmito (pemimpin
perlawanan kaum tani di desa bersangkutan). Cerpen ini menghadirkan kekuatan
kaum tani dalam mendesak/melawan tuan tanah melalui orang-orang terdekatnya
(keluarga) dan bersekutu dengan kekuatan barisan revolusioner di desa tersebut.
Dengan demikian, tuan tanah tampak sangat terpojok dan tidak bisa berkutik:
109
”Mereka sekarang sudah bangkit. Kedudukanku terancam, Budi. Hak milikku atas sawah-sawah itu akan terampas!” Aku diam juga. Kubiarkan paman melemparkan amarahnya.
Cerpen ini dimulai dengan pertemuan Budi dengan paman dan titik awal
pergerakan alur cerita adalah tuntutan kaum tani atas tanah sesuai dengan UUPA,
yang terungkap melalui percakapan paman dan Budi. Pengarang menghadirkan
tokoh Budi, Umi, Sasmito sebagai tokoh yang berpihak kepada kebenaran dan
keadilan bagi kaum tani. Sebaliknya, paman dihadirkan sebagai tokoh yang jahat:
[...]Paman adalah seorang penguasa desa, seorang lurah yang dipilih pemerintah Belanda dulu, hingga sampai sekarang tidak pernah diganti; mempunyai sawah yang cukup luas dan paman hidup dari sawahnya itu tanpa memeras keringat sedikitpun.
[...]Setelah berulang kali kuterangkan dan dengan bantuan pimpinan organisasi kaum tani, mereka mulai mau bercerita tentang keadaan paman dan bagaimana pengisapan paman yang dilakukan atas diri kaum tani. Paman memang seorang penguasa desa yang jahat, itulah kesimpulanku. Demikian juga kesimpulan organisasi tani di desa.
Sebagai tuan tanah, paman tidak tunduk begitu saja kepada UUPA dan UUPBH:
”Kau tahu, aku sebagai lurah mendapat sawah yang agak luas dan ditambah dengan sawahku sendiri. Sawahku memang luas. Sekarang dengan adanya UUPBH dan UUPA, sawahku itu dituntut untuk dibagi-bagikan kepada rakyat, dan orang-orang yang mengerjakan sawah-sawahku itu memaksa menurunkan sewanya dengan semaunya sendiri saja. Aku keberatan terhadap UU itu[...]
Dengan kekuasaan yang dimilikinya, paman menggalang kerusuhan di desa
untuk melawan gerakan kaum tani dalam memperjuangkan UUPA. Namun
demikian, amarah kaum tani semakin berkobar dan memicu diselenggarakan rapat
umum. Melalui pidato yang disampaikan oleh Sasmito di dalam rapat umum
tersebut, dikemukakan kutukan terhadap bandit-bandit desa. Rapat umum tersebut
menghasilkan resolusi bahwa sengketa ini akan dibawa ke pengadilan.
Sebagaimana tipe umum cerpen yang merepresentasikan perjuangan kelas, cerpen
ini juga diakhiri dengan kemenangan di pihak kaum tani, yang tersirat melalui
kutipan di bawah ini.
110
”Sebagai anak aku mencintai ayahku. Tapi aku tidak ingin mempertahankan kelasku yang sudah tidak berharga di mata masyarakat, di mata kaum tani. Mas jangan khawatir, kita sudah dalam satu barisan revolusioner, dimana barisak kita lebih berharga dari asal kelas kita yang bobrok itu?” kata Umi dengan yakin. Aku tertawa senang. Dengan serta merta kujabat tangannya erat-erat.
Secara struktural, cerpen ini merupakan prototipe cerpen-cerpen Lekra
karena di dalamnya ditemukan unsur-unsur (1) massa rakyat pekerja yang
tertindas, (2) perlawanan massa rakyat pekerja terhadap kelas penindas/pengisap,
dan (3) harapan dan kemenangan massa rakyat pekerja. Keadaan ini pararel
dengan konsep revolusi Indonesia menurut Presiden Soekarno (1964). Menurut
Presiden Soekarno, revolusi adalah perjuangan menghadapi musuh untuk
mencapai kemenangan atau mencapai sasaran yaitu masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila, seperti dikemukakan dalam kutipan-kutipan di bawah ini.
[...]Tetapi Revolusi djuga barulah benar-benar Revolusi, kalau terus-menerus berdjoang. Bukan sadja berdjoang keluar menghadapi musuh, tetapi berdjoang ke dalam memerangi dan menundukkan segala segi-segi negatif yang menghambat atau merugikan djalannja Revolusi itu. Ditindjau dari sudut ini, maka Revolusi adalah suatu proses jang dinamis-dialektis dan dialektis-dinamis[....] (hal. 283).
[...]satu simfoni hebat dari kemenangan atas musuh dan kemenangan atas diri sendiri (hal. 334).
[...]Diatas landasan-landasan itu kita berdjalan, diatas landasan-landasan itu kita bisa berderap kemuka secara positif menudju kepada sasaran Revolusi jang sesungguhnja: jaitu masjarakat adil dan makmur berdasarkan Pantja Sila [...] (hal. 532).
5.3 Manusia Harus Berproduksi
Inti ajaran bahwa ”manusia harus berproduksi atau bekerja”
direpresentasikan melalui pengungkapan atau penggambaran usaha-usaha massa
rakyat pekerja agar bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan pokok (sekadar
111
bisa makan) karena menurut pandangan Marxis, manusia pertama-tama harus bisa
makan, memiliki pakaian, dan perumahan. Dalam cerpen ”Pak Wirjo Komunis
Tua” karya Sein D. Datu (hal. 530) dikemukakan bahwa setiap orang Komunis
dituntut mempunyai kerja dan mencintainya dalam rangka mencapai
kelangsungan hidup yang baik.
Giar dan Duan (keduanya adalah buruh pelabuhan) bekerja keras hanya
untuk mempertahankan hidup, sebagaimana hal itu dikemukakan dalam cerpen
”Kandas” karya Nurlan (hal. 258-260). Demi bertahan hidup karena keluarganya
miskin, seorang anak pun harus kerja sebagai babu/pembantu di kota --bagi
hidupnya sendiri dan bagi hidup keluargnya di desa (dalam cerpen ”Budak Kecil”
karya Sugiarti Siswadi, hal. 424-425). Cerpen ini senada dengan cerpen ”Tuanku
Mandi Darah” karya S. Siregar (hal. 352-357) yang juga menggambarkan kerja
keras Sarinem, seorang babu (pembantu rumah tangga) agar bertahan hidup.
Sementara itu, dalam cerpen ”Tantangan” karya Nurlan (hal. 261-263) kerja keras
buruh pembakaran kapur juga dalam rangka mempertahankan hidup. Bekerja
keras namun tetap hidup miskin dialami oleh Pak Slamet (seorang tukang cukur
keliling), seperti diungkapkan dalam cerpen ”Sedikit Hangat” karya Nusananta
(hal. 278-282). Demikian pula halnya dengan Onah dan orang-orang miskin di
sungai Ciliwung berjuang untuk bertahan hidup di tengah kota Jakarta (dalam
cerpen ”Onah Ditepi Ciliwung” karya S. Djin, hal. 318).
Kisah kerja keras rombongan ketoprak keliling untuk bertahan hidup
dikemukakan dalam cerpen ”Seripanggung” karya S. Gita (hal. 338-340). Pada
musim hujan anggota rombongan ketoprak tidak memperoleh penghasilan karena
112
tidak ada penonton dan dalam keadaan ini barang-barang yang telah mereka miliki
harus dijual untuk membeli makanan. Cerpen ”Pergi” karya Setiawan H.S. (hal.
390-391) mengisahkan seorang ibu yang harus meninggalkan anak-anaknya yang
sedang tidur lelap, pada suatu malam untuk bekerja karena ia tidak kuat hidup
menahan lapar dan miskin.
Untuk memberi gambaran yang lebih utuh, mendalam, dan untuk
melengkapi urian sebelumnya, pada bagian ini disajikan pembahasan cerpen
”Onah Ditepi Ciliwung” karya S. Djin. Pembahasan cerpen berikut difokuskan
pada cara pengarang Lekra menghadirkan perjuangan hidup rakyat jelata di
tengah kemiskinannya.
Sesuai dengan judulnya, tokoh utama cerpen ini bernama Onah dan cerita
ini merupakan kehidupannya. Ia lahir di kompleks pelacuran kumuh di tepi sungai
Ciliwung. Ketika melahirkannya Ibunya meninggal dan ayahnya pergi dari
kompleks pelacuran tersebut. Semenjak itu, ia diasuh oleh Mak Idjah, seorang
mucikari yang jahat. Walaupun Onah tumbuh di tempat itu, ia tidak pernah
menjadi pelacur karena menjelang usianya mencukupi sebagai pelacur, kompleks
tersebut terbakar. Ia mengerti penderitaan para pelacur di kompleks, nasibnya
ditentukan oleh majikan, terusir dari kompleks jika telah tua dan berpenyakit:
[...]Mak Idjah pandai juga menjaga, agar ”dagangannya” tetap segar dan menarik. Dengan tangis atau maki-makian yang kasar mereka meninggalkan rumah tersebut, kalau Mak Idjah menetapkan mereka yang telah tampak tua-layu, ataupun mengandung penyakit yang berbahaya.
Walaupun demikian, Onah tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya mampu
bersimpati kepada pelacur-pelacur tersebut:
113
Onah ngeri kalau memikirkan Hasnah harus kembali bergelandang di lorong-lorong gelap dan dimana mereka tidur? Tetapi Onah hanya bisa diam dan tunduk membersihkan bilik-bilik yang ditinggalkan untuk pengganti-penggantinya[...]
Onah dalam cerpen ini adalah pribadi pengarang. Melalui Onah pengarang
menggambarkan kemiskinan, penderitaan para pelacur di bawah kekuasaan
mucikari:
Onah semakin besar dengan melampaui suka duka di rumah Mak Idjah dengan ”gadis-gadis” yang tiap kali bertukar dan tamu-tamu yang berganti setiap malam.
Melalui Onah pengarang mengemukakan pandangannya bahwa pelacur-pelacur
tersebut manusia-manusia yang berjiwa dan mereka pun memliki cinta:
Onah tahu dengan nyata dari dekat, bahwa Hindun, Romlah, dan lain-lain adalah manusia-manusia yang berjiwa, bukan boneka-boneka yang tak merasa. Ia tahu bagaimana Hindun, si manis yang masih muda itu pernah menangis semalam-malaman, karena mencintai Kasim[...]
Setelah kebakaran melanda kompleks, Onah bebas dari paksaan menjadi
pelacur. Ia mulai merencanakan hidup baru dengan cara menjadi babu cuci tetapi
karena kecantikannya yang terpancar dari kemiskinannya, ia tidak mudah diterima
di rumah orang kaya karena nyonya rumah khawatir suami mereka akan jatuh
cinta. Karena itu, Onah kembali ke tepi sungai Ciliwung dan berteduh di bawah
jembatan. Tepi sungai Ciliwung mewakili penggambaran kemiskinan yang
dialami oleh Onah dan kaum miskin lainnya:
Demikianlah Onah kembali ke tepi Ciliwung dan berteduh di bawah jembatan. Beberapa tikar koyak diikatkan dan ia telah mempunyai ”bilik” sendiri seperti teman-temannya penghuni-penghuni tepian sungai. Teman-temannya mendengkur juga di antara tikar-tikar kotor dan koyak-koyak ataupun di lapangan terbuka, bergelimpangan di atas rumput.
Melalui lukisan seperti itu, pengarang menyajikan gambaran kemiskinan dan
perjuangan untuk sekadar bertahan hidup kaum miskin. Melalui Onah, pengarang
menyampaikan bahwa harapan hidup yang lebih baik juga selalu tumbuh dalam
diri kaum miskin:
114
Ya.... Onah kadang-kadang merasa dengan tajam mengiris keinginan-keinginannya untuk hidup sebagai lain-lain manusia di luar lingkungan tepi Ciliwung. Suami istri dengan anak-anaknya yang tampak bahagia dilihatnya keluar masuk toko. Adakah kasih mesra hanya untuk sebagian manusia ”di atas” nya? Sedangkan baginya.... Onah, Romlah, Hasnah dan teman-temannya tak boleh memimpikan hidup berkeluarga yang bahagia?[...]
Dengan demikian, cerpen ini sangat humanis. Harapan hidup yang lebih baik
adalah milik semua manusia, termasuk kaum miskin. Suasana cerita yang semula
suram berganti dengan terbitnya harapan yang cerah ketika Onah berkenalan
dengan Bang Dul (penjual rokok). Sampai pada bagian ini pengarang telah
menggunakan dua tokoh untuk merepresentasikan dirinya, yaitu Onah yang
mewakili kaum miskin dan Bang Dul yang mewakili harapan baru bagi kaum
miskin (PKI). Melalui Bang Dul pengarang mengemukakan harapan hidup kepada
kaum miskin, yaitu lambang palu arit:
”Onah, kau lihat itu tanda hitam di pohon asem. Tanda Palu Arit adalah tanda harapan yang akan datang. Kawan-kawan kita banyak yang berjuang agar hilang semua penderitaan manusia. Juga penderitaanmu Onah![...]”
Harapan itu secara pelan-pelan tertanam di hati Onah dan pada akhirnya menjadi
miliknya. Melalui harapan itu, Onah melihat masa depan yang bahagia dan zaman
yang berubah:
Dalam dada Onah yang kurus lemah di bawah jembatan telah menyala samar-samar api harapan akan hari kemudian yang lebih bahagia daripada penderitaan yang dialami setiap hari kini. Ia merasakan dan melihat pula gelagat perubahan zaman yang dinantikan. Sebagai kata-kata Bang Dul, pak Usin dan Usman penjual kopi diperhentian trem.
Sampai pada bagian akhir cerpen ini, Onah tetap menjadi tokoh yang memandu
perhatian pembaca. Cerita berakhir ketika Onah telah memiliki tekad kuat bahwa
ia dan kaum miskin akan meninggalkan tepian sungai Ciliwung:
Onah sangat ingin agar kehidupan segera berubah dan kawan-kawannya bisa pindah dari bawah jembatan tepi Ciliwung. Onah percaya kawan-kawan Bang Dul banyak dan suatu kali apa yang dulu diimpikannya akan terlaksana. Impian sederhana yang tak jauh berbeda dari setiap manusia lainnya.
115
Cerpen ini memiliki struktur yang khas cerpen kubu Lekra, yaitu memiliki
unsur (1) kemiskinan, (2) perjuangan bertahan hidup, dan (3) harapan hidup yang
lebih baik (bebas dari derita kemiskinan). Dengan demikian, struktur ini pararel
dengan struktur masyarakat Indonesia yang sedang menjalankan revolusi, yang
dikemukakan oleh Presiden Soekarno (1964). Secara strukturalisme genetik,
struktur karya sastra berhomologi dengan struktur global (struktur masyarakat
yang sedang menjalan revolusi, baik menurut pandangan PKI maupun pandangan
Presiden Soekarno). Dengan kata lain, berdasarkan kajian teori New Historicism,
struktur karya sastra memiliki pararelitas dengan struktur masyarakat (yang
dibangun, baik oleh D.N. Aidit maupun Presiden Soekarno).
5.4 Sosialisme sebagai Harapan
Sosialisme dikemukakan secara tersirat dalam sejumlah besar cerpen yang
mengangkat tema antiimprealisme, antikolonialisme, atau anti-AS (dan sekutu-
sekutunya) karena sikap ini memiliki tujuan yang sangat jelas yaitu mewujudkan
masyarakat yang bebas pengisapan dan penindasan manusia oleh mansia. Menurut
Aidit (1964b: 16), imperialisme adalah sistem pembelengguan dan kaum
imperialis mendapat kekuasaan atas tanah jajahan dengan jalan kekerasan. Karena
itu, imperialisme, terutama A.S. adalam musuh utama Revolusi Indonesia (Aidit,
1964: 7).
Hal itu diungkapan dalam dalam cerpen ”Danau Tigi Merah Darah” karya
Abdul Kohar Ibrahim (hal. 16-18) yang mengangkat tema perjuangan merebut
Irian Barat. Permasalahan yang senada muncul pula dalam cerpen Kohar Ibrahim,
”Pesan” (hal.24-28) yang mengemukakan bahwa penjajahan adalah sumber derita
116
bagi rakyat. Dalam cerpen ”Ida dan Baju Prajurit” karya Noor Djaman (hal. 255)
masalah antipenjajah kembali muncul dan secara tegas mengemukakan bahwa
penjajahan harus dihancurkan dari bumi ini sebagaimana sumpah Harun kepada
Ida, ”Ida, aku bersumpah akan terus menghancurkan penjajah dari bumi kita ini...”
Di luar cerpen-cerpen bertema antiimperialisme, antikolonialisme, usaha
kelas tertindas untuk menghapuskan pengisapan bisa juga muncul dalam cerpen
yang bertema pertentangan kelas, misalnya dalam cerpen ”Tetap Bertahan” karya
Sesongko (hal. 387). Cerpen ini mengemukakan bahwa tujuan perjuangan
Mustari dan petani-petani lainnya di Desa Cibeo adalah untuk menghapuskan
pengisapan yang dilakukan oleh Hadji Ahmad karena ia menguasai air (untuk
mengairi kolam ikannya) padahal air itu adalah untuk mengairi sawah-sawah.
Perjuangan Mustrasi dan para petani itu akan berakhir jika mereka berhasil
mewujudkan masyarakat tanpa pengisapan dan penindasan, khususnya di
lingkungan Desa Cibeo.
Masyarakat sosialis adalah harapan atau cita-cita yang digunakan oleh PKI
untuk mempersatukan sekelompok masyarakat dan berkembang menjadi satu
kelas yang berbeda dengan kelas lainnya Indonesia. Dalam cerpen-cerpen
Laporan dari Bawah representasi masyarakat sosialis tidak selalu muncul secara
tersurat tetapi dikemukakan melalui kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh
kaum tani, buruh, dan kaum tertindas lainnya dalam perlawanan menghadapai
kelas-kelas penindas dan hal itu tercermin melalui harapan-harapan terhadap masa
depan yang lebih baik di dalam cerpen-cerpen tersebut. Dari segi cita-cita
mencapai masyarakat sosialis, harapan-harapan tersebut adalah representasi utopia
117
masyarakat sosialis di dalam karya sastra. Dengan demikian, secara implisit,
cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah sastra yang berperan dalam rangka
membangun harapan akan tercapainya masyarakat sosialis Indonesia, sejalan
dengan pendapat Presiden Soekarno (1964: 353) bahwa bangsa Indonesia
berderap terus ke arah fajar sosialisme yang telah menyingsing di cakrawala
Indonesai. Untuk menjelaskan secara rinci, dibicarakan beberapa cerpen yang
mengandung harapan tersebut, seperti dalam cerpen ”Kemana Arah” karya S. Djin
(hal. 330-331), yang dikutip sebagai berikut.
Sering Saman mendengar kata sosialisme, dalam pendengaran pidato-pidato Presiden atau lain-lain pimpinan, maupun dalam surat kabar, tetapi tak pernah ia memikirkan bagaimana mewujudkan bersama-sama dengan semua teman-temannya. Ia kini ingin mengerti banyak, ingin mendapat jawaban beribu pertanyaan yang timbul tenggelam dalam pikirannya[...][...]Saman kini mengetahui dimana ia berdiri dan dengan girang bersama jutaan teman ia berdiri meneruskan langkah yang tak pernah patah, dengan penuh harapan.
Kebebasan, hidup tanpa penindasan, kemelaratan, dan rasa takut,
dirindukan, menjadi keinginan, dan sekaligus mimpi Agam, sebagaimana
dikemukakan dalam cerpen ”Pesan” karya Abdul Kohar Ibrahim (hal. 27). Sejalan
dengan itu, representasi harapan, ”masa akan berubah” atau akan datangnya
zaman baru dalam kehidupan seorang pelacur, hadir dalam cerpen ”Onah Ditepi
Ciliwung” karya S. Djin (hal. 324) seperti kutipan berikut ini.
Dalam dada Onah yang kurus dan lemah dibawah jembatan telah menyala samar-samar api harapan akan hari kemudian yang lebih bahagia daripada penderitaan yang dialami setiap hari kini. Ia merasakan dan melihat pula gelagat perubahan zaman yang dinantikan. Sebagaimana kata-kata bang Dul, pak Usin dan Usman penjual kopi di perhentian trem. [...]Impian tentang kehidupan kekeluargaan yang bahagia, dimana ia tak usah berganti suami setiap malam sebagaimana Hasnah dan lain-lainnya. Kehendak yang kuat tentang kepedihan mereka dari tepi sungai-sungai
Dalam cerpen ”Kepentingan Terakhir” karya Soenarsa (hal. 415)
dikemukakan bahwa kemenangan rakyat dalam melawan mush-musuhnya adalah
118
harapan yang sangat penting dan merupakan keyakinan mendalam karena
”Tangan Rakyat masih kuasa!” dan ”Besok kita bangunkan yang lebih indah”.
Sementara itu, dalam cerpen “Seperti Mimpi Saja” karya Z. Arifien (hal. 516-
517), harapan adalah hari depan yang gemilang, perubahan nasib kaum tani,
bagaikan ”Nabi Kemenangan” yang pasti tercapai.
Sehubungan dengan harapan itu, PKI senantiasa dikemukakan sebagai
partai yang mengakomodasi tercapainya harapan tersebut, sebagaimana
dikemukakan dalam cerpen ”Subang” karya Ira (hal. 121), ”[...]orang-orang yang
percaya bahwa bumi ini kelak akan menjadi milik kaum pekerja”. Harapan kepada
PKI juga dikemukakan dalam cerpen ”Menyambut Kongres Nasional Ke-VI PKI”
karya L.S. Retno (hal. 170) seperti kutipan berikut ini.
Kepada Partai Komunis Indonesia yang selalu mereka cintai, mereka memasrahkan suatu harapan supaya Partai bisa memperjuangkan sepenuhnya segala tuntutan itu kepada pemerintah. Keyakinan akan kepercayaan kepada Partai tidak bisa ditawar-tawar lagi, sebab mereka juga tahu, hanya PKI lah yang dengan sepenuh tenaga memperjuangkan nasib mereka.
Menurut Pak Wirjo, seperti dikemukakan dalam cerpen ”Pak Wirjo
Komunis Tua” karya Zein D. Datu (hal. 323), di bawah panji-panji Komunisme
semuanya itu akan menjadi nyata karena gerakan Komunisme menjamin
kelangsungan hidup yang baik.
Untuk memperdalam uraian di atas, pada bagian ini disajikan pembicaraan
cerpen secara utuh, yaitu yang berjudul ”Kebangunan di Kota Bengawan” karya
Namikakanda. Cerpen ini menunjukkan bahwa PKI sebagai (1) jalan bagi rakyat
untuk mewujudkan harapan dan (2) harapan itu sendiri, yaitu tujuan akhir
perjuangannya (sosialisme). Cerita dalam cerpen ini adalah rangkaian fragmen
mengenai kebesaran PKI, yang dikemukakan melalui percakapan dua tokoh
119
(”aku”, seorang pelajar dan pak tua, seorang haji) selama perjalanan kereta api
dari Yogyakarta-Solo dan melalui seting cerita. Penokohan cerpen ini, seperti
pada umumnya yang terjadi pada cerpen-cerpen Lekra, yaitu representasi individu
sebagai wakil kelas. Sejalan dengan itu, pengarang Lekra tidak perlu merinci
karakter tokoh-tokohnya karena akan menonjolkan segi-segi individunya.
Penggambaran seting cerita dikaitkan dengan pokok pembicaraan tokoh-tokoh,
yaitu kebesaran PKI:
”Penduduk di tempat kami menghiasi rumah mereka dengan gambar-gambar palu-arit. Dan pada malam hari di tiap rumah penduduk itu berpendar-pendar sinar lampu tiang dengan gambar palu-arit. Tempat kami sungguh-sungguh hujan gambar palu-arit! Dan tukang-tukang warung menambah barang-barang mereka. Sungguh meriah benar ketika itu. Tapi keesokan harinya hampir-hampir saja terjadi keributan di antara kami.”
Penggambaran seting cerita yang sedemikian rupa sangat menonjol di dalam
cerpen ini. Seting cerita sebagai laporan pandangan mata tokoh merupakan ruang
utama cerpen, tempat pengarang membangun kebesaran PKI:
Ketika itu hari Minggu, aku masih ingat betul. Sejuta rakyat surakarta berkumpul di alun-alun Solo untuk mendengarkan petuah pemimpin mereka yang sangat mereka cintai. Rapat umum itu mengubah alun-alun menjadi lautan manusia. Di sudut timur-laut alun-alun itu berdiri sebuah podium. Belum pernah aku melihat podium sebesar itu. Tingginya sebelas meter. Bendera Merah Putih dan Bendera Merah ber-Palu-Arit menghiasi dinding podium itu dengan megahnya. Gambar-gambar Bung Karno, Aidit, Njoto, Lukman ikut menyaksikan rapat raksasa tersebut. Di atas podium itu duduk berjejer pemimpin-pemimpin P.K.I. dan golongan-golongan demokratis lainnya. Sejak pagi jalan-jalan kota telah penuh sesak dengan orang yang berduyun-duyun menuju ke alun-alun untuk mendengarkan petuah pemimpin-pemimpin mereka. Sungguhpun demikian tidak ada kecelakaan lalu lintas. Maka sebaliknya daripada itu, keamanan lalu lintas terjaga dengan rapinya. Kerapian penjagaan lalu lintas itu, membuat anggota-anggota polisi dan C.P.M. bergeleng-geleng kepala. Siapa penjaga keamanan lalu lintas itu? Jawabnya: ”Mereka adalah anggota-anggota P.K.I. dengan ban Palu-Arit di lengannya.” Sejuta rakyat itu dengan tiada membantah sedikit pun dan menaati petunjuk-petunjuk mereka itu[...]
Di samping dengan cara itu, kebesaran PKI juga disampaikan melalui percakapan
berikut ini.
”Kami kaum komunis tidak boleh membohong. Kami harus berkata tentang kenyataan yang sewajarnya.”
120
Orang tua itu bercerita dengan sederhana. Tapi dalam kesederhanaannya itu tersirat kebenaran yang sewajarnya. Apa yang telah kudengar dari mulut orang tua itu memberi kesan yang sangat mendalam dalam jiwaku. Kesan bahwa kecintaan rakyat pada P.K.I? Mengapa tidak Masjumi? ”Bukankah Pedan daerah Islam?” ”Pedan memang daerah Islam. Saya sendiri seorang haji.” Mendengar jawabannya itu aku menjadi geli. Dengan secara bergurau aku bertanya: ”Masih bersholat lima waktu?” ”Mengapa tidak? Itu adalah keyakinanku terhadap Tuhan Yang Maha Esa.” ”Mengapa pilih P.K.I. Mengapa tidak Masjumi?” ”Itu ada sebabnya Nak.” ”Mengapa?” ”P.K.I. memperjuangkan tanah untuk kami. Kau tahu, buat kami tanah adalah jiwa kami. Dan P.K.I. adalah otak kami.” ”Masjumi?” ”Ia menentang tuntutan kami.” ”Kata orang P.K.I. adalah brandal,” aku ketawa. ”Mana bisa brandal. Kaum komunis adalah manusia yang tinggi martabatnya.” Ia mengucapkan kata-katanya dengan penuh keyakinan. ”Martabat yang bagaimana?” ”Orang komunis tidak boleh menempeleng istrinya, apalagi berpoligami. Melacur dan berjudi pun tidak boleh.” ”Kalau melanggar bagaimana?” ”P.K.I. bukan tempat bagi orang-orang yang rusak martabat mereka.”
Representasi harapan (sosialisme) dalam cerpen ini disampaikan secara
tersurat dalam rangka penggambaran kebesaran PKI. Hal yang sama juga banyak
terjadi pada cerpen-cerpen yang bertema propaganda (lampiran tabel 7).
4.6 Representasi Ideologi Marxis dalam Cerpen
Berdasarkan kerangka yang digunakan (massa rakyat pekerja sebagai
pencipta sejarah, perjuangan kelas, manusia harus berproduksi atau bekerja, dan
sosialisme) dapat dikemukakan bahwa cerpen-cerpen antologi Laporan dari
Bawah merepresentasikan ideologi Marxis. Di samping itu, cerpen-cerpen
tersebut juga menunjukkan pararelitas dengan pandangan Aidit mengenai
Mrxisme, yang dijabarkan dalam teks nonsastra, yaitu buku Tentang Marxisme.
Cerpen-cerpen tersebut sebagai penjabaran dan sekaligus berfungsi sebagai alat
pendidikan ideologi, pujian kepada partai, dan ruang untuk membangun
121
optimisme dan harapan. Temuan tersebut berhubungan dengan pandangan bahwa
sastra harus menjadi alat partai, bagian pekerja partai demokratik sosial yang
terorganisasi, metodik, dan bersatu (Barry, 2010: 186).
Cerpen-cerpen tersebut juga mengandung tujuan revolusioner dalam
rangka mencapai tujuan politis, yaitu perjuangan menuju masyarakat sosialis. Hal
ini sejalan dengan pendapat Ratna (2007: 372-373) bahwa sastra ideologis dan
propagandis adalah sastra yang bertendens, yang lebih menitikberatkan kepada
fungsi dan manfaat karya dalam rangka melaksanakan niat subjek (pengarang
sebagai anggota masyarakat). Sastra ideologis dikaitkan dengan teori sastra
Marxis yang mengharuskan karya sastra mengandung maksud yang sejalan
dengan kepentingan partai.
Sejalan dengan itu, sastra Marxis tidak semata-mata mengungkapkan
realitas tetapi juga mengemukakan realitas yang seharusnya terjadi, yang
diinginkan bersama. Walaupun sastra Marxis dihasilkan oleh individu tetapi ia
adalah anggota suatu kelas dan karya sastranya adalah suara kelasnya.
Berdasarkan penjelasan tersebut, cerpen-cerpen yang terhimpun dalam
antologi Laporan dari Bawah tidak hanya mengungkapkan persoalan sosial
politik bangsa Indonesia melalui sudut pandang PKI tetapi juga mengungkapkan
realitas yang seharusnya yaitu masyarakat sosialis.
122